Ceritasilat Novel Online

Cantik Itu Luka 3

Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 3

sangat bahagia, tanpa gangguan apa pun. Di satu minggu pertama, me?

reka menghabiskan siang hari dengan mengurung diri di dalam kamar,

malu untuk bertemu satu sama lain, dan menangis sendirian di sana.

Tapi begitu lewat satu minggu, setelah sarapan pagi mereka mulai ber?

temu satu sama lain, mencoba saling menghibur dan mem?bicarakan hal

lain yang tak ada hubungannya dengan malam-malam penuh tragedi

mereka.

Dewi Ayu beberapa kali bertemu dengan perempuan pribumi sete?

ngah baya itu: Mama Kalong, dan membangun persahabatan yang aneh.

Hal itu disebabkan oleh sikap Dewi Ayu yang tenang dan tak menun?

jukkan sikap memberontak, sehingga tak menyulitkan Mama Kalong

sendiri dalam hubungannya dengan orang-orang Jepang. Pada Dewi

Ayu ia berkata sejujurnya bahwa ia seorang pemilik tempat pelacuran

di ujung dermaga. Kini banyak di antaranya didatangkan ke sana de?

ngan paksaan, untuk memenuhi nafsu berahi prajurit Jepang rendahan.

Semuanya pribumi, kecuali di rumah ini.

"Kalian beruntung tidak melakukannya siang dan malam," kata

Mama Kalong. "Prajurit rendahan jauh lebih brengsek."

"Tak ada bedanya prajurit rendahan atau kaisar Jepang," kata Dewi

Ayu. "Mereka semua sama mengincar selangkangan betina."

Mama Kalong menyediakan seorang perempuan tua setengah buta,

pribumi, sebagai pemijat. Setiap pagi gadis-gadis itu mengikuti ritual

pemijatan, percaya pada kata-kata Mama Kalong bahwa hanya dengan

cara itulah mereka akan terbebas dari kemungkinan hamil. Kecuali

Dewi Ayu yang kadang-kadang mau karena lelah, tapi seringkali lebih

sering melewatkan pagi untuk tidur sebelum sarapan pagi.

"Seseorang hamil karena disetubuhi, bukan karena tidak dipijat,"

katanya enteng.

Ia menerima risikonya. Sebulan berada di tempat pelacuran itu, ia

menjadi perempuan pertama yang hamil. Mama Kalong menyarankan?

nya untuk menggugurkan kandungan. "Pikirkanlah keluargamu," kata

perempuan itu. Dewi Ayu kemudian berkata, "Sebagaimana saranmu,

Ma?ma, aku memikirkan keluargaku, dan satu-satunya yang kumiliki

hanya bocah di dalam perut ini." Maka Dewi Ayu membiarkan perut?

nya bunting, semakin besar dari hari ke hari. Kehamilan memberinya

keberuntungan: Mama Kalong me?nyuruhnya tinggal di kamar belakang

dan mengumumkan pada semua orang Jepang bahwa gadis itu hamil

dan tak seorang pun boleh menidurinya. Tak ada orang Jepang mau

me?nidurinya, dan itu mendorongnya untuk menyarankan gadis-gadis

lain melakukan hal yang sama.

"Benar kata orang, anak membawa rejekinya sendiri-sendiri!"

Tapi tak seorang pun berani mengambil risiko yang sama seperti

Dewi Ayu.

Bahkan, setelah tiga bulan kemudian, tak seorang pun me?ning?gal??

kan rutinitas pemijatan di setiap pagi, dan bergeming untuk hamil.

Mereka harus menghadapi teror yang sama setiap malam, dan lebih

memilih itu daripada kelak pulang ke hadapan ibu mereka dengan perut

bunting. "Apa yang akan kukatakan pada Gerda?" kata Ola.

"Katakan saja, Gerda, oleh-olehnya ada di dalam perutku."

Sebagaimana telah berlangsung sebelumnya, jika siang hari mereka

memiliki banyak waktu luang. Gadis-gadis itu akan berkumpul sambil

berbincang-bincang. Beberapa bermain kartu dan yang lainnya mem?

bantu Dewi Ayu menjahit baju-baju kecil bagi anak bayinya. Bagai?

mana?pun, mereka dibuat terpesona bahwa salah satu di antara mereka

akan segera punya bayi, dan berdebar-debar menunggu kapan bayi itu

akan lahir ke dunianya yang kejam.

Mereka juga kadang kembali membicarakan perang. Ada desasdesus bahwa tentara Sekutu akan menyerang kantong-kantong militer

Jepang dan gadis-gadis itu mulai berharap bahwa Halimunda adalah

salah satunya.

"Kuharap semua Jepang mati terbunuh dengan usus memburai,"

kata Helena.

"Jangan terlalu keras, anakku bisa mendengarnya," kata Dewi Ayu.

"Kenapa?"

"Ia anak seorang Jepang."

Mereka tertawa oleh humornya yang menyakitkan.

Tapi harapan tentang akan datangnya tentara Sekutu sungguh-sung?

guh membangkitkan semangat mereka. Hingga ketika seekor merpati

pos terbang tersesat ke rumah mereka dan salah satu dari gadis-gadis

itu menangkapnya, mereka mengirimkan pesan-pesan untuk tentara

Sekutu dalam surat-surat pendek. Tolonglah kami, atau kami dipaksa men?

jadi pelacur, atau dua puluh orang gadis menunggu ksatria penolong. Ide itu

tampak konyol, dan tak bisa dibayangkan bagaimana burung merpati

ter?sebut bisa menemukan tentara Sekutu. Mereka menerbangkannya

di suatu sore.

Tak ada tanda-tanda sang merpati bertemu tentara Sekutu. Namun

ketika burung itu muncul kembali tanpa surat-surat mereka, gadis-gadis

itu percaya, paling tidak seseorang entah di mana membacanya. Maka

dengan penuh semangat mereka mengirimkan surat-surat baru. Terusmenerus melakukannya selama hampir tiga minggu.

Tak ada tentara Sekutu datang, yang ada kunjungan seorang jenderal

tentara Jepang yang tak seorang pun dari gadis-gadis itu pernah melihat?

nya. Kedatangannya yang tiba-tiba membuat para prajurit yang berjaga

terpojok ke sudut-sudut halaman, mencoba menghindari dirinya sebisa

mungkin. Satu-dua orang prajurit yang ditanyainya tampak menggigil

dengan lutut bergemelutuk.

"Tempat apakah ini?" tanya Sang Jenderal.

"Tempat pelacuran," jawab Dewi Ayu sebelum salah satu prajurit

Jepang menjawabnya.

Ia seorang tentara bertubuh tinggi besar, mungkin warisan para

samu?rai dari masa lampau, dengan dua samurai tergantung di kedua sisi

ping?gangnya, seperti Musashi. Ia memelihara cambang lebat, dengan

wajah dingin dan serius.

"Apakah kalian pelacur?" tanyanya.

Dewi Ayu menggeleng. "Kami merawat jiwa-jiwa tentara yang sakit,"

katanya. "Demikianlah kami jadi pelacur, dipaksa dan tak dibayar."

"Kau hamil?"

"Nadamu seolah tak percaya bahwa orang Jepang tak bisa bikin

seorang gadis jadi hamil, Jenderal."

Ia mengacuhkan komentar Dewi Ayu dan mulai memarahi semua

Jepang yang ada di rumah, dan ketika senja datang dan beberapa pe?

langgan muncul, kemarahannya semakin meledak-ledak. Ia memang?

gil beberapa perwira, melakukan rapat tertutup di salah satu ruangan.

Tampak jelas tak seorang pun berani kepadanya.

Sementara itu para gadis di rumah tersebut menanggapinya dengan

penuh kebahagiaan, seolah itu kemenangan gemilang atas surat-surat

tak kenal lelah yang telah mereka kirimkan. Mereka memandang Sang

Jenderal dengan sikap penuh terima kasih, menganggapnya sebagai

penolong. "Aku hampir tak percaya, malaikat bisa berwajah orang

Jepang," kata Helena. Sebelum ia kembali ke markasnya, ia mengham?

piri gadis-gadis yang berkerumun di pojok ruang makan. Ia berdiri di

hadapan mereka, membuka topinya dan membungkuk, sampai setinggi

pinggang.

"Naore!" kata Dewi Ayu.

Sang Jenderal kembali berdiri tegak dan untuk pertama kalinya

mereka melihatnya tersenyum. "Kirimi aku surat lagi jika orang-orang

gila ini menyentuh tubuh kalian," katanya.

"Kenapa kau datang begitu terlambat, Jenderal?"

"Jika aku datang terlalu cepat," katanya, dengan suara yang berat

yang lembut, "aku hanya menemukan rumah kosong belum berpeng?

huni."

"Bolehkah aku tahu namamu, Jenderal?" tanya Dewi Ayu.

"Musashi."

"Jika anakku lelaki, akan kuberi nama Musashi."

"Berdoalah punya anak perempuan," kata sang Jenderal. "Tak pernah

kudengar seorang perempuan memerkosa lelaki." Ia kemudian pergi,

masuk ke dalam truk yang menunggu di halaman depan, diiringi lambai?

an tangan gadis-gadis itu. Seiring dengan kepergiannya, para perwira

yang sedari tadi berdiri kikuk sambil melap keringat dingin dengan sapu

tangan, juga segera bergegas pergi mengikutinya. Itu malam pertama tak

seorang pun tamu datang untuk memerkosa mereka, begitu sepi, dan

gadis-gadis itu segera merayakannya dengan sedikit pesta. Mama Kalong

memberi mereka tiga botol anggur dan Helena menuangkannya ke dalam

gelas-gelas kecil bagaikan pendeta pada perjamuan suci.

"Untuk keselamatan Sang Jenderal," katanya. "Ia begitu tampan."

"Jika ia memerkosaku, aku tak akan melawan," kata Ola.

"Jika anakku perempuan," kata Dewi Ayu. "Namanya Alamanda,

seperti Ola."

Semuanya tiba-tiba berhenti begitu saja, tak ada lagi pelacuran dan

tak ada lagi pelacur, juga tak ada perwira-perwira Jepang yang berda?

tang?an menjelang malam untuk membeli tubuh mereka. Satu hal yang

membuat cemas beberapa gadis adalah bahwa mereka akan bertemu

de?ngan ibu-ibu mereka, dan mereka tak tahu bagaimana mengatakan

apa yang telah mereka alami. Beberapa orang mencoba berdiri di depan

cermin, melatih keberanian mereka, berkata pada bayangan mereka

sendiri, "Mama, kini aku seorang pelacur." Tentu saja tidak begitu, dan

mereka akan mengulang, "Mama, aku bekas pelacur." Itu pun tampak?

nya salah dan mengulang, "Mama, aku dipaksa menjadi pelacur."

Tapi mereka tahu kenyataannya mengatakan hal itu di depan ibu

mereka jauh lebih sulit daripada di depan cermin. Satu-satunya hal

yang tampaknya sedikit menguntungkan adalah, orang-orang Jepang

itu tak bermaksud segera mengembalikan mereka ke Bloedenkamp,

dan sebaliknya, tetap menahan mereka di sana. Memang bukan sebagai

pelacur, namun sebagai tahanan perang sebagaimana semula. Prajuritprajurit masih menjaga mereka dengan ketat, dan Mama Kalong masih

mengunjungi mereka untuk memastikan gadis-gadis itu dalam perawat?

an yang baik.

"Aku memperlakukan pelacur-pelacurku seperti para ratu," katanya

bangga, "tak peduli mereka telah pensiun."

Mereka mengisi hari-hari, minggu-minggu dan bulan-bulan dengan

cara menghibur diri di sekeliling Dewi Ayu yang terus menjahit baju-ba?

ju kecil untuk bayinya. Kini, dibantu teman-temannya, ia telah memi?

liki nyaris sekeranjang pakaian, berasal dari kain-kain yang mereka

temu?kan dari lemari pemilik rumah. Paling tidak itu menyelamatkan

mereka dari rasa bosan menunggu perang selesai sampai akhirnya Mama

Kalong datang dengan seorang dukun bayi.

"Semua pelacurku yang hamil melahirkan dengan bantuannya,"

kata Mama Kalong.

"Semoga tidak semua yang ia bantu adalah pelacur," kata Dewi Ayu.

Pada hari Selasa, masih di tahun yang sama ketika ia pergi dari

Bloeden?kamp dan masuk rumah pelacuran di awal tahun, ia me?lahir?

kan seorang bayi perempuan yang segera ia beri nama Alamanda,

seba?gai?mana janjinya. Anak itu begitu cantik, sepenuhnya mewarisi

kecantikan ibunya, dan satu-satunya yang menandakan bahwa ayahnya

adalah orang Jepang terletak pada matanya yang mungil. "Seorang gadis

bule dengan mata sipit," kata Ola, "hanya ada di Hindia Belanda."

"Satu-satunya nasib buruk adalah ia bukan anak Sang Jenderal,"

kata Helena.

Bayi kecil itu segera menjadi hiburan yang mewah bagi penghuni ru?

mah, bahkan prajurit-prajurit Jepang membelikannya boneka dan meng?

adakan pesta untuk nasib baiknya. "Mereka harus meng?hor?matinya,"

kata Ola lagi, "Bagaimanapun Alamanda anak atasan mereka." Dewi

Ayu senang bahwa Ola tampak perlahan-lahan bisa melupakan masa

lewat yang buruk, dan kembali menjadi gadis yang menyenangkan. Hariharinya disibukkan dengan membantu mengurus bayi kecil itu, bersama

yang lain, yang menyebut diri mereka sebagai tante.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang prajurit Jepang, pada satu dinihari, memasuki kamar Helena

dan mencoba memerkosanya. Helena berteriak begitu nyaring, mem?

bangunkan semua orang, dan itu membuat prajurit itu lari ke dalam

kegelapan. Mereka tak tahu prajurit yang mana telah melakukan per?

cobaan pemerkosaan tersebut, sampai pagi datang dan Sang Jenderal

kemudian muncul. Ia menyeret salah seorang prajurit, menjemurnya

di tengah halaman dan memberinya sepucuk pistol. Prajurit itu mati

menembak dirinya sendiri melalui mulut menembus otak. Sejak itu tak

seorang pun berani mendekati gadis-gadis tersebut.

Sementara itu, perang belum juga berakhir. Mereka mendengar

kabar-kabar burung, beberapa dibawa Mama Kalong dan yang lain

oleh beberapa pelayan yang datang membantunya, bahwa tentaratentara Jepang telah selesai membangun gua-gua pertahanan sepan?

jang pantai selatan. Mama Kalong memberi mereka radio secara

diam-diam, hingga mereka mendengar dua bom jatuh di Jepang, bom

ketiga urung dijatuhkan, tapi itu cukup untuk menggemparkan rumah

tersebut. Prajurit-prajurit Jepang itu tampaknya mengetahui juga berita

tersebut. Hari-hari kemudian mereka tampak duduk-duduk di bawah

pohon tanpa gairah, dan satu per satu mulai meng?hilang entah dikirim

ke mana. Ketika kapal-kapal Sekutu akhir?nya mulai beterbangan di

langit Halimunda sambil mener?bangkan pamflet-pamflet kecil yang

mengatakan perang segera berakhir, rumah tersebut hanya dijaga dua

prajurit Jepang saja.

Jika gadis-gadis itu tak mencoba melarikan diri meskipun hanya

dijaga dua orang prajurit, itu karena keadaan begitu tak menentu. Lagi

pula mereka telah mendengar dari radio bahwa tentara-tentara Inggris

telah menguasai kota-kota, dan tinggal di rumah tersebut tampaknya

jauh lebih aman daripada di jalanan. Jepang sudah kalah, dan mereka

menunggu pasukan Sekutu menyelamatkan mereka. Tapi ternyata

tentara-tentara itu datang begitu terlambat ke Halimunda, seolah lupa

bahwa ada kota tersebut di atas permukaan bumi. Itu sebelum kapalkapal kembali berdatangan, melemparkan biskuit dan penisilin, dan

pasukan darat bermunculan. Yang datang adalah pasukan lapis kedua,

seluruhnya terdiri dari pasukan Belanda yang menamakan diri mereka

KNIL, yang segera mengganti bendera Jepang di depan rumah tersebut

dengan bendera mereka sendiri. Kedua prajurit Jepang menyerah tak

berdaya.

Namun yang mengejutkan bagi Dewi Ayu adalah, Mr. Willie terda?

pat di antara salah satu pasukan itu.

"Aku bergabung dengan KNIL," katanya.

"Itu lebih baik daripada gabung dengan tentara Jepang," kata Dewi

Ayu. Ia memperlihatkan bayi perempuannya pada lelaki itu. "Inilah

yang kemudian tersisa dari orang-orang Jepang," sambil mengatakan

itu ia tertawa kecil.

Keluarga kedua puluh orang gadis itu kemudian didatangkan dari

Bloedenkamp. Gerda tampak sangat kurus, dan ketika ia me?nanyakan

apa yang terjadi selama pergi, Ola hanya menjawab pendek, "Tamasya."

Tapi Gerda segera mengetahuinya begitu ia melihat si kecil Alamanda.

Mereka tinggal di sana ditemani prajurit-prajurit Belanda yang menjaga

mereka secara bergantian. Itu adalah waktu-waktu yang sangat sulit

bagi Dewi Ayu sebab Mr. Willie masih memperlihatkan cintanya yang

dalam, meskipun ia pernah menghadapi penolakan dan tampaknya akan

menghadapi penolakan lagi.

Nasib yang buruk kembali menyelamatkan Dewi Ayu.

Suatu malam, Mr. Willie dan tiga orang prajurit lain memperoleh

giliran untuk menjaga rumah tersebut, ketika satu serangan gerilya

tentara pribumi menyerang mereka. Mereka bersenjatakan senjata ram?

pasan dari tentara Jepang, golok dan pisau, dan granat tangan. Serangan

mereka yang mendadak bekerja sangat efektif, mereka membunuh

keempat tentara Belanda itu. Mr. Willie dipancung dari belakang saat

tengah berbincang dengan Dewi Ayu di ruang tamu, hingga kepalanya

terlempar ke arah meja dan darahnya membasahi si kecil Alamanda.

Satu prajurit lain ditembak di toilet saat buang air, dan dua yang lain?

nya terbunuh di halaman.

Jumlahnya lebih dari sepuluh orang, dan kini mereka mengum?pul?

kan semua tawanan tersebut. Ketika diketahui semua perempuan dan

semua orang-orang Belanda, mereka bertambah beringas. Beberapa di

antara mereka diikat di dapur dan sebagian lagi diseret ke kamar tidur

untuk diperkosa. Teriakan-teriakan mereka jauh lebih me?mi?lukan

daripada ketika orang-orang Jepang menjadikan mereka pelacur, dan

bahkan Dewi Ayu harus berkelahi terlebih dahulu dengan seorang

gerilyawan yang merampas bayi dan melukai tangannya dengan pisau.

Bantuan datang dengan sangat terlambat dan gerilyawan itu lenyap

begitu cepat. Mereka menguburkan keempat mayat prajurit di halaman

belakang rumah.

"Jika kau gabung dengan gerilyawan," kata Dewi Ayu sambil mele?

takkan bunga di atas kuburan Mr. Willie, "paling tidak kau bisa memer?

kosaku." Dan ia menangis untuknya.

Tapi peristiwa itu terjadi beberapa kali. Empat prajurit yang men?

jaga rumah tersebut selalu kurang dibandingkan belasan ge?ril?yawan

yang muncul mendadak dengan senjata lengkap. Komandan setempat

tak bisa memberi lebih banyak penjaga sebab mereka sen?diri masih

kekurangan personil. Mereka baru merasa aman ketika pasukan Inggris

datang memperkuat keamanan seluruh kota. Pasukan itu merupakan

bagian dari Divisi India kedua puluh tiga yang datang ke Jawa, beberapa

di antaranya orang-orang Gurkha. Mereka memasang senjata-senjata

mesin di banyak tempat, beberapa di an?taranya membuat pos di halam?

an rumah mereka. Ketika gerilyawan pribumi datang lagi, mereka

menghadapinya dengan sangat sengit. Gerilyawan tak bisa masuk ke

halaman rumah, dan sebaliknya mereka berhasil membunuh satu di

antara mereka. Sejak itu tentara gerilya tak pernah menjadikan rumah

tersebut sebagai sasaran.

Kehidupan selama dijaga tentara-tentara Inggris berlangsung sangat

damai dan menyenangkan. Mereka membuat pesta-pesta kecil untuk

melupakan hari-hari buruk yang telah berlalu. Kadang-kadang gadisgadis itu bepergian ke pantai dengan jip militer, di?kawal beberapa

tentara bersenjata lengkap. Beberapa prajurit kemudian bahkan jatuh

cinta pada gadis-gadis itu, dan gadis-gadis itu jatuh cinta pada mereka.

Ada masa-masa yang sulit bagi gadis-gadis itu untuk menceritakan apa

yang telah terjadi atas mereka, namun ketika segalanya telah terlewati,

segalanya berjalan semakin menyenangkan. Sebuah grup musik pribumi

diundang dan mereka mengadakan pesta kecil lagi, dengan anggur dan

biskuit.

Penyelamatan tahanan terus berlangsung: tim palang merah in?ter?

nasional kemudian datang dan semua tahanan segera akan diterbangkan

ke Eropa. Negeri ini bagaimanapun tak cukup aman bagi orang-orang

sipil, apalagi setelah selama tiga tahun di dalam tahanan. Orang-orang

pribumi telah memerdekakan diri, dan milisi-milisi bersenjata berdiri di

mana-mana. Beberapa mengaku sebagai tentara nasional, yang lainnya

menyebut diri mereka sebagai tentara rakyat, semuanya bergerilya dari

luar kota. Sebagian besar dari mi?lisi-milisi itu dididik Jepang selama

pen?dudukan, dan mereka menghadapi juga orang-orang pribumi yang

dididik militer Belanda dan bergabung dengan KNIL dalam perang yang

kacau. Perang belum berakhir, bahkan baru dimulai, dan dinamakan

oleh orang-orang pribumi sebagai perang revolusi.

Semua gadis dan keluarga di rumah tahanan itu bersiap untuk

berang?kat dalam satu penerbangan yang diatur palang merah, kecuali

gadis yang secara tiba-tiba selalu memiliki gagasannya sendiri: Dewi

Ayu. "Aku tak punya siapa-siapa di Eropa," katanya. "Aku hanya pu?

nya Alamanda dan seorang jabang bayi yang kini telah ada di dalam

perutku lagi."

"Paling tidak kau punya aku dan Gerda," kata Ola.

"Tapi di sinilah rumahku."

Ia telah berkata pada Mama Kalong bahwa ia tak ingin pergi dari

Halimunda. Ia akan tetap tinggal di kota itu, tak peduli bahkan seandai?

nya ia harus jadi pelacur. Mama Kalong berkata padanya, "Tinggallah

di rumah itu sebagaimana sebelumnya. Ia milikku sekarang dan orang

Belanda itu tak mungkin menuntutnya balik."

Maka sementara yang lainnya pergi, Dewi Ayu tinggal di sana dite?

mani Mama Kalong dan beberapa pelayan. Ia menantikan kelahiran

bayinya yang kedua, yang ia pastikan berasal dari salah satu gerilyawan

itu, sambil membaca Max Havelaar yang ditinggalkan Ola. Ia pernah

membacanya, tapi ia membacanya kembali, sebab tak ada hal lain yang

bisa ia kerjakan, dan Mama Kalong melarang ia mengerjakan apa pun.

Bayi itu akhirnya lahir ketika Alamanda nyaris berumur dua tahun,

dan Dewi Ayu memberinya nama Adinda, seperti nama gadis dalam

novel yang ia baca.

Setelah beberapa bulan tinggal di rumah Mama Kalong, ia mulai

memikirkan harta karunnya, yang kini tertimbun tai di dalam tabung

pembuangan toilet rumah lamanya, dan terutama ia harus memiliki

kembali rumah itu. Rumah tempatnya kini tinggal telah menjadi tem?

pat pelacuran baru, dengan gadis-gadis bekas pelacur Jepang di zaman

perang. Mama Kalong berhasil menemukan gadis-gadis yang tak berani

pulang ke rumah dan memutuskan untuk tetap bersamanya, menjadi

putri-putri dalam Kerajaan Mama Kalong, dan bergerombol mengisi

kamar-kamar di rumah itu. Beberapa ten?tara KNIL merupakan pelang?

gan setia mereka. Mama Kalong masih mengizinkan Dewi Ayu dengan

kedua anaknya menempati salah satu kamar, tanpa harus melacurkan

dirinya kembali, sampai kapan pun. Dewi Ayu menerima baik kebaikan

hati Mama Kalong, namun bagaimanapun, ia tetap berkeyakinan rumah

pelacuran bukanlah tempat yang baik bagi pertumbuhan anak-anak

kecilnya, dan ia bersikeras harus kembali ke rumahnya yang dulu.

Ia tak perlu menjadi pelacur, sebab ia masih punya enam cincin

yang ditelannya selama perang. Ia menjual salah satunya pada Mama

Kalong, yang berhias batu giok, dan hidup dengan uang itu. Bahkan ia

bisa membeli kereta bayi bekas yang dijual di toko rongsokan. Dengan

kereta bayi itulah, untuk pertama kali Dewi Ayu membawa kedua anak?

nya menelusuri jalanan Halimunda kembali. Si kecil Adinda berbaring

di bawah tudungnya, sementara Alamanda duduk di belakang adiknya

mengenakan sweater dan penutup kepala. Dewi Ayu dengan rambut

disanggul ke atas, mengenakan gaun panjang dengan tali di pinggang,

kedua kantong pakaiannya dipenuhi botol susu si kecil Adinda dan sapu

tangan serta popok, dengan tenang berjalan mendorong kereta bayi.

Jalanan sangat lengang, tak banyak orang berkeliaran. Ia men?dengar

desas-desus sebagian besar lelaki dewasa pergi ke hutan un?tuk ber?gerilya.

Ia hanya melihat seorang tukang cukur tua di pojok jalan, tampaknya

bakalan mati karena bosan menunggu pe?langgan. Se?le?bih?nya ia hanya

melihat prajurit-prajurit KNIL menjaga kota sambil mem?baca koran

bekas, mengantuk dan sama bosannya. Mereka duduk di balik kemudi

truk dan jip dan beberapa yang lain bahkan di ujung mon?cong tank.

Mereka menyapanya dengan ramah, setelah menyadari yang lewat

seorang perempuan putih, dan me?na?warkan diri untuk meng?antarkan

sebab tidaklah aman bagi perempuan Belanda untuk ber?jalan seorang

diri. Gerilyawan bisa muncul kapan pun, kata mereka.

"Terima kasih," katanya. "Aku sedang berburu harta karun dan tak

ingin berbagi."

Ia menuju arah yang tak mungkin dilupakannya, ke daerah peru?

mah?an orang-orang Belanda pemilik perkebunan. Daerah tersebut persis

di pinggir pantai, dengan beranda menghadap jalan kecil yang mem?

bentang sepanjang pesisir, dan beranda belakang menghadapi dua bukit

cadas di kejauhan, di balik kehijauan perkebunan dan daerah pertanian.

Ia sampai di tempat itu dalam satu perjalanan yang tenang, menelusuri

jalan pantai dan yakin tak akan pernah ada ge?rilya muncul dari laut.

Segala sesuatunya tampak masih sama. Pagarnya masih dipenuhi bunga
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

krisan, dan pohon belimbing masih berdiri di samping rumah dengan

ayunan yang tergantung di da?hannya yang paling rendah. Pot-pot yang

dideretkan neneknya se?panjang beranda juga masih ada, meskipun

semua lidah buaya telah mati kekurangan air dan kuping gajah tum?

buh semrawut, bahkan anggrek di tiang depan menjuntai sampai ke

lantai. Rumput tumbuh tak terkendali menandakan tak seorang pun

memedulikannya. Ia segera menyadari para jongos dan jawara telah

meninggalkan rumah tersebut, bahkan anjing-anjing Borzoi tampaknya

tak lagi tinggal di sana.

Ia mendorong kereta bayi memasuki halaman rumah, dan dibuat

bingung oleh lantai beranda yang bersih. Seseorang membersihkan

debu-debunya, ia segera berpikir. Ketika ia mencoba membuka pin?tu,

ter?nyata itu tak terkunci. Ia masuk masih sambil mendorong kereta

bayi, meskipun anak-anaknya mulai rewel. Ruang tamu tampak gelap

dan ia menyalakan lampu: listriknya masih berfungsi, dan segera cahaya

memperlihatkan semuanya. Benda-benda itu masih di tempatnya: meja,

kursi, lemari, kecuali gramofon yang dibawa pergi Muin. Ia menemukan

potret dirinya masih tergantung di din?ding, seorang gadis lima belas

tahun yang tengah bersiap masuk ke Sekolah Guru Fransiscan.

"Lihat, itu Mama," katanya pada Alamanda. "Difoto orang Jepang,

beberapa waktu kemudian diperkosa Jepang pula, dan bisa jadi itu

Jepang ayahmu."

Mereka bertiga masih melanjutkan tur mengelilingi rumah ter?sebut,

bahkan sampai naik ke lantai dua. Dewi Ayu menceritakan semua

kenangannya atas rumah tersebut, menunjukkan di mana kakek dan

nenek tidur, dan memperlihatkan foto Henri dan Aneu Stammler se?

waktu mereka masih sangat muda dan belum jatuh cinta satu sama lain.

Bocah-bocah itu tentu saja belum mengerti apa pun, tapi Dewi Ayu

tampak menikmati perannya sebagai pemandu wisata hingga ia teringat

pada harta karunnya di tabung pembuangan toilet. Ia mengajak kedua

anaknya memeriksa toilet tersebut, dan ia dibuat lega bahwa toilet itu

sungguh-sungguh masih ada. Ia hanya perlu membongkar tabung pem?

buangan dan menemukan harta karunnya.

"Orang Belanda masih berkeliaran di zaman republik," tiba-tiba ia

mendengar seseorang berkata dari balik punggungnya. "Apa yang kau

lakukan di sini, Nyonya?"

Ia berbalik dan itulah pemilik suara tersebut: seorang perempuan

tua pribumi yang tampaknya galak. Ia mengenakan sarung dan kebaya

kumal, dengan tongkat penopang kakinya. Mulutnya dipenuhi gumpal?

an daun sirih. Ia berdiri memandang Dewi Ayu dengan tatapan penuh

dendam. Tampaknya bahkan ia tak ragu untuk me?mukul Dewi Ayu

de?ngan tongkatnya seperti ia memukul seekor anjing.

"Kau bisa lihat bahkan fotoku masih digantung di dinding," kata

Dewi Ayu sambil menunjuk potret gadis lima belas tahun itu. "Aku

pe?milik rumah ini."

"Itu karena aku belum mengganti fotomu dengan fotoku."

Perempuan tua itu dengan segera mengusirnya, meskipun Dewi Ayu

bersikeras bahwa ia memiliki surat-surat kepemilikan rumah. Sebagai

balasannya, perempuan itu hanya terkekeh sambil melambai-lambaikan

tangannya. "Rumahmu dikapitulasi, Nyonya," katanya. Jelas, sebagai?

mana cerita perempuan tua itu yang mengatakannya selama mengantar

si tamu tak diundang pergi, rumah itu telah dirampas oleh orang-orang

Jepang. Di akhir perang, sebuah keluarga gerilya merampasnya kembali

dari orang-orang Jepang. Itu keluarga si perempuan tua: suaminya harus

kehilangan sebelah tangan ditebas samurai sebelum pergi ke hutan

ber?sama lima anak lelakinya, dan tak lama kemudian mati ditembak

tentara KNIL sebagaimana dua anak lelakinya. "Kini aku pewaris rumah

ini. Foto-fotomu boleh kau ambil tanpa bayar."

Dewi Ayu segera menyadari, tak mungkin melawan perempuan itu

dengan omongan apa pun. Ia segera pergi meninggalkan rumah tersebut,

mendorong kereta bayinya, namun tetap bertekad untuk mem?peroleh

rumahnya. Ia pergi ke kantor sementara pemerintahan sipil dan militer

kota, bertemu seorang komandan KNIL dan meminta nasihatnya

me?ngenai rumah tersebut. Nasihatnya sangat mengecewa?kan, sebab

ia menyarankan untuk mengurungkan niat memiliki kembali rumah

ter?sebut dalam waktu dekat. Keadaan belum memung?kinkan, katanya,

sebab gerilyawan-gerilyawan masih berkeliaran. Jika rumah itu dimiliki

keluarga gerilya, sebaiknya dilepaskan, ke?cuali kau punya uang untuk

membelinya kembali.

Ia tak punya uang, bagaimanapun. Kelima cincinnya yang tersisa tak

akan mencukupi untuk membeli rumah. Satu-satunya harapan terletak

di dalam lubang toilet, harta karunnya, dan ia tak mungkin mengambil?

nya tanpa memiliki rumah tersebut. Ia segera menemui Mama Kalong,

tahu dengan pasti perempuan itu akan selalu menjadi penolong bagi

siapa pun, dan berkata sejujurnya. "Mama, pinjami aku uang. Aku mau

membeli rumahku kembali," katanya.

Bagaimanapun, Mama Kalong selalu memperhitungkan uang dari segi

bisnisnya yang paling baik. "Dari mana kau bisa membayar?" tanya?nya.

"Aku punya harta karun," jawab Dewi Ayu. "Sebelum perang aku

me?nimbun seluruh perhiasan nenekku di tempat yang tak seorang pun

akan mengetahuinya kecuali aku dan Tuhan."

"Jika Tuhan mencurinya?"

"Aku akan kembali padamu jadi pelacur, untuk bayar hutangku."

Itulah kesepakatan terbaik yang mereka dapatkan. Mama Kalong

bahkan menyediakan dirinya untuk jadi perantara pembelian kembali

rumah tersebut, sebab jika Dewi Ayu sendiri yang melakukannya, bisa

jadi perempuan keluarga gerilya itu akan bersikeras tak akan menjual?

nya. Warisan tubuh Belandanya tak mungkin untuk me?ya?kinkan orang

sebagai pribumi, sementara Mama Kalong lebih ber?pengalaman dalam

membeli properti-properti dari orang-orang butuh uang seperti mereka.

Ia akan menawar dengan harga serendah mung?kin, katanya berjanji

pada Dewi Ayu.

Urusan itu memakan waktu nyaris seminggu. Mama Kalong bolakbalik setiap hari menemui si perempuan galak sebelum me?nye?lesaikan

transaksi. Perempuan tua keluarga gerilya itu mau melepaskan rumah

tersebut, jika ia memperoleh rumah lain sebagai pengganti, dan sejum?

lah uang. Mama Kalong mengusahakannya dengan baik, hingga ia bisa

mengusir perempuan itu dari rumah dan mengancamnya untuk tak

menginjakkan kaki kembali di sana. Diantar Mama Kalong, Dewi Ayu

segera pindah bersama kedua anak kecilnya, mempergunakan jip militer

tentara KNIL pelanggan tempat pelacuran Mama Kalong. Betapa se?

nang sekali Dewi Ayu kembali ke rumahnya, dalam keyakinan bahwa

semua itu kini miliknya.

"Berapa lama kau akan membayar?" tanya Mama Kalong akhirnya.

"Beri aku waktu sebulan."

"Yah, itu cukup untuk sebuah penggalian," katanya. "Jika se?seorang

mengganggu rumahmu, kau hanya perlu datang padaku. Aku mengenal

baik gerilyawan sebagaimana aku mengenal prajurit KNIL. Mereka

sama-sama pelangganku."

Ia tak segera melakukan penggalian. Yang ia lakukan pertama kali

adalah mencari seorang pengurus bayi, dan menemukannya dari per?

kampungan di kaki bukit, seorang perempuan tua bernama Mirah. Ia

bekas seorang jongos Belanda di masa sebelum perang, tapi kepadanya

Dewi Ayu berkata dengan tegas bahwa ia bukan orang Belanda, melain?

kan pribumi bernama Dewi Ayu. Melalui Mirah, ia mencari seorang

tukang kebun yang bisa membereskan halaman yang berantakan. Butuh

waktu seminggu sebelum ia bisa bersantai melihat segalanya kembali

sebagaimana semula, dengan ha?laman yang bersih dan tanaman tampak

segar.

"Kita beruntung, baik Jepang maupun Sekutu tak membuatnya

hancur," katanya pada diri sendiri.

Itu adalah waktu-waktu ketika ia memperoleh kabar dari Ola dan

Gerda. Mereka telah bertemu dengan kakek dan nenek mereka, dan

ayah mereka bahkan ternyata selamat setelah ditawan tentara Jepang

di Sumatera. Ola masih melanjutkan kencannya dengan salah seorang

prajurit Inggris, dan mereka bahkan telah bertunangan. Mereka akan

kawin tahun ini juga, tanggal 17 Maret, di gereja St. Mary. Dewi Ayu

sama sekali tak bisa datang untuk menghadiri pesta mereka, ia hanya

mengirimkan beberapa foto kedua anak kecilnya, dan hanya menerima

foto-foto perkawinan mereka. Ia memajang foto itu di dinding rumah,

agar Ola bisa melihatnya jika suatu ketika ber?kun?jung.

Setelah sebagian besar urusan rumah selesai, ia mulai memikirkan

penggalian harta karun tersebut. Ia telah memercayai tukang kebunnya

yang bernama Sapri, maka ia memanggilnya dan menceritakan ren?cana

penggalian lubang toilet. Sebab tanpa itu ia tak akan bisa membayar

Mirah dan Sapri, katanya. Pada hari itu juga si tukang kebun menda?

tangkan linggis dan cangkul, dan Dewi Ayu ikut menyingsingkan le?

ngan kemejanya, mengenakan pantalon kakeknya, dan ikut membantu

Sapri membongkar lantai dan tanah sepanjang saluran air menuju

tabung pembuangan. Satu-satunya yang membuat pekerjaan mereka

tak terganggu, toilet tersebut tampaknya tak lagi dipergunakan selama

perang. Mereka tak akan bertemu tai hangat yang masih bau, kecuali

tanah penuh cacing yang sangat gembur.

Mereka bekerja seharian sementara Mirah menemani kedua anak?

nya. Mereka hanya berhenti di waktu-waktu sejenak untuk makan dan

melepas lelah, sebelum terus membongkar beton dan mengaduk-aduk

sisa tai yang telah menjadi tanah. Tapi mereka tam?paknya tak akan me?

nemukan apa pun, kecuali cacing tanah yang menggeliat-geliat marah.

Dewi Ayu percaya bahwa mereka telah mengeluarkan semua kotoran

dari tabung pembuangan, namun tetap saja ia tak menemukan semua

perhiasan yang pernah dibuangnya. Tak ada kalung dan gelang emas,

yang ada hanya gundukan tanah membusuk, cokelat dan bau lembab.

Ia tak percaya semua perhiasan itu ikut membusuk bersama tai, maka

ia segera meninggalkan pe?kerjaannya dengan putus asa, sambil meng?

gerutu:

"Tuhan telah mencurinya."

Di zaman revolusi, banyak semboyan gagah berani diserukan orang atau

ditulis di dinding-dinding di sepanjang jalan, pada spanduk-spanduk

yang membentang, atau bahkan sekadar di buku catatan anak sekolah.

Hal ini memberi Mama Kalong gagasan untuk memberi nama tempat

pelacurannya dengan semangat yang sama, yang tam?paknya mewakili

jiwanya sendiri. Beberapa nama pernah ia per?gunakan, seperti "Bercinta

atau Mati", sebelum diganti menjadi "Sekali Bercinta tetap Bercinta",

namun akhirnya disepakati bahwa nama tempat pelacurannya adalah

"Bercinta Sampai Mati".

Nama itu seringkali terbukti kebenarannya. Seorang prajurit KNIL

mati saat bercinta, dipenggal seorang tentara gerilya. Lalu se?orang geril?

yawan mati saat bercinta, ditembak tentara KNIL. Dan seorang pe?lacur

juga mati di tengah percintaan, setelah dicium lama dan kesulit?an ber?

napas.

Di sanalah Dewi Ayu menjadi pelacur. Ia tak tinggal di "Bercinta

Sampai Mati", bagaimanapun, sebab ia punya rumah. Ia hanya pergi

waktu senja datang dan kembali ke rumah ketika pagi tiba. Lagi pula ia

punya tiga anak gadis yang harus diurus: Alamanda, Adinda, dan Maya

Dewi yang lahir tiga tahun setelah Adinda. Jika malam hari, anak-anak

itu ditemani oleh Mirah, namun di siang hari ia meng?urus anak-anak

itu sebagaimana seorang ibu umumnya. Ia me?ngirimkan anak-anak itu

ke sekolah terbaik, bahkan me?ngi?rim?kannya pula ke surau untuk belajar

mengaji pada Kyai Jahro.

"Mereka tak boleh jadi pelacur," katanya pada Mirah, "kecuali atas

keinginan mereka."

Ia sendiri tak pernah sungguh-sungguh mengaku bahwa ia menjadi
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelacur karena keinginannya sendiri, sebaliknya, ia selalu mengatakan

bahwa ia menjadi pelacur karena sejarah.

"Sebagaimana sejarah menciptakan seseorang jadi nabi atau kaisar,"

yang ini ia katakan pada ketiga anaknya.

Ia adalah pelacur paling favorit di kota itu. Hampir semua lelaki

yang pernah ke tempat pelacuran, menyempatkan tidur paling tidak

sekali bersamanya, tak peduli berapa pun uang yang harus mereka

ba?yarkan. Bukan karena mereka telah terobsesi lama untuk meniduri

perempuan Belanda, tapi karena mereka tahu Dewi Ayu seorang pen?

cinta yang baik. Tak seorang pun memperlakukannya secara kasar

sebagaimana biasa mereka lakukan pada pelacur lain, sebab jika itu

dilakukan, lelaki-lelaki lain akan mengamuk bagaikan perempuan itu

istri mereka. Tak pernah semalam pun ia tak memperoleh tamu, mes?

ki?pun ia sangat membatasi hanya tidur dengan seorang lelaki dalam

semalam. Untuk sikap eksklusifnya, Mama Kalong memberi tarif mahal

bagi siapa pun yang menginginkan tubuhnya. Itu memberi keuntungan

tambahan bagi perempuan tua yang tak tidur di malam hari tersebut.

Jika Mama Kalong bagaikan ratu di kota itu, maka Dewi Ayu adalah

putri. Keduanya memiliki selera yang nyaris sama dalam ber?penampilan.

Mereka jenis perempuan-perempuan yang merawat tubuh dengan baik,

dan berpakaian bahkan jauh lebih sopan daripada perempuan-perem?

puan saleh mana pun. Mama Kalong suka mengenakan jarik batik tulis

yang didatangkannya langsung dari daerah Solo dan Yogyakarta serta

Pekalongan, dengan kebaya dan rambut disanggul. Bahkan demikianlah

penampilannya di tempat pelacuran, kecuali di saat santai ia hanya

mengenakan semacam das?ter longgar. Sementara Dewi Ayu menyukai

gaun-gaun bermotif, yang dipesan dari seorang penjahit langganan,

yang menjiplaknya persis dari halaman mode majalah perempuan.

Bahkan perempuan-perempuan saleh secara diam-diam banyak belajar

kepadanya ba?gaimana merawat tubuh dan berpakaian.

Mereka adalah sumber kebahagiaan kota. Tak ada satu pun acara

penting di kota itu yang tak mengundang mereka. Bahkan pada setiap

peringatan hari kemerdekaan, ia duduk bersama Mayor Sadrah, wali?

kota, bupati, dan tentu saja Sang Shodancho ketika ia telah keluar

dari hutan. Bahkan meskipun perempuan-perempuan saleh sangat

mem?benci keduanya karena mereka tahu suami-suami mereka ada di

"Bercinta Sampai Mati" jika menghilang di malam hari, memberi sapa?

an ramah di hadapan mereka (dan mencibir di belakang).

Hingga suatu hari seorang lelaki berniat memiliki sendiri sang putri,

pelacur bernama Dewi Ayu itu. Ia bahkan berniat me?nga?wininya. Tak

seorang pun berani melawan kehendak lelaki tersebut, sebab ia konon

tak bisa dikalahkan dengan cara apa pun. Lelaki itu bernama Maman

Gendeng.

Kebahagiaan lelaki Halimunda tampaknya harus berakhir, dan

senyum lebar untuk istri-istri dan kekasih-kekasih mereka.

rang-orang masih mengingat dengan baik bagaimana lelaki itu

da?tang ke Halimunda di suatu pagi yang ribut, ketika ia ber?kelahi

dengan beberapa nelayan di pantai. Waktu itu Dewi Ayu masih hidup,

dan mereka mengenang semua cerita tentang si preman tersebut sama

baik?nya dengan pengetahuan mereka mengenai kisah-kisah dalam

kitab suci. Ketika ia masih sangat muda, Maman Gendeng merupa?

kan seorang pendekar dari generasi terakhir, murid satu-satunya Empu

Sepak dari Gunung Gede. Di akhir masa kolonial, dengan sia-sia ia

men?coba mengembara namun tak menemukan musuh maupun ka?wan.

Ketika Jepang datang dan selama masa perang revolusi, ia masuk ten?

tara rakyat dan memberi dirinya sendiri pangkat Kolonel. Tapi ketika

terjadi restrukturisasi tentara, ia salah satu dari ribuan orang yang di?

pecat, tak memperoleh apa pun kecuali ia boleh membangga?kan diri

sebagai seorang pejuang. Maman Gendeng sama sekali tak sakit hati,

dan ia kembali mengembara. Selama masa akhir perang, ia memper?

oleh reputasinya yang paling baru: seorang bandit perampok.

Nalurinya untuk merampok datang dari kebenciannya pada orangorang kaya, dan kebenciannya pada orang kaya sama sekali bisa di?

maklumi. Ia anak haram jadah seorang bupati. Sebagaimana telah

terjadi selama beberapa generasi, ibunya bekerja di rumah bupati itu,

sebagai jongos dapur. Tak ada yang tahu sejak kapan mereka melakukan

hubungan gelap, namun yang pasti, sang bupati memiliki nafsu berahi

melimpah-limpah sehingga seorang istri dan banyak selir dan gundik

sama sekali kurang baginya. Di malam-malam tertentu, ia masih suka

menyeret salah satu jongosnya masuk ke ka?mar tidur, dan bukan sekali

dua kali perempuan jongos dapur dipaksa untuk tidur dengannya. Ibu?

nya merupakan satu-satunya perempuan yang memperoleh kemalangan

itu: ia akhirnya bunting. Istri sang bupati mengetahui hal tersebut, dan

demi nama baik ia mengusirnya tanpa peduli bahwa ibu dan bapaknya

dan kedua nenek dari kedua pihak dan ibu serta ayah dari neneknya te?

lah mengabdi di keluarga tersebut selama bertahun-tahun. Tanpa bekal

apa pun ke?cuali jabang bayi di dalam perutnya, perempuan malang itu

me?nerobos hutan dan tersesat di Gunung Gede. Ia ditemukan oleh

Empu Sepak, seorang pendekar tua yang membantunya melahirkan,

da?lam keadaan sekarat di bawah pohon enau.

"Beri ia nama Maman sebagaimana ayahnya," kata perempuan itu,

"ia anak haram jadah bupati itu." Si perempuan mati sebelum melihat

anaknya lebih lama. Si pendekar tua yang dibuat sedih oleh zaman yang

berubah, membawa pulang anak tersebut.

"Kau akan jadi pendekar penghabisan," katanya pada si bayi.

Ia merawatnya dengan baik, memberinya makan sama cukup dengan

memberinya latihan. Ia bahkan telah menggembleng bocah itu sebelum

ia bisa berjalan, dengan merendamnya di air dingin dan memanggang?

nya di bawah matahari siang. Ketika ia masih tertatih-tatih berjalan, ia

telah melemparkannya ke sungai dan memaksanya untuk bisa berenang.

Pada umur lima tahun, percayalah, ia merupakan bocah paling kuat di

seluruh permukaan bumi. Maman Gendeng, begitulah kemudian nama?

nya, telah mampu menghancurkan se?bong?kah batu menjadi butiran

pasir yang lembut dengan tangan kosong. Berbeda dari tradisi semua

guru, Empu Sepak mengajarkan semua ilmu yang ia miliki pada bocah

itu, tanpa sisa. Ia mengajarinya semua jurus, memberikan semua jimat,

dan bahkan mengajarinya me?nulis dan membaca bahasa Sunda kuno

sama baiknya dengan bahasa Belanda dan Melayu serta tulisan Latin.

Ia bahkan mengajarinya memasak, seserius mengajarinya meditasi.

Ketika ia berumur dua belas tahun, Empu Sepak mati. Kini wak?tu?

nya untuk membalas dendam terhadap ayah kandungnya itu. Setelah

menguburkan si lelaki tua dan berkabung selama seminggu, ia turun

gu?nung dan memulai pengembaraannya. Itu waktu yang hampir ber?

sa?maan dengan datangnya tentara-tentara Jepang dan permulaan

perang. Ia tak menemukan si ayah di rumahnya, sebab keluarga tersebut

telah porak-poranda dimakan perang. Bupati itu melarikan diri setelah

satu tuduhan yang tak terbantah bahwa ia merupakan seorang antek

orang-orang Belanda. Maman Gendeng harus menunda pembalasan

dendamnya selama tiga tahun, dan selama penantian tersebut ia masuk

tentara, sambil terus mencari ke?beradaan musuh utamanya, orang yang

telah mengusir dan membunuh ibunya. Bagaimanapun ia tak pernah

bisa melampiaskan dendamnya, sebab ia menemukan ayahnya telah

mati dieksekusi oleh sederet regu tembak dari tentara rakyat. Ia hanya

melihat mayatnya, dan tak pernah sudi untuk menguburkannya.

Selepas Jepang pergi dan republik berdiri, dan ketika perang revolusi

dimulai, ia bergabung dengan salah satu gerilyawan tentara rakyat, dan

tinggal di kota-kota kecil pesisir utara. Mereka tinggal di rumah-rumah

nelayan pada siang hari, dan pergi ke front pada malam hari. Tak ada

yang menarik dari masa-masa itu, sebab pertempuran tak selalu hebat

dan tentara-tentara KNIL milik orang-orang Belanda itu lebih sering

me?menangkan pertempuran dan men?desak para gerilyawan ke daerah

pedalaman, kecuali satu saja: kenangannya pada seorang gadis nelayan

ber?nama Nasiah. Ia seorang gadis mungil, dengan lesung pipit di pipi?

nya, berkulit hitam manis. Lelaki itu telah sering melihatnya jika ia

ber?jalan-jalan sepanjang pan?tai guna mengumpulkan sisa-sisa ikan un?

tuk makan sore. Ia gadis yang ramah, tersenyum pada para gerilyawan

itu dengan se?nyumnya yang paling manis, dan kadang ia datang secara

diam-diam untuk membawa makanan apa pun yang dimilikinya.

Tak banyak yang ia ketahui tentang gadis itu, kecuali namanya.

Tapi ia telah membuatnya begitu hidup, bertekad untuk meng?hentikan

se?mua ambisi pengembaraannya untuk sekadar bisa bersama dengan?

nya, dan ia bahkan berjanji akan memenangkan semua perang agar

bisa hidup bersamanya. Teman-temannya mulai menyadari kisah cinta

yang terpendam itu, dan mulai menghasutnya agar memintanya secara

baik-baik pada gadis tersebut. Maman Gendeng tak pernah bicara de?

ngan perempuan mana pun, terutama untuk urusan seserius itu, kecuali

dengan perempuan-perempuan pelacur waktu zaman Jepang. Tiba-tiba

ia menyadari bahwa menghadapi si gadis mungil Nasiah jauh lebih me?

ngerikan daripada menghadapi sederet regu tembak Belanda. Namun

ketika satu kesempatan baik tiba, waktu itu ia melihat Nasiah berjalan

seorang diri mendekap bakul berisi ikan segar pulang ke rumahnya, Ma?

man Gendeng menjejerinya. Ia mencoba memberanikan diri, setelah

melihat senyum manis si gadis yang membuat lesung pipitnya muncul,

untuk me?ngatakan isi hatinya dan bertanya, apakah ia mau jadi istrinya.

Nasiah baru berumur tiga belas tahun. Entah usia belianya atau

hal lain yang kemudian membuatnya secara tiba-tiba tercekat, men?

jatuhkan bakulnya dan lari tanpa pamit ke rumahnya seperti gadis kecil

yang ketakutan lihat orang gila. Hanya Maman Gendeng yang meman?

dang kepergiannya, serta ikan layang yang berserakan, dan menyesal

setengah mati telah mengatakan cintanya. Tapi itu sama sekali tak

membuat langkahnya mundur. Cinta telah mem?be?rinya dorongan yang

tak diberikan oleh apa pun. Maka ia memunguti ikan-ikan itu dan

membawa bakulnya, berjalan dengan langkah penuh kepastian, menuju

rumah si gadis. Ia akan melamarnya secara baik-baik pada ayahnya.

Di depan rumah si gadis, ia mendapati Nasiah berdiri dengan se?

orang lelaki kurus kecil dengan sebelah kaki invalid. Ia tak me?ngenal

pemuda itu. Ia hanya tahu sedikit desas-desus bahwa kedua kakak

lelakinya mati dalam gerilya, dan ayahnya seorang nelayan tua. Tak

pernah ia dengar tentang pemuda satu kaki yang kurus bagaikan ke?

laparan selama berbulan-bulan. Ia berdiri di depan mereka, mencoba

tersenyum dan meletakkan bakul di dekat kaki Nasiah. Dadanya

bergemuruh, bagaimanapun, oleh api cemburu yang tak juga tenang.

Hanya keberanian atau ketololannyalah yang kemudian membuatnya

mengatakan hal yang sama.

"Nasiah, maukah kau jadi istriku?" tanyanya dengan wajah pe?nuh

permohonan. "Jika perang selesai, aku akan mengawinimu."

Gadis kecil itu malahan menangis dan menggeleng.

"Tuan Gerilya," kata si gadis terbata-bata. "Tidakkah kau lihat le?laki

di sampingku? Ia begitu lemah, memang. Ia tak mungkin per?gi ke laut

buat cari ikan, dan apalagi pergi berperang seperti Tuan. Tuan bisa mem?

bunuhnya dengan sangat mudah, dan Tuan bisa dapatkan aku semudah

Tuan menenteng seekor ikan layang. Tapi jika itu terjadi, izin?kanlah aku

mati bersamanya, sebab kami saling mencintai dan tak ingin dipisahkan."

Pemuda kurus itu hanya diam saja, menunduk dan tak pernah meng?

angkat wajahnya. Maman Gendeng dibuat patah hati dalam seketika.

Ia mengangguk pelan, dan berjalan pergi meninggalkan rumah tersebut,

tanpa pamit dan tanpa menoleh. Ia telah melihatnya: mereka memang

begitu saling mencintai. Ia tak mau menghancurkan kebahagiaan

me?reka, meskipun ia harus mengobati luka hatinya yang lama tak

kun?jung sembuh. Selama perang, ia terus-menerus diserang halusinasi

menakutkan yang diakibatkan oleh penolakan cinta yang begitu tragis

itu. Beberapa kali mencoba membiarkan dirinya berada di ruang tembak
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musuh, menjadi sasaran tak hanya senapan namun juga meriam, dan

hanya nasib yang membuatnya masih hidup. Selama itu ia tak pernah

menemui si gadis lagi, dan selalu menghindar setiap kali akan berjumpa.

Hanya ketika perang berakhir dan ia mendengar tentang perkawinan

gadis itu dengan kekasihnya, ia mengiriminya hadiah selendang merah

yang sangat indah, yang dibelinya dari seorang penenun.

Kantong-kantong gerilyawan dibubarkan, dan terjadi pemecatanpemecatan. Maman Gendeng jauh lebih merasa senang daripada sedih,

dan memulai awal kebebasannya, ia mengawali kembali pe?ngem?bara?

annya, meskipun masih membawa luka cintanya yang lalu. Ia berkelana

sepanjang pesisir utara, mengenangi rute-rute gerilya, yang tak lebih

merupakan rute pelarian dikejar-kejar musuh. Ia mempertahankan hi?

dup dengan merampok rumah orang-orang kaya, dan berkata kepada

mereka, "Jika bukan antek Belanda, tentunya antek Jepang, yang kaya

di zaman revolusi."

Dengan belasan pengikut, ia menjadi teror kota-kota sepanjang

pantai. Polisi dan tentara mencari-carinya. Bersama gerombolannya, ia

hidup menyerupai Robin Hood, mencuri dari orang kaya dan membagibagikannya di pintu rumah orang-orang miskin, meng?hidupi jandajanda yang ditinggal mati suami di masa perang, dan anak-anak yatim

mereka. Nama besarnya yang menakutkan, baik bagi musuh maupun

kawan, bagaimanapun tak juga membuatnya merasa bahagia. Ke mana

pun ia pergi, ia masih membawa luka la?ma, dan tak pernah tersembuh?

kan oleh gadis mana pun yang ia lihat, dan apalagi oleh pelacur-pelacur

di gubuk-gubuk arak. Bahkan ketika malam-malam yang gila datang,

ia menyuruh semua peng?ikutnya untuk mencari gadis mungil berkulit

hitam manis dengan lesung pipit di pipi. Ia mendeskripsikannya secara

cermat menyerupai Nasiah, dan gadis-gadis itu akhirnya berdatangan

ke tempat per?sembunyiannya bagaikan gadis-gadis kembar yang tak bisa

dibedakan satu sama lain. Ia bercinta dengan mereka selama bermalammalam, namun Nasiah tak pernah tergantikan sama sekali.

Gairah hidupnya yang baru muncul lama setelah itu, ketika ia

men??dengar secara samar-samar sebuah legenda yang sering diceritakan

anak-anak nelayan tentang seorang putri bernama Rengganis. Ada yang

bilang perempuan itu begitu cantiknya, membuat semua orang bersedia

mati untuknya, dan perang pernah meletus hanya karena orang-orang

memperebutkan dirinya. Maman Gendeng terbangun di suatu malam,

ber?pikir ia akan berperang kembali dengan siapa pun, demi memper?

oleh perempuan seperti dalam kisah tersebut. Ia mem?bangunkan anak

buahnya satu per satu, dan bertanya di manakah Rengganis Sang Putri

tinggal. Mereka menjawab, tentu saja di Ha?limunda. Maman Gendeng

belum pernah mendengar nama itu, tapi salah seorang sahabatnya ber?

kata, jika ia bersampan sepanjang pantai ke arah barat, ia akan sampai

di Halimunda. Dengan penuh keyakinan dan terutama dalam upayanya

menyembuhkan luka, malam itu ia memberikan kekuasaan daerah

perampokannya pada beberapa sahabatnya, dan berkata kepada mereka

bahwa ia akan berlayar dengan sampan untuk menemukan cinta sejati.

Ia telah dibuat jatuh cinta pada perempuan bernama Rengganis, yang

kedua kali, meskipun mengetahui tentangnya hanya melalui cerita-cerita

anak nelayan.

Putri itu konon cantik sekali, keturunan terakhir dari raja-raja Pa?

jajaran, pewaris kecantikan putri-putri Istana Pakuan. Banyak orang

mengatakan, bahkan Sang Putri sendiri telah menyadarinya, bahwa

ke?cantikannya membawa banyak malapetaka. Ketika ia masih kecil,

saat itu ia masih bebas berkeliaran, bahkan sampai keluar benteng

istana, ia telah membuat kekacauan-kekacauan, yang kecil maupun

besar. Di mana pun ia lewat, orang-orang akan memandang wajahnya

yang seolah dilindungi kabut tipis penuh kesenduan itu, memandang

wajahnya dengan pandangan idiot sesosok manusia yang tiba-tiba men?

jadi patung menggelikan. Kecuali bola mata yang bergerak ke mana ia

melangkah. Bahkan kemunculannya sempat membuat banyak pamong

praja diserang halusinasi yang membuat mereka lalai mengurus negeri,

dan separuh kerajaan sempat dikuasai gerombolan penyamun sebelum

direbut kembali dengan susah-payah mengorbankan separuh prajurit

yang dimiliki.

"Perempuan seperti itu layak untuk dicari," kata Maman Gendeng.

"Kuharap itu tak membuatmu terluka untuk kedua kali," balas

temannya.

Bahkan ayahnya, ayah Sang Putri itu yang konon raja terakhir sebe?

lum kerajaan itu runtuh diserang Demak, dibuat begitu cepat tua oleh

pesona kecantikan anak perempuannya. Meskipun merupakan hal yang

tak patut mengawini anaknya sendiri, jatuh cinta adalah jatuh cinta.

Rasa cinta dan ketidakpatutan berperang menggerogoti segala hal di

dirinya, hingga tampaknya satu-satunya yang bisa membebaskan pen?

deritaan itu hanyalah kematian. Dan Sang Ratu, yang tentu saja dibuat

cemburu karena itu, selalu berpikir bahwa satu-satunya jalan keluar

adalah dengan membunuh gadis kecil itu. Maka di setiap kesem?patan

ia akan pergi ke dapur dan mengambil pisau, berjinjit menuju kamar

anaknya, bersiap menikamkannya tepat di tempat jantung berdetak. Tapi

bahkan ketika ia menemukan anak gadisnya, ia pun dibuat terpesona

serta jatuh cinta, dan lupa keinginan untuk menikamnya. Se?baliknya ia

akan menjatuhkan pisau, melangkah menghampirinya, menyentuh kulit,

dan men?cium?nya, sebelum sadar dan merasa malu dan pergi mening?

galkan anak gadisnya tanpa berkata apa pun kecuali merasa menderita.

Maman Gendeng sungguh-sungguh terpesona oleh bayangannya

sendiri mengenai Rengganis Sang Putri, terutama sepanjang perjalanan

nelayan-nelayan menceritakan kisah tersebut tanpa henti. Ia berlayar

terus ke barat dengan sampan kecil, namun jika senja datang, ia ber?

la?buh untuk istirahat di kampung-kampung nelayan. Ia akan bertanya

berapa lama lagi sampai di Halimunda, dan mereka akan menunjukkan

jalan. Menyuruhnya terus ke barat sebelum memutar ke selatan dan

berbelok kembali ke arah timur. Mereka berpesan un?tuk berhati-hati

dengan ombak laut selatan. Di luar itu mereka akan menceritakan

ki?sah mengenai Sang Putri yang membuat pengembara kesepian itu

semakin terlena.

"Aku akan kawin dengannya," ia berjanji.

Padahal, Rengganis Sang Putri sendiri tampaknya begitu men?derita

dengan kecantikan yang dimilikinya. Ketika ia mulai menyadari hal itu,

Sang Putri mulai mengurung dirinya di dalam kamar. Hubungannya

dengan dunia luar hanyalah lubang kecil di pintu, tempat gadis-gadis

memasukkan dan mengeluarkan piring makan dan pakaian. Ia telah

ber?janji untuk tak mempertontonkan kecan?tikannya, dan berharap

memperoleh lelaki yang akan mengawininya tanpa memedulikan hal

itu. Maka selama masa penyembunyian dirinya, satu-satunya hal yang

ia lakukan adalah menjahit pakaian pengantinnya sendiri. Namun

penyembunyian diri tersebut sama sekali tak cukup untuk menyembu?

nyi?kan kabar kecantikannya yang telanjur menyebar dibawa para

pengelana dan tukang cerita. Ayahnya yang menderita dirongrong rasa

cinta penuh nafsu yang tak patut itu, dan ibunya yang dilanda ke?cem?

buruan buta, bersepakat bahwa satu-satunya cara untuk menghenti?

kan malapetaka ini hanyalah dengan cara mengawinkannya. Mereka

kemudian mengirim sembilan puluh sembilan pembawa kabar ke

seluruh pelosok kerajaan, ke negeri-negeri tetangga, yang mengumum?

kan sayembara bagi para pangeran dan ksatria, atau siapa pun, dengan

hadiah pertama dan satu-satunya kawin dengan perempuan paling

can?tik di dunia, Rengganis Sang Putri.

Lelaki-lelaki tampan mulai berdatangan dan sayembara pun dimulai.

Mereka tak berlomba dalam pertandingan memanah se?bagaimana Ar?

juna memperoleh Drupadi. Mereka hanya ditanya gadis seperti apa yang

mereka inginkan, berapa tinggi badannya, be?ratnya, makanan kesuka?

annya, cara menyisir rambutnya, warna pakaiannya, harum baunya,

segala hal semacam itu, dan setelahnya mereka disuruh duduk di depan

pintu kamar Sang Putri untuk menanyakan sendiri seperti apa gadis itu.

Raja berjanji jika keinginan seorang lelaki persis sebagaimana keadaan

Sang Putri dan keinginan Sang Putri sama dengan keadaan lelaki itu,

mereka boleh kawin. Jarang orang berhasil memperoleh jodoh dengan

cara seperti itu, sebagaimana akhirnya sayembara itu tak memperoleh

seorang lelaki pun untuk menjadi kekasih Sang Putri.

Kenyataannya, untuk memperoleh perempuan semacam itu bukan?

lah hal gampang. Ketika ia melewati selat Sunda, segerombolan bajak

laut yang beminggu-minggu tak memperoleh mangsa meng?hadangnya

hanya sekadar untuk merampas sedikit kekayaannya. Maman Gen?

deng yang lama tak bertarung, melampiaskan hasrat tubuhnya dengan

menenggelamkan mereka, namun itu bukan halangan yang pertama.

Memasuki laut selatan, ia tak hanya dihadang badai ganas, namun juga

sepasang hiu yang mengelilingi perahunya. Ia harus berburu seekor

kijang selama pendaratannya di balik rawa-rawa, dan memberikannya

pada sepasang hiu tersebut untuk persahabatan mereka selama per?

jalanan.

Semuanya untuk seorang gadis bernama Rengganis: selepas sayem?

bara yang tak menghasilkan apa pun, segalanya kembali pada kesedihan

yang sama, pada teror kecantikan yang sama. Hingga akhirnya, pada

suatu hari seorang pangeran yang tak puas memutuskan untuk datang

dengan tiga ratus pasukan perang berkuda, datang dengan maksud buruk

memperoleh Sang Putri secara paksa. Sang Raja sesungguhnya begitu

penuh suka cita membayangkan seseorang menculik Sang Putri dan

me?ngawininya, namun demi kehormatan, ia dipaksa untuk melepas

pra?jurit-prajuritnya pergi berperang melawan perusuh itu. Kemudian

pangeran lain dari kerajaan yang lain, datang juga dengan tiga ratus

pasukan berkuda untuk mem?bantunya, dengan harapan memperoleh

Sang Putri sebagai ucapan terima kasih, dan perang pecah semakin

besar. Ksatria-ksatria lain dan pangeran-pangeran lain cepat atau lambat

mulai terseret arus perang besar itu, yang di akhir tahun tak lagi jelas

siapa lawan siapa kecuali semua lawan semua memperebutkan perem?

puan yang bertahun-tahun menjadi Dewi Kecantikan Halimunda.

Ke?cantikannya bagai kutukan, dan kutukan itu bekerja semakin gila:

ribuan prajurit terluka sebelum mati, seluruh negeri porak-poranda,

penyakit dan kelaparan menyerang tanpa ampun, semua karena kecan?

tikan yang mengutuk tersebut.

"Itu masa yang paling mengerikan," kata seorang nelayan tua tempat

Maman Gendeng menginap. "Lebih mengerikan dari Perang Bubat ke?

tika Majapahit menyerang kami dengan licik, padahal kau tahu, kami

tak suka berperang."

"Aku veteran perang revolusi," kata Maman Gendeng.

"Itu tak ada apa-apanya daripada perang memperebutkan Rengganis

Sang Putri."

Si gadis sendiri bukannya tak tahu. Ia mendengar semua kabar

perang tersebut dari gadis-gadis pelayan yang membisikkannya dari lu?

bang kunci seperti Destarata yang buta mendengar nasib anak-anaknya

di medan perang Kurusetra. Si Cantik Kecil itu tampak begitu men?

derita, tak bisa tidur dan tak bisa makan, menderita pada kenyataan

bahwa segala sumber bencana berawal dari dirinya. Kesedihannya tak

terbayar hanya dengan sedu sedan, bahkan tampaknya tidak dengan

kematian. Ia teringat dengan gaun pengantin itu, dan tiba-tiba berpikir

bahwa satu-satunya cara membebaskan dirinya dari semua itu adalah

mengawini seseorang, dan perang harus segera berakhir.

Bagaimanapun kini berarti ia telah bertahun-tahun mengurung

diri di kamar tersebut, di dalam kegelapan hanya ditemani pelita dan

gaun pengantinnya. Ia telah menjahitnya selama itu dengan tangan

sen?diri, rumit dan bakalan menjadi gaun pengantin yang terindah di

muka bumi dan tak seorang penjahit pun akan pernah menyamainya.

Ketika akhirnya gaun tersebut selesai, pada suatu pagi, ia pun mencoba

membesarkan hati untuk mengucapkan janji bahwa ia akan kawin demi

menghentikan perang dan semua malapetaka itu. Sang Putri tak tahu

dengan siapa ia akan kawin, dan ia tak mengenal seorang lelaki pun
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sekiranya patut menjadi kekasih. Maka ia berkata pada dirinya

sendiri, bahwa ia akan membuka jendela, dan siapa pun yang tampak

di balik jendela, ia akan memilihnya menjadi teman hidup.

Sebelum melaksanakan janjinya, ia membersihkan dirinya dengan

air bunga selama seratus malam, lalu mengenakan gaun pengantinnya

di suatu pagi yang tak terlupakan. Ia bukanlah seorang gadis yang suka

ingkar janji: ia akan bersetia pada apa pun yang telah dikatakannya. Ia

akan membuka jendela itu, untuk pertama kalinya selama bertahuntahun, dan akan mengawini siapa pun lelaki yang tampak olehnya. Jika

ada banyak orang terlihat, ia akan mengambil yang terdekat. Ia berjanji

tak akan mengambil lelaki beristri, atau yang telah punya kekasih, sebab

ia tak ingin menyakiti siapa pun.

Di balik gaun pengantin tersebut, kecantikannya semakin menjadijadi. Begitu cemerlang bahkan di kamar yang demikian gelap, membuat

gadis-gadis dayang yang mengintipnya terpesona, dan bertanya-tanya apa

yang akan dilakukannya. Dengan langkah anggun, Rengganis Sang Putri

menghampiri jendela, berdiri sejenak di depannya, membuang napas

kerisauan hati. Tekad telah bulat dan janji telah diucapkan. Tangan?nya

bergetar hebat begitu menyentuh daun jendela, dan secara tiba-tiba ia

menangis, antara kesedihan yang dalam dan kegembiraan yang meluap
luap. Kunci dibukanya, dan dengan sentuhan ringan ujung jarinya, ia

membuka jendela dengan sekali sentak. Daun jendela berkeriut dan

terbuka lebar. Katanya: "Siapa pun di sana, kawinlah denganku."

"Malangnya, kita tak berada di sana ketika itu," kata Maman Gen?

deng pada nelayan lain di pagi yang juga lain. "Katakan padaku, sebe?

rapa jauh lagi aku sampai di Halimunda?"

"Tak akan lama."

Telah banyak orang mengatakan kata itu, tak akan lama, dan itu

sama sekali tak menghiburnya sebab kenyataannya ia tak juga sampai.

Ia terus berlayar dan berhenti di setiap perkampungan nelayan serta

pelabuhan dan bertanya, apakah ini Halimunda. O bukan, teruslah ke

timur, kata mereka. Semua berkata begitu dan ini membuatnya kehi?

langan kepercayaan diri. Tiba-tiba ia merasa semua orang tengah mem?

bohongi dirinya dalam satu persekongkolan dan sesungguhnya kota itu

mungkin tak pernah ada. Halimunda tak lebih dari sebuah nama fiktif.

Ia bertekad jika sekali lagi ia bertanya dan mereka mengatakan untuk

terus ke timur, ia akan menonjok orang-orang itu dan menghentikan

lelucon serta persekongkolan mereka.

Saat itulah ia melihat sebuah pelabuhan ikan dan deretan per?kam?

pungan nelayan. Ia segera berbelok menuju darat, dan meng?ucapkan

salam perpisahan kecil dengan pasangan ikan hiu yang terus menemani?

nya dalam persahabatan yang ganjil. Ia menggigil dalam keadaan lelah

dan putus asa, dan mulai kehilangan harapannya akan pertemuan

de?ngan Rengganis Sang Putri yang mengagumkan itu. Ia turun dan

menemui seorang nelayan yang tampak sedang menarik-narik jala

sepanjang pantai. Tangannya telah terkepal dan bersiap menonjoknya,

lalu bertanya, apakah ini Halimunda?

"Ya, ini Halimunda."

Nelayan itu sungguh beruntung, sebab jika Maman Gendeng sampai

melampiaskan semua kemarahan kepadanya, ia sama sekali tak akan

pernah mampu melawan lelaki itu, yang oleh gurunya sendiri dipanggil

sebagai pendekar penghabisan. Sementara itu Maman Gendeng senang

bukan main, betapa perjalanan panjang itu kemudian membawanya ke

kota itu. Halimunda sama sekali bukan nama omong kosong, ia kini

telah sampai, mencium bau amisnya, dan bertemu dengan salah seorang

pen?duduknya. Ia menjatuhkan lutut di lantai, tampak begitu penuh

rasa syukur, dipandangi sang nelayan dengan tatapan kebingungan.

Segalanya tampak cantik di sini, katanya bergumam. "Bahkan tai pun

selalu cantik di sini," kata nelayan itu dan bersiap meninggalkannya.

Tapi Maman Gendeng segera menahannya.

"Di mana aku bisa bertemu Rengganis?" tanyanya.

"Rengganis yang mana?" si nelayan balik bertanya. "Ada puluhan

gadis bernama seperti itu. Bahkan jalan dan sungai pun bernama Reng?

ganis."

"Tentu saja Rengganis Sang Putri."

"Ia telah mati ratusan tahun lalu."

"Apa kau bilang?"

"Ia telah mati ratusan tahun lalu."

Tiba-tiba segalanya terasa berakhir. Ini hanya sebuah cerita, kata?nya

pada diri sendiri. Tapi itu tak cukup untuk menghiburnya, dan ke?ma?

rahannya tiba-tiba meluap tak terkendali. Ia menghajar nelayan malang

tersebut, dan meneriakinya sebagai pembohong. Be?berapa nelayan da?

tang menolong dengan kayu-kayu dayung di tangan mereka, langsung

mengeroyok lelaki itu tanpa seorang pun memerintah. Maman Gendeng

sama sekali bukan lawan mereka. Ia menghancurkan dayung-dayung

tersebut, dan membuat para pe?mi?liknya bergelimpangan tak sadar?kan

diri di pasir yang basah. Kemudian tiga orang lelaki, tampaknya sege?

rombolan preman, datang menghampirinya. Mereka menyuruhnya

ming?gat, sebab pantai itu daerah kekuasaan mereka. Bukannya pergi,

Maman Gendeng malahan menghajar mereka tanpa ampun, membe?

namkan ketiganya sekaligus nyaris sekarat, sebelum bergelimpangan di

atas tubuh-tubuh nelayan tersebut.

Itulah pagi yang ribut ketika Maman Gendeng datang ke Halimunda

dan membuat kekacauan. Lima orang nelayan dan tiga orang preman

adalah korban pertamanya. Korban berikutnya adalah seorang veteran

tua yang datang dengan senapan dan menembaknya dari kejauhan. Ia

tak tahu bahwa lelaki asing itu kebal terhadap peluru, dan ketika ia

me?nyadarinya, ia lari namun Maman Gendeng mengejarnya. Lelaki

itu merampas senapan sang veteran, dan menembak betis veteran itu

membuatnya bergelimpang di jalan.

"Siapa lagi yang akan melawanku?" katanya.

Ia harus menghajar beberapa penduduk kota itu, yang telah menipu?

nya habis-habisan dengan kisah ratusan tahun lampau. Ada beberapa

pertarungan lagi pada hari itu, semuanya ia menangkan, hingga semua

orang di pantai tersebut tak lagi yakin bisa menga?lah?kannya. Lagi

pula ia sendiri tampak kelelahan. Ia masuk warung dan dengan muka

pucat, pemilik warung menjamunya dengan apa pun yang ia miliki.

Orang-orang bahkan datang dengan arak untuknya, berharap ia mabuk

dan tak lagi membuat keributan. Kenyang dan lelah membuatnya me?

ngantuk. Berjalan sempoyongan ia kembali ke pantai dan berbaring

di atas perahunya yang berlabuh di atas pasir. Ia merenungkan semua

perjalanan dan kekecewaannya, dan sebelum tidur, cukup jelas didengar

orang-orang yang mengerubunginya, ia berkata, "Jika aku punya anak,

ia akan bernama Rengganis." Lalu ia tertidur.

Bertahun-tahun yang lalu, Rengganis Sang Putri memang telah

mati. Namun itu setelah ia kawin dan mengasingkan diri di Ha?li?munda.

Ketika ia membuka jendela setelah bertahun-tahun me?nu?tupnya, ca?

haya matahari pagi yang hangat menerobos masuk me?nyi?laukan mata

Sang Putri sehingga selama beberapa waktu ia terserang kebutaan putih.

Dunia seolah berhenti menyaksikan peristiwa itu, ketika kecantikan

yang mengagumkan tersebut kembali ke dunia dari kegelapannya yang

tertutup. Burung-burung berhenti berkicau, angin berhenti berhembus,

dan Sang Putri berdiri di sana bagaikan satu lukisan, dengan jendela

se?bagai bingkainya. Lama ia harus mengatasi kebutaan putih itu, namun

akhirnya terbiasa juga, dan mulai memandang ke luar jendela. Panda?

ng?annya tampak ragu dan pipinya merona kemerahan, sebab saat itu ia

akan berjumpa dengan seseorang yang akan menjadi kekasihnya. Tapi

tak ada siapa-siapa sejauh mata memandang, kecuali seekor anjing yang

juga memandang ke arahnya setelah mendengar bunyi engsel jendela

terbuka. Sang Putri tertegun sejenak, tapi sekali lagi ia tak pernah

meng?ingkari janji, maka ia berkata dengan sungguh-sungguh bahwa ia

akan mengawini anjing itu.

Tak seorang pun akan menerima perkawinan tersebut, maka tak lama

kemudian mereka mengasingkan diri di hutan berkabut di ping?gir laut se?

latan. Ia sendirilah yang kemudian memberinya nama Halimunda, negeri

kabut. Mereka tinggal di sana bertahun-tahun, dan tentu saja beranakpinak. Kebanyakan orang-orang yang tinggal di Halimunda, percaya

belaka bahwa mereka anak keturunan Sang Putri dengan anjing yang

tak pernah seorang pun tahu siapa namanya. Bahkan Sang Putri sendiri

tampaknya tak pernah tahu dan tak pernah memberinya nama. Ketika

ia melihatnya pertama kali di jendela, yang ia tahu hanyalah bahwa ia

harus turun kawin dengannya. Maka ia segera turun untuk menjemput

mempelainya, tak peduli dengan apa pun yang akan dikatakan orang.

"Sebab anjing tak akan peduli apakah aku cantik atau tidak," katanya.

Kedatangannya di Halimunda didengar orang dengan cepat. Malam itu

Maman Gendeng terdampar di tempat pelacuran Mama Kalong, yang

terbaik di kota itu, di daerah muara. Ia masuk ke kedai minum tempat

perempuan tua itu sendiri ada di sana, bersama beberapa pelacur dan

preman-premannya. Setelah tidur yang sejenak, ia telah memutuskan

untuk tinggal di sana, menjadi bagian kota itu, menjadi salah satu dari

anak keturunan Rengganis Sang Putri. Ia tampaknya senang dengan

per?kampungan nelayan yang cukup ramai, mengingatkannya pada

masa lampau. Juga kedai-kedai minum yang berderet sepanjang pantai,

toko-toko di sepanjang Jalan Merdeka, dan tentu saja tempat pelacuran

Mama Kalong.

Maman Gendeng datang ke sana atas rekomendasi seseorang yang

ditanyainya secara serampangan. Ia berpikir, jika ia ingin tinggal di kota

itu, maka ia harus menguasainya. Cara terbaik adalah pergi ke tempat

pelacuran dan memulai segala sesuatunya dari sana. Maka setelah mi?

num segelas bir yang dilayani khusus oleh Mama Kalong yang telah

mendengar secara samar-samar reputasinya selama di pantai, ia berdiri

di tengah kedai dan bertanya siapa lelaki paling kuat di kota ini. Bebe?

rapa preman penunggu rumah pelacuran tampak terganggu dengan

pertanyaan tersebut, dan perkelahian untuk keberapa kali terjadi di

halaman kedai. Maman Gendeng tak perlu waktu lama untuk membuat

mereka babak belur, tak peduli mereka bersenjata golok, clurit dan bah?

kan samurai peninggalan ko??mandan tentara Jepang.

Sambil menepuk-nepukkan tangannya, ia kembali masuk ke dalam

kedai berharap menemukan lelaki lain yang bisa dihajar. Namun yang ia

lihat adalah seorang perempuan cantik di sebuah sudut dengan rokok di

bibir. "Perempuan itu, pelacur atau bukan, aku ingin tidur dengannya,"

ia berbisik pada Mama Kalong.

"Ia pelacur terbaik di sini, namanya Dewi Ayu," kata Mama Kalong.

"Seperti maskot," kata Maman Gendeng.

"Seperti maskot."

"Aku akan tinggal di kota ini," kata Maman Gendeng lagi. "Aku

akan mengencingi kemaluannya seperti harimau menandai daerah ke?

kuasaannya."

Ia duduk di sudut itu tampak acuh tak acuh. Di bawah cahaya lampu,

kulitnya sangat bersih, menandai warisan yang nyata orang-orang

Belanda. Ia peranakan campuran, dengan mata yang agak kebiruan.

Ram?butnya hitam gelap, disanggul memanjang seperti sanggul perem?

puan-perempuan Prancis. Ia masih merokok, dengan sigaret yang diapit

jari-jemari ramping panjang, kuku-kukunya dikutek merah darah. Dewi

Ayu mengenakan gaun warna gading dengan tali mengikat pinggangnya

yang ramping. Ia mendengar apa yang dikatakan lelaki itu pada Mama

Kalong, lalu ia mendongak menoleh padanya. Sejenak mereka saling

me?mandang dan Dewi Ayu tersenyum menggoda tanpa beranjak.

"Segeralah, Sayang, sebelum kau ngompol di celana," katanya.

Dewi Ayu memberitahunya bahwa ia memiliki kamar khusus, se?

buah paviliun persis di belakang kedai tersebut. Tapi ia tak pernah ke

sana dengan kakinya sendiri, sebab siapa pun yang meng?ingin?kannya

harus membopongnya seperti sepasang pengantin baru. Maman Gen?

deng sama sekali tak keberatan untuk pelacur secantik itu, maka ia
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da?tang menghampirinya dan berdiri di depannya, membungkuk. Berat

tubuhnya sekitar enam puluh kilo, Maman Gendeng mem?per?kirakan

saat mengangkatnya, lalu melangkah menuju bagian belakang kedai

melalui sebuah pintu, menerobos kebun jeruk yang harum se?merbak,

menuju sebuah bangunan kecil yang remang-remang, di antara beberapa

bangunan lainnya. Maman Gendeng berkata ke?pa?da?nya: "Aku datang

ke sini untuk mengawini Rengganis Sang Putri, tapi datang terlambat

lebih dari seratus tahun. Maukah kau meng?gan?ti?kannya?"

Dewi Ayu mencium pipi pembopongnya dan berkata, "Pelacur itu

penjaja seks komersial, sementara seorang istri menjajakan seks secara

sukarela. Masalahnya, aku tak suka bercinta tanpa dibayar."

Mereka bercinta malam itu dan bercumbu nyaris semalaman. Ke?

dua?nya tampak begitu hangat bagaikan sepasang kekasih yang lama tak

berjumpa. Ketika pagi datang, masih telanjang bulat dan hanya dibalut

selimut satu untuk berdua, mereka duduk di depan paviliun menikmati

udara yang dingin. Burung pipit tampak berisik berloncatan di dahandahan pohon jeruk, dan burung gereja terbang pendek di ujung atap.

Matahari muncul bersama kehangatannya dari celah bukit Ma Iyang

dan Ma Gedik di utara kota.

Halimunda mulai terbangun. Sepasang kekasih itu mulai bersiap,

me?nanggalkan selimut mereka, berendam di air hangat pada sebuah bak

mandi besar peninggalan orang Jepang, dan berpakaian. Seba?gaimana

pagi-pagi sebelumnya, Dewi Ayu akan pulang ke rumahnya sendiri. Ia

punya anak, tiga orang gadis, katanya, tapi ia tak akan menawarkan

mereka kepadanya, sebab tak satu pun di antara mereka merupakan

pe?lacur. Maman Gendeng berkata padanya, bahwa ia tak akan pernah

meniduri perempuan yang bukan pelacur, kecuali pernah di waktu pe?

rang dan ia dalam keadaan patah hati. Dewi Ayu pulang diantar becak

dan Maman Gendeng bersiap memulai hari barunya di kota itu.

Mama Kalong menjamunya sarapan pagi, berupa nasi kuning dengan

sayur jamur merang dan telur ayam puyuh yang dipesannya pagi-pagi

sekali dari pasar. Maman Gendeng kembali bertanya ten?tang lelaki

terkuat, sungguh-sungguh yang paling kuat, di kota itu. "Sebab tak

mung?kin ada dua jagoan di satu tempat," katanya. Itu benar, kata Mama

Kalong. Ia menyebut nama seorang lelaki, Edi Idiot, preman terminal

paling ditakuti. Mama Kalong menyebutkan reputasinya: tentara dan

polisi takut belaka kepadanya, dan ia mem?bunuh lebih banyak orang

daripada seorang prajurit di masa perang lalu, dan semua bandit dan

perampok dan bajak laut di kota itu anak buahnya belaka. Kemung?

kinan terbesar ia telah mendengar namanya, sebab preman-preman

tempat pelacuran tentunya telah me?lapor. Begitu siang datang, Maman

Gendeng segera beranjak menuju terminal bis, menemui lelaki yang

tengah bergoyang-goyang di kursi ayun kayu mahoni.

"Berikan kekuasaanmu padaku," kata Maman Gendeng kepadanya,

"atau kita bertarung sampai seseorang mati."

Edi Idiot telah menunggunya, bagaimanapun. Ia menerima tan?

tang?annya, dan kabar baik itu dengan cepat tersebar. Penduduk kota

yang telah bertahun-tahun tak pernah melihat tontonan yang cukup

fantastis, dengan penuh antusias berbondong-bondong menuju pantai

tempat mereka akan bertarung. Tak seorang pun berani meramalkan,

siapa yang akan membunuh siapa. Komandan militer dari kota me?

ngirimkan satu kompi pasukan yang dipimpin seorang lelaki kurus yang

dikenal penduduk kota dengan panggilan Shodancho, tapi jelas bahwa

ia tak mungkin menghentikan pertarungan tersebut.

Sang Shodancho masih menguasai seruas kecil wilayah kota itu,

dari markasnya di mana ia memasang papan nama Komandan Rayon

Militer Halimunda. Karena perkelahian brutal tersebut ada di wilayah?

nya, ia telah mengajukan dirinya sendiri ke penguasa militer kota untuk

menyelesaikannya. Kenyataannya, satu kompi pasukan ber?senjata itu

tak berbuat banyak, kecuali menyuruh penduduk kota yang bergerom?

bol sepanjang pantai sedikit tertib. Ia sebenarnya berharap kedua

orang itu mati bersama-sama, sebab ia pun berpikir tak mungkin ada

tiga penguasa wilayah tersebut, dan ia harus merupakan satu-satunya.

Seba?gaimana yang lain, ia menunggu dan tak bisa meramalkan apa pun.

Mereka harus menunggu seminggu untuk melihat akhir dari pertarung?

an selama tujuh hari tujuh ma?lam tanpa henti tersebut.

Sang Shodancho berkata pada salah satu prajurit, "Tampaknya jelas,

Edi Idiot akan mati."

"Tak ada bedanya bagi kita," kata sang prajurit dengan kegetiran

yang menyedihkan. "Kota ini dipenuhi bandit dan penyamun, dan ve?

teran gerilyawan tentara revolusioner, dan sisa-sisa orang Komunis. Kita

menghadapi semua keributan yang diciptakan mereka, dan kita tak bisa

berbuat apa-apa."

Sang Shodancho mengangguk.

"Kita hanya mengganti nama Edi Idiot dengan Maman Gendeng,"

katanya.

Sang prajurit tersenyum pahit dan berbisik. "Kita hanya berharap

ia tak ikut campur dengan bisnis militer."

Meskipun hanya menguasai rayon militer setempat, di satu sudut

Kota Halimunda, Sang Shodancho sangatlah disegani seluruh kota.

Bah?kan beberapa komandan atasannya memberi hormat secara resmi

kepadanya, sebab semua orang tahu ia adalah pemimpin pem?be?ron?takan

Daidan Halimunda di masa pendudukan Jepang, dan tak seorang pun

mengalahkan keberaniannya dalam hal itu. Bahkan orang-orang kota

itu cukup yakin, seandainya Soekarno dan Hatta tak memproklamirkan

kemerdekaan, lelaki itulah yang akan me?la?kukannya. Orang-orang

sangat menyukainya, meskipun mereka juga tahu ia bukan tentara

yang baik. Rayon militer kota itu bergerak lebih banyak dalam urusan

penyelundupan tekstil ke Australia dan memasukkan kendaraan dan

barang-barang elektronik. Itu bisnis yang luar biasa bagus di tahuntahun tersebut, dan para komandan di atas tak satu pun mau menggang?

gunya, sebab ia memasok terlalu ba?nyak untuk keuangan para jenderal.

Mengamankan sebuah perkelahian hanyalah urusan kecil mereka.

Tak lama kemudian, kepastian itu diperoleh. Edi Idiot akhirnya

memang mati setelah ditenggelamkan ke dalam air laut dan ia telah

ke?hilangan banyak tenaga untuk terus melawan. Mayatnya di?lem?

parkan lelaki itu ke tengah laut, tempat sepasang hiu sahabatnya terus

menanti, bersuka ria atas kiriman santapan sore yang tak di?duga-duga

itu. Maman Gendeng kembali ke pantai, menghadapi hampir seluruh

penduduk kota yang menyaksikan pertarungannya, tampak begitu segar

seolah ia masih bisa melanjutkan tujuh per?ke?lahian serupa. Kepada

orang-orang itu ia memberi maklumat, "Semua kekuasaannya beralih

kepadaku." Dan menambahkan hal yang sangat penting baginya: "Tak

seorang pun boleh meniduri Dewi Ayu di tempat pelacuran Mama

Kalong kecuali aku."

Dewi Ayu, pelacur itu, terkejut mendengar maklumat yang dikatakan

Maman Gendeng, namun tetap bersikap waspada terhadap apa pun

yang diinginkannya, sebab kedudukannya sekarang sangatlah jelas se?

telah berhasil membunuh Edi Idiot, maka ia hanya mengirim seorang

kurir untuk mengundang sang preman yang baru. Maman Gendeng

menerima dengan baik undangan tersebut, dan berjanji akan datang

sesegera mungkin.

Bagaimanapun, ia pelacur terbaik di kota itu. Kurang lebih seluruh

lelaki dewasa pernah menidurinya selama rentang waktu kariernya, dan

kehendak monopoli yang diinginkan sang preman haruslah memperoleh

penjelasan. Ia seorang perempuan cantik, waktu itu masih berumur tiga

puluh lima tahun, dengan kegemaran me?rawat tubuhnya dengan baik.

Ia memiliki kebiasaan berendam di air hangat setiap pagi, menggosok

tubuhnya dengan sabun bersulfur, dan sebulan sekali berendam di air

larutan rempah-rempah yang hangat. Legenda kecantikannya nyaris

me?nyamai reputasi leluhur kota itu, dan satu-satunya alasan kenapa tak

ada perang mem?pe?re?but?kannya, adalah karena ia seorang pelacur dan

semua orang bisa me?nidurinya asalkan ada uang untuk itu.

Sang pelacur nyaris tak pernah muncul di tempat umum, kecuali

selewatan ketika ia duduk di dalam becak saat senja hari pergi ke rumah

pelacuran Mama Kalong dan di pagi hari ketika ia pulang ke rumah.

Selain itu, mungkin waktu-waktu sejenak ketika ia membawa anakanak gadisnya melihat bioskop, pasar malam, dan tentu saja ketika

ia harus memasukkan mereka ke sekolah. Kadang-kadang ia pergi ke

pasar, dan itu sangat langka sekali. Di tempat umum, orang asing tak

akan mengenalinya sebagai pelacur, sebab ia akan me?nge?nakan gaun

yang jauh lebih sopan dari siapa pun, melangkah se?anggun gadis-gadis

istana, dengan keranjang belanjaan dan payung di tangan yang lain.

Bahkan ia mengenakan gaun tebal yang hangat dan tertutup di rumah

pelacuran, dan lebih banyak duduk membaca buku-buku wisata kege?

marannya di sudut kedai minum daripada menggoda lelaki di pinggir

jalan: itu bukan bagiannya.

Rumahnya berada di bagian kota lama, di masa kolonial meru?pakan

daerah permukiman orang-orang Belanda pegawai perkebunan, merupa?

kan warisan dari keluarganya sendiri yang melarikan diri ketika Jepang

datang. Letaknya persis di kaki bukit kecil yang meng?hadap ke laut,

di belakangnya perkebunan cokelat dan kelapa yang masih tetap ada.

Ia memperolehnya kembali setelah orang-orang Jepang merampasnya

dengan membelinya dari seseorang yang memperolehnya entah dengan

cara apa, dan merenovasinya setelah satu pasukan gerilyawan tentara

revolusioner menghancurkannya. Ia sebenarnya tak suka tinggal di sana,

membelinya lebih karena ke?nangan masa lalu, namun juga tersiksa oleh

nostalgia tersebut. Ada perumahan baru sedang dibangun di pinggir

Sungai Rengganis, dan ia telah memesannya dan berharap tahun depan

bisa pindah ke sana.

Sang preman datang berkunjung ke rumahnya di sore hari, tak lama

setelah tuan rumah bangun tidur dan selesai mandi, disambut oleh

gadis kecil umur sebelas tahun. Ia memperkenalkan dirinya se?bagai

anak bungsu Dewi Ayu, bernama Maya Dewi, dan ia menyuruh Maman

Gendeng menunggu di ruang tamu sebab ibunya tengah mengeringkan

rambut. Anak itu secantik ibunya, bahkan pada umurnya hal itu sudah

tampak jelas, dan selama ia menunggu, anak itulah yang memberi?

nya segelas limun dengan balok es kecil mengapung di dalamnya,

tam?pak menggairahkan di udara panas sore hari. Ketika sang preman

mengeluarkan rokok, gadis itu terburu-buru mengeluarkan asbak dan

meletakkannya di meja. Maman Gendeng menoleh sekilas memandang

isi rumah tersebut, dan percaya bentuknya yang rapi dan teratur ten?

tunya lahir dari tangan gadis kecil itu. Ia telah mendengar dari Mama

Kalong, Dewi Ayu punya tiga anak, dan ia dibuat penasaran secantik

apa kedua kakak gadis kecil itu. Tapi Alamanda dan Adinda tampaknya

tak ada di rumah.

Dewi Ayu muncul dengan rambut yang dibiarkan lepas, tampak

kemilau diterpa cahaya matahari sore. Ia menyuruh anak gadisnya

pergi, lalu membangunkan seekor kucing yang tidur melingkar di atas

kursi yang kemudian didudukinya. Semua gerakannya tampak begitu

perlahan, tenang, dan lembut. Ia duduk bersandar dengan satu kaki

me?nopang kaki yang lain, mengenakan gaun panjang dengan kantongkantong besar di kedua sisinya, serta seuntai tali di lu?bang leher. Dari

tempatnya duduk, Maman Gendeng bisa menghirup harum bau tubuh?

nya, lavender yang lembut, dengan aroma lidah buaya dari rambutnya.

Bahkan meskipun ia telah menidurinya dan melihatnya telanjang, cara

berpakaiannya tetap memberikan fantasi kecantikan yang mengagum?

kan. Tangannya yang ramping seputih susu, meraih sebungkus rokok

dari salah satu saku bajunya, dan sesaat kemudian ia ikut merokok. Se?

jenak Maman Gendeng dibuat kikuk oleh penampilan yang membius

itu, mem?buatnya hanya memandang kaki perempuan tersebut, pada se?

pasang selop beludru warna hijau tua yang bergoyang-goyang perlahan.

"Terima kasih telah datang," kata Dewi Ayu. "Inilah rumahku."

Sang preman telah mengetahui alasan undangan ini, atau paling

tidak ia bisa menduganya. Ia menyadari apa yang dikatakannya sama
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tak bisa dibenarkan. Tapi sejak pertemuan mereka dan setelah

melewati malam yang hangat itu, ia telah dibuat jatuh cinta pada pe?

rempuan itu. Untuk pertama kalinya, ia bisa melupakan semua lukaluka sebelumnya, melupakan Nasiah dan Rengganis Sang Putri, dan

terpesona pada seorang pelacur yang begitu mengagumkan. Ia tak ingin

terluka kembali, maka jika ia tak bisa mengawininya, paling tidak hanya

ia dan tidak orang lain yang akan menidurinya.

Ketenangan pelacur itu sungguh luar biasa, tentunya lahir dari ke?cer?

dasan alami. Ia membuang asap rokok secara teratur, dan ma?ta?nya me?

mandang asap yang terbang bagaikan seorang pemikir tengah me?renung.

Aroma rokoknya sangat jelas tanpa cengkih, ringan, sebagaimana rokok

impor kebanyakan. Tadi ia muncul dengan gelas limunnya sendiri, dan

selepas satu batang rokok habis, ia meminum bagiannya. Dengan gerakan

tangan ia memberi isyarat pada sang preman untuk meminum limun

dingin di depannya, dan de?ngan canggung sang preman melakukannya.

Di kejauhan seorang anak menabuh beduk dari sebuah masjid, sore itu

sekitar pukul tiga.

"Menyedihkan," kata sang pelacur. "Kau lelaki ketiga puluh dua

yang mencoba memilikiku."

Itu tak membuat sang preman terkejut, sebab ia telah menduganya

dengan sangat tepat. Hal ini memberinya sedikit keberanian untuk

bicara. "Jika aku tak bisa mengawinimu," katanya, "paling tidak aku

mem?bayarmu setiap hari sebagai pelacur."

"Masalahnya lelaki tak setiap hari bisa meniduriku, dan aku akan

sering menerima uang buta," kata Dewi Ayu sambil tertawa kecil. "Tapi

aku suka, paling tidak, jika aku hamil kini aku tahu siapa ayahnya."

"Jadi kau sepakat bahwa kau jadi pelacurku seumur hidupmu?" tanya

Maman Gendeng.

Dewi Ayu menggeleng. "Tak selama itu," katanya, "tapi selama kau

mampu, terutama uang dan kemaluanmu."

"Aku bisa mengganti kemaluanku dengan ujung jari, atau kaki sapi

jika kau merasa kurang."

"Ujung jari telah cukup, asal tahu cara memakainya," kata Dewi Ayu

tergelak, dan kemudian ia tiba-tiba terdiam sebelum berkata kembali,

"Jadi inilah akhir karierku sebagai pelacur umum."

Ia mengatakan itu dengan roman penuh nostalgia terhadap ta?

hun-tahun yang telah lewat, sebab ia telah menjadi pelacur sejak masa

pen?dudukan Jepang. Banyak hal yang sedih telah ia alami, namun ia

juga mengalami masa-masa yang menyenangkan, meskipun tak banyak.

"Semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun men?

jual kemaluannya demi mas kawin dan uang belanja, atau cinta jika itu

ada," katanya.

"Aku bukannya tak percaya bahwa cinta itu ada dan sebaliknya aku

melakukan semua ini dengan penuh cinta," ia masih melanjutkan. "Aku

lahir dari keluarga Katolik Belanda dan jadi orang Katolik sebelum

membaca syahadat dan jadi orang Islam di hari perkawinan pertamaku.

Aku pernah kawin sekali dan pernah jadi orang beragama, tapi kini

aku kehilangan semuanya. Namun bukan berarti aku kehilangan cinta.

Menjadi seorang pelacur kau harus mencintai se?galanya, semua orang,

semua benda: kemaluan, ujung jari, atau kaki sapi. Aku merasa jadi

se?orang santa sekaligus sufi."

"Sebaliknya, cinta membuatku sangat menderita," kata sang preman.

"Kau bisa mencintaiku," kata Dewi Ayu lagi. "Tapi kau jangan ber?

harap terlalu banyak dariku, sebab itu tak ada hubungannya de?ngan

cinta."

"Bagaimana mungkin aku mencintai seseorang yang tak men?

cintaiku?"

"Kau harus belajar, Preman."

Menandai kesepakatan di antara mereka, Dewi Ayu mengulurkan

tangannya dan Maman Gendeng mencium ujung jarinya. Kesepakat?

an itu membuat senang keduanya, dan meskipun mereka tak tinggal

serumah, hal itu membuat mereka tampak seperti sepasang pengantin.

Bahkan ketika Maman Gendeng mengenal anak-anak gadis pelacur

itu, yang mewarisi kecantikan ibunya secara sempurna, ia bergeming

untuk tetap mencintai ibu mereka. Juga usia muda mereka tak memberi

apa pun baginya: Alamanda berumur enam belas tahun dan Adinda

ber?umur empat belas tahun, itu hanya sekadar angka-angka. Bahkan

ia akan berkata pada semua orang: "Akan kubunuh siapa pun yang

meng?ganggu gadis-gadis itu."

Bahkan, bagaikan sebuah keluarga, mereka mulai sering terlihat di

tempat-tempat umum. Menonton bioskop bersama-sama dan meng?

habiskan hari Minggu di pantai sambil memancing atau berenang.

Selebihnya mereka akan bertemu di malam hari di paviliun belakang

kedai minum Mama Kalong, dan ketika pagi datang, Dewi Ayu tak lagi

tergesa-gesa harus pulang, sebab mereka bisa duduk-duduk bersantai di

kebun jeruk sambil berbincang-bincang.

Namun kemesraan mereka terganggu pada suatu malam ketika

Maman Gendeng tak berkunjung ke rumah pelacuran Mama Kalong

dan Dewi Ayu menghabiskan waktu dengan membaca buku panduan

wisata. Itu telah beberapa minggu sejak kedatangan Maman Gendeng

dan tak seorang lelaki pun berani menyentuh sang pelacur, kecuali

satu saja yang datang malam itu: Sang Shodancho. Ia datang bersama

prajurit pengawalnya.

Sesungguhnya ia belum pernah muncul di tempat pelacuran terse?

but, dan sesungguhnya selama ini ia hanya dikenal namanya saja. Tak

lama sebelum kedatangan sang preman, ia muncul dan mem?buka mar?

kas rayon militer. Orang-orang bilang sebelum itu ia terus di dalam hu?

tan sejak pemberontakannya terhadap orang-orang Jepang dan menjadi

pelarian tentara Sekutu di masa agresi militer. Kini ia muncul di tempat

pelacuran tersebut dan Mama Kalong dibuat gembira sehingga ia datang

tergopoh-gopoh untuk menyam?butnya sendiri, dan bersedia melayani

apa pun yang ia inginkan. Sang Shodancho tak menginginkan banyak

hal kecuali pelacur pa?ling cantik di tempat itu. Ia menoleh ke arah

sudut dan menemukan Dewi Ayu di sana, tanpa keraguan ia langsung

menunjuknya. Orang-orang dibuat menggigil oleh pilihannya, dan tak

seorang pun berani mengeluarkan suara ketika Dewi Ayu menggeleng.

Itu kali pertama Dewi Ayu menolak seorang pelanggan, namun Sang

Shodancho tak akan menyerah hanya oleh sebuah gelengan kepala.

Ia melangkah menghampiri sang pelacur, menodongkan pistolnya dan

menyuruh pelacur itu membuang buku panduan wisatanya dan berja?

lan ke tempat tidur. Itu membuatnya sangat sakit hati, sebab setelah

bertahun-tahun, untuk pertama kalinya ia harus berjalan kaki menuju

kamarnya, dan tidak dimanjakan dengan dibopong. Sang Shodancho

mengikutinya ke paviliun sementara pengawalnya duduk di kedai

menunggu.

"Kau menodongkan pistol seperti seorang pengecut," kata sang

pelacur dengan jengkel.

"Itu kebiasaan buruk, maafkan aku, Nyonya," kata Shodancho.

"Aku hanya ingin tanya, apakah aku bisa mengawini anak sulungmu,

Alamanda?"

Dewi Ayu mencibir dengan penuh ejekan, dan mengingatkannya

bahwa perlakuan buruk terhadap ibunya akan berakibat buruk pada

keinginannya. Tapi kemudian ia berkata dengan sedikit rasional:

"Ala?manda punya otak dan tubuh sendiri, tanyakan langsung padanya

apakah ia mau kawin denganmu atau tidak." Di dalam hati ia berkata,

tentara kurus ini sangatlah menyedihkan, melamar dengan cara itu.

"Semua orang di kota ini tahu ia telah mengecewakan banyak le?laki,

dan aku takut itu terjadi padaku," kata Shodancho.

Dewi Ayu mengetahui hal itu. Lelaki muda dan orang tua jompo

tergila-gila pada Alamanda. Mereka mencoba memperoleh cintanya

dan tak pernah memperoleh apa pun, sebab ia tahu Alamanda hanya

mencintai seorang lelaki yang pergi dan ia menunggunya.

"Tak ada bedanya, kau harus tanya Alamanda," kata Dewi Ayu lagi.

"Jika ia mau kawin denganmu akan kubuatkan pesta yang meriah, jika

ia tak ingin kawin denganmu, kusarankan untuk bunuh diri."

Suara burung hantu di kebun jeruk mulai terdengar, mengincar

tikus-tikus tanah. Dewi Ayu mencoba terus mengulur-ulur waktu dan

berharap sang preman akhirnya datang, dan selebihnya urusan kedua

lelaki itu. Shodancho menghampirinya, menyentuh kulit dagunya yang

sehalus permukaan lilin, dan bertanya, "Jadi apa saranmu, Nyonya?"

Dewi Ayu tak menyarankan untuk terus memburu cinta Alamanda,

sebab tampaknya itu sia-sia. Ia bilang, ada banyak gadis cantik di kota

ini, semuanya keturunan Rengganis Sang Putri yang ke?can?tikannya

telah mereka kenal.

"Carilah gadis lain," ia menyarankan. "Semua kemaluan perempuan

rasanya sama."

Ia tak pulang bagaimanapun, namun dengan kasar membuka pa?kai?

an Dewi Ayu dan mendorongnya ke tempat tidur. Ia membuka pa?kai?

annya dengan tergesa-gesa, dan naik ke atas tempat tidur me?nyetubuhi

pelacur itu dengan ketergesa-gesaan yang sama. Setelah kemaluannya

muntah-muntah, ia tergeletak sejenak sebelum turun dan berpakaian,

lalu pergi meninggalkannya tanpa berkata apa-apa lagi.

Dewi Ayu masih berbaring tak percaya dengan apa yang telah ter?

jadi. Bukan sekadar bahwa seseorang menidurinya sementara Maman

Gendeng telah memberitahu semua orang bahwa hanya lelaki itu yang

boleh menidurinya. Ia tak percaya sebab inilah kali pertama ia ditiduri

dengan cara yang begitu kurang ajar. Bahkan prajurit-prajurit Jepang

memperlakukannya dengan sangat sopan, dan semua orang memper?

lakukannya jauh lebih manis daripada yang mereka lakukan terhadap

istri-istri mereka. Ia memandang gaunnya yang kehilangan dua kancing

karena dibuka paksa, dan sakit hati karenanya, berdoa semoga lelaki

itu mati dipanggang halilintar. Sakit hatinya bertambah-tambah jika

ia mengingat betapa lelaki itu menyetubuhinya hanya dalam beberapa

menit yang pendek, seolah ia bukan tubuh perempuan cantik yang dika?

gumi seluruh kota, seolah ia hanya seonggok daging dan lelaki itu hanya

menyetubuhi lubang toilet. Semuanya cukup untuk membuatnya sedikit

menangis dan memaki-maki, dan pulang lebih cepat dari biasanya.

Maman Gendeng mendengarnya secepat hari baru datang. Waktu

itu ia belum mengenal Sang Shodancho, tapi ia tahu di mana harus

menemukannya. Dari terminal bis tempat tinggalnya, ia berjalan me?ne?

lusuri Jalan Merdeka melewati lapangan bola menuju markas Komando

Rayon Militer Halimunda untuk menemuinya. Di gerbang masuk, di

da?lam kandang monyet, seorang prajurit jaga meng?hentikannya. Ma?

man Gendeng menggertaknya dan berkata bahwa ia ingin bertemu

dengan Sang Shodancho. Prajurit itu tak bersenjata, kecuali sebilah

belati dan sebuah pentungan, dan ia tahu ia tak akan bisa melawannya,

maka ia hanya menujukkan arah dan pintu tempat Sang Shodancho

bisa ditemui. Prajurit itu memberi hormat namun Maman Gendeng

berlalu tanpa membalasnya.

Ia hanya mengenakan kaus oblong lengan pendek dan celana jeans,

mempertontonkan tatto ular naga di pangkal lengan kanannya yang ia

miliki di masa gerilya, dan masuk ke kantor Sang Shodancho begitu saja

tanpa mengetuk pintu. Sang Komandan ada di dalam kantor, tengah

melakukan pembicaraan radio dengan komando pusat dan sedikit terke?

jut oleh masuknya seseorang tanpa mengetuk pintu. Ketika dilihatnya

seorang lelaki yang berdiri begitu angkuh, ia segera menghentikan

pem?bicaraannya dan ikut berdiri menghadapi lelaki yang memandang?

nya dengan kemarahan yang tersimpan baik di dalam sorot matanya.

Shodancho segera mengenalinya sebagai petarung di pantai itu, namun

sebelum ia mengatakan apa pun, Maman Gendeng mendahuluinya,

"Dengar, Shodancho." Dan menambahkan dengan segera: "Tak seorang

pun boleh tidur dengan Dewi Ayu kecuali aku, dan kukatakan jika kau
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani kembali ke tempat tidurnya, aku akan memporakporandakan

tempat ini tanpa ampun."

Betapa marahnya Shodancho itu mendengar seseorang yang belum

dikenalnya mengancam begitu rupa: di sini, di kantornya sendiri. Ia

ber?tanya-tanya apakah lelaki ini belum mengetahui siapa dirinya.

Negara bisa menggantungnya hanya dengan membiarkan mulutnya

me?ngatakan bahwa lelaki itu harus digantung. Lagipula ia tahu Dewi

Ayu seorang pelacur, jika masalahnya ia meniduri pelacur itu tanpa

membayar, ia akan membayar lebih banyak dari yang telah dibayarkan

orang lain. Jengkel dengan sikap angkuh preman di hadapannya, dan

didorong kemarahan yang datang tiba-tiba, Sang Shodancho mencabut

pistol yang tergantung di pinggangnya. Pengait dilepaskan dan ia meno?

dongkannya pada lelaki itu seolah ia ingin mengatakan bahwa ia tak

takut ancaman apa pun dan sebaiknya kau segera angkat kaki dari sini

kecuali kau ingin aku menembakmu.

"Baiklah, rupanya kau tak tahu siapa diriku," kata sang preman.

Waktu itu Shodancho sama sekali tak bermaksud menembaknya

kecuali untuk sedikit membuat lelaki itu takut. Tapi ketika dilihatnya

Maman Gendeng mengeluarkan pisau belati dari balik pinggangnya,

ia tak punya pilihan lain kecuali menarik pelatuk dan peluru melesat

bersamaan dengan suara letusan. Ia melihat Maman Gendeng ter?

dorong ke arah dinding, tapi betapa terkejutnya menyaksikan betapa

lelaki itu sama sekali tak menderita luka apa pun. Pelurunya berpus?

ing di lantai, padahal ia yakin tak meleset sedikit pun karena ia telah

terbiasa menembak tepat pada jarak lima puluh meter. Keterkejutan?

nya bertambah-tambah ketika dilihatnya Maman Gendeng hanya

tersenyum ke arahnya.

"Dengar, Shodancho," katanya. "Aku mengeluarkan belati ini bukan

untuk menyerangmu, tapi untuk memperlihatkan bahwa aku tak takut

kepadamu karena aku kebal terhadap apa pun, baik pelurumu maupun

pisau belatiku." Pada saat yang sama Maman Gendeng menikamkan

belati ke perutnya dengan sangat keras. Belati tersebut patah dan po?

tongan ujungnya terpelanting ke lantai tanpa meninggalkan luka apa

pun di tubuh sang preman. Ia meraih peluru dan potongan belati dari


Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia

Cari Blog Ini