Ceritasilat Novel Online

Cerita Cinta Indonesia 2

Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan Bagian 2

hanya badanku yang bersama mereka, sedangkan pikiranku tidak.

Pikiranku terus tertuju padamu dan mata ini sesekali turut serta curicuri pandang mencari sembari berharap kau tiba-tiba berdiri dekat di

sisi seperti saat menawarkan daganganmu tadi. Harap yang kemudian

juga menyelinap di balik kabut Kintamani.

Sore. Gerimis turun di antara kabut yang kian menebal. Awalnya

tak hirau, tapi lama-lama, ketika gerimis mulai berubah menjadi hujan dan dingin menusuk tulang, kami menyerah juga. Kami kenakan

jaket yang sejak siang hanya kami lilitkan di pinggang, segera menepi,

mencari perlindungan di salah satu warung yang telah berjubel pelancong kedinginan. Di antara mereka, kami berdesak-desakan menciptakan kehangatan. Pada saat itulah, kembali aku menjadi Jaka Tarub yang terperangkap pesona tujuh bidadari sekaligus!

Aku melihatmu duduk di sudut dalam warung sambil memangku

semacam tampah yang menampung seluruh cendera mata daganganmu. Kau tesenyum, agak lebar, hingga gingsul pemanis wajahmu

tampak dan membuat jantungku bergeser ke kanan. Susah payah

aku mengembalikannya ke posisi semula, apalagi kau bertahan: tak

menunduk atau berpaling. Semula aku mengira kau sedang menantangku untuk kuat-kuatan saling tatap, namun kemudian aku ingat

gantungan kunci di saku kiri bajuku.

Aku memalingkan badan, menghadap ke arahmu. Karena kita

berseberangan, terpisah meja dagangan dan orang-orang, aku

memakai gerak wajah dan isyarat tangan, menanyakan nasib cendera

mata itu. Dengan senyum tujuh bidadari, kau menggeleng, lalu mengangguk. Aku tak paham. Kuulang pertanyaan yang sama dengan

bahasa isyarat yang sama dan jawabanmu tetap pula. Tak terbalik

mengangguk, lalu menggeleng. Aku terpaksa tersenyum, seolah-olah

paham padahal tidak, dan kembali menghadirkan diri di tengah teman61

Gerimis yang Ganjil

temanku yang asyik bicara tentang kemenarikan tubuh perempuanperempuan bule.

Begitu hujan mereda, kami sepakat turun dan segera berlarian

ke tempat parkir untuk mengambil empat motor sewaan. Kami bawa

satu-satu, tidak berboncengan, agar bisa main balap dan menikmati

sendiri kelok-liku jalan. Ketika tiga temanku meluncur, aku justru melambatkan diri, berbelok ke warung, menemuimu yang tak lagi duduk

di sudut tapi berdiri persis di bawah tepian atap. Gerimis riwis-riwis

menjadi tirai yang kian mengindahkan sore menjelang petang.

"Aku mau pulang," kataku.

Kau mengangguk tanpa senyum.

"Gantungan kunci ini untukku?"

Aku sangat berharap kau menggeleng. Ternyata kau mengangguk,

bahkan dengan sedikit senyum. Aku terkesiap dalam ketakpahaman.

Terperangkap bualan sendiri, terjebak untuk kembali berjanji. Janji

yang kuucapkan iseng saja, tapi tampaknya kautanggapi dengan keyakinan yang bagiku sulit terbaca seperti jalanan berkabut di depan mata. "Mulai hari ini, aku tak akan pernah melupakanmu. Selamanya," kataku mengulang, dan kau pun lagi-lagi mengangguk.

Dalam perjalanan meninggalkan Bali sehari kemudian, cincin

pengait gantungan kulepas, kayu ukir berbentuk entah kepala dewa

entah kepala raja itu kupasangkan ke kalung benang yang kubeli di

sebuah art shop di Denpasar. Sejak saat itu, meski tak mengingat, aku

tak pernah melupakanmu.

Hari ini, tiga puluh tahun kemudian, liontin kayu yang telah patah

pada bagian pengait kalungnya itu tetap tersimpan di laci meja kerjaku.

Kupegang, kupandangi sekali waktu. Kukilapkan dengan minyak di

wajahku. Kadang-kadang kuletakkan di bawah foto ceria istri dan

anak-anakku. Lalu wajahmu yang biasa-biasa saja itu muncul dari balik kabut. Malu-malu.

Selalu begitu.

Budi Maryono

Jika memang tidak ada lagi suatu ketika bagi kita, untuk apa aku

mengalami gerimis yang indah namun ganjil itu? Gerimis saat kau

berucap tidak akan melupakanku selamanya. Gerimis saat aku mengangguk, percaya begitu saja. Bahkan aku tak bertanya kapan atau

akankah kau kembali menemuiku di Kintamani. Dalam penerimaan

dan perasaanku waktu itu, karena tak melupakan, kau pasti kembali.

Entah kapan.

Maka setiap tahun, terutama saat musim liburan, aku menunggumu dalam dingin, dalam sungkupan kabut, kadang-kadang dalam

gerimis atau hujan. Kujajakan daganganku, aneka cendera mata itu,

sembari berharap kau muncul dengan senyum yang melantakkan,

lalu berkata dengan suara berat agak serak yang hingga kini lekat di

telinga, "Aku datang agar kau tahu, aku benar-benar tak pernah melupakanmu." Namun selalu saja aku menelan kecewa karena harapku

menggelembung sabun dan pecah hanya oleh semilir angin.

Anehnya, aku tak kehilangan harapan. Tak pernah bahkan. Ada

semacam keyakinan yang mustahil aku hapus atau buang: kaulah

lelaki kelakku dan karena itu pasti ada suatu ketika untuk kita. Jika

tidak, untuk apa kita bertemu, kenapa hatiku bergeletar hebat saat

baru barusia 13 tahun, dan untuk apa pula aku biarkan kau membawa

gantungan kunci daganganku itu! Pasti. Pasti ada suatu ketika untuk

kita.

Keyakinan itu terus-menerus mendorongku untuk menunggumu,

pun ketika tak lagi menjadi kegiatan sambilan buatku. Sejak umur 19

tahun, arus hidup membawaku keluar dari Bali. Namun di mana saja

aku tinggal, setiap tahun aku tetap ke Kintamani. Tak ada rencana lain, tak ada acara lain, tak ada orang lain. Hanya menunggumu. Meski

sungguh, andai kau datang dan berdiri persis di depanku, besar kemungkinan aku tak bisa mengenalimu.

"Kau memburu kesia-siaan," kata Ibu setiap kali aku pulang lalu

menghabiskan hari-hari sepanjang liburan di Bukit Kintamani. Dan

seminggu sebelum meninggal, lima tahun yang lalu, Ibu tegas-tegas

memintaku untuk berhenti menunggu. "Dia pasti sudah beristri, sudah

beranak, dan telah pula melupakanmu. Ini yang terakhir, Ibu tak akan

Gerimis yang Ganjil

meminta lagi, berhentilah pulang hanya untuk menunggu masa lalu.

Lelaki itu bukan untukmu..."

Sejak aku kecil, apa pun yang Ibu minta atau perintahkan, pasti

kupatuhi. Tapi tidak untuk yang satu itu: berhenti menunggumu. Bukan

hanya karena aku tidak tahu Ibu bakal meninggal seminggu kemudian, berarti permintaan itu benar-benar permintaan terakhir dan aku

minimal berbasa-basi mengiyakan, melainkan juga karena keyakinanku

belum tumbang. Aku tak sependapat dengan Ibu. Ya, mungkin kau telah

beristri dan beranak. Tapi melupakanku? Aku yakin tidak. Dan karena

tak pernah melupakanku seperti yang kaujanjikan dulu itu, kau pasti

kembali. Entah kapan. Walau, bisa jadi, memang bukan untukku...

"Ritual yang aneh!" kata Rasta, teman seapartemen dan samasama memilih hidup melajang tapi beda alasan. "Aku hanya butuh lelaki, tidak butuh suami," terangnya suatu kali. Itulah sebab, enteng

saja dia berganti pasangan dan tak pernah canggung hadir di tengah

pesta pernikahan. "Apa yang kaubutuhkan dari lelaki yang selalu kau

tunggu itu?"

"Kehadiran," jawabku.

"Kehadiran untuk apa?"

"Semata kehadiran."

"Tidak mungkin!"

"Kalau setiap tahun menunggu itu mungkin, bahkan telah kujalani

hingga bertahun-tahun kini, apa pun yang lain juga mungkin."

"Termasuk berhenti menunggu seperti permintaan ibumu?"

"Ah, tidak. Kecuali itu!"

"Kau pilih kemungkinan sesuai dengan kebutuhanmu."

Aku tertawa. "Bukankah kita semua memang begitu?"

"Ya. Itu artinya, bukan semata kehadiran yang kaubutuhkan dari

lelaki itu."

"Bisa bantu aku?"

"Jika dia datang dan kalian bertemu di Kintamani, kau lega karena

harapan terwujud, keyakinan terbukti. Mungkin tidak lama, tapi kau

punya kesempatan untuk menikmati momen terindah dengan lelaki

impian dan cinta pertama yang membuatmu punya alasan melajang.

Budi Maryono

Setelah itu, jangankan menikah dengan lelaki mana saja, segera mati

pun kau rela."

Rasta bisa menerangkan sebegitu tepat arti kehadiranmu untukku.

Mungkin karena telah lama juga kami berbagi ranjang. Ah, andai kau

mendengar apa yang dia katakan, aku yakin, pasti kaulepaskan diri dari

hidupmu yang kini, apa dan bagaimanapun bentuknya, naik pesawat

terpagi, terbang ke Bali, kembali ke Kintamani. Menunaikan janji.

Tapi tidak. Tidak sampai kini. Kali ini. Kali ketiga puluh aku

menunggumu di Bukit Kintamani. Dari pagi sampai sore menjelang

petang, yang kutemui cuma orang lalu-lalang. Tidak satu pun di antara

mereka lelaki yang pernah berjanji tak akan melupakanku selamanya.

Tidak satu pun dirimu. Maka seperti tahun-tahun sebelumnya, aku turun ke danau, duduk setenang yang aku mampu, memandang nun jauh,

dan berharap kau muncul bak seorang pangeran abad pertengahan

di atas kepala naga yang menjulur ke tepian, ke hadapanku, lalu

menampakkan senyum yang melantakkan gadis berumur 13 tahun itu.

Melantakkanku!

Dalam gerimis dengan keindahan yang berbeda.

Pun keganjilan yang tak sama.

Denpasar-Surabaya-Semarang, Suatu Ketika

Karya Budi Maryono

Nasihat Nenek

Clara Ng

Clara Ng tinggal di Jakarta. Novelis, cerpenis, penulis buku anak

ini merupakan seniman yang aktif. Buku terbarunya adalah Merry

Riana: Langkah Sejuta Suluh (2014).

Nasihat Nenek

Jangan duduk di dekat pintu, banyak angin jahat.

? Nasihat Nenek

ANG ini kumuh dan sempit, tapi tetap saja kulewati. Di sana

aku melihatnya lagi. Merlin, bocah lelaki berumur tujuh tahun

sedang berdiri menghadap tembok yang penuh dengan lumut

dan gra?ti. Dia menurunkan celanannya, dan air kencingnya muncrat

keluar. Aku berjalan dengan lebih cepat, tergesa-gesa. Tertuju kepadanya. Merlin menarik ritsleting celananya sampai terantuk-antuk,

lalu pontang-panting berlari. Pancaran matanya menyorot panik ke

arahku.

Langit menggelap, dan suara azan dari masjid yang terletak di

samping gang ini menggema nyaring. Aku terus berjalan, dengan sabar menunggu sisa-sisa cahaya matahari hilang. Kulihat beberapa anak

tidur di lantai, persisnya di dekat pintu masjid. Kepala anak-anak itu

terkulai dan tak bergerak sama sekali. Aku berdiri memandangi mereka.

Persis ketika suara azan selesai, salah seorang anak lelaki itu

mulai mengapung. Tubuhnya masih berbaring di lantai, tapi ada bentuk lain yang kelihatannya seperti bayangan mulai memisahkan diri.

Mulanya hanya kepala, bahu, perut, paha, dan lama-lama kakinya.

Akhirnya bayangan itu mengawang di atas tubuh si bocah. Tidak ada

yang melihat. Tas dan buku tulis bergeletakan di sebelahnya. Daundaun terayun-ayun kecil diembus angin petang. Aku mencium aroma

ketakutan yang lekat. Pasti, kataku, itu adalah pengalaman pertama si

bocah keluar dari tubuh. Aku mengerti, dan aku familier dengan bau

ketakutan itu.

Bayangan itu terombang-ambing. Dia berkali-kali menunduk, memandangi dirinya yang tertidur di lantai, lalu menoleh ke atas. Itu tanda bahwa dia berpikir tentang kematian. Aku mendecak tidak sabar.

Sebuah pikiran yang bodoh dan naif. Kematian tentu saja berbeda; tidak

seperti itu. Mataku menyala, memandangi dia seolah menunggunya.

Untuk pertama kalinya, aku mulai bergerak.

Seakan menyadari kedatanganku, bayangan itu beralih. Mulanya

Clara Ng

dia nyaris terhanyut, tapi lalu berhasil mengendalikan diri. Beberapa

detik sebelum aku berada di sebelahnya, bayangan itu masuk kembali

ke tubuhnya. Semuanya sempurna, tak ada yang terganggu. Tak ada

perbedaan apa-apa. Aku berdiri tegak di samping tubuh seorang bocah

yang matanya terpejam rapat dan bernapas sangat berat. Pengasuh

yang sedari tadi tidak terlihat tahu-tahu muncul dan berjongkok,

mengguncangkan bahu anak-anak. Mereka terbangun, lalu duduk di

lantai dengan rambut acak-acakan dan mata mengantuk.

Berdoalah sebelum tidur, agar tidak bermimpi buruk.

? Nasihat Nenek

Waktu berumur lima tahun, aku dibawa ibuku ke orang-orang pintar.

Aku tidak mengerti apa masalahku, atau apa alasan yang membuat

ibuku membawaku ke mereka. Ibu sudah meninggal lima belas tahun

yang lalu, jadi aku tak bisa bertanya lagi kepadanya. Seingatku, sejak

aku kecil, aku melihat dunia dengan cara yang tidak sama dengan

orang-orang lain.

Pada usia sembilan tahun, untuk pertama kalinya aku berjalan

dalam tidur. Aku tidak tahu tentang hal ini, tapi paman dan bibiku mengatakannya kepadaku. Mereka berusaha membangunkanku, tapi

aku tak bisa terbangun. Akhirnya mereka membimbingku kembali
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke ranjang dan membaringkanku. Keseringanku berjalan dalam tidur

membuat Paman dan Bibi harus mengikat kakiku di pinggir ranjang

agar aku tidak terus-terusan gentayangan ke mana-mana. Aku pernah

mengagetkan penjaga malam yang melihatku sedang duduk di pos

hansip dalam keadaan lelap.

Aku juga pernah tertidur dan bermimpi mengangkat telepon.

Ternyata aku mengangkat setrika yang sedang digunakan Ibu (waktu

itu dia sedang lengah dan tidak tahu aku berjalan ke arahnya) dan

berbicara dalam bahasa asing yang tak dimengerti siapa pun. Pipiku langsung terbakar oleh pelat setrika panas. Ibu menjerit-jerit

Nasihat Nenek

berusaha membangunkanku, tapi aku tetap tak terbangun. Setrika

menghanguskan pipiku, meninggalkan luka memanjang yang tak pernah bisa hilang.

Setahun setelah kecelakaan itu, aku mulai melayang, meninggalkan tubuhku ketika aku sedang tertidur. Mulanya aku mengapung begitu saja dalam keadaan kacau dan terayun-ayun, memandang tubuhku yang berbaring persis di bawahku. Lama-lama aku

bisa mengatur bagaimana aku mengudara. Tapi, aku tidak pernah bisa

menentukan kapan aku memisahkan diri dengan tubuhku. Kadangkadang aku keluar dari tubuh setiap hari; bisa juga aku tidak keluar

sama sekali selama berminggu-minggu.

Akan kukatakan bagaimana aku bisa keluar dari tubuh. Caranya

tidak sulit, seandainya semua anak-anak di dunia tahu bagaimana melakukannya. Mulanya, aku merasakan kondisi ketindihan, yaitu keadaan

ketika tubuh lumpuh namun kesadaran terbangun. Ketindihan sering

kali membuat setiap anak ketakutan, tapi percayalah, jangan takut.

Pandanglah pada sesuatu yang bisa diraih seperti tiang ranjang, lalu

tariklah sekuat-kuatnya seakan-akan sedang memanjat keluar dari

lubang sumur yang teramat dalam.

Kejadian ini sebenarnya membuatku sering bergidik, namun aku

semakin terbiasa. Aku tidak pernah melaporkan hal ini kepada Ibu,

apalagi Ayah. Aku takut Ayah akan menganggapku mengada-ada dan

mulai mencubitku. Dia sering memukuli Ibu dan aku tidak mau Ayah

melakukan hal yang sama padaku. Menurut Ayah, aku anak yang sulit

dipahami. Keanehanku sering dianggapnya sebagai kutukan, pemicu

amarah Ayah yang luar biasa. Aku menjadi anak pendiam, baik di

sekolah maupun di rumah. Aku tak berteman dengan siapa pun. Aku

tidak berbicara dengan siapa pun.

Sampai aku bertemu Merlin, beberapa tahun yang lampau.

Jangan biarkan anak-anak berkeliaran sendirian.

? Nasihat Nenek

Clara Ng

Aku melihat Merlin berjalan dalam tidur pertama kali pada pukul

empat diri hari. Dia sedang bersandar di tembok depan rumahnya.

Tidak lama, pintu terbuka dan seorang lelaki yang kemudian kuketahui

adalah ayahnya membimbing Merlin masuk kembali ke dalam rumah.

Pintu tertutup, tapi masih kudengar percakapan yang terjadi sesudahnya. "Merlin Merlin!" terdengar suara ibunya dengan cemas.

"Bangun, Nak. Bangun!"

Seperti aku dulu, Merlin tidak bisa dibangunkan. Maka dia dikembalikan ke ranjang. Sejak saat itu, aku sering mengamat-amati rumahnya, berharap menemukan Merlin di pekarangan, atau di kebun

dalam keadaan tidur. Sayangnya, Merlin tidak pernah berjalan dalam

tidur lagi. Aku nyaris menyerah. Tapi selanjutnya aku tahu, ibunya

mengikat tangan Merlin ke tangannya setiap malam agar anaknya tidak gentayangan ke mana-mana lagi.

Merlin, dasar anak pintar, diikat seperti itu tidak membuatnya

berhenti menjelajah pada malam hari. Dia mulai belajar keluar dari

tubuhnya. Tengah malam, pada langit yang lesu dan gelap gulita,

bayangan putih Merlin melayang di udara, bersamaan dengan gorden

rumahnya yang terayun-ayun ditiup semilir angin. Suasana terasa lebih dingin dan kelabu.

Sebenarnya, semua anak memiliki kemampuan seperti Merlin,

tetapi hanya anak-anak tertentu yang bisa menyadari bakatnya. Konon, anak-anak seperti ini adalah anak-anak istimewa. Mereka penghubung antara dunia makhluk hidup dan makhluk halus. Merlin salah

satu yang paling hebat. Pernah kucuri dengar percakapan orangtua

Merlin kepada beberapa kerabat. Sejak umur tiga tahun, Merlin sering

melapor kepada ibunya tentang kilasan-kilasan aneh yang dilihatnya,

tapi tak bisa dilihat orangtuanya. Katanya, ada lelaki yang sering

menunggu di depan pintu rumah tetangga. Ada nenek yang senang

bernyanyi kidung kanak-kanak. Ada anak perempuan yang selalu

menguntitnya. Sayangnya, mereka menganggap Merlin mengada-ada

dengan kelucuannya yang polos.

Pada malam-malam pertama Merlin berhasil keluar dari tubuhnya,

dia hanya mengapung selama bermenit-menit. Seakan-akan Merlin

Nasihat Nenek

sedang menguji situasi. Terlihat serabut tipis yang menghubungkan

bayangan Merlin dengan rambut di kepala. Serabut itu semakin

memanjang jika Merlin semakin menjauh dari tubuhnya. Pada hari

ketujuh, dia mulai mengambang ke sana kemari. Pada hari kesepuluh,

aku melihatnya menembus pintu dan bergerak di gang rumahnya. Itu

berbahaya. Seandainya bisa kukatakan itu kepada Merlin.

Bulan menyabit di kaki langit. Warnanya nyaris luntur tertutup

awan yang berupa asap tipis. Merlin menyatu dengan kegelapan itu.

Bayangannya bergerak lamban, seperti roh-roh anak-anak lain yang

memisahkan diri dari tubuh mereka pada saat tidur. Aku tidak mencium aroma ketakutan yang menguar dari Merlin walau jarak di antara

kami tidak terlalu jauh.

Di ujung gang, beberapa bayangan lain melayang mendekati

Merlin. Ada roh seorang kakek dengan luka codet di tulang dagu. Ada

roh perempuan bersanggul. Juga roh lelaki yang dadanya terkoyak dan

memiliki tato di lengan kanannya. Jika saja para orangtua menyaksikan apa yang terjadi malam ini, tentu mereka akan berpikir ulang

tentang kepolosan anak-anak. Tidak ada anak-anak yang benar-benar

terlahir polos. Mereka datang dari dunia yang berbeda.

Di sinilah Merlin berada sekarang. Antara gerbang alam gaib dan

nyata. Dia dikelilingi roh-roh penasaran yang terjebak di tengah-tengah dua alam ini; sebagian tidak sadar bahwa mereka sudah mati,

sebagian lagi tidak tahu ke mana mereka harus pergi. Merlin melarikan diri, namun aku lebih cepat. Dia menyadari kehadiranku, dan

langsung berbalik. Mendadak aku mendengar gemeresik suara angin

yang menghanyutkan udara dingin. Kami berdiri berhadapan dengan

kaku seperti mayat.

Merlin terpaku beberapa saat, memandangku dengan tatapan teror.

Malam menyelinap semakin cepat. Hujan baru saja berhenti pada

tengah malam. Aku berlari melewati Merlin, menembus pintu rumah, masuk ke kamar tidurnya. Aku harus melakukan ini sekarang

atau tidak sama sekali. Sudah lama aku mengincarnya. Di sini aku

sekarang berada, berdiri semeter dari tubuh Merlin yang ditinggalkan

pemiliknya. Mata itu tertutup, dadanya tampak bergerak turun-naik

Clara Ng

dengan sangat perlahan. Dia seperti mati, tapi juga seperti tertidur pulas.

Rumah ini hening dan gelap. Dari balik jendela, kilatan cahaya

merobek langit. Hujan akan turun lagi. Dalam hitungan detik, petir

menggelegar kencang bersamaan ketika aku memasuki tubuh Merlin.

Percayalah pada apa yang dikatakan anak-anak, seabsurd apa pun itu.

? Nasihat Nenek

Dulu nenek Merlin sering menasihati orangtuanya. Kurasa para

orangtua tidak pernah mau mendengarkan nasihat nenek. Ingat apa

yang dikatakan Merlin berulang-ulang kepada orangtuanya tentang

roh anak perempuan yang selalu menguntitnya? Itu aku.

Aku sudah mati lima belas tahun lalu. Usiaku sepuluh tahun.

Caraku mati dengan tergantung di plafon rumah. Kematianku diawali

oleh Ayah yang sering kerasukan. Setan sering mengganggunya sebab

tubuhnya membuka diri untuk dosa-dosa celaka. Malam naas itu Ayah

memukuli Ibu sampai Ibu mengalami gegar otak dan muntah darah

sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir. Ayah tidak puas

sampai di situ. Dia menggantungku hidup-hidup. Ayah tidak tahu

bahwa aku sedang tidak berada di dalam tubuhku saat peristiwa itu

terjadi. Kupejamkan mata mengingat peristiwa lama. Ayah menghilang

seperti asap. Dia menjadi buronan selama bertahun-tahun. Buronan

polisi, buronanku juga.

Di dalam tubuh Merlin, aku membuka mata. Kulihat Merlin berdiri

di dekat pintu, memandangku dengan tatapan nanar. Dia ingin kembali ke tubuhnya, tapi tidak bisa. Mengabaikan Merlin, aku bangun dan

berjalan ke dapur untuk mengambil sebilah pisau daging dari laci.

Merlin mengikutiku, seperti aku dulu menguntitnya.

Rumah Merlin tidak terlalu besar. Hanya terdiri atas dua kamar

tidur dan satu kamar mandi. Aku terus melangkah dan membuka sebuah pintu. Di dalam kegelapan kamar, kulihat seorang lelaki tertidur

dengan dengkur halus, memunggungi seorang perempuan dengan

Nasihat Nenek

rambut yang digulung. Tanpa perlu penerangan, aku tahu siapa lelaki

itu. Dia ayahku. Sekarang, dia ayah Merlin. Tapi apa bedanya? Bagaimanapun, dia adalah lelaki yang membunuh Ibu dan aku.

Aku berdiri di samping ranjang dan terdiam, seakan menunggu

penanda. Tiba-tiba terdengar suara halus di sebelahku. Merlin melayang dan duduk di sebelah ayahnya. Gerakannya sangat lembut, nyaris

tidak menimbulkan bunyi apa pun. Dia memandangku dengan tajam,

seperti bertahun-tahun aku sering memandanginya dari jauh. Kami

bertatapan sekali lagi, merasa asing satu sama lain. Tenggelam dalam

kegelapan kamar, yang terdengar hanya suara napas. Perempuan

yang tidur di sebelah Ayah terbangun, dan langsung terduduk. Dia

memandang sekelilingnya dengan ketakutan. "Merlin!" serunya

gelisah. "Merlin, suara apa itu?"

Aku menoleh, memandang ke arahnya dalam kesunyian yang sama.

Telah lewat satu jam dari tengah malam. Gerimis turun dari kejauhan.

Suara air lirih, menghantam tembok dan jendela. Aku mengangkat pisau

dan melakukan gerakan horizontal di antara dagu dan tulang leher. Tidak

ada cahaya di sepanjang dinding-dinding kamar. Tak ada satu pun yang

bergerak. Darah memuncrat dalam riuh kuyup air yang semakin sayupsayup. Ayah menggelepar seperti ayam sekarat.

Pisau terjatuh. Samar terdengar debur ombak dan nyanyian

kidung yang berselang-seling. Sekelilingku menjadi pekat. Hantuhantu berdatangan dari segala pojok dan sudut ruangan. Mereka

mengepungku. Aku memandang darah yang berdegup-degup keluar

dari leher Ayah yang terbuka, merembes ke seprai yang kini becek.

Ayah tenggelam dalam genangannya sendiri, berwarna merah

manyala. Dulu aku berharap dendam bisa membusuk seperti jasad.

Tapi ternyata dendam adalah arwah penasaran. Mataku terbalik,

menjadi putih semua. Semua yang nyata seketika hilang, mengerubung

menjadi kelam.

2014

Karya Clara Ng

Tabula Rasa

Debbie Widjaja

Debbie Widjaja yang bernama lengkap Debora Patra Widjaja

lahir di Jakarta, 15 Mei 1989. Kecintaannya pada membaca buku,

terutama novel favoritnya serial Harry Potter membuatnya pernah

muncul di televisi dan radio sebagai Debbie, si Pakar Harry Potter,

ketika masih duduk di bangku SD. Semua novelnya diterbitkan

GPU: Not Just a Fairy Tale (2005), Honey Money (2010), Follow @

MerryRiana (2013), dan Meter/Second (2013) yang ditulisnya berduet

dengan Kent Sutjipto.

Debbie Widjaja

DA beberapa situasi yang dapat membuatmu melakukan hal-hal

yang tak mungkin kaulakukan dalam situasi normal. Salah satunya adalah ketika kau bergabung dalam kelompok besar. Kau,

misalnya, tak mungkin memasang tenda sendirian di depan gedung DPR

sambil membawa pengeras suara, berteriak-teriak menuntut keadilan

dari wakil rakyat. Tapi ketika kau berdemonstrasi bersama ribuan orang

lainnya, keadaan jadi berbeda. Sosiolog menyebut fenomena ini social

anonymity. Rasa tanggung jawab akan perbuatanmu menurun ketika

dirimu melebur menjadi identitas kelompok.

Situasi lain adalah ketika kau masuk ke lingkungan baru. Kantor

baru. Kota baru. Tak ada yang mengenal dirimu sebelumnya, sehingga

kau bebas menciptakan identitas baru. Kau bisa menjadi cewek gaul

yang gemar clubbing, sementara dulunya kau kutu buku yang lebih

hafal tabel periodik kimia daripada nama personel boyband Korea.

Sedangkan bagiku, maafkan kedangkalanku, situasi itu dapat sesederhana malam yang semakin larut, suasana romantis Pantai Seminyak, dan kesendirian. Mungkin kau menebak bahwa aku sedang

patah hati. Atau kata anak zaman sekarang: galau.

Kegalauanku saat ini sebenarnya cukup sederhana. Di depanku

terbuka buku menu. Sudah sepuluh menit aku membacanya bolakbalik, tapi aku belum dapat menentukan apa yang akan kupesan.

Pada situasi normal di Jakarta, aku akan memesan minuman paling murah: es teh. Atau teh hangat, jika air panasnya free re?ll. Tapi

aku berada di Pulau Dewata yang katanya memabukkan. Dan mataku
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaku pada halaman minuman beralkohol.

Di usiaku yang ke-24, aku sama sekali belum pernah mencoba

minuman beralkohol. Biasanya aku mendeklarasikan hal tersebut dengan bangga. "Gue nggak butuh mabuk untuk bisa bahagia, lepas, dan

ketawa-tawa. Gue selalu happy!"

Tapi beban berat ini sudah menggayutiku selama enam bulan terakhir.

"Papa sedih sekali, kamu tahu? Bahkan lebih sedih daripada

waktu Kakak meninggal," kata Papa sebelum aku berangkat ke Bali.

Mungkin memang lebih baik aku yang meninggal, bukan Kakak. Kakak

tak akan mempermalukan keluarga seperti yang kulakukan.

Tabula Rasa

"Aku nggak peduli kamu nggak sayang aku sepenuh hati. Aku

akan berusaha bahagiakan kamu. Apa pun yang kamu minta akan aku

penuhi," Thomas mencoba menawar setengah hatiku, menyadari tak

bisa seutuhnya kuabdikan untuknya. Masalahnya, aku tak butuh orang

yang memenuhi semua keinginanku. Aku ingin sosok pria yang kuat,

yang mampu mengarahkan hidupku dan mendukungku mengejar

impian.

Semua kenangan itu berkelebatan dalam memoriku. Aku tercabik

antara tuntutan dari orangtua dan suara lirih di hatiku yang perlahan

menguat. Menekan, mengimpit, dan menorehku hingga akhirnya aku

nekat membeli tiket one-way ke Bali. Dan di sinilah aku berada sekarang.

Aku menghela napas berat, dan akhirnya mengudarakan pesananku, "Chocolate martini cocktail, satu."

Angin sepoi meniupi rambutku, seakan membujukku untuk

menikmati pemandangan pantai. Di area outdoor kafe ini aku dapat

memandangi langsung langit malam yang bertabur bintang. Aku

melepas sepatu dan merasakan kasarnya pasir di telapak kakiku. Di

tengah kesunyian malam yang hanya dipecahkan debur ombak, aku

memegangi tangkai gelas koktailku. Debur ombak mengingatkanku

pada arus sungai yang kuarungi dulu. Dan tanpa bisa dicegah, aku

mengingat hari itu...

Di tepi sungai tak bernama di Kalimantan, enam tahun lalu, aku terduduk dengan perasaan hampa. Air mata bercampur lumpur yang

mengering mencoreng pipiku, sekujur tubuhku basah kuyup karena

usahaku mengarungi sungai. Usaha yang ternyata sia-sia. Tim SAR

memelukku canggung dan berusaha menghibur sebisanya dengan

kata-kata kosong.

Tak ada yang mampu membuatku menerima kenyataan bahwa

kakakku sudah tiada.

Kakakku dinyatakan meninggal setelah usaha pencarian 7 x 24

Debbie Widjaja

jam tim SAR tak membuahkan hasil. Ia meninggal dalam misi mulia,

yaitu perjalanan misionaris ke pedalaman Kalimantan.

Perginya kakakku mengguncang seluruh aspek kehidupanku.

Berbulan-bulan lamanya aku dan kedua orangtuaku hanya seperti

zombie yang menjalani hidup tanpa benar-benar memaknainya. Pandangan mata kosong dan ucapan seperlunya mewarnai rumah kami

dengan krayon kelabu.

Namun kata orang, waktu menyembuhkan semua luka. Mungkin

tidak seratus persen memulihkan, tapi setidaknya luka itu mulai

mengering dan menutup. Hidup terus berjalan dan waktu terus

bergulir. Aku masuk dan lulus universitas. Perbedaan yang paling

kurasakan kini adalah ekspektasi Papa dan Mama terhadapku.

Kini aku jadi anak satu-satunya. Tumpuan harapan keluarga.

Aku harus lulus dengan nilai tertinggi dan masuk perusahaan

multinasional yang bergengsi?checked. Punya pacar yang baik dan

mapan?checked. Segera menikah dan menghasilkan keturunan

yang dapat membawa keceriaan baru untuk Papa dan Mama?almost

checked.

Seluruh hidupku sudah terencana dalam check list prestasi yang

normatif, de?nisi sukses dan bahagia masyarakat umum.

Masalahnya adalah, aku tidak menginginkan itu.

Aku tidak suka memakai blazer, rok sepan, dan sepatu hak tinggi

setiap hari. Aku lebih suka menulis dan bermain musik?sesuatu yang

nyaris tak sempat lagi kulakukan di tengah tuntutan pekerjaan kantor

yang mencekik. Gaji dua digit tak cukup untuk menutupi kerinduanku

pada dunia seni.

tahun

lamanya

berusaha

mencintai

pekerjaan

profesionalku?tanpa hasil.

Hingga akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya bosku memaki

karena laporanku tak cukup rapi, hitunganku tak cukup teliti, dan

perencanaanku tak cukup detail, aku tak menunduk seperti yang biasa

kulakukan saat ia sedang mengamuk. Sebaliknya, aku menatapnya

lurus. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa lagi melakukannya."

Cercaan, omelan, serta beberapa tanda tangan kemudian, aku

Tabula Rasa

berdiri di pintu keluar kantorku, menenteng kardus besar berisi

barang-barang yang sama sekali tak ingin kugunakan kembali.

Aku meninggalkan kardus itu di tempat sampah, bersama dengan

kepedulianku pada karier profesional.

Gelas koktailku sudah tandas. Rasa minuman itu lumayan?seperti

milkshake yang dicampur rum. Kadar alkoholnya pasti sangat sedikit,

karena aku tak merasakan apa pun. Apa serunya kalau begini? Aku

mau mabuk. Sangat mabuk, sehingga kenangan masa lalu dan kekhawatiran masa depan tak bisa lagi melukaiku.

Tanganku menelusuri buku menu lagi. Mencari minuman yang

dapat menjanjikan hal itu.

Koktail campuran tequila dan vodka. Rp175.000, seharga krim

wajah yang bisa kupakai setahun, tapi ya sudahlah.

Minuman itu datang dengan gelas bertangkai yang dihiasi ceri.

Otomatis aku menjumput tangkainya dan memasukkan ceri itu ke mulutku. Merasakan manis yang familier melebur di indra pengecapku.

Waktu kecil, aku suka sekali ceri. Merah mengilat, ditaruh di atas

kue atau es krim sundae. Jika aku bertandang ke rumah nenekku yang

gemar membuat kue, aku sering diam-diam menyelinap ke dapurnya,

dan mencomot ceri dari stoples di dalam kulkas. Dan cita-citaku

sederhana: jika aku sudah besar dan punya uang sendiri, aku akan

membeli berkilogram-kilogram ceri.

Tapi bertahun-tahun kemudian, aku mencicipi buah ceri yang

sesungguhnya. Merah kehitaman, tak mengilat. Rasanya juga manis

campur masam. Dan ada biji yang besar di tengahnya.

Ceri buah impianku semasa kanak ternyata tak lebih dari imajinasi yang dipoles pemanis dan pewarna buatan. Realitasnya tak

sesempurna itu.

Begitu juga Thomas. Yang dari luar terlihat seperti prince

charming yang dilukiskan di dongeng. Tinggi, tampan, dan aku yakin

BMW putihnya lebih enak dikendarai daripada kuda putih.

Debbie Widjaja

Tapi ia lahir dalam keadaan kaya dan selalu kaya. Ia tak memahami perjuanganku meraih IPK tertinggi setiap semester untuk menjamin beasiswaku. Ia tak mengerti mengapa aku mau bersusah-susah

lembur setiap malam dan akhir pekan demi mendapat acungan jempol

dari bos. Baginya, ia tinggal mengangkat kelingking dan semuanya

terhidang mewah di depannya.

Dan ia tak mampu mencerna mimpiku yang lebih besar daripada

menjadi Nyonya Thomas Suryawan dan melahirkan setengah lusin

anak untuknya.

Bagi Papa dan Mama, Thomas adalah menantu ideal. Kaya dan

mencintaiku setengah mati?apa lagi yang kurang? Thomas selalu

menghujaniku dengan kasih sayang dan pemujaan yang tak pernah

kurasakan sebelumnya. Hidupnya diabdikan untuk mencintaiku.

Awalnya itu membuatku tersanjung. Tapi lama-lama aku menjadi

gerah.

"Get a life!" Ingin rasanya aku berteriak. "Kenapa kamu nggak punya ambisi sih? Kalau aku punya uang dan kesempatan sebanyak yang

kamu miliki, aku akan mengembangkan bisnis yang sesuai dengan

passion-ku di dunia seni. Bukan cuma menganga minta disuapi,

mengikuti titah papamu untuk meneruskan bisnis yang bahkan nggak

kamu pahami."

Gelar Nyonya Thomas Suryawan nyaris disandang olehku. Semua

sudah dipersiapkan?resepsi di hotel bintang lima, gaun pengantin

rancangan desainer, dan cincin kawin bertatahkan berlian.

Sampai akhirnya aku meneriakkan hal yang kupendam setahun

terakhir. Aku merobek contoh undangan, yang untunglah belum sempat

disebar. Permohonan Thomas, isakan Mama, dan tatapan kecewa dari

Papa tak menghalangiku pergi ke Bali, berupaya melarikan diri dari

ceri hitamku yang masam dan berbiji.

Kepalaku melayang dan pemandangan sekitarku berputar-putar.

Meminum tiga shot alkohol dalam waktu sejam telah memberiku efek

Tabula Rasa

yang kuinginkan. Dapat kurasakan pikiranku mengabur saat campuran

martini, tequila, dan vodka itu mengaliri pembuluh darahku.

Dorongan untuk memuntahkan bebek bengil yang kumakan tadi

sore memaksaku untuk bangun dan berjalan ke arah laut. Aku tak

ingin mengotori lantai kafe ini.

Tapi baru dua langkah berjalan, aku sudah terjatuh. Dengan

kesadaran yang semakin menipis, aku merangkak di pasir. Apakah

arahku benar, aku tak tahu lagi. Yang kurasakan hanyalah dunia yang

semakin kencang berputar dan membuat seluruh tubuhku bergejolak.

Aku memejamkan mata, berusaha menghentikan pusaran itu.

Tapi yang kulihat malah bayangan pengemis yang duduk di depan

Pura Besakih yang kukunjungi kemarin. Pengemis itu lumpuh dari

pinggang ke bawah. Aku ingat aku memberinya selembar lima ribuan

dan mengajaknya mengobrol sebentar.

Pengemis itu juga merangkak. Ia terbelalak kaget ketika mengenaliku. "Kenapa kamu merangkak juga? Kemarin kamu dapat berjalan

tegap."

Aku menunduk malu, tak mampu mencari dalih. "Aku mabuk."

"Kenapa?" Ia mengerutkan kening.

Kenapa? Satu kata tanya yang menuntut seribu kontemplasi.

"Hidupku hancur. Atau tepatnya, aku menghancurkan hidupku."

Aku menyakiti orang-orang yang mencintaiku. Aku sudah memiliki

pekerjaan bergengsi dan calon suami idaman. Lalu aku melempar semua itu ke tempat sampah, dan untuk apa? Aku bahkan tak tahu apa

langkah apa yang harus kuambil selanjutnya.

"Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" tanya pengemis itu. Persis

sama seperti pertanyaan Papa sebelum aku pergi, tapi diutarakan

dengan nada berbeda. Papa mengucapkannya seperti, "Papa nggak

ngerti lagi apa maumu. Kamu sudah mengecewakan kami semua.

Bikin malu keluarga!" Sedangkan dari pengemis ini, pertanyaan itu

sungguh-sungguh dilandasi rasa ingin tahu.

"Aku ingin mengejar impianku dan melihat dunia," akhirnya aku

menjawab.

"Lalu kenapa tidak? Kamu punya kaki yang sehat. Jatuh berkali82

Debbie Widjaja

kali pun, kamu masih bisa bangun. Bagiku, berjalan saja sudah tak

mungkin. Tapi kamu dapat melangkah ke mana pun. Kamu bisa berlari

dan mengejar impianmu."

Ucapannya memecutku seperti cemeti. "Tapi beban harapan

besar orangtuaku menggayuti langkahku," dalihku lemah.

"Jangan menyalahkan orang lain untuk menutupi kecengengan

dirimu." Pengemis itu tampak gusar. "Dunia mende?nisikan sukses

dengan cara yang sempit. Tapi pilihan selalu ada di tanganmu. Sejarah membuktikan bahwa orang-orang tersukses adalah mereka

yang mengabaikan konformitas dan mengukir kisah mereka sendiri."

Setelah mengucapkan kalimat itu, ia berbalik dan merangkak pergi.

Dari jauh masih dapat kudengar dumalannya yang bernada muak.

"Bisa berjalan, tapi memilih mabuk dan merangkak. Heran!"

Apakah percakapan ini sungguhan terjadi, atau hanya imajiner
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena alkohol yang berlarian dalam pembuluh darahku, aku tak

pernah tahu. Yang jelas, sepeninggal pengemis itu, aku muntah. Tak

ada cara yang cantik untuk mendeskripsikan tindakan itu. Aku muntah

dua kali. Lalu disusul sekali lagi. Dan ketika toksin itu keluar dari tubuhku, kurasakan kelegaan yang luar biasa. Aku terbaring di pasir

yang lembap dengan mata terpejam, berusaha mengatur napas agar

seirama dengan alam.

Entah berapa lama aku terbaring di situ. Angin subuh berembus,

menyibakkan daun nyiur dan menimbulkan suara gemeresik. Gemeresik itu mencemoohku, yang begitu cengeng dan kekanakan, sehingga

memilih jalan mabuk untuk lari dari permasalahan. Tapi gemeresik itu

juga menantangku untuk bangkit dan berhenti mengasihani diri.

Aku membuka mata, dan disambut langit malam yang tak lagi

kelam. Matahari mulai terbit di ufuk timur, semburat cahayanya

menjanjikan awal yang baru.

Tabula rasa. A new beginning.

Aku mengerahkan segenap kekuatanku. Tanganku mengepal,

kakiku menjejak kokoh. Aku berdiri, sesederhana gerakan pertama

bayi yang baru akan menjelajah dunia. Dan aku pun mulai melangkah,

untuk menata kepingan impian masa depanku.

Karya Debbie Widjaja

Rindu

Dewi Kharisma Michellia

Dewi Kharisma Michellia menulis ?ksi karena menganggap medium

itu mampu menyembuhkan, desakan yang datang setelah dia gagal

mewujudkan harapan ibunya untuk menjadi dokter. Keinginan

selanjutnya hanyalah agar suatu saat mampu menulis cerita ?ksi sains

yang serius karena di bangku SMA dia pernah sangat menyukai

pelajaran kimia. Novelnya Surat Panjang tentang Jarak Kita yang

Jutaan Tahun Cahaya menjadi pemenang unggulan Dewan Kesenian

Jakarta tahun 2012.

Rindu

ADA malam di musim penghujan itu ia kembali mengetuk pintu. Aku menghampirinya sebagaimana biasa, membukakan

pintu untuknya, menyambutnya dengan senyuman. Ia seperti bia
sa, terjatuh di lantai, muntah.

Sebuah suara memanggilku dari arah atas. Aku segera berlari

menaiki anak tangga, menuju kamar tempat aku dan seorang pria

sebelumnya bermesraan denganku.

"Jim, tolong pergi," kataku kepadanya sembari melempar celana

panjangnya ke pangkuannya.

Pria yang sedang bertelanjang dada itu melotot, sedikit mengangkat tubuh. Pantulan sinar dari bandul berbentuk lingkaran di

kalungnya menyentuh retinaku.

"Suamiku pulang." Aku membantu mengancingkan kemeja Jim.

"Lima ratus ribu." Ia menyelipkan uang sejumlah yang disebutnya

itu ke sela payudaraku.

"Tolong, Jim. Aku tidak mungkin membiarkan suamiku membeku

di bawah."

"Kau tidak mungkin menyuruhku pulang. Hujan lebat begini!"

tukasnya sambil meraih pinggangku dan mendekapku lebih erat. Ciuman bertubi-tubi mendarat di leherku.

"Kau membawa mobil," bisikku.

"Suamimu juga sudah di dalam rumah. Dia tidak mungkin kehujanan," Jim balas berbisik. Tangannya memainkan rambut ikalku, me
remas-remas leherku.

"Dia mabuk, Jim," jawabku keras, lantas kudorong tubuhnya

hingga terjungkal kembali ke kasur.

"Oh, Lara aku juga mabuk!" Tiba-tiba seluruh wajahnya merah

padam. Ada sesuatu yang berkobar di matanya, barangkali api kemarahan.

"Aku istrinya," tandasku, mencoba bersikap tenang.

"Baiklah!" Ia beranjak dari ranjang dengan secepat kilat.

Dikenakannya kembali celana, sabuk, dan kaus kakinya. Lalu ia berjalan melewatiku. "Lain kali jangan suruh aku datang kalau pulangnya

harus dengan cara kau usir seperti ini," ujarnya dekat-dekat ke

Dewi Kharisma Michellia

telingaku, masih seraya sedikit memaksa mengecup bibirku, sebelum

akhirnya kudorong ia ke arah pintu.

Ia menuruni tangga, aku mengikutinya.

Diludahinya suamiku yang sedang terkapar di lantai tak sadarkan

diri. "Oh, Jim!" teriakku. Ia pergi, tak peduli.

Setelah ia berlalu, kututup pintu rumahku. Lalu kupandangi seseorang yang tidur di lantai itu, pria yang sepuluh tahun lalu layaknya

suamiku. Ia yang tak kuketahui kapan bisa hadir menemaniku. Jikapun

ia ada di rumah, lebih sering tak ada sepatah kata yang mampu keluar

dari bibirku. Lebih sering kami terdiam. Atau aku terdiam, menatapinya

merokok, minum-minum.

Tubuhnya begitu berat. Susah kupindahkan. Maka seperti biasanya, kuambil selimut dari kamar, kubiarkan ia tertidur di depan pintu. Aku duduk menemaninya di tangga. Menontonnya tidur pulas, seperti itu, meringkuk seperti kucing kecil.

Aku duduk menontonnya sampai cahaya matahari masuk lewat lubang ventilasi. Terdengar suara koran pagi membentur pintu rumahku, namun tak mungkin kubuka pintu untuk mengambilnya karena suamiku masih tertidur di sana.

Ia masih persis seperti dulu saat aku melihatnya tertidur pulas di

hadapanku untuk pertama kali. Maksudku, mulutnya yang sedikit terbuka ketika ia tidur dan raut wajahnya yang sesekali masih terlihat belia seandainya saja tidak ada kerut-merut ataupun bekas luka di sana.

Beberapa saat kemudian ia tiba-tiba terbatuk, mencoba bangkit

dari lantai, dan kembali muntah. Aku kemudian menuntunnya ke dapur. Di sana lalu ia duduk dengan polosnya seperti seorang bocah

yang menanti sarapan dari ibunya.

"Siapa pria tadi malam?"

Aku menoleh ketika ia mengucapkan kalimat itu. Di sana ia sudah

mengambil roti tawar dan mengunyahnya dengan rakus. "Itu Jim.

Langgananku."

Rindu

"Berapa dia membayarmu?"

"Uang darinya kupakai untuk langganan koran, juga membayar

tagihan listrik, air, dan telepon."

Dengan santainya ia menambahkan, "Lalu uang untuk roti tawar

dan selai ini kau dapat dari mana?" Ia mengangkat botol selai di tangannya tinggi-tinggi.

Entahlah. Seolah baginya kerjaku sebagai pelacur adalah lelucon.

Tidak ingin menjawab pertanyaannya, kuletakkan nasi goreng pedas

beserta telur dadar gulung kesukaannya di atas meja. "Kau minggu

lalu ke mana saja?"

Aku mengambil nasi goreng untuk diriku sendiri, lantas duduk di

hadapannya. Ketika ia mulai menyuap sendok demi sendok nasi goreng yang baru saja kumasak, aku memperhatikan telinganya yang

bergerak-gerak. Aku tersenyum dalam hati, telinga itu selalu menjadi

pertanda bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikannya.

"Sampai kapan kau akan biarkan aku tidur dengan pria lain, Jo?"

Tawanya membahana hingga ia perlu menepuk-nepuk perut. Aku

menarik napas lagi. "Kau sudah mulai ketagihan tidur dengan banyak

pria, ya?" Ia menyuap lagi.

Sungguh suamiku sudah sinting.

Ia lalu bangkit dan mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas.

"Kapan kau akan mulai bekerja lagi, Jo?"

"Selesaikan dulu nasi gorengmu, baru kita mulai makan yang lain.

Sudah kubilang berulang kali, nasi goreng tidak pernah cocok dicampuradukkan dengan masalah pekerjaan," jawabnya, bersendawa.

Selera makanku tiba-tiba hilang mendengar itu. Aku bangkit dan

menumpahkan nasi gorengku ke dalam keranjang sampah, lantas

mengambil bekas piring Jo di meja kemudian merapikan dapur.

Ketika aku menuju ruang tamu, Jo sedang menonton siaran berita

di televisi. Aku melewatinya begitu saja untuk mengambil koran di luar dan kembali untuk menemaninya di ruang tamu. Kali ini ia sedang

menonton program anak-anak, ?lm kartun yang biasanya ditayangkan

setiap hari Minggu.

"Seharusnya ibu rumah tangga sepertimu tidak perlu membaca

Dewi Kharisma Michellia

koran." Ia berkomentar, dan tak juga kunjung terbiasa mendapatiku

menghindari tatapannya dengan menghalangi seluruh wajahku di

balik koran.

Ketika kuturunkan koran dari wajahku, di hadapanku ia tepat sedang menatapku. Lekat. "Koran hari Minggu isinya tidak begitu berat

untuk dibaca, Jo," kujawab santai. "Aku suka membaca cerita pendek

di situ. Rasanya seperti ada sesuatu yang bisa kunikmati dari tulisan

orang yang tak pernah kukenal."

Ia menaikkan alisnya lalu kembali menatap ke arah televisi. "Seorang pelacur biasanya tidak akan mampu menjawab seperti itu.Tetapi,

kupikir lagi, barangkali memang akan pernah ada seseorang menuliskan kisah kita menjadi cerita pendek. Dan kelak mungkin kau akan

ditakdirkan membaca cerita itu." Ia menjawab sendiri retorikanya.

Aku tersenyum kecil.

"Menurutmu, kelak kalau kita sudah tua, siapa yang akan paling

direpotkan?" Ia mulai bertanya lagi. Kuturunkan lagi koranku dan di

sana ia menatapku. Lekat, seperti sebelumnya.

"Aku tidak bisa membayangkan wujudku sebagai nenek-nenek,

Jo. Aku tidak akan memiliki pelanggan lagi, dan aku tidak tahu dari

mana aku akan mendapatkan uang untuk bertahan hidup."

"Begitu, ya?" Ia terlihat merenung sebentar, namun lantas mengalihkan perhatiannya kembali ke televisi.

Kulanjutkan membaca koran. Cerita pendek kali ini tidak begitu

menarik. Entahlah, rasanya belakangan ini banyak ceria semakin turun

mutunya. Atau memang karena cerita-cerita kehidupan di dunia sudah

semuanya pernah tertulis? Rasanya tidak pernah ada cerita baru.

"Kau sedang baca cerita apa?"

Kali ini aku menjawab dengan tidak memandang ke arahnya,

"Hm, entahlah. Tentang kisah cinta beda agama, pertentangan dari

keluarga mereka, dan cinta yang berakhir sangat pilu. Kedua-duanya

bunuh diri."

"Kau suka kisah-kisah begitu?"

"Aku berharap akan ada seseorang yang menuliskan kisahku. Kurasa kisah hidup kita lebih menarik untuk ditulis."

Rindu

Ia kontan tertawa. "Kau sejak kecil memang naif sekali, Lara."

Entah itu pujian atau bukan. Aku sudah tidak bisa membedakan

apa maksud kalimat-kalimatnya.

Selalu saja begitu akhirnya. Aku tidak peduli lagi yang mana hinaan,

ledekan, ejekan, candaan, pujian, atau entah apa pun. Selama kalimat itu keluar dari mulutnya, rasanya tetap sama saja. Sama pahitnya.

Karena bagaimanapun aku tetap tidak akan pernah tahu siapa dia

sebenarnya.

"Bagaimana ceritanya kau bisa menemukanku pertama kali, Jo?"

Kulipat koranku dan kuletakkan di meja. Kami kemudian berhadapan dan dengan lugunya ia mengorek upil di hidungnya dan pergi

menuju dapur.

Sambil masih menuangkan botol air dingin ke dalam gelasnya,

ia menjawab pertanyaanku tadi. "Jadi begini ceritanya. Jo si pria tiga puluh tahun menemukan seorang gadis kecil telantar. Gadis itu

tidur di atas kursi taman. Kurasa kau masih ingat pagi itu. Saat itu

aku kelaparan, betul-betul kelaparan. Tidak ada yang bisa kumakan.

Maka aku mengamen saja di sekitar taman. Setelah uangku cukup,

kubelikan sebungkus nasi goreng dan telur dadar. Lalu kutemukan

kau tidur di sana. Lara yang baru berusia enam belas tahun, menatap

kelaparan ke arahku. Dan seharusnya aku yang tanya, karena sampai

sekarang aku tidak tahu dari mana asalmu."

Aku mengangkat kakiku dan melipatnya di atas kursi, tanganku

kusandarkan di pahaku dan daguku tertopang di atasnya. "Tolol. Sudah pernah kuceritakan. Masa bisa kau lupa? Pagi itu aku baru saja

kabur dari panti asuhan. Hidup yang tidak nyaman. Bayangkan kau

dijadikan pembantu dan dipaksa berpura-pura bahagia di depan para

pengunjung panti."

Jo menatapku lekat. "Kau tidak pernah cerita sebelumnya."

"Pernah," jawabku, agak melotot.

"Sepertinya aku pun telah melupakan usiaku." Dan ia tertawa.

Dewi Kharisma Michellia

"Kau memang sudah setua itu. Kau lebih pantas menjadi ayahku.

Ketika itu aku tidak pernah bertemu orangtuaku. Aku bahkan tidak

tahu siapa mereka. Sampai akhirnya aku menemukanmu dan menganggapmu sebagai ayahku."

"Sampai kita berlagak menikah enam tahun kemudian: aku

menyematkan cincin ke jari manismu dan kita merasa seperti suamiistri, kemudian aku memaksamu melacurkan diri. Dan kau masih

menganggapku sebagai ayahmu?"

"Sampai akhirnya kita duduk berdua di sini, bernostalgia, dan

mengobrolkan hal-hal aneh. Apa yang terjadi padamu selama seminggu ini, Jo?"

"Serahkan tanganmu padaku, Lara."

Ia mengulurkan kedua telapak tangannya dan kuletakkan telapak

tanganku di atasnya.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beberapa hari lalu saat aku berlibur dengan istri dan seorang

anakku, seorang peramal yang kutemui di taman hiburan mengatakan

hanya akan ada satu gadis yang mencintaiku selamanya, seumur

hidupnya," ujarnya sambil membalikkan telapak tanganku dan menyusuri garis tanganku dengan jemari tangannya yang kasar. "Ciri-ciri

gadis itu persis sekali denganmu, Lara."

"Ah, dan lalu bagaimana reaksi istrimu?"

"Kupikir dia tidak begitu peduli dengan ramalan itu. Dia bertambah

cantik saja setiap hari dan aku seolah beralih menjadi monster dari

hari ke hari. Aku malu setiap kali berkencan berdua dengannya. Tapi

untung ada anak-anak kami yang selalu membuatku nyaman. Istriku

akan selalu bersama anak-anakku dan entah bagaimana aku selalu

bisa memisahkan diriku dari mereka di tengah keramaian. Berjalan

sendirian seperti The Beast, si buruk rupa."

Kugenggam tangannya erat. "Kau pasti akan pergi lagi malam ini.

Lalu kapan kau akan pulang ke sini lagi?"

"Setelah mengetahui ramalan itu, aku seperti ingin tinggal selamanya denganmu di sini, Lara."

Entahlah, tatapannya memang agak berbeda kali ini. "Ketika kau

akhirnya tahu siapa yang akan mencintaimu untuk selamanya dan

Rindu

berada di sisimu sampai kapan pun, apa hatimu tidak akan tergerak

untuk menghabiskan sisa hidupmu dengan orang itu sampai ajal menjemputmu?"

"Kau masih butuh istrimu, Jo. Kau sudah tidak bekerja, kan?"

"Istriku kaya raya. Yah, begitulah, Lara!" Ia lantas melepaskan

genggaman tangan kami. "Kupikir aku memang tidak harus memercayai ramalan."

"Kau mau ke mana, Jo?" tanyaku ketika ia beranjak dari kursinya

dan naik menyusuri tangga, barangkali ke kamarnya.

"Mengambil barang-barangku dan pulang ke tempat istriku,"

sahutnya.

Kubiarkan dia membereskan barang-barangnya di atas. Kudengar

banyak barang-barang yang dibantingnya.

"Lalu kapan kau akan kembali?" Kuhadang langkahnya ketika

ia berjalan ke arah pintu. Ia berdiri di hadapanku dan menggendong

ransel besar.

"Mungkin kau harus mencari ayah yang lain untukmu, Lara. Kau

sudah besar sekarang." Ia memegang hidungku dan menciumnya. Dahiku

persis menempel dengan dahinya. "Aku akan merindukanmu, putriku."

"Bukankah aku istrimu, Jo?"

Ia lalu memelukku. "Istri yang tidak pernah kusentuh. Ya, kau istri

yang akan selalu memiliki tempat di hatiku, Lara. Jaga dirimu baikbaik. Pilihlah laki-laki yang baik."

"Jo"

"Dan ingat, selalu gunakan pengaman."

Ada air mata di pelupuk mataku dan aku hanya bisa tertawa kecil.

Jo membalas tawaku dan mengecup dahiku lembut.

"Jo" Ia menatap ke arahku ketika kupanggil namanya. "Aku suka

membaca apa pun. Aku sangat suka membaca karena kaulah yang

mengajariku membaca. Karena saat aku membaca sesuatu, aku selalu

Dewi Kharisma Michellia

ingat bagaimana tanganmu memegang tanganku dan menunjukkan

huruf-huruf satu per satu. Bagaimana kau mengajariku menulis"

Ia tersenyum. "Itulah sebabnya aku tidak pernah berani menyentuhmu. Seorang ayah tidak akan pernah punya nyali melukai putrinya. Ah, sudahlah."

Ia lalu pergi.

Dan tidak pernah ada kabar lagi darinya setelah itu meski aku selalu menunggu ketukannya di pintuku.

Berkali-kali pria lain mengetuk pintu, mencariku sejak itu. Tidak

ada seorang pun yang akan muntah seperti Jo ketika pintu kubuka. Dan

tidak akan ada seorang pun yang menyerupainya. Seumur hidupku.

Karya Dewi Kharisma Michellia

Terbukalah

Dewi Ria Utari

Dewi Ria Utari lahir di Jepara, 15 Agustus 1977. Usai menyelesaikan

kuliahnya di Jurusan Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta ia bekerja sebagai

jurnalis. Cerpen-cerpennya sering beredar di media massa nasional

dan saat ini bekerja sebagai managing editor di arts research and

management company.

Terbukalah

ALAM diam aku duduk di taman ini. Di kursi yang sama tempat kencan kita pertama. Saat itu aku memakai celana jins

berwarna abu-abu pudar dan kaus lengan panjang warna pu
tih. Kau waktu itu mengenakan celana jins biru tua dengan kaus lengan

pendek warna abu-abu. Kita duduk bersisian, bergenggaman tangan.

Perlahan, kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Pandangan kita sama, mengarah ke depan ke beberapa remaja yang sedang bermain

basket. Perlahan kau menundukkan kepalamu dan mengecup kuat

keningku. Dan mengalirlah cerita tentang keluargamu.

Kau tidak bercerita tentang dirimu. Kau bercerita tentang ibumu.

Kedekatanmu dengan ibu yang melebihi kedekatan dengan ayah. Bahkan hanya kau satu-satunya yang ibumu minta untuk meneteskan

obat ke telinganya yang sedang sakit. Hanya pada dirimulah ibumu

meminta diantar ke dokter, bukan kepada adikmu atau ayahmu. Keluargamu adalah dua kubu yang terpisah. Kau dan ibumu, adikmu dan

ayahmu. Namun kalian tetap baik-baik saja. Kalian terbiasa hidup

seperti itu. Terbiasa dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang

selesai dengan sendirinya. Manusia memang seperti itu, kataku. Kita

hidup karena terbiasa. Kita membenci kemacetan jalan raya tapi tetap

menerimanya, karena itu bagian hidup kita. Kau terdiam seolah mengiyakan.

Taman ini baru pertama kali kaukunjungi. Sementara aku, sudah

puluhan kali. Kau terlihat takjub dengan kencan yang kuciptakan.

Kencan yang memang tak ingin kubuat lazim?ke mal, makan, nonton

bioskop, jalan-jalan dalam ruang berpendingin, dan jika masih ada

sisa waktu nongkrong di kedai kopi. Tidak. Aku ingin membuatmu

terkesan. Ingin membuatmu merasa aku berbeda dari orang-orang

yang selama ini pernah kaukenal dalam hidupmu. Aku tahu kau sangat mudah berkeringat, sehingga lebih merasa nyaman di ruangan

berpendingin. Tapi aku yakin, kau dengan perasaanmu padaku, akan

mau mencoba mengikuti cara kencan ini.

Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang

berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas

air jeruk arti?sial seharga Rp1.500,-. Mendengarkan suara pengamen

Dewi Ria Utari

yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.

Kencan kita di taman mengawali sederetan pertemuan kita selanjutnya. Pertemuan yang tak melulu ideku. Kau pada akhirnya terlihat

lebih nyaman di ruang berpendingin yang kau anggap satu-satunya

solusi untuk mengatasi ketidaknyamanan dirimu pada tubuhmu yang

mudah berkeringat. Namun, ada hal yang menyentuh hatiku yang kaulakukan untukku. Sewaktu aku menuju mal tempat kita akan bertemu,

kau kaget sewaktu aku meneleponmu bahwa aku naik bus karena sulit

menemukan taksi yang tidak berpenumpang. Aku turun di seberang

mal, dan saat aku menaiki jembatan penyeberangan, kau sudah ada di

tengah jembatan dengan ekspresi khawatir. Tak kaupedulikan keringat

yang membasahi wajah dan rambutmu. Rupanya kau setengah berlari

dari mal untuk menjemputku. Kau segera memelukku dan berbisik

bahwa kau khawatir karena aku naik bus kota. Saat itu kau begitu

tampan dan manis meski wajahku ikut basah oleh keringatmu.

Kini di sinilah aku berada, di kursi taman yang sama sambil

mengingat saat-saat bersama kita. Saat kita bercinta untuk pertama

kalinya. Saat aku menyadari kenapa aku mencintaimu. Jawaban itu

ada di matamu. Mata yang selalu terbuka saat kau menciumi sekujur

wajah dan tubuhku. Mata yang lebih berbicara banyak hal daripada

yang terkatakan oleh bibirmu yang penuh dan lembap. Mata yang

membuatku menyerah untuk menemukan semua penjelasan nalar.

Melihat dan terlihat oleh matamu, membuatku selalu telanjang.

Seharusnya aku ngeri, karena aku tak lagi memiliki selubung apa pun.

Seolah kota tanpa benteng. Rumah tanpa pagar. Mata itu tak menyampaikan kata permisi. Masuk melewati pintu utama, melintasi ruang tamu, tak memedulikan isi dapur, dan langsung masuk ke ruang

tidur tempatku menunggu dengan kepasrahan bulat Ishak yang akan

dikorbankan Abraham kepada Tuhannya.

Kau, lewat matamu, membuatku tak pernah bisa menolak. Banyak hal yang kautawarkan lewat mata itu. Tentang kebersamaan,

tentang hidup tanpa beban, kebebasan tak berbatas, perjalanan ke

Terbukalah

ujung pelangi. Hanya ada kau dan aku. Berdua menyusuri setiap tepi

impian. Ya, kaulah dunia fantasiku. Aku terbebaskan di duniamu.

Sesekali aku harus pulang ke dunia nyata. Saat itulah aku rindu teramat sangat pada matamu. Sering kusengaja memejamkan mata untuk

membayangkan saat-saat kita berciuman dan mata kita saling memandang. Kau membiarkanku masuk dalam dunia di dalam matamu. Saat

aku merasakan ketiadaan gravitasi. Ruang angkasa yang tak berbatas.

Namun, kenyataan memang selalu mengempaskan kita kembali

ke tanah. Terbanting keras hingga kadang membuat remuk. Tak peduli

seberapa lamanya kita ingin bersama, kita harus berpisah. Kuharap

untuk sementara, bisikku sambil mengecup pelan lehermu. Kau terdiam, bibirmu mengerut cemberut. Dan kau pun terpejam, tak membiarkan matamu menyaksikanku pergi.

Aku tak pernah pergi. Bahkan meski itu hanya untuk beberapa

hari. Bagaimanapun, demi pertemuan kita selanjutnya, aku tak ingin

membuat pasanganku jadi bertanya-tanya jika aku pergi lebih dari

satu hari. Ada peran berbeda yang harus kujalankan. Seperti aktris

panggung yang tak bisa menolak peran yang disodorkan sutradara.

Demi kepuasan penonton, aku harus menjalankan peran itu hingga

selesai.

Sering kali saat aku menjalankan peranku, kubiarkan pikiranku

melayang menciptakan imajinasi tentang kita berdua ketika semuanya

mungkin berbeda. Aku bisa dengan mudah mengunjungi rumahmu,

mungkin bertemu ibumu, berbincang dengannya tentang masamasa kecilmu. Oh ya, mungkin dia akan memperlihatkan foto-fotomu

sewaktu kecil. Siapa tahu dia akan berkisah tentang kesedihan dan

kekhawatirannya sewaktu tanganmu patah hingga menyisakan segaris bekas jahitan panjang di lengan kirimu. Dalam hati aku akan berkata pada ibumu, Aku sering mengecup bekas luka anakmu untuk

meringankan sakitnya. Ada benang jahitan yang masih tertinggal dan

membuatnya nyeri setiap kali sikunya terbentur. Tapi hal itu tidak

kukatakan padanya. Aku tahu dia bakal lebih banyak berpikir nantinya.

Tak baik untuk kesehatan sarafnya.

Atau bisa juga aku akan menemani ayahmu berkebun. Mungkin

Dewi Ria Utari

membawakan sekop atau sekadar bercakap-cakap dengannya ketika

dia tengah mencabuti rumput liar. Siapa tahu dia akan bercerita bahwa

sedingin apa pun sikapnya padamu, dia selalu mengkhawatirkanmu.

Bahwa di balik kemarahannya, dia begitu sedih saat kalian bertengkar

dan melihatmu menggenggam pisau. Bahwa sebenarnya dia bangga

terhadapmu sekarang. Dengan pekerjaanmu, dengan caramu membantu keuangan keluargamu, dan caramu merawat ibumu.

Bisa jadi aku akan memiliki waktu ngobrol dengan adikmu. Yang

sebenarnya mengagumimu diam-diam. Jika tidak, mana mungkin dia

sampai meminjam kausmu dan sepatumu tanpa izin? Kau begitu marah

setiap kali adikmu meminjam barang-barangmu. Kau yang begitu rapi

memang sangat berbeda dengan adikmu yang terkesan sembarangan.

Namun, tahukah kau, dia sebenarnya segan terhadapmu, dengan cara

yang belum kaumengerti.

Kubayangkan aku mungkin akan memasak untuk seluruh keluargamu. Tumis spageti daging asap dengan irisan cabe rawit yang kausukai.

Atau garang asem ayam yang akan sangat mudah kubuat karena aku

tinggal memetik belimbing wuluh di halamanmu untuk menciptakan

rasa asam yang segar. Dan saat semuanya terhidang, aku akan menunggui kau dan keluargamu untuk mencicipinya lebih dulu dan merasakan gelenyar hangat di dadaku ketika mereka menyukainya. Saat

itu kau akan mengecup keningku dengan rasa bangga dan sayang tak

terkira.

Tahukah kau, semakin hari aku merasa ilusi itu semakin mendesak ke permukaan. Bergerak seolah magma yang menyusup celahcelah kerak bumi mencari kepundan yang siap meletuskannya. Aku

sekuat tenaga mencoba menahan lava itu untuk tetap berada di dasar

bumi. Entah untuk berapa lama.

Suatu hari aku mulai menyadari matamu mulai terpejam. Kau

menciumku dengan mata terpejam. Kau memejamkan matamu saat

menyentuh sekujur tubuhku, saat mengelus rambutku, saat mengecup

leherku, saat tubuhmu menegang, mengeratkan pelukanmu. Kau menutup matamu.

Saat kau membuka mata, labirin yang biasa kutelusuri tak lagi sama.

Terbukalah

Dulu, labirin itu tak pernah menyesatkanku. Labirin itu menuntunku

menyusuri kelokan-kelokan yang kukenal, menuju taman yang sama

tempat kencan pertama kita. Hanya saja taman itu tak berpenghuni.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebih hijau, lebih sejuk, hingga tak membuatmu berkeringat. Di taman itu

kita duduk di bangku yang sama, bergenggaman tangan, dan aku selalu

duduk di sebelah kirimu. Kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Tangan

kiriku perlahan mengelus bekas luka di lengan kirimu. Kita sama-sama

terdiam. Sunyi. Hening. Hanya bunyi napas kita di taman itu.

Kini labirin itu tak mengantarkanku ke mana pun. Aku berusaha

menyusuri setiap kelokan, tapi tak kunjung kutemukan taman itu. Labirin

ini memerangkapku. Tersesat membuatku sesak napas. Aku tersengal.

"Kau sakit?" tanyamu sambil membelai pipiku.

Aku menggeleng. Aku kembali berusaha melihat matamu. Namun

aku kembali mengalami kejadian yang sama. Tersesat dan tak bisa

bernapas.

"Ingatkah kau dengan taman tempat kita berkencan pertama

kali?" tanyaku.

Kau mengangguk.

"Itu saat terindah buatku," kataku.

"Buatku juga, Sayang," ujarmu sambil mendaratkan ciuman di

bibirku dengan mata terpejam.

Dalam hati aku berteriak. Terbukalah! Aku ingin kau memandangku

seperti dulu lagi. Aku tak tahu siapa yang ada di matamu jika kau

terpejam seperti itu! Biarkan hanya aku yang kaulihat.

Namun, kau tetap terpejam.

"Maukah suatu hari kita kembali ke taman itu?" tanyaku.

Kau mengangguk.

Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di bangku yang sama di

taman tempat kita pertama kali berkencan. Sore ini tak ada remajaremaja yang bermain basket. Namun masih ada penjual minuman

air jeruk arti?sial yang dulu. Kulihat ada seorang lelaki 40 tahunan

yang mengajak seekor anjing husky berjalan-jalan. Lihatlah, anjing itu

begitu besar dan sepertinya jinak.

Di bangku ini aku duduk dengan kedua tanganku berada di atas

Dewi Ria Utari

pangkuanku. Kali ini aku tidak memakai celana jins abu-abu dan kaus

lengan panjang warna putih. Aku memakai rok terusan warna biru

pucat. Perlahan kubuka kedua tanganku yang sedari tadi tergenggam.

"Lihatlah, Yang. Taman ini masih sama seperti dulu. Kau lihat

sendiri kan, penjual minuman itu masih sama. Kali ini tidak ada yang

bermain basket. Pengamen di sana masih bernyanyi seperti dulu,"

ujarku perlahan. Kupandangi kedua telapak tanganku yang basah bersimbah darah. Menetes hingga menodai kain rokku. Di situlah, di kedua

telapak tanganku, kuletakkan matamu. Terbuka utuh. Sepenuhnya.

Hanya memandangku dan memandang taman kita berdua.

Jakarta, 2 Juni 2011

Karya Dewi Ria Utari

Pemburu Hiu

Dewie Sekar

Dewie Sekar Hoedion lahir 23 Maret, 15 Suro, di kaki Gunung

Sindoro-Sumbing. Beberapa cerpennya dimuat di Anita, Ceria, Nova,

Femina, dan Chic. Kini ia tinggal di Surabaya bersama suami dan dua

putrinya. Semua novelnya diterbitkan GPU: Zona @ Tsunami (2005),

Perang Bintang (2006), Zona @ Last (2006), Langit Penuh Daya (2008),

Alita @ First (2010), dan Alita @ Heart (2011).

Pemburu Hiu

ATAHARI menepi dengan sukarela di cakrawala, membiarkan bulan datang berkawan angin yang meraung kencang menampari tiang-tiang perahu di dermaga. Bintang

memeluk tubuhnya; berupaya mengurangi rasa dingin akibat serbuan

angin. Tak banyak berguna. Lelaki itu tahu yang dingin bukan hanya

tubuhnya.

"Dingin." Bulan mendengar Bintang berbisik. Nadanya bukan

bertanya, jadi Bulan diam saja. Mata Bulan mengawasi cakrawala. Seperti mencoba membaca angkasa. Seperti mencari pertanda di mana

malam ini kawanan tuna berada.

"Lama sekali aku harus menunggu hanya untuk bicara denganmu.

Ratusan bulan," Bintang bicara lagi. Tetap bukan pertanyaan, jadi Bulan menggigit lidah.

"Perahumu berlabuh di dekat kapal kami nyaris setiap tahun, tapi

kau tak mau menyahuti sapaanku. Kadang-kadang aku membencimu

karena tahu kau cuma pura-pura bisu," kata Bintang lagi. Masih bukan

pertanyaan, jadi Bulan memilih menatap awan.

"Kenapa begitu?"

"Takdir, kurasa," akhirnya Bulan bicara juga. "Takdir yang dilahirkan pilihanmu. Dan pilihanku."

"Pilihan apa?"

"Kapal itu," sahut Bulan, kedengaran enggan. "Ingat saat kita bicara di sini sebelum ini?"

Bintang terkenang.

Pagi diterangi mentari jingga saat Bulan menemuinya di dermaga

ini, juga untuk meminta, "Tolong jangan bekerja untuk kapal pemburu

hiu itu, Bintang. Bekerjalah bersama kami saja. Kami memintamu jadi

nakhoda."

Bintang ingat, saat itu permintaan Bulan sempat membuat ia

gagap. Beberapa hari sebelum itu, Bintang sudah sepakat jadi awak

kapal si Pemburu Hiu. Bayaran yang ditawarkan luar biasa. Belum lagi

petualangannya. Perahu Bulan kecil dan tua. Hanya menangkap kakap

dan tuna.

"Kau tahu apa yang terjadi di kapal itu. Kau tahu kekejian mereka

Dewie Sekar

pada hiu-hiu itu: Mereka menangkap, membunuh, mengambil siripsirip semata, lalu membuang seluruh sisa tubuh hiu-hiu itu begitu saja. Mengerikan dan sia-sia," lanjut Bulan ratusan bulan silam. "Kalau

itu bukan pembantaian, lalu apa?"

Bintang ingat, mereka lantas berdebat. Bintang juga ingat, Bulan

berkata dengan muram, "Sejauh ini kau pelaut terbaik yang kukenal.

Kalau kau tak mau menakhodai perahu kami, tak jadi soal. Bekerjalah

pada kapal mana pun yang kaupilih, pergilah ke mana pun kau mau,

sejauh apa pun kau mampu, tapi tolong, jangan pernah sudi jadi hamba

si Pemburu Hiu!"

"Kalau aku tetap berangkat?" tantang Bintang.

"Kalau kau meninggalkan dermaga ini demi kapal terkutuk itu, aku

akan berhenti bicara denganmu. Sampai kausudahi perburuanmu!"

Bulan menggeram.

Dulu Bintang mendesah. Bulan yang sedang marah bukan pemandangan indah.

Sekarang Bintang kembali mendesah, walau Bulan tak lagi kelihatan marah. Bulan hanya kelihatan resah. Seolah perempuan itu

tak sabar menunggu waktu berpisah.

Sejak perdebatan itu, ratusan bulan berlalu. Dan di mata Bintang,

Bulan sungguh-sungguh membeku. Beberapa kali mereka bersua di

dermaga ini, tapi Bulan menolak bicara. Bintang merasa ada yang hilang,

tapi perasaan itu tak pernah bertahan lama. Tiap kali kapal besar si

Pemburu Hiu meninggalkan dermaga tempat Bulan melabuhkan perahu kecilnya, Bintang lupa Bulan ada. Begitu. Selalu.

"Pelayaranku sudah berakhir. Apakah bagimu aku masih bersalah?" tanya Bintang. Sekarang.

"Pertama-tama, kau memakai istilah yang salah. Itu perburuan,

bukan sekadar pelayaran!"

"Baiklah. Perburuanku sudah berakhir. Apakah bagimu aku masih bersalah?" ulang Bintang.

Bulan tersenyum getir pada laut lepas di hadapannya. "Itu

hidupmu," sahutnya. "Dulu kusesali keputusanmu, tapi kemudian kuputuskan tak membiarkan keputusanmu menggangguku. Bagi lelaki

Pemburu Hiu

sepertimu, kapal pembantai itu jelas lebih menggairahkan dibandingkan perahu kecilku. Bisa kubayangkan, kau tentu sangat senang

menempuh jarak, menantang ombak, mengarungi samudra jauh yang

tak mungkin bisa ditempuh perahuku yang lusuh untuk membunuh."

Bintang akhirnya paham, kata-kata bisa lebih menyakitkan

daripada cambukan, walau diucapkan dalam nada sedatar garis cakrawala setelah badai reda. Mata Bintang runtuh menatap pasir putih

yang mulai tampak buram dalam pandangan, seiring datangnya

malam.

"Belakangan kupikir kau memang cocok sekali jadi hamba

pemburu hiu itu," Bulan bicara lagi. "Apakah kau pernah berkaca? Apa

yang kaulihat? Bukan kau yang kukenal dulu, tapi pemuja si Pemburu

Hiu. Kau bicara seperti dia, berdandan seperti dia, bahkan berjalan

seperti dia. Aku tak akan heran kalau ternyata kau juga berpikir seperti

dia. Demi Tuhan, kalian mirip sekali! Kurasa semua orang akan percaya saja kalau kau berkata kalian dilahirkan dari rahim yang sama."

Bintang kelihatan malu. "Bisa kita lupakan itu? Toh sekarang

pelayaranku sudah berakhir."

"Itu perburuan! Bukan pelayaran!" ralat Bulan tajam.

"Baiklah. Perburuan," keluh Bintang. "Perburuanku sudah berakhir, Bulan. Bisakah kita lupakan? Kau pernah berjanji, kau bersedia

bicara denganku lagi saat semua ini berakhir. Sekarang sudah."

"Menurutmu, apa yang kita lakukan sedari tadi kalau bukan bicara?" Bulan mengajukan pertanyaan tanpa sedikit pun menginginkan

jawaban. "Sudahlah. Semua orang di dermaga ini tahu, sesungguhnya

kau tak pernah menyudahi perburuanmu."

"Aku sungguh-sungguh sudah selesai, Bulan! Haruskah aku bersumpah?" Bintang mulai marah.

"Tapi bukan kau yang menyudahi! Kau disudahi! Dua hal itu berbeda jauh sekali!" sahut Bulan cepat. "Sesungguhnya kau bahkan tak

pernah ingin turun dari kapal raksasa itu, kan? Si Pemburu Hiu yang

menendangmu ke luar. Benar?"

Bintang terdiam. Ia tahu kata-kata Bulan sepenuhnya benar, tapi

ia tak ingin memuaskan Bulan dengan membenarkan. Rasa sakit

Dewie Sekar

akibat diusir dari kapal si Pemburu Hiu masih membekas dalam

benaknya. Sepedih luka-luka bekas cambukan di punggungnya. Ia diusir. Dibuang. Karena bercinta dengan kekasih sang majikan. Padahal

perempuan itu yang menggodanya. Bintang hanya melakukan apa

yang menurutnya diinginkan alam.

Diam-diam Bintang menunggu Bulan bertanya mengapa si

Pemburu Hiu membuangnya seperti tambang tua tak berguna. Sudah

disiapkannya jawaban yang dikiranya cukup jantan: Mereka terlibat

perkelahian lantaran sang mantan majikan kehilangan akal sehat

akibat mabuk berat. Lalu akan diperlihatkannya sisa-sisa penyiksaan

yang diterimanya. Bintang punya bekas-bekas luka banyak sekali.

Tergambar seperti peta dunia di punggungnya yang hitam dipanggang

matahari. Sakitnya masih terasa. Toh Bintang tahu, ia beruntung si

Pemburu Hiu tak menjadikannya santapan kawanan ikan yang selalu

mereka buru.

Terkadang?saat bekas-bekas luka di punggungnya tak sedang

membuat Bintang mengerang-erang?Bintang menyeringai senang

oleh perasaan ia lebih jantan daripada sang majikan. Setidaknya,

satu-satunya perempuan di kapal pemburu hiu itu berpendapat begitu. Perempuan itu bilang, si Pemburu Hiu sesungguhnya cuma

laki-laki tua yang masih terus mencintainya meski perempuan itu

mengkhianatinya berkali-kali. Dungu sekali! Si Pemburu Hiu bahkan

tak cukup jantan membiarkan dunia tahu mengapa ia menendang

Bintang?dan deretan panjang pendahulu Bintang?dari kapal raksasanya.

Sesungguhnya Bulan memang ingin tahu mengapa si Pemburu

Hiu meninggalkan Bintang?lusuh dan penuh luka?di dermaga, tapi

perempuan itu menggigit lidah. Ia ingin tahu, tapi juga tak mau tahu.

Sejak kabar tersiar di dermaga bahwa Bintang dibuang, Bulan sudah menimbang-nimbang; mengamalkan ilmu untung-rugi yang dipelajarinya dari lelaki buta di perahunya yang bekerja sebagai penganyam

jala: Apa untungnya kalau tahu? Apa ruginya kalau tetap tak tahu? Karena

tak menemukan jawaban menguntungkan, Bulan memutuskan pilihan

paling tepat dalam situasi ini adalah tetap tak mengerti.

Pemburu Hiu

"Sekarang apa?" tanya Bintang, tak tahan menanggung

kebisuan. Jeda yang cuma sesaat membuatnya merasa tersesat dalam senyap paling laknat.

"Apa? Aku? Aku akan berlayar seperti biasa. Menangkap kakap

dan tuna, dan memastikan semua bagian ikan-ikan itu berguna. Dan

kau, silakan lanjutkan perjalananmu. Ke mana saja kau mau."

"Boleh aku ikut denganmu, Bulan? Boleh aku bergabung dengan

kalian?"

"Jangan."

"Kenapa? Begitu sulitkah bagimu memaafkanku?"

"Kau tahu, aku bukan pendendam," jawab Bulan. "Kalau kau datang untuk minta maaf, tentu kumaafkan; walau semestinya kau tahu, seharusnya bukan padaku kautujukan maafmu. Masalahnya, kau

datang memang bukan untuk itu, kan? Kau datang pada kami karena tak tahu lagi ke mana harus pergi. Kudengar si Pemburu Hiu

mengancam akan menghanguskan semua kapal dan perahu yang

mau menampungmu. Tak ada seorang pun di dermaga ini yang tahu

mengapa. Yang aku tahu, kamilah satu-satunya harapanmu. Cuma

kami di dermaga ini yang tak pernah sudi menundukkan diri pada

mantan majikanmu. Kau tahu pasti itu. Kau menemuiku semata-mata
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena alasan itu."

Bintang merasa darahnya membeku. Baginya, keterusterangan

Bulan adalah hal baru. Perempuan di sisinya ini dulu bicara dalam

bahasa yang berbeda. Dengan cara yang berbeda pula. Kini Bintang

bertanya-tanya dalam hati ke mana perempuan itu pergi dan akankah

ia kembali.

"Aku menyesal tak bisa menerimamu di tengah kami," kata Bulan

perlahan-lahan. "Mungkin masalahnya akan berbeda kalau aku berkuasa memutuskan segalanya. Sayangnya tidak. Perahu kecil tempat

kau ingin bergabung itu memang milikku, tapi tak kuhuni sendiri. Ada

orang-orang itu, dengan siapa kubagi hidupku."

"Maukah kau mengizinkanku bicara dengan mereka?" tanya Bintang. Suaranya lebih bergetar daripada kibaran penangkap angin di

perahu-perahu kecil yang kini satu per satu meninggalkan dermaga,

Dewie Sekar

menembus permukaan malam menuju perairan yang sedikit lebih

dalam. "Izinkan aku membujuk mereka agar sudi menerimaku. Aku

pernah melayari samudra jauh yang tak pernah kalian tempuh. Banyak

pengalaman yang bisa kubagikan."

"Terima kasih, tapi kami tak tertarik pada pengalamanmu

memburu hiu," sahut Bulan sedingin malam. "Aku tak boleh mengizinkanmu mendekati perahu kecil kami, apalagi sampai menaiki."

"Kenapa?"

"Bertahun-tahun berlayar dengan si Pemburu Hiu bukan hanya

membuatmu mirip dengannya. Suara dan aroma kalian juga kini nyaris

persis. Beberapa dari kami buta. Hanya mampu membaca suara dan

jejak udara. Bisa kupastikan, kehadiranmu hanya akan membuat

mereka gemetar ketakutan," Bulan menjelaskan. "Cobalah peruntunganmu ke dermaga kota tetangga. Kuharap di sana si Pemburu Hiu

tak memberlakukan ancaman yang sama bagi siapa saja yang masih

mau menerimamu."

Bintang terdiam. Masih terdiam saat Bulan menjauh perlahan,

meninggalkan jejak-jejak mungil yang segera hilang diempas gelombang pasang.

Sebelum menaiki perahu kecilnya, Bulan menoleh ke arah Bintang. Perempuan itu tercekat. Tubuhnya bergetar hebat.

Di bawah remang cahaya rembulan, Bulan melihat tubuh Bintang

dipenuhi sisik-sisik yang berkilauan kehijauan.

Karya Dewie Sekar

Savana

Dyan Nuranindya

Dyan Nuranindya lahir di Jakarta, 14 Desember 1985. Baginya,

menulis merupakan bakatnya yang terpendam. Sebenarnya hobinya

menggambar dan pernah menyabet Juara I Lomba Poster SMP.

Novel pertamanya yang ditulis semasa dia SMP, DeaLova (2004,

GPU), menjadi bestseller. Seluruh novelnya berikutnya diterbitkan

GPU juga: Rahasia Bintang (2006), Canting Cantiq (2009), Cinderella

Rambut Pink (2010), dan Rock ?n Roll Onthel (2012).

Savana

RAAANG!

"Brengsek lo, ya! Elo pikir gue cewek apaan?"

"Sayang aku tuh berusaha jujur sama kamu."

"Jujur kalau elo udah ngehamilin selingkuhan lo? MATI AJA LO!"

Cewek itu berteriak histeris sambil melemparkan benda-benda apa pun

di sekelilingnya. Sepatu, vas bunga, piring, sendok, bahkan pisau kecil

bekas mengoleskan selai kacang, seakan emosi dalam dirinya bisa

keluar satu per satu ketika benda-benda itu melayang ke tubuh pacarnya. Oh, tidak. Cowok itu bukan pacarnya lagi. Setidaknya beberapa

menit yang lalu ia sudah bukan lagi pacarnya. Setelah pagi-pagi buta

cowok itu datang dengan sebuah kejutan.

Kejutan yang seharusnya terasa manis karena malam sebelumnya

mereka masih bersama. Bergandengan tangan dan berpelukan mesra. Seakan dunia milik mereka berdua dan tidak membiarkan sepetak

lahan pun untuk orang lain.

Tapi kejutan itu justru menghancurkan semua keindahan dunia.

Dunia yang mereka buat sendiri dengan mengatasnamakan sebuah

kata cinta. Sang cowok dengan gagah berani mengakui selingkuhannya

hamil. Anaknya. Darah dagingnya. Bahkan untuk menyebut kalimat itu

saja sang cowok merasa belum mampu. Apalagi ketika nanti ada seorang anak manusia dengan wajah mirip dirinya memanggilnya "Ayah".

Air mata mengalir deras di pelupuk mata cewek itu. Tubuhnya begitu

lemas tak berdaya. Manusia boleh punya ?sik sekuat baja. Tapi ketika hatinya

diserang, dia pasti akan terhuyung, terkapar di bumi. Ini adalah ending

sebuah kemarahan oleh hampir setiap wanita di dunia ini. Menangis...

Tangisannya terhenti ketika sehelai kertas tisu diberikan kepadanya. Ia menengok ke arah orang yang memberikannya. Seorang

laki-laki bermata sayu menatap cewek itu tanpa ekspresi. Selalu begitu. Seakan apa pun yang terjadi di depan matanya tak akan pernah

membuat cowok itu mengubah raut wajahnya. Lelaki itu bernama

Alang, kakaknya. Alang jarang sekali berbicara. Semua orang tahu itu.

Kata orangtuanya, Alang bermasalah dengan pendengaran, sehingga

kata-kata yang mampu diserapnya terbatas. Namun itu hanya dugaan

tanpa kenyataan yang jelas. Yang pasti Alang jarang berbicara.

Dyan Nuranindya

"Mas Alang dengar?" tanya adiknya yang bernama Savana dengan

mata bengkak karena menangis.

Alang terdiam. Wajahnya tetap datar.

Savana memalingkan wajah. Ia benci Alang. Benci sekali! Ia iri pada

teman-temannya yang bisa curhat panjang-lebar ke kakak mereka. Dan

layaknya kakak "normal" di luar sana, mereka akan memberikan saran

terbaik yang bisa dilakukan untuk adik mereka. Savana menginginkan

itu ada di diri Alang. Tapi itu terlalu tolol untuk terus diharapkan, karena

Alang tidak bisa mendengar. Alang tuli, bisu, dan aneh! Seperti makhluk

yang belum sempurna diciptakan, tapi telanjur dilahirkan.

"Rumah ini panas. Mas sadar nggak?" tanya Savana pelan sambil menatap Alang yang memandang kosong ke arahnya. "Ayah-ibu

cerai. Ayah dipenjara karena korupsi dan selingkuh dengan banyak

wanita," lanjut cewek itu sambil menatap lurus. Pikirannya mengingat kejadian-kejadian buruk yang menimpa keluarga mereka.

"Dulu, setiap hari kita lihat Ibu dipukuli Ayah. Aku nangis diceburin

ke bak mandi karena membela Ibu. Mbak Embun masuk rehabilitasi.

Overdosis karena terus-terusan dicekoki drugs sama pacarnya."

Savana tertawa kecil. Tertawa bodoh lebih tepatnya. Hal berat

menjadi sangat ringan ketika terbiasa menghadapinya. Pada akhirnya

manusia hanya bisa tertawa. "Kenapa kamu cuma diam, Mas? Kenapa

kamu diam melihat semuanya?"

"Selective mutism," Dokter menyebutkan dengan lafal yang jelas.

Wajahnya yang tenang dan misterius membuat segala sesuatu yang

ada di pikirannya tak bisa terbaca oleh orang lain.

"Maksud Dokter, Alang anak saya menderita semacam fobia?"

Dokter itu mengangguk. "Selective mutism adalah rasa ketakutan

berlebih untuk berbicara. Semua fobia selalu dipicu oleh kondisi masa

lalu. Dan untuk kasus Alang, saya sulit menggali karena dia terlalu

tertutup."

"Apakah ada obatnya, Dok?"

Savana

Dokter melepas kacamata berlensa bulat yang dikenakannya.

"Obatnya hanyalah keyakinan. Keyakinan bahwa hal itu bisa dilawan.

Sebuah ketakutan, sebenarnya hanya dibuat oleh diri manusia itu sendiri. Hanya dia yang bisa menolong dirinya sendiri. "

Alang tengah berjalan menuju rumah ketika suara sirine mobil ambulans terdengar di belakangnya. Makin lama makin mendekat.

Kemudian mobil ambulans tersebut berhasil mendahului langkah

Alang. Cowok itu tak peduli.

Tapi dari kejauhan, samar-samar Alang melihat mobil ambulans

tersebut berhenti tepat di depan rumahnya. Berbagai pertanyaan muncul

di kepala Alang. Jantungnya berdegup cepat. Wajah datarnya mendadak

pucat pasi. Tangannya mengepal. Langkah kakinya ia percepat. Semula

hanya jalan cepat, kemudian berlari. Apa yang terjadi di rumahnya?

Savana digotong keluar rumah ketika Alang tiba tepat di depan

pagar. Kaus yang dikenakan adiknya itu penuh darah. Wajah Savana

pucat. Tubuhnya menggigil. Mungkin karena terlalu banyak darah yang

keluar melalui pergelangan tangannya. Ia menjerit-jerit. Merontaronta tak keruan. Membuat petugas medis kesulitan membawanya

masuk ke ambulans.

"Pegangi kakinya!" teriak salah satu petugas.

Ibu yang berada tepat di belakang petugas medis langsung

memeluk Alang dan menangis sejadi-jadinya. Alang tahu betul

apa yang sedang terjadi di hadapannya. Cowok itu teringat ?loso?

seorang pemanah. Ketika pemanah gagal membidik sasaran, ia

akan berbalik mencari kesalahan pada dirinya sendiri. Itu yang

terjadi pada ibunya.

Ini bukan pertama kalinya Savana mencoba bunuh diri sejak putus

dari pacarnya yang brengsek itu. Sebelumnya Savana berusaha menenggak cairan obat nyamuk. Beberapa hari berikutnya ia sengaja

menenggelamkan diri di bathtub sampai kehabisan napas. Dan sekarang

ia berusaha memutus urat nadi. Hanya untuk satu tujuan: Mati.

Dyan Nuranindya

Hari berikutnya, di bawah terik matahari, Alang mengantarkan paket

menuju sebuah gedung pemerintahan di Jakarta. Itu menurut alamat

yang tertera di amplop cokelat yang dibawanya. Sudah setahun ini ia

kerja part-time di salah satu perusahaan pengiriman untuk membantu

membiayai kuliahnya.

"Berhenti di sini, Mas. Di sana pintunya ditutup. Nggak bisa masuk

kendaraan. Lagi ada demo," ujar seorang lelaki berperawakan besar

sambil menghentikan motor Alang.

Alang mematikan motor dan mengeluarkan amplop cokelat dari

dalam tasnya. Ia mendengar teriakan para pendemo yang dengan

penuh emosi menyuarakan keinginan mereka. Semakin lama suara

mereka semakin lantang. Tak peduli dengan panas dan debu yang

menghantam mereka.

Tak berapa lama, terdengar suara tembakan. Sekali. Dua kali. Tiga

kali. Pandangan Alang buram seketika. Ia merasakan matanya berair

dan perih bukan main. Suara riuh terdengar jelas di kiri-kanannya.

Batu-batu beterbangan di udara. Orang-orang berlarian ke jalanan.

Semua terlihat kacau.

Mendadak suasana semakin tak terkendali. Para pendemo berusaha lari sejauh mereka bisa. Tak ada lagi teriakan protes menggebugebu di depan gedung. Sebuah hantaman benda keras mengenai kepala

Alang. Cairan hangat terasa mengalir di kepalanya. Ia memegang

kepalanya yang terasa pusing. Cairan itu menyusup ke celah-celah jemari tangannya. Merah. Darah. Ini darah! Seketika tubuhnya terasa

lemas. Pandangannya gelap.

Alang terjatuh tak berdaya ditengah hiruk-pikuk orang yang berlarian. Amplop cokelat yang dibawanya terlepas dari genggaman.

Noda darah dari tangannya membekas pada amplop tersebut. Amplop

itu terinjak-injak oleh massa yang semakin anarkis. Amplop terkoyak

dan robek, sehingga kertas di dalamnya terlihat. Gambar sebuah keluarga dengan krayon warna-warni tergambar di kertas itu. Tulisan

tangan malaikat kecil tak berdosa terlihat di bawah gambar.

Savana

Ayah adalah ayah terbaik sedunia.

Selamat bekerja, Ayah. Semoga Tuhan selalu menjaga Ayah.

Amanda sayang Ayah.

Orang bijak pernah berkata, "Ketika manusia baik pergi meninggalkan dunia, ia akan berubah menjadi matahari di musim gugur, salju

di musim dingin, burung yang terbang bebas di angkasa, bintang di

langit malam, dan angin sepoi yang memberikan ketenangan. Rohnya

akan menjelma menjadi bagian penting untuk kehidupan manusia

selanjutnya. Di tempat paling tenang."

Alang meninggal dunia di hari itu. Hari di saat panas terik berubah

menjadi mendung. Di saat semangat pagi hari berubah menjadi duka

dan air mata. Ia telah dipilih Tuhan untuk kembali ke pangkuan-Nya.

Savana menangis di kamar Alang dengan tangan masih berbalut

perban akibat percobaan bunuh diri yang ia lakukan. Ia bertanya mengapa Tuhan menunjuk Alang, bukan dirinya? Alang tak pernah ingin mati

meskipun hidup betul-betul tak adil baginya. Savana-lah yang ingin mati.

Pakaian dan selendang hitam yang dikenakan Savana basah oleh

keringat. Sayup-sayup terdengar lantunan doa dari kamar Ibu. Tiga

nama tak pernah lepas dari bibir ibunya. Embun, Alang, dan Savana.

Suaranya bergetar karena tangis penyesalan. Bertahun-tahun wanita

tua itu menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi.

Savana mencoba mengikat selendangnya pada kayu yang

terbentang di langit-langit kamar Alang. Perlahan ia menarik kursi

di meja belajar Alang. Tubuhnya gemetar. Ia mengikatkan selendang
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke lehernya. Matanya terpejam. Ia berusaha menghitung dalam hati.

Berusaha tidak berpikir apa-apa. Mungkin saat itu setan kembali merasuki tubuhnya. Menjauhkan akal sehatnya untuk mengulangi perbuatan yang paling dibenci Tuhan. Bunuh diri. Sebuah kata terucap di

bibir tipisnya, "Tuhan, maaf"

BRAKKK! Kayu yang menyangga langit-langit kamar Alang am116

Dyan Nuranindya

bruk, tak kuat menahan beban tubuh Savana. Besamaan dengan itu,

pintu kamar Alang terbuka.

"Ya Allah Gusti. Savana!" Ibu berlari ke arah anaknya itu. Ia

langsung memeluknya, mendekapnya erat dengan penuh kasih sayang. "Tolong Ibu butuh kamu untuk menghadapi ini semua, Nak"

Jakarta, Mei 1998

Aku tak pernah lagi banyak berbicara semenjak kejadian itu. Kejadian

ketika aku merasa tak berharga. Aku ingat betul bagaimana ceritanya.

Umurku sepuluh tahun waktu itu. Aku dipukuli teman sekolahku dan

aku melawan. Aku mengadu pada Ayah, tapi ia tak peduli. Ia justru bilang

aku banci karena tak mampu melawan. Kemudian aku mengadu pada

Ibu, tapi Ibu justru memarahiku karena berkelahi. Sejak itu aku tak mau

berbicara. Buat apa lagi ngeluarkan suara kalau tak didengar?

Savana adikku yang paling kusayang, lebih dari nyawaku sendiri. Aku

selalu berdoa setiap hari agar Tuhan melindungi dirinya, karena ia selalu

ingin mengakhiri hidupnya. Savana terlalu berharga buatku. Bahkan aku

pernah berdoa pada Tuhan agar mengubah catatan kematiannya agar

aku yang lebih dulu dipanggil. Kuberikan nyawaku untuk Savana.

Aku selalu teringat tangisannya ketika lahir. Ia menangis menghadapi dunia. Dan ketika kaki mungilnya telah sanggup berjalan, ia

menangis meminta mainan. Lalu ia kembali menangis ketika dewasa,

tapi tangisan kekuatan. Kekuatan untuk sanggup membuatnya bertahan hidup. Hingga akhirnya nanti ia akan menangis bahagia. Bersama orang yang tepat mendampinginya.

Karya Dyan Nuranindya

Hachik? dan Luka

yang Setia

Eka Kurniawan

Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 28 November 1975. Lulusan

Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada ini mulai menulis cerpen

ketika SMP. Novel pertamanya Cantik Itu Luka telah diterjemahkan

ke beberapa bahasa. Saat ini tinggal di Jakarta bersama keluarganya.

Hachik? dan Luka yang Setia

Hachik? pertama kali datang ke Tokyo tahun 1924, diadopsi seorang

profesor dari Universitas Tokyo, Hidesabur? Ueno. Ia seekor anjing

putih peranakan Akita Inu, lahir setahun sebelumnya di Odate.

NITA datang ke Tokyo tepat saat musim gugur berakhir.

Dengan mantel yang tampak berat untuk tubuh mungilnya,

serta sepatu bot setinggi lutut, ia keluar dari kereta dan masuk

ke aliran manusia yang tumpah melalui pintu Stasiun Shibuya. Udara dingin yang berembus dari utara terasa sangat dingin. Anita mencopot earphone di telinganya, mematikan musik dan berdiri di tepi

persimpangan. Tanpa maksud menyeberang.

Ia melirik ke jam tangannya, lalu mengedarkan tatapannya ke sekitar. Seperti apa wajahnya sekarang, pikirnya. Orang-orang lalu-lalang. Jika ia tak salah ingat, itu simpang jalan paling sibuk di dunia.

Agak susah menemukan seseorang di tengah jubelan manusia. Tapi

ia yakin, ia bisa mengenalinya. Sebagaimana terakhir kali ia meninggalkan lelaki itu. Terakhir kali menyakitinya.

"Anita..." Tiba-tiba telinganya mendengar seseorang berbisik.

Hachik? dan Hidesaburo Ueno setiap hari berjalan bersama ke Stasiun Shibuya. Hidesaburo Ueno melanjutkan perjalanan dengan kereta ke Universitas Tokyo, sementara Hachik? pulang.

Delapan tahun lalu, mereka masih suka berjalan bersama ke Shibuya walau sekadar minum kopi di Starbucks, tepat di seberang jalan

Stasiun Shibuya. Jika mereka memperoleh tempat duduk persis di

dekat jendela, mereka akan menonton orang-orang yang lalu-lalang,

serta gadis-gadis yang menawarkan selebaran. Tapi yang paling

mereka suka, tentu saja melihat para pelancong yang berfoto di depan

patung Hachik?.

Di sanalah terakhir kali mereka bertemu. Hakim jauh-jauh datang

dari Nara dengan kereta untuk bertemu dengannya. Selama lebih dari

Eka Kurniawan

dua jam, mereka hanya duduk memandangi pelataran stasiun, dengan

kopi yang nyaris tak tersentuh, tak bicara satu sama lain. Anita ingat,

saat itu bartender kafe memutar lagu Your Body is a Wonderland John

Mayer. Hingga kemudian Hakim berkata, "Anita, kembalilah padaku."

Anita, hampir menumpahkan air matanya, menggeleng perlahan.

"Tidak," bisiknya.

Pada sore hari, Hachik? akan menjemput tuannya di muka pintu Stasiun Shibuya. Ia akan menemukan Hidesaburo Ueno di antara jubelan

penumpang kereta, sebelum bersama-sama kembali ke rumah mereka.

Sama-sama kesepian di tengah hiruk-pikuk Tokyo, mereka berjumpa

tak sengaja di gerbang masuk Kuil Meiji. Saat itu Anita sedang

membasuh tangannya dengan air dari gayung, seperti orang berwudhu, dan untuk pertama kali mengunjungi kuil tersebut. Matanya

menatap seorang lelaki yang tengah menuliskan doa di papan permohonan dan menggantungkannya di tiang. Dengan sekali lirik, Anita

tahu, lelaki itu dari Indonesia.

"Kamu memohon apa dalam doamu?" tanya Anita, basa-basi perkenalan.

"Itu bukan urusanmu," kata si lelaki.

Itu kali pertama pula Anita merasa sakit hati oleh lelaki tersebut,

yang kemudian ia kenal bernama Hakim. Dan kisah selanjutnya merupakan sejarah saling menyakiti di antara mereka, selama lima tahun.

Hachik? terus mengantar dan menjemput sang profesor, hingga bahkan para pelaju dan petugas di Stasiun Shibuya segera mengenali rutinitas tersebut. Namun itu berakhir di bulan Mei 1925.

Hachik? dan Luka yang Setia

Sekali waktu, karena tersinggung dengan kata-katanya, Anita menjambak rambut Hakim sementara mereka berjalan di trotoar yang

mengarah ke Roponggi. Hakim mendorongnya hingga Anita terhuyung

dan terjerembap ke gerumbul pohon pinggir jalan. Itu membuatnya

makin kesal, ia menghampiri Hakim dan menampar pipinya. Hakim

balas menamparnya. Anita kembali menjambat rambut Hakim, yang

setengah gondrong. Hakim meraih rambut Anita yang tergerai sebahu.

Anita nyaris menggigit tangan kekasihnya, dan Hakim nyaris melemparkan gadis itu ke jalan, seandainya dua orang polisi tak lewat

dan melerai mereka. Keduanya menginap semalam di kantor polisi.

Tapi itu tak menghalangi mereka untuk saling melemparkan kopi panas di warung kopi dua minggu setelahnya, dan harus dilerai oleh

bartender sebelum mereka saling melempar kursi.

"Brengsek! Kita bubar. Kamu dan aku," kata Hakim sambil meninggalkan Anita di meja kafe.

"Baik kalau itu maumu!" teriak Anita. Gaunnya koyak kena tarikan

tangan Hakim.

Profesor Hidesaburo Ueno memperoleh serangan stroke saat sedang

menyampaikan kuliah. Ia tak pernah pulang dengan kereta, dan Hachik? pada hari itu tak menemukan tuannya.

Sore itu Anita tiba di Nara dan langsung pergi ke pondokan tempat

Hakim tinggal. Sebenarnya ia sudah menelepon Hakim, mengabarkan

kedatangannya, dan Hakim sudah menyuruhnya untuk tidak datang.

Ia tetap muncul di pintu kamar Hakim dan mengetuknya, memanggil

namanya. Pintu tak mau terbuka dan Hakim tak mau bicara dengannya.

"Hakim, kembalilah," isaknya.

Pintu tak juga terbuka. Anita melorot ke lantai, rebah di sana. Ia

berbaring semalaman, sambil memanggil-manggil Hakim. Ketika pagi

datang, matanya sudah bengkak karena menangis. Dipandanginya

pintu itu. Hatinya terasa kosong. Anita mengeluarkan gunting kuku

Eka Kurniawan

dari tasnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membuat garis-garis di

pergelangan tangannya. Setitik darah mulai keluar dari sana.

Pintu segera terbuka dan Hakim langsung merebut gunting kuku

itu, menariknya berdiri. "Apa yang kamu lakukan?"

Anita kembali berurai air mata. "Kembalilah ..."

Hakim menariknya, lalu memeluknya. Anita balas memeluk

Hakim, dan ia meneruskan tangisnya di bahu lelaki itu. Hakim membelai-belai rambut si gadis, dan membawanya masuk ke kamar. Mereka berbaring di tempat tidur. Anita masih terus menangis dan Hakim

terus membelai rambutnya.

Hingga mereka saling mencium, lalu menanggalkan pakaian.

Anita akan selalu ingat, percintaan selepas pertengkaran selalu merupakan sesuatu yang hebat.

Setelah kematian sang profesor, Hachik? dipelihara keluarga lain.

Hachik? selalu berhasil melepaskan diri dan berlari ke rumah Hidesaburo

Ueno, hingga ia sadar sang profesor tak ada lagi di rumah tersebut.

Hakim bertemu istrinya, Mia, saat mereka masih mahasiswa di Yogya. Di

sela-sela kuliah, Mia membeli kain batik di Pasar Bringharjo dan Pasar

Klewer, Solo, lalu dijualnya kembali di Jakarta. Suatu hari Mia memasang

selebaran di papan pengumuman kampus, mencari sopir paruh waktu

untuk mengantarnya ke sana-kemari. Hakim yang membutuhkan uang

untuk biaya hidup sehari-hari, melamar dan diterima. Tak lama setelah

itu mereka pacaran. Mia menyokong biaya hidup dan kuliahnya. Lalu

mereka menikah. Hakim memperoleh beasiswa ke Jepang, dan untuk

sementara meninggalkan Mia dan anak mereka.

Itulah yang sering menjadi pangkal pertengkaran Hakim dan Anita.

"Tak mungkin aku mengawinimu. Aku punya istri dan dua anak."

Hakim tak perlu menambahkan bahwa istrinya sangat baik, meskipun

tak semenarik Anita.

Hachik? dan Luka yang Setia

"Dasar lelaki tidak bertanggung jawab!" maki Anita. "Mau enaknya

sendiri."

"Hei, siapa yang datang ke kamarku dan membuka baju?" Hakim

balas membentak.

Itu bisa berakhir dengan saling melemparkan makanan, lalu

kulit habis oleh cakaran dan gigitan. Mereka akan saling memaki dan

Hakim memutuskan hubungan mereka. Tapi dua minggu kemudian,

Anita akan ada di depan pintu kamar Hakim lagi, menangis semalaman

meminta kembali. Begitulah, Anita menghitungnya, Hakim sudah

37 kali memutuskannya dan 37 kali pula Anita menangis memohon

Hakim kembali.

Hachik? mencari tuannya, atau barangkali lebih tepat sahabatnya, ke

Stasiun Shibuya. Dan sebagaimana dahulu sering ia lakukan, Hachik?

menunggu Hidesaburo Ueno di muka pintu stasiun.

Setelah lima tahun menjalani hubungan yang lebih sering berakhir

babak-belur, suatu pagi, setelah pertengkaran yang lain, Anita

menyadari tak ada masa depan dalam hubungan mereka. Sebelum diputuskan untuk yang ke-38 kali, Anita mengambil inisiatif

membubarkan hubungan mereka, dan pergi meninggalkan Hakim. Ia

bersiap pulang ke Jakarta.

Pada hari terakhir ia di Tokyo, tiba-tiba Hakim datang ke Starbuck

dan menemuinya. Saat itulah, untuk kali pertama, Hakim berkata,

"Kembalilah padaku."

Hampir menumpahkan air mata, Anita menggeleng dan berkata,

"Tidak."

"Kamu tidak adil. Berkali-kali kamu meminta kembali dan aku

mengabulkan."

"Tiga puluh tujuh kali," kata Anita.

"Aku hanya meminta sekali ini. Setelah itu kita bisa bicara soal

pernikahan. Kamu tahu, aku tak mencintai istriku. Aku berutang budi

kepadanya. Kita bisa mencari satu jalan."

Eka Kurniawan

Air mata mulai berlinang dan mengalir di pipi Anita. Tapi kembali

ia menggeleng dan berkata, "Tidak. Seseorang harus mengakhiri

hubungan ini. Dan akulah itu."

Ia meninggalkan lelaki itu, terluka sendirian di Shibuya. Untuk

pertama kali ia melihat lelaki itu menangis. Anita tak peduli, dan

kembali ke Jakarta.

Para pelaju yang mengenali Hachik? segera merawatnya, memberinya makan. Hachik? selalu datang ke stasiun setiap sore, tepat

saat kereta dari Universitas Tokyo tiba. Tapi tentu saja ia tak akan menemukan kembali Hidesaburo Ueno.

Setelah delapan tahun berlalu, dan Anita memutuskan menikah

dengan lelaki lain, ia datang kembali ke Tokyo.

Sejujurnya selama delapan tahun, Anita selalu terbangun tengah malam dengan perasaan penuh sesal dan rasa bersalah. Hakim pernah memberi 37 kesempatan menerimanya kembali, tapi

satu permintaan Hakim tak pernah dikabulkannya. Sering kali Anita

terbangun dan memandang wajah tidur suaminya, dan berkacakaca memikirkan Hakim. Setelah berbulan-bulan menahan diri, ia

akhirnya menghubungi Hakim. Bilang ingin bertemu. Ia ingin meminta

maaf. Ingin berteman. Ingin berhenti saling menyakiti. Lama baru ia

memperoleh balasan, dan terkejut membaca Hakim masih di Nara.

Begitulah, kini ia berdiri di muka Stasiun Shibuya, tempat yang

sering mereka pakai untuk bertemu. Setelah mencari-cari, seseorang

berbisik memanggilnya dari belakang. "Anita?"

Anita menoleh.

Penantian Hachik? di muka pintu Stasiun Shibuya setiap sore berakhir

sepuluh tahun kemudian. Sepuluh tahun penantian. Ia meninggal 8
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hachik? dan Luka yang Setia

Maret 1935, tubuhnya ditemukan di jalanan Shibuya.

Di depannya berdiri seorang perempuan, tersenyum ke arahnya.


Kereta 450 Dari Paddington 450 From Girl Talk 01 Tahun Ajaran Baru

Cari Blog Ini