Ceritasilat Novel Online

Putri Raja Yang Dikorbankan 1

Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat Bagian 1

12

Kolektor E-Book

Aditya Indrajaja

Foto Sumber oleh Awie Dermawan

Editing oleh D.A.S3

PUTRI RAJA YANG

DIKORBANKAN

Widi Widayat

4

PENGANTAR PENULIS.

Cerita PUTRI RAJA YANG DI KORBANKAN ini,

terjadi pada abad 16. Pada kala itu Kerajaan Mataram

terancam bahaya pemberontakan yang dilakukan oleh

Ki Wanabaya di Mangir.

Panembahan Senapati, raja Mataram, amat

khawatir kalau-kalau pemberontakan Wanabaya itu

meluas dan terjadi peperangan. Sebab jika terjadi

peperangan, disamping menimbulkan banyak korban,

juga menyebabkan keringkihan Mataram. Karena

itulah putri Pembayun ditugaskan untuk mencegah

meletusnya pemberontakan ini, agar Wanabaya

takluk dan menyerah.

Betapa sedih dan betapa derita yang dialami

putri raja ini dalam menjalankan tugas. Sebab, tugas

yang penting, harus pandai menarik hati Wanabaya,

pandai pula berusaha agar Wanabaya jatuh hati

kepadanya. Dengan itu, teranglah bahwa tugas yang

dipikulkan, ia sebagai umpan

Bagaimanakah akhir kisah ini? mengherankan!

Perlu kami kemukakan, bahwa cerita sejarah ini

ditulis berdasar bahan-bahan dari babad dan buku5

sejarah. Beberapa yang kurang masuk akal dihilangkan

atau disoroti dengan pandangan-pandangan baru

yang selaras dan Iempang.

Sala, 3 Oktober 1965,

Penggubah;

Widi Widayat.6

Bab I. Mengemban tugas.

Terharu hati Panembahan Senapati maupun

perdana menteri Mandaraka menyaksikan putri

Pembayun menangis sedih. Dalam hatinya pun

sebenarnya tak sampai hati untuk harus

mengorbankan putri Pembayun. Tetapi apa dirasa,

tiada jalan lain yang lebih tepat duduk menundukkan

Wanabaya yang bermaksud berontak.7

"Ya nini, akupun insyaf bahwa tugas ini kau

rasakan amat berat." kata Panembahan Senapati

setelah menghela napas dalam. "Ya, karena tugas

yang dipikulkan pada pundakmu penuh bahaya.

Akupun sebenarnya tak menginginkan peristiwa ini

terjadi, Tetapi nini, kalau kau mau memandang lebih

jauh dan menyisihkan kecintaanmu terhadap diri

sendiri dan memberatkan cinta kasihmu terhadap

negara dan rakyat, kau akan merasa bangga dan tugas

memikul tugas ini. Dan tentu kau tak akan merasakan

ternoda, sebaliknya malah kau bangga pabila tugas itu

dapat kau selesaikan dengan baik. Sebab kepergianmu

ke Mangir untuk melindungi rakyat dan negara

Mataram. Ketahuilah nini, bahwa demi untuk

keselamatan rakyat dan negara, sering pula seseorang

harus memberikan pengorbanan bukan saja harta

benda, tetapi juga jiwa dan raganya sekalipun.

Pengorbananmu tak akan sia-sia." Panembahan

Senapati menatap putrinya, tapi putri Pembayun

masih menangis sedih.

Lalu katanya melanjutkan. "Nini, aku ingat akan

sabda Sunan Kalijaga pada waktu memberi petunjuk

kepada Ki Gede Pandanaran yang antara lain bahwa

manusia hidup di dunia ini ibarat hidup di dalam alam

kematiannya. Apa arti dan maksud sabda Sunan8

Kalijaga ini? Maksudnya manusia hidup ini berlakulah

seperti orang mati. Mengekang hawa nafsu dan

keserakahan, untuk menghindarkan bahaya yang

dapat menimpa. Jadi ini, manusia itu harus pandai

menempatkan diri. Ibarat sebuah cermin, akan

tampaklah bayangan yang sama dalam cermin itu.

Tidak lain bayangan itu adalah manusia sejati. Ini

memperingatkan kepada tiap manusia, bahwa

hidupnya di dunia ini tidaklah sendirian, apabila

perbuatan yang mulia itu diperuntukkan kebahagiaan

selama hidupnya."

Dipandangnya sekilas putrinya kemudian

katanya lebih lanjut. "Ya nini, sama pula dengan tugas

yang kau pikul untuk menundudukkan Wanabaya.

Didalam hidupmu melaksanakan tugas ini, kau harus

merasa seperti orang yang telah mati. Segala derita,

segala malu, semua kesedihan yang bertubi-tubi

memukulmu, anggaplah tak pernah terjadi. Aku

percaya apabila kau dapat berlaku seperti orang mati,

tujuan dapat kau capai dengan selamat, negara dan

rakyat akan terhindar dari malapetaka. Seperti apa

yang telah kukatakan tadi bahwa bayangan dalam

cermin bukanlah manusia biasa tapi manusia sejati

yang tak pernah tergoyahkan oleh godaan-godaan

yang memenuhi dunia ini. Kau pergi menunaikan9

tugas suci. Kepentingan sendiri kau korbankan, untuk

keselamatan rakyat dan negara. Harus kau sadari

anakku, bahwa ada puncak tugasmu nanti kau akan

menghadapi persimpangan jalan yang sukar

dihindarkan. Antara tugas dan cinta. Tugas untuk

menyelamatkan negara, dan cinta yang dibawa oleh

kodrat manusia. Semua ini dipikulkan diatat

pundakmu, Akupun menginsyafi bahwa tugas yang

dipikulkan atas pundakmu bukanlah tugas yang

enteng Karena itulah maka kau memikul tugas tidak

sendirian. Beberapa tamtama akan berlaku sebagai

pelindungmu. Pamanmu Majalaya akan selalu

mendampingi dan berlaku sebagai bapakmu. Bibi

Adisara juga ikut menjaga dirimu, berlaku sebagai

ibumu. Maka pintaku nini. Lakukan tugas ini dengan

penuh gembira untuk keselamatan Mataram."

Panembahan Senapati menatap putri

Pembayun ( atau Sekar Kedaton ) yang masih

menangis sedih itu. Dan Mandaraka yang sejak tadi

cuma berdiam diri, sekarang membuka mulut untuk

ikut membesarkan hati putri Pembayun : "Putri, nenek

pun amat berat sebenarnya harus melepaskan putri

untuk melakukan tugas seberat ini. Tapi putri, jalan

yang lebih tepat tak ada lagi. Memang benar Mataram

mampu memukul Wanabaya dengan kekerasan,10

tetapi akibatnya akan sangat luas jika terjadi

peperangan. Nenek mempercayakan kepada putri

memikul tugas ini dengan pertimbangan, bahwa

Wanabaya masih muda dan belum kawin. Dengan

penyamaranmu, dan menyaksikan kecantikanmu,

nenek pencaya bahwa Wanabaya akan jatuh cinta.

Sebagai menantu, nenek percaja bahwa Wanabaya

akan merasa wajib ikut melindungi kejayaan,

Mataram. Maka tetapkan hatimu, putri akan berhasil

menunaikan tugas ini dengan gilang-gemilang."

Air mata Pembayun masih terus mengalir. Mata

dan pipinya terata pedas oleh sentuhan sapu tangan.

Kepedihan hatinya, menyebabkan ia tak kuasa meng
ucapkan kata-kata.

Panembahan Senapati dan Mandaraka sama
sama diam. Tapi pandangannya tak pernah lepas dari

putri Pembayun yang menangis sedih dihadapannya.

Setelah agak lama suasana dalam ruangan itu cuma

dipenuhi oleh suara isak putri Pembayun, kini

terdengar suara kecil terputus-putus : "Ayah betapa

sedih hamba mendengar tugas hamba yang berat

itu. Tapi hamba juga sadar bahwa tugas yang

hamba pikul demi untuk keselamatan rakyat dan

Mataram. Ayah bagaimanapun berat tugas ini

akan hamba lakukan Ya ayah, dengan ketabahan11

dan kesadaran hamba insyaf bahwa tugas ini tak

dapat dilakukan orang lain. Ayah pangestu paduka

hamba harapkan "

Putri Pembayun menatap ayahnya. Dan ia dapat

menyaksikan bahwa wajah ayahnya dikuasai oleh

keharuan. Putri Pembayun memalingkan mukanya,

menatap wajah neneknya, lalu katanya : "Nenek

pangestu paduka hamba harapkan menyertai tugas ini

Hamba berbesar hati semoga tugas ini dapat kami

lakukan dengan baik "

Perdana Menteri Mandaraka manggut
manggut, jawabnya : "Putri, semoga Tuhan beserta
mu. Semoga Putri bisa menyelesaikan tugas yang

berat ini tanpa rintangan!"

Panembahan Senapati amat terharu. Hatinya

tersayat-sayat, sebagai ayah harus mengorbankan

putrinya uutuk menyelesaikan tugas yang berbahaya.

Sebagai pesinden dalam rombongan wayang kulit

yang berkeliling ke desa-desa.

Baru sesudah Panembahan Senapati berhasil

meredakan hati, terdengarlah memberikan pesan.

"Nini, demikianlah berat tugas yang harus kau

lakukan. Ya nini, ayah yakin bahwa kau akan berhasil

dalam tugasmu."12

"Ayah, hamba akan melakukan tugas ini dengan

kesadaran dan keinsyafan." jawab putri Pembayun.

Putri Pembayun meninggalkan ruangan itu

dengan langkah lunglai. Sekalipun benar ia telah

menyanggupkan diri untuk melaksanakan tugas itu,

tapi perasaan khawatir akan derita dalam perjalanan,

tak berhasil diusirnya.

Pada hari itu juga selesailah sudah penyusunan

rombongan wayang kulit untuk memulai tugas

spionase, dimana sebagai otak penyusupan ini tak lain

perdana menteri Mandaraka.

Memang, perdana menteri Mandaraka seorang

yang amat cerdik. Ia mengerti, apabila sampai terjadi
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peperangan antara Mataram dan Mangir, hal itu amat

membahayakan Mataram. Karena pada waktu itu

Mataram belum kuat, dan dalam pada itu Madura,

Surabaya, Madiun, Malang, Kediri, Tuban, Cirebon dan

Banten tak mau tunduk kepada Mataram. Kalau

terjadi peperangan antara Mataram dan Mangir,

dikhawatirkan Bupati-Bupati yang memisahkan diri

dengan Mataram akan menggunakan kesempatan

untuk ikut serta mengangkat senjata melawan

Mataram. Sudah dibayangkan bahwa Mataram akan

mampu menghalau serangan dari segala jurusan ini.13

Oleh sebab itu Mandaraka menentukan jalan Ki

Wanabaya harus ditaklukkan secara diam-diam

dengan jalan melepaskan umpan, yaitu Putri

Pembayun.

Semula Panembahan Senapati memang tidak

rela putrinya harus dikorbankan sebagai umpan.

Bagaimana pun pula, adalah putri yang dicinta kasihi.

Panembahan Senapati tidak sanggup untuk melepas
kan putrinya.

Tapi Mandaraka yang amat luas pengalaman

dan pandangannya itu kemudian memberikan

penjelasan mengenai situasi politik dan hubungan

dengan para Bupati yang telah memisahkan diri,

niscaya Mataram akan hancur berantakan kalau tidak

bijaksana dalam menghadapi pemberontakan

Wanabaya. Itulah sebabnya Mandaraka tak setuju

menghadapi Wanabaya dengan kekerasan senjata,

tetapi harus dengan jalan lain yang lebih tepat.

Dan setelah Panembahan Senapati mendengar

penjelasan yang gemilang dari Mandaraka itu, pada

akhirnya insyaf dan menyetujui melepas umpan

putrinya untuk memikat hati Wanabaya yang akan

memberontak.14

Begitulah, setelah Panembahan Senapati

menyetujui siasat untuk Wanabaya, maka putri

Pembayun lalu diberi tahu. Dan karena putri

Pembayun tak pernah menyangka dan menerima

tugas seberat itu, maka ia menangis sedih.15

Bab II. Permulaan perjalanan.

Persiapan untuk memulai perjalanan keliling

menyamar sebagai rombongan wayang kulit telah

dapat diselesakan secara cepat. Keberangkatan putri

Pembayun dan Raden Ayu Adisara diiringi hujan tangis

penghuni kraton. Baik yang mau pergi maupun yang

akan ditinggalkan.

Kepergian rombongan wayang kulit ini, keluar

dari kraton Mataram pada malam hari. Maksudnya

untuk tidak diketahui rakyat. Putri Pembayun yang

sekarang berganti nama Rara Adiwati, meninggalkan

kraton masih menitikkan air mata, dipimpin oleh bibi

Raden Ayu Adisara yang sekarang bertindak sebagai

isteri Ki dalang dan ibu Rara Adiwati, menggunakan

nama Nyai Sandiguna. Di samping rara Adiwati dan

ibunya ini, masih ada seorang wanita lagi, ialah

seorang pesinden muda bernama Prekis.

"Anakku, jangan kau menangis sepanjang

jalan," kata nyai dalang Sandiguna "Bukankah dengan

perbuatanmu ini, orang yang tahu akan menjadi

curiga. Kita harus pandai merahasiakan perjalanan

ini."16

"Gusti ah adikku yang manis," sambung

Prekis. "Jangan membuang air mata. Aku sanggup

menggendongmu jika kau telah lelah dalam

perjalanan."

Rara Adiwati tersenyum mendengar kelakar

Prekis itu. Nyai dalang Sandiguna menatap rara

Adiwati lalu katanya setengah berbisik : "Anakku,

lupakah kau akan pesan gusti panembahan Senapati

yang menyatakan Aku percayakan tugas yang berat ini

kepadamu, dan aku pencaya bahwa kau akan berhasil

menyelesaikan tugas ini. Keselamatan Mataram

ditanganmu dan sebaliknya keruntuhan Mataram

terletak ditanganmu pula. Lupakah kau akan pesan

itu?"

Rara Adiwati tersenyum, jawabnya perlahan :

"Benar bu, tapi terasa juga kesedihan memenuhi

dadaku. Aku takut apabila dihadapan umum nanti, tak

dapat mengendalikan perasaan."

"Itulah maka kupinta padamu, sembunyikan

segala perasaanmu untuk tidak membocorkan

penyamaranmu," kata nyai Sandiguna "Dan lagi segala

derita dalam perjalanan nanti anggaplah tidak pernah

terjadi."17

Rombongan ini berjalan amat lambat. Putri

Pembayun dan Raden Ayu Adisara yang tak pernah

melakukan perjalanan jauh menyusuri jalan-jalan desa

yang penuh debu dan batu, dan dibakar pula oleh sinar

matahari, merupakan siksaan yang tak pernah

dibayangkan sebelumnya.

Tapi disamping itu juga merasa geli melihat

tingkah laku orang-orang desa yang tak dapat

menyembunyikan perasaan kagum melihat

kecantikan rara Adiwati. Banyak di antara mereka

yang berduyun-duyun mengikuti rombongan itu, dan

pandangan mata mereka tak pernah lepas untuk

menikmati kemolekan wajah Adiwati dan nyai dalang

Sandiguna. Penduduk di desa-desa jarang

menyaksikan wanita-wanita cantik seperti itu, seakan

bidadari turun dari sorga. Sedang Prekis sekalipun

kalah cantik dibanding dengan rara Adiwati dan nyai

Sandiguna, tapi juga merupakan wanita yang sukar

dicari di desa-desa. Yah, Prekis ini yang bertindak

sebagai pesinden sesungguhnya, justru ia adalah

pesinden kraton yang memiliki suara emas.

Rombongan pak Sandiguna ini dibutuhkan

orang pada pertama kali di desa Paker. Ketika

rombongan ini tiba di rumah orang yang memanggil,

hari masih siang. Para pembantu pak Sandiguna yang18

terdiri dari para Mantri dan Temenggung masih sibuk

mengatur wayang, layar dan gamelan. Tapi orang
orang desa telah berbondong-bondong datang,

mereka sama kagum akan kebagusan gamelan, layar

dan wayang yang dipertunjukkan.

Tapi bagi para pria, kebanyakan lebih tertarik

kepada tiga orang wanita dalam rombongan itu, Tak

puas mereka menyusuri wajah-wajah cantik itu

berjam-jam. Dan sebenarnya Adiwati merasa sedih.

"Bu, mengapa orang-orang itu matanya liar,"

bisik Adiwati kepada nyai Sandiguna. "Tidakkah ayah

dapat melarang orang Itu?"

Nyai Sandiguna tersenyum, lalu jawabnya

berbisik : "Biarkan orang-orang itu menikmati ke
cantikanmu. Bukankah hal itu memang kita harapkan

sejak memulai perjalanan ini?"

Adiwati terkejut. Lalu tanya Adiwati, "Maksud

ibu, aku harus menjual kecantikanku?"

"Bukan menjual, anakku," jawab nyai Sandiguna

seraya tersenyum. "Tapi mempamerkan kecantikan
mu itu dihadapan umum. Ketahuilah dengan memijam

mulut orang-orang desa ini, kecantikan wajahmu akan

segera menjadi buah bibir. Dan yang kita harapkan,

Wanabaya cepat mendengar." Adiwati tersenyum,19

kenyataan itu tak dapat dibantah. Tapi sekalipun

demikian, perasaan malu yang memenuhi dada itu tak

dapat ditahan. Maka bisiknya, "Bu, tapi aku malu

juga."

Nyai Sandiguna tersenyum. Ia dapat me
maklumi perasaan gadis seperti Adiwati ini. Lalu

jawabnya berbisik. "Anakku, jika kau malu, baiklah.

Jangan kau memandang orang-orang itu. Duduklah

tenang, sembunyikanlah perasaanmu. Dan malahan,

biasakan keadaan-keadaan seperti ini dengan ke
tabahan hatimu."

Untung Adiwati tidak mendengar suara-suara

pria desa itu. Mereka itu membicarakan Adiwati,

Prekis dan nyai Sandiguna.

"Kalau saja aku dapat menghilang," kata

seorang muda di antara mereka itu

"Untuk apa?" tanya seorang kepadanya.

"Aku mau mencuri anak dalang," jawabnya

tegas. "Lalu akan kuperisterikan dia."

Semua yang mendengar ketawa riuh. Lalu ujar

seorang yang lain. "Tak usah terlalu muluk. Melamun

yang tak berarti. Bagiku, asal diperbolehkan me-20

ngecup bibirnya sudah cukup puas, sekalipun aku

harus membayar dengan padi sepikul."

"Tak mungkin ia mau," bantah pemuda yang

memulai .

"Mengapa tak mau?" jawabnya membela."

Berapa upah yang diterima ayahnya menjelang

semalam suntuk?"

"Betul! Betul! Aku pun juga mau. Aku pun juga

rela membayar padi sepikul asal ia mau memberikan

bibirnya." dukung salah seorang.

Mereka ketawa lebih riuh lagi.

"Ya, aku heran melihat rombongan ini," ujar

salah seorang yang lain. Rambutnya telah dikembangi

oleh warna putih "Anaknya itu begitu cantik, mengapa

diajaknya berkeliling? Tak sayang kepada gadisnya?

Aku kira banyak orang-orang kaya mau memperistri
kannya."

"Siapa tau ayahnya terlalu rewel," dijawab yang

lain. "Lamaran orang-orang itu selalu ditolaknya.

Menyebabkan ia banyak musuh lalu mereka terpaksa

melarikan diri."

"Betul. Aku telah mengira duga bahwa mereka

bukan orang desa," sambung yang lain. "Aku berani21

bertaruh, mereka ini tentu orang kota. Mungkin

beberapa orang bangsa mau telah jatuh cinta kepada

anaknya. Tapi selalu ditolaknya, akibatnya mereka
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus melarikan diri."

"Betul. aku mendukung pendapatmu," dukung

yang lain. "Orang desa tak mungkin memiliki kulit

demikan kuning dan halus terpelihara."

"Ah, mengapa repot mempertengkarkan desa

dan kota?" sela seorang yang berkumis "Aku berani

bertaruh bahwa kalian semua akan mau juga

mengecup bibir ibunya dengan membayar padi

sepikul, tak usah gadisnya."

Orang-orang itu ketawa riuh lagi.

Adiwati dapat pula menerka apa yang sedang

dibicarakan dan diketawakan orang-orang itu. Namun

ia tak dapat mencegah dan menghalangi.

Sejak masih sore, penonton telah penuh sesak

sekalipun pertunjukan wayang belum dimulai. Sebab
nya, pria-pria dan pemuda-pemuda desa itu terpikat

oleh kecantikan tiga wanita dalam rombongan itu.

Kecantikan yang dimiliki itu kuat sekali daya

penariknya terhadap orang-orang desa. Mereka tak

pernah tenang, saling berbisik dan ketawa riuh.22

Baru setelah Ki Dalang Sandiguna memulai

mempertunjukkan kecakapan dan kemahirannya

mendalang, objek penonton itu terbagi menjadi dua.

Mereka yang memperhatikan pemainan wayang dan

cerita Ki Dalang, merasa kagum dibuatnya oleh

kemahiran Ki Dalang. Mereka mengakui bahwa belum

pernah menyaksikan seorang dalang seperti

Sandiguna. Ceritanya begitu gamblang, sedang suara

Ki Dalang pun juga tak canggung memperbedakan

suara wanita atau suara pria.

Sebaliknya bagi mereka yang mengagumi

wanita-wanita dalam rombongan ini, perhatiannya

dipusatkan kepada penabuh gender yang sekalipun

umurnya sudah 30 tahun lebih, tapi kecantikan yang

dimiliki masih belum pudar. Setelah menyusuri

kecantikan nyai Sandiguna, bergantikan pandangan
nya kepada pesinden Prekis. Mereka menjadi

gandrung akan suara emas yang meluncur dari

mulutnya. Tapi apabila perhatian mereka tertuju

kepada Adiwati yang kala itu juga sebagai pesinden,

sampai bingunglah mereka akan menilai.

Keseluruhannya menyedapkan, baik parasnya,

senyumnya, suara dan lagi umurnya masih amat

muda.23

Disebabkan mereka tergila-gila oleh paras ayu

ini, kebanyakan mereka segan meninggalkan tempat

itu sekalipun pertunjukan telah bubar pada pagi hari.

Cepat sekali rombongan dalang Sandiguna ini

termasyur dan memikat hati penduduk desa. Orang
orang kaya saling berebut untuk dapat mengundang.

Dan akibatnya tiap malam dipanggil orang kalau saja

pak Sandiguna sanggup melaksanakan. Tetapi

perjalanannya ini bukanlah untuk mendapatkan duit.

Perjalanannya ini merupakan tugas spionase. Bekal

uang sudeh cukup banyak. Pergelaran wayang yang

dilakukan cuma sekedar untuk memancing-mancing,

agar Ki Wanabaya tertarik dan mengundangnya. Oleh

sebab itu, setelah dua hari di desa Paser, rombongan

menuju desa Tari, kemudian langsung ke desa Celep,

beberapa hari lagi sudah menginjakkan kaki di desa

Mayungan, terus ke desa Sandar. Rombongan ini

makin dekat sudah dengan wilayah Mangir.

Dan selama Adiwati berkelana ke desa-desa ini

banyak kali terjadi peristiwa yang menggemparkan,

Orang-orang yang gandrung kepadanya saling berebut

mendekatinya. Mereka tak segan berkelahi antuk

mencari muka dan menarik perhatian Adiwati. Tetapi

semua usaha itu tidaklah mungkin terlaksana. Setelah

putri Pembayun ini menyusuri beberapa desa dan24

telah berminggu-minggu meninggalkan kraton

Mataram, rasa canggung dalam merobah cara

hidupnya di dalam kraton dan disesuaikan dengan

kedudukannya sebagai anak dalang berkeliling makin

menghilang. Tidak seperti apa yang dilakukan pada

waktu menempuh perjalanan kelilingnya mula-mula,

selalu mengeluh akan beratnya perjalanan dan

mengeluh lecetnya kaki terantuk batu, dan mengeluh

kulitnya kotor oleh debu.

Dan kalau mula-mula Adiwati merasa sedih

tidur di rumah-rumah orang desa tanpa kasur dan

banyak nyamuk itu, sekarang ia dapat tidur nyenyak di

samping raden ayu Adisara. Dan dikala senggang pun,

putri Pembayun ini dapat beromong-omong dan

bercanda dengan gadis-gadis dan wanita-wanita desa.

Tak lagi ia merasa terasing dalam perjalanan keliling

itu.

Putri Pembayun sudah tak perduli pada

pandangan-pandangan dari mata pemuda dan pria
pria desa, ia tak mengeluh dan merasa ngeri lagi, paras

dan kemontokannya itu ditelan bulat-bulat oleh

pandangan liar itu. Dibiarkannya mereka memandang

dan menyusuri puas-puas. Dibiarkannya mereka saling

berbisik dan ketawa-ketawa menyeringai. Asal saja

mereka itu tidak kurang ajar, berani menghina dan25

berusaha untuk menyentuh tubuhnya. Para tamtama

Mataram yang selalu melindungi tak akan tinggal

diam.

Raden ayu Adisara gembira menyaksikan

perubahan-perubahan putri Pembayun. Dengan itu

penyamarannya lebih rapih lagi. Selain mereka yang

bertugas sebagai anggota rombongan dan pelindung

rombongan ini, tak seorang pun akan menginsyafi

Adiwati sebenarnya putri Panembahan Senapati yang

sedang memikul tugas amat berat untuk menyelamat
kan Mataram dari malapetaka.26

Bab III. Ki Wanabaya.

Ki Wanabaya III yang berkuasa didaerah Mangir

dan sungai Progo bagian selatan ini, disebut-sebut

sebagai keturunan Brawijaya terakhir raja Majapahit.

Ki Wanabaja III di sebut-sebut memiliki sebuah

pusaka ampuh yang dibangga-banggakan berwujud

tombak bernama Barukuping. Di dalam buku babad

disebutkan antara lain demikian. Salah seorang putra

prabu Brawijaya Majapahit yang terakhir bernama

Wanabaya. Mula-mula tinggal di Juwana, tapi

kemudian ia pergi bertapa ke gunung Merapi sedang

tempat tinggalnya di Juwana diserahkan kepada

anaknya yang disebut Wanabaya II.

Ketika Wanabaya I ini berkunjung kepada anak

nya di Juwana yang punya hajat menyelamati genap 7

bulan kandungan isterinya, ada seorang perawan

cantik anak Demang Jigong yang meminjam pisau

milik Wanabaya I. Pemintaan pinjam itu diluluskan

dengan pesanan bahwa pisau itu jangan sekali-kali

diletakkan dipangkuan. Dan perawan itu sanggup.

Tapi karena kesibukannya melakukan pekerjaan

dalam peralatan itu, perawan ini lupa, pisau tersebut

diletakkan dipangkuannya. Dan tiba-tiba, pisau itu27

lenyap tak berbekas. Dan kemudian terjadi peristiwa

ajaib, perawan tersebut merasa mengantuk dan

mimpi berhubungan asmara dengan Wanabaya I.

Peristiwa itu terjadi dalam waktu yang amat cepat.

Sesudah perawan itu sadar, segera memberitahukan

hilangnya pisau itu. Cuma Wanabaya pesan apabila

pada kemudian nanti terjadi sesuatu yang tak pernah

diharapkan, harap dihadapi dengan penuh ketabahan.

Beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa

yang sangat mengejutkan Perawan itu merasa

mengandung. Orang tuanya selalu mendesak agar

anaknya mau mengakui siapa ayah bayi yang

dikandungnya. Tapi perawan itu tak dapat menjawab

desakan ayahnya, karena apa jawaban yang harus

diberikannya? Kemudian perawan itu karena malu lari

dan masuk dalam hutan. Kemudian pada suatu hari, ia

merasakan badan amat panas. Karena tak kuat

menahan rasa panas itu kemudian ia terjun ke dalam

sebuah jembangan yang penuh air. Tiada amat lama,

ia merasa seperti melahirkan anak. Tetapi betapa

terkejutnya ternyata anak yang dilahirkannya itu

bukannya anak, tapi seekor ular. Akibat rasa takut, ia

segera menyingkir dan dari jauh ia menunggu apa

yang akan terjadi kemudian.28

Ternyata bahwa ular yang dilahirkan itu cepat

sekali menjadi besar. Jambangan yang penuh air itu

kini tak cukup lagi menampungnya. Maka akhirnya

jembangan pecah. Seakan ular tersebut mengerti

siapa ibu yang melahirkannya, maka ia merayap dan

mendekati. Tapi ibu tersebut takut setengah mati dan

pingsan karenanya.

Kala ibu itu sadar, ia terkejut dan keheranan

justru ular tersebut dapat mengucapkan kata-kata

seperti manusia. Ular itu menghibur ibunya, jangan

takut. Dan lalu ia menanyakan, siapa ayah yang telah

menurunkannya Oleh ibunya itu kemudian diceritakan

apa yang telah terjadi sebelumnja. Dan ditunjukkan

pula bahwa ayah ular tersebut bernama Wanabaya

yang bertapa di gunung Merapi. Setelah mendapat

penjelasan dari ibunya, ular tersebut kemudian pergi.

Akhirnja ular besar tadi dapat menemukan seorang

pertapa yang dicari itu. Wanabaya I menyatakan,

bersedia mengakui sebagai anaknya asalkan ular

tersebut sanggup untuk melingkari gunung Merapi.

Ular tersebut menyanggupkan diri, dan dilingkarilah

gunung Merapi yang besar itu. Tapi sayang sekali,

badannya masih belum cukup dan kurang beberapa

sentimeter. Untuk dapat memenuhinya, maka lidah

ular tersebut dijulurkan.29

Pada saat lidah ular tersebut menjulur keluar

dengan cepat keris Ki Wanabaya bekerja. Terpotong
lah lidahnya. Lalu keajaiban terjadi, lidah ular besar

tersebut berubah bentuk menjadi mata tombak,
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang badan ular tersebut menjelma sebagai

landeyan (tangkai tombak). Oleh Wanabaya tombak

tarsebut diberi nama Barukuping.

Keterangan dongeng seperti tersebut di atas, di

dalam buku-buku sering sekali kita jumpai. Misalnya

dongeng tentang Ajisaka, ia mempunyai anak yang

berujud ular bernama Baruklinting. Ibu ular tersebut

seorang perawan desa juga yang kala itu sedang

menumbuk padi. Dikala Aji Saka melihat betis

perawan desa yang kuning halus itu berkobarlah

asmara Ajisaka dan dengan ilmu "Aji Asmaragama"

yang diucapkan Ajisaka, maka baik Aji Saka maupun

perawan desa tersebut, mengeluarkan kama. Tapi

karena perawan tersebut sedang berdiri, maka kama

itu tetes ke tanah dan termakan oleh seekor ayam.

Ayam itu kemudian bertelur dan ketika menetas

bukan anak ayam, tetapi ular besar.

Dengan perbandingan dongeng antara

Wanabaya dan Ajisaka yang sama bentuk maupun

kejadiannya itu dan ular tersebut justru mempunyai30

nama yang sama Baru, penulis sangsi akan kebenaran

dongeng tersebut.

***

Disebabkan Wanabaya III memiliki sebuah

pusaka bernama Barukuping atas pemberian

neneknya maka Wanabaya berhasil menundukkan

orang-orang dan pemimpin-pemimpin desa di dekat

Mangir. Makin hari daerah Mangir makin luas.

Wanabaya kemudian lalu membangun sebuah kota

dengan benteng yang amat kuat di samping melatih

prajurit-prajurit yang bisa diandalkan. Setelah

Wanabaya merasa kuat, maka lalu memproklamirkan

diri, memisahkan diri dari kerajaan Mataram, berdiri

sendiri.

Mengapa Wanabaya tak mau tunduk lagi

kepada Mataram? Sebab Wanabaya beranggapan

bahwa ia sebagai keturunan Brawijaya Majapahit, ia

merasa berhak menjadi raja.

Dan anggapan rakyat wilajah Mangir dan

wilayah yang semula termasuk Mataram yang berhasil

ditundukkan itu cuma Wanabaya sajalah yang diakui

sebagai raja. Rakyat itu sangat cinta kepada

junjungannya, sangat setia kepada Wanabaya, dan

mereka berjanji akan membela kedaulatan Mangir.31

Kesetiaan rakyat ini membesarkan hati

Wanabaya. Parsiapan-persiapan untuk menghadapi

penyerbuan Mataram, telah diselenggarakan dan

dipimpin sendiri oleh Wanabaya. Sepak terjang dan

tindak tanduk Wanabaya yang suka mendekati

rakyatnya inilah sebenarnya yang menyebabkan

rakyat itu setia kepadanya. Sebab kala masih

merupakan wilajah Mataram, rakyat itu tidak pernah

dapat mengenal junjungannya. Raja selalu jauh

dengan rakyat.

Dan tentang rombongan wayang kulit Ki dalang

Sandiguna yang populer dikalangan rakyat desa itu

juga telah didengar oleh Wanabaya. Sepanjang berita

yang didengarnya, rombongan wayang kulit itu amat

bagus. Ki dalaag Sandiguna adalah dalang yang amat

mahir dalam mempermainkan wayang, dan dalam

pada itu juga disebut-sebut orang tentang kecantikan

perawan rara Adiwati anak Ki Dalang, yang disanjung

orang laksana bidadari yang turun dari sorga.

Oleh tersiarnya berita secara luas tentang

keayuan Adiwati itu, Wanabaya tertarik hatinya. la

mengakui, telah banyak kali para punggawa Mangir

mendesak agar ia mau kawin. Tapi apa harus dikata,

nyatanya Wanabaya juga telah berusaha untuk bisa

menemukan perawan yang sesuai untuk diangkat32

sebagai permaisuri. Namun usahanya itu masih belum

dapat terlaksana. Sedang kini tersiar luas kabar dari

mulut ke mulut tentang kejelitaan Adiwati. la ingin

mengenalnya dari dekat.

Wanabaya berkeinginan, bahwa permaisuri itu

tidak harus anak seorang bangsawan. Karena itu

apabila nanti ternyata anak Ki Dalang Sandiguna itu

benar-benar cantik laksana bidadari seperti kata

orang, ia bermaksud memperistrikan. Oleh karena itu,

kemudian diutuslah beberapa orang punggawa

Mangir untuk mengundang Ki Dalang,

Berangkatlah kemudian utusan Wanabaya itu

mencari rombongan Ki Dalang Sandiguna. Tak terlalu

susah ponggawa Mangir itu mencarinya, justru hampir

tiap hidung orang desa tahu dimana Ki Dalang

Sandiguna berada.

Barang tentu gembira benar Ki Dalang

Sandiguna mendapat undangan Ki Wanabaya.

Bukankah undangan itu merupakan tujuan yang

utama?

Kalau Ki Dalang Sandiguna gembira atas

undangan Itu, sebaliknya putri Pembayun gelisah. Tak

segembira seperti masih belum mendapat undangan

Wanabaya. Kegelisahan yang memenuhi dadanya itu,33

karena telah tiba saatnya nanti berhadapan dengan

Wanabaya Dan penyelesaian tugas keseluruhannya

dipikulkan atas pundaknya. Ia merasa bimbang,

dapatkah ia menguasai diri dan dapat menyelesaikan

tugas itu? Raden ayu Adisara yang bertindak sebagai

ibunda, dan yang tak pernah terpisah di manapun ia

berada, dapat juga menyelami isi hati putri Pembayun.

Ia justru masih muda, ia justru belum berpengalaman,

kebimbangan dan keraguan ini tentu memenuhi

dadanya. Tapi sekalipun demikian katanya berbisik :

Anakku, mengapa kau tampak bimbang dan gelisah

setelah hampir tiba waktunya? Bukankah undangan

ini berarti berakhirnya sudah berjalanan keliling yang

yang amat susah ini ?"

Putri Pembayun menatap ibunya seraya

menghela napas. Kemudian jawabnya berat, "Bu, kita

memang selalu mengharapkan diundang oleh

Wanabaya. Tapi Bu, setelah kita mendapat undangan

itu, hati saya menjadi gelisah dan bimbang. Bukankah

saya akan sendirian di Mangir nanti kalau saya berhasil

memikat hati Wanabaya?"

"Ya, aku pun menyadari hal itu," kata raden ayu

Adisara "Menang kau akan sendirian. Tapi sekali pun

demikian, janganlah kau menjadi ragu dan bimbang.''34

"Saya pun juga berusaha menenangkan hati,"

jawab putri Pembayun sedih. "Tapi Bu, saya masih,

muda. Saya belum berpengalaman. Kekhawatiran

timbul, kalau aku sampai lupa. Bu, memang benar

telah jelas penjelasan ayahanda Panembahan, aku

harus berlaku sepertl orang mati dalam menghadapi

Wanabaya. Tapi itu adalah tidak mudah dilakukan oleh

orang muda, Bu. Justru orang muda belum banyak

merasakan garam kehidupan dan pengalaman."

Raden ayu Adisara menghela napas. Ditatapnya

putri Pembayun lama-lama. Lalu katanya. "Yah, aku

tak dapat menyalahkan apa yang kau kemukakan. Itu

memang amat sukar dilakukan. Tapi anakku, jika kau

insyaf dan dapat membedakan antara kepentingan

diri sendiri dengan kepentingan negara, aku kira kau

dapat melaksanakan tugasmu dengan baik, Ingatlah

anakku, bahwa keruntuhan dan kejayaan Mataram

dalam hal ini ditanganmu."

"Saya insyaf akan hal itu bu," jawab putri

Pembayun, "Yah, disebabkan tugas itulah saya

menjadi bimbang. Dapatkah saya menyelesaikan

tanpa rintangan? Dapatkah pada nantinya saya

berhasil membujuk Wanabaya?"35

"Itulah yang kau bimbangkan? Tak perlu kau

bimbang Akan kutunjukkan siasat yang tepat dalam

menghadapinya." kata raden ayu Adisara dengan ter
senyum. Lalu ia berbisik memberi petunjuk kepada

putri Pembayun apa yang harus dilakukan nanti. Putri

Pembayun nampak memperhatikan nasihat itu, tetapi

wajahnya menampakkan rasa malu dan pipinya

kadang merah kadang memucat, la seorang gadis suci

yang belum kenal soal asmara, mendapat kuliah

ibunya itu sudah barang tentu menerimanya dengan

rasa yang agak malu.

Perjalanan menuju Mangir ini amat lambat.

Prekis. Adiwati dan nyai dalang Sandiguna melangkah

kan kaki sambil saling berbisik membicarakan sesuatu.

Orang yang bicara sambil berjalan, tentu tak dapat

cepat. Karena itu Ki Dalang Sandiguna dan utusan Ki

Wanabaya yang berjalan di muka terpaksa sering

harus bersabar menunggu.36

Bab IV. Masuk perangkap.

Makin dekat dengan tempat tinggal Ki

Wanabaya hati putri Pembayun makin berdebar
debar. Dan ketika melangkahkan kaki masuk melewati

pintu benteng kuat yang dijaga para prajurit

bersenjata, kaki putri Pembayun gemetaran. Sukar

untak melangkah, rasanya bumi ini melengket pada

telapak kakinya.

Putri Pembayun dipimpin oleh Prekis dan rada

ayu Adisara. Nasihat-nasihat diberikan untuk

membesarkan hati putri Pembayun. Namun tak

berhasil, putri Pembayun makin gemetar setelah

sekilas melihat Wanabaya duduk di kursi pendapa,

sinar matanya tajam memperhatikan. Kepala putri

Pembayun menunduk, berusaha untuk menyembunyi

kan wajahnya, dan berusaha pula menenangkan

hatinya. Baru setelah ditempatkan dalam sebuah

ruangan, ia merasa agak lega.

Kemudian hari telah malam. Ki Dalang

Sandiguna dan rombongannya telah mengambil

tempat duduk masing-masing. Malam ini Ki Dalang

Sandiguna bermain lebih bersungguh-sungguh,

apalagi lakon yang dipilih oleh Ki Wanabaya adalah37
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mintaraga. Lakon wayang Mintaraga ini dipenuhi oleh

adegan-adegan cinta kasih yang justru cocok dengan

tugas yang dipikul, untuk menarik hati Ki Wanabaya.

Pada adegan Arjuna digoda oleh bidadari
bidadari Wilotama, Warsika. Surendra, Gagarmayang,

Maneka, Warsarini dan Supraba, Ki Dalang Sandiguna

sengaja mengutik hati Wanabaya.

Dan apalagi waktu Ki Dalang Sandiguna

menceritakan kepergian Arjuna yang sarimbit1 dengan

Supraba menuju negeri Imartaka. Dalam perjalanan ini

ki dalang pandai sekali menarik perhatian. Kata Ki

dalang Sandiguna mewakili suara Arjuna : "Dewi, saya

takut untuk melepaskan dewi berjalan dibelakang.

Bathara Indera memerintahkan, agar saja menjaga

keselamatan dewi di belakang. Dan yang, lebih

penting dewi, saya berjalan dibelakang akan dapat

menikmati keindahanmu, kecantikanmu dan

kerampingan tubuhmu. Saya dapat menikmati sepuas

hatiku tanpa harus menoleh seperti kalau saya jalan

dimuka."

Kata-kata Ki Dalang Sandiguna ini mengetuk

hati Wanabaya. Dan para penonton yang penuh sesak

1 sekeluarga38

di halaman itu ketawa riuh rendah dan bertepuk

tangan.

Ki Wanabaya menjaksikan pertunjukan wayang

kulit di atas sebuah kursi yang letaknya amat dekat

dengan tempat pertunjukan. Dan matanya selalu

mencuri pandang untuk menikmati anak ki dalang

yang molek lagi muda itu. Menyaksikan kemolekan

paras Adiwati, hatinya tak bisa membantah kebenaran

kabar yang tertiup luas itu, bahwa Adiwati nyata

merupakan perawan cantik yang sukar dicari

tandinganaya. Ki Wanabaya sekarang gandrung.

Kemudian pada menjelang pagi, Wanabaya

telah memerintahkan kepada seorang kepercayaan
nya untuk menahan rombongan itu, dengan alasan

mau nanggap2 semalam lagi. Atas permintaan itu Ki

Dalang Sandiguna mengiakan dan dalam hatinya pun

amat gembira.

Matahari sudah condong kebarat. Burung

berkicau asyik di atas dahan pohon sawo di muka

pendopo. Di pelataran, seekor jago berkokok. Lalu

menemukan sesuatu dan mengundang si betina.

Dengan penuh kasih jago itu memberikan makanan

yang diketemukan itu kepada betina. Jago ini lalu

22 kontrak pertunjukan39

bersuara seraya mengitari si betina. Tapi betina malu

dan menghindari, akhirnya mereka pergi bersama.

Wanabaya tersirap oleh adegan jago tersebut.

Terbayang keayuan wajah Adiwati, semakin Asmara

menggelora dalam dada. Pandangannya dilayangkan

ke gedung tempat Adiwati melepaskan lelah. Tapi dari

jendela yang terbuka itu, ia juga melihat nyai

Sandiguna. Kecewa mengapa Adiwati menyembunyi
kan diri. Lalu dipanggilah seorang punggawa agar

memanggil Sandiguna. Tak kuat lagi rasanya menahan

hati yang telah gandrung.

Kala itu Sandiguna sedang duduk dengan para

nayaga3, sambi bicara perlahan-lahan. Kemudian

datanglah utusan Wanabaya yang minta kedatangan
nya. Panggilan itu disanggupi, dan cepat berangkat

menghadap.

Kedatangan Sandiguna disambut oleh senyum

Wanabaya yang gembira. Dan ki Sandiguna memberi

hormat seperti kepada seorang raja. Sandiguna

kemudian akan duduk di lantai, tapi Wanabaya cepat

memimpin dan mempersilahkan duduk di atas, seraya

katanya : "Tak perlu kau takut paman. Duduklah di

atas, lebih enak."

3 Para penabuh gamelan40

Wanabaya ketawa, lalu katanya lagi. "Nah,

duduk di atas sini dapat berbicara lebih enak. Setelah

aku menyaksikan pertunjukan semalam, berterus

terang aku kagum akan kemahiranmu."

Sandiguna sekilas menatap Wanabaya, lalu

menjawab seraya tersenyum. "Paduka berlebihan

memuji hamba. Gusti, hamba mengakui bahwa

sebenarnya belumlah patut hamba mempertunjukkan

pedalangan di hadapan paduka."

Wanabaya ketawa lalu bertanya. "Kau jangan

merendah paman. Saya pernah menyaksikan

pertunjukan wayang. Tapi belum pernah terpikat

seperti pergelaran semalam. Sudah lamakah kau

sebagai dalang?"

"Gusti, baru dua puluh tahun hamba sebagai

dalang keliling," jawab Sandiguna. "Tapi selama ini

hamba belum pernah masuk wilayah Mangir dan

Mataram."

"Pantas paman telah mahir. Dua puluh tahun

bukan sedikit paman, jadi bisa di sebut sudah

kawakan4, dalang yang sudah berpengalaman. Lagi

pula rombongan paman amat lengkap" Wanabaya

menatap Sandiguna lalu sambungnya "Pesinden nyai

4 Ahli berpengalaman41

Prekis mampunyai suara empuk yang memikat hati.

Dan, dan anakmu di samping cantik juga punya

suara emas."

"Gusti, anak hamba baru dalam taraf belajar."

jawab Sandiguna "Mohon ampun Gusti, kalau paduka

kecewa oleh sinden anak hamba yang masih agak

gugup itu."

"Ah, tapi sudah cukup bagus paman, ia toh

masih muda dan belum berpengalaman." kata

Wanabaya diiringi ketawanya "Berapa umur Adiwati

sekarang? sudah bersuami?"

"Adiwati baru menginjak 18 tahun. Dan masih

belum ada seseorang yang sudi mengambil anak

hamba yang manja itu gusti."

"Oh, masih amat muda, dan juga belum ada

calon" Kata Wanabaja serayamatanya mencari

sasaran dari jendela yang terbuka. Tapi Adiwati belum

nampak, lalu ia menatap Sandiguna dan tanyanya.

"Apakah ia anak kandungmu ?"

Sand guna mengangkat kepala, memandang

sekilas kepada Wanabaya, lalu memandang lantai

kembali, dan kemudian jawabnya. "Benar gusti, anak

hamba sendiri."42

Wanabaya ketawa terkekeh, lalu batuk-batuk

kecil. Hatinya gembira mendengar jawaban yang terus

terang bahwa Adiwati masih perawan suci, masih

muda belia, lagi jelita. Lalu katanya. "Tahukah paman,

mengapa aku berbicara empat mata denganmu?

Sesungguhnya aku ingin membicarakan soal yang

amat penting lagi rahasia. Kalau saja paman tak

berkeberatan, setujukah paman kiranya Adiwati

kuperisterikan? Paman tak usan takut-takut, kalau

paman tak setuju, tidak apa."

Sandiguna pura-pura gugup dan terkejut,

jawabnya dibikin agak gemetar. "Gusti, hamba tak

pernah mimpi bahwasanya anak hamba akan paduka

persunting, Hamba cuma seorang dalang, kiranya

kurang pantas"

"Ah paman tak usah bicara soal keturunan."

"Gusti, jika menang paduka menghendaki,

hamba amat gembira. Tapi gusti, hamba agak takut."

"Takut? Apa yang kau takutkan? Ya, baiklah jika

paman tak setuju akupun tak akan memaksa."

"Hamba merasa bahagia gusti, dan sudah tentu

hamba setuju maksud paduka. Tapi. memang ada

sesuatu hal yang menjebabkan hamba ragu-ragu dan

takut."43

"Katakan paman, apa yang kau takutkan itu?"

"Mohon ampun guin, tidakkah paduka murka

apabila hamba berkata terus terang?"

"Baiklah, katakan lekas. Tak perlu paman takut."

"Gusti, sebenarnya Adiwati bukanlah anak

kandung hamba. Ia anak pungut sejak bayi."

Sandiguna menerangkan. "Karena bukan anak hamba

yang benar itulah, maka sebenarnya yang berhak

memutuskan adalah orang tua Adiwati yang

melahirkannya."

Wanabaya agak kecewa mendengar keterangan

Sandiguna yang demikian itu. Kemudian tanyanya.

"Kalau begitu, anak siapakah dia paman? Katakan

siapakah orang tua Adiwati. Kalau perlu aku akan

menugaskan seseorang untuk melamarnya. Syukurlah

apabila paman sendiri bedia menjadi perantara."

"Hamba selalu bersedia gusti," jawab

Sandiguna. "Benarkah gusti tak murka hamba berterus

terang?"

"Tak perlu takut paman. Mengapa aku harus

marah?"44

Sandiguna menatap Wanabaya, lalu jawabnya

gemetar. "Mohon ampun gusti, sesungguhnya Adiwati

putri Panembahan Senapati Mataram"

Wanabaya terlonjak karena kaget! Demi

mendengar penjelasan Sandiguna bahwa Adiwati

anak Panembahan Senopati. Matanya merah

menyala, gigi gemeretak menahan marah.

Sandiguna pun terkejut. Dalam hati gelisah

kalau saja tugas yang dipikulnya gagal ditengah jalan.

Dengan itu akan berarti pecah perang antara Mataram

daa Mangir. Para pengawal yang bergerak di bawah

tanah dan para pemukul gamelan yang terdiri dari

para Tumenggung, Mantri, Lurah dan Perwira tentu

segera mengangkat senjata untuk melindungi putri

Pembayun. Dan ia sendiri yang diam-diam telah

menyembunyikan sebilah keris dalam bajunya akan

segera bertindak cepat menyerang Wanabaya apabila

terjadi sesuatu. Ia bersedia mati dalam pergumulan
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Wanabaya.

Di dalam suasana yang amat genting ini,

terdengar suara nyaring dari tempat tinggal Adiwati

Yah, Adiwati Prekis dan nyai Sandiguna tengah

bersenda-gurau begitu asyik dan mereka tertawa
tawa gembira. Tampaknya ketiga wanita itu senang45

sekali, tak ambil perduli bahwa sebenarnya Wanabaya

tengah marah-marah.

Wanabaya memandang ke arah jendela

terbuka. Disaksikannya sekarang Adiwati tersenyum

manis dan ketawa. Wajahnya yang jelita tampak jelas

dari pendopo. Dipandangnya oleh Wanabaya puas
puas wajah dara jelita itu.

Tingkah laku Adiwati yang kekanakan, wajahnya

yang ayu serta dadanya yang indah itu menusuk

jantung dan asmara berkobar dalam dada Wanabaya.

Adiwati perawan ayu jarang tandingannya. Adiwati

perawan ayu yang dapat memenuhi idamannya.

Adiwati dara cantik yang masih belia. Haruslah

dilepaskan begitu saja? Haruskah merana hari

mudanya akibat asmara tak sampai? Tidak! Tidak!

Wanabaya amat sayang untuk menggagalkan maksud
nya. Wanabaya tak rela dara ayu Adiwati ini dipetik

orang lain. Wanabaya tak hendak membunuh tunas

cinta yang telah tumbuh subur dalam dadanya.

Sandiguna amat gembira dan memuji

kepintaran raden aya Adisara yang dengan tepat

berhasil meredakan ketegangan dan kemarahan Ki

Wanabaya. Lalu Sandiguna memberanikan diri untuk

memulai: "Gusti, ampunilah diri hamba. Sebenarnya46

hamba ini bukanlah rakyat Mataram dan bukanlah

rakyat Mangir. Hamba rakyat Madiun gusti,

perkenankanlah hamba mohon keterangan mengapa

paduka tampak murka."

Wanabaja tersenyum kemudian jawabnya. "O,

kiranya tak mengerti ketegangan antara Mangir dan

Mataram"

"Oh!", seru Sandiguna pura-pura terkejut.

"Paduka bersitegang dengan Panembahan Senapati?

Ampun gusti, hamba yang hina dan buta Ini."

"Paman tak dapat kusalahkan justru tidak

mengerti" kata Wanabaya seraya menatap

Sandiguna. "Maafkan paman kalau aku tak dapat

menahan perasaanku setelah mendengar keterangan
mu bahwa Adiwati putri Panembahan Senapati.

Secara terus terang kuberitahukan padamu, bahwa

antara Mangir dan Mataram telah putus hubungan
nya, ibarat pinggan yang telah pecah dua, ibarat

selembar kain yang telah cabik, bagaimana pun orang

berusaha untuk memulihkan kembali, cacat itu tak

akan terhapus."

"Gusti, kiranya tiada halangan hamba

menceritakan suatu peristiwa delapan belas tahun

yang lalu." kata Sandiguna yang berusaha untuk47

meyakinkan Wanabaya agar mau mempercayai

dongengnya. "Peristiwa ini terjadi ketika Panembahan

Senapati masih di Pajang. Kala, itu hamba di undang

Tumenggung Majang untuk menyelenggarakan

pertunjukan wayang kulit. Hamba masih ingat benar,

bahwa ketika itu hamba sedang menyelenggarakan

adegan gara-gara. Tiba-tiba garwa5 Panembahan

Senapati bersalin, lalu bayi itu diserahkan pada

hamba. Gusti, adat yang berlaku untuk

menghindarkan malapetaka yang dapat menimpa si

bayi yang baru lahir itu, kalau kelahiran bayi itu dalam

perjamuan orang yang sedang menyelenggarakan

pertunjukan wayang, maka baji itu diserahkan kepada

dalang supaya diambil sebagai anak pungut.

Sebenarnya gusti, hamba telah lama ingin mendapat

seorang anak. Sangat kebetulan hamba mendapatkan

anak itu. Maka dengan permohonan hamba akhirnya

Panembahan Senapati merelakan anak itu untuk

hamba akui sebagai anak. Bayi itu kemudian hamba

pelihara dan setelah dewasa menjadilah Adiwati yang

sekarang. Gusti, hamba tidak tahu apakah

Panembahan Senapati telah lupa kepada anak ini,

ataukah masih ingat. Sebab gusti, selama Adiwati

menjadi anak hamba, beliau tak pernah mengirim

5 istri48

kabar, Dan sebaliknya karena hamba merasa cinta dan

amat sayang, maka tak rela rasa nya apabila Adiwati

diambil kembali oleh Panembahan Senapati, maka

hamba juga tak pernah membaca Adiwati kehadapan

Panembahan Senapati untuk memperkenalkan

Adiwati."

Wanabaya manggut-manggut, lalu katanya :

"Paman, mungkinkah Adiwati mengetahui bahwa

paman bukan orang tuanya?"

"Mungkin belum gusti, justru hamba tak pernah

membocorkan rahasia ini."

"Kalau benar demikian paman, sebagai orang

tua yang memelihara sejak kecil, paman mempunyai

kekuasaan atas Adiwati."

"Benar gusti, hamba mempunyai hak. Tapi

sekalipun hamba berhak, lebih utama kiranya apabila

orangtua yang sebenarnya itu dimintai persetujuan."

"Aku bingung paman, apa yang harus kulakukan?"

Wanabaya terdiam. Sementara itu dari jendela

yang terbuka. Wanabaya masih dapat menyaksikan

paras cantik Adiwati yang kini tengah bersenda gurau,

tersenyum dan ketawa nyaring.49

Api asmara makin menggelora dalam dada

Wanabaya. Hatinya melonjak-lonjak ingin segera

berhasil mempesunting bunga mungil yang amat

indah Itu.

Sandiguna menatap Wanabaya, lalu katanya :

"Menurut pendapat hamba, kiranya kurang perlu

minta persetujuan Panembahan Senapati."

"Itu benar. Itu benar!" Seru Wanabaya agak gugup.

"Namun demikian gusti, hamba perlu minta

persetujuan Adiwati sendiri."

"Baik paman, aku menunggu persetujuanmu,"

Sandiguna minta diri. Sedang Wanabaya masih pada

tempatnya semula, menikmati paras ayu Adiwati yang

masih asyik bersenda gurau dengan teman-teman

wanitanya.50

Bab V. Penutup.

Sementara itu putri Pembayun gelisah di atas

pembaringannya. Mata tak mau dipejamkan dan

ternyata wajah Wanabaya yang tampan lagi gagah itu

selalu menggodanya. Kini putri Pembayun mengakui

bahwa hatinya telah tercuri oleh Wanabaya. Kalau

ketika menginjakkan kakinya yang pertama diluar

tembok keraton tak pernah terlintas dihatinya akan

terpikat oleh Wanabaya, kini keadaan jadi lain.

Ternyata Wanabaya seorang pemuda yang

tampan. Mengapa tak harus mencurahkan cinta

sepenuh hati, sebagai layaknya seorang isteri yang

setia? Tak pantas, tak pantas, Wanabaya yang tampan

itu tak mendapatkan balasan cinta yang setimpal.

Wanabaya harus dicinta sepenuh hati.

Raden ayu Adisara dapat menerka kandungan

hati putri Pembayun yang tampak selalu gelisah diatas

pembaringannya. Lalu didekatinya, membelai rambut
nya seraya katanya menghibur : "Putri, mengapa

selalu susah? Saat selesai tugas kini hampir tiba.

Mengapa agaknya bimbang?"

Airmata putri Pembayun berbutir-butlr lepas

dari di-tanya yang redup. Berbulir butir membasahi51

pipinya yang kuning montok Dengan suara yang agak

parau jawabnya. "Kiranya bibi juga tau perasaanku

karena pernah muda."

Terharu raden ayu Adisara mendengar jawaban

putri Pembayun yang singkat tapi tepat itu. Hampir ia

ikat menitikkan air mata. Ia sebagai wanita yang

pernah muda, ia sebagai wanita yang pernah

mengenyam cinta batin, la tak dapat menjalahkan

putri Pembayun yang masih muda dan belum kenal

apa artinya cinta. Tapi meski begitu, tugas

menyeIamatkan Mataram tak seharusnya dilupakan

putri Pembayun. Maka nasihatnya: "Putri, bibi sadar

dan bibi cukup mengerti akan maksudmu. Tapi putri,

harus kita ingat bahwa kita memikul tugas yang maha

berat. Bibi pun sadar bahwa putri berdiri di

persimpangan jalan antara cinta dan kewajiban. Tapi

sekalipun demikian putri adalah merupakan tindak

utama seseorang dapat mengorbankan kepentingan

pribadi unuk kebahagiaan sesama hidup. Putri harus

pandai mengikis kepentingan pribadi untuk

keselamatan Mataram. Putri, tidakkah putri sadar

akan korban yang jatuh kalau terjadi peperangan

antara Mangir dan Mataram? Dan siapa-siapa prajurit

yang gugur dalam peperangan itu? Ia adalah ayah dari

anak-anak dan suami dari isteri-istri yang setia. Coba52

tanyakan kepada para janda prajurit yang telah gugur

dari medan perang itu, cinta kah kepada suami?

Tentu! Tentu secara tepat akan memberi jawaban

bahwa ia sangat cinta kepada suaminya. Demikian

pula kalau putri bertanya kepada anak-anak yang telah

ditinggal gugur ayahnya itu, tentu mereka akan

menjawab serempak bahwa mereka sangat cinta

kepada ayahnya. Tapi mereka itu merelakan juga

suami atau ayahnya gugur dalam medan perang.

Sebab mereka semua itu sadar dan insyaf, bahwa

kepentingan negara di atas segalanya. Kepentingan

pribadi harus disingkirkan. Dan putri adalah putri

seorang raja. Putri pemimpin negara apakah tidak

malu kepada rakyat yang bersedia mengorbankan jiwa

raganya dalam peperangan itu?"

Raden ayu Adisara membelai rambut putri

Pembayun, lalu katanya lebih lanjut. "Putri, semua itu
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patut kita jadikan tauladan. Janganlah kita hanya

mementingkan kebutuhan pribidi. Dan kalau putri

dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik, tentunya

putri juga sadar, bahwa peperangan antara Mangir

dan Mataram yang tiap saat bisa meletus itu tak akan

terjadi dengan terhindarinya peperangan, berarti

bahwa putri telah menolong dan menyelamatkan

ribuan prajurit yang mestinya gugur di medan perang53

Di samping itu, putri juga berhasil menyelamatkan

anak-anak dan isteri-istri prajurit iu, mereka tak

kehilangan ayah atau suami yang mereka cintai. Malah

tidak cuma itu, karena pengorbananmu menjadi

selamat. Itulah putri, akibatnya akan amat luas."

Putri Pembayun menyembunyikan muka dalam

pangkuan raden ayu Adisara. Ia merasa malu, merasa

hina setelah mendengar nasihat bibinya itu. Semua

benar, semua tak dapat dibantah. Kalau terjadi

peperangan, akan sangat banyak korban yang jatuh.

Akan tak terhitung rakyat menderita karena

peperangan. Dan kalau ia berhasil menjalankan tugas

dengan baik, bukan saja menghindarkan peperangan,

bukan saja menghindarkan keruntuhan Mataram, tapi

juga menyelamatkan rakyat dari malapetaka.

Putri Pembayun menangis di dalam pangkuan

raden ayu Adisara. Lalu setelah agak reda, katanya

serak. "Tapi bibi, tiadakah jalan lain yang lebih baik?"

"Apa yang kau maksudkan putri ?"

"Tiada korban yang jatuh. Negara selamat, dan

Wanabaya juga selamat."

"Itu lebih bagus. Dan semua itu dalam

tanganmu."54

Kemudian mereka terdiam. lsak putri

Pembayun telah berhenti dan kini ia telah duduk di

samping bibinya.

"Putri, beberapa hari lagi kau masuk, dalam

dunia yang baru sama sekali bagimu," kata raden ayu

Adisara tersenyum "Putri bukan lagi seorang gadis

yang bebas, tapi seorang isteri yang mencintai

suaminya. Dan setelah kedudukan sebagai istri

Wanabaya, kau masih menghadapi tugas yang lebih

berat lagi. Sebab, putri harus dapat menundukkan hati

Wanabaya. Tidaklah mudah menundukkan seorang

pemimpin. Orang seperti Wanabaya akan curiga dan

bisa gagal seluruh tugasmu kalau kurang pandai

mengambil hati dan menempatkan diri."

Putri Pembayun menatap bibinya tak mengerti

lalu tanyanya. "Bagaimana saya harus berbuat?"

Raden ayu Adisara tersenyum, lalu katanya.

"Putri, dalam usaha untuk membujuk Wana
baya agar mau menghadap ke Mataram, jangan sekali
kali kau lakukan diluar peraduan. Diluar peraduan laki
laki itu akan dapat berpikir secara luas dan dapat

menimbang-nimbang permintaanmu. Tapi putri,

ketahuilah bahwa di dalam kamar, dengan keayuanmu

... ia akan mudah kau tundukkan. Jangan kau beri55

kesempatan untuk berpikir secara jauh, rayulah dan

desaklah terus sampai ia berjanji dan sedia

melaksanakan."

Putri Pembayun tersipu malu mendengar

penjelasan bibinya yang demikian.56

Perkawinan antara putri Pembayun dengan

Wanabaya berlangsung dalam waktu yang amat

singkat, yaitu beberapa hari setelah putri Pembayun

berada di Mangir. Hal itu selalu atas desakan

Wanabaya juga karena Tumenggung Martalaya.

Untuk memeriahkan pesta perkawinan ini,

Tumenggung Martalaya yang masih menggunakan

nama samaran Ki Dalang Sandiguna menyelenggara
kan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Pesta

perkawinan Ki Wanabaya itu merupakan hati

kegembiraan bagi sekalian rakyat Mangir yang telah

lama mengharapkan junjungannya beristeri. Sebab itu

maka kota Mangir dalam suasana pesta pora dan

bermandikan cahaya lampu dan wajah rakyat yang

berseri-seri penuh rasa bahagia.

Tapi semua kebahagiaan, semua kegembiraan

sebenarnya adalah milik Ki Wanabaya pribadi. Betapa

tak bahagia dapat mempersunting perawan jelita putri

Pembayun, anak Raja Mataram. Dan kini, setelah

duduk bersanding sebagai suami, ia tak lagi harus

mencuri pandang. Dan putri Pembayun dalam

menghindari pertemuan pandang itu duduk tersipu

malu.57

Kala putri Pembayun harus meninggalkan kursi

pengantin untuk masuk kamar yang telah disediakan,

maka hatinya berdebar-debar dan kakinya gemetaran

untuk melangkah. Ia tak tau apa yang harus

diperbuatnya kalau nanti suaminya merayu? Ia serba

merasa asing menginjak dunia barunya. Tak tau apa

yang harus dilakukan, tak tau apa yang harus

diperbuat. Dan ketika Wanabaya melangkah masuk

dalam kamar dan menutup pintu, hati putri Pembayun

berdebar-debar.

Seminggu kemudian Ki Dalang Sandiguna

dengan rombongannya minta diri. Wanabaya

berusaha mencegah kepergian itu, karena ingin

ditunggui lebih lama lagi. Dan putri Pembayun dalam

pelukan raden ayu Adisara menangis tersedu-sedu.

Dan menitik jugalah air mata raden ayu Adisara karena

tak kuat menahan gejolak hatinya. Dalam kesempatan

ini pula putri Pembayun menerima pesan terakhir agar

selalu bersikap waspada, menggunakan segala

kesempatan untuk menundukkan hati Wanabaya.

Kepergian orang-orang itu menjebabkan

Pembayun merasa kesepian. Hari-hari yang lalu Prekis

dapat memberikan hiburan. Raden ayu Adisara dapat

memberi nasihat-nasehat, kini semua itu sudah tak

ada lagi. Seorang diri ditengah-tengah musuh. Oh,58

putri Pembayun merasakan kebahagiaan hidupnya

disamping suami ini, seakan impian belaka. Batinnya

menderita, ia sering duduk bersedih sering menitikkan

air mata.

Sementara itu rombongan Ki Dalang Sandiguna

telah tiba kembali di Mataram dengan selamat.

Dihadapan Panembahan Senapati dan perdana

menteri Mandaraka, Temenggung Martalaya

menceritakan pengalamannya selama melakukan

tugas. Laporan Tumenggung Martalaya itu amat

menggembirakan Panembahan Senapati.

Lalu waktu dilewati amat cepat. Tapi

Panembahan Senapati belum juga menerima kabar

akan datangnya Wanabaya menghadap ke Mataram.

Panembahan Senapati cemas, mulai khawatir putrinya

telah melupakan tugas yang diberikan, karena lebih

kuat cinta kasihnya terhadap suami. Semula

kekhawatiran itu tak bagitu mempengaruhi

Panembahan Senapati. Tapi setelah menginjak dua

bulan masih belum juga tampak tanda-tanda.

Panembahan Senapati segera mengutus mata-mata

untuk menyelidiki Mangir.

Beberapa hari telah berlalu. Panembahan

Senapati dan Mandaraka berharap-harap camas akan59

perkembangan terakhir dari Mangir. Tapi pada

akhirnya toh segala kecemasan dan segala

kekhawatiran Panembahan Senapati itu tersapu

bersih setelah Mandaraka dengan tergopoh-gopoh

pada suatu hari menghadap dan melaporkan, bahwa

ada perkembangan yang menggembirakan.

Penyelidik-penyelidik itu melaporkan bahwa utusan

Wanabaya telah berangkat dari Mangir yang

membawa pesan Wanabaya bahwa ia bersama iitcrl

akan menghadap ke Mataram dalam waktu singkat ini.

Pada hari yang telah ditentukan, masih pagi

benar alun-alun Mangir telah dipenuhi prajurit

bersenjata lengkap. Prajurit-prajurit itu telah berbaris

rapi dalam kesatuannya masing-masing, dan dengan

pakaiannya yang aneka ragam dan menyedapkan

pandangan mata. Prajurit Mangir yang telah berbaris

rapi memenuhi alun-alun itu akan mengiring

kepergian junjungannya ke Mataram. Sesudah sampai

pada tapal batas nanti, sebagian akan pulang kembali

ke Mangir untuk menjaga keselamatan Mangir, dan

sebagian terus mengikuti junjungannya sampai

Mataram sebagai pengawal.

Oleh rakyat Mangir dan daerah-daerah

sekitanya yang telah tunduk, Wanabaya dianggap

seorang raja. Maka taklah mengherankan apabila60

sepanjang jalan yang akan dilalui telah dipenuhi

manusia untuk menghormat. Di samping itu juga

sebenarnya rakyat itu ingin dapat menyaksikan

keayuan wajah putri Adiwati yang kini merupakan

permaisuri Mangir.

Wanabaya beserta istri dan pengiringnya mulai

bergerak dari alun-alun didahului oleh pasukan

berkuda yang amat gagah. Sesudah pasukan berkuda,

lalu prajurit berjalan kaki yang bermacam ragam

pakaiannya menyusul. Baru kemudian prajurit

pengawal Wanabaya yang berkuda menampilkan diri.

Di tengah pengawal berkuda ini, tampaklah Wanabaia

dengan pakaian kebesarannya dan tombak pusaka

Barukuping, menunggang kuda yang amat indah. Di

belakang Wanabaya, kereta yang berisi putri

Pembayun dengan para dayang. Dan sebagai penutup

iring-iringan ini, prajurit berjalan kaki yang bersenjata

tombak, pedang dan senjata-senjata tajam yang lain

mengawal beberapa pedati yang memuat barang
barang persediaan makanan bagi para prajurit di

samping bulubek i glondong pengareng-areng ( buah

tangan tanda kesetiaan ) untuk Panembahan Senapati.

Gerak prajurit Mangir yang bersenjata lengkap

dengan bunyi-bunyiannya itu laksana prajurit yang
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak maju menuju medan perang. Rakyat yang61

memenuhi jalan itu amat tembus menyaksikan iring
iringan yang demikian indah dan panjang, yang selama

ini belum pernah mereka saksikan.

Ketika perjalanan sampai pada tapal batas

Mangir dan Mataram, sebagian prajurit Mangir

berhenti untuk kemudian nanti kembali ke Mangir.

Sedang prajurit yang bertugas mengawal Wanabaya

terus mengurung-urung junjungannya itu.

Lalu para prajurit Margir dan Wanabaya sendiri

terlonggong-longgong keheranan, menyaksikan jalan
jalan yang dilalui itu dipenuh manusia-manusia yang

mengelu-elukan kedatangannya di samping hiasan

dengan janur kuning memberi keindahan.

Wajah Wanabaya berseri, memandang prajurit

dan rakyat Mataran yang mengelu-elukan. Dan

Wanabaya kerapkali menoleh memandang putri

Pembayun. Pandangan suaminya itu disambut putri

Pembayun dengan senyum manis. Wanabaya makin

bangga dan puas. Makin nyata bahwa permusuhan

antara Mangir dan Mataram telah berakhir.

Rombongan dari Mangir itu semakin dekat

ibukota Mataram. Dan sekarang makin berjejal

prajurit dan rakyat Mataram yang memberikan62

penghormatan. Hiasan-hiasan di sepanjang jalan lebih

indah.

Waktu tiba di alun-alun Mataram, Wanabaya

makin tercengang dibuatnya oleh kepenuhan prajurit

yang rapi menghormat. Setelah iringan itu sampai di

bawah pohon beringin kurung, datanglah menyambut

seorang Gandek utusan Raja yang memberitahukan

agar Wanabaya sarimbit langsung menghadap kepada

panembahan Senapati, yang telah lama menunggu di

Sitihinggil. Tapi para prajurit Mangir diminta untuk

mengaso6 di alun-alun bersama-sama dengan para

prajurit Mataram.

Wanabaya turun dari kuda dan putri Pembayun

turun dari kereta. Lalu bergandengan tangan berjalan

kaki menuju Sitihinggil dikawal olth para tamtama

Mangir. Pagelaran itu telah dipenuhi aleh para

bangsawan yang mengenakan pakaian kebesaran dan

memberi sambutan yang hangat.

Datang menyambut perdana menteri

Mandaraka yang oleh putri Pembayun diperkenalkan

kepada suaminya, bahwa Mandaraka adalah kakek

dari putri Pembayun. Dalam menyambut kedatangan

ini Mandaraka lalu menasihatkan kepada Wanabaya

6 beristirahat63

bahwa kurang baik jika menghadap mertua harus

dengan pengawalan prajurit. Maka para tamtama

Mangir itu lalu diperintahkan tetap tinggal diluar. Lalu

Mandaraka, Wanabaya dan isterinya meneruskan

perjalanan menuju Sitihinggil.

Ketika akan menginjakkan kaki di Sitihinggil,

Mandaraka berhenti lalu katanya kepada Wanabaya :

"Cucu, kiranya akan sangat mengejutkan ananda

panembahan Senapati apabila paduka menghadapnya

dengan pusaka segala. Dalam pada itu pula cucu, juga

kurang layak kiranya seorang menantu menghadap

ayah mertua masih diliputi kecurigaan. Bukankah

penghormatan yang diberikan Mataram berhubung

kedatangan paduka merupakan suatu bukti, bahwa

Mataram amat gembira dengan peristiwa ini? Karena

itulah cucu, apabila pusaka paduka itu dipercayakan

kepada saya untuk menyimpan selama paduka

menghadap ayahanda."

Wanabaya amat terkejut mendengar

permintaan perdana menteri Mandaraka itu. Sebab,

pusaka Mangir Kyai Barukuping selama hidupnya tak

pernah terpisah dari sampingnya. Mengapa datang ke

Mataram sekarang harus diserahkan kepada orang

lain? Maka jawab Wanabaya curiga, "Eyang (kakek)

maafkan saya. Pusaka Mangir tak pernah lepas dari64

tangan saya. Mengapa sekarang harus saya

tinggalkan? Apakah ayahanada masih curiga kepada

saya? Jika demikian halnya sebaiknyalah saya

mengurungkan maksud saya. Saya akan kembali ke

Mangir."

Mandaraka terkejut mendengar jawaban

Wanabaya itu, maka cepat katanya : "Cucu, saya harap

paduka sabar dan jangan marah. Cucu tak ada alasan

sama sekali mencurigai paduka akan menghadap

Panembahan. Sebab kedatangan paduka memang

telah lama diharapkan. Panembahan amat gembira

bahasa paduka telah menjadi menantu Mataram,

Cucu. Sebenarnya apabila pusaka Mangir itu saya

terima, cuma mewakili menylmpan agar aman."

Mandaraka menatap Wanabaya berganti-ganti

dengan putri Pembayun, lalu sambungnya : "Cucu,

paduka seorang yang bijak. Saya percaya bahwa

paduka juga telah menguasai nasehat yang tersebut

dalam Weda yang berbunyi antara lain, bahwa

seorang yang bijaksana tentu berusaha membuat hati

orang lain senang, dan dengan tulus ikhlas pula

berusaha untuk menghargai orang lain. Sedang

tingkah laku dan tutur sapa yang sopan itu merupakan

tindak utama. Dan cucu merupakan seorang bijaksana

dan merajai seluruh wilayah Mangir. Saya percaya65

bahwa cucu takkan khilaf akan petunjuk dalam Weda

itu. Seorang ksatria, seorang perwira dan sakti tak

layaklah mudah curiga terhadap mertua yang penuh

cinta dan kasih."

Setelah bersoal-jawab sementara lama pada

akhirnya Wanabaya rela menyerahkan pusaka

Barukuping itu. Kemudian beserta isteri dan diikuti

pula oleh Mandaraka memasuki sitihinggil. Dan demi

melihat kedatangan Wanabaya sarimbit, baginda

tersenyum dan melambaikan tangan sebagai isyarat

agar Wanabaya sarimbit segera maju mendekat.

Wanabaya jalan berjongkok langsung menghadap

Panembahan Senapati lalu duduk bersimpuh. Sedang

putri Pembayun langsung diterima ibu suri yang

menciumi penuh kasih diiringi air mata bening

menitik. Oleh Panembahan Senapati beserta ibu suri,

putri Pembayun lalu masuk kedalam keraton untuk

mengaso serta ikut mempersiapkan pesta setelah

selesai persidangan.

Sebenarnya senyum penembakan Senapati itu

adalah senyuman berbisa. Di balik senyum manis dan

wajah berseri, berkobarlah kemurkaan membakar

dada. Wanabaya yang datang menghadap seorang

mertua seharusnya mencium telapak kaki untuk

menujukkan bakti dan kesetiaannya. Dan Wanabaya66

sebagai menantu yang tahu diri, maka kemudian juga

beringsut maju mendekati mertua, mencium telapak

kaki panembahan Senopati. Memang upacara inilah

yang diharapkan Senopati. Dibawah babat yang indah

dan tepat dibawah telapak kaki panembahan Senopati

telah di pasang batu hitam yang amat keras. Maka

ketika Wanabaya mencium kaki, secara cepat kedua

belah tangan Senopati menangkap kepala itu lalu

dibenturkan kepada batu itu dengan amat kuatnya.

Kepala Wanabaya pecah dan darah merah

berhamburan membasahi sekitarnya. Wanabaya

menghembuskan napas yang penghabisan. Mereka

yang menyaksikan peristiwa itu terkejut dan menjerit.

Putri Pembayun yang mendengar peristiwa itu di

dalam keraton jatuh pingsan.

Sementara Itu Mandaraka yang menjadi otak

segala tipu muslihat dan pembunuhan itu setelah

menyaksikan Wanabaya terkapar di muka

panembahan Senapati, dengan cepat memberi tanda

kepada sekalian prajurit yang ditugaskan, untuk

melucuti prajurit Mangir dan menawannya. Peristiwa

itu berjalan amat cepat, sehingga semua prajurit

pengiring dan pengawal Mangir tak tempat

memberikan perlawanan. Semua tertangkap dan

tertawan tanpa pertempuran.67

Pada akhirnya jenazah Wanabaya dirawat

dengan upacara kebesaran sesuai dengan kedudukan

nya sebagai menantu raja. Jenazah Wanabaya itu lalu

dikebumikan di astana Kutagede. Makam Wanabaya

ini terbagi menjadi dua, separo di dalam pagar tembok

dan separo diluar pagar tembok Pemakaman yang

demikian itu, mempunyai arti, bahwa Wanabaya

diakui sebagai menantu disamping sebagai musuh

Panembahan Senapati.

? SELESAI ?68

ISI BUKU

Halaman

Bab I. Mengemban tugas.......................................... 6

Bab II. Permulaan perjalanan................................. 15

Bab III. Ki Wanabaya. ............................................. 26

Bab IV. Masuk perangkap....................................... 36

Bab V. Penutup....................................................... 50

? SELESAI ? .......................................................... 6769

Sedia buku-buku seperti contoh dibawah ini.70

Korban untuk negara dan rakyat merupakan

kewajiban yang mulia. Sebab negara dan rakyat di

atas segala-galanya.

Dan putri ini, meskipun putri seorang Raja,

demi keselamatan rakyat dan negara dikorbankan.

Tapi bukan korban melulu korban, untuk mati

sia-sia. Korban ini adalah suatu siasat dalam bidang

politik, untuk menghindarkan peperangan dan

jatuhnya korban beribu-ribu rakyat dan prajurit.

Berarti pula menghindarkan beribu-ribu

wanita menjadi janda, menghindarkan beribu-ribu

kaum ibu kehilangan putranya. dan menghindarkan

beribu-ribu kanak-kanak menjadi anak yatim piatu.

Ijin penerbitan No. Pol 5 / 93 / Intel / 12 / 1965
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

S.I.P. no. 368 /Jl. / 65

Typ "Dahan Lima" SALA71

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi

file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk

mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan

dikompilasi menjadi file TextPDF.

Credit untuk :

? Gunawan A.J.

? Kolektor E-Books


Si Pemaki Tuhan Karya Karl May Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana Anna Karenina Jilid 2 Karya Leo Tolstol

Cari Blog Ini