Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 11
semua anak lelaki di sekolah, karena Rengganis Si Cantik bisa salah
menyebut anak-anak itu sebagai anjing. Atau kenapa ia tidak sejak awal
mencari anjing tersebut, jika memang anjing yang memerkosa anaknya,
dan jika tidak ia temukan, kenapa tidak ia bantai semua anjing yang
hidup di kota ini sebagaimana telah dilakukan si bocah Kinkin dengan
cara yang sangat amatiran.
"Mijn hond is weggelopen," katanya tak jelas apa maksud.
Selepas membakar kantor polisi, dan ia menemukan anjing per?
tama, anjing kampung, tengah mengais-ngais sampah, ia menangkap
dan membunuhnya. Semua orang terkejut dengan cara bagaimana dia
melakukannya. Ia memelintir leher anjing itu hingga putus dan tergele?
tak mati dengan tubuh dan kepala terpisah.
"Apa gunanya aku memiliki kekuatan jika aku bahkan tak bisa me?
lindungi anak gadisku dari seekor anjing," katanya. "Mari kita bunuh
semua anjing di kota ini."
Para begundal anak buahnya mulai menyebar dalam gerombolange?rombolan besar, membawa senjata-senjata pembunuh yang me?nge?
rikan. Beberapa di antara mereka menenteng senapan angin, yang lain
mengayun-ayunkan golok dan pedang telanjang.
"Kulakukan bahkan meskipun tak membuat jiwaku tenang," Maman
Gendeng mendesah.
"Apakah kau tak bisa membuat seorang anak lagi?" Itu pertanyaan
konyol Romeo.
Maman Gendeng sama sekali tak dibuat terhibur. "Bahkan mes?kipun
aku punya sepuluh anak yang lain, seseorang telah membunuh yang satu
dan aku tak mungkin diam karena itu." Matanya menatap lorong-lorong
jalan berharap menemukan anjing lain, dan me?nam?bahkan dengan
sedih, "Ia baru berumur tujuh belas tahun."
"Anak Sang Shodancho juga mati," kata Romeo.
"Itu tak membuatku terhibur," kata sang preman.
Maka pembantaian anjing paling mengerikan di kota itu mulai
ter?jadi, hampir seperti pembantaian orang komunis delapan belas
tahun sebelumnya. Entah apa yang akan terjadi jika Sang Shodancho
tahu, sebab ia sangat menyukai anjing, dan banyak anjing di kota itu
merupakan peranakan ajak-ajak yang dilatihnya sewaktu penyerbuan
terhadap gangguan babi bertahun-tahun lalu. Sang Shodancho tak per?
nah tampak sejak kuburan anaknya digali orang, dan seperti Maman
Gen?deng, ia menjelajahi pelosok kota dan desa-desa serta kam?pungkam?pung untuk mencari di mana mayat anaknya berada. Begundalbegundal itu dengan mudah membacok anjing-anjing yang berkeliaran
di jalanan, mencincangnya seolah mereka hendak menjadikannya
sebagai daging-daging sate. Kepalanya digantung di pojok-pojok jalan,
seolah sebagai penanda bagi semua anjing untuk merasa takut hidup
di kota itu, dengan darah masih menetes-netes dari pangkal lehernya.
Setelah anjing-anjing liar terbunuh tak tersisa, baik yang ditemukan
di tempat-tempat sampah maupun berkeliaran di pantai, mereka mulai
mengincar anjing-anjing piaraan. Ada per?lawanan-perlawanan dari para
pemilik anjing, tapi begundal-begundal itu tak mungkin terkalahkan.
Mereka menghancurkan pa?gar rumah dan membunuh anjing di kan?
dangnya, dan terutama anjing-anjing yang dirantai tampak tak berdaya
menghadapi para pembunuhnya. Mereka juga masuk ke rumah-rumah,
menghancurkan jendela dan mengincar anjing-anjing yang dipelihara
di atas tempat tidur, hingga bahkan mereka membunuhnya di sana dan
me?lem?par?kannya ke wajan penggorengan di dapur.
Beberapa orang mulai keberatan atas cara-cara kasar para preman
memburu anjing sampai rumah-rumah, namun Maman Gendeng tak
peduli. "Bahkan jika benar anjing memerkosa anak gadisku," katanya,
"maka ia sesungguhnya mewarisi pikiran jahat manusia." Ia bahkan
me?nyuruh anak buahnya merusak apa pun yang dimiliki orang-orang
yang memelihara anjing.
"Kita bisa berhadapan dengan tentara jika kau membuat kekacauan
sampai sejauh itu," kata Romeo dengan nada ketakutan yang tak dapat
disangsikan.
"Kami pernah menghadapi tentara-tentara itu," kata Maman Gen?
deng.
Romeo memandangnya, seolah tak percaya.
"Kau pikir apalagi yang akan dilakukan oleh seorang laki-laki yang
marah karena anak gadisnya dibunuh?" tanya Maman Gendeng. "Aku
tahu orang-orang itu sama sekali tak berdosa, tapi aku sedang marah."
Itu seperti alibinya, tapi sesungguhnya ia memang marah pada se??mua
orang-orang kota selain para begundal sahabatnya. Ia telah me?nahan
dendam yang sangat lama, tahu dengan pasti bahwa semua orang me?
man?dang rendah pada dirinya, seorang begundal peng?angguran yang
hanya menghabiskan waktu dengan berkelahi dan minum bir, meman?
dang rendah pada sahabat-sahabatnya. Ia juga dendam pada orang-orang
kota yang memandang Rengganis Si Cantik bagaikan memandang gadis
tak waras dan idiot, dan hanya memandangnya dengan tatapan berahi
pada kecantikannya. Ia punya alasan untuk marah.
"Mereka percaya bahwa kita adalah sampah-sampah masyarakat
yang tidak berguna," Maman Gendeng menyimpulkan. "Itu benar,
tapi banyak di antara kita kekurangan pendidikan untuk menjadi apa
pun dan mereka menutup pintu. Apa yang kita lakukan pada akhirnya
men?jadi garong, menjadi pencopet, dan hanya menunggu waktu untuk
melampiaskan dendam pada orang-orang yang telah membuat mereka
cemburu. Aku cemburu melihat orang baik-baik memiliki keluarga yang
bahagia. Aku menginginkan hal seperti itu. Aku akhirnya memperoleh
semua itu, tapi mungkin tidak sahabat-sahabatku. Dan kini, setelah aku
memperolehnya, seseorang merampas kembali kebahagiaan itu dariku.
Dendam lama terbuka kembali, seperti sebuah luka."
Apa yang ditakutkan Romeo sungguh-sungguh terjadi. Kerusuh?an
melanda kota dengan cepat. Beberapa pemilik anjing mencoba me?lawan,
dan para begundal semakin beringas, mereka merusak apa pun kemudian
selain anjing. Mobil-mobil bertumbangan di jalanan, rambu-rambu lalu
lintas tercerabut dari akarnya, sebagaimana pohon-pohon pelindung
jalan. Kaca-kaca toko pecah berantakan, sebagaimana kaca-kaca etalase
mereka. Beberapa pos polisi dibakar, dan beberapa orang mulai terluka
dalam perkelahian-perkelahian yang tak imbang. Penduduk kota dilanda
ketakutan yang amat sangat, sehingga segera datang perintah militer dari
komando pusat untuk penguasa militer kota itu. Penguasa militer kota
menunjuk Sang Shodancho untuk melakukan tugas tersebut: bereskan
para begundal, bantai mereka jika tak bisa dibereskan.
"Aku telah yakin sejak lama begundal-begundal itu harus dihabisi
sebagaimana orang-orang komunis," kata Sang Shodancho kepada istri?
nya setelah pulang dari pencarian sia-sia mayat anaknya.
"Setelah membuang Kamerad Kliwon kau akan membunuh Maman
Gendeng?" tanya istrinya (ia tak pernah menceritakan per?se?ling?kuh?
annya dengan Kamerad itu sehari sebelum ia ditemukan mati bunuh
diri). "Apakah kau akan menjadikan adik-adikku semua janda?"
Sang Shodancho memandang istrinya, terkejut.
"Jika ia tak dibunuh, ia akan membunuh semua orang di kota ini,
apalagi yang harus aku lakukan?" tanya Sang Shodancho. "Lagipula
pikirkan hal ini: ia tak menjaga anaknya dengan baik sehingga gadis
itu bunting, dan ia memaksa gadis bunting itu untuk kawin dengan
bocah yang tak diinginkan si gadis, maka si gadis melarikan diri pa?da
malam ia melahirkan bayi itu. Karena si gadis melarikan diri, anak kita
yang telah lama bersahabat dengannya jatuh sakit, dan karena ia jatuh
sakit kemudian ia mati. Bahkan setelah mati seseorang mencurinya dari
kuburan. Tak bisakah kau menyimpulkan pemimpin para begundal itu
adalah pembunuh anak kita, Nurul Aini yang ketiga itu?"
"Sekalian saja kau salahkan Hawa yang merayu Adam memakan
buah apel itu dan membuat kita harus hidup di bumi yang terlaknat
ini," kata istrinya jengkel.
Kenyataannya Sang Shodancho tak memedulikan istrinya. Selain
urusan para begundal itu adalah perintah dari komando pusat militer,
dengan logikanya sendiri ia memiliki dendam atas kematian Nurul
Aini, dan terutama ia masih terluka oleh dendam lama ter?hadap Ma?
man Gendeng ketika suatu hari datang ke kantornya di rayon militer
dan mengancamnya, tak lama setelah ia meniduri Dewi Ayu. Tak
seorang pun pernah mengancamnya di depan mata, tidak Jepang dan
tidak Belanda, tapi begundal satu itu telah melakukannya. Ia tak peduli
pada kenyataan bahwa lelaki itu kebal terhadap senjata, bahkan ia
telah membuktikannya. Ia percaya ada satu atau dua cara untuk mem?
bunuhnya, dan ia akan mempergunakan cara apa pun untuk menghabisi
nyawanya. Ia pernah menjadi sahabat lelaki itu, terutama selama di
meja kartu truf, tapi bagaimanapun ia ber?nafsu membunuhnya suatu
ketika. Sekaranglah waktunya, dan tutup telinga atas apa pun yang
di?katakan Alamanda.
"Lakukanlah dan tak usah kembali," kata Alamanda akhirnya, "kami
bertiga akan menjadi janda dan segala sesuatunya menjadi lebih adil."
"Adinda masih memiliki Krisan."
"Bunuh anak itu jika kau cemburu."
Sang Shodancho memimpin sendiri operasi pemberantasan para pre?
man begundal itu. Ia mengumpulkan semua prajurit, dan mem?per?oleh
pasukan tambahan dari pos-pos militer terdekat. Ia memimpin rapat
darurat dan membuat peta di mana kini begundal-begundal itu membuat
kerusuhan, serta bagaimana cara mereka akan dihabisi. Sang Shodancho
sendiri kini sesungguhnya sudah cukup tua untuk beroperasi di lapangan,
ia tengah menunggu surat keputusan pensiunnya, namun ia tampak
bersemangat, meskipun juga sedikit bijak. "Kita tak akan melakukannya
seperti ketika membantai orang-orang komunis," ia berkata, "semua yang
terbunuh harus di?ma?suk?kan karung."
Maka satu buah truk datang dengan muatan penuh karung ko?song.
Operasi itu dilakukan pada malam hari, untuk tidak menimbulkan
kepanikan massal penduduk kota. Para prajurit menyebar dalam pa?kaian
sipil bersenjata, juga para penembak gelap, menuju kantong-kantong
para begundal. Mereka mengidentifikasikan setiap preman sebagai
orang-orang bertato, peminum, dan terutama yang tertangkap basah
sedang membuat keonaran maupun membunuh anjing, dan me?reka
semua akan ditembak di tempat sebelum dimasukkan ke dalam karung
dan melemparkannya ke selokan atau digeletakkan begitu saja di pinggir
jalan. Penduduk yang menemukannya akan me?ngubur mereka bersama
karung-karungnya: itu jauh lebih praktis daripada membalut mereka
dengan kain kafan.
"Mereka terlalu laknat untuk memperoleh kain kafan," kata Sang
Shodancho, "apalagi tanah pemakaman."
Secepat pagi datang, pada hari pertama, separuh preman yang di?
miliki kota itu telah lenyap, ditelan karung-karung yang diikat dengan
tali plastik. Mereka bergeletakan di sepanjang jalan, terapung di sungai,
dipermainkan ombak di pesisir, teronggok di semak-semak, dan berge?
limpangan di selokan. Beberapa mulai dipermainkan anjing, dan be?
berapa yang lain mulai didatangi lalat. Tak seorang pun penduduk me?
nyentuhnya sebelum sore datang, mereka terlampau bahagia bahwa ada
pertolongan datang, entah siapa, yang akan meng?habisi para perusuh
itu tanpa sisa. Tentu saja mereka masih ingat kasus pembantaian orangorang komunis, dan bagaimana mereka diteror hantu-hantunya selama
bertahun-tahun. Tapi apa peduli, begundal-begundal itu lebih baik mati
dan menjadi hantu daripada hidup dan menyusahkan banyak orang.
Maka mereka mendiamkan mayat-mayat dalam karung itu, berharap
belatung dan burung elang pemakan bangkai menghabisinya sampai
sumsum tulang. Namun ketika serangan bau busuk mulai menyergap,
dan mereka dibuat tak tahan, orang-orang itu akhirnya menguburkan
mayat-mayat dalam karung yang terdekat dengan permukiman mereka.
Tidak seperti mengubur mayat, tapi seperti mengubur tai selepas
berak di kebun pisang.
Pembantaian berlangsung di malam kedua, dan malam ketiga, serta
malam keempat, kelima, dan keenam serta ketujuh. Operasi itu berlang?
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sung sangat cepat, nyaris menghabiskan seluruh persediaan begundal di
Halimunda. Sang Shodancho sama sekali tak terpuaskan, sebab Maman
Gendeng tak ada di antara mayat-mayat itu.
Selama seminggu tersebut Maman Gendeng tak pernah pulang ke
rumah. Maya Dewi sangat mengkhawatirkannya, terutama setelah ia
mendengar bahwa begundal-begundal kota mulai terbunuh satu per satu
selama tujuh malam tersebut. Tak seorang pun tahu siapa yang mem?
bu?nuh mereka, orang-orang hanya tahu bahwa semua begundal mati
ditembak, di kepala atau dada. Tapi semua orang bisa menebak siapa
yang melakukannya, sebab tak semua orang memegang senjata. Maka
Maya Dewi pergi menemui Sang Shodancho.
"Apakah kau telah membunuh suamiku?" tanyanya.
"Belum," jawab Sang Shodancho sedih, "tanyakan pada prajuritpra??jurit itu."
Ia menanyai mereka satu per satu, nyaris semua, dan mereka men?
ja?wab sebagaimana jawaban Sang Shodancho.
"Belum."
Tapi ia cenderung tak memercayai mereka. Sang Shodancho per?nah
membuang Kamerad Kliwon ke Pulau Buru, maka ia bisa membunuh
Maman Gendeng suaminya. Ia hanya berharap suaminya sungguh-sung?
guh kebal senjata, tapi demi melihat banyak mayat di jalanan, ia tak
tahan untuk mencari siapa tahu di antara mereka adalah mayatnya.
Maka perempuan cantik itu, dengan kerudung merah pe?lin?dung?nya
dari cahaya matahari, mulai berjalan dari satu mayat ke mayat lain. Ia
membuka tali yang mengikat karung itu satu per satu, tak peduli bau
busuknya begitu menyengat hidung, dan tak peduli bahwa ia berebutan
dengan lalat yang mencoba masuk, dan memeriksa mayat di dalamnya,
mencocokkan wajahnya dengan kenangan wajah suami di otaknya.
Mayat itu bukan mayat Maman Gendeng, tapi se?makin banyak mayat
yang ia temukan dan sebagian besar ia kenali sungguh-sungguh para
sahabat suaminya, ia sampai pada satu keyakinan bahwa suaminya
telah sungguh-sungguh mati pula. Mung?kin ilmu kebal senjata itu
hanya omong kosong, dan seorang prajurit telah berhasil menembaknya
mati. Ia harus menemukannya, dan jika memang sudah mati, ia harus
menguburkannya secara terhormat.
Untuk mayat-mayat yang telah dikubur orang karena tak tahan de?
ngan baunya, ia menemui para pengubur mayat tersebut dan ber?tanya,
apakah yang mereka kuburkan adalah suaminya? "Aku tak melihatnya,"
kata mereka, "tapi dari baunya kupikir bukan." Kalian pikir seperti apa
bau suamiku? Perempuan itu akan bertanya lagi. "Ia pasti lebih bau
dari semua begundal ini, sebab ia begundal dari para begundal." Maya
Dewi sama sekali tak sakit hati dengan kata-kata itu, menyadari semua
kebenarannya, dan meneruskan pen?ca?riannya. Beberapa mayat harus ia
kejar karena mengapung di sungai dan dibawa air, namun setelah lelah
mengejar dan menangkapnya, ter?buktilah bahwa itu bukan suaminya.
Ia juga memeriksa mayat-mayat yang bertebaran di sepanjang pantai,
membuat waktu itu Halimunda dibuat sepi dari para pelancong. Na?
mun seharian itu semua pekerjaannya sia-sia, dan ia kembali ke rumah
ketika malam datang, berharap bahwa tak ada pembantaian malam
itu, dan berharap tiba-tiba suaminya pulang. Harapannya tak terkabul,
dan ketika pagi datang ia memulai pencariannya kembali, memeriksa
karung-karung yang belum ia periksa.
Hingga beberapa orang memberitahunya bahwa mereka melihatnya
melarikan diri ke hutan tanjung bersama Romeo di hari ketujuh pem?
bantaian. Tapi tentara-tentara itu juga telah mendengarnya. Maka ia
berburu dengan waktu, berharap tentara-tentara itu belum berhasil
me?nembaknya. Ia masuk ke hutan itu sendirian, hanya beralaskan
san?dal jepit, dan dilindungi kerudung merah yang di?ke?na?kan sehari
sebelumnya, tersaruk-saruk menapaki jalan setapak yang dipenuhi
belukar. Hutan tersebut telah jadi hutan lindung sejak masa kolonial,
tak hanya dihuni monyet dan rusa jinak, namun juga dihuni banteng
liar dan bahkan macan pohon, tapi Maya Dewi tak menakutkan apa
pun dan yang ia inginkan adalah bertemu suami?nya, hidup atau mati.
Ia berpapasan dengan rombongan prajurit berjumlah empat orang,
dan ia menghentikan mereka.
"Apakah kalian telah membunuh suamiku?" tanyanya kembali.
"Kali ini sudah, Nyonya," kata pemimpin di antara mereka, "dan
kami ikut berduka cita."
"Di mana kalian tinggalkan mayatnya?"
"Jalan lurus sejauh seratus meter, dan di sanalah mayat itu, telah
di?kerubungi lalat. Tadinya akan kami salibkan di pohon mangga, tapi
lalat dengan cepat menyerbunya."
"Ia di dalam karung?"
"Di dalam karung," jawab si prajurit, "meringkuk seperti bayi."
"Sampai berjumpa."
"Sampai berjumpa."
Maya Dewi melanjutkan perjalanan lurus sejauh seratus meter, se?
bagai?mana dikatakan prajurit tadi, dan di sana ia memang menemukan
karung, telah dipenuhi lalat. Bahkan burung gagak pemakan bangkai
telah mematuki karungnya, dan dua ekor ajak baru saja mencincang?
nya. Maya Dewi mengusir mereka semua, mem?buka tali karung, dan
memastikan bahwa yang "meringkuk seperti bayi" di dalamnya memang
lelaki itu, suaminya, meskipun wajahnya nyaris tak lagi bisa dikenali,
tapi itu memang suaminya. Ia tak menangis waktu itu, bagaimanapun.
Dengan ketenangannya yang mengagumkan, ia mengikat kembali ka?
rung tersebut dengan tali plastiknya. Dan disebabkan ia tak mungkin
kuat membopongnya, maka ia menyeret karung tersebut sepanjang
tempatnya ditemukan sampai pemakaman umum Budi Dharma tempat
ia meminta suaminya dikuburkan secara terhormat. Sepanjang jalan
tersebut, lalat-lalat masih menyerbu karungnya, memanjang bagaikan
bintang berekor.
Lalat-lalat baru pergi setelah Kamino memandikannya, dan mem?
berinya wewangian. Kini mayat itu terbujur kaku dengan luka tem?bak
di dahi dan dadanya, dua tembakan saja, tapi pasti mem?bu?nuhnya
se?ketika. Yang di dada tepat pada bagian jantungnya. Ba?rulah ketika
melihat pemandangan tersebut Maya Dewi menangis, dan menghindari
kesedihan perempuan itu lebih lanjut, Kamino segera membungkusnya
dengan kain kafan. Melakukan salat jenazah untuknya, diikuti Kinkin
yang bersimpati atas kematian orang yang seharusnya menjadi mertua?
nya. Mayat Maman Gendeng dikuburkan persis di samping kuburan
anak gadisnya, dan di sana hampir selama satu jam Maya Dewi bersim?
puh di antara kedua kuburan tersebut. Merasa kesepian, terasing dan
di?tinggalkan. Ia memulai hari ber?ka?bung?nya sebelum di hari ketiga
Maman Gendeng bangkit dari moksa.
Sebagaimana sudah terbukti, laki-laki itu sesungguhnya memang
kebal senjata. Ia tak takut dengan pembantaian itu. Tapi demi melihat
sahabat-sahabatnya mulai bergelimpangan mati di jalan-jalan, ia tak ta?
han melihat itu semua dan berkata pada Romeo yang terus mengikutinya:
"Mari kita melarikan diri ke hutan."
Mereka melarikan diri ke hutan pada hari ketujuh pembantaian,
setelah berhasil bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Itu benar:
kota itu tak lagi menyenangkan sang preman. Ia tak bisa berdiri dengan
semua kebanggaannya tentang kekuatan dan tentang kekebalan tubuh?
nya sementara teman-temannya mati di depan mata.
"Sebentar lagi mereka akan jadi hantu-hantu," katanya dalam
pelarian itu, "jikapun kita tetap hidup, kita akan menderita melihat
pen?deritaan mereka."
Ia teringat pada hari-hari terakhir kehidupan Kamerad Kliwon.
Laki-laki itu didera kesedihan yang mendalam melihat hantu temantemannya dalam keadaan yang begitu menderita. Hidup jauh lebih
me?nyakitkan dengan cara seperti itu, dan Maman Gendeng ingin
menghindarinya.
"Kita tak mungkin lari dari hantu-hantu," kata Romeo.
"Itu benar," katanya, "kecuali kita bergabung dengan mereka, seperti
Kamerad Kliwon akhirnya memilih bunuh diri."
"Aku tak berani bunuh diri," kata Romeo.
"Aku juga tak ingin," kata sang preman, "tapi aku memikirkan cara
lain."
Ia memilih lari ke hutan tanjung karena hutan itu jarang dijamah
manusia. Itu hutan lindung, karenanya tak ada petani yang menggarap
tanahnya, kecuali petugas kehutanan yang sebagian besar adalah para
pemalas. Ia berharap dengan lari ke tempat itu, ia bisa mengulur waktu
sebelum ditemukan prajurit-prajurit tersebut. Mereka mungkin tak akan
bisa membunuhnya, tapi bagaimanapun mereka sangat meng?ganggu. Ia
tengah memikirkan suatu keputusan.
"Aku tak mungkin hidup sementara aku tahu seluruh sahabatku
te?lah mati dalam pembantaian," katanya dengan nada yang demikian
sedih.
"Aku tak mungkin mati sementara banyak orang masih menikmati
hidup dengan begitu indahnya," kata Romeo ironik.
"Tapi aku juga masih memikirkan istriku," kata Maman Gendeng,
"ia akan sangat bersedih terutama setelah kami kehilangan Rengganis
Si Cantik."
"Aku tak peduli dengan istriku, ia masih bisa menemukan ba?nyak
lelaki untuk menyetubuhinya tak peduli begitu buruk ru?pa?nya," kata
Romeo, "tapi bagaimanapun aku lebih suka hidup."
Mereka sampai di sebuah bukit kecil dengan sebuah gua Jepang (gua
buatan yang dibangun Jepang untuk pertahanan selama masa perang)
di salah satu lerengnya. Keduanya beristirahat di puncak bukit itu,
sementara Maman Gendeng masih terus memikirkan ke?inginannya
untuk pergi dari kehidupan dan keberaniannya untuk meninggalkan
Maya Dewi seorang diri di dunia. Ia menatap gua Jepang itu, tampak
gelap dan lembab, dengan dinding-dindingnya yang membentuk sebuah
kotak, lebih menyerupai sel tahanan daripada benteng pertahanan.
Tapi tempat seperti itu sangat memadai untuk sebuah meditasi. Maman
Gendeng ingin bermeditasi, sampai moksa, tapi ia masih memikirkan
istrinya sebelum kemudian ia akhirnya berkata:
"Bagaimanapun, cepat atau lambat kematian akan datang," dan
melanjutkan, "ia perempuan kuat sejauh yang aku tahu."
Ia akhirnya memutuskan untuk bermeditasi di gua Jepang ter?sebut.
Ia berkata pada Romeo agar menunggu di puncak bukit itu se?mentara
ia akan bermeditasi di gua. Ia memerintahkan lelaki itu untuk berjagajaga, siapa tahu para prajurit mencium pelarian mereka dan mengejar?nya
sampai tempat itu. "Bangunkan aku jika prajurit-prajurit itu datang,"
katanya.
"Mereka akan mati kubunuh sebelum datang," kata Romeo.
"Suaramu terdengar tak meyakinkan," kata Maman Gendeng, "tapi
aku percaya padamu."
Maman Gendeng turun ke gua Jepang tersebut dan masuk ke da?lam?
nya. Apa yang ia duga sungguh benar, itu mirip sel tahanan daripada
sebuah benteng pertahanan. Dinding-dindingnya seperti dipahat de?
ngan cara sembrono, dan masuk ke dalam hanya mene?mu?kan ruanganruangan dalam bentuk kotak-kotak yang sama. Tak banyak ruangan di
dalamnya, hanya empat buah selain ruangan utama. Maman Gendeng
duduk di lantai ruangan utama yang lembab, dan memulai meditasinya.
Tak lama ia melakukan itu, sam?pai kemudian ia moksa. Menghilang
menjadi butir-butir cahaya. Ia tak bunuh diri, tapi ia pergi meninggalkan
dunia ini dengan mem?buang semua tubuhnya, semua materi yang me?
ngung?kung ji?wanya, dan kini ia berbaur dengan segala cahaya, berkilauan
seperti kristal dan naik ke atas menuju langit. Tapi sebelum mencapai
langit ia melihat empat orang prajurit menodongkan senjata pada Si
Ro?meo di atas bukit. Ia hendak menolong lelaki itu, dengan me?nga?
bur?kan pandangan para prajurit, sebelum mendengar Romeo berkata:
"Jangan bunuh aku," katanya pada para prajurit, "akan kuberitahu
di mana Maman Gendeng berada."
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah dan katakan," kata salah satu prajurit.
"Ia melakukan meditasi di dalam gua Jepang itu."
Keempat prajurit itu turun dan memeriksa gua Jepang tersebut.
Jelas mereka tak akan menemukan Maman Gendeng. Kesempatan itu
dipergunakan Romeo untuk melarikan diri, tapi Maman Gendeng tak
membiarkan itu terjadi, menahannya sedemikian rupa, hingga Romeo
menemukan dirinya berlari tapi tak pernah beranjak dari tempatnya.
"Pengkhianat tetaplah pengkhianat," kata Maman Gendeng yang
di?dengar Romeo tanpa lelaki itu bisa melihat wujudnya, meng?ingat?
kan?nya pada pengkhianatan masa lampau ketika mencuri uang-uang
sang preman.
Maman Gendeng kemudian mengubah wajah Romeo menjadi wa?
jah?nya sendiri, tepat ketika keempat prajurit kembali dalam ke??adaan
marah tak menemukan Maman Gendeng di sana. Tapi kini mereka
melihat lelaki itu: Maman Gendeng, di puncak bukit.
"Akhirnya kau kami temukan, Maman Gendeng," kata mereka
sambil menodongkan senjata.
"Aku Romeo," kata lelaki itu, "dan bukan Maman Gendeng."
Tapi dua letusan senapan telah menghentikan hidupnya. Satu peluru
di dahi dan peluru lain di dadanya. Mayat itulah yang di?temukan Maya
Dewi, sementara Maman Gendeng naik ke langit dan mengunjunginya
di hari ketiga setelah moksa.
oh jahat yang sangat kuat sekali itu kini sedang sangat berbaha?
gia, melihat kemenangan-kemenangannya, melihat semua den?
dam?nya terbalaskan, meskipun ia harus begitu lama menunggu.
"Telah kupisahkan mereka dari orang-orang yang mereka cintai,"
katanya pada Dewi Ayu, "sebagaimana ia memisahkanku dari orang
yang aku cintai."
Telah kupisahkan mereka dari orang-orang yang mereka cintai, sebagai?
mana ia memisahkanku dari orang yang aku cintai, suaranya menggema.
"Tapi aku mencintaimu," kata Dewi Ayu, "cinta yang keluar jauh
dari usus-ususku."
"Maka aku bahkan melarikan diri darimu, cucu Stammler!"
Maka aku bahkan melarikan diri darimu, cucu Stammler!
Dewi Ayu nyaris tak percaya sebesar itu dendam roh jahat tersebut
demikian berakar. Ia tak pernah menduganya, sebab selama ini ia hanya
hantu pengganggu yang tak terlalu merepotkan. Ia tahu bahwa hantu
itu memiliki rencana jahat suatu ketika di masa mendatang, tapi nyaris
tak mengira begitu jahatnya ia berbuat, dan begitu dalam dendam itu
tertanam di hatinya.
"Lihatlah anak-anakmu," kata roh jahat itu, "mereka kini men?
jadi janda-janda menyedihkan, dan yang keempat janda tanpa pernah
kawin."
Lihatlah anak-anakmu, mereka kini menjadi janda-janda me?nye?dih?kan,
dan yang keempat janda tanpa pernah kawin.
Itu setelah ia membunuh Sang Shodancho dengan begitu me?nge?
rikan, di gubuk gerilya, yang adalah daerah kekuasaannya sendiri. Se?
waktu Sang Shodancho muncul tiba-tiba di waktu dini hari dan jongkok
di depan tungku, Dewi Ayu yang telah mati bertahun-tahun, bahkan
ketika hidup lama tak berhubungan dengannya, sungguh-sungguh telah
melupakan bahwa Shodancho itu adalah anak menantunya. Ia, Shodan?
cho itu, berkata bahwa ia telah men?je?la?jahi kota-kota, hutan-hutan,
selama bertahun-tahun sejak ia mem?bantai para begundal kota, untuk
mencari mayat anaknya yang dicuri seseorang. Ia lelah dan kembali ke
kota ini tanpa hasil, tapi ia tak punya keberanian kembali pada istrinya,
Alamanda, maka ia datang ke rumah mertuanya, Dewi Ayu.
"Aku tak memperoleh tokoh yang baik untuk memerankan pem?
bunuh Shodancho," kata si roh jahat, "maka biar kulakukan sen??diri."
Aku tak memperoleh tokoh yang baik untuk memerankan pem?bunuh
Shodancho, maka biar kulakukan sendiri.
"Aku telah tahu sejak awal," kata Dewi Ayu, "kau pembuat ko?medi
amatiran."
Tidak, ia sesungguhnya tidak melakukan sendiri, dengan tangan?
nya. Tapi memang bukan manusia yang membunuh Sang Shodancho.
Kesepian di hari tua yang menyedihkan, tak punya keberanian ber??
temu istri yang telah mengusirnya setelah ia membuat adik-adiknya
men?jadi janda, dan kehilangan anak gadis yang paling dicintainya,
Sang Shodancho menghibur diri dengan sekali-kali pergi ke gubuk
gerilyanya di tengah hutan tanjung. Gubuk itu ma?sih seperti dulu,
namun tak sekukuh semula, tapi masih cukup untuk membawanya
pada nostalgia-nostalgia lama dan mencoba menghibur hatinya dengan
kenangan-kenangan tersebut.
Ia juga mencoba menghibur diri dengan menjinakkan kembali ajakajak liar di sekitar gubuk gerilya. Kemampuannya sudah jauh berkurang,
ia sudah begitu sangat tua bagaimanapun, dan ia sangat kerepotan me?
naklukkan ajak-ajak liar tersebut. Tapi ia tetap mencoba memelihara
beberapa di antara mereka, terutama menangkap anak-anak ajak dari
sarang-sarang mereka, mencoba menjinakkannya sejak kecil. Namun
suatu hari induk anak-anak ajak itu datang mencarinya.
Ia tengah berbaring di batu tempat dulu ia biasanya makan ber?sama
anak buahnya, batu yang pernah dipakai Rengganis Si Cantik mem?
baringkan mayat anaknya sebelum melemparkannya pada ajak-ajak,
ketika ajak betina itu datang bersama gerombolannya. Si ajak betina tak
menunggu terlalu lama demi melihat musuhnya dalam keadaan lengah
seperti itu, menyerangnya dan mencabik-cabik otot pahanya. Sang
Shodancho, sekali lagi ia sudah begitu tua, gerak refleksnya telah sa?ngat
meragukan, dan perlawanannya juga bukan cara melawan seorang lelaki
yang kuat. Ia belum sempat melakukan perlawanan ketika ajak-ajak yang
lain mulai berdatangan, yang satu menerkam tangannya dan yang lain
merenggut betisnya. Luka menganga mulai muncul di sekujur tubuhnya,
dengan darah tua membanjiri batu tersebut. Sang Shodancho masih
sempat meng?gerak-gerakkan seluruh anggota tubuhnya, mengejang dan
menendang ke sana-kemari, berharap mengusir ajak-ajak tersebut, tapi
luka yang dideritanya begitu dalam, dan ia kelelahan sendiri. Ia mulai
terdiam, menatap langit, menyadari kematiannya segera tiba, di tangan
ajak-ajak yang bahkan sangat ia sukai sepanjang masa. Ia mati dengan
tubuh tercabik-cabik ajak, dimakan hidup-hidup: sadarilah, bahkan
se?sungguhnya ajak itu binatang pemalas, mereka biasanya memakan
bangkai. Hanya Sang Shodancho dan mungkin sedikit kasus lain, bahwa
ia dimakan hidup-hidup. Kematiannya telah ditakdirkan tampak begitu
menyedihkan.
Dewi Ayu, seminggu setelah Sang Shodancho tak pulang, sebab
biasa?nya ia tak pergi ke gubuk gerilya selama itu, mulai men?ce?mas?kan?
nya. Dengan bantuan dua orang pensiunan tentara yang dulu per?nah
jadi anak buah Sang Shodancho, ia menerobos hutan tanjung mencari
laki-laki itu, dan mereka menemukannya telah menjadi ma?yat yang
mengenaskan. Burung elang pemakan bangkai tengah mematuki
daging-daging sisa yang ditinggalkan ajak-ajak. Wajahnya nyaris te?
lah han?cur, hanya pakaiannya yang segera dikenali, selebihnya hanya
tulang-belulang yang tersusun rapi masih berbaring di atas batu, terlihat
bahwa ia tak melakukan perlawanan yang berarti. Bahkan ajak-ajak
itu tak menyeretnya dari tempat tersebut, me?ma?kannya secara hangat
di tempat. Hanya sedikit otot yang menahan tulang-belulang tersebut,
namun Dewi Ayu datang tepat waktu se?belum ia membusuk.
Mereka membawanya dengan tas plastik hitam, sejenis dengan
plastik-plastik yang dipergunakan petugas pemadam kebakaran untuk
membawa mayat-mayat orang tenggelam ke rumah sakit. Mereka mem?
bawanya langsung ke rumah Alamanda, dan kepadanya, setelah meletak?
kan plastik hitam di depan kakinya, Dewi Ayu berkata:
"Nak, aku membawa tulang-belulang lelakimu," katanya, "ia mati
dimakan ajak."
"Itu sudah kuduga, Mama, sejak ia datang dengan sembilan puluh
enam ekor ajak untuk berburu babi," kata Alamanda, tak tampak sedih
sama sekali.
"Bersedihlah sedikit," katanya, "paling tidak karena ia tak mewaris?
kan apa pun kepadamu."
Alamanda menguburkan tulang-belulang tersebut, dengan daging
tercabik-cabik, mirip tulang-tulang sapi yang dijual potongan untuk sop.
Untuknya dilakukan upacara militer dan Sang Shodancho di?ku?burkan
di taman makam pahlawan. Paling tidak itu disyukuri Alamanda, sebab
jika lelaki itu dikubur di pemakaman umum, ia khawatir hantunya
akan berkelahi dengan hantu Kamerad Kliwon. Ia akan damai di sana,
di taman makam pahlawan, dengan peti mati dan bendera nasional
menyelimutinya. Ada tembakan meriam untuk memberinya penghor?
matan terakhir, tapi bagi Alamanda itu terlihat seolah penembakan
ter?hadap hantu suaminya agar mampus semampus-mampusnya, dan itu
membuatnya sedikit bahagia juga.
Kini ia sungguh-sungguh seorang janda, sebagaimana kedua adiknya.
"Aku menyadari dendammu sejak mereka membantai orang-orang
komunis dan Kamerad itu harus menghadapi regu tembak untuk diek?
sekusi," kata Dewi Ayu, kembali pada si roh jahat.
"Ia seharusnya mati saat itu dengan cara yang sangat menyakitkan."
Ia seharusnya mati saat itu dengan cara yang sangat menyakitkan.
"Tapi cinta memperlihatkan kekuatannya," kata Dewi Ayu. "Ala?
manda menghentikannya tepat pada waktu seharusnya ia mati."
Si roh jahat tertawa mengejek, "Dan " katanya, "Dan kemudian
ia bersetubuh dengannya lebih dari sepuluh tahun kemudian, sejenak
sebelum ia bunuh diri. Bunuh diri. Bunuh diri. Ia mati. Ha. Ha. Ha."
Dan Dan kemudian ia bersetubuh dengannya lebih dari se?puluh tahun
kemudian, sejenak sebelum ia bunuh diri. Bunuh diri. Bunuh diri. Ia mati.
Ha. Ha. Ha.
"Tapi aku telah menyadarinya."
Itu benar. Dewi Ayu telah menyadari bahwa roh jahat itu akan
me?lakukan pembalasan dendam. Waktu itu ia tak mengira akan seke?
jam ini, tapi ia telah mengira bahwa ia akan menghancurkan cinta
keluarganya, anak keturunan Ted Stammler yang tersisa, sebagaimana
Ted Stammler telah menghancurkan cintanya pada Ma Iyang. Bahkan
ketika hantu roh jahat itu masih hidup, jauh di dalam hatinya, Dewi
Ayu telah merasakan kepedihan yang begitu dalam, tak peduli ia tak
mengenal lelaki itu. Ini membawanya pada cinta buta, dan memaksanya
untuk kawin dengannya. Ia ingin memberinya cinta, cinta yang tak ia
peroleh dari Ma Iyang neneknya setelah itu dirampas Ted Stammler
kakeknya, namun lelaki itu bahkan menolak untuk menerima cintanya.
Cinta yang begitu tulus, yang datang dari dalam usus-ususnya sendiri.
Saat itulah Dewi Ayu menyadari bahwa cinta lelaki itu pada Ma Iyang
tak tergantikan oleh apa pun, dan merasakan semakin dalam betapa
menderita lelaki itu setelah satu-satunya cinta yang ia miliki dicerabut
dari akarnya. Maka ketika ia mati, Dewi Ayu bahkan telah menyadari
samar-samar sejak itu, ia pasti akan menjadi hantu yang menyedihkan,
yang penasaran, dan tak akan damai di dunia orang-orang mati. Itu be?
nar. Hantu itu selalu mengikutinya ke mana pun. Ia telah merasakannya
sejak di Bloedenkamp, di tempat pelacuran, dan di kedua rumahnya.
Tapi ia belum tahu bahwa ia merencanakan dendam yang jahat sampai
pagi ketika ia mendengar Kamerad Kliwon akan dieksekusi, lelaki yang
dicintai Alamanda dan sekaligus Adinda.
"Lagipula ia belum kawin ketika itu, ia tak boleh mati sebelum
mengawini salah satu anakmu. Ha. Ha. Ha."
Lagipula ia belum kawin ketika itu, ia tak boleh mati sebelum mengawini
salah satu anakmu. Ha. Ha. Ha.
Tak lama setelah kematian Sang Shodancho, dan keyakinan Dewi
Ayu tak lagi tergoyahkan, akhirnya ia memanggil roh jahat itu de?ngan
bantuan si tukang jailangkung Kinkin. Kini roh jahat itu ber?diri di
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depannya, sekali-kali tertawa, menampakkan ke?ba?ha?gia?annya yang
tak terbendung.
"Ia roh jahat yang menghalangiku beberapa kali untuk mengetahui
siapa pembunuh Rengganis Si Cantik," kata Kinkin.
"Aku bahkan memisahkanmu dari orang yang kau cintai. Ha. Ha.
Ha."
Aku bahkan memisahkanmu dari orang yang kau cintai. Ha. Ha. Ha.
Ketika ia mengetahui, dari angin yang berbisik dan lolongan ajak di
tengah hutan, bahwa Kamerad Kliwon tak jadi dieksekusi disebabkan
permintaan Alamanda, Dewi Ayu percaya cinta masih bisa mengalah?
kan dendam hantu suaminya, tapi bagaimanapun ia tak yakin. Sepan?
jang hidupnya ia memikirkan hal itu, berpikir bagaimana menyelamat?
kan anak-anaknya dan membuat mereka bahagia, terlepas dari kutukan
dan dendam hantu roh jahat yang menjadi pen?dam?pingnya seumur
hidup. Maka ketika anak-anaknya mengawini suami-suami mereka, ia
mengusir pasangan-pasangan itu dan berpesan untuk tak pernah datang
ke rumahnya. Hanya Maman Gendeng dan Maya Dewi yang tidak ia
usir, tapi sebaliknya ia pin?dah ke rumah baru. Ia ingin menjauhkan
mereka dari hantu ter?sebut, meskipun waktu itu ia belum menyadari
akan sejahat ini dendamnya dilampiaskan.
Kekhawatirannya meledak setelah sekitar sepuluh tahun selepas anak
terakhirnya kawin, ia hamil lagi. Ia tengah membesarkan mang?sa baru
roh jahat itu di dalam rahimnya. Ia harus me?nye?la?mat?kannya, bagai?
manapun, tapi ia tak tahu caranya. Ia mencoba menggugurkannya de?
ngan berbagai cara, agar anak itu tak pernah lahir ke dunia, dan terbebas
dari kutukan apa pun, dari dendam apa pun. Tapi anak ter?sebut begitu
kuat, ia tak bisa membunuhnya, dan ia terus tumbuh di dalam rahimnya.
Jika ia perempuan, ia akan secantik kakak-kakaknya, dan jika ia lelaki,
ia akan menjadi lelaki paling tampan di permukaan bumi. Makhluk
seperti itu akan menjadi makhluk dengan penuh cinta dihamburkan
kepadanya, sementara ia merasakan, roh jahat itu tengah mengincar
cinta-cinta tersebut. Ia akan menghancurkannya, dengan cara apa pun,
se?ba?gaimana Ted Stammler menghancurkan cintanya pada Ma Iyang.
Maka ia berkata pada Rosinah, "Aku bosan punya anak cantik."
"Kalau begitu berdoalah minta bayi buruk rupa."
Ia harus berterima kasih pada perempuan bisu itu, sebab doanya
terkabul dan untuk pertama kali ia memiliki anak perempuan buruk
rupa. Lebih buruk rupa dari perempuan mana pun yang bisa kau temui,
meskipun secara ironik ia memberinya nama Si Cantik. De?ngan wajah
dan tubuh seperti itu, tak akan ada siapa pun yang mencintainya, lelaki
maupun perempuan. Ia akan terbebas dari kutukan roh jahat tersebut.
Ia harus berterima kasih pada Rosinah.
"Tapi bahkan ia kini bunting!" teriak roh jahat itu. "Bukankah itu
mem?buktikan bahwa seseorang mencintainya?"
Tapi bahkan ia kini bunting! Bukankah itu membuktikan bahwa seseorang
mencintainya?
Roh jahat itu benar.
"Tapi kau belum membunuhnya."
"Aku belum membunuhnya."
Aku belum membunuhnya.
Suatu malam, ketika ia kembali mendengar keributan, semacam
suara dengusan dan erangan orang yang tengah bercinta, ia akhirnya
men?dobrak pintu kamar tersebut dengan kapak sekuat tenaga. Ia telah
dibuat kecewa, bagaimanapun, demi mengetahui bahwa se?se?orang
bercinta dengan Si Cantik yang buruk rupa itu. Seseorang mencintai?
nya, dan itu hal yang tak ia inginkan, bahkan sejak gadis itu belum
ia lahirkan. Ia begitu sakit hati, dan ingin mengetahui siapa laki-laki
bodoh yang mencintai gadis seperti itu. Tapi ia tak me?lihat siapa pun
di kamar tersebut, kecuali Si Cantik dalam ke?adaan telanjang bulat,
terkejut dan meringkuk di pojok ruangan.
"Dengan siapa kau bercinta?" tanyanya, antara marah, kecewa, dan
panik.
"Tak akan pernah kukatakan, ia Pangeranku."
Tapi ia melihat sesuatu bergerak, tanpa wujud, seolah turun dari
tem?pat tidur. Lalu melangkah melingkari meja, ia hanya bisa melihat je?
jak kakinya yang sedikit basah oleh keringat di lantai, di bawah cahaya
lampu kamar. Sosok tak tampak itu membuka jendela, begitu tergesagesa, membuka tirainya, dan tentunya kemudian ia melompat. Waktu
itu ia berpikir, hantu tersebut telah datang untuk bercinta dengan Si
Cantik, dengan satu maksud yang tak bisa ia tebak.
"Tidak, itu bukan aku," kata si roh jahat tersinggung.
Tidak, itu bukan aku.
"Kau menghalangiku untuk melihatnya."
"Itu benar. Ha. Ha. Ha."
Itu benar. Ha. Ha. Ha.
Dendamnya tampak berjalan sempurna, nyaris tanpa cela, dan
kutuk?an itu terus berjalan menghancurkan apa pun yang tersisa dari
keluarganya. Alamanda telah kehilangan Sang Shodancho, tak peduli
betapa ia pernah tak begitu mencintainya, bahkan cenderung mem?ben?
cinya, tapi pernah ada saat-saat ketika ia akhirnya mencintainya dengan
penuh ketulusan. Dan setelah tak memperoleh dua anak sebelumnya, ia
bahkan harus kehilangan Nurul Aini yang ketiga itu, mati pada umur
yang begitu belia. Dan Maya Dewi bahkan harus ke?hilangan Rengganis
Si Cantik dengan lebih tragis: seseorang mem?bunuhnya dan melem?
parkannya ke laut, dan tak seorang pun tahu. Sementara itu suaminya
kemudian moksa, setelah kehilangan hampir seluruh sahabatnya. Anak?
nya yang kedua, Adinda, harus melihat suaminya, Kamerad Kliwon itu,
mati menggantung diri di dalam kamar. Ia masih punya Krisan. Dan
Si Cantik ternyata bahkan memiliki kekasih. Ia harus menyelamatkan
apa yang tersisa dari kutukan roh jahat itu. Ia tak akan membiarkan
Krisan akhirnya diambil pula dari Adinda, dan Si Cantik kehilangan
kekasihnya, siapa pun ia. Dewi Ayu akan mempertaruhkan apa pun
untuk melawan roh jahat di depannya.
"Aku harus menghentikanmu," katanya kemudian.
"Dari apa?" tanya si roh jahat.
Dari apa?
"Dari menghancurkan keluargaku."
"Ha. Ha. Ha. Kehancuran keluargamu bahkan telah ditakdirkan.
Dendamku tak akan tertahankan oleh apa pun."
Ha. Ha. Ha. Kehancuran keluargamu bahkan telah ditakdirkan. Den?
damku tak akan tertahankan oleh apa pun.
"Kau tak berhasil memisahkan Henri dan Aneu Stammler," kata
Dewi Ayu.
"Sebab salah satunya darah daging kekasihku."
Sebab salah satunya darah daging kekasihku.
"Dan aku cucu Ma Iyang."
"Itu sudah terlalu jauh."
Itu sudah terlalu jauh.
Dewi Ayu mengeluarkan pisau belati dari kantung gaun yang ia
kenakan. Pisau itu serupa pisau yang dipergunakan para prajurit, begitu
mengilap dan kukuh. "Aku menemukannya di kamar Sang Shodancho,"
katanya entah kepada siapa. Kinkin hanya melihatnya dengan ngeri
(seorang perempuan yang marah memegang pisau belati!), namun si
roh jahat hanya tersenyum mengejek. "Dan aku akan membunuhmu
dengan belati ini."
"Ha. Ha. Ha. Tak ada manusia yang bisa membunuhku," kata si
roh jahat.
Ha. Ha. Ha. Tak ada manusia yang bisa membunuhku.
"Boleh kucoba?" tanya Dewi Ayu.
"Silakan."
Silakan.
Dewi Ayu menghampirinya sementara si roh jahat hanya tersenyum,
dengan cara yang jauh lebih menjijikkan, seolah me?nga?ta?kan betapa
bodohnya kau melakukan tindakan sia-sia. Kinkin memalingkan muka?
nya, takut bahwa belati itu sungguh-sungguh bisa membunuh si roh
jahat, dan ia tak sanggup melihat pembunuhan di depan matanya. Se?
telah beberapa detik saling memandang, dengan sekuat tenaga, tenaga
seorang perempuan yang memendam kemarahan yang begitu mendalam,
mungkin pada akhirnya sekuat dendam si roh jahat, ia menikam bekas
suaminya itu. Darah muncrat, dan ia menikamnya lagi, darah keluar
lagi, ia menikam lagi, lima tikaman dengan kekuatan yang bertambah
dari satu tikaman ke tikaman yang lain.
Si roh jahat ambruk ke lantai, mengerang dan memegangi da?danya.
"Bagaimana mungkin," katanya, "kau bisa membunuhku?"
Bagaimana mungkin, kau bisa membunuhku?
"Aku mati pada umur lima puluh dua tahun, atas kehendakku sen?
diri, dengan harapan aku bisa menahan kekuatan roh jahatmu," kata
Dewi Ayu. "Dan hari ini aku datang. Apakah kau percaya pada manusia
yang bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun mati? Aku bu?
kan manusia, maka aku bisa membunuhmu."
"Kau berhasil membunuhku, tapi kutukanku akan terus berjalan."
Kau berhasil membunuhku, tapi kutukanku akan terus berjalan.
Roh jahat itu kemudian mati, menjadi asap yang begitu pekat dan
lenyap ditelan udara. Dewi Ayu memandang si bocah Kinkin.
"Tugasku telah berakhir, aku akan kembali ke dunia orang mati,"
katanya, "Selamat tinggal, Nak, terima kasih atas bantuanmu."
Lalu ia menghilang, berubah menjadi kupu-kupu yang demikian
cantik, yang terbang melalui jendela dan lenyap di halaman.
***
Laki-laki itu sering muncul tiba-tiba, tapi karena begitu seringnya, Si
Cantik tak pernah lagi terkejut oleh kehadirannya. Ia telah mun?cul
bahkan sejak ia masih begitu kecil, mengajaknya bicara. Rosinah se?
ring ada di sampingnya, tapi Rosinah tak pernah melihat laki-laki itu,
sementara ia melihatnya. Rosinah tak pernah mendengar suara lakilaki itu, sementara ia mendengarnya. Ia belajar bicara dari lelaki itu.
Seorang lelaki tua, begitu tua bahkan alisnya sudah me?mutih semua,
berkulit gelap terbakar matahari, dengan otot-otot yang telah ditempa
kerja bertahun-tahun. Ia belajar segala hal dari lelaki tersebut. Bahkan
ketika masa Rosinah hendak memasukkannya ke sekolah dan kepala
sekolah tak mau me?nerimanya, dan lagipula ia tak mau ke sekolah,
lelaki itu berkata padanya:
"Aku akan ajari kau menulis, meskipun aku tak pernah belajar
menulis."
Aku akan ajari kau menulis, meskipun aku tak pernah belajar menulis.
Melanjutkan:
"Dan kuajari kau membaca, meskipun aku tak pernah belajar mem?
baca."
Dan kuajari kau membaca, meskipun aku tak pernah belajar membaca.
Ia tak pernah membutuhkan apa pun lagi, tampaknya, sebab ia te?
lah merasa begitu bahagia berteman dengannya. Orang-orang tak mau
berteman dengannya, sebab ia buruk rupa. Tapi lelaki itu ber??teman de?
ngannya, tak peduli ia buruk rupa. Orang-orang tak mau menemuinya,
tapi lelaki itu menemuinya. Mereka sering bermain bersama, dan
Rosinah sering dibuat terkejut oleh kegembiraannya yang tiba-tiba
dan tanpa sebab.
Si Cantik kecil begitu bahagia bisa menulis dan membaca. Ia me?ne??
mu??kan banyak buku peninggalan ibunya, dan membaca hampir se?mua??
nya dengan kegembiraan yang meluap-luap, menyalin sebagian da???lam
usahanya mencoba menulis dan memperoleh kegembiraan yang sa??ma.
Hanya Rosinah yang memandangnya dengan penuh ke?bi?ngung?an.
"Bagaikan malaikat mengajarimu," tulis Rosinah pada Si Cantik.
"Ya, malaikat mengajariku."
Malaikat itu tidak mesti selalu datang setiap hari, tapi Si Cantik
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yakin ia selalu datang di waktu-waktu tertentu, sesuka hati, dan menga?
jari?nya apa pun. Ia tak membutuhkan teman-teman lain, yang tak
mem?butuhkannya karena buruk rupa. Ia tak perlu pergi ke luar rumah
untuk bermain, sebab ia bisa bermain di dalam rumah. Ia tak ingin
meng?ganggu siapa pun dengan menampilkan dirinya yang mengerikan
di hadapan seseorang, maka dirinya pun tak terganggu oleh siapa pun di
dalam rumahnya. Rumah yang membuatnya senang dan bahagia, sebab
ada malaikat yang baik hati tinggal di sana, dan menjadi sahabatnya.
"Aku bahkan bisa mengajarimu masak, meskipun aku tak pernah
belajar masak."
Aku bahkan bisa mengajarimu masak, meskipun aku tak pernah belajar
masak.
Maka ia pun belajar masak dan segera mahir meramu bumbu untuk
jenis masakan apa pun. Tidak sampai di sana, ia mulai bisa me?rajut,
menjahit, menyulam, dan mungkin bisa memperbaiki mo?bil dan mem?
bajak sawah jika ia diberi kesempatan. Semuanya ia peroleh dari malai?
kat?nya yang baik hati itu, yang mengajarinya dengan begitu telaten.
"Jika kau tak pernah belajar itu semua, dari mana kau tahu dan bisa
mengajarku?" tanya Si Cantik.
"Kucuri dari orang-orang yang bisa."
Kucuri dari orang-orang yang bisa.
"Apa yang bisa kau lakukan tanpa mencurinya dari orang lain?"
"Menarik cikar."
Menarik cikar.
Dengan cara demikianlah ia kemudian tumbuh di rumah itu, ber?
sama Rosinah, yang tak peduli lagi pada segala keanehan dan keajaiban
yang diperlihatkan gadis tersebut. Si Cantik memperoleh warisan yang
sangat memadai dari ibunya, ia hanya mengurus ba?gaimana itu bisa te?
tap mencukupi bagi hidup mereka berdua. Rosinah pergi ke pasar setiap
hari untuk berbelanja urusan dapur, sementara Si Cantik tinggal di
rumah, tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun. Ada hantu di rumah ini,
sebagaimana dikatakan Dewi Ayu suatu ketika, tapi ia tak mengganggu.
Bahkan jika benar ia yang mengajari Si Cantik segala sesuatu, hantu itu
cenderung baik. Rosinah tak perlu merisaukan apa pun, meninggalkan
Si Cantik di rumah sendirian.
Bahkan anak-anak yang kadang penasaran dan mengintip dari balik
pagar dengan perasaan takut tak akan merisaukannya. Si Cantik tak
akan menampakkan diri untuk mereka, sebab ia tahu itu akan membuat
mereka ketakutan, ketakutan yang amat sangat. Si Cantik gadis yang
baik, ia tak mungkin menakuti orang dengan me?nampilkan dirinya
kecuali di hadapan Rosinah yang telah mengenalnya sejak ia dilahirkan.
Ia begitu baik, sehingga ia bahkan mengorbankan dirinya untuk tidak
memperoleh kehidupan yang dinikmati lebih banyak orang: hidupnya
hanya seputar rumah itu, kamarnya, kamar makan, kamar mandi, dapur,
dan kadang-kadang ia turun ke halaman yang gelap di malam hari. Ia
begitu baik untuk me?ngorbankan dirinya, atau menghukum dirinya,
men?jalani ke?hi?dupan monoton yang demikian membosankan itu, dan
sebaliknya ia tampak begitu berbahagia.
"Kini aku bahkan akan menghadiahimu seorang Pangeran," kata
malaikat baiknya.
Kini aku bahkan akan menghadiahimu seorang Pangeran.
Ia telah tumbuh menjadi seorang gadis, dan tentu saja meng?ha?
rap?kan seorang lelaki yang akan jatuh cinta kepadanya, dan ia jatuh
cinta kepada lelaki itu. Hal ini sempat membuatnya begitu murung,
sebab ia yakin tak akan ada seorang lelaki pun mau mencintainya. Ia
bu?kan gadis untuk dicintai. Ia gadis buruk rupa dengan lubang hi?dung
menyerupai colokan listrik dan kulit hitam legam seperti jelaga. Ia
gadis yang menakutkan, yang akan membuat orang mual dan muntahmun?tah, membuat orang tak sadarkan diri dalam teror, membuat orang
kencing di celana, membuat orang lari kesetanan, dan tidak membuat
orang jatuh cinta.
"Itu tak benar, kau akan memperoleh Pangeranmu sendiri."
Itu tak benar, kau akan memperoleh Pangeranmu sendiri.
Itu tak mungkin. Bahkan tak seorang pun pernah melihatnya,
bahkan tak seorang pun mengenalnya, maka tak mungkin seseorang
jatuh cinta kepadanya secara tiba-tiba.
"Apakah aku pernah berbohong kepadamu?"
Apakah aku pernah berbohong kepadamu?
Tidak.
"Tunggulah di beranda selepas senja, Pangeranmu akan datang."
Tunggulah di beranda selepas senja, Pangeranmu akan datang.
Ia sering duduk-duduk di beranda jika malam datang, untuk meng?
hirup udara segar, tanpa rasa takut bahwa wajah monsternya dilihat
dan mengganggu orang. Di dalam kegelapan ia merasa be?gitu aman,
dan malam adalah teman terbaiknya di beranda. Bahkan di waktu dini
hari, sebelum matahari membuat segalanya terang-benderang, ia sering
bangun begitu cepat untuk duduk-du?duk dan melihat bintang kemerah?
an yang disebut si malaikat sebagai Venus. Ia menyukainya, sebab ia
begitu cantik. Seperti na?manya.
Kini ia duduk di beranda untuk menunggu Pangeran yang dijanji?
kan. Ia tak tahu dengan cara apa ia akan datang. Mungkin dengan ular
naga yang datang dari Venus, mungkin datang dari dalam tanah secara
mengejutkan. Ia tak tahu, tapi ia menunggu. Dan malam itu berlalu
tan?pa ada seorang pun Pangeran lewat di depan rumahnya. Bahkan
gelan?dangan pun tidak ada.
Tapi ia percaya malaikatnya tak akan berbohong, maka ia me?nung?
gunya kembali di malam kedua. Ada satu iring-iringan pe?makaman,
namun tak ada Pangeran. Juga ada penjual bajigur lewat namun tak
mampir, menoleh pun tidak. Tak ada Pangeran hingga akhirnya ia
ter?tidur di kursi kelelahan dan Rosinah datang mem?bo?pongnya, meni?
durkannya di kamar.
Di malam ketiga juga tak ada siapa pun yang datang. Rosinah ber?
tanya mengapa ia duduk di beranda setiap malam seperti me?nunggu se?
suatu, dan Si Cantik akan menjawab, "Menunggu Pa?nge?ranku datang."
Rosinah mulai memahaminya bahwa gadis itu kini telah memasuki
masa puber. Ia telah tahu sebelumnya gadis itu telah menstruasi, dan
kini ia menginginkan seorang kekasih. Ia duduk di beranda berharap
seseorang melihat dan jatuh cinta kepadanya. Memikirkan hal itu Rosi?
nah menjadi sedih dan masuk ke kamarnya, menangisi kemalangan Si
Cantik yang buruk rupa, yang bahkan tak pernah menyadari, mungkin
seumur hidup ia tak mungkin mem?peroleh siapa pun yang akan mencin?
tainya. Tak ada Pangeran untuknya.
Tapi Si Cantik tetap menunggu di malam keempat, dan kelima
dan keenam. Di malam ketujuh seorang lelaki muncul dari semak-se?
mak pojok halaman rumah, mengejutkannya. Ia begitu tampan dan
ia segera merasa yakin, itu Pangerannya. Umurnya sekitar tiga puluh
tahun, dengan tatapan yang demikian lembut, dengan rambut yang
tersisir rapi ke belakang, dan ia mengenakan pakaian serba gelap yang
sendu. Ia menggenggam sekuntum bunga mawar, berjalan ke arahnya,
dan memberikan bunga mawar itu kepadanya dengan sangat hati-hati,
seolah takut ditolak.
"Untukmu," kata laki-laki itu, "Si Cantik."
Si Cantik menerimanya dengan hati berbunga-bunga, dan lelaki itu
kemudian menghilang. Ia muncul kembali di malam berikutnya, dengan
bunga mawar yang diberikan kepadanya pula, dan menghilang lagi. Baru
pada hari ketiga sejak kedatangannya, ia memberikan bunga mawar
yang lain, dan Si Cantik menerimanya, kemudian le?laki itu berkata:
"Besok malam aku akan mengetuk jendela kamarmu."
Seharian itu ia menunggu malam datang dan Sang Pangeran mun?cul
di jendela kamarnya, seperti gadis-gadis yang menanti kencan pertama.
Ia bertanya-tanya tentang gaun apa yang akan ia pakai, dan dibuat repot
soal itu di depan cerminnya. Ia lupa pada wajah buruknya, dan mencoba
merias diri dengan segala yang ada di bekas meja rias ibunya maupun di
meja rias Rosinah. Rosinah sendiri tak pernah tahu kedatangan lelaki
itu, dan hanya mengira Si Cantik memetik bunga mawar di halaman
rumah setiap kali ia ma?suk dengan sekuntum bunga mawar. Namun
ia mulai ke?bi?ngung?an, atau dibuat sedih, ketika melihat kelakuan Si
Can?tik yang berdandan dengan ribut sepanjang hari.
"Seperti kodok yang mencoba berdandan menjadi putri," katanya
pada diri sendiri sambil menggosok mata yang basah.
Si Cantik berharap bertemu dengan lelaki tua itu, yang suka muncul
mendadak, malaikatnya yang baik hati, tapi ia tak pernah muncul lagi
sejak datangnya Sang Pangeran. Padahal ia berharap bertanya banyak
hal, seperti apa yang harus dilakukan seorang gadis menghadapi kencan
pertamanya. Apa yang harus dikatakan dan dilakukan jika Pangeran itu
merayu dirinya. Apa yang harus diperbuat ketika ia mengetuk jendela
dan ia telah membukanya. Jika mereka harus ngobrol, apa yang harus
mereka bicarakan. Ia ingin bertemu malaikat baik hatinya, tapi si tua
itu tak pernah muncul lagi sejak Sang Pangeran datang.
Akhirnya ia hanya mengenakan gaun yang biasa ia kenakan seharihari dan mulai menunggu ketika malam akhirnya datang. Tidak di
beranda tapi di dalam kamarnya sendiri. Duduk di tepi tempat tidur,
tampak sekali ia begitu gelisah, memasang telinga dengan baik, cemas
bahwa ia akan melewatkan bunyi ketukan yang mungkin akan terde?
ngar begitu pelan dan halus, seperti para pencari kerja yang cemas
menanti namanya dipanggil. Sesekali ia berdiri dan mengintip melalui
tirai jendela, yang ada hanya pemandangan ha?laman dengan tanamantanaman serba hitam oleh kegelapan, dan ia duduk kembali di tepi
tempat tidur, masih se?gelisah semula.
Kemudian ia mendengar ketukan itu, begitu lembut sehingga ia ha?
rus memasang telinganya dengan lebih baik, dan ketukan itu terdengar
kembali sampai tiga kali. Dengan perasaan yang campur-aduk, setengah
berlari Si Cantik melangkah menuju jendela dan membukanya.
Di sana berdiri Pangerannya, dengan bunga mawar sebagaimana
biasa.
"Bolehkah aku masuk?" tanya Sang Pangeran.
Si Cantik mengangguk dengan malu-malu.
Setelah menyerahkan bunga mawar itu pada Si Cantik, Sang Pa?
ngeran melompati jendela memasuki kamar. Ia berdiri sejenak meman?
dang isi kamar itu sekelilingnya, berjalan begitu perlahan dari satu sudut
ke sudut lain, kemudian berbalik memandang Si Cantik yang baru saja
menutup jendela tanpa menguncinya. Sang Pangeran duduk di tepi
tempat tidur, dan dengan isyarat tangannya menyuruh Si Cantik du?
duk pula di sampingnya. Gadis itu menurut, dan selama beberapa saat
mereka saling membisu.
"Telah lama aku ingin berjumpa denganmu," kata Sang Pangeran.
Si Cantik begitu tersanjung sehingga ia bahkan tak mampu menga?
takan, atau tepatnya bertanya, dari mana ia mengenal dirinya.
"Telah lama aku ingin mengenalmu," kata Sang Pangeran lagi, "dan
telah lama aku ingin menyentuhmu."
Itu membuat jantung Si Cantik berdegup kencang. Ia tak berani
me??noleh pada lelaki itu, dan sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa di?ngin
ke??tika lelaki itu menyentuh tangannya, dan menggenggamnya begitu
lembut.
"Bolehkah aku mencium punggung tanganmu?" tanya Sang Pange?
r?an. Si Cantik belum juga menjawab, atau ia semakin tak sang?gup
men?jawab, ketika Sang Pangeran telah mencium punggung tangan
kanan?nya.
Kencan pertama mereka hanya didominasi kata-kata Sang Pa?ngeran,
se????mentara Si Cantik lebih banyak membisu, tersipu malu, meng?ang?guk
atau menggeleng, dan tersipu malu lagi. Mereka meng?habiskan sa????tu jam
setengah dengan cara seperti itu, hingga waktunya bagi Sang Pa????ngeran
untuk pulang. Ia meninggalkan rumah itu se?bagaimana ia da???tang: me?
lom?pati jendela. Namun sebelum ia pergi, ia membuat janji kencan lagi.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tunggu aku seperti tadi kau menungguku, di akhir pekan."
Di akhir pekan, bagaimanapun, Si Cantik berjanji untuk bicara.
Ia tak akan lagi membisu, atau hanya tersipu malu, mengangguk dan
menggeleng. Ia harus bicara dan membuat apa pun yang me??mungkinkan
agar Sang Pangeran tidak menjadi bosan kemudian. Lelaki tua itu tak
per?nah datang lagi, tapi Si Cantik mulai tak peduli. Ia telah menemu?
kan seorang pengganti, yang lebih tampan, lebih baik hati, memuja
dirinya, sering merayu dirinya, dan bahkan mungkin mencintainya. Ia
berdebar-debar menantikan akhir pekan datang.
Sebagaimana janjinya, laki-laki itu datang di akhir pekan, masih
dengan bunga mawar. Masuk melalui jendela dan duduk di pinggir tem?
pat tidur ditemani Si Cantik. Mengambil inisiatif pertama, Si Cantik
bertanya, dengan nada malu-malu yang tak kunjung padam:
"Darimana kau petik mawar-mawar itu?"
"Dari halaman rumahmu."
"Oh?"
"Aku kurang modal."
Mereka tertawa kecil.
Kemudian Sang Pangeran menggenggam kembali tangan Si Cantik,
dan kali ini Si Cantik ikut balas menggenggam. Tanpa memintanya,
Sang Pangeran mencium punggung tangannya, mem?buat Si Cantik
kembali pada kebiasaan lama. Tersipu malu-malu. Lalu ia mulai me?
rasa?kan bagaimana lelaki itu mengelus dengan lembut tangannya,
sentuhan yang begitu membuai, yang membuatnya melayang seperti
ketika seseorang jatuh dalam ketidaksadaran tidur. Lalu tiba-tiba ia
telah mendapati lelaki itu persis di hadapannya, wajah lelaki itu di
depan wajahnya, dan itu membuat detak jan?tungnya berdegup semakin
keras. Sebelum menyadari apa pun, wajah itu telah mendekat, dan ia
merasakan bibirnya disentuh bibir Sang Pangeran, merasakan Sang
Pangeran melumat bibirnya, membuatnya begitu basah. Ia mencoba
balas mencium, dan mulai merasakan tak hanya bibir, namun lidah yang
bermain-main kasar. Lalu mereka berciuman lama, nyaris setengah jam,
sampai waktunya Sang Pangeran pamit untuk pulang.
"Kutunggu kau akhir pekan depan," kali ini Si Cantik yang berkata,
dan Sang Pangeran mengangguk dengan senyumnya yang memesona.
Ciuman itu begitu mengesankan Si Cantik, dan ia berharap akhir
pekan datang secepat lalat datang dan pergi. Ia masih merasakan ke?
hangatannya sampai keesokan hari, dan tetap merasakannya keesokan
harinya lagi. Ia mengenang tahap demi tahap bagaimana mereka
akhirnya sampai pada momen berciuman, dan itu meng?ge?tar?kan hati?
nya. Setiap kali ia mengenangnya.
Begitulah, pada pertemuan berikutnya, ciuman adalah kata-kata per?
tama mereka. Mereka melakukannya bahkan sejak di ambang jendela,
dengan Si Cantik berdiri di dalam kamar dan Sang Pangeran masih
berdiri di luar kamar. Tapi akhirnya Sang Pangeran menaiki jendela
dan masuk ke kamar, Si Cantik menutup daun jendela, na?mun mereka
tak pernah melepaskan bibir mereka satu sama lain. Ciuman itu terus
ber?lanjut di dalam kamar, dengan Si Cantik bersandar ke dinding dan
Sang Pangeran menekan tubuhnya, begitu liar dan penuh nafsu.
Perlahan namun pasti tangan-tangan nakal Sang Pangeran mulai
menerobos gaun Si Cantik, dan itu membuat udara kamar tiba-tiba
menjadi demikian panas. Mereka menanggalkan pakaian satu demi satu,
luruh ke lantai, hingga telanjang dan Sang Pangeran mendekap tubuh
Si Cantik dan membopongnya ke atas tempat tidur.
"Aku akan mengajarimu bercinta," kata Sang Pangeran.
"Maka ajari aku bercinta," kata Si Cantik.
Maka mereka mulai bercinta. Si Cantik masih perawan maka ia
me?rintih antara rasa sakit dan riang, menciptakan keributan membuat
Rosinah di luar kamar kebingungan atas gangguan suara tersebut. Ia
membuka pintu (yang lupa dikunci) dan hanya melihat tubuh telanjang
Si Cantik yang tengah menggelinjang di atas tempat tidur. Ia hanya
meng?geleng dalam sikap sedihnya yang khidmat, menutup pintu perla?
han, dan meninggalkannya, sementara Sang Pangeran terus mencoba
merusak selangkangan Si Cantik, membuatnya berdarah, namun juga
membuatnya berteriak dalam kebahagiaan yang begitu indah.
Kemudian Si Cantik selalu menunggu Pangerannya di beranda,
meskipun Sang Pangeran selalu masuk melalui jendela, sebab ia ingin
melihat kemunculannya, didorong rasa rindu yang tak tertahankan.
Mereka bercinta setiap kali bertemu, kadang-kadang sampai dua kali,
dan merasa sebagai pasangan paling bahagia di dunia. Si Cantik tak
perlu merasa heran mengapa Rosinah tak pernah bisa melihat Sang
Pangeran. Begitu pula ketika Dewi Ayu akhirnya bangkit dari kuburan
dan kembali ke rumah tersebut, dan suatu kali ia membongkar paksa
pintu, ia tak melihat Pangerannya. Keajaiban telah menjadi makanan
sehari-hari, dan ia tak perlu merasa heran, sebab Rosinah pun tak per?
nah melihat si lelaki tua malaikatnya, meskipun ia melihatnya.
Kemudian Si Cantik bunting.
Bahkan ketika sudah mengetahui bahwa ia hamil, ia masih menung?
gu Sang Pangeran untuk bercinta, dan mereka bercinta. Ia tak pernah
memberitahu Sang Pangeran soal kehamilan, sebab ia takut itu meng?
ubah semua kebahagiaan mereka.
Hingga suatu malam, tak lama setelah Dewi Ayu kembali menghilang
ke dunia orang-orang mati, dan Si Cantik tengah berbaring telanjang
dengan Sang Pangeran di atas tempat tidur, melepas lelah setelah
bercinta, seorang lelaki mendobrak pintu kamar dengan senapan angin
di tangan. Kedatangannya sangat mengejutkan. Ia seorang lelaki dengan
perawakan agak pendek, gemuk, dan tampak memiliki roman sedih.
Lelaki itu sedikit bergidik dalam teror ketakutan ketika ia melihat wajah
Si Cantik, namun pandangannya segera beralih pada Sang Pangeran
dengan penuh kemarahan.
"Kau," katanya, "pembunuh Rengganis Si Cantik, aku datang untuk
membalaskan kematiannya."
Sang Pangeran belum sempat menyelamatkan diri ketika senapan
angin itu meletus dan pelurunya tepat bersarang di dahi. Ia terkapar di
tempat tidur, sekarat. Si lelaki bersenapan memompa angin lagi, meng?isi
peluru lagi, dan menembak Sang Pangeran lagi. Ia menembak sebanyak
lima kali dengan penuh dendam, sementara Si Cantik berteriak-teriak.
Semua orang hanya tahu bahwa ia mati ditembak ketika tengah berkun?
jung ke rumah neneknya.
Pemakaman Krisan dihadiri seluruh kerabatnya tanpa tersisa, de?ngan
Adinda tampak begitu berduka. Kini semuanya lengkap: Alamanda
kehilangan Sang Shodancho dan Nurul Aini, Maya Dewi kehilangan
Maman Gendeng dan Rengganis Si Cantik, dan kini Adinda kehilang?
an Krisan setelah sebelumnya kehilangan Kamerad Kliwon. Mereka
kehilangan orang-orang yang mereka cintai.
Ketiganya mengiringi keranda kematian Krisan menuju pe?ma?kaman
Budi Dharma, dan sepanjang jalan Alamanda serta Maya Dewi men?
coba menghibur Adinda.
"Kita seperti keluarga yang dikutuk," kata Adinda di tengah isak
tangis?nya.
"Tidak seperti," kata Alamanda, "tapi sungguh-sungguh dikutuk."
Si tua Kamino telah menggali kuburan untuknya, tepat di sam?ping
kuburan ayahnya sebagaimana permintaan Adinda, dan ia bah?kan me?
mesan tempat di sampingnya lagi untuk kuburannya sen?diri kelak jika
ia mati.
Biasanya, tak ada perempuan datang pada pemakaman. Hanya pada
kasus-kasus tertentu perempuan datang ke tempat pemakaman, ter?
utama jika perempuan itu sungguh-sungguh tak bisa berpisah dengan
si orang mati, sebagaimana pernah terjadi pada Farida ber?tahun-tahun
lalu. Tapi pada pemakaman Krisan, seluruh peng?iringnya adalah tiga
orang perempuan kakak-beradik, ditambah enam orang lelaki kampung
pengusung keranda dan seorang imam masjid yang akan memberikan
doa bagi si orang mati.
Tak ada lagi selain mereka, yang berdiri mengenakan pakaian gelap
di bawah payung-payung yang melindungi mereka entah dari apa, sebab
matahari tak memancarkan terik sinarnya di sore hari dan hujan tak juga
turun. Hanya mereka bertiga, hingga kemudian dua titik gelap dat?ang
dari kejauhan. Mereka semakin mendekat dan titik-titik itu men?jadi
sosok-sosok, dan ketika semakin dekat ternyata dua orang perem?puan
lain dengan pakaian berkabung.
Yang lebih mengejutkan adalah bahwa kedua perempuan itu juga da?
tang untuk melepas kepergian Krisan, tepat ketika mayatnya di?turunkan
dan tanah pertama mulai menguburnya. Ketiga pe?rempuan kakak ber?
adik itu dibuat terkejut, tak hanya oleh kehadiran mereka, tapi oleh
wajah buruk rupa salah satu di antara mereka, yang mereka pikir itu
hantu kuburan. Namun segera mereka ingat, tentang desas-desus anak
Dewi Ayu yang keempat, yang tak pernah mereka temui, yang buruk
rupa menyerupai monster. Perempuan itu, si buruk rupa, bahkan tampak
sangat bersedih atas kematian Krisan. Ia menangis dan memandang tak
rela pada tubuh terbalut kain kafan yang mulai menghilang di balik
tanah. Ia bahkan tampak lebih berduka dari Adinda sendiri.
Adalah Alamanda yang memberanikan diri bertanya kepadanya,
"Apakah kau Si Cantik?"
Si Cantik mengangguk. "Dan aku tahu kalian adalah Alamanda,
Adinda, dan Maya Dewi."
"Kita semua anak Dewi Ayu," kata Alamanda. Ia memeluk Si Cantik
tanpa peduli dengan wajah monsternya.
"Aku ikut berduka atas kematian satu yang tersisa dari yang kalian
miliki," kata Si Cantik lagi.
Ketika upacara pemakaman itu selesai, mereka semua pergi ke
rumah Dewi Ayu, yang ditinggali Si Cantik bersama Rosinah. Ha?nya
Adinda yang pernah tinggal di sana, yang lainnya hanya per?nah me?
lihat sejenak pada perkawinan Adinda dan Kamerad Kliwon. Mereka
berkeliling rumah, melihat foto-foto mereka di masa kecil, melihat foto
Dewi Ayu dan menangis mengenang masa-masa lalu yang begitu sulit.
Dan kini mereka adalah segerombolan yatim piatu yang kesepian dan
menyedihkan. Apa yang mereka miliki sekarang adalah diri mereka
sendiri, dan usaha untuk saling memiliki satu sama lain.
"Mama datang belum lama, dan pergi lagi sebelum Krisan mati,"
kata Si Cantik.
"Begitulah orang-orang mati," kata Maya Dewi. "Suamiku datang
lagi di hari ketiga setelah kematiannya."
Setelah itu, mereka masih tinggal di rumah mereka masing-masing,
melanjutkan kehidupan mereka yang sunyi. Untuk meng??hibur diri,
mereka selalu berkunjung satu sama lain. Bah?kan Si Cantik, sejak
penampilan pertamanya di pemakaman, mu?lai berani keluar rumah dan
mengunjungi rumah kakak-kakaknya. Ia tak pe?duli lagi pada pandangan
orang. Ia me?nge?nakan gaun-gaun yang panjang, dan kain yang nyaris
menutupi wajahnya. Mereka begitu menikmati kehidupan seperti itu,
mencoba melupakan kemalangan-ke?malangan yang menimpa mereka.
Saling mencintai satu sama lain, dan berbahagia dengan cinta tersebut.
Demikian sampai tua, hingga orang-orang sering bergunjing, atau me?
nyebut mereka, gerombolan janda-janda, jika mereka tengah berkumpul.
Tapi mereka sangat bahagia, dan saling mencintai.
Pada umur keenam bulan kehamilannya, Si Cantik melahirkan secara
prematur dan bayinya mati tanpa pernah sempat menangis dan apalagi
berteriak. Kakak-kakaknya menguburkan bayi itu di kebun belakang
rumahnya, dibantu si perempuan bisu Rosinah.
"Tidakkah kau memberinya nama sebelum dikuburkan?" tanya
Alamanda.
"Nama hanya akan membuatku sakit hati."
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika aku boleh tahu, anak siapa sebenarnya bayi itu?" tanya Adinda.
"Aku dan Sang Pangeran."
Tentu saja ada banyak rahasia di antara mereka sebagaimana Ala?
manda tak pernah menceritakan perselingkuhannya dengan Kamerad
Kliwon meskipun Adinda mengetahuinya belaka. Maka mereka tak
memaksa Si Cantik untuk menunjukkan lelaki mana yang ia sebut
sebagai Sang Pangeran.
Bayi itu dikuburkan dan mereka terus menjalani hidup. Saling men?
cintai dan menjaga rahasia masing-masing.
Ketika mayat Rengganis Si Cantik ditemukan, Krisan menderita teror
yang amat sangat, oleh satu ketakutan bahwa pada akhirnya orang akan
mengetahui bahwa Krisanlah yang membunuh gadis itu. Ketakutan itu
semakin menjadi-jadi atas fakta bahwa ia juga me?nyembunyikan mayat
Nurul Aini di bawah tempat tidurnya, sementara Sang Shodancho
mencarinya ke mana-mana dengan penuh kemarahan.
Ia berpikir-pikir untuk mengembalikan mayat itu ke kuburannya,
tapi ia takut seseorang memergokinya, sebab setelah Sang Shodancho
mengetahui bahwa seseorang menggali kuburan itu dan mengambil
mayat anaknya, semua orang pasti memperhatikan kuburan tersebut.
Mengembalikan Nurul Aini ke kuburannya sama sekali bukan tin?dakan
bijaksana, dan ia dibuat nyaris gila bagaimana ia harus me?lenyapkan
mayat itu dari tempat tidurnya sebelum seseorang me?ngetahuinya.
Ia nyaris mengurung diri terus di dalam kamar, dengan pintu nyaris
selalu terkunci, khawatir bahwa ibu dan neneknya akan masuk ke
kamar dan mengetahui mayat tersebut, sebab ada bau harum yang
samar-samar datang dari kolong tempat tidur. Ia bahkan menyapu sen?
diri kamarnya, agar ibu dan neneknya tak berusaha untuk masuk dan
membersihkan tempat tersebut.
Krisan pernah mencoba untuk mencincang tubuh gadis yang di?
cintainya itu, bermaksud membagi-bagi tubuhnya menjadi po?tonganpotongan kecil sehingga ia akan dengan mudah mem?buang?nya. Mung?
kin menjadi makanan anjing jauh lebih aman dan tak mungkin ditemu?
kan kembali daripada dikembalikan ke kuburannya. Tapi demi melihat
wajah cantik itu, wajah yang tak membusuk oleh kematiannya, wajah
yang seolah ia hanya sedang tidur dan pada waktunya ia akan bangun
dan mengucek-ucek mata, Krisan tak sanggup melakukannya. Ia begitu
mencintai gadis itu, dan mem?ba?yangkan bahwa ia akan mencincangnya
bahkan membuatnya menangis. Lebih dari itu ia tak memiliki kekuatan
lagi mengangkat golok yang telah disiapkan, dan mengembalikan Nurul
Aini yang berselimut kain kafan ke kolong tempat tidur.
Ia nyaris akan membuat pengakuan atas semua dosa-dosanya, di
ujung rasa putus asa, ketika ia menemukan ide cemerlang itu. Ia akan
melakukannya, dan mengucapkan selamat tinggal pada Ai.
Sebagaimana ketika ia pergi ke laut bersama Rengganis Si Cantik
dan mayat Ai, ia mendandani mayat itu dengan pakaiannya sendiri. Di
malam hari, menjelang dini hari, ia mengikat mayat itu ke punggungnya
dan melaju dengan sepeda ke pesisir. Ia mencuri pe?rahu sebagaimana
sebelumnya ia lakukan, bahkan perahu yang sama, sebab tampaknya
memang telah dibuang pemiliknya. Ia membawa mayat Ai ke tengah
laut, tidak hanya mayat, tapi juga dua buah batu besar, nyaris dua kali
besar kepalanya.
Ia mencapai tempat ia membunuh Rengganis Si Cantik tepat ketika
hari baru datang. Tempat itu sangat dalam, bahkan ikan hiu pun tak
akan menemukannya. Ia mengikat tubuh gadis itu, dengan air mata ber?
cucuran, dengan ketidaktegaan, tapi ia harus me?la?kukannya, mengikat
tubuh mati itu pada kedua batu, sangat erat bahkan gigitan ikan gergaji
tak akan memutuskannya. Dengan batu seberat itu, ketika dilemparkan,
dengan cepat tubuh mati Ai meluncur ke kedalaman samudera, lenyap
dan tak berbekas. Sang Shodancho tak akan pernah menemukannya,
berapa ratus tahun pun ia men?carinya.
Krisan pulang dengan hati sedih, namun tenang. Ia berpapasan
dengan seorang nelayan yang berperahu seorang diri, dan nelayan itu
bertanya kepadanya.
"Apa yang kau lakukan seorang diri di laut, tanpa seekor ikan pun
di perahumu?"
Apa yang kau lakukan seorang diri di laut, tanpa seekor ikan pun di
perahumu?
"Membuang mayat," kata Krisan, bergidik mendengar suara le?laki
itu bergema entah dipantulkan oleh apa.
"Patah hati oleh kekasih yang cantik? Ha. Ha. Ha. Kuberi kau saran,
Nak, carilah kekasih yang buruk rupa. Mereka cenderung tak akan
membuatmu terluka."
Patah hati oleh kekasih yang cantik? Ha. Ha. Ha. Kuberi kau saran,
Nak, carilah kekasih yang buruk rupa. Mereka cenderung tak akan mem?
buatmu terluka.
Nelayan itu pergi kemudian, ke arah yang berlawanan, tapi ia me?
mikirkan sarannya. Dan ketika ia sampai di tempat sepedanya diparkir,
ia berkata pada diri sendiri, "Mungkin benar, aku harus mencari kekasih
yang buruk rupa. Yang paling buruk rupa di dunia."
Tak lama setelah roh jahat yang kuat itu berhasil dibunuh oleh Dewi
Ayu, Kinkin memainkan permainan jailangkungnya di kuburan Reng?
ganis Si Cantik. Ia yakin kali ini ia akan berhasil, sebab penghalang
yang jahat itu telah dikalahkan. Ia memasang sebuah boneka kayu yang
ditancapkan di atas kuburan, yang akan jadi medium roh Rengganis Si
Cantik, dan ia mulai membaca mantra-mantra. Boneka itu seketika
bergoyang, tanda bahwa roh itu telah ter?panggil, namun terguncangguncang tanda marah dan nyaris roboh. Kinkin mencoba menenang?
kannya, namun roh Rengganis Si Cantik malah menghardiknya.
"Idiot, apa yang kau lakukan?"
"Memanggil rohmu."
"Itu aku tahu," kata Rengganis Si Cantik, "tapi dengar, kau tetap
tak akan bisa mengawiniku."
"Aku hanya ingin mengetahui siapa yang membunuhmu, dan izin?
kanlah aku membalaskan dendam untukmu, dan untuk cintaku," kata
Kinkin sambil membungkukkan badan, seolah sungguh-sungguh memo?
hon di hadapan boneka kayu tersebut.
Si boneka kayu, Rengganis Si Cantik, berkata, "Bahkan seribu tahun
kau hidup aku tak akan mengatakan siapa yang membunuhku."
"Kenapa? Tidakkah kau ingin aku membalaskan dendam?"
"Sebab aku begitu mencintainya."
"Kubunuh ia dan kalian akan bertemu di dunia orang mati."
"Bujukan murahan." Dan Rengganis Si Cantik menghilang.
Tapi pada akhirnya ia mengetahuinya juga, bukan dari roh Reng?
ganis Si Cantik, tapi dari roh yang tak ia ketahui. Ia melakukan pilihan
secara acak, percaya bahwa tak seorang pun kini menghalangi roh-roh
itu bicara sejujurnya, dan percaya roh-roh mengetahui apa yang tak
diketahui manusia. Ia memanggil salah satu roh, yang tampaknya tua
dan rintih, namun suaranya begitu tegas.
"Ha. Ha. Ha. Aku tak sekuat dulu, tapi aku datang lagi, Nak."
Ha. Ha. Ha. Aku tak sekuat dulu, tapi aku datang lagi, Nak.
"Apakah kau tahu siapa pembunuh Rengganis Si Cantik?" tanya
Kinkin.
"Yap. Krisanlah yang membunuh Rengganis Si Cantik. Bunuhlah
bocah itu, jika kau sungguh-sungguh mencintai gadis tersebut, dan jika
kau punya nyali. Ha. Ha. Ha."
Yap. Krisanlah yang membunuh Rengganis Si Cantik. Bunuhlah bocah
itu, jika kau sungguh-sungguh mencintai gadis tersebut, dan jika kau punya
nyali. Ha. Ha. Ha.
Demikianlah ia membunuh Krisan, di kamar Si Cantik, dengan lima
tembakan senapan angin yang sangat terlatih.
Kemudian selama tujuh tahun ia mendekam di dalam penjara,
menjadi bulan-bulanan banyak penjahat di sana. Ia disodomi hampir
seminggu sekali, dipukuli nyaris tiap hari, membagi separuh jatah
makannya di setiap waktu makan, dan kehilangan semua milik pri?badi
yang diberikan Kamino untuknya selama di penjara. Namun dengan
semua penderitaan di dalam penjara yang seperti itu, ia tetap bahagia,
sebab ia berada di sana dalam misi suci cintanya, membalas dendam atas
kematian gadis yang dicintainya sejak pandangan pertama.
Ia dibebaskan setelah memperoleh pengampunan satu tahun atas
kelakuan baiknya selama di dalam penjara. Ia muncul di dunia orangorang bebas dalam keadaan kurus kerempeng, dengan rambut panjang
tak terurus, dengan wajah menjadi tirus dan tulang-belulang dahi serta
rahangnya demikian tampak. Ia seperti tengkorak hidup namun meng?
hirup udara kebebasannya dengan penuh kemerdekaan.
Ia berjalan kaki dari penjara kota, meskipun ia memperoleh uang
dan pakaian untuk kendaraan dan makan. Ia tak berganti pakaian, dan
masih mengenakan pakaian gembel menyerupai gelandangan kota.
Baju pembagiannya hanya diapit di tangan, dan uang pemberian aman
di dalam sakunya. Ia tak ingin mampir ke mana pun dan membuang
waktu. Ia ingin sampai di rumahnya dan memastikan bahwa lelaki itu
sungguh-sungguh telah dikuburkan.
Akhirnya ia menemukan kuburan Krisan, di samping kuburan
Kamerad Kliwon. Pada nisannya jelas tertera nama itu, sehingga ia tak
mungkin salah. Ia membuat nisan baru dan membuang nisan bernama
Krisan, menggantinya dengan nisan yang baru ia bikin. Di sana kini
tertulis: anjing (1966?1997).
Selama bertahun-tahun, Krisan memikirkan terus ide itu, tentang me?
miliki kekasih yang buruk rupa. "Apa yang salah dengan pe?rem?puan bu?
ruk rupa?" katanya pada diri sendiri, "Mereka bisa dientot sebagaimana
perempuan cantik." Dan ia teringat pada desas-desus tentang anak Dewi
Ayu yang konon buruk rupa, mungkin yang paling menakutkan di muka
bumi, dan meskipun ia tahu bahwa Dewi Ayu adalah neneknya, dan
itu berarti si buruk rupa yang ko?non bernama Si Cantik itu bibinya,
ia tak peduli. Ia pernah me?nyetubuhi sepupunya sendiri, apa salahnya
menyetubuhi bibi sendiri.
Maka pada suatu malam ia pergi ke rumah neneknya, melihat bah?
wa gadis itu duduk di beranda seperti menanti seseorang. Ia agak ragu
bagaimana ia harus memulai berkenalan dengannya, maka selama
beberapa hari ia hanya mengamatinya dari kegelapan, sebelum pulang
karena lelah. Baru pada hari ketujuh ia memberanikan diri menerobos
pagar hidup di pojok halaman, memetik bunga mawar yang tumbuh di
sana, dan menghampiri Si Cantik, dan memberikan bunga mawarnya.
"Untukmu," ia berkata, "Si Cantik."
Setelah itu semuanya berjalan dengan baik, hingga mereka akhirnya
bersetubuh. Bersetubuh. Bersetubuh. Dan terus bersetubuh. Apa beda?
nya sekarang, semuanya terasa sama. Bersetubuh dengan Rengganis Si
Cantik maupun Si Cantik yang buruk rupa tak jauh berbeda. Semuanya
sama, semuanya membuat ia punya kemaluan muntah-muntah. Ia terus
menyetubuhi perempuan itu. "Me?ngen?tot?nya," ia menjelaskan. Dan ke?
mudian ia tahu bahwa gadis itu bun?ting, tapi ia tak peduli, "dan terus
mengentotnya."
Hingga suatu ketika Si Cantik bertanya, "kenapa kau menginginkan
aku?"
Ia menjawab, tanpa tahu apakah ia jujur atau tidak, "Sebab aku
men?cintaimu."
"Mencintai seorang perempuan buruk rupa?"
"Ya."
"Kenapa?"
Sebab "kenapa" selalu sulit untuk dijawab, maka ia tak menjawab. Ia
hanya bisa menjawab "bagaimana" dan itu mudah. Untuk menunjuk?kan
cintanya, maka ia terus mencumbunya, tak peduli betapa buruk rupa
dirinya, betapa menjijikkan, betapa menakutkan. Semuanya terasa
baik-baik saja, dan ia memperoleh kebahagiaan yang nyaris tak pernah
di?per?olehnya selama masa hidupnya. Si Cantik selalu terus mengejarnya,
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap kali mereka bertemu dan bercinta, dengan pertanyaan, "Kenapa?"
Krisan tetap membungkam, bahkan meskipun ia tahu jawabannya, ia
tak mau menjawab. Tapi di malam sebelum ia terbunuh, ia akhirnya
men?jawab.
Pengakuan keempat: "Sebab cantik itu luka."
Sebab cantik itu luka.
Tamat
Ledakan Dendam Death Comes As End Karya Nona Berbunga Hijau Kun Lun Hiap Kek Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama