Ceritasilat Novel Online

Callasun 1

Callasun Karya Yuli Pritania Bagian 1



Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2014

Callasun

Yuli Pritania

Yuli Pritania GWI 703.14.1.064

Editor: Anin Patrajuangga Desainer: Cynthia Yanetha Penata isi: Yusuf Pramono

Hak cipta dilindungi undang-undang Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo, anggota Ikapi, Jakarta 2014

Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Thanks To

Always be the first to be mentioned& Lord of the Universe,

Allah swt., for every good and bad thing& . And his last prophet, Muhammad saw.

For the best parents in the world, Ayah dan Ibu. Sorry for all disappointments I gave you. Hope in the future I can make you proud of me. The first year without both of you is really hard. Karena sebelumnya kalian berdua selalu ada.

For little brother, selamat menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa.

Naskah CallaSun adalah naskah yang dibuat dalam jangka waktu sangat lama, nyaris dua tahun. Awalnya buat diikutkan lomba, tapi ujung-ujungnya gagal melulu. Saya emang jenis manusia yang nggak pernah beruntung dalam hal ginian. Dan dari 160-an halaman, naskah ini terus dirombak dan ditambahi

sana sini, sampai akhirnya mencapai bentuknya yang seperti sekarang. Novel ber-setting Indonesia pertama saya yang akhirnya terbit juga setelah sekian lama terkatung-katung di laptop. Hadiah ulang tahun ke-23 yang sangat indah. Calla-Ian& akhirnya saya bisa memperkenalkan kalian juga!

Maka untuk itu semua, saya mau berterima kasih pada Syifa, yang udah rela saya recokin setiap malam buat ngasih ide, walaupun akhirnya dia cuma jadi teman begadang doang. Hahaha& . Buat Navi Eonni dan Odza juga, yang terus minta tambah-tambahin ending karena novel ini sebenarnya hanya berakhir di adegan pesawat. Juga buat Sobah Eonni yang udah nyempetin baca dan ngasih pendapat. Maaf ya, saya ngerepotin mulu.

Trus my lovely Tia pasti langsung mencak-mencak baca ini. Buat Iie, semoga cepet dapet baby baru lagi. Buat Yona yang entah ke mana dan Mona yang jadi rekan hang-out dan temen sharing saya, senasib dan sepenanggungan.

Buat temen-temen SMA yang akhir-akhir ini ngumpul lagi dan bawa kabur novel-novel saya: Vega, Jihan, dan Icha.

Special thanks buat Mbak Windry Ramadhina, my beloved author, my inspiration, and my future dream. Makasih sudah maumaunya nyempetin baca dan ngasih endorsement buat novel ini. Terharu banget novel Indonesia pertama saya ini dibaca sama penulis terkenal Indonesia. Makasih& makasih& .

Dan terakhir, buat kalian& para bunga matahari, yang sudah dan akan segera bertemu matahari pribadi kalian masing-masing. Hope this novel can inspire you all to keep fight& .

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Prolog

Gadis mungil itu terkesiap kaget, dengan refleks membuka

mata, saat tubuhnya terhuyung ke depan, nyaris membuatnya jatuh menghantam lantai, dengan tidak berperikemanusiaan membangunkannya tiba-tiba dari tidurnya yang nyenyak. Sepertinya dia kehilangan keseimbangan dalam ketidaksadarannya tadi.

Dia mengucek mata sambil memeriksa barang bawaannya. Tasnya masih berada dalam dekapan dan kopernya bersandar nyaman di dekat kakinya. Yang dia lakukan kemudian adalah mengecek jam dan mengembuskan napas lega melihat bahwa masih tersisa waktu 35 menit lagi. Untung saja walaupun ketiduran dia tidak sampai melewatkan jadwal penerbangannya.

Gadis itu memang terlalu cepat datang ke bandara malam ini. Dua jam sebelum waktu keberangkatan. Dan hal tersebut sepenuhnya disebabkan oleh euforianya bisa kembali ke tanah kelahirannya, Indonesia. Sudah belasan tahun dia menetap di

Irlandia bersama orang tuanya, kemudian pindah ke New York untuk menyelesaikan kuliah setelah orang tuanya meninggal dan sekarang dia memutuskan untuk kembali ke negara asal ibunya, dengan satu tujuan yang cukup jelas. Calon masa depannya ada di sana.

Gadis itu mengeluarkan botol air dari dalam tasnya, meneguk isinya, dan menampakkan wajah bosan, berharap pemberitahuan agar penumpang segera naik ke atas pesawat segera diumumkan. Dia ingin secepatnya duduk di kursi pesawat yang walaupun sempit, tapi pasti lebih baik untuk digunakan tidur daripada kursi yang didudukinya sekarang. Penerbangannya terjadwal lewat tengah malam, tidak heran jika sekarang dia terserang kantuk yang sangat parah. Belum lagi fakta bahwa dia akan berada 14 jam 10 menit di udara, transit selama 6,5 jam di Korea, dan melanjutkan perjalanan langsung ke Indonesia selama tujuh jam berikutnya. Membayangkannya saja sudah membuatnya lelah setengah mati.

Dia mengedarkan pandangan, menatap lalu-lalang orangorang dari berbagai ras dan negara yang berseliweran di seluruh penjuru bandara internasional John F. Kennedy ini. Dia bahkan bisa mendengar percakapan pasangan yang duduk tidak jauh darinya. Terdengar seperti bahasa Rusia, tapi dia tidak bisa memastikan. Dia bukanlah ahli bahasa, walaupun dia cukup mendalami bidang sastra, mengingat cita-citanya adalah menjadi seorang editor. Pekerjaan tetap yang baru ditolaknya begitu saja setelah sebuah penerbit cukup besar di New York menawarkan posisi tersebut padanya.

Seharusnya dia menyesal karena menyia-nyiakan kesempatan yang datang, tapi ada hal lain yang lebih menarik minatnya. Ada

sesuatu yang membuatnya bersedia meninggalkan apa pun. Sesuatu yang sudah ingin dilihatnya selama bertahun-tahun.

Gadis itu menghela napas lega sekali lagi saat pengumuman yang sudah ditunggu-tunggunya terdengar menggema, sehingga dia buru-buru bangkit berdiri, menyandangkan tali tasnya ke bahu dan menggeret kopernya ke arah terminal keberangkatan, Terminal 1, dengan jadwal penerbangan pukul 00.50, Korea Air, tujuan Incheon.

Dia memelankan langkah, menatap sekeliling sekali lagi, seolah dia tidak akan pernah kembali.

New York adalah sebuah tempat pemberhentian baginya, tempat beristirahat dari lelah yang mendera. Tempatnya menyembuhkan diri. Tempatnya lari.

Gaya hidup kota New York, kota dengan aktivitas yang nyaris tidak pernah usai, memberikan apa yang dia butuhkan. Keributan, suara bising, kesibukan tanpa henti, membuatnya tidak punya waktu lagi untuk sekadar memikirkan bahwa dia hanya sendirian. Benar-benar sendirian. Dan saat tiba waktunya untuk melanjutkan hidup, dia hanya memiliki harapan bahwa dia tidak harus kembali ke kota ini lagi, dengan alasan yang sama. Melarikan diri dari kenyataan agar dia bisa bersikap seolah dia baik-baik saja.

Dia berharap tidak perlu ke sini lagi. Berharap bahwa negara yang akan dia tuju akan menahannya sampai akhir. Tempat di mana dia benar-benar bisa menetap, tinggal, tanpa perlu bertanya-tanya ke mana selanjutnya dia harus melangkah. Karena jika dia kembali& dia tidak tahu lagi caranya untuk bangkit berdiri.

Aku tidak punya waktu untuk melakukan itu, Bu. Kenapa tidak

Ibu saja yang ke bandara dan menjemputnya? sergah Ian gusar, akhirnya mengangkat wajah dari dokumen yang sedang ditekuninya, setelah selama sepuluh menit terakhir dia hanya mendengarkan ocehan ibunya saja tanpa memberikan respons apa-apa.

Dia itu kan tunanganmu, sahut Ratih keras kepala. Dan tidak akan ada apa pun yang terjadi pada perusahaan ini walaupun kau meluangkan waktumu selama beberapa jam dengan pergi ke bandara untuk menjemputnya. Ini pertama kalinya Calla pulang ke Indonesia setelah lima belas tahun dan ini pertama kalinya juga kalian akan bertemu secara langsung. Kau tidak tertarik untuk menemui tunanganmu?

Aku kan sudah bilang dari awal, ucap Ian tajam. Aku tidak memiliki ketertarikan apa pun terhadap gadis yang satu kali pun belum pernah kulihat wajahnya itu. Aku tidak berminat

bertunangan dengannya. Kenapa Ibu masih keras kepala? Kalau Ibu mau memenuhi janji Ibu dengan orang tuanya untuk menikahkan anak kalian, kenapa Ibu tidak menyodorkan gadis itu pada Rayhan saja? Dia pasti tertarik.

Karena itu Ibu menyodorkannya padamu, tandas Ratih. Ada rasa puas yang terselip dalam nada suaranya. Masa depan Rayhan tidak perlu dikhawatirkan, karena walaupun akan membutuhkan waktu lama baginya untuk memilih satu dari sekian banyak gadis yang dikencaninya itu, dia pasti akhirnya akan menikah juga. Sedangkan kau? Setiap hari yang kau lihat hanya komputer dan dokumen-dokumenmu itu saja.

Maksud Ibu, Ibu mau menuduhku sebagai penyuka sesama jenis begitu?

Kau tahu maksud Ibu, tukas Ratih dengan raut wajah tidak suka. Kalau kau tetap bertahan pada sikapmu yang keras kepala itu, kau bisa sendirian seumur hidupmu. Kau itu buta atau apa? Ibu saja bisa melihat kalau mereka memang saling menyukai. Ibu sudah mengenal ayahmu sejak zaman SMA, Ian. Dan, Ibu tahu kalau dia memang mencintai wanita itu. Dan walaupun semua orang menganggap wanita itu hanya menginginkan harta ayahmu saja, tapi sebagai sesama wanita, Ibu juga tahu kalau dia sangat mencintai ayahmu. Dan walaupun kau tidak mau mengakuinya, kau tahu pasti bahwa apa yang Ibu katakan ini benar. Jadi Ibu minta, hentikan perasaanmu pada wanita itu. Sebelum benarbenar terlambat dan menyakiti dirimu sendiri.

Masalahnya, ujar Ian dengan mata berkilat. Semuanya memang sudah terlambat. Makanya aku tidak bisa menghentikannya.

Ian meletakkan ponsel yang sudah diutak-atiknya selama lima belas menit terakhir ke atas meja dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela kafe. Hanya ada orang-orang yang berlalu-lalang, sebagian sambil menggeret koper.

Bandara selalu menyuguhkan pemandangan yang sama. Ratusan orang yang berasal entah dari negara mana, bercampur dengan penduduk pribumi, tampak kontras satu sama lain. Sebagian datang karena urusan bisnis, sebagian lagi mungkin untuk berlibur. Dia sebenarnya tidak terlalu peduli. Ini bahkan pertama kalinya dia datang ke bandara hanya sekadar untuk menjemput seseorang. Dan dia benar-benar tidak suka menunggu.

Perlahan dia mengingat percakapannya dengan ibunya di kantor tadi. Ibunya memang sudah sejak lima tahun terakhir bersikeras menjodohkannya dengan anak sahabatnya yang sudah meninggal, dan dia tidak terlalu memikirkannya sehingga tidak merasa perlu memberikan penolakan. Toh walaupun dia menolak, ibunya itu pasti akan tetap bersikeras.

Tapi anehnya, tidak sekalipun ibunya berusaha memperlihatkan foto gadis itu padanya. Dia juga tidak pernah bertanya, karena memang tidak memiliki minat sedikit pun terhadap gadis tidak dikenal itu, tapi ibunya sempat mengatakan bahwa dia harus melihat gadis itu secara langsung dan mungkin akan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Cih, cinta pandangan pertama. Yang benar saja. Bagaimana bisa omong kosong semacam itu keluar dari mulut ibunya? Apa ibunya masih bisa memercayai hal-hal semacam itu setelah perpisahannya dengan ayah?

Mereka bercerai empat tahun yang lalu. Orang tuanya. Ibunya merasa bahwa ayahnya tidak pernah mencintainya. Tentu saja. Mereka juga menikah karena dijodohkan. Dan ibunya tidak kunjung jera dengan pernikahan semacam itu karena sekarang wanita tersebut memaksakan hal yang sama padanya.

Mereka berpisah secara baik-baik dan masih berteman akrab sampai sekarang. Ayahnya sendiri sejak dua tahun yang lalu sudah menjalin hubungan dengan seorang wanita dan akan segera menikah. Dan dia menjadi satu-satunya orang yang menentang pernikahan itu tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan tentang penolakannya.

Yang membuatnya terkejut adalah, ternyata selama ini ibunya selalu memperhatikannya, karena entah bagaimana wanita itu tahu alasan penentangannya. Ibunya benar, dia memang mencintai wanita yang sebentar lagi akan menjadi ibu tirinya itu. Dan sudah memendam perasaannya selama bertahuntahun, jauh sebelum ayahnya mengenal wanita tersebut.

Nama gadis itu Kiera. Dan mereka pertama kali bertemu saat SMP . Saat gadis itu dengan malu-malu bertanya apakah kursi di sampingnya kosong. Dia masih ingat penampilan Kiera waktu itu. Rambut sebahunya dikuncir rapi dengan poni menutupi kening dan senyum manisnya yang pasti bisa membuat siapa pun ikut tersenyum. Tapi Ian nyaris tidak pernah benar-benar tersenyum seumur hidupnya. Menurut orang-orang di sekelilingnya, dia adalah orang yang kaku, dingin, arogan, dan kadang tidak berperasaan. Jadi dia hanya menggeleng, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, memberi tahu gadis itu dalam diam bahwa tidak ada orang yang duduk di sana.

Sejak saat itu, entah bagaimana mereka selalu berada dalam kelas yang sama dan selama hari-hari yang terlewat itu pulalah perasaannya semakin berkembang. Yang disembunyikannya tanpa terucapkan. Sebagian karena kepengecutannya rasa takut untuk ditolak, dan sebagian lagi karena dia tidak mau merusak hubungan persahabatan mereka yang nyaman dengan pengakuannya. Persahabatan lebih mungkin untuk mengandung kata selamanya , dibanding sebuah hubungan cinta yang rapuh, yang bisa hancur sewaktu-waktu.

Tapi semuanya berubah saat mereka tamat kuliah, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ian memilih untuk berkonsentrasi di perusahaan penerbitan keluarganya, salah satu dari banyak bisnis yang ditekuni oleh ayahnya. Sedangkan Kiera fokus dengan pekerjaan barunya sebagai seorang sekretaris direktur di perusahaan berbasis internasional, walaupun entah kenapa, Ian tidak pernah sempat menanyakan nama perusahaan tempat gadis itu bekerja mengingat intensitas pertemuan mereka yang semakin jarang, yang mereka pilih untuk dihabiskan membahas topik lain di luar pekerjaan.

Lalu malam itu, saat Kiera tampak begitu bercahaya dan bahagia, gadis itu memberitahunya bahwa dia dilamar oleh seorang pria yang sangat dia sukai. Atasannya sendiri. Pria yang menurut penuturannya berumur dua puluh tahun lebih tua. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan Ian, mengingat Kiera memang menyukai pria yang jauh lebih dewasa. Gadis itu tidak pernah mengenal ayahnya yang meninggal sebelum dia dilahirkan, jadi dia seolah mencari sosok kebapakan dari pria-pria di sekelilingnya.

Dia sendiri merasa patah hati tentu saja. Tahu bahwa dia membuat dirinya menderita dengan memendam perasaan begitu lama, ditambah dengan kenyataan bahwa dia bahkan tidak pernah melakukan usaha apa pun, yang hanya membuatnya merasa bertambah buruk.

Tapi rasa sakitnya belum seberapa dibanding apa yang dia rasakan beberapa hari kemudian, saat ayahnya menyuruhnya pulang ke rumah agar bisa berkenalan dengan calon ibu tiri barunya. Yang diketahuinya kemudian hanyalah mulutnya yang menyatakan ketidaksetujuan dan kakinya yang bergerak, pergi tanpa pamit dari acara makan malam tersebut. Belakangan dia tahu bahwa Kiera baru menanyakan nama anak calon suaminya itu beberapa hari sebelumnya dan terlalu syok untuk memberi tahu Ian yang memang tidak pernah mengajak Kiera ke rumah untuk diperkenalkan kepada orang tuanya. Ayahnya sendiri secara pribadi menemuinya untuk meminta restu setelah mengetahui semuanya. Tapi dia bahkan tidak mampu memberi tahu ayahnya alasan kenapa dia tidak menyetujui hubungan mereka, membentuk kesalahpahaman bahwa ketidaksetujuannya hanya karena calon istri ayahnya itu seumuran dengannya. Juga fakta bahwa wanita tersebut adalah sahabatnya sejak dulu.

Yang cukup mengejutkan adalah karena ibunya tahu fakta yang sebenarnya di balik semua alasan-alasan itu. Ibunya selalu memiliki insting yang kuat. Terlalu mengenal anak-anaknya.

Ian mengecek arloji, entah untuk yang keberapa kalinya, dan menyadari bahwa sepuluh menit lagi sudah berlalu tanpa tanda-tanda kedatangan tunangannya tersebut. Dia sudah memberi tahu ibunya untuk menyuruh gadis itu menemuinya di kafe ini dan ibunya hanya membalas dengan menyebutkan satu ciri-ciri gadis itu.

Kau akan langsung mengenalinya. Tidak mungkin salah. Dia berbeda.

Dia berbeda? Yang benar saja. Memangnya gadis itu berpenampilan seperti apa? Rambutnya berwarna merah menyala?

Ian menghentikan pikirannya saat seorang gadis menyerobot duduk di kursi di depannya sambil melambaikan tangan, dengan senyum lebar di wajah.

Hai. Ian, sapa gadis tersebut dengan suara kecil yang terdengar sedikit nyaring dan sangat ceria. Sesuatu yang mengingatkannya pada bunyi lonceng kecil yang berbunyi ketika pintu kafe dibuka.

Dan rambut gadis itu benar-benar berwarna merah. Gelap. Panjang dan ikal, dengan anak-anak rambut yang berantakan menutupi wajah, terjuntai di bahu, dan sebagian lagi tersembunyi di balik punggung. Seperti api yang mengelilingi kulit wajahnya yang pucat dan pipinya yang memiliki semburat merah alami. Mata gadis itu sendiri berwarna hazel tua, ibarat karamel yang meleleh. Percampuran wajah barat dan timur yang sangat unik dan berkarakter. Gadis ini pasti bisa membuat siapa pun menoleh dua kali untuk melihatnya.

Sial. Apa yang dia pikirkan barusan? Dia baru saja memberikan penilaian lengkap tentang penampilan gadis di hadapannya ini?

Gadis itu mengangsurkan tangan ke arahnya, dengan cengiran yang tidak kunjung hilang dari bibirnya yang tidak memakai polesan apa-apa.

Calla, ucapnya memperkenalkan diri.

Ian menggangguk singkat tanpa menyambut uluran tangan gadis itu.

Lily? gumamnya, cukup keras untuk didengar. Benar! sahut gadis itu antusias. Calla memang sejenis bunga lili. Ibuku suka sekali bunga lili, makanya dia memberiku nama itu.

Calla terdengar aneh. Aku akan memanggilmu Lily, ujar Ian dengan nada dingin yang merembes dari suaranya dan sikap tubuhnya yang kaku. Nama gadis itu memang aneh dan dia tidak suka jika diharuskan menyebut nama aneh itu setiap saat.

Gadis itu tidak mengacuhkan ekspresinya dan malah tampak sedang memikirkan sesuatu sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum lagi.

Tentu. Kau boleh memanggilku sesukamu, serunya sambil mengangguk-angguk. Aaaaaaah, menyenangkan. Di pertemuan pertama kau bahkan langsung memberiku panggilan kesayangan.

Ian meringis. Tampak tidak senang. Bisa-bisanya gadis itu menganggap nama tersebut sebagai panggilan kesayangan untuknya. Menggelikan.

Pria itu bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kafe setelah meninggalkan uang di atas meja, tahu bahwa Calla mengikutinya dari belakang dengan terburu-buru, berusaha menjajari langkahnya di tengah usaha gadis itu sendiri untuk menarik kopernya yang cukup besar. Dan Ian sama sekali tidak memiliki ketertarikan sedikit pun untuk membantu gadis tersebut.

Kalau gadis itu sudah melihat sifat aslinya, tidak ada alasan bagi gadis itu untuk tetap tinggal, kan?

Calla mencibir diam-diam dan mempercepat langkahnya agar tidak jauh tertinggal, menyeret kopernya sekuat tenaga dengan

kedua tangan, tidak lagi menaruh harapan agar pria itu berbalik dan membantunya. Dia tahu peran apa yang sedang dimainkan pria tersebut. Entah pria itu sengaja bersikap dingin dan kaku untuk menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Calla atau itu memang sudah sifat asli pria tersebut dari awal. Mana pun yang benar, dia sama sekali tidak peduli.

Dia menghabiskan masa kecil dan masa remajanya membayangkan tentang sosok pangeran berkuda putihnya, mengkhayalkan masa depannya bersama pria yang hanya dilihatnya dari foto yang dikirimkan setiap tahun untuknya, dimulai dari saat dia menginjak umur sepuluh tahun. Dia menyaksikan pertumbuhan pria itu dari jauh, bersama-sama menua setiap tahunnya. Mengamati bagaimana anak kecil dengan raut wajah datar tanpa ekspresi itu tumbuh menjadi pria dewasa yang luar biasa tampan, dengan wajah tanpa senyum.

Dia sudah terlalu lama bersiap-siap untuk jatuh cinta jika akhirnya mereka bertemu, dengan perasaan yang semakin berkembang saat mendengar cerita-cerita yang mengalir keluar dari mulut ibu pria tersebut melalui telepon. Dia memang hanya bisa melakukan itu, mengingat sejak umurnya delapan tahun, orang tuanya membawanya pindah ke kampung halaman ayahnya di Irlandia. Dari ayahnya jugalah dia mendapat warisan rambut merah gelapnya dan kulitnya yang putih pucat. Tapi dia memiliki mata hazel tua ibunya yang cantik dan tubuh mungil wanita yang sudah melahirkannya tersebut, membuat dia sering kali dipuji sebagai boneka berjalan. Lagi pula tubuhnya yang terlalu mungil tampak lebih kecil lagi jika dibandingkan dengan tubuh orang-orang barat itu, yang biasanya besar dan tinggi menjulang. Dengan tinggi yang hanya 155 senti, semua orang pasti akan memberi komentar serupa.

Maaf, maaf! seru Calla saat dia tanpa sengaja menabrak beberapa orang karena perhatiannya terpusat pada koper dan Ian yang sudah agak jauh di depannya. Dia tidak mau tersesat di tempat ini. Lagi pula bisa dikatakan ini pertama kalinya dia ke Indonesia. Dia sama sekali tidak punya kenangan apa-apa tentang delapan tahun awal kehidupannya yang dihabiskannya di negara ini. Memangnya anak kecil bisa mengingat apa?

Gadis itu tersentak saat sebuah tangan terulur dan merebut pegangan koper dari genggamannya.

Lamban, gerutu Ian, dengan mudah mengangkat koper itu tanpa menyeretnya, padahal Calla tahu pasti bahwa koper itu super berat. Dan besar.

Pria itu membuka pintu bagasi mobilnya dan meletakkan koper itu ke dalam, tanpa berkata apa-apa langsung masuk ke bangku pengemudi, dengan tampang yang jelas-jelas tidak mengacuhkan keberadaan Calla. Jadi gadis itu tidak punya pilihan selain buru-buru masuk ke dalam mobil sebelum pria itu membawa mobil pergi tanpanya. Dia tidak akan heran kalau itu benar-benar terjadi jika dilihat dari kelakuan pria itu sejauh ini.

Tahun ini umurmu 25 ya? tanya Calla, mencoba membuka pembicaraan.

Ibumu bilang kau direktur di perusahaan penerbitan ayahmu. Dia juga bilang bahwa kalian membutuhkan editor baru. Apa aku boleh mencalonkan diri? Maksudku& aku punya pengalaman. Aku sempat bekerja& ng& magang, di sebuah kantor penerbitan di New York.

Calla mengerucutkan bibirnya. Kau tidak akan menjawab lebih dari satu kata ya?

Calla memundurkan tubuhnya dan bersandar di punggung kursi penumpang, melipat tangannya di depan dada.

Baiklah. Aku tidak memaksa, ucap gadis itu, membuat gerakan menarik ritsleting untuk menutup mulutnya.

Calla meniup-niup poninya. Pasti akan sulit sekali mendekati pria di sampingnya ini. Mendapatkan perhatiannya saja sudah susah setengah mati.

Di mana hotelmu? tanya Ian, setelah satu menit berlalu. Hotel? tanya Calla bingung, senang akhirnya pria itu mengajaknya bicara duluan. Ibumu bilang kau disuruh mengantarku langsung ke apartemenmu. Aku akan tinggal di sana sebelum kita menikah dan mungkin kita akan pindah ke sebuah rumah setelah kita

APA? teriak Ian, tampak sangat marah. Sial! Aku sudah bilang tidak mau menikah denganmu! Apa-apaan ini?!

Well, ujar Calla santai. Kau ternyata bisa berbicara lebih dari satu kata ya?

Calla!!! sambut Ratih, berjalan cepat menghampiri anak sahabatnya itu, lalu memeluknya erat, mengabaikan anak kandungnya yang memasang wajah muram seolah ada awan gelap yang mengikutinya, siap mencurahkan badai kapan saja.

Bagaimana? Perjalanannya lancar? Sudah makan belum? Mau Tante siapkan sesuatu?

Ibu, tunggu, ucap Ian, terdengar geram. Setidaknya bisakah Ibu memberikan penjelasan kepadaku kenapa dia harus

tinggal bersamaku? Kenapa dia tidak tinggal di sini saja bersama Ibu? Lagi pula bisa-bisanya Ibu menyuruh kami tinggal bersama. Kami bukan suami istri!

Nah, karena itu, jawab Ratih kalem. Kau harus secepatnya menikahinya agar kalian bisa tinggal bersama tanpa masalah.

Tapi aku sudah bilang bahwa aku tidak mau menikah dengannya, Bu.

Karena itu aku menyuruh kalian tinggal bersama. Jadi kalian bisa saling mengenal dengan lebih baik.

Tapi pria dan wanita tidak boleh tinggal di bawah satu atap tanpa status apa pun! sergah Ian keras kepala.

Kalau terjadi sesuatu, jalan keluarnya kan cukup gampang. Pernikahan kalian bisa dipercepat, ucap Ratih, memperlihatkan senyum keibuannya.

Ian menggeram gusar sambil mengacak-acak rambutnya, sedangkan Calla berdiri diam di tempatnya, tidak tahu harus tertawa atau prihatin melihat penderitaan pria itu. Dia sendiri tidak memiliki keluhan apa pun terhadap keputusan Ratih, karena itu berarti dia bisa mendekatkan diri pada Ian. Siapa tahu pria tersebut bisa berubah pikiran.

Oh, dan satu lagi. Ibu sudah berbicara dengan ayahmu dan dia setuju untuk menjadikan Calla editor baru di kantor. Kau bisa mulai bekerja kapan pun kau sudah merasa siap, Calla, ujar Ratih, menoleh ke arah gadis itu.

Ian mendengus, mengeluarkan sedikit decakan dari mulutnya.

Sesuka Ibu sajalah.

Itu kamarmu, tunjuk Ian ke arah sebuah pintu di lorong. Dan di seberangnya kamarku. Tapi jangan harap aku mengatakan kalau kau butuh sesuatu beri tahu saja aku. Semakin sedikit kau menggangguku semakin baik. Mengerti?

Calla mengangguk, terlihat terpesona. Tapi lebih dikarenakan ini kali pertama, sejak beberapa jam yang lalu, pria itu mengucapkan lebih dari satu kalimat pendek padanya.

Dan berhenti memperlihatkan tampang seperti itu di depanku. Aku tidak suka dipandangi seolah aku ini adalah sebuah lukisan. Lakukan apa pun yang ingin kau lakukan, aku tidak akan peduli selagi kau tidak menyusahkanku. Malam.

Calla mengembuskan napas tanpa suara selagi Ian berlalu masuk ke kamar, meninggalkannya sendirian.

Pria itu benar-benar& terlihat tidak berperasaan. Sepertinya tugasnya untuk membuat pria itu tertarik padanya akan berjalan& sulit.

Sedang apa kau? tanya Ian sebagai sapaan selamat paginya

saat melihat Calla mengubrak-abrik lemari dapurnya seperti sedang mencari sesuatu.

Kau tidak pernah makan di rumah? tanya gadis itu, menemukan fakta mengerikan bahwa kulkas dan lemari pria itu kosong melompong tanpa bahan makanan. Di kulkas hanya ada tumpukan minuman kaleng dan makanan ringan dan sejauh ini, sesuatu yang bisa dimasak yang berhasil ditemukannya di dapur itu hanya dua bungkus mi instan yang sudah kedaluwarsa. Aku selalu makan di luar. Di kantor.

Tapi itu tidak sehat!

Sejauh ini aku kelihatan baik-baik saja, kan? Dan kondisi kesehatanku sama sekali bukan urusanmu, ucapnya ketus. Aku pergi.

Calla mengembuskan napas saat mendengar bunyi pintu yang terempas beberapa detik kemudian. Dia berdiri di depan konter dapur, dengan kedua tangan berada di pinggang, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang sepertinya tidak pernah terjamah itu.

Dia perlu melakukan sesuatu. Dan hal pertama yang harus dilakukannya adalah mengubah gaya hidup pria itu. Mulai sekarang, Ian harus mulai memakan makanan sehat, yang berarti bahwa dia harus mengeluarkan semua kemampuan memasak yang dulu dimilikinya karena terpaksa. Untung saja ibunya selalu menyekapnya di dalam dapur dan menurunkan bakat dan resepresep hebatnya.

Dia calon istri yang ideal, kan?

Maaf sudah merepotkan, Tante. Aku belum tahu jalan dan yang kukenal di sini hanya Tante saja.

Tidak masalah, ucap Ratih sambil mengibaskan tangannya. Mereka sedang berada di supermarket, mencari bahanbahan makanan dan peralatan memasak yang dibutuhkan. Calla menghubungi calon ibu mertuanya itu untuk meminta pertolongan, yang langsung disanggupi Ratih dengan senang hati.

Barang-barangmu sudah dikirim?

Calla mengangguk. Temanku sudah mengirimnya. Katanya besok pagi sampai.

Mereka berhenti di rak bumbu-bumbu dapur dan Ratih membantu Calla memilihkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan,

mengingat semua mereknya pasti berbeda dengan yang biasa digunakan oleh gadis itu.

Ian sangat suka nasi goreng dan dia tidak suka ikan dan sayuran, pesan Ratih, yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Calla. Dia alergi kepiting, tapi tidak masalah dengan udang. Dia itu menyukai masakan rumahan sebenarnya, makanya dia sering makan di kantor karena kantin di sana menyediakan masakan rumahan. Kadang-kadang Tante yang membawakannya makan siang atau makan malam. Dan Ian tidak suka sarapan. Paling dia hanya minum kopi kalau dia punya cukup waktu untuk membuatnya.

Tapi aku kira dia selalu bangun pagi, ujar Calla bingung. Memang. Selalu. Biasanya dia bangun pukul lima pagi dan langsung bersiap-siap berangkat ke kantor. Tapi dia membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk memasang dasi. Dia tidak bisa?

Ratih menggeleng. Bisa, tapi kesulitan. Kau mungkin bisa menolongnya kalau kau mau.

Calla tersenyum dan mengangguk. Kopi yang disukainya bagaimana?

Dua sendok kopi, dua sendok gula. Dan airnya jangan terlalu panas. Dia suka tidak sabaran untuk menunggu kopinya sampai dingin.

Calla mencatat semuanya dalam otaknya dan mulai mengajukan pertanyaan lainnya. Banyak hal yang masih tidak diketahuinya tentang pria itu, tapi hal tersebut bukan lagi masalah

selama dia masih memiliki Ratih yang bersedia memberitahunya segala kelebihan dan kebobrokan anak sulungnya itu.

Calla terduduk lesu di depan pintu apartemen Ian dengan kantong-kantong belanjaan di dekat kakinya. Dia lupa bahwa dia belum menanyakan nomor pin apartemen kepada pria itu dan dia sudah menelepon Ratih untuk bertanya, tapi wanita itu juga tidak tahu dan menyuruhnya menanyakan langsung pada Ian. Hanya saja dia ingat peringatan Ian waktu itu agar dia tidak mengganggu pria tersebut untuk alasan apa pun. Dan ini sedang jam kantor, bisa-bisa pria itu memarahinya kalau dia menelepon. Lagi pula, dia bahkan tidak tahu nomor ponsel pria itu.

Gadis itu bangkit berdiri beberapa menit kemudian, mulai merasa bosan. Dia tidak tahu jadwal kerja Ian dan saat ini masih pukul lima, mungkin masih beberapa jam lagi sebelum pria itu pulang, dan dia tidak mungkin menunggu di sini selama itu. Kalau dia pergi ke rumah Ratih sekalipun, dia juga tidak tahu alamatnya dan bisa-bisa wanita itu malah memarahi Ian, lalu setelah itu Ian akan ikut memarahinya. Memikirkan itu saja sudah membuat perutnya terasa mulas.

Calla mengangkut semua barang-barangnya, dengan sangat terpaksa menaiki lift yang sangat tidak disukainya karena tidak mungkin baginya untuk menggunakan tangga dengan barang bawaan sebanyak ini. Untung saja ada beberapa orang lain di dalam lift tersebut sehingga dia tidak merasa terlalu takut.

Detak jantung Calla mulai kembali ke batas normal ketika pintu lift tersebut bergeser membuka dan dia cepat-cepat

melangkah keluar, dengan satu tujuan yang terlintas di pikirannya. Pos satpam.

Non Calla, sapa satpam bernama Bagas itu ramah. Pria itu sudah berumur sekitar lima puluh tahun dan sudah bekerja selama tiga tahun di apartemen ini. Mereka sempat berkenalan saat pria itu membantunya mengangkat barang-barang belanjaannya tadi ke atas dan dia langsung menyukai kesopanan dan keramahan pria paruh baya tersebut.

Pak Bagas, saya boleh numpang di sini sampai Ian pulang tidak? Saya lupa menanyakan nomor pin apartemennya, aku gadis itu sambil mengusap-usap lehernya salah tingkah.

Oh, boleh, tentu saja. Silakan duduk, Non. Maaf kecil. Tapi untung saja tidak berantakan.

Calla tersenyum dan mengucapkan terima kasih, lalu duduk di atas kursi.

Bapak tahu biasanya Ian pulang jam berapa? tanya gadis itu membuka pembicaraan.

Tentu saja, Non. Bapak hafal semua penghuni apartemen ini. Kalau Mas Ian, biasanya pulang sekitar pukul tujuh atau delapan. Kalau lembur mungkin sampai pukul sepuluh.

Pernah membawa wanita pulang tidak, Pak? tanya Calla ingin tahu.

Tidak pernah, Non. Setahu Bapak, Mas Ian itu orang baikbaik, sopan, dia sering menyapa Bapak kalau baru pulang. Paling yang datang hanya ibunya atau adiknya.

Calla mengangguk-angguk paham, sedikit penasaran kenapa sikap Ian kedengarannya sedikit berbeda dari apa yang dia tahu.

Dari cerita Ratih, maupun dari pengamatannya sendiri, Ian lebih terlihat seperti pria kaku tanpa ekspresi, tidak mau berbicara banyak, dan bahkan terkenal arogan, tapi bagaimana bisa Pak Bagas membicarakannya seolah pria itu adalah pria ramah dan sopan yang suka menyapa? Apa mungkin pria itu hanya memperlihatkan sikap tersebut kepada orang-orang tertentu saja?

Tapi yang penting pria itu tidak pernah membawa wanita pulang, kan?

IAN!!! panggil Calla sambil melambai-lambaikan sendok di tangannya dengan penuh semangat, membuat Pak Bagas yang duduk di samping gadis itu tertawa kecil.

Ian mengerutkan keningnya dan melangkah mendekat. Sedang apa kau di sini?

Menunggumu pulang. Aku tidak tahu nomor pin apartemenmu, jadi aku tidak bisa masuk. Dan kau bilang aku tidak boleh mengganggumu, jadi aku tidak menelepon. Tapi aku juga tidak tahu nomor ponselmu sebenarnya. Hei lihat, Pak Bagas mentraktirku mi ayam. Ini pertama kalinya aku memakan sesuatu seperti ini. Enak sekali. Kau mau?

Bukannya menjawab, Ian malah menatap Calla dengan sedikit melongo, merasa takjub dengan cara gadis itu yang berbicara tanpa titik koma dan mengucapkan semuanya dalam satu tarikan napas tanpa merasa sesak sedikit pun. Ian?

Aku sudah makan, tandas pria itu datar. Ayo naik. Maaf, Pak Bagas, sudah merepotkan.

Tidak apa-apa, Mas Ian. Non Calla orangnya menyenangkan kok. Dia bercerita macam-macam. Bapak jadi seperti sudah melihat New York dan Irlandia dengan mata kepala Bapak sendiri, kekeh pria itu senang, mendapatkan bonus acungan jempol dari Calla.

Ian menggelengkan kepalanya, nyaris tidak kentara, entah harus prihatin atau tidak dengan Pak Bagas yang harus mendengarkan celotehan cempreng gadis itu selama berjam-jam.

Calla meletakkan mangkuk mi ayamnya yang sudah kosong ke atas meja, mengucapkan terima kasih, lalu meraih semua barang belanjaannya, diikuti oleh pandangan mata bingung dari Ian.

Kau& belanja?

Mmm. Mulai sekarang biar aku saja yang memasakkan makan malam untukmu. Kau tidak perlu lagi makan di luar.

Ian merebut semua kantong itu dari tangan Calla dan berjalan cepat memasuki gedung apartemen, menjauh dari Pak Bagas agar dia bisa memarahi gadis itu dengan lebih leluasa.

Aku kan sudah bilang jangan mencampuri urusanku. Kalau kau mau memasak, masak saja untuk dirimu sendiri. Tidak usah memikirkanku. Kau tidak tuli, kan?

Ian menoleh karena gadis itu tidak kunjung menjawab ucapannya. Mereka sudah sampai di tangga dan dia mendapati gadis itu memandanginya takjub.

Apa? tanyanya tidak nyaman.

Kau tahu kalau aku fobia naik lift ya?

Raut wajah pria itu langsung berubah sinis. Tidak usah besar kepala. Aku memang selalu menggunakan tangga. Kau juga punya fobia?

Tidak. Aku lebih suka memakai kakiku selagi bisa. Dan kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?

Pria itu berbalik dan berjalan menaiki tangga lebih cepat, meninggalkan Calla di belakangnya.

Baiklah baiklah, dengus gadis itu dengan wajah merengut. Aku tidak akan menanyaimu lagi.

Nama saya Calla Andira Rasyir. Panggil saja Calla. C-a-l-l-a.

Mulai hari ini saya akan bekerja bersama kalian sebagai editor baru. Mohon bantuannya.

Semua orang bertepuk tangan dan mulai menghampiri Calla untuk menyalaminya dan berkenalan secara langsung, begitu juga dengan seorang pria yang sedang mengulurkan tangannya ke arah Calla, sedikit membuat gadis itu melongo. Pria itu memiliki wajah dan potongan tubuh yang persis sama dengan Ian, hanya saja dengan ekspresi yang lebih ramah dan rambut yang sedikit lebih panjang, walaupun sama berantakannya.

Rayhan. Adik Ian. Kita belum sempat bertemu dan berkenalan, kan?

Oh, seru Calla, tersenyum lebar. Kau bekerja di sini juga?

Yup. Bidang desain. Mungkin kita akan bekerja sama nanti. Rambutmu asli? tanya pria itu tanpa basa-basi.

Calla dengan refleks memegang rambutnya yang hari ini diikat rapi membentuk ekor kuda, lalu mengangguk. Keturunan dari keluarga ayahku, jelasnya.

Keren, komentar pria itu sambil nyengir. Hanya tinggal mereka berdua di ruangan Calla dan Rayhan terlihat tidak terganggu sama sekali. Dia bahkan duduk di atas meja kerja Calla dengan santainya, memperhatikan sekelilingnya dengan pandangan menilai.

Ian bersikap baik padamu? Dia sangat menentang perjodohan ini kalau kau belum tahu.

Aku tahu, sahut Calla enteng. Dan dia sinis sekali. Hanya menjawab singkat kalau aku bertanya dan bersikap seolah aku ini parasit pengganggu. Dia selalu seperti itu?

Selalu. Bahkan padaku atau Ibu. Dia itu mandiri, lebih suka sendiri, tidak heran kalau dia memperlakukanmu seperti itu. Sebenarnya aku sudah menawarkan diri untuk menggantikannya, tapi Ibu malah menceramahiku.

Menggantikannya untuk apa?

Untuk menjadi tunanganmu, tentu saja, jawab pria itu santai. Aku selalu suka wanita cantik.
Callasun Karya Yuli Pritania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alih-alih tersinggung, Calla malah tertawa mendengar ucapan pria itu, mendadak merasa bahwa mereka akan menjadi teman baik.

Hei, bagaimana kalau kau kutraktir makan siang? Anggap saja dalam rangka menyambut hari pertamamu bekerja di sini, tawar Rayhan.

Boleh saja. Aku selalu suka ditraktir. Apalagi kalau di restoran mahal.

Ugh, keluh Rayhan dengan raut wajah ngeri. Kakak iparku ternyata matre sekali. Bersyukurlah bahwa uang kakakku bertumpuk di bank, jadi kau bisa memorotinya sesukamu. Untung Ibu tidak menyetujui permintaanku untuk menjadi tunanganmu. Kalau tidak, habislah aku.

Hahaha& .

Ups, gumam Rayhan saat mereka baru melangkah memasuki restoran, membuat Calla menoleh dan mengikuti arah pandangan pria tersebut.

Gadis itu langsung membulatkan matanya saat melihat Ian sedang duduk di meja dekat jendela bersama seorang wanita yang memakai setelan kantor. Sangat cantik dan jelas mendapatkan perhatian penuh dari Ian.

Kita makan di atas saja. Untung sekali kan restoran ini punya dua lantai, ujar Rayhan, menarik tangan Calla bersamanya dan berjalan menaiki tangga.

Tenang tenang, nanti aku jelaskan, ucap pria itu saat melihat eskpresi Calla. Tapi kau janji dulu bahwa apa pun yang akan aku katakan nanti, kau akan tetap menghabiskan makan siangmu. Mengerti?

Calla memaksakan diri untuk berbicara dan memperlihatkan senyum tipisnya. Aku selalu menghabiskan makananku kalau sedang lapar. Dan aku memang lapar, jadi kau tenang saja. Bagus kalau begitu. Nah, kita duduk di sini saja. Rayhan menarikkan kursi untuk Calla lalu mengambil tempatnya sendiri di depan gadis itu. Seorang pelayan

menghampiri mereka dan menyodorkan buku menu, membuatnya hampir tertawa geli saat Calla menyebutkan beberapa pesanan yang terlalu banyak untuk satu orang dan semuanya berada dalam urutan paling atas menu, yang berarti bahwa itu adalah deretan makanan paling mahal di restoran ini. Gadis itu memang berniat membuatnya bangkrut sepertinya.

Kau akan menghabiskan semuanya? tanya pria itu setelah menyebutkan pesanannya dan pelayan itu berlalu dari hadapan mereka.

Tentu saja. Nafsu makanku selalu bertambah kalau sedang merasa kesal. Jadi? Siapa wanita tadi?

Dasar tidak sabaran, ejek Rayhan. Dia itu sahabat Ian sejak SMP . Mereka selalu sekelas. Namanya Kiera. Dan Ian jatuh cinta padanya?

Kau sudah lihat sendiri, kan? Memang seperti itu, kurasa. Hanya saja ada perkembangan lain yang tidak disangkasangka.

Kau tahu kan bahwa orang tua kami sudah bercerai? Mereka dulu dijodohkan, tapi tetap saja setelah menikah mereka tidak bisa saling jatuh cinta. Maksudku, hubungan mereka sendiri sangat baik. Tapi hanya sebatas sahabat. Sebelum menikah, Ibu sempat memiliki seorang pacar dan masih tetap mencintainya sampai sekarang.

Tapi Ibumu masih belum menikah lagi.

Memang. Karena kekasihnya itu meninggal dua tahun setelah orang tuaku menikah. Saat Ian berumur satu tahun. Kanker hati. Terlambat diketahui. Ayah bilang Ibu down sekali waktu itu.

Empat tahun yang lalu Ibu dan Ayahku bercerai. Ayah tidak pernah setuju, tapi Ibu merasa bahwa Ayah masih cukup muda, baru 45 tahun, dan Ibu ingin agar Ayah mendapatkan pendamping yang lebih baik dari dia. Ibu juga, seperti Ian, lebih suka mandiri dan hidup sendiri. Lagi pula Ayah juga tidak pernah mencintainya.

Dua tahun terakhir Ayah menjalin hubungan dengan seorang wanita. Sekretarisnya di kantor. Ayah bilang, selain Ibu, wanita itulah yang bisa merawat dan memperhatikannya dengan baik. Bedanya, Ayah mencintai wanita ini. Walaupun wanita itu jauh lebih muda darinya.

Semua orang mengira wanita itu hanya menginginkan kekayaan Ayah, jadi Ibu, sebagai sahabat terdekat Ayah, yang juga menginginkan Ayah untuk mendapatkan pendamping yang baik, akhirnya menemui wanita itu, dan menurut Ibu, wanita itu adalah wanita baik-baik yang memang mencintai ayah kami, jadi dia menyuruh kami menemui wanita tersebut.

Mungkin Ian terkena serangan jantung waktu itu, entahlah, karena aku juga sangat terkejut. Wanita itu Kiera, dan dia sepertinya juga baru mengetahui bahwa Ian adalah anak calon suaminya. Ian memang tidak pernah membawa Kiera ke rumah, jadi Ibu dan Ayah tidak mengenalnya. Saat itu Ian langsung menentang hubungan mereka, dan Ayah mengira itu karena Kiera seumuran dengan Ian. Tapi tentu saja bukan. Saat mereka menanyaiku, aku hanya menjawab bahwa Kiera adalah sahabat Ian, dan mungkin Ian tidak suka kalau sahabatnya malah menjadi ibu tirinya. Ayah mengerti, tapi sepertinya Ibu tahu yang sebenarnya, hanya dia diam saja. Lagi pula sudah lama dia

menjodohkan Ian denganmu, jadi Ibu berharap bahwa setelah bertemu denganmu, Ian mungkin bisa melupakan Kiera.

Calla menghela napas berat. Tapi kenyataannya malah seperti ini, kan?

Hei, kau baru tiga hari di sini, masa sudah menyerah? Obrolan mereka terputus karena kedatangan pelayan yang membawakan makanan.

Astaga, ini pasti seharga gajiku sebulan, komentar Rayhan takjub.

Kau kan sudah ditemani makan siang oleh wanita cantik.

Rayhan mencibir dan mulai memusatkan perhatian pada steak di piringnya.

Ceritakan tentangmu.

Tidak ada yang spesial, sahut Calla. Orang tuaku meninggal saat aku baru lulus SMA. Kecelakaan. Ada tabrakan beruntun di jalan dan mobil ayahku dihantam oleh mobil di depannya yang berusaha mundur. Mereka meninggalkan warisan yang sangat banyak, jadi hidupku terjamin. Aku pindah ke New York, masuk kuliah, lulus, sempat magang di sebuah perusahaan penerbitan, lalu aku berpikir untuk kembali ke sini. Ibu anak tunggal dan dia tidak terlalu mengenal keluarganya yang lain, tapi Tante Ratih adalah sahabat dekatnya dan dia selalu menelepon tiap minggu. Kadang-kadang Tante Ratih mengunjungi kami kalau sedang liburan dengan ayah kalian ke Irlandia. Saat aku baru berumur sepuluh tahun, dia memperlihatkan foto Ian padaku dan bilang bahwa jika aku sudah besar nanti, anaknya akan menjadi suamiku. Aku berpikir tentang& memiliki ksatria berkuda putihku sendiri, mimpi anak kecil. Calla terkekeh. Dan Ian memang

terlihat seperti itu. Aku mulai mengenalnya dari cerita-cerita ibumu, dan dia selalu mengirimiku foto Ian setiap tahun, jadi entah bagaimana, walaupun kami tidak pernah bertemu, aku merasa sudah sangat mengenal kakakmu. Mungkin menyukainya. Dan saat kami sudah benar-benar bertemu, walaupun sikapnya ketus seperti itu, aku masih tetap menyukainya.

Kau tidak pernah bertemu pria lain yang membuatmu tertarik?

Calla menggeleng. Banyak yang mendekatiku, tapi aku malah jadi membanding-bandingkan mereka dengan Ian. Ada saja yang terasa tidak pas. Jadi aku berpikir mungkin aku harus bertemu Ian dulu untuk memutuskan.

Lalu?

Yah seperti yang tadi aku bilang, ternyata aku memang sangat menyukainya.

Karena dia tampan?

Mungkin, ucap Calla tidak yakin. Tapi kau tahu& mungkin kau tidak pernah merasakannya, belum, tapi saat di bandara, waktu aku pertama kali melihatnya secara langsung, rasanya seperti& TAK! Calla menghantamkan kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya sehingga menimbulkan bunyi pukulan. Dia orangnya. Kadang-kadang kau bisa langsung mengetahui hal seperti itu. Begitu saja.

Begitu saja? tanya Rayhan, melongo.

Calla mengangguk-angguk. Nanti kau juga menemukan wanita seperti itu.

Ngomong-ngomong, bahasa Indonesia-mu bagus. Calla tersenyum. Ibu selalu menyuruhku menggunakan bahasa Indonesia kalau berbicara padanya.

Mereka melanjutkan makan dalam diam, walaupun sesekali Rayhan mencuri-curi pandang, kagum dengan cara gadis itu makan yang sama sekali tidak ditahan-tahan, tidak seperti gadis lainnya yang memakan makanan mereka dengan gerakan lemah gemulai yang kadang membuat Rayhan hilang kesabaran.

Kau tahu? tanya pria itu, membuat Calla mengangkat wajah dari piringnya. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Ian, tapi kau cukup oke. Sama sekali tidak buruk. Berjuanglah lebih lama lagi. Kalau dihantam berkali-kali, batu karang juga bisa roboh, kan?

Kau sudah makan? Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu, seru Calla saat melihat Ian berjalan melintasi ruang makan.

Pria itu menghentikan langkahnya, menoleh dengan kedua tangan terbenam dalam saku celana.

Aku kan sudah bilang tidak perlu memasak untukku. Aku sudah makan.

Baik. Tapi kalau kau lapar beri tahu saja, aku akan Calla menghentikan ucapannya karena Ian berlalu pergi begitu saja tanpa merasa perlu mendengarkan apa yang dia katakan. Gadis itu hanya menghela napas berat. Dia memang harus menyiapkan setumpuk kesabaran untuk menghadapi kelakuan pria itu.

Calla menunduk dan memandangi meja makan yang sudah tertata rapi dengan makanan yang terhidang di atasnya. Sayang sekali kalau semuanya harus dibuang& .

Ian mendengar ketukan pelan di pintu kamarnya saat dia sedang berkutat dengan dasinya yang seperti biasa sangat menyebalkan. Tidak perlu menebak siapa yang melakukannya, karena hanya ada satu orang lagi yang tinggal di apartemen ini dan tidak pernah mau mendengar perintah untuk tidak mengganggunya.

Apa? sahut pria itu ketus dan kepala Calla melongok masuk sesaat kemudian.

Tepat waktunya, seru gadis itu, melangkah masuk ke dalam kamar tanpa permisi dan menarik kursi kecil di dekat sofa ke depan Ian, lalu naik ke atasnya, menepis tangan pria itu dari dasi yang masih belum terpasang. Mulai sekarang biar aku yang membantumu memasangkan dasi.

Kau selalu berbuat seenaknya ya?

Benar. Ibuku juga sering merasa jengkel, ujar gadis itu dengan nada santai, dalam hitungan detik sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan rapi.

Calla menatap hasil kerjanya dengan puas dan tersenyum riang.

Aku selalu membantu ayahku memasangkan dasi setiap pagi, beri tahunya, lalu meloncat turun dari atas kursi. Perbedaan tinggi dua puluh lima senti membuat keberadaan kursi kecil itu sangat dibutuhkan.

Nah, sekarang kau bisa meminum kopimu. Aku sudah menyiapkannya di atas meja makan. Sebagai gantinya, setiap hari kita harus berangkat ke kantor bersama. Deal?

Ian mencibir dan mendorong tubuh gadis itu menjauh darinya.

Walaupun aku bilang tidak, kau tetap tidak akan mendengarkanku, kan?

Woa& kau mulai memahami kepribadianku ya? Ian mengeluarkan gerutuan tidak jelas dan memilih untuk tidak berkomentar. Berdebat dengan gadis itu hanya akan membuatnya naik darah saja.

Ian memainkan kunci mobil di tangannya, memilih untuk turun duluan dan menunggu di lapangan parkir, daripada dia harus berjalan bersama gadis itu dan mendengar ocehannya lagi. Jujur saja, gadis itu membuatnya sedikit merasa ngeri. Tingkah lakunya tidak bisa ditebak dan caranya memandang cukup menakutkan, seolah gadis itu akan memakannya atau semacamnya. Mas Ian? Sedang menunggu Non Calla?

Ian menoleh dan mengangguk saat mendapati Pak Bagas yang berjalan menghampirinya.

Wah, apa Non Calla masih lama? Saya mau mengucapkan terima kasih.

Terima kasih? tanya Ian bingung.

Iya. Semalam dia memberikan saya dan satpam lainnya makanan. Banyak sekali. Dan semuanya sangat enak. Mas Ian pasti senang bisa memakan masakan Non Calla setiap hari.

Jadi gadis itu memilih memberikan masakannya kepada satpam ya? Yang benar saja.

Pria itu langsung mendengus sebal. Lagi-lagi suara itu. Kapan gadis itu akan menutup mulutnya dan membiarkannya tenang sehari saja?

Sedetik kemudian pintu ruang kerjanya langsung terbuka dan Calla menghambur masuk, duduk di depannya sambil menyodorkan kotak bekal.

Kau belum makan siang, kan? Tadi pagi aku sudah memasakkan nasi goreng kesukaanmu dan aku menitipkannya di kantin, jadi tenang saja, nasi gorengnya masih hangat seperti baru dimasak.

Kau tidak bisa menunggu sampai aku menjawab dan menyuruhmu masuk ya?

Tidak. Menghabiskan waktu. Aku juga tetap akan masuk. Ah, kau pasti merasa tidak nyaman kalau aku menontonmu makan. Baiklah, aku pergi dulu. Jangan lupa dihabiskan. Sampai jumpa nanti di rumah!

Ian memang selalu memilih untuk pulang lebih lama dari jadwal kerja normal. Dan sekarang dia mensyukurinya, karena dia bisa terbebas dari kewajiban untuk pulang bersama gadis itu.

Pria tersebut menatap kotak bekal di depannya dan menimbang-nimbang sesaat. Dia cukup lapar sebenarnya, dan terlalu malas untuk turun ke bawah. Jadi mungkin tidak apa-apa jika dia mengalah sekali ini saja.

Ian membuka kotak itu dan bau harum nasi goreng langsung menyergap indra penciumannya.

Selama ini dia hanya menyukai nasi goreng buatan ibunya saja dan belum mengubah pikirannya sampai sekarang, jadi saat dia mengunyah suapan pertama makan siangnya, dia mengangkat alis saat mencicipi rasa yang mirip seperti yang selama ini disukainya. Terasa sama, tapi berbeda. Rasa nasi goreng yang ini lebih kuat dengan bau bawang gorengnya lebih tajam, dan anehnya dia menyukai aroma dan rasa tersebut.

Dia mendengus dan mengetuk-ngetukkan sendoknya. Masa hanya gara-gara masakan dia mulai tergoda untuk berubah pikiran? Pasti dia terlalu kelaparan sampai berpikir yang tidaktidak. Perut kosong memang bisa membuat setiap masakan terasa lebih enak daripada yang seharusnya, kan?

Sudah pulang? sapa Calla. Sudah makan?

Ian menghentikan langkahnya dan memandang Calla yang balas menatapnya dengan pandangan penuh harap. Dan entah bagaimana pria itu membiarkan kakinya melangkah ke arah meja makan dan duduk di sana, mengambil sendok, lalu mulai makan tanpa mengucapkan apa-apa, bahkan tanpa melepas jas yang masih dipakainya.

Calla tersenyum lebar, duduk di kursinya dan memandangi pria itu makan sambil memangku wajahnya di atas telapak tangan.

Berhenti menatapku. Tidak bisa.

Apa sih yang kau inginkan dari pria yang jelas-jelas tidak menginginkanmu?

Calla menurunkan tangannya dan melipatnya di atas meja.

Aku sudah mengenalmu sejak kecil, mulainya. Ibuku& dan ibumu, memberitahuku bahwa kau akan menjadi suamiku kalau aku sudah besar. Jadi sudah sejak lama aku bersiap-siap untuk jatuh cinta padamu. Dan aku tidak mungkin mengharapkan hal lain kan saat kita benar-benar bertemu selain jatuh cinta padamu?

Ian mengangkat wajahnya dan menatap gadis itu. Kau tidak merasa itu menggelikan?

Tidak, jawab gadis itu, tanpa merasa tersinggung. Menurutku tidak.

Kau masih tetap berpikir untuk menyukaiku walaupun aku tidak menyetujui perjodohan ini? tanya pria itu tidak habis pikir.

Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Ian lekat. Ada senyum tipis di bibirnya, dan tekad kuat yang tidak tergoyahkan dari pandangan matanya, membuat Ian untuk sesaat mencelus, merasa situasi sulit akan menghampirinya jika dia tidak segera membebaskan diri dari gadis di depannya ini.

Kalau kau tidak menyukaiku, bukan berarti aku juga tidak boleh menyukaimu, kan?

Jadi namanya Calla? Namanya bagus.

Ian memandangi Kiera yang duduk di depannya. Gadis itu tidak menampakkan eskpresi seperti yang diharapkannya, malah terlihat senang, ditilik dari senyuman yang bertengger di bibirnya.

Sahabat macam apa kau? Kau seharusnya prihatin sedikit melihat penderitaanku.

Untuk apa? Memang sudah saatnya kau mencari seorang wanita yang tepat dan menjalin hubungan. Umurmu sudah 25, Ian. Sudah saatnya kau menikah.

Kenapa kau kedengarannya seperti ibuku?

Sebentar lagi aku memang akan menjadi ibu tirimu, kan?

Ian bergerak sedikit, merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan yang duluan disinggungnya.

Sepertinya aku harus kembali ke kantor, tukas pria itu. Aku ikut ya? Aku ingin berkenalan dengan Calla. Tidak apa-apa? tanya Kiera dengan raut wajah berharap.

Terserah kau saja, sahut Ian malas, berjalan duluan meninggalkan gadis itu.

Kiera tersenyum tipis. Tentu saja dia mengerti mengapa Ian terlihat kesal seperti itu. Walaupun pria itu tidak pernah mengatakannya, tapi dia tahu bahwa selama ini pria tersebut memiliki perasaan padanya. Mungkin tidak dangkal, dan dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Dia lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu, sebagian agar hubungan mereka tidak menjadi renggang, sebagian lagi untuk menjaga perasaan sahabatnya itu baik-baik, karena jelas dia tidak bisa membalasnya dengan perasaan yang sama. Dia selalu menganggap Ian sebagai satu-satunya sahabat yang dimilikinya, pria yang menjaganya seperti kakak laki-laki. Pria itu memang pria yang pasti akan dengan mudah membuat semua wanita jatuh cinta, tapi hal itu tidak berlaku baginya.

Dia selalu menginginkan pria yang jauh lebih dewasa, bisa menjadi suami, kekasih, sahabat, kakak laki-laki, sekaligus sosok ayah baginya. Seseorang yang bisa membuatnya bersemangat menjalani hari, merasa tidak sabar untuk melihat pria itu lagi. Dia juga tidak terlalu mengharapkan kisah cinta yang menggebu-gebu, sesuatu yang membuatnya berdebar setiap saat. Tapi semua itu, semua bagian yang dia harapkan maupun yang tidak terlalu diinginkannya, ternyata berada dalam satu sosok pria yang menjadi atasannya selama tiga tahun terakhir. Mereka bekerja

bersama, bertemu setiap hari, dan pria itu memperlakukannya dengan baik dan hormat walaupun statusnya lebih rendah. Semuanya berjalan secara natural, mereka tidak berusaha memaksakan diri. Tapi tentu saja rasa ketertarikan seperti itu bukan sesuatu yang bisa dihindari dengan mudah. Jadi setelah satu tahun yang dihabiskan untuk berpikir, mereka akhirnya sepakat untuk menjalani hubungan.

Dia tahu bahwa pria itu sudah bercerai dari istrinya dan memiliki dua orang anak, tapi dia baru mengetahuinya kemudian, satu hari sebelum mereka mengadakan pertemuan keluarga, bahwa anak pria itu adalah sahabatnya sendiri. Dan dia bisa menebak apa yang terjadi setelahnya. Ian benar-benar menentang hubungan mereka, tapi tidak mengatakan alasannya. Jadi Stefan, ayah Ian, mengira anak itu hanya tidak mau memiliki ibu tiri yang seumuran dengannya, walaupun akhirnya Kiera memberi tahu Stefan bahwa Ian adalah sahabatnya sejak SMP , jadi pria itu bisa mengerti.

Di lain pihak, Ian sudah lama bercerita tentang gadis yang ditunangkan dengannya, betapa dia tidak menyukai perjodohan itu, sampai akhirnya gadis tersebut benar-benar kembali ke Indonesia dan tinggal bersamanya. Tapi baru hari ini Ian bersedia memberitahukan nama gadis itu padanya. Dan berbeda dengan pria itu, Kiera memiliki firasat baik terhadap kehadiran gadis tersebut. Walaupun Ian selalu bercerita dengan raut wajah tidak suka, tapi dia mendapat kesan bahwa setidaknya Ian menunjukkan kepedulian, bahwa dia memberikan respons terhadap apa yang dilakukan gadis itu, karena selain padanya, Ian tidak pernah menunjukkan kelakuan seperti manusia normal. Ekspresinya selalu terlihat kaku, dingin, ditambah dengan

sikapnya yang sedikit arogan dan tidak peduli pada sekitar. Tapi gadis bernama Calla itu mulai membuat Ian terlihat lebih normal, walaupun hanya sekadar menunjukkan kekesalan, setidaknya itu saja sudah lumayan.

Kalau beruntung, Calla pasti akan mendapatkan apa yang dia inginkan.

Hai. Aku Kiera, ucap Kiera memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya. Dia sudah menyuruh Ian untuk pergi ke ruang kerjanya dan membiarkannya menemui Calla sendirian setelah pria itu menunjukkan ruangan gadis tersebut. Dia membutuhkan pembicaraan antara wanita dan wanita, jadi pria itu harus disingkirkan.

Oh. Calla, sambut gadis itu, buru-buru berdiri dari kursinya. Tapi gadis itu tidak tampak bingung, bahkan kelihatannya gadis itu sudah mengenalnya.

Kau& mengenalku? tanyanya penasaran.

Ng& waktu itu& aku pergi makan siang dengan Rayhan dan kebetulan kalian ada di restoran yang sama. Lalu Rayhan memberitahuku. Tentang kalian.

Oh, gumam Kiera. Rayhan memberitahumu semuanya ya? Kuharap kau tidak memutuskan untuk tidak menyukaiku.

Tentu saja tidak, seru Calla sambil mengibaskan tangannya. Silakan duduk.

Kiera menarik kursi di depan meja Calla lalu duduk di atasnya, diam-diam memperhatikan gadis tersebut. Ian memang memberitahunya bahwa rambut gadis itu berwarna merah gelap, tapi melihatnya secara langsung ternyata lebih memesona. Wajah gadis itu, rambutnya, gerak-geriknya, semuanya terlihat sangat

feminin, seperti boneka hidup. Gadis itu memiliki wajah paling manis yang pernah ditemuinya, yang semakin dipercantik dengan senyuman yang selalu dia perlihatkan, sehingga Kiera malah merasa bingung kenapa Ian tidak langsung jatuh cinta pada gadis itu di pertemuan pertama mereka.

Kau habis makan siang dengan Ian? tanya Calla basa-basi. Kiera menjawab dengan anggukan lalu tersenyum. Hari ini sepertinya kau lupa membawakannya bekal makan siang, jadi dia mengajakku makan di luar, goda gadis itu.

Ah, gerutu Calla, tampak malu. Aku tadi pagi terlambat bangun, jadi tidak sempat memasak.

Hahaha& . Lain kali sebaiknya kau memastikan bahwa Ian sudah mendapatkan makan siangnya, jadi dia tidak terus-menerus menggangguku.

Calla ikut tertawa, akhirnya mengerti mengapa Ian bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencintai gadis di depannya ini. Gadis itu memiliki wajah cantik dengan kesan keibuan, selera humor yang baik, dan jelas memiliki kepribadian yang menyenangkan.

Jadi? Apa rencanamu untuk membuat Ian jatuh cinta? Aku harus memberitahukan rahasiaku? Padamu? canda Calla.

Kiera tertawa dan menggerak-gerakkan alis matanya. Tidak. Aku hanya ingin membantumu saja.

Calla memangku wajahnya dengan tangan yang ditumpangkan di atas meja, mulai tampak putus asa.

Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. Dia sepertinya menganggap aku sebagai bakteri. Tidak pernah mau didekati. Selalu saja membentakku setiap ada kesempatan.

Itu malah bagus, beri tahu Kiera. Berarti dia meresponsmu. Biasanya dia bahkan tidak akan mau memberi komentar atau bereaksi terhadap apa pun yang terjadi di sekitarnya. Mungkin itu tidak cukup, tapi setidaknya itu memperlihatkan bahwa dia menyadari keberadaanmu.

Jadi selama ini dia benar-benar& kaku? Tidak peduli pada sekitar? tanya Calla, melongo.

Mmm. Mungkin reaksinya padamu hanya sebagai caranya untuk memperlihatkan kebenciannya pada perjodohan kalian. Tapi itu sudah lumayan.

Tentu saja! seru Calla sambil menepukkan tangannya satu kali. Kalau begitu aku masih harus berjuang. Ya, kan?

Kau membicarakan apa saja dengan Kiera tadi siang? tanya Ian, untuk pertama kalinya mengajak gadis itu bicara duluan. Dia sedang berbaring di atas sofa sambil membaca buku, sedangkan Calla menyelip di ujung sofa dengan posisi meringkuk, sibuk melakukan kebiasaannya mengacak-acak saluran TV.

Calla mengecilkan volume TV lalu menggeser duduknya agar menghadap ke arah Ian. Gadis itu memajukan tubuhnya, meletakkan dagu ke atas lutut kiri Ian yang ditekuk untuk memberikan tempat baginya.

Kau sangat menyukainya ya? tanyanya lesu, tahu bahwa alasan pria itu mengajaknya bicara hanya karena ingin tahu tentang Kiera, bukan tentangnya.

Ian menyingkirkan bukunya lalu menatap gadis itu. Dari mana kau tahu?

Waktu itu aku dan Rayhan melihat kalian sedang makan siang berdua, jadi aku bertanya tentang hubungan kalian, ujar

Calla. Kiera memang sudah memberitahunya bahwa Ian mengira gadis itu tidak menyadari perasaannya.

Ck, anak itu! gerutu Ian pelan, tapi kemudian menyadari bahwa tidak ada ruginya baginya jika Calla mengetahui hal itu. Malah bagus, kan? Jadi gadis itu tahu alasan mengapa dia tidak akan pernah bisa menyukai gadis tersebut tanpa dia perlu bersusah payah sendiri untuk memberi tahu.

Sekarang kau tahu kan kenapa aku tidak menyukaimu? tukasnya dengan nada puas yang tersirat jelas.

Tahu, jawab Calla. Tapi jangan berpikir itu akan berpengaruh terhadap usahaku untuk mendapatkan perhatianmu. Aku malah semakin bersemangat memikirkan cara agar kau berpaling padaku. Tantangannya cukup menyenangkan.

Ian memukulkan buku yang sedang dipegangnya ke kepala gadis itu, mulai merasa kesal dengan mulut gadis itu yang selalu saja berbicara tanpa disaring.

Kau pikir aku apa? Kompetisi?

Bukan, bantah Calla, kalem. Kau itu hadiah termahal di dunia yang akan membuatku memikirkan strategi terbaik untuk memenangkanmu. Dan aku tidak akan menyerah untuk alasan apa pun.

Senang sekali bisa memiliki menantu yang bisa memasak.

Kau pasti akan bisa menjaga kesehatan gizi Ian dengan baik, ucap Ratih, membuat Calla tergelak sambil menyiapkan bahanbahan yang diperlukan untuk membuat saus spageti yang akan dihidangkan sebagai makan malam.

Dia memang sedang berada di rumah Ian. Rumah ayah pria itu lebih tepatnya. Stefan, ayah Ian, mengundang mereka untuk makan malam bersama dan ini akan menjadi kali pertama bagi Calla untuk bertemu dengan pria itu, membuatnya merasa grogi setengah mati.

Kau santai saja. Ayah Ian tidak menakutkan. Kau pikir bagaimana bisa dia memesona gadis muda seperti Kiera kalau dia menyeramkan? canda Ratih.

Calla tersenyum. Tante tidak keberatan dengan hubungan mereka?

Untuk apa? Kami bukan suami istri lagi. Dan kami juga tidak memiliki perasaan apa pun terhadap satu sama lain. Tapi kami memang bersahabat dan Tante mendukung apa pun yang dia lakukan selama masih positif. Lagi pula Kiera gadis baik-baik. Kalau tidak, dia tidak akan bisa menjadi sahabat pria macam Ian selama bertahun-tahun.

Tante tahu hubungan mereka? tanya Calla hati-hati. Maksudmu? Hubungan persahabatan mereka atau& fakta bahwa Ian juga menyukai gadis itu?

Calla meringis. Yang kedua, ucapnya tak enak. Tidak usah kau pikirkan. Tante sudah pernah berbicara dengan Kiera dan ternyata dia juga menyadari perasaan Ian padanya. Dia tidak melakukan apa-apa karena takut merusak persahabatan mereka. Dan Tante tidak bisa menyalahkannya. Karena itu& kau harus segera membuat Ian jatuh cinta padamu. Dan semuanya akan berakhir bahagia seperti di film-film.

Ian memutar-mutar spageti di piringnya dengan garpu tanpa berniat memakannya sedikit pun. Tapi akhirnya dimasukkannya juga ke mulut saat mendapat pelototan dari ibunya yang duduk di depannya walaupun tidak tepat berhadap-hadapan. Suasana ruang makan itu terasa tegang, kalau tidak bisa dibilang mencekam. Ayahnya duduk di ujung meja sebagai kepala ke luarga. Ibunya duduk di samping kanan dan Kiera tepat mengambil tempat di bagian kiri, terlihat mengamati makanan dengan wajah tertunduk, tahu bahwa posisinya sudah cukup sulit di antara anggota keluarga itu. Dia sendiri duduk di samping Kiera dan Rayhan duduk di depannya, dengan sangat kentara berkalikali mencuri pandang ke arah Calla yang duduk di sampingnya

dengan diam. Sepertinya dia bukan satu-satunya orang yang tidak bernafsu makan, karena piring kedua gadis di sampingnya masih penuh tanpa tersentuh. Kiera masih bersikap sopan dengan memakan bola-bola daging di atas spagetinya, tapi Calla lebih memilih menghabiskan air putih di gelasnya. Dan dalam waktu sepuluh menit, dia sudah menuju gelasnya yang ketiga.

Bagaimana kabarmu, Calla? Baik? Ian tidak menyusahkanmu, kan? tanya Stefan, membuka basa-basi.

Baik, Om, jawab Calla singkat, berbeda dari biasanya di mana dia akan menjawab dengan rentetan kalimat panjang yang tidak akan usai jika seseorang tidak menyuruhnya berhenti. Calla yang biasa pasti akan menceritakan segala jenis kelakuan menyebalkan yang dilakukannya terhadap gadis itu.

Tidak usah tegang begitu, sergah Ratih buru-buru, memahami keadaan. Kau tidak lapar? Tante lihat kau dari tadi belum makan.

Calla tersenyum tipis dan menggeleng. Aku terlalu grogi untuk makan, jawabnya dengan suara pelan. Khas seorang Calla yang tidak suka berbohong.

Apa masih tidak ada kemajuan? Dengan Ian? tanya Ratih, memelototi anak sulungnya yang memilih mengabaikannya dengan berpura-pura sibuk memakan spageti yang tadinya tidak berniat disentuhnya.

Ian sepertinya tidak tertarik, gumam Calla lagi. Aku kan sudah bilang ini tidak akan berhasil, sela Ian enteng yang langsung mendapat kecaman dari ayahnya.

Jaga bicaramu. Tidak sopan mengatakan sesuatu seperti itu. Seolah tidak pernah diajarkan sopan santun saja.

Aku kan sudah mengatakan dari awal kalau aku tidak tertarik padanya, gerutu Ian sambil mengedik ke arah Calla. Kalian saja yang terus memaksaku. Lalu sekarang, setelah apa yang kalian inginkan tidak berhasil, kalian masih berani menyalahkanku?

Karena kau tidak berusaha mencoba menyukainya! sergah Ratih kesal.

Siapa suruh ibu menjodohkanku dengan wanita sembarangan.

Tidak apa-apa, Tante. Ian berhak mengutarakan pendapatnya, kata Calla berusaha melerai. Walaupun kedengarannya memang tidak berperasaan, lanjut gadis itu, lebih terdengar seperti gumaman sehingga hanya Ian saja yang bisa mendengarnya. Pria itu mendelik sesaat sebelum akhirnya memalingkan wajah lagi.

Aku kan sudah bilang, Bu, jodohkan Calla denganku saja. Yang penting kan dia menikah dengan salah satu dari kami. Tidak ada bedanya, kan? sahut Rayhan, ikut ambil bagian dalam pembicaraan.

Baguslah. Ambil saja. Aku tidak peduli.

Ratih menghela napas melihat kekeraskepalaan anaknya dan menatap Calla. Itu semua terserah pada Calla saja.

Aku tidak mau digilir ke sana kemari seperti bola, ujar Calla lirih.

Maksud kami bukan seperti itu, Sayang. Kau tahu bagaimana Ian. Dia& sulit. Kau hanya menyakiti dirimu sendiri saja kalau berusaha tetap bertahan dengannya. Sedangkan

Rayhan, dia tertarik padamu. Kau bisa belajar menyukainya. Tante lihat kalian cukup dekat.

Mungkin dia terlalu sering menonton film dan membaca novel dan mengira semuanya bisa terjadi di dunia nyata, di mana si pemeran wanita yang dijodohkan dengan pangeran impiannya berusaha menarik perhatian sang pria dan menunggu sekian lama sampai akhirnya sang pria bertekuk lutut di hadapannya, ujar Ian dingin. Aku jamin, walau dia mencoba sampai belasan tahun ke depan sekalipun, aku masih sangsi bisa tertarik padanya. ASTAGA, IAN!

Pria itu tidak menaruh perhatian sedikit pun terhadap kemarahan ibunya. Alih-alih meminta maaf, dia malah meletakkan garpunya, melempar serbet ke atas meja, dan bangkit berdiri.

Aku sedang tidak nafsu makan. Lebih baik aku pulang saja. Tidak ada yang mau dibicarakan lagi, kan? tukasnya, melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi kemudian pria itu menghentikan langkahnya di depan pintu dan menolehkan wajahnya sedikit. Kau mau tetap di sini atau pulang bersamaku?

Calla mendorong kursi yang didudukinya ke belakang, berdiri, dan membungkuk meminta maaf kepada semua orang.

Maaf, aku pulang dulu. Maaf atas ketidaknyamanannya. Sampai jumpa.

Ian mengemudikan mobilnya dalam diam. Sebelah tangannya memegang kemudi dan sebelahnya lagi bersandar ke pintu mobil, dengan jari yang terbenam di sela rambutnya yang berantakan.

Calla meremas ujung blusnya, berkali-kali menghela napas sampai dia tidak bisa menahan mulutnya lagi dan menumpahkan

kekesalannya pada pria di sampingnya. Air sudah berkumpul di sudut matanya dan siap tumpah kapan saja. Hal yang sebenarnya jarang terjadi karena dia tidak pernah suka menangis.

Kau benar-benar tidak berperasaan, kecamnya di sela isakan yang tidak bisa ditahannya lebih lama lagi. Mengoperku ke sana kemari seperti itu. Mengatakan kau tidak menyukaiku sama saja dengan menghinaku di depan seluruh keluargamu!

Aku tidak menghinamu, sahut Ian tanpa menoleh. Aku hanya mengatakan bahwa aku tidak menyukaimu. Itu bukan hinaan. Kau tidak mungkin mengharapkan semua manusia di bumi ini menyukaimu, kan?

Tapi itu sama saja dengan mengatakan bahwa ada yang tidak beres denganku sampai kau merasa tidak tertarik dan ingin aku menghilang dari hidupmu.

Kau tidak bisa memaksakan perasaanmu terhadap seseorang, kau tahu? ujar Ian, kali ini terdengar lelah. Dan berhentilah menangis. Aku benci gadis cengeng.

Calla mengusap air matanya dengan kasar, masih mengingat janjinya untuk tidak melakukan apa pun yang tidak disukai pria itu.

Tapi kau juga tidak harus menyetujui keinginan adikmu. Walaupun kau tidak menyukaiku, kau tidak seharusnya& , ucapnya tercekat. Kau tidak seharusnya memberikanku pada pria lain seperti itu.

Kau berharap apa? Aku memberitahunya bahwa aku tidak akan menyerahkanmu padanya? Begitu? Apa harus selalu laki-laki yang mempertahankan wanita? sergah Ian hilang kesabaran. Kalau begitu untuk apa kalian sibuk memperjuangkan hak-hak feminis jika kalian masih menginginkan kami yang melakukannya?

Aku bahkan tidak cukup menyukaimu untuk bersedia melakukan hal semacam itu.

Calla menggigit bibir, melihat gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Ian membelokkan mobil memasuki pelataran gedung dan langsung menuju basement untuk memarkirkan mobilnya. Gadis itu tidak mengajukan pembelaan apa pun lagi, hanya turun dari mobil dan berusaha menjajari langkah Ian yang panjang.

Lift yang mereka naiki kosong. Hening. Bahkan suara napas sekalipun tidak terdengar. Calla berdiri di sudut dengan tubuh bersandar ke dinding lift, sedangkan Ian berdiri di depannya dengan kedua tangan yang terbenam di dalam saku celana.

Rasanya sangat lama sampai mereka mencapai lantai tempat apartemen Ian berada dan lagi-lagi mereka berjalan dalam diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun terhadap satu sama lain.

Calla yang merasa tidak nyaman dengan situasi itu berniat langsung masuk ke kamarnya yang berada di samping kamar Ian, saat suara pria itu menghentikan langkahnya.
Callasun Karya Yuli Pritania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau kau masih ingin tetap menyukaiku, ucap Ian dengan tangan yang berada di pegangan pintu, berdiri menghadap pintu kamarnya yang baru separuh terbuka. Lanjutkan saja. Itu hakmu.

Ian berdiri diam di depan cermin di kamarnya, menunggu, berharap mungkin saja suara cempreng yang dibencinya itu terdengar lagi, tapi nihil. Bahkan sudah lewat dari sepuluh menit sejak dia berdiri seperti itu.

Pria itu melepaskan dasinya yang hanya tergantung di balik kerah, membuka dua kancing atas kemejanya dan melipat

lengannya sampai ke siku, mulai merasa curiga. Dia keluar dari kamar dan langsung menuju kamar Calla. Gadis itu tidak ada di dalam, tidak juga di dapur, atau di mana pun. Dan juga tidak ada sesuatu pun di atas meja makan. Yang bisa dipikirkannya hanya gadis itu sudah berangkat ke kantor duluan, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan itu berarti gadis tersebut sedang& merajuk. Sepertinya. Mungkin karena sikap kasarnya semalam.

Sial. Walaupun dia tidak tahu apa yang salah, tapi sepertinya ucapannya semalam sudah benar-benar kelewatan.

Hmm, aku malah merasa kasihan. Istrinya sedang sakit parah, makanya dia tidak konsentrasi bekerja.

Benar. Lagi pula kan tidak ada korban. Aku rasa sekadar diberi peringatan juga sudah cukup.

Ada apa? tanya Calla ingin tahu, melihat kerumunan karyawan-karyawan di luar ruangannya.

Pak Sadi, sopir perusahaan baru saja dipecat oleh PresDir. Terjadi tabrakan pagi ini saat melakukan pengiriman buku. Tidak ada korban, tapi mobilnya rusak. Padahal kasihan sekali, istrinya sedang dirawat di rumah sakit karena penyakit paru-paru dan dia pasti membutuhkan banyak uang. Tapi malah dipecat.

Pak Ian memang kadang suka tidak berperasaan, tapi aku rasa ini sedikit berlebihan. Kerja Pak Sadi selama ini bagus, mungkin tadi pagi dia hanya kurang konsentrasi saja.

Raut wajah Calla sedikit berubah. Pria itu memang arogan, tapi ini sudah keterlaluan. Dia tidak punya perasaan sedikit pun ya? Apa hanya karena orang tersebut memiliki status lebih rendah

darinya jadi dia merasa punya hak untuk bersikap semaunya? Ian yang dikenalnya seharusnya tidak bersikap seperti itu, kan? Tapi dia bahkan tidak benar-benar mengenal pria itu.

Apa kau tidak bisa memberinya satu kesempatan lagi?

Ian mendongak dari file yang sedang ditekuninya dan memandang sekilas ke arah Calla yang tampak marah. Jadi gadis itu sudah mau berbicara dengannya lagi ya? Cepat sekali.

Apa yang kau bicarakan? tanya Ian malas, menunduk lagi untuk melanjutkan kegiatannya.

Pak Sadi. Siapa lagi? Kau kan bisa memberinya kesempatan sekali lagi. Dia hanya tidak konsentrasi karena istrinya sedang sakit dan dia membutuhkan banyak uang, tapi sekarang kau malah memecatnya.

Dan kebetulan aku memang tidak suka dengan karyawan yang tidak fokus saat bekerja. Kali ini memang tidak ada korban, lain kali? Ian melempar file-nya ke atas meja lalu duduk sambil bersedekap. Kau sudah mulai berani mendikte keputusan atasanmu ya? Kau masuk ke sini karena koneksi. Sudah untung bukan kau yang kupecat.

Ian tahu itu kedengarannya kejam, tapi mood-nya sudah sangat buruk dari pagi, jadi dia tidak bisa mengontrol apa yang dikatakannya.

Dia melihat ekspresi muka Calla yang tampak tersinggung, bagaimana gadis itu menggigit bibirnya seolah menahan diri untuk mengatakan sesuatu, lalu berbalik begitu saja, keluar dari ruangannya.

Seharusnya dia merasa senang karena gadis itu marah padanya, mungkin juga gadis itu tidak akan mengganggunya lagi

saat menyadari pria seperti apa dia sebenarnya. Tapi kenapa dia merasa aneh? Ada rasa tidak suka saat dia melihat tatapan yang tadi diarahkan gadis itu padanya. Bukan lagi tatapan memuja, tapi seperti benci& . Terluka.

Mungkin dia sudah melakukan kesalahan lagi. Dan dia tidak tahu cara memperbaikinya.

Hei, kenapa tampangmu? tanya Rayhan yang sudah berada di ruangan Calla saat gadis itu melangkah masuk.

Kakakmu itu benar-benar orang paling arogan dan tidak memiliki perasaan yang pernah kukenal? serunya berapi-api. Kenapa lagi dia?

Calla menceritakan dengan cepat apa yang baru saja terjadi, masih dengan emosi yang sedang berada di titik didih. Oh, itu.

Oh itu kau bilang?

Kalau makiannya terhadapmu aku memang tidak bisa berkomentar, dia memang begitu, tapi kalau masalah Pak Sadi, sepertinya kau sudah salah paham.

Apanya yang salah paham? Semua karyawan mengatakan hal yang sama.

Itu karena mereka tidak tahu, bantah Rayhan. Ian memang memecat Pak Sadi. Dia tidak suka orang yang tidak bisa memisahkan antara masalah pekerjaan dan urusan pribadi. Tapi yang tidak diketahui para karyawan adalah, Ian selalu memberi pesangon besar. Cukup untuk membuka usaha kecil-kecilan sebelum karyawan-karyawan yang dipecatnya menemukan pekerjaan baru. Tapi tidak jarang juga mereka sukses dalam berbisnis dengan modal yang Ian berikan. Beberapa dari mereka

bahkan mendatangi Ian untuk mengucapkan terima kasih. Dalam hal ini, dia juga membantu Pak Sadi untuk membiayai setengah dari biaya rumah sakit dalam bentuk pinjaman. Dia juga tidak benar-benar memecat Pak Sadi. Dia hanya memindahkan pria itu ke salah satu pabrik Ayah yang membutuhkan sopir tambahan untuk menyicil pinjaman yang diberikan perusahaan.

Mulut Calla sedikit terbuka selama gadis itu mendengarkan penjelasan Rayhan. Cukup mengejutkan saat dia mengetahui kejadian yang sebenarnya, yang jelas jauh berbeda dengan apa yang dia pikirkan.

Tapi Ian bahkan tidak berusaha membela diri Kau masih tidak mengenal sifatnya? Mana mungkin dia mau menghabiskan tenaga untuk mencoba menjelaskan. Hei hei hei, mau ke mana kau? seru Rayhan saat Calla tiba-tiba berdiri dan berlari keluar ruangan.

Nanti aku akan menemuimu lagi! teriak gadis itu sambil melambaikan tangannya.

Huh, dengus pria itu. Aku ditinggalkan lagi.

Calla berlari di sepanjang koridor lantai 4. Pria itu tidak ada di kantornya, sekretarisnya juga tidak, jadi dia tidak tahu harus bertanya pada siapa. Satu-satunya tempat lain yang diketahuinya hanya kantin, jadi dia hanya bisa berdoa agar pria itu sedang makan siang di sana, bukannya ke luar kantor bersama Kiera.

Dia sedikit merutuki dirinya sendiri yang langsung percaya pada perkataan orang lain, bukannya percaya penuh kepada Ian seperti yang seharusnya dia lakukan. Kelakuannya benar-benar tidak bisa dimaafkan.

Ian sedikit mengangkat wajahnya dan mendapati Calla sudah duduk di depannya, dengan dagu yang ditumpangkan ke atas meja, menatapnya dengan raut wajah lesu.

Ian, panggil gadis itu lemas. Tangannya mengangsurkan sesuatu ke arah pria tersebut, yang ternyata adalah sebuah permen. Bagaimana kalau kita baikan?

Pria itu hampir-hampir tidak bisa menahan tawa melihat tingkah gadis tersebut, tapi alih-alih melakukannya, Ian malah mengeluarkan suara dengusan dan menaikkan alisnya. Mengajak berbaikan dengan sebuah permen? Memangnya mereka anak umur lima tahun?

Kau sudah berhenti marah? ejeknya.

Calla mengangguk-angguk seperti pajangan anak anjing yang kepalanya bergoyang di atas dashboard mobil.

Ian tidak berkomentar dan malah melanjutkan makan siangnya yang terganggu. Dia juga tidak memedulikan tatapan ingin tahu para karyawan yang juga sedang makan siang di kantin yang sama. Dia tidak pernah memedulikan apa yang orang lain pikirkan.

Aku akan pergi kalau kau menerima permen dariku, lanjut Calla, masih tetap dalam posisinya semula.

Ian mendelik tapi memutuskan mengambil permen tersebut, daripada gadis itu mendesaknya terus-terusan.

Sudah. Pergi sana.

Calla bangkit berdiri dengan senyum lebar di wajah. Oke, sampai jumpa di rumah. Bagaimana kalau kau tidak usah makan di luar? Biar aku memasak untukmu. Tidak usah memaksakan keberuntunganmu.

Gadis itu nyengir dan melambai pergi. Aku tunggu di rumah!

Saat itu Ian akhirnya menyadari sesuatu. Mungkin Calla tidak ingat, tapi gadis itu baru saja mengumumkan kepada semua orang bahwa mereka tinggal bersama. Sepertinya gosip akan mulai menyebar. Tapi itu bukan urusannya. Palingan gadis itu sendiri yang kena getahnya.

Pria itu melirik permen yang masih berada dalam genggamannya. Memutar-mutarnya sesaat lalu tanpa sadar tersenyum kecil dan memasukkannya ke kantong jas.

Permen sebenarnya tidak sekekanak-kanakan itu.

Calla menarik kursi dari meja makan ke depan lemari dapur, naik ke atasnya, dan mulai sibuk menurunkan piring-piring dan peralatan makan lainnya yang terletak di bagian atas lemari. Itulah yang harus dia lakukan setiap kali memasak di apartemen ini. Jelas sekali bahwa Ian tidak pernah makan di rumah, karena dia menemukan semua barang-barang itu sudah berdebu karena tidak pernah dipakai. Dan dia terlalu takut untuk memindahkan peralatan makan tersebut ke tempat yang lebih mudah dijangkau. Mungkin saja kan Ian akan memarahinya kalau terlalu banyak mengacak-acak rumahnya?

Kau sedang apa? tanya Ian yang baru pulang, membuat Calla terlonjak kaget dan nyaris kehilangan keseimbangan.

Astaga, kau mengagetkanku tahu! seru gadis itu, turun dari atas kursi dan meletakkan barang-barang yang diperlukannya ke atas meja. Hanya sedang mengambil piring dan mangkuk. Kau belum makan, kan? tanyanya penuh harap.

Ian menggeleng, sibuk melepaskan dasi dan kancing lengan kemejanya.

Aku mau mandi dulu. Kalau sudah selesai kau makan duluan saja.

Aku juga mau mandi. Tapi kalau kau sudah selesai mandi dan aku belum, kau harus menungguku. Kita makan bersama. Oke? pinta Calla sambil mengulurkan jari kelingkingnya. Apa? tanya Ian bingung.

Janji.

Ck, kau ini kekanak-kanakan sekali. Baik, aku akan menunggumu. Puas? sergah Ian, tidak mau mengikuti ajakan gadis itu untuk mengaitkan jari kelingking mereka. Dia malah berlalu begitu saja menuju kamar, meninggalkan gadis tersebut sendirian. Momen seperti itu sedikit membuatnya gugup. Gadis itu menunggunya pulang kerja dan memasak untuknya agar mereka bisa makan bersama. Kesannya seperti sepasang suami istri. Sesuatu yang tidak ingin dilakukannya bersama Calla.

Ian keluar kamar lima belas menit kemudian, mendapati ruang makan masih kosong, pertanda bahwa gadis itu masih mandi. Dia memandangi makanan yang sudah tertata rapi di atas meja. Semuanya adalah masakan kesukaannya. Sepertinya ibunya sudah mengkhianatinya lagi.

Ian mengedarkan pandangan, mendadak teringat dengan apa yang dilakukan gadis itu saat dia baru pulang tadi. Gadis tersebut harus memanjat kursi untuk mengambil peralatan makan yang memang diletakkannya di bagian atas lemari. Mungkin takut dimarahi olehnya, makanya gadis itu tidak berani memindahkan letak barang-barangnya.

Ian memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana, berjalan menuju lemari dapur dan membukanya, menjangkau barang-barang di bagian atas lalu memindahkannya ke bagian bawah lemari yang masih kosong agar gadis itu tidak perlu lagi bersusah-payah mengambilnya. Anggap saja sebagai bayaran darinya karena gadis tersebut sudah memasakkan makan malam. Lagi pula tidak ada yang bisa dilakukan dengan tinggi badan gadis itu yang berada di bawah rata-rata.

Ian menyelesaikan pekerjaannya tidak sampai satu menit sebelum Calla kembali dan mengajaknya untuk langsung makan. Untung saja gadis itu tidak muncul beberapa detik lebih cepat. Dia tidak suka jika gadis itu mulai besar kepala dan terangterangan memandanginya dengan kagum. Rasanya menggelikan. Walaupun dia sedikit mulai terbiasa.


Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Pride And Prijudice Karya Jane Austen

Cari Blog Ini