Ceritasilat Novel Online

Cantik Itu Luka 10

Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 10

olehnya," kata Maya Dewi. "Ia sangat mencintainya."

"Tak peduli apakah ia mencintainya atau tidak," Ai berkata. "Reng?

ganis tak boleh kawin dengan orang yang tidak ia cintai."

"Sebenarnya terlalu dini bicara kawin. Kalian baru enam belas

tahun."

Mereka dikejutkan oleh menghilangnya suara lolongan Si Cantik.

Tampaknya ia telah mengetahui kedatangan sahabatnya itu, dan kini

ia tampak tergopoh-gopoh turun dengan wajah bengkak seolah lama

direndam di air dingin. Ia hanya mengenakan pakaian tidur siang, dan

duduk begitu saja di samping ibunya tanpa upaya menghilangkan sisasisa air mata.

"Katakan padaku, jika kau tak mencintai anak penggali kubur itu

dan tak mau kawin dengannya," ibu yang malang itu berkata, "lantas

siapa lelaki yang kau sukai dan kau inginkan jadi suamimu?"

"Aku tak menyukai siapa pun," kata Si Cantik. "Jika aku harus

kawin, maka aku kawin dengan pemerkosaku."

"Katakan padaku, siapa?" tanya ibunya lagi.

"Aku akan kawin dengan anjing."

Bentuk kehamilannya telah mulai tampak dengan sangat jelas, dan

sebagaimana perempuan hamil di mana pun, kecantikannya terlihat

semakin cemerlang. Rambut hitamnya seperti datang dari ke?gelapan

antah-berantah, lurus jatuh melewati pinggulnya, telah bertahun-tahun

tak dipotong. Ia memiliki kulit sewarna permukaan roti, bahkan sejak ia

dilahirkan orang telah mengetahuinya bahwa ia gadis paling cantik di

kota itu. Kedua orang tuanya sangat bangga dengan anugerah semacam

itu, meskipun dibuat khawatir oleh harga yang harus dibayar: keluguan?

nya. Mereka membantunya untuk selalu tampak cantik, bersusah-payah

mengelabang rambutnya setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Bahkan

ketika rayon militer setempat mengadakan pemilihan Putri Pantai Ta?

hun Ini, ayahnya membawa Si Cantik untuk mengikuti acara tersebut.

Sangatlah jelas bahwa ia tak bisa menari dengan baik, menyanyi dengan

suara yang memilukan hati, tapi kecantikannya telah memabukkan

semua anggota juri sehingga ia terpilih sebagai Putri Pantai.

"Apakah kau tahu anjing yang mana?" tanya Ai.

Dengan penuh penyesalan, Rengganis Si Cantik menggeleng.

"Semua anjing tampak sama untukku," katanya. "Mungkin ia akan

datang jika anaknya sudah lahir."

"Bagaimana ia tahu anaknya lahir?"

"Anakku akan menggonggong dan ia akan mendengarnya."

Tak seorang pun tahu dari mana ia memperoleh fantasi yang begitu

ajaib, tapi ia terlihat begitu senang membayangkannya, mem?buat yang

lain hanya terdiam menyetujui apa pun yang ia katakan. Wajahnya

tam?pak mulai cerah dengan semburat merah muda di pipinya. Tanpa

tertahankan, ibunya mendekap gadis itu sambil mengelus rambut pan?

jangnya, dan wajahnya tampak menahan emosi yang sulit ditebak.

"Kau tahu, Mama hamil kau saat seumur denganmu," kata Maya

Dewi.

Ketika malam datang, ia menceritakan apa yang terjadi sepanjang

siang itu pada suaminya, sambil menunjukkan sedikit sisa-sisa ke?ributan

yang diciptakannya. Maman Gendeng duduk di ujung tangga dengan

wajah menyedihkan.

"Semua orang tahu Kinkin tak di toilet pada hari itu," katanya. "Dan

Rengganis tak mau kawin dengannya."

"Kalau begitu kita harus memaksa anak itu mengatakan siapa yang

melakukannya," kata Maman Gendeng.

"Jika ia tetap bungkam?"

"Jika ia tetap bungkam, anak itu akan kita kawinkan dengan le?laki

mana pun yang mau jadi suaminya," kata suaminya. "Asal tidak dengan

anjing."

Kenyataannya, ia tetap bungkam. Tentu saja ada banyak lelaki yang

berhasrat mengawininya, tapi hanya seorang yang memiliki keberanian

melamarnya, dan itu adalah Kinkin. Maka tanpa peduli dengan peno?

lakan Rengganis Si Cantik, mereka mulai mempersiapkan perkawinan

itu, sementara waktu melahirkan semakin dekat. Reng?ganis Si Cantik

bukannya tak tahu rencana tersebut, tapi di luar yang diduga orang,

ia begitu tenang menghadapinya, dan berkata bocah itu hanya akan

merasa sakit hati.

Si gadis Ai adalah satu-satunya orang yang terjebak di tengah ke?

adaan yang serba kacau itu. "Jika kita memaksanya, ia akan me?lakukan

sesuatu yang mengerikan," katanya. Ia telah mengenal dengan baik se?

perti apa Rengganis Si Cantik, sebagaimana ibu dan ayahnya sendiri,

tapi mereka tampaknya telah dibuat tak peduli. Cukup fakta bahwa

Maya Dewi merupakan anak haram jadah Dewi Ayu tanpa ia tahu

siapa ayahnya, sebagaimana kakak-kakak pe?rem?puannya yang lain, dan

kenyataan itu tak perlu berlanjut menjadi nasib bagi Si Cantik. Bahkan

Maman Gendeng yang nyaris tak pernah hidup dalam kebajikan, dibuat

sedih selama berbulan-bulan oleh kejadian tersebut. Seseorang telah

memerkosa anak gadisnya, dan ia yang paling ditakuti di kota itu tak

tahu apa pun mengenai apa yang terjadi. Ia merasa tengah menghadapi

musuh yang paling mengerikan seumur hidupnya.

"Aku telah memberinya nama Rengganis," katanya dengan sedih.

"Sebagaimana semua orang tahu, Rengganis kawin dengan seekor

anjing bertahun-tahun lalu ketika Halimunda masih segumpal hutan."

Ketika hari perkawinan semakin dekat, ia menghubungi perusahaan

properti untuk meminjam kursi bagi sebuah pesta yang meriah. Ia akan

menggelar orkes Melayu di ujung jalan depan rumahnya. Semuanya ia

lakukan, tampaknya lebih karena dorongan orang yang putus asa.

"Sesuatu yang tak beres sedang terjadi, Paman," kata si gadis Ai yang

semakin kebingungan. "Ia tak menginginkan perkawinan ini. Katakan

padaku, kenapa gadis hamil harus selalu kawin?"

Ia tak mau meladeni kecerewetan gadis itu dan terus mem?per?siapkan

pesta tersebut seolah itu pesta miliknya sendiri. Dokter telah memasti?

kan hari kelahiran bocah di perut Si Cantik, dan sehari ke?mudian me?

reka akan mengawinkannya. Namun ketika bayi itu sungguh-sungguh

lahir lewat bantuan seorang dukun bayi, Rengganis Si Cantik kembali

menegaskan bahwa bayi itu anak seekor anjing. Mereka memaksanya

untuk bersiap naik ke kursi pengantin. Sebagai balasan atas itu, malam

sebelum mereka kawin ia menghilang bersama bayinya.

"Ia pergi ke rumah si gadis Ai," kata ayahnya. Dan orang-orang

men?carinya ke sana. Tapi bahkan gadis itu tak tahu apa yang terjadi.

Kepanikan mulai melanda, dan mereka kembali untuk berharap mene?

mukannya masih ada di rumah. Yang mereka temukan hanyalah pesan

pendek pada secarik kertas, "Aku pergi dan kawin dengan anjing."

engakuan: Krisanlah yang menggali kuburan Ai dan me?nyem?bu?

nyi?kan mayatnya di bawah tempat tidur.

Di hari-hari yang lalu, jika ia berdiri di balik jendela kamarnya,

sesuatu yang selalu ia lakukan sesaat setelah bangun tidur di pagi hari,

ia biasa melihat beranda belakang rumah Sang Shodancho. Waktu itu

tentu saja Ai masih hidup, dan ia berdiri di balik jendela hanya untuk

melihatnya muncul terhuyung-huyung menuju kran air yang mengucur

langsung ke kolam ikan untuk mencuci muka. Sore itu ia juga berdiri

di tempat yang sama, memandang beranda be??lakang rumah yang sama,

biasanya Ai sedang berbincang-bincang dengan ibunya sambil memo?

tongi bayam atau kangkung untuk makan malam mereka, tapi sore itu

Ai tak ada di sana, sebab Ai sudah mati dan mayatnya ada di bawah

tempat tidur Krisan.

Ia membayangkan mereka tentunya sudah mengetahui bahwa ku?

buran itu telah dibongkar seseorang dan ia juga membayangkan seorang

lelaki berkata pada Sang Shodancho bahwa kuburan itu diaduk-aduk

seekor anjing. Sang Shodancho akan duduk lemas di tempat biasanya

ia duduk di hari Minggu yang panas, kini ia tampak semakin tua na?

mun tetap bertahan menjadi penguasa rayon militer Halimunda seolah

jabatan tersebut akan dipegangnya seumur hidup tanpa seorang pun

bisa menggantikannya. Ia tentu saja tak akan percaya kuburan anaknya

yang ketiga itu, yang akhirnya bisa lahir setelah kedua anak sebelumnya

menghilang secara ajaib, di?bongkar seekor anjing. Kuburan itu dibuat

begitu dalam dengan palang-palang kayu yang kuat, meskipun anjing

bisa mencium bau mayatnya, mereka tak bisa menggalinya.

"Hanya manusia yang bisa melakukannya, dan satu-satunya orang

yang mungkin melakukan itu hanyalah Maman Gendeng." Mung?kin

begitu kata Sang Shodancho.

Krisan tampaknya senang membayangkan bahwa ia bisa mengecoh

banyak orang. Ia tahu betapa bencinya Sang Shodancho pada preman

itu. Ia tahu persis Sang Shodancho masih memendam sakit hati yang

lama ketika sang preman datang tiba-tiba ke kantor dan mengan?

camnya, meskipun peristiwa itu terjadi sebelum ia sendiri lahir. Tentu

saja itu tak benar: Maman Gendeng tak mungkin menggali kuburan Ai,

sebab itu tak ada gunanya, sebab yang ia inginkan hanyalah bertemu

kembali dengan anaknya, Rengganis Si Cantik yang melarikan diri.

Sekali lagi, Krisanlah yang menggali kuburan itu dan kini mayatnya

tersimpan baik di bawah tempat tidurnya, dan ia jadi dibuat heran

kenapa orang-orang tak mencurigainya se?bagai pelaku.

Ia memang telah melakukannya sebagaimana mungkin seekor anjing

akan melakukannya. Ia pikir dengan cara itu Ai tak akan ma?rah dan

sebaliknya senang belaka dengan apa yang ia lakukan. Krisan menggali

kuburan Ai dengan tangan dan kakinya sendiri, mengacak-acak tumpuk?

an tanah kuburannya yang masih lunak meskipun telah seminggu yang

lalu tubuh Ai dibenamkan di sana. Ia bekerja hampir sepanjang malam,

menggali tanpa henti. Untuk membuat Ai senang, ia bahkan membawa

pula seekor anjing kam?pung, meskipun tampak jelas bahwa ia sama sekali

tak berguna. An?jing itu hanya diam menonton, diikat dengan rantai

ke batang pohon kamboja. Jejak-jejak anjing itu akan membuat orang

terkecoh bahwa kuburan anak Sang Shodancho digali seekor anjing

padahal Krisanlah yang melakukannya, dan ia berbuat sangat manis

dengan menghilangkan jejaknya sendiri.

Ia mengakui betapa sulit menggali kuburan dengan tangan dan

kaki. Tapi bukankah begitu memang jika seekor anjing melakukannya,

mes?kipun Krisan bukan seekor anjing, namun ia tengah berpura-pura

sebagai seekor anjing. Ia bahkan melakukannya sambil meme?letkan

li?dah segala, bergerak-gerak keluar-masuk, percaya Ai akan senang me?

lihatnya dari langit. Dan ketika ia diserang haus di te?ngah-tengah kerja

gila?nya, ia akan melompat dengan berjalan mempergunakan tangan

dan kakinya, menuju selokan yang mengalir di pinggir kuburan, dan

meminum airnya langsung dengan mulut. Dengan kerja seperti itu, ia

baru bisa mencapai kayu penopang pada pukul tiga dini hari setelah

menggali sejak pukul setengah delapan senja.

Kayu-kayu penopangnya dipasang miring berderet. Jika kau meng?

angkat kayu-kayu tersebut, kau akan melihat tubuh Ai yang terbalut

kain kafan tergolek di sebuah ceruk tanah. Krisan hanya perlu mem?

bongkar beberapa kayu penopang sebelum bisa mengangkat tubuh Ai.

Tubuhnya sangat ringan dan Krisan terlonjak dalam kebahagiaan yang

begitu misterius. Untuk pertama kali ia bisa me?meluk tubuhnya demi?

kian erat tak peduli bahwa ia sudah mati. Dari dalam kain kafan itu ber?

embus harum yang aneh, serupa berada di taman bunga, namun tentu

saja itu bukan harum bunga melainkan harum tubuh gadis itu sendiri.

Krisan memanggul mayat Ai di bahunya setelah melepaskan si

anjing kampung agar pergi ke mana ia suka. Ia bergegas pulang dengan

langkah hati-hati karena pada saat seperti itu orang-orang biasanya

sudah terbangun, bersiap-siap pergi ke masjid dan beberapa penjual

sayur bersiap-siap pergi ke pasar membuka kios-kios mereka di pasar

dan beberapa orang mungkin keluar hanya untuk buang tai di kolamkolam yang berderet di pinggiran kota tak jauh dari tempat pemakaman.

Ia sampai di rumah dengan selamat tanpa seorang pun me?mer?goki?

nya membawa mayat Ai. Baik nenek maupun ibunya (setelah kematian
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya, Mina neneknya tinggal bersama mereka mengurus usaha ja?

hitan bersama Adinda), keduanya belum terbangun meskipun ia tahu

mereka tukang bangun pagi. Ia masuk lewat pintu dapur, melangkah

dengan berjinjit masuk ke kamar dan menyembunyikan mayat Ai di

bawah tempat tidurnya. Pekerjaan berikutnya adalah memeriksa jalan

dari dapur ke kamar tidur, memastikan bahwa ia telah membersihkan

semua tanah liat yang mungkin tercecer dan membangkitkan kecuriga?

an ibunya seandainya ia menyapu lantai nanti di pagi hari. Krisan telah

membersihkannya secepat tukang sapu di sekolahnya, dan kini saatnya

ia kembali ke tempat tidur dan memeriksa mayat itu. Ia menarik tubuh

Ai dari kolong tempat tidur dan membuka kain kafannya.

Dengan serta-merta bau harum itu menyeruak semakin kuat dan

Krisan bisa melihat tubuh Ai yang begitu segar. Gadis itu tampak seperti

berbaring di lantai, beralaskan kain kafan, seolah ia sebenarnya tak mati

tapi sekadar tidur sejenak untuk kemudian terbangun lagi. Krisan tak

terlampau dibuat terkejut, sebab ia telah cukup yakin bahwa tubuh Ai

tak akan membusuk meskipun ia dikubur bertahun-tahun dan bahkan

berabad-abad, apalagi jika hanya seminggu. Pagi itu ia membuktikan

keyakinannya sambil menyaksikan pipinya yang kemerahan sebagai?

mana pipinya ketika ia masih hidup.

Tiba-tiba ia merasa malu melihatnya dalam keadaan telanjang. Ia

segera menutup tubuh itu dengan kain kafan kembali, kecuali bagian

mukanya yang dibiarkan terbuka, tempat ia bisa terus me?mandang

kecantikannya. Tiba-tiba ia telah menangis, betapa ce?ngeng?nya bocah

ini, sedih karena ia telah mati dan kini ia merasa ditinggalkan sendiri

di dunia yang sunyi. Tapi kemudian tangisannya sedikit bernada lain,

tangisan keharuan, berterima kasih pada Ai karena bahkan ketika ia

mati pun ia tak membusukkan dirinya sen?diri. Ia tetap abadi dalam

kecantikannya, dan ia percaya itu dilakukan untuknya seorang. Tanpa

sadar ia telah mencium pipi mayat gadis itu.

Krisan telah jatuh cinta pada Ai sejak lama, mungkin sejak me?reka

masih orok, dan ia yakin gadis itu jatuh cinta kepadanya sejak lama pula,

sejak mereka masih sering tidur di buaian yang sama. Mereka itu saudara

sepupu, sebagaimana mereka pada Rengganis Si Cantik. Ibu mereka,

Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi itu kakak-beradik, semuanya anak

Dewi Ayu, jadi anak-anak itu memang sepupuan. Rengganis Si Cantik

lahir enam bulan sebelum Ai, dan Ai lahir dua belas hari sebelum Krisan.

Mereka telah hidup bersama-sama bahkan sejak masih orok, menangis

bersama, ngompol bersama, masuk taman kanak-kanak yang sama, se?

kolah yang sama, hingga Krisan menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Ai.

Atau mungkin ia telah jatuh cinta sejak pertama kali dilahirkan,

sebab wajah pertama yang ia lihat adalah wajah gadis itu, masih ber?

umur dua belas hari dalam pelukan ibunya. Waktu itu Alamanda dan

Sang Shodancho dan ayahnya sendiri tengah menungguinya lahir,

dan ketika ia lahir ia melihat gadis kecil itu di pelukan ibunya. Siapa

tahu cinta pada pandangan pertama juga berlaku buat para bayi. Dan

lagipula setelah itu Sang Shodancho mengatakan kata-kata semacam,

semoga anakmu dan anakku berjodoh. Krisan seharusnya mendengar

itu, tak peduli ia baru muncul di dunia, dan ia kemudian menganggap

perjodohan mereka memang telah ditakdirkan oleh alam semesta.

Tapi bukan perkara yang gampang untuk bikin pengakuan pada gadis

itu bahwa ia mencintainya, terutama karena Ai adalah sepupunya dan

mereka berteman begitu dekatnya. Bisa-bisa pengakuan semacam itu

akan membuat hubungan manis mereka jadi berantakan. Tapi jika ia

tak mengatakannya, seumur hidup si gadis mungkin tak akan menyadari

bahwa ia mencintainya, sampai kemudian ia akan menyesal setelah

gadis itu diambil orang lain. Itulah hal yang paling ia takuti: suatu hari

ada seorang lelaki mendekati Ai dan akhirnya mereka berkencan. Tam?

paknya ia lebih suka gantung diri daripada patah hati.

Masalah lain yang lebih serius: Krisan tak punya teman selain Reng?

ganis Si Cantik dan Ai untuk sekadar bagi cerita. Ia juga tak mung?kin

bicara soal itu pada nenek dan ibunya, dan apalagi pada kedua paman

dan bibinya. Ia juga tak mungkin menulis buku harian sebagaimana ke?

biasaan konyol banyak anak sekolah, sebab Ai pasti akan membacanya

di mana pun ia bisa menyembunyikan. Masalahnya menjadi gampang

jika ia tahu bahwa Ai juga mencintainya, namun selama ini ia cuma

beranggapan, dan ia takut bahwa harapannya terlalu berlebihan. Akan

sangat menyakitkan jika Ai tahu bahwa ia mencintai gadis itu, semen?

tara gadis itu ternyata tak mencintainya. Segala sesuatunya tampak

begitu merepotkan, hingga seringkali ia mengutuki nasib kenapa harus

lahir sebagai sepupu gadis itu.

Ketika si tukang main jailangkung Kinkin melamar Rengganis Si

Cantik di terminal bis pada Maman Gendeng, tiba-tiba satu teror baru

melanda dirinya. Seseorang telah mengumumkan pada dunia bahwa ia

mencintai Rengganis Si Cantik, dan tak lama kemudian seseorang yang

lain akan datang pada Sang Shodancho untuk melamar Nurul Aini.

Krisan bertekad untuk memperoleh cinta gadis itu sebelum orang lain

memperolehnya.

Ia merencanakan ungkapan cintanya nyaris berminggu-minggu,

masa-masa yang paling membuatnya menderita.

Krisan mulai menulis beberapa surat cinta, dan pada setiap kata Ai,

ia sengaja mengosongkannya dengan tidak menulis dua huruf tersebut,

sebab Ai sering tiba-tiba muncul di kamarnya dan akan menjadi mala?

petaka jika ia memergokinya menulis surat cinta untuk gadis tersebut.

Nyaris sepuluh buah surat cinta yang panjang menyerupai sebuah

cerita pendek ia tulis, namun semuanya tak pernah dikirimkan. Lewat

pos pun tidak, apalagi mem?berikannya langsung. Surat-surat itu hanya

disimpan di bawah tumpukan celana dalamnya di dalam lemari. Bukan

karena ia punya selera yang jorok, tapi di situlah tempat paling aman,

sebab tak ada rahasia bagi gadis itu di kamar Krisan. Ia sering datang

dan mengaduk apa pun, mencuri apa pun yang ia sukai, dan terutama

mengambil novel-novel silat peninggalan Kamerad Kliwon. Telah men?

jadi kesepakatan tak tertulis di antara mereka bertiga, Krisan, Ai, dan

Rengganis Si Cantik, bahwa semua milik salah satu dari mereka adalah

milik bersama. Kecuali celana dalam. Ai tak pernah mau menyentuh

barang itu, maka surat-surat cinta Krisan aman di baliknya. Bukti cinta?

nya yang tak pernah terungkapkan.

Setelah merasa konyol menulis surat, si bocah laki-laki sering ber?

pikir untuk berkata terus-terang bahwa ia mencintainya. Men?cin?tainya

lebih dari sekadar saudara sepupu, tapi sebagai seorang laki-laki dan

seorang perempuan. Tertekan oleh satu perasaan bahwa meskipun

keduanya hidup begitu dekat, demikian hangat, dan bah?kan meskipun

nasib telah memutuskan bahwa kelak mereka akan saling mengawini

satu sama lain, ia merasa hidup begitu tawar tanpa pernah mengatakan

perasaan yang sesungguhnya pada gadis itu.

Ia pernah melewatkan beberapa hari hanya untuk berlatih mengata?

kan kata cinta. Ia berdiri di depan cermin membayangkan gadis itu

ber?diri di sampingnya, mungkin tengah memandang bu?rung camar

menyambar permukaan air laut pada satu tamasya di pantai, dan ia akan

berkata, "Ai " kata-kata itu ia putus dengan sengaja, percaya pada

waktunya nanti ia memang perlu berhenti sejenak menunggu reaksi

si gadis, paling tidak jika si gadis tidak menoleh ia akan memasang

telinganya dengan baik. Kemudian ia akan melanjutkan dengan suara

jernih mengalahkan keributan yang diakibatkan debur ombak dan suara

angin menggoyang daun pohon kelapa serta semak pandan, "Tahukah

kau bahwa aku mencintaimu?"

Hanya sebaris kalimat pendek. Krisan percaya ia bisa me?ngata?kan?

nya, dan ia akan membayangkan gadis itu kemudian merona merah

pada pipinya, akan begitu meskipun ia telah tahu sejak lama bahwa

Krisan diam-diam mencintainya. Tentu saja Ai mungkin tak akan

menoleh, gadis seperti Ai cenderung pemalu, dan ia akan me?nunduk

karena malu terlihat begitu bahagia. Tapi tanpa menoleh ia akan ber?

kata bahwa ia pun mencintainya.

Apa yang terjadi kemudian jauh lebih mudah dipikirkan Krisan. Ia

akan menggenggam tangan si gadis dan segala sesuatunya akan beres

selama bertahun-tahun ketika mereka kawin dan melahirkan anakanak dan melihat cucu-cucu dan mati bersama berpuluh-puluh tahun

kemudian. Bayangan itu begitu indah membuat Krisan merasa tak yakin

sendiri, maka ia berlatih lebih keras mengucapkan sebaris kalimat pen?

dek tersebut berkali-kali: di kamar mandi, di tempat tidur, di mana pun.

Bahkan ia mencoba mempraktikkannya dengan menunjuk si nenek

seba?gai kelinci percobaan ketika suatu sore Mina tengah menyulam di

beranda depan dan ia duduk di sampingnya.

Ia berkata secara tiba-tiba, "Nenek" Sebagaimana telah ia latih,

ia berhenti pada bagian itu.

Mina berhenti memainkan jarum sulam, lalu menoleh me?man?dang?

nya dari balik kaca mata tebal dengan tatapan bertanya, curiga bahwa

bocah itu memanggilnya hanya untuk meminta uang bagi keperluankeperluan tak masuk akal sebagaimana sering terjadi. Tapi betapa ter?

kejutnya Mina ketika Krisan melanjutkan:

"Tahukah Nenek bahwa aku sangat mencintaimu?"

Mendengar itu mata Mina jadi berkaca-kaca dan dengan serta-merta

ia meletakkan alat-alat sulamnya, menggeser tempat duduknya dan

memeluk Krisan sambil berkata, dengan air mata keharuan semakin de?

ras mengalir, "Betapa manisnya kau. Bahkan Kamerad gila yang adalah

anakku sendiri tak pernah mengatakan yang seperti itu."

Tapi ketika Krisan bertemu Ai, bahkan dalam kesempatan ketika

mereka hanya berdua tanpa Rengganis Si Cantik sebagaimana terlalu

sering hal itu terjadi, apa yang telah ia ingat seketika menguap. Dan

meskipun ia telah berjanji untuk mengatakannya pada kesempatan yang

lain, tetap saja kata-kata itu selalu lenyap dari otaknya setiap kali berada

di depan gadis itu. Ai selalu membuatnya terbungkam, sebab ia seperti

membuatnya luruh dalam badai cinta yang tak ter?katakan.

Hingga kemudian datang peristiwa tersebut: Rengganis Si Cantik

melahirkan bayi dan ia menghilang dari rumah. Orang yang paling

ter?guncang, bahkan lebih terguncang dari Maya Dewi dan Maman

Gendeng orang tua Rengganis Si Cantik, adalah Ai. Telah lama se?mua

orang tahu bahwa Ai menganggap dirinya sebagai pelindung Reng?

ganis Si Cantik, dan kini ketika gadis itu hamil tanpa tahu siapa yang

menghamilinya (kecuali pengakuan Rengganis: anjing), dan kemudi?

an melahirkan bayi, dan pergi menghilang, itu membuat si gadis Ai

terguncang hebat. Ia jatuh sakit pada hari itu juga, de?mam tinggi dan

mengigaukan nama Rengganis. Itu memang masuk akal. Krisan tahu

bahwa kedua gadis itu sangat dekat satu sama lain, jauh lebih dekat

daripada mereka dengannya. Mungkin karena alasan-alasan khusus

bahwa keduanya sama-sama perempuan (meskipun begitu Krisan sering?

kali cemburu karenanya).

Demamnya berlangsung berhari-hari, dan dokter tak ada yang tahu

apa jenis penyakitnya, sebab setelah beberapa pemeriksaan terbukti

tubuhnya dalam kondisi yang sangat baik.

"Ia kesurupan hantu komunis," kata Shodancho.

"Tutup mulutmu!" teriak Alamanda.

Krisan adalah satu-satunya penunggu setia jika siang hari sepulang

sekolah, hanya memandangnya berbaring lemah dengan tatapan mata

kosong dan badan panas menggigil. Jelas itu bukan waktu yang tepat

untuk mengatakan bahwa ia mencintainya. Sebagai seorang lelaki pada

seorang gadis: waktu itu mereka berumur sekitar tujuh belas tahun.

Ai sering muncul tiba-tiba di kamar Krisan. Kadang-kadang lewat

pintu, namun tak jarang ia melompat melalui jendela terbuka. Bahkan

ketika mereka telah berumur tujuh belas tahun sebelum Ai sakit. Suatu

malam sekitar pukul tujuh ia muncul lagi di kamar Krisan, melompat

lewat jendela dengan senyum nakal seolah ia punya rencana sedikit

agak jahat untuk menjahili Krisan. Ia tampak begitu cantik, manis,
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sehat. Ia mengenakan pakaian serba putih, berenda-renda, begitu

bersih dan seolah ini hari Lebaran dengan pa?kaian baru, dan bagaikan

ada cahaya dari tubuh gadis itu. Krisan akan selalu mengenang kunjung?

an tiba-tiba tersebut. Wajahnya begitu berseri-seri, seolah tak tahan

me?nahan senyum nakalnya, dan tak tahan menyembunyikan rahasia

kejahilannya, semakin cantik karena rambutnya yang hitam gelap dan

lurus sepinggul dibiarkan jatuh terurai tanpa ikatan. Matanya yang

tajam begitu berbinar, di atas ujung kiri dan kanan hidung yang lembut,

dan senyum nakal itu memperlihatkan bibirnya yang indah menggoda,

dengan pipi kemerahan menggemaskan. Krisan baru saja berbaring

selepas makan malam bersama ibu dan neneknya, dan dibuat terkejut

oleh kunjungan mendadak itu, dan ia menyadari pada jam tujuh ia

belum juga menutup jendela.

"Kau," katanya pendek sambil duduk di tepi ranjang, "telah sem?buh?"

"Sesehat gadis olimpiade," kata Ai sambil tertawa kecil dan mem?

peragakan gaya binaragawati mengangkat kedua tangannya.

Lalu, seolah didera kerinduan yang demikian besar, tanpa sadar,

keduanya saling menghampiri dan saling memeluk begitu erat, lebih

erat dari pelukan Adinda dan Kamerad Kliwon dalam peristiwa dikejar

anjing di masa lalu. Dan entah siapa yang memulai, keduanya telah

saling mencium, lebih panas daripada ciuman Kamerad Kliwon dan

Alamanda di bawah pohon ketapang atau ketika mereka ber?selingkuh,

dan kemudian mereka jatuh ke atas tempat tidur.

"Ai," kata Krisan akhirnya, "tahukah kau bahwa aku men?cintaimu?"

Ai menjawab dengan senyumnya yang memesona itu, yang mem?

buat Krisan mabuk kepayang dan kembali menciumnya. Dalam waktu

yang tak lama keduanya telah melucuti pakaian mereka masing-masing

dalam dorongan berahi anak-anak remaja yang tak terkendali, bercinta

lebih liar daripada Alamanda dan Sang Shodancho pada subuh ketika

mereka tak jadi mengeksekusi Kamerad Kliwon, bercinta lebih liar dari

Maman Gendeng dan Maya Dewi ketika mereka bercinta pertama kali

setelah penantian selama lima tahun, melewatkan sepanjang malam

dalam permainan cinta dua orang bo?cah belasan tahun dengan se?

mangat yang sangat menyala serta keinginan mencoba yang luar biasa.

Usai bercinta Ai mengenakan kembali pakaiannya yang serba putih

itu, melompat jendela kembali, dan melambaikan tangan.

"Aku harus pulang," katanya, "pulang."

Bagian terakhir itu telah menjadi samar-samar ketika Krisan ter?

guncang oleh satu guncangan di selangkangannya dan terbangun tak

men?dapati Ai. Bahkan jendela kamarnya tertutup rapat. Itu hanya

mimpi. Itu bukan mimpi basahnya yang pertama, tapi bagaimanapun

itu yang terindah. Ia belum pernah bermimpi seperti itu bersama Ai,

meskipun lama ia berharap demikian, dan mimpi itu membuatnya

sangat bahagia.

Ketika samar-samar dilihatnya cahaya matahari menerobos kisikisi jendela, ia membukanya dan melihat beranda belakang rumah

Shodancho. Ada begitu banyak kerumunan orang, bahkan ia melihat

ibunya ada di sana. Sesuatu menghentak di jantungnya. Ia melompat

jendela, tanpa cuci muka sama sekali, dan bahkan tanpa alas kaki, ber?

lari menuju rumah Shodancho dan menerobos kerumunan. Ia masuk

ke kamar tempat Ai selama itu berbaring, melihat Alamanda duduk di

tepi tempat tidur menangis. Demi melihat Krisan muncul, Alamanda

segera berdiri dan memeluk anak laki-laki itu tanpa berhenti menangis,

mengacak-acak rambutnya, dan sebelum Krisan bertanya apa yang

terjadi, Alamanda telah berkata:

"Kekasih cantikmu telah pergi."

Kini setelah ia menggali kuburan dan membawa mayatnya ke rumah,

Krisan menangis di samping tubuh tersebut demi mengingat mimpi

terakhir sebelum Ai mati. Apa yang disedihkannya, mungkin fakta

bah?wa sampai kematiannya ia bahkan belum pernah mengatakan kata

cinta itu pada si gadis. Kalaupun ia pernah mengatakannya, itu ada di

dalam mimpi. Atau ia menangis oleh rasa haru bahwa, bahkan sebelum

kepergiannya, gadis itu telah menyempatkan diri datang kepadanya, tak

peduli itu hanya di dalam mimpi. Gadis itu datang untuk mendengarnya

mengatakan cinta, datang untuk memberikan keperawanannya, datang

untuk bercinta dengannya, sebelum ia pulang, pulang yang tak datang

lagi. Mungkin itulah yang mem?buatnya menangis, merasa kehilangan,

merindukan dan menderita setengah mati. Sebab tubuh mati yang se?

cantik apa pun tetaplah ber?beda dengan gadis hidup.

Pengakuan kedua: Krisanlah yang membunuh Rengganis Si Cantik dan

membuang mayatnya ke tengah laut.

Seminggu setelah Krisan menggali kuburan Ai, seseorang me?ngetuk

daun jendela kamarnya dengan lembut di tengah malam. Krisan terba?

ngun dan membuka jendela, di sana berdiri Rengganis Si Cantik, tam?

pak menyedihkan. Rambutnya acak-acakan dan pakaiannya sedikit

ba?sah, tapi itu tetap tak menutupi kecantikannya yang mengagumkan

itu. Bahkan Krisan mengakuinya, mengakui bahwa Rengganis Si Cantik

memang lebih cantik dari Ai, sebagaimana Ai juga sering mengatakan?

nya.

"Ya, ampun, apa yang kau lakukan?" tanya Krisan.

"Aku kedinginan."

"Bodoh, itu sudah sangat jelas."

Krisan melongok keluar jendela berharap tak ada siapa pun yang

melihat mereka, dan menarik tangan Rengganis Si Cantik mem?ban?

tu?nya masuk melompati jendela. Ia tampaknya telah kehujanan, atau

ter?perosok ke dalam parit, atau semacamnya, dan jelas tampak sa?ngat

kelaparan pula.

"Ganti pakaianmu," kata Krisan sambil memastikan pintu ka?mar?

nya terkunci.

Rengganis Si Cantik membuka lemari pakaian Krisan, mengambil

kaus oblong dan celana jeans, bahkan celana dalam Krisan. Kemudian,

di depan bocah lelaki itu, tanpa merasa segan ia membuka pakaiannya,

satu per satu, sampai tak tersisa. Tubuhnya begitu bagus, mengilau oleh

basah dan lampu, membuat Krisan nyaris tersedak. Ia, bocah lelaki

itu, duduk bersila di tempat tidurnya, ngaceng, namun tak beranjak

meskipun ia ingin melompat dan memerkosa gadis di de?pannya. Selalu

ada hawa nafsu berahi dari tubuh Rengganis Si Cantik, sebab tubuhnya

begitu menakjubkan untuk diajak bercinta. Ia masih di atas tempat

tidurnya, sementara Rengganis Si Cantik, da?lam ketidakpeduliannya

yang menakjubkan, mengeringkan tu?buh?nya dengan handuk kecil yang

ia temukan menggantung di balik pintu.

Buah dadanya sesempurna perempuan dewasa, Krisan me?man?

dang?nya cukup lama, membayangkan ia menyentuhnya, meremasnya,

menciumnya, dan menyentuh putingnya dalam sentuhan nakal. Ada

lengkungan indah dari dada ke pinggulnya, seperti dibuat dengan jang?

ka, begitu simetris di kiri-kanan. Dan di tengah selangkangannya, di

balik rimbun rambutnya, sesuatu sedikit menggelembung, seperti buah

kelapa muda, namun pasti lembut. Krisan semakin ngaceng, semakin

ingin melompat dan menyeret gadis sepupunya itu ke atas tempat tidur

dan memerkosanya. Tapi ia tak melakukannya. Tidak dengan mayat Ai

tergeletak di bawah tempat tidurnya.

Siksaan itu berakhir perlahan-lahan. Rengganis Si Cantik menge?

nakan celana dalam Krisan, tak peduli itu celana dalam lelaki. Lalu

me?ngenakan celana jeansnya, dan buah dadanya segera lenyap di balik

kaus oblong. Tapi Krisan tetap ngaceng sebab ia tahu, di balik kaus

oblong itu buah dada gadis itu tak terlindung kutang.

"Bagaimana aku kelihatan, Anjing?" tanya Rengganis Si Cantik.

"Jangan panggil aku Anjing, namaku Krisan."

"Baiklah Krisan," dan Rengganis Si Cantik duduk di tepi tempat

tidur di samping anak lelaki itu. "Aku lapar."

Krisan pergi ke dapur dan mengambil sepiring nasi, dengan sa?yur

bayam dan sepotong goreng ikan. Hanya itu yang ia temukan di lemari

makan. Ia memberikannya pada si gadis beserta segelas air putih, dan

gadis itu memakannya demikian lahap, meminta tambah ketika habis.

Krisan kembali ke dapur, mengambil porsi makan yang sama, dan

gadis itu memakannya dengan kerakusan yang tak berubah, seolah ia

tak pernah diajari bagaimana makan dengan cara yang benar. Krisan

bersyukur setelah porsi kedua gadis itu tak meminta tambah lagi, sebab

besok pagi ibunya akan bingung dan tak akan percaya jika ia berkata

makan sebanyak tiga porsi di malam hari.

"Dan sekarang," kata Krisan, sementara Rengganis Si Cantik mu?lai

mengeringkan rambutnya, "di mana anak bayi itu?"

"Mati dimakan ajak."

"Tai," kata Krisan, "tapi syukurlah. Katakan apa yang terjadi."

Rengganis Si Cantik menceritakannya. Malam itu ia pergi dari ru?

mah membawa bayinya, dengan tujuan yang telah pasti: gubuk gerilya

Sang Shodancho di tengah hutan tanjung. Lama hal itu telah menjadi

rahasia mereka bertiga: Rengganis Si Cantik, Ai, dan Krisan. Mereka

pernah mendengar tentang gubuk tersebut, dan pernah mencarinya se?

belum menemukannya. Dua atau tiga kali mereka pernah mendatangi?

nya lagi, dalam satu tamasya. Malam itu Rengganis Si Cantik pergi ke

sana bersama bayinya, tahu pasti itu sebagai tempat persembunyian pa?

ling hebat, yang bahkan Ai sendiri tak pernah menduga bahwa ia pergi

ke sana. Bayi itu sangat rewel, katanya, dan ia mencoba menyusuinya,

tapi tetap rewel. Ia tak me?ngenakan apa pun, bayi itu, hanya dibelit

selimut dan dihangatkan pelukan ibunya.

Gubuk gerilya sesungguhnya bisa ditempuh selama delapan jam

perjalanan jalan kaki, sebagaimana pernah mereka buktikan. Tapi

Rengganis Si Cantik yang lari dengan bayinya membutuhkan waktu

sehari semalam, tepatnya semalam sehari. Ia sedikit tersesat ke sanakemari, dan ia berjalan sangat lambat. Ia telah berlaku sangat bodoh

tidak membawa bekal apa pun. Maka mereka sampai ke gubuk gerilya

dalam keadaan yang sangat kelaparan.

"Tak ada apa pun yang bisa dimakan," kata Rengganis Si Cantik.

Bagaimanapun ia anak kota, tak mengenal apa pun di hutan yang

bisa dimakan. Tapi lama-kelamaan ia dipaksa untuk mencoba me?ma?

kan apa pun yang ditemukannya. Ia menemukan buah-buah kenari

yang berjatuhan dari pohonnya, terpukau oleh tempurungnya yang

keras, mencoba memecahkannya dengan batu, mencicipi rasa bagian

dalamnya. Ketika ternyata rasanya cukup enak, ia mengumpulkan

ba?nyak buah kenari dan itulah makan malamnya yang pertama. Air

tidak terlalu menjadi masalah, sebab di samping gubuk gerilya meng?alir

sebuah sungai kecil dengan airnya yang jernih.

Yang bermasalah adalah bayinya. Ia terus rewel. Sepanjang jalan ia

telah menyumpal mulutnya dengan ujung selimut, agar pelariannya tak

diketahui orang. Ia harus berlari di balik bayang-bayang pepohonan,

tidak melalui jalan umum, melainkan menerobos kebun pisang dan ke?

tela. Itu pun harus berhati-hati sebab banyak petani berkeliaran di malam

hari untuk menengok sawahnya, atau para peronda, atau orang-orang

yang mencari belut dan belalang. Ujung selimut cukup berhasil mem?

bungkam kerewelan bayinya, namun nyaris membunuhnya. Ketika ia

telah masuk hutan tanjung, ia ke?mudian berani membuka sumpal itu dan

berlari masuk ke dalam hutan dengan si bayi menangis terus-menerus,

percaya tak ada orang lain berkeliaran di hutan tersebut malam-malam.

Di gubuk gerilya bayi itu masih tetap rewel meskipun ibunya telah

menyusuinya. Bahkan di saat-saat akhir ia mulai menolak disusui. Ia

ngom?pol dan selimut yang membungkusnya basah, tapi Rengganis Si

Cantik tak punya apa pun lagi untuk menggantinya, maka ia hanya

menggeser-geser selimut tersebut, memindahkan da?erah basah ke ba?

gian luar. Namun dengan cara itu pun si bayi tetap menangis, dengan

suaranya yang makin lama makin lemah. Baru kemudian Rengganis Si

Cantik menyadari bahwa bayinya ter?serang demam. Hawa panas keluar

mengambang dari tubuhnya, dan bayi itu menggigil kedinginan. Ia tak
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu apa yang mesti di?kerjakan, maka ia hanya melihat bagaimana bayi

itu menderita dalam demam.

"Ia kemudian mati pada hari ketiga," kata Rengganis Si Cantik.

Dan ia pun tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia membawa ma?yat

bayi itu setelah membuka selimutnya keluar gubuk gerilya, meletakkan?

nya pada sebuah batu tempat bertahun-tahun lalu di?per?gunakan Sang

Shodancho dan anak buahnya sebagai meja makan, dan selama sehari?

an ia hanya memandangi mayat bayinya tanpa bisa berpikir apa yang

harus ia lakukan. Baru ketika sore hari ia mem?peroleh gagasan untuk

melemparkannya ke laut, tapi ia tak mela?ku?kannya karena kemudian

segerombolan ajak datang dan mengelilingi ia dan bayinya, terpang?

gil oleh bau mayat. Rengganis Si Cantik me?natap ajak-ajak tersebut,

dan melihat betapa mereka begitu ber?nafsu memperoleh mayat bayi

ter?sebut, maka ia melemparkan bayinya ke arah ajak-ajak itu. Mereka

berebutan seketika, namun kemudian salah satu dari mereka menyeret?

nya jauh ke hutan diikuti ajak-ajak yang lain.

"Kau lebih mengerikan dari setan," kata Krisan bergidik memandang

Rengganis Si Cantik.

"Tapi itu lebih mudah daripada menggali kuburan," kata Rengganis

Si Cantik.

Keduanya terdiam, mungkin sama-sama membayangkan ba?gai?mana

ajak-ajak itu mencincang mayat bayi kecil tersebut. Bayi yang malang.

Krisan tak tahu apa yang akan dilakukan Maman Gendeng jika tahu

itulah nasib cucunya. Ia mungkin akan menjadi gila, mung?kin mem?

bakar seluruh kota, atau membunuh semua orang, ter?utama membunuh

semua ajak. Bahkan sekarang akan menjadi sia-sia untuk menemukan

sisa-sisanya. Ajak-ajak itu mungkin tidak akan menyisakan apa pun,

sebab bahkan tulangnya pun masih begitu lunak untuk dimakan. Krisan

nyaris muntah membayangkan seekor ajak menelan mentah-mentah

kepala bayi itu.

"Dan kau tak datang," kata Rengganis Si Cantik sambil me?man?dang

Krisan, satu pandangan antara marah dan kecewa, "aku me?nung?gu sam?

pai tadi sore, hanya makan buah keras itu."

"Aku tak bisa datang."

"Kau jahat."

"Aku tak bisa datang," kata Krisan dan memberi isyarat pada Reng?

ganis Si Cantik untuk tidak bersuara terlalu keras, khawatir ibu dan

neneknya memergoki mereka. "Sebab Ai sakit dan kemudian ia mati."

"Apa?"

"Ai sakit dan kemudian mati."

"Itu tak mungkin." Rengganis Si Cantik tampak sedih, dan tampak

mencoba tak percaya.

Krisan melompat dari tempat tidurnya, merogoh mayat itu dari ba?

wah ranjangnya, menariknya dan memperlihatkannya pada Reng?ganis

Si Cantik. Mayat Ai terbaring di lantai berselimutkan kain kafan, masih

sama keadaannya seperti ketika Krisan pertama kali membawanya.

Begitu segar, cantik, dan serasa bukan mayat.

"Ia hanya tidur," kata Rengganis Si Cantik, turun dari tempat tidur

dan memeriksa wajah Ai.

"Bangunkan jika kau bisa."

Rengganis Si Cantik mencoba membangunkan Ai, tapi jelas itu

sia-sia. Ia mengguncang-guncangnya, membuka paksa matanya, memijit

hidungnya, dan akhirnya ia duduk terisak-isak sendiri menangisi kema?

tian gadis paling dekat dalam hidupnya. Gadis yang selalu ada kapan

pun ia membutuhkannya. Rengganis Si Cantik tiba-tiba menyesal ke?

napa ia tak melibatkan gadis itu dalam usaha pelariannya, mengajaknya

ikut serta ke gubuk gerilya. Ia akan jauh merasa sedih jika tahu bahwa

gadis itu sakit setelah mengetahui ia lari dari rumah, dan kemudian

mati karena itu. Sementara itu Krisan hanya berdiri mematung, hanya

khawatir Rengganis Si Cantik menangis semakin keras membangunkan

ibu dan neneknya, hingga kemudian gadis itu bertanya:

"Kenapa ia ada di sini?"

"Aku menggali kuburannya," kata Krisan.

"Kenapa kau menggali kuburannya?"

Ia tak tahu jawabannya, atau tak tahu harus menjawab apa pada

Rengganis Si Cantik. Maka ia hanya diam memandang gadis itu, sedikit

salah tingkah, sebelum gagasan cemerlangnya muncul di saat-saat paling

dibutuhkan. "Untuk melihat kita kawin."

Alasan itu tampaknya menenangkan Rengganis Si Cantik.

"Jadi kapan kita kawin?"

Pertanyaan itu agak mengganggu Krisan, dan ia duduk di ujung tem?

pat tidur, tampak sebagaimana kebanyakan orang tengah berpikir. Ia

memandang Rengganis Si Cantik, kemudian memandang wajah mayat

Ai di bawahnya, lalu memandang pakaian yang menggantung di balik

pintu, memandang tumpukan novel-novel silatnya, me?man?dang bantal,

dan memandang Rengganis Si Cantik kembali. Gadis itu masih mena?

tap?nya, menunggunya menjawab.

"Malam ini juga," kata Krisan.

"Di mana?"

"Aku sedang memikirkannya."

Dan ketika gagasan itu muncul, ia segera mengatakannya pada

Rengganis Si Cantik. Mereka segera melucuti kain kafan yang menye?

limuti tubuh Ai, dan memberinya pakaian dari lemari Krisan. Pakaian

lelaki sebagaimana yang dikenakan Rengganis Si Cantik, berupa celana

dalam lelaki, celana jeans dan kaus oblong. Setelah mayat itu tampak

bagaikan gadis hidup biasa yang tengah berbaring, Krisan membuka

pintu kamar memeriksa kamar ibu dan neneknya, memastikan kedua

orang itu tertidur dengan lelap. Ia mengeluarkan sepeda mininya secara

diam-diam melalui pintu belakang, tanpa menimbulkan suara. Lalu

ia kembali lagi membopong mayat Ai, berjalan keluar kamar diikuti

Rengganis Si Cantik setelah mengunci pintu kamar. Mereka melang?

kah dengan langkah berjinjit, melalui dapur, dan ke halaman belakang

tempat sepeda itu menunggu. Rengganis Si Cantik duduk di boncengan,

mengapit mayat Ai yang ia peluk erat-erat agar tidak jauh, dan Krisan

duduk di depan. Dalam satu kali kayuh sepeda itu telah meninggal?

kan halaman rumah menuju jalan, di tengah malam di bawah lampu

jalanan. Melesat menuju laut.

Mereka beruntung tak banyak orang memergoki mereka. Kalaupun

ada satu dua orang berpapasan, mereka tak terlampau curiga pada se?

orang anak laki-laki tujuh belas tahunan membonceng dua gadis, dan

berpikir paling-paling mereka kemalaman dari tempat hiburan. Tak

se?orang pun mengira bahwa mereka adalah Krisan, bahwa yang di

tengah adalah sesosok mayat yang ketika hidup bernama Ai, dan yang

duduk paling belakang adalah Rengganis Si Cantik yang tengah dicari

ayahnya selama hari-hari terakhir.

Krisan berhenti di tepi pantai, pada sebuah tembok beton pembatas

laut dan darat. Hari telah menjelang dini hari, dan ia melihat beberapa

perahu telah berlabuh. Warna kemerahan mulai tampak di langit timur.

Waktu yang sangat menguntungkan pikirnya.

"Tunggu di sini, aku akan mencuri perahu," kata Krisan.

Masih dengan mendekap mayat Ai agar tidak roboh, Rengganis

Si Cantik duduk di tembok itu, di samping sepeda, menunggu Krisan.

Anak itu muncul dengan sebuah perahu entah milik siapa. Mungkin

sudah bukan milik siapa-siapa, sebab perahunya tampak begitu jelek,

meskipun tak ada lubang satu pun. Krisan mendayung mendekati

tem??pat Rengganis Si Cantik menunggu, dan mepet ke arah dinding

tembok. "Lemparkan mayat itu," katanya. Rengganis Si Cantik melem?

parkan mayat Ai ke dalam lambung perahu, membuat perahu sedikit

terayun-ayun, dan mayat itu kini berbaring di sana. Rengganis Si Can?

tik melompat ke salah satu ujung dan duduk di sana, sementara di ujung

lain Krisan mulai mendayung meninggalkan pantai, menuju tengah

laut, tempat yang ia janjikan untuk kawin dengan Rengganis Si Cantik.

Krisan mencoba untuk tidak berpapasan dengan perahu-perahu

nelayan yang mulai pulang ke pantai, dan tak khawatir pada kapalkapal penangkap ikan yang jauh di tengah. Pagi mulai datang dengan

sinar matahari muncul di balik bukit Ma Iyang, sinarnya serupa garisgaris lurus yang dipendarkan permukaan air laut. Warna kemerahan di

langit mulai memudar dan burung-burung camar, dan mungkin juga

walet, mulai tampak berterbangan di angkasa. Itu memudahkan Krisan

untuk melihat arah perahu-perahu nelayan, dan berbelok jika sekiranya

mereka akan berpapasan.

Lama ia mencari daerah laut yang sepi, yang sekiranya tak pernah

dikunjungi perahu mana pun. Ia berputar-putar, selain menghindari

perahu-perahu nelayan, juga mencari tempat seperti itu. Hingga ia

menemukannya, di laut yang berwarna biru gelap. Ia tahu pasti bagian

tersebut pasti sangat dalam, dan itulah alasan mengapa tempat itu sepi

dari perahu nelayan, sebab tak banyak ikan di tempat seperti itu. Tentu

saja tak ada yang tahu di antara mereka, Rengganis Si Cantik dan

Krisan, bahwa bertahun-tahun lalu Kamerad Kliwon pernah menculik

Alamanda juga ke tempat tersebut.

Pagi datang dengan sempurna.

"Jadi kapan kita kawin?"

"Jangan tergesa-gesa, berjemurlah sebentar," jawab Krisan.

Krisan berbaring di ujung perahu tersebut, memandang langit.

Reng?ganis Si Cantik mencoba menirunya di ujung lain. Wajah Krisan

tampak murung dengan dahi berkerut, sama sekali tak ter?pesona oleh

langit yang demikian cerah. Sementara wajah Reng?ganis Si Cantik

begitu gelisah, menunggu perkawinan mereka. Akhir?nya gadis itu terba?

ngun kembali, sungguh-sungguh tak sabar, dan bertanya:

"Dengan cara apa kita akan kawin?"

"Aku akan membuat kejutan."

Krisan menghampiri gadis itu, melangkahi mayat Ai.

"Berbaliklah," katanya.

Rengganis Si Cantik berbalik, memandang ujung langit, memung?

gungi Krisan. Lama ia menunggu sampai ia melihat tangan Krisan

melingkar begitu cepat, dan sebelum sadar ia telah tercekik. Lehernya

dililit sapu tangan kecil yang di setiap ujungnya ditarik tangan Krisan

yang begitu kuat. Rengganis Si Cantik mencoba meronta, kakinya me?

nendang ke sana-kemari, dan tangannya mencoba mengendorkan sapu

tangan tersebut. Tapi Krisan jauh lebih kuat. Mereka bertarung sekitar

lima menit, sebelum Rengganis Si Cantik kalah, mati dan tergeletak

di lambung perahu, di samping mayat gadis yang lain.

Krisan memandangnya, dan matanya jadi berkaca-kaca. Napasnya

tersengal-sengal.

Dengan tangan yang bergetar hebat, ia mengangkat mayat Reng?

ganis Si Cantik dan melemparkannya ke laut, membiarkannya tengge?

lam. Lalu ia menangis di bibir perahu, menangis seperti ga?dis-gadis

cengeng, menangis seperti orok-orok, menangis dengan air mata yang

banjir. Di tengah isaknya ia berkata, entah kepada siapa.

"Aku membunuhmu," katanya, terisak lagi, dan melanjutkan, "ka?

rena aku hanya mencintai Ai." Ia masih menangis selama setengah

jam setelah itu.

Pengakuan ketiga: Krisanlah yang memerkosa Rengganis Si Cantik di

toilet sekolah dan tak bertanggung jawab atas apa yang di?la?ku?kan?nya.

Ini bagian cerita yang paling sulit, tapi begitulah kenyataannya.

Suatu hari, ketika ia dan Ai berkunjung ke rumah Rengganis Si

Can?tik sepulang sekolah, ia duduk di sofa membaca majalah bekas.

Kedua gadis itu ada di lantai atas, di kamar Rengganis Si Cantik.

Namun tiba-tiba ia mendengar langkah kaki menuruni tangga. Krisan

me?nurunkan majalah bekas itu, dan tampak di depannya Rengganis Si

Cantik menuruni tangga hanya mengenakan celana dalam dan kutang.

Ia mungkin pernah melihatnya seperti itu, bah?kan mungkin telanjang

bulat, tapi itu pasti dulu sekali ketika mereka masih anak-anak. Tapi
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat ini mereka berumur lima belasan tahun, dan Krisan telah lama

meng?alami mimpi basah.

Sebagaimana kebanyakan lelaki, Krisan mengagumi tubuh Reng?

ganis Si Cantik. Tubuhnya tak semata-mata indah, namun mengun?

dang berahi. Lezat, itu kosa katanya sendiri. Ia sering mem?bayangkan

buah dadanya yang bulat padat, pinggulnya yang melengkung lembut,

dan kini ia nyaris melihat semuanya. Kutang yang dikenakannya tak

sungguh-sungguh menutupi seluruh buah dadanya, maka Krisan bisa

melihat warna kemilaunya, dan celana dalamnya yang berenda-renda

tampak membukit di bagian depan. Itu membuat kemaluannya hidup,

sangat hidup, dan keras seperti baja. Ia harus merogoh celananya untuk

membetulkan posisi ke?ma?luannya yang miring dan terjepit celana. Se?

mentara itu, Rengganis Si Cantik tampak tak terganggu bahwa Krisan

ada di ruangan itu dan me?mandang ke arahnya, ia bahkan tampak

senang bahwa lelaki itu me?mandangnya. Ia turun dalam langkah yang

begitu tenang, meng?hampiri meja setrikaan dan mengambil pakaian,

meng?enak?annya, dan Krisan kehilangan momen penuh berahi itu, tapi

ia tak pernah melupakannya.

Ada dua jenis perempuan yang bisa dicintai seorang lelaki: pertama

perempuan yang dicintai untuk disayangi, kedua perempuan yang dicin?

tai untuk disetubuhi. Krisan merasa memiliki keduanya. Ai adalah gadis

pertama, dan Rengganis Si Cantik gadis kedua. Ia ingin kawin dengan

Ai, tapi ia selalu membayangkan suatu hari menyetubuhi Rengganis Si

Cantik. Namun ia tak pernah berhasil mengungkapkan cintanya pada

si gadis Ai, dan belum juga punya ide bagaimana cara menyetubuhi

Rengganis Si Cantik dengan cara yang aman.

Sewaktu kecil mereka bertiga punya tempat persembunyian yang

menyenangkan: di ladang yang dulu dibeli Kamerad Kliwon. Sang

Shodancho membuatkan mereka rumah pohon pada sebatang beringin

tua di pojok kebun. Ibu dan ayah mereka tak pernah khawatir ketiganya

berkeliaran di ladang, sebab mereka bisa saling mengawasi satu sama

lain. Mereka bermain bersama, sebagaimana selalu sejak sebelum ada

rumah pohon maupun jauh setelahnya. Tapi ketika mereka masih se?

ring berkunjung ke rumah pohon, permainan yang paling sering mereka

mainkan adalah pesta perkawinan. Rengganis Si Cantik selalu ingin

jadi pengantin, dan karena Krisan satu-satunya lelaki di antara mereka,

maka ia selalu jadi pengantin lelaki. Ai akan memerankan peran yang

sama sepanjang waktu: sebagai saksi perkawinan merangkap penghulu

merangkap tamu undangan. Mereka selalu bahagia dengan permainan

itu, kecuali Krisan yang selalu merasa terpaksa memainkan perannya,

sebab ia hanya ingin menjadi pengantin bersama Ai.

Rengganis Si Cantik akan dihiasi mahkota dari rangkaian daun

nangka, dan begitu pula Krisan. Mereka akan duduk di bawah po?hon

beringin, berdampingan, sementara Ai berjongkok dengan lutut ter?

tekan ke tanah di depannya dan berkata:

"Apakah kalian siap untuk saling mengawini?"

"Ya," kata Krisan dan Rengganis Si Cantik selalu.

"Maka kalian kawin," kata Ai, "berciumanlah."

Rengganis Si Cantik akan mencium bibir Krisan, selama beberapa

detik, dan hanya momen itulah yang paling disukai Krisan.

Lebih dari itu, di luar permainannya sendiri, Rengganis Si Cantik

selalu menganggap Krisan sebagai pengantinnya.

Itu membuat Krisan agak jengkel dengan Rengganis Si Cantik, tapi

ia tak bisa berbuat apa pun, sebab sebagaimana Ai, ia tahu seperti apa

Rengganis Si Cantik. Ia manja, tak terkendali, kekanak-kanakan, lugu,

labil, rapuh, dan sederet kosa kata yang menunjukkan bahwa ia tak bisa

dimarahi dengan cara apa pun. Dan yang lebih menjengkelkan dari

semuanya adalah sikap Ai. Krisan sebenarnya berharap mereka mem?

perlakukan Rengganis Si Cantik sedikit agak kasar, agar membuatnya

sedikit waras, tapi sebaliknya Ai selalu merupakan pembela bagi setiap

tindakan mengejutkan Si Cantik, dan bahkan menjadi pelindungnya

yang sejati.

Waktu itu Krisan belum begitu bernafsu pada Rengganis Si Cantik,

meskipun ia tahu bahwa gadis itu sangat cantik dan me?ng?undang be?

rahi. Sebab yang ia sukai adalah gadis-gadis yang cenderung pendiam,

dengan wajah yang sendu, tenang menghanyutkan namun bisa menjadi

sangat galak, dan gadis seperti itu adalah Ai. Jangankan bernafsu, ia

bahkan cenderung menganggap Rengganis Si Cantik sebagai peng?

ganggu hubungannya dengan gadis Ai. Dan sikap Ai yang melindungi

Rengganis Si Cantik membuatnya sangat cemburu pada gadis tersebut.

Tapi kecemburuan Krisan terhadap Rengganis Si Cantik mungkin

tak seberapa, sejauh ia bisa memahami keadaan Rengganis Si Cantik

dan memahami pula alasan-alasan Ai. Ada satu hal lain yang jauh mem?

buatnya cemburu: anjing. Sang Shodancho sangat menyukai anjing, dan

itu menular pada anaknya. Jika Ai tidak sedang bersama mereka, maka

bisa dipastikan ia sedang bermain-main dengan anjing. Tadinya Krisan

selalu berharap, jika Ai lepas dari Rengganis Si Cantik, ia bisa berdua

saja dengan Ai. Tapi kesempatan-kesempatan itu sangatlah langka,

karena kemudian Ai akan bermain dengan anjing-anjingnya. Bahkan ia

akan tetap bermain dengan anjing-anjing itu meskipun Krisan kemudian

datang dan mencoba bermain bersamanya.

"Apakah aku harus jadi anjing agar kau mau menemaniku?" tanya

Krisan suatu ketika, di puncak kejengkelannya.

"Tak perlu," kata Ai, "jadilah lelaki sejati, maka aku menyukaimu."

Kalimatnya penuh teka-teki dan sulit dicerna secara langsung, maka

Krisan mengeluh pada Rengganis Si Cantik.

"Aku ingin jadi anjing," katanya.

"Itu bagus," kata Rengganis Si Cantik, "aku sering membayangkan

anjing tanpa ekor."

Rengganis Si Cantik tak mungkin diajak serius.

Tapi ia kemudian sungguh-sungguh sering memerankan dirinya

sendiri sebagai anjing. Bukan karena gila, tapi sebagian besar sebagai

upaya untuk mencari perhatian Ai. Jika mereka tengah berjalan bertiga,

mungkin pulang sekolah atau sekadar jalan-jalan sore, dan ia melihat

seekor anjing di kejauhan, Krisan akan menggonggong. "Guk, guk,

guk!" teriaknya. Atau kadangkala ia jadi anjing kecil yang kesakitan,

"Kaing, kaing," dan lain kali jadi ajak yang tengah melolong di malam

hari, "Auuuunnnggg "

"Paling tidak suaramu telah mirip anjing," komentar Rengganis Si

Cantik. "Suara ajak itu membuat bulu romaku berdiri."

"Tapi tak bikin anjing betina jatuh cinta," kata Ai.

Itu seperti meledek sikap kekanak-kanakannya, tapi Krisan tak

peduli dan terus memerankan peran anjing itu dengan baik, ada atau

tidak ada kedua gadis tersebut. Ia akan pipis mengangkang di kamar

mandi, sebagaimana ia mulai sering menjulurkan lidahnya.

"Bahkan meskipun kau jalan merangkak tubuhmu tak akan jadi

tubuh anjing," kata Ai yang menganggap Krisan begitu konyolnya,

"kecuali mungkin otakmu."

Mungkin benar: otaknyalah yang telah jadi otak anjing. Ketika Ai

mati, ia menggali kuburannya dengan cara sebagaimana anjing akan

menggali harta karun tulang yang disembunyikannya. Ia mengeruki

tanah kuburan itu dengan tangannya, jika haus ia pergi ke parit dan

minum langsung dengan mulutnya. Ia telah jadi anjing sesungguhnya,

tapi cuma di otak, tapi ia tak peduli. Ketika ia menggali kuburan si gadis

dengan cara seperti itu, Krisan bahkan percaya Ai, tentu saja rohnya,

pasti menyukai apa yang ia lakukan. Sebab Ai sangat suka anjing, dan

ia telah jadi anjing. Paling tidak ia bisa menggonggong, menjulurkan

lidah, dan menggali kuburan dengan tangan.

Dan sebelum itu, ia memerankan anjing pula ketika memerkosa

Rengganis Si Cantik di toilet sekolah.

Peristiwa ketika ia duduk di sofa dan melihat Rengganis Si Can?tik

menuruni tangga hanya mengenakan celana dalam dan kutang adalah

momen pertama yang membuat ia berpikir ingin me?nye?tu?buhinya. Ia

mulai berahi pada Rengganis Si Cantik, dan melupakan masalah-masa?

lah yang ditimbulkan oleh sikap kekanak-kanakannya. Ia akan diam

saja jika Rengganis Si Cantik tiba-tiba memeluknya dari belakang dan

menutup matanya. Ia tahu bahwa itu Rengganis Si Cantik, sebab orang

lain tak akan me?lakukannya serekat itu. Ia merasakan dengan pasti

tekanan buah dada di punggungnya, dan ber?tahan begitu lama seolah

berpikir menebak siapa yang telah menutup matanya, untuk menikmati

kehangatan tersebut, dan me?nik?mati sentuhan lembut kulit tangan di

pipinya.

Jika mereka berjalan bertiga, Rengganis Si Cantik hampir selalu

ber?jalan di tengah. Ai pasti memegang tangan gadis itu. Belakangan

Krisan juga menggenggam tangan Rengganis Si Cantik, untuk merasakan

lembut tangannya.

Ai dan Krisan selalu mengantarkan Rengganis Si Cantik pulang

terlebih dahulu, sebab rumah mereka berdekatan. Sebagai salam per?

pisahan, Rengganis Si Cantik selalu mencium pipi Ai dan Ai akan

mem?balasnya. Ia melakukannya juga pada Krisan. Pada awalnya Krisan

paling malas pada adegan tersebut, sebab terlihat kekanak-kanakan,

namun setelah kasus sofa dan tangga itu ia begitu me?nik?matinya. Mera?

sakan kehangatan bibir si gadis menempel di pipinya, dan mengecup

pipi si gadis yang hangat dengan bibirnya.

Dan jika malam datang, ia tak lagi mengkhayal tentang per?ka?winan

masa datang dengan Ai, tapi juga berfantasi melakukan persetubuhan

hebat dengan Rengganis Si Cantik.

Ia hanya memerlukan sebuah cara, dan sebuah kesempatan untuk

melakukannya.

Suatu ketika, saat Ai lengah dan hanya Krisan dan Rengganis

Si Cantik duduk di halaman depan rumah Sang Shodancho, Krisan

memeluk gadis itu dan si gadis balik memeluk. Siapa pun tak akan

terganggu dengan pemandangan semacam itu, bahkan meskipun Ai

memergokinya. Ketiganya bersaudara, bahkan lebih menyerupai anak

kembar daripada saudara sepupu. Lagipula Rengganis Si Cantik senang

memeluk dan dipeluk. Saat itu Krisan merayunya:

"Maukah kau kawin sungguhan denganku kelak?" tanyanya. Perta?

nya?an itu ia tanyakan dalam nada bercanda.

Tapi Rengganis Si Cantik menjawabnya serius. "Ya," katanya. "Tak

ada lelaki lain dalam hidupku selain Krisan, maka kau harus mengawini?

ku."

"Orang kawin harus bersetubuh."

"Maka kita akan bersetubuh."

"Kita akan melakukannya kapan-kapan."

"Ya, kapan-kapan."

Krisan melepaskan pelukannya dan hanya tertinggal Rengganis Si

Cantik yang masih melingkarkan tangannya di bahu anak itu ketika Ai

muncul dengan sekeranjang kecil jambu air, dengan pisau, dan cobek

ber?isi sambal lutis. Mereka akan pesta kebun, memanaskan lidah dengan

cabai, dan Krisan bahkan hangat sampai ke hatinya membayangkan

kesempatan persetubuhan itu akan datang.

Kesempatan itu datang di hari ketika Rengganis Si Cantik meme?

nangkan taruhan minum limun tanpa sepengetahuan Ai. Krisan tengah

mengisap rokok di ujung toilet ketika ia melihat gadis itu. Ketika Reng?

ganis Si Cantik masuk ke toilet ujung yang telah jadi sarang dedemit, ti?

ba-tiba Krisan tahu itulah kesempatannya. Ia segera pergi meninggalkan

teman-temannya, dan di salah satu pojok sekolah yang sepi ia melompati

benteng setinggi dua meter ke arah per?kebunan cokelat. Ia tahu toilet itu

atapnya berlubang, maka se?belum Rengganis pergi mening?galkannya, ia

segera mengendap mendekati toilet tersebut, menaiki benteng kembali

melalui dahan po?hon cokelat, dan melongok melalui atap yang bolong,
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memergoki Rengganis Si Cantik tengah berjongkok ngompol.

"Hey," panggilnya pelan.

Rengganis Si Cantik mendongak dan terkejut bahwa Krisan ada di

atasnya. "Sedang apa kau?" ia bertanya. "Hati-hati kau bisa jatuh dan

mati."

"Aku sedang menunggumu."

"Menungguku naik?"

"Tidak. Bukankah kita akan bersetubuh?"

"Apakah kau tak bisa turun?" tanya Rengganis Si Cantik lagi.

"Tentu saja aku akan turun."

Dengan berpegangan pada palang kayu yang nyaris rapuh Krisan

bergelantungan dan turun masuk ke dalam toilet. Kini mereka terku?

rung di dalam dengan Rengganis Si Cantik masih dengan celana dalam

melorot sampai lutut. Toilet itu sangat bau, dan jelas sangat tidak me?

nyenangkan karena kotornya. Tapi Krisan tak peduli, ia dalam pun?cak

berahi.

"Ayo kita bersetubuh," bisiknya.

"Aku tak tahu bagaimana caranya," Rengganis Si Cantik balas

berbisik.

"Aku bisa mengajarimu."

Perlahan-lahan Krisan mulai menurunkan celana dalam gadis itu

yang masih menggantung di lutut, dan menggantungnya di paku berka?

rat yang tertempel di dinding. Lalu dengan ketenangan yang sama ia

membuka kancing seragam sekolah Rengganis Si Cantik, satu per satu,

sehingga ia bisa menikmati sensasi melihat tubuhnya ter?buka perlahanlahan. Kemeja itu juga digantungkan di paku berkarat. Ia kemudian

membuka roknya, dan terpesona melihat war?na hitam di selangkang?

an si gadis. Itu membuat tangannya sedikit bergetar, dan ia menjadi

sedikit terburu-buru ketika membuka kutang gadis tersebut. Namun saat

menemukan buah dada yang sangat dirindukannya, ia menjadi tenang

kembali. Kini ia membuka pakaiannya sendiri. Kemejanya telah lepas,

lalu celananya, dan kemudian celana dalamnya. Kemaluannya teracung

keras ke atas, ia memeganginya dan memperlihatkannya pada Reng?

ganis Si Cantik. Gadis itu tertawa kecil melihat bentuknya.

Setelah itu tak ada lagi ketenangan. Ia meraih buah dada itu, meng?

elusnya dan meremasnya begitu nafsu, membuat si gadis meng?geliat dan

tersengal-sengal. Rengganis Si Cantik memeluk tubuh lelaki itu dengan

sangat erat. Krisan mendorong si gadis ke dinding toilet, dan menekan

tubuh si gadis dengan tubuhnya. Ia mulai mencium bibirnya, yang te?lah

didambakannya sejak lama, sejak mereka tak lagi memainkan per?mainan

pesta perkawinan itu. Tangannya tetap berada di antara dada mereka,

dengan jari-jarinya terus bermain, sementara tangan si gadis mencakar

dengan lembut punggungnya. Kemaluannya mulai mencoba mendesak

maju, menerobos selangkangan si gadis. Tapi ia hanya bisa membentur

kulit lembut paha gadis itu, membuatnya melengkung, dan paling jauh

berhasil menggosokkannya pada ruang antara kedua paha si gadis. "Ang?

kat sebelah kakimu ke bak kecil itu," bisik Krisan. Rengganis Si Cantik

melakukannya, dan ruang vaginanya kemudian terbuka lebar. Krisan

sangat leluasa menyetubuhinya, sebab ruang itu telah begitu basah, dan

hangat, dan memberikan suara ribut dari gerakan-gerakan mereka yang

mengguncangkan seolah-olah tengah berjalan melalui jalan yang penuh

berbatu. Mereka begitu me?nikmatinya, meskipun sebagaimana semua

pemula, persetubuhan itu berlangsung dengan sangat cepat.

Itulah yang sesungguhnya terjadi.

"Tapi bagaimana jika aku hamil?" tanya Rengganis Si Cantik setelah

percintaan yang singkat itu.

Krisan agak sedikit terkejut bahwa gadis itu tahu persetubuhan bisa

membuatnya hamil. Tiba-tiba hal itu membuatnya takut juga, sampai

gagasan gila itu muncul di otaknya.

"Kau bilang bahwa kau diperkosa seekor anjing."

"Aku tidak diperkosa anjing."

"Bukankah aku anjing?" tanya Krisan. "Kau sering lihat aku meng?

gonggong dan menjulurkan lidah."

"Memang."

"Maka katakan kau diperkosa seekor anjing. Anjing cokelat dengan

moncong hitam."

"Anjing cokelat dengan moncong hitam."

"Jangan sekali-kali kau sebut namaku dalam urusan ini."

"Kenapa?"

"Sebab aku anjing."

"Tapi kau akan mengawiniku, kan?"

"Ya. Kita akan bikin rencana jika kau sungguh-sungguh hamil."

Krisan segera berpakaian kembali, naik ke lubang di atap sebagai?

mana ia datang, dan atas idenya sendiri ia membawa pakaian Rengganis

Si Cantik dan membuangnya ke suatu tempat yang tak akan ditemukan

orang sampai kapan pun. Sementara itu, Rengganis Si Cantik, telanjang

bulat, bahkan tak mengenakan sepatu dan kaus kakinya, keluar dari toi?

let itu dan kembali ke kelasnya. Krisan tak pernah melihat kehebohan

yang diakibatkan oleh kemunculannya dengan cara seperti itu, sebab

ia tak satu kelas dengan Rengganis Si Cantik maupun Ai.

Ketika kemudian Rengganis Si Cantik sungguh-sungguh hamil,

ren?cana pelarian itu dibuat. Mereka akan bersembunyi di gubuk gerilya

dan melakukan pesta perkawinan sungguhan di sana. Tapi sesungguhnya

tidak begitu. Selama sembilan bulan Krisan diteror rasa takut bahwa

orang, terutama Maman Gendeng dan Maya Dewi, dan juga ibunya,

tahu bahwa Krisanlah yang menyetubuhi Rengganis Si Cantik. Ia

merencanakan membunuh gadis itu di gubuk gerilya, untuk mengubur

semua cerita tersebut, tapi kemudian ia mem?bu?nuh?nya di atas perahu,

dan membuang mayatnya ke laut.

aman Gendeng bangkit kembali di hari ketiga setelah ia mok?

sa. Ia datang untuk mengucapkan selamat tinggal, tentu saja.

Ke?pada Maya Dewi, siapa lagi.

Padahal tiga hari yang lalu Maya Dewi baru saja menguburkan

mayatnya, yang nyaris tak bisa dikenali lagi setelah diacak-acak ajak,

digerogoti belatung dan dikerubungi lalat yang bahkan ketika mayat itu

dibawa dari tempatnya ditemukan, lalat-lalat itu masih mengikutinya

menyerupai bintang berekor. "Itu bukan aku," kata Maman Gendeng

meyakinkan. Telah tiga hari Maya Dewi berkabung, sangat berkabung,

sebab ia kehilangan Maman Gendeng setelah sebelumnya kehilangan

anak perempuan mereka, Rengganis Si Cantik. Ia tak pernah mengira

bahwa bencana itu datang demikian tiba-tiba, maka selama tiga hari

itu ia terus-menerus membohongi dirinya sen?diri, menganggap mereka

masih hidup, meskipun ia mengenakan pakaian serba hitam tanda

berkabung.

Ia tetap tak bisa terhibur, meskipun mencoba mengingat bahwa

nasib yang diterima kedua kakaknya juga tak jauh berbeda. Alamanda

telah kehilangan Nurul Aini, dan Sang Shodancho menghilang men?

cari mayat anaknya yang dicuri dari kuburan. Adinda telah ke?hilangan

Kamerad Kliwon yang mati bunuh diri, meskipun ia masih memiliki

Krisan.

Setiap pagi ia masih menyediakan sarapan pagi untuk mereka ber?

tiga, sebagaimana setiap pagi sebelumnya ia makan bersama Maman

Gendeng dan anak mereka Rengganis Si Cantik. Piring-piring dise?

diakan untuk kedua orang itu, juga nasi dan sayur dan lauknya. Yang

ma?kan tentu saja hanya Maya Dewi sendiri, dan di setiap akhir ritual

semacam itu, ia harus membuang dua porsi makan yang tak tersentuh

oleh siapa pun. Ia melakukan hal itu juga di waktu makan malam,

begitu selama tiga hari.

Sebelumnya, ketika Maman Gendeng masih hidup, mereka berdua

memerankan kebohongan itu, mendustai diri sendiri bahwa Rengganis

Si Cantik masih hidup. Itu sebelum Maman Gendeng pergi. Mereka

berdua akan bertemu di meja makan, menyediakan porsi makan se?ba?

gaimana biasa untuk Rengganis Si Cantik, dan membuangnya ketika

acara makan mereka usai. Kini Maya Dewi harus melakukannya sendiri?

Sendirian saja.

Tapi di hari ketiga kematian Maman Gendeng ia tidak sendirian. Ia

makan malam berdua. Seperti dua malam sebelumnya dan seperti tiga

kali ia menyiapkan sarapan pagi, ia telah duduk di meja makan dengan

dua porsi lain untuk suami dan anak perempuannya. Ia masih mengena?

kan pakaian-pakaian gelap itu, dan masih percaya mereka duduk di

kursinya masing-masing, makan seperti dirinya. Ia belum juga menyuap

nasinya sendiri ketika pintu kamarnya terbuka dan laki-laki itu muncul,

langsung duduk di kursinya sebagaimana biasa. Maya Dewi menyuap

nasinya dan laki-laki itu mulai mengaduk kuah. Keduanya makan se?

lahap hari-hari yang lalu, tanpa bicara satu sama lain. Hanya satu porsi

tak tersentuh sebagaimana satu kursi tak terduduki. Tapi Maya Dewi

tetap percaya Rengganis Si Cantik ada di tempatnya, sebagaimana ia

melihat Maman Gendeng duduk di kursi dan memakan porsi makan?

nya. Ia baru menyadari kehadiran lelaki itu secara sesungguhnya ketika

makan malam telah berakhir. Ia menemukan piring suaminya kosong

dan piring Rengganis Si Cantik masih penuh oleh nasi yang disediakan?

nya. Itu tidak seperti biasa dan ia memandang Maman Gendeng tak

percaya. Lama mereka saling memandang sebelum perempuan itu ber?

tanya dengan suara berbisik nyaris tak terdengar.

"Kaukah itu?"

"Aku datang untuk pamit."

Maya Dewi menghampiri suaminya, menyentuhnya dengan sangat

hati-hati, seolah sosok itu patung lilin yang mudah meleleh. Jari-jarinya

merayap, menyentuh dahi lelaki itu, kemudian turun ke hi?dungnya,

ke bibirnya, ke dagunya, dengan mata si penyentuh memandang

de?ngan tatapan keingintahuan seorang bocah. Ketika ia merasakan

kehangatannya, merasakan bahwa ia hidup, ia semakin mendekat dan

mendekapnya. Maman Gendeng memeluknya, mem?biarkan perempuan

ber?kabung itu menangis di bahunya, mem?belai rambutnya, dan men?

cium pucuk kepalanya.

"Kau datang untuk pamit?" tanya perempuan itu tiba-tiba, sambil

men?dongak menatap wajah Maman Gendeng.

"Datang untuk pamit."

"Kau akan pergi lagi?"

"Sebab aku sudah mati. Aku sudah moksa."

"Bagaimana dengannya?"

"Aku pergi untuk menjaganya. Di sana."

Setelah menyentuh sebelah pipi istrinya dan mencium sebelah pipi

yang lain, Maman Gendeng melangkah masuk ke kamar tem?patnya

tadi datang, menutup pintunya kembali. Maya Dewi menatap pintu itu

dalam perasaan bingung, kemudian menatap piring kosong bekas diper?

gunakan Maman Gendeng, kemudian menatap piring yang masih terisi

nasi yang seharusnya dimakan Rengganis Si Can?tik, lalu memandang

kembali ke pintu kamar yang tertutup. Setelah kegugupan yang sejenak

itu, ia berlari menuju pintu tersebut, membukanya dan tak menemukan

siapa pun di sana.

Kenyataannya ia masih mencoba mencarinya. Memastikan bahwa

jendela kamar telah terkunci sejak sore. Menengok ke bawah tempat

tidur dan ia hanya menemukan sampah sisa obat nyamuk bakar dan

sandal rumah yang biasanya ia pakai sebelum salat. Tak ada tempat

lain yang memungkinkan lelaki itu bersembunyi di kamar tersebut. Ia

tak mungkin bersembunyi di dalam lemari dengan cermin besarnya

itu, yang bersekat-sekat dan dipenuhi pakaian mereka, tapi Maya Dewi

membukanya juga dan segera menutupnya kembali. Ia me?meriksa per?

mukaan tempat tidur, permukaan meja riasnya, berharap menemukan

sesuatu semacam jejak, tapi pencariannya sangat sia-sia. Ia meninggal?

kan kamar tersebut dan berdiri kembali memandangi meja makannya.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian ia kembali pada pekerjaannya. Ia membereskan meja

makan, memasukkan nasi dan sayur dan lauk yang tersisa ke lemari

makan. Setelah mereka, kedua gadis gunung yang membantunya mem?

buat kue-kue akan mengambilnya untuk makan mereka. Ia membawa

piring-piring bekas makan ke bak cucian, dan membuang nasi yang tak

dimakan Rengganis Si Cantik ke tempat sampah. Ia hanya mencuci

tangannya, tidak berniat untuk mencuci piring-pi?ring kotor tersebut

sebagaimana biasa, dan kembali ke kamarnya, memandang ruangan

kosong tersebut, lalu bertanya seolah Maman Gendeng ada di sana.

"Jika kau moksa," katanya, "lantas siapa yang aku kubur tiga hari

lalu?"

Itu adalah sebuah kisah pengkhianatan, berawal jauh ke belakang,

ketika mereka masih di awal perkawinan, sebelum malam pengantin

yang terlambat lima tahun dan Rengganis Si Cantik dilahirkan.

Seorang lelaki bertubuh besar dengan kepala plontos dan sebelah

telinganya sobek tercabik-cabik datang ke terminal bis pada siang

yang terik di hari Minggu, menyeruak di antara para penumpang bis

yang sebagian besar para pelancong yang tengah berebut bis selepas

meng?habiskan akhir pekan mereka di kota itu. Ia menabrak siapa pun

yang menghalangi jalannya, membuat seorang penjual rokok nyaris

menumpahkan jualannya, datang untuk menemui Maman Gendeng.

Ia menginginkan kursi goyang butut kayu mahoni yang dimiliki lelaki

itu, yang direbut Maman Gendeng sebelumnya de?ngan membunuh

Edi Idiot.

Sejak ia berkuasa, Maman Gendeng telah banyak menghadapi lela?

ki-lelaki yang menginginkan kursi butut tersebut, lambang kekuasaan?

nya, mengalahkan mereka tanpa perlu membunuhnya, namun selalu

saja ada lelaki-lelaki baru yang mencoba merebut kursi itu. Kini seorang

lagi tengah menghampirinya. Beberapa orang sa?habatnya telah melihat

lelaki asing itu sejak ia masuk terminal, telah mengetahui apa yang ia

inginkan tanpa harus bertanya kepadanya. Maman Gendeng juga tahu.

Tapi ia hanya diam, duduk dengan menyilangkan kakinya, mengayunayunkan dirinya sendiri, sambil mengisap rokok. Waktu itu tak seorang

pun tahu nama lelaki itu, dari mana ia datang, dan bagaimana ia tahu

bahwa yang berkuasa di tempat tersebut adalah Maman Gendeng. Jelas

ia bukan dari kota ini, sebab jika ia bukan orang asing dan berminat

pada kursi itu, ia telah menantang Maman Gendeng sejak dulu.

Itu masa-masa ketika Maman Gendeng masih sering menitipkan

uangnya dalam pundi-pundi yang disimpan seorang perempuan buruk

rupa bernama Moyang. Ia, perempuan itu, merupakan orang yang sa?

ngat ia percaya selain istrinya sendiri. Ia menyimpan uang-uangnya

un?tuk membeli sesuatu, ia belum tahu, suatu waktu, untuk mengejut?

kan istrinya (belakangan uang itu tak dibelikan apa pun dan dijadikan

modal istrinya membuka usaha bikin kue-kue). Moyang tiap hari selalu

ada di terminal bis, sebagaimana dirinya. Ia menjual minum dan rokok

di siang hari, dan jika malam ia disetubuhi beberapa lelaki yang tak

peduli pada wajah buruknya (sebab apa bedanya wajah cantik dan buruk

rupa di balik semak yang gelap?) dan tak berniat mengeluarkan uang

di tempat pelacuran. Sebab Moyang tak pernah minta uang untuk per?

setubuhan. Maman Gendeng belum pernah menyetubuhinya, dan tak

berniat melakukannya, tapi ia memercayakan pundi-pundi uangnya di

tangan perempuan itu. Di kolong tempat tidur di gubuk tempat tinggal?

nya. Semua teman-teman Maman Gendeng tahu belaka soal itu, tapi

tak seorang pun berani mencurinya, bahkan tidak untuk melihatnya.

Adalah hal biasa terjadi perkelahian di terminal bis, sebab anakanak sekolah sering mempergunakan tempat itu untuk perkelahianper??kelahian mereka. Tapi tidak jika yang berkelahi adalah Maman

Gendeng. Dan kini semua orang menantikan apa yang akan terjadi,

atau bagaimana akan terjadi, ketika lelaki plontos itu menghampiri sang

preman dan semua orang tahu ia akan menantangnya. Tak se?orang pun

yakin lelaki asing itu bisa memperoleh apa yang ia inginkan. Setelah

beberapa tahun, orang-orang di terminal bis telah dibuat yakin tak

seorang pun bisa mengalahkan Maman Gendeng, kecuali mungkin jika

ia dikeroyok semua tentara yang dimiliki pemerintah republik, dan itu

pun masih banyak yang menyangsikan jika desas-desus bahwa ia kebal

senjata adalah benar. Meskipun be?gitu, perkelahiannya selalu menjadi

satu hal yang ditunggu orang.

Pagi-pagi sekali, sebelum berangkat sekolah dan ketika ia me?le?

tak?kan pakaian ganti suaminya di atas tempat tidur, Maya Dewi telah

berpesan agar ia pulang tidak dalam keadaan pakaian penuh kotoran.

Masalahnya, sebelum itu meskipun ia mengenakan pakaian bersih dan

bahkan tersetrika dengan rapi yang semuanya disediakan Maya Dewi,

ia sering pulang dalam keadaan sedikit berlepotan. Kadang-kadang

karena percikan oli atau minyak gemuk saat ia membantu kenek bis

yang menghadapi kendaraan mereka mogok, lain kali mungkin kotor

karena jelaga yang tertempel di dinding bis dan berasal dari semprotan

asap knalpot. Bukan semata-mata baju kotor lebih menyusahkan untuk

dicuci, tapi Maya Dewi berkomentar bahwa suaminya tampak lebih

jelek dengan pakaian yang kotor. Hari itu ia mengenakan kemeja warna

krem, yang akan segera terlihat jika kena kotor, tapi ia telah berjanji

hari itu tak akan me?ngotori pakaiannya, bahkan meskipun hari itu ia

harus berkelahi.

Ia tengah bersantai di kursi itu di siang terik tersebut, mengisap

rokoknya perlahan-lahan dan mengembuskan asapnya perlahan-lahan

pula, ketika ia melihat laki-laki itu sejak masuk pintu terminal. Sebagai?

mana semua orang yang melihatnya, ia tahu ia akan me?nemuinya. Kini

lelaki plontos itu telah ada di depannya, dan bagaimanapun Maman

Gendeng tak ingin mengotori pakaiannya, maka ia berkata sebelum

laki-laki di depannya berkata, sambil berdiri, "Jika kau menginginkan

kursi itu, silakan duduk, atau kau ambil," katanya. Semua orang nyaris

tak percaya, bahkan si plontos juga tak percaya, dan hanya diam me?

mandangi kursi kosong itu.

"Maksudku tak sesederhana itu," kata si plontos, "aku meng?ingin?kan

kursi itu dengan segala akibat darinya."

"Aku mengerti dengan baik, maka duduklah dan kau akan memper?

oleh semuanya," Maman Gendeng mengangguk, membuang puntung

rokoknya.

"Seorang preman yang tak terkalahkan dalam semua perkelahian

tiba-tiba menyerahkan kekuasaannya tanpa melakukan apa pun," kata si

plontos. "Tak seorang pun mengerti kecuali karena ia ingin mengundur?

kan diri dan menjadi suami yang baik."

Maman Gendeng menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, dan

gerakan tangannya menyuruh orang itu untuk duduk di kursi goyang

kayu mahoni tersebut. Si laki-laki plontos segera saja meng?ham?piri kursi

tersebut, lambang seluruh kekuasaan, keberanian, dan kemenangan.

Namun sebelum ia sungguh-sungguh mendudukinya, Maman Gendeng

telah menghantam laki-laki itu persis di teng?kuknya, dengan bagian

bawah kepalan tangannya, begitu keras sehingga orang bagaikan men?

dengar tulang-belulangnya patah, dan si lelaki plontos ambruk di sam?

ping kursi. Maman Gendeng tak mengotori pakaiannya, bagaimanapun.

Seseorang menyeret si plontos ke trotoar di pinggir terminal, sementara

Maman Gendeng kembali duduk di kursinya, merokok.

Sejak hari itu si plontos sering berkeliaran di terminal, menjadi anak

buah yang baik bagi sang preman. Ia menamakan dirinya Romeo. Mung?

kin ia pernah baca Shakespeare, mungkin tidak. Tapi ia me?namakan

diri?nya Romeo, dan semua orang memanggilnya Romeo, meskipun

semua orang merasa aneh nama itu dipakai untuk menyebut lelaki

plontos yang besar dengan sebelah telinga sobek tercabik-cabik. Romeo

menjadi bagian dari komunitas itu, hidup bersama mereka, mengakui

kekuasaan Maman Gendeng, meskipun orang tetap tak tahu dari mana

asal-usulnya, sebagaimana banyak di antara mereka juga tak memiliki

asal-usul yang terang. Dan sebagaimana yang lainnya, ia juga meniduri

Moyang sekali dua kali, hingga suatu ketika ia berkata pada Maman

Gendeng, "Aku mau mengawininya."

"Tanya sendiri perempuan itu," kata sang preman, "apakah ia mau

jadi istrimu."

Moyang mau kawin dengannya, dan semua orang segera tahu mereka

akan saling mengawini. Maka mereka kawin sebulan setelah itu, atas

biaya Maman Gendeng, lengkap dengan pesta kecil cara mereka. Kedua?

nya tinggal di gubuk tempat Moyang tinggal selama ini.

"Demi Tuhan," kata Maman Gendeng, "Romeo mengawini perem?

puan yang akan tetap ditiduri banyak lelaki di malam hari."

Mereka melakukan bulan madu yang mengundang kecemburuan

banyak orang. Mereka terlambat datang ke terminal bis setelah bercinta

semalaman, dan di siang hari mereka kadang menghilang dari kios jual?

an Moyang dan bercinta di balik semak-semak tak jauh dari terminal

bis, di dekat perkebunan cokelat. Namun sebulan setelah itu, jelas apa

yang dikatakan Maman Gendeng adalah benar. Di malam hari, jika sua?

minya pergi dan ia baru saja menutup kiosnya, Moyang akan bercinta

dengan lelaki lain. Kadang-kadang dengan seorang tukang becak, lain

kali dengan kenek bis, waktu lain dua orang lelaki menyetubuhinya

ber?sama-sama.

"Kita tak bisa menghalangi seorang perempuan dari ke?se?nang?an?

nya," kata Romeo, "tak peduli itu istri sendiri."

"Kau seharusnya jadi filsuf," kata Maman Gendeng, "jika tidak gila."

"Sebab ia sendiri memberiku uang," kata Romeo lagi, sambil duduk

di samping kursi kayu mahoni yang pernah diinginkannya, "untuk men?

coba perempuan di tempat pelacuran."

Terminal bis tersebut telah menjadi kebanggaan komunitas mereka

selama bertahun-tahun, bahkan sejak Edi Idiot masih menguasai kota,

hingga masa ketika Maman Gendeng menggantikannya. Ter?minalnya

tak terlampau besar, sebab dari kota itu hanya ada dua arah jalan keluar,

ke timur dan ke utara. Ke barat ada ruas jalan kecil yang buntu setelah

melewati dua kota kecil. Tak semua preman kota itu berkumpul di ter?

minal bis, bahkan cenderung minoritas, namun disebabkan Maman

Gendeng selalu berada di sana sebab ia suka me?lihat orang lalu-lalang

dan terutama menikmati kursi goyang kayu mahoni itu, terminal bis

menjadi tempat penting bagi mereka. Semua orang tampak berbahagia,

komunitas tersebut, bahkan meskipun Moyang yang bisa mereka tiduri

tanpa membayar kemudian kawin dengan Romeo, sebab mereka masih

tetap bisa menidurinya kapan pun mereka mau, terutama jika Moyang

sedang mau.

Namun kebahagiaan itu terganggu pada suatu hari yang damai yang

seharusnya mereka lalui tanpa masalah apa pun. Moyang mem?buka kios?

nya namun tak bersemangat menjual apa pun, se?ba?liknya ia menunggu

Maman Gendeng yang mungkin masih tertidur di rumahnya dan belum

muncul ke terminal. Ketika ia muncul, dengan penampilan?nya yang

nyaris necis seolah ia bukan begundal kota, penampilan yang telah dike?

nal teman-temannya sejak ia kawin, Moyang segera meng?hampirinya

dan menangis keras di hadapannya. Tangisan seperti itu seperti tangisan

seorang istri yang ditinggal suami, dan Maman Gendeng berpikir Romeo

meninggalkan Moyang. Tapi tak ada alasan bagi perem?puan itu untuk

menangis, sejauh Maman Gendeng tak begitu yakin dengan cinta dan

kesetiaan pe?rempuan itu pada Romeo, maka ia bertanya.

"Kenapa?"

"Romeo pergi."

Tebakannya benar, tapi justru membingungkan.

"Kupikir kau tak terlalu mencintainya," kata Maman Gendeng.

Setelah menghapus air mata dengan ujung baju yang membuat

pe?rutnya yang berlipat-lipat tampak, ia berkata, "Masalahnya, ia pergi

dengan pundi-pundi uang milikmu."

Romeo tak mungkin kabur melalui terminal bis, dan sepagi itu be?

lum ada kereta yang berangkat dari kota. Maka kemungkinan be?sar ia

lari ke hutan, atau jika apes, seseorang membantunya melarikan diri
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

de?ngan kendaraan. Apa pun yang terjadi, Maman Gendeng sangat

marah dan bertekad untuk menangkapnya, hidup atau mati. Maka ia

mengumpulkan semua anak buahnya, memanggil mereka semua. Semua.

Dan menyuruh mereka menyebar ke semua tempat yang mungkin,

bah?kan ke kota-kota sekitar, berhubungan dengan begundal-begundal

setempat. Sebelum tertangkap, tak seorang pun diperkenankan kembali

kecuali ia akan menghajarnya. Maka semua preman di kota itu pergi,

satu-satunya waktu ketika kota itu de?mikian damainya, hanya tertinggal

Maman Gendeng yang tak bisa diam menahan kemarahannya. Ia telah

lama memimpikan satu kehidupan keluarga yang damai, dan memakan

sesuatu dari uang yang dihasilkan secara halal. Ia menginginkan keluarga

sebagaimana keluarga yang lain. Ia mengumpulkan uang-uang tersebut

demi mimpi indahnya. Ia akan membeli sesuatu, mungkin kapal ikan

dan ia jadi nelayan. Atau mobil bak dan ia jadi pengangkut sayur. Atau

tanah beberapa hektar dan ia jadi petani. Ia belum memutuskan apa yang

akan ia beli, tapi uang tersebut kini dibawa orang. Ia sungguh-sungguh

marah. Selama tiga hari ia menunggu dalam ketidaksabaran, tak menja?

wab pertanyaan istrinya yang heran dengan semua ke?ge?lisahannya, dan

menjadi pemarah luar biasa di terminal bis membuat semua kenek dan

sopir bis menghindarinya sebisa mungkin.

Namun pada hari keempat dua orang anak buahnya berhasil mem?

bawa Romeo kembali. Ia ditemukan di kota kecil paling ujung, di tepi

hutan raya tempat perang gerilya pernah meletus paling hebat di kota itu,

di sebelah barat Halimunda. Maman Gendeng cukup beruntung uangnya

masih selamat, hanya berkurang untuk segelas tuak, limun dingin dan

se?bungkus rokok, dan kedua teman itu telah menangkapnya sebelum

ia membelanjakannya lebih banyak. Meskipun begitu, kemarahannya

adalah soal lain.

Ketika ia datang, Romeo bahkan telah babak belur dihajar kedua

anak buah Maman Gendeng, tapi Maman Gendeng telah dibuat ma?

rah tanpa ampun hingga ia menghajarnya lagi, nyaris mati, se?mentara

orang-orang menontonnya secara melingkar bagaikan tengah melihat

sabung ayam. Romeo melolong begitu memilukan, meminta ampun dan

berkata bahwa ia tak akan pernah mengulangi kelakuan buruk tersebut,

tapi pengalaman telah mengajari Maman Gendeng bahwa pengkhianat

tak sebaiknya dipercaya. Maka ia terus meng?hajarnya, dan Romeo terus

melolong minta ampun. Semakin banyak orang yang berkerumun,

paling depan duduk dan yang di belakang berdiri, tanpa ada yang bisa

mereka perbuat kecuali me?nonton kebrutalan tersebut. Tontonan yang

seolah mengatakan kepada me?reka semua bahwa tak baik melakukan

kecurangan kepada Maman Gendeng. Bahkan polisi yang lalu-lalang di

depan terminal bis tutup mata soal itu, dan tetap berada di tempatnya.

Burung-burung elang pemakan bangkai mulai berdatangan ketika

bau kematian orang itu mulai mengambang dan diembuskan angin laut

ke mana-mana. Tapi Romeo belum juga mati, bukan karena ia demikian

kuatnya, tapi karena Maman Gendeng sengaja membuat kematian?

nya begitu lama, begitu menyakitkan, sebagai pelajaran berharga bagi

siapa pun bahwa begitulah nasib bagi para pengkhianat. Dan ia sangat

menyesal pada para burung elang pemakan bangkai itu, bukan sekadar

pada kematian korbannya yang begitu lama sebab ia merontokkan

gigi-giginya begitu perlahan, mematahkan dua atau tiga jari tangannya,

mencabuti kuku-kuku jari kakinya, me?ne?lan?janginya dan mulai men?

cabuti bulu kemaluannya. Ia bahkan meng?hiasi seluruh tubuhnya yang

telah babak belur dengan hiasan puntung rokok yang masih menyala.

Bukan sekadar itu. Ia menyesal pada burung-burung elang pemakan

bangkai sebab tampaknya ia tak berniat membagi kebahagiaannya

de?ngan mereka. Karena ia tak akan memberikan bangkai itu untuk

siapa pun, tapi berniat untuk membakarnya hidup-hidup sebagai wujud

kemarahannya yang terakhir.

Namun ketika ia tengah mempersiapkan bensin dan pemantik api,

mendadak perempuan buruk rupa itu menghambur ke tengah-tengah

kerumunan orang dan berdiri di depannya. Ia memohonkan ampun

bagi suaminya, dan jika Maman Gendeng membiarkannya hidup, ia

berjanji akan merawatnya dan menjadikannya sebagai se?orang lelaki

yang layak dipercaya.

"Berilah kesempatan, Sahabatku," kata Moyang, "sebab ba?gai?mana??

pun ia suamiku."

Maman Gendeng menjadi begitu terharu dibuatnya, sehingga hati?nya

dengan serta merta mencair. Ia membuang kaleng bensinnya ke tempat

sampah dan berkata pada semua orang bahwa ia memberi kesempatan

kedua untuk lelaki tersebut, tapi tak akan ada kesempatan semacam itu

lagi bagi laki-laki lain yang mencoba mengkhianatinya. Demikianlah

Romeo yang kawin dengan Moyang tak jadi santapan api atau burung

elang pemakan bangkai, dan sebaliknya hidup menjadi sahabat dan

pengikut Maman Gendeng yang paling setia. Sementara itu Maman

Gendeng mengambil semua uangnya dan memberikannya pada Maya

Dewi yang beberapa waktu kemudian menjadi modal membuka usaha

pembuatan kue setelah ia mengambil dua gadis gunung yatim piatu

tersebut.

"Lelaki itulah," kata Maman Gendeng, "yang kau kuburkan. Romeo."

Tentu saja Maya Dewi tak mendengarnya. Tak mengetahuinya.

Semua peristiwa itu berawal ketika Rengganis Si Cantik melarikan

diri dari rumah dengan anak yang baru dilahirkannya, "untuk kawin

de?ngan anjing."

Waktu itu awal bulan Desember dengan cuaca yang sering tak me?

nentu, dengan kota yang dipenuhi para pelancong untuk meng?ha?bis?

kan akhir tahun di sana, dan sangatlah mudah menghilang di tengah

ke?rumunan banyak orang seperti itu. Kota menjadi demikian ribut dan

semua orang mulai tak peduli satu sama lain sebab bisnis tengah berputar

lebih kencang di saat-saat seperti itu. Kios-kios sou?venir ber?tebaran,

masih tetap bertahan sejak masa Kamerad Kliwon membela me?reka dari

penggusuran. Selalu ada banyak anak hilang, bahkan orang tua hilang,

gadis-gadis hilang, di tengah keramaian seperti itu, dan para petugas

menempelkan pengumuman di sana-sini, serta meng?umum?kannya pula

melalui speaker yang menggema sepanjang pantai.

Tapi Rengganis Si Cantik bukan hilang seperti itu. Pengunjung

yang hilang pasti hanya tersesat, dan setelah bertanya sebentar ia akan

sampai ke rombongannya kembali. Rengganis Si Cantik bukan pengun?

jung yang tersesat, ia pergi meninggalkan rumah dan seluruh keluarga

mencarinya. Maman Gendeng dan Maya Dewi bertanya ke sana-ke?

mari, dan anak buahnya menyebar sebagaimana dulu mereka mencari

Romeo, tapi gadis itu tak juga ditemukan. Sang Shodancho, terutama

dibuat khawatir oleh anaknya, Nurul Aini, yang menjadi demam tak

terkendali sejak hilangnya Rengganis Si Cantik, me?nge?rahkan pasukanpasukan perintis mencari gadis tersebut, namun ia me?lupakan gubuk

gerilya karena tak pernah mengira anak-anak tersebut mengetahuinya.

Selama berhari-hari pencarian itu dilakukan siang dan malam,

sementara persiapan pesta perkawinan yang sedianya akan dilakukan

dibereskan kembali dan semua properti sewaan dikembalikan ke peru??

sahaan masing-masing. Si bocah Kinkin menjadi sedikit gila karena

peristiwa itu, mencari seorang diri ke segenap pelosok, sambil menen?

teng senapannya dan membunuh semua anjing yang ditemuinya di per?

jalanan. Ia bertanya pada roh-roh orang mati dengan jai?lang?kungnya,

namun tak satu pun di antara mereka mengetahuinya.

"Satu kekuatan roh jahat melindunginya," ia berkata seperti pada

diri sendiri.

"Ia akan mati dalam beberapa hari," kata Maya Dewi sambil me?

nangis, "ia tak akan tahu apa yang harus ia makan di jalanan seperti

itu padahal ia tak membawa sepeser pun uang."

"Aku tak melihat alasan bahwa ia harus mati," kata Maman Gen?

deng mencoba menenangkan istrinya. "Jika ia kelaparan, paling tidak

ia membawa bayi itu untuk dimakannya."

Para pencari mulai kembali satu per satu tanpa membawa hasil, bah?

kan tak seorang pun melihat jejaknya. "Tak mungkin ia moksa," kata

Maman Gendeng, "semedi saja belum pernah ia lakukan." Maka para

pencari berangkat lagi, menelusuri semak demi semak, lorong-lorong

kota, permukiman-permukiman kumuh, dan tetap tak menemukannya.

Maya Dewi mencoba mengunjungi satu per satu te?man sekolah anak

gadisnya, tapi jelas itu sia-sia sebab selama ini hanya Ai dan Krisan yang

menjadi temannya bermain. Ia tampak men?jadi yang paling gelisah, dan

menyesal malam itu ia tak me?nung?guinya.

Melewati tahun baru, kota semakin banyak dipadati para pe?lan?cong.

Ada beberapa orang yang mati tenggelam, sebagaimana diumumkan

para petugas, dan Maman Gendeng serta Maya Dewi me?meriksa semua

mayat itu satu per satu. Sebagian besar para pelancong yang melanggar

daerah larangan berenang, namun akhirnya mereka menemukannya.

Ia sangat mudah dikenali, sebab air laut bahkan tak menghancurkan

ke?cantikannya. Entah telah berapa lama ia tenggelam, dan kemudian

dibawa ombak ke tepi pantai dan orang-orang menemukannya. Semua

orang segera mengenalinya, sebagaimana Maman Gendeng dan Maya

Dewi yang segera diberitahu atas penemuan tersebut. Ia berbaring

telentang dengan pakaian nyaris hancur. Wajahnya masih wajah can?

tik itu, dengan rambut mengembang dipermainkan air. Perutnya tak

kembung sebagaimana kebanyakan orang tenggelam. Mereka segera

mengetahuinya. Ada warna kehitaman di lehernya. Seseorang telah

membunuhnya sebelum melemparkannya ke laut. Maya Dewi meledak

dalam tangisan hebat.

"Apa pun yang terjadi ia harus dikuburkan," kata Maman Gendeng

menahan geram, "dan kemudian kita temukan anjing pembunuh itu."

"Tak mungkin anjing mencekik lehernya," kata Maya Dewi yang

nyaris tak sadarkan diri di bahu suaminya.

Maman Gendeng membopong sendiri mayat Rengganis Si Cantik,

ditemukan di ujung barat pantai Halimunda, hampir sebulan setelah

ia menghilang dari rumah. Maya Dewi mengikutinya dari belakang,

de?ngan mata bengkak dan air mata tak terhentikan, dan orang-orang

yang bersimpati mengekor di belakang keduanya.

Sore itu, bagaimanapun, setelah semua ritual kematian dijalankan,

keranda berisi tubuh Rengganis Si Cantik membelah kota menuju

pemakaman Budi Dharma. Kinkin yang segera mengetahui bahwa pe?

makaman hari itu adalah pemakaman bagi gadis yang sungguh-sungguh

dicintainya nyaris dibuat tak sadarkan diri, ikut menggali kuburan

bersama ayahnya dalam kesedihan yang tak terbayarkan oleh apa pun.

Ia bahkan ikut menurunkan mayat tersebut, bersama Maman Gendeng

dan Kamino. Dan setelah Maman Gendeng me?na?burkan tanah pertama

di atas kain kafannya, Kinkin ikut pula menutup kembali kuburan

kekasihnya, dan memasang kayu nisan dengan penuh cinta.

"Akan kutemukan siapa pembunuhnya," kata Kinkin dengan penuh

dendam, "dan aku akan membalas kematiannya."

"Lakukanlah," kata Maman Gendeng, "jika kau bisa akan ku?berikan

kesempatan membunuhnya kepadamu."

Malam hari mereka berdua bertemu di kuburan Rengganis Si Cantik

dan memanggil arwahnya. Kinkinlah yang melakukan, se?men?tara Ma?

man Gendeng hanya menunggu. Permainan jailangkung dimulai, tapi

arwah Rengganis Si Cantik tak pernah juga muncul. Kinkin mencoba

memanggil arwah lain, mencoba bertanya siapa yang membunuh gadis

itu, namun tak satu pun dari mereka me?nge?tahui jawabannya, sebagai?

mana sebelumnya mereka tak tahu di mana Rengganis Si Cantik ber?

ada.

"Kita tak bisa melakukannya," kata Kinkin putus asa sambil meng?

akhiri permainan jailangkung tersebut. "Roh jahat yang sangat kuat

sekali menghalangi segala usahaku sejak awal."

"Jika diperlukan aku akan moksa untuk melawannya," kata Maman
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gendeng, "tapi aku masih ingin tahu siapa yang mem?bu?nuh?nya."

Itulah waktu ketika ia dan istrinya mulai membohongi diri me?reka

sendiri dengan menganggap Rengganis Si Cantik masih hidup. Mereka

menyediakan kursi untuknya di waktu sarapan pagi dan makan malam,

dan menghidangkan porsi makan untuknya, meskipun setelah itu Maya

Dewi harus membuangnya. Sementara itu polisi membongkar kembali

kuburan Rengganis Si Cantik untuk melakukan pemeriksaan sebelum

menguburnya lagi. Maman Gendeng tak keberatan soal itu, dan men?

coba percaya bahwa polisi-polisi itu akan menemukan siapa pembunuh?

nya. Entah apa yang mereka la?kukan, tapi selama seminggu, kemudian

sebulan, tak ada kejelasan apa pun, tak menemukan titik terang apa

pun. Hanya ada wawancara-wawancara dengan banyak orang, semua

orang dipanggil ke kantor polisi dan ditanyai, Maman Gendeng dan

Maya Dewi datang sebanyak lima kali, dan orang lain sejumlah yang

sama, tapi semuanya se?makin menjauhkan orang dari ditemukannya

pembunuh Rengganis Si Cantik. Segalanya tampak mulai melelahkan,

dan Maman Gendeng mulai tak lagi percaya pada polisi-polisi itu. Ia

menghardik polisi terakhir yang datang ke rumahnya untuk melakukan

pemeriksaan.

"Kalian tak akan mungkin menemukan pembunuhnya di rumah ini,"

katanya jengkel, "kalian telah bodoh sejak dalam pikiran."

Pada saat itu, bagaikan menerima wahyu penuh kebenaran dari

langit, sang preman mengerti dengan baik apa yang harus di?la?ku?kan?nya.

"Jika tak seorang pun membunuhnya," ia berkata penuh kepastian,

"maka berarti seluruh kota ini adalah pembunuhnya."

Pada hari Senin berikutnya, bersama sekitar tiga puluhan anak buah?

nya ia melakukan aksi paling brutal yang akan diingat penduduk kota

sebagai saat-saat paling mengerikan. Ia memulainya dengan mendatangi

kantor polisi, menghancurkan apa pun yang mereka temukan di sana,

melawan semua polisi yang mencoba menghalangi apa yang mereka

ingin lakukan. Beberapa polisi harus berakhir di rumah sakit dalam

perkelahian yang tak seimbang, dan di akhir kunjungan mereka ke kan?

tor polisi, Maman Gendeng membakar tempat itu sebagai pelampiasan

sikap marahnya atas kerja mereka yang tak berguna dalam menemukan

siapa pembunuh anak gadisnya.

Kota itu seketika terhenyak mendengar kantor pusat kepolisian

dibakar para preman yang dipimpin langsung oleh Maman Gendeng.

Asapnya membubung tinggi ke langit yang bahkan pemadam ke?bakaran

tak sanggup menghentikannya. Tak seorang pun berani datang untuk

melihat kantor itu terbakar, sebagaimana sering terjadi pada kebakarankebakaran lain, begitu tahu Maman Gendeng dan teman-teman begun?

dalnya dalam keadaan marah tak terkendali. Mereka hanya diam,

saling menceritakan hal itu dari mulut ke mulut, sambil menggigil

mem?bayangkan apa yang akan dilakukan laki-laki paling menakutkan

itu, terutama setelah mereka mendengar Maman Gendeng mengatakan

bahwa semua orang di kota itu ikut bertanggung jawab atas kematian

Rengganis Si Cantik.

Padahal kini ia seorang lelaki tua yang telah hidup lebih dari sete?ngah

abad, Maman Gendeng itu, namun kekuatannya semua orang tahu tak

berkurang sedikit pun sejak pertama kali ia datang dan membuat keribut?

an di pantai sebelum membunuh Edi Idiot. Ia telah memiliki apa yang

telah lama ia mimpikan: keluarga. Ia memiliki istri yang can?tik, yang

paling cantik di antara saudara-saudaranya sebagaimana sering dikatakan

orang-orang, dan mereka berdua diberi seorang gadis cantik yang paling

cantik jika semua perempuan cantik di kota itu dikum?pulkan. Ia masih

bisa mengenang saat ia membawa anaknya mengikuti pemilihan Putri

Pantai Tahun Ini yang diselenggarakan rayon militernya Sang Shodan?

cho, dan memenangkan mahkotanya dengan sangat membangga?kan.

Tapi kini ia kehilangan gadis itu dengan cara yang paling pahit un?

tuk diterima: seseorang membunuhnya, membuang mayatnya ke laut,

dan ia tak tahu siapa. Ia menyesal tidak melakukan sesuatu sejak gadis

itu berkata bahwa ia diperkosa anjing di toilet sekolah. Ia seharusnya

melakukan sesuatu. Paling tidak datang ke sekolah itu, melihat toilet itu,

tapi kenyataannya ia tak melakukan apa pun. Ia seharusnya mena?nyai


Animorphs 12 Kuman Pengacau Rachel Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai Mawar Merah Roses Are Red Karya James

Cari Blog Ini