Ceritasilat Novel Online

Bride Wannabe 4

Bride Wannabe Karya Christina Juzwar Bagian 4

kebenaran! Dia adalah masa lalu. MASA LALU yang tidak ingin

aku ingat, mungkin untuk selamanya! Aku ingin melupakannya.

MELUPAKANNYA, OLIVER!"

Aku berhenti berbicara karena aku harus mengatur napasku

yang terengah-engah, dan detik berikutnya air mataku turun di

pipi.

"Maaf, aku harus pulang." Aku segera membereskan tasku,

tetapi Oliver malah menahannya. Lalu, dia membawa tubuhku

untuk duduk di sofa. Apa yang dilakukannya membuat tangisku

semakin deras. Aku menangis dalam diam, dengan menyandar

di bahu Oliver. Aku memutuskan untuk menangis sepuasnya.

Oliver dengan sabar menungguku untuk menumpahkan isi

hatiku.

Setelah tangisku reda, dengan lembut Oliver menghapus sisa

air mataku di pipi.

"Adakalanya kamu memang harus menangis, Sascha."

"Aku sudah terlalu sering menangisinya, Oliver. Aku

sungguh bodoh. Seharusnya, aku enggak perlu menangis lagi."

Oliver mengusap rambutku. "Bagiku tidak bodoh. Tangis

sama pentingnya dengan tawa untuk mengisi kehidupan kita."

Aku termenung, kemudian cerita mengalir deras dari

mulutku, tentang aku dan Ben. "Delapan tahun. Tetapi, apa

yang aku dapat? Luka. Bahkan, ia tidak mau memikirkan

~211~

sedikit saja rencana pernikahan. Bisakah kamu membayangkan

ketika kamu merasa orang yang kita cintai begitu dekat dan

berdiri di sebelah kita, tetapi pada kenyataannya ia begitu jauh

dan tak bisa teraih."

Aku menyusut air mataku yang hendak tumpah dari ujung

mata. "Dia masih tak bisa menerima perpisahan ini."

Oliver memotong penjelasanku, "Karena dia sudah terlalu

terbiasa akan adanya dirimu, Sascha. Meskipun tidak terlalu

penting, yang penting kamu ada. Itu seperti perasaan aman

baginya. Kamu seperti ...."

"Pelarian. Cadangan. What so ever," aku menambahkannya

seraya mendengus.

Oliver mengangguk. "Dia langsung merasa insecure ketika

kamu memutuskannya."

Lalu, dengan suara yang bergetar, aku melanjutkannya, "Dia

mulai kalap dan mengeluarkan kata-kata kasar. Aku

menamparnya, tetapi dia tidak juga berhenti dan dia dia

mendorongku dengan sangat keras sehingga aku terbentur ."

Oliver langsung memelukku dengan erat seolah ingin

menarik semua rasa sakit dan sedihku. Dia mengusap

pundakku berkali-kali dan aku semakin tenang.

"Kita memang harus berdamai dengan masa lalu, Sascha.

Meskipun berat dan menyakitkan, kita harus berdamai. Itu

satu-satunya cara supaya kita bisa berjalan dengan langkah

ringan ke masa depan." Sesaat kemudian, kami sama-sama

terdiam. Kami hanya meresapi suara tarikan napas yang keluar

dari tubuh kami masing-masing.

"Oliver." Aku bersuara sangat pelan hingga terdengar seperti

bisikan.

"Yes, Dear?"

"Berjanjilah."

"Apa?"

"Jangan tinggalkan aku."

~212~

Aku merasakan napas Oliver yang bertambah berat, lalu ia

berbisik perlahan, "Aku janji kalau kamu berjanji ...."

"Apa?"

"Kamu akan melupakan Ben dan mulai memikirkan diriku."

Bahuku terguncang pelan oleh tawa. "Aku udah nggak pernah

memikirkan dia lagi, kok. Tapi, aku tetap janji sama kamu."

Oliver kembali menghapus sisa air mata di pipiku. "Look,

Sascha. Ada yang ingin aku bicara?"

Suara ponselku memotong ucapan Oliver. Aku segera

meraihnya. "Dari butik," aku memberi tahu Oliver. Dia

mengangguk. "Angkat saja dulu. Siapa tahu penting."

"Tunggu, ya." Lalu, aku mengangkatnya. Kali ini

pembicaraanku cukup lama dengan Dini, karena ada pelanggan

yang komplain dengan baju yang baru ia beli kemarin. Aku

harus berbicara dulu dengan pelanggan tersebut.

Begitu aku menaruh ponselku, Oliver sudah rebahan di sofa

dengan mata yang tertutup. Aku ikut merebahkan diri di

sampingnya. Oliver mengangkat tangannya dan

melingkarkannya di pundakku. "Apa yang ingin kamu bicarakan

tadi, Oliver?"

"Tidak jadi. Nanti saja. Sekarang bagaimana kalau kita

mengistirahatkan mata kita?

"Aku ingin selamanya seperti ini, Sascha ."

Aku juga, Oliver .

~213~

A

26

ku benar-benar sedang jatuh cinta. Memang rasanya

aneh, dalam waktu sesingkat ini, tetapi rasanya aku

sudah mengenalnya begitu lama dan mulai terbiasa dengan

keberadaannya. Sifatnya yang tenang, leluconnya yang terkadang

garing, dan sikap manisnya telah mampu membuatku terbang

ke atas awan. Yang lebih penting lagi, aku sudah terbiasa dengan

kondisi fisiknya serta masa lalunya.

Banyak cerita yang mengalir darinya. Baik mengenai kedua

orangtuanya, saudara-saudaranya, pekerjaannya, hingga para

mantan pacarnya. Akhirnya, kami pun terlibat percakapan

tentang mantan-mantan kami. Seperti hari ini sewaktu kami

sarapan di Kedai Nona.

"Terakhir kali berpacaran?" tanyaku.

"Sebelum aku pergi ke medan perang. Hanya beberapa

bulan. Tapi, aku punya banyak penggemar." Oliver melirik

dengan jenaka. Mataku melebar, membuat Oliver tertawa.

"Hanya sebatas penggemar saja, Sascha."

"Penggemar? Memangnya kamu artis?" ledekku.

Oliver pura-pura berpikir keras. "Not really. Aku hanya

seorang pria dengan satu kaki, that?s all."

Aku memukul lengannya gemas. Aku selalu merasa kesal

dengan Oliver yang sering menjadikan satu kakinya itu sebagai

bahan candaan. Oliver meraih tanganku dan mengecupnya.

"Just kidding," Oliver menggodaku.

"Jadi, kalau kamu banyak penggemar di sana, bagaimana

~214~

mereka tahu bahwa kamu sudah mempunyai seseorang? Apakah

aku harus memasang di keningku tulisan yang cukup besar

seperti ?Oliver?s girlfriend?? Atau, memasang di keningmu

?Sascha?s boyfriend??"

Oliver tertawa terbahak-bahak. Ia mendekatkan wajahnya

dan berbisik, "Seperti ini caranya, biar semua orang tahu bahwa

kamu milikku dan aku milikmu." Lalu, Oliver mencium

keningku dengan manis dan lembut.

"Bagaimana denganmu?" Oliver gantian bertanya. Ia

memindahkan kaki palsunya jadi menekuk.

"Cinta monyet pada saat SMA. Tapi, enggak pernah ada

yang jadi. Sampai aku ketemu Ben."

Mendengar kata Ben, senyum di wajah Oliver sedikit surut.

"Kalau dia tidak kasar, mungkin dia akan jadi pacar yang

sempurna. Bukan begitu, Sascha?"

"Mungkin, bisa jadi."

"Sayang sekali," suara Oliver melemah.

Pikiran Oliver tampak melayang. Entah apa yang ia pikirkan.

Aku mengambil telapak tangannya yang besar dan

menggenggamnya. "Come on, kok, jadi mikirin Ben?"

Senyum Oliver muncul kembali. "No, I?m not."

Bibirku mengerucut. Dia pasti sedang memikirkan Ben.

"Dia tidak ada artinya buat aku lagi, Oliver. Kamu harus

percaya kepadaku."

Mata cokelat Oliver melembut. "Aku percaya kepadamu,

Sascha."

"Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini? Waktu masih

panjang." Aku melirik ke arlojiku yang menunjukkan pukul

9.00.

"Museum?"

"Boleh. Ayo."

Aku memutuskan membawa Oliver mengunjungi berbagai

museum di Jakarta. Hari ini aku mengajaknya ke Monas dan

~215~

Museum Gajah.

Ketika kami berada di Monas, Oliver memaksaku untuk

naik ke atas. Aku menolaknya mentah-mentah. No way! Aku

memang agak takut dengan ketinggian. Belum lagi angin sangat

kencang hari itu, bisa-bisa aku mabuk dan pusing dengan paket

lengkap itu. Namun, akhirnya Oliver berhasil membuatku

menginjakkan kaki di atas sana.

Ternyata keputusanku tidak salah. Pemandangan yang ada

sungguh indah, tetapi pemandangan yang lebih indah lagi adalah

ketika melihat mata Oliver yang berbinar saat ia menikmati

pemandangan ini. Dalam hati, aku sangat bersyukur bisa

memberikan kebahagiaan itu, meskipun tidak seberapa.

Kami juga menyempatkan diri berjalan menyusuri jalanan

Thamrin sesudah menikmati Monas. Perjalanan yang sangat

lama, mengingat kaki Oliver tidak bisa berjalan dengan

kecepatan maksimal. Terkadang kami pun berhenti sejenak dan

membiarkan Oliver mengistirahatkan kakinya.

"Maaf kalau aku jadi merepotkanmu."

"Jangan minta maaf. Aku tidak keberatan direpotkan

olehmu."

Akan tetapi, sungguh, petualangan ini menjadi pengalaman

tak terlupakan, setidaknya untukku. Kapan lagi aku berjalan

menyusuri jalan protokol ini? Kalau tidak ada Oliver, aku tidak

mungkin mau melakukannya, apalagi sendirian.

Setelah melepas lelah di sebuah kedai kopi, kami masuk dan

berjalan-jalan di Sarinah. Oliver memborong batik untuk

dirinya serta oleh-oleh untuk teman-temannya di London.

"Pokoknya aku janji," kata Oliver setelah membayar semua

batik yang dibelinya. "Setelah aku pulang, aku akan memaksa

semua temanku untuk memakai baju ini dan kami akan berfoto

bersama. Then, I will send the pictures to you."

Aku tertawa. "That would be great. Pasti kalian akan

terlihat keren!"

~216~

Kemudian, Oliver memelukku dengan tiba-tiba. "Aku tidak

bisa membayangkan diriku jauh darimu nanti, Sascha."

Aku terpaku dan membalas pelukannya lebih erat lagi. "Aku
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga. Tapi, kita akan baik-baik saja, Oliver."

Oliver mengecup keningku dan menatap mataku lekat.

"Terkadang, jarak yang begitu jauh membuat kita takut dan

akhirnya menyerah."

Aku mendongak dan melemparkan senyum. "Aku tidak akan

menyerah. Begitu juga kamu."

Oliver melepaskan pelukannya dan menarik tanganku

menuju ke eskalator untuk turun. "Bagaimana kalau besok pergi

ke Bogor, lalu setelahnya ke Bandung? Aku dengar di sana

banyak makanan yang enak!"

Aku menatap Oliver dengan kagum. "Bagaimana kamu tahu

tentang Bogor dan Bandung? Kamu, tuh, terkadang membuat

aku bertanya-tanya, deh!"

"Bagaimana? Mau, ya?" tanya Oliver lagi.

"Lumpia, batagor, here we come!" seruku.

Tanpa terasa Oliver akan pergi meninggalkanku. Rasanya waktu

dua minggu itu sepertinya tidak akan pernah cukup. Meskipun

aku benar-benar merasakan hari-hari jadi begitu menyenangkan

selama dia di sampingku, aku tahu ada saatnya kami harus

berpisah, ada jarak yang terbentang di antara kami.

Tiga hari lagi Oliver harus pulang. Ya Tuhan, tiga hari itu

akan terasa sangat cepat. Aku benci akan kenyataan itu.

Sampai-sampai aku hitung tiap jam, tiap menit saat-saat

terakhir kami harus terpisahkan kembali oleh dua benua yang

terbentang begitu luas. Hal ini mau tak mau membuatku resah.

Bukan karena Oliver akan kembali ke London, melainkan

~217~

aku juga melihat perubahan pada diri Oliver. Meskipun tidak

mencolok, aku cukup merasakannya. Dia jadi sering

termenung, melamun, dan terkadang menerima telepon dengan

waktu yang cukup lama.

Perubahannya semakin mencolok ketika pada suatu siang

yang membosankan, H-2 saat Oliver harus pulang, kami

memutuskan untuk melakukan sedikit eksperimen, yaitu

mencoba berbagai macam mi instan buatan Korea yang kami

beli di supermarket.

Sebenarnya, percobaan ini merupakan ide Oliver karena ia

jarang sekali makan mi instan seperti ini. Jadi, aku menawarkan

diri untuk membuatnya. Hanya dalam hitungan menit, aku

sudah selesai dan dua mangkuk mi instan yang mengepul panas

terhidang di meja makan.

Aku pergi ke kamarnya untuk memberitahukan bahwa

makanan sudah siap. Aku tidak mengetuk karena pintu kamar

tidak tertutup penuh. Ketika aku mengintip, ia sedang berbicara

di telepon. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Aku hampir

tidak bisa mendengar percakapannya. Hanya gerakan tubuh

Oliver yang gelisah dengan terus berjalan mondar-mandir di

dalam.

Aku menunggu. Perlahan aku mendengar ketika nada suara

Oliver terdengar sedikit keras. Sekarang ia berdiri di depan

jendela balkon dan bersandar di sana. Bukan hanya tubuhnya,

melainkan juga kepalanya. Kata-katanya yang terdengar hanya

sepotong-sepotong. Aku hanya bisa menangkap seperti conflict,

her, war, photos, mean ... dan yang lainnya. Aku tidak bisa

merangkai keseluruhannya.

Begitu mendapati ia sudah selesai berbicara, aku segera

berkata, "The noodle is ready."

Oliver menoleh dan mengangguk, lalu ikut keluar bersama

denganku. Kami makan dalam suasana hening. Oliver

mengatakan bahwa mi instan ini sangat enak, bahkan ia

~218~

menghirup kuahnya sampai habis.

Karena penasaran dengan percakapan yang dilakukan oleh

Oliver di kamar, aku menanyakannya ketika kami sudah

berpindah ke sofa.

Dia tidak bereaksi yang mengejutkan, malah menunjukkan

wajah jenakanya dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik

saja. Oliver mengatakan telepon itu dari Angela. Mereka

membicarakan Scarlet, anjingnya yang ia titipkan ke saudara

perempuannya tersebut.

"Sascha ."

"Hm?"

Oliver memandangiku dengan tatapan yang janggal.

Wajahnya berubah dengan cepat menjadi serius. "Apakah kamu

pernah melakukan sesuatu atas dorongan yang begitu kuat di

dalam hatimu, bahkan kamu sendiri tidak kuasa menolaknya,

meski kamu sudah melawan sekuat tenaga dan dirimu berusaha

menolaknya?"

Aku tidak mengerti pertanyaan Oliver, bahkan terlalu samar

untuk aku pikirkan dan juga aku jawab. "Aku tidak mengerti

maksudmu."

Lalu, Oliver memberi sebuah contoh. "Seperti hatimu

berbisik bahwa inilah yang kamu inginkan, dan harus kamu

lakukan meski ada bisikan lain atau logika kamu mengatakan

untuk tidak melakukannya karena akan merugikan atau

menyakiti orang lain? Atau, bahkan akan menyakiti diri

sendiri?"

"Tidak juga, sih." Aku masih belum menangkap arah

pembicaraan yang akan dibawa oleh Oliver. "Oh, pernah, sih."

Aku tiba-tiba teringat. "Aku mendirikan butik ini bersama Baby

dengan cukup nekat. Keluar dari pekerjaan tetap, mengeluarkan

modal sendiri tanpa tahu apakah butik ini akan berhasil atau

tidak. Tapi, aku merasa, inilah yang harus aku lakukan. Ini

adalah passion-ku. Mempunyai usaha sendiri. We?ll never

~219~

know apa yang akan terjadi pada butik ini."

Oliver meresapi penjelasanku. Dia merenunginya beberapa

saat. "Bagaimana dengan berbohong demi kebaikan?"

Sekali lagi, pertanyaan yang sangat aneh keluar dari mulut

Oliver. Aku membelai pipinya. "Kadang-kadang, sih." Aku

meregangkan tubuhku yang terasa kaku karena terlalu banyak

duduk. "Terkadang kita juga tidak kuasa untuk tidak

melakukannya. Berbohong untuk kebaikan itu tetap saja salah,

namanya juga berbohong. Tetapi, adakalanya kita terpaksa

melakukannya. Kita memang tidak bisa mencegahnya."

Ia juga tidak merespons penjelasanku.

"Sascha?"

"Hm?"

"Apa, sih, yang kamu lihat dari aku?"

Aku memutar tubuhku agar bisa menatapnya. "Aku lihat pria

yang baik. Pria yang mencintaiku. Pria yang sempurna."

Oliver membuang mukanya ke jendela. "Kamu salah. Aku

tidak sempurna."

"Untuk aku, kamu sempurna."

Meski Oliver terus mengajukan pertanyaan yang mengganjal,

juga tidak ada jawaban yang memuaskan soal percakapannya

yang aku dengar di kamar, aku memutuskan untuk tidak

membahasnya lebih lanjut. Karena sesudahnya, Oliver pun tak

mengungkit-ungkitnya lagi. Akhirnya, kami menghabiskan hari

itu dengan menonton tayangan televisi sampai benar-benar

merasa bosan.

Aku baru menginjakkan kaki di mal tempat aku dan Oliver

membuat janji untuk bertemu makan siang. Aku memang

sengaja datang lebih pagi sekadar keliling mal untuk cuci mata

~220~

terlebih dahulu. Hari ini adalah pertemuan terakhirku dengan

Oliver sebelum dirinya pulang ke London keesokan harinya.

Aku memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu bersamanya

sepanjang hari.

Setelah lewat dari lima belas menit, setengah jam hingga satu

jam, Oliver tak menampakkan batang hidungnya. Kegelisahanku

semakin menjadi ketika aku terus menghubungi Oliver dan tak

ada respons sama sekali. Dia seperti menghilang ditelan bumi.

Aku bertambah panik. Ketika aku memutuskan untuk

mencarinya, masuk sebuah pesan, dari Oliver.

Oliver_D: Meet me at the apartment. Important.

Urgent.

Tubuhku membeku. Apa yang terjadi? Tanpa membalas

pesan yang dikirimkannya, aku bergegas pergi meninggalkan

restoran dan naik taksi.

~221~

S

27

etibanya di apartemen, aku segera mengetuk pintunya.

Namun, dengan cepat aku menyadari bahwa pintu

apartemen itu tak terkunci. Aku terkejut mendapati seluruh

apartemen dalam keadaan gelap dan gorden yang tertutup rapat.

Aku mencari sakelar lampu dan menyalakannya hingga beberapa

agar ruangan terlihat lebih terang dan jauh dari suasana suram.

"Oliver! OLIVER!" aku berteriak. Tidak ada sahutan. Aku

menelusuri tiap ruangan dengan tergesa. Berlarian di apartemen

yang cukup besar itu dengan napas yang mulai memburu.

Aku menemukannya.

Dia berada di balkon kecil yang terletak di dalam kamar

tidur utama. Oliver berdiri menatap langit Jakarta yang biru

cerah. Perasaanku semakin tidak enak begitu melihat sebatang

rokok terselip di jarinya.

"Oliver," aku memanggilnya perlahan. Oliver menyadarinya,

dengan menggerakkan kepalanya. Meskipun begitu, dia tidak

menoleh. Dia mengisap rokoknya beberapa kali, lalu

membuangnya dan menginjak puntungnya dengan kaki

kanannya.

Lalu, ia memutar tubuhnya. Oliver tidak menggunakan

kacamatanya. Dia terlihat sedikit berbeda, wajahnya terlalu

murung untuk seorang Oliver yang aku kenal. Matanya tidak

lagi bersinar jenaka atau ramah, tetapi penuh kesedihan.

"Kenapa kamu tidak datang? Ada apa? Kamu sakit?"

Oliver menatapku, tetapi cepat menundukkan kepalanya.

~222~

"Maafkan aku."

"Apakah kamu mau memberitahuku apa yang telah terjadi?

Apakah selama ini kamu merokok?" Aku terus mendesaknya.

Aku benci suasana tegang dan kaku seperti ini. Kemudian,

Oliver menerobos melewatiku begitu saja menuju ke ruang

keluarga.

"Kamu bilang aku harus menemuimu di sini karena ada yang

penting. Aku benar-benar tidak mengerti sikap kamu ini,

Oliver." Perasaanku semakin kacau karena aku tahu benar

bahwa ada yang tidak beres pada dirinya, pada hari ini, dan

pada hubungan kami.

Melihat Oliver tetap bungkam aku jadi emosi. "Oliver,
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bicaralah. Apakah kamu sakit? Atau, ada masalah di London?

Tell me!" Aku terlalu kesal dan tidak sabar menunggunya

terdiam seperti ini hingga suaraku meninggi.

Oliver memberanikan diri untuk menatapku, tetapi dia

menjaga jarak. Ia tidak mau mendekatiku dan kali ini aku

menemukan sorot matanya yang terluka.

"Satu-satunya masalah adalah ," Oliver berkata dengan

terpatah-patah, "perasaanku terhadapmu sudah terlalu dalam.

Aku sudah menyeretmu ke dalamnya, Sascha ."

Aku menatap Oliver penuh tanda tanya, mencoba menyerap

semua ucapannya ke dalam otakku, tetapi aku tidak bisa.

"Maksud kamu apa, sih, Oliver? Aku enggak ngerti."

"Aku seharusnya tidak mencintai kamu. Dan kamu, tidak

sepatutnya mencintai aku." Aku terkesiap mendengar

ucapannya. Aku merasakan darah di seluruh tubuhku berhenti

mengalir. Lidahku kelu dan aku tak mampu menemukan kata
kata.

Kemudian, Oliver berkata lagi, "Aku mencoba untuk

menghilangkan dan melupakan cinta ini, tetap tidak bisa. Aku

terlalu mencintaimu."

Aku teringat dengan pertanyaan yang pernah diajukan oleh

~223~

Oliver, mengenai dorongan yang begitu kuat di dalam hati yang

tak bisa kita tolak meskipun sudah melawan sekuat tenaga dan

dirimu berusaha menolaknya.

"Jadi, apa maksudmu?" aku bertanya dengan suara yang

bergetar. Air mata kekecewaan turun dengan sangat cepat untuk

melukiskan perasaanku saat ini. Mata Oliver begitu terluka

ketika melihat air mataku mengalir. Namun, ia tidak berbuat

apa-apa.

"Oliver, jawab aku!" aku berteriak dan berujung dengan

isakan tangis. Aku ditelan kepanikan dan kegelisahan karena

benar-benar buta akan apa yang terjadi dengan Oliver, atau apa

yang terjadi dengan hubungan kami berdua.

Karena, aku tahu sesuatu yang buruk akan menimpa kami

berdua.

Oliver bergeming. Setelah cukup lama menutup rapat

mulutnya, ia pun berkata, "Aku bergabung dengan World

Explorer sebagai seorang fotografer. Aku berkeliling dunia

untuk menangkap momen indah. Namun, aku tidak bisa

melupakan perang dan kekerasan yang pernah aku saksikan dan

aku alami dengan mataku sendiri. Maka dari itu?" Oliver

menarik napas sesaat sebelum melanjutkannya dengan suara

yang semakin bergetar. "Kantorku mengirimku ke Palestina.

Untuk meliput konflik di sana."

Napasku semakin sesak mendengarnya. Palestina. Konflik

kemanusiaan. Dengan tergagap, aku bertanya lagi, "A-apakah

kamu akan pergi? Kamu enggak akan pergi, kan? Bilang

kepadaku kamu sudah menolaknya."

Oliver menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Jawab aku, Oliver. Apakah kamu akan pergi?" Ya Tuhan,

aku berdoa dalam hatiku semoga Oliver menjawab tidak atas

penugasan itu.

"Aku harus pergi. Aku sudah menyetujui untuk pergi

bertugas ke Palestina selama satu tahun."

~224~

Tangisku langsung pecah. Aku menggelengkan kepala dan

menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Hatiku teriris
iris. Aku tidak berani membayangkan apa yang terjadi di sana.

Pembantaian, pembunuhan, yang melebur menjadi satu. Oliver,

dengan kondisi fisiknya yang terbatas, tetapi mempunyai

keinginan di hatinya yang terlalu mantap dan tidak bisa

digoyahkan. Aku sungguh tidak berdaya.

"Tapi, kamu tidak bisa pergi, Oliver .... Kaki kamu ...."

Aku mencoba menahannya.

"Kaki ini enggak pernah menjadi masalah, Sascha. Aku pergi

juga tidak sendiri."

"Kalau begitu biar temanmu saja yang pergi. Ka-kamu tidak

perlu sampai harus ke sana, kan?"

Oliver menggeleng pelan. "Aku harus pergi."

"Kapan kamu akan pergi?" Aku mengusap air mataku.

Oliver terpaku. Dengan berat ia menjawabnya. "Besok."

Apa? Besok? Rasa dingin langsung merambat ke sekujur

tubuhku. Aku langsung mendorong tubuhnya. Kesedihanku

berubah menjadi kemarahan. "Besok? Kamu baru bilang

sekarang, Oliver? Jadi, selama ini kamu bohong?"

"Sascha ."

"Bagaimana kamu bisa menyuruhku untuk tenang!" aku

berteriak kepadanya. Kepalaku langsung terasa pening. "Kenapa

kamu enggak pernah mengatakannya kepadaku? Kenapa kamu

mau pergi? Kamu tidak memikirkan diri kamu? Apa pun bisa

terjadi di sana, Oliver! Apakah kamu enggak berpikir tentang

kita???"

Oliver memegang pelipisnya. Rahangnya mengatup keras dan

ia menaruh kedua tangannya di pinggang dan bertumpu dengan

kaki kanannya.

"Kenapa kamu harus berbohong?" aku berteriak. "Kamu

tega! Kamu enggak pernah memikirkan perasaan aku!"

Mata Oliver berkaca-kaca ketika ia menatap mataku. "Aku

~225~

memikirkan kamu, Sascha!" Suara Oliver yang biasanya tenang

meninggi. "Aku enggak tega sama kamu! Lihat aku! Aku cacat

dan aku memiliki pekerjaan paling berisiko! Aku bukan laki-laki

yang baik buat kamu! Kamu pantas mendapatkan yang lebih

baik, Sascha!"

"Kamu tahu aku tidak bermasalah dengan itu, Oliver! Berapa

kali aku harus katakan sama kamu!"

Aku menangis, sedangkan Oliver menunduk untuk

menyembunyikan air mata kepedihannya. Tangis dan air mata

ini saling melengkapi satu sama lain. Andai saja bukan air mata

yang kami bagi, melainkan tawa dan kebahagiaan, karena

bagaimanapun, tidak ada orang yang ingin bersedih, begitu juga

aku dan Oliver.

Oliver menghapus air matanya dan dia mengangkat

wajahnya. Aku melihat matanya yang memerah. Oliver berjalan

mendekatiku, lalu membelai pipiku. Oliver tidak bisa menahan

air matanya lagi. Dia menarik lembut leherku ke arahnya hingga

kening kami saling beradu dan kami sama-sama menangis

dalam diam. Oliver memegang kedua pipiku erat, dan aku

menggenggam pergelangan tangannya.

"Maafkan aku, Sascha," bisik Oliver di tengah tangisnya.

Aku menggeleng dan tidak mampu berucap selain tangis yang

tersedu-sedu. "You deserve a happiness. Dan, aku tidak bisa

menjanjikan itu. Please, let me go."

Tangisku semakin menjadi mendengar Oliver mengucapkan

mimpi buruk itu.

"Aku meminta kamu untuk tidak menungguku. Aku tidak

mau menyakitimu lagi. Sudah cukup."

Aku terus menggelengkan kepalaku. "Enggak. Kamu enggak

boleh pergi, Oliver. Jangan pergi," bisikku.

Oliver memindahkan tangan kirinya dan menaruhnya di

leherku. Dia mengecup keningku. Lalu, menatap langsung ke

mataku. "Untuk sementara, kita tidak bisa begini. Aku tidak

~226~

bisa terus menyakitimu, kamu tidak pantas untuk disakiti."

"Aku mohon, Oliver jangan pergi ." Tanganku

mencengkeram kausnya.

Raut wajah Oliver terlihat semakin merana. "Jangan,

Sayangku jangan memohon seperti itu. Tinggalkan aku."

"Aku ingin kamu tahu, bahwa aku akan selalu mencintaimu,

apa pun yang terjadi. Meski kita berpisah dan tidak akan

bersatu karena kondisi yang terjadi, aku tidak akan pernah

melupakanmu, Sascha. Aku akan tetap mencintaimu."

Tangisku bertambah deras. "Tidak, Oliver please

jangan katakan itu!" Aku terus memohon. Oliver menggeleng

dengan gerakan yang lemah.

Detik itu juga aku tahu bahwa keputusan Oliver tidak bisa

diubah, bahkan oleh diriku, oleh cintaku. Dia sudah

menjatuhkan pilihannya. Dan, aku tak punya kuasa untuk

mengubah hati dan keputusannya.

Oliver memandangku dengan matanya yang penuh luka.

Matanya berkaca-kaca. Sampai akhirnya Oliver pun berkata,

"Pulanglah, Sascha. Kalau boleh aku bisa mendapatkan

permintaan kali terakhirnya, aku ingin kamu mengantarku ke

bandara, besok pukul 10.00 pagi."

Tiba-tiba hatiku memberontak. Aku begitu marah dan

terluka. Marah yang tertimbun oleh kekecewaan. Aku

mendorong tubuh Oliver hingga Oliver terdorong ke belakang.

"Tidak! Kamu tidak bisa seenaknya memperlakukanku seperti

ini, Oliver! DENGAR! Aku tidak akan pulang sampai kamu

mengatakan kamu tidak akan pergi!" Aku menatap Oliver

dengan marah.

Oliver segera memelukku. Aku memberontak, tetapi

dekapan Oliver begitu erat, membuat aku mengerahkan semua

kekuatanku yang penuh amarah. Aku terus memberontak,

hingga akhirnya aku hanya bisa terdiam. Oliver tidak

melepaskan pelukannya. Aku menaruh kepalaku di dadanya dan

~227~

mencoba meresapi setiap detak jantungnya dan setiap tarikan

napasnya.

"Mengapa jarak begitu sering terbentang di antara kita?

Mengapa kita harus terus mempunyai jarak ini? Mengapa kita

tidak bisa benar-benar bersatu? Kenapa begitu banyak

penghalangnya?" aku berbisik.

Oliver tak bersuara. Aku rasa ia juga tidak punya jawaban

untuk pertanyaanku. "Kamu janji akan kembali? Sehingga kita

akan bersama lagi? Aku akan menunggumu."

Suara Oliver bergetar. "Aku tidak janji, Sascha. Aku tidak

mau mengecewakanmu. Jangan tunggu aku. Aku tidak layak

untuk kamu tunggu ."

Aku menangis lagi. Terlalu berat untukku melepaskan

Oliver. Terlalu berat. Aku ingin berteriak sekuat tenagaku

ketika Oliver berkata kembali, "Berjanjilah, jangan

menungguku, Sascha. Jangan. Biarkanlah semua mengalir apa

adanya."

Akhirnya, aku pulang. Rasanya sebagian dari jiwaku masih

tertinggal di samping Oliver dan enggan untuk beranjak

meninggalkannya. Air mataku terus mengalir, dengan harapan

bisa merekatkan hatiku yang sudah hancur.

~228~

A
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

28

ku terbangun dari tidurku yang tidak bermimpi. Aku

mengerjapkan mata dan menyadari keadaan masih gelap

gulita. Aku menyalakan lampu kamar untuk melihat jam,

ternyata masih pukul 3.00 pagi. Aku mendesah, berarti aku

salah, aku tidak terbangun, tetapi tidak pernah tidur, mungkin

hanya memejamkan mata. Aku ingat bahwa aku masih sempat

melihat jam yang menunjukkan pukul 2.00 pagi. Aku tidak

pernah pulas, dan mungkin tidak akan bisa.

Aku mengucek mataku yang sudah terlalu bengkak akibat

tangis yang tak berkesudahan. Semua kejadian yang menimpa

diriku dan Oliver masih juga bermain-main di pikiranku, seolah

meledekku atau mempermainkanku. Siapa yang sangka

semuanya akan berakhir seperti ini? Membayangkannya saja

tidak.

Mungkin karena, diam-diam aku terlalu berharap dan apa

yang aku lihat, those two good examples, how my cousin and

my friend live happily ever after with their spouses, yang

"dijodohkan" oleh online dating. Tanpa aku sadari, aku

menjadikan mereka sebagai patokan akan kebahagiaan yang

akan aku raih ke depannya. Rasanya aku memang tidak

seberuntung mereka.

Aku menarik napas yang sangat panjang, lalu memejamkan

mataku. Aku mencoba untuk tidur, entah untuk kali keberapa

pada malam menjelang pagi ini. Aku mencoba untuk tidak

memikirkan apa-apa, hingga pikiranku hanya tertuju pada satu

warna hitam pekat, itu saja.

~229~

Ponselku berbunyi. Aku cepat tersadar dan meraihnya. Aku

melihat sebuah pesan yang masuk. Dari Oliver.

Oliver_D: I?m already at the airport. I still wish you

to come here and meet me for the last time .

Oliver_D: Aku tidak akan memaksa. Kalau kamu

tidak mau datang, tidak apa-apa. Take good care

of yourself, will you?

Aku melihat jam, ternyata sudah pukul 6.00 pagi. Membaca

pesan yang ditulis Oliver membuatku kembali menangis. Aku

ingin sekali berada di sana, memeluknya mungkin untuk kali

terakhir.

Aku bimbang antara pergi atau tidak. Apakah aku harus

menemuinya lagi? Aku memejamkan mataku. Waktu tidak akan

berhenti dan terus berjalan, sedangkan aku masih belum bisa

mengambil keputusan. Sekarang sudah pukul 7.00 pagi.

Satu menit kemudian, aku sudah bergegas menuju ke kamar

mandi dan bersiap untuk pergi. Aku putuskan untuk mengikuti

kata hatiku. Apa pun hasilnya nanti, akan aku terima segala

konsekuensinya. Meski aku harus menangis lagi, atau terpuruk

lagi, aku akan mengantar Oliver pergi, yang mungkin akan pergi

selamanya dari hidupku.

Ketika aku sudah bersiap dan hendak keluar dari kamar,

ternyata Mama sudah mendahuluiku masuk. Kali ini wajah

Mama yang biasanya tenang berubah menjadi panik dan pucat.

"Cha? Kamu mau ke mana? Tolong siapkan paspor kamu.

Bawa baju seadanya."

Aku jadi ikutan panik. Paspor? Baju? Memangnya mau ke

mana? Enggak lagi ada kerusuhan, kan?

"Kenapa? Ada apa? Kita mau ke mana?"

Mama mengatur napasnya. "Mama baru ditelepon oleh

Tante Wid, Baby kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit di

~230~

Singapura. Kamu ikut temani Tante Wid. Jangan khawatir

dengan butik, biar Mama yang menjaganya."

Baby? Kecelakaan? Ya, Tuhan!

Kakiku detik itu juga seperti berubah menjadi karet yang

lemas. Jika Mama tidak menarikku untuk bergegas pergi,

mungkin aku sudah pingsan di tempat. Pak Darwin langsung

membawa mobil memelesat menuju ke rumah Tante Wid untuk

menjemputnya dan kembali melaju menuju bandara. Tante Wid

menangis sepanjang perjalanan, dan aku tidak mungkin juga

ikut menangis karena tidak akan menenangkan keadaan.Yang

ada kami malah terlalu linglung karena terlalu banyak menangis.

Aku harus memberi kekuatan kepada Tante Wid. Tidak mudah

untuk menenangkannya, karena selain menangis, dia juga tidak

berhenti mengoceh dan menyesali apa yang diperbuat oleh anak

perempuannya itu.

"Betul-betul Baby ini! Benar-benar bikin orangtua mau

pingsan! Kenapa enggak kabar bahagia yang sampai ke telinga

kita, ya, Cha, tapi malah berita buruk seperti ini. Malah

kecelakaan, di Singapura lagi. Apa yang dia kerjakan di

Singapura, coba? Dia, kan, tinggal di Melbourne .... Masa, sih,

tuh anak masih keluyuran," oceh Tante Wid tentunya sambil

menangis.

"Mungkin ada urusan, Tante." Aku menenangkan Tante

Wid dengan menepuk-nepuk tangannya.

"Ya, untungnya di Singapura, coba kalau di Melbourne, apa

enggak kelimpungan? Kita, kan, mesti nunggu visa dulu baru

bisa ke sana ."

"Tante tenang saja. Baby pasti akan baik-baik."

Begitu tiba di bandara, kami langsung membeli tiket di

tempat, dan kami mendapatkan Singapore Airlines yang

berangkat pada pukul 11.00. Sesampainya di bandara, bukannya

tenang, Tante Wid malah semakin panik dan gelisah. Jadilah

aku yang kelabakan untuk menenangkannya. Untung pesawatnya

~231~

tidak delay. Begitu kami sudah duduk di pesawat, aku meraih

ponselku dan tidak ada apa-apa. Oliver tak meninggalkan jejak

lagi.

Aku melihat jam, dan sudah menunjukkan pukul sebelas

kurang lima belas. Berarti Oliver sudah berangkat sejak 45

menit yang lalu.

"Excuse me, Mam. We will about to take off. Please

switch off your phone." Seorang pramugari membantu

mengingatkanku karena aku masih terpaku menatap ponselku.

Mungkin inilah yang terbaik untuk kami. Aku mencoba

mengingat setiap jengkal dari wajahnya dan tanpa sadar

mengundang sebuah senyuman di wajahku. Aku tahu bahwa aku

pasti akan merindukannya.

Akan tetapi, semua sudah berakhir.

"Gue sudah bilang enggak apa-apa!" Baby berseru kepadaku. Ia

juga menatap mamanya dengan jutek. "Mama juga terlalu

berlebihan, nih!" Baby mengomel panjang lebar. Another

drama yang dibintangi oleh sepupuku tercinta, Baby. Padahal,

aku dan Tante Wid baru saja sampai.

"Siapa suruh bikin orang khawatir? Kenapa juga kamu ada di

Singapura?" Tante Wid enggak mau kalah, ikutan mengomel.

Aku hanya bisa duduk di sofa yang terletak di pojok kamar

VIP di Rumah Sakit Mount Elizabeth. Aku menguap beberapa

kali dan tanpa semangat menonton drama lebay antara ibu dan

anak yang sedang berlangsung saat ini juga. Aku sudah jauh

lebih tenang ketika melihat bahwa kecelakaan yang menimpa

Baby tidak begitu parah. Kaki kirinya patah. Namun,

selebihnya, ia masih dalam batas normal dirinya. Buktinya, ia

masih bisa mengomel.

~232~

Kaki Baby yang digips bergelayut ke sana kemari dan

William belingsatan ketika melihat Baby yang hampir terjatuh

dari tempat tidur saking hebohnya bertengkar.

"Aku sudah besar, Ma! Ini, kan, risiko," seru Baby, masih

dengan nada suara sewot. Namun, mamanya tidak mungkin

mau mendengarkannya. Bagi seorang ibu, setiap anak akan

tetap terlihat kecil di mata mereka. Itu terbukti sekali. Saat ini.

Detik ini.

"Mama tahu kamu sudah besar, tetapi lihat, bahkan kamu

enggak bisa menjaga diri!"

"Huh, jangan salahkan aku, dong. Salahkan, tuh, taksi

berengsek itu yang menyetir berasa sedang bermain mobil
mobilan."

Aku tersenyum geli mendengar penuturan Baby. Tante Wid

memelotot, dan ia yang akhirnya mengalah. Demi meredam

emosinya, ia memilih untuk beres-beres kamar rawat yang

ditempati oleh Baby.

Ketika Tante Wid keluar hendak mencari makan, ditemani

oleh William, ruangan menjadi lebih tenang. Aku mendekati

Baby yang masih menggerutu panjang lebar. "Untung aja lo

ikut, Cha. Malas banget, deh, sama nyokap. Lebaynya minta

ampun! Gue, kan, udah gede, udah kawin pula, ngapain dia

sampai bela-belain datang kemari? Gue punya suami yang bisa

mengurus gue."

Aku tertawa. "Namanya juga ibu-ibu, Beb. Maklumin aja.

Mau lo ada di Alaska, dia pasti bakal menyambangi lo kalau lo

ada masalah."

Baby tetap menggerutu sampai bibirnya mengerucut. "Ini

bukan masalah, tahu. Gue hanya kena musibah dari aksi sopir

taksi tolol. Masalah itu kalau gue dipenjara."

Aku mencolek lengannya. "Udah, ah. Jangan marah-marah

melulu. Darah tinggi, lho."

Tangan Baby bersedekap di depan dadanya. "Gimana kabar

~233~

lo?" tanya Baby.

Bahuku terangkat. "Baik, Beb."

Kemudian, Baby menyadari sesuatu. Dia mengernyit. "Kok,

mata lo bengkak?" Baby menatapku dengan curiga. "Kenapa?"

Aku menggeleng dan tersenyum. "Enggak apa-apa."

"Lo selalu begitu, deh, Cha. Masalah disimpan sendiri,"

sesal Baby. "Cerita aja kalau lagi ada masalah. Lo tahu, kan, gue

selalu punya kuping lebih buat dengerin lo?"

Aku menjewer kupingnya pelan. "Lo lagi sakit, pikirkan diri

lo dulu biar cepat sembuh."

"Aduh, Cha. Kaki gue cuma patah. Lihat, udah digips, kan,

sekarang tinggal nunggu tulang yang patah menyambung

kembali, beres," Baby menggerutu panjang lebar.

Aku tertawa, dan mengambil sebuah spidol dan memberikan

tanda tangan superbesar di gipsnya. "Nah, gue yang pertama

menandatangani gips lo. Biar keren."

Bukannya memperhatikan tanda tangan yang barusan aku

bubuhkan di gipsnya, Baby malah menatapku dengan saksama.

"Mata bengkak lo itu ada hubungannya dengan Oliver, ya?"

Senyumku menghilang, kemudian aku menutup spidol hitam

yang baru saja aku gunakan dan memberikannya kepada Baby.

"Hubungan gue dan Oliver hanya tidak berhasil. Itu aja, kok,

Beb."
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

She almost dropped her jaw. "Apa maksud lo tidak

berhasil?" Suaranya naik beberapa tingkat hingga nyaris

melengking.

"Tidak berhasil, ya ... tidak berlanjut. Hubungan gue dan

Oliver sudah berakhir."

Baby mendelik serta menjerit histeris. "APA? Lo yakin? Lo

enggak bohong, kan? Jangan-jangan lo lagi berhalusinasi. Gue

yakin banget, deh, soal ini!" cerocos Baby tanpa menghilangkan

wajahnya yang shock.

"Gue enggak berhalusinasi, Beb."

~234~

"Kapan kejadiannya?" Level suara Baby masih sama,

melengking.

"Kemarin."

Baby kembali memelotot. "Kemarin? Kenapa lo enggak kasih

tahu gue?"

"Belum sempat. Tahu-tahunya lo malah urgen begini di

Singapura."

Baby masih shock karena seketika dia jadi diam. Jarang

sekali aku melihatnya menutup rapat mulut bawelnya itu.

Sepertinya, ia sedang menenangkan diri, agar pikirannya jernih.

"Tapi, lo enggak apa-apa kan, Cha?" Baby menggenggam

tanganku seolah ingin memberiku kekuatan. Aku mengangguk

dan tersenyum masam.

"Emangnya kenapa, sih, bisa sampai bubar? Apa yang salah?

Setahu gue, lo berdua, kan, baik-baik aja. Lo bahagia banget

sama dia."

Aku menghela napas panjang. "Mungkin kami memang

enggak ditakdirkan untuk bersama."

"Tetapi, sepertinya kalian ditakdirkan untuk bersama. Gue

tahu dari cerita lo selama ini, Cha. Kalian berdua so good

together." Baby seperti menyesalinya.

Aku hanya bisa terdiam. Lidahku kelu. Kami sibuk dengan

pikiran masing-masing.

"Cha?" Baby memanggilku. "Kalau kalian berjodoh, pasti ada

jalan untuk bisa bersatu."

Aku mengangguk meskipun tak yakin akan hal itu.

~235~

A

29

ku menemani Baby di Singapura sampai ia

diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Setelah itu, Baby

akan pulang ke Jakarta, sedangkan William harus kembali ke

Melbourne. Tante Wid, Baby, dan William memang sudah

sepakat agar Baby lebih baik memulihkan diri terlebih dahulu di

Jakarta sebab ia pasti akan kesulitan karena di Melbourne tidak

ada yang bisa membantu mereka. Kedua orangtua William

tinggal di kota yang berlainan, dan mereka juga mempunyai

bisnis yang tidak bisa ditinggalkan.

Kepulangan Baby ke Jakarta sedikit menyibukkan diriku.

Meskipun kakinya masih terbungkus dengan gips, ternyata tak

menyurutkan kelincahan, kebawelan, dan keras kepalanya. Dia

bersikeras mengunjungi Butik Darling dan bekerja. Perdebatan

antara diriku dengan Baby tidak usai juga. Dia tetap ngotot.

"Tahu gitu lo gue pulangin aja ke Melbourne, biar enggak

nyusahin orang di sini!" semprotku.

"Cha, yang sakit kaki gue, bukan otak gue. Jadi, biarin gue

kerja kenapa, sih? Jangan ikutan resek kayak nyokap gue, deh!"

Baby masih saja tidak mau kalah.

Baby lebih keras kepala dibandingkan aku, jadi aku lebih

baik menyerah dan membiarkannya melakukan apa yang dia

inginkan. Dia sudah dewasa. Ketika kami tiba di Butik Darling,

aku jadi tahu bahwa aku memang tak bisa melarangnya.

Kebahagiaan terpancar dengan sangat jelas dari wajahnya, dan

aku tahu bahwa dia merindukan butik yang sudah

dibesarkannya ini.

~236~

Mumpung Baby lagi ada di Jakarta, kami sepakat

membicarakan mengenai pengembangan Butik Darling. Kami

terpikir untuk ekspansi toko baru. Butik Darling cabang kedua.

Baby sendiri sudah bertemu dengan penyuplai dari Melbourne

yang sepertinya bisa diajak bekerja sama. Tidak dalam waktu

dekat karena sekarang yang harus kami lakukan adalah mencari

lokasi yang tepat. Dan, itu bukan hal yang mudah.

"Jadi, sanggup, kan, memegang dua toko?" tantang Baby

setelah kami melakukan survei tempat secara maraton. Kami

terdampar di Kedai Nona untuk makan siang dan lanjut

membincangkan rencana besar kami berdua.

"Sanggup, asal lo kasih gue gaji khusus tambahan sebesar

sepuluh kali lipat aja." Aku menantangnya balik.

"Ogah!" Baby mencibirku.

Tak lama Pak Darwin datang untuk menjemput Baby yang

hendak pulang ke rumah, sedangkan aku memilih untuk

berjalan kaki kembali ke Butik Darling.

Saat dalam perjalanan kembali ke Butik Darling, aku

melewati kembali galeri kecil tempat aku membeli foto yang

kuberikan kepada Baby sebagai hadiah pernikahannya. Aku

berhenti sejenak. Tidak ada pengumuman apa-apa di depannya.

Aku berdiri di depan pintu yang ternyata tak terkunci. Aku

penasaran dan masuk.

Ternyata di dalam galeri sudah tidak ada apa-apa lagi.

Kosong. Hanya menyisakan kain-kain hitam yang berserakan

serta beberapa lukisan yang tergeletak dan bersandar pada

dinding di pojok ruangan. Meski begitu, lampu di seluruh

ruangan menyala. Sepertinya sudah tutup. Aku agak kecewa.

Sayang sekali.

Akan tetapi, baru saja aku hendak melangkah keluar, ada

suara yang berasal dari dalam, "Cari siapa, ya? Kami tutup."

Aku tidak jadi membuka pintu, dan menoleh. Sosok yang

mempunyai suara tadi juga keluar dari ruangan belakang.

~237~

"Sascha?" Orang itu menyebut namaku dengan nada yang

terkejut.

Awalnya aku tidak bisa melihat dengan jelas sosoknya,

karena lampu di dalam terlalu terang dan menyilaukan. Begitu

orang tersebut mendekatiku, aku ikut tercengang.

"Mr. Kiehl?"

Lelaki paruh baya itu tersenyum hangat dan memelukku.

Aku membalas pelukannya. Aku tidak menyangka akan bertemu

dengannya di sini.

"Apa kabar?" tanya Mr. Kiehl.

"Baik. Bagaimana dengan Anda dan Bu Ketut?"

"Kami baik. Jangan panggil dengan Ibu atau Bapak, atau

Mister. Panggil kami John dan Ketut."

Aku jadi teringat dengan Oliver yang juga memanggil mereka

dengan John serta Ketut. Ah, lagi-lagi nama Oliver kembali

menggema di hatiku. Membuatnya terasa getir. Dua minggu

sudah berlalu sejak kepergian Oliver. Hingga detik ini, tidak

ada lagi kabar darinya.

"Jadi, apa yang membawamu sampai kemari?"

"Dulu aku pernah kemari membeli dua buah foto ketika

galeri ini mengadakan pameran. Aku pikir masih ada, ternyata

sudah tutup, ya."

Mr. Kiehl mengangguk. "Benar. Galeri ini tutup seminggu

yang lalu."

Aku menyunggingkan senyum simpati. "Sayang sekali."

"Sebenarnya, galeri ini milik adik ipar. Sekarang sudah

diambil alih oleh saya."

"Benarkah? Apakah akan tetap dibuat sebuah galeri? Atau

jangan-jangan akan dibuat sebuah restoran?"

Mr. Kiehl tertawa hingga bergema ke seluruh ruangan.

"Hahaha, kamu pintar. Keduanya benar. Kami akan

membuatnya menjadi restoran sekaligus galeri. Para pelukis,

pematung, fotografer, orang kreatif lainnya, baik pemula

~238~

maupun sudah senior, bisa memasang karyanya di sini. Ide yang

bagus, bukan?"

Aku mengangguk setuju. "Aku rasa itu ide yang sangat

bagus, John."

"Ya, ada sebagian dari idenya Ketut. Dialah yang mempunyai

ide brilian tersebut."

"Anda beruntung."

"Jadi, bagaimana kabar kamu dengan Oliver? Apakah ada

sesuatu yang baru?"

Aku terdiam ketika mendengar penuturannya. Aku tidak

menyangka bahwa Mr. Kiehl belum tahu mengenai apa yang

terjadi dengan hubungan aku dan Oliver. Aku mengira Oliver

akan selalu bercerita kepada mereka, karena aku tinggal satu

kota dengan Mr. Kiehl dan Ibu Ketut. Jadi, mungkin Oliver

banyak memberi tahu perihal diriku dan apa yang telah terjadi

di antara kami berdua.

"Jadi, Anda belum tahu?"

"Tahu soal apa?" tanya Mr. Kiehl dengan heran.

Aku tersenyum dengan sedikit kaku. "Saya dan Oliver sudah

tidak bersama lagi."

Raut wajahnya langsung berubah dalam seketika. Dia seperti

merasa bersalah. Dia berdeham sebelum berkata, "Oh, Sascha,

maafkan saya. Saya benar-benar tidak tahu. Ketut juga tidak

tahu."

Aku mengangkat tanganku dan menggeleng pelan. "Tidak

apa-apa, John. Benar. Mungkin ini adalah keputusan yang

terbaik. Terutama untuk Oliver."

Mr. Kiehl menggaruk-garuk kepalanya, dan sepertinya dia

sedang berpikir. "Sungguh aneh. Biasanya Oliver selalu

bercerita kepada saya maupun Ketut. Apa saja yang telah

terjadi. Sekarang mungkin sudah dua minggu Oliver tidak

pernah menghubungi kami lagi. Baik lewat telepon, SMS,

email, chat. Tidak ada."

~239~

Sepercik rasa yang menyakitkan membelai hatiku begitu

mendengarnya. Aku termangu. Berarti Oliver memang sudah

"menghilang". Aku pikir hanya aku yang tidak pernah

mendengar kabarnya lagi, ternyata aku salah. Kedua sahabatnya

juga.

"Saya sangat menyesal, Sascha. Kami selalu mendoakan yang

terbaik untuk dirimu dan Oliver juga."

Aku tersenyum. "Memang sedih, tapi aku akan melaluinya.

Terima kasih, John."

Mr. Kiehl memelukku. "If you need anything, don?t

hesitate to call us. Meski kalian sudah tidak bersama, kamu

akan tetap jadi teman kami." Aku mengangguk, lalu berpamitan
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Mr. Kiehl.

Aku kembali ke Butik Darling. Benakku berkelana

menghampiri kebersamaan yang pernah aku lewati bersama

Oliver.

Ah, ternyata masih terasa getir.

Mungkin keadaannya memang lebih baik seperti ini. Aku

dan Oliver harus melewati jalan yang bercabang.

Seiring berjalannya waktu, aku sudah mulai bisa merelakan

masa laluku, terutama Oliver. Sedih dan sakit memang, tapi

biarlah angin perlahan membawa pergi semua rasa itu.

Meskipun ada sebagian yang tertanam di dalam hati tanpa bisa

aku hapus seutuhnya, aku membiarkannya, sebagai pengingat

bahwa aku sempat mempunyai kenangan yang indah bersama

dengannya.

Tanpa direncanakan, John Kiehl dan Ketut Nuni menjadi

dekat denganku. Sama halnya dengan diriku, Oliver ikut

menghilang dari kehidupan mereka. Tentunya kenyataan ini

~240~

lebih menyedihkan bagi mereka karena mereka yang lebih lama

mengenal Oliver dibandingkan denganku. Aku sering sekali

bermain ke restoran mereka, baik yang di Dharmawangsa,

maupun yang baru buka di Kemang, yang dahulu bekas galeri,

dengan nama Kiehl?s Resto and Gallery.

Akan tetapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri,

bahwa terkadang aku masih merindukan Oliver. Ada beberapa

saat aku memikirkannya. Hal ini membuatku sedih, tetapi aku

mencoba untuk tegar, dan mengingat Oliver dengan senyum.

Tiga bulan setelah kepergian Oliver, aku sedang berada di Butik

Darling yang sudah penuh dengan keluarga, kerabat, serta

pelanggan setia. Hari ini adalah perayaan ulang tahun ke-4

berdirinya Butik Darling. Keluargaku, saudara-saudaraku,

teman-temanku berbagi kebahagiaan di sini. Bahkan, Baby juga

rela terbang dari Melbourne ke Jakarta untuk bisa berkumpul

dan merayakannya bersama kami. Tentu dia tidak mau

melewatkannya.

Suasana di dalam butik sangat riuh, dan yang pasti kami

sangat bahagia. Kemudian, ketika aku sedang berkeliling

menyapa para tamu undangan, aku melihat kedua orang yang

sudah aku tunggu sedari tadi.

"Sascha! Yuhuuu! Kami sudah di sini!"

Sapaan jenaka itu menyambutku. Aku tertawa

mendengarnya. Kemudian, aku melihat Ibu Ketut yang

memakai maxi dress dipadukan dengan kardigan berjalan lebih

dahulu. Mr. Kiehl mengikutinya di belakang.

"Hai!" Aku melambaikan tanganku.

Mereka bergantian memelukku. Ibu Ketut memandangiku

penuh kekaguman. Ia juga memujiku. "Kamu cantik sekali.

~241~

Baju yang sangat cantik cocok untuk yang memakainya."

Aku tertawa kecil dan ikut menatap baju terusan selutut

bermotif batik tanpa lengan itu. "Ah, biasa saja. Terima kasih,

Ketut."

Mr. Kiehl memelukku. "Selamat, ya, Sascha sayang. Semoga

butik ini bisa terus sukses, ya. Saya tahu usaha kamu pasti akan

membesar."

"Terima kasih sudah bersedia datang dan ikut

merayakannya."

Ibu Ketut mengibaskan tangannya. "Ah, jangan terlalu serius

seperti itu. Saya, kan, selalu berjanji untuk datang kembali ke

butikmu, dan sekarang adalah kesempatan yang bagus. Saya

pasti bakal borong juga."

Aku tertawa kecil. "Silakan menikmati hidangannya."

Aku membiarkan sepasang suami istri itu untuk menikmati

acara santai serta hidangan yang sudah tersedia sambil melihat
lihat koleksi Butik Darling. Aku memperhatikan sekeliling butik

yang masih terlihat penuh. Ada Mama, Papa, Tante Wid, Baby,

Anne, William, dan banyak lagi. Semuanya menjadi bagian yang

terpenting dalam hidupku.

Lalu, ketika butik mulai lengang, aku melihat suami istri

Kiehl berjalan menghampiriku.

"Sascha, boleh kami bicara?"

Aku heran melihat wajah mereka yang lebih serius, tetapi

aku tetap mengangguk. Lalu, mereka membawaku ke tempat

aku memajang foto dengan warna sephia kesukaanku itu.

"Boleh saya tanya, kamu mendapatkan ini dari mana?"

"Dari galeri kecil di Kemang, yang sekarang sudah menjadi

restoran Anda, John."

Mr. Kiehl dan Ibu Ketut saling bertatapan. "Sudah aku

jelaskan tadi, kamu tetap tidak percaya," gerutu Mr. Kiehl.

Sekarang Ibu Ketut menatapku. "Kamu suka?"

Aku tersenyum. "Salah satu kesukaanku."

~242~

"Mengingatkan saya kepada Oliver. Ah, saya jadi

merindukannya."

DEG! Aku terkejut. Namun, ketika aku menatap foto itu

kembali, aku menyadari, foto itu memang bisa mengingatkan

aku akan Oliver. Bahkan, dulu sewaktu Oliver pernah bermain

ke Butik Darling, ia juga menatap foto itu dan ia juga

menyukainya.

Ibu Ketut berkata lagi, "Saya juga suka foto-foto dramatis

dan romantis seperti ini. Seolah bisa mengingatkan kita akan

cinta yang tulus dan agung. Kamu tahu siapa fotografernya?"

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu. Tidak ada namanya."

Mereka hanya mengangguk, kemudian pembicaraan kami

diinterupsi oleh Baby yang hendak menanyakan mengenai kue

yang kami pesan.

"Kami akan pulang. Terima kasih atas undangan ini, Sascha

sayang." Ibu Ketut memelukku.

"Aku yang harusnya berterima kasih."

Sebelum berjalan pergi, Ibu Ketut menggenggam tanganku

dan ia menatapku sangat lekat dengan matanya yang besar dan

bulat. "Boleh saya memberikan sedikit nasihat? Ikuti kata

hatimu. Kejarlah cintamu. Karena kamu berhak, Sascha."

Tiba-tiba ia sudah menyelipkan sebuah amplop merah. "Aku

enggak bisa terima ini ...."

Ibu Ketut menempelkan jarinya di bibirku. "Ssst. Ini bukan

apa-apa. Mudah-mudahan akan menggerakkan hati kamu dan

membawa kamu pada kebahagiaan."

Aku masih berusaha meresapi ucapan Ibu Ketut ketika

mereka sudah berjalan pergi sambil bergandengan tangan. Lalu,

aku menunduk menatap amplop merah tersebut. Aku tidak

sempat untuk membukanya saat itu juga karena tiba-tiba Anne

sudah berdiri dan berkacak pinggang di depanku. "Kak, aku

minta kue ini dibawa pulang, dong, ya? Mama bilang enggak

boleh, tapi aku mau bawa pulang kue ini .... Boleh, ya?" Anne

~243~

mulai merengek. Aku memutar mataku. Untung saja butik

sudah sepi, rasanya tidak pantas saja seorang anak SMP berlaku

seperti anak SD. Namun, sepertinya Anne tidak peduli, dan dia

akan melakukan apa saja asal kue cokelat yang enak itu bisa ia

bawa pulang.

"Ya, Kak? Please ." Kali ini Anne memohon sekaligus

merengek. Kupingku sampai sakit mendengar rengekannya yang

tak berkesudahan.

"Iya, boleh!" Dengan terpaksa aku mengiyakan rengekannya.

Aku bersyukur akhirnya acara perayaan ulang tahun Butik

Darling selesai juga. Aku masih tertahan untuk membersihkan

butik yang sudah berantakan sekali.

Sampai aku baru teringat dengan amplop yang diberikan oleh

Ibu Ketut. Aku menaruh sapu dan mengambil amplop yang aku

selipkan di kantong lebar baju terusanku. Ketika aku membuka

amplop tersebut, tanganku gemetar karena kaget melihat isinya.

Foto aku dan Oliver.

Mataku langsung terasa panas hingga pandanganku mengabur

karena tertutup air mata yang mulai menyelimuti bola mataku.

Aku ingat foto ini. Foto yang diambil di restoran milik John

ketika Oliver dan aku berkunjung ke sana. Kami berpelukan

sangat erat. Aku ingat waktu itu kami sangat bahagia. Tanganku

terjatuh di pangkuan.

Oliver .

Aku memutar foto tersebut. Di belakangnya ternyata ada

tulisan.

Follow your heart, and you will find your soulmate.

And you know he?s yours.

K&J

Aku terduduk lemas di sofa merah dan tidak bisa

membendung air mataku. Tulisan singkat yang mengena di hati.

~244~

Dadaku sesak sekali. Aku tahu betul maksud mereka baik.

Mereka menginginkan aku untuk pergi meraih Oliver. Meraih

cintaku.

Akan tetapi, aku sangsi kebersamaan itu akan terjadi lagi.

Aku merenungi foto tersebut, juga kata-kata yang tertulis di

belakangnya.

Tidak mudah untuk mengambil keputusan ini. Aku takut

bahwa hati kecilku salah. Aku takut, jika sesampainya di sana,

aku akan menemukan kekecewaan dan kembali menorehkan

luka di hatiku. Aku takut Oliver sudah tidak menginginkanku

dan memilih untuk mengabaikanku.

Aku takut semua menjadi sia-sia.

Sampai keesokan harinya, hatiku masih terus bergulat

dengan segala pertanyaan. Lalu, aku mengambil amplop yang

berwarna merah itu. Aku membolak-balikkannya sampai aku

menemukan sebuah tulisan tangan di belakang penutup amplop

tersebut. Tulisan tersebut cukup besar.

Sebuah alamat. Di London.

Aku tertegun. Apakah ini petunjuk? Apakah John dan Ketut

memang menghendaki aku ke sana? Mendatangi Oliver?

Tiba-tiba suara Ibu Ketut terngiang untuk kesekian kalinya

di telingaku, seolah ingin menguatkanku. Ikuti kata hatimu.

Mudah-mudahan akan membawa kamu pada

kebahagiaan.

Aku seperti mendapatkan kekuatan. Tanganku langsung

tergerak dan mengambil ponselku. Aku mencarinya di daftar

kontak yang aku simpan, lalu ketika aku menemukannya,

"Halo? Jenni? Kamu masih kerja di travel? Aku butuh

bantuanmu ."

~245~

L

30

ewat Jenni, temanku yang bekerja di travel agent, aku
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan petunjuk dan informasi mengenai visa yang

harus aku apply untuk pergi ke Inggris. Syukurlah ia bersedia

membantuku. Bahkan, dia yang menemaniku ke Kedutaan

Inggris karena dia berpengalaman dan pernah membawa tur ke

negara tersebut.

Akhirnya, setelah hampir sebulan penuh kerisauan, aku

mendapatkan kepastian visa yang berhasil aku terima. Aku

gelisah, sekaligus bersemangat. Aku tidak sempat memikirkan

kemungkinan buruk yang akan terjadi di sana.

Aku juga sudah menghubungi suami istri Kiehl dan mereka

turut memberikan alamat kedua anaknya yang bersedia

menolongku jika aku menemui kesulitan. Betapa beruntungnya

aku sudah mengenal mereka. Tak hentinya aku mengucapkan

terima kasih.

"Please, bawalah kabar baik itu pulang kemari, juga bawa

kebahagiaanmu," Ibu Ketut berkata dengan lembut. Aku sangat

terharu. Aku benar-benar berutang budi kepada mereka. Setelah

itu, ada satu orang lagi yang harus aku beri tahu.

"Gue akan pergi ke London," ujarku kepada Baby dengan

tekad yang bulat sempurna.

"Lo serius?" pekik Baby.

"Besok gue berangkat."

"Gue boleh ikut?" pinta Baby. Kali ini suaranya bergetar.

Aku tersenyum mendengar permintaannya, "I?d love to."

~246~

Baby tertawa. "I wish, but I can?t. Gue hanya bisa kirim

doa. Yang terbaik buat lo."

"Doa yang paling gue perlukan sekarang ini."

"My prayer will always be with you, Cha. Jika Tuhan

memang menghendaki kalian bersama, sesulit apa pun jalan

yang kalian tempuh, kalian akan bersatu. Ingat itu."

Aku pegang omongan Baby itu erat-erat.

Aku sudah duduk dengan manis di pesawat menuju negeri Ratu

Elizabeth II. Aku menatap keluar jendela pesawat, dan yang aku

lihat hanyalah sekumpulan awan putih. Selama perjalanan

panjang itu juga aku tidak bisa tidur. Semakin dekat dengan

tujuan, aku semakin gelisah dan tak bisa duduk dengan tenang

dan manis lagi seperti ketika menjejakkan kaki di pesawat ini.

Kegelisahanku ini terbaca oleh salah seorang pramugari hingga

ia bertanya kepadaku.

"Are you OK, Mam? Kita akan sampai dalam waktu tiga

jam lagi."

Aku melongo. "Three more hours? Not three minutes?"

Pramugari itu hanya melongo mendengar pertanyaan

bodohku. Namun, ia kembali bisa menguasai dirinya dan

kembali tersenyum, "I?m sorry, do you need anything else?"

"Can I have a coke please?"

Pramugari cantik berambut pirang itu tersenyum dan

mengambilkanku sekaleng minuman bersoda, dan aku pun

berterima kasih kepadanya.

"If you need anything, just ask me."

Perjalanan yang sangat panjang ini sungguh menyiksaku. Aku

menarik napas dan aku memutuskan untuk menonton film yang

disediakan dan menenggak habis coke yang sudah berada di

~247~

hadapanku. Aku menoleh ke samping kananku dan melihat

tetanggaku ini sudah tidur dengan sangat nyenyak. Aku

mencoba berkonsentrasi pada film yang aku tonton, tetapi gagal.

Aku pun memilih untuk mematikan televisi kecil itu dan

memejamkan mataku. Aku berharap tidurku senyenyak

penumpang yang ada di sebelahku ini.

Pemberitahuan bahwa pesawat akan mendarat untuk

beberapa saat lagi membangunkanku. Semua penumpang

terlihat lebih segar, kecuali diriku. Mereka bersiap-siap dan

memasang seat belt. Aku juga. Ketika pesawat akhirnya

mendarat di Bandara Internasional Heathrow, London, hari

masih sangat pagi, tetapi aku sudah memutuskan untuk

langsung pergi menemui, atau lebih tepatnya mencari Oliver

berdasarkan alamat yang tercantum di amplop merah itu.

Alamat tersebut masih menyisakan ingatanku bahwa dahulu

Oliver pernah menyebutkan dirinya tinggal di Crawford Street.

Aku membawa keluar bawaanku yang banyak. Satu koper

dan satu tas ransel sudah menyiksa dan menguras habis

tenagaku. Aku sedikit menyesal akan bawaanku yang begitu

banyak.

Aku mengetatkan mantelku. Udara London begitu menusuk

hingga membuatku menggigil. Padahal, sekarang sudah

memasuki musim semi, sudah tidak ada salju, tetapi masih

sangat dingin. Aku bisa merasakan bahwa ujung kepala sampai

ujung kakiku mulai membeku. Aku segera merapatkan syal yang

aku kenakan di leher untuk mengusir dingin. Setelah

mendapatkan petunjuk, aku segera menuju London

Underground atau tube station yang merupakan kereta bawah

tanah di kota tersebut. Sebelumnya aku membeli semacam tiket

yang bernama Oyster Card sebagai kartu transportasi. Untung

saja Jenni sudah menjelaskan dan menjejali otak bebalku cara

bepergian di sana.

~248~

Satu jam kemudian, aku sudah berdiri di depan sebuah

apartemen yang sederhana, tetapi bersih dengan paduan dinding

yang terbuat dari batu bata yang berwarna semburat kemerahan.

Aku menatap gedung yang tinggi itu sebelum aku memasukinya.

Aku menaiki lift dengan cemas. Lift berakhir di Lantai 15.

Rasanya seperti berabad-abad ketika aku berjalan menyusuri

lorong yang panjang ini hingga akhirnya aku pun tiba di depan

pintu yang berwarna cokelat dengan nomor apartemen yang

tepat seperti yang tercantum di alamat. Aku kembali

mencocokkannya untuk meyakinkan kembali.

Setelah mengatur napas, aku mengetuk pintunya dan

menunggu hingga seseorang membukakannya. Namun, setelah

mengetuk beberapa kali tetap tak ada yang membukakannya.

Aku sudah hampir menangis. Aku terus mengetuk sampai

akhirnya aku pun menyerah. Baru saja aku hendak beranjak

dari pintu apartemen tersebut, tiba-tiba pintu itu terbuka. Aku

yang sedari tadi menunggu hingga terduduk kelelahan pun

cepat-cepat berdiri. "Hai." Dengan gugup aku menyapa ketika

pintu terbuka.

"Hello," sapa wanita cantik yang muncul di balik pintu.

"Oliver ada?" tanyaku dengan gugup.

"Oliver?" Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Nama

Oliver sepertinya terdengar asing untuknya. Aku jadi ragu,

apakah aku mengetuk apartemen yang benar?

Aku mengangguk, "Yes, Oliver Dawson. Rambut pirang

cokelat, berkacamata, tinggi, bermata cokelat dengan kaki

palsu?" Aku mencoba mendeskripsikan sosok Oliver.

Kemudian, dari belakang wanita itu muncul seorang lelaki

dengan rambut pirang dan janggut yang sangat tebal. Matanya

mirip dengan Oliver, berwarna cokelat hazelnut.

~249~

"Who?s this, Dear?"

Wanita cantik itu mengangkat bahunya, "She?s looking for a

man named Oliver Dawson."

Pria itu sedikit terkejut dan malah bertanya kepadaku,

"Oliver? Angela?s brother?"

Angela? Untuk sesaat aku terdiam dan mencoba mencari

sisa-sisa ingatan di dalam memori otakku dan berusaha keras

untuk mengingat apakah Oliver pernah menyebut soal Angela.

"Yes!" Sontak aku berseru sehingga membuat kedua orang

tersebut terkejut mendengar teriakanku. "Yes! Angela? The

painter?" Tetapi, kemudian aku bingung, apa hubungannya

kedua pasangan ini dengan Angela?

Pria itu langsung tersenyum ramah dan menyodorkan

tangannya serta menjabat tanganku dengan hangat, "Hi, I?m

Don. This is my girlfriend, Tara. I know Angela, sometimes

we have the same day for the exhibition."

Aku berusaha untuk menangkap ucapan Don, mengenai

exhibition. "Does Oliver live here?"

Don menggeleng. "Aku menyewa apartemen ini dari Oliver.

Kira-kira dua minggu yang lalu."

Hatiku rasanya terbelah dua dan jatuh berserakan saat itu

juga. Setelah perjalanan jauh dan melelahkan, yang aku

dapatkan hanyalah ini? Seseorang yang sangat asing dan

kenyataan bahwa Oliver sudah tidak tinggal di sini lagi. Dadaku

sungguh sesak. Ditambah dengan udara yang sangat dingin,

membuatku semakin tidak bisa bernapas.

Tak ada kata lain selain sial, yang rasanya harus aku stempel

tepat di keningku.

"Apakah Anda tahu rumah atau apartemen barunya?" aku

bertanya dengan gugup dan suara yang bergetar. Campuran

frustrasi serta kedinginan.

"Maaf saya tidak tahu, tetapi saya punya alamat rumah dan

nomor telepon Angela. Mungkin kamu bisa menghubungi dia."

~250~

"Itu lebih dari baik, thank you." Aku cukup lega.

Setidaknya, jika aku menemukan Angela, aku pasti akan bisa

menemukan Oliver.

Don masuk sebentar dan menuliskan alamat apartemen

Angela yang untungnya tidak terlalu jauh. Dengan susah payah

aku menyeret koperku. Aku merapatkan jaketku agar udara

dingin tidak masuk dan menghangatkan sebelah tanganku

dengan menyusupkannya di kantong jaket. Aku harus

secepatnya pergi ke tempat Angela.

Aku sempat berjalan dengan mengandalkan Google Maps.

Aku salah. Ternyata tidak terlalu dekat juga. Aku menggerutu

panjang lebar. Aku membaca alamatnya sekali lagi, Wellington

Street. Di tengah udara dingin Kota London, aku berjalan

tertatih-tatih. Hampir saja aku berniat untuk meninggalkan

koperku di tengah jalan karena aku sudah tidak sanggup lagi

menyeretnya. Aku celingukan. Untuk mencari tube station saja

sudah malas dan lelah.

Sampai pada titik akhirnya aku menyerah dan memanggil

taksi sambil berdoa supaya uang yang aku bawa tidak langsung

habis hanya untuk ongkos taksi.

Aku menghela napas luar biasa lega begitu tiba di apartemen

milik Angela di Wellington Street. Kali ini gedung apartemen

tersebut berwarna biru bersih yang sangat indah ketika berpadu

dengan warna putih salju yang menghiasi beberapa bagian sudut

dari gedung tersebut. Aku naik ke dalam lift dan bersandar pada

salah satu dinding dengan lelah yang mulai menggerogoti dan

kepala yang berdenyut pening.

Ketika lift tiba di Lantai 7, aku bergegas mencari nomor
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apartemennya, 717. Aku segera menjatuhkan koper dan

~251~

ranselku dengan lega, lalu mengetuk pintu berwarna kelabu itu.

Aku tak perlu menunggu berlama-lama hingga pintu tersebut

terbuka dan membawa angin hangat dari dalam.

Seekor anjing jenis golden retriever menyambutku. Aku

pernah melihatnya.

Scarlet.

"Hai, Scarlet," aku menyapa anjing Oliver dan mengelus

kepalanya. Scarlet melonjak-lonjak girang dengan buntut yang

tak berhenti mengibas. Lalu, aku tersenyum kepada wanita yang

membuka pintu barusan. "Hai," sapaku dengan napas sedikit

tersengal.

Aku segera menembaknya dengan pertanyaan, "Apakah

Oliver tinggal di sini?"

Wanita berambut pirang itu menatapku dengan saksama.

Lalu, ia tersenyum manis dan ramah, yang membuatku sedikit

lebih lega. Namun, sedetik kemudian, kelegaan itu menguap.

"Oliver is not here. Ini memang apartemennya, tetapi dia tidak

ada."

Hatiku langsung jatuh ke dasar tubuh. Tubuhku langsung

lemas, dan emosi karena kelelahan dan kekecewaan beranjak

naik secepat roket yang meluncur.

Melihat raut wajahku yang berubah menjadi keruh, ia

membuka pintu apartemen itu selebar mungkin dan

mempersilakan aku masuk. "Come in. Di luar dingin. Spring

kali ini sedikit menyebalkan," gerutunya.

Di tengah kekecewaanku, aku memutuskan untuk menerima

tawarannya. Hawa dingin di luar memang menyiksa seseorang

yang seumur hidupnya tinggal di daerah tropis seperti diriku.

Begitu masuk aku sangat bersyukur bisa mendapatkan

kehangatan.

Wanita pirang dan cantik itu membantuku membawa tas

serta koperku ke dalam, kemudian ia mengulurkan tangannya

untuk menyalamiku dengan senyum tetap tersungging di

~252~

bibirnya, "I?m Angela, Oliver?s little sister."

Aku menjabat tangannya dan mengangguk, "Yes, I?ve got

your address from Don, who lives at Oliver?s old apartment?

Oliver once told me that he has a sister whose a painter."

Angela mengangguk dan tersenyum. "Ah, Oliver sudah

bercerita kepadamu. Rupanya dia banyak bicara juga tentang

keluarganya. Kamu pasti yang bernama Sascha. Sebenarnya, ini

apartemen orangtua kami," ralat Angela. "Oliver jarang tinggal

di sini. Ia lebih sering tinggal di apartemen yang di Crawford

Street. Namun, karena sekarang ia lebih banyak berkegiatan di

dekat sini, dia memutuskan untuk menyewakan apartemennya

kepada Don karena Crawford Street cukup jauh."

Mulutku membulat. Angela tersenyum dan berkata, "Oliver

benar, kamu lebih cantik daripada foto kamu."

"Dia pernah menceritakan diriku kepadamu?" tanyaku

dengan takjub.

Angela berjalan ke dapur mungil yang bernuansa putih.

"Bukannya sering, tetapi setiap hari! Aku sampai bosan

mendengarnya." Lalu, Angela tertawa. "Dia terobsesi dengan

kamu."

Aku tersipu. Karena di apartemen cukup hangat, aku

membuka jaketku dan sarung tanganku. Tak lama, aku

mendengar suara air mendidih, dan Angela bertanya kepadaku,

"Kamu mau teh atau kopi, Sascha?"

"Tea please, thank you."

Aku memperhatikan apartemen ini. Sungguh rapi dan

nyaman. Meski Angela dan Oliver tinggal bersama-sama di sini,

terasa sekali aura maskulinnya. Serbaminimalis, jendela yang

jumlahnya cukup banyak, serta lampu-lampu yang juga

sederhana dan unik yang tergantung di langit-langit ruangan.

Kemudian, langkah kakiku terhenti di sisi kanan dari ruang

keluarga. Ada sebuah tembok dengan dindingnya yang terisi

penuh oleh bingkai-bingkai yang tersusun rapi. Aku

~253~

mendekatinya. Mungkin foto-foto milik Oliver, atau lukisan

Angela. Ketika aku bisa melihat seluruhnya, mataku membesar

dan aku terperanjat.

Bagaimana mungkin?

Aku mendengar Angela memanggilku, "Sascha, your tea."

Akan tetapi, aku tidak menggubrisnya. Aku tidak mampu

bergerak, apalagi bersuara. Rupanya Angela menyadari sikap

ganjilku. Dia berdiri di sampingku, setelah sebelumnya

menaruh dua cangkir teh yang dibawanya ke coffee table.

"Kamu baik-baik saja?"

Aku meremas kedua tanganku dengan gelisah. "Semua ini

punya siapa?"

Angela mengikuti arah mataku yang tertancap pada dinding

di depannya. "Ini semua foto Oliver. Semua hasil karyanya.

Bagus, ya? Aku selalu bangga kepadanya. Dia bekerja keras

untuk mendapatkan semuanya. I mean, di tengah

keterbatasannya, dia masih mampu menghasilkan hal yang luar

biasa. Dia tidak pernah mau menyerah."

Tentu saja bagus. Semua hasil fotonya terlalu menakjubkan.

Aku menatap setiap foto yang ada di dinding. Semua fotonya

benar-benar bercerita, yang bahkan mataku bisa

menerjemahkannya dengan begitu mudah. Ada beberapa foto

yang aku kenal, sangat aku kenal hingga sulit bagiku untuk

percaya.

Sebuah foto dua orangtua yang sedang duduk di bangku

taman, sambil membaca satu buah buku bersama. Keduanya

membaca begitu dekat sehingga kepala mereka menempel satu

sama lain. Foto kesukaanku yang akhirnya aku berikan kepada

Baby sebagai hadiah perkawinan. Satu lagi, foto sepasang

kekasih yang bergandengan tangan, dan si pria menggunakan

kursi roda. Foto favoritku, yang akhirnya aku pajang di Butik

Darling.

Kedua foto itu tersebar di Jakarta dan Melbourne. Sekarang,

~254~

aku melihatnya di sini. Di London. Tepat di hadapanku.

"Apakah kamu yakin bahwa foto-foto ini miliknya?" aku

bertanya kepada Angela.

Angela mengangguk. "Foto-foto itu sudah ada sejak lama.

Sebagian besar ada sejak ia pulang dari Afganistan."

Aku menggeleng dan air mataku perlahan turun. Bagaimana

bisa? Bagaimana mungkin Oliver tidak pernah memberitahuku

ketika ia sedang menatap foto sepasang kekasih yang aku pasang

di Butik Darling? Dia tahu dan pernah melihatnya. Dia menatap

fotonya sendiri. Aku sungguh tak mengerti.

"Aku mempunyai dua foto itu."

Angela mengerutkan keningnya. "Benarkah? Kamu

mendapatkannya di mana?"

"Di Jakarta."

Angela berpikir sejenak. "Hm bagaimana bisa?" Lalu, ia

teringat akan sesuatu. "Oh, mungkin Oliver mengirimkannya

kepada John dan Ketut. Oliver cukup dekat dengan mereka."

Aku mengangguk. Aku mendapatkan foto-foto tersebut di

galeri kecil tak bernama, yang ternyata milik adik ipar Mr.

Kiehl. Namun, sekali lagi, aku sama sekali tidak

mengetahuinya, foto itu, galeri itu, sampai detik ini.

"Minum dulu, Sascha."

Aku menerima teh itu dan meminumnya sambil tak henti
hentinya menatap foto-foto milik Oliver. Angela menyarankan

sesuatu. "Kamu boleh ke kamarnya, di sana ada lebih banyak

lagi."

Aku memutuskan untuk mengikuti saran Angela. Aku

hampir menangis dan tersedak oleh air mataku sendiri ketika

masuk ke kamar Oliver. Foto-foto diriku yang terpasang di

dinding kamarnya tersusun sangat rapi.

Kabut air mata membuatku tidak bisa memandang foto-foto

tersebut dengan lebih jelas lagi. Aku menangis terharu. Bahkan,

semua foto itu tidak aku sadari bahwa Oliver telah

~255~

mengambilnya. Tidak ada satu foto yang terlihat aku sedang

berpose, semua foto itu berbentuk candid. Aku bisa melihat

bermacam ekpresiku sendiri di kumpulan foto tersebut.

Semuanya dilakukannya ketika ia berada di Jakarta. Sewaktu

dia bersamaku.

"Dia mencintaimu."

Aku menoleh sambil menghapus air mataku dan melihat

Angela berdiri di depan pintu sambil tersenyum.

"Hanya kamu yang bisa menerimanya seutuhnya, Sascha.

Sebelumnya, tidak pernah ada wanita yang bersedia

mendampinginya sejak dia kehilangan kakinya di medan

perang. Bahkan, setelah itu, profesi yang dipilih Oliver terlalu

menakutkan, bahkan untuk aku dan keluargaku. Dia tidak

hanya mencintai profesi itu, tapi juga terobsesi. Namun,

akhirnya ," Angela menghela napas, "kamu juga yang berhasil

meluruhkan kekerasan hatinya."

Aku terus menangis. "Bagaimana keadaannya? Setelah dia

pulang dari Palestina? Apakah kamu tahu? Apakah dia baik-baik

saja?"

Angela tak berkata apa-apa, dan mengambil mantel yang

tergantung di belakang pintu. Dia juga mengambil kunci rumah

dan menyerahkan mantelku. "Ayo, aku antar kamu."

"Kita mau ke mana?" tanyaku sambil mengikuti Angela

turun.

Angela tidak menjawab pertanyaanku. Dia memasang topi

dan melilitkan syal di lehernya, kemudian mengambil sebuah

motor matic yang terparkir di luar apartemen. Dia menyuruhku

untuk membonceng di belakangnya. "Pegangan yang erat, ya!"

Motornya sudah menyala dan dia mulai mengendarainya secara

perlahan. Aku berpegangan pada pinggangnya agar tidak

terjatuh.

"Tahu tidak?" kata Angela di sela-sela perjalanan kami.

Udara dingin menerpa wajahku, yang terasa sejuk sekaligus

~256~

ngilu. Aku membetulkan letak topiku. Angela mengendarai

motornya dengan kecepatan yang sedang. Tidak banyak mobil

yang berlalu lalang pada pagi hari itu. Dalam perjalanan yang

cukup lama, Angela mengarahkan motornya masuk ke sebuah

taman yang sangat indah dengan begitu banyak pohon yang

rindang. Namun, karena udara yang dingin dan sepertinya

masih pagi, tidak banyak orang yang mengunjunginya. "Kamu

sudah membuatnya berubah."

"Maksudnya?"
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sejak mengenalmu, dia kembali ceria dan tidak terpuruk

lagi dalam kesedihannya. Namun, dia sempat bercerita,

sepulangnya dari Indonesia, dia mengatakan dia menyakitimu.

Dia sangat menyesal. Bahkan, dia tidak memaafkan dirinya.

Dia bercerita bahwa dia minder karena kondisinya. Apalagi

mantan pacar kamu, siapa namanya, ah, aku lupa, katanya

ganteng." Angela tertawa. "Oliver bisa bicara seperti itu rasanya

mustahil. Namun, dia pasti sangat mencintaimu."

"Tapi, dia memilih untuk pergi ."

"Dia pergi karena dia tidak tega sama kamu, Sascha.

Kakinya tidak sempurna, belum lagi pekerjaannya yang

berisiko. Membuat kamu berharap dan menunggu akan jadi

siksaan baginya."

Aku mendengarkan Angela dan tidak mampu untuk berkata.

Aku pernah dengar Oliver mengatakan itu sebelum dia

memutuskan untuk pergi ke Palestina. Aku terus termenung

hingga motor Angela melambat, dan tak lama motornya

berhenti.

Setelah Angela memarkir motornya, dia mengajakku berjalan

masuk. Aku pun mengikutinya tanpa banyak berbicara. Lalu,

dia berhenti dan menoleh kepadaku. "Aku antar sampai di sini

saja."

Mataku menyapu taman yang luas dan sepi itu, tidak ada

siapa pun. Mungkin masih terlalu pagi dan udara dingin

~257~

menahan mereka untuk tetap tinggal di dalam rumah. "Ini

adalah Jubilee Gardens. Terkadang dia suka menghabiskan

waktunya di sini pada Sabtu atau Minggu."

"Dia?"

"Oliver." Angela memperhatikan sekeliling taman. "Coba

kamu cari saja, biasanya dia ada di sini. Senang bertemu

denganmu, Sascha." Angela tersenyum dan ia pun pergi

meninggalkanku sambil bersiul-siul kecil. Rambut pirangnya

yang tak tertutup topi melambai-lambai tertiup angin.

~258~

A

31

ku masih tidak bergerak di tempatku menjejakkan kaki.

Setelah Angela tidak terlihat lagi, aku memutuskan untuk

berkeliling. Lalu, mataku menangkap pemandangan yang indah

tak jauh dari tempatku berdiri. London Eye. Begitu besar.

Rambutku yang sudah aku potong pendek terkadang tertiup

angin yang nakal dan berkali-kali aku berusaha untuk

merapikannya. Aku menjejalkan topiku ke dalam tas dan

kembali berkeliling.

Aku berjalan lurus, sambil melihat ke kanan dan ke kiri.

Tidak banyak orang, mungkin karena udara musim semi yang

masih menyisakan dingin, sehingga membuat orang-orang

enggan untuk ke sini.

Aku hanya melihat dua orang yang sedang berjalan

berpelukan, seorang kakek bersepeda yang melintasiku dengan

kecepatan sedang dan tubuhnya terbungkus jaket yang sangat

tebal dan terlihat berat. Dari kejauhan, aku melihat warna-warni

yang cukup mencolok dan berkumpul di sebuah tempat yang

lapang. Warna yang kontras dengan warna pucat daun yang baru

sembuh dari terpaan salju begitu atraktif.

Warna atraktif itu menarikku untuk mendekat. Ketika

langkah kakiku semakin dekat aku terkesiap dan menutup

mulutku yang tercengang.

Puluhan balon berada di sana. Melayang indah, sepertinya

sudah siap untuk membubung ke langit biru. Sungguh indah.

Aku mendekatinya. Di dekatnya, ada seseorang yang tinggi,

kurus, dan berkumis tebal. Dia sedang sibuk memompa balon
~259~

balon itu. Ternyata ada yang berjualan balon. Agak aneh. Di

tengah taman yang sepi dan sepagi ini?

"Sangat cantik, bukan? Apalagi dengan background London

Eye. Kamu harus lihat pada waktu malam, lebih cantik."

Aku mendengar sebuah suara dan melihat sosok yang aku

rindukan keluar dari kerumunan balon. Dia berdiri dengan

tegap. Senyum dan mata cokelat yang hangat jenaka

menyapaku. Air mata mengalir di pipiku tanpa bisa aku tahan

lagi dan aku menggelengkan kepala. Aku tertawa dalam

tangisku.

Akhirnya. Tak terkira leganya hatiku.

"Bagaimana London? Apakah sama dengan yang ada di film

Harry Potter? Or have you met Prince William, Kate, and

Baby George?" candanya. Aku hanya mengangkat bahuku tanpa

bisa bersuara. Oh, Tuhan, betapa aku merindukan setiap

senyumnya yang terukir di wajah tampan itu. Wajahnya

kemerahan karena udara dingin, tetapi tetap terlihat tampan.

Lalu, ia memandangku dengan saksama.

"Kamu baru sampai?"

Aku mengangguk.

"Kemudian langsung ke sini?"

"Angela mengantarkanku."

Oliver tersenyum. "Aku tahu. Aku tidak menyangka kamu

akan datang secepat ini. Angela meneleponku."

"Aku senang kamu baik-baik saja, Oliver."

Aku tertawa lega sambil menghapus air mataku. Tiba-tiba

entah mengapa udara yang bersemilir terasa semakin dingin.

Rasanya jaket ini sudah tidak mampu menahannya karena

sekarang tulangku mulai terasa ngilu, hingga aku pun bersin dan

memencet hidungku karena ingus yang sudah mulai terasa

mengalir keluar.

"HATSYI!" Aku menutup wajahku karena malu dan

menggosok hidungku yang gatalnya minta ampun. Sialnya, aku

~260~

sedang tidak membawa tisu atau saputangan. Oliver tersenyum

melihatku yang kerepotan menghalau rasa dingin ini serta ingus

yang sudah mulai mengalir dari hidungku. Dia menghampiriku

sambil memberikanku saputangannya.

"Thanks." Aku membersihkan hidungku yang akhirnya bisa

bernapas dengan lega. Tanpa kuduga, Oliver langsung

memelukku erat. Kehangatan langsung menjalar ke seluruh

tubuhku, juga hatiku. Aku menutup mata untuk meresapi segala

yang ada pada dirinya, pelukannya, wangi after shave, juga

degup jantungnya yang terdengar seperti mengimbangi milikku.

"Bagaimana?"

"Hangat," jawabku dengan jujur. "Ak?aku sudah lihat

semuanya di apartemenmu. Foto-fotomu, fotoku ...."

Aku melepaskan pelukan Oliver, sambil terus membersihkan

hidungku. "Aku sudah tahu semuanya. Aku menyadarinya

dan bahkan aku punya foto hasil bidikanmu sebelum aku

mengenalmu, Oliver! Aku ." Aku menghela napas. "Lihat,

aku sampai tidak tahu harus berkata apa kenapa kamu

enggak kasih tahu aku sewaktu kamu melihatnya di butik?"

Tanganku memukul dadanya.

Oliver mendekatiku. "Maafkan aku. Deeply from my

heart."

"Sejak aku melihat hasil fotoku terpasang di butik kamu,"

Oliver berdeham dan ia membuang tatapannya ke sekeliling

taman dan menerawang, "aku tahu sejak saat itu, aku

merasakan Tuhan seperti mengirimkan dirimu kepadaku,

begitu juga sebaliknya." Oliver menatap mataku. "Aku tahu aku

tidak boleh melepaskanmu. Setidaknya, begitu hati kecilku

berkata. Dia seperti mengatakan, I knew it! She?s the one,

Oliver! Don?t let her go! This picture brought her to you.You

have to believe, she is your soulmate ."

Oliver melepaskan napas yang panjang. "Tapi, aku menjadi

dilematis ketika penugasan itu datang. Aku enggak mau

~261~

mengecewakanmu." Mata Oliver berkaca-kaca. "Pada pagi

harinya, aku sendiri malah ragu, karenanya aku memintamu

datang. Namun, ketika tidak ada balasan dan kamu tak hadir,

aku merasa mungkin ini sudah jalannya. Aku memang harus ke

Palestina.

"Sehari sebelum berangkat dari London, aku seperti

mendapatkan tamparan yang sangat keras dari Angela ketika

aku bercerita kepadanya. Dia mengatakan aku bodoh, tolol,

tidak bersyukur, and other horrible words that she can spell."

Aku tertawa, begitu juga Oliver. "Aku bersyukur mendengar

kata-kata kasar Angela, karena dia sungguh menyadarkanku

sehingga aku memutuskan untuk tidak pergi ke Palestina."

Aku menutup mulutku dan menggeleng tak

percaya."Benarkah? Jadi, kamu tidak pernah ke sana? Sama

sekali tidak pernah menginjakkan kaki di Palestina?"

Oliver mengangguk dan tersenyum. "Aku bersikap sungguh

tidak adil kepada kamu, Sascha. Aku terlalu egois, aku terlalu

mementingkan diriku." Tidak terbayangkan betapa lega hatiku

saat ini karena Oliver tidak pernah menginjakkan kaki ke

Palestina.

"Sebenarnya, aku hampir saja datang ke bandara. Tapi, aku

terpaksa pergi ke Singapura."

"Singapura?"

Aku tertawa dan mengulum senyum. "Baby kecelakaan."

"What?" Muka Oliver tampak cemas. "Was she OK?"

Aku tertawa. "Kakinya patah, tetapi selain itu dia sangat

baik."

Oliver mengembuskan napas lega. Dia memelukku erat.

"Jadi, apa yang kamu kerjakan selama tiga bulan ini? Kamu

tidak akan ke mana-mana lagi, kan? Kamu akan tetap di

London?" tanyaku.

Oliver mengangguk. "Aku tetap bekerja di sini."

"Kenapa kamu enggak pernah mengatakannya kepadaku?

~262~

Kamu juga enggak pernah membalas semua pesanku." Sepercik

kekecewaan hinggap di hatiku.

Oliver mengerling. "Karena aku punya rencana. Ayo,

sekarang ikut aku."

Oliver menggandeng tanganku. Kami pun keluar dari taman

dan naik bus, sambil sight seeing Kota London. Sekitar lima

belas menit kemudian, aku dan Oliver tiba di suatu tempat.

Sepertinya modern market karena banyak pertokoan dengan

tembok yang indah dan pilar-pilar yang artistik dan keren,

perpaduan warna cokelat kemerahan batu bata, dan list setiap

toko yang berwarna putih.

Kami berhenti di salah satu toko mungil dengan tembok

berwarna putih bersih. Sepertinya, toko ini sedang direnovasi

dan tanpa plang nama sehingga aku tidak tahu toko apakah itu.

"Kenapa kita berhenti? Kita ada di mana?"
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita ada di Covent Garden. Belum buka karena masih

pagi."

Pantas saja, kok, sepi sekali, padahal banyak toko yang

berjajar di sekelilingnya. Aku masih tidak paham dengan

rencana Oliver membawaku kemari. Senyum Oliver dikulum

penuh rahasia. Dari saku celana jeans-nya, dia mengeluarkan

kain hitam dan tanpa bertanya kepadaku terlebih dahulu, dia

langsung menutup mataku. Tentu saja aku protes berat.

"Untuk apa harus tutup mata?"

"Tenanglah, be quiet," Oliver berbisik tepat di telingaku.

Tangannya yang menggenggamku, membimbingku berjalan

masuk.Tentu saja aku tidak bisa melihat apa-apa. Namun, aku

mencium sesuatu yang wangi. Ruangan yang aku masuki terlalu

harum. Aku mengenali wewangian ini, bukan parfum atau pun

penyegar ruangan. Ini harum bunga segar.

"Kamu sudah siap?"

Aku mengangguk. Ketika Oliver membuka penutup mataku,

aku bahkan sampai tidak tahu harus berkata apa, ketika melihat

~263~

begitu banyak bunga lili terhampar di dalam toko tersebut.

Bunga-bunga itu membuatku teringat dengan bunga lili yang aku

dapatkan di rumah. Air mataku mengalir.

Oliver mendekatiku dan memberikan setangkai bunga lili.

"Tahu tidak, bunga lili ini sederhana. Tapi, ia kokoh. Putih

bersih?seperti hati kamu. Dan, tentu saja cantik. Bunga lili

mengingatkan aku kepadamu." Aku tertawa sembari menyusut

air mataku. "Sejak kapan kamu jadi tahu soal bunga?" tanyaku.

Oliver menaruh jemarinya di sudut mataku dan menghapus air

mataku.

"Sejak aku mengenalmu, Flower Girl."

Jawaban Oliver memancing tawa kami berdua.

"Is this your store?" Aku melihat suasana toko tersebut.

Oliver menggeleng dan masih tetap dengan senyum yang

dikulum, dia menjawabnya, "No, this is yours."

Reaksiku hanya tertawa begitu mendengar jawabannya,

karena aku tahu dia sedang berkelakar. "Oke, aku sudah terlalu

lelah. Jadi, mending sekarang serius, ceritakan kepadaku. Kamu

sedang membuat toko apa?"

"Aku sedang menyiapkan toko untukmu, jadi pada dasarnya,

ini akan menjadi milikmu."

"Aku sedang tak ingin bercanda, Oliver," tukasku gusar.

Oliver terlalu sering bercanda.

Sekarang giliran Oliver yang menatapku dengan matanya

yang serius tanpa senyum menghiasi bibirnya. "Aku tidak

bercanda, Sascha. Aku menyiapkan toko ini untukmu."

Aku hanya bisa menutup mulutku yang sudah terbuka lebar.

"Tidak mungkin!" bisikku.

Oliver mengangkat bahunya dan merentangkan tangannya

sambil berjalan menjauh dariku. "Sekarang, kamu harus

percaya karena kamu sudah berdiri di dalamnya. Ini adalah

toko bunga milikmu. Itu, kan, impianmu?"

"Oh My God! No way! Oliver!" Aku menemukan suaraku

~264~

dan menjerit. Aku melompat-lompat di tempat dan tertawa

dengan senangnya. Aku melihat ke sekeliling ruangan itu.

Rasanya masih aneh saat aku mengatakannya. My own store!

Di London, pula! This is way beyond my dreams!

Aku memeluknya dan berbisik, "Thank you."

Oliver menyahut, "I love you."

Kemudian, dia mencium keningku dengan lembut dan lama.

Ya, inilah akhir dari perjalanan penantian dan pencarian dariku

dan Oliver. Karena kami sudah menemukannya satu sama lain.

"I love you, too, Oliver," bisikku lembut.

"And I want to marry you ."

Tangan Oliver merogoh saku celananya. Telunjuk dan ibu

jarinya menjepit sebuah cincin yang begitu indah. Dadaku

terasa sesak saking terharunya.

Akhirnya.

"I do ."

Tamat


Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Goosebumps 4 Bergaya Sebelum Mati

Cari Blog Ini