Ceritasilat Novel Online

Bride Wannabe 3

Bride Wannabe Karya Christina Juzwar Bagian 3

beranjak berdiri dan bersiap-siap.

"Mama mau ke mana?" tanyaku sambil mengantar Mama

keluar.

"Mau jemput Anne terus ke supermarket," sahut Mama.

"Kamu hati-hati, ya." Aku melambaikan tangan sampai mobil

Mama menghilang dari pandangan.

Ketika aku hampir menyerah menunggu dan mencari Oliver,

~139~

dia kembali hadir dan mengirimiku pesan.

Oliver_D: Hei, aku terima email-mu. Sori,

ponselku mati.

Flowergirl: Semuanya sudah basi. It?s been a long

time. So, do we have to introduce ourself again?

Oliver_D: I?m so sorry, Sascha hanya saja .

Flowergirl: Kamu tahu enggak kalau aku cari kamu

dan tunggu kamu? Tapi, sia-sia! Tidak ada

jawaban, tidak ada balasan! Aku seperti orang

bodoh!

Oliver_D: Sascha look I should have told you

.

Flowergirl: What kind of game are you playing

now, Oliver? Aku hanya perlu memberi tahu kamu

bahwa aku bukan cewek yang bisa dipermainkan

begitu saja, kalau memang kamu mau mengakhiri

pembicaraan kita, pertemanan kita, hubungan

maya yang memang tidak jelas ini, terserah kamu

mau menyebutnya apa, bilang saja langsung, tidak

perlu menghilang. Kamu tahu, aku bisa menerima

kenyataan, meskipun pahit.

Emosiku langsung naik ke ubun-ubun karena perilaku Oliver

yang sesuka hatinya. Kemarahan serta kekecewaanku sudah

terkumpul dan bercampur menjadi satu, lalu meledak tak

tertahankan. Barangkali aku berlebihan, tetapi akar emosiku

beberapa hari ini adalah Oliver. Wajar saja ketika Oliver hadir

kembali, aku menumpahkan semuanya.

Oliver_D: I know you are not. Tapi, bisa enggak

beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya?

Oliver_D: Aku minta maaf karena tidak

~140~

menghubungimu sama sekali karena aku ada

pekerjaan pemotretan keluar kota which was aku

tidak mendapatkan koneksi internet yang baik,

begitu juga koneksi telepon yang membuat sinyal

sering putus. Sepulangnya dari luar kota, my dad

were taken to the hospital, so I have to stay there

for couple of days.

Aku terpaku ketika membaca penjelasan yang ditulis oleh

Oliver. Tanpa menunggu waktu, rasa malu serta bersalah

langsung merambat ke seluruh tubuhku hingga pada tempat

perhentian terakhirnya. Ya, Tuhan. Aku benar-benar merasa

bersalah. I?m an idiot.

Sebelumnya, aku tidak pernah bertingkah konyol seperti ini.

Oliver bukan pacarku, pertemanan kami juga baru berumur tiga

bulan dan tiba-tiba saja aku marah kepadanya seperti

perempuan PMS yang lagi ngamuk-ngamuk karena pacarnya

tidak membalas teleponnya.

Oliver_D: Sascha are you there?

Flowergirl: Yes, look Oliver, aku minta maaf

karena sudah berprasangka buruk terhadap kamu.

Oliver_D: Aku bisa mengerti perasaan kamu,

Sascha. I?m sorry too.

Flowergirl: Aku benar-benar malu. That?s not me.

I?m so so sorry. You can yell at me right now.

Kalau kamu mau marah, aku sangat mengerti. I?m

overreacted.

Oliver_D: Sayangnya, aku tidak mau marah sama

kamu, Sascha.

Flowergirl: So is your dad OK?

Oliver_D: Sudah sehat dan sudah keluar dari

rumah sakit. Hanya terkena serangan jantung

~141~

ringan ketika sedang berada di restoran.

Flowergirl: Syukurlah.

Oliver_D: Sascha, do you have a Skype account?

Aku melongo sampai aku harus mencopot kacamataku dan

memelototi pesan Oliver. Skype? Kenapa Oliver menanyakan

Skype? Perasaanku jadi gelisah. Perutku seketika mulas.

Namun, aku tetap menjawabnya.

Flowergirl: Punya. ID-nya flowergirl.

Oliver tidak membalas pesanku. Tak lama, laptopku

berbunyi dengan sangat keras. Seperti bunyi telepon. Aku

mendekatinya dan ....

Oliver meneleponku melalui Skype.

Tubuhku membeku. Dengan jari yang gemetar, aku

mengirim pesan lagi kepada Oliver. Aku benar-benar panik.

Flowergirl: Are you sure about this?

Oliver_D: Seratus persen. Aku pikir sekarang

adalah waktu yang tepat. Anggap saja Skype

menjadi level terbaru dalam hubungan kita. I

want you to see the real Oliver. And I want to see

the real you.

Perutku mulas luar biasa. Aku menggigiti bibirku dan kuku

tanganku bergantian. Rasanya seperti sedang menunggu

pengumuman kelulusan. Aku langsung menyadari bahwa, ketika

hati ini sedang merasakan sesuatu yang istimewa, rasanya umur

tidak punya batasan lagi.

Aku tidak membiarkan Oliver menunggu terlalu lama.

Dengan tangan yang gemetar dan dingin, aku menjawabnya.

~142~

Detik berikutnya, aku bisa melihat wajah Oliver di layar

komputer.

Wajah yang sering aku lihat di foto-foto yang dikirimkannya

terlihat tampan dan aku menjadi lega. Setidaknya, dia orang

yang sama dengan foto yang dikirimkannya. Jadi, dia jujur.

Wajah tampan itu sekarang tersenyum dan melambaikan

tangannya dengan sedikit canggung. Dia tidak mengenakan

kacamatanya dan beard yang mengelilingi rahang dan pipinya

mulai terlihat jelas. Mungkin dia belum mencukurnya.

"Hai, Sascha," sapa Oliver. Aku terkejut. Suaranya tidak

jauh berbeda dari suara yang selama ini aku visualisasikan di

pikiranku ketika aku sedang bercakap dengannya melalui pesan

tertulis. Suara yang dalam dan logat Inggris yang begitu kental.

Suaranya seramah wajahnya.

"Hai." Aku tersenyum. Aku benar-benar gugup. Namun,

sepertinya bukan aku saja, aku melihat Oliver juga gugup dan

gelisah. Tubuhnya selalu bergerak dengan tidak nyaman dan aku

juga mendengar ia sering berdeham.

"Aku lihat kamu pakai kacamata juga. Di foto kamu tidak

menggunakannya."

Aku mengangguk dan melepas kacamataku. "Ya, aku terlihat

aneh kalau ... hm ... berfoto menggunakan kacamata, meski

sebenarnya aku memerlukannya."

"But you look good on glasses."

Aku tertawa gugup. Sumpah, aku tidak tahu harus berbicara

apa lagi. Suasana jadi canggung karena kami sama-sama

terdiam. Tapi, Oliver mencairkan suasana kembali.

"Kamu gugup?"

Aku mengangguk. "Banget."

Oliver tertawa pelan dengan gelisah. Senyum yang manis dan

tawa malu-malu, dan dia sedikit menghindari kontak mata. "Me

too. Sebenarnya, aku sudah memikirkan ini selama beberapa

waktu. Aku cukup yakin. Bagaimana menurutmu?"

~143~

Aku tertawa kecil. "Setelah dipikir, ini ide yang bagus."

Aku merasa sedikit aneh. Sewaktu asyik bercengkerama

lewat pesan tertulis, kami bisa berbicara dengan begitu bebas,

bahkan sampai saling melempar lelucon atau saling meledek satu

sama lain. Sekarang malah kebalikannya. Kami seperti dua

orang yang baru kali pertama berkenalan. This is like a new

beginning.

"Kamu kelihatan lebih cantik daripada di foto," ujar Oliver

dengan nada yang pelan dan lembut. Sekarang aku benar-benar

tersipu mendengar pujiannya. Aliran darah di wajahku langsung

mengalir deras. Aku sangat yakin bahwa wajahku sudah

bersemburat merah. Siapa yang menyangka aku akan berubah

menjadi lobster rebus, tepat di depan Oliver, hanya dalam

waktu dua menit setelah kami melakukan video call ini. Shame

on me.

"Hey, you are blushing!" Oliver terkekeh pelan.

Aku berharap ada seseorang yang menembakku saat ini juga.

Oliver melihatnya. Damn! Aku memang benar-benar pintar

untuk mempermalukan diriku sendiri.

"Oh my God, my face is so red, isn?t it?" Aku memegang

wajahku sedikit panik. Bahkan, di layar komputer pun wajah

merahku masih bisa terlihat, yang artinya levelnya pasti sudah

parah sekali.

"You look even prettier," puji Oliver.

"And you look the same as the picture you sent me." Aku

mengalihkan pembicaraan.

"Tentu saja, as ugly as I can be! No this is my real face!"

Oliver memasang tampang konyol yang membuatku tertawa.

Ketegangan di antara kami sudah mulai mencair. Perlahan,

percakapan kami sudah mengalir dan menyatu sama lain.

"Jadi, bagaimana perasaanmu?" tanya Oliver perlahan. Aku

masih menatapnya melalui layar komputer dan

memperhatikannya dengan saksama. Sedikit aneh, karena

~144~

sekarang aku bisa melihatnya melakukan apa yang sedang dia

kerjakan. Wajahnya menghilang dari layar komputer untuk

sesaat, lalu terlihat lagi ketika dia sedang meminum air.

"Happy, excited," jawabku dengan jujur. Oliver terkekeh

mendengarnya. "Aku pikir kita akan terjebak di SMS saja

untuk selamanya."

"Me too. Tapi, aku lega," ujarnya. "Setidaknya, aku bisa

tidur nyenyak malam ini."

Di sela tawa kami berdua, aku memperhatikan ruangan yang

terletak di belakang sosok Oliver. Terlihat samar karena sedikit

gelap dan aku hanya bisa melihat sebagian tubuhnya. Oliver

mengenakan kaus berwarna putih. Terlihat tubuhnya yang besar

dan kokoh. Begitu juga lengannya yang tidak terbungkus kaus.

Terlihat tato yang menghiasi lengan bagian atasnya. Tapi, aku

tidak yakin dengan gambarnya karena tidak terlalu jelas.
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu ada di mana?"

"Di kamarku," jawab Oliver. Aku melihatnya menguap.

"Where?s Scarlet?"

"Tidur. Di atas tempat tidurku menggantikanku."

Aku tertawa. "Dan, tato di lengan kamu?apa artinya?" Aku

menunjuk dengan meletakkan telunjukku di layar komputer.

Oliver ikut menatap lengannya sendiri. "Oh, soal tato ini

...." Ia sengaja memiringkan lengannya untuk memperlihatkan

tatonya. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas tato yang

bergambar tribal dan sebuah tulisan kanji bersama sayap. "Tato

ini aku buat untuk menghormati teman-temanku." Oliver

menatap mataku. "Bahwa mereka sudah berkorban untuk

negara." Oliver menunjuk satu per satu huruf kanji tersebut.

"Keberanian, loyalitas, kehormatan, dan pertemanan."

Aku merinding mendengarnya. Tapi, kemudian, tato

tersebut hilang dari pandanganku karena Oliver sudah

menyingkirkan lengannya dari layar komputer.

"Your room is so dark."

~145~

"Yup, it?s already 3 o?clock in the morning."

"Pukul 03.00? Kenapa kamu tidak tidur? Apakah tidak

dingin bangun pagi-pagi buta begini?"

"Don?t worry. Aku punya pemanas. It?s a bad habit. I have

this insomnia kinda problem. Terkadang aku tidak bisa tidur,

juga sering terbangun di tengah malam. Akhir-akhir ini jadi

sering."

"What?s wrong? Something bothers you?"

"I?m thinking about you lately."

Aku tertegun. Jantungku mulai berdetak kencang. "Kok,

bisa?"

"I don?t know. You tell me. Because you are the one who

come into my mind."

Jawaban Oliver yang terkesan asal tapi mengena membuat

aku bertambah gugup.

"Tidurlah, Oliver."

"It?s ok. Sudah biasa, kok."

"Nope, it?s not OK. Kamu harus tidur sekarang atau kalau

tidak kamu sakit. Kamu harusnya berkaca, deh, mata kamu

merah."

Terlihat Oliver menguap, lalu memijat matanya. Aku tahu

dia sudah kelelahan.

"Kalau kamu keras kepala, aku terpaksa akan mematikan

video call ini sekarang juga." Aku pura-pura mengancamnya.

Oliver tertawa. "Oke, oke." Dia menyerah juga. Lantas dia

melambaikan satu tangannya dengan kedua matanya yang sudah

hampir tertutup. Sementara itu, tangan yang lain menopang

dagunya. "I give up. Sampai sini saja dulu, ya. Kita lanjutkan

nanti."

"Have a good sleep then," ucapku.

"See you later."

"Bye."

~146~

Wajah Oliver menghilang. Aku menarik napas yang sangat

panjang seolah aku sudah lupa untuk menghirup udara segar

selama aku berbincang dengannya. Senyum terukir di wajahku.

Aku melirik ke arah jam dinding, tak terasa kami sudah

berbicara selama dua jam. Aku seperti melayang. Semua karena

Oliver.

~147~

P

17

ercakapanku dengan Oliver bagiku adalah sebuah kejutan.

Aku sangat bersyukur semuanya bisa membuatku bangkit

dari mood jelek yang sudah menghantuiku beberapa hari

belakangan. Suasana kembali normal. Tak terasa berbeda

seperti waktu Baby masih ada di sini, padahal tiga bulan sudah

berlalu.

Senin sudah datang kembali, aku memutuskan mengambil

hari libur karena tenggorokanku terasa sakit dan tubuhku juga

sedikit meriang. Tinggal di rumah menjadi pilihan yang terbaik.

"Non? Ada yang datang." Bibi menghampiri ketika aku

sedang ke ruang makan hendak menyantap bubur yang Mama

buatkan tadi pagi.

"Siapa, Bi?" Aku bingung. Aku merasa sedang tidak ada janji

dengan siapa pun. Sebelum Bibi menjawab pertanyaanku,

seseorang muncul di belakangnya dan bersuara dengan sangat

keras.

"Gue kali yang datang!"

Hampir saja aku tersedak bubur yang sudah aku masukkan

ke mulutku. Aku menjerit dengan sangat girang dan langsung

menghambur ke pelukannya.

"Babyyy!!! Gila lo, ya!"

Kami berdua seperti orang kesurupan dan menjerit-jerit di

dalam ruang makan. Sesaat aku melupakan sakitku. Kehadiran

Baby rupanya bisa menyembuhkannya dalam sekejap.

"Kok, dadakan, sih, datangnya? Dan, kenapa cuma satu

~148~

tangkai aja? Pelit, deh." Aku melambaikan bunga mawar merah

pemberiannya.

"Kangen banget sama lo, Cha." Dia mengacak-acak

rambutku. "Kok, lo pucat, sih? Jangan terlalu kehilangan gue

kenapa, sih?" sindir Baby.

Aku menoyor pipinya pelan. "Enggak lucu, tahu. Lo yang

jadi garing sejak tinggal di sana."

"Lo sakit?"

"Lembur tiga hari kemarin."

"Lo butuh orang lagi enggak? Kan, kita bisa berembuk buat

cari manajer, supaya lo enggak keteteran."

"Belum butuh banget, sih. Gue masih bisa handle, kok."

"Sok banget!" gerutu Baby. "Kalau udah masuk rumah sakit

baru tahu rasa!"

Aku memelotot. "Ish, kok malah nyumpahi?"

Sesampainya di kamarku, Baby merebahkan badannya di

ranjangku dengan bahagia dan lega. Tangannya terentang lebar.

"Gue kangen kamar ini."

Aku duduk di sebelahnya, tak lupa menjewer telinganya

dengan gemas. "Kok, enggak bilang-bilang kalau mau pulang ke

Jakarta? Emangnya di Melbourne enggak punya telepon, ya?

Kan, bisa telepon dan ngabarin."

"Gue, kan, mau kasih kejutan sama lo. Lebih menyenangkan

daripada tidak ada kejutan sama sekali. Enggak asyik deh lo,

Cha. Sesekali berbuat yang ekstrem, aneh, dan berbeda, dong.

Kalau hidup lo terencana seperti agenda meeting, terlalu

monoton. Lama-lama otak lo bisa tumpul dan mati. Lo tau

enggak, kejutan atau tindakan tak terencana membuat otak lo

bekerja cepat dan juga memacu jantung dan napas lo. Sangat

disarankan, Cha. Baik untuk kesehatan."

Aku menimpuknya dengan bantal. "Lo pulang ke Jakarta

cuma ingin kasih gue ceramah tentang sebuah kejutan? Kurang

kerjaan. Mending lo balik kemari bantu gue urus Butik

~149~

Darling."

Baby berbaring menyamping dengan tangan menyangga

kepalanya. "Saran doang, Cha. Saran. Biar lo mengerti esensi

dari sebuah kejutan."

Aku berdecak sambil menggelengkan kepalaku. "Jadi,

gimana kehidupan pernikahan?" Aku mengalihkan pembicaraan.

Mata Baby seketika berbinar-binar.

"Beda banget. Gue harus benar-benar menyesuaikan diri.

Susah, Cha, secara udah keenakan hidup sendiri, hehehe. Gue

suka lupa kalau gue sekarang sudah menjadi istri seseorang.

Tapi, begini deh kenyataannya. Memang sudah harus diterima

bahwa gue enggak bisa sebebas dahulu. Goodbye freedom, and

welcome a housewife!"

Aku tertawa karena aku sungguh mengerti apa yang Baby

ungkapkan. Sebelum dilamar oleh William, Baby adalah

perempuan tak terkendali yang mencintai kebebasan. Punya

kekasih yang tak terhitung, rajin dugem mengalahkan absennya

sewaktu di kampus, doyan merokok dan minum. Namun,

ketika saatnya sudah tiba, ia bisa bertekuk lutut kepada pria

yang dicintainya, dan rela meninggalkan semuanya.

"Tapi, lo bahagia, kan, Beb?" Aku mengajukan pertanyaan

yang penting untuk dirinya dan untuk masa depan

perkawinannya. Percuma menikah meski bersama pria yang

dicintainya, kalau dia sendiri tidak bahagia.

Sorot mata Baby sekarang melembut. "Sangat, Cha!

Meskipun gue tahu menjalaninya enggak akan mudah, tapi ,"

ucapannya mengambang, dan ia berpikir sejenak, lalu

tersenyum. "Gue udah siap, kok. Inilah yang gue inginkan. Gue

bahagia."

Aku memberikan senyum tulus akan apa yang ia rasakan.

"I?m so happy for you, Beb."

"Jadi ," lanjut Baby dengan bersemangat, sampai-sampai

ia harus duduk dan bersila. "Gimana kabar lo? Someone

~150~

special?"

"Enggak ada."

Baby menatapku lekat. Penuh selidik. Persis seperti tatapan

Mama kepadaku tempo hari. "Pasti ada seseorang di online

dating, ya?" tebak Baby. Ia mencoba untuk meneropong mata

batinku.

Aku mencibir. "Jangan sembarangan ngomong, deh! Dosa,

tahu."

"Gue masih curiga. Gue melihat sesuatu yang aneh sewaktu

lo nemenin gue fitting baju pengantin. Lo terlihat asyik chat

dengan seseorang. Dan, gue tahu banget itu bukan teman lama

lo."

"Kan gue udah bilang, itu teman lama gue, Beb."

"Cha, lo harus kasih tahu gue." Kali ini Baby menatapku

dengan pandangan yang tajam. Aku merasa terintimidasi. Kalau

aku tetap tidak memberitahunya, dia pasti akan mengeluarkan

jurus lainnya. Dan, aku yakin pertanyaan keramat itu tidak

akan pernah berakhir.

Aku menyerah. Mungkin sudah saatnya Baby tahu mengenai

Oliver. Di antara kami memang tidak pernah ada rahasia.

Setelah berpuluh tahun mengenalnya, baru kali ini aku

menyimpan rahasia, dan aku sangat alot serta pelit dalam

menguraikannya. Aku jadi merasa bersalah.

"Sascha Indrawati!"

"Oke, tapi janji, lo enggak bakal menyebarkan ini ke mana
mana!"
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuh, kan, benar!" serang Baby sebelum aku mengatakannya.

"Kenapa, sih, enggak bilang aja dari dulu sama gue? Sebal, deh,

gue sama lo, Cha. Sejak kapan lo main rahasia-rahasiaan begini

sama gue? Jadi, siapa yang sudah tahu terlebih dahulu daripada

gue? Kalau sampai ada, gue marah, nih!"

Drama Baby sedang dimulai, aku hanya mendengus. "Enggak

~151~

ada, Baby. Yang tahu hanya gue. Jadi, mendingan lo janji dulu."

Aku memasang tampang galak agar Baby menepati janjinya.

Aku tidak ingin hal ini terdengar oleh orang lain, sampai aku

benar-benar yakin bahwa Oliver adalah orang yang tepat.

"Iya, janji, janji, masa lo enggak percaya sama gue, sih?

Emangnya gue mau bilang ke siapa juga?" Baby mengomel,

rupanya ia masih kesal.

"Well, enggak tahu ya, nyokap gue mungkin?" aku

menyindirnya. Mama dan Baby memang terbilang dekat. Siapa

tahu saja dia mendapat ilham untuk menceritakan semuanya

kepada Mama.

"Ngapain juga gue cerita sama nyokap lo?" Baby memasang

tampang polos pura-pura bego. Aku menarik napas panjang dan

melihat Baby yang sedang menunggu dengan tak sabar.

"Oliver."

"Oliver?" Baby mengulanginya. "Seperti Jamie Oliver?"

Aku mendelik untuk memberi peringatan kepada Baby

supaya jangan banyak menyela omonganku. "Oliver, Oliver

Dawson. Kami kenal di dating site. Ingat, kan, usul lo yang

brilian itu ."

Baby segera memotong omonganku, "Tapi, kan, setahu gue

lo udah berhenti ikutan online dating sejak kejadian dengan

?trio kwek-kwek? itu."

"Gue emang udah enggak ikutan lagi. Gue udah hapus

keanggotaan gue. Tapi, Oliver tetap kirimin gue email."

Baby semakin tertarik mendengarnya. "Oliver orang Inggris.

Dia tinggal di London dan kami sudah kenal selama lebih dari

dua bulan. Dia baik, tampan, dan kerja sebagai fotografer."

Reaksi Baby sungguh tak terkira, dia tertawa terguling-guling,

juga mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Ketawa, deh, sepuas lo. Gue enggak akan minta bayaran

kali ini."

Tawa Baby akhirnya berhenti dengan sendirinya. Sekarang

~152~

dia sibuk mengusap air matanya karena eyeliner yang

membingkai matanya berantakan. Menyadari hal itu

membuatnya ribut mencari-cari tisu.

"Gara-gara lo eyeliner gue jadi berantakan."

"Loh, gue enggak nyuruh lo ketawa. Siapa suruh heboh

sendiri."

"Gue senang, tahu! Berarti gue berhasil! Misi gue untuk

menjodohkan lo di online dating B-E-R-H-A-S-I-L," seru Baby

sambil memperbaiki riasan matanya.

"Jangan senang dulu, hubungan gue dan dia masih sebatas

teman."

Baby melongo. Kemudian, dia berdecak sembari

menggelengkan kepala. "Apa yang lo tunggu, sih?" seru Baby

geregetan.

Aku menggeleng. "Belum waktunya kali, Beb."

"Gue enggak percaya!"

"Beneran, gue dan Oliver belum ada kata cinta. Sama

sekali."

Baby mendengus. "Kalau begitu, lo berdua bego. Setidaknya,

kalau lo emang enggak suka Oliver, lo pasti tidak akan

berhubungan sampai selama ini. Begitu juga dengan dia."

Sekarang gantian aku yang geregetan. "Beb, ini baru tiga

bulan. Masih terlalu cepat. Emang segampang itu untuk bilang

cinta?"

Baby berdecak, wajahnya masih menunjukkan rasa tidak

puas. "Gampang banget. Tinggal bilang aja, ?Gue suka lo,

Oliver. Gue cinta lo.? Apa susahnya?"

Aku memutar bola mataku.

Baby bersuara lagi, "Sekarang gue tanya, deh, perasaaan lo

terhadap Oliver gimana?"

Aku terdiam. Lalu, aku mengangkat bahuku. "Bingung ...

tapi enggak tahu, deh."

~153~

Ya, bingung mungkin kata yang tepat. Perasaanku antara

suka dan?suka. Aku akui aku memang menyukai Oliver, tapi

aku takut. Aku tak mengatakan hal ini kepada Baby.

Bantal yang tadi dipeluk Baby dilemparnya ke samping. Ia

menegakkan punggungnya. "Lo takut, ya? Gue rasa lo takut

memulai hubungan lagi."

Aku mendengus. "Enggak."

"Jangan bohong, deh, Cha. Gue tahu. Apalagi hubungan ini

adalah hubungan yang lo olok-olok, hina-hina, dan yang paling

enggak lo percayai selama ini. Iya, kan?"

"Nonsense." Aku terus mengelak, meski diam-diam dalam

hati aku mengakuinya. Baby benar. Aku belum bisa memercayai

hubungan seperti ini, yang hanya berkomunikasi melalui online.

Aku ragu. Rasanya terlalu mustahil untuk dijalani. Oh, iya,

bukan itu saja. Aku juga takut perasaanku ini bertepuk sebelah

tangan. Kalau ternyata Oliver menyukaiku hanya sebagai teman?

"Jangan begitu. Kalau lo terus aja takut, kapan mau majunya?

Gini, deh, lupakan dulu kalau lo sedang LDR atau online

dating. Gunakan mata hati lo untuk bisa melihat mana yang

harus lo lepaskan, dan mana yang harus lo pertahankan.

Ketakutan lo yang berasal dari prinsip lo itu atau Oliver.

Bayangkan aja jika Oliver is the one for you, dan lo salah ambil

keputusan, lo bisa kehilangan dia. Penyesalan lo enggak akan

habis meski lo ngeringin Sungai Thames."

Aku terdiam. Sekali lagi, harus aku akui Baby benar.

Bagaimana kalau Oliver is the one? Kalau aku tetap

membentengi diri dengan alasan tidak percaya dengan online

relationship atau aku masih berpikir tentang jarak di antara

kami, aku pasti akan menyesal habis-habisan.

"Cha, lo ngerti, kan, maksud gue?"

Kali ini aku mengangguk dengan patuh.

~154~

O

18

ke, mungkin apa yang aku katakan bahwa aku bisa

mengatasi masalah di butik seorang diri setelah Baby

pergi terlalu berlebihan. Karena pada kenyataannya, aku benar
benar kewalahan.

Aku akui, aku sok jadi wanita super, kuat, dan berlagak

mandiri, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Aku sampai

tidak punya waktu untuk melakukan kegiatan yang lain dan

terlalu banyak menghabiskan waktu di butik hingga membuat

kesehatanku berantakan.

Aku tahu aku sudah merasa tidak enak badan sejak beberapa

hari yang lalu. Meskipun sudah menenggak obat, sakit di

tubuhku tetap tidak hilang. Meski badan masih terasa berat,

aku tetap memaksakan diri untuk ke butik. Dan, aku tak tahan.

Aku pulang siang menjelang sore.

Sewaktu kembali ke rumah, rasanya aku sudah tak sanggup

untuk berdiri. Aku merebahkan tubuhku dulu di tempat tidur

tanpa sempat berganti baju. Tiba-tiba aku teringat bahwa aku

harus mengirim surel balasan untuk penyuplai, yang tak sempat

aku lakukan di butik.

Berat rasanya untuk bangun. Namun, jika tidak aku

kerjakan, aku akan lupa lagi dengan risiko yang lebih besar.

Aku memaksakan diri menyeret badanku yang berat, dengan

mata sayu yang hampir menutup. Aku menyalakan komputer

dan mengirimkan surel. Tak lama, ponselku berbunyi, dari

Oliver.

~155~

Oliver_D: Sascha, bisa Skype?

Flowergirl: Oke, sebentar ya.

Aku pun menyalakan Skype. Oliver langsung menelepon dan

muncullah wajahnya di layar komputerku.

"Hai, Sascha," sapa Oliver dengan suara beratnya.

"Hai." Aku tersenyum. Rasanya untuk tersenyum pun sangat

berat karena terlalu lelah.

"Where are you?"

Wajah Oliver mendekat, "Home."

Kening Oliver berkerut dan ia memandang layar

komputernya lekat-lekat. "Kamu baik-baik saja? You look so

tired."

Aku menopangkan dagu di kedua tanganku. "I am. Hari ini

sangat sibuk. Aku memang agak sedikit kewalahan setelah Baby

pergi. Kerjaan enggak beres-beres dan sekarang aku sakit."

"Kamu harus istirahat, Sascha."

Aku tersenyum. Oliver memang sangat baik dan perhatian.

"Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tidak banyak, kok."

"Aku merasa tidak enak sudah mengganggumu. Tapi, aku

janji tidak akan lama," sahut Oliver dengan memasang senyum

kekanakan.

Aku tertawa. "Tidak apa-apa. Aku senang kamu menelepon."

Ternyata Oliver sedang menatapku lekat.

"Kamu cantik kalau sedang tertawa."

Aku memutar bola mataku. "Stop saying that I?m

beautiful. I?m not. Kamu memang pembual yang hebat, Oliver.

Lihat, dong. Aku sedang sakit, wajahku pucat, dan kamu masih

mengatakan aku cantik? Itu bohong besar." Aku mendengus

kesal.

Kali ini wajah Oliver berubah menjadi serius. "Aku hanya

mengatakan yang sejujurnya. Kamu tidak sadar, ya, kalau kamu

~156~

cantik?"

"Sayangnya, tidak."

Oliver tertawa. Hatiku rasanya ikut meleleh ketika

melihatnya tertawa. Oliver itu?perpaduan pria seksi, tampan,

dan baik-baik. Kerut-kerut di wajahnya ketika ia tertawa

menambah kesan seksi dan matanya yang cokelat bening seperti

warna madu yang murni terlihat sungguh hangat dan lembut.

Aku pasti betah jika harus menatapnya berjam-jam.

"Sascha?" panggil Oliver yang membuatku tersadar dari

lamunanku. "Kamu melamun."

"Masa, sih?" Aku jadi malu karena tertangkap basah sedang

memandanginya.

"Yes, dan kamu menatapku sampai tidak berkedip. Ada yang

kamu pikirkan?"

Aku tertawa malu dan memutuskan untuk berterus terang.
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena kamu tampan, itu saja."

Aku melihat Oliver manggut-manggut dengan raut wajah

yang sibuk berpikir. "Baiklah, kamu mengatakannya hanya

untuk membalas budi karena aku sudah mengatakan kamu

cantik, kan?"

"It?s so not true! Aku mengatakan yang sejujurnya, Oliver.

Dengar ." Aku berdeham sebelum melanjutkannya. "Aku

suka melihat kamu. Apalagi kalau sedang tertawa. Hal itu

membuatku ingin terus ikut tersenyum bersamamu. Aku juga

suka sorot mata kamu dan warna mata kamu yang hangat." Aku

menambahkannya lagi dengan jujur. Selesai mengatakannya,

aku jadi malu dan menyesal.

Ya, Tuhan, did I say that?

Aku menutup wajahku. Memalukan! Oliver pasti akan

menertawakanku!

"Sascha ."

Perlahan aku membuka tangan yang menutupi wajahku.

Oliver tidak tertawa. Ia malah berterima kasih dan

~157~

memberikan senyuman tulus. "Baru kali ini aku mendengar

pujian yang begitu aku tidak tahu ...." Oliver tampak

speechless, "It?s very sweet of you, Sascha."

"You?re welcome."

Kemudian, aku sadar bahwa aku belum berganti baju. Pantas

saja terasa tidak nyaman. Belum lagi tenggorokanku terasa sakit.

"Tunggu sebentar, ya, aku ke kamar mandi dulu." Aku pun

berlari-lari kecil ke kamar mandi untuk berganti pakaian dan

menyikat gigi. Aku menggerai rambutku dan menghapus riasan

di wajah. Aku juga mengambil obat isap untuk tenggorokan.

Dalam waktu lima belas menit, aku sudah kembali ke depan

komputer. Oliver masih setia menungguku. Dia terlihat serius

membaca buku. Aku sudah merasa lebih segar.

"Maaf, ya, lama," aku memberitahunya.

Pandangannya kemudian beralih kepadaku. Rautnya terlihat

terpukau. "Wow, baru kali ini aku melihat kamu sangat polos."

"Hei, apa maksud kamu?" Aku berkacak pinggang dan pura
pura tersinggung.

Oliver tertawa. "Bukan, maksudku baru kali ini aku

melihatmu sangat segar, tanpa make-up."

"Kamu terlalu banyak memujiku, Oliver. Kamu sering

melihatku seperti ini," aku mengingatkannya. Tetapi, dari

dalam lubuk hatiku, aku merasa senang dan melayang

mendengar pujiannya.

"Really? But it seems you are a bit different. You are ...

glowing, Dear."

Deg.

Hatiku langsung berdegup kencang mendengar Oliver

memanggilku Dear. Selama ini hanya satu orang yang

memanggilku seperti itu, yaitu Ben. Selama delapan tahun aku

mendengarnya dari satu orang yang sama, dan sudah berakhir.

Kali ini aku mendengarnya lagi. Dari mulut Oliver. Terasa

berbeda. Aku merasa istimewa.

~158~

Oliver memang pandai membuat hatiku merekah bahagia.

Aku ingin sekali berbincang dengannya sampai pagi, tetapi

sepertinya tubuhku sudah tidak kuat. Seakan punya telepati

yang tajam di antara kami berdua, Oliverlah yang

mengatakannya terlebih dahulu.

"Kamu sebaiknya tidur," Oliver berkata sambil menegakkan

punggungnya yang aku tahu pasti pegal. Aku tidak pernah

melihatnya berdiri. Selalu duduk.

"Mimpi yang indah, Sascha. Cepat sembuh, ya."

"Thank you, Oliver."

Aku melihat Oliver sedikit ragu. Mungkin ia agak sedikit

enggan untuk menyudahi obrolan kami, sama seperti aku.

Begitu aku hendak mematikan komputer, tiba-tiba Oliver

memanggil, "Wait, Sascha," serunya.

"Ada apa?"

"Hm no, it?s just ...." Kalimatnya menggantung. Ia

terlihat ragu untuk mengucapkannya.

"Kamu membuat aku penasaran, tahu," kelakarku. Oliver

agak malu. Ia menunduk dan mengusap rambutnya ke belakang.

Tak lama, dia menarik napas panjang dan berhasil

mengeluarkan isi hatinya. Tak lupa matanya yang cokelat

menatapku lekat. "Well, aku tidak tahu apa yang kamu rasakan,

Sascha, tapi rasanya, aku punya perasaan yang berbeda terhadap

kamu."

Aku tertegun dan hatiku mulai berdebar. "Hm apa

maksud kamu dengan?berbeda?"

Oliver berdeham sebelum menjawab pertanyaanku, seolah

sedang mengumpulkan keberanian. Lalu, ia menjawabnya, "Aku

bukan orang yang pandai mengutarakan isi hatiku. Hanya saja

semakin hari, ketika aku semakin mengenalmu, aku semakin

merindukanmu. Sepertinya, aku ... menyukaimu."

Aku terkesiap.

Ya, Tuhan. Oliver sudah mengutarakan perasaannya

~159~

kepadaku.

Aku tergagap. "A-ak-aku tidak tahu harus mengatakan apa

...." Aku masih saja menyangsikan segala hubungan yang ada di

dalam video call ini.

"Kamu belum punya pacar, kan?" potong Oliver.

Deg! Hatiku rasanya seperti tertusuk ketika Oliver

mengatakannya. Pertanyaan tersebut seolah dia minta

penegasan, bahwa aku memang belum punya pacar.

Yang membuatku terdiam dan terpaku adalah bukan karena

aku sakit hati, atau tersinggung, melainkan karena kami tidak

pernah sama sekali mengungkit masalah kekasih yang pernah

hadir di dalam kehidupan kami. Tidak satu pertanyaan yang

keluar mengenai masa lalu dan mantan kekasih masing-masing.

Jujur saja, aku juga tidak tahu apakah dia sudah mempunyai

kekasih, dan aku tidak pernah terpikir sampai ke sana. Namun,

jika menggunakan logika, tidak mungkin dia mempunyai pacar

jika dia mengikuti online dating. Namun, siapa tahu? Acara

besar reality show seperti The Bachelorette saja ada peserta

yang sukses menyelundup dan mengikuti acara tersebut,

meskipun sudah mempunyai kekasih.

"Kalau kamu, udah punya pacar?" Aku membalikkan

pertanyaan itu kepada Oliver. Aku dan Oliver terdiam. Lalu,

dia mulai tertawa. Aku juga ikut tertawa. Kami sama-sama

menyadari kebodohan kami.

"Kalau aku punya pacar, aku enggak akan bersusah payah

melakukan semua ini," jawab Oliver.

"Berarti kita sama," aku menambahkan.

"Jadi ." Oliver bersuara.

"Jadi apakah aku ... harus ...." Pertanyaanku sangat

menggantung karena susah bagiku untuk mengucapkannya.

"Aku tidak memerlukan jawaban apa-apa dari kamu

sekarang, Sascha," ujar Oliver seolah membaca kecemasanku.

"Aku harus mengatakannya kepadamu agar aku lega. Aku

~160~

benar-benar mengerti kalau kamu tidak merasakan hal yang

sama dan aku hanya ingin kamu mengatakan yang sejujurnya."

Aku menggigit bibirku. Bukannya aku tidak mau berkata

jujur. Aku menyukainya. Aku selalu merindukannya. Tak jarang

setiap malam sosok Oliver hadir dalam mimpiku. Hanya saja

aku belum yakin, apakah ini cinta? Ataukah hanya nafsu sesaat

dan sebuah pelarian? Apakah ini akan menjadi hubungan yang

serius instead of playing around? Dan, bisakah kami menjalin

hubungan jarak jauh seperti ini?

Mulutku baru membuka ketika another question pops in my

head.

Aku menelan ludah berkali-kali dan telapak tanganku

langsung keluar keringat dingin ketika memikirkan ini. Apalagi

hubungan ini akan menjadi online dating, LDR, hubungan

maya, sebuah hubungan yang tidak aku percayai dan ragukan

sedari dahulu. Lagi pula, aku membicarakan bukan jarak antara

Jakarta dan Singapura yang bisa ditempuh satu jam saja. Ini

jarak antara Jakarta dan London!

"Sudah jangan dipikirkan, Sascha. Maaf kalau aku

membuatmu menjadi tidak nyaman." Akhirnya, Oliver berkata

dengan sangat pelan memecah kesunyian di antara kami.

Suaranya mulai terdengar parau dan serak. "Kita masih bisa

ngobrol, kan?" tanyanya penuh harap.

Aku memberikan senyuman paling manis meskipun aku

sudah sangat mengantuk. "Tentu saja, aku akan selalu

menantikan obrolan kita."

"Istirahat, Sascha. Jangan memaksakan dirimu untuk

bekerja."

Aku memutar bola mataku. "You sound like my mom."

"No, I sound like your dad, I can?t make a copy of a

woman?s voice."

Aku tertawa. "Very funny, Oliver the clown. Berjanjilah

kamu akan menghubungi aku sepulangnya kamu dari luar

~161~

negeri," aku mengingatkannya. Besok pagi, Oliver akan pergi ke

luar negeri untuk urusan pekerjaan. Katanya akan memakan

waktu cukup lama, dan kemungkinan besar kami tidak akan

bisa ngobrol via Skype.

"I will."

"Be careful."

"And now you sound like my mom," ledek Oliver.

Aku tertawa. "Bye, Oliver."

Surprisingly, ketika aku hendak mematikan laptopku, aku

melihat sesuatu yang membuatku tercengang dan tak kuasa

untuk mengembuskan napasku. Oliver menyentuh layar

komputer dengan jarinya dan perlahan mengusapnya seakan dia

sedang membelai pipiku. Jantungku berdebar dengan kencang,

bahkan ketika wajahnya sudah menghilang dari layar, aku masih

tidak bisa menghilangkan debaran itu.

Aku terpaku dan spontan aku langsung memegang pipiku

karena aku bisa merasakan sentuhan jari Oliver yang menyusuri

setiap jengkalnya. Begitu nyata.

~162~

S

19

etelah tubuhku sudah jauh lebih sehat, aku bersikeras

untuk mengantarkan Baby ke bandara untuk kembali

pulang ke Melbourne. Dia memang tidak bisa berlama-lama di

Jakarta. Setelah semua urusan selesai, dia harus segera kembali.

Pada awalnya Baby menolak diantar olehku karena aku baru
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembuh dari sakit, tetapi aku tetap memaksa. Baby menyerah

setelah kami saling ngotot satu sama lain. Dengan catatan yang

diberi garis besar dan huruf kapital, Pak Darwin sopir Papa

yang akan menyetir. Dia tidak memperbolehkan aku untuk

melakukannya.

Dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta, aku

menceritakan apa yang sudah diutarakan oleh Oliver kepadaku

beberapa waktu yang lalu. Mata Baby melebar mendengarnya.

"Really?" seru Baby.

Baby terus mencerocos, "Gimana perasaan lo? Udah lo

jawab, kan?" Suaranya naik beberapa oktaf, lebih minta

pernyataan.

Aku mengangkat bahu. "Belum."

Baby mengerang. Dia mengempaskan kepalanya ke bangku

mobil. "Kenapa belum, sih?"

"Karena gue speechless. Sampai sekarang."

Baby menggelengkan kepalanya. "Lo suka, kan, sama dia?"

Aku mengangguk.

"Lo enggak mau dia pergi, kan?"

Sekali lagi aku mengangguk.

~163~

"Jadi, lebih baik lo cepat-cepat jawab. Tiap detik pikirannya

bisa berubah. Jangan sampai lo menyesal."

Aku menggigiti kuku jariku. "Gimana kalau ternyata dia

bohong? Atau, dia ternyata ... aneh, atau ...."

Baby memutar matanya dengan raut muka malas dan bosan.

Bahkan, dia juga menguap. "Gue bosan mendengar semua

kecurigaan lo itu. Gini aja, lo punya banyak waktu untuk

berpikir. Pikirkan dulu. Tapi, jangan lama-lama. Spontan aja,

dengarkan bisikan hati lo yang paling dalam. No regret at all."

Baby membiarkan aku tenggelam dalam pikiranku. Dia tak

mengatakan apa-apa lagi hingga kami tiba di bandara. Pak

Darwin menurunkan kami berdua di terminal keberangkatan

luar negeri. Aku menemani Baby hingga ke pintu gerbang saja.

Sebelum masuk, ia memelukku erat. "Jaga kesehatan, kalau

sampai lo benar-benar enggak sanggup untuk urus butik sendiri,

kasih tahu gue. Kita akan cari cara, mungkin cari manajer

untuk membantu lo. Jangan sok kuat, ya. Kalau sampai gue

dengar lo tifus gara-gara kecapekan, gue bakalan marah."

"Tenang aja, gue pasti akan kabari lo. Tunggu gue pingsan,

ya."

Baby menjewer kupingku. "Oh, ya, jangan lupa kabari gue

juga kalau ada perkembangan ."

"Perkembangan apa? Butik?"

"Bukan, tolol! Perkembangan hubungan lo dengan Oliver!"

omel Baby. Aku menghadiahinya cengiran sementara dia masih

saja mengoceh meski dia sudah berjalan meninggalkanku. Ah,

aku akan kangen dengan kebawelan sepupuku tersayang itu.

Sebuah rangkaian bunga lili yang disusun sedemikian rupa

hingga membentuk buket yang cantik teronggok di meja riasku.

~164~

Aku menaruh tas serta melepas kacamataku, kemudian

mendekati buket bunga tersebut. Terasa aneh sebab aku tidak

memesannya.

Batang-batangnya masih terasa segar dengan warna hijau

yang indah, harumnya masih semerbak, dan kelopaknya terlihat

kuat. Ini pasti baru, aku berkata dalam hati. Aku pun

memanggil Bibi untuk menanyakan perihal kedatangan bunga

lili yang misterius ini.

"Iya, Non Sascha. Tadi ada tukang antar bunga, pakai

motor, datang sore tadi."

"Ada yang telepon enggak?"

"Enggak ada, Non."

Penjelasan Bibi tidak memuaskan. Aku tetap tidak

mendapatkan petunjuk dan informasi yang berarti mengenai

pengirim bunga misterius itu. Tidak ada kartu dan bon

pengiriman juga tidak mencantumkan nama.

Ben?

Aku menatap bunga-bunga lili itu. Tapi, rasanya tidak

mungkin Ben. Karena kalau dia yang mengirimkannya, pasti dia

akan meninggalkan jejak seperti kartu.

Ketika aku sedang merenungi bunga yang cantik itu,

ponselku berbunyi. Aku melihat nama yang tertera di layarnya.

Oliver Dawson. Kemarin kami tidak mengobrol sama sekali.

Mungkin dia lagi sibuk dengan perjalanannya. Aku segera

membalas pesan darinya.

Flowergirl: Where have you been?

Oliver_D: Hey, I?m a big boy, no need to worry

about me, aku bisa jaga diri, kok.

Flowergirl: You sound a bit cynical, kamu tahu

maksud aku, Oliver.

Oliver_D: Aku bercanda, Sascha.

Flowergirl: Aku tahu. Do you want to Skype now?

~165~

Oliver_D: I can?t, sorry.

Flowergirl: Oh, I forgot, you are in Germany, right?

Oliver_D: Yup. Hey, Sascha. Aku punya kejutan

untukmu ... tapi ....

Flowergirl: Kejutan apa?

Oliver_D: Hm enggak jadi, deh. Sepertinya aku

salah, seharusnya aku tidak mengatakannya

sekarang. Forget it.

Flowergirl: Oliver! Kamu membuat aku jadi

penasaran.

Oliver_D: Aku enggak bermaksud seperti itu.

Hanya saja ... never mind.

Flowergirl: I hate you.

Oliver_D: I?ll tell you. But not now.

Flowergirl: It?s not fair, Oliver.

Oliver_D: Dunia memang tidak adil, Dear. Trust

me.

Flowergirl: Oh, jadi kamu juga mau memberikan

kontribusi ketidakadilan yang sudah dunia buat

kepadaku juga? Fine! Aku jadi tahu siapakah

dirimu yang sebenarnya. Kamu benar-benar

menyebalkan.

Oliver_D: Hahaha. Aku suka sekali menggoda

kamu. I?m kidding! Oke deh, aku akan kasih tahu

kamu. I have friends in Jakarta.

Flowergirl: Iya, aku tahu. Kamu pernah bilang.

Oliver_D: Anyway, aku sudah menitipkan sebuah

paket untuk kamu, oleh-oleh dari Inggris. Aku

menitipkannya kepada temanku itu, Kiehl dan

Ketut.

Flowergirl: Kamu serius?

Oliver_D: Aku serius. Kamu bisa ambil paketnya di

~166~

Restaurant East and West di kawasan wait I

forgot Dharmawangsa? Kamu tahu tempatnya,

kan?

Flowergirl: Aku tahu. Lokasinya dekat dengan

butikku.

Oliver_D: Really? Bagus, deh, kalau begitu.

Restoran itu milik mereka. Tapi, kamu yakin bisa

ke sana? Temanku bilang bisa diambil sekitar

makan malam, sekitar pukul 7.00 malam. Tiga hari

lagi.

Flowergirl: Bisa, kok. Isi paketnya apa?

Oliver_D: Kalau aku kasih tahu kamu enggak akan

jadi surprise, dong.

Flowergirl: One clue? Please?

Oliver_D: No, Dear. The request is denied.

Flowergirl: Pelit.

Oliver_D: Thanks for the compliment! I have to go

now, Sascha.

Flowergirl: Have a good sleep then.

Oliver_D: Bye.

Flowergirl: Oliver?

Oliver_D: Yes?

Flowergirl: Take care, will you?

Oliver_D: Bukannya seharusnya aku yang berkata

seperti itu?

Flowergirl: Kamu sudah pernah, dan terlalu sering

mengatakannya, dan sekarang giliran aku.

Oliver_D: You are so sweet, Sascha. Talk to you

later.

Aku mendesah sambil tetap menatap nama yang tertera di

layar ponselku untuk beberapa saat. Oliver Dawson, aku

~167~

membisikkan nama tersebut. Tiba-tiba aku merasakan kupu
kupu yang menggelepar di perutku. Aku tidak bisa menahan

diri untuk tidak tersenyum. Aku juga bisa merasakan wajahku

menghangat. Sensasi yang sudah sangat lama tak aku rasakan

lagi.

Aku merasakan hati kecilku berbisik bahwa ini cinta. Aku

jadi ingat bahwa Baby pernah berkata bahwa aku harus

mendengarkan hatiku. Inilah yang dikatakannya kepadaku

sekarang. Cinta.

Seketika semangatku meluap membuat rasa gelisah

memenuhi hatiku dan tak ketinggalan, jantungku berdegup lebih

kencang daripada biasanya. Aku benar-benar tidak sabar

menunggu tiga hari lagi.

~168~

K

20

eraguan menyelimutiku ketika menatap restoran dari

dalam taksi yang sudah berhenti tepat di depannya.

Tetapi, aku tetap turun. Aku menjejakkan kakiku di depan

pintu restoran yang bernama East and West Restaurant.

Perasaanku semakin tidak tenang, terlebih karena

kacamataku ketinggalan. Untung saja, mataku hanya minus dua,

bagaimana jika minus lima? Sifat pelupaku memang sudah

keterlaluan. Aku menghentikan langkahku dan menggenggam

erat tasku seakan ingin mendapatkan kekuatan. Tanganku

otomatis merapikan rambutku yang menggantung di pundak

sambil berharap tak ada rambut yang mencuat ke atas. Sebelum

berangkat, aku memutuskan untuk memakai riasan wajah

supaya tidak terlalu pucat. Juga sedikit lipgloss sewarna bibir.

Oke, aku mulai panik. Sontak badanku berbalik dan otakku

sudah menyuruhku untuk berjalan meninggalkan tempat itu.

Namun, aku mengurungkan niatku dan kembali berbalik
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadap ke pintu restoran. Jangan jadi penakut, Sascha.

Aku terus menguatkan diriku.

Sejenak aku mulai meragukan keputusanku untuk datang

kemari. Benakku mulai terisi segala macam adegan mengerikan

yang mungkin akan terjadi. Masalahnya aku tidak tahu apa atau

siapa yang akan menunggu di dalam sana. Bisa saja ini jebakan.

Perasaan curiga kali ini semakin meluap-luap. Akhirnya, aku

masuk. Restoran ini unik karena suasana yang begitu kental

dengan perpaduan dua kebudayaan, Timur dan Barat. Interior

yang dipadukan adalah interior yang bagiku terkesan sangat

~169~

Barat dengan mengambil unsur kayu yang sangat kuat yang

mengingatkan aku pada zaman keemasan para cowboy di

daratan Amerika. Meja kayu yang unik, sebuah bar yang

terkesan old style, serta tiang-tiang kayu dan kipas angin besar

yang berputar di atas langit-langit. Kemudian, seisi restoran

didekorasi dengan hiasan dinding dan pernak-pernik yang

bernuansa etnik dengan mengambil gaya Bali yang eksotis. Kain

kotak berwarna hitam putih, topeng barong, patung serta

lukisan penari Bali melengkapi seisi restoran. Benar-benar

perpaduan yang sangat menarik dan sedap dipandang mata.

Seorang pelayan menyambutku dengan senyuman hangat

yang membuatku langsung menyadari bahwa aku masih berdiri

di depan pintu restoran. Suasana restoran yang tidak begitu

ramai terhampar di hadapanku. Musik akustik yang lembut

mengalun dari pengeras suara yang bergema di seluruh ruangan.

Akan tetapi, semua itu tak menyurutkan kegelisahanku.

Tanganku malah sudah terasa dingin.

"Selamat malam, Mbak. Sudah reservasi?" Pelayan yang tadi

menyambutku sekarang menyapaku.

"Saya mau ambil titipan paket atas nama Sascha. Apakah

benar ada?" aku menanyakannya dengan sedikit ragu.

"Dengan Mbak Sascha?"

Aku mengangguk.

Pelayan itu tersenyum dan mengangguk. "Tunggu sebentar,

ya, Mbak, saya tanyakan terlebih dahulu."

Aku menunggu dengan gelisah sambil melihat-lihat suasana

restoran. Suasananya memang sedikit remang-remang. Mereka

hanya menempatkan lampu gantung di beberapa titik. Namun,

cahaya lilin menghiasi setiap meja makan yang berbentuk bulat.

Aku menghampiri salah satu dinding yang memasang lukisan

penari Bali dengan lampu yang menyorotinya yang terkesan

sangat abstrak, tetapi secara visual menjadi sangat hidup.

Aku sedang mengagumi dekorasi restoran ini ketika seorang

~170~

pelayan, yang berbeda dengan yang kali pertama menyambutku,

menghampiriku.

"Mbak, paketnya ada di atas bersama Bapak Kiehl. Katanya,

Bapak sendiri yang mau memberikannya. Mbak dipersilakan ke

atas."

Ketika si pelayan menyebut nama Kiehl, aku mulai sedikit

merasa tenang. Oke, setidaknya ada kesamaan dengan yang

Oliver katakan tentang temannya itu. It?s a good sign. Aku pun

mengikuti pelayan tersebut naik melalui tangga yang agak

melingkar. Lantai 2 ini sangat sepi, tidak ada seorang pun yang

berada di sana. Lilin yang terpasang di sekeliling ruangan

menari dengan malu-malu di atas setiap meja karena tertiup

oleh angin dari jendela kayu yang terbuka sangat lebar.

Kemudian, mataku menangkap sosok seseorang yang sedang

duduk membelakangiku. Dia duduk di salah satu meja di dekat

salah satu patung gajah berwarna putih yang terletak di dekat

jendela, di ujung ruangan ini.

Dari kejauhan, aku melihat rambutnya yang berwarna pirang

keputihan. Karena ia adalah satu-satunya orang yang berada di

ruangan tersebut, aku berasumsi bahwa dialah yang bernama

Mr. Kiehl, teman Oliver yang memiliki restoran ini.

"Mr. Kiehl?" aku menyapanya begitu aku sudah berdiri di

dekatnya. Ia pun berdiri dan memutar badannya menghadapku.

"Sascha?"

"Yes, it?s me. Hi." Aku mendekat dan menjabat tangannya.

Senyum Mr. Kiehl membuat kegelisahanku semakin berkurang.

Benakku tidak lagi membuat skenario yang aneh-aneh.

Perawakan Mr. Kiehl yang tinggi, besar, dengan mata biru yang

menyorot ramah, serta suara yang hangat membuatku tenang. Ia

mempersilakan aku untuk duduk. Aku menaruh tasku di

pangkuan. Di atas sini ternyata cukup dingin. Untung saja aku

mengenakan kaus lengan panjang dan celana jeans.

"Senang bertemu denganmu, Sascha."

~171~

"Saya juga."

Lalu, seorang pelayan membawa tiga buah gelas air putih dan

beraneka macam jus.

"Silakan pilih mana yang kamu suka."

"Jadi, Oliver yang menyuruhmu kemari?" tanya Mr. Kiehl

tanpa berbasa-basi lagi.

Aku mengangguk dengan sedikit kikuk. "Iya, dia bilang ada

titipan oleh-oleh darinya untuk saya."

Mr. Kiehl mengangguk-angguk dan aku hanya bisa terdiam

kelu. Bagaimanapun, rasanya sedikit aneh, bukannya aku tidak

mau mengenal atau beramah tamah dengannya, melainkan aku

hanya ingin mengambil titipan Oliver dan segera membukanya

di rumah.

"Oh, dia juga mengatakan bahwa kalian sudah mengenal

cukup lama."

Mr. Kiehl tertawa. "Dia tidak salah. Kami sudah saling

mengenal sejak lama."

"Really? Oliver tidak pernah bercerita banyak tentang

Anda."

"Keluarga Oliver adalah tetangga saya ketika saya masih

tinggal di London," cerita Mr. Kiehl dengan bahasa Indonesia

yang sangat fasih. "Kami sangat dekat, bahkan ketika saya sudah

pindah ke Indonesia, kedekatan kami tidak pernah putus.

Sudah lima belas tahun berlalu."

Tak lama datang seorang wanita paruh baya dengan rambut

panjang yang dikepang rapi. Wajahnya sangat ayu, dan aku bisa

langsung menebak dalam hati bahwa wanita ini adalah Ibu

Ketut.

"Sascha? Senang bertemu denganmu. Saya Ketut." Ibu Ketut

merentangkan tangannya, lalu memelukku dengan hangat.

"Nama yang indah, mengingatkan saya akan nama wanita

cantik dari Rusia."

Aku tertawa kecil. "Papa saya memang menyukai hal-hal

~172~

berbau Rusia ketika saya lahir."

Ibu Ketut ikut tertawa. "Sudah diduga. Apakah kamu tinggal

di dekat sini?"

Aku menggeleng. "Saya mempunyai usaha butik di Kemang,

Butik Darling."

Ibu Ketut terlihat kagum. "Wah, saya pernah ke sana.

Bajunya bagus-bagus. Saya pernah membelinya untuk anak

saya."

"Terima kasih, Bu," ucapku dengan tulus.

Lalu, Ibu Ketut mengambil salah satu gelas jus dan

meminumnya. "Jadi, bagaimana kamu bisa kenal dengan

Oliver?"

Sebelum aku menjawab, Mr. Kiehl sudah berbicara terlebih

dahulu, "Sudahlah, Ma, masa kita harus menginterogasi Sascha?

Nanti dia jadi segan terhadap kita."

"Tidak apa-apa," aku berkata sambil tertawa kecil.

Lalu, Mr. Kiehl menatapku dan mengedipkan matanya

dengan jenaka. "Tidak usah dijawab. Kami bisa mengoreknya

dari Oliver, kok."

"Tetapi, Oliver terkadang tidak mau bercerita. Dia terlalu

pemalu," tukas Ibu Ketut sambil tersenyum.

"Ah, itu mudah, Ma."

Aku mulai sedikit tidak mengerti dengan pembicaraan

mereka berdua. Mereka membicarakan Oliver seolah Oliver

berada di sini dan sering bertemu dengan mereka. Jadi, sedekat

itukah mereka dengan Oliver?

"Nah, ini adalah titipan Oliver untuk kamu, Sascha." Lalu,

Ibu Ketut mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran tidak

terlalu besar dan menyerahkannya kepadaku. Kemudian,

keduanya beranjak dari tempat duduk masing-masing.

"Kami akan meninggalkanmu sekarang. Oliver berpesan

supaya kamu membuka bingkisan tersebut segera setelah kamu

menerimanya," ujar Ibu Ketut. Lalu, mereka meninggalkan aku

~173~

sendirian.

Aku mengiringi kepergian mereka dengan kebingungan yang

teramat sangat. Kemudian, aku menatap kotak yang sekarang

tergeletak di depanku. Aku membukanya, dan aku bertambah

heran ketika aku melihat isinya. Hanya secarik kertas dan

sebuah kunci. Di kertas tersebut tertulis:

Your gift is in the apartment. Grab it!

Love,

-O
Lalu, ia menuliskan sebuah alamat apartemen yang terletak

di bilangan Jakarta Selatan. Aku menatap kunci serta kertas

tersebut bergantian. Kali ini otak serta hatiku sedang tidak mau

bekerja sama. Mereka terbagi dua dan masing-masing

mempunyai pendapatnya sendiri. Aku yang tadinya mulai

tenang, sekarang jadi parno lagi.

Pikiranku berkecamuk. Aku menjadi dilematis, tetapi tidak

mungkin aku terus berdiam diri di sini. Kemudian, aku bangkit

dari tempat duduk dan turun. Di bawah aku kembali bertemu

dengan Mr. Kiehl dan Ibu Ketut. Keduanya tersenyum ketika

melihatku turun dan menghampiri mereka. Sepertinya, mereka

memang sudah menungguku.

"Kamu baik-baik saja, Sascha?" tanya Ibu Ketut dengan

penuh perhatian. Aku mengangguk. Sepertinya, raut

kebingungan dan kegelisahanku terbaca jelas olehnya.

"Terima kasih atas waktunya dan ," aku menunjukkan

kotak pemberian Oliver, "paketnya." Lalu, aku sedikit terkejut

ketika Ibu Ketut tiba-tiba saja memelukku. "Kamu tidak pernah

merepotkan kami, Dear." Lalu, ia melepaskan pelukannya dan

menggenggam tanganku. "Oliver sangat baik. Kami sudah

mengenalnya sejak dia masih kecil. Percayalah. Dengarkan kata

hatimu yang berbisik paling keras, karena itulah yang

~174~

sesungguhnya."

Aku mengangguk pelan sambil mencoba untuk meresapi
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapan yang barusan masuk ke telingaku. Aku menjabat tangan

Mr. Kiehl, dan ia memberikan pelukan singkat, tetapi hangat.

"Oliver sangat pintar memilih perempuan dan dia memilih yang

sangat cantik." Aku tersipu mendengar pujiannya, dan bergegas

mencari taksi dengan satu tujuan, apartemen yang sudah

ditunjuk oleh Oliver.

~175~

G

21

erak-gerikku yang seperti orang kehilangan arah ternyata

mengundang kecurigaan seorang satpam. Apartemen ini

sedikit membingungkanku. Ada beberapa pintu masuk yang aku

tidak tahu harus masuk ke pintu yang mana.

"Selamat malam, ada yang bisa dibantu, Mbak?"

Aku mengangguk. "Saya mau ke apartemen Nomor 2505.

Apakah benar dari pintu ini?" Aku menunjukkan kertas yang

ditulis oleh Oliver supaya jelas. Satpam itu melihatnya sekilas

dan dia juga melihat kunci apartemen yang sedang aku pegang

di tangan satunya lagi.

"Bisa saya tahu Mbak ingin bertemu dengan siapa?"

Aku bingung. Sebenarnya, aku tidak ingin bertemu siapa
siapa.

"Oliver Dawson?" aku menjawabnya dengan ragu.

Pengamanan di apartemen ini memang sedikit ketat. Mereka

tidak bisa sembarangan memberikan kebebasan kepada para

pengunjung untuk bisa naik sesuka hati.

"Nama Mbak?"

"Sascha Indrawati."

Satpam itu mengangguk, kemudian dia menghampiri pintu

kaca dan menempelkan sebuah kartu pada alat yang melekat

dekat gagang, dan pintu terbuka. Ia mempersilakan aku masuk.

"Benar melewati pintu ini. Silakan naik."

Aku mengembuskan napas lega dan segera berjalan menuju

ke lift. Aku menghitung satu per satu angka yang perlahan naik

~176~

dengan tidak sabar hingga lift tersebut berhenti di Lantai 25.

Begitu pintu lift terbuka, aku melihat ada empat pintu berwarna

putih. Aku melangkah dengan ragu dan gelisah. Tanpa sadar,

bibirku bergerak mengucapkan doa. Aku berdiri di depan pintu

berwarna putih dengan angka 2505 yang terbuat dari tembaga

terpasang di tengah pintu. Aku memutar knop pintu dan KLIK!

Pintu itu terkunci.

Aku ingin menepuk keningku sendiri ketika sadar bahwa aku

melupakan kunci yang sudah diberikan oleh Oliver. Aku segera

mengambilnya, dan dengan tangan yang bergetar karena terlalu

gugup, aku memasukkan kunci tersebut dan hanya dengan dua

kali putaran, pintu tersebut terbuka.

Aku membiarkan pintu putih itu terbentang lebar dan

menahan diriku sendiri agar tidak masuk. Aku masih berdiri di

luar dan sudah bisa melihat sebagian dari isi apartemen yang

sangat indah. Aku berjalan perlahan dan degup jantungku

semakin kencang dan perasaanku menjadi sedikit tidak enak.

Dengan sangat berhati-hati, aku masuk lebih ke dalam,

ternyata apartemen itu indah sekali. Karena sangat takjub, aku

sampai lupa apa yang seharusnya aku lakukan di sini. Aku

mengedarkan pandanganku. Kamarnya berjumlah tiga. Semua

pintunya tak tertutup rapat. Ada juga ruang keluarga dan dapur

dengan peralatan masaknya yang serbacanggih.

Kemudian, aku baru tersadar apa yang harus aku lakukan.

Aku segera mencari barang atau paket yang dititipkan oleh

Oliver. Aku mencari di meja makan, ruang keluarga, bahkan

sampai dapur. Aku juga coba memeriksa kamar. Tidak ada satu

pun paket yang memang sengaja ditaruh supaya mudah terlihat

olehku.

Aku berdiri mematung di ruang tengah dan menggigit

bibirku dengan cemas. Seharusnya, aku mendengarkan logikaku

sendiri. Aku memaki kebodohanku dalam hati karena terlalu

mendengarkan kata hatiku yang rapuh ini. Tidak seharusnya

aku memercayainya begitu saja.

~177~

"Paket yang kamu cari tidak ada di mana-mana."

Aku memekik ketika sebuah suara yang terdengar begitu

tiba-tiba. Jika saja ada cermin di dekatku, aku pasti bisa

melihat betapa pucat wajahku saat ini. Aku memegang dadaku

untuk menenangkan diri sesaat. Tapi, tak bisa. Aku mulai

ketakutan.

Berarti sedari tadi, aku tidak sendirian?

Kemudian, aku melihat pintu balkon bergeser perlahan dan

angin bertiup ke dalam apartemen.

"Karena paket itu ada di sini."

Saat itu rasanya dunia berhenti berputar.

"Hai, Sascha."

Aku mendengar dengan sangat jelas suara yang begitu aku

rindukan, dan kali ini bukan dengan bantuan alat pengeras suara

di komputer atau laptop, yang biasa menjadi penghubung kami

ketika berbicara di dunia maya.

Dia sungguh-sungguh memanggil namaku dengan jarak yang

sedemikian dekatnya yang mampu membuat debaran jantungku

berhenti saat itu juga. Senyum yang selama ini hanya bisa aku

lihat dan terpisahkan oleh layar komputer, kali ini benar-benar

bisa aku lihat dengan jelas, berdiri dengan jarak tak lebih dari

lima meter. Kakiku langsung lemas.

Aku tercekat. Susah sekali mengeluarkan suara, karena saat

ini tenggorokanku serasa dibungkam oleh kenyataan dengan

kehadiran sosok ini. Sosok yang sudah mengisi hari dan hatiku

beberapa bulan belakangan ini.

"Sascha are you okay?"

Aku hanya mampu menggeleng sebagai jawabannya.

"Please ... jangan marah ...." Oliver menatapku dengan

memelas begitu melihat wajahku yang shock. Aku menarik

napas beberapa kali.

Ya Tuhan, perasaan ini, sungguh sulit untuk dilukiskan. Aku

memberanikan diri untuk menelusuri sosok Oliver. Dia begitu

~178~

tampan. Tubuhnya yang tegap dan bidang dengan tinggi badan

sekitar 180 sentimeter semakin membuatnya terlihat gagah.

Wajahnya sangat segar dengan kacamata yang membingkai mata

yang berwarna cokelat bening. Rambut pirang kecokelatannya

di-styling ke atas dengan gel. Aku melihat wajah Oliver menjadi

sedikit memerah karena mataku tidak lepas menatapnya dengan

lekat.

"Kamu enggak mau pingsan, kan?" Oliver mencoba melucu,

tetapi sepertinya usahanya gagal. Aku dalam kondisi yang tidak

bisa tertawa.

"Kalau kamu mau pingsan, enggak apa-apa. Aku bisa

menggendongmu." Oliver terus berusaha, dan kali ini usahanya

berhasil. Aku tertawa dan Oliver ikut tertawa juga. Suasana

tegang perlahan mencair.

"Bagaimana apakah apakah ini mimpi? Ini pasti

mimpi! Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan tergagap.

"Ini bukan mimpi, Dear. Gosh, you are so perfect." Oliver

berdiri dengan sedikit gelisah. Dia tidak bergerak sama sekali.

Dia memandangiku lekat dengan sorot mata yang penuh rindu.

"I really have no idea bahwa ternyata kamu benar-benar sangat

cantik. Aku tahu kalau aku berkali-kali mengatakannya, tetapi

percayalah. You are."

"Jadi ...." Aku berdeham dengan salah tingkah, terutama

dengan pujiannya itu. "Jadi, yang kamu bilang paket atau titipan

atau apalah namanya itu adalah ... kamu?"

Oliver tertawa. Dia mengusap rambutnya yang pirang

kecokelatan. "Yah, begitulah. Maaf kamu harus

mendapatkannya seperti ini karena aku tidak bisa menemukan

kardus yang cukup besar untuk membungkus diriku."

Aku tertawa. Tak lama aku menutup mulutku dengan kedua

tanganku serta menggelengkan kepala. Aku masih belum

percaya hal ini terjadi. Mataku mulai berkaca-kaca dan Oliver

berjalan mendekat. Aku juga ikut maju.

~179~

Akan tetapi, ketika dia berjalan menghampiriku, tiba-tiba

saja mataku menatap pada salah satu kakinya. Cukup menarik

perhatian karena jalannya sedikit tak seimbang.

Aku memperhatikannya dengan saksama, dan ketika mataku

mengarah ke sekeliling ruangan, aku lebih terpaku lagi. Senyum

perlahan menghilang dari bibirku. Aku tertegun. Sepertinya

Oliver menyadari perubahan raut wajahku. Dia menghentikan

langkahnya.

"Sascha ," panggilnya. Suaranya sangat tenang, tetapi tidak

dengan wajahnya yang cemas. Sekarang aku memberanikan diri

untuk menatap wajahnya. Wajahku yang semakin pias dan

pucat sudah menjelaskan semuanya.

Apa yang aku temukan lebih membuatku takut. Sungguh,

rasa takut ini sudah membelengguku. Aku menatap benda yang

sedikit tersembunyi di balik sofa. Aku menatap ketiganya

bergantian. Otakku seperti sedang mencoba menyusun sebuah

puzzle dan berharap untuk mendapatkan jawabannya. Aku terus

berjalan mendekat dan .

Ya, Tuhan.

"Apa yang terjadi?" aku berkata dengan sangat perlahan,

seolah aku takut bahwa pertanyaan yang kulontarkan itu malah

membuat hatiku hancur. Oh God, no. This can?t be

happening.

"Sascha. Aku akan menjelaskan semuanya. Aku akan

menjawab semua yang pasti sedang kamu pertanyakan

meskipun dalam hati."

Aku menutup mataku dan mencoba untuk membawa diriku

dan pikiranku kembali ke awal perkenalanku dengan Oliver.

Namun, tidak pernah satu detik pun aku melihatnya

menggunakan kursi roda atau kruk untuk membantunya

berjalan.

Satu lagi. Aku sangat ingat bahwa Oliver tidak pernah

menyinggung tentang alat-alat itu.

~180~

"Apakah kamu kecelakaan? Atau atau kamu terluka

ketika sedang dalam perjalanan kemari? Kamu baik-baik saja?"

aku memberondong Oliver dengan banyak pertanyaan.

Kecemasanku memuncak.

Oliver masih menatapku. Tak satu kata pun yang keluar dari

mulutnya. Ia hanya membungkukkan badannya dan menarik

celana jeans yang menutup kaki kirinya dan di sanalah aku

menemukan jawaban yang sebenarnya.

~181~
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

A

22

ku terkesiap ketika melihat kaki palsu yang menjadi

pengganti kaki kiri Oliver. Kemudian, Oliver

menurunkan kembali celananya. Aku menyadari bahwa ruang

keluarga di apartemen ini sudah terlalu sunyi ketika aku bisa

mendengar suara napasku yang tersengal-sengal. Dadaku terasa

lebih sesak ketika melihat ada elbow crutch dan kursi roda di

balik sofa.

"Kenapa baru sekarang?" tanyaku dengan nada menuduh.

Oliver menarik napas panjang. "Karena aku tidak

mempunyai keberanian itu." Oliver mengangkat bahunya.

"When I realized that I have fallen in love with you, telling

the truth is getting harder, Sascha. Aku tidak ingin kehilangan

dirimu. Keberanian dan kejujuran yang seharusnya aku

keluarkan sejak kali pertama kita berkenalan kalah dengan

ketakutan. Dan, semakin nyata ketika aku tahu bahwa isi hatiku

sudah dipenuhi oleh sosok kamu."

Aku mulai merasakan keringat dingin membasahi

punggungku meskipun ruangan ini terasa dingin. Suara jam

besar yang menyerupai lemari berdentang hebat dan sukses

membuatku terlonjak. Pukul 9.00 malam.

"Sascha, please. Aku tahu aku salah, tapi biarkan aku

menjelaskan semuanya."

Aku melihat Oliver berjalan mendekatiku. Aku pun refleks

mundur. Mendadak kepalaku pening dan dadaku semakin

terasa sesak karena kebohongan ini. Pikiranku seketika kosong.

Aku tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa lagi.

~182~

Aku merasa seperti orang bodoh. Penyesalan menggerogoti

hatiku. Aku benar-benar sakit hati atas kebohongannya.

Seharusnya, aku tahu. Seharusnya, aku sadar kalau aku tak

boleh berharap begitu saja. Apalagi percaya. Yang membuatku

lebih menyesal adalah sosok Oliver sudah terbentuk begitu

sempurna di benakku. Juga hatiku.

Aku terus berjalan mundur. "Rasanya aku aku harus

pergi ."

"Sascha ," Oliver mendekatiku dengan susah payah. Aku

mengangkat tanganku dan berseru tajam, "Stop! Please, jangan

...." Aku mencegah Oliver agar tidak maju satu langkah lagi.

Aku berjalan keluar dengan limbung. Yang aku pikirkan

sekarang hanyalah pulang. Aku ingin segera pulang dan

melupakan hari ini pernah ada.

Setibanya di depan lift, air mataku sudah mengalir. Aku

menekan tombol lift berkali-kali. Kalap karena lift tidak juga

terbuka. Aku menunggu sambil berpegangan pada sisi lift

karena aku sudah tidak kuat menahan kakiku yang sangat

lemas. Aku terus menekan tombol lift yang tidak mau terbuka

juga.

"Sascha, tenanglah."

Aku menoleh dan mendapatkan Oliver yang berdiri di

belakangku. Aku tidak menghiraukannya dan terus menekan,

bahkan memukulnya dengan kalap. "Kenapa lift ini tidak mau

terbuka?" aku berseru di antara tangis kepanikanku.

"Sascha, lift itu hanya bisa dibuka dengan kartu khusus,"

Oliver menjelaskannya kepadaku. Kata-kata Oliver cukup

membuatku menghentikan tanganku dari menyakiti tombol lift

yang malang tersebut.

"Tolong buka liftnya," aku berkata kepadanya meskipun aku

masih membelakangi Oliver.

"Sascha, beri aku waktu untuk menjelaskannya. Setelah itu,

aku tidak akan menahanmu. Kamu boleh pergi, tetapi

~183~

setidaknya biarkan aku menjelaskannya."

"Kenapa tidak dari dulu, Oliver? Kita sudah saling mengenal

selama tiga bulan, for God?s sake!"

Aku mendengar Oliver mendekatiku. Meski menggunakan

kaki palsu, tetapi ia mampu berjalan dengan baik dan stabil.

"Itu adalah sebuah kesalahan. Aku terlambat menyadarinya.

Maafkan aku."

"Tetapi, kamu tidak jujur, Oliver! Kamu sudah bohong!"

desisku penuh kekecewaan. "Setidaknya, kamu kamu ,"

leherku kembali tercekik.

Oliver terdiam. Sorot matanya sedih.

"A?aku harus pergi ...." Aku berjalan mundur, dan masuk

ke pintu tangga darurat di sisi lift.

"Sascha, jangan?"

Aku bergegas menuruni tangga satu per satu. Aku tidak bisa

berlari karena sepatuku cukup licin. Beberapa kali aku hampir

terjatuh, tetapi untung saja tanganku dengan sigap menangkap

pegangan tangga. Aku juga mendengar suara Oliver. Ia

mengikutiku.

"Sascha please ... let me explain!" Teriakan Oliver

bergema.

Aku terus menuruni tangga. Kemudian, aku tidak mendengar

suara lagi di belakang sana. Suara ketukan hilang. Namun, aku

tak berhenti. Aku terus turun. Beruntung aku bertemu seorang

penghuni yang hendak turun juga di Lantai 20. Aku ikut

bersamanya. Aku menumpahkan tangisku begitu aku

mendapatkan taksi yang membawaku kembali ke rumah.

Mataku sudah cukup bengkak. Aku menekan-nekan sekeliling

mataku yang membesar sambil berharap bisa kempes seketika.

~184~

Aku menghela napas. Air mataku tak bisa diajak berkompromi.

Terus saja keluar tanpa henti. Kulihat wajahku di cermin, tidak

ubahnya seperti zombie. Sejak semalam aku tak bisa tidur,

masih memikirkan pertemuanku dengan Oliver yang

membuatku kecewa.

Untuk menyegarkan pikiran, aku memilih mandi, tetapi

sepertinya aku tak ingin melakukan apa pun hari ini. Aku harus

cari kegiatan lain sebelum kembali terpuruk dan menghabiskan

persediaan air mataku.

Aku melihat Anne baru keluar dari kamar. Dia sudah

mengenakan seragam putih birunya dan siap pergi ke sekolah.

"Ne."

Adikku itu menatapku dengan kening yang mengerut dalam.

"Kakak kenapa? Mukanya, kok, begitu? Habis nangis, ya?"

"Pilek," dustaku. "Aku pinjam buku, dong."

Anne memang kutu buku sejati. Meski baru kelas 3 SMP,

bacaannya banyak sekali. Dan, dia juga pembaca segalanya, dari

novel remaja hingga sastra pun dibacanya. Bagiku ini

keuntungan. Tahap kegemaran membacaku biasa saja, tidak

sampai kronis seperti adikku ini. Ya, aku melakukannya kalau

ada waktu luang dan sedang tak ada pekerjaan. Atau, untuk

membunuh waktu. Seperti sekarang ini.

Anne menggerakkan dagunya. "Tuh, ambil aja di kamar."

"Ada buku bagus enggak?"

"The Cuckoo?s Calling aja. Robert Galbraith."

"Ha? Siapa?" Otakku blank saat Anne menyebutkan nama

pengarangnya.

Anne memberi tatapan seolah aku adalah kakak paling tidak

mengikuti perkembangan zaman. "Masa enggak tahu, sih? Itu,

kan, nama samarannya J.K. Rowling."

"Oh, ya? Ya udah, apa ajalah. Pinjam."

"Ambil aja."

~185~

Kami berjalan ke arah yang berlawanan. Anne ke bawah,

sedangkan aku masuk ke kamar Anne. Aku langsung mengenali

buku yang Anne sebutkan tadi karena ukurannya yang cukup

besar. Aku membawa buku itu ke kamarku. Baru beberapa

lembar membaca novel itu, aku langsung tahu bahwa tokohnya,

Cormoron Strike, difabel.

Aku menutup buku tersebut. Apakah ini sebuah kebetulan?

Otakku mulai memutar momen saat Oliver menunjukkan kaki

palsunya. Aku mulai terusik.

Akan tetapi, semesta tak membiarkanku termenung lebih

lama. Ponselku berbunyi.

Nama Oliver tercantum di sana.

Akan tetapi, aku masih belum bisa menghilangkan rasa

kecewaku. Hal itu membuat jariku refleks memutuskan

sambungannya. Aku masih tidak mengerti mengapa Oliver

menyembunyikan semua ini dariku selama ini. Seolah ia

menyepelekan hal ini. Apakah itu artinya dia juga menganggap

remeh hubungan kami?

Aku melempar buku itu tepat ke meja kecil di samping

tempat tidur. Tak berhasrat untuk meneruskannya lagi. Lalu,

sebuah pesan masuk. Oliver lagi.

Oliver_D: Sascha, please pick up the phone. I need

to talk to you.

Akan tetapi, tanganku tak juga tergerak untuk membalas

pesan tersebut. Yang ada, aku malah mematikannya. Lalu, aku

berubah pikiran. Aku menyalakannya kembali dan membalas

pesannya.

Flowergirl: Stop calling me, Oliver. It?s over.

Oliver_D: No, it?s not. Kamu boleh mengakhirinya

kalau kamu sudah mendengar penjelasanku.

~186~

Sekarang aku mematikan ponselku dengan harapan Oliver

akan menyerah dan berhenti menghubungiku lagi.

Rencanaku untuk menyendiri hari ini gagal sepenuhnya. Ada

telepon dari butik yang mengabarkan kedatangan barang dari

penyuplai. Aku tak bisa untuk tidak datang. Jadi, siang hari aku

sudah muncul di butik. Ternyata butik cukup ramai. Aku pun

menenggelamkan diri di gudang, mulai mengecek baju-baju dan

aksesori yang baru dikirim.

Aku mengerjakannya seperti robot. Tubuhku memang

berada di sana, tapi tidak dengan pikiranku. Setelah gudang

beres, aku mengurung diri di ruang kerjaku. Dengan tak

bergairah, aku mengecek surel.

Yang ada aku malah menemukan surel dari Oliver. Aku

mengembuskan napas dan membanting punggungku ke bantalan

kursi. Rupanya dia tak menyerah sedikit pun.

Sascha,

Kamu boleh benci aku, mungkin untuk

selamanya. Aku tak keberatan dan tak ada

penyesalan sedikit pun karena sudah

mengarungi benua untuk bisa sampai di

sini menemuimu dan harus berakhir seperti

ini.

Merahasiakan kondisiku ini dari kamu

juga tak mudah. Beban itu tetap ada dan
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu ada. Aku sudah tak jujur kepada

wanita yang aku cintai. Maafkan aku.

Please, meski kamu membenciku, tolong

luangkan waktu sedikit saja biar aku bisa

~187~

menjelaskannya kepada kamu. Kamu berhak

mendapatkannya.

Kamu tahu, kalau boleh memilih, aku

ingin kembali ke masa lalu dan

mengatakannya kepada kamu supaya kamu tak

perlu membenciku seperti sekarang ini.

Tapi, aku tak bisa memutar waktu. Yang

bisa aku lakukan adalah memperbaikinya.

Let me fix this.

Mungkin tidak akan sempurna seperti

sediakala, tapi setidaknya tidak akan ada

yang mengganjal lagi di antara kita.

Please, do forgive me, Sascha.

Love,

-O
Kepalaku semakin pening. Aku menaruh siku kedua

tanganku di meja dan menutup wajahku dengan telapak tangan.

Lalu, menggelengkan kepalaku. Keteguhan hatiku mulai luruh.

Namun, ketika teringat lagi, rasa kecewa itu muncul kembali.

Tidak, aku tidak bisa.

Tanpa mengecek surel yang lainnya, aku segera mematikan

komputerku.

Sepulangnya dari butik, aku mendapati Mama sedang duduk di

ruang keluarga, menghadap televisi dan sedang?menangis.

Mama melambaikan tangan kepadaku begitu melihatku

mendekat dan menepuk ruang kosong di sofa yang dia duduki.

"Nonton apa, sih?"

~188~

"Rust and Bone. Bagus, Cha. Sedih."

Aku duduk menemani Mama. Ternyata film berbahasa

Prancis. Untung saja ada teks terjemahannya. Aku langsung

tahu kenapa Mama bisa suka. Ternyata ada orca.

Mama sangat suka dengan orca. Sejak ada film Free Willy

yang menampilkan persahabatan seekor paus pembunuh dan

seorang anak laki-laki, dia mulai mengumpulkan pernak-pernik

berbentuk orca hingga memenuhi salah satu lemari kabinet di

ruang keluarga.

Mendadak dadaku berdebar keras.

Film ini mengisahkan seorang pelatih orca. Yang harus

kehilangan kakinya.

Mengapa hari ini aku selalu dipertemukan dengan sosok

yang selalu mengingatkanku kepada Oliver?

Mendadak dadaku seperti terimpit benda yang sangat berat.

Adegan tiap adegan begitu menyentuh hingga aku tak kuasa

untuk menahan tangis.

Rasa bersalah menderaku. Dan, semakin kuat. Aku tak bisa

berkonsentrasi lagi menonton film tersebut. Dialog mereka tak

lagi terdengar di telingaku karena berganti dengan suara Oliver.

Aku jahat. Aku benar-benar kejam.

"Sascha?" Aku merasakan tanganku digoyang. Buru-buru aku

menghapus air mataku.

"Filmnya sedih," aku menguraikan alasan.

Mama menyunggingkan senyum. "Tumben nangis."

Aku manyun. "Kok, tumben? Mama juga nangis."

"Bagus, sih. Menyentuh."

"Karena ada orca?"

Mama tertawa. "Iya juga, sih." Lantas Mama menatapku

dengan saksama. "Belakangan kamu uring-uringan lagi."

"Lagi bete aja."

"Ada masalah apa?"

~189~

Aku mengedikkan bahuku. "Enggak tahu, deh, Mam.

Kayaknya aku sudah melakukan kesalahan. Besar."

"Contohnya?"

"Banyak. Aku superbodoh. Pikiranku pendek. Aku sudah

melakukan hal yang sangat konyol."

"Ah, enggak juga," Mama membesarkan hatiku. "Tiap orang

bisa melakukan kesalahan. Enggak ada yang sempurna, kok."

Kata-kata Mama menyentil hatiku. Bicara soal sempurna.

Kebencianku kepada diri sendiri semakin memuncak.

"Kayaknya udah terlambat untuk memperbaikinya."

"Siapa bilang? Ingat, orang memang harus melakukan

kesalahan supaya dia sadar."

Mama menepuk-nepuk kakiku yang bersila ketika lidahku

begitu kelu untuk mengimbangi ucapan Mama. "Pelan-pelan

dibereskan."

~190~

23

pa yang sudah aku lakukan? Kebodohan apa lagi ini?

Aku bertanya kepada diriku sendiri. Perlahan, setitik rasa sesal

mulai merembes di dalam hati, yang langsung mengalir deras

dan membuatku menangis lagi begitu aku sudah sendirian di

dalam kamar.

Aku menyesal telah bertingkah laku seperti anak kecil. Tidak

seharusnya aku bereaksi seperti ini. Sangat tidak adil untuk

Oliver. Dia kehilangan kakinya yang aku rasa bukan karena

kesalahannya.

Mulutku mengembuskan napas, sedangkan kedua tanganku

memeluk kaki erat. Aku menaruh daguku di lutut. Apakah aku

takut diriku yang sudah terlanjur jatuh hati ini selamanya harus

menghadapi sosoknya yang tidak sempurna? Ataukah di

bayanganku sosok Oliver sudah begitu sempurna hingga aku

kecewa begitu melihatnya malah bercela? Ataukah karena dia

tidak jujur?

Aku berdecak kesal. Mungkin semuanya.

Aku teringat dengan apa yang Baby pernah katakan

kepadaku, hingga membuatku tercengang and almost drop my

jaw. "Enggak ada manusia yang sempurna, Cha. Sekeras apa

pun usaha lo untuk menyempurnakan diri maupun pasangan,

itu akan sia-sia. It?s not worthed to try after all. Rumus dalam

berpasangan adalah saling melengkapi satu sama lain, mengisi

celah masing-masing. Lo lihat, deh, enggak ada pasangan di

dunia ini yang sifatnya sama. Pasti beda. Kalau dua orang punya

sifat yang sama bersatu, sudah dipastikan hidup mereka pasti

~191~

bakal membosankan."

"Lo dapat teori dari mana, Beb?" tanyaku penasaran.

"Ada, deh."

"Gue enggak nyangka lo bisa bijaksana."

Kala itu Baby baru saja berpacaran dengan Will. Ia hanya

tersenyum simpul dan mengangkat bahunya dengan tidak acuh.

Terkadang aku sering tidak mengerti jalan pikiran sepupuku

ini. Kadang terlalu lempeng sampai terasa sangat bijaksana,

tetapi tidak jarang juga terlalu nyeleneh sehingga membuat kesal

diriku dan orang sekitarnya.

Akan tetapi, itulah Baby, a free spirit person yang suka

berganti-ganti pacar, tetapi percaya akan lembaga perkawinan.

Hatiku semakin terusik. Film Mama, buku Anne, dan ucapan

Baby. Semua seakan jadi pertanda untukku. Bukan, bukan

pertanda, melainkan teguran.

Rasanya aku harus meminta maaf kepada Oliver.

Sebuah mobil terparkir di depan Butik Darling. Hatiku

bertanya-tanya. Masa, sih, pembeli sudah datang? Tidak

mungkin mengingat butik belum buka. Sign board di pintu pun

masih tertulis CLOSED. Aku segera membuka pintu butik

hingga terdengar suara berdenting sambil berseru, "Dinnn!"

"Hai."

Aku tersentak. Seruan memanggil pegawaiku bukannya

disahut oleh yang bersangkutan. Untuk kali kedua, ia

mengejutkanku. Aku mengelus dadaku untuk menenangkan

jantungku yang melompat.

"Oliver."

Oliver yang sedang duduk di tangga langsung berdiri dengan

berpegangan pinggiran tangga. "Hai. Maaf membuatmu kaget.

~192~

Tadi pegawaimu yang mengizinkan aku masuk."

Tepat saat Dini keluar dari dalam pantri. Ia ikut kaget

melihatku sudah datang.

"Mbak, ada tamu ," suara Dini mengecil. Matanya tertuju

ke Oliver.

Aku menghela napas dan menjawabnya, "Ya, aku sudah lihat,

Dini. Tidak apa-apa. Bisa tinggalkan kami berdua dulu?"

Dini bungkam dan segera melipir ke dalam. Meninggalkan

aku dan Oliver berdua saja. Kami terdiam dengan canggung.

Sebelum Oliver mendekatiku, dia menyodorkan buket bunga lili

kepadaku. "For you."

Aku menerimanya. "Thanks."

Mataku tak lepas memandangi bunga lili yang sekarang di

tanganku. Rasanya tidak asing. Warna dan bentuk pitanya sama

persis dengan bunga lili yang kuterima tempo lalu.

Aku segera tersadar. Mataku melebar. "Bunga ini jadi

kamu yang mengirimkannya ke rumah?"

Senyum tersungging di bibir Oliver. Ya Tuhan, jantungku

menari lagi. Itulah jawabannya. Akhirnya, aku tahu siapa

pengirimnya setelah beberapa hari dibuat penasaran.

"Kok, bisa? Kamu tahu rumahku?"

Kedua tangan Oliver terselip di saku celana jeans-nya.

"Panjang ceritanya."

Oliver terus berjalan mendekat hingga kami berdiri

berhadapan dengan jarak tak lebih dari lima jengkal.

"Dengar, Oliver ."

"Look, Sascha ."

Menyadari kami berbicara dalam waktu bersamaan membuat

kami kembali terdiam. Lalu, kami tertawa. Aku melihat wajah

Oliver memancarkan kelegaan.

"Aku senang bisa melihat senyummu lagi," ujar Oliver tanpa

bisa menyembunyikan rasa lega yang membuncah. "You look

~193~

great, by the way."

"Kamu juga."

Hari ini Oliver terlihat segar, juga tampan. Ia mengenakan

kaus slim fit dan celana jeans. Sepatunya yang berwarna hitam,

yang sewarna dengan kausnya, tampak normal. Siapa pun yang

melihatnya pasti tak akan menyangka kalau di balik sepatu

kirinya itu adalah kaki palsu.

"Tidak seharusnya aku pergi dengan tiba-tiba seperti itu,"
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kataku perlahan. "Aku memang kecewa karena kamu sudah

bohong, tapi tidak seharusnya aku berlaku tidak adil, dan

berlebihan terhadapmu. Aku minta maaf. Aku juga enggak tahu

kenapa tiba-tiba aku panik dan ...," aku mengedikkan bahuku

pelan, "menghindarimu."

Oliver menatapku dan tersenyum kecil. Dia mengajakku

duduk bersama di anak tangga. Begitu duduk di sebelahnya, aku

langsung memeluknya erat, lengan Oliver merengkuh pundakku

dan dia mencium puncak kepalaku.

"Jangan minta maaf, Sascha. Kamu enggak salah. Aku sadar

siapa saja yang melihat keadaanku will react like the way you

do. Aku tidak pernah mengatakannya kepadamu ketika kita kali

pertama berkenalan karena aku ingin kamu melihatnya sendiri,

ketika kita berdua bertemu. Aku mengerti jika bagimu

keadaanku ini menjadi penghalang untuk hubungan kita, but let

me explain it all, because I owe you this."

Aku melepaskan pelukannya dan mengangguk. Aku siap

mendengar cerita Oliver.

"Kamu masih ingat dengan peristiwa 9/11 di Amerika pada

2001?" Oliver memulai ceritanya. Aku kembali mengangguk

dengan pelan. Siapa yang tidak tahu peristiwa yang begitu

memilukan? Hatiku bergemuruh kencang.

Mata Oliver menerawang. "Saat itu aku baru saja bergabung

dengan Angkatan Darat Inggris, dan aku langsung dikirim untuk

ikut turun ke Afganistan. Aku belum cukup lama berada di

~194~

army, mungkin masih sekitar tiga tahun ketika aku harus

kehilangan kaki ini." Dia memandangi kaki kirinya yang

membuatku juga ikut menancapkan mataku padanya.

Aku menggenggam erat tangannya, sedangkan Oliver

melanjutkan kembali ceritanya. "Saat itu malam menjelang pagi

hari, kira-kira pukul setengah satu waktu setempat, aku dan

empat temanku sedang patroli di daerah kota yang sepi. Kami

menggunakan mobil tentara, dan kebetulan aku yang bertugas

hari itu untuk mengendarainya. Aku tidak mempunyai firasat

jelek ketika melintasinya, tapi tiba-tiba saja, sepi itu terasa

janggal hingga terdengar tembakan yang membuatku harus

menghentikan mobil. Aku mendengar teriakan temanku yang

terkena tembakan. Dia berada tepat di sebelahku, dan baru saja

aku hendak turun sambil menarik temanku yang tertembak

ketika aku mendengar suara yang keras dan membuatku

terlempar. Aku melihat mobil terbakar dengan api yang

membubung tinggi, dan setelah itu semuanya menjadi gelap.

Aku tidak sadarkan diri."

Oliver berhenti bercerita dan aku baru tersadar bahwa aku

menahan napas selama itu. Rasa perih dan sedih merayap

hingga ujung kaki. Aku merinding. Sangat menyedihkan dan

memilukan. Namun, aku melihat Oliver tegar. Mungkin dia

sudah terbiasa menceritakan peristiwa tragis itu. Masa lalu yang

akan terus menjadi bagian dari dirinya.

Oliver melanjutkan ceritanya kembali. "Setelah sempat

mengalami koma selama seminggu, aku terbangun di rumah

sakit di London dan aku menemukan kakiku sudah seperti ini.

"Semua orang menganggap aku sangat beruntung?"

Oliver melanjutkan ceritanya setelah diam untuk beberapa

saat. "Pada malam nahas itu, hanya aku yang selamat. Keempat

teman di reguku itu meninggal. Rasanya sebagian dari diriku

ikut mati saat itu juga."

Kemudian, dia menggenggam tanganku erat. Aku merasakan

~195~

tangannya yang berkeringat dan dingin. Aku bisa merasakan

kegelisahan dirinya. Ternyata Oliver hanya terlihat tegar dari

luarnya saja, tetapi nyatanya, luka masih membekas, yang akan

tersimpan selamanya di dalam hati dan kehidupannya. Tidak

akan pernah hilang.

"Berat rasanya untuk kehilangan mereka, tetapi yang lebih

berat lagi dan membuatku tidak sanggup untuk bertahan saat itu

adalah beban yang aku pikul. Aku tidak tahu harus berkata apa

kepada keluarga mereka. Apa yang harus aku ceritakan? Apa

yang kami lakukan pada detik-detik terakhir? Apakah ada firasat

maupun kata-kata terakhir dari keempatnya? Aku benar-benar

tidak terbayang untuk melakukannya, menatap satu per satu

mata mereka yang menyimpan rasa duka." Mata Oliver mulai

berkaca-kaca. Dalam hati aku pun menyetujuinya. Aku sendiri

juga pasti tidak akan sanggup jika aku yang harus

melakukannya.

Aku menggenggam tangannya lebih erat. Dia melepaskan

kacamatanya dan kami saling bertatapan. Oliver memberikan

senyum yang menyejukkan. "Aku sempat depresi, tetapi masa
masa tersebut sudah lewat. Aku sudah bangkit kembali and

become who I am now." Kami sama-sama menatap tembok

Butik Darling yang berwarna merah muda dan sibuk dengan

pikiran kami masing-masing.

"Maukah kamu memaafkan aku karena tidak jujur?" tanya

Oliver memecah keheningan.

Aku mengangkat kepalaku dan berpikir. "Hm tergantung

."

"Maksudnya?"

"Tergantung apakah kamu mau memaafkan aku juga akan

sikapku yang kekanakan tadi? Kamu tahu, kamu tak berhak

mendapatkannya. Yang berhak kamu dapatkan adalah

kebahagiaan, setelah semua yang kamu lalui, Oliver."

Oliver tertawa.

~196~

"Aku akan sangat bodoh kalau tidak memaafkanmu," Oliver

berbisik di telingaku. Aku tersenyum penuh terima kasih.

"Sascha, do you have any dreams?" tanya Oliver dengan

mata yang menerawang.

"Dreams?"

"Iya, mimpi yang belum terwujud?"

"Hm, ada, sih," kataku setelah berpikir sejenak.

"What is it?"

"Aku ingin mempunyai toko bunga." Mataku menerawang,

bayangan akan toko bungaku sudah di depan mata, bahkan

detail-detailnya seperti apa sudah bisa aku sebutkan satu per

satu. "Aku sudah menyimpan semuanya di sini," kataku sambil

meletakkan jari telunjukku di dahiku.

"Kenapa tidak membukanya?"

"Banyak hal. Dana, waktu, dan lokasi yang tepat. Rasanya

semuanya belum serasi. Masih banyak yang harus direncanakan,

dan itu tidak mudah." Aku mengangkat bahuku.

"Kalau kamu?" aku bertanya kepada Oliver.

"Aku ingin selalu bersama kamu." Oliver menatap

langsung ke mataku. "Tidak ada jarak atau segala penghalang

yang memisahkan kita lagi."

Aku terenyuh mendengarnya. "That?s so sweet, Oliver."

Mata kami beradu. Ada hangat di sana yang mampu

membuatku jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama.

"Sascha, kamu bersedia untuk selalu menemani dan

mendorong kursi roda itu kalau aku sedang kelelahan? Atau,

membantuku memasangkan kaki palsuku?"

Aku hanya tertawa kecil.

Oliver menatap mataku dalam. "Sascha Indrawati, aku akan

bertanya sekali lagi, apakah kamu mau menerima diriku yang

sudah tidak lengkap ini?"

Aku mengangguk. Wajah Oliver bersemu merah. Entah

~197~

wajahku, mungkin jauh lebih merah. Aku tahu, ada perasaan

yang pecah di antara kami.

"Kamu tidak usah khawatir, karena aku selalu bisa

menjamin, hati yang aku berikan kepadamu akan selalu lengkap

dan utuh. It?s small, but I promise you, it will get bigger and

bigger, sampai membuatku sulit bernapas."

Ah, Oliver memang selalu mampu membuat wajahku

merona merah. Aku benar-benar terharu dengan

kesungguhannya. "Aku akan memberikan kamu kabar buruk,

karena sayangnya aku bersedia. Jadi, kamu harus berurusan

dengan diriku yang keras kepala dan panikan ini."

Oliver mencium tanganku dengan lega. "Aku rasa aku harus

terbiasa dengan itu."

Aku tiba di rumah cukup malam karena aku menghabiskan

waktu bersama Oliver tidak hanya di butik, tetapi kami juga

pergi keluar. Makan siang hingga makan malam kami lakukan

bersama. Kami juga menyempatkan diri mendatangi Kiehl dan

Ketut di restorannya.

Sesampainya di rumah, ternyata Mama masih terbangun dan

menungguku. Ia sedang duduk dengan santai sambil menonton

televisi.

"Kok, belum tidur, Ma?"

"Nungguin kamu."

Aku mengecup pipinya. "Maaf, Ma, pulangnya kemalaman."

"Sibuk di butik?"

Aku menggeleng dan tersenyum. "Ada janji makan malam."

Mama tersenyum melihatku. Matanya menyorotkan rasa

penasaran. "Hm, ada yang aneh."

"Aneh apanya?"

"Muka kamu berseri-seri. Enggak mendung kayak kemarin

~198~

waktu nemenin Mama nonton Rust and Bone. Lagi senang,

nih?"

Aku tertawa lepas. "Sangat senang."

"Enggak dikenalin ke Mama?" Mama menyindirku secara

halus.

"Mama!" tegurku. Mama tertawa. "Ayo, tidur. Tapi, janji

ya, kalau sudah siap kamu cerita sama Mama."

Aku tertawa. "Aku janji."

~199~

K

24

eesokan harinya, seperti yang sudah disepakati, Oliver

datang mengunjungi butikku kembali. Dia terlihat lebih

segar karena dibalut dengan kemeja lengan panjang yang

digulung hingga sebatas siku dan celana jeans. Kali ini, sepatu

kulit warna cokelat membungkus kakinya. Tak ketinggalan

wangi after shave yang begitu maskulin langsung menguar

begitu dia masuk ke butik.

Bukan hanya aku yang terpukau oleh sosoknya. Pegawaiku

dan juga pelanggan yang sedang melihat-lihat baju di butik

mencuri-curi pandang untuk bisa mengagumi ketampanannya.

Oliver melangkah pelan.

Kedua tangannya tenggelam di saku celana jeans-nya.
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya sungguh berbinar ketika aku menyapanya. Hari ini

Oliver datang cukup siang.

"Hai."

"Hei, beautiful." Oliver mengecup pipiku.

"Aku masih ada pekerjaan. Bisa menunggu sebentar, kan?"

"Tentu saja. I don?t mind at all."

"Boleh, kok, lihat-lihat. Kalau ada yang kamu suka, beli aja,"

aku menggodanya. Oliver hanya menaikkan salah satu alisnya

dan tertawa kecil.

Kemudian, aku pun meninggalkannya agar dia bebas

menikmati suasana butik, sedangkan aku sibuk melayani

pembeli atau mengerjakan pekerjaan lainnya.

Rupanya kedatangan Oliver seperti dewi fortuna yang

~200~

memberi keberuntungan pada butik ini karena secara tidak

sadar, pembeli yang datang lebih banyak daripada hari biasanya.

Entah karena tersihir oleh aura charming-nya ataukah memang

keberuntungan belaka yang menghampiri pada saat yang tepat.

Namun, harus aku akui, keberadaan Oliver memang sangat

menarik perhatian dan menyegarkan suasana butik yang

memang jarang didatangi makhluk bernama lelaki.

Sehabis menerima telepon di dekat kasir dan berkutat

menyelesaikan pekerjaan di ruang kerjaku, aku mencarinya.

Aku mendapati Oliver di lantai atas. Ia sedang terpaku menatap

salah satu sisi dinding Butik Darling yang terpajang foto yang

aku beli di galeri kecil beberapa waktu yang lalu. Foto pasangan

yang bergandengan tangan dengan seorang tentara yang

menggunakan kursi roda. Aku sudah membingkainya dengan

rapi dan memasangnya di sana.

"Bagus, ya."

Oliver menoleh sejenak, sebelum kembali memandanginya.

"Sangat bagus."

"Sewaktu kali pertama melihatnya, aku langsung jatuh cinta.

Romantis, sedih, keterikatan yang membaur. Seperti sebuah

terjemahan dari cinta sejati."

Oliver terus menatap foto itu. "Menurutmu begitu?"

Aku mengangguk.

"Aku setuju denganmu. Di mana kamu mendapatkannya?"

"Ada sebuah galeri kecil tidak jauh dari sini. Aku membeli

dua foto, dan satu lagi sudah aku berikan kepada Baby sebagai

hadiah perkawinannya."

"What a nice gift," Oliver memuji.

"Take your time."

Seorang pegawaiku memanggilku. Aku pun turun ke bawah.

Saking sibuk dan ramainya, hampir saja aku melupakan Oliver.

Aku langsung mencarinya. Baru saja aku keluar dari pintu

ruanganku yang mungil, tepat saat Oliver juga sedang berjalan

~201~

untuk mencariku.

"I?m looking for you," sapanya.

Aku pun meminta maaf, "Sorry, aku lagi ada di ruangan ini,

ada sedikit pekerjaan administrasi. Aku juga lagi ingin

mencarimu. Kita jalan sekarang, yuk."

"Baiklah."

Aku mengambil tasku dan tersenyum. "Kita akan ke mana?"

"Ke apartemen."

"Apa yang akan kita lakukan di sana?"

Oliver lalu mendekat ke telingaku dan berbisik, "Kita akan

melakukan hal yang menyenangkan seperti ."

Mukaku memerah. Aku menunggu Oliver melanjutkan

ucapannya dengan berdebar.

" makan siang?"

Bibirku mengerucut dan mendaratkan pukulan di lengannya.

Oliver meringis karena sudah berhasil menggodaku. Dan, aku

terkecoh.

"Restoran di sebelah apartemen enak juga."

"Sepertinya menyenangkan."

Ketika akhirnya kami sampai di restoran yang terletak di dekat

apartemennya, Oliver memilih tempat duduk dan aku memilih

untuk duduk saling berhadapan. Kami sempat berdebat ketika

memesan makan siang. Setelah selesai memesan, Oliver pindah

ke sisiku.

Aku menoleh dan menatapnya ingin tahu. "What?"

Oliver menggeleng pelan. "Nothing. I just can?t be so far

from you."

Aku menepuk pipinya lembut. "Silly."

"Aku hanya tidak ingin menyia-nyiakan setiap waktu yang

~202~

ada."

"Kata-kata kamu mengingatkan aku kalau kita hanya akan

bertemu sesaat aja, Oliver," sahutku pelan. Sedih juga.

Kebersamaan kami benar-benar terpisahkan oleh jarak dan

waktu.

"This is just a beginning, Sascha. Kita akan cari cara

bagaimana kita akan bersama-sama terus."

Hidangan makan siang yang kami pesan sudah datang. Kami

menikmatinya tanpa banyak bicara. Tepat pada saat kami

selesai menghabiskan makan siang, kami dikejutkan oleh ponsel

yang berdering. Ternyata baik ponsel milikku maupun milik

Oliver sama-sama berbunyi. Aku dan Oliver pun

mengangkatnya. Tak lama Oliver berdiri dan menjauh dari

meja makan kami. Aku sendiri menerima telepon dari

pegawaiku di butik yang hendak menanyakan sesuatu

sehubungan dengan harga baju yang baru saja dipajang kemarin

sore.

Telepon yang masuk ke ponselku hanya sesaat. Berbeda

dengan Oliver. Dia harus berdiri dan menjauh untuk menerima

telepon. Sepertinya penting. Dia terlibat pembicaraan yang

cukup serius. Raut wajahnya kaku dan tak ada senyum. Begitu

Oliver selesai menerima telepon, ia kembali duduk di

sampingku. Sejenak, aku memperhatikan Oliver yang jadi

sedikit diam.

"Are you okay?" Aku menyentuh lengannya.

Oliver menatapku, kemudian tersenyum, meski dipaksakan.

"I?m fine."

"Telepon penting?"

Oliver menggeleng. "No, hanya temanku." Oliver seperti

sengaja mengalihkan topik pembicaraan. "Kamu bisa

menemaniku ke supermarket? Ada yang harus aku beli," pinta

Oliver ketika kami keluar dari restoran. Aku mengangguk.

Kami mendatangi sebuah supermarket yang cukup besar

~203~

yang terletak di seberang apartemen Oliver.

Sesampainya di supermarket, aku mengambil sebuah kereta

dorong dan mulai mendorong menyusuri lorong. Namun,

Oliver segera mengambil alih kereta dorong itu.

"Biar aku saja." Lalu, dia berjalan dengan langkah santai,

sedangkan kedua tangannya berpegangan pada kereta itu. Ia

mulai menyusuri lorong supermarket.

Oliver melakukannya dengan cukup sigap. Kadang ia

berhenti untuk memperhatikan barang tersebut lebih detail, atau

hanya mengambilnya dengan cepat tanpa menghentikan

langkahnya. Aku juga iseng berkeliling sambil melihat-lihat.

Suasana di dalam supermarket tidak terlalu ramai dan beberapa

kali terdengar suara pengumuman dari pihak pengelola

supermarket mengenai barang-barang yang didiskon.

Aku berpindah dari sisi Oliver menuju ke lorong cokelat dan

permen karena aku sedang ingin makan yang manis-manis.

Setelah puas mengambil beberapa cokelat, aku memutuskan

untuk mencari Oliver. Aku baru berjalan beberapa langkah,

tetapi ada sesuatu yang cukup cepat menahan langkahku dan

membuat kakiku terdiam di tempat.

Di ujung lorong aku melihat seseorang yang mendorong

sebuah kereta yang sudah terisi dengan barang-barang yang

ingin dibelinya, meskipun tidak banyak sehingga barang-barang

tersebut hanya berserakan di dalam kereta. Bukan isi kereta

dorong itu yang membuatku terpaku, melainkan sosok yang

berdiri di sampingnya. Sosok itu bergelayut mesra. Tubuh

mereka menempel erat, dengan tangan mereka yang melingkar

di pinggang masing-masing.

Aku segera memutar tubuhku ke arah yang berlawanan dan

mataku langsung mencari Oliver. Aku menyusuri tiap lorong

dengan langkah yang bergegas. Aku sudah mulai putus asa

karena tak juga melihat sosoknya. Sampai akhirnya aku

menemukannya di lorong yang paling ujung sebelah kanan.

~204~

Kereta belanjaannya sudah cukup penuh dan aku segera

mendekatinya.

"Hei," tegur Oliver begitu melihatku berjalan mendekat.

"Kamu hanya ingin beli itu saja?" Dia melihat beberapa batang

cokelat dan permen di genggamanku. Aku menatap tanganku

dan menaruhnya begitu saja di kereta belanjaan Oliver.

"Sudah selesai?"

Oliver mengangguk. "Sudah. Ayo, kita ke kasir. Apakah

kamu buru-buru?"

Aku mengangguk. "Iya, aku hanya sedikit pusing." Aku

memberi alasan yang paling masuk akal, setidaknya untuk saat

ini. Kami baru saja tiba di ujung lorong yang berhadapan

dengan kasir, ketika kami .

"Sascha!" Ben terkejut ketika melihat orang yang hampir

ditabraknya adalah diriku. Aku juga ikut terpaku mendapati aku

dan Ben sudah berdiri saling berhadapan.

~205~

W

25

ajahku memucat. Ini adalah pertemuan perdana kami

setelah putusnya hubungan kami lebih dari enam bulan

yang lalu. Aku benar-benar tidak mengharapkan pertemuan ini.

Sama sekali. Mau tak mau peristiwa masa lalu itu hadir kembali

tanpa diundang.

Aku bisa melihat dengan kasat mata Ben melepaskan

genggaman tangannya dari perempuan itu diam-diam. Aku

mendengus. Mataku menelusuri dengan cepat sosok perempuan

tersebut. Dia mengenakan kemeja dan pencil skirt yang

menonjolkan lekuk tubuhnya. Mungkin mereka satu kantor.

Ben sedikit menjauh dari perempuan tersebut, seolah ingin

menjaga jarak. Percuma saja, aku sudah melihat yang lebih

lagi, Ben, kataku dalam hati. Aku teringat bahwa dia masih saja

meneleponku meskipun tidak pernah aku angkat. Jadi, buat apa

dia terus menerorku meski dia sudah punya pacar?

"Apa kabar?" tanya Ben dengan suara yang sangat ramah.
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menghampiriku yang masih terdiam kaku. Meski begitu,

aku siaga.

Aku mengangguk dan tersenyum?kalau ringisanku ini bisa

dikategorikan senyum. "Baik," sahutku singkat.

"Sama siapa?" Ben bertanya terus terang.

Dia sengaja melakukannya agar aku mengenalkannya kepada

Oliver. Apa boleh buat. Terpaksa aku melakukannya.

"Kenalkan, ini Oliver Dawson. Oliver, ini adalah Benjamin

Surya."

~206~

Mereka saling bersalaman. Oliver menebar senyum

ramahnya, tetapi tidak dengan Ben. Dia sedikit waspada.

Matanya sempat menatap isi keranjang belanjaan milik Oliver.

Tentu saja dia juga melirikku dengan penuh selidik.

"Kalian sudah kenal lama?" tanya Oliver. Aku segera

menjawabnya, "Teman kuliah." Aku tidak memberikan

kesempatan kepada Ben untuk menjawab satu pun pertanyaan

dari Oliver. Ben menatapku saksama dengan tatapan yang

tersinggung. Mukanya berubah masam.

"Apakah kamu bekerja di sini, Oliver?" tanya Ben.

Oliver menggeleng. "For vacation. Aku bekerja sebagai

fotografer."

Ben manggut-manggut dan aku harus segera membawa

Oliver keluar dari sini sebelum mereka saling mengetahui

dirinya masing-masing. Aku tidak menyukai cara Ben menatap

Oliver.

"Kami harus pergi," aku berkata dan menarik kereta

belanjaan Oliver menuju kasir.

"Senang bertemu denganmu, Sascha, Oliver. Kapan-kapan

aku telepon." Ben menatapku penuh arti. Aku ingin muntah

melihatnya.

"Senang bertemu denganmu, Ben," ujar Oliver dan kami

menjauh dari mereka.

Pertemuan yang sungguh tidak diharapkan tadi sanggup

menjatuhkan mood-ku sampai ke level terendah. Aku diam

seribu kata. Bahkan, ketika aku membantu Oliver menurunkan

belanjaannya di apartemen, aku tidak banyak berbicara. Baik

aku dan Oliver melakukannya dalam diam.

Sewaktu aku sedang menaruh barang-barang di kitchen

~207~

cabinet, tiba-tiba aku merasakan tangan yang melingkar di

pinggangku, lalu mendekapnya dengan erat.

"Are you okay? Kamu diam saja semenjak kita pulang dari

supermarket."

"Enggak apa-apa."

Mungkin karena responsku yang dingin, Oliver melepaskan

pelukannya dan berjalan menuju ke kamar.

Aku memutuskan untuk membuatkan diriku secangkir teh

hangat. Sambil menunggu air mendidih, aku melingkar di atas

sofa yang nyaman dan menatap layar televisi serta mengganti

channel-nya tanpa berniat untuk menontonnya.

"Sepertinya airnya sudah mendidih," Oliver berkata. Aku

bangkit dari sofa dan menemukan Oliver sedang berjalan

dengan elbow crutch di kedua tangannya. Ternyata dia masuk

ke kamar untuk melepas kaki palsunya. Kini dia berjalan

menuju ke dapur, mengambil sebuah mangkuk besar, dan

mengisinya dengan popcorn yang sudah dia buat sebelumnya

dengan microwave.

"Kamu mau teh?" Aku menawari Oliver.

Oliver tersenyum. "Sure, thank you."

Aku bangkit dan mengambil dua cangkir, lalu mengisinya

dengan air panas serta menambahkan sedikit gula. Aku

mengaduk keduanya dengan perlahan. Lalu, membawanya ke

coffee table berbentuk persegi panjang yang terletak di depan

sofa.

Aku menghirup tehku sedikit demi sedikit, begitu juga

Oliver. Mataku terarah ke kaki kiri Oliver yang tinggal

setengah. Sontak tanganku terulur dan menyentuh ujung

tungkainya yang berupa dengkul.

"Apakah terasa aneh?"

Aku menggeleng dan menarik tanganku dari kakinya sambil

mengembuskan napas. "Tidak juga."

Oliver menggenggam tanganku. "Kamu jadi sangat diam hari

~208~

ini. Ada masalah?"

Aku mengangkat bahu. "Tidak ada masalah, kok."

Oliver mengecup tanganku yang digenggam olehnya. "Kamu

kelihatan suntuk. Sepertinya, ada yang mengganggu pikiranmu."

"Aku memang sering seperti ini. Mood-ku memang sangat

kacau. Tiba-tiba hilang, dan tiba-tiba datang."

"Aku tidak percaya," ujar Oliver. Dia mengambil segenggam

popcorn dan mengunyahnya perlahan.

"Tidak ada apa-apa, Oliver," aku bersikeras. Lalu, aku

merasakan bau popcorn begitu dekat.

"Kamu bohong. Aku mau memeriksa apakah hidungmu

sudah panjang atau belum?" Dia mendekatkan wajahnya ke

wajahku.

Aku mendengus kesal. "Jadi, kamu mau menjadi Geppeto

sekarang? Kamu sama saja dengan Baby. Kenapa kalian tidak

menikah saja? Kalian terlalu cocok dan sehati."

"Masa? Apakah dia sering berkata seperti itu?"

Aku menirukan ucapan Baby, "Kalau bohong hidungmu

bakal panjang seperti Pinokio. Huh!" Aku mencibir. Oliver

tertawa melihatnya. "Rasanya bukan hidungmu, tetapi bibirmu

yang indah itu akan memanjang."

Aku memukul tangannya dengan jengkel. "Aku sedang tidak

ingin bercanda. So shut up." Namun, Oliver tidak ingin

menyerah begitu saja. Dia menghabiskan sisa tehnya dan

menaruh cangkirnya di meja. Dia malah mengajukan

pertanyaan yang tak ingin aku dengar.

"Apakah karena orang itu?"

DEG! Jantungku langsung berdetak dengan cepat, tetapi aku

tetap bersikap biasa. "Orang apa? Siapa?"

"Benjamin Surya."

Debaran di dadaku semakin bertambah kencang begitu

Oliver menyebutkan nama itu. Nama yang seharusnya tidak

boleh disebutkan. Nama yang seharusnya aku kubur dalam

~209~

lubang yang dalamnya tak bisa terukur.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan tentang orang itu,

Oliver."

"Kalau tidak, kenapa kamu membencinya?"

Aku berdecak. "Aku tidak ."

Kata-kataku terpotong oleh ponselku yang berbunyi dengan

sangat keras. Aku bangkit dari sofa dan berlari kecil menuju ke

meja makan tempat aku menaruh tas. Aku melihat nama

peneleponnya.

BEN.

Aku menarik napas dan tanpa berpikir panjang langsung

mematikannya. Tak lama, ponselku berbunyi lagi, membuat

gumpalan kekesalanku semakin memuncak. Orang gila! Apa,

sih, maunya? Kemarahan di dalam hatiku sudah hampir

meluap, tetapi aku menahannya. Aku tidak boleh marah di sini.

Setidaknya, tidak di depan Oliver.

"Kenapa tidak diangkat?"

Aku menoleh, ternyata Oliver sudah menyusulku dan berdiri

di sampingku. Aku menggeleng. "Salah sambung." Lalu, aku

melarikan diri dari Oliver dengan berjalan menuju ke tempat

cuci piring dan menyalakan keran yang langsung mengalir deras.

Aku menangkupkan kedua telapak tanganku untuk menampung

air dan menyiramkannya ke wajahku.

Aku sudah lebih tenang, tetapi tidak membantu untuk

menyembuhkan mood-ku yang masih berserakan. Mungkin

untuk menyembuhkannya aku perlu berendam tiga hari tiga

malam.

"Sascha, kenapa kamu membencinya?"

"Aku tidak membencinya, Oliver," ketusku. Aku kembali

berjalan meninggalkan Oliver dan kembali duduk di sofa. Oliver

tetap setia mengikutiku.

"Bagaimana kalau kamu cerita agar kamu lega?"

Aku menatap Oliver. Wajahnya yang terlihat begitu sabar

~210~

menungguku untuk mengeluarkan segala yang mengganjal di

hatiku. Aku menarik napas berkali-kali dan menyadari bahwa

kapan saja, dalam beberapa menit ke depan, air mataku akan

tumpah.

"Aku tidak bisa." Akhirnya, aku berkata singkat kepada

Oliver dengan suara yang tercekat.

"Kenapa tidak bisa? Aku yakin kamu bisa, hanya saja kamu

tidak mau."

Mendadak emosiku pecah begitu saja. "Jadi, apa yang kamu

inginkan? Kebenaran? Oke, aku akan memberikan kamu


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Roro Centil 12 Bocah Siluman Penghuni Pendekar Naga Putih 95 Utusan Dari

Cari Blog Ini