Ceritasilat Novel Online

Callasun 3

Callasun Karya Yuli Pritania Bagian 3

Tidak usah mulai merengek-rengek meminta maaf kepadaku. Dokter bilang ini akan sembuh dalam beberapa hari, jadi tutup saja mulutmu. Aku tidak suka gadis cengeng.

Calla cepat-cepat mengelap matanya yang sudah mulai berkaca-kaca, membuat Ian menaikkan alisnya, tidak habis pikir dengan sifat gadis itu yang selalu saja melakukan apa yang dia katakan tanpa berpikir panjang. Satu-satunya ucapannya yang tidak pernah dipatuhi gadis itu hanya saat dia menyuruh gadis itu berhenti menyukainya, yang jelas ditentang oleh gadis tersebut habis-habisan.

Calla menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi yang terletak di samping ranjang, menumpangkan kedua tangannya ke atas kasur dan meletakkan dagu di atasnya, memandangi Ian dengan tatapannya yang biasa.

Kenapa kau baru ke sini? tanya Ian asal, merasa harus mencari topik pembicaraan karena dia sedikit tidak nyaman dipandangi terang-terangan seperti itu.

Aku baru bangun, jawab Calla, tampak kesal pada dirinya sendiri. Lalu Tante Ratih memberi tahu tentang keadaanmu dan aku langsung ingin ke sini. Tapi dia malah memaksaku makan, baru memberiku izin untuk menjengukmu.

Tentu saja Ibu menyuruhmu makan. Dokter bilang kau mengidap maag akut. Kau pasti tidak makan seharian, kan?

Aku lupa. Pekerjaanku terlalu mengasyikkan. Tadi aku sedang mengedit novel baru dan ceritanya sangat menarik jadi aku melewatkan makan siangku begitu saja.

Ian mendelik, tapi tidak berkomentar apa-apa. Ibu mana?

Pulang. Menjemput pakaian kita. Nanti sopir akan mengantarkannya ke sini.

Kita? ulang Ian, memutar matanya. Ibu bilang kau bisa langsung pulang setelah kau bangun dan makan.

Aku akan menginap di sini malam ini. Menyenangkan, kan? Kali ini raut wajah gadis itu menjadi cerah, dan rona mukanya mulai kembali seperti semula, tidak lagi pucat seperti tadi.

Ian mendengus dan memasang tampang sinisnya, tampak jengkel dengan penggunaan kata yang dipilih Calla. Menyenangkan apanya, hah?

Calla mendorong pintu sampai terbuka dan raut wajahnya langsung berubah memerah saat melihat tidak hanya ada satu orang di sana, tapi dua. Dan orang itu adalah Kiera. Seseorang yang seharusnya tidak disukainya. Mungkin. Tapi dia memang tidak pernah bisa membenci seseorang. Lagi pula gadis itu tampak baik dan bersikap ramah padanya.

Ng& hai, sapanya, tampak malu sendiri.

Hai, Calla, balas Kiera sambil tersenyum, sedangkan Ian memasang raut wajah dinginnya yang biasa, mungkin merasa terganggu dengan kedatangannya yang tiba-tiba dan merusak momen kebersamaan mereka.

Aku mengganggu? tanya gadis itu akhirnya, merasa tidak enak.

Tidak. Aku hanya berusaha menyuapi Ian, tapi dia tidak mau menelan satu sendok pun, jawab Kiera, memperlihatkan piring berisi makanan yang masih utuh.

Aku kan sudah bilang aku tidak berselera makan, sahut Ian membela diri.

Aneh, gumam Calla heran. Seharusnya Ian bersedia makan kan jika yang menyuapi adalah seorang Kiera? Tapi jalan pikiran pria itu memang aneh.

Apanya yang aneh? tanya Kiera bingung.

Tidak apa-apa, sahut Calla cepat, menggelengkan kepalanya karena menyadari pelototan yang diberikan Ian padanya.

Aku memasakkan nasi goreng kesukaanmu. Kau mau tidak? tawar gadis itu, memamerkan kotak bekal di tangannya.

Kau tidak pergi bekerja? Membolos? gertak Ian, memasang tampang sebagai atasan yang tampak kesal dengan kelakuan bawahannya.

Aku pergi! sungut Calla, tidak terima dituduh seperti itu. Tadi pagi kan aku bilang padamu bahwa aku berangkat ke kantor. Aku tidak akan berbohong!

Lalu bagaimana bisa jam segini kau berada di sini dan membawa nasi goreng buatanmu?

Aku menyelesaikan pekerjaanku cepat-cepat. Tidak banyak, jadi pukul sebelas tadi aku bisa pulang ke rumah dan memasak untukmu karena aku pikir kau pasti tidak berselera memakan makanan rumah sakit. Setelah ini aku akan kembali ke kantor. Kau selalu saja curiga padaku.

Kalian manis sekali, komentar Kiera, melemparkan senyuman menggoda pada Ian, membuat pria itu melemparkan pelototan yang tadi diarahkannya pada Calla kepada gadis itu.

Apanya yang manis! teriak pria itu dengan raut wajah ngeri. Aku ini tidak ada hubungan apa-apa dengannya! Kalaupun ada juga tidak apa-apa. Ya kan, Calla? Calla langsung mengangguk-angguk penuh semangat, membenarkan.

Ya sudahlah, Calla sudah datang, jadi aku mau kembali ke kantor. Ayahmu mungkin akan ke sini nanti sore setelah pulang kantor. Dia ingin ke sini lebih cepat, tapi pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan, jadi aku ke sini duluan, jelas Kiera sambil bangkit dari kursinya. Cepat sembuh kalau begitu.

Besok aku sudah boleh pulang.

Tapi tanganmu masih harus di-gips, kan? Jaga dia baikbaik, Calla. Dia ini bisa sangat menjengkelkan.

Aku tahu, sahut Calla setuju, membuat Kiera terkekeh. Gadis itu kemudian menepuk bahu Ian sekilas dan tersenyum.

Sampai jumpa, pamitnya lalu beralih kepada Calla. Sampai bertemu lain kali. Senang mengetahui bahwa Ian sudah memiliki seseorang yang bisa menjaganya dengan baik. Aku bukan anak kecil, sungut Ian kesal. Yah, terserah kau sajalah. Aku pergi dulu.

Kenapa dia tampak sangat menyukaimu? gerutu pria itu setelah Kiera keluar dari ruangan dan menutup pintu.

Tentu saja karena aku ini penuh pesona. Kau saja yang belum sadar, ucap Calla membanggakan diri. Dia duduk di atas kursi yang diduduki Kiera tadi dan membuka kotak bekal yang dibawanya, dengan cepat menyendok nasi goreng tersebut dan menyodorkannya ke mulut Ian.

Aku sudah bilang aku tidak mau makan. Kau tuli ya? Jangan mulai merengek-rengek seperti anak kecil, Ian Pramudya Hanafiah. Kau terlihat menggelikan.

APA KAU BI HMMFH!

Calla menggunakan kesempatan itu untuk menyuapkan dengan paksa satu sendok penuh nasi ke dalam mulut Ian lalu menekankan punggung sendok ke bibir pria itu, menahan agar pria tersebut tidak menyemburkan nasinya keluar.

Nah, bagus. Telan sampai habis, perintahnya, untuk pertama kalinya terlihat memasang raut wajah kejam di depan Ian.

Ian melaksanakan perintah gadis itu, karena ingin menyemprot gadis itu atas kekejian yang telah dilakukannya.

Pria itu menelan makanannya cepat-cepat dan menatap Calla murka.

Calla Andira Rasyir, kau pikir apa yang sedang kau lakukan, hah?

Calla melebarkan matanya takjub, tanpa sadar memajukan tubuhnya ke depan, membuat Ian langsung mundur ke belakang sampai punggungnya membentur sandaran ranjang. Mau apa kau? tanyanya curiga.

Aku baru tahu bahwa namaku seindah itu. Coba ucapkan lagi, desahnya penuh kebahagiaan.

Ian kontan langsung mendorong kepala gadis itu menjauh dan memasang tampang mual.

Berhenti jadi menjijikkan! Kau mau membuatku muntah?

Ian membuka matanya, mendadak terbangun tanpa sebab. Masih malam, karena tirai di ruang rawatnya masih tertutup.

Pria itu menolehkan wajahnya dan mendapati Calla masih duduk di atas kursi di samping tempat tidur, menyandarkan kepalanya ke atas kasur, dan tertidur dalam posisi paling tidak nyaman itu.

Ian membiarkannya, tidak mau mengganggu tidur gadis itu. Matanya malah melirik buku kecil dalam genggaman gadis tersebut yang tergeletak di samping tangannya, sehingga dia bisa meraihnya dengan mudah. Apa yang sedang ditulis gadis itu kira-kira?

Ian terlanjur penasaran sampai tidak memikirkan masalah kesopanan lagi. Dia membuka halaman terakhir yang ditandai dengan pita pembatas. Tertulis tanggal hari ini di bagian atasnya.

Watching him sleep all night. The most beautiful face I ve ever seen.

He has the most adorable eyes you could ever fall for. The rare smile that takes your breath away. He has the ability to rapture you all the time. And whenever you look into his eyes, it will be so hard to turn away.

This guy& he is the kind of man everyone would fallin in love with, easily, even if they didn t want to. And unfortunately, I m also one of those women.

Maybe he is not a good man. Cold. Arrogant. Hmmfh. The problem is& no matter how many times I get hurt because of him, I still can t take my eyes away. Because even if I had one hundred reasons to do it, I ll keep looking for the only one reason to fight, for keeping my eyes on him only. It is that worth. I love him that much.

Ian menutup buku tersebut lalu mengembalikannya ke tempat semula. Dia kemudian sedikit memajukan tubuhnya, menunduk di atas wajah Calla yang hanya terlihat separo karena posisi tidurnya. Pria itu mengulurkan tangannya yang tidak di-gips lalu menyusuri struktur wajah Calla dengan punggung jarinya, menyingkirkan helaian rambut yang terjatuh menutupi pipi gadis itu dengan hati-hati.

Mungkin sudah lama. Tapi dia baru bisa mengakui bahwa dia memang sudah jatuh cinta pada gadis itu. Hanya karena akhirnya dia menyadari bahwa tidak ada lagi jalan keluar untuk kabur.

Rasanya seperti& seluruh beban di pundaknya terangkat tiba-tiba. Mungkin dia masih akan tetap menyimpan perasaannya sendiri. Saat ini. Tapi dia tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi seperti yang dilakukannya dulu. Dia akan memberi tahu gadis itu. Nanti. Saat waktu tidak lagi menghambur menjauh dengan begitu cepat tanpa bisa dikejar.

Ian tersentak dari keasyikannya memandangi wajah Calla saat sebuah dehaman membuyarkan lamunannya, menariknya lagi ke alam nyata.

Ibu, ucapnya salah tingkah. Sejak kapan Ibu berdiri di sana? Dan kenapa Ibu ke rumah sakit malam-malam begini?

Tidak terlalu malam. Baru pukul setengah sebelas. Ibu mau mengantarkan pakaian dan juga menengok keadaan kalian. Hmm& tapi lihat apa yang Ibu dapatkan. Manis sekali.

Wajah Ian langsung memerah mendapatkan tatapan menggoda dari ibunya. Dia bahkan tidak bisa menemukan alasan untuk membantah apa pun yang sedang dipikirkan ibunya sekarang.

Ratih melangkah mendekat, meletakkan bungkusan yang dibawanya ke atas sofa, lalu duduk di tepi ranjang Ian, menatap wajah anaknya itu sambil tersenyum senang.

Sudah tahu kan sekarang kenapa Ibu bersikeras menjodohkan kalian berdua? tanyanya sambil menepuk punggung tangan Ian pelan. Karena Ibu tahu bahwa Calla adalah gadis baik-baik yang bisa mengubahmu. Ibu melihatnya tumbuh, seperti Ibu melihatmu tumbuh. Kau lihat betapa polosnya dia. Tidak bisa berbohong, selalu mengatakan apa pun yang dia rasakan. Kau membutuhkan wanita seperti itu. Dan kenyataannya Ibu benar, kan?

Ian hanya diam, enggan untuk sekadar membuka mulut untuk menjawab.

Jaga dia baik-baik. Mengerti? Sekarang yang dia miliki hanya kau saja. Ibu akan sangat kecewa kalau kau sampai menyakitinya.

C alla membuka pintu ruang kerja Ian dan melongokkan wa
jahnya ke dalam, sedikit nyengir saat pria itu menoleh ke arahnya dengan kening berkerut.

Aku sedang tidak ada kerjaan. Boleh main ke sini, kan? tanyanya riang sambil melangkah masuk dan berjalan menghampiri pria itu.

Ini bukan taman bermain. Aku sedang sibuk. Kau sedang mengerjakan apa? tanyanya tertarik, menjulurkan wajahnya melewati bahu pria itu. Kau sedang mengetik? Apa tidak susah mengetik dengan satu tangan? tanyanya lagi, merujuk pada tangan kiri Ian yang masih di-gips. Aku harus menyiapkan presentasiku untuk rapat lusa. Kau kan bisa menyuruh sekretarismu mengerjakannya. Pekerjaannya sudah menumpuk banyak tanpa harus kutambahi lagi. Lagi pula aku masih bisa mengetik dengan satu tangan.

Tapi pekerjaanmu jadi lamban. Sini aku yang ketikkan. Aku bisa mengerjakannya lima kali lebih cepat daripada yang kau lakukan sekarang, ujar Calla dan dengan santai, tanpa merasa canggung sedikit pun, menjatuhkan tubuhnya ke atas pangkuan Ian, kemudian menggeretakkan jari-jarinya.

Nah, apa yang harus aku ketik? serunya semangat. Kau mau menambah kerepotanku?

Apa? tanya Calla tak mengerti.

Kau mau membuat kakiku keram karena menahan berat tubuhmu?

Aku kan tidak berat! rengut gadis itu dengan bibir mengerucut kesal. Lagi pula aku bisa membantumu mengerjakan pekerjaanmu dengan lebih cepat dan dengan posisi seperti ini, kau bisa mengoreksiku langsung kalau aku melakukan kesalahan.

Ian mendengus, tahu bahwa sebagian besar ucapan gadis itu memang benar. Gadis itu memang tidak berat sama sekali. Mengingat nafsu makannya yang selama ini tidak tahu malu, cukup membingungkan mendapati kenyataan bahwa gadis itu terasa ringan.

Dan pas, keluhnya dalam hati. Gadis itu terasa begitu pas dalam pelukannya.

Calla memang mungil, tapi tubuhnya benar-benar memiliki lekuk di tempat yang tepat dan terlihat proporsional dengan tinggi badannya yang hanya 155 cm. Tidak heran kalau gadis itu selalu menjadi pusat perhatian para pria selain karena fakta bahwa warna rambutnya sangat mencolok.

Ketik saja yang sudah aku tulis di sana, tunjuk Ian ke arah kertas-kertas yang berantakan di dekat laptopnya. Kalau tidak mengerti tanyakan saja. Dan aku akan memberitahumu kalau ada yang perlu diubah.

Calla mengangguk dan memulai pekerjaannya, sedangkan Ian memundurkan tubuhnya sampai bersandar ke punggung kursi agar tidak menyentuh tubuh gadis itu lebih banyak daripada yang seharusnya.

Dia bertahan dalam posisinya selama beberapa menit sampai Calla menanyakan sesuatu padanya sehingga dia terpaksa memajukan tubuh untuk melihat layar laptop. Saat itulah dia mendapati betapa wanginya aroma tubuh dan rambut gadis itu. Indra penciumannya dipenuhi semburat wangi lili yang menyenangkan dan bau mint yang samar tercium dari helaian rambut gadis itu yang hanya berjarak beberapa senti dari hidungnya. Jadi alih-alih menjauhkan tubuh lagi seperti sebelumnya, dia malah tanpa sadar meletakkan dagunya di atas bahu gadis itu. Badan mungil gadis itu membuat hal tersebut mungkin untuk dilakukan dengan nyaman. Dan dia memang merasa nyaman.

Di lain sisi, Calla sendiri berusaha untuk tidak tersentak kaget dan memastikan jari-jarinya tetap bergerak di atas keyboard, padahal yang diinginkannya adalah diam tidak bergerak saking terkejutnya dengan perlakuan Ian yang tidak disangkasangka. Tapi dia tidak mau pria itu merasa terganggu dan memilih menjauh lagi, jadi dia terpaksa mengerahkan seluruh konsentrasinya yang tersisa untuk menenangkan diri secara diamdiam. Hal yang sangat sulit untuk dilakukan saat pria itu semakin membuatnya berkemungkinan mendapat serangan jantung di tempat dengan melingkarkan sebelah lengannya yang sehat ke sekeliling pinggangnya, menariknya mendekat sehingga tubuh mereka saling berimpitan.

Dia bisa merasakan sentuhan lengan Ian yang longgar, telapak tangan pria itu yang ditekankan ke perutnya dalam posisi

terbuka, ujung-ujung jarinya yang mengirimkan aliran listrik menyenangkan ke sekujur tubuhnya, dada pria itu yang terasa lebar dan bidang menekan punggungnya, atau helai rambut yang terasa menggelitik sisi pipinya. Deru napas pria itu di lehernya menambah sempurna siksaannya siang ini. Seharusnya dia tidak mulai mencari gara-gara yang kemudian berakhir dengan penderitaannya sendiri. Tapi ini juga merupakan kemajuan yang sangat pesat. Ian hampir-hampir tidak mau menyentuhnya selama ini.

Calla mendapat firasat bahwa pria itu sudah tertidur di bahunya setelah beberapa menit berlalu dalam diam, tapi dia masih tidak berani menoleh. Lagi pula, kalau pria itu memang tidur, dia tidak akan melakukan gerakan sekecil apa pun yang berkemungkinan mengganggu waktu istirahat pria tersebut.

Calla baru berhati-hati membalik kertas di atas meja saat mendengar ketukan di pintu. Ian sama sekali tidak bergerak sehingga Calla yakin bahwa pria itu sudah tertidur nyenyak, jadi Calla merasa aman untuk menyerukan perintah masuk pada siapa pun yang mengetuk pintu itu dengan suara yang cukup keras untuk didengar keluar.

Oh, maaf. Saya tidak tahu kalau

Sekretaris Ian berdiri ragu di depan pintu dengan dokumendokumen tebal yang kelihatannya cukup berat dalam pelukannya. Calla mengangguk dan melambaikan tangan, menyuruhnya masuk.

Tidak apa-apa. Dia sedang tidur. Sepertinya kelelahan. Saya hanya mau menyerahkan laporan-laporan yang sudah selesai saya kerjakan.

Taruh saja di meja. Terima kasih.

Wanita itu mengangguk, menyapukan pandangan ke arah Ian yang tertidur sekali lagi, tidak bisa menyembunyikan raut wajah takjubnya. Setelah menggumamkan kata permisi, wanita itu buru-buru keluar ruangan, sepertinya tidak sabar ingin membagi cerita yang didapatkannya saat berkunjung ke ruangan bosnya siang ini kepada pegawai lain. Pasti dalam waktu setengah jam semua pegawai di kantor ini sudah mendengar gosip tersebut. Cerita dari mulut ke mulut memang selalu meriah. Kau sudah selesai?

Kali ini Calla benar-benar terlonjak kaget mendengar suara Ian yang terdengar serak di dekat telinganya. Gadis itu menoleh dan melongo dengan tampang bodoh.

Kau sudah bangun? Aku menganggumu? Tidak juga.

Kau sudah bangun saat sekretarismu masuk? Kenapa tidak bilang? Dia pasti berpikiran aneh tentangmu. Dan juga seluruh pegawai di kantor ini. Mereka pasti sudah mendengarnya sekarang.

Biar saja. Kantor ini terlalu sepi tanpa gosip dan sekarang aku memberi mereka cerita bagus untuk dibicarakan. Pasti mereka senang sekali, ujar pria itu cuek, terdengar tidak seperti dirinya sendiri yang biasanya kaku dan tidak suka bercanda.

Ian memegangi pinggang Calla, menggeser tubuh gadis itu sehingga kali ini gadis itulah yang duduk di atas kursi sedangkan dia berdiri sambil menggeliatkan badan sedikit, menghilangkan pegal di tubuhnya karena posisi tidurnya yang sedikit tidak masuk akal.

Kalau pekerjaanmu belum selesai, lanjutkan saja. Aku lapar. Aku mau cari makanan dulu di bawah.

APA? sentak Calla syok. Kau meninggalkanku di sini untuk menyelesaikan pekerjaanmu dan kau malah enak-enaknya mau mencari makanan?

Ian mengangkat bahu tak acuh. Kau kan digaji untuk bekerja denganku. Lagi pula, kau sendiri yang menyodorkan diri untuk membantuku. Kau belum amnesia, kan?

Dan Calla ingin sekali melempar dokumen tebal di hadapannya ke wajah pria itu.

Ian menggerak-gerakkan tangan kirinya yang terasa kaku dan asing setelah gips yang membalutnya selama seminggu telah dibuka. Dia mengepalkan jari-jarinya, sedikit merengut saat menyadari bahwa dia tidak bisa membentuk kepalan yang cukup kuat. Genggamannya masih terasa lemah, walaupun ini sudah lebih dari lumayan karena menurut dokter penyembuhannya berlangsung cukup cepat.

Calla tersenyum dan bertepuk tangan dengan mata berbinarbinar senang. Gadis itu yang membantunya membuka perban, merayakan kesembuhannya hanya berdua saja di apartemen. Gadis itu sudah memesan banyak makanan yang keseluruhannya hanya terdiri dari makanan kesukaannya sendiri, berdalih bahwa sepertinya nafsu makan Ian belum sepenuhnya pulih sehingga pasti pada akhirnya dia harus menjadi orang yang harus menghabiskan semuanya.

Lihat, lihat, seru gadis itu semangat. Kau harus berterima kasih padaku karena aku yang sudah merawatmu dengan penuh kesabaran selama ini. Aku tetap merawatmu walaupun kau selalu saja galak dan memarahiku setiap saat. Kau pasti tidak akan bisa menemukan calon istri yang lebih baik lagi daripada aku di atas dunia ini, celotehnya tanpa henti.

Lebih tepatnya, calon pembantu yang sempurna. Gadis itu mendelik dan merengut. Hanya beberapa detik karena kemudian wajahnya sudah tampak ceria lagi.

Terserah kau sajalah, ucapnya tak peduli. Kau seharusnya memberiku hadiah atas prestasi memukauku sebagai perawat dadakan.

Ian memutar bola matanya dan mendengus pasrah. Kau mau apa? tukasnya, terdengar setengah tidak rela.

Wajah gadis itu semakin terlihat bersinar karena senyumnya yang bertambah lebar, sehingga Ian mengerutkan kening, merasa syok sendiri karena pikiran yang melintas di otaknya.

Calla dengan raut wajah memerah dan malu-malu, sesuatu yang seharusnya tidak cocok ditunjukkan oleh gadis berumur 23 tahun tapi terlihat sangat cocok dengan keseluruhan sosoknya yang mungil dan kekanakan menunjuk-nunjuk pipi kanannya dengan mata mengerjap, membuatnya benar-benar terlihat seperti boneka hidup.

Apa? tanya Ian tidak mengerti.

Aku sudah memimpikannya sejak lama. Ini salah satu impian terbesarku. Jadi& ng& cium aku. Di sini, ucapnya pelan nyaris tidak terdengar, dengan telunjuk yang masih mengarah ke pipi.

Ian sedikit membelalakkan matanya, separuh karena terkejut dengan permintaan gadis itu, separuh lagi karena tidak menyangka bahwa sejak lama, hidup gadis itu memang berkisar tentangnya saja. Sejak kecil gadis itu sudah menyiapkan diri untuk jatuh cinta padanya dan benar-benar melakukannya saat mereka akhirnya bertemu secara langsung.

Dan yang lebih mengagetkannya lagi, entah setan mana yang menghinggapi otaknya, tanpa sadar dia mengulurkan kedua

tangannya, menarik wajah gadis itu yang terperangkap di antara telapak tangannya mendekat, membiarkan ujung-ujung jarinya terbenam di helaian lembut rambut gadis tersebut yang jatuh menutupi wajah, lalu entah bagaimana bibirnya sudah menutupi permukaan bibir gadis itu, menekannya pelan, sebelum akhirnya dia menjauhkan wajahnya lagi dengan terburu-buru, merasa syok sendiri dengan apa yang sudah dilakukannya. Bagaimana bisa dia melakukan ciuman pertamanya dengan serampangan seperti itu? Dan dengan gadis ini? Di mana letak akal sehatnya?

Tapi dia tidak bisa mengabaikan kepuasan yang dia dapatkan saat melihat tampang bodoh gadis itu dengan wajah memerah, rambut merah gelap yang membingkai wajah ovalnya, dan bibirnya yang separuh terbuka, mematung di tempat seolah tombol penggeraknya dimatikan.

Apa yang barusan kulakukan tidak membuatmu kehilangan kemampuan untuk menggunakan pita suaramu, kan? ejeknya dengan mata berkilat geli.

Gadis itu mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan menggeleng, terlihat kehilangan orientasi.

Kau kelihatan bodoh, kau tahu? Kali ini gadis itu mengangguk setuju.

Apa hanya aku saja yang bisa membuatmu terlihat bodoh seperti ini? tanya Ian lagi, menikmati ledekannya. Calla mengangguk lagi.

Itu ciuman pertamamu?

Gadis itu mengeluarkan suara yang terdengar seperti mengiyakan pertanyaan Ian, tapi dia masih belum benar-benar bisa bicara.

Ian bangkit berdiri dan mengetuk-ngetuk puncak kepala gadis itu dengan jari-jarinya lalu menempelkan telapak tangannya ke sana, membuat gerakan yang menyebabkan wajah gadis itu mendongak ke arahnya.

Bagus, komentarnya. Karena itu juga ciuman pertamaku. Aku tidak mau menyentuh sesuatu yang sudah menjadi bekas orang lain.

Mau ke mana, hah? tegur Ian sambil menarik hoodie yang

dipakai Calla, membuat tubuh gadis itu tertarik ke belakang, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan.

Cokelat, ringisnya, tersenyum sok manis, menunjuk rak yang berisi deretan cokelat aneka jenis yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Mereka berdua memang sedang berada di supermarket, setelah Calla dengan susah payah membujuk pria itu menemaninya berbelanja kebutuhan dapur. Itu pun dilakukannya hanya karena dia butuh seseorang untuk mengangkat semua barang-barang belanjaannya yang sudah pasti akan sangat berat.

Kau bisa sakit diabetes, komentar Ian sambil melengos pergi, mendorong troli ke arah kasir.

Tidak akan, rajuk Calla dengan raut wajah memelas. Dan tanpa menunggu balasan dari pria itu, dia langsung berlari cepat ke rak dengan tumpukan cokelat yang menggiurkan tersebut lalu

meraup beberapa bungkus dari merek berbeda. Tidak butuh satu menit baginya untuk mengejar Ian lagi dan memindahkan semua makanan favoritnya itu ke dalam troli.

Hehehe& , kekehnya sambil cengengesan melihat tampang keruh Ian.

Pria itu hanya mendengus dan mengosongkan isi troli ke atas meja kasir yang kebetulan kosong, sehingga mereka tidak perlu antre. Pria itu mengeluarkan dompetnya dan menarik salah satu dari deretan kartu kredit unlimited-nya, mengingat dia jarang sekali membawa uang tunai.

Oh, cetus Calla syok dengan mata melebar saat melihat dompet yang dikeluarkan Ian dari dalam sakunya. Itu jelas-jelas dompet yang diberikannya sebagai hadiah ulang tahun untuk pria itu. Dompet yang awalnya ditolak oleh pria tersebut karena dia tidak ingin mengganti dompet pemberian Kiera dengan yang baru, tidak peduli seberapa jeleknya pun dompet lamanya yang sudah berumur delapan tahun itu. Dan walaupun pria itu menggantinya, sehaursnya itu adalah dompet yang diberikan Kiera waktu itu, bukan dompet darinya.

Ian menyadari arah pandangan Calla dan mulai sedikit panik, berusaha mencari alasan yang masuk akal. Dia tidak mau gadis itu& besar kepala dan semacamnya. Walaupun yang sebenarnya terjadi mungkin memang sesuai dengan harapan gadis tersebut.

Ini hanya& aku tidak mau menunggu sampai dompet lamaku benar-benar rusak. Setidaknya aku bisa menyimpannya dengan baik. Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu.

Aku tidak berpikir apa-apa, elak Calla, tapi senyum di wajahnya menunjukkan yang sebaliknya.

Terserah kau sajalah, dengus Ian, menyerah. Terima kasih kalau begitu, ucap Calla cepat-cepat. Aku kan sudah bilang, tidak usah berpikir yang bukanbukan.

Untuk dompetnya. Untuk membayari cokelatku juga. Ian tidak bisa menahan tangannya yang bergerak untuk mendorong kepala gadis itu. Bagaimana bisa gadis seperti ini menarik perhatiannya? Benar-benar tidak masuk akal.

Ian melirik sedikit, melihat Calla yang sibuk bermain game di ponselnya. Gadis itu lagi-lagi menyelinap ke kantornya dengan alasan bosan lalu berbuat sesukanya di sana. Dan siang ini dia memilih menjajah ponsel Ian, langsung ketagihan memainkan game di dalamnya.

Ian baru akan melanjutkan pekerjaannya lagi saat dia menyadari sesuatu, sehingga kali ini dia benar-benar mengangkat wajahnya dan memandangi gadis itu dengan saksama.

Oranye tidak cocok dengan warna rambutmu, komentarnya tanpa sadar.

Apa? tanya Calla bingung, mem-pause permainannya agar dia bisa menatap Ian.

Oranye, ulang pria itu. Tidak cocok dengan warna rambutmu. Pakai warna yang lebih lembut sedikit, jadi rambutmu tidak terlihat aneh.

Calla memandangi blusnya yang berwarna oranye lalu menyentuh rambutnya yang hari ini dikepang Prancis.

Warna rambutku jelek sekali ya? Menurutmu, aku harus mengecat rambutku tidak? Cokelat atau hitam mungkin?

Warna rambutmu terlihat baik-baik saja menurutku. Tidak usah dicat. Kau pasti jadi kelihatan aneh.

Benarkah? sahut gadis itu dengan mata berbinar. Mmm, gumam Ian malas, sedikit menyesal karena sudah berbicara terlalu jujur.

Akhir-akhir ini kau perhatian sekali ya padaku. Kau sudah mulai tertarik denganku ya? tanya Calla antusias.

Lihat, aku hanya memujimu sedikit tapi kau sudah menyerangku seperti itu. Kau pikir aku suka?

Jadi aku harus sedikit lebih pendiam ya? Apa lagi? Beri tahu saja apa yang tidak kau sukai dariku. Mungkin kau memang tidak mau menerimaku satu paket dengan sifatku yang aneh, jadi sepertinya aku harus mengalah.

Ian memutar-mutar pulpen di sela-sela jemarinya, menimbang-nimbang.

Bersikap saja seperti biasa, ucapnya akhirnya. Tidak pernah mendengar kalimat, Your imperfections make you perfect. Your insecurities make you secure. But your flaws& they make you flawless ?

Kalau kau hanya berpura-pura dan menyembunyikan sifatmu yang sebenarnya hanya untuk menarik perhatianku, suatu saat kau akan merasa lelah. Kau tidak mungkin bersandiwara seumur hidupmu, kan? Lily?

Calla mengarahkan remote ke televisi, memencet-mencet tombolnya sehingga siaran di depannya bertukar silih berganti dengan cepat selagi gadis itu mencari tontonan yang menarik minat.

Gadis tersebut berbaring di atas sofa, sedangkan Ian duduk di lantai, dengan kertas-kertas dan tumpukan dokumen yang berserakan di sekitarnya. Pria itu memilih membawa pulang pekerjaannya yang menumpuk ke rumah hari ini. Setidaknya dia mendapatkan bonus kopi yang dibuatkan Calla untuknya.

Tidur sana! Dari tadi kau hanya mengganti-ganti channel. Menggangguku saja, omel Ian beberapa saat kemudian.

Kau juga belum tidur. Lebih baik kau punya teman untuk menemanimu bekerja, jadi kau tidak cepat mengantuk.

Terserah kau saja. Tapi cari satu tontonan. Suara dan cahayanya menggangguku kalau kau menggonta-gantinya terus seperti itu.

Calla merengut, tapi meletakkan remote yang dipegangnya ke atas meja, membiarkan TV menayangkan film luar yang kebetulan belum ditontonnya. Tapi tentu saja, dia sudah terlalu lelah untuk sekadar mempertahankan matanya agar tetap terbuka. Jadi hanya butuh lima menit baginya sampai kepalanya terkulai ke lengan sofa dan tertidur di sana tanpa suara.

Ian menyusun kertas-kertas laporan yang sudah selesai dikerjakannya, menumpuknya menjadi satu lalu meregangkan tangannya, menimbulkan bunyi derak kecil yang berasal dari tubuhnya yang kaku karena sudah duduk terlalu lama.

Pria itu menoleh dan baru menyadari bahwa Calla sudah tertidur. Pantas saja suara gadis itu tidak terdengar lagi dari tadi.

Posisinya cukup dekat sehingga dia tepat berhadap-hadapan dengan wajah gadis tersebut. Pria itu mematung selama beberapa

saat, lalu tubuhnya bergerak maju, bersandar pada lengan sofa, membuat jaraknya dengan gadis itu semakin menyempit.

Dia selalu menyukai warna rambut gadis itu, sesuatu yang membuatnya bisa menemukan gadis itu di tengah keramaian sekalipun dengan mudah. Warna merahnya yang pekat, ikalnya yang lembut. Ini pertama kalinya dia mendapat kesempatan untuk menyentuhnya secara langsung. Diam-diam, tanpa ketahuan.

Seperti yang dia inginkan, Ian membiarkan jari-jarinya menyusup ke helaian rambut Calla, menyusurinya perlahan, merasakan teksturnya yang rasanya persis seperti yang dia bayangkan.

Mencerminkan namanya, wangi gadis itu selalu seperti lili. Tidak tajam, aroma yang begitu feminin dan menyenangkan. Aroma yang selalu dihirupnya setiap hari beberapa minggu terakhir.

Ian meneruskan penjelajahan jarinya ke wajah gadis itu, menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi keningnya, turun ke pipinya yang tanpa noda, yang memiliki rona merah seperti kulit bayi.

Dia berhenti setelah sampai ke sudut bibir gadis itu, lalu menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Lihat apa yang sedang dia lakukan. Bagaimana dulu dia merasa sangat membenci gadis tersebut dan bagaimana dia sekarang sangat menghargai keberadaannya.

Gadis itu memang benar. Seperti apa pun kuatnya, perasaan manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berubah arah.

Ian mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas paha, melirik jam tangannya setiap satu menit, dan mulai menggeram kesal. Jadwal

makan siang sudah lewat sejak setengah jam yang lalu. Ke mana gadis itu?

Pria itu beranjak dari sofa yang didudukinya, menuju meja kerja Calla yang tampak rapi. Ada tumpukan naskah di sana yang diberi tanda dengan pembatas buku. Ian membolak-baliknya sekilas dan mengenali coretan-coretan tulisan Calla di dalamnya, melakukan revisi terhadap kesalahan yang dilakukan penulis yang novelnya akan diterbitkan itu. Walaupun menghabiskan separuh hidupnya di luar negeri, jelas bahwa Calla memahami bahasa Indonesia dengan baik, termasuk penggunaan tanda baca maupun EYD yang benar.

Pria tersebut menjatuhkan tubuh ke atas kursi dan menarik pigura yang berisi foto gadis itu ke arahnya. Sepertinya itu fotonya pada zaman kuliah, karena rambut gadis itu terlihat lebih pendek, walaupun masih dengan ikal yang sama dan masih terlihat memesona seperti sekarang. Ekspresinya bahkan masih tetap dipenuhi tawa.

Tanpa sadar dia memandangi foto itu cukup lama. Entah sejak kapan, dia diam-diam sering mencuri kesempatan untung menyusuri wajah gadis itu dengan tatapannya, sampai-sampai sekarang dia sudah mengingat setiap detailnya. Rambut ikal merah sebahu yang masih alami, alis yang tidak terlalu tebal, mata berwarna hazel yang terlihat menenggelamkan, dan bibir yang selalu terlihat menggemaskan setiap kali dia merengut.

Mungkin perasaannya sudah mulai berubah. Perlahan. Sedikit demi sedikit sehingga dia tidak terlalu menyadari pergerakannya dan kehilangan kewaspadaan, karena itu saat dia benar-benar sadar dengan apa yang terjadi, dia sudah terlalu terlambat untuk berhenti. Dan akibat yang paling mengerikan adalah saat ini.

Alasannya berada di kantor gadis itu siang ini, bukannya berada di kantornya sendiri dan memeriksa file-file yang dia telantarkan di atas meja kerjanya.

Dia ke sini karena belum melihat gadis itu seharian dan hal itu sangat mengganggunya. Biasanya gadis itu dengan tidak tahu malunya selalu mengganggunya atau setidaknya sekadar melongokkan wajah di pintu kantornya untuk menyapa, tapi hari ini gadis itu seperti hilang ditelan bumi. Dan menurutnya hal itu sangat menyebalkan.

Ian menghidupkan laptop Calla yang ternyata tidak dimatikan dan langsung menatap wajahnya sendiri yang menjadi background desktop laptop gadis itu. Astaga, dari mana gadis itu mendapatkan fotonya? Benar-benar seperti seorang stalker.

Pria itu mengedarkan pandangannya lagi dan kali ini matanya tertumbuk pada kalender kecil yang terletak di dekat laptop. Dia melebarkan mata saat melihat lingkaran merah besar di tanggal satu minggu yang lalu. Ada tulisan-tulisan kecil yang dicoretkan Calla di bawahnya, yang kalau dia belum buta dibaca, Ciuman pertama dengan Ian . Demi Tuhan, gadis satu itu benar-benar.

Ian mendongakkan kepalanya saat pintu ruangan terbuka dan Calla menghambur masuk dengan senyum lebar tersungging di wajah. Langkahnya langsung terhenti saat melihat kehadiran Ian, tapi gadis itu dengan cepat kembali memamerkan senyumnya yang menular itu selagi dia setengah berlari menghampiri Ian dan tanpa malu-malu duduk di atas meja di dekat kursi yang dikuasai oleh pria itu.

Ian, sapanya senang, sehingga dia hampir-hampir terlihat siap meledak kapan saja. Apa yang sedang kau lakukan di sini?

Kau dari mana saja? selidik pria itu, mengabaikan pertanyaan Calla.

Aku yang bertanya duluan, protes gadis itu. Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan menjawab pertanyaanmu. Sedang apa kau di sini?

Kening Ian mulai berkerut, kebiasaannya setiap kali tidak bisa menemukan jawaban yang diinginkannya.
Callasun Karya Yuli Pritania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak tahu, putusnya kemudian saat otaknya tetap tidak bisa diajak berkompromi.

Tidak tahu? ulang Calla tak percaya. Gadis itu menaikturunkan alisnya dengan geli lalu menepukkan kedua tangannya. Ah, aku tahu! Kau pasti merindukanku, kan? serunya penuh percaya diri. Pasti karena aku tidak menyapamu seharian!

Biasanya Ian langsung akan membantah habis-habisan dengan kata-kata pedasnya, tapi kali ini pria itu hanya diam, tidak menjawab, dengan raut wajah tak terbaca.

Aku tidak tahu, ujarnya setelah beberapa saat berlalu, mengulangi pernyataan yang sama. Aku hanya& merasa aneh. Mungkin, lanjutnya tak yakin. Aku tidak melihatmu seharian. Dan saat aku menyusul ke ruanganmu kau juga tidak ada, jadi aku pikir& sesuatu terjadi padamu. Tapi sepertinya kau baik-baik saja, nilainya dengan nada yang terdengar ketus.

Wajah Calla langsung berseri-seri dan gadis itu nyengir sebagai reaksi kegembiraannya.

Aku sibuk sekali seharian ini. Dan Rayhan tadi mengajakku makan siang. Dia membelikanku es krim! Es krimnya enak sekali. Kapan-kapan aku akan mengajakmu ke sana.

Aku mencemaskanmu dan kau malah enak-enakan makan es krim dengan adikku?

Calla tertawa dan meraih tangan kiri Ian yang tergeletak di atas meja lalu menyusurkan jemarinya di telapak tangan pria tersebut. Ian tidak menarik tangannya seperti biasa. Akhirakhir ini pria itu seperti tidak merasa keberatan lagi dengan sentuhannya.

Kau mencemaskanku?

Lupakan, sergah Ian dengan nada kesal, jelas tidak menyukai topik yang mereka bicarakan. Kau suka?

Apanya? Bagian kau mencemaskanku? Tentu saja aku suka!

Bukan, sela Ian tidak sabar. Bagian pergi makan siang dengan Rayhan. Sepertinya kalian sangat akrab.

Tentu saja akrab. Sebentar lagi dia akan menjadi adik iparku.

Adik ipar? potong Ian sambil memutar bola matanya. Sejak kapan aku setuju menikah denganmu?

Calla terkekeh dan mengangkat bahunya.

Siapa tahu kau bermaksud berubah pikiran. Sepertinya kau tidak terlalu keberatan lagi dengan kehadiranku. Ian mengernyit. Mencoba mencari topik pembicaraan lain. Jadi sebegitu mudahnya membuatmu senang? Hanya dengan es krim?

Calla mengangguk-angguk seperti anak anjing yang menggemaskan, membuat Ian tidak habis pikir bagaimana bisa wanita berumur 23 tahun lebih terlihat mirip anak berumur 10 tahun yang polos?

Ian menatap jari mereka yang masih bertautan, mendongakkan wajahnya lagi dan membiarkan matanya tenggelam dalam mata hazel milik wanita di hadapannya itu. Dia berusaha meraih kendali

dirinya, tapi pikirannya tidak terlalu jernih untuk mendapatkan fokusnya lagi. Dan dia mulai mendengar dirinya mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.

Aku bisa memberi penawaran yang lebih baik. Jauh lebih baik dari es krim? timpal Calla penasaran. Kau sedang berbaik hati padaku ya?

Kalau penawaranku lebih baik, lanjut Ian tanpa mengacuhkan ucapan gadis itu sebelumnya. Kau mau mengenyahkan Rayhan dan es krimnya dari otakmu?

Tentu saja! jawab Calla tanpa ragu.

Ian menunjukkan pada gadis tersebut apa yang dia maksudkan dengan penawaran yang lebih baik. Mata gadis itu meleleh seperti karamel di bawah kendali tatapannya dan saat dia sedikit menegakkan tubuhnya, menurunkan bibirnya ke bibir gadis itu, dia lagi-lagi tidak tahu di mana kewarasannya berada. Yang berkeliaran di otaknya hanya rasa tidak sukanya mendapati bahwa ada pria lain yang melintas di otak gadis itu. Walaupun itu hanya adiknya dan es krimnya yang terdengar konyol. Tidak seperti pria dewasa, dia malah menanggapi hal tersebut dengan sangat kekanak-kanakan. Tapi dia suka dengan apa yang dilakukannya. Menyentuh gadis itu entah sejak kapan menjadi cukup menyenangkan.

Ian menghentikan ciumannya yang tidak lebih dari sekadar sentuhan ringan, lalu mengangkat wajah, mendapati gadis itu balas menatapnya dengan ekspresi yang sama seperti saat terakhir kali mereka berciuman.

Apa aku sudah memenuhi otakmu lagi? tanyanya dengan nada puas, sudah tahu jawaban macam apa yang akan dia dapatkan.

Calla mengangguk dengan wajah yang sudah sepenuhnya memerah.

Bagus, gumam Ian, mendorong kepala gadis itu menjauh dari hadapannya lalu menyentuhkan telunjuknya ke dahi gadis itu dengan raut wajah serius.

Pastikan tidak ada lagi pria lain yang merangsek masuk ke sana selain aku. Mengerti?

C alla melirik jam yang terpasang di dinding bagian atas TV.

Sudah pukul sebelas dan pria itu masih belum menampakkan batang hidungnya.

Ian memang sudah memberitahunya bahwa pria itu akan ke rumah Kiera karena gadis itu sedang sakit dan ayahnya sedang berada di luar kota sehingga tidak bisa merawat gadis itu. Dan walaupun merasa bersalah karena melakukannya, tapi tetap saja dia merasa iri dengan Kiera yang bisa dengan mudah mendapatkan perhatian penuh dari Ian. Tidak seperti dia yang harus melakukan segala hal yang dia bisa agar pria itu mau sedikit saja meliriknya. Itu pun lebih sering tidak berhasil.

Merasa bosan, Calla akhirnya memilih turun ke bawah, menunggu di lapangan parkir dan bertemu dengan Pak Bagas, satpam yang selalu menyapanya ramah setiap kali dia berangkat

dan pulang kerja. Pria paruh baya itulah yang menyuruhnya menunggu di pos satpam dan menawarkannya kopi yang langsung diterimanya dengan senang hati.

Tapi dia juga menghabiskan waktu dua jam di sana dan Ian masih saja belum pulang. Jadi dia dengan lesu pamit dan kembali ke atas, meeringkuk di sofa dengan perasaan yang tidak keruan.

Dia sudah melakukan banyak hal untuk membuat pria itu mulai mencoba menatapnya, menyadari kehadirannya. Dia bahkan sudah sedikit merasa percaya diri dengan pencapaian yang sudah diraihnya. Tapi kemudian kejadian malam ini membuatnya berpikir ulang tentang apa yang sedang terjadi.

Pria itu masih mencintai Kiera. Dia hanya berkhayal saja untuk bisa membuat pria itu berbalik arah dan jatuh cinta padanya. Tidak peduli walaupun pria itu sudah pernah menciumnya, mulai bersikap terbuka terhadapnya. Cinta yang sudah dipendam selama itu, bertahun-tahun, tentu saja bukan sesuatu yang bisa dilupakan dalam waktu singkat. Dia menaruh harapan terlalu tinggi.

Calla mendesah, menatap nyalang di dalam kegelapan. Pria itu mungkin sudah menyakitinya, tanpa sengaja, tapi dia masih belum berpikir untuk menyerah dan menghentikan seluruh perjuangannya. Sebelum dia benar-benar yakin bahwa pria itu memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadapnya, dia masih belum akan menyerah.

Selama pria itu belum resmi terikat pada seorang wanita, dia tidak akan berhenti berjuang.

Tumben Mas Ian pulang larut malam. Lembur? sapa Pak Bagas ramah, yang ditimpali Ian dengan senyum tipisnya.

Ada teman yang sakit, jawabnya sambil menutup pintu mobil.

Non Calla dari tadi menunggu di sini. Satu jam yang lalu. Lama sekali. Tapi sepertinya Non Calla sudah mengantuk dan kembali ke atas.

Ian mematung. Bukankah dia sudah mengirim pesan kepada gadis itu tadi? Menyuruh supaya gadis itu tidak usah menunggunya? Gadis itu kadang-kadang memang bisa menjadi sangat keras kepala kalau dia mau.

Ian mengucapkan terima kasih dan buru-buru masuk ke dalam, untuk pertama kalinya memilih menggunakan lift.

Dia melipat tangan di depan dada, menatap pergantian angka di bagian atas lift yang menunjukkan lantai yang sudah dilewati dengan mata menyipit, lalu langsung menyelinap keluar saat pintu lift baru setengah terbuka di lantai tempat apartemennya berada.

Ian mengetikkan nomor pin kemudian melangkah masuk, mendapati semua ruangan dalam keadaan gelap. Hanya ada cahaya samar dari luar yang menelusup masuk lewat pintu balkon yang belum ditutup, jadi pria itu meraba-raba dinding dan memencet sakelar lampu, membuat semua ruangan terang seketika.

Pandangan pria itu langsung tertuju ke sofa di depan TV, tempat Calla berbaring diam dalam tidurnya, dengan posisi yang tampaknya tidak terlalu nyaman.

Dia melangkah mendekat, berjongkok di depan sofa, seperti yang dilakukannya beberapa malam yang lalu, memandangi

wajah lelap gadis itu. Tapi kali ini hanya sebentar, karena kemudian dia bangkit berdiri, menyelipkan tangannya di sela belakang lutut gadis tersebut lalu mengangkatnya, memantapkan gendongannya sebelum membawa gadis itu ke dalam kamar.

Seperti yang sudah diduganya, tubuh gadis itu begitu ringan, mungkin karena tubuhnya yang mungil dan kecil. Dan wajahnya semakin tampak seperti boneka dengan mata tertutup dan tampang polos seperti itu. Baik tidur ataupun terbangun, gadis itu selalu tampak menyenangkan.

Ian mendorong pintu kamar yang separuh terbuka dengan kakinya, berjalan masuk dan langsung menuju tempat tidur. Dia meletakkan tubuh Calla dengan hati-hati lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis itu.

Dia berdiri diam di samping ranjang selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengulurkan tangan, merapikan rambut gadis itu yang tergerai berantakan di atas bantal, dan mengusap pipinya ringan.

Mungkin akan menyenangkan jika bisa melihat wajah itu setiap malam. Di ranjangnya.

Calla baik? tanya Kiera, membuka percakapan. Mereka sedang berjalan pelan di atas trotoar yang dinaungi pepohonan rindang, yang pada siang hari berguna untuk menghalangi sinar matahari. Ian sengaja memarkirkan mobilnya cukup jauh dari rumah Kiera agar mereka bisa berjalan bersama dan memiliki waktu lebih lama untuk mengobrol. Ian masih belum yakin untuk membiarkan gadis itu pulang sendiri karena dia baru saja sembuh dari sakit. Mmm, gumam Ian sebagai jawaban.

Kau sudah mulai menyukainya? Atau memang sudah menyukainya? goda Kiera dengan mata mengerling.

Kenapa semua orang tiba-tiba menanyaiku hal yang sama? Rayhan. Ibu. Dan sekarang kau?

Itu artinya memang kelihatan jelas kalau kau menyukainya, makanya mereka menanyaimu.

Kalau sudah kelihatan jelas kenapa masih bertanya? Jadi kau memang suka ya? ucap Kiera sambil tertawa, senang bahwa Ian terjebak dengan ucapannya.

Sial, umpat pria itu, mengernyitkan keningnya kesal. Lihat, kan? Ada seseorang, yang pada awal-awal pertemuan tidak terlalu kau anggap kehadirannya. Mungkin hanya kau anggap sebagai seseorang yang sekadar kau kenal. Tapi ada cukup besar kemungkinan bahwa orang itu nantinya akan menjadi satu-satunya orang yang bisa kau pikirkan untuk menghabiskan waktu bersama. Setiap hari. Calla& orang seperti itu, kan?

Ian menatap ke depan, tidak membuat gerakan apa pun untuk merespons ucapan Kiera.

Apa yang kau pikirkan tentang masa depanmu, Ian? Dengan Calla? Dan jangan coba-coba membohongiku. Kalau bukan denganku, dengan siapa lagi kau bisa bercerita? Menahannya sendirian di dalam hati tidak akan membuatmu tenang, kau tahu?

Ian mendesah, tahu pasti bahwa apa yang dikatakan Kiera itu benar.

Aku tidak menginginkan& kau tahu& sesuatu& seperti pacaran. Apa pun istilahnya, ujar Ian beberapa saat kemudian. Aku memikirkan sesuatu yang lebih& berkomitmen. Lucunya aku memikirkan pernikahan, gumamnya, terlihat geli dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Kau tahu bagaimana aku. Aku

selalu terstruktur. Memiliki rancangan masa depan yang sudah kupikirkan sejak jauh-jauh hari. Pernikahan salah satunya. Sesuatu yang berlangsung seumur hidup. Memiliki anak. Mungkin dua orang. Yang aku dan istriku besarkan bersama. Lalu nanti setelah mereka dewasa, meninggalkan rumah, kami hanya akan tinggal berdua saja, seperti pasangan lain yang cukup beruntung untuk bisa menua bersama dengan pasangan hidupnya. Mengingat apa yang terjadi di masa lalu, dan bagaimana kami bisa menjadi seperti sekarang. Dan anehnya, aku bisa membayangkan hal-hal itu, saat sedang memikirkannya.

Kiera tersenyum lalu memegangi sisi lengan pria itu, menggandengnya seperti yang biasa dia lakukan.

Kau tahu perbedaan pria dan wanita? Saat wanita memikirkan masa depannya bersama pria yang dia sukai, itu dianggap normal. Karena semua wanita memang memikirkan hal yang sama. Sukses, menikah dengan suami yang bisa dibanggakan, memiliki anak. Bahagia. Berbeda jika seorang prialah yang memikirkan masa depannya dengan seorang wanita yang dia sukai. Berarti pria itu benar-benar serius dengan perasaannya sehingga dia merasa harus segera meresmikan wanita itu menjadi miliknya. Karena tidak semua pria mau terikat. Benar, kan?

Mereka berhenti di depan pagar rumah Kiera, berdiri berhadap-hadapan, dengan Ian yang menatap gadis itu dengan pandangan kosong tidak fokus.

Kau pernah dengar? One day, someone will walk into your life and make you realize& why it never worked out with anyone else.

Calla memutar-mutar kursi yang didudukinya dengan cengiran lebar di wajah. Tangannya membolak-balik brosur wisata dalam genggamannya, mulutnya sedikit mengerucut selagi menyusuri tulisan-tulisan dan gambar yang dicetak sangat menarik di atas brosur yang tebal itu.

Menurutmu aku harus menggunakan gaji pertamaku untuk apa? tanyanya sambil terkekeh senang kepada Ian yang sama sekali tidak menoleh ke arahnya, sibuk mengerjakan sesuatu di komputer.

Kau sibuk membaca brosur perjalanan itu dan kau masih bertanya padaku? dengus pria tersebut dengan alis terangkat.

Kaki Calla melangkah maju, menarik kursi yang didudukinya sampai membentur meja kerja Ian lalu menatap pria itu serius.

Pak Direktur, bagaimana kalau kita pergi liburan? Bersama?

Tidak, tandas Ian, tidak memerlukan waktu sama sekali untuk memikirkan jawabannya.

Ugh, ayolah!!! Aku kan ingin merayakan gaji pertamaku. Lagi pula kau juga butuh liburan. Apa tidak suntuk setiap hari hanya melihat dokumen-dokumen itu saja?

Tidak.

Ke Yunani? Ah, tidak, ke Italia saja. Aku ingin melihat Tuscany. Sudah lama aku ingin ke sana, cetusnya semangat. Lalu kita bisa ke Milan. Ng& Paris?

Apa tidak ada sesuatu yang lebih berguna untuk kau lakukan dengan gaji pertamamu?

Calla menggeleng polos. Aku ingin keliling dunia. Seolah gajimu cukup saja.

Aku punya tabungan. Warisan& , desahnya, saat membayangkan tumpukan uang yang dia miliki di bank. Orang tuanya

meninggalkan cukup uang. Tidak, lebih tepatnya, banyak sekali uang.

Kau mau berkeliling dunia sendirian? Kau yakin bisa kembali dengan selamat? Tubuhmu itu pendek, kau bisa terseret ke sana kemari saat sedang berjalan di trotoar.

Karena itu aku mengajakmu! serunya sambil menggebrak meja dengan kepalan tangannya, yang terlalu kecil sampai tidak menimbulkan kesan yang diharapkan. Matanya tampak berapiapi. Mungkin lebih dikarenakan warna rambutnya.

Ayolah, Ian, rengeknya kemudian. Dia bisa merajuk seperti anak kecil untuk mendapatkan sesuatu yang sangat dia inginkan.

Ian menghentikan pekerjaannya dan melipat tangan, menatap gadis itu setelah mengembuskan napas berat. Berapa lama? tanyanya, terdengar sedikit mengeluh. Calla mengacungkan dua jarinya.

Dua hari?

Dua minggu, sahut gadis itu tanpa dosa.

Kau gila? seru Ian tak percaya. Kau mau bolos kerja, hah? Tidak juga. Aku sudah mengerjakan semua pekerjaanku. Aku sudah mengedit lebih dari dua puluh novel, lebih banyak dari editor lain. Anggap saja& hmm, aku sedang mendapatkan hasil dari jerih payahku selama ini.

Cih, rutuk Ian. Aku sibuk, tidak bisa pergi liburan sembarangan.

Tentu saja bisa. Kau sudah bekerja terlalu keras, sudah waktunya mengambil istirahat.

Mereka berdua menoleh ke arah pintu, di mana Ratih berdiri dengan mata tertuju pada Ian, memperlihatkan ekspresi wajah yang tidak mau dibantah.

Tante, sapa Calla, melambai-lambaikan tangannya dengan semangat.

Ratih tersenyum sebelum mengalihkan pandangannya kepada Ian lagi.

Lebih baik kau ikut dengan Calla. Kau harus menyegarkan otakmu itu. Bukannya stres dengan pekerjaan.

Tapi, Bu, aku ini direktur dan

Dan ada Rayhan yang bisa menggantikanmu. Anggap saja sebagai latihan untuknya. Ibu akan bicara dengan ayahmu nanti.

Calla bersiul pelan dan mengedip ke arah Ian. Cengiran lebar tampak di wajah mungilnya, memperlihatkan kepuasannya mendapatkan dukungan dari calon mertua.

Ian menghela napas kesal, tahu bahwa dia tidak bisa menang berdebat dengan ibunya.

Baiklah baiklah, aku ikut. Puas? gerutunya dengan nada ketus. Dan ada perlu apa Ibu datang ke sini?

Tidak ada. Tadi Calla menelepon, menyuruh Ibu membujukmu pergi liburan bersamanya.

Ian memandang Calla tajam. Memelototi gadis itu lebih tepatnya.

Kau memang sudah merencanakan ini semua ya? Gadis itu tersenyum lebar, memperlihatkan wajah polos tak bersalahnya, membuat Ian harus menggertakkan gigi untuk menahan kekesalannya.

Kau kecil tapi kelakuanmu itu benar-benar menyebalkan, kau tahu?

Calla membolak-balik novel yang sedang dibacanya, mulai merasa bosan. Gadis itu lalu berganti posisi menjadi berbaring di atas sofa, mengangkat kakinya yang berbalut hotpants tinggitinggi lalu membuat gerakan-gerakan aneh. Dia baru saja merentangkan kakinya membentuk huruf V saat melihat Ian sudah berdiri, menyandar ke dinding dengan kedua tangan terlipat, memandanginya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Berapa umurmu, hah? komentarnya kemudian saat Calla sudah berdiri canggung di depannya, menatapnya salah tingkah. Kau sudah pulang, ucap gadis itu, cengengesan. Mata pria tersebut tampak menyorot tajam, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Dan lima detik kemudian telunjuk pria itu sudah menuding keningnya, mendorongnya pelan.

Ganti baju sana. Gaun. Ikut aku ke suatu tempat. Setengah jam cukup, kan?

Dan Calla hanya bisa berdiri seperti orang tolol di tempatnya.

Ini acara apa? bisik Calla, setelah akhirnya sedikit mulai tersadar dari keterkejutannya akan ajakan pria itu. Dia bahkan cukup panik sampai mengubrak-abrik isi lemarinya, hanya menemukan dua potong gaun dan akhirnya dengan pasrah memilih gaun berwarna salem yang baru dipakainya satu kali saat menghadiri pesta setelah acara wisudanya dulu. Dia menghabiskan waktu lebih lama untuk menata rambutnya. Mencoba berbagai macam gaya sebelum akhirnya menyerah dan membiarkan rambut merah ikalnya itu tergerai bebas, hanya menahan poninya dengan sebuah jepitan kecil. Dia juga masih separuh sadar saat naik ke atas mobil Ian dan hanya diam sepanjang perjalanan dengan jantung yang sepertinya akan meledak sewaktu-waktu.

Reuni, jawab Ian singkat, hampir-hampir tidak bisa menahan senyumnya melihat kelakuan ajaib gadis itu. Calla tidak pernah berusaha menyembunyikan perasaannya sekalipun, selalu membiarkannya melihat apa yang gadis itu pikirkan dan terkadang hal tersebut sangat menghiburnya. Seperti sekarang. Dia hanya mengajak gadis itu menemaninya ke acara reunian sekolahnya, tapi gadis itu bersikap seolah dia mengajak gadis tersebut menikah.

Oh, gumam Calla, sedikit merapatkan tubuhnya ke arah Ian dengan sikap seakan-akan membutuhkan perlindungan. Gadis itu memang tampak tidak terlalu nyaman saat mereka turun dari mobil dan bergabung dalam keramaian.

Kau tidak suka pesta? tanya Ian akhirnya saat gadis itu mulai mencengkeram ujung jasnya selagi dia sibuk membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengan mereka satu per satu.

Tidak terlalu, ucap gadis itu, sedikit tampak tegang. Mukanya bahkan tampak pucat di bawah sinar lampu yang terang. Tidak. Aku sama sekali tidak suka, ralatnya kemudian, bergidik ngeri. Aku tidak suka keramaian. Apalagi& aku tidak kenal satu orang pun di sini.

Ian menepuk punggung tangan gadis itu sekilas, berusaha menenangkan.

Aku juga tidak suka, akunya. Makanya aku memintamu menemuiku. Aku hanya perlu menemui beberapa orang lalu kita bisa pulang, putusnya.

Kenapa tidak mengajak Kiera? Dia sedang ke luar kota.

Calla menggigit bibirnya tanpa sadar. Lagi-lagi dia hanya menjadi pilihan kedua. Tapi dia seharusnya memang tidak berharap banyak, kan?

Ian menghela napas jengkel. Dia sudah terlalu hafal setiap ekspresi wajah gadis itu sehingga dia nyaris bisa membaca apa yang gadis itu pikirkan jika dia mau. Dan sekarang gadis itu lagi-lagi memikirkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Awas, gerutunya, mengalungkan lengannya di sekeliling pinggang Calla lalu sedikit mengangkat tubuh gadis tersebut karena sepertinya gadis itu tidak menyadari dua tangga kecil di depannya karena sibuk melamun. Sesuatu yang dilakukannya dengan mudah karena selain mungil, gadis itu juga ringan sekali.

Perhatikan jalanmu, sentak Ian, kedengaran sedikit marah. Dan kau bukan pilihan keduaku malam ini. Walaupun Kiera tidak ke luar kota, aku akan tetap mengajakmu. Berhenti menebaknebak isi pikiranku. Kau mengerti?

Tetap di sampingku, lanjut Ian, mengangguk pada beberapa orang pria yang berjalan menghampirinya sambil tersenyum lebar, menyambut kedatangannya.

Kau tidak datang dengan Kiera? tanya salah seorang dari mereka.

Dia ada urusan bisnis ke luar kota, sahut Ian. Jadi? Siapa gadis ini?

Calla.

Calla, ulang pria-pria itu, jelas merasa aneh mendengar nama yang sedikit tidak lazim itu, sedangkan Calla sendiri sibuk mereka-reka penjelasan apa yang akan diberikan Ian jika orang-orang itu bertanya tentang hubungan mereka. Teman? Karyawan?

Dia campuran? Rambutnya asli, kan? Ayahnya Irlandia.

Calla tersenyum sedikit, berusaha tampak sopan. Jadi& kalian& ?

Tunangan, ucap Ian santai, tanpa berpikir, seakan-akan dia sudah sering mengulang-ulang kata tersebut sebelumnya, membuat Calla nyaris tersedak napasnya sendiri saking syoknya.

Ini pertama kalinya Ian mengakui hubungan mereka dan itu bahkan dilakukan di depan teman-teman sekolah pria itu, seolah mengakui hal tersebut bukanlah sesuatu yang memalukan.

Calla tidak lagi mendengarkan percakapan orang-orang itu karena mereka sibuk membicarakan orang-orang yang tidak dikenalnya. Dia lebih memilih menikmati perasaan bahagianya yang membuncah dan akan meledak seperti balon yang mendapat tekanan udara yang berlebihan. Dia mungkin sudah berada di awang-awang sekarang. Mungkin juga sedang bermimpi di kamarnya, berharap agar tidak ada yang membangunkannya dan merusak semua impian indahnya dalam hitungan detik. Setidaknya dia ingin menikmatinya sedikit lebih lama lagi.

Calla memusatkan pandangannya lagi saat merasakan tubuhnya terdorong-dorong oleh orang-orang yang berlalulalang dan meloncat-loncat mengikuti irama musik yang baru saja diputar oleh DJ yang bertugas. Tempat itu cukup besar, tapi jumlah tamu lebih banyak daripada yang bisa diakomodasi, jadi tidak heran kalau mereka semua berdiri berdesak-desakan dan dengan tubuhnya yang mungil, Calla jelas menjadi sasaran empuk bagi tubuh-tubuh besar itu, tergusur ke sana kemari.

Kepanikan mulai menjalari tubuhnya dan keringat dingin mulai menetes, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap tempat ramai seperti ini. Tapi tidak sampai dua detik kemudian gadis itu merasakan sentuhan hangat di telapak tangannya, jari-jari yang menelusup masuk ke sela jemarinya, menggenggamnya erat dan sedikit memberi remasan menenangkan.

Calla mendongak dan memandangi sang pemilik tangan yang menoleh ke arah lain, masih sibuk mengobrol dengan orangorang di sekelilingnya, tapi ada di sana, menyadari ketakutannya entah dengan cara apa.

Calla masih betah, selalu betah melakukannya, menatap lekat-lekat wajah pria tersebut. Entah itu dari samping, dari depan, atau hanya dari belakang, dia selalu puas memandangi bagian mana pun dari tubuh pria itu yang bisa dilihat oleh matanya. Berkali-kali pria itu memergokinya, tapi dia tidak pernah memalingkan wajah, hanya tersenyum salah tingkah, yang selalu dibalas oleh pria itu dengan delikan sinisnya yang biasa.

Tapi kali ini, saat pria itu akhirnya menoleh ke arahnya, bukan tatapan sinis lagi yang dia dapatkan, tapi sebuah raut wajah khawatir, kening yang berkerut, dan mata yang menyusuri wajahnya dengan pandangan cemas.

Pulang? tanya pria itu dengan kepala yang dimiringkan dan mata yang memberi fokus penuh pada wajahnya, membuatnya semakin merasa tidak berpijak dengan benar ke bumi. Mungkin arwahnya sudah melayang-layang meninggalkannya.

Calla mengangguk pelan, masih merasa terpukau saat Ian pamit kepada teman-temannya, mendorong gadis itu agar berjalan di sampingnya, melingkarkan tangannya yang terasa hangat di punggung gadis tersebut, menembus gaun tipis yang

entah bagaimana terasa lebih tipis daripada sebelumnya. Telapak tangan dan jari-jari pria itu mengusap lengan atasnya yang terbuka, seolah berusaha menenangkannya.

Dan tidak tahu kenapa dan bagaimana, Calla merasa bahwa setidaknya, ada sedikit bagian dari pria itu yang mulai peduli pada kehadirannya, mulai beralih menatapnya. Mungkin hanya seperseribu, tapi tetap saja& bagian itu ada dan dia nyaris tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak berteriak saking senangnya.

Mungkin saja, usahanya selama ini tidak sepenuhnya sia
sia.

Aaaaaaaah, akhirnya sampai di rumah! Lebih lama lagi di

sana aku bisa jatuh pingsan! keluh Calla sambil memijit-mijit kakinya yang pegal.

Seharusnya kau bilang padaku kalau kau memiliki fobia terhadap keramaian.

Tapi ini kan pertama kalinya kau mengajakku keluar, masa aku tolak?

Kau tidak harus mengiyakan setiap perkataanku, kau tahu?

Aku tidak pernah mengiyakan kalau kau menyuruhku berhenti menyukaimu, sahut gadis itu polos.

Ian hanya bisa menghela napas, tidak pernah bisa menang jika harus menghadapi kepolosan gadis itu.

Hei! seru Calla tiba-tiba dengan mata berbinar-binar, dan jika dia sudah mengeluarkan eskpresi seperti itu, Ian selalu berubah menjadi sangat, sangat waspada.

Kau masih memakai jasmu, dan aku masih memakai gaunku. Ada sesuatu yang ingin aku coba.

Gadis itu berdiri dan mulai mendorong-dorong meja ke sudut, meninggalkan area kosong di tengah-tengah ruangan. Dia lalu berlari menghampiri Ian dan menarik pria itu berdiri bersamanya.

Tunggu sebentar, ujarnya, memegangi tangan Ian agar pria itu tidak mencoba kabur, sedangkan tangannya yang bebas sibuk mengutak-atik ponselnya.

Kau mau melakukan apa, hah? tanya Ian, tidak bisa menahan rasa curiganya lebih lama lagi.

Dansa, ucap Calla riang dan meletakkan ponselnya ke atas meja.

Ian langsung mundur teratur dengan mata membelalak tidak percaya.

Kau pikir aku mau melakukannya? tanyanya terbata. Denganmu?

Sekali saja, bujuk Calla, mengeluarkan jurus rengekannya. Ya? Musiknya sudah mulai.

Gadis itu merapatkan tubuhnya ke arah Ian yang langsung berubah tegang karena itu pertama kalinya dia berdiri sedekat itu dengan tubuh seorang wanita dan gadis itu dengan santainya malah melingkarkan lengan di lehernya, sedangkan dia hampirhampir kehilangan kendali saat merasakan setiap lekukan tubuh gadis itu di tubuhnya. Dekat, hanya terhalang pakaian. Dan dia malah berdoa dalam hati agar gadis itu tidak merasakan detak jantungnya yang mulai berada di luar kontrol.

Mereka bergerak perlahan, hanya berputar pelan di tempat dan Ian sedikit menyerah pada keinginannya, membiarkan

lengannya turun dan melingkari pinggang Calla, dengan kepala tertunduk dan hidung yang menyentuh puncak kepala gadis itu, menghirup aroma mint segar yang menguar dari setiap helaiannya.

Dia mendengar alunan piano dengan nada lembut yang memenuhi seluruh ruangan. Irama yang langsung disukainya walaupun dia belum pernah mendengar lagu tersebut sebelumnya.

Sleeping At Last. Turning Page, ujar Calla seolah bisa membaca pikirannya. Kau dengar lirik awalnya? Sangat mencerminkan aku, kan?

I ve waited a hundred years But I d wait a million more for you&

Nothing prepare me for What the privilege of being yours would do

Gadis itu benar. Kedengarannya memang seperti seorang Calla. Tapi dia sama sekali tidak siap saat mendengarkan lirik lanjutannya. Karena itu bukan lagi tentang gadis tersebut, tapi tentang dia& . Setiap katanya.

If I had only felt the warmth within your touch If I had only seen how you smile when you blush Or how you curl your lip when you concentrate enough

Well I would have known What I was living for all along What I ve been living for

Dia tahu bagaimana rasanya saat kulit gadis itu menyentuh kulitnya. Seperti sekarang. Ingat bagaimana gadis itu selalu

tersenyum salah tingkah setiap kali dia memergoki gadis itu memandanginya penuh pemujaan atau saat gadis itu melakukan hal yang memalukan. Dia selalu memperhatikan bagaimana gadis itu mengerucutkan bibirnya setiap kali sedang mengerjakan sesuatu dengan serius.

Lalu kemudian& pencipta lagu itu benar. Bahwa setelah mengingat setiap menitnya, setiap detik yang berlalu saat dia memandangi gerak-gerik gadis itu, dia mulai mengerti untuk apa selama ini dia hidup, mengapa manusia harus menunggu begitu lama sampai menemukan pasangan hidup yang paling tepat untuk menemani mereka sampai mati.

Ada yang sempat jatuh cinta pada orang lain sebelum akhirnya benar-benar menemukan pasangan hidup yang dicarinya. Dan saat benar-benar telah mendapatkannya, rasanya pasti persis sama seperti saat kita menemukan seluruh dunia berada dalam genggaman. Satu-satunya yang paling diinginkan manusia adalah kebahagiaan, walaupun definisi kebahagiaan berbeda bagi setiap orang. Kebetulan saja definisi kebahagiaan baginya berada dalam satu wujud sederhana bernama Calla. Belum secara resmi. Tapi segera. Secepatnya.

Mungkin pria lain berkata mereka baru akan menikah jika sudah melihat wujud bidadari yang mereka inginkan. Tapi dia sudah melihat wujud gadis ini dan berpikir bahwa& dia tidak perlu lagi melihat bagaimana kecantikan duniawi yang sebenarnya & karena& gadis ini saja sebenarnya sudah cukup. Sangat cukup.

Ian menggeser pintu balkon sampai terbuka. Masih pukul setengah enam dan dia terlalu malas untuk segera bersiap-siap berangkat

ke kantor. Tapi dia malah mendapati Calla juga sudah berdiri di sana, memangku wajahnya dengan tangan yang bersandar di atas pembatas balkon, sama sekali tidak menyadari kehadirannya karena terlalu asyik melamun.

Langit masih gelap, dengan semburat percampuran warna oranye dan kuning, menandakan bahwa sebentar lagi matahari akan muncul. Jadi dia hanya berdiri saja di ambang pintu. Menunggu.

Ada detik-detik yang berlalu saat dia menatap tubuh mungil gadis itu, pemandangan punggungnya dengan bahu yang merosot turun, rambut ikal merahnya yang diikat serampangan, menyisakan anak-anak rambut yang tergerai berantakan, dan kaki jenjangnya yang telanjang, karena gaun rumah yang dipakainya hanya menutupi sampai bagian lutut.

Lalu ada detik-detik yang terlewat saat sinar matahari menyirami tubuh gadis itu, membuatnya tampak seperti mengeluarkan cahaya dari tubuhnya sendiri. Saat kakinya bergerak di luar kendali menuju gadis itu, tangannya yang terangkat naik, melepaskan ikatan rambut gadis itu sehingga helaiannya tergerai ke punggung, lalu tubuhnya yang bergerak maju, memerangkap gadis itu dalam dekapannya, dan wajahnya yang dibenamkan ke pundak gadis tersebut, menghirup aromanya dalam-dalam.

Ada beberapa detik yang diam, saat gadis itu membeku dalam dekapannya, mungkin terkejut karena pelukannya yang tiba-tiba, tapi kemudian gadis itu tidak berkomentar apa-apa, seolah tidak ingin merusak momen langka tersebut, jadi& dengan instingnya yang bekerja menggantikan otaknya yang sedang tidak

berfungsi, dia melingkarkan lengannya di sekeliling bahu gadis tersebut, masih dengan wajah tertunduk.

Ada detik-detik di mana dia merasa& tidak ada lagi yang lebih diinginkannya selain seperti itu saja. Tanpa masalah yang perlu dipikirkan& dengan dunia berada dalam genggaman.

Mungkin saja& itulah yang dinamakan kebahagiaan. Yang hadir dalam sebentuk kesederhanaan.

Hei, panggil Ian tiba-tiba, saat mereka baru melangkah keluar

dari apartemen. Mmm?
Callasun Karya Yuli Pritania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu hari ini& , ucap pria itu ragu. Boleh untukku? Calla memutar bola matanya, sedikit tidak mengerti. Satu hari? Untuk Ian?

Hanya satu hari saja? Seumur hidup juga boleh, ujarnya tanpa bermaksud menggoda. Tapi kemudian segera meralat ucapannya saat melihat tatapan masam yang diarahkan Ian padanya. Baik. Tentu saja boleh. Kau mau apa?

Aku hanya& ingin menanyaimu beberapa hal. Kau harus menjawab, tapi tidak boleh menanyakan apa pun padaku. Mengerti?

Gadis itu menganggukkan kepala, membuka pintu menuju tangga dan mulai berjalan turun.

Apa yang ingin kau tanyakan?

Untuk pertama kalinya Ian berjalan tepat di sampingnya, turun bersamanya ke bawah, tidak seperti biasanya saat pria itu lebih memilih menunggunya di mobil. Karena kejadian tadi pagi mungkin? Dia bahkan masih bisa merasakan panas tubuh pria itu di punggungnya. Kalau pria itu bersedia memberinya waktu pribadi sepuluh menit saja, dia pasti akan menghabiskannya dengan berjingkrak-jingkrak dan berteriak-teriak histeris.

Apa warna kesukaanmu? mulai pria itu, tampak begitu serius saat menatapnya.

Tergantung, jawab Calla, memuntir-muntir ujung rambutnya tanpa sadar. Aku suka berubah pikiran. Mungkin tergantung mood-ku. Atau tergantung hal menarik apa yang kulihat saat itu. Dalam satu hari aku bisa berganti warna favorit belasan kali. Saat aku melihat baju atau tas yang bagus di mal atau sepatu lucu di toko.

Pagi ini?

Putih, jawabnya tanpa berpikir. Kenapa?

Pagi. Sinar matahari. Terang. Putih, jelasnya susah-payah. Bagaimana dia bisa memberi tahu pria itu bahwa saat ini dia menyukai warna putih karena kejadian subuh tadi? Jawabannya yang paling sederhana mungkin dengan memberi tahu pria itu bahwa alasannya menyukai warna putih hari ini adalah karena pria tersebut memakai baju dengan warna itu. Nah, pria itu pasti akan memelototinya jika dia menjawab seperti itu.

Ian tidak bertanya lebih jauh, walaupun pria itu sepertinya tahu bahwa jawaban yang sebenarnya lebih dari itu. Musik?

Ng& lagu-lagu klasik, lagu-lagu Barat lama, mellow. Sesuatu yang bisa menemaniku tidur. The Corrs misalnya. Atau musik-musik keras saat sedang berada dalam perjalanan. Muse. Linkin Park.

Ian menunda pertanyaan berikutnya sampai mereka sudah masuk ke dalam mobil.

Makanan?

Aku suka pedas. Tidak suka sayuran. Tidak terlalu suka seafood. Aku paling suka ayam, mi& cokelat, es krim, apa pun yang manis-manis.

Mobil pria itu berkelok ke jalan utama dan mulai melaju lurus dengan kecepatan rata-rata.

Minuman?

Dingin. Bersoda. Manis. Aku suka kopi, tapi tidak terlalu pahit.

Ian menanyakan beberapa hal remeh lainnya, dari yang penting, sampai kepada hal yang tidak penting sama sekali. Tapi dia selalu berusaha menjawabnya dengan baik, kalau tidak bisa dibilang merasa sangat senang karena pria itu mulai ingin mengetahui segala sesuatu tentang dirinya.

Dia menghabiskan waktu lama menjabarkan film-film, dan buku-buku kesukaannya. Pria itu menginterupsinya beberapa kali, menanyakan detail tertentu, sepertinya sedikit tidak percaya bahwa mereka memiliki selera yang sama dalam hal bacaan dan tontonan.

Siapa aktor kesukaanmu? tanyanya kemudian, setelah puas dengan penjelasan Calla tentang mengapa gadis itu tidak menyukai film horor sama sekali.

Calla menatap pria itu, yang juga balas menatapnya dengan penuh fokus, mengalihkan pandangan dari jalan di depan mereka.

Ian Somerhalder, gumam gadis itu, setengah tidak sadar. Vampire Diaries? Pria itu memastikan. Kenapa? Kau tidak akan menyukai jawabanku, putus Calla, mengelak.

Kenapa? tanya pria itu lagi, semakin penasaran karena penolakan yang gadis itu berikan, seraya mematikan mesin mobil karena mereka sudah sampai di lapangan parkir perusahaan, tapi memperlihatkan dengan jelas bahwa dia tidak akan membiarkan Calla turun sebelum menjawab pertanyaannya.

Karena namanya mirip dengan namamu, jawab gadis itu cepat, pasrah. Hanya berharap bahwa pria itu tidak menangkap maksud ucapannya.

Kening pria itu berkerut, lalu dia menggelengkan kepala samar, dan berbalik turun dari mobil. Calla mengira bahwa interogasinya sudah selesai, tapi pria itu langsung menyejajarkan langkah mereka lagi setelah Calla keluar dan menyusulnya. Dia diserbu serentetan pertanyaan lagi. Parfum, ulang tahun, ukuran sepatu, cokelat kesukaannya, bahkan tentang masakan apa yang dikuasainya dengan baik dan apa yang tidak. Pria itu baru benarbenar berhenti saat mereka sudah sampai di depan ruangan Calla, akhirnya membiarkannya masuk dan membebaskan diri.

Aku belum selesai, ujarnya memberi tahu, membuat Calla tidak jadi mengembuskan napas lega.

Ian bersandar di kursinya, memutar ulang percakapannya dengan Calla tadi di dalam benaknya.

Dia mulai berpikir tentang sesuatu yang aneh. Bahwa dia ingin mengenal gadis itu lebih jauh. Ingin mengetahui hobi gadis itu, masa lalunya, sampai ke alasan mengapa gadis itu memakai baju berwarna putih hari ini, merek parfumnya, hal-hal remeh yang seharusnya tidak dianggap penting oleh seorang pria.

Dia ingin mengetahui jalan pikiran gadis itu, mengapa dia menyukai hal tertentu, dan mengapa dia tidak menyukai hal lainnya. Dia bahkan sempat menanyakan aktor kesukaan gadis itu dan gadis tersebut memberikan jawaban di luar perkiraan, dengan alasan yang begitu konyol dan kekanak-kanakan. Hanya karena nama aktor itu mirip dengan namanya.

Kemudian alasan yang dikemukakan gadis itu, kenapa dia tidak menyukai film horor, bukan karena takut, tapi lebih karena ketidaknyamanannya melihat jalan cerita yang menurutnya kebanyakan tidak ada intinya, ataupun pendapat pribadinya bahwa tidak ada bagian yang mengerikan dari sebuah film horor berikut make-up para artisnya. Gadis itu cenderung lebih menyukai film dengan genre thriller yang penuh darah, yang menurutnya jauh lebih menegangkan dan menakutkan.

Dia tahu bahwa gadis itu mungkin sudah mulai mencurigai perubahan perasaannya, dan seharusnya dia merasa tidak nyaman, tapi kenyataannya dia tidak terlalu mengambil pusing, malah mengharapkan agar gadis tersebut bisa menebak sendiri perasaannya tanpa dia perlu mengatakannya secara langsung.

Interogasi seperti ini baru pertama kali dia lakukan. Karena saat jatuh cinta pada Kiera dulu, dia memulainya dengan perlahan. Mereka tumbuh bersama, dan dia mencari tahu segala hal yang disukai dan dibenci gadis itu dengan rutinitas pertemuan mereka setiap hari. Memperhatikan, bukan dengan bertanya.

Menyenangkan saat mengetahui jatuh cinta pada Calla memberinya sebentuk cara yang baru. Menunjukkan perbedaan yang terlihat jelas dengan saat kebersamaannya dengan Kiera dulu. Karena hal tersebut dibutuhkannya. Sebentuk kesadaran bahwa gadis itu bukan pengganti. Tapi sebentuk wujud yang benar-benar asing, bukan sebuah pelarian diri.

Kenapa kau pindah ke New York? Kenapa tidak tetap di Irlandia saja, atau mungkin London? Bukankah di sana banyak universitas bagus?

Calla mendesah dan mengusap tengkuknya, sadar bahwa mereka berdua sudah mencondongkan tubuh ke tengah meja kantin, seakan sedang membicarakan sesuatu yang begitu rahasia.

Karena& aku tidak suka tinggal sendiri. Rumah kami sangat besar dan aku tidak suka tinggal di rumah sebesar itu sendirian. Lagi pula aku rasa aku menginginkan suasana baru. Tinggal di tempat yang sama, rumah yang sama, membuatku teringat dengan kenangan bersama orang tuaku terus-terusan. Itu bukan sesuatu yang baik. Jadi aku pindah, menyewa apartemen bersama temanku, dan kuliah di sana.

Menurutku Irlandia lebih indah. Suasana pedesaan, bukitbukit, lahan pertanian, tebing& kastil. New York lebih& padat, bising. Sibuk. Kupikir. Kau lebih menyukai suasana seperti itu?

Hmm& . Calla mengernyit, menggelengkan kepalanya samar. Bukan menyukai. Tapi membutuhkan. Ada orang-orang yang, kurasa, memilih kesibukan untuk melupakan kesedihannya. New York tempat yang tepat.

Hmm, gumam Ian, matanya tertuju pada rambut Calla yang terlepas dari jepitan yang menahannya, terjuntai ke depan tubuh gadis itu. Kau benar. Dia tampak ragu sesaat, sebelum akhirnya mengulurkan tangannya yang sudah gatal dan meraih gulungan rambut itu, menyelipkannya ke belakang telinga Calla dengan raut wajah yang tampak tidak nyaman dengan apa yang baru saja dia lakukan. Keperfeksionisannya kadang memang tidak tahu sikon. Dia tidak pernah suka melihat sesuatu yang tidak berada pada tempatnya.

Bagaimana dengan keputusanmu pindah ke sini? Kau bilang kau sudah magang di sebuah perusahaan penerbitan. Mereka tidak menawarkanmu pekerjaan tetap?

Memikirkan jawaban atas pertanyaan pria itu membuat wajah Calla langsung merah padam. Bagaimana dia bisa menjelaskan alasan tidak berbobotnya tentang rencananya untuk fokus memikirkan masa depan yang berbentuk pernikahan dengan pria itu? Ian pasti akan langsung mengeluarkan komentar pedasnya.

Aku tidak bisa melewatkan pertanyaan satu ini? Tidak, tandas Ian dengan nada tidak bisa dibantah. Calla mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan, memikirkan jawaban yang sedikit lebih masuk akal dibandingkan alasan yang sebenarnya.

Katakan, desak pria itu, mulai tidak sabar.

Mereka memang menawarkanku posisi yang cukup menarik, tapi& ng& ibumu berkata bahwa& sebaiknya aku kembali ke Indonesia dan mulai memikirkan masa depan.

Masa depan? ulang Ian. Maksudmu denganku?

Calla meringis dan mengangguk. Aku sudah bilang pertanyaan itu lebih baik dilewatkan saja.

Ian tidak menjawab, tapi mulai mengajukan pertanyaanpertanyaan berikutnya.

Karena kau harus mengorbankan beberapa hal untuk melihatnya, ucap Calla, mengemukakan pendapatnya saat ditanya mengapa dia lebih menyukai matahari terbit. Tidak semua orang bisa melihat matahari terbit. Kau harus mempersingkat waktu tidurmu dan bangun lebih pagi daripada jadwal normal agar bisa melihatnya. Lagi pula aku suka pagi. Matahari terbenam adalah awal dari malam. Gelap. Berakhir. Tidak terlalu menarik minatku.

Ian mendapat kesenangan pribadi saat menanyakan alasanalasan dari jawaban yang gadis itu berikan. Kebanyakan alasanalasan itu menggelikan, tapi tidak jarang gadis itu membuatnya terpesona saat menerangkan, bagaimana dia merasa senang saat dia seolah bisa membaca pikiran gadis itu.

Boleh aku menanyakan satu hal? Satu saja, pinta Calla setelah akhirnya pria itu berhenti, bukan karena selesai, tapi karena sedang memilah-milah pertanyaan mana yang akan dia ajukan berikutnya.

Ian tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya menganggukkan kepala enggan.

Calla meremas-remas tangannya, dengan tubuh yang masih condong ke arah Ian. Gadis itu menelengkan kepala, lalu menatap pria di depannya dengan pandangan serius.

Kau& menyukaiku?

Ian memasang wajah tanpa ekspresi, dengan jahil menaikkan salah satu sudut mulutnya membentuk senyum miring yang

begitu memesona, membuat Calla mendadak lupa untuk sekadar menarik napas.

Pria itu dengan sengaja ikut mencondongkan tubuh ke depan dan menatap Calla intens, sebagai bentuk godaan untuk mengacaukan pikiran gadis itu.

Menurutmu? tanyanya balik dengan nada rendah, sehingga suaranya terdengar sedikit serak.

Kau tidak menjawab pertanyaanku! sergah gadis itu sengit. Dan kau dengan sengaja melakukannya lagi!

Apa? tanya Ian kalem, berpura-pura tidak mengerti. Padahal dia memang melakukannya dengan sengaja memesona gadis itu.

Membuatku terpesona. Kau harus belajar untuk& menahannya sedikit.

Ian memutar bola matanya lalu tidak tahan untuk tidak tertawa pada akhirnya. Gadis itu terlalu jujur, dan kadang-kadang hal itu juga bisa membuatnya terpana, walaupun sejauh ini dia bisa menahan diri dengan baik.

Apa kau memiliki kalimat favorit? Dia melanjutkan pertanyaannya, mengalihkan topik pembicaraan. Sesuatu yang kau sukai dan terus kau ingat?

Calla tersenyum dan mengangguk.

People ask, why fallin in love is so hard? ucapnya dengan senyum yang semakin lebar. Because sometimes& you fall and no one there to catch you. Sometimes you fall and they don t have enough strength to hold you. And sometimes you fall, and the wrong person catches you. It s just all about the right time, in the right place, with the right person.

Kau masih memiliki pertanyaan lagi? tanya Calla bingung saat Ian berdiri di depan pintu kamarnya, menghalangi jalan masuk.

Hmmm& keberatan kalau& . Kalau apa? tanya gadis itu curiga. Aku& menemanimu tidur?

Calla dengan refleks langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada, mundur beberapa langkah ke belakang.

Hei hei, aku hanya ingin menemanimu tidur, bukan menidurimu, sergah Ian dengan wajah merengut. Apa itu maksudnya?

Tidak ada. Hanya sedang ingin saja.

Lama-kelamaan kau mulai jadi aneh ya? Seharusnya aku yang merengek-rengek ingin tidur bersamamu, tapi sekarang malah kau yang mengajukan diri. Kau benar-benar sudah terjatuh ke dalam pesonaku ya?

Percayai saja apa yang ingin kau percayai, dengus Ian, terkesan tidak peduli.

Kalau begitu ayo kita tidur! seru Calla riang sambil menarik tangan pria itu bersamanya.

Gadis itu meloncat ke atas tempat tidur, menepuk-nepuk bantal, lalu menimbun tubuh di balik selimut kesayangannya, sedangkan Ian setengah berbaring di sisi lainnya, di luar selimut, dalam jarak yang menurutnya aman. Tapi sedetik kemudian Calla malah mendekat, meraih pinggangnya lalu memeluknya erat dengan kepala yang bersandar di dadanya, membuat tubuhnya menegang dan membeku seketika.

Santai sedikit. Kau ini, keluh Calla, diam-diam tersenyum lebar.

Ian menahan napas, lalu mengembuskannya perlahan, berusaha merilekskan diri. Dia memuntir-muntir rambut Calla dengan jarinya, mencoba untuk tampak santai.

Apa kau mengigau saat tidur? tanyanya kemudian, melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang tadi sempat terhenti karena dia belum menemukan hal baru yang ingin diketahuinya.

Kenapa tidak cari tahu saja sendiri?

Yah& , desah Ian. Itu salah satu alasan kenapa aku berada di sini.

Kau sedang memata-mataiku ya? Ingin menilai apakah aku bisa menjadi istri yang pantas bagimu atau tidak? Karena itu kau bertanya begitu banyak dan sekarang mulai menyelidiki kebiasaan tidurku? tuntut Calla dengan wajah yang sudah mendongak menatap Ian.

Kenapa? Kau tidak suka?

Gadis itu nyengir, menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi.

Mana mungkin aku tidak suka. Kau bercanda? Ian tidak merespons, membiarkan suasana menjadi hening selama beberapa saat.

Ini sedikit tidak bermoral, putus pria itu kemudian dengan nada tertekan.

Apanya?

Ini, ucapnya sambil mengedikkan dagu. Di sini. Bersamamu.

Lalu, kenapa kau melakukannya? goda Calla. Bukan giliranmu untuk bertanya, jawab Ian, terdengar menyebalkan di telinga gadis itu.

Kau lebih suka memakai apa saat tidur? Piama? Baju kaus dan celana pendek?

Apa kau akan suka kalau aku menjawab lingerie? Jawaban yang mendapat pukulan keras di kepala dari Ian, membuat Calla meringis kesakitan.

Kau ini kejam sekali! protesnya. Makanya, jawab yang benar.

Tank-top. Hotpants, jawab Calla, menurut.

Bagus karena kau tidak memakainya malam ini, gumam Ian tidak jelas, dan menolak saat gadis itu memintanya mengulangi ucapannya lagi.


Dewi Ular Terjerat Asmara Mistik Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat

Cari Blog Ini