Ceritasilat Novel Online

Cantik Itu Luka 4

Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 4

lantai, menggenggamnya dan mem?perlihatkan benda-benda itu di tela?

pak tangan pada Sang Shodancho.

Shodancho pernah mendengar orang-orang seperti itu, tapi me?li?

hatnya secara langsung baru sekarang ini. Itu membuat wajahnya pucat

pasi seketika.

Sebelum pergi meninggalkan Shodancho yang diam mematung

dengan pistol tergantung di tangan yang lemas tak berdaya, Maman

Gen?deng berkata untuk terakhir kalinya, "Sekali lagi Shodancho, ja?

ngan sentuh Dewi Ayu karena jika kau lakukan itu, aku tak hanya akan

memorakporandakan tempat ini tapi bahkan membunuhmu."

a sedang bermeditasi ketika salah satu anak buahnya, prajurit Tino

Sidiq, menemukannya berendam di pasir hangat hanya menyisa?kan

kepala. Si prajurit tak berani mengganggunya, dan tak yakin ia bisa

mengganggu. Meskipun mata Sang Shodancho terbuka lebar se?perti

orang yang mati dicekik, ia tak akan melihat siapa pun yang lewat

di depannya. Jiwanya tengah mengembara di dunia cahaya, begitu?

lah Sang Shodancho sering menceritakan keadaan ekstasinya sen?diri.

"Medi??tasi menyelamatkanku dari melihat dunia yang busuk," katanya

dan melanjutkan, "paling tidak aku tak melihat wajahmu." Tak lama

ke?mu?dian tubuhnya bergerak perlahan, matanya berkedip, satu hal

yang diketahui prajurit Tino Sidiq sebagai akhir meditasinya. Ia keluar

dari pasir dalam satu gerakan yang anggun, seolah melayang mengham?

burkan butir-butir pasir sebelum duduk di samping sang prajurit. Tu?

buhnya kurus dan telanjang, ia memiliki disiplin tubuh yang ketat,

melakukan puasa Daud meskipun semua orang tahu ia bukan penganut

agama yang taat.

"Ini pakaianmu, Shodancho," kata Tino Sidiq sambil memberikan

seragam hijau tua.

"Setiap pakaian memberimu peran badut yang berbeda bagi ji?wa?

mu," kata Sang Shodancho sambil mengenakan seragamnya. "Kini aku

Shodancho, sang pemburu babi."

Tino Sidiq segera mengetahui peran itu sangat tak disukai Sang

Shodancho, namun sekaligus isyarat bahwa ia akan mengambil pe?ran

tersebut. Beberapa hari lalu mereka menerima pesan langsung dari

Mayor Sadrah, komandan militer Kota Halimunda, agar ia keluar dari

hutan dan membantu penduduk memberantas babi. Da?lam keadaan

apa pun, Shodancho tak suka menerima perintah dari si bodoh Sadrah,

begitulah ia selalu memanggilnya. Tapi pesan itu bagaimanapun penuh

dengan pujian. Sadrah dengan kerendahatian yang sewajarnya menga?

takan, hanya Shodancho yang mengetahui dengan baik Halimunda

sebagaimana ia mengenal telapak tangannya sendiri, dan hanya kepada?

nya penduduk pinggiran kota mengharapkan bantuannya berburu babi.

"Beginilah jika dunia tanpa perang, tentara turun gunung untuk

berburu babi," kata Sang Shodancho lagi. "Sadrah bodoh, ia bahkan

tak pernah tahu lubang pantatnya sendiri."

Hutan itu adalah hutan yang sama tempat bertahun-tahun yang

lalu Rengganis Sang Putri melarikan diri. Letaknya persis di daerah

yang membentuk tanjung luas menyerupai telinga gajah, dikelilingi

pantai yang berbatu karang dan berjurang terjal, hanya beberapa bagian

merupakan pantai landai berpasir. Daerah tersebut nyaris tak terjamah

manusia, sebab sejak masa kolonial telah ditetapkan sebagai hutan

lindung dengan macan pohon dan gerombolan ajak masih hi?dup. Di

sana?lah Sang Shodancho telah tinggal lebih dari sepuluh tahun, di se?

buah gubuk kecil sebagaimana yang pernah ia bangun di masa gerilya,

bersama tiga puluh dua prajurit bawahannya. Mereka bergantian pergi

ke kota dengan truk untuk semua urusan, bersama be?berapa orang sipil

yang datang membantu, tapi tidak Sang Shodancho. Penjelajahannya

yang paling jauh selama sepuluh tahun tersebut hanyalah gua-gua, tem?

patnya bermeditasi, dan kembali ke gubuk hanya untuk memancing dan

mempersiapkan makan bagi pra?jurit-prajuritnya, serta mengurus ajakajak yang telah dijinakkan. Hidupnya yang damai terganggu oleh pesan

Sadrah yang memintanya membantu memberantas babi. Bagaimana?

pun, di hutan itu tak ada babi. Babi hidup di bukit-bukit sebelah utara

Halimunda, dan itu berarti ia harus turun ke kota. Baginya, menerima

perintah itu se?perti mengkhianati kesetiaan pada kesunyian.

"Negara yang menyedihkan," katanya, "bahkan tentaranya tak bisa

memburu babi."

Kunjungan terakhirnya ke kota nyaris sebelas tahun lalu. Setelah

bertahun-tahun dalam gerilya, ia muncul ke kota setelah mendengar

tentara-tentara KNIL akan dibubarkan. Semuanya telah selesai di meja

perundingan, dan ia bahkan ikut mengantarkan sebagian besar tentara

KNIL naik kapal untuk pulang. "Sayonara," katanya dengan kecewa.

"Bagaikan pemancing yang menanti dengan penuh kesabaran diberi

kado sekeranjang ikan segar oleh seseorang." Saat itu juga ia memutus?

kan untuk kembali ke hutan, diikuti tiga puluh dua pra??juritnya yang

setia, dan memulai pekerjaan mereka yang mem?bo?sankan selama lebih

dari sepuluh tahun tanpa perang. Bagaimanapun, mereka memiliki

kesi?bukan. Ada truk-truk penyelundupan yang diurus oleh seorang pe?

dagang yang ia kenal bahkan sejak masa pem?berontakan pada Jepang,

semua keamanan truk-truk itu ada di tangannya. Tentu saja ia tak

pernah sungguh-sungguh mengawal mereka, semuanya bisa dibereskan

ketiga puluh dua prajuritnya. Sebagaimana yang dikenal orang-orang

dekatnya, ia lebih banyak menjelajah hutan untuk mencari gua-gua

dan bermeditasi di sana, jika tidak memancing ikan caroang dan terus

me?latih kemampuan geraknya dalam pertempuran sungguhan. Ia selalu

menghilang secara tiba-tiba dan muncul sama mengejutkannya, suatu

teknik gerilya yang dikembangkannya sendiri.

Ia mengembangkan teknik tersebut setelah dipaksa untuk ber?gerilya

bertahun-tahun lampau. Itu waktu ketika ia masih sungguh-sungguh

seorang Shodancho di Daidan Halimunda, di masa Jepang masih men?

duduki pulau Jawa dengan Tentara Keenam Belasnya. Waktu itu ia ber?

umur dua puluh tahun, dan sebuah ide cemerlang tiba-tiba muncul di

otaknya: memberontak. Orang pertama yang diajaknya adalah Sadrah,

seorang shodancho di Daidan yang sama, sahabatnya sejak masih kecil.

Mereka memulai karier militer secara bersama-sama ketika keduanya

masuk Seinendan, barisan pemuda semi militer yang dibentuk Jepang.

Mereka juga pergi bersama-sama ke Bogor untuk mengikuti pendidikan

militer setelah Peta didirikan, dan lulus bersamaan sebagai shodancho

sebelum kembali ke Ha?li?munda memimpin shodan masing-masing.

Kini ia berharap mengajak sahabatnya untuk memberontak bersamasama pula.

"Itu artinya kau mencari liang kubur," kata Sadrah.

"Orang-orang Jepang datang dari jauh hanya untuk menguburku,"

katanya dengan tawa kecil, "cerita bagus untuk anak cucu."

Ia shodancho paling muda di Halimunda, dengan perawakan yang

paling kurus. Namun hanya ia sendiri yang memperoleh pang?gilan

shodancho, dan ketika rencana pemberontakan akhirnya ditetapkan,

ia memimpin sendiri gerakan tersebut. Ada delapan shodancho dengan

anggota-anggota bundanchonya masing-masing me?nyatakan bergabung,

serta dua chudancho menjadi penasihat ge?rilya. Daidanchonya menge?

tahui rencana tersebut, namun memilih angkat tangan dan tak ikut

cam?pur. "Aku bukan penggali kubur," kata Sang Daidancho, "terutama

untukku sendiri."

"Kugalikan kuburan untukmu, Daidanchodono," kata Sang Sho?dan?

cho sebelum mempersilakannya meninggalkan rapat rahasia mereka.

"Ia lebih suka membusuk di balik meja," katanya pada ang?gota rapat

sete?lah Sang Daidancho pergi.

Ia membentangkan sebuah peta Halimunda sederhana, dan me?mulai

rencana besar mereka. Di tempat-tempat tertentu, di mana orangorang Jepang bermarkas, ia memberi tanda dengan sandi-sandi pasukan

Ku?rawa, dan untuk pasukannya sendiri, ia memberi sandi Pandawa.

Mereka menyukai gagasan tersebut, meskipun Sang Shodancho segera

mengingatkan, "Tak ada Bhisma yang tak bisa mati dan tak ada Yudis?

tira yang tak bisa berbohong: semua orang bisa mati dan harus hidup

meskipun dengan cara berbohong." Ke?tika kecil kakeknya mendongengi

lelaki itu dengan kisah-kisah pahlawan Mahabharata, dan hidup de?

ngan semangat perang yang meletup-letup hingga banyak orang sering

berkomentar, "Ia se?ha?rusnya jadi Komandan Tentara Keenam Belas."

Kenyataannya, rapat-rapat rahasia itu membutuhkan waktu enam

bulan sebelum mereka cukup yakin bisa melakukan pemberontakan.

Mereka menghitung berapa senjata dan sebanyak apa amunisi yang

dimiliki, rencana-rencana pelarian jika gagal, dan target-target jika kota

Halimunda berhasil dikuasai. Beberapa kurir dikirim untuk memperoleh

dukungan dari beberapa Daidan lain, sebab tanpa me?reka, keberhasil?

an pemberontakan hanya akan bertahan dalam beberapa hari. Ketika

segalanya telah matang, rangkaian pertemuan gelap itu berakhir di

awal bulan Februari: pemberontakan sendiri akan dilaksanakan pada

pertengahan bulan itu juga, tanggal empat belas.

"Mungkin aku tak akan pernah kembali," katanya ketika ia harus

berpamitan pada kakeknya. "Atau pulang sebagai bangkai."

Mendekati hari pemberontakan ia mengumpulkan senapan dan

mesiu secukupnya, dan memastikan obat-obatan telah disebar di

kan???tong-kantong pelarian seandainya mereka harus jadi buronan. Ia

meng??hubungi seorang pedagang bernama Bendo, yang telah di?ban?tunya

da?lam penyelundupan kayu jati, untuk menyediakan bahan makanan

bagi keperluan gerilya, seandainya perang gerilya dibu?tuh?kan. Ia juga

menemui secara langsung bupati, walikota dan kepala polisi, mengata?

kan bahwa tanggal 14 Februari ada latihan perang, diikuti semua pra?

jurit Peta di Halimunda, dan tak seorang pun boleh mengganggu. Itu

pe?san secara tak langsung bahwa mereka akan memberontak. Mata

dan telinganya dipasang dengan baik terhadap kemungkinan adanya

peng?khianatan.

"Dan hari ini," katanya pada pukul setengah tiga hari pem?be?ron?

takan, "adalah hari tersibuk bagi para penggali kubur."

Pembukaan pemberontakan berjalan begitu cepat, diawali pe?nem?

bakan ke markas Kenpetai, tentara Jepang, di Hotel Sakura. Tiga puluh

orang dieksekusi di lapangan bola, terdiri dari dua puluh satu orang

ten?tara dan pegawai sipil Jepang, lima orang Indo-Belanda dan empat

orang Cina yang dicurigai membantu orang-orang Jepang. Mayat-mayat

itu diseret cepat menuju tempat pemakaman, dan di?lemparkan begitu

saja di depan rumah penggali kubur.

Sambutan publik sangatlah tidak menggembirakan. Mereka lebih

suka mengurung diri di dalam rumah, mengetahui dengan pasti itu awal

dari satu teror yang lebih menakutkan: bantuan tentara Jepang akan

segera berdatangan ke kota itu dan menghabisi para pemberontak tanpa

sisa. Sebaliknya, para pemberontak menganggap itulah ke?me?nangan

mereka, dan tampak bersuka ria. Mereka menurunkan Hinomaru,

ben?dera Jepang, dan menggantinya dengan bendera mereka sendiri.

Mereka berkeliling kota dengan truk dan meneriakkan slogan-slogan

kemerdekaan, diikuti nyanyian lagu-lagu perjuangan. Ketika senja da?

tang, tiba-tiba mereka menghilang seperti ditelan malam. Mereka tahu,

orang-orang Jepang telah mendengar pem?be?rontakan itu, dan bahkan

seluruh Jawa mungkin telah mengetahuinya, dan secepat pagi datang,

tentara bantuan sudah tiba. Itu malam terakhir mereka berkeliaran, dan

selanjutnya adalah gerilya.

"Setelah segalanya," kata Sang Shodancho, "Kita harus me?ning?gal?

kan Halimunda sampai Jepang kalah."

Mereka membagi pasukan pemberontak dalam tiga kelompok dan

memecahnya. Kelompok pertama di bawah komando Shodancho Ba?

gong dengan seorang chodancho penasihat, akan bergerak ke wilayah

barat untuk menghadang laju tentara Jepang maupun Peta yang masuk

Halimunda dari arah tersebut. Mereka akan memasuki daerah tak ber?

tuan di perbatasan distrik di mana ancaman terbesar untuk bertahan

adalah gerombolan perampok. Kelompok kedua dipimpin oleh Sho?

dancho Sadrah dengan seorang chodancho sebagai penasihat, bergerak
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menghadang di pintu masuk utara, akan menempati hutan lebat

berbukit-bukit. Kelompok terakhir bergerak ke arah timur, menguasai

jalan masuk sungai dan harus bersiap dalam pertempuran di atas rawarawa serta serangan disentri dan malaria, dipimpin langsung oleh Sang

Shodancho. Perbatasan selatan mereka abaikan, sebab alam telah

membantu mereka: laut selatan yang ganas. Mereka bergerak sebelum

tengah malam, ketika ajak-ajak mulai melolong di kejauhan.

Bagaimanapun, itu perang sungguhan mereka yang pertama. Ada

gelora dan ada ketakutan. Dua orang prajurit masih menangis merindu?

kan ibu mereka, namun ketika komandan akan memulangkan mereka,

semangat keduanya muncul kembali, bertekad memenangkan semua

peperangan atau mati. Mereka terus bergerak ke tempat-tempat yang

telah direncanakan dalam rapat-rapat terakhir, menenteng senapan-se?

napan yang mereka peroleh secara serampangan dari pelucutan senjata

KNIL beberapa waktu lalu, sebagian besar senapan pendek karabin dan

beberapa senapan panjang steyer. Ada mortir kecil dan mortir ukuran

8 milimeter yang mereka curi dari daidan. Hanya para shodancho dan

bun?dancho menenteng senapan, sementara para tamtama, orang Jepang

menyebutnya giyukei, diperkenankan membawa sangkur atau sekadar

bambu runcing. Dua orang prajurit pengintai berjalan sedikit di depan,

sementara dua prajurit penjaga berjalan sedikit di belakang. Dengan

senjata seadanya, mereka bertekad memenangkan perang melawan

pasukan paling hebat di Asia, pasukan yang pernah memenangkan

perang di Rusia dan Cina, pasukan yang mengusir Prancis, Inggris dan

Belanda dari koloni mereka, pasukan yang kini berperang di laut Pasi?

fik melawan hampir separuh dunia, pasukan yang bahkan mengajari

mereka ba?gaimana menenteng senapan dengan benar.

"Pahlawan akan menang," kata Sang Shodancho membesarkan hati.

"Meskipun selalu terlambat."

Pada hari pertama gerilya, rombongan Sang Shodancho menyerang

truk berisi beberapa prajurit Jepang yang tengah menuju delta, tempat

penjara Bloedenkamp berada. Sebuah mortir diledakkan persis di bawah

tanki bensinnya, dan truk meledak membunuh semua penumpang. Itu

aksi mereka yang paling dahsyat, sebelum me?nerima berita dari seorang

kurir bahwa pasukan barat melakukan perang terbuka dengan tentara

Jepang di hutan perbatasan distrik dalam satu pertempuran yang sengit.

Bagong dan semua anak buah?nya berhasil meloloskan diri dari kepung?

an musuh dan ber?sem?bunyi di dalam hutan sementara tentara Jepang

tampaknya enggan mengejar. Rombongan utara menyerang orang-orang

Jepang sepanjang jalan utama sebelum dihadang pasukan besar tentara

Jepang yang mulai berdatangan. Mereka memperoleh perintah untuk

kem?bali ke daidan, dan demikianlah: Shodancho Sadrah dan semua

pra?juritnya kembali ke kota dalam keadaan menyerah.

"Bahkan keledai tak pernah ingat jalan pulang," kata Sang Shodan?

cho. "Ia lebih bodoh dari keledai."

Pada hari kedua mereka bertemu dengan pasukan Jepang yang meng?

hadang dan pecah pertarungan di sepanjang tepian sungai. Mereka

ber?hasil membunuh dua prajurit Jepang, tapi harga yang harus dibayar

terlalu mahal. Lima orang prajurit pemberontak tewas dalam sekali

serangan, dan tiba-tiba mereka telah dikepung. Dalam satu penyelamat?

an yang sia-sia, sisa pasukan melarikan diri melalui sungai dan menjadi

bulan-bulanan senjata musuh. Sang Shodancho selamat bersama sedikit

pengikutnya, setelah melakukan penyelaman yang berakhir dengan

kematian salah seorang di antara mereka, dan segera melarikan diri.

Orang-orang Jepang menganggapnya mati tenggelam: itu membuatnya

aman sementara waktu.

Ia segera mengubah rute gerilya yang telah ditetapkannya: mereka

akan kembali, tapi tidak untuk menyerah. Ada hutan lindung di bagian

selatan kota, pada sebuah tanjung. Itu taktiknya yang paling hebat yang

pernah didengar anak buahnya. Mereka berjalan memutar melalui rawarawa bakau, sebelum dilanjutkan dengan naik rakit sepanjang pantai dan

masuk hutan melalui pantai bertebing karang. Sementara itu, tentara

Jepang dan Peta yang mengejar mereka terkecoh, meng?ang?gap mereka

akan terus melakukan perjalanan ke arah timur dan ber?gabung dengan

pemberontak dari daidan lain, sebagaimana yang telah direncanakan.

Sang Shodancho telah memperhitungkan dengan cepat: pemberontakan

gagal. Jepang telah mendengarnya begitu cepat, sementara daidandaidan lain urung membantu. Cara terbaik adalah lari ke hutan terdekat

dengan kota, mempersiapkan perang gerilya yang sesungguhnya.

Mereka bersembunyi di sebuah gua, selama beberapa hari tanpa men?

coba menampakkan diri di daerah terbuka, sebab para nelayan bisa me?

lihatnya dari tengah laut. Seorang kurir telah dikirim untuk menge?tahui

keadaan pasukan barat, dan situasi kota secara umum. Ia kembali dengan

berita buruk: tentara Jepang dan Peta mengurung pertahanan mereka

dan mengobrak-abrik hutan persembunyian itu. Hanya para perampok

yang dibiarkan melarikan diri, sementara semua pemberontak ditangkap

hidup-hidup setelah pertempuran hebat selama satu hari satu malam.

Mereka bahkan tetap tak menyerah meskipun mesiu telah habis dan

yang tersisa hanya sangkur dan bambu runcing. Atas kekeras?kepalaan

mereka, enam puluh orang prajurit yang tersisa, termasuk Shodancho

Bagong dan chudancho penasihatnya, akan dieksekusi pada tanggal 24

Februari di halaman depan daidan.

Sang Shodancho turun gunung menyamar sebagai kere, pengemis

kurus dengan pakaian gombal dan dipenuhi kudis. Penyamaran itu

tidaklah begitu sulit, setelah hampir sepuluh hari bergerilya, ia tak jauh

beda dengan kere sesungguhnya. Dengan rambut yang kaku, ia masuk

ke kota dan tak seorang pun mengenalinya. Ia berjalan sepanjang tro?

toar, dengan tangan menggenggam kaleng bekas berisi sebutir batu yang

ia goncangkan perlahan. Di depan markas daidan, ia berhenti di bawah

pohon flamboyan di seberang jalan, dan melihat eksekusi tersebut. Satu

per satu, enam puluh orang tanpa sisa, ditembak mati. Mayat-mayat itu

kemudian dilemparkan ke dalam truk dan mereka ditinggalkan begitu

saja di depan rumah penggali kubur.

"Jangan pernah berniat mati untuk dilupakan," katanya pada prajurit

tersisa yang masih menemani, ketika mereka mengibarkan bendera

dalam duka cita di kubu gerilya. "Meskipun percayalah, tak banyak

orang bersedia mengingat apa pun yang bukan urusannya."

Ia merencanakan satu pembalasan dendam yang sangat kejam. Suatu

malam, ia memimpin sendiri satu penyergapan terhadap sebuah pos

militer dan mencuri mesiu sebelum membunuh enam prajurit Jepang

dan melemparkan mayatnya begitu saja di jalanan. Sebelum pulang

mereka meledakkan sebuah truk dan segera menghilang sebelum ayam

jago terbangun. Enam mayat tentara Jepang di jalanan segera membuat

gempar kota itu keesokan harinya, dan mereka bertanya-tanya siapa

yang melakukannya. Tapi orang-orang Jepang dan orang-orang daidan,

termasuk Sadrah, segera me?nyadari hal ini: Sang Shodancho masih

hidup, dan ia telah meng?umumkan perang tanpa akhir.

Orang-orang Jepang dari Kenpetai, yang marah dengan lelucon tak

lucu itu, segera melakukan pengejaran yang membabi buta, namun

mereka segera kehilangan jejak. Orang-orang itu menggeledah rumahrumah penduduk, menanyai setiap orang apakah mereka melihat Sang

Shodancho dan anak buahnya, dan tak memperoleh apa pun. Pada hari

ketiga setelah pembunuhan enam orang Jepang, gudang makanan dan

sebuah truk dicuri, setelah membunuh dua orang Jepang penjaganya.

Truk ditemukan terperosok ke dalam sungai namun karung-karung beras

telah menghilang. Prajurit Jepang segera menyisir sepanjang garis sungai

dan tak menemukan apa pun.

Seorang kurir datang suatu malam ke gubuk tempat Sang Shodan?

cho tinggal selama gerilya, dua bulan setelah hari pem?be?ron?takan, dan

memberitahu bahwa pemberontakan mereka telah terdengar hampir

seluruh orang Jawa. Pemberontakan mereka telah memancing beberapa

pemberontakan kecil di beberapa daidan, meskipun semuanya gagal,

tapi itu telah membuat Jepang sungguh-sungguh khawatir sehingga

terdengar desas-desus bahwa Peta akan dibubarkan dan semua senjata

akan dilucuti.

"Itulah risiko memelihara anak harimau lapar," kata Sang Shodan?

cho.

Mereka merobohkan sebuah jembatan dengan lima truk Jepang

sarat prajurit berada di atasnya, empat hari kemudian. Itu membuat

Hali?munda terisolasi selama beberapa bulan, dan para gerilyawan aman

di tempat mereka.

Di suatu pagi yang cerah, yang tak terlupakan sebab hari itu mereka

akan berpesta, Sang Shodancho yang habis buang hajat di sebuah batu

karang menemukan sebongkah mayat lelaki, terdampar dilemparkan

ombak. Mayat itu sudah sedemikian bengkaknya seolah hendak mele?

tus, meskipun tak memberikan bau yang menyengat. Ia hanya menge?

na?kan cawat. Bersama beberapa prajurit, ia menariknya ke pantai

dan mengamati si mayat orang tenggelam. Ada bekas luka dalam di

perut?nya.

"Itu sabetan sangkur," kata Sang Shodancho. "Ia dibunuh Jepang."

"Ia pemberontak dari daidan lain," kata seorang prajurit.

"Atau ia meniduri gundik Kaisar Hirohito."

Tiba-tiba Sang Shodancho terdiam dan memandangi wajah mayat

itu. Jelas ia pribumi. Wajahnya tirus seperti kurang makan, sebagaimana

kebanyakan pribumi, licin tanpa janggut dan kumis. Tapi bukan itu

yang membuatnya tertarik, melainkan bentuk mulutnya yang aneh. Ia

akhirnya segera menyimpulkan, "Lelaki ini mengulum sesuatu." Dengan

jari tangannya, ia mencoba membuka rahang mayat tersebut, dibantu

seorang prajurit. Rahangnya sangat kaku sehingga agak menyulitkan,

sebelum akhirnya terbuka.

"Tak ada apa-apa," kata si prajurit.

"Tidak," jawab Sang Shodancho. Ia merogoh mulut mayat tersebut

dan mengeluarkan secarik kertas yang nyaris terkoyak-koyak oleh rem?

besan air. "Ia dibunuh karena ini," kata Sang Shodancho lagi. Ia meng?

hamparkan kertas tersebut di atas batu karang yang hangat. Tam?paknya

itu sebuah selebaran, dicetak dengan mesin stensil. Rembesan air laut

yang masuk ke mulut si mayat membuat tintanya sedikit luntur, tapi

Sang Shodancho masih bisa membacanya dengan jalas, sebab tulisan

itu sendiri begitu pendek dan teramat terang. Semua orang tampak

ber?debar-debar, berharap itu pesan besar, sebab tak mungkin seseorang

dibunuh karena membawa segepok selebaran tanpa arti. Dengan jarijemari yang bergetar, bukan karena hawa dingin atau kelaparan, Sang

Shodancho mengangkat kertas tersebut dengan air mata bercucuran

menambah kebingungan para prajuritnya. Mereka belum juga bertanya

ketika ia berkata lebih dahulu, "Tanggal berapakah sekarang?" tanyanya.

"23 September."

"Kita terlambat lebih dari sebulan."

"Untuk apa?"

"Untuk pesta," katanya. Lalu untuk mereka ia membacakan apa

yang tercetak di selebaran milik si orang mati. "Proklamasi: Kami

bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya 17

Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta."

Ada keheningan sejenak, sebelum pecah menjadi keributan yang

berasal dari pekik teriakan. Kecuali Sang Shodancho, mereka berlari?an

ke arah bukit dan menari-nari kesetanan di depan gubuk gerilya, sambil

menyanyikan lagu-lagu. Tanpa seorang pun me?me?rin?tah?kan?nya, mereka

berkemas mengumpulkan barang-barang, seolah segalanya telah ber?

akhir. Mereka bahkan bersiap untuk lari keluar hutan dan menghambur

ke kota untuk membawa kabar gembira tersebut, na?mun Sang Shodan?

cho segera menghadang sebelum kegilaan ter?sebut berlanjut lebih jauh.

"Kita harus rapat sekarang juga," ka?tanya.

Mereka menurut dan berkumpul di depan gubuk.

"Masih ada banyak Jepang di Halimunda," kata Sang Shodancho,

"Mereka pasti telah tahu tapi bungkam." Ia segera membuat strategi. Se?

paruh dari mereka harus melakukan serangan cepat ke kantor pos, dan

melakukan penyanderaan jika diperlukan. Itu tak terlalu membahaya?
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan, sebab semua pegawai pos adalah pribumi. Di sana ada mesin stensil

dan mereka harus menyalin naskah orang mati itu, mencetaknya dan

sesegera mungkin menyebarkannya ke seluruh kota. "Pakai tukang

pos!" katanya yakin. Separuh yang lain akan menyusup ke daidan dan

me?ngatakan apa yang terjadi, melakukan pelucutan senjata orangorang Jepang, memobilisasi massa dan mengadakan pertemuan besar di

lapangan bola. Rapat tersebut ber?jalan cepat dan ringkas, dan dipimpin

Sang Shodancho sendiri, mereka keluar dari hutan.

Bahkan kedatangan mereka di kota telah membuat gempar se?mua

orang, belum lagi dengan selebaran yang segera dibagi-bagikan begitu

se?lesai dicetak di kantor pos. Sang Shodancho berhasil merampas se?

buah truk dan dengan beberapa orang, mereka berkeliling kota sambil

berteriak, "Indonesia merdeka 17 Agustus, Halimunda menyusul 23

Sep?tember." Semua orang yang berdiri di pinggir jalan terdiam mema?

tung. Tukang cukur bahkan nyaris menggunting telinga pelanggannya,

dan orang Cina penjual bakpau melaju dengan sepeda tak terkendali

sebelum terguling menabrak pintu toko. Mereka memandang truk yang

lewat itu dengan tak percaya, ke?mu?dian memunguti kertas-kertas yang

bertebaran dan membacanya. Kegembiraan mulai pecah ketika anakanak sekolah mulai menari-nari di pinggir jalan, dan orang-orang de?

wasa kemudian mengikuti mereka.

Orang-orang Jepang keluar dari kantor-kantor mereka, termasuk ko?

mandan tentara, Sang Sidokan. Mereka dibuat tak berdaya me?ngetahui

apa yang terjadi, dan tak melakukan perlawanan apa pun ketika para

prajurit Peta dari daidan muncul melucuti senjata me?reka. Tanpa upa?

cara yang semestinya, sebagaimana sebelumnya sering dilakukan, mereka

menurunkan Hinomaru sambil mem?ban?tingnya ke muka orang-orang

Jepang, "Makan bendera celaka ini!" lalu menggantinya dengan Merah

Putih dalam upacara yang khidmat, sambil menyanyikan Indonesia Raya.

Orang-orang mulai berkerumun di lapangan bola, kurus-ke?rem?peng

dengan pakaian gombal, tapi tampak berbinar-binar. Tak per?nah dalam

hidup mereka, juga tak pernah diceritakan oleh nenek moyang mereka,

bahwa ada yang namanya merdeka. Tapi hari itu mereka mendengarnya:

Indonesia merdeka, dan tentu juga Halimunda. Sang Shodancho me?

mim?pin upacara pengibaran bendera di sore hari, sambil membacakan

ulang teks proklamasi, sementara para penduduk itu duduk bersila di

atas rumput dan hanya anggota militer mengikuti upacara dengan sikap

berdiri tegak. Sejak tahun itu hingga bertahun-tahun kemudian, hanya

anak sekolah dan tentara melaksanakan upacara peringatan proklamasi

setiap tanggal 17 Agustus, namun para penduduk melakukan upacara

mereka sendiri, dan anak-anak sekolah serta tentara akhirnya ikut juga,

pada tanggal 23 September. Di hari itu mereka tak hanya menghormati

bendera dan membacakan teks proklamasi serta menyanyikan Indonesia

Raya, tapi saling mengirim rantang makanan dan mengadakan pasar

malam. Dan jika ada orang asing bertanya, bahkan kemudian jika

guru bertanya pada anak sekolah, kapan Indonesia merdeka, mereka

akan bilang, "23 September." Beberapa usaha pernah dilakukan oleh

peme?rintah pusat untuk mengatasi kekeliruan tersebut dan menje?

laskan soal keterlambatan informasi di tahun 1945, tapi penduduk

Hali?munda bahkan rela mati untuk tetap berpegang teguh merayakan

hari kemerdekaan tanggal 23 September. Akhirnya tak seorang pun

mem?permasalahkannya lagi.

Keributan muncul ketika segerombolan penduduk menyeret Sang

Daidancho, dan tampaknya akan dieksekusi secara kejam dengan

tuduhan melakukan pengkhianatan pada saat pemberontakan. Mereka

bersiap menggantungnya di bawah pohon ketapang yang tumbuh di

pojok lapangan bola, sebelum Sang Shodancho menghentikan tindakan

tersebut. Ia melepaskan Sang Daidancho dan membawanya ke tengah

lapangan. Ia telah mengetahui pengkhianatannya, dan untuk itu ia

mem?berikan sepucuk pistol kepadanya. Didengarkan semua orang yang

mengerubungi mereka, ia berkata:

"Kita sama-sama dididik orang Jepang, kau tahu apa yang harus

dilakukan seorang pengkhianat."

Sang Daidancho menempelkan pistol di kepalanya dan mengakhiri

hidupnya sendiri. Meskipun begitu, Sang Shodancho memerintahkan

semua prajurit untuk melakukan upacara penghormatan terakhir, dan

mayat Daidancho diselimuti bendera, dikuburkan di sebidang tanah

kosong tak jauh dari rumah sakit kota, cikal bakal taman makam pah?la?

wan mereka. Itu satu-satunya peristiwa kematian di hari itu. Sang Sho?

dancho mengambil alih seluruh kekuasaan daidan dan segera mengirim

beberapa kurir untuk memperoleh lebih banyak informasi, dan bersama

penduduk kota mereka memperbaiki jembatan yang pernah dihancur?

kannya. Kurir-kurir tersebut telah berdatangan dua hari kemudian,

mengatakan bahwa Peta telah dibubarkan dan di semua daidan telah

didirikan Badan Keamanan Rakyat.

Mereka mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Tapi dua hari kemu?

dian datang kurir lain dan mengatakan, Badan Keamanan Rakyat telah

dibubarkan dan diganti Tentara Keamanan Rakyat.

"Jika itu diganti lagi," katanya jengkel, "Halimunda akan ber?pe?rang

melawan Indonesia."

Ada beberapa keputusan pemerintah yang dibawa beberapa kurir,

yang memberikan pengarahan tentang pendistribusian pangkat. Sang

Shodancho, melebihi teman-teman komandan shodan lainnya, mem?

per??oleh pangkat letnan kolonel dan sahabatnya yang bodoh itu, Sadrah,

sudah merasa puas sebagai Mayor Sadrah. Namun Sang Shodancho tak

begitu memperhatikan soal-soal seperti itu, dan ber?kata pada semua

orang, "Aku lebih suka tetap sebagai Shodancho." Beberapa minggu

setelah itu, kurir lain datang membawa sepucuk surat yang tampaknya

telah ditulis lama sekali dan baru datang ke alamat penerima berbulanbulan kemudian. Surat itu datang dari Presiden Republik Indonesia,

ditujukan untuk Sang Shodancho. Isi surat tersebut dengan segera dike?

tahui seluruh penduduk kota, bahwa Presiden Republik Indonesia, telah

menunjuk Sang Shodancho sebagai Panglima Besar Tentara Ke?amanan

Rakyat dengan pangkat jenderal, atas kepahlawanannya me?mimpin

pemberontakan 14 Februari.

Sementara penduduk kota merayakan penunjukannya sebagai Pang?

lima Besar, Sang Shodancho menghilang ke tempat per?sem?bunyiannya

selama gerilya melawan tentara Jepang. Sepanjang hari itu ia seorang

diri memancing dan berenang di laut, bermeditasi sam?bil mengapung

di permukaan air seolah ia mayat tenggelam. Ia tak ingin memikirkan

mimpi buruk menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.

Sebelum kepergiannya, ia sempat bilang pada Mayor Sadrah, "Betapa

menyedihkan mengetahui bahwa akulah yang pertama melakukan

pemberontakan dan karena itu terpilih menjadi Panglima Besar. Aku

bertanya-tanya tentara seperti apa yang kita miliki, memilih seorang

lelaki yang bahkan belum mengenal kemaluan perempuan sebagai

Panglima Besar." Ia segera ditemukan beberapa sahabatnya menjelang

malam dan mereka membawanya pulang.

Seminggu setelah itu, ia memperoleh berita melegakan yang di?bawa

kurir lain. Mengingat kursi Panglima Besar tak juga pernah diduduki

Sang Shodancho selama berbulan-bulan, para panglima divisi dan

komandan resimen seluruh Jawa dan Sumatera ber?mu?syawarah untuk

men?cari pengganti dirinya. "Presiden Republik telah mengangkat

Kolonel Sudirman sebagai Panglima Tentara Ke?amanan Rakyat dengan

pangkat jenderal," kata sang kurir.

"Puji Tuhan," katanya, "Jabatan itu hanya cocok bagi orang yang

menginginkannya."

Sementara seluruh penduduk Halimunda bersedih atas penggantian

tersebut, Sang Shodancho sendirian larut dalam kebahagiaan yang tak

tergambarkan oleh siapa pun.

Tentara Keamanan Rakyat kemudian diganti menjadi Tentara Kese?

lamatan Rakyat. Mereka baru mengganti papan nama ketika be?rita

baru muncul: Tentara Keselamatan Rakyat diganti menjadi Tentara

Republik Indonesia.

"Apakah kita akan berperang melawan Indonesia?" tanya Mayor

Sadrah.

Sang Shodancho tertawa dan menggeleng. "Tak perlu," katanya me?

nenangkan. "Sebagai sebuah negara, kita bahkan baru belajar membuat

nama."

Tentara-tentara Jepang belum juga angkat kaki dan mereka tak

juga sempat merasakan masa damai ketika kapal-kapal Sekutu mulai

beterbangan di udara Halimunda. Hanya dalam beberapa hari, tentaratentara Inggris dan Belanda berdatangan. Tawanan-tawanan KNIL

dibebaskan dan kembali dipersenjatai, dan mereka mulai melucuti

sen?jata-senjata tentara pribumi. Sang Shodancho segera mengambil tin?

dakan darurat, membawa seluruh prajuritnya kembali masuk ke hutan.

Kali ini ia menyebar mereka ke empat penjuru mata angin, dengan ia

sendiri memimpin pasukan yang akan bertahan di hutan tanjung daerah

selatan. Ia memutuskan untuk bergerilya kembali melawan tentaratentara Sekutu yang membawa orang-orang Belanda NICA, Nether?

lands Indies Civil Administration. Ternyata mereka tak sendirian pergi

ke hutan. Penduduk sipil, kebanyakan lelaki muda, mengikuti mereka

di belakang, bersumpah setia pada Sang Shodancho dan meminta di?

pim?pin untuk ikut bergerilya. Ia terpaksa memecah semua prajuritnya

untuk memimpin unit-unit kecil tentara gerilya yang sebagian besar

merupakan penduduk sipil tersebut. Beberapa di antara mereka adalah

orang-orang yang sama dengan pembunuh beberapa prajurit Belanda

dan memerkosa Dewi Ayu bersama teman-temannya sebelum tentara

Inggris datang dan melindungi gadis-gadis itu.

Perang gerilya itu menghabiskan waktu selama dua tahun, lebih

banyak menderita kekalahan daripada kemenangan. Namun tentara

KNIL tak pernah mendapatkan orang yang selalu mereka cari: Sang

Shodancho, meskipun mereka tahu ia berada di hutan tanjung. Pintu

masuk hutan itu dipenuhi gerilyawan, yang berlindung di bentengben?teng pertahanan buatan orang-orang Jepang, dan terutama karena

mereka mengenal daerah tersebut lebih dari siapa pun. Tentara KNIL

dibantu tentara Inggris tak pernah punya keberanian masuk ke dalam

hutan dan memilih bertahan di kota, sementara tentara gerilya kesulit?

an untuk masuk kota. Tentara KNIL mencoba untuk memblokir arus

bahan makanan dan amunisi, tapi itu tampaknya sia-sia sebab tentara

gerilya menanam sendiri padi di tengah hutan dan mereka telah terbiasa

berperang tanpa amunisi. Beberapa kali dicoba dengan pengeboman

udara, tapi tentara Jepang telah mendidik mereka menghindarinya

dengan benar.

Itu adalah waktu ketika Sang Shodancho mengembangkan teknikteknik gerilyanya. Ia menemukan cara-cara terbaik melakukan pe?nya?

maran, dan penyusupan dalam gerakan cepat. Ia bisa muncul tiba-tiba

dan menghilang secepat ia datang, dan dicari-cari para peng?ikutnya

hanya karena ia menyamar menjadi salah seorang dari mereka.

"Berbeda dengan petak umpet," katanya, "sekali ditemukan ge?ril?

ya?wan mati."

Hingga kemudian ia memperoleh berita yang menghentikan se?mua

perang: Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia di meja

perundingan. Itu terasa menyebalkan baginya: republik ini telah mer?

deka empat tahun lalu, tapi Belanda baru mengakuinya sekarang, dan

pe?me?rintahan sipil menerimanya begitu saja, asalkan mereka pergi.

"Seolah perang selama ini tak ada artinya sama sekali," katanya

kecewa.

Meskipun begitu, bersama pasukan inti gerilyanya, Sang Shodancho

keluar dari hutan. Kemunculan mereka disambut meriah penduduk

kota, sebab bagaimanapun ia masih pahlawan mereka. Bendera warnawarni dikibarkan orang di sepanjang jalan, sementara penduduk kota

yang sebagian besar juga baru keluar dari hutan berdiri sepanjang jalan.

Sang Shodancho duduk di atas keledai, tak memedulikan sambutan

yang berlebihan itu, dan langsung menuju pelabuhan. Di sana para

prajurit dan orang-orang Belanda sipil tengah bersiap-siap naik ke atas

kapal yang akan mengangkut mereka semua pulang. Ia menghampiri

komandan tentara KNIL, yang terpesona di akhir tugasnya ia bisa me?

lihat musuh yang paling dicarinya itu. Mereka berjabat tangan dalam
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan yang sangat akrab, dan bahkan berpelukan.

"Kapan-kapan kita perang lagi," kata komandan itu.

"Ya," balas Sang Shodancho, "Jika Ratu Belanda dan Presiden Re?

publik Indonesia mengizinkan."

Mereka kemudian berpisah di tangga kapal. Sang Shodancho masih

ber?diri di bibir dok sementara tangga telah diangkat, dan sang koman?

dan berdiri di pagar kapal yang tengah mengangkat jangkar. Ketika

gemu?ruh mesin mulai terdengar dan kapal mulai bergoyang, keduanya

saling melambaikan tangan.

"Sayonara," kata Shodancho akhirnya.

Akhir perang ternyata memberi kesunyian tertentu seperti orangorang yang tiba-tiba pensiun. Selama beberapa hari itu Sang Shodancho

menghabiskan waktu di bekas markas shodannya sendiri, di daerah

sepanjang pantai Halimunda. Sehari-hari ia hanya menyabit rumput

memberi makan keledai yang ditungganginya saat menuju pelabuhan,

atau memancing ikan di sungai kecil tak jauh dari markas shodan.

Sam?pai akhirnya ia mengumpulkan para sahabatnya, dan berkata pada

mereka bahwa ia akan kembali ke hutan, sampai batas waktu yang tak

ditentukan.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Mayor Sadrah, kini ia penguasa

militer kota, "Tak ada lagi gerilya."

Dengan tenang Sang Shodancho menjawab, "Tak ada yang harus

dikerjakan tentara di masa damai. Maka aku akan berdagang saja di

tengah hutan."

Kenyataannya, itulah memang yang ia lakukan. Ia menghubungi

Bendo, pedagang yang pernah dilindunginya menyelundupkan kayu

jati dan sebagai balasannya membantu logistik selama gerilya. Bersama

seorang pedagang Cina yang dibawa Bendo, Sang Shodancho memulai

bisnis penyelundupan lebih banyak barang melalui hutan tanjung. Sete?

lah kesepakatan dicapai, ia bersiap untuk kembali ke hutan, bersama

tiga puluh dua prajurit paling setia yang akan menemaninya dalam

urus?an yang baru.

"Kini, musuh kita satu-satunya adalah para perampok," katanya pada

ketiga puluh dua prajurit tersebut.

Itu benar. Semua orang di kota itu, sipil maupun militer, me?ngetahui

belaka semua aktivitas penyelundupan mereka. Segala hal keluar

masuk melalui pelabuhan kecil yang dibangun di ujung tanjung: tivi,

jam tangan, kopra, bahkan sandal jepit. Penduduk kota tak pernah

mengeluhkan apa pun, sebab Sang Shodancho masih pahlawan mereka,

dan barang-barang itu kadang tercecer di Halimunda dengan harga

sangat murah sebelum dikirim ke banyak kota. Dan pejabat militer

pun bungkam, bukan karena Mayor Sadrah sahabat belaka dari Sang

Shodancho, tapi Sang Shodancho memotong separuh penghasilannya

untuk para jenderal di ibukota. Semua orang segera menyadari, di luar

bakat alaminya untuk berperang, ia punya naluri bisnis yang luar biasa.

"Tak ada bedanya perang maupun bisnis," kata Sang Shodancho

membuka rahasia, "Keduanya dikerjakan dengan sangat licik."

Sebenarnya Sang Shodancho tak terlalu banyak terlibat dengan

urusan bisnis itu, sebab semuanya telah ditangani dengan baik ketiga

puluh dua prajuritnya. Ia menghabiskan waktu lebih dari sepuluh ta?

hun?nya hanya untuk tinggal di gubuk gerilya, memancing, meditasi, dan

me?melihara ajak. Bahkan ia menyuruh para prajuritnya untuk me?mi?liki

rumah dan tinggal di kota, dan juga kawin, hanya saja secara bergantian

mereka menemani Sang Shodancho di hutannya yang sunyi. Ketika para

prajuritnya mulai kehilangan semua insting berperang, yang diawali

membengkaknya tubuh mereka disebabkan konsumsi yang berlebihan,

dan gaya hidup yang menyenangkan, Sang Shodancho masihlah seperti

dulu juga. Tubuhnya masih kurus, dan kemampuan geraknya tak pernah

merosot sedikit pun. Ia me?maksakan dirinya untuk terus bekerja, bahkan

termasuk menyiapkan makanan bagi para prajurit, meskipun ia makan

paling sedikit. Ia tampak mulai menikmati pola hidupnya yang damai,

hingga Mayor Sadrah memintanya keluar hutan untuk memberantas

babi di lereng bukit Ma Iyang dan Ma Gedik.

"Aku tak tahu, apakah para prajurit masih bisa diajak berburu babi,"

kata Tino Sidiq pada Sang Shodancho. "Selama sepuluh tahun me?reka

hanya duduk di belakang kemudi truk."

"Tak apa, aku telah merekrut prajurit-prajurit baru yang siap tem?

pur," kata Sang Shodancho. Lalu ia bersiul begitu nyaring, dan sesaat

kemudian ajak-ajak peliharaannya berdatangan, berwarna ke?labu,

tang?kas, dan siap bertarung. Jumlahnya nyaris mencapai seratus ekor,

semuanya berdesakan di bawah kakinya.

"Jumlah yang cukup untuk serbuan babi," jawab prajurit Tino Sidiq

sambil membelai seekor ajak.

"Minggu depan kita langsung bergerak ke front," kata Shodancho.

Kasus serangan babi itu telah berawal sekitar empat atau lima tahun

sebelumnya, ketika seorang petani bernama Sahudi dan lima orang te?

mannya berburu babi. Sawah dan ladang mereka persis di kaki bukit Ma

Iyang dan telah sebulan itu diserang oleh babi hutan. Mendekati panen,

khawatir serangan babi itu semakin ganas, Sahudi segera mengum?pul?

kan teman-temannya dan bersiap melakukan penyergapan. Terutama

ketika anak kecilnya yang baru berumur tujuh tahun memergoki seekor

babi telah sampai ke halaman belakang rumah, kesabarannya sungguhsungguh lenyap.

Mereka memilih satu malam bulan purnama, dengan senapan angin

masing-masing di tangan, enam orang itu duduk berpasangan di po?

hon jambu air, sawo, dan kedondong, masing-masing di sebuah sudut.

Di?temani rokok yang menyala kecil, mereka menanti dengan penuh

ke?sabaran tanpa bicara satu sama lain dengan satu instruksi tembak

di tempat bagi babi pertama yang terlihat oleh siapa pun. Meskipun

mereka harus menanti sampai waktu mendekati dini hari, akhirnya suara

dengusan binatang itu terdengar juga. Dalam waktu beberapa menit si

tikus besar telah menampakkan diri di bawah ca?haya bulan pur?nama,

bukan cuma seekor, ternyata sepasang. Ke?duanya tampak hendak menuju

perkampungan, namun melihat ladang subur tempat keenam orang itu

bersembunyi, babi-babi itu tak melewatkan waktu untuk menyerang

tanaman kacang dan jagung yang ditanam di sana.

Senapan telah diisi angin sampai penuh, dan Sahudi segera meng?

angkat senapannya. Ia membidik salah seekor babi, yang pa?ling tampak

oleh cahaya bulan, dan dalam waktu bersamaan tiga senapan meletus

pada babi yang sama. Babi itu tersungkur rebah di tanah dengan kepala

berhiaskan tiga lubang peluru, tepat pada batok otaknya, sementara tiga

yang lain mencoba menembak babi yang satu namun luput. Babi itu

segera lari menerjang apa pun demi melihat pasangannya roboh dan

demi mendengar suara letusan senapan.

Keenam orang tersebut segera berlompatan dari pohon masingmasing, dan ketika melihat babi itu belum mati sepenuhnya, Sahudi

menancapkan tombak kayu ke dadanya dengan sekuat tenaga, mem?buat

si babi berkelojotan sebelum membuang nyawa. Tapi sesuatu terjadi

mem?buat keenam lelaki itu memandang tak percaya pada bangkai

di bawah bulan purnama tersebut: tubuh hitam berbulu yang penuh

lumpur itu tiba-tiba berubah menjadi sosok mayat ma?nusia dengan tiga

peluru memporakporandakan kepalanya dan tombak tertancap di dada,

jelas sudah mati sama sekali.

"Tai!" kata Sahudi, "babi ini berubah jadi manusia."

Berita itu dengan cepat tersebar dari desa satu ke desa lain, hing?

ga seluruh Halimunda mendengarnya. Tak seorang pun mengenali

mayat lelaki tersebut, dan tak ada orang mengambil mayatnya hingga

membusuk di rumah sakit kota, sebelum dikuburkan di pe?makaman

umum. Namun sejak saat itu tak seorang pun punya keberanian untuk

mem?bunuh babi, sebab mereka takut kutukan sebagaimana terjadi

pada Sahudi dan kelima temannya: menjadi gila. Empat tahun berlalu

tanpa seorang pun membunuh babi, bahkan meskipun kini babi telah

menjadi perusak paling ganas sawah dan ladang petani. Satu-satunya

harapan para petani itu, karena mereka sendiri takut melakukannya,

adalah mendatangi markas militer. Mayor Sadrah telah mengirim

beberapa prajurit ke hutan, dan hasilnya selalu menjadi cemoohan di

mana mereka lebih banyak pulang membawa ayam hutan dan kelinci

daripada babi. Mayor Sadrah akhirnya mengirim seorang kurir, meminta

bantuan dari Sang Shodancho, mengetahui dengan baik hanya orang

itulah yang bisa diandalkan.

Kedatangan Sang Shodancho rupanya telah diketahui oleh selu?

ruh penduduk kota. Sebagaimana pernah mereka lakukan sepuluh

tahun sebelumnya, mereka berbaris di sepanjang jalan melambaikan

saputangan dan bendera kecil, berharap melihat sendiri pahlawan

mereka yang menghilang begitu lama. Anak-anak kecil berdiri paling

depan, penasaran oleh sosok yang diceritakan ayah dan kakek serta

ibu dan nenek mereka secara berulang-ulang. Dan para veteran perang

revolusi, me?ngenakan seragam mereka secara lengkap seolah ini hari

ke?mer?dekaan. Para prajurit reguler memberi sambutan penghormatan

dengan menembakkan meriam ke lepas pantai, dan anak-anak sekolah

memeriahkannya dengan drum band.

Akhirnya Sang Shodancho muncul, kali ini tak menunggang ke?le?

dai, tapi berjalan kaki. Ia mengenakan pakaian longgar dengan rambut

yang sangat pendek; tubuhnya masih sekurus dulu mem?buatnya lebih

tampak seperti pendeta Buddha daripada seorang tentara. Ia dikawal

tiga puluh dua prajuritnya yang setia itu, yang selama seminggu ter?akhir

ia siksa kembali dalam latihan fisik yang berat untuk mengecilkan tubuh

mereka. Masih ada sembilan puluh enam prajurit tambahan: gerombol?

an ajak jinak yang berwarna kelabu, beberapa putih dan kecokelatan,

mengekor di belakangnya, tampak kegirangan memperoleh sambutan

luar biasa masyarakat kota. Mayor Sadrah menyambut sendiri sahabat?

nya tersebut.

Di depan banyak orang itu, sambil memeluk Sadrah yang secara

me?ngejutkan telah memiliki perut buncit bagai perempuan hamil, hu?

mor kejam Sang Shodancho timbul kembali. "Aku telah menangkap

se?ekor," katanya, "babi."

"Itulah satu-satunya alasan kami tak bisa berperang melawan yang

sesungguhnya," kata Mayor Sadrah yang segera disetujui Sang Shodan?

cho.

"Percayalah, ajak-ajak ini akan berguna."

Rombongan itu tinggal di markas Sang Shodancho yang lama, sejak

zaman Jepang, yang tetap dibiarkan tanpa diisi untuk meng?hormatinya.

Sebagaimana ia janjikan, tanpa banyak beristirahat, keesokan hari?

nya bersama pasukan tempurnya itu ia mulai menggelar perburuan

besar-besaran. Satu prajurit menggiring tiga ekor ajak, sementara Sang

Sho?dancho memimpin dengan senapan serta belati. Perburuan babi

mereka tak dilakukan dengan cara menunggu se?ba?gaimana Sahudi dan

teman-temannya, tapi langsung membuat ke?ri?butan di semak-semak

hutan tempat babi bersarang. Si tikus besar yang mungkin tengah tidur

siang mulai berlarian ke sana-kemari.

Hari itu mereka berhasil menangkap dua puluh enam ekor babi,

keesokan harinya dua puluh satu ekor, dan pada hari ketiga menang?

kap tujuh belas ekor. Itu cukup banyak untuk membuat populasi babi

yang membuat kekacauan turun drastis sehingga penduduk me?nyam?but

mereka dengan suka cita. Sebagian babi-babi itu mati terbunuh oleh

tombak dan senapan, beberapa lagi mereka kumpulkan di lapangan

bola dekat markas shodan pada kandang darurat yang besar sekali. Ada

hal yang aneh bahwa babi-babi yang terbunuh tak satu pun berubah

men?jadi manusia. Mereka sungguh-sungguh babi, dengan kulit ber?

bulu hitam penuh lumpur, dengan taring dan mon?cong. Keajaiban itu

membuat para petani akhirnya mulai ikut berburu babi di hari keempat,

dan terus berburu babi di masa antara setelah panen dan sebelum masa

tanam menjadikan itu tradisi.

Babi-babi yang mati terbunuh mereka lemparkan ke dapur restoranrestoran milik orang Cina, sementara yang hidup dipersiapkan untuk
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adu babi dalam rangka merayakan kemenangan mereka yang gemilang.

Babi-babi itu akan diadu dengan ajak dalam satu arena, merupakan yang

pertama di Halimunda membuat penduduk kota yang haus tontonan

antusias menantikannya. Sang Shodancho dan para prajurit memper?

siapkan sebuah arena di lapangan bola. Arena itu merupakan dinding

papan yang dibuat melingkar setinggi tiga meter. Di bagian luar dinding

pada ketinggian dua meter terdapat papan kukuh tempat para penonton

akan berdiri, ditopang bambu yang malang-melintang. Untuk mencapai

papan tersebut, orang harus melalui tangga yang dijaga dua tentara

sebagai petugas pe?nyobek tiket, sementara tiket bisa diperoleh dengan

membelinya pada seorang gadis cantik di belakang meja.

Pertunjukan berlangsung di sore hari Minggu, dua minggu setelah

kedatangan Sang Shodancho. Akan dilaksanakan sepanjang enam hari,

sampai semua babi mati dan dilemparkan ke dapur restoran. Para penon?

ton berdatangan dari seluruh pelosok kota, beberapa bahkan da?tang dari

luar kota, dan mereka segera antri di depan gadis cantik pen?jual tiket.

Sementara itu, orang-orang yang mau menonton tapi tak mau membayar

atau tak mampu membayar, berebut naik pohon kelapa yang tumbuh

di sekeliling lapangan bola dan duduk di dahan-dahan?nya. Pakaian

mereka yang berwarna-warni akan membuat terasa aneh jika dilihat

dari kejauhan, seolah buah kelapa tak lagi berwarna hijau dan cokelat.

Adu babi itu sendiri berlangsung sangat menarik. Ajak-ajak yang

dipelihara Sang Shodancho, meskipun telah dijinakkan, masih mem?

perlihatkan keliarannya mengeroyok babi hutan. Seekor babi melawan

lima atau enam ajak, tentu saja tak adil, tapi semua orang berharap

babi itu memang mati. Mereka tidak sedang melihat pertarungan, tapi

pembantaian. Jika si babi mencoba menyerang seekor ajak, ajak-ajak

yang lain menyerbu bagian tubuhnya dan menggigit dagingnya hingga

terkoyak-koyak, sementara ajak yang diserangnya menghindar jauh

lebih gesit daripada si babi sendiri. Kadang-kadang babi itu mulai tam?

pak kepayahan, dan seorang prajurit akan membanjurnya dengan air

se?ember, memaksanya kembali segar, dan bersiap bertahan dari serangan

ajak berikutnya. Akhir pertunjukan kemudian selalu jelas: babi itu mati,

dan seekor atau dua ajak mungkin terluka ringan. Babi baru dimasuk?

kan ke arena, dan enam ajak segar siap me?ngoyak-ngoyaknya. Semua

penonton tampak puas dengan pembantaian tersebut, kecuali Sang

Sho?dancho yang tiba-tiba dibuat terpukau oleh satu pemandangan lain.

Di antara para penonton ia melihat seorang gadis muda yang begitu

cantik, tampak tak peduli pada kenyataan bahwa sebagian besar penon?

ton adalah laki-laki. Umurnya mungkin baru enam belas tahun, seperti

seorang bidadari yang tersesat. Rambutnya diikat dalam satu ikatan pita

warna hijau tua, bahkan dari kejauhan Sang Shodancho bisa melihat

mata mungilnya yang tajam, hidungnya yang mencuat, dan senyumnya

yang terasa sangat kejam. Kulitnya putih seperti mengeluarkan cahaya,

diselimuti gaun warna gading yang menawan di sore yang penuh angin

laut. Gadis itu mengeluarkan sigaret dari saku gaunnya, dan dengan

kete?nangan yang luar biasa, ia merokok, sementara matanya terus

me?natap ajak dan babi yang tengah berkelahi. Sang Shodancho telah

melihatnya sejak ia naik tang?ga penonton, dan tampaknya ia datang

seorang diri saja. Merasa penasaran pada sang bidadari, ia bertanya pada

Mayor Sadrah yang menemani di sampingnya, "Siapakah gadis itu?"

Mayor Sadrah mengikuti telunjuknya dan menjawab, "Namanya

Alamanda, anak pelacur Dewi Ayu."

Selepas urusan berburu babi tersebut, ia membagikan seluruh ajakajak peliharaannya kepada penduduk Halimunda. Orang-orang yang

dibuat gemas dengan ajak-ajak jinak tersebut mencoba be?re?butan,

namun mereka harus kecewa sebab ajak-ajak itu hanya sembilan puluh

enam ekor. Sebagian besar dibagikan kepada para pe?tani untuk mem?

bantu mereka menjaga sawah dan ladang, dan sisanya dibagikan pada

beberapa penduduk kota secara acak. Bagi yang belum sempat memper?

olehnya pada kesempatan pertama Sang Shodancho menyuruh mereka

untuk sabar menunggu, sebab tak lama kemudian ajak-ajak itu akan

berkembang biak dan mereka bisa memperoleh anak-anaknya. Itulah

kali pertama Halimunda kemudian dipenuhi oleh anjing, yang berasal

dari ajak-ajak tersebut.

Seharusnya Sang Shodancho sudah kembali ke hutan, sebagaimana

ia niatkan sejak semula. Ketika ia datang, ia berkata pada Mayor Sad?

rah, bahwa ia akan berada di kota sampai urusan babi selesai. Tapi sejak

melihat Alamanda yang hanya sekali di arena adu babi itu, ia sungguhsungguh tak bisa tidur dibuatnya. Ia tak berani pulang ke gubuk gerilya,

sebab ia tahu di sana ia akan menderita mer?indukan gadis itu. "Ini pasti

cinta," katanya pada diri sendiri. Dan cinta itulah yang membuatnya

menggigil mencari alasan agar ia bisa tinggal lebih lama di kota, dan

jika perlu tak usah me?ning?gal?kannya lagi.

Pertolongan datang ketika Mayor Sadrah muncul dan berkata,

"Ja?ngan segera pergi, kita masih akan merayakan kemenangan: orkes

Melayu."

"Demi cintaku pada kota ini, aku tak segera pulang," katanya lekas.

Ia melihatnya lagi, gadis itu, di malam ketika penguasa militer kota

meneruskan perayaan kemenangan dengan pertunjukan orkes Melayu.

Tempatnya masih di lapangan bola yang sama, namun kali ini tak ada

tiket untuk penonton sehingga makin banyak orang berdatangan. Orkes

Melayu selalu merupakan pertunjukan favorit bagi banyak pemuda dan

pemudi Halimunda, di mana mereka bisa bergoyang, entah karena

mabuk atau karena musiknya. Grup mu?siknya datang dari ibukota,

mem?bawa segerombolan penyanyi yang tak seorang pun mengenalnya,

tapi tak seorang pun peduli.

Musiknya selalu enak untuk bergoyang. Maka begitu pertunjukan

dimulai, penonton bergoyang perlahan, melenggok seolah penuh peng?

hayatan. Lagunya selalu berlirik cengeng tentang patah hati, ten?tang

cinta bertepuk sebelah tangan, tentang suami yang selingkuh. Tak ada

musik Melayu yang tak cengeng, terutama dalam pertunjukan terse?

but, namun sang penyanyi tak perlu menangis karena itu. Se?baliknya,

penyanyi-penyanyi perempuan dengan dandanan seronok malah

meng?umbar senyum dan tawa, tak peduli betapa sedihnya lagu yang

dinya?nyikan, membelakangi penonton sambil memutar bokong mereka.

Setelah memperoleh tepuk tangan dari penonton atas aksi bokongnya,

mereka kemudian akan berputar dan menghadapi penonton sambil

sedikit berjongkok. Orang-orang kembali bertepuk tangan karena ia

mengenakan rok mini sehingga terlihat apa yang ingin ia perlihatkan.

Paduan antara musik yang mendayu, kemesuman, kecengengan, itulah

yang membuat banyak orang bergembira malam tersebut.

Sang Shodancho melihat Alamanda kembali, berjalan seorang diri.

Ia mengenakan jeans dan jaket kulit, dengan rokok kembali bertengger

di bibirnya yang manis. Sang Shodancho sungguh-sungguh bersyukur

telah keluar dari hutan dan menemukan seorang bidadari hidup di kota?

nya tercinta. Gadis itu tak ikut bergoyang di depan panggung, melain?

kan hanya berdiri menonton di samping seorang penjual makanan yang

bertebaran di sekeliling lapangan bola. Tak tahan dengan provokasi

ke?cantikannya, Sang Shodancho yang dilanda cinta membabi-buta

menghampirinya. Kepopulerannya membuat perjalanan ke tempat si

gadis sungguh-sungguh penuh gangguan, sebab ia harus meladeni sapaan

ramah orang-orang. Akhirnya gadis itu ada di hadapannya, atau ia ber?

diri di hadapan si gadis, dan menyaksikan sendiri kecantikan alami yang

mengagumkan itu di depan matanya sendiri. Ia mencoba tersenyum,

tapi Alamanda hanya meliriknya acuh.

"Tak baik seorang gadis berkeliaran seorang diri di malam hari," kata

Sang Shodancho membuka basa-basi.

Alamanda menatap lurus ke arah mata Shodancho masih dengan

tatapan seolah acuhnya dan berkata, "Jangan bodoh, Shodancho, aku

berkeliaran dengan ratusan orang malam ini."

Selepas mengatakan itu, Alamanda pergi meninggalkannya begitu

saja tanpa pamit. Itu membuat Sang Shodancho berdiri terpaku tak

per?caya. Serangan gila itu bagaimanapun jauh lebih mengerikan dari

semua pertempuran yang pernah dialaminya. Ia berbalik dan melangkah

dengan tubuh dan jiwa yang sungguh tak berdaya.

"Adakah strategi gerilya untuk mengalahkan cinta?" tanyanya dalam

satu keluhan pendek pada diri sendiri.

Ia mencoba melupakan bayangan tentang gadis itu, namun semakin

ia mencoba melupakan, wajah setengah Jepang setengah Belanda dan

sedikit Indonesia itu semakin menghantuinya. Ia mencoba mencari

alasan bahwa tak mungkin ia mencintai gadis itu. Pi?kir?kanlah, katanya

sejenak sebelum tidur yang tak pernah bisa di?la?kukannya lagi, gadis itu

mungkin baru lahir di tahun yang sama ketika aku jadi shodancho dan

merencanakan pemberontakan. Ada rentang waktu dua puluh ta?hun

dalam umur mereka. Dan kini, seorang lelaki yang pernah jadi Pang?

lima Besar dan memperoleh pangkat jenderal dari Presiden Pertama

Republik Indonesia harus menyerah oleh gadis enam belas tahun. Me?

mikirkan hal itu semakin jauh membuatnya jadi lebih menyakitkan,

dan ia semakin terperosok pada cinta yang tak berujung.

Suatu pagi akhirnya ia terbangun dan mengakui sejujurnya bahwa

ia jatuh cinta pada gadis itu dan berjanji atas nama prajurit bahwa Ala?

manda akan menjadi istrinya.

"Aku tak akan kembali ke hutan," ia berkata.

Tapi ia tak mengatakannya pada siapa pun, membuat ketiga puluh

dua prajuritnya yang setia itu kebingungan kenapa Sang Shodancho tak

lagi kembali ke hutan. Mereka masih juga menunggu perintah, sampai

akhirnya Tino Sidiq, yang paling dekat dengannya, bertanya, "Kapan

kita kembali, Shodancho?"

"Kembali ke mana?" tanyanya.

"Hutan," jawab Tino Sidiq, "sebagaimana sepuluh tahun telah kita

jalani."

"Pergi ke hutan bukanlah suatu perjalanan kembali," kata Sang

Shodancho. "Aku dan kau dan semua orang dilahirkan di sini, di kota

ini, Halimunda. Ke sinilah justru kita kembali."

"Apakah kau tak ingin pergi ke hutan lagi?" tanya Tino Sidiq akhir?

nya.

"Tidak."

Itu ia buktikan dengan memasang papan nama di depan bekas mar?

kas shodannya: Rayon Militer Halimunda. Kepada Mayor Sadrah yang

muncul secara tiba-tiba setelah mendengar ke?pu?tusannya untuk tinggal

di kota dan terutama pendirian rayon militer yang sesuka hati, ia ber?

kata pendek, "Kini aku Komandan Rayon Militer, setia pada sumpah

pra?jurit, dan menunggu pe?rintah."

"Jangan membuat lelucon. Kau seorang jenderal dan tempatmu di

samping presiden," kata Mayor Sadrah.

"Aku akan menjadi apa pun asalkan tetap di kota ini, di samping

gadis yang namanya kau sebutkan untukku," katanya dalam nada yang

be?gitu menyedihkan, "Bahkan seandainya aku harus menjadi seekor

anjing sekalipun."

Sadrah memandang sahabatnya dengan tatapan iba yang begitu

dalam. "Gadis itu sudah punya kekasih," kata Mayor Sadrah setelah ke?

bimbangan sejenak. Ia tak sanggup memandang wajah Sang Shodancho,

maka sambil memandang ke arah lain, ia melanjutkan, "Seorang pemuda

bernama Kliwon."

Ia tahu bahwa ia telah mengatakan sesuatu yang menyakitkan hati.

ak seorang pun tahu bagaimana Kamerad Kliwon akhirnya men?

jadi seorang pemuda komunis, padahal meskipun ia bukan pemuda

yang cukup kaya, ia menjalani hidupnya dengan cara yang sangat me?

nyenangkan. Ayahnya memang seorang komunis, seorang jago pidato,

berhasil selamat dan tidak dikirim ke Digoel oleh pemerintah kolonial,

namun akhirnya mati dieksekusi Jepang setelah ia terus-menerus usil

bicara dan menulis selebaran sampai Kenpetai akhirnya tahu ia seorang
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

komunis. Tapi sebelum ini tak ada tanda-tanda bah?wa Kliwon akan

meng?ikuti jejaknya. Ia anak yang pandai di sekolah, pernah dua kali

lom?pat kelas, dan tampaknya ia bisa men?jadi apa pun yang ia inginkan.

Bagaimanapun, Kliwon lebih menampakkan sebagai anak badung

daripada sebagai bocah komunis yang disiplin. Ia tumbuh menjadi pe?

mim?pin anak-anak kampung untuk menyatroni perkebunan dan men?

curi apa pun yang bisa ditemukan di sana untuk kesenangan mereka

sen?diri: kelapa, gelondongan kayu, atau sekadar buah cokelat untuk

dimakan di tempat. Mereka tak pernah terlalu mengganggu sehingga

seringkali dibiarkan begitu saja, meskipun satu atau dua orang memang

mengomelkannya. Di malam Lebaran, mereka akan me?manggang ayam

curian, dan esok harinya, mereka menemui pe?milik ayam untuk minta

maaf. Pada awal umur belasan tahun, semua orang tahu bahwa mereka

bahkan telah pergi ke rumah pelacuran. Mereka akan pergi melaut

atau sekadar membantu menarik jaring untuk memperoleh upah, dan

se?telah memperoleh uang, anak-anak itu akan mencari pelacur untuk

ditiduri bersama-sama. Tapi kadang-kadang mereka sungguh-sungguh

tak punya uang dan tempat pelacuran telah membuat mereka tak ter?

biasa menahan berahi.

Kliwon seorang yang cerdas dan kadang-kadang pikirannya cen?

derung mengejutkan jika tidak bisa dianggap gila. Ia pernah mem?bawa

tiga orang temannya ke tempat pelacuran, meniduri seorang pelacur se?

cara bergiliran. Awalnya pelacur itu menyuruh mereka naik tempat tidur

dua-dua, sebab katanya, ia punya lubang di depan dan belakang. Tapi tak

seorang pun mau berbagi lubang dengan tai, maka mereka menidurinya

satu per satu. Kliwon menampakkan di?rinya sebagai seorang pemimpin

sejati, mempersilakan ketiga teman-temannya menyetubuhi perempuan

itu lebih dahulu, lalu ia memperoleh giliran terakhir. Ketika percintaan

itu selesai, si pelacur harus melihat pemandangan menyedihkan di mana

anak-anak itu menerjang pintu dan kabur tanpa membayar.

"Aku tanya padanya, apakah ia suka bersetubuh dengan kami," kata

Kliwon tak lama setelah itu, bercerita pada orang-orang di ke?dai minum,

"dan ia jawab suka." Orang-orang sering bergerombol di sekitarnya untuk

men?dengarkan ia bercerita dan ia melanjutkan: "Karena ia suka dan

kami juga suka, jadi kenapa kami harus membayarnya?"

Ibunya, yang tak ingin mengulang apa pun yang terjadi pada suami?

nya, telah mencoba menjauhkannya dari ide-ide gila Marxis dan seje?

nisnya, dan cenderung tak peduli dengan apa pun yang ia lakukan asal?

kan ia tak jadi seorang komunis. Ia bahkan mengirimnya untuk pergi

ke bioskop, ke konser musik, membiarkannya mabuk di kedai minum,

membiarkannya membeli piringan hitam, dan senang belaka ia bisa

ber?gaul dengan banyak gadis. Ia tahu banyak di antara gadis-gadis itu

ditiduri anaknya, atau minta ditiduri, tapi ia tak peduli. Baginya itu lebih

baik daripada suatu ketika ia harus me?lihatnya berdiri di depan sederet

regu tembak yang akan meng?ek?se?kusinya. "Kalaupun ia jadi komunis,

ia harus jadi komunis yang ber?bahagia," kata si ibu. Perkawinannya

selama beberapa tahun de?ngan seorang komunis, serta pergaulannya

dengan kamerad-kamerad lain, telah memberinya kesimpulan bahwa

orang komunis selalu murung dan tak berbahagia. Melewati zaman yang

susah, selama pen?dudukan Jepang dan perang revolusi, ia membiarkan?

nya hidup dalam hura-hura yang nyaris tanpa ampun.

Di umurnya yang ketujuh belas, hidupnya sungguh-sungguh cemer?

lang untuk ukuran kota itu. Ia mengenakan pantalon dengan ujung pipa

melebar serta kemeja warna gelap dengan pantovel meng?ilap oleh semir.

Gadis-gadis keluar dari rumah mereka untuk mengikutinya ke mana pun

ia pergi, mengekor seperti ujung gaun pengantin, dan para pemuda akan

mengekor pula gadis-gadis itu di belakangnya. Gadis-gadis dibuat jatuh

cinta kepadanya, dan mereka menghujaninya dengan hadiah-hadiah,

yang mulai menumpuk di rumahnya menyerupai barang rongsokan.

Tan?pa memedulikan apa pun, mereka menggelar pesta nyaris setiap

malam, di rumah siapa pun atau di tempat mana pun. Teman-teman

lelaki juga me?nya?yanginya belaka, sebab ia tak pernah mengambil gadisgadis itu hanya untuk dirinya sendiri. Begitulah cara mereka menjalani

hidup. Di tahun-tahun itu, mungkin gerombolan Kliwon dan temante?mannyalah yang hidup paling bahagia di kota tersebut.

Waktu itu ia sudah mendengar kemashyuran pelacur bernama Dewi

Ayu, dan jika ada satu hal yang membuatnya tidak berbahagia, maka itu

adalah fakta bahwa sampai umurnya yang ketujuh belas ia belum pernah

menyetubuhi pelacur yang terus dibicarakan orang tersebut. Ia pernah

mencobanya beberapa kali, tapi selalu terlambat sebab Dewi Ayu hanya

mau tidur dengan seorang lelaki dalam satu malam dan para lelaki

selalu berderet dalam antrian. Atau kalaupun ia berhasil untuk tidak

datang terlambat, seseorang akan me?nying?kirkannya dengan bayaran

yang lebih besar: Mama Kalong selalu memberikan kesempatan pada

lelaki yang bisa membayar lebih banyak. Selama itu, ia selalu terobsesi

untuk bisa masuk ke kamarnya, berbaring di atas tempat tidurnya, dan

begitu jahatnya khayalan tersebut, beberapa kali ia meniduri seorang

gadis sambil mem?ba?yang?kannya sebagai Dewi Ayu yang pernah ia lihat

beberapa kali di tempat umum.

Paling tidak, Dewi Ayu membuatnya insyaf bahwa tak semua

perempuan tergila-gila kepadanya. Memang benar bahwa perempuanperempuan kawin dan janda-janda, meskipun tak berbuat segila para

gadis sampai mengikutinya ke mana pun ia pergi, tapi ia tahu mereka

sering mencuri pandang belaka kepadanya dan jauh di dalam hati

mereka, ada keinginan untuk membawanya masuk ke kamar. Ia per?

nah tidur dengan sedikit di antara mereka, dan tampaknya bisa tidur

de?ngan semuanya asal ia mau, kecuali Dewi Ayu. Hanya pe?rempuan

itu yang ia yakini tak akan tergila-gila kepadanya, dan sebaliknya, ia

harus mengeluarkan uang jika menginginkannya. Selama beberapa hari

terakhir, ia mencoba memikirkan satu cara agar ia bisa memperoleh

kesempatan menidurinya, tak usah lama, kurang dari lima menit sudah

cukup untuknya. Atau sekadar menyentuh tubuhnya. Sampai kemudian

ia memutuskan untuk mendatangi sen?diri rumah perempuan itu, satu

hal yang tak pernah dilakukan lelaki mana pun.

Kliwon menyukai musik dan pandai bermain gitar, paling tidak

me?miliki banyak repertoar lagu-lagu cengeng dan keroncong yang

bisa dinyanyikan di samping teman-temannya. Ia mendatangi rumah

Dewi Ayu di suatu hari Minggu seorang diri dengan menenteng sebuah

gitar, mendandani dirinya sebagai seorang pengamen, dan berniat me?

naklukan perempuan itu dengan lagu dan rayuan gombalnya. Ia telah

melakukannya beberapa kali, merayu beberapa gadis yang digila-gilainya

dengan menyanyikan lagu di bawah jendela kamar mereka, maka kini

berdiri di depan pintu rumah Dewi Ayu, ia mulai memetik senar gitar

dan bernyanyi dengan suara falsetonya.

Sang pelacur tampaknya tak tergoda sama sekali hingga untuk bebe?

rapa saat ia harus berdiri di sana menyanyikan lima lagu tanpa seorang

pun membuka pintu. Ia telah mendengar dari orang-orang bahwa perem?

puan itu tinggal bersama tiga anak gadisnya serta dua orang pembantu,

dan mereka orang-orang yang ramah belaka. Dengan penuh prasangka

baik, ia terus berdiri di sana hingga sepuluh lagu dinyanyikan dan teng?

gorokannya terasa kering. Ketika satu jam berlalu ia mulai mengeluarkan

saputangan dan melap keringat yang berbintik-bintik di sekitar leher dan

dahinya, sementara kedua kakinya tak lagi mampu menopang tubuh?

nya. Tak ada tanda-tanda bahwa tuan rumah akan muncul. Ia akhirnya

meletakkan gitar di atas meja dan duduk di kursi, pandangannya nyaris

berkunang-kunang tapi ia bertekad tak akan menyerah.

Musik yang berhenti ternyata lebih menarik perhatian tuan rumah

daripada musik yang dinyanyikan. Tanpa ia duga sama sekali, pintu ter?

buka dan seorang gadis kecil berumur delapan tahun muncul dengan

segelas limun dingin, meletakkannya di atas meja di samping gitar.

"Kau boleh bernyanyi di halaman rumah kami selama kau suka,"

katanya, "tapi tentunya kau sangat haus."

Kliwon berdiri kaku. Bukan oleh kata-kata si gadis kecil atau limun

dingin yang disuguhkannya, tapi demi melihat seorang bidadari mungil

berdiri di depannya. Ia belum pernah melihat gadis secantik itu seumur

hidupnya, bahkan meskipun ia pernah melihat Dewi Ayu yang di?katakan

orang sebagai perempuan tercantik di kota itu. Ia tak tahu dengan bahan

macam apakah Tuhan menciptakan makhluk seperti ini, sebab dari selu?

ruh tubuhnya ia serasa melihat cahaya berpijaran. Pemandangan seperti

itu jauh lebih membuatnya meng?gigil daripada berdiri sambil bernyanyi

selama satu jam tanpa seorang pun memberinya perhatian. Dengan bibir

yang menggigil, ia bertanya terbata-bata, "Siapa namamu?"

"Alamanda, anak Dewi Ayu."

Nama itu menyerang otaknya seperti palu. Ia melangkah me?nenteng

gitarnya seperti orang kehilangan arah. Beberapa kali ia menoleh me?

mandang si kecil yang cantik itu, beberapa kali pula ia me?malingkan

muka seolah tak tahan oleh cahaya yang berpijaran dari tubuhnya. Ia

baru sampai di pintu pagar rumah ketika gadis itu memanggil dan ber?

kata padanya.

"Minumlah dulu sebelum pergi, kau pasti haus."

Seperti lelaki yang terhipnotis, Kliwon berbalik dan kembali ke

beranda rumah, mengambil gelas berisi limun dingin itu dan me?mi?

num??nya sementara si gadis berdiri sambil tersenyum penuh ke?ha?ngatan.

"Hanya karena kau yang buat, Nona Kecil, aku meminumnya," kata

Kliwon sambil meletakkan gelas kosong kembali di atas meja.

"Kau salah," kata Alamanda, "yang buat pembantu kami."

Sejak itu Kliwon lupa pada keinginannya untuk meniduri pelacur

bernama Dewi Ayu, dan sampai bertahun-tahun kemudian ia tak

per?nah menidurinya. Si kecil yang cantik itu telah menghancurkan

segala-galanya, termasuk hari-hari dan mungkin masa depannya. Dalam

beberapa hari setelah pertemuan singkat itu, segalanya tiba-tiba menjadi

berubah. Ia mengusir semua gadis yang mencoba mendekatinya, meno?

lak semua ajakan pesta, dan lebih banyak tinggal di rumah merenungi

nasib cintanya yang tampak menyedihkan: se?orang penakluk gadis-gadis

dibuat tak berdaya oleh gadis delapan tahun. Tapi itulah kenyataannya,

meskipun tak seorang pun tahu apa yang telah terjadi. Tak satu pun di

antara teman-temannya mengetahui kepergiannya di hari Minggu itu ke

rumah Dewi Ayu, sehingga tak seorang pun berani mengambil spekulasi

mengenai kemurungannya akhir-akhir ini. Bagaimanapun, itu membuat

ibunya sangat khawatir, sebab selama bertahun-tahun memeliharanya,

ia belum pernah melihat Kliwon semurung hari-hari tersebut.

"Apakah kau telah jadi seorang komunis?" tanya ibunya, cemas dan

tampak putus asa. "Hanya orang komunis yang murung."

"Aku jatuh cinta," kata Kliwon pada ibunya.

"Itu lebih menyedihkan." Mina, ibunya, duduk di samping Kliwon

dan mengelus rambutnya yang ikal dan dibiarkan memanjang. "Pergilah

dan mainkan gitar di bawah jendela kamarnya sebagaimana biasa."

"Aku pergi untuk merayu ibunya," kata Kliwon nyaris menangis.

"Ibunya tak kuperoleh dan tiba-tiba aku jatuh cinta pada anaknya, dan

tampaknya juga tak akan kuperoleh."

"Kenapa tidak? Adakah gadis yang tak menginginkanmu?"

"Mungkin gadis ini," kata Kliwon pendek dan merebahkan di?ri?nya di

pangkuan Mina, seperti anak kucing yang manja. "Namanya Ala?manda.

Seandainya aku harus jadi komunis dan memberontak dan menghadapi

sederet regu tembak sebagaimana pernah terjadi pada ayah dan Kamerad

Salim untuk memperoleh gadis ini, aku akan melakukannya."

"Ceritakan padaku seperti apa gadis itu?" tanya Mina, merinding

oleh janji anaknya.

"Tak seorang pun di kota ini, dan mungkin di seluruh alam se?mesta,

lebih cantik darinya. Ia lebih cantik daripada Rengganis Sang Putri yang

kawin dengan anjing, paling tidak menurutku. Ia lebih cantik dari Ratu

Laut Kidul. Ia lebih cantik daripada Helena yang membuat perang Troya

meletus. Ia lebih cantik dari Diah Pi?taloka yang menyebabkan perang

Majapahit dan Pajajaran. Ia lebih cantik daripada Juliet yang membuat
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Romeo nekat bunuh diri. Ia lebih cantik dari siapa pun. Se?luruh tubuh?

nya seperti mengeluarkan cahaya, rambutnya lebih mengilau dari sepatu

yang baru disemir, wajahnya begitu lembut seolah ia di?buat dari lilin,

dan senyumnya seperti mengisap segala yang ada di seki?tarnya."

"Kau akan cocok untuk gadis seperti itu," kata ibunya menghibur.

"Masalahnya, dadanya belum juga tumbuh, dan bahkan bulu ke?

malu?annya belum muncul pula. Ia baru delapan tahun, Mama."

Tertekan oleh penderitaannya, Kliwon menemukan pembebasannya

melalui surat-surat cinta yang tak pernah disampaikannya. Berhari-hari

ia mencoba menulis surat cinta, yang sekiranya cocok untuk seorang

gadis delapan tahun, tapi usahanya selalu tampak sia-sia. Surat-surat itu

selalu berakhir di tempat sampah dalam keadaan tercabik-cabik. Tapi

ia selalu bersemangat untuk mengulangnya kem?bali, dan memper?oleh

kegagalan yang sama. Ia telah mencoba membuat surat cinta yang ke?

kanak-kanakan, namun ia membuangnya karena tak terlihat satu upaya

serius mengungkapkan rasa cintanya. Ia juga mencoba menumpahkan

seluruh isi hatinya, tapi kemudian bertanya-tanya apakah gadis sekecil

itu mengerti apa yang ditulisnya. Namun akhirnya ia berhasil menulis

sebuah surat, bukan karena ia sungguh-sungguh berhasil sebenarnya,

tapi karena ia putus asa.

Waktu itu Kliwon telah menyelesaikan sekolahnya, dua tahun lebih

cepat dari teman-teman sebayanya. Sementara semua orang berangkat

sekolah atau pergi ke tempat kerja, ia menemukan hiburan atas per?

buruan cintanya. Setiap pagi, ia menyelinap dari rumah dan berjalan

kaki menuju rumah Dewi Ayu, tapi tak pernah menginjakkan kakinya

di halaman. Ia menunggu sampai Alamanda, dengan seragam serta tas

sekolah, muncul bersama adiknya, Adinda. Ia akan berjalan mengham?

piri mereka, dan menawarkan diri untuk berjalan bersama keduanya,

mengantarkan sampai sekolah.

"Silakan," kata Alamanda. "Aku tak akan tanggung jawab jika kau

capek."

Ia melakukannya setiap pagi. Di saat jam istirahat sekolah, ia berdiri

di bawah pohon sawo di depan kelas, hanya untuk melihatnya bermainmain dengan teman-temannya. Ketika waktu pulang tiba, ia telah

menunggunya di gerbang, dan menemaninya kembali pulang ke rumah.

Jika anak itu ada di dalam kelas, atau telah kembali ke rumah, Kliwon

menampakkan kemurungannya lagi. Tubuhnya tiba-tiba menyusut, dan

ia lebih sering jalan kehilangan arah.

"Apakah kau tak punya kerjaan lain selain berjalan mengiringi

kami?" tanya Alamanda suatu hari.

"Itu karena kau belum mengenal arti jatuh cinta," jawabnya.

"Penjual mainan mengikuti anak-anak ke mana pun ia pergi," kata

Alamanda, "aku baru tahu jika itu namanya jatuh cinta."

Gadis itu telah sungguh-sungguh menjadi teror baginya, jauh lebih

membuatnya menggigil daripada seandainya ia bertemu setan dede?

mit. Di malam hari ia memimpikannya bagaikan mimpi buruk, sebab

Kliwon akan terbangun secara tiba-tiba dengan tubuh kaku, keringat

bercucuran dan napas tersengal-sengal. Lama kelamaan, hubungan

mereka yang dingin dan sebatas berjalan-jalan pergi dan pulang seko?

lah mencapai krisis. Kliwon sungguh-sungguh tak tahan menghadapi

kenyataan bahwa hidupnya akan dihabiskan hanya dengan cara seperti

itu. Suatu hari akhirnya ia ambruk dalam demam, hari pertama ia tak

mengantar gadis itu: ia sebenarnya mencoba untuk pergi tapi ia hanya

mampu bergerak sampai pintu depan rumah. Mina menyeret anaknya

ke tempat tidur, membaringkannya di sana, mengompres dahinya de?

ngan air dingin, sambil menyanyikan kidung-kidung pemberi se?mangat

sebagaimana ia nyanyikan jika Kliwon demam di waktu kecil.

"Bersabarlah," kata ibunya, "tujuh tahun lagi ia telah cukup besar

untuk mencintaimu."

"Masalahnya," Kliwon menyahut pelan, "aku keburu mati karena

demam cinta sebelum hari itu datang."

Ibunya mencoba mendatangi beberapa dukun dan mereka menawar?

kan berbagai ramuan, dan mantera, yang sanggup membuat seseorang

jatuh pada cinta buta. Ibunya tak menginginkan ramuan atau mantera

seperti itu. Kliwon akan mengamuk jika mengetahui bahwa ia mem?

peroleh cinta seorang gadis karena bantuan dukun. Ia hanya mencari

ramuan, atau mantera, yang sanggup membendung hasrat cinta me?

ledak-ledak anaknya.

"Yang seperti itu tak pernah ada," kata dukun terakhir, setelah semua

dukun mengatakan hal yang sama.

"Jadi apa yang harus kulakukan?"

"Menunggu sampai segalanya jelas: ia memperoleh cintanya atau

pulang dengan sakit hati di dada."

Ketika Kliwon telah hampir sembuh dari demamnya, Mina mem?

bawa Kliwon pada suatu tamasya kecil. Ia mencoba resep tradisional

pengobatan: membuatnya bahagia. Mina mengajaknya berjalan-jalan

sepanjang pantai, duduk-duduk di taman wisata sambil memberi makan

rusa dan monyet-monyet. Ia mencoba mengajaknya bicara segala hal,

kecuali tentang gadis kecil bernama Alamanda itu, memanjakannya

seolah Kliwon bocah enam tahun.

Sementara itu, teman-temannya yang baik, lama-kelamaan akhir?nya

tahu juga mengenai apa yang terjadi. Mina telah menceritakannya pada

mereka, berharap mereka bisa membantunya mengatasi masalah rumit

tersebut. Mereka kembali mengajaknya ke pesta-pesta, menyuruhnya

memetik gitar dan bernyanyi. Mereka mengajaknya mencuri ayam dan

ikan di kolam, bermain ke gunung, dan berkemah dalam pesta api ung?

gun yang meriah. Beberapa gadis, bahkan mencoba merayunya kembali.

Hati maupun berahinya. Beberapa di antaranya bahkan menyeret Kli?

won ke dalam tenda, menelanjanginya, membangunkan kemaluannya.

Ia mau bercinta dengan mereka, tapi itu tak mengembalikan Kliwon

yang dulu. Ia kehilangan selera humornya yang meluap-luap, kehi?

langan roman muka yang periang, dan bahkan kehilangan nafsu yang

menggelora di atas tempat tidur.

Semua usaha tampaknya tak akan berhasil, bahkan Kliwon sendiri

tahu hal itu. Ia telah dikutuk untuk menderita dengan cara demikian,

dan hanya cinta si gadis kecil mungkin bisa menyembuhkannya dari

segala hal. Ia berharap bisa menculiknya, membawanya kabur ke suatu

tempat, mungkin di tengah hutan. Mereka akan hidup berdua di gua,

atau di lembah menggembalakan kambing liar. Ia akan merawatnya

sendiri, memeliharanya, membuatnya tumbuh menjadi seorang gadis,

sampai tiba waktunya ia bisa memperoleh cinta. Ia pergi meninggalkan

teman-temannya, dan kembali menunggu gadis kecil tersebut di depan

rumahnya, di pagi hari. Si gadis kecil terkejut melihat kemunculannya

setelah lama menghilang, dan berkata padanya, "Apa kabar? Aku de?

ngar kau sakit."

"Ya, sakit karena cinta."

"Apakah cinta sejenis malaria?"

"Lebih mengerikan."

Si gadis tampak bergidik, lalu sambil menuntun adiknya, ia melang?

kah berjalan menuju sekolah. Kliwon menyusul dan berjalan di sam?

pingnya, tampak menderita sebelum akhirnya berkata.

"Dengar gadis kecil," katanya. "Maukah kau mencintaiku?"

Alamanda berhenti dan menoleh kepadanya, lalu menggeleng.

"Kenapa?" tanya Kliwon kecewa.

"Kau sendiri yang bilang, cinta lebih mengerikan dari malaria." Ala?

manda menggandeng kembali tangan adiknya, melangkah melanjutkan

perjalanan. Ia meninggalkan Kliwon yang untuk kedua kalinya, ambruk

dalam demam yang lebih membuatnya menderita.

Ketika ia berumur tiga belas tahun, seorang lelaki datang ke rumah

mereka dengan permintaan yang aneh, "Izinkanlah aku mati di sini."

Ibu?nya tak bisa menolak permintaan seperti itu, sehingga meng?izin?

kannya masuk dan menyuguhinya minum. Kliwon tak tahu, dengan

cara apa lelaki itu akan mati di rumahnya. Mungkin ia akan mati

kela?paran, sebab tampaknya ia belum makan selama berhari-hari. Na?

mun ketika ibunya mengajak si tamu makan malam, tamu itu makan

dengan lahapnya seolah ia sendiri belum sudi untuk mati. Ia memakan

segala sesuatu yang disodorkan kepadanya, bahkan tulang ikan asin ia

gigit-gigit tak berbekas. Ia habis bersendawa penuh ke?puasan ketika ia

akhirnya membuka mulut lagi, "Di mana Kamerad?"

"Mati ditembak Jepang," jawab ibunya pendek.

"Dan bocah itu," kata sang tamu, "anak kalian?"

"Tentu saja," jawab si ibu lagi sedikit ketus, "tak mungkin anak babi."

Tamu itu bernama Salim. Meskipun tampak bahwa Mina, ibunya,

tak menyukai kedatangan lelaki itu, sang tamu bersikeras untuk tinggal

bersama mereka. "Biar aku tinggal di kamar mandi dan makan bubur

dedak ayam, tapi izinkanlah aku mati di sini," katanya. Kliwon mencoba

meyakinkan ibunya, mungkin lebih baik membiarkan lelaki itu mati di

rumah daripada di selokan. Akhirnya Salim diberi ruang depan, kamar

tamu yang tak seorang pun pernah mempergunakannya, dan Kliwon

berjanji akan mengiriminya makan, sampai saatnya ia akan mati.

Ia bukan pengembara. Kliwon melihatnya, kulit kakinya lecet-lecet

begitu ia membuka sepatu.

"Kau seperti buronan," kata Kliwon.

"Ya, besok mereka akan datang untuk mengeksekusiku."

"Apa yang kau rampok?" tanya Kliwon lagi.

"Republik Indonesia."

Percakapan itu menggiring mereka pada satu persahabatan. Salim

memberikan topi petnya pada si bocah sambil berkata, ia mem?peroleh?

nya ketika masih di Rusia, dan menambahkan, semua buruh Rusia

mempergunakan topi pet semacam itu. Ia telah mengunjungi banyak

negara, katanya, sejak tahun 1926.

"Tak seperti sebuah tamasya," kata Kliwon.

"Kau benar, aku buronan."

"Apa yang kau rampok waktu itu?" tanya Kliwon lagi.

"Hindia Belanda."

Jadi lelaki itu pemberontak. Dan komunis, sebab nama pang?gil?

an?nya adalah Kamerad Salim. Jenis komunis lama, segelintir orang

yang pernah secara langsung memperoleh ide-ide seperti itu dari ko?

munis Belanda bernama Sneevliet. Ia mengaku kenal baik Semaun

dan telah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia sejak partai

tersebut berdiri pertama kali. Ia bahkan menyeduhkan susu setiap pagi

buat Tan Malaka yang menderita TBC sewaktu mereka di Semarang.

PKI adalah organisasi pertama yang pakai nama Indonesia, katanya

bangga. Dan yang pertama memberontak pada pemerintah kolonial, ia

menambahkan. Hindia Belanda sudah membencinya bahkan sebelum

mereka memberontak. Sneevliet telah diusir sejak 1919, dan Semaun

sahabatnya, dibuang empat tahun kemudian, setahun setelah Tan

Malaka. Tokoh lain, termasuk dirinya, berkemas untuk bersiap dibuang

atau masuk penjara.

Kenyataannya, pemerintah kolonial akhirnya memutuskan untuk

menangkapnya pada bulan Januari 1926. Tampaknya mereka telah

mendengar gagasan pemberontakan yang dibicarakan di Prambanan

sebulan sebelumnya. Salim tak pernah sungguh-sungguh dipenjara,

sebab ia telah melarikan diri ke Singapura, bersama beberapa yang

lain?nya. Itu kali pertama ia berkelana, meskipun ia bukan pengembara.

"Jika seorang komunis tak punya niat memberontak," katanya pada

Kliwon, "Jangan percaya ia seorang komunis."

Ia berbaring di atas tempat tidur dengan cara yang aneh: se?pe?nuhnya

telanjang bulat. Ia membuka semua pakaiannya yang kotor dan bau

lumpur, dan meskipun Kliwon berbaik hati mau meminjami pakaian

bekas ayahnya, Salim menolak. Awalnya Kliwon dibuat kebingungan

melihat lelaki tua telanjang di depannya, tapi lama-kelamaan ia men?
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

coba duduk di kursi dekat pintu menghadapinya dengan cara senyaman

mungkin.

"Aku ingin mati tanpa punya apa-apa," kata Kamerad Salim dan me?

lanjutkan, "Aku khawatir mereka menembakku sebelum aku ba?ngun."

"Kalau begitu jangan tidur," kata Kliwon, "setelah mati kau bisa

tidur lama. Selama-lamanya."

Itu benar. Maka ia berusaha membuat matanya selalu terbuka,

meskipun Kliwon tahu lelaki itu pasti sangat lelah. Untuk mem?

buat?nya tidak jatuh tertidur, Kamerad Salim terus-menerus bicara,

kadang-kadang tak jelas terdengar, selebihnya tampak seperti keluhan.

Kliwon berpikir ia mengigau. Ia bilang, tidak secara khusus ditujukan

pada Kliwon, bahwa ia kenal begitu dekat dengan Presiden Republik.

Dulu mereka tinggal di pondokan yang sama di Surabaya, belajar pada

orang yang sama, dan kadang-kadang jatuh cinta pada gadis yang sama.

Bahkan beberapa waktu lalu, ketika ia datang untuk pertama kalinya

setelah lama melarikan diri dan tinggal di Moskow, ia telah berjumpa

kembali dengan Presiden Republik. Mereka berpelukan dengan mata

berlinang penuh kegembiraan.

"Jika kau tak percaya, suatu ketika kau bisa mengetahuinya di ko?

ran," katanya, kali ini jelas pada Kliwon. "Tapi kini orang yang sama

me?ngirimkan prajurit untuk membunuhku."

"Kenapa?" tanya Kliwon.

"Itulah yang akan terjadi jika kau merampok milik seseorang," jawab

Kamerad Salim.

"Apa lagi yang telah kau rampok?"

"Telah kukatakan padamu: Republik Indonesia."

Keragu-raguan, katanya, merupakan sumber kegagalan pem?be?ron?

tak?an Partai Komunis tahun 1926. Ia bertemu dengan Tan Ma?laka di

Singapura, setelah pelariannya yang pertama itu, untuk membicarakan

rencana pemberontakan mereka. Tan Malaka adalah orang yang paling

menentang ide tentang pemberontakan, dengan alasan kaum komunis

tidak siap. Ia pergi ke Moskow untuk mem?peroleh pertimbangan Ko?

mintern, namun Komintern bahkan me?no?laknya lebih sengit.

"Aku bahkan ditahan Stalin selama tiga bulan," kata Kamerad

Salim, "untuk direindoktrinasi."

Tapi ide tentang pemberontakan itu sungguh-sungguh telah meng?

ganggu kepalanya. Setelah ia bisa pergi dari Moskow, ia kembali ke

Singa?pura dan bertekad akan melakukannya tanpa dukungan siapa pun.

Bahkan meskipun harus bergerilya. Namun pemberontakan ternyata

telah meletus di dalam negeri, dan gagal. Pemerintah ko?lonial membu?

barkan Partai dan semua aktivitasnya dilarang. Kebanyakan pengu?

rusnya menjadi tahanan jika tidak dibuang ke Boven Digoel. Yang

me?nyebalkan, Komintern kini mendukung pemberontakan tersebut,

sebuah kekonyolan yang datang terlambat.

"Aku ditarik kembali ke Moskow," katanya, "untuk sekolah."

Ia menerangkan bahwa tetap ada waktu untuk melakukan pembe?

rontakan yang lain, di waktu yang lebih memungkinkan. Ia mendengar

beberapa kabar buruk, bahwa orang-orang komunis yang dibuang ke

Boven Digoel, beberapa di antaranya menyerah dan memilih bekerja?

sama dengan pemerintah kolonial. Yang tetap bersikeras dibuang lebih

jauh, ke tempat malaria bisa membunuh tanpa ampun. Ia berdiri karena

ia ingin pergi ke toilet, dan Kliwon buru-buru menyelimuti tubuh lelaki

itu dengan kain sarung sambil berkata: "Ibuku akan menjerit tanpa am?

pun jika ia melihatmu melintasi rumah dalam keadaan telanjang bulat."

Meskipun membiarkan tubuhnya diselimuti sarung, Kamerad Kli?

won membantah, "Apa bedanya, besok ia akan melihatku mati dalam

ke?adaan telanjang."

Mereka meneruskan bincang-bincang itu, kali ini di beranda rumah,

dengan Kamerad Salim masih sekadar berselimut sarung. Dari tempat

mereka duduk, terlihat laut gelap membentang dengan bintik-bintik

lampu nelayan, serta suara debur ombak yang tenang. Si bocah ber?

tanya, apa yang dicari oleh orang-orang komunis, dan Kamerad Salim

men?jawab, "Surga." Tepat tengah malam, mereka melihat sebuah truk

lewat di jalanan, dipenuhi prajurit KNIL, na?mun mereka tak melihat

keduanya yang duduk di beranda yang gelap.

Dunia tengah berubah, kata Kamerad Salim. Jerman dan Jepang

me?miliki kekuatan yang sepadan dengan negara maju mana pun, dan

mereka tengah menuntut bagian mereka sendiri. Selama ratusan tahun,

lebih dari separuh permukaan bumi dikuasai oleh negara-negara Eropa,

menjadikannya koloni, mengisap apa pun yang mereka temukan untuk

dibawa pulang dan menjadikan mereka kaya. Tapi tidak Jerman dan

Jepang. Mereka tak kebagian, dan sekarang me?reka menuntut bagian.

Itulah awal mula semua perang ini, perang di antara negara-negara

serakah. (Kamerad Salim bertanya apakah ada sigaret, lalu Kliwon

meng?ambilkan tembakau miliknya di kamar). Kaum pribumi adalah

orang-orang paling malang, semalang-malangnya. Setelah bertahuntahun hidup dibohongin raja-raja, tiba-tiba datang orang-orang Eropa.

Mereka yang bahkan tak mengenal rasa gila hormat menjadi berlebihan

di tanah Jawa. Petani-petani, setelah harus kerja paksa dan memberikan

sebagian hasil panennya pada pemerintah kolonial, mereka bahkan

harus pula berjongkok di jalan hanya karena seorang noni Belanda

lewat. Komunis lahir oleh satu mimpi indah bahwa tak akan ada lagi

yang seperti itu di muka bumi, tak ada lagi orang malas yang makan

enak sementara yang lain kerja keras dan kelaparan. Kliwon bertanya,

apa?kah revolusi merupakan jalan menuju mimpi indah tersebut.

"Itu benar," jawab Kamerad Salim, "orang-orang tertindas hanya

memiliki satu alat untuk melawan: amuk, dan jika aku harus mem?beri?

tahumu, revolusi tak lebih amuk bersama-sama, diorganisir oleh sebuah

partai."

Itu adalah satu-satunya alasan mengapa orang komunis akhirnya

harus memberontak. Sebab kaum borjuasi tak mungkin diajak ber?damai.

Mereka tak mungkin menyerahkan kekuasaannya begitu saja, juga tak

mungkin menyerahkan kekayaannya secara sukarela, dan tak mungkin

rela kehilangan hidup yang nyaman. Mereka tak suka berbagi, sebab

jika itu terjadi, tak akan ada lagi orang yang menyeduhkan kopi untuk

me?reka, tak ada lagi yang mencucikan baju mereka, tak ada lagi orang

yang memutarkan mesin untuk mereka, tak akan ada lagi yang meme?

tikkan buah cokelat untuk mereka. Di dunia komunis, semua orang

harus bisa malas dan semua orang harus bisa sama bekerja. "Borjuasi tak

akan mau, maka satu-satunya cara adalah memberontak."

Ia pulang dari luar negeri beberapa hari sebelum perayaan kemer?

dekaan. Tiga tahun Republik berdiri, tapi Belanda masih ada di manamana. Lebih menyedihkan, Republik ini harus kalah di semua perang

dan semua meja perundingan, hingga hanya menguasai sedikit wilayah

pedalaman. Ia bertemu dengan Presiden Republik, sahabat lamanya,

yang segera berkata kepadanya, "Bantulah kami memperkuat negara

melancarkan revolusi."

"Itu memang kewajibanku. Ik kom hier om orde te scheppen," ka?tanya.

Aku datang untuk membereskan.

Ia datang memang untuk membereskan kekacauan ini, dan ia per?

caya, sumber kekacauan pertama-tama datang dari Presiden Republik

sendiri, dan Wakil Presiden, dan para menteri dan orang-orang partai.

"Mereka menjual rakyat untuk romusha di zaman Jepang, kini mereka

menjual wilayah pada Belanda," katanya. Satu-satunya kelompok

yang masih ia percaya adalah Partai Komunis Indonesia. Ia diterima

Partai secara terbuka, meskipun ia segera mem?beberkan bahwa PKI

telah melakukan kesalahan-kesalahan prinsipil dalam arah perjuangan

mereka. Ia ingin merombaknya, dan mereka menyerahkan semua ke?

padanya, sang juru selamat yang baru datang dari Moskow ini. Sebulan

setelah kedatangannya, pem?be?ron?takan akhirnya meletus di Madiun.

Ya, tentu saja orang-orang ko?munis. Ia sendiri tak ada di sana waktu

itu, tapi ia akhirnya pergi ke sana untuk memberi dukungan moral.

Pem?berontakan hanya berjalan seminggu dan ia jadi buron.

"Jadi di sinilah aku sekarang, menunggu liang kuburku selesai di?

gali."

"Kau telah menempuh jalan yang tidak pendek," kata Kliwon,

"masih ada waktu jika kau masih mau lari."

"Aku telah mengalami dua kali pemberontakan, dan dua-duanya

gagal, itu cukup untuk membuatku tahu diri," kata lelaki itu de?ngan

kegetiran yang menyedihkan. "Telah tiba waktunya bagiku untuk mati,

bahkan meskipun aku melarikan diri lagi, dengan cara apa pun mungkin

aku akan mati juga besok pagi."

Kliwon sama sekali tak mengerti jalan pikirannya.

"Jika kau mati, segalanya berakhir," kata bocah itu.

Kamerad Salim memejamkan mata dibuai angin malam yang me?

nerpa wajahnya. "Telah datang giliranmu, Kamerad."

Kamerad Salim mengakui bahwa ia bukan Marxis yang baik, bahwa

ia belum memahami semua teori kelasnya, tapi ia cukup yakin bahwa

ketidakadilan harus dilawan dengan cara apa pun. Tak ada Marxis di

negeri ini, katanya, yang ada adalah rakyat jelata yang kelaparan, be?kerja

lebih banyak daripada penghasilan yang di?per?olehnya, yang ha?rus mem?

bungkuk setiap muncul orang-orang gede, yang hanya tahu bahwa satu
satunya cara terbebas dari semua itu hanyalah melawan. Pikirkanlah,

katanya, ada ribuan buruh di pabrik-pabrik gula sepanjang daerah-daerah

penghasil tebu. Mereka bekerja sepanjang tahun, sementara para pemi?

lik tinggal dengan penuh kenyamanan di rumah-rumah peristirahatan

mereka di kaki bukit. Para buruh hanya memperoleh upah yang cukup

untuk hidup sampai hari pembayaran upah berikutnya tiba, sementara

para pemilik perkebunan menangguk untung besar-besaran. Hal yang

sama terjadi di perkebunan teh. Juga di tempat lain. Itulah satu-satunya

alasan kenapa kita harus melawan, dan satu-satunya ucapan Marx yang

mem?bekas di hatinya adalah: kaum buruh sedunia, bersatulah!

Ketika suara ayam jago mulai terdengar di kejauhan, percakapan

mereka mereda, seolah bau kematian sungguh-sungguh mulai terasa.

Kame?rad Salim diam di kursinya, bagaikan mati sebelum waktunya. Ia

tidak tidur bagaimanapun, sebaliknya, ia terjaga sepenuhnya, menanti

dengan penuh kesabaran paginya yang terakhir akan datang. Seperti

orang-orang saleh yang percaya akan masuk surga, seorang komunis

sejati tak akan takut mati, katanya kecil nyaris tak terdengar.

"Apakah kau percaya Tuhan?" tanya Kliwon hati-hati.

"Itu tidak relevan," jawabnya. "Bukan urusan manusia memikirkan

Tuhan itu ada atau tidak, terutama jika kau tahu di depanmu ma?nusia

satu menginjak manusia yang lain."

"Kau akan masuk neraka."

"Aku lebih suka masuk neraka karena menghabiskan seluruh

hidupku untuk menghilangkan penindasan manusia oleh manusia."

Kemudian ia melanjutkan: "Jika aku boleh berpendapat, dunia inilah

neraka, dan menjadi tugas kita menciptakan surga."

Pagi akhirnya datang, dan sebagaimana dikatakan Kamerad Salim,

tiba-tiba satu pasukan tentara Republik muncul dipimpin seorang

kapten, untuk mengeksekusinya. Mereka datang secara diam-diam,

mengenakan pakaian sipil, sebab Halimunda merupakan daerah pen?du?

dukan KNIL. Mereka mengepungnya sementara ia masih duduk dengan

tenang di beranda ditemani Kliwon.

"Ia ingin mati telanjang, polos seperti bayi yang dilahirkan," kata

Kli?won.

"Itu tak mungkin," kata Sang Kapten. "Tak ada orang yang suka

me?lihat kemaluannya tergantung ke mana-mana, terutama jika ia orang

komunis."

"Itu permintaannya yang terakhir."

"Tak mungkin."

"Kalau begitu lakukanlah di kamar mandi," kata Kliwon. "Biarkan

ia telanjang, mungkin ia ingin buang tai dulu, dan tembaklah."
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seorang komunis nomor satu mati di kamar mandi," kata Sang

Kap?ten sambil menganggukkan kepala. "Cerita bagus untuk buku

sejarah kelak."

Begitulah akhirnya. Kamerad Salim menanggalkan sarungnya, me?

lumuri dirinya dengan tanah sambil sesekali menghirup udara dalamdalam, seolah mengucapkan selamat tinggal. Kliwon dan Sang Kapten

serta beberapa prajurit mengikutinya ke kamar mandi, sementara Kliwon

berharap ibunya tak bangun oleh keributan pagi hari tersebut. Di kamar

mandi, sebelum ditembak mati, seperti gadis-gadis yang tengah dilanda

jatuh cinta, ia menyanyikan lagu Darah Rakyat dan Internationale, yang

bahkan membuat Kliwon menangis mendengarnya. Begitu lagu kedua

selesai, Sang Kapten menodongkan pistol melalui celah pintu yang

ter?buka, menembaknya tiga kali berturut-turut. Kamerad Salim mati

telanjang di kamar mandi: ketika ia lahir ia tak punya apa-apa, dan ketika

ia mati ia juga tak memiliki apa pun. Mina terbangun demi mendengar

suara letusan pistol itu, dan berlari untuk melihat apa yang terjadi dan

menemukan beberapa prajurit tengah menyeret mayat lelaki itu semen?

tara anaknya memandang semua adegan tersebut.

"Kau telah melihat ayahmu mati dieksekusi Jepang," katanya. "Kini

kau lihat orang ini mati di tangan tentara Republik. Pi?kir?kanlah, jangan

sekali-kali berharap jadi orang komunis."

"Banyak raja telah digantung," kata Kliwon, "itu tak menyurutkan

orang untuk ingin jadi seorang raja."

"Apakah semalaman ia berhasil mempengaruhimu?" tanya Mina

sedikit khawatir.

"Paling tidak ia telah membuatku masuk angin."

Para prajurit itu membawa mayat tersebut ke perempatan jalan.

Mereka tak cemas oleh patroli tentara KNIL, sebab sepagi itu ten?tunya

belum bangun. Kliwon mengikutinya, dan melihat mayat Kamerad

Salim digeletakkan di tengah jalan. Ia masih mengenakan topi pet pem?

beriannya itu, yang kelak bertahun-tahun kemudian ia pergunakan juga

di hari tentara hendak mengeksekusinya, berdiri di antara orang-orang

yang berdatangan melihat mayat berhias tiga lubang peluru. Darahnya


Trio Detektif 43 Penculikan Kolektor Trio Detektif 43 Penculikan Kolektor Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga

Cari Blog Ini