Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan Bagian 1
Cerita Cinta
INDONESIA
45 CERPEN TERPILIH
ebook by pustaka-indo.blogspot.com
Ahmad Tohari ? aliaZalea ? Andina Dwifatma ? Anjar Anastasia ?
Arswendo Atmowiloto ? Ayu Gendis ? Boim Lebon ? Budi Maryono ?
Clara Ng ? Debbie Widjaja ? Dewi Kharisma Michellia ? Dewi Ria Utari ?
Dewie Sekar ? Dyan Nuranindya ? Eka Kurniawan ? Erlin Cahyadi ?
Esti Kinasih ? Gola Gong ? Ika Natassa ? Iwok Abqary ? Jessica Huwae ?
Ken Terate ? Lea Agustina Citra ? Lexie Xu ? Luna Torashyngu ?
M. Aan Mansyur ? Maggie Tiojakin ? Marga T ? Maria A. Sardjono ?
Mia Arsjad ? Mira W. ? Nina Addison ? Okky Madasari ?
Primadonna Angela ? Ratih Kumala ? Retni Sb ?
Rina Suryakusuma ? Ristee ? S. Mara Gd ? Sari Safitri Mohan ?
Shandy Tan ? Syafrina Siregar ? Syahmedi Dean ?
Teresa Bertha ? Wiwien Wintarto
INDONESIA
Beragam tema, beragam kisah terangkum di kumpulan cerita
pendek Cerita Cinta Indonesia ini. Mulai dari jejak sastra hingga cerita
pendek TeenLit tergores dalam 45 cerpen buah karya 45 penulis yang
pasti sudah Anda kenal. Kumpulan cerita pendek ini adalah semacam
bentuk syukur dan terima kasih bahwa kami masih bisa meneruskan
semangat dalam berkarya.
Membaca kumpulan cerita pendek ini seakan memilih beraneka
rasa dan rupa dalam sajian paket lengkap. Sebab, ada begitu terlalu
banyak kisah kehidupan yang menunggu untuk diceritakan, dan yang
terdapat dalam buku ini hanya sebagian kecilnya. Tak pernah cukup
kisah cinta, misteri, persahabatan, dan beragam tema lainnya di dunia
ini untuk ditampilkan dalam bentuk karya sastra atau cerita populer.
Apa pun rasa dan rupa yang Anda dapatkan saat membacanya,
kami berharap Anda menikmati sajian Cerita Cinta dengan rasa
Indonesia ini.
Cerita Cinta
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com
Cerita Cinta
Indonesia
Kumpulan Cerita Pendek
45 Penulis GPU
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
CERITA CINTA INDONESIA
Kumpulan Cerita Pendek
oleh 45 Penulis GPU
GM 401 01 14 0050
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29?33, Jakarta 10270
Editor: Vera, Hetih, Anas
Ilustrator & desain sampul: Staven Andersen
Perwajahan isi: Ryan Pradana, Mohamad Ramli
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, 2014
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN 978-602-03-0517-2
400 hlm; 23 cm
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
12-Sep-14 8:54:56 AM
Untuk Indonesia Raya
Kata Pengantar
Penerbit
enyair Maya Angelou pernah berkata, "Orang-orang akan
melupakan
yang
kauucapkan,
orang-orang
akan
melupakan apa yang kaulakukan, tapi orang-orang takkan
pernah melupakan bagaimana kau membuat mereka merasakan."
Buku, sebagaimana kita ketahui, memiliki kemampuan untuk
meninggalkan rasa pada benak pembacanya.
Hidup adalah tentang bagaimana kita merasakannya, bukan
sekadar menjalaninya hari demi hari. Segala yang kita bawa dalam
hari selanjutnya, pasti menyisakan jejak yang kita tinggal pada hari
kemarin. Sudah tak terhitung banyaknya jejak perasaan yang telah
dilalui selama empat puluh tahun berdirinya Gramedia Pustaka
Utama. Dan di usianya yang keempat puluh ini, Gramedia Pustaka
Utama menjadi perusahaan yang lebih kuat dan tentunya lebih matang
menuju era baru.
Di abad ini, kita sudah terbiasa dengan kemajuan teknologi.
Dulu buku sekadar berbentuk kertas, kini ada tablet-tablet elektronik
untuk membaca e-book. Dulu buku diketik dengan mesin tik manual,
sekarang semua dilakukan secara digital dan terkomputerisasi.
Dulu tak ada yang namanya media sosial, kini sebagian besar orang
menggunakan media online. Kita begitu terbiasa dengan teknologi
Kata Pengantar Penerbit
sehingga kita lupa bahwa sebenarnya kita masih berada di awal abad
baru bagi industri buku. Namun berkat dukungan Anda semua, kami
masih menjadi pionir menuju era mutakhir industri buku Indonesia.
Kita menyambut era baru dengan pikiran terbuka. Jalan ke depan
masih panjang dan akan terjal di beberapa tempat, tapi kami tahu
bahwa kami tidak sendirian. Empat puluh tahun sudah kita bersama,
namun ini baru awal dari hidup. Life begins at forty, katanya. Dan
usia empat puluh bagi Gramedia Pustaka Utama merupakan awal
kehidupannya dalam era ini. Kami percaya bersama-sama kita akan
membangun gagasan-gagasan besar bagi bangsa ini. Kami percaya
bahwa dukungan Anda akan menyinari jalan kita dalam membentuk
jejak baru pada masa depan.
Kembali ke ucapan Maya Angelou, para penulis di sini sudah
meninggalkan jejak perasaan yang membuncahkan semangat selama
kebersamaan kita bertahun-tahun ini. Kita akan jelang tahun-tahun
mendatang menuju masa depan yang lebih baik, bersama merajut cita
dan meninggalkan jejak perasaan positif bagi bangsa Indonesia. Itulah
yang kami coba tunjukkan melalui kumpulan cerpen ini.
Keberagaman dalam kumpulan cerpen ini memperkaya khazanah
sastra Indonesia. Mulai dari jejak sastra hingga cerita pendek remaja
tergores dalam 45 cerpen. Penerbit tak akan menghasilkan apa pun
tanpa penulis dan para penulis di sini telah menjadi pendukung kami
yang tanpa lelah telah menorehkan jejak sejarah dalam dunia buku
Indonesia selama empat puluh tahun. Kita semua bersama-sama
membentuk mata rantai yang menghasilkan jejak perasaan ketika
orang membuka buku dan membacanya.
Kumpulan cerpen ini juga semacam bentuk syukur dan terima
kasih bahwa kita masih bisa menggoreskan semangat dan menyalakan
pijar semangat dalam berkarya. Bahwa kami percaya cerita tetap
menggelorakan cita dan cinta kita terhadap dunia buku Indonesia,
yang sudah membawa kita melewati empat puluh tahun dan kini kita
bersama menjelang masa depan.
viii
Daar Isi
Kata Pengantar..................................................................................
Ahmad Tohari SK Pensiun.................................................................
aliaZalea Celebrity Baby....................................................................
Andina Dwifatma Paman Kate.........................................................
Anjar Anastasia Yu Ngatemi.............................................................
Arswendo Atmowiloto Rindu yang Terlalu......................................
Ayu Gendis Surat-Surat untuk Ibu..................................................
Boim Lebon Aku Rela Jadi Dangdutmu..........................................
Budi Maryono Gerimis yang Ganjil..................................................
Clara Ng Nasihat Nenek..................................................................
Debbie Widjaja Tabula Rasa............................................................
Dewi Kharisma Michellia Rindu......................................................
Dewi Ria Utari Terbukalah...............................................................
Dewie Sekar Pemburu Hiu............................................................
Dyan Nuranindya Savana...............................................................
Eka Kurniawan Hachik? dan Luka yang Setia..............................
Erlin Cahyadi Cinta untuk Rere.....................................................
Esti Kinasih Jerat...........................................................................
Gol A Gong Suatu Siang di Bandara..............................................
Ika Natassa Muse...........................................................................
Iwok Abqary Ojek............................................................................
Jessica Huwae Dua Garis..............................................................
Ken Terate Gelas di Pinggir Meja..................................................
Daftar Isi
Lea Agustina Citra Dear Audrey....................................................
Lexie Xu Asylum.............................................................................
Luna Torashyngu SMS...................................................................
M. Aan Mansyur Gadis dan Pohon Jambu....................................
Maggie Tiojakin Persepsi...............................................................
Marga T Apalah Artinya Nama......................................................
Maria A. Sardjono Life Begins at Forty.........................................
Mia Arsjad Love, X..........................................................................
Mira W. Janji dalam Kotak Kosong...............................................
Nina Addison Karena Darren........................................................
Okky Madasari Bahagia Bersyarat................................................
Primadonna Angela Moya..............................................................
Ratih Kumala Bau Laut..................................................................
Retni Sb Pilihan..............................................................................
Rina Suryakusuma Wanita Terindah.............................................
RisTee Letting Go...........................................................................
S. Mara Gd Bukit Tengkorak..........................................................
Sari Sa?tri Mohan Pesta................................................................
Shandy Tan Karma.........................................................................
Syafrina Siregar The Second Chance............................................
Syahmedi Dean Lukisan Menangis...............................................
Teresa Bertha Back for Love.........................................................
Wiwien Wintarto The Pink Lotus...................................................
SK Pensiun
Ahmad Tohari
Ahmad Tohari dilahirkan di Banyumas, 13 Juni 1948. Dia tidak
pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewarnai seluruh karya sastranya?Ronggeng Dukuh Paruk (1982,
GPU) yang telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda,
Jeman, dan Inggris serta telah di?lmkan dengan judul Sang Penari;
Di Kaki Bukit Cibalak (1986, GPU); Senyum Karyamin (1989, GPU);
Bekisar Merah (1993, GPU); Lingkar Tanah Lingkar Air (1995, LKIS
Yogya); Orang-Orang Proyek (2002, GPU); Ronggeng Dukuh Paruk
Banyumasan (2006); Mata yang Enak Dipandang (2013, GPU).
SK Pensiun
ENAZAH Pak Kirom sudah diusung oleh empat lelaki yang berdiri diam. Mereka belum bergerak sampai modin selesai membacakan doa-doa pengantar arwah. Pak Kirom, pensiunan
mantri pasar, meninggal waktu subuh tadi pagi, kata orang karena serangan jantung. Salsi, anak bungsu Pak Kirom, terus menangis sambil
mengamini doa Pak Modin. Suasana khusyuk dan lengang.
Semua orang maklum mengapa Salsi terus menangis; siapa yang
tidak sedih karena ayahnya meninggal. Tetapi belum tentu semua
orang tahu ada penyebab lain yang membuat kesedihan Salsi menjadi
berlipat, yakni celoteh para tetangga yang menyebut perkawinan Pak
Kirom dengan Yu Jembar menjadi sebab kematiannya.
Sebulan yang lalu Pak Kirom memang menikahi Yu Jembar, janda
beranak empat yang berjualan rujak di sudut perempatan kampung.
Perempuan itu sudah lama menjanda, barangkali karena tidak ada lelaki yang siap menjadi ayah empat anak tiri. Usia Yu Jembar mungkin
40-an, dan Salsi tahu persis usia ayahnya, 67 tahun. Kebanyakan tetangga menertawakan keputusan Pak Kirom. Mereka bilang Pak
Kirom lelaki tua yang tak tahu diri. "Sudah tua, jantungan pula, eh,
menikah lagi? Apa tidak salah?" ucap seorang tetangga.
"Ah, Pak Kirom ada-ada saja! Sangat tidak pantas!" ujar tetangga
yang lain. "Berjalan saja sudah tidak bisa tegak, lalu buat apa kawin
lagi?"
Salsi menangkap celoteh-celoteh itu dengan perasaan masygul.
Dan sejujurnya Salsi juga tidak setuju dengan kehendak ayahnya.
Maka, dulu ketika ayahnya datang untuk memberitahukan maksudnya,
Salsi berusaha merintangi.
"Ayah tak usah begitu. Ayah dengar celoteh para tetangga?"
"Ya, Ayah mendengar semuanya. Mereka semua memang punya
mulut."
"Bukan begitu, Ayah. Saya dan suami jadi malu. Orang-orang tentu akan mengatakan kami tidak suka merawat Ayah sehingga Ayah
ingin menikah lagi. Ayah memang sudah lama hidup seorang diri, tapi
masa iya menikah lagi? Bukankah saya setiap hari mengirim makan
pagi, siang, malam, dan mengurus pakaian kotor Ayah?"
Ahmad Tohari
"Ya, Ayah bersaksi, kamu dan suamimu, juga anak-anakmu, semua baik. Maka setiap malam Ayah berdoa agar hidup kalian diberkati.
Hidup kalian yang berkecukupan ini tetap sentosa."
"Terima kasih, Ayah. Kalau memang demikian bukankah semuanya sudah cukup dan patut disyukuri? Lalu mengapa Ayah ingin menikah lagi? Ayah sudah tua dan kesehatan Ayah kurang baik."
Salsi ingat malam itu ayahnya diam, tidak menanggapi kata-katanya. Tatapan lelaki tua itu kelihatan kosong, alisnya merapat. Batukbatuk kecil. Tanda-tanda ketuaannya mucul dengan sangat jelas.
Kepalanya menunduk. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sambil berjalan menunduk Pak Kirom pulang. Salsi memandang
ayahnya yang turun meninggalkan teras rumah. Makin jauh dari ca
haya lampu, tubuh ayahnya makin samar, lalu hilang di balik gerbang
halaman.
Salsi menarik napas panjang. Agak cemas ketika dia ingat ayah
nya mengidap tekanan darah tinggi dan jantung. Pak Kirom rawan
serangan. Dokter sudah menyampaikan hal itu kepada Salsi. "Jaga
annya."
ayahmu jangan sampai tekanan darahnya meninggi. Jaga perasaKetika Pak Kirom menetapkan hati menikahi Yu Jembar, pada
hari pernikahan, Salsi dan suaminya ikut pergi ke Kantor Urusan Agama. Perasaan Salsi campur baur: ada malu, ada tawar, ada risi yang
menyatu menjadi rasa kurang nyaman. Namun semua perasaan itu
menyingkir ketika datang kesadaran terdalam, apa pun dan bagaimana pun lelaki tua yang sedang berhadapan dengan penghulu yang
jauh lebih muda itu adalah ayahnya. Darah Salsi adalah darah ayahnya. Napas Salsi adalah kelanjutan napas ayahnya.
Maka Salsi mendadak sadar dirinya harus bersama ayahnya dalam
keputusan ini. Salsi merasa wajib membuat ayahnya merasa senang
meskipun tetap tidak mengerti mengapa lelaki tua dan penyakitan itu
memutuskan menikah lagi.
Yu Jembar duduk di samping Pak Kirom yang sebentar lagi akan
menjadi suaminya. Keduanya seperti ayah dan anak. Tapi Yu Jembar
SK Pensiun
tampil terlalu bersahaja. Hampir tak berbeda dari penampilannya sehar-hari sebagai penjual rujak di sudut perempatan jalan desa. Salsi
menyesal mengapa tadi pagi dia tidak pergi ke rumah Yu Jembar untuk
merias perempuan itu sekadarnya.
Pak Penguhulu masih melakukan penelitian administrasi kedua
pengantin, dan dari belakang Salsi mulai mendengar itu lagi, celoteh
yang melecehkan ayahnya. Sialnya, celoteh kali ini bukan dari para
lelaki tetangga, melainkan dari teman-teman Pak Kirom sendiri sesama pensiunan yang ikut mengantar pengantin. Pak Pahing, ketua
persatuan pensiunan, juga ada. Bahkan suara Pak Pahing yang paling
jelas terdengar.
"Nanti malam Pak Kirom mendapat tantangan berat," katanya.
"Umur 67, jantungan, lawan umur 40 yang masih segar bugar. Itu tidak
seimbang, tapi di situlah serunya, kan?"
Terdengar tawa para pensiunan yang hampir semuanya kakekkakek. Mereka duduk pada barisan bangku di belakang Salsi. Pak
Penghulu ikut tersenyum. "Tetapi dari nada suaramu, Pak Pahing,
saya curiga; jangan-jangan sesungguhnya kamu iri hati terhadap Pak
Kirom?" ujar Pak Slamet, pensiunan pegawai rumah gadai.
Ledakan tawa terulang, kali ini bahkan lebih seru. Kekhidmatan
acara pernikahan sungguh ternoda. Namun para kakek pensiunan seperti tidak merasa bersalah. Jadi mungkin benar kata orang tentang
celoteh berahi, tua atau muda sama saja.
"Bila ada yang sudah membawa jamu kuat lelaki, berikan kepada
Pak Kirom sekarang..."
"Ssssst," desis Pak Penghulu untuk menghentikan celoteh yang
berkelanjutan itu. Atau karena Pak Penghulu melihat Yu Jembar mulai
meneteskan air mata. Mungkin Pak Penghulu menduga Yu Jembar
menangis karena suara celoteh dari belakang itu.
Salsi mendengar semuanya. Sungguh tidak nyaman mendengar
celoteh-celoteh yang merendahkan ayahnya. "Ah, kasihan ayahku. Ya,
tetapi mengapa Ayah melakukan sesuatu yang menyebabkan mereka
mendapat peluang menertawakanmu, Ayah?" Dan pertanyaan itu hanya bergema dalam hati Salsi.
Ahmad Tohari
Acara pernikahan di Kantor Urusan Agama itu usai dalam suasana
hambar disertai senda gurau para kakek pensiunan. Salsi melangkah
ingin membimbing ayahnya, namun mendadak batal karena sadar sudah ada orang yang lebih pantas digandeng oleh Pak Kirom. Pasangan
pengantin keluar. Para pensiunan teman-teman pengantin lelaki
mengiring, masih dengan mulut usil mereka. Di halaman kantor,
suami Salsi membuka pintu mobilnya untuk Pak Kirom dan istrinya
yang baru. Tetapi Yu Jembar hanya berdiri terpaku. Dua sampai tiga
kali dipersilakan masuk ke mobil, Yu Jembar bergeming. Kemudian
dengan suara yang hanya terdengar oleh suami tuanya, Yu Jembar
minta pulang naik becak.
Jenazah Pak Kirom sudah dipanggul oleh empat lelaki, dan belum diberangkatkan ke kuburan sampai doa pengantar arwah yang panjang
selesai dibaca oleh Pak Modin. Salsi masih menangis sambil meng
amini doa itu. Suasana tetap hening. Ketika akhirnya doa pengantar
arwah itu usai, Pak Modin menyuruh pengusung jenazah mulai me
langkah. Jenazah Pak Kirom berangkat ke kuburan.
Salsi berbaur dengan para pelayat bergerak menuju tempat pe
makaman. Dia berharap tidak akan mendengar lagi celoteh tentang
ayahnya, karena di kalangan masyarakat sesungguhnya ada kata-kata
bijak, mengenai si mati, tinggallah kebaikan-kebaikannya.
Tetapi itu harapan kosong, karena Salsi masih mendengar entah
suara siapa, "Saya bilang juga apa. Masa iya lelaki tua yang penyakitan
mengawini janda muda yang masih perkasa. Nah, tentu begini jadinya.
Belum sebulan menikah Pak Kirom sudah diusung ke kubur."
Suara itu seperti menusuk hati Salsi. Tetapi dia merasa tidak bisa
berbuat apa-apa di tengah banyak manusia yang semua bergerak ke
arah kuburan. Namun setidaknya suara itu mengingatkan Salsi pada
hari-hari awal pernikahan ayahnya dengan Yu Jembar.
Pada sore hari pertama pernikahan itu Pak Kirom menemui Salsi.
Dia minta anaknya itu tidak mengubah sedikit pun kebiasaan meng5
SK Pensiun
antar makanan dan mengurus pakainnya. Pak Kirom juga mengatakan
tidak akan tidur di rumah Yu Jembar.
"Kok begitu, Ayah?"
"Ya nama dia memang Jembar, namun rumahnya sempit sekali.
Kamu tahu, kan? Hanya ada satu balai-balai, itu untuk Jembar dan
dua anaknya yang masih kecil. Anak yang lain tidur di bangku panjang
atau di surau."
"Ayah bisa membawa mereka ke rumah Ayah, kan?"
"Ayah juga berpikir seperti itu, dan sebenarnya Jembar tidak keberatan. Namun hanya dua anaknya yang masih kecil yang mau ikut. Dua
lainnya tidak mau. Ah, Ayah tidak ingin memisah-misahkan Jembar
dan anak-anaknya. Bagi Ayah sudah cukup kini Jembar adalah istri
Ayah. Serumah atau tidak tak jadi masalah apa-apa."
Salsi mengangguk-angguk dan kehabisan kata-kata. Maka dia
iyakan semua permintaan ayahnya untuk tidak mengubah kebiasaan
mengurus ayahnya. Dia tahu setelah pernikahan itu ayahnya setiap hari
menemani Yu Jembar di warung rujaknya. Atau pergi ke pasar untuk
membeli buah-buahan yang diperlukan oleh Yu Jembar. Setiap hari
sehabis asar Pak Kirom kembali ke rumahnya. Begitu kebiasaan Pak
Kirom selama hampir sebulan ini. Tapi waktu subuh tadi Pak Kirom
ditemukan meninggal dalam keadaan duduk di kursi ruang tengah.
Pulang dari pemakaman, Salsi masuk ke rumah ayahnya. Beberapa
orang sedang membereskan kursi-kursi plastik bekas tempat duduk
para pelayat. Salsi masuk dan merinding setelah menyadari rumah
ayahnya akan kosong selamanya. Salsi mengumpulkan barangbarang ayahnya yang patut disimpan sebagai kenangan. Dan dia sedang membuka-buka laci meja ayahnya ketika Pak Pahing, kepala
persatuan pensiunan, masuk.
"Nah, kebetulan kamu ada di sini. Saya mau minta SK Pensiun
ayahmu. Coba cari di map plastik warna cokelat. Kami para pensiunan
biasa menyimpan SK itu di sana."
Memenuhi permintaan Pak Pahing, Salsi berpindah mencari-cari
ke lemari di sudut ruang tengah, karena di laci meja tidak ada map
plastik cokelat. Ketemu di lemari itu.
Ahmad Tohari
"SK Pensiun ayahku buat apa, Pak Pahing?"
"Untuk mengurus beberapa keperluan, tapi yang utama untuk
mengurus hak istrinya."
Salsi diam sejenak.
"Yu Jembar?"
"Ya, betul. Siapa lagi?"
Dan Salsi termangu selama Pak Wardi menjelaskan bahwa sekarang Yu Jembar berstatus janda pensiun meskipun hanya kurang
dari satu bulan menjadi istri almarhum Pak Kirom.
"Pak Pahing, saya dan suami adalah orang swasta. Jadi kami kurang paham akan seluk-beluk pensiunan. Saya kira tunjangan pensiun
Ayah terhenti begitu beliau meninggal, karena ibu kami sudah mendahului dan anak-anak Ayah semua sudah dewasa."
"Itu benar jika ayahmu tidak menikah lagi. Ah, sudahlah. Saya tak
punya waktu banyak. Serahkan SK itu, besok ada uang duka dari persatuan pensiunan untuk keluarga almarhum."
"Baguslah, dan serahkan itu buat Yu Jembar."
"Baik. Dia juga akan saya bantu sampai tunjangan janda pensiun
yang menjadi haknya turun setiap bulan."
Pak Pahing minta diri dan kemudian Salsi memandangi langkahlangkahnya sampai jauh. Makin lama pandangan Salsi baur. Dia seperti melihat Yu Jembar, penjual rujak itu, dengan empat anaknya
yang yatim tidur bersama di atas balai-balai. Salsi juga melihat SK
Pensiun ayahnya yang akan dibawa oleh Yu Jembar setiap bulan ke
kantor pos untuk mengambil tunjangan. Salsi sadar itu indah sekali,
dan tiba-tiba dia merasa amat bangga menjadi anak ayahnya.
Karya Ahmad Tohari
Celebrity Baby
aliaZalea
aliaZalea lahir di Jakarta, telah menghabiskan hampir separuh
hidupnya di Amerika dan Malaysia, berprofesi sebagai dosen
psikologi di salah satu universitas swasta. Seluruh novelnya
diterbitkan GPU: Miss Pesimis (2010), Blind Date (2010), Crash Into
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
You (2011), Celebrity Wedding (2011), The Devil in Black Jeans (2013),
dan Dirty Little Secret (2014). http://www.facebook.com/aliaZalea
Celebrity Baby
EVEL memandangi bayi perempuan mungil yang dibalut kain
dan topi warna pink dalam gendongannya dengan tatapan
heran. Ilsa Raine Darby, atau lebih kerap disebut celebrity baby
oleh media, sedang tidur dengan mulut yang terkadang membuka dan
menutup seiring dengan pernapasannya sambil mengeluarkan bunyibunyi yang membuat Revel berpikir anak itu sedang sesak napas,
tapi menurut suster rumah sakit suara itu wajar dikeluarkan oleh
bayi ketika mereka sedang tidur. Revel masih tidak percaya bahwa
hubungannya dengan Ina?istri, cinta mati, dan belahan jiwanya?bisa
melahirkan seorang manusia miniatur yang sangat menggemaskan ke
dunia ini. Dia lebih tidak percaya lagi bahwa dia sudah menjadi ayah.
Karena sebelum bertemu Ina, jangankan menjadi ayah, menjadi suami
saja dia tidak berminat. Tapi sekarang, dia tidak bisa membayangkan
hidupnya tanpa Ina dan Ilsa.
Dilarikannya jari telunjuknya ke pipi Ilsa yang re?eks langsung
menoleh menyambut sentuhan tersebut sebelum tertidur kembali.
Rasa bangga karena anaknya, darah dagingnya, yang baru berumur
tiga minggu bisa mengenali sentuhannya dan merasa aman dalam
gendongannya meremas hati Revel. Perlahan-lahan dia menunduk
untuk mencium kening Ilsa. God, she smells good. Dengan aroma
bedak talek, minyak telon, dan aroma lainnya yang hanya dimiliki bayi,
dia tidak akan pernah bosan menciumi Ilsa. Dia tahu dia seharusnya
mengembalikan Ilsa ke dalam boksnya dan membiarkannya tidur
dengan damai, tapi dia masih ingin menggendong. Untuk merasakan
kehangatan tubuh bayi itu menempel pada dadanya sebentar saja lagi
sebelum Ina bangun dari tidur siangnya untuk menyusui.
Dengan sehati-hati mungkin Revel mulai berjalan menuju kursi
goyang di sudut ruangan, tempat Ina biasa duduk ketika sedang menyusui atau mengeloni Ilsa.
Kursi yang biasanya menenggelamkan tubuh Ina yang kecil terasa
agak kekecilan untuknya. Namun setelah sedikit paksaan dan manuver
tubuh yang menurutnya sangat genius, dia bisa merebahkan punggungnya pada sandaran kursi dan mulai menggoyangkan kursi sambil
menyanyikan lagu Nina Bobo. Dia sudah mengulang lagu itu sebanyak
aliaZalea
sepuluh kali sambil terus memandangi wajah Ilsa yang menurutnya
semakin cantik setiap detiknya. Ketika mendongak dan menemukan
Ina sedang bersandar pada kusen pintu sambil memperhatikannya,
sebuah senyum semringah langsung menghiasi wajahnya. Efek
Ina pada dirinya sudah seperti matahari pada bumi. Kalau Ina ada,
semuanya terasa lebih terang dan hangat.
Ina kelihatan jauh lebih segar dan waspada. Setidak-tidaknya
bayangan hitam di bawah matanya sudah tidak terlalu kentara lagi.
Dua jam lalu Revel meminta Ina beristirahat ketika menemukannya
tertidur sambil duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuan.
Setelah yakin Ilsa akan baik-baik saja di bawah penjagaan Revel, Ina
masuk ke kamar tidur dan terlelap dalam hitungan detik.
Ina melangkah mendekat untuk membelai rambut Revel lalu
menunduk mencium bibirnya. Sebelum Revel puas membalas ciuman itu, Ina sudah mengalihkan perhatiannya pada Ilsa dengan berlutut di depan kursi dan membelai segaris kening Ilsa yang kelihatan
di bawah topi. Satu hal lagi yang tidak akan pernah bosan dilakukan
Revel adalah mencium Ina. God, dia tidak tahu bagaimana dia bisa
menunggu beberapa minggu sebelum bisa menyentuh Ina lagi. Hanya
janji pada diri sendiri untuk menjadi suami yang terbaik untuk Inalah yang menghentikannya dari menyerang Ina setiap malam selama
tiga minggu ini. Entah apa yang terjadi, mungkin karena hormonnya,
atau hormon Ina, tapi semenjak melahirkan, Ina semakin seksi saja,
membuat Revel selalu ingin melakukan hal-hal tidak senonoh setiap
kali melihatnya.
"Dia rewel nggak?"
Bisikan Ina membangunkan Revel dari memikirkan segala hal
kotor yang ingin dia lakukan pada istrinya, tidak peduli bahwa Ilsa berada dalam satu ruangan dengan mereka.
"Ng-nggak sama sekali. Dari tadi masih tidur aja, nggak bangunbangun," balas Revel dengan sedikit tergagap. "How?s your nap?"
tambahnya buru-buru, mencoba mengalihkan pikirannya ke hal-hal
yang lebih aman.
Ina yang tidak tahu betapa kotornya pikiran suaminya beberapa
Celebrity Baby
saat lalu hanya tersenyum dan menjawab,"Good. Aku ternyata lebih
capek daripada yang aku pikir."
Revel hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Mereka
sudah banyak berdebat semenjak sebelum Ilsa dilahirkan tentang
pengurangan kesibukan Ina di kantor. Tapi dasar Ina yang workaholic
dan bisa mati kalau nggak kerja (kata Ina), dia masih tetap kerja
sampai detik-detik terakhir. Dia bahkan hanya menunggu seminggu
setelah melahirkan sebelum kembali bekerja lagi, sesuatu yang
membuat Revel betul-betul ingin mencekiknya. Akhirnya setelah debat panjang lebar, sebagai kompromi Ina setuju hanya bekerja dari
rumah dan untuk beberapa jam saja setiap hari. Di satu sisi Revel
menghargai sifat kerja keras dan kepenuhenergian Ina, tapi di sisi lain
terkadang dia suka gemas kalau istrinya tidak mendengar nasihatnya
dan buntutnya kecapekan sendiri.
Ina beranjak berdiri dan mengulurkan tangan untuk mengambil
Ilsa dari gendongan Revel sambil mengatakan, "Kamu bisa balik ke
studio sekarang. Aku tahu kamu banyak kerjaan. Aku sudah bangun,
jadi bisa ambil alih. Makasih ya sudah nemenin Ilsa."
Revel menggeleng dan mengeratkan pelukannya pada Ilsa, membuat Ina tertawa kecil melihat keposesifannya. Ina mendesah dan
menurunkan tangannya sebelum melangkah pergi. Buru-buru Revel
menarik pergelangan tangan kirinya.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya sedikit panik.
Berdasarkan pengalaman, dia jadi sedikit paranoid setiap kali
Ina melangkah pergi darinya. Ina hanya memutar bola mata sebelum
melepaskan diri dari Revel dan bergegas pergi. Mata Revel langsung
melotot, takut Ina marah padanya, dan dengan susah payah dia
mencoba berdiri. Tapi tubuhnya tertahan di kursi. Dalam hati dia
menyumpah tukang kayu yang sudah membuat kursi untuk orang kerdil begini dan bersumpah akan membakar kursi terkutuk ini nanti
setelah dia bisa melepaskan diri dari cengkeramannya, tentunya.
"Ina. Wait, wait, don?t go!" panggilnya tergesa-gesa.
Ina sudah sampai di pintu kamar, siap keluar. Dengan Ilsa yang
masih tertidur lelap pada tangan kiri, Revel hanya bisa menggunakan
aliaZalea
tangan kanan untuk menarik tubuhnya ke atas. Dan dengan satu dorongan paksa yang dia yakin akan membuat pinggangnya membiru
besok, dia akhirnya berhasil melepaskan diri. Dia meraih bahu Ina
hanya dalam empat langkah dan dengan mudah memutar tubuhnya.
"Sori, sori. Ini Ilsa-nya kalo kamu mau gendong." Revel langsung
menyodorkan Ilsa, meskipun dengan sedikit berat hati.
"Kamu aja yang pegang dulu. Aku mau angkat kursi ini supaya
bisa duduk deket kamu dan Ilsa," ucap Ina.
Baru pada saat itulah Revel sadar bahwa kedua tangan Ina sedang
mencengkeram sandaran sebuah kursi kayu warna pink yang memang
terletak di samping pintu kamar, siap mengangkatnya. Ina tidak marah padanya atau akan meninggalkannya, hanya Revel yang parno.
Revel melepaskan cengkeramannya pada bahu Ina dan mengatakan
satu-satunya kata yang terlintas di kepalanya saat itu, yaitu, "Oh" Ina
hanya mengangkat alis, mempertanyakan tingkah laku suaminya yang
superaneh.
Untuk menutupi rasa malunya karena sudah berpikir yang tidaktidak tentang istrinya, Revel buru-buru berkata, "Sini biar aku aja. Bisa
tolong kamu gendong Ilsa?" ujarnya sambil menyodorkan Ilsa kepada
Ina untuk yang kedua kalinya dalam beberapa menit ini.
Dengan sigap Ina meraih putrinya dan mendekapnya erat sebelum berjalan menuju kursi goyang dan mendudukkan dirinya di
sana. Revel menyusul dengan kursinya sendiri tidak lama kemudian.
Selama lima menit sesudahnya mereka berdiam diri. Perhatian Ina
terfokus pada Ilsa sambil sesekali melemparkan senyum padanya,
sedangkan perhatian Ravel terfokus pada Ina dan interaksinya dengan
Ilsa. Ina seorang wanita yang dilahirkan untuk menjadi ibu. Dia begitu
natural mengasuh Ilsa. Tidak pernah sekali pun Revel mendengar
Ina mengeluh, tidak peduli betapa lelah ia mengasuh Ilsa seharian.
Sekilas bayangan Ina main kejar-kejaran dengan Ilsa yang sudah lebih
besar dan lucu karena memakai baju pelaut plus topinya terlintas di
kepala Ravel.
Kemudian bayangan lain terlintas. Kali ini Revel main perangperangan dengan seorang anak laki-laki kecil dengan wajah yang mirip
Celebrity Baby
sekali dengan dirinya. Dengan begitu saja dia tahu bahwa keluarga kecil
mereka harus bertambah besar lagi untuk menampung semua rasa cinta
yang meluap-luap, siap menenggelamkannya sebentar lagi. Dia mau Ilsa
menjadi kakak, memiliki teman untuk diajak bicara dan berinteraksi, tidak
sendirian dan kesepian seperti dirinya dulu. Dia hanya perlu meyakinkan
Ina agar mau membangun keluarga besar bersamanya. Kapan kira-kira
Ina siap punya anak lagi? Ravel tidak mau harus menunggu terlalu lama
dan menjadi orangtua yang terlalu tua, sampai-sampai sudah pensiun
waktu anak mereka baru masuk kuliah.
Ina sudah berumur 34 tahun, yang berarti kesempatan untuk
memiliki anak dengan aman hanya tinggal empat tahun lagi. Apa kirakira Ina mau punya satu anak setiap tahunnya? Atau setidak-tidaknya
setiap 18 bulan? Oh God! Suami seperti apa dia ini yang menginginkan
istrinya melalui rasa sakitnya melahirkan dua kali lagi hanya karena
dia menginginkan keluarga besar?
"Rev." Panggilan lembut Ina menarik Revel dari lamunannya.
"Ehm?"
"Kamu lagi mikirin apa kok sampai nyureng begitu?" Ina
memandangnya dengan tatapan lembut, membuat Revel merasa
sedikit bersalah.
"Aku lagi mikirin" Sejenak Ravel hendak berbohong, tapi dia
sudah berjanji untuk selalu jujur pada Ina. Dia menarik napas dan
berkata, "Aku mau punya anak lagi. Kalau bisa dua, sebelum kita terlalu tua untuk jadi orangtua. Kalau dapet laki-laki lagi bagus, tapi kalau dikasih perempuan juga nggak apa-apa. Yang penting Ilsa punya
saudara, nggak sendirian kayak aku dulu."
"Kamu mau punya dua anak lagi?" tanya Ina dengan mata
terbelalak.
Revel mengangguk, terenyak melihat reaksi Ina. Jelas-jelas Ina
tidak setuju dengan rencananya ini. Kenapa juga dia harus membuka
mulut? Semestinya tadi dia bohong saja dan membicarakan hal ini lain
waktu pada saat hormon Ina sudah lebih stabil dan dia tidak terlalu
lelah mengurus bayi. Ravel baru saja akan mengatakan sesuatu ketika
Ina sudah mendahuluinya.
aliaZalea
"We better get busy, then."
Mendengar ini Revel langsung mendongak dan menemukan mata
Ina menari-nari dengan tawa yang hampir tidak bisa dibendung. Istrinya
itu jelas-jelas sedang menertawakannya, tapi dia harus memastikan.
"Kamu serius?" tanya Ravel, yang disambut oleh anggukan pasti
dari Ina. "Kamu tahu kan, itu berarti we gonna have sex all night, every
night setelah tubuh kamu sudah baikan?"
"Looking forward to it," goda Ina.
Oh Revel mendongakkan kepalanya ke langit-langit kamar,
mengucapkan syukur kepada Tuhan karena sudah dipertemukan
dengan Ina sebelum menghujani wajah Ina dengan berjuta-juta
ciuman.
Karya aliaZalea
Paman Kate
Andina Dwifatma
Andina Dwifatma adalah jurnalis dan novelis pemenang Anugrah
Adiwarta 2011 dan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian
Jakarta 2012. Karyanya yang sudah diterbitkan: Cerita Azra (2011)
dan Semusim, dan Semusim Lagi (2013)
Paman Kate
AMAN KATE meninggal pukul delapan pagi ini. Ia suami kakak
sulung ibuku. Nama aslinya Sahlan; dipanggil "Kate" karena
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
badannya mini. Para sepupu suka mencandainya bertubuh
"semampai" alias semeter tak sampai. Ada juga yang memanggilnya
Paman Bulu karena sekujur lengan dan dadanya ditumbuhi bulu lebat.
Ia sering marah dengan julukan-julukan ini, tapi menengok juga bila
disapa.
Sahlan alias Paman Kate tak banyak disukai orang karena wataknya cepat panas. Ia gemar marah-marah. Kalau mengomel, kadang
diakhiri dengan meludah. Ia juga punya bakat berpikir buruk. Apa pun
yang diucapkan orang, dianggapnya bentuk serangan. Pernah di rumah Nenek, ia hendak menjerang air panas untuk menyeduh kopi. Kebetulan teko ada di rak paling atas. Paman Syaiful, kakak ipar Mama
nomor dua, menawarkan bantuan.
Paman Kate sontak melompat dengan wajah merah sambil berseru, "Apa maksudmu? Kau pikir aku orang cacat? Aku masih sanggup! Aku masih bisa mengambilnya sendiri! Kau jangan merendahkan
aku"
Lalu ia memanjat dan terjatuh dengan teko menimpa kepalanya,
disusul dengan ia menyenggol wajan dan badannya ketumpahan
minyak panas, membuat kami semua jadi susah.
Anehnya, ia selalu amat baik padaku. Waktu aku masih kecil, ia
sering membelikanku cokelat dan mendongengiku aneka kisah. Bibi
Mari, istri Paman Kate, menduga itu karena mereka tidak punya anak.
Juga karena kami tinggal satu kompleks, hanya terpisah dua gang.
Sejak aku bayi, Paman Kate sering berkunjung ke rumah bahkan ikut
memandikanku.
Dari cerita-cerita Paman Kate, kusimpulkan bahwa sifat buruknya sudah ia pelihara sejak kecil. Umur delapan tahun, ia pernah
nyaris mati terseret arus sungai lantaran terpeleset dahan licin saat
memanjat pohon. Waktu itu ia ditantang teman-temannya untuk menyentuh ujung ranting terjauh.
"Aku tak terima dibilang pendek," ia mendengus, seolah kejadian
itu baru kemarin sore. Aku segan bilang bahwa ia memang pendek.
Andina Dwifatma
Mungkin ia tidak harus jadi pemarah begitu kalau saja ia mau mengakui
keadaan ?siknya.
Kupikir memang tubuhnyalah yang membuat Paman Kate jadi pemarah dan tak mau kalah. Saat remaja, ia pernah dirawat sebulan di
rumah sakit gara-gara overdosis obat. Ceritanya, seorang teman memergoki Paman Kate membawa pam?et pil peninggi badan ke sekolah.
Ia jadi bulan-bulanan. Di kelas, pam?et itu beredar dari tangan ke
tangan, dan saat jam istirahat, pam?et itu disematkan di paku lambang
negara Burung Garuda yang letaknya paling atas. Paman Kate disuruh
mengambil sendiri, diiringi tawa teman-temannya karena ia sudah
memanjat kursi tapi tak sampai juga (masa SMA memang kejam). Salah seorang kawannya berseru, "Sudahlah, Sahlan, mau kau makan
sebotol pil itu, tak bakal tinggi badanmu!"
Pulang sekolah, Paman Kate pergi ke tukang obat dekat stasiun,
membeli pil peninggi badan, lalu sungguh-sungguh minum langsung
sebotol. Bukan karena ia bodoh, tapi karena ia marah. Pikirnya itu tantangan. Lantas ia overdosis.
Menurut buku Primbon Jawa: Memuat Ramalan Jodo, Nasib, dan
Tabiat Manusia karangan Darmo Sugondo yang kutemukan di pasar
loak, weton Paman Kate adalah Selasa wage. Wataknya sebagai berikut: Angkuh kepada orang dan tidak begitu suka bergaul. Sempit pikirannya. Bila mendengar kata-kata yang tajam dari seseorang, mudah
tersinggung. Bila menghadapi sesuatu yang rumit, mudah putus asa.
Juga bersifat mata keranjang.
Kuberitahukan ramalan itu kepadanya. Paman Kate mencibir,
"Aku tidak angkuh, aku hanya tidak suka direndahkan. Pikiranku juga
tidak sempit. Aku tahu kapan orang bermaksud menghinaku, meskipun kata-kata mereka manis. Dan kalau aku mudah putus asa
menghadapi sesuatu yang rumit, sudah tentu aku tidak akan awet
kawin dengan bibimu!"
Tentang Bibi Mari, kupikir Paman Kate telah bersikap tidak adil. Bibi
Mari perempuan paling cantik yang pernah kulihat. Badannya semampai
(dalam arti sebenarnya), kulitnya putih, rambutnya panjang, matanya cemerlang. Sampai ia tua pun, bekas-bekas kecantikan ini masih terlihat.
Paman Kate
Tutur kata Bibi Mari halus dan ia sangat sabar, padahal Paman
Kate sering bersikap kasar. Sekali-dua kali Paman Kate melempar
gelas bila kopi yang dihidangkan kurang panas atau terlalu manis. Bibi
Mari akan membersihkan pecahan gelas dan mengelap air kopi yang
berceceran di lantai tanpa mengucapkan apa pun.
Sikap Bibi Mari membuatku kagum. Kalau nanti aku jadi istri dan
suamiku melempar gelas kopi, aku akan balas melempar kepalanya
dengan ulekan. Pernah kutanyakan pada Mama, apa sebab perempuan
sesempurna Bibi Mari mau menikah dengan lelaki semacam Paman
Kate. Jawab Mama: perjodohan.
"Waktu Kakek jadi rektor, Paman Kate adalah asistennya. Dia sering ke rumah. Tubuhnya yang pendek dan berbulu jadi bahan tertawaan
kami. Kami memanggilnya ?Si Monyet?, tidak menyangka ia akan menjadi
kakak ipar," Mama berkata sendu. "Kakek menyukai dia karena Paman
Kate pintar, tidak banyak omong, dan datang dari keluarga broken home.
Sudah jadi sifat kakekmu, ingin memperbaiki apa pun yang rusak."
Menurut Mama, sebenarnya Bibi Mari sudah punya pacar. Ketika
kabar perjodohan disampaikan, Bibi Mari pingsan. Tapi dia tahu itu
bukan pilihan, melainkan perintah. Kakek, kata Mama, memang tidak
pernah menyukai pacar Bibi Mari, seorang lelaki Minang yang tampan
tapi jarang sembahyang. Si pacar pernah diusir Kakek karena nekat
ngapel di waktu magrib.
Rumah duka sudah padat ketika aku tiba di sana. Begitu terima SMS
dari Mama, aku langsung memacu motorku dari kampus ke rumah
Bibi Mari. Orang-orang mengaji di ruang tengah, mengelilingi jenazah Paman Kate. Aku bermaksud masuk, tapi tubuhku seperti beku di
depan pintu.
Itukah Paman Kate yang terbujur, yang selama ini kukenal betul gaya bicaranya, kebiasaannya meludah, senyumnya yang lebih
menyerupai seringai, matanya yang bersinar-sinar ketika mendongengiku macam-macam, tangan berbulu yang dulu sering memberiku
Andina Dwifatma
permen cokelat? Tiba-tiba aku ingin menangis. Aku segera berbalik
dan nyaris menabrak Bibi Mari.
Wajah Bibi Mari bengkak karena kebanyakan menangis. Hidungnya merah dan matanya sembap. Aku spontan memeluknya. Bibi gemetaran. Tak kusangka ia begitu kehilangan atas kepergian Paman
Kate.
"Temani Bibi duduk, Nina." Bibi Mari mencengkeram lenganku.
Dari kursi-kursi yang ditata rapi di teras, ia memilih yang paling sudut.
Aku menurut.
Bibi Mari menangis tersedu-sedu. Aku mengusap-usap bahunya
sambil mengucapkan kata-kata penghiburan. Lho, justru tambah kencang nangisnya. Diam-diam aku tersenyum. Barangkali memang ada
suatu misteri dalam pernikahan. Siapa sangka cinta Bibi Mari pada
pamanku yang pendek dan berbulu itu demikian kuatnya.
"Sudah ya, Bibi. Paman sudah tenang sekarang," bujukku di
antara tangisan Bibi Mari.
"Kau tidak mengerti, Nina. Tidak ada yang mengerti."
"Maksud Bibi?"
"Bibi yang membunuhnya." Ia tersedu-sedu lagi. "Bibi yang
membunuhnya Bibi yang membunuhnya"
Kuguncang-guncang bahu Bibi Mari. "Tenang, Bi, coba jelaskan
padaku. Dan pelankan suara Bibi"
"Kau tentu tahu bagaimana cara pamanmu memperlakukan Bibi.
Selama puluhan tahun perkawinan kami, dia selalu begitu. Tidak pernah berubah meskipun Bibi sudah berkali-kali memohon agar dia berhenti bersikap kasar. Pamanmu selalu curiga Bibi akan kembali pada
mantan pacar Bibi dulu. Sejak hari pertama kami menjadi suami-istri
sampai hari ini, dia begitu yakin Bibi akan pergi darinya.
"Bukan sekali-dua kali Bibi meminta perceraian, tapi dia selalu
mengancam akan membunuh Bibi. Meskipun kecil, tenaganya sangat
kuat. Nina, Bibi sebenarnya tak ingin kau tahu hal ini, tapi kau sudah
dewasa. Beberapa kali dia memperkosa Bibi, istrinya sendiri.
"Belakangan ini pamanmu semakin menjadi-jadi. Burhan, mantan
pacar Bibi, mengirimi kami kartu Lebaran. Entah dari mana pamanmu
Paman Kate
tahu bahwa Burhan baru saja ditinggal mati istrinya. Burhan duda
dan pamanmu merasa terancam. Dia memukul Bibi, meludahi Bibi,
membanting piring ke hadapan Bibi. Setiap hari dia menuduh Bibi meracuni kopi dan nasi yang Bibi hidangkan untuknya. Suatu kali Bibi
menantangnya. Bibi berkata, ?Memang kuracuni kopi itu. Ayo minum
kalau berani!?
"Kau tahu sifat pamanmu. Dia tidak pernah mau kalah. Semua hal
dia anggap tantangan. Kekurangan ?sik dia tutupi dengan sifat yang
angkuh. Kopi itu dia minum, dan ketika kemudian terbukti Bibi hanya menggertak, dia tertawa dan meludahi Bibi. ?Istri sial?, begitu dia
memanggil Bibi.
"Pagi ini Bibi tak tahan lagi. Bibi aduk kopinya dengan racun tikus hingga larut. Nina, hidup berpuluh tahun dengan pamanmu membuat Bibi tahu, bila Bibi menantangnya minum kopi itu, dia pasti akan
meminumnya. Bibi sangat mengenal pamanmu. Di kepala Bibi sudah
terbayang, hidup tenang di sisa umur, tanpa bentakan, tanpa tamparan...
"?Kau racuni lagi kopiku??
"Bibi hanya diam.
"?Kau pasti ingin aku cepat mati agar kau bisa kawin dengan si
Burhan sialan itu!?
"Dengan bibir bergetar Bibi menjawab, ?Ya, ada racun di kopimu.
Minumlah kalau kau mau mampus!?
"Dia tertawa mengejek. Kaukira aku takut pada gertakanmu??
"Nina, pamanmu mengangkat cangkir itu ke bibir. Pada saat itu
Bibi berubah pikiran. Bibi memang membencinya, tapi Bibi tidak ingin
jadi pembunuh. Kenapa tidak Bibi biarkan saja takdir mengambil dia,
atau Bibi duluan? Nina, bagaimanapun bibimu ini takut dosa! Bibi
berteriak, tapi pamanmu menendang Bibi. Bibi terjatuh dan dia meminum kopi itu sampai habis sambil tertawa-tawa"
Lalu suara Bibi Mari seperti terdengar dari jarak yang jauh sekali. Di
ruang tengah, orang masih mengaji untuk pamanku yang baru saja mati.
Jakarta, 19 Januari 2014
Karya Andina Dwifatma
Yu Ngatemi
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia kini tinggal di Bandung, sudah menelurkan
beberapa novel, di antaranya Beraja (Grasindo), Bea Tunangan, Euy!
(GPU), dan Renjana (GPU). Perempuan kelahiran Tanjungkarang, 1
Februari ini ingin semua tulisannya bisa diterima masyarakat baca.
Soalnya, baginya, menulis adalah berbagi hidup. Yang ingin kontak
dengan Anjar, silakan mengunjungi www.berajasenja.com,
Twitter: @berajasenja , dan Facebook: anjar.anastasia.
Anjar Anastasia
EREMPUAN itu selalu melewati jalan raya dengan menaiki
sepeda usang. Wajahnya sebagian tertutup topi caping warna
cokelat tua. Pakaiannya pun sederhana. Kalau tidak celana
panjang hitam, pasti rok lebar dengan corak bunga-bunga dipadu dengan kaus atau kemeja biasa.
Sepeda yang selalu ia kayuh dengan semangat itu bukan sembarang sepeda. Sepeda itu layaknya mobil pengangkut barang hasil
bumi dari desanya. Di bagian belakang sepeda yang biasanya berfungsi
untuk memboncengkan orang, tergantung dua karung goni besar, kanan dan kiri, berisi sayuran. Sementara di batang besi di tengah-tengah setang terikat pula sayuran lain, mungkin karena tidak muat di
karung goni tadi.
Pokoknya, sepeda tua itu selalu berisi penuh dengan hasil bumi.
Entah bagaimana caranya, Yu Ngatemi bisa mengimbangi berat badan
dan barang bawaannya dengan kekuatan sepeda usangnya.
Kadang-kadang, jika musim rambutan tiba, karung goni dan setang sepeda itu penuh dengan rambutan memerah yang siap dijual
saat itu juga, tidak harus dijual di pasar. Kadang ikatannya berjumlah
dua atau satu. Boleh dibeli satu ikat saja. Harganya pun terjangkau.
Jarak yang ditempuh YuNgatemi dari desa ke pasar bisa berkilokilometer, melewati jalan raya dan jalan kecil. Pagi-pagi benar, ketika
orang lain baru akan berangkat kerja, Yu Ngatemi sudah mengayuh
sepedanya. Menjelang malam kayuhannya melintas di sepanjang jalan
itu lagi, sementara para pekerja lain sudah santai di rumah.
Raut wajah Yu Ngatemi selalu tanpa ekspresi dan tidak terlihat
lelah. Boleh dibilang, tampaknya ia sangat menikmati pekerjaannya,
bahkan ketika barang dagangannya tidak laku. Hujan, debu, dan panas
terik adalah saksi perjuangannya demi memenuhi kebutuhan hidup
setiap hari.
Hari ini Yu Ngatemi menuntun sepedanya pelan-pelan. Wajahnya
lebih muram dibanding biasanya. Caping cokelatnya tampak kusam.
Sepeda ia tuntun pelan-pelan seperti tanpa nyawa.
Angin yang kencang berembus menambah kesan kesedihan
yang ditebarkan perempuan tegar itu. Yu Ngatemi sedikit kepayahan
Yu Ngatemi
mempertahankan posisi caping yang bergerak ke kanan dan kiri,
mengikuti embusan angin kencang tadi.
Rok cokelat tua dengan corak kembang-kembang yang ia kenakan
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari ini juga sempat merepotkannya. Angin mengibarkan roknya bersamaan dengan caping di kepalanya. Maka, supaya tidak lebih repot,
perempuan itu berhenti di trotoar. Sepeda ia parkir di pinggir trotoar.
Ia usahakan tidak mengganggu lalu lintas di sekitarnya. Perempuan
itu beristirahat sejenak di samping sepedanya.
Ketika caping ia buka, terlihat rambut hitam tebalnya terikat ke
atas. Ternyata, meski dengan segala beratnya menanggung hidup, tampaknya perempuan paruh baya itu masih bisa mengurus diri. Buktinya,
rambut hitamnya itu. Rambut Yu Ngatemi tetap terpelihara meski
dengan cara tradisional.
Angin masih berembus kencang. Langit mendung pekat, menandakan hujan bisa jadi akan kembali datang. Semalam hujan mengguyur bumi, membuat tanah basah tak tersisa. Sisa genangan air hujan masih terlihat di jalanan, terutama di jalan yang berlubang. Kalau
tidak hati-hati, bisa menimbulkan masalah.
"Hhh" Yu Ngatemi mengembuskan napas perlahan. Sebentuk
keresahan lain muncul di raut wajah tuanya, seiring awan hitam yang
berarak di langit.
Dalam ingatannya muncul banyak hal yang mengharuskan ia berjuang seperti sekarang. Tentang masa lalunya, tentang suaminya yang
meninggalkannya hanya demi janda muda di kampung sebelah pada
saat anak mereka masih kecil-kecil. Padahal janda itu pun pada akhirnya meninggalkan suami Yu Ngatemi. Karena malu, suaminya itu
malah entah berada di mana sekarang. Meninggalkan kepedihan terdalam di hati Yu Ngatemi. Jika saja tidak ingat masih punya tiga anak,
ia mungkin sudah pergi dari dunia ini. Beban hidupnya terlalu berat.
Yu Ngatemi bisa bekerja seperti sekarang karena kebaikan Wak
Haji, tetangganya. Wak Haji yang orang kaya tapi tidak punya anak itu
memiliki kebun luas.
Melihat hidup Yu Ngatemi penuh keprihatinan, Wak Haji memberi
wanita itu kesempatan untuk menjualkan hasil palawija dari sebagian
Anjar Anastasia
kebunnya. Tujuannya pasar di kota, yang jaraknya lumayan jauh. Tapi
itu tidak menjadi halangan bagi Yu Ngatemi. Perempuan itu selalu
bersyukur dan mengucap terima kasih.
Sayangnya, karena tuntutan hidup, Yu Ngatemi terpaksa berutang
kepada seorang renternir yang biasa wara-wiri di kampungnya. Yah,
mau bagaimana lagi? Kebutuhan hidup semakin meningkat, dan ia tidak bisa mangandalkan siapa-siapa. Utang kepada renternir itu pun
terus bertambah. Beberapa barang berharga di rumahnya terpaksa
dijual demi membayar utang.
Beruntung, tiga anaknya adalah sumber semangat yang selalu
menjadi pupuk di kala kegairahan untuk meneruskan hidup sedang
melayu. Ia bersyukur memiliki mereka. Senyum mereka bak gerimis
segar saat kemarau panjang menerpa.
Yu Ngatemi mengelap keringat di dahi. Rutinitas hari ini sebenarnya
tidak membuatnya bosan. Ia kerjakan semuanya dengan kesadaran
penuh. Satu-satunya yang sering menyiksanya adalah saat kelelahan ?sik
menerpa, terutama jika dalam suasana seperti sekarang.
Belum lagi beban batin yang terasa berat, semakin menambah
beban barang yang ia bawa. Tapi Yu Ngatemi tetap semangat. Ia
menanggungnya sendiri dan mencoba mencari jalan keluarnya.
Mata perempuan itu menatap awan yang berarak menghitam. Sejak pagi ia berangkat, awan gelap seolah mengikuti ke mana pun ia
pergi. Sedikit ragu dan takut sempat menggelayuti pikirannya. Apakah
hujan akan menangguhkan perjalanannya hari ini? Padahal sebentar
lagi pasar tujuannya akan sampai.
Di antara awan-awan yang berarak menghitam itu, tampak wajah ketiga anaknya, kebanggaannya. Yang bungsu masih kelas 3 SMA.
Yang kedua kuliah D3 jurusan bahasa. Dan yang pertama akan diwisuda menjadi sarjana ekonomi seminggu lagi. Bahkan yang lebih
membanggakan lagi, selepas wisuda nanti, si sulung akan langsung
bekerja di perusahaan multinasional di kota, mengalahkan beberapa
temannya sekampus yang bermaksud sama.
Kebanggaan berlipat-lipat menyeruak di dada Yu Ngatemi. Syukur
tak habis atas semua hal baik yang terjadi pada si sulung kebanggaannya.
Yu Ngatemi
Terbayang, seminggu lagi ia bisa menyaksikan pesta wisuda yang
belum pernah ia alami. Anak terkasihnya itu akan menjadi bagian dari
kegiatan besar di kampus sebagai tanda sahnya kelulusan sang anak.
Senyum tipis terlukis di wajah Yu Ngatemi. Lega rasanya, jerih
payahnya selama ini telah membuahkan hasil. Perempuan itu benarbenar bahagia mengingat itu semua.
Tapi
Sebelum semua terjadi, hari ini ia harus mencari uang dulu untuk
mencukupi syarat pembayaran wisuda yang harus dibayarkan besok.
Jika tidak dibayarkan besok, si sulung tidak akan bisa ikut wisuda.
Tatapan Yu Ngatemi beralih pada barang dagangannya di sepeda
usangnya. Barang-barang itu sejak kemarin hanya berkurang sedikit.
Itu berarti hasil penjualannya tidak cukup untuk menutupi kebutuhan
wisuda si sulung.
Otaknya bekerja cepat, mencari cara untuk mendapatkan dana
yang dibutuhkan.
Apakah ia harus berutang lagi pada rentenir? Bukankah utangnya
sudah menumpuk dan entah kapan bisa terbayarkan. Hati Yu Ngatemi
tiba-tiba kembali terkoyak-koyak. Kebanggaan serta kebahagiaan
yang sempat dirasakannya mulai terkikis.
Malangnya lagi, tiba-tiba ia dikejutkan sebuah mobil yang melintas
cepat. Air genangan di tengah jalan sisa hujan tadi malam memuncrat,
membasahi seluruhan barang dagangannya. Sayur-mayur dan buahbuahan yang ia bawa jadi basah dan kotor.
Yu Ngatemi terkejut. Tatapannya mengikuti arah mobil yang terus
melaju. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa seiring dengusan napasnya yang menahan amarah. Ia hanya bisa mengelus dada. Tatapannya
memelas.
Tak sampai lima menit kemudian, ia merasakan kepalanya basah.
Sontak ia mendongak.
Astaga! Gerimis sudah turun.
Tanpa babibu lagi, perempuan itu tangkas membuka tas kecil
yang ia bawa. Di sana ada plastik bening lebar yang sudah ia modi?kasi
sedemikian rupa hingga menyerupai jas hujan. Sebelum hujan lebih
Anjar Anastasia
deras, ia kenakan "jas hujan" tersebut menutupi tubuhnya. Caping ia
kenakan kembali di kepalanya.
Mengingat waktu yang kian mengimpit, perempuan itu segera
melepas standar sepeda kemudian mengayuhnya menuju pasar. Dalam hati ia menyemangati diri sendiri bahwa pasar yang ia tuju sudah
di depan mata. Setelah sampai di sana, ia bisa dengan leluasa menjual
barang dagangannya. Ia terus berdoa, semoga hujan mereda.
Ketika baru tiga-empat kayuh sepedanya, hujan deras turun dari
langit. Banyak orang segera menepi, mencari tempat berteduh. Tapi,
tidak dengan perempuan itu. Tak ada tanda-tanda ia akan menepi.
Yu Ngatemi terus mengayuh sepedanya. Walau jalannya melambat,
hujan deras tidak menghalangi niatnya. Tekadnya sudah bulat: hari ini
ia harus mendapat uang sebanyak mungkin, demi sebuah cita-cita,
untuk sebuah masa depan anak kebanggaan dan tercintanya.
Senyum tipis mengiringi kayuhan sepedanya di sela hujan yang
tidak mau berkompromi. Wajah si sulung dengan balutan baju wisuda
seolah menambah kekuatan kayuhan sepedanya. Petir di langit tidak
membuatnya takut melanjutkan perjalanan.
Semangat Yu Ngatemi kembali berlipat.
Dan, aku adalah anak sulungnya.
Kenangan rumah kecil di Pasirgintung Bandar Lampung 2000
*Pernah dimuat di Lampung Pos, 26 Juni 2011
Karya Anjar Anastasia
Rindu yang
Terlalu
Arswendo Atmowiloto
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo, 26 November 1948. Ia mulai menulis
dalam bahasa Jawa. Sampai kini sudah puluhan judul karyanya yang telah
diterbitkan. Ia sudah belasan kali pula memenangi sayembara penulisan,
memenangkan sedikitnya dua kali Hadiah Buku Nasional, dan mendapatkan
beberapa penghargaan baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN. Dalam
karier jurnalistik, ia sempat memimpin tabloid Monitor, sebelum terpaksa
menghuni penjara (1990-1995). Salah satu karyanya yang lahir selama di
penjara, Menghitung Hari (1993, Pustaka Utama Gra?ti), disinetronkan dan
memperoleh penghargaan utama dalam Festival Sinetron Indonesia 1995.
Tahun 1996, sinetron lain yang ditulisnya, Vonis Kepagian, juga memperoleh
penghargaan serupa. Karya-karyanya yang pernah terkenal seperti Kiki &
Komplotannya (1979, GPU), Imung (1979, GPU), Keluarga Cemara (1981,
GPU), Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku (1980), dan Canting (1986, GPU)
diangkat sebagai drama serial di televisi. Ia juga menulis novel silat berseri
yang laris Senopati Pamungkas (1986, GPU) serta buku non?ksi Mengarang
Itu Gampang dan Mengarang Novel Itu Gampang.
Rindu yang Terlalu
INDU itu bunga cinta, kata Ming. Perempuan beralis tebal,
dengan rambut ikal dan tubuh sintal terjaga, karena Ming
pelatih senam dan yoga. Hanya sorot matanya terkesan na
kal untuk usianya yang dirahasiakan. Rindu itu buah berahi, itu
yang dikatakan Sab. Lelaki yang pernah menjadi anggota boy band
sekaligus juga petinju, berambut kaku, dengan alis terletak berjauhan.
Sebab bagi Sab, berahi lebih aktif, lebih dinamis, lebih jelas tujuan dan
maunya. Cinta ibarat potensi, masih terpendam. Berahi lebih nyata.
Bukan lagi bunga melainkan buah. Sebagai tanda, bukan kekuatan
terpendam, dinyatakan Sab dengan mengajukan lamaran. Ming terperangah, pipinya memerah, dan merasa jengah, napasnya sedikit
terengah, lalu berubah haru.
"Jangan aneh-aneh, Sab, saya ini ibumu," kata Ming sendu.
"Yah" desah Sab kecewa. "Tapi bukan ibu banget, kan?"
Ming bercerita tentang kejadian sepuluh tahun lalu, ketika dinikahi
ayah Sabtuaji, yang diperolok sebagai Pak Tuka?tukang kawin. Ibu
kandung Sab tak peduli dalam arti sebenarnya. Sebab ia terbaring
koma, akibat kebanyakan obat bius saat dioperasi untuk membuang
selulit di perut dan paha.
Pernikahan prihatin karena dilakukan di rumah sakit, di dekat
ranjang istri yang tak bisa menyetujui atau menolak. Lebih memprihatinkan lagi karena belum sampai Ming hamil, mereka harus
dipisahkan. Ayah Sab ditahan karena terlibat korupsi pengadaan dan
pembagian beras miskin. Tak sampai diadili karena dalam tahanan
ayah Sab menderita stroke berat, tak bisa menggerakkan anggota
badannya. Kalaupun selalu meneteskan air liur, itu bukan kemauannya.
Ketika dihadirkan di pengadilan, banyak yang kasihan dan jijik melihat
seorang lelaki yang selalu berliur.
Sepuluh tahun lalu, Sab tak begitu peduli siapa Ming. Tapi diamdiam ia berterima kasih pada Ming, karena ayahnya mengakhiri karier perkawinannya. Karena selama ini ayahnya yang meninggalkan,
meskipun tidak sepenuhnya menanggalkan. Sab saat itu sedang peduli dengan boy band yang digelutinya, dan berakhir sebagai petinju
di jalanan ketika dikeroyok saat ada tawuran penonton bola. Sab
Arswendo Atmowiloto
keliru dikeroyok karena semua anggota band memakai pakaian yang
sama. Sab berakhir di rumah sakit dan diharuskan memakai pen
dalam sambungan tulang-tulang kaki juga tangannya. Namun malah
sembuh setelah tiga kali ke dukun patah tulang, yang menjepit tangan
dan kakinya dengan belahan bambu.
Baru tujuh bulan lalu mereka bertemu. Ketika Ming diusir karena
salah parkir. Tanpa pikir panjang, Ming memindahkan mobilnya, mundur, dan menabrak mobil lain. Ia minta maaf, bersedia mengganti
kerugian, dan mengatakan sedang tergesa karena harus menemui
seorang penting di gedung itu. Dan orang yang akan ditemui ternyata
direktur yang mobilnya ditabrak. Ming terbelalak ketika bertemu dan
berkenalan, tapi mendadak ia ingat.
"Ya ampun, kamu Sab... Sabtu, kan?"
"Bukan."
"Oh, maaf, kamu mirip Sab. Dulu saya punya anak tiri, dan saya
ingat karena namanya Sabtu." Lalu ia memperkenalkan diri, sesuai
dengan tulisan di kartu namanya: Ming U Nio.
Ternyata Sab telah mengetahui sejak pertama tadi. Dan mereka
berkenalan lagi?meskipun lupa yang sebelumnya untuk keperluan
apa Ming datang. Lalu Sab banyak bertanya, mengagumi, dan mengatakan dirinya masih lajang. Ia selalu merasakan rindu meskipun
baru saja bertemu.
"Aku juga rindu, Sab."
"Apakah rindumu sebesar rinduku?"
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seperti apa itu?"
"Rinduku padamu adalah rindu langit pada bumi. Ia mengirimkan hujan, yang seperti air mata tangisan. Bahkan kalau jatuh di laut, ia menjadi
ombak, selalu menyerbu ke bumi, ke tanah, dan masuk ke dalamnya."
"O, begitu. Lalu bumi hanya membisu?"
"Rindu bumi pada langit adalah mengirimkan semua yang
dihasilkan, pepohonan tumbuh ke atas. Pucuk-pucuknya makin mendekati langit. Bahkan kalau tak bisa ditahan, menjadi magma, menyembur dari gunung. Bumi rela merobek dirinya untuk menunjukkan
bahwa ia juga punya rindu."
Rindu yang Terlalu
"Itu betul sekali. Kamu pintar sekali. Lalu bagaimana nasib mereka?"
"Mereka abadi sebagai sepasang kekasih, ibarat sepasang rel yang
selalu berdampingan, di mana pun berada. Dan akan selalu begitu,
karena begitu menyatu, kereta api akan terguling. Sepertu juga namaku
Sabtu dan kamu Minggu. Sabtu tak mungkin menyatu dengan Minggu.
Karena kalau itu terjadi, sesudah Jumat meloncat ke Sabtu-Minggu, lalu
Senin. Berarti hanya ada enam hari. Sungguh tak terbayang."
"Kalau begitu kita ganti nama saja. Aman."
"Atau aku juga menjadi raja. Karena raja di Jawa ada yang menikahi ibu tirinya."
"Ya sudah begitu saja. Mudah. Kita bisa menikah."
Tapi Ming justru ragu.
"Itu biasa, semua yang akan menikah dilanda keraguan," kata Sab
menghibur, sekaligus memberikan jalan keluar. Seolah ia lebih berpengalaman dalam melewati saat menjelang menikah.
Sab, kamu adalah matahari, dan aku rembulan. Rembulan dan
matahari tak bersatu, kecuali saat kiamat. "Dan kiamat dalam perkawinan
adalah hilang atau meredupnya rindu. Kita sama-sama tak menghendaki
itu. Bukankah cinta indah kala Romeo tak hidup menikah dengan Juliet?"
"Itu benar sebagai alasan mereka yang tak bisa menikah dengan
pasangannya. Dan orang seperti itu banyak jumlahnya. Sebanyak perkawinan yang terjadi."
"O, Sab, kata-katamu menyakitkan hati. Lalu apa artinya cinta?"
"Aku sudah mengatakan kepadamu. Bahwa cinta itu potensi. Seumpama emas, itu masih tersimpan di dalam perut bumi. Tak berarti
memiliki atau menggunakan. Sampai tergali, berwujud rindu atau
cemburu. Saya melamarmu, Ming."
Ming terharu, juga pilu, dan malu. Terharu karena dalam usianya
sekarang ini masih ada pemuda lajang, direktur perusahaan yang
mewarisi dari ayahnya, melamarnya. Pilu karena Sab adalah anak
tirinya?walau nggak tiri-tiri banget. Malu, meskipun tak bisa menemukan alasan kenapa begitu.
Sab ngotot mengajak menikah. Ming tak mau mengalah. Sab,
Arswendo Atmowiloto
menikahlah dengan pilihanmu. Saya mendoakan begitu. Selalu. Saya
masih akan tetap merindukan Sab.
Namun bagi Sab, rindu seperti tak ada artinya. Ia ingin
membuktikan rindu itu dalam pernikahan resmi. Sab bahkan sudah
membayangkan wajah anaknya, sifat anaknya, apanya mirip siapa,
apa yang lain mirip satunya, sifatnya menurun siapa. Beberapa nama
disiapkan, gabungan penggalan nama mereka, atau nama yang
diasosiasikan dengan istilah dalam yoga.
Namun Ming tak mau berubah. Memilih berpisah. Dengan begini,
rinduku padamu adalah rindu abadi.
Empat puluh tahun berlalu, kalau dihitung sejak pertama kali bertemu, mereka berdua kembali bertemu, di suatu reuni para pelatih
senam. Ming merasa senang karena dikenali, karena Ming merasa tubuhnya mekar, rambutnya seperti mawar putih, tawanya lebih lebar,
dan susah menahan pipis seperti juga mudah menangis, gemetar, tapi
tidak gusar ketika Sab memeluk tak sabar.
"Saya tahu kamu akan datang, Ming. Sebenarnya ini reuni yang
kesekian yang saya adakan. Saya membuat tempat senam, agar bisa
bertemu denganmu. Saya tahu suatu ketika kamu akan datang?kecuali kamu sudah meninggal, atau gila. Dan kini kita bisa bertemu.
Dan saya masih ingin melamarmu." Ming juga berharap bertemu, setidaknya setahun sekali, karenanya ia datang ke makam ayah Sab. Tapi Sab tak pernah terlihat, juga saat makam itu dipindah.
Kalau kita bisa merasakan setiap detik adalah rindu, dan kita
mengalami bersama, kenapa harus dihentikan?
Ming menanyakan mana anak, atau cucu, atau istri, atau menantunya, dan Sab berbisik, agak berisik karena harus keras diucapkan
supaya Ming mendengar jelas. "Saya tak tega membohongi istri saya
kalau saya menikah. Saya masih menunggumu."
Waktu itu secara mendadak hujan turun sangat deras. Mereka
merasakan, walau tidak melihat. Bulan tertutup oleh mendung, oleh
air, oleh malam. Tapi kita tahu bulan masih ada. Di tempatnya. Ia baru
akan bergeser saat matahari terbit. Mereka berbagai peran.
Rindu memang bisa terlalu. Seperti hujan yang kelewat deras, se35
Rindu yang Terlalu
perti gunung yang memuntahkan lahar, seperti pelukan yang sebentar.
Sab mengatakan bahwa kini ia memakai gigi palsu, walau baru satu.
Ming mendengar sebagai memang hanya ada satu rindu. Rindu yang
mengenal ragu, tak mengenal cemburu. Anehnya, seolah mengerti
pikiran Ming, Sab menjawab: Setuju.
2014
Karya Arswendo Atmowiloto
Surat-Surat
untuk Ibu
Ayu Gendis
Ayu Gendis sempat menjadi stylist, reporter, copy writer, hingga
editor di beberapa media dan advertising agency, serta penulis
naskah juga produser di sebuah PH indie sebelum kembali ke Yogya
dan menulis novel. Novel pertamanya berjudul Reuni (2012, GPU),
kemudian menulis duet dengan Syahmedi Dean seri Petualangan
Wartawan Geje Jay & Wilow: Diktator Galau dan Superhero,
Supermellow (2014, GPU).
E-mail: gendukgendis@gmail.com
Twitter: @gendukgendis
Ayu Gendis
BU tersayang,
Apa kabar? Semua baik-baik saja kan di sana?
Bu, minggu lalu akhirnya aku dapat kerjaan, setelah hampir se
tahun menganggur. Ibu pasti suka, sekarang aku kerja di hotel. Bagian front of?ce, alias menerima tamu. Aku jadi teringat kata-kata
Ibu dulu, "Nduk, kamu kan pemalu. Coba buang pemalumu dengan
lebih banyak ketemu orang." Aku tersenyum sendiri saat ingat kalimat itu , Bu. Ibu pasti masih ingat, kan? Dulu berkali-kali Ibu mencoba
menyuruhku ikut kursus tari, atau ikut latihan teater supaya tidak malu
kalau di depan banyak orang. Berani membuka mulut, bukan cuma
tersenyum. Dan sekarang, hasil kursus-kursus yang dulu tampaknya
kurang sukses itu, ternyata sedikit membuahkan hasil.
Pekerjaan baruku ini mengharuskan aku tidak lagi malu-malu,
berani menyapa, berani bertanya, berani menjelaskan banyak hal pada
orang-orang yang tak kukenal. Hari pertama, tentu saja aku canggung.
Untung hari Senin, hotel tidak terlalu ramai tamu, malah sebaliknya,
banyak tamu yang check out. Jadi yang penting, selalu sopan dan
banyak senyum saja.
Bu, ternyata menghilangkan sifat dasar itu tidak mudah sama
sekali. Lucunya, kadang ada satu hal yang memaksa kita harus bisa
melawannya. Aku selalu iri pada Mbak Tari atau Mas Yoga yang jauh
dari pemalu. Aku tak pernah lupa bagaimana kita serumah begitu heboh saat Mbak Tari terpilih jadi mayoret drumband waktu SMA dulu,
sampai-sampai Ayah memotret saat Mbak Tari beraksi dari segala
penjuru. Atau saat Mas Yoga jadi pengibar bendera di alun-alun kota
yang bikin heboh semua orang, sampai-sampai Pakde Tri mengabadikannya dengan video segala.
Lalu Ayah bertanya, "Ayo kapan nih anak nomor tiga Ayah tampil?"
Dan aku cuma tersenyum. Tak pernah berani menjawabnya. Aku tipe
orang di belakang layar. Malu kalau disuruh tampil ke depan. Aku sudah puas kalau pekerjaanku dihargai tanpa harus menampilkan diri.
Lucu rasanya kalau sekarang aku terpaksa "tampil" begini. Tapi ternyata
setelah tujuh hari, aku mulai menikmati. Meski terkadang aku membayangkan dulu apa yang akan dikatakan Mbak Tari kalau ada di posisiku.
Surat-Surat untuk Ibu
Bu, ternyata aku senang dengan pekerjaan baruku. Aku cukup yakin akan bertahan lama di sini. Kuharap Ibu tak perlu memikirkan aku
lagi, sekarang aku sudah kembali mandiri.
Salam sayang,
Anakmu
Ibu tercinta,
Kemarin Mbak Tari melahirkan bayi pertamanya. Perempuan. Diberi nama Ratih, katanya biar seperti Ibu. Cantik seperti Ibu. Kuat seperti
Ibu. Punya rasa humor seperti Ibu. Katanya, lusa mereka bisa pulang
dari rumah sakit. Aku akan mengirimkan fotonya untuk Ibu. Ratih kecil ini lucu sekali, warna kulitnya masih memerah, matanya bulat dan
bibirnya mungil muncu-muncu. Rambutnya masih sedikit, tapi tampaknya akan keriting seperti rambutku.
Ratih kecil membuat kami semua berkumpul lagi, Bu. Aku, Mbak
Tari, Mas Yoga, dan Anjar. Hari ini kami semua berkumpul di Yogya.
Bahkan Mas Yoga yang jarang pulang saat hari raya pun kali ini bisa
datang. Tentu saja aku senang. Bukan lantaran oleh-olehnya yang katanya hasil rekap tidak pulang selama tiga tahun, tapi karena aku rindu padanya. Pada candaannya yang tak pernah habis, pada gayanya
yang selalu santai seolah hidup ini tak ada beban, pada pelukan di
pundakku yang memberiku semangat.
Sekarang ini kami semua sedang berkumpul di kantin rumah sakit, tanpa Mbak Tari tentunya. Kami bernostalgia, mengenang waktu
kecil dulu, saat rumah kita di Jalan Godean. Ketika itu Anjar masih balita dan sering kami jadikan mainan karena gendut dan selalu manut
pada kakak-kakaknya. Kadang Anjar kami lilit pakai tisu seperti mumi,
lalu kami naikkan gerobak-gerobakan keliling kampung. Dan kalau
Ayu Gendis
ketahuan, Ibu selalu marah. "Hei, adimu ojo gawe dolanan!"1 begitu kan Ibu kalau protes dulu? Tapi Anjar tak pernah menangis lho,
Bu. Malahan dia minta kami ajak main karena nggak mau ditinggal
sendirian di rumah bersama Mbok Pah.
Atau saat Mas Yoga jatuh dari pohon talok2 sampai kaki kirinya patah. Padahal Ayah selalu wanti-wanti antara kesal dan becanda, "Mbok
jangan penekan3 terus, Le. Kayak monyet aja!" Tapi Mas Yoga terlalu
keras kepala. Buah talok yang kecil-kecil dan rasanya sebenarnya
menurutku biasa saja itu, kok baginya selalu jadi luar biasa. Atau memang Mas Yoga diam-diam sangat cinta pada pohon talok yang ada
di samping rumah itu? Sampai-sampai kadang tidur pun di cabang
pohon. Tapi setelah sembuh, Mas Yoga kembali penekan. Benar kata
Ayah: kayak monyet.
Aku berharap, semoga Ibu masih ingat semuanya. Kami sudah
pasti tak pernah lupa. Itu masa-masa terindah saat kita semua masih
bersama. Tak akan pernah terulang. Tapi juga tak akan pernah pergi
dari memori kita. Ah, andai saja Ibu ada di sini, pasti akan bisa tertawa
bersama. Tapi, begini pun kami sudah bahagia, Bu. Sangat bahagia.
Dan bahagia itu kadang adalah barang langka.
Salam hormat,
Anakmu
Ibu terkasih,
Jangan terkejut. Hari ini aku berpisah dengan Rano. Ibu tak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Hubunganku dengan Rano toh tak pernah
benar-benar baik. Mungkin selama ini Ibu tak tahu, karena aku tak
pernah cerita. Aku tak mau menyusahkan Ibu dengan memikirkan
kehidupan pernikahanku.
1 Hei, adikmu jangan dijadikan mainan!
2 sejenis ceri
3 memanjat-manjat
Surat-Surat untuk Ibu
Tapi karena sekarang sudah berlalu, biarlah aku bercerita sedikit.
Aku mencintai Rano, tapi itu dulu. Ibu pasti ingat saat kami menikah
di rumah Nenek. Mendadak cuaca berubah, dari panas menjadi hujan
deras. Aku masih ingat, tamu-tamu yang jumlahnya tak banyak semua
berhamburan menyelamatkan diri dari tetes hujan yang mendadak
turun deras tanpa kompromi. Lalu Nenek bilang bahwa hujan pertanda
akan ada perubahan hidup yang mengejutkan. Tentu saja, aku tak pernah tahu maksudnya sampai belakangan.
Lalu, aku merasa waktu berlari begitu cepat. Rasanya tak sadar
sudah delapan tahun kami lewati, melalui berbagai hal. Hal-hal yang
indah, hal-hal yang buruk, hal-hal yang tak terlupakan karena berbagai
alasan: begitu menyenangkan, atau begitu menyakitkan.
Sebenarnya, salah satu alasan kenapa aku tidak bekerja tempo hari adalah karena tubuh, pikiran, dan hatiku sedang kurang
kuat berbulan-bulan. Aku kehilangan janinku, Bu. Dan Rano tak
menemaniku di saat yang perih itu. Dia lebih memilih menemani
pekerjaannya yang menurutnya sangat penting itu. Ini bukan yang pertama.
Belakangan, aku merasa pria yang dulu kucintai itu perlahan
berubah menjadi orang yang tak kukenal. Seolah dunia ini berpusat
pada dirinya. Semula aku mengira itu karena tekanan pekerjaan di
kantornya, akibat persaingan antar editor senior di harian tempatnya
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bekerja. Setiap kali ada masalah di kantor, dia akan membawanya pulang ke rumah. Dan semua tiba-tiba menjadi salah. Entah itu makan
malam, atau sekadar teh hangat yang biasa aku sajikan.
Pada saat-saat tertentu aku merasa tak tahan karena tak lagi
dihargai. Tak ada lagi kecupan mesra saat dia akan berangkat kerja. Tak ada lagi pujian saat aku mencoba tampil prima untuknya. Bagaimanapun, aku hanya perempuan biasa. Ada batas-batas yang tak
mampu aku lalui. Apalagi, dengan situasi belakangan yang makin
membuatku tertekan. Jadi keputusanku untuk berpisah darinya bukan
keputusan mendadak. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Aku
merasa tak bisa lagi mengorbankan banyak hal untuk lelaki itu.
Bu, mungkin ini pendapat yang sangat subjektif. Aku seperti kehi42
Ayu Gendis
langan diriku sendiri saat bersamanya. Entah kenapa, mungkin pada
satu ketika aku begitu mencintainya sehingga melakukan semua yang
dia inginkan. Seharusnya aku sadar bahwa mencintai memang tanpa
syarat, tapi bukan tanpa kompromi. Mungkin juga aku terlalu lugu.
Aku selalu berpikir, sebagai istri sudah seharusnya mengabdi pada
suami, sepenuhnya. Tapi, barangkali itu tak berlaku pada semua.
Entahlah, Bu. Belum lama, Ria sahabatku mengatakan, barangkali
aku terlalu baik untuknya. Saat mendengar kalimat itu aku jadi teringat
omongan Ibu di malam midodareni, "Kamu baik, cantik, pintar, dunia
akan mencintaimu bukan hanya suamimu. Tapi masa depanmu ada di
tanganmu sendiri." Aneh, rasanya kalau teringat kalimat Ibu itu saat ini.
Namun, aku akan selalu menerima takdirku, Bu. Aku rasa tanpa
melalui peristiwa seburuk ini, aku tak akan pernah bisa menjadi orang
yang lebih kuat dan bijaksana menghadapi dunia. Menjadi perempuan
yang selalu Ibu impikan sejak aku lahir. Aku yakin, aku akan punya
masa depan yang lebih baik, tanpa Rano. Jadi Ibu tak perlu khawatir,
anakmu ini bukan anak kecil lagi. Aku sudah menjadi wanita dewasa,
Bu, seperti Ibu dulu saat membesarkan kami tanpa Ayah.
Salam hangatku,
Anakmu
Ibu yang kurindukan,
Hari ini tepat tiga tahun kepergianmu. Dan aku tak akan pernah
berhenti menyuratimu. Kalaupun seandainya surat-suratku ini tak
pernah sampai di tanganmu, aku yakin akan ada malaikat yang membacakannya untukmu.
Salam rindu,
Anakmu.
Karya Ayu Gendis
Aku Rela Jadi
Dangdutmu
Boim Lebon
Boim Lebon lahir tanggal 17 Juli. Pernah jadi scriptwriter drama
di Indonsiar, kini bekerja di RCTi, jadi produser di divisi produksi.
Salah satu sinetronnya (Donna Sang Penyamar, ditayangkan ANTV)
masuk selesksi Festival Sinetron Indonesia ?96 kategori sinetron
komedi seri. Selain menulis serial Lupus Kecil, Lupus ABG, dan Lulu
(bersama Hilman), Boim juga menulis serial Gangway, Sotoy, serta
Fariz dan Haji Obet.
Aku Rela Jadi Dangdutmu
IANG itu Bang Rhomi tampil dengan kostum ngejreng. Maklum, dia manggung di sebuah show besar. Kostum yang dikenakannya adalah kostum andalan.
Pemuda berusaha 23 tahun ini memakai jaket kulit domba ala Justin
Bieber, meskipun lagu yang dibawakan kurang pas, yaitu The Night Train
alias Kereta Malam. Tapi Rhomi bersungguh-sungguh. Sebagai penyanyi
dia emang nggak main-main. Dia ngemirip-miripin dirinya dengam Justin
Bieber karena selain merasa mirip, dia juga sangat menguasai alat musik:
yaitu suling. Eh, emangnya Bieber bisa main suling?
Yang jelas, Rhomi meniup suling dengan sangat ekspresif, penuh
perasaan, seakan suling itu adalah slang infus yang membantunya
menikmati sisa hidup. Rhomi tak ingin berpisah dengan alat musik
yang sudah menemaninya melanglang buana ke penjuru negeri itu.
Dan begitu Rhomi beraksi, penonton tersihir!
Di sela permainannya yang memukau, Rhomi berusaha berinteraksi dengan penggemarnya. "Oke, semua ikutan goyang ya! Yap,
yap, yap! Kedua tangan ke ataaas!"
Aneh! Begitu Rhomi bilang tangan ke atas, semua penonton langsung mengangkat tangan, tak terkecuali penonton yang gelantungan
di pohon jambu (otomotis mereka jatuh ke tanah. Abis, tangan yang
buat pegangan dahan malah diangkat ke atas).
Tapi penampilan penyanyi nyentrik ini betul-betul keren.
Usai Rhomi menyanyikan satu lagu, penonton bertepuk tangan
riuh. Bahkan seorang anak kecil berkain sarung mendekati Rhomi dan
memberikan uang.
"Nih, Bang!"
"Eh, m-makasih ya" Rhomi gugup menerima uang itu.
Apakah ini bentuk apresiasi dari seorang penggemar? Rhomi bertanya-tanya dalam hati, tapi dia segera mengetahui jawabannya setelah orang-orang di depannya berebut maju memberikan uang recehan kepadanya.
Oh, Rhomi baru ingat bahwa dirinya sedang ngamen di depan
anak-anak kecil yang barusan ikut acara sunatan massal! Sambil
cengar-cengir nerima duit, Rhomi mengangguk hormat. "Makasih ya"
Boim Lebon
Sementara di belakangnya, Wito yang bantuin main gendang dan
Munir yang metik-metik senar gitar juga cengengesan.
Anak-anak terus bertepuk tangan, meski sesekali ada yang meringis menahan sakit.
Sore menjelang malam, Rhomi pulang. Dia menukar baju show-nya
dengan kaus oblong. Celana jins andalannya masuk lemari lagi dan
sulingnya digantung di dinding.
Rhomi mengelap wajahnya yang berminyak dengan sepotong
handuk kecil, lalu sang istri, Mursida, muncul menyapanya antusias.
"Abis show di mana, Bang?"
Rhomi kaget, "Eh, Neng, tadi Abang manggung di derah Pluit, peresmian kantor cabang. Kebetulan bosnya senang dangdut."
"Disiarin di tipi dong?"
"Hm, kayaknya sih gitu. Abang liat banyak kamera nyorot."
"Lha, mata Abang nggak silau?"
Rhomi tersenyum. "Ya nggaklah. Kan Abang udah biasa tampil di
depan tipi."
Mursida manggut-mangut. "Tipi mana, Bang?"
"Wah semua tipi, kali! Abis banyak banget kameranya."
"Kapan disiarinnya? Neng jadi pengin liat," ujar Mursida lagi.
"Yah, tadi siaran langsung. Orang pas Abang nyuruh penontong
ngangkat tangan ke atas, semua penonton langsung ngangkat tangan.
Berarti kan siaran langsung."
"Sayang banget, ya, Bang. Coba tadi Neng nyalain tipi."
Malam itu Mursida beranjak ke dapur, mau bikin kopi buat suaminya.
Saat itu Wito, adik kandungnya, lagi bikin nasi goreng. "Eh, tadi siang
lo ikut abang lo manggung?"
Wito yang lagi asyik masak bingung menjawabnya.
Aku Rela Jadi Dangdutmu
"Eh, iya, tadi di stadion."
"Stadion? Buat yang main bola?" Mursida heran. "Kata abang lo,
dia manggung di acara buka kantor cabang di daerah Pluit? Yang bener yang mana nih?"
"I-iya, kantor cabang kantor cabang yang ngurusin stadion,"
jawab Wito asal.
"Oooh terus katanya siaran langsung?"
Wito bingung lagi. "Eh, iya langsung."
"Acara apa namanya? Tadi Mpok tanyain ke orang-orang kok
banyak yang nggak tau?"
"Yah, siaran langsung kan nggak bilang-bilang, Mpok. Namanya aja
siaran langsung, tiba-tiba aja, jadi wajar aja banyak orang nggak tau."
"Wah, kalo gitu sebaiknya lo manggung di acara yang bukan siaran
langsung, jadi sempat ada pengumumannya, biar Mpok bisa nonton."
Wito manggut-manggut lagi.
Sementara itu di ruang tamu, Bang Rhomi mengeluarkan uang
hasil manggung dari tas pinggangnya. Tentu saja hal ini membuat
Mursida yang muncul dengan secangkir kopi merasa heran.
"Bang, kok abis show bawa duit recehan gitu?"
Rhomi kaget, nggak mengira istrinya muncul. "Eh, ini penggemar
yang pada ngelemparin. Kalo penonton seneng, mereka ngelemparin
duit recehan, atau ngelemparin sepatu."
"Yah, mendingan bikin penonton nggak senang ya, Bang. Bisa dapat sepatu. Kan lumayan buat koleksi Neng, Bang."
Bang Rhomi termenung kaget!
Yang jelas Bang Rhomi malam itu capek dan mau memejamkan mata
di atas peraduan ketika istrinya bertanya lagi tentang sesuatu.
"Besok manggung lagi, Bang?"
"Whuaaah alhamdulillah, saban hari nggak pernah sepi. Ada
aje" Bang Rhomi nguap lagi.
"Yah, bagus deh. Tapi Neng penasaran belon pernah lihat Abang
Boim Lebon
di tipi nih. Kan Abang udah lama banget jadi penyanyi dangdut, sejak
kita masih pacaran. Kok Abang nggak pernah rekaman? Kalo udah
rekaman kan biasanya lebih gampang masuk tipi, Bang?"
"Doain aje, bentar lagi Abang masuk studio."
"Nyanyi?"
"Nggak, ngecat! Ya nyanyilah, Neng"
Mursida tersenyum.
Besoknya, di sebuah panggung show, Bang Rhomi tampil lagi dengan
kostum pink yang norak. Nggak tau deh, kali ini mirip siapa.
"Hoooi apa kabaaar? Jumpa lagi dengan Rhomi Orami di acara
yang telah lama kalian tunggu-tunggu. Dan sebagai lagu pertama,
terimalaaah"
Rhomi langsung demo suling lagi. Setelah itu bernyanyi, tapi kali
ini Bang Rhomi menyanyikan lagu Barat!
"Staying up late do not stay up if there is no meaning..."
Tapi penonton menolak. Mereka berteriak mencemooh, "Huuu!"
Penonton alergi lagu Barat. Tapi begitu Bang Rhomi menerjemahkannya,
penonton heboh lagi.
"Begadang jangan begadang kalau tiada artinya..."
"Oooh " Penonton pun riuh dan baru ngeh. Ternyata itu lagunya
Bang Haji Rhoma Irama yang diinggrisin. Judulnya Begadang.
"Staying up late is ?ne if there is the need. Begadang boleh
saja kalau ada perlunya"
Hehe, ada-ada aja si Rhomi. Tapi nggak tahu deh, betul atau
nggak tu terjemahannya. Yang penting pede.
Tapi begitu mau melanjutkan lagi, tiba-tiba mata Bang Rhomi
melotot. Soalnya dia melihat seseorang yang rasanya dia kenal, yaitu
tetangganya si Jukri, pemuda pengangguran yang sering bolak-balik
ke kantor kelurahan nyari orderan.
Bang Rhomi langsung improvisasi, dia nyanyi sambil membelakangi penonton, tinggal Wito dan Munir merasa heran.
Aku Rela Jadi Dangdutmu
Sore harinya kebetulan banget, Mursida main ke rumah Jukri mau minta
kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatannya.
"Begini, Bang, meskipun aye masih seger buger, aye pengen minta
kartu kesehatan nih, biar kalo berobat ke puskesmas bisa gratis. Nah,
tolongin deh, biar cepet keluar tu kartu."
"Tenang aje, Mpok Mursida. Aye ini biasa ngurusin surat-surat
yang ada hubunganya sama kelurahan, seperti perpanjangan KTP,
kartu keluarga, surat kelakuan baik, dan sebagainya. Jadi tenang aja,
ntar aye beresin. Yang jelas, tadi siang aye ngelihat laki Mpok lagi
manggung."
"Nyanyi?" Mpok Mursida melotot.
"Ya iya lah. Ngapain lagi?"
"Wah, beruntung dong! Bisa nonton siaran langsungnye. Aye aje
belum sempet liat!"
"Siaran langsung?" Bang Jukri melotot heran.
"Iye. Kan laki aye lagi show?"
"Show apaan? Orang dia nyanyi di panggung kawinan!"
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Panggung kawinan?" Dahi Mursida mengernyit. "Emang di tipi
ada acara musik namanya ?Panggung Kawinan??"
Jukri menggeleng. "Panggung kawinan tuh tempat menghibur
orang di pesta kawinan."
"Jadi bukan nyanyi di tipi?!"
Malam harinya, kembali Mursida bertanya pada suaminya yang
sudah siap tidur karena kelelahan. Mursida terisak. "Ternyata Bang
Rhomi selama ini membohongi Neng."
"Eh, ngebohongin apaan?" Bang Rhomi jadi nggak enak hati.
"Wah, lo kebanyakan nonton ?lm India nih. Ngomong sambil nangis."
"Neng sedih Bang, sangat sedih dan terpukul setelah mengetahui
apa yang telah dilakukan Abang. Hh betapa sakitnya hati ini"
"Eh, lo kenape sih? Salah minum obat?"
"Bukan salah minum obat, Bang. Neng salah milih suami! Abang
bukannya abis show di tipi, tapi abis nyanyi di panggung kawinan, kan?"
Boim Lebon
Rhomi kaget! Dia mengatur napasnya. "T-tapi apa salahnya kalo Abang
nyanyi di sana? Kan sambil nunggu panggilan dari studio rekaman?"
"Kalo emang nunggu panggilan dari studio rekaman kenapa
nggak nunggu di depan pintu studio, kenapa harus nyanyi di sono?"
"Emangnya Neng nggak suka kalo Abang nyanyi di tempat begituan?"
"Bukannya nggak suka, tapi kok belum berubah dari dulu? Kita
kan kenalannya di panggung kawinan, terus kita mulai pacaran, terus
Abang mulai nyanyi di kafe, terus hampir ke studio rekaman, kok sekarang balik lagi ke panggung kawinan? Itu kan namanya kemunduran.
Kapan majunya kalo begitu?"
"Tapi, Neng, bentar lagi Abang bener-bener masuk dapur"
"rekaman?"
"Dapur umum, Neng. Bantuin korban banjir. Ya iyalah dapur
rekamaaan"
Pagi itu Mursida keluar-masuk, dari kamar ke dapur ke kamar lagi
terus ke dapur lagi, sehingga bikin pusing Rhomi yang lagi di ruang
pusing.
"Aduh, ngapain sih lo bolak-balik begitu, Neng?"
"Neng dibohongin, itu masalahnya! Sebetulnya kalo Abang terus
terang, Neng nggak malu punya suami penyanyi dangdut kelas kawinan,
sunatan, atau perceraian. Neng bersedia mendampingi Abang sebagai
penyanyi dangdut. Neng siap jadi bagian dari dangdutnya Abang. Tapi
karena Abang bohong, katanya manggung di tipilah, siaran langsunglah,
mau masuk dapur rekamanlah, maka cukup buat Neng, cukup sampai
hari ini. Neng akan angkat kaki dari sini!"
"Neng, dengar penjelasan Abang dulu Sebetulnya itu Abang
lakukan cuma buat Neng," rayu Bang Rhomi. "Lagian kalo Neng
angkat kaki, pegel lho!"
Tapi Mursida telanjur kecewa dan segera keluar rumah. "Ini demi
harga diri, Bang" Dan Rhomi pun tidak kuasa menahannya.
Aku Rela Jadi Dangdutmu
Mursida membanting daun pintu!
Setelah Mursida pergi, handphone Bang Rhomi berbunyi, "Halo,
siapa nih? Iya, betul, ini Rhomi Orami. Ini siapa ya? Oh, dari Kondang
Record? Ya, ya, saya segera datang. Pasti, pasti. Terima kasih!"
Bang Rhomi berlari keluar rumah, ingin memberitahu istrinya,
tapi sayang Mursida sudah nggak kelihatan.
Besoknya Rhomi menemui produser Kondang Record di sebuah restoran. Rhomi yakin tak lama lagi istrinya akan kembali ke rumah setelah mengungsi di rumah orangtuanya tanpa ia harus mencarinya.
"Saya tertarik dengan kegigihan Saudara. Lirik lagu yang Saudara
buat juga bagus," kata sang produser yang perutnya buncit.
"Oh, lagu itu saya karang sejak saya SMP, Pak"
"Bisa tunjukin kemampuan Saudara?"
Bang Rhomi segera berdiri, lalu memberi kode pada Wito dan
Munir agar membantunya tampil.
"Yeah apa kabar semuanyaaa!!!" Bang Rhomi langsung menyapa
seluruh pengunjung restoran lalu memainkan suling saktinya. "Semua
tangannya di ataaaas!"
Si produser kaget, nggak nyangka Rhomi sampai teriak-teriak
gitu. Dia minta Rhomi nyanyi pelan aja, tapi Rhomi terlalu antusias.
Akibatnya, bos rekaman itu kaget dan pengunjung restoran juga kaget!
Seorang pelayan yang membawa baki sampai re?kes menaikkan
tangannya ke atas, akibatnya baki dan isi makanannya tumpah berantakan! Udah gitu, tangan Bang Rhomi yang atraktif menyenggol
gelas minuman dan mengenai baju pak produser!
"Cukup, cukup, cukuuup!" teriak si produser, langsung menghentinkan gaya Rhomi yang nyanyi sambil joget-joget. Wito dan Munir juga
ikutan berhenti, soalnya si produser langsung angkat kaki!
Sedangkan beberapa kilometer dari situ, tepatnya di rumah Bang
Jukri, Mursida datang lagi untuk mencurahkan isi hati.
Boim Lebon
"Bagus sikap lo!" Jukri menimpali dengan bersemangat. "Kalo perlu
lo bikin gugatan cerai, ntar gue yang bantu urus surat ke kelurahannya."
"Aduh, tapi kalo bisa jangan sampe cerai, Bang. Aye cuma pengen
pisah ranjang," kata Mursida yang diam-diam masih sayang sama
Bang Rhomi. "Kalo pisah ranjang kudu bikin surat-surat nggak sih?"
Jukri mikir. "Ya mungkin ada juga surat-suratnya."
"Nah, tolong bikinin dong. Berapa juga aye bayar deh!"
"Eh, tapi"
"Aduh, tolong bikinin deh!"
Jukri mikir lagi. "Ya, ya, gue bikinin surat untuk pisah ranjangnya,
tapinya kira-kira ranjangnya yang ukuran berapa ya?"
Mursida bengong.
Sementara itu, Rhomi, Wito, dan Munir meninggalkan restoran
dengan langkah gontai. Mereka tertunduk sedih. Sebuah kesempatan
emas telah lepas.
"Bang Rhomi duit abis nih. Tu restoran gile bener ye, mahal banget! Masa honor kita manggung kemaren langsung ludes buat ngeganti gelas pecah sama makanan yang tumpah?"
"Lo nggak ada duit lagi?" tanya Bang Rhomi ke Wito.
Wito dan Munir menggeleng bareng.
"Udahlah, kita ngamen aja!" kata Bang Rhomi.
Di sebuah warteg dekat rumah Bang Rhomi, tampak Pak RT yang mau
beli lauk-pauk dan melihat acara TV di dinding warteg. Pak RT kaget
banget. "Eh, oh, Mbak Imah, anu, itu si Rhomi!"
"Eh, Mas Rhomi kan hari ini mau ketemu produser," kata Mbak Imah
si penjaga warteg yang ngefans sama Bang Rhomi dan lagi nyuci piring.
Dia satu-satunya warga kampung yang hafal dengan skedulnya Rhomi.
"I-itu si Rhomi di tipi!" teriak Pak RT lagi.
Mbak Imah langsung berbalik. "Mas Rhomi di tipi?"
Di layar kaca TV berukuran 14 inci itu tampak Rhomi, Munir, dan
Wito seperti sedang diinterogasi petugas, sayangnya gambar TV agak
Aku Rela Jadi Dangdutmu
goyang, kurang jelas, audionya juga kurang tegas, tapi yang jelas itu
memang wajah Rhomi.
"Ya, ya, itu Mas Rhomi! Eh, acara apaan tuh? Aduh, ini antenanya
pasti disenggol kucing lagi!" Mbak Imah merutuki layar TV-nya. "Hm,
pasti acara musik baru nih. Pasti Mas Rhomi sedang diwawancara
tuuuh!"
Sementara itu di teras rumah Jukri, Mursida masih mengobrol
dengan Bang Jukri, ketika Pak RT lewat sambil membawa bungkusan
lauk-pauk yang dibeli di warteg Mbak Imah.
"Eh, permisi, Mpok Mursidah barusan saya melihat dengan
mata kepala saya sendiri, bahwasanya suami Mpok yaitu Bang Rhomi
berada di dalam layar kaca. Kata Mbak Imah si tukang warteg, Bang
Rhomi berada di dalam acara musik. Permisiii!"
Mpok Mursida kaget campur senang. "A-apa?! Bang Rhomi masuk
tipi? Ya Allah, betul-betul perjuangan yang kagak sia-sia." Dengan wajah
berbinar dia berdiri meninggalkan teras rumah Bang Jukri. "Eh, untung
Bang Rhomi punya istri yang sabar dan setia, istri yang selalu menjadi
bagian dari dangdutnya, yaitu aye," Mursida memuji diri sendiri.
"Eh, Bang Jukri, surat pisah ranjangnya dikensel ye!" Mursida
berteriak kepada Jukri yang cuma bisa bengong di teras rumah.
Rhomi, Wito, dan Munir masih berada di kantor satpol PP. Di sebelah
mereka ada beberapa pedagang asongan dan pengemis yang mengantre diinterogasi.
"Ingat, kalian boleh pulang, tapi kalau sampai ketangkep lagi,
terpaksa kalian ditahan!" seorang petugas mengancam Rhomi. "Kan
sudah dikasih tau jangan ngamen di sembarang tempat?!"
Anehnya, bukannya takut, Rhomi malah bertanya, "Eh, Pak, tadi
ada kamera tipinya, ya?"
Si petugas menjawab, "Memang iya! Karena proses penangkapan
ini disiarkan secara langsung di berita kiriminal! Kami bekerja sama
dengan beberapa wartawan dari stasiun TV swasta nasional, tau!"
Boim Lebon
"Waduh, berita kriminal, Bang. Malu deh kita!" tukas Wito. Munir
mengangguk-angguk sedih.
Tapi beda dengan Rhomi. "Ssst tenang. Lo diam dulu deh. Justru
gue ada ide nih. Gimana kalo besok pas ngamen di lampu merah, kita
pake kostum andalan gue. Itu lho, yang kata orang kostumnya kayak
Justin Bieber? Tau, kan? Besok kita ngamen pake kostum itu ya! Jadi
pas ketangkap dan kesorot kamera tipi, agak kerenan dikit lah"
Wito dan Munir langsung bengong!
Karya Boim Lebon
Gerimis yang
Ganjil
Budi Maryono
Budi Maryono adalah penulis dan penyunting selepas mungkin.
Bukunya yang telah terbit antara lain kumpulan cerpen Siluet Bulan
Luka, Di Kereta Kita Selingkuh, dan Semar Yes!. Juga menulis teenlit
dan metropop serta cerita anak dengan nama lain. Di luar itu, menjadi
driver Linikreatif Writing, Editing, Publishing?semacam jembatan
bagi siapa pun untuk belajar menulis dan menerbitkan karya. Akses:
facebook.com/massakerah, http://ikibukuku.blogspot.com.
Gerimis yang Ganjil
AU muncul dari balik kabut di Kintamani. Malu-malu.
Ya, malu-malu, bahkan saat hendak menawarkan aneka
cendera mata itu padaku. Kau tak langsung mendekat. Kau
hanya memandangku dari jauh ketika teman-teman sebayamu
mengerumuniku. Aku menolak mereka karena menunggumu.
Menunggumu mendekat dan menawarkan daganganmu. Kenapa
begitu, aku tidak tahu. Keinginan menunggumu itu timbul seperti
keinginan menyaksikan matahari terbit di Pantai Sanur: menjalarkan
debar harap dan keindahan.
Wajahmu, sepanjang yang bisa kuingat lamat-lamat, biasabiasa saja. Tak ada pesona kecantikan bintang, jenis kecantikan yang
berpendar-pendar, di sana. Alismu tidak tebal. Matamu tidak besar
bekerjapan. Hidungmu tidak mancung. Bibirmu tidak merah penuh.
Dagumu pun bukan embun menggantung di pucuk daun. Ketika
kau muncul dari balik kabut, yang menarik perhatianku cuma satu:
tatapanmu. Tatapan yang mengungkapkan keinginan mendekat
sekaligus kemampuan menahan diri. Demi saat yang paling tepat,
sabar menanti.
Setiap kali aku memandangmu dari celah-celah antarkepala
teman-temanmu, kau menunduk atau berpaling. Kaulemparkan
pandang ke Danau Batur yang tak terlihat di bawah sana atau
kaulesatkan ke langit yang mulai murung karena mendung. Aku yakin
kau tidak sedang bersengaja memikat atau menggodaku. Kau hanya
tidak sanggup berserobok pandang. Mungkin karena aku pemuda 18
tahun bersenyum menawan, sedangkan kau gadis 13 atau 14 tahun
yang baru merasakan getar-getar aneh ketertarikan.
"Cincin ini murah, kok kau tidak mau beli? Kok tidak menawar
sama sekali?"
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak suka cincin."
"Untuk adik, kakak, ibu, atau teman kan bisa."
"Mereka suka cincin tapi emas, bukan cincin tulang ukiran begini."
"Oleh-oleh, kenang-kenangan, kan tidak harus dipakai."
Aku tertawa karena jawaban salah satu teman sebayamu yang
berusaha keras merayu agar aku membeli cendera mata yang dia
Budi Maryono
tawarkan. Jawaban cerdas yang mematikan. Aku tertawa sambil
melirikmu yang masih juga berdiri termangu, tak mendekatiku, tak
pula mendekati teman-temanku atau pelancong-pelancong lain di
bukit itu.
"Beli ya? Satuuu saja..."
Aku menggeleng seraya tersenyum. Dia berlalu dengan wajah tak
jelas antara kecewa dan pasrah. Kutatap punggungnya yang datar,
pinggul dan pantatnya yang belum terbentuk, betisnya yang lencir
tak tertutup kain, dan ayun langkahnya yang tetap. Tiba-tiba jemari
lentik namun kukuh karena berkulit cokelat dengan tiga gantungan
kunci tersorong dari belakang, persis di depan mukaku. Aku terkejut
dan menoleh. Kau! Tiba-tiba saja kau sudah berada di dekatku,
menawarkan gantungan kunci kepala dewa atau raja aku tak paham,
tanpa kata. Bibir tipismu membiaskan senyum yang tipis juga.
"Seribu lima ratus," katamu dengan suara teramat lirih yang
segera tersapu angin.
Kuambil satu gantungan kunci dari tanganmu, pelan-pelan, agar
bisa memperhatikan jari-jemarimu yang (aha!) gemetar. Kutimangtimang cendera mata itu sambil sesekali melirik wajahmu. Dan kau,
seperti tadi, menunduk kemudian berpaling.
"Lima ratus, ya?" tawarku, lebih sebagai bercanda ketimbang
serius menawar, apalagi berniat membeli. Kukembalikan pula
gantungan kunci itu ke jarimu.
Kau menggeleng. Hanya menggeleng.
"Seribu lima ratus."
"Lima ratus."
"Seribu lima ratus!"
"Lima ratus!"
"Seribu!"
Kaugantungkan cendera mata itu di bolpoin yang tersemat di
saku kiri bajuku. Kau tersenyum agak lebar hingga oh Tuhan yang
Mahaindah, gingsulmu menampak dan menjeratku begitu rupa hingga
terpana. Seterpana Jaka Tarub saat menatap kecantikan tujuh bidadari
sekaligus! Darah mudaku, syahwat cintaku, sontak memagma.
Gerimis yang Ganjil
"Gratis saja, ya?"
Kau menatapku heran. Menggeleng kemudian.
"Aku bisa membeli gantungan kunci ini dengan harga lima atau
sepuluh ribu, jauh di atas harga yang kautawarkan tadi. Sangat bisa.
Namun setelah itu, sepulang aku dari sini, mungkin aku berikan entah
pada siapa dan aku tak ingat pertemuan kita. Tapi jika kauberikan padaku, mulai hari ini dan seterusnya, selamanya, aku tak akan pernah
melupakanmu."
Kau diam. Hanya diam. Tak berkata apa pun, tak pula tersenyum,
apalagi kembali pamer gingsul. Kau seperti sengaja menyembunyikan
gigi pemanis itu agar aku merinduinya saat itu juga. Dan kau berhasil.
Ingin benar aku melihatnya sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi sebelum aku turun dari Kintamani. Tapi tak bisa. Kaukatupkan bibir tipismu rapat-rapat. Menunduk, berpaling, melemparkan pandang ke jauh
entah. Pelan-pelan, sangat perlahan, kau beringsut ke samping, mundur, lalu menjauh. Tak menoleh. Meninggalkanku dengan gantungan
kunci yang masih terkait bolpoin di saku kiri baju.
Penjual cendera mata yang lain, dari gadis-gadis sebayamu sampai
ibu-ibu, kembali berebut menawarkan dagangan dan mengalihkanku
darimu. Kurang dari lima menit kukira, tapi aku sudah kehilangan.
Kusapukan mata ke mana saja yang mungkin, juga ke warung-warung
di seputaran bukit itu, namun wajahmu tak tampak jua. Sekilas pun
tak! Meski cuma dalam pikiran, aku kelabakan. Ya, kelabakan, karena
sama sekali tak menduga kau bakal melenyap begitu saja setelah aku
membual ala don juan kacangan.
Apakah kau menerima ucapanku sebagai janji? Apakah kau meyakini, bahkan pada usiamu yang baru 13 atau 14 tahun itu, bahwa menggratiskan sebuah gantungan kunci adalah jalan terbaik untuk berarti,
karena kau bakal selalu hadir di ingatan seorang pemuda, seorang
lelaki? Ingin benar kuteriakkan di telingamu, "Kau keliru! Amat sangat
keliru!" Sayang, kau tidak ada. Kau melenyap, mungkin kembali ke balik kabut hingga aku tak hanya disergap rasa kehilangan, namun juga
keinginan kuat untuk mencari.
Ke mana? Itu yang aku tak tahu. Maka kuturutkan saja langkah
Budi Maryono
teman-teman, jalan-jalan ke sana kemari, bergantian memotret dengan pose "memandang jauh", pun ketika minta tolong orang lain untuk memotret kami. Satu menatap ke depan, satu menatap ke kiri,
satu menatap ke kanan, satu lagi mendongak ke langit lepas. Tak
kompak sama sekali. Diam-diam aku lebih tak kompak lagi karena
Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama