Ceritasilat Novel Online

Cantik Itu Luka 1

Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 1



Cantik

Itu Luka

Eka Kurniawan

ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cantik Itu Luka

? 2002 Eka Kurniawan

GM 201 01 12 0001

Desain sampul: Moelyono

Foto sampul dari Shutterstock

Perwajahan isi: Sukoco

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Kompas Gramedia Building Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat No. 29-37, Jakarta, 10270

Anggota IKAPI, Jakarta 2012

Diterbitkan pertama kali oleh AKYPress dan Penerbit Jendela,

Desember 2002

Cetakan pertama: Mei 2004

Cetakan kedua: November 2006

Cetakan ketiga: Februari 2012

Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak seluruh atau sebagian

isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 978-979-22-7880-4

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Dan kini, setelah baju zirahnya dibersihkan, bagian kepalanya diper?

baiki jadi sebuah topi baja, kuda dan dirinya sendiri punya nama baru,

ia berpikir tak ada lagi yang ia inginkan kecuali seorang nyonya, pada

siapa ia anugerahkan kekaisaran hatinya; sebab ia sadar bahwa seorang

ksatria tanpa seorang istri adalah sebatang pohon tanpa buah dan daun,

dan sebongkah tubuh tanpa jiwa.

Miguel de Cervantes Saavedra (Don Quixote)

Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari ku?

bur?an setelah dua puluh satu tahun kematian. Seorang bocah

gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kam?boja,

kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan ke?empat domba?

nya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor ma?

can dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduh?

an di kuburan tua, dengan nisan tanpa nama dan rumput setinggi

lu??tut, tapi semua orang mengenalnya sebagai kuburan Dewi Ayu. Ia

mati pada umur lima puluh dua tahun, hi?dup lagi setelah dua puluh

satu tahun mati, dan kini hingga seterus?nya tak ada orang yang tahu

bagai??mana menghitung umurnya.

Orang-orang dari kampung sekitar pemakaman datang ke kuburan

tersebut begitu si bocah gembala memberitahu. Mereka ber?gerombol di

balik belukar ceri dan jarak dan di kebun pisang, sam?bil meng?gu?lung

ujung sarung, menggendong anak, menenteng sapu lidi, dan bah?kan

ber?lepotan lumpur sawah. Tak seorang pun berani mendekat, hanya

men?dengarkan kegaduhan dari kuburan tua itu bagaikan me?ngelilingi

tukang obat sebagaimana sering mereka lakukan di depan pasar setiap

hari Senin. Menikmatinya penuh ke?takjuban, tak peduli itu merupakan

horor yang menakutkan se?andainya mereka sendirian saja. Bahkan

mereka berharap sedikit ke?ajaiban daripada sekadar ke?gaduhan kuburan

tua, sebab perempuan di dalam tanah itu pernah jadi pelacur bagi

orang-orang Jepang sejak masa perang dan para kyai selalu bilang bahwa

orang-orang berlepotan dosa pasti memperoleh siksa kubur. Kegaduhan

itu pasti berasal dari cambuk malaikat pe?nyiksa, dan mereka tampak

bosan, dan berharap sedikit keajaiban yang lain.

Keajaiban, ia datang dalam bentuknya yang paling fan?tastis. Ku?

buran tua itu bergoyang, retak, dan tanahnya berhamburan ba?gai?kan

ditiup dari bawah, menimbulkan badai dan gempa kecil, dengan rum?put

dan nisan melayang dan di balik hujan tanah yang bagaikan tirai itu

sosok si perempuan tua berdiri dengan sikap jeng?kel yang kikuk, masih

terbungkus kain kafan seolah ia dan kain kafannya di?kubur se?malam

saja. Orang-orang histeris dalam teriakan serempak yang menggema

oleh dinding-dinding bukit di kejauhan, berlari le?bih semrawut dari

ka?wanan domba. Seorang perempuan meleparkan bayinya ke semaksemak, dan seorang ayah menggendong batang pi?sang. Dua orang lelaki

ter?perosok ke dalam parit, yang lainnya tak sadarkan diri di pinggir

ja?lan, dan yang lainnya lagi berlari lima be?las kilometer tanpa henti.

Menyaksikan itu semua, Dewi Ayu hanya terbatuk-batuk dan ter??

pukau menemukan dirinya di tengah-tengah kuburan. Ia telah mele?

paskan dua ikatan teratas kain kafan dan melepaskan dua ikatan lagi di

bagian kaki untuk membebaskannya berjalan. Rambutnya te?lah tumbuh

secara ajaib, sehingga ketika ia mengeluarkannya dari selimut kain mori

itu, mereka berkibaran diterpa angin sore, me??nyapu tanah, seperti lumut

berwarna hitam mengilau di dalam sungai. Wa??jahnya putih cemerlang,

meskipun kulitnya keriput, de?ngan mata yang begitu hidup dari dalam

rongganya, menatap orang-orang yang bergerombol di balik belukar

se?belum separuh dari mereka melarikan diri dan separuh yang lain tak

sadarkan diri. Ia me?ngo?mel entah pada siapa, bahwa orang-orang telah

berbuat jahat menguburnya hidup-hidup.

Hal pertama yang ia ingat adalah bayinya, yang tentu saja bukan lagi

seorang bayi. Dua puluh satu tahun lalu, ia mati dua belas hari se?telah

me?lahirkan seorang bayi perempuan buruk rupa, begitu b?u?ruk rupa?nya

sehingga dukun bayi yang membantunya merasa tak yakin itu seorang

bayi dan berpikir itu seonggok tai, sebab lubang ke?luar bayi dan tai ha?

nya terpisah dua sentimeter saja. Tapi si bayi menggeliat, ter??senyum,

dan akhirnya si dukun bayi percaya ia memang bayi, bukan tai, dan

ber?kata pada si ibu yang tergeletak di atas tem?pat tidur tak berdaya

dan tak berharap melihat bayinya, bahwa bayi itu sudah lahir, sehat,

dan tam?pak ramah.

"Ia perempuan, kan?" tanya Dewi Ayu.

"Yah," kata si dukun bayi, "seperti tiga bayi sebelumnya."

"Empat anak perempuan, semuanya cantik, seharusnya aku punya

tem?pat pelacuran sendiri," kata Dewi Ayu dengan nada jengkel yang

sem??purna. "Katakan padaku, secantik apa si bungsu ini?"

Si bayi terbungkus rapat oleh belitan kain dalam gendongan si du?

kun bayi, kini mulai menangis dan meronta. Seorang perempuan keluar

masuk kamar, mengambil kain-kain kotor penuh darah, mem??buang

ari-ari, selama itu si dukun bayi tak menjawab pertanyaan?nya, sebab ia

tak mungkin mengatakan bayi yang menyerupai ong?gokan tai hitam

itu sebagai bayi yang cantik. Mencoba mengabaikan pertanyaan itu, ia

ber?kata, "Kau perempuan tua, aku tak yakin kau bisa menyusui bayimu."

"Itu benar. Sudah habis oleh tiga anak sebelumnya."

"Dan ratusan lelaki."

"Seratus tujuh puluh dua lelaki. Yang paling tua berumur sembilan

puluh dua tahun, yang paling muda berumur dua belas tahun, seminggu

setelah disunat. Aku mengingat semuanya dengan baik."

Si bayi kembali menangis. Si dukun bayi berkata bahwa ia harus

me???nemukan ibu susu untuk si kecil itu. Jika tak ada, ia harus mencari

susu sapi, susu anjing, atau susu tikus sekalipun. Ya, pergilah, kata Dewi

Ayu. Gadis kecil yang malang, kata si dukun bayi sambil me?mandang

wajah si bayi yang menyedihkan. Ia bahkan tak mampu mendeskripsi?

kannya, hanya membayangkannya sebagai monster kutuk?an neraka.

Seluruh tubuh bayi itu hitam legam seperti terbakar hidup-hidup,

de??ngan bentuk yang tak menyerupai apa pun. Ia, misal?nya, tak begitu

yakin bahwa hidung bayi itu adalah hidung, sebab itu lebih menyerupai

colokan listrik daripada hidung yang di?ke?nalnya sejak kecil. Dan mulut?

nya mengingatkan orang pada lubang celengan babi, dan telinganya

menyerupai gagang panci. Ia yakin tak ada makhluk di dunia yang lebih

buruk rupa dari si kecil malang itu, dan seandainya ia Tuhan, tampak?

nya ia lebih berharap membunuh bayi itu daripada membiarkannya

hidup; dunia akan menjahatinya tanpa ampun.

"Bayi yang malang," kata si dukun bayi lagi, sebelum pergi men?cari

seseorang untuk menyusuinya.

"Yah, bayi yang malang," kata Dewi Ayu sambil menggeliat di atas

tempat tidur. "Segala hal telah kulakukan untuk mencoba membunuh?

nya. Seharusnya kutelan sebutir granat dan meledakkannya di dalam

perut. Si kecil yang malang, seperti para penjahat, orang-orang malang

juga susah mati."

Pada awalnya si dukun bayi mencoba menyembunyikan wajah bayi

itu dari siapa pun, termasuk perempuan-perempuan tetangga yang ber?

datangan. Tapi ketika ia berkata bahwa ia memerlukan susu bagi si bayi,

orang-orang itu berebutan ingin melihat si bayi. Bagi sia?pa pun yang

me?ngenal Dewi Ayu, adalah selalu menyenangkan me?lihat bayi-bayi

perempuan mungil yang dilahirkannya. Si dukun bayi tampak tak ber?

daya menghadapi serbuan orang-orang yang menyibakkan kain penutup

wajah si bayi, namun ketika mereka telah me?lihatnya dan menjerit

da?lam horor yang tak pernah mereka hadapi se?belumnya, si dukun bayi

tersenyum dan mengingatkan mereka, bah?wa ia telah berusaha untuk

tidak memperlihatkan wajah neraka itu.

Mereka masih berdiri setelah pekikan sesaat itu, dengan wajahwajah idiot kehilangan ingatan, sebelum si dukun bayi segera pergi.

"Semestinya ia dibunuh saja," kata seorang perempuan, yang per?

tama terbebas dari amnesia mendadak itu.

"Aku sudah mencobanya," kata Dewi Ayu bersamaan dengan ke?

munculannya. Ia hanya mengenakan daster kusut dan kain yang melilit

pinggangnya. Rambutnya tampak kacau sekali, serupa orang yang bebas

dari pertarungan dengan banteng.

Orang-orang memandangnya dengan iba.

"Ia cantik, kan?" tanya Dewi Ayu.

"Ehm, yah."

"Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan

bayi-bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti

anjing di musim kawin."

Tak seorang pun menanggapi, kecuali memandangnya masih dengan

iba atas dusta tentang gadis kecil yang cantik itu. Rosinah, si gadis gu?

nung bisu yang telah melayani Dewi Ayu selama bertahun-tahun meng?

giring perempuan itu ke kamar mandi. Ia telah menyediakan air hangat

di bak, dan di sanalah Dewi Ayu berendam bersama sabun wangi bersul?

fur, dibantu si gadis bisu yang me?nge?ramasi rambutnya dengan minyak

lidah buaya. Hanya gadis bisu itulah yang tampaknya tak terguncang

oleh apa pun, meskipun bisa dipastikan ia telah mengetahui tentang

gadis kecil buruk rupa tersebut sebab hanya Rosinah yang menemani

si dukun bayi selama ia bekerja. Ia menggosok punggung majikannya

de?ngan batu gosok, menyelimutinya dengan handuk, membereskan

kamar mandi se?mentara Dewi Ayu melangkah keluar.

Seseorang mencoba menghidupkan kemurungan itu dan berkata

pada Dewi Ayu, "Kau harus memberinya nama yang baik."

"Yah," kata Dewi Ayu. "Namanya Cantik."

"Oh," orang-orang itu menjerit pendek, mencoba menolak dengan

cara yang memalukan.

"Atau Luka?"

"Demi Tuhan, jangan nama itu."

"Kalau begitu, namanya Cantik."

Mereka memandang tak berdaya sebab Dewi Ayu telah melangkah

masuk ke dalam kamarnya untuk berpakaian, kecuali memandang satu

sama lain dengan sedih membayangkan seorang gadis dengan colokan

listrik di wajah yang sehitam jelaga kelak dipanggil orang dengan nama

Cantik. Sebuah skandal memalukan.

Bagaimanapun, adalah benar bahwa Dewi Ayu telah mencoba
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mem?bunuhnya. Ketika tahu bahwa ia bunting, tak peduli setengah

abad ia telah hidup, pengalaman telah mengajarinya bahwa ia bunting

lagi. Sebagaimana anak-anaknya yang lain, ia tak tahu siapa ayahnya,

namun berbeda dengan yang lain, ia sama sekali tak mengharapkannya

hidup. Maka ia menelan lima butir parasetamol yang ia peroleh dari

se?orang mantri, diminum dengan setengah liter soda, cukup untuk

nya?ris membuatnya mati tapi tidak bayi itu, ternyata. Ia memikirkan

cara lain, memanggil si dukun bayi yang kelak mengeluarkan anak itu

dari rahimnya, memintanya membunuh bayi itu dengan memasukkan

tongkat kayu kecil ke dalam perut. Ia mengalami pendarahan selama

dua hari dua malam, kayu kecilnya keluar telah terkeping-keping, tapi

si bayi terus tumbuh. Ia melakukan enam cara lain untuk menaklukkan

bayi itu, semuanya sia-sia, sebelum ia putus asa dan mengeluh:

"Ia petarung sejati, ia ingin memenangkan pertarungan yang tak

pernah dimenangkan ibunya."

Maka ia membiarkan perutnya semakin besar, menjalankan ritual

selamatan pada umur tujuh bulan, membiarkannya lahir, meskipun ia

menolak untuk melihat bayinya. Ia telah melahirkan tiga anak perem?

puan lain sebelumnya, semuanya cantik seperti bayi-bayi kembar yang

terlambat dilahirkan satu sama lain; ia telah bosan dengan bayi-bayi

semacam itu, yang menurutnya seperti boneka-boneka manekin di

eta?lase toko, jadi ia tak ingin melihat si bungsu itu, sebab ia yakin ia

tak akan berbeda dari ketiga kakaknya. Ia salah, tentu saja, dan ia be?

lum tahu betapa buruk rupanya si bungsu. Bahkan ketika perempuanperempuan tetangga diam-diam berbisik mengatakan bayi tersebut

seperti hasil persilangan ngawur antara lutung, kodok, dan biawak, ia

tak menganggap mereka tengah membicarakan bayinya. Juga ketika

mereka bercerita bahwa tadi ma?lam ajak-ajak melolong di hutan dan

burung-burung hantu berdatangan, ia sama sekali tak menganggapnya

sebagai firasat buruk.

Setelah berpakaian, ia kembali berbaring dan segera menyadari

betapa melelahkannya semua itu: melahirkan empat bayi dan hidup

le?bih dari setengah abad. Dan kemudian ia sampai pada kesadaran

spiri?tual yang menyedihkan, bahwa jika bayinya tak mau mati, kenapa

bukan ibunya yang harus mati, dengan begitu ia tak perlu melihatnya

tumbuh menjadi seorang gadis. Ia bangkit dan berjalan sempoyongan,

berdiri di pintu menatap perempuan-perempuan tetangga yang masih

bergerombol mendesas-desuskan bayinya. Rosinah muncul dari kamar

mandi, berdiri di samping Dewi Ayu sebab ia tahu bahwa majikannya

akan mengatakan sesuatu yang harus ia lakukan.

"Belikan aku kain kafan," kata Dewi Ayu. "Telah kuberikan empat

anak perempuan bagi dunia yang terkutuk ini. Saatnya telah tiba ke?

ran?da kematianku lewat."

Perempuan-perempuan itu menjerit dan memandang Dewi Ayu

dengan wajah idiot mereka. Melahirkan seorang bayi buruk rupa adalah

kebiadaban, dan meninggalkannya begitu saja jauh lebih biadab. Tapi

mereka tak mengatakannya, hanya membujuk untuk tak berharap mati

secara konyol. Mereka bercerita tentang orang-orang yang hidup le?bih

dari seratus tahun, dan Dewi Ayu masihlah terlampau muda untuk mati.

"Jika aku hidup sampai seratus tahun," katanya dengan ketenangan

intensional, "maka aku akan melahirkan delapan bayi. Itu terlampau

banyak."

Rosinah pergi dan membelikannya selembar kain mori putih ber?

sih yang segera dikenakannya, meskipun itu tak cukup untuk se?gera

membuatnya mati. Maka sementara si dukun bayi berkeliling kampung

mencari perempuan bersusu (yang segera diketahui bahwa itu sia-sia dan

berakhir dengan memberi si bayi air cucian beras), Dewi Ayu berbaring

tenang di atas tempat tidurnya berselimut kain kafan, menanti dengan

kesabaran ganjil malaikat pencabut nyawa datang menjemputnya.

Ketika masa air cucian beras sudah lewat dan Rosinah memberi

bayi itu susu sapi yang dijual di toko dengan nama susu Beruang, Dewi

Ayu masih berbaring di atas tempat tidurnya, tak mengizinkan siapa

pun membawa si bayi bernama Cantik itu ke kamarnya. Na?mun cerita

tentang bayi buruk rupa dan ibunya yang tidur ber?selimut kain kafan de?

ngan segera menyebar bagai wabah mematikan, menyeret orang-orang

tak hanya dari kampung-kampung sekitar namun juga dari desa-desa

yang terjauh di distrik itu, untuk datang melihat apa yang mereka sebut

me?nyerupai kelahiran seorang nabi, di mana mereka memperbanding?

kan lolongan ajak sebagai bintang yang dilihat orang Majusi ketika

Yesus lahir dan si ibu yang berselimut kain kafan sebagai Maria yang

letih. Perumpamaan yang mengada-ada.

Dengan sikap takut-takut seperti seorang gadis kecil yang membelai

anak macan di kebun binatang, mereka berdiri di depan tukang foto

ke?liling bersama si bayi buruk rupa, itu setelah mereka melakukan?

nya bersama Dewi Ayu yang tetap berbaring dengan ketenangan yang

misterius dan sama sekali tak terganggu oleh ke?gaduhan tanpa ampun

itu. Beberapa orang dengan penyakit-penyakit parah tak tersembuhkan

datang berharap menyentuh bayi itu, yang segera ditolak Rosinah yang

khawatir semua benih penyakit mereka akan menyiksa si bayi, dan se?

bagai gantinya ia menyediakan berember-ember air sumur yang telah

di?pergunakan untuk mandi Si Cantik; beberapa yang lain datang untuk

mem?peroleh petunjuk-petunjuk berguna memperoleh keuntungan

bis?nis, atau sedikit ke?ber?hasilan di meja judi. Untuk itu semua, si bisu

Rosinah yang mengambil tindakan cepat sebagai pengasuh si bayi, telah

me?nyediakan kotak-kotak sumbangan yang segera dipenuhi oleh uanguang kertas para pengunjung. Gadis itu telah bertindak bijaksana meng?

antisipasi kemungkinan bahwa Dewi Ayu akhirnya sungguh-sungguh

mati, untuk memperoleh uang dari kesempatan langka semacam itu,

se?hingga ia tak perlu mengkhawatirkan susu Beruang dan masa depan

mereka berdua di rumah itu, sejauh ketiga kakak Si Cantik sama sekali

tak diharapkan akan muncul di sana.

Namun dengan cepat kegaduhan itu harus segera berakhir, secepat

polisi-polisi datang bersama seorang kyai yang melihat semua itu se?bagai

bidah. Ia, kyai itu, bahkan mulai menggerutu dan menyuruh Dewi Ayu

menghentikan tindakan memalukannya itu, serta memaksa ia untuk

me?nanggalkan kain kafan tersebut.

"Karena kau meminta seorang pelacur membuka pakaiannya," kata

Dewi Ayu dengan tatapan mengejek, "kau harus punya uang untuk

mem?bayarku."

Si kyai segera berlalu, berdoa meminta ampun dan tak pernah da?

tang lagi.

Sekali lagi, hanya si gadis Rosinah yang tak terguncang oleh kegila?

an Dewi Ayu dalam bentuk apa pun dan tampaknya semakin jelas

bah?wa hanya gadis itulah yang bisa memahami dengan baik perempuan

itu. Jauh sebelum ia mencoba membunuh bayi di dalam kandungannya,

Dewi Ayu telah berkata bahwa ia merasa bosan punya anak, dan Rosi?

nah tahu jika ia mengatakan itu, berarti Dewi Ayu bunting dan segera

punya anak. Dan memang begitulah. Seandainya Dewi Ayu mengatakan

hal itu pada perempuan-perempuan tetangga, yang kegemaran berdesasdesusnya mengalahkan kebiasaan anjing-anjing melolong, mereka akan

mencibir dalam senyum penuh ejekan dan berkata itu semua omong

kosong. Berhentilah jadi pe?lacur maka kau tak akan pernah bunting,

kata mereka. Ini hanya di antara kita: katakan hal itu pada pelacur

lain tapi tidak pada Dewi Ayu. Ia tak pernah menganggap ketiga (kini

em?pat) anaknya sebagai kutukan pelacuran. Jika mereka tak berayah,

katanya, itu karena mereka sungguh-sungguh tak berayah, bukan karena

ayahnya tak dikenal dan apalagi bukan karena ia tak pernah pergi ke

de?pan penghulu bersama seorang laki-laki. Ia bahkan lebih percaya

mereka sebagai anak-anak setan.

"Sebab setan tak kurang iseng daripada dewa dan Tuhan," katanya.

"Seperti Maria melahirkan anak Tuhan dan kedua istri Pandu melahir?

kan anak-anak dewa, rahimku jadi tempat setan membuang anak-anak

mereka dan aku melahirkan anak-anak setan. Aku bosan, Rosinah."

Sebagaimana sering terjadi, Rosinah hanya tersenyum. Ia tak bisa

bicara kecuali suara menggerundel tanpa arti, tapi ia bisa tersenyum

dan ia suka memberi senyum. Dewi Ayu sangat menyukainya, ter?utama

karena senyum itu, sehingga suatu ketika ia pernah menyebutnya se?

ba?gai si anak gajah, sebab semarah-marahnya gajah, mereka selalu

ter?senyum sebagaimana kau bisa lihat mereka di sirkus yang datang ke

kota itu hampir di setiap akhir tahun. Dengan bahasa isyaratnya yang

tak bisa dipelajari di sekolah orang-orang bisu kecuali mempelajarinya

langsung dari Rosinah, si gadis mem?beritahu Dewi Ayu, mengapa harus

merasa bosan. Ia belum juga punya dua puluh anak, sedangkan Gandari

melahirkan seratus anak Kurawa. Itu cukup membuat Dewi Ayu tertawa

terbahak-bahak, ia menyukai selera humor Rosinah yang kekanakkanakan dan tetap tertawa meskipun ia bisa membantah bahwa Gandari

tak melahirkan seratus anak sebanyak seratus kali, ia hanya melahirkan

segumpal daging yang kemudian jadi seratus anak.

Demikianlah, tanpa merasa terganggu sedikit pun, Rosinah terus

bekerja. Ia mengurus bayi itu, pergi ke dapur dua kali sehari, men?cuci

setiap pagi, sementara Dewi Ayu berbaring nyaris tak ber?gerak, sung?

guh-sungguh menyerupai mayat yang menunggu orang-orang selesai

meng?gali kuburnya. Tentu saja tak selalu begitu. Jika ia lapar, ia bangun

dan makan. Setiap pagi dan sore ia juga pergi ke kamar mandi. Tapi ia

akan kembali menyelimuti dirinya dengan kain kafan, berbaring dengan

sikap tegak lurus dan kedua tangan diletakkan di atas perutnya, ma?

tanya terpejam, dan bibirnya bahkan sedikit tersenyum. Ada beberapa

tetangga yang mencoba meng?in?tipnya dari jendela terbuka, Rosinah

ber?ulangkali mencoba mengusir mereka namun selalu tak berhasil, dan

orang-orang itu akan bertanya, mengapa ia tak memilih untuk bunuh

diri saja. Di luar kebiasaannya yang selalu menjawab dengan kalimatkalimat sarkasme, Dewi Ayu tetap tak bergerak.

Kematian yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang pada hari kedua

belas kelahiran Si Cantik yang buruk rupa, setidaknya begitulah semua

orang merasa yakin. Tanda-tanda kematiannya telah muncul sejak

pagi (ia mati sore hari), ketika ia berkata pada Rosinah bahwa jika ia

mati, jangan tulis namanya di kayu nisan, tapi ia menginginkan sebuah

epi?taf, dengan kalimatnya sendiri, "Aku melahirkan empat anak, dan

aku mati." Pendengaran Rosinah sangatlah baik, dan ia bisa menulis

mau?pun membaca, maka ia menuliskan pesan itu de?ngan lengkap,

na?mun permintaannya segera ditolak oleh imam masjid yang menjadi

pemimpin upacara pemakaman yang meng?anggapnya sebagai upaya

gila menambah dosa, dan memutuskan bahwa perempuan itu tak akan

mem?peroleh tulisan apa pun di kayu nisannya.

Ia ditemukan sore itu oleh seorang tetangga yang mengintip dari

jendela, dalam tidur yang begitu sentosa sebagaimana mereka lihat di

hari-hari terakhir. Tetapi ada yang berbeda: ada bau boraks di udara

ka?marnya. Rosinah telah membelinya di toko roti dan Dewi Ayu

me??lu?muri dirinya dengan pengawet mayat tersebut meskipun orangorang kadang mempergunakannya untuk campuran bikin mie bakso.

Rosi?nah telah membiarkan perempuan itu melakukan apa pun dengan

obsesi kematiannya, bahkan seandainya ia disuruh meng?gali kubur dan

mengu?burnya hidup-hidup, ia akan me?la?ku?kannya dan melewatkan itu

semua sebagai kemeriahan selera humor majikannya, tapi tidak dengan

si pengintip yang jahil itu. Si pe?rempuan tetangga melompat masuk

de?ngan keyakinan Dewi Ayu telah berbuat kelewatan.

"Dengarlah, pelacur yang telah tidur dengan semua lelaki kami,"

kata?nya dengan sedikit dendam. "Kalau kau mau mati, maka matilah,

tapi jangan awetkan tubuhmu, sebab hanya mayat busuk yang tidak

kami cemburui." Ia mendorong tubuh Dewi Ayu, namun ia hanya ber?

guling tanpa terbangun.

Rosinah masuk dan memberi isyarat bahwa ia pasti sudah mati.

"Pelacur ini mati?"

Rosinah mengangguk.

"Mati?" Ia menampakkan sifatnya yang sejati, perempuan cengeng

itu, menangis seolah yang mati adalah ibunya, dan berkata dengan

se?dikit sedu sedan, "Delapan Januari tahun lalu adalah hari terindah
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam keluarga kami. Itu hari ketika lakiku menemukan uang di kolong

jembatan dan pergi ke rumah pelacuran Mama Kalong dan tidur dengan

pe?lacur yang mati di depanku ini. Ia pulang dan itu adalah satu-satunya

hari di mana ia begitu ramah dan tak memukuli salah satu di antara

kami."

Rosinah memandangnya dengan tatapan mengejek, seolah hendak

berkata, betapa cengengnya kau, membuat semua orang berharap me?

mukulmu. Ia mengusir si cengeng itu untuk memberitahu orang-orang

bahwa Dewi Ayu telah mati. Tak perlu kain kafan sebab ia telah mem?

belinya dua belas hari yang lalu; tak perlu memandikannya, sebab ia te?

lah mandi sendiri; ia bahkan telah mengawetkan tubuhnya sendiri. "Jika

bisa," kata Rosinah dengan isyarat pada seorang imam masjid terdekat,

"ia berencana menyembahyangkan dirinya sendiri." Sang imam masjid

memandang gadis bisu itu dengan kebencian, dan berkata bahwa ia tak

sudi salat bagi sebongkah mayat pelacur dan apalagi menguburkannya.

"Sejak ia mati," kata Rosinah (masih dengan isyarat), "ia bukan lagi

se?orang pelacur."

Kyai Jahro, imam masjid itu, akhirnya menyerah dan memimpin

upa?cara pemakaman Dewi Ayu.

Sampai kematiannya yang tak diyakini banyak orang akan datang

secepat itu, ia sungguh-sungguh tak pernah melihat si bayi. Orang-orang

berkata bahwa ia sangat beruntung, sebab ibu mana pun akan sedih tak

terkira melihat bayinya lahir demikian buruk rupa. Kematiannya tak

akan tenang, dan akan menjadi pengacau kecil di alam kubur. Hanya

Rosinah yang tak yakin bahwa Dewi Ayu akan bersedih melihat bayi

itu, sebab ia tahu yang dibenci perempuan itu adalah bayi perempuan

yang cantik. Ia akan sangat berbahagia se?andainya tahu betapa buruk

rupa si bungsu itu, betapa berbeda dengan ketiga kakaknya; tapi ia tak

tahu. Hanya karena si gadis bisu nyaris selalu patuh pada majikannya,

maka selama sisa hari-hari men?jelang kematiannya, ia pun tak memak?

sa??kan diri untuk memperlihatkan si kecil kepada ibunya. Padahal jika ia

tahu seperti apa tampang si bayi, Dewi Ayu mungkin menunda waktu

ke?ma?tiannya, paling tidak beberapa tahun ke depan.

"Omong kosong, kematian itu urusan Tuhan," kata Kyai Jahro.

"Ia ingin mati sejak dua belas hari lalu dan ia mati," gerak tangan

Rosinah berkata, mewarisi kekeraskepalaan majikannya.

Atas wasiat si orang mati, Rosinah kini menjadi wali bagi si bayi

ma??lang. Ia pulalah yang kemudian menyibukkan diri dalam satu usa?ha

sia-sia mengirim telegram ke tiga anak Dewi Ayu bahwa ibu mereka

mati, dikubur di pemakaman umum Budi Dharma. Tak satu pun di antara

mereka datang, dan upacara pemakaman dilakukan esok paginya dengan

kemeriahan yang tak tersaingi bertahun-tahun setelah dan sebelumnya

di kota itu. Terutama hampir semua lelaki yang pernah tidur dengan sang

pelacur melepas kepergiannya dengan kecupan ringan di kuncup bunga

melati yang mereka lemparkan di sepanjang jalan keranda kematiannya

lewat. Dan para istri lelaki-lelaki itu, atau kekasih mereka, juga berje?

jalan sepanjang jalan di belakang pantat mereka, memandang dengan

kecemburuan yang tersisa, sebab mereka yakin orang-orang mesum itu

masih akan be?rebut seandainya diberi kesempatan menidurinya kembali,

tak peduli Dewi Ayu telah jadi sebongkah mayat.

Rosinah berjalan di belakang keranda yang dibawa empat lelaki

kampung. Si bayi tertidur pulas di pelukannya, dilindungi ujung keru?

dung hitam yang dikenakannya. Seorang perempuan, si cengeng itu,

berjalan di sampingnya dengan sekeranjang kelopak bunga. Rosinah

meraih bunga-bunga itu, melemparkannya ke udara beserta uang-uang

logam yang segera menjadi rebutan anak-anak kecil yang berlari di

ba?wah keranda, terjungkal ke selokan, atau terinjak para pengiring

jena?zah yang mendendangkan shalawat nabi.

Ia dikubur di satu sudut bersama kuburan orang-orang celaka lain?

nya; itulah kesepakatan Kyai Jahro dan penggali kubur. Di sana pernah

dikubur perompak jahat dari masa kolonial, juga seorang pem?bunuh

gila, dan beberapa orang komunis, dan kini seorang pelacur. Orangorang celaka itu dipercaya tak akan mati dengan tenang, kuburan

me?reka akan ribut oleh siksa kubur, dan adalah bi?jaksana menjauhkan?

nya dari kuburan orang-orang saleh, yang ingin mati dengan tenang,

di?gerogoti cacing, dan membusuk dengan te?nang, dan bercinta dengan

para bidadari tanpa keributan.

Secepat upacara yang meriah itu selesai, secepat itu pula orang-orang

melupakan Dewi Ayu. Sejak hari itu, bahkan tidak pula Rosinah dan

Si Cantik, tak seorang pun datang ke kuburannya. Mem?biarkannya

porak-poranda dilanda badai laut, ditumpuki sampah daun kamboja,

dan ditumbuhi rumput gajah liar. Hanya Rosinah yang punya alasan

me?yakinkan mengapa ia tak membersihkan kuburan Dewi Ayu. "Sebab

kita hanya membersihkan kuburan orang mati," katanya pada si bayi

buruk rupa (dengan isyarat dan tentunya tak di?mengerti si bayi).

Mungkin benar bahwa Rosinah memiliki kemampuan untuk menge?

nali hal-hal yang akan terjadi di masa datang, sedikit ke?mam?puan yang

diwariskan dari orang-orang bijak di masa lalu. Ia datang pertama kali

bersama ayahnya yang tua dan menderita oleh rematik parah, seorang

penambang pasir di gunung, sewaktu ia masih berumur empat belas

tahun, lima tahun lalu. Mereka muncul di kamar Dewi Ayu di rumah

pe?lacuran Mama Kalong. Pada awalnya si pelacur sama sekali tak

tertarik dengan si gadis kecil, melainkan pada ayahnya, seorang lelaki

tua dengan hidung menyerupai paruh kakak tua, berambut keriting

ke?perakan, kulitnya yang keriput segelap tembaga, dan terutama cara

ber?jalannya yang sangat hati-hati seolah semua tulang-belulangnya

akan lepas berhamburan begitu ia menghentaknya sedikit saja. Dewi

Ayu segera mengenalinya, dan berkata:

"Kau ketagihan, Pak Tua," katanya, "Kita bercinta dua malam lalu."

Lelaki itu tersenyum malu, bagaikan bocah kecil berjumpa dengan

kekasihnya, dan mengangguk. "Aku ingin mati di pelukanmu," ka??tanya.

"Aku tak akan membayarmu, tapi kuberikan anak bisu ini. Ia anakku."

Dewi Ayu memandang si gadis kecil dengan bingung. Rosinah berdiri

tak jauh darinya, tenang dan tersenyum ramah kepadanya. Waktu itu ia

masih begitu kurus dengan gaun penuh renda yang tampak terlalu besar

untuknya, tanpa alas kaki, dan rambut ikalnya hanya diikat de?ngan karet

gelang. Kulitnya halus sebagaimana kebanyakan gadis gunung, dengan

wajah sederhana, bulat dengan mata yang cerdas, hidungnya pendek

dengan bibir lebar, dan dengan bibir itulah ia dengan mudah memberi se?

mua orang senyum yang menyenangkan. Dewi Ayu sama sekali tak tahu

untuk apa gadis se?macam itu dan ia kembali memandang si lelaki tua.

"Aku sendiri punya tiga anak perempuan, jadi untuk apa bocah ini

buatku?" tanyanya.

Ia bisa membaca dan menulis, meskipun tak bisa bicara, kata ayah?

nya. Ketiga anakku bisa membaca dan menulis, dan mereka bicara,

kata Dewi Ayu sambil tertawa mencandai. Tapi lelaki tua itu bersikeras

untuk tidur dan mati di pelukannya dan membayarnya dengan gadis

bisu itu. Ia bisa jadikan bocah itu apa saja. "Kau bisa jadikan ia pelacur

dan ambil uangnya seumur hidup," kata lelaki tua itu. "Bahkan jika tak

ada lelaki yang mau dengannya, kau bisa mencincangnya dan menjual

da?gingnya di pasar."

"Aku tak yakin ada orang mau memakan dagingnya," kata Dewi Ayu.

Si lelaki tua tampak pantang menyerah dan lama-kelamaan ia mu?

lai merengek serupa anak-anak kecil tak tahan ingin buang ken?cing.

Dewi Ayu bukannya tak ingin berbaik hati memberikan beberapa jam

yang indah di atas tempat tidur untuk si lelaki tua, namun ia sungguhsungguh kebingungan atas transaksi aneh tersebut, hingga berkali-kali

ia memandang si lelaki tua bergantian dengan si bocah bisu. Sampai

ke?mudian si bocah meminta kertas dan pensil dan menulis:

"Tidurlah dengannya, sebentar lagi ia mati."

Jadi ia tidur dengan lelaki tua itu, bukan karena sepakat dengan

tran?saksi gilanya, tapi lebih karena sugesti yang dikatakan si bocah

bahwa ia akan mati. Mereka bertarung di atas tempat tidur, sementara

si gadis bisu duduk di kursi di bagian luar pintu kamar, mendekap tas

kecil berisi pakaiannya yang tadi dibawa si ayah, menunggu. Kenyataan?

nya, Dewi Ayu tak memerlukan waktu yang begitu lama, dan sejujurnya

ia mengaku tak merasakan apa pun kecuali sesuatu yang menggelikan

di tengah selangkangannya. "Seperti seekor capung mencakar lubang

udel," kata si pelacur. Lelaki itu menyerangnya de?ngan ganas, nyaris

tanpa basa-basi, seolah satu batalion tentara Be?landa tengah mendekat

dengan misi menghancurkan mereka, ber?gerak dan melupakan rematik?

nya. Ketergesa-gesaannya segera berbuah ketika ia melenguh pendek

de?ngan tubuh menghentak; awalnya Dewi Ayu menganggapnya sebagai

hentakan seorang lelaki yang memuntahkan isi buah pelirnya, tapi ter?

nyata lebih dari itu, si lelaki tua juga memuntahkan nyawanya. Ia mati

tergeletak dalam pelukannya dengan tombak masih teracung basah.

Mereka menguburnya secara diam-diam di sudut yang sama tempat

Dewi Ayu kelak juga dikuburkan. Meskipun tak pernah membersihkan

kuburan majikannya, Rosinah selalu menyempatkan diri mengunjungi

kuburan ayahnya, di setiap akhir bulan puasa, menyiangi rumputnya

dan berdoa dengan tak yakin. Dewi Ayu membawa pulang gadis bisu itu,

bukan karena gadis itu sebagai pem?bayaran malam yang menyedihkan

tersebut, tapi karena si bisu itu tak lagi punya ayah dan ibu dan tak ada

sanak famili yang lain pula. Paling tidak, pikirnya ketika itu, ia bisa

men?jadi temannya di ru?mah, mencari kutu di rambut setiap sore, me?

nunggu rumah se?mentara ia pergi ke rumah pelacuran. Di luar dugaan?

nya, Rosinah sama sekali tak menemukan rumah yang ribut, melainkan

sebuah rumah sederhana yang begitu hening. Cat temboknya berwarna

krem dan tampaknya tak pernah dicat kembali selama bertahun-tahun,

kaca yang berdebu, tirai yang lapuk, bahkan dapurnya nyaris tak pernah

dipakai kecuali untuk memasak seceret kopi. Satu-satunya yang tampak

terurus hanyalah kamar mandi dengan bak besar yang ditiru dari bak

mandi orang-orang Jepang serta kamar tidur si tuan rumah. Beberapa

hari pertama di rumah ter?sebut, Rosinah menampakkan dirinya sebagai

gadis yang layak untuk dibawa pulang dan dipertahankan. Sementara

Dewi Ayu tidur sepanjang siang, Rosinah mencat rumah, membersih?

kan lantai dan menggosok kaca jendela dengan serbuk gergaji yang

ia peroleh dari tempat pemotongan kayu, mengganti tirai dan mulai

mem??bereskan halaman yang segera dipenuhi berbagai bunga. Ketika

sore datang, untuk pertama kali Dewi Ayu terbangun dan me?ne?mu?kan

aroma rempah-rempah dari dapur, dan mereka makan ma?lam bersama

sebelum Dewi Ayu harus pergi. Rosinah sama se?kali tak terganggu oleh

keadaan rumah yang membutuhkan begitu banyak penanganan, namun

ia dibuat penasaran oleh fakta bahwa hanya mereka berdua yang tinggal

di sana. Waktu itu Dewi Ayu belum belajar isyarat tangan si gadis bisu,

maka Rosinah kem?bali menulis.

"Kau bilang punya tiga anak?" tanyanya.

"Benar," kata Dewi Ayu. "Mereka pergi begitu tahu bagaimana mem?

buka kancing celana lelaki."

Rosinah segera mengenali kembali kalimat tersebut ketika be?berapa

tahun setelahnya, Dewi Ayu berkata bahwa ia tak ingin lagi bunting

(padahal ia telah bunting), dan bilang bahwa ia bosan punya anak.

Mereka sering bercakap-cakap di sore hari, duduk di pintu dapur sambil

memandang ayam-ayam yang mulai dipelihara Rosinah mengais-ngais

tanah, dan seperti seorang Scheherazade, Dewi Ayu me?ngisahkan begitu

banyak cerita fantastis, sebagian besar merupakan kisah tentang gadisgadis cantik yang pernah dilahirkannya. Mereka menjalin persahabatan

yang penuh pengertian tersebut dengan cara itu, sehingga ketika Dewi

Ayu mencoba membunuh si bayi di dalam perut dengan berbagai cara,

Rosinah sama sekali tak mencoba meng?halanginya. Bahkan ketika Dewi

Ayu mulai menampakkan tanda-tanda keputusasaannya, ia menam?

pilkan dirinya sebagai si gadis bijak itu dan memberi isyarat pada si

pelacur.

"Berdoalah minta bayi buruk rupa."
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Ayu menoleh dan menjawab, "Telah bertahun-tahun aku tak

lagi percaya doa."

"Tergantung pada siapa kau berdoa," Rosinah tersenyum. "Beberapa

tuhan memang terbukti pelit."

Dengan tak yakin, Dewi Ayu mulai berdoa. Ia akan berdoa kapan

pun ia ingat; di kamar mandi, di dapur, di jalan bahkan ketika seorang

laki-laki gembrot berenang di atas tubuhnya dan ia teringat, ia akan

segera berkata, siapa pun yang mendengar doaku, Tuhan atau iblis,

malaikat atau jin Iprit, jadikanlah anakku buruk rupa. Ia bahkan mulai

membayangkan segala hal yang buruk. Ia memikirkan setan bertanduk,

dengan taring mencuat seperti babi, dan betapa menyenangkan sekali

memiliki bayi seperti itu. Suatu hari ia melihat co?lokan listrik, dan

mem??bayangkannya sebagai hidung bayinya. Juga membayangkan teli?

nga??nya sebagai telinga panci, dan mulutnya sebagai mulut celengan,

dan rambutnya yang menyerupai sapu. Ia bahkan melonjak kegirangan

ketika menemukan betapa menjijikkan tai yang teronggok di toilet dan

bertanya-tanya, tak bisakah ia me?lahirkan bayi semacam itu; dengan

kulit serupa komodo dan kaki serupa kura-kura. Dewi Ayu terbang de?

ngan imajinasinya yang se?makin liar dari hari ke hari sementara bayi

di dalam kandungannya terus tumbuh.

Puncaknya terjadi di malam purnama ketujuh kehamilannya, ketika

ditemani si gadis Rosinah, ia mandi air kembang. Itu adalah waktu kau

bisa mengharapkan seperti apa anakmu kelak, dan Dewi Ayu, tampak?

nya yang pertama di dunia dan karenanya ia tak pernah yakin bahkan

sampai hari kematiannya datang, mengharapkan seorang bayi buruk

rupa. Ia menggambar sosok bayi jelek itu di kulit kelapa, dengan arang

hitam, nyaris tak menyerupai siapa pun. Ia seharusnya menggambar wa?

jah Drupadi, atau Shinta, atau Kunti, atau siapalah tokoh wayang yang

cantik, sebab begitulah setiap ibu mengharapkan anaknya, paling tidak

di kota itu. Kau akan menggambar Yudistira, Arjuna, atau Bima, jika

kau berharap anak lelaki. Tapi tidak Dewi Ayu. Ia tak mengharapkan

anaknya seperti siapa pun yang ia kenal, kecuali menyerupai seekor babi

hutan, atau lutung, atau tidak seperti apa-apa. Maka menggambarlah ia,

sosok monster menakutkan yang tak sempat ia lihat ketika orang-orang

menguburkan mayatnya.

Namun kemudian ia melihatnya juga, setelah dua puluh satu tahun

itu, di hari kebangkitannya.

Waktu itu hari menjelang malam, hujan tiba-tiba turun dengan

de?ras disertai topan badai pertanda musim segera berganti. Ajak-ajak

me?lo?long di bebukitan, dengan suara melengking mengalahkan mua?d?zin

memanggil-manggil orang untuk salat Magrib bersama di masjid, yang

tampaknya tak terlampau berhasil. Orang-orang tak suka keluar di waktu

hujan deras senjakala, terutama dengan suara lolongan ajak, dan apalagi

dengan sosok hantu berkain kafan berjalan ringkih melintasi jalan desa

dalam keadaan basah kuyup.

Jarak dari tempat pemakaman umum ke rumahnya bukanlah jarak

yang pendek, tapi tukang ojek lebih suka membanting motornya ke

parit dan segera melarikan diri daripada mengantarkannya. Mobil

angkutan tak ada yang mau berhenti. Bahkan warung-warung dan tokotoko di sepanjang jalan memilih untuk tutup, dan pintu serta jendela

rumah-rumah terkunci rapat. Tak ada orang di jalanan, bah?kan tidak

ada pula gelandangan dan orang-orang gila, kecuali si perempuan tua

yang hidup dua kali itu. Hanya kalong-kalong yang terbang susah-payah

dibanting badai bergerak di langit, dan kain gorden yang sesekali dibuka

menam?pakkan wajah pucat orang-orang ketakutan.

Ia menggigil kedinginan, dan lapar juga. Beberapa kali mencoba

mengetuk pintu-pintu rumah orang yang sekiranya masih ia kenal, tapi

penghuni rumah lebih suka diam jika tak semaput. Maka betapa gem?

biranya ketika dari kejauhan ia bisa mengenali rumahnya yang masih

seperti hari sebelum orang-orang menguburnya. Bunga kembang kertas

berderet sepanjang pagar, dengan krisan di bagian luarnya, tampak

damai di balik tirai hujan, dengan lampu beranda yang hangat. Ia sa?

ngat merindukan Rosinah dan sangat berharap hidangan makan malam

sedang menunggunya. Bayangan itu membuatnya sedikit tergopoh

seperti orang-orang di stasiun dan terminal, membuat kain kafannya

nyaris terlepas dan dilemparkan badai menampakkan tubuhnya yang

telanjang, namun tangannya segera meraih kain mori tersebut, me?

lilitkannya kembali di tubuhnya serupa gadis-gadis berselimut handuk

selepas mandi. Ia juga me?rin?dukan anaknya, yang keempat itu, berharap

melihatnya seperti apa pun dirinya. Benar kata orang, tidur yang lama

bisa membuat orang berubah pikiran, terutama jika itu dua puluh satu

tahun.

Gadis itu tengah duduk di kursi beranda seorang diri tempat dulu

ia dan Rosinah sering menghabiskan waktu sore dengan berburu kutu,

di bawah bola lampu yang remang, duduk seperti menanti seseorang.

Awalnya Dewi Ayu menganggapnya Rosinah, tapi secepat ia berdiri

di depannya, ia segera tahu bahwa ia belum mengenalnya. Ia bahkan

nyaris menjerit melihat sosok mengerikan itu, seolah ia menderita luka

bakar yang sangat parah, dan pikiran jahatnya bicara bahwa ia tak kem?

bali ke dunia, tapi tersesat di neraka. Tapi ia cukup waras untuk segera

mengenali monster buruk itu tak lebih dari seorang gadis malang; ia

bah?kan bersyukur akhirnya menemukan manusia yang tak lari melihat

perempuan tua berselimut kain kafan melintas di tengah hujan deras.

Tentu saja ia belum tahu itu anaknya, sebagaimana ia belum tahu dua

puluh satu tahun telah berlalu, maka untuk menuntaskan semua kebi?

ngungannya, Dewi Ayu mencoba menyapa gadis itu.

"Ini rumahku," katanya menjelaskan. "Siapa namamu?"

"Cantik."

Ia sungguh-sungguh meledak dalam tawa yang kurang ajar, sebelum

segera berhenti dan memahami segala sesuatunya. Ia duduk di kursi

yang lain, terpisah oleh sebuah meja dengan taplak kuning dan secang?

kir kopi milik si gadis.

"Bagaikan seekor sapi yang melihat anaknya tiba-tiba telah bisa

berlari," katanya dengan bingung sambil dengan sopan meminta kopi

di atas meja tersebut, meminumnya. "Aku ibumu," katanya lagi, penuh

kebanggaan, terutama oleh kenyataan bahwa anak gadisnya persis

sebagaimana yang ia inginkan. Seandainya hari tak turun hujan, dan

ia tak kelaparan, dan bulan bersinar cemerlang, ingin sekali ia berlari

naik ke atap rumah dan menari untuk me?rayakannya.

Si gadis tak menoleh, dan tidak pula berkata apa-apa.

"Apa yang kau lakukan malam-malam di beranda?" tanyanya.

"Menanti Pangeranku datang," kata si gadis akhirnya, meskipun

te?tap tak menoleh. "Untuk membebaskanku dari kutukan wajah buruk

rupa."

Ia telah terobsesi dengan Pangeran tampan itu, paling tidak semen?

jak ia menyadari bahwa orang lain tak seburuk rupa dirinya. Rosinah

telah mencoba membawanya ke rumah-rumah tetangga, bahkan sejak ia

masih seorang bayi dalam gendongan, tapi tak seorang pun menerima,

sebab anak-anak akan menjerit dan menangis sepanjang hari dan orangorang jompo akan segera demam dan mati dua hari kemudian. Mereka

menolaknya di mana pun, dan begitu pula ketika waktu sekolah tiba,

tak satu sekolah pun menerima Si Cantik. Pernah juga Rosinah men?

coba memohon-mohon pada seorang kepala sekolah yang tampaknya

lebih tertarik pada si gadis bisu daripada si gadis kecil buruk rupa, yang

dengan kurang ajar men?cumbunya di ruangan kantor tertutup. Rosinah

yang bijak, berpikir, selalu ada cara untuk segala sesuatu. Jika ia harus

kehilangan ke?perawanan untuk memasukkan Si Cantik ke sekolah, ia

akan memberikannya dengan cara apa pun. Maka pagi itu ia telanjang

di kursi putar milik si kepala sekolah, bercinta di bawah dengung kipas

angin selama dua puluh tiga menit, namun kali ini ia keliru: Si Cantik

tetap ditolak masuk sekolah, sebab jika ia masuk, anak-anak yang lain

tak akan masuk.

Tanpa kenal putus asa, akhirnya Rosinah berencana mengajarinya

sendiri di rumah, paling tidak berhitung dan membaca. Namun sebelum

ia sempat mengajarinya apa pun, Rosinah tercengang oleh kenyataan

bahwa gadis itu telah bisa menghitung suara tokek dengan benar, dan

lebih terkejut ketika suatu sore ia menemukannya tengah mengeluarkan

timbunan buku peninggalan ibunya dan membacanya keras-keras. Ada

sesuatu yang tidak beres dengan keajaiban itu, bermula dari keheranan?

nya bertahun-tahun sebelum si gadis bisa membaca, yakni ketika si gadis

tanpa Rosinah tahu siapa yang mengajarinya, bisa bicara. Ia mencoba

me?mata-matai si kecil itu, namun semuanya sia-sia. Ia tak pernah pergi

lebih jauh dari pagar rumah, dan tak seorang pun pernah datang, ia tak

pernah bertemu siapa pun kecuali dirinya sendiri, yang bisu dan bicara

dengan tangan. Tapi kenyataannya si kecil itu bisa menyebutkan semua

benda, yang terlihat maupun tidak, dengan benar, dan bahkan memberi

nama untuk kucing dan cicak dan ayam dan bebek yang berkeliaran di

rumah mereka. Kini keajaiban itu muncul kembali: ia membaca buku

tanpa seorang pun mengajarinya mengenali huruf-huruf.

Di luar semua keajaibannya, ia tetaplah seorang gadis buruk rupa

yang malang, dan menyedihkan. Rosinah sering melihatnya berdiri di

balik tirai jendela, mengintip orang-orang di jalanan, atau me?man?

dang?nya ketika ia harus keluar untuk membeli sesuatu, seolah meminta

untuk diajak. Tentu saja Rosinah tak pernah keberatan mengajaknya, ia

bah?kan berharap melakukannya, tapi si kecil sendiri yang akan meno?

laknya, dan berkata dengan suara yang mengibakan itu, "Tidak, orangorang akan kehilangan selera makan sepanjang sisa hidup mereka."

Ia akan keluar di waktu dini hari ketika orang-orang belum terba?

ngun, kecuali para penjual sayur yang bergegas pergi ke pasar, atau pe?

tani yang bergegas pergi ke ladang, atau nelayan yang bergegas pulang,

berjalan kaki atau meluncur dengan sepeda-sepeda jengki mereka, na?

mun orang-orang itu tak akan melihatnya di ke?remangan fajar. Itulah

waktu baginya berkenalan dengan dunia, dengan kelelawar yang pulang

kandang, dengan burung pipit yang terbangun di pucuk pohon keta?

pang, dengan ayam yang berkukuruyuk nyaring, dengan kupu-kupu yang

me?netas dari kepompong dan terbang hinggap di kelopak bunga sepatu,

dengan kucing yang menggeliat di keset, dengan aroma yang dibawa

dari dapur tetangga, dengan kebisingan mesin-mesin yang mulai di?nya?

la?kan di kejauhan, dengan suara khotbah radio dari suatu tempat, dan

terutama dengan Venus yang berpijar di timur yang akan di?nikmatinya

sambil duduk di ayunan yang tergantung pada dahan pohon belimbing.

Rosinah bahkan tidak tahu bahwa cahaya kecil yang berpijar terang

itu bernama Venus, tapi Si Cantik mengenalnya dengan baik, sebaik

per?sahabatannya dengan rasi-rasi bintang penunjuk nasib.

Setelah terang datang, ia akan menghilang ke dalam rumah, seperti

kepala kura-kura yang malu pada para pengganggu. Sebab anak-anak

sekolah selalu berhenti di depan gerbang pagar, berharap melihatnya,

memandang pintu dan jendela dengan keingintahuan me?reka. Orangorang tua telah menceritakan kisah-kisah me?na?kutkan tentang Si Can?

tik yang mengerikan, tinggal di rumah tersebut, siap memenggal kepala

mereka untuk sekali kebandelan, siap memangsa mereka hidup-hidup

untuk setiap kecengengan: semua cerita tersebut cukup untuk menghan?

tui mereka, sekaligus membangkitkan minat mereka, untuk sungguhsungguh bertemu dan membuktikan bahwa momok menakutkan itu

sung?g uh-sungguh ada. Mereka tak pernah menemukannya, sebab

Rosi?nah akan segera muncul dengan gagang sapu terbalik, dan mereka

akan berlarian sambil berteriak-teriak meng?ejek si gadis bisu. Dan se?

sungguhnya tak hanya anak-anak yang akan berhenti di depan gerbang

pagar berharap melihatnya, sebab ibu-ibu yang melintas di dalam becak

juga akan menengokkan wajahnya sejenak, begitu pula orang-orang yang

berangkat bekerja, dan para gembala yang menggiring domba.

Ia juga akan keluar malam hari, ketika anak-anak dilarang keluar

rumah, dan orang tua sibuk mengawasi anak-anak mereka, kecuali para

nelayan yang bergegas ke laut memanggul dayung dan jaring. Ia akan

duduk di kursi beranda, duduk ditemani segelas kopi. Ketika Rosinah

bertanya apa yang ia lakukan malam-malam di beranda, Si Cantik men?
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab sebagaimana ia berkata kepada ibunya, "Menanti Pangeranku

da?tang, untuk membebaskanku dari kutukan wajah buruk rupa."

"Gadis yang malang," kata ibunya malam itu, malam pertama mereka

berjumpa. "Kau seharusnya menari dengan riang karena anugerah ter?

sebut. Masuklah."

Dewi Ayu kembali memperoleh keramahan ala Rosinah di mana si

gadis bisu dengan segera telah menyiapkan air hangat di bak mandi?

nya yang lama, lengkap dengan sulfur dan batu gosok serta potongan

kayu cendana dan daun sirih yang membuatnya tampak segar di meja

makan. Rosinah dan Si Cantik memandangi cara makannya yang ra?

kus, seolah membalas tahun demi tahun yang lenyap tanpa makan. Ia

menghabiskan dua potong ikan tongkol utuh, termasuk duri-durinya,

dan semangkuk sup, serta dua piring nasi. Minumannya sejenis larutan

bening dengan potongan-potongan kecil sarang burung walet. Ia makan

lebih cepat dari kedua perempuan yang menemaninya itu. Seusai makan

yang membuat perutnya bergemuruh dan berkali-kali mengeluarkan

bunyi bercerucut di lubang pantatnya, sejenis kentut yang tertahan, ia

bertanya sambil melap mulutnya dengan kain lap:

"Berapa lama aku mati?"

"Dua puluh satu tahun," kata Si Cantik.

"Maaf terlalu lama," katanya penuh penyesalan, "tak ada jam weker

di dalam kubur."

"Lain kali jangan lupa membawanya," kata Si Cantik penuh perhati?

an, dan menambahkan, "jangan lupa pula kelambu."

Dewi Ayu mengabaikan kata-kata Si Cantik, yang diucapkan de?

ngan suara kecil melengking serupa menyanyi soprano, dan berkata lagi,

"Ini pasti membingungkan, aku bangkit kembali setelah dua puluh satu

tahun, sebab bahkan si gondrong yang mati di tiang salib pun hanya

me?merlukan waktu tiga hari kematian sebelum bangkit kembali."

"Sangat membingungkan," kata Si Cantik, "lain kali kirim dulu

tele?gram sebelum datang."

Bagaimanapun, ia tak bisa mengabaikan suara tersebut. Setelah lama

memikirkannya, Dewi Ayu mulai merasakan nada permusuhan dalam

komentar-komentar anak gadisnya. Ia memandang ke arahnya, tapi

bah?kan si gadis buruk rupa itu memberinya senyum, atau se??sungguhnya

lebih menyerupai seringai barongsai, seolah me?ngatakan bahwa apa

yang dikatakannya tak memiliki maksud apa pun kecuali sungguh-sung?

guh mengingatkannya agar lain kali jangan berlaku sembrono. Tapi

Dewi Ayu tak perlu waktu lama untuk memahami aroma kemarahan

di balik senyum yang jelek itu. Ia memandang pada si gadis Rosinah,

se?olah mencari seorang pendukung, tapi bahkan si gadis bisu hanya

ter?senyum, tanpa mak?na sama sekali, lalu berkata kepadanya:

"Kau tiba-tiba telah berumur empat puluh tahun. Sebentar lagi tua

dan keriput." Sambil berkata begitu, Dewi Ayu tertawa kecil, mencoba

membuat meja makan jadi meriah bagi mereka bertiga.

"Seperti kodok," kata Rosinah dengan bahasa isyarat.

"Seperti komodo," kata Dewi Ayu lagi.

Mereka berdua memandang Si Cantik, menantinya mengatakan

sesuatu, dan penantian tersebut tidaklah lama.

"Sepertiku," katanya. Pendek dan mengerikan.

Selama beberapa hari, Dewi Ayu bisa mengabaikan kehadiran

monster menjengkelkan di rumahnya itu, disibukkan oleh kunjungankunjungan sahabat lama yang berharap memperoleh cerita tentang

dunia orang-orang mati. Bahkan sang kyai yang bertahun-tahun lam?

pau memimpin pemakamannya dengan keengganan dan me?mandang

dirinya dengan rasa jijik seorang gadis atas cacing tanah, berkunjung

kepadanya dalam kesopansantunan orang-orang saleh di hadapan para

wali, dan dengan tulus mengatakan bahwa ke?bang?kitannya sebagai

sebuah mukjizat, dan tak seorang pun akan mem?peroleh mukjizat jika

ia bukan orang suci.

"Tentu saja aku orang suci," kata Dewi Ayu dengan riang, "Sebab

tak seorang pun menyentuhku selama dua puluh satu tahun."

"Seperti apakah rasanya mati?" tanya Kyai Jahro.

"Sebenarnya menyenangkan. Itulah satu-satunya alasan kenapa

orang mati tak ada yang kembali."

"Tapi kau bangkit kembali," kata sang kyai.

"Aku kembali untuk mengatakan itu."

Itu hal yang bagus buat khotbah di Jumat siang, dan sang kyai

pergi dengan wajah berseri-seri. Ia tak perlu merasa malu berkunjung

ke rumah Dewi Ayu, meskipun bertahun-tahun lalu ia akan berteriak

bah??wa haram hukumnya mengunjungi rumah pelacur itu, bahkan ha?

nya dengan menyentuh pagarnya kau bisa dipanggang di neraka, se?bab

sebagaimana dikatakan perempuan itu, ia bukan lagi seorang pe?lacur

setelah dua puluh satu tahun tak disentuh siapa pun, dan per?cayalah

kini dan seterusnya tak ada seorang pun mau menyentuhnya lagi.

Yang paling menderita dari semua keributan tentang perempuan tua

yang bangkit dari kematiannya, tak lain adalah Si Cantik yang harus

mengunci dirinya di kamar. Beruntunglah bahwa kunjungan-kunjungan

mereka tak pernah lebih lama dari beberapa menit, sebab orang-orang

itu akan segera merasakan teror mengerikan dari pintu kamar yang

ter?tutup. Angin yang jahat, hitam, dan mengerikan serasa menerpa

mereka, dengan bau asing yang memualkan, meluncur dari celah-celah

pintu dan lubang kunci serta kisi-kisi, dingin menusuk jauh bahkan

sampai sumsum tulang-belulang mereka. Banyak orang belum pernah

melihat Si Cantik, kecuali ketika ia masih kecil saat orang-orang mem?

bantu ibunya melahirkan dan saat si dukun bayi berkeliling kampung

mencari ibu susuan. Tapi gambaran itu cukup untuk membuat bulu

ku?duk berdiri dan sekujur tubuh gemetaran begitu mata membentur

pintu kamar yang mereka percayai bahwa di sanalah monster itu tinggal,

begitu aroma jahat yang dibawa angin sampai di ujung hidung mereka,

dan bunyi keheningan ribut di telinga. Itu adalah waktu mulut mereka

mengeluarkan kata-kata basa-basi, dan melupakan keinginan mereka

untuk mendengar apa pun dari Dewi Ayu yang menakjubkan, orang
orang akan segera berdiri setelah dipaksa meminum setengah gelas teh

pahit, dan pamit pulang untuk bercerita pada orang-orang.

"Sebesar apa pun rasa penasaranmu pada Dewi Ayu yang bangkit

dari kematiannya," kata mereka setelah kunjungan yang penuh teror

ter?sebut pada siapa pun, "kusarankan untuk tak masuk ke rumahnya."

"Kenapa?"

"Kau akan mati diteror rasa takut yang datang dari dirimu sendiri."

Ketika orang-orang tak lagi berkunjung, Dewi Ayu mulai merasakan

keganjilan-keganjilan dari Si Cantik, di luar kebiasaannya untuk duduk

di beranda menunggu Pangeran tampan dan meramal nasib melalui

bin?tang-bintang. Di tengah malam, ia mendengar keributan dari kamar

tidurnya, membuatnya turun dari tempat tidur dan berjalan dalam gelap

menuju pintu kamar tidur Si Cantik. Keributan itu begitu nyata, maka

ia berdiri di depan pintu dengan penuh keraguan, dan semakin kebi?

ngungan oleh suara-suara yang muncul dari mulut si gadis buruk rupa

itu. Ia masih berdiri tanpa keinginan membuka pintu sampai Rosinah

muncul dengan lampu senter menerpa wajah majikannya.

"Aku mengenal baik suara-suara gaduh ini," kata Dewi Ayu setengah

berbisik pada Rosinah. "Di kamar-kamar pelacuran."

Rosinah mengangguk mengiyakan.

"Ini suara orang bercinta di atas tempat tidur," kata Dewi Ayu lagi.

Rosinah kembali mengangguk.

"Pertanyaannya, dengan siapa ia bercinta, atau siapa yang mau

bercinta dengannya?"

Rosinah menggeleng. Ia tak bercinta dengan siapa pun. Atau ia

bercinta dengan seseorang, tapi kau tak akan tahu, sebab kau tak akan

melihatnya. Dewi Ayu tampak terpesona dengan ketakacuhan si gadis

bisu itu, membuatnya teringat pada tahun-tahun kegilaan di mana

ha?nya gadis itulah yang memahami dirinya. Mereka duduk berdua di

dapur, malam itu, di depan tungku yang masih di?per?gunakan sejak ke?

matiannya, menjerang air dan menunggunya panas untuk secangkir

kopi. Dan dengan hanya diterangi cahaya dari api yang menyala me?

makan ujung kayu bakar kering berupa potongan-potongan ranting

pohon cokelat serta dahan kelapa kering dan se?rabut buahnya, mereka

berbincang-bincang sebagaimana dulu sering mereka lakukan.

"Apakah kau mengajarinya?" tanya Dewi Ayu.

"Apa?" tanya Rosinah, hanya bentuk mulut tanpa suara.

"Masturbasi."

Rosinah menggeleng. Si Cantik tidak masturbasi, ia bercinta dengan

seseorang tapi kau tak tahu siapa.

"Mengapa?"

Sebab aku tak tahu, Rosinah menggeleng.

Ia bercerita mengenai semua keajaiban tersebut, bahwa ketika ia

ma?sih kecil, gadis itu bicara tanpa seorang pun mengajarinya. Ia bahkan

mulai membaca dan menulis pada umur enam tahun. Rosinah akhirnya

tak pernah mengajarinya apa pun, karena bahkan ia mulai bisa melaku?

kan banyak hal yang Rosinah sendiri tak bisa. Menyulam pada umur

sem?bilan tahun, menjahit pada umur sebelas tahun, dan jangan tanya

ia bisa memasak makanan apa pun yang kau inginkan.

"Seseorang pasti mengajarinya," kata Dewi Ayu dengan bingung.

"Tapi tak seorang pun datang ke rumah ini," kata Rosinah dengan

isyarat.

"Aku tak peduli dengan cara apa ia datang, atau dengan cara bagai?

mana ia datang tanpa kau dan aku tahu. Tapi ia datang dan meng?ajari?

nya segala hal, dan bahkan ia mengajarinya bercinta."

"Ia datang dan mereka bercinta."

"Rumah ini berhantu."

Rosinah tak pernah berpikir bahwa rumah ini berhantu, namun Dewi

Ayu memiliki alasan untuk percaya bahwa rumah ini berhantu. Tapi

itu hal lain, Dewi Ayu tak ingin mengatakan apa pun tentang itu pada

Rosinah, paling tidak malam itu. Ia berdiri dan segera pergi kem?bali ke

tem?pat tidurnya, melupakan air yang dijerang dan cang?kir berisi kopi.

Perempuan tua itu, di hari-hari berikutnya, mencoba memata-matai

si gadis buruk rupa, untuk penjelasan paling masuk akal atas segala ke?

ajaib?annya, sebab ia tak ingin percaya bahwa hantulah yang melakukan

semuanya, meskipun hantu itu sungguh-sungguh ada di rumahnya.

Suatu pagi, ia dan Rosinah menemukan seorang lelaki tua duduk

di depan tungku yang menyala, menggigil kedinginan oleh hawa pagi.

Ia berpenampilan serupa gerilyawan, dengan rambut yang kacau balau,

gimbal dengan ikat kepala dari janur kuning layu. Gambaran itu diper?

tegas oleh wajah yang tirus, seperti kelaparan selama bertahun-tahun,

serta pakaian gelap yang dipenuhi noda lumpur dan darah kering, dan

bahkan ada belati kecil terayun-ayun di pinggangnya, terikat pada sabuk

kulit. Ia mengenakan sepatu serupa milik pasukan Gurka semasa perang,

terlalu kebesaran untuk kakinya.

"Siapa kau?" tanya Dewi Ayu,

"Panggil aku Shodancho," kata si lelaki tua. "Aku kedinginan, izin?

kanlah sejenak di depan tungkumu."

Rosinah menilainya dengan sedikit rasional. Mungkin ia benarbenar seorang Shodancho, di masa lalu memimpin sebuah Shodan,

mung?kin di Daidan Halimunda, dan ia memberontak pada Jepang

sebe?lum melarikan diri ke hutan. Ia mungkin terjebak di sana selama

bertahun-tahun, dan tak pernah tahu bahwa Jepang dan Belanda telah

lama pergi dan kita punya republik dengan bendera dan lagu kebang?

saan sendiri. Rosinah memberinya sarapan pagi dengan pandangan

penuh rasa haru, sedikit penghormatan yang berlebihan.

Tapi Dewi Ayu memandangnya dengan sedikit kecurigaan, bertanyatanya apakah ia Pangeran yang ditunggu anak gadisnya setiap malam,

dan boleh jadi laki-laki inilah yang mengajarinya bercinta. Laki-laki

itu tampaknya lebih dari tujuh puluh tahun, telah impoten bertahuntahun lalu, dan dengan begitu Dewi Ayu menepis pikiran buruknya. Ia

bahkan mengundangnya untuk tinggal di rumah itu, sebab masih ada
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar kosong, dan laki-laki itu tampaknya telah kehilangan hubungan

dengan dunia yang se?sung?guhnya.

Sang Shodancho yang memang kebingungan dengan keadaan diri?

nya, menurut. Itu adalah hari Selasa, tiga bulan setelah kebangkitan

Dewi Ayu dari kematian, hari ketika mereka menemukan Si Cantik

ter?kapar di kamarnya dalam keadaan menyedihkan. Ibunya dibantu

Rosinah mencoba membantunya berdiri, membaringkannya di atas

tem?pat tidur. Sang Shodancho tiba-tiba muncul di belakang mereka

dan berkata:

"Lihat perutnya, ia hamil, hampir tiga bulan."

Dengan tak percaya, Dewi Ayu memandang Si Cantik dengan tatap?

an yang bukan lagi menampilkan kebingungan namun ke?ma?rahan yang

tak terkendali oleh ketidaktahuannya, lalu bertanya, "Dengan cara apa

kau hamil?"

"Seperti bagaimana kau hamil empat kali," kata Si Cantik, "Buka

pakaian dan bercinta dengan lelaki."

esuatu yang aneh pasti telah terjadi, sebab suatu malam ia dipaksa

untuk mengawini Dewi Ayu. Ia tengah tidur mendengkur ketika

sebuah mobil Collibri berhenti di depan rumahnya, dan suara mesin?

nya yang mendengus-dengus di tengah malam buta cukup untuk

mem?buatnya terbangun. Lelaki tua itu, Ma Gedik, belum juga terbe?

bas dari rasa terkejut, ketika kejutan berikutnya datang seperti topan

ba?dai: seorang jawara turun dari mobil itu, dengan golok terayun-ayun

di pinggangnya, menendang anjing kampung peliharaan si lelaki tua

yang tidur tepat di depan pintu membuat si anjing memberontak dan

menggonggong nyaring siap bertarung, tapi usahanya segera sia-sia se?

bab seorang lelaki lain, tampaknya pe?ngemudi Collibri itu, menem?

baknya dengan senapan. Anjing itu melolong sebentar sebelum mati,

nyaris pada saat yang sama si jawara menendang pintu papan sengon

gubuk rumah si lelaki tua yang segera terkulai pada sebuah engsel.

Gubuk itu sangat gelap, dihuni lebih banyak codot dan cicak dari?

pada manusia. Di sana hanya ada dua ruangan yang terlihat samar-samar

dengan cahaya bulan dari pintu yang terbuka: sebuah kamar tidur de?

ngan seorang lelaki tua duduk di ujung dipan kebingungan dan sebuah

dapur di mana sebuah tungku dengan abu nyaris memenuhi rongganya

berada. Sarang laba-laba malang-me?lintang di sana-sini, hanya me?

ninggalkan sedikit ruang yang meru?pakan rute si lelaki tua pergi ke

tungku dan tempat tidur dan pintu ke?luar. Si jawara yang kemudian

dibuat terbatuk-batuk oleh bau pesing yang melebihi bau apa pun di

kandang kuda dan babi men?jumput segenggam daun kelapa kering dari

tumpukan di dekat tungku, melipatnya dan membakar ujungnya dengan

korek gas menjadikannya obor. Seketika ruangan jadi benderang dengan

bayang-bayang segala benda yang bergoyang-goyang, dan codot-codot

mulai ber?hamburan. Lelaki tua itu masih di ujung dipannya, meman?

dang si tamu tak diundang dengan kebingungan yang sama.

Kejutan berikutnya: si jawara memperlihatkan papan sabak yang

di?tulisi dengan rapi, tampaknya oleh seorang gadis. Ia tak bisa mem?

baca?nya, si jawara juga tidak, tapi si jawara tahu apa yang di?tulis di sana.

"Dewi Ayu ingin kawin denganmu," katanya.

Ini pasti lelucon, sebab impian paling liar pun tak pernah sam?pai

se?jauh itu. Ia harus tahu diri, ia lelaki tua, telah hidup lebih dari sete?

ngah abad, bahkan janda-janda tua yang ditinggal mati suami-suami di

tanah Deli atau dibuang ke Boven Digoel pun lebih suka menimbun

amal saleh bekal akherat daripada berpikir untuk kawin dengan seorang

penarik cikar seperti dirinya. Masih untung jika ia bisa memberi seorang

perempuan makan, ia bahkan nyaris lupa bagaimana menyetubuhi me?

reka, sebab terakhir kali ia pergi ke tempat pelacuran adalah bertahuntahun lalu, dan terakhir kali ia melakukannya sendiri, dengan tangan,

juga bertahun-tahun lalu. Maka dengan keluguan lelaki kampungannya,

ia berkata pada si jawara itu:

"Aku bahkan tak yakin bisa memerawaninya."

"Tak masalah apakah kau atau kontol anjing yang akan me?me?

rawaninya, ia ingin kawin denganmu," kata si jawara galak. "Jika tidak,

Tuan Stammler akan jadikan kau sarapan pagi ajak-ajak."

Itu cukup untuk membuatnya menggigil. Orang-orang Belanda

banyak memelihara ajak teman mereka berburu babi, dan bukan ce?rita

bohong jika ada pribumi yang mereka tak suka, akan diadu hidup-mati

dengan ajak-ajak. Tapi kalaupun berita itu benar, kawin dengan Dewi

Ayu bukanlah masalah yang sederhana. Paling tidak, ia tak mengerti

kenapa ia harus kawin dengannya. Masalah yang lebih serius, ia telah

ber?janji untuk tak kawin dengan siapa pun, demi cinta abadinya pada

seorang perempuan yang terbang lenyap ke langit bernama Ma Iyang.

Perempuan itu adalah cerita lain, semacam cinta yang tak jadi ke?

nyataan. Mereka tinggal bersama di perkampungan nelayan, bertemu

setiap hari, berenang di muara yang sama, memakan ikan yang sama,

dan tampaknya hanya waktu yang menghalangi mereka untuk segera

mengawini satu sama lain, sebab tak lama kemudian mereka telah jadi

seorang pemuda dan seorang gadis. Berbeda dari kebanyakan bocah

seumurnya, Ma Gedik masih membawa tabung berisi air susu ibunya

ke mana pun pergi, terus begitu semenjak ia bisa berjalan dan pergi

meninggalkan ibunya. Hingga suatu hari, didorong oleh kebingungan?

nya, Ma Iyang bertanya kenapa ia masih meminum susu itu, bahkan tak

peduli jika susu itu sudah basi, di umur yang kesembilan belas tahun.

"Sebab ayahku terus meminum susu ibuku sampai tua."

Ma Iyang mengerti. Di balik rumpun belukar pandan, ia mem?buka

pakaiannya dan menyuruh lelaki itu mengisap puting susunya, yang

tengah tumbuh begitu mungil. Tak ada air susu keluar, tapi itu cukup

un?tuk membuat Ma Gedik berhenti meminum susu ibunya dari tabung

bambu dan jatuh cinta sampai mati pada gadis itu. Begitulah segalanya

terjadi, hingga suatu malam Ma Iyang dijemput sebuah kereta kuda,

di?dandani bagai penari sintren, begitu cantik namun menyakitkan.

Ma Gedik yang selalu terlambat mendengar apa pun berlari sepanjang

pantai mengejar kereta kuda itu, dan ketika ia mencapainya, ia berlari

di samping kereta sambil berseru, bertanya pada si gadis cantik yang

duduk di belakang kusir.

"Ke mana kau pergi?"

"Ke rumah Tuan Belanda."

"Untuk apa? Kau tak perlu jadi jongos orang Belanda."

"Memang tidak," kata si gadis. "Aku jadi gundik. Kelak kau panggil

aku Nyai Iyang."

"Tai," kata Ma Gedik. "Kenapa kau mau jadi gundik?"

"Sebab jika tidak, Bapak dan Ibu akan jadi sarapan pagi ajak-ajak."

"Tahukah kau bahwa aku mencintaimu?"

"Tahu."

Ia terus berlari di samping kereta kuda, mereka berdua, pe?muda dan

gadis itu, menangis bersama oleh perpisahan yang menyakitkan itu, di?

saksikan kusir yang memandang mereka dengan kebingungan. Sikapnya

yang bijak berusaha membuat keduanya untuk berpikir sedikit tenang,

dan kegilaannya membuatnya bicara kelewatan:

"Cinta tak perlu saling memiliki."

Hal ini sama sekali tak menghibur, malahan membuat Ma Gedik

ter?jatuh di pinggir jalan yang berpasir, menangis me?raung-raung me?

ratapi kemalangan dirinya. Si gadis menyuruh kusir berhenti sejenak,

mundur, dan ia turun berdiri di depan lelaki itu. Disaksikan si kusir tua,

kudanya, kodok yang bernyanyi, burung hantu, nyamuk, dan ngengat,

si gadis membuat perjanjian.

"Enam belas tahun yang akan datang, Tuan Belanda itu akan bo?san

denganku. Tunggulah di puncak bukit cadas jika kau masih men??cintaiku,

dan terutama jika masih menginginkan sisa-sisa orang Belanda."

Setelah itu mereka tak pernah bertemu, dan tak pernah ada kabar

berita pula. Ma Gedik bahkan tak pernah tahu siapa Tuan Belanda yang

penuh berahi menginginkan kekasihnya yang tengah mekar di umur lima

belas tahun itu. Ia sendiri ber?umur sembilan belas tahun, bersumpah

akan tetap mencintainya meskipun pulang telah tercincang-cincang.

Namun kepergian seorang kekasih bukanlah perkara sederhana.

Ia memulai hari-hari penantiannya dengan menjadi laki-laki yang

lebih gila dari orang-orang gila, lebih idiot dari orang-orang idiot,

dan terutama lebih menyedihkan daripada orang-orang yang tengah

berkabung. Teman-temannya, waktu itu ia telah jadi penarik cikar dan

kuli angkut di pelabuhan, mencoba menghibur dengan me?nyu?ruhnya

kawin dengan perempuan lain, namun ia lebih suka menghabiskan upah

dan waktunya dengan berjudi dan pulang dalam keadaan mabuk arak.

Menyerah untuk menyuruhnya mengawini perempuan lain, temanteman?nya yang baik mulai membujuknya pergi ke tempat pelacuran,

paling tidak mereka berharap tubuh perempuan bisa mengurangi nafsu

kesedihannya. Waktu itu hanya ada satu tempat pelacuran di ujung

dermaga, sebenarnya dibangun untuk memenuhi kebutuhan tentaraten?tara Belanda yang tinggal di barak-barak, namun setelah penyakit

sipilis berjangkit banyak tentara-tentara itu tak lagi muncul ke sana dan

mereka lebih suka memelihara gundik-gundiknya sendiri, hingga tempat

pelacuran itu kemudian mulai didatangi buruh-buruh pelabuhan.

"Kawin atau ke tempat pelacuran, itu sama-sama pengkhianatan,"

kata Ma Gedik keras kepala. Namun satu minggu kemudian, dalam ke?

adaan mabuk dan setengah sadar teman-temannya menyeret lelaki itu

ke tempat pelacuran tersebut dan ia menghabiskan upah satu harinya

un?tuk tempat tidur dan seorang perempuan gembrot dengan lubang

kemaluan sebesar liang tikus, dan dengan segera lelaki itu, terpana oleh

pesona pelacuran, meralat ucapannya: "Ngentot pelacur bukanlah peng?

khianatan, sebab mereka dibayar dengan uang dan tidak dengan cinta."

Masa-masa setelah itu adalah waktu-waktu ketika ia men?jadi

pe??langgan sejati tempat pelacuran di ujung dermaga, menyetubuhi

perem?puan-perempuan di sana sambil menggumamkan nama gadis

yang meninggalkannya itu. Ia melakukannya hampir di setiap akhir

pekan, berombongan bersama sahabat-sahabatnya yang tetap baik.

Kadang-kadang mereka menyetubuhi seorang pelacur untuk masingmasing di waktu-waktu uang cukup melimpah, namun di waktu-waktu

penuh penghematan mereka bisa meniduri seorang perempuan berlima

sekaligus. Hingga di tahun-tahun kemudian, teman-temannya mulai

kawin satu per satu. Itu adalah waktu yang sangat menyulitkan, sebab

tak banyak di antara teman-temannya punya waktu pergi ke tempat

pelacuran, lebih dari itu mereka punya istri-istri yang bisa di?tiduri de?

ngan cinta, tidak dengan uang. Masa-masa yang sulit se?bab pergi ke

tempat pelacuran seorang diri adalah hal paling me?nyedihkan di dunia.

Ketika ia mulai kesepian seorang diri, ia mulai melatih kemampuan

tangan?nya untuk urusan itu, dan di saat-saat yang tak tertahankan, ia

akan menyelinap sendiri di tengah malam buta ke ujung dermaga dan

pulang sebelum nelayan ber?datangan dari laut.

Lalu ia jadi orang aneh, jika bukan musuh masyarakat, sebab kerap

kali ia dipergoki membuat keributan di kandang ternak te?tangga, dan

ternyata ia tengah memerkosa seekor sapi betina, atau ayam sampai

usus?nya keluar. Kadang ia memukul seorang bocah gembala, lalu me?

nangkap seekor domba dan menggarapnya di tengah padang rumput,

membuat seorang perempuan setengah baya dengan keranjang penuh

daun ketela berlari-lari sepanjang pematang sawah dengan histeris

oleh teror nafsu berahi yang tak terkendali itu. Se?mua orang mulai

men?jauhinya, sebab ia pun mulai tak pernah mandi. Ia mulai tak suka

makan nasi atau apa pun, kecuali tainya sendiri dan tai orang-orang

yang ditemukan di kebun pisang. Keluarganya, dan teman-temannya

yang sangat khawatir, se?gera memanggil seorang tabib, atau dukun, da?

tang dari jauh hanya karena reputasinya mampu menyembuhkan segala

penyakit. Ia seorang India, tabib itu, dengan jubah putih dan janggut

yang melambai-lambai, tampak bijak dan lebih menyerupai seorang

wali daripada seorang dukun, memeriksanya di kandang kambing sebab

selama sebulan terakhir Ma Gedik akhirnya dipasung di sana, hidup

hanya dengan makan kotoran kandang. Dengan tenang, sang tabib
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata pada orang-orang cemas tersebut:

"Hanya cinta yang bisa menyembuhkan orang gila."

Itu hal yang sangat sulit, sesulit mengembalikan Ma Iyang ke??pada?

nya. Mereka akhirnya menyerah dan membiarkannya terpasung selama

tahun-tahun penantian itu.

"Mereka bikin perjanjian selama enam belas tahun," kata ibu?nya

dengan jengkel, "ia akan membusuk sebelum hari itu datang." Perempu?

an inilah yang memutuskan untuk memasungnya, dibuat marah setelah

dipaksa menyembelih enam ekor ayam sekarat dengan usus terjulur dari

lubang anus mereka.

Tapi ia tak membusuk, bagaimanapun. Lebih dari itu, ia tampak

begitu sehat dengan pipi kemerahan, seiring dengan meluruhnya harihari dan waktu penantiannya semakin dekat. Anak-anak sekolah tanpa

alas kaki akan bergerombol di luar kandang kambing itu pada siang hari

sebelum mereka sampai di rumah dan menggembalakan ternak, men?

candainya sementara ia akan mengajari mereka bagaimana me?manjakan

kemaluan sendiri dengan menggosoknya mem?per?gunakan air liur: hal

ini membuat guru sekolah melarang siapa pun dari bocah-bocah itu

dekat-dekat dengannya. Namun sudah jelas anak-anak sekolah itu men?

coba apa yang diajarkannya, sebab tengah malam beberapa di antara

mereka mendatangi kandang kambing tersebut secara diam-diam dan

berbisik padanya bahwa mereka baru tahu ada cara kencing yang lebih

nikmat daripada sekadar kencing biasa.

"Akan lebih menyenangkan jika mencobanya dengan ke?maluan

anak-anak perempuan."

Ketika suatu siang seorang petani menemukan dua orang bocah

sembilan tahun bercinta di semak-semak pandan, orang-orang kam?pung

dengan kejam menutup kandang kambing tersebut dengan papanpapan. Ma Gedik terkurung di dalamnya tanpa seorang pun bicara

ke?padanya, dan tanpa cahaya tentu saja.

Hukuman itu sama sekali tak menghancurkan semangatnya. Semen?

tara tubuhnya dipasung di kandang yang terkurung, mulutnya mulai

menyanyikan lagu-lagu cabul yang membuat merah muka para kyai,

dan di tengah malam membuat banyak orang tak bisa tidur. Hal ini

ber?langsung selama berminggu-minggu, semacam pembalasan dendam

yang membuat banyak orang menggigil dalam penderitaan. Namun

ketika orang-orang kampung sampai pada satu kesepakatan bahwa

mereka akan menyumpal mulutnya dengan beluruk, buah kelapa muda,

keajaiban datang secara tiba-tiba. Pagi itu ia tak lagi menyanyikan lagulagu cabul, sebaliknya, ia me?nya?nyikan kidung-kidung cinta yang indah,

yang membuat banyak orang menangis karena mendengarnya. Betapa

indahnya kidung ter?sebut sehingga semua orang dari ujung kampung

ke ujung yang lain?nya berhenti bekerja, terpana seolah menanti para

bidadari turun dari langit. Mereka tak segera menyadari keajaiban terse?

but sampai seseorang mengerti apa yang terjadi: itu adalah hari terakhir

pe?nan?tiannya. Itu hari di mana ia akan bertemu dengan kekasihnya di

pun?cak bukit cadas.

Mereka, hampir semua orang yang mengenalnya, segera me?ngeru?

bungi kandang kambing tersebut, mulai membongkar papan-papan

penutup. Ketika cahaya menerangi kandang kambing yang baunya

te?lah menyerupai liang tikus disebabkan lembab yang menyengat,

mereka menemukan laki-laki itu masih berbaring dalam pasungannya

me?nyanyikan kidung cinta. Mereka membongkar pasungnya dan mem?

bawanya ke parit, memandikannya beramai-ramai seolah ia bayi yang

baru lahir, atau lelaki tua yang baru mati. Tubuhnya dilumuri berbagai

wewangian, dari minyak mawar sampai lavender, dan ia diberi pakaian

hangat yang begitu baik, sebuah kemeja dan pantalon sisa-sisa orang

Belanda, mendandaninya bagaikan ia sebongkah mayat orang Kristen

yang hendak dimasukkan ke dalam peti mati. Hingga ketika segalanya

selesai, beberapa teman lamanya berkomentar penuh kekaguman:

"Kau begitu tampan," kata mereka, "membuat khawatir istriku di?

buat jatuh cinta kepadamu."

"Tentu saja," katanya, "sebab domba dan buaya pun jatuh cinta

ke?padaku."

Benar juga kata tabib India itu, cinta bisa menyembuhkan pe?nya?

kitnya, bahkan penyakit apa pun. Tak seorang pun dibuat kha?watir

dan semua orang melupakan kelakuan buruknya di masa lalu. Bahkan

gadis-gadis muda berdiri di sampingnya be?gitu dekat, tanpa ketakutan

tangannya melayap kurang ajar, dan orang-orang saleh menyapanya

dengan ramah tanpa dibuat cemas telinga mereka dijejali hal-hal tak

senonoh. Ibunya membuat semacam pesta kecil atas kesembuhan yang

mendadak tersebut, berupa nasi kuning tum?pengan dengan seonggok

ayam yang disembelih secara baik-baik, tanpa usus menjulur dari liang

anus, dan seorang kyai di?datangkan untuk mengucapkan doa-doa ke?

selamatan. Itu pagi yang semarak di perkampungan nelayan tersebut,

di salah satu sudut Halimunda yang masih berkabut, pagi yang tak

akan pernah dilupakan orang-orang sampai bertahun-tahun kemudian

ketika mereka menceritakan kisah cinta sepasang kekasih pada anak

ke?turunan, yang sampai beberapa generasi merupakan kisah cinta abadi.

Namun penantian selama enam belas tahun itu berakhir tragis. Tak

lama setelah matahari mulai menyengat, mereka men?dengar orangorang berlarian dengan mobil dan terutama kuda, mengejar seorang

gun?dik yang melarikan diri ke bukit cadas, yang tak diragukan itu

adalah Ma Iyang. Ma Gedik, dengan seekor keledai yang ditemukannya

di kandang seorang penarik pedati mengejar orang-orang Belanda dan

juga kekasihnya, dan di belakangnya, orang-orang kampung berlarian

dalam barisan seperti seekor ular raksasa mendaki bukit. Mereka sampai

di sebuah lembah tempat orang-orang Belanda akhirnya berhenti, dan

Ma Gedik meraung-raung memanggil-manggil nama kekasihnya.

Ma Iyang tampak begitu kecil di puncak bukit cadas. Tak akan ter?

capai oleh mobil atau kuda, dan apalagi keledai. Orang-orang Belanda

memandangnya dengan penuh kemarahan, berjanji akan menyeretnya

ke kandang ajak jika perempuan itu bisa ditangkap. Ma Gedik mencoba

mendaki bukit cadas tersebut, dengan kesulitan yang tak terampuni,

yang membuat banyak orang bertanya-tanya bagaimana perempuan

itu bisa mendaki sampai puncak. Setelah per?juangan yang nyaris siasia, Ma Gedik telah berdiri di samping kekasihnya, meluap-luap dalam

kerinduan.

"Apakah kau masih mengharapkanku?" tanya Ma Iyang. "Se?luruh

tu?buhku telah dijilati dan dilumuri ludah orang Belanda, dan ke?malu?

anku telah ditusuk kemaluannya sebanyak seribu seratus sem?bilan

puluh dua kali."

"Aku telah menusuk dua puluh delapan kemaluan perem?puan seba?

nyak empat ratus enam puluh dua kali, dan menusuk tanganku sendiri

dalam jumlah tak terhitung, belum termasuk kemaluan binatang, apa?

kah kita berbeda?"

Seolah dewa cabul merasuki mereka, keduanya berlari men?dekat dan

berpelukan begitu erat, saling mencium di bawah kehangatan matahari

tropis. Dan demi melampiaskan hasrat-hasrat prasejarah mereka yang

ter?pendam, mereka menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di

tu?buh, melemparkannya hingga pakaian-pakaian itu melayang menu?

runi bukit, berputar-putar dipermainkan angin bagai bunga-bunga

mahoni. Orang-orang yang dibuat terkejut memandang hal itu nyaris

tak percaya, beberapa orang terpekik, dan orang-orang Belanda dibuat

merah mukanya. Hingga ketika, tanpa sungkan, keduanya bercinta pada

sebuah batu cadas ceper ditonton orang-orang yang memenuhi lem?

bah bagaikan menonton film di bioskop, perempuan-perempuan saleh

menutup wajah mereka dengan ujung kerudung dan para lelaki di?buat

ngaceng tanpa berani saling memandang, dan orang-orang Belanda

berkata satu sama lain:

"Apa kubilang, inlander itu monyet, belum juga manusia."

Tragedi yang sesungguhnya baru terjadi ketika mereka se?lesai ber?

cinta, ketika Ma Gedik mengajak kekasihnya menuruni bukit cadas dan

pulang ke rumah, hidup saling mencintai dan saling mengawini. Itu tak

mungkin, kata Ma Iyang. Sebelum mereka menjejak kaki di lembah,

orang-orang Belanda akan melemparkan mereka ke kandang ajak.

"Aku lebih suka terbang."

"Itu tak mungkin," kata Ma Gedik, "kau tak punya sayap."

"Jika kau yakin bisa terbang, maka kau bisa terbang."

Untuk membuktikan ucapannya, Ma Iyang yang telanjang de?ngan

tubuh berkeringat memantulkan cahaya matahari seperti butir-butir mu?

tiara melompat terbang menuju lembah. Ia lenyap di balik kabut yang

mulai turun. Orang-orang hanya mendengar suara teriakan Ma Gedik

yang menyedihkan, berlari menuruni lereng bukit mencari kekasihnya.

Semua orang mencari, bahkan orang-orang Belanda, dan ajak-ajak.

Semua sudut lembah itu mereka jamah, namun Ma Iyang tak pernah

di?temukan, baik hidup maupun mati, hingga semua orang akhirnya

percaya bahwa perempuan itu sungguh-sungguh terbang. Orang-orang

Belanda juga percaya, termasuk juga Ma Gedik. Kini yang tertinggal

hanya bukit cadas itu, orang-orang me?namainya sebagaimana nama

perempuan yang terbang ke langit tersebut: bukit Ma Iyang.

Sejak hari itu ia pergi ke daerah rawa-rawa tempat orang-orang

Belanda tak tahan dengan serangan malaria di bulan-bulan basah dan

men?dirikan sebuah gubuk di sana. Di siang hari ia menarik cikar berisi

kopi, biji cokelat dan kadang kopra dan ketela ke pelabuhan, dan di

malam hari ia mengurung diri di guanya yang abadi. Kecuali pembicara?

an singkat dengan sesama penarik cikar, ia lebih banyak bicara sendiri

jika bukan dengan jin pengiringnya. Orang-orang mulai menganggap

kegilaannya kambuh, meskipun ia tak lagi memerkosa sapi dan ayam

betina dan tidak pula makan tai.

Dengan segera rawa-rawa itu mulai didatangi orang sejak gubuk

pertama berdiri, dan gubuk-gubuk baru bermunculan menjadikannya

perkampungan baru. Orang-orang Belanda tak pernah peduli dengan

status kepemilikan maupun pajaknya, sejauh serangan malaria di sana

masih tetap ganas. Satu-satunya orang Belanda yang pernah da?tang ke

sana hanyalah seorang kontrolir yang bertugas untuk melakukan sensus,

dan ia merupakan satu-satunya tamu yang pernah muncul ke rumah Ma

Gedik. Pengalaman pertamanya di rumah itu merupakan sesuatu yang

ajaib. Ia menemukan seorang lelaki yang beranjak tua, dan kebisingan

tanpa bentuk seolah di sana hidup sebuah keluarga dengan anak yang

begitu banyak.

"Aku tinggal dengan istri dan sembilan belas anak," kata Ma Gedik.

Ia mencatatnya dengan baik dan melanjutkan pekerjaan ke rumah

tetangga. Orang-orang di kampung itu bersumpah demi kematian bah?

wa lelaki yang tinggal di gubuk jelek itu hanya hidup seorang diri. Tak

ada seorang istri dan apalagi sembilan belas anak. Sang Kontrolir yang

dibuat penasaran datang kembali ke rumahnya. Se?bagaimana semula

ia hanya menemukan seorang lelaki dengan kebisingan tanpa bentuk:

seorang perempuan meninabobokan anaknya dari kamar yang gelap,

dan beberapa anak lain terdengar suaranya entah dari mana.

"Aku tinggal dengan istri dan sembilan belas anak," kata Ma Gedik

lagi.

Sang Kontrolir tak pernah datang lagi sebab seminggu kemu?dian ia

ditemukan mati di kamar penginapannya oleh demam malaria. Peris?

tiwa tersebut telah terjadi bertahun-tahun lampau, dan ia merupa?kan

orang terakhir dan satu-satunya yang mengunjungi rumah Ma Gedik

hingga malam ketika anjing kampungnya terbunuh oleh letusan sena?

pan pengemudi mobil Collibri dan seorang jawara menendang pintu

rumahnya. Mereka datang secara tiba-tiba untuk membawa kabar yang

lebih mengejutkan, bahwa Dewi Ayu ingin kawin dengannya. Ia tak

tahu kenapa ia ingin mengawininya, maka prasangka buruknya kemu?

di?an muncul. Gadis itu tentunya telah bunting, dan ia dipaksa menga?

wininya untuk menutupi aib keluarga Belanda tersebut. Maka, masih

de?ngan tubuh menggigil ia bertanya pada si jawara itu:

"Apakah ia tengah bunting?"

"Siapa?"
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dewi Ayu."

"Jika ia ingin kawin denganmu," kata si jawara, "itu pas?ti karena ia

tak mau bunting."

Dewi Ayu menerima calon mempelainya dengan suka cita, meskipun

Ma Gedik menerimanya lebih seperti malapetaka. Ia menyuruhnya

mandi, memberinya pakaian yang bagus, sebab penghulu sebentar lagi

datang, katanya. Namun itu tak juga membuat Ma Gedik bergembira,

sebaliknya, semakin dekat waktu perkawinan mereka, wa?jahnya tampak

semakin murung.

"Tersenyumlah, Sayang," kata Dewi Ayu, "Jika tidak ajak-ajak akan

menyantapmu."

"Katakan padaku, kenapa kau ingin kawin denganku?"

"Sepanjang pagi kau menanyakan hal yang sama," kata De?wi Ayu

dengan sedikit jengkel. "Kau pikir orang lain punya alasan kenapa

mereka saling mengawini?"

"Paling tidak mereka saling mencintai."

"Sebaliknya, kita tidak saling mencintai," kata Dewi A?yu. "Alasan

yang bagus, bukan?"

Gadis itu baru berumur enam belas tahun, tampak elok se?bagai per?

anakan campuran. Rambutnya hitam bercahaya, dengan mata kebiruan.

Ia mengenakan gaun pengantin dari kain tulle, dengan mahkota kecil

yang membuatnya menyerupai peri di buku cerita anak-anak. Kini ia

penguasa satu-satunya rumah tangga Stammler, setelah seluruh keluarga

mengemasi barang dan berbondong-bondong dengan keluarga lain pergi

ke pelabuhan, untuk kabur ke Australia. Tentara Jepang sudah men?

duduki Singapura, mungkin telah sampai pula ke Batavia, tapi belum

ke Halimunda. Meskipun begitu mereka telah dibuat ketakutan dan

kabur selama ada kesempatan.

Desas-desus tentang perang sesungguhnya telah datang sejak be?be?

rapa bulan sebelumnya, ketika mereka mendengar di radio perang telah

meletus di Eropa. Waktu itu Dewi Ayu sudah masuk ke Sekolah Guru

Fransiscan, sekolah yang bertahun-tahun kemudian menjadi sekolah

menengah dan Rengganis si Cantik cucunya diperkosa seekor anjing di

toiletnya. Ia ingin jadi guru, dengan alasan yang sangat sederhana: ia tak

ingin jadi perawat. Ia akan berangkat sekolah bersama Tante Hanneke

yang mengajar di taman kanak-kanak, dengan mobil Collibri yang sama

yang beberapa waktu kemudian menjemput Ma Gedik, dengan sopir

yang sama yang menembak anjing si lelaki tua.

Ia memiliki guru-guru terbaik di Halimunda: para biarawati yang

mengajarinya musik, sejarah, bahasa, dan psikologi. Pada saat-saat ter?

tentu mereka akan dikunjungi pastor-pastor Jesuit dari seminari yang

akan mengajarkan pendidikan agama, sejarah gereja dan teologi. Me?

reka dibuat kagum oleh kecerdasan alamiahnya, namun dibuat kha?watir

oleh kecantikannya, hingga beberapa biarawati mulai mem?bujuknya

untuk meneruskan karier sebagai biarawati dan mengambil sumpah

kemiskinan, keheningan, dan kesucian. "Itu tak mungkin," katanya,

"Jika semua perempuan mengambil sumpah semacam itu, umat manu?

sia akan punah seperti dinosaurus." Cara bicaranya yang mengejutkan

adalah hal lain yang lebih mengkhawatirkan. Ba?gai?manapun, satu-satu?

nya hal yang ia sukai dari agama hanyalah cerita-cerita fantastisnya, dan

satu-satunya yang ia suka dari gereja hanyalah dentang lonceng Angelus

yang bunyinya merdu terdengar, selebihnya ia tak begitu religius dan

bah?kan memperlihatkan tanda-tanda akan kehilangan iman.

Saat itulah, saat ia berada di tahun pertama Sekolah Guru Fran?

siscan, perang meletus di Eropa. Radio yang dipasang Suster Maria di

depan kelas dengan gempar melaporkan, pasukan Jerman memasuki

negeri Belanda dan mereka hanya butuh waktu empat hari untuk men?

dudukinya. Anak-anak sekolah dibuat terpana, atau terkagum-kagum,

bahwa perang ternyata sungguh-sungguh ada dan bukan sekadar omong

kosong cerita di buku sejarah. Lebih dari itu, perang tersebut melanda

negeri leluhur mereka, dan Belanda ternyata kalah.

"Setelah Prancis, kini Jerman mendudukinya," kata Dewi Ayu.

"Benar-benar negeri yang malang."

"Dewi Ayu, apa maksudmu?" tanya Suster Maria.

"Maksudku, kita punya terlalu banyak pedagang daripada ten?tara."

Ia memperoleh hukuman membaca Mazmur karena komentarnya

yang kurang ajar. Bagaimanapun, di antara banyak teman sekolahnya,

Dewi Ayu merupakan satu-satunya anak yang menikmati berita perang

dan membuat ramalan yang mengerikan: perang akan sampai ke Hindia

Belanda, dan bahkan ke Halimunda. Meskipun begitu ia ikut doa ber?

sama yang diadakan para suster untuk keselamatan keluarga-keluarga

mereka yang tinggal di Eropa, tak peduli Dewi Ayu merasa tak memiliki

siapa pun di sana.

Kecemasan terhadap perang juga melanda rumah, terutama karena

kakek dan neneknya, Ted dan Marietje Stammler, pu?nya banyak ke?

luarga di Belanda. Mereka terus-menerus bertanya soal surat-surat dari

Belanda, yang tak juga muncul. Dan terutama, mereka mengkhawatir?

kan ayah dan ibu Dewi Ayu, Henri dan Aneu Stammler, yang melarikan

diri kemungkinan besar ke Eropa. Mereka pergi begitu saja di suatu

pagi enam belas tahun lalu, tanpa pamit, hanya meninggalkan Dewi

Ayu yang masih orok. Meskipun apa yang mereka lakukan sungguhsung?guh membuat keluarga itu berang, kenyataannya mereka tetap

meng?khawatirkannya.

"Di mana pun mereka berada, kuharap mereka bahagia," kata Ted

Stammler.

"Dan jika Jerman membunuh mereka, keduanya akan hi?dup bahagia

di sorga," kata Dewi Ayu. Ia kemudian membalasnya sen?diri: "Amin."

"Setelah enam belas tahun, kemarahanku telah dibuat reda," kata

Marietje. "Berharaplah kau bisa bertemu dengan mereka." Kalimatnya

ditujukan untuk Dewi Ayu.

"Tentu saja, Oma. Mereka berhutang enam belas hadiah Na?tal dan

enam belas kado ulang tahun. Itu belum termasuk enam belas telur

Paskah."

Ia telah mendengar kisah tentang kedua orang itu, Henri dan Aneu

Stammler. Beberapa jongos dapur menceritakannya sambil berbisik,

sebab jika Ted atau Marietje tahu bahwa mereka mem?bocorkan cerita

tersebut pada gadis itu, kemungkinan besar mereka akan dicambuk.

Tapi lama-kelamaan Ted dan Marietje tampaknya tahu bahwa Dewi

Ayu telah mendengar ceritanya, termasuk bahwa suatu pagi mereka

menemukannya tergeletak di dalam keranjang di depan pintu. Ia tidur

nyenyak dalam balutan selimut, ditemani secarik kertas bertuliskan

namanya, serta tulisan pendek yang me?nya?takan kedua orang tuanya

telah berlayar dengan kapal Aurora menuju Eropa.

Sejak awal ia memang telah dibuat heran kenapa ia tak punya orang

tua, dan hanya punya opa dan oma dan tante. Tapi ketika ia menge?

tahui bahwa ayah dan ibunya kabur di suatu pagi, bukannya marah,

seba?liknya ia sedikit mengagumi keduanya.

"Mereka petualang-petualang sejati," katanya pada Ted Stammler.

"Kau terlalu banyak baca buku cerita, Nak," kata kakeknya.

"Mereka orang-orang religius," katanya lagi. "Di dalam ki?tab suci

di?ceritakan seorang ibu membuang anaknya ke Sungai Nil."

"Itu berbeda."

"Ya, memang. Aku dibuang di depan pintu."

Itu benar-benar skandal memalukan, sebab bagaimanapun, baik

Henri maupun Aneu keduanya anak Ted Stammler. Keduanya telah

hidup serumah sejak mereka masih orok, dan tak seorang pun me?nya?

dari kalau keduanya jatuh cinta satu sama lain. Henri dua tahun lebih

tua dari Aneu, dilahirkan dari rahim Marietje, sementara Aneu anak

Ted dari seorang gundik pribumi bernama Ma Iyang. Meskipun Ma

Iyang tinggal di rumah yang berbeda dan dijaga oleh dua orang jawara,

Ted telah memutuskan untuk membawa Aneu tinggal bersamanya sejak

ia dilahirkan, meskipun untuk itu ia harus bertengkar hebat dengan

Marietje. Tapi apa boleh buat, kebanyakan lelaki memelihara gundik

dan anak-anak haram jadah mereka. Marietje akhirnya sepakat bocah

itu tinggal serumah dengan mereka, mem?berinya nama keluarga, agar

tidak jadi gunjingan orang-orang di rumah bola.

Mereka tumbuh bersama-sama, hingga waktunya cukup bagi ke?

duanya untuk jatuh cinta satu sama lain. Henri pemuda yang menye??

nangkan, pandai berburu babi bersama anjing-anjing Borzoi yang

di?d atangkan langsung dari Rusia, pemain bola yang baik, pandai

bere?nang sebagaimana berdansa. Sementara Aneu telah tumbuh jadi

gadis cantik, menghabiskan waktu dengan main piano dan bernyanyi

dengan suara sopranonya. Ted dan Marietje melepaskan mereka untuk

pergi ke pasar malam dan ke rumah dansa, sebab telah waktunya bagi

mereka untuk berhura-hura, dan mungkin menemukan kekasih yang

cocok. Itu merupakan awal malapetaka, sebab selepas berdansa sampai

tengah malam dan pesta minum limun di restoran, mereka tak pulang

ke rumah. Ted dibuat khawatir sebab mereka se?harusnya telah pulang,

dan bersama dua orang jawara mereka mencarinya ke pasar malam.

Mereka hanya menemukan komidi putar yang gelap dan tak bergerak,

rumah hantu yang telah dikunci rapat-rapat, rumah dansa yang kosong,

kios-kios penjual makanan yang telah tutup, serta beberapa petugas yang

tergeletak tidur ke?lelahan di emperan kios-kios. Tak ada tanda-tanda

mereka masih di sana, hingga Ted akhirnya harus menelusuri ke?beradaan

mereka melalui teman-teman sebayanya, dan seseorang berkata:

"Henri dan Aneu pergi ke daerah teluk."

Tak ada apa-apa di teluk pada malam hari kecuali beberapa pengi?

napan. Ted memeriksa satu per satu penginapan itu dan me?nemukan

keduanya di satu kamar. Telanjang dan tampak terkejut. Ted tak pernah

bicara apa pun pada mereka dan keduanya tak pernah pulang ke rumah.

Tak ada yang tahu di mana mereka tinggal setelah itu. Mungkin di

beberapa penginapan dan hidup dengan kerja serampangan, jika bukan

dari uang pinjaman atau sedekah teman-teman mereka. Kemungkinan

lain mereka pergi ke hutan di daerah tanjung dan hidup dengan makan

buah-buahan dan daging rusa di sana. Seseorang yang lain mengatakan

bahwa mereka pergi ke Batavia dan salah satu dari mereka bekerja di

perusahaan kereta api. Ted dan Marietje tak pernah tahu keberadaan

mereka sampai suatu pagi Ted menemukan seorang bayi dalam keran?

jang di depan pintu.

"Bayi itu adalah kau, mereka memberimu nama Dewi Ayu," kata

Ted.

"Dan mereka membuat lebih banyak anak di atas Aurora, semoga di

Eropa ada banyak keranjang dan pintu rumah," kata si gadis.

"Ketika tahu hal itu, nenekmu menjadi histeris seperti orang gila.

Ia lari dari rumah dan tak terkejar bahkan oleh kuda dan mobil sampai

kami menemukannya di puncak bukit cadas. Ia tak pernah turun, tapi

terbang dari sana."

"Oma Marietje terbang?" tanya Dewi Ayu.

"Bukan, Ma Iyang."

Gundik itu, neneknya yang lain. Kata kakeknya, jika ia duduk

di beranda belakang dan memandang ke utara, ia akan melihat dua

bukit cadas kecil. Bukit yang di sebelah barat adalah tempat Ma Iyang

terbang dan lenyap di langit, dan orang-orang di kampung-kampung

se?kitar kemudian menyebut bukit itu seperti namanya: Ma Iyang. Itu

me?ngagumkan, sekaligus menyedihkan. Dewi Ayu sering duduk sendiri?

an di sore hari dan memandang bukit itu, berharap melihatnya masih

melayang-layang seperti seekor capung. Hanya perang yang kemudian

mengalihkan perhatiannya, dan Dewi Ayu mulai lebih sering duduk

di depan radio mendengar laporan-laporan dari garis depan daripada

menghabiskan waktu me?mandangi bukit tersebut.

Meskipun masih jauh, namun akhirnya pengaruh perang mu?lai te?

rasa sampai Halimunda. Bersama beberapa orang Belanda lainnya, Ted
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Stammler memiliki perkebunan cokelat dan kelapa, yang terbesar di

wilayah tersebut. Perdagangan dunia yang porak-poranda karena perang

membuat bisnis mereka seperti tanpa harapan, dan itu berakibat pada

penghasilan mereka. Penghematan-penghematan yang ketat mulai

di?berlakukan di keluarga tersebut. Marietje hanya belanja kebutuhan

dapur dari penjual-penjual kelontong yang berkeliling dari rumah ke

rumah. Hanneke menghentikan kebiasaannya pergi ke bioskop dan

membeli piringan hitam. Bahkan Mr. Willie, lelaki indo yang bekerja

untuk mereka di perkebunan sebagai penjaga dan sebagai pengurus

ken?daraan, harus mengurangi jatah peluru bagi senapannya serta bahan

bakar bagi mobil Collibri. Sementara Dewi Ayu harus mengungsi ke

asrama sekolah.

Para biarawati Fransiscan mencoba membantu mereka di masa pe?

rang dengan cara itu. Mereka membuka pintu asrama lebar-lebar tanpa

biaya apa pun. Itu waktu-waktu ketika semua pelajaran se?kolah hanya

berisi cerita tentang perang, yang diceritakan dengan pe?nuh khawatir

bahwa perang itu akhirnya sungguh-sungguh sampai di kota ini, di ha?

laman depan rumah mereka. Dewi Ayu yang tak sabar dengan pembica?

raan tanpa henti itu kemudian berdiri dan berkata dengan lantang:

"Daripada duduk kebanyakan bicara, kenapa kita tidak belajar me?

nem?bak dengan senapan dan meriam?"

Untuk kata-katanya, dengan sangat terpaksa para biarawati itu ke?

mudian mengirimnya pulang ke rumah. Mereka meng?hukumnya selama

seminggu dan hanya karena perang kakeknya tak memberi hukuman

tambahan. Ia kembali ke sekolah meskipun tak tinggal di biara pada

hari yang sama ketika bom jatuh di Pearl Harbor, dan Suster Maria

yang mengajar sejarah dengan muka berseri-seri ber?komentar, "Saatnya

Ame?rika turun tangan."

Tiba-tiba mereka mulai menyadari bahwa perang sudah demikian

dekat, merayap bagaikan seekor kadal di rerumputan, perlahan-lahan

namun pasti mulai menutupi permukaan bumi dengan darah dan mesiu.

Ramalan Dewi Ayu tampaknya segera akan terbukti. Memang bukan

pasukan Jerman yang tengah mendekat, tapi Jepang. Bagaikan seekor

harimau mengencingi daerah kekuasaannya, bendera-bendera matahari

merah mulai berkibar di Filipina, dan tiba-tiba sudah berkibar pula di

Singapura.

Di rumah, hal itu menjadi masalah yang lebih besar lagi dan nyaris


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia

Cari Blog Ini