Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Bagian 8
dirannya sebagai gangguan, Kamino akhirnya me?ning?galkan Farida
kembali, masuk ke rumahnya dan mempersiapkan makan malam. Ia
muncul kembali dengan seporsi makan malam un?tuk gadis itu.
"Kau begitu baik," kata si gadis.
"Ini pekerjaan tambahan penggali kubur."
"Tak banyak orang menunggui kuburan untuk kau beri makan ma?
lam."
"Tapi banyak roh orang mati yang kelaparan."
"Kau berhubungan dengan orang mati?"
Kamino memperoleh celah kecil untuk masuk ke dalam kehidupan
gadis itu. Ia berkata, "Ya, aku bisa memanggilkan roh ayahmu." Maka
itulah yang terjadi. Dengan permainan jailangkung yang diwarisinya
turun-temurun, Kamino memanggil kembali roh Mualimin dan mem?
biar?kan veteran tua itu masuk merasuk ke dalam dirinya. Kini ia men?
jadi Mualimin, bicara dengan suara Mualimin, atas nama Mualimin,
yang berhadapan dengan anak gadisnya, Farida. Gadis itu tampak
senang luar biasa bisa mendengar kembali suara ayahnya, seolah malam
itu bagaikan malam-malam yang lain. Mereka terbiasa bercakap-cakap
sebentar setelah makan malam sebelum masuk kamar masing-masing
untuk tidur. Dan setelah menyelesaikan makan malam yang disodori
Kamino, kini Farida mendapati dirinya dalam satu perbincangan dengan
ayahnya kembali, bagaikan kematian itu sungguh-sungguh tak pernah
ada, hingga ia menyadarinya dan berkata:
"Bagaimanapun kau sudah mati, Ayah."
"Jangan terlalu dicemburui," kata si ayah, "kau akan memperoleh
bagianmu kelak."
Percakapan itu cukup melelahkan si gadis, terutama karena ia te?
lah berada di sana sejak sore, dan itu membuatnya tertidur di pinggir
kuburan. Kamino menghentikan permainan jailangkungnya dan masuk
ke rumah membawa selimut. Ia menyelimuti gadis itu dengan sangat
hati-hati, dalam gerakan-gerakan seorang kekasih yang dimabuk cinta,
berdiri memandangi wajahnya yang timbul tenggelam oleh cahaya
lentera yang bergoyang-goyang dipermainkan angin melalui celahcelah kecil dinding kacanya. Setelah memastikan gadis itu terlindung
dengan baik di bawah selimut dan lentera itu bisa bertahan sampai pagi,
Kamino kembali ke rumahnya dan men?coba tidur yang tak pernah bisa.
Ia memikirkan gadis itu sepanjang malam, dan tertidur ketika cahaya
fajar pertama menerobos celah daun kamboja.
Ia terbangun pada pukul setengah sebelas oleh aroma rempah-rem?
pah dari dapur. Antara sadar dan tidak, ia turun dari tempat tidurnya,
keluar kamar dan berjalan ke arah belakang. Penglihatannya belum
juga jelas, namun ia melihat seorang gadis menenteng mang?kuk dengan
uap hangat mengapung ke udara dan meletakkannya di meja makan.
"Aku memasak untukmu," kata gadis itu.
Ia segera mengenalinya: Farida. Ia terlalu terpukau oleh kenyataan
tersebut.
"Mandilah dulu," kata Farida, "atau cuci muka. Kita makan ber?
sama."
Ia seperti seorang lelaki di bawah kendali hipnotis, berjalan ma??sih
dalam keadaan setengah sadar ke kamar mandi, hampir lupa mengam?
bil handuk, dan mandi dengan sangat cepat. Ketika selesai, ia telah
menemukan gadis itu duduk di meja makan menunggu. Nasinya masih
tampak hangat. Di mangkuk yang tadi ia melihat sop kol dan wortel
serta makaroni. Di piring ia melihat goreng tempe, dan di piring lain
ia melihat ikan layang yang digoreng begitu kering, diiris-iris kecil.
"Aku menemukan semuanya di dapur."
Kamino mengangguk. Segalanya terasa terlalu ajaib baginya hari itu.
Ia belum pernah makan bersama-sama seperti itu sejak bertahun-tahun
lalu ketika ia masih kecil dan ayah serta ibunya masih hidup. Kini ia
bersama seorang gadis, yang sejak kemarin sore secara diam-diam telah
membuatnya jatuh cinta. Hatinya melayang tak karuan, membuatnya
makan tanpa berani memandang wajah gadis itu. Hanya sesekali mereka
saling melirik, dan jika mata mereka beradu, mereka tersenyum malu
bagaikan para pendosa yang tertangkap basah. Mereka duduk saling
berseberangan, terhalang meja makan, namun jelas keduanya tampak
bagaikan sepasang suami istri, atau pengantin baru yang bahagia.
Kisah cinta itu sedikit terganggu pada siang hari yang sibuk. Lima
orang terbunuh pada bentrokan orang-orang komunis dan anti-komu?
nis. Kamino harus menguburkan semuanya. Empat orang ko?munis dan
seorang anti-komunis. Ia segera menyadari mayat-mayat yang akan
tiba ke tempat pemakaman itu akan semakin banyak, dan menyadari
pula hari-hari kejatuhan Partai Komunis yang tampaknya tak akan
terelakkan lagi. Hanya dengan melihat jumlah mereka yang mati. Ia
menggali lima kuburan baru, empat di satu pojok untuk orang-orang
komunis, dan satu di pojok lain tempat penduduk biasa dikuburkan.
Lima orang mati, dengan kerabat mereka masing-masing menangisi
ku?buran, dan pidato-pidato singkat dari para pemimpin Partai, cukup
menyita waktunya hingga sore. Namun sementara ia dibuat sibuk,
Farida tidak pergi ke mana-mana. Ia duduk seharian itu di samping
kuburan ayahnya, sebagaimana yang ia lakukan kemarin.
"Aku berani bertaruh," kata Kamino pada Farida setelah pekerjaan
selesai dan ia dalam perjalanan ke rumah untuk mandi, "besok sepuluh
orang komunis mati."
"Jika jumlahnya mulai terlalu banyak," kata Farida, "kubur saja me?
reka dalam satu lubang. Di hari ketujuh mungkin ada sembilan ratus
orang komunis mati dan kau tak mungkin menggali kubur sebanyak
itu."
"Aku hanya berharap anak-anak mereka tak sekonyol dirimu," kata
Kamino. "Untuk memberinya makan aku harus mengadakan perjamuan
malam yang meriah."
"Malam ini, bolehkah aku jadi tamumu?"
Pertanyaan mendadak tersebut begitu mengejutkan Kamino, sehing?
ga ia menjawab hanya dengan anggukan kepala. Farida mempersiapkan
makan malam mereka, dan selepas makan malam mereka melakukan
per?mainan pemanggilan roh kembali: tentu saja roh Mualimin dan
Farida kembali bisa berbincang dengan ayahnya. Permainan tersebut
ber?langsung sampai pukul sembilan malam, dan kini waktunya tidur.
Farida memperoleh kamar dalam tempat dulu merupakan kamar ayah
dan ibu Kamino, sementara lelaki itu me?nempati kamar yang telah ia
huni sejak masa kanak-kanaknya.
Keesokan harinya, dugaan Kamino meleset, meskipun tak terlalu
jauh. Pagi-pagi sekali dua belas orang komunis mati. Kali ini tak ada
pidato-pidato para pemimpin Partai, sebab keadaan semakin genting.
Ada desas-desus bahwa DN Aidit dan para pemimpin Partai Komunis
di ibukota telah sungguh-sungguh ditangkap dan dieksekusi. Ramalan
Kamino yang terakhir mungkin benar: hari-hari kejatuhan Partai
Komunis telah digariskan. Kedua belas mayat orang-orang komunis
tersebut dilemparkan begitu saja ke tempat pe?makaman. Tak ada sanak
famili, dan hanya ada satu pesan dari seorang prajurit yang membawa
mayat-mayat itu dengan truk untuk menguburnya dalam satu lubang
saja. Nama-nama mereka tak diketahui. Bahkan meskipun ia hanya
menggali lubang untuk dua belas mayat, kenyataannya hari itu tetap
merupakan hari sibuk bagi Kamino. Ini disebabkan pada siang hari
muncul kembali truk militer dan mereka melemparkan delapan mayat
lain. Pada sore hari, ia memperoleh tujuh mayat.
Farida masih menunggui makam ayahnya, dan ketika malam ia men?
jadi tamu Kamino, sementara lelaki itu disibukkan oleh mayat-mayat
yang berdatangan. Begitulah selama berhari-hari sampai puncaknya
di hari ketujuh sejak Kamerad Kliwon tak memperoleh korannya se?
bagaimana biasa.
Ramalan Farida mungkin benar.
Sementara sebagian besar simpatisan Partai Komunis telah kocarkacir melarikan diri oleh desakan tentara dan gerombolan anti-komu?
nis, sekitar seribu orang lebih orang komunis masih bertahan di ujung
Jalan Merdeka. Sebagian dari mereka masih memanggul senjata bekas
perang masa lalu, dengan amunisi yang sangat terbatas. Mereka telah
terkepung selama sehari-semalam, tampak kelaparan namun tak pan?
tang menyerah. Toko-toko di sekitar tempat itu telah hancur, jika tak
pecah jendela mungkin terbakar hebat. Penduduk di sekitar tempat
itu telah mengungsi. Para prajurit tentara reguler mengepung mereka
dari kedua arah jalan, dengan senjata lengkap dan amunisi memadai.
Komandan mereka telah memerintahkan orang-orang komunis itu un?
tuk membubarkan diri, memberitahukan dengan suara lantang bahwa
Partai Komunis telah dihabisi di mana-mana setelah kudeta mereka
yang gagal. Tapi seribu orang lebih komunis itu tetap bertahan.
Menjelang sore, beberapa di antara mereka bahkan mulai me?
lepaskan tembakan pada prajurit-prajurit tersebut. Semua pe?lu?ru?nya
melukai tak seorang prajurit pun. Komandan para prajurit itu akhirnya
kehilangan kesabaran, menyuruh semua anak buahnya bersiap dalam
posisi siap tempur, dan setelah beberapa saat ia akhir?nya memerin?
tahkan penembakan. Dikepung peluru dari dua arah, orang-orang itu
mulai bergelimpangan di jalan. Beberapa yang belum terbunuh berlarian
kalang-kabut saling menginjak dan saling menjatuhkan, sebelum peluru
membunuh mereka satu per satu. Sore itu seribu dua ratus tiga puluh
dua orang komunis mati dalam satu pem?bantaian yang singkat, meng?
akhiri sejarah Partai Komunis di kota itu, dan bahkan di negeri ini.
Mayat-mayat itu dilemparkan ke atas truk hingga berjejalan se?perti
truk penjagalan. Iringan-iringan truk berisi mayat tersebut dengan pasti
menuju rumah Kamino. Akhirnya, itulah puncak hari paling sibuk bagi
lelaki tersebut. Ia harus menggali liang kubur yang begitu besarnya, se?
hingga ia bahkan belum selesai sampai tengah malam, dan baru selesai
menjelang pagi dengan bantuan para prajurit. Ia berharap orang-orang
komunis akan menyerah, hingga ia bisa beristirahat tanpa ada mayat
muncul lagi di tempat pemakaman. Selama itu, Farida masih tetap me?
ne?maninya, menyiapkan makannya, dan menunggui kuburan ayahnya.
Pagi itu, ketika tentara-tentara telah pergi bersama truk-truk mereka
dan seribu dua ratus tiga puluh dua mayat orang komunis telah dikubur?
kan dalam satu kuburan raksasa, Kamino yang kurang tidur namun
tampak penuh semangat menghampiri Farida yang masih bertahan
nyaris selama seminggu itu, berkata padanya:
"Nona, maukah kau menjadi istriku dan tinggal bersamaku?"
Farida tahu bahwa nasibnya telah digariskan untuk menerima lama?
ran lelaki tersebut. Maka pagi itu juga mereka, setelah mandi dan me?
ngenakan pakaian yang rapi, pergi ke penghulu dan minta dikawinkan.
Dan hari itu juga mereka telah menjadi suami istri, pergi berbulan madu
di rumah lama Farida. Itu berarti tak ada penggali kubur hari itu.
Tapi ini tak menjadi soal. Tentara-tentara itu juga telah malas
membawa mayat-mayat orang komunis ke tempat pemakaman dan
harus membantu penggali kubur membuat lubang raksasa. Mereka
dibunuh, baik oleh tentara reguler dan terutama oleh orang-orang antikomunis yang bersenjata golok dan pedang dan arit dan apa pun yang
bisa membunuh, di tepi jalan dan membiarkan mayat mereka di sana
sampai membusuk. Kota Halimunda seketika dipenuhi mayat-mayat
seperti itu, tergeletak di selokan dan kebanyakan di pinggiran kota, di
kaki bukit dan di tepi sungai, di tengah jembatan dan di semak belukar.
Mereka kebanyakan terbunuh ketika mencoba melarikan diri setelah
menyadari Partai Komunis hanya meninggalkan sisa-sisa reputasinya
yang telah usang.
Bagaimanapun, tak semua dari mereka terbunuh. Beberapa di antara
mereka pada akhirnya menyerah dan dijebloskan ke dalam tahanan.
Baik di penjara-penjara kriminal maupun di tahanan militer. Sebagian
besar dibawa ke Bloedenkamp, penjara paling mengerikan di tengah
delta yang telah berdiri sejak masa kolonial. Entah apa yang akan ter?
jadi di antara mereka. Ada introgasi-introgasi yang memakan waktu
sampai berjam-jam dengan janji akan dilanjutkan keesokan harinya.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagian dari mereka ternyata akhirnya harus mati juga di dalam
tahanan, oleh kelaparan atau pukulan popor senapan yang membuat
kepala mereka retak dan pemiliknya mati seketika. Mereka terus
memburu orang-orang komunis yang tersisa, untuk dibunuh maupun
ditahan, bahkan meskipun mereka telah melarikan diri ke hutan atau
tengah laut.
Di atas segalanya, Kamerad Kliwon merupakan orang yang paling
dicari.
Sang Shodancho membentuk pasukan khusus untuk me?nang?kap?nya
hidup atau mati. Kamerad Kliwon masih duduk di beranda menunggu
koran-korannya penuh kesabaran, masih ditemani Adinda dan secang?
kir kopi. Tak ada siapa pun lagi di markas Partai Komunis kecuali
me?reka. Ketika pasukan khusus itu datang, demi Tuhan, mereka tak
melihat kedua orang itu. Mereka masuk dan mengobrak-abrik segala
sesuatu, diikuti gerombolan orang-orang anti-komunis yang melempari
markas Partai dengan batu. Mereka menurunkan foto Karl Marx dan
membakarnya di pinggir jalan bersamaan dengan dibakarnya bendera
Partai. Mereka juga mencopot ornamen palu dan arit. Dari perpus?
takaan mereka mengeluarkan semua buku-buku dan membakarnya
pula di pinggir jalan, kecuali buku-buku silat yang diselamatkan Sang
Shodancho, ia memimpin sendiri pasukan tersebut, untuk kesenangan
sendiri. Buku-buku silat itu mencapai dua kardus dan langsung dimasuk?
kan ke dalam jeep. Semuanya terjadi di depan mata Kamerad Kliwon
dan Adinda yang kebingungan mengapa mereka tak melihat keduanya.
Kemudian mereka memburunya ke kuburan umum karena ada
orang yang melaporkan ia bersembunyi di sana. Tapi ketika didatangi
ia tak ada di sana. "Ia telah melarikan diri," kata seorang prajurit.
Ku?buran itu sepi, sebab bahkan penggali kubur sedang tak ada di tem?
pat?nya. Pasukan yang sama, dengan gerakan yang serba cepat, segera
pergi ke rumah Mina sebagaimana laporan lain datang ke telinga Sang
Shodancho. Tapi tentu saja Kamerad Kliwon tak ada di sana. Mina
memperoleh introgasi panjang dan dipaksa untuk me?ngatakan di mana
ia menyembunyikan lelaki itu. Mina bersikeras bahwa ia tak melihat
Kamerad Kliwon sejak seminggu lalu.
Ketika pasukan itu telah pergi, Mina mulai bicara pada diri sendiri:
"Anak bodoh, ia seharusnya tahu semua orang komunis akan ber?
akhir di depan regu tembak."
Seorang lelaki berlari tergopoh-gopoh menemui Sang Shodancho
dan mengaku melihat Kamerad Kliwon pergi melarikan diri bersama
seorang gadis ke tengah laut menggunakan sebuah perahu. Didorong
kejengkelan karena tak juga bisa segera menangkap lelaki itu, atau
mungkin juga karena dendam lama yang tak kunjung sembuh, Sang
Shodancho segera menyuruh para prajuritnya melakukan perburuan
ke tengah laut. Mereka mengejarnya dengan perahu bermesin tempel
dengan kecepatan penuh. Tapi yang mereka temukan hanyalah sebuah
perahu kosong yang terapung-apung dipermainkan ombak dan angin
tanpa jejak apa pun. Sang Shodancho yang dibuat penasaran menyuruh
tiga orang prajurit untuk menyelam, berharap mereka menemukan ma?
yat?nya, sebab bahkan Kamerad Kliwon yang mati tetap cukup berharga
daripada apa pun. Mereka tak menemukan lelaki itu, bahkan tidak pula
harta karun.
Mereka pulang dengan kekecewaan mendalam. Melampiaskan
dendam atas ketidakberhasilan mereka, Sang Shodancho mengintrogasi
kembali beberapa orang penting Partai yang berhasil mereka tangkap.
Semua dari mereka mengaku melihatnya terakhir kali masih me?nunggu
koran-koran paginya di beranda. Bagi Sang Shodancho, me?lihat peng?
akuan yang seragam seperti itu, serasa seperti sebuah lelucon yang
mengejek. Maka tanpa menyia-nyiakan kemarahannya, ia membawa
orang-orang penting Partai itu ke belakang gedung tahanan militer dan
mengeksekusi mereka semua dengan pistolnya sendiri.
Desas-desus mulai muncul bahwa Kamerad Kliwon bisa muncul se?
ren?tak di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan, sementara orang
yang sesungguhnya mungkin aman di tempat persembunyian. Orangorang percaya bahwa ia memiliki kesaktian semacam itu, membelah
diri?nya menjadi begitu banyak dan menipu semua orang.
Tapi akhirnya ia tertangkap juga. Sang Shodancho yang mulai pu?
tus asa membawa pasukannya kembali ke markas Partai di ujung jalan
Belanda itu, untuk menyisir jejaknya sedikit demi sedikit, dan tiba-tiba
ia melihatnya masih duduk di beranda ditemani adik iparnya sendiri,
persis sebagaimana dikatakan orang-orang yang baru saja dieksekusinya,
tengah menunggu koran. Waktu itu hari sudah sore, dan hujan gerimis
memenuhi kota. Sang Shodancho merasa malu untuk bertanya ke mana
saja ia sepanjang hari, karena tampaknya Kamerad Kliwon, melihat
sikapnya, telah duduk di sana sepanjang hari tanpa pernah beranjak
ke mana pun.
"Kau ditangkap, Kamerad," kata Sang Shodancho, "dan adik iparku
yang baik, sebaiknya kau pulang," ia melanjutkan untuk Adinda.
"Atas dasar apa aku ditangkap?" tanya Kamerad Kliwon.
"Disebabkan kau menunggu koran yang tak akan pernah datang,"
kata Sang Shodancho, mencoba selera humornya yang pahit, "itu ke?
jahatan paling berat di kota ini."
Ia menyodorkan tangannya dan Sang Shodancho memborgolnya.
"Shodancho," kata Adinda sambil berdiri dengan air mata tiba-tiba
mengalir di pipinya. "Izinkanlah aku mengucapkan selamat jalan, kare?
na mungkin saja kau mengeksekusi lelaki ini begitu sampai di tahanan."
"Lakukanlah," kata Sang Shodancho.
Ucapan selamat jalan itu adalah ciuman panjang di bibir Kamerad
Kliwon.
Berita penangkapannya dengan cepat didengar hampir semua orang
di kota itu, mereka yang berhasil lolos dari kematian perang sau?dara.
Setelah berhasil membunuh komunis-komunis kelas teri yang mencoba
melarikan diri, masih dengan tangan berlepotan darah, orang-orang
ini segera bergerombol dan memenuhi ruas jalan antara markas Partai
Komunis dan kantor rayon militer. Seolah semua di antara mereka
memiliki kenangan khusus terhadap Kamerad Kliwon, mereka menanti
dengan sangat sabar lelaki itu lewat.
Akhirnya Kamerad Kliwon muncul, berjalan dengan sisa-sisa ke?
banggaan. Ia tak mau naik ke atas mobil jeep militer, maka se?pasukan
prajurit mengawalnya selama perjalanan itu. Adinda berada di dalam
jeep bersama Sang Shodancho, bergerak sangat pelan di belakang iringiringan kecil tersebut, sementara orang-orang berjejalan di kiri-kanan
jalan dalam keheningan yang khidmat. Mereka me?mandang lelaki yang
di saat-saat seperti itu bahkan masih mengenakan topi pet kebanggaan?
nya dengan perasaan campur-aduk.
Banyak di antara penontonnya adalah teman-temannya belaka
semasa di sekolah, dan mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin
lelaki paling pandai dan paling tampan di kota itu memilih hidup
sebagai seorang komunis yang sesat. Di antara para penonton itu ada
juga berdesakan para gadis yang pernah kencan dengannya, atau paling
tidak pernah memimpikan kencan dengannya, dan mereka memandang
laki-laki itu dengan mata berkaca-kaca bagaikan kekasih sejati hendak
pergi meninggalkan mereka.
Kemarahan orang-orang itu seketika menguap secepat mereka meli?
hatnya berjalan penuh ketetapan hati. Ia berjalan lurus dan tegak, tak
menampakkan diri sedikit pun sebagai orang yang dikalahkan. Seolah
ia seorang panglima perang musuh yang tertangkap namun yakin se?
gera akan bebas kembali untuk memenangkan peperangan-peperangan
berikutnya. Dan orang-orang yang melihatnya itu hanya mengingat
kebaikan-kebaikannya belaka di masa lalu dan melupakan segala hal
keburukannya. Ia seorang pemuda pandai, ramah, rajin bekerja, sopan
terhadap orang lain, dan tiba-tiba tak ada lagi yang ingat apakah ia
pernah berbuat keonaran, tak ada yang ingat bahwa ia pernah tak
mem?bayar pelacur, dan bahkan tidak teringat pula pembakaran ketiga
kapal Sang Shodancho.
Pada topi petnya kini tertempel bintang kecil berwarna merah. Di
hadapan orang-orang yang larut dalam perasaannya sendiri-sendiri itu,
Kamerad Kliwon masih terus berjalan. Ia mengenakan kemeja yang
per?nah dijahit ibunya, dengan pantalon yang ia beli ketika ia masih
belajar di universitas di ibukota yang singkat, dan dengan sepatu kulit
yang ia lupa kapan ia beli (atau seseorang meminjamkannya).
Ia menengok berharap melihat Adinda, tapi ia tak tampak di dalam
jeep. Ia juga mencoba melihat Alamanda di antara kerumunan orang,
namun perempuan itu tak ada di sana. Tanpa melihat keduanya, ia ber?
jalan dengan tenang, menganggap tak ada siapa pun di pinggir jalan.
Sang Shodancho menjebloskannya ke dalam ruang tahanan di belakang
kantor rayon militer, dan pengadilan yang tak pernah di?laksanakan
memutuskan ia akan dieksekusi besok pagi pukul lima dini hari. Sang
Shodancho segera pergi setelah memberitahu keputusan hal itu, meng?
an?tar pulang Adinda ke rumah Dewi Ayu.
Tapi bahkan Adinda muncul kembali tak lama kemudian, satu-satu?
nya orang yang berharap bisa mengunjunginya meskipun banyak orang
juga berharap demikian. Tapi Sang Shodancho telah memberi perintah
pada sipir-sipir penjaga untuk tak mengizinkan siapa pun mengunjungi
tahanan-tahanan yang akan dijatuhi hukuman mati. Akhirnya Adinda
hanya meninggalkan satu setel pakaian besar yang ia minta pada Sang
Shodancho agar memberikannya pada lelaki itu dan menyuruhnya agar
mengenakannya jika laki-laki itu memang akan dieksekusi mati pada
waktu dini hari. Selain satu setel pakaian, ada rantang berisi makanan.
"Berjanjilah padaku, Shodancho," kata Adinda, "Bahwa ia akan
memakannya. Sejak ia tak memperoleh koran-koran paginya, ia tak
me?makan apa pun kecuali kopi dan air putih."
Sang Shodancho mengantarkan semua barang-barang itu seorang
diri. Di dalam sel ia menemukan Kamerad Kliwon tengah berbaring di
atas dipan dengan kedua tangan ditekuk di bawah kepala sementara
matanya memandang langit-langit.
"Reputasimu belum habis di mata para gadis, Kamerad," kata Sang
Shodancho. "Seorang dari mereka mengirimimu satu setel pa?kaian dan
serantang makanan."
"Aku tahu siapa gadis itu," kata Kamerad Kliwon, "ia adik ipar?mu
sendiri."
Setelah itu Kamerad Kliwon hanya diam saja dengan sikap tubuh
yang tak berubah sebagaimana sebelumnya. Namun di keremangan
ruangan dan malam yang telah datang, Sang Shodancho tersenyum
menikmati sedikit dendam dan merasa telah datang waktunya untuk di?
selesaikan. Inilah lelaki yang telah merampas cinta istriku, katanya pada
diri sendiri, dan mengutuk kedua anakku untuk tak pernah dilahirkan.
"Besok pagi aku akan melihatmu mati dieksekusi."
Ia merencanakan tidak dalam satu kali tembakan eksekusi. Ia ingin
melihatnya mati perlahan-lahan, dengan kuku jari dipreteli, dengan
kulit kepala dikelupas, mata dicungkil, lidah dipotong. Lelaki itu akan
sangat menderita, dan Sang Shodancho yang dirasuki dendam mem?
busuk tersenyum jahat.
Tapi bahkan Kamerad Kliwon tetap tak bereaksi dalam satu kenyata?
an yang ajaib seolah ia tak peduli tengah menghadapi maut yang demiki?
an mengerikan, dan itu menjengkelkan Sang Shodancho. Di atas dipan,
mayat hidup itu tampak demikian penuh wibawa, penuh keka?gum?an diri
bagaikan ia akan mati sebagai syuhada, dan penuh kekaguman terhadap
jalan hidup yang pernah dipilihnya serta tak pernah menyesal meskipun
ia memperoleh akhir yang tak menyenangkan seperti ini.
Ada jarak yang demikian lebar antara kedua orang itu. Antara
sese?orang yang memiliki kekuasaan untuk membuat yang lain mati,
de?ngan seorang lelaki yang menantikan jam demi jam kematiannya.
Yang pertama dibuat gelisah oleh kekuasaannya, sementara yang kedua
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibuat tenang oleh nasibnya.
Kenyataannya Kamerad Kliwon memang tak memikirkan Sang
Shodancho yang masih berdiri di dekat pintu, yang perlahan-lahan
meletakkan apa yang dibawanya di atas kursi di pojok ruangan. Kame?
rad Kliwon larut dalam nostalgia-nostalgia yang membawanya pada
segala kenangan atas kota yang akan segera ditinggalkan. Be?tapa mele?
lahkannya revolusi, ia berkata pada diri sendiri, dan satu-satunya hal
yang menyenangkan adalah bahwa aku akan me?ning?galkan itu semua,
meninggalkan seluruh tugas tanpa harus menjadi seorang reaksioner
atau kontrarevolusi. Memang benar bahwa ia sendiri telah mengecap
banyak orang-orang pengecut sebagai reak?sioner, sebagai para kontra?
revolusioner, tapi kadang-kadang ia merasa selelah orang-orang itu dan
bertahan dalam kegilaan revolusi hanya karena ia tak ingin menjadi
bagian dari orang-orang busuk seperti mereka. Dan demikianlah, di
saat-saat penuh keputusasaan, ia sering berharap bisa mati.
Siapa pun yang melakukan kudeta, Kamerad Kliwon layak berterima
kasih kepada mereka. Sebab besok pagi ia akan mati di depan sederet
regu tembak, dan segala yang melelahkan itu akan segera ia tinggalkan.
Ia tak begitu mengkhawatirkan ibunya: perempuan itu pernah melihat
bagaimana suaminya (juga seorang komunis) mati dieksekusi tentara
Jepang. Ia yakin tak akan menjadi soal jika ia harus mendengar bahwa
anaknya dieksekusi mati pula sebagai seorang komunis. Mina terlalu
kuat untuk dikhawatirkan. Itu membuatnya semakin siap untuk mati
dan ia bahagia memikirkannya membuat senyum kecil tersungging di
bibirnya, membuat Sang Shodancho yang sekilas melihatnya semakin
jengkel.
"Kau akan dijemput pukul lima kurang sepuluh menit, dan tepat
pukul lima proses kematianmu segera berlangsung. Katakan apa permin?
taan terakhirmu," kata Sang Shodancho akhirnya.
"Inilah permintaan terakhirku: kaum buruh sedunia, bersatulah!"
jawab Kamerad Kliwon.
Sang Shodancho meninggalkan lelaki itu seorang diri, dan pintu
berdebam.
usim penghujan merupakan bulan-bulan di mana banyak orang
kawin. Hampir di setiap ruas jalan ada janur kuning ter?tancap
di pinggir pagar, dan rombongan orang-orang yang pergi ke un?dangan
nyaris tanpa henti dari minggu ke minggu. Sementara itu, para lelaki
yang belum sempat kawin akan pergi ke tempat pelacuran, mencoba
menghangatkan tubuh dengan tubuh para perempuan, dan para keka?
sih semakin sering berjumpa dan secara diam-diam bercinta. Orangorang yang telah kawin bagaikan memperoleh kembali bulan madu
mereka di bulan-bulan penghujan. Di masa-masa itu banyak sel telur
dibuahi, dan banyak bakal anak diciptakan Tuhan di rahim para
perempuan.
Bahkan di tengah pembantaian orang-orang komunis, orang-orang
tetap bercinta ketika kesempatan tiba dan terutama ketika hujan turun
dengan deras. Tapi hal ini, untuk sementara, tak berlaku untuk Sang
Shodancho dan Alamanda. Juga tak berlaku untuk Maman Gendeng
dan Maya Dewi.
Maman Gendeng dan Maya Dewi masih memainkan drama yang
sama sejak perkawinan mereka nyaris lima tahun lalu.
Namun paling tidak, satu hal jelas membuat Maman Gendeng
sangat berbahagia: bahwa kini ia punya tempat yang disebut rumah
untuk pulang. Ia telah memimpikan hal itu, terutama ketika ia jatuh
cinta pada Nasiah dan melihat binar cinta gadis itu pada kekasihnya.
Ia memimpikan tatapan penuh cinta seperti itu, sebuah keluarga,
sebuah rumah, selama bertahun-tahun yang penuh rasa putus asa dan
ketidakyakinan bahwa ia akan memperoleh hal semacam itu, terutama
karena semua orang melihatnya sebagai begundal biang masalah.
Jika ia pulang dari terminal bis tempatnya nongkrong sepanjang
siang, atau dari meja kartu truf setelah bermain dengan Sang Shodan?
cho, ia akan berjumpa kembali dengan istrinya yang telah menunggu
di meja makan malam dan bergegas mempersiapkan handuk serta air
hangat untuknya mandi. Setiap malam ia melambung dalam kebaha?
giaan yang tak bisa ia ungkapkan. Paling tidak sekarang ia merasa
cukup beradab, sebab ia memiliki pakaian-pakaian bersih sebagaimana
tetangga, makan di meja makan sebagaimana tetangga, dan tidur di atas
kasur dengan lindungan selimut sebagaimana tetangga.
Di sela-sela kesibukannya sekolah dan mengerjakan pekerjaan ru?
mah yang dibebankan guru-gurunya, Maya Dewi dengan tekun terus
mengurus suaminya. Sebagaimana janjinya pada Dewi Ayu, Maman
Gendeng tak pernah menyentuh perempuan mana pun lagi, meskipun
ia belum juga menyentuh istrinya. Tahun demi tahun memang terus
berlalu, dan gadis kecil itu mulai tumbuh menjadi seorang gadis remaja.
Tubuhnya telah menjadi jauh lebih tinggi dalam lima tahun terakhir
itu, beberapa waktu sebelum pembantaian orang-orang komunis, dan
tubuhnya semakin padat berisi pula. Dadanya mengembang begitu
sempurna. Tapi Maman Gendeng ma?sih juga melihatnya sebagai anak
kecil yang dulu itu, anak sekolah yang ia tunggui sambil mengisap rokok
ketika ia mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan ia selimuti ketika wak?
tunya tidur. Mereka bahkan belum pernah tidur seranjang sekali pun.
Ia melakukan puasa seksual yang begitu mengagumkan. Namun jika
waktu-waktu ketika berahinya datang, ia akan melakukan be?berapa eks?
perimen untuk menyenangkan dirinya sendiri di kamar mandi. Dalam
hal ini, Sang Shodancho merupakan teman terbaik un?tuk saling berbagi
masalah. Nasib telah menyatukan mereka dalam persahabatan yang
semakin erat, meskipun latar belakang masalah mereka jelas berbeda.
Kini Sang Shodancho tak hanya mengeluhkan kemungkinan istrinya
masih mencintai lelaki bernama Kamerad Kliwon itu, namun bagaikan
pada teman yang begitu bisa dipercaya, ia mulai menceritakan masalahmasalah keluarganya.
Selepas bermain truf dan teman-teman bermain mereka telah
meng?hilang serta masalah-masalah umum telah terselesaikan, mereka
biasa?nya mulai membicarakan masalah-masalah pribadi mereka dengan
istri masing-masing. Dalam hal ini mereka tak lagi tampak bagai dua
orang sahabat, mungkin lebih tepat dua kakak-beradik yang saling
berkeluh-kesah. Suatu hari Sang Shodancho berterus-terang kepadanya
mengenai apa yang terjadi antara ia dan istrinya. Selama tahun pertama
perkawinannya, ia tak pernah bisa menyetubuhi istrinya. Bukan sekadar
bahwa Alamanda melindungi kemaluannya dengan celana dalam besi,
namun bahkan mereka tidur di kamar yang terpisah.
"Kuncinya sebuah mantra yang tak seorang pun tahu kecuali istri?
ku."
"Tapi kudengar ia hamil?"
Waktu itu Sang Shodancho tanpa bisa diduga tiba-tiba menangis
sesenggukan, dan berkata, "Ia hamil dua kali, dan kedua anak itu meng?
hilang secara tiba-tiba." Dan melanjutkan, "padahal aku telah memberi
mereka nama Nurul Aini."
"Tak ada perempuan hamil tanpa disetubuhi, kecuali kau percaya
Maria melahirkan Yesus tanpa disentuh siapa pun."
Dan tangisan Sang Shodancho semakin deras. Di tengah isak tangis
itu, pendek namun tegas ia berkata, "aku memerkosanya ke?tika ia le?
ngah dengan pelindung kemaluan itu."
Maman Gendeng menghiburnya dengan mengatakan bahwa ia pun
belum pernah menyentuh istrinya, membiarkan dirinya masih perawan
sebagaimana gadis itu ketika dilahirkan. "Dan kukatakan saja, Shodan?
cho, aku tak pernah pergi ke tempat pelacuran lagi ke?cuali menyenang?
kan diri sendiri di kamar mandi, maka lakukanlah sebagaimana aku
melakukannya." Maman Gendeng melanjutkan, "Karena itu cukup baik
untuk melepaskan dirimu dari kemurkaan dan kejengkelan, karena isi
buah pelirmu memang harus dibuang secara rutin. Dan karena lelaki
setua kita sudah jarang mengalami mimpi basah, maka itu harus dike?
luarkan dengan cara sengaja ba?gaimanapun caranya."
"Aku telah melakukannya," kata Sang Shodancho, "bahkan nyaris
dengan lubang bokong anjing segala."
"Asal tidak dengan lubang botol."
Keduanya kemudian bersepakat bahwa kunci jawaban kebahagiaan
perkawinan mereka terletak pada waktu dan kesabaran mereka me?
nerimanya meskipun waktu begitu lambat bergerak. Paling tidak
Ma?man Gendeng harus hidup dalam penantian sampai istrinya telah
cukup dewasa untuk disetubuhi. Aku belum tahu kapan, Shodancho,
kata Maman Gendeng, dan bukankah yang kau perlukan juga adalah
waktu yang merangkak, karena cepat atau lambat seorang perempuan
biasanya bertekuk lutut pada kesabaran. Setidaknya itulah yang sering
diceritakan orang-orang bijak yang telah bergaul dengan banyak pe?
rem?puan dan telah menaklukkan banyak di antara mereka. Maka jika
kau bersabar, mungkin kau akan memperoleh buah ke?sabaranmu. Pada
akhirnya istrimu, perlahan-lahan bagai lubang di batu yang dibuat oleh
tetesan air, menyerah pada kekeraskepalaannya sendiri dan sebaliknya
mulai jatuh cinta kepadamu. Kau tak perlu membujuk-rayu dirinya
untuk membuka pelindung kemaluan itu karena ia akan membukanya
sendiri untukmu pada suatu malam. Percayalah itu akan terjadi, Sho?
dan?cho, karena tak ada perempuan yang begitu keras kepalanya sampai
mati sebagaimana tak ada lelaki seperti itu.
Kata-kata bijak Maman Gendeng yang aneh tersebut, yang diamdiam masih ia benci karena dendam lama yang menyakitkan, sungguhsungguh telah menghibur hati Sang Shodancho, sehingga sejenak ia
bisa melupakan bagaimana kenikmatan tidur bersama istri sendiri,
kecuali pada satu kenangan manis ketika ia memerkosanya di gubuk
tempat markas gerilya.
Berbeda dari Sang Shodancho, Maman Gendeng sama sekali tak
terpikirkan olehnya untuk memerkosa istrinya sendiri. Mungkin jika
ia memintanya, Maya Dewi akan membuka pakaiannya dan berbaring
di atas tempat tidur menunggunya melompat dalam keadaan telanjang.
Tapi tidak, ia tak bisa melakukan kejahatan seperti itu pada seorang
gadis yang di matanya masih terus terlihat begitu mu?ngil. Si bungsu
yang manis, begitu biasanya ia menyebut Maya Dewi ketika ia dulu
masih merupakan kekasih Dewi Ayu. Ia ber?pikir, satu-satunya tugas ter?
penting sebagai seorang suami sekarang ini adalah memastikan bahwa
istrinya hidup berbahagia, membiarkan dirinya melatih diri sendiri
bagai?mana menjadi seorang istri yang baik. Dan lihatlah betapa aku
bang?ga pada istri kecilku, katanya selalu pada para sahabatnya, karena
pada umur dua belas tahun ketika aku mengawininya ia telah pandai
me??masak dan menjahit dan membereskan rumah dan pekarangan,
se?hingga ketika kedua pembantu itu minggat untuk kawin kami tak
merasa perlu dibuat repot. Bagaimanapun Dewi Ayu memang telah
melatih anak-anaknya sejak bertahun-tahun sebelumnya, mungkin
sejak orok. Maka lihatlah, sepulang sekolah, kini ia semakin sibuk
menerima pesanan kue-kue dari tetangga untuk pesta ulang tahun anak
mereka. Ia membuat kue-kue demikian indah dan cantik dan manis
dan enak, itu diakui Maman Gendeng yang diam-diam sering mencuri
cicip di dapur.
Desas-desus bahwa ia pandai membuat kue dengan cepat menyebar
di antara tetangga, sehingga di akhir empat tahun perkawinan me?reka,
Maya Dewi telah memiliki dua pekerja: dua orang gadis dua belasan
tahun yang ia bawa karena mereka yatim piatu. Dari hari ke hari mereka
akan sibuk dengan adonan tepung dan oven dan cetakan kue.
Kesibukannya tak pernah membuatnya lalai memperhatikan segala
yang dibutuhkan suaminya, itulah yang membuat Maman Gendeng
de?mikian bahagia. Tapi ia tetap tak juga menyentuhnya. Ia tak mau me?
ram?pas kebahagiaan masa kecil istrinya dengan menyuruh Maya Dewi
telanjang di atas tempat tidur. Sebab meskipun sejak kecil ia tinggal
bersama seorang pelacur paling terkenal di kota itu, ia bah?kan mungkin
belum pernah memikirkan persetubuhan macam apa pun. Terutama
setelah ia mendengar apa yang terjadi pada kedua anak pertama Sang
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Shodancho, ia merasa yakin memang tak pantas melakukan pemaksaan
apa pun pada seorang perempuan. Bahkan meskipun itu adalah istrinya.
Demikianlah Maman Gendeng begitu bangga pada kesabaran hati?
nya, bertahun-tahun tak bercinta dengan perempuan mana pun kecuali
dengan tangannya sendiri di kamar mandi, sekitar sekali seminggu
pada hari-hari yang tak tertahankan, atau sebulan sekali pada hari-hari
yang penuh pertahanan diri. Sentuhan pada istrinya mungkin hanya
sebatas ciuman di dahi menjelang ia tidur atau saat ia akan pergi ke
se?ko?lah, kadang-kadang duduk saling berpelukan waktu mereka nonton
di bioskop, dan membopongnya ke tempat tidur jika istrinya tertidur
di sofa. Bahkan ia belum pernah melihatnya telanjang bulat. Tetap
bertahan dalam kesabaran misterius seorang lelaki yang dahulu adalah
pendekar pengembara yang memandang musim berganti musim dengan
ketenangan seorang penanti.
"Aku akan berhenti sekolah," kata Maya Dewi suatu ketika, menge?
jutkan Maman Gendeng. Waktu itu Maya Dewi telah men?jelang beru?
mur tujuh belas tahun. Alasannya sangat tegas dikatakan Maya Dewi,
bahwa ia ingin mengurus rumah dan suaminya dengan lebih baik.
Meskipun Maman Gendeng bisa membantah bahwa selama ini
rumah dan dirinya telah terurus dengan baik, bahkan mungkin jauh
le?bih baik daripada yang pernah dilakukan perempuan-perempuan lain
di seluruh kota sebab terbukti banyak suami melarikan diri ke rumah
pelacuran Mama Kalong, Maman Gendeng menerima saja apa yang
diputuskan istrinya dan tidak melihat hal itu sebagai hal buruk. Ter?
utama karena di mata istrinya ia melihat keyakinan yang tak tergoyahkan
tentang gagasannya berhenti sekolah.
Hingga ketika malam datang, sebagaimana biasa Maman Gendeng
masuk ke kamar istrinya untuk mengucapkan selamat malam dan
me?ngecup dahinya serta menyelimutinya. Ia menemukannya tengah
berbaring di atas tempat tidur dengan seprei berwarna merah muda
dengan wangi bunga mawar di udara kamar. Maya Dewi telanjang bulat
di sana, di bawah lampu yang berpendar muram, tersenyum padanya
dan berkata:
"Sayang, aku adalah istrimu dan aku sudah cukup dewasa untuk me?
nerimamu di atas tempat tidur," katanya sebelum melanjutkan, "peluk
dan bercintalah denganku malam ini, sebab ini malam terindah yang
akan kita miliki, malam pertama setelah lima tahun terlambat."
Pada umurnya, ia sungguh-sungguh demikian cantik, warisan kecan?
tikan ibunya, dengan rambut yang mengembang di atas bantal, dengan
buah dada yang mencuat terang-gelap di bawah temaram lampu, semen?
tara kedua tangannya jatuh di atas tempat tidur di samping tubuhnya.
Pinggulnya begitu indah dan kuat, dengan sebelah kaki sedikit terang?
kat tertekuk. Maman Gendeng tergagap sejenak melihat pemandangan
yang demikian memukau itu. Demi Tuhan ia tak pernah menyadari
penantiannya selama lima tahun akan menghadiahinya anugerah yang
luar biasa seperti ini, seolah-olah ia telah melakukan perjalanan jauh
dan memperoleh permata paling indah di dunia.
Lalu bagaikan didorong oleh kekuatan gaib yang tak kuasa ditolak,
ia bergerak mendekat, menjulurkan tangannya menjelajahi petak demi
petak tubuh istrinya dalam elusan yang demikian lem?but membuat sang
istri menggeliat dalam desahan berbisik. Lelaki itu kemudian naik ke
atas tempat tidur, tampak tak tergesa-gesa setelah ditempa bertahuntahun penantian, mencium dahi istrinya sebelum mencium pipi dan
bibirnya dalam ciuman panjang yang panas membara. Maya Dewi
mem?buka pakaian lelaki itu dalam gerakan halus membuat lelaki itu
tak menyadari bahwa kemudian mereka telah sama-sama telanjang.
Mereka larut dalam malam pertama yang meriah dan nyaris tanpa
akhir, berlalu hingga berminggu-minggu setelah itu. Mereka nyaris tak
pernah keluar rumah bagaikan pengantin baru sesungguhnya, bercinta
dari senja sampai pagi dan dari pagi hingga senja. Hanya keluar kamar
untuk makan dan minum dan ke kamar mandi dan menghirup udara
segar sebelum kembali ke tempat tidur. Mereka masih menjalani bulan
madu yang hebat itu di awal bulan Oktober yang hujan dan berdarah
di Halimunda, sehingga bahkan mereka tak pernah tahu apa yang telah
terjadi.
Alamanda adalah orang terakhir yang mendengar berita tertangkapnya
Kamerad Kliwon dan rencana eksekusinya pada pukul lima dini hari.
Berita tersebut diembuskan angin yang menerobos melalui jendela se?
mentara ia berbaring di kamar menanti suaminya pulang. Ia nyaris tak
pernah keluar rumah sejak suaminya, Sang Shodancho itu, disibukkan
oleh urusan awal Oktober yang aneh dan begitu tiba-tiba. Alamanda
telah dibuat menggigil membayangkan bahwa laki-laki yang diam-diam
masih dicintainya itu akan mati pada dini hari, mungkin di depan
sederet regu tembak, mungkin digantung, mungkin ditenggelamkan
dengan pemberat batu. Atau mati diadu dengan ajak.
Ia duduk di ujung tempat tidur dengan selimut melilit, sementara
matanya menatap tajam pada jam di dinding, melihat jarumnya ber?
gerak perlahan-lahan namun pasti suatu waktu akan mengakhiri hidup
bekas kekasihnya, mati atas perintah laki-laki yang kini men?jadi suami?
nya. Mungkin bahkan Sang Shodancho sendiri yang akan melakukan
eksekusi tersebut.
Deretan-deretan nostalgia seketika bermain di dalam benaknya,
dan ia mulai menangis pada perasaan terasing seperti itu. Seorang diri
di dalam kamar dan ia tiba-tiba begitu merindukan dekapan seorang
lelaki: tapi sebaliknya, ia bahkan ditinggalkan laki-laki yang selama
ini selalu mendekapnya (dan ia menerimanya dengan cara dingin)
karena disibukkan oleh huru-hara paling melelahkan setelah perburuan
babi. Sementara laki-laki lain yang jauh lebih ia harapkan berada di
atas tempat tidurnya untuk mendekapnya mengusir udara dingin yang
menggigilkan, bahkan tak berdaya menentang ke?ma?ti?an?nya sendiri.
Bagaimanapun, ia adalah salah satu dari banyak orang yang tak akan
menerima eksekusi dilakukan terhadap lelaki itu: Kamerad Kliwon. Tak
peduli bahwa ia pernah membakar tiga buah kapal penangkap ikan
suami?nya, memasukkan banyak remaja yang tergila-gila rock and roll ke
dalam tahanan kota, sebab baginya dan bagi banyak orang, lelaki itu
mungkin Halimunda dan begitu pula se?baliknya. Pada suatu masa ia
telah membuat citra yang baik untuk kota ini daripada sekadar reputasi?
nya sebagai gudang tempat pelacuran dan kota tempat para bandit dan
veteran berkumpul. Itu masa-masa ketika lelaki itu masih sekolah, ia
menjuarai berbagai lomba ilmu hitung dan ilmu alam. Ia bahkan secara
aneh pernah menjuarai lomba puisi di tingkat provinsi.
Dan setiap gadis di Halimunda, juga termasuk Alamanda, akan
membawa benaknya ke bayangan laki-laki itu setiap kali mereka me?
nge?nang kota ini. Mengenang peristiwa-peristiwa indah yang pernah
terjadi. Dan selama kariernya sebagai seorang komunis, Alamanda yakin
tak seorang pemimpin Partai Komunis pun lebih populer di kota-kota
kelahiran mereka daripada Kamerad Kliwon di Halimunda. Tapi dini
hari ini ia akan mati, mungkin di depan sederet regu tembak, dan
doa mulai mengambang di udara kota dari mulut-mulut orang-orang
yang berharap bisa menghentikan hukuman tersebut, namun mereka
tak berdaya melakukannya. Hanya Alamanda yang tampaknya masih
memiliki kekuatan untuk menghentikan pembunuhan laki-laki terse?
but: perempuan itu memegang kuncinya.
Pukul setengah lima dini hari, Sang Shodancho akhirnya muncul
di rumah. Ia tampaknya hendak beristirahat sebentar sebelum me?nyak?
si?kan eksekusi terhadap musuh paling menjengkelkannya dijalankan.
Namun bagaimanapun ada perasaan tertentu di mana ia merasa menye?
sal harus membunuh lelaki sekuat itu. Diam-diam ia harus mengakui ke?
kagumannya kepada orang tersebut, satu ke?ka?guman tulus dari seorang
musuh sebagaimana ia menaruh hormat pada Maman Gendeng, dan
kembali ia menyesal harus kehilangan orang seperti itu. Ia melemparkan
revolver ke atas tempat tidurnya, senjata yang sedianya hendak ia pakai
untuk ikut membunuh ko?munis gila satu itu, lalu membaringkan diri di
atas tempat tidur dalam kepenatan tanpa menyadari bahwa Alamanda
masih duduk menggigil di sudut tempat tidur.
"Katakan, Shodancho, ia akan mati pukul lima dini hari ini, kan?"
tanya Alamanda tiba-tiba dari kegelapan.
"Ya," jawab Sang Shodancho tanpa menoleh.
"Akan kubuka mantra itu dan kuberikan cintaku untukmu jika kau
menjamin bahwa laki-laki itu akan hidup," kata Alamanda lagi, dengan
suara nyaring dan penuh kepastian.
Sang Shodancho tiba-tiba bangun dan duduk memandang istrinya
dalam kegelapan kamar. Keduanya saling memandang sejenak dalam
satu transaksi paling aneh antara sepasang suami istri.
"Aku serius, Shodancho."
"Transaksi yang cukup adil," kata Sang Shodancho, "meskipun itu
membuatku sangat cemburu."
Demikianlah Kamerad Kliwon melewati malam itu tanpa sebutir
peluru pun bersarang di tubuhnya. Sang Shodancho tak berkata apa
pun lagi pada istrinya. Ia hanya berdiri mengambil revolvernya kembali,
lalu berjalan keluar kamar dengan langkah tegap seolah ia memperoleh
pasokan energi luar biasa. Ia pergi ke markas rayon militer tempat Ka?
me?rad Kliwon ditahan dan menemui regu tembak yang tampak sedang
mengelap senapan-senapan mereka dalam satu kebanggaan bahwa
setengah jam lagi mereka akan membunuh mangsa paling besar dalam
sejarah karier militer mereka, jika bukan sepanjang hidup mereka. Sang
Shodancho menemui pemimpin regu tembak tersebut dan mengatakan
apa maunya.
Yang terjadi adalah bahwa Sang Shodancho mengejutkan seluruh
anak buahnya, baik yang sedang berjaga-jaga dan terutama para anggota
regu tembak yang telah dibuat tak sabar oleh jadwal ketat. Ia berkata
bahwa tak seorang pun boleh membunuh lelaki itu: Kamerad Kliwon,
dan tak seorang pun boleh bertanya apa alasannya. Hal-hal pertang?
gungjawaban pada para jenderal di komando pusat adalah tanggung
jawabnya, dan jika ada salah seorang saja berani membunuh laki-laki
itu, ia tak akan segan-segan membunuh pem?bunuh tersebut dengan
revolvernya sendiri (sambil mem?per?li?hat?kan senjata itu). Ia akan mem?
bunuh keluarga pembunuh tersebut tanpa sisa: anak, istri, dan orang
tua dan mertua, kakak serta bahkan ke?ponakan, sepupu, paman dan
bibi mereka.
Perintahnya demikian tegas dan tak seorang pun berani mem?bantah
meskipun otak mereka masih sempat bertanya-tanya apa yang terjadi.
Tapi ketika Sang Shodancho hendak pulang kembali ke rumah, ia
berdiri di gerbang dan menoleh pada para prajurit yang telah tak tidur
sepanjang malam untuk menanti kesempatan eksekusi tersebut. Lama
Sang Shodancho memandang mereka sebelum berkata:
"Kalian boleh menghajarnya, namun sekali lagi, jangan sampai mati.
Pukul tujuh pagi ia sudah harus dibebaskan."
Dan ia segera pulang.
Di rumah ia mendapati istrinya berbaring telanjang di atas tem?
pat tidur mereka, persis sebagaimana Maman Gendeng me?ne?mu?kan
Maya Dewi beberapa waktu sebelumnya. Udara terasa begitu hangat
dan menyegarkan meskipun di luar musim hujan membuat segalanya
membeku. Melalui lampu tidur yang berpendar ia melihat lekuk tubuh
perempuan yang telah begitu ia kenal, lekuk demi le?kuk. Kini perempu?
an itu berumur dua puluh satu tahun, sangat matang dan menggoda.
Dan Sang Shodancho segera menyadari kamar itu telah dihias
me??nye?rupai kamar pengantin. Segalanya menampilkan warna kuning
kegemaran Alamanda: dari seprei, selimut hingga kelambu. Ada bunga
anggrek dan sedap malam pada vas bunga di meja pojok dan wanginya
begitu menyegarkan di hidung. Ini seperti sajian hebat malam pengan?tin,
dengan kamar pengantin, bagaikan pesta yang terlambat lima tahun.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang Shodancho dengan sikap malu-malu seorang pengantin baru,
berbeda dari kebiasaannya yang serba tergesa-gesa, membuka pakaian?
nya perlahan-lahan. Kemudian malam pengantin yang terlambat lima
tahun itu pun dimulai, diikuti bulan madu yang romantis dan hangat
luar biasa. Mereka bercinta malam itu dengan begitu liar dan dahsyat,
ber?mula di atas tempat tidur warna kuning tersebut, lalu bergeser ke
lantai saat mereka terguling tanpa sadar, lalu berlanjut di kamar mandi,
dan melakukannya di sofa pada saat matahari telah menyorot tajam.
Mereka menutup semua pintu rumah, mengurung para pembantu
di dapur, dan melakukannya lagi di ruang tamu diselingi membaca
buku-buku porno, kembali lagi ke kamar mandi, dan semuanya dilaku?
kan dalam kejutan-kejutan untuk tetangga dan para pembantu yang
bertanya-tanya di dapur karena teriakan-teriakan pendek Ala?manda
serta dengusan Sang Shodancho. Mereka melakukannya hingga tiga
kali ejakulasi di malam yang sempit itu, tapi me?muas?kannya men?jadi
sebelas kali sepanjang siang: sungguh-sungguh sepasang pe?tarung yang
telah dibuat lapar selama lima tahun.
Sebagaimana Maman Gendeng dan Maya Dewi, mereka nyaris tak
keluar rumah selama minggu-minggu setelah itu. Tak lagi pe?duli tentang
apa yang terjadi di luar rumah mereka.
Hingga berbulan-bulan kemudian Sang Shodancho mendengar
kabar bahwa istri Maman Gendeng tengah hamil tua. Seseorang mela?
porkan bahwa para preman anak buah Maman Gendeng telah datang
ke rumah sahabatnya itu dengan hadiah-hadiah kecil untuk ikut ber?
bahagia bersama keluarga tersebut. Pesta kecil digelar, para preman itu
mabuk di halaman belakang, tak peduli pada teriakan Maman Gendeng
yang melarang siapa pun mabuk di rumahnya. Mereka bahkan mulai
bergelimpangan di lantai hingga Maman Gendeng harus menyeretnya
satu per satu dan melemparkannya ke pinggir jalan.
Pada saat itulah Maman Gendeng duduk di kursi beranda me?
mandangi sahabat-sahabatnya yang bergelimpangan di pinggir jalan
tersebut dan beberapa di antaranya terhuyung-huyung kembali ke pang?
kalan mereka di terminal bis. Ia memandang semua itu dalam pan?dangan
gamang antara seorang lelaki yang ingin memiliki satu kehidupan sebiasa
mungkin sebagaimana laki-laki berkeluarga yang lain yang pernah ia
lihat, dan seorang lelaki yang telah hidup ber?tahun-tahun dalam keliaran
udara terbuka dengan solidaritas para sahabat.
Ia masih laki-laki penuh ambiguitas itu: lelaki jahat di luar rumah,
namun lelaki yang begitu baik di dalam rumah, ketika anak mereka
akhir?nya lahir. Sebagaimana janjinya, ia memberi nama bayi itu Reng?
ganis. Kelak orang lebih banyak memanggilnya sebagai Rengganis Si
Cantik karena kecantikannya yang luar biasa.
Pada waktu itulah Sang Shodancho muncul untuk ikut berbahagia
bersamanya. Shodancho itu berkata dengan penuh ketulusan bahwa ia
sungguh-sungguh merasa bahagia melihat sahabatnya kemudian mem?
peroleh seorang anak perempuan yang begitu cantik seperti ibu dan
neneknya. Tentu saja ia sempat mengolok-oloknya dengan mengata?
kan bahwa laki-laki itu akhirnya memperoleh kesempatan malam
per?tama setelah lima tahun menanti dan terbukti tombaknya masih
berfungsi dengan baik. Tak peduli harus beristirahat selama itu kecuali
kesempatan-kesempatan konyol di kamar mandi.
Mendengar itu Maman Gendeng yang bengis dan kasar jadi tersipu
malu dan bertanya dengan hati-hati bagaimana keadaan Sang Shodan?
cho sendiri.
Sang Shodancho menampakkan senyumnya yang lebar dan ber?
kata, lihatlah aku wahai sahabatku. Kita bernasib mujur dan segala
ke?sabaran ini akhirnya berbuah dengan baik. Istriku tengah hamil tua
pula, begitu bulat. Wahai sahabatku, jangan perlihatkan pan?dangan
bertanya-tanya seperti itu sebab aku tak melakukannya sebagaimana dua
kehamilan terdahulu. Dua anak telah hilang padahal mereka harusnya
lahir sebagai anak-anak yang manis, tapi kuharap kesedihanku akan
lenyap kini. Istriku akan melahirkan sesungguh-sung?guhnya anak, dan
aku bersumpah ia tak akan kalah cantik dari anak perempuanmu ini.
Sebab aku telah melakukannya dengan benar, tidak dalam perbuatan
terkutuk memerkosa istriku sendiri. Kami melakukannya sebagaimana
pengantin-pengantin muda lainnya, meskipun agak malu-malu tapi
ha?ngat dan bergelora dan tulus dan penuh cinta.
Ia masih melanjutkan: kau pasti terkejut mendengar itu, wahai
sahabatku. Begitu pula aku, soal keterkejutan ini, ketika suatu malam
menjelang pagi menemukan istriku telanjang dan berkata bahwa ia ber?
sedia ditiduri tanpa paksaan apa pun dan selama berhari-hari setelah itu
kami menikmati malam-malam bulan madu yang begitu indah. Cerita
ini mungkin tak jauh berbeda dengan apa yang kau alami, sahabatku,
sebab mungkin dunia telah memberi takdir agar kita bernasib sama.
Kedua lelaki itu tertawa kecil.
Sang Shodancho sama sekali tak mengatakan dan ia menganggap
tak ada perlunya Maman Gendeng tahu, bahwa ia memperoleh cinta
istrinya dengan cara membayarnya dengan nyawa seorang komunis
bernama Kamerad Kliwon.
Untuk kebahagiaan mereka yang melimpah-limpah itu, Maman
Gendeng dan Sang Shodancho kemudian bersulang di halaman bela?
kang tempat Maman Gendeng memelihara ikan sambil bercakap-cakap
tentang banyak hal, tentang strategi-strategi bermain truf dengan janji
bahwa mereka akan bertemu kembali di meja permainan kartu di te?
ngah pasar setelah berbulan-bulan keduanya absen disebabkan bulan
madu yang nyaris tanpa akhir itu.
Enam bulan setelah Rengganis dilahirkan, Maman Gendeng mem?
bawa anak dan istrinya ke rumah Sang Shodancho setelah ia mende?
ngar bahwa Alamanda hendak melahirkan. Mereka datang tepat pada
waktu anak itu muncul dan menangis. Saat itulah Maman Gendeng
menjabat tangan Sang Shodancho yang berbahagia melihat anak bayi
yang sungguh-sungguh terdiri dari tulang dan daging dan darah dan
kulit dan sempurna sebagaimana kebanyakan bayi lain di dunia. Bayi
itu seorang perempuan, dan kenyataannya memang tak kalah cantik
dari anak musuh sekaligus sahabatnya itu.
Maman Gendeng berkata, "Selamat, Shodancho, kuharap tidak
sebagaimana kita, sebagai sepupu kedua anak gadis ini akan menjadi
sahabat baik."
"Tentu saja," kata Sang Shodancho.
"Apakah kau telah mempersiapkan sebuah nama?"
"Sebagaimana kedua kakaknya yang lenyap," kata Sang Shodancho,
"ia kuberi nama Nurul Aini." Kelak orang lebih suka menyebutnya
pendek saja, Ai.
Demikianlah kisah tentang dua orang ayah yang menanti bertahuntahun sejak hari perkawinan mereka untuk memperoleh buah hati
masing-masing. Demikian pulalah mengapa keduanya kemudian men?
jadi dua orang laki-laki yang begitu mencintai anak-anak pe?rem?puan
mereka sehingga jika mereka kembali bertemu di meja permainan
kar?tu truf bersama pedagang ikan asin dan pemotong daging, keduanya
kadang datang dengan anak-anak tersebut, dan di sanalah mereka ke?
mudian tumbuh bersama-sama. Mereka akan membiarkan anak-anak
itu mengacak-acak kartu di tengah permainan atau membuang begitu
saja uang-uang logam taruhan mereka. Dan dengan semakin aneh,
persahabatan Maman Gendeng dan Sang Shodancho semakin erat
dengan kehadiran dua gadis tersebut.
Sementara itu, dua belas hari setelah kelahiran Nurul Aini, se?pupu
yang lain dilahirkan. Ia seorang bayi laki-laki, anak Adinda, dan ayah
bocah itu memberi si bayi nama Krisan. Ini adalah kisah yang lain,
keluarga yang lain, nasib yang lain. Berawal jauh berbulan-bulan ke
belakang, kembali ke hari ketika Kamerad Kliwon hendak dieksekusi
di waktu dini hari. Jika eksekusi itu sungguh-sungguh dilakukan, Krisan
tak mungkin dilahirkan. Tapi demikianlah nasib, Kamerad Kliwon tak
pernah sungguh-sungguh dieksekusi, seba?gai?mana kemudian diketahui
banyak orang, setelah Alamanda membeli nyawanya dengan penye?
rah?an diri pada Sang Shodancho. Waktu itu tak seorang pun tahu
bah?wa ketiga sepupu yang dilahirkan tersebut, cucu-cucu Dewi Ayu,
akan membawa pada tragedi paling me?nya?kitkan bertahun-tahun kelak.
Mereka melalui kehidupan yang sunyi itu dengan sangat berbahagia:
Kamino dan Farida. Kamino berbahagia karena setelah bertahun-tahun
ia akhirnya memperoleh seorang gadis yang mau menjadi is?trinya, dan
tinggal di tengah pemakaman sebagai penunggu dan penggali kuburan.
Ia bahkan tak pernah cemburu meskipun istrinya berkali-kali mengata?
kan, bahwa ia mau kawin dengannya karena ia ingin tinggal dekat
dengan kuburan ayahnya.
"Sia-sia cemburu pada orang mati," kata Kamino, "kau tak bisa
mem??buat mereka mati dua kali."
Mereka masih sering memainkan permainan jailangkung itu, me?
manggil roh Mualimin untuk menemui anak gadisnya. Orang mati itu
tampaknya bahagia bahwa Farida memperoleh suami seorang penggali
kubur.
"Tak ada yang lebih baik dari penggali kubur," kata si orang mati,
"mereka melayani orang-orang yang tak lagi butuh dilayani."
Perkawinan mereka semakin bahagia ketika tak lama setelah
perkawinan keduanya, Farida hamil. "Jika ia lelaki, generasi baru peng?
gali kubur segera tiba," kata Farida kepada suaminya, "dan jika ia perem?
puan, kota ini terancam tak ada seorang pun mau me?ngu?burkan mayat."
Begitulah kehidupan mereka berdua. Sehari-hari, kebanyakan
mereka hanya berbincang-bincang berdua. Selebihnya berbicara de?ngan
roh-roh orang mati. Sisanya mungkin bicara dengan para pe?ziarah, atau
rombongan pengantar jenazah, atau kesempatan-ke?sempatan langka
bertemu tetangga yang jaraknya terhalang per?kebunan cokelat dan
kelapa.
Selain itu kehidupan mereka juga bisa dikatakan cukup makmur.
Selain rumah yang telah disediakan kota untuk mereka, keluarga itu
tak pernah kekurangan uang. Setiap hari hampir selalu ada peziarah,
dan mereka selalu menyelipkan selembar dua lembar uang ke tangan
Kamino. Orang berziarah pada hari ketujuh kematian seseorang, dan
berziarah kembali pada hari keempat puluh, berziarah lagi pada hari ke?
seratus kematian, dan pada hari keseribu kematian. Di awal bulan puasa
mereka juga melakukan ziarah, dan setelah Lebaran orang-orang kadang
berziarah juga. Karena banyak orang dimakamkan di sana, tak akan
mengherankan jika setiap hari ada orang berziarah ke sana. Itu mem?
buat kehidupan keluarga itu sesungguhnya tak ter?lampau sunyi sama
sekali. Mereka suka terhibur oleh kedatangan para peziarah tersebut.
Yang agak menjengkelkan mungkin gangguan hantu-hantu peng?
huni kuburan. Mereka sama sekali tak jahat, tapi nakal. Mereka se?
ring menggoda para pejalan kaki yang terpaksa lewat di tepi kuburan,
dengan sekadar suara atau penampakan diri sebagai penjual ubi tanpa
muka. Itu sering terjadi, hingga tak banyak orang mau lewat di sekitar
tempat itu di malam hari, disebabkan godaan hantu tanpa muka yang
mengerikan. Kamino dan Farida sering melihatnya, tapi mereka sudah
sangat terbiasa, dan hanya mengusirnya seperti orang mengusir ayam
yang masuk ke dapur. Tentu saja ada hantu-hantu jenis lain, namun
seperti apa pun bentuknya, Kamino dan Farida telah dibuat kebal oleh
godaan mereka. Bahkan kadangkala mereka balik menggoda.
Siang hari, jika tak banyak kesibukan, Farida masih sering duduk
sendirian di samping kuburan ayahnya. Ia menempatkan sebuah kursi
di sana tempat ia bisa duduk. Namun ketika usia kehamilannya sema?
kin bertambah, duduk sedikit melelahkan, maka ia menggelar tikar
dan berbaring di bawah naungan daun-daun kamboja. Ternyata itu
tak bertahan lama, sebab angin laut yang sering menerbangkan pasir
cukup mengganggu siapa pun yang berbaring di tanah. Maka Kamino
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuatkannya ayunan dari anyaman tali yang diikatkan dari satu
pohon kamboja ke pohon kamboja lainnya, dan istrinya bisa berbaring
di sana sambil memejamkan mata dibuai angin se?mentara tubuhnya
terayun-ayun ringan.
Suatu ketika hal itu menjadi malapetaka. Ketika usia kehamilan?
nya mencapai enam bulan, ia tertidur di ayunan tersebut. Dalam satu
mim?pi buruk yang mengguncangkan, ia terlonjak dan terpelanting
jatuh. Perempuan itu mengalami pendarahan, dan sebelum Kamino
yang mendengar suara bergedebuk sampai di tempatnya, ia telah mati.
Betapa sedihnya lelaki itu: ia kehilangan istri sekaligus bakal anak?
nya. Ia akan melalui hari-hari sepi yang sama sebagaimana telah ia lalui
bertahun-tahun. Tapi ini akan berbeda, kesepiannya akan jauh lebih
menyedihkan, sebab ia pernah memiliki hari-hari penuh kebahagiaan
dengan harapan akan punya anak. Ia mengurus sendiri pemakaman
istrinya, hanya memberitahu satu dua tetangga dise?babkan rasa sedih?
nya sehingga ia tak sanggup memberitahu lebih banyak orang. Ia me?
mandikan istrinya dengan penuh kasih sayang, dalam kesedihan yang
menyayat, dan menyalahkan dirinya karena telah membuat ayunan tali
tersebut. Ia bahkan menyalatkan jenazah itu sendirian pula. Rumah
penggali kubur itu memiliki cukup banyak stok kain kafan, maka ia
mu?lai membungkus sendiri istrinya dengan kain kafan. Di sore hari ia
mulai mencangkul kuburan istrinya, persis di samping kuburan Mua?
li?min sebab ia tahu itulah yang tentunya diinginkan Farida. Ketika
malam datang, penggalian itu selesai. Dengan air mata bercucuran, ia
membopong mayat is?trinya dan meletakkannya di ceruk kecil di dasar
galian. Mulai menutupinya dengan papan-papan kecil. Ketika ia mulai
menguruk kembali lubang tersebut dengan tanah, tangisannya semakin
pecah dalam ledakan yang memilukan.
Ia tak tidur malam itu, bagaimanapun. Seperti Farida ketika meng?
hadapi kematian ayahnya, Kamino hanya duduk di samping kuburan
istrinya tanpa beranjak sedikit pun. Tubuhnya masih berlepotan tanah
galian, dan cangkul bahkan masih berdiri di sam?ping?nya. Sampai
tiba-tiba ia mendengar tangisan kecil. Tangisan se?orang bocah, tidak,
seorang bayi. Ia menoleh ke sana-kemari, tapi tak melihat seorang pun.
Ia mulai berpikir bahwa itu gangguan dari hantu-hantu kuburan. Tapi
ketika suara tangisan itu makin nyata, ia tahu arahnya berasal dari
dalam kuburan istrinya.
Bagai orang kesurupan, ia menggali kembali kuburan istrinya. Meng?
angkat kembali papan-papan pelindung. Mayat itu masih berbaring
kaku diselimuti kain kafan, namun di bagian selangkangan ia melihat
sesuatu bergerak-gerak. Kamino segera membuka kain kafan tersebut,
dan melihat seorang bayi setengah keluar dari ke?ma?luan istrinya, ter?
jepit kedua paha mayat tersebut. Ia menarik si bayi, yang jelas-jelas
hi?dup dan menangis keras, memotong tali pusarnya dengan gigitan.
Itulah anak laki-lakinya. Lahir di dalam kuburan, prematur, namun
tampak sangat sehat. Itu seperti anugerah bagi kesedihannya, se?perti
bingkisan yang manis dari kekasihnya. Ia membesarkan anak itu sendiri,
mencintainya, dan memberinya nama Kinkin.
Di hari ketika ia seharusnya telah mati dieksekusi, Kamerad Kliwon
ditemukan babak belur di belakang markas rayon militer di pagi hari
oleh Adinda yang sengaja datang untuk memastikan jika ia mati pa?
ling tidak ia bisa melihat mayatnya. Laki-laki itu, sebagaimana harapan
Adinda, telah mengenakan pakaian bersih dan baik (meskipun kini
dihiasi percikan darah di sana-sini) yang ia kirim untuknya, karena
pada pukul setengah lima dini hari, selepas kepergian Sang Shodancho,
ia memang telah mempersiapkan kematiannya dengan tenang. Ia bah?
kan sempat mandi dan mematut diri di depan cermin yang diberikan
seorang prajurit penjaga, dan ia berharap malaikat maut menyukai
pe?nampilannya.
"Apakah kau takut menghadapi kematianmu, Kamerad?" tanya
salah satu dari prajurit penjaga sesaat sebelum waktu eksekusinya tiba.
"Hanya tentara yang dipenuhi rasa takut," kata Kamerad Kliwon,
"sebab jika tidak, mereka tak akan membutuhkan senjata apa pun."
Pada pukul lima segerombolan prajurit menjemputnya, prajurit
yang sedikit marah karena hasrat mereka untuk menembaknya mati
terbuang begitu saja disebabkan perintah Sang Shodancho. Dan kema?
rahan mereka semakin membuncah melihat sikap tenang lelaki itu
menghadapi kematian.
"Aku bisa berjalan sendiri menuju kuburanku," kata Kamerad Kli?
won.
"Izinkanlah kami bersusah-payah membawamu ke sana," kata salah
satu dari prajurit-prajurit itu.
Maka mereka menyeretnya pada kedua tangan dengan kaki terjulur
ke lantai dalam satu sikap kurang ajar. Prajurit yang lain menendangi?
nya sepanjang lorong tanpa memberinya kesempatan bicara sepatah
kata pun. Mereka melemparkannya ke tengah lapangan kecil. Di
sana?lah ia seharusnya dieksekusi. Jika ia harus mati di depan sederet
regu tembak, ia harus berdiri di dekat pagar tembok setinggi tiga meter
setengah sementara para penembak akan berdiri berderet di depannya
pada jarak sekitar sepuluh meter. Tapi pagi itu tak ada penembakan.
Yang ada adalah lampu spot yang menerangi lapangan kecil tersebut,
membuat Kamerad Kliwon yang terbaring di tanah dan mencoba
bangun silau karenanya. Tubuhnya terasa sakit di semua tempat akibat
tendangan sepanjang lorong tadi. Bahkan di ambang kematiannya, ia
masih berharap tak ada tulang yang patah.
Ia berdiri dan mulai merasakan bahwa ada darah meleleh di pung?
gungnya, berjalan sedikit sempoyongan menuju dinding tempat ia
ha?rus berdiri untuk ditembak mati. Tapi para prajurit itu tak tinggal
diam, de?ngan ganas mereka menghantamnya dengan tinju terlatih,
me??nendangnya kembali dengan sepatu yang terbungkus sepatu lars,
dan memukulnya dengan gagang senapan.
"Kalian tak mungkin membunuhku dengan cara seperti ini," kata
Kamerad Kliwon.
Satu tendangan lagi dan ia tak sadarkan diri. Itu mengakhiri semua
penyiksaan terhadap dirinya. Prajurit-prajurit itu hanya men?jung?kirbalikkannya dengan ujung sepatu, dan tak seorang pun berani memu?
kulnya lagi, terutama dalam keadaan tak sadar seperti itu, didorong
ke?khawatiran ia akan mati. Sang Shodancho telah mengizinkan mereka
menyiksanya, tapi tidak membunuhnya, dan mereka tak berani meng?
ambil risiko menentang Sang Shodancho. Akhirnya mereka menyeret
tubuh tak sadar itu ke halaman belakang rayon militer. Jika ia mati
di?cabik-cabik anjing, itu sudah di luar tanggung jawab mereka.
Ketika ia sadar, Kamerad Kliwon menemukan dirinya di atas tem?
pat tidur rumah sakit, dengan tubuh kaku diselimuti pembalut malang
melintang di sana-sini. Di sampingnya duduk menanti Adinda, wajah?
nya demikian cantik dengan senyum begitu tulus, senang melihatnya
sadar dan masih hidup.
"Nona ini menyeretmu sampai jalan raya sebelum membawanya
ke sini dengan becak, dan kau tak sadarkan diri selama dua hari dua
malam, dan nona ini menungguimu terus di sini selama itu," kata dokter
yang berdiri di sampingnya.
Kamerad Kliwon mengatakan terima kasih yang tak terdengar
karena mulutnya juga dibungkam pembalut, tapi dari sorot matanya
Adinda bisa melihat ia mengatakan demikian, dan ia mengangguk
berkata berharap ia bisa sembuh secepatnya.
Itulah laki-laki yang memimpin belasan pemogokan, memimpin
lebih dari seribu orang komunis di Halimunda dan ia kehilangan se?
muanya: lebih dari seribu orang, jumlahnya tak pasti, anggota maupun
simpatisan Partai akhirnya mati dan sisanya yang tak begitu banyak
ma?suk ke dalam tahanan, sebagian besar masih di Bloedenkamp. Ia
adalah satu-satunya komunis yang masih tersisa bebas di kota itu,
kehi?langan kontak dengan sahabat-sahabat se?per?juangannya, terasing
di kota sendiri yang tengah bergerak menuju du?nia baru, dunia tanpa
orang-orang komunis.
Ia berbaring terasing di rumah sakit itu selama seminggu, ditunggui
Adinda dan setiap pagi ditengok Mina. Kadang-kadang kesadarannya
yang masih labil membuatnya mengigau memanggil nama temanteman?nya, semuanya tentu saja kemungkinan besar sudah mati, dan
mungkin masuk neraka. Dan di lain waktu ia masih menanyakan korankoran yang tak pernah terbit di awal bulan Ok?tober, masih terobsesi
untuk menerima dan membacanya. Ia ma?sih berpikir semua kekacauan
ini berawal dari tak munculnya koran-koran yang ia biasa baca.
Adinda berkali-kali mencoba menjelaskan kepadanya bahwa korankoran itu memang tak terbit pada 1 Oktober, dan tidak juga pada harihari berikutnya. Tapi Kamerad Kliwon bersikeras bahwa koran-koran
tersebut terbit, dicetak di percetakan sebagaimana biasa. "Tapi tentaratentara sialan itu merampas mereka semua." Jika igauannya sudah mulai
melantur, Adinda segera mengompres dahinya yang terserang demam,
dan laki-laki itu akan segera terlelap.
"Apakah aku perlu memberi rekomendasi ke rumah sakit jiwa?"
tanya si dokter pada Adinda.
"Tak perlu," kata Adinda. "Ia sebenarnya waras bukan main, yang
gila adalah dunia yang dihadapinya."
Sepulang dari rumah sakit, secara fisik ia telah cukup pulih, Kamerad
Kliwon kembali ke rumah ibunya, menjadi orang yang tak peduli pada
siapa pun. Ia mengambil banyak pekerjaan ibunya dan bekerja seorang
diri menjahit pakaian-pakaian pesanan. Pekerjaannya serapi pekerjaan
ibunya, namun itu ia lakukan lebih karena ia tak mau berhubungan
dengan orang lain. Matanya yang cekung terus menunduk memandangi
gerakan jarum. Ia telah menjadi laki-laki yang kehilangan kontak de?
ngan realitas kotanya, hanya menyibukkan diri dengan jahitan-jahitan.
Dan bahkan jika tak ada kain pelanggan yang harus dijahit, ia akan
menjahit apa pun, mulai dari sapu tangan, sarung bantal sampai ketika
tak ada lagi kain perca besar, ia mulai mengumpulkan sobekan-sobekan
kain perca kecil dan membuatnya menjadi apa pun yang tiba-tiba ter?
pikirkan oleh otaknya.
Karena ia tak mau lagi bicara dengan siapa pun, bahkan tak lagi
keluar rumah, semua orang mulai menganggapnya tak ada sama sekali,
mengabaikannya dan kadang-kadang seseorang menggerutu, "Ada
baiknya jika waktu itu ia sungguh-sungguh dieksekusi mati."
"Kau bahkan mati tanpa dieksekusi," kata Adinda, yang beberapa
kali mencoba menghidupkannya lagi. "Mungkin benar bahwa kau ha?
rusnya dikirim ke rumah sakit jiwa."
Bahkan ia tak mengatakan apa pun pada Adinda, membuat gadis
itu menyerah untuk tidak menemuinya kembali.
Namun suatu pagi tiba-tiba ia keluar dari rumah dengan pakaian
rapi, membuat ibunya terkejut dan memandangnya dengan cara aneh
ketika ia keluar dari pintu dan melangkah menuju jalan. Dan itu mem?
buat penduduk kota secepat air bah langsung memenuhi jalanan, demi
mendengar kabar angin bahwa Kamerad Kliwon yang itu menampakkan
dirinya kembali di jalan-jalan kota. Mereka melihatnya melintasi Jalan
Pramuka, Jalan Rengganis, Jalan Kidang, Jalan Belanda, Jalan Merdeka
dan banyak jalan lainnya. Itu mengingatkan banyak orang pada keru?
munan orang-orang yang me?lihatnya beberapa waktu lalu digiring para
prajurit untuk dijebloskan ke dalam tahanan.
Dan sebagaimana ketika ia digiring para prajurit, ia berjalan dengan
keacuhan yang luar biasa. Menganggap para penonton yang berjejalan
itu tak lebih sedang melihat karnaval kota yang secara ima?jiner ia
bayangkan mengiringinya di belakang. Kenyataannya memang ada
orang-orang, dan jumlahnya semakin banyak, meng?ikutinya di belakang
didorong rasa penasaran ke mana ia akan pergi. Beberapa yang lain
hanya berdiri di jendela-jendela mereka jika rumahnya di pinggir jalan.
"Jika boleh tahu, ke mana kau akan pergi?" tanya seseorang.
"Ujung jalan," jawabnya pendek.
Itu kalimat pertamanya setelah ia keluar dari rumah sakit, dan
orang-orang mendengarnya dalam satu sensasi seolah mendengar se?
ekor orangutan bicara. Banyak di antara mereka berpikir bahwa ia akan
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
me?nuju markas Partai Komunis lama yang telah menjadi puing-puing
sisa pembakaran dan ia akan memproklamasikan kembali berdirinya
Par?tai Komunis. Beberapa orang menduga ia akan bunuh diri me?neng?
gelamkan diri ke laut, tapi semuanya serba tak pasti maka mereka terus
mengikutinya. Sungguh-sungguh seperti iring-iringan karnaval.
Ketika ia melewati alun-alun kota, orang dibuat terpukau ketika ia
tiba-tiba memetik setangkai bunga mawar dan menciumi harumnya
demikian syahdu, membuat banyak gadis nyaris tak sadarkan diri me?
lihat pemandangan tersebut.
Setelah satu bulan mengurung diri di dalam rumah, kini ia tampak
lebih gemuk daripada ketika ia memimpin Partai Komunis, dan tentu
saja tampak sangat sehat. Meskipun sebelum ini mereka melihat mata?
nya di relung yang cekung tampak lelah dan depresi, namun ketika
mereka melihatnya mencium bunga mawar tersebut tampak sekilas
mata yang berbinar, yang dahulu kala membuat banyak gadis mabuk
kepayang. Gadis-gadis itu kini mulai berharap bahwa ia sedang dalam
perjalanan menuju rumah mereka dalam satu usaha rekonsiliasi, nostal?
gia, atau apa pun namanya. Menjalin kembali kisah cinta mereka yang
dahulu pernah terjadi, atau yang belum sempat terjadi. Dan kini se?
ma?kin banyak orang berjalan di belakangnya dalam satu kepenasaran
yang sama.
"Jika boleh tahu, untuk siapakah bunga itu, Kamerad?" tanya se?
orang gadis dengan bibir bergetar menahan gejolak di hatinya.
"Untuk anjing."
Dan ia melemparkan bunga mawar itu pada seekor anjing kampung
yang secara kebetulan lewat.
Banyak gadis patah hati, dan semakin patah hati ketika ia ternyata
pergi ke rumah Adinda yang waktu itu telah berumur dua puluh tahun,
dengan kecantikan yang diwariskan ibunya sebagaimana diperoleh
kedua saudaranya yang lain. Dewi Ayu yang terkejut dengan kemun?
culannya mempersilakan laki-laki itu masuk, sementara ratusan orang
yang dibuat penasaran berjubel di halaman depan rumah, berdesakan
di balik kaca-kaca jendela untuk mendengar dan mengetahui apa yang
akan terjadi. Bahkan Sang Shodancho dan Alamanda yang telah lima
tahun tak bertemu mertua dan ibu mereka menyempatkan datang dan
berdesakan dengan orang-orang tersebut, melupakan sejenak bulan
madu mereka yang hangat ber?gelora, demi mendengar kabar bahwa
Kamerad Kliwon datang ke rumah Dewi Ayu. Orang-orang masih ber?
tanya-tanya apakah ia datang untuk Adinda atau Dewi Ayu, tak seorang
pun bisa me?mastikan. Ia tampaknya masih orang paling populer yang
sama sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, dan orang menantikan
drama apa lagi yang akan ia mainkan. Paling tidak ia telah memerankan
lelaki paling dicintai di kota itu, sekaligus paling dibenci.
"Selamat siang, Nyonya," kata Kamerad Kliwon.
"Selamat siang. Aku bertanya-tanya kenapa kau tidak mati diekse?
kusi," kata Dewi Ayu.
"Sebab mereka tahu kematian terlalu menyenangkan untukku."
Dewi Ayu tertawa kecil mendengar nada ironi dalam kalimatnya.
"Apa?kah kau ingin segelas kopi buatan anak gadisku, Kamerad? Ku?de?
ngar kalian begitu akrab di tahun-tahun terakhir."
"Anak gadis yang mana, Nyonya?"
"Hanya tertinggal satu. Adinda."
"Ya, terima kasih, Nyonya. Aku datang untuk melamar Adinda."
Gemuruh keributan mengambang di atas orang-orang yang berkeru?
mun itu, terkejut oleh lamaran tersebut, dan tentu saja ada lebih banyak
gadis yang patah hati. Bahkan Alamanda dibuat menangis mendengar
hal itu, antara rasa haru seolah dirinya yang dilamar, dan rasa cemburu
menyadari kenyataan bahwa adiknyalah yang memperoleh anugerah
tersebut. Lebih dari siapa pun, Adinda yang diam-diam mendengarnya
dari balik dinding ruangan merupakan yang paling terkejut mendengar
lamaran mendadak Kamerad Kliwon, dan ia yang sesungguhnya dalam
perjalanan dengan nampan di tangan berisi dua gelas kopi terpaksa
berhenti di belakang dinding tersebut, beruntung bahwa gelas-gelas
kopinya tak jatuh ke lantai.
Ia duduk di sana, bingung dalam kebahagiaan dan keterkejutan.
Dewi Ayu yang telah mengalami hidup paling pahit di antara mereka
tampak lebih bisa menguasai diri, tersenyum dalam sikapnya yang
manis.
"Aku harus menanyakan hal itu pada anakku sendiri."
Lalu Dewi Ayu pergi ke belakang. Karena rasa malu, Adinda tak
mau muncul terutama ketika ia menyadari ada banyak orang berkeru?
mun di luar rumah. Namun ia mengangguk pada ibunya dengan penuh
kepastian. Dewi Ayu kembali menemui Kamerad Kliwon dan duduk
di depannya, membawa nampan berisi kopi yang tadi dibawa Adinda.
"Ia mengangguk," katanya pada Kamerad Kliwon, dan tertawa kecil
melanjutkan, "Kau akan jadi menantuku. Satu-satunya menantu yang
belum pernah meniduriku."
"Aku nyaris berharap, Nyonya," kata Kamerad Kliwon dengan sedi?
kit rona malu.
"Sudah kuduga."
Kamerad Kliwon akhirnya mengawini Adinda pada akhir bulan
November tahun itu juga dalam satu pesta perkawinan meriah yang
semuanya ditanggung atas biaya Dewi Ayu. Mereka memotong dua
ekor sapi gemuk, empat ekor kambing, entah berapa ratus kilo beras,
kentang, buncis, mie, telor dan ratusan ekor ayam. Pada awalnya
Kamerad Kliwon berharap mengadakan pesta perkawinan sesederhana
mungkin karena ia tak memiliki banyak uang kecuali sedikit tabungan
yang ia peroleh di masa-masa masih sering menangkap ikan. Tapi Dewi
Ayu menginginkan satu perkawinan yang meriah karena Adinda adalah
anaknya yang tersisa.
Sebagai mas kawin Kamerad Kliwon memberi Adinda sebuah cincin
yang dulu dibelinya di Jakarta dari hasil kerja sebagai tukang foto keli?
ling dan sesungguhnya direncanakan sebagai mas kawin jika ia kawin
dengan Alamanda. Adinda mengetahui belaka asal-usul mas kawin itu,
tapi ia bukanlah seorang gadis yang demikian pen?cemburu, sebagaimana
sering dituduhkan Alamanda dahulu kala. Bahkan ia memperlihatkan
kebanggaan yang tak dibuat-buat bahwa akhirnya mas kawin itu me?
lingkar di jari manisnya. Mereka meng?habiskan bulan madu di sebuah
penginapan di daerah teluk yang disewa Dewi Ayu untuk mereka.
Bahkan Dewi Ayu membelikan pengantin baru tersebut rumah
di kompleks perumahan yang sama dengan Sang Shodancho. Begitu
de?kat rumah mereka hanya terpisah oleh satu rumah. Sementara itu
Kamerad Kliwon membeli sepetak sawah dan ladang, dan ia mulai
meng?garap tanah itu seorang diri. Ia membuat kolam di ujung ladang?
nya, dan menaburinya dengan benih ikan, memberinya dedak setiap
pagi sebagaimana ia melempari ikan-ikan itu dengan daun singkong
dan daun pepaya. Di sawah ia menanam padi sebagaimana orang lain.
Adinda harus belajar agak banyak untuk hidup sebagai petani, karena
ia tak pernah bersentuhan dengan lumpur sawah sekalipun, namun
jelas ia sangat bahagia.
Biasanya Kamerad Kliwon akan pergi pagi-pagi sekali, se?ba?gai?mana
para petani, ke sawah mereka. Ia menengok saluran air, men?cabuti rum?
put-rumput liar, memberi makan ikan, dan menanam kacang-kacangan
di pematang sawah. Adinda mengurusi semua urusan rumah, dan men?
jelang siang, setelah semua urusan itu selesai, Adinda akan menyusul
pula ke ladang sambil menenteng keranjang berisi sarapan pagi. Mereka
akan makan bersama di gubuk tanpa dinding yang dibangun Kamerad
Kliwon di pinggir sawah, dan sepulangnya keranjang itu akan berisi
daun singkong muda dan ubi.
Pada bulan Januari tahun berikutnya, Adinda yang memeriksakan
dirinya ke rumah sakit memperoleh kepastian bahwa ia hamil. Berita itu
tak hanya membuat keduanya berbahagia, namun semua yang menge?nal
mereka ikut berbahagia. Alamanda adalah orang pertama yang secara
langsung menemui mereka untuk mengucapkan selamat. Waktu itu ia
pun sedang hamil, dan Nurul Aini belum lahir. Ia da?tang ketika pasang?
an itu tengah bersantai di beranda rumah me?lihat bunga-bunga yang
ditanam Adinda bermekaran demikian indah. Keduanya sedikit terkejut
oleh kedatangannya, sebab meskipun mereka bertetangga, Alamanda
tak pernah mampir dan begitu pula sebaliknya.
Kamerad Kliwon agak dibuat salah tingkah, namun Adinda se?gera
memeluk kakaknya dan saling mencium pipi.
"Apa kata dokter?" tanya Alamanda.
"Ia bilang, semoga tak jadi pelacur seperti neneknya, dan seorang
komunis seperti ayahnya."
Alamanda tertawa oleh humor Adinda.
"Dan apa kata dokter untuk perutmu?" tanya Adinda.
"Kau tahu, perutku telah menipu dua kali, aku tak terlalu yakin."
"Alamanda," kata Kamerad Kliwon tiba-tiba, membuat kedua
perempuan itu sama-sama berpaling memandang ke arahnya dan men?
da?pati laki-laki itu tengah memandang perut Alamanda. Itu membuat
wajah Alamanda memucat, ia masih ingat bagaimana dulu Kamerad
Kliwon mengatakan bahwa perutnya hanya berisi angin dan angin,
seperti panci kosong. Ia khawatir laki-laki itu akan me?ngatakan hal
yang sama, tapi ternyata tidak. "Aku bersumpah itu bu?kan panci kosong
sebagaimana anak-anakmu yang terdahulu itu," kata Kamerad Kliwon
lagi.
Alamanda memandangnya seolah ia ingin mendengar laki-laki
itu mengulang kembali apa yang dikatakannya, dan Kamerad Kliwon
mengangguk meyakinkan.
"Ia gadis kecil yang cantik, mungkin lebih cantik dari ibunya, sem?
purna dan tanpa cacat, dengan rambut hitam legam, serta mata tajam
warisan ayahnya. Ia akan lahir dua belas hari sebelum anakku. Kalian
bisa memberinya nama Nurul Aini sebagaimana kakak-ka?kaknya, tapi
percayalah ia akan lahir dan hidup dan bahkan menjadi besar."
Baik Alamanda maupun Sang Shodancho telah dipaksa oleh peng?
alaman untuk selalu memercayai apa saja kata Kamerad Kliwon, dan
betapa berbahagianya mereka mendengar bahwa Alamanda akhir?nya
sungguh-sungguh hamil dengan jabang bayi meringkuk di rahimnya.
Apalagi Kamerad Kliwon mengatakan bahwa bayi itu adalah seorang
gadis kecil yang cantik, tanpa cacat, dan yang pen?ting ia sungguh-sung?
guh akan dilahirkan dan hidup. Meskipun begitu, pengalaman juga
meng?ajari mereka untuk tak mem?per?la?ku?kannya secara berlebihan.
"Demi Tuhan, sebagaimana kata Kamerad itu, ia akan kuberi nama
Nurul Aini," kata Sang Shodancho.
Sebagaimana janjinya ketika ia meminta Kamerad Kliwon di?be?
baskan dari eksekusi itu, Alamanda telah memberikan cintanya dengan
tulus pada Sang Shodancho. Cinta itu kini sungguh-sungguh berbuah
menjadi jabang bayi di rahim. Mereka, Sang Shodancho dan Ala?
manda, tampaknya harus segera menghilangkan kecurigaan dua anak
yang terdahulu hilang karena dikutuk, dan mulai melihatnya sebagai
produk-produk gagal ketidakadaan cinta, karena kini tam?paknya akan
terbukti, cinta bisa memberi apa yang mereka inginkan.
Sementara itu Kamerad Kliwon yang menyadari tanggung jawabnya
semakin bertambah dengan kehadiran jabang bayi di perut istrinya, mu?
lai memikirkan pekerjaan lain selain di sawah dan la?dang. Dulu ketika
ia masih memimpin Partai Komunis, ia mengumpulkan begitu banyak
buku untuk dibaca anak-anak yang mengikuti sekolah hari Minggu
selain bacaan bagi anggota Partai. Sebagian besar buku-buku itu tak
selamat, dibakar oleh anak buah Sang Shodancho dan orang-orang
anti-komunis yang membakar mar?kas mereka. Tapi Sang Shodancho
telah menyelamatkan novel-novel silat dan sedikit picisan yang bersih
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari kecenderungan ideologi komunis, membawanya ke markas rayon
militer untuk ba?caannya sendiri dan para prajurit. Suatu hari tak lama
setelah kunjungan Alamanda, Sang Shodancho mengembalikan novelnovel silat yang jumlahnya dua kardus itu. Kini dengan buku-buku itu
Kamerad Kliwon memulai usaha pertamanya dengan membuka sebuah
taman bacaan di depan rumah, sebuah usaha kecil dengan pelanggan
kebanyakan anak-anak sekolah tapi membuat Adinda se?dikit punya
kesibukan dan cukup membuat mereka senang.
Kemudian Nurul Aini akhirnya lahir. Sang Shodancho sedikit terke?
san ketika Maman Gendeng yang mengunjunginya berkata, "Selamat,
Shodancho, kuharap tidak sebagaimana kita, sebagai sepupu kedua anak
gadis ini akan menjadi sahabat baik."
Itu gagasan yang sungguh-sungguh orisinal, membiarkan anak-anak
itu tumbuh dalam persahabatan sebagai satu cara menghindarkan per?
kelahian di antara ayah mereka, permusuhan diam-diam yang berawal
jauh ke belakang. Gagasan itu diterima baik Sang Shodancho yang
berkata bahwa ada baiknya memasukkan kedua gadis itu, Rengganis
Si Cantik dan Nurul Aini, ke taman kanak-kanak dan sekolah yang
sama pada waktunya. Dan terpengaruh oleh gagasan seperti itu, ketika
akhirnya Adinda melahirkan anak laki-lakinya dua belas hari setelah
kelahiran Nurul Aini sebagaimana telah diramalkan Kamerad Kliwon,
Sang Shodancho mengatakan kalimat yang dikatakan Maman Gendeng
kepadanya meskipun tak sama persis pada Kamerad Kliwon, "Selamat,
Kamerad, semoga tak sebagaimana kita, anakmu dan anakku bisa ber?
sahabat baik dan mungkin berjodoh."
Anak laki-laki itu diberi nama Krisan oleh ayahnya. Ia mungkin
memang telah ditakdirkan berjodoh dengan Nurul Aini, tapi ke?hidupan
selalu bicara lain: ada Rengganis Si Cantik di antara mereka.
ahun 1976 Halimunda dipenuhi dendam. Dipenuhi hantu yang
penasaran. Semua penduduk merasakannya, begitu pula dua turis
Belanda yang baru turun dari kereta di stasiun. Mereka tampaknya
sepasang suami istri. Yang lelaki berumur sekitar tujuh puluh dua ta?
hun, istrinya tak jauh berbeda, paling banter dua tahun lebih mu?da.
Pa?da umur seperti itu, si lelaki masih sanggup menenteng ransel sera?
tus liter yang tampak penuh dijejali benda-benda, sementara istrinya
menenteng tas kecil dan payung. Begitu keluar dari peron stasiun, me?
reka tersentak oleh udara yang pekat, penuh bau busuk yang anyir, dan
penuh bayangan timbul tenggelam serta cahaya ke?merahan bagaikan
lampu-lampu teater yang disorotkan entah dari mana.
"Seperti masuk ke rumah hantu," komentar istrinya sambil meng?
gelengkan kepala.
"Tidak," kata suaminya, "seperti pernah ada pembantaian manusia
di kota ini."
Pengemudi becak yang mengantarkan mereka ke penginapan men?
ceritakan tentang hantu-hantu itu. Mereka sangat kuat, katanya, dan
berdoalah mereka tak menggulingkan becak ini di tengah jalan. "Apa?
kah yang seperti itu sering terjadi?" tanya sang suami. "Sangat jarang
tidak terjadi," jawab tukang becak. Ia menceritakan tentang mobil yang
terbang menabrak pembatas jalan dan masuk ke laut. Semua penum?
pang?nya mati dan seluruh orang di kota itu percaya bahwa semua itu
dilakukan oleh hantu-hantu penasaran. Juga tentang kebakaran hebat
pasar dua tahun yang lalu. Tak seorang pun tahu apa penyebabnya, dan
semua yakin bahwa hantu-hantu itulah yang melakukannya.
"Ada berapa banyak hantu?" tanya si istri.
"Kau tahu, Nyonya, tak pernah ada orang konyol menghitung be?
rapa banyak hantu."
Mereka kemudian tahu beberapa tahun sebelumnya lebih dari
seribu orang komunis telah mati dalam pembantaian paling me?nge?
rikan di kota itu. Orang akan mengatakan, bahkan meskipun mereka
membenci orang-orang komunis itu, bahwa tak ada pembantaian yang
lebih mengerikan sebelum ini di kota mereka, dan semoga tak akan ada
lagi di masa yang akan datang. Lebih dari seribu orang mati. Sebagian
dikubur bersama-sama dalam satu lubang besar di pemakaman umum
Budi Dharma, yang lainnya dibiarkan membusuk di pinggir-pinggir
jalan, sampai orang-orang yang tak tahan akhirnya menguburkannya.
Tidak seperti mengubur mayat, tapi seperti mengubur tai setelah berak
di kebun pisang.
Kedua turis Belanda itu memperoleh penginapan yang cukup baik di
daerah teluk. Sang istri berbisik pada suaminya, "Kita per?nah bercinta
di sini dan Papa memergokinya, itulah terakhir kali kita melihatnya."
Suaminya mengangguk. Mereka berjalan menuju meja resepsionis yang
ditunggui seorang pemuda berseragam putih dengan dasi kupu-kupu
yang terpasang demikian simetris mem?buat?nya terasa begitu kaku dan
tak alami. Ia menyambut kedua turis itu dengan senyum sambil menyo?
dorkan buku tamu. Si turis laki-laki mendaftarkan nama mereka di sana,
menulis dengan gaya tulisan lama yang sambung-menyambung begitu
rapi: Henri dan Aneu Stammler.
Sepanjang hari itu mereka beristirahat di kamar penginapan ter?
sebut, yang kata Aneu Stammler telah mengalami begitu banyak peru?
bahan sejak masa kolonial. "Aku berani bertaruh, pemiliknya kini pasti
pribumi," katanya. Mereka baru merencanakan sedikit jalan-jalan esok
hari. Tak terlihat bahwa mereka begitu tergesa-gesa, sebab mereka tam?
paknya akan tinggal di kota itu cukup lama. Mungkin berbulan-bulan,
mungkin sampai tiga tahun. Banyak turis asing, terutama Belanda,
me?la?kukan hal seperti itu, mencoba ber?nos?talgia pada masa lalu yang
jauh ketika mereka masih tinggal di sini sebelum terusir oleh perang.
Seorang pesuruh datang membawakan mereka makan malam sebab
mereka ingin makan di kamar, dan bocah itu berpesan, "Ber?hati-hatilah
pada hantu komunis, Tuan dan Nyonya."
"Karl Marx sudah mengingatkannya di paragraf pertama Mani?
festo," kata Henri Stammler sambil tertawa, dan keduanya menyantap
makan malam yang memberi mereka sensasi selera tropis yang nyaris
terlupakan.
Namun sebelum mereka makan, dan sebelum pesuruh pergi, Henri
sempat bertanya:
"Apakah kau mengenal seorang perempuan bernama Dewi Ayu?
Umurnya mungkin sekarang lima puluh dua tahun."
"Tentu saja," kata bocah itu, "tak ada orang Halimunda yang tak
mengenalnya."
Henri Stammler dan istrinya terlonjak oleh rasa girang yang tak
terkirakan. Setengah lingkaran bumi telah mereka terbangi untuk sam?
pai di kota ini, hanya untuk bertemu dengan anak gadis mereka yang
dulu diletakkan di depan pintu rumah kakeknya. Keduanya menatap
si bocah dalam tatapan ternganga seolah tak percaya bahwa begitu
mudahnya mereka menemukan Dewi Ayu.
"Apakah ia setengah bule?"
"Ya, tak ada nama Dewi Ayu yang lain di kota ini."
"Jadi ia masih hidup?" tanya Aneu Stammler dengan mata ber?
kaca-kaca.
"Tidak, Nyonya," kata si bocah. "Ia sudah mati belum lama ini."
"Karena apa ia mati?"
"Karena ia ingin mati." Si bocah bersiap-siap meninggalkan me?reka,
namun sebelum menghilang di depan pintu, ia sempat ber?kata, "Tapi
masih ada banyak pelacur lain jika kalian mau."
Jadi mereka tahu bahwa Dewi Ayu telah hidup sebagai pelacur. Itu
mereka pastikan setelah makan malam dan memanggil kembali bocah
itu untuk menceritakan tentang anak perempuan mereka. Si bocah
mengatakan bahwa Dewi Ayu merupakan legenda di kota ini, pelacur
paling dipuja, meskipun itu sama sekali tak mengesankan Henri mau?
pun Aneu Stammler. "Semua lelaki berharap menidurinya. Bahkan
dua dari tiga menantunya pernah menidurinya pula. Ia pelacur hebat."
"Jadi ia punya tiga anak perempuan?" tanya Aneu Stammler.
"Empat. Yang bungsu lahir dua belas hari sebelum Dewi Ayu mati."
Mereka memperoleh alamat di mana kedua orang itu bisa menemui
anak Dewi Ayu yang bungsu. Informasinya sangat jelas. Cucu mereka
yang satu itu tinggal dan diurus pembantu bisu Rosinah, dan Dewi Ayu
memberi nama anaknya Si Cantik.
"Tapi ia jelek mengerikan menyerupai monster," kata si bocah.
Mereka membuktikannya ketika mengunjungi rumah itu keesokan
harinya. Keduanya nyaris dibuat pingsan, tak percaya bahwa mereka
memiliki cucu seperti itu. "Seperti kue gosong," kata Aneu Stammler
sambil duduk di kursi.
Rosinah membaringkan bayi Si Cantik di ayunan kain yang ter?
pasang di palang pintu kamar, dan memberi tamunya dua gelas limun
dingin. "Dewi Ayu bosan punya anak-anak yang cantik, maka ia minta
anak yang buruk rupa, dan itulah hasilnya," ia berkata dengan bahasa
isyarat.
Henri dan Aneu Stammler sama sekali tak mengerti bahasanya.
Rosinah paling jengkel jika harus berkomunikasi dengan orang yang
tak mengerti bahasa isyaratnya. Tapi pada dasarnya ia gadis yang baik.
Maka ia mengambil buku tulis, dan menuliskan apa yang telah dika?
takannya pada mereka.
"Bagaimana dengan anak-anak yang lain?" tanya Henri.
"Mereka tak pernah datang lagi sejak mengenal kemaluan lelaki,"
tulis Rosinah mengulang apa yang pernah dikatakan Dewi Ayu ke?
padanya.
Kedua orang tua itu melakukan sedikit tamasya kecil di rumah
tersebut, melihat foto-foto yang tertempel di dinding. Ada foto Ted
dan Marietje Stammler, yang membuat mereka meledak dalam tangis
yang membuat Rosinah menggeleng-gelengkan kepala, sambil ber?
pikir betapa cengengnya dua orang tua itu. Dan setelah menangis,
kini mereka tertawa-tawa melihat foto mereka ketika masih berumur
belasan tergantung pula di ruang tamu. "Aku berani bertaruh, mereka
baru keluar dari rumah sakit jiwa," kata Rosinah dalam bahasa isyarat
pada bayi dalam ayunan. Henri dan Aneu Stammler dibuat terpukau
melihat beberapa foto Dewi Ayu. Ada fotonya ketika ia masih kecil, dan
ketika ia remaja, masa-masa umur dua puluhan tak ditemukan fotonya
disebabkan perang, tapi ketika ia beranjak dewasa mereka kembali
menemukan foto-fotonya, bahkan sampai foto ketika ia telah berumur
sekitar lima puluh tahunan. Mereka terpukau oleh kenyataan bahwa
pada umur berapa pun, anak perempuan mereka masih menampakkan
kecantikan yang sama memesona. Tak akan mengherankan jika ia jadi
pelacur, ia menjadi pujaan banyak lelaki.
Ada foto-foto gadis-gadis cantik lain, yang jelas bukan Dewi Ayu.
Yang berwajah putih dengan mata mungil seperti orang Jepang namanya
Alamanda, Rosinah menerangkan. Ia telah kawin dengan Sang Shodan?
cho, seorang tentara, dan punya anak bernama Nurul Aini. Rosinah
menjalankan perannya dengan baik bagaikan seorang pemandu wisata.
Gadis yang paling menyerupai Dewi Ayu adalah anaknya yang kedua,
Rosinah menulis di buku tulis yang dibaca mereka, namanya Adinda. Ia
kawin dengan seorang veteran komunis bernama Kamerad Kliwon, dan
punya seorang anak laki-laki bernama Krisan. Anak ketiganya tampak
lebih menyerupai indo daripada wajah pribumi. Yang paling cantik di
antara ketiganya. Dewi Ayu memberinya nama Maya Dewi. Ia kawin
pada umur dua belas tahun dengan seorang preman paling menyebalkan
di kota ini, namanya Maman Gendeng, dan telah punya anak setelah
lima tahun perkawinan tanpa disetubuhi, bernama Rengganis Si Cantik.
Rosinah belum pernah berjumpa dengan ketiga anak Dewi Ayu tersebut,
tapi ia telah mendengar semua kisah tentang mereka dari Dewi Ayu,
yang meskipun tak pernah berhubungan pula dengan mereka, tapi ia
terus mendengar apa yang terjadi atas anak-anaknya.
Tiba-tiba mereka merasakan satu tekanan hebat seolah udara tibatiba menggumpal dan membuat bulu kuduk berdiri.
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sialan," kata Henri, "kekuatan jahat macam apakah ini?"
"Aku tak tahu, tapi memang ada hantu di sini. Tak terlalu jahat,
tapi mungkin memang punya dendam."
"Hantu komunis?" tanya Aneu Stammler sambil mendekap suami?
nya.
"Mereka di jalanan, dan tidak di rumah ini."
Foto-foto di dinding itu mulai bergoyang-goyang, tak hebat, hanya
ayunan kecil seperti diembuskan angin. Buku di tangan Rosinah ter?
buka-tertutup. Ayunan Si Cantik kecil bergerak terayun-ayun pelan.
Lalu terdengar piring pecah di dapur dan panci berkelontang di lantai.
"Hantu Dewi Ayu?" tanya Aneu lagi.
"Aku tak yakin," tulis Rosinah. "Dewi Ayu pernah bilang, hantu
Ma Gedik selalu mengikutinya ke mana pun, bahkan meskipun ia telah
pindah rumah. Ia bilang hantu itu punya rencana jahat, meskipun se?
jauh ini ia tak pernah menjahati kami."
"Siapa Ma Gedik?" tanya Henri.
"Dewi Ayu bilang, itu bekas suaminya."
"Kota ini dihuni terlalu banyak hantu," kata Henri Stammler ketika
gangguan gaib itu menghilang dan foto-foto kembali ter?gan?tung kaku
pada pakunya masing-masing. Mereka lalu meminum limun dingin
itu, mencoba menenangkan diri. "Aku tak lihat ada foto laki-laki yang
menunjukkan seseorang bernama Ma Gedik."
"Aku juga tidak melihatnya sejak pertama kali datang kemari,"
balas Rosinah.
Ketika Si Cantik belum lahir, mereka berdua, Rosinah dan Dewi
Ayu, sering saling berbagi cerita sambil duduk di bangku kecil di depan
tungku dapur. Saat-saat seperti itulah Dewi Ayu pernah men?ceritakan
tentang Ma Gedik. Ia mengawininya, kata Dewi Ayu, dengan cara
paksa, sebab ia begitu mencintainya. Tak ada lelaki yang pernah begitu
ia cintai selain lelaki tua bernama Ma Gedik. "Meskipun jelas cintaku
tak terbalas sama sekali, sebaliknya, ia melihatku se?perti penyihir
jahat," kata Dewi Ayu sambil tertawa. Ia mencintainya meskipun tak
pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Ia mencintainya karena ia tahu
nenek dari ibunya begitu mencintainya. "Cinta mereka dihancurkan,
sebagaimana hidup mereka dihancurkan, se?pa?sang kekasih itu: Ma
Gedik dan nenekku Ma Iyang, hanya karena kerakusan dan berahi tak
terkendali seorang Belanda," kata Dewi Ayu. "Dan yang lebih menye?
dih?kan dari itu semua, orang Belanda rakus dan penuh berahi itu adalah
kakekku sendiri." Dewi Ayu mencintai Ma Gedik sejak ia mendengar
kisah tersebut. Mungkin dari para jongos atau tetangga menceritakan?
nya. Ia mengaku, mungkin ia tak akan bisa hidup, atau bunuh diri,
jika tak bisa mengawini lelaki itu. Maka suatu malam ia menyuruh
se?orang jawara dan sopir ke?luarganya untuk mengambil lelaki tua itu
secara paksa, me?nga?wini?nya secara paksa pula, meskipun kenyataan?
nya mereka bahkan belum pernah bersetubuh. "Ia lari ke puncak bukit
dan menjatuhkan diri dari sana. Tubuhnya hanya tersisa seperti daging
cincang di kios daging," kata Dewi Ayu. Namun setelah itu, hantunya
selalu meng?ikutinya ke mana pun ia pergi.
Baik Henri maupun Aneu Stammler tentu saja mengetahui kisah
tentang Ma Iyang dan Ma Gedik, tapi mereka tak tahu jika Dewi Ayu
kemudian kawin dengan Ma Gedik yang itu.
"Demikianlah mengapa Dewi Ayu bertahan hidup sampai umur lima
puluh dua," tulis Rosinah, "hantu itu terus menemaninya."
"Tapi kenapa ia jadi pelacur?" tanya Aneu.
Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Kidung Cinta Buat Pak Guru Karya Mira W
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama