Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 2
tak bisa dipecahkan. Sebagaimana semua lelaki de?wasa, Ted Stammler
yang belum termasuk golongan orang tua jompo memperoleh panggilan
untuk masuk wajib militer. Ini sungguh-sungguh keadaan yang jauh
lebih menyusahkan daripada peng?hematan-penghematan uang belanja.
Hanneke memberinya beberapa jimat sambil menangis dan Dewi Ayu
memberinya nasihat bagus, "Tertawan musuh jauh lebih menguntung?
kan daripada tertembak mati."
Ted akhirnya pergi tanpa seorang pun tahu ia akan ditempatkan di
mana. Kemungkinan besar di Sumatera untuk menghadang laju tentara
Jepang menuju Jawa. Bersama lelaki-lelaki lain, sebagian besar merupa?
kan keluarga orang-orang perkebunan, Ted berangkat meninggalkan
Hali?munda dan keluarga. "Sumpah mati, ia bahkan belum pernah
menembak babi dengan tepat," kata Marietje sambil menangis ketika
melepasnya di alun-alun kota. Kini perempuan itu menjadi kepala ke?
luarga menggantikan suaminya, tampak me?nyedihkan sehingga anak
dan cucunya mencoba terus menghibur. Mr. Willie datang hampir tiap
hari untuk membantu mereka me?lakukan beberapa pekerjaan lelaki. Ia
tak ikut memperoleh panggilan wajib militer karena beberapa hal: ia
seorang indo dan tak pernah mencatatkan diri sebagai warga negara Be?
landa, kakinya sedikit cacat ketika suatu hari diseruduk seekor babi liar.
"Tenanglah, Oma, mata orang-orang Jepang terlalu kecil untuk me?
lihat nama Halimunda di dalam peta," kata Dewi Ayu. Tentu saja ia
se?ka?dar ingin menghibur, namun Marietje sama sekali tak bisa dibuat
ter?senyum.
Kemurungan melanda hampir seluruh kota. Pasar malam tak lagi
di?adakan, dan rumah bola tak lagi dikunjungi orang. Tak ada acara
dansa dan kantor perkebunan hanya dijaga be?berapa orang perempuan
dan lelaki-lelaki tua. Orang-orang hanya bertemu di kolam renang,
beren?dam dan tak berkata satu sama lain. Hanya orang-orang pribumi
yang tak terganggu oleh apa pun. Mereka tetap melakukan apa yang
mereka lakukan. Para penarik cikar tetap berbondong-bondong menuju
pelabuhan, sebab perdagangan terus berjalan dan kapal-kapal pengang?
kut terus bergerak. Petani-petani masih mengerjakan sawah mereka
dan nelayan-nelayan pergi ke laut setiap malam. Kemurungan mereka
sangat beralasan, sebab sebelumnya ada beberapa orang Jepang tinggal di
Halimunda, beberapa di antara mereka hidup sebagai petani, pedagang
dan bahkan tukang foto, beberapa lagi pemain akrobat di sirkus. Pada
waktu-waktu itu mereka tiba-tiba menghilang, dan semua orang segera
menyadari selama ini mereka tinggal bersama mata-mata musuh.
Tentara-tentara reguler berdatangan ke Halimunda, yang tam?pak?
nya akan menjadi gerbang pengungsian besar-besaran ke Australia.
Bagaimanapun, pelabuhan kapal Halimunda merupakan satu-satunya
yang terbesar di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Pada awalnya tak
lebih sebagai pelabuhan ikan kecil biasa, di muara Su?ngai Rengganis
yang besar, sebab letaknya di luar tradisi pelayaran. Orang berkumpul di
pelabuhan tersebut hanya untuk tukar-menukar barang, antara orangorang sepanjang pesisir dengan orang-orang pedalaman. Para nelayan
menjual ikan, garam, dan terasi, dan me?reka menukarnya dengan rem?
pah-rempah, beras, dan sayuran.
Jauh sebelum itu Halimunda hanyalah sebuah hamparan rawa-rawa
dan hutan berkabut luas tanpa pemilik. Seorang putri dari generasi
ter?akhir Pajajaran melarikan diri ke daerah itu, memberinya nama,
dan beranak-pinak menjadikannya perkampungan-per?kampungan.
Sementara itu Kerajaan Mataram memperlakukannya lebih sebagai
tempat pembuangan pangeran-pangeran pembangkang. Dan orangorang Belanda sama sekali tak tertarik dengan wilayah itu, terutama
karena serangan ganas malaria di daerah berawa-rawa, banjir yang tak
terkendali, dan jalan yang masih buruk. Sampai pertengahan abad
delapan belas, satu-satunya kapal besar yang pernah singgah di sana
hanyalah kapal Inggris bernama Royal George, yang datang bukan untuk
berdagang, tapi sekadar ambil air tawar. Bagaimanapun, itu cukup untuk
membuat penguasa Kompeni sedikit berang dan mencurigai orang-orang
Inggris telah membeli kopi dan nila, bahkan mungkin mutiara. Mereka
bahkan curiga Inggris me?nyelundupkan senjata melalui Halimunda
un?tuk pasukan Diponegoro. Akhirnya ekspedisi pertama orang-orang
Belanda datang, sekadar untuk melihat, dan membuat peta.
Orang Belanda pertama yang tinggal di sana adalah seorang letnan
tentara bersama dua sersan dan dua kopral. Mereka ditemani sekitar
enam puluhan prajurit bersenjata senapan, dan sebuah garnisun kecil
resmi membuka posnya di Halimunda. Itu setelah perang Di?ponegoro
berakhir, dan ketika sistem Tanam Paksa mulai diberlakukan. Sebelum
itu, hasil pertanian, terutama kopi dan nila yang melimpah di pedalam?
an Halimunda sebelum orang-orang Belanda juga menanam cokelat,
dibawa melalui jalan darat membelah Pulau Jawa menuju Batavia.
Banyak risiko yang harus diambil: barang membusuk dan terutama
perompak di sepanjang jalan. Saat itulah pelabuhan laut Halimunda
mulai dibuka dan hasil pertanian bisa langsung diangkut kapal ke
Eropa untuk dijual. Mereka mulai membangun jalan-jalan yang lebih
lebar untuk lalu-lalang pedati dan cikar. Kanal-kanal dibuat untuk
menghindari banjir, dan di sekeliling pelabuhan gudang-gudang mulai
didirikan. Meskipun tak pernah terlalu berarti dibandingkan pelabuhan
mana pun di laut utara, Halimunda tampaknya mulai diperhitungkan
pemerintah kolonial, hingga akhirnya pelabuhan itu dibuka untuk
perusahaan swasta.
Perusahaan pertama yang beroperasi di kota itu tentu saja Ne?
der??landsch Indisch Stoomvaartmaatschappij, yang meng?operasikan
beberapa kapal layar. Beberapa perusahaan pergudangan juga berdiri.
Terutama setelah pembukaan jalan kereta api yang melintang ke barat
dan ke timur. Namun sejak berdirinya garnisun pertama di Ha?limunda,
dan kenyataan perdagangan yang tak pernah sungguh-sung?guh men?
capai masa keemasan, pemerintah kolonial me?ngem?bangkan kota itu
lebih sebagai kantong militer. Mereka melihat ala?san yang jauh lebih
strategis, bahwa kota itu merupakan satu-satu?nya pelabuhan besar di
pantai selatan, seperti pintu belakang tempat mereka bisa melakukan
evakuasi ke Australia tanpa melalui Selat Sunda dan Bali jika perang
besar meletus.
Mereka mulai membangun benteng-benteng, dan memasang me?
riam pantai untuk melindungi pelabuhan dan kota. Menara peng?in?tai
didirikan di puncak bukit di hutan daerah tanjung tempat ber?tahuntahun sebelumnya putri keturunan raja Pajajaran itu ting?gal, dan sera?
tus orang pasukan artileri didatangkan untuk mengisi tangsi. Persen?
jataan mereka diperbaharui dua puluh tahun setelah itu dengan me?
nem?patkan dua puluh lima Kanon Amstrong ukuran dua puluh empat
sentimeter. Rencana pertahanan itu memuncak dengan dibangunnya
perumahan militer, barak-barak, di awal abad kedua puluh. Itu menga?
wali banyak hal di Halimunda: tempat pelacuran, rumah sakit, upaya
pemberantasan malaria, rumah bola, hingga para pengusaha Belanda
mulai tumpah di kota itu dan beberapa di antara mereka mendirikan
perkebunan cokelat yang masih ada sampai bertahun-tahun kemudian.
Ketika perang meletus dan Belanda diduduki tentara Jerman, semua
fasilitas militer diperbaiki dan prajurit-prajurit semakin banyak ber?
datangan ke kota itu. Kemudian radio memberitahu bahwa dua kapal
perang Inggris Prince of Wales dan Repulse berhasil di?teng?gelamkan
Jepang dan Malaya jatuh ke tentara musuh. Kemenangan Jepang tak
hanya sampai di sana. Tak lama setelah Malaya direbut, Letjen Arthur
Percival, Panglima Besar Pertahanan Inggris, me?nan?datangani naskah
penyerahan Singapura, benteng pertahanan Inggris yang konon meru?
pa?kan yang terkuat. Segalanya tampak semakin memburuk, sampai pagi
ketika seorang kontrolir datang ke rumah-rumah penduduk Halimunda
dan mengatakan hal yang paling mengerikan, "Surabaya telah dibom
Jepang." Para buruh pribumi me?ninggalkan pekerjaan mereka dan
semua urusan perdagangan beku. "Kalian harus mengungsi, Nyonya,"
katanya pada Marietje Stammler, yang tak berkata apa-apa ditemani
Hanneke dan Dewi Ayu.
Dengan cepat kota itu disesaki oleh pengungsi, yang datang de?ngan
kereta atau kendaraan keluarga. Mobil-mobil bergeletakan begitu saja di
luar kota, memenuhi parit-parit sementara pemiliknya antri bermalammalam untuk memperoleh kesempatan naik ke atas kapal. Sekitar lima
puluh kapal militer datang ke pelabuhan untuk membantu evakuasi.
Segalanya tampak kacau dan kekalahan Hindia Belanda sepertinya
telah dipastikan. Keluarga Stammler yang hanya tersisa tiga orang
segera berkemas setelah memperoleh kepastian ka?pan mereka bisa be?
rangkat, namun dikejutkan oleh keputusan Dewi Ayu yang tiba-tiba,
"Aku tak akan pergi."
"Jangan tolol, Nak," kata Hanneke. "Jepang tak akan me?le?wat?kan?
mu."
"Bagaimanapun, seorang Stammler harus tetap di sini," ka?tanya
keras kepala. "Dan kelak, kalian tahu siapa yang harus dicari."
Marietje dibuat menangis menghadapi kekeraskepalaannya, dan
berkata, "Mereka akan jadikan kau tawanan."
"Oma, namaku Dewi Ayu dan semua orang tahu itu nama pri?bumi."
Setelah Surabaya digempur bom Jepang, mereka meneruskan sa?
sarannya ke Tanjung Priok. Beberapa pejabat tinggi pemerintah kolonial
mulai berdatangan dan mereka adalah orang-orang pertama yang kabur.
Marietje dan Hanneke Stammler akhirnya naik kapal Zaandam yang
tergolong sangat besar tanpa pernah mengetahui na?sib Ted di medan
perang, meninggalkan Dewi Ayu yang bersikeras menunggui rumah.
Kapal itu telah bolak-balik mengangkut pe?num?pang, dan se?sungguhnya
itu merupakan pelayarannya yang terakhir. Bersama sebuah kapal lain?
nya, keduanya berpapasan dengan kapal penjelajah Jepang. Zaandam
ditenggelamkan tanpa perlawanan dan Dewi Ayu, ditemani Mr. Willie
dan beberapa jongos serta jawara, memulai hari berkabung mereka.
Sebuah infanteri Jepang dari divisi keempat puluh delapan, men?
da?rat di Kragan setelah bertempur di Bataan, Filipina. Se?paruh dari
mereka bergerak ke Malang melalui Surabaya, dan separuhnya lagi
tiba di Halimunda, menamakan diri mereka sebagai Brigade Sakaguci.
Pesawat-pesawat terbang Jepang telah beterbangan di langit dan men?
jatuhkan bom untuk kilang-kilang minyak milik Mataafsche Petrolium
Maatschappij, pabrik minyak kelapa Mexolie Olvado dan perumahan
buruh serta kantor per?kebunan cokelat dan kelapa. Brigade Sakaguci
hanya mem?butuhkan waktu dua hari pertempuran dengan tentara KNIL
yang masih bertahan di luar kota sebelum Jenderal P. Meijer me?nerima
kabar Belanda telah menyerah di Kalijati. Seluruh Hindia Belanda
te?lah runtuh dan diduduki. Jenderal P. Meijer akhirnya menyerahkan
kekuasaan Halimunda kepada Jepang, di pendopo balaikota.
Dewi Ayu menyaksikan dan mendengar semua peristiwa tersebut,
namun selama masa berkabung ia tak bicara pada siapa pun. Ia lebih
sering duduk di beranda belakang rumah mereka, memandang bukit
yang disebut Ted bernama Ma Iyang. Suatu sore ia melihat Mr. Wil?
lie muncul di halaman belakang, ditemani seekor anjing Borzoi yang
ko?non peranakan anjing yang dulu dipelihara ayahnya, Henri. Untuk
pertama kali sejak masa berkabung, ia akhirnya berkata:
"Yang satu terbang, yang lain tenggelam."
"Ada apa, Nona?" tanya Mr. Willie.
"Aku hanya mengenang kedua nenekku," katanya.
"Berbuatlah sesuatu, Nona, pelayan-pelayan tampak ke?bingungan.
Bukankah kau sekarang pemilik keluarga ini?"
Ia mengangguk. Maka senja itu ia menyuruh Mr. Willie me?ngumpul?
kan semua pelayan rumah tersebut: tukang masak, tukang cuci, pem?
ban?tu di perkebunan, para jawara. Ia berkata pada mereka, bahwa
seka?rang ia tuan tunggal di rumah tersebut. Semua perintahnya harus
di?penuhi, dan tak seorang pun diperbolehkan membangkang. Ia tak
akan mencambuk siapa pun, tapi jika Ted Stammler pulang, ia akan
mencambuk semua pembangkang, dan memasukkan mereka ke kandang
ajak. Perintah pertamanya sama sekali tak memberatkan siapa pun, tapi
itu membuat mereka terguncang dan kebingungan.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Malam ini juga, seseorang harus menculik seorang lelaki tua ber?
nama Ma Gedik di perkampungan daerah rawa-rawa," katanya. "Sebab
esok pagi aku akan kawin dengannya."
"Jangan bercanda, Nona," kata Mr. Willie.
"Maka tertawalah jika kau anggap itu bercanda."
"Tapi bahkan para pastor sudah menghilang dan gereja ro?boh oleh
bom," kata Mr. Willie lagi.
"Masih ada penghulu."
"Nona bukan seorang Muslim, bukan?"
"Juga bukan Katolik, sudah lama."
Itulah awal dari perkawinan antara Dewi Ayu dengan Ma Gedik.
Se?orang lelaki tua yang menyedihkan mengawini seorang gadis can?tik:
berita itu dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok kota, dan orangorang Jepang yang mulai berdatangan bahkan mem?per?gunjingkannya.
Sementara orang-orang Belanda yang tak sempat melarikan diri, me?
ngirimkan surat melalui pembantu-pembantu mereka, menanyakan
kebenaran berita itu. Beberapa di antaranya mulai mengungkit kembali
skandal memalukan ayah dan ibunya.
"Apa yang akan terjadi jika aku tak mau kawin denganmu?" tanya
Ma Gedik akhirnya, beberapa saat sebelum penghulu datang.
"Kau akan jadi santapan ajak."
"Berikan aku pada mereka."
"Dan bukit Ma Iyang akan diratakan."
Itu ancaman yang lebih menakutkan, maka tanpa berdaya ia akhir?
nya kawin dengan Dewi Ayu di pagi itu, sekitar pu?kul sembilan ketika
ten?tara Jepang memulai upacara pertama mereka menandai pendudukan
kota. Tak ada seorang pun diundang untuk merayakan perkawinan
mereka, kecuali jongos dan jawara rumahnya. Mr. Willie menjadi saksi
perkawinan, dan selama itu Ma Gedik lebih banyak menggigil dan
mengucapkan banyak kesalahan saat bersumpah. Ia akhirnya ambruk
tak sadarkan diri, tak lama setelah penghulu mengesahkan perkawinan
mereka, ketika ia menyadari telah menjadi suami Dewi Ayu tanpa per?
nah mengetahui apa yang terjadi.
"Lelaki yang malang," kata Dewi Ayu. "Seharusnya ia kakekku se?
andainya Ted tak jadikan Ma Iyang gundiknya."
Ketika Ma Gedik tersadar menjelang sore, ia tak mau me?nyentuh
Dewi Ayu dan memandangnya dengan tatapan seolah ia melihat
iblis betina. Ia menjerit-jerit ketika Dewi Ayu memaksa untuk men?
de?katinya, dan melemparkan benda apa pun yang teraih tangannya.
Jika Dewi Ayu berhenti, ia akan meringkuk di pojok ruangan sambil
meng?gigil, dan menangis seperti bayi dalam buaian. Dewi Ayu de?ngan
sabar menunggunya, duduk tak jauh darinya masih me?nge?nakan baju
pengantinnya. Sesekali ia membujuknya, untuk mendekat, menyentuh?
nya, dan bahkan ia boleh menyetubuhinya sebab ia istrinya. Tapi jika
Ma Gedik mulai menjerit-jerit, ia akan berhenti merayu, dan kembali
diam sambil melemparkan senyum, dalam usaha tanpa akhir untuk
me?lumpuhkan kegilaan mendadak lelaki tua itu.
"Kenapa kau takut padaku? Aku hanya ingin disentuh olehmu, dan
tentu saja disetubuhi, sebab kau suamiku."
Ma Gedik tak menjawab apa pun.
"Pikirkanlah, kita kawin dan kau tak menyetubuhiku," ka?tanya lagi.
"Aku tak akan pernah bunting dan orang-orang akan bilang kemalu?
an?mu tak lagi berfungsi."
"Kau iblis betina perayu," kata Ma Gedik akhirnya.
"Si Cantik yang menggoda," Dewi Ayu menambahkan.
"Kau tak lagi perawan."
"Tentu saja itu tak benar," kata Dewi Ayu sedikit ter?singgung. "Se?
tubuhilah aku maka kau tahu bahwa kau salah."
"Kau tak perawan dan kau bunting dan kau akan jadikan aku kam?
bing hitam."
"Itu juga tak benar."
Perdebatan mereka berlangsung sampai tengah malam, bah?kan dini
hari, dan tak seorang pun mengubah pendapat mereka. Hingga ketika
hari baru datang dan cahaya masuk ke kamar pengantin mereka, Dewi
Ayu yang dibuat lelah dan putus asa menghampirinya tak peduli lelaki
tua itu menjerit-jerit menggemparkan. Ia me?nanggalkan seluruh pa?kai?
annya, pakaian pengantin dan mahkota, melemparkannya ke atas tem?pat
tidur. Dengan telanjang bulat, ia berdiri di depan si lelaki tua yang tetap
histeris dan berkata keras di te?linga lelaki itu:
"Lakukanlah, dan kau akan tahu aku perawan."
"Demi iblis, aku tak akan melakukannya sebab aku tahu kau tak
perawan."
Lalu Dewi Ayu memasukkan ujung jari tengah tangan kanan ke da?
lam lubang kemaluannya, jauh masuk ke dalam, tepat di depan hidung
Ma Gedik. Gadis itu meringis sedikit kesakitan, setiap kali jari?nya berge?
rak di selangkangan, hingga ia mengeluarkan dan mem?perlihatkannya
pada Ma Gedik. Setetes darah mengucur di ujung jari, dioleskannya
memanjang dari ujung dahi sampai ujung dagu Ma Gedik, membuat
lelaki itu bergetar karena kengerian yang tanpa ampun.
"Kau benar," kata Dewi Ayu. "Sekarang aku tak lagi pe?rawan."
Ia pergi meninggalkan lelaki itu untuk mandi dan selepas itu tidur
di ranjang pengantinnya, seolah tak peduli pada seorang lelaki tua yang
tetap menggigil ketakutan di pojok ruangan. Tak tidur selama sehari
se?malam, sungguh-sungguh membuat tidurnya sangat lelap, meskipun
beberapa jongos mencoba membangunkannya untuk makan siang. Ia
terbangun di sore hari dan langsung pergi ke ruang makan, masih tak
menghiraukan Ma Gedik. Makannya sangat lahap, dan tanpa diselingi
bicara apa pun, meskipun beberapa jongos me?nunggu perintahnya.
Ketika ia kembali ke kamar, baru ia me?nyadari lelaki itu tak ada di tem?
patnya semula. Ia mencoba mencarinya ke kamar mandi, ke halaman
dan ke dapur, tapi ia tak juga me?nemukan. Dewi Ayu akhirnya bertanya
pada salah satu dari jawara yang berjaga di depan rumah.
"Ia kabur sambil menjerit-jerit bagai lihat setan, Nyonya."
"Tidak kalian tangkap?"
"Larinya begitu kencang, seperti Ma Iyang enam belas ta?hun lalu,"
jawab sang jawara. "Tapi Mr. Willie mengejarnya dengan mobil."
"Tertangkap?"
"Tidak."
Ia berlari ke istal, dan bersama dua jawara lain, mereka ikut menge?
jar dengan kuda. Dewi Ayu menebak, meskipun se?dikit meleset, bahwa
lelaki itu lari menuju tempat Ma Iyang terjun dari puncak bukit cadas
dan hilang di dalam kabut. Ma Gedik ternyata tak lari ke bukit terse?
but, namun ke bukit lain yang terletak di sebelah timurnya. Mereka
menemukan jejak mobil Collibri setelah bertanya pada beberapa orang
di pinggir jalan, dan menuntun mereka ke kaki bukit tersebut. Dewi
Ayu menghampiri Mr. Willie yang duduk di belakang kemudi mobil, ia
tampaknya tak bisa membawa kendaraan tersebut lebih naik.
"Ia tengah bernyanyi di puncak bukit itu," kata Mr. Willie.
Dewi Ayu mendongak dan melihatnya, pada sebuah batu, se?perti
seorang artis di atas panggung. Lagunya terdengar sayup-sayup dan ia
sama sekali tak mengetahui bahwa itulah lagu yang dinyanyikan Ma
Gedik bertahun-tahun lalu di hari terakhir penantiannya selama enam
belas tahun menunggu Ma Iyang.
"Ia pasti melompat seperti kekasihnya," kata Mr. Willie lagi. "Dan
hilang lenyap di balik kabut, terbang ke langit."
"Tidak," kata Dewi Ayu. "Ia akan terhempas ke bebatuan dan wajah?
nya babak-belur seperti daging cincang."
Itulah yang terjadi: Ma Gedik melompat ke udara terbuka me?nuju
lembah begitu lagu selesai dinyanyikan. Ia tampak melayang, begitu
baha?gia, hal yang tak pernah terlihat oleh siapa pun di tahun-tahun
ter?akhir hidupnya. Tangannya mencoba bergerak, mengepak seperti
sayap-sayap burung, namun itu tak juga membuat tubuhnya ter?bang
me?ninggi, sebaliknya ia terus meluncur dengan kecepatan yang semakin
bertambah. Bahkan meskipun ia tahu akhir dari lom?patannya, ia masih
tersenyum dan berteriak penuh kegirangan. Ia terhempas di bebatuan,
de?ngan tubuh tercincang-cincang tak karuan, persis sebagaimana dira?
malkan Dewi Ayu.
Mereka membawa pulang sisa-sisa tubuhnya, yang lebih me?nyerupai
adonan kaldu daripada sebongkah mayat, dan me?ngu?burkannya dengan
baik-baik. Dewi Ayu memberi nama bukit itu Ma Gedik, bersanding
dengan bukit Ma Iyang, dan memutuskan untuk berkabung selama
se?minggu. Di akhir masa berkabung ia memperoleh kabar bahwa Ted
Stammler, gugur di dalam perang terakhir mempertahankan Batavia
sebelum Belanda menyerah. Mayatnya tak pernah datang, tapi Dewi
Ayu memutuskan untuk berkabung kembali selama satu minggu ke
depan. Di akhir masa berkabungnya yang kedua, terpesona karena
tak memperoleh kabar duka lainnya, ia melemparkan semua pakaian
ber?kabungnya dan menggantinya dengan pakaian meriah. Ia merias
diri?nya dengan baik-baik, dan pergi ke pasar seolah tak sesuatu pun
ter?jadi. Namun sepulang dari pasar, ia memperoleh hal yang jauh lebih
mengejutkan dari kabar kematian mana pun.
Mr. Willie, dengan jas dan dasi dan sepatu kulit mengilap, da?tang
menghampirinya dan berkata bahwa ada urusan yang sangat penting.
Dewi Ayu berpikir bahwa lelaki itu akan mengundurkan diri dari pe?
kerjaannya, dan berangkat ke Batavia untuk cari kerja. Atau mungkin
bergabung dengan tentara Jepang. Semua anggapannya sama sekali tak
benar. Roman muka Mr. Willie yang kemerahan karena sikap malumalu tak menunjukkan apa-apa tentang semua itu, sampai Mr. Willie
sen?diri akhirnya berkata, pendek dan menyesakkan:
"Nyonya," katanya. "Menikahlah denganku."
ewi Ayu lupa, bahwa tentara Jepang tak mungkin memenang?
kan perang tanpa mengetahui apa pun, termasuk fakta bahwa
ia anak keluarga Belanda. Tak hanya wajah dan kulitnya menanda?
kan hal itu, tapi semua arsip penduduk kini mereka kuasai, dan me?
reka tak akan percaya begitu saja pada kebohongan bahwa ia seorang
pribumi, tak pe?duli namanya Dewi Ayu.
"Yah, begitulah," katanya. "Seperti semua orang tahu Multatuli itu
pemabuk dan bukan orang Jawa."
Ia tengah bernostalgia seorang diri sambil mendengarkan gramofon
yang memutar lagu-lagu favorit kakeknya, Unfinished Symphony Schu?
bert dan Scheherazade Rimsky Korsakov, sekaligus memikirkan apa yang
harus dikatakannya menjawab lamaran Mr. Willie. Ba?gaimanapun, se?
telah perkawinan yang berantakan dengan Ma Gedik, tak terpikirkan
olehnya untuk kawin dengan siapa pun. Ia tahu Mr. Willie sangat baik,
dulu ia bahkan berharap lelaki itu bisa kawin de?ngan bibinya, Hanneke.
Mengecewakan lelaki baik seperti itu sama sulitnya dengan kenekatan
untuk mengawininya.
Mr. Willie datang ke kota itu ketika kakeknya memesan mobil Colli?
bri milik mereka dari Toko Velodrome di Batavia, untuk meng?ganti Fiat
mereka yang sudah sangat tua. Kata orang, perusahaan itu milik seorang
pengusaha bernama Brest van Kempen, seorang lelaki baik yang mem?
perbolehkan orang membeli mobil dengan dicicil. Na?mun kakeknya
datang ke toko itu bukan karena pembayaran yang dicicil, tapi promosi
gratis yang dikatakan teman-temannya bahwa Velodrome menyediakan
asuransi kecelakaan dan bengkel yang baik. Mereka bahkan menyedia?
kan montir yang berpengalaman mengurusi mesin. Ia pulang dengan
Mr. Willie, yang akan menjadi montir se?kaligus sopir, terutama karena
ia butuh seorang ahli mesin untuk be?berapa peralatan perkebunan.
Ia seorang lelaki berperawakan sedang, berumur sekitar tiga puluhan,
pakaiannya nyaris selalu penuh minyak gemuk dan mengenakan rompi
yang tak pernah dikancingkan. Di waktu-waktu terakhir ia juga sering
menenteng senapan untuk menembak tikus dan terutama babi. Waktu
itu Dewi Ayu masih se?orang gadis sebelas tahun, lima tahun sebelum
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia dilamar Mr. Willie.
"Pikirkanlah, Mister," katanya. "Aku ini perempuan yang sedikit
gila."
"Tak ada tanda-tanda kegilaan dalam dirimu," kata Mr. Willie.
"Ketika ia mati, tiba-tiba aku menyadari bahwa aku mengawininya
karena kemarahan pada kenyataan bahwa Ted membuat cinta mereka
berantakan. Aku pasti sudah gila."
"Kau hanya irasional."
"Itu artinya gila, Mister."
Saat itulah penyelamatnya datang: ia bisa melarikan diri dari ke?
wajiban menjawab lamaran lelaki tersebut. Waktu itu hari masih pagi
dan piringan hitam belum menyelesaikan lagu terakhir. Ia me?lihat satu
rombongan truk militer di jalanan yang membentang se?panjang pantai,
ia telah menduganya, mereka akan mengangkut seluruh orang Belanda
yang tersisa dan membawanya ke kamp tahanan. Sehari sebelumnya
pra?jurit-prajurit itu telah mendatangi rumah-rumah mereka dan menyu?
ruh berkemas. Semalaman, tanpa menceritakan apa pun kepada siapa
pun, terutama pada Mr. Willie, Dewi Ayu telah berkemas. Ia tak mem?
bawa banyak barang, hanya satu kopor berisi pakaian, selimut, matras
kecil, dan surat-surat ke?kayaan keluarga. Ia tak memasukkan uang dan
perhiasan ke dalam kopor, sebab ia tahu mereka akan merampasnya. Ia
telah menimbun beberapa kalung dan gelang milik neneknya di lubang
toilet, meng?gu?yurnya hingga masuk ke penampungan tai. Sebagian kecil
ia masukkan ke dalam amplop-amplop kecil, akan ia berikan kepada
semua pelayan di rumah itu, agar mereka bisa hidup dan mencari pe?
kerjaan di tempat lain. Untuknya sendiri, ia akan menelan enam buah
cincin bermata giok, pirus dan berlian. Mereka aman di dalam lambung,
dikeluarkan bersama tai, dan ia akan menelannya kembali selama di
dalam tahanan. Kini saatnya pergi, sebab salah satu truk itu berhenti
di depan rumahnya, dan dua orang prajurit turun de?ngan bayonet di
tangan, mendaki tangga menuju beranda tempat ia duduk menanti.
"Aku mengenal kalian," kata Dewi Ayu, "tukang foto di tikungan
jalan."
"Pekerjaan yang menyenangkan, kami punya foto seluruh orang
Belanda di Halimunda," balas salah satu prajurit.
"Bersiaplah, Nona." Prajurit yang lain berkata.
"Nyonya," kata Dewi Ayu. "Aku seorang janda."
Ia meminta waktu untuk bertemu sejenak dengan seluruh pelayan
rumahnya. Mereka tampaknya juga tahu bahwa majikannya akan pergi,
namun itu tak cukup untuk tidak membuat mereka bersedih. Ia melihat
salah satu tukang masak itu, Inah, menangis. Ia pemilik dapur sejati,
neneknya mempercayakan semua jamuan tamu keluarga kepadanya.
Dewi Ayu tak akan pernah menikmati rijsttafel-nya lagi, mungkin sela?
ma?nya. Tukang masak yang baik selalu merupakan kekayaan keluarga
yang sangat penting, namun kini keluarga itu sen?diri telah lenyap.
Satu-satunya yang tersisa akan pergi jadi ta?hanan perang. Dewi Ayu
me?ngenang semuanya ketika ia mem?berikan kalung emas dari dalam
amplop kepadanya. Ketika kecil Inah mengajarinya memasak, membiar?
kannya menggerus bumbu, dan mengipasi bara api di dalam tungku. Ia
mengalami guncangan kesedihan yang lebih hebat daripada ketika ia
mendengar nenek atau kakeknya mati.
Di samping tukang masak, berdiri seorang jongos, anak Inah. Muin,
begitu namanya. Ia selalu berpakaian lebih rapi dari siapa pun, bahkan
orang-orang Belanda kagum akan hal itu. Ia mengenakan blangkon,
dan tugasnya berpusing di sekitar rumah, paling sibuk di waktu makan
ketika ia harus membereskan meja. Ted Stammler meng?ajarinya bagai?
mana merawat gramofon dan piringan hitam, sering menyuruhnya
meng?ganti dan mencari lagu. Ia selalu senang melakukannya, memutar
piringan dan memindahkan jarum, seolah tak ada orang lain yang bisa
me?lakukannya. Begitu sering ia berurusan dengan gramofon, membuat?
nya mengenal banyak lagu klasik, dan ia menyukainya begitu rupa.
"Kau boleh ambil semua itu," kata Dewi Ayu kepadanya, sambil
me?nunjuk rak piringan hitam dan gramofon.
"Tidak mungkin," kata Muin. "Itu milik Tuan."
"Percayalah, orang mati tak mendengarkan musik."
Bertahun-tahun setelah perang berakhir dan republik berdiri, ia
me?lihat Muin di depan pasar. Waktu itu hampir tak tersisa keluargakeluarga Belanda, dan tak ada orang yang cukup kaya untuk memiliki
ba?nyak jongos di rumah. Ia tahu Muin tak bisa melakukan apa pun
lagi selain membereskan meja dan memutar gramofon. Ia melihanya
di depan pasar tengah memutar gramofon dengan piringan hitam pe?
ninggalan kakeknya, sementara seekor monyet yang tampaknya terlatih
berlalu-lalang di depannya dengan gerobak kecil atau payung dan me?
nari bersama suara musik. Sirkus monyet dengan lagu pengiring Sym?
phony Nomor 9 dalam D Minor, dan orang-orang me?lemparkan uang
recehan ke dalam blangkonnya yang digeletakkan terbalik. Dewi Ayu
hanya melihatnya dari kejauhan, tersenyum untuk nasib baiknya.
Pekerjaannya yang lain adalah mengantar surat: waktu itu belum ada
telepon di rumah, dan yang dimaksud dengan surat adalah papan sabak
ganda. Ia sering berkirim desas-desus dengan teman-teman sekolahnya,
menulis di sabak sebelah kanan. Muin akan berlari ke ru?mah temannya
membawa sabak tersebut, dan sementara menunggu balasan di sabak se?
belah kiri, ia akan disuguhi minuman dingin serta kue-kue yang sangat
ia sukai. Ia pulang tak hanya membawa sabak, namun desas-desus lain
dari para pelayan. Ia menikmati pekerjaannya, dan Dewi Ayu nyaris
se?tiap hari mengirimnya. Hanya sekali, dan itu sabaknya yang terakhir,
ia tak menyuruh Muin, yaitu ketika Mr. Willie dan seorang jawara
mem?bawa pesannya ke gubuk Ma Gedik.
"Sabak itu juga buatmu," katanya.
Lalu ia menghadapi si tukang cuci, penguasa sumur, dan sabun ta?
ngan, Supi. Ketika kecil perempuan tua itu selalu menemaninya tidur,
me?nyanyikan Nina Bobo, dan dongeng Lutung Kasarung. Suaminya
bekerja sebagai tukang kebun, dengan golok di pinggang dan tangan
meng?genggam arit. Ia sering pulang secara tiba-tiba de?ngan bawaan yang
mengejutkan: anak kucing hutan, telur ular, biawak, namun sese?kali
dengan bawaan menyenangkan: buah sirsak setengah matang, setan??dan
pisang raja, sekantong manggis.
Ada beberapa jawara, begitulah mereka menyebutnya untuk para
penjaga kandang kambing, penjaga rumah, dan penjaga kebun. Ia
me?meluk mereka semua, dan untuk pertama kali, mungkin setelah
ber?tahun-tahun, Dewi Ayu menangis. Meninggalkan mereka seperti
ke?hi?langan sepotong badan. Dan terakhir ia berdiri memandang Mr.
Willie. "Aku gila dan hanya orang gila yang kawin dengan orang gila,"
kata Dewi Ayu kepadanya. "Tapi aku tak mau kawin dengan orang gila."
Ia menciumnya sebelum pergi bersama kedua prajurit Je?pang yang tak
sabar menunggu.
"Jagalah rumahku," ia berkata untuk terakhir kalinya kepada me?reka,
"kecuali orang-orang ini merampasnya."
Ia naik ke bak truk yang telah menunggu di depan rumah, nyaris tak
bisa memuatnya sebab di dalamnya telah berjejalan banyak perempuan
dan anak-anak yang menangis menjerit-jerit. Ia melambai pada orangorang yang masih berdiri di beranda rumah. Selama enam belas tahun
ia telah tinggal di sana, nyaris tak pernah me?ninggalkannya lebih jauh
dari batas kota, kecuali beberapa kali liburan pendek ke Bandung dan
Batavia. Ia melihat anjing-anjing Borzoi berlarian dari belakang rumah
dan menyalak di halaman yang dipenuhi rumput Jepang, dengan bunga
melati merambat di samping rumah dan bunga matahari tumbuh di
de?kat pagar. Itu daerah ke?kuasaan mereka, di rerumputan itu mereka
suka berguling-guling, dan Dewi Ayu berharap Mr. Willie memelihara
mereka dengan baik. Truk bergerak dan Dewi Ayu nyaris tak bisa ber?
napas karena desakan tubuh-tubuh perempuan lain. Ia masih melambai
ke arah mereka, dan anjing-anjing Borzoi yang menyalak.
"Tak bisa dipercaya, kita meninggalkan rumah sendiri," kata seorang
perempuan di sampingnya. "Kuharap ini tak akan lama."
"Berharaplah tentara kita bisa menangkap orang-orang Jepang," kata
Dewi Ayu. "Kita akan ditukar seperti beras dan gula."
Di sepanjang jalan, orang-orang pribumi berjongkok di kiri-kanan
jalan, memandang orang-orang yang berdesakan di atas truk dengan
tatapan yang tak bisa ditebak. Tapi beberapa di antara me?reka dibuat
me?nangis demi melihat beberapa perempuan Belanda yang mereka
kenal, dan saputangan mulai melambai-lambai di sela isak tangis. Dewi
Ayu telah melap air matanya, dan tersenyum me?lihat pemandangan
aneh tersebut. Mereka orang-orang lugu yang baik, sedikit pemalas,
dan penurut. Dewi Ayu mengenal beberapa di antaranya, sebab ia
sering menghilang dari rumah untuk masuk ke gubuk-gubuk mereka.
Orang-orang pribumi sering mendongenginya banyak cerita, tentang
wayang dan buta, dan ia suka karena mereka doyan tertawa. Ia sering
ber?dandan menirukan perempuan-perempuan itu, dengan sarung yang
melilit ketat dan kebaya serta rambut di?sanggul, sebagaimana dilakukan
neneknya. Sebagian besar yang ia kenal bekerja di perkebunan cokelat
milik kakeknya. Mereka begitu miskin, hanya boleh nonton bioskop
dari belakang layar dengan gam?bar terbalik, dan tak pernah ada di
rumah bola atau kamar dansa, kecuali untuk menyapu. "Lihatlah,"
kata?nya pada perempuan di sampingnya itu. "Mereka dibuat bingung
oleh dua negeri asing yang berperang di atas tanah mereka."
Perjalanan itu terasa panjang, menuju penjara di daerah pantai ba?rat,
di sebuah delta anak Sungai Rengganis. Sebelum ini penjara itu diisi para
kriminal berat: pembunuh dan pemerkosa, dan tahanan poli?tik pemerin?
tah kolonial, sebagian besar orang-orang Komunis sebelum dibuang ke
Boven Digoel. Mereka dipanggang di bawah terik matahari tropis, tanpa
payung dan tanpa minum. Di tengah perjalanan truk berhenti, bukan
untuk mereka. Orang-orang itu tak memperoleh apa pun, makanan atau
minum, kecuali truk yang memperoleh air bagi radiatornya.
Dewi Ayu, yang lelah membungkuk memandangi jalanan, berbalik
dan menyandarkan punggungnya ke dinding truk, dan seketika ia
me?nya?dari beberapa perempuan di atas truk itu ia kenal dengan baik.
Beberapa tetangganya, dan beberapa yang lain bahkan teman-teman
sekolahnya. Mereka memiliki kehidupan sosial yang cukup akrab. Jika
kau anak-anak, kau akan bertemu nyaris setiap sore di teluk untuk be?
re?nang. Jika kau telah remaja, kau akan bertemu di kamar dansa atau
bioskop dan komidi. Jika kau orang dewasa, kalian akan bertemu di
ru?mah bola. Dewi Ayu mengenali beberapa teman be?renangnya, sese?
gera mengenali teman-teman dansanya. Mereka melempar senyum satu
sama lain, terasa pahit, dan salah satu di antara mereka dengan konyol
bertanya kepadanya, "Apa kabar?"
Dengan penuh keyakinan Dewi Ayu menjawab, "Buruk. Kita sedang
menuju kamp tahanan."
Itu cukup untuk membuat mereka bisa sedikit tertawa.
Ia mengenali gadis konyol itu, namanya Jenny, temannya berenang
waktu kecil. Itu waktu yang menyenangkan, dan ia bertanya-tanya
apakah selama ditahan mereka diperbolehkan berenang atau tidak.
Kini teluk dengan ombak yang lembut itu pasti dipenuhi bocah-bocah
pribumi, yang tubuhnya penuh daki dan selalu bertelanjang kaki, dan
menyingkir jika sinyo-sinyo dan noni-noni berenang. Ia punya bekas
ban dalam mobil dan sering berenang mem?per?gu?na?kannya, bahkan
sampai beberapa minggu lalu sebelum kegaduhan perang. Di pinggir
pantai ia akan melihat beberapa pemuda, dan bahkan lelaki-lelaki tua
dengan pipa tembakau di mulut, duduk di pa?sir di bawah payung, berada
di sana lebih untuk melihat gadis-gadis dalam pakaian renang. Ia juga
tahu apa yang mereka lakukan di kamar ganti. Apa yang disebut kamar
ganti sebenarnya merupakan sumur umum di pinggir pantai, meskipun
tempat lelaki dan pe?rem?puan terpisah, dindingnya hanya terbuat dari
anyaman bambu. Ia sering memergoki mata yang mengintip dari celah
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anyaman. Ia akan balas mengintip dan berteriak, "Oh Tuhan, kecil se?
kali punyamu!" Mereka biasanya akan sangat malu dan segera berlalu
dari kamar ganti.
Kadang-kadang mereka akan digemparkan oleh kemunculan sirip
ikan hiu. Tapi tak pernah seorang pun diserangnya. Pantai Halimunda
ter?lalu dangkal bagi ikan galak itu untuk mendekat, dan mereka biasa?
nya hanya berenang di lepas pantai. Kadang hiu kecil terdampar atau
ter?tangkap jala nelayan, tapi mereka selalu dilepaskan kembali sebab
nelayan-nelayan itu tak pernah berani menangkap mereka. Kualat,
mereka bilang. Ikan hiu bukan satu-satunya binatang yang mereka
takuti saat berenang. Mereka tak pernah berani berenang di daerah
muara, sebab di sana hidup buaya, dan tak tanggung-tang?gung mereka
doyan makan manusia.
"Berdoalah kita tak berjumpa buaya," kata seorang perempuan se?
tengah baya dengan seorang bayi di pangkuannya.
Itu beralasan. Untuk mencapai penjara di tengah delta, mereka ha?
rus menyeberangi sungai. Setelah tamasya yang tak menyenangkan di
atas truk, kini mereka berhenti di pinggir sungai. Tentara-tentara Jepang
tampak berkeliaran di sepanjang pesisir dan jalan masuk, meneriaki
perempuan-perempuan yang turun dari truk-truk dengan bahasa mereka
sendiri, yang tak seorang pun mengenalinya. Hanya sebagian kecil di
antara mereka bisa berbahasa Melayu atau Belanda, atau bahasa Inggris.
Sisanya hanya mempergunakan segumpal bunyi yang membuat bingung
para tahanan tersebut.
Mereka mulai dijejalkan ke dalam kapal feri, dan itu jauh lebih me?
nakutkan sebab taruhannya adalah tenggelam. Nasihat perempuan tua
itu ada benarnya, buaya bisa muncul kapan saja dan semua orang tam?
paknya tak mungkin berenang lebih cepat dari binatang itu. Kapalnya
bergerak sangat lambat, mengambil arah memutar untuk tidak ter?lalu
melawan arus. Bising dengan cerobong asap di?penuhi jelaga hi?tam
dan gumpalan gelap yang terbang memanjang. Beberapa ekor ba?ngau
terbang merasa terganggu, meskipun kemudian hinggap lagi di air yang
dangkal: pemandangan itu jadi terasa tak indah ketika akhirnya mereka
menemukan bangunan tua di balik semak-semak, tampaknya telah
di?kosongkan untuk para tahanan perang. Itu penjara Bloedenkamp,
artinya penjara darah, bahkan para kriminal menakutinya. Sekali kau
berada di sana, kecil kemungkinan untuk melarikan diri kecuali mampu
berenang lebih dari satu ki?lometer melewati lebar sungai dan selamat
dari kejaran buaya.
Tentara-tentara Jepang itu kembali berteriak-teriak dalam bahasa
yang tak dimengerti begitu kapal berlabuh, namun perempuan-perem?
puan itu berlompatan sesegera mungkin seolah mereka tahu orang-orang
itu menuntut gerak yang cepat. Anak-anak mulai me?nangis, bebe?rapa
kekacauan terjadi, sebuah kopor terlempar ke air membuat pemiliknya
basah kuyup mengejar, dan sebuah matras jatuh ke lumpur. Ada seorang
ibu kehilangan anaknya, dan me?ne?mu?kannya terluka terinjak-injak.
Me?reka berjalan kaki sejauh seratus meter ke arah gedung penjara, de?
ngan gerbang besi sebanyak tiga lapis dijaga beberapa prajurit. Sebelum
masuk, mereka berbaris menghadapi meja dengan dua orang Jepang
menggenggam daftar. Di samping mereka tergeletak sebuah keranjang
untuk semua jenis uang, perhiasan dan apa pun yang berharga. Belum ada
penggeledahan, tapi beberapa perempuan telah melemparkan barangbarang ber?harganya ke sana.
"Lakukan sebelum kami menggeledah," kata salah satu prajurit da?
lam bahasa Melayu yang baik.
"Geledah saja taiku," kata Dewi Ayu, dalam hati. Ia telah me?nelan
cincin-cincin itu.
Penjaranya jauh lebih menjijikkan daripada kandang babi. Dinding
dan lantainya kotor, bahkan beberapa tampak percikan darah seolah
pernah ada perkelahian massal dan seseorang dibenturkan kepalanya
ke sana. Tahanannya melimpah, namun masih kalah banyak dengan
kutu, kecoa, dan bahkan lintah. Atapnya bocor dan lumut serta ila?
lang bahkan mulai tumbuh di retakan tembok. Masih ada tikus got
yang sebesar paha anak kecil, berlarian dengan gila oleh ke?da?tangan
manusia, berzig-zag di antara kaki-kaki dan perempuan-perempuan itu
berlompatan menjerit. Mereka harus menaklukkan itu semua sebelum
menjadikannya tempat tinggal yang nyaman, be?rebutan menemukan
daerah kekuasaannya sendiri-sendiri dan sesegera membatasinya de?
ngan kopor, membersihkannya sambil me?nangis tersedu-sedu. Dewi
Ayu memperoleh tempat kecil di tengah sebuah aula, segera menggelar
matrasnya dan menjadikan kopornya sebagai bantal, ia segera berba?
ring kelelahan. Ia masih beruntung tak punya ibu atau anak yang mesti
diurus. Dan ia tak melupakan tablet kina serta beberapa obat lainnya,
sebab disentri dan malaria tampaknya akan mengancam: bahkan toilet?
nya tampak tak berfungsi.
Sore itu tak ada makanan. Bekal kecil yang mereka bawa sendirisen?diri telah habis untuk makan siang. Seseorang bertanya pada
orang-orang Jepang itu tentang makanan, dan mereka menjawab,
mungkin besok atau lusa. Malam itu mereka harus kelaparan. Dewi
Ayu keluar dari aula menuju halaman. Gerbang penjara yang tiga lapis
itu tak ditutup dan orang boleh berkeliaran ke luar benteng sekadar
untuk berjalan-jalan. Ketika tadi datang, Dewi Ayu sempat melihat
beberapa ekor sapi dipelihara. Pemiliknya mungkin para sipir pribumi
atau petani-petani yang tinggal di delta. Ia telah me?ngumpulkan banyak
lintah ketika membersihkan aula, me?num?puknya di dalam kaleng bekas
margarin Blue Band. Ia menemukan salah satu dari sapi-sapi itu tengah
me?rumput, yang paling gemuk. Lintah-lintah itu ia tempelkan di kulit
sapi, yang hanya menoleh se?kilas tanpa merasa terganggu, dan Dewi
Ayu duduk di sebuah batu menunggu. Ia tahu lintah-lintah tersebut te?
ngah mengisap darah sapi, dan ketika kenyang, mereka akan berjatuhan
seperti apel masak. Ia memungutinya dan mengembalikannya ke dalam
kaleng. Kini mereka tampak gemuk-gemuk.
Dengan api unggun, ia merebus semua lintah di dalam kaleng, de?
ngan air yang diambil dari sungai. Tanpa bumbu, ia segera membawanya
pulang ke aula tempat tinggalnya. "Kita punya makan malam," katanya
pada beberapa perempuan dengan anak-anak mereka yang tinggal di
sekitarnya, bertetangga. Tak seorang pun tertarik memakan lintah, dan
seorang ibu tampaknya mual-mual dengan hidangan mengerikan seperti
itu. "Bukan lintah yang kita makan, tapi darah sapi," kata Dewi Ayu lagi
menjelaskan. Ia membelah lintah-lintah tersebut dengan pisau kecil,
mengeluarkan gumpalan darah sapi di dalamnya, menusuknya dengan
ujung pisau dan me?lahapnya. Masih tak seorang pun berniat mengikuti
selera primitifnya, sampai ketika malam datang dan rasa lapar tak lagi
tertahankan. Mereka mulai mencobanya. Rasanya memang tawar, tapi
lumayan mengenyangkan.
"Kita tak akan kelaparan," kata Dewi Ayu. "Selain lintah, masih
ada tokek, cicak dan tikus."
"Terima kasih," jawab mereka segera.
Malam pertama itu sungguh-sungguh merupakan horor yang me?
nge?ri?kan. Cahaya menghilang begitu cepat sebagaimana seharusnya
di negeri tropis. Tak ada listrik di dalam tahanan, tapi hampir semua
orang membawa lilin sehingga nyala kecil memenuhi ruangan dan din?
ding dipenuhi bayangan yang bergoyang-goyang membuat banyak anak
kecil ketakutan. Mereka berbaring di lantai beralaskan matras, tampak
menyedihkan, dan tak pernah sungguh-sungguh memperoleh tidur yang
nyenyak. Tikus-tikus menyerang mereka di malam hari, dan nyamuk
berdengung-dengung dari telinga yang satu ke telinga yang lain, dan
codot beterbangan silang-menyilang. Hal ini diperparah oleh kunjungan
mendadak tentara-tentara Jepang itu untuk me?lakukan pemeriksaan
barang-barang bawaan. Mereka mencari orang yang masih menyem?
bunyikan uang dan perhiasan. Pagi datang tan?pa menjanjikan apa pun.
Bloedenkamp dipenuhi sekitar lima ribu perempuan dan anak-anak,
entah dari mana saja orang-orang Jepang itu mengumpulkan me?reka
semua, yang pasti tak semuanya orang Halimunda. Satu-satunya harap?
an datang dari seorang perempuan peramal kartu, yang memberitahu
mereka pilot-pilot Amerika melemparkan bom ke barak-barak tentara
Jepang sambil bercinta. Dewi Ayu yang terbiasa bangun pagi sekali
un?tuk buang air segera bergegas ke toilet, namun antrian panjang
telah menunggu. Cara terbaik adalah mengambil air dengan kaleng
margarin Blue Band-nya, dan pergi ke halaman belakang sel. Di sana,
di antara pohon ketela yang entah ditanam siapa, ia menggali tanah
seperti seekor kucing, dan berak di lubangnya. Setelah cebok dengan
menyisakan sedikit air, ia mengorek tainya untuk menemukan keenam
cincinnya. Beberapa perempuan lain melihat cara beraknya yang buruk,
dan menirunya dalam jarak yang cukup berjauhan: mereka tak tahu ia
punya harta karun. Cincin-cincin tersebut ia cuci dengan sisa air, dan
menelannya kembali. Ia tak tahu apa yang akan terjadi setelah perang.
Mungkin ia akan kehilangan rumah dan kepemilikan atas sebagian
perkebunan, tapi ia berjanji tak akan kehilangan cincin-cincinnya. Ia
kembali ke aula tanpa tahu apakah hari itu ia bisa mandi atau tidak.
Pagi itu, para pendatang baru harus berdiri di lapangan, di?pang?gang
sinar matahari, menunggu komandan kamp. Anak-anak menangis,
orang-orang nyaris pingsan, sebab tak seorang pun di?per?kenankan du?
duk. Sang Komandan bersama stafnya kemudian muncul, ia seorang
lelaki dengan kumis lebat dan samurai terayun-ayun di pinggangnya.
Sepatu boot-nya mengilau di bawah cahaya matahari. Melalui seorang
penerjemah, ia mengajari para tahanan seni peng?hormatan dengan cara
membungkuk dalam-dalam sampai melewati pinggang. Ia menjelas?kan,
mereka harus membungkuk seperti itu kepada semua prajurit Jepang
secepat perintah diucapkan, Keirei!, dan baru boleh berdiri tegak kem?
bali jika telah terdengar perintah Naore! "Itu penghormatan pada
Ke?kai?saran Jepang," katanya men?jelaskan, melalui sang penerjemah.
Orang-orang yang tak mematuhi itu akan memperoleh hukuman yang
pan?tas: dijemur jika tidak di?cambuk dan memperoleh kerja tambahan.
Beberapa mungkin ter?bunuh dengan cara seperti itu.
Di dalam ruangan, beberapa perempuan segera mengajari anakanak mereka perintah itu, didorong kekhawatiran mereka melakukan
kesalah?an yang tak perlu. Dalam beberapa saat, terdengar teriakanteriak?an keirei dan naore dari mulut-mulut mereka, membuat Dewi Ayu
dan beberapa gadis tertawa terpingkal-pingkal.
"Mereka lebih galak dari Jepang yang sungguhan," katanya.
Dan mereka ikut tertawa.
Tak banyak hiburan yang bisa diperoleh selama di dalam tahanan.
Dewi Ayu mengumpulkan beberapa anak kecil, dan naluri calon guru?
nya keluar. Ia membuat sekolah kecil di pojok aula yang tak terpakai,
mengajari mereka banyak hal: membaca, menulis, berhitung, sejarah,
dan geografi. Bahkan di malam hari ia akan mendongeng untuk anakanak itu. Ia bisa mengulang banyak cerita dalam Alkitab sama baiknya
dengan cerita-cerita wayang Ramayana dan Mahabharata yang ia de?
ngar dari orang-orang pribumi. Ia juga mengetahui cerita-cerita rakyat,
mem?baca banyak buku, dan anak-anak menyukainya seolah cerita dari
mulutnya tak pernah kering. Ia akan mendongeng sampai waktunya
anak-anak itu kembali ke ibu mereka untuk tidur.
Untuk urusan sehari-hari, mereka mulai mengatur diri mereka dalam
kelompok-kelompok kecil dengan memilih seorang kepala kelompok.
Mereka bekerja bergantian, sebab orang-orang Jepang itu menuntut
sel-sel harus tetap bersih. Mereka membagi jadwal pe?kerjaan: memasak
di dapur umum, mengisi bak air, mencuci perkakas, membersihkan ha?
lam?an, bahkan mengangkuti karung-karung beras dan ketela serta kayu
bakar dan hal lainnya dari truk ke dalam gudang. Dewi Ayu terpilih se?
bagai ketua kelompok, sebab ia seorang nyonya dan telah cukup dewasa
untuk memimpin, dan tak punya siapa pun untuk direpotkan. Selain
sekolah kecil yang dibuatnya di pojok aula, ia mencari beberapa teman
dan kenalannya: ia menemukan seorang dokter dan di samping sekolah
didirikan rumah sakit tanpa ranjang dan tanpa obat-obatan yang me?
madai. Beberapa perempuan menuntut pastor, tapi siapa pun tahu itu
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sulit sebab lelaki berada di tahanan yang berbeda, tapi ia menemukan
seorang suster dan baginya itu cukup. "Selama tak ada yang mau kawin,
kita tak butuh pastor," katanya pasti. "Tapi kalau cuma khotbah dan
meng?ajari doa, semua orang bisa melakukannya."
Namun segala sesuatu tak berjalan semanis itu. Anak-anak lelaki
kecil, tumbuh jadi lebih liar di dalam tahanan. Mereka bergerombol
bersama teman-teman satu blok mereka, kadang-kadang saling menge?
jek satu sama lain. Perkelahian anak-anak jadi lebih sering daripada
se?orang tentara Jepang marah-marah. Ibu-ibu mereka terpaksa meng?
ambil jalan yang sama kerasnya, memukul anak-anak itu meskipun
tak membuat mereka kapok. Orang-orang Jepang sama sekali tak ada
niat melerai dan menghentikan perkelahian-perkelahian tersebut, dan
sebaliknya, mereka tampak beberapa kali mencoba memanas-manasi,
menganggapnya mainan baru.
Makanan adalah masalah lain. Jatah yang diberikan sama sekali tak
mencukupi untuk ribuan tahanan yang berjejalan itu. Mereka hidup
dengan cara makan ketat yang penuh kelaparan, hanya memperoleh
bubur beras dengan bumbu garam untuk sarapan. Makan siang hanya
dengan sayuran yang ditanam sendiri di belakang sel, dan di malam hari
mereka memperoleh setangkup roti tawar. Tak pernah ada daging, dan
mereka sendiri telah membuat banyak binatang di dalam Bloedenkamp
punah. Awalnya tikus menjadi buruan, dan meskipun semula tak se?
mua orang mau memakannya, lama-kelamaan tikus menjadi buruan
se?mua orang hingga nyaris tak tersisa populasi tikus di dalam delta.
Setelah tikus lenyap, cicak, dan tokek pun lenyap. Kemudian kodok
meng?hilang. Kadang-kadang anak-anak pergi memancing, tapi karena
mereka tak diperbolehkan pergi terlalu jauh, mereka seringkali harus
puas dengan ikan-ikan kecil sebesar kelingking bayi atau anak katak.
Yang paling mewah adalah jika datang pisang, tapi itu untuk bayi, dan
orang-orang tua memperebutkan kulitnya.
Banyak bayi mulai mati, dan kemudian orang-orang tua. Dan penya?
kit juga membunuh ibu-ibu muda, anak-anak, gadis-gadis, siapa pun
bisa mati mendadak. Halaman belakang sel tiba-tiba telah menjadi
ku?buran umum.
Waktu itu Dewi Ayu bersahabat dengan seorang gadis bernama Ola
van Rijk. Ia ditahan bersama ibu dan adiknya. Sebenarnya ia telah
mengenal mereka sejak lama, sebab ayahnya juga salah seorang pemilik
perkebunan cokelat itu dan mereka sering berkunjung ke rumahnya,
atau sebaliknya. Ola dua tahun lebih muda darinya. Sua?tu sore ia tibatiba menemuinya dengan air mata bercucuran.
"Ibuku sekarat," katanya.
Dewi Ayu pergi melihatnya. Tampaknya memang begitu. Nyonya
van Rijk menderita demam hebat, ia begitu pucat dan menggigil. Sama
sekali tak ada harapan, sebab obat-obatan telah menghilang. Tapi ia
tahu ada obat-obatan untuk prajurit-prajurit itu. Maka ia bilang pada
Ola untuk pergi menemui Komandan Kamp dan meminta obat serta
makanan. Ola merinding ketakutan harus berurusan dengan orangorang Jepang.
"Pergi atau ibumu mati," kata Dewi Ayu.
Ia akhirnya pergi sementara Dewi Ayu mencoba mengompres perem?
puan sakit itu dan menenangkan si kecil adiknya Ola. Ia harus menunggu
sekitar sepuluh menit sampai Ola kembali tanpa obat, sebaliknya, ia
menangis lebih kencang. "Biarlah ia mati," katanya sambil sesenggukan.
"Apa kau bilang?" tanya Dewi Ayu. Ola menggeleng dengan lemah sam?
bil melap air matanya dengan ujung lengan baju. "Tak mungkin," katanya
pendek. "Komandan itu mau memberiku obat jika aku tidur dengannya."
"Biar kutemui sendiri," katanya dengan geram. Dewi Ayu menemui
Komandan Kamp di kantornya. Masuk begitu saja tanpa mengetuk pin?tu.
Sang Komandan tengah duduk di kursinya, menghadapi kopi dingin di
atas meja dan radio yang mendengung tak menyiarkan apa pun. Lelaki itu
menoleh dan terkejut dengan kelancangan tersebut, wajahnya meman?
carkan kemarahan orang yang sesungguh-sungguhnya. Namun sebelum
ia meledak marah, Dewi Ayu telah melangkah berdiri di hadapannya
hanya terpisah oleh meja. "Aku gantikan gadis yang tadi, Komandan.
Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan dokter. Dan dokter!"
"Obat dan dokter?" Ia telah mengenal beberapa kalimat Melayu.
Ke?marahannya menguap demi memperoleh anugerah luar biasa ini,
di sore yang membosankan. Gadis ini sangat cantik, masih berumur
tujuh atau delapan belas tahun, mungkin masih perawan, memberikan
tubuhnya untuk seorang lelaki tua hanya untuk obat demam dan dokter.
Ia tersenyum, begitu licik dan bengis, merasa dirinya sebagai lelaki tua
yang sangat beruntung. Ia berjalan mengitari meja, se?mentara Dewi
Ayu menantinya dengan ketenangan karakternya. Sang Komandan
berdiri di sampingnya, meraba wajahnya dalam satu sentuhan, jarijari?nya merayap bagai seekor cicak pada hidungnya, pada bibirnya, di
dagunya ia berhenti sejenak untuk mengangkat wajahnya lebih tinggi.
Jari-jarinya meneruskan perjalanan, menuruni lehernya dengan sapuan
tangan kasar yang terlalu sering meng?genggam samurai, pada lekukan
tulangnya, dan terus sampai lingkar leher gaunnya.
Tangannya menerobos masuk dan Dewi Ayu sedikit terkejut, tapi
tangan lelaki itu telah menggenggam dada kirinya, dan sejak itu gerak?an?
nya jauh lebih cepat. Sang Komandan melepas kancing gaun Dewi Ayu
secepat ia memeriksa jumlah pasukan, meremas dadanya, dan menciumi
lehernya penuh berahi. Gerakannya memperlihatkan sejenis nafsu yang
rakus, tangannya merayap ke sana-kemari seolah ia menyesali kenapa
dilahirkan hanya dengan dua tangan.
"Cepatlah, Komandan, jika tidak perempuan itu segera mati."
Sang Komandan tampaknya sepakat dengan gagasan itu dan tanpa
berkata apa-apa segera menarik Dewi Ayu, mengangkat dan memba?
ring?kannya di atas meja setelah menyingkirkan gelas kopi dan radio.
Dengan cepat menelanjangi gadis itu, dan menelanjangi dirinya sen?
diri, lalu melompat ke atas meja seperti seekor kucing mengincar ikan
di meja makan. Ia menjatuhkan dirinya di tubuh Dewi Ayu. "Jangan
lupa, Komandan, obat dan dokter," katanya meyakinkan. "Ya, obat
dan dokter," jawab Sang Komandan. Kemudian orang Jepang itu mulai
menyerangnya dengan ganas, langsung tanpa basa-basi, sementara Dewi
Ayu memejamkan matanya, sebab ba?gai?manapun ini kali pertama se?
orang lelaki menyetubuhinya: ia agak sedikit menggigil namun bertahan
melewati horor tersebut. Ke?nya?taannya ia tak bisa sungguh-sungguh
me?mejamkan matanya, karena Sang Komandan menggoncang tubuh?
nya demikian liar, bokongnya terus menghantam tanpa henti, meng?
goyangnya pula ke kiri ke kanan. Satu-satunya yang terus ia lakukan
adalah menghindar jika lelaki itu mau mencium bibirnya. Permainan
itu berakhir dalam satu ledakan dan Sang Komandan terguling ke sam?
ping tubuh Dewi Ayu, terkapar dengan napas tuanya yang putus-putus.
"Bagaimana, Komandan?" tanya Dewi Ayu.
"Mengagumkan, seperti diguncang gempa," jawabnya.
"Maksudku obat dan dokter."
Ia memperoleh seorang dokter lima menit kemudian, seorang dok?
ter pribumi dengan kaca mata bulat dan sikap yang lembut. Dewi Ayu
senang memperoleh dokter semacam itu, dan bersyukur tak perlu terlalu
banyak berurusan dengan orang-orang Jepang lagi. Ia membawanya ke
sel tempat keluarga van Rijk tinggal dan di pintu ia bertemu dengan
Ola yang langsung bertanya kepadanya, "Kau melakukan itu?"
"Ya."
"Oh, Tuhan!" pekik gadis itu, menangis kembali sejadi-jadinya.
Dewi Ayu mencoba menenangkan sementara si dokter segera masuk.
"Tak apa," kata Dewi Ayu pada si gadis, "anggap saja aku buang tai le?
wat lubang depan." Tapi masalahnya tidak sesederhana itu, ternyata. Si
gadis Ola tak bisa mengatakannya dalam keadaan hati yang ter?guncang,
tapi dokter segera bisa memastikan.
"Perempuan ini sudah mati," kata si dokter, pendek dan me?nya?
kitkan.
Sejak itu mereka tinggal bertiga: Dewi Ayu, Ola dan si kecil Gerda
yang berumur sembilan tahun, seperti sebuah keluarga. Ayah me?reka,
Ola dan Gerda, pergi berperang dalam wajib militer yang sama sebagai?
mana Ted. Belum ada kabar apakah ia masih hidup, tertawan atau mati.
Paskah dan Natal pertama mereka di kamp kemudian telah lewat, tanpa
telur dan pohon cemara, dan lilin bah?kan telah habis. Mereka mencoba
bertahan bersama, saling menghibur, menghadapi satu-satunya ancam?
an serius yang bisa datang kapan saja: penyakit dan kematian. Dewi
Ayu melarang si kecil Gerda untuk mencuri apa pun dari siapa pun,
sebagaimana banyak dilakukan anak-anak lainnya. Ia mencoba terus
me?mutar otaknya untuk memecahkan masalah makanan mereka tiap
hari. Lintah-lintah telah menghilang dan sapi-sapi para sipir pun tak
lagi berkeliaran di sekitar delta.
Suatu hari Dewi Ayu melihat seekor anak buaya di ujung delta, ia
tahu yang perlu dihindari dari seekor buaya di darat hanyalah ekor?
nya, maka dengan sebuah batu besar ia menghantam kepala buaya
itu. Matanya pecah tapi tidak cukup untuk membunuhnya. Binatang
ma?lang itu menggelepar dan mulai mengibaskan ekornya ke sanakemari, bergerak menuju sungai. Dengan sebuah bambu runcing tempat
menambatkan tali perahu, Dewi Ayu dengan satu kenekatan yang ia
sendiri tak bayangkan membunuh anak buaya itu dengan menusuk
mata?nya yang satu lagi, dan kemudian perutnya. Ia mati setelah sekarat
yang menyedihkan. Sebelum ibu dan teman-temannya datang, Dewi
Ayu menyeret anak buaya itu ke dalam kamp dengan memegang ekor?
nya. Kini mereka bisa pesta, sup daging buaya. Banyak orang memuji
keberaniannya dan berterima kasih telah berbagi.
"Masih banyak di sungai," katanya tenang, "jika kalian mau."
Ia telah diajari untuk tak pernah takut sejak kecil. Kakeknya bebe?
rapa kali mengajaknya berburu babi bersama para jawara. Ia bahkan
berada di samping Mr. Willie ketika lelaki itu diseruduk babi yang
membuat pincang kakinya seumur hidup. Ia tahu ba?gaimana mengha?
dapi babi: jangan lari lurus sebab babi tak bisa berbelok. Para jawara
telah mengajarinya hal itu, sebagaimana mereka mengajari bagaimana
berhadapan dengan buaya, apa yang harus dilakukan jika tiba-tiba
seekor ular pyton membelitnya, atau seekor ular berbisa menggigitnya,
dan bagaimana menghadapi ajak liar, dan bagaimana jika lintah meng?
isap darahnya. Ia tak pernah menghadapi kasus di mana ia diancam
binatang-binatang tersebut, tapi pelajaran dari para jawara itu tak
pernah lenyap dari kepalanya.
Mereka juga mengajarinya beberapa mantra, pengusir setan, dan
penjaga keselamatan. Ia tak pernah mempergunakannya, tapi dibuat
se?nang mengetahuinya. Ia mengenal seorang pedagang Jawa yang da?
tang jauh dari gunung, berjalan kaki sejauh lebih dari seratus kilometer,
hanya untuk menjual buah-buahan dari kebunnya pada orang-orang
Belanda. Ia menghabiskan empat hari perjalanan datang. Biasanya
meng?inap semalam di gudang, dan neneknya akan mem?berinya makan
malam, segelas kopi hangat, dan esoknya ia pulang dalam empat hari
perjalanan lagi. Selain uang, kadang-kadang ia membawa pula beberapa
pakaian bekas. Ia tak pernah takut meng?hadapi binatang apa pun di
hu?tan. Dewi Ayu tahu mengapa, sebab ia membaca mantra.
Tapi ia tak juga pernah memercayainya, sebagaimana ia selalu dibuat
bingung apa gunanya berdoa.
"Berdoalah, Amerika memenangkan perang," katanya pada Gerda.
Kontradiksinya, ia sering menyarankan orang lain untuk berdoa semen?
tara ia tak sungguh-sungguh melakukannya.
Bagaimanapun, desas-desus tentang kemenangan Amerika dan keka?
lahan Jerman beredar dari mulut ke mulut di dalam kamp. Itu membuat
mereka sedikit terhibur, tak peduli sesemu apa pun ha?rapan tersebut.
Kenyataannya, hari terus berganti, juga minggu dan bulan. Natal kedua
akhirnya datang. Di luar kebiasaannya, Dewi Ayu me?rayakan Natal
tahun itu untuk menghibur Gerda. Ia mencari ranting pohon beringin
yang tumbuh di depan gerbang kamp, menghiasinya dengan potonganpotongan kertas, dan menyanyikan Jingle Bells. Ia sendiri dibuat heran
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan perilaku religiusnya, tapi ia sangat bahagia di waktu-waktu itu
dengan memiliki Ola dan Gerda, tak peduli betapa tak menyenangkan?
nya menghabiskan waktu di kamp tahanan.
Mereka mulai membicarakan rencana-rencana sekiranya perang
berakhir, dengan cara apa pun, dan mereka bebas. Dewi Ayu bilang
bah?wa ia akan kembali ke rumahnya, membereskan segala sesuatunya,
dan hidup kembali sebagaimana dulu. Mungkin tak sungguh-sungguh
seperti dulu, sebab orang-orang pribumi mungkin memberontak dan
mendirikan republik sendiri, tapi ia akan kembali ke rumah dan hidup.
Ia akan senang jika Ola dan Gerda bisa ikut. Tapi Ola berpikir sedikit
rasional, mungkin orang-orang Jepang telah merampas dan menjualnya
pada seseorang. Atau orang-orang pribumi merampas dan memilikinya
sendiri.
"Kita akan membelinya kembali," kata Dewi Ayu. Ia membuka
raha?sia ini hanya untuk mereka berdua, bahwa ia punya harta karun
peninggalan neneknya, meskipun ia tak mengatakan di mana tem?pat?nya.
"Meskipun Jepang telah membomnya dan yang tersisa hanya se?petak
ubin, kita akan membelinya." Gerda sangat senang mende?ngar khayalan
seperti itu. Kini umurnya sebelas tahun, namun tampak kolokan dan
tubuhnya seperti tak lagi tumbuh sejak dua tahun lalu. Ke?cil dan kurus.
Namun semua orang juga mengalami hal yang sama, sebagaimana Dewi
Ayu yakin ia telah kehilangan sepuluh atau lima belas kilo daging di
tubuhnya.
"Itu cukup untuk lima puluh mangkuk sup," katanya sambil tertawa
kecil.
Kegilaan baru datang, setelah hampir dua tahun di dalam tahanan,
ke?tika tentara-tentara Jepang mulai mendaftar semua perempuan, te?r?
utama yang berumur tujuh belas sampai dua puluh delapan tahun. Dewi
Ayu telah delapan belas tahun, sebentar lagi sembilan belas. Ola ber?
umur tujuh belas. Awalnya mereka tak tahu untuk apa daftar semacam
itu, kecuali bayangan kerja paksa yang sedikit lebih berat, sampai suatu
pagi datang beberapa truk militer di seberang sungai dan beberapa per?
wira tentara datang dengan kapal feri menuju Bloedenkamp. Mereka
telah beberapa kali datang, untuk inspeksi dan memberikan perintah
atau peraturan baru, dan perintah kali ini datang untuk mengumpul?
kan semua gadis tujuh belas tahun sampai dua puluh delapan tersebut.
Tiba-tiba kekacauan terjadi, sebab sesegera mungkin gadis-gadis itu
me?nyadari bahwa mereka akan segera dipisahkan dari keluarga dan
teman-teman mereka.
Beberapa gadis, Ola misalnya, mencoba berdandan seperti seorang
perempuan tua, yang tentu saja sia-sia. Beberapa yang lain berlarian
ke sana-kemari, bersembunyi di toilet atau naik ke atap dan men?de?
kam di sana, tapi tentara-tentara Jepang selalu berhasil menemukan
mereka. Seorang perempuan tua, mungkin ia segera akan kehilangan
anak gadisnya, mencoba memprotes dan mengatakan, jika gadis-gadis
itu harus dibawa pergi, ia meminta semua perempuan dibawa serta. Ia
mem?peroleh pemukulan dari dua orang prajurit sampai babak-belur.
Akhirnya mereka berdiri berderet di tengah lapangan, gemetar keta?
kutan sementara ibu-ibu mereka berdiri melingkari di kejauhan. Dewi
Ayu melihat Gerda memeluk sebuah pilar seorang diri sambil tercegukceguk menahan tangis, dan Ola di sampingnya tak berani memandang
ke mana pun kecuali ujung sepatu jeleknya. Ia mendengar beberapa
gadis itu menangis dan bergumam menyerupai doa yang tak terdengar.
Para pejabat Jepang itu kemudian datang, memeriksa mereka satu per
satu. Mereka berdiri di depan perempuan-perempuan itu, tertawa kecil
sambil memperhatikan tubuh si gadis, dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Kadang-kadang mereka harus mengangkat wajah beberapa orang
gadis dengan menekan dagunya dengan ujung jari. Mereka nyengir dan
kembali memeriksa perempuan-perempuan yang lain. Beberapa orang
gadis nyaris tak sadarkan diri oleh teror semacam itu.
Kemudian ada seleksi. Beberapa gadis disingkirkan dan tanpa me?
nyia-nyiakan waktu, mereka berlarian ke arah ibu mereka. Setiap kali
se?orang gadis dikirim pulang kembali, itu seperti anak panah melesat dari
satu gerombolan gadis-gadis menuju gerombolan ibu-ibu. Kini ting?gal
separuh dari mereka masih berdiri di tengah lapangan, terma?suk Dewi
Ayu dan Ola. Mereka tampaknya tak akan pernah dikirim kem?bali, se?
bab pada seleksi kedua, keduanya tetap berada di tengah lapangan, tak
berdaya dengan permainan konyol orang-orang Jepang. Mereka dipanggil
satu per satu ke hadapan seorang pejabat, yang memeriksa jauh lebih
teliti dengan mata kecil yang memicing. Seleksi itu kemudian hanya
menyisakan dua puluh gadis, yang berdiri di tengah lapangan sambil
berpegangan satu sa?ma lain, namun tak seorang pun berani memandang
wajah siapa pun. Bagaimanapun, merekalah gadis-gadis pilihan: muda,
cantik, tampak sehat dan kuat. Mereka disuruh untuk segera berkemas,
membawa semua milik mereka, dan berkumpul di kantor kamp, sebab
truk telah menunggu untuk membawa pergi.
"Aku harus membawa Gerda," kata Ola.
"Tidak," kata Dewi Ayu. "Jika kita mati, paling tidak ia masih hidup."
"Atau sebaliknya?"
"Atau sebaliknya."
Mereka kemudian menitipkannya pada sebuah keluarga yang telah
dikenal Dewi Ayu sejak lama pula. Namun meskipun begitu Ola tam?
paknya tak mudah menerima keputusan tersebut begitu saja. Kedua
kakak beradik itu duduk berlama-lama di pojok aula, saling berpelukan.
Dewi Ayu mengemasi barang-barangnya tak tersisa, dan membantu me?
milah-milah mana yang akan dibawa Ola dan mana yang akan ditinggal
untuk Gerda.
"Sudahlah, setelah dua tahun hidup membosankan, kita pergi cuma
sekadar untuk tamasya," kata Dewi Ayu kemudian. "Nanti kubawakan
oleh-oleh," katanya lagi pada Gerda.
"Jangan lupa buku panduan wisata," kata Gerda.
"Kau lucu, Nak," kata Dewi Ayu.
Kedua puluh gadis itu berkerumun di samping gerbang, dan tampak?
nya hanya Dewi Ayu yang bersikap seolah itu tamasya yang menyenang?
kan. Gadis-gadis yang lain berdiri masih dengan ke?bingungan, dan
ter?utama ketakutan, sambil sesekali menoleh pada orang-orang yang
mereka tinggalkan. Mereka digiring beberapa prajurit, yang mendorongdorong dengan paksa, dan para perwira telah berjalan mendahului.
Ke?tika mereka naik ke atas kapal feri, pintu gerbang masih terlihat
di?jaga beberapa prajurit, dan jauh di dalam, orang-orang berkerumun
me?mandang kepergian mereka. Ada beberapa sapu tangan melambai,
meng?ingatkan mereka pada waktu diangkut orang-orang Jepang dari
rumah, kini perjalanan lain telah menunggu. Namun ketika feri mulai
bergerak, pintu gerbang mulai ditinggalkan, dan pemandangan di dalam
lenyap. Saat itulah ledakan tangis beberapa gadis dimulai, mengalahkan
deru mesin kapal feri dan apalagi bentakan-bentakan tentara pengawal
yang mulai jengkel oleh kecengengan mereka.
Kemudian mereka dinaikkan ke atas truk yang telah menunggu di
seberang sungai. Duduk meringkuk di pojokan kecuali Dewi Ayu yang
berdiri bersandar pada dinding truk dan matanya memandang tamasya
Halimunda yang sangat dikenalnya, sementara dua prajurit Jepang ber?
senjata berjaga tak jauh darinya. Hampir semua dari gadis-gadis itu telah
saling mengenal satu sama lain setelah hampir dua tahun bersama-sama
di dalam tahanan, tapi mereka tampaknya tak berniat membicarakan
apa pun, dan dibuat terheran-heran dengan sikap tenang Dewi Ayu.
Bah?kan Ola tak tahu apa yang dipikirkannya, dan menyimpulkan secara
serampangan bahwa Dewi Ayu kenyataannya tak memiliki siapa pun
untuk dikhawatirkan. Tak seorang pun ditinggalkannya dan tak seorang
pun kehilangannya.
"Kita akan dibawa ke mana, Tuan?" tanya Dewi Ayu pada kedua
pra?jurit itu, meskipun ia tahu truk berjalan menuju ujung lain kota,
mung?kin ke luar kota di bagian barat.
Mereka tampaknya telah diperintahkan untuk tak berkata apa
pun kepada gadis-gadis itu, hingga secara acuh tak acuh mengabaikan
per?tanyaan Dewi Ayu, dan sebaliknya bicara di antara mereka sendiri
dalam bahasa Jepang.
Mereka dibawa ke sebuah rumah besar, dulunya merupakan rumah
peristirahatan sebuah keluarga Belanda dari Batavia, dengan halaman
luas ditumbuhi banyak pepohonan, pohon beringin di tengah halaman,
dan beberapa pohon palem berderet bergantian dengan kelapa Cina di
dekat pagar. Ketika truk masuk ke halamannya, Dewi Ayu bisa menebak
ada lebih dari dua puluh kamar di rumah berlantai dua tersebut. Gadisgadis itu turun dan dibuat terheran-heran dengan perubahan yang tak
terkira: dari tahanan yang kumuh dan murung, tiba-tiba berada di
rumah besar yang nyaman dan mewah. Sesuatu yang aneh pasti terjadi
seolah ada kesalahan perintah atau semacamnya.
Selain dua prajurit yang mengawal mereka, ada beberapa prajurit
lain yang menjaga rumah tersebut. Beberapa berkeliaran di halaman
yang luas, beberapa yang lain duduk di beranda bermain kartu. Dari da?
lam rumah muncul seorang perempuan pribumi setengah baya, de?ngan
rambut disanggul, ia mengenakan gaun longgar tanpa mengikat?kan tali
di pinggangnya. Ia tersenyum pada kemunculan gadis-gadis itu, yang
ma?sih berdiri di halaman, seperti orang-orang kampung yang ragu
meng?injakkan kaki di istana raja-raja.
"Rumah apakah ini, Nyonya?" tanya Dewi Ayu sopan.
"Panggil aku Mama Kalong," katanya. "Seperti kalong, aku lebih
se?ring bangun di malam hari daripada siang." Ia turun dari beranda dan
menghampiri gadis-gadis itu, mencoba membangkitkan roman-roman
muka yang tanpa semangat tersebut, dengan tersenyum dan men?candai.
"Ini rumah peristirahatan milik seorang pemilik pabrik limun di Batavia,
aku lupa namanya, tapi tak ada bedanya, kini rumah ini milik kalian."
"Untuk apa?" tanya Dewi Ayu.
"Kupikir kalian tahu. Kalian di sini jadi sukarelawan bagi jiwa-jiwa
tentara yang sakit."
"Semacam sukarelawan palang merah?"
"Kau pandai, Nak. Siapa namamu?"
"Ola."
"Baiklah, Ola, ajak teman-temanmu masuk."
Bagian dalam rumah tersebut jauh lebih memukau lagi. Ada banyak
lukisan, terutama yang bergaya mooi indie tergantung di dindingnya.
Pro?pertinya masih lengkap, dari kayu yang diukir dengan sangat halus.
Dewi Ayu melihat sebuah potret keluarga masih tergantung di dinding,
beberapa orang yang berdesakan di kursi, tampaknya sebanyak tiga ge?
ne?rasi berpotret bersama. Mereka mungkin berhasil melarikan diri, atau
bahkan salah satu penghuni Bloedenkamp, dan bisa jadi telah mati.
Potret Ratu Wilhelmina yang besar tergeletak di sudut, mungkin telah
diturunkan orang-orang Jepang. Hal itu memberi kesadaran padanya
bahwa ia kini tak lagi punya rumah: orang-orang Jepang pasti telah
mem?pergunakannya, atau lenyap oleh peluru yang salah sasaran. Segala
sesuatunya tampak terawat dengan baik, mungkin dikerjakan Mama
Kalong, sehingga ketika ia masuk ke salah satu kamar, ia serasa masuk
kamar pengantin. Ada tempat tidur besar dengan kasur yang begitu
lem?but dan tebal, kelambu warna merah jambu, dan udara beraroma
mawar. Lemari-lemarinya masih dipenuhi pakaian-pakaian, beberapa
milik seorang gadis, dan Mama Kalong berkata bahwa mereka boleh
mem?per?gunakan pakaian-pakaian itu. Ola bahkan berkomentar, setelah
dua tahun di dalam tahanan, semua ini terasa seperti mimpi.
"Apa kubilang, kita sedang tamasya," kata Dewi Ayu.
Mereka memperoleh kamar sendiri-sendiri, dan kemewahan itu tak
ber?akhir sampai di sana. Mama Kalong, dibantu seorang jongos, men?
jamu mereka makan malam dengan sajian rijsttafel yang lengkap, yang
terbaik setelah menderita kelaparan berbulan-bulan. Satu-satunya hal
yang membuat kebanyakan dari gadis-gadis itu tak me?nikmati keme?
wahan yang berlebihan tersebut adalah ingatan pada orang-orang yang
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditinggalkan di dalam kamp.
"Seharusnya Gerda ikut," kata Ola.
"Jika kita tak dikirim untuk kerja paksa di pabrik senjata, kita bisa
menjemputnya." Dewi Ayu mencoba menenangkan Ola.
"Ia bilang kita sukarelawan palang merah."
"Apa bedanya, kau bahkan belum tahu bagaimana membalut luka,
apalagi Gerda?"
Itu benar. Tapi bagaimanapun mereka telah dibuat terpesona oleh
bayangan menjadi sukarelawan palang merah, tak peduli berada di
pihak musuh. Paling tidak, itu lebih baik daripada di kamp tahanan
dan mati kelaparan di sana. Mereka mulai meributkan beberapa perkara
pertolongan pertama. Seorang gadis berkata bahwa ia anggota pandu,
dan tahu bagaimana membalut luka, dan tak hanya itu, ia bahkan tahu
bagaimana mengobati penyakit-penyakit ringan semacam sakit perut,
demam dan keracunan makanan dengan tanaman obat.
"Masalahnya, prajurit Jepang tak butuh obat sakit perut," kata Dewi
Ayu. "Mereka butuh orang yang bisa mengamputasi leher."
Dewi Ayu pergi meninggalkan mereka, masuk ke kamarnya. Dise?bab?
kan ia satu-satunya yang paling tenang di antara mereka, meskipun ia
bukan yang paling tua, mereka mulai menganggapnya sebagai pemim?pin.
Dengan kepergiannya, kesembilan belas gadis itu mengikutinya ke kamar,
bergerombol di atas tempat tidur dan kembali membicarakan bagai?mana
mengamputasi leher prajurit Jepang seandainya kepala mereka terluka
dan tak lagi berguna. Dewi Ayu tak memedulikan omongan mereka yang
konyol itu, dan memilih menikmati tempat tidurnya yang baru, seperti
anak kecil memperoleh mainan. Ia memijit-mijit kasurnya, mengelus
selimutnya, berguling-guling dan bahkan melompat-lompat membuat
tempat tidur bergoyang-goyang dan teman-temannya melambung.
"Apa yang kau lakukan?" tanya salah satu dari mereka.
"Aku hanya ingin tahu apakah tempat tidur ini akan ambruk atau
tidak jika terguncang hebat," jawabnya sambil terus melompat-lompat.
"Tak mungkin ada gempa," kata yang lain.
"Siapa tahu," katanya. "Jika aku harus jatuh ke lantai saat tidur, aku
lebih suka berbaring di lantai."
"Gadis yang aneh," kata mereka ketika satu per satu mulai pergi ke
kamar tidur masing-masing.
Setelah semuanya pergi, Dewi Ayu berjalan ke arah jendela dan
mem?bukanya. Ada terali besi yang kukuh dan ia berkata pada diri sen?
diri, "Tak ada kemungkinan untuk melarikan diri." Ia menutup kembali
jendela, dan naik ke atas tempat tidur, menarik selimut, tanpa berganti
pakaian. Sebelum memejamkan mata, ia berdoa, "Brengsek, kau tahu
se?perti inilah memang perang."
Ketika pagi datang, Mama Kalong telah menyiapkan sarapan pagi:
nasi goreng dengan telor mata sapi. Semua gadis-gadis itu telah selesai
mandi, namun mereka masih mengenakan pakaian-pakaian lama me?
reka, yang sesungguhnya lebih menyerupai gombal setelah terlalu se??ring
dicuci dan dijemur dan terutama terlalu sering dipakai. Mata me?reka
mem?perlihatkan bola mata yang tak pulas tidur, beberapa bahkan me?
nyisakan tanda-tanda menangis semalam suntuk. Hanya Dewi Ayu yang
tanpa malu-malu mengambil gaun dari lemari pemilik rumah, mengena?
kan gaun warna krem polkadot putih, berlengan pendek, de?ngan ikat
ping?gang bergesper bulat. Ia juga memoles wajahnya de?ngan pupur,
bibirnya dengan lisptik tipis, dan sedikit bau lavender dari tubuhnya,
semuanya ia temukan dari laci meja rias. Ia tampak anggun dan ceria,
se?olah ini hari ulang tahunnya, dan tampak aneh di antara kerumunan
gadis-gadis itu. Mereka memandangnya dengan tatapan penuh tuduhan,
bagaikan menangkap basah seorang pengkhianat, namun selesai sarapan
pagi, mereka berlarian ke dalam kamar dan segera berganti pakaian, me?
lem?parkan pakaian lama ke dalam bak cucian, lalu saling mengagumi
satu sama lain.
Agak siang orang-orang Jepang baru datang, dengan suara sepatu
boot memenuhi ruangan. Gadis-gadis itu segera menyadari, ba?gaimana?
pun mereka masih tahanan, dan merasa aneh telah merasa begitu baha?
gia. Gadis-gadis itu mundur membentur dinding, dan kembali menjadi
gadis-gadis murung. Kecuali Dewi Ayu, yang segera menyapa salah satu
dari tamu itu.
"Apa kabar?"
Ia hanya menoleh sekilas padanya, tak hirau dan pergi menemui
Mama Kalong. Mereka berbicara sebentar, lalu ia kembali dan meng?
hitung jumlah gadis-gadis tersebut sebelum pergi kembali bersama yang
lain-lainnya. Rumah itu kembali sepi, hanya mereka dan Mama Kalong
serta beberapa prajurit yang terus berkeliaran di luar rumah.
"Ia menghitung seolah kita gerombolan prajurit," salah satu dari
mereka mengomel.
"Sebab itulah pekerjaan seorang Komandan," kata Mama Kalong.
Sepanjang hari itu tak ada hal yang mereka kerjakan, kecuali ber?
kerumun di ruang tamu atau di salah satu kamar, dan tanda-tanda
kebo?sanan mulai menyergap mereka. Bahkan mereka mulai kehilangan
bahan untuk dibicarakan, setelah saling bernostalgia pada masa kecil
yang menyenangkan, jauh sebelum perang. Mereka juga tak lagi mem?
bicarakan apa pun mengenai palang merah, sebab tak ada tanda-tanda
bahwa mereka sungguh-sungguh akan jadi sukarelawan. Jepang-Jepang
itu tak membicarakan apa pun mengenai hal itu, bahkan tidak juga hal
lain. Mereka berpikir, seharusnya ada sedikit latihan untuk jadi sukare?
lawan, tapi kelihatannya mereka akan membusuk di rumah itu, dalam
kemewahan yang tak masuk akal. Lagi pula pikirkan hal ini, kata salah
satu dari mereka, front berada jauh entah di mana, mungkin di lautan
Pasifik, mungkin di India, tapi jelas bukan di Halimunda. Tak ada prajurit
terluka di kota ini, dan tak seorang pun membutuhkan palang merah.
"Mereka masih butuh tukang amputasi leher," kata Dewi Ayu.
Kalimat itu tak lagi terasa lucu, terutama karena orang yang me?nga?
takannya tampak tak peduli dengan apa pun. Ia begitu me?nikmati segala
sesuatunya, memakan apel-apel yang disediakan, serakus memakan
pi?sang dan pepaya.
"Kau ini rakus atau kelaparan?" tanya Ola.
"Dua-duanya."
Sampai keesokan harinya, tak ada sesuatu terjadi atas mereka, me?
nambah-nambah kebingungan. Ola mencoba menghibur diri, mungkin
mereka akan ditukarkan dengan tawanan perang lainnya, dan untuk
itu mereka diberi makanan yang baik, rumah serta pakaian, agar tak
tam?pak menderita. Tak ada satu pun di antara gadis-gadis itu percaya.
Kesempatan untuk bertanya datang ketika muncul kembali beberapa
orang Jepang ke rumah itu, bersama tukang foto. Tapi tak satu pun di
antara mereka bisa bicara Inggris, Belanda dan apalagi Melayu. Mereka
hanya memberi isyarat untuk bergaya, sebab gadis-gadis itu akan difoto.
Dengan enggan mereka berjejer di depan kamera, dengan senyum
ter?paksa, berharap Ola benar bahwa potret mereka akan dijadikan
kam?panye mengenai keadaan tawanan, dan setelah itu akan ada tukarmenu?kar tahanan perang.
"Kenapa kalian tidak tanya pada Mama Kalong?" tanya Dewi Ayu.
Dan mereka menemui perempuan itu, menuntutnya.
"Kau bilang kami sukarelawan palang merah?"
"Sukarelawan," kata Mama Kalong, "mungkin bukan palang merah."
"Lalu?"
Ia memandangi gadis-gadis itu, yang balas memandangnya penuh
ha?rap. Wajah-wajah lugu yang nyaris tanpa dosa itu terus menunggu,
sampai Mama Kalong menggeleng lemah. Ia pergi meninggalkan mereka
dan mereka segera mengejarnya. "Katakan sesuatu," pinta mereka.
"Yang aku tahu, kalian tahanan perang."
"Kenapa dikasih banyak makanan?"
"Supaya tidak mati." Lalu ia menghilang di halaman belakang, pergi
entah ke mana. Gadis-gadis itu tak bisa mengejarnya sebab prajurit-pra?
jurit Jepang menghadang mereka dan membiarkan perempuan itu pergi.
Kejengkelan mereka semakin bertambah-tambah ketika kembali ke
dalam rumah dan menemukan teman mereka yang satu itu, Dewi Ayu,
tengah duduk di kursi goyang sambil bersenandung kecil dan masih
memakan buah-buah apelnya. Ia menoleh pada mereka, dan menyung?
gingkan senyum melihat wajah-wajah yang menahan kemarahan. Kalian
tampak lucu, katanya, serupa boneka gombal. Mereka berdiri menge?
lilinginya, tapi Dewi Ayu tetap diam, hingga salah satu dari mereka
akhirnya berkata:
"Apakah kau tak merasakan sesuatu yang aneh?" tanyanya. "Tidak?
kah kau mencemaskan sesuatu?"
"Kecemasan datang dari ketidaktahuan," kata Dewi Ayu.
"Kau pikir kau tahu apa yang akan terjadi atas kita?" tanya Ola.
"Ya," jawabnya. "Jadi pelacur."
Mereka juga tahu, tapi hanya Dewi Ayu yang berani me?nga?ta?kan?
nya.
empat pelacuran Mama Kalong telah ada sejak masa pembukaan
barak-barak tentara kolonial secara besar-besaran. Sebelum itu ia
sebenarnya hanya seorang gadis yang ikut membantu di kedai minum
milik bibinya yang jahat. Mereka menjual tuak tebu dan beras, dan
prajurit-prajurit itu pelanggan mereka yang baik. Meskipun kedatang?
an tentara-tentara di kota itu membuat kedai minum tersebut sema?
kin meriah, namun sama sekali tak membuat si gadis hidup berkecu?
kupan. Sebaliknya, ia disuruh bekerja dari pukul lima dini hari sampai
jam sebelas malam hanya untuk memperoleh jatah makan dua kali
sehari. Tapi kemudian ia mampu memanfaatkan waktu luangnya yang
sedikit itu untuk memperoleh uang sendiri.
Selepas menutup kedai, ia akan pergi ke barak tentara tersebut. Ia
tahu apa yang mereka butuhkan dan mereka tahu apa yang ia inginkan.
Tentara-tentara itu membayarnya untuk telanjang mengangkang di
depan kemaluan mereka. Tiga atau empat prajurit akan menggilir
me?nyetubuhinya sebelum ia pulang membawa uang. Lama-kelamaan,
penghasilannya jauh melampaui apa pun yang diperoleh bibinya. Ia
punya naluri bisnis yang baik. Suatu hari, setelah memperoleh omelan
karena bekerja sambil setengah me?ngantuk, ia meninggalkan bibinya
dan membuka kedai sendiri di ujung dermaga. Ia menjual tuak tebu
dan beras, dan juga tubuhnya. Ia tak pernah pergi lagi ke barak, tapi
pra?jurit-prajurit itu datang ke ke?dainya. Di akhir bulan pertama ia telah
memperoleh dua orang gadis dua belas tahunan untuk menemaninya di
kedai minum, se?bagai pelayan dan pelacur. Ia telah memulai kariernya
sebagai germo.
Setelah tiga bulan, ada enam pelacur di tempat itu, tidak termasuk
dirinya. Itu cukup baginya untuk memperluas kedai dengan kamarkamar dari anyaman bambu. Suatu hari seorang kolonel datang untuk
melihat pos militer mereka dan mengunjungi tempat pelacuran terse?
but, bukan untuk mencari pelacur, tapi untuk melihat apakah tempat
tersebut cukup baik bagi prajurit-prajuritnya.
"Seperti kandang babi," katanya, "mereka akan mati karena hidup
jorok sebelum bertemu musuh."
Mama Kalong, memberi hormat yang selayaknya pada Sang Kolonel,
segera menjawab, "Mereka akan mati sebelum memperoleh tempat
pela?curan yang lebih baik, oleh berahi."
Sang Kolonel percaya tempat pelacuran itu memberi moral yang
cukup baik bagi semangat tempur para prajurit, maka ia membuat
satu laporan bagus dan sebulan setengah setelah kunjungannya, pos
mi?liter memutuskan untuk membangun tempat pelacuran yang lebih
permanen. Mereka membuang dinding-dinding bambu dengan atap
daun aren, dan menggantinya dengan tembok-tembok sekuat benteng
pertahanan, dengan lantai plester. Hampir semua ranjangnya merupa?
kan kayu jati dengan kasur berisi kapuk-kapuk pilihan. Mama Kalong,
yang memperoleh semua itu secara cuma-cuma, tam?pak senang dan
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ber?kata pada setiap prajurit yang datang:
"Bercintalah serasa di rumah sendiri."
"Omong kosong," kata seorang prajurit. "Di rumahku hanya ada
ibu dan nenekku."
Kenyataannya, tempat itu sangat memanjakan siapa pun. Para pela?
cur berdandan melebihi perempuan-perempuan Belanda ter?hormat, dan
bahkan lebih cantik dari ratu.
Ketika penyakit sifilis berjangkit, ia bersama prajurit-prajurit itu
mendesak didirikannya rumah sakit. Sebenarnya rumah sakit mi?liter,
na?mun orang-orang sipil juga mulai berdatangan. Tempat pe?lacurannya
sedikit terancam bangkrut, namun ia segera memperoleh be?berapa
peme?cahan yang baik. Ia berusaha membujuk beberapa prajurit untuk
memelihara gundik-gundiknya sendiri, dan jika mereka mau membayar?
nya, ia bisa mencarikan perempuan-perempuan seperti itu untuk me?
reka. Ia keluar masuk desa, bahkan sampai ke gunung-gunung, untuk
mene?mukan gadis-gadis yang bersedia menjadi gundik tentara Belanda.
Ia memelihara mereka semua di rumah pelacurannya, namun mereka
ha?nya dipergunakan oleh seorang prajurit masing-masing. Dengan
jaminan bahwa mereka tak menyebarkan penyakit kotor, ia cepat kaya
dengan cara itu. Bahkan jika prajurit-prajurit itu, yang merasa tercekik
oleh tarif Mama Kalong yang tanpa ampun, memutuskan untuk me?
ngawini gundik-gundik mereka, Mama Kalong akan meminta ganti rugi
yang berlipat-lipat. Sementara itu, pelacur-pelacurnya yang lama, masih
ia berikan untuk siapa pun. Kini ia bahkan memperoleh pelangganpe?langgan baru menggantikan para prajurit untuk pelacur-pelacur itu:
nelayan dan buruh pelabuhan.
Di masa-masa akhir kekuasaan kolonial, ia boleh dikatakan sebagai
perempuan paling kaya di Halimunda. Ia membeli tanah-tanah yang
di?jual para petani setelah kegagalan mereka di meja judi, dan me?nye?wa?
kan?nya kembali pada mereka, sehingga tanahnya membentang ham?pir
sepanjang kaki-kaki bukit. Kepemilikannya atas tanah mungkin hanya
kalah oleh perkebunan-perkebunan milik orang-orang Belanda.
Ia seperti ratu kecil di kota itu: semua orang menghormatinya, tak
peduli pribumi maupun Belanda. Ke mana-mana ia pergi dengan kereta
kuda, mengurusi beberapa bisnisnya, yang paling utama tetap perem?
pu?an-perempuan yang menjajakan kemaluan mereka. Di muka umum
ia berpenampilan dengan cara yang sangat sopan, dengan sarung ketat
serta kebaya dan rambut disanggul. Tentu saja ia tak lagi sekurus dulu.
Pada saat itulah orang-orang, mengikuti kebiasaan gadis-gadis pelacur?
nya, mulai memanggilnya Mama. Entah siapa yang memulai, nama?nya
kemudian bertambah menjadi Mama Kalong. Ia suka dengan nama
itu, dan orang-orang, bahkan tampaknya ia sendiri, mulai melupakan
nama sesungguhnya.
"Ketika kerajaan-kerajaan lain ambruk, di Halimunda berdiri keraja?
an baru," kata seorang prajurit Belanda yang mabuk di kedai minumnya,
"Itu adalah Kerajaan Mama Kalong."
Meskipun jelas ia sangat rakus, ia tak pernah berusaha membuat
gadis-gadis pelacurnya menderita. Sebaliknya, ia cenderung me?manja?
kan mereka, seperti seorang nenek yang memelihara puluhan cucu. Ia
memiliki beberapa jongos yang akan memasak air hangat agar mereka
bisa mandi selepas percintaan yang melelahkan. Pada hari-hari tertentu,
ia meliburkan mereka dan mengajaknya berjalan-jalan untuk tamasya
di air terjun. Ia juga mendatangkan penjahit-penjahit terbaik untuk
pa?kaian mereka. Dan terutama, kesehatan mereka merupakan yang
ter?penting di atas segalanya.
"Sebab," katanya, "di dalam tubuh yang sehat, terdapat ke?nik?matan
tertinggi."
Kemudian tentara-tentara Belanda pergi dan tentara-tentara Je?pang
datang: tempat pelacuran Mama Kalong tetap berdiri di zaman yang
berubah. Ia melayani prajurit-prajurit Jepang sama baik dengan pelang?
gannya terdahulu, dan bahkan mencarikan mereka gadis-gadis yang lebih
segar. Hingga suatu hari ia dipanggil oleh penguasa sipil dan militer
kota, dalam suatu interogasi pendek yang tak begitu mengkhawatirkan.
Kesimpulannya, beberapa pejabat tinggi militer Jepang di kota itu meng?
inginkan pelacurnya sendiri, terpisah dari pelacur pra?jurit rendahan dan
apalagi buruh-buruh pelabuhan serta nelayan. Pelacur-pelacur baru yang
sungguh-sungguh segar, dengan perawatan yang baik, dan Mama Kalong
harus menemukan gadis-gadis itu secepat mungkin, sebab sebagaimana
kata-katanya sendiri, mereka sedang sekarat karena berahi.
"Gampang, Tuan," katanya, "memperoleh gadis-gadis seperti itu."
"Katakan, di mana?"
"Tahanan perang," jawab Mama Kalong pendek.
Gadis-gadis itu mulai berlarian kalang-kabut begitu sore datang dan
beberapa orang Jepang berdatangan. Mereka mencoba menemukan
ce?lah untuk melarikan diri, namun semua tempat telah dijaga. Halam?
an rumah itu cukup besar dikelilingi benteng tinggi, hanya memiliki
satu pintu gerbang di depan dan pintu kecil di belakang, semuanya
tak mungkin diterobos. Beberapa gadis bahkan mencoba naik ke atas
rumah, seolah mereka bisa terbang atau menemukan tali yang akan
mem?bawa mereka ke langit.
"Aku sudah memeriksa semuanya," kata Dewi Ayu. "Tak ada tempat
untuk meloloskan diri."
"Kita akan jadi pelacur!" teriak Ola sambil duduk dan menangis.
"Lebih buruk dari itu," kata Dewi Ayu lagi. "Tampaknya kita tak
akan dibayar."
Seorang gadis lain, bernama Helena, langsung menghadang seorang
perwira Jepang yang muncul dan menudingnya telah melanggar hak
asasi manusia, dan terutama Konvensi Genewa. Jangankan orang-orang
Jepang, Dewi Ayu bahkan dibuat tertawa terbahak-bahak.
"Tak ada konvensi apa pun selama perang, Nona," katanya.
Gadis itu, Helena, tampaknya merupakan satu-satunya yang paling
terguncang oleh pengetahuan bahwa mereka akan menjadi pelacur.
Konon ia telah berniat mengabdikan dirinya menjadi bia?rawati, sebe?
lum perang datang dan semuanya berantakan. Ia satu-satunya gadis yang
membawa buku doa ke tempat tersebut, dan kini ia mulai membaca
salah satu Mazmur dengan suara keras, di hadapan orang-orang Jepang,
berharap tentara-tentara itu akan lari ketakutan sambil melolong-lolong
seperti iblis. Di luar dugaannya, tentara-ten?tara Jepang itu bersikap sa?
ngat baik kepadanya, sebab di setiap akhir doa, mereka akan membalas:
"Amin." Kemudian tertawa, tentu saja.
"Amin," ia pun membalas, sebelum terkulai lemas di kursi.
Perwira itu membawa beberapa potongan kertas, memberikan se?
carik masing-masing untuk gadis-gadis itu. Ada tulisan dalam bahasa
Melayu di permukaannya, ternyata nama-nama bunga. "Itu nama kalian
yang baru," kata sang perwira. Dewi Ayu tampak ber?semangat melihat
nama?nya: Mawar. "Hati-hati," katanya, "mawar selalu melukai." Seorang
gadis memperoleh nama Anggrek, yang lain Dahlia. Ola memper?oleh
namanya sendiri: Alamanda.
Mereka diperintah untuk masuk kamar masing-masing, sementara
beberapa orang Jepang antri di meja beranda membeli tiket. Malam
per??tama harganya sangat mahal, sebab mereka percaya gadis-gadis itu
masih perawan, bahkan mereka tak tahu Dewi Ayu tak lagi perawan.
Bukannya pergi ke kamar masing-masing, gadis-gadis itu malahan ber?
gerombol di kamar Dewi Ayu, yang masih memeriksa kekuatan tempat
tidurnya sebelum berkomentar, "Akhirnya seseorang akan membuat
gempa di atasnya."
Kemudian tentara-tentara itu mulai mengambil gadis-gadis terse?
but satu per satu, dalam satu perkelahian yang dengan mudah mereka
menangkan. Mereka membawa gadis-gadis itu dalam jepitan tangan,
bagai?kan membawa kucing sakit, dan mereka meronta-ronta penuh
kesia-siaan. Malam itu Dewi Ayu mendengar dari kamar-kamar mereka,
jeritan-jeritan histeris, perkelahian yang masih berlanjut, beberapa
bahkan berhasil meloloskan diri dari kamar dalam keadaan telanjang
sebelum tentara-tentara berhasil menangkap dan melemparkannya
kem?bali ke atas tempat tidur. Mereka melolong selama persetubuhan
yang mengerikan itu, dan ia bahkan mendengar Helena meneriakkan
beberapa baris Mazmur sementara seorang lelaki Jepang membobol ke?
maluannya. Di beranda, pada saat yang sama ia mendengar orang-orang
Jepang tertawa mendengar semua kegaduhan tersebut.
Hanya Dewi Ayu yang tak mengeluarkan kegaduhan apa pun. Ia
mem?peroleh seorang perwira Jepang tinggi besar, cenderung gempal
serupa pegulat sumo, dengan samurai di pinggangnya. Dewi Ayu berba?
ring di atas tempat tidur, menatap langit-langit, tak menoleh apalagi
tersenyum. Ia tampaknya lebih banyak mendengarkan suara-suara
gaduh di luar kamarnya daripada memperhatikan apa yang ada di dalam
kamar itu. Ia berbaring seperti sebongkah mayat yang siap dikubur. Bah?
kan ketika perwira Jepang itu berteriak agar ia membuka pakaiannya,
ia tetap diam saja, seolah ia bahkan tak bernapas.
Dengan jengkel orang Jepang itu mengeluarkan samurai dan meng?
a?cungkannya, hingga ujungnya menempel di pipi Dewi Ayu dan meng?
ulang kembali perintahnya. Tapi Dewi Ayu bergeming, tetap begitu mes?
kipun ujung samurai kemudian menggoreskan luka di wajah. Matanya
masih menatap langit-langit dan telinganya berada jauh di luar kamar.
Dengan jengkel si Jepang melemparkan samurai, dan menampar wajah
Dewi Ayu dua kali, yang hanya meninggalkan memar merah serta tubuh
yang bergoyang sejenak, namun setelahnya ia kembali pada sikap tak
peduli yang men?jeng?kelkan itu.
Menyerah pada nasib buruknya, si tentara gempal akhirnya men?
cabik-cabik pakaian perempuan di depannya, melemparkannya ke
lan?tai, kini perempuan itu telanjang. Ia merenggangkan kedua kaki
perem?puan itu hingga mengangkang, dan begitu pula kedua tangannya.
Sete?lah memandangi bongkahan daging yang tetap diam tersebut, ia
segera menelanjangi dirinya sendiri, dan melompat ke atas tempat tidur,
berbaring telungkup di atas tubuh Dewi Ayu, menyerangnya. Bahkan
selama persetubuhan yang dingin itu Dewi Ayu tetap pada posisinya
semula sebagaimana diatur si tentara Jepang, tak meresponsnya dengan
kehangatan percintaan apa pun, dan apalagi dengan pemberontakan
yang tak perlu. Ia tak me?me?jamkan mata, tak tersenyum, hanya mena?
tap langit-langit.
Sikap dinginnya membuahkan hasil yang mengagumkan: orang
Jepang itu menyetubuhinya tak lebih dari tiga menit. Dua menit dua
puluh tiga detik, sebagaimana ia menghitungnya dengan melirik jam
ban?dul di sudut kamar. Si Jepang tergeletak ke samping dan segera ber?
diri sambil bersungut-sungut. Mengenakan pakaiannya dengan cepat,
dan segera pergi tanpa mengatakan apa pun lagi, ke?cuali membanting
pintu. Saat itulah Dewi Ayu baru bergerak, bahkan tersenyum begitu
ma?nis, menggeliatkan badan sambil berkata:
"Malam yang membosankan."
Ia mengenakan pakaiannya dan pergi ke kamar mandi. Di sana ia
menemukan gadis-gadis itu tengah mandi, seolah bisa membersihkan se?
mua kotoran, rasa malu, dan mungkin dosa dengan beberapa gayung air.
Mereka tak bicara satu sama lain. Itu bukan yang per?tama malam itu,
sebab malam masihlah sangat senja dan beberapa orang Jepang masih
menunggu. Setelah mandi, mereka kembali dipaksa masuk kembali ke
kamar, ada pemberontakan lagi, lolongan lagi, kecuali Dewi Ayu yang
kembali mengulang sikap dinginnya.
Malam itu mereka mungkin disetubuhi empat atau lima lelaki. Itu
malam yang sungguh-sungguh gila. Apa yang membuat Dewi Ayu men?
derita bukanlah percintaan liar yang tak mengenal lelah itu, yang nyaris
membekukan tubuhnya dalam sikap diam yang misterius, tapi jeritanjeritan histeris serta tangisan teman-temannya. Gadis-gadis malang,
kata?nya, menolak sesuatu yang tak bisa ditolak adalah hal yang lebih
me?nyakitkan dari apa pun. Lalu hari baru datang.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi itu ia punya pekerjaan tambahan. Dalam keadaan putus asa,
Helena mencukur rambutnya dalam potongan-potongan tak karuan,
dan ia harus meratakannya kembali. Di malam ketiga, teror yang lebih
mengerikan datang. Mereka menemukan Ola nyaris sekarat di kamar
mandi, setelah mencoba mengiris pergelangan tangannya. Dewi Ayu
se?gera membawanya ke kamar tidur dalam keadaan tak sadarkan diri
dan basah kuyup, sementara Mama Kalong mencarikan dokter un?
tuknya. Ia tak mati, bagaimanapun, namun Dewi Ayu segera menyadari
bahwa apa yang mereka alami jauh lebih mengerikan daripada apa yang
dipikirkannya. Ketika Ola telah melewati masa-masa krisis, ia kemudian
berkata kepadanya:
"Kau diperkosa dan kau mati. Itu bukan oleh-oleh yang ingin ku?
bawa untuk Gerda."
Bahkan meskipun kehidupan seperti itu telah berlalu berhari-hari,
beberapa gadis masih belum menerima nasib buruk mereka, dan Dewi
Ayu masih mendengar suara-suara menjerit histeris di malam hari.
Dua orang gadis bahkan masih sering bersembunyi, di loteng rumah
atau naik ke pohon sawo di belakang rumah. Ia ke?mudian menasihati
mereka untuk melakukan apa yang selalu dilakukannya setiap malam.
"Berbaring seperti mayat, sampai mereka bosan," katanya. Tapi
bahkan gadis-gadis itu menganggapnya jauh lebih mengerikan. Diam
membisu sementara seseorang menggeranyang tubuh dan me?nyetubuhi
mereka, tak seorang pun di antara mereka bisa mem?bayangkannya.
"Atau cobalah melayani salah seorang yang kalian sukai dengan penuh
perhatian, bikin ia ketagihan hingga datang tiap malam dan membayar
kalian untuk sepanjang malam. Melayani orang yang sama jauh lebih
baik daripada terus-menerus tidur dengan orang berbeda, sambil ber?
harap kalian dibawa untuk dijadikan gundik."
Idenya tampak bagus, tapi terlalu mengerikan untuk dibayangkan
teman-temannya.
"Atau mendongenglah seperti Scheherazade," katanya.
Tak seorang pun punya kemampuan mendongeng.
"Ajak mereka main kartu."
Tak seorang pun bisa main kartu.
"Kalau begitu, berbuatlah sebaliknya," kata Dewi Ayu, menyerah.
"Perkosalah mereka."
Meskipun begitu, di siang hari mereka sesungguhnya bisa menjadi
Rumah Gema Hollow Karya Agatha Christie Hatiku Milikmu Karya Fatimah Syarha Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama