Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 5
masih tercecer di mana-mana. Seorang prajurit mem?banjurnya dengan
minyak tanah, dan prajurit yang lain melemparkan api. Seketika mayat
itu terbakar, baunya seperti rusa panggang.
"Siapa orang itu?" tanya seorang lelaki.
"Yang jelas bukan babi," kata Kliwon.
Bocah itu menungguinya sampai api padam dan prajurit-prajurit
itu menghilang. Ia mengumpulkan abunya, memasukkannya ke dalam
kotak kecil dan membawanya pulang. Ibunya dibuat khawatir oleh
perlakuan berlebihan yang diperlihatkan Kliwon, dan berkomentar abu
mayat itu akan membawa malapetaka.
"Dan lepaskan topi pet itu."
Ia melepaskan topi pet tersebut dan meletakkannya di atas meja,
sementara ia sendiri naik ke tempat tidur.
"Puji Tuhan," kata ibunya, "Kau anak yang manis."
"Jangan salah sangka, Mama," kata Kliwon. "Aku melepaskan topi
itu karena semalaman aku melek dan sekarang ingin tidur."
Ia duduk di trotoar depan sebuah toko tutup, mencabik-cabik poster
iklan rokok yang dirobeknya secara serampangan dari dinding toko.
Sam?bil merenungkan kemalangan cintanya, ia memandang mobil-mobil
yang lewat, bertanya pada diri sendiri apakah ada orang yang lebih ma?
lang daripada dirinya. Ibu dan sahabat-sahabatnya telah menyuruhnya
untuk menghibur diri sendiri, dan ia menampik de?ngan mengatakan
bahwa tak satu hal pun bisa menghiburnya, kecuali ia memperoleh
cinta gadis kecil itu.
"Pergilah mencari orang-orang yang lebih malang darimu," kata
Mina akhirnya, "Mungkin dengan cara begitu kau akan sedikit ber?
baha?gia."
Hal pertama yang ia ingat adalah ayahnya dan Kamerad Salim,
keduanya mati dieksekusi. Itu kecerobohan Mina, yang tak berpikir
pe?rintahnya akan membuat Kliwon teringat pada kedua orang itu.
Sepanjang minggu ia duduk di trotoar untuk melihat orang-orang ma?
lang yang diceritakan Kamerad Salim, dan juga ayahnya ketika ia masih
kecil. Ia ingin melihat orang-orang lewat dengan mobil dari Jerman atau
Amerika, sementara di sampingnya duduk seorang pengemis dengan
tubuh dipenuhi borok dan bisul. Ia ingin melihat seorang gadis pergi ke
pasar diiringi pembantu yang memegang ke?ranjang serta payung yang
menaunginya. Ia ingin membuktikan semua kontradiksi-kontradiksi
sosial tersebut, lebih untuk menghibur dirinya sendiri dengan menga?
takan, betapa menyedihkan seorang lelaki dibuat hancur oleh cinta
semen?tara orang lain sekarat mati karena terlalu keras bekerja atau
kelaparan.
Ia telah meninggalkan rumah selama lebih dari satu bulan, menjadi
kere dan hidup bersama gelandangan serta para pengemis. Tubuhnya
yang dulu bagus kini hanya seperti tumpukan tulang, dan rambutnya
mulai kemerahan, tampak sekaku ujung sapu. Ia sama sekali tak sedang
menyamar, ia hanya mencoba menghilangkan pen?deritaannya dengan
penderitaan yang lain. Ia makan dari pemberian orang lain, dan jika
tak seorang pun memberi makan, ia akan mengais-ngais tong sampah
berebut dengan gelandangan lain dan anjing-anjing serta tikus.
Tak ada lagi gadis-gadis yang mengikutinya ke sana-kemari. Seba?
liknya, jika seorang gadis bertemu dengannya, tanpa menyadari bahwa
itu adalah Kliwon yang pernah mereka gilai dan mungkin pernah
me?nidurinya, gadis-gadis itu akan menutup hidung, meludah ke sanakemari, sambil membuang muka dan berjalan lebih cepat. Anak-anak
kecil bahkan melemparinya dengan batu, hingga ia sering mendapati
dirinya dipenuhi luka, dan anjing bahkan mengejar-ngejarnya seolah
ia landak yang siap disantap. Bahkan ketika ia mendatangi rumahnya,
Mina sama sekali tak mengenalinya, sebaliknya ia malahan berkata:
"Jika kau jumpa kere bernama Kliwon, suruh pulang, ibunya tengah
sekarat dan ingin ketemu."
Kliwon menerima sepiring nasi dari ibunya dan membalas, "Kau
sama sekali tak tampak hendak sekarat."
"Berbohong sedikit tak apalah."
Setelah lama berlalu, ia mulai menjalani kehidupan seperti itu de?
ngan cara seolah itu merupakan kehidupan yang biasa-biasa saja. Ia mulai
bisa melupakan banyak hal: ibu dan rumahnya, gadis-gadis dan temantemannya, dan terutama Alamanda (meskipun yang ter?akhir ini masih
sering mengganggu pikirannya di waktu-waktu tertentu), semuanya
di?hancurkan oleh rutinitas gelandangannya. Da?ripada memikirkan halhal seperti itu, mencari sesuap nasi dan tempat berbaring yang nyaman
kemudian menjadi jauh lebih penting. Kebebasannya dari segala pikiran
yang rumit membuatnya tampak seperti kere yang berbahagia, sampai
kemudian datang gangguan dari seorang gadis kere bernama Isah Betina.
Ia melihatnya kedua kali tengah diperkosa beramai-ramai oleh lima
gelandangan di pinggir tempat pembuangan sampah, mengamuk sedemi?
kian rupa namun jelas bahwa ia tak berdaya melawan para penyerang?
nya. Sebelumnya ia telah melihatnya lewat sebelum di?ha?dang kelima
gelandangan itu, tampak cantik meskipun juga tam?pak bau busuk setelah
berminggu-minggu tak tersentuh air. Raungannya sangat memilukan
hati, terutama mengganggu tidur siangnya di dalam pondok kardus, maka
ia keluar sambil menenteng golok menghampiri mereka. Dua orang lelaki
baru saja selesai me?nyetubuhinya, keduanya cengengesan sambil melap
kemaluan dengan ujung kemeja. Seorang yang lain sedang menusukkan
tom?baknya, keluar-masuk dan tampak ngos-ngosan, sementara gadis itu
tak lagi melawan. Seorang yang lain tengah meremas-remas kedua buah
dadanya, sementara lelaki terakhir menunggu dengan tak sabar sambil
menggosok kemaluannya sendiri dengan tangan.
"Berikan gadis itu padaku," kata Kliwon, jelas dan tegas.
Salah satu dari lelaki yang telah selesai menyetubuhi si gadis, tam?
paknya pemimpin gerombolan gelandangan itu, berdiri meng?ha?dangnya
sambil mengangkat ujung lengan kemeja.
"Apa yang kukatakan adalah berikan gadis itu padaku," kata Kliwon
lagi.
"Kau harus lewati dulu mayatku sebelum kau bisa ikut ngentot,"
kata lelaki penghadang.
"Baiklah." Dan sebelum siapa pun di antara mereka menyadari go?
lok yang disembunyikan di balik punggungnya, ia telah me?ngi?baskan
senjata itu ke leher si lelaki penghadang. Darahnya muncrat bersama
terkulainya kepala lelaki itu, lehernya nyaris putus, dan dalam beberapa
detik ia telah ambruk di tanah. Tentu saja mati. Kliwon menginjak
mayat tersebut, menghampiri empat lelaki tersisa. "Berikan gadis itu
pada?ku, telah kulewati mayatnya."
Lelaki yang tengah menyetubuhi si gadis segera mencabut ke?maluan?
nya, meninggalkan bunyi "splosh" yang menjijikkan, dan berlari de?ngan
wajah sepucat roti busuk, diikuti ketiga temannya. Gadis itu mereka ting?
galkan begitu saja, tergeletak di atas sebuah meja tanpa kaki, telanjang
dan tak sadarkan diri. Setelah menyelimuti si gadis dengan pakaiannya
sendiri, Kliwon membawa gadis itu di pundaknya, ke gubuknya. Ia
mem?baringkannya di atas tempat tidur, berupa sofa bekas, memperhati?
kannya sejenak, sebelum ia sendiri berbaring di atas tumpukan koran
dan tidur terlelap.
Ketika ia terbangun, hari sudah malam, ia menemukan gadis itu
te??ngah duduk di sofa mendekap lutut menggigil karena lapar. Ia masih
setelanjang ketika ditidurkan, hanya sedikit tertutup pakaian yang
di?sampirkan begitu saja ke pundaknya. Kliwon memberinya bubur ja?
gung dari panci, dingin dan nyaris basi sisa pagi hari, tapi gadis itu me?
makannya dengan sangat lahap. Selama itu Kliwon duduk di samping?
nya, memperhatikannya dengan ketelitian seorang anak kecil. Gadis
itu makan tanpa menghiraukan keberadaannya. Bahkan tak tampak
trauma sedikit pun, atau ia mungkin telah lupa, bahwa beberapa waktu
sebelumnya segerombolan gelandangan telah memerkosanya. Kini Kli?
won bisa melihat rambutnya yang kemerahan, serupa rambut jagung,
matanya yang tajam, hidungnya yang ram?ping, bibirnya yang tipis.
"Siapa namamu?" tanya Kliwon.
Ia tidak menjawab sama sekali, hanya meletakkan panci sisa bubur
jagung di kolong sofa bekas dan duduk kembali memandang Kliwon
dengan sikap malu-malu seorang gadis perawan. Tangannya mengga?
pai tangan Kliwon, menyentuhnya dengan kelembutan tangan seorang
kekasih. Kliwon menggigil sejenak, dan sebelum menyadari apa pun,
gadis itu telah melompat ke arahnya membuat lelaki itu ter?jengkang
di atas sofa dengan si gadis di atas tubuhnya, memeluk erat serta men?
ciuminya dalam serangan yang nyaris ganas. Semula Kliwon hendak
mendorongnya kuat-kuat, namun seketika ia menjadi ragu, dan hanya
terdiam dengan tangan serupa orang-orang menyerah di depan regu
tembak. Terutama ketika gadis itu memprotoli kemejanya, dan ia
merasakan sentuhan ganas buah dada yang bulat padat menyentuh di
dadanya sendiri, segalanya berakhir dalam kehangatan yang memesona.
Ia menemukan kembali darah pen?cin?tanya, balas mendekap gadis itu,
balas menciumnya, dan me?nang?galkan celananya.
Setelah mengamuk sedemikian rupa diperkosa lima orang beranda?
lan, gadis itu kini menampakkan dirinya sebagai seorang kekasih yang
binal. Bahkan Kliwon dibuat lupa oleh kenyataan tersebut, mendekap
erat tubuh si gadis dan membalikkan posisi me?reka, membuat Kliwon
kini berada di atasnya, sama-sama telanjang dan sama-sama berahi.
Mereka mengatasi keterbatasan ruang sofa bekas yang sempit, dan
bercinta dengan gerakan monoton namun penuh nafsu, meledak-ledak
dan mengguncangkan, seperti perahu yang diempas-empaskan badai.
Kemudian ketika percintaan itu selesai, Kliwon segera menyadari
bah?wa ia tak mengenal gadis itu sama sekali, sebagaimana gadis itu
tak mengenal dirinya. Mereka masih berbaring berbagi tempat di atas
sofa, saling mendekap dan kelelahan. Kliwon kembali bertanya, "Siapa
namamu?" Namun gadis itu, sebagaimana semula, tak juga menjawab. Ia
hanya tersenyum, menggerutu (atau mengigau), sebelum memejamkan
mata dan sungguh-sungguh tertidur, dengan dengkur halus menjadi
pe?ngiringnya.
"Namanya Isah Betina," kata seorang gelandangan kepadanya, tak
lama setelah itu, "Sebab demikianlah orang-orang menyebutnya."
"Dari mana ia datang?" Kliwon memburunya dengan pertanyaan.
"Mereka menemukannya seminggu lalu di trotoar, memerkosanya
beramai-ramai nyaris setiap hari sebelum kau membunuh satu di antara
mereka," kata si gelandangan. "Otaknya miring," dan ia me?nambahkan:
"Gadis itu."
Begitulah kenyataannya. Kliwon tak bisa membayangkan apa yang
akan dikatakan teman-temannya, terutama teman-teman gadisnya, jika
mereka tahu bahwa ia tidur dengan seorang gadis gila. Tak sembarang
gila: keluarganya mungkin telah sungguh-sungguh membuang gadis itu
hingga ia tersaruk-saruk jadi gelandangan.
Namun di luar akal sehatnya sendiri, atau karena dorongan hal lain,
tindakan pertamanya adalah membawa gadis itu ke pantai dan member?
sihkan tubuhnya, dan memberinya pakaian yang lebih baik yang ia curi
dari tempat jemuran ibunya. Mereka tinggal di gubuk kardus itu, dengan
sofa bekas tempat mereka duduk bersantai sambil memakan buah kenari
yang dipukul-pukul dengan batu, lain kali itu tempat mereka tidur dan
bercinta; dengan tungku dari tumpukan batu-bata dan panci untuk
memasak. Sementara itu tak pernah lagi terdengar kabar gelandangangelandangan pemerkosa Isah Betina, yang sebelumnya sempat membuat
khawatir Kliwon bahwa mereka akan datang kembali untuk membalas
dendam. Sejak peristiwa itu, tak seorang pun berani mengganggu si
gadis, para penghuni tempat pembuangan sampah menguburkan mayat
gelandangan itu secara diam-diam. Terutama sejak Isah Betina ting?
gal serumah dengan Kliwon, mereka memberikan kesepakatan bahwa
keduanya telah menjadi sepasang kekasih, dan karenanya tak ada alasan
untuk meng?ganggu gadis gila itu.
Kliwon sendiri tampaknya mulai lupa niat awalnya menjadi kere
gelandangan. Bukannya mencari orang-orang malang untuk menghibur
diri sendiri atau menyengsarakan diri untuk melupakan kesedihan atas
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penolakan cinta si gadis kecil Alamanda, ia malahan menemukan cara
terbaik melupakan gadis itu dengan datangnya gadis lain. Dan bukan?
nya menderita oleh kehidupan yang semrawut, tanpa makanan dan
tem?pat tinggal yang semestinya, ia malahan begitu berbahagia oleh
keadaannya sekarang ini. Ia menemukan kembali hasrat cinta yang
berbunga-bunga, terutama karena Isah Betina menerima cintanya de?
ngan kehangatan yang sama, membuat keduanya sesegera mungkin me?
lupakan keadaan mereka sendiri. Bahkan dalam keadaan mabuk asmara,
tak seorang pun akan mengira bahwa Isah Betina ternyata seorang gadis
gila. Kliwon tak peduli apa pun, juga pada kenyataan bahwa ia tak tahu
asal-usul gadis tersebut, dan bahkan ia berjanji kepadanya, "Aku akan
mengawinimu, dengan cara apa pun." Tak banyak yang mereka lakukan
setiap hari sebagai kekasih, kecuali bercumbu nyaris sepanjang siang
dan malam, berhenti hanya ketika mereka lapar dan lelah untuk tidur.
Sofa adalah tempat favorit mereka untuk bercinta, satu pertarungan
yang semakin hari semakin tampak ganas, dengan jeritan-jeritan tengah
malam yang membuat tetangga terbangun dan ikut berahi. Kelakuan
yang me?nerbitkan iri hati itu dimaklumi belaka sebagai bulan madu
sepasang kekasih baru, meskipun kenyataannya itu nyaris berlangsung
berminggu-minggu tanpa henti.
Ketika suatu malam di tengah percintaan yang sebagaimana biasa
seekor ular keluar dari tumpukan sampah dan masuk ke gubuk mereka
dan menggigit ujung jari kaki Isah Betina yang mengganggu jalannya,
gadis itu bahkan tak menjerit oleh rasa sakit dan meneruskan percinta?
annya dengan lelaki itu. Mereka masih menikmati per?se?tu?buhan
ter?sebut sampai puncak-puncak tertinggi yang pernah mereka raih,
namun tak selamanya keberuntungan menjadi milik mereka. Di akhir
ejakulasinya, Kliwon terlempar ke samping dan mendengar ga?dis itu
mengerang dan menggeliat. Ia pikir gadis itu masih meng?inginkannya,
namun ketika dilihatnya kaki si gadis membiru, ia segera menyadari
sesuatu telah terjadi. Segalanya telah terlambat, ular yang menggigitnya
jenis kobra yang paling berbisa, dan gadis itu mati masih di sofa yang
sama, telanjang dan masih basah oleh keringat persetubuhan.
Para tetangga yang tak tahan oleh gangguan jeritan setiap malam
menafsirkan tragedi tersebut sebagai kutukan atas hubungan per?cin?taan
mereka yang sembrono. Kliwon membawa mayat gadis itu pada Kamino
si penggali kubur, dan meminta satu penguburan sebagai?ma?na biasa
dilakukan untuk orang-orang saleh. Hanya Kliwon ditemani si penggali
kubur mengikuti prosesi tersebut, dan untuk itu Kliwon datang dengan
pakaian terbaiknya, dicuri dari rumah seseorang. "Ia hidup hanya untuk
membuatku bahagia," katanya sam?bil meneteskan air mata.
Ia meledak di hari ketujuh masa berkabung dengan membakar gubuk
mereka tanpa sisa, apinya nyaris merembet melahap gubuk-gubuk kar?
dus tetangga sebelum para pemilik berhamburan keluar dan memadam?
kan api dengan air comberan secepat mungkin. Ia mengamuk melem?
pari orang-orang dengan tai anjing dan melempari beberapa lampu
jalan dengan batu. Kesedihannya tak tertanggulangi oleh apa pun. Ia
melempari kaca etalase toko roti di Jalan Merdeka dengan batu-batu
sebesar kepalan tangan membuat gadis-gadis penjaga toko menjerit-jerit
histeris. Ia melukai seorang petugas pos setelah merampas sepedanya
begitu saja membuat tukang pos itu terguling dengan surat-surat ber?
hamburan di jalan. Ia membunuh tiga ekor anjing yang muncul dari
rumah orang-orang kaya, membacok roda mobil yang tengah diparkir
di depan bioskop, dan membakar satu pos polisi. Semua tindakannya
memancing polisi menjadi agresif, dan dengan cepat ia ditangkap tanpa
perlawanan ketika ia tengah berusaha merobohkan batas kota.
Ia ditahan tanpa seorang pun peduli apakah ia dibawa ke pengadilan
atau tidak. Di dalam sel yang terisolasi sebab ia akan berkelahi dengan
tahanan lain tanpa berpikir salah satu di antara mereka akan mati sa?
ling membacok, Kliwon menemukan ketenangannya kembali, berasal
dari kemurungan yang semakin mengerak. Satu-satunya gangguan yang
berasal darinya hanyalah bahwa jika malam hari tiba ia akan mengigau
memanggil nama Isah Betina dalam teriakan-teriakan yang memekak?
kan telinga, me?nga?lahkan lolongan anjing dan suara kucing kawin.
Berita tentang seorang lelaki yang ditahan karena menderita oleh cinta
segera tersebar dan sampai di telinga ibunya. Kliwon ditahan selama
tu?juh bulan, sampai Mina kemudian datang dan mengeluarkannya
dengan jaminan. Ia membawa Kliwon pulang dengan cara menyeretnya,
se?perti ibu yang marah mendapati bocah kecilnya main di kubangan
sapi. "Tak adakah yang lebih berarti bagimu daripada cinta gadis-gadis
itu?" tanyanya dalam kejengkelan, sambil memandikannya tanpa peduli
bahwa anak lelakinya kini telah berumur dua puluh empat tahun.
Rumah itu masih seperti sediakala ketika ia meninggalkannya. Se?
mua barang-barangnya masih tergeletak di tempatnya, pada posisi ter?
akhir ia meletakkannya. Ia membacai novel-novel picisan, yang dahulu
dihadiahkan gadis-gadis kepadanya, tentang kisah cinta yang berakhir
menyenangkan, dalam usaha sia-sia menghibur diri. Ia juga membacai
puluhan surat cinta yang ditulis gadis-gadis yang sama untuknya, jelas
tak terhibur sama sekali, kecuali menambah-nambah kemurungannya
belaka. Segalanya tiba-tiba seperti kembali ke awal yang sama, pada
ke?sedihan yang sama, pada rasa patah hati yang sama. Ia mencoba
me?nemui kembali teman-temannya, beberapa di antara mereka telah
kawin dan punya anak, meminta sedikit ke?ba?hagiaan mereka. Ia juga
mengunjungi kembali teman-teman gadisnya, beberapa di antara
mereka juga sudah kawin, bahkan ada yang janda, mencoba kembali
ber?cinta dengan tiga atau empat dari mereka, sekadar untuk memper?
oleh kembali kehangatan cinta. Namun itu semua hanya membuatnya
kembali terkenang pada Isah Betina.
"Pergilah kembali menggelandang," kata ibunya. "Mungkin bisa kau
temukan cinta yang lain."
"Itulah yang akan kulakukan," katanya.
Ia telah mengemas semua barang-barangnya, dengan harapan jika
ia pergi meninggalkannya, semua dalam keadaan rapi. Buku-buku yang
se?mula berserakan di atas tempat tidur, meja dan lantai ia masukkan
ke dalam kotak kardus dan menumpuknya rapi di sudut kamar. Ia juga
merapikan semua pakaiannya di lemari, membungkus gitar lamanya,
me?nyimpan piringan-piringan hitam yang pernah dimilikinya. Bahkan
ia menyimpan baik-baik pisau cukur dan sikat giginya di laci. Hanya
satu yang masih tergeletak di atas meja, dan tampaknya tak akan ia
simpan di mana pun, sebab ia segera me?ngenakannya. Benda itu ada?
lah topi pet pemberian Kamerad Salim. Ia berdiri di depan cermin,
me?mandangi dirinya sendiri di sana. Tubuhnya telah menjadi begitu
langsing oleh penderitaan selama bertahun-tahun, dengan wajah tirus
dan mata yang redup. Rambutnya masih ikal sepanjang satu jengkal.
Lama ia berdiri di sana, sambil sesekali memegangi topi pet tersebut,
dan bertanya-tanya benarkah semua buruh di Rusia mengenakan topi
semacam itu, sebagaimana dikatakan si orang komunis.
"Lihatlah orang murung itu," katanya pada diri sendiri, "cukup mu?
rung untuk mengenakan topi ini."
Mina kemudian muncul dan berdiri di ambang pintu, melihat anak?
nya masih berdiri di depan cermin. Dengan pantalon yang tersetrika
rapi, kemeja katun, dan bahkan topi pet, Mina mencoba menduga-duga
ke mana Kliwon akan pergi. Tak mungkin jika ia hendak menggelan?
dang kembali dengan cara seperti itu, maka ia kemudian bertanya:
"Kau tak tampak seperti gelandangan, Nak."
"Sekarang dan mulai hari ini," kata Kliwon sambil membalikkan
badan menghadapi ibunya, "Panggil aku Kamerad Kliwon, Mama."
i satu pagi yang berkabut, orang-orang yang berjejalan di peron
stasiun Halimunda digemparkan oleh pemandangan fantastis
yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Di depan loket tiket,
di bawah pohon ketapang, dua orang kekasih berciuman penuh nafsu
tan?pa memikirkan tempat dan waktu. Begitu panas ciuman itu, hingga
orang-orang yang menjadi saksi peristiwa tersebut kelak bertahun-ta?
hun kemudian akan menceritakannya bahwa mereka melihat api me?
nyala dari bibir keduanya. Hal itu menjadi legenda karena sepasang
kekasih tersebut adalah Kliwon dan Alamanda. Baik lelaki maupun
pe?rempuan, akan mengenang peristiwa tersebut dengan kecemburuan
tanpa ampun.
Penampilan provokatif mereka memang telah dikenal di mingguminggu terakhir sebelum kepergian Kliwon ke ibukota Jakarta untuk
belajar di universitas.
Alamanda telah berpacaran dengan Kliwon, dan semua orang
ber?pendapat bahwa itu adalah pasangan terindah yang pernah ada di
dunia, kecuali Adinda. Tapi Alamanda akan menyumpal telinganya jika
Adinda mengatakan bahwa kau betina murahan yang doyan menyakiti
hati lelaki, hentikanlah, paling tidak untuk lelaki ini. Ia rupanya masih
ingat betapa Kliwon telah dibuat jatuh cinta pada Alamanda sejak
kakaknya berumur delapan tahun, dan ia merasa kasihan jika kakaknya
hendak menyakiti cinta sehebat itu. Adinda bahkan bersumpah akan
membunuhnya jika Alamanda berani menyakiti lelaki itu. Baginya, me?
nolak cintanya jauh lebih baik bagi Alamanda daripada menerimanya
untuk dibuang seperti sepah. Alamanda tak peduli dengan ancaman apa
pun yang datang dari mulut adiknya dan ia semakin menampakkan diri
sebagai seorang gadis bengal yang tak bisa diatur.
"Katakan saja kau cemburu, gadis kecil," katanya.
"Jika ada perempuan yang harus kucemburui, maka itu adalah Mama
yang telah tidur dengan ratusan lelaki," kata Adinda.
"Kau pikir aku tak bisa tidur dengan lelaki?"
"Kau bisa tidur dengan semua lelaki sehebat Mama," kata Adinda,
"tapi kau tak mungkin mencintai semua lelaki."
Berbeda dari adiknya yang cenderung banyak di rumah, Alamanda
menghabiskan hari-harinya dengan melihat konser, bernyanyi dengan
iringan gitar bersama kekasih dan teman-temannya di tempat mana
pun yang bisa mereka dapatkan. Mereka pergi tamasya dan nonton
bioskop, sehingga kadang-kadang ia baru pulang ke rumah larut malam
menjelang pagi. Meskipun kedua adiknya telah menunggu di depan
pintu dengan wajah cemas, ia akan berlalu ke kamarnya tanpa mengata?
kan apa pun kecuali menyanyikan sepotong lagu cengeng yang sedang
populer di masa itu.
"Kau lebih buruk dari pelacur," kata Adinda dengan jengkel, "paling
tidak pelacur pulang pagi membawa uang."
"Katakan saja nona kecil penggerutu," kata Alamanda dari dalam
kamarnya, "sekali lagi, kau jatuh cinta pada Kliwon."
"Kalaupun aku jatuh cinta kepadanya, tak akan pernah kukatakan
sebab itu akan membuatmu bunuh diri."
Bukan desas-desus memang jika pemuda itu begitu populer di antara
gadis-gadis muda, tak hanya di sekitar rumahnya, tapi bahkan di selu?
ruh Halimunda. Kenyataannya, ia telah demikian populer sejak masih
kecil ketika orang-orang dibuat terkejut oleh kemampuan otaknya yang
mampu menyelesaikan soal-soal ujian akhir anak kelas enam ketika ia
masih kelas lima sehingga kepala sekolah memutuskan untuk langsung
menyuruhnya belajar di kelas enam. Di sekolah menengah ia telah men?
juarai semua perlombaan matematika dan karena ia juga bisa bermain
gitar dan bernyanyi dan wajah tampannya cukup meyakinkan, ia mulai
pergi ditemani gerombolan gadis-gadis yang jatuh cinta kepadanya.
Itu masa-masa ketika ia bisa pergi dengan gadis mana pun yang ia
inginkan sebelum ia jatuh cinta pada Alamanda yang berumur delapan
tahun, menggelandang dan berhubungan dengan seorang gadis gila ber?
nama Isah Betina. Banyak orang mengatakan mereka pasangan yang
hebat, seorang pemuda yang cerdas dan tampan mem?peroleh seorang
gadis cantik pewaris pelacur terpandang di kota itu, kecuali Adinda
yang menganggap bahwa itu tak lebih dari sebuah malapetaka. Ala?
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manda telah berhubungan dengan banyak lelaki sebelum mencampak?
kan mereka satu per satu. Itu reputasi buruknya, dan semua orang
me?ngetahuinya termasuk Adinda.
Ia melakukan semua ini pada beberapa teman sekolahnya, sedikit
memprovokasi dengan kecantikannya, senyum yang memikat, lirikan
genit, langkah yang gemulai, hal-hal seperti itu bisa membuat banyak
teman laki-lakinya terserang insomnia mendadak. Tak tahan dengan
insomnia tanpa harapan penyembuhan, beberapa anak laki-laki akan
mencoba memburunya dan ia akan mulai berubah menjadi merpati
jinak, yang melompat-lompat setiap kali hendak ditangkap.
Para pemburu tak akan menyerah hanya karena itu, mereka mengu?
burnya dengan rayuan penarik hati, mereka membenamkannya dalam
janji-janji, mereka melemparinya dengan hadiah-hadiah omong kosong,
bunga, kartu ucapan, surat, puisi, nyanyian. Ia menerima semua itu dan
membalasnya dengan senyum yang lebih memikat, dengan lirikan yang
lebih genit, dengan tontonan pada langkahnya yang lebih gemulai, de?
ngan bonus sedikit pujian bahwa kau laki-laki yang baik, pandai, tam?pan,
dengan rambut yang menawan, dan mereka akan merasa tersanjung
melambung ke atas bintang-bintang.
Mereka akan semakin percaya diri, merasa diri sebagai laki-laki
pa?ling tampan di dunia, sebagai laki-laki paling baik di alam semesta,
dengan rambut paling indah, dan yakin dengan semua itu maka pada
kesempatan pertama mereka akan berkata, atau mengirimkan surat,
memuntahkan keinginan prasejarah mereka yang terpendam bahwa
Ala?manda, aku mencintaimu. Itu adalah saat terbaik untuk mengempas?
kan mereka, memorakporandakan hati mereka, menghancurkan seorang
laki-laki, satu kesempatan memperlihatkan superioritas perempuan,
sehingga Alamanda akan berkata, laki-laki, aku tak mencintaimu.
"Aku menyukai laki-laki," kata Alamanda suatu ketika, "tapi aku
le?bih suka melihat mereka menangis karena cinta."
Ia telah melakukan permainan tersebut berkali-kali, selalu menye?
nang?kan dari satu permainan ke permainan yang lain meskipun akhir?
nya selalu sama bahwa ia akan menjadi pemenang dan mereka akan
menjadi pecundang. Ia akan tertawa lebar sementara kekasih baru
menggantikan kekasih lama.
Bayangkan, ia telah melakukan hal itu sejak berumur tiga belas ta?
hun, dua tahun yang lalu. Tak bisa disangkal, kenyataannya ia mewarisi
kecantikan ibunya nyaris begitu sempurna, dengan mata yang tajam
warisan orang Jepang yang menyetubuhi ibunya. Kesadaran bahwa ia
menarik hati bagi lelaki sesungguhnya telah datang ketika Kliwon jatuh
cinta kepadanya, saat ia berumur delapan tahun itu. Tapi pada umur tiga
belas, dua anak lelaki berkelahi hanya karena memperdebatkan warna
celana dalamnya. Yang satu bersumpah bahwa ia melihat Alamanda
me?ngenakan celana dalam warna merah, sementara yang lain berkeras
bahwa gadis itu mengenakan celana dalam warna putih. Mereka ber?
kelahi di belakang kelas, saling menghajar sampai babak-belur tanpa
seorang pun berniat melerai, sebaliknya menjadikan itu tontonan gratis
sebelum diketahui guru. Ketika perkelahian itu sampai di titik di mana
kedua anak itu telah sama bengkak dan berdarah, Alamanda berinisiatif
melerai mereka dan berkata pada keduanya:
"Aku mengenakan celana dalam putih, merah karena sedang mens?
truasi."
Sejak itu ia menyadari bahwa kecantikannya tak hanya merupakan
pedang untuk melumpuhkan lelaki, namun juga senjata untuk mengen?
dalikan mereka. Ibunya sempat dibuat khawatir dan meng?ingatkannya.
"Kau tahu, apa yang dilakukan lelaki pada perempuan di zaman
perang?" tanyanya.
"Tahu sebagaimana sering Mama ceritakan," jawab Alamanda. "Kini
Mama lihat apa yang dilakukan perempuan di masa damai."
"Apa maksudmu, Nak?"
"Di masa damai, Mama telah bikin lelaki-lelaki itu mengantri dan
membayar untuk meniduri Mama, dan aku membuat banyak lelaki
menangis karena patah hati."
Dewi Ayu telah lama takluk oleh kekeraskepalaan anak gadis perta?
manya itu, dan mengikutinya lewat desas-desus yang dibawa orang ke
tempat tidurnya tentang jumlah anak-anak lelaki yang dibuat gila oleh
kecantikannya. "Satu-satunya yang harus kusyukuri adalah bahwa ia tak
jadi pelacur," kata Dewi Ayu pada para pelanggannya, "sebab jika itu
terjadi kau mungkin tak akan ada di atas tempat tidur ini bersamaku."
Itulah Alamanda. Bahkan ia berhasil menaklukkan Kliwon, laki-laki
yang menjadi pujaan banyak gadis Halimunda itu; apa yang membeda?
kannya dengan laki-laki lain yang ia taklukkan adalah bahwa di akhir
permainan ia tak mencampakkan laki-laki itu karena kemudian ia pun
dibuat jatuh cinta kepadanya. Alamanda telah mendengar tentang
repu?tasi laki-laki itu bahkan sejak Kliwon masih sekolah dan ia masih
seorang gadis di awal belasan tahun karena beberapa gadis tetangganya
yang berumur lebih tua darinya sering berbisik satu sama lain tentang
laki-laki paling tampan di dunia dan yang dimaksud adalah Kliwon.
Ada desas-desus tak masuk akal yang mengatakan bahwa ia bukan
anak si janda Mina dan almarhum suaminya yang komunis dan mati
dieksekusi Jepang, sebab setelah kegagalan pemberontakan orangorang komunis di Madiun, banyak orang jengkel pada apa pun yang
di?namakan komunis. Mereka mengarang-ngarang cerita bahwa ia
dite?mukan pasangan tersebut dari dalam buah semangka besar yang
ditemukan di pinggir sungai; ia anak seorang bidadari yang merasa
kasihan atas kemalangan mereka dan menitipkan anaknya pada mereka
untuk suatu ketika mengentaskan keduanya dari kemurtadan yang
seolah abadi tersebut. Gadis yang lain menyebutnya diturunkan begitu
saja dari pelangi ketika bayi dan yang lain menyebutnya ditemukan
dari dalam bunga kecubung raksasa, padahal demi Tuhan tak ada satu
pun dari gadis-gadis penyebar desas-desus itu yang sudah lahir ketika
Kliwon dilahirkan.
Tapi desas-desus sesungguhnya tak hanya disebarkan oleh gadis-gadis
yang diam-diam jatuh cinta kepadanya, tapi bahkan para orang tua
meyakini bahwa ketika ia lahir bintang-bintang bercahaya lebih terang
dari biasanya di kota itu bagaikan dunia tengah menanti kelahiran nabi
baru, dan orang-orang Belanda yang di masa itu masih banyak ber?
keliaran di Halimunda menganggapnya sebagai penanda malapetaka.
Tapi benar atau tidak semua desas-desus itu, Alamanda telah dibuat
penasaran oleh laki-laki itu sejak pengakuannya yang tulus ketika ia
berumur delapan tahun, dan bertahun-tahun kemudian ia masih men?
dengar reputasinya meskipun lelaki itu konon menghilang begitu saja.
Selama ia menjadi gelandangan yang tak banyak diketahui oleh umum,
gadis-gadis masih membicarakannya, dan merindukannya setengah
mati. Banyak di antara mereka percaya bahwa ia mungkin diculik ge?
rombolan bersenjata, entah karena apa, dan dibunuh di suatu tempat.
Yang lain berpendapat ia menyembunyikan diri karena nyawanya me?
rasa terancam. Cerita mana pun yang mereka percayai, sosok Kliwon
kemudian menjadi pahlawan imajiner banyak gadis, nyaris menyaingi
kepahlawanan Sang Shodancho bagi kota itu.
Alamanda telah berumur lima belas tahun ketika Kliwon akhirnya
muncul kembali. Lelaki itu telah berumur dua puluh empat tahun,
dan ia memanggil dirinya sendiri Kamerad Kliwon. Sekembalinya
dari kehidupan menggelandang, laki-laki itu sempat menjadi penjahit
membantu ibunya di rumah mereka, namun itu tak berarti banyak
karena hal demikian tak lebih dari sekadar membagi dua penghasilan
yang biasa diterima ibunya kecuali sedikit tambahan dari beberapa
gadis yang mencoba mencari perhatiannya dengan memintanya men?
ja?hit?kan gaun. Ia meninggalkan kariernya sebagai penjahit yang tak
gemilang dan mengikuti seorang temannya membuat perahu. Waktu
itu fiber masih demikian mahal sehingga untuk menambal kayu perahu,
mereka memakai aspal hitam dan itulah pekerjaannya selain menge?
cat. Ia telah meninggalkan pekerjaannya di bengkel perahu itu dan
kini ia berada di kandang jamur milik Abah Kuwu, dengan pekerjaan
utama memperhatikan termometer memastikan suhu yang tepat selain
mengaduk-aduk jerami dan di waktu lain ia ikut me?manen jamur, me?
nyebarkan ragi, membungkusi, mengangkut, dan akhirnya apa pun ia
kerjakan di kandang jamur tersebut. Namun yang jelas waktu-waktu
itu ia telah menjadi salah satu kader Partai Komunis, yang masuk tiga
besar dalam pemilihan di kota itu empat tahun sebelumnya (tampaknya
bisa jadi partai mayoritas jika tak ada trauma orang-orang Halimunda
pada pemberontakan), dan ia paling mudah ditemui di markas partai
tersebut di sudut Jalan Belanda.
Partai Komunis tampaknya memanfaatkan reputasinya untuk me?
narik banyak gadis menjadi kader mereka, sebab terbukti dalam rapatrapat umum ketika mereka membawa Kamerad Kliwon untuk bicara di
podium, lapangan dipenuhi begitu banyak orang dan gadis-gadis menjerit
histeris. Lagipula Kamerad Kliwon memang tampan, dan pandai bicara.
Alamanda melihatnya suatu hari, terdorong oleh histeria teman-teman
gadisnya, di karnaval hari buruh pada tahun itu juga. Banyak orang
berpendapat, jika kelak Partai Komunis memperoleh suara mayoritas
di kota mereka, maka itu karena Kamerad Kliwon.
Ketika Alamanda tergoda untuk menaklukkan laki-laki paling tam?
pan di kota tersebut, waktu itu ia telah memperoleh reputasi sebagai
satu-satunya gadis yang telah mengecewakan dua puluh tiga laki-laki
yang jatuh cinta kepadanya, sementara Kliwon telah berpacaran dengan
dua belas gadis dalam waktu-waktu yang singkat serta mengecewakan
sisanya. Itu adalah pertarungan para pendekar paling mengerikan
dan tak hanya para pekerja di kandang jamur yang menantikan akhir
per?tarungan itu namun juga seluruh anggota Partai Komunis dan
warga kota berdebar-debar menanti apa yang akan terjadi. Beberapa di
antaranya bahkan memasang taruhan siapa yang akan mengecewakan
siapa, dan para gadis serta para pemuda bersiap untuk dibuat patah hati
sebelum waktunya.
Alamanda merayu beberapa temannya untuk magang di kandang
jamur milik Abah Kuwu, ketika sekolah menyuruh mereka melakukan
kerja praktek. Demikianlah kemudian mereka bertemu di kandang ja?
mur, di tengah ruangan panas yang dikelilingi plastik. Alamanda datang
ke kandang itu pura-pura dalam satu usaha membantu memanen jamur
yang dilakukan setiap pagi, dan di sana ia bertemu dengan laki-laki itu,
menggodanya dengan senyum, menggodanya dengan leher gaun yang
sedikit terbuka sementara laki-laki itu me?mandang padanya dari rak di
tingkat keempat sementara ia berdiri di bawah, menggodanya dengan
permintaan-permintaan sepele. Laki-laki itu sendiri menghadapinya
dengan ketenangan intensional, mengagumi kecantikannya dengan ku?
rang ajar seolah tak peduli bahwa beberapa tahun sebelumnya ia telah
dibuat nyaris gila oleh kecantikan yang menyakitkan itu.
Mereka bertemu setiap hari pada minggu-minggu itu, mengadukaduk jerami bersama, memperdebatkan setinggi apa suhu seharusnya
dipasang, memperdebatkan jamur sekecil apa yang tak boleh dipetik
dan sebanyak apa ragi harus ditaburkan di atas jerami.
"Nona, kau cantik tapi cerewet," kata Kliwon akhirnya sambil ber?
diri di bambu penopang rak-rak jamur menghadapinya sebelum pergi
meninggalkan Alamanda dan bergabung dengan para pekerja lain yang
melepas lelah setelah pekerjaan hari itu usai.
Brengsek, pikir Alamanda, seharusnya laki-laki itu tak pergi mening?
galkannya begitu saja, tapi merayunya lebih gila, memburunya, sebelum
diempaskan sebagaimana biasa. Alamanda berdiri di pintu kandang,
memandang laki-laki itu bersama teman-temannya bergerombol duduk
di pojok ladang, membagi-bagikan rokok satu sama lain sebelum mem?
bakar dan sama-sama mengembuskan asapnya ke udara terbuka, mem?
bicarakan banyak hal dan menertawakan banyak hal.
Itulah yang kemudian membuat keadaan menjadi tak terkendali
baginya dan untuk pertama kali ia sendiri yang terserang insomnia
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cinta, setiap malam menantikan pagi hari datang untuk kembali ke
kandang jamur dan bertemu dengan laki-laki itu sambil bertanya-tanya
apakah demam cinta masih melanda laki-laki itu atau tidak. Ketika
ia mulai menyadari bahwa ia sungguh-sungguh dibuat jatuh cinta, ia
merasa ngeri pada kesadaran bahwa ia telah dikalahkan dan mencoba
membunuh rasa cinta itu dengan memikirkan cara-cara paling mengeri?
kan untuk membuat laki-laki itu jatuh di kakinya. Dan tanpa peduli
apakah ia mencintainya atau tidak, ia akan mencampakkannya begitu
rupa, dendam pada kenyataan bahwa ia telah dibuat jatuh cinta pula
kepadanya. Namun setiap kali mereka bertemu, laki-laki itu menerima
begitu saja anugerah keberadaan gadis cantik di dalam kandang jamur
bersama dirinya, tanpa upaya lebih jauh memburunya, mengabaikan?
nya seolah sudah merupakan kesenangan luar biasa telah ditemaninya
sedemikian rupa.
Yang terjadi adalah bahwa Alamanda semakin jatuh terperosok pada
rasa cinta yang tak tertahankan, terpesona oleh penemuannya atas
laki-laki semacam itu, yang memandangnya dengan penuh kekaguman,
menelusuri lekuk tubuhnya dengan kemesuman, tapi tetap bergeming
dari urusan jamur dan jerami. Alamanda mulai memimpikannya merayu
dirinya, mengiriminya bunga dan surat cinta, ingin melihatnya melaku?
kan kekonyolan sebagaimana dulu ketika ia berumur delapan tahun,
dan ia akhirnya menyerah pada kenyataan bahwa ia memang jatuh cin?
ta tanpa perlu menolak perasaan hatinya. Tapi bahkan laki-laki itu tetap
tak mengubah sikap apa pun meskipun Alamanda secara terus terang
memperlihatkan diri bahwa ia menyukainya, merajuk pada laki-laki itu
minta diantar ke mana pun, bekerja dekat-dekat dengannya, sehingga
akhirnya takut bahwa ia terperosok lebih jauh dalam kekalahan, Ala?
manda memutuskan untuk menyerah, mengakui kekalah?annya secara
tulus dan memastikan diri bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan.
Baiklah, katanya pada diri sendiri, aku tak akan mencoba menarik
perhatianmu. Laki-laki paling tampan sedunia memang bukan makhluk
yang mudah untuk ditaklukkan. Namun ketika ia sudah membuang
keinginannya untuk memiliki laki-laki itu dengan sikap putus asa, Kli?
won tiba-tiba memetik sekuntum bunga mawar dan memberikan itu
un?tuknya. Alamanda menerjemahkannya dengan berbagai cara, dan
bukan?nya lenyap, cintanya semakin membabi buta.
"Minggu pagi kita tamasya di pantai," kata laki-laki itu, "Jika mau
ikut kutunggu di belakang kandang jamur."
Ia bahkan tak menunggu jawabannya, pergi begitu saja menuju ke?
lom?pok para pekerja untuk memperoleh sebatang rokok. Alamanda pu?
lang, meletakkan bunga mawar di dalam gelas di atas meja, tetap di sana
sampai berhari-hari, tak peduli bunga itu telah layu dan membusuk.
Hari Minggu pagi itu ia sempat ragu apakah ia akan ikut tamasya
bersama laki-laki itu atau tidak; perang berkecamuk di dalam hatinya
di mana egonya sebagai seorang penakluk mengatakan bahwa ia harus
sedikit jual mahal, tapi hatinya yang lain yang telah dibakar api cinta
menyuruhnya untuk ikut, karena jika tidak, hari itu akan dilaluinya
tanpa melihat laki-laki itu. Tanpa berdaya kakinya melangkah menuju
ladang tempat kandang jamur dan melihat laki-laki itu sedang me?
mompa ban sepeda. Ia menghampirinya dan bertanya, mana yang lain.
"Hanya kita berdua," jawab Kliwon tanpa menoleh.
"Aku tak mau kalau tak ada orang lain," kata Alamanda.
"Kalau begitu aku sendiri."
Keparat, kata Alamanda di dalam hati, dan ketika Kliwon selesai
dengan pompa sepedanya, gadis itu sudah duduk di boncengan seolah
tangan-tangan iblis mendudukkannya begitu saja di sana. Kamerad Kli?
won tak mengatakan apa pun, naik ke atas sadel, dan dengan berbon?
cengan mereka menuju pantai.
Kenyataannya, hari itu menjadi hari yang begitu indah bagi Ala?
manda. Laki-laki itu menyeret semua kenangannya ke masa kecil yang
menyenangkan, dan bagai dua orang bocah kecil, keduanya duduk di
pasir membangun candi setinggi mungkin. Lelah dengan candi yang se?
lalu roboh dihantam ombak, mereka berlomba melarikan bunga-bunga
bola berduri yang melayang di atas pasir diembuskan angin, lain waktu
mereka menangkap siput laut dan membuat pacuan kecil dan keduanya
akan berteriak-teriak mendukung siput mereka sendiri, dan lelah dari
semua itu mereka menceburkan diri ke air laut dan berenang dengan
penuh keriangan. Berbaring di pasir yang basah sementara air laut
menghantam dirinya, memandang langit yang kemerahan, Alamanda
berharap bahwa hari itu tak akan pernah berakhir, senja yang abadi
de?ngan laki-laki paling tampan di dunia.
Kamerad Kliwon kemudian mengajaknya naik ke atas sebuah pe?
rahu yang berlabuh di pasir. Tak apa, katanya, perahu ini milik seorang
kawan, dan ia bisa mengendalikan perahu dari topan badai sejahat apa
pun. Di dalam perut perahu terdapat beberapa pancing dan ikan-ikan
kecil untuk umpan, kita siap memancing, kata Kamerad Kliwon. Maka
mereka pun meluncur menuju tengah laut, di siang hari Minggu yang
cerah tersebut, tanpa pernah disadari oleh Alamanda bahwa mereka tak
akan pulang di hari yang sama. Kamerad Kliwon mengarahkan perahu?
nya jauh ke lepas pantai, sampai mereka tak melihat satu daratan pun,
dan yang ada hanya laut membentuk bulatan sempurna di sekeli?ling
mereka. Alamanda dibuat panik dan bertanya, "Di manakah kita?"
"Di tempat seorang lelaki menculik seorang gadis yang dicintainya
sejak bertahun-tahun lalu," jawab Kamerad Kliwon.
Apa yang dilakukan Alamanda hanyalah mencoba duduk sejauh
mungkin dari lelaki itu, mepet di ujung perahu. Ia tak bisa berkata apa
pun, dan mulai menganggapnya sebagai kutukan. Jangan-jangan lelaki
ini telah sungguh-sungguh menjadi gila, dan hendak men?celakakannya
tanpa ampun, dan jika itu terjadi, ia tahu bahwa ia tak bisa melawan
dengan cara apa pun. Namun Kamerad Kliwon sama sekali tak memper?
lihatkan keberingasan apa pun, sebaliknya, ia berbaring tenang di ujung
perahu yang lain, pada sebuah papan yang melintang sambil meman?
dang langit yang biru dengan burung-bu?rung camar tersesat beterbangan
sejauh itu: beberapa di antaranya bahkan hinggap di atap perahu.
Secepat waktu berlalu, Alamanda yang tak terbiasa berada di te?
ngah laut mulai menggigil kedinginan. Pakaiannya masih basah kar?ena
berenang tadi. Kamerad Kliwon menyuruhnya untuk mem?buka pakai?an
dan mengeringkannya di atap perahu, mumpung matahari masih ber?
sinar, sebab mereka akan berada di tengah-tengah laut mungkin sampai
berbulan-bulan.
"Jangan pikir kau bisa menyuruhku telanjang," kata Alamanda.
"Terserahmu, Nona," kata Kamerad Kliwon. Pakaiannya sendiri
sebenarnya basah, dan karena itu ia menanggalkannya satu per satu,
menjemurnya di atap perahu, sampai tak sehelai pakaian pun me?nempel
di tubuhnya. Kamerad Kliwon telanjang bulat di depan si gadis yang
seketika menjerit histeris.
"Apa yang kau lakukan, lelaki bodoh?" tanya Alamanda.
"Kau tahu apa yang kulakukan."
Alamanda kini sungguh-sungguh dilanda ketakutan bahwa lelaki
itu pada akhirnya akan memerkosa dirinya. Ia mencoba memandang
sekeliling, namun ia tak melihat pertolongan apa pun yang bisa diharap?
kan. Selebihnya, ia tak mungkin melarikan diri, tak percaya dengan
kemampuan berenangnya sendiri. Kenyataannya, sekali lagi lelaki itu
tak memperlihatkan agresifitas apa pun. Ia masih berbaring di tempat
semula, dengan kemaluan terkulai dan tak ada tanda-tanda bahwa ia
berahi, membuat Alamanda kebingungan sendiri. Setelah berpikir
beberapa saat, ia mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa
lelaki itu sama sekali tak berbahaya. Ia harus me?nang?galkan pakaian?
nya dan menjemurnya di atap perahu, sebagaimana lelaki itu. Ia harus
telanjang, dan jika karena itu lelaki tersebut berahi dan memerkosanya,
terjadilah apa yang harus terjadi. Ia tak punya pilihan lain: jika lelaki
itu mau menyakitinya, ia bisa melakukannya kapan pun.
"Aku tak akan menyakitimu," kata Kamerad Kliwon seolah mengerti
apa yang dipikirkannya. "Aku hanya menculikmu."
Gadis itu akhirnya menanggalkan seluruh pakaiannya. Duduk
membelakangi Kamerad Kliwon sambil mendekap lutut. Jauh di langit,
malaikat dan Tuhan mungkin akan menertawakan mereka: manusiamanusia bodoh, telanjang tapi tak melakukan apa pun, hanya diam
berjauhan. Bahkan berahi pun tidak. Kemaluan Kamerad Kliwon masih
juga terkulai meskipun gadis yang selama bertahun-tahun masih meng?
hantui pikirannya telanjang bulat tak berdaya di depannya. Sementara
Alamanda, meskipun di hari-hari terakhir ia mulai menyukai lelaki itu,
malahan menggigil oleh ketakutan yang dibuatnya sendiri.
Mereka masih melanjutkan perang dingin itu sampai senja ketika
keduanya mulai merasa lapar. Kamerad Kliwon memancing dan me?
nangkap beberapa ekor ikan layang, yang karena tak ada api, itu harus
mereka makan mentah-mentah. Kamerad Kliwon yang tampaknya
telah dibuat terbiasa selama pergaulannya dengan para nelayan, tak
kesulitan mengunyah ikan mentah, tapi Alamanda menolaknya dan
memilih kelaparan. Ketika malam datang, nyatalah bahwa ia tak akan
sanggup menahan rasa lapar, maka ia ikut mengunyah ikan mentah, dan
muntah-muntah karenanya.
"Rasa ikan hanya selebar mulutmu," kata Kamerad Kliwon, "setelah
masuk perut semuanya sama."
"Kau hanya akan bersamaku selama kau menculikku," jawab Ala?
manda ketus, "setelah pulang kau akan kembali menjadi lelaki yang
me?nyedihkan itu."
"Mungkin kita tak akan pulang."
"Itu lebih menyedihkan," dan Alamanda melanjutkan memancing,
"sebab kau bahkan tak berani memerkosaku di tempat sesepi ini, tanpa
seorang pun menjadi saksi, sementara aku telanjang di de?panmu."
"Aku tak pernah memerkosa siapa pun," kata Kamerad Kliwon
sambil tertawa, dan memakan ikan mentahnya lagi. Tak tahan de?ngan
provokasi semacam itu, Alamanda akhirnya memberanikan diri meng?
ambil seekor ikan dan mencobanya lagi. Menahan mual di mulutnya,
me?ngunyah sesedikit mungkin, dan segera menelannya: begitulah ber?
ulangkali ia melakukannya.
Drama itu berlangsung selama dua minggu. Mereka terapung-apung
di tengah lautan berdua saja, bahkan tak pernah bertemu dengan ne?
la?yan lain, sebab Kliwon memang sengaja menempatkan perahu di
daerah dengan palung yang sangat dalam, yang tak seorang nelayan pun
menyukainya sebab di tempat seperti itu susah memperoleh ikan. Udara
sangat cerah di waktu-waktu itu sehingga tak ada ancaman bahaya badai.
Selama itu, perubahan-perubahan terjadi di dalam perahu.
Alamanda akhirnya terbiasa memakan ikan mentah, dan ikut me?
mancing di hari kedua. Di hari ketiga mereka mencebur bersama ke laut
dan berenang mengelilingi perahu sambil tertawa-tawa dan menjeritjerit. Selepas itu mereka menanggalkan pakaian dan menjemurnya di
atap perahu dan duduk di masing-masing ujung perahu: percayalah
mereka tak bersetubuh. Di waktu malam Kamerad Kliwon menyelimuti
gadis itu dengan tubuhnya sendiri dari serangan angin yang dingin, dan
mereka tidur dalam kedamaian. Mereka mulai tampak terbiasa dengan
kehidupan yang aneh tersebut, dan bahkan tampak bahagia, sampai di
hari keempat belas Kliwon memutuskan untuk mendayung dan pulang
ke pantai.
"Kenapa kita harus pulang?" tanya Alamanda, "kita bisa hidup ber?
bahagia di sini."
"Sebab aku tak bermaksud menculikmu seumur hidup."
Sambil mendayung, Kamerad Kliwon duduk di samping gadis itu,
namun keduanya sama-sama membisu. Ada yang dipikirkan oleh kedua?
nya, namun hanya berputar-putar di otak belaka, tak juga terkeluarkan
selama perjalanan pulang tersebut. Hingga akhirnya ketika mereka
berlabuh di pantai, Kamerad Kliwon mengejutkan gadis itu dengan
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara?nya yang lembut:
"Dengar, Nona," kata laki-laki itu, "aku menyukaimu, tapi jika kau
tak menyukaiku, itu pun tak apa-apa."
Ya Tuhan, inilah laki-laki yang selalu membuatku terkejut seolaholah apa yang akan ia lakukan bahkan tak bisa diramalkan oleh kitab
takdir sekalipun, pikir Alamanda dengan pandangan tak berdaya. Ia
tak mengatakan apa pun meskipun hatinya ingin mengatakan bahwa
ya aku pun mencintaimu.
Mereka meneruskan kebisuan itu dalam perjalanan pulang dengan
sepeda. Selama itu Alamanda mengartikan kebungkaman si laki-laki
sebagai sikap patah hati karena ia tak memberi jawaban apa pun semen?
tara Kliwon menerjemahkan kebungkaman Alamanda sebagai sikap
malu-malu seorang gadis untuk menanggapi pernyataan cinta seorang
laki-laki. Alamanda khawatir bahwa laki-laki itu sungguh-sungguh
ber?pikir begitu sehingga ketika mereka sampai di rumahnya, Alamanda
ingin memastikan laki-laki itu bahwa ia tak perlu merasa patah hati
karena ia akan mengatakan bahwa ia juga mencintainya. Tapi sebelum
sepatah kata pun keluar dari mulutnya, Kliwon me?motong dan berkata:
"Jangan jawab sekarang, Nona. Pikirkanlah!"
Mereka melewatkan minggu itu dengan hari-hari yang me?nye?
nangkan. Bekerja di kandang jamur tanpa perdebatan apa pun ke?cuali
membicarakan hal-hal yang menyenangkan untuk mereka berdua. Ke
mana pun Kliwon pergi, Alamanda mengikutinya dan demikian pula
sebaliknya, sehingga orang-orang yang melihatnya mulai percaya bahwa
mereka telah menjadi sepasang kekasih.
Berita tentang hubungan mereka tak hanya dibicarakan di kandang
jamur, tapi melompat ke bagian-bagian ladang yang lain, didengar para
petani penggarap sawah dan dibicarakan juga oleh para pemetik jagung,
dan lebih dari itu hal ini mulai merembet menembus dinding-dinding
kota. Tak tahan dengan desas-desus itu sementara hubungan mereka
belum sepenuhnya diakui oleh mereka sendiri, suatu hari Alamanda
akhirnya berkata pada Kamerad Kliwon, "Tahukah kau bahwa aku
men?cintaimu?" dan pada saat itu Kliwon menjawab penuh kepastian,
"Semua orang juga tahu." Hal itu cukup untuk menghentikan reputasi
mereka: Kamerad Kliwon bukan lagi pemburu gadis-gadis dan Ala?
manda bukan lagi penakluk lelaki.
Mereka menjalin hubungan asmara selama kurang lebih setahun,
sampai kemudian Kamerad Kliwon memperoleh beasiswa dari Partai un?
tuk sekolah kembali di universitas. Untuk itu ia harus pergi ke Jakarta.
Perpisahan tersebut begitu menyakitkan sehingga Alamanda akhirnya
memohon pada Kamerad Kliwon:
"Perkosalah aku sebelum kau pergi."
"Tidak," kata Kamerad Kliwon.
"Kenapa? Kau meniduri hampir semua gadis Halimunda tapi kau tak
mau memerkosa kekasihmu sendiri?"
"Sebab kau berbeda."
Itu benar. Kamerad Kliwon tak akan takluk oleh apa pun dan bersi?
keras tak akan menyentuh kemaluan gadis itu. "Sampai kita kawin,"
katanya, seperti pemuda-pemuda alim. Selama seminggu sebelum ke?
pergiannya, mereka tampil hampir di semua tempat, seolah tak ingin
ter?pisahkan. Siang-malam mereka terlihat berdua-dua saja. Kemudian
hari itu datang. Alamanda mengantarkannya ke stasiun kereta api. Ke?
tika masinis telah bersiap dan peluit ditiup, Alamanda yang dibuat tak
tahan mencium pemuda itu. Mereka bahkan belum pernah berciuman,
dan kini mereka saling berciuman begitu membara di bawah pohon
ketapang. Benar kata orang, bahkan api keluar dari bibir keduanya.
Itu adalah ciuman perpisahan, perpisahan yang kelak terbukti sangat
me?nyakitkan.
Kereta mulai bergerak, mereka saling melepaskan bibir mereka de?
ngan enggan, sementara pengunjung stasiun masih berdiri me?ma?tung
memandang keduanya.
"Lima tahun yang akan datang," kata Kamerad Kliwon, "kita akan
berjumpa di bawah pohon ketapang ini."
Lalu ia berlari dan naik ke kereta yang mulai bergerak cepat, diiringi
lambaian tangan Alamanda yang bahkan dibuat menangis melihat
kepergiannya, dan masih berdiri di tempatnya sampai ekor kereta
menghilang.
Kini permainan kesekian, dengan calon korban orang paling terkenal
di Halimunda, penguasa rayon militer yang pernah memimpin pem?
berontakan paling celaka melawan Jepang, Sang Shodancho. Ibarat
seorang nelayan tua yang menangkap ikan marlin besar di hari yang
tenang, perasaan gadis itu demikian haru-biru membayangkan bahwa ia
akan memperoleh mangsa yang demikian besar, mungkin yang terbesar
sepanjang hidupnya, dan ia akan selalu mengenang saat-saat penakluk?
annya, tahap demi tahap, bahkan sejak serangan pertama di tempat adu
babi. Ia telah tahu bahwa laki-laki itu mulai terjerat kecantikannya
se?jak malam pertunjukan tersebut, maka sesudah itu apa yang perlu
ia lakukan hanyalah menarik jerat untuk mengikat semakin kencang.
Setahun telah berlalu sejak Alamanda tak lagi menjadi seorang gadis
penakluk yang menggoda banyak laki-laki untuk meng?han?curkannya,
dan demikian pula Kliwon bukan lagi seorang mata keranjang. Mereka
saling mencintai satu sama lain dan dari hari ke hari cinta itu semakin
dalam tertanam sehingga mereka bertekad un?tuk tak mengkhianati satu
sama lain. Tapi kini Kliwon pergi ke ibukota untuk masuk universitas
dan Alamanda mulai merasa bosan dengan kesepiannya; ia sama sekali
tak berniat mengkhianati ke?ka?sih?nya karena bagaimanapun ia masih
mencintainya setinggi gunung-gunung dan sedalam samudera, ia hanya
sedikit ingin bermain-main sebagaimana dulu ketika ia biasa bermainmain. Menggoda laki-laki tanpa perlu harus mencintai mereka.
Tapi apa yang tak pernah disadarinya adalah bahwa sekarang ia
menghadapi laki-laki yang sama sekali lain, seorang laki-laki yang per?
nah menjadi buronan tentara Jepang selama berbulan-bulan setelah satu
pemberontakan di masa perang, laki-laki yang pernah memimpin lima
ribu pasukan pada perang melawan Belanda di masa agresi militer dan
terlatih di banyak perang, laki-laki yang pernah menjadi Panglima Besar
selama waktu yang singkat dan memperoleh tanda-tanda kehormatan
jauh lebih banyak daripada yang diperoleh prajurit manapun, serta ia
adalah satu-satunya laki-laki yang dipercaya untuk memimpin sebuah
kota tempat penyelundupan besar-besaran di?la?kukan secara diam-diam.
Cepat atau lambat, Alamanda mungkin tahu tentang laki-laki itu,
tapi sampai waktu ketika ia merasa me?nyesal, ia tetap tak menyadari
bahwa Sang Shodancho bukanlah mangsa yang terlalu mudah untuk
di?permainkan.
Sebagaimana diduga Alamanda, beberapa hari setelah pertemuan di
pertunjukan orkes Melayu itu, Sang Shodancho muncul di rumah, ia
datang dengan mengemudikan jeep seorang diri, ditemui ibunya yang
membuat lelaki itu seperti anak ingusan menghadapi kencan pertama.
Mereka terlibat dalam pembicaraan seputar kota, tapi Ala?manda tahu
dengan pasti bahwa ia datang bukan semata-mata itu, karena ia datang
dengan seikat bunga yang diberikannya kepada Alamanda, dibawa Ala?
manda ke dalam kamar sebelum dilemparkan melalui jendela ke tempat
sampah di halaman, lalu bergabung kembali dengan ibunya serta Sang
Shodancho dengan senyum me?mesona, menebar godaan.
Pembicaraan tak berujung-pangkal tersebut memakan waktu berharihari. Pada setiap kedatangan Sang Shodancho membawa bunga yang
segera dilemparkan ke tempat sampah meskipun sang pemberi tak
me?nge?tahuinya. Bahkan tak hanya bunga, di hari ketiga ia membawa
boneka panda yang disebutnya didatangkan langsung dari negeri Cina.
Lain waktu ia membawa vas bunga dari keramik dan keesokan harinya
Sang Shodancho membawa setumpuk piringan hitam penyanyi pop
Amerika yang diterima Alamanda dengan suka cita, tanpa membuang
pem?berian itu semua. Namun ketika malam datang ia tertawa keraskeras di dalam kamar mandi melihat ke?du?nguan pahlawan kota tersebut.
Permainan seperti itu telah ia tinggalkan selama setahun dan ia
merasa bangga bahwa kemampuannya untuk membuat laki-laki tampak
bodoh dan tolol masih cukup meyakinkan, ia memutar pi?ringan hitam
tersebut sambil menari-nari di dalam kamar mem?bayangkan diri bahwa
ia berdansa dengan kekasihnya. Menari bersama Kliwon dengan piring?
an hitam pemberian Sang Shodancho, gagasan tersebut tampak menye?
nangkan untuk dipikirkan. Ia kembali tertawa sampai ketika malam ia
bermimpi Kliwon mengetahui hal itu dan laki-laki tersebut menjadi
ma?rah sehingga berniat untuk mem?bu?nuhnya, membuat ia terbangun
dalam selimut keringat dingin dan napas putus-putus. Ia memaki pada
mimpi buruk tersebut dan me?yakinkan diri bahwa ia sama sekali tak
mengkhianati kekasihnya dan cintanya tak berubah sedikit pun juga.
Esok harinya ia menerima surat dari kekasihnya itu. Alamanda
sedikit gugup menerima surat tersebut dan berpikir apakah ada hu?
bungannya antara mimpi buruk itu dengan surat di tangannya. Ia masuk
ke kamar dan berbaring masih belum berani membuka sampul surat,
khawatir dengan mimpi buruk yang menjadi kenyataan, tapi apa pun
yang terjadi ia harus membuka surat tersebut dan mengetahui isinya.
Akhirnya ia membukanya juga.
Apa yang ia khawatirkan sama sekali tak beralasan, tak ada hukum?
an dan tak ada kecurigaan sedikit pun. Kliwon bercerita bahwa ia telah
masuk universitas, bahwa pelajarannya tak sesulit yang dibayangkan
semula dan bahwa semuanya baik-baik saja. Alamanda percaya bahwa
laki-laki itu tak akan kesulitan dengan apa pun, ia bangga memiliki
kekasih yang pandai. Ketika Kliwon bercerita bahwa ia menjadi tukang
foto keliling serta kerja sambilan di sebuah binatu, air mata keharuan
meleleh di pipinya sambil ber?bisik bahwa masa depan akan menjadi
lebih baik bagi mereka. Ia mencium kertas surat itu masih sambil mena?
ngis sebelum jatuh ter?tidur dengan surat masih menutupi wajahnya.
Ketika ia terbangun dua jam kemudian dalam mimpi yang indah
pada suatu perkawinan meriah bersama kekasihnya, ia baru menyadari
kalau surat itu belum selesai ia baca dan ia kembali membacanya dari
awal. Di antara surat itu ada selembar foto sang kekasih, di?ceritakan
di dalam surat bahwa foto itu diambil sendiri oleh kekasihnya jadi jika
gambar tersebut tampak miring atau jika wa?jahnya menjadi tampak
menggelikan, maka mohon dimaafkan belaka.
Alamanda tertawa melihat foto tersebut, menciumnya dengan
begitu gemas sebanyak delapan kali ditambah tiga kali ciuman bonus
sebelum mendekapnya di dada dan meletakkannya terus di sana semen?
tara ia terus melanjutkan surat tersebut. Akhir surat tak begitu mena?
rik karena Kliwon bercerita soal urusan-urusan Partai. Alamanda tak
tertarik pada pembicaraan tersebut dan ia bersyukur bahwa Kliwon tak
menuliskannya lebih banyak dari satu alinea sebelum segera dipotong
keinginannya untuk memperoleh foto di?rinya. Alamanda tersenyum
kembali, dan berkata seolah-olah laki-laki itu ada di depannya, kau
se?gera memperoleh foto gadis paling cantik di dunia, dibuat hanya untuk
laki-laki paling tampan di dunia.
Sore itu Alamanda telah berdandan demikian cantik, bersiap pergi
ke tukang foto, ketika didapatinya Sang Shodancho sedang ber?bincang
dengan ibunya seperti biasa di ruang tamu. Naluri pe?nakluknya segera
timbul dan ia tersenyum manis pada Sang Shodancho membuat laki-laki
itu seketika menghentikan semua pembicaraan dengan Dewi Ayu. Sang
Shodancho merasa bahwa gadis itu berdandan untuknya dan ia dengan
tulus memanjatkan terima kasih sedalam-dalamnya pada pe?ngua?sa alam
semesta, tapi pada saat itu dengan kejam Alamanda berkata bahwa ia tak
bisa menemani mereka berbincang-bincang sebagaimana biasa karena
ia akan pergi ke tukang foto.
Gadis itu melihat Sang Shodancho terpuruk dalam kekecewaan
(karena berdandan untuk tukang foto dan bukan untuk dirinya), tapi
Sang Shodancho segera mengatasi keadaan tersebut, berkata me?na?war?
kan diri untuk mengantarnya. Hal itu belum ada di pikiran Alamanda
sebelumnya, tapi apa salahnya ia mengantar dirinya ke tukang foto,
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mem?buat foto untuk kekasihnya atas kebaikan hati seorang laki-laki
pecundang. Alamanda kembali tersenyum dan me?lirik ke arah ibunya
yang khawatir dengan gelagat buruk si anak gadis.
Maka Sang Shodancho pun pergi mengantar Alamanda ke toko foto
yang telah ada sejak masa kolonial, dulu milik orang Jepang mata-mata
itu tapi sekarang milik sebuah keluarga Cina. Sang Shodancho duduk
di ruang tunggu, di hadapan etalase sambil ber?kata pada istri si tukang
foto untuk mencetak foto-foto tersebut ma?sing-masing dua tanpa gadis
yang bersamanya tahu. Istri si pe?milik toko mengerti dengan benar
mak?sudnya dan mengangguk penuh pengertian.
Sementara itu Alamanda masuk ke ruangan studio dengan si lakilaki Cina, berdiri anggun di depan layar bergambar danau dengan
burung-burung bangau berenang di atasnya dan gunung biru ada di latar
belakangnya. Ia difoto sambil berdiri, kadang duduk pada se?buah batu
yang ada di sana, dan lain waktu layar latar belakang diganti dengan
sebuah sungai dengan sebuah jembatan gantung dan pohon-pohon dan
lain waktu latar belakangnya adalah musim salju yang aneh di negeri
Cina. Si tukang foto memotretnya sebanyak sepuluh kali, dan ketika
ia hendak membayar, ia mendapati kenyataan bahwa Sang Shodancho
telah membayar semuanya. Ia tak me?nam?pakkan keberatan sedikit pun,
terpukau oleh kenyataan akan mengirim foto untuk kekasihnya atas
biaya orang yang segera akan patah hati jika mengetahui hal itu, dan
di lain pihak Sang Shodancho meng?anggap penerimaannya sebagai
pertanda baik dalam hubungan mereka.
Sang Shodancho sendiri yang mengantarkan hasil cetakan foto-foto
itu empat hari kemudian, berpura-pura bahwa ia kebetulan lewat di
depan toko foto milik orang Cina tersebut. Alamanda me?nerimanya
dengan sukacita dan segera pergi ke dalam kamarnya, menikmati gam?
bar-gambar dirinya. Ia memilih empat yang paling bagus di mana ia
tam?pak demikian cantik dan mulai menulis surat kepada kekasihnya,
ber?cerita mengenai Sang Shodancho, tentang ke?dunguannya, dan
bicara sejujurnya bahwa Sang Shodancho tampaknya tertarik pada
dirinya. Ia meyakinkan kekasihnya bahwa ia sama sekali tak tertarik
kepada Sang Shodancho, ia masih seperti sebelum ini bahwa cintanya
hanya untuk kekasihnya seorang dan tak punya keinginan sedikit pun
untuk berkhianat.
Jika ia membicarakan laki-laki itu di dalam suratnya, bukan untuk
membuat kekasihnya cemburu tapi untuk memperlihatkan bahwa tak
ada satu pun yang ia sembunyikan dari kekasihnya. Alamanda tahu
mung?kin Kliwon akan cemburu karena itu, tapi ia percaya Kliwon juga
orang yang memercayai dirinya, jadi tak apa-apa untuk menceritakan
Sang Shodancho di dalam surat. Ia menaburkan bedak sedikit ke per?
mukaan surat agar sang kekasih bisa menghirup bau harum sebagaimana
biasa ia cium dari tubuhnya, dan ia pun memoles bibirnya dengan lip?
stik tipis, menempelkannya di ujung surat di samping tanda tangannya,
sebagai tanda cium kerinduan dari jauh. Surat dan foto ia masukkan
ke dalam amplop, dan ia tersenyum membayangkan laki-laki itu akan
menerimanya dalam beberapa hari.
Sementara itu Sang Shodancho yang telah pulang ke rumahnya
di samping rayon militer berbaring dalam lamunan dengan foto-foto
Alamanda di tangannya, dipandangnya ganti-berganti dengan tatapan
yang lekat menembus batas-batas permukaan kertas. Satu per satu fotofoto itu ia letakkan tertelungkup di dadanya yang telanjang sementara
kedua tangannya terlipat menjadi pengganjal kepala.
Ia melamunkan gadis itu, kecantikannya, tubuhnya, dan ia terpero?
sok ke dalam berahi yang meledak-ledak dalam ketidaksabaran sehingga
tangannya bergerak kembali meraih foto-foto tersebut, melihatnya
kembali ganti-berganti, mengelus permukaan kertasnya bagaikan itu
adalah tubuh si gadis dan ia semakin larut dalam berahi anjing di mu?sim
kawin, matanya mulai memandang dalam ke?me?suman dan ia berbalik
tertelungkup meletakkan foto-foto itu di atas bantal, menelusuri?nya
de?ngan jari-jari telunjuk dan bibirnya mulai menggumamkan nama
gadis tersebut. Setengah jam berlalu dalam kegelisahan tersebut mem?
buat foto-foto si gadis yang ia peroleh secara diam-diam melalui kon?
s?pirasi dengan istri tukang foto tersebut menjadi tampak lusuh sampai
akhirnya ia bangun dan meletakkan semua foto itu di dalam laci dan ia
mengenakan kembali pakaian seragamnya, berjalan keluar kamar meng?
hampiri salah seorang prajurit yang bertugas sebagai piket di kandang
monyet di samping gerbang masuk Komando Rayon Militer Halimunda.
"Selamat sore, Shodancho," kata sang prajurit sementara Sang
Shodancho masuk dan berdiri bersandar ke tembok meskipun prajurit
berpangkat kopral dua itu memberikan kursi untuknya duduk.
Sang Shodancho bertanya, "Di mana ada pelacuran di kota ini?"
Kopral dua itu tertawa dan berkata bahwa ada banyak pelacur di
Halimunda, tapi hanya ada satu yang baik dan ia menyebutkan ru?
mah pelacuran Mama Kalong. "Aku bisa antar jika nanti malam mau
berkunjung," kata kopral dua itu lagi.
Sang Shodancho hanya tertawa, tak terkejut dengan kenyataan
bahwa anak buahnya telah mengetahui rumah-rumah pelacuran dalam
beberapa hari kedatangan mereka di kota itu, dan ia segera berkata,
"Kita pergi nanti malam."
"Kalau begitu kita akan pergi, Shodancho."
Itu adalah waktu ketika ia berkunjung ke rumah pelacuran Mama
Kalong dan menyetubuhi Dewi Ayu, dan sehari kemudian Maman
Gen?deng marah serta datang mengancam ke kantornya.
Setelah kedatangan sang preman, ia segera menyadari bahwa kini ia
punya seorang musuh di Halimunda. Belakangan hari, ketika anak-anak
buahnya menyebar mencari informasi, ia segera mengetahui nama dan
reputasi laki-laki itu: Maman Gendeng. Tampaknya tak ada alasan apa
pun untuk kembali ke rumah pelacuran itu dan bercinta dengan Dewi
Ayu sebagaimana tak ada alasan yang cukup memadai untuk berurusan
dengan laki-laki tersebut. Lagipula ber?kunjung ke rumah pelacuran
sung?guh-sungguh tindakan bodoh dari seorang laki-laki yang sedang
membangun citra baik dan sedang men?cari seorang calon istri.
Lebih dari itu, ia justru semakin bertekad untuk memperoleh Ala?
manda, satu-satunya perempuan yang ia percaya sebagai perempuan
yang diciptakan untuknya: perempuan yang hangat di tempat tidur,
perempuan yang anggun dalam seremoni, perempuan yang memesona
di pertemuan-pertemuan publik, dan cukup angkuh untuk berdiri di
sampingnya pada saat upacara militer, seandainya seorang istri diperlu?
kan untuk hadir. Namun ia tak juga luput dari kegelisahan ketika anak
buahnya yang melaporkan reputasi Maman Gendeng, juga melaporkan
reputasi Alamanda di kota itu: seorang gadis penakluk yang akan ter?
tawa melihat banyak laki-laki patah hati, menderita dalam rasa cinta
yang tak berbalas, insomnia berat di?rong?rong bayangan tentang dirinya.
Satu-satunya laki-laki yang pernah menaklukkannya adalah seorang
pemuda komunis bernama Kliwon.
"Tapi laki-laki itu pergi ke ibukota untuk masuk universitas, tampak?
nya hubungan mereka sudah berakhir."
Paling tidak informasi yang mengatakan bahwa gadis itu pernah
ditaklukkan dan pernah jatuh cinta membuatnya sedikit lega. Lagi
pula sulit dipercaya jika gadis itu memiliki keberanian yang kurang ajar
mempermainkan seorang laki-laki dengan kekuasaan mutlak di kota,
kecuali untuk kedua kalinya ia telah jatuh cinta, dan Sang Shodancho
lebih menyukai kemungkinan kedua.
Keyakinan Sang Shodancho semakin bulat ketika pada suatu sore
dalam kunjungannya, gadis itu menemukan jahitan yang lepas di
pa??kaian seragamnya. Tanpa malu-malu sementara saat itu Sang Sho?
dancho sedang berbincang dengan Dewi Ayu ibunya, Alamanda ber?
kata, "Jahitan bajumu lepas, Shodancho. Jika tak keberatan akan aku
jahitkan untukmu."
Kedengarannya sangat manis sekali dan hatinya melambung ke
langit ketujuh. Ia segera melepaskan pakaian seragamnya me?ning?gal?
kan hanya kaus oblong hijau tua dan memberikan seragam itu pada
Alamanda yang segera membawanya ke kamar jahit. Terutama memang
peristiwa itu yang membuatnya yakin bahwa Alamanda membalas
perhatian dengan semestinya. Kini yang perlu ia lakukan hanyalah
melakukan pembicaraan yang lebih serius dalam hubungan mereka;
Sang Shodancho bahkan berharap bisa melakukan pem?bicaraan menge?
nai hari perkawinan dan ia mengeluh dalam hati betapa lambatnya
hari berganti.
Kesempatan untuk mengungkapkan perasaan hatinya datang pada
satu sore yang cerah ketika mereka berdua berjalan-jalan ke dalam hu?tan
tanjung dalam sebuah tamasya untuk menunjukkan rute gerilya?nya di
masa lampau. Laki-laki itu memperlihatkan kepadanya gubuk tempat
ia tinggal bertahun-tahun, gua-gua tem?patnya bermeditasi dan bersem?
bunyi, sisa-sisa senjata, berupa mortir, senapan dan serbuk mesiu. Ia
ju?ga memperlihatkan benteng-benteng pertahanan yang pernah dibuat
Jepang. Lalu keduanya duduk berdua sambil memandang laut lepas,
tepat di halaman depan gubuk gerilya pada kursi dan meja batu tempat
dahulu ia melakukan rapat dengan pasukannya. Hari itu udara cukup
ha?ngat dan angin timur berembus menyenangkan.
Apakah minum jus buah di pinggir laut seperti itu cukup me?nye?
nang?kan, tanya Sang Shodancho yang dijawab Alamanda bahwa ya,
itu sangat menyenangkan. Ia tak tahu bahwa tempat gerilya tak seme?
ngerikan bayangannya. Sang Shodancho kembali ke dalam truk yang
mengangkut mereka berdua ke tempat itu dan membawa termos berisi
minuman.
Beberapa perahu nelayan yang telah pergi melaut sesore itu, bergerak
perlahan di tengah laut, terapung-apung seperti kelopak bunga di atas
kolam. Ada dua sampai tiga orang nelayan di atas perahu-perahu tersebut
dan mereka semua memandang ke tempat mereka duduk saling berha?
dap?an. Tak ada lambaian tangan dan te?riakan, mereka cuma memandang
dan berbicara dengan teman-teman mereka sendiri.
Nelayan-nelayan itu mengenakan baju tebal-tebal berlengan pan?
jang, sarung melilit di pundak mereka, penutup kepala kerucut serta
kaos tangan dan kaki yang dibalut sepatu kets tua untuk meng?hindari
dinginnya laut malam yang ganas dan merongrong masa tua dengan
rematik. Melihat itu Sang Shodancho berkomentar bahwa di masa
yang akan datang penangkapan ikan seperti nelayan-nelayan itu sudah
seharusnya ditinggalkan perlahan-lahan. Kapal-kapal besar yang bisa
menampung puluhan nelayan dengan ikan tangkapan lebih banyak dan
risiko rematik yang lebih sedikit akan menggantikan perahu-perahu
kecil mereka yang rentan terhadap badai. Para nelayan tak akan lagi
banyak berhubungan dengan air laut. Alamanda hanya membalas
bahwa nelayan-nelayan itu sudah terlampau bersahabat dengan laut
untuk takut pada badai dan rematik, dan mungkin mereka tak berniat
menangkap ikan terlalu banyak dari yang mereka butuhkan setiap hari.
Ia pernah mendengar soal itu dari Kliwon.
Sang Shodancho tertawa kecil dan kemudian mereka mulai mem?
bicarakan mengenai ikan-ikan yang enak untuk dimakan. Alamanda
ber?kata bahwa ikan kerapu adalah ikan paling enak sementara Sang
Shodancho berkata bahwa ia suka cumi-cumi sebelum Alamanda
mengungkapkan keberatannya karena cumi-cumi bukan ikan sebab
ia tak bersisik dan bersirip. Mendengar itu Sang Shodancho tertawa
kembali. Keduanya kemudian terdiam sejenak pada saat yang bersamaan
ketika Sang Shodancho menuangkan jus buah pada gelas Alamanda
yang telah kosong dari termos dingin yang ia bawa. Pada saat itulah
Sang Shodancho mengatakan apa yang ingin ia katakan, atau tepat?
nya sebuah pertanyaan yang ia ingin tanyakan, "Alamanda, maukah
sekiranya kau jadi istriku?"
Alamanda sama sekali tak dibuat terkejut oleh pertanyaan tersebut.
Ia pernah mendengar pertanyaan semacam itu diucapkan banyak lakilaki lain, dengan beragam variasinya, dan hal itu dari waktu ke waktu
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin tak membuatnya terkejut. Bahkan ia bisa menduga kapan
se?orang laki-laki akhirnya akan mengatakan hal itu. Sejauh yang ia
pernah alami, selalu ada tanda-tanda mengiringi seorang laki-laki akan
mengatakan cinta kepada seorang perempuan, meskipun tanda-tanda
itu selalu berbeda dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain. Ia meng?
anggap seorang perempuan bisa merasakan hal seperti itu, terutama
jika perempuan itu pernah menolak cinta dua puluh tiga laki-laki dan
menerima laki-laki kedua puluh empat seperti dirinya. Kini Alamanda
tengah berpikir bagaimana membuat laki-laki kedua puluh lima terpero?
sok dalam demam cinta yang tak ter?balas.
Ia berdiri dan melangkah ke arah tepi tebing, melihat dua orang
nelayan tengah mendayung perahu mereka perlahan lalu berkata tanpa
menoleh pada Sang Shodancho, "Seorang laki-laki dan seorang perem?
pu?an harus saling mencintai untuk menikah, Shodancho."
"Apakah kau tidak mencintaiku?"
"Aku sudah punya kekasih."
Jadi kenapa kau harus berdandan begitu anggun di setiap pertemuan
kita kalau bukan untuk menarik hatiku, tanya Sang Shodancho di
dalam hati dengan sedikit geram. Dan kenapa kau mau aku antar ke tu?
kang foto dan membiarkan aku melihat gambar tubuhmu di atas kertas,
dan kenapa pula kau menjahitkan pakaianku yang lepas jahitan kecuali
kau ingin menunjukkan perhatianmu?
Sang Shodancho memikirkan itu semua seolah tengah menyeret
waktu-waktu belakangan ke dalam benaknya, dibuat semakin berang
oleh kesadaran bahwa gadis itu tengah mempermainkannya secara
sung?guh-sungguh. Ia mengutuki dirinya sendiri atas ketidakhati-hati?
an?nya menghadapi gadis tersebut, mengabaikan fakta bahwa gadis ini
adalah orang yang sama yang pernah menarik hati banyak laki-laki
sebelum mencampakkannya bagai sampah tak berguna sebagaimana ia
pernah dengar sebelum ini. Ia telah berlaku bodoh dengan menganggap
bahwa gadis ini tak akan berani melakukannya pada seorang shodancho
pemimpin pemberontakan dan pahlawan sebuah kota, lebih dari itu, ia
sangat berani dan tampak sangat me?nikmatinya.
Ia semakin marah ketika dilihatnya gadis itu hanya diam saja de?
ngan ketenangan yang luar biasa di seberang meja, duduk kembali dan
meminum jus buahnya. Semakin marah ketika gadis itu ter?senyum
ke?padanya seolah ia ingin mengatakan permintaan maaf, perasaan
me?nyesal telah membuatnya patah hati, atau kata-kata semacam, kau
terlambat, Shodancho. Ia sangat marah namun dengan penuh ketenangan
ia akhirnya berkata, "Cinta itu seperti iblis, lebih sering menakutkan
daripada membahagiakan. Jika kau tak mencintaiku, paling tidak ber?
cintalah denganku."
Betapa menyedihkannya seorang laki-laki, pikir Alamanda. Ia me?
mandang wajah Sang Shodancho, tapi sejenak ia heran kenapa wajah
itu tiba-tiba bergoyang-goyang ke sana-kemari, dan belakangan wajah
tersebut menjadi dua bagian yang timbul-tenggelam. Ia ingin bertanya
kepada Sang Shodancho apa yang terjadi dengan wajahnya, tapi kenapa
juga mulutnya terasa tak berdaya untuk bergerak. Sekonyong-konyong
ia merasa tubuhnya sendiri goyah, dan berpikir jangan-jangan tubuh?
nya pun akan terbelah menjadi dua bagian sebagaimana wajah Sang
Shodancho. Itulah memang yang terjadi ketika ia melihat tangannya
yang masih menggenggam jus buah sisa separuh itu: kini tangannya pun
mulai menjadi dua, tiga, bahkan empat.
Ia masih melihatnya meskipun hal itu tampak semakin kabur ketika
Sang Shodancho berdiri dari tempatnya duduk, berjalan memutari meja
ke arahnya sambil mengatakan sesuatu yang sama sekali tak ia dengar.
Tapi ia cukup bisa merasakannya ketika Sang Shodancho berdiri di sam?
pingnya dan mengelus pipinya dengan begitu lembut, menyentuh dagu
dan ujung hidungnya. Alamanda ingin berdiri dan menampar laki-laki
itu atas kekurangajaran yang ia lakukan, tapi seluruh kekuatan dirinya
hilang entah ke mana. Bahkan untuk menoleh pun ia sudah tak sang?
gup dan lebih dari itu ia bahkan mulai terhuyung dan tubuhnya jatuh
membentur tubuh Sang Shodancho.
Tangan laki-laki itu terasa menggenggam erat tubuhnya yang ram?
ping dan mungil, dan tiba-tiba ia merasa melayang di udara sambil
bertanya-tanya kemungkinan bahwa ia sudah mati dan jiwanya tengah
terbang menuju kerajaan langit. Namun sebagaimana ia lihat dalam
pandangan yang semakin samar-samar itu, ia sama sekali tak terbang
dan hanya melayang pendek ketika Sang Shodancho mengangkatnya
dan meletakkannya di bahunya yang kuat, berjalan memanggul tubuh?
nya. Hey, ke mana kau akan membawaku, tanyanya keras tapi tak satu
suara pun muncul dari mulutnya. Shodancho membawanya masuk ke
gubuk gerilya, kemudian Alamanda merasa melayang kembali ketika
Sang Shodancho melemparkannya ke atas tempat tidur.
Ia kini berbaring di sana, mulai menyadari apa sebenarnya yang
tengah terjadi. Ditakutkan oleh kemungkinan apa yang akan menimpa
dirinya, ia mulai memberontak namun kekuatan tubuhnya belum pu?
lih kembali. Dari waktu ke waktu kekuatannya justru semakin lenyap
sehingga ia merasa tubuh dan tangan serta kakinya melekat erat ke
per?mukaan tempat tidur dan ia tak mampu menggerakkan mereka
barang sedikit pun juga.
Ketika Sang Shodancho mulai melepaskan kancing gaun miliknya,
Alamanda sudah tak berdaya sama sekali dan menyerah sepenuhnya
dalam kemarahan dan kehancuran. Ia memandang laki-laki itu menang?
galkan gaun tersebut dan melemparkannya ke ujung tempat tidur. Sang
Shodancho terus bekerja dalam ketenangannya yang me?ngerikan, dan
ketika ia telah telanjang sepenuhnya, ia merasakan jari-jari Sang Sho?
dancho dengan permukaannya yang kasar dibuat keras oleh genggaman
senjata selama perang serta luka-luka bekas pecahan mortir di waktu
yang sama, mulai merayap di atas tubuhnya, bergerak perlahan-lahan
membuat Alamanda merasa mual.
Sang Shodancho mengatakan sesuatu yang tak terdengar juga
olehnya, dan kini tak hanya ujung-ujung jarinya yang bergerak, tapi
seluruh permukaan tangannya mulai mencengkeram tubuhnya seolah
ingin membuatnya hancur. Sang Shodancho meremas dadanya dengan
liar membuat Alamanda ingin melolong, menjelajahi seluruh tu?buhnya,
menyelusup di antara kedua pahanya, dan kini ia pun mulai menciumi
Alamanda dengan bibirnya, meninggalkan jejak ludah nyaris di seluruh
tubuh gadis tersebut. Ini membuat Alamanda tak hanya ingin melolong,
ia bahkan ingin mencekik lehernya sendiri agar mati sebelum laki-laki
di depannya berbuat lebih jauh dari itu. Ia tak ingat berapa lama ia
da?lam keadaan seperti itu, mungkin setengah jam, mungkin satu jam,
sehari, tujuh tahun, atau delapan abad, yang ia tahu adalah bahwa
kemudian Sang Shodancho mulai menanggalkan pakaiannya sendiri,
berdiri telanjang dengan angkuh di samping tempat tidur.
Sejenak laki-laki itu masih meremas dadanya sebelum menjatuhkan
tubuh di atas tubuh si gadis, mencium bibirnya dalam gigitan-gi?gitan
kecil, dan tanpa membuang banyak waktu ia mulai me?nye?tubuhinya.
Alamanda masih melihat wajahnya yang berupa seberkas warna putih
di jarak yang demikian dekat dengan matanya, merasakan kemaluan?
nya dibuat porak-poranda oleh kebiadaban tersebut. Ia mulai menangis
meskipun ia tak tahu apakah tubuhnya masih mam?pu mengeluarkan air
mata atau tidak. Hal itu berlangsung terasa demikian lama dan tanpa
akhir, seolah ia memperoleh delapan abad yang lain, menyaksikan diri?
nya diperlakukan begitu kotor karena bahkan ia tak lagi berdaya untuk
menutup matanya sendiri. Sampai kemudian ia tak sadarkan diri, atau
seperti itulah pikirnya karena ia tak merasakan apa-apa, atau karena
ia tak ingin merasakan apa pun lagi. Akhirnya Sang Shodancho mele?
paskan dirinya sambil berguling ke samping tubuhnya yang bahkan
sejak semula masih dalam posisi yang sama: telentang telanjang dengan
tubuh bagai lengket ke atas permukaan tempat tidur.
Sang Shodancho berbaring sejajar dengannya dengan napas satusatu yang demikian perlahan membuat Alamanda berpikir bahwa
laki-laki itu telah jatuh tertidur setelah lelah memerkosa dirinya. Ia
bersumpah jika seluruh kekuatannya pulih di saat itu, ia tak segansegan mengambil pisau, menusuk laki-laki yang tertidur itu untuk
mem?bunuhnya. Atau meledakkan mortir di dalam mulutnya. Atau
melemparkannya ke tengah laut dengan meriam. Namun ternyata duga?
an bahwa laki-laki itu sudah jatuh tertidur sama sekali keliru karena
kemudian Sang Shodancho bangun dan berkata, kali ini ia mulai bisa
mendengarnya, "Jika kau ingin menaklukkan laki-laki dan mencampak?
kannya bagai sampah hina, kau salah bertemu denganku, Alamanda.
Aku memenangkan semua perang, termasuk perang melawanmu."
Ia bisa mendengar kata-kata bagai duri yang menusuk itu, dikatakan
dengan nada sinis dan mengejek. Ia tak bisa berkata apa pun untuk
mem?balas kata-katanya, kecuali melihat Sang Shodancho dengan pan?
dangan yang masih kabur berdiri dan turun dari tempat tidur, meng?
ambil pakaiannya kembali dan mengenakannya.
Setelah itu Sang Shodancho juga mengambil pakaian gadis itu dan
mengenakannya satu per satu pada tubuh Alamanda sambil ber?kata
bahwa sudah saatnya mereka keluar dari hutan dan pulang ke rumah.
Kini Alamanda telah berpakaian lengkap kembali seolah tak terjadi apa
pun sebelum itu. Tapi ia sama sekali belum pulih se?bagaimana semula,
masih terbius oleh racun entah apa. Ia hanya teringat bahwa itu terjadi
setelah meminum jus buah.
Ia kembali merasa melayang ketika Sang Shodancho mengang?kat?
nya dari tempat tidur. Kali ini tak memanggulnya di atas bahu, tapi
me?mangkunya dengan kedua tangannya yang kuat itu, yang di masa
lampau mungkin pernah membopong meriam tangan atau melarikan
seorang anak buah yang terluka dalam pertempuran melawan Belanda.
Kini Alamanda berbaring di tangannya sementara Sang Shodancho
berjalan meninggalkan gubuk gerilya menuju truk. Ia didudukkan di
samping Sang Shodancho, sementara lelaki itu mengemudikan truk
melalui jalan tanah melintasi hutan yang gelap dan rapat.
Ia langsung membawa gadis itu pulang ke rumahnya. Alamanda
mengenang perjalanan itu hanya sebagai deretan cahaya yang redup.
Ketika mereka sampai di rumah, Sang Shodancho keluar dari truk mem?
bopong tubuh Alamanda, disambut oleh Dewi Ayu yang mem?bantu
Sang Shodancho membawa gadis itu ke kamarnya. Ia di?ba?ringkan di
atas tempat tidur sementara Dewi Ayu bertanya apa yang terjadi. Sang
Shodancho menjawab dengan tenang seolah itu bukan sesuatu yang
perlu dikhawatirkan:
"Ia cuma mabuk perjalanan."
"Sebab kau mengguncang tubuhnya tanpa izin, Shodancho," jawab
Dewi Ayu, yang perjalanan hidupnya telah membuat ia mengetahui
lebih banyak hal tanpa seorang pun mengatakan yang se?benarnya.
"Jangan pikir kau beruntung karena memenangkan perang."
Alamanda ditinggalkan sendiri di dalam kamar, untuk pertama kali?
nya merasakan bahwa air mata mulai membasahi pipinya dan semuanya
terasa semakin gelap sebelum ia sungguh-sungguh tak sadarkan diri.
etika Alamanda tersadar keesokan harinya, yang pertama kali ia
ingat adalah Kliwon dan tiba-tiba ia merasa bahwa segalanya su?
dah berakhir baginya dan bagi kekasihnya.
Saat itu, Alamanda merasa telah jadi seorang perempuan terkutuk
dan ia malu pada diri sendiri; ia mungkin tak perlu menyesal tentang
apa pun yang pernah ia lakukan dan ia mungkin menerima apa pun
yang terjadi karena itu, tapi tetap saja ia merasa telah men?jadi perem?
puan terkutuk. Ia ingin menulis surat untuk ke?ka?sihnya, menyusul fotofoto itu, mengatakan apa yang terjadi, tapi bukan kenyataan bahwa ia
telah berada di luar kendali untuk mempermainkan seorang laki-laki
yang seharusnya tak dipermainkan, juga bukan kenyataan bahwa Sang
Shodancho telah memerkosanya, ia hanya akan mengatakan bahwa ia
telah tidur dengan Sang Shodancho. Ia malu pada dirinya dan satu-satu?
nya hal yang sangat ia sesali adalah bahwa ia akan kehilangan kekasih?
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya, bahkan meskipun Kliwon akan menerima dirinya dalam keadaan
apa pun, ia sama sekali tak lagi ingin bertemu dengannya. Ia mungkin
masih men?cin?tainya, tapi ia akan berbohong bahwa ia mencintai Sang
Shodancho dan ia akan meninggalkan kekasihnya untuk menikah
dengan kekasih yang baru. Ia akan mengatakan bahwa ia minta maaf
karena itu, dan surat itu akhirnya sungguh-sungguh ia tulis di siang
hari dan di?ma?sukkan ke dalam kotak pos secepat ia memasukkannya
ke da?lam amplop dan memberinya prangko.
Kini apa yang harus ia lakukan adalah membuat perhitungan dengan
Shodancho itu, melampiaskan dendam dan kemarahan, me?mi?kirkan
apa yang harus ia lakukan untuk memenuhi seluruh ha?sratnya selain
menusukkan belati ke tubuh laki-laki itu. Maka setelah ia memasukkan
surat ke dalam amplop yang akan dibaca Kliwon beberapa hari setelah
itu, ia pergi ke kantor rayon militer, mem?peroleh penghormatan yang
tak semestinya dari prajurit penjaga kandang monyet di gerbang, dan
seba?gaimana Maman Gendeng pernah datang ke sana, ia masuk ke kan?
tor Sang Shodancho tanpa mengetuk pintu. Sang Shodancho tengah
duduk di belakang meja memandangi dua buah foto Alamanda yang
ada di tangannya dan delapan foto lainnya bergeletakkan di atas meja.
Ketika Alamanda masuk secara tiba-tiba, Sang Shodancho begitu terke?
jut dan mencoba menyembunyikan foto-foto tersebut tapi Alamanda
memberi isyarat untuk tak melakukan itu, dan kemudian gadis tersebut
berdiri di depan Sang Shodancho dengan sebelah tangan tertekan di
meja dan sebelah tangan yang lain bertolak pinggang.
"Aku baru tahu itulah yang dilakukan lelaki waktu gerilya," kata
Alamanda sementara Sang Shodancho memandangnya dengan tatapan
seorang pendosa yang tampak menderita karena rasa cinta, "Kau harus
mengawiniku tanpa aku pernah mencintaimu, atau aku akan bunuh
diri setelah kukatakan kepada semua orang di kota apa yang telah kau
lakukan terhadapku."
"Aku akan mengawinimu, Alamanda," kata Sang Shodancho.
"Baik dan urus sendiri pesta perkawinannya." Setelah itu Alamanda
pergi lagi tanpa mengatakan apa pun.
Seminggu setelah hari itu, pesta perkawinan mereka telah menjadi
pembicaraan publik di setiap kesempatan mereka bertemu dan bi?cara,
membicarakannya dalam spekulasi-spekulasi, yang tulus maupun sem?
brono. Meskipun begitu, penduduk Halimunda yang telah menjadi
terbiasa pada apa pun tak terlampau terkejut dengan berita tersebut dan
beberapa orang bahkan mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa
Alamanda dan Sang Shodancho adalah pasangan paling serasi yang
pernah dibayangkan manusia di muka bumi; seorang gadis cantik anak
pelacur paling disegani kawin de?ngan seorang mantan pemberontak
yang pernah diangkat jadi Panglima Besar, tak ada yang lebih pantas
daripada itu. Beberapa di antara yang lain berkata bahwa Sang Shodan?
cho kenyataannya memang lebih pantas daripada si tukang onar Kli?
won, dan Alamanda bukan orang bodoh untuk mengetahuinya.
Tapi ada banyak sahabat Kliwon di kota itu; mereka adalah para
nelayan karena ketika ia masih tinggal di sana, Kliwon sering pergi me?
laut bersama mereka atau membantu menarik jaring di pantai dengan
upah satu plastik ikan tangkapan, juga karena Kliwon telah banyak
mem?bantu membetulkan perahu yang bocor dan mesin tempel yang
rewel ketika ia masih bekerja di bengkel perahu; mereka adalah para
buruh tani yang sebagaimana Kliwon, banyak petani di pinggiran kota
itu bekerja di tanah milik orang dan di sela-sela waktu Kliwon adalah
teman yang menyenangkan yang akan membicarakan banyak hal dari
otaknya yang cerdas yang tak pernah diketahui oleh teman-temannya
dan bahkan dipikirkan pun tidak; mereka adalah para gadis yang per?
nah jatuh cinta atau tetap masih jatuh cinta kepadanya dan meskipun
beberapa gadis itu pernah ditinggalkan Kliwon untuk memperoleh ga?
dis lain, mereka sama sekali tak sakit hati kecuali tetap mencintainya
sam?pai kapan pun; mereka adalah para pemuda teman sepermainan
Kliwon, teman berenang dan mencari kayu bakar dan mencari rumput
untuk dijual pada orang kaya dan teman berburu burung di masa kecil;
mereka semua agak bersedih hati kenapa Alamanda memutuskan untuk
kawin dengan Sang Shodancho dan meninggalkan laki-laki itu. Tapi
apa pun yang terjadi, mereka sama sekali tak memiliki urusan apa pun
un?tuk mencampuri keputusan Alamanda, dan demikian pula urusan
sakit hati atau tidak itu sepenuhnya adalah urusan Kliwon.
Segera menyebar pula dari satu pojok ke pojok lain, melewati geo?
grafi desa-desa di Halimunda, berita tentang pesta perkawinan yang
disebut-sebut orang sebagai pesta perkawinan paling meriah yang per?
nah terjadi dalam sejarah kota itu dan mungkin tak akan pernah terjadi
lagi di masa yang akan datang. Dipastikan bahwa pes?ta perkawinan itu
akan diramaikan oleh tujuh rombongan dalang yang akan mementaskan
Mahabharata secara lengkap selama tujuh malam, bahwa seluruh pen?
duduk kota semuanya diundang untuk datang sampai dikatakan bahwa
makanan yang tersedia akan men?cukupi untuk seluruh kota selama tu?
juh turunan. Juga ada per?tunjukan sintren, kuda lumping, orkes Melayu,
film layar tancap, dan tentu saja adu babi.
Akhirnya berita tersebut juga didengar oleh Kliwon selain menerima
surat yang dikirim oleh Alamanda. Satu hari menjelang perkawinan itu
ketika tenda telah didirikan di depan rumah Dewi Ayu dan Alamanda
menjalani perawatan dari beberapa dukun perkawinan, Kliwon pulang
ke Halimunda dengan kereta api dalam kemarahan yang membakar
seluruh tubuhnya, bukan semata-mata bahwa ia belum pernah ditinggal?
kan dan disakiti seorang perempuan, tapi setulus hati karena ia sangat
mencintai Alamanda.
Di depan stasiun tempat terakhir kali mereka bertemu dan ber?
ciuman, Kliwon menebang pohon ketapang itu ditonton banyak orang
yang bertanya-tanya apa yang akan ia lakukan terhadap pohon itu.
Mereka tak berani mengganggu terlalu banyak melihat mata yang ma?
rah di wajahnya, terutama karena ia menggenggam golok, dan bahkan
seorang polisi yang kebetulan ada di sana juga tak berani melarangnya
untuk tidak menebang pohon ketapang yang rencananya akan dipakai
sebagai pohon pelindung di muka stasiun. Ketika pohon itu roboh,
mereka hanya mundur beberapa langkah untuk menghindarkan diri dari
terkena dahan dan rantingnya, sambil terus bertanya-tanya mengapa
laki-laki itu melampiaskan kemarahan cintanya pada sebatang pohon
ketapang kecil yang tak berdosa.
Sementara itu Kliwon sendiri tampaknya tak merasa terganggu
dengan orang-orang yang bergerombol di muka stasiun yang me?non?ton
dirinya, dan mulai memotongi dahan dan ranting serta me?mang?kasi
daun-daunnya sehingga memenuhi jalan masuk ke peron dan ketika
angin bertiup daun-daun itu tersebar dalam pusaran sampah yang me?
ngerikan, tapi bahkan tukang sapu pun tak berani mencegah perbuat?
an?nya ke?cuali tetap melihatnya sambil menduga-duga ke?mung?kinan
laki-laki itu telah menjadi gila.
Hanya ada seorang laki-laki teman Kliwon di masa kecil berani
bertanya, apa yang sedang ia lakukan dengan pohon ketapang itu, dan
Kliwon menjawab pendek, "Menebangnya," dan orang-orang tak ada
lagi yang berani bertanya dan Kliwon melanjutkan pe?ker?jaannya.
Setelah pohon itu bersih dari ranting-ranting dan daun-daunnya, ia
mulai memotong-motongnya seukuran kayu bakar. Batang yang besar
ia bagi dua atau empat sehingga dalam beberapa saat kayu-kayu terse?
but mulai menumpuk di pinggir jalan. Kliwon berjalan ke arah kantor
urusan bagasi dan di sana ia mengambil seutas tali tam?bang dadung
tanpa permisi (tapi tetap tak ada orang yang melarang) dan mengikat
kayu-kayu itu dengannya. Setelah semuanya selesai, tanpa bicara kepada
satu pun di antara orang-orang yang masih bersetia mengerumuninya,
ia memasukkan goloknya ke dalam sarung dan mengangkat ikatan kayu
tersebut lalu berjalan me?ning?galkan stasiun.
Semula orang-orang itu hendak mengikuti ke mana ia akan pergi,
tapi temannya yang tadi bicara yang tiba-tiba mengerti apa yang akan
terjadi, segera berkata pada orang-orang tersebut, "Biarkan ia pergi
sen?diri." Tampaknya apa yang dipikirkan sang teman benar adanya:
Kliwon pergi ke rumah Alamanda dan menemui gadis itu yang tengah
melihat persiapan pesta dengan sambil lalu. Alamanda dibuat terkejut
oleh kedatangannya, dan lebih terkejut ketika melihat laki-laki yang
masih dicintainya itu memanggul kayu entah untuk apa.
Sejenak Alamanda berpikir untuk melompat ke arahnya, me?me?
luk?nya dan berciuman sebagaimana pernah mereka lakukan di stasiun,
berkata padanya bahwa ini pesta perkawinan mereka dan adalah bo?
hong belaka ia akan kawin dengan Sang Shodancho. Tapi segera saja
kesadarannya pulih dan ia mencoba menampakkan dirinya se?olah-olah
bangga menghadapi pesta perkawinan bersama Sang Shodancho terse?
but, menjadi gadis yang seangkuh-angkuhnya. Pada saat itu Kliwon
segera menjatuhkan kayu di pundaknya ke tanah, membuat Alamanda
sedikit terlompat karena jika tidak jari-jari kakinya mungkin tertimpa,
dan Kliwon akhirnya membuka mulut, "Ini pohon ketapang menyedih?
kan itu, tempat kita berjanji akan ber?temu kembali, kupersembahkan
untuk kayu bakar pesta per?ka?winanmu."
Alamanda mengangkat tangannya dan membuat gerakan melambai
terbalik dalam isyarat untuk membuatnya pergi, dan Kliwon akhirnya
pergi tanpa berkata bagaikan disapu oleh gerak isyarat tangan itu, ba?
gai dilemparkan oleh badai kebencian yang menyapu segala hal. Ia
mung?kin tak tahu bahwa ketika ia telah pergi dan tak tampak batang
hidungnya, Alamanda berlari ke kamarnya, menangis sambil membakar
fotonya yang masih tersisa. Ketika ia bertemu Sang Shodancho di kursi
pengantin, segala usaha telah dicoba untuk me?nyembunyikan sisa-sisa
tangisannya sepanjang malam namun itu sama sekali tak berhasil, dan
selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun itu menjadi gun?
jingan orang sekota.
Kliwon menghilang setelah itu, atau Alamanda tak mengetahui
kabar beritanya lagi sejak itu selama berbulan-bulan, atau mungkin
karena Alamanda tak berharap tahu apa pun lagi tentangnya. Ia hanya
menduga-duga bahwa laki-laki itu telah berangkat kembali ke ibukota,
menyelesaikan kembali sekolahnya di universitas atau bergabung de?
ngan pemuda komunis, siapa tahu? Tapi sesungguhnya Kliwon tak
pergi ke mana-mana, ia masih tinggal di Halimunda, tidur dari rumah
teman yang satu ke rumah teman yang lain, atau bersembunyi di rumah
ibunya. Di hari perkawinan Alamanda keesokan hari ia bahkan datang
secara diam-diam, menyamar sedemikian rupa untuk bersalaman de?
ngan Sang Shodancho serta Alamanda tanpa keduanya tahu, tapi Kli?
won tahu bahwa semalaman Alamanda menangis. Bukti tak terbantah
bahwa ia menjalani perkawinan yang tak dikehendakinya sendiri, bukti
tak terbantah bahwa ia memilih suami yang tak dicintainya sendiri, dan
pada gilirannya Kliwon tak lagi merasa marah pada Alamanda kecuali
rasa sedih pada nasib malang yang menimpa orang yang dicintainya itu.
Tapi ia bertanya-tanya di dalam hati apa yang telah terjadi sehingga
Alamanda memutuskan untuk kawin dengan Sang Shodancho yang
baru dikenalnya berminggu-minggu itu, sampai akhirnya ia mendengar
seorang nelayan berkata bahwa suatu senja ia melihat Sang Shodancho
mengendarai truk keluar dari hutan se?mentara Alamanda tampak tak
sadar di sampingnya. Seorang nelayan lain bersumpah kepadanya bahwa
ia melihat dari tengah laut Sang Shodancho membopong Alamanda
masuk ke gubuk gerilyanya. "Aku ikut bersedih dengan apa yang ter?
jadi antara kau dan Ala?manda," kata nelayan itu, "tapi jangan berbuat
dungu terhadap Sang Shodancho, paling tidak jika kau berpikir untuk
melakukan balas dendam, libatkan kami bersama dirimu."
"Tak akan ada balas dendam," kata Kliwon. "Ia terbiasa me?me?nang?
kan semua perang."
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara Kliwon kembali ke laut bersama teman-temannya sebagai?
mana dulu ia pernah melakukannya, Alamanda melalui komedi malam
pertamanya yang penuh ketegangan. Ia telah membius Sang Shodancho
dengan obat tidur sehingga laki-laki itu langsung jatuh di kasur pe?
ngan?tin yang berwarna kuning kemilau dengan wangi bunga-bungaan
segar dalam dengkuran teratur. Dan menderita karena lelah, Alamanda
menggelar matras di lantai dan tidur di sana tak memiliki sedikit pun
niat untuk tidur berdampingan dengan suami?nya sebagaimana pengan?
tin kebanyakan. Tapi di luar yang diduganya, Sang Shodancho terba?
ngun pada dini hari dan dengan serta-merta terkejut mendapati dirinya
melewatkan malam pengantin begitu saja. Lebih terkejut lagi mendapati
pengantin perempuan tergeletak di lantai beralaskan matras tipis, dan
sambil mengutuki dirinya sen?diri atas pandangan tak termaafkan itu,
Rumah Gema Hollow Karya Agatha Christie Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro Titisan Roh Sang Legenda Karya Tara
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama