Ceritasilat Novel Online

Cantik Itu Luka 9

Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 9

Rosinah menceritakan apa yang terjadi atas Dewi Ayu semasa perang,

bagaimana ia dipaksa menjadi pelacur oleh tentara Jepang. Suatu ketika,

di saat-saat yang sama di depan tungku, Dewi Ayu pernah pula berkata

pada Rosinah, "Aku mempelajari sesuatu setelah aku jadi pelacur,"

katanya, "bahwa pelacur yang baik adalah pe?rem?puan-perempuan

tanpa kekasih." Dewi Ayu mengatakan bahwa setelah pe?rang selesai,

ia menjadi pelacur bukan semata-mata mem?bayar hutang pada Mama

Kalong, tapi karena ia tak mau apa yang terjadi atas Ma Iyang dan Ma

Gedik terulang pada pasangan-pasangan kekasih penuh cinta yang lain.

"Pelacur paling tidak tak membuat orang harus punya gundik, sebab

setiap kau mengambil gundik, kau mungkin menyakiti hati seseorang

yang adalah kekasih gundik itu. Sebuah cinta dihancurkan dan sebuah

kehidupan di?po?rak?porandakan setiap kali seorang lelaki menyimpan

seorang gundik. Tapi seorang pelacur paling banter menyakiti seorang

istri yang jelas-jelas sudah dikawin, dan adalah kesa?lahannya membuat

suami harus pergi ke tempat pelacuran."

"Begitulah ia kemudian jadi pelacur Halimunda yang dipuja banyak

orang," tulis Rosinah. "Aku seperti tengah menulis biografi ma?jikanku

sendiri." Dan ia tertawa kecil.

"Kenapa kita punya anak yang berpikir begitu menjijikkan?" tanya

Aneu Stammler dengan kebingungan pada suaminya.

"Jangan berpikir buruk tentang anak itu," kata Henri. "Kita tak lebih

tidak berdosa darinya. Kita kakak-beradik sedarah yang memutuskan

kawin, kau tak boleh melupakan itu."

Tak seorang pun melupakannya, bahkan Rosinah yang hanya men?

dengar cerita itu dari Dewi Ayu juga tak lupa.

Hantu itu kemudian datang lagi, kali ini lebih ramah, me?num?pah?

kan meja tempat limun dingin mereka ada di atasnya.

***

Serangan hantu-hantu itu, hantu-hantu orang komunis, paling dahsyat

dirasakan oleh Sang Shodancho. Selama bertahun-tahun sejak peristiwa

pembantaian tersebut, ia menderita insomnia yang parah, dan kalau?

pun tidur ia menderita tidur berjalan. Hantu-hantu itu terus-menerus

merongrongnya, bahkan di meja kartu truf mereka sering menggang?

gunya dan membuat ia kalah terus-menerus. Gangguan-gangguan paling

sepele dari mereka pun bahkan telah membuatnya nyaris gila. Ia sering

memasang baju terbalik, keluar rumah dan tersadar bahwa ia hanya

mengenakan celana dalam, atau ia pikir ia sedang menyetubuhi istrinya

tapi ternyata menyetubuhi lubang kakus. Ia sering menemukan air di

bak mandi tiba-tiba berubah jadi genangan darah yang begitu kental,

dan menemukan semua air di rumah itu, termasuk air minum di teko

dan termos, juga mengental dan memerah menjadi darah.

Semua orang di kota itu merasakan hantu-hantu tersebut, me?nge?nali

dan takut oleh mereka, tapi barangkali yang dibuat paling takut dan

merasa paling terteror hanyalah Sang Shodancho.

Mereka kadang muncul di jendela kamarnya, dengan jidat dihiasi lu?

bang bekas peluru. Dari lubang itu terus-menerus keluar darah, dan dari

mulutnya terdengar erangan, seperti sesuatu yang hendak dikatakan,

tapi tampaknya mereka telah kehilangan semua kata-kata, jadi hanya

mengerang. Jika Sang Shodancho melihatnya, ia akan menjerit dengan

wajah pucat, mepet ke dinding terjauh dari jendela kamar. Mendengar

jeritan itu Alamanda akan datang dan mencoba menenangkannya.

"Pikirkanlah, itu cuma hantu orang komunis," kata Alamanda.

"Ia hendak membunuhku."

"Mati sekarang atau sepuluh tahun lagi apa bedanya, Shodancho?"

Tapi Sang Shodancho tak pernah bisa terhibur oleh kata-kata

semacam itu, hingga Alamanda harus mengusir hantu tersebut dari

jen?dela kamar mereka. Kadang-kadang hantu itu tak mau pergi, dan

terus mengerang seolah ia minta sesuatu. Mencoba menebak-nebak,

Ala?manda kadang memberi hantu itu minum atau makan, dan me?reka

minum bagaikan telah melintasi padang pasir luas, atau makan bagaikan

telah berpuasa selama tiga tahun, sebelum meng?hilang dari jendela dan

Sang Shodancho bisa ditenangkan.

Pada awalnya ia sesungguhnya tak setakut itu. Jika ada hantu komu?

nis muncul dengan luka tembak di sekujur tubuhnya dan mu?lut meng?

geramkan sesuatu, mungkin lagu Internationale, ia akan me?ngeluarkan

pistol dan menembaknya. Awalnya hantu-hantu itu akan lenyap oleh

satu tembakan, namun lama-kelamaan mereka men?jadi kebal. Sang

Shodancho telah menembak begitu banyak hantu di seluruh pelosok

kota, dan hantu-hantu itu menjadi sangat resisten terhadap tembakan.

Mereka akan tertembak, meninggalkan bekas luka peluru di tubuhnya,

dan bahkan memuncratkan darah, tapi tak pernah mati. Mereka akan

tetap berdiri di sana, berapa kali pun ditembak, dan bahkan berusaha

mendekat, membuat Sang Shodancho akhirnya lari dan sejak itulah ia

mulai ketakutan terhadap munculnya hantu-hantu tersebut.

Semua gejala-gejala penderitaan Sang Shodancho nyaris menyerupai

orang scizoprenia. Tapi jelas ia tidak gila. Ia tidak mengalami halusi?

nasi apa pun. Apa yang ia lihat bisa dilihat orang lain, dan apa yang ia

takutkan juga ditakutkan orang lain. Perbedaannya, ia takut lebih hebat

dari siapa pun, terutama jika dibandingkan istrinya yang lama-kelamaan

mulai terbiasa dengan kemunculan hantu-hantu tersebut.

Hidupnya sungguh-sungguh tampak menyedihkan. Ke mana-mana

ia selalu berpikir bahwa hantu-hantu itu selalu menguntitnya, menung?

gunya lengah sebelum membalaskan dendam mereka. Harus diakui ia

telah membunuh banyak orang komunis di masa pembantaian, mes?

kipun mungkin bukan yang terbanyak. Beberapa orang penting Partai

bahkan ia eksekusi sendiri dengan pistolnya. Ia tak merasa he?ran bahwa

mereka merencanakan pembalasan dendam, dan menjadi hantu-hantu

gentayangan. Ia harus berhati-hati terhadap mereka, dan itulah yang

membuat semua orang berpikir ia mungkin gila, sebab tanpa kemuncu?

lan hantu-hantu itu pun ia sering di?rong?rong rasa takut. Hal ini mem?

buat segala yang ia kerjakan tampak berantakan, tak hanya permainan

kartu yang selalu kalah, namun bahkan ia sering keliru me?masuki rumah

orang lain. Alamanda sesungguhnya tak terlalu risau oleh kekacauan

tersebut, dan berpikir bahwa hantu-hantu itu mungkin pada waktunya

akan lelah sendiri mengganggu kehidupan orang-orang kota. Tapi tidak

begitu dengan anak gadis mereka yang kini berumur sepuluh tahun. Ai,

atau Nurul Aini, selalu mengeluh pada ibunya, terutama pa?da ayahnya,

bahwa ada biji kedondong di tenggorokannya. Tentu saja tak ada orang

yang memercayainya, meskipun ia seringkali terus mengejar ayahnya

dan meminta tolong mengeluarkan biji kedondong itu. Ayahnya hanya

berkomentar bahwa itu perbuatan hantu-hantu tersebut, dan Ai percaya

itu karena ia lalai telah menelan biji kedondong sungguhan. Hanya

ibunya yang mengerti apa yang terjadi: anak gadis itu sedang mencari

perhatian ayahnya yang tak peduli pada apa pun kecuali pada ketaku?

tannya sendiri atas hantu-hantu orang komunis.

Jika Sang Shodancho hanya ribut sendiri oleh ketakutannya se?perti

orang gila, mungkin tak akan menjadi masalah bagi siapa pun. Namun

kenyataannya hal itu membuat ia jadi banyak melakukan tindakantindakan irasional. Ia pernah melihat seorang gelandangan gila yang

me?mukuli anjing. Semua orang tahu Sang Shodancho sa?ngat menyu?

kai anjing. Ia memelihara banyak anjing di rumah, dan ketika masa

gerilya, ia banyak menjinakkan anjing-anjing jenis ajak. Ia mengamuk

demi melihat gelandangan gila itu memukuli seekor anjing, tak peduli

itu anjing kampung tanpa pemilik. Ia menyeretnya ke tepi jalan dan

me?mukulinya tanpa ampun, dan menjebloskannya ke dalam tahanan

militer. Seorang gelandangan gila dijebloskan ke tahanan militer untuk

waktu yang tak tentu, dan tanpa proses peng?adilan pula, hanya karena

memukuli anjing, tentu saja membuat siapa pun kebingungan. Bahkan

Alamanda dibuat terguncang oleh hal itu, dan bertanya pada suaminya:

"Apa yang sesungguhnya terjadi?"

"Gelandangan gila itu kerasukan hantu komunis."

Ini tak hanya terjadi sekali, tapi bahkan beberapa kali. Ia me?nya?

lahkan siapa pun yang berlaku tidak menyenangkannya, meng?asarinya

sebelum melemparkannya ke tahanan militer. Ia menjadi seorang tem?

peramental, sama sekali telah hilang sisa-sisa Sang Shodancho lama

yang gemar bermeditasi dan selalu berpenampilan te?nang. Ada peristiwa

lain: seorang nelayan yang mabuk dan me?nya?nyikan lagu secara ken?

cang di tengah malam membuat semua orang terbangun dan menengok

melalui jendela. Salah satu dari mereka adalah Sang Shodancho, yang

terbangun seketika padahal ia baru saja berhasil tidur di tengah demam

insomnianya. Ia langsung keluar membawa pistol, menembak kaki

nelayan mabuk itu hingga ambruk di jalan, dan menyeretnya jauh dan

menjebloskannya pula ke tahanan militer.

"Apa kau gila, menjebloskan orang ke tahanan hanya karena ma?

buk?" tanya Alamanda.

"Ia kerasukan hantu komunis."

Itu kemudian cukup untuk membawanya ke rumah sakit jiwa. Di

tahun 1976 belum ada rumah sakit jiwa di Halimunda, maka Alamanda

membawanya ke Jakarta. Untuk beberapa lama Sang Shodancho meng?

hilang dari Halimunda. Alamanda kembali lagi se?telah seminggu, me?

mercayakan sepenuhnya Sang Shodancho pada para perawat di rumah

sakit, sebab bagaimanapun ia punya anak gadis yang harus diurus.

Hantu-hantu itu tak menghilang dengan kepergian Sang Shodan?

cho. Tapi paling tidak mereka tidak membuat takut penduduk kota jika

mereka tak menampilkan diri, baik utuh sekujur tubuh atau sekadar

suara-suara kesakitan. Dengan apa yang dilakukan Sang Shodancho,

bagi penduduk kota laki-laki itu tiba-tiba jadi lebih menakutkan dari?

pada hantu-hantu itu sendiri, sebab ia bisa dengan asal menuduh siapa

pun yang tidak disukainya telah kesurupan hantu-hantu komunis. Jika

seseorang memperoleh nasib buruk semacam itu, masih untung jika

hanya dijebloskan ke tahanan tanpa batas waktu, sebab bisa jadi akan

ada penyiksaan-penyiksaan dulu. Seperti penyucian jiwa orang-orang

kesurupan setan di biara-biara kuno Katolik zaman dulu. Demikianlah,

kepergian Sang Shodancho membuat semua orang lega, tak peduli

hantu-hantu itu kenyataannya masih ada di kota mereka.

Tapi tak lama kemudian Sang Shodancho pulang kembali ke kota

itu. Muncul sendirian, mengejutkan semua orang, bahkan istrinya.

"Sialan," itulah kata-kata pertamanya, "dokter-dokter itu mengira

aku gila, maka kutembak salah satunya dan aku pulang."

"Kau memang tidak gila," kata Alamanda, "hanya sedikit tidak

waras."

"Ada biji kedondong di tenggorokanku, Papa," kata Ai.

"Buka mulutmu, biar kutembak komunis kecil itu."

"Akan kubunuh kau jika itu dilakukan," ancam Alamanda.

Sang Shodancho tak pernah menembak biji kedondong di teng?

gorokan anak gadisnya, meskipun Ai telah membuka mulutnya lebarlebar.

Datang ke Halimunda berarti datang kembali ke sumber segala keta?

kutannya. Ia mencoba memelihara banyak anjing di rumahnya untuk

mengusir hantu-hantu itu mendekat, dan tampaknya cukup berhasil

untuk mengurangi serangan hantu-hantu tersebut. Anjing-anjing itu

akan menyerang siapa pun yang asing bagi mereka di halaman rumah

Sang Shodancho, tapi beberapa hantu berlaku lebih cerdik. Mereka

terbang ke atap dan muncul melalui lubang langit-langit dan Sang

Sho?dancho akan menjerit-jerit di atas tempat tidur. Alamanda selalu

berhasil mengusir hantu-hantu tersebut dengan metode paling seder?

hana: memberi mereka makan atau minum, karena tampaknya itulah

yang mereka inginkan.

"Hanya Kamerad Kliwon yang bisa mengendalikan mereka," keluh

Sang Shodancho.

"Kau telah mengirimnya ke Pulau Buru tak lama setelah ia punya

Krisan," jawab Alamanda.

Itu benar, dan Sang Shodancho sangat menyesalinya. Ia menyesali?
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya bukan karena istrinya pernah marah besar soal keputusan itu

karena bagaimanapun ia dibuat tak berdaya oleh keputusan para

jen?deral di komando pusat bahwa Kamerad Kliwon adalah golongan

komunis keras kepala yang paling penting untuk dibuang ke Buru. Ia

tak menyesal karena serasa mengkhianati perjanjian dengan istrinya

karena kenyataannya Kamerad Kliwon tidak mati, bahkan sampai saat

ini tak terdengar bahwa ia mati, dan perjanjiannya dengan Alamanda

adalah membiarkannya tetap hidup. Ia menyesal karena tanpa Kamerad

Kliwon tak ada yang mampu mengendalikan hantu-hantu komunis di

kota mereka. Ia membutuhkan lelaki itu dan ber?pikir bagaimana mem?

buatnya pulang, atau ia harus melarikan diri dari kota ini.

Ia memilih yang terakhir.

Ia telah mendengar laporan-laporan militer bahwa ada pendudukan

di wilayah Timor Timur. Tentara Republik agak dibuat kerepotan meng?

hadapi tentara lokal yang bergerilya, dan mengenang masa-masanya

ketika ia sendiri bergerilya, ia mendaftarkan diri untuk diberangkatkan

ke Timor Timur. Ia memberi laporan semua re?pu?ta?sinya, dan tak satu

pun meragukan karena semua jenderal mengenal dirinya belaka, dan

tahu persis bahwa mungkin pengetahuan ge?rilyanya sangat dibutuhkan

di daerah pendudukan. Ia akan me?ngatakan sayonara pada hantu-hantu

itu dan pergi ke Timor Timur, tampak bahagia bahwa ia akan mening?

galkan kota tersebut, tak peduli bahwa itu berarti ia meninggalkan istri

dan anak pe?rem?puan?nya.

Rencana keberangkatannya segera didengar seluruh orang kota,

sebagaimana setiap berita dengan cepat menjadi perbincangan publik.

Pada hari keberangkatan, marching band militer menyemarakkan acara

perpisahannya dengan warga kota (dan hantu-hantunya) di La?pangan

Merdeka, dan mereka mengelilingi kota dengan Sang Shodancho ber?

diri dalam pakaian militer lengkap di atas jeep terbuka. Ia melambaikan

tangan pada semua penduduk kota yang berdiri di ping?gir jalan, dan

tersenyum mengejek pada hantu-hantu yang me?nampakkan diri dengan

rasa penasaran.

"Kuharap kalian bertahan dengan hantu-hantu sialan itu," katanya.

"Kami telah bertahan selama lebih sepuluh tahun, Shodancho."

Rombongan itu akhirnya pergi hanya meninggalkan marching band,

sementara Sang Shodancho dan beberapa prajurit yang akan mengikuti?

nya ke Timor Timur menghilang di batas kota. Ia lupa pamit pada istri

dan anaknya, yang membuat Ai mengeluh.

"Ia bahkan belum mengambil biji kedondong itu," katanya.

"Percayalah, ia tak akan bertahan lama di sana," kata Alamanda me?

nenangkan anaknya. "Ia melakukan gerilya yang hebat di Halimunda,

tapi Timor Timur jelas bukan Halimunda."

Itulah memang yang terjadi. Dalam enam bulan, Sang Shodancho

telah dikirim pulang setelah tertembak betisnya dengan peluru ma?sih

bersarang di sana. Penduduk kota itu tampaknya harus me?nerima nasib

untuk tak pernah kehilangan dirinya. Kepada istrinya ia mengeluhkan

tentang sulitnya melakukan peperangan di tempat brengsek itu.

"Aku tak tahu apa yang dicari di tempat tandus seperti itu," ka?tanya

mencoba menghibur diri atas kepulangannya, dan senang memperoleh

penjelasan yang sangat memadai. "Sehebat apa pun kau menguasai tek?

nik gerilya, itu omong kosong jika menghadapi musuh yang mengenal

dengan baik medan peperangan."

Istrinya mencoba mengajaknya ke rumah sakit untuk melakukan

pem?bedahan kecil mengeluarkan peluru yang bersarang di betisnya,

tapi Sang Shodancho menolaknya. Ia berkata itu tak terasa sakit lagi

sekarang, hanya membuat jalannya sedikit pincang. Ia ingin peluru

itu tetap bersarang di sana, sebagai oleh-oleh yang menyakitkan hati.

"Karena penembakku bahkan menodongkan senapannya sambil

menyanyikan Internationale," katanya dengan mimik sedih. "Begundal

komunis itu ternyata ada di mana-mana."

Taman bacaan Kamerad Kliwon akhirnya harus ditutup. Diam-diam

ada sedikit orang yang mengembuskan angin busuk tak enak yang

me?ngatakan bahwa ia meracuni anak-anak sekolah dengan bacaan

tak bermutu, mesum, dan tak mendidik. Orang-orang itu mulai meng?

hubungkannya dengan aktivitasnya di masa lalu sebagai seorang

komunis legendaris. Kamerad Kliwon sempat berang dengan omong

kosong itu, namun Adinda dibantu Alamanda dan Sang Shodancho

berhasil menenangkannya. Ia akhirnya menutup taman bacaan ter?

sebut, me?nyim?pan buku-bukunya sambil berjanji bahwa jika anaknya

besar ia akan menyuruh anak itu melahap semua buku tersebut, untuk

menunjukkan pada semua orang apakah anak itu akan rusak moral atau

tidak dengan membaca buku-buku itu.

"Bukannya aku tak mau menyediakan buku-buku bermutu, ma?sa?

lahnya mereka telah membakar semua buku seperti itu," katanya.

Sang Shodancho baru saja mendirikan pabrik es, sebuah persekutu?

an modal entah dengan siapa. Mengetahui bahwa Kamerad Kliwon

dalam kesulitan setelah ia harus menutup taman bacaannya, ia mena?

wari lelaki itu untuk mengurus pabrik es tersebut, dengan kekuasaan

nyaris mutlak menyerupai pemilik. Jelas pabrik es itu sangat prospektif,

terutama dengan meningkatnya kebutuhan para nelayan. Dan harap

dicatat, setelah keruntuhan Partai Komunis (dan berarti bubarnya

Serikat Nelayan), kini ada lebih banyak kapal besar beroperasi di laut

Halimunda, dan mereka semua membutuhkan es.

Namun Kamerad Kliwon sama sekali tak tertarik dengan tawaran

tersebut. Tak ada yang tahu apa alasannya. Mungkin sangat ideologis,

atau sekadar rasa tak enak karena Sang Shodancho dan istrinya telah

banyak membantu bahkan sejak pagi eksekusi itu. Secara me?nge?jut?kan,

ia lebih memilih menjadi seorang pemburu sarang burung walet.

Ia memiliki sahabat-sahabat baru, semuanya pemburu sarang burung

walet. Tim mereka biasanya empat orang. Sarang-sarang itu bisa dijual

dengan sangat mahal pada orang-orang Cina yang akan menjualnya

kembali ke kota-kota besar, bahkan konon menjualnya ke luar negeri.

Kamerad Kliwon tak peduli siapa kemudian yang akan memakan sarangsarang burung walet tersebut, yang menurutnya tak lebih enak dari

makaroni. Yang ia pikirkan adalah bahwa ia memperoleh benda-benda

itu dan menjualnya pada orang-orang Cina penadah.

Ada banyak tebing-tebing curam di sepanjang hutan tanjung, di

daerah-daerah yang nyaris tak terjamah oleh manusia, bahkan tidak

pula oleh pasukan gerilya Sang Shodancho di masa perang. Di tebingtebing semacam itu terdapat gua-gua, kecil dan besar, jauh di atas

tebing atau bahkan tertutup permukaan air laut (hanya tampak ketika

air surut), dan di sanalah burung-burung hitam cantik itu bersarang,

keluar masuk mulut gua dan beterbangan di atas per?mu?kaan air laut,

menyambar buih-buih ombak. Konon sarangnya dibuat dari air liurnya,

Kamerad Kliwon tak peduli, bahkan meskipun sarang itu dibuat dari

tainya.

Mereka biasanya pergi malam hari, dengan berbekal karung dan

sedikit makanan, dan terutama lampu baterai kering, sebab burung

walet tak menyukai bau minyak jenis apa pun. Ada obat-obat darurat

gigitan ular, sebab banyak ular berbagi gua dengan burung-burung

tersebut. Untuk menuju tebing-tebing tersebut, keempat orang itu harus

menggunakan perahu tanpa mesin, hanya dikayuh dayung untuk tidak

membuat keributan. Mereka juga harus cukup bersabar bermain dengan

ombak yang kadang tak begitu ramah menutupi mulut gua, atau kalau?

pun ombak menyurut mereka harus selalu waspada air pasang datang

tiba-tiba dan mereka bisa me?ne?mukan diri terjebak di dalam gua. Atau

mereka harus berlabuh secara darurat pada batu karang yang menonjol,

dan mendaki tebing itu dengan risiko hidup-mati, untuk mencapai

mulut-mulut gua yang lebih tinggi. Untuk itu mereka juga berbekal tali

tambang pem?bantu pendakian, yang tentu saja sangat darurat.

Pekerjaan seperti itu sangat melelahkan, dan karena keadaan cuaca

kadang tak terlalu ramah, mereka bisa terjebak atau menanti selama

berhari-hari. Tapi hasil dari perburuan semacam itu jauh lebih membuat

keempatnya hidup makmur. Bagi Kamerad Kliwon sendiri, penghasilan?

nya jauh lebih memadai daripada apa yang dihasilkan sawah dan la?dang?

nya, dan apalagi taman bacaannya. Ia menjalani kehidupan pemburu

seperti itu selama sekitar satu bulan, dengan Adinda menunggu penuh

rasa khawatir di rumah ditemani si kecil Krisan yang baru lahir.

Namun suatu malam salah satu dari mereka terpeleset di tebing dan

jatuh meluncur ke bawah menghantam batu karang. Ia mati seketika,

tak membutuhkan pertolongan dan apalagi rumah sakit. Mereka telah

memperoleh banyak sarang burung walet, tapi rasanya sia-sia jika pu?

lang juga dengan sebongkah mayat seorang teman. Semua hasil penjual?

an sarang burung walet terakhir itu diberikan pada keluarga si orang

mati, dan sejak itu Kamerad Kliwon serta dua orang temannya yang lain

berhenti berburu sarang burung walet. Tentu saja ada pemburu-pemburu

yang lain, orang-orang mati yang lain, sebab sarang-sarang itu terus

dibuat burung-burung, tapi Kamerad Kliwon telah bertekad melupakan

bisnis mengerikan tersebut. Ia tak hanya berhenti sebagai solidaritas

pada seorang sahabat, tapi ia berpikir, seandainya ia yang mati, ia akan

me?ning?galkan seorang istri dengan bayi yang baru dilahirkannya. Ia tak

ingin melakukan itu.

Ia mencoba memutar kembali otaknya, mencari celah-celah bisnis

yang lain. Waktu itu Halimunda telah menjadi tempat pelancongan.

Sesungguhnya sejak masa kolonial kota itu telah menjadi tempat pe?

lesiran, disebabkan kedua teluk yang dibentuk oleh hutan tanjungnya

sangat indah, namun di tahun-tahun awal pemerintahan baru, kota

itu tengah mempromosikan dirinya sendiri sebagai tempat pelancong?

an. Ada hotel-hotel baru di beberapa sudut, dan kios-kios oleh-oleh.

Warung makan sederhana berubah menjadi restoran-res?toran sea food,

dan lubang-lubang di jalanan telah ditambal dengan aspal-aspal baru.

Para pelancong berdatangan nyaris dari segala pelosok, asing maupun

domestik, sebagian besar datang un?tuk berenang di pantainya yang

indah itu. Teluk bagian barat adalah tempat paling favorit, sementara

teluk bagian timur menjadi tempat pelabuhan dan pelelangan ikan.

Kamerad Kliwon berpikir keras apa yang paling dibutuhkan para pelan?

cong yang datang untuk berenang, dan menggabungkannya dengan apa

yang mungkin bisa ia lakukan. Ia menemukan jawabannya.

"Aku akan membuat kolor," katanya pada Adinda.

Gagasan itu tampak konyol, bahkan bagi Adinda sekalipun. Tapi

ia tak peduli. Kamerad Kliwon membeli sebuah mesin jahit Singer.

Ia menginginkan kolor-kolornya bisa dijual semurah mungkin, sebab

kemungkinan besar para pelancong hanya membutuhkannya untuk

berenang, sebelum mungkin membuangnya. Untuk itu ia harus me?ne?

mukan kain paling murah. Untuk hal tersebut ia pergi menemui ibunya,

yang masih menjahit, dan bertanya kain apa yang paling murah.

"Kain terigu," kata Mina, "aku biasa memakainya untuk lapisan

saku celana."

Maksudnya kain pembungkus terigu. Tentu saja kain semacam itu

telah dicap dengan nama dagang terigunya. Atau kadang-kadang se?

sung?guhnya bukan pembungkus terigu tapi pembungkus beras pula.

Kamerad Kliwon harus mempelajari teknik pemutihan sehingga cap

dagangnya bisa dilenyapkan dan kain-kain yang ia beli secara murah

dari pedagang terigu itu pun menjadi kain-kain polos yang siap ia po?

tong mengikuti pola sebuah kolor.

Bagaimanapun, ia tak membuat kolor-kolor polos. Di kiri-ka?nan?nya,

ia memberi gambar yang disablon sebelum dijahit. Ia mendesain sendiri

gambar-gambar tersebut, dengan keahlian pas-pasan seorang pelukis.

Tapi gambar-gambar yang disablon di kolor itu sangat bagus. Pilihan

warnanya sangat cerah dan meriah, serta menye?nang?kan. Ia mendesain

beberapa gambar ikan, yang kadang ia tak tahu namanya. Lain kali

desainnya bisa berupa pohon kelapa dengan daunnya yang melengkung

tak tentu arah dan latar belakang matahari tenggelam berwarna oranye.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kolor-kolor itu sesungguhnya tak jauh ber?beda dengan kolor-kolor yang

dipakai para petani ke sawah, tapi desain-desainnya telah membuat ia

tampak berbeda. Dan di semua gambar, ia menuliskan kata Halimunda

besar-besar di bagian ba?wah?nya. Para pelancong bisa membawa itu seba?

gai oleh-oleh bahwa me?reka pernah pergi ke kota ini.

Ia mengedarkannya ke kios-kios di sepanjang pantai, yang di?bangun

secara sederhana dari bambu dan beratap terpal. Para pe?lancong ter?

nyata menyukai kolor-kolor tersebut. Mungkin karena harganya yang

murah, mungkin karena desainnya yang menarik, yang jelas mereka me?

mang membutuhkannya untuk berenang di laut. Kios-kios itu meminta

pasokan kolor-kolor lebih banyak, dan Kamerad Kliwon harus bekerja

lebih keras. Adinda bisa menjahit sedikit, tapi ia lebih banyak mem?

bantu pencatatan dan urusan uang, sebab ia harus mengurus si kecil

Krisan. Ketika pesanan tampak tak lagi tertampung, Kamerad Kliwon

mulai melemparkan sebagian pesanan itu kepada ibunya, dan ibunya

harus bekerja lebih keras da?ripada biasanya.

Dalam waktu satu bulan, setelah Mina juga kewalahan, ia membeli

tiga mesin jahit baru, mempekerjakan tiga orang penjahit dan se?orang

tukang sablon. Semua pola dan pembuatan desain masih ia lakukan

sendiri. Tampaknya bisnis itu sangat menjanjikan, tak pe?duli dengan

cara seperti itu ia telah menjadi seorang kapitalis kecil-kecilan. Kame?

rad Kliwon mungkin telah lupa apa pun tentang masa lalunya, atau

memaksakan diri untuk melupakannya. Ia me?nikmati hari-harinya yang

menyenangkan, dengan pekerjaan yang berjalan baik, istri yang cantik,

dan seorang bayi laki-laki yang sehat.

Pesaing-pesaing tentu saja akhirnya bermunculan. Terutama dari

orang-orang Cina dan Padang perantauan. Dan dengan modal yang

lebih banyak. Tapi kolor Kamerad Kliwon tetap yang paling disukai

dan menjadi pembicaraan bisnis orang-orang Halimunda.

Namun kehidupan yang menyenangkan itu jadi berantakan oleh

sebuah rencana walikota. Kamerad Kliwon kembali menjadi Kamerad

Kliwon yang itu, Kamerad Kliwon yang dulu.

Halimunda telah berkembang sedemikian rupa menjadi tempat

pelancongan. Walikota serakah tersebut mulai berharap bisa mem?

berikan tanah-tanah sepanjang pantai untuk hotel-hotel besar, dan

restoran dan bar dan diskotik dan tempat perjudian dan mungkin

tem?pat pelacuran yang lebih menyenangkan daripada milik Mama

Kalong. Tanah-tanah itu kebanyakan milik para nelayan, dan sebagian

lagi tanah tak bertuan di pinggir pantai yang berbatasan dengan jalan

namun dipenuhi oleh kios-kios sederhana para penjual souvenir. Ada

pendekatan baik-baik terhadap para nelayan agar mereka menjual

tanah-tanah tempat mereka tinggal selama bertahun-tahun, dan bujuk

rayu pada para pemilik kios agar mereka mau pindah ke sebuah pasar

seni yang segera akan dibangun.

Sebagian besar nelayan menolak meninggalkan tanah yang bahkan

telah ditinggali sejak nenek moyang mereka. Orang-orang itu tak mung?

kin pindah ke daerah pedalaman, sebab mereka harus selalu bau laut.

Dan begitu pula para pemilik kios tak mau pindah, sebab pasar seni

yang dijanjikan terletak jauh dari tempat keramaian.

Akhirnya datang pemaksaan-pemaksaan. Prajurit-prajurit datang

dibantu para preman. Mereka menakut-nakuti orang-orang itu. Tapi

jangan harap para nelayan ketakutan, sebab mereka telah terbiasa ber?

hadapan dengan maut setiap malam, sebab di laut badai kadang-kadang

datang tak terduga. Dan melihat kekeraskepalaan para nelayan, para

pemilik kios pun bertahan. Tak berhasil dengan intimidasi, mereka

akhir?nya sungguh-sungguh bertindak kasar. Tanah antara laut dan

jalan bukanlah tanah liar, kata sang walikota yang datang ke pantai

dan berpidato, tapi tanah itu milik negara. Buldozer mulai didatangkan

untuk meruntuhkan semua kios-kios souvenir tersebut.

Kamerad Kliwon, sekali lagi, kembali menjadi Kamerad Kliwon

yang dulu. Ia tak bisa melihat hal itu terjadi di depan matanya. Maka

ia mengumpulkan para nelayan dan para pemilik kios. Tak ada yang

tahu apakah Kamerad Kliwon bergerak karena solidaritas dan ideologi

atau karena kepentingan ekonominya terganggu sebab kolor-kolornya

dijual di kios-kios tersebut. Ia mengorganisir demonstrasi besar-besaran

yang diikuti banyak nelayan dan pemilik kios, serta banyak orang yang

bersimpati terhadap nasib mereka. Itu adalah demonstrasi terbesar

sejak runtuhnya Partai Komunis. Mereka bergerak melawan buldozer

yang akan meratakan kios-kios rapuh mereka, memblokir jalan-jalan,

hingga akhirnya tentara berdatangan. Kamerad Kliwon tetap bertahan

memimpin di depan, dan tak terganggu oleh kemunculan prajuritprajurit tersebut.

Beberapa intelejen mulai mencium sisa-sisa komunis di antara ge??

rom?bolan pembangkang tersebut, dan segera mengenali Kamerad Kli?

won. Beberapa laporan segera dicocokkan, dan segera diketahui bahwa

lelaki itu sungguh-sungguh seorang komunis asli.

Atas desakan para jenderal, Sang Shodancho akhirnya menangkap

Kamerad Kliwon, dan mengomeli lelaki itu mengapa melakukan tin?

dak?an sekonyol itu.

"Aku seorang komunis, dan semua orang komunis akan melakukan

itu," kata Kamerad Kliwon.

Ia akhirnya dikirim ke Bloedenkamp, tempat banyak orang komunis

menjalani tahanan yang entah sampai kapan. Banyak para sahabatnya

ada di sana, dan terkejut bahwa ia belum mati, lebih terkejut lagi bahwa

ia datang begitu terlambat ke Bloedenkamp. Paling tidak ia cukup ter?

hibur bahwa di sana ada begitu banyak orang yang dikenalnya, meski?

pun semua orang dalam keadaan menyedihkan. Mereka kekurangan

makan, tak ada pakaian, dan tak ada seorang pun yang menengok. Harihari mereka dipenuhi introgasi-introgasi, dan penyiksaan-penyiksaan

dari para prajurit penjaga. Bahkan Kamerad Kliwon, sebesar apa pun

repu?tasinya, juga mengalami hal yang sama, secara kasar dan sadis.

"Percayalah ia akan bertahan hidup," kata Sang Shodancho me?

ne??nangkan istrinya yang marah atas penangkapan Kamerad Kliwon

dan pengirimannya ke Bloedenkamp. "Bahkan meskipun mati, orang

komunis akan hidup lagi jadi hantu, sebagaimana kita tahu."

"Katakan hal itu pada Adinda dan anaknya," kata Alamanda.

Tak lama setelah itu, semua tahanan di Bloedenkamp, seluruhnya

tahanan politik orang-orang komunis, segera dipindahkan ke Pulau

Buru. Seluruhnya tanpa sisa. Tak seorang pun tahu apa yang akan

mereka lakukan di sana. Mungkin semacam Boven Digoel di masa kolo?

nial, mungkin semacam kamp-kamp konsentrasi Nazi di waktu perang.

Semua tahanan mulai membayangkan kerja paksa yang mengerikan.

Beberapa mulai menjadi gila, beberapa yang lain mati karena tergun?

cang bahwa mereka akan memperoleh hukuman yang lebih mengerikan

daripada di Bloedenkamp. Dan salah satu dari mereka adalah Kamerad

Kliwon. Ia tak sempat pamit pada ibu, istri dan anaknya. Ia hanya

sem??pat pamit pada Sang Shodancho yang menyempatkan diri mengun?

jungi?nya sesaat sebelum kapal laut milik ten?tara membawa semua

tahanan itu ke sebuah pulau jauh di Indonesia bagian timur.

"Aku akan memastikan istri dan anak-anakmu baik-baik saja," kata

Sang Shodancho pada Kamerad Kliwon.

"Dan lihatlah kini, ia bahkan dikirim ke Pulau Buru," kata Ala?

manda setibanya Shodancho di rumah, "mereka akan menyuruhnya

menebangi kayu-kayu tanpa memberinya makan dan ia akan mati de?

ngan cara seperti itu."

"Pikirkanlah, ia sendiri yang memulai semua kekacauan ini. Se?

orang komunis tetap seorang komunis, dan mereka biang rusuh. Aku

bukan seorang presiden yang bisa mengampuni seseorang, juga bukan

Panglima Besar, aku hanya seorang Shodancho dengan sebuah markas

rayon militer."

"Kau bahkan belum pergi dan mengatakan hal itu pada Adinda

dan anaknya."

Bagaimanapun, Sang Shodancho akhirnya pergi menemui Adinda di

rumahnya yang hanya terhalang satu rumah dengan rumahnya sendiri.

Kepada Adinda, ia sungguh-sungguh menyesal soal apa yang terjadi, dan

mengatakan bahwa ia tak punya kekuasaan apa pun untuk mencegah

Kamerad Kliwon tak dikirim ke Bloedenkamp, dan kemudian ke Pulau

Buru. Ini kasus politik yang rumit, katanya.

"Paling tidak, katakan padaku, Shodancho, sampai kapan ia akan

ditahan di sana?" tanya Adinda.

"Aku tak tahu," jawab Shodancho, "mungkin sampai pemerintahan

baru dikudeta kembali."

Krisan tak pernah sungguh-sungguh mengenal ayahnya. Ia hanya tahu

tentang Kamerad Kliwon melalui apa yang diceritakan ibunya, atau apa

yang diceritakan Alamanda dan Sang Shodancho. Bibi dan pamannya

yang lain, Maya Dewi dan Maman Gendeng, tak begitu mengenal Ka?

me?rad Kliwon. Ketika tahun 1979 ayahnya pulang, dalam rombongan

terakhir tahanan Pulau Buru yang dipulangkan, dan waktu itu Krisan

telah berumur tiga belas tahun, ia memandang ayah?nya seperti orang

asing yang tiba-tiba saja tinggal di rumah me?reka. Adinda sangat berba?

hagia dengan kedatangan kembali lelaki itu, tapi Krisan sama sekali tak

bisa berbagi kebahagiaan tersebut. Ia tak pernah sungguh-sungguh me?

nge?nal ayahnya, sebab ketika Kamerad Kliwon pergi ke Bloedenkamp

dan kemudian ke Pulau Buru, Krisan masihlah seorang bayi.

Maka ia memperhatikannya begitu mendalam, terutama jika mereka

berada bersama-sama di meja makan dan ayahnya duduk di seb?erang

meja. Sosoknya jauh lebih kurus daripada yang ia kenal melalui fotofoto lama yang diperlihatkan ibunya. Dulu wajahnya selalu bersih, tapi

kini ia membiarkan kumis dan janggut dan jam?bangnya tumbuh, dan

rambutnya agak panjang bergelombang me?nutupi tengkuknya. Ia begitu

terkejut ketika pertama kali datang, hal pertama yang dicari ayahnya di

dalam lemari adalah topi pet usang yang warnanya tak lagi karuan, apa?

kah hitam, cokelat, atau kelabu. Ia menepuk-nepuk topi pet tersebut,

tapi tak pernah me?ma?kai?nya dan mengembalikannya ke dalam lemari.

Dengan rambut lebat seperti itu ia tak pantas mengenakan topi pet.

Kamerad Kliwon tak banyak bicara sepulang dari pembuangannya.

Itu membuat Krisan bertanya-tanya, apakah benar laki-laki ini di masa

lalu adalah tukang bicara paling cerewet di rapat-rapat raksasa. Tapi

mungkin ia bicara banyak pada ibunya jika malam datang dan mereka

tidur bersama di kamar keduanya. Tapi ia tak banyak bicara pada

Krisan. Ia hanya bicara, apa kabar, Nak, atau berapa umurmu sekarang.

Pertanyaan-pertanyaan itu begitu seringnya ditanyakan hingga Krisan

berpikir ayahnya telah kehilangan kewarasan. Mungkin ia telah pikun,

pada umurnya yang bahkan belum juga lima puluh tahun. Ia tak pernah

tahu umur ayahnya. Mungkin empat puluh. Tapi ia tampak begitu tua,

ringkih, dan murung.

Mungkin Kamerad Kliwon sendiri merasakan hal aneh yang sama

kepada anaknya, sebab ia pun tak mengenal baik anak itu. Sebagaimana

Krisan kepadanya, lelaki itu sering memandangnya lama-lama, seolaholah ingin mengetahui apa yang dipikirkannya. Krisan tak pernah men?

coba menebak apa yang dipikirkan ayahnya, ia lebih tertarik men?coba

mengenalinya secara fisik. Ayahnya me?nge?nakan pakaian-pakaian lama?

nya, dan semua kedombrangan. Itu tam?pak menyedihkan bagi Krisan.

Selama beberapa hari ia tak pernah keluar rumah, dan tak seorang

pun mengunjunginya sebab ia datang secara diam-diam. Adinda dan

Krisan juga tak mengatakannya pada siapa pun. Mereka ingin men?jaga

kedamaian lelaki itu, dan membiarkannya tak diketahui siapa pun,

kecuali Kamerad Kliwon sendiri telah siap. Bahkan Sang Shodancho

dan istrinya belum juga tahu. Demikian pula Mina.

"Seperti apakah di sana?" tanya Krisan suatu ketika di meja makan,

"Pulau Buru itu."

"Makanan terbaik di sana adalah apa yang biasa kau temukan di

toilet," jawabnya.

Itu membuat suasana makan jadi terasa tak enak. Adinda me?man?

dang Krisan dan memberi isyarat untuk tak bertanya apa pun lagi. Maka
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejak itu tak ada perbincangan apa pun. Kamerad Kliwon tak pernah

ingin menceritakan apa pun tentang Pulau Buru, bahkan tidak pada

istrinya sendiri ketika mereka tidur di ranjang yang sama. Dan Adinda

serta Krisan tak lagi berani bertanya soal itu, mem?biar?kannya menjadi

rahasia pribadi di mulutnya.

Tanpa percakapan, dan tanpa keluar rumah, Kamerad Kliwon

sungguh-sungguh tampak semakin murung. Mungkin ia merasa ter?asing

dengan rumah yang ia tinggalkan selama bertahun-tahun, atau mung?

kin ia merasakan sendiri bahwa ada banyak hantu-hantu komunis di

kota itu, dan ini membuatnya sedih. Paling tidak itu di?ketahui sendiri

oleh Krisan. Suatu ketika seseorang mengetuk pintu dan Krisan mem?

bukanya. Di depannya berdiri seorang lelaki dengan pakaian lusuh, di

dadanya tampak luka peluru dengan darah mengalir tanpa henti. Krisan

nyaris menjerit dan berlari, sebelum ayahnya muncul dan berkata:

"Apa kabar, Karmin?"

"Buruk, Kamerad," jawab si orang luka, "aku telah mati."

Krisan mundur ke belakang dengan wajah pucat dan bersandar ke

dinding. Kamerad Kliwon menghampiri hantu itu, setelah meng?ambil

seember air dengan lap. Ia membersihkan luka itu dengan penuh per?

hatian, sampai darah tak lagi mengalir.

"Apakah kau mau segelas kopi?" tanya Kamerad Kliwon, "tapi tanpa

koran."

"Kopi tanpa koran."

Mereka minum kopi bersama sementara Krisan memandang tak

percaya bahwa ayahnya bisa begitu akrab dengan hantu yang begitu

menakutkan tersebut. Mereka bercerita soal tahun-tahun yang hilang,

dan mereka tertawa-tawa kecil. Hingga ketika kopi telah habis, hantu

itu pamit.

"Ke mana kau akan pergi?" tanya Kamerad Kliwon.

"Ke tempat orang-orang mati."

Dan hantu itu menghilang, bersamaan dengan Krisan yang jatuh

pingsan di lantai.

Sejak itu Kamerad Kliwon tampak semakin murung, dan bertambah

murung setiap kali hantu-hantu komunis itu me?nam?pak?kan diri di ha?

dapannya. Ia mungkin bersedih atas mereka, atau mung?kin karena sebab

lain. Krisan yang telah kehilangan tiga belas tahun untuk mengenal

ayahnya dibuat cemburu oleh hantu-hantu tersebut. Ia ingin mendengar

ayahnya berkata untuknya, tapi bahkan ia tak berani menanyakan apa

pun pada ayahnya sejak peristiwa meja makan tersebut.

Suatu hari ia bertanya pada Adinda, "Bagaimana kabar Sang Sho?

dan?cho?"

"Ia nyaris gila karena hantu-hantu komunis itu," jawab Adinda.

"Aku akan mengunjunginya."

"Lakukanlah," kata Adinda, "mungkin itu baik buatmu."

Waktu itu sore yang hangat, dengan angin yang pelan berembus dari

arah bebukitan. Ia berjalan kaki dan beberapa tetangga mulai melihat?

nya, terpana bahwa lelaki itu sudah kembali. Rumah Sang Shodancho

bisa terlihat dari rumahnya, maka ia hanya membutuhkan dua menit

perjalanan sebelum mengetuk pintu. Yang membuka ada?lah Alamanda,

sebagaimana para tetangga itu, ia terkejut bukan main melihat laki-laki

tersebut.

"Kau bukan hantu, kan?" itulah yang ditanyakan Alamanda.

"Aku hantu menakutkan," jawab Kamerad Kliwon, "jika kau takut

pada komunis hidup."

"Jadi kau pulang."

"Mereka membawaku pulang."

"Masuklah."

Kamerad Kliwon duduk di kursi ruang tamu sementara Alamanda

pergi membawa minuman untuknya. Ketika ia datang kembali, Kame?

rad Kliwon menanyakan Sang Shodancho.

"Ia pergi ke seluruh pelosok kota untuk menembaki hantu-hantu ko?

munis itu," kata Alamanda, "atau mungkin main kartu di tengah pasar."

Setelah itu mereka tak berkata apa pun lagi. Kamerad Kliwon ingin

menanyakan tentang Nurul Aini, tapi suasana tiba-tiba mem?buatnya

tak ingin menanyakan apa pun. Alamanda duduk persis di depannya.

Tatapannya begitu lembut, mungkin tatapan kasihan, atau tatapan

jenis lain. Ia lupa, tapi ia pernah melihat tatapan seperti itu, dan ini

membuatnya segera lupa untuk menanyakan anak gadis itu. Mungkin

Ai pergi bermain entah ke mana, mungkin ke rumah Rengganis Si

Cantik. Tak ada yang perlu ditanyakan soal itu, tapi lihatlah tatapan

mata perempuan di depan tersebut. Tatapan yang bertahun-tahun lalu

pernah begitu ia kenal.

Otaknya yang telah dibuat sakit selama pembuangan menjadi lam?

bat untuk memahami segala sesuatunya. Namun kemudian ia segera

teringat, dan mengerti. Ya benar, ia mengenal tatapan itu. Hanya Ala?

manda yang memilikinya, dengan matanya yang kecil, tatapan penuh

cinta yang pernah diperlihatkannya bertahun-tahun lalu. Tatapan

tersebut begitu lembut, seperti belaian halus seorang perempuan di kulit

seekor kucing, penuh cinta, dan api kerinduan. Ia mengenalinya dan

ia begitu bodoh telah melupakannya. Maka ia mem?balas tatapan itu,

dengan tatapan yang penuh gelora, mem?buat?nya tiba-tiba berubah dari

seorang pemurung menjadi seorang lelaki yang menemukan kembali

kekasih lama yang hilang.

Dan demikianlah hal itu kemudian terjadi:

Keduanya berdiri dan tanpa seorang pun menyuruh yang lainnya,

keduanya melompat dan saling berpelukan, menangis, namun tak lama

sebab mereka telah tenggelam dalam ciuman panjang yang mem?bara,

sebagaimana pernah mereka lakukan di bawah pohon ketapang di

depan stasiun kereta api. Ciuman itu membawa mereka ke atas sofa,

dengan Alamanda berbaring telentang dan Kamerad Kliwon berada di

atasnya. Mereka membuka pakaian dengan cepat, dan bercinta dalam

satu episode yang begitu gila dan liar.

Ketika itu usai, mereka tak pernah menyesalinya sedikit pun.

Namun ketika pulang, Kamerad Kliwon telah ditunggui istrinya di

pintu rumah. Ia mencoba menyembunyikan ekspresi kebahagiaan yang

memancar dari roman mukanya, dan menampakkan kembali wa?jahnya

yang murung. Tapi Adinda sama sekali tak bisa dibohongi.

"Hantu-hantu itu memberitahuku, maka aku tahu apa yang kau

lakukan di rumah Shodancho," kata Adinda, "tapi tak apa jika itu

mem?buatmu bahagia."

Itu membuatnya terguncang. Ia tak menyesali apa yang di?la?ku?kan?

nya, tapi ia malu bahwa istrinya tahu hal itu. Tiba-tiba ia merasa begitu

najis, menghadapi seorang istri yang mengatakan, tapi tak apa jika itu

membuatmu bahagia. Seorang istri yang telah bertahun-tahun menanti?

kannya, dan tiba-tiba ketika ia datang ia mengkhianatinya.

Kamerad Kliwon tak mengatakan sepatah kata pun, dan masuk ke

kamar tamu, mengunci dirinya dari dalam dan tak keluar kamar sam?

pai esok paginya meskipun Adinda dan Krisan telah mengetuk pintu

kamar berkali-kali mengajaknya makan malam. Ketika pagi datang dan

sarapan pagi telah siap, Adinda dan Krisan kembali me?ngetuk pintu

kamar tersebut bergantian, tapi bahkan Kamerad Kliwon sama sekali

tak menyahut, apalagi membuka pintu. Keduanya mulai curiga sesuatu

telah terjadi pada lelaki itu, maka mereka meng?gedor pintu tersebut

semakin keras, namun tetap tak ada ja?waban.

Krisan akhirnya pergi ke dapur mengambil kapak yang biasa ia

pakai untuk membelah kayu membuat sarang merpati, datang lagi dan

menghantam pintu itu dengannya tanpa basa-basi. Pintu retak di bagian

tengah, Adinda hanya memandang apa yang dilakukan anaknya. De?

ngan beberapa pukulan, pintu itu akhirnya meninggalkan lubang yang

cukup bagi tangan Krisan untuk masuk dan membuka kunci. Mereka

membuka pintu dan melihat Kamerad Kliwon mati menggantung diri

dengan seprei yang digulung dan diikatkan pada palang kayu di langitlangit yang dilubangi. Krisan harus memeluk ibunya sebelum perem?

puan itu tak sadar.

Kemunculan Kamerad Kliwon yang sejenak dan dilihat tetangga

telah membuat berita kedatangannya tersebar dengan cepat. Tapi semua

orang terlambat. Yang mereka lihat kini hanya iring-iringan keranda

ke?matian lelaki itu menuju tempat pemakaman. Sama terlambatnya

dengan Krisan yang tak pernah dan tak akan pernah lagi memiliki

kesempatan untuk mengenal ayahnya sebagai ayah dan anak. Mereka

hanya bertemu dalam waktu yang begitu singkat, mungkin seminggu,

dan itu sama sekali tak cukup untuk saling me?ngenal. Di antara siapa

pun, Krisan adalah orang paling sedih atas kematian Kamerad Kliwon.

Dan ia mengklaim mewarisi topi pet usang yang sering ia lihat di?

kenakan ayahnya di foto-foto lama. Ia sering mengenakannya, hanya

untuk menghibur diri dan merasa dekat dengan ayahnya.

Hantu komunis kini bertambah satu di kota tersebut, tapi bersyukur?

lah ia tak pernah menampakkan diri untuk siapa pun.

etika suatu pagi Rengganis Si Cantik melahirkan seorang bayi

laki-laki, semua ritual pagi orang-orang Halimunda segera saja di?

khianati, dan berbondong-bondong mereka datang ke rumahnya un?tuk

melihat. Banyak alasan bagi mereka untuk meninggalkan kewa?jib?an

memberi makan ayam dengan bubur dedak, atau mengisi bak mandi

dan mencuci piring kotor. Pertama, Rengganis Si Cantik sangat dike?

nal penduduk kota, terutama setelah ia terpilih sebagai Putri Pantai

Tahun Ini. Kedua, ia anak Maman Gendeng, yang juga sangat dikenal

mes?kipun juga sangat dibenci penduduk kota. Ketiga, dan ini yang ter?

penting, setelah bertahun-tahun belum pernah dalam sejarah kota itu

seorang gadis melahirkan seorang bayi karena diperkosa seekor anjing.

Ketika dukun bayi yang mengurusnya memastikan bahwa yang

ke??luar dari rahim Si Cantik sungguh-sungguh seorang bayi, mereka

akhir?nya harus menerima satu desas-desus lama bahwa Rengganis Si

Cantik diperkosa seekor anjing cokelat bermoncong hitam, sejenis an?

jing yang bisa kau temui ke mana pun kau memandang di Ha?li?mun?da

sebagaimana kau menatap langit dan kau temukan bintang-bintang.

Kurang lebih sembilan bulan yang lalu, peristiwa itu ter?jadi di toilet

sekolah, tak lama setelah bel istirahat berakhir.

Semuanya berawal dari kebiasaan buruk bertaruh yang diwarisi dari

ayahnya. Teman-temannya yang nakal menantangnya meminum lima

botol limun, cuma-cuma jika ia bisa menghabiskannya tanpa sisa. Ia

melakukannya, dan ketika bel masuk berbunyi ia membayar akibatnya

sebab tiba-tiba ia merasa ingin ngompol. Bagaimanapun itu waktu

yang buruk untuk kencing, sebab ada banyak anak sekolah pergi ke

toilet, satu tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi un?tuk me?

nambah jam istirahat dan memotong jam belajar. Kau akan terjebak

dalam antrian yang kejam, sampai ketika tiba giliranmu, celana atau

rokmu mungkin telah basah kuyup bau pesing. Tapi masuk kelas dan

mengambil risiko ngompol di kursi juga tindakan yang tak bijaksana,

bahkan Rengganis Si Cantik yang lugu itu juga tahu, maka ia segera

ber?lari meninggalkan kantin dan teman-teman gadisnya yang tertawa

cekikikan, menuju antrian yang jahat itu.

Ada empat belas toilet berderet dari ujung timur ke ujung barat

bagian belakang gedung sekolah, tiga belas di antaranya telah ditung?

gui anak-anak sekolah yang berada di sana lebih karena ingin mencoba

sebatang rokok yang diisap bergantian daripada untuk kencing atau

buang tai, bersembunyi dari mata-mata sang kepala sekolah yang akan

menghukum mereka berdiri di lapangan upacara bendera bagi siapa pun

yang tertangkap basah merokok. Toilet terakhir tak pernah lagi diper?

gunakan, mungkin telah bertahun-ta?hun. Satu desas-desus mengatakan

bahwa seorang gadis pernah mati bunuh diri di sana, beberapa yang

lain mengatakan bahwa seorang gadis mencekik mati bayi haram jadah

yang dilahirkannya di toilet tersebut. Tak satu pun dari desas-desus itu
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa dibuktikan, kecuali fakta bahwa toilet tersebut lebih mirip sarang

dedemit da?ripada apa pun.

Sekolah itu sendiri telah ada sejak masa kolonial. Didirikan di sam?

ping perkebunan cokelat dan kelapa, sebelumnya merupakan Se?kolah

Guru Fransiscan, kedua-duanya milik orang-orang Belanda. Setelah

orang-orang Belanda itu pergi, baik perkebunan maupun sekolah ke?

mudian dimiliki pemerintah republik. Hal paling masuk akal menge?

nai toilet keempat belas adalah bahwa suatu ketika sebutir buah atau

dahan pohon kelapa dari perkebunan jatuh menimpa atap toilet dan

sekolah kekurangan anggaran untuk segera mem?per?baikinya. Bersama

berlalunya waktu, daun-daun cokelat mulai di?ter?bangkan dan masuk

ke dalam ruangan toilet melalui atap yang bo?long, diguyur hujan dan

dijemur panas matahari. Jamur pertama mulai tumbuh, kadal kemudian

bersarang di bawah tumpukan sampah, sarang laba-laba mulai muncul.

Air di bak mandi segera saja dipenuhi telur nyamuk dan lumut serta

ganggang, dan mungkin saja beberapa orang pernah terpaksa kencing

di sana tanpa membanjurnya. Dan toilet itu pun mulai menjadi tempat

penuh ho?ror, hingga tak seorang pun bahkan berani berdiri di depan

pin?tunya.

Tak terjamah hampir bertahun-tahun, hingga Rengganis Si Cantik

memasukinya. Lima botol limun di dalam lambungnya mulai mem?be??

rontak, dan ia merasa air itu mulai merembesi batas-batas per?ta?han?

annya. Tanpa punya pilihan lain, ia akhirnya menghampiri toilet ter?

kutuk itu di mana ia melihat di dalamnya seekor anjing tersesat dalam

perburuannya mengejar seekor kucing, dan tampak sedang mengendusi

sampah daun-daun cokelat mencari jejak si kucing yang berhasil melo?

loskan diri melalui atap yang bolong. Ia seekor anjing kampung per?

anakan ajak, berwarna cokelat dengan moncong hitam, dan jelas tak

ada waktu untuk mengusirnya. Maka Rengganis Si Cantik masuk dan

menutup pintu, menguncinya, dan ia terjebak di dalam ruangan kecil

tersebut bersama si anjing, hanya bisa diam terpaku ketika air kencing?

nya, tampaknya lebih banyak dari lima botol limun, mulai tumpah

tanpa ia sempat membuka rok dan apalagi celana dalamnya. Hangat

men?jalar di paha dan betisnya, membasahi kaus kaki dan sepatunya.

Tak lama kemudian ia kembali melakukan kegemparan setelah

ba?nyak kegemparan yang dilakukannya selama enam belas tahun ke?

hidupannya yang lugu, ketika ia muncul di dalam kelas dalam keadaan

setelanjang ketika ibunya melahirkannya. Semua anak terpukau di tem?

patnya, menjatuhkan buku dan kursi, dan bahkan guru matematika tua

yang bersiap mengeluh karena papan tulis yang kotor, seketika menya?

dari bahwa impotensi yang dideritanya bertahun-tahun telah sembuh,

menyadari tombaknya berdiri tegak sekukuh pisau belati. Semua orang

tahu bahwa ia gadis paling cantik di kota itu, pewaris sejati Mama Reng?

ganis Sang Putri, Dewi Kecantikan Halimunda, namun demi melihat

tubuh bagian dalamnya yang secantik paras rupanya, bagaimanapun hal

itu membuat semua yang ada di dalam kelas dilanda kesunyian yang

menyedihkan.

"Aku diperkosa seekor anjing di toilet sekolah," kata Si Cantik tan?

pa menunggu siapa pun bertanya.

Itu benar seandainya kau percaya terhadap apa yang ia ceritakan ke?

tika ia terjebak ngompol di dalam toilet bersama si anjing. Selama lima

menit pertama ia hanya diam tak berdaya memandangi rok, kaus kaki

dan sepatunya yang basah meninggalkan bau pesing. Bahkan meskipun

kemudian suara anak-anak di luar toilet tak lagi terdengar, ia masih

di dalam toilet tersebut mengeluhkan ke?ma?lang?an?nya. Otaknya yang

sedikit menyisakan kebijaksanaan seorang gadis kecil, menyuruhnya

membuka semua pakaian basah itu, se?mua?nya termasuk pakaian atas

dan kutangnya, didorong oleh ke?ti?daksadaran yang aneh. Ia menggan?

tungkan semuanya di paku-paku berkarat, berharap sinar matahari

yang menerobos melalui atap bolong segera mengeringkan sisa-sisa air

kencingnya, dan bagaikan para petualang yang menanti pakaian mereka

di depan binatu, ia berdiri telanjang di hadapan si anjing yang seketika

berahi. Saat itu?lah, Si Cantik akan bercerita, anjing itu memerkosanya.

"Dan ia bahkan membawa pergi semua pakaianku."

Bagaimanapun, kecantikannya yang misterius dan keluguannya

memberinya semacam roman kebinalan lahiriah. Siapa pun yang me?

nemukannya telanjang dan terjebak bersama-sama di dalam toilet

sekolah, bisa dipastikan akan memerkosanya. Ia memiliki semacam

sihir yang membuat orang berharap menyetubuhinya, secara baik-baik

maupun tidak. Hanya karena ayahnya jahat dan galak dan me?nakutkan

bagi siapa pun yang tinggal di kota itu, ia masih se?orang gadis perawan

sampai pagi ketika anjing itu memerkosanya.

Maman Gendeng tak akan segan-segan membunuh lelaki mana

pun yang berani menyentuh anak satu-satunya itu, tak peduli bahwa

kecantikan si gadis selalu merupakan provokasi beracun di mana pun.

Sifat kekanak-kanakannya yang tanpa dosa kadang membuatnya berdiri

di pinggir jalan, menunggu bis, sambil mengangkat rok dan menggigit

ujungnya. Dan jika angin jahat membawa udara panas yang tanpa am?

pun, ia mungkin membuka sedikit kancing kemejanya. Kau bisa melihat

kulit yang lembut yang membungkus betis dan pahanya, semuanya

hanya milik para bidadari, dan lekuk dada yang cantik milik seorang

gadis enam belas tahun. Tapi jangan terlalu la?ma menikmati provokasi

semacam itu, sebab kau akan dilanda ke?takutan bahwa cepat atau lam?

bat ayahnya tahu bahwa kau memandang si gadis dengan berahi, dan

Maman Gendeng mungkin datang ke rumahmu untuk memberimu

pukulan tenaga dalam yang akan merobohkanmu selama enam bulan

di bangsal rumah sakit. Masih beruntung jika ia tak menanam ember

di dalam perutmu, sebab ia lebih kuat dari dukun mana pun.

Pada saat-saat seperti itu, seorang gadis lain dari kecantikan yang

lain, yang telah menjadi sahabat Si Cantik bahkan sejak mereka ma?

sih bayi-bayi dalam buaian, akan menjadi pelindung Si Cantik yang

sem?purna. Gadis itu bernama Nurul Aini, atau orang-orang lebih suka

memanggilnya Ai saja. Ia anak Sang Shodancho, begitulah orangorang kota memanggil komandan rayon militer setempat mereka,

yang tak pernah menyadari kecantikannya sendiri, dan ter?jebak dalam

kesemrawutan nasib di mana ia merasa bahwa ia memiliki takdir untuk

melindungi kecantikan Rengganis Si Cantik dari apa pun yang jahat. Ia

akan segera menurunkan rok Si Cantik begitu si gadis lugu mengangkat

dan menggigit ujungnya, dan kembali mengancingkan kancing kemeja

jika si gadis dilanda ke?ge?rahan udara panas.

"Jangan begitu, Sayang," katanya. "Itu tidak baik."

Itu pulalah yang terjadi ketika Rengganis Si Cantik berdiri telan?

jang di depan kelas. Tingginya seratus enam puluh tujuh sen?timeter,

dengan bobot lima puluh dua kilogram. Ia berdiri de?ngan ketenangan

alamiahnya, seonggok tubuh yang bercahaya dengan rambut panjang?

nya yang sehitam sungai tinta. Gadis indo tercantik di Halimunda

warisan ibunya, sisa-sisa peninggalan Belanda yang paling memesona.

Matanya yang biru cemerlang memandang seisi kelas dengan sedih,

bertanya-tanya mengapa tiba-tiba semua orang diam tak bergerak

dengan mulut terbuka lebar bagaikan buaya yang menunggu mangsa

selama berminggu-minggu. Hanya Ai yang segera terbebas dari kutukan

semacam itu, lebih karena nalurinya untuk selalu bersiap menghadapi

hal paling aneh yang dilakukan Si Cantik. Ia berdiri dari kursinya,

berlari melewati lorong bangku-bangku dan menarik taplak meja guru

membuat semua yang ada di atasnya terbang, gelas jatuh dan pecah di

lantai, tas hitam kulit buaya si guru matematika membentur papan tulis

dan memuntahkan isinya, dan vas bunga berputar bersama buku-buku

sebelum berserakan di kolong meja. Ia mempergunakan taplak meja

hasil kerajinan siswa itu untuk membalut tubuh Si Cantik, mem?buatnya

tampak seperti gadis-gadis yang bersarung handuk selepas mandi.

Sikapnya yang tanpa ampun mungkin warisan dari ayahnya, Sho?

dancho itu. Warisan dari laki-laki yang pernah memberontak di masa

pendudukan Jepang sebelum menjadi buronan selama berbulan-bulan,

yang berperang melawan Belanda di masa agresi militer, yang memerin?

tahkan pembunuhan orang-orang komunis di Halimunda delapan belas

tahun lalu. Dengan semua warisan semacam itu, ia ter?pilih menjadi

ke?tua kelas, dan kini, tanpa mengatakan apa pun kecuali memandang

mereka, anak-anak lelaki dan si guru tua ma?te?matika segera berdiri dan

pergi meninggalkan ruang kelas. Terdengar dengusan kecewa di antara

mereka, dan kata-kata penyesalan.

"Sialan, seekor anjing! Seolah tak ada di antara kita yang bisa

memerkosa Rengganis Si Cantik."

Beberapa anak-anak perempuan pergi ke ruang olah raga dan mene?

mukan satu setel seragam sepakbola sekolah, sebagai ganti ta?plak meja

yang membalut tubuh Si Cantik.

Pada waktu yang kurang lebih sama, Maya Dewi, ibu Si Cantik dan

juga istri Maman Gendeng mengalami kejadian kecil yang dramatik

sekaligus mencemaskan: ia tengah membersihkan rumah ketika seekor

cicak yang hinggap di caping lampu berak dan tainya terbang jatuh

menimpa pundaknya. Bukan karena baunya atau karena bajunya kotor

yang membuatnya cemas, tapi karena ia tahu kejatuhan tai cicak selalu

merupakan malapetaka. Sebuah pertanda.

Berbeda dari suaminya, Maya Dewi sangat disegani penduduk kota,

tak peduli ia anak Dewi Ayu, pelacur Halimunda yang paling dike?

nang, dan tak peduli bahwa ia anak haram jadah tanpa seorang pun

tahu siapa ayahnya. Tenang, ramah, dan bahkan saleh. Orang segera

melupakan sifat kekanak-kanakan anak gadisnya yang mencemaskan

serta naluri jahat suaminya yang menakutkan begitu mereka teringat

pada perempuan ini, yang akan pergi ke perkumpulan ibu-ibu untuk

pengajian di malam Jumat dan bertemu di hari Minggu sore untuk

arisan. Ia membuat keluarganya tampak sedikit beradab, tampak hidup

oleh pekerjaan sehari-harinya membuat roti bersama dua gadis gunung

yang membantunya.

Wajahnya yang masih menyisakan warisan Belanda itu kini tam?pak

sepucat mayat berumur dua malam, tak lama setelah ia mem?bersihkan

tai cicak dan menyuruh salah satu gadis pemanggang roti itu menerus?

kan pekerjaannya menyapu ruang tengah. Ia duduk di beranda dan

men?cemaskan sesuatu terjadi pada suami atau anak gadisnya. Banyak

hal-hal kecil yang terjadi atas mereka, begitu se?ringnya sehingga itu tak

lagi mengkhawatirkannya. Namun ia selalu merasa cepat atau lambat

sesuatu akan terjadi, dan ia tak tahu. Ia hanya bisa cemas. Tai cicak

sialan.

Pada waktu-waktu seperti itu Maman Gendeng tentunya ada di

terminal bis, sebagaimana biasa. Ia harus membunuh seorang preman

lain untuk memperoleh kursi butut di pojok ruang tunggu penumpang

bertahun-tahun lampau. Ia belum pernah membunuh orang lagi setelah

itu, kecuali keributan-keributan kecil tak berarti. Tapi Maya Dewi selalu

khawatir bahwa suatu hari ada laki-laki lain meng?harapkan kursi butut

tersebut, dan untuk itu ia harus mem?bunuh Maman Gendeng. Sejahat

apa pun lelaki itu, ia mencintainya sebagaimana mereka mencintai anak

gadisnya, dan Maya Dewi tak ingin itu terjadi. Ia berharap lelaki itu

sungguh-sungguh kebal ter?hadap senjata apa pun, sebagaimana telah

jadi desas-desus abadi di Halimunda.

Kemudian sebuah becak berhenti di depan pintu pagar rumah. Dua

orang gadis turun dan ia mengenal keduanya. Mereka pulang terlalu

cepat, pikirnya. Yang pertama anak gadis Sang Shodancho itu, dan

yang kedua anak gadisnya sendiri. Ia bertanya-tanya kenapa Reng?

ganis Si Cantik tak mengenakan seragam sekolahnya, dan sebaliknya

mengenakan seragam tim sepakbola. Ia berdiri dengan ke?cemasan

seekor induk ayam. Kedua gadis itu berdiri di depannya. Maya Dewi

me?mandang Nurul Aini yang wajahnya tampak lebih pucat dari diri?

nya sendiri, seperti mayat tiga malam, hendak bertanya tapi bahkan
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu tampak hendak menangis. Ia belum sempat bertanya ketika

Si Cantik akhirnya berkata.

"Mama, aku diperkosa anjing di toilet sekolah," katanya, tenang dan

intensional. "Sepertinya aku bakalan hamil."

Maya Dewi terduduk kembali di kursinya, dengan wajah sepucat

mayat empat malam. Ia seorang ibu yang tak pernah marah, tidak ke?

pada suami atau anak gadisnya. Maka ia hanya memandang Si Cantik

tak berdaya, dan dengan aneh ia bertanya, "Seperti apa anjing itu?"

Berita buruk datang ke kota itu begitu cepat, bahwa tahun depan ger?

hana matahari total akan terjadi. Setidaknya, beberapa dukun meng?

anggapnya sebagai tahun penuh kemalangan. Bahkan malapetaka itu

sudah datang, seandainya benar bahwa Rengganis Si Cantik diperkosa

seekor anjing di toilet sekolah. Dengan cepat peristiwa itu menyebar

bagai wabah mematikan hingga semua orang di Halimunda telah men?

dengarnya, kecuali Maman Gendeng yang malang, ayah Si Cantik.

Inilah mungkin kali pertama orang di kota itu memandang sang preman

dengan tatapan penuh duka cita.

Tak seorang pun memiliki keberanian memberitahu lelaki itu,

bah?kan ketika peristiwa tersebut telah lewat selama hampir satu

bu?lan, hingga ia dikejutkan oleh kedatangan seorang anak sekolah

berpenampilan semrawut, gempal, kikuk, dan menggelikan bernama

Kinkin. Ia seumur dengan anak gadisnya sendiri, mengenakan sweater

yang terlampau kecil untuk ukuran tubuhnya tak peduli matahari tropis

menyengat, celana korduroi cokelat kusam dengan sepatu kets putih

yang belel, dan mengenakan kaca mata bulat membuatnya tampak

seperti tokoh komik jenaka. Kemunculannya di terminal dan meng?

hampiri sang preman yang terkantuk-kantuk di kursi butut keramatnya

ditemani segelas besar bir rasa tai kuda sedikit membuat keributan.

Beberapa orang mengenalnya sebagai anak satu-satunya si penggali

kubur Kamino, namun mereka terlambat mencegahnya mengganggu

kenyamanan sang preman.

Kursi butut itu tak lebih dari sebuah kursi goyang tua peninggalan

orang Jepang di masa perang, terbuat dari kayu mahoni. Maman Gen?

deng yang terlena di atasnya meletakkan gelas bir dengan enggan di

lantai dan melirik dengan ujung matanya pada si bocah yang berdiri

di sampingnya dengan sedikit kejengkelan, sementara beberapa orang

menantikan apa pun yang akan terjadi dengan cemas. Bukannya bicara

apa maksud kedatangannya, si bocah malahan berdiri kikuk sambil

menggulung ujung kemeja yang keluar dari bagian bawah sweater-nya,

membuat Maman Gendeng hilang kesabaran.

"Katakan apa maumu dan segera pergi dari sini," katanya.

Satu menit berlalu dan ia masih juga tak bicara sampai sang pre?man

mengambil gelas birnya dan menumpahkan seluruh isinya ke tubuh si

bocah dengan jengkel.

"Ngomong atau kubenamkan kau di kubangan sapi!"

"Aku akan mengawini anakmu, Rengganis Si Cantik," kata si bocah

Kinkin akhirnya.

"Tak ada alasan ia harus kawin denganmu," kata Maman Gendeng,

lebih merasa geli daripada terkejut. "Ia boleh kawin dengan siapa pun

yang ia mau, tapi aku yakin itu bukan denganmu. Lagipula pikirkan hal

ini: kalian masih bocah ingusan, terlalu dini bicara kawin."

Kinkin memberitahunya bahwa mereka, ia dan Rengganis Si Cantik,

satu kelas di sekolah yang sama. Ia telah jatuh cinta ke?padanya sejak

pertemuan pertama. Selalu membuatnya menggigil jika berjumpa de?

ngannya, dan tetap menggigil oleh api kerinduan jika tak melihatnya.

Ia menderita demam, insomnia, sesak napas yang semuanya karena

cin?ta. Ia pernah mencoba mengirimkan puisi cinta secara diam-diam

di li?patan buku tulis Si Cantik, juga surat yang ditulis di kertas wangi,

namun hampir mati ia menunggu balasan yang tak pernah datang itu.

Ia meyakinkan sang preman bahwa ia mencintai Si Cantik sebagaimana

Romeo mencintai Juliet dan sebagaimana Rama mencintai Shinta.

"Ia akan menyelesaikan sekolah sebelum jadi dokter gigi seperti

perempuan kaya di ujung jalan itu," kata sang preman. "Bahkan mes?ki?

pun kalian saling mencintai, tak ada alasan untuk kawin sekarang ini."

"Anak gadismu hamil dan harus ada yang mengawininya," kata si

bocah.

Sang preman tersenyum kecil mengejek, "Seseorang harus me?mer?

kosanya sebelum ia hamil, dan seseorang harus membunuhku sebelum

memerkosanya."

"Seekor anjing memerkosanya di toilet sekolah."

Itu cerita yang lebih menggelikan baginya, dan apa yang terjadi

siang itu tak lebih dari gangguan kecil seorang bocah yang dimabuk

cinta. Ia mengusirnya pergi sambil berpesan, jika ia sungguh-sungguh

men?cintai anak gadisnya, berusahalah dengan baik-baik.

Ketika sore datang dan ia pulang ke rumah, dengan cepat ia melupa?

kannya. Rengganis Si Cantik tak pernah mengatakan apa pun menge?

nai hal itu, dan istrinya juga tidak, jadi ia berpikir segalanya baik-baik

saja. Ia tidur sejenak sebagaimana biasa sampai pukul tujuh malam saat

Maya Dewi memasang kelambu dan membakar obat nyamuk sekaligus

membangunkannya untuk makan malam. Saat itulah ia teringat pada

si bocah Kinkin itu dan berkata pada is?trinya, agak kebingungan mem?

bedakan apakah hal itu sungguh-sungguh terjadi atau sekadar impian

tidur senjanya, bahwa ia di?datangi seorang bocah yang mengatakan Si

Cantik diperkosa seekor anjing di toilet sekolah.

"Itulah yang dikatakannya beberapa minggu lalu," kata Maya Dewi.

"Mengapa kau tak mengatakannya padaku?"

"Anjing itu harus membunuh kita sebelum berani memerkosanya."

Selama berminggu-minggu kemudian setelah itu, keduanya di?si?

bukkan oleh rumor mengenai hal tersebut. Bagaimanapun, peristiwa

fantastis ketika ia muncul telanjang di depan kelas telah mengundang

kecemburuan banyak orang yang tak sempat melihatnya. Kenya?ta?an?

nya, memang tak seorang pun percaya apa yang dikatakannya, dan

sebaliknya mereka lebih percaya bahwa gadis itu, jika tidak sung?

guh-sungguh idiot, pasti sedang cari sensasi. Dan seandainya benar

bah??wa ia diperkosa, itu pasti bukan anjing, tapi anak badung yang

me?la?ku?kannya. Terpujilah anak badung itu, oleh keberanian dan ke?

beruntungannya. Hanya keadaannya yang mengibakan yang membuat

gadis itu memperoleh permakluman dari orang-orang di kota, bahkan

perempuan-perempuan saleh hanya mengusap dada sambil mendoakan

keselamatannya.

"Tak seorang pun akan menyentuhnya," kata sang preman pendek.

"Selama kita hidup."

Ia memberi nama anak gadisnya seperti nama Dewi Kecantikan kota

itu, Rengganis Sang Putri. Ia berharap gadis itu mewarisi ke?cantikan

sang putri, dan itu sungguh-sungguh terjadi. Ada cerita bahwa di masa

lalu sang putri kawin dengan seekor anjing, dan cerita itulah yang se?

sung?guhnya mengganggu sang preman secara tiba-tiba.

"Gadis itu tak akan hamil," katanya pasti. "Tapi seandainya itu be?

nar, akan kubunuh semua anjing di kota ini."

Keluarga tersebut kembali tenggelam dalam rutinitas mereka, men?

coba mengabaikan semua rumor. Telanjang di depan kelas bukan hal

yang terlalu mengejutkan bagi Si Cantik. Ia pernah memasukkan anak

kucing hidup-hidup ke dalam minyak mendidih, dan butuh wak?tu satu

bulan untuk bisa memastikan bahwa ia tak akan me?la?kukan hal itu lagi.

Ia juga pernah mengacaukan satu pertunjukan sirkus ketika tiba-tiba

turun dari kursi penonton dan didorong rasa pe?nasarannya, ia menang?

galkan topeng para badut. Maya Dewi kem?bali memimpin dua gadis

kampungnya dan Maman Gendeng kembali berada di kursi goyang kayu

mahoninya dari pagi sampai siang hari, dan bermain truf bersama Sang

Shodancho di meja tengah pasar ikan di waktu sore.

Telah bertahun-tahun ia berbagi kebosanan di meja permainan truf

bersama Sang Shodancho, ditemani tukang ikan asin dan tukang sayur

atau kuli pasar dan tukang becak. Hanya ketika Shodancho pergi ke

Timor Timur untuk pergi berperang selama enam bulan sebelum pu?

lang dalam keadaan terluka mereka tak bemain kartu. Shodancho itu

mungkin lebih tua satu atau dua tahun darinya. Jika ia memerlukan

teman bermain kartu, ia akan datang ke terminal dari markasnya di

rayon militer dengan mempergunakan skuter tanpa pelindung mesin,

sekitar pukul tiga sore, mengacungkan tangan pada sang preman seba?

gai isyarat bahwa ia menantikannya di meja mereka. Bunyi skuternya

sudah begitu dikenal, bahkan meskipun sang preman tengah tidur

siang ia akan segera terbangun, berisik menyerupai mesin penggiling

padi. Ia terlalu kurus dan pendek untuk prajurit kebanyakan, namun

semuanya tersembunyi di balik seragam militernya yang menimbulkan

rasa segan. Sang Shodancho nyaris selalu berseragam lengkap, hijau

belang-belang dengan sepatu sekeras kulit buaya, dan pistol serta kayu

pemukul bahkan terayun-ayun pula di pinggangnya. Warna kulitnya

gelap dan rambut serta kumisnya sedikit beruban. Kebanyakan orang

telah lupa nama sesungguhnya, kecuali bahwa ia bekas komandan

shodan pemberontak di masa Jepang.

Pada hari Kamis sore, keduanya kembali bertemu di meja kartu.

Ditemani seorang bocah dari kios jagal sapi dan penjual ikan, me?reka

memulai ritual tersebut. Sang Shodancho melemparkan bung?kus rokok

putih Amerika di meja bersama korek gas, dan sebelum kartu dikocok

keempatnya telah memperebutkannya. Bau asap tembakau cukup un?

tuk mengusir bau amis ikan asin dan sampah sayuran busuk di pojok

deretan kios.

"Puji Badut," kata Shodancho. "Apa kabar milikmu?"

Persahabatan keduanya yang rapuh terutama lebih banyak ditopang

persahabatan kedua anak gadis mereka, Rengganis Si Cantik dan Nurul

Aini. Ketika keduanya masih merupakan gadis-gadis kecil pengompol,

mereka telah sering bertemu di meja kartu itu. Dengan masing-masing

kartu Badut di tangan, gadis-gadis kecil itu tak akan mengganggu

permainan ayah mereka, sebab kartu Badut tak pernah dipergunakan

dalam permainan truf. Badut bagi mereka berarti anak-anak gadis itu.

"Seorang bocah bau ingus datang padaku untuk mengawininya,"

kata Maman Gendeng.

Shodancho sudah mendengarnya sebagaimana ia sudah mendengar

peristiwa heboh di depan kelas. Halimunda dipenuhi orang-orang cere?

wet dan desas-desus, tak mudah menyembunyikan apa pun dari telinga

orang. Tapi tampaknya ia sedikit berhati-hati memberi res?pons apa pun.

"Tak bisa kubayangkan ia akan kawin dan punya anak dan aku jadi

kakek." Ia memandang ketiga teman main kartunya, terutama Shodan?

cho, untuk melihat reaksi mereka. "Ia baru enam belas tahun."

"Begitu pula Badutku," kata Shodancho.

Orang-orang telah mendengar rencana pensiunnya dari militer,

tahun depan. Luka yang ia bawa dari Timor Timur tak pernah sung?

guh-sungguh sembuh, sebab pelurunya masih tertanam di otot betisnya.

Ia akan pensiun dengan pangkat kolonel, dan segera meng?akhiri kon?

tro?versi kekeraskepalaannya untuk tetap tinggal dan menguasai rayon

militer kota itu. Jabatan yang terlampau kecil, sebab selepas memimpin

pemberontakan Daidan Halimunda yang menghancurkan tangsi Je?

pang, enam bulan sebelum kemerdekaan republik, dan ketika tentara

nasional didirikan, ia merupakan pilihan pertama untuk jadi Panglima

Tentara Nasional. Ia tak pernah keluar dari Halimunda dan tak pernah

memimpin tentara nasional. Ia memperoleh pangkat kolonel ketika

berhasil mengusir tentara Sekutu di masa agresi militer, namun setelah

itu tak pernah lagi meng?ingin?kan kenaikan pangkat. Bahkan ketika ia

berhasil menghabisi orang-orang komunis di kota itu, ia menolak ta?

waran jadi ajudan presiden republik. Terutama sekarang ketika ia punya

seorang istri dan anak gadis yang sangat ia cintai, tak ada alasan untuk
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan kota itu. Demikianlah kemudian, bahkan ia mengajukan

pensiun.

Anak gadisnya sebaya dengan Rengganis Si Cantik, tapi sebenarnya

Nurul Aini lebih muda sekitar enam bulan, anak ketiga dari per?ka?win?

annya dengan Alamanda. Kedua anak sebelumnya hilang secara tiba-tiba

sejak dalam kandungan, meskipun ia telah memberi nama yang sama

untuk mereka. Anak ketiganya lahir sehat, meskipun ke?mu?dian si gadis

kecil selalu mengeluh bahwa ada biji kedondong di teng?gorokannya.

"Kudengar Rengganis Si Cantik diperkosa seekor anjing?" ta?nya?nya.

"Ada banyak anjing di Halimunda," kata Maman Gendeng.

Hal ini membuat Sang Shodancho terkejut. Memang benar ada ba?

nyak anjing di kota itu, tapi tak seorang pun ia dengar me?nge?luh?kan?nya.

"Jika benar apa yang terjadi di toilet sekolah itu, aku punya cu?kup

banyak racun anjing," sang preman terus melanjutkan tanpa peduli.

"Seorang pelacur mati karena rabies dua tahun lalu. Tak perlu meng?

khawatirkan anak gadisku, ada lebih banyak alasan untuk mengirim

mereka ke rumah orang-orang Batak pemakan anjing."

Ke mana pun arah bicaranya, ketiga teman bermain kartunya segera

menyadari itu ditujukan untuk Sang Shodancho sendiri. Anjing dipeli?

hara hampir di setiap rumah, di kota dan desa-desa di seluruh wilayah

Halimunda, dari berbagai ras. Kebanyakan jenis ajak atau peranakan?

nya yang mulai dikembangbiakkan sejak Sang Shodancho memulai

kebiasaan berburu babi. Di masa lalu, ketika Mama Rengganis datang ke

hutan berkabut yang kelak menjadi kota itu, semua orang tahu bahwa

ia ditemani seekor anjing. Tapi tak seorang pun pernah memberi saran

untuk memelihara anjing, kecuali Sang Shodancho ketika ia berhasil

memberantas babi.

"Kuharap itu hanya desas-desus," kata Sang Shodancho akhirnya.

"Atau kekonyolan lain anak gadisku," kata sang preman ironik. Ia

bercerita tentang dukun-dukun yang pernah ia datangi untuk mem?

buat anak gadisnya sebagaimana gadis kebanyakan. Ada yang bilang ia

kerasukan roh jahat. Yang lain menunjukkan bahwa rohnya tak lagi mau

tumbuh. Ia bocah enam tahun di tubuh gadis enam belas tahun. Apa

pun yang mereka katakan, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya

sia-sia, ia berkata dengan putus asa. "Mereka meng?anggapnya tak waras

dan kau tahu, aku harus memukul tiga orang guru agar ia diterima di

sekolah." Lelaki malang itu tampak jadi sedikit cengeng dan sentimentil,

dan karena itu ia mulai ke?hilangan seleranya untuk melanjutkan per?

mainan kartu tersebut. "Apakah kalian akan menertawakannya pula?"

"Kita hanya menertawakan badut," kata Shodancho.

Maman Gendeng meninggalkan meja kartu itu dan berjalan pulang

sepanjang trotoar. Angin dari bukit mulai turun dan suara air pasang

mulai terdengar. Rombongan kalong terbang melawan angin, bagai

para pemabuk, di langit yang seoranye buah jeruk. Para nelayan ke?

luar rumah dengan dayung dan jala dan tong-tong es, dan sebaliknya,

buruh-buruh perkebunan pulang menenteng sabit dan karung kosong.

Ia gelisah oleh udara yang murung itu.

Mereka tinggal di bagian kota yang nyaman, sisa-sisa perumahan

orang-orang Belanda pemilik perkebunan. Adalah Dewi Ayu, mer?tuanya,

yang memberinya dan ia sendiri membeli rumah dengan uang yang

nyaris tak terpakai selama bertahun-tahun hidupnya sebagai pelacur.

Ada pohon belimbing dan sawo kecik yang rindang tumbuh di depan

rumah, dan Maya Dewi membuatkannya pagar hidup dari pohon anak

nakal. Rumah itu akan menyelamatkannya dari badai kemurungan, na?

mun ketika ia sampai di rumah, ia ma?lahan me?ne?mukan istrinya duduk

menghadapi seember cucian. Menangis.

"Aku khawatir ia hamil," kata Maya Dewi tanpa menoleh. "Telah

sebulan berlalu dan tak lagi kutemukan celana dalam yang merah oleh

darah." Dan ia mengatakannya dengan penuh kemarahan, perempuan

yang tak pernah marah itu. Ia membanting ember cucian tersebut,

menumpahkan isinya di lantai.

Sang Preman terpukau oleh fakta itu, dan merenung. "Kalaupun

ternyata benar, bukanlah anjing yang memerkosanya," kata Maman

Gendeng penuh kepastian. "Seharusnya anak gadisku yang memerkosa

anjing."

Setelah lamaran yang gagal di terminal bis itu, Kinkin melarutkan

diri dalam kebiasaan baru menenteng senapan angin dan menembak

mati anjing-anjing yang tersesat ke tempat pemakaman, tempat di

mana ia tinggal bersama si penggali kubur Kamino, ayahnya. Ia tam?

pak?nya merupakan satu-satunya orang yang percaya bahwa Rengganis

Si Cantik diperkosa seekor anjing, dan dibakar kecem?bu?ruan yang

membabi buta, ia tak membiarkan seekor anjing pun hidup di daerah

kekuasaannya, dan bahkan jika tak seekor anjing pun muncul, ia akan

membeli poster-poster anjing yang dijual di emperan pasar dan meng?

gantungnya di ranting pohon kamboja se?belum menembakinya hingga

terkoyak-koyak. Ayahnya adalah satu-satunya orang yang mengetahui

kelakuan buruknya, dan satu-satunya orang yang dibuat khawatir oleh

kecenderungan tak waras tersebut.

"Ada apa denganmu, Nak?" tanya ayahnya. "Anjing tak memiliki

dosa apa pun kecuali kebiasaan mereka menggonggong."

"Anjing adalah anjing, Ayah," katanya dingin bahkan tanpa meno?

leh, tetap membidik poster anjing yang terayun-ayun dihantam peluru

terakhir. "Dan salah satunya memerkosa gadis yang kucintai."

"Aku belum pernah mendengar seekor anjing memerkosa seorang

gadis, kecuali kau jatuh cinta pada seekor anjing betina."

"Tai," kata Kinkin. "Pulanglah, ayah, sisa peluru ini benar-benar

untuk anjing dan sama sekali bukan untuk ayah."

Jatuh cinta telah memorakporandakan semua sikap misteriusnya,

paling tidak begitulah teman-teman sekolah memandangnya. Tak se?

orang pun pernah berharap bermain dengannya, sebagaimana ia tak

pernah berharap bermain dengan siapa pun. Teman-teman akrabnya

adalah segerombolan makhluk yang tak akan disukai anak-anak lain:

makhluk-makhluk jailangkung. Ia tak pernah punya seorang pun teman

sebangku, sebab baju seragamnya bau kemenyan dan kadang-kadang ia

bicara dengan suara bukan miliknya. Dan meskipun anak-anak itu tahu

bahwa ia sering curang di saat ulangan karena ia selalu meminta ban?

tuan makhluk jailangkungnya untuk menjawab soal-soal, tak seorang

pun berani mengadukannya dan tak berani pula meminta bantuannya.

Ia seperti lubang udel: orang tahu bahwa ia ada, tapi mereka tak mem?

perhatikannya. Itu sebelum ia melihat Rengganis Si Cantik.

Ia melihatnya pertama kali di hari pertama masuk sekolah baru,

setelah sembilan tahun sekolah yang membosankan, ketika sebuah

keributan terjadi di kantor guru dan anak-anak berlarian untuk menge?

tahui apa yang terjadi. Si bocah pendiam mungkin orang ter?akhir yang

melihatnya, seorang laki-laki memukul roboh tiga orang guru yang me?

nolak menerima anaknya masuk di sekolah tersebut dan menyarankan

sekolah lain, sekolah untuk anak-anak idiot, terbelakang, tak waras

dan sejenisnya, yang ditolak oleh laki-laki itu dan menyebut bahwa

anaknya baik-baik saja.

"Satu-satunya yang membedakan anakku dengan anak-anak yang

lain adalah kenyataan bahwa ia merupakan yang tercantik di kota ini,

jika bukan di alam semesta," kata laki-laki itu sambil memandangi

ketiga guru yang bergelimpangan di lantai dan kepala sekolah yang

menggigil di balik meja.

Gadis itu berdiri di belakang ayahnya, mengenakan seragam seko?

lah putih dan abu-abu yang tampaknya masih baru, masih bau minyak

mesin jahit, dengan lipatan-lipatan rok yang tajam. Ia menguntai

ram?butnya yang panjang melewati pinggul dalam dua untaian di kiri

dan kanan, dengan pita warna merah dan putih bagaikan satu penghor?

matan yang berlebihan pada bendera nasional. Ia mengenakan sepatu

hitam sebagaimana itu menjadi kewajiban, dan kaus kaki pendek warna

putih dengan bunga-bunga kecil mengelilingi ujungnya, betisnya lebih

memesona dari apa pun yang ia kenakan. Ia jelas bukan gadis idiot,

semua orang tahu, bahkan Kinkin yang melihatnya dari balik kaca jen?

dela kantor guru tahu dengan baik. Ia tak lebih dari seorang bidadari

yang tersesat di dunia yang kejam, dan sejak pandangan pertama yang

menyala-nyala, ia terseret arus demam cinta yang tak tertahankan.

Kin?kin tak pernah bicara dengan siapa pun di sekolah, dan bahkan

guru-guru tak pernah menanyakan apa pun kepadanya, tapi ketika

ia mengetahui bahwa gadis itu satu kelas dengannya, ia yang telah

dilumpuhkan oleh sihir cinta menghampirinya dan bertanya apakah ia

boleh mengetahui namanya. Si gadis, dengan kebingungan, menunjuk

emblem kecil yang dijahitkan di dada sebelah kanan kemejanya, "Kau

bisa membaca: Rengganis."

Semua anak menempelkan namanya di dada kemeja seragam, tapi

Kinkin tak memperhatikan hal itu ketika si gadis menunjuk dengan

ujung jarinya yang ramping, melainkan gelembung dada yang membuat?

nya menggigil sepanjang hari pertama sekolah, sendirian menderita di

pojok ruangan.

Semakin menderita oleh tatapan anak-anak sekelas yang ke?bi?

ngungan melihatnya untuk pertama kali bicara, sebab beberapa di

antara mereka telah mengenalnya sejak bertahun-tahun lalu semenjak

di sekolah dasar. Mereka tak memiliki keberanian untuk mengolokoloknya, sebab mereka seringkali dilanda kekhawatiran yang mengada
ada tentang kemungkinan anak aneh itu mengirimi mereka santet atau

ilmu hitam lainnya. Hanya seorang gadis, tampaknya ada di kelas itu

lebih sebagai penjaga Rengganis Si Cantik, yang memiliki keberanian

menghampirinya dan memandangnya dengan penuh ancaman.

"Dengarkan aku, Tukang Jailangkung," kata gadis itu, "jika kau

ganggu sahabat kecilku, akan kuiris-iris kemaluanmu seperti wortel."

Kinkin hanya memandang si gadis Ai yang segera pergi dan du?duk

di samping Si Cantik, nyaris menangis membayangkan ada begitu

banyak rintangan harus ia robohkan untuk memperoleh cinta yang

di?dambakannya. Baginya, gadis bernama Ai itu merupakan satu-satu?

nya makhluk paling menyebalkan di dunia. Ia selalu berharap bisa

mem?buntuti Si Cantik setiap pulang sekolah, berjalan di sam?pingnya

tentunya hal paling indah yang bisa dibayangkan seorang bocah yang

sedang jatuh cinta, tapi Ai mengawalnya setiap hari. Begitu jengkel?

nya, pernah suatu kali ia berkata pada gadis itu, "Seseorang seharusnya

membunuhmu."

"Lakukanlah sendiri jika kau bukan banci."

Bagaimanapun, ia tak berani melakukannya. Maka ia harus ke?

hilangan kesempatan setiap pulang sekolah berjalan bersama Si Cantik.

Satu-satunya kebahagiaan yang ia miliki adalah saat berada di dalam

kelas, ketika ia bisa menoleh dan memandang wajah cantik itu ber?

lama-lama. Ia jadi orang paling bodoh di kelas itu, hanya karena ia tak

lagi mendengar pelajaran apa pun. Satu-satunya yang menolong nilai

ujiannya adalah jailangkung, tempat ia bertanya saat ujian. Kesehatan?

nya juga mulai menyedihkan, ia tampak menjadi sedikit kurus, kurang

makan dan tidur, semua karena serangan cinta.

"Kau tampak lebih buruk dariku," bahkan Si Cantik berkomentar.

"Seperti orang idiot."

Mereka membawanya ke rumah sakit, dan dengan penuh kepastian

dokter berkata bahwa gadis itu sungguh-sungguh hamil. Kini sudah

tujuh minggu. Baik Maman Gendeng maupun Maya Dewi mencoba

tidak memercayai dokter itu, tapi lima dokter lain yang memeriksanya

me?ngatakan hal yang sama. Bahkan juga dukun.

Dengan kepastian semacam itu, tindakan pertama yang diambil se?

cara serampangan oleh ayahnya adalah mengurung si gadis di kamarnya.

Hal itu diambil untuk mengurangi rumor yang dibicarakan orang-orang

tentang anak gadis mereka yang hamil. Maya Dewi sudah mencoba

melepaskan bayang-bayang masa lalu ibunya, seorang pelacur yang
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua orang tahu memiliki banyak anak tanpa pernah kawin dengan

siapa pun. Tapi apa yang terjadi dengan Rengganis Si Cantik bagaikan

menegaskan bahwa kutukan itu abadi dalam darah mereka. Orangorang akan bilang bahwa keluarga bejat selamanya akan melahirkan

anak-anak yang sama bejatnya. Mereka berdua akhirnya sepakat bahwa

gadis itu harus dikurung, dan berharap cepat atau lambat orang-orang

akan lupa bahwa mereka punya seorang anak gadis tengah hamil.

Kamar itu terletak di lantai dua, tak memungkinkan siapa pun

untuk meloncat dari jendelanya, dan pintunya dikunci rapat dari luar.

Ia hanya ditemani seonggok boneka beruang, setumpuk novel picisan

dan radio. Maya Dewi sendiri yang melayani semua ke?bu?tuh?annya. Ia

membawakannya pispot, ember-ember air untuk mandi, sebab kamar

tersebut tak dilengkapi kamar mandi. Ia membawakannya sarapan

pagi, makan siang dan malam. Meskipun si gadis merengek bahwa ia

ingin pergi sekolah kembali, si ibu dengan tegas berkata, tidak. "Aku

berjanji akan lebih berhati-hati pada anjing," kata Si Cantik memelas.

Seketika Maya Dewi menangis dan berkata dengan tersedu-sedan,

"Tidak, Sayang, kecuali kau bilang siapa yang me?mer?ko?samu di toilet

sekolah?" Berkali-kali mereka mencoba menanyakan itu kepadanya,

tapi selalu tak berhasil sebab si gadis dengan ke?ke?raskepalaannya yang

mengagumkan akan terus menjawab, seekor anjing dengan kulit cokelat

dan moncong hitam. Anjing semacam itu ada di semua pelosok Hali?

munda, dan jelas tak mungkin menanyai mereka satu per satu. Setelah

gagal memperoleh penjelasan masuk akal dari Si Cantik, Maya Dewi

akan pergi meninggalkannya setelah menguncinya kembali, lalu Si

Cantik akan berteriak-teriak meminta dikeluarkan dan diperbolehkan

pergi sekolah. Tangisannya begitu me?milukan, dan tentu saja kencang

bukan main, seperti tangisan bayi-bayi yang gelisah setelah ngompol

dan terlambat diganti popok. Suaranya yang melengking membuat

tetangga-tetangga keluar dan menengok ke jendela kamar atas, dan

para pejalan kaki berhenti, sebelum saling berbisik di antara mereka.

Maman Gendeng meng?usul?kan untuk mengungsikannya, tapi Maya

Dewi menentang gagasan suaminya dan bersikeras mempertahankan?

nya. "Lebih baik hidup dalam aib daripada harus kehilangan anakku."

Akhirnya mereka menyerah dan mengirimnya kembali ke sekolah.

Itu pun bukan perkara yang mudah, sebab gadis-gadis hamil selalu

ditolak sekolah. Mereka berdalih hal tersebut bisa memberi pengaruh

buruk bagi anak-anak gadis yang lain. Untuk kedua kalinya, Maman

Gendeng akhirnya muncul lagi ke sekolah, masuk ruang kepala seko?

lah tanpa mengetuk pintu, untuk memastikan bahwa anak ga?disnya

tak akan dikeluarkan. Bagaimanapun, kepala sekolah yang malang itu

sungguh-sungguh dalam keadaan terpojok. Di satu sisi ia harus mengha?

dapi orang-orang tua murid yang akan mencemaskan nasib anak gadis

mereka, sebab apa yang terjadi pada Rengganis Si Cantik membuktikan

sekolah sama sekali tak aman. Di sisi lain ia harus menghadapi preman

satu ini: tak seorang pun berani me?nen?tangnya, sebab ia berani mela?

wan siapa pun, bahkan polisi maupun tentara. Ia melap keringat dingin

yang bercucuran di dahi dan le?hernya.

"Baiklah sahabatku yang baik, selama ia belum menyelesaikan

sekolah ia tetap anak sekolah di sini," katanya. "Tapi tolonglah aku,

kau harus temukan siapa yang melakukan itu pada anakmu sebab aku

harus membuat tenang orang-orang tua anak-anak gadis itu, dan satu

lagi, tolong beri ia pakaian yang lebih longgar."

Hal itu mengingatkan Maman Gendeng pada si bocah bernama

Kinkin. Di sore hari, minggat dari meja permainan kartu truf, ia pergi

ke rumah penggali kubur Kamino dan mencari bocah itu. Sebagaimana

hari-hari sebelumnya, Kinkin disibukkan oleh kebiasaan anehnya

menghabiskan peluru untuk menembaki poster-poster anjing. Sejenak

Maman Gendeng mengawasinya dan memuji kemampuan menem?

baknya, meskipun ia bertanya-tanya mengapa ia berbuat be?gitu jahat

menembaki gambar-gambar di karton yang tak berdosa itu. Tadinya ia

berpikir bocah itu tak menyadari keberadaannya, tapi setelah beberapa

kali ia menembak dan gambar anjing itu terlempar jatuh ke tanah, ia

menoleh dan menghampiri sang preman tanpa rasa terkejut sama sekali.

"Kau lihat sendiri apa yang kulakukan, bukan?" tanya si bocah

penuh kebanggaan. Sang preman sama sekali tak mengerti dan ha?nya

mengangguk sampai si bocah menjelaskannya sendiri, "Aku menem?

baki anjing-anjing dan bahkan gambarnya pula. Aku cemburu kepada

mereka sebab salah satu dari anjing-anjing itu telah memerkosa anak

gadismu dan kau tahu betapa aku sangat mencintainya."

Kamino melihatnya dari samping rumah, dan merasa ada sesuatu

yang tidak beres jika seorang preman yang paling ditakuti di kota itu

sampai datang mencari anaknya. Ia menghampiri mereka dan mencoba

bersikap ramah mengundangnya masuk untuk minum segelas kopi. Ma?

man Gendeng dan si bocah Kinkin duduk di ruang tamu yang dipenuhi

benda-benda aneh peninggalan orang mati. Setelah kopi datang dan si

tua Kamino pergi, ia bertanya pada si bocah, "Katakan padaku, siapa

yang memerkosa Rengganis Si Cantik?"

Bocah itu memandangnya dengan kebingungan yang tak dibuatbuat. "Kupikir kau sudah tahu: seekor anjing di toilet sekolah," ka?tanya

jelas dan penuh keyakinan. Ia sama sekali tak mengharapkan jawaban

tersebut, dan itu malahan membuatnya sedikit geram. Tapi jelas bagi?

nya bahwa bocah itu sama tidak tahunya dengan siapa pun, dan hanya

Rengganis Si Cantik serta Tuhan yang tahu apa yang terjadi di toilet

sekolah. Ia meraih gelas kopi itu, bukan untuk me?nikmatinya tapi lebih

sekadar membuang kegalauannya sendiri.

Hal ini tampaknya akan menjadi misteri yang tak akan ter?pe?cah?

kan. Sesuatu tengah mengusiknya dan ia tak tahu. Bagaimanapun, ia

lebih suka menemukan seorang musuh yang menantangnya berkelahi

sampai mati daripada seseorang memerkosa anak gadisnya tanpa se?orang

pun tahu siapa yang melakukannya. Ia duduk di depan si bocah tanpa

mengatakan apa pun lagi sampai tiba-tiba ia menyadari waktu telah

menjadi begitu sore.

"Kenyataannya itulah yang kita tahu," katanya membuyarkan

kebisuan di antara mereka. Ia kemudian berdiri bersiap untuk pergi,

meskipun tampak jelas bahwa ia tak sudi pulang ke rumah tanpa hasil

yang memuaskan. Setelah mendengus sejenak, dengan suara seraknya

ia berkata, "Jika memang anjing memerkosanya, ia akan kawin dengan

anjing."

Hal itu membuat Kinkin tak bisa tidur semalaman, jauh lebih buruk

dari malam-malam sebelumnya. Ia membuat ayahnya terjaga semalaman

dan hantu-hantu pemakaman dibuat tak tenang. Ketika pagi datang, ia

tak lagi memikirkan kekurangtidurannya, sebaliknya, ia segera mandi

dan sebelum waktunya untuk berangkat sekolah, ia berlari menuju

rumah Rengganis Si Cantik dan menemui ayahnya yang tampak sedikit

jengkel dibangunkan sepagi itu.

"Tak mungkin ia kawin dengan anjing," katanya dengan suara

bagaikan datang dari mulut orang sekarat. "Akulah yang akan me?nga?

wininya."

Itu jauh lebih baik dan sang preman tahu. Ia memandang bocah itu,

dan teringat pertemuan pertama mereka di terminal bis tempo hari. Ia

agak menyesal kenapa lamaran si bocah tidak diterima saat itu juga,

sebelum masalahnya berlarut-larut. Lalu ia mengangguk dan bertanya,

kenapa.

"Bukan anjing yang memerkosanya, tapi aku."

Itu alasan yang cukup untuk menyeretnya ke halaman belakang ru?

mah dan menghajarnya tanpa ampun. Anak itu sama sekali tak me?lawan,

dan memang tak akan mampu melawan, bahkan meskipun satu pukulan

membuatnya terbanting di sudut pagar dengan wajah ber?darah. Maya

Dewi lari tergopoh-gopoh menghentikan tindakan brutal suaminya,

sebelum bocah itu mati. Ia harus berjuang mati-matian menyeret tubuh

suaminya yang masih memburu si bocah, meskipun Kinkin tampaknya

telah ambruk sepenuhnya di pinggir kolam ikan kecil. Ia belum mati,

bagaimanapun, namun menderita cukup parah sampai ia mengerang

kesakitan.

"Tentu saja aku tak akan membunuhmu," kata Maman Gendeng

se?telah istrinya berhasil menyeretnya menjauh. "Sebab kau harus hi?dup

untuk mengawini Rengganis Si Cantik."

Sore hari, setelah sepanjang pagi mendengar ocehan Kinkin di sekolah

tentang rencana perkawinannya dengan Rengganis Si Cantik selepas

ia melahirkan anaknya, Ai yang berboncengan di sepeda mini de?ngan

Krisan sepupunya datang ke tempat pemakaman untuk me?nemui Kin?

kin.

"Aku tahu kau tak di toilet pada hari itu," kata si gadis dengan

ma?rah.

Si bocah, tersenyum atas kunjungan mereka berdua, tak mem?ban?

tah?nya dan mempersilakan mereka masuk, dan berterima kasih sebab

itulah kali pertama teman sekolahnya mau berkunjung. Ru?mahnya

bukanlah tempat yang menyenangkan, tua dan tak me?nam?pakkan

sen?tuhan perempuan. Mungkin hanya disapu seminggu sekali, sehingga

benda-benda peninggalan orang mati yang di?kum?pul?kannya tampak

berdebu dan mengerikan, bagaikan gudang peng?galian mumi.

Selepas membawa dua gelas limun dingin dari dapur ia berkata

bahwa ibunya telah lama mati, di waktu yang sama ia dilahirkan. Ia

men??ceritakan hal itu bukan untuk mengenang, namun tampaknya

lebih sebagai apologi untuk keadaan rumah yang tak terurus, jika bu?

kan upaya untuk mengalihkan pembicaraan. Selama beberapa waktu,

jelaslah bahwa itu sia-sia, sebab wajah si gadis tak juga kun?jung tenang,

menanti kesempatan untuk menyerangnya kembali.

"Kau banci licik, kau tak mungkin memerkosanya," kata Ai.

"Tentu saja, aku tak mungkin sejahat itu kepadanya," kata Kin?kin

dengan tenang. "Jika kau mencintainya, kau tak akan me?lakukannya,

bahkan meskipun kesempatan itu ada. Aku akan me?ngawininya karena

cinta dan aku melamarnya secara baik-baik."

Ia tampaknya akan mewarisi pekerjaan ayahnya, juga rumah pema?

kaman itu, sebagaimana hal itu selalu diwariskan turun-temurun selama

beberapa generasi. Sebabnya sangat jelas: tak ada orang lain menghen?

daki pekerjaan tersebut. Semua orang di kota itu percaya kompleks

kubur?an tersebut dipenuhi setan dan dedemit, hanya ke?luarga penggali

kubur yang bisa tahan hidup di sana selama puluhan tahun. Dan satu

hal yang lain, mereka juga mewariskan ilmu magis cara berhubungan

dengan roh orang-orang mati yang disebut jailangkung, dan itu alasan

lain kenapa pekerjaan penggali kubur tak terganggu selama bergenerasigenerasi. Kinkin adalah pewaris terakhir, tanpa saudara dan famili jauh

lebih suka minggat ke daerah-daerah yang lebih beradab. Jika anakanak sebaya takut kepadanya, itu bukan sekadar karena ia anak penggali

kubur dan bisa main jailangkung, tapi wajah dinginnya dan bau yang

dibawa dari udara lembab tubuhnya cukup untuk membuat bulu kuduk

orang merinding, seolah ia membawa jin di pundaknya ke?mana pun ia

pergi. Itulah yang membuat Krisan lebih banyak diam. Ia sesungguhnya

tak memiliki keinginan datang ke rumah si tu?kang jailangkung tersebut,

dan melakukannya lebih karena ke?kha?wa?tiran pada sepupunya yang

memaksa untuk datang mengintrogasi si bocah Kinkin.

"Jangan karena kau punya ilmu hitam maka kau bisa berbuat se?suka

hatimu," kata si gadis lagi.

"Ilmu hitam sangatlah tidak berguna," Kinkin berkata dengan ta?

ngan dikibaskan. "Mereka memberimu kekuatan semu, palsu, dan arti?

fisial, dan tentu saja jahat. Cinta telah memberiku bukti bahwa cinta

merupakan kekuatan yang jauh lebih besar dari apa pun."

Cinta tampaknya telah membuatnya keras kepala. Si gadis Ai tahu

itu, dan sesungguhnya ia tak ingin menghalanginya untuk mencintai

Rengganis Si Cantik. Yang membuatnya datang ke rumah itu tak lebih

dari naluri dasarnya untuk melindungi Si Cantik dari apa pun, dan ia

merasa ada sesuatu yang tak beres dengan rencana perkawinan itu. Ia

berdiri dan meraih tangan Krisan untuk segera pergi dari sana, namun
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum beranjak ia menoleh pada Kinkin dan berkata secara tiba-tiba.

"Cintailah Si Cantik dari hatimu yang terdalam," katanya sungguhsung?guh bagaikan nasihat seorang ibu pada menantu di hari per?kawinan.

Kinkin mengangguk penuh keyakinan.

"Tentu."

"Namun jika terbukti bahwa cintamu bertepuk sebelah tangan dan

sahabatku yang cantik tak pernah menginginkanmu, tak akan ku?biar?

kan siapa pun mengawinkan kalian berdua," kata Ai dengan nada

se?di?kit penuh ancaman. "Aku telah ditakdirkan untuk men?jaganya

tetap bahagia."

Ketegasan suaranya telah sering membuat orang tak berdaya me?

mandang matanya, maka itu pula yang membuat Kinkin me?nun?dukkan

wajahnya.

"Tapi," kata si bocah Kinkin. "Bahkan ayahnya telah menerima

la?maranku untuk mengawininya."

"Bahkan," kata si gadis. Ia kembali mengulang bahwa ia tak akan

mem??biarkan siapa pun mengawinkan Si Cantik di luar kehendaknya

sen?diri. "Bahkan jika ayahnya telah mengizinkan kalian saling me?nga?

wini."

Ai tak memberikan bocah itu kesempatan untuk mengatakan apa

pun lagi. Ia menarik tangan Krisan dan anak lelaki itu segera ber??jalan

menuju sepeda mininya. Membonceng gadis itu, mereka pergi mening?

galkan rumah penggali kubur. Ai menyuruhnya untuk pergi menengok

Rengganis Si Cantik.

Ketika mereka sampai di rumah Si Cantik, mereka menemukan

rumah yang tampak berantakan serta suara lolongan Si Cantik dari

kamar?nya di lantai dua. Di ruang bawah, mereka menemukan Maya

Dewi menangis tanpa suara di ujung sofa, dengan dua gadis gunung

pembantunya berdiri kikuk di mulut pintu dapur. Krisan duduk di depan

perempuan itu sementara Ai duduk di sampingnya, menggapai tangan

perempuan itu dengan wajah campuran antara bingung dan khawatir.

"Kenapa, Bibi?"

Maya Dewi menghapus air matanya dengan ujung lengan gaunnya.

Ia mencoba tersenyum kepada kedua keponakannya itu seolah berkata

tak ada apa-apa yang serius sebelum menjelaskan, "Ia mengamuk begitu

tahu akan dikawinkan dengan si bocah Kinkin."

"Bocah itu mulai cerewet di sekolah," kata Ai.

"Bocah yang malang, mau mengawini gadis yang hamil bukan


Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Mawar Merah Roses Are Red Karya James

Cari Blog Ini