Ceritasilat Novel Online

Cantik Itu Luka 7

Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 7

dengan Sang Shodancho. Hal ini membuat Maman Gendeng tertawa

mendengar drama semacam itu (meskipun sesungguhnya ia telah tahu

peristiwa tersebut) dan mengajukan pendapat bahwa tak seharusnya

memang merebut kekasih orang lain. Sebab ia pun pernah merasa be?

gitu sakit hati ketika mendengar Sang Shodancho meniduri Dewi Ayu.

Mendengar hal itu Sang Shodancho memerah mukanya, lalu matanya

berkaca-kaca bagaikan anak kecil kehilangan ibunya.

"Aku orang sial yang kesepian di dunia yang hiruk-pikuk ini," kata?

nya. "Aku masuk latihan militer Jepang di pasukan Seinendan pa?da

umur belasan tahun sebelum jadi shodancho. Memberontak me?lawan

mereka dalam satu gerilya berbulan-bulan sebelum mendengar mereka

menyerah. Hidupku dihabiskan dari satu perang ke perang lain, bahkan

perang melawan babi. Aku lelah dengan semua itu." Maman Gendeng

memberikan saputangan yang selalu diselipkan Maya Dewi ke saku

celananya pada Sang Shodancho, dan Sang Shodancho mengeringkan

matanya yang basah. "Aku ingin hidup sebagaimana orang lain. Men?

cintai dan dicintai."

"Kau begitu dicintai anak buahmu," kata Maman Gendeng.

"Dan kau tahu aku tak mungkin mengawini mereka."

"Paling tidak sekarang kita sama-sama punya istri yang begitu

cantik."

"Tapi malang bagiku, aku kawin dengan seorang perempuan yang

pernah mencintai lelaki lain, dan cinta seperti itu mungkin tak mudah

untuk hilang."

"Mungkin benar," kata Maman Gendeng. "Aku pernah lihat lelaki

itu, Kamerad Kliwon, di depan gerombolan nelayan. Ia sangat simpatik

dan bersusah-payah memikirkan nasib buruk orang lain. Aku kadang

merasa iri hati kepadanya, dan kadang berpikir ia adalah satu-satunya

orang di kota ini yang memandang masa depan dengan penuh harap?an."

"Begitulah orang komunis," kata Sang Shodancho. "Orang-orang

malang yang tak tahu bahwa dunia telah ditakdirkan menjadi tempat

sebusuk-busuknya. Itulah satu-satunya alasan kenapa Tuhan menjanji?

kan sorga sebagai penghibur manusia-manusia yang malang."

Lalu pembicaraan itu kemudian membuat mereka lupa bahwa hari

telah menjadi gelap. Ketika mereka menyadarinya mereka segera berdiri

dan saling memeluk dan mengucapkan sampai jumpa sebelum pulang

ke arah yang berlawanan. Ke rumah dan istri mereka masing-masing.

Suatu hari berita buruk datang: Mirah dan Sapri memutuskan ber?

henti bekerja dari rumah mereka sebab setelah bertahun-tahun tibatiba mereka menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta satu sama lain

dan kini mereka akan saling mengawini dan hidup di kampung sebagai

petani. Maman Gendeng agak kelabakan bagaimana ia harus mem?

peroleh pembantu yang baru sebab istrinya masihlah bocah ingusan.

Tapi kenyataannya jauh dari yang ia duga. Hari pertama tanpa kedua

pembantu itu, ketika ia pulang selepas permainan kartu truf dengan

Sang Shodancho dan hari telah menjadi gelap, ia mendapati istrinya

telah menyiapkan makan malam mereka.

"Siapa yang memasak ini semua?" tanyanya kebingungan.

"Aku."

Tak lama setelah itu ia baru menyadari bakat luar biasa istrinya

sebagai ibu rumah tangga. Ia tak hanya menyediakan pakaian-pakaian

yang rapi tersetrika dan bahkan wangi untuk ia kenakan, ia bahkan

memasak semua masakan yang mereka makan dan ia rasakan begitu

nikmat di lidah. Dewi Ayu telah mengajarinya sejak ia masih kecil,

begitu Maya Dewi menjelaskan. Ia bahkan pandai membuat roti. Ia

me?lakukan beberapa eksperimen kecil dengan kue-kue kering dan

membagikannya pada tetangga. Maya Dewi menjadi satu-satunya duta

keluarga itu untuk berhubungan dengan orang-orang di sekitar rumah

mereka sebab Maman Gendeng sama sekali tak bisa diharapkan meng?

ingat reputasi buruknya di telinga setiap orang. Kue-kue itu sungguh

memberi banyak keberuntungan, sebab tak lama kemudian seorang

tetangga memesan kue-kue kering bikinannya untuk hajatan sunat

anak lelaki mereka. Sejak itu pesanan-pesanan baru datang. Maya

Dewi melakukannya sepulang sekolah dan perekonomian keluarga itu

tampaknya tak bakalan mencemaskan.

Melihat semua itu, tiba-tiba Maman Gendeng begitu menyesal telah

pergi ke rumah pelacuran Mama Kalong untuk tidur dengan mertuanya

sementara ia memiliki istri yang begitu mengagumkan.

Suatu malam ia kembali ke rumah pelacuran Mama Kalong dan

menemui Dewi Ayu, yang tak terkejut dengan kedatangannya dan

bertanya dengan tawa kecil, "Apakah kau belum menyentuh istrimu

dan menginginkan tubuh mertuamu?"

"Aku datang hanya untuk mengatakan bahwa aku tak akan lagi

menyentuhmu."

Itu baru mengejutkan Dewi Ayu, dan ia bertanya, "Kenapa?"

"Dengan memiliki istri seperti anak bungsumu, aku tak ingin me?

nyentuh perempuan mana pun lagi."

Maman Gendeng segera pergi meninggalkan Dewi Ayu, rindu pa?da

rumah dan istrinya.

elepas ia mengantarkan potongan-potongan kayu bakar dari po?

hon ketapang ke rumah Alamanda, Kamerad Kliwon kembali

ber??gabung dengan teman-temannya di pantai. Sejak kecil pantai te?

lah akrab dengannya. Ia anak nelayan, meskipun ayahnya mati tidak

se??ba??gai nelayan, dan ia hidup bersama nelayan. Pergi ke laut sama

sering dengan anak-anak nelayan lainnya. Nyaris mati tenggelam sama

se?ringnya dengan petani tertebas golok. Ia tak ingin kembali ke kan?

dang jamur, tempatnya terakhir kali bekerja, sebab tempat itu terlalu

ba?nyak mengingatkannya pada Alamanda, dan ia tak mau mengenang

hal-hal yang pahit.

Bersama dua teman lamanya, ia membangun sendiri gubuk kecil

mereka di pinggir pantai, di balik belukar pandan. Bersama Karmin dan

Samiran, mereka pergi melaut di malam hari dan hasilnya dibagi dua

dengan pemilik perahu. Di siang hari, setelah tidur pendek, ia mem??

pelajari buku-buku Marxis dan mengajarkan apa yang di?ke?ta?huinya

pada kedua sahabatnya itu. Ia masih pergi ke markas Partai di Jalan

Belanda, dan kini ia bahkan melakukan korespondensi de?ngan banyak

orang komunis, terutama di ibukota. Selama masa-masa singkatnya di

Jakarta, ia sempat mengikuti sekolah partai, dan memperoleh banyak

kenalan dari sana.

Teman-teman korespondensinya mengirimi banyak terbitan ber?

kala, majalah, dan Partai kemudian mengirimkan koran pula secara

teratur ke gubuk tersebut. Buku-buku mulai menumpuk di salah satu

sudut gubuk mereka, membuatnya bisa mempelajari langsung apa yang

dikatakan Marx dan Engels dan Lenin dan Trotsky dan Ketua Mao,

serta pamflet-pamflet yang ditulis orang lokal semacam Semaun dan

Tan Malaka. Beberapa dari penulis-penulis itu, seperti Trotsky dan Tan

Malaka, sesungguhnya agak sedikit terlarang, na?mun seseorang di Partai

mengusahakan buku-buku mereka khusus untuknya.

Waktu itu ia belum sungguh-sungguh anggota Partai, sekadar calon

anggota. Ia mempelajari semua yang diperlukan seorang diri, melalui

buku-buku dan terbitan-terbitan berkala tersebut. Ia juga mengikuti

kur?sus-kursus politik yang diadakan Partai dengan rajin, tampil di po?

dium jika diberi kesempatan. Ia mengorganisir para nelayan dan buruh

perkebunan. Enam bulan setelah perkawinan Alamanda, ia telah dite?

rima sebagai anggota penuh Partai Komunis, setelah para ketua di mar?

kas Partai menyimpulkan bahwa ia kader terbaik di wilayah tersebut. Ia

memperoleh tugas pertamanya untuk me?ngumpulkan prajurit-prajurit

sisa gerilyawan tentara revolusioner, sebagian besar merupakan orangorang komunis. Mereka pernah ber?tempur di masa perang, bersama

de?ngan prajurit-prajurit Sang Shodancho, tercerai-berai setelah pem?

berontakan yang gagal bertahun-tahun lalu, dan kini bergabung kembali

dengan Partai dalam satu romantisme dan nostalgia terhadap revolusi.

Serikat Nelayan berdiri di sekitar waktu itu, dengan Samiran serta

Karmin sebagai anggota pertama dan Kamerad Kliwon sebagai ketua.

Dalam waktu dua minggu jumlah anggotanya mencapai lima puluh

tiga orang, dan dengan cepat hampir seluruh nelayan telah tergabung

dalam Serikat Nelayan. Setiap hari Minggu, di saat semua nelayan tak

melakukan aktivitas yang berarti, mereka berkumpul di pelataran pe?

lelangan, persis di samping pelabuhan. Pada saat seperti itu, Kamerad

Kliwon akan memberikan propaganda partai dan terutama menjelaskan

apa ancaman yang datang dari kapal-kapal penangkap ikan besar bagi

kehidupan mereka.

Propaganda partai tak hanya diberikan Kamerad Kliwon pada ke?

sem?patan seperti itu saja, sebab kini semua upacara nelayan diurus oleh

Serikat. Kamerad Kliwon akan berpidato sejenak dengan mengutip

bebe?rapa kalimat dari Manifesto sebelum kepala sapi dilemparkan ke

tengah laut untuk persembahan kepada Ratu Laut Kidul. Ia melakukan?

nya juga pada upacara pemakaman seorang nelayan yang mati dihantam

ombak, melakukannya juga ketika para nelayan mengadakan syukuran

atas cuaca yang baik dengan menanggap pertunjukan sintren. Semua

tembang diganti belaka dengan lagu Internationale, dan semua doa pe?

nutup diganti dengan, "Kaum buruh sedunia, bersatulah!"

"Aku seperti seorang misionaris yang tengah menyebarkan agama

baru," kata Kamerad Kliwon, tertawa kecil kepada teman-temannya di

markas Partai. "Dengan Manifesto sebagai kitab sucinya."

"Itulah pokok soal pertentangan komunis dan semua agama di

dunia: berebut umat."

Itu waktu-waktu yang sangat sibuk untuk Kamerad Kliwon. Selain

pengorganisiran dan propaganda, ia juga mulai mengajar di sekolah par?

tai, memberi kursus-kursus politik untuk kader-kader baru, sementara ia

juga masih pergi ke laut dan mengurusi Serikat Nelayan. Tapi tampak?nya

ia begitu menikmati semua aktivitasnya, hingga ketika Partai kembali

menawarinya sekolah, kali ini ke Moskow, ia menolaknya dan memilih

untuk tetap berada di Halimunda.

Satu-satunya saat ia bersantai adalah pagi hari selepas pulang dari

laut. Ia akan duduk di depan gubuk mereka membaca tiga buah koran,

ketiga-tiganya telah membanggakan diri bisa datang ke Halimunda

sepagi sebelum sarapan. Ia membaca Harian Rakyat, koran milik Partai

Komunis; Bintang Timur, koran milik partai lain yang mereka sebutsebut sebagai "kawan", dan satu koran lokal Partai Komunis yang terbit

di Bandung. Ia membaca koran-koran tersebut sambil minum kopi,

sebelum pergi mandi di sumur belakang gubuk yang hanya berdinding

belukar pandan, sarapan pagi dan ke?mudian tidur sampai siang hari.

Ia sedang melakukan rutinitas paginya ketika suatu hari melihat

serombongan anak-anak sekolah, semuanya anak-anak gadis berjumlah

tujuh orang, berjalan di atas pasir ke arah timur. Kamerad Kliwon hanya

menoleh sekilas ke arah mereka sambil menyebut gadis-gadis itu sebagai

anak-anak nakal yang berkeliaran di jam sekolah. Adalah hal biasa

melihat banyak anak sekolah yang bosan pada guru atau pelajaran se?

kolah melarikan diri ke pantai, maka Kamerad Kliwon tak ambil peduli

dengan gadis-gadis itu dan kembali pada kopi serta koran-korannya.

Tapi belum juga ia menyelesaikan satu berita di halaman satu yang

bersambung ke halaman delapan, ia mendengar keributan yang berasal

dari arah anak-anak gadis itu (tak mungkin dari tempat lain karena

pada pukul sembilan pagi pantai biasanya sepi), mendengar mereka

menjerit-jerit demikian melengking, bukan jeritan akan kenakalan atau

keisengan, tapi satu jeritan ketakutan.

Kamerad Kliwon meletakkan koran yang sedang dibacanya di atas

meja tempat kopinya berada bersama dua koran lainnya. Ia berdiri

ber?jalan satu langkah ke depan memandang ke arah gadis-gadis itu di

kejauhan. Mereka tercerai-berai, berlari ke sana-kemari, dan tiba-tiba

seorang gadis berlari terlalu jauh. Sumber keributan itu adalah seekor

anjing dan anjing itu mengejar si gadis tersebut. Ada banyak anjing di

Halimunda, pikir Kamerad Kliwon, bahkan meskipun anjing-anjing

liar yang berkeliaran di pantai tak dihitung, sejak Sang Shodancho
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

me?ngembangbiakkan anjing-anjing, Halimunda mulai dipenuhi anjing

secara perlahan-lahan.

Ia ingin menolong gadis itu, tapi jaraknya terlalu jauh sementara

anjing itu hanya empat meter mengejar di belakangnya. Ketika gadis

itu melihat dirinya, melihat ada seorang laki-laki di pantai tengah me?

mandang teror tesebut, si gadis berlari ke arahnya sementara si anjing

terus berlari di belakangnya sambil menyalak galak dan Kamerad Kli?

won akhirnya berlari ke arah si gadis dan si anjing. Gadis itu masih

men?jerit-jerit dalam kepanikan, meneriakkan sepatah kata semacam

"Tolong!" sementara teman-temannya berteriak jauh di belakang,

memanggil siapa pun yang sekiranya bisa menolong gadis tersebut.

Kamerad Kliwon mempercepat ayunan kakinya mem?perpendek jarak.

Tapi yang luar biasa dan baru belakangan ia sadari adalah betapa ce?

patnya gadis itu berlari. Ia tak tahu apakah gadis tersebut sungguh-sung?

guh memiliki darah seorang pelari hebat atau sekadar kencang karena

dorongan rasa takut, karena bahkan ia bisa terus mem?per?tahankan jarak

empat meter dari moncong ganas si anjing dalam harmoni jeritan dan

gonggongan, dan ketika jarak antara dirinya dan gadis itu telah lenyap,

Kamerad Kliwon bisa membuktikan bahwa jarak yang ditempuh gadis

itu dua kali lebih jauh dari jarak yang ditempuhnya sendiri padahal ia

sudah berlari begitu kencang me?nyongsongnya. Ketika jarak semakin

mendekat, ia bisa melihat teror tergambar jelas di wajah gadis terse?

but, dan dari jarak dua meter gadis itu langsung melompat ke arahnya,

mendekap Kamerad Kliwon begitu erat sementara si anjing akhirnya

ikut juga melompat sambil berpikir bahwa inilah saat yang tepat untuk

menggigitnya. Tapi kaki Kliwon bergerak lebih cepat dan tepat serta

juga keras terayun me?nendang menghantam rahang si anjing, mem?

buatnya terpelanting sejauh satu setengah meter, kemudian ia meronta

sejenak sebelum tergeletak tak bergerak dengan buih di mulutnya.

Tampaknya mati dan rabies.

Kini ia harus menghadapi gadis anak sekolah itu yang masih men?

de?kapnya demikian erat. Sejak ia berpelukan dengan mesra dan bahkan

berciuman begitu liar di depan stasiun kereta api bersama Alamanda

di bawah pohon ketapang, ia belum pernah memeluk gadis mana pun

lagi. Saat itu ia memang telah menanggalkan segala reputasinya sebagai

seorang penakluk perempuan meskipun beberapa gadis dan ibu-ibu

muda masih mengerlingkan matanya menanti rayuan dan godaannya.

Ia telah mencurahkan banyak waktunya untuk Partai dan bekerja dan

ia tak lagi punya waktu untuk gadis-gadis cantik tersebut. Tapi kini

ga?dis itu memeluk erat dirinya dan tanpa sadar entah sejak kapan ia

pun melingkarkan tangannya balas memeluk, meskipun ia berani ber?

sumpah itu ia lakukan sebagai usaha tanpa sadar melindungi dirinya

dari serangan anjing rabies itu.

Betapa dekat dan rapatnya mereka sehingga Kamerad Kliwon bisa

merasakan dada gadis itu tertekan kuat di dadanya, begitu lembut

dan hangat, dan ujung-ujung rambutnya terayun-ayun dipermainkan

angin menampar wajahnya, dan ia bisa memandang dahi gadis yang

membenamkan mukanya di bahu laki-laki itu. Ketika teman-teman si

gadis berdatangan dengan penuh kelegaan, secara hati-hati Kamerad

Kliwon mendorong gadis itu menjauhkannya dari dirinya, dan pada

saat itulah ia bisa melihat satu kecantikan yang unik, satu kecantikan

para putri dan bidadari yang lembut dan mistis, tradisional, kuno, alami,

dengan rambut yang dikepang dua, dengan mata yang terpejam itu

dihiasi bulu mata lentik, dengan hidung mencuat ramping berhiaskan

dua cuping bagai dipahat demikian halus, dengan bibir yang merengut

kecil, dengan pipi berisi, dan pada saat itulah ia segera menyadari gadis

tersebut telah tak sadarkan diri, mungkin sejak pertama ia mendekap

erat dirinya.

Bersama teman-teman si gadis ia mendudukkan gadis semaput itu

di kursi dan mencoba membuatnya tersadar. Tapi usaha mereka tam?

paknya bukan usaha yang mudah. Kamerad Kliwon menghentikan se?

buah dokar yang melintas di jalan yang tak jauh di belakang gubuk itu,

terhalang oleh tanah kosong penuh ilalang dan sumur tempat mandi.

Gadis-gadis itu kemudian berdesakan di atas dokar membawa gadis yang

tak sadarkan diri itu untuk membawanya pulang sebagaimana disuruh

Kamerad Kliwon karena bagaimanapun istirahat adalah satu-satunya

cara terbaik untuk mengembalikan kesadaran orang yang semaput

disebabkan ketakutan.

Bahkan meskipun gadis-gadis itu telah menghilang di tikungan jalan

bersama berlalunya suara langkah kaki kuda penarik, Kamerad Kliwon

masih merasakan kehangatan tubuh gadis itu mendekap dirinya. Ia

masih merasakan sentuhan buah dada yang lembut itu, dengan harum

rambutnya, dengan kecantikannya yang mistis, dan meskipun ia berkalikali mengusir perasaan tersebut dengan mengatakan bahwa ia harus

bekerja keras demi hari esok dan bekerja keras untuk Partai, kehangatan

tubuh si gadis tak juga bisa hilang. Termasuk ketika ia mencoba menga?

baikannya dengan cara mencari kesibukan menguburkan si anjing rabies

yang mati di tengah be?lukar dan setelah itu ia membangunkan temantemannya karena nasi sudah matang dan mereka makan pagi sebelum

melanjutkan kembali tidur siang mereka.

Waktu tidur adalah masa yang lebih membuatnya menderita. Peris?

tiwa pagi itu telah menghantuinya. Tiba-tiba ia menyadari bah?wa semua

itu karena ia mengenal gadis anak sekolah itu secara samar-samar. Ia

per?nah melihat wajah itu, mungkin telah mengenal namanya pula.

Ia masih merasakan kehangatan tubuhnya sambil berpikir di mana

sekiranya ia mengenalnya. Gadis itu kurang lebih berumur lima belas

tahun, jelas bukan salah satu dari gadis-gadis yang pernah diajaknya

kencan. Ia bukan salah satu dari gadis-gadis tersebut, ia salah satu gadis

yang ditemuinya di tempat lain.

Hari itu ia tak bisa tidur, sebab tak lama kemudian ia segera menya?

dari siapa gadis itu. Menyadari siapa dirinya, ternyata sama sekali tak

membebaskannya dari apa pun, sebaliknya ia menjadi jauh lebih men?

derita. Ia memang pernah melihat wajahnya, dan mengenal namanya,

bahkan sejak si gadis berumur enam tahun. Selama setahun sebelum ia

pergi ke Jakarta, ia bahkan nyaris melihatnya setiap hari. Ia mencoba

mengusir kenangan atas peristiwa pagi tersebut, mem?buang kehangat?

an tubuh gadis itu di tubuhnya, menghapus sentuhan buah dada yang

lembut, namun tampaknya akan berakhir dengan kesia-siaan.

"Namanya Adinda," katanya begitu menyedihkan, "adik Ala?manda."

Teror tersebut berlangsung sampai siang, ketika akhirnya ia memu?

tuskan untuk bangun dan pergi mandi. Para nelayan telah keluar pula

dari rumah-rumah mereka, memeriksa jaring, mem?betulkan yang rusak

diamuk ikan-ikan galak, dan beberapa yang lain tampak berjalan-jalan

ke arah kota mencari hiburan. Setelah memastikan bahwa jaring mereka

yang direntangkan dijemur di samping gubuk dalam keadaan baik,

Kame?rad Kliwon mandi di sumur. Tempat mandi itu hanya dilindungi

belukar pandan, berupa sumur tanpa dinding, gentong besar dengan

lubang kecil yang disumbat karet bekas sandal jepit terletak di salah

satu sudutnya. Tapi Kamerad Kliwon tak suka mandi di pancuran yang

mirip ken?cing itu, dan lebih suka menimba dan membanjurkan airnya

lang?sung ke tubuh.

Ternyata ia tak bisa melepaskan diri dari gadis kecil bernama Adinda

itu, seolah keluarga tersebut telah ditakdirkan akan merong?rongnya se?

umur hidup. Belum selesai ia mandi, Karmin telah ber?teriak bahwa dua

orang gadis mencarinya. Ketika ia telah selesai mandi dan berpakaian,

dengan rambut basah, ia menemui kedua gadis tersebut di ruang tamu

mereka, tengah memandangi potret Marx dan Lenin dan gambar palu

arit di dinding. Gadis itu Adinda bersama salah satu teman gadisnya

yang tadi pagi.

"Terima kasih telah menolongku," kata Adinda, sambil mem?bung?

kuk kecil dan wajah tersipu-sipu malu.

Gadis itu sangat berbeda dengan Alamanda. Roman mukanya te?

nang dan tanpa dosa.

"Kau berlari lebih kencang dari anjing itu," kata Kamerad Kliwon.

"Tanpa siapa pun menolong, kau bisa membunuhnya karena keca?pek?

an."

"Ia akan menggigitku," kata Adinda, "sebab aku semaput sebelum

ia mati."

Gangguan dari gadis itu untuk sementara bisa diatasinya oleh kerjakerja Partai yang menyita waktu. Ia harus memperhatikan keluhan-ke?

luhan anggota Serikat Nelayan dengan beroperasinya kapal-kapal mi?lik

Sang Shodancho. Kamerad Kliwon mencoba memimpin gerombolan

nelayan yang tumpah-ruah melakukan aksi pada suatu pagi di waktu yang

sama ketika kapal-kapal itu merapat di pelabuhan pelelangan. Mereka

hendak menurunkan ikan-ikan hasil tangkapan, namun Kamerad Kliwon

beserta gerombolannya berdiri menghadang. Ia berkata pada salah satu

nahkoda bahwa mereka akan tetap berdiri di sana sampai ada jaminan

kapal-kapal itu tak beroperasi di wilayah tradisional nelayan perahu.

"Tak peduli ikan-ikan itu harus membusuk," katanya, dan tentu saja

diakhiri dengan, "Kaum buruh sedunia, bersatulah!"

Para buruh kapal hanya berdiri santai di pagar geladak kapal, tak

ber?niat bentrok dengan teman-teman sekampung mereka, dan tak pedu?

li seandainya ikan-ikan itu harus membusuk, sebab mereka tak dibayar

dengan ikan. Sementara itu para pemborong di pelelangan yang seha?

rusnya merasa rugi karena hari itu mereka terancam tak memperoleh

ikan, hanya diam melihat begitu banyak kerumunan nelayan dengan

tubuh sekuat anak-anak ikan paus. Yang sungguh-sungguh terganggu

dan dibuat geram tentu saja para nahkoda dan pejabat kapal-kapal milik

Sang Shodancho, namun jelas mereka pun tak berkutik menghadapi

orang-orang Serikat Nelayan. Satu jam berlalu dalam ketegangan se?

perti itu, dengan agitasi-agitasi, koor yang menyanyikan Internationale,

serta para nelayan yang berbaris bergandengan tangan menghadang

siapa pun keluar dari kapal, baik manusia maupun ikan.

Kamerad Kliwon cukup yakin, kemenangan telah di tangan mereka.

Ikan-ikan itu segera membusuk, dan jika kapal-kapal itu tak memenuhi

tuntutan mereka, setiap hari mereka hanya akan menangkap ikan-ikan

busuk. Tapi sebelum balok-balok es di kapal mencair dan ikan-ikan itu

sungguh-sungguh membusuk, satu pasukan tentara dan polisi datang.

Sejenak terjadi ketegangan ketika banyak di antara nelayan memu?

tuskan untuk melawan mereka. Namun ketika tentara-tentara itu mu?

lai menembakkan senapan ke udara, mereka berlarian dalam gerakan

kacau. Kamerad Kliwon terpaksa menarik mereka semua untuk mundur.

Kesibukan semacam itu seharusnya cukup untuk membuatnya me?

lupakan Adinda, tapi ternyata tidak. Gadis itu ada di antara kerumunan

nelayan dan ia melihatnya.

Gubuk tempatnya tinggal bersama Karmin dan Samiran sebenarnya

berfungsi sebagai markas Serikat Nelayan pula, maka gubuk itu sangat

terbuka bagi siapa pun. Mereka membahas kegagalan aksi mereka di

sana, sesering mereka melakukan rapat atau hanya sekadar bicara tak

ada ujung-pangkal. Maka ia tak bisa mengusir gadis itu jika sepulang se?

kolah, bersama beberapa teman gadisnya, Adinda akan muncul di sana.

Adinda pandai berbahasa Inggris, hal yang tak aneh terjadi di Hali?

munda sejak banyak pelancong datang ke tempat itu. Kamerad Kliwon

memiliki perpustakaan yang menyenangkan bagi orang yang tergila-gila

buku, sebagian besar merupakan buku-buku filsafat dan politik, tapi ada

juga buku-buku cerita yang disukai Adinda, meskipun berbahasa Ing?

gris. Jika Kamerad Kliwon terbangun dari tidur siangnya, sering sekali

ia telah menemukan gadis itu duduk di belakang meja besar, tepat di

bawah foto Lenin, tengah membaca buku begitu khidmat. Ia akan me?

noleh sejenak, tersenyum seolah me?ngatakan, maaf aku masuk tanpa

permisi, sebelum Kliwon mem?berinya segelas teh dengan sedikit gugup,

dan gadis itu berkata, terima kasih, bisa kuambil sendiri, tapi Kamerad

Kliwon segera berlalu ke sumur dan menggigil di sana.

Adinda telah membaca begitu banyak buku di sana. Seluruh novel
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gorki, Dostoyevsky, dan Tolstoy yang tersedia rasanya telah ia baca.

Semua diterbitkan dan dikirim oleh Foreign Languages Publishing House,

Moskow, melalui Partai. Selebihnya ia membaca pula novel-novel lokal,

atau terjemahan, yang diterbitkan Yayasan Pem?baruan, penerbit milik

Partai Komunis, atau buku-buku Balai Pustaka milik pemerintah.

Sekali lagi, Kamerad Kliwon tak mengusirnya, namun sebisa mungkin

ia menghindarinya. Dua hal jelas-jelas membuatnya men?derita di sam?

ping gadis itu: yang pertama Adinda membuatnya ter?kenang pada nos?

talgia menyakitkan dengan Alamanda, yang kedua Adinda mem?bawanya

pada kenangan pertemuan mereka yang hangat dan mem?buatnya mabuk.

Ia menyibukkan dirinya semakin dalam pada urusan Serikat Nelayan,

membahas kegagalan aksi pertama mereka meng?hadapi kapal-kapal Sang

Shodancho. Ia mengorganisir langsung beberapa kader Serikat untuk

diselundupkan masuk ke dalam kapal, bekerja di sana untuk kemudian

mengorganisir buruh-buruhnya. Itu membutuhkan waktu, tapi ia percaya

orang-orang Komunis adalah makhluk-makhluk paling sabar di dunia.

Tak mudah memasukkan orang ke dalam kapal, meskipun akhirnya

berhasil memasukkan dua orang di masing-masing kapal. Itu sangat

tidak memadai, tapi cukup daripada tidak sama sekali. Sementara me?

nunggu mereka berhasil memprovokasi buruh-buruh kapal, kebanyakan

nelayan dibuat tak sabar dan mendesak Kamerad Kliwon untuk mem?

bakar kapal-kapal itu. Kamerad Kliwon mencoba menenangkan mereka.

"Beri aku waktu bicara dengan Sang Shodancho," katanya.

Itu adalah negosiasi pertama Kamerad Kliwon dengan Sang Sho?

dan?cho, yang gagal menghasilkan apa pun. Lebih dari itu, Sang Sho?

dancho bahkan menambah kapal penangkap ikannya. Para nelayan

men?desaknya kembali untuk mengambil jalan pintas, membakar kapal.

Untuk kedua kali, Kliwon meminta izin untuk bicara kembali dengan

Sang Shodancho. Itu waktu ia datang ke rumahnya dan melihat perut

Alamanda kosong tanpa isi. Bukan hanya Sang Shodancho yang meng?

anggapnya sebagai kutukan seorang lelaki pencemburu, tapi bahkan

Adinda berpikir demikian pula.

Ia datang di suatu sore, memohon dengan sangat kepadanya.

"Jangan kau sakiti kakakku," katanya, nyaris menangis, "ia telah

cukup menderita kawin dengan Shodancho itu."

"Aku tak melakukan apa pun."

"Kau mengutuknya agar kehilangan anak."

"Itu tidak benar," kata Kamerad Kliwon membela diri, "aku hanya

melihat perut kakakmu dan aku mengatakan apa yang aku lihat."

Gadis itu sama sekali tak percaya. Ia duduk di tempat biasanya ia

membaca buku, campur-aduk antara marah dan kebingungan. Biasa?nya

Kamerad Kliwon akan pergi meninggalkannya, namun kali ini ia dengan

tak berdaya menarik kursi dan duduk di depannya. Tak ada siapa pun

sore itu kecuali mereka berdua, bersama cicak di din?ding, dan laba-laba

yang bergelantungan membangun jerat.

"Kumohon, Kamerad, lupakanlah Alamanda."

"Aku bahkan telah lupa itulah namanya."

Adinda mengabaikan humor yang tak lucu tersebut. "Jika kau marah

padanya," ia berkata, "lampiaskan dendammu padaku."

"Baiklah, kau akan kuiris-iris seperti tomat," kata Kamerad Kliwon

dalam usaha sia-sia menenangkan gadis itu.

"Kau boleh membunuhku jika mau, sebagaimana kau boleh memer?

kosaku kapan pun dan aku tak akan memberikan perlawanan sedikit

pun," kata Adinda tak tergoda oleh gurauannya. "Kau boleh jadikan

aku budak, atau apa pun." Ia mengambil sapu tangan dari saku roknya,

dan menghapus banjir air mata di pipinya. "Bahkan kau boleh menga?

winiku."

Seekor tokek berbunyi tujuh kali di kejauhan, pertanda ia mencari

teman berahi.

Jika bayi itu sungguh-sungguh hilang dari perut istrinya, Sang Shodan?

cho yakin itu pasti karena kutukan Kamerad Kliwon. Kutukan dari

seorang kekasih yang cemburu. Hal-hal seperti ini tak bisa dihadapi

de?ngan senjata dan bahkan tidak juga dengan perang tujuh turunan,

ia harus mencari penyelesaian damai dengan laki-laki itu demi menye?

lamatkan anak pertamanya. Ia akhirnya berkata pada Kamerad Kliwon

bahwa ia akan memerintahkan nahkoda-nahkoda kapal ikannya untuk

beroperasi jauh di lepas pantai dan tidak di daerah tradisional milik

nelayan berperahu.

Tapi tolong, katanya, jauhkan kutukan itu dari perut istrinya. Ia

sangat menginginkan anak untuk membuktikan kepada dunia bahwa ia

dan istrinya saling mencintai satu sama lain, bahwa perkawinan mereka

adalah perkawinan yang membahagiakan. Kamerad Kliwon tersenyum

mendengar itu, bukan karena tahu bahwa apa yang di?katakannya bo?

hong belaka karena ia tahu bahwa Alamanda hanya mencintai dirinya

dan sama sekali tak mencintai Shodancho itu, tapi karena, "Tak ada

hubungannya antara panci kosong dan kapal-kapal itu, Shodancho."

Seolah tak memedulikan apa yang dikatakan Kamerad Kliwon, Sang

Shodancho tetap menyingkirkan kapal-kapal penangkap ikannya jauh

ke tengah laut. Para nelayan mulai bersuka ria menganggap itu sebagai

kemenangan mereka karena kapal-kapal itu tak hanya tidak menangkap

ikan di daerah jelajah mereka, namun kapal-kapal itu juga tak menjual

ikan-ikannya di pelelangan mereka. Kapal Sang Shodancho berlabuh

di pelelangan-pelelangan kota lain yang lebih besar dan membutuhkan

lebih banyak ikan.

Kamerad Kliwon mencoba memberitahu apa yang terjadi dengan

menghilangnya ikan dan dengan usahanya kini kapal-kapal itu telah

dibuat menjauh dan ikan-ikan datang kembali. Menerangkannya sema?

terial mungkin sebagaimana diajarkan para guru Marxisnya. Tapi pada

kenyataannya ketika para nelayan mempunyai banyak uang, orangorang itu membeli seekor sapi dan melakukan pesta di pesisir ditemani

berbotol-botol tuak dan kepala sapinya mereka lemparkan ke laut untuk

persembahan kepada Ratu Laut Kidul. Tetap dengan tahayul mereka

sendiri. Kamerad Kliwon sama sekali tak bisa berbuat banyak untuk

hal itu, merasa yakin tak akan begitu mudah menjejalkan logika pa?

ling sederhana apa pun kepada mereka, apalagi pikiran-pikiran Marxis

yang ia sendiri terima secara sepotong-sepotong selama keberadaannya

yang singkat di ibukota. Kamerad Kliwon sudah cukup senang bahwa

mereka memiliki keberanian untuk melawan terhadap apa pun yang

mengancam kebersamaan dan kehidupan mereka, dan berkali-kali

Kamerad Kliwon mem?be?ri?ta?hu para sahabatnya bahwa kehidupan tak

semudah itu, bahwa jangan larut dalam kemenangan yang semu, bahwa

ikatan per?sau?daraan harus dijalin lebih erat karena musuh yang besar

belum juga datang.

Pesta syukuran yang meriah tidak hanya dilakukan oleh para ne?la?

yan itu, tapi juga oleh Sang Shodancho yang kini begitu senang bisa

selalu melakukan pesta syukuran. Terutama karena didorong ketakutan

terbuktinya kutukan yang ia khawatirkan datang dari Kamerad Kliwon,

ia meminta satu upacara tradisional dilaksanakan untuk istrinya demi

keselamatan Alamanda dan jabang bayi di dalam perutnya. Upacara itu

berupa mandi tengah malam dengan air beraneka jenis bunga dengan

mantra-mantra yang dibacakan seorang dukun bayi. Si dukun memasti?

kan Sang Shodancho bahwa perut istrinya bunting dengan demikian

indah dan karena itu ia yakin bahwa anaknya baik-baik saja di dalam

sana, seorang gadis kecil yang sangat cantik sebagaimana ibunya.

Sang Shodancho tak pernah memedulikan apakah anaknya akan

laki-laki atau perempuan, memikirkan bahwa ia akan punya anak saja

sudah sangat cukup baginya. Ketika ia mendengar ramalan si dukun

bayi bahwa anaknya perempuan, ia terlonjak gembira dan merasa yakin

kutukan itu hanyalah omong-kosong, tak lebih dari sekadar kata-kata

yang keluar dari mulut seorang laki-laki yang dibakar api cemburu. Ia

langsung memikirkan nama anaknya dan memutuskan untuk memberi?

nya nama Nurul Aini tanpa tahu apa artinya hanya karena nama itu

tiba-tiba muncul di kepalanya. Na?mun dengan begitu ia merasa yakin

nama itu diturunkan Tuhan begitu saja agar ia memberi nama anaknya

seperti itu, semacam wahyu yang harus ia turuti. Sementara itu istrinya

dibanjur air bunga gayung demi gayung di tengah malam dingin dite?

mani sang dukun, membuatnya menggigil kedinginan dan berpikir

bah?wa besok hari ia akan masuk angin.

Di tempat lain di tengah laut, Kamerad Kliwon berharap bahwa apa

yang ia lihat salah sama sekali dan mengharapkan mereka punya anak

sesungguh-sungguhnya. Bukan sekadar panci kosong.

Nurul Aini yang itu tak pernah lahir sebagaimana harapan orangorang itu tak pernah dikabulkan: Alamanda tak pernah melahirkan

anaknya yang seharusnya muncul pada tahun kedua kedatangan Sang

Shodancho kembali ke kota dari hutan gerilyanya. Bukan karena Sang

Shodancho melanggar janji sendiri dan Alamanda meng?gu?gur?kannya,

namun bayi itu lenyap begitu saja dari dalam perut Alamanda. Hal itu

terjadi beberapa hari menjelang hari yang diramalkan baik oleh dokter

maupun dukun bayi sebagai hari kelahiran anaknya.

Alamanda sendiri tak tahu apa yang terjadi karena ketika bangun

tidur tiba-tiba ia bersendawa begitu keras seolah mengeluarkan be?gitu

banyak angin dan tiba-tiba ia menemukan dirinya bagai seorang pera?

wan bertubuh langsing tanpa bobot di dalam rahimnya. Kenyataannya

ia begitu terkejut melihat itu semua meskipun dua bulan sebelum itu

Kamerad Kliwon sudah mengatakan kepadanya bahwa perutnya bagai

panci kosong, hanya angin dan angin. Meskipun ia bisa mengingat de?

ngan jelas bagaimana Kamerad Kliwon mengatakannya, ia tetap terkejut

dan menjerit di pagi yang tenang dan segar itu. Sang Shodancho yang

tidur di kamar lain datang tergopoh-gopoh hanya mengenakan celana

kolor dan kaus dalam dengan wajah banyak dihiasi jiplakan lipat?an

bantal dan tangan bekas gigitan nyamuk. Ia menghambur ke kamar

istrinya dan ikut terpana melihat perut istrinya telah langsing kembali.

Semula ia menganggap bahwa istrinya telah melahirkan dan ia

men?coba mencari anak kecil itu serta genangan darah yang mungkin

ada, di atas tempat tidur dan bahkan di kolongnya. Ia tak menemukan

seorang bayi kecil, tidak pula tangisannya. Ia memandang istrinya yang

juga memandang dirinya dengan wajah pucat pasi, ingin mengatakan

sesuatu dengan mulut yang sudah terbuka dan bergetar bagai orang

meng?gigil, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mu?lutnya.

Sang Shodancho mulai teringat pada kata-kata Kamerad Kliwon

dan mulai khawatir bahwa apa yang dikatakannya sungguh-sungguh

benar. Kemudian didorong oleh rasa panik ia melompat ke arah istri?

nya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya begitu keras me?nuntut

Ala?manda mengatakan apa yang terjadi. Tapi bukannya me?ngatakan

apa pun, Alamanda kemudian terkulai lemas dan tak sadarkan diri di

atas tempat tidur. Tepat bersamaan dengan kedatangan si dukun bayi

yang sengaja disuruh menginap menunggu kelahiran Nurul Aini yang

ditunggu-tunggu itu, dan si dukun bayi yang telah mengalami hal-hal

aneh seperti itu menghampiri mereka berdua, mem?baringkan tubuh

Alamanda dengan benar dan menyelimutinya, lalu berkata pada Sang

Shodancho, "Hal seperti ini kadang-kadang terjadi, Shodancho, tak

ada anak bayi kecuali hanya angin dan angin."

"Kau sendiri yang bilang bahwa anakku perempuan!" teriak Sang

Shodancho tak menerima dengan nada tinggi penuh kemarahan. Ke?

tika ia melihat ketenangan sikap si dukun bayi, ia mulai duduk di tepi

tempat tidur menangis sejadi-jadinya tak memedulikan bahwa dirinya

bukan anak kecil yang kehilangan mainan melainkan seorang laki-laki

berumur tiga puluh tahun lebih. Tapi ia memang kehilangan Nurul

Aini, gadis kecil impiannya yang telah ia nantikan bukan saja sejak

istrinya hamil bahkan sejak ia pertama kali melihat Alamanda di per?

tarungan adu babi. Itu waktu ia untuk pertama kali dibuat jatuh cinta

kepadanya dan ia berharap gadis itu bisa menjadi istrinya, ibu dari anakanaknya. Saat itu ia mulai membayangkan Alamanda melahirkan anak

yang ditanam di rahimnya, dan salah satu anak yang hendak ia beri
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nama Nurul Aini itu telah dirampok oleh entah siapa kecuali kutukan

itu jika memang benar. Dengan serta-merta Sang Shodancho teringat

kembali pada Kamerad Kliwon; kali ini bukan dengan sedikit kekha?

watiran bahwa kutukan itu benar-benar akan terjadi, tapi dalam badai

kemarahan karena kutukan itu sungguh-sungguh telah terjadi. Kamerad

Kliwon telah merampok anaknya dan ia harus membalas dendam.

Anak itu kemudian diumumkan mati dan sebisa mungkin di?sem?

bunyikan dari umum mengenai apa yang terjadi. Hanya Kamerad Kli?

won yang menyadari bahwa apa yang ia lihat dua bulan lalu di dalam

rahim Alamanda memang benar. Setelah satu minggu masa berkabung,

Sang Shodancho mulai memerintahkan kapal-kapalnya datang kem?

bali, mencari ikan di tempat yang sebelumnya lagi dan men?jual ikan

di pelelangan yang sama lagi, dalam satu upaya membalas dendam

terhadap Kamerad Kliwon dan teman-temannya. Para buruh di kapal

pe?nangkap ikan memprotes rencana tersebut karena mereka merasa

takut terhadap ancaman para nelayan yang akan membakar kapal dan

tak memedulikan orang-orang di dalamnya jika kapal-kapal itu berani

muncul lagi di daerah tradisional mereka. Sang Shodancho tak peduli

dan memecat siapa pun yang tak sepakat dengannya.

Kamerad Kliwon mencoba bicara kepadanya bahwa Sang Shodan?

cho telah melanggar janji yang telah dikatakannya sendiri, tapi Sang

Shodancho balik menuduh bahwa Kamerad Kliwon telah melang?

gar janji. Kamerad Kliwon sama sekali tak pernah menjanjikan apa

pun kecuali keamanan kapal dari kemarahan para nelayan tapi Sang

Shodancho menyebut-nyebut mengenai kutukan itu dan ia merasa

yakin bahwa itu kutukannya, kutukan seorang laki-laki yang cemburu.

Bahkan dengan penuh kemarahan Sang Shodancho berkata bahwa

tak layak bagi seorang laki-laki melakukan hal bodoh seperti itu hanya

karena ditinggal kekasihnya karena setiap perempuan di dunia memiliki

hak untuk memilih dengan siapa ia ingin kawin.

Kamerad Kliwon sungguh merasa tersinggung dikatakan telah me?

ngutuk anaknya yang hilang sebelum dilahirkan tersebut hanya karena

ia cemburu. Namun ia mencoba tenang dan berkata bahwa kutukan itu

bukan datang dari siapa-siapa, kemungkinan besar datang dari istrinya

sendiri. "Hanya ada satu kemungkinan, Shodancho," katanya tenang,

"Kau bercinta dengan istrimu tanpa landasan cinta sama sekali; anak

dari persetubuhan seperti itu tak akan pernah dilahirkan, dan kalaupun

dilahirkan ia hanya akan menjadi anak gila dengan ekor tikus di pan?

tatnya." Sang Shodancho nyaris saja hendak menonjoknya mendengar

kata-kata yang memang ada benarnya itu seolah-olah rahasianya dibuka

demikian lebar. Kamerad Kliwon menghindar dengan cepat dan berkata

lagi padanya, "Bawa pergi kapal-kapal itu segera, Shodancho, sebelum

kami ke?hi?langan kesabaran."

Sang Shodancho mengacuhkan tuntutannya dan tetap me?me?rin?

tah?kan kapal-kapal itu tetap beroperasi sebagaimana biasa, kecuali kali

ini dikawal para prajurit dari rayon militer dengan senjata lengkap.

Prajurit-prajurit itu berdiri di pagar-pagar pembatas geladak mengawasi

para nelayan yang memandang marah kepada mereka. Sang Shodancho

tersenyum penuh kelicikan memandang orang-orang itu sementara

senja mulai turun dan Kliwon naik ke arah perahu dengan mesin tempel

bersama tiga orang lain diikuti perahu-perahu lain. Mereka mencoba

mencari kemungkinan memperoleh tempat di laut luas di mana ikan

masih berkeliaran, paling tidak un?tuk mengisi dapur mereka sendiri.

Tak berbeda dari Sang Shodancho, Alamanda sangat terguncang

oleh kehilangan anak yang seharusnya kini sudah lahir itu, karena

bagaimanapun itu anaknya, tak peduli dengan siapa dan bagaimana ia

bercinta. Ketika satu minggu masa berkabung habis dan Sang Shodan?

cho telah kembali mengerjakan tugas-tugasnya dan menye?le?sai?kan uru?

san dengan kapal-kapalnya, Alamanda masih mengurung diri di dalam

kamar dalam kesedihan yang khidmat. Kadang-kadang ia menggumam

membuat Sang Shodancho khawatir bahwa istrinya telah menjadi gila

karena gumamannya selalu saja menyebut dan memanggil nama Nurul

Aini, anak mereka yang tak pernah dilahirkan itu.

Tapi ketika Sang Shodancho mencoba membujuknya untuk tenang

dan berkata bahwa semua itu takdir Tuhan dan bahwa mereka masih

memiliki kesempatan kedua dan ketiga dan keempat dan kesempatan

yang mungkin tanpa batas untuk memiliki anak, Alamanda dengan

serta-merta menggeleng. "Ayolah, Sayang," kata Sang Shodancho, "Kita

bisa bercinta dengan baik-baik dan kita memiliki anak-anak seba?nyak

yang kita inginkan." Dengan tegas Alamanda menggeleng dan berkata

bahwa tak pernah terpikir olehnya menyerahkan diri begitu saja kepada

Sang Shodancho. Ia mengingatkan perjanjian itu saat mereka me?

mutuskan untuk saling mengawini bahwa ia hanya akan kawin tanpa

memberi cinta. Sang Shodancho mencoba mem?bujuknya lagi, berkata

tentang kemungkinan memiliki Nurul Aini yang lain, seorang gadis

kecil yang sungguh-sungguh nyata dan dilahirkan, namun Alamanda

kembali memperoleh ke?ke?ras?ke?pa?la?an?nya, tak peduli pada kondisi

kesedihannya sendiri.

"Kehilangan anak lebih mengerikan daripada bertemu dengan

iblis, dan memberikan cinta kepadamu lebih mengerikan daripada ke?

hilangan dua puluh anak," katanya tajam.

Pada saat itulah Sang Shodancho ingat bahwa istrinya tak pernah

lagi mengenakan celana dalam besi itu lagi. Seketika ide busuknya me?

nari-nari di dalam otak, lalu sebelum Alamanda menyadari apa yang

dipikirkannya, Sang Shodancho berbalik dan menutup pintu: mengunci?

nya. Ketika Sang Shodancho berbalik menghadap dirinya yang masih

berbaring di tempat tidur sejak ia kehilangan Nurul Aini, Alamanda

seketika tahu apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan serta-merta

ia bangun dan memandang Sang Shodancho dalam pandangan penuh

kebencian dan satu kuda-kuda seorang perempuan yang siap bertarung

serta berkata pendek, "Apakah kau berahi, Shodancho? Lubang teli?nga?

ku masih rapat jika kau suka."

Suaminya hanya tertawa sebelum berkata, "Aku masih suka lubang

kemaluanmu, Sayang."

Alamanda belum sempat berbuat apa pun lagi ketika Sang Shodan?

cho melompat ke arahnya, mendekap erat tubuhnya dan mem?ban?ting?

nya ke atas tempat tidur kembali. Dalam kesadaran yang pulih sepe?

nuhnya dan kekuatan yang apa adanya, Alamanda mencoba kembali

mempertahankan diri, sadar sepenuhnya bahwa ia tak mengenakan

celana dalam besi itu serta diam-diam ia merasa menyesal tak lagi

me?ngenakan pelindung tersebut. Sang Shodancho yang telah melalui

berbagai perang melawan Jepang dan Belanda dan pemberontakanpemberontakan bukanlah lawan yang sepadan untuk seorang perem?

puan seperti Alamanda. Dalam sekejap pe?rem?puan itu telah dibuat

telanjang bulat dengan pakaian terkoyak-koyak bagaikan dicerabut oleh

taring-taring serigala yang mem?pe?re?but?kannya, sebelum tubuh Sang

Shodancho jatuh di atas dirinya dan menyapu habis seluruh tubuhnya.

Selama percintaan itu Alamanda tak lagi mencoba memberontak

karena tahu pasti bahwa ia hanya akan melakukan sesuatu yang sia-sia,

tapi ia akan menggigit begitu bibir Sang Shodancho mendekat bi?birnya.

Sang Shodancho akhirnya cuma menusuk dan terus menusuk dirinya

tanpa lelah, membentuk harmoni kesedihan dan keriangan yang gan?

jil. Alamanda sungguh-sungguh merasa hancur hatinya karena untuk

kesekian kalinya ia gagal mempertahankan diri, merasa diri begitu

hina dan kotor dan ia sangat menyesal. Ketika Sang Shodancho selesai

mem?buang berahinya dan tergolek di samping tubuhnya, tanpa segan

Alamanda menendangnya membuat Sang Shodancho terguling jatuh

ke lantai sambil berkata, "Pemerkosa busuk, kau tak hanya memerkosa

istrimu bahkan mungkin memerkosa ibumu juga!" Ia melempari Sang

Shodancho dengan bantal dan menambahi, "Aku curiga kemaluanmu

begitu panjangnya sehingga kau bahkan memerkosa lubang anusmu

sendiri."

Apa yang sedikit membuatnya lega adalah bahwa suaminya tak

memperlakukannya sebagaimana satu tahun yang lalu. Ia tak lagi dise?

kap di dalam kamar telanjang bulat di atas tempat tidur dengan kedua

tangan dan kaki diikat ke empat sudut ranjang. Begitu ia dijatuhkan

dari lantai, Sang Shodancho segera berdiri dan mengenakan pakaiannya

sebelum pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kamar. Keesokan

harinya, tanpa pengawasan Sang Shodancho, dengan leluasa Alamanda

menghilang dari rumah. Hal ini membuat Sang Shodancho diterpa rasa

panik, tak membayangkan bahwa istrinya telah dibuat tak tahan oleh

apa yang dilakukannya dan memutuskan untuk melarikan diri.

Ia mencoba menyuruh orang untuk mencarinya ke rumah Dewi Ayu,

tapi orang itu tak menemukan Alamanda di sana. Ia juga me?ngirim

seseorang untuk pergi ke rumah Kliwon secara diam-diam, dibakar api

cemburu dan ia menduga bahwa istrinya pergi ke tempat kekasih lama?

nya itu, tapi sama sekali tak terbukti bahwa Alamanda ada di sana. Ia

mulai mengirim orang ke setiap pelosok kota dan Alamanda tak juga

ditemukan. Mengirim orang ke stasiun dan terminal bis untuk mencari

tahu seandainya Alamanda pergi meninggalkan kota, tapi tak seorang

pun pernah melihatnya naik bis maupun kereta. Sang Shodancho

mulai terempas di kursi beranda dalam keputusasaan, menangisi nasib

ma?langnya telah kawin dengan perempuan yang sangat dicintainya tapi

tak pernah mencintainya, sehingga orang lewat yang menyapanya tak

satu pun dibalasnya.

Senja membuatnya merasa semakin kosong dan sunyi, dan sesegera

mungkin ia mulai menyadari betapa sunyi hidupnya, dengan atau tanpa

Alamanda, dan inilah yang membuat dirinya semakin terasa menyedih?

kan. Ia tahu bahwa ia tak memiliki keberanian apa pun hi?dup tanpa

perempuan yang begitu dipujanya sejak pertemuan pertama itu, bahkan

yang kemudian membuatnya melakukan pemerkosaan. Tapi ia juga tak

melihat kebahagiaan apa pun untuk meneruskan hidup dengannya,

sejauh Alamanda tak memiliki tanda-tanda untuk membalas cintanya,

walau sedikit.

Ia mulai bertanya-tanya kembali apakah ia sungguh-sungguh men?

cintai istrinya, dan jawabannya selalu ya bahwa ia mencintai Alamanda.

Ia mungkin harus berpikir sebagai seorang lelaki ksatria, lelaki sejati,

pra?jurit yang sesungguhnya, untuk menawarkan perceraian kepadanya

dan mungkin dengan itu Alamanda bisa menjadi makhluk yang bahagia

meskipun Sang Shodancho tetap akan menjadi makhluk yang menyedih?

kan. Tapi bahkan memikirkan perceraian saja membuatnya mengucur?

kan air mata lebih deras dalam kesedihan yang dalam. Ia berkata pada

dirinya sendiri bahwa jika istrinya ditemukan, ia berjanji tak akan pernah

menyakitinya lagi dan sepenuhnya akan menghamba kepada apa pun

yang diinginkannya. Ia akan melakukan semuanya asal?kan Alamanda

tak akan pernah meninggalkan dirinya. Bahkan meskipun mereka harus

mengubur impian memiliki anak keturunan karena bisa saja mereka

me?mungut anak-anak orang lain untuk mereka besarkan bersama-sama.

Saat itu senja sudah semakin jatuh dan kegelapan malam mulai

merayap menyentuh beranda rumahnya sementara lampu belum juga

dinyalakan. Alamanda belum juga pulang membuat kesedihan Sang

Shodancho semakin mendalam. Karena itu ketika bayangan Alamanda

tampak di gerbang pagar ia segera bisa melihatnya, pertama sedikit ragu

jangan-jangan itu hanya sekadar halusinasi, tapi setelah bayangan itu

semakin mendekat ia semakin yakin bahwa yang berjalan ke arahnya

adalah sosok istrinya. Sang Shodancho segera menjatuhkan diri dan

berlutut di depan Alamanda yang mengernyitkan dahi melihat ting?

kahnya. Lalu Sang Shodancho berkata bahwa ia sangat menyesal telah

melanggar janjinya sendiri dan ia minta maaf untuk itu.

"Tak perlu minta maaf, Shodancho," kata Alamanda, "Karena aku

sudah mengenakan pelindung terbaru dengan mantra yang lebih sulit.

Bukan terbuat dari besi, bahkan meskipun telanjang kau tak akan bisa
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menembus kemaluanku."

Sang Shodancho hanya memandang istrinya dengan ketakjuban

yang tak dibuat-buat, terpukau oleh kenyataan bahwa istrinya tak

memperlihatkan permusuhan sama sekali.

"Angin malam, Shodancho, mari masuk."

Pemecatan kembali terjadi di kapal karena banyak buruh kapal yang

mogok kerja, bukan karena mereka anggota Serikat Nelayan, tapi kare?

na mereka takut pada ancaman para nelayan yang berniat membakar

kapal-kapal itu jika terbukti berani kembali. Kenyataannya kapal-kapal

itu kembali lagi, mencari ikan lagi di perairan dangkal dan menjual

ikan di pelelangan mereka. Tak tergoyahkan oleh ancaman semacam

itu, seorang nelayan berkata pada Kamerad Kliwon, "Tak ada cara lain,

Kamerad, kita harus membakar kapal-kapal Shodancho."

Itu adalah waktu-waktu yang paling membuat Kamerad Kliwon

tertekan dan depresi sebelum akhirnya ia mengikuti juga apa yang

diinginkan para nelayan. Kenyataannya butuh waktu berbulan-bulan

sampai mereka memperoleh kesempatan membakar ketiga kapal Sang

Shodancho. Jauh sebelum hal itu terjadi, Kamerad Kliwon men?coba

mencari jalan lain untuk menjauhkan kemungkinan pem?bakaran, sebab

ia bukan seorang laki-laki galak yang bisa memutuskan membakar kapal

tanpa perasaan bersalah. Sebaliknya, ia bahkan cenderung cengeng,

begitu teman-temannya akan berkata, suka ber?kaca-kaca matanya jika

menonton film yang sedikit mengharukan.

Diam-diam ia mencoba bicara kembali dengan Sang Shodancho,

tapi pembicaraan mereka berakhir dengan pertengkaran. Bahkan ke?

tika Sang Shodancho menyeret-nyeret masalah itu menjadi masalah

dua orang laki-laki yang memperebutkan seorang perempuan bernama

Alamanda, Kamerad Kliwon merasa sakit hati dan pergi dengan satu

ancaman. Sebagaimana para nelayan itu, ia akhirnya berpikir memang

tak ada cara lain kecuali berbuat sedikit anarkis dengan membakar

kapal-kapal sialan itu. Bagaimanapun revolusi Rusia mungkin tak ter?

jadi jika Lenin tak menyuruh Stalin merampok bank: membakar tiga

buah kapal pengisap darah nelayan sama sekali boleh dimaafkan.

Bahkan ketika Sang Shodancho memasang banyak prajurit di gela?

dak kapalnya, itu membuat para nelayan semakin berbulat hati untuk

menuntaskan dendam mereka. Tapi karena para prajurit yang kemu?

dian membuat kapal penangkap ikan seolah itu adalah kapal tempur,

tidaklah menjadi mudah bagi para nelayan melakukan niat?nya, paling

tidak harus menunggu selama enam bulan berlalu sejak kembalinya

kapal-kapal tersebut. Itu adalah penantian yang melelahkan bagi Seri?

kat Nelayan. Kamerad Kliwon memimpin semua rencana pembakaran

dalam rapat-rapat rahasia yang selalu menemui jalan buntu bagaimana

melakukannya dan dibuat pusing oleh keluhan-keluhan nelayan yang

semakin miskin dan semakin marah dari hari ke hari.

Di masa lalu, jika ia menghadapi masalah-masalah yang membuat

kepalanya serasa meledak, perempuan merupakan tempat pelariannya

yang paling ampuh. Tapi kali ini ia tak punya teman perempuan kecuali

Adinda adiknya Alamanda yang sudah dikenalnya selama satu tahun.

Maka seolah tak punya pilihan lain, ia meninggalkan gubuknya dan

orang-orang yang terus membicarakan sulitnya men?de?kati kapal yang

dijaga siang dan malam oleh tentara-tentara ber?senjata. Melangkah

pergi ke rumah Dewi Ayu, rumah yang dahulu kala sering ia kunjungi

untuk menemui Alamanda, tapi kini ia datang untuk Adinda.

Adinda senang belaka dengan kunjungan itu, tapi Adinda bu?kanlah

semacam gadis yang hanya didatangi jika seorang laki-laki dalam ke?

sum?pekan. Salah besar jika Kamerad Kliwon menganggapnya begitu,

menganggapnya sebagaimana kebanyakan gadis yang ia kenal sebelum

ini yang dengan mudah ia bawa kencan setiap kali ia menginginkan?

nya. "Bicaralah pada ibuku jika kau ingin mem?ba?waku," kata Adinda

jika Kamerad Kliwon mengajaknya jalan setelah itu. Pada hari ketika

ia berkunjung pertama kali ia memang tak berniat mengajak Adinda

pergi, hanya ingin berjumpa dan ber?bincang-bincang dalam rangka

melupakan sejenak urusan para nelayan dan serikat.

Waktu itu Kamerad Kliwon tampak bagai seorang pengungsi yang

menyedihkan, lelah digerogoti perjuangan revolusioner yang en?tah

sampai kapan akan berakhir. Ia ingin berbagi apa yang ia rasakan, apa

yang ia inginkan, tapi Partai telah menegaskan bahwa hal itu tak bisa

dikatakan pada siapa pun, ada terlalu banyak rahasia dalam organisasi,

seolah mereka berada dalam lautan gerilya. Ia menghabiskan satu jam

berbincang-bincang dengan Adinda hanya dalam pembicaraan yang

mem?bosankan, tak mengobati apa pun bagi jiwanya yang lelah, dan

ketika ia pulang ia terperosok di kursi di depan gubuk, menatap langit

senja di atas permukaan air laut.

"Seseorang mesti menodongkan senjata ke dahimu," kata Adinda

sebelum ia pulang. "Agar kau mau memikirkan dirimu sendiri."

Itu adalah langit senja yang sama sebagaimana biasanya ia lihat, tapi

hari itu ia merasakannya lain. Di masa lalu ia selalu me?nge?nangnya se?

bagai senja yang indah sementara ia duduk di pasir ber?sama Alamanda,

dan akan selalu tampak indah bersama gadis mana pun yang berkencan

dengannya. Namun langit di senja hari itu begitu dingin menusuk,

sunyi dan menyedihkan, seolah cermin bagi hatinya yang mendadak

terasa kerontang. Ia semakin larut di?temani sebatang rokok kretek,

ber?tanya-tanya apakah revolusi sungguh-sungguh bisa terjadi, apakah

ada kemungkinan bahwa tak ada manusia yang menindas manusia lain.

Ia pernah mendengar di masa lalu yang jauh seorang guru agama di

surau samping rumahnya bercerita tentang sorga, tentang sungai susu

yang mengalir di bawah kaki, tentang bidadari-bidadari cantik yang

selalu perawan dan boleh ditiduri siapa pun, tentang segala hal yang

boleh diminta tanpa satu larangan. Semua itu tampak begitu indah,

sampai-sampai ia merasa terlalu indah untuk dipercayai. Ia merasa

tak membutuhkan keadaan yang terlampau muluk-muluk se?perti itu,

cukup bahwa semua orang memperoleh jumlah beras yang sama, atau

keinginan terakhir mungkin jauh lebih muluk-muluk lagi, pikirnya.

Ia membutuhkan Alamanda, atau kekasih semacam itu, tempat di

mana ia ingin berbagi semua yang ia pikirkan tanpa takut bahwa ia

mengatakan hal yang paling rahasia sekalipun, karena kekasih paling

setia adalah kotak rahasia yang paling aman. Tapi ia telah kehilangan

gadis itu, gadis yang telah membuat senja yang monoton dan sendu

selalu menjadi tampak menyenangkan seolah itu adalah kartu pos yang

dikirim seseorang dari negeri jauh entah siapa. Ia kadang bertanya-tanya

juga apakah sudah merupakan nasib para revolusioner untuk menjalani

kehidupan yang sunyi dengan kepala yang melulu dijejali gagasangagasan tentang revolusi. Beginilah mungkin ia akan menjalani hidup:

ia bercinta sambil memikirkan revolusi, memimpikan revolusi, mabuk

revolusi, makan revolusi, dan bahkan buang tai revolusi.

Memikirkan hal itu selalu membuatnya kembali pada nostalgia,

mengenang masa lalu ketika ia tak tahu bahwa ia memerlukan re?volusi.

Masa lalu yang sesungguhnya tak jauh berbeda karena dulu dan seka?

rang ia masih laki-laki yang miskin itu juga, tapi dulu ia memiliki cara

sederhana menghadapi orang kaya: cukup mencuri apa pun di kebun

mereka, rayu gadis-gadisnya dan biarkan mereka yang mem?bayarinya

makan di kedai dan nonton bioskop. Atau terima undangan pesta-pesta

mereka dan minum bir secara cuma-cuma, semua itu tak memerlukan

Partai maupun propaganda maupun Manifesto Komunis. Tapi ia telah

berkenalan dengan Partai dan impian tentang revolusi, dan itu mem?

buatnya tak lagi berpikir sesederhana itu. Dan berpikir lebih rumit se?

lalu membuatnya lelah. Ia bahkan lelah memandang senja yang merah

menyala itu karena pikirannya tak lagi mau beristirahat, membuatnya

tanpa sadar terperosok semakin dalam dan tertidur di kursi. Begitulah

ia selalu di masa-masa penantian pembakaran kapal selama enam bulan.

Suatu malam ia dibangunkan dalam keadaan tertidur seperti itu

oleh beberapa nelayan. Telah dua minggu prajurit-prajurit itu tak lagi

menjaga kapal-kapal penangkap ikan. Mereka rupanya merasa lelah dan

bosan juga dan menganggap nelayan-nelayan itu hanya omong-kosong

belaka dalam usaha mereka membakar kapal. Para nahkoda kapal

memutuskan untuk memulangkan mereka semua da?ripada harus selalu

memberi makan, rokok dan beberapa botol bir tanpa mengerjakan apa

pun. Mereka dengan sembrono telah menganggap bahwa nelayan-nela?

yan itu sudah menyerah untuk mengganggu mereka. Prajurit-prajurit

itu mulai dikurangi sejak sebulan sebelumnya, dan ketika para nahkoda

kapal merasa yakin para nelayan tak lagi merasa peduli pada kapal-kapal

tersebut, dua minggu lalu mereka mulai melaut tanpa pengawalan dan

hanya dijaga sedikit prajurit bersenjata ketika berlabuh dan menu?

runkan ikan. Serikat Nelayan telah merencanakan menyerang kapalkapal itu di tengah malam pada saat bulan mati. Itulah malam ketika

Kamerad Kliwon dibangunkan setelah mereka bersepakat bahwa malam

itu adalah malam ketika mereka akan menyelesaikan per?hi?tungan yang

tertunda selama enam bulan.

"Bangun, Kamerad," kata seorang temannya, "Revolusi tak terjadi

di tempat tidur."

Dengan dipimpin Kamerad Kliwon sendiri yang telah membuang

semua rasa kantuknya dan dibuat keras hati oleh rencana itu, tiga pu?

luh perahu kecil bergerak di bawah langit cerah yang hanya ber?hiaskan

bintang-bintang. Itu adalah malam titik balik bagi Kamerad Kliwon,

malam ketika ia mulai menganggap bahwa menjadi seorang revolu?

sioner harus memiliki hati dingin tak tergoyahkan, campur aduk antara

kekeraskepalaan yang datang dari keyakinan, dan keberanian yang da?

tang dari kepercayaan bahwa ia melakukan hal yang benar. Kapal-kapal

itu tampak di kejauhan di kegelapan laut karena mereka memendarkan

cahaya yang samar-samar dari kabin-kabinnya, sementara perahuperahu itu tak dibekali cahaya apa pun, bergerak berdasarkan naluri

nelayan-nelayan yang me?nge?mudikannya, yang telah mengenal laut

sebagai kampung halaman mereka. "Anggap ini sebagai pembakaran

penjara Bastile," kata sang pemimpin pada dirinya sendiri, menguatkan

hatinya, "demi revolusi dan orang-orang malang terkutuk."

Kapal-kapal itu beroperasi sedikit berjauhan, dan setiap kapal dituju

oleh sepuluh perahu kecil dengan masing-masing tiga sampai lima orang

nelayan di atasnya. Mereka bergerak perlahan bagai tiga puluh ekor ular

sawah merangkak mengincar seekor tikus bebal yang tak menyadari da?

tangnya bahaya. Melalui pendar-pendar cahaya yang muncul dari kapal

tersebut, mereka bisa melihat buruh-buruh kapal sedang menarik jaring

dan menumpahkan ikan-ikan ke dalam lam?bung kapal yang dipenuhi

es-es balok pendingin.

Kamerad Kliwon memimpin sepuluh perahu yang bergerak me?

nge??pung kapal tengah, dan ketika menurut perkiraannya dua kapal

lain telah terkepung pula, ia meniup sebuah peluit yang biasa ia

per?gunakan untuk mengusir para pelancong yang tengah berenang

sementara perahu hendak mendarat. Bunyi peluit melengking keras

membuat orang-orang di atas geladak kapal terkejut dan meng?hentikan

pekerjaan mereka. Tapi belum juga rasa terkejut itu hilang dan mereka

tersadar kembali, peluit itu telah menjadi tanda agar orang-orang di

atas tiga puluh perahu itu menyalakan obor. Laut seketika dipenuhi

cahaya bagaikan kunang-kunang beterbangan me?nge?lilingi kapal-kapal.

Kamerad Kliwon berdiri di ujung perahu, berkata lantang pada orangorang di geladak kapal dengan suara yang menggema di keheningan

laut: "Para sahabatku, melompatlah dan naik ke perahu kami, kapal

se?gera terbakar."

Meskipun si nahkoda kapal berteriak-teriak marah pada ancaman

tersebut dan menyuruh buruh-buruhnya untuk melawan, namun dalam

kepanikan justru ia sendiri yang melompat terjun ke laut pertama kali

dan berenang menuju perahu terdekat. Ia memarahi orang di atas pe?

rahu, dan terkapar tak sadarkan diri setelah seseorang menghajarnya.

Sementara para buruh kapal berlomba-lomba melompat ke laut dan

berenang menuju perahu-perahu mereka, para nelayan mulai bersoraksorai penuh kegembiraan seolah tengah merayakan satu pengorbanan

suci. Seseorang bahkan mulai menyanyikan In?ter?nationale dengan cara
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang aneh dan beberapa yang lain mengikutinya. Itu merupakan pesta

mereka yang paling indah.

Kantong-kantong plastik berisi bensin mulai melayang meng?hunjam

geladak kapal yang kosong, dan setelah kapal banjir bensin, obor mulai

melayang dan api menjilat bensin. Perahu-perahu itu segera menyingkir

sementara tiga api unggun menyala hebat di tengah laut, lalu ketika

ketiganya meledak dahsyat, para nelayan yang telah menyingkir jauh

bersorak gembira sambil berseru, "Hidup Serikat Nelayan! Hidup Partai

Komunis! Kaum buruh sedunia, bersatulah!"

"Jika revolusi berhasil," kata Kamerad Kliwon pada para sa?ha?batnya,

"semua orang akan buang tai dengan cara yang sama."

Sang Shodancho telah mendengar semua itu. Seseorang melapor?

kan bahwa pemimpin kerusuhan itu adalah Kamerad Kliwon. Mereka

melakukannya pada tengah malam buta ketika penjagaan telah me?

longgar karena dianggap mereka tak akan melakukan itu setelah

berbulan-bulan tak terlihat kecurigaan apa pun. Tak ada korban karena

para buruh kapal telah menyelamatkan diri dengan meloncat ke dalam

air, tapi ketiga kapal itu telah hancur meledak dalam puing-puing se?

belum ditenggelamkan.

Mendengar laporan itu Sang Shodancho hanya membuang napas

pen?dek dan berpikir bahwa ia masih bisa memperoleh kapal penang?

kap ikan baru dengan pengamanan yang lebih ketat. Ia sama sekali

tak terlihat marah. Jawaban mengenai ketidakmarahannya hanya bisa

diketahui oleh kenyataan bahwa pada saat itu Alamanda tengah hamil

enam bulan dan ia sedang dalam keadaan demikian bahagia akan

memperoleh Nurul Aini pengganti, sehingga kehilangan tiga buah

kapal tak membuatnya menjadi begitu khawatir. Ia bersyukur bahwa

persetubuhan mereka yang cuma sekali sebelum Alamanda memasang

mantra pelindung di kemaluannya kembali, ternyata berbuah. Ia tak

mau pikirannya diganggu oleh hal apa pun kecuali persiapan kelahiran

anaknya yang kedua itu. Ia membawa istrinya ke rumah sakit yang lebih

besar di ibukota provinsi sebanyak dua kali untuk memastikan bahwa

ada bayi di dalam perut Alamanda, mengundang dukun-dukun sakti

untuk memastikan anaknya tak dirampok kutukan macam apa pun.

Tapi ketika usia kehamilan Alamanda mencapai umur sembilan

bulan, sebagaimana anaknya yang pertama, bayi itu tiba-tiba meng?

hilang dari perutnya. Sang Shodancho dengan serta-merta meledak

dalam kemarahan yang tak tertahankan sehingga ia mengambil se?

napannya dan menghambur ke halaman menembak ke sana-kemari

membuat orang-orang berlarian kalang-kabut menghindarkan diri dari

kemungkinan menjadi korban sasaran tembak. Orang mulai mengang?

gapnya telah menjadi gila, dan ia mulai meneriakkan nama Kliwon

dalam nada kebencian dan berteriak bahwa anak-anaknya yang hilang

sebelum dilahirkan telah dirampok oleh kutukan laki-laki itu. Ketika

Sang Shodancho puas menembaki apa pun, ia akhirnya berlari ke arah

pantai dengan satu tujuan: menemukan dan membunuh Kamerad

Kliwon dengan senapannya sendiri, dan pada saat itu tak seorang pun

berani mencegahnya.

amerad Kliwon menenteng cangkir kopinya ke beranda dan du?

duk menanti koran-korannya datang sebagaimana biasa. Ia tak

tinggal lagi di gubuk markas Serikat Nelayan. Ia pindah ke markas

Par?tai Komunis di ujung Jalan Belanda sehari sebelum Sang Shodan?

cho berniat membunuhnya. Waktu itu, ia, Sang Shodancho muncul

ke gubuk tersebut dan ia tak menemukan siapa pun, bahkan apa pun.

Maka ia mengamuk sejadi-jadinya menembak ke segala arah di dalam

gubuk tersebut sebelum membakarnya. Itu berakhir dengan tersung?

kurnya ia di pasir pantai dalam keadaan lelah dan menangis sebelum

orang-orang menemukannya dalam keadaan tak sadarkan diri. Kepin?

dahan Kamerad Kliwon bagaimanapun mungkin merupakan nasib

baiknya: setelah bertahun-tahun mengabdikan di?ri?nya pada Partai,

kini ia orang nomor satu Partai Komunis di Halimunda.

Itu tanggal 1 Oktober dan ia dibuat gelisah sebab seharusnya ko?

ran-koran itu telah datang ketika ia muncul di beranda (ia tinggal di

markas Partai). Dengan tangan yang bergetar menahan ke?ti?dak?sabaran,

ia memunguti koran-koran hari kemarin di bawah meja dan membaca

bagian iklan sebab di luar itu ia telah membaca semuanya. Tak ada apa

pun yang menarik kecuali iklan penumbuh kumis dan bulu cambang

serta kredit untuk pembelian mobil buatan Jerman. Ia membuang

kembali koran-koran tersebut ke bawah meja dan me?minum kopinya

sedikit. Ia melongok ke jalan berharap bocah pengantar koran itu akan

muncul dengan sepedanya, tapi yang datang ternyata seorang gadis. Itu

Adinda.

"Apa kabar, Kamerad?" tanya gadis itu.

"Buruk," jawab Kamerad Kliwon. "Koran-koranku belum datang."

Si gadis mengernyitkan dahi. "Apakah kau belum mendengar se?

suatu yang berdarah terjadi di Jakarta?"

"Bagaimana aku bisa tahu jika koran-koran itu tak juga muncul?"

Adinda duduk di sampingnya, meminum kopi Kamerad Kliwon

seteguk tanpa memintanya, dan berkata, "Radio terus-menerus menyiar?

kan berita yang sama. Partai Komunis melakukan kup dan mereka telah

membunuh beberapa Jenderal."

"Jika koran-koran itu datang, mereka pasti menuliskannya."

Kemudian beberapa orang mulai berdatangan, sebagian besar orangorang Partai terpenting. Yang tua maupun muda, kader atau veteran.

Kamerad Yono, ia orang nomor satu Partai sebelum Kamerad Kliwon,

muncul pertama kali, disusul Karmin dan yang lain-lain. Mereka se?

mua melaporkan hal yang sama, sebagaimana Adinda, dari radio yang

mengulang-ulang berita yang sama, bahwa sesuatu yang berdarah telah

terjadi di Jakarta.

"Segalanya tampak akan berjalan sangat buruk," kata Karmin.

"Itu benar," jawab Kamerad Kliwon, "kita telah membayar lunas

semua langganan koran-koran tersebut, tapi sampai sekarang mereka

belum juga datang. Aku harus menempeleng bocah pengantar koran

itu karena keterlambatannya yang kurang ajar."

"Ada apa denganmu, Kamerad?" tanya Kamerad Yono, "Apakah

yang ada di pikiranmu cuma koran-koran itu?"

Kamerad Kliwon balas menatap dengan jengkel. "Selama bertahuntahun koran-koran itu tak pernah tidak datang, dan sekarang mereka

menghilang. Adakah yang lebih buruk dari itu?"

"Dengar, Kamerad," kata Adinda. "Tak seorang pun menerima koran

hari ini."

"Tapi aku harus menerima koranku pagi ini."

"Masalahnya," kata Adinda lagi. "Tak ada koran terbit hari ini."

"Kenapa? Hari ini bukan Lebaran, bukan pula Natal, juga bukan

Tahun Baru."

Karmin muncul dari dalam markas setelah menghilang sejenak.

"Aku bisa menjelaskan," katanya. "Tentara-tentara itu telah men?du?duki

semua kantor koran. Jadi maaf, Kamerad, hari ini kita tak baca koran."

"Ini lebih buruk dari kudeta," keluh Kamerad Kliwon, dan me?neguk

kopinya sampai habis.

Pagi itu bagaimanapun tidak diawali dengan membaca koran. Puluh?

an orang-orang penting Partai berkumpul dan mengawali pagi dengan

rapat darurat. Beberapa laporan datang dari berbagai kota, terutama

dari Jakarta. Ada desas-desus bahwa semua pemimpin Partai Komunis

pusat akan ditangkap, dan beberapa pembunuhan bahkan telah terjadi

terhadap kader-kader Partai. Rapat darurat memutuskan bahwa mereka

akan memobilisasi massa dan melakukan demonstrasi besar-besaran.

Jika pemimpin-pemimpin Partai di Jakarta sungguh-sungguh telah di?

tangkap, mereka akan menuntut pem?be?basan orang-orang itu tanpa

syarat. Namun semua informasi masih sim?pang-siur. Beberapa laporan

mengatakan DN Aidit telah dieksekusi mati, yang lain bilang ia hanya

ditangkap, beberapa la?poran mengatakan ia baik-baik saja. Laporan

yang sama kurang jelasnya juga menimpa Nyoto dan nama-nama lain.

Tapi apa pun yang terjadi, mereka akan mengumpulkan semua kader

dan simpatisan partai. Mereka akan mengumpulkan para nelayan,

buruh-buruh perkebunan dan buruh kereta api, para petani, dan para

pelajar. Hari itu dan seterusnya akan menjadi hari paling ribut di kota

itu di mana mereka akan melakukan mogok massal dan melakukan

per?temuan raksasa di jalan-jalan.

Pembagian tugas mulai dijalankan. Beberapa orang segera menyebar

menghubungi sel-sel Partai dan mempersiapkan segala ke?adaan darurat

tersebut. Poster-poster mulai dibuat, bendera-bendera dipersiapkan.

Sementara itu Kamerad Kliwon memimpin tim kecil yang terdiri dari

lima orang dalam satu rapat tertutup untuk mem?persiapkan pasukan

bersenjata jika keadaan menjadi sangat buruk. Mereka menginventaris

apa yang mereka punya. Masih ada banyak senjata bekas para prajurit

gerilyawan revolusioner, dan be?berapa anggota mereka terlatih dalam

perang sesungguhnya ber?tahun-tahun lalu. Karmin memperoleh tugas

untuk mengorganisir sayap bersenjata ini, dan ia segera menghilang

untuk mengumpulkan senjata dan para veteran itu kembali. Kamerad

Kliwon dibekali mereka dengan sepucuk pistol, untuk menjaga dirinya

sendiri, sebab ia terlalu berharga untuk mati konyol.

Pada pukul sepuluh, massa telah memenuhi sepotong ruas Jalan

Belanda. Mereka adalah para nelayan dan buruh perkebunan. Para

petani dan buruh kereta api serta buruh pelabuhan dan para pelajar

masih dalam perjalanan.

"Mari kita turun ke jalan," kata Kamerad Yono.

"Pergilah," kata Kamerad Kliwon. "Aku tetap di sini, menunggu

koran-koranku datang."

Tak seorang pun memprotesnya. Mereka mencoba memakluminya

sebagai sikap depresi pemimpin Partai yang menghadapi situasi ser?ba

darurat ini. Mereka kemudian meninggalkannya, duduk di kursi beranda

menunggu koran-koran yang tak akan pernah datang, hanya ditemani

si gadis Adinda.

Telah dua tahun ia memimpin Partai di kota itu, dan dua tahun juga

menempati markas di ujung Jalan Belanda tersebut. Markas tersebut

sebenarnya sebuah rumah besar berlantai dua, dengan bendera Partai

berkibar di halamannya bersama bendera Merah Putih. Hampir seluruh

dindingnya dicat merah menyala, dengan ornamen palu dan arit dari

tembaga tertempel di pintu masuk. Di ruang utama, persis jika seseorang

memasuki tempat tersebut, akan tampak foto besar Karl Marx dalam

lukisan cat minyak, serta lukisan lain di dinding kiri dalam gaya realis?

me sosialis Sovyet masa-masa Zdanovisme. Kamerad Kliwon tinggal di

salah satu kamar, dan ada beberapa pen?jaga markas juga tinggal di ru?

mah tersebut. Mereka sesungguhnya memiliki radio serta telepon. Tapi

Kamerad Kliown tak suka men?de?ngarkan radio, itulah alasan kenapa

ia begitu terlambat mendengar kabar penting tersebut, dan sebaliknya

ia lebih menikmati membaca koran.

Sebuah kantor baru dan ia tak lagi pergi melaut di malam hari

karena waktu-waktunya yang semakin sibuk, meskipun ia tak kehilang?

an kebiasaan untuk bangun pagi-pagi dan duduk di beranda membaca

tiga buah koran sambil minum kopi. Tapi koran-koran itu tak datang

hari ini dan ia masih mengeluhkannya, meskipun semua orang telah

men?jelaskan bahwa kantor-kantor koran diduduki tentara dan tinta

cetak telah diganti dengan darah orang-orang komunis.

Selama dua tahun memimpin Partai Komunis di kota itu, Kamerad

Kliwon berhasil mengorganisir para buruh perkebunan dan para petani

dalam serikat-serikat buruh dan tani, dan ia mengorganisir belasan pe?

mogokan yang gemilang. Partai Komunis kota itu mencatat seribu enam

puluh tujuh anggota yang aktif membayar iuran, ribuan simpatisan,

separuhnya selalu rutin datang pada setiap rapat raksasa di lapangan

bola. Mereka memberi kontribusi positif pada setiap pemogokan, dan

sebagian lagi datang pada sekolah-sekolah partai yang terus diadakan.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bentrokan terbuka bukannya tak pernah ada; Kamerad Kliwon

meng?aktifkan kembali para veteran gerilyawan revolusioner di masa

perang dan kali ini mereka menyebutnya sebagai Tentara Rakyat. Mereka

memiliki senjata dan giat melakukan latihan militer. Memang tak cukup

untuk berperang melawan tentara reguler tapi cukup memadai untuk

menjaga diri dari segala hal, termasuk tekanan dari per?usahaan kereta

api, perkebunan, tuan tanah maupun juragan perahu.

Dua anggota dipecat selama masa itu karena mereka kawin de?ngan

perempuan lain meninggalkan istri dan anak mereka: itu larangan ke?

ras dalam disiplin partai, dan tiga yang lain dipecat karena dianggap

sebagai pengikut Trostkyis. Dengan sikap-sikap tegasnya, Kamerad Kli?

won memperoleh puncak reputasinya. Orang akan selalu mengenang

ia sebagai pemimpin Partai Komunis paling kharismatik di kota itu.

"Ini musim hujan," kata Kamerad Kliwon tiba-tiba.

Adinda menyepakatinya sambil menengok langit: pagi itu cuaca

sangat baik, tapi siapa pun tahu hujan bisa tiba-tiba muncul di bulan

Oktober. Gadis itu akhirnya berkata, "Tapi mereka tak akan mundur

karena hujan. Kupikir kita dicurangi tentara-tentara itu di Jakarta."

"Aku khawatir mobil pengantar koran terjebak banjir."

"Koran tak terbit hari ini, Kamerad," kata Adinda. "Dan aku berani

bertaruh, koran-koran itu tak akan terbit sampai tujuh hari mendatang,

atau bahkan selamanya."

"Kita kembali ke zaman batu tanpa koran."

"Kubuatkan lagi kopi agar kepalamu sedikit waras."

Adinda pergi ke dapur dan membuat dua cangkir kopi termasuk

untuk dirinya sendiri. Ketika ia kembali membawa dua cangkir kopi

tersebut, ia melihat Kamerad Kliwon berdiri di gerbang depan meman?

dang ujung jalan. Tampaknya ia masih tetap berharap bocah pengantar

koran itu akan muncul dengan sepedanya. Ia telah kecanduan membaca

koran, dan menjadi sedikit tak waras ketika benda-benda itu tak diper?

olehnya. Adinda meletakkan cangkir-cangkir kopi tersebut di meja dan

duduk kembali di kursinya.

"Kembalilah duduk di tempatmu," katanya pada Kamerad Kli?

won."Jika kau sudah waras."

"Yang tidak waras adalah jika kau menemukan satu hari tanpa

koran."

"Lupakanlah koran-koran sialan itu, Kamerad," kata Adinda mulai

kehilangan kesabaran. "Partaimu dalam masalah besar, dan ia membu?

tuhkan seorang pemimpin yang waras."

Bagaimanapun sangatlah mengherankan bahwa Partai Komunis

bisa menghadapi masalah seserius sebuah kudeta. Di waktu-waktu itu

Partai Komunis memperoleh reputasinya yang paling gemilang dalam

sejarah kota Halimunda. Itu terjadi terutama sejak nyaris pecahnya

perang saudara antara para preman dan prajurit kota, dan terutama sejak

Kamerad Kliwon naik memimpin Partai di kota tersebut. Daya tariknya

demikian luar biasa untuk menarik begitu banyak kader, dan bahkan

simpatisan. Dengan jumlah anggota aktif sebanyak yang dimiliki Partai

di waktu-waktu belakangan, itu merupakan angka mayoritas bagi kota

sekecil Halimunda. Jika pe?milu dilaksanakan kembali di tahun-tahun

tersebut, semua orang bahkan percaya Partai Komunis akan memper?

oleh kemenangan mutlak di kota itu. Mereka bisa menghiasi kota itu

dengan segala atribut warna merah, yang bahkan wali kota dan pihak

militer tak bisa berbuat apa pun kecuali membiarkan apa pun yang

mereka inginkan.

Bisa dikatakan, masa dua tahun di bawah pimpinan Kamerad Kli?

won merupakan masa keemasan Partai Komunis. Mereka bahkan bisa

memaksa sekolah-sekolah, termasuk taman kanak-kanak dan sekolah

untuk orang-orang cacat, untuk mengajarkan lagu Inter?nationale pada

murid-murid. Dan tentu saja juga menempel foto-foto Marx dan Lenin

di dinding-dinding kelas, berjejer dengan lukisan pahlawan-pahla?wan

nasional di masa lalu. Dan pada hari kemerdekaan, harap diingat bahwa

di Halimunda itu berarti tanggal 23 September, mereka berparade

paling meriah dalam acara serupa karnaval. Penduduk kota itu akan

turun tumpah-ruah berdesakan di sepanjang jalan, sementara orangorang komunis itu meneriakkan yel-yel revo?lu?sioner. Beberapa orang

membacakan sajak "sama rata sama rasa" yang pernah ditulis Marco

Kartodikromo bertahun-tahun lalu, dan yang lainnya mengacungkan

poster-poster anti imperialis serta puja-puji bagi Pemimpin Besar Revo?

lusi.

"Ini seperti penyihir kehilangan sapunya," kata Kamerad Kliwon

tiba-tiba.

"Siapa dan apa?" tanya Adinda sedikit terkejut.

"Aku," jawab Kamerad Kliwon, "dan koran."

Itu benar-benar menyebalkan bagi Adinda. Ia tengah berpikir

tentang demonstrasi besar-besaran yang tengah dilakukan orang-orang

komunis di jalan-jalan Halimunda, sementara mereka berdua masih

duduk di beranda markas menunggu koran yang tak mungkin datang. Ia

membayangkan demonstrasi itu menyerupai karnaval, sebab arak-arak?

an orang komunis selalu menyerupai karnaval. Kelak bertahun-tahun

kemudian, ia akan segera menyadari, sejak Partai Komunis dilarang ia

tak pernah lagi melihat arak-arakan yang menyerupai karnaval itu di

jalan-jalan, kalaupun ada tak akan pernah semeriah yang dilakukan

orang-orang komunis. Semua kendaraan akan dihias dan semua ruas

jalan akan dilalui. Biasanya Kamerad Kliwon ada di tengah-tengah

mereka, pada sebuah mobil terbuka dengan topi pet buruh yang diper?

olehnya dari Kamerad Salim, melambai-lambaikan tangan dan gadisgadis menjerit histeris di pinggir jalan.

Keberhasilan yang dicapai dalam dua tahun terakhir tidaklah diper?

oleh dengan sangat mudah. Partai-partai yang menjadi musuh mereka

dibuat bungkam oleh fenomena mereka yang fantastis, dan berdoa

se?moga pemilihan umum tak akan pernah dilaksanakan dalam waktu

dekat. Beberapa partai mencoba berdiri di belakang mereka, mengaku

sebagai sesama revolusioner sambil mencoba me?nunggu orang-orang

komunis lengah untuk menikamnya dari be?lakang. Semuanya tidak?

lah dicapai dengan begitu mudah, tapi melalui dua tahun kerja yang

melelahkan. Ada desas-desus bahwa Kamerad Kliwon telah mengalami

dua kali usaha pembunuhan yang misterius. Di suatu malam ia tiba-tiba

ditikam oleh seseorang yang segera menghilang tanpa jejak. Seseorang

yang lain sempat me?lemparkan granat tangan ke jendela kamarnya.

Tapi ia sehat-sehat saja, dan berkata dalam rapat umum di lapangan

bola yang dipenuhi para simpatisan bahwa ia memaafkan siapa pun

calon pembunuh tersebut. Ia menyebut mereka sebagai orang yang tak

mengerti cita-cita komunisme yang anti penindasan manusia satu atas

manusia lainnya. Itu membuat reputasi dirinya, dan juga Partai, semakin

meningkat hingga anak-anak kecil pun memuji-mujinya.

Yang paling cemas terhadap aktivitas politiknya yang gila-gilaan,

bagaimanapun adalah Mina ibunya. Ia melihat propaganda-propaganda

dan karnaval-karnaval itu tak lebih dari sekadar hura-hura konyol yang

tak jelas maknanya. Ia tentu saja masih teringat pada suaminya yang

harus mati dieksekusi Jepang. Mina memang kadang melihat anak?

nya berpidato di hadapan ribuan massa, meneriakkan "Ganyang tuan

tanah!" yang diulang kerumunan orang-orang dengan semangat, dan

ia mulai mengutuk tak hanya tuan tanah, tapi juga rentenir, pemilik

pabrik dan juragan perahu dan pejabat-pejabat perkebunan serta per?

usahaan kereta api. Tentu saja ia juga mengutuk Amerika dan Belanda

dan neokolonialisme dengan begitu fasih seolah Tuhan mengatakan itu

semua di telinganya dan ia hanya perlu mengulangnya.

Mina akan berkata pada anaknya, setiap kali Kamerad Kliwon pu?

lang ke rumah, bahwa tak baik mengumpulkan terlalu banyak musuh.

"Seorang sahabat sangatlah kurang, tapi seorang musuh adalah terlalu

banyak dan kau membuat banyak orang membencimu," kata Mina de?

ngan penuh rasa khawatir. Kamerad Kliwon hanya akan menenangkan

perempuan itu dengan janji bahwa ia tak akan meng?alami apa yang

telah dialami ayahnya, tersenyum dan meminum teh yang dibuatkan

ibunya, sebelum pergi berbaring.

Kekhawatiran Mina meledak dalam kemarahan ketika suatu hari

sekelompok anak-anak muda dijebloskan ke dalam tahanan militer

atas desakan Partai Komunis. Sang Shodancho menuruti semua de?

sakan tersebut karena itu juga merupakan kebijakan nasional. Mina

pergi ke markas Partai dan meledak dalam kemarahan pada anaknya.

Waktu itu sekelompok anak-anak muda mengadakan pesta di sekolah

dan satu-satunya kesalahan mereka adalah naik ke atas panggung dan

memainkan musik serta menyanyikan lagu rock and roll. "Aku tak bisa

membiarkan ini terjadi!" teriaknya di tengah-tengah kantor yang dipe?

nuhi orang. "Bukankah di masa lalu kau juga menyanyikan lagu-lagu itu

dengan gitarmu, dan kalian juga (pada orang-orang yang berkerumun),

dan sekarang kalian menyuruh mereka masuk ke dalam tahanan militer

kota hanya karena me?nya?nyi?kan lagu anak-anak itu?"

Tapi disiplin partai telah membuat Kamerad Kliwon tak tergo?yah?kan

dan sikapnya begitu dingin menghadapi ibunya. Ia hanya membujuk

perempuan itu sebelum mengantarnya ke tepi jalan raya, dan meminta

seorang tukang becak untuk mengantarnya pulang.

Ia tak berhenti hanya sampai di sana, tapi juga semakin menekan

dewan kota, militer dan polisi, untuk mulai merampas piringan-piringan

hitam lagu-lagu Barat perusak mental itu dan menjebloskan ke dalam

tahanan siapa pun yang memutarnya di rumah. "Ganyang Amerika

dan terkutuklah budayanya yang palsu itu!" teriaknya setiap kali. Se?

bagai gantinya, Partai mulai mengadakan kesenian-kesenian rakyat

secara masif, dan tentu saja dengan selingan propaganda-propaganda

Partai sebagaimana biasa. Maka kesenian rakyat yang dahulu di masa

kerajaan dan kolonial merupakan kesenian subversif mulai meramaikan

Halimunda. Pada ulang tahun Partai mereka memainkan sintren de?

ngan gadis cantik yang bisa menghilang di dalam kurungan ayam dan

ketika ia muncul lagi ia telah berdandan semakin cantik sambil me?

megang palu dan arit (dan penonton bertepuk tangan). Kuda lumping

juga dimainkan tak hanya aksi memakan pecahan kaca dan batok

kelapa, tapi juga menelan bendera Amerika serta piringan hitam rock

and roll yang mesti dimusnahkan, ditelan bulat-bulat.

Keberhasilannya membangun Partai begitu pesat hanya dalam

dua tahun terakhir membuat orang-orang Partai di ibukota menaruh

per?hatian pada Kamerad Kliwon. Ada terdengar desas-desus bahwa

ia diminta untuk masuk menjadi anggota polit biro dan desas-desus

yang lain ia adalah calon kuat untuk masuk menjadi anggota Komite

Sentral Partai Komunis Indonesia. Karier politiknya tampak cemerlang

meskipun ia bukannya tanpa kelemahan. Satu-satunya kelemahan yang

disebut-sebut orang adalah bahwa ia tak mem?pu?bli?kasikan tulisan apa

pun yang bisa membuatnya dikenal banyak orang meskipun siapa pun

yang mengenalnya tahu penguasaan teori dan praksis Marxismenya

tak perlu diragukan, terutama di tahun-tahun terakhir. Tapi jelas mes?

kipun tawaran-tawaran itu benar, termasuk satu tawaran gila yang

akan membuatnya menjadi anggota Komintern, Kamerad Kliwon

tam?paknya menolak itu semua dalam satu sikap pembangkangan yang

tak terpahami. Ia berjuang bukan untuk karier politik yang cemerlang,

katanya, ia berjuang untuk membuat komunisme tumbuh di muka bumi

Halimunda, dan ka?rena itu ia tak berharap meninggalkan kota tersebut.

Sementara itu telah dua jam ia menunggu koran paginya di beranda

ditemani Adinda. "Awal Oktober yang aneh," keluhnya seperti tak

ditujukan pada siapa-siapa. Dan seperti orang gila, ia mulai menceracau,

"Mungkin bocah itu menabrak pohon." Ia benar-benar dibuat gelisah

oleh ketidakmunculan koran-koran tersebut, seolah ia mengetahui se?

suatu yang jauh lebih buruk akan tiba menyusul menghilangnya korankoran pagi tersebut. Ia berdiri dan mulai mondar-mandir, menjelajahi

beranda berkali-kali diikuti pandangan Adinda yang ikut menjadi

cemas atas keadaan dirinya, lalu mulai melangkah ke halaman kem?
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bali dan menengok jalan raya melalui pintu gerbang. Ia masih meng?

harapkan bocah pengantar koran datang meskipun hari sudah siang.

Beberapa orang mulai berdatangan kembali dan melaporkan keada?

an demonstrasi di jalan-jalan. Pihak militer tampaknya telah be?rsiapsiap di segala penjuru, seluruh prajurit kota itu turun ke jalan yang sama

meskipun mereka belum melakukan apa pun, dipimpin langsung oleh

Sang Shodancho yang memperoleh ke?per?ca?yaan begitu besar, serta di?

dorong kebencian pribadinya terhadap Kamerad Kliwon.

"DN Aidit telah ditangkap," seseorang yang lain melaporkan.

"Nyoto dieksekusi," laporan lain datang.

"DN Aidit bertemu presiden."

Semua laporan tampaknya begitu simpang-siur, dan satu-satunya

infor?masi yang bisa didapat hanyalah radio yang sama sekali tak bisa

dipercaya, sebab sejak pagi hari mereka melaporkan hal yang sama

se?olah itu telah direkam dan kasetnya diputar berulang-ulang: telah

terjadi kudeta yang gagal dari Partai Komunis karena tentara segera menye?

lamatkan negara dan mengambil-alih kekuasaan untuk sementara. Laporan

baru datang: presiden berada dalam tahanan rumah. Semuanya serba

membingungkan.

"Berbuatlah sesuatu," kata Adinda.

"Apa?" tanya Kamerad Kliwon. "Bahkan Sovyet dan Cina tak mem?

bantu apa pun."

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan terus menunggu koran-koran itu."

Keadaan yang simpang-siur membuat aksi demonstrasi dan pemo?

gokan itu direncanakan akan diperpanjang sampai malam, dan siang,

dan malam lagi, sampai waktu yang tak ditentukan. Kamerad menerima

laporan itu, dan juga memimpin rapat-rapat darurat tentang apa yang

harus dilakukan. Tapi sementara orang-orang sibuk menyiapkan dapurdapur umum, dan para veteran yang tergabung dengan Tentara Rakyat

bersiap untuk berperang melawan tentara reguler, Kamerad Kliwon

tetap tidak turun ke jalan. Ia masih di beranda yang sama, menunggu

koran, sampai sore kemudian datang.

"Mungkin besok mereka akan datang," kata Kamerad Kliwon

akhir?nya ketika malam telah mulai larut, seperti doa sebelum tidur,

atau semacam salam perpisahan pada Adinda. Ia masuk ke kamarnya

dan berbaring, sementara Adinda pergi menengok para pemogok di

jalanan sebelum pulang ke rumahnya. Ia makan malam sendirian sebab

Dewi Ayu telah pergi ke rumah pelacuran Mama Kalong, dan tiba-tiba

ia tersadar bahwa sepanjang hari Kamerad Kliwon tak menyentuh

makanan apa pun, sebagaimana dirinya, kecuali beberapa cangkir kopi

yang terus mereka buat. Ia agak mengkhawatirkan hal itu, dan hampir

saja pergi kembali ke markas Partai Komunis di ujung Jalan Belanda

untuk mengantarkan makanan, tapi kemudian ia ingat Kamerad Kliwon

telah tertidur. Maka ia masuk ke kamarnya, naik ke tempat tidur namun

tak juga bisa memejamkan mata. Ia masih mengkhawatirkan keadaan

Kamerad satu itu.

Keesokan paginya ia bangun sebagaimana biasa, dan setelah me?

nyiapkan sarapan pagi untuk ibunya yang bahkan belum pulang, ia pergi

melihat para pemogok. Lalu dengan tergesa-gesa, membawa sarapan

pagi dalam rantang, ia pergi ke markas Partai dan mendapati Kamerad

Kliwon telah duduk di beranda dengan secangkir kopi.

"Apa kabar, Kamerad?"

"Buruk," jawab Kamerad Kliwon, "mereka belum juga datang."

"Makanlah, seharian kemarin kau tak makan." Adinda meletakkan

rantang sarapan pagi di meja di antara mereka berdua.

"Ketidakdatangan koran-koran itu membuatku tak bisa makan."

"Mereka tak akan datang, aku bersumpah," kata Adinda. "Aku telah

dengar sejak kemarin banyak orang melaporkan, koran-koran dilarang

terbit oleh tentara-tentara itu."

"Koran-koran itu bukan milik tentara."

"Tapi mereka punya senjata," kata Adinda. "Kenapa kau mulai

berpikir sebodoh itu?"

"Mereka akan muncul dari bawah tanah," kata Kamerad Kliwon

bersikeras. "Begitulah biasanya."

Rapat-rapat darurat kembali dilakukan di pagi itu. Ada laporan bah?

wa gelombang orang-orang anti-komunis mulai mendatangi jalan-jalan

pula dan bergerombol di sudut-sudut yang berlawanan. Perang saudara

yang dahulu dikhawatirkan akan terjadi karena bentrokan prajurit me?la?

wan para preman tampaknya akan terjadi: tapi kini pemerannya adalah

orang-orang komunis menghadapi orang-orang anti-komunis. Tentara

dan polisi mencoba menjaga kedua kelompok besar itu agar perang

saudara tak pecah, meskipun perkelahian kecil dan lemparan-lemparan

bom molotov tak juga terhindari. Orang-orang mulai melemparkan batu

dari satu sudut ke sudut lain, dan rapat-rapat darurat kembali digelar.

"Semua kekacauan ini berawal dari tidak munculnya koran-koran?

ku," kata Kamerad Kliwon mengeluh.

"Jangan konyol," kata Karmin. "Semuanya terjadi karena pembunuh?

an tujuh jenderal dini hari dua hari lalu."

"Dan kemudian koran tak datang keesokan harinya."

"Kenapa kau begitu peduli dengan koran?" Kamerad Yono akhirnya

tak tahan untuk bertanya pula.

"Sebab revolusi Rusia tak akan berhasil tanpa Bolshevik memiliki

koran."

Sejauh ini, itulah keterangannya yang paling masuk akal mengenai

koran-koran yang ditunggu Kamerad Kliwon, maka mereka mem?biar?

kannya kembali duduk di beranda ditemani Adinda menunggu korankoran tersebut.

Gelombang orang-orang anti-komunis semakin membesar ketika

siang datang. Itu sangat mencemaskan orang-orang Partai, kecuali Kame?

rad Kliwon yang tampak lebih mencemaskan benda-benda ber?nama

koran. Orang-orang itu, gerombolan anti-komunis, men?de?ngungkan apa

yang telah dilaporkan radio sejak kemarin bahwa orang-orang komunis

telah melakukan kudeta.

Kamerad Kliwon yang masih tak kehilangan selera humornya se?

gera berkomentar, "Melakukan kudeta dan membreidel sendiri koran

mereka."

Bentrokan pertama akhirnya terjadi pada pukul satu. Lemparan batu

berubah menjadi perkelahian hebat dengan senjata di tangan. Orangorang itu, dari kedua belah pihak, membawa golok, arit, belati, pedang,

samurai, dan apa pun yang bisa melukai serta membunuh bahkan.

Rumah sakit segera dipenuhi orang-orang yang terluka, kehilangan

tangan dan kaki, dan mulai kewalahan me?nampung orang-orang. Par?

tai akhirnya membuka posko kesehatan, yang membuat Adinda sibuk

bersama paramedis dadakan, tapi tidak membuat Kamerad Kliwon tak

bergeming dari tempatnya.

Orang-orang terluka mulai berdatangan ke markas Partai, dan tem?

pat itu menjadi ribut bukan main. Setiap kali seseorang datang, Kame?

rad Kliwon akan berdiri, bukan untuk menyambutnya, tapi me?nengok

apakah orang itu membawakan korannya atau tidak. Sam?pai sejauh ini

tak ada orang mati, baik orang komunis maupun anti-komunis. Tapi be?

berapa laporan telah masuk melalui telepon dan kurir-kurir rahasia yang

cepat bahwa telah terjadi pembantaian hebat orang-orang komunis di

Jakarta. Ada seratus orang mati di?bunuh dan sisanya mulai ditangkapi

serta dijebloskan ke tahanan. Ratusan orang komunis lainnya mati dan

dikejar-kejar di Jawa Timur, dan pembantaian mulai terjadi di Jawa

Tengah. Semua orang di markas Partai mulai berfirasat buruk bahwa

semua itu akan menjalar sampai Halimunda, dan bertanya-tanya sejauh

mana mereka bisa bertahan.

Belum ada kepastian mengenai nasib ketua partai DN Aidit, se??

bagaimana belum ada kepastian apakah Kamerad Kliwon akan mem?

peroleh koran-korannya sebelum seseorang mungkin kemudian mem?

bunuhnya.

Tapi akhirnya seseorang terbunuh di sore hari. Orang komunis per?

tama yang mati di Halimunda. Ia seorang veteran gerilyawan revolu?

sioner bernama Mualimin. Ia salah seorang yang sangat bersetia pada

Partai, menguasai ideologi secara teori dan praktek. Seorang pejuang

sejati yang berperang dan terus berjuang sejak masa kolonial hingga

masa neoliberal. Itulah yang diucapkan Kamerad Kliwon dalam pidato

singkat penguburan jenazahnya yang dilakukan saat itu juga. Kamerad

Kliwon akhirnya mau keluar dari beranda demi seorang kawan, dan

melupakan sejenak urusan koran-korannya. Bagaimanapun, Mualimim

seorang komunis muslim. Ia telah lama ingin mati dalam perjuangan,

sebab ia menganggap hal itu sebagai jihad. Ia telah menulis wasiat se?

jak bertahun-tahun lalu bahwa jika ia mati dalam perjuangan, ia ingin

dikuburkan sebagai syuhada. Maka ia tak dimandikan, hanya disalatkan

dan langsung dikuburkan masih dengan pakaiannya yang lengkap berlu?

muran darah. Ia tertembak salah seorang prajurit tentara reguler dalam

salah satu bentrokan bersenjata di tepi pantai, dan ia satu-satunya

orang yang mati sore itu. Mualimin hanya meninggalkan seorang anak

gadis dua puluh satu tahun bernama Farida. Mereka sangat dekat satu

sama lain sejak matinya ibu si gadis bertahun-tahun lampau. Maka se?

men??tara orang-orang mulai meninggalkan tempat pemakaman, Farida

masih tinggal di samping kuburan ayahnya. Diam di sana meskipun

semua orang membujuknya untuk pulang. Mereka meninggalkannya

sendirian, kemudian.

Ini sebuah romansa: ada kisah cinta sementara keadaan kota sedang

dalam keadaan darurat perang.

Penggali kubur sekaligus penunggu pemakaman umum di distrik

nelayan adalah seorang pemuda berumur tiga puluh dua tahun ber?nama

Kamino. Ia telah menjadi penggali kubur dan penunggu pemakaman

bernama Budi Dharma itu sejak umur enam belas tahun ketika ayahnya

mati karena malaria. Tanpa saudara dan sanak famili entah di mana, ia

mewarisi pekerjaan ayahnya. Profesi itu merupakan pekerjaan turuntemurun, mungkin sejak kakek dari kakeknya, sebab tak ada orang lain

yang menyukai pekerjaan tersebut, dan keluarga tersebut telah terlalu

akrab dengan kuburan. Terbiasa de?ngan kesunyian tempat tersebut

sejak kecil, Kamino tak mem?per?oleh kesulitan ketika mengambil alih

pekerjaan tersebut dari ayahnya. Ia menggali kubur secepat kucing

mempersiapkan lubang untuk buang tai di pasir. Tapi pekerjaan itu

mem?berinya kesulitan lain yang cukup serius: tak ada gadis yang ia

kenal dan mau berkenalan dengannya. Dengan begitu tak ada gadis

pula yang mau kawin de?ngannya sebab ia penggali kubur, dan mereka

tak mau tinggal di tengah-tengah pemakaman.

Kenyataannya sebagian besar orang Halimunda masih memercayai

tahayul. Mereka masih percaya bahwa setan dan dedemit dan apa pun

yang gaib berkeliaran di tempat pemakaman, hidup bersama roh-roh

orang mati. Lebih jauh lagi mereka percaya para penggali kubur hidup

akrab dengan mereka. Menyadari keadaannya yang sulit, Kamino tak

pernah mencoba melamar seorang gadis pun. Hu?bungannya dengan

orang terjadi hanya pada hari-hari pemakaman, dan selebihnya urusanurusan kecil yang biasa dilakukan orang. Ia lebih banyak berada di

rumahnya, sebuah rumah beton tua yang lembab dinaungi pohon beringin besar. Satu-satunya kesukaan, dan itu merupakan hiburan untuk

hidupnya yang sepi, adalah bermain jailangkung. Ia memanggil roh-roh

orang mati, keahlian yang juga diwariskan turun-temurun oleh keluarga

tersebut, dan berbincang-bincang dengan mereka tentang banyak hal.

Tapi kini, untuk pertama kali, hatinya bergetar melihat seorang

gadis yang bergeming duduk bersimpuh di tepi kuburan ayahnya. Gadis

itu adalah Farida. Ia telah membujuknya setelah semua orang gagal

melakukannya, mengatakan bahwa udara di tempat itu akan menjadi

yang paling dingin di kota tersebut jika malam datang, dan sebaiknya

ia pulang saja ke rumah. Gadis itu sama sekali tak terlihat takut oleh

udara dingin. Maka Kamino mencoba menjelaskan tentang gangguan

jin dan dedemit penghuni tempat pemakaman, dan terbukti bahwa si

gadis sama sekali tak tergoyahkan. Itu membuat hatinya me?luap-luap,

dan dalam hati Kamino justru berdoa agar gadis itu sungguh-sungguh

keras kepala dan tak akan pulang ke rumahnya, agar setelah bertahuntahun akhirnya ia punya seorang gadis sebagai teman di tempat tersebut.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemakaman umum Budi Dharma luasnya sekitar sepuluh hektar,

memanjang di sepanjang tepian pantai, terlindung oleh perkebunan

cokelat dari permukiman penduduk. Dibangun sejak masa kolonial,

ia masih menyisakan begitu banyak tempat kosong, hanya ditumbuhi

ilalang membuat angin laut kencang berembus ke tempat itu. Ke?tika

ma?lam datang, Kamino kembali menghampiri gadis itu dengan sebuah

lentera menyala yang diletakkannya di atas batu nisan.

"Jika memang tak ingin pulang," kata Kamino tanpa berani me?

man?dang wajah si gadis. "Kau boleh tinggal di rumahku sebagai tamu."

"Terima kasih, aku tak pernah bertamu malam-malam seorang diri."

Jadi gadis itu tetap di sana sementara malam semakin beku, du?duk

di tanah yang sedikit berpasir tanpa beralaskan apa pun. Merasa keha?


Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Pendekar Seribu Diri Karya Aone Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai

Cari Blog Ini