Ceritasilat Novel Online

Callasun 2

Callasun Karya Yuli Pritania Bagian 2

Ian, ayo kita jalan-jalan! Ini kan hari Minggu.

Ian tersentak bangun, membuka matanya dan dengan cepat menutupnya lagi karena tidak siap menerima cahaya matahari yang menyorot masuk ke retinanya.

Sial! umpatnya. Apa yang kau lakukan di kamarku, hah?

Ayo jalan-jalan. Ini hari Minggu, ulang gadis itu lagi, sedangkan Ian malah memilih merapatkan selimutnya, menariknya sampai menutupi kepala.

Tidak mau.

Baik. Kalau begitu aku akan tetap di sini sampai kau bangun.

Terserah kau saja.

Iaaaaaaaaaaaan? Ayo! Ini sudah pukul delapan pagi. Kau harus bangun! rengek Calla, mengguncang-guncang tubuh

pria itu sekuat tenaga. Aku janji minggu depan tidak akan mengganggumu. Ya ya ya?

Benarkah? tanya Ian, mulai merasa tertarik. Tentu. Bagaimana?

Baiklah. Biarkan aku tidur satu jam lagi, baru kita pergi. Tidak bisa! Pokoknya kita pergi sekarang! Ayo mandi sana! Atau aku akan menarikmu ke kamar mandi dan memandikanmu.

Ian langsung meloncat dari tempat tidur mendengar ucapan gadis tersebut lalu cepat-cepat berlari masuk ke kamar mandi sebelum gadis itu benar-benar melaksanakan ucapannya, sedangkan Calla sibuk tertawa-tawa melihat tingkah laku pria itu.

Gadis itu menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup, lalu kembali berbaring di atas tempat tidur, menghadap ke arah tempat Ian tidur. Tangannya menyentuh bantal yang tadi ditiduri pria itu, lalu dia memajukan wajahnya, menghirup wangi yang tertinggal di bantal tersebut.

Kamar ini benar-benar beraroma seperti pria itu. Maskulin, lembut, wangi yang tidak tajam tapi menyenangkan. Dia mungkin bisa berbaring di sini seharian, berada di tempat di mana pria itu menghabiskan malamnya, menghirup bau feromonnya. Mungkin dia tidak akan keberatan melakukannya. Tapi tentu saja, wujud aslinya selalu jauh lebih menarik.

Kening Ian berkerut bingung saat mobil yang kali ini dikemudikan Calla berbelok memasuki sebuah toko buku yang cukup besar. Gadis itu memang membujuknya, kalau tidak bisa dibilang memaksa, agar membiarkannya menyetir dengan alasan bahwa

acara hang-out hari ini dialah yang merencanakan. Jadi semuanya harus mengikuti keinginannya. Dan Ian diam-diam menebak bahwa sepertinya gadis itu sudah menghafal peta kota Jakarta sehingga dia bisa mencapai tempat ini tanpa menanyakan arah sekalipun pada Ian.

Kau menarikku dari tempat tidur hanya untuk mengajakku ke toko buku?

Ibumu bilang kau suka membaca. Rencanaku hari ini adalah membeli beberapa buku, piknik ke taman, ng& kau tahu& seperti yang ada di film-film. Piknik di taman, di bawah pohon, membaca buku& mengasyikkan, kan?

Apanya yang mengasyikkan? dengus Ian. Mungkin ide itu memang menarik, jika dilakukan dengan kekasih sendiri. Dan gadis itu jelas bukan kekasihnya walaupun gadis tersebut selalu berkata bahwa mereka bertunangan.

Kita berpencar saja, ucap Calla, tidak mendengarkan perkataan pria itu sebelumnya. Selera bacaan kita pasti berbeda, kan? Setengah jam lagi kita bertemu di mobil. Oke?

Tapi hanya butuh satu menit untuk mengetahui bahwa ternyata selera bacaan mereka sama. Ian yang memang sudah sering ke toko buku itu langsung menuju ke bagian novel bergenre pembunuhan, bacaan yang biasanya disukainya jika sedang memiliki waktu senggang untuk bersantai. Dan gadis itu menyusulnya kemudian. Awalnya Ian berniat membentak gadis itu karena terus-menerus mengikutinya, tapi gadis itu malah tampak kebingungan, berkata bahwa dia memang menyukai novel dengan genre pembunuhan dan science-fiction. Karena tahu bahwa Calla bukan tipe gadis pembohong, jadi dia membiarkannya saja.

Ian hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk menemukan beberapa novel yang menarik perhatiannya, tapi Calla sepertinya cukup kesulitan karena ada lebih dari sepuluh novel bertumpuk di depannya, yang dibolak-baliknya dengan raut wajah serius, kelihatan bingung untuk memutuskan.

Ian berdiri sedikit ke belakang, memperhatikan gadis itu diamdiam. Ini pertama kalinya dia melihat gadis itu memasang raut wajah serius dengan bibir yang dikerucutkan, berjongkok seperti anak kecil yang baru menemukan setumpuk mainan kesukaan. Dan pemandangan tersebut cukup menyenangkan, karena dia ternyata menghabiskan waktu lama saat melakukannya. Tanpa sadar. Dia baru memalingkan wajah saat gadis itu akhirnya berdiri, menggeliatkan tubuh sedikit karena merasa kaku setelah berada dalam posisi yang melelahkan itu begitu lama, menenteng lima buku yang akhirnya berhasil dipilihnya.

Aku sudah dapat. Ayo!

Gadis itu berjalan duluan, tersenyum puas, sedangkan Ian mengikuti dari belakang, cukup dekat sehingga akhirnya dia menyadari bahwa dengan posisi seperti itu, kepala gadis itu tepat mencapai bawah dagunya. Yang berarti jika dia memeluk gadis itu, pasti badan gadis itu akan terasa sangat pas di tubuhnya.

Pasti ada yang terganggu di otaknya sampai dia memikirkan sesuatu yang tidak masuk akal seperti itu.

Ian hanya berdiri diam saja selagi Calla sibuk membentangkan tikar kecil dan menyusun kotak-kotak makanan yang baru diturunkannya dari mobil ke atasnya. Dia sudah cukup kagum karena gadis itu benar-benar bisa menemukan sebuah taman, dengan pohon-pohon rindang dan beberapa kursi besi tempat

orang bisa duduk-duduk santai. Dan taman itu sendiri tidak terlalu ramai walaupun ini hari libur dan tempatnya sangat bagus untuk dijadikan area piknik. Taman ini bahkan berada di dekat jalan raya. Mungkin tipe penduduk Jakarta saja yang tidak terlalu suka jalan-jalan dan piknik dengan keluarga. Dia sendiri bahkan tidak akan mau keluar rumah jika Calla tidak memaksanya.

Sushi? cetus Ian takjub saat Calla membuka kotak makanan yang dibawanya. Kapan kau membuatnya? Tadi pagi. Sebelum membangunkanmu. Ayo duduk. Sejak memakan nasi goreng waktu itu, dia mulai terbiasa dengan masakan Calla. Gadis itu selalu memasakkannya makan malam, atau sekadar membuatkannya bekal makan siang. Dan kemudian, masakan kantin kantor yang biasanya dia sukai pun mulai dibanding-bandingkannya dengan masakan gadis itu, membuatnya tidak habis pikir bagaimana bisa seorang pria melemah hanya karena masakan seorang wanita?

Mereka menghabiskan makan siang dengan cepat, lalu Calla mendapatkan apa yang dia inginkan. Duduk di bawah pohon, membaca buku, dan gadis itu dengan santai membaringkan kepala di pangkuannya, sesuatu yang biasanya tidak akan dia biarkan begitu saja, tapi mungkin hari ini dia sedang berbaik hati sehingga tidak menendang gadis itu jauh-jauh.

Apa pria hanya menyukai wanita cantik? tanya gadis itu tiba-tiba setelah dua puluh menit berlalu, dengan novel yang ditelungkupkan ke atas dada dan mata yang mendongak menatap Ian, masih dalam posisi berbaringnya.

Mungkin, jawab Ian singkat, tidak mengalihkan pandangan sedikit pun dari buku yang dibacanya.

Memangnya kau tidak?

Tidak.

Tapi Kiera cantik. Kebetulan saja.

Jadi? Kenapa kau tidak hanya menyukai wanita cantik saja?

Ian menurunkan bukunya. Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?

Karena aku tidak akan berhenti bertanya sampai kau menjawab.

Dasar gadis keras kepala! Jadi?

Menurutku, ucap Ian setelah menimbang-nimbang jawaban seperti apa yang akan diberikannya. Penjelasan yang masuk akal adalah seorang pria tidak mencintai seorang wanita karena dia cantik, tapi wanita itu terlihat cantik karena dia mencintainya. Kau pernah lihat kan, ada pria-pria yang kalian para wanita anggap tampan, tapi memiliki pasangan yang biasa-biasa saja. Terlihat tidak pantas untuknya. Sesuatu yang seperti itu. Karena pria itu mencintai wanita tersebut, di matanya pasti wanita itu cukup cantik untuk membuatnya berpikir bahwa& dia tidak keberatan untuk menatap wajah yang sama setiap harinya. Kebanyakan wanita sepertinya tidak memahami hal ini.

Hmmmmmfh, tapi kau memang tampan, keluh Calla. Jadi kau tidak terlihat tampan hanya karena aku mencintaimu, tapi kenyataannya memang sudah seperti itu.

Ck, decak Ian sambil menyentil kepala gadis itu dengan buku-buku jarinya. Kapan cara berpikirmu itu bisa berada dalam frekuensi normal, hah?

Ian membuka mata, menyadari bahwa tidak ada lagi beban di pahanya. Sepertinya dia sempat ketiduran sebentar karena tadi Calla sendiri juga sudah tertidur di kakinya, tapi sekarang gadis itu malah tidak kelihatan.

Ian bangkit berdiri, mengumpulkan bukunya, kotak-kotak makanan, dan melipat tikar, mulai merasa kesal karena sekarang gadis itu menambah pekerjaannya dengan harus mencarinya dulu sebelum bisa pulang ke apartemen.

Ian memasukkan semua barang itu ke dalam mobilnya yang diparkir di luar taman lalu mulai berkeliling mencari gadis itu, berusaha menemukan gadis berambut merah di antara kerumunan orang yang sudah bertambah, terutama keluargakeluarga yang membawa anak-anaknya untuk berjalan-jalan. Di luar taman juga mulai banyak pedagang keliling yang kebanyakan menjual makanan dan mainan anak-anak.

IAN!!!

Ian mengalihkan tatapannya ke seberang jalan, mendelik saat mendapati gadis itu ada di sana, di tengah kerumunan anak-anak kecil yang berebut ingin membeli permen kapas, melambai-lambai ke arahnya sambil memegang permen kapas besar berwarna merah muda di tangan, benar-benar tidak jauh beda dengan anak-anak di dekatnya.

Hei, Bodoh, tunggu lampunya merah dulu! teriak Ian panik, berusaha memberi isyarat agar Calla mundur, tapi sepertinya gadis itu tidak mendengarnya karena dia tetap berjalan melintasi jalan raya yang sedang macet, tidak memedulikan pengemudi-pengemudi mobil yang memencet klakson mereka sekuat tenaga disertai umpatan-umpatan marah karena gadis itu memperlambat laju mobil mereka.

Ian berjalan mondar-mandir, menunggu gadis itu sambil memperhatikan mobil-mobil yang melaju kencang, berusaha menyerobot satu sama lain, sedangkan wajah Calla sudah tampak pucat saat menyadari kesalahannya. Dia baru sampai di tengah jalan, berkali-kali berhenti saat beberapa mobil nyaris menabraknya dan berniat melangkah mundur, tapi di belakangnya mobil-mobil lain juga berseliweran, tidak memberinya kesempatan untuk bergerak.

Saat itu Ian merasakan kepanikannya meningkat pesat, menjalari tubuhnya seperti rasa nyeri yang menyakitkan. Dia tahu tidak akan terjadi apa-apa, hanya saja dia tidak bisa meyakinkan dirinya untuk tetap merasa tenang, bukannya kehilangan kendali dan tidak bisa berpikir seperti yang dialaminya sekarang, dengan banyak pikiran buruk yang melintas di otaknya. Bagaimana kalau ada mobil yang tidak sempat mengerem dan malah menabrak gadis itu?

Sial. Kapan gadis itu akan menggunakan otaknya? gerutu Ian, berjalan cepat dengan satu tangan terentang, memberi tanda agar kendaraan-kendaraan itu membiarkannya lewat, lalu berlari menuju Calla dan menarik gadis itu ke tepi, dengan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun.

KAU SUDAH GILA, HAH? teriaknya saat mereka sudah sampai di trotoar. Bagaimana kalau kau tertabrak? Kau mau menyusahkanku lagi? Sialan! Apa kau tidak tahu seberapa takutnya aku tadi? Menyeberang sembarangan seperti itu!

Ian membuang napas kesal, merasa gemetaran dari tangan sampai ke kaki, tidak tahu bagaimana dia bisa merasa seperti itu. Dia tidak pernah sepanik tadi seumur hidupnya dan hal itu terjadi hanya karena dia melihat gadis itu menyeberang dan nyaris tertabrak mobil. Apa dia sudah gila?

Maaf, bisik Calla lirih, masih merasa syok dengan kecerobohannya tadi dan semakin ketakutan karena teriakan murka Ian kepadanya barusan. Gadis itu berdiri kaku, dengan satu tangan yang meremas tangan lainnya yang masih memegang permen kapas, dan mata yang berkaca-kaca.

Ian mengacak-acak rambut gusar, mulai bingung kenapa dia harus meneriaki gadis itu. Ini tidak seperti dirinya. Ian yang biasa tidak akan berlari menerobos jalan hanya untuk menyelamatkan gadis yang hampir tertabrak. Dia juga tidak pernah berteriak seumur hidupnya. Tidak pernah merasa panik sampai membuatnya gemetar seperti tadi. Bagaimana bisa dia mulai tidak mengenali dirinya sendiri?

Sudahlah, ucapnya, mengelap mukanya dengan telapak tangan. Maaf sudah membentakmu. Kau tidak apa-apa?

Calla mengangguk, masih dengan kepala tertunduk, sehingga Ian bisa memandangi tubuh gadis itu dari atas sampai bawah, memastikan bahwa selain ketakutan dan gemetaran, gadis itu baik-baik saja.

Lain kali perhatikan jalanmu. Jangan sembarangan menyeberang atau melakukan sesuatu yang berbahaya lainnya. Aku tidak suka mencemaskan orang lain, kau tahu? ucapnya, ter dengar frustrasi. Aku tidak suka harus berlari menyelamatkanmu.

I an berjalan melewati kubikel-kubikel karyawan yang masih

separuh kosong karena jam makan siang masih belum berakhir. Meeting-nya memang berakhir lebih cepat dari perkiraan sehingga dia bisa kembali ke kantor lebih awal. Dia baru melintasi ruangan Calla yang kosong, menebak bahwa gadis itu mungkin masih makan siang dengan adiknya mereka sepertinya akrab sekali. Tapi kemudian dia melewati lorong berisi kubikel-kubikel lain dan mendapati Calla sedang berdiri di sudut ruangan yang berseberangan dengannya bersama beberapa orang karyawan wanita. Gadis itu tampak menggendong seorang balita yang sepertinya berumur tidak lebih dari dua tahun, kelihatan sangat senang dan tertawa-tawa riang saat anak itu menepuk-nepuk pipinya.

Pria itu menghentikan langkah, entah mengapa ingin melihat pemandangan itu lebih lama. Kiera tidak terlalu menyukai

anak-anak dan menghindari mereka sebisanya, sedangkan dia sendiri sempat memikirkan keluarga yang ingin dimilikinya di masa depan. Istri, dua orang anak, mungkin satu laki-laki dan satu perempuan. Dan melihat Calla seperti sekarang, membuat bayangan tersebut kembali memenuhi otaknya. Gadis itu tampak begitu nyaman, bahagia, dan jelas tidak keberatan untuk memiliki beberapa orang anak setelah menikah. Gadis itu juga pintar memasak, walaupun kadang-kadang perhatiannya yang berlebihan sering membuat Ian kesal. Mungkin& gadis itu tidak terlalu buruk untuk dijadikan istri.

Sialan. Hal gila macam apa yang melintas di otaknya barusan?

Medan? Satu hari? Apa aku tidak boleh ikut?

Ian melempar pulpen yang hanya ditangkap Calla dengan raut wajah lesu.

Untuk apa kau ikut? Kau pasti hanya akan menggangguku saja. Lagi pula kau kan harus bekerja. Aku saja tidak tahu kenapa aku harus memberitahumu aku mau pergi ke mana, ucap pria itu enteng, membuat wajah Calla semakin merengut.

Kau bahkan baru memberitahuku sekarang, gerutu Calla, menyinggung fakta bahwa Ian ternyata sudah membawa tas berisi pakaiannya dan meninggalkannya di mobil sehingga dia tidak perlu kembali ke apartemen untuk bersiap-siap.

Aku tidak boleh mengantarmu?

Tidak. Aku pergi dengan sopir kantor. Ian merogoh saku celananya lalu melemparkan kunci dengan simbol kuda jingkrak ke arah Calla. Ini kunci mobilku. Bawa pulang. Bagus, kan? Hari ini kau tidak perlu naik taksi.

Kau menyebalkan! Pokoknya besok kau harus membiarkanku menjemputmu! Awas kalau kau tidak memberitahuku jam berapa kau pulang.

Ian berdiri dan melangkah menuju Calla, menumpangkan tangannya di meja dan membungkukkan tubuh ke arah gadis itu.

Berhentilah bersikap seolah kau itu tunanganku. Aku juga butuh waktu sendiri, kau tahu?

Calla mengerucutkan bibir, tapi tetap mengangguk lesu. Tapi baiklah, kau boleh menjemputku besok. Puas? Gadis itu langsung tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya, membuat Ian tidak tahan untuk tidak mendorong kepala gadis itu dengan telunjuknya.

Membuatmu senang ternyata mudah sekali ya? ejeknya. Apa kalau aku menawarkan untuk membawakanmu oleh-oleh kau akan langsung pingsan?

Aku tidak mau oleh-oleh, ujar gadis itu pelan. Yang penting kau pulang cepat dan aku bisa melihatmu lagi. Masa begitu saja kau tidak tahu?

Sudah lewat tengah malam saat akhirnya Calla beranjak dari sofa dan mematikan TV, masih tetap belum merasa mengantuk. Dan alih-alih berjalan ke kamarnya, gadis itu malah membuka pintu ruangan yang tepat terletak di seberang kamarnya, lalu melangkah masuk.

Dia berdiri diam di tengah kegelapan, membiarkan pintu di belakangnya bergerak menutup. Dia sama sekali tidak mengulurkan tangan untuk menghidupkan lampu, memilih

mengandalkan kemampuan indranya untuk menuntunnya menuju ranjang di tengah ruangan.

Gadis itu mendudukkan tubuhnya perlahan ke atas kasur, menyusuri sepreinya dengan tangan, lalu membaringkan tubuh sepenuhnya, membenamkan wajah ke atas bantal yang masih berbau sama seperti beberapa hari yang lalu.

Seperti yang dikatakannya waktu itu, dia bisa menghabiskan waktu seharian di tempat ini. Hal yang sekarang bisa dilakukannya karena wujud asli si pemilik tidak bisa dilihatnya secara langsung.

Calla meraih selimut yang terlipat di ujung ranjang dengan kakinya, memakai benda hangat itu untuk menutupi tubuhnya sebelum akhirnya dia menutup mata dan perlahan jatuh tertidur.

Ada perasaan yang baru pertama kali dirasakannya. Dia tidak pernah merasa harus merindukan seseorang selama ini merindukan orang tuanya yang sudah meninggal adalah hal yang berbeda dan saat dia akhirnya merasakannya, dia malah tidak tahu cara mengatasinya dengan baik.

Dia berpikir untuk mengirim pesan kepada pria itu, menelepon, tapi mengurungkan niatnya karena tahu bahwa pria itu tidak akan menyukai gangguan darinya. Dia bahkan hanya mondar-mandir tidak keruan saat sudah sampai di apartemen, memutuskan untuk memasak dan menghidangkan makan malam untuk dua orang. Membiarkan kursi dan piring pria itu kosong, tapi bersikap seolah-olah pria tersebut ada di sana bersamanya.

Mungkin, jika pria itu pergi lebih lama dari satu hari, dia pasti akan segera menjadi gila. Tidak diragukan lagi.

Ian menyampirkan jaketnya di lengan, mempercepat langkah seperti orang yang sedang melarikan diri dari sesuatu. Tapi dia memang sedang melarikan diri dari seseorang. Seorang wanita tepatnya. Wanita yang duduk di sampingnya selama penerbangan. Dia memang sudah cukup terbiasa dikejar-kejar wanita, tapi tidak ada yang seagresif ini, bahkan Calla sekalipun. Wanita ini baru bertemu dengannya sekali dan sudah ingin mengetahui segala hal tentang dirinya sedetail-detailnya. Dia bahkan sampai berpura-pura tidur dan menyumpal telinganya dengan MP3 yang dipasang sampai ke volume maksimum agar wanita tersebut berhenti mengganggunya.

IAN!!!

Ian menyapukan pandangannya, berusaha menemukan rambut merah di antara para penjemput yang berkerumun. Dan berhasil dalam waktu dua detik. Kadang-kadang warna rambut gadis itu berguna juga.

Ian tersentak mundur ke belakang saat tubuh Calla menabraknya secara begitu tiba-tiba dan lengan gadis itu melingkari pinggangnya, memeluknya dengan posesif.

Seperti yang dibayangkannya, tubuh gadis itu benarbenar terasa tepat. Kepala gadis itu hanya mencapai bagian bawah dagunya sehingga dia bisa dengan mudah menunduk dan membiarkan bibirnya menyentuh puncak kepala gadis itu, menghirup aroma samponya yang berbau mint.

Baru sehari, hanya sehari, tapi entah bagaimana dia nyaris melupakan suara gadis itu, cara gadis tersebut memanggil namanya dengan keras, seolah nama itu adalah nama yang bisa dipamerkan sehingga semua orang harus mendengarnya.

Juga senyum gadis itu yang membuat apa pun yang berada di sekitarnya ikut terlihat cerah. Dia baru menyadari bahwa gadis itu mulai berarti sebanyak itu di matanya.

Hai, balasnya, mengusap punggung gadis itu sekilas sebelum memegangi lengan gadis itu dan mendorongnya mundur. Kau semakin pendek, komentarnya, lebih seperti godaan, membuat gadis itu memanyunkan bibirnya.

Ini baru satu hari. Jangan berlebihan.

Seolah reaksimu saat melihatku tadi tidak berlebihan saja.

Calla terkekeh malu, lalu menyelipkan lengannya di lengan kanan Ian, menarik pria itu untuk mulai berjalan keluar.

Langsung pulang, kan? tanya gadis itu. Aku sudah memasakkan makan siang.

Makan siang? ulang pria itu. Kau tidak ke kantor hari ini? Aku sedang senggang. Tidak usah dipikirkan. Tidak usah dipikirkan kau bilang? Aku ini atasanmu, bodoh. Karena itu. Karena kau atasanku, jadi tidak masalah, ucap gadis itu, nyengir.

Dasar. Aku bisa memecatmu kapan pun aku mau, kau tahu? Ibumu akan mencincangmu sampai habis kalau kau melakukannya.

Yang benar saja.

Dia menyadari bagaimana dia merespons setiap ucapan gadis itu sekarang, tidak seperti dirinya yang biasa. Tapi dia juga menyadari bahwa& dia sedang terlalu senang bisa melihat gadis itu lagi karena itu dia bisa berbicara sebanyak itu. Alasan terakhir sedikit membuatnya ngeri.

Semalam aku tidur di kamarmu, beri tahu Calla sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya.

Kau tidak mengacak-acak barangku, kan? Tidak. Hanya sekadar numpang tidur saja. Kenapa?

Calla memutar bola matanya, tampak berpikir. Karena kamarmu penuh dengan aromamu. Jadi rasanya kau ada di sana, ucapnya kemudian.

Ian menurunkan sendoknya lalu menatap gadis itu serius. Kau belum sakit jiwa, kan? Lama-lama kau bisa terobsesi padaku, kau tahu?

Gadis itu mengangguk ringan. Aku tahu. Karena itu& kau harus menyelamatkanku. Cepatlah jatuh cinta padaku, jadi aku tidak perlu berusaha lebih lama lagi.

Kau membuatku kehilangan nafsu makan.

Kalau kau kehilangan nafsu makan, berarti kau memikirkan ucapanku tadi sampai-sampai memengaruhimu seperti itu. Ya, kan?

Dan Calla tertawa-tawa geli melihat ekspresi syok yang melintas di wajah Ian.

Tumben kau tidak pergi dengan Calla, komentar Ian, melihat adiknya yang tidak biasa-biasanya mengunjungi ruangannya.

Sebentar lagi. Kan belum jam makan siang. Itu pun kalau dia tidak berencana menempel padamu siang ini.

Ian mencibir. Jadi ada keperluan apa kau datang ke kantorku?

Tidak ada. Hei, ngomog-ngomong aku penasaran. Sudah sejauh mana hubungan kalian? Kau pasti sudah mulai menyukai

Calla, kan? Pasti kau punya kelainan kalau masih belum menyukainya. Aku saja, kalau kau bukan kakakku, pasti sudah merebutnya darimu.

Jadi ini yang ingin kau bicarakan?

Rayhan nyengir sambil memutar-mutar kursi yang didudukinya.

Jadi? Bagaimana? Ayo, ceritakan padaku! Aku ini kan adikmu.

Sejak kapan kau mau menjadi pendengar yang baik? Sejak Calla datang. Ayolah. Tidak usah malu-malu. Tidak bagaimana-bagaimana. Biasa saja, kalau kau mau tahu, ujar Ian, tetap tidak mau membuka mulut.

Ck, Ian, yang benar saja. Mana mungkin! Gadis seperti Calla& coba lihat penampilannya hari ini. Rambutnya yang diikat seperti itu

Aku lebih suka rambutnya tidak diikat.

Rayhan tersenyum diam-diam, tahu bahwa Ian sudah termakan umpannya.

Menurutku dia paling cantik kalau memakai baju berwarna kuning. Rambutnya jadi terlihat berwarna jingga& seperti matahari terbenam.

Putih, ucap Ian sambil lalu. Warna rambut dan matanya terlihat lebih tajam.

Gaun.

Jins.

High heels. Flat shoes. No lipstick. Agree.

Gotcha! Kau memang menyukainya, kan? tembak Rayhan langsung.

Berbicara dengan Calla atau denganmu rasanya sama saja. Selalu saja memaksakan kehendak.

Terserah padamu kalau kau tidak mau memberitahuku, tapi coba kau pahami ucapanku baik-baik. Kalau kau menyukai dua wanita di saat yang bersamaan, kau harus memilih yang kedua.

Yang benar saja.

Karena, potong Rayhan tajam. Kalau kau benar-benar mencintai wanita yang pertama, kau tidak akan jatuh cinta lagi pada wanita yang kedua. Kau mengerti maksudku, kan? Ian?

Kau mau membeli apa, hah? Dari tadi berkeliling terus tidak

punya tujuan. Apa wanita memang selalu seperti ini? keluh Rayhan, setengah menyesal sudah menyanggupi permintaan Calla agar dia menemani gadis itu berbelanja.

Aku sedang mencari. Diamlah.

Mereka memasuki beberapa toko lagi sampai akhirnya Calla berhenti di depan sebuah toko yang menjual barang-barang pria. Etalase toko itu menarik perhatiannya, terutama jajaran dompet yang diletakkan paling depan, membuatnya teringat bahwa dompet Ian sepertinya sudah jelek dan tidak layak pakai lagi. Heran pria itu tidak berpikir untuk menggantinya. Sepertinya aku sudah tahu akan membeli apa. Rayhan langsung mengembuskan napas lega. Bagus. Aku tidak perlu menderita lebih lama lagi.

Dompet itu untuk siapa? Ian? tanya Rayhan setelah mereka sudah berada dalam perjalanan kembali ke kantor. Kau tidak ingat kalau besok ulang tahun kakakmu? Oh ya? sahut pria itu tidak peduli. Dia juga tidak pernah ingat ulang tahunku, untuk apa aku berbaik hati mengingat ulang tahunnya?

Astaga, kau ini!

Ck, di depan macet, gerutu Rayhan. Kita lewat jalan lain saja. Lebih jauh, tapi kalau macetnya seperti ini tidak akan ada bedanya.

Rayhan membelokkan mobilnya memasuki jalan di samping kanan mereka, tanpa menyadari bahwa sebuah truk melaju dari arah yang berlawanan. Dan sudah sangat terlambat baginya untuk sekadar mengerem atau membanting setir.

Oh, sial, rutuknya, masih berusaha membanting setir ke kanan dan membentur trotoar, tapi badan truk sempat menghantam bagian kiri mobil, tempat Calla duduk, dan Rayhan hanya sempat mengulurkan tangannya untuk menahan laju tubuh Calla yang akan membentur dashboard. Hanya saja dia tidak bisa melakukan apa-apa dengan pintu penumpang yang sudah penyok dan kaca yang pecah berhamburan, yang sebagian mengenai Calla sehingga gadis itu berteriak kesakitan.

Pria itu membebaskan diri dari seatbelt-nya dan menendang pintu mobil sampai terbuka, tahu bahwa dia tidak bisa mengeluarkan Calla sendirian.

Tunggulah, aku akan memanggil bantuan, ucapnya, memencet-mencet ponselnya dengan panik.

Kepalamu berdarah, gumam Calla serak, mengernyit menahan rasa sakit di lengan atasnya. Mungkin ada beberapa pecahan kaca yang menancap di sana.

Ini bukan waktunya kau mengkhawatirkanku, bodoh! Aku bisa digantung oleh Ibu! Sialan, kenapa mereka lama sekali mengangkat teleponnya? HEI! Kau tidak apa-apa? Bisa tolong aku? teriaknya ke arah sopir truk yang baru saja berhasil membebaskan diri dari pintu mobilnya yang sudah tidak berbentuk. Tunggu sebentar.

Bagus. Kau tidak jadi mati, dengus Rayhan yang ditujukan pada Calla, tampak sangat lega. Aku benci sekali melihat darah.

Kenapa bukan kau saja yang menggantikannya? Dia seperti itu dan kau sama sekali tidak apa-apa? teriak Ratih geram sambil memukuli tubuh anak bungsunya itu dengan tas tangan yang dibawanya.

Aduh, Ibu, Ibu tidak lihat kepalaku diperban? Aku juga terluka! seru Rayhan tidak terima.

Calla, kau baik-baik saja, Sayang? Apa kata dokter? Hanya luka lecet, sudah dijahit. Dan kepalaku tergores. Selebihnya tidak apa-apa. Mungkin besok atau lusa aku sudah boleh pulang.

Lain kali kau tidak usah mau diajak pergi oleh anak ini! Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan SIM-nya. Ibu, yang mengajak pergi itu dia, bukan aku! Tidak ada bedanya! ucap Ratih keras kepala. Kau sudah memberi tahu Ian?

Calla menggeleng. Dia tidak akan peduli.

Oh, tentu saja dia akan peduli. Aku akan membuatnya peduli dan memaksanya ke sini. Tenang saja! Biar dia yang menjagamu malam ini.

Tidak usah, Tante. Aku tidak mau merepotkannya. Dia itu tunanganmu. Apanya yang repot?

Benar. Lagi pula kita kecelakaan kan gara-gara pergi membelikan hadiah ulang tahun untuknya, timpal Rayhan.

Benarkah? Kalau begitu dia juga harus ikut bertanggung jawab.

Benar, sahut Rayhan, tampak sangat puas. Dia mengedipkan matanya sedikit ke arah Calla yang balas tersenyum diam-diam.

Dan kau! Cari makanan di kafeteria! Calla pasti belum makan, kan? Kau pasti tidak berselera melihat makanan rumah sakit.

Calla mencibir ke arah Rayhan yang langsung mengajukan protes kepada ibunya yang tidak mau mendengarkan, membuat gadis terebut tertawa geli, kali ini terang-terangan. Astaga, Ibu, aku ini anakmu atau bukan, hah?

Calla baru setengah tertidur saat mendengar pintu ruang rawatnya terbuka. Gadis itu membuka matanya, menoleh, dan mendapati Ian yang baru melangkah masuk sambil melepaskan jas kerjanya, menyampirkannya ke lengan sofa di sudut ruangan.

Kau datang? serunya, tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

Ibu menyuruhku menemanimu. Dia bilang kau sendirian, sahut pria itu datar, menarik kursi ke pinggir ranjang Calla kemudian duduk dengan kaki yang ditumpangkan ke atas bangku kecil di dekatnya, melipat tangan di depan dada dan menutup matanya.

Sudah makan?

Kau mau mandi?

Berhentilah mengurusiku. Aku bukan suamimu. Sebentar lagi kau akan jadi suamiku. Aku tidak mau.

Pernyataan singkat Ian itu langsung membungkam Calla. Tapi seperti biasa, gadis itu tidak pernah terlalu menanggapinya.

Calla bangkit dan duduk di atas tempat tidur, menarik tangan Ian ke arahnya dan mulai melepaskan kancing lengan kemeja pria itu lalu melipatnya sampai ke siku, melakukan hal yang sama pada lengan satunya.

Aku pikir kau sudah berubah pikiran. Masih mau mengurusiku? Bagaimana dengan Rayhan?

Huh? tanya Calla bingung, tidak mengerti dengan arah pembicaraan pria itu.

Kau kecelakaan saat sedang kabur dari kantor bersama nya. Oh, itu. Kau cemburu? seru Calla, berubah menjadi semangat. Penuh harap.

Ian menyeringai. Tidak. Aku akan sangat senang kalau itu terjadi. Aku bisa bebas darimu.

Gadis itu merengut dan memanyunkan bibirnya. Aku hanya pergi makan siang dengan Rayhan, lalu aku memintanya menemaniku mencari hadiah ulang tahun untukmu. Omongomong, sebentar lagi pukul 12. Selamat ulang tahun.

Calla membuka laci meja kecil di samping tempat tidurnya lalu meraih sebuah kotak yang kemudian disodorkannya kepada Ian.

Setiap tahun aku selalu menunggu sampai tengah malam untuk merayakan hari ulang tahunmu. Lalu aku berdoa. Senang

sekali tahun ini aku bisa merayakannya langsung dan memberikan hadiah padamu, ucap gadis itu sambil tersenyum manis, menunggu Ian mengambil kado dari tangannya.

Ian terpana. Sedikit. Hanya sedikit. Setidaknya, walau bagaimanapun dia merasa tidak habis pikir dengan kelakuan gadis itu. Merayakan ulang tahun orang yang tidak pernah ditemuinya setiap tahun? Gadis itu memang aneh.

Tanpa berkata apa-apa Ian merobek kertas pembungkus kadonya lalu membuka kotak yang ada di dalamnya. Sebuah dompet.

Aku lihat dompetmu sudah lama dan hampir rusak, jadi aku pikir aku bisa membelikan yang baru untukmu sebagai hadiah.

Dompet itu dari Kiera, ujar Ian tanpa bisa menahan mulutnya. Hadiah ulang tahunku yang ke-17. Aku tidak akan menggantinya.

Oh, gumam Calla, mendadak kehilangan kata-kata. Maaf, aku tidak tahu.

Ya sudahlah. Kau bahkan kecelakaan karena membelikan ini untukku. Aku tidak akan membuangnya. Ian sedikit menyesal telah membiarkan kalimat itu keluar dari dalam mulutnya. Raut wajah gadis itu sedikit keruh, jadi dia mulai merasa tidak enak. Kemajuan. Biasanya dia tidak pernah memedulikan perasaan orang lain setelah dia berbicara seenak hatinya.

Tidak apa-apa. Simpan saja baik-baik, ucap Calla dengan suara pelan. Gadis itu menepuk-nepuk bantalnya lalu membaringkan kepala di atasnya. Mendadak merasa begitu lelah.

Apa pun yang aku katakan kau tetap tidak akan berubah pikiran dan berhenti menyukaiku ya? tanya Ian, tidak bisa menahan diri.

Calla berbaring menyamping, sehingga dia bisa menyentuh sisi kemeja pria itu dengan jari, menarik-nariknya pelan. Mmm, jawab gadis itu berupa gumaman. Masih berpikir aku akan memberimu kesempatan? Kau manusia, kan? Berarti aku memang masih punya kesempatan.

Maksudmu? tanya Ian tidak mengerti.
Callasun Karya Yuli Pritania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena manusia bisa berubah pikiran sewaktu-waktu. Lagi pula, kita ini sama. Kau tidak mau melepaskannya, aku juga tidak mau berhenti memperjuangkanmu. Jadi lihat saja, siapa yang bisa bertahan lebih lama.

Aku tidak akan sepercaya diri itu jika aku jadi kau. Tapi aku memang biasanya tidak pernah menyerah sebelum mendapatkan apa yang aku inginkan.

Lalu setelah itu? tanya Ian sinis. Biasanya setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, manusia akan menaikkan level keinginannya dan melupakan apa yang sudah mereka miliki. Ya, kan?

Sebagian, aku Calla. Tapi aku jenis orang yang akan mempertahankan apa yang sudah aku miliki mati-matian dan tidak akan membiarkan siapa pun merebutnya dari genggamanku.

Mengerikan, komentar Ian pendek, menyembunyikan pendapat aslinya.

Caranya memandang gadis itu semakin hari semakin berubah. Dan saat ini, entah bagaimana matanya tidak bisa menemukan objek pandangan yang lain. Karena wanita di depannya ini, mendadak terlihat sangat menarik.

IAN!

Calla membuka pintu ruang kerja pria itu sambil tersenyum lebar, tapi langsung mengubah ekspresinya saat melihat bahwa ruangan tersebut kosong. Sepertinya dia terlambat datang ke sini sehingga Ian pergi makan siang duluan keluar. Mungkin juga pria itu ingin bebas darinya, jadi memilih kabur secepat yang dia bisa.

Gadis itu mendengus memikirkan hal tersebut, memilih untuk melangkah masuk ke dalam alih-alih pergi. Dia melongok ke atas meja kerja pria itu, mendapati sebuah kotak tergeletak di samping file-file yang berserakan. Ada bungkus kado yang terlipat rapi di sebelahnya, membuat Calla lagi-lagi merasa kesal mengingat bagaimana pria itu merobek kertas kado yang sudah dibungkusnya dengan susah payah begitu saja saat dia memberikannya di rumah sakit.

Kau merobek kertas kado dariku, jadi jangan salahkan aku kalau mau mengintip kadomu, gumam gadis itu, menggosokgosok kedua permukaan telapak tangannya dan mengambil kotak tersebut, lalu membukanya.

Lagi-lagi dompet. Apa yang memperhatikan dompet pria itu bukan dia saja?

Calla mengeluarkan dompet tersebut lalu meraih kartu di dasar kotak.

Aku lihat dompet yang aku belikan waktu itu sudah jelek, jadi aku belikan yang baru. Kiera.

Tanpa sadar Calla melemparkan dompet beserta kotak tersebut begitu saja ke atas meja, menatapnya seolah itu adalah racun yang mematikan. Hadiahnya waktu itu mendadak menjadi sia-sia dan tidak berharga sama sekali. Mungkin hanya kebetulan bahwa dia memiliki pemikiran yang sama dengan Kiera dalam hal membelikan hadiah, tapi itu benar-benar kebetulan yang mengerikan. Tentu saja Ian lebih memilih membuang dompet pemberiannya dan memakai dompet baru yang dibelikan Kiera. Hal itu sangat mudah ditebak. Lagi pula Ian tidak mau mengganti dompet lamanya dengan yang baru, tapi kalau Kiera sendiri yang membelikannya dompet baru sebagai hadiah, tentu saja pria tersebut tidak akan menolak.

Calla meraih kotak bekal berisi makan siang yang tadinya ingin dia berikan pada Ian, lalu melangkah ke pintu. Mungkin seharusnya tadi dia pergi saja, bukannya memilih untuk masuk dan menemukan barang itu. Dia benar-benar tidak memiliki keberuntungan dalam hal percintaan. Mungkin sudah nasibnya untuk menjadi wanita menyedihkan.

Gadis itu baru mencapai pintu saat pintu tersebut membuka dan Ian berjalan masuk ke dalam, tampak terkejut melihat kehadiran Calla di kantornya.

Sedang apa di kantorku? tanya pria itu dengan nada dingin dan datarnya yang biasa.

Tidak ada, sahut Calla, untuk pertama kalinya menggunakan nada yang sama.

Lalu? Mau memberiku makan siang? lanjut Ian, menunjuk kotak makanan di tangan Calla dengan dagunya.

Ini untuk Rayhan, jawab gadis tersebut ketus lalu berjalan melewati Ian begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi, membuat pria itu melemparkan tatapan bingung.

Ian mengerutkan kening lalu berjalan ke meja kerjanya, masih bertanya-tanya tentang sikap aneh Calla. Dia baru akan menarik kursinya untuk duduk saat menyadari bahwa dompet hadiah ulang tahunnya dari Kiera sudah tergeletak begitu saja di atas meja, bukannya berada dalam kotak seperti waktu ditinggalkannya tadi. Mendadak dia mengerti mengapa Calla memperlihatkan sikap tidak ramah padanya.

Selalu saja mengambil kesimpulan tanpa bertanya, gumamnya, memasukkan kembali dompet itu ke dalam kotaknya, membuka laci meja kerja, dan meletakkan benda tersebut di dalamnya.

Beberapa hari yang lalu mungkin dia akan melakukan seperti apa yang dipikirkan Calla, membuang dompet pemberian gadis itu dan memilih dompet baru yang diberikan Kiera. Tapi sekarang& otaknya sudah mulai bergeser dan tidak melakukan sesuatu yang semestinya dia lakukan.

Seperti yang dia bilang, mendadak segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu menjadi tampak menarik.

Astaga! teriak Ian jengkel saat mendengar suara Calla tepat di telinganya. Pria itu mengubur kepalanya di balik selimut kemudian menimpanya lagi dengan bantal, berusaha menutupi indera pendengarannya.

Kau sudah janji tidak akan mengangguku akhir minggu

ini!

Aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin bertanya, boleh tidak aku membersihkan apartemenmu? Memindahmindahkan barang. Kalau kau tidak keberatan.

Terserah kau saja. Aku tidak peduli.

Calla tersenyum lebar lalu meloncat turun dari tempat tidur.

Oke, kalau begitu lanjutkan tidurmu!

Ng, Calla, panggil Ian saat gadis itu baru mencapai pintu. Bersihkan yang benar. Jangan sampai ada debu sedikit pun. KAU PIKIR AKU PEMBANTUMU?

Calla sedang menarik-narik meja makan dengan susah-payah, berusaha memindahkannya ke sudut agar ruangan itu terlihat lebih lapang, saat Ian akhirnya keluar dari kamar dengan handuk di kepala, tampak segar sehabis mandi. Pria itu mengenakan baju kaus putih dan celana jins pendek hari ini, membuatnya terlihat beberapa tahun lebih muda daripada usianya yang sebenarnya.

Perlu bantuan? tanyanya basa-basi, tampak tidak mengharapkan jawaban iya dari Calla.

Kalau kau mau, sungut gadis itu. Kenapa meja ini terlalu besar dan sulit untuk digerakkan?

Ian mencebikkan bibir, lalu melempar handuknya ke atas sofa, mendatangi Calla dengan rambut yang basah dan jelas-jelas berantakan karena belum disisir. Sesuatu yang membuatnya tampak luar biasa tampan. Dan seksi. Kalau itu cukup menggambarkan.

Pria itu memegangi siku Calla, mendorong tubuh gadis itu ke samping, lalu dengan mudah memindahkan meja yang menurut Calla super berat itu ke sudut, menaikkan alisnya saat pekerjaan itu sudah selesai dia kerjakan.

Dengan tubuh sekecil itu, apa sih yang bisa kau lakukan? ejeknya, berjalan ke arah kulkas dan mengambil botol berisi jus jeruk dari dalamnya.

Aku wanita. Memangnya apa yang kau harapkan? Ian mendengus dan meminum jusnya yang sudah dituangkan ke dalam gelas.

Bukannya para wanita sibuk menuntut kesetaraan gender? Tidak masuk akal bagiku, debat Calla. Kalau menginginkan kesetaraan, menuntut posisi yang sama dengan laki-laki, apa yang terjadi sekarang jelas belum merupakan kesetaraan yang sebenarnya kalau masih saja ribut saat laki-laki tidak mau memberikan kursi untuk mereka di bus, dan masih berteriakteriak menyuruh laki-laki mengangkat barang-barang yang berat. Lagi pula apa yang diharapkan? Agama jelas-jelas mengatakan bahwa wanita memiliki kodratnya sendiri, yaitu berada di bawah pimpinan suami. Nah, aku tidak pernah bilang jika aku

mendukung gerakan feminis. Dan ngomong-ngomong, di lemari ada roti bakar kalau kau lapar.

Ian bersandar ke konter dapur, masih dengan tangan yang memegang gelas, mencermati gadis di depannya yang sekarang sedang sibuk memindah-mindahkan kursi, lalu beralih mengubrak-abrik lemari peralatan makan, mengeluarkan isinya dan mulai menyusun ulang.

Wanita itu, disadarinya, memang sangat berbeda. Terutama dari pola pikir. Ian suka menebak-nebak apa pendapat gadis itu tentang sesuatu dan kemudian terkejut sendiri saat mendapati bahwa jawaban itu jelas berbeda dengan apa yang dia harapkan. Dan di situlah letak kesenangannya. Gadis itu selalu memberinya sudut pandang baru terhadap segala hal.

Ian akhirnya bergerak, membuka lemari dan mengeluarkan piring berisi roti bakar seperti yang tadi dikatakan Calla, membiarkan gadis itu memborbardir dapurnya.

Secara pribadi, sebenarnya dia tidak suka jika barangbarangnya disentuh orang lain. Membiarkan gadis itu tinggal di tempat yang sama dengannya saja sudah merupakan keputusan berat. Tapi entah kenapa sekarang dia tidak terlalu mempermasalahkannya lagi. Mungkin apartemennya memang membutuhkan sentuhan wanita. Dia bergidik sendiri memikirkannya.

Kau lebih suka tinggal di apartemen atau rumah? tanyanya iseng, menggigit roti bakarnya lalu mengunyahnya pelan-pelan.

Calla menoleh dan bukannya menjawab, gadis itu malah melompat-lompat menghampirinya, mengangakan mulutnya lebar-lebar, memberi tanda agar Ian membiarkannya menggigit roti yang sedang pria itu makan.

Ian mengeluarkan suara decakan, tampak tidak terima, tapi akhirnya menyodorkan roti bakarnya ke mulut gadis itu yang langsung melahapnya dalam satu gigitan besar, tahu bahwa gadis itu tidak akan mundur sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Tipe gadis pemaksa yang menyebalkan. Seharusnya. Kalau saja tidak memiliki anugerah fisik seperti itu.

Aku tidak keberatan tinggal di mana saja, jawab gadis itu dengan mulut penuh.

Telan dulu makananmu! bentak Ian, memelototi gadis

itu.

Calla hanya nyengir lalu menelan rotinya, dan dengan cueknya meneguk habis jus jeruk Ian juga.

Kalau kau? tanyanya balik. Kau lebih suka tinggal di mana?

Apa urusannya denganmu?

Tentu saja ada urusannya denganku, seru gadis itu cepat. Karena aku akan tinggal di mana pun kau tinggal.

Calla melirik dari balik gorden putih yang menutupi pintu balkon. Hujan. Cukup deras. Membuatnya menaikkan kadar kebenciannya yang sebelumnya sudah menumpuk tinggi terhadap curahan air tersebut.

Kenapa tampangmu seperti itu? tanya Ian yang baru keluar dari dapur sambil membawa sekaleng soda.

Aku ingin es krim, keluh gadis itu, hampir terdengar seperti rengekan. Tapi di luar hujan.

Ya kau tunda saja keinginanmu itu sampai besok. Tidak susah, kan?

Calla merengut. Kau temani aku ke minimarket ya? pintanya memelas.

Enak saja! Kalau kau mau keluar ya pergi saja sendiri. Ian menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, menghidupkan TV, lalu mulai menggonta-ganti channel-nya, mencari-cari acara yang menarik.

Kalau aku pergi sendiri apa kau tidak takut terjadi apaapa padaku? Ini sudah malam. Bagaimana kalau seseorang menculikku lalu membunuhku? Kau akan kehilangan calon istri potensialmu.

Calon istri potensial? dengus Ian. Bukankah seharusnya aku merasa senang? Jadi aku bisa terbebas darimu.

Aaaaaah& Ian, ayolah! Masa aku harus meminta Pak Bagas menemaniku? Gadis itu mengguncang-guncang tubuh Ian paksa, jelas tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti biasa.

Ck, kau ini! Kapan kau akan berhenti merecoki hidupku, hah? teriak Ian kesal, dengan enggan beranjak dari sofa lalu mematikan TV. Ayo cepat! Aku mau tidur.

Ian merapatkan jaketnya, memegangi payung di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya terbenam ke dalam saku jaket yang dipakainya, hanya diam tanpa menimpali ocehan tidak jelas Calla sedikit pun.

Dia pikir gadis itu bermaksud meminta diantar menggunakan mobil, tapi ternyata malah ingin berjalan kaki, berpayung bersama. Ian bahkan berpikir bahwa es krim hanya modus gadis itu saja agar bisa melakukan hal ini bersamanya. Melihat tampang

semringah yang diperlihatkan gadis tersebut saat ini, dia tidak akan merasa heran jika ternyata tebakannya itu benar.

Ian tersentak saat merasakan tangan Calla bergerak melingkari pinggangnya, lalu menyusup masuk ke kantong jaketnya, menggenggam jarinya yang ada di dalam. Gadis itu melakukannya dengan begitu natural, seolah sudah pernah melakukannya berulang kali. Dan Ian bahkan tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak menyukainya.

Sedikit merasa kaku, mereka akhirnya diam saja di sepanjang sisa perjalanan. Tapi Calla mulai hiperaktif lagi saat melihat es krim yang diinginkannya, tidak memedulikan tatapan kasir yang tampak bingung melihat belanjaannya. Tentu saja, orang normal mana yang akan memakan es krim di saat hujan deras dan cuaca dingin seperti ini?

Calla menyerahkan salah satu dari es krim yang dibelinya kepada Ian yang hanya menunggu di luar, bersandar di dinding yang terlindung di bawah atap, jadi dia bisa berdiri di sana tanpa kebasahan.

Ian merobek bungkus es krimnya, mulai makan dengan enggan. Kenapa dia jadi harus mengikuti kegilaan gadis di sampingnya ini?

Mereka berdiam diri lagi. Hanya ada curahan air deras yang bisa mereka lihat. Hari sudah cukup malam, dan tidak ada lagi pejalan kaki yang lewat, dan minimarket ini juga tidak berada di jalur utama, jadi tidak terlalu banyak kendaraan yang berlalulalang. Ditambah dengan cuaca yang cukup buruk dan dingin, siapa lagi yang mau keluar rumah selain mereka berdua?

Calla mengulurkan tangannya yang tidak menggenggam es krim, menampung tetes-tetes air hujan yang mengalir begitu saja melewati sela jari-jarinya, membasahi telapak tangan.

Jangan bilang kau akan memulai percakapan tentang betapa kau menyukai hujan, tukas Ian dengan nada sinis.

Aku tidak suka hujan, timpal Calla santai. Basah. Aku tidak suka. Lagi pula hujan selalu dikaitkan dengan kesedihan. Ada yang bilang bahwa hujan turun untuk menyamarkan air mata orang-orang yang sedang menangis. Dan aku paling benci menangis.

Tapi waktu itu kau menangis. Gara-gara aku. Kalau gara-gara kau tidak apa-apa, ucapnya, menatap ke depan seolah melarikan pandangan dari Ian. Itu juga pertama kalinya aku menangis setelah orang tuaku meninggal.

Kenapa kalau gara-gara aku& tidak apa-apa? tanya Ian, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Karena menurutku kalau menangis untuk orang yang kita cintai, itu tidak masalah. Dan hanya ada sedikit sekali orang yang aku cintai di dunia ini. Orang tuaku sudah meninggal, jadi mereka tidak akan membuatku menangis lagi. Ibumu, Rayhan, ayahmu& mereka juga tidak akan membuatku menangis. Jadi sekarang satu-satunya alasanku untuk menangis hanya tinggal kau saja, makanya& tidak apa-apa.

Saat itu& detik di mana gadis itu menoleh ke arahnya, tersenyum, dia akhirnya baru menyadari betapa dia menyukai senyum gadis itu, cara gadis itu mengangkat sudut-sudut bibirnya, bagaimana wajahnya menjadi tampak begitu cerah. Hangat. Saat itu dia sadar& mungkin dia harus mulai berhenti melakukan sesuatu yang bisa membuat gadis itu menangis. Gadis itu tidak boleh menangis karena apa pun, bahkan karena dirinya.

Karena& seharusnya& orang yang kau cintai tidak akan pernah membuatmu menangis, kan?

Kau mau ke mana? tanya Calla ingin tahu saat dia baru keluar

kamar dan mendapati Ian sedang meletakkan tas ransel besar ke atas sofa. Pria itu sudah rapi, dengan celana jins, jaket kulit warna hitam, dan baju kaus berwarna senada sebagai dalaman, padahal jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Hiking bulanan, jawab pria itu singkat.

Hiking? ulang Calla dengan raut wajah tertarik. Ke mana?

Ungaran.

Calla mengernyitkan kening. Dia memang tidak tahu sama sekali tentang tempat-tempat di Indonesia dan jelas tidak pernah mendengar nama gunung satu itu.

Aku boleh ikut tidak?

Kali ini giliran kening Ian yang mengernyit dalam. Aku baru pulang besok.

Menginap? Itu semakin menguatkan alasan kenapa aku harus ikut! tandas Calla, bersikukuh dengan keinginannya. Lagi pula apa enaknya pergi hiking sendirian?

Sebelumnya aku juga selalu pergi hiking sendirian. Dan aku menikmatinya, tukas Ian penuh penekanan.

Karena kau tidak pernah ditemani, makanya kau tidak tahu rasanya. Pasti lebih menyenangkan. Ayolah. Aku boleh ikut ya? Calla mengatupkan kedua tangannya di depan wajah, memasang raut memohon seperti anak anjing yang sedang minta dibelaskasihani.

Kau tidak tahu ya kalau kau itu benar-benar terlihat seperti anjing penjaga yang mengikuti tuannya ke mana-mana? Apa kau pikir aku tidak butuh waktu sendiri? Terbebas dari rengekanmu?

Dan pria itu langsung merasa frustrasi melihat mata Calla yang mulai berkaca-kaca, siap menumpahkan air bah.

Baik! Baik! Oke! Kuberi kau waktu setengah jam untuk bersiap-siap. Lebih dari itu kutinggal.

Ekspresi muka gadis itu langsung berubah drastis. Kini dia memamerkan senyum sumringah yang cerah, nyaris membuatnya terlihat bersinar, terutama karena rambutnya yang merah.

SIAP , TUAN! serunya, langsung berlari tergesa-gesa ke dalam kamar, meninggalkan Ian yang hanya bisa menggelengkan kepala.

Pria itu berbalik memandangi ranselnya, memutuskan untuk merombak isinya. Sepertinya dia harus menunda kegiatan hikingnya bulan ini. Berubah haluan ke Kebun Teh Medini bukan suatu pilihan yang buruk. Mengingat pesonanya. Memperlihatkan keindahan Indonesia pada gadis yang menghabiskan hidupnya di Irlandia cukup membangkitkan semangat.

Ah, tidak ada hubungannya dengan menyenangkan hati gadis tersebut. Anggap saja dia adalah warga negara yang baik. Ya, kan?

Dia sendiri bahkan tidak yakin apa prioritas dan tujuannya kali ini.

Jeep ini punyamu? tanya Calla kagum saat Ian membawanya ke ujung lapangan parkir di basement, tidak ke tempat mobil Ferrari-nya biasa diparkirkan.

Mmm, gumamnya, mendelik saat Calla hanya berdiri di samping pintu, menatapnya meminta pertolongan. Dia mendengus pendek, memegangi kedua sisi tubuh gadis itu di bagian pinggang, lalu membantunya naik.

Belum apa-apa saja kau sudah merepotkanku, decaknya sambil melompat naik ke kursi pengemudi.

Mobil ini khusus untuk pergi hiking ya? tanya Calla, cepatcepat mengubah topik sebelum pria itu menceramahinya panjang lebar, yang mungkin saja berakibat dia disuruh turun dan tidak diperbolehkan ikut dengan alasan takut menyusahkan. Mengingat sifat Ian, itu bukanlah sesuatu yang mengherankan.

Biasanya jalan menuju tempat pendakian tidak terlalu bagus, terutama jalan yang akan kita lewati nanti. Mobil biasa tidak bisa lewat. Ian menjalankan mobil, berbelok keluar dari area apartemen, mengangguk singkat ke satpam yang tersenyum ke arah mereka.

Kau sering ke& ng& Ungaran?

Ian melirik Calla sedikit, menahan diri agar tidak menertawakan cara gadis itu melafalkan kata Ungaran.

Lumayan. Di sana cocok untuk menenangkan diri. Memangnya kau menenangkan diri dari apa? tanya Calla ingin tahu, walaupun dia kemudian mendapatkan jawaban hanya dengan melihat raut wajah pria tersebut.

Kau berencana membuat perjalanan terasa canggung? Calla meringis lalu menggeleng, memutar otak untuk mencari topik yang lebih aman.

Ke sana butuh berapa jam?

Delapan. Sembilan. Tergantung kondisi jalan, macet atau tidak.

Calla melongo, membuat Ian kali ini tidak merasa perlu menyembunyikan senyumnya.

Batal ikut? Aku bisa menurunkanmu di sini. Belum terlalu jauh dari apartemen.

Bukan itu! sentak Calla buru-buru. Aku hanya kaget saja. Memangnya tidak boleh? sungutnya.

Kau bawa baju ganti, kan? Tentu saja aku bawa.

Kau pasti belum pernah hiking.

Pernah. Acara sekolah. Tapi di pertengahan jalan kakiku terkilir gara-gara jatuh, jadi aku tidak ikut sampai ke puncak.

Aku sudah bisa menebaknya, dengus Ian. Untung saja aku membatalkan rencana hiking hari ini.

Apa? Kau membatalkannya? Kenapa? Aku janji aku tidak akan menyusahkanmu. Waktu itu hanya kecelakaan. Temantemanku sedang bercanda, tanpa sengaja aku terdorong, lalu

Hei, dengar, potong Ian. Aku membatalkannya dengan pertimbangan sendiri, oke? Yang penting kita tetap ke sana.

Calla menghirup napas lalu menatap Ian lekat-lekat. Jadi kenapa?

Tujuan awalku adalah Gunung Ungaran, puncak paling tinggi dari Pegunungan Ungaran. Butuh dua jam dari desa terdekat menuju puncak, dan medannya sangat berat. Perlu memanjat dan semacamnya. Aku tidak mungkin membawamu ke sana. Aku sudah bilang, aku tidak suka harus berlari menyelamatkanmu. Dengan kata lain, aku tidak mau keselamatanmu berada dalam tanggung jawabku. Mengerti?

Lalu? Apa yang akan kita lakukan?

Banyak. Di sana ada kebun teh, air terjun, Gua Jepang. Seperti kencan di alam?

Kau mau aku turunkan di sini? Kau bisa cari taksi Tidak tidak. Aku akan menutup mulutku! seru Calla, membenarkan posisi duduknya, menatap lurus ke depan, dan mengunci mulutnya rapat-rapat.

Kau benar-benar manusia yang gampang diancam dan dimanipulasi ya? komentar Ian.

Tidak. Aku hanya seperti itu kepadamu saja, ujar Calla sambil tersenyum. Dan kali ini, Ian-lah yang terpaksa menutup mulutnya rapat-rapat.

Ian mendelik ke arah Calla yang bergerak-gerak gelisah di kursinya, berkali-kali mengembuskan napas keras, dan meliriknya, berharap tidak ketahuan.

Kau kenapa? sergah Ian akhirnya, hilang kesabaran. Tidak mungkin lapar lagi, kan? Kita baru saja makan siang setengah jam yang lalu.

Calla memaksakan diri untuk tersenyum, yang sebenarnya lebih mirip ringisan. Gadis itu meneguk ludah, bola matanya melebar saat menatap Ian secara langsung, dan entah kenapa bergegas memalingkan wajah lagi seolah merasa jengah.

Ingin buang air kecil? Kau terlihat seperti cacing kepanasan, tahu tidak?

Aku tidak apa-apa. Tenang saja, ucap Calla. Ngomongngomong, kau tidak kedinginan? Kenapa kau tidak pakai jaket saja?

Jadi saat cuaca dingin kau berkeringat? tanya Ian sinis. Calla cepat-cepat mengusap keringat yang mengalir di keningnya. Matahari memang bersinar terik sekali dan atap mobil jeep yang mereka kendarai terbuka, membuat mereka seolah merelakan diri terpanggang hidup-hidup.

Jadi? lanjut Ian kemudian. Kenapa aku harus memakai jaketku?

Calla menghela napas lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Dia memandang Ian, yang tampak tidak menyadari akibat dari penampilannya sama sekali.

Pria itu sudah melepaskan jaketnya, menyisakan kaus hitam polos pas badan, sedangkan separuh wajahnya tertutup kacamata hitam. Rambutnya sendiri terlihat awut-awutan diterpa angin. Dan menurut Calla, dia tidak pernah melihat pria lain yang lebih menggugah selera daripada pria di hadapannya ini seumur hidupnya. Bahkan seorang Ian Somerhalder sekalipun. Artis idolanya dan alasan konyol pertama mengapa dia menyukai pria itu adalah karena namanya yang sama dengan Ian.

Kau lihat sinar mataharinya, kan? Terik sekali, ujar Calla, memulai.

Lalu? Kau takut kulitku jadi hitam?

Mataharinya& . Calla menelan ludah. Mataharinya& yah& kau tahu& bersinar. Cahaya& ng& .

Kau tidak gagu, kan?

Kau memakai kaus dan kacamata hitam seperti itu membuatku tidak bisa menarik napas dengan benar! And look at that damn sunshine! I think you are shining or what! Calla menyelesaikan ucapannya dalam satu tarikan napas. Terlalu frustrasi sehingga bahasanya menjadi bercampur-baur.

Oh, gumam Ian kaget. Untung saja wajahnya tersamar kacamata hitam sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkan ekspresinya. Begitu?

Pria itu berpaling, tersenyum diam-diam. Satu tangannya memegang kemudi dan tangannya yang lain memegangi bagian luar atas jendela mobil yang terbuka.

Aku tidak akan memakai jaketku kalau begitu. Kenapa? Kali ini gantian Calla yang terkejut dengan ucapan pria itu. Senang melihatku seperti ini?

Melihatmu tersiksa memang menyenangkan, tandas Ian santai. Membuatmu terpesona lain soal.

Apanya yang lain?

Yah& , ucap pria itu sok manis. Aku hanya penasaran& kalau aku terus-menerus membuatmu terpesona, apa suatu saat kau akan terserang stroke, ambruk, lalu mati?

KAU MAU AKU MATI? jerit Calla, nyaris saja terkena stroke seperti yang pria itu sarankan.

Nah, kembali ke ucapanku sebelumnya. Melihatmu tersiksa itu menyenangkan. Apa asyiknya kalau kau buru-buru mati? Kesenanganku juga akan berakhir. Jadi lebih baik kau kusiksa lebih lama lagi saja. Ya, kan?

Mereka sampai di Dusun Promasan lewat pukul empat sore. Hal pertama yang dilakukan Ian adalah memesan kamar di tempat penginapan yang untung saja sepi karena tidak terlalu banyak pendaki pada akhir minggu ini. Lagi pula hanya ada beberapa pendaki yang memilih jalur ini sebagai tempat untuk memulai pendakian. Dan walaupun luar biasa indah, kebun teh Medini belum terlalu dikenal.

Calla menunggu Ian sambil berbincang dengan ibu-ibu yang duduk-duduk sore di serambi rumah. Dari mereka dia mengetahui bahwa hanya ada sekitar 25 rumah di dusun itu, membuatnya berpikir bahwa akan sangat menyenangkan tinggal di sana.

Berada di kaki gunung, dengan hawa sejuk dan pemandangan indah. Jenis tempat yang mengingatkannya pada kampung halaman ayahnya, Irlandia.

Pria itu muncul sepuluh menit kemudian, hanya membawa jaket yang masih tidak dipakainya, senter, dan sebotol air mineral yang kemudian diserahkannya pada Calla, menyuruh gadis itu membawanya.

Kalian mau ke mana? Gua Jepang atau curug? tanya salah seorang dari ibu-ibu itu.

Dua-duanya, ucap Ian sambil tersenyum ramah. Dia sudah cukup sering ke tempat ini sehingga sudah mengenal penduduk di sini dan menyukai keramahan mereka. Lebih baik cepat-cepat, sebentar lagi malam. Ian mengangguk, lalu mengucapkan pamit, memberi tanda agar Calla mengikutinya.

Apa itu curug? tanya gadis itu ingin tahu setelah berhasil menjejerkan langkahnya dengan Ian.

Air terjun, ujar Ian, tanpa bisa ditahan mengeluarkan tawanya. Bahasa Indonesiamu memang bagus, tapi aku rasa kau perlu belajar cara melafalkan beberapa kata sulit.

Bukannya ini membuatmu senang? Melihatku mempermalukan diri sendiri?

Ian tertawa lagi dan mengangguk-anggukkan kepalanya, sedangkan Calla mengerucutkan bibir menatap pria itu. Kita jalan kaki?

Tidak. Tempatnya cukup jauh dan ini sudah terlalu sore. Aku sudah meminjam motor. Kecuali kalau kau takut naik

motor. Kita bisa tinggal di tempat penginapan saja dan aku bisa beristirahat.

Aku tidak takut naik motor, sahut Calla cepat, dengan refleks mencengkeram lengan Ian. Ayo kita pergi. Kau akan memboncengku, kan?

Terpaksa, ucap pria itu, menunjukkan rasa tidak sukanya lewat ekspresi wajah.

Aku janji tidak akan merepotkanmu.

Apanya yang tidak merepotkan? dengus Ian dalam hati.

Hei, please, bisakah kau melonggarkan pelukanmu sedikit? Aku tidak bisa bernapas, seru pria itu akhirnya, tidak tahan dengan cengkeraman Calla di sekeliling pinggangnya. Gadis itu hampir saja membuatnya mati sesak kekurangan udara.

Ups, sorry, ringis Calla, bahkan tidak sadar bahwa dia mendekap pria itu begitu erat.

Sudah kubilang, kalau kau takut naik motor lebih baik kita di penginapan saja. Kau bisa berkeliling kebun teh dengan ibuibu lain atau apa. Menyusahkanku saja.

Calla melepaskan pelukannya dan hanya mencengkeram bagian ujung jaket pria itu saja, berusaha mengenyahkan rasa takutnya jauh-jauh.

Masih jauh?

Sebentar lagi sampai.

Dan gadis itu baru benar-benar mengembuskan napas lega setelah mereka akhirnya sampai di tempat tujuan tujuh menit kemudian, setelah melewati Barak Promasan, tempat istirahat sementara para pendaki.

Kau mau masuk? tanya Ian, mengedik ke arah gua berbentuk lorong gelap sepanjang 150 meter. Atau kau takut gelap?

Aku tidak keberatan dengan gelap.

Kau tadi juga bilang begitu saat aku mengajakmu naik motor dan lihat kelakuanmu sepanjang perjalanan. Kau tidak berencana untuk mengambil kesempatan memelukku lagi saat kita berada di dalam, kan?

Yang ini aku jamin.

Ian mematikan mesin motor, beranjak turun dan sedetik kemudian sudah memegang senter yang tadi tersimpan di dalam saku jaketnya.

Kuperingatkan kau, teriakan pertama, kita langsung kembali ke penginapan. Mengerti?

Takut naik motor tapi tidak masalah dengan tempat gelap dan menyeramkan, komentar Ian saat akhirnya mereka berdua sudah keluar dari gua dan pria itu sedang menghidupkan mesin motornya, berniat melanjutkan perjalanan ke air terjun.

Kenapa? Kau terpesona ya karena aku tidak sama dengan gadis lainnya? goda Calla, dengan mudah membuat Ian menghadiahkan sebuah delikan padanya.

Mungkin kau akan lebih menarik jika kau bersedia menyingkirkan semua rasa percaya dirimu yang berlebihan. Juga sikap agresifmu itu, saran Ian.

Oh ya? tanya gadis itu, tampak menimbang-nimbang. Tapi aku dan sifatku sudah satu paket, jadi kau harus rela menerima semuanya tanpa protes.
Callasun Karya Yuli Pritania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ian menyeringai sinis, menaikkan sebelah alisnya sebagai jawaban.

Kalau-kalau kau lupa, aku belum pernah mengutarakan apa pun tentang kerelaanku menerimamu. Apalagi ditambah dengan sifat-sifatmu itu, tandasnya, walaupun jelas tidak berhasil membuat Calla tersinggung sedikit pun. Cepat naik. Sebentar lagi magrib.

Aku sudah tahu ini akan terjadi, dengus Ian, sedikit mengernyit saat dia dengan enggan mengulurkan tangan, membantu Calla naik ke daratan dengan tubuh yang sudah basah kuyup dari puncak kepala hingga ujung kaki.

Gadis itu terlalu hiperaktif, meloncat ke sana kemari, senang setengah mati saat melihat pemandangan indah air terjun sehingga tidak melihat-lihat jalan, melupakan fakta bahwa permukaan daratan cukup licin. Dan begitulah, sedetik kemudian dia sudah tercebur ke dalam air dengan gaya yang sama sekali tidak enak dilihat. Dan bukannya malu, gadis itu malah nyengir tanpa rasa bersalah, bertanya polos apakah Ian tidak akan membiarkannya berenang lebih lama mengingat dia sudah terlanjur basah.

Aku tidak membawamu ke sini untuk berenang dan berlama-lama menikmati pemandangan, Lily, selanya tajam. Ada sedikit nada kesal terselip dalam suaranya, kendati dia sebenarnya ingin sekali menertawakan penampilan gadis itu yang tampak konyol dengan rambut yang basah dan baju yang kuyup dengan air yang menetes-netes ke tanah, membuatnya menjadi lelucon yang patut ditertawakan.

Kalau kau mau tertawa ya tertawa saja. Tidak usah ditahantahan. Ini kan yang kau maksud dengan menyiksaku agar kau merasa senang? rengut Calla, sebal karena dia tidak bisa berada dalam air lebih lama. Dan kenapa kau terus memanggilku Lily?

Karena namamu aneh.

Selain kau tidak ada yang protes dengan namaku. Lagi pula, aku akan senang sekali jika kau mau mencoba memanggil namaku dengan benar. Satu kali saja juga tidak masalah.

Masalahnya, potong Ian sambil melepaskan jaket yang dia pakai lalu menyodorkannya ke arah Calla yang menerimanya dengan raut wajah berseri-seri. Padahal maksudnya memberikan jaket itu hanya supaya dia tidak ikut-ikutan basah dalam perjalanan pulang ke penginapan karena gadis tersebut pasti akan menempel padanya seperti lintah. Aku tidak punya ketertarikan sedikit pun untuk membuatmu senang.

Calla menyelubungi tubuh bagian atasnya dengan selimut perca tebal yang dia temukan di kamar, melangkah ke halaman belakang rumah tempat mereka menginap, dan menemukan Ian yang sudah duduk santai di depan api unggun kecil yang dibuatnya, menikmati secangkir kopi hangat. Ada dua mangkuk mi yang masih mengepul di atas meja, membuat perut Calla langsung menari riang.

Ian menggeleng-gelengkan kepala saat gadis itu menyerbu meja, tidak mengucapkan sapaan apa-apa dan langsung menyantap mi-nya, tampak begitu puas bisa mendapat

kehangatan sekaligus dari api yang mengeluarkan suara keretekan lirih saat melalap kayu-kayu yang ditumpuk di bawahnya secara perlahan.

Mau lagi? tawar Ian setelah tiga menit kemudian mi di mangkuk gadis itu tandas dalam kecepatan kilat.

Calla nyengir tanpa dosa, memasang tampang malu-malu yang membuat alis Ian berkerut dan mengusap tengkuknya grogi.

Kau belum makan, ucap gadis itu, menyuarakan masalah pelik yang dihadapinya.

Aku bisa masak satu lagi, ujar Ian, mengambil satu mangkuk mi yang tersisa di atas meja lalu menyodorkannya pada gadis itu.

Yah& kalau begitu& aku makan.

Ian mendengus, menyamarkan tawa kecilnya yang mendesak keluar, tidak tahan dengan kelakuan ajaib gadis di sampingnya. Dia melemparkan beberapa ranting dan dahan lagi untuk memperbesar api dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Maaf, aku merusak acara naik gunung bulananmu. Pria itu menoleh sedikit dan mengangkat bahunya tak peduli.

Biasanya kau juga pergi sendirian?

Seringnya. Aku lebih suka sendirian kalau bisa. Tapi kadang Rayhan ikut, kalau dia sedang jinak dan tidak terlalu menyebalkan untuk diajak bicara.

Aku suka Rayhan. Dia menyenangkan. Dia juga lucu. Ya sudah, pacaran saja dengannya. Dia tidak akan menolakmu. Adikku itu punya ketertarikan aneh terhadap gadis cantik.

Aku mebukana& pi& ku& mebita& mu, ujar Calla dengan mulut penuh.

Habiskan dulu makananmu, tegur Ian, lagi-lagi menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Kenapa gadis itu tidak pernah berusaha membuat dirinya terlihat anggun?

Calla mengunyah tiga kali, menelan dan mengulangi katakatanya lagi, Aku menyukainya, tapi aku mencintaimu. Itu kan beda, sungutnya, mengajukan protes.

Ian menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya gadis itu mengungkapkan perasaannya secara langsung. Dia cukup menghargainya. Dan kejutan, dia cukup suka mendengarnya.

Tapi ngomong-ngomong, Ian, kau baru saja memujiku cantik ya? lanjutnya lagi dengan senyum begitu lebar menghiasi bibirnya. Bayangan api yang berkobar memantul di rambutnya yang terlihat semakin gelap, hingga nyaris mendekati cokelat, menimbulkan ilusi aneh tentang wajah gadis itu; tulang pipinya yang tinggi, matanya yang sewarna karamel, dan alisnya yang melengkung. Seperti kecantikan ala gadis bangsawan Irlandia yang terkesan anggun dan liar.

Ian memalingkan wajah, mengerutkan keningnya sedemikian rupa, mengira bahwa dia baru saja dirasuki arwah pegunungan yang memainkan pikirannya sampai tercerai-berai, hilang konsentrasi.

Hanya menyampaikan pendapat objektif, ucapnya kemudian seraya menghela napas berat. Membuat pengakuan seperti itu membuat tubuhnya lemas, hilang tenaga. Oke, itu berlebihan.

Kalau pendapat subjektifmu? tanya Calla sambil beringsut mendekat, tertarik mendengar jawaban apa yang akan diberikan pria tersebut padanya.

Ian menatap gadis itu gusar, berusaha bersikap tenang. Aku tidak akan pernah memuji penampilanmu bahkan jika kau terlihat seperti Keira Knightley sekalipun di hadapanku.

Jadi aku terlihat seperti Keira Knightley ya? goda Calla, mengangguk-anggukkan kepalanya senang. Biasanya orangorang sering menyebut aku mirip Natalie Portman. Tapi mereka berdua memang sangat mirip, kan? Keira dan Natalie.

Ian mengacak-acak rambutnya frustrasi. Oh, demi Tuhan, dia baru saja menyuarakan pikirannya dengan terang-terangan.

Ian memakai kaus putih pas badannya, menutupinya dengan kemeja berwarna sama yang dibiarkannya tidak terkancing, lalu mulai mengikat tali sepatu ketsnya. Dia menghampiri kamar Calla untuk menyuruh gadis itu segera bersiap, tapi nihil. Gadis itu tidak tampak di mana pun.

Nak Calla tadi ikut dengan istri saya ke kebun teh. Pagi-pagi sekali. Coba cari saja, beri tahu pemilik rumah yang melihat Ian berdiri di depan pintu kamar gadis itu dengan raut wajah kebingungan.

Ian menoleh, tersenyum, kemudian mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, bergegas ke luar rumah dan berbelok ke jalan setapak mendaki yang terhubung ke kebun teh.

Masih pukul enam. Matahari baru saja naik, menyirami petak-petak teh sehingga pucuk-pucuknya terlihat berkilauan

seperti berlian. Pria itu mengedarkan pandangannya, mencari di antara sekelompok ibu-ibu yang sibuk memetik daun teh yang sudah bisa dipanen. Bukan hal sulit, karena gadis itu satu-satunya perempuan yang memiliki rambut berwarna merah di sana, juga karena gaun putih selututnya yang tampak mencolok di antara pakaian-pakaian lain yang dominan cokelat atau hitam.

Tanpa sadar Ian hanya berdiri diam saja di tempatnya, mendongak menatap gadis itu yang beberapa puluh meter jaraknya. Entah bagaimana terlihat berkilau. Alasan kenapa dia begitu suka melihat gadis itu dalam balutan warna putih.

IAN!!! Gadis itu berteriak, melambai-lambai penuh semangat ke arahnya, membuatnya mendadak tersadar dan mulai memaki-maki diri sendiri. Apa dia baru saja& terpesona? Kedengarannya cukup& berbahaya. Hatinya mulai terasa terlalu lemah. Terlalu cepat menerima.

Dia melanjutkan langkah, sedangkan gadis itu berlari-lari kecil menyongsongnya.

Kita serasi! Itu kata sambutan pertama yang gadis itu ucapkan saat akhirnya mereka berdiri berhadapan. Sial, kenapa tadi dia memilih warna putih?

Apa kita langsung pulang? Berkeliling dulu ya? Sepuluh menit? Lima menit juga boleh. Berjalan-jalan di kebun teh itu romantis sekali.

Aku bukan pacarmu, desis Ian memperingatkan, yang seperti biasa, diabaikan begitu saja oleh Calla yang langsung menarik tangannya dengan paksa.

Yang penting kan kau pria yang aku sukai. Itu sama saja kedengarannya.

Ian melambatkan langkahnya, berjalan pelan-pelan. Kalau memang dia terpaksa harus berjalan-jalan dengan gadis ini, dia akan melakukannya dengan caranya sendiri.

Ah, kau mau menghabiskan waktu lebih banyak bersamaku ya? Makanya berjalan pelan-pelan?

Pria itu menyeringai. Aku sengaja berjalan lambat-lambat agar jarak yang kita tempuh selama lima menit ke depan tidak terlalu jauh, yang berarti waktu untuk kembali ke penginapan juga tidak lama.

Calla membulatkan matanya. Kau licik sekali, Ian Pramudya Hanafiah.

Aku harus menggunakan otakku kan untuk menghadapi tukang paksa sepertimu?

Gadis itu merengut, mengeratkan cengkeramannya di lengan bagian atas pria tersebut, yang kemudian membuat pikirannya terfokus pada hal lain.

Kau sering olahraga ya? Tubuhmu bagus. Ah, aku lupa. Kau kan suka mendaki gunung.

Jangan mengotori pikiranmu dengan berimajinasi tentang tubuhku.

Kau juga boleh berimajinasi tentang aku, sahutnya polos.

Demi Tuhan, dengar! sentak Ian geram. Kau itu perempuan. Aku tidak akan melecehkanmu dan kau juga tidak boleh membiarkan pria lain melecehkanmu dengan cara seperti itu! Ya itu sesukamu saja.

Astaga, ucap Ian tidak tahan. Tidak bisakah kau bersikap normal seperti wanita biasa lainnya? Manis, pendiam& tidak agresif?

Kau mau aku jadi orang lain?

Tidak, tukas Ian cepat. Bukan begitu. Kau berhak menjadi dirimu sendiri. Hanya saja ini Indonesia. Bukan Irlandia ataupun New York. Sifatmu yang& agresif, mengungkapkan perasaanmu tanpa ragu kepada orang yang kau sukai, mengejarku tanpa henti& itu sedikit& tidak sesuai dengan budaya di sini.

Begitu? Aku harus menahannya sedikit ya? gumamnya sambil berpikir. Tapi akan lebih baik lagi kalau kau cepat-cepat jatuh cinta padaku. Cinta bertepuk sebelah tangan itu tidak enak, kau tahu? Kau kan juga merasakannya. Apa enaknya menatap Kiera dengan penuh cinta sedangkan dia tidak balas memandangmu dengan jenis tatapan yang serupa dengan yang kau berikan? Calla melarikan tangannya ke atas permukaan daun-daun teh yang berwarna hijau. Sedangkan kalau kau mengalihkan perasaanmu padaku, lalu menatapku, aku pasti akan menatapmu balik dengan cara yang sama. Bukankah itu kedengarannya menyenangkan? Kau& tidak perlu menderita lebih lama. Ian.

Jalan-jalan sesi dua ya? tanya Calla riang, menatap bangunan peninggalan sejarah di depannya dengan kagum, yang terbuat dari tumpukan batu yang disusun secara artistik. Sesuatu yang akhirnya dia kenali sebagai candi.

Tidak. Hanya rutinitasku setiap selesai mendaki gunung. Kiera suka mengoleksi benda-benda seni. Patung, guci, kadang gantungan kunci. Aku selalu membelikannya oleh-oleh dari tempat-tempat menarik yang aku kunjungi. Dan kebetulan aku belum pernah ke sini.

Ian membayar tiket masuk, berjalan duluan tanpa memedulikan apakah Calla mengikutinya atau tidak.

Kalau sudah membicarakan Kiera kau mulai mengeluarkan banyak kalimat ya, komentar gadis itu, lebih terdengar seperti ejekan daripada ungkapan patah hati. Kau sudah pernah ke Borobudur? Prambanan? Bagaimana kalau kau jadi tour guideku selama di sini?

Kau mau bayar aku berapa?

Hmmm& aku akan membayarmu dengan cinta. Sebanyak apa pun yang kau mau! seru gadis itu tidak tahu malu sambil merentangkan tangannya lebar-lebar.

Ian berjengit. Kalau begitu enyah saja dari hadapanku. Calla merengut dan mendorong bahu Ian sebal. Mulutmu itu& benar-benar berbisa.

Sepertinya itu pujian. Terima kasih.

Calla mencibir, dengan enggan mengikuti langkah pria itu daripada dia tersesat karena sibuk merajuk.

Walaupun merasa kesal, dia harus mengakui bahwa tempat yang mereka kunjungi ini indah sekali. Candinya sendiri tidak terlalu besar, tidak seperti Candi Borobudur yang pernah dilihatnya di internet ataupun Candi Prambanan yang punya beberapa bangunan yang terpisah di area yang luas.

Hei, nama candi ini apa?

Ian menyipitkan mata saat mendongak ke atas, berusaha melihat puncak candi, merasa silau karena cahaya matahari yang menusuk sehingga dia meletakkan tangannya di depan kening, menaungi matanya agar bisa melihat.

Kalasan.

Eh? tanya Calla kebingungan. Kau barusan menyebut namaku?

Namamu? Aku memberi tahumu nama candi ini. Kalasan. Oh. Kupikir kau menyebut namaku, memberi tahu sesuatu tentang sinar matahari. Sun. Kedengarannya mirip.

K-a-l-a-s-a-n. Bukan C-a-l-l-a-s-u-n. Ian tidak bisa menyalahkan gadis itu karena cara pengucapan kedua kata tersebut memang persis sama.

Calla menyunggingkan cengiran polosnya. Ah& aku jadi suka candi ini.

Sesukamu sajalah, tukas Ian, mulai merasa jengkel. Mereka berkeling selama setengah jam berikutnya, menginspeksi bagian dalam candi, dan dia harus bersabar mendengarkan Calla mengajukan serentetan prtanyaan kepada petugas di sana yang memang ditugasi untuk menjelaskan semua hal tentang candi kepada pengunjung yang datang. Dan dia berani jamin tidak ada pengunjung lain yang lebih cerewet dan tidak bisa diam dibanding Calla.

Mereka melanjutkan perjalanan ke stan-stan yang berada di dekat kawasan candi, karena dia perlu membeli sesuatu untuk oleh-oleh, sedangkan Calla meninggalkannya sendiri, sibuk

dengan kegiatan hiperaktifnya menyambangi semua stan yang menarik perhatian.

Ian masih memilih-milih, sampai akhirnya Calla muncul lagi, menepuk bahunya dari belakang dan menyodorkan sebuah gantungan kunci yang merupakan replika mini dari bangunan candi.

Untukmu. Awas kalau kau buang, ancam gadis itu, berbalik membelakanginya untuk membeli minuman yang dijual. Sepertinya kehausan karena cuaca yang panas dan terik. Belum lagi gadis itu juga bergerak ke sana-sini, sama sekali tidak bisa diam.

Dia memandangi gantungan kunci dalam genggamannya, lalu tanpa sadar menaikkan pandangan ke arah punggung gadis itu, melihat bagaimana sinar matahari menyusup dari celah pepohonan, memantul, dan bermain-main dengan rambut merah gadis tersebut, membuat warnanya menjadi semakin terang. Lalu tiba-tiba gadis itu berbalik, dengan mulut yang menyeruput sedotan minumannya, menyodorkan satu botol lagi kepada Ian. Tampak polos. Ceria. Bahagia.

Calla..., gumamnya, tanpa sadar tersenyum. Terpesona. Sun.

Betapa dia tadi menganggap istilah itu konyol. Dan kemudian menemukan fakta bahwa hal tersebut tidak ada konyol-konyolnya sama sekali. Sudah berapa kali dia terpana akan wujud gadis itu di bawah siraman cahaya matahari? Dia tidak bisa melarikan diri lagi, berusaha mengabaikan apa yang tersaji di depan mata.

Iya. Aku tahu namanya Kalasan. Tidak usah mengejekku lagi, dengus gadis itu dengan bibir cemberut. Kau suka gantungan kuncinya?

Tidak tidak. Bukan Kalasan. CallaSun. Calla. Matahari. Seperti sebuah perpaduan yang bisa menyilaukan mata. Dan dia tidak bisa menjawab penyebabnya. Karena sinar mataharikah? Atau karena esensi menyenangkan saat menatap gadis itu sendiri?

Mmm, aku suka, ujarnya. Berbohong tentang apa yang dia maksudkan sebenarnya. Nanti saja. Dia perlu sedikit waktu untuk& berpikir.

Mendadak membelikan oleh-oleh untuk Kiera tidak lagi tampak menarik.

C alla menuruni tangga dengan gerakan lambat. Tangannya

mencengkeram pegangan tangga kuat-kuat untuk menahan keseimbangan tubuhnya, sedangkan sebelah tangannya lagi memegangi sisi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. Ini sudah lewat tengah hari dan dia lupa begitu saja bahwa dia belum makan sejak pagi karena terlalu keasyikan menyelesaikan pekerjaan. Tapi bahkan saat sudah selemah ini pun, dia memilih untuk tidak turun ke lantai bawah menggunakan lift, berpikir bahwa benda berbentuk kotak tertutup itu hanya akan membuat rasa pusing yang dideritanya semakin parah.

Tubuh gadis itu limbung ke depan, tidak lagi memiliki sisa tenaga untuk menahan laju tubuhnya. Perutnya benar-benar sudah melilit dan tusukan-tusukan di kepalanya hanya bertambah buruk setiap detiknya.

Hei hei hei, Lily!

Calla masih sempat mendengarkan suara panik yang berasal dari depan, suara yang sangat familier dan tentu saja hanya ada satu orang yang memanggil namanya seperti itu. Tapi gadis itu sudah terlalu pusing dan kehilangan setengah kesadarannya, jadi dia membiarkan tubuhnya jatuh ke depan saat pandangannya menggelap dan dia tidak lagi bisa memikirkan apa-apa.

Ian membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana selagi dia berjalan pelan menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai 4. Dia memang lebih suka menghabiskan banyak waktu untuk berjalan daripada mengambil jalur singkat dengan menaiki lift. Bukan hanya karena berjalan itu adalah kegiatan yang menyehatkan, tapi dia juga bisa menggunakan waktu yang dihabiskannya untuk melakukan hal tersebut dengan berpikir. Dan kali ini, topik yang dipikirkannya adalah topik yang belum pernah dia sentuh sebelumnya. Calla. Kiera.

Akhir-akhir ini tidak bertemu dengan Kiera lebih dari beberapa hari tidak lagi terasa menyiksa baginya. Karena dia& mendapatkan mainan baru yang lebih menarik. Seorang wanita yang bisa membuatnya menghabiskan waktu untuk merasa jengkel dan terkadang bahkan merasa takjub dengan kelakuan ajaibnya. Seseorang yang cukup menyita perhatiannya sehingga tidak lagi memiliki waktu tersisa untuk memikirkan hal lain.

Ada sesuatu dari cara gadis itu memandangnya, yang membuatnya tersadar akan sesuatu. Bukan karena tatapan penuh pemujaan yang terlihat jelas dari sorot mata gadis tersebut, tapi karena dia pernah melihat tatapan yang sama di mata gadis lain. Hanya saja tatapan itu bukan untuknya.

Dia hanya pernah melihat kedua orang itu bersama dalam satu kesempatan. Saat ayahnya pertama kali mengenalkan Kiera sebagai calon istrinya. Walaupun dia tidak pernah mau mengakuinya, tapi dia melihat tatapan yang sama, jenis tatapan yang persis sama dengan tatapan yang digunakan Calla setiap kali menatapnya. Dia hanya& tidak pernah mau menerima bahwa Kiera memang mencintai ayahnya. Bahwa gadis itu bukan mencari sosok ayah yang tidak dimilikinya, tapi memang mencari sosok pria yang bisa mendampinginya. Dan Ian tidak pernah mau mengakui hal itu.

Pria tersebut membuka pintu menuju tangga lantai 4 saat matanya menangkap sosok gadis yang sedang dia pikirkan berjalan menuruni tangga. Lambat, kalau tidak bisa dibilang dengan susah payah, dengan muka yang pucat dan langkah yang mengkhawatirkan. Gadis itu sudah mencapai empat anak tangga terakhir saat tubuhnya limbung, membuat jantung Ian nyaris berhenti berdetak.

Hei hei hei, Lily! serunya panik, dengan refleks menjangkau ke depan untuk menangkap tubuh Calla, sedangkan mata gadis itu sudah tertutup. Gerakannya terlalu cepat sehingga Ian tidak sempat menyeimbangkan tubuhnya dan malah ikut terjatuh menghantam lantai dengan tubuh Calla berada di atas tubuhnya.

Ian bisa merasakan panas tubuh Calla yang menembus kemeja yang dipakainya di balik jas yang tidak dikancingkan. Pantas saja gadis itu tampak begitu pucat, demamnya tinggi sekali.

Ian masih berada dalam posisi yang sama dengan tangan kanan yang terentang dan tangan lain yang memegangi bagian

belakang kepala gadis itu untuk menahan benturan saat pintu di sampingnya terbuka lagi dan seorang karyawan perempuan masuk dengan membawa kotak penuh dokumen yang menggunung sehingga dia tidak bisa melihat jalan di depannya.

Ian tidak sempat berpikir untuk mengeluarkan suara ataupun bergerak saat menyadari apa yang akan terjadi di detik berikutnya, karena yang dirasakannya sesaat kemudian hanyalah rasa sakit yang begitu menusuk di bagian lengan kanannya, bunyi derak dari tulangnya yang mungkin patah, dan suara teriakan kesakitannya yang tidak bisa ditahan dan lolos dari mulutnya begitu saja, dibalas dengan seruan kaget dari karyawan tersebut melihat apa yang sudah diperbuat oleh sepatu hak tingginya terhadap lengan atasannya yang entah bagaimana sedang berbaring di lantai dengan seorang wanita di atasnya.

Wanita tersebut melempar kotak berisi dokumen-dokumennya begitu saja dan langsung berteriak mencari pertolongan, meninggalkan Ian yang memejamkan matanya kuat-kuat sedangkan rasa sakit itu menyiksanya tanpa ampun. Dan di detikdetik yang terasa mengerikan itu, dia masih sempat mengutuk siapa pun yang sudah memiliki ide untuk menciptakan sepatu hak tinggi sialan itu di muka bumi.

Ian menoleh saat pintu ruang rawatnya terbuka dan Calla menghambur masuk ke dalam, masih dengan pakaian pasien yang tampak kebesaran di tubuh mungilnya.

Kau tidak apa-apa? serunya panik dengan raut wajah yang langsung berubah ngeri saat melihat gips yang membalut tangan Ian.

Kau kenapa-napa, rengutnya kemudian, tampak merasa bersalah.

Tidak ada hubungannya denganmu, ucap Ian, yang terdengar seperti gerutuan.

Kalau kau tidak ada di sana untuk menolongku, pasti kau tidak akan seperti ini.


Fear Street Adik Tiri Stepsister Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Rahasia Bukit Iblis Pit Mo Gay Karya

Cari Blog Ini