Bumi Karya Tere Liye Bagian 3
mengerikan. Kami hampir tewas disengat listrik sekaligus ditimpa tiang
raksasa.
128
"Apa yang kita lakukan sekarang?" Seli bertanya, suaranya masih
bergetar. Dia menatap sekeliling aula. Ruangan besar itu kosong
melompong.
Aku ikut memeriksa aula. Selain untuk rapat, pertemuan
guruwali murid, dan pertunjukan seni, aula itu sekaligus merangkap
lapangan olahraga indoor. Ada lapangan bulu tangkis di dalamnya, yang
garis-garisnya ditimpa lapangan futsal, lapangan voli, dan lapangan
basket. Ada empat lapangan sekaligus di lantai aula. Praktis, jika ingin
bermain bulu tangkis, tinggal pasang tiang dan netnya. Kalau ingin
bermain basket, lepas tiang dan net badminton, dorong tiang-tiang basket
yang disimpan di sudut-sudut aula.
Di luar aula suara keramaian semakin terang. Juga sirene mobil
pemadam kebakaran.
"Apa yang
pertanyaannya.
akan
kita
lakukan
sekarang?"
Seli
mengulang
"Kita menunggu," Ali menjawab. "Jika sudah banyak orang di
sekolah ini, kita bisa menyelinap di tengah keramaian tanpa menarik
perhatian."
Seli mengembuskan napas pelan, beranjak duduk bersandarkan
dinding aula, wajahnya terlihat lelah. "Aku lapar, Ra... Kita tidak jadi
makan di kedai fast food."
Aku menatap Seli, siapa pula yang mau makan di kedai fast food?
Kondisi kami mengenaskan begini. Bisa-bisanya Seli ingat makan siang.
Dasar perut karung.
"Bagaimana kamu tahu kami ada di belakang?" Seli menoleh ke
arah Ali, bertanya.
"Eh, aku beberapa hari terakhir memang menguntit Ra." Ali nyengir,
menjawab ringan, seolah kata menguntit itu hal biasa. "Sejak aku curiga
dia bisa menghilang. Kamu tadi menangkap kabel listrik itu, Seli.
Bagaimana kamu melakukannya?"
129
Seli menggeleng. "Aku tidak tahu. Tidak ada yang bisa aku lakukan,
menghindar tidak sempat, lari tidak mungkin. Tiba-tiba saja aku nekat
menangkapnya."
"Keren!" Ali mendesis.
Aku menyikut lengan Ali di sebelahku. Apanya yang keren?
"Tapi ini pasti bukan yang pertama kali, kan?" Ali nyengir tanpa
dosa, menahan tanganku, asyik bertanya kepada Seli?seperti wartawan
gosip yang semangat melakukan wawancara.
Seli mengangguk. "Sejak kecil aku terbiasa dengan listrik. Tidak
pernah tersengat. Tanganku juga bisa mengeluarkan aliran listrik. Tidak
ada yang tahu. Kalian orang pertama yang tahu."
"Itu keren sekali, Seli!" Ali berseru.
Aku kali ini menarik lengan Ali, melotot. "Tidak ada yang keren
dengan semua ini! Kami baru saja selamat dari kejadian gila. Kamu
menganggap ini hanya salah satu praktikum fisika?"
"Eh nggak sih, Ra. Maksudku, eh, tapi itu memang keren kok."
Kalau saja situasinya lebih baik, saking jengkelnya, si biang kerok
ini akan kubuat hilang?dengan asumsi aku bisa melakukannya.
"Sejak kapan kamu bisa menghilangkan benda?" Seli sekarang
mendongak padaku.
"Sejak semalam," Ali yang menjawab, lalu nyengir lebar.
Aku kembali menoleh padanya.
"Sori, Ra. Aku memang meletakkan alat di rumahmu. Aku bisa
melihatmu menghilangkan novel dan kursi di kamar tadi malam."
"Apa?" Aku melotot.
Ali menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
130
Aku sekali lagi meloncat, memegang kerah Ali. Enak saja dia
menatapku dengan wajah tanpa dosa. Kalau dia meletakkan alat itu di
kamarku, itu berarti saat aku sedang tidur, sedang belajar, sedang
mengupil, bahkan ganti baju sekalipun di kamar bisa dia lihat.
"Eh, aku tidak melakukan lebih dari itu, Ra. Sumpah. Aku hanya
mengaktifkan alatnya pada saat-saat tertentu, ketika sensornya
berbunyi. Lagi pula alat perekam yang kuletakkan fungsinya berbeda
dengan kamera kebanyakan," Ali membela diri, seperti tahu apa yang
terlihat dari tatapan marahku.
Aku mengencangkan cengkeraman. Tidak peduli.
"Aduh, Ra. Lepaskan, aku susah bernapas." Ali tersengal. "Aku
minta maaf jika kamu marah. Itu sungguh alat yang berbeda, tidak seperti
yang kamu bayangkan. Bukan perekam biasa. Aku bisa menjelaskannya.
Sumpah, aku tidak melihat yang aneh-aneh, selain kamu menghilangkan"
"Omong kosong!" aku berseru galak. Enak saja si biang kerok ini
membela diri. Seli di sebelah masih duduk, memulihkan diri, menonton
aku dan Ali bertengkar.
Tetapi gerakan tanganku terhenti. Terdengar suara alarm dari
ransel Ali.
"Ada yang datang,"
melepaskan tanganku.
Ali
berkata
patah-patah.
Dia
berusaha
"Ada yang datang? Siapa?" tanyaku cemas.
Ritme suara alarm itu semakin cepat.
"Astaga, banyak sekali yang datang!" Ali berseru panik.
Aku menatap wajah Ali, tidak mengerti.
Ali berhasil melepaskan diri dari cengkeramanku yang mengendur.
Dia bergegas mengeluarkan peralatan dari dalam ranselnya. Entahlah,
mirip tablet atau laptop, tapi bentuknya berbeda, lebih tipis dan simpel.
131
Si genius ini pasti jago memermak apa pun. Suara bip-bip-bip terdengar
semakin cepat.
"Siapa yang datang?" Seli bertanya, beranjak mendekat, menatap
layar peralatan Ali.
Aku menoleh ke pintu aula. Di luar memang ramai suara orang.
Halaman sekolah juga sudah dipenuhi sirene mobil pemadam kebakaran.
Selain punya jalan tersendiri, ada akses pintas ke gardu listrik itu
melewati sekolah. Guru? Petugas? Mereka akan masuk ke dalam aula.
"Aku juga tidak tahu siapa mereka, Sel." Ali menggeleng. "Mereka
jelas tidak akan datang lewat pintu aula, Ra."
"Tidak melewati pintu aula? Bagaimana mereka masuk?" Seli jadi
ikut panik. Aula sekolah tidak memiliki pintu lain, juga jendela. Hanya
ada kisi-kisi di seluruh dinding untuk sirkulasi udara. Itu pun posisinya
empat meter lebih di atas lantai. Kucing pun tidak bisa melewatinya.
"Aku tidak tahu bagaimana mereka akan masuk ke aula." Ali
menggeleng, berusaha menjelaskan dengan cepat. "Aku meletakkan
banyak sensor di sekolah sejak kejadian Ra diusir dari kelas matematika.
Ra tidak mau mengaku bisa menghilang, jadi aku tidak punya pilihan,
mencari buktinya dengan merakit peralatan. Alatku tidak hanya berfungsi
merekam, tapi sekaligus merasakan. Jadi kalau ada yang bergerak tidak
terlihat, tetap bisa ketahuan. Kalian tahu, itu mudah dilakukan, tapi
susah menjelaskannya lebih detail." Si genius itu menyisir rambut
berantakannya dengan jari tangan, menatap tajam layar tablet di
tangannya. "Mereka sudah dekat sekali."
Dekat apanya? Aku dan Seli saling tatap, memeriksa aula dengan
panik.
Hanya ada kami bertiga di dalam. Tidak ada siapa-siapa di aula
sekolah. Tiang basket tegak mematung di tengah. Beberapa bola voli, alat
lompat tinggi, dan trampolin tergeletak di sudut-sudut. Cahaya matahari
menembus kisi-kisi dinding. Tinggi aula ini hampir 5 meter, dengan luas
20 x 30 meter.
"Mereka banyak sekali, delapan orang setidaknya." Ali mendesis.
132
Aku dan Seli menelan ludah, menatap gentar ke seluruh arah.
Aula tiba-tiba meremang, seperti ada yang melapisi seluruh dinding
aula dengan plastik hitam. Tidak ada lagi cahaya matahari yang masuk,
seolah di luar telah beranjak malam. Suara bising sirene di halaman
sekolah, juga orang-orang yang berteriak meredup, kemudian senyap
sama sekali.
Aku menatap sekitar dengan gentar, apa yang sebenarnya sedang
terjadi? Seli patah-patah berdiri, berjaga-jaga. Ali di sebelahku
memasukkan tabletnya ke dalam tas ransel. Kami bertiga berdiri rapat.
Aula sekolah berubah persis seolah kami sedang ada di tanah
lapang luas, tapi pada malam hari, dengan semburat cahaya bulan yang
lembut. Kami bisa menatap kejauhan, meski tidak jelas.
"Mereka tiba," Ali berbisik pelan, suaranya terdengar bersemangat
berbeda sekali dengan intonasi suaraku atau Seli yang cemas.
Aku melirik Ali, hampir menepuk dahi tidak percaya. Si genius ini
sejak tadi menganggap semua ini keren dan hebat. Tidakkah dia tahu
bahwa ini boleh jadi amat berbahaya, bukan sekadar seru-seruan
meledakkan laboratorium fisika. Kami bahkan tidak tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi. Apa maksud semua ini? Seli merapat di
sebelahku, wajahnya sama sepertiku, cemas.
Beberapa detik lengang.
Dari dinding seberang, dari jarak tiga puluh meter terlihat lubang
dengan pinggiran hitam yang semakin lama semakin besar. Seperti ada
gumpalan awan hitam bergulung, perlahan membuka celah, menciptakan
lorong. Kami semakin tegang, menunggu.
Saat lubang itu sudah berukuran setinggi orang dewasa, melintas
dengan amat mudah, delapan orang membawa panji-panji tinggi. Mereka
muncul dari lubang, berderap maju, mendekat dengan cepat. Pakaian
mereka berwarna gelap. Aku tidak tahu pasti warnanya. Aula remang.
Mereka berperawakan ramping tinggi, laki-laki, dengan rambut panjang
diikat di belakang. Wajah mereka yang tampan seperti bercahaya,
cemerlang.
133
Mereka berhenti persis sepuluh langkah dari kami, berjejer rapi.
Lubang di belakang mereka mengecil, kemudian lenyap.
Kami bertiga semakin rapat, berjaga-jaga atas segala kemungkinan.
Terdengar suara gelembung meletus pelan.
"Halo, Gadis Kecil," sebuah suara menyapaku.
Aku menelan ludah, mengenali suara itu.
134
ATU sosok muncul begitu saja di depan delapan orang berbaris
rapi.
Orang itu yang muncul di cerminku tadi malam, dan malam-malam
sebelumnya. Masih seperti yang kuingat, perawakannya tinggi, kurus,
wajahnya tirus, telinganya mengerucut, rambutnya meranggas, dengan
bola mata hitam pekat. Dia mengenakan aku tidak tahu apakah itu
pakaian atau bukan kain yang seolah melekat ke tubuhnya, berwarna
gelap. Tapi kali ini, sosok tersebut nyata, bukan di dalam cermin.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saatnya menjemputmu, Gadis Kecil." Sosok itu semakin dekat.
Aku, Seli, dan Ali refleks hendak melangkah mundur, tapi
percuma, kami sejak tadi tertahan dinding aula, tidak bisa ke manamana.
Menjemput ke mana? Aku menatapnya gentar. Kehadirannya jauh
lebih menakutkan dibanding jika dia hanya muncul di dalam cermin.
"Kamu tidak dimiliki dunia ini, Nak. Kamu akan ikut denganku.
Tidak ada lagi latihan, tidak ada lagi kunjungan lewat cermin. Waktunya
habis. Aku akan mendidikmu langsung di dunia kita."
Aku menggeleng tegas. "Tidak mau!" Siapa pula yang mau ikut
dengannya?
"Baik. Aku sudah menduganya. Kamu jelas keras kepala
sepertiku, bahkan sebenarnya, petarung terbaik klan kita harus
memiliki sifat keras kepala... Kamu akan ikut baik-baik atau aku
terpaksa memaksamu." Sosok kurus itu berhenti lima langkah dari kami,
menatap serius.
"Aku tidak mau ikut!" aku berseru ketus.
Urusan ini aneh sekali, bukan? Aku tidak kenal dengan orang ini.
Dia juga mengunjungi kamarku dengan cara ganjil, menyuruhku latihan
135
menghilangkan benda-benda, sekarang enak saja dia memaksaku ikut
entah ke mana. Dia pikir dia siapa bisa memaksa.
"Waktuku tidak banyak, Nak. Kamu jangan membuat rumit."
Matanya mulai mengancam, mata yang sama persis ketika menyuruhku
menghilangkan novel tadi malam.
Aku menggeleng.
"Baiklah. Kamu sendiri yang menginginkannya." Sosok tinggi itu
mengangkat tangan, memberi kode ke delapan orang di belakangnya.
"Hei!" Ali lebih dulu meloncat di depanku, menghentikan gerakan
sosok kurus itu. "Apa yang akan kamu lakukan? Siapa pun kamu, dari
mana pun kamu berasal, kamu tidak bisa memaksa orang lain untuk
ikut rombongan sirkus kalian! Zaman sudah berubah. Ini bukan lagi
zaman pemaksaan."
"Tidak ada yang mengajakmu bicara, Makhluk Tanah! Minggir!"
Sosok kurus itu menggeram marah.
"Coba saja!" Ali balas menggertak.
"Aku tidak ada urusan dengan bangsa kalian yang lemah dan
memalukan." Sosok kurus itu mengibaskan tangan, pelan saja, bahkan
tidak mengenai tubuh Ali, tapi Ali langsung terbanting ke lantai aula.
Aku dan Seli berseru tertahan.
Tapi Ali segera bangkit. Meski menyebalkan, ada satu hal yang
istimewa dari Ali, seluruh sekolah juga tahu: Ali tidak takut pada siapa
pun. Kepala Sekolah pun dia ajak berdebat.
Lihatlah, sambil mengaduh pelan, Ali berdiri, berseru galak, "Aku
tidak akan mengizinkanmu membawa temanku pergi!" Ali meraih
ranselnya, mengeluarkan sesuatu, pemukul bola kasti.
Sosok tinggi itu tertawa. "Kamu akan menyerangku dengan benda
itu, hah?"
136
Ali tidak peduli. Dia sudah melompat mengayunkan pemukul bola
kasti.
Sosok tinggi itu bergerak lebih cepat. Tangannya menderu
menghantam perut Ali. Aku berseru ngeri. Tadi saja hanya ditepis pelan
Ali terbanting duduk, apalagi jika dipukul langsung. Akibatnya pasti lebih
mengerikan.
Tetapi bukan Ali yang terpental, justru sosok tinggi itulah yang
terbanting. Selarik kilau petir menyambar, membuat terang sejenak
seluruh aula.
Aku menatap tidak percaya.
Seli di sebelahku telah mengacungkan jemarinya ke depan.
Delapan orang yang membawa panji melangkah mundur. Sosok
tinggi itu meringkuk di lantai aula. Tubuhnya masih dibalut aliran listrik,
meletup menyelimuti pakaian gelapnya.
"Jangan pernah memukul temanku!" Seli berteriak, suaranya serak.
Seli jelas sekali takut menghadapi situasi ini. Kakinya bahkan terlihat
gemetar, berusaha berdiri kokoh. Tapi Seli tidak punya pilihan, sama
seperti saat delapan kabel listrik menyambar kami tadi. Seli refleks
memutuskan melawan.
Sosok tinggi itu berdiri perlahan. Wajahnya yang masih diliputi
aliran listrik meringis.
"Ini sungguh kejutan besar." Dia tertawa pelan, mengibaskan
pakaiannya, menatap galak. "Aku tidak pernah tahu Klan Matahari bisa
berjalan di atas tanah. Astaga! Kamu baru saja menyambar tubuhku
dengan petir, Nak? Sayangnya, kamu sepertinya masih harus banyak
berlatih agar petirmu bisa membunuh, karena yang tadi hanya
membuatku geli. Atau jangan-jangan kamu juga tidak tahu kenapa
memiliki kekuatan. Bingung hingga hari ini?"
"Jangan mendekat!" Seli mengacungkan jemarinya, ada aliran listrik
di sana.
"Kamu akan mencegahku dengan apa, anak kecil? Petir yang tadi?"
137
Seli menghantamkan lagi tangannya ke depan.
Kali ini sosok tinggi kurus itu lebih siap. Dia balas memukul.
Lubang hitam menganga muncul, menggantung di depan membentuk
tameng. Larikan petir yang diciptakan Seli tersedot ke dalam. Lubang itu
mengecil, hilang. Sosok tinggi kurus itu mendorongkan telapak
tangannya ke depan. Entah disentuh kekuatan apa, meski telapak tangan
itu jaraknya masih tiga meter dari kami, Seli tetap terbanting
menghantam dinding aula.
Aku menjerit ngeri. Itu pasti sakit sekali.
Seli mengerang, terkulai duduk.
"Ringkus mereka berdua!" Sosok tinggi kurus itu tidak peduli. Dia
justru berseru lantang ke belakangnya. "Akan menarik sekali bisa
membawa pulang seorang anggota Klan Matahari."
Delapan orang membawa panji meloncat ke depan, menghunus
panji tinggi mereka yang sekarang berubah menjadi tombak panjang
berwarna perak.
Seli masih berusaha memukulkan tangannya ke depan, melawan,
selarik kilat menyambar, lebih redup dibanding sebelumnya, tapi delapan
orang itu dengan mudah menghindar. Ali berteriak di sebelahku,
mengayunkan pemukul bola kasti, juga melawan, tapi salah satu dari
mereka menangkisnya dengan tombak. Ali terlempar bersama pemukul
bola kastinya.
Aku mendesah cemas. Apa yang harus kulakukan? Aku juga harus
melawan.
Tanganku teracung ke depan, berseru lantang, "Hilanglah!"
Tiga dari mereka yang membawa tombak memang menghilang
seketika, tapi kemudian kembali muncul. Tidak berkurang apa pun,
malah maju semakin dekat, mengancam dengan tombak perak.
138
Sosok tinggi kurus itu tertawa. "Kamu sepertinya tidak belajar,
Nak. Kamu tidak bisa menghilangkan orang yang sudah hilang dari dunia
ini. Ingat kucing hitamku?"
"Hilanglah!" aku menjerit panik.
Sebanyak apa pun aku bisa menghilangkan, mereka muncul
kembali.
"Kamu masih harus belajar banyak, Gadis Kecil. Itulah gunanya
kamu ikut denganku. Dunia Tanah ini terlalu hina untuk klan kita."
Sosok kurus itu tergelak.
Mereka berhasil meringkus Seli, mengikat seluruh tubuhnya dengan
jaring perak. Seli berontak, berusaha melawan dengan sisa tenaga,
namun sia-sia. Jaring itu semakin kencang setiap kali dia berontak.
"Tinggalkan saja Makhluk Tanah
membawanya," sosok tinggi itu berseru.
itu.
Kalian
tidak
perlu
Ali dilemparkan kembali ke lantai aula sekolah. Jaring perak yang
telanjur membungkusnya membuka sendiri. Jaring itu merangkak
kembali ke tombak perak.
Aku terdesak di dinding, panik melemparkan apa saja yang ada di
dekatku, termasuk bola voli dan galah. Tidak ada artinya bagi mereka.
Aku tidak bisa ke mana-mana. Empat dari mereka mengepungku. Salah
satu dari mereka mengacungkan tombak yang dari ujungnya keluar
jaring. Aku menunduk, berusaha menghindar. Percuma, jaring itu seperti
bisa bergerak sendiri, berubah arah, siap menjerat.
Tidak ada lagi yang dapat kulakukan, tiga orang anak kelas sepuluh
melawan delapan orang dewasa yang tiba-tiba datang dari lubang di
dinding aula, ditambah sosok tinggi kurus itu. Kami bukan lawan
sebanding. Tidak adakah yang mendengar semua kegaduhan di dalam
aula? Datang menolong kami? Bukankah teriakanku dan Seli seharusnya
terdengar lantang dari luar?
Aku mengeluh, bahkan suara sirene mobil pemadam kebakaran di
halaman sekolah pun tidak bisa kami dengar, seakan ada tabir yang
139
menutup seluruh dinding, membuat aula senyap, remang bagai malam
hari. Terputus dari dunia luar.
Jaring perak menangkap tanganku, lantas seperti lintah, menjalar,
berjalan sendiri ke seluruh tubuh, berusaha membungkus badanku.
Semakin kencang aku berontak, semakin cepat jaring itu bergerak. Aku
mengeluh panik. Apa yang harus kulakukan? Seli bahkan sudah
digendong salah satu dari mereka. Aku mulai putus asa.
Terdengar suara seperti gelembung air meletus pelan di dekatku.
Lantas kalimat datar bertenaga. "Sepertinya aku datang terlambat...."
Entah muncul dari mana, di sampingku telah berdiri dengan gagah
orang yang juga amat kukenal selama ini. Tangannya bergerak cepat,
lebih cepat daripada bola mataku mengikuti, menebas jaring perak di
tubuhku, luruh ke bawah.
Aku terduduk. Orang yang baru datang itu mengulurkan
tangannya, membantuku berdiri, lantas menatap ke depan dengan
tenang.
"Kalian seharusnya memilih lawan setara."
140
ISS KERITING...," aku tersengal menyebut nama.
Guru matematikaku itu tertawa pelan. "Kamu seharusnya
memanggilku Miss Selena, Ra. Tapi tidak masalah, aku tidak akan
menghukum semua murid sekolah ini gara-gara panggilan lucu itu.
Apalagi dalam situasi sulit seperti ini."
Seli mengerang dua langkah dariku.
Miss Selena melangkah cepat, berusaha membantu Seli. Namun
gerakannya terhenti, karena enam orang yang memegang tombak tanpa
banyak bicara telah menyerangnya. Enam tombak melesat cepat ke
tubuh Miss Selena. Aku menutup mata, ngeri melihat apa yang akan
terjadi. Tapi sebaliknya, enam tombak itu patah, berkelontangan di lantai
aula. Pemegangnya jatuh terbanting.
Aku memberanikan diri membuka mata, melihat Miss Selena berdiri
mantap. Tangannya baru saja menepis tombak perak sekaligus mengirim
serangan, sama sekali tidak tersisa tampilan guru yang kulihat selama ini.
Dia terlihat anggun berwibawa. Remang aula membuat wajah Miss Selena
terlihat bercahaya, seperti bulan purnama. Itu tadi gerakan menangkis
yang mematikan. Miss Selena berdiri di tengah enam orang yang
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergelimpangan. Enam orang itu mengerang di lantai, dua sisanya
takut-takut mendekat.
"Dia bukan lawan kalian," sosok tinggi kurus itu berseru, menyuruh
dua orang dari mereka mundur.
Miss Selena dengan cepat melangkah mendekati Seli. Satu
tangannya menghantam dua orang tersisa yang langsung terbanting ke
lantai, satu tangannya lagi merobek jaring perak yang mengikat Seli,
membebaskannya.
"Kamu baik-baik saja, Seli?" Miss Selena bertanya pendek.
141
Seli mengangguk. Dia tidak terluka, meski seluruh tubuhnya
terasa sakit. Ali yang tidak jauh dari kami berusaha duduk, kondisinya
juga tidak mengkhawatirkan. Ali bahkan meraih pemukul kastinya, lantas
dengan wajah jengkel memukul kepala salah satu dari mereka yang roboh
menimpa badannya tadi.
"Bantu Seli duduk,
menyuruhku dengan tegas.
Ra."
Miss
Selena
menoleh
padaku,
Aku mengangguk. Meski kakiku masih gemetar, aku jauh lebih baik
dibanding Seli. Aku bergegas membantu Seli duduk.
"Kamu tidak terluka kan, Sel?" aku berbisik.
Seli menggeleng. Napasnya masih tersengal.
Semua kejadian ini amat membingungkan. Dengan kenyataan aku
bisa menghilangkan tiang listrik raksasa dan Seli bisa mengeluarkan
petir saja sudah cukup membingungkan. Apalagi sekarang ditambah pula
dengan bagaimana mungkin guru matematika kami tiba-tiba muncul di
dalam aula, berdiri gagah melindungi kami, menantang sosok tinggi
kurus di hadapannya.
Aku menatap ke depan dengan wajah tegang, ke arah Miss Selena
dan sosok tinggi kurus yang saling berhadapan.
"Selamat malam, Selena." Sosok tinggi itu melangkah mendekat.
Suara sapaannya terdengar ramah, tapi menyembunyikan ancaman.
"Tinggalkan murid-muridku," Miss Selena berseru lantang, tanpa
basa-basi.
"Mereka murid-muridmu?" Sosok tinggi itu menatap seolah tidak
percaya, kemudian terkekeh pelan. "Kamu tidak bergurau, Selena? Sejak
kapan kamu jadi guru di Dunia Tanah? Lantas apa yang kamu ajarkan
kepada mereka? Menyulam pakaian? Atau membuat anyaman? Atau
jangan-jangan kamu guru berhitung mereka? Murid-murid, mari kita
menghitung jumlah anak ayam? Satu, dua, tiga?"
"Setidaknya mereka tidak kuajarkan kebencian dan permusuhan,"
Miss Selena memotong dengan suara tegas.
142
Aku yang memperhatikan percakapan dari belakang menelan ludah,
baru menyadari sesuatu. Rambut Miss Selena tidak keriting lagi.
Rambutnya berubah jadi pendek, berdiri, terlihat meranggas seperti duri.
Dia masih mengenakan pakaian gelap yang sering dipakai saat mengajar,
tapi seluruh tubuhnya dibungkus sesuatu berwarna gelap, sama seperti
yang dikenakan sosok tinggi kurus itu. Dan yang paling berbeda adalah
wajah Miss Selena, cahaya wajahnya semakin terang, seperti purnama
yang meninggi.
"Oh ya? Kebencian? Permusuhan?" Sosok tinggi kurus itu
terkekeh. "Bukankah kamu sendiri yang amat membenci, memusuhi
klan sendiri? Bukankah kamu sendiri yang meninggalkan dunia kita?
Memutuskan hidup di tengah Makhluk Tanah, hah?"
Miss Selena
kemungkinan.
tidak
menjawab,
berdiri
mengawasi
setiap
"Ini sungguh menarik, Selena. Mari kita berhitung sejenak. Satu,
gadis kecil yang berusaha duduk itu dari Klan Matahari. Kamu pasti tahu
itu, bukan? Meski sepertinya gadis kecil malang itu tidak punya ide sama
sekali siapa dia. Dua, si bodoh dengan tongkat kayu itu, yang sepertinya
paling berani tapi sebenarnya paling tidak memiliki kekuatan, dia jelas
Makhluk Tanah. Mungkin dia merasa paling pintar, hanya untuk
menyadari bahwa pengetahuan paling maju di Dunia Tanah ini hanyalah
separuh dari teknologi paling rendah dunia kita.
"Tiga, gadis itu?yang paling kuat tapi sama sekali tidak paham apa
kekuatannya, yang terus bingung dengan apa yang terjadi di sekitarnya,
berusaha mencari jawaban padahal jawaban itu ada di dirinya sendiri?
adalah bagian dari dunia lain.
"Sekarang kita tambahkan dengan faktor terakhir, kamu ternyata
guru mereka. Maka hasil persamaan ini adalah apa yang sebenarnya
sedang kamu rencanakan diam-diam, Selena? Pengkhianatan yang lebih
besar? Kekuasaan yang lebih tinggi?" Sosok kurus itu menatap dengan
ekspresi wajah merendahkan.
"Aku tidak tertarik membahas imajinasi kosong yang tidak penting
sementara murid-muridku butuh bantuan," Miss Selena menjawab datar.
"Kamu harus segera tinggalkan mereka, atau..."
143
"Atau apa, Selena?" Sosok tinggi kurus itu tertawa lagi.
"Aku akan melawan," Miss Selena menjawab tegas.
"Astaga, Selena!" Sosok tinggi kurus itu pura-pura terkejut.
"Tidakkah di Dunia Tanah yang rendah ini juga terdapat nasihat jangan
pernah melawan guru sendiri? Kamu hendak melawanku? Dengan apa,
Nak? Aku yang mengajarkan seluruh kekuatan yang kamu punya hari ini.
Semuanya. Kecuali tentang berhitung, menyulam, dan merajut itu. Bisa
kita lupakan. Sungguh beraninya kamu!"
Miss Selena tetap tenang, menatap datar.
"Tidakkah kamu akan malu jika tiga muridmu ini melihat gurunya
dipermalukan di hadapan mereka, Selena?" Sosok tinggi kurus itu
mengangkat tangannya. Dia jelas tidak akan pergi seperti yang disuruh.
Miss Selena ikut mengangkat tangannya, bersiap. "Aku akan
mengambil risikonya."
Aku menahan napas menyaksikan ketegangan yang segera meruyak
di remang aula. Seli sudah bisa berdiri di sebelahku. Wajahnya masih
meringis menahan sakit. Sedangkan Ali, si genius itu sekali lagi memukul
satu dari mereka yang tergeletak di dekat kami. Orang dengan pakaian
gelap itu terlihat bergerak hendak bangkit. Ali refleks memukulnya
dengan pemukul bola kasti agar tetap terkapar.
Aku melirik Ali, apa yang sedang dia lakukan? Ali mengangkat
bahu. "Hei, dia bisa saja tiba-tiba berdiri dan menyerang kita lagi, kan?"
Kurang-lebih begitu maksud wajah Ali tanpa dosa. Sepertinya dia terlalu
sering menonton film.
Aku menyeka peluh bercampur debu di leher.
Miss Selena dan sosok tinggi kurus itu masih saling tatap,
berhitung. Tetapi pertarungan tidak bisa dihindari lagi, percakapan
selesai. Sosok tinggi kurus itu menyerang lebih dulu.
144
Badannya ringan melompat ke depan, memukulkan tangan
kanannya. Miss Selena dengan cepat menghindar ke samping. Tidak
terlihat apa yang melintas di udara menyerbu Miss Selena, hanya
suaranya menderu kencang, dan saat mengenai tembok aula,
menimbulkan dentum keras. Tiang basket hancur berantakan. Aku, Seli,
dan Ali membungkuk, berlindung. Lantai yang kami pijak bergetar. Tabir
yang melindungi dinding aula bergoyang.
Sosok tinggi kurus itu tidak berhenti. Dia segera mengirim tigaempat pukulan lainnya. Aku menatap jeri. Tidak ada lagi yang kami kenali
dari Miss Selena, guru matematika kami. Dia melompat ke sana kemari,
dengan tangkas menghindari pukulan jarak jauh itu. Dentuman kencang
susul-menyusul.
Sosok tinggi kurus itu menggeram, untuk kesekian kali mencecar
dengan tinjunya. Aku berseru tertahan karena kali ini Miss Selena tidak
sempat menghindar. Sepersekian detik sebelum deru pukulan itu tiba,
Miss Selena membuat tameng besar, lubang hitam, deru serangan
tersedot masuk ke dalamnya. Lubang mengecil, lantas lenyap, persis
bersamaan dengan Miss Selena maju mengirim serangan balasan untuk
pertama kalinya. Tangan kanan Miss Selena meninju ke depan. Sosok
tinggi kurus itu terlihat kaget. Dia yang telanjur merangsek maju,
sepertinya tidak mengira serangan itu datang, terlambat menghindar.
Tubuhnya terbanting dihantam sesuatu yang tidak terlihat. Tubuhnya
mental sepuluh meter, hingga tembok aula menahannya.
Aku mengepalkan tangan. Rasakan!
Seli yang menunduk di sebelahku mengangkat kepala, mengintip,
ingin tahu apa yang sedang terjadi. Sedangkan Ali, lagi-lagi memukul
salah satu dari orang-orang pembawa panji yang merangkak hendak
bangun. Aku melotot. "Hei, Ali, apa yang kamu lakukan?"
Ali lagi-lagi mengangkat bahu. "Semoga saja dari delapan orang
berpakaian gelap yang tergeletak itu tidak ada yang tiba-tiba bangun. Itu
bisa berbahaya, kan?" ujarnya santai.
"Kamu sepertinya belajar dengan baik sekali, Selena." Sosok kurus
tinggi itu tertawa pelan. Dia berdiri, menyeka mulutnya, merapikan
jubahnya.
145
Aku mengeluh, kukira pertarungan sudah selesai.
"Baik, saatnya untuk lebih serius." Sosok tinggi kurus itu
menggerung pelan, dan belum habis gerungannya, dia melompat
menyerbu.
Suara seperti gelembung air meletus terdengar.
Sosoknya menghilang, lalu cepat sekali dia sudah ada di depan Miss
Selena. Pertarungan jarak pendek telah dimulai. Tinju kanannya
memukul.
Miss Selena sepertinya siap menerima serangan. Dia menunduk.
Tapi percuma, tinju tangan kiri sosok tinggi itu juga menyusul sama
cepatnya. Miss Selena menangkis dengan kedua tangan bersilang,
bergegas hendak membuat tameng, tapi terlambat. Keras sekali pukulan
itu, berdentum. Miss Selena terpental ke belakang. Sosok tinggi kurus itu
hilang lagi, lantas dia sudah berada di atas tubuh Miss Selena yang masih
melayang
setelah
terkena
pukulan.
Sosok
tinggi
kurus
itu
menghantamkan kedua tangannya tanpa ampun.
Seli di sebelahku menjerit. Aku menggigit bibir.
Miss Selena tidak sempat menghindar sama sekali, juga
mengangkat tangan untuk menangkis. Dentuman keras terdengar untuk
kesekian kali, disusul terbantingnya tubuh guru matematika kami di
lantai aula. Lantai semen terlihat retak. Tubuh Miss Selena tergeletak.
Aku gemetar menunggu. "Bangunlah!" aku berbisik.
Aku tidak tahu berada di sisi mana Miss Selena dalam kejadian ini.
Bahkan aku sama sekali tidak punya ide apa yang sebenarnya sedang
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terjadi. Sosok tinggi kurus ini siapa? Apa yang membuatnya memaksa
menjemputku? Kenapa Miss Selena tiba-tiba muncul? Apa peranannya
dalam kejadian ini? Jangan-jangan dia lebih jahat dibandingkan siapa
pun. Tapi tidak mungkin. Miss Selena guru matematika kami di sekolah.
Meskipun galak, disiplin, aku tahu dia selalu menyayangi muridmuridnya.
"Bangunlah, Miss Selena." Suaraku bergetar menyemangati.
146
"Kamu boleh jadi ahli dalam pertarungan jarak jauh, Selena. Tapi
kamu tidak pernah menguasai pertarungan jarak dekat." Sosok tinggi
kurus itu berdiri satu langkah di depan tubuh Miss Selena yang masih
tergeletak.
"Maafkan aku, Selena. Seharusnya sejak dulu kuselesaikan urusan
kita." Sosok tinggi kurus itu menatap prihatin.
Miss Selena masih meringkuk. Entah masih hidup atau tidak.
"Bangunlah, Miss Selena," aku berbisik pelan.
"Hari ini akan kuperbaiki hingga ke akar-akarnya kesalahan yang
pernah kulakukan saat memilihmu sebagai murid." Sosok tinggi kurus itu
mendesis, tangannya terangkat tinggi. Aku bisa merasakan betapa besar
kekuatan yang keluar dari tangannya. Bahkan kami yang berjarak
belasan meter terdorong ke tembok oleh angin deras.
"Selamat tinggal, Selena!" Tangan itu ganas menghunjam ke arah
tubuh Miss Selena.
Tiba-tiba tubuh Miss Selena lenyap.
Dentuman kencang terdengar saat pukulan itu tiba. Lantai aula
melesak satu meter. Bongkahan semen berhamburan. Ada lubang selebar
dua meter di antara kepulan debu.
Miss Selena muncul di belakang sosok tinggi kurus itu. Wajahnya
yang bersinar terlihat meringis, sisa rasa sakit menerima pukulan tadi.
Tubuhnya juga kotor, tapi dia tampak baik-baik saja, bahkan dengan
sekuat tenaga melepas pukulan. Sosok tinggi kurus yang masih
terperanjat melihat sasarannya lenyap kini tidak sempat menghindar.
Pukulan Miss Selena mengenai badannya. Tubuh tinggi kurus itu
terbanting jauh sekali.
Aku berseru, mengepalkan tangan. "Yes!"
"Sejak dulu kamu tidak pernah mengenali bakat murid dengan
baik. Bagaimana kamu yakin sekali aku tidak bisa bertarung jarak
dekat?" Miss Selena berkata datar, napasnya masih tersengal. Pukulan
keras barusan sepertinya menguras banyak tenaga.
147
Tetapi pertarungan jauh dari selesai. Sosok tinggi kurus itu masih
bisa berdiri, tertawa marah. Aku mengeluh melihatnya. Bukankah dia
sudah terkena pukulan kencang Miss Selena?
Belum habis suara tawa sinisnya, tubuh itu telah menghilang.
Berikutnya dia muncul, melompat persis di depan Miss Selena,
menyerang. Miss Selena dengan gesit menghindar. Sosok tinggi kurus itu
menghilang kembali. Itu hanya serangan tipuan, karena kemudian dia
muncul di belakang Miss Selena, menghunjamkan tinjunya. Lebih cepat.
Lebih bertenaga. Miss Selena menangkis. Disusul lagi serangan
berikutnya.
Aku menelan ludah. Gerakan mereka sekarang nyaris tidak terlihat
saking cepatnya.
"Apakah Miss Selena baik-baik saja?" Seli bertanya. Suaranya
bergetar oleh kecemasan.
Aku menggeleng. Aku tidak tahu. Sejauh ini Miss Selena bertahan,
tidak punya kesempatan balas menyerang.
Dua pukulan dari sosok tinggi kurus itu susul-menyusul
menghantam tameng lubang hitam yang dibuat Miss Selena. Lubang itu
berhamburan, sosok tinggi kurus itu merangsek maju, melepas lagi dua
pukulan beruntun. Miss Selena terlambat menangkis pukulan terakhir,
berdebum, tubuhnya terbanting ke samping. Sosok tinggi kurus itu
sepertinya tidak memberi jeda. Dia tidak berhenti, dan melepas pukulan
berikutnya sebelum Miss Selena kembali siap.
Seli menjerit melihat Miss Selena terbanting ke sana kemari, sama
sekali tidak bisa menangkis. Satu, dua, tiga pukulan, Ali ikut menahan
napas tegang. Empat, lima, enam pukulan, entah sudah seperti apa
kondisi Miss Selena menerima begitu banyak tinju, berdentum berkalikali. Tujuh, delapan, aku sudah tidak tahan lagi melihatnya. Miss Selena
tidak akan kuat menerima pukulan bertubi-tubi. Dia butuh bantuan. Aku
refleks melompat, mengangkat tangan, jemariku mengepal membentuk
tinju, berteriak marah. "Hentikan!"
Astaga! Aku hanya berniat melompat satu langkah, tapi tubuhku
bergerak jauh sekali. Entah bagaimana caranya, suara berdesir kencang
148
terdengar saat tanganku terangkat, seperti ada angin puting beliung yang
berputar deras di kepal tinjuku, bergumpal cepat. Tidak hanya itu, bunga
salju juga berguguran dari kepal tinjuku. Dingin menyergap seluruh aula.
Apa yang terjadi? Bagaimana aku melakukannya? Tinjuku telak
menghantam sosok tinggi kurus itu sebelum aku menyadarinya. Suara
berdentum memekakkan telinga terdengar. Sosok tinggi kurus yang ganas
menyerang Miss Selena terlempar jauh, bahkan sebelum tinjuku
mengenai tubuhnya.
149
KU tidak sempat memikirkan apa yang telah terjadi. Kenapa
aku bisa melepaskan pukulan seperti itu. Aku panik meloncat menahan
Miss Selena yang tanpa tenaga, seperti pohon lapuk, jatuh dari posisi
berdirinya. Aku memeluknya. Kami berdua jatuh terduduk di lantai.
Wajah cemerlang bagai bulan purnama Miss Selena redup. Dia
masih bernapas, pelan, hampir tidak terdengar. Kondisinya amat
mengenaskan. Kesadarannya menurun.
"Bangun, Miss Selena!" aku berseru panik.
Jauh dari kami, sosok tinggi kurus itu terbanting menghantam
dinding aula, terkapar. Entah apa yang terjadi padanya.
Mata Miss Selena terbuka kecil.
"Aku baik-baik saja, Ra," suara Miss Selena berbisik.
Apanya yang baik-baik saja? Miss Selena persis habis digebuki
orang satu kampung.
"Mudah sekali melakukannya, bukan?" Miss Selena menatapku
sambil tersenyum.
"Mudah apanya?" Aku tidak mengerti.
"Ya membuat pukulan tadi. Tidak ada yang pernah mengajarimu,
bukan?" Miss Selena menatapku lembut. "Itu pukulan yang hebat sekali,
Ra. Setidaknya butuh latihan bertahun-tahun untuk menguasainya di
akademi terbaik. Kamu bahkan tidak perlu mempelajarinya."
Aduh, dalam
dibicarakan.
situasi
seperti
ini,
ada
yang
lebih
penting
"Kita harus lari, Miss Selena." Suaraku bergetar cemas, aku
menatap dinding aula seberang. Sosok tinggi kurus itu masih terkapar.
"Miss Selena harus segera memperoleh pertolongan dokter."
150
Miss Selena menggeleng. "Kamu bisa melakukan apa pun, Ra,
karena kamu yang terbaik. Kamu pewaris Klan Bulan pertama yang
dibesarkan di Dunia Tanah. Juga Seli, dia pewaris Klan Matahari pertama
yang berjalan di atas Bumi. Kalian saling melengkapi. Belajarlah dengan
cepat
mengenali
kekuatan
kalian.
Aku
tahu,
itu
mungkin
membingungkan, banyak pertanyaan di kepala. Tetapi waktu kalian
terbatas, dan aku khawatir tidak banyak yang sempat menjelaskan."
Aku berseru panik. Di seberang, sosok tinggi kurus itu perlahan
mulai berdiri.
"Kita tidak akan menang melawan sosok tinggi itu, juga tidak akan
bisa lolos. Kamu ingat baik-baik, namanya Tamus. Usianya seribu tahun.
Kamu tahu, Ra, dulu dia adalah guruku." Miss Selena tertawa getir.
"Tentu bukan pelajaran matematika yang dia ajarkan. Karena jangankan
aku, kalian pun tidak suka pelajaran tersebut di kelasku, bukan?"
Aku menggeleng. Maksud gelenganku bukan untuk bilang aku suka
pelajaran matematika, melainkan waktu kami sempit, sosok tinggi kurus
itu sudah sempurna berdiri.
"Kamu perhatikan kalimatku, Ra." Miss Selena menarik kepalaku
lebih dekat, suaranya terdengar tegas. "Aku akan membuka lubang hitam
agar kalian bisa melarikan diri ke tempat yang tidak bisa didatangi Tamus
dan pasukannya. Kalian bertiga secepat mungkin melintasi lubang itu.
Sementara kalian lari, aku akan menahan Tamus sekuat mungkin. Dia
tidak akan suka melihat kalian pergi."
"Apa yang akan terjadi dengan Miss Selena kalau kami sudah
pergi?"
"Jangan banyak bertanya, Ra."
"Miss Selena harus ikut!" aku berseru.
Miss Selena menggeleng. "Kalian bertiga jauh lebih penting. Sudah,
jangan bertanya lagi."
"Aku tidak mau meninggalkan Miss Selena."
151
Tamus telah menghilang dari seberang dinding. Aku tahu dia
menuju ke mana. Saat suara seperti gelembung air meletus terdengar
kembali, dia melompat di atasku dan Miss Selena dengan ganas,
menghantamkan pukulan ke arah kami.
Miss Selena memelukku. Kami menghilang.
Lantai aula hancur lebur hingga radius dua meter. Lubang besar
menganga.
Aku dan Miss Selena muncul di dekat Seli dan Ali. Miss Selena
melepas pelukan, bangkit berdiri, mengacungkan jemarinya ke dinding,
berseru dalam bahasa yang tidak kukenali. Lubang dengan pinggiran
seperti awan hitam mendadak muncul, membesar dengan cepat,
pinggirannya berputar laksana gasing.
"Cepat, Ra! Masuk!" Miss Selena berseru.
"Aku tidak mau pergi!" aku berseru panik. Aku tidak akan pernah
meninggalkan Miss Selena sendirian menghadapi sosok tinggi kurus
menyebalkan itu.
"Ali! Bawa teman-temanmu masuk ke lubang hitam. Seret jika Raib
menolak!" Miss Selena menoleh ke arah Ali. "Kamu mungkin saja hanya
Makhluk Tanah, tidak memiliki kekuatan, tapi kamu memiliki sesuatu
yang tidak terlihat. Minta Ra menunjukkan buku PR matematikanya."
Miss Selena sudah menghilang. Aku tahu dia menuju ke mana. Miss
Selena sudah berdiri gagah berani menghadang Tamus yang bersiap
meloncat menyerbu kami.
Pertarungan jarak dekat kembali terjadi. Tamus mengamuk,
meraung. Pukulannya bukan hanya menderu bagai angin puyuh, tapi
juga mendesis dingin. Aku yang berdiri belasan meter dari tengah aula
bisa merasakan dingin menusuk tulang setiap tangannya bergerak dan
berdentum mengenai sasaran. Percikan bunga salju memenuhi aula
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekolah, melayang berguguran. Miss Selena segera terdesak, menjadi
bulan-bulanan pukulan.
152
"Kita harus pergi, Ra!" Ali berseru, menunjuk lubang hitam yang
masih terbuka.
Aku menggeleng kuat-kuat.
"Kamu harus mendengarkan Miss Keriting!" Ali mencengkeram
lenganku.
Seli menatapku, bergantian menatap Ali, bingung.
Aku mengepalkan tangan. "Aku tidak akan lari. Aku akan ikut
bertarung membantu Miss Selena."
"Lubang hitamnya mengecil, Ra!" Ali berseru panik. "Kita harus
segera masuk. Lubang ini entah menuju ke mana dan sepertinya tidak
akan bertahan lama."
Aku menoleh ke lubang hitam itu. Ali benar, lubangnya mulai
mengecil. Aku menoleh ke depan. Miss Selena terbanting lagi, tubuhnya
terbaring di lantai aula. Tamus sudah meloncat, melepas dua pukulan
dari atas. Miss Selena yang tidak bisa ke mana-mana, mati-matian
membuat tameng, menerima pukulan dalam posisi meringkuk. Situasinya
semakin payah.
Apa yang harus kulakukan? Aku menggigit bibir.
Miss Selena menoleh kepada kami. Wajahnya meringis kesakitan,
terus bertahan dengan sisa tenaga. "Lari, bodoh!"
Aku bertatapan dengan Miss Selena. Wajah itu menyuruhku segera
pergi.
"Bawa teman-temanmu lari, Ali! Sekarang!" Miss Selena berteriak.
Ujung kalimatnya bahkan hilang karena menerima dentuman pukulan
berikutnya.
Ali menyeretku kasar. Aku berontak, berseru tidak mau. Ali tidak
peduli. Dia menarikku kencang sekali. Aku terjerembap melintasi lubang
hitam yang terus mengecil. Seli segera menyusul.
153
Tamus menghantamkan pukulan mematikan terakhir ke arah Miss
Selena. Seperti ada hujan salju turun dari langit-langit aula. Seluruh
ruangan terasa dingin menggigit. Aku menjerit, tidak tahan melihatnya.
Tamus yang berdiri menginjak tubuh Miss Selena mendongak melihat
kami, baru menyadari sesuatu. Melihat kami akan kabur, dia meraung
marah, meloncat cepat.
Tubuhnya menghilang.
Dari dalam lubang, Ali mengayunkan pemukul bola kastinya ke
depan. Entah apa yang dilakukan Ali, kenapa dia memukul udara
kosong?
Tamus itu persis berada di depan lubang hitam.
Apalah artinya pemukul bola kasti bagi sosok tinggi kurus itu.
Tetapi pukulan Ali persis menghantam wajah Tamus saat dia muncul di
depan kami, saat tangannya berusaha meraih ke dalam lubang. Pemukul
bola kasti patah. Meski tidak terluka sedikit pun, pukulan itu
mengagetkan Tamus, membuatnya refleks melangkah mundur,
menciptakan satu detik yang sangat berarti. Lubang hitam dengan cepat
mengecil, lantas menghilang, menyisakan lengang.
Tamus
mengaum
lantang,
marah
sekali.
Dia
beringas
menghantamkan tangan ke dinding aula. Bunga salju tepercik ke manamana menyusul dentuman-dentuman keras.
Kami sudah menghilang, tidak bisa dikejar.
154
ELAP sesaat, tidak terlihat apa pun. Aku, Seli, dan Ali beradu
punggung, berjaga-jaga, menatap kegelapan. Kemudian muncul setitik
cahaya, kecil, segera membesar setinggi kami. Lubang berpinggiran hitam,
berputar seperti awan, terbentuk di depan. Kami bisa melihat keluar,
bukan aula sekolah. Terang, tidak remang, juga hangat, tidak dingin
menusuk tulang.
Ali lebih dulu melangkah. Si genius itu sepertinya tidak perlu
berpikir dua kali atau memeriksa terlebih dahulu ke mana lubang ini
membuka. Dia keluar sambil mencengkeram pemukul bola kastinya yang
tinggal separuh. Seli menyusul kemudian. Ali mengulurkan tangan,
membantu.
"Kita ada di mana?" Seli bertanya.
"Kita berada di kamar Ra." Ali yang menjelaskan.
Ali benar. Aku mengenali ruangan ini, kamarku.
Lubang di atas lantai mengecil saat kami bertiga sudah lewat, lantas
lenyap tanpa bekas.
Kalau saja situasinya lebih baik, mungkin aku akan merebut
pemukul bola kasti Ali, memukul si biang kerok itu. Jelas sekali dia tahu
ini kamarku dari alat yang dia pasang. Tapi ada banyak hal yang lebih
penting untuk diurus sekarang.
"Apakah Miss Selena akan baik-baik saja?" Seli bertanya cemas.
"Aku tidak tahu," jawabku.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Seli bertanya lagi.
"Buku PR matematikamu di mana, Ra?" Ali berseru.
Aku bergegas melompat ke meja belajar yang tidak ada bangkunya
sudah kuhilangkan semalam. Aku bisa leluasa berdiri mencari di antara
155
tumpukan buku tulis. Aku menarik buku itu, menyerahkannya pada Ali.
Dia yang paling genius di antara kami. Semoga dia tahu harus diapakan
buku ini. Sejak beberapa hari lalu, aku sudah menggunakan berbagai
cara, buku PR matematikaku ini tetap saja buku biasa.
Aku dan Seli menunggu tidak sabar.
Ali memeriksa buku itu, membuka halamannya, memperhatikan
dari dekat, memeriksa setiap sudut, menepuk-nepuk pelan seperti
berharap ada yang akan jatuh. Akhirnya dia terdiam.
"Apa yang kamu temukan?" aku bertanya.
"Ini hanya buku PR biasa." Ali menggeleng.
Aduh, aku juga tahu itu buku PR. Seli di sebelahku juga mengeluh.
"Ada sesuatu yang menarik?" aku mendesak.
"Eh, ada... Maksudku, nilai matematikamu jelek sekali, Ra." Ali
membuka sembarang halaman, menunjukkannya kepadaku. "Lihat,
hanya dapat nilai dua. Kamu tahu, persamaan seperti ini bahkan bisa
kuselesaikan saat kelas empat SD."
Sebenarnya kali ini Ali tidak mengucapkan kalimat itu dengan nada
sombong. Dia hanya lurus berkomentar, karena nilai matematikaku
memang mengenaskan. Tapi aku jengkel sekali mendengarnya. Aku
merebut buku PR dari tangannya. Enak saja dia bilang begitu dalam
situasi runyam, dengan seragam dan tubuh berlepotan debu, wajah dan
rambut kusut masai, bahkan kami tidak tahu apa yang terjadi pada Miss
Selena di aula sekolah sekarang.
"Aku belum selesai memeriksanya, Ra." Ali mengangkat bahu,
protes.
"Kamu tidak memeriksanya," aku menjawab ketus. "Kamu hanya
melihat-lihat nilaiku."
"Sori." Ali nyengir. "Tapi itu kan juga memeriksa. Eh, maksudku,
siapa tahu Miss Keriting menaruh kode atau pesan di nilai yang
ditulisnya. Aku janji memeriksanya lebih baik."
156
Seli memegang lenganku, mengangguk.
Baiklah. Aku menyerahkan lagi buku PR matematikaku pada Ali.
"Kamu sudah mencoba memeriksanya sambil menghilang?" Ali
bertanya, kembali memeriksa buku PR matematikaku.
Aku mengangguk. "Tidak ada yang berbeda, tetap buku biasa."
Ali menurunkan tas ransel di pundak, mengeluarkan beberapa
peralatan. Aku baru tahu bahwa tas besar yang sering dibawa Ali selama
ini berisi banyak benda aneh. Dulu murid-murid menebak, apa
sebenarnya yang dibawa si genius ini ke sekolah. Setiap pelajaran dia
malah disetrap atau diusir dari kelas karena ketinggalan membawa buku.
Jadi, apa isi tas besarnya? Seli bahkan pernah berbisik, jangan-jangan si
genius ini merangkap penjual asongan di sekolah. Atau pedagang dari
pasar loak, membawa dagangannya ke mana-mana. Aku dulu tertawa
cekikikan mendengarnya.
Lima belas menit mengutak-atik buku itu, mengolesinya dengan
sesuatu, memanasinya dengan sesuatu, mencium, menggunakan kaca
pembesar, entah apa lagi hal aneh yang dilakukan Ali, tetap tidak ada
sesuatu yang menarik. Itu tetap buku PR matematika biasa.
Ali mendongak, menyerah. "Aku sudah melakukan apa pun yang
aku tahu, Ra."
Aku menatapnya gemas. "Terus bagaimana? Jelas sekali Miss
Selena menyimpan sesuatu di buku PR itu." Tanpa kalimatnya tadi di aula
sekolah, beberapa hari lalu saat mengantarkannya, dia sudah berpesan
buku itu penting.
"Apakah Miss Selena mengatakan sesuatu saat memberikan buku
ini?" Ali bertanya.
Aku diam sejenak. "Iya, Miss Selena mengatakan hal itu. Aku masih
mengingat kalimat aneh itu. Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti
yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita
duga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat-tempat yang hilang."
Ali diam sejenak, mencoba memahami pesan tersebut.
157
"Memangnya kamu paham, Ali?" celetuk Seli.
Kami menatap Seli.
"Maksudmu apa, Sel?"
Ali
menoleh,
konsentrasinya
terganggu.
"Maksudku, bukankah nilai bahasa Indonesia-mu lebih hancur
dibanding nilai matematika Ra? Tugas mengarangmu jauh lebih buruk
dibanding anak kelas empat SD, bukan? Bagaimana kamu akan tahu
maksudnya?" Seli menjawab datar, sambil nyengir lebar.
Wajah Ali terlihat sebal. Aku hampir tertawa. Ya ampun! Seli telak
sekali menyindir si biang ribut ini. Aku tidak pernah menduga kami akan
akrab dengan Ali, si genius ini. Dulu, jangankan berteman,
memikirkannya saja sudah amit-amit. Lihatlah sekarang, Seli nyengir
tanpa dosa mengatakan kalimat itu, seolah Ali sahabat lama yang tidak
akan tersinggung.
Kami bertiga saling tatap. Wajah kami cemong, rambut awutawutan, seragam berdebu, lengan lecet, badan masih terasa sakit. Aku
akhirnya tertawa pelan. Disusul Seli yang tertawa pelan sambil meringis.
Dan Ali dia batal marah. Kami sejenak tertawa lega. Kejadian barusan,
meski masih gelap penjelasannya, entah akan menuju ke mana
semuanya, telah membuat kami jadi teman baik. Teman yang saling
melindungi dan peduli.
Tiba-tiba Ali mengangkat tangannya.
Tawa kami terhenti.
"Aku tahu apa yang harus dilakukan. Kamu harus menghilangkan
buku ini, Ra," Ali berkata serius.
"Apa? Menghilangkannya?"
Itu tidak masuk akal. Gila. Tadi malam aku sudah menghilangkan
novel, bangku, flashdisk, dan benda-benda lain, tidak satu pun yang
kembali. Kami bisa kehilangan satu-satunya cara untuk memperoleh
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjelasan kalau buku PR ini juga lenyap tak berbekas.
158
"Ayo, Ra. Lakukanlah. Itulah maksud pesan Miss Selena, apa pun
yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga," si genius itu
justru berkata yakin sekali.
"Bagaimana kalau jadi hilang betulan?" Seli ikut cemas.
"Tidak akan. Si tinggi kurus menyebalkan itu di aula juga bilang, Ra
tidak bisa menghilangkan sesuatu yang sudah hilang di dunia ini." Dahi
Ali berkerut, dia tampak berpikir. "Itu pasti ada maksudnya, bukan?
Sesuatu yang sudah hilang. Kita tidak punya cara lain. Kita harus tahu
segera apa yang sebenarnya terjadi. Miss Selena, apa pun kondisinya, saat
ini butuh bantuan. Buku ini bisa memberikan jalan keluar."
Aku menelan ludah. Menatap Ali yang sekarang meletakkan buku
PR matematikaku di atas meja belajar, mempersilakanku.
Baiklah, Ali benar. Aku menatap buku PR itu, mengacungkan
jemari, berseru dalam hati. Menghilanglah!
Buku PR itu lenyap.
Aku menahan napas, juga Seli di sebelahku.
Satu detik berlalu. Tidak terjadi apa pun. Dua detik, empat detik,
aku menoleh ke Ali. Bagaimana ini? Ali tetap menunggu dengan yakin.
Delapan detik. Aduh, bagaimana kalau keliru? Seli ikut menatap Ali.
Kenapa pula kami harus percaya pada genius biang kerok ini?
Suara seperti gelembung air meletus terdengar. Buku PR-ku
kembali.
Aku dan Seli berseru tertahan, seruan gembira.
"Apa kubilang." Ali mengepalkan tangan. "Buku PR ini pasti muncul
lagi. Miss Selena sudah membuat buku PR-mu menjadi benda dari dunia
lain. Tidak bisa dihilangkan."
Aku menoleh ke Ali. "Bagaimana kamu bisa yakin sekali?"
Si genius menyebalkan itu menunjuk kepalanya sambil nyengir
lebar. Maksud dia apa lagi kalau bukan: aku punya otak brilian. Baiklah,
159
sepertinya Ali memang pintar. Aku melangkah mendekati meja belajar,
menatap buku PR-ku yang kembali muncul.
Tapi itu bukan buku PR-ku. Aku sama sekali tidak mengenalinya
lagi. Ukuran dan bentuknya memang sama persis, seperti buku PR-ku,
tapi hanya itu yang sama. Sisanya berbeda sekali. Tidak ada lagi sampul
Hello Kitty. Sampulnya berwarna gelap terbuat dari kulit, dengan gambar
bulan sabit cetak timbul.
Seperti ada sesuatu dengan gambar bulan sabit itu, bekerlap-kerlip.
Ali meloncat ke dinding kamar, menutup semua daun jendela,
menarik gorden, mematikan lampu, memastikan tidak ada lagi cahaya
yang masuk. Apa yang sedang dilakukannya?
Ali kembali ke sebelahku, menunjuk ke atas meja belajar. Gambar
bulan sabit di sampul buku PR-ku mengeluarkan sinar, terlihat indah di
kamarku yang remang.
"Ini keren sekali. Kamu yang buka, Ra," Ali berbisik. Suaranya
terdengar antusias.
"Kenapa harus aku?" aku bertanya.
"Ladies first." Ali nyengir lebar.
Aku melotot padanya.
"Eh, maksudku, ini jelas bukan buku PR biasa lagi, Ra. Ini benda
dari dunia lain, atau entahlah." Ali menggaruk kepalanya, berusaha
membela diri. "Jadi, eh, lebih baik kamu yang menyentuhnya. Kamu
sepertinya yang punya urusan dengan dunia lain itu."
Seli memegang lenganku,
menunjuk buku di hadapan kami.
menghentikan
perdebatan.
Seli
Buku itu bersinar semakin terang. Bulan sabitnya seolah terlepas
dari sampul buku. Terlihat mengambang indah. Aku menelan ludah
160
menatapnya. Seperti
menyentuh buku itu.
ada
suara
yang
memanggilku,
menyuruhku
Tanganku terulur gemetar. Baiklah, aku akan melakukannya. Apa
pun yang terjadi, aku tidak sempat memikirkannya lebih baik.
Sampul buku terasa lembut di jemariku. Tidak ada yang terjadi.
Aku menoleh ke arah Ali.
Ali mengangguk. "Buka saja, Ra."
Belum sempat aku menggerakkan sampul buku, sinar dari gambar
bulan sabit merambat ke telapak tanganku, terus naik ke pergelangan
tangan, lengan, dan bahu. Aku menahan napas. Sinar itu terasa hangat,
dengan cepat menjalar ke seluruh tubuhku, dan terakhir tiba di wajahku.
Seluruh tubuhku terbungkus sinar dari buku. Aku menatap ke cermin
meja belajar. Wajahku terlihat cemerlang, persis seperti wajah Miss Selena
di aula tadi.
Seli yang berdiri di belakangku menahan napas. Ali menatap
semangat, seperti melihat hasil reaksi praktikum fisika yang menarik?si
genius ini benar-benar berbeda dibanding siapa pun. Rasa ingin tahunya
mengalahkan kecemasan atau ketakutan.
Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebih
kencang dari biasanya.
Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidak
ada yang datang. Itu tadi pertanda suara apa? Tetapi tiba-tiba aku
berseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah berubah.
Ini bukan kamarku, bahkan ini entah ruangan apa. Tempat tidurnya
menggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh sekali, menyala
terang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisa
disebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambar
yang ganjil. Semua terlihat berbeda.
"Kita ada di mana?" Seli ikut memeriksa sekitar, bertanya cemas.
Aku menggeleng tidak tahu. Cahaya yang membalut sekujur
tubuhku hilang. Buku PR di atas meja?kini meja itu terlihat aneh
161
sekali?juga berhenti mengeluarkan sinar, teronggok seperti buku biasa
dengan sampul bulan sabit.
Sebelum kami sempat menyadari apa pun, terdengar suara
bercakap-cakap di luar, dengan bahasa yang tidak kumengerti.
Kami bertiga saling tatap, jelas sekali suara itu menuju ke tempat
kami.
Pintu berbentuk bulat didorong?aku belum pernah melihat pintu
seaneh itu. Tiga orang melangkah masuk ke dalam ruangan. Dua orang
dewasa setengah baya dan satu anak laki-laki berusia empat tahun.
Mereka mengenakan baju gelap yang ganjil. Si kecil terlihat menguap,
memeluk boneka yang lagi-lagi berbentuk aneh. Ibunya, sepertinya begitu,
tersenyum, menunjuk ke ranjang. Ayahnya, sepertinya juga begitu,
berkata dengan kalimat-kalimat yang tidak kami pahami. Mereka tertawa.
Tampilan mereka bertiga lebih aneh dibanding film-film fantasi mana pun.
Langkah si kecil terhenti. Dia berseru bingung, menunjuk kami.
Orangtuanya lebih kaget lagi. Kami berenam saling tatap. Si kecil
ketakutan, refleks memeluk ibunya.
Ini jelas bukan kamarku, sama sekali bukan. Bahkan aku mulai
ragu, ini bahkan tidak akan pernah ditemukan di kota kami. Semua
terlihat ganjil. Apakah aku berada di dunia mimpi?
Ayah si kecil maju, bicara dengan kalimat aneh. Sepertinya dia
bertanya kepada kami. Wajahnya bingung, menyelidik.
Seli merapat kepadaku. Ali tetap mematung di tempat. Dia sempat
memasukkan buku PR matematikaku ke dalam tas ranselnya sebelum
tiga orang tersebut masuk.
Ayah si kecil berseru-seru. Dia tidak terlihat marah. Dia lebih
terlihat kaget. Si kecil masih memeluk erat ibunya. Aku menelan ludah.
Bagaimana ini? Sang ayah melangkah lebih dekat, menatap kami bertiga
bergantian, menoleh kepada istrinya, berkata-kata dengan kalimat aneh
lagi. Sepertinya dia bilang pada istrinya, "Lihatlah, pakaian mereka aneh
sekali. Siapakah tiga anak ini? Apakah mereka tersesat? Bagaimana
162
mereka masuk ke dalam rumah kita? Apakah kita perlu memanggil
petugas keamanan?"
Sambil masih memeluk si kecil, istrinya ikut maju, menyelidik,
menatap kami bertiga. Wanita itu menggeleng. Dia berkata, "Sepertinya
tiga anak ini sama bingungnya, kasihan sekali. Tidak ada yang perlu
dicemaskan, mereka sepertinya tidak berbahaya. Apakah mereka dari luar
kota, salah masuk ke dalam rumah karena tidak terbiasa? Atau karena
jaringan transportasi kembali bermasalah?" Pasangan baya itu masih
berbicara satu sama lain. Si kecil memberanikan diri mengintip kami.
Aku tiba-tiba terdiam. Eh? Aku? Entah bagaimana caranya, aku
sepertinya mengerti kalimat yang mereka katakan. Hei! Aku sepertinya
tahu apa yang sedang mereka diskusikan.
"Maaf," aku berkata pelan, mengangkat tangan.
Pasangan itu menoleh.
"Maaf, kami tidak salah masuk kamar." Aku menggeleng. "Tadi kami
berada di kamarku, di rumahku, lantas tiba-tiba saja kami sudah pindah
ke kamar ini."
Ayah si kecil mendekat. "Apakah kalian sebelumnya sedang
menggunakan lorong berpindah?"
Aku menoleh kepada Ali. "Eh, Ali, lorong berpindah itu apa? Apakah
itu istilah fisika modern?" Yang kutoleh jangankan menjawab. Ali dan
Seli bahkan bingung melihatku kenapa bisa bicara dengan bahasa aneh
itu.
"Kalian sepertinya mengalami kekacauan sistem lorong berpindah."
Ayah si kecil menghela napas prihatin. "Minggu-minggu ini frekuensinya
semakin sering terjadi. Tapi setidaknya kalian muncul di kamar anakku,
tidak serius. Tiga hari lalu, istriku yang hendak pergi ke pasar tiba-tiba
muncul di atas wahana kereta luncur. Gila sekali, bukan? Dia tidak
muncul di depan pedagang sayur, tapi di tengah orang-orang yang sedang
menjerit ketakutan."
Aku menelan ludah, mengangguk, pura-pura mengerti.
163
"Kamu temani si kecil tidur, Ma. Aku akan membantu tiga anak
malang ini. Tidur bareng Mama, ya? Papa akan menemani tiga kakakkakak itu." Lelaki itu bicara pada istri dan anaknya.
Ibu si kecil menuntun anaknya ke tempat tidur yang menggantung
di dinding. Bentuknya sama seperti ranjang umumnya, tetapi berada dua
meter di dinding. Saat si kecil mendekat, tempat tidur itu turun perlahan.
Ibu dan si kecil naik ke atasnya. Ranjang itu kembali naik.
"Ayo, lambaikan tangan ke kakak-kakak. Selamat malam." Ayah si
kecil tersenyum.
Si kecil beranjak ke pinggir ranjang, melambaikan tangan kepada
kami. "Selamat malam."
Aku mengangkat tangan, balas melambai. Seli dan Ali, meski
bingung, meniruku segera, ikut melambaikan tangan.
"Ayo, kalian ikuti aku." Ayah si kecil sudah menepuk pundakku,
berkata ramah.
Aku masih bingung dengan ini semua. Susul-menyusul sejak
kejadian meledaknya gardu listrik tadi siang. Sekarang, bahkan kami
berada di mana aku tidak tahu.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semua orang sudah membicarakan kekacauan sistem transportasi
ini. Tapi tidak ada tanggapan serius dari Komite Kota. Mereka selalu
bilang itu hanya masalah teknis kecil." Ayah si kecil membuka pintu
bulat, menyilakan kami keluar kamar.
"Kamu mau mendengar dongeng?" Di belakang kami, ibu si kecil
berkata pelan.
"Aku ingin mendengar dongeng tentang
Merindukan Matahari, Ma," si kecil menjawab riang.
Si
Burung
Siang
"Aduh, dongeng itu lagi, Nak? Sudah seminggu terakhir kamu
mendengarnya, bukan? Tidak bosan?" ibunya bertanya lembut, tertawa.
Aku melangkah menuju pintu bulat.
164
Seli memegang lenganku, berbisik, "Kita akan ke mana, Ra?"
"Aku tidak tahu," aku menjawab pelan.
"Apakah mereka sama jahatnya dengan si tinggi kurus di aula
sekolah tadi?"
Aku menggeleng, selintas lalu mereka hanya keluarga biasa yang
bahagia, dengan anak kecil usia empat tahun. Sang ayah menutup pintu
bulat kamar, melangkah ke lorong remang.
"Coba saja kalau mereka sendiri yang hendak berangkat bekerja
tiba-tiba muncul di depan seekor binatang buas yang sedang membuka
mulut, pasti baru tahu betapa menyebalkannya masalah teknis kecil ini,"
ayah si kecil masih berseru santai, memimpin jalan di depan. Kami
melewati lorong, kemudian muncul di ruangan lebih besar.
Sepertinya ini ruang tengah sebuah rumah. Ada sofa-sofa bundar
yang melayang satu jengkal dari lantai. Sebuah meja tampak berbentuk
janggal, jauh sama sekali dari segi empat atau persegi panjang, dan di
atasnya ada sebuah vas bunga. Aku mengembuskan napas, setidaknya
bunga di vas aneh itu bentuknya sama seperti yang kukenali, terlihat
segar. Entah di mana pun kami sekarang berada, itu bunga mawar seperti
pada umumnya.
165
ILAKAN duduk. Anggap saja rumah sendiri. Jangan sungkan.
Kalian haus? Akan kuambilkan minuman. Kondisi kalian terlihat buruk.
Berdebu, kotor, dan astaga, pakaian kalian aneh sekali. Kalian pasti
datang dari tempat jauh. Tidak akan ada anak remaja kota ini yang mau
berpakaian seperti ini, seperti model seratus tahun lalu. Sebentar, akan
kuambilkan air minum dan handuk basah." Ayah si kecil tertawa. Dia
melangkah menuju pintu bulat lainnya, meninggalkan kami bertiga di
ruang tengah.
Senyap sebentar.
"Kita ada di mana, Ra?" tanya Ali.
"Aku tidak tahu."
"Apakah orang aneh tadi menyebutkan nama tempat ini?"
Aku menggeleng pelan.
"Bagaimana kamu bisa bicara bahasa mereka?" Seli memegang
lenganku, tampak penasaran.
"Aku tidak tahu, Sel. Aku tahu begitu saja." Aku menyeka wajah
yang berdebu. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa kujawab sekarang.
Ali bergumam sendiri, berhenti menumpahkan pertanyaan. Dia
memilih memperhatikan sekitar, lalu beranjak hendak duduk di sofa bulat
yang melayang di dekat kami. Dia meloncat. Sofa itu seketika berputar
saat didudukinya. Ali tergelincir, tangannya hendak meraih sesuatu, tapi
terlambat. Dia jatuh ke lantai, mengaduh pelan.
"Ini tempat duduk yang aneh sekali." Ali berdiri, menatap sofa yang
berhenti berputar, kembali ke posisinya semula. Si genius keras kepala itu
mencoba dua kali untuk duduk di sofa bulat, tapi dua kali pula dia
terjatuh.
166
Aku dan Seli menonton, diam.
"Baiklah. Aku tidak akan menyerah." Ali bersungut-sungut. Kali ini
dia menatap baik-baik sofa bulat di depannya, memegangnya perlahan,
lantas naik perlahan, menjaga keseimbangan. Ali nyengir lebar. Dia
berhasil.
"Kalian mau mencobanya?" Ali berseru riang. "Ini persis seperti
belajar naik sepeda. Sekali kita terbiasa, maka mudah saja."
Aku dan Seli saling tatap.
"Ayo, coba saja, Ra, Seli, ini seru sekali. Kalian tahu, entah
bagaimana mereka melakukannya, sofa ini benar-benar melayang di atas
lantai. Ini hebat sekali. Bahkan kupikir, lembaga paling canggih macam
NASA Amerika sekalipun tidak punya teknologi ini." Ali mencoba sofa
bulat itu berputar. Dia berhasil membuatnya bergerak mulus. Ali tertawa
senang.
"Apa yang kamu lakukan?" aku berbisik mengingatkan Ali.
Kami jelas tidak sedang study tour, kami sedang tersesat. Sifat Ali
yang selalu santai kemungkinan bisa berbahaya. Si genius itu sekarang
bahkan asyik mencoba sofa bulat yang dia duduki, bergerak naik-turun.
Ali menatapku dengan wajah tanpa dosa.
"Maaf membuat kalian menunggu." Ayah si kecil kembali, terlihat
riang, membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya, juga tiga handuk
basah.
"Oh, kamu sudah mencobanya? Bagaimana? Itu jenis sofa paling
mutakhir." Lelaki itu tertawa melihat Ali bergegas menurunkan sofanya
kembali ke posisi semula?Ali terlihat sedikit panik, karena ketahuan
menaik-turunkan sofa tersebut tanpa izin pemiliknya.
"Dia bertanya apa?" Ali berbisik kepadaku.
"Dia bilang, kamu tamu yang sama sekali tidak tahu sopan santun,"
aku menjawab asal.
167
"Sungguh?" Ali menatapku tidak percaya.
"Silakan diminum." Ayah si kecil mengangguk ramah kepada kami.
Aku menatap gelas aneh yang lebih mirip sepatu kets. Baiklah, aku
meraih gelas terdekat, mengangkatnya. Isinya air bening biasa, setidaknya
terlihat begitu. Aku menenggaknya.
Ternyata rasanya segar sekali.
Seli menatapku ragu-ragu. Aku mengangguk kepadanya. Tidak ada
yang perlu dicemaskan. Itu hanya air bening biasa, bahkan setelah
berbagai kejadian tadi, menghabiskan air sebanyak satu gelas berbentuk
sepatu terasa melegakan.
"Namaku Ilo, siapa nama kalian?" ayah si kecil bertanya, sambil
menyerahkan handuk basah.
Aku menjawab sopan, menyebut namaku, Seli, dan Ali.
Lelaki itu menggeleng. "Nama kalian terdengar aneh. Kalian berasal
dari mana?"
Aku menelan ludah, ragu-ragu menyebutkan nama kota kami. Seli
dan Ali di sebelahku sudah menghabiskan minum mereka. Kini mereka
sedang membersihkan wajah dan sekujur badan dengan handuk.
Ilo, demikian nama ayah si kecil itu, lagi-lagi menggeleng. Wajahnya
termangu. "Belum pernah kudengar nama kota seperti itu. Kalian
sepertinya tersesat dari jauh."
"Kami sekarang berada di mana?" aku balik bertanya, teringat
pertanyaan Seli dan Ali sejak tadi. Kenapa tidak kutanyakan saja kepada
orang berpakaian gelap ini.
"Kota Tishri."
"Kota Tishri?" aku mengulanginya.
"Benar sekali, Kota Tishri. Kota paling besar, paling indah. Tempat
seluruh negeri ingin pergi melihatnya. Nah, apa kubilang tadi, setidaknya
168
kabar baiknya, lorong berpindah sialan itu membawa kalian kemari.
Kalian pernah ke Kota Tishri?"
Aku menggeleng. Seli dan Ali tetap termangu, tidak mengerti
percakapan.
"Fantastis." Ilo mengepalkan tangan, berseru riang. "Ayo, kalian
ikuti aku. Akan kutunjukkan pemandangan menakjubkan kota ini. Kalian
pasti sudah lama bercita-cita ingin melihatnya langsung. Selama ini
kalian hanya bisa menyaksikannya di buku, bukan? Astaga, kebetulan
sekali, ini persis bulan purnama, kota ini terlihat berkali-kali lebih indah."
Lelaki itu sudah berdiri.
Malam bulan purnama? Bukankah tadi baru saja siang?
"Apa yang dia bilang, Ra?" Seli berbisik.
"Dia ingin menunjukkan kota ini kepada kita."
"Buat apa? Bukankah kita setiap hari melihat kota kita?"
Aku menggeleng. Entahlah. Aku juga tidak paham.
"Apa serunya melihat kota di siang hari?" Seli masih berbisik.
Aku menghela napas perlahan. Sejak tadi aku punya firasat kami
sama sekali tidak sedang berada di kota kami. Bahkan boleh jadi kami
berada di tempat yang amat berbeda.
"Ini pasti seru." Ada yang tidak keberatan. Ali meloncat turun dari
sofa bulat.
Ilo memimpin di depan, melewati pintu bulat, kembali ke lorong
remang, dan tiba di depan anak tangga. Ilo rileks melangkah menaikinya.
Anak tangga itu berpilin naik sendiri saat kaki kami menyentuhnya.
Mungkin seperti eskalator pada umumnya, tapi anak tangga yang
kupijak terbuat dari kayu berukir.
Tiba di ujung anak tangga, ruangan atas tampak gelap. Sambil
bersenandung, Ilo membuka pintu di langit-langit ruangan. Pintu itu
169
terbuka. Cahaya lembut masuk ke dalam. Aku mendongak melihat ke
atas. Bintang gemintang terlihat terang. Ini malam hari? Bukankah...?
Aku mengusap wajah, bingung.
Sekarang pertanyaannya bertambah, bagaimana kami bisa keluar
ke atas sana? Bukankah pintu di langit-langit ruangan setinggi
jangkauan tangan Ilo? Tidak ada tangga lagi. Kami bertiga saling lirik,
tidak mengerti. Ilo berdiri persis di bawah bingkai pintu.
"Ayo, kalian mendekat padaku." Dia menoleh pada kami.
Aku menelan ludah. Sudah kadung sejauh ini, tanpa banyak tanya
aku ikut mendekat.
"Ayo, jangan ragu-ragu. Lebih rapat."
Aku merapat di sebelahnya, juga Seli dan Ali setelah kuberitahu
agar lebih rapat.
Apakah kami akan melompat ke atas? Terbang?
Ilo justru meraih daun pintu di atas, menariknya ke bawah. Daun
pintu itu turun, pindah setinggi mata kaki kami. Kami seketika berada di
atap bangunan. Ali, si genius di sebelahku, bahkan tidak mampu
menahan diri untuk tidak berseru. Ilo tertawa. Dia melangkah ke
samping, meninggalkan daun pintu yang terbuka, berdiri di atap. Aku
bergegas ikut melangkah, juga Seli, khawatir pintu itu tiba-tiba kembali
ke posisi di atas.
"Kamu tidak mau tertinggal di bawah sendirian, bukan?" Ilo
menoleh ke Ali yang masih sibuk memeriksa. Wajah Ali berbinar-binar.
Bagaimana caranya daun pintu ini bisa turun? Apakah seluruh atap
bergerak ikut turun? Atau daun pintunya saja?
Aku bergegas menarik lengan si genius itu agar melangkah ke atap
bangunan.
Setelah semua berdiri di atap, aku melongok ke bawah. Lantai
ruangan kembali terlihat jauh. Entah bagaimana caranya, daun pintu
sudah kembali ke posisi semula.
170
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat datang di Kota Tishri!" Ilo berseru lantang.
Aku mendongak, mengangkat kepala menatap ke depan.
Aku menahan napas, mematung. Itu sungguh pemandangan yang
membingungkan.
Aku pernah diajak Papa dan Mama pergi ke restoran yang berada di
lantai paling atas gedung paling tinggi di kota, melihat seluruh kota. Tapi
malam ini, yang aku lihat jelas bukan kota kami. Tidak ada hamparan
gedung-gedung tinggi, tidak ada pemandangan yang kukenal. Pun
bangunan yang kami naiki, ini bukan rumah, bukan apartemen seperti
kebanyakan. Bentuknya seperti balon besar dari beton, dengan tiang. Di
sekitar kami, ribuan bangunan serupa terlihat memenuhi seluruh lembah,
persis seperti melihat ribuan bulan sedang mengambang di udara. Itulah
pemandangan yang kami saksikan sekarang.
"Kita di mana?" Seli bertanya, suaranya bergetar bingung.
"Ini keren!" Ali berseru, suaranya juga bergetar antusias.
Ini bukan kota kami. Bahkan jelas sekali, tidak ada kota di Bumi
yang seperti ini. Tidak ada jalan di bawah sana, apalagi kendaraan seperti
mobil dan motor. Hanya hamparan hutan?kalau itu memang hutan
seperti yang terlihat dari atas sini. Bulan purnama menggantung di langit,
terlihat lebih besar dibanding biasanya. Cahayanya lembut dan indah. Di
sisi barat kota terlihat gunung, bentuknya sama seperti gunung yang ada
di kota kami, juga pantai di sisi timur, itu sama. Tapi hanya dua hal itu
yang sama. Sisanya berbeda.
Beberapa tiang tinggi terlihat di kejauhan. Setiap tiang memiliki
puluhan cabang, dengan ujung cabang lagi-lagi sebuah balon besar dari
beton, bersinar.
Ilo menjelaskan dengan bangga tentang kotanya. "Kota ini paling
maju, paling cemerlang. Kota ini juga paling efisien menggunakan
sumber tenaga yang semakin terbatas. Terlepas dari masalah teknis kecil
yang sekarang sedang menimpa kalian, kami memiliki sistem transportasi
paling baik. Kalian lihat di ujung sana, itu menara Komite Kota."
171
Aku tidak terlalu mendengarkan. Kepalaku dipenuhi begitu banyak
pertanyaan. Seli masih menatap dengan cemas ke seluruh arah. Dia
sempat berbisik, "Kita tidak berada di kota kita lagi ya, Ra?"
Aku mengangguk. "Kita berada di tempat yang jauh sekali."
"Bagaimana kita pulang?" Seli bertanya.
Aku menggeleng. "Entahlah."
Wajah Seli sedikit pucat.
Hanya Ali yang terlihat tenang, menatap sekitar dengan semangat.
"Besok malam adalah malam karnaval festival tahunan. Jika kalian
menunggu sehari saja, kalian bisa menyaksikan festival terbesar. Seluruh
kota dipenuhi pelangi malam hari. Semua bangunan tersambung oleh
kabel yang dipenuhi lampu warna-warni. Putraku yang berusia empat
tahun tidak sabar menantikannya." Ilo membentangkan tangan, masih
asyik menjelaskan.
Angin berembus lembut, menerpa wajah, memainkan anak rambut.
Aku mendongak menatap langit. Kami ada di mana? Gunung, pantai,
sungai, juga posisi bulan dan bintang sama persis seperti di kota kami.
Tapi sisanya berbeda. Bangunan rumah seperti balon?
Hampir setengah jam kami berada di atap bangunan. Hingga Ilo
diam sejenak, berkata, "Sudah larut malam. Kita sebaiknya turun. Kalau
kalian mau, malam ini kalian bisa menginap di tempatku. Ada kamar
kosong. Tidak terlalu lapang untuk bertiga, tapi cukup nyaman. Besok
pagi-pagi aku akan membantu mengirim kalian pulang ke rumah."
Kami bertiga tidak berkomentar. Aku mengangguk.
Ilo membungkuk. Dia membuka daun pintu di atap. Lantai ruangan
di bawah terlihat mendekat. Dia menyuruh kami melangkah masuk.
Kami bisa melangkah dengan mudah. Ilo melepas pegangan ke daun
pintu. Daun pintu itu perlahan kembali ke atas. Langit-langit ruangan
kembali tinggi. Ilo menutup pintu.
172
"Ini keren sekali, Ra," Ali berbisik padaku. "Jika semua pintu bisa
ditarik begini, di sekolah kita tidak perlu repot ke mana-mana. Tarik
pintunya mendekat, kita tinggal melangkah masuk atau keluar, beres."
Aku tidak menanggapi celetukan Ali.
Ilo memimpin di depan. Kami diantar menuju pintu bulat di lorong
lain.
Itu kamar yang besar. Dua kali lebih luas dibanding kamar si kecil.
"Kalian bisa menggunakan kamar ini. Ada beberapa pakaian yang
bisa kalian gunakan di lemari. Beberapa sepertinya cocok. Ini dulu kamar
si sulung. Dia masuk akademi di kota lain. Usianya delapan belas. Jika
kalian butuh sesuatu, kamarku berada di ujung lorong satunya. Selamat
malam, anak-anak."
"Selamat malam." Aku mengangguk, menjawab sopan.
Ilo menutup pintu, meninggalkan kami.
173
AMAR itu lengang sejenak. Isinya kosong karena lama tidak
ditempati. Hanya ada ranjang besar di dinding, satu sofa melayang, dan
satu lemari berbentuk lebih mirip botol air mineral raksasa. Ali sempat
melihat isi dalam lemari, mengeluarkan beberapa pakaian gelap yang
lengket di tangan. Aku dan Seli menggeleng, lebih baik tetap mengenakan
seragam sekolah kotor dibanding pakaian lengket ini.
Ali sebaliknya. Dia mencoba memakai salah satu pakaian
berbentuk jaket yang kebesaran. Saat dikenakan, pakaian lengket itu
seolah bisa berpikir sendiri, mengecil dengan cepat, lantas menempel
sempurna ke seluruh tubuh. "Wow!" Ali berseru terpesona?bahkan dia
bergaya di depan cermin, menggerakkan tangannya yang tertutup jaket.
"Lentur, ringan, dan lembut di badan." Ali nyengir lebar, seperti bintang
iklan detergen di televisi.
Melihat Ali dengan pakaian aneh itu, setidaknya aku tahu jenis
pakaian yang dikenakan Tamus dan delapan orang di aula tadi. Aku
menghela napas, beranjak duduk sembarang di lantai. Aku tidak mau
duduk di sofa yang bisa melayang, atau ranjang yang bisa naik-turun.
Setidaknya lantai kayu yang kududuki terlihat normal. Seli ikut duduk di
sampingku. Ali, lagi-lagi sebaliknya, si genius itu sudah meloncat santai
ke atas sofa melayang. Dia sudah terampil, tidak tergelincir.
"Apa yang kita lakukan sekarang, Ra?" Seli berbisik.
"Aku tidak tahu," aku menjawab pendek.
Seli menghela napas, bergumam, "Ini benar-benar ganjil.
Bagaimana mungkin sekarang sudah malam? Bukankah baru satu-dua
jam lalu kita dari aula sekolah?"
"Entahlah, Sel. Aku juga bingung."
"Kita tidak bisa menginap di bangunan aneh ini, Ra. Kalau kita
terlalu lama di kota ini, kita jelas terlambat pulang ke rumah. Orangtua
174
kita pasti cemas, dan mulai panik mencari ke mana-mana," Seli berkata
pelan, meluruskan kaki.
Aku menoleh. Seli benar. Apalagi dengan kejadian meledak dan
terbakarnya gardu listrik, ditambah lagi bangunan kelas dua belas yang
ambruk. Pertemuan Klub Menulis pasti dibatalkan. Orangtua murid
segera mencari tahu kabar anak-anak yang belum pulang. Saat Mama
tidak menemukanku di sekolah, Mama akan panik, seluruh keluarga
akan ditelepon, siaga satu?bahkan jangan-jangan Mama akan memaksa
Tante Anita memasang iklan kehilangan di televisi. Aku mengeluh,
menggeleng membayangkan hal menggelikan itu. Kasihan Mama, belum
lagi masalah Papa di kantor. Kenapa semuanya jadi kusut begini?
"Masalahnya, kalaupun mereka mencari kita, mereka akan mencari
ke mana?" Ali mendekat?tepatnya sofa yang dinaiki Ali yang mendekat,
melayang di depan kami. "Mereka akan meminta bantuan polisi?
Detektif? Aku berani bertaruh, bahkan agen rahasia macam FBI pun tidak
tahu di mana kota ini berada."
Kami menatap si genius itu, tidak mengerti.
"Saat di atap bangunan balon tadi, aku memperhatikan sekitar
secara saksama. Kalian tahu, aku hafal posisi kota kita, hafal letak bulan,
bintang." Ali menunjuk kepalanya?maksudnya apa lagi kalau bukan dia
punya otak brilian. "Aku tahu letak gunung, pantai, sungai, semua kontur
kota kita. Kalian tahu, ada sesuatu yang menarik sekali."
Kami menatap Ali tanpa berkedip.
"Mereka akan mencari kita di kota mana, kalau ternyata kita persis
berada di kota kita sendiri?" Ali mengangkat bahu.
"Aku tidak mengerti, Ali," Seli memastikan.
"Kita tidak ke mana-mana, Seli. Aku yakin sekali. Ini tetap kota
kita, hanya entah kenapa seluruh rumah, bangunan, gedung tinggi di
kota kita berganti dengan hutan dan balon-balon beton raksasa. Bahkan
saat ini, kemungkinan kita sedang berada di salah satu ruangan rumah
Ra. Entah di ruang tengah atau ruang tamu."
175
"Tapi tapi bagaimana dengan..." Seli menunjuk sekeliling kami.
"Itulah yang membuat semua ini menarik." Ali bersedekap,
bergaya seperti profesor fisika terkemuka. "Kita berada di tempat yang
sama, tapi dengan sekeliling yang amat berbeda. Bahkan orang-orang
yang berbeda."
"Kamu sebenarnya hendak bilang apa sih?" Aku akhirnya bertanya,
tidak sabaran. Tidak bisakah dia menjelaskan lebih detail? Dengan
bahasa yang lebih mudah dimengerti.
Ali mengangguk. Dia meloncat turun dari sofa melayang,
mengeluarkan buku tulis dari ransel yang selalu dia bawa ke manamana, mengambil bolpoin.
"Kalian perhatikan." Ali membuka sembarang halaman kosong. Dia
mulai menggambar.
Aku dan Seli tahu apa yang sedang dia gambar, sebuah lapangan
futsal. Lantas, Ali menggambar lagi sebuah lapangan bulu tangkis di atas
lapangan futsal tersebut, juga lapangan basket. Terakhir sebuah lapangan
voli. Empat lapangan itu bertumpuk di atas kertas. Ali menggambar
bingkai di sekeliling kertas.
"Ini persis seperti aula sekolah kita, bukan? Ada empat lapangan
olahraga di atas lantainya." Ali menatapku dan Seli bergantian.
Aku dan Seli mengangguk.
"Nah, aku hanya menduga, bisa jadi keliru, tapi kemungkinan
besar tepat, inilah yang sedang terjadi di sekitar kita. Dunia ini tidak
sesederhana seperti yang dilihat banyak orang. Aku percaya sejak dulu,
bahkan membaca lebih banyak buku dibanding siapa pun karena
penasaran, ingin tahu. Bumi kita memiliki kehidupan yang rumit. Dan
hari ini aku menyaksikan sendiri, ada sisi lain dari kehidupan selain yang
biasa kita lihat sehari-hari. Dunia lain.
"Kalian perhatikan aula sekolah kita. Ada empat lapangan olahraga
di atasnya, bukan? Jika kita ingin bermain futsal, pasang tiang
176
gawangnya. Jika kita ingin bermain basket, tarik tiang basketnya. Maka di
Bumi, bisa jadi demikian, ada beberapa kehidupan yang berjalan di
atasnya. Berjalan serempak di atasnya."
"Tapi kita tidak bisa bermain voli, basket, badminton, dan futsal
serempak di aula, Ali." Seli menggeleng. "Akan kacaubalau, pemain
bertabrakan, bolanya lari ke mana-mana."
"Itu benar." Ali mengangguk. "Tapi bukan berarti tidak mungkin.
Bumi jelas lebih besar dibanding aula sekolah. Saat kapasitasnya besar,
Bumi bisa berjalan tanpa saling ganggu. Persis seperti sebuah komputer
yang membuka empat atau lebih program. Bukankah kita bisa
menjalankannya bersamaan? Membuka internet, membuka dokumen,
membuka pemutar musik, dan mengedit foto sekaligus? Ada banyak
program yang berjalan serentak tanpa saling ganggu. Kecuali jika
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
komputernya terbatas, bisa hang atau error.
"Aku yakin sekali, beberapa sisi kehidupan di Bumi bisa berjalan
serentak tanpa saling ganggu, berantakan, dan bolanya lari ke manamana. Setidaknya aku sudah menyaksikan dua sisi. Sisi pertama,
kehidupan di Bumi seperti yang kita jalani selama ini. Sisi kedua, kota
aneh ini, bangunan aneh ini, dan semua benda yang aneh di sekitar kita.
Dua sisi itu berada di satu Bumi, berjalan tanpa saling memotong."
Ruangan itu senyap sejenak.
"Kalau hal itu memang ada, kenapa selama ini tidak ada orang yang
mengetahui bahwa ada dunia lain tersebut di Bumi?" Seli bertanya lagi.
"Yang pertama karena dua dunia itu terpisah sempurna. Yang
kedua, karena kita terbiasa dengan kehidupan sendiri. Jika seseorang
sibuk bermain futsal di aula sekolah, lantas yang lain sibuk bermain
basket, mereka hanya sibuk dengan permainan masing-masing, tanpa
menyadari ada dua permainan berjalan serentak. Nah, kalaupun ada yang
tahu, mereka hanya bisa menduga, bilang mungkin ada alam gaib atau
dunia lain di luar sana. Tapi mereka tidak pernah mampu
menjelaskannya." Ali menjelaskan dengan intonasi yakin.
"Kalau begitu, ada berapa sisi kehidupan yang berjalan serempak
di Bumi?" aku akhirnya membuka mulut. Sebenarnya penjelasan Ali sama
177
sekali tidak masuk akal. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana
membantahnya. Aku memutuskan bertanya.
"Tidak tahu. Yang pasti, sosok tinggi kurus di aula tadi
menyebutku ?Makhluk Tanah?, orang-orang lemah. Itu satu. Dia pasti
merujuk penduduk Bumi saat ini. Dia juga menyebut Seli dengan sebutan
Klan Matahari yang berjalan di atas tanah. Itu dua. Terakhir tentu saja
dunia yang kita lihat sekarang. Aku tidak tahu namanya, kita sebut saja
Klan Bulan, karena di mana-mana ada Bulan termasuk bangunan balon
ini. Itu berarti tiga. Mungkin masih ada lagi dunia lain yang berjalan
serentak, tapi aku tidak tahu.
"Dan aku tahu kenapa kamu bisa mengerti dan berbicara dalam
bahasa mereka, Ra. Sosok tinggi kurus menyebalkan itu berkali-kali
bilang kamu tidak dimiliki dunia Bumi, bukan? Kamu dimiliki dunia kita
sekarang berada. Itu masuk akal. Aku tidak tahu penjelasan detailnya,
sepertinya kamu menguasai begitu saja bahasa mereka." Ali mengangkat
bahu.
Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan. Entahlah,
apakah aku bisa memercayai penjelasan si genius ini.
"Kalian tahu, ini keren. Bahkan Einstein tidak pernah bisa
membayangkan ada dunia paralel di sekitarnya. Dia hanya bisa
menjelaskan bahwa waktu bersifat relatif. Einstein mungkin saja benar,
imajinasi adalah segalanya, lebih penting dibanding ilmu pengetahuan.
Tetapi menyaksikan sendiri semua ini, mengetahui pengetahuan tersebut,
lebih dari segalanya." Ali nyengir.
Aku bersandar ke dinding kamar, membiarkan si genius itu senang
sendiri.
"Fisikawan, astronom, ahli matematika terkemuka Galileo Galilei
hanya bisa membuktikan teori Heliosentris Copernicus. Entah bagaimana
reaksinya jika mendengar ada dunia lain berjalan serempak di atas Bumi.
Kemungkinan dia akan seperti pendukung teori Geosentris, kaum fanatik
tidak berpengetahuan, tidak percaya."
178
"Buku PR matematikamu, Ra." Seli teringat sesuatu, memotong
kesenangan Ali.
Aku menoleh kepada Seli.
"Bukankah kita bisa masuk ke dunia ini karena buku PR
matematikamu tadi?" Seli berseru. "Kita bisa kembali lagi ke kota kita
dengan cara yang sama."
Seli benar. Aku bergegas hendak berdiri, mengeluh. Bukankah
buku itu tadi tertinggal di kamar si kecil? Karena kami telanjur kaget.
Aduh, bagaimana mengambilnya sekarang?
Ali membuka tas ranselnya. "Aku sudah membawanya, Ra."
Aku dan Seli menghela napas lega.
"Aku khawatir, kalian akan meninggalkan banyak benda jika tidak
ada yang berpikir dua langkah ke depan." Ali tersenyum bangga.
Aku menerima buku PR matematika dari Ali. Semangat
meletakkannya di lantai kayu, menelan ludah, menatap buku itu,
bersiap. "Ayo, bersinarlah lagi," aku berbisik.
Satu menit berlalu tanpa terjadi sesuatu.
"Sayangnya, buku ini hanya buku biasa sekarang, Ra." Ali
mengembuskan napas pelan. "Aku sudah memikirkan kemungkinan itu
tadi, sempat mengintip ke dalam tas ransel saat kita berada di atap
bangunan balon. Buku ini tidak mengeluarkan sinar apa pun lagi."
Lengang. Buku itu tergeletak di lantai. Gambar bulan sabit di
sampulnya tidak bersinar.
Seli menatap amat kecewa. "Bagaimana kita pulang, Ra?"
Aku menatap Ali. Dia si geniusnya.
Ali bangkit berdiri. "Kita akan menemukan caranya. Mungkin tidak
malam ini. Tapi cepat atau lambat kita akan menemukan caranya. Setiap
ada pintu masuk, selalu ada pintu keluar."
179
180
KU memeluk Seli yang menangis, menghiburnya, bilang semua akan
baik-baik saja, termasuk di kota tempat kami entah berada di mana.
Semua juga akan baik-baik saja. Semoga orangtua kami tidak bereaksi
berlebihan.
Sebenarnya aku juga butuh dihibur. Aku cemas sekali memikirkan
Mama di rumah, tapi siapa yang akan menghiburku? Jelas Ali tidak akan
menghibur siapa pun. Anak itu memutuskan tidur. Ali berkata dengan
intonasi datar, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, sebaiknya
beristirahat, menyimpan energi buat besok.
Aku tahu, apa yang dilakukan Ali adalah pilihan paling rasional.
Memang tidak ada yang bisa kami lakukan. Ini sudah larut, jam di
dinding yang meskipun bentuknya lebih mirip panci, tapi setidaknya
sama dengan jam yang aku kenal, ada dua belas angka?jarum
pendeknya telah menunjuk pukul dua belas. Aku menatap lantai kayu
lamat-lamat. Entah di mana pun kami berada, di dunia lain atau bukan,
setidaknya malam ini kami punya tempat bermalam dengan tuan rumah
yang ramah.
Aku menolak tidur di atas ranjang. Ali yang memakainya setelah
menurunkan bantal-bantal, seprai, dan selimut. Ranjang itu segera
bergerak ke langit-langit kamar. Ali di atas sana sempat berseru, bilang
betapa ajaib kasurnya, bisa menyesuaikan diri dengan kontur badan, juga
langit-langit persis di atas kepalanya mengeluarkan cahaya lembut yang
nyaman. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku menghamparkan seprai
dan selimut di lantai, tidak lengket, seprainya tebal, empuk untuk
ditiduri. Bantalnya juga menyenangkan, sama seperti kasur yang
diocehkan Ali di atas ranjang sana, mengikuti kontur kepala dan badan
saat ditindih.
"Kamu harus tidur, Sel," aku berbisik.
Seli menyeka pipinya, mengangguk.
"Atau kamu butuh sesuatu untuk dimakan?" aku bertanya
memastikan.
181
"Aku tidak lapar lagi, Ra."
Aku tersenyum. "Besok kita akan pulang, dan segera ikut Klub
Menulis Mr. Theo."
***
Tidur dalam situasi banyak pikiran memang tidak mudah. Tapi
dengan badan letih, sakit, ngilu, kami akhirnya jatuh tertidur, kemudian
bangun kesiangan. Cahaya matahari menerobos daun jendela, menyinari
wajah. Aku segera membuka mata. Ada yang sudah membuka gorden,
bahkan sekaligus membuka jendela. Udara pagi yang segar terasa lembut
menerpa wajah.
Aku beranjak berdiri, memeriksa sekitar. Seli masih meringkuk
tidur, sepertinya dia yang terakhir jatuh tertidur tadi malam. Ranjang di
dinding kosong. Ali tidak ada.
Aku melangkah ke jendela, menatap keluar. Kalau saja aku
mengerti apa yang sedang terjadi, ini sebenarnya pemandangan yang
fantastis. Tiang-tiang tinggi dengan bangunan berbentuk balon berwarna
putih memenuhi lembah. Jauh di bawah sana, di dasar lembah,
hamparan hutan lebat, memesona, dengan rombongan burung terbang.
Aku belum pernah melihat hutan seindah ini, sejauh mata memandang.
"Kamu sudah bangun, Ra?"
Aku menoleh. Ali keluar dari pintu bulat yang ada di kamar.
"Kamu harus mencoba mandi, Ra. Fantastis!" Ali tersenyum. Dia
sedang merapikan pakaian yang dia kenakan, menyisir rambutnya yang
berantakan dengan jemari tangan?dan tetap berantakan meski berkalikali dirapikan.
"Kamu habis mandi?" Aku menatap Ali.
"Apa lagi?" Ali tertawa, mengangkat bahu. "Dan kamu harus
mencoba pakaian yang ada dalam lemari. Lihat!"
182
Ali memamerkan pakaian yang dia kenakan. Tidak ada lagi seragam
sekolah kotornya. Ali juga memakai sepatu baru. Seperti sepatu boot
hitam setinggi betis.
"Ini tidak seaneh seperti yang kamu lihat," Ali meyakinkan.
"Bahkan sebenarnya pakaian ini nyaman. Aku bisa bergerak bebas. Lihat.
Sepatunya juga amat lentur, seperti tidak memakai sepatu. Aku bisa
menekuk jari kaki dengan mudah. Mungkin komposisi warnanya terlihat
aneh. Orang-orang di dunia ini sepertinya suka sekali warna gelap, tapi
itu bukan masalah. Kamu tahu, Ra, tidak ada yang lebih penting dari
pakaian selain nyaman dipakai. Peduli amat dengan selera warna orang
lain."
Aku mengembuskan napas. Sepertinya Ali sudah menyesuaikan
diri dengan cepat di dunia lain ini. Dan sejak kapan dia peduli soal
pakaian? Bukankah selama ini di sekolah dia selalu datang berantakan?
Seli bangun mendengar percakapan kami. Aku menyapanya. Seli
menjawab pelan. Wajahnya masih kusam. Sepertinya dia lebih suka
semua ini hanya mimpi buruk, terbangun di kota kami, dan semua mimpi
buruknya hilang. Tapi mau bagaimana lagi? Bahkan aku tadi bangun,
langsung harus melihat Ali yang tiba-tiba memperagakan pakaian,
bergaya.
Pintu bulat kamar ke arah lorong diketuk dari luar.
Kami bertiga saling tatap.
"Apakah kalian sudah bangun?" terdengar suara ramah.
Aku menjawab. "Ya. Kami sudah bangun."
"Apakah aku boleh masuk?"
Aku menjawab pendek, "Ya."
"Siapa, Ra?" Seli berbisik, tidak mengerti percakapan.
Pertanyaan Seli terjawab sendiri saat ibu si kecil mendorong pintu
bulat. Dia tersenyum ke arah kami. "Bagaimana tidurnya? Nyenyak,
bukan?"
183
Aku mengangguk.
"Oh, kamu mengenakan pakaian itu." Ibu si kecil menatap Ali,
tersenyum lebar. "Cocok sekali. Kamu terlihat tampan."
"Dia bilang apa, Ra?" Ali bertanya.
"Dia bilang kamu harus hati-hati memakainya, jangan sampai robek
atau rusak. Itu baju mahal," aku menjawab asal.
"Kamu tidak menipuku kan, Ra?" Ali tidak percaya.
Aku nyengir lebar.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sedang menyiapkan sarapan di dapur. Setengah jam lagi
matang. Kalau kalian sudah siap, jangan sungkan, ayo bergabung. Si kecil
pasti senang meja makan ramai setelah hampir setahun kakaknya tidak
ada di rumah." Ibu si kecil tersenyum hangat.
Aku mengangguk, bilang akan segera menyusul.
"Ruangannya ada di ujung lorong ini, belok kanan hingga kalian
menemukan pintu berikutnya. Jangan lama-lama, nanti sarapannya
dingin." Wanita itu tersenyum sekali lagi sebelum melangkah ke pintu
bundar, kembali ke dapur.
"Apa yang akan kita lakukan, Ra?" Seli bertanya setelah kami
tinggal bertiga.
"Kita mandi pagi, Sel," aku menjawab pelan. Ali memang yang
paling logis di antara kami bertiga. Kami diundang sarapan, maka akan
lebih baik jika kami datang dengan wajah segar.
"Mandi?" Seli menatapku.
Aku menoleh ke pintu kecil bulat di kamar.
Ali mengangguk, asyik menyisir rambutnya dengan jemari. "Tenang
saja, kamar mandinya tidak sekecil pintunya. Dan kalian tidak perlu
handuk sama sekali. Masuk saja. Itu kamar mandi yang fantastis. Lebih
luas dibanding kamar ini."
184
Aku mengangguk, mendorong pintu bulat kecil. Ali lagi-lagi benar.
Kamar mandi ini hebat. Saat aku menutup pintunya, belasan lampu
langsung menyala otomatis. Aku berada di tabung bulat besar dengan
banyak kompartemen. Dindingnya terbuat dari kaca, mengeluarkan sinar
lembut. Ada kompartemen untuk meletakkan pakaian kotor, ada
kompartemen untuk pakaian bersih, wastafel, dan sebagainya seperti
yang kukenali?meski bentuknya aneh. Kejutan terbesarnya saat aku
masuk ke ruangan mandinya. Ada belasan keran memenuhi dinding
tabung. Saat tombol keran ditekan, bukan air yang keluar, melainkan
udara segar, menerpa badan seperti memijat. Aku jelas tidak terbiasa
mandi dengan udara, siapa yang terbiasa? Tapi itu seru, tidak ada
bedanya mandi dengan air. Tabung mandi segera dipenuhi aroma wangi
dan gelembung kecil, badanku bersih dan segar.
"Bagaimana?" Ali cengengesan bertanya saat aku keluar.
Aku tidak menjawab. Aku sedang memperbaiki posisi pakaian yang
kukenakan. Aku tidak bisa mengenakan seragam sekolah yang kotor, jadi
tadi mengambil sembarang di kompartemen pakaian bersih, memilih
pakaian dengan warna paling terang?meski tetap gelap juga. Awalnya
jijik memegang baju lengket itu, tapi saat dikenakan, baju tersebut
menempel di badan dengan nyaman, segera menyesuaikan ukuran,
termasuk kerah di leher. Aku mengenakan sepatu yang serupa dengan Ali,
sepatu ini membuatku melangkah lebih ringan.
Aku tersenyum puas. Sepertinya aku bisa menyukai pakaian dunia
ini.
"Kamu juga harus hati-hati mengenakan pakaian ini, Ra." Ali juga
nyengir melihatku sedang becermin.
"Kenapa?" Aku menoleh.
"Kan kamu sendiri yang bilang bahwa pakaian ini mahal, jangan
sampai rusak."
Aku tertawa kecil.
Seli juga ikut mandi setelah aku meyakinkan apa salahnya.
Seragam sekolahnya paling kotor. Dia juga harus berganti pakaian. Seli
185
keluar dari pintu bulat kecil dengan wajah lebih segar lima belas menit
kemudian. Dia mengenakan baju lengan pendek, celana panjang gelap
yang seperti menyatu dengan sepatunya, dilapis rok hingga lutut. Seli
terlihat modis?seperti biasanya, di sekolah dia selalu terlihat paling rapi
berpakaian.
Kami sudah siap, tidak berbeda dengan tampilan orang-orang di
dunia ini.
Saatnya sarapan.
***
"Wow, kalian terlihat berbeda sekali dengan pakaian-pakaian itu,"
Ilo menyapa kami, tertawa lebar.
"Itu sebenarnya bukan pujian buat kalian." Ibu si kecil ikut tertawa.
Dia sedang meletakkan makanan di atas meja.
Aku menatap wanita itu, tidak mengerti.
"Pekerjaan suamiku adalah desainer pakaian. Semua pakaian yang
kalian kenakan, juga pakaian yang kami kenakan adalah desainnya. Jadi
dia sedang memuji diri sendiri." Ibu si kecil sambil tertawa menjelaskan.
"Desainer pakaian?" aku bergumam. Si kecil melambaikan tangan
kepada kami. Wajahnya yang kemerah-merahan terlihat lucu
menggemaskan.
"Iya, desainer pakaian." Ibu si kecil mengangguk. "Ayo, semua
duduk, masakan sudah siap."
Tiga kursi bergerak keluar dari meja makan.
Seli memeriksa selintas, melirikku, mengira-ngira apakah kursi ini
akan berputar saat diduduki. Ali sudah duduk nyaman. Itu hanya kursi
kayu seperti umumnya, meskipun bentuknya lebih mirip tunggul kayu.
Kursi ini menempel di lantai, jadi tidak akan melayang. Aku dan Seli
duduk.
186
"Perkenalkan, ini istriku, Vey, sedangkan si kecil, Ou. Nah, Ou, tiga
kakak-kakak ini namanya Raib, dengan rambut hitam panjangnya, indah
sekali, kan? Seli, yang rambutnya pendek, dan satu lagi, Ali, yang
rambutnya berantakan." Ilo memperkenalkan kami.
Ou terlihat riang. Dia malah turun dari bangkunya, menyalami
kami bergantian.
"Dia bilang apa? Kenapa dia melihat ke arah rambutku?" Ali
berbisik kepadaku.
Aku tertawa, sepertinya menyenangkan menjadi orang yang lebih
tahu dibanding si genius ini?bisa membalas gayanya saat meremehkan
orang lain. "Dia bilang rambutmu yang paling keren di antara semua
orang."
"Oh ya?" Ali nyengir, refleks menyisir lagi rambut berantakannya
dengan jemari.
"Kakak si kecil namanya Ily. Seperti yang kubilang semalam,
usianya mungkin dua atau tiga tahun di atas kalian. Saat ini dia
bersekolah di akademi yang jauh dari sini. Dia suka sekali dengan sistem
dan peralatan canggih. Dia bilang, sistem transportasi dan sistem lainnya
di kota ini ketinggalan zaman. Anak muda seumuran dia selalu semangat
belajar," Ilo menambahkan.
"Ayo
anak-anak,
jangan
makanannya." Vey tersenyum.
ragu-ragu,
silakan
dinikmati
Kami mulai sarapan.
Entah berada di dunia apa pun, sarapan tetaplah sarapan yang
menyenangkan. Keluarga ini ramah. Ou sedang suka berceloteh. Vey
gesit dan tangkas membantu kami. Dan yang lebih penting lagi,
masakannya enak. Bahkan Ali yang selalu santai menghadapi dunia ini
tetap mengernyit saat pertama kali melihat makanan di atas piring?
piringnya lebih mirip sepatu dengan lubang kaki yang besar. Masakannya
lebih aneh lagi, itu seperti bubur, tapi dengan warna gelap.
187
"Tidakkah orang di dunia ini tahu bahwa warna makanan memiliki
korelasi dengan selera makan?" Ali berbisik padaku. Tapi dia sendiri yang
justru semangat menghabiskan makanan itu setelah mencoba
mencicipinya sesendok. Sepertinya lezat. Ali nyengir. Cengiran Ali cukup
bagiku dan Seli untuk berani meraih sendok. Memang sedap.
"Kota ini memang dibangun agar bisa beroperasi secara efisien." Ilo
sudah berganti topik percakapan untuk kesekian kali. Dia persis seperti
Papa di rumah, suka mengobrol saat sarapan, dan mengambil topik apa
saja sebagai bahan percakapan.
"Kota kami tidak lagi menggunakan air untuk mencuci piring,
pakaian, ataupun mandi. Cukup dengan udara. Itu lebih bersih, higienis,
dan menjaga kelestarian air. Walaupun di kota-kota lain dan daerah
pedalaman masih menggunakan air. Kamu suka kamar mandinya,
bukan?"
Aku mengangguk, menyendok bubur hitam. Aku tidak banyak
bicara, hanya sesekali. Yang sering adalah menjelaskan percakapan
kepada Ali dan Seli mereka berusaha mengikuti.
"Juga pakaian yang kalian kenakan, contoh lainnya. Kami memiliki
teknologi benang sintetis yang dapat menyesuaikan diri secara otomatis
dengan pemakainya. Jadi pakaian bisa awet dipakai meski pemiliknya
bertambah dewasa, atau sebaliknya, pakaian itu diberikan kepada orang
lain yang lebih kecil. Dan sepatunya terasa ringan, bukan? Sepatu itu
memang didesain membuat pemakainya lebih ringan sekian persen
sesuai keperluan. Memudahkan mobilitas."
Aku mengangguk lagi.
"Kakak sekolah di mana?" Ou bertanya.
Aku refleks menyebut nama SMA-ku.
Ou terdiam. "Itu nama akademi, ya?"
Aku menggeleng, menelan ludah. Pasti tidak ada di dunia ini nama
sekolah seperti itu.
188
"Mereka datang dari jauh, Nak. Kemungkinan dari luar negeri," Ilo
menjelaskan. "Kamu lihat, dua kakak yang lain juga tidak bisa bicara
dengan kita. Bahasanya berbeda."
Ou mengangguk-angguk menggemaskan.
"Sebenarnya masalah teknis lorong berpindah ini tidak sekecil yang
dibicarakan orang-orang kota. Ini masalah serius." Ilo menghela napas,
sudah lompat lagi ke topik berikutnya. "Lorong itu tidak hanya mengirim
orang-orang ke tempat yang salah. Tersesat. Kacau-balau. Kalian tahu,
beberapa hari lalu, aku bahkan menemukan banyak benda aneh di
kamar tidur Ou. Aku sama sekali tidak mengenali barang tersebut."
Aku hampir tersedak. Benda aneh? Tiba-tiba aku memikirkan
sebuah kemungkinan.
"Boleh kami melihatnya?" aku bertanya senormal mungkin.
"Kenapa
kuambilkan."
tidak?"
Ilo
mengangkat
bahu.
"Sebentar,
akan
Ilo beranjak berdiri, melangkah ke lemari di pojok dapur.
"Dia mau ke mana?" Ali bertanya?seperti biasa ingin tahu dan
mendesak diterjemahkan.
Aku tidak segera menanggapi Ali. Aku menatap Ilo yang kembali
membawa sesuatu.
Ya ampun! Aku hampir berseru saat benda-benda itu diletakkan di
atas meja makan. Naluriku benar. Aku mengenalinya. Itu novel milikku,
flashdisk, peniti, kancing baju, tutup bolpoin, semua benda yang
kuhilangkan malam sebelumnya. Ilo meletakkannya di atas meja.
"Kalian pernah melihat benda seperti ini?" Ilo menunjuk kancing
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baju. "Entahlah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul begitu saja di
meja belajar Ou. Lihat, yang satu ini sepertinya buku. Tetapi bentuknya
aneh, bukan? Aku juga tidak mengenali tulisan di dalamnya. Huruf-huruf
yang aneh." Ilo mengangkat novelku, membuka sembarang halamannya,
memperlihatkannya kepada kami.
189
Seli dan Ali terdiam di sebelahku. Tanpa dijelaskan mereka tahu
apa yang sedang dibicarakan. Mereka juga tahu itu benda-benda milikku.
"Bahkan, yang lebih aneh lagi, kalian lihat," Ilo melangkah sebentar
ke dekat lemari lainnya, menarik keluar sesuatu, "ini benda yang besar
untuk bisa lolos ke dalam kesalahan teknis kecil sistem lubang berpindah.
Entahlah ini benda apa. Bentuknya seperti kursi, tapi model dan
teknologi kursi ini terlalu primitif. Aku tidak yakin ini datang dari lubang
berpindah, siapa yang hendak mengirimkan kursi? Lebih baik
menggunakan transportasi biasa, bukan?"
Aku menahan napas. Itu kursi belajarku.
"Ayolah, Ilo." Vey tersenyum simpul. "Kita sedang sarapan, Sayang.
Kita tidak akan membahas lagi benda-benda itu pada saat sarapan yang
menyenangkan ini, kan? Ayo, anak-anak, habiskan makanan kalian. Ilo
terlalu sering berpikir yang tidak-tidak. Imajinasinya ke mana-mana. Dia
bahkan sering berpikir dunia ini tidak sesederhana seperti yang dilihat.
Kamu mau tambah buburnya, Ra?"
Aku, Seli, dan Ali saling tatap dalam diam.
190
ESUAI rencana tadi malam, setelah sarapan, Ilo akan
mengantar kami ke pusat pengawasan lorong berpindah, untuk
menemukan jalan pulang.
"Ini sepertinya bukan ide yang baik, Ra," Ali berkata pelan, saat
kami disuruh menunggu di ruang tengah. Ou sedang bersiap, mengambil
tas sekolahnya. Sang ibu ikut mengantarnya ke sekolah.
"Tidak akan ada yang bisa membantu kita di pusat pengawasan
lorong itu. Saat mereka bertanya detail, jelas kita tidak bisa menjelaskan
bahwa kita datang dari dunia berbeda. Semaju apa pun teknologi dunia
ini, itu tetap penjelasan tidak masuk akal. Bagaimana kalau mereka
menganggap kita berbahaya? Menangkap kita?"
Aku sebenarnya sependapat dengan Ali. Tapi apa yang bisa kami
lakukan?
"Mereka hanya berpikir kita datang dari kota atau tempat lain.
Tersesat. Sesederhana itu," Ali bergumam.
"Setidaknya keluarga ini baik dan ramah. Aku percaya Ilo tidak
akan mengantar kita ke tempat jahat," Seli berkata pelan.
Sejak tadi malam, Seli menerima apa pun solusinya, sepanjang bisa
membuat kami pulang layak untuk dicoba. Keberadaan bangku belajar,
novel, flashdisk, dan benda-benda milikku yang ditemukan di kamar Ou
dengan sendirinya memastikan kami berada di dunia lain seperti
penjelasan Ali tadi malam. Tapi Seli juga benar, keluarga ini baik kepada
kami. Ou terlihat lucu, ibunya ramah dan cantik?lebih cocok menjadi
model terkenal dan Ilo, selain baik, masih terlihat muda, tampan,
sepertinya bukan sekadar desainer pakaian biasa.
Ou bernyanyi-nyanyi riang, keluar dari kamar membawa tas
sekolah.
"Jangan berlari di rumah, Ou!" tegur sang ibu diiringi senyum.
191
"Kalian sudah siap?" tanya Ilo, yang keluar dari ruang kerjanya
dengan membawa tas.
Aku mengangguk.
"Baik, mari kita berangkat." Ilo menekan tombol di pergelangan
tangannya.
Sebuah lubang muncul di depan kami, awalnya kecil, kemudian
membesar setinggi orang dewasa. Pinggirnya berputar-putar seperti
gumpalan awan hitam. Ou lompat lebih dulu masuk, disusul ibunya.
Kami bertiga ikut masuk. Terakhir di belakang, Ilo melangkah. Lubang itu
mengecil, lenyap. Kami berada dalam kegelapan selama beberapa detik,
kemudian muncul titik cahaya kecil, membesar membentuk lubang besar.
Kami bisa melangkah keluar.
"Selamat datang di Stasiun Sentral." Ilo tertawa melihat wajah
bingung kami.
Aku kira pertama-tama kami akan menuju sekolah Ou. Ternyata
tidak.
Ini bukan sekolah. Ini ruangan besar yang megah, mirip stasiun
kereta, tapi berkali-kali lebih canggih daripada stasiun kereta paling
modern di dunia kami berasal. Belasan jalur kereta, puluhan kapsul
berlalu-lalang, seperti mengambang di rel, datang dan pergi. Jalur-jalur
itu tidak hanya horizontal, tapi juga vertikal, ke segala arah. Ada yang
masuk ke bawah tanah, menyamping, bahkan ke atas, masuk ke dalam
lorong, ada banyak sekali arah jalur. Ruangan megah itu terlihat terang.
Lantainya terbuat dari pualam terbaik. Dindingnya cemerlang. Di langitlangit tergantung belasan lampu kristal mewah.
Orang-orang berlalu-lalang, terlihat sibuk, bergegas. Naik-turun,
pindah jalur. Hamparan lantai stasiun dipadati kesibukan pagi hari.
"Kalian sepertinya tidak pernah melihat stasiun kereta." Ilo
menepuk bahu Ali si genius itu sampai ternganga menyaksikan stasiun.
Emptiness Of Soul Karya Andros Luvena Patung Pembawa Maut Karya Aryani Dewi Ular Lorong Tembus Kubur
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama