Ceritasilat Novel Online

Cantik Itu Luka 6

Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 6

Sang Shodancho segera turun dan mengangkat tubuh istrinya. Menidur?

kannya di atas tempat tidur.

Saat itu Alamanda terbangun dan melihat Sang Shodancho ter?

se??nyum sambil berkata betapa konyolnya mereka melewatkan malam

pengantin tanpa berbuat apa pun, dan saat Sang Shodancho me?nang?

gal?kan seluruh pakaiannya sendiri sehingga kini ia telanjang bulat di

depan istrinya, Alamanda berbalik membelakanginya sambil berkata,

"Bagaimana jika aku mendongeng sebelum kita bercinta?"

Sang Shodancho tertawa sambil berkata bahwa itu tampaknya usul

yang menarik, lalu ia naik ke atas tempat tidur berbaring di belakang

Alamanda sambil memeluk tubuh istrinya yang masih berpakaian leng?

kap, menciumi rambutnya sambil berkata lagi, "Mu?lailah mendongeng,

aku telah begitu ingin bercinta."

Maka Alamanda mulai mendongeng, tentang apa saja yang bisa ia

ceritakan, sebisa mungkin sebuah cerita yang tak pernah ada ujungnya,

yang melingkar-lingkar hanya agar tak pernah ada waktu bagi mereka

untuk bercinta. Tak pernah bercinta bahkan sampai mereka mati atau

sampai akhir dunia. Sementara Alamanda terus mendongeng, Sang

Shodancho menjelajahi seluruh tubuh Alamanda dengan kedua tangan?

nya, dan tak sabar menanti akhir cerita yang bahkan entah sampai

di mana. Ia mulai meraba-raba kancing gaun malam yang dikenakan

Ala?manda dan satu per satu dibukanya. Saat itu Alamanda mencoba

bertahan dengan me?rapatkan tubuhnya menekuk, tapi dengan kekuatan

tangannya Sang Shodancho berhasil membuatnya telentang kembali

dan bahkan membalikkannya dengan sangat mudah. Kini laki-laki

telanjang itu berguling ke atas tubuh istrinya. Alamanda men?do?rong

Sang Shodancho hingga ia terguling ke samping, lalu ia ber??kata pada

suaminya, "Dengar Shodancho, kita akan bercinta setelah dongengku

selesai."

Sang Shodancho menatap jengkel ke arahnya, mencium bau per??

musuhan dalam permainan itu, dan ia berkata bahwa ia bisa men?dengar

dongeng sambil bercinta.

"Kita sudah berjanji Shodancho," kata Alamanda lagi, "bahwa kau

bisa mengawini aku tapi aku tak akan bercinta denganmu."

Hal itu membuat Sang Shodancho marah dan ia menjadi tak peduli

lagi terhadap apa pun, lalu dengan kasar ia menarik paksa gaun malam

yang dikenakan sang pengantin perempuan hingga robek. Alamanda

menjerit kecil namun Sang Shodancho segera membungkamnya sambil

terus menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh istrinya. Terakhir

ia menarik roknya sementara Alamanda tampaknya tak lagi melaku?

kan perlawanan berarti, namun kini setelah Sang Shodancho merasa

te?lah menanggalkan seluruhnya, ia memandang selangkangan istrinya

dengan wajah terkejut. "Brengsek, apa yang kau lakukan dengan selang?

kanganmu?" tanyanya demi melihat celana dalam terbuat dari logam

dengan kunci gembok yang tampaknya tak memiliki lubang anak kunci

untuk membukanya.

Alamanda berkata dalam satu ketenangan misterius, "Pakaian anti

teror, Shodancho, kupesan langsung pada seorang pandai besi dan se?

orang dukun. Hanya bisa dibuka dengan mantra yang hanya aku yang

bisa tapi tak akan kubuka untukmu meskipun langit telah runtuh."

Malam itu Sang Shodancho mencoba untuk memecahkan kunci

gembok tersebut dengan berbagai alat, mencoba mendongkelnya de?

ngan obeng, dipukul dengan palu dan kapak dan bahkan dengan tem?

bakan pistol yang nyaris membuat Alamanda semaput karena takut.

Namun semuanya gagal membuka kunci pengikat celana dalam logam

tersebut dan akhirnya ia hanya bisa menggauli istrinya antara nafsu

berahi dan kemarahan tanpa bisa menyetubuhinya. Di pagi hari ia

meng?iris sedikit ujung jarinya dan melelehkan darahnya di atas seprei

hanya sekadar sebagai tanda terhormat sepasang pengantin baru yang

perlu diperlihatkan kepada para tukang cuci.

Seminggu selepas perkawinan itu ketika segala pesta kini tinggal

sampah dan desas-desusnya, pengantin baru itu pindah ke rumah yang

dibeli Sang Shodancho untuk tempat tinggal mereka, sebuah rumah

pe?ninggalan masa kolonial dengan dua orang pembantu yang meng?

urus rumah dan seorang tukang kebun. Dewi Ayu yang me?nyuruh

mereka pindah, dan berpesan sebisa mungkin tak perlu me?ngunjunginya

lagi. "Perempuan kawin tak bergaul dengan pelacur," katanya pada

Alamanda. Ibunya nyaris selalu benar, dan dengan sedih Alamanda

akhirnya pindah.

Pada saat itu, sebagaimana janjinya, Alamanda tetap tak menang?

galkan celana dalam besi itu seolah-olah ia seorang prajurit abad perte?

ngah?an yang selalu curiga musuh akan datang menyergap kapan saja,

menusuk dengan pedang yang lembek namun cukup mematikan. Sang

Shodancho sendiri tampaknya sudah putus asa untuk mencoba mem?

bukanya, terutama setelah berkonsultasi dengan banyak dukun. Mereka

semua, dukun-dukun itu, angkat bahu sambil mengatakan bahwa tak

ada kekuatan setan macam apa pun yang bisa meluluhkan kekuatan

hati seorang perempuan yang teraniaya. Ia harus mengeluarkan ba?

nyak uang untuk konsultasi penuh kesia-siaan tersebut, bukan untuk

jawaban dukun-dukun yang tak berguna itu, tapi untuk membungkam

mulut mereka agar aib keluarga yang memalukan itu tak tersebar ke

mana-mana. Dan karena itu pula ia tak bisa bertanya pada siapa pun

lagi mengenai masalahnya di atas tempat tidur.

Ia sudah mencoba membujuk istrinya agar mengendorkan kekeras?

kepalaannya yang tak terpuji itu, tapi jangankan menyerah un?tuk

membuka celana dalam besinya, Alamanda bahkan me?mu?tuskan untuk

tidur terpisah dengan Sang Shodancho bagaikan sepasang suami istri

yang tengah menunggu keputusan cerai dari pengadilan. Ini membuat

Sang Shodancho seringkali harus tidur dalam pendaman berahi yang

menyedihkan, memeluk bantal dan guling mem?ba?yang?kan itu adalah

tubuh istrinya. Pernah suatu ketika Alamanda berkata ke?padanya, en?

tah karena merasa kasihan atau sekadar ingin me?nun?jukkan kebesaran

hatinya, "Jika kau tak tahan untuk menumpahkan isi buah pelirmu,

pergilah ke rumah pelacuran. Aku tak akan marah karena itu, dan

sebaliknya aku akan ikut bersenang hati untukmu."

Tapi Sang Shodancho sama sekali tak melakukan apa yang disa?

rankan istrinya. Bukan karena ia merasa yakin bisa mengendalikan

nafsunya, juga bukan karena ia tak tertarik dengan perempuan-pe?rem?

puan pelacur, tapi karena ia ingin memperlihatkan kesetiaannya yang

demikian dalam dan cintanya yang tanpa pamrih terhadap istrinya.

Paling tidak dengan cara itu ia bisa berharap bahwa hati istrinya lamakelamaan akan luluh oleh sikapnya yang manis dan terpuji itu.

Tapi Alamanda sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan

menyerah, hanya membuka celana dalam besinya sejenak saja di dalam

kamar mandi yang terkunci untuk kencing dan membersihkan vagina?

nya, selebihnya ia tetap memasangnya rapat dengan mantra rahasia

aman tersembunyi di dalam mulutnya, ke mana pun ia pergi dan kapan

pun, ada atau tidak ada Sang Shodancho.

Kadang-kadang Sang Shodancho berharap suatu waktu istrinya lupa

mengatakan mantra itu dan ia mendengarnya, tapi ternyata sia-sia saja

menantikan hal itu karena bahkan dalam tidur pun ia tak pernah me?

mim?pikannya. Satu-satunya yang bisa dilakukan Sang Shodancho seka?

rang adalah menyerah pada nasib untuk tak pernah merasakan rasanya

bercinta dengan perempuan, kecuali kesempatan-kesempatan darurat

bercinta dengan bantal dan guling di atas tempat tidur. Sementara di

lain waktu ketika ia tak tahan dengan segala permainan gila tersebut, ia

akan lari tergopoh-gopoh masuk kamar mandi dan membuang isi buah

pelirnya ke dalam lubang kakus.

Di waktu-waktu itu, ia mencoba mencari kesibukan dengan meng?

urusi kembali bisnis penyelundupan yang telah ia lakukan bersama

Bendo sejak bertahun-tahun lampau. Kini mereka bahkan memiliki

kapal penangkap ikan besar, usaha mereka yang legal. Ia juga kembali

pada hobi lamanya mengembangbiakkan ajak-ajak menjadi anjinganjing rumahan. Satu tahun telah berlalu ketika anjing-anjing itu sudah

cukup berguna bagi para petani untuk mengusir babi-babi pengganggu.

Satu tahun pula telah berlalu tanpa pernah bercinta bagi pasangan

pengantin itu hingga desas-desus mulai dibisikkan orang-orang. Mereka

berani bersumpah dengan penuh keyakinan bahwa Sang Shodancho

dan Alamanda belum pernah tidur bersama sekali pun karena terbukti

satu tahun telah berlalu dan Alamanda tak menampakkan kehamilan.

Beberapa anak kecil bahkan mulai berspekulasi bahwa Sang Shodan?

cho jika tidak impoten mungkin ia mandul, dan beberapa di antara

mereka bahkan berani bersumpah Sang Shodancho dikebiri oleh Jepang

di masa perang yang lalu. Cerita miring itu mulai me?nyebar dari mulut

anak-anak ke telinga anak-anak lain dan dengan cepat terdengar pula

oleh orang-orang dewasa, memercayainya dan menyebarkannya lagi.

Tak ada yang berani berspekulasi lain, misalnya mengatakan bahwa

perkawinan mereka prematur dan sama sekali tak dilandasi oleh cinta.

Sebab di luar masalah tempat tidur yang tak seorang pun tahu, kedua?

nya selalu tampak serasi di muka umum selayaknya sepasang suami-istri

yang saling mencintai. Mereka sering terlihat berjalan-jalan sore sambil

bergandengan tangan, menonton bioskop di Sabtu malam, mendatangi

undangan-undangan pesta dan orang tak akan salah paham melihat

ke?harmonisan keluarga semacam itu. Alamanda tampak selalu ceria

dan Sang Shodancho begitu me?man?jakannya, maka satu-satunya alas?

an mengapa satu tahun berlalu dan Alamanda belum menampakkan

keha?milan hanyalah kemungkinan satu atau dua-duanya mandul.

"Sayang sekali, padahal perkawinan mereka tampak begitu sempurna,"

kata seseorang akhirnya.

Satu-satunya orang yang belakangan mendengar desas-desus terse?

but dan tak merasa terganggu adalah justru Alamanda sendiri. Seolah

mengabaikan hal tersebut atau menganggap desas-desus se?macam itu

sebagai sebuah hiburan yang menyenangkan, ia banyak melewati harihari luangnya di luar acara mendampingi Sang Shodancho dengan

mem?baca buku-buku roman. Buku-buku ter?sebutlah yang tampaknya

banyak mengajarkan Alamanda bagaimana caranya bersandiwara di

muka umum sebagai sepasang suami-istri yang berbahagia. Tak hanya

untuk kepentingan citra suaminya namun juga kepentingan citra diri?

nya sendiri, karena bagaimanapun ia tak mau orang lain tahu bahwa ia

kawin dengan orang yang tidak ia cintai. Ia tak ingin orang lain meng?

ang?gapnya sebagai perempuan malang yang menyedihkan.

Rupanya Sang Shodancho merupakan telinga terakhir yang men?

dengar pergunjingan tak enak mengenai dirinya tersebut, yang berawal

dari mulut anak-anak kecil usil yang mengatakan tentang impotensi dan

kemungkinan pengebirian. Itu membuat tak ada anak-anak yang berniat

bermain perang-perangan karena asumsi salah bahwa seorang prajurit

mungkin dikebiri. Betapa kacaunya Sang Shodancho demi mendengar

hal itu akhirnya, bergejolak dalam rasa malu dan kemarahan yang di?

campur dengan ketidakberdayaan. Di luar urusan tempat tidur dengan

istrinya, ia akui bahwa per?ka?win?annya sangat membahagiakan sejauh

Alamanda bisa menempatkan diri menjadi istri yang mesra sebagaimana

seharusnya, tak peduli apakah ia bersandiwara atau tidak. Tapi bagai?

mana?pun tak selamanya ia bisa membuang bakal-bakal bayi mereka

ke lubang toilet dan ia sungguh-sungguh mulai menyadari betapa satu

tahun telah berlalu dan ia belum berhasil membobol pelindung besi

sialan itu.

Akhirnya suatu malam setelah berbulan-bulan tak pernah tidur di

ranjang yang sama, Sang Shodancho masuk ke kamar tempat biasa?

nya Alamanda tidur dan menemukan istrinya tengah mengenakan

pakai?an tidur. Sang Shodancho menutup pintu dan menguncinya, lalu

meng?hampiri Alamanda yang menatapnya dengan penuh ke?cu?rigaan

sambil meraba selangkangannya memastikan bahwa pelindung besinya

masih terpasang dengan baik. Sang Shodancho kemudian berkata pada

istrinya, "Bercintalah denganku, Sayang." Suaranya tam?pak memelas.

Alamanda menggeleng dan membelakanginya untuk bersiap naik
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke atas tempat tidur. Sang Shodancho tiba-tiba menangkap tubuhnya

dari belakang, menarik pakaian tidur istrinya begitu kuat hingga sobek

terkoyak dan menanggalkannya. Sebelum Alamanda melakukan reaksi

apa pun, Sang Shodancho telah mendorongnya ke atas tempat tidur

membuatnya tersungkur dan telentang di atas kasur. Ketika ia melihat

suaminya, Sang Shodancho telah menelanjangi dirinya sendiri dan se?

gera melompat ke atas tubuhnya. Alamanda mencoba melawan, menolak

tubuh suaminya dengan cara mendorongnya sekuat tenaga tapi Sang

Shodancho begitu erat mendekap, menciuminya begitu liar dan meremas

buah dadanya dengan penuh nafsu. "Kau memerkosaku, Shodancho!"

jerit Alamanda saat mencoba berguling ke samping menghindar. Tapi

Sang Shodancho terus memburunya, meng?him?pit?nya dan menjelajahi

setiap wilayah tubuhnya. "Shodancho setan, iblis, brengsek, terkutuk,

perkosalah aku dan tombakmu akan patah menghantam perisai besiku!"

kata Alamanda akhirnya. Ia tak lagi mencoba melawan dan membiarkan

Sang Shodancho berusaha sia-sia mencumbu dirinya.

Kini Sang Shodancho bisa bergerak lebih leluasa, mendustai di?ri?nya

sendiri bahwa ia tengah bercinta dengan istrinya, sampai tombaknya

memuntahkan cairan sperma ke permukaan lempengan besi pelindung

vagina istrinya. Sang Shodancho terguling ke sam?pingnya dengan napas

satu-satu dan bintik-bintik keringat menghiasi seluruh tubuhnya. Ia

diam membisu selama beberapa saat sementara Alamanda menikmati

sendiri kekonyolan itu, berbahagia dalam kemenangan dan balas dendam

sebelum Sang Shodancho berdiri dan dengan penuh kemarahan menen?

dang selangkangan istrinya. Alamanda terkejut sejenak dibuatnya, tapi

Sang Shodancho lebih terkejut karena kakinya terasa demikian sakit

membentur besi. Sambil meringis ia duduk di tepi tempat tidur, mulai

menangis me?nyedihkan, tangisan seorang laki-laki malang yang patah

hati sambil berkata, "Berapa kali pun kulakukan itu terhadapmu, kau

tak akan pernah bunting. Terkutuklah kemaluan dan rahimmu," katanya

sambil berlalu, berpakaian dan pergi meninggalkan kamar istrinya.

Alamanda salah menduganya ketika ia kemudian menganggap Sang

Shodancho akan mengakhiri segala usahanya setelah peristiwa itu, dan

menyerah sepenuhnya pada hukuman yang ia timpakan untuknya. Pada

suatu hari ketika ia sedang di dalam kamar mandi yang ter?kunci rapat

dan ia telanjang sepenuhnya sementara celana dalam besi itu tergeletak

begitu saja di bibir bak mandi, tiba-tiba sesuatu meng?hantam pintu

yang tampaknya begitu kuat. Seketika pintu ter?sebut hancur menjadi

puing-puing meninggalkan lubang yang sangat besar.

Kesadarannya belum begitu pulih dari keterkejutan ketika di?li?hatnya

Sang Shodancho menyerbu ke dalam melalui lubang itu. Ala?manda tak

punya waktu untuk meraih celana dalam besinya dan apalagi mengena?

kannya karena sekonyong-konyong Sang Shodancho telah mendekap?

nya dalam cengkeraman. Ia menjerit keras bagai harimau betina terluka,

namun Sang Shodancho tampaknya tak pe?duli, mengangkatnya ke atas

bahunya sebagaimana dulu ia meng?angkat tubuh yang tak berdaya itu di

hutan tempatnya bergerilya. Ia membawanya keluar dari kamar mandi

sementara Alamanda terus meronta-ronta sambil memukuli bagian

pung?gung Sang Shodancho. Dua orang pembantu mengintip adegan

tersebut secara diam-diam melalui celah pintu dapur dengan tubuh

ber?getar menahan kengerian.

Sang Shodancho membawa Alamanda ke kamarnya sendiri, kamar

yang sejak semula telah direncanakannya sebagai kamar mereka ber?

dua, dan melemparkannya ke atas tempat tidur sebelum ia berbalik

dan mengunci pintu. "Terkutuklah kau, Shodancho," kata Alamanda

sam?bil berdiri di atas tempat tidur serta menyingkir ke arah dinding.

"Berani-beraninya kau memerkosa istrimu sendiri."

Sang Shodancho tak menjawab, bahkan tak tersenyum sedikit

pun kecuali membuka pakaiannya sendiri dan memandang Alamanda

dengan pandangan seekor anjing mesum. Demi melihat wajah seperti

itu, nalurinya segera memberi tahu mengenai bahaya dan Alamanda

semakin merapat ke arah dinding. Tampaknya itu sia-sia saja karena

Sang Shodancho cepat menangkap tubuhnya dan membantingnya ke

atas tempat tidur sambil menjatuhkan dirinya di atas tubuh Alamanda.

Mereka melalui menit demi menit dalam pertarungan, perkelahian

seorang laki-laki yang ingin melampiaskan nafsu berahinya dan seorang

perempuan yang berusaha mencakar dan menjerit mem?per?tahankan

dirinya dari cinta yang tak ingin ia lakukan. Alamanda me?nutup rapat

kemaluannya dengan kedua pahanya, namun Sang Shodancho mem?

bongkar paksa pertahanan terakhir tersebut dengan lututnya yang

per?kasa, dan apa yang terjadi maka terjadilah. Sang Shodancho memer?

kosa istrinya sendiri sehingga di akhir pertarungan yang melelahkan,

Alamanda berkata, "Terkutuklah kau setan pe?merkosa!" sebelum ia me?

nangis dan tak sadarkan diri. Sang Shodancho mengakhirinya dengan

dua luka cakaran di wajah dan Alamanda merasakan sakit yang luar

biasa di selangkangannya.

Ia tak tahu berapa lama terbius karena guncangan seperti itu, namun

ketika ia bangun dan tersadar, ia menemukan dirinya masih telentang

telanjang di atas tempat tidur. Kedua tangan dan kedua kakinya terikat

ke empat sudut tempat tidur. Alamanda mencoba bangun dan menarik

tali pengikat, namun rupanya ikatan itu begitu kencang sehingga apa

yang terjadi hanya membuat pergelangan tangan maupun kakinya

terasa sakit.

"Setan pemerkosa, apa yang kau lakukan?" tanyanya dalam kema?rah?

an ketika ia melihat Sang Shodancho masih berdiri di sam?ping tempat

tidur dengan pakaian telah lengkap ia kenakan kembali. "Dengar, jika

kau hanya butuh lubang untuk kemaluanmu, semua sapi dan kambing

punya lubang."

Untuk pertama kali sejak ia diculik dari kamar mandi, Sang Shodan?

cho tersenyum dan kemudian berkata, "Kini aku bisa me?nye?tubuhimu

kapan pun aku mau!" Mendengar itu Alamanda menjerit keras, memaki

dan menyemburkan sumpah-serapah sambil mencoba memberontak

terhadap tali-tali pengikat tubuhnya. Semua usahanya sia-sia belaka

dan Sang Shodancho segera meninggalkan dirinya.

Pada hari itu juga Sang Shodancho memanggil seorang tukang un?

tuk memperbaiki pintu kamar mandi yang hancur dan me?lem?parkan

celana dalam besi Alamanda ke dalam sumur. Ia mengancam dua pem?

bantunya dengan sorot mata yang seolah mengatakan jangan menga?ta?

kan apa pun yang telah mereka lihat pada orang lain. Sementara Ala?

manda mulai lemas tak berdaya setelah berusaha keras me?lepaskan diri

dan menangis tanpa henti dengan suara yang memilukan. Selain itu,

bagaikan sepasang pengantin baru yang se?sungguhnya, Sang Shodancho

selalu kembali dan kembali ke kamarnya tempat Alamanda disekap,

bercinta dengan istrinya dalam rentang waktu setiap dua jam setengah

sekali tanpa lelah. Ia me?nam?pilkan keriangan seorang anak kecil yang

memperoleh mainan baru, dan sementara itu perlawanan Alamanda

semakin lama semakin tak berarti apa-apa.

"Bahkan jika aku mati," kata Alamanda dengan putus asa, "Percaya?

lah, lelaki ini akan menyetubuhi kuburanku."

Demikianlah sepanjang hari itu Alamanda diikat di atas tempat

tidur, disetubuhi berkali-kali. Lalu ketika sore datang Sang Shodancho

datang membawa ember berisi air hangat dan kain basah dan ia melap

tubuh istrinya demikian penuh kasih sayang serta begitu berhati-hati

seolah tengah menyentuh keramik mahal yang mudah pecah. Setelah

itu ia menyetubuhinya lagi dan memandikannya lagi dan begitulah

bebe?rapa kali. Alamanda sama sekali tak tersentuh hatinya pada sikap

Sang Shodancho yang penuh perhatian tersebut, dan bahkan ketika

Sang Shodancho membawakannya seporsi makan siang, ia menolaknya

dengan tegas sambil mengatupkan mulutnya dengan rapat. Alamanda

hanya bersedia minum dan ketika Sang Shodancho memaksanya mem?

buka mulut dan menjejalkan nasi ke dalamnya, Alamanda langsung

menyemburkan nasi tersebut sehingga menyerbu wajah Sang Shodan?

cho. "Makanlah, sebab tak akan me?nye?nangkan bersetubuh dengan

sebongkah mayat," kata Sang Shodancho. Atas bujuk rayu tersebut Ala?

manda menjawab dengan ketus, "Lebih tak menyenangkan bersetubuh

dengan manusia hidup sepertimu."

Ini gila, pikir Sang Shodancho yang dengan sabar terus mem?bu?juk?

nya. Alamanda tetap bersikeras untuk tidak makan kecuali ia di?lepas?kan

dari ikatan dan celana dalam besi itu dikembalikan ke?padanya, tapi Sang

Shodancho tak mau memenuhi permintaan tersebut. Sang Shodancho

berkata pada diri sendiri bahwa pada akhir?nya kekuatan Alamanda

akan ada batasnya, mencoba menghibur diri. Paling jauh ia hanya bisa

bertahan satu malam sehingga esok pagi ia akan bersedia diberi makan

setelah diserang rasa sakit lilitan lambungnya yang tanpa kompromi.

Dengan anggapan seperti itu, Sang Shodancho kemudian me?ngem?

balikan makan siang istrinya ke dapur dan ia melewatkan ma?kan siang

seorang diri di meja makan. Ketika senja datang, ia meng?habiskan

waktu duduk di beranda menikmati angin malam yang mulai berembus

dan burung-burung perkutut hadiah perkawinan. Mereka melompatlompat di dalam kandangnya yang menggantung di langit-langit be?

randa. Ia juga menikmati lampu-lampu yang mulai menyala dan rokok

kretek yang diisapnya penuh kenikmatan, mengenang satu hari yang

penuh kemenangan tersebut. Akhirnya ia bisa merasakan bagaimana

rasanya bercinta dengan istrinya sendiri karena meskipun kenyataan?

nya ia pernah memerkosa Alamanda sebelum ini, waktu itu Alamanda

belum menjadi istrinya.

Senja-senja seperti itu biasanya ia duduk berdua dengan Alamanda

di teras depan tersebut. Orang-orang sudah banyak yang tahu ke?biasaan

mereka, sehingga ketika ada orang lewat dan menyapa selamat petang,

Shodancho, mereka bertanya, "Ke mana Nyonya?" Sang Shodancho

membalas mengatakan selamat petang dan menjawab bahwa istrinya

sedang tak enak badan dan tengah berbaring di atas tempat tidur. Hal

itu membuatnya teringat kembali pada Alamanda sehingga ketika

rokok kretek yang ia isap hanya menyisakan sedikit saja ujung yang

tak terbakar, ia pergi menemui istrinya itu setelah membuang puntung

rokok ke halaman.

Ia menemukan Alamanda masih sebagaimana sepanjang hari itu:

terikat telentang, telanjang, namun sekarang ia tampaknya telah ter?

tidur. Apakah Sang Shodancho kemudian kembali berubah menjadi

seorang suami yang baik sebab saat itu ia segera menyelimuti tubuh

istrinya untuk menangkal udara dingin dan nyamuk, hanya Tuhan dan

ia sendiri yang tahu. Sebab kemudian ternyata ia tak bisa melewatkan

malam itu tanpa memerkosa istrinya lagi, dua kali pada pukul sebelas

empat puluh menit dan pukul tiga dini hari sebelum ayam pertama

berkokok.

Lalu pagi akhirnya datang dan Sang Shodancho muncul kembali

di kamar tempat istrinya masih terkapar di balik selimut dengan tali

pengikat masih terentang ke sudut-sudut tempat tidur. Ia membawa

sarapan pagi berupa nasi goreng dengan telur mata sapi dan irisaniris?an tomat dan segelas susu cokelat. Alamanda sudah bangun dan

menatap sendu ke arahnya, campur aduk antara mual dan kebencian.

"Mari kusuapi kau," kata Sang Shodancho dengan keramahan yang

tak dibuat-buat, sungguh-sungguh tulus dengan senyum seorang suami

kepada istrinya, "bercinta selalu membuat orang lapar."

Alamanda membalas senyumnya, bukan senyum yang memesona

itu, tetapi lebih menyerupai cibiran penuh ejekan. Ia memandang Sang

Shodancho seolah memandang wujud iblis yang telah menjelma, iblis

yang sejak masa kecil seringkali ia bayangkan seperti apa wujudnya,

dan kini ia rasanya bisa melihat itu di wajah suaminya. Tanpa tanduk,

tanpa taring dan tanpa mata yang merah kecuali ka?rena kurang tidur,

tapi yakin itulah iblis.

"Pergilah ke neraka dengan sarapan pagi terkutukmu itu," kata

Alamanda.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayolah, Sayang, kau bisa mati tanpa makan," kata Sang Shodan?

cho.

"Itu lebih bagus."

Dan memang begitulah kejadiannya: Alamanda jatuh demam di sore

hari dengan wajah pucat pasi dan suhu meninggi dan tubuh meng?gigil.

Hari itu Sang Shodancho sama sekali tak memerkosanya lagi setelah

per?cintaan sehari semalam. Mungkin karena lelah atau ke?puasan yang

telah melewati ambang batas, atau sebagai satu usaha mem?perbaiki

hubungan dengan istrinya agar ia bisa membujuknya un?tuk makan. Ala?

manda kini menolak apa pun sepenuhnya, tak hanya na?si tapi bahkan

menolak untuk minum, dan itulah ia akhir?nya ter?se?rang demam di sore

hari serta mulai mengigau dalam umpatan-umpatan.

Sang Shodancho mulai panik dengan keadaan istrinya yang mem?

buruk, masih mencoba membujuknya makan, kali ini semangkuk bubur,

dan masih memperoleh penolakan. Lebih dari itu, tubuh Alamanda

yang menggigil itu mulai bergetar hebat seolah ia tengah sekarat, tapi

Alamanda sendiri melalui saat-saat mengerikan seperti itu dengan

ke?tenangan yang luar biasa, seolah ia telah siap menghadapi maut

yang paling buruk sekali pun. Sang Shodancho mencoba me?ngurangi

demamnya dengan memberi kain basah pengompres di dahi Alamanda,

membuat uap air seketika mengapung membentuk kabut, tapi panas

demamnya sama sekali tak memperlihatkan ke?hendak untuk turun.

Dalam keputusasaan, Sang Shodancho akhirnya membuka semua

ikatan tubuh istrinya namun Alamanda masih berbaring tanpa pem?

berontakan meskipun kebebasannya memungkinkan ia untuk bangkit

dan melarikan diri. Ia tak memberontak pula ketika suaminya mema?

sang?kan pakaian ke tubuhnya dan lalu membopongnya pergi. Alamanda

waktu itu tak lagi mampu memahami apa yang terjadi sehingga tak

bertanya apa-apa kecuali terkulai di bahu Sang Shodancho. Tapi lakilaki itu segera memberitahunya meskipun ia tak mendengar apa pun,

"Aku sungguh-sungguh tak menginginkan kau jadi sebongkah mayat,

kita akan ke rumah sakit."

Di luar yang diduga Sang Shodancho yang menganggap istrinya

hanya memerlukan satu suntikan vitamin dan sedikit infus, Alamanda

menghabiskan waktu dua minggu untuk perawatan di rumah sakit. Setiap

hari ia menyempatkan datang ke kamar tempat istrinya menginap sambil

mengatakan betapa menyesalnya pada apa yang telah ia lakukan sebelum

ini. Alamanda sama sekali tak percaya pada penyesalannya, namun kini

ia tak lagi memperlihatkan sikap per?mu?suhan. Ia menerima bubur yang

disuapkan para perawat ke mulutnya (meskipun ia tetap menolak bubur

dari Sang Shodancho), dan hanya mengangguk ketika Sang Shodan?

cho berkata bahwa ia berjanji tak akan mengulang perbuat?an itu lagi.

Bagaimanapun, Alamanda sama sekali tak memercayainya.

Adalah pada hari keempat belas ketika ia datang untuk menjenguk

istrinya. Itu setelah ditelepon dokter yang merawat istrinya yang menga?

takan bahwa Alamanda sudah boleh dibawa pulang. Ia bertemu dengan

dokter tersebut di koridor rumah sakit: si dokter menyapanya dengan

basa-basi selamat siang, Shodancho, dan Sang Shodancho mem?balas

mengatakan selamat siang, Dokter. Lalu si dokter meng?ajaknya duduk

di kedai rumah sakit untuk bicara mengenai Alamanda. "Apakah ada

yang serius dengan kesehatan istriku, Dokter?" tanya Sang Shodancho

sementara si dokter memesan makan siang yang sederhana. Baru ketika

pesanan itu datang si dokter menggeleng dan berkata, "Tak ada penyakit

serius jika tahu bagaimana mengobatinya."

Lalu ia mulai makan seolah mengulur-ulur drama apa pun yang akan

ia bicarakan mengenai Alamanda, sementara Sang Shodancho me?

nunggunya dengan penuh kesabaran. Ditemani sigaret karena ha?nya di

kedai itulah ia bisa merokok di rumah sakit, ia masih mengkhawatirkan

istrinya dan kembali menyesal telah menjadi pe?nyebab itu semua. Sejak

hari pertama si dokter telah memberi diag?nosa tentang luka di lambung,

dehidrasi dan Alamanda telah terserang gejala typus. Dokter berkata

untuk tak perlu khawatir, Alamanda hanya perlu istirahat selama sekitar

satu atau dua minggu, menghindarkan diri dari segala makanan asam

kecuali bubur tawar, banyak minum dan menelan antibiotik dan virus

di tubuhnya akan mati dengan sendirinya dalam waktu tak lebih dari

dua minggu. Meskipun si dokter mengatakan bahwa tak ada yang perlu

di?kha?watirkan, Sang Shodancho tetap merasa khawatir karena ia tak

akan sanggup ditinggal mati Alamanda meskipun ia tahu Alamanda

tak pernah dan mungkin tak akan pernah mencintainya.

"Jika kukatakan kabar gembira ini, apakah kau akan membayar

makan siangku, Shodancho?" tanya si dokter selepas menyelesaikan

makan siangnya.

"Katakan saja, Dokter, apa yang terjadi dengan istriku?"

"Aku telah berpengalaman melakukan diagnosa ini dan aku bersum?

pah kau akan segera punya anak, Shodancho. Istrimu hamil."

Ia terdiam sejenak. "Masalahnya, siapa yang membuatnya hamil?" Ia

tak mengatakan itu, tentu saja. "Berapa bulan?" tanya Sang Shodancho

dan ia sama sekali tak terlihat gembira kecuali wajah pu?cat pasi dan

tangan yang menggigil di atas meja. Bayangan-bayangan buruk melesat

di benaknya, membayangkan Alamanda secara diam-diam bercinta

de?ngan siapa pun yang ia inginkan, dendam terhadap nasibnya untuk

kawin dengan orang yang dicintainya. Laki-laki itu, bisa jadi adalah

kekasih lamanya, atau ke?kasih baru yang ia tidak tahu.

"Kenapa, Shodancho?"

"Berapa bulan istriku sudah hamil, Dokter?"

"Dua minggu."

Sang Shodancho bersandar ke sandaran kursi sambil membuang

napas, tampak lega sekarang. Ia mengambil sapu tangan dan mem?ber?

sih?kan butir-butir keringat dingin yang baru saja menghiasi dahinya.

Se?telah lama terdiam ia mulai tersenyum, kini tampak begitu bahagia

sebelum berkata, "Kubayar makan siangmu, Dokter."

Jadi ia akan segera punya anak, membuktikan bahwa desas-desus ia

tak pernah bercinta dengan istrinya dan bahwa ia impoten dan bahwa

ia dikebiri sama sekali tak beralasan, karena ia akan punya anak. Mereka

berdua segera menemui Alamanda yang tampak telah cukup sehat un?

tuk dibawa pulang. Dokter telah mengizinkannya memakan apa pun

yang sedikit lebih keras dari nasi bubur dan wa?jahnya perlahan-lahan

mulai tampak segar. Ia sesekali mulai berguling ke sana-kemari di atas

tempat tidur.

Ketika si dokter meninggalkan mereka berdua untuk mengurusi

kepulangan Alamanda, Sang Shodancho berkata kepada istrinya, "Kau

sudah sembuh, Sayang."

Alamanda membalasnya tanpa ekspresi, "Cukup segar untuk me?

man?cing berahimu."

Tak terpengaruh oleh keketusan hatinya, Sang Shodancho duduk di

tepi tempat tidur menyentuh kaki istrinya sementara Alamanda diam

saja sambil memandang langit-langit. "Dokter memberi tahu bahwa

kita akan punya anak. Kau hamil, Sayang," kata Sang Shodancho lagi

berharap bisa membagi kebahagiaan.

Tapi Alamanda segera berkata membuatnya terkejut, "Aku tahu dan

aku akan menggugurkannya."

"Jangan lakukan itu, Sayang," kata Sang Shodancho memohon.

"Sela?matkan anak itu dan aku berjanji tak akan pernah melakukan hal

itu lagi."

"Baiklah, Shodancho," kata Alamanda, "jika kau berani-beraninya

menyentuhku lagi aku tak akan ragu-ragu untuk mengugurkannya."

Secepat kilat Sang Shodancho menarik tangannya dari kaki Ala?

manda membuat perempuan itu ingin tertawa karena ke?ko?nyol?annya.

Sang Shodancho kembali menegaskan janjinya untuk tak melakukan

pemerkosaan apa pun lagi meskipun Alamanda tak me?ngenakan celana

dalam besi lagi. Memang begitulah kenyataannya: Alamanda tak lagi

mengenakan celana dalam besi, selain karena celana dalam besi itu te?

lah dibuang Sang Shodancho ke dalam su?mur, ia cukup percaya diri dan

yakin Sang Shodancho tak akan me?langgar janjinya sejauh ia tetap bisa

menggugurkan kandungannya. Memiliki seorang anak jauh lebih pen?

ting dari apa pun bagi ego seorang laki-laki semacam Sang Shodancho.

Alamanda bahkan berkata, meskipun kelak ia telah hamil tujuh

bulan atau delapan atau sembilan bulan, ia tetap akan meng?gu?gur?kan?

nya apa pun yang terjadi, jika Sang Shodancho kembali me?mak?sanya

melayani nafsu berahi. Bahkan meskipun ia sendiri mati karena itu.

Tapi jelas ia tak lagi mengenakan celana dalam besi bukan karena ia

telah berubah, telah memberikan dirinya kepada Sang Shodancho,

karena ia sudah berjanji untuk tak pernah mencintainya dan karena

itu ia tak ingin bercinta dengannya. Dan demi Tuhan ia memang tak

men?cintainya.

Kepulangannya ke rumah disambut gembira beberapa sahabat dan

kerabat mereka secepat berita gembira bahwa Alamanda hamil tersebar

ke seluruh pelosok kota dan Sang Shodancho mengadakan pesta syukur?

an kecil untuk itu. Orang-orang di kota membicarakannya dari kedai

ke kedai seolah mereka menantikan lahirnya seorang pu?tra mahkota,

dan banyak di antara mereka membicarakannya dalam nada gembira

kecuali Kliwon dan beberapa sahabat nelayannya.

Bahkan dengan ketus Kliwon berkata, "Ia seorang pelacur." Be?tapa

terkejutnya para sahabat mendengar ia mengatakan itu untuk perem?

puan yang pernah demikian ia cintai, tapi dengan tenang ia berkata

lagi, "Seorang pelacur bercinta karena uang, apa yang akan kita sebut

pada seorang perempuan yang kawin juga karena uang dan status sosial?

Ia lebih dari seorang pelacur, ia dewi para pelacur." Tak ada kekesalan

hati di dalam nada suaranya, seolah ia sedang mengatakan kenyataan

yang sudah diketahui banyak orang.

Jika pun ada kekesalan hati Kliwon pada keluarga tersebut, terutama

kepada Sang Shodancho, tentunya bukan karena kekasihnya direbut

begitu saja. Sebagai seorang laki-laki sejati ia telah dibuat siap pada

kemungkinan apa pun ditinggalkan perempuan yang paling ia cintai.

Apa yang membuatnya kesal belakangan ini terhadap Sang Shodancho

adalah kapal penangkap ikannya yang dua buah itu. Bagaimanapun

kedua kapal itu telah membuat wajah pantai Ha?limunda berubah. Ke?

dua?nya kini terapung-apung di lautnya, dengan ke?sibukan menurunkan

ikan-ikan yang diperolehnya. Para pekerjanya hilir-mudik di atas gela?

dak, dan para tukang yang mengangkuti ikan-ikan tangkapannya ke

pelelangan. Tapi kedua kapal itu juga mengubah wajah para nelayan

yang menjadi kusut karena ikan tak mudah lagi didapat dan kenyataan

tak mudah pula bersaing dengan alat-alat yang dimiliki kapal tersebut.

Jika pun ikan mereka peroleh, harga ikan telah jatuh oleh melimpahnya

ikan di pelelangan yang berasal dari kapal.

Itu adalah waktu ketika Kliwon, atas instruksi Partai Komunis, me?

mutuskan untuk mendirikan Serikat Nelayan dan mulai men?jelaskan

kepada para sahabatnya mengenai apa yang terjadi dengan kapal-kapal

dan perahu mereka. "Tak hanya sekadar persaingan yang tak sehat, tapi

mereka telah sungguh-sungguh merampok ikan-ikan kita." Banyak para

sahabatnya berharap bisa melakukan perlawanan dengan cara memba?

kar kapal-kapal itu, tapi Kamerad Kliwon (begitulah kemudian ia di?

panggil) mencoba menenangkan mereka, berkata bahwa tak ada yang

lebih buruk dari sebuah tindakan anar?kis, dan sebaliknya ia berkata

pada mereka, "Beri aku waktu untuk bicara dengan Sang Shodancho,

pemilik kapal-kapal itu."

Kamerad Kliwon memilih waktu ketika berita tentang kehamilan

Alamanda telah menjadi rahasia umum orang di kota itu. Ia berharap

Sang Shodancho dalam keadaan yang cukup senang hatinya untuk

diajak bernegosiasi mengenai urusan para nelayan tersebut. Ia bertemu

pada suatu siang di kantor rayon militer, sengaja tak datang ke ru?mah?

nya karena ia sama sekali tak berharap bertemu dengan Alamanda
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecuali mengacaukan kebahagiaan mereka menyambut anak pertama.

"Selamat siang, Shodancho," kata Kamerad Kliwon begitu ber?jum?pa

dan mereka bersalaman. Sang Shodancho menyuguhkan se?cangkir kopi

untuknya dan memang benarlah bahwa Sang Shodancho tampak begitu

bahagia sehingga keramahannya begitu tampak jelas.

"Selamat siang, Kamerad, kudengar kau sekarang memimpin Seri?

kat Nelayan dan desas-desus mengatakan bahwa nelayan-nelayan itu

mengeluhkan kapal-kapalku."

Ya, begitulah, Shodancho, dan Kamerad Kliwon akhirnya men?

ce?ritakan keluhan para nelayan itu mengenai ikan yang berkurang

dan harga yang jatuh. Sang Shodancho bercerita mengenai kemajuan

za?man, bahwa penggunaan kapal sebagai sesuatu yang tak terelakkan.

Hanya dengan kapal para nelayan tak dirongrong oleh penyakit rematik

di hari tua. Hanya dengan kapal para istri nelayan bisa me?mastikan

bahwa suaminya tak akan lenyap ditelan badai. Hanya dengan kapal

ikan bisa ditangkap lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan orang,

tak sebatas yang dibutuhkan oleh orang-orang Halimunda.

"Selama bertahun-tahun, Shodancho, kami menangkap ikan se?

banyak yang kami butuhkan hari itu, dan sedikit sisa untuk tabungan di

masa badai yang besar. Bertahun-tahun kami hidup dengan cara seperti

itu, tak pernah menjadi sungguh-sungguh kaya sebagaimana kami juga

tak pernah menjadi sungguh-sungguh miskin. Tapi kini kau sedang

men?coba melemparkan nelayan-nelayan itu ke dalam kemiskinan yang

tanpa ampun; ikan-ikan yang biasa mereka tangkap telah kau rampok

dengan kapal-kapal itu dan kalau pun mereka memperoleh ikan, tak ada

lagi harganya di pelelangan kecuali men?jadi ikan asin untuk dimakan

sendiri."

"Tentunya kalian lupa melemparkan kepala sapi sehingga Ratu

Kidul penguasa laut enggan membagi ikan untuk kalian lagi," kata

Sang Shodancho sambil tertawa kecil, meminum kopinya dan meng?

isap rokok kreteknya.

"Itu benar, Shodancho, karena kami tak lagi punya uang untuk mem?

beli seekor sapi. Jangan biarkan orang-orang miskin ini menjadi marah,

orang lapar yang marah tak akan ada yang sanggup meng?ha?dapinya."

"Kau mengancam, Kamerad," kata Sang Shodancho sambil tertawa

lagi. "Baiklah, aku akan membiayai pesta laut melemparkan kepala

sapi untuk ratu yang pelit itu sebagai syukuran anak pertamaku, tapi

soal nelayan-nelayan itu aku hanya punya satu jalan keluar: aku akan

menambah satu kapal lagi dan terbuka bagi kalian para nelayan untuk

bergabung di atasnya, dengan upah dan jaminan tak ada rematik serta

ancaman badai. Bagaimana, Kamerad?"

"Sebaiknya kau berbuat bijaksana, Shodancho," kata Kamerad Kli?

won. Ia segera meninggalkan Sang Shodancho yang tampaknya ha?nya

bicara berputar-putar tak memperlihatkan minat untuk me?nyingkirkan

kapal-kapalnya sama sekali.

Kapal penangkap ikan baru itu sungguh-sungguh datang pada bulan

ketujuh kehamilan Alamanda, tapi tak satu pun nelayan yang berniat

mengikuti upacara membuang kepala sapi yang dilakukan segelintir

orang-orang Sang Shodancho. Kamerad Kliwon bahkan mulai menjadi

berang dan berkata pada Sang Shodancho bahwa ia tak lagi bisa men?

jamin kapal-kapal itu aman dari kemarahan para nelayan, tapi dengan

tenang Sang Shodancho berkata bahwa tak sebaiknya mereka bertindak

gegabah. Sang Shodancho tampaknya tak begitu peduli dengan urusanurusan tersebut karena kemudian ia tak mau ditemui siapa pun kecuali

tinggal di rumah menanti ke?lahiran anak pertamanya. Itu akan menjadi

anak kebanggaannya, masa depannya yang kelak jika ia sudah lahir ia

akan meluangkan waktu-waktu sore untuk berjalan bersamanya. Ia akan

mengantarnya pergi sekolah jika ia sudah sedikit besar, memberikan apa

pun yang ia inginkan.

Karena itu ia sesungguhnya tak tahu menahu tentang pemogokan

buruh kapal-kapal penangkap ikannya yang sebagian besar adalah

nelayan-nelayan kampung sepanjang pesisir. Mereka dihadapi se?pa?

suk?an polisi dan tentara dari rayon militer dengan pemukulan tapi

orang-orang itu tetap bergeming. Tanpa berkonsultasi dengan Sang

Shodancho, para nahkoda kapal memecat para buruh itu satu per satu,

dan menggantinya dengan buruh-buruh baru yang bersedia mengikuti

aturan main dan kontrak mereka. Serikat Nelayan berhasil memasuk?

kan orang-orangnya untuk bekerja di kapal, namun kini mereka semua

telah dipecat.

Hal ini memancing kemarahan umum di antara para nelayan dan

mereka tampaknya telah sungguh-sungguh merencanakan untuk mem??

bakar kapal-kapal itu dalam satu keputusasaan. Namun kembali Kame?rad

Kliwon mencoba mencegah mereka dan berjanji sekali lagi untuk bicara

dengan Sang Shodancho. Kali ini tampaknya ia benar-benar harus pergi

ke rumahnya, karena Sang Shodancho tampak ja?rang masuk ke kantor

dalam dua bulan terakhir penantian anak pertamanya itu. Mau tidak mau

tampaknya Kamerad Kliwon harus kembali bertemu dengan Alamanda.

Dan begitulah, karena Alamandalah yang kemudian membukakan

pintu untuknya, dengan jalan yang tertatih menahan beban perutnya

yang tampak kembung di balik daster putih berbunga-bunga. Sejenak

ke?duanya saling memandang dalam kerinduan yang serta-merta me?

muncak, dalam satu kehendak bawah sadar untuk menghambur dan sa?

ling memeluk, mencium dan menangis bersama-sama dalam kesedihan

berdua. Tapi itu tak mereka lakukan kecuali diam saling me?matung,

bahkan tak ada senyum dan sapaan, kecuali Kamerad Kliwon yang

memandang Alamanda dan mengaguminya sebagai perempuan yang

demikian cantik. Ia bahkan jauh lebih cantik dengan kandungannya

itu, seolah ia tengah berhadapan dengan sosok cantik puteri duyung

yang menjadi dongeng mitologis para nelayan, atau Ratu Laut Selatan

yang tak terkira memesona itu.

Namun ia sedikit terkejut ketika ia melihat kandungan Alamanda

seolah ia bisa melihat anak yang meringkuk di dalamnya. Ini mem?buat

Alamanda menjadi tak enak hati, berpikir bahwa laki-laki itu tengah

membayangkan bahwa seharusnya anak di dalam kandungannya ada?lah

anak-nya. Alamanda ingin sekali meminta maaf atas semua ini, berkata

bahwa ia mungkin masih mencintainya, tapi nasib buruk telah membuat

mereka terpisah. Mungkin suatu ketika jika aku telah menjadi janda, kau

bisa mengawiniku. Tapi apa yang dipikirkan Kamerad Kliwon bukanlah

hal itu, karena kemudian ia berkata pendek pada Alamanda, "Perutmu

seperti panci kosong."

"Apa maksudmu?" tanya Alamanda merasa tersinggung dan seke?

tika keinginannya untuk mengatakan semua yang ia pikirkan men?jadi

lenyap.

"Tak ada anak laki-laki maupun anak perempuan di dalamnya,

sepenuhnya hanya angin dan angin, seperti panci kosong."

Alamanda sungguh-sungguh kesal dengan komentarnya, mengang?

gapnya sebagai satu hinaan dari seorang laki-laki yang patah hati dan

menyadari semakin lama ia berdiri di depannya, ia hanya akan men?

dengar lebih banyak kata-kata yang menyakitkan. Lalu tanpa berkata

apa-apa lagi ia membalikkan badan dan nyaris saja bertabrakan dengan

Sang Shodancho yang muncul di ambang pintu dan juga dibuat terkejut

oleh apa yang dikatakan oleh Kamerad Kliwon. Alamanda masuk ke

dalam rumah menyingkir sementara kedua laki-laki yang ditinggalkan?

nya duduk di kursi beranda tempat sepasang suami istri itu sering me?

lewatkan senja bersama.

Berbeda dengan Alamanda, Sang Shodancho menanggapi serius apa

yang didengarnya dari mulut Kamerad Kliwon dan menjadi khawatir

dibuatnya sehingga ia bertanya pada laki-laki itu apa yang ia maksud

dengan panci kosong. Sebagaimana sudah dikatakan pada Alamanda,

Kamerad Kliwon mengatakan apa yang telah ia katakan itu: seperti

panci kosong, tak ada anak laki-laki maupun anak perempuan di dalam

rahim Alamanda kecuali angin dan angin. "Itu tak mungkin, dokter su?

dah memastikan bahwa istriku hamil dan kau lihat sendiri perutnya!"

kata Sang Shodancho dengan sedikit ke?khawatiran.

"Aku sudah lihat perutnya," kata Kamerad Kliwon. "Mungkin itu

seka?dar gumaman seorang lelaki yang cemburu."

ada suatu masa, penduduk Halimunda digemparkan oleh seorang

bayi di tempat pembuangan sampah. Ia seorang bayi laki-laki,

masih hidup meskipun telah diseret anjing ke sana-kemari. Orang se?

gera menyadari ia akan tumbuh menjadi lelaki kuat. Selama berharihari mereka mencoba mencari siapa ibunya, dan karena ibunya tak

per?nah diketahui, maka tak seorang pun juga tahu siapa ayahnya. Ibu?

nya mungkin seorang pelancong yang datang hanya untuk membuang

bayi, dan ayahnya seorang kekasih yang tak bertanggung jawab.

Ia dipelihara seorang perawan tua bernama Makojah, nenek tua

paling dibenci di kota itu namun sekaligus juga paling dibutuhkan.

Ia hidup dengan meminjamkan uang pada penduduk kota yang harus

me?ngembalikannya dengan bunga mencekik, sebab hanya itulah yang

bisa ia kerjakan. Ia tak bisa bertani sebab tak seorang pun mau menjual

tanah kepadanya, kecuali sepetak tanah warisan yang menjadi tempat?

nya tinggal. Ia juga tak bisa bekerja jadi apa pun karena tak seorang

pun memberinya pekerjaan. Ia bahkan tak bisa memperoleh seorang

pun suami seumur hidupnya, meskipun ia telah melamar sekitar enam

belas lelaki. Hidup kesepian dan disia-siakan, ia membalas dendam

pada penduduk kota yang jatuh miskin dengan pura-pura bersikap der?

mawan, memberinya pinjaman sebelum mencekiknya dengan bunga

pengembalian.

Sekali lagi, nyaris semua orang membencinya, terutama orang-orang

yang pernah terbelit hutang nyaris tanpa akhir. Semua orang menghin?

darinya, tak mau bicara dengannya, menganggapnya lebih buruk dari

iblis pendosa. Tapi jika kebutuhan mendesak datang, dan cara lain te?

lah ditempuh namun tak membuahkan hasil, mereka akan mengetuk

pintu rumahnya sebab mereka tahu pertolongan sementara ada di balik

pintu itu. Mereka akan datang dengan mem?bungkuk, tersenyum dalam

keramahan yang dibuat-buat, dan wajah memelas yang sesungguhnya.

Makojah mengetahui belaka semua sandiwara tersebut, namun tak

peduli, lagipula itu bagian dari bisnisnya belaka.

Pernah orang bertanya-tanya, ke mana perginya uang yang ia kum?

pulkan. Sebab mereka tak melihat kekayaannya bertambah se?dikit pun.

Rumahnya masih sebagaimana bertahun-tahun se?be?lum?nya, kecuali

kadang-kadang seorang tukang mengecat dan memperbaiki kerusakan di

sana-sini. Kehidupan sehari-harinya ti?daklah boros. Ia tak punya sanak

famili. Dan terutama ia tak pernah terlihat pergi ke bank untuk me?

nyim?pan uang yang diperas dari para penduduk. Mereka mulai berpikir

perawan tua itu pasti menyimpan uang-uangnya di bawah kasur. Maka

dalam satu operasi yang men?dadak, pernah suatu malam empat orang

lelaki datang ke rumahnya untuk merampok. Tetangga yang mengeta?

hui perampokan itu hanya diam saja, dan bahkan mencoba menonton

dari balik tirai jendela. Namun Makojah juga tak menjadi histeris,

se?baliknya ia diam dan melihat para perampok itu memeriksa semua

tempat di rumahnya. Bagaimanapun mereka tak menemukan uang itu.

Tak ada apa-apa di balik kasur, juga di timbunan abu tungku, tak ada

juga di dalam tong air. Lemari pakaian hanya berisi baju, lemari makan

hanya berisi sepiring nasi dengan kuah wortel. Menyerah sepenuhnya,

keempat perampok bertopeng itu menghentikan pencarian mereka dan

menemui Makojah yang masih berdiri di pintu kamarnya.

"Mana uangmu?" tanya salah satu dari mereka dengan jengkel.

"Dengan senang hati kuberikan padamu," kata Makojah sambil

ter?senyum. "Bunga empat puluh persen dan kembali dalam se?minggu."

Mereka pergi meninggalkannya tanpa berkata apa pun lagi.

Sejak itu tak seorang pun mencoba kembali merampoknya, ter?utama

sejak kehadiran bayi di rumahnya. Makojah memelihara bayi itu, sebab

lama ia mengangankan bisa mengurus seorang anak, dan ter?utama
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena tak ada penduduk kota yang lain mau mengambil anak dari

pembuangan sampah. Di sanalah anak itu akhirnya tumbuh. Makojah

memberi nama yang bagus untuknya, Bhisma, tapi semua orang kemu?

dian memanggilnya Idiot, dan melengkapinya menjadi Edi Idiot, sebab

kelakukannya yang mencemaskan sekaligus men?jengkelkan. Dan orangorang kemudian lupa bahwa namanya Bhisma, termasuk Makojah dan

si bocah sendiri juga lupa, dan kini namanya Edi Idiot.

Orang-orang segera meramalkan nasib sial akan mendatangi bo?cah

itu, sebab si perawan tua selalu membawa kesialan pada siapa pun yang

hidup bersamanya. Ketika ia dilahirkan, ibunya mati. Itu hal biasa se?

sung?guhnya. Ia hidup bersama ayahnya sampai umur lima tahun ketika

si ayah akhirnya mati juga, disengat kalajengking yang masuk ke dapur.

Makojah kemudian diurus bibinya, yang datang dan tinggal bersamanya.

Si bibi seorang janda tanpa anak, dan ketika Makojah berumur tujuh

tahun, ia mati juga setelah batok kepalanya tertimpa kelapa kering yang

jatuh dari pohon di halaman belakang rumah mereka. Bagaimanapun,

ia memperoleh warisan yang cukup memadai. Ayahnya seorang pegawai

pegadaian dan me?reka punya banyak uang. Itu cukup bagi Makojah

menggaji seorang pembantu untuk mengurusi kebutuhan hidupnya. Si

pem?bantu mati karena panas demam yang kelewat tinggi ketika Mako?

jah berumur dua belas tahun. Sejak itu tak seorang pun mau tinggal

ber?samanya, dan menganggapnya sebagai gadis pembawa kesialan.

Ketika ia masih muda, ia sesungguhnya seorang gadis cantik belaka.

Banyak lelaki secara diam-diam jatuh cinta kepadanya. Tapi kematian

beruntun orang-orang yang tinggal serumah dengannya membuat tak

seorang lelaki pun punya keberanian mengambil risiko hidup bersama?

nya. Mereka lebih suka mengawini gadis yang lebih buruk darinya

namun bisa hidup lebih lama daripada kawin dengannya untuk ke?

mudian segera mati. Dalam hal ini, tak seorang pun tahu dari mana

asal-usul kesialannya, dan tak seorang pun mencoba melihat kematian

orang-orang yang pernah tinggal bersamanya sebagai kematian yang

biasa-biasa saja. Semua orang berprasangka buruk, dan ia masih tak

ter?sentuh lelaki bahkan sampai kelak kemudian ia mati.

Umurnya mulai beranjak tua. Waktu itu ia telah memulai bisnis

meminjamkan uang ke beberapa tetangga. Ia yakin ia tak bisa ber?tahan

hidup sendirian. Ia mencoba melamar seorang lelaki baik-baik, namun

mereka menolaknya. Ia mencoba melamar lelaki berkelakuan buruk,

para penjudi dan pemabuk, namun mereka pun menolak. Ia bahkan per?

nah melamar gelandangan dan pengemis, dan mereka lebih suka hidup

miskin daripada hidup kaya bersamanya. Ia menghentikan usahanya

untuk memperoleh suami ketika telah ber?umur empat puluh dua ta?

hun, dan mencoba memungut anak, na?mun ini pun selalu memperoleh

kegagalan yang berulang-ulang, sampai hari ketika ia memperoleh bayi

dari tempat pembuangan sampah tersebut.

Edi Idiot tumbuh dalam asuhannya dan tak tampak tanda-tanda

kesialan akan menimpa dirinya. Jika ada hal sial pada dirinya, maka

itu adalah bahwa tak ada anak lain mau bermain dengannya. Bahkan

anak-anak telah tertulari prasangka buruk orang tua mereka terhadap

keluarga tersebut, dan sementara orang tua mereka menghindari Mako?

jah kecuali saat-saat mereka membutuhkannya, anak-anak menghindari

Edi Idiot. Hal ini membuat si bocah menjadi anak yang sulit, menjadi

pemberang dan selalu mengganggu anak-anak sebayanya. Mengamuk

jika tak diikutsertakan dalam apa pun, dan tak segan-segan menghajar

siapa pun yang bersikap kurang ramah padanya. Itu membuat anak-anak

semakin menghindar jauh darinya.

Ia membangun persahabatan dengan menebar ketakutan. Tak se?

orang pun berani melawannya, sebab ia anak terkuat di kota itu.

Namun pada akhirnya ia memperoleh teman-teman senasibnya.

Ia sendiri yang pertama melihatnya. Beberapa teman sekolahnya juga

merupakan anak-anak yang tersingkirkan. Ia melihat dua anak pin?cang

jadi permainan anak-anak lainnya. Ia melihat anak kurus-kerempeng

kurang makan menjadi olok-olokan. Ia juga melihat anak lain, tak

me?miliki kekurangan fisik apa pun kecuali ketololan yang tak dibuatbuat, dijauhi anak-anak lain hanya karena orang tuanya tukang angkut

sampah sekaligus pencopet. Edi Idiot selalu ada untuk mereka. Ia datang

ketika anak-anak pincang itu diganggu, menghajar tanpa ampun siapa

pun yang mengolok-olok kemiskinan anak lain. Ia menjadi pelin?

dung anak-anak itu kemudian, dan memulai persahabatan yang akrab

di antara mereka, sehingga anak-anak sekolah di akhir tahun telah

ter?pecah menjadi dua: anak-anak baik dan anak-anak badung yang

di?pim?pin Edi Idiot.

Mereka mulai tumbuh menjadi musuh utama masyarakat kota. Ber?

beda dari anak-anak lain yang hanya melakukan keonaran-keonaran

kecil, Edi Idiot tak segan-segan menghabiskan kandang ayam milik

seseorang untuk melakukan pesta di pinggir pantai. Pada umur sebelas

tahun, ia telah merampok kedai minum dan melumpuhkan pemiliknya,

membawa berbotol-botol arak dan bir dan mabuk ber?sama temantemannya di kebun cokelat. Mereka juga telah mencoba hampir semua

pelacur di kota itu. Dan hanya mereka yang pernah mencoba merasa?

kan kamar tahanan pada awal umur belasan tahun. Untuk kasus-kasus

semacam itu, Makojah akan menyelamatkan mereka dengan menyogok

orang-orang di kantor polisi. Tak ada sedikit pun kejengkelan perawan

tua itu terhadap apa pun yang dilakukan Edi Idiot. Sebaliknya, ia tam?

pak bangga kepadanya.

"Ia akan menjadi gangguan serius kota ini," kata Makojah suatu

ketika pada polisi penjaga, "sebagaimana mereka selalu jadi gangguan

serius untukku selama bertahun-tahun."

Itu benar. Orang-orang tua mulai mengancam kepala sekolah bah?

wa mereka akan menarik anak-anak mereka semua atau sekolah harus

mengeluarkan Edi Idiot. Kepala sekolah yang tak berdaya akhirnya

mengeluarkan anak tersebut dari sekolah, dan sebagai balasannya suatu

pagi ia menemukan semua kaca jendela dan pintu sekolah telah pecah

berantakan, meja dan kursi patah kakinya, dan tiang bendera tumbang.

Demikianlah, pada umur dua belas tahun, sementara teman-teman

sebayanya berada di sekolah, ia telah berkeliaran di jalanan. Ia menda?

tangi toko-toko dan memintai uang dari para pemiliknya, jika mereka

tak memberi, maka kaca etalase atau pintu akan pecah berantakan

dilempar batu atau ditendang kakinya. Ia pergi ke tem?pat pelacuran

tan?pa membayar, nonton bioskop tanpa membeli tiket, dan jika ada

seseorang mempermasalahkan itu semua ia akan berkelahi dengannya,

sebelum memenangkan perkelahian tersebut.

Beberapa pemilik toko akhirnya menyewa seorang preman untuk

menghadapi bocah itu, dan suatu hari Edi Idiot harus menghadapi pre?

man tersebut dalam perkelahian yang berakhir dengan pembunuhan.

Edi Idiot masuk tahanan kembali, namun segera dilepaskan karena

membuat keributan di dalam tahanan, meng?han?curkan sel dan mem?

buat babak-belur beberapa sipir. Ia kembali ke jalanan, membunuh dua

atau tiga orang lainnya yang mencoba ber?kelahi dengannya, namun

kali ini polisi tak tertarik untuk mem?borgol dan menahannya kembali.

Ia berada di jalanan kembali, membangun posnya yang abadi di

sudut terminal dengan kursi goyang dari kayu mahoni peninggalan

orang Jepang tempatnya duduk. Ia mengumpulkan para pengikutnya

satu demi satu. Beberapa di antara mereka ia kalahkan dalam perkela?

hian, sebagian besar yang lain menjadi pengikut atas kesediaan mereka

sendiri. Mereka menarik pajak yang lebih menyesakkan para pemilik

toko daripada kewajiban mereka pada petugas pajak kota. Hal yang

sama diberlakukan untuk semua bis yang masuk maupun tidak ke ter?

minal bis, untuk semua kios di pasar, untuk semua perahu yang mencari

ikan ke laut, untuk semua tempat pelacuran dan kedai minum, untuk

pabrik es dan minyak kelapa, dan bahkan untuk setiap becak dan dokar.

Mereka juga mengantongi sendiri uang parkir.

Dengan cepat Edi Idiot dan teman-temannya menjadi teror bagi

kota itu. Gerombolan tersebut bisa melakukan apa pun dalam ke?adaan

mabuk maupun waras: merampok ayam, melempari kaca jendela, meng?

ganggu gadis-gadis yang berjalan seorang diri maupun dikawal seluruh

keluarga, dan bahkan nyolong sandal di masjid pada setiap waktu salat

berjamaah. Burung-burung perkutut kelangenan orang-orang tua lebih

sering hilang di waktu-waktu tersebut daripada waktu-waktu yang lain,

sebagaimana mereka kehilangan ayam-ayam aduan dan pakaian di tali

jemuran.

Mereka juga menjadi gangguan serius untuk pemuda-pemuda

baik-baik, sebab gerombolan itu bisa tiba-tiba merampas apa pun dari

mereka. Mereka telah mengambil banyak gitar milik pemuda-pemuda

itu, tak terhitung pencopotan sepatu secara paksa di tengah jalan, dan

jangan tanya berapa bungkus rokok yang mereka minta dalam sehari.

Beberapa pemuda mungkin mencoba melawan, dan perkelahian akan

pecah kembali. Namun gerombolan itu tampak semakin jelas tak per?

nah terkalahkan, terutama jika Edi Idiot telah turun tangan sendiri.

Beberapa pembunuhan bahkan akhirnya terjadi kembali. Kejengkelan

penduduk kota ditambah oleh sikap polisi yang menganggap hal itu

sekadar kenakalan anak-anak.

"Ia pasti mati," kata seseorang mencoba menghibur diri, "bagaimana?

pun ia tinggal dengan Makojah."

"Masalahnya adalah, kapan ia mati," yang lain membalas.

Kematian tak datang sampai tiga tahun kemudian. Sebaliknya, jus?

tru Makojah yang kemudian mati tak lama kemudian. Ia mati begitu

saja di suatu pagi, sedang buang tai di kamar mandi rumahnya. Adalah

Edi Idiot sendiri yang menemukannya. Ia terbangun pada pukul sem?

bilan dan tak menemukan sarapan pagi sebagaimana biasa. Ia mencari

si perawan tua itu ke mana-mana, namun tak mene?mu?kan?nya sampai

kemudian ia menaruh curiga pada pintu kamar man?di yang tertutup.

Ia mencoba membukanya. Terkunci dari dalam. Ia mendobraknya, dan

menemukan perawan tua itu masih jongkok di atas kakus, telanjang,

sama sekali tak mengundang berahi.

"Mama, apakah kau sudah mati?" tanya Edi Idiot.

Makojah tak menjawab.

Edi Idiot mendorong dahi Makojah dengan ujung telunjuknya, dan

seketika tubuh itu terjengkang. Sudah pasti mati.

Kematiannya dengan cepat menjadi kabar gembira penduduk kota:

sebagian besar masih memiliki hutang yang belum terbayar. Tak ada satu

tetangga pun mau mengurus jenazahnya, hingga Edi Idiot membopong

mayat tersebut langsung ke rumah penggali ku?bur Kamino. Waktu itu

Kamino masih bujangan, disebabkan tak banyak perempuan mau ting?

gal di tengah kuburan bersamanya, maka hanya mereka berdua yang

mengurus mayat Makojah sebelum seorang kyai yang merasa prihatin

datang. Sang kyai menyuruh mayat itu dimandikan, dan kemudian ia

bersama si penggali kubur melakukan salat sementara Edi Idiot me?

nunggu di luar rumah dengan gelisah. Demikianlah, Makojah yang

be?gitu banyak dikenal penduduk kota dan bahkan merupakan satusatu??nya orang yang selalu siap-sedia untuk segala pertolongan darurat,

penguburan mayatnya hanya disaksikan tiga orang.

Makojah tak meninggalkan warisan apa pun untuk Edi Idiot kecuali

rumah dengan pekarangannya tempat mereka tinggal selama ini. Tak

ada yang tahu ke mana perginya uang-uang hasil bunga pinjaman

itu. Edi Idiot sama sekali tak peduli dengan uang-uang tersebut, tapi

pen??duduk kota yang lain peduli, sebab mereka merasa itu uang milik

mereka. Maka orang-orang, sampai bertahun-tahun kemudian, masih

sering mencoba mencari dan memburu keberadaan uang-uang Makojah.

Ada desas-desus bahwa ia memiliki ruang bawah tanah, maka beberapa

orang mencoba menggali terowongan dari rumah tetangga, tapi mereka

tak menemukan apa pun. Se?ba?lik?nya, salah satu dari anggota ekspedisi

harus mati karena mengisap uap belerang, dan mereka segera menutup

kembali terowongan ter?sebut.

Kebahagiaan penduduk kota tak bertahan lama. Mereka pikir, jika

Makojah mati, Edi Idiot akan berubah menjadi anak yang baik. Paling
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ia akan mengasingkan diri selama beberapa bulan untuk berka?

bung. Ternyata tidak. Ia membawa pulang gadis-gadis untuk ditidurinya

di rumah sementara ayah gadis-gadis itu putus asa mencari mereka ke

sana-kemari. Ia meminta makan dari dapur mana pun yang tampak

terbuka, seringkali tanpa meminta, langsung duduk di meja makan dan

melahap apa pun bahkan sebelum tuan rumah mencicipi hidangannya.

Itu belum termasuk tindakan-tindakan kriminal yang lebih berat, selain

pembunuhan yang terjadi beberapa kali, sebab ia juga merampok dan

mengorganisir pencurian pe?num?pang bis.

Ketika Sang Shodancho turun dari hutan gerilyanya, banyak pen?

duduk kota berharap ia tak hanya membereskan serangan babi, namun

juga membereskan preman-preman kota itu. Namun bahkan Sang

Sho?dancho kewalahan menghadapinya.

"Mereka seperti tai," kata Sang Shodancho, "semakin diaduk se?

ma??kin bau." Ia tak menjelaskan apa maksudnya, tapi orang segera me?

nyim?pulkan: jika Edi Idiot dan gerombolannya diganggu, mereka akan

semakin menjadi gangguan kota.

Itu masa-masa di mana banyak orang Halimunda duduk-duduk di

beranda rumah dengan wajah lelah. Para pelancong iseng mungkin saja

akan bertanya, apa yang kalian lakukan. Dan mereka akan menjawab:

"Menunggu keranda kematian Edi Idiot lewat."

Doa mereka tak pernah terkabul. Bukan karena Edi Idiot tak per?

nah sungguh-sungguh mati, tapi karena Edi Idiot tak pernah diusung

oleh keranda, dan tak pernah dikuburkan di mana pun. Ia mati karena

ditenggelamkan, dan tubuhnya habis dimakan sepasang ikan hiu.

Adalah seorang lelaki asing yang datang suatu pagi dengan keributan

itu yang membunuhnya: Maman Gendeng. Ia mem?bu?nuh?nya setelah

per?kelahian tujuh hari tujuh malam yang penuh legenda itu. Awalnya

tak seorang pun percaya bahwa anak bengal itu sungguh-sungguh mati,

tapi kemudian mereka harus segera terbangun dari mimpi buruk. Edi

Idiot, sebagaimana siapa pun, bisa mati dan bisa dibunuh. Mereka sa?

ngat berterima kasih pada orang asing itu, dan Maman Gendeng dengan

cepat diterima sebagai warga kota.

Untuk merayakan hal itu, orang-orang larut dalam pesta yang nyaris

tanpa akhir, yang bahkan tak pernah terkalahkan oleh pesta setelah

atau sebelum peristiwa tersebut. Bahkan pesta 23 September sebagai

hari kemerdekaan di Halimunda tak pernah semeriah itu. Pasar malam

dibuka selama sebulan penuh, dengan rombongan sirkus yang dipenuhi

gajah, harimau, singa, monyet, ular, dan gadis-gadis kecil penari plastik

serta tentu saja badut-badut kate. Di sudut-sudut kota orang bisa me?

nyak?sikan pertunjukan sintren secara cuma-cuma sebagaimana pertun?

jukan kuda lumping. Pemuda-pemuda dan gadis-gadis keluar dalam ro?

mansa tanpa rasa takut gerombolan Edi Idiot akan menggang?gu mereka.

Ayam dan segala jenis ternak dibiarkan berkeliaran di halaman dan

pintu dapur kembali tak terkunci sebagaimana sedia kala selalu begitu.

Bahkan ketika Maman Gendeng memberikan maklumat bahwa tak

seorang lelaki pun kecuali dirinya sendiri boleh meniduri pelacur Dewi

Ayu, mereka tak peduli meskipun jelas itu suatu kerugian tak terampuni.

Mereka menganggap hal itu sebagai hadiah yang cukup layak bagi sang

pahlawan pembunuh Edi Idiot anak Makojah yang menyebalkan.

Namun suatu hari, di tengah udara panas tropis dengan suara sssh

berdengung-dengung di telinga, Maman Gendeng beranjak dari kursi

goyang kayu mahoni yang diwarisinya dari Edi Idiot di ter?minal bis

dan berjalan ke toko terdekat di ujung pasar. Ia me??minta satu krat bir

dingin, demi udara panas keparat, tapi si penjual hanya memberinya

satu botol. Maman Gendeng mengamuk dan memukul etalase toko

hing?ga pecah berantakan, dan mengambil paksa satu krat bir, itu setelah

meng?hajar pemilik toko yang me?nu?rut?nya sama sekali tak beradab. Ia

kembali ke kursi goyangnya, mem?bunuh rasa kering di sekujur tubuhnya

dengan bir rampasan tersebut.

Peristiwa tersebut menghentakkan kesadaran penduduk Ha?li?munda

bahwa segalanya sama sekali tak berubah bagi mereka. Edi Idiot telah

mati, tapi begundal baru telah datang. Namanya Maman Gendeng.

Setelah pesta perkawinan Alamanda yang meriah, Dewi Ayu segera

mengusir pengantin baru tersebut ke rumah mereka yang baru. Ia ter?lalu

dibuat jengkel oleh peristiwa-peristiwa mendadak seperti itu, terutama

pada anak sulungnya. Bagaimanapun ia telah meng?ingat?kannya lama

sekali soal kebiasaannya memperlakukan lelaki dengan cara yang sangat

buruk. Tapi Alamanda mewarisi kekeraskepalaan entah dari siapa, dan

kini ia memperoleh batunya.

Ia tak pernah mengira bahwa ia melahirkan gadis-gadis cantik yang

binal. Mereka mengejar laki-laki dan mencampakkannya begitu saja.

Ia telah mengetahui kelakuan buruk Alamanda bahkan sejak gadis itu

mulai mengenal lelaki. Dan tampaknya, perangai buruk itu diwariskan

sepenuhnya pada Adinda. Sebelum ini sebenarnya ia gadis yang sa?ngat

lugu, lebih banyak di rumah daripada berkeliaran. Namun sejak per?

kawinan Alamanda yang mendadak, ia jadi lebih sering menghilang.

Lihatlah gadis itu, kini ia selalu ada di mana pun Partai Komunis me?

lakukan perayaan mereka yang meriah. Adinda mulai mengejar lelaki

yang pernah dimiliki Alamanda: Kamerad Kliwon. Dewi Ayu tak

per??nah tahu apa yang ada di pikiran Adinda. Ia pikir gadis itu akan

mem??balaskan semua sakit hati kakaknya pada lelaki itu. Segalanya

me?nyebalkan untuk dipikirkan.

"Orang-orang memburu kemaluanku," katanya pada diri sendiri,

"dan aku melahirkan gadis-gadis pemburu kemaluan lelaki."

Satu hal yang sangat ia khawatirkan kemudian adalah Maya Dewi

si bungsu. Ia takut anak itu mengikuti kebadungan kedua kakaknya.

Kini ia berumur dua belas tahun. Ia anak yang baik, penurut, dan tak

menampakkan sikap badung sedikit pun. Tangannya jauh lebih banyak

bergerak daripada tangan siapa pun di rumah itu untuk membuat se?

gala??nya menyenangkan. Ia memetik bunga mawar dan anggrek untuk

dipajang pada vas bunga dan diletakkan di meja tamu setiap pagi. Gadis

itu jugalah yang setiap hari Minggu mem?basmi sarang laba-laba di

langit-langit rumah. Guru-guru di sekolah melaporkan perilaku baiknya,

dan ia membuka buku-buku pelajarannya setiap malam sebelum tidur,

mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tapi semuanya bisa berubah se?

bagaimana terjadi pada Adinda, dan itulah yang sangat dikhawatirkan

Dewi Ayu.

"Kawin dengan orang yang tak pernah dicintai jauh lebih buruk

dari hidup sebagai pelacur," katanya suatu ketika pada si bungsu itu.

Dewi Ayu berpikir untuk mengawinkan Maya Dewi secepatnya,

sebelum ia tumbuh dewasa dan menjadi binal. Selama bertahun-tahun

ia selalu memecahkan masalah-masalahnya dengan pikiran cepat, dan

gagasan pertama yang muncul di otaknya selalu merupakan hal yang

kemudian ia lakukan. Ia tak ingin melihat Maya Dewi tumbuh menjadi

gadis dewasa dan menerima nasibnya yang tragis sebagaimana dialami

Alamanda, dan mungkin akan dialami pula oleh Adinda. Tapi ia tak

tahu dengan siapa ia akan mengawinkan gadis dua belas tahun itu,

se?bab ia pun tak ingin memberikan si bungsu pada sembarang orang.

Ia ingin membicarakan hal itu dengan kekasihnya, Maman Gen?

deng. Suatu hari Minggu, mereka bertiga (sejak beberapa waktu lalu,

Alamanda dan Adinda tak pernah lagi ikut tamasya bersama mereka)

pergi ke taman wisata. Di sana mereka bisa ber?santai se?panjang hari,

jajan sepuasnya dan memberi makan rusa-rusa jinak serta berakhir de?

ngan main ayunan. Dewi Ayu melihat Maman Gendeng menggandeng

tangan Maya Dewi ke sana-kemari, sambil menunjuk burung-burung

merak yang bersembunyi di belukar, dan melemparkan kacang polong

pada monyet-monyet yang bergerombol. Dewi Ayu tak peduli pada

kenyataan bahwa ia seolah mereka abaikan keberadaannya. Keduanya

berlari ke pinggir tebing laut dan mencoba menghitung burung-burung

camar yang beterbangan.

Ketika mereka akhirnya pulang dan Maya Dewi menghilang bersama

teman-teman tetangganya, Dewi Ayu akhirnya berkata pada Maman

Gendeng.

"Kawinlah kalian berdua," katanya.

"Siapa?" tanya Maman Gendeng. "Aku dan siapa?"

"Kau dan Maya Dewi."

"Kau gila," kata Maman Gendeng. "Jika ada perempuan yang ingin

aku kawin, maka itu adalah dirimu."

Dewi Ayu menjelaskan kecemasannya, di udara siang yang hangat

dengan segelas limun dingin. Mereka duduk berdua di beranda. Debur

ombak terdengar di kejauhan, dan burung gereja ribut di nok atap ru?

mah. Telah berbulan-bulan mereka menjadi sepasang kekasih, tepatnya

yang satu pelacur dan yang lain pelanggan yang me?mo?no?polinya. Dewi

Ayu tetap bersikukuh bahwa Maya Dewi harus dikawinkan dengan

sese?orang. Karena tak ada lelaki lain yang dekat dengannya, maka

satu-satunya orang yang mungkin kawin dengannya adalah Maman

Gendeng.

"Itu seolah kau tak mau lagi tidur denganku," kata Maman Gendeng.

"Jangan salah kira," kata Dewi Ayu. "Kau boleh mendatangiku di

rumah pelacuran Mama Kalong sebagaimana suami-suami yang lain.

Itu jika kau tak malu pada istrimu."

"Aku harus memikirkan hal seperti ini bertahun-tahun," kata Ma?

man Gendeng bersungut-sungut.

"Cobalah memikirkan orang lain. Orang-orang Halimunda nyaris

mati dan gila mendapati diri mereka tak lagi bisa menyentuh tu?buhku

hanya karena seorang jagoan sepertimu. Dengan me?le?pas?kanku, kau

jadi pahlawan bagi mereka. Dan kau memperoleh peng?ganti yang tak

akan pernah mengecewakan, seorang gadis anak pelacur paling cantik

di kota ini."

"Ia masih dua belas tahun."

"Anjing kawin di umur dua tahun dan ayam di umur delapan bulan."

"Ia bukan anjing dan apalagi ayam."

"Itu karena kau tak pernah pergi sekolah. Semua manusia mamalia

seperti anjing, dan berjalan dengan dua kaki seperti ayam."

Maman Gendeng telah mengenal karakter perempuan itu, paling

tidak ia menganggapnya demikian. Ia tahu Dewi Ayu tak akan mun?dur

dari gagasannya, segila apa pun hal itu. Ia meminum limun dinginnya

dan merasakan tubuhnya menggigil, seolah ia diharuskan berjalan di

jem?batan selebar rambut dibelah tujuh dengan neraka terhampar di

bawahnya.

"Aku tak akan pernah menjadi suami yang baik," keluhnya.

"Jadilah suami yang buruk kalau kau mau."

"Lagipula belum tentu ia mau," kata Maman Gendeng.

"Ia gadis penurut," kata Dewi Ayu. "Ia mendengarkan semua yang

aku katakan, dan terutama aku percaya ia tak keberatan kawin de?

ngan?mu."

"Aku tak mungkin menyetubuhi gadis sekecil itu," kata Maman

Gendeng lagi.

"Kau hanya perlu menunggu lima tahun lagi untuk me?nye?tu?buhi?

nya."

Segalanya seolah telah sampai pada titik kesimpulan bahwa ia

harus mengawini bocah dua belas tahun. Itu benar-benar membuat

Maman Gendeng menggigil hebat. Ia bisa membayangkan orang-orang

berdesas-desus tentang perkawinan aneh semacam itu. Mereka akan

berprasangka buruk bahwa ia telah memerkosanya dan karena itu ia

harus mengawininya. Tak peduli bahwa ia seorang preman begundal,

pikiran jahat semacam itu kenyataannya membuat tubuhnya semakin

menggigil.

"Paling tidak, kawinlah dengannya demi cintamu padaku," kata

Dewi Ayu akhirnya.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu seperti vonis bagi Maman Gendeng. Seperti ada lebah di dalam

tempurung kepalanya, dan capung terbang di dalam perutnya. Ia memi?

num habis limun dinginnya, dan tak berhasil menghilangkan semua

binatang di dalam tubuhnya. Ia bahkan mulai merasa ada belukar

tumbuh di dadanya, semrawut dengan duri menusuk di segala tempat.

Ia seperti pecundang yang tak berdaya, bersandar ke sandaran kursi

de?ngan mata setengah terpejam.

"Mengapa kau mengatakannya begitu mendadak?" tanya Maman

Gendeng.

"Kapan pun aku mengatakannya," kata Dewi Ayu, "akan sama

mendadaknya."

"Berilah aku tempat tidur, aku ingin tidur sejenak," kata Maman

Gendeng.

"Tempat tidurku selalu merupakan milikmu."

Maman Gendeng tidur nyaris selama empat jam dalam tidur yang

lelap dengan dengkur halus. Begitulah caranya melewatkan segala yang

membuat kepalanya diserang lebah dan belukar tumbuh di dadanya

sementara capung terbang di dalam perut. Dewi Ayu melewatkan sore

dengan menyegarkan diri di kamar mandi, dan duduk di ruang tamu

dengan sebatang sigaret dan secangkir kopi menunggu lelaki itu ter?

bangun dari tidurnya. Saat itulah Maya Dewi muncul, berkata bahwa

ia hendak pergi mandi, tapi ibunya menahan dan menyuruhnya duduk

di hadapannya.

"Nak, kau segera akan kawin sebagaimana kakakmu Alamanda,"

kata Dewi Ayu.

"Terdengar seolah kawin merupakan hal yang mudah," kata Maya

Dewi.

"Itu benar. Yang sulit adalah bercerai."

Kemudian Maman Gendeng muncul dari dalam kamar dengan wa?

jah pucat seorang pejalan tidur, duduk di kursi dan seketika muncul rasa

segan memandang gadis kecil di samping ibunya itu. "Aku bermimpi,"

katanya. Tak seorang pun merespons apa yang ia ucapkan. Baik Dewi

Ayu maupun Maya Dewi, keduanya menunggu lelaki itu berkata lebih

lanjut. "Aku bermimpi digigit ular."

"Itu pertanda baik," kata Dewi Ayu. "Kalian akan kawin dan aku

akan segera pergi mencari penghulu."

Demikianlah kemudian Maman Gendeng, kira-kira berumur tiga

puluh tahun, kawin dengan Maya Dewi yang berumur dua belas ta?

hun, di tahun yang sama dengan perkawinan Alamanda dengan Sang

Shodancho. Perkawinan itu dilaksanakan dalam satu upacara singkat

yang sederhana, namun dimeriahkan oleh pergunjingan orang-orang

sekota tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam per?kawinan aneh

tersebut dan mengapa gadis semuda itu harus kawin. Tapi paling tidak

perkawinan itu membuat banyak penduduk Halimunda, yang lelaki

tentu saja, berbahagia sebab kini mereka bisa memperoleh Dewi Ayu

kembali di rumah pelacuran Mama Kalong.

Dewi Ayu mewariskan rumah dan kedua pembantunya pada pe?

ngantin baru tersebut, sementara ia dan Adinda pindah ke rumah lain.

Mereka membeli rumah di satu perumahan baru dengan rumah-rumah

lama peninggalan orang-orang Jepang yang direnovasi. Dewi Ayu

menyukai rumah-rumah peninggalan orang Jepang, terutama karena

bak mandinya yang besar nyaris menyerupai kolam renang.

"Jika kau pun ingin kawin, katakan saja," katanya pada Adinda.

"Aku tak setergesa-gesa itu," kata Adinda. "Kiamat masih jauh."

Sementara itu, sebelum mereka sungguh-sungguh pindah, Dewi Ayu

mempersiapkan kamar pengantin yang megah dengan aroma melati dan

anggrek mengambang di udara. Tempat tidurnya baru datang siang tadi

dipesan langsung dari toko, kasur terbaik di kota itu dengan teknologi

kawat per, dan kelambu nyamuk warna merah muda terpasang berlipatlipat. Dinding kamar dipenuhi hiasan kertas krep dan bunga-bunga tiru?

an. Tapi sesungguhnya itu semua sia-sia sebab pasangan pengantin itu tak

pernah sungguh-sungguh mem?per?oleh malam pertama mereka saat itu.

Maya Dewi telah mengenakan pakaian tidurnya dan melompat

ke atas tempat tidur baru tersebut dengan keriangan kekanak-ka?nak?

annya. Ia nyaris melompat-lompat di atas kasur untuk menguji per?nya,

persis sebagaimana dilakukan ibunya bertahun-tahun lalu di tempat

pelacuran orang-orang Jepang. Ketika ia sudah lelah me?nga?gumi kasur

dan kamarnya yang semarak, ia berbaring memeluk gu?ling menanti

pengantinnya datang. Maman Gendeng muncul dalam kekikukan yang

tak dapat ditafsirkan. Ia tidak langsung melompat ke atas tempat tidur,

merengkuh tubuh istrinya dan me?merkosanya tanpa ampun sebagai?

mana kebanyakan pengantin baru akan melakukannya secara sembrono,

sebaliknya ia justru menarik kursi ke samping tempat tidur dan duduk

di atasnya. Ia me?mandang wajah gadis kecil itu dengan tatapan seorang

lelaki yang melihat kekasihnya mati, mengakui kecantikan kecilnya

begitu memesona, satu hal yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya.

Rambutnya hitam mengilau, mengembang di bawah kepalanya di atas

permukaan bantal. Matanya yang balas menatap dirinya begitu jernih

dan kekanak-kanakan. Hidung dan bibirnya dan segalanya begitu me?

nakjubkan. Tapi lihatlah, semuanya masih begitu mungil. Tangannya

masihlah tangan seorang gadis kecil, begitu pula betisnya. Bahkan ia bisa

melihat di balik pakaian tidur itu dadanya belum juga tumbuh secara

sempurna. Ia tak mungkin menyetubuhi gadis kecil yang tampak tak

berdosa seperti itu.

"Kenapa kau diam saja?" tanya Maya Dewi.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Maman Gendeng balik ber?

tanya, dalam nada mengeluh.

"Paling tidak dongengilah aku."

Maman Gendeng tak pandai mendongeng, dan ia tak bisa merekareka sebuah cerita, maka ia mendongeng apa yang pernah ia dengar:

tentang Putri Rengganis.

"Jika kita punya anak perempuan, berilah ia nama Rengganis," kata

Maya Dewi.

"Itulah yang kupikirkan."

Demikianlah setiap malam berlalu dengan cara yang sama: Maya

Dewi akan berbaring terlebih dahulu dengan pakaian tidurnya, ke?mu?

dian Maman Gendeng muncul dengan tatapan kebingungan yang sama.

Ia menarik kursi dan menatap pengantinnya dalam wajah sendu yang

terulang dan Maya Dewi kemudian memintanya men?dongeng. Bahkan

dongeng yang ia ceritakan selalu sama pula, ten?tang Putri Rengganis

yang kawin dengan anjing. Nyaris sama persis kalimat per kalimat. Tapi

tampak keduanya melewati malam-malam seperti itu sebahagia banyak

pengantin, dan meskipun mereka mengulang terus kekonyolan yang

sama tersebut, tak tampak ke?bo?sanan sedikit pun di wajah mereka. Se?

belum dongeng selesai, biasanya Maya Dewi telah jatuh tertidur dengan

pulas. Maman Gendeng kemudian akan menyelimutinya, menutup

ke?lambu nyamuk, me?ma?tikan lampu dan menggantinya dengan lampu

tidur. Setelah me?mandang sejenak wajah tidur yang penuh kedamaian

itu, ia segera beranjak keluar kamar, menutup pintunya perlahan, dan

naik ke lantai dua tidur di kamar kosong sendirian sampai pagi hari

istri?nya datang membangunkannya dengan secangkir kopi hangat.

Itu terus berlanjut bahkan sampai Dewi Ayu dan Adinda pindah dan

keduanya menertawakan kekonyolan itu di rumah baru mereka.

Maman Gendeng memulai kebiasaan barunya. Ia bangun pagi dan

meminum kopi dari istrinya. Setengah jam kemudian Mirah telah

meng?hidangkan sarapan pagi, dan mereka berdua akan duduk di meja

makan sebagaimana kebanyakan keluarga bahagia. Awalnya itu meru?

pakan gangguan yang menyedihkan bagi Maman Gendeng, sebab sang

preman punya kebiasaan untuk bangun agak siang. Tapi setelah sarapan

pagi, istrinya membebaskan ia untuk kembali ke tempat tidur, maka ia

melanjutkan tidur paginya yang terganggu. Lebih lelap dengan perut

kenyang. Maman Gendeng akan terbangun sekitar pukul sepuluh, dan

ia akan menemukan pakaian yang tersetrika rapi di samping tempat

tidurnya. Maka ia harus pergi ke kamar mandi, sesuatu yang jarang ia

laku?kan, dan mengenakan pakaian itu. Terasa aneh baginya sendiri

me?lihat ia memakai kemeja dengan pantalon yang dihiasi lipatan lurus

hasil setrika di depan cermin. Namun demi menjaga perasaan istrinya,

ia mengenakan pakaian ter?sebut dan segera pergi ke terminal bis tem?

patnya yang paling sejati setelah mencium dahi istrinya di muka pintu.

Namun lama-kelamaan semua itu tak lagi menjadi gangguan mes?

kipun teman-temannya di terminal bis melihat penampilannya de?ngan

cara yang aneh. Ia mulai sering merindukan rumahnya, me?rindukan

istrinya, dan jika sore hari datang, ia tak pernah me?nunggu malam se?

gera muncul, dan segera pulang ke rumah.

Setelah satu bulan perkawinan mereka berlalu, suatu malam Maya

Dewi bertanya kepadanya:

"Bolehkah aku kembali ke sekolah?"

Pertanyaan itu mengejutkannya. Tentu saja, bagaimanapun ia masih

anak sekolah. Semua gadis dua belas tahun seharusnya ada di sekolah

dari pagi sampai siang. Tapi bagaimanapun ia telah jadi istri orang. Ia

belum pernah mendengar seorang perempuan bersuami masih duduk di

bangku sekolah. Hal itu membuatnya berpikir lama, hingga kemudian ia

menyadari perkawinan mereka belumlah sungguh-sungguh sebagaimana

perkawinan semua orang. Ia belum pernah menyetubuhi istrinya, dan

tak ada niat untuk itu. Mungkin ada baiknya memang mengembalikan

ia ke sekolah.

"Tentu saja, kau harus kembali ke sekolah."

Itu kemudian menjadi masalah dengan sekolah. Mereka tak mau

menerima perempuan bersuami duduk di bangku sekolah, sebab mereka

khawatir itu berpengaruh buruk pada anak-anak yang lain. Maman

Gen?deng dipaksa untuk datang ke sekolah, bernegosiasi dengan kepala

sekolah agar istrinya diperkenankan kembali belajar. Negosiasi itu

berakhir dengan cara yang sangat buruk, di mana ia harus menyeret

sang kepala sekolah ke dinding ruangan, dan ia me?robohkan dua guru

yang mencoba membantu sang kepala sekolah. Kelak bertahun-tahun

kemudian ia harus melakukan hal yang sama ketika sekolah menolak

menerima anak gadisnya, Rengganis Si Cantik.

Setelah pemaksaan yang tanpa ampun itu, sekolah akhirnya me?

nerima kembali Maya Dewi.

Perkawinan mereka berjalan damai sebagaimana sebelumnya. Di

pagi hari, sebagaimana biasa, Maman Gendeng akan dibangunkan

Maya Dewi dengan secangkir kopi dengan keharuman kopi Lampung

yang ditumbuk langsung begitu kering. Perbedaannya, kini Maya Dewi

telah mengenakan seragam sekolahnya. Di meja makan, mereka akan

sarapan pagi dan tampak bagi kedua pembantu mereka seperti seorang

ayah tanpa istri dan seorang gadis tanpa ibu. Pada pukul tujuh kurang

seperempat, Maya Dewi telah bersiap dengan tas sekolahnya. Ia be?

rangkat setelah Maman Gendeng mencium dahinya, dan sementara

ia menuju sekolah, Maman Gendeng kembali melanjutkan tidurnya.

Siang hari sepulang sekolah Maman Gendeng tak akan ada di rumah,

maka Maya Dewi membereskan segala sesuatu yang bisa di?per?buatnya.

Di malam hari, ketika mereka berkumpul kembali selepas makan malam,

Maya Dewi akan menghadapi meja belajarnya dan suntuk dengan

pekerjaan-pekerjaan rumah yang dibebankan guru-guru sekolahnya.

Maman Gendeng sama sekali tak bisa membantu dalam hal itu, kecuali

duduk menemaninya dengan kesabaran seorang kekasih sejati. Rutinitas

tersebut akan berakhir sekitar pukul sembilan malam. Itu waktunya tidur,

maka tak ada lagi dongeng tentang Rengganis Sang Putri yang kawin

dengan anjing. Maya Dewi mengenakan pakaian tidurnya dan berbaring

di atas tempat tidur. Maman Gendeng datang untuk menyelimutinya,

menurunkan kelambu, mematikan lampu ruang?an dan menyalakan

lampu tidur, lalu berkata, "Selamat malam."

"Selamat malam," Maya Dewi membalas sebelum memejamkan
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata.

Sejauh itu tetap tak ada persetubuhan. Bahkan hingga satu tahun

berlalu.

Hari itu Maman Gendeng menemui Dewi Ayu di rumah pelacuran

Mama Kalong. Ia datang ke kamarnya sebagaimana dahulu kala sering

ia lakukan. Satu-satunya tamu Dewi Ayu telah pergi.

"Kenapa kau datang kemari?" tanya Dewi Ayu.

"Aku tak bisa menahan berahiku."

"Kau punya istri."

"Ia begitu mungil untuk dicelakai. Begitu tanpa dosa untuk di?sentuh.

Aku ingin meniduri mertuaku sendiri."

"Kau benar-benar menantu celaka."

Malam itu mereka bercinta sampai pagi datang.

Persahabatan aneh antara Maman Gendeng dan Sang Shodancho

terjadi di meja permainan kartu truf di tengah pasar. Persahabatan

aneh sebab sejak Sang Shodancho meniduri Dewi Ayu dan Maman

Gendeng datang ke kantor rayon militer, permusuhan telah tertanam

begitu abadi jauh di dalam diri mereka. Hal ini diperparah oleh kenya?

taan bahwa para preman anak buah Maman Gendeng selalu memiliki

banyak masalah dengan para prajurit, terutama prajurit-prajurit anak

buah Sang Shodancho.

Prajurit-prajurit itu tak suka membayar di tempat pelacuran, pa?dahal

para preman ada di sana untuk menghadang siapa saja yang meniduri

pelacur tanpa membayar. Mereka, para prajurit itu, juga tak suka bayar

di kedai-kedai minum. Sebenarnya pemilik kedai minum tak terlalu

men?jadikan hal itu masalah, sebab mereka tak pernah minum terlalu

banyak, tapi para preman penghuni kedai mi?num merasa itu menampar

pipi mereka. Belum lagi urusan-urusan di mana rayon militer kadang

menangkap salah satu dari mereka, hanya karena kedapatan mabuk

dan melempar kaca toko, dan memukuli orang itu di belakang kantor

mereka sebelum mele?pas?kannya dalam keadaan babak belur. Itu semua

memancing per?kelahian-perkelahian kecil di antara prajurit-prajurit

Sang Shodancho dengan gerombolan Maman Gendeng.

Namun sejauh ini masalah-masalah tersebut selalu bisa dise?le?saikan.

Jika seorang preman ditangkap prajurit dan dihajar hingga babak belur,

gerombolan itu akan menangkap seorang prajurit yang lewat di jalan

dan menghajarnya beramai-ramai di kebun cokelat. Jika salah satu

preman ditangkap dan ditahan, Maman Gendeng akan datang untuk

membebaskannya dengan sedikit tebusan uang un?tuk menyogok mulut

prajurit-prajurit tersebut. Di antara per?selisihan tersebut, adalah para

polisi yang lebih suka duduk di pos mereka masing-masing dan angkat

tangan untuk semua urusan itu.

Banyak penduduk kota berharap Sang Shodancho bisa me?nye?lesai?

kan musuh masyarakat itu dengan segera, namun sebagaimana terjadi

pada Edi Idiot beberapa waktu lalu, harapan mereka hanyalah omong

kosong. Terutama di hari-hari belakangan ketika Sang Shodancho

harus menghadapi keadaan keluarganya sendiri yang ber?masalah, serta

tuntutan-tuntutan Serikat Nelayan atas bisnis penangkapan ikannya.

Ia sama sekali tak ada waktu untuk memikirkan Maman Gendeng dan

teman-temannya. Itu adalah waktu-waktu di mana popularitas Sang

Shodancho sebagai pahlawan kota anjlok sampai tingkat ketidak?

percayaan orang kepadanya, dan sebaliknya, mereka mulai curiga

bahwa pihak militer justru bersekongkol dengan para preman itu untuk

membuat segala kekacauan ini. Terutama jika meng?ingat kedua orang

tersebut, Sang Shodancho dan Maman Gendeng, keduanya menantu

Dewi Ayu belaka.

Keadaan sedikit kacau ketika suatu hari seorang prajurit dari rayon

militer terlibat perkelahian dengan seorang penjaga rumah pelacuran

Mama Kalong. Perselisihan itu berawal dari seorang gadis kampung

yang diperebutkan oleh keduanya. Mereka berkelahi di jalanan, dan

per?kelahian itu berakhir dengan datangnya teman-teman kedua orang

itu. Perkelahian dua orang meningkat menjadi tawuran hebat sekelom?

pok prajurit melawan segerombolan preman.

Entah bagaimana hal itu bermula, namun satu jam perkelahian mas?

sal itu mengakibatkan tumbangnya belasan pohon-pohon pe?lindung

jalan, hancurnya jendela-jendela kaca etalase toko, dua mobil terbalik

rusak parah. Sementara itu batu-batu besar dan ban mobil bekas yang

dibakar bergeletakan di jalanan, dan gardu polisi hangus terbakar.

Penduduk kota dilanda teror menakutkan membuat tak seorang

pun berani menampakkan diri keluar dari rumah mereka. Perkelahian

itu berlangsung di sepanjang Jalan Merdeka yang ramai. Di satu sudut,

gerombolan para preman tampak berjaga-jaga dengan pedang dan

samurai peninggalan orang-orang Jepang. Juga kelewang, pentungan

besi, golok, batu, bensin, dan botol-botol molotov. Mereka bah?kan

me?nguasai granat tangan dan senapan peninggalan para veteran gerilya?

wan tentara revolusioner. Sementara itu di sudut jalan yang lain, para

prajurit, tak hanya dari rayon militer Sang Shodancho tapi bahkan

mereka memperoleh bantuan dari semua pos militer di kota itu, juga

ber?jaga-jaga dengan senapan penuh berisi peluru.

Hari itu keadaan begitu sunyi seolah kota telah ditinggalkan pen?

duduknya selama bertahun-tahun. Kesunyian yang mencekam itu me?

rembet ke seluruh kota dalam ketakutan bahwa perang saudara pada

akhirnya akan pecah di kota itu, yang bahkan belum memperoleh

masa damainya sejak perang bertahun-tahun lalu. Banyak penduduk

muak dengan para preman dan jika perang pecah mereka pasti akan

ber?gabung dengan prajurit-prajurit itu. Namun banyak juga penduduk

yang muak dengan prajurit-prajurit yang sering jual tampang itu dan

jika perang pecah mereka pasti akan membantu para preman. Mereka

pada akhirnya akan saling membunuh tanpa sisa.

Sepanjang sore bunyi letusan granat dan molotov serta tembakan

senapan terdengar berdesing-desing di atas jalan, di antara toko-toko dan

rumah-rumah. Orang tak ada yang tahu apakah pertempuran ter?sebut

telah memakan korban nyawa atau belum. Sang Shodancho tam?paknya

terlambat mengetahui keadaan darurat tersebut disebabkan urusanurusan rumah tangga yang tak terselesaikan, dan merasa jengkel pada

kenyataan bahwa seorang gadis kampung bisa me?nim?bulkan kehancuran

sebuah kota. Ia bertekad akan mengurung prajurit celaka itu selama tujuh

hari tujuh malam tanpa makan dan minum, tak peduli ia akan mampus

karenanya. Tapi sebelum itu ia harus menghindari kekacauan yang lebih

luas dan lebih mengerikan. Maka ia segera me?ngirim prajuritnya yang

paling dipercaya, Tino Sidiq untuk bicara dengan Maman Gendeng

dalam satu upaya gencatan senjata dan perjanjian damai.

Maman Gendeng yang tengah menikmati masa-masa bahagia

per?kawinannya yang aneh, juga baru mendengar soal pertempuran di

Jalan Merdeka tersebut, namun tampaknya ia tak peduli. Sebaliknya,

ia merasa jengkel bahwa orang masih mengganggunya dalam satu upaya

membangun kehidupan yang bahagia, membayar tahun-tahun?nya yang

sunyi dan tanpa tujuan. Ia percaya sepenuh hati keributan itu pasti ber?

awal dari kekurangajaran prajurit-prajurit itu, paling tidak menurutnya.

Tapi istrinya yang baru berumur dua belas tahun itu, meyakinkan

dirinya bahwa ia bisa menyelesaikan kerusuhan yang melanda kota.

Men?dengar saran istrinya, Maman Gendeng akhirnya pergi setelah ia

dan Tino Sidiq memperoleh kesepakatan ia dan Sang Shodancho akan

bertemu di satu tempat netral, di antara terminal bis dan rayon militer.

Tempat itu adalah pasar.

Mereka mengusir empat orang laki-laki yang terdiri dari pedagang

ikan asin, penarik becak, kuli angkut dan seorang suami dari pedagang

pakaian, yang tengah mengelilingi sebuah meja di tengah pasar memain?

kan kartu dengan taruhan uang-uang logam yang bergemerincing dari

sudut ke sudut meja. Para pemain kartu me?nyingkir berdiri menonton di

tempat penjual daging ayam, begitu Sang Shodancho akhirnya muncul

pula. Aktivitas pasar di sekitar itu tiba-tiba berhenti karena baik peda?

gang maupun pembeli sama-sama berhenti, menunggu apa yang akan

disepakati kedua orang yang menjadi kunci apakah perang saudara yang

mengerikan itu akan pecah sore ini atau ditunda sampai tahun-tahun

atau bahkan berabad-abad yang akan datang.

Sang Shodancho meminta para preman itu segera mundur dan me?

nyerahkan semua senjata karena hanya tentara yang berhak mem?per?

gunakan senjata. Tapi Maman Gendeng keberatan karena me?nu?rutnya

terbukti bahwa para prajurit itu kemudian mempergunakan senjata

mereka secara sewenang-wenang. Sang Shodancho akhirnya berkata

lagi:

"Wahai sahabatku, kita tak bisa menyelesaikan masalah ini dengan

cara pertengkaran anak-anak semacam itu," katanya dan melanjutkan,

"Baiklah untuk sementara tak akan ada pelucutan senjata, tapi suruh

mereka segera menyingkir dari jalan-jalan dan tak boleh ada kerumun?

an-kerumunan dan pemecahan kaca-kaca jendela toko lagi."

"Wahai Shodancho," kata Maman Gendeng, "juga tak ada pere?

but?an gadis orang oleh seorang prajurit bersenjata tak peduli itu gadis

kampung sekalipun. Dan para prajurit sebagaimana semua laki-laki di

kota ini juga harus membayar sebagaimana biasa di rumah pelacuran

setiap kali mereka bercinta, dan membayar pula di kedai minum setiap

kali mereka minum, dan membayar bis setiap kali mereka bepergian.

Di sini tak ada anak emas, Shodancho."

Sang Shodancho menarik napas berat, mengeluhkan soal kekurang?

an pendapatan para prajurit yang dibayarkan pemerintah republik,

sementara bisnis yang ia jalankan dan juga dijalankan oleh rayon

militer serta militer kota itu, keuntungannya lebih banyak diambil para

jenderal di ibukota. "Jadi sahabatku, aku akan memberi tawaran yang

mungkin tidak menarik tapi kita bisa keluar dari masalah rumit ini,"

kata Sang Shodancho akhirnya.

"Katakanlah."

"Jadi sahabatku," kata Sang Shodancho. "Ini mungkin bisa disepa?

kati bahwa kalian, orang-orang gembel, itu menyerahkan se?bagian yang

kalian peroleh dengan cara apa pun itu untuk para prajurit, supaya

mereka bisa membayar pelacur dan mabuk sampai puas."

Maman Gendeng berpikir sejenak dan tampaknya ia tak keberatan

memotong sedikit apa yang diperoleh anak buahnya dengan janji bahwa

para prajurit itu tak akan mengganggu mereka apa pun yang terjadi,

ber?sepakat hidup damai saling menguntungkan.

Kesepakatan itu akhirnya dicapai setelah bisik-bisik yang tak dide?

ngar orang-orang seluruh pasar yang hanya melihat mulut me?reka

ber?gerak-gerak. Mereka memandang dengan penuh rasa penasaran,

namun semuanya tiba-tiba selesai dan orang-orang terdekat Maman

Gendeng serta Sang Shodancho segera menyebar memberita?hukan

bahwa gencatan senjata mulai berlaku sejak pukul empat sore itu juga.

Para prajurit harus kembali ke pos mereka masing-masing dan begitu

pula para preman kembali ke tempat tongkrongan mereka. Yang terting?

gal kini hanyalah Maman Gendeng dan Sang Shodancho yang masih

duduk di kursi mereka di tengah pasar, sama-sama menarik napas lega

seolah telah terbebas dari mulut harimau, bersandar ke sandaran kursi

sampai Sang Shodancho bertanya:

"Apakah kau bisa bermain truf?"

"Aku sering memainkan truf bersama sahabat-sahabatku di kursi

tunggu penumpang terminal bis," jawab Maman Gendeng.

Maka mereka mengundang si penjual ikan asin dan si kuli ang?kut

untuk menemani mereka bermain truf dan itulah awal persahabatan

mereka yang aneh di meja permainan kartu. Banyak persoalan yang

melanda para prajurit dan preman diselesaikan ke?duanya di sana secara

diam-diam. Bayarannya tak terlampau mahal: mereka hanya kehilang?

an beberapa uang logam jika kalah dan tak seberapa menyenangkan

jika memenangkan permainan. Selepas itu mereka memulai kebiasaan
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru untuk bertemu di meja yang sama sekitar tiga kali dalam seminggu

bahkan sampai bertahun-tahun ke?mudian. Bukan rahasia bagi mereka

jika keduanya selalu berusaha saling mencurangi dan saling menga?

lah?kan. Kadang-kadang mereka bermain dengan suami si pedagang

pakaian, dengan tukang obat, kuli angkut, tukang becak, tukang jagal

daging, pedagang ikan asin, pengantar barang, atau siapa pun yang bisa

ditemui di pasar dan tahu bagaimana memainkan permainan kartu truf.

Tapi jika Sang Shodancho ada di sana maka Maman Gendeng juga

ada di sana, dan begitu pula sebaliknya. Satu persahabatan yang aneh,

sekali lagi, karena jauh di dalam hati keduanya, mereka tetap tak sa?

ling menyukai satu sama lain. Maman Gendeng masih dendam pada

kelancangan Sang Shodancho untuk meniduri pelacur Dewi Ayu yang

dicintainya dan Sang Shodancho masih menyimpan dendam karena

laki-laki di depannya itu sungguh lancang berani mengancam di kantor?

nya sendiri tanpa memedulikan bahwa ia adalah penguasa di rayon

militer setempat, orang yang bahkan pernah ditunjuk presiden republik

sebagai Panglima Besar.

Namun persahabatan itu diterima penduduk kota dalam satu ke?

gamangan. Mereka bersyukur bahwa segala persoalan di kota itu bisa

diselesaikan di meja permainan kartu dengan demikian mudah, tapi

menjadi cukup menjengkelkan sebab kemudian mereka mulai menya?

dari bahwa telah terjadi konspirasi licik antara para prajurit dan para

preman untuk menikmati uang yang diperas dari sebagian besar warga

kota. Kesadaran yang sama muncul bahwa kini mereka tak punya siapa

pun kepada siapa mereka akan mengadu. Jangan harap mereka memo?

hon pada polisi yang kerjanya hanya meniup peluit di perempatan jalan.

Itu adalah waktu ketika Partai Komunis kemudian menjadi satusatunya tempat mereka berpaling, terutama kepada Kamerad Kliwon.

Keduanya, Kamerad Kliwon dan Partai Komunis, memperoleh puncak

reputasinya yang paling mengguncangkan semua partai yang ada di

masa itu di Halimunda.

Sementara itu persahabatan Sang Shodancho dan Maman Gendeng

terus berlanjut. Bahkan di hari-hari belakangan pertemuan di meja

kartu truf tak lagi dipergunakan untuk membicarakan perkelahian

antara prajurit dan preman atau pembagian yang adil dari pendapatan

mereka, tapi Sang Shodancho mulai mengeluhkan masalah-masalahnya

bagaikan mencurahkan isi hati pada seorang sahabat lama. Itu biasa?nya

mereka lakukan dalam perbincangan berdua saja setelah usai permainan

kartu dan para pedagang di pasar telah mulai menutup pintu-pintu kios

mereka serta pulang ke rumah masing-masing. Begitulah kadang mereka

membicarakan Kamerad Kliwon. Sang Shodancho hampir selalu per?

caya bahwa laki-laki itu tak sung?guh-sungguh seorang komunis tapi

hanya melampiaskan dendam karena kekasihnya Alamanda kini kawin


Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie

Cari Blog Ini