Ceritasilat Novel Online

Bumi 4

Bumi Karya Tere Liye Bagian 4

"Kita tidak lewat lubang berpindah menuju sekolah Ou?" aku

bertanya.

192

"Di kota ini, lubang berpindah hanya digunakan untuk

transportasi di atas. Tidak di bawah. Di dalam tanah, kami

menggunakan cara lama yang lebih mengasyikkan. Dengan kapsul

kereta."

"Ini di dalam tanah?" aku bertanya bingung.

"Seluruh kegiatan kota memang ada di dalam tanah. Kami tidak

mau merusak hutan, sungai, apa pun yang ada di permukaan. Itulah

kenapa rumah-rumah dibangun di atas tiang tinggi puluhan meter.

Sedangkan gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sekolah

diletakkan di dalam tanah. Tenang saja, ini persis seperti di atas

permukaan, sirkulasi udara, cahaya, semuanya sama, bahkan kamu tidak

akan menyadari sedang berada ratusan meter di bawah tanah, di dalam

batuan keras. Satu-satunya perkantoran yang berada di atas tanah

adalah Tower Komite Kota atau di sebut juga Tower Sentral yang berada

di atas, menara dengan banyak cabang bangunan yang kalian lihat tadi

malam."

Salah satu kapsul merapat di dekat kami.

"Ayo, kita naik. Kapsulnya sudah datang." Ilo melangkah.

Pintu kapsul terbuka. Ou masuk lebih dulu. Kapsul itu tidak

berbeda dengan satu gerbong kereta berukuran kecil. Ada belasan kursi di

dalamnya, sebagian sudah diisi penumpang lain. Dinding kapsul yang

menjadi layar televisi menampilkan informasi perjalanan dan siaran.

Ali menatap sekitar tidak henti-hentinya. Dia tidak peduli orang lain

memperhatikannya. Aku sempat khawatir melihat kelakuan Ali, apalagi

beberapa orang di dekat kami tiba-tiba berdiri. Anak-anak remaja,

memakai seragam, mereka terlihat berseru-seru antusias. Mereka

mengeluarkan buku, mendekati bangku kami.

Apa yang akan mereka lakukan? Aku menyikut Ali agar bertingkah

lebih normal.

"Kalian harus terbiasa dengan hal ini," justru Vey yang berbisik,

menahan tawa.

193

Anak-anak remaja seumuran kami itu menyapa Ilo?tentu saja

bukan menyapa Ali. Satu-dua berseru-seru senang. Mereka mengulurkan

buku bersampul kulit masing-masing.

Aku segera tahu apa yang sedang terjadi. Di layar televisi terlihat

tayangan, mungkin itu sebuah iklan. Wajah Ilo tampak close up

memenuhi layar, tersenyum memamerkan koleksi pakaian terbaru.

"Ilo desainer pakaian paling terkemuka. Dia melakukan revolusi

besar-besaran dengan teknologi yang ditemukannya. Dia selebritas, tidak

kalah terkenalnya dibanding pesohor lain di kota ini. Tapi begitulah, di

rumah dia tetap ayah yang kadang membosankan bagi Ou." Vey tertawa

lagi. "Bahkan kalian bertiga tidak kenal Ilo, bukan? Sepertinya dari

tempat kalian datang, Ilo tidak dikenal siapa pun. Padahal Ilo selalu

menyombong dirinya terkenal di mana-mana."

Aku ikut tertawa?lebih karena aduh, lihatlah, anak-anak remaja

itu masih berseru-seru saat buku mereka ditandatangani, saling

menunjukkan buku, wajah seolah histeris, lantas kembali ke bangku

masing-masing. Mereka persis teman remajaku di sekolah setiap melihat

artis idola atau penyanyi boyband dari Korea.

"Apa yang terjadi?" Seli bertanya, di sebelahku.

"Gwi yeo wun," aku, menjawab sekenanya, teringat beberapa hari

lalu di dunia kami, Seli mengatakan kalimat itu saat Ali tiba-tiba datang

ingin mengerjakan PR mengarang bersama.

Ali tidak mendengar kalimatku. Dia masih sibuk memperhatikan,

terpesona menatap buku-buku yang dibawa penumpang berseragam.

Tadi saat menandatangani buku penggemarnya, Ilo hanya mengguratnya

dengan ujung jari. Tulisannya muncul sendiri di atas kertas. Itu jelas

lebih menarik bagi si genius ini.

Kapsul yang kami naiki terus melesat cepat dalam jalur kereta. Di

luar tidak terlihat apa-apa, tapi sepertinya kami masuk semakin dalam.

"Kamu tahu, Ra, aku lebih suka

dibandingkan

lorong

berpindah."

Ilo

penggemarnya

kembali

mengajakku

menggunakan kapsul ini

yang

selesai

melayani

bercakap-cakap.

"Lebih

194

konvensional, seperti desain baju yang kubuat, tapi lebih nyaman dan

aman.

"Sistem lorong berpindah itu menggunakan energi yang terlalu

besar. Boros. Kelak kalau insinyur kami menemukan cara berpindah di

atas dengan teknologi lebih murah, tanpa harus membuat jalan di hutan,

jembatan, dan sebagainya yang bisa merusak, mungkin kami akan

menyingkirkan sistem lorong berpindah."

Aku hanya diam, mendengarkan.

Setelah beberapa menit melesat, kapsul itu akhirnya berhenti. Ou

dan ibunya berdiri.

"Kita sudah tiba di sekolah Ou," Ilo menjelaskan.

"Ayo, ucapkan selamat tinggal kepada Ayah dan kakak-kakak." Vey

tersenyum.

Ou meloncat riang. Dia memeluk Ilo, kemudian menyalami kami

bertiga, mengucap salam, lantas turun dari kapsul.

"Semoga kalian segera bisa pulang ke rumah. Orangtua kalian pasti

sudah cemas sekali." Vey menyalami kami.

"Terima kasih banyak," aku berkata sopan.

Kami bertiga ikut berdiri, mengantar hingga ke pintu kapsul.

"Salam buat orangtua kalian ya, dan jangan sungkan mampir lagi

jika berada di kota ini. Rumah kami selalu terbuka hangat buat kalian."

Vey memelukku untuk terakhir kali sebelum melangkah turun menyusul

Ou.

Aku mengangguk.

Aku tidak akan percaya kami berada di dalam tanah jika Ilo tidak

bilang begitu. Dari pintu kapsul yang terbuka, sebuah bangunan sekolah

terlihat. Beberapa kapsul lain merapat dari banyak jalur, anak-anak

sekolah berlompatan turun, beberapa ditemani orangtua mereka.

Halamannya luas, dengan rumput terpangkas rapi. Beberapa pohon

195

tumbuh tinggi. Ou sudah berlari riang melintasi gerbang menyapa

teman-temannya, meninggalkan ibunya yang masih melambaikan

tangan kepada kami.

Pintu kapsul menutup perlahan. Kapsul kembali melesat.

Masih ada dua pemberhentian berikutnya. Anak-anak remaja

berseragam itu turun, juga penumpang lain, menyisakan kami berempat

ketika layar televisi mendadak berganti siaran. Sepertinya itu sebuah

breaking news. Ilo menatap layar dengan saksama. Seli memegang

tanganku. Ali juga berhenti memperhatikan sekitar, ikut menatap

dinding kapsul.

Seli dan Ali boleh jadi tidak tahu apa yang sedang disampaikan

pembawa acara, tapi mereka dengan segera mengerti berita itu. Sebuah

tiang raksasa terlihat menimpa bagian hutan, lantas di sebelahnya dua

bangunan besar berbentuk balon tergeletak hancur bersama potongan

tiang, menghantam lebih banyak pohon lagi.

"Tidak ada yang bisa memastikan apa dan dari mana benda ini

berasal. Petugas Komite Kota sedang melakukan pemeriksaan tertutup.

Yang bisa dipastikan, belasan pohon rusak, dua rumah roboh saat benda

ini muncul begitu saja. Tidak ada korban jiwa. Dua rumah dilaporkan

dalam keadaan kosong saat kejadian."

"Ini jelas bukan masalah teknis lorong berpindah lagi." Ilo di

sebelahku menghela napas. "Ini sesuatu yang lebih besar."

Aku, Seli, dan Ali terdiam.

***

Ilo juga hanya diam mematung beberapa saat setelah siaran

tersebut. Dia mengusap wajahnya, lantas bangkit berdiri, menekan

tombol-tombol di dinding kapsul.

"Anak-anak, kita tidak jadi menuju Pusat Pengawasan Lubang

Berpindah." Ilo menggeleng. "Aku akan memasukkan tujuan baru kita."

Aku bingung. "Ke mana?"

196

"Anak-anak..." Ilo masih berdiri, tidak menjawab pertanyaanku. Dia

menatap kami bergantian dengan tatapan serius, sementara di luar

kapsul melakukan manuver, melengkung, berbelok arah dengan mulus.

"Sebenarnya, dari mana kalian berasal?"

Aku mendongak, menatap wajah Ilo.

"Dia bertanya apa?" Ali berbisik.

Aku menahan napas.

"Kalian tahu, istriku mungkin benar ketika berkali-kali bilang aku

terlalu banyak berimajinasi karena pekerjaan ini. Tetapi ada banyak hal

yang kita imajinasikan nyata. Seperti pakaian, sejauh apa pun imajinasi

kita, itu nyata, menjadi sesuatu yang bisa disentuh. Sejak tadi malam aku

memikitkan situasi ini. Buku aneh itu, dengan huruf-huruf yang aneh.

Pakaian yang kalian kenakan saat ditemukan di kamar anak kami.

Bukankah ada tulisan dengan huruf yang sama? Terlalu banyak hal yang

tidak bisa dijelaskan. Kalian tidak tersesat dari tempat biasa. Dari mana

kalian berasal?"

Wajah Ilo terlihat serius sekali, meski ekspresi wajahnya yang baik

tidak hilang.

Aku berhitung, apakah akan menjawab atau tidak.

Aku menoleh ke arah Seli dan Ali?yang tidak mengerti apa yang

kami bicarakan.

Aku menggigit bibir. Baiklah, meski ini boleh jadi tidak masuk akal

dan akan membuat Ilo tertawa, aku akan menjawab. Suaraku bergetar.

"Kami juga tidak tahu. Mungkin saja kami berasal dari dunia yang

berbeda, dunia lain."

Mengatakan kalimat itu saja sudah terasa aneh, "dunia lain",

apalagi berharap reaksi orang saat mendengarnya. Tapi Ilo tidak tertawa,

mengernyit, atau reaksi sejenisnya. Dia hanya terdiam, ikut menahan

napas, berusaha mencerna kalimatku.

"Juga benda raksasa yang menghantam dua tiang rumah itu?"

197

Aku mengangguk.

mengirimnya ke sini."

"Itu

datang

dari

dunia

kami.

Aku

yang

"Benda-benda aneh di kamar Ou?"

"Iya, juga buku itu, milikku. Benda-benda aneh yang ada di kamar
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ou, itu milikku."

Kapsul itu lengang sejenak, menyisakan desingnya melaju melewati

lorong.

"Astaga!" Ilo akhirnya mengembuskan napas, menatapku lamatlamat. "Sungguh tidak bisa dipercaya. Bagaimana kalian bisa masuk ke

kota ini, eh, dunia ini?"

"Kami masuk lewat buku PR matematikaku," aku menjawab pelan.

"Buku PR matematika?" Ilo memastikan dia tidak salah dengar.

Aku meminta Ali mengeluarkan buku itu, menyerahkannya pada

Ilo.

Ilo menelan ludah, menerima buku PR matematikaku.

"Ini sama seperti buku lainnya. Tidak ada yang berbeda."

Ilo memeriksa buku bersampul gambar bulan sabit, membuka

sembarang halaman, lantas menggurat sesuatu di atasnya. Seharusnya

seperti buku-buku remaja yang tadi meminta tanda tangan, kertasnya

bisa ditulisi dengan teknologi ujung jari pengganti bolpoin, buku PR

matematikaku sebaliknya, tidak. Bekas guratan jemari Ilo hanya

mengeluarkan sinar sejenak, kemudian pudar bersama letupan kecil.

Ilo berseru, melangkah mundur. Tangannya gemetar kesakitan

seperti habis disetrum sesuatu.Wajahnya pucat. "Aku sepertinya keliru,

buku ini jelas tidak sama seperti buku lain. Aku tidak tahu apa bedanya,

tapi aku tahu siapa yang bisa menjawab banyak pertanyaan."

198

Ilo mengembalikan buku

bergantian. "Baik, anak-anak,

menjelaskan banyak hal."

PR matematiku, menatap kami

semoga tujuan baru kita bisa

Kapsul kereta itu terus melesat cepat.

199

APSUL kereta itu berhenti lima menit kemudian. Ilo berjalan di

depan, turun.

Entah berada di mana kami sekarang, tapi hamparan rumput

terpangkas rapi menyambut kami, tampak hijau seluas lapangan sepak

bola. Jika itu belum cukup, di sisi kiri dan kanan lapangan terlihat air

terjun setinggi pohon kelapa, debum air menimpa bebatuan seperti

bernyanyi, sungai jernih mengalir, kelokannya hilang di belakang sebuah

gedung besar. Saking besarnya gedung itu, jika dipotret, aku tidak yakin

lensa kamera bisa menangkap seluruh bagiannya jika diambil dari jarak

jauh sekalipun. Aku mendongak menatap langit. Kami sepertinya masih

berada di dalam tanah, karena meskipun langit terlihat biru, itu tidak asli,

tidak ada matahari di atas sana.

"Ini Perpustakaan Sentral. Tempat semua catatan dan buku

disimpan, semua ilmu dikumpulkan. Tidak ada tempat lebih baik

dibanding ini jika kita membutuhkan jawaban," Ilo menjelaskan sebelum

ditanya. Dia melangkah lebih dulu, berjalan menuju gedung tinggi itu.

Kami membutuhkan dua menit melintasi hamparan rumput hijau,

lalu tiba di pintu gedung.

Ruangan depan gedung itu dipenuhi meja-meja panjang dan

bangku. Lantainya terbuat dari pualam mewah. Belasan lampu kristal

tergantung di langit-langit ruangan, sama seperti interior Stasiun Sentral.

Bedanya, rak buku setinggi gedung tiga lantai memenuhi dinding

ruangan. Aku menelan ludah menatap begitu banyak buku di dinding.

Beberapa orang terlihat membaca di meja-meja panjang. Beberapa belalai

bergerak merambat di rak-rak itu, sepertinya itu alat mencari judul buku,

berhenti mengambil buku, kemudian bergerak lagi.

Salah satu petugas perpustakaan menyapa ramah Ilo?seorang ibu

separuh baya yang mengenakan jaket gelap. Mereka saling kenal,

berbicara serius sebentar. Ibu itu memeriksa sejenak buku besar di atas

meja, lantas mengangguk, meminta kami berjalan di belakangnya.

200

Kami melewati pintu bundar, masuk ke dalam lorong remang. Di

dunia ini setiap kamar atau ruangan sepertinya dihubungkan loronglorong, termasuk juga setiap gedung, bangunan, pun di atas sana, rumahrumah berbentuk bangunan balon. Jika tidak ada lorong secara fisik,

bangunan dihubungkan dengan lorong virtual yang mereka sebut lorong

berpindah.

Tiba di ujung lorong, ibu separuh baya itu mendorong pintu bulat.

Kami masuk ke ruangan yang lebih kecil, dengan interior sama.

Seluruh dinding ruangan itu dipenuhi rak buku tinggi yang bersusun

buku-bukunya. Ruangan itu sepi, tidak ada pengunjung di meja-meja

panjang. Yang ada hanya seorang petugas. Ada plang besar di atas kepala

kami bertuliskan: "Bagian Terbatas. Hanya untuk Pengunjung dengan

Izin".

Petugas itu menggeleng saat ibu separuh baya menyampaikan

sesuatu. Juga menggeleng saat Ilo membujuknya. "Anda bisa membaca

semua buku di ruangan ini, Master Ilo. Buku apa saja. Tapi tidak di

bagian berikutnya."

"Kami harus masuk. Ini penting sekali." Ilo menyisir rambutnya

dengan jemari. Wajahnya tegang.

Petugas itu menggeleng. "Kami tidak akan melanggar protokol

paling tinggi di gedung ini."

"Kalau begitu, izinkan aku bicara dengan kepala perpustakaan." Ilo

mengembuskan napas.

Petugas itu berdiskusi sebentar dengan ibu separuh baya dari

ruangan depan. Dia mengangguk, menekan tombol di atas mejanya,

tersambung dengan ruangan lain.

"Apa yang sedang terjadi, Ra?" Seli berbisik, memegang lenganku.

"Mereka sedang memutuskan apakah kita bisa masuk ke ruangan

berikutnya atau tidak."

"Ruangan apa?" Seli bertanya cemas.

201

"Aku tidak tahu."

Petugas menyuruh kami menunggu.

Pintu bulat di ruangan itu terbuka dua menit kemudian, dan

muncullah seseorang yang terlihat sepuh. Tangannya memegang tongkat.

Rambutnya putih, tapi wajahnya masih segar. Aku menatapnya lamatlamat. Orang tua ini mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Itu warna

paling terang yang kami lihat sejak memasuki dunia ini.

"Halo, Ilo," orang tua itu menyapa ramah, mendekati kami.

Ilo balas menyapa pendek, menggenggam tangan orang tua itu.

Syukurlah, setidaknya mereka berdua juga saling kenal?atau mungkin

juga Vey benar, Ilo amat terkenal di kota ini, jadi siapa pun tahu dia.

"Ada yang ingin kubicarakan. Ini mendesak dan penting sekali,"

cetus Ilo.

"Oh ya?" tanya orang tua itu.

"Aku harus mengunjungi Bagian Terlarang Perpustakaan."

Orang tua itu terkekeh panjang. "Kamu bahkan tidak bertanya apa

kabarku, tidak bercerita apa kabar keluarga kalian. Bagaimana Vey? Ou?

Dan si sulung Ily? Sudah hampir setahun dia tidak pulang dari akademi,

bukan?"

Mereka berdua ternyata lebih dari saling kenal. Aku terus

memperhatikan.

"Itu bisa dibicarakan nanti. Mereka baik-baik saja." Ilo menggeleng.

"Ini mendesak."

"Oh ya? Seberapa mendesak?"

"Amat mendesak." Ilo menatap serius.

"Baiklah. Ada apa sebenarnya?" Orang tua itu mengangguk takzim.

Ilo menggeleng, terdiam sejenak. "Aku juga tidak tahu apa yang

sebenarnya sedang terjadi. Aku justru sedang mencari penjelasannya.

202

Itulah kenapa aku harus mengunjungi Bagian Terlarang perpustakaan

kota."

"Kamu seharusnya tahu, kamu membutuhkan surat berisi

persetujuan seluruh Komite Kota untuk bisa masuk ke dalam bagian itu,

Ilo." Orang tua itu menggeleng. "Tanpa izin itu, tidak ada satu pun yang

bahkan bisa berdiri sepuluh langkah dari pintunya dengan selamat.

Bagian itu dilindungi seluruh sistem keamanan gedung, disegel dengan

kekuatan tertentu, dan di atas segalanya, aku menjaganya dengan

nyawaku sendiri."

Sesaat aku seperti bisa melihat wajah orang tua berpakaian abuabu itu tampak begitu berwibawa. Bola matanya yang menatap tajam

bersinar.

Ilo meremas jemarinya, menoleh padaku. "Ra, kamu keluarkan

buku PR matematika itu."

Aku mengambil buku PR matematika dari ransel yang dibawa Ali.

Ilo tidak sabar menunggu, menerima buku itu dengan tangan bergetar?

seperti khawatir disetrum lagi. Ilo menyerahkan buku itu kepada orang

tua di hadapannya.

"Ini buku apa?" Orang tua berpakaian abu-abu itu menatap Ilo.

"Kamu periksa saja. Itu tiketku untuk masuk ke dalam Bagian

Terlarang."

"Ini hanya sebuah buku tulis biasa, Ilo."

"Kamu periksa saja lebih detail." Ilo menggeleng tegas.

"Baik, mari kita lihat." Orang tua itu mengangguk takzim.

Aku memperhatikan.

Orang tua berpakaian abu-abu itu mulai memeriksa. Dia tidak

membuka sembarang halaman, mencoba menggurat tulisan seperti yang

dilakukan Ilo. Dia menghela napas sebentar, kemudian bergumam pelan,

mengucapkan sesuatu, mengusap lembut buku bersampul kulit dengan

203

gambar bulan sabit milikku. Belum selesai tangannya mengusap, buku

PR-ku sudah mengeluarkan sinar yang terang sekali.

Gambar bulan sabitnya seperti keluar di udara. Terlihat elok.

Semua orang di ruangan itu menahan napas.

"Astaga!" Orang tua itu berseru, buku itu terlepas dari tangannya.

Aku hendak menyambarnya agar tidak jatuh. Tapi alih-alih jatuh,

buku itu justru mengambang di udara. Sinar yang keluar dari bulan sabit

menimpa wajah kami.

Saat kami sibuk menatap takjub buku yang melayang di udara,

orang tua berpakaian abu-abu itu menoleh kepadaku. "Apakah buku ini

milikmu?"

Aku mengangguk.

"Gadis Kecil, siapakah kamu sebenarnya?"

Pertanyaan itu membuat orang-orang menoleh padaku.

Seli yang sejak tadi memegang tanganku, refleks melepaskan

tangannya. Ali yang biasa sibuk memperhatikan sekitar, ikut terdiam.

Dua petugas perpustakaan bahkan dengan gemetar menunduk, tak

berani melihat wajahku.

"Aku? Eh, namaku, Raib," aku refleks menjawab.

Saat itu seluruh tubuhku bersinar terang. Sinarnya juga menerpa

wajahku.

Beberapa saat hanya lengang di ruangan pengap tersebut, hingga

sinar yang keluar dari sampul buku PR matematikaku perlahan redup,

kemudian lenyap. Ilo bergegas menyambarnya sebelum buku itu jatuh.

"Bagaimana? Apakah kamu akan mengizinkan kami masuk ke

Bagian Terlarang, Av? Buku ini tiket masuknya." Ilo mengacungkan buku

milikku dengan yakin.

***

204

"Tidak ada yang boleh menceritakan kejadian ini kepada siapa pun."

Av, demikian nama orang tua berpakaian abu-abu itu, berkata tegas

kepada dua petugas perpustakaan. "Padamkan sistem keamanan Bagian

Terlarang beberapa saat. Aku akan mengajak Ilo dan tiga anak ini masuk

ke dalamnya."

"Aku ingat sekali, terakhir kali Bagian Terlarang perpustakaan ini
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuka adalah seribu tahun lalu. Aku sendiri yang membukanya, dan

aku sendiri pula yang menyegelnya hingga hari ini." Av menghela napas

perlahan, "Mari, ikuti aku."

Av melangkah pelan. Suara tongkatnya mengenai lantai pualam,

bergema.

Kami menuju pintu bulat, masuk ke dalam lorong panjang lagi.

"Wajahmu tadi terlihat terang sekali, Ra," Seli berbisik. "Seperti

purnama besar."

Aku menoleh, tidak mengerti.

"Aku seperti bisa melihat bulan dari jarak dekat," Seli masih

berbisik.

Aku menatap Seli. "Bulan?"

"Kita telah tiba," Av yang berdiri di depan berkata pelan, memotong

percakapan.

Kami tiba di ujung lorong. Tidak ada yang istimewa dari pintu bulat

itu, seperti pintu-pintu lain yang pernah kami temui di dunia ini.

"Jangan tertipu dengan tampilannya, anak-anak. Tidak ada yang

bisa mendekati pintu ini jika sistem keamanannya diaktifkan," seakan

bisa membaca pikiran kami, Av berkata datar. "Tidak, bahkan dengan

seribu Pasukan Bayangan tetap tidak."

Av mengacungkan tongkatnya ke depan, mengetuk beberapa kali,

membuat irama tertentu. Terlihat pita kuning bersinar di daun pintu.

Cahayanya sekaligus membuat jelas sarang laba-laba dan debu di sekitar

205

kami. Sepertinya sudah lama sekali tidak ada orang yang mengunjungi

lorong ini. Av merobek segel pita itu dengan tongkatnya, lantas mendorong

daun pintu.

Pintu berderit pelan.

Ruangan yang kami masuki pengap dan gelap.

Av mengetukkan tongkatnya lagi ke lantai, beberapa lilin menyala,

membuat terang sekitar. Aku bisa melihat tembok ruangan yang terbuat

dari batu bata tanpa diplester dan lantainya dari batu kasar. Ruangan itu

tidak besar, paling hanya seluas kelasku. Hanya ada satu lemari di

sudutnya, berisi gulungan besar, peti berwarna hitam, dan buku-buku.

Sebuah meja panjang dan beberapa kursi persis berada di tengah, terlihat

berdebu, tua, dan kusam. Juga ada sebuah perapian kecil di dinding

ruangan dengan kayu bakar yang menumpuk, lama tidak disentuh,

entah untuk apa perapian tersebut.

Av menutup rapat daun pintu, melangkah ke tengah ruangan.

"Kalian bertiga jelas tidak datang dari dunia ini." Av menoleh

kepada kami, menatap kami satu per satu. "Siapa saja kalian?"

Ilo memperkenalkan kami satu per satu.

"Bagaimana kamu menemukan mereka bertiga, Ilo?"

"Mereka muncul di rumahku tadi malam, saat aku mengantar Ou

tidur."

"Itu pasti sedikit mengejutkan, menemukan orang asing di dalam

rumah. Dan kamu awalnya berpikir mereka hanya tersesat karena

kesalahan teknis lorong berpindah?"

Ilo mengangguk.

"Setidaknya kabar baiknya, kalian muncul di rumah cucu dari cucu

cucuku. Bukan di tempat keliru." Av menyeka rambut putihnya.

"Dia bilang apa?" Ali berbisik di sebelahku.

206

"Dia bilang Ilo adalah cucu dari cucu cucunya."

Ali dan Seli menatapku tidak mengerti.

"Dan tentu saja kamu fasih berbicara bahasa kami." Av

menatapku lamat-lamat. "Kemampuan itu melekat saat kamu

dilahirkan. Juga seluruh kekuatan lain, kamu peroleh sejak lahir."

Ruangan pengap itu lengang sejenak.

"Apakah kamu tahu siapa dirimu, Nak?" Av bertanya lembut.

Aku menggeleng pelan, tidak mengerti. Tadi aku sudah menyebut

namaku. Kalau hal tersebut ditanya lagi, berarti itu bukan jawaban yang

diharapkan.

"Baik. Akan kujelaskan masalah ini." Av melangkah ke lemari di

dinding ruangan.

Kami memperhatikan.

Av kembali dengan membawa salah satu gulungan besar. Dia

meletakkan gulungan itu di atas meja, menepuk debu tebal, membuat

gambar di atas gulungan lebih bersih.

Aku tahu itu apa meski warnanya sudah kusam, ujung-ujung

kertasnya robek, dan gambarnya amat sederhana. Saat dihamparkan di

atas meja, aku mengenalinya, itu peta Bumi berukuran besar.

"Kalian di dunia sana menyebut dunia ini dengan sebutan ?Bumi?,

bukan?"

Dunia sana? Tapi aku memutuskan mengangguk, tidak banyak

tanya.

"Inilah peta Bumi itu yang dibuat puluhan ribu tahun lalu." Av

mengetuk peta itu pelan. Garis-garis peta mulai bersinar, membuat lebih

jelas bentuk benua, pulau, dan sebagainya.

"Sejak kecil, kamu selalu bilang dunia ini tidak sesederhana yang

kamu lihat, bukan? Kamu bilang, dunia ini seperti game yang jago kamu

207

mainkan." Av tertawa pelan, menoleh kepada Ilo di sebelahnya. "Kamu

benar, Ilo. Walau aku selalu pura-pura menertawakan pertanyaan itu,

bilang itu hanya imajinasi, khayalan, tapi tentu saja kamu adalah cucu

dari cucu cucuku. Kamu memiliki naluri untuk tahu. Sayangnya aku

tidak bisa menjelaskan saat itu. Aku sebaliknya bertugas melindungi

banyak rahasia. Biarlah hari ini akan kujelaskan rahasia itu.

"Dunia yang kita tinggali memang tidak sesederhana yang kita lihat.

Perhatikan peta baik-baik." Av mengetuk lagi peta di atas meja, dan entah

dari mana asalnya, muncul gambar beraneka ragam di atasnya, dengan

warna-warni indah.

"Ada empat kehidupan yang berjalan secara serempak di atas planet

ini. Yang pertama adalah Klan Bumi atau disebut juga dengan Makhluk

Tanah atau Makhluk Rendah. Istilah itu tidak merujuk pada rendahnya

status mereka?walaupun kenyataannya mereka memang yang paling

primitif ilmu pengetahuannya?melainkan merujuk klan ini memang

hidup di atas permukaan tanah."

Saat Av menjelaskan, garis-garis yang mengeluarkan sinar di atas

peta membentuk gambar rumah-rumah, orang-orang, sawah, jalan,

jembatan, dan lainnya.

"Klan Bumi adalah yang paling banyak jumlahnya. Paling banyak

memanfaatkan sumber daya planet. Beberapa bijak, beberapa rakus dan

tamak. Makhluk Tanah memiliki pengetahuan dan teknologi amat

terbatas. Tetapi sebagian besar dari mereka pembelajar yang baik, satudua bahkan bisa menyentuh level menakjubkan, termasuk memiliki

kekuatan khas. Pertempuran dan kerusakan selalu mengiringi Klan Bumi.

Ambisi berkuasa mereka besar, tapi syukurlah, itu dibatasi dengan

kemampuan sendiri. Setidaknya tidak ada di antara mereka yang punya

ide ingin menyerbu dunia lain."

Av mengetuk lagi peta di hadapannya. Gambar menghilang, berganti

gambar bangunan balon-balon di udara, hutan yang subur.

"Yang kedua adalah Klan Bulan atau juga dikenal dengan sebutan

Makhluk Bayangan. Itu adalah kita, Ilo. Kita tinggal di atas tanah,

memiliki pengetahuan dan teknologi paling maju. Jumlahnya hanya

sepersepuluh Klan Bumi, tapi tersebar rata di seluruh dunia. Dengan

208

pengetahuan, kita mampu mengeduk tanah, membuat kehidupan di

dalam tanah, karena klan kita menghindari merusak permukaan.

"Penduduk Klan Bulan memiliki kebijaksanaan hidup dan

pengetahuan yang mengagumkan. Mereka menemukan alat-alat

mutakhir, berkali-kali lipat lebih canggih dibanding Makhluk Tanah.

Bahkan segelintir kecil Klan Bulan memahami rahasia bahwa dunia ini

tidak sesederhana seperti yang terlihat. Mereka juga memiliki kekuatan

besar, seperti menembus sekat, petarung yang hebat dan terhormat.

Kamu salah satunya. Kamu mungkin belum tahu, bingung, tapi kekuatan

itu sudah kamu miliki sejak kecil."

Semua orang menoleh kepadaku, termasuk Seli dan Ali yang sejak

tadi tidak sabar ingin tahu apa yang dijelaskan Av. Mereka hanya bisa

menebak-nebak arah pembicaraan.

"Seharusnya Klan Bulan adalah yang paling damai dan tenteram.

Kita adalah klan yang paling beradab dengan budaya paling tinggi. Tapi

situasi itu justru menimbulkan hal baru yang rumit. Segelintir kecil

penduduk yang mengetahui rahasia dunia lain ternyata memiliki ide

mengerikan. Mereka ingin menguasai dan menjajah dunia lain. Seribu

tahun lalu, mereka memutuskan membuka lorong ke dunia Makhluk

Tanah, menguasai Klan Bumi.

"Ide itu ditentang banyak orang. Tapi dalam sistem klan kita saat

itu, seluruh negeri diperintah kerajaan. Kendali penuh ada di tangan

orang-orang dengan kekuatan. Perang besar terjadi. Orang-orang biasa

dengan dukungan pemilik kekuatan yang masih berpikir waras

memutuskan membentuk Komite Kota, menolak ide itu. Aku yang

bertugas sebagai penjaga perpustakaan membuka Bagian Terlarang ini

untuk menemukan cara mencegah hal itu. Mahal sekali harganya.

Kerajaan yang menguasai seluruh negeri runtuh, berganti sistem menjadi

Komite Kota. Puluhan ribu Pasukan Bayangan tewas, dan lebih banyak

lagi penduduk biasa gugur. Entah apa itu harga yang sepadan atau tidak.

Lorong itu berhasil digagalkan." Av menghela napas, mengusap rambut

putihnya.

Aku terdiam, menelan ludah.

209

Av mengetuk peta lagi perlahan. Gambar bangunan balon lenyap,

berganti gambar kapal-kapal dan benda-benda mengagumkan yang

melayang di atas peta.

"Yang ketiga adalah Klan Matahari atau juga dikenal dengan

Makhluk Cahaya. Mereka tinggal di atas, di antara awan-awan. Mereka

memiliki pengetahuan dan teknologi sama majunya dengan Klan Bulan.

Aku dengar mereka juga berhasil membuat kehidupan di dalam tanah,

lebih dalam lagi dibanding peradaban kami, tapi aku tidak pernah

melihatnya secara langsung. Seribu tahun lalu, saat Klan Bulan hendak

menjajah Makhluk Tanah, aku membuka sekat menuju Klan Matahari.

Itulah jawaban yang kutemukan di Bagian Terlarang Perpustakaan. Kami

membuat aliansi dengan mereka.

"Jumlah mereka jauh lebih sedikit dibanding kami. Klan Matahari

adalah penduduk yang tenang, hangat, dan ramah. Mereka sama sekali

tidak berpikir tentang ambisi berkuasa. Mereka lebih mencintai

persahabatan, kesetiakawanan. Kami susah payah membujuk penguasa

Klan Matahari untuk membantu, karena amat jelas, sekali penguasa

Klan Bulan berhasil menguasai dan menjajah Makhluk Tanah, mereka

tidak akan pernah merasa cukup, hanya soal waktu juga mereka akan

menyerbu Klan Matahari. Tidak terbayangkan klan yang ramah itu

memutuskan ikut perang. Penguasa mereka pada detik-detik terakhir

memutuskan membantu. Lorong antardunia dibuka. Pertempuran besar

terjadi. Banyak sekali Pasukan Cahaya yang tewas."

Av menunduk, menghela napas panjang, terdiam lama.

"Aku minta maaf jika membuat kamu harus mengingat hal itu, Av."

Ilo memegang lengan orang tua dengan pakaian abu-abu itu.

Av menghela napas, tersenyum getir. "Tidak apa, Nak. Kalian harus

mendengarnya, dan aku harus menceritakannya.

"Setelah peperangan usai, penguasa Klan Matahari memutus

seluruh lorong menuju dunianya. Aku kira itu tindakan bijak. Dunia

mereka kacau-balau karena perang. Beberapa penduduk mereka
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengungsi. Boleh jadi mereka terpaksa melintasi sekat antardunia. Aku

tidak mendengar kabar dari mereka sejak hari itu. Juga tidak pernah

210

bertemu salah satu dari mereka. Entahlah. Apakah dunia mereka

semakin makmur atau semakin memudar."

Aku menatap lamat-lamat Seli di sebelahku.

Av kembali mengetuk pelan peta. Gambar kapal-kapal dan benda

terbang menghilang. "Yang keempat adalah Klan Bintang, atau disebut

juga Klan Titik Terjauh."

Tidak muncul gambar apa pun di atas peta Bumi selain garis-garis

benua.

"Sayangnya, tidak ada yang memiliki pengetahuan tentang dunia

ini. Termasuk seluruh buku dan gulungan tua di perpustakaan. Tidak ada

yang pernah menembus dunia mereka. Tidak ada yang tahu tingkat

kebudayaan dan kemampuan mereka. Beribu tahun tanpa kabar. Jika

selama itu tidak ada yang tahu, itu boleh jadi dua hal. Pertama, dunia itu

sudah memudar, dan kedua, dunia itu memang amat terpisah dari tiga

dunia lainnya. Klan Bintang adalah dunia yang paling tua, mereka pasti

memiliki pengetahuan paling maju."

Av mengetuk peta untuk terakhir kalinya. Seluruh gambar kembali

muncul. Gambar rumah, jembatan, jalan, sawah, perkebunan, juga

bangunan tinggi balon-balon, kapal-kapal, dan benda melayang, terlihat

rapi di atas peta.

"Inilah empat dunia di atas satu planet yang kalian sebut Bumi.

Empat kehidupan yang berjalan serempak. Tidak ada yang tahu satu

sama lain. Tidak saling melihat, tidak saling bersinggungan. Ini

sebenarnya indah sekali tanpa ambisi perang dan saling menguasai.

Empat dunia dalam satu tempat." Av menatap peta itu, perlahan-lahan

cahaya gambar dan garisnya redup lantas kembali seperti semula,

menyisakan peta besar berdebu.

Ruangan pengap itu lengang lagi sejenak.

"Apa yang dia jelaskan sejak tadi, Ra?" Ali berbisik tidak sabar,

menyikut lenganku.

211

Aku menatap Ali dengan tatapan jauh lebih menghargai. "Dia

menjelaskan bahwa semua yang kamu katakan tadi malam tentang empat

lapangan di lantai aula sekolah itu benar."

"Sungguh?" Ali menatapku tidak percaya.

Aku mengangguk. Dia memang genius.

"Apakah kamu bisa menghilang, Nak?" Av bertanya padaku,

mengabaikan Ali yang sekarang tertawa kecil dan berbisik-bisik kepada

Seli, menyombong.

Aku mengangguk.

"Kamu juga bisa menghilangkan benda-benda di duniamu?"

Aku mengangguk lagi.

"Apakah orangtuamu tahu kamu bisa menghilang?"

Aku menggeleng.

Av mengangguk takzim, menatapku lembut. "Sudah kuduga.

Mereka tentu saja tidak tahu. Kamu tahu kenapa mereka tidak tahu,

Gadis Kecil?"

Aku bingung dengan maksud tatapan itu.

"Karena mereka bukan orangtuamu yang sesungguhnya."

Apa! Tubuhku sontak mematung. Orang tua berpakaian abu-abu

ini bilang apa? Papa dan Mama bukan orangtuaku yang sesungguhnya?

Tidak mungkin! Tidak masuk akal. Mana mungkin Mama?yang pasti

sekarang sedang rusuh mencariku di dunia kami?bukan mamaku? Atau

Papa yang mungkin sedang buru-buru pulang?yang selalu meninggalkan

kantor jika ada situasi darurat seperti ini?bukan papaku?

"Itu benar, Nak. Jika kamu tidak bisa memercayainya, itu karena

sepertinya tidak masuk akal. Bukankah kamu yang bisa menghilang ini

jelas lebih tidak masuk akal dibanding fakta kecil itu? Suka atau tidak,

kamu jelas bukan bagian dari Makhluk Tanah. Kamu penduduk Klan

212

Bulan. Orangtuamu pasti dari sini. Entah siapa pun mereka. Apa pun

alasan mereka melakukannya. Mereka berhasil meloloskanmu ke dunia

Bumi, dan kamu tumbuh normal di sana, dengan segala keistimewaan

yang amat istimewa."

Aku terhuyung, jatuh terduduk di atas bangku.

Mama dan Papa bukan orangtuaku? Itu mustahil.

Seli bergegas memelukku, bertanya cemas, "Ada apa, Ra?"

Juga Ali, lompat mendekat. "Kamu sakit, Ra?"

Aku merasa ruangan itu sangat pengap.

213

LO memberikan segelas air segar. Aku menghabiskannya dalam

sekali minum?tidak peduli bentuk gelasnya seperti sepatu monster.

"Apakah kamu yang mengirim benda besar dari duniamu, yang

menghantam dua tiang rumah di dunia ini?" Av bertanya, setelah

ruangan lengang sejenak.

Aku mengangguk. Aku sebenarnya tidak terlalu mendengarkan

pertanyaan Av, kepalaku masih dipenuhi hal lain. Bahkan kepalaku

dengan sempurna membayangkan Mama yang tersenyum di meja makan.

Papa yang bercerita bijak di mobil menuju sekolah. Bagaimana mungkin?

"Kenapa kamu melakukannya?" Av bertanya.

Aku diam, menyeka peluh di dahi.

"Ini pertanyaan penting, Gadis Kecil. Jawaban yang kamu berikan

mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Baik,

akan kubantu agar kamu bisa lebih fokus dan tenang." Av memegang

lembut tanganku. Sentuhan itu terasa hangat, menjalar ke seluruh

tubuh, membuat perasaanku terasa ringan. Konsentrasiku membaik

cepat.

Av tersenyum. "Kenapa kamu melakukannya, Nak?"

"Karena kami dalam bahaya," aku menjawab pelan, suasana hatiku

membaik.

Aku tidak punya banyak pilihan. Dalam situasi yang semakin

membingungkan, bercerita lengkap akan lebih baik. Maka aku mulai

menceritakan kejadian di belakang sekolah. Ketika gardu listrik meledak,

kecelakaan, aku terpaksa menghilangkan tiang listrik itu. Kami lari ke

dalam aula. Di aula datang delapan orang bersama sosok tinggi kurus itu,

yang memaksaku ikut dengannya. Juga saat Miss Selena datang

menyelamatkan kami, menyuruhku memeriksa buku PR matematikaku

yang diberikannya beberapa hari lalu. Kami berpindah dari aula sekolah

214

ke kamarku lewat lubang yang diciptakan Miss Selena, mengeluarkan

buku PR matematikaku, dan tiba-tiba kami sudah berada di dunia ini,

terdampar di kamar Ou.

"Kamu ingat siapa nama sosok tinggi kurus itu, Nak?"

"Tamus," aku menjawab pelan.

"Kamu tidak salah mengingatnya?" Wajah Av yang sejak tadi tenang

terlihat berubah. Matanya redup. Suaranya bergetar.

Aku menggeleng.

menyebutkan nama itu.

Aku

ingat

sekali

waktu

Miss

Selena

"Ini sungguh buruk." Av mengusap rambutnya. "Aku kenal nama

itu. Salah satu pemilik kekuatan Klan Bulan. Panglima perang saat

negeri ini masih diperintah kerajaan. Dia masih hidup? Berkelana di

Dunia Tanah? Ini benar-benar kabar buruk. Seribu tahun tidak terdengar,

untuk sesorang yang memiliki kemampuan lebih dari cukup menguasai

seluruh negeri, itu berarti dia memilih menyiapkan rencana yang lebih

besar."

"Kenapa dia memaksaku ikut?" aku bertanya. Sentuhan yang

diberikan Av tadi membuatku jauh lebih fokus. Aku bisa mengambil

inisiatif percakapan.

"Ada banyak kemungkinan jawabannya." Av mengangguk. "Satu

saja kemungkinan itu benar, masalah kita jauh lebih serius daripada yang

diduga. Apa pun yang sedang dia rencanakan, Tamus sudah

merencanakannya jauh-jauh hari. Fakta dia bisa melintasi sekat dua

dunia dengan mudah, itu berarti dia sering melakukannya, termasuk

mengawasimu sejak kecil. Kamu berbeda sekali dengan seluruh anggota

Klan Bulan. Jika kamu dilahirkan di Dunia Tanah, itu berarti kamu bisa

membuka sekat antardunia seperti yang dibutuhkan Tamus."

Aku menatap Av tidak berkedip. Ruangan pengap itu lengang

sejenak.

"Untuk menguasai dunia lain, Tamus harus mengirimkan puluhan

bahkan ratusan ribu pasukan. Kamu tidak bisa datang sendirian

215

menaklukkan Dunia Tanah. Nah, mengirim banyak orang tidak bisa

dilakukan dengan portal biasa yang hanya mengirim dirinya sendiri atau

lewat buku seperti yang kalian lakukan, amat terbatas kapasitasnya. Lagi

pula, yang membuatnya semakin rumit, saat berpindah ke dunia lain,

kekuatan itu tidak berguna lagi, kecuali dia bisa mengondisikan tempat

yang dituju sesuai dengan dunia aslinya. Bukankah itu yang terjadi saat

Tamus dan delapan anak buahnya mendatangi sekolah kalian?"

Aku mengangguk. Aula sekolah berubah remang seperti dunia ini.

"Ratusan ribu pasukan, Av?" Ilo memotong di sebelahku.

Av mengangguk. "Benar, ratusan ribu pasukan."

"Dari mana dia memperoleh pasukan sebanyak itu?"

"Itulah yang kucemaskan sekarang. Tamus sudah merencanakan

ini jauh-jauh hari. Bukan tentang kesalahan teknis lorong berpindah

setahun terakhir yang membuatku prihatin. Tapi situasi di komando

Pasukan Bayangan dan puluhan akademi seluruh negeri. Bukankah

anakmu Ily sudah setahun terakhir tidak pulang?" Av bertanya sambil

menghela napas suram.

Ilo mengangguk. "Akademi menetapkan seluruh anak diwajibkan

menghabiskan liburan panjang di sekolah. Ada program tambahan."

"Benar. Itu bukan hanya kebijakan satu akademi tempat Ily

sekolah, ratusan yang lain juga melakukannya secara serempak." Av

menatap meja lamat-lamat. "Belum lagi betapa lambat dan

membingungkan respons Komite Kota setahun terakhir dalam setiap

kasus. Mereka lebih sibuk membuat banyak perubahan peraturan.

Mengendurkan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dimudahkan,

sebaliknya memperketat hal-hal yang seharusnya sederhana. Kapan

kamu terakhir kali menghubungi Ily?"

Ilo menahan napas. "Seminggu yang lalu. Dia bilang baik-baik saja."

"Semoga demikian." Av mengangguk.

kekhawatiran orang tua ini saja."

"Semoga

ini

hanya

216

"Bagaimana aku akan membuka sekat ke dunia lain? Padahal kami

sendiri sekarang bingung mencari cara untuk pulang," tanyaku.

"Aku tidak tahu, Nak." Av menatapku. "Ada dua buku penting yang

hilang di Bagian Terlarang saat pertempuran besar antardunia seribu

tahun lalu. Yang pertama adalah buku dengan sampul bergambar bulan

sabit menghadap ke bawah, Buku Kematian. Buku itu mengerikan,

penuh rahasia gelap. Aku tidak tahu siapa yang memegangnya sekarang,
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setidaknya bukan Tamus, dan jelas buku itu tidak akan pernah

diwariskan kepadanya. Karena itu, Tamus tidak bisa membaca buku

yang bukan miliknya.

"Satu buku lagi yang hilang adalah buku dengan sampul

bergambar bulan sabit menghadap ke atas, buku yang kamu pegang

sekarang, Buku Kehidupan, berisi tentang kebijaksanaan hidup. Jika

buku ini milikmu, kamu akan bisa membacanya. Siapa pun yang

membaca salah satu buku ini akan tahu bagaimana membuka sekat ke

dunia lain."

"Tapi buku ini kosong." Aku meraih buku PR matematikaku,

membuka sembarang halaman.

"Sesuatu yang terlihat kosong bukan berarti tidak ada apa pun di

dalamnya. Bahkan kalian baru saja mengetahui, sesuatu yang tidak kita

lihat sehari-hari, ternyata bersisian dan nyata di sebelah kita." Av

menatapku sambil tersenyum. "Aku hanya penjaga perpustakaan, bagian

ini hanya menyimpan dan mengamankan benda-benda tua berbahaya

dari rencana jahat. Kami bukan pemiliknya. Aku juga tidak bisa

membacanya. Tetapi saat buku ini bersinar mengambang di udara

beberapa waktu lalu, dan wajahmu memantulkan cahaya cemerlang, aku

tahu, kamu adalah pemiliknya. Jadi setidaknya aku tidak akan meminta

buku ini dikembalikan dan kamu tidak akan terkena denda tidak

memulangkan buku perpustakaan selama seribu tahun."

Itu humor yang baik, sayangnya dalam situasi ini kami tidak mudah

tersenyum.

"Dia bilang apa, Ra?" Ali berbisik, bertanya.

"Nanti akan kuceritakan lengkap. Tidak sekarang."

217

Ali menatapku sebal. Aku balas melotot. "Bagaimana aku akan

menceritakannya sekarang? Aku kan bukan penerjemah." Ali langsung

diam.

"Sayangnya, aku tidak mengenal orang bernama Selena yang kamu

sebutkan. Aku tahu nama itu berarti ?bulan yang indah?, juga sekaligus

?pemberi petunjuk?, ?penjaga warisan?, atau ?benteng terakhir?. Entahlah,

siapa dia dan apa peran yang dia mainkan. Ada banyak orang penting

yang hilang setelah perang besar, termasuk anggota kerajaan." Av

menggeleng. "Tapi jika dia melindungi kalian dari Tamus, dia berada di

pihak kalian. Jika dia berani melawan Tamus, dia termasuk penduduk

Klan Bulan yang memiliki kekuatan penting. Siapa pun yang berhadapan

dengan Tamus tidak punya banyak kesempatan untuk pergi dengan

selamat."

Aku menunduk, mengusap wajahku. Ekspresi wajah Miss Selena

yang menahan pukulan Tamus melintas sejenak di kepalaku.

"Apakah kamu bisa mengirim kami pulang ke dunia kami?" aku

bertanya.

Av menggeleng. "Aku hanya pustawakan, Nak. Istilahnya memang

terlihat hebat, Penjaga Bagian Terlarang, tapi aku tidak bisa melintas ke

dunia lain, apalagi membantu orang lain ke sana. Ada hal-hal yang

kukuasai, ada yang tidak.

"Kamu harus tahu, tidak semua penduduk Klan Bulan memiliki

kekuatan seperti Tamus, berusia ribuan tahun, bisa menghilang, bisa

bertempur, tubuhnya bisa tahan terhadap pukulan. Sebagian besar dari

kami sebenarnya sama seperti Makhluk Tanah di dunia kalian, penduduk

biasa. Ilo misalnya, dia bahkan tidak bisa menghilang walau sedetik, tidak

bisa meloncat lebih tinggi dari dua meter, tapi dia jelas tetap spesial

dengan kemampuannya. Ilo pekerja kreatif yang penuh imajinasi,

desainer tersohor. Pakaian abu-abu ini, aku suka sekali mengenakannya,

nyaman dan efektif, bukti betapa spesialnya dia."

"Tapi bagaimana dengan Miss Selena? Tidak adakah cara untuk

mengetahui kabarnya?" aku mendesak. Bukankah dunia ini memiliki

teknologi maju?

218

Av menggeleng. "Tidak ada yang bisa kita lakukan."

Aku mengeluh, kecewa.

"Bagaimana kalau aku menghilangkan benda di dunia ini? Apakah

dia akan muncul di dunia kami?" Aku teringat sesuatu, memastikan.

"Tidak bisa. Kamu tidak bisa menghilangkan benda yang sudah

hilang. Benda itu hanya hilang sesaat lantas muncul lagi di tempat yang

sama. Sudah sifat di dunia ini, Klan Bayangan. Jika itu bisa dilakukan,

Tamus dengan mudah mengirim pasukannya ke Dunia Tanah. Dengan

seluruh kekuatan yang dia miliki, bahkan Tamus hanya bisa mengirim

dirinya sendiri dan beberapa orang. Kamu memerlukan sesuatu, entah itu

benda, atau kekuatan yang lebih besar agar bisa muncul di dunia

kalian."

"Lantas apa yang harus kami lakukan sekarang agar bisa pulang?"

aku bertanya, pertanyaan paling penting setelah penjelasan panjang

lebar darinya.

Av terdiam. Dia mengusap rambutnya yang putih, berpikir.

Pintu bulat menuju Bagian Terlarang berderit didorong sebelum Av

bicara. Kami menoleh. Pintu itu terbuka. Ibu berusia separuh baya yang

menemui kami di ruangan depan perpustakaan berdiri dengan wajah

pucat di bawah bingkai pintu.

"Ada apa?" Av berseru.

"Di luar ada yang memaksa masuk ke Bagian Terlarang," suara ibu

itu bergetar.

"Suruh tunggu, aku akan menemui mereka sebentar lagi," Av

menjawab tegas. Dia menoleh kepada kami, tersenyum. "Dari dulu, selalu

saja ada yang memaksa masuk ke ruangan ini. Termasuk Ilo. Dia sudah

lebih dari tiga kali memaksa masuk, penasaran ingin tahu. Mereka kira

ini tempat pameran benda bersejarah atau bagian paling seru di sebuah

museum."

219

"Mereka tidak mau diminta menunggu, Av." Suara ibu itu

mendesak, kalut dan gentar. "Mereka tidak datang sendiri atau berempat.

Mereka datang seribu orang. Lapangan rumput dipenuhi Pasukan

Bayangan."

"Astaga!" Av menatap ibu itu, memastikan.

"Kami tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi. Mereka

mengancam memaksa masuk. Mereka membawa surat perintah dari

Komite Kota untuk memindahkan seluruh isi Bagian Terlarang ke tempat

yang lebih aman."

"Lebih aman?" Av tertawa kecil. "Mereka bergurau."

Av menoleh ke arahku, berpikir cepat. "Apa yang kucemaskan

terjadi lebih cepat, Nak. Ini serius. Bola salju itu telah digelindingkan,

hanya hitungan menit, eskalasinya akan membesar, menyebar ke seluruh

kota. Seribu Pasukan Bayangan mendatangi Perpustakaan Sentral, jelas

tidak sedang ingin meminjam buku. Tamus berada di belakang mereka.

Dia telah mencungkil kembali kejadian seribu tahun lalu. Dalam setiap

pertikaian besar penguasa Klan Bulan, salah satu yang harus dikuasai

segera adalah Bagian Terlarang perpustakaan ini."

Av menoleh lagi ke pintu bulat, berseru tegas, "Aktifkan seluruh

sistem keamanan bagian ini. Segel kembali pintunya. Jangan izinkan

siapa pun masuk. Jika mereka memaksa, biarkan saja mereka melintasi

lorong depan ruangan ini. Kita lihat seberapa pintar pasukan tersebut."

Ibu separuh baya itu mengangguk, bergegas balik kanan.

Av mengembuskan napas pelan, tetap terlihat tenang. "Nah,

sekarang, apa yang harus kalian lakukan? Aku tidak tahu, Gadis Kecil.

Semua masih gelap. Tapi sebagai langkah pertama, segera tinggalkan

perpustakaan. Tempat ini akan jadi arena pertempuran dan aku tidak

mau kalian berada di sini. Aku harus memastikan seluruh buku dan

benda-benda terlarang ini aman sebelum mengambil langkah berikutnya."

Av beranjak ke lemari tua, menarik salah satu kotak dari bawah

lemari, membawanya ke atas meja. Debu tebal beterbangan saat tutup

kotak dibuka.

220

"Akan aku hadiahkan ini kepadamu." Av mengeluarkan isi kotak.

"Ini bukan sarung tangan biasa seperti yang terlihat. Ini milik salah satu

petarung terbaik yang pernah dimiliki Klan Bulan. Ini bisa membantumu

menjaga diri dalam kekacauan yang akan segera terjadi."

Sarung tangan itu berwarna hitam, terbuat dari kain lembut dan

tipis syukurlah, tidak lengket. Aku menerimanya ragu-ragu. Av

tersenyum, mengangguk, menyuruhku langsung memakainya. Aku

perlahan mengenakan sarung tangan itu. Bahkan Ali, si genius itu

menatap tertarik ketika sarung tangan itu sempurna kupakai. Warna

hitamnya ternyata memudar, kemudian berganti warna persis seperti

warna kulit tanganku. Aku menggerak-gerakkan jariku, seakan tidak

mengenakan sarung tangan apa pun.

Masih ada satu benda lagi di dalam kotak itu. Juga sarung tangan,

berwarna putih terang.

"Yang itu bukan milik klan kita." Av menggeleng. "Itu milik Klan

Matahari. Aku menyimpannya dari salah satu sahabat lama setelah

pertempuran antardunia berakhir."

Aku menoleh ke arah Seli. "Temanku mungkin bisa memakainya."

Av ikut menatap Seli, menggeleng. "Sarung tangan ini hanya bisa

dipakai anggota Klan Matahari, bukan Makhluk Tanah. Maafkan aku

harus berkata demikian."

"Seli bisa mengeluarkan petir dari tangannya," aku berkata tegas.

"Mengeluarkan petir?" Av menatapku serius.

Aku mengangguk mantap.

"Dia dari Klan Matahari?"

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu. Setahuku Seli teman baikku di

sekolah selama ini."

"Jika benar demikian, ini sungguh mengejutkan." Av menoleh lagi

ke arah Seli, menyelidik, lalu menatapku. "Kenapa kamu tidak bilang

221

sejak awal bahwa temanmu bisa mengeluarkan petir dari tangan?" Av

kembali memperhatikan Seli.

Seli justru menoleh padaku, menyikut lenganku, bertanya apa yang

diucapkan orang berpakaian abu-abu di depannya.

Av

berlutut,

menyentuh

tangan

Seli,

mengangkatnya,

mengusapnya perlahan, percikan kilat memancar sebelum usapan itu

selesai. Av menatap Seli dengan wajah antusias. "Kamu benar. Ini tangan

seorang anggota Klan Matahari. Aku sungguh tidak pernah berpikir akan

bertemu dengan mereka setelah seribu tahun berlalu. Lihatlah, berdiri di

depanku, bukan hanya anggota Klan Matahari kebanyakan, penduduk

biasa, melainkan juga seseorang yang memiliki kekuatan mengeluarkan

petir. Kamu pasti salah satu petarung terbaik mereka."

Seli bergantian menatapku, menatap orang di depannya, menebak

arah percakapan.

"Baik. Ini semakin menarik. Bahkan sangat menarik." Av

mengusap rambut putihnya, meraih sarung tangan tersisa di kotak

berdebu. "Kalian teman dekat, tinggal di Dunia Tanah, satu sekolah.

Siapa pun Miss Selena yang kamu sebut tadi, dia pasti memiliki rencana

besar. Dia menyimpan sesuatu. Kabar baiknya, semoga dia memang

berada di sisi kita. Ini untukmu, petarung dari Klan Matahari. Sungguh

kehormatan mengembalikan sarung tangan ini."

Seli ragu-ragu menerima sarung tangan itu. Aku mengangguk,
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyuruhnya memakainya.

"Dengan berlatih keras, kamu bisa menghasilkan petir berkali-kali

lipat lebih hebat dengan sarung tangan ini. Ketahuilah, sumber kekuatan

terbaik adalah yang sering disebut dengan tekad, kehendak. Jutaan tahun

usia planet ini, ribuan tahun kehidupan tiba di dunia ini. Semua

mencoba bertahan hidup. Maka kehendak yang besar bahkan lebih kuat

dibandingkan kekuatan itu sendiri. Dalam kasusmu, dibandingkan

kekuatan menghasilkan petir, berlari di atas cahaya, menggerakkan

benda-benda dan berbagai kemampuan mengagumkan lainnya yang akan

kamu kuasai, kehendak yang kokoh bisa menggandakan kekuatan yang

kamu miliki menjadi berkali-kali lipat."

222

Sarung tangan putih itu juga memudar, berganti warna sesuai

warna kulit saat sempurna dikenakan Seli. Dengan ragu-ragu Seli

menggerak-gerakkan jemarinya, lentur, seperti tidak mengenakan apa

pun.

"Apakah dia juga punya satu untukku?" Ali berbisik.

Aku menoleh. "Apanya?"

"Kalian berdua dikasih sarung tangan keren, kan? Apakah orang

berpakaian abu-abu ini juga punya sarung tangan untukku? Tidak apa

walaupun berwarna pink. Yang penting sehebat punya kalian, bisa

menyatu dengan kulit." Ali menatapku serius.

Aku hampir menepuk dahi mendengar kalimat si genius ini. Dalam

situasi seperti ini? Dia bilang apa tadi? Warna pink?

Tetapi Av memperhatikan percakapan kami.

"Apakah dia juga memiliki rahasia kecil?" Av bertanya, menunjuk

Ali.

Ali? Punya rahasia kecil? Aku hampir saja kelepasan bilang iya, si

genius ini orang paling menyebalkan di sekolah, si biang kerok, dan

tukang mengajak bertengkar. Apakah Av punya alat yang bisa membuat

Ali sembuh dari perangai jelek tersebut?

Aku mengangguk. Aku memutuskan menilai Ali lebih baik. "Dia

bahkan sebenarnya sudah tahu ada empat dunia di Bumi yang berjalan

serempak."

"Oh ya?" Av memandang Ali dengan tatapan tertarik. "Dari mana dia

tahu? Apakah setelah membaca buku tertentu? Atau ada yang

memberitahunya?"

Aku menggeleng. "Dia menyimpulkannya sendiri."

"Kamu tidak bergurau?" Mata Av membesar, antusias.

Aku menggeleng. Sesebal apa pun aku terhadap Ali, aku akan

menilainya dengan baik.

223

Av duduk, meraih tangan Ali, mengusap telapak tangan anak itu

perlahan, lalu tersenyum. "Kalau saja situasinya lebih baik, dengan

senang hati aku akan menawarkan seluruh isi perpustakaan ini untuk

dipelajari seseorang yang amat brilian. Kamu Makhluk Tanah yang

spesial. Meskipun klan kalian tidak ada yang memiliki kekuatan seperti

penduduk dunia lain, boleh jadi kemampuan kalian belajar adalah

kekuatan itu sendiri. Atau entahlah, mungkin ada bentuk kekuatan

lainnya yang kamu miliki. Ada banyak yang tidak diketahui oleh orang

paling berpengetahuan sekalipun."

"Dia bilang apa?" Ali menoleh kepadaku, semangat.

"Tidak ada hadiah untukmu hari ini," aku menjawab terus terang.

Ali terlihat kecewa, padahal dia sudah senang sekali saat

tangannya diperiksa. Ali dengan wajah kusut menunjuk lemari tua,

berbisik padaku. "Bukankah masih banyak kotak berdebu di lemari itu?

Masa tidak ada hadiah untukku?"

"Waktu kita semakin sempit. Ilo, kamu pimpin anak-anak keluar

dari ruangan ini." Av sudah berdiri lagi, berjalan cepat menuju lemari. Dia

menekan tuas tersembunyi. Lemari itu bergeser, ada lubang kecil di

dinding. Di dalamnya sebuah tangga besi tua terlihat.

"Ini bukan cara lari yang canggih. Lubang berpindah pasti sudah

diawasi Komite Kota. Kalian juga tidak bisa menggunakan jalur kapsul di

depan gedung perpustakaan. Mereka pasti memeriksa siapa pun yang

keluar. Tangga primitif ini cara paling brilian, tidak akan ada yang

menduganya. Segera masuk. Mereka sudah mulai menyerang."

Av benar, terdengar dentuman kencang di luar, juga teriakanteriakan keributan.

Ilo masuk lebih dulu, disusul Ali dan Seli.

"Bagaimana denganmu?" aku bertanya.

Av tertawa. "Jangan mengkhawatirkanku. Merekalah yang harus

kamu khawatirkan. Sistem keamanan itu bukan satu-satunya pertahanan

Bagian Terlarang. Ayo bergegas, kita pasti akan bertemu lagi cepat atau

224

lambat. Kalian akan aman sepanjang tidak ada yang tahu kalian berada di

dunia ini. Tamus mengirim anak buahnya tidak untuk mengejar kalian.

Dia memburu isi ruangan ini."

Aku memasuki lubang tua, sepertinya sudah lama sekali tidak ada

yang menggunakannya. Lubang tua ini dipenuhi jaring laba-laba.

Av menatap Ilo. "Jangan membuat kontak dengan siapa pun, Ilo.

Kamu bawa mereka ke tempat yang aman. Hati-hati menggunakan

sistem transportasi umum. Setidaknya, kamu amat terkenal di kota ini.

Semoga itu berguna mengalihkan perhatian orang-orang jika ada yang

bertanya."

Ilo mengangguk.

"Dan kamu, hati-hati dengan kekuatan yang kamu miliki. Jangan

gunakan sembarangan di tempat terbuka. Itu bisa mengundang

perhatian banyak orang. Sekali Tamus tahu kamu sudah berada di dunia

ini, seluruh Pasukan Bayangan akan mengejarmu."

Aku mengangguk.

Av menarik tuas. Lemari itu bergerak kembali ke posisi semula,

menutup lubang, membuat gelap ruang sempit dengan anak tangga besi.

Kami sepertinya harus memanjat anak tangga ini ke atas.

Kami mendongak. Seli langsung bergumam, "Ra, ujung lubang itu

jauh sekali di atas sana. Saking jauhnya, hanya titik kecil cahaya yang

terlihat. Gedung perpustakaan ini pastilah ratusan meter di perut Bumi."

Aku mengangguk. Terdengar dentuman lagi di kejauhan. Dinding

lubang bergetar kencang, satu-dua kerikil di dinding berjatuhan.

"Ayo anak-anak, bergegas." Ilo sudah lebih dulu memanjat.

225

AMI tiba di ujung lubang setelah susah payah memanjat tangga

besi. Rambut dan wajah kami kotor terkena sarang laba-laba, juga tanah

lembap dan tetesan air yang sesekali mengalir di dinding.

"Kalian baik-baik saja?" Ilo bertanya. Napasnya tersengal.

Aku dan Seli mengangguk. Kami baik-baik saja. Ali terduduk di

lantai, kelelahan. Dia sepertinya memilih istirahat sebentar.

"Ayolah, aku jelas tidak memiliki kekuatan ajaib seperti kalian," Ali

berseru sebal saat aku menatapnya, menyuruh bangun. "Memanjat

tangga setinggi dua ratus meter bukan hobiku. Dan kalian bahkan

dilengkapi dengan sarung tangan keren itu."

Aku hampir tertawa melihat wajah protes si genius itu.

"Kita ada di mana?" Seli bertanya, sambil menyeka wajah yang

basah. Debu dan kotoran yang melekat di pakaian kami segera

berguguran saat dikibaskan, bersih seketika. Pakaian yang kami kenakan

banyak membantu saat memanjat tangga besi.

"Kita berada di tengah hutan lembah," Ilo yang menjawab.

Sebenarnya maksud pertanyaan Seli bukan di mana?, karena kami

semua tahu ini persis di tengah hutan lebat. Pohon-pohon menjulang

tinggi. Cahaya matahari seolah tidak mampu menembus rapatnya

dedaunan. Belum pernah aku menyaksikan pohon setinggi dan sebesar

ini. Burung-burung berukuran besar juga beterbangan di atas kepala,

sayapnya terentang lebar, berwarna-warni indah. Serangga berbunyi

nyaring, satu-dua melintas dengan ekor mengeluarkan cahaya atau

sayap bekerlap-kerlip.

Sepertinya tumbuhan di dunia ini memang tumbuh dengan ukuran

raksasa. Aku mengenali beberapa tumbuhan, seperti jamur, pakis, dan

ganggang di dasar hutan, tapi ukurannya tumbuh hingga sepaha kami.

226

Satu-dua ada yang lebih tinggi daripada kami. Ujung daun ganggang

melingkar sebesar pergelangan tangan.

Suara melenguh binatang liar di kejauhan terdengar. Disusul

lenguhan lain yang saling bersahutan. Panjang dan lantang, terdengar

seram. Aku dan Seli saling tatap, menahan napas.

"Kita harus segera pergi dari sini." Ilo memeriksa sekitar, menekan

tombol peralatan di lengan. "Tempat ini tidak aman. Ada banyak hewan

buas. Meski halaman rumah kami adalah hutan, tidak ada penduduk

kota yang mau menghabiskan waktu turun ke dasar hutan, kecuali di

lokasi wisata tertentu. Hewan buas berkeliaran di mana-mana."

Demi mendengar kalimat Ilo yang kuterjemahkan, Ali tidak perlu

disuruh dua kali. Dia segera bangkit, sambil menyeka kepala,

membersihkan jaring laba-laba dan debu yang menempel.

"Hewan buas?" Seli bertanya memastikan.

"Iya, seperti singa atau beruang," Ilo menjawab.

Aku menelan ludah. Kalau jamur saja ada yang setinggi paha kami,

akan sebesar apa singa atau beruang di dunia ini? Kami sebaiknya

bergegas mencari tempat yang lebih aman. Belum sempat aku

menanyakan hal itu kepada Ilo, di depan kami sudah melompat seekor

binatang, menggeram di atas dahan rendah, menatap kami, menyelidik.

"Itu apa?" Seli lompat ke belakang, kaget.

Ali ikut merapat.

"Kucing liar," Ilo menjawab dengan suara cemas.

"Kucing?" Seli berseru tidak percaya.

Binatang di depan kami ini lebih mirip serigala atau harimau

dibanding kucing. Aku mengeluh, teringat kejadian saat Tamus datang

lewat cermin kamar, memaksaku menghilangkan novel dengan menyuruh

si Hitam mengancam akan merobek kepala si Putih jika aku gagal

melakukannya. Ukuran kucing liar ini persis sama dengan si Hitam,

hanya bedanya warnanya kelabu, ekornya panjang cokelat.

227

Kucing liar itu menatap kami dengan mata tajam, menggeram

kencang, memperlihatkan taring dan cakarnya.

"Pergi!" aku berseru lantang.

Kucing itu bergeming. Bulunya berdiri tanda siap menyerang.

"Jangan coba-coba!" Aku balas menatap galak. Teringat kelakuan

si Hitam, aku lebih merasa sebal dibanding takut pada kucing sok

berkuasa di hadapan kami?meskipun aku tidak tahu bagaimana

menghadapinya.

"Pergi!" aku berseru semakin lantang.

Ilo di sebelahku berusaha meraih sesuatu di dasar hutan yang bisa

dijadikan senjata. Ali dan Seli berdiri rapat di belakangku.

"Hush! Pergi!" Aku mengangkat tangan, balas mengancam.

Kucing liar itu justru meloncat, menyerang cepat?lebih mirip

harimau lompat.

Tanganku yang mengepal sejak tadi juga bergerak cepat, memukul

ke depan. Angin pukulanku terdengar berderu, lantas berdentum keras.

Masih dua meter lagi jaraknya, kucing liar itu sudah terbanting

menghantam pohon, jatuh ke dasar hutan, kemudian lari terbirit-birit

menjauh sambil mengeong lirih.

Aku menatap jemariku. Sarung tangan yang kukenakan ini hebat

sekali. Aku hanya memukul biasa, tapi kekuatan yang keluar berkali lipat

di luar dugaanku.

Sepotong hutan tempat kami terdampar lengang sejenak. Suara
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dentuman kencang membuat burung-burung terbang menjauh. Serangga

berhenti berderik, juga lenguhan dan lolongan hewan liar yang susulmenyusul tadi menghilang.

"Itu pukulan yang mengagumkan, Ra," Ilo memuji. Dia menghela

napas, melemparkan potongan kayu kering ke dasar hutan.

228

Aku masih menatap jemariku. Av benar, sarung tangan ini amat

berguna.

"Kita harus segera pergi. Masih banyak hewan liar lain yang

mungkin muncul. Ini hutan dengan usia ribuan tahun. Tidak pernah

disentuh Klan Bulan, dibiarkan tumbuh subur." Ilo membaca peralatan

di pergelangan tangannya, mencari posisi tujuan. "Kita menuju ke utara,

ada stasiun kereta darurat di permukaan tanah dua kilometer dari sini.

Kalian bisa berjalan sejauh itu?"

Aku dan Seli mengangguk. Ali mengembuskan napas kuat-kuat.

Ilo sudah berjalan di depan, kami segera beriringan mengikuti,

menerobos hutan.

Serangga kembali berderik ramai, juga burung-burung besar. Satudua berbunyi dengan irama panjang, satu-dua melengking keras.

Setidaknya sepanjang perjalanan tidak ada binatang hutan yang

mengganggu, hanya melintas kemudian lari. Sepertinya dentuman

pukulanku tadi mengirim pesan yang jelas.

"Aku belum pernah melihat bunga anggrek sebesar itu," Seli

berbisik di belakangku, menunjuk.

Aku ikut mendongak, menatap juntaian bunga anggrek indah di

dahan pohon.

Kami satu-dua kali berhenti sebentar karena Ilo mencocokkan arah.

Aku memperhatikan bunga anggrek dengan kelopak sebesar telapak

tangan. Entah bagaimana, ukuran tumbuhan dan hewan di dunia ini

besar-besar. Saat tadi pagi menatap hamparan hijau dari jendela

bangunan balon yang tingginya ratusan meter dari permukaan hutan, aku

tidak membayangkan isinya seperti ini.

"Karena penduduk dunia ini tidak pernah merusak hutannya." Itu

teori si genius Ali. Dia menjelaskan sambil terengah-engah mendaki

lereng. "Ilo bilang, usia hutan ini ribuan tahun, bukan? Tidak pernah

diganggu. Maka pohon-pohon tumbuh maksimal. Lingkungan yang subur

dan terjaga memberikan semua nutrisi yang diperlukan. Hewan juga

229

berkembang maksimal, bahkan mereka terus mengalami evolusi, tidak

terhenti karena intervensi besar-besaran dari manusia. Itulah kenapa di

dunia ini kucing liar bisa sebesar serigala. Kucing itu tidak mengalami

domestikasi atau dipelihara."

Lantas bagaimana Ali akan menjelaskan rombongan kupu-kupu

yang baru saja melintas di kepala kami? Yang satu ini ukurannya sama

persis dengan kupu-kupu yang kukenal. Bedanya, jumlah mereka

ribuan, terbang berkelompok. Saat hinggap, rombongan kupu-kupu itu

mengubah warna sebatang pohon menjadi warna-warni pelangi, seluruh

dedaunan tertutupi.

Kami berhenti sejenak. Ilo kembali memeriksa arah stasiun darurat.

Aku dan Seli menatap terpesona. Pemandangan di depan kami sungguh

menakjubkan. Kami kira tadi itu pohon yang berbeda warnanya, ternyata

dihinggapi kupu-kupu. Seekor burung besar ikut hinggap, menggebah

kupu-kupu terbang. Kupu-kupu itu pindah serentak ke pohon lain,

terlihat menawan.

Ali menggeleng, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya,

lebih tepatnya mencari penjelasan baru. "Entahlah, mungkin kupu-kupu

ini mengalami pengecualian. Ukuran mereka tetap kecil."

"Kamu pastilah murid paling pintar di sekolah," Ilo tetap memuji

Ali. "Semua guru pasti bangga memiliki murid sepertimu."

Aku yang sejak tadi berbaik hati membantu menerjemahkan

kalimat Ali kepada Ilo, dan sebaliknya, menahan tawa. Sejak kapan Ali

membuat guru bangga? Yang ada si biang kerok ini selalu membuat repot

guru, kecuali Miss Keriting.

Kami terus mendaki lereng bukit. Stasiun kereta darurat masih

separuh perjalanan. Sejauh ini tidak ada binatang buas yang

menghambat laju kami, kecuali lereng terjal berbatu, memaksa kami

berjalan lebih hati-hati. Dari lereng ini, kami bisa melihat ribuan

bangunan berbentuk balon di lembah hutan, jauh, puluhan kilometer di

bawah sana.

"Lantas bagaimana kamu akan menjelaskan kenapa orang-orang

tertentu memiliki kekuatan? Seperti menghilang atau mengeluarkan petir.

230

Bahkan di Klan Bulan ini banyak penduduk yang tidak percaya mereka

ada," Ilo bertanya, tertarik. Mereka sudah terlibat percakapan serius

sepanjang sisa perjalanan?nasibku terpaksa menjadi penerjemah

mereka.

"Itu tidak terlalu sulit dijelaskan," Ali menjawab kalem?si genius ini

jangan coba-coba dipancing pertanyaan yang memang dia tunggu. Dia

akan sok sekali menjawabnya. "Jawabannya, karena orang-orang tersebut

mewarisi gen istimewa di tubuhnya. Sama seperti hewan atau tumbuhan,

yang memiliki kemampuan spesial agar bisa bertahan hidup, atau untuk

tetap superior.

"Misalnya, hewan bunglon di dunia kami, bisa berganti warna kulit

menyesuaikan lingkungan di sekitarnya, mimikri, sehingga terlihat seolah

bisa menghilang. Atau salah satu jenis salamander bisa melakukan

regenerasi memperbaiki jaringan otak, jantung, apalagi hanya kakinya.

Atau seekor rusa yang tanduknya patah, bisa menumbuhkan kembali

tanduk seberat 23 kilogram hanya dalam waktu dua belas minggu.

Bukankah bagi orang-orang yang tidak tahu, fakta itu termasuk

kemampuan yang tidak masuk akal?

"Padahal itu simpel, karena mereka memang memiliki gen spesial.

Coba lihat, cecak bisa merambat di dinding karena telapak kakinya

didesain sedemikian rupa. Belut listrik bisa menyengat karena dilengkapi

sistem listrik. Bahkan ikan buntal, blowfish, yang kecil dan

menggemaskan, bisa tiba-tiba membesar berkali-kali lipat dari ukurannya

karena memiliki desain pertahanan tersebut saat merasa terancam,

lengkap dengan duri-duri tajamnya.

"Maka masuk akal saja, jika manusia memiliki gen istimewa yang

sama, diwariskan, bahkan dilatih, mereka kemudian bisa memiliki

kekuatan. Apalagi di dunia ini, dengan lingkungan yang masih terjaga,

kemungkinan gen istimewa itu terus diwariskan semakin besar, berbeda

dengan Bumi yang lingkungannya rusak. Manusia berhenti mengalami

evolusi. Atau boleh jadi, mungkin masih ada manusia di Bumi yang

memiliki kemampuan seperti ikan buntal, berubah menjadi besar. Siapa

yang tahu."

231

Aku yang baru saja menerjemahkan kalimat Ali untuk Ilo terdiam

sejenak. Aku tidak tahu apakah Ali serius atau mengarang. Apa yang

dikatakan Ali kadang terlalu sederhana untuk dibantah, dan sebaliknya

kadang terdengar terlalu sederhana untuk menjelaskan permasalahan

rumit.

"Masuk akal." Ilo tertawa, tetap memuji Ali. "Av benar, kamu

sepertinya remaja paling pintar yang pernah dikenal."

Aku menghela napas. Aku bisa menghilang dengan menutupkan

telapak tangan di wajah karena aku mewarisi gen menghilang dari

orangtua yang tidak kukenal? Itu jelas bukan sekadar bunglon yang bisa

berubah warna. Itu lebih susah dipercaya. Memangnya ada hewan yang

bisa menghilang? Kalau belut listrik untuk perumpamaan kemampuan

Seli mungkin bisa masuk akal. Tetapi memangnya ada hewan yang bisa

mengeluarkan petir?

Kami hampir tiba di stasiun darurat, melewati bagian lereng yang

dipenuhi bunga-bunga berukuran raksasa. Ini sepertinya bunga

dandelion atau sejenisnya yang banyak tumbuh di pegunungan dengan

warna-warni mengagumkan. Tapi bukan itu yang paling menarik. Di atas

bunga-bunga itu, terbang bergerombol burung kolibri yang sedang

mengisap serbuk sari. Di dunia kami, burung dengan paruh panjang ini

besarnya hanya sekepalan tangan anak-anak, di sini besarnya tiga kali

lipat. Gerakan sayapnya yang cepat membuat mereka mengambang

seperti helikopter, sambil mengisap bunga.

"Lihat, ada yang mengeluarkan cahaya!" Seli berseru riang,

menunjuk kerumunan burung kolibri yang lain. Aku menoleh. Indah

sekali, beberapa burung ini mengeluarkan kerlap-kerlip sinar di

punggungnya. Sejenak sepertinya Seli bisa melupakan bahwa di dunia

kami, orangtua kami mungkin sedang panik mencari tahu.

Aku memutuskan ikut memperhatikan kerumunan burung kolibri

terbang.

232

Kami berjalan lagi setelah Ilo memastikan harus menuju ke arah

mana. Seratus meter melewati padang bunga, di lereng terjal, terlihat

gagah sebuah mulut gua yang besar dan gelap.

Aku menoleh kepada Ilo. Apakah dia tidak salah?

"Gua ini memang stasiun daruratnya." Ilo mengangguk,

mematikan peralatan di pergelangan tangannya. "Setiap jarak tertentu,

kapsul kereta bawah tanah didesain memiliki lorong darurat ke

permukaan. Itu berguna jika terjadi sesuatu, seperti banjir, kerusakan

listrik, atau kebakaran di kota bawah tanah, penduduk bisa segera

dievakuasi. Mungkin karena jarang digunakan, stasiun ini seperti gua

tidak terawat. Kita harus masuk ke dalam gua, berjalan beberapa puluh

meter lagi untuk tiba di peron."

Kami berdiri di depan mulut gua, saling pandang. Ada tangga

pualam menuju ke bawah, seperti pelataran stasiun. Tapi gua ini berbeda

dengan lubang kecil yang kami panjat sebelumnya, ada titik cahaya yang

dituju. Gua ini gelap total, dan sebaliknya kami justru harus masuk ke

dalamnya. Bagaimana kami tahu arah yang tepat?

Ilo melangkah ragu-ragu. Kami mengikuti. Baru tiga langkah

masuk, Ilo berhenti. Gelap sekali, tidak terlihat apa pun di dalam sana.

"Bagaimana kalau ada binatang buas menunggu?" aku berkata

pelan.

Ilo menghela napas, tegang.

Atau stasiun ini runtuh? Ada lubang besar di pualamnya? Kami

tidak bisa melihatnya. Aku menyikut lengan Ali. Si genius ini mungkin

saja punya ide cerdas bagaimana cara kami bisa berjalan dalam

kegelapan. Ali justru sedang memperhatikan Seli di sebelahnya lagi.

Dalam kegelapan, entah apa penyebabnya, tangan Seli terlihat

menyala redup.

"Sarung tanganmu mengeluarkan cahaya, Seli," aku berbisik.

233

Seli menatap ke bawah, mengangkat tangannya.

Benar. Memang sarung tangan Seli yang mengeluarkan cahaya.

"Mungkin kamu bisa membuatnya lebih terang," aku memberi ide.

Seli mengangguk. Dia mengepalkan tinju tangan kanannya,

berkonsentrasi. Sekejap, sarung tangan itu bersinar terang sekali,

membuat sudut-sudut gua terlihat.

Kami terdiam, saling pandang.

"Ini keren." Seli tersenyum, menatap tangannya.

Aku tertawa kecil, setuju.

Dengan bantuan cahaya sarung tangan Seli kami bisa melewati

pelataran depan stasiun darurat dengan mudah. Gua itu luas, sebesar

aula sekolah kami, lantainya meski kotor dipenuhi daun kering, terbuat

dari pualam mewah. Dindingnya dibiarkan berbatu alami. Sedangkan di

langit-langit gua terlihat tiga lampu kristal?yang padam. Kami melangkah

masuk menuju peron. Ada dua kursi panjang di dekat jalur rel. Selain

kursi itu tidak ada lagi isi stasiun. Tidak ada binatang buas yang
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadikannya sarang.

Ilo mencari panel di dinding, menekan beberapa tombol, yang

kemudian berkedip menyala. Ilo menghela napas lega. "Syukurlah,

stasiun ini masih berfungsi. Lima menit lagi salah satu kapsul kereta

akan datang."

Itu kabar baik. Masih lima menit lagi, aku memutuskan duduk,

diikuti Seli. Ali tetap berdiri dua langkah dari kursi. Dengan cahaya dari

sarung tangan Seli, aku bisa melihat jelas wajah Ali yang terlihat sedang

berpikir keras?wajah si genius ini memang selalu kusut.

"Kamu sepertinya masih kecewa tidak diberi sarung tangan keren

oleh Av tadi," aku berkata pelan, mencoba membuat situasi lebih rileks,

tertawa kecil.

Ali melotot. Ekspresi wajahnya yang berpikir semakin terlipat.

"Bukan itu yang kupikirkan."

234

"Lantas apa?" aku bertanya santai.

"Ada banyak sekali yang menarik di dunia ini, Ra. Kita harus

memikirkannya dengan cepat, agar mengerti, bisa memberikan jalan

keluar. Kamu lihat, sarung tangan Seli, misalnya."

Aku tertawa. "Katanya kamu tidak memikirkan sarung tangan?"

"Bukan soal itunya. Tidakkah kamu berpikir, jika sarung tangan

Seli mengeluarkan cahaya di tempat gelap, apakah sarung tanganmu juga

bisa melakukannya?"

Aku menatap Ali lamat-lamat. Benar juga, tidak terpikirkan olehku.

Baiklah, aku mengangkat tanganku, berkonsentrasi, menyuruh sarung

tanganku bercahaya. Satu detik, dua detik, tidak terjadi apa-apa. Hanya

tanganku yang terangkat karena sarungnya menyatu dengan warna kulit,

tidak terlihat.

Ali menggeleng. "Berarti sarung tanganmu ini memiliki kekuatan

lain."

"Kekuatan apa?" aku bertanya penasaran.

"Mana aku tahu. Itu kan sarung tanganmu, bukan milikku.

Mungkin kekuatan untuk memegang panci panas, supaya tetap dingin

saat dipegang," Ali menjawab ketus, membalas kalimatku.

Aku tertawa kecil?juga Seli.

Ilo masih menatap mulut lorong, menunggu kapsul kereta. Dia tidak

mau duduk.

"Ra, apa yang sebenarnya dikatakan orang berbaju abu-abu itu tadi

hingga kamu lemas, terduduk di ruangan pengap tadi?" Seli yang duduk

di sebelah bertanya, memotong tawa kami.

Aku terdiam, jadi teringat lagi percakapan tadi. Tapi kali ini tidak

terlalu kupikirkan?entah apa yang dilakukan Av, saat dia menyentuh

lenganku, dia membuat perasaanku jauh lebih tenang hingga sekarang.

235

"Dia bilang bahwa Papa-Mama bukan orangtuaku, Sel," aku

menjawab pelan.

Bahkan

si

biang

kerok

yang

kembali

sibuk

memperhatikan seluruh stasiun, ikut menoleh ke arahku.

berpikir,

"Kamu tidak bercanda, Ra?" Seli hampir berseru.

Aku menggeleng.

Seli

menutup

mulutnya

dengan

telapak

tangan

saking

terkejutnya?yang membuat cahaya di dalam gua jadi bergerak ke sana

kemari.

"Tapi wajah mamamu mirip denganmu, kan? Dan dia baik sekali.

Tidak mungkin, Ra. Aku tidak percaya. Orang berbaju abu-abu itu pasti

keliru." Seli menggeleng.

"Aku juga tidak percaya." Aku menunduk, menatap pualam mewah

yang dipenuhi daun kering. "Tapi kata Av tadi, itu sebenarnya jauh lebih

mudah dipercaya dibanding kenyataan aku bisa menghilangkan sesuatu

atau kamu mengeluarkan petir. Mungkin dia benar, karena Mama dan

Papa tidak pernah tahu aku bisa menghilang sejak usia dua tahun.

Mereka tidak pernah tahu kucingku ada dua. Tidak pernah tahu aku bisa

menghilangkan benda-benda. Aku mungkin memang berasal dari dunia

ini."

Seli terdiam, masih refleks menutup mulutnya dengan telapak

tangan.

Ali menggaruk kepalanya yang tidak gatal, memperhatikan kami.

"Kalau begitu, Ra, jangan-jangan aku juga sama." Suara Seli

terdengar bergetar.

Aku menoleh. "Sama apanya?"

"Orangtuaku juga tidak pernah tahu aku bisa mengeluarkan petir di

tangan sejak kecil. Mereka juga tidak pernah tahu aku bisa menggerakkan

benda dari jauh." Suara Seli yang tadi terkejut, berubah menjadi serak.

236

"Jangan-jangan mereka juga bukan orangtuaku, kan? Aku berasal dari

dunia lain, Klan Matahari itu?"

Aduh! Aku menatap wajah cemas Seli. Aku mengeluh dalam hati,

kenapa semuanya jadi rumit begini? Kenapa jadinya Seli berpikiran sama?

Aku menggeleng, tidak mungkin. Hanya aku tadi yang dibilang begitu, Av

tidak pernah menyinggung orangtua Seli. Lihatlah, wajah Seli jadi sedih.

Bagaimana ini? Aku kan tidak seperti Av, yang hanya dengan menyentuh

lengan bisa mengirimkan rasa hangat dan fokus dalam hati.

"Mungkin saja mereka memang orangtuamu, Sel," Ali yang lebih

dulu berkomentar. "Orang berbaju abu-abu itu bilang, saat pertempuran

besar dulu, ada sebagian penduduk Klan Matahari terpaksa mengungsi,

melintas ke dunia lain. Mungkin orangtuamu memang dari sana, lalu

tinggal di Bumi."

"Tapi aku tidak pernah melihat mereka mengeluarkan petir. Papaku

karyawan kantoran, dan mamaku dokter. Aku juga tidak pernah melihat

mereka bisa menggerakkan benda dari jauh, mengambil gelas pun tidak

bisa." Seli menggeleng, menyeka ujung matanya.

"Mungkin mereka menyimpan rahasia itu. Termasuk dari dirimu.

Siapa pula yang ingin diketahui seluruh dunia memiliki kekuatan itu?" Ali

mengangkat bahu.

"Ali boleh jadi benar, Sel," aku menyemangati. "Masuk akal, kan?

Jadi jangan pikirkan yang tidak-tidak. Aku sudah bilang sejak tadi

malam, kita tidak boleh cemas atas hal-hal yang belum jelas. Khawatir

atas sesuatu yang masih dugaan saja. Kita berada di dunia lain. Kamu

harus kuat, agar aku juga ikut kuat, Sel."

Seli menunduk. Cahaya dari sarung tangannya meredup, nyaris

padam karena suasana hatinya buruk, membuat gua jadi remang. Ilo

memperhatikan. Dia tidak mengerti apa yang sedang kami bicarakan.

Aku memeluk bahu Seli erat-erat. Setidaknya, apa pun

penjelasannya besok lusa, apa pun yang akan terjadi nanti, aku

memiliki teman baik di dunia aneh ini. Seli teman terbaikku sejak kelas

sepuluh, teman satu kelas, satu meja. Ditambah dengan Ali yang berdiri

di hadapan kami, dia juga teman baik sejak 24 jam lalu.

237

Sebuah desing pelan terdengar dari kejauhan. Belum jelas itu suara

apa, telah melesat mulus keluar dari lorong gua. Sebuah kapsul kereta

berhenti persis di jalur depan peron.

"Ayo, anak-anak, bergegas!" Ilo berseru.

Pintu kapsul kereta terbuka. Cahaya terang keluar dari lampulampu di dalamnya. Kapsul itu kosong. Aku menarik tangan Seli agar

berdiri, segera melangkah masuk ke kapsul itu.

Kedatangan kapsul kereta setidaknya memotong kecemasan Seli

tentang orangtuanya.

238

ERTAMA-TAMA kita akan menjemput Ou dan Vey di sekolah,

memastikan mereka aman." Ilo berdiri, menekan tombol di dinding

kapsul, memasukkan tujuan.

Kami bertiga sudah duduk, berdekatan.

Kapsul itu berdesing pelan, mengambang, kemudian seperti batu

yang dilemparkan, segera melesat cepat dengan mulus tanpa terasa,

meluncur di jalurnya yang gelap.

"Kalian baik-baik saja?" Ilo bertanya.

Ilo memperhatikan Seli yang masih menunduk menatap lantai

kapsul.

Aku mengangguk. Seli hanya cemas soal orangtuanya?lagi pula

untuk remaja usia lima belas tahun yang tersesat di dunia aneh ini, siapa

pula yang tidak akan cemas, kecuali Ali si genius itu, yang bahkan boleh

jadi mau menetap di dunia ini. Tapi kami baik-baik saja.

"Setelah menjemput Ou dan Vey, kita akan segera mengungsi ke

luar kota. Kami punya rumah peristirahatan di teluk kota. Tempat itu

sering digunakan Av, jadi memiliki sistem keamanan yang baik. Di sana

kita bisa lebih tenang memikirkan jalan keluar agar kalian bisa pulang.

Aku janji akan membantu kalian," Ilo mencoba menghibur.

Aku mengangguk lagi, bilang terima kasih.

Lengang sejenak. Hanya desing kapsul yang melesat cepat dalam

lorong gelap.

"Bagaimana kapsul kereta ini bergerak di lorong? Tidak ada

bantalan relnya?" Ali bertanya, menyuruhku menerjemahkan kepada Ilo.

Sejak tadi Ali asyik memperhatikan kapsul.

239

"Dengan teknologi magnetik." Ilo tidak keberatan menjelaskan,

dengan senang hati?terbalik denganku yang malas menerjemahkan

pertanyaan Ali. "Kapsul mengambang di lorong, lantas bergerak karena

perbedaan medan magnet. Ada ratusan lorong kereta di bawah tanah dan

ada ribuan kapsul yang bergerak dalam waktu bersamaan sesuai tujuan

dan jalur masing-masing. Kalian akan pusing melihat peta jalurnya.

Semua dikendalikan sentral sistem transportasi kapsul secara otomatis.

Sistem tersebut presisi sekali, hingga hitungan sepersekian detik, agar

seluruh kapsul yang bergerak dengan kecepatan tinggi tidak saling ambil

jalur, mendahului, atau bertabrakan di persimpangan."

Ali mendengarkan dengan wajah antusias.

"Kalian pernah memperhatikan organ paru-paru? Yang di dalamnya

terdapat ribuan pipa-pipa supermini untuk mengalirkan udara? Dengan

desain yang rumit dan bercabang ke mana-mana. Dalam skala lebih kecil,

kurang-lebih begitulah sistem transportasi kapsul bawah tanah kota ini.

Kita tidak memerlukan pengemudi kapsul, semua kapsul bergerak

otomatis. Kecuali dalam situasi darurat, kemudi manual bisa diaktifkan.

Tapi siapa yang nekat membawa kapsul secara manual di dalam sistem

otomatis dengan ribuan kapsul lain melintas ke mana-mana? Itu amat

berbahaya," Ilo menjelaskan lebih detail.

Ali semakin tertarik.

Tapi percakapan kami terhenti oleh sesuatu. Aku menatap layar

televisi di dinding kapsul yang mendadak digantikan siaran berita,

breaking news. Gambar di layar televisi terlihat putus-putus, kadang jelas,

lebih sering bergaris. Pembawa berita, laki-laki dengan pakaian gelap,
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyampaikan berita dengan latar suara dentuman dan seruan orang

panik di belakangnya.

"Penduduk Kota Tishri, berikut ini adalah laporan terkini setelah

serangan besar-besaran mengejutkan tadi pagi di Tower Sentral yang

dipimpin dua panglima Pasukan Bayangan."

Aku dan Ilo saling tatap, laporan terkini? Sepertinya kami

ketinggalan update berita, atau semua bergerak cepat sekali seperti yang

dikhawatirkan Av?

240

"Kami sekarang melaporkan langsung dari Tower Sentral, pertikaian

politik yang meruncing beberapa jam lalu sepertinya telah mencapai

puncaknya. Enam dari delapan panglima Pasukan Bayangan menyatakan

bergabung dengan penguasa baru. Belum ada konfirmasi apa pun tentang

sisanya, apakah memilih membubarkan diri atau yang lebih serius lagi,

tetap setia dengan Komite Kota lama, memutuskan melawan habishabisan.

"Menurut sumber tepercaya kami, tiga anggota Komite Kota

dilaporkan tewas dalam penyerbuan mengejutkan tadi pagi. Ini tragedi

paling serius sepanjang seribu tahun terakhir. Perebutan kekuasaan

secara paksa. Kami belum bisa memastikan siapa yang akan menjadi

Ketua Komite Kota, atau apakah Komite Kota akan dibubarkan, diganti

dengan sistem pemerintahan yang baru. Tower Sentral belum bisa

dimasuki siapa pun, dijaga ketat Pasukan Bayangan yang mendukung

penguasa baru."

Ilo ikut menatap layar televisi. Wajahnya tegang. Gambar-gambar

bergerak cepat. Asap tebal terlihat di menara dengan banyak cabang

bangunan balon itu. Beberapa bangunan beton terlihat gompal, terbakar.

Masih terdengar dentuman keras, pertanda pertempuran terus

berlangsung.

"Menurut klaim penguasa baru?siapa pun mereka yang sekarang

menguasai Tower Sentral, sebagian besar tempat penting pemerintahan

telah mereka kuasai. Mereka juga mengklaim sembilan dari dua belas

akademi di seluruh negeri telah menyatakan kesetiaan kepada mereka.

Jika pernyataan ini benar, hal tersebut akan membuat peta politik

berubah signifikan, karena selama ini akademi adalah penyeimbang pihak

pemilik kekuatan. Penguasa baru juga menyatakan sistem transportasi,

sistem penyiaran, dan sistem penting lainnya juga telah dikuasai dan

diusahakan secepat mungkin berjalan normal seperti biasa.

"Hingga waktu yang belum ditentukan, Pasukan Bayangan akan

terus berjaga-jaga di seluruh tempat. Razia akan diberlakukan. Limitasi

waktu bepergian dan tempat tujuan akan segera diterapkan. Jam

malam efektif berlaku mulai malam ini. Penguasa baru telah

mengonfirmasi seluruh sistem lorong berpindah ditutup untuk sementara

hingga semua sistem keamanan pulih. Penduduk diimbau untuk tetap

241

tenang di rumah masing-masing dan menggunakan cara konvensional jika

harus bepergian.

"Setelah seribu tahun dipimpin Komite Kota, dewan yang dipilih

penduduk, hari ini seluruh negeri dikuasai kembali oleh para pemilik

kekuatan. Belum ada pengamat yang berani memberikan komentar atau

spekulasi atas masa depan negeri ini, semua orang berhitung dengan

keamanan masing-masing. Sementara itu kerusuhan mulai pecah di

berbagai tempat. Pertikaian politik ini akan semakin memperuncing

perdebatan tentang para pemilik kekuatan. Kami juga belum memperoleh

kepastian apakah acara karnaval festival tahunan nanti malam akan terus

berlangsung sesuai rencana atau dibatalkan. Tetapi dengan berlakunya

jam malam, karnaval sepertinya akan dibatalkan."

"Itu berita tentang apa, Ra?" Ali berbisik, bertanya.

Aku menghela napas, menjawab pendek, "Kerusuhan."

"Kerusuhan?" Ali memastikan. Dia menunjuk ke layar dinding

kapsul, bukankah tayangan berita di televisi tidak sesederhana itu?

"Ada yang mengambil alih pemerintahan. Kudeta atau apalah

istilahnya," aku menjelaskan lebih baik. "Mereka menyerang Tower

Sentral dan berbagai tempat pemerintahan tadi pagi, mungkin

bersamaan dengan menyerang gedung perpustakaan."

"Siapa yang melakukannya?"

Aku menelan ludah. "Tidak disebutkan dalam berita. Mereka hanya

menyebut dengan istilah para pemilik kekuatan. Mungkin dugaan Av

benar, Tamus yang melakukannya. Dia dibantu sebagian besar Pasukan

Bayangan, mungkin itu pasukan militer di dunia ini."

"Tamus? Itu sosok tinggi kurus yang ada di aula sekolah?" tanya

Seli.

Aku mengangguk.

"Dia dan rombongan sirkusnya itu sibuk sekali ternyata sehari

terakhir," Ali berkomentar santai, mengangkat tangannya, seolah

242

mengingatkan kemarin dia sempat memukul kepala salah satu dari

mereka dengan pemukul bola kasti.

Aku melotot kepada Ali. Tidak bisakah dia sedikit serius? Tamus

jelas berbahaya, dan sekarang masalah kami ditambah pula dengan

pertempuran merebak di kota ini.

Siaran itu terhenti sejenak. Pembawa acara terlihat menerima

konfirmasi berita di tengah siaran langsung. Dalam situasi darurat,

sepertinya berita superpenting bisa datang kapan saja, termasuk saat

siaran.

"Penduduk Kota Tishri, masih bersama kami dalam breaking news.

Kami baru saja memperoleh informasi bahwa masih ada beberapa pusat

pemerintahan yang belum berhasil dikuasai Pasukan Bayangan di bawah

komando penguasa baru. Baik, kita akan segera terhubung dengan salah

satu kamera otomatis yang berada di Perpustakaan Sentral."

Seli memegang tanganku, meskipun tidak mengerti kalimat

pembawa acara. Gambar di layar televisi segera berganti dengan lapangan

luas berumput hijau dengan dua air terjun besar di kiri-kanannya.

Ribuan orang dengan pakaian gelap?pakaian yang dikenakan delapan

orang saat datang ke aula sekolah?terlihat mengepung gedung besar

yang baru saja kami datangi beberapa jam lalu.

Asap hitam mengepul di mana-mana. Suara dentuman terdengar

susul-menyusul, lebih hebat dibanding dentuman di Tower Sentral.

Penduduk biasa, seperti pengunjung dan pegawai perpustakaan itu,

berlarian panik, berseru-seru.

Wajah Ilo di sebelahku terlihat tegang.

"Hingga detik ini, pertempuran masih berlangsung sengit di

Perpustakaan Sentral. Setidaknya ada seribu anggota Pasukan Bayangan

yang menyerbu perpustakaan, dan kondisi gedung terlihat hancur

sebagian. Ini amat menarik, karena selain pertanyaan bagaimana

perpustakaan bisa bertahan memberikan perlawanan sejauh ini,

pertanyaan berikutnya yang lebih penting adalah entah apa yang hendak

mereka kuasai dari sana, karena setahu kami, ayolah, siapa pun bisa

meminjam buku secara baik-baik sepanjang telah terdaftar sebagai

243

anggota perustakaan, tanpa perlu membawa seribu anggota Pasukan

Bayangan."

Aku menatap layar televisi di dinding kapsul tanpa berkedip.

Bahkan mengabaikan kalimat pembawa acara di layar televisi, yang entah

sedang bergurau atau karena situasi panik mencekam dia justru tidak

menyadari mengucapkan kalimat tersebut.

"Bagaimana dengan Av?" aku bertanya.

"Kita tidak perlu mengkhawatirkan dia, Ra." Ilo menggeleng. "Sejak

kecil aku tahu dia lebih dari seorang pustakawan. Aku mencemaskan hal

lain yang lebih serius. Si sulung Ily, aku harus mengontak dia di

akademinya sekarang." Ilo menekan peralatan di pergelangan tangannya.

"Apa yang terjadi dengan gedung perpustakaan tadi, Ra?" Seli

bertanya.

Layar televisi di dinding kapsul sudah berganti lagi, menyiarkan

dari lokasi lain.

"Pasukan itu berusaha masuk ke Bagian Terlarang," aku menjawab

pelan.

"Apakah orang berpakaian abu-abu tadi masih di sana?"

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu, Sel. Mereka masih menyerbu

gedung perpustakaan."

"Seluruh kota sepertinya sedang perang," Ali bergumam di sebelah

kami. "Ini buruk sekali. Kita baru pertama kali mengunjungi dunia ini,

mereka malah perang. Seharusnya ini study tour yang seru. Malah

sebaliknya, kerusuhan di mana-mana."

Aku dan Seli melotot ke arah Ali.

"Tidak bisa," Ilo lebih dulu berseru cemas, "Ily tidak bisa dikontak.

Akademinya juga tidak bisa dihubungi."

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyaku, ikut cemas.

244

"Kita tetap menuju sekolah Ou." Ilo menghela napas, berusaha

tenang. "Baik. Kita urus satu per satu. Semoga Ily baik-baik saja. Semoga

akademinya tidak melibatkan diri dalam kekacauan ini. Aku lebih

mencemaskan Ily."

Sayangnya, belum habis kalimat cemas Ilo, kapsul kereta yang kami

naiki mendadak terbanting ke arah lain, berbelok tajam, keluar dari jalur

tujuan. Seli berseru kaget. Ali berpegangan ke kursi. Kami nyaris

terbanting ke lantai kapsul.

"Ada apa?" Aku menoleh ke arah Ilo.

Ilo menggeleng. Dia juga mencengkeram pegangan tiang kapsul.

Kapsul meluncur cepat, terus menukik turun tajam, dan sebelum

kami sempat tahu ke mana tujuannya, kapsul sudah masuk ke sebuah

ruangan besar dan megah.

Stasiun Sentral.

245

APSUL mengurangi kecepatan, merapat mulus di salah satu

peron.

Ruangan besar megah yang tadi pagi ramai dan teratur berubah

180 derajat, terlihat kacau-balau, dipenuhi orang berseru-seru. Di setiap

jengkal stasiun terlihat ratusan Pasukan Bayangan dengan membawa

panji-panji mereka.

"Kenapa kita mendarat di Stasiun Sentral?" aku bertanya pada Ilo.

"Mereka sepertinya mengambil alih tujuan setiap kapsul secara

otomatis, memaksa kapsul yang melintas untuk mendarat," Ilo

menjelaskan.

Di luar lebih banyak lagi kapsul kereta yang merapat di peron.

Orang-orang protes kenapa jalur mereka diubah. Teriakan dan tangisan

anak kecil, keributan, juga terlihat puluhan orang memakai seragam yang

berbeda dengan Pasukan Bayangan, menambah sesak peron stasiun.

Mereka ikut memeriksa penumpang, berjaga-jaga di setiap sudut.

"Itu seragam akademi Ily." Ilo mengeluh, menunjuk orang-orang

berseragam gelap dengan topi tinggi. "Sejak dulu orangtua murid

keberatan jika akademi sering dijadikan alat politik dan kekuasaan. Anakanak itu baru berusia delapan belas, tidak tahu apa pun tentang agenda

dan ambisi orang dewasa."

Aku menoleh ke arah Ilo, tidak terlalu paham maksud kalimatnya.

Tapi pintu kapsul kami sudah terbuka. Segera melangkah masuk

dua orang Pasukan Bayangan, membawa panji pendek?aku tahu, panji

itu bisa berubah menjadi senjata.

"Maaf mengganggu perjalanan. Atas perintah penguasa baru, kami

harus memeriksa seluruh kapsul. Harap siapkan identitas masingmasing," salah satu dari mereka berseru tegas.

246

Aku, Seli, dan Ali saling tatap. Bagaimana ini?

Ilo lebih dulu berdiri, merapikan rambut dan pakaiannya. "Halo."
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua anggota Pasukan Bayangan itu terdiam sebentar menatap Ilo.

"Selamat siang, Master Ilo," mereka menyapa lebih ramah.

"Siang. Ada yang bisa saya bantu?" Ilo melihat mereka selintas,

memasukkan tangan ke saku, bertanya sambil menghalangi dua orang itu

masuk lebih dalam.

"Kami minta maaf harus menghentikan laju kapsul, Master Ilo.

Penguasa kota sudah berganti. Kami diperintahkan memeriksa seluruh

penumpang, memastikan semua aman, tidak ada pelaku kerusuhan yang

berpotensi menolak penguasa baru."

"Aku tidak peduli dengan kekacauan politik ini," Ilo menjawab

datar. "Aku tidak mendukung pihak mana pun. Bagiku urusannya

sederhana, siapa pun penguasa di Tower Sentral, seragam pasukan kalian

tetap desainku, masalah bisnis saja. Atau kalian menganggap aku salah

satu pelaku kerusuhan?"

Dua orang berseragam gelap itu saling lirik. Salah satu dari mereka

melihat kami.

"Tiga anak itu ikut bersamaku. Mereka sedang melakukan tugas

sekolah, wawancara, karya tulis, seperti itulah." Ilo masih menghalangi

mereka masuk.

Dua orang itu saling tatap, berbicara berbisik.

Salah satu dari mereka menggeleng. "Maaf, Master Ilo, kami hanya

melaksanakan perintah, kami harus memeriksa semua orang. Kami

mungkin bisa mengecualikan Anda, tapi tidak tiga anak tersebut."

Di luar kapsul kami, Stasiun Sentral semakin gaduh. Lebih banyak

lagi kapsul kereta yang dipaksa mendarat. Beberapa orang menolak

turun, berseru-seru marah. Satu-dua dipaksa, diseret keluar oleh

Pasukan Bayangan dan orang-orang berseragam akademi.

247

"Aku tidak

menggeleng tegas.

mengizinkan

kalian

memeriksa

siapa

pun."

Ilo

Suasana di dalam kapsul semakin tegang. Seli dan Ali mengerti

arah percakapan meski tidak paham bahasanya. Aku menatap Ilo, cemas,

apakah dia bisa mengatasi masalah ini.

Dua anggota Pasukan Bayangan lain ikut mendekat ke kapsul.

Salah satu dari mereka tidak membawa panji, sepertinya posisinya lebih

tinggi. Dia berseru galak, "Apa yang terjadi?"

"Penumpang kapsul menolak diperiksa."

"Kalian paksa mereka keluar."

"Tapi yang ini berbeda," salah satu berbisik.

"Tidak ada pengeculian, siapa pun itu!" dia berseru tidak sabaran,

melangkah menyibak dua anak buahnya, tapi langkah kakinya terhenti

saat menatap Ilo.

"Selamat siang, Master Ilo!" dia berseru lagi, meski tidak sekencang

sebelumnya, lebih sopan, tapi intonasi suaranya tetap serius. "Kami minta

maaf mengganggu kenyamanan perjalanan. Kami harus memeriksa

seluruh kapsul."

"Silakan saja kalian periksa kapsul lain, tapi tidak yang kunaiki." Ilo

menggeleng. "Apa yang sebenarnya kalian cari? Tidak ada siapa-siapa di

sini selain tiga anak yang bersamaku."

"Penguasa baru telah mengaktifkan status baru untuk seluruh

negeri, Master Ilo. Kami harus memeriksa siapa pun, memastikan

identitas mereka, tanpa pengecualian."

"Aku tidak akan mengizinkan kalian." Ilo menggeleng tegas.

"Berarti kami tidak punya pilihan." Dia mengangkat tangannya

memberi perintah. Tiga orang di sekitarnya segera maju dengan panjipanji teracung?yang sekarang sudah berubah menjadi tombak perak.

248

"Seret mereka keluar dari kapsul. Jatuhkan hukuman kepada

Master Ilo atas pelanggaran telah menentang perintah penguasa baru.

Aku tidak peduli meski dia orang paling terkenal di kota ini."

Salah satu dari mereka menelikung paksa tangan Ilo, membuatnya

jatuh terduduk. Dua yang lain mendekati kami. Seli mengangkat

tangannya, siap melawan. Juga Ali, dia meloloskan ransel yang

dikenakan, hendak memukulkan ransel itu ke siapa pun yang mendekat.

Aku mengeluh. Teringat pesan Av di Bagian Terlarang

perpustakaan, kami justru tidak boleh melawan dengan disaksikan

banyak orang. Bagaimana kalau Seli sampai mengeluarkan petir? Di

dunia ini sekalipun, itu pasti menarik perhatian, dan keberadaan kami

diketahui.

Tapi entah apa yang terjadi, sebelum dua orang itu semakin dekat,

hendak menangkap kami, seluruh kapsul tiba-tiba menjadi gelap. Seperti

ada yang menuangkan tinta hitam ke air bening, atau seolah ada asap

pekat disemburkan. Kegelapan menyebar dengan cepat, hingga radius

belasan meter dari kapsul yang kami tumpangi.

Seruan kaget terdengar di sekitar peron dekat kapsul, teriakanteriakan panik, dan jeritan ketakutan anak-anak. Gerakan dua orang

yang hendak menangkap kami tertahan.

Aku juga bingung kenapa tiba-tiba sekitar kami gelap, tapi situasi

ini menguntungkan karena entah bagaimana caranya sepertinya hanya

aku yang masih bisa melihat dengan jelas. Aku bergegas lompat

memukul anggota Pasukan Bayangan yang menelikung Ilo. Pukulan

biasa, tapi tetap saja membuat anggota Pasukan Bayangan itu terbanting

keluar dari pintu kapsul. Aku juga memukul dua anggota lainnya. Mereka

mengaduh, menyusul terpental di pelataran stasiun. Terakhir, dengan

jengkel, aku menampar orang sok berkuasa tadi. Badannya juga terjatuh

ke peron stasiun.

"Ilo, kapsulnya. Segera!" aku berseru.

Ilo mengangguk. Dia bangkit berdiri, meraih tombol pengatur di

dinding kapsul yang berkedip-kedip. Kaki Ilo sempat menginjak Ali, tapi

249

dia bisa segera menekan tombol. Pintu kapsul kembali menutup.

Sebelum empat orang berseragam itu menyadari apa yang terjadi, kapsul

telah melesat pergi meninggalkan Stasiun Sentral.

Cahaya kembali memenuhi kapsul. Terang.

"Apa yang terjadi?" Ali bangkit, memegang betisnya. Wajahnya

meringis.

"Kenapa semua tiba-tiba gelap?" Seli juga bertanya.

Aku menggeleng. Aku tidak tahu apa persisnya yang baru saja

terjadi. Aku mengangkat tangan, memperhatikan sarung tanganku yang

berwarna hitam pekat, seperti ada awan hitam yang berpilin di sarung

tangan itu, kemudian perlahan-lahan kembali sesuai warna kulitku. Tidak

terlihat lagi.

"Sarung tanganmu kenapa, Ra?" Seli ikut memperhatikan.

"Entahlah, Sel." Aku masih menggeleng.

"Ini keren, Ra," cetus Ali. Wajahnya antusias. "Sepertinya sarung

tanganmu yang membuat gelap barusan. Semua cahaya sejauh radius

belasan meter diserap sarung tangan ini."

Kali ini aku setuju dengan Ali, menatap telapak tanganku. Ini

memang keren.

Ali nyengir lebar. "Nah, sekarang jelas, bukan? Jika sarung tangan

Seli bisa mengeluarkan cahaya, sarung tanganmu sebaliknya, menyerap

atau menghilangkan cahaya. Sarung tanganmu ini tidak hanya untuk

mengangkat panci panas."

"Anak-anak, berpegangan!" Ilo berseru, memutus percakapan kami.

Dia masih berdiri di depan tombol-tombol kapsul. "Kita harus mengambil

alih kemudi kapsul ini secara manual."

Kami menoleh kepada Ilo.

"Mereka akan segera mengetahui posisi kita jika kapsul ini tetap

digerakkan sistem otomatis. Dan mereka dengan mudah menarik kapsul

250

ini kembali ke Stasiun Sentral." Ilo menyeka dahi. "Aku akan mengambil

alih sistem kemudi."

"Bukankah itu berbahaya sekali?" Aku menatap Ilo, cemas.

Ilo mengangguk. "Lebih dari berbahaya. Ini mengerikan. Tapi kita

tidak punya pilihan lain."

Begitu Ilo menekan tombol darurat, dinding kapsul terbuka, kursi

dan tuas kemudi keluar, juga layar besar empat dimensi di depannya yang

menunjukkan peta seluruh jaringan kapsul. Ada ribuan jalurnya, saling

silang, sambung-menyambung, seperti pipa-pipa rumit, dengan ribuan

titik merah melesat cepat di setiap lorong.

Ilo sudah duduk mantap di kursi kemudi, memegang tuas.

"Tapi, bagaimana kamu akan mengemudikannya?" Aku bertanya,

menatap layar yang rumit sekali. Astaga, lorong yang ada bahkan hanya

muat satu kapsul. Sekali keliru berbelok, masuk ke jalur salah, bertemu

kapsul lain pasti akan bertabrakan. Tidak ada tempat untuk berpapasan.

Ilo tertawa kecil. "Aku jago sekali memainkan game, Ra. Kamu ingat

yang dikatakan Av tadi?"

Aku hendak protes. Ini bukan game. Ini nyata. Tapi Ilo sudah

menekan dua tombol sekaligus. Kapsul yang kami naiki bergetar. Aku

segera berpegangan. Terdengar pengumuman dari speaker kapsul agar

jangan mengambil alih kemudi otomatis, berbahaya. Ilo tidak peduli. Dia

tetap mengaktifkannya, menekan dua tombol berikutnya. Kemudi manual

telah aktif.

Kapsul terbanting, menabrak dinding. Suaranya saat beradu

dengan lorong membuat ngilu telinga. Percik api terlihat. Kami berseru

panik. Ilo rileks segera menyeimbangkan posisi, membuat kapsul stabil.

"Tenang, anak-anak. Hanya penyesuaian." Ilo mencengkeram tuas

kemudi.

Kapsul kereta kembali mengambang di tengah lorong.

251

"Bersiap-siap! Kita meluncur," Ilo berseru, menekan tuas ke depan.

Sekejap, kapsul yang kami naiki sudah melesat maju, lebih cepat

dibandingkan kemudi otomatis.

Aku menatap Ilo cemas. Seli di sebelah memejamkan mata. Speaker

di dalam kapsul berkali-kali mengingatkan bahwa mengambil alih kemudi

otomatis amat berbahaya. Tapi Ilo tidak mendengarkan. Dia konsentrasi

penuh memperhatikan layar untuk melihat posisi ribuan kapsul lainnya.

Sesekali kapsul kami hanya berbeda beberapa detik berpapasan dengan

kapsul lain saat bertemu di perlintasan. Ilo gesit membanting kemudi.

Kapsul yang kami naiki terus melaju cepat di dalam lorong jalur kereta.

"Awas!" aku berseru panik. Kami tiba di persimpangan enam lorong,

dari satu jalur di sisi kanan. Seperti peluru ditembakkan, kapsul lain

meluncur cepat ke arah kami.

Penumpang di kapsul yang akan menabrak kami menjerit kencang.

Ilo tangkas mendorong tuas ke bawah. Kapsul kami meluncur masuk ke

lorong bawah, menghindar, lagi-lagi hanya sepersekian detik sebelum

terjadi tabrakan. Aku menahan napas. Seli menunduk, memejamkan

mata. Ini lebih gila dibanding kebut-kebutan di film fantasi.

Tetapi masalahnya belum selesai, dari layar kemudi terlihat titik

merah yang melintas cepat di lorong tempat kami masuk, berlawanan

arah. Aku mendongak, menatap Ilo. Kami harus berputar arah, lorong ini

hanya muat satu kapsul.

Ilo menggeleng, memastikan perhitungan kecepatan dan waktu

yang tersisa di layar kemudi. "Kita masih sempat berbelok di

persimpangan depan, Ra. Berbelok ke belakang juga percuma, kapsul lain

akan melintas dengan segera." Ilo menambah kecepatan, kapsul

berdesing kencang.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menelan ludah. Dua belas detik berlalu, lampu terang dari

kapsul di depan kami sudah terlihat. Dua kapsul bergerak cepat saling

mendekat.

Ilo mencengkeram tuas kemudi. Tepat di persimpangan, dia

membanting kemudi ke atas, tapi terlambat sepersekian detik. Kapsul

yang kami naiki masih menyenggol ujung kapsul yang datang! Kapsul

252

terbanting ke dinding lorong, sekali, dua kali, hingga akhirnya Ilo berhasil

mengendalikan kemudi.

Aku membuka mata, melirik ke arah Seli di sebelahku. Dia masih

menunduk, berteriak-teriak. Wajah Ali terlihat pucat?sepertinya si

genius ini ada juga masanya ikut tegang.

"Kalian baik-baik saja?" Ilo bertanya.

Aku menggeleng. Ini buruk. Sama sekali tidak ada baik-baiknya.

Ilo tertawa. "Hanya senggolan sedikit, Ra."

Apanya yang senggolan sedikit. Kapsul yang kami naiki penyok di

sudut-sudutnya. Jendela kaca retak. Entah apa yang menimpa kapsul

yang hampir menabrak kami. Penumpangnya berteriak. Suaranya

tertinggal jauh di belakang. Semoga mereka baik-baik saja. Kendali

otomatis di kapsul mereka bekerja dengan baik, mengurangi dampak

tabrakan.

"Tidak jauh lagi, Ra. Hanya sembilan puluh detik lagi." Ilo

mencengkeram kembali tuas kemudi, berkonsentrasi membaca peta

empat dimensi di layar, yang menunjukkan lorong-lorong jalur kereta dan

kapsul lain berseliweran melintas.

Aku menghela napas perlahan, berusaha rileks.

"Ini kabar buruk, anak-anak," Ilo berseru, menatap layar tanpa

berkedip.

"Apa lagi?" Aku mendongak menatap Ilo di kursi kemudi.

"Mereka mengejar kita."

Di peta layar kemudi ada dua titik berwarna biru mengejar kami.

Aku menghela napas, kembali tegang. Dengan ribuan kapsul

bergerak cepat dalam jaringan saja, kemudi manual sudah mengerikan,

apalagi dengan dua kapsul lain yang sengaja mengejar. Ini bukan jalan

raya di kota kami yang hanya horizontal. Di jalur ini lorong-lorong

253

vertikal, diagonal, melintang, melintas ke mana-mana. Perlintasan jalur

hingga dua belas lorong bertemu sekaligus ada di mana-mana.

Demi melihat para pengejar, Ilo memutuskan mengambil jalur lain.

Kapsul yang kami naiki melesat, menukik ke bawah.

"Berpegangan lebih erat, anak-anak. Ini sudah bukan permainan

lagi," Ilo berseru.

Aku mengeluh dalam hati. Sejak tadi juga ini bukan game.

Dua titik biru dengan segera menyusul kami di belakang. Mereka


Pendekar Rajawali Sakti 118 Dukun Dari Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Pendekar Pedang Matahari 4 Neraka

Cari Blog Ini