Bumi Karya Tere Liye Bagian 5
sepertinya membersihkan jalur kapsul penumpang lewat pusat pengendali
kereta bawah tanah. Titik-titik merah bergerak ke wilayah lain,
menyisakan lorong-lorong kosong di sekitar kami. Entahlah apakah itu
baik atau buruk bagi kami.
"Mereka menggunakan kapsul tempur." Ilo menyeka dahi yang
berpeluh. "Kapsul mereka jauh lebih cepat dibanding kapsul penumpang."
Aku mendongak, menatap Ilo cemas. Kapsul yang kami naiki terus
berdesing melintasi lorong-lorong gelap, berbelok mulus ke kiri, kanan,
melesat naik, turun. Setinggi apa pun Ilo menambah kecepatan, dua titik
biru itu terus mendekat. Ilo mendengus tegang. Tangannya
mencengkeram kemudi lebih erat.
Dua belas detik berlalu, dua titik biru persis telah berada di
belakang kami.
"Peringatan pertama! Kepada penumpang kapsul dengan register D210579, kami perintahkan kalian untuk segera menepi. Atau kami
terpaksa melepas tembakan." Speaker di dalam kapsul kami berbunyi.
"Bagaimana ini?" Aku menatap Ilo.
Ilo menggeleng. Dia justru menggerakkan tuas kemudi ke kanan.
Kapsul yang kami naiki berputar cepat, belok dengan tajam masuk ke
lorong kanan. Satu titik biru yang tidak menduga kami berbelok melaju
lurus, tapi yang di belakang masih sempat ikut berbelok.
254
"Kita lihat, seberapa hebat Pasukan Bayangan mengemudikan
kapsul mereka." Ilo mendesis, menggerakkan tuas. Kapsul berbelok lagi
di depan, naik cepat ke lorong atas.
Titik biru di belakang kami menambah kecepatan. Posisinya
semakin dekat. Aku menoleh, bisa melihat pengejar dari dinding kapsul,
berada persis di belakang kami. Lampu kapsulnya menyorot tajam. Juga
senjata di atas kapsul. Sementara titik biru yang telanjur lurus, bergerak
cepat mengambil jalur lain, mencoba memotong lewat jalur di depan
kami.
"Peringatan kedua! Sesuai otoritas sistem pusat pengendali kereta
bawah tanah, kapsul dengan register D-210579 harap segera menepi ke
stasiun terdekat."
"Apakah kita akan berhenti?" tanyaku.
Ilo menggeleng. "Jangan panik, Ra. Semua terkendali."
Ya ampun! Aku mendengus tegang. Apanya yang terkendali! Di
belakang kami, moncong senjata kapsul tempur yang mengejar sudah
terarah sempurna, sedangkan di depan, satu titik biru lainnya telah
berhasil mendahului, berbelok masuk ke lorong yang sama sekarang,
melaju cepat ke arah kami, berusaha menghadang.
"Peringatan
diabaikan."
terakhir!
Kami
akan
melepas
tembakan
jika
ini
Aku menatap ke belakang, cemas, lalu menatap ke depan. Cahaya
lampu kapsul yang menghadang sudah terlihat di lorong gelap.
"Kita akan menabrak, Ilo!" aku berseru panik.
Ilo menggeleng. "Mereka akan memperlambat laju kapsul mereka,
Ra."
Kapsul di depan tetap melesat cepat, sama cepatnya dengan kami.
"Kapsul D-210579 harap segera berhenti!" terdengar bentakan.
"Ilo!! Berhenti!!" aku juga berteriak.
255
Jarak kami sudah dekat sekali. Satu mengejar di belakang, satu
menghadang menuju kami.
Ilo tidak mendengarkan. Dia terus memacu kecepatan.
Tembakan dilepas dari kapsul tempur di belakang kami, membuat
kaca kapsul rontok. Aku menunduk. Seli menjerit. Ali semakin pucat,
memeluk tiang kapsul erat-erat. Tapi bukan tembakan itu yang
berbahaya, melainkan tabrakan dengan kapsul di depan kami.
Seperesekian detik, Ilo sudah gesit membanting kemudi. Kapsul
yang kami naiki menukik ke bawah, masuk ke lorong lain. Sepertinya Ilo
berhitung dengan baik sekali. Dia tahu persis bisa mencapai pertigaan itu
di detik kritis. Kaca kapsul yang hancur berserakan di lantai, tapi kami
berhasil lolos.
Terdengar dentuman kencang di belakang. Nasib kapsul yang kami
naiki jelas lebih baik dibanding dua kapsul tempur yang terlihat
bertabrakan di belakang sana.
Titik-titik biru itu menghilang di layar kemudi.
"Ternyata mereka tidak sehebat itu." Ilo tertawa.
Ini mengerikan. Terlepas dari fakta kami berhasil lolos sekaligus
membuat pengejar kami bertabrakan, ini mengerikan. Aku menatap Seli
yang wajahnya pucat. Bagaimana mungkin kami terjebak dalam kejarkejaran di sistem jaringan kereta bawah tanah dengan ratusan jalur
rumit. Aku menoleh. Ali masih memeluk tiang kapsul erat-erat.
"Baik, anak-anak, kabar baik buat kita, semua lorong bersih. Kita
menuju sekolah Ou secepat kilat," Ilo berseru mantap.
Tapi kejar-kejaran itu berakhir sebelum Ilo sempat menunjukkan
kemampuan terbaiknya. Kami jelas berada dalam sistem jaringan yang
dikuasai pihak lain.
Suara riang Ilo terhenti.
256
Aku mendongak. "Apa yang terjadi?"
"Mereka menutup jaringan," Ilo berseru jengkel.
Garis-garis jalur kereta di layar kemudi terlihat satu per satu
dipenuhi tanda silang, tidak bisa dilewati. Termasuk yang ada di depan
kami. Demi melihat tanda silang itu, Ilo panik dan memperlambat
kapsul kereta secepat mungkin, berhenti persis sebelum kapsul kami
menabrak pintu besi bundar yang menutup jalur.
"Apa yang akan kita lakukan?" aku bertanya, menatap ke luar
dinding kapsul lewat jendela kaca yang sudah pecah. Pintu besi itu
terlihat kokoh. Sepertinya jaringan kereta memang dilengkapi dengan
pintu-pintu di bagian tertentu yang bisa diaktifkan jika dibutuhkan.
"Kita mencari jalan lain," Ilo menjawab, menggerakkan kemudi.
Kapsul berputar, berbalik arah.
Sayangnya kami sudah kalah dalam pengejaran ini.
Ke mana pun kapsul bergerak, ujung lorongnya selalu ditutup
otomatis sebelum kami sempat lewat. Kami hanya bisa melintasi lorong
yang tidak ada tanda silangnya.
Ilo mendengus marah. Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi.
Jelas sekali pihak yang mengendalikan sistem jaringan menuntun kami
menuju tempat yang mereka inginkan, karena hanya jalur itu yang
terbuka.
"Kita menuju ke mana?" aku bertanya, memperhatikan jalur yang
aktif di layar kemudi.
"Mereka memaksa kita ke gedung Perpustakaan Sentral."
Aku seketika terdiam.
257
ATU menit terakhir, kapsul kereta yang dikemudikan Ilo
bergerak pelan di lorong. Ilo sengaja memperlambat kapsul, mengulur
waktu, berpikir mencari jalan keluar. Kami terjepit. Setiap kali kapsul
melewati jarak tertentu, pintu lorong di belakang kami menutup
otomatis, memaksa kapsul hanya bisa bergerak maju, tanpa bisa berbelok
atau berputar arah.
"Apa yang akan kita lakukan?" aku bertanya pada Ilo.
Ilo menggeleng. "Kita sepertinya menuju jalan buntu, anak-anak."
Aku mengembuskan napas, tegang, menoleh ke Seli di sebelah.
Wajah pucatnya mulai pulih. Seli menyeka rambut yang terkena pecahan
kaca. Apa yang harus kami lakukan? Ini semakin rumit. Di lapangan
rumput gedung perpustakaan telah menunggu seribu anggota Pasukan
Bayangan.
Ali, si genius yang biasanya punya ide cemerlang, hanya terduduk
di bangku dengan wajah kusut. Dia melepas pelukan di tiang kapsul, baru
saja muntah. Berada di kapsul yang bergerak cepat, melakukan manuver
naik, turun, kiri, kanan membuat perutnya mual dan kepalanya pusing.
"Apakah kita akan melawan, Ra?" Seli berbisik.
Aku menatap telapak tanganku, yang perlahan berubah warna.
Cepat atau lambat kami pasti ketahuan juga berada di dunia ini. Kami
tidak bisa lari terus-menerus. Jika pasukan itu tidak memberikan
pilihan, aku akan melawan. Sarung tangan yang kukenakan semakin
gelap pekat, laksana ada awan hitam berpilin di sana. Sepertinya sarung
tangan ini menyesuaikan dengan suasana hati pemakainya.
Kapsul yang dikemudikan Ilo
perpustakaan, terus meluncur turun.
semakin
dekat
dengan
peron
"Kamu akan menyerang mereka, Ra? Melawan?" Seli bertanya lagi,
melihat sarung tanganku.
258
"Kita akan membela diri, Sel. Bukan melawan." Aku menggeleng.
Seli menelan ludah, terdiam.
Aku menunduk, menghela napas. "Gara-gara aku, kamu jadi ikutikutan ke dunia ini, Sel. Membuat orangtuamu cemas. Bahkan kamu
batal menghadiri Klub Menulis Mr. Theo. Maafkan aku, Sel."
Seli beranjak ke sebelahku, memegang lenganku. "Kamu teman
baikku, Ra. Aku tidak akan pernah keberatan dengan semua ini. Kamu
tidak perlu minta maaf."
Kami bertatapan sejenak. Seli tersenyum lebar, mengangkat kedua
tangan, memperlihatkannya padaku. Sarung tangan Seli berubah menjadi
putih terang, bersinar.
"Aku akan selalu bersamamu, Ra." Seli tersenyum. "Aku akan
membela teman baikku."
Aku balas tersenyum. "Terima kasih, Sel."
Kapsul yang kami naiki sudah di lorong terakhir. Tidak lama lagi
kami akan mendarat di tengah seribu anggota Pasukan Bayangan. Aku
tidak tahu apakah Tamus ada di sana. Yang pasti, tanpa Tamus, seribu
orang itu jelas lebih banyak dibanding delapan orang yang datang ke aula
sekolah kami.
Ali, yang masih mabuk kapsul, beranjak ke sebelah kami, menyeka
pipinya yang tersisa bekas muntah. "Kalian berdua sepertinya sudah
berpikir tidak rasional."
Aku dan Seli menoleh.
"Dua lawan seribu, remaja usia lima belas lawan pasukan dewasa,
tidak akan ada kesempatan. Sama sekali tidak masuk akal. Sehebat apa
pun sarung tangan kalian."
Aku dan Seli terdiam.
259
Ali nyengir. "Baiklah, mari kita buat semuanya semakin tidak
masuk akal. Tiga lawan seribu, aku akan membantu. Kalian butuh orang
genius untuk menyusun strategi, bukan?"
Aku dan Seli masih menatap Ali. Si genius ini bicara apa?
"Kalian tidak akan menang jika hanya langsung menyerang. Dua
lawan seribu, dengan cepat jaring perak mereka menangkap kalian. Kita
butuh rencana." Ali diam sejenak.
"Inilah rencananya, detik pertama pintu kapsul terbuka, kamu
hilangkan seluruh cahaya sejauh mungkin dengan sarung tanganmu, Ra.
Hanya kamu yang bisa melihat dalam kegelapan. Saat mereka panik,
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bingung, kamu segera lari ke salah satu air terjun di sisi lapangan.
Hantam dinding sungainya agar air mengalir ke lapangan. Itu air deras.
Seluruh lapangan rumput akan banjir seketika. Setelah itu, segera
kembali ke kapsul ini atau cari tempat kering. Itu harus selesai dalam
waktu empat puluh lima detik, karena kegelapan yang kamu hasilkan
tidak bertahan lama." Ali berhenti sebentar, meringis?dia masih pusing
karena mabuk.
"Nah, saat cahaya kembali memenuhi lapangan yang banjir,
giliranmu, Sel, kirimkan petir yang paling dahsyat. Sekali pukul, pastikan
itu yang paling kuat. Kalian tidak akan bisa melawan mereka satu per
satu. Kalian pasti kalah dengan cepat. Hanya dengan cara ini kalian bisa
mengambil keuntungan. Saat lapangan dipenuhi air banjir, seluruh
anggota pasukan itu terkena genangan air. Listrik merambat di air,
pelajaran fisika SMA kita, ingat? Meskipun harus kuakui, aku menguasai
pelajaran fisika itu sejak kelas empat SD. Hantaman petir Seli akan
membuat mereka tersetrum sekaligus. Kita lihat saja seberapa banyak di
antara mereka yang tumbang. Sisanya baru diserang dengan cara biasa.
Kalian paham?"
Aku menatap Ali yang lagi-lagi meringis menahan mual.
"Kapsul sialan ini membuatku pusing, Ra," Ali mengeluh.
"Aku paham, Ali. Itu sungguh ide genius," aku memujinya.
260
Seli juga mengangguk. Kami mungkin punya kesempatan menang
dengan strategi Ali.
"Aku tahu itu genius," cetus Ali. "Aku tidak tahan saja
memikirkan kalian jadi bulan-bulanan mereka. Aku tidak akan
membiarkan temanku disakiti rombongan sirkus mana pun."
Aku tersenyum, menyikut lengan Ali. Dia mengaduh, melotot,
hendak bilang bahwa dia masih pusing dan mual. Seli tertawa menatap
wajah sebal Ali.
"Konsentrasi. Waktu kalian tinggal empat puluh detik, Ra. Kapsul
ini segera mendarat," Ali mengingatkan setelah memperbaiki posisi
duduknya.
Aku dan Seli mengangguk.
Apa pun yang akan terjadi sebentar lagi, maka terjadilah. Aku
menggigit bibir. Dua puluh empat jam lalu hidupku masih normal seperti
remaja lainnya. Beraktivitas bersama keluarga, bersekolah, dan
bermasyarakat dengan baik. Sekarang, aku bersiap bertempur dengan
orang-orang asing di dunia ini. Tapi apa pun itu setidaknya aku bersama
dengan teman baikku.
Tetapi ternyata kami tidak jadi bertempur. Belum sekarang.
Pada detik-detik terakhir datang bantuan tidak terduga. Layar
televisi di dinding kapsul tiba-tiba menyala?sepertinya ada yang bisa
menyalakannya dari jarak jauh, karena semua panel termasuk layar
televisi padam ketika kendali otomatis dimatikan Ilo.
"Di sini pusat kendali, berbicara dengan kapsul D-210579. Harap
segera konfirmasi."
Wajah seorang pemuda berusia delapan belas tahun terlihat di
layar, dengan seragam dan topi kadet.
"Ily!" Demi melihat layar itu, Ilo berseru.
"Pusat kendali berbicara dengan kapsul D-210579. Harap segera
konfirmasi."
261
Ilo bergegas menekan salah satu tombol, berseru. "Di sini kapsul D210579, konfirmasi kepada pusat kendali. Ily, apa yang sedang kamu
lakukan di sana?"
"Papa, waktu kita terbatas." Wajah pemuda yang terlihat di layar
tampak tegang. "Aku berada di pusat kendali kapsul."
"Ily? Kamu baik-baik saja?" Ilo berseru.
"Aku tidak bisa menjelaskan lebih banyak, Papa." Wajah pemuda
itu semakin tegang. Dia menoleh ke sana kemari. "Aku ditugaskan di
pusat pengendali sistem kereta bawah tanah selama masa transisi.
Seluruh kadet senior di akademi diperintahkan untuk membantu
Pasukan Bayangan dalam masa transisi. Kami tidak bisa menolak,
banyak guru-guru yang ditangkap karena menolak perintah. Papa tahu,
aku menyukai sistem sejak dulu.
"Beberapa menit lalu aku berhasil mengonfirmasi bahwa Papa
berada di kapsul yang sedang dikejar Pasukan Bayangan. Aku berada di
ruang kendali backup. Aku bisa me-restart seluruh sistem kereta bawah
tanah. Dengarkan baik-baik, Papa. Seluruh sistem akan restart. Itu
berarti seluruh lorong akan terbuka. Semua kapsul dengan kendali
otomatis akan berhenti. Papa punya waktu sembilan puluh detik untuk
kabur sebelum sistem kembali menyala, dan pintu darurat kembali
menutup. Itu cukup untuk mencapai stasiun darurat di permukaan."
"Ily?" Ilo berseru dengan suara bergetar.
"Segera ke permukaan, Papa. Mama dan Ou baik-baik saja. Mereka
sedang berada di salah satu kapsul menuju rumah peristirahatan di teluk,
tidak ada yang mengikuti mereka. Dan jangan cemaskan aku, semua
baik-baik saja. Sampai ketemu lagi, Pa. Sistem restart sekarang."
Layar televisi di dinding kapsul padam.
Ilo berseru mencegah sambungan diputus?dia jelas masih ingin
bertanya pada anaknya. Tapi tidak ada lagi waktu walau untuk mengeluh
sejenak, karena kapsul yang kami naiki persis keluar dari lorong,
mengambang turun menuju peron. Dari ketinggian lima meter, kami bisa
262
menyaksikan
Bayangan.
seluruh
lapangan
yang
dipenuhi
anggota
Pasukan
Aku menatap Ilo, apa yang akan dia lakukan? Seli dan Ali
menatapku, seolah bertanya Ilo berbicara dengan siapa, dan apa yang
mereka bicarakan dalam situasi genting seperti ini.
Ilo menggigit bibir, mencengkeram tuas kemudi. Persis saat kapsul
mendarat di peron, ketika puluhan anggota Pasukan Bayangan bergerak
mengepung kami dengan tombak perak teracung, aku bisa melihat di
peta layar kemudi, lorong-lorong dengan tanda silang kembali terbuka.
Seluruh titik merah (kapsul penumpang) di wilayah lain berhenti
bergerak. Ily telah me-restart jaringan. Seluruh sistem otomatis kereta
bawah tanah mati. Pintu-pintu lorong terbuka. Semua jalur bersih untuk
dilalui.
"Pegangan, anak-anak!" Ilo berseru.
Aku berseru menerjemahkan. Seli segera duduk di bangku,
berpegangan erat-erat. Ali dengan wajah kusut juga bergegas kembali
memeluk tiang kapsul di dekatnya.
Bahkan sebelum posisi kami mantap, Ilo sudah menekan tuas
kemudi ke depan. Kapsul berdesing kencang, bergetar, lantas seperti bola
peluru, melesat naik kembali, masuk cepat ke dalam lorong di atas,
disaksikan seribu anggota Pasukan Bayangan yang menatap bingung.
Kami tidak jadi bertempur. Kami kembali kabur.
***
Sesuai yang disampaikan Ily, seluruh pintu lorong terbuka.
Ditambah tanpa ada kapsul lain yang bergerak, Ilo bisa mengambil jalur
terpendek ke titik permukaan terdekat secepat mungkin.
Ilo menggunakan seluruh kecepatan kapsul dan medan magnetik.
Tubuh kami terbanting ke atas. Seli memejamkan mata, berseru tertahan.
Entahlah apa yang dilakukan Ali.
Sembilan puluh detik mengebut, kapsul yang kami naiki akhirnya
melambat, berdesing pelan, lantas keluar dari lorong. Cahaya terang
263
menerpa jendela. Ilo dengan gesit mendaratkan kapsul di peron. Kami
sepertinya sudah mencapai permukaan tanah tepat waktu.
"Kalian baik-baik saja?" Ilo turun dari bangku kemudi.
Ali menjawabnya dengan muntah, membuat kotor lantai.
Aku beranjak berdiri. Kakiku sedikit gemetar. Kecepatan kapsul tadi
membuatku seperti naik wahana Dunia Fantasi, tapi dengan tingkat
tantangan seratus kali lebih ekstrem. Seli juga berdiri dengan
berpegangan sandaran kursi. Wajahnya pucat.
"Kita tidak punya waktu banyak. Sistem otomatis akan pulih
beberapa detik lagi. Kabar baiknya dengan sistem tadi mati, mereka tidak
tahu kita keluar di stasiun darurat yang mana. Mereka harus memeriksa
ratusan stasiun satu per satu. Ayo, anak-anak, kita terpaksa meneruskan
perjalanan dengan cara konvensional. Jalan kaki." Ilo mengulurkan
tangan, membantu Ali berdiri. Si genius itu meringis, masih memeluk
tiang kapsul, kondisinya payah sekali.
Pintu kapsul terbuka.
Aku melangkah keluar lebih dulu. Sekali lagi kami berada di
permukaan dunia aneh ini. Stasiun darurat yang ini tidak berada di
dalam gua gelap seperti sebelumnya. Sebaliknya, pelataran stasiun
berada di tempat terbuka, di tepi sungai besar. Kakiku yang turun dari
peron segera menginjak pasir sungai.
Jika situasinya lebih baik, tidak pusing dan mual habis menaiki
kapsul terbang, ini pemandangan yang hebat. Aku melangkah
meninggalkan bangunan stasiun yang hanya cukup untuk merapat satu
kapsul, menatap sekitar. Sungai di depan kami lebarnya hampir dua
ratus meter, tepiannya berpasir putih bersih, terasa lembut di telapak
kaki, seperti pasir di pantai. Batu-batu besar bertumpuk di belakang,
memisahkan pasir dan vegetasi tumbuhan.
Di depan kami, air sungai mengalir tenang?berarti sungainya
dalam. Permukaan sungai terlihat biru, bening, memantulkan cahaya
matahari. Aku mendongak. Matahari sudah tergelincir di titik tertingginya,
264
sudah berada di sebelah barat. Entahlah sekarang sudah jam berapa,
bahkan aku lupa ini hari dan tanggal berapa.
Hutan lebat berada di belakang kami, lengkap dengan pohon-pohon
tingginya. Serombongan burung berwarna putih terbang rendah. Suara
kelepak dan lengkingannya memenuhi langit-langit sungai. Juga kuak
panjang bebek sungai, sayap mereka terentang lebar, melintas di
permukaan. Kaki mereka tangkas menyentuh sungai yang tenang. Setelah
mual menaiki kapsul terbang, pemandangan di stasiun darurat cukup
menghibur kami.
Seli melangkah di belakangku, menutup dahi dengan telapak
tangan, silau. Kakinya ikut menyentuh pasir putih, menggerak-gerakkan
jari kaki. Sepatu hitam yang kami kenakan seolah menyatu dengan kulit.
Kami bisa merasakan lembutnya pasir. Seli mengembuskan napas.
Wajahnya yang tadi tegang dan pucat kembali memerah.
Sedangkan Ali dipapah Ilo turun dari kapsul.
"Kamu bisa berjalan sendiri?" Ilo bertanya kepada Ali.
Aku menoleh, menerjemahkan kalimat Ilo.
"Aku bisa berjalan sendiri." Ali menyeka wajahnya. Dia terlihat
kusut dan lemas. "Tapi kita tidak berjalan mendaki lereng lagi, kan?"
Ilo tertawa mendengar terjemahanku. "Tidak, kita tidak akan
mendaki. Aku sengaja keluar di stasiun darurat paling dekat dengan
rumah peristirahatan. Rumah itu ada di teluk kota. Tapi tidak dekat,
masih dua belas kilometer. Kita berjalan di tepi sungai ini, menghilir
hingga teluk."
"Dua belas kilometer?" Ali menggeleng. Dia malah duduk di
hamparan pasir sungai.
Aku melotot, menyuruhnya berdiri. "Ali, ini bukan saatnya
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istirahat. Pasukan Bayangan bisa muncul kapan saja di peron stasiun di
belakang kita."
265
"Aku tidak mau berjalan sejauh dua belas kilometer." Ali balas
melotot. "Aku manusia biasa, Makhluk Tanah. Dengan mual dan pusing
ini, aku tidak akan kuat."
"Tapi kita harus bergerak segera, Ali," aku menimpali.
"Iya aku tahu. Rombongan sirkus itu bahkan sudah mulai
mengejar. Tapi kita bisa menggunakan cara lain, bukan jalan kaki. Pakai
apalah, menghiliri sungai ini. Perahu misalnya. Pesawat terbang. Roket."
"Tidak ada perahu di peron ini." Ilo menggeleng, setelah aku
menerjemahkan kalimat Ali. "Ini stasiun darurat, hanya berfungsi
mengeluarkan penumpang ke permukaan. Kita juga tidak bisa
menggunakan lorong berpindah, sistem itu dihentikan sementara waktu
oleh penguasa baru."
Ali masih duduk di hamparan pasir, sekarang melepas tas
ranselnya. Kalau saja wajahnya tidak terlihat lemas, aku sendiri yang
akan menyeretnya berdiri.
"Bagaimana sekarang?" Seli menatapku.
Aku mengangkat bahu. Mungkin Ali harus digendong.
Seekor burung dengan ekor panjang menjuntai terbang melintas di
permukaan sungai, terlihat anggun.
"Kalau begitu, kita istirahat sejenak." Ilo mengangguk, menunjuk
Ali. "Semoga setelah beberapa saat, kondisinya membaik. Dia jelas tidak
bisa berjalan jauh."
Aku mengembuskan napas, mengalah, ikut duduk di hamparan
pasir.
Seli menoleh ke belakang, memperhatikan peron stasiun dengan
cemas.
Kami berdiam diri beberapa saat.
266
"Aku punya usul," Ali berseru setelah lengang sebentar. "Kita
gunakan saja kapsul kereta itu. Lemparkan ke sungai, kita jadikan
perahu."
Apa? Aku menatapnya.
"Masuk akal, kan?" Ali mengangkat bahu. "Kapsul kereta itu pasti
mengambang di air. Kita naik di atasnya. Jadilah dia kereta wisata. Kalian
bisa melihat pemandangan dari jendela."
"Keretanya memang kedap air, bisa mengambang, bahkan tenaga
manualnya bisa membuat kapsul bergerak di sungai walaupun tidak
cepat," Ilo menjelaskan saat aku menyampaikan usul Ali. "Tapi bagaimana
kita memindahkan kapsul itu ke sungai? Jaraknya hampir dua puluh
meter. Tidak bisa digelindingkan begitu saja."
Aku menerjemahkan kalimat Ilo kepada Ali.
Ali
nyengir,
menatapku.
memindahkannya."
"Kamu
dan
Seli
yang
akan
"Kami?"
"Iya, kalian. Pertama-tama, kamu hantam kapsul itu dengan
pukulan hingga mental ke sungai, dan Seli, langkah kedua, segera
mengendalikan kapsul itu agar mendarat mulus di permukaan air. Seli
bisa menggerakkan benda dari jauh. Kapsul itu bukan masalah besar."
"Aku hanya bisa menggerakkan benda-benda kecil, Ali." Seli
menggeleng. "Buku, bolpoin, gelas, atau paling besar boneka pandaku.
Aku belum pernah menggerakkan benda sebesar bus."
"Dan bagaimana aku akan membuat kapsul itu terlempar dari
peron?" Sekarang aku yang protes. "Itu bukan benda ringan seperti
kucing liar atau Pasukan Bayangan."
Ali menatap kami bergantian. "Kalian kan memakai sarung tangan
keren itu. Kekuatan kalian bisa berkali-kali lipat lebih besar. Rencana ini
terlalu sederhana untuk gagal. Kamu hanya bertugas memukulnya
kencang-kencang, Ra, dan Seli hanya bertugas mengendalikannya agar
mendarat mulus. Sementara aku
memastikan kalian berdua
267
melakukannya dengan benar?sesuatu yang lebih rumit sebenarnya.
Lakukan saja. Pasti berhasil."
"Bagaimana kalau kapsulnya malah mendarat terlalu jauh atau
tenggelam?" Seli bertanya. "Aku belum tentu bisa mengendalikan
gerakannya. Kapsul itu besar sekali."
"Dan bagaimana kalau ternyata kapsul itu jadi rusak karena
kupukul?" aku menambah daftar kemungkinan buruk lainnya.
"Ali benar. Ini bisa jadi ide bagus," Ilo menengahi, setelah aku
menerjemahkan untuknya. "Kalaupun kapsul itu tenggelam atau rusak di
dalam sungai, setidaknya kita justru bisa menghilangkan jejak. Sistem
otomatis mereka tidak bisa menemukan di mana kapsulnya. Kalau
berhasil, lebih bagus lagi, kita bisa menggunakannya untuk menghilir."
Aku dan Seli saling tatap sejenak. Ilo benar. Baiklah. Tidak ada
salahnya mencoba ide si genius ini. Aku mengangguk. Aku dan Seli
melangkah kembali ke peron.
"Tidak secepat itu. Kalian latihan dulu," Ali berseru sambil beranjak
berdiri, menyambar tas ranselnya. "Lihat, ada batu-batu besar di sana.
Kalian coba pindahkan satu atau dua batu besar itu."
Aku menatap Ali dan Ilo yang beranjak menjauh, mengosongkan
hamparan pasir. Entah di dunia kami atau di dunia aneh ini, sifat Ali
tetap sama, suka mengatur-atur orang. Tapi untuk kesekian kali
sarannya masuk akal. Baiklah, akan kami turuti pendapatnya.
Aku bersiap-siap berdiri di belakang salah satu batu besar yang
terbenam di pasir, mengangguk ke arah Seli yang berdiri di tengah
hamparan pasir. Aku mulai konsentrasi. Sarung tanganku berganti
warna menjadi gelap. Seli di sana juga sudah siap. Sarung tangannya
terlihat bersinar terang di tengah terik matahari. Aku menahan napas,
memukul batu besar setinggi pinggangku. Suara dentuman terdengar
kencang, membuat bebek-bebek sungai beterbangan dari semak, juga
burung-burung lain. Batu itu terangkat dari pasir, terpental ke udara.
Aku terduduk karena kaget sendiri melihat apa yang terjadi.
268
Syukurlah Seli tidak kaget. Dia sudah bersiap. Sebersit cahaya
menyambar batu yang terbang itu saat Seli mengacungkan kedua tangan.
Dia berkonsentrasi penuh. Dua tangannya gemetar, berusaha
mengendalikan, membuat batu itu bergerak turun perlahan-lahan.
Beberapa detik sepertinya batu itu akan turun mulus ke permukaan
sungai, tapi sedetik berlalu, meluncur tidak terkendali, jatuh berdebum,
membuat cipratan air muncrat ke mana-mana.
Seli melompat ke belakang. Bukan karena menghindari cipratan air
tinggi yang mengarah padanya, tapi lebih karena panik batu itu lepas
kendali.
"Bagus!" Ali berseru di kejauhan. "Itu bagus sekali, Sel. Tidak apa.
Jangan dipikirkan. Kita coba sekali lagi. Dan kamu, Ra, jangan terlalu
kencang memukulnya, supaya Seli tidak terlalu susah payah
mengendalikan batunya saat meluncur turun. Pukul dengan lembut,
gunakan nalurimu."
Aku bangkit dari dudukku, menepuk-nepuk pakaian yang kotor. Si
genius itu menyebalkan sekali. Mana aku tahu batu itu akan terpental
setinggi itu? Aku saja kaget. Enteng sekali dia bilang begitu. Terus, apa
pula maksudnya pukul dengan lembut? Lihatlah, sekarang Ali sudah
seperti sutradara film meneriaki artis-artisnya.
"Kamu mengerti, Ra? Jangan terlalu kencang!" Ali berteriak sekali
lagi.
"Iya, aku tahu." Aku melangkah ke belakang batu berikutnya,
segera konsentrasi menatap batu hitam berlumut yang besarnya setinggi
kepalaku. Seli di tengah hamparan pasir mengangguk. Dia sudah siap.
Setelah menghela napas dua kali, aku memukul batu itu lebih
terkendali. Dentuman kencang kembali terdengar. Batu itu terangkat dari
dalam pasir. Butir pasir beterbangan. Batu itu terpelanting tinggi ke
udara?tidak terlalu tinggi, hanya tiga meter.
Seli mengacungkan tangan, membuat batu besar itu diselimuti
aliran listrik. Tangan Seli gemetar. Dia konsentrasi penuh. Sedetik
berlalu, batu besar itu bergerak perlahan sesuai kendali Seli, kemudian
mendarat anggun di atas permukaan sungai, tenggelam dengan mulus.
269
"Keren!" Ali mengacungkan jempol.
Aku dan Seli tersenyum puas. Kami berhasil.
"Baik, sekarang mari kita coba dengan benda sesungguhnya," Ali
berseru. "Rileks saja, Seli. Anggap seperti batu besar tadi. Kamu pasti
bisa."
Aku melangkah masuk ke dalam bangunan stasiun, berdiri di
belakang kapsul kereta yang penyok dan pecah jendela kacanya.
"Pukul di bagian rangka kapsul, itu bagian paling keras. Sepanjang
bagian itu yang dihantam, kamu tidak akan merusak kapsulnya. Ingat,
Ra, jangan terlalu kencang, dan jangan terlalu pelan. Lakukan seperti
tadi," Ali berteriak.
"Iya, aku tahu." Aku bersungut-sungut, mengangguk. Teriakan Ali
ini sebenarnya mengganggu konsentrasiku. Lagi pula si genius ini tidak
menjelaskan apa maksudnya jangan terlalu kencang atau terlalu pelan.
Aku belum terbiasa dengan kekuatan sarung tanganku. Bahkan
sebenarnya, aku belum terbiasa dengan fakta bahwa aku bisa
mengeluarkan deru angin kencang dari tanganku.
Seli di hamparan pasir mengangkat tangan, memberi kode. Dia
sudah siap. Aku menghela napas berkali-kali, konsentrasi penuh.
Tanganku dipenuhi desir angin kencang, semakin deras setiap kali aku
mencapai level konsentrasi berikutnya. Lantas perlahan aku memukul
dinding kapsul di bagian rangkanya. Suara dentuman kencang terdengar.
Kapsul itu terlempar dari dalam bangunan stasiun, terbang setinggi tiga
meter di atas kepala.
Seli segera mengacungkan tangannya ke atas. Kapsul itu diselimuti
tenaga listrik. Kapsul itu jelas lebih besar dibanding batu sebelumnya,
bergetar tidak terkendali, merosot satu meter ke bawah. Seli berteriak
panik. Aku menahan napas. Tapi Seli berhasil menahan kapsul agar
tidak terus merosot. Dia memaksakan seluruh tenaganya. Kakinya
terdorong ke dalam pasir hingga betis. Sedetik berlalu, kapsul itu
perlahan mulai bergerak teratur menuju permukaan sungai, kemudian
270
mendarat sama mulusnya seperti batu sebelumnya, hanya membuat riak
kecil. Kapsul itu telah mengambang di atas sungai.
Wajah Seli terlihat pucat, namun ia mengembuskan napas lega.
Aku tertawa lebar, berlari mendekati Seli, memeluknya riang.
"Apa kubilang. Berhasil, kan?" Ali juga melangkah mendekat, ikut
tertawa. Wajah si tukang ngatur ini sebenarnya masih meringis menahan
sisa pusing dan mual.
"Kita segera berangkat, anak-anak!" Ilo berseru. Dia melangkah ke
permukaan air sungai setinggi betis.
Kami menyusul, naik satu per satu. Terakhir Ali, dibantu Ilo.
"Jika tidak melihat sendiri, aku tidak akan bisa memercayainya."
Ilo tertawa, duduk di bangku kemudi, menatapku dan Seli. "Kalian berdua
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hebat sekali. Kalian lebih hebat dibanding pemenang kompetisi tahunan
petarung Klan Bulan."
Aku tidak berkomentar, duduk di salah satu bangku.
Ilo menekan tombol-tombol di hadapannya. Pintu kapsul tertutup.
"Baik, anak-anak, kita menuju teluk kota."
Kapsul itu segera bergerak di atas permukaan air saat tuas kemudi
didorong ke depan. Tidak cepat, hanya mengandalkan mesin pendorong
manual, tapi itu lebih dari memadai dibanding kami harus berjalan kaki.
Kami segera menuju tempat pemberhentian berikutnya.
271
EMANDANGAN dari kapsul kereta saat menghilir di sungai
besar itu menakjubkan.
Hamparan pasir sejauh beberapa kilometer kemudian digantikan
dinding sungai yang terjal dan tinggi dengan satu-dua air terjun yang
tumpah ke sungai, berdebum indah, membuat kapsul tersiram percik air.
Kami melewati butiran air di atas kapsul yang membentuk pelangi. Aku
dan Seli berdiri di samping jendela yang kacanya sudah pecah, menatap
sekitar tanpa berkedip.
Burung-burung melintasi permukaan sungai, melenguh saling
memanggil. Beberapa hewan liar terlihat berlarian di antara semak
belukar atau di atas bebatuan besar. Mungkin itu kijang, mungkin juga
kuda, aku tidak tahu pasti. Hutan di dunia ini lebih menakjubkan,
sekalipun dibandingkan dengan imajinasi hutan di film yang pernah kami
tonton.
Dinding sungai yang terjal berganti lagi dengan pohon bakau yang
tumbuh rapat di tepian sungai. Riuh rendah suara monyet berlarian di
salah satu bagiannya saat kami lewat. Aku menatap puluhan monyet
berukuran besar itu, mungkin lebih mirip kingkong. Puluhan "kingkong"
berseru-seru melihat kami lewat perlahan. Itu bukan pemandangan yang
menenteramkan hati.
"Setidaknya mereka tidak bisa melompat ke dalam air." Ali nyengir,
ikut memperhatikan.
"Bagaimana kalau mereka bisa berenang?"
"Monyet tidak bisa berenang, Seli. Mereka takut air, kecuali yang
dilatih di kebun binatang." Ali sudah seperti guru biologi, menjelaskan.
"Bagaimana kalau ada binatang buas di dalam sungai?" Seli berkata
pelan.
Aku menatap Seli. "Jangan berpikir yang aneh-aneh deh, Sel..."
272
"Lho, bisa saja kan, Ra? Buaya misalnya? Atau ular sungai sebesar
kereta? Ini kan di dunia aneh, boleh jadi malah ada naga? Tiba-tiba
muncul menerkam kapsul." Seli tidak mengerti tatapanku, malah
meneruskan kecemasannya?dan dia jadi cemas sendiri.
Aku menatap manyun Seli yang terdiam.
Tetapi setidaknya sejauh ini kami tidak menemukan hewan buas.
Yang ada malah ikan terbang yang lompat tinggi di sekitar kapsul, atau
mungkin sejenis lumba-lumba. Mereka bergerombol mengikuti desing
kapsul yang terus meluncur di atas permukaan sungai, menuju ke hilir.
Kapsul tidak bisa bergerak cepat di atas air.
Pohon bakau digantikan hamparan pasir putih.
Sementara di atas kepala kami terlihat menjulang tinggi satu-dua
tiang besar dengan bangunan berbentuk balon di ujungnya.
"Kita melewati pinggiran kota, memang ada beberapa rumah di
sini," Ilo menjelaskan.
Dari bawah, terlihat sekali betapa tingginya tiang-tiang rumah itu?
jauh di atas kepala kami?tiang besar dari bahan baja stainless dengan
diameter tidak kurang dari lima meter. Aku sekarang mengerti kenapa
penduduk kota ini mendirikan rumah di tiang tinggi atau berada di dalam
tanah sekalian. Tidak ada yang mau bertetangga dengan "kingkong" tadi.
"Bagaimana penduduk tiba di atas rumahnya jika lorong berpindah
tidak
boleh
digunakan?"
Ali
bertanya,
menyikutku
agar
menerjemahkannya kepada Ilo.
"Kami menggunakan cara konvensional, lift," Ilo menjawab dengan
senang hati. "Dalam situasi darurat seperti ini, biasanya Komite Kota juga
menyediakan angkutan terbang ke setiap rumah dari Stasiun Sentral di
permukaan. Atau kamu bisa memilih tinggal di kota bawah tanah, lebih
banyak penduduk yang memiliki rumah di bawah sana, para pekerja,
petugas kota. Di bawah fasilitas lebih lengkap, pusat perbelanjaan,
hiburan, hotel mewah, apa pun yang dibutuhkan seluruh kota.
Sebenarnya peradaban Kota Tishri ada di dalam tanah. Hanya orang kaya
yang memiliki Rumah Bulan di atas permukaan."
273
Aku dan Seli mendongak, menatap bangunan berbentuk balon yang
semakin banyak.
"Itu berarti Ilo termasuk keluarga kaya," Ali berbisik.
"Lantas kenapa?" Aku menatap Ali, tidak mengerti.
"Ya tidak apa-apa. Kan Ilo sendiri yang mengucapkan kalimat itu."
Ali mengangkat bahu, merasa tidak berdosa dengan tingkah nyinyirnya.
Aku memilih membiarkan si genius di sebelahku. Kembali asyik
menatap pemandangan.
Kapsul yang kami naiki terus menghilir. Tiang-tiang tinggi itu
semakin berkurang, tertinggal jauh di belakang. Tepian sungai kembali
dipenuhi hamparan pasir, dengan pohon kelapa tumbuh rapat. Pohonnya
tinggi, pelepah daunnya hijau, buahnya besar-besar. Jika melihat vegetasi
di tepi sungai, sepertinya kami sudah semakin dekat dengan teluk kota.
"Kita tidak jauh, lagi anak-anak," Ilo di atas bangku kemudi
memberitahu. "Dan kabar baiknya, aku baru saja menerima kabar dari
Vey dan Ou, mereka sudah tiba di rumah peristirahatan."
Kami ikut senang mendengar kabar itu.
Matahari siap tenggelam di kaki barat saat kapsul kereta akhirnya
tiba di muara sungai, di laut lepas. Ilo memutar kemudi. Kapsul berbelok
ke kiri, bergerak di sepanjang tepi pantai. Lebih banyak lagi pohon kelapa,
juga hamparan pasir sejauh mata memandang.
Aku keluar dari kapsul, menatap tanpa berkedip. Aku belum pernah
menyaksikan pantai sebersih dan seindah ini, lengkap dengan sunset-nya.
Seli di sebelahku juga memperhatikan lamat-lamat matahari
tenggelam.
"Indah sekali, bukan?" aku berkata pelan.
Seli hanya diam, masih mematung menatap lurus. Setelah
beberapa detik saat seluruh matahari hilang ditelan lautan, menyisakan
semburat jingga, Seli baru mengembuskan napas perlahan.
274
"Indah sekali, bukan?" aku mengulang kalimatku.
Seli menoleh, mengangguk. "Aku selalu suka menatap matahari
tenggelam, Ra. Selalu membuat hatiku hangat, damai. Sunset tadi indah
sekali. Kata Mama, waktu aku masih kecil, setiap kali diajak ke pantai,
saat sunset tiba, maka aku akan berhenti dari seluruh permainan, juga
kalau sedang menangis, diam seketika. Aku akan menatap sunset
sendirian, tidak bisa ditegur, tidak bisa diajak bicara hingga seluruh
matahari hilang. Aku suka sekali sunset."
"Itu karena kamu anggota Klan Matahari, Seli," Ali menceletuk.
"Apa hubungannya?" Aku menatap Ali. Si genius ini kadang sok
tahu sekali.
"Jelas, kan? Karena Seli itu dari Klan Matahari, jadi dia menyukai
matahari."
"Aku juga menyukai sunset." Aku menggeleng, tidak sependapat
dengan Ali. "Teman-teman di sekolah juga banyak yang menyukai sunset,
tidak otomatis mereka dari Klan Matahari, kan?"
Ali menggaruk kepala.
"Dan sebaliknya, kalau kamu mau bilang orang-orang yang
menyukai purnama otomatis adalah anggota Klan Bulan, maka itu berarti
manusia serigala di film-film tidak masuk akal itu termasuk Klan Bulan.
Makhluk jadi-jadian. Padahal tidak ada manusia serigala di dunia ini,
bukan?"
Ali terdiam, tidak bisa membantah kalimatku.
Seli menahan tawa. "Kalian berdua lama-lama cocok."
"Cocok apanya?" Aku melotot ke arah Seli.
"Cocok saja. Kalian kan selalu bertengkar. Di sekolah bertengkar, di
rumah bertengkar, di kota kita bertengkar, juga di dunia ini bertengkar.
Itu bisa dua hal, musuh besar atau memang cocok dua-duanya." Seli
tertawa.
275
Enak saja Seli bilang begitu. Aku melompat hendak menutup mulut
Seli, menyuruhnya diam. Dalam situasi tidak jelas, di dunia aneh pula,
enak saja Seli menggodaku.
"Anak-anak, kita sudah sampai," Ilo memotong gerakan tanganku.
Aku menoleh, gerakan tanganku terhenti.
Ilo tersenyum, menunjuk ke depan.
Aku ternyata keliru. Sejak tadi, saat Av dan Ilo berbicara tentang
"rumah peristirahatan", aku pikir itu juga akan berbentuk bangunan
bulat di atas tiang, dan kami harus naik lift menuju atasnya. Ternyata
tidak. Rumah itu persis seperti rumah kebanyakan di kota kami,
meskipun di sekelilingnya terdapat pagar tinggi.
Itu rumah yang indah, seperti vila tepi pantai di kota kami. Dua
lantai, seluruh bangunan terbuat dari kayu, semipanggung. Lampu teras
luarnya menyala terang, juga lampu-lampu kecil di jalan setapak. Ada
banyak pot kembang di halaman, juga taman buatan yang indah. Di
halaman, di pasir pantai, terdapat kanopi lebar dengan beberapa bangku
rotan. Ini sesuai namanya, rumah peristirahatan, sama sekali bukan
Rumah Bulan.
Ilo mengarahkan kapsul kereta perlahan merapat di dermaga kayu
menjorok ke laut, berhenti sempurna di sisi dermaga, membuka pintu
kapsul, lantas mematikan tuas kemudi manual.
"Ayo, anak-anak." Ilo turun dari bangku.
Kami turun dari kapsul. Ilo sempat mengikat kapsul dengan tali di
dermaga kayu agar kapsul tidak dibawa ombak. Kami berjalan beriringan
di atas dermaga, menuju jalan setapak yang di kiri-kanannya tersusun
karang laut dan pot bunga.
Tiba di anak tangga, Ilo mendorong pintu.
Vey sudah menunggu kami sejak tadi. Dia langsung berseru
melihat siapa yang datang. Vey melompat turun dari kursi ruang depan,
memeluk Ilo erat. Wajah cemasnya memudar dengan cepat, digantikan
tawa pelan yang renyah. "Syukurlah kalian baik-baik saja."
276
Kami bertiga berdiri di bawah daun pintu, memperhatikan.
"Kalian tidak apa-apa, anak-anak?" Vey melihat kami, melepas
pelukan, menatap kami bergantian. "Aduh, rambut kalian berantakan
sekali, wajah kalian juga kotor. Kalian pasti melewati hari yang sulit."
"Bukan hanya sulit, Vey, kamu tidak akan mudah percaya apa yang
baru saja mereka lalui. Tapi mereka baik-baik saja. Kamu tidak perlu
cemas." Ilo tersenyum.
Vey memegang tanganku dan Seli. "Syukurlah. Aku sudah cemas
sekali sejak mendengar kabar kalian tadi siang. Ayo, mari kutunjukkan
kamar kalian, ada beberapa kamar kosong di vila ini. Kalian pasti suka.
Kalian bisa segera mandi, berganti pakaian, agar lebih segar."
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku, Seli, dan Ali mengikuti langkah Vey.
Kami masuk ke ruang tengah vila. Perapian besar menyala di pojok
ruangan, membuat suasana terasa hangat. Dengan segala kekacauan,
aku sampai tidak menyadari bahwa di dunia ini suhu udaranya terasa
lebih dingin dibanding kota kami. Beberapa sofa panjang diletakkan di
depan perapian, juga meja-meja kecil dipenuhi buku, vas bunga, dan
benda-benda lain. Lampu kristal besar tergantung di langit-langit,
menyala lembut. Benda-benda di rumah ini tidak terlalu aneh, masih bisa
dikenali.
Vey menaiki anak tangga di samping perapian. Kami menuju lantai
dua. Juga tidak ada lorong-lorong yang menghubungkan ruanganruangan di rumah ini. Aku bergumam, hanya selasar biasa. Kami
akhirnya tiba di dua kamar berdekatan. Vey membuka salah satu
pintunya, tersenyum, menyuruh kami masuk.
Aku menatap sekeliling kamar, nyaman dan bersih. Seli
mengembuskan napas. Aku tahu maksud helaan napas Seli. Dia lega
karena kamar ini tidak seaneh kamar kami di Rumah Bulan itu. Tempat
tidur besar diletakkan di lantai?tidak menempel di dinding dan bisa
naik-turun. Lemari berbentuk tabung. Bentuk meja, kursi, dan cermin
besar tidak terlalu aneh.
277
"Ada dua kamar dengan pintu penghubung." Vey mendorong pintu
yang menuju kamar di sebelah. "Kamar yang satu ini lebih besar, bisa
untuk Seli dan Ra, yang satunya lebih kecil untuk Ali. Kalian bisa
menggunakan dua kamar ini. Pakaian bersih ada di lemari, juga ada di
kamar mandi, bisa kalian gunakan sebebasnya. Jangan malu-malu,
anggap saja rumah sendiri."
Aku mengangguk, bilang terima kasih.
"Jika kalian sudah siap, segera turun. Meja makan ada di seberang
perapian. Dan jangan lama-lama, nanti makan malamnya telanjur
dingin." Vey tersenyum, melangkah menuju pintu, meninggalkan kami
bertiga.
Saat pintu ditutup dari luar, Ali sudah melempar sembarang
ranselnya ke lantai, langsung meloncat ke atas tempat tidur empuk,
meluruskan tangan dan kakinya.
Aku melotot melihat kelakuan si genius itu.
"Ini nyaman sekali, Ra," Ali berseru pelan, malah santai tiduran.
"Setelah seharian dikejar-kejar rombongan sirkus itu. Mual dan muntah.
Nikmat sekali tiduran sebentar."
"Kamarmu yang satunya, Ali! Ini kamar kami." Aku menyuruhnya
pindah.
"Apa bedanya sih, Ra? Kan sama saja." Ali tidak mau beranjak dari
tempat tidur. "Kalian saja yang di kamar itu."
"Pindah, Ali, atau aku suruh Seli menyetrummu."
Seli yang sedang memperhatikan seluruh kamar tertawa mendengar
kalimat mengancamku.
"Kenapa sih kamu harus galak sekali, Ra? Tidak di kota kita, tidak
di dunia ini, masih saja galak. Cerewet." Ali bersungut-sungut turun,
mengambil tas ranselnya di lantai.
"Karena kamu meletakkan alat perekam di kamarku," aku berseru
ketus.
278
"Aku kan sudah minta maaf, Ra. Dan itu hanya perekam biasa. Aku
tidak mengintip yang aneh-aneh." Ali melangkah melewati pintu
penghubung ke kamar sebelah, mengomel pelan. "Dasar pendendam."
Aku hampir saja menimpuk si biang kerok itu dengan bantal di atas
tempat tidur, tapi batal karena Seli sudah menyikutku, bilang dia mau
mandi duluan.
Pintu penghubung kamar ditutup Ali.
***
Aku mulai terbiasa mandi dengan semburan udara?termasuk
membersihkan gigi dengan sikat gigi udara. Kali ini aku mandi lebih lama,
menikmatinya. Aku juga memilih pakaian bersih yang akan kukenakan di
lemari kamar. Seli tertawa kecil melihatku berkali-kali bertanya apakah
yang kupilih bagus atau tidak. Seli sudah rapi sejak tadi.
"Cocok kok, Ra." Seli mengangguk.
Aku menatap Seli lewat cermin, memastikan dia tidak sedang
menertawakanku.
"Kata mamaku, kita hanya perlu sedikit percaya diri, maka cocok
sudahlah pakaian yang kita kenakan," Seli menambahkan.
Aku mematut di depan cermin, ikut mengangguk. Aku jadi tahu
kenapa Seli selalu modis ke mana-mana, karena mamanya punya nasihat
sebagus itu.
Ali mengetuk pintu penghubung, masuk ke kamar. Dia sudah
berganti pakaian bersih. Wajahnya segar, tidak tersisa bekas mual dan
pusingnya tadi siang. Rambutnya tersisir rapi.
"Bagaimana kamu melakukannya?" Aku menunjuk rambut Ali.
Bukankah rambutnya susah sekali dibuat rapi?
"Di tabung kamar mandi ternyata ada alatnya, Ra." "Kamu bisa
membuat rambutmu menjadi keriting atau lurus seketika." Ali
cengengesan.
279
"Oh ya?" Seli tertarik.
"Coba saja, alat yang seperti pengering rambut. Kamu berdiri di
bawahnya, tekan tombol di dinding, bahasanya sih aku tidak paham, tapi
aku bisa menebak-nebaknya. Lagian tidak masalah keliru model rambut,
bisa diganti dengan cepat."
"Wah, aku kira itu alat apa tadi. Tidak berani kusentuh."
Ali tertawa. "Kamu harus berani mencoba, Sel, biar tahu."
Aku juga memperhatikan alat itu, di sebelah wastafel. Tapi sama
seperti Seli, aku tidak berani memakainya. Siapa yang menjamin tidak
terjadi hal buruk? Bagaimana kalau ternyata alat itu mencukur seluruh
rambut? Tapi sepertinya Ali tidak pernah khawatir apa pun saat mencoba
hal-hal baru?termasuk risiko meledak sekalipun.
Kami beriringan menuju ruang makan, menuruni anak tangga.
Vey menyambut kami. Aku selalu suka melihat Vey di meja makan,
mirip Mama. Vey akan ikut berdiri, menyapa riang, menyuruh duduk,
lantas sibuk mengambilkan makanan. Dia baru duduk lagi setelah piring
kami terisi semua dan gelas air minum penuh.
"Ayo dimakan, anak-anak, jangan malu-malu. Semua masakan
dibuat spesial untuk kalian." Vey duduk kembali, tersenyum lebar.
Aku mengangguk, balas tersenyum sopan. Makanan di atas piring
tetap sama anehnya dengan sarapan tadi pagi?malah ada bongkahan
besar di dalam bubur berwarna hitam. Aku ragu-ragu menyendoknya,
hanya seujung sendok, mencoba. Aku tersenyum lebih lebar, ternyata
sama sedapnya seperti sarapan tadi pagi?bahkan lebih lezat.
"Enak, Ra?" Seli di sebelahku bertanya pelan.
Aku mengangguk, balas berbisik, "Jangan perhatikan bentuknya,
Sel. Dimakan saja."
Aku melirik Ali. Dia sudah menyuap dengan semangat, mulutnya
penuh. Meja makan lengang sebentar. Kami sibuk dengan piring masingmasing yang berbentuk sepatu.
280
"Kenapa Ou tidak ikut makan malam?" Aku teringat sesuatu.
"Ou sudah tidur sejak tadi," Vey yang menjawab. "Dia lelah. Setelah
makan tadi sore, dia minta tidur. Kami berjam-jam tertahan di lorong
kereta. Kapsul yang kami naiki berhenti lama. Juga kapsul kereta lainnya,
membuat antrean panjang di setiap lorong. Butuh empat jam lebih hingga
kami berhasil menuju stasiun permukaan.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ilo? Seluruh kota panik. Keributan
terjadi di mana-mana. Dan pemeriksaan dilakukan di setiap tempat. Aku
tidak sempat memperhatikan banyak hal. Aku harus memastikan Ou
baik-baik saja selama perjalanan. Kasihan, ada banyak anak yang lebih
kecil daripada Ou yang menjerit ketakutan, menangis. Semua rusuh.
Semua orang berebut tidak mau tertib. Orang-orang di kapsul berkata
bahwa Komite Kota dibubarkan. Ada yang tewas di Tower Sentral,
penguasa seluruh negeri telah beralih. Apa benar demikian?" Vey
bertanya.
Lima belas menit ke depan, sambil menghabiskan makanan di
piring, Ilo dan Vey berbicara tentang situasi seluruh kota. Ilo menjelaskan
seluruh kejadian kepada Vey, mulai dari Bagian Terlarang perpustakaan,
berita di televisi, pertemuan dengan Av di perpustakaan, hingga kami
dikejar Pasukan Bayangan.
Aku memperhatikan percakapan Ilo dan Vey.
Ilo sekarang menjelaskan bahwa kami tidak tersesat dari lorong
berpindah.
"Mereka dari dunia lain?" Suara Vey tercekat, menatap kami
bertiga.
Ilo mengangguk. "Benar, mereka dari dunia lain. Tempat yang amat
berbeda dari kita. Aku tidak bisa menjelaskan sebaik Av. Bukankah
sudah kubilang tadi, kamu tidak akan mudah percaya apa yang telah
mereka lalui, Vey."
"Tapi, mereka persis seperti anak-anak di sekitar kita." Vey
mengangkat tangannya.
281
"Memang. Mereka sama seperti anak-anak yang sopan, baik, dan
riang lainnya. Tidak ada yang berbeda soal itu. Tapi mereka bukan dari
dunia kita. Mereka tidak tersesat oleh kesalahan teknis lorong berpindah.
Orangtua mereka ada di dunia lain. Rumah dan sekolah mereka juga ada
di dunia lain. Av sendiri yang memastikannya."
Vey terdiam, menatap kami tidak berkedip?persis seperti Mama
kalau sedang histeris, mematung tidak percaya beberapa detik.
"Kamu bisa menunjukkan sesuatu, Seli? Agar istriku percaya." Ilo
menoleh ke arah Seli.
Aku menerjemahkannya kepada Seli. Kami sudah hampir selesai
makan.
"Sesuatu apa?" Seli bertanya padaku, tidak mengerti.
"Mungkin seperti
maksud Ilo.
menggerakkan benda-benda." Aku menebak
Seli mengangguk. Dia meletakkan sendoknya. Diam sejenak,
berkonsentrasi, lantas mengangkat tangan, mengarahkannya ke gelas
kosong milik Ali di seberang meja. Gelas itu perlahan-lahan terangkat ke
udara.
"Astaga!" Vey berseru. "Kamu membuatnya terbang? Bagaimana
kamu melakukannya?"
"Dia dari dunia lain, Vey. Memindahkan benda-benda dari jarak
jauh hanya salah satu kekuatan yang dia miliki. Seli juga bisa
mengeluarkan petir dari tangannya. Tapi itu berbahaya jika dicoba di
dalam rumah. Kamu bisa menunjukkan yang lainnya, Ra?" Ilo sekarang
menoleh kepadaku.
Seli mendaratkan kembali gelas di atas meja.
Aku mengangguk, meletakkan sendok makan. Baiklah, aku akan
memperlihatkan kepada tuan rumah sesuatu yang justru selama ini aku
282
sembunyikan dari siapa pun, termasuk dari Mama dan Papa. Aku
mengangkat tangan, menutup wajah dengan telapak tangan.
Seluruh tubuhku hilang.
Vey hampir saja jatuh dari kursinya karena kaget, juga Ilo dan Seli.
Meskipun mereka tahu aku bisa menghilang, mereka belum pernah
menyaksikannya. Hanya Ali yang melihat selintas lalu, kembali
menyendok makanan, lebih tertarik menghabiskan makanannya.
Aku menurunkan tanganku, kembali terlihat.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu bisa menghilang, Ra? Aduh, itu tadi sungguhan
menghilang?" Vey berseru tidak percaya, memegang dahinya, mencubit
lengan. "Ini tidak bisa dipercaya."
Aku tersenyum kaku melihat Vey yang heboh. Mungkin Mama akan
lebih rusuh dibanding Vey jika tahu aku bisa menghilang.
"Ra tidak hanya bisa menghilang, dia juga bisa memukul sesuatu
dengan keras, bisa melompat jauh, dan entah apa lagi kekuatan yang
belum diketahuinya. Dia dari dunia kita, tapi besar di dunia lain," Ilo
menambahkan. "Kamu tahu, ternyata itu benar, Vey. Dunia ini tidak
sesederhana yang terlihat. Itu bukan imajinasiku saja karena terlalu
serius bekerja mendesain pakaian. Ada dunia lain, tempat anak-anak ini
tinggal. Kamu berutang maaf karena dulu sempat menertawakanku." Ilo
tersenyum lebar.
Vey menghela napas panjang, memegang ujung meja. Wajahnya
masih terkesima.
"Tapi ini masih sulit dipercaya." Vey menggeleng.
Ilo meneruskan penjelasan. "Tidak apa. Cepat atau lambat kamu
akan terbiasa. Nah, sekarang kita tiba di kabar buruknya. Tamus, orang
yang menyerbu Tower Sentral, yang mengambil alih kekuasaan dari
Komite Kota, tahu bahwa Raib memiliki kekuatan.
"Tamus bahkan hendak menjemput paksa Ra di dunianya, yang
membuat anak-anak ini tersesat di kamar Ou. Masalah ini sudah
berkembang serius bahkan sebelum pertikaian politik terjadi. Menurut
283
penjelasan Av, sebelum Tamus menguasai seluruh negeri, anak-anak
harus tetap bersembunyi hingga situasi lebih jelas. Kita tidak tahu apa
hubungan antara Tamus yang bermaksud menjemput Ra dan serangan di
Tower Sentral. Anak-anak harus disembunyikan. Sekali Tamus tahu Ra
berada di dunia ini, dia akan mengirim Pasukan Bayangan mengejarnya.
Itulah sebabnya kami dikejar di jalur kereta bawah tanah. Kami kabur
saat pemeriksaan di Stasiun Sentral. Itulah yang terjadi sepanjang hari
setelah kita mengantar Ou ke sekolah."
Meja makan lengang sejenak setelah penjelasan Ilo.
Vey terdiam, menghela napas prihatin.
"Aku minta maaf telah merepotkan kalian," aku berkata pelan.
Semua orang menoleh padaku.
"Seharusnya aku tidak melibatkan siapa pun dalam kejadian ini."
Aku menunduk.
"Kamu tidak boleh berkata begitu, Ra." Ilo menggeleng. "Pasti ada
alasan baiknya kenapa kalian muncul di rumah kami."
"Kamu tidak perlu minta maaf. Kalian tidak merepotkan kami." Vey
ikut menggeleng. "Kami yang justru minta maaf karena tidak bisa
membantu kalian pulang ke dunia kalian. Aduh, orangtua kalian pasti
cemas sekali."
Aku mengangkat kepala, balas menatap Ilo dan Vey. Keluarga ini
amat menyenangkan. Av benar, kami beruntung sekali tersesat di kamar
Ou kemarin malam. Masalah kami jauh lebih mudah dengan adanya Ilo
dan Vey.
"Hingga ada perkembangan lebih lanjut, kalian bertiga akan tinggal
di rumah peristirahatan ini," Ilo berkata serius. "Rumah ini aman, tidak
ada penduduk kota yang mau memiliki rumah di tepi pantai. Jangan
cemaskan hewan liar. Av sering berkunjung ke sini, berlibur. Dia sendiri
yang menyegel pagar. Av memiliki kekuatan untuk hal-hal seperti itu. Dia
bukan sekadar pustakawan berusia lanjut. Kami juga akan tinggal di sini
284
hingga situasi membaik. Sekolah Ou diliburkan, seluruh kota masih
rusuh."
Suara api membakar kayu di perapian terdengar bekeretak. Udara
di sekitar meja makan terasa hangat.
"Bagaimana dengan Ily?" Aku teringat sesuatu.
"Ily belum menghubungi lagi," Vey yang menjawab.
"Ily baik-baik saja," Ilo menambahkan, berkata yakin. "Ily berada di
pusat kendali stasiun bawah tanah. Dengan seluruh peralatan canggih di
sekitarnya, itu lebih dari rumah yang nyaman bagi Ily. Dia menyukai
gadget dan sepertinya gadget juga menyukainya. Jika mereka tahu,
Pasukan Bayangan seharusnya cemas karena menugaskan Ily di bagian
itu. Mereka tidak menyadari, Ily bisa keluar-masuk ke sistem mana pun
semau dia tanpa jejak, termasuk me-restart sistem kereta bawah tanah."
Aku tahu suara Ilo sama sekali tidak yakin. Tapi Ilo bertanggung
jawab membuat kami semua tenang, jadi dia memilih optimis.
Ali menyikut lenganku, menyuruhku menerjemahkan kalimat Ilo
dan Vey barusan. "Akan kujelaskan nanti," aku berbisik, tapi Ali masih
menyikut lenganku, penasaran ingin tahu. Kapan si genius ini berhenti
menggangguku? Coba lihat Seli, dia santai kembali menyendok sisa
makanan di piring, tidak mendesak setiap saat. Nanti-nanti juga akan
kujelaskan.
"Seharusnya ini menjadi perjalanan menyenangkan bagi kalian." Ilo
mengembuskan napas, berkata lagi. "Tadi malam aku bangga sekali
memperlihatkan seluruh Kota Tishri kepada kalian. Kota paling besar di
seluruh negeri. Malam ini, aku bahkan tidak tahu apakah kota ini akan
tetap sama dengan sebelumnya atau tenggelam dalam kerusuhan.
Seharusnya ini malam Karnaval Festival Tahunan, acara yang ditunggutunggu dan disaksikan seluruh negeri?bahkan aku mengira kalian
sengaja datang untuk festival itu. Tetapi semua orang justru memilih
berada di rumah, mencari tempat aman."
Vey memegang lengan Ilo. "Setidaknya kita baik-baik saja, Ilo."
285
Ilo menoleh.
"Kita semua berkumpul. Makan malam yang hangat. Semoga besok
ada kabar baik," Vey melanjutkan kalimatnya.
Ilo mengangguk, tersenyum. "Iya, kamu benar. Kita baik-baik saja
dan berkumpul. Lihatlah, kita bahkan punya tiga orang anak baru di
rumah ini, cantik-cantik dan tampan. Dan makan malam spesial ini,
terima kasih telah membuat masakan terlezat di seluruh dunia, eh,
maksudku terlezat di seluruh empat dunia yang ada, Vey."
Vey tertawa. "Dasar gombal."
Aku ikut tertawa menyaksikan Ilo dan Vey bergurau. Aku teringat
Mama dan Papa yang sering saling goda di meja makan.
"Mereka bicara
diterjemahkan.
apa
lagi?"
Ali
menyikutku
lagi,
minta
Dasar si pengganggu suasana. Aku melotot kepada Ali.
286
KU dan Seli membantu Vey membereskan meja setelah makan
malam. Ilo dan Ali beranjak ke depan perapian, duduk di sofa panjang. Ali
sempat menceletuk, "Ternyata tidak ada sofa terbang di rumah ini." Aku
dan Seli yang sedang menyusun piring menahan senyum.
Karena mereka berdua tidak bisa saling mengerti, Ilo dan Ali hanya
duduk-duduk saling diam di sofa. Ilo memberikan buku dan majalah
untuk dilihat-lihat, Ali menerimanya dengan senang hati.
Kami bergabung ke sofa setelah dapur beres. Menyenangkan sekali
mencuci piring di dunia ini, superpraktis dan cepat, hanya disemprot
dengan angin. Piringnya bersih kesat. Tangan sama sekali tidak basah.
Seli mencium telapak tangannya. "Wangi, Ra," dia berbisik padaku.
Aku mengangguk.
Vey bergabung sebentar di sofa, berbicara santai dengan kami,
bertanya tentang apakah masakannya enak, besok kami mau sarapan
apa. Aku menjawab sopan, apa pun yang dimasak Vey pasti enak, jadi apa
saja boleh. Vey tertawa, mengacak rambutku. Kata dia, kecil-kecil aku
sudah pandai menyenangkan orang dewasa. Lima belas menit kemudian,
Vey naik ke lantai dua, istirahat duluan menemani Ou.
"Kalian jangan tidur terlalu larut, biar segar besok pagi." Vey
beranjak ke anak tangga, sambil mengingatkan untuk yang ketiga kali
sejak di sofa panjang. Kami mengangguk.
Aku menatap punggung Vey, teringat Mama yang juga selalu
cerewet soal tidur tepat waktu.
Tinggal berempat di ruang tengah, Ilo beranjak menyalakan televisi,
yang siarannya melulu berisi update berita kejadian sepanjang hari di
kota. Aku dan Seli ikut menonton. Ali meletakkan majalah dan buku
yang sedang dia baca.
287
Dari layar televisi, dengan pembawa acara yang sama sejak tadi
pagi, suasana kota bawah tanah malam ini terlihat lengang, kontras
dengan segala kekacauan tadi siang. Jam malam telah diberlakukan.
Pasukan Bayangan berjaga di banyak tempat, dan mereka diperintahkan
menahan siapa pun yang keluar. Peraturan itu sepertinya efektif
mencegah keributan meluas. Tapi sisa kerusuhan terlihat jelas di manamana. Di bagian tertentu asap tebal masih mengepul, jalanan kotor,
sampah berserakan.
Layar televisi pindah ke laporan situasi kota di atas permukaan,
Rumah Bulan. Sebagian besar dari ribuan bangunan berbentuk balon di
lembah terlihat gelap, penduduknya masih tertahan di kota bawah tanah,
memilih menginap di hotel. Lembah yang sehari sebelumnya indah
dengan warna terang, seolah ada ribuan purnama, malam ini sebaliknya.
Termasuk Tower Sentral, tiang tinggi dengan banyak cabang bangunan
balon itu. Hanya di bagian paling atas yang menyala terang, sepertinya
masih ada kesibukan di atas sana. Kata Ilo, bangunan paling atas itu
adalah markas panglima Pasukan Bayangan. Masuk akal jika masih aktif
hingga larut malam dalam situasi seperti ini.
Kami berempat terdiam saat layar televisi menayangkan situasi
terakhir dari depan gedung Perpustakaan Sentral. Jumlah Pasukan
Bayangan bertambah dua kali lipat. Itu titik terakhir yang belum dikuasai
selama dua belas jam terakhir, konsentrasi baru penyerbuan. Asap hitam
mengepul amat tinggi dan tebal. Separuh sayap kanan gedung itu rontok.
Entah bagaimana nasib jutaan buku di dalamnya.
"Apakah Av baik-baik saja?" aku bertanya.
Ilo mengusap wajah, diam sejenak.
"Jika hingga sekarang gedung perpustakaan belum jatuh, berarti Av
baik-baik saja. Aku tahu sifat Av. Dia akan membuat lawannya
mengerahkan seluruh kekuatan, menghabiskan waktu berjam-jam
sebelum dia meninggalkan perpustakaan. Av tidak akan menyerah hingga
titik usaha terakhir. Saat dia merasa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan,
dia baru pergi dengan cara elegan."
"Pergi dengan cara elegan?"
288
"Aku tidak punya ide bagaimana dia akan melakukannya. Tapi jika
Av benar-benar tersudut, dia tidak akan memanjat menggunakan
lubang kecil di belakang lemari untuk kabur. Dia punya cara lain.
Percayalah, Ra, kakek dari kakek kakekku itu baik-baik saja."
Aku menelan ludah. Sebenarnya aku tidak mengkhawatirkan
tambahan Pasukan Bayangan itu. Jika hingga malam ini mereka tetap
tidak bisa memasuki Bagian Terlarang, itu berarti sistem keamanan dan
segel yang dibuat Av kokoh sekali. Aku khawatir memikirkan
kemungkinan bagaimana kalau Tamus memutuskan mengurus sendiri
masalah ini. Saat kami berbicara di perpustakaan tadi siang, Av terlihat
jeri menyebut nama itu.
Lima menit lagi kami masih menonton televisi yang terus
menyiarkan berita tadi siang. Sesekali disela running text yang
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengumumkan tentang jam malam, limitasi waktu, dan cara bepergian,
juga imbauan agar seluruh penduduk kota tetap tenang dan berada di
rumah masing-masing. Penguasa baru dan Pasukan Bayangan akan
memastikan situasi kota kembali aman. Ilo akhirnya menekan tombol di
pergelangan tangannya, mematikan televisi.
"Setidaknya tidak ada berita tentang pengejaran kapsul kereta
bawah tanah. Itu berarti belum ada yang tahu kalian berada di kota ini."
Ilo beranjak bangkit.
Aku mendongak. "Ilo, kamu mau ke mana?"
"Aku mau istirahat dulu. Mengemudikan kapsul amat menguras
tenaga. Jika kalian memerlukan sesuatu, silakan gunakan apa pun yang
ada di rumah ini, atau ketuk pintu kamar kami. Kalian bebas malam ini.
Meski aku menyarankan kalian sebaiknya segera masuk kamar,
istirahat."
Aku mengangguk.
"Selamat malam, anak-anak."
Ilo melangkah naik tangga, meninggalkan kami bertiga.
289
Api menyala terang di perapian, membuat hangat udara di sofa
panjang.
"Kamu mengantuk, Sel?" aku bertanya pada Seli yang asyik
membuka-buka majalah?melihat gambarnya saja.
Seli menggeleng. "Belum. Kamu?"
Aku menggeleng, juga sama sekali belum mengantuk.
Ali beringsut ke sebelahku, menyerahkan buku tulis dan bolpoin
miliknya.
"Ini apa?" Aku menatap Ali tidak mengerti. Aku kira dia tadi masih
sibuk melihat buku dan majalah dunia ini, ternyata dia sibuk dengan
buku tulis dari ranselnya.
"Ini kamus, Ra. Tepatnya kamus bahasa antardunia."
"Kamus? Buat apa?"
"Aku bosan memintamu menerjemahkan bahasa mereka," Ali
berkata serius. "Jadi, aku memutuskan menulis ratusan kosakata
penting bahasa kita. Sekarang tolong kamu tuliskan di sebelahnya
padanan kata dalam bahasa dunia ini."
"Kamu mau belajar bahasa mereka?"
"Kenapa tidak? Kita tidak tahu akan tersesat berapa lama di dunia
ini, kan? Siapa tahu bertahun-tahun. Aku tidak mau jadi orang tolol
selama bertahun-tahun, menebak arah percakapan." Ali mengangkat
bahu. "Itu baru tiga ratus kata, sisanya sedang kutulis."
Aku masih menatap Ali dan buku tulis yang kupegang.
"Belajar bahasa itu mudah, Ra. Sebenarnya, dalam percakapan
sehari-hari, paling banyak kita hanya menggunakan dua ribu kosakata
paling penting, diulang-ulang hanya itu. Sekali kita menguasainya, kita
bisa terlibat dalam percakapan dan mengembangkan sendiri. Kamu
290
tuliskan kamus bahasa mereka untukku. Ajari aku mengucapkannya.
Sisanya aku akan belajar sendiri, menghafalnya."
Aku menggeleng. Aku tidak mau jadi guru bahasa Ali. Enak saja dia
menyuruh-nyuruh.
"Kalau begitu, kamu memilih untuk menjadi penerjemah resmiku,
Ra. Aku akan terus menyikut lengan, menepuk bahu, memintamu
menerjemahkan setiap kalimat. Tidak sabaran. Bila perlu memaksa. Pilih
mana?" Ali nyengir lebar.
Seli tertawa melihat tampang masamku.
"Aku janji, Ra. Sekali kamu menuliskan kamus untukku, aku akan
berhenti mengganggumu minta diterjemahkan. Bagaimana?" Ali
membujukku.
Aku mengeluarkan suara puh pelan. Baiklah, akan kutuliskan
kamus buat si genius ini. Meski ini aneh. Sejak kapan dia tertarik belajar
bahasa orang lain? Bukankah di sekolah kami, jangankan pelajaran
bahasa Inggris, pelajaran bahasa Indonesia saja wajahnya langsung
kusut.
Setengah jam kemudian aku habiskan untuk menuliskan padanan
kosakata yang dibuat Ali. Seli juga beringsut mendekat. Dia ikut melihat
kamus yang sedang kami kerjakan. Dengan cepat kamus itu menjadi
berhalaman-halaman. Ali terus memberikan halaman berisi dafar
kosakata berikutnya.
Waktu berlalu dengan cepat. Perapian di depan kami menyala
terang. Suara api membakar kayu bakar berkeretak pelan.
Sesekali Seli tertawa membaca kosakata yang diminta Ali. "Buat apa
kamu meminta padanan kata ?buang air besar??"
Ali mengangkat bahu, menjawab pendek, "Itu termasuk kosakata
penting. Aku memerlukannya."
Seli tertawa lagi. "Lantas buat apa padanan kata ?menyebalkan??
Jangan-jangan akan kamu gunakan khusus untuk Ra, ya? Kalau Ra
sedang menyebalkan?"
291
Ali hanya mengangkat bahu, tidak berkomentar.
Aku tidak banyak tanya seperti Seli. Aku memutuskan menuliskan
semua padanan kata yang diminta Ali?seaneh apa pun itu. Prospek
bahwa Ali akan berhenti menyikutku, memaksa minta diterjemahkan
lebih dari cukup untuk memotivasiku melakukannya.
Satu jam berlalu, buku tulis yang digunakan Ali sudah penuh
dengan daftar panjang. Tanganku sampai pegal menulis begitu banyak
kata dalam waktu cepat. Ali juga memintaku mencontohkan bagaimana
mengucapkan kosakata itu dengan tepat. Sebenarnya bahasa dunia ini
tidak rumit. Mereka menyebut huruf sesuai bunyi aslinya. Jadi Ali tidak
perlu repot belajar pengucapan. Tapi sebagai gantinya, Ali memintaku
menuliskan juga kata-kata tersebut dalam huruf dunia ini. "Sekalian,
Ra. Biar aku juga bisa membaca buku-buku di dunia ini."
"Bahkan kamu tidak tahu huruf-huruf dunia ini, kan? Bagaimana
kamu akan mempelajarinya?" Seli bingung sendiri.
Ali hanya menjawab ringan, "Aku akan menghafal bentuk
tulisannya dalam aksara dunia ini satu per satu. Sebenarnya saat kita
membaca buku atau majalah, kita tidak mengeja huruf demi huruf lagi,
kita menghafal bentuk tulisan kata demi katanya. Otak kita dengan cepat
mengenali kata-kata tersebut, merangkainya menjadi kalimat atau
paragraf, sama sekali tidak mengeja."
"Tapi itu tetap saja tidak mudah, kan?" Seli penasaran.
"Memang tidak ada yang bilang mudah, Seli. Tapi aku akan
melakukannya."
Satu jam lagi berlalu tanpa terasa, akhirnya selesai juga. Ali sudah
pindah duduk di sofa satunya, konsentrasi membaca kamus bahasa
antardunia yang berhasil kami ciptakan. Aku menggerak-gerakkan jariku
yang pegal. Seli sedang menambah kayu bakar di perapian, menjaga nyala
api tetap terjaga.
Aku teringat sesuatu, meraih ransel Ali di lantai.
Si genius itu tidak keberatan aku mengaduk ranselnya.
292
"Kamu mencari apa, Ra?" Seli kembali duduk di sofa panjang.
"Buku PR matematikaku." Aku menarik keluar buku itu.
Aku teringat kalimat Av di perpustakaan tadi siang. Mumpung
suasananya sedang santai, mungkin aku bisa mulai membaca buku ini.
Aku membuka-buka buku bersampul kulit dengan gambar bulan sabit
menghadap ke atas itu. Tidak ada tulisannya, buku setebal seratus
halaman itu kosong. Aku mencoba mengusap sampulnya, meniru Av,
tidak terjadi apa pun. Aku berusaha menulisi halaman kosongnya dengan
ujung telunjuk, hanya muncul cahaya tipis di bekas jari telunjukku, lalu
menghilang. Tetap tidak ada sesuatu yang menarik.
"Bagaimana, Ra? Kamu berhasil membacanya?" Seli mendekat,
tertarik.
Aku menggeleng, memperlihatkan halaman kosong.
"Mungkin Ali tahu caranya." Seli menunjuk si genius di sofa
seberang kami.
"Buku itu milik Ra, Sel. Jika dia tidak bisa membacanya, maka
jangankan aku, yang hanya Makhluk Tanah, atau kamu, penyuka
Matahari." Ali berkata pelan, kepalanya masih terbenam di kamusnya.
"Setidaknya kamu bisa memberikan ide bagaimana cara Ra
membacanya, Ali," Seli mendesak.
"Mungkin kalau dibaca sambil jongkok, tulisannya keluar, Sel."
Aku tahu Ali asal menjawab, tapi entah apa yang dipikirkan Seli, dia
percaya begitu saja. "Ayo, Ra, coba dibaca sambil jongkok."
Aku menatap Seli kasihan. Seli itu mudah sekali dijaili si biang
kerok.
Buku PR matematikaku tetap saja teronggok bisu setengah jam
kemudian. Aku sudah membuatnya menghilang dua kali. Buku itu selalu
muncul lagi dalam kondisi yang sama. Aku konsentrasi mengusap
sampul, mengusap halaman dalam, tetap tidak ada yang terjadi. Aku
bosan, menatap sebal buku itu.
293
"Mungkin kamu harus jongkok, Ra," Seli mengingatkan lagi ide itu.
Aku melotot. "Tidak mungkin, Seli."
"Apa susahnya dicoba?" Seli menatapku serius.
Buku ini menyebalkan sekali. Lihatlah, aku akhirnya mengalah,
jongkok di atas sofa panjang, berusaha membaca buku PR
matematikaku. Ali yang sedang tenggelam dengan kamusnya langsung
tertawa, memegangi perut. Jelas sekali dia hanya mengarang.
Wajahku masam, terlipat, hendak melempar Ali dengan sembarang
buku, tapi demi melihat wajah Seli yang kecewa berat di sebelahku, aku
jadi batal marah pada Ali. Sepertinya Seli ingin sekali aku bisa membaca
buku ini, agar kami punya jalan keluar, bisa pulang ke kota kami.
"Maaf, Sel, tidak terjadi apa-apa." Aku mengangkat bahu.
Seli menghela napas perlahan.
Setengah jam lagi berlalu, kali ini aku melakukan apa pun agar
buku itu bisa dibaca?termasuk hal-hal tidak masuk akal seperti
memejamkan mata lantas berseru, "Muncullah!" atau melotot menatap
bukunya, kemudian membaca mantra, "Wahai tulisan yang tersembunyi,
keluarlah. Keluarlah!" Aku dan Seli diam sejenak, menunggu apa yang
akan terjadi, tapi tetap saja lengang, tidak terjadi apa-apa. Kami tertawa?
menertawakan kebodohan kami. Hingga kami mengantuk.
"Kalian duluan." Ali belum mau tidur, masih asyik dengan
kamusnya.
Aku dan Seli menaiki anak tangga.
Nyala api di perapian mulai padam.
294
u membangunkan kami pagi-pagi. Si kecil usia empat tahun itu
semangat mengetuk pintu kamar. Aku yang masih mengantuk membuka
pintu.
"Selamat pagi, Kak." Wajahnya terlihat lucu, masih memakai baju
tidur dan sandal kelinci?setidaknya meski pakaian tidur dunia ini aneh,
tetap terlihat menggemaskan.
"Boleh Ou masuk, Kak?" Mata Ou bekerjap-kerjap.
Aku tertawa, mengangguk.
"Ada siapa, Ra?" Seli membuka sebelah matanya, keluar dari balik
selimut.
"Ou," jawabku. "Bangun, Sel, sudah siang."
"Kakak semalam datang jam berapa? Keretanya mogok kan, ya?
Dan ramai sekali orang-orang." Ou asyik mengajakku berbicara, duduk
di atas kasur. Anak kecil seusia dia sepertinya mudah akrab dengan kami,
tanpa merasa takut meski baru bertemu beberapa hari.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seli meladeni Ou "mengobrol"?mata menyipit Seli langsung terang.
Aku
membuka
tirai
jendela,
mengetuk
pintu
penghubung,
membangunkan Ali. Tidak ada jawaban, sepertinya Ali tidur larut sekali
tadi malam, masih tidur nyenyak.
Tidak banyak yang bisa kami lakukan sepanjang hari di rumah
peristirahatan Ilo, karena secara teknis kami sedang bersembunyi,
menghindari semua kekacauan di seluruh kota. Pagi itu, aku dan Seli
membantu Vey menyiapkan sarapan, turun ke dapur bersama Ou. Aku
jadi tahu kenapa masakan Vey terlihat aneh. Sebenarnya bahanbahannya sama, wortel, gandum, telur, dan sebagainya, tidak ada yang
berbeda dengan masakan Mama. Tapi di dunia ini, semua masakan
diblender, lantas diberikan pewarna alami gelap.
295
Ou duduk di meja makan, terus bertanya banyak hal kepada kami.
Seli sepertinya akrab dengan anak-anak. Sesekali percakapan Ou dan
Seli lucu, membuat dapur dipenuhi tawa. Masakan siap setengah jam
kemudian. "Kita langsung sarapan, tidak usah mandi dulu, Ra. Kita
sedang liburan, tidak apa sedikit malas-malasan." Vey tersenyum. "Hari
ini semua orang bebas bersantai. Ou, tolong bangunkan Kak Ali di atas."
Ali tidak ada di kamarnya. Ou berlari menuruni anak tangga,
melapor. Kami jadi bingung, tapi syukurlah, Ali mudah ditemukan. Si
genius itu ternyata tertidur di sofa panjang, dengan buku-buku
berserakan di sekitarnya. Dia dibangunkan Ilo, dan bergabung ke meja
makan dengan langkah gontai, mata menyipit, rambut berantakan.
"Kamu sepertinya tidur larut sekali tadi malam. Jam berapa?" Ilo
bertanya kepada Ali.
"Tidak tahu persis aku, entahlah, tengah malam lewat mungkin,"
Ali menjawab sambil mengucek-ucek mata.
Astaga. Bahkan Vey yang sedang mengangkat masakan dari wajan
ikut kaget. Kami semua menatap Ali, terkejut. Si genius itu menjawab
pertanyaan Ilo dengan bahasa dunia ini. Susunan katanya masih
berantakan, tapi itu lebih dari cukup untuk dipahami.
"Sejak kapan kamu bisa bahasa dunia ini?" Ilo menatap Ali, tertawa
lebar.
"Sejak bangun tidur, kurasa, barusan, entahlah." Ali menguap
lebar, duduk malas di bangku.
Aku menatap wajah kusut Ali, ikut tertawa. Meski menyebalkan,
jail, dan kadar sok tahunya tinggi sekali, harus diakui Ali memang pintar.
Entah bagaimana caranya, dia berhasil memaksa menghafal ribuan kata
tadi malam.
Kami segera sarapan. Meja makan ramai oleh suara sendok dan
piring.
296
Setelah sarapan, Ilo mengajak kami berjalan-jalan di pantai.
Tawaran yang menyenangkan. Ou bahkan bersorak kegirangan, meloncat
dari bangku.
"Sejak tiba di sini kemarin sore Ou sudah memaksa ingin bermain
di pantai." Vey tertawa.
Ou berlari menuruni anak tangga rumah peristirahatan. Aku dan
yang lain menyusul. Kaki kami langsung menyentuh pasir pantai yang
halus. Matahari sudah beranjak naik. Cahayanya menerpa wajah. Pantai
yang indah. Serombongan burung camar terbang di atas kepala,
melengking merdu seolah menyambut kami. Ou menunjuk-nunjuk
dengan riang. Angin laut menerpa wajah, membuat anak rambut tersibak.
Pelepah daun kelapa melambai pelan.
Kami segera bermain di pantai, duduk-duduk di bawah kanopi
lebar. Bosan, Ou mengajak aku dan Seli berlarian, mengejar dan dikejar
ombak. Kami tertawa riang, saling menciprati air, berlarian lagi.
Setengah jam berlalu tanpa terasa, Ilo dan Vey terlihat sibuk
mengangkut alat masak ke dekat kanopi, seperti perapian untuk
membakar makanan. Mungkin kami akan membakar jagung?dan aku
tidak tahu akan seberapa besar jagungnya. Ou sudah asyik mengajak Seli
bermain pasir basah, membuat istana dan bangunan pasir lainnya. Ali
hanya duduk di kursi bawah kanopi, membawa buku dan majalah,
kembali tenggelam dengan kamus bahasa antardunia miliknya.
Kami tidak berbeda dengan orang-orang lain yang sedang berlibur di
pantai. Yang sedikit membuatnya berbeda adalah ketika Seli mengambil
ember plastik?peralatan membuat istana pasir?dari jarak jauh. Seli
mengacungkan tangannya, ember plastik yang berada di dekat kanopi itu
terbang sejauh tiga meter, mendarat mulus di tangan Seli. Demi melihat
itu, Ou berseru kaget, menutup mulutnya, sedikit takut, tapi hanya
sebentar. Kemudian dia berseru-seru minta diperlihatkan lagi. Seli
tertawa, mengangguk.
Lima menit kemudian, Seli telah memindahkan banyak benda,
mulai dari topi, sekop, kerang, kepiting, pelepah kelapa, buah kelapa yang
jatuh, apa saja yang diminta Ou.
297
Aku jadi punya ide menarik. Lalu aku berbisik kepada Seli, sambil
menahan tawa.
Seli tertawa duluan, mengangguk, lalu menatap ke arah kanopi.
"Apa yang akan Kakak lakukan?" Ou bertanya.
"Ssstt," aku menyuruh Ou diam dulu.
Tangan Seli teracung ke salah satu bangku, konsentrasi.
Tiba-tiba Ali terperanjat, berseru marah-marah, majalah dan buku
berjatuhan. Kami tertawa. Ou bahkan terpingkal-pingkal sambil
memegangi perut.
"Apa yang kalian lakukan?" Ali berteriak sebal, berpegangan panik
ke pinggiran bangku yang mendadak naik satu meter, hampir menyentuh
atap kanopi.
"Turunkan aku, Seli! Cepat!" Ali melotot.
Seli mengalah, menurunkan lagi kursi Ali. Dan si genius itu
mendatangi kami, mengomel panjang lebar. Bilang kami telah
mengganggu dia mempelajari bahasa dunia ini.
"Kamu kan pernah memasang kamera di kamarku, Ali. Jadi tidak
perlu juga marah berlebihan," aku berkata ringan, merasa tidak
bersalah?meniru gaya Ali.
Ali kembali ke kanopi sambil bersungut-sungut.
"Kamu menggunakan sarung tangannya, Sel?" aku berbisik, setelah
si genius itu pergi.
Seli menggeleng.
"Bagaimana kamu melakukannya tanpa sarung tangan? Bukankah
kamu bilang selama ini hanya bisa menggerakkan benda-benda kecil?"
"Entahlah, Ra. Sepertinya kekuatannya terus berkembang."
Seli memperhatikan telapak tangannya.
298
Aku belum menyadarinya, tapi aktivitas kami di pantai justru
menjadi latihan efektif yang membuat kekuatan Seli mengalami kemajuan
pesat.
Bosan membuat istana pasir, Ou mengajak kami ke kapsul kereta
yang tertambat di dermaga kayu. Kami lagi-lagi menghabiskan waktu
lama di dalam kapsul. Semua anak kecil sepertinya menyukai gerbong
kereta, maka Ou lebih senang lagi. Dia punya satu gerbong di halaman
rumahnya. Ou mengajak kami bermain kapsul kereta, berpura-pura
menuju ke suatu tempat. Dia naik ke atas kemudi manual, berseru-seru
riang.
Saat Ou terlihat
menawarkan sesuatu.
mulai
bosan,
turun
ke
pasir
lagi,
aku
"Kamu ingin kelapa muda, Ou?"
Ou berseru, "Mau! Mau, Kak."
Aku tertawa, mengajaknya ke salah satu pohon kelapa tinggi.
"Kakak pintar memanjat pohon?" Ou menyelidik.
"Kakak tidak akan memanjatnya."
"Atau Kakak bisa menggerakkan benda dari jauh juga?" cecar Ou.
"Kamu lihat saja
menyingkir jauh-jauh.
ya."
Aku
tersenyum
kecil,
menyuruh
Ou
Ou dan Seli berdiri jauh di belakangku.
Sejak tadi aku ingin mencoba menggunakan kekuatan tanganku,
maka dengan ditonton Ou dan Seli, aku berkonsentrasi. Tanganku
dengan cepat dialiri angin kencang, memukul ke atas, ke tandan buah
kelapa. Itu pukulan yang kuat. Suara dentuman yang keluar membuat Ilo
dan Vey yang ada di rumah berlari keluar. Burung camar beterbangan
panik di sekitar kami, menjauh.
Aku terduduk di pasir.
299
Ou memeluk Seli. Dia kaget, wajahnya pucat, tapi tetap
memberanikan diri mengintip, melihat buah kelapa muda berjatuhan,
berserakan di sekitar kami.
"Ada apa, Ra?" Ilo bertanya, cemas dan tersengal.
"Kami baik-baik saja, Ilo." Aku berdiri, menepuk pakaianku yang
terkena pasir. "Aku hanya mencoba memukul sesuatu, menunjukkannya
ke Ou, tapi ternyata kencang sekali. Maaf telah membuat kaget semua."
Ilo mengembuskan napas lega. Dia mengira ada Pasukan Bayangan
yang datang.
"Buah kelapanya banyak sekali, Kak." Ou mendekat, melihat buah
kelapa yang jatuh.
Ilo tertawa, mendongak, hampir seluruh buah kelapa jatuh.
"Ayo, anak-anak, berhenti sebentar main-mainnya. Kita berkumpul
di kanopi," dengan wajah masih cemas, Vey berseru.
"Kamu menggunakan sarung tangan, Ra?" Seli bertanya. Kami
melangkah ke bangku-bangku di bawah kanopi sambil membawa
beberapa kelapa muda.
Aku menggeleng. Jika aku memakainya, pukulanku akan lebih
kencang lagi.
Matahari semakin tinggi. Kami tidak membakar jagung, melainkan
ubi-ubian. Bentuknya seperti singkong, dalam versi dua kali lipatnya,
sudah dicuci bersih, tinggal dibakar. Kami segera asyik menyiapkan ubi
masing-masing. Aroma ubi bakar berhasil membuat Ali meninggalkan
kamus dan buku-buku yang dia baca.
Sepanjang hari tidak banyak yang kami lakukan. Makan siang,
minum air kelapa muda, terasa segar, bermain di pantai, makan lagi,
minum lagi.
Belum ada kabar dari Ily. "Dia tidak akan leluasa menghubungi
siapa pun. Itu bisa mengundang kecurigaan. Ily baik-baik saja." Itu
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendapat Ilo, dan itu masuk akal. Juga kabar dari gedung perpustakaan,
300
masih dikepung Pasukan Bayangan. Itu berarti sudah dua puluh empat
jam lebih Av bertahan.
Ou sempat berlari-lari ke pinggir pantai. Dia melihat sesuatu di
kejauhan, berseru riang. Aku kira itu kapal laut atau kapal selam milik
Pasukan Bayangan, ternyata bukan. Itu ikan paus yang muncul di
permukaan, besar sekali. Paus itu menyemburkan air ke udara,
membuat semburan yang tinggi. Ou bertepuk tangan melihatnya.
Setelah puas menyaksikan ikan paus, Ou disuruh Vey tidur siang,
dan si kecil itu mengangguk. Ilo juga kembali ke rumah peristirahatan,
membiarkan kami bertiga di pantai. "Kalian bebas. Tidak ada yang perlu
dicemaskan sepanjang kalian tetap berada di dalam pagar."
Duduk-duduk di bawah kanopi, Ali sempat menyerahkan lagi buku
tulisnya. Dia punya daftar kosakata baru yang disalinnya dari buku dan
majalah. Aku tidak banyak protes, membantu membuat padanan kata.
Dengan kemajuan Ali sudah bicara dengan Ilo dan Vey sepanjang hari,
akan banyak manfaatnya kalau Ali segera menguasai bahasa dunia ini.
"Ali, bagaimana kamu bisa menghafal semua kosakata ini dengan
cepat?" Seli bertanya.
Ali santai menunjuk kepalanya.
Aku menahan senyum. Aku tahu maksudnya. Dia memang punya
otak brilian. Tapi sebelum si genius itu membanggakan kemampuan
otaknya, aku memutuskan menceletuk. "Maksudmu, dengan ketombe di
kepalamu?"
Aku menatap rambut berantakan Ali yang sering ketombean di
kelas.
Si genius itu membalas, "Setidaknya aku tidak jerawatan, Ra.
Besar. Di jidat pula."
Seli tertawa, teringat kejadian beberapa hari lalu di sekolah saat
dahiku ditumbuhi jerawat batu besar. Ali memang selalu menyebalkan.
***
301
Sorenya, aku dan Seli melatih kekuatan.
Kemajuan Seli pesat. Aku menatap takjub ketika dia berhasil
mengangkat butiran pasir. Tidak banyak, paling hanya segenggaman
tangan. Butir pasir itu bergerak naik, lantas mengambang. Seli
membuatnya bergerak, berpilin, menyebar, menyatu, seperti angin puyuh
kecil yang bergerak lentur. Ali yang sedang membaca kosakata baru yang
kutuliskan berhenti sejenak, menatap tertegun dari kursi bawah kanopi.
"Ini keren, Sel," aku berseru.
Seli tersenyum, menurunkan tangannya, jutaan butir pasir itu pun
luruh ke bawah.
Aku juga berlatih, meski tidak leluasa melatih pukulanku, karena
pasti mengeluarkan suara berdentum?dan mengganggu tidur siang Ou.
Jadi aku memilih berlatih trik yang dilakukan Miss Selena dan Tamus
sewaktu bertarung di aula sekolah. Lompat, menghilang, kemudian
muncul lagi. Tetapi kemajuanku tidak sebaik Seli. Aku memang bisa
melompat jauh, bergerak cepat, juga terdengar suara seperti gelembung
air meletus pelan, tetapi tubuhku tidak menghilang. Seli berkali-kali
berseru memberitahu. "Aku masih melihatmu, Ra!" Hingga aku kelelahan
bergerak ke mana-mana, menyeka keringat di leher. Mungkin aku tidak
cukup berkonsentrasi, atau trik ini harus diajarkan oleh orang lain yang
lebih dulu menguasainya.
Matahari mulai tenggelam di kaki barat.
Kami menghentikan semua aktivitas di pantai, asyik menatap garis
langit. Untuk kedua kalinya kami menyimak sunset di dunia ini, menatap
matahari perlahan-lahan tenggelam. Sama indahnya seperti kemarin sore.
302
AKAN malam yang menyenangkan.
Kami menghabiskan makanan di atas piring sambil bercakap-cakap
ringan. Ou berceloteh tentang ikan paus yang dilihatnya tadi siang,
bercerita kepada Seli?yang sebenarnya tidak mengerti sama sekali apa
maksudnya. Seli hanya mengangguk pura-pura mengerti agar Ou senang,
menebak-nebak, lantas menjawab asal. Kami tertawa, karena sejak tadi
Seli menyangka Ou bercerita tentang kapsul kereta.
Sementara Vey semangat bertanya padaku tentang masakan apa
yang biasa tersaji di meja makan di dunia kami, aku berusaha
menjelaskan nama dan bagaimana Mama memasak salah satu masakan
tersebut.
Vey memotong ceritaku, berseru tidak percaya. "Buburnya berwarna
putih? Aku belum pernah membuat masakan berwarna putih, Ra." Aku
tertawa, meyakinkan Vey bahwa warnanya memang putih. Vey
menatapku antusias. "Itu mungkin menarik dicoba." Aku tersenyum
melihat ekspresi wajah Vey. Dia pasti akan lebih histeris lagi kalau tahu
ada masakan berwarna-warni cerah di kota kami.
Di sisi lain meja, Ali telah terlibat percakapan serius dengan Ilo,
tentang apa itu Pasukan Bayangan?dan dia melakukannya dengan
bahasa dunia ini. Kemajuan bahasa Ali menakjubkan, mengingat itu
topik yang berat, tapi dia bisa menangkap dengan baik kalimat Ilo. Kami
jadi diam sejenak, memperhatikan Ilo dan Ali.
"Ada berapa jumlah Pasukan Bayangan sekarang?" Ali bertanya.
"Dulu jumlah mereka ratusan ribu. Sekarang hanya separuhnya.
Berkurang drastis. Sejak Komite Kota berkuasa, militer bukan lagi
prioritas utama kami. Seperti yang dikatakan Av, negeri ini aman, tidak
ada yang memiliki ambisi berkuasa dan perang. Jadi buat apa memiliki
pasukan militer banyak?"
303
"Apakah seluruh anggota Pasukan Bayangan memiliki kekuatan?"
"Mayoritas tidak. Mereka hanya pemuda biasa yang direkrut. Tapi
Pasukan Bayangan adalah sisa pasukan kerajaan. Anak-anak muda itu
dilatih agar memiliki kemampuan bertarung di atas rata-rata.
"Setahuku, yang memiliki kekuatan hanya pemimpin Pasukan
Bayangan. Dikenal dengan istilah ?Panglima?. Ada delapan panglima,
sesuai mata angin, Panglima Utara, Panglima Selatan, dan seterusnya.
Yang paling kuat adalah Panglima Barat dan Panglima Timur, mereka
memimpin separuh lebih Pasukan Bayangan. Dari kabar yang selama ini
beredar, masing-masing panglima memiliki kekuatan berbeda. Tapi posisi
mereka setara, membentuk Dewan Militer, diketuai secara bergiliran, dan
dewan itu setara dengan Komite Kota.
"Sudah menjadi pengetahuan seluruh penduduk bahwa Dewan
Militer cenderung berseberangan dengan Komite Kota. Mereka lebih
menginginkan para pemilik kekuatan yang berkuasa, seperti pada era
kerajaan. Sayangnya aku tidak tahu lebih detail. Aku hanya mendesain
seragam mereka. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan satu pun
dari delapan panglima."
"Bagaimana dengan akademi? Apakah itu sekolah khusus?" Ali
sudah berganti topik. Dia persis seperti spons, terus menyerap informasi
di sekitarnya, belajar dengan cepat.
"Iya, kamu benar. Itu sekolah berasrama dengan izin otoritas tinggi.
Ada tiga puluh dua akademi di seluruh negeri, dan seluruh pemimpin
akademi juga merupakan para pemilik kekuatan?meskipun sebagian
besar guru dan muridnya tidak. Tapi berbeda dengan Pasukan Bayangan,
pemimpin akademi adalah orang-orang seperti Av. Kekuatan mereka
berbeda dan digunakan dengan cara berbeda pula. Mereka mencintai
pengetahuan dan kebijaksanaan. Aku tidak tahu kenapa sebagian besar
akademi menyatakan kesetiaan kepada penguasa baru. Itu membuat
peta politik jadi berbeda"
"Kita tidak akan membahas soal ini saat makan malam kan, Ilo?"
Vey memotong kalimat Ilo. Dia tersenyum menunjuk Ou lewat tatapan
mata. "Mari kita bahas hal lain saja, yang lebih asyik dibicarakan."
304
Ilo mengangguk. Dia mengerti kode Vey. Tidak baik membicarakan
kekacauan kota di depan Ou yang masih kecil.
Aku mengembuskan napas kecewa. Aku sebenarnya masih ingin
mendengarkan penjelasan Ilo. Sepertinya menarik tentang akademi tadi.
"Oh ya, Ra, kamu bisa melanjutkan menjelaskan tentang bubur
berwarna putih tadi?" Terlambat, Vey sudah memilih topik percakapan
kesukaannya.
Tidak ada lagi yang bicara tentang Pasukan Bayangan, akademi,
dan kekacauan kota hingga kami menghabiskan makanan di atas piring.
Selepas makan malam, setelah membantu Vey membereskan meja
makan, kami pindah duduk di sofa panjang. Nyala api di perapian terasa
hangat. Ou sekarang semangat berceloteh tentang sekolahnya, tentang
guru-gurunya.
Seli kembali mendengarkan dengan sungguh-sungguh, berusaha
memahami kalimat Ou. Mereka berdua terlihat akrab sejak tadi pagi. Aku
sampai berpikir, kalau kami akhirnya bisa pulang ke kota kami, janganjangan Seli akan mengajak Ou ikut.
"Kamu sepertinya harus belajar bahasa dunia ini sepeti Ali, Sel,"
aku berbisik.
"Ini juga lagi belajar," Seli balas berbisik, fokus mendengarkan Ou.
Tetapi kemampuan belajar bahasa Seli lambat. Lagi-lagi dia keliru.
Dia mengira Ou sedang bercerita tentang ikan paus. Aku tertawa
mendengar percakapan mereka yang berbeda bahasa.
"Ra, apa yang biasanya kamu lakukan malam-malam seperti ini di
rumah?" Vey yang duduk di sebelahku bertanya.
"Eh, kadang mengerjakan PR. Kadang membaca novel."
Vey manggut-manggut. "Itu tidak berbeda jauh dengan anak-anak
kota ini."
305
Ali di sofa kecil tenggelam dengan kamusnya. Sementara Ilo
menonton televisi dengan volume rendah, yang masih dipenuhi berita
sama sepanjang hari. Kerusuhan kembali meletus di banyak tempat.
Banyak penduduk yang menuntut penjelasan apa yang sedang terjadi di
Tower Sentral. Tidak ada kabar soal Komite Kota, juga tidak ada
pengumuman siapa yang akan berkuasa. Semua menebak-nebak apa
yang akan terjadi berikutnya.
Setelah bercerita lama, Ou terlihat mengantuk, menguap lebar. Vey
menawarinya tidur, masuk kamar. Ou mengangguk, bilang kepada Ilo
bahwa dia ingin dibacakan buku cerita.
Ilo mengangguk, beranjak berdiri. "Kami naik duluan, anak-anak."
"Jangan tidur terlalu larut, Ra, Seli," Vey mengingatkan. "Dan Ali,
kamu jangan sampai tertidur di sofa panjang. Ruang tengah dingin sekali
kalau perapiannya sudah padam."
Aku, Seli, dan Ali mengangguk.
"Ayo, Ou, bilang selamat malam kepada kakak-kakak."
Si kecil itu mengucapkan selamat malam?dia memeluk Seli erat.
Lantas mengikuti langkah kaki Ilo dan Vey menaiki anak tangga.
"Anak itu lucu sekali, ya," Seli berbisik, mendongak, melambaikan
tangan.
Aku setuju, Ou memang menggemaskan.
"Ily mungkin sama tampannya seperti dia lho, Sel," aku berkata
pelan.
"Maksudmu?" Seli menatapku.
"Ya tidak ada maksud apa-apa." Aku menahan tawa. "Siapa tahu Ily
masuk kategori gwi yeo wun, kan? Di dinding kapsul kemarin saja, meski
putus-putus gambarnya sudah terlihat bakat gwi yeo wun-nya."
"Maksudmu apa sih, Ra?" Seli melotot.
306
Aku tertawa. Seli tidak asyik diajak bercanda?padahal dia paling
suka menggodaku.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
***
Suara api membakar kayu di perapian terus berkeretak.
Ruang tengah menyisakan suara televisi?Ilo meninggalkan remote
control di atas meja. Aku dan Seli menonton, Ali kembali asyik dengan
kamus dan majalah.
Bosan menonton liputan berita yang lebih banyak diselingi running
text berukuran besar, himbauan agar penduduk tetap tenang, tinggal di
rumah masing-masing, aku beranjak meraih tas ransel Ali, mengeluarkan
buku PR matematikaku.
Seli beranjak mendekat.
Harus kuapakan lagi buku ini agar bisa dibaca?
Aku menyandarkan punggung di sofa, menimang-nimang buku
bersampul kulit itu. Kalau saja Miss Selena ada di sini, mungkin dia bisa
membantu banyak. Miss Selena sendiri yang mengantarkan buku ini
kepadaku, jadi seharusnya dia tahu persis ini buku apa, meskipun dia
memberikannya dengan tergesa-gesa, seolah takut ada yang tahu, dan
meninggalkan pesan samar.
Aku menghela napas pelan. Apa kabar Miss Selena? Apakah dia
selamat dari pertarungan di aula sekolah? Atau berhasil kabur?
Bukankah kata Av, tidak ada yang pernah lolos dari serangan Tamus?
"Kamu punya ide baru untuk membacanya, Ra?" Seli bertanya.
Aku menggeleng, tidak ada ide sama sekali.
"Cepat atau lambat, kamu pasti bisa membacanya. Aku percaya
itu."
Aku tersenyum. "Terima kasih, Sel."
307
Aku tahu, Seli juga berkepentingan agar aku bisa membaca buku
ini, tapi kalimat Seli barusan lurus. Dia tulus membesarkan hatiku,
tanpa maksud lain. Seli teman yang baik.
"Kira-kira apa yang terjadi dengan sekolah kita ya?" Seli bergumam
pelan.
"Mungkin diliburkan, Sel. Gedungnya rusak parah, kan?"
Seli terdiam sebentar. "Semoga begitu. Setidaknya kalau memang
libur, kita tidak terlalu ketinggalan pelajaran saat pulang nanti."
Aku nyengir lebar. Itu sudut pandang yang menarik.
Aku masih menimang-nimang buku PR matematikaku.
"Kira-kira apa yang sedang dikerjakan orangtua kita saat ini, Ra?
Sudah dua hari lebih kita tidak pulang." Seli ikut menyandarkan
punggung di sofa.
"Mamaku mungkin sudah memasang iklan di televisi," aku mencoba
bergurau.
Seli menoleh, tertawa. "Iya, lewat tantemu yang bekerja di stasiun
televisi itu, kan?"
Kami berdua tertawa kecil.
Aku sebenarnya memikirkan hal lain. Bukan hanya cemas soal
sekolah, tapi juga cemas apa yang akan dilakukan Mama dan Papa saat
ini di kota kami. Aku tahu mereka pasti kurang tidur, terus berjaga
menunggu kabar baik. Tapi aku lebih mencemaskan jika kami berhasil
pulang, bagaimana aku akan bertanya tentang statusku? Apakah aku
berani langsung bilang ke Mama dan Papa? Bertanya apakah aku
sungguhan anak mereka atau bukan? Bahkan Mama mungkin histeris
atau pingsan duluan sebelum aku selesai bertanya.
"Ra, tolong besarkan volumenya," Ali berseru.
308
Aku menoleh. "Volume apa?"
Ali menunjuk layar televisi.
Aku menatap ke depan. Ada breaking news, pembawa acara muncul
di layar kaca.
"Penduduk Kota Tishri, kami melaporkan langsung dari lokasi
gedung Perpustakaan Sentral. Situasi terkini dalam breaking news."
Ali berdiri di sebelahku agar bisa menyaksikan berita lebih baik.
Layar televisi kini menampilkan gedung perpustakaan. Asap tebal
membubung tinggi, sayap kanan gedung terlihat runtuh. Tapi tidak
terdengar lagi suara dentuman, teriakan, ataupun suara pertempuran.
Orang-orang berseragam gelap justru terlihat berseru-seru riang.
"Beberapa menit lalu Panglima Barat mengonfirmasi bahwa mereka
berhasil menguasai titik terakhir resistensi terhadap penguasa baru.
Gedung perpustakaan telah jatuh ke tangan mereka. Seperti yang bisa
kita saksikan, ribuan anggota Pasukan Bayangan bersorak-sorai atas
kemenangan ini, setelah hampir 36 jam mengepung gedung tanpa henti."
Aku dan Seli menahan napas menatap berita.
"Sebagian besar gedung rusak parah, dan entah bagaimana nasib
jutaan buku dan catatan yang ada di dalamnya. Ini sebenarnya situasi
yang menyedihkan di antara sorak-sorai kemenangan. Kota ini boleh jadi
kehilangan koleksi terbaik dan terbesar di Perpustakaan Sentral."
Layar kaca menunjukkan serakan buku-buku di lantai.
"Panglima Barat dan pasukannya saat ini sedang menyisir seluruh
gedung, memastikan tidak ada lagi sistem keamanan dan segel yang aktif.
Mereka akan menjadikan perpustakaan sebagai markas sementara
Pasukan Bayangan. Dengan demikian, hingga batas yang belum
ditentukan, Perpustakaan Sentral tertutup bagi pengunjung."
"Bagaimana dengan Av?" Seli berbisik tertahan.
309
Aku mematung, tidak mendengarkan pertanyaan Seli. Ini kabar
buruk. Aku pikir perpustakaan tidak akan jatuh, Av bisa bertahan lama
hingga situasi menjadi jelas. Apakah Tamus mengurus sendiri masalah
ini, hingga Bagian Terlarang akhirnya jatuh? Aku mengeluh, sosok tinggi
kurus itu tidak pernah terlihat di liputan berita mana pun dua hari
terakhir. Sosoknya misterius bagi banyak orang. Hanya orang tertentu
yang tahu dia ada di belakang layar.
Layar televisi masih menyorot dari dekat kondisi gedung
perpustakaan. Belasan lampu kristal besar yang tergantung di ruang
depan berserakan di lantai. Dinding ruangan itu hancur lebur, buku-buku
berhamburan. Puluhan anggota Pasukan Bayangan berjaga-jaga di setiap
sudut. Tidak ada lagi sisa ruangan megah yang pernah kulewati kemarin
pagi.
"Bagaimana dengan Av?" Seli bertanya dengan suara lebih keras.
"Entahlah, Sel." Aku menggeleng.
"Bagaimana kalau dia kenapa-napa?"
Aku tidak tahu. Situasi ini semakin kacau.
Setelah dua hari lalu Miss Selena tidak ada kabarnya, sekarang
bertambah dengan Av?orang yang bisa kami percaya, dan kemungkinan
bisa membantu kami jika situasi kembali normal.
Saat itulah, ketika kami masih menatap layar kaca, api di perapian
mendadak menyala lebih terang, seperti ada yang menyiramkan minyak
ke dalamnya. Lidah api menyambar-nyambar tinggi hingga ke luar
perapian. Aku dan Seli menoleh kaget, refleks melangkah mundur. Ali ikut
menatap perapian sambil lompat ke samping, menghindar.
Sebelum kami mengetahui apa yang terjadi, dari dalam kobaran api
keluar seseorang yang amat kukenal, dengan pakaian abu-abu, rambut
memutih. Dia susah payah merangkak keluar dari perapian, seperti
membawa sesuatu yang berat.
"Av!!" aku dan Seli berseru tertahan.
310
Bagaimana Av bisa ada di perapian? Apakah dia terbakar? Aku dan
Seli bergegas mendekat, segera menjauh lagi karena takut dengan nyala
api. Ali segera menyambar bantal atau pemukul atau entahlah untuk
memadamkan api yang berkobar tinggi.
Tetapi Av tidak mengaduh kesakitan. Wajahnya memang meringis
menahan sakit, tapi bukan karena nyala api. Dia terus berusaha keluar
dari perapian, sambil menyeret sesuatu.
"Bantu aku, anak-anak!" Av berseru.
"Bantu apanya?" Aku bingung.
"Bantu aku mengeluarkan sesuatu." Napas Av tersengal-sengal. "Api
ini tidak panas. Kalian bisa memasuki perapian dengan aman."
Aku ragu-ragu melangkah, lalu berhenti. Sejak kapan api tidak
panas? Tapi sepertinya Av serius, api yang menyala di perapian bahkan
tidak membakar pakaian Av. Bagaimana ini? Seli juga ragu-ragu
mendekat. Ngeri melihat gemeretuk api?padahal dia bisa mengeluarkan
petir.
Ali akhirnya memberanikan diri mendekat. Dia melemparkan
pemukul di lantai, melangkah ke perapian yang berkobar. Av susah payah
menarik keluar tubuh seseorang dari dalam perapian. Ali membantu,
tangannya ikut masuk ke dalam nyala api. Seli menutup mulut, hendak
menjerit, tapi Ali baik-baik saja.
Aku akhirnya memberanikan diri ikut membantu. Bertiga kami
menyeret keluar seseorang. Entahlah siapa orang ini, kondisinya
mengenaskan, penuh lebam terkena pukulan. Ada darah kering di ujung
mulut, pakaian gelapnya robek di banyak tempat. Dia sepertinya habis
bertarung mati-matian. Kami membaringkannya di lantai dekat sofa
panjang.
Av kembali ke perapian, masih sibuk menyeret benda lain, dibantu
Ali. Dia mengangkut keluar beberapa kotak hitam, gulungan kertas
besar, buku-buku kusam, juga beberapa kantong kecil berisi sesuatu. Av
meletakkannya di atas meja.
311
Nyala api di perapian mengecil, lantas kembali normal seperti sedia
kala. Av duduk menjeplak di atas lantai, napasnya menderu, terlihat
lelah. Pakaian abu-abunya kotor oleh debu, bahkan robek di kaki dan
dada. Rambut putihnya berantakan. Wajahnya penuh bercak hitam.
Buruk sekali kondisinya. Tongkatnya tergeletak di dekat kaki.
"Ada apa, anak-anak?" Terdengar suara Ilo dari atas. Dia pasti
mendengar keributan di ruang tengah sehingga keluar dari kamarnya.
Demi melihat Av duduk di lantai, Ilo bergegas menuruni anak tangga.
"Kamu datang dari mana, Av?" Ilo berseru, menatap tidak percaya.
"Jangan banyak bertanya dulu." Av mengangkat tangannya,
menggeleng. "Ada hal penting yang harus kulakukan sekarang."
Ilo terdiam?sama seperti kami yang sejak tadi hanya bisa diam.
Av menghela napas, beranjak mendekati orang yang terbaring di
lantai.
Orang yang terbaring di lantai mengenakan seragam gelap, sama
seperti Pasukan Bayangan, bahkan pakaiannya jauh lebih baik, dipenuhi
simbol-simbol yang tidak kupahami. Aku menelan ludah, orang ini pasti
anggota Pasukan Bayangan.
Av duduk di samping orang tersebut, memejamkan mata,
berkonsentrasi penuh, lantas tangan Av menyentuh leher orang itu. Meski
samar, di antara sinar lampu dan nyala perapian, aku bisa melihat ada
cahaya putih lembut keluar dari tangan Av, merambat ke perut, ke
kepala, menyelimuti seluruh tubuh orang yang terbaring entah hidup atau
mati.
Kami semua diam, menyisakan suara gemeretuk nyala api di
perapian.
Satu menit yang terasa panjang, cahaya putih itu semakin terang,
lantas perlahan-lahan memudar. Av melepaskan tangannya. Menghela
napas perlahan. "Hampir saja. Hampir saja aku kehilangan dia." Av
mengembuskan napas lega.
312
Aku sepertinya tahu apa yang baru saja dilakukan Av. Dia pernah
menyentuh lenganku, lantas ada aliran hangat yang membuatku lebih
fokus dan tenang. Av pernah bilang dia memiliki kekuatan yang berbeda
dibandingkan Tamus. Dia bukan petarung. Sepertinya selain membuat
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sistem keamanan dan segel, salah satu kekuatan Av adalah bisa
menyembuhkan.
"Kamu datang dari mana, Av?" Ilo kembali bertanya?tidak sabaran.
"Aku datang dari sana." Av menunjuk perapian.
"Perapian?" Ilo tidak mengerti.
"Itulah kenapa aku bilang jangan bertanya dulu, Ilo." Av menghela
napas. "Aku lelah habis-habisan. Menahan Pasukan Bayangan selama
satu hari lebih tidak mudah bagi orang setua aku. Setidaknya biarkan
aku menghela napas sebentar."
"Tapi... perapian? Bagaimana kamu bisa lewat perapian?" Ilo jelas
lebih keras kepala dibanding Ali jika sudah penasaran. Dia tetap bertanya.
Av tertawa pelan?lebih terdengar jengkel. "Baiklah. Sepertinya
kamu tidak akan berhenti mendesakku sebelum kujelaskan. Itu trik
sederhana Klan Matahari.
"Orang-orang Klan Bulan menggunakan perbedaan tekanan udara,
membuat lorong berpindah seperti yang kalian kenal sekarang. Klan
Matahari sebaliknya, mereka menggunakan nyala api, entah itu perapian,
api unggun, apa saja, untuk berpindah tempat. Aku mempelajarinya saat
pertempuran besar. Mereka bahkan murah hati memberiku beberapa
kantong serbuk api. Kamu siramkan bubuk api itu ke nyala api, lantas
konsentrasi penuh menuju tempat tujuan. Kamu harus tahu dan pernah
mengunjungi tujuan itu agar bisa melintas. Tenang saja, sementara
waktu, nyala api tidak akan panas, berubah menjadi lorong. Itulah yang
kulakukan tadi. Sejak lama aku menyiapkan perapian di Bagian
Terlarang, itu pintu darurat. Dan perapian di rumah peristirahatan ini
sejak dulu kusiapkan sebagai jalan keluar."
313
Kami menatap Av setengah tidak percaya. Av berpindah tempat
melalui perapian? Aku tiba-tiba teringat novel dan film laris tentang sihir
di kotaku. Bukankah di cerita itu penyihir melakukan hal yang sama?
"Tentu saja berbeda." Seperti biasa, Av bisa membaca apa yang
kami pikirkan. "Ini bukan dunia sihir. Ini lebih rumit dan nyata. Kalian
bahkan tidak berada di dunia kalian."
Aku menelan ludah.
"Siapa dia, Av?" Ilo melanjutkan pertanyaan, menunjuk orang yang
terbaring di lantai.
"Namanya Tog, dia Panglima Timur Pasukan Bayangan."
Aku dan Seli lagi-lagi refleks melangkah mundur. Juga Ali, si genius
itu bahkan lompat menjauh. Bagaimana mungkin Av membawa musuh ke
dalam rumah ini? Menyelamatkannya? Dan orang itu Panglima Pasukan
Bayangan? Celaka besar.
"Tidak usah takut." Av menggeleng, "Tidak semua anggota Pasukan
Bayangan bersekutu dengan Tamus. Setidaknya masih ada panglima lain
yang bertentangan pendapat dengannya.
"Aku sebenarnya tidak bisa menahan lebih lama serbuan mereka
jika Tog tidak datang. Kalian mungkin menyaksikan beritanya, ada
tambahan anggota Pasukan Bayangan yang menyerbu gedung
perpustakaan. Itu pasukan Tog yang justru menyerang pasukan yang ada
di sana. Tog anak salah satu petarung terbaik dan terhormat seribu tahun
lalu. Ayahnya selalu berseberangan dengan Tamus. Aku mengenal dekat
Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu Pencuri Petir Percy Jackson Lightning Emptiness Of Soul Karya Andros Luvena
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama