Callasun Karya Yuli Pritania Bagian 4
Kau lebih suka tidur dengan lampu hidup atau mati? Mati.
Ian mengangguk. Nanti aku akan mematikan lampu setelah aku keluar.
Dan kapan itu?
Setelah kau tidur. Tentu saja. Bagus.
Ian menyeringai dan melanjutkan pertanyaan berikutnya. Apa yang akhir-akhir ini sering kau mimpikan? Aku terlalu sering menonton film romantis akhir-akhir ini. Jadi mimpiku tidak jauh-jauh dari padang bunga. Pagi. Cerah. Bukit-bukitan. Hijau. Pepohonan. Kau tahu? celetuk Calla sambil menggerak-gerakkan tangannya, berusaha memberi visualisasi. Sebagian.
Lalu sebagian lagi?
Calla memilih diam, tidak mengeluarkan suara. Hei, kau sudah berjanji akan menjawab setiap pertanyaan yang aku ajukan, tuntut Ian.
Tapi gadis itu bersikeras pada pendiriannya, menutup mulutnya rapat-rapat. Sudah cukup dia mempermalukan diri seharian ini.
Please?
Gadis itu mengerang saat mendengar suara penuh bujuk rayu itu lagi.
Kau, jawabnya cepat, menatap Ian untuk melihat reaksi pria itu. Sangat mengejutkan ketika dia malah melihat pria itu tersenyum, tampak sangat puas terhadap diri sendiri.
Aku sudah bisa menebaknya, tukasnya dengan nada yang membuat sebal. Hanya ingin memastikan saja. Sialan! gumam Calla, teredam di dada pria itu. Seberapa banyak kau merindukan orang tuamu? tanya pria itu, mengganti topik pembicaraan dengan begitu cepat. Pertanyaan yang dia ajukan memang tidak selalu berhubungan satu sama lain, seolah dia hanya mengambil secara acak pertanyaan dari dalam kepalanya.
Sangat banyak. Setiap hari. Terutama saat kau mengacuhkanku dan membuatku jengkel.
Memangnya aku sering melakukannya? tanya Ian, lebih terdengar seperti pertanyaan jebakan.
Kalau aku menjawab pertanyaanmu, memangnya kau akan memperlakukanku dengan lebih baik?
Tidak, ucap pria itu tanpa merasa perlu untuk memikirkan jawabannya terlebih dahulu.
Jadi tidak ada gunanya kalau aku menjawab, tandas Calla, tanpa bisa ditahan menguap lebar.
Tidurlah, suruh Ian, saat Calla baru saja menyelesaikan ucapannya. Tangannya melakukan gerakan mengusap-usap di
bagian belakang kepala Calla, membuat gadis itu merasa nyaman, dan mulai meringkuk lagi di dekat Ian, merasakan panas yang memancar dari tubuh pria tersebut.
Ian menurunkan tubuhnya, kali ini benar-benar berbaring sehingga dia bisa mencoba sesuatu yang sangat diinginkannya.
Hidung pria itu meluncur turun di sepanjang sisi wajah Calla, menyusuri rahang gadis itu, lalu berhenti di lehernya, merasakan napas gadis itu mulai memberat, tapi gadis tersebut malah berbaring diam, berusaha tidak bergerak agar tidak menganggu apa yang dia lakukan.
Wangimu berubah, gumamnya. Citrus? Sabunku. Lili itu bau parfumku.
Mmm. Ian menggumam mengerti, lalu menegakkan tubuhnya lagi.
Tidurlah. Aku tidak akan mengganggumu.
Jangan lupa matikan lampunya, ucap gadis itu dengan suara yang semakin melemah.
Ian masih melanjutkan gerakannya di belakang kepala gadis itu, melakukannya selama beberapa menit kemudian sebelum akhirnya bangkit dari ranjang, merapikan selimut, dan menyelinap keluar dari kamar itu setelah mematikan lampu.
Perkiraannya memang benar. Dia menyukai rutinitas barunya. Memandangi gadis itu tidur. Sesuatu yang biasanya terdengar menggelikan baginya, tapi sekarang sudah membuatnya terbiasa.
Sejauh apa lagi gadis itu akan mengubah karakternya? Sampai dia tidak mengenali dirinya sendiri lagi?
Calla membuka mata, langsung mengerjap-ngerjap saat cahaya matahari menusuk retina matanya. Gadis itu tampak kebingungan sesaat, belum sepenuhnya sadar ketika mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar dan berhenti di sudut, tempat jendela kaca setinggi badan yang menampilkan pemandangan aktivitas pagi hari di luar.
Dia langsung terkesiap saat menyadari apa yang sedang dipandanginya. Ian. Lengkap dengan kemeja putihnya yang tersetrika rapi dan celana kain hitam. Hanya saja dua kancing teratas kemeja itu masih terbuka dan kedua lengannya terlipat sampai ke siku, sedangkan tangan pria itu terbenam di saku celana, dengan mata yang tertuju pada pemandangan di bawah sana.
Kau tidur di sini semalaman? tanya gadis itu dengan suara serak karena bangun tidur.
Ian menoleh, kembali dengan tampang tanpa ekspresinya yang biasa.
Sudah bangun? sapa pria itu lalu melangkah mendekat, membuat Calla dengan refleks langsung memundurkan tubuhnya sampai akhirnya membentur kepala tempat tidur.
Oke. Jangan mendekat. Aku belum gosok gigi. Bagaimana kalau mulutku bau? protesnya, membuat Ian tidak tahan untuk tidak terkekeh geli.
Pria itu mengabaikan larangan gadis tersebut dan dengan santai meraih dagunya, memutarnya ke kiri dan ke kanan seolah sedang memberikan penilaian.
Oke, gumamnya. Wajah bangun tidurmu tidak buruk. Calla mengernyit jengkel, tidak tahu harus merespons seperti
apa.
Mandi sana! Kita bisa terlambat, perintah Ian sambil menarik tubuh gadis tiu dan mendorongnya ke arah pintu kamar mandi.
Tunggu! cegah Calla. Sini aku pasangkan dasimu. Jadi kau bisa membuat kopi.
Ian merogoh sakunya lalu menyerahkan dasinya kepada Calla yang langsung berdiri di atas kasur untuk memudahkannya memasangkan benda itu.
Kau tahu tidak? ucapnya setelah menyelesaikan pekerjaannya itu. Tangannya melingkar di leher pria itu, tapi tetap menjaga jarak wajah. Dia masih belum yakin dengan aroma mulutnya pagi ini.
Kita benar-benar terlihat seperti pasangan suami istri, kan?
C alla mendongak saat pintu ruangannya terbuka dengan suara
keras, memandangi Ian yang menghambur masuk dengan raut wajah panik dan gusar.
Kenapa? tanyanya bingung. Tapi pria itu hanya diam, merenggut tas gadis itu dari atas meja dan mengulurkan tangannya yang lain untuk meraih tangan Calla, menariknya dengan sedikit kasar sampai gadis itu terseret-seret di belakangnya karena harus menyamai langkahnya yang lebar.
Ian? Kau membuatku takut.
Pria itu masih tidak menjawab, juga tidak memedulikan tatapan para karyawan yang berpapasan dengan mereka. Di pelataran luar kantor seorang satpam sudah menunggu di samping mobil yang sudah terparkir dengan kedua pintu depan yang terbuka.
Ian separuh mendorong Calla masuk ke pintu penumpang dan berlari mengitari mobil untuk masuk ke bangku pengemudi, langsung melajukan mobil yang sudah dalam keadaan hidup dengan kecepatan mengkhawatirkan. Untung saja kantor mereka tidak berada dalam kawasan macet.
Kau masih tidak mau memberitahuku ada apa? tanya Calla takut-takut, ngeri melihat tampang sangar Ian yang kemungkinan besar akan menghardiknya kalau dia tidak hati-hati. Ayah kecelakaan. Sekarat. Tidak usah menanyaiku. Calla terdiam di tempat, patuh untuk menutup mulut tapi hanya karena dia merasa terkejut setengah mati. Wajah Ian memperlihatkan bahwa keadaan sekarat yang disebutkannya itu hanya untuk memberi kesan yang lebih optimis dari keadaan yang sebenarnya. Ian tidak akan menunjukkan wajah sepanik itu kalau keadaannya tidak lebih parah.
Mereka sampai di rumah sakit sepuluh menit kemudian akibat aksi kebut-kebutan yang dilakukan pria itu, tapi anehnya, Ian malah menolak masuk dan memberi tanda agar Calla mencari ruangan tempat ayahnya dirawat sendirian sedangkan pria tersebut berbelok menuju taman tanpa mengatakan apa-apa.
Gadis itu menghela napas berat lalu melanjutkan langkahnya, langsung menuju ruang ICU. Dia baru melewati belokan saat melihat ibu Ian berjalan keluar dari kamar, dipapah oleh Rayhan, dan dia tahu bahwa hal yang terburuk sudah terjadi.
Calla berlari menghampiri Ratih yang sudah didudukkan Rayhan di atas kursi tunggu di luar ruangan, tapi lebih memilih untuk tidak mengganggu wanita itu. Dia mendongak menatap Rayhan, meminta penjelasan.
Ayah sedang menuju hotel untuk bertemu klien dan hari ini dia tidak membawa sopir. Ada& truk.
Dan Calla sudah tahu sendiri kelanjutannya, jadi dia mengangguk, menandakan bahwa Rayhan tidak perlu melanjutkan ceritanya.
Gadis itu melangkah menuju pintu yang masih sedikit terbuka, melongok ke dalam. Hanya ada dokter dan suster yang melepas peralatan medis, sesosok tubuh yang terbujur kaku di ranjang, tertutup kain kafan putih, dan Kiera yang duduk membeku di atas kursi di samping tempat tidur, memandang kosong ke arah sosok tersebut.
Akhirnya dia mengerti kenapa Ian memilih untuk tidak masuk. Karena pria itu bukan hanya kehilangan sosok ayah yang dihormatinya, tapi juga diharuskan melihat kehancuran wanita yang sangat dicintainya. Dua orang yang paling berarti dalam hidupnya.
Calla bersandar di pintu, masih menatap ke dalam, bertanyatanya dalam hati, apakah jika dia yang terbaring di sana pria itu juga akan tampak serapuh tadi? Tampak kehilangan kendali untuk pertama kalinya? Atau jika dia mati, pria itu malah akan merasa lega karena terbebas dari kewajiban menikahinya?
Dan diam-diam dia sendiri mengetahui jawabannya. Merasakan hawa dingin merambat di punggungnya, membuatnya sedikit bergidik.
Mungkin selama ini& dia hanya memaksakan peruntungan
nya.
Calla menghentikan langkahnya di tengah-tengah koridor rumah sakit yang tersambung ke taman penuh pepohonan rindang
dengan kursi-kursi kayu panjang di bawahnya. Beberapa diduduki oleh pasien dan keluarganya, dan sebagian lagi kosong, tidak ditempati. Sinar matahari sore membanjiri tempat itu, tanda bahwa sang surya akan tenggelam tidak lama lagi, kembali ke peraduannya. Siklus yang berulang setiap hari, tidak peduli apa pun yang terjadi di bumi. Sesuatu yang tetap, pasti, tidak pernah berhenti.
Calla melangkahkan kakinya menuju salah satu kursi besi, tepatnya ke arah seorang pria yang sedang duduk membelakanginya. Dia selalu bisa mengenali pria itu, menghafal bentuk punggungnya yang tampak kokoh dan tegap, yang saat ini sedang menampilkan pemandangan yang sebaliknya. Bahu yang merosot turun, kepala yang tertunduk, rambut yang lebih acak-acakan daripada biasa.
Hai, sapa gadis itu sambil menyodorkan tangannya, tidak terlalu berharap untuk disambut.
Ian hanya mendongak menatapnya. Dengan tatapan kosong dan eskpresi yang tidak terbaca.
Beberapa detik terlewat. Calla masih berdiri di sana. Diam. Di depan pria itu. Lalu Ian mengulurkan tangannya, menyelipkannya di sela pinggang dan lengan gadis itu yang terjuntai di samping tubuh, sedikit menekan, lalu dengan penuh pertimbangan menarik tubuh gadis itu mendekat. Pelan dan hati-hati, seolah menebaknebak apakah Calla akan menyentakkan tubuhnya menjauh atau tidak. Seolah gadis itu mampu saja melakukannya.
Tidak merasakan adanya penolakan, Ian melingkarkan kedua lengannya di pinggang gadis tersebut, lalu memajukan tubuh ke depan sampai bagian samping wajahnya bersandar di dada gadis itu.
Pria itu memejamkan matanya perlahan, mengingat bagaimana hidupnya terasa dijungkirbalikkan hanya dalam hitungan jam. Kesedihan karena ditinggalkan panutan hidupnya, tanggung jawab yang kemudian akan dibebankan ke pundaknya, lalu seorang wanita yang kali ini hanya sendirian. Bebas. Tidak dimiliki oleh siapa pun. Seseorang yang beberapa minggu lalu masih sangat dia inginkan.
Dan masih ada satu wanita lagi. Wanita yang saat ini sedang didekapnya. Wanita yang sama sekali tidak dia harapkan kedatangannya, wanita yang awalnya tidak dia sukai kehadirannya. Wanita keras kepala yang selalu memaksakan kehendaknya hanya satu kehendak sebenarnya. Dan wanita itu juga orang yang memiliki jalan pikiran paling aneh yang pernah dikenalnya.
Di balik semua itu, wanita tersebut juga memiliki wajah paling unik, rambut merah gelap seperti nyala api, dan mata hazel yang sangat menawan. Termasuk bau lembut lili yang menguar dari tubuhnya ke mana pun dia melangkah. Menenangkan. Seolah wanita itu sudah ada di sana sejak lama, bukan pendatang baru yang mengganggu keteraturan hidupnya.
Ada yang berbeda dari reaksinya terhadap dua wanita tersebut. Kiera membuatnya nyaman, seolah dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan duduk di samping wanita itu saja tanpa melakukan apa-apa. Sedangkan Calla mengusik sisi dirinya yang tersembunyi, bagaimana dia bisa dengan mudah meledak-ledak melihat kelakuan wanita satu itu, bagaimana jalan pikirannya bisa masuk ke zona bahaya saat dia dengan mudah menyentuh gadis itu, memeluk, bahkan sampai mencium. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan akan bisa dia lakukan.
Dua wanita itu seperti sisi mata koin yang berlawanan. Yang saat dilempar, hanya akan ada satu sisi yang menang. Dan dia tidak berniat mengujinya untuk tahu sisi mana yang dia inginkan.
Ada apa? tanya Calla, bergegas menghampiri Ian yang tampak panik. Pemakaman akan segera dimulai dan semua pelayat sudah berkumpul di area pemakaman keluarga itu.
Kiera menghilang, ujar Ian gusar sambil mengacak-acak rambutnya. Dia mengirim pesan kepadaku dan dia bilang ingin menenangkan diri dan tidak usah mencemaskan ataupun mencarinya.
Jadi apa yang kau khawatirkan? tanya Ratih, yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.
Ibu! sungut Ian dengan wajah ditekuk.
Dia sudah besar. Bisa menjaga dirinya dengan baik. Tidak akan terjadi apa-apa.
Tapi bagaimana kalau memang terjadi apa-apa dengannya? Dalam keadaan seperti itu dia bisa saja
Berikan dia waktu untuk menenangkan diri. Ini cukup berat untuknya, Ian. Untuk hari ini biarkan dia sendiri. Besok baru kau boleh mencarinya.
Ian tampak akan mendebat ibunya lagi, tapi dia menahan diri dan hanya mengembuskan napas keras.
Kalau begitu ayo. Pemakaman akan segera dimulai. Ratih memberi isyarat agar kedua orang itu mengikutinya.
Calla memilih berjalan paling belakang, memandangi punggung Ian yang perlahan semakin menjauh di depannya.
Rasanya seperti pria itu benar-benar akan pergi. Terlepas, sebelum dia sempat mengeratkan genggaman.
Karena takdir memang sedang mempermainkannya. Saat dia hampir mendapatkan apa yang dia inginkan, lalu semuanya berbalik dalam hitungan jam. Sekarang takdir lebih memilih untuk memihak Ian. Melancarkan jalannya.
Mungkin dari awal& dia hanya memaksakan diri. Berpikir bahwa dia bisa membuat pria itu berpaling. Padanya. Dan sekarang& dia mendapatkan isyarat jelas untuk berhenti. Berhenti mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin.
Apa yang sedang kau lakukan?
Calla tersentak dan menjatuhkan sepatu yang baru saja dilepaskannya begitu saja ke tanah.
Oh. Ian, sapanya saat melihat pria yang berdiri di belakangnya.
Apa yang sedang kau lakukan? tanya pria itu lagi, melihat gelagat Calla yang mencurigakan. Dia baru menyadari penampilan gadis itu. Selendang hitam yang dipakainya tampak begitu kontras dengan rambut merah gelapnya yang diikat sebagian. Dan gaun hitam sederhananya menutupi seluruh tubuhnya sampai ke mata kaki. Terlihat polos. Tanpa dosa.
Ng& aku hanya ingin berkeliling, tunjuk Calla ke arah bukit-bukit hijau landai yang membentang di hadapan mereka.
Area pemakaman keluarga itu memang sengaja dibuat di daerah pegunungan yang segar, berbukit-bukit seperti lapangan golf yang luas. Beberapa pohon pinus tampak berjajar rapi di sepanjang jalan yang terhubung ke perkebunan teh yang tidak jauh dari sana.
Lalu kenapa kau melepas sepatumu?
Calla mengedikkan bahunya. Aku lebih suka bertelanjang kaki kalau berjalan di atas rumput.
Gadis itu menenteng kedua sepatunya yang sudah dipungutnya kembali dari tanah, lalu berjalan pelan tanpa menoleh lagi ke arah Ian. Kakinya meraba permukaan kesat ujung-ujung rumput yang sedikit basah, bekas embun dan hujan semalam. Dia menurunkan selendangnya dan hanya menyampirkannya di bahu, membiarkan rambutnya yang separuh tergerai sedikit berantakan tertiup angin pagi kota Bandung yang segar.
Dia perlahan merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, tangan yang menyentuh telapak tangannya, dan jari-jari yang menelusup masuk ke sela jemarinya. Genggaman yang ringan. Hangat. Seperti ucapan selamat tinggal yang menenteramkan.
Mereka melangkah bersama. Diam. Menikmati ketenangan yang menyusul kemudian. Merasuk. Masuk.
Seringnya, seseorang yang kita cintai tapi tidak mencintai kita, akan menjadi begitu baik, memberikan kebahagiaan terakhir saat kita memutuskan untuk meninggalkannya. Mungkin karena merasa senang. Atau mungkin prihatin. Siapa yang tahu?
Calla melangkahkan kakinya ke balkon, berjalan menghampiri Ian yang duduk di salah satu dari dua kursi yang terpisah oleh sebuah meja kecil. Dia menduduki kursi yang satunya lalu meletakkan cangkir kopi yang dibawanya ke atas meja, mengangsurkan cangkir yang satu ke arah Ian dan menggenggam satu cangkir lagi yang berisi cairan pekat yang sama.
Kau sudah dapat kabar tentang Kiera? tanya gadis itu hati-hati.
Ian menggeleng singkat sebagai jawaban. Aku masih berusaha mencari.
Sibuk sekali ya? Apa Rayhan tidak mau membantumu mengurus perusahaan-perusahaan yang ditinggalkan ayahmu? Ian menoleh, menatap gadis itu dengan kening berkerut. Kalau mau bertanya tentang liburan yang kita rencanakan waktu itu, tanyakan saja.
Eh? gumam Calla, tertunduk malu karena tertangkap basah. Aku& maksudku& kalau kau mau menundanya& tidak apa-apa. Kau pasti sibuk sekali. Dengan perusahaan. Kiera. Aku& tidak keberatan.
Kau bisa tetap pergi.
Tanpamu? sergah Calla tanpa berpikir. Dan sedetik kemudian dia langsung memaki ucapan refleksnya.
Ian mengalihkan tatapannya lagi ke arah pemandangan malam yang tersuguh di hadapan mereka. Gedung-gedung tinggi, lampu-lampu yang berkedip, ataupun bunyi ribut klakson dan kesibukan malam jalanan di bawah.
Aku punya banyak tanggung jawab sekarang, mulai Ian dengan suara berat. Ada lima perusahaan yang harus aku urus. Aku juga harus memikirkan Ibu, Rayhan, Kiera. Kau.
Calla menghela napas dan mengangguk, memaksakan diri untuk tersenyum.
Ah, aku bahkan hampir lupa. Kiera sekarang sendirian, ucapnya, berusaha terdengar ceria. Kau harus melanjutkan perjuanganmu. Setiap wanita pasti butuh perhatian di saat-saat paling buruk dalam kehidupannya. Kalau kau selalu berada di sampingnya di saat-saat seperti sekarang, dia nanti pasti akan mulai membuka hati untukmu.
Anggap saja, potong Ian, tidak mengacuhkan ucapan Calla sama sekali. Kalau aku datang ke bandara, berarti aku memutuskan untuk& melepaskan masa laluku dan mulai menerima masa depan. Ian menolehkan wajah, menunjukkan senyum miringnya yang tampak kontras dengan sorot matanya yang tajam. Kalau aku tidak datang ke bandara, berarti kau tahu apa keputusanku.
Calla tertegun selama beberapa saat, mengerjap-ngerjapkan mata untuk menemukan kesadarannya kembali.
Tentu saja, gumamnya, mendadak berdiri dan secara tidak sengaja menumpahkan isi cangkir yang masih digenggamnya ke bagian bawah baju terusannya. Gadis itu tertawa canggung, menepuk-nepuk bagian bajunya yang basah tersebut, dan meringis menatap Ian.
Sepertinya aku sudah terlalu mengantuk sampai kehilangan konsentrasi. Lebih baik aku pergi tidur sekarang.
Calla meletakkan cangkirnya yang hanya tinggal setengah ke atas meja, lalu sedetik kemudian mengambilnya lagi, tampak kebingungan.
Oh, aku sampai lupa memberitahumu. Besok aku akan ke Bogor, mengunjungi rumah lama ibuku. Aku akan menginap di sana. Jadi& kalau tiga hari lagi kau tidak sempat datang ke bandara, berarti kita tidak akan bertemu dua minggu ke depan. Kau pasti senang, kan? tanya Calla bercanda, berusaha memasang wajah usil dan menggodanya.
Kalau menurutmu begitu, ucap Ian tenang. Keningnya masih berkerut, seolah sedang berusaha mencari tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
Kalau begitu selamat malam. Ian, sambung Calla, menggeser pintu balkon lagi agar dia bisa masuk ke dalam.
Calla, panggil Ian, dengan nada ragu-ragu. Seolah tidak yakin dengan apa yang akan diucapkannya.
Gadis itu berbalik cepat dengan mulut menganga, tidak memercayai pendengarannya.
Kau panggil aku apa? tuntutnya. Suaranya terdengar pecah, menunjukkan keterkejutannya.
Calla, ulang Ian, kali ini terdengar lebih mantap daripada sebelumnya.
Calla memandangi pria itu dengan tatapan tidak percaya. Ini pertama kalinya pria itu memanggilnya dengan benar. Ini pertama kalinya pria itu menyebutkan namanya. Nama aslinya. Dan dia suka& suka sekali dengan intonasi suara pria itu, tekanan yang keluar saat nama tersebut diucapkan, bagaimana untuk kali pertama dia akhirnya mengetahui alasan kenapa ibunya menganggap nama itu indah, bukan nama langka yang terasa sangat aneh untuk diucapkan.
Jadi manusia benar-benar bisa mengubah pikirannya sewaktu-waktu? lanjut pria itu dengan pandangan bertanya.
Calla memutar bola matanya, membutuhkan waktu selama beberapa detik untuk mengerti maksud ucapan pria itu.
Benar, ucapnya kemudian. Kadang-kadang karena mereka memang tidak punya pendirian, sekadar plin-plan, atau punya pertimbangan. Ada waktu di mana& manusia harus menyadari posisi mereka masing-masing. Ada saatnya& perjuangan benar-benar harus berhenti.
Kau berada dalam kelompok yang mana?
Aku? Calla tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya tersenyum sambil mengedikkan bahunya. Hanya orang yang melihat kenyataan yang sudah ada di depan mata.
Ian menatap gadis itu lekat. Lama. Sedikit mendongak karena gadis itu berdiri di depan pintu, terlihat lelah dalam balutan gaun santai selututnya yang berwarna krem dengan corak daun maple cokelat, dan rambut merah gelapnya yang diikat serampangan, sehingga beberapa helaiannya jatuh menutupi wajah, membuat mata hazelnya yang memukau semakin tampak seperti lelehan karamel. Gadis itu mungkin memang terlihat letih, tapi masih dengan pesona yang tidak terbantahkan.
Kadang apa yang ada di depan matamu bukanlah kenyataan yang sebenarnya, ujar pria itu, sedikit menaikkan sudut mulutnya. Dia kemudian berdiri, meraih cangkir kopinya yang belum diminum lalu melangkah melewati Calla, menyentuh rambut ikal gadis itu sekilas, merasakan helaiannya yang terasa lembut dan tebal.
Malam. Calla.
Vila kita di Bandung, beri tahu Rayhan, meraih kaleng soda
di atas meja yang belum dihabiskan Ian lalu menuntaskannya dalam sekali teguk.
Ian memutar bola matanya, menatap Rayhan ingin tahu. Aku baru saja mengantar Ibu ke sana, jawab Rayhan tanpa perlu ditanya.
Ibu? seru Ian kaget.
Yah, mereka sepertinya& kedengarannya memang aneh, tapi sepertinya mereka berdua& berteman. Ibu meminjamkan vila itu agar Kiera bisa menenangkan diri di sana. Mereka kelihatannya cukup akrab. Itu salah satu hal paling aneh yang pernah kulihat. Seorang mantan istri yang berteman dengan tunangan suaminya dan saling menghibur saat pria yang mereka cintai meninggal. Ibu luar biasa, kau tahu?
Ibu kan memang selalu menganggap ayah sebagai sahabatnya, jadi tidak heran kalau dia menerima kehadiran Kiera.
Jadi? Apa rencanamu? Mau menyusul ke sana? Mmm, gumam Ian singkat.
Calla? Bukannya dua hari lagi kalian berencana pergi ke Italia?
Ian menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Aku memberitahunya bahwa& aku masih belum mengambil keputusan. Kalau aku tidak datang ke bandara, berarti aku memilih untuk tetap tinggal di sini untuk menemani Kiera. Dia masih berpikir aku memiliki perasaan pada gadis itu.
Hei hei, Ian, kau mempermainkannya! cetus Rayhan dengan nada tidak setuju.
Ian mengangkat bahu sambil mencibir. Dia sudah menungguku selama bertahun-tahun, menyuruhnya menunggu selama beberapa hari lagi rasanya tidak ada masalah. Kau
Tenanglah. Aku hanya harus memastikan keadaan Kiera dulu, baru aku bisa tenang. Dia tetap sahabatku dan aku pernah jatuh cinta padanya. Lagi pula& aku tidak mau menjanjikan sesuatu kepada Calla. Aku tidak mau dia berharap terlalu banyak padaku lagi. Aku sudah terlalu sering membuatnya kecewa, kau tahu?
Tapi kau benar-benar tidak berencana untuk kembali kepada Kiera, kan?
Ian menggeleng. Aku sudah berhenti menginginkannya. Mendadak ada gadis lain yang terlihat lebih menarik.
Di sini? Kau mengenal seseorang? tanya Ian, melirik rumah dengan bangunan minimalis dan taman yang asri di depan mereka dari balik kaca mobil. Dia memang memaksa Calla agar membiarkannya mengantar gadis itu ke sini sebelum dia sendiri berangkat ke Bandung.
Ibumu bilang pembantu di rumah ini dulu masih tinggal di rumah belakang, jadi dia sering datang untuk membersihkan rumah. Setidaknya dia pasti mengenalku, jelas Calla.
Gadis itu berbalik, meraih pintu mobil, dan berniat turun saat Ian menahan tangannya.
Ada sesuatu yang ingin kucoba, ujar pria itu. Ragu. Dia menyentuhkan telapak tangannya ke pipi Calla, mencondongkan wajahnya mendekat.
Kau harus janji untuk tidak bergerak. Jangan melakukan apa-apa. Biar aku yang melakukannya.
Calla nyaris tidak memiliki energi tersisa untuk sekadar mengangguk. Dia hanya terpana saat melihat wajah pria itu menjadi lebih dekat dari sebelumnya, nyaris tak berjarak dari wajahnya sendiri. Dia tahu apa yang akan dilakukan pria itu, tapi tidak tahu alasan pria itu melakukannya. Karena pria itu menginginkannya? Atau sesuatu seperti& ciuman perpisahan? Sebagai kenang-kenangan terakhir untuknya? Sebagai tanda peringatan bahwa kemungkinan besar pria itu tidak akan datang ke bandara dua hari lagi? Begitukah?
Dia tidak lagi sempat memikirkan apa-apa saat bibir pria itu akhirnya menyentuh bibirnya. Hati-hati. Lembut. Terasa ringan seperti usapan bulu. Menekan bibirnya perlahan, seolah pria itu masih merasa bimbang untuk melanjutkan eksplorasi lebih jauh.
Ian memundurkan tubuhnya sedikit, memberi jarak pada bibir mereka, begitu tipis, tidak benar-benar melepaskan. Pria itu menelan ludah. Sadar bahwa ini pertama kalinya dia melakukan hal itu dalam keadaan sadar, dan tanpa alasan. Hanya karena dia ingin melakukannya. Bukan karena sedang cemburu seperti alasan terakhir yang dia gunakan sebagai dalih untuk mencium gadis itu. Atau karena terbawa suasana seperti ciuman pertama mereka dulu.
Dia bisa merasakan embusan berat napas Calla di bibirnya, mata gadis itu yang tertuju ke bawah, menatap bibirnya, tampak jelas berusaha menahan diri untuk tidak maju duluan dan melanjutkan ciuman mereka. Dan Ian hanya membutuhkan dorongan tersebut untuk menyatukan bibir mereka lagi.
Tapi dia tidak pernah menyiapkan diri untuk menerima reaksi gadis itu yang ternyata di luar kendali karena maksud awalnya hanya untuk menguji gairahnya sendiri. Tangan Calla merangkul lehernya, menarik kepalanya mendekat seolah mereka masih belum cukup dekat, sedangkan bibir gadis itu membuka, membalas lumatan bibirnya dengan agresif.
Hanya butuh dua detik bagi Ian untuk menjauhkan wajahnya, kali ini benar-benar berada di luar jangkauan. Hal
yang berhasil dilakukannya dengan mengerahkan semua akal sehatnya yang masih tersisa.
Napasnya terengah-engah, begitu juga gadis itu yang menatapnya dengan wajah merah padam, dengan bibir yang tampak begitu mengundang.
Maaf, bisik Calla, tapi tampak tidak menunjukkan ekspresi bersalah sedikit pun.
Tidak, geleng Ian, sedikit terlihat tertekan. Dia hanya ingin mengetahui bagaimana rasanya jika dia benar-benar mencium gadis itu, dengan cara yang benar. Ingin tahu seberapa kompatibelnya mereka dalam urusan kontak fisik. Tapi tadi itu bisa dikatakan malapetaka. Mungkin lain kali dia tidak akan berada di dekat gadis itu lebih dari jarak yang diperbolehkan sebelum mereka memiliki komitmen yang legal dan sah. Masih bisa ditolerir, gumamnya. Hanya saja seharusnya kau tidak menyerangku seperti itu. Kau tidak ingat aku ini laki-laki?
Tentu saja aku ingat, dengus Calla, kali ini benar-benar turun dari mobil dan membuka pintu belakang, mengeluarkan kopernya.
Gadis itu melongokkan wajah di jendela bangku penumpang dan tersenyum.
Sampai jumpa, ujarnya sambil melambaikan tangan. Mmm. Sampai jumpa.
Calla masih tetap berdiri di tempatnya, menunggu sampai mobil Ian menghilang di tikungan sebelum akhirnya dia membiarkan tubuhnya berjongkok di tanah dengan tangan yang berpegangan pada koper.
Mungkin mereka akan bertemu dua hari lagi. Atau mungkin dua minggu lagi. Tergantung keputusan pria itu. Dan setelah dua hari, jika pria itu memang tidak datang, dia harus bersiapsiap untuk benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Kembali ke New York dan kehidupan bisingnya. Melarikan diri lagi dari kehancuran.
Masalahnya, kehancuran kedua membuat semuanya benar-benar rusak. Tanpa bisa diperbaiki lagi. Sama sekali tidak terselamatkan.
Ayolah, beri tahu aku dia di mana! desak Rayhan, merongrong
Ian terus-menerus lewat telepon.
Mau apa kau dengan tunangan kakakmu sendiri, hah? Aku kan kangen dengan Calla, ucap Rayhan dengan nada yang menurut Ian menjijikkan.
Kau sudah gila ya?
Ayolah, Ian. Aku serius. Aku tidak akan melakukan apa-apa padanya. Kau bisa pegang janjiku. Kecuali kalau dia merayuku duluan. Aku bisa apa?
Ian mendelik. Adiknya itu& . Benar-benar harus ada seseorang yang bersedia memperbaiki kerusakan sistem kerja otaknya. Sesekali dia patut dibanting dan merasakan sakit yang dialami puluhan gadis yang pernah dicampakkannya.
Nanti aku kirim alamatnya lewat SMS. Dan ingat, awas saja kau kalau macam-macam. Kupatahkan lehermu! geram Ian penuh ancaman.
Baik baik. Aku mengerti. Dan kau bisa tenang, aku akan melancarkan usahamu untuk mendapatkannya, seru Rayhan, buru-buru mematikan telepon sebelum Ian sempat bertanya lebih jauh.
Sialan! umpat Ian. Kalau adiknya itu sudah turun tangan, bukannya berhasil, dia malah akan mengacaukan segalanya.
CALLA!!!!
Mata Calla melebar saat melihat siapa yang sedang berdiri di hadapannya.
Rayhan? sambutnya dengan senyum lebar. Bagaimana kau tahu aku ada di sini? Ian ya?
Pria itu mengangguk. Karena ponselmu tidak pernah aktif, aku harus merengek-rengek dulu padanya agar dia bersedia memberikanku alamatmu, ucap pria itu berlebihan. Calla terkekeh dan membuka pintu rumahnya lebih lebar. Ayo masuk.
Bagaimana kalau kita berjalan-jalan keluar saja? Kebun teh? Pemandangannya bagus, ajak Rayhan, mengedik ke arah perkebunan teh yang tepat berada di depan rumah Calla. Oke. Tunggu sebentar, aku mengambil jaket dulu.
Kau dengan Ian baik-baik saja? tanya Rayhan, membuka percakapan.
Kau datang ke sini jauh-jauh hanya untuk menanyakan
itu?
Yah& anggap saja aku tidak mau kehilangan calon kakak ipar potensial. Ngomong-ngomong, coba kau bayangkan, kalau ada gadis yang mengejar-ngejarku lalu aku tidak menyukainya, atau kalau aku ingin memutuskan pacarku dengan cara cepat, aku bisa meminjammu dari Ian dan berpura-pura bahwa kau adalah kekasih baruku. Mengasyikkan, kan?
Callasun Karya Yuli Pritania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Astaga, Rayhan, jadi itu motifmu selama ini? Memangnya kau pikir apa? Aku ini berpikiran maju ke depan. Kalau aku sudah memutuskan untuk menyukai sesuatu, berarti sesuatu itu memberikan keuntungan padaku.
Pantas saja Ian dan Tante Ratih selalu mengeluh tentangmu, sergah Calla sambil menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir.
Jadi? Bagaimana hubunganmu dengan Ian? Kematian Ayah& tidak memperburuk keadaan, kan?
Calla tidak langsung menjawab. Gadis itu hanya menarik jaketnya merapat, merasakan udara perbukitan yang segar dan dingin menusuk kulitnya.
Aku tidak tahu, ujarnya lirih beberapa detik kemudian. Seharusnya kau bertanya kepada Ian. Aku kan tidak tahu apa yang dia pikirkan. Dia tidak bisa ditebak. Bisa saja kan dia kembali pada Kiera? Kiera kan sudah bukan milik siapa-siapa lagi sekarang.
Bukannya kau mau pergi liburan bersama Ian? pancing Rayhan.
Gadis itu mengangguk dengan raut wajah suram. Memang. Itu kalau dia datang, ujar Calla. Ian bilang& kalau dia datang ke bandara besok, itu berarti dia memilih untuk
bersamaku. Tapi kalau dia tidak datang& berarti aku sudah bisa menebak apa jawabannya.
Ck, kakakku itu!
Kadang-kadang& kau tahu& rasanya lebih menyakitkan saat melihat orang yang kau cintai& mencintai orang lain yang tidak balik mencintainya.
Rayhan terdiam, membenarkan ucapan Calla dalam hati. Jadi apa rencanamu kalau& ng& misalkan, Ian tidak datang? tanyanya hati-hati, walaupun dia tentu saja tahu apa yang akan terjadi besok. Ian harus datang, karena kalau tidak, dia akan menghajar kakaknya itu sampai babak-belur.
Tidak tahu. Mungkin aku akan kembali ke New York. Kembali ke kehidupan lamaku. Menyembuhkan diri lagi.
Yang menyakitkan itu bukan ucapan selamat tinggalnya, lanjut gadis itu kemudian. Yang menyakitkan itu kenangankenangan yang tertinggal di belakang, yang akan terus teringat, walaupun kau berusaha melupakannya. Satu-satunya cara hanya dengan berharap kau bisa membenturkan kepalamu dan mengalami amnesia. Itu bahkan dengan kemungkinan masa lalu itu masih akan kembali lagi kepadamu suatu saat nanti, ucapnya pahit.
Hei, tidak semengerikan itu! sergah Rayhan menyemangati, merangkul pundak gadis itu dengan lengannya. Biar aku beri tahu satu rahasia. Jangan berpikir tentang hal terburuk dulu. Seperti yang kau bilang, Ian itu tidak bisa ditebak. Bukankah akhir-akhir ini kalian sangat dekat? Dia juga tidak malu-malu lagi menyentuhmu di depan umum. Mungkin dia memang belum mengatakan apa-apa, mungkin dia juga tidak akan membuat pengakuan apa-apa. Tapi walaupun dia tidak mengatakannya
secara langsung, bukan berarti dia tidak memiliki perasaan apaapa padamu, kan?
Ian menghabiskan paginya di balkon atas vila, memandangi pemandangan perbukitan dan kebun teh di kejauhan. Kakinya tertekuk, duduk bersandar di kursi malasnya.
Pria itu memasang headset ke telinga, menatap kumpulan lagu yang tertera di layar ponselnya lalu memilih satu lagu yang baru di-download-nya. Lagu yang saat itu diputar Calla di malam mereka berdansa bersama. Lagu dengan lirik yang disukainya, dan irama lembut yang terasa begitu tepat.
Your love is my turning page Where only the sweetest words remain&
Every kiss is a cursive line Every touch is a redefining phrase
I surrender who I ve been for who you are For nothing makes me stronger than your fragile heart If I had only felt how it feels to be yours
Well I would have known What I ve been living for all along What I ve been living for&
Dia mengingat setiap hal, kehangatan sentuhannya, kelembutan ciumannya& setiap detail yang mereka lakukan bersama. Dia ingat bagaimana rasanya menggenggam tangan gadis itu, merasakan aliran listrik ringan yang menyengatnya. Atau
bagaimana rasanya saat memandangi gadis itu tertidur, mendekap tubuh mungilnya, aroma rambut dan feromonnya& .
Ian memejamkan mata, membiarkan dirinya berada dalam kegelapan walaupun sinar matahari yang terik masih bisa menelusup masuk ke bawah kelopaknya.
Saat pertama kalinya dia berpisah dengan gadis itu, pergi ke luar kota karena tuntutan pekerjaan, dia bisa menghabiskan hari untuk bekerja dan melakukan meeting, lalu kemudian malam harinya dia akhirnya sadar bahwa dia tidak berada di apartemennya sendiri, tidak mendengar celotehan dan suara ribut gadis itu seharian. Dan walaupun dia tidak mau mengakuinya, tapi dia baru bisa terlelap tidur lewat tengah malam, kelelahan selagi memandangi ponselnya yang tidak berbunyi.
Lalu sekarang, dia tidak memiliki pekerjaan untuk diselesaikan. Dia hanya mengurung diri di kamar sendirian karena Kiera juga melakukan hal yang sama. Dia baru akan berencana berbicara dengan gadis itu nanti siang, memaksa kalau perlu jika gadis itu masih tidak mau keluar kamar.
Seharusnya, seseorang memberi tahu bahwa bagian tersulit dari jatuh cinta adalah merindukan seseorang setengah mati sampai membuat napas sesak. Seharusnya, dua puluh empat jam lagi tidak terasa selama ini. Dia mulai bisa merasakan darahnya yang mendidih dan otaknya yang tidak bisa dipakai untuk berpikir jernih, hanya berisi keinginan-keinginan untuk secepatnya bertemu gadis itu.
Tapi dia tidak akan memberi tahu gadis tersebut apa yang seharusnya dia katakan. Gadis itu harus bersedia menunggu lagi sampai kepalanya terbentur sesuatu dan mulutnya tanpa sadar mengungkapkan hal yang sebenarnya dia rasakan. Karena
dengan kewarasan penuh dan dalam kondisi sadar, dia tidak akan mengucapkan kata cinta atau apa pun yang berhubungan dengan itu. Sesuatu yang sebenarnya penting, tapi terlalu gengsi untuk dikatakan. Dia jelas bukan pria seperti itu. Separah apa pun bujuk rayu yang diperlihatkan gadis itu di hadapannya.
Tapi mungkin gadis itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Hanya sampai mereka menikah mungkin? Setelah itu dia akan mengatakannya.
Dan mungkin dia akan membuat gadis itu mati kesenangan.
Gadis itu merapatkan kedua pahanya dan menumpangkan dagunya di sana. Raut wajahnya tampak letih, tapi apalagi yang bisa diharapkan dari seorang gadis yang ditinggal mati tunangannya?
Ian, setelah memalingkan wajah dari gadis di sampingnya yang terus-terusan diam tak bersuara, memperhatikan tanah cokelat di depannya, yang diselimuti kerumunan dedaunan yang sudah meranggas. Berwarna sama, sehingga tidak tampak kontras. Daratan sedikit basah sehabis hujan semalam dan bau yang tertinggal di udara terasa menyenangkan. Bau yang mengingatkannya pada gadis yang sudah tidak dijumpainya selama seperempat minggu.
Pria itu tersenyum tipis, mengusir pikirannya. Tidak lama lagi dia pasti akan melihat gadis itu. Harus melihat gadis itu. Kalau tidak, mungkin dia akan bernasib sama seperti gadis di sampingnya ini. Dan itu adalah hal yang buruk. Sangat buruk. Memikirkannya saja sudah berhasil membuat perutnya mulas.
Apa tidak ada masalah kalau kau menemaniku? Calla tidak marah? tanya Kiera, akhirnya buka suara.
Ian tersenyum miring, menatap langsung ke atas, menerima siraman cahaya matahari yang menusuk, teringat momen dengan suasana yang sama, beberapa minggu yang lalu. Saat di mana dia menyadari perasaannya.
Calla& sun& , gumamnya pelan, tidak dimaksudkan untuk terdengar.
Apa? tanya Kiera bingung. Kalasan? Maksudmu& nama candi? Apa hubungannya?
Tanpa bisa ditahan Ian membiarkan kekehan gelinya meluncur keluar, sedikit menggeleng sebagai bentuk ketidaksetujuan atas ucapan gadis itu yang persis sama seperti insidennya dengan Calla dulu tentang kemiripan antara dua kata tersebut. Pria itu sama sekali tidak menyadari betapa Kiera terkesima melihat ekspresinya, ekspresi yang tidak disangka-sangka dimiliki oleh pria itu. Biasanya Ian, selucu apa pun sesuatu, hanya mengeluarkan senyum tipisnya yang terkadang membuat orang kesal karena merasa tidak dihargai. Tapi kali ini pria itu tertawa dan itu merupakan perkembangan yang luar biasa.
Calla, sahut pria itu, berusaha menjelaskan di sela-sela tawanya yang belum berhenti. Sun... matahari, jelasnya. Pria itu berdeham dan melemparkan tatapan ke danau buatan di depan mereka. Kepalanya bersandar ke kursi dengan pandangan menerawang. Raut wajahnya berubah serius, tidak bercanda lagi seperti tadi.
Kau tahu& matahari selalu dilambangkan sebagai simbol pria& dan bulan adalah wanita. Menurut beberapa anggapan dangkal yang sudah ketinggalan zaman, wanita selalu membutuhkan pria, seperti bulan yang tidak bisa bersinar tanpa bantuan matahari. Tapi& kau tahu? Walaupun bukan dari pria,
para wanita umumnya memang membutuhkan sesuatu untuk membuat mereka bersinar. Make-up, gaun, sepatu, kekayaan, kecantikan. Calla-ku& . Ucapan Ian terhenti karena tawa kecilnya saat menyadari nada posesif yang digunakannya saat menyebutkan nama gadis itu. Dia menarik napas dan berdeham lagi. Aku selalu memperhatikannya. Bertanya-tanya bagaimana dia bisa terlihat ceria setiap hari, bahkan setelah aku mengabaikan dan terus menghinanya. Kadang-kadang aku bahkan merasa dia bersinar& mungkin. Entahlah. Tawanya terlihat seperti itu.
Ian menoleh dan mengerutkan keningnya. Kau pernah melihatnya tertawa? Tawanya menular. Kalau kau melihatnya, kau pasti tahu apa yang aku maksudkan. Setiap orang yang melihatnya tertawa, pasti berniat untuk membalas tawanya.
Kerut di kening Ian semakin dalam saat otaknya mulai berpikir. Ada keraguan yang tersirat dalam ekspresinya. Atau itu hanya perasaanku saja?
Kiera tidak berkomentar. Dia masih ingin mendengarkan pria itu berbicara. Terhanyut dalam pikirannya sendiri tentang kisah cinta yang baru dimulainya bersama gadis yang dijodohkan dengannya. Jadi cinta benar-benar bisa membuat gunung es seperti Ian menjadi bodoh dan meleleh? Sepertinya para penulis puisi tidak melebih-lebihkan.
Dia tidak cantik. Cantik, ralat Ian sedetik kemudian. Tapi bukan yang tercantik.
Dia manis. Kadang-kadang aku berpikir dia seperti boneka. Mungil. Dan rambut merahnya membuatnya terlihat berbeda, komentar Kiera akhirnya.
Mmm, gumam Ian. Dan dia bersinar dengan caranya sendiri. Seperti matahari. Rambutnya membuatnya terlihat seperti itu.
Lalu kau bulannya? Kau butuh dia untuk bersinar? tanya Kiera dengan mata berkilat menggoda.
Bukan. Bukan bulan, ujar Ian sambil menggeleng. Hanya bunga matahari. Bunga yang hanya bisa menoleh ke satu arah saja seumur hidupnya.
Seharusnya cinta memang diibaratkan seperti itu, kan? tandas Kiera, menggoyang-goyangkan kakinya maju mundur.
Tapi tidak semua pria bisa seperti itu. Aku juga tidak. Aku pernah hanya melihatmu saja. Jadi aku tidak seberharga bunga matahari.
Setidaknya sekarang kau sudah menemukan mataharimu. Dan kau hanya akan melihatnya saja. Ya, kan?
Mmm, desahnya. Semoga saja. Umur bunga matahari tidak panjang, kau tahu?
Memang. Tapi kau tahu yang paling penting? tanya Kiera, mendadak tersenyum untuk pertama kalinya setelah hari-hari berlalu dalam masa berkabung yang menyakitkan. Dia merasa sangat senang untuk pria itu. Dan walaupun dia sedang bersedih, dia bisa menyingkirkannya karena merasa terlalu bahagia saat melihat pria yang pernah mencintainya itu bahagia. Dia masih muda, dan tidak menutup kemungkinan dia akan menemukan seseorang yang cukup berharga untuk dicintainya, seperti yang dilakukan Ian terhadap gadisnya. Dia hanya perlu menunggu, sedikit lebih lama, mungkin setelah rasa sakit itu bisa ditahannya.
Pengabdian seumur hidup, ucapnya sambil tersenyum. Untuk yang satu itu, bunga matahari tidak pernah terkalahkan.
G adis itu menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi, kemudian
berdiri lagi, mondar-mandir tidak tentu arah selama beberapa saat sambil menarik kopernya, kemudian kembali duduk. Mengulangi hal yang sama berkali-kali, membuat orang-orang yang sedang berada di dekatnya menatapnya aneh. Mungkin merasa terganggu, atau hanya tidak nyaman melihat kelakuannya yang seperti cacing kepanasan.
Gadis itu menggigit-gigit bibirnya yang terasa kering. Beberapa helai anak rambutnya terjatuh ke sisi wajah, terlepas dari ikatan rambutnya yang longgar. Kali ini dia membiarkan kopernya tergeletak di dekat kakinya yang diselonjorkan. Tangannya bersedekap di depan dada, sesekali melirik jam tangan sebelum beralih ke arah pintu yang dilewati puluhan orang silih berganti, tapi orang yang sedang ditunggunya tidak kunjung datang.
Gadis itu membenarkan letak kardigannya yang sebenarnya berada dalam posisi yang baik-baik saja. Sedetik kemudian dia mulai mengipasi wajahnya dengan passport dalam genggamannya. Dia memang tidak bisa berhenti bergerak kalau sedang merasa gugup dan itu biasanya membuatnya menjadi pusat perhatian. Seperti sekarang. Bukan hal sulit sebenarnya untuk membuat perhatian semua orang teralih padanya. Warna rambutnya yang mencolok membuat hal itu menjadi mudah. Dia tidak menyukai bagian menjadi pusat perhatian -nya, tapi dia menyukai warna rambutnya yang menurut beberapa orang membuat warna kulitnya yang putih terlihat memerah dan membuat mata cokelatnya menjadi semakin tajam. Orang tuanya selalu berkata bahwa dia terlihat seperti boneka yang manis. Dan dia belum mencari tahu apakah itu benar. Setiap orang tua memang selalu membuat anak mereka merasa menjadi seseorang yang paling memesona.
Warna rambutmu terlihat baik-baik saja menurutku. Tidak usah dicat. Kau pasti jadi kelihatan aneh.
Dia selalu menganggap kalimat yang dilontarkan Ian waktu itu sebagai pujian. Mengingat pria itu jarang memujinya.
Kalau aku tidak datang ke bandara, berarti kau tahu apa keputusanku.
Kalimat itu mendadak memenuhi otaknya, membuat bahunya merosot turun dan napasnya menjadi berat. Ditambah saat pengumuman agar para penumpang segera naik ke atas pesawat memenuhi indra pendengarannya. Waktunya sudah habis. Pria itu tidak datang. Seperti inikah perjuangannya berakhir?
Gadis itu bangkit berdiri, kali ini dengan usaha sia-sianya untuk mengosongkan pikiran. Tanpa menoleh ke belakang lagi, dia berjalan mengikuti penumpang-penumpang lain yang berjejer di depannya, berupaya untuk tidak memikirkan apa pun sampai dia mencapai tempat duduknya dan meringkuk di sudut, langsung mengeluarkan selimut kesayangannya dari dalam tas dan menyembunyikan diri di baliknya. Dia tidak menunggu pesawat sampai lepas landas untuk jatuh tertidur. Untuk yang satu itu, kemampuannya tidak perlu diragukan. Dia selalu bisa jatuh tertidur, kapan pun, di mana pun, tidak peduli setertekan apa pun batinnya saat itu. Tidur selalu jadi jalan keluar yang praktis dan aman.
Dia memimpikan sebuah padang rumput yang dipenuhi cahaya matahari. Tidak ada apa-apa di sana selain sepetak bunga matahari yang sedikit bergoyang karena sapuan angin dan sebuah pohon rindang yang berdiri sendirian di kejauhan. Bunga matahari selalu menjadi favoritnya, bunga kedua yang disukainya setelah lili. Karena takdir bunga itu yang hanya bisa menatap ke satu sisi saja, tidak peduli seperti apa pun angin berusaha membuatnya berubah arah.
Gadis itu menggeliat sedikit. Tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur. Rasanya sudah beberapa jam, karena pesawat terdengar hening, kecuali bunyi deru mesin yang terdengar samar. Sepertinya sudah malam.
Dia menggosok wajah dan menyingkirkan poninya dari kening, sebelum akhirnya membuka mata. Dia tidak perlu mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan cahaya karena lampu pesawat sudah sedikit diredupkan untuk membuat para penumpang merasa nyaman. Tapi dia merasa perlu melakukannya
karena retina matanya menangkap sosok wajah yang seharusnya tidak ada di sana. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau hanya halusinasinya saja. Hanya dua pilihan itu yang dia miliki karena yang dilihatnya adalah wajah Ian, dan kedua mata pria itu menatapnya dengan aneh. Pria itu tidak pernah benar-benar menatapnya selama ini kalau tidak merasa perlu, tapi kali ini mata pria itu benar-benar menelusuri wajahnya, berlama-lama di matanya dengan tatapan intens yang tidak masuk akal, seolah pria itu menyukai apa yang dilihatnya.
Hanya saja sentuhan pria itu di rambutnya terasa begitu nyata. Ujung-ujung jari pria itu, yang bergerak turun menyentuh kulit pipinya, terasa hangat, dan dia bisa merasakan wajahnya merona dengan oksigen yang pas-pasan melewati rongga paruparunya. Dia hanya bisa bereaksi seperti itu dengan sentuhan pria itu saja, jadi dia memiliki opsi ketiga sekarang. Pria itu benar-benar ada di hadapannya. Dia tidak sedang bermimpi.
Pria itu tersenyum seolah bisa membaca pikirannya, walaupun yang dilakukan pria itu sebenarnya hanya mempelajari ekspresi wajahnya saja, yang menunjukkan pikirannya seperti buku yang terbuka.
Pria itu memajukan wajah, tersenyum miring dengan mata yang berkilat-kilat geli, membuat gadis itu terkesima untuk waktu yang lama. Dia tidak bisa mengharapkan kenyataan yang seindah ini, kan?
Hai, bisik pria itu serak, menghancurleburkan semua imajinasinya tentang memiliki mimpi yang sebaiknya tidak pernah berhenti dan membuatnya terbangun. Suara yang seindah itu tidak mungkin terdengar sempurna jika dia hanya memimpikannya. Dengan kata lain demi Tuhan untuk hal yang
seperti ini dia memang memiliki IQ yang sangat jongkok pria itu benar-benar ada. Di depannya. Berbicara padanya. Yang berarti bahwa& keputusan pria itu adalah menjalani hidup baru. Bersamanya.
Tanpa sadar dia tersentak ke belakang, membuat kepalanya terantuk jendela pesawat, menimbulkan denyutan nyeri yang membuatnya meringis. Bedanya kali ini hal itu tidak membuatnya kesal, tapi malah terpana mendengar tawa geli yang meluncur keluar dari sela gigi pria di depannya yang sedikit teredam karena dia menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak mengganggu penumpang lain. Hal itu, anehnya, membuat pria itu tampak semakin tampan dengan wajahnya yang terlihat segar penuh tawa. Rambutnya terlihat acak-acakan, seperti biasa, sesuatu yang membuatnya selalu sulit untuk digambarkan dengan beberapa pilihan kata manusia yang terbatas.
Hai, ucap gadis itu terdengar bodoh, dengan tampang yang sama bodohnya.
Pria itu mengganti tawa kecilnya menjadi senyum geli dan menjulurkan tangannya untuk mencapai bagian belakang kepala gadis tersebut, menggosoknya pelan, sesekali memberi tekanan tanpa berkata apa-apa. Matanya masih terpancang di wajah gadis itu, seolah memuaskan diri, mengganti waktunya yang selama ini tersia-siakan karena gengsi. Dia tidak pernah merasa cukup mengamati wajah gadis itu, jadi beberapa jam perjalanan ke Italia mungkin bisa sedikit mengurangi ketertinggalannya. Kiera benar. Gadis itu memang tampak manis. Seperti boneka. Bahkan dengan tampang bingungnya yang tampak bodoh itu.
Calla menarik napas diam-diam, bersyukur dalam hati karena keberuntungan yang tidak disangka-sangka dia dapatkan
setelah berusaha sekian lama. Dia sudah memimpikan tatapan seperti itu berkali-kali, berharap bahwa pria itu akan memberikan pandangan penuh fokus itu padanya. Dia tidak peduli hal lainnya, karena yang diinginkannya selama ini hanya satu tatapan itu saja. Dia tidak membutuhkan ungkapan cinta dari pria itu. Hal tersebut masih bisa menyusul. Perlahan-lahan. Harus menunggu lagi bukan hal yang sulit baginya.
Mereka berdua saling terdiam dengan pikiran masingmasing, dengan mata yang masih tetap tertuju ke wajah satu sama lain. Bahwa hanya dengan seperti itu saja mereka seolah sudah mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak terucapkan. Seharusnya para ahli melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang pertanyaan yang tidak pernah terselesaikan dan terlantar tanpa jawaban.
Bagaimana caranya cinta dijabarkan saat hanya dengan melihat kehadirannya saja kau sudah merasa sangat puas?
D engan naifnya dia berpikir bahwa setelah dengan terang
terangan pria itu memilihnya, maka sifat pria itu juga akan berubah. Benar-benar pemikiran bodoh seorang gadis yang sedang dimabuk cinta. Bahkan kalimat pertama yang diucapkan pria itu setelah mereka turun dari pesawat adalah, Aku hanya akan menemanimu selama tiga hari. Lewat dari itu, aku akan kembali ke Jakarta. Terserah kau mau ikut denganku atau tidak. Oh, ya Tuhan, bagaimana bisa dia berimajinasi bahwa pria gunung es itu akan berubah tiba-tiba menjadi pangeran berkuda putih yang dia idam-idamkan selama ini?
Calla menendang kerikil yang berserakan di jalan yang dilewatinya. Pagi ini dia bahkan harus berkeliling sendirian karena Ian mendadak hilang. Oh, pria itu memang meninggalkan pesan bahwa dia harus pergi ke suatu tempat, tapi yang menyebalkan
adalah, mereka ke sini untuk liburan dan pria itu malah pergi tanpa merasa perlu mengajaknya. Memangnya pria itu punya kenalan di sini?
Gadis itu menginjak-injakkan kakinya ke tanah sambil menggeram kesal. Rusak sudah mimpi indahnya untuk melakukannya kencan romantis dengan pria itu. Untuk apa jauh-jauh datang ke sini kalau pada akhirnya pria itu lagi-lagi tidak mengacuhkannya seolah dia hanyalah pajangan yang tidak menarik untuk dilihat?
Saking kesalnya, dia bahkan berkeliling tidak tahu arah, berjalan melewati gang-gang sempit yang dikelilingi pagar tanaman dan pekarangan-pekarangan rumah yang asri, lalu petak-petak kebun anggur yang dinaungi pohon pinus yang berjejer rapi di sepanjang jalan setapak. Matahari mulai naik, bersinar terik tepat di atas puncak kepala, membuat gadis itu tersadar bahwa dia sudah berkeliaran terlalu jauh dari hotel tempat mereka menginap. Dari sini dia bahkan tidak bisa melihat hotel yang berada di atas bukit, berbentuk kastil yang terbuat dari batu merah bata, sesuatu yang seharusnya bisa dia temukan kalau saja dia berada di tempat yang benar. Yang berarti bahwa sekarang dia sedang& tersesat, kehilangan arah, dan buta jalan. Dengan kata lain, itu merupakan sinonim dari& marabahaya. Demi Ian yang tampan, tamatlah riwayatnya!
Ian memandang ke arah perbukitan dan kebun anggur di kejauhan, melihat suguhan pemandangan Montalcino yang indah dari tempatnya duduk menikmati kopi sorenya yang masih hangat. Tempat itu dikelilingi tonggak-tonggak kayu yang
dililiti oleh sulur tanaman anggur yang merambat, menjadikan tumpukan daunnya sebagai atap. Hotel ini cukup sepi, bahkan ada banyak kamar kosong karena ini bukan musim liburan.
Pria itu melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya, mulai merasa cemas karena Calla tidak kunjung pulang dari acara jalan-jalannya. Saat dia kembali setelah mengurus keperluan pribadi -nya tadi, gadis itu sudah menghilang dan tidak meninggalkan pesan apa pun, walaupun resepsionis memberi tahunya bahwa gadis tersebut sudah keluar hotel sejak pukul sembilan pagi. Dan sekarang sudah pukul lima sore, tapi gadis itu masih belum juga menampakkan batang hidungnya.
Dia menimbang-nimbang untuk pergi mencari gadis itu, tapi masalahnya, dia bahkan tidak tahu harus mulai mencari ke mana. Jadi pilihan terakhirnya hanya duduk menunggu di hotel. Kecuali kalau gadis itu masih belum muncul juga selewat pukul tujuh malam.
Ian menghela napas lalu memalingkan tatapannya ke arah laptop, mengklik email yang baru masuk. Laporan harian perusahaan yang sedang dikelola sementara oleh Rayhan. Dia sendiri hanya bertindak sebagai pengawas, yang baru turun tangan apabila terjadi kesalahan.
Dia mulai terbenam dalam kesibukannya, mengabaikan angin sore yang berembus dingin, dengan udara yang menguarkan aroma basah, sisa hujan setengah jam yang lalu. Dia baru saja mengecek laporan saham lima belas menit kemudian, saat seorang gadis berjalan mengentak-entak ke arah meja yang ditempatinya, tampak basah kuyup dan menggigil kedinginan, walau masih sempat-sempatnya memamerkan raut wajah merajuk, nyaris tampak siap meledakkan tangisnya kapan saja.
Kau bahkan enak-enakan duduk di sini, asyik dengan laptopmu, menikmati kopi panas, tuduh gadis itu langsung tanpa kalimat pembuka. Sedangkan aku hampir mati ketakutan di luar sana karena tidak bisa menemukan jalan pulang.
Yang penting sekarang kau berhasil kembali ke hotel dengan selamat. Walaupun basah, komentar Ian kalem.
Aku tersesat, Ian! seru gadis itu, menaikkan nada suaranya, nyaris berteriak.
Kau sudah kembali sekarang, ulang Ian lagi, masih tampak begitu tenang, meskipun detak jantungnya langsung berubah frekuensi karena merasa lega bisa melihat gadis itu lagi. Tidak kekurangan sesuatu apa pun seperti saat dia tinggalkan pagi tadi.
Bagaimana kalau aku benar-benar hilang? sergahnya dengan bibir bergetar, hampir-hampir terisak.
Nanti saja dipikirkan kalau kau benar-benar hilang. Kau tidak akan mencariku? tanya Calla, menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air matanya yang mendesak jatuh.
Ian menyingkirkan laptopnya ke samping, mendongak untuk menatap gadis itu.
Bodoh, gumamnya dengan tampang mengejek. Kalau kau hilang, aku harus menikah dengan siapa?
Dan sedetik kemudian gadis itu sudah menghambur ke arahnya, tanpa permisi memeluknya erat-erat, mencipratkan air dari helai rambutnya ke mana-mana, membuat tubuh Ian juga menjadi separuh basah karena pakaian mereka yang saling menempel.
Dia mencelus saat tangis gadis itu meledak. Untung saja tidak ada orang lain selain mereka di sana, sehingga dia tidak perlu merasa malu.
Calla& lepaskan.
Tidak mau! tolak gadis itu mentah-mentah sambil menggeleng kuat. Kau benar-benar akan menikahiku?
Ian akhirnya mendorong tubuh Calla menjauh dengan paksa, memegangi kedua lengan gadis itu cukup jauh dari tubuhnya untuk berjaga-jaga siapa tahu gadis tersebut bermaksud menubruknya lagi.
Jadi kau pikir untuk apa aku berada di sini denganmu sekarang? Meninggalkan pekerjaanku, cuti dari kantor, dan malah berlibur bersamamu? tanyanya sinis seolah pertanyaan yang diajukan gadis itu adalah pertanyaan paling tolol yang pernah dia dengar seumur hidupnya.
Ganti bajumu sana. Kalau kau sampai jatuh sakit, aku akan langsung mengirimmu pulang ke Jakarta.
Tidak. Ian menggelengkan kepalanya sebelum Calla sempat menyelesaikan penjelasan penuh semangatnya tentang bersepeda bersama ke kebun anggur di pagi hari yang cerah. Kau cari saja pria lain. Kalau kau ingin pergi denganku, pilihanmu hanya berjalan kaki atau tidak sama sekali.
Calla merengut, tapi tidak menyurutkan otaknya untuk memikirkan adegan-adegan romantis yang ingin dipraktikkannya bersama pria itu.
Baik. Tapi aku boleh menggandeng tanganmu, kan? Ian membuka mulut untuk memprotes, tapi mengurungkan niatnya begitu saja, membuat Calla langsung memekik senang,
serta-merta memegangi lengan Ian yang terbenam di saku celana dengan kedua tangannya, takut jika pria itu mendadak berubah pikiran dan malah kabur darinya.
Aku kemarin berjalan-jalan ke arah sana, lebih jauh dari perkebunan anggur, tunjuk Calla ke suatu tempat di kejauhan. Butuh berjam-jam bagiku untuk menemukan jalan pulang.
Kau saja yang bodoh, dengus Ian, tanpa nada simpati sedikit pun.
Calla mendelik, tapi memutuskan untuk tidak membalas. Kencan pertama mereka harus berjalan lancar dan mulus, tidak peduli jika dia harus menekan emosi mati-matian sepanjang hari.
Berlibur menyenangkan, kan? Perusahaan pasti baik-baik saja walaupun kau tidak ada.
Kalau insiden kebakaran kecil di pabrik dan kecelakaan saat pengantaran barang terhitung sebagai baik-baik saja, berarti memang tidak ada masalah.
Separah itu ya? ringis Calla malu. Rayhan sudah mengurus semuanya.
Mereka menuruni lereng bukit yang berkerikil dan Ian berbaik hati untuk memandu gadis itu dengan memegangi sikunya agar tidak tergelincir. Mengingat kecerobohan gadis tersebut, hal remeh seperti itu pantas dikhawatirkan. Dia hanya berusaha mencegahnya terjadi saja.
Kau yakin tidak apa-apa? Maksudku& yah& kau pasti sedang banyak pikiran. Kalau sekarang kau di Jakarta kau bisa mengurus semua perusahaan ayahmu, Tante Ratih& Kiera mungkin.
Apa sebegitu sulitnya menemukan topik untuk dibicarakan denganku? tanya Ian tiba-tiba, di luar perkiraan. Huh?
Kau bertanya ini dan itu, seolah ingin membuatku terus bicara dan tidak merasa bosan. Atau kau hanya ingin tahu tentang Kiera? Kalau kau memang ingin tahu ya tanyakan saja. Tidak usah bertele-tele.
Wajah Calla kontan memerah, membuat gadis itu menunduk malu.
Eh& sejelas itu ya? Aku pikir kau akan kesal kalau aku menyinggung topik itu.
Aku sudah bilang, jangan menebak-nebak isi pikiranku dan mengambil kesimpulan yang salah seenak perutmu.
Jadi? Gadis itu mulai bersemangat lagi, ingin tahu jawaban atas pertanyaannya.
Aku menyukainya. Jantung Calla mencelus. Dulu. Gadis itu tersenyum lagi. Sekarang pun masih. Dia mulai menggigit-gigit bibirnya sampai akhirnya Ian menoleh dan menatapnya geli. Bedanya dulu aku menyukainya sebagai wanita. Sedangkan sekarang hanya sebatas sahabat. Mungkin saudara perempuan.
Kau senang sekali kan bisa menggodaku? Tentu saja, sahut Ian dengan raut wajah kalem. Calla menggigit ujung lidahnya. Terserah kau sajalah. Ian mendapatkan sesi hening sementara yang sangat disukainya selama beberapa menit. Cukup merasa puas sehingga dia tidak mengajukan komplain saat lima menit kemudian Calla mulai berceloteh lagi.
Kalau kita menikah& aku masih boleh bekerja atau tidak?
Ian bahkan tidak perlu berpikir sebelum menjawab. Aku bukan pria kolot. Terserah padamu saja mau bekerja atau tidak setelah kita menikah. Tapi mungkin aku lebih suka kalau saat kita sudah punya anak nanti, kau hanya fokus untuk merawatnya. Tidak disibukkan oleh kegiatan lain.
ANAK? jerit Calla refleks. Anak? ulangnya lagi. Anak kita? Kau? Aku?
Memangnya apa lagi yang bisa kau hasilkan dari pernikahan, Calla? dengus Ian, bertanya-tanya apakah keputusannya benar untuk menikahi gadis tolol di depannya ini, terutama saat gadis itu mulai tersenyum seperti orang sinting hanya karena dia menyebutkan kata anak.
Calla tampak linglung sesaat. Memikirkan kemungkinan bahwa dia akan memiliki anak dengan pria yang paling diidamidamkannya di muka bumi, membuat kepalanya seolah terkena serangan gegar otak ringan. Dia mau saja menjatuhkan diri ke tanah lalu tertawa keras-keras jika tidak teringat bahwa setidaknya dia harus menyisakan sedikit harga dirinya di depan Ian.
Kalau kau mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakwarasan di depanku, ancam pria itu tegas. Aku tidak akan segan-segan mengenyahkanmu.
Dan dia langsung menghilangkan cengiran lebar di wajahnya dengan patuh.
Hari terakhir di Tuscany. Dia sengaja bangun pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, menggedor-gedor pintu kamar Ian agar
pria itu menemaninya, lalu memesan sarapan yang kemudian diantarkan ke kolam renang yang terletak menjorok di tepi bukit, membuka langsung ke arah hamparan pemandangan hijau bukit, kebun anggur, dan deretan pinus beserta pohon buah zaitun yang berserakan di mana-mana. Terlihat lebih luar biasa lagi karena suasana yang masih separuh gelap tertutup kabut pagi, sedangkan di ufuk timur ada seberkas cahaya berwarna putih kekuningan, siap menyebar secara merata di seluruh penjuru langit dalam hitungan detik.
Calla bersandar di kursi malasnya, meregangkan kakinya demi mencari posisi paling enak untuk menikmati fenomena matahari terbit Montalcino yang pasti akan memanjakan mata. Dia kemudian melambai-lambaikan tangan penuh semangat saat Ian akhirnya muncul, memberi tanda agar pria itu bergegas menghampirinya agar mereka tidak kehilangan momen indah itu. Suasana bahkan ditunjang dengan fakta bahwa hanya ada mereka saja di lokasi itu, sehingga terkesan lebih pribadi dan intim.
Dan kemudian dia hanya bisa terpana, terpukau saat sinar matahari muncul sepenuhnya, membanjiri bumi dengan cahaya kemilau yang menyilaukan. Cahaya yang sama, yang juga menyinari tubuh Ian yang masih berjalan mendekat hanya mengenakan sehelai kaus sleeveless hitam pas badan dan celana pendek, rambut acak-acakan sehabis bangun tidur, dan wajah yang dibasuh sekenanya untuk memberikan kesan segar, tapi malah terlihat seolah pria itu sedang membintangi iklan pariwisata atau entah apa, yang jelas-jelas bisa membuat wanita mana pun bersedia datang ke tempat ini, tidak peduli berapa pun biayanya.
Bukannya menikmati momen matahari terbit seperti rencananya semula, dia malah berakhir meneteskan air liur melihat pameran ketampanan yang tidak sengaja dipertontonkan calon suaminya.
Mataharinya di sebelah sana, Calla, cemooh Ian dengan senyum mengejek.
Kalau kau mau menyebut dirimu matahari boleh juga, sahutnya tidak tahu malu, sama sekali tidak tahu apa yang berkecamuk di dalam pikiran pria itu.
Ian menyunggingkan senyum miringnya, memutuskan melakukan pengamatan menyeluruh pada gadis itu dengan cara yang tidak terlalu kentara seperti yang gadis tersebut lakukan padanya.
Oh, dia selalu berkata bahwa sosok Calla Andira Rasyir di bawah siraman cahaya matahari adalah pemandangan yang luar biasa bagi pria mana pun. Rambut merahnya yang gelap, kali ini terlihat lebih terang, bercampur dengan semburat warna oranye lembut yang hangat, sehingga kulitnya yang pucat terlihat memerah, sesuatu yang membuatnya terlihat seperti boneka hidup, dengan bara api yang menguar di sekeliling wajahnya yang bak porselen rapuh.
Ah, sial. Aku melupakan kameraku, umpat Calla sambil menepuk jidatnya, memaki otaknya yang sering pikun untuk hal-hal yang seharusnya penting. Aku ke dalam dulu. Kau di sini saja. Jangan ke mana-mana.
Gadis itu bangkit dari kursi, memasang kembali sandalnya dan terburu-buru melangkah melewati Ian sesuatu yang langsung dihalangi oleh pria itu dengan cara mencekal pergelangan tangannya.
Calla menoleh, menatap pria itu heran. Biasanya pria itu tidak pernah mau menyentuhnya duluan. Ini bahkan sentuhan pertama yang pria itu lakukan dengan penuh kesadaran diri jika sentuhan pria itu saat membantunya menuruni lereng kemarin tidak dihitung.
Kenapa? Ada sesuatu yang ingin kau katakan? tanyanya kebingungan.
Aku belum memintamu secara resmi, ucap pria itu. Apa? Meminta secara resmi& apa?
Ian menyodorkan tangan kanannya yang mengepal tertutup ke bawah wajah Calla.
Mengira-ngira dari sifatmu, aku pikir kau akan membutuhkan
ini.
Pria itu membuka kepalan tangannya, memperlihatkan sebuah cincin emas putih berukir daun dan sulur anggur yang membelit sebuah berlian kecil di bagian tengah.
Mulut Calla kontan menganga lebar. Rasa pusing langsung menghantam kepalanya seperti pukulan godam, membuatnya terhuyung, separuh berkunang-kunang dan kemudian& . Demi Tuhan, Calla!
Sama sekali tidak elegan. Hancur sudah martabatnya, harga diri terakhirnya sebagai wanita.
Calla mengeluh dalam hati, menemukan kesadarannya kembali tanpa membuka mata, bermaksud mempelajari situasi terlebih dahulu. Masalahnya, yang bisa dia ingat hanyalah Ian yang menyodorkan cincin lamaran kepadanya dan dia dengan tidak ada anggun-anggunnya sama sekali memutuskan untuk
pingsan di momen sepenting itu, merasa terlalu syok, tertekan, oh persetan& seharusnya dia cukup waras untuk tetap sadar, bukannya merusak keadaan.
Apa Ian marah dengan kelakuan memalukannya? Berapa kali lagi pria itu harus bersabar menghadapi sifatnya yang kekanak-kanakan dan terlalu responsif?
Gadis itu membuka matanya sedikit dan secara refleks langsung menutupnya lagi saat menyadari Ian balas menatapnya tajam.
Bangun, perintah pria itu sambil menarik sejumput rambutnya. Tidak usah pura-pura pingsan lagi. Aku sedang menimbang-nimbang untuk menyirammu dengan air daripada harus repot-repot menggotongmu ke bandara. Merepotkan.
Calla, dengan malu-malu, perlahan membuka mata, sedikit meringis saat merasakan tatapan Ian menghunusnya seperti sebilah pisau tajam, seolah pria itu ingin melenyapkannya segera.
Sudah berapa lama aku pingsan? tanyanya hati-hati. Empat jam! sentak Ian. Dan sebaiknya kau segera bersiap. Penerbangan kita tiga jam lagi. Aku tidak mau ketinggalan pesawat, lanjut Ian sambil beranjak dari tepi tempat tidur. Maaf.
Pria itu berbalik dan menatap Calla dengan gusar. Aku hanya menyodorkan cincin padamu. Bahkan aku belum mengatakan ayo kita menikah atau semacamnya dan yang kau lakukan malah pingsan di kakiku, sehingga aku harus menggendongmu ke kamar dan membuat panik semua orang.
Maaf, ulang Calla lagi dengan raut wajah penuh penyesalan. Aku hanya& terlalu bahagia, ucapnya takut-takut, khawatir pria itu akan meledak sekali lagi.
Ian menghela napas. Dia sudah mencoba untuk bersikap maklum karena selama ini gadis itu memang selalu menyikapi semua perlakuannya dengan berlebihan. Tapi yang tadi itu benarbenar& ajaib, sehingga dia tidak tahu harus melakukan apa.
Minum obatmu, desahnya kemudian. Dan habiskan makan siangmu. Lalu bersiap-siaplah.
Pria itu berniat segera keluar, tapi dia kemudian menjatuhkan diri lagi ke sisi ranjang, mengulurkan tangan dan menyentuhkannya ke kening Calla untuk mengecek suhu tubuh gadis itu.
Jangan bahagia terlalu berlebihan, ucapnya kemudian, menatap mata gadis tersebut lekat-lekat. Takaran yang pas jauh lebih baik, kau tahu? Karena yang terlalu banyak itu bisa membuatmu mabuk dan lupa, sedangkan yang terlalu sedikit membuatmu merasa kurang dan terus teringat, apa saja yang belum kau dapatkan.
Pria itu membisu sepanjang perjalanan belasan jam di udara. Bahkan masih tidak membuka mulut saat mereka mendapatkan taksi yang kemudian mengantarkan mereka pulang ke apartemen. Dia sendiri juga tidak berani mengganggu dengan celotehancelotehannya yang ribut. Cukup sudah dia memperkeruh suasana. Dia bahkan berpikiran negatif bahwa bisa jadi pria itu tidak akan melamarnya lagi mengingat ketika sebelum berangkat tadi dia menanyakan cincin, yang hanya dibalas dengan delikan oleh pria tersebut, sehingga dia tahu diri dan memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat, tidak bertanya lebih jauh.
Ian menurunkan barang bawaan mereka yang tidak bertambah dari bagasi taksi, menyandang ranselnya di punggung dan cukup sopan dengan bersedia mengangkut koper Calla, sedangkan gadis itu hanya mengekor di belakang, masih canggung untuk membuka pembicaraan.
Pria itu baru berbicara saat mereka sampai di depan pintu apartemen. Bahkan itu pun tidak bisa dihitung sebagai bicara, karena pria itu hanya menyingkir dari pintu, memberi tanda agar Calla mengetikkan nomor pin.
Gadis itu menurut, berdiri di depan papan ketik, dan baru memasukkan dua digit angka pertama saat dia merasakan pundaknya dibebani oleh sesuatu. Menilik dari napas yang berembus di pipinya, sesuatu itu berarti kepala Ian.
Belum usai rasa kagetnya, lengan pria itu kemudian melingkar di sekeliling bahunya, sedangkan berat tubuh pria tersebut ditopangkan seluruhnya, bersandar di punggungnya, membuatnya sedikit terhuyung ke depan, berpegangan pada handle pintu.
Terlalu tertekan sampai kau tidak sadar sudah memakai cincin lamaran dariku? Hmm?
Calla termangu. Syok. Memandangi tangannya yang melingkari pegangan pintu, mendapati cincin yang sama seperti yang dilihatnya tadi pagi sudah melingkar di jari manisnya. Tanpa dia sadari sama sekali.
Boleh kulanjutkan apa yang belum kukatakan tadi pagi? Asalkan kau berjanji tidak pingsan lagi. Aku sudah memegangimu, Calla.
Gadis itu mengangguk patuh, nyaris membatu dengan segala sentuhan dan ucapan yang berasal dari pria tersebut.
Bagus. Aku harus menetapkan batasan sebelum kita masuk ke dalam. Kita tidak bisa tinggal bersama tanpa status lebih lama lagi. Pria itu mengeratkan pelukannya, menghela napas, diamdiam tersenyum, menikmati bagaimana dia bisa membuat gadis hiperaktif itu terdiam dengan mudah.
Aku mencintaimu, bisiknya perlahan. Jelas. Tegas. Tanpa basa-basi. Aku sudah memberimu cincin, membelinya di Siena saat aku menghilang tiba-tiba pagi itu. Aku juga sudah menyuruh Ibu mempersiapkan pernikahan selagi kita berlibur. Jadi kau tinggal mengatakan iya dan kau bisa langsung menikah satu minggu lagi. Denganku.
C alla menatap pantulan wajahnya di cermin setinggi dua me
ter yang menyatu dengan dinding di hadapannya. Kebaya berwarna putih gading pilihannya membalut ketat tubuhnya, menonjolkan bentuk pinggulnya yang ramping, dan membuat rambut merah gelapnya yang diikat dalam bentuk sanggul longgar menjadi semakin menyolok mata. Dia menyukai gaun pengantinnya yang sangat Indonesia masih berupa kebaya, tapi kali ini berwarna merah marun, dengan panjang ekor yang menyentuh lantai. Kebaya yang akhirnya terpilih setelah keluar masuk toko sebanyak belasan kali. Kebaya yang sangat dia inginkan karena kebaya itulah yang membuat Ian terang-terangan terpana menatapnya setelah pria itu dengan sangat terpaksa menemaninya hunting baju pengantin seharian.
Callasun Karya Yuli Pritania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Epilog
Setengah jam lagi adalah akad nikah mereka dan dia sudah merasa gugup setengah mati, padahal bukan dia yang harus menghafal ijab kabul.
Gadis itu menoleh saat mendengar ketukan di pintu yang kemudian bergeser membuka, menampakkan sosok Rayhan yang tersenyum lebar sambil mendecak-decak kagum.
Kakak ipar& bagaimana kalau kau menikah denganku saja? Masih ada waktu untuk kabur, godanya dengan tampang memelas.
Calla mengangkat sebelah alisnya. Ibu bilang kau datang dengan seorang gadis yang sering kau bawa ke rumah. Kau sudah tobat?
Rayhan mencebikkan bibir bawahnya sambil menggoyanggoyangkan jari telunjuknya tidak terima.
Ibu membohongimu. Itu hanya Ory, teman dekatku. Tinggal di sebelah rumah. Karena aku sedang tidak punya gandengan, jadi kubawa saja dia. Lagi pula dia kan juga diundang. Aku berbaik hati menemaninya, daripada dia terjebak bersama orang tuanya dan melongo sendirian.
Hanya teman? Kali ini Calla balik menggoda adik iparnya
itu.
Rayhan mendelik. Tentu saja. Dia bukan tipeku. Kenapa?
Terlalu ekstrem. Dia sangat menyukai tantangan dan semacamnya. Aku lebih suka wanita keibuan yang feminin. Yang bisa kau peralat sesukamu, ucap Calla melanjut
kan.
Hei, tidak begitu juga! ralatnya buru-buru.
Calla tertawa dan memilih untuk mendudukkan tubuhnya ke atas sofa. Kakinya sedikit keram, tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi terlalu lama.
Jadi? Sedang apa kau di sini selain untuk mengajakku kawin lari?
Rayhan mendengus lalu sambil menggerutu kecil dia menyodorkan sebuah kertas yang terlipat.
Untukmu, ucapnya. Dari Ian.
Dari Ian? seru Calla syok. Ian? Surat? Untuknya? Tidak usah khawatir. Ini surat cinta, bukan surat pernyataan maaf karena dia tidak bisa menikah denganmu. Rayhan meringis saat melihat tampang keruh Calla. Kau pasti akan sangat menyukai isinya. Dia menyekapku semalaman dan tidak membiarkanku tidur sebelum dia menyelesaikan surat itu. Yah, mengingat yang menulisnya adalah Ian, itu adalah sesuatu yang luar biasa. Bahkan untuk ukuranku, isi surat itu manis sekali, komentar Rayhan.
Kalau begitu aku keluar dulu. Setengah jam lagi aku akan menjemputmu ke sini. Usahakan jangan& merusak make-up-mu gara-gara membaca surat itu.
Make-up-nya anti air, beri tahu Calla dengan tampang polos, membuat Rayhan menganga tolol, kemudian cepat-cepat berlalu dari ruangan tersebut sebelum ketololannya meningkat pesat jika harus melihat ekspresi Calla saat membaca surat tersebut.
Calla sendiri memandangi kertas di tangannya dengan jantung berdegup tidak beraturan. Gadis itu kemudian melangkah ke balkon, menghirup udara pagi Bandung yang segar dan memanjakan matanya sesaat dengan pemandangan perkebunan
teh yang asri dan hijau sebelum akhirnya dia bersandar ke pagar pembatas lalu mulai membaca.
The best part (or maybe the worst) of loving you is... that I never
have any plan to stop. Because I don t want to reach the end. Too afraid to catch the
finish line. Let me do it slowly, wobbly, as if I m decrepit. Because, by doing that, I have many years to go, never ending days to come... enough time... to stuck& with you. Helplessly addicted, stupidly enraptured... by you.
I love you this way, and will keep loving you this way. So come... wear your white gown... because there is a ring,
waiting for your finger. A vow, waiting for your mouth to say it out. A man... waiting for you... to make a commitment to spend every tomorrow... together. Go hand in hand, to any kind of future we maybe have.
Let s be happy. Let me... to make you happy. Come, marry me, and I will show you what kind of life you will
get by laying down your happiness on my hand. I will be thankful for every second, and I will make you feel the
same. Come, marry me. Because I want to make you my wife and me,
your husband. Come, start it and then end it. With me.
Tanpa sengaja tatapan Calla tertuju ke halaman di bawah, tempat banyak tamu berlalu-lalang. Dan masih tanpa disengaja, tatapan gadis itu terpaku pada sosok pria yang sangat familier, dalam balutan jas hitamnya yang gagah, berdiri di sana entah sejak kapan dengan kedua tangan terbenam dalam saku celana. Rambutnya dipermainkan oleh angin pegunungan yang sejuk, sedikit membuatnya berantakan. Dan pandangan pria itu terarah lurus, mendongak menatapnya.
Perlahan, tangan pria itu teracung ke atas, dengan jari telunjuk yang kemudian mengarah ke bawah, menyuruh gadis itu turun. Segera.
Calla tersenyum gugup, melambaikan surat di tangannya, yang membuat Ian memiringkan wajah, seolah bertanya, jadi gadis itu mengacungkan jempol dan dengan sangat tidak tahu malunya membentuk gambar hati dengan kedua tangan yang dibengkokkan di atas kepala. Dia lalu tertawa melihat Ian yang melongo, syok dengan kelakuannya. Tapi kemudian Ian tersenyum tidak seperti biasanya di mana pria itu akan mendelik dan menganggap bahwa sifat Calla yang satu itu benar-benar konyol.
Pria itu merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah kotak kecil, membuka tutupnya memperlihatkan dua buah cincin pernikahan yang telah mereka pilih bersama, dan lagi-lagi memperlihatkan jari telunjuknya ke arah Calla, memutar arahnya ke bawah, untuk kedua kalinya menyuruh gadis itu turun.
Dan yang diketahui gadis itu kemudian hanyalah& dia melupakan janjinya kepada Rayhan untuk menunggu pria itu menjemputnya. Yang dia tahu hanyalah& kakinya yang bergerak tergesa-gesa, berlari ke luar kamar, dan menghambur menuruni
tangga bersyukur setengah mati bahwa dia tidak tersandung kain yang membalut bagian bawah tubuhnya dengan ketat.
Yang dia ketahui hanyalah& cara supaya cincin itu segera melingkar di jari manisnya.
Tamat
Tentang Penulis
Y uli Pritania, kelahiran Padang, 15 Juli 1991 ini, pertama
kali menulis sejak SMP , dengan belasan naskah yang tak pernah selesai. Akhirnya berhasil menerbitkan novel pertama pada Desember 2012, Four Seasons Tales, diikuti novel-novelnya yang lain, yang diterbitkan oleh Grasindo: 2060 Book 1, 2060 Book 2, On(c)e, dan Colover. Novel keenamnya, CallaSun, juga merupakan novel ber-setting Indonesia-nya yang pertama, setelah kelima novel sebelumnya yang selalu ber-setting Korea.
Perempuan yang akhir-akhir ini sedang tergila-gila pada Julie James ini bisa dihubungi di:
Twitter : @kyuteuk_eunhae
Fanpage Facebook : http://www.facebook.com/yulipritania Blog : sapphireblueoceanforsuju.wordpress.com Email : kyuteukeunhae@gmail.com
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella Legenda Kematian Karya Gu Long
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama