Ceritasilat Novel Online

Cerita Cinta Indonesia 4

Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan Bagian 4

dengan sebotol Sierra Nevada Torpedo di tangan. Sure, walaupun

jadi gelandangan, gue harus tetap hura-hura. Ya ya, gue kebanyakan

ngomong. Elo suka bilang gue bawel kayak cewek, apalagi kalau gue

mulai ngomentarin baju lo yang kadang-kadang kayak kurang bahan

gitu. Tapi maksud gue

"A*JRIT, apa sih yang gue tulis? Nggak penting banget nulis surat

cinta segala!" Yura merobek kertas dari notebook kuliahnya, meremas

dan mulai melemparnya ke tong sampah di bawah meja.

Terdengar suara bel di pintu depan, suara berat Tristan menguap

melalui interkom, memanggil nama Audrey.

Yura mendesah, sekejap bingung harus melakukan apa. Tristan

tak biasanya datang ke apartemen Audrey jam segini. Ini kan masih

pukul sepuluh pagi. Dia mau apa sih? Bukannya jam segini seharusnya

dia ada di kelas? Apalagi Tristan asisten dosen. Sial! umpat Yura

dalam hati. Dia mesti ngumpet di mana kalau begini? Masa sih dia

harus seharian di kamar? Mana dia belum sarapan.

Belum sempat Yura berpikir untuk melakukan apa, langkah sandal

terdengar mendekat ke kamarnya. Langkah Audrey. Pintu kamarnya

dibuka, sesosok wajah yang terpatri sempurna melongok ke dalam

kamar. Wajah Audrey sekilas khawatir, namun tanpa berkata apaapa, hanya mengedipkan sebelah mata, lalu perempuan itu buru-buru

menutup pintu kembali. Yura menganggap itu sinyal untuknya agar ia

diam di kamar seharian ini. Damn! Tak bisakah si cantik itu sekalian

membawakan senampan sarapan plus kopi hitam kental untuknya?

Yura buru-buru berdiri dari kursinya, lalu melangkah setengah

berjingkat menuju pintu. Telinganya didekatkan ke pintu, berharap

23:10 PM

Lea Agustina Citra

mendengar suara Audrey dan Tristan, tapi ia justru mendapatkan

lebih dari suara. Ada desahan di situ. Argh..! Mereka pasti sedang berciuman! Yura pun bergegas menjauhi pintu dan segera menaiki ranjang.

Menarik bantal dan mulai menutup telinga. Inilah nasib menumpang

di apartemen perempuan yang ia taksir setengah mati tapi saat ini

sudah berpacaran dengan musuh besarnya, dan keberadaannya tak

boleh terdeteksi bahkan oleh radar NASA si musuh besar keparat itu.

"Yura Ha?dz! Coba terangkan ke gue kenapa elo benci banget sama

Tristan?"

Saat itu Yura hanya bisa ternganga. Pertama, ia masih kaget

karena kemunculan Audrey yang tiba-tiba di kantin Sackville Street

Building di University of Manchester sambil membanting buku Aircraft

Performance: Theory and Practice-nya Eshelby. Dan kedua, saat ini ia

sedang menikmati setumpuk chicken focaccia sandwich dan potongan

terbesarnya masih sulit ia telan. Tidak mungkin ia bisa berkata apaapa selain ternganga, dan mengunyah tentunya.

Akhirnya setelah dua menit berlalu dan potongan besar ayam

telah menghilang dari rongga mulutnya, Yura mulai mengucapkan

beberapa kalimat, "Drey, Tristan itu playboy! Dan dia nggak hanya dekati elo, tapi seluruh cewek, termasuk bule Afrika, Asia, semua yang

punya vagina!"

"Nggak usah melempar kesalahan. Tristan itu cowok baik-baik.

Elo yang playboy."

Yura menelan ludah. Sedih banget sih. Audrey menganggap dia

playboy. Padahal cintanya kan cuma untuk Audrey seorang, dan jangan anggap perempuan-perempuan yang sempat beredar di dalam

kamarnya sebagai cinta. Mohon dibedakan.

"Gue cuma mau melindungi elo kok, Drey. Gue nggak mau sampai

elo kecewa dan patah hati karena perilaku Tristan."

"Kenapa?"

Kening Yura berkerut. "Kenapa apa?"

23:10 PM

Dear Audrey

"Kenapa elo harus susah-susah melindungi gue?"

"Ya karena..," kata-kata selanjutnya sulit keluar dari mulut Yura.

Yaelah, kenapa sih susah banget untuk bilang "Karena gue sayang

sama elo, Drey. I love you, dan gue nggak rela elo diapa-apain sama

Tristan."

"Sudahlah. Susah memang ngomong sama elo. Dari dulu elo

selalu nggak pernah jelas," keluh Audrey. Terlihat sirat kecewa di

wajah perempuan yang menurut Yura sangat mirip Audrey Hepburn

itu. "Mendingan gue pergi aja." Audrey membereskan buku-buku

kuliahnya yang tadi bertumpuk di meja Yura, lalu mulai berdiri. Sebelum meninggalkan Yura, sekali lagi ia melancarkan ancaman agar

Yura tak mengganggu hubungan "yang sedang hangat-hangatnya" dengan Tristan.

Sepeninggal Audrey, Yura tak berminat menghabiskan roti

lapisnya. Hatinya menghampa. Inikah rasanya terobsesi pada

sahabatmu sendiri dan hanya bisa jatuh cinta diam-diam karena kamu

tak punya nyali untuk mengatakannya? Bahkan saking terobsesinya,

Yura mengikuti ke mana pun Audrey bersekolah, sampai saat ini ketika Audrey berjuang di belantara Fakultas Aerospace Engineering

di University of Manchester. Tentu saja Yura tak pernah sedikit pun

bercita-cita menjadi ahli pesawat seperti B.J. Habibie. Cita-citanya cuma satu, menjadi suami Audrey, walau demi mendapatkannya ia harus

berlagak kepingin seperti Habibie. Untung otaknya cerdas.

Yura tak tahan lagi. Ini hampir jam makan siang dan belum ada tandatanda Tristan pergi dari apartemen Audrey. Mereka lagi ngapain sih?

pikir Yura, dan dia tak berani mencari jawaban mereka berdua sedang

apa. Tristan senior mereka di kampus. Wajahnya mirip Herjunot Ali,

tapi dengan postur lebih tinggi dan lebih berisi. Berkali-kali Audrey

mengatakan bahwa Tristan superseksi, tapi sori, Yura cowok sejati

dan haram hukumnya mengatakan cowok lain seksi.

Sayangnya yang selalu dipuja Audrey adalah Tristan. Tristan yang

23:11 PM

Lea Agustina Citra

dewasa, yang ramah, penolong, baik hati, dan tidak sombong. Tristan

yang sempurna. Awalnya Yura tak punya masalah dengan Tristan.

Mereka bertiga merupakan segelintir orang Indonesia di fakultas itu,

sehingga perasaan senasib-sepenanggungan mengakrabkan mereka. Awalnya. Sampai Tristan mulai lancang mendekati Audrey dan

mereka jadian, dan Yura tahu Tristan ternyata tak sesempurna yang

Audrey kira.

Kalau saja Audrey percaya bahwa Tristan bajingan, mungkin

Yura tidak harus diskors dan diusir dari asrama karena berkelahi dengan Tristan sebulan yang lalu. Yura tidak bohong kok. Saat itu dia

memergoki Michelle, mahasiswi asal Italia, keluar dari kamar Tristan

pada pagi buta dan mereka berciuman mesra di bibir pintu. Masa sih

dia harus percaya bahwa mereka baru selesai kerja kelompok semalaman? Lalu salahkah kalau Yura membuat perhitungan dengan

Tristan demi membela harga diri Audrey?

Suara pintu depan dibuka dan ditutup menguapkan lamunan Yura.

Akhirnya dia bebas keluar dan bisa segera mengumpani naga-naga

di perutnya. Audrey pandai dan rajin memasak, apalagi sejak Yura

menumpang di apartemennya. Rupanya Audrey paham benar bahwa

Yura makannya banyak.

Lemari makan di dalam area pantry yang mungil menjadi sasaran

pertama begitu Yura keluar dari kamar. Dugaannya tak salah. Sepiring

nasi goreng dengan telur mata sapi tersedia di sana.

"Drey, gue makan ya nasi gorengnya?"

Hening.

"Drey, elo di mana?" Yura mengintip ke dalam kamar Audrey.

Kamar itu kosong. Sepertinya Audrey pergi bersama Tristan. Biasanya

Yura akan kesal, tapi rasa lapar menghilangkan perasaan itu, paling

tidak untuk sementara. Ia pun berjalan menuju sofa dan langsung

meloncat ke sana. Tangan kirinya re?eks mengambil remote TV yang

ada di meja di depannya, membuat beberapa kertas yang terhampar

di meja tersenggol jatuh ke lantai. Yura terpaku melihat apa yang

memenuhi meja itu. Buru-buru ia meletakkan piring nasi gorengnya

dan mengambil kertas bergambar itu. Desain undangan pernikahan,

dengan nama Audrey dan Tristan terukir di sana!

23:11 PM

Dear Audrey

Jantung Yura sudah tinggal landas entah ke mana. Ini tidak benar.

Tidak mungkin Audrey dan Tristan akan menikah! Audrey masih muda.

Usianya masih 22. Bahkan gelar bachelor pun baru akan mereka dapatkan tahun depan. Yap, Audrey yang akan mendapatkan gelar itu,

bukan Yura. Perkelahian sialan itu sudah membuat kuliah Yura kacaubalau. Entah kapan dia bisa masuk kuliah seperti biasa lagi. Mendadak

faculty member di kampusnya menjadi tidak komunikatif.

Tapi kembali lagi ke masalah pernikahan, sekali lagi ini tidak

benar. Audrey punya ambisi karier yang superbesar, dan sejauh

yang Yura kenal, Audrey belum pernah berpikir sekali pun tentang

pernikahan, kecuali ada sesuatu yang memaksanya menikah.

Yura tercengang, ketika di atas meja ia juga menemukan kertas

lain. Sehelai hasil pemeriksaan laboratorium yang menyatakan bahwa

Audrey positif mengandung. Yura merasakan plafon apartemen enam

lantai yang ia tempati runtuh menimpa dirinya. Audrey hamil? Bayangan wajah Om Prasetya?ayah Audrey ?yang memberikan titah

"jaga anak Om baik-baik ya selama di Inggris" saat dua tahun lalu

mereka berpamitan, langsung membuat bulu kuduk Yura menegang.

Tapi ini lebih dari sekadar tak menjaga si putri kesayangan itu baikbaik, ini masalah hati, hati Yura yang remuk redam karena kekasih

idamannya dihamili pria lain!

Kenapa, Drey? Kenapa elo harus senekat itu? Dan Tristan juga

bukan pria yang tepat untuk jadi pendamping elo! jerit Tristan dalam

hati. Lalu siapa yang tepat? Dirinya, yang bahkan tak punya nyali untuk

mengungkapkan perasaannya kepada Audrey.

Yura menghela napas panjang. Pantas selama dua minggu terakhir ini Audrey terlihat pendiam. Bahkan mereka tak banyak bercakap-cakap. Yura pikir itu karena Audrey begitu membencinya, tapi

rupanya ada sebab yang lebih besar daripada itu. Wajah Audrey pun

tak seceria biasanya. Seolah ia kehilangan matahari yang selama ini

menyinarinya.

Yura makin terpukul. Kenapa selama ini ia tidak sensitif menangkap perubahan itu? Apa rasa cemburunya yang teramat kuat terhadap

23:12 PM

Lea Agustina Citra

hubungan Audrey dan Tristan membuat radar pengawasannya terhadap Audrey menjadi tak berfungsi?

Lalu apakah Tristan mau bertanggung jawab? Yura rasanya tak

perlu mendapatkan jawaban ketika desain undangan pernikahan

sudah tergeletak di meja. Yap, Tristan akan menikahi Audrey. Mereka akan hidup bahagia selamanya, sementara ia tak lagi punya kesempatan.

Yura melamun, memandangi piring berisi nasi goreng yang kini

terlihat tak menarik. Setakmenarik masa depan yang akan menyambutnya nanti. Yura menggeleng, memangnya ia masih punya masa

depan ketika usahanya selama ini untuk menggapai cita-cita menjadi

suami Audrey hancur berkeping-keping? Ralat, memang Yura punya

usaha apa sih selain hanya mengikuti Audrey, tanpa sekali pun mengungkapkan perasaannya? Memangnya Audrey cenayang?

Yura sudah kalah perang. Tak ada pilihan bagi dirinya selain keluar

dari apartemen ini, dan lebih dari itu, keluar dari kehidupan Audrey. Yura

tak sanggup lagi menatap wajah Audrey dengan hati hancur lembur.

Lebih baik ia tiba-tiba menghilang saja. Secarik surat yang susah payah ia

tulis menjadi satu-satunya sopan santun yang ia tinggalkan.

Langit sudah gelap ketika akhirnya Audrey pulang ke apartemennya.

Tristan hanya mengantarkannya sampai lobi bawah karena Audrey

berkeras ingin dibiarkan sendiri. Seharian ini mereka pergi ke London

untuk mengurus prosedur pernikahan mereka di KBRI, tapi semuanya

gagal. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka tetap harus

mengantongi surat izin dari orangtua. Semua bayangan indah, bahkan

desain-desain undangan yang telah mereka pikirkan musnah tak berguna.

Audrey tahu, papanya takkan pernah menyetujui pernikahan buru-buru ini.

Ia pun tiba-tiba sangat merindukan Yura. Ingin rasanya ia mengungkapkan

semua kekhawatiran dan ketakutannya kepada pria itu.

Keluar dari lift, Audrey buru-buru memasuki ruang apartemennya.

Ia menyalakan lampu dan menemukan meja ruang duduknya yang

23:12 PM

Dear Audrey

berantakan saat ini bertatahkan sepiring nasi goreng yang ia buat

tadi pagi. Keningnya berkerut. Rasanya tadi ia sudah menyimpan piring nasi goreng itu di lemari makan. Namun, Audrey tak terlalu

ambil pusing, ia sungguh lelah dan ingin segera merebahkan tubuh

langsingnya, yang tak lama lagi akan menggemuk.

Audrey menyalakan lampu kecil di nakas sebelah ranjang, dan

pandangannya langsung tertuju pada sebuah amplop yang tergeletak

di atas bantal.

Dear Audrey,
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Elo pernah bertanya kenapa gue nggak menyukai Tristan, kenapa

gue selalu berusaha melindungi elo dari orang-orang yang gue rasa

akan menyakiti elo, kenapa gue selalu mengikuti elo ke mana pun elo

pergi. Yah, jutaan tanya tentang kenapa, tapi gue selalu nggak bisa

jawab. Bahkan sampai sekarang saat elo sudah jadi milik orang lain,

gue tetap nggak mampu berkata apa-apa. Gue memang pengecut,

Drey, bahkan untuk bilang gue perhatian, gue sayang. Gue gue cinta

sama elo.

Tapi sekarang semuanya sudah terlambat kan, Drey? Elo bakalan

nikah sama Tristan, dan gue nggak akan punya kesempatan lagi. Satu

yang gue sesali, kenapa elo harus hamil duluan? Nope, jangan marah,

gue nggak akan menghakimi elo. Gue terlalu sayang sama elo, Drey,

dan gue harap Tristan bisa menjadi yang terbaik buat elo.

Okelah, baik-baik ya, Drey. Gue keluar dari apartemen ini. Mungkin sekarang sudah saatnya gue mandiri tanpa elo.

Yura Ha?dz

Air mata Audrey mengalir deras tanpa bisa dikontrol. Selama

beberapa saat ia menangis sesenggukan. Tangannya menarik laci nakas, mengambil pigura berisi foto close-up Yura yang ia ambil secara

candid dan menciumi foto itu berulang-ulang.

"Maafkan aku karena telah mengkhianatimu. Rasanya sulit sekali

berterus terang bahwa aku juga begitu mencintaimu" Isak tangis

23:13 PM

Lea Agustina Citra

masih menghiasi ucapan Audrey. "Saat ini aku masih berjuang untuk

bertahan tanpamu, karena aku tahu kamu takkan tenang di Surga

kalau aku tidak bisa bangkit dari keterpurukan ini," ucapan Audrey

membahana, seolah ia yakin benar Yura bisa mendengarnya.

Sepasang mata mengawasi Audrey dari ujung ranjang. Ia terpaku

ketika semua kenangan satu per satu membentuk sebuah kepingan

puzzle utuh. Bulan lalu ia ada di pesawat bersama Audrey, dan mereka

sama-sama menangis membaca headline berita di layar iPad Audrey:

"Mahasiswa RI Tewas Tertembak karena Perkelahian di Manchester,

Inggris." Hari itu adalah hari ketika Audrey pulang ke Jakarta untuk

mengantarkan jenazahnya.

Yura pun tersadar, ia ada di apartemen Audrey bukan karena ia

dibiarkan menumpang.

Dari dulu sampai sekarang ternyata aku tetap bertahan untuk

terus bersama kamu, Drey, karena aku tidak tahu bagaimana caranya

pergi dan melepaskanmu.

Disarankan untuk membaca kisah ini diiringi

lagu Sewindu dari Tulus

23:13 PM

Karya Lea Agustina Citra

23:14 PM

Asylum

Lexie Xu

Lexie Xu adalah penulis kisah-kisah bergenre misteri dan thriller.

Saat ini Lexie tinggal di Bandung. Karya-karya Lexie yang sudah

beredar adalah Johan Series yang terdiri atas 4 buku (Obsesi,

Pengurus MOS Harus Mati, Permainan Maut, dan Teror) , serta Omen

Series yang baru terbit 4 buku (Omen, Tujuh Lukisan Horor, Misteri

Organisasi Rahasia The Judges, dan Malam Karnaval Berdarah).

Selain dua serial ini, Lexie juga ikut menulis dalam kumcer Before

the Last Day dan Tales From the Dark bersama rekan-rekan penulis.

Lexie bisa dikontak di Twitter melalui akun @lexiexu, atau e-mail ke

lexiexu47@gmail.com.

23:16 PM

Asylum

UARA jeritan keras menggema di koridor.

Sebenarnya suara-suara semacam itu sudah biasa kude
ngar di sini. Namanya juga rumah sakit jiwa, selalu ada pasien

yang teriak-teriak cuma karena masalah kecil atau bahkan tanpa

sebab. Tetapi, kali ini aku mengenali suara itu.

"Kenapa, Dok?"

Aku berpaling pada Suster Winda dan tersenyum menenangkan.

"Nggak apa-apa, hanya saja itu sepertinya pasien saya."

"Pasien Dokter?" Winda mengerutkan alis, lalu membelalakkan

mata. "Maksud Dokter, Cassandra?"

Aku mengangguk. "Maaf, makan siang kita terpaksa dipersingkat.

Saya pergi dulu ya, Win."

"Tunggu, Dok."

Suster Winda meraih jari-jariku. Oh ya, betul juga. Karena pikiranku langsung tertuju pada Cassandra, aku lupa bahwa kini aku sudah

berkencan dengan Suster Winda. Benar-benar memalukan.

Aku mendaratkan ciuman ringan namun menggoda di bibir Suster

Winda yang basah.

"Nanti," janjiku, "kita akan kencan sungguhan ya."

"Nanti," angguk Suster Winda.

Aku melepaskan Suster Winda, lalu berlari menyusuri koridor,

mengikuti suara jeritan yang masih saja bergema. Akhirnya aku tiba di

kamar 247. Di kamar itu dua juru rawat pria sedang menarik seorang

pasien yang duduk di lantai sambil menendang-nendang. Hebatnya,

pasien itu mengenakan jaket pengekang, tapi sanggup melawan dua

juru rawat pria yang tampak tak berkutik.

"Cukup!"

Kedua juru rawat itu langsung menghentikan tindakan mereka

dan berpaling padaku.

"Lepaskan dia," ucapku masih dengan napas terengah-engah.

"Tidak apa-apa, biar saya yang handle."

Dengan ragu-ragu, kedua juru rawat itu melepaskan sang pasien.

"Terima kasih. Kalian bisa tinggalkan kami."

Aku bisa membaca jalan pikiran kedua juru rawat senior itu. Dasar

23:17 PM

Lexie Xu

dokter muda yang masih idealis. Mereka mengira mereka pintar,

padahal mereka belum tahu kerasnya kehidupan di rumah sakit jiwa.

Aku menahan senyum. Andai mereka tahu betapa kerasnya aku berjuang untuk mencapai posisi ini, mereka pasti bakalan memujaku

habis-habisan.

Aku menunggu hingga para juru rawat itu keluar, lalu mulai mendekati sang pasien. Menyadari keberadaanku, pasien itu makin menarik diri. Oke, dia tidak suka didekati. Jadi aku pun duduk di lantai, tak

jauh darinya. Aku sengaja duduk dengan gaya yang mirip dengannya,

hanya saja kepalaku tegak karena aku butuh kontak mata dengannya.

Setiap pasien selalu membuatku takjub. Berbeda dengan para

pasien di rumah sakit biasa, pasien-pasien di rumah sakit jiwa kebanyakan masih sehat wala?at. Yang sakit adalah pikiran mereka, dan

setiap rasa sakit itu unik. Hanya dengan mendengarkan cerita mereka,

kita bisa mendeteksi rasa sakit itu. Tentu saja, tidak semua bakalan

curhat dengan sukarela. Sebagian pendiam dan hanya mau mengobrol

kalau kita sudah mendapatkan kepercayaan mereka, sebagian lagi

sudah memutuskan untuk membisu selamanya, dan sisanya mengira

diri mereka bisu sungguhan. Menembus mereka adalah semacam

ilmu seni, dan aku adalah sang maestro yang tidak hanya sanggup

menembus mereka, melainkan juga menuntun mereka pada langkah

berikutnya untuk menemukan jati diri mereka yang sesungguhnya.

Cassandra pasien yang istimewa bagiku. Dia berusia delapan belas tahun. Dia selalu menundukkan wajah, rambutnya yang panjang

membuat wajahnya sama sekali tak terlihat. Dari jauh dia mirip hantu

yang hobi meringkuk di pojokan ruangan, dengan gaun rumah sakit

berwarna putih dekil dan jaket pengekang yang tidak kalah dekil.

Hanya ada satu cara untuk menjangkau Cassandra yang malang,

yaitu menghormati jarak yang ia pasang.

"Mereka nyentuh kamu?" tanyaku hati-hati.

Anggukan Cassandra yang teramat pelan nyaris lolos dari mataku.

"Seharusnya kamu bilang mereka, kamu nggak suka disentuh."

"Mereka itu kan juru rawat rumah sakit jiwa!" Teriakan mendadak

Cassandra membuatku terlonjak kaget. "Mereka seharusnya tahu

cara memperlakukan pasien! Lagi pula"

23:17 PM

Asylum

Berhubung Cassandra terdiam selama beberapa saat, aku mendesaknya. "Lagi pula?"

"Salah satunya memandangiku seperti itu."

Aku tidak ragu, seperti apakah yang dimaksudkannya. "Kamu

hanya berhalusinasi."

"Aku NGGAK berhalusinasi!"

Aku terkejut lagi saat Cassandra bergerak menerkam ke arahku. Tapi dia tidak benar-benar menerkamku?dia mendarat tepat di

depan wajahku, matanya yang lebar dan gelap menatapku dalam dan

tajam. Mata seorang gadis yang tidak gila. Ya, Cassandra tidak benar-benar gila. Dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena ketidaksukaannya disentuh membuatnya kepingin membunuh orang yang

menyentuhnya. Awalnya orangtuanya membawanya ke psikiater untuk menyembuhkan sakit mental itu. Tetapi, bukannya sembuh, Cassandra malah melukai psikiaternya pada sesi pertama mereka. Itulah

sebabnya dia dibawa ke sini. Aku berhasil menembus benteng pertahanannya, tapi itu tidak berarti aku berhasil menyembuhkannya.

Memang sih, itu masih jauh dari harapanku. Meskipun aku punya bayangan bagaimana cara Cassandra mengalahkan ketakutannya, aku

tahu tidak mudah menyembuhkan hal itu.

"Dia melihatku sebagai objek! Dia menginginkanku, sama seperti pamanku, kakak sepupuku, teman-teman cowok sekelasku, menginginkanku!"

Aku terdiam lama. "Dan kamu nggak sanggup melawan mereka

semua?"

Cassandra tertawa pelan, wajahnya menyuruk ke lantai. "Aku cuma cewek berusia delapan belas tahun yang nggak atletis. Aku berusaha

menolak mereka habis-habisan, tapi sejauh apa aku bisa menolak?"

"Sejauh apa, San?" tegurku lembut dan hati-hati, menyadari inilah

pertama kalinya Cassandra membuka diri terhadapku.

"Mereka belum ngapa-ngapain aku sih," gumam Cassandra.

"Mereka meraba-rabaku dan menciumku. Cuma itu. Tapi"

"Tapi?" tanyaku sabar.

Cassandra tidak menyahut lagi, melainkan menangis sesenggukan

23:18 PM

Lexie Xu

sambil meringkuk di lantai. Aku hanya bisa memandanginya tanpa

daya. Lalu, perlahan, aku mengulurkan tangan dan menyentuhkan

jari kelingkingku pada jari kelingkingnya. Hanya sentuhan sepelan itu,

tetapi Cassandra tersentak hebat seolah-olah aku sudah memukulinya.

"Aku ada di pihakmu, San," ucapku lembut. "Aku akan selalu

membelamu. Tapi kamu juga jangan merasa nggak berdaya. Kamu

memang cuma gadis kecil, tapi kamu punya banyak kelebihan. Kamu

cantik, cerdas, dan kreatif. Kamu bisa memanfaatkan kelebihankelebihan itu dan mengalahkan mereka semua."

Kini giliran Cassandra yang terdiam. "Aku bisa?"

"Kamu bisa," anggukku saat Cassandra mendongak untuk memandangku. Hatiku makin trenyuh karena gaya Cassandra saat ini bagaikan sedang menyembahku. "Asal kamu percaya, kamu akan sanggup mengumpulkan keberanian dan melakukan apa saja."

"Apa saja?" Mata di balik rambut itu terbelalak menatapku. "Termasuk melakukan kejahatan?"

Aku tersenyum lembut padanya. "Bukan kejahatan kalau kamu

membela diri, San. Setiap makhluk hidup berhak mempertahankan

hidupnya dengan cara apa pun. Karena itu, bahkan Tuhan dan

pemerintah pun takkan bisa menghukummu kalau kamu melakukan

hal-hal tertentu untuk membela diri. Jadi, percayalah pada dirimu

sendiri, beranikanlah dirimu, dan belalah dirimu sendiri!"

Cassandra menatapku lama. Perlahan, dia mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingkingku.

Pada saat itu, aku langsung tahu aku sudah menjangkau hatinya.

Tiga hari kemudian, dua juru rawat pria ditemukan mati dalam

keadaan tertusuk pisau bedah pada saat jaga malam bersama. Diduga

keduanya saling membunuh akibat perdebatan antarlelaki. Tidak ada

yang tahu apa penyebabnya, namun demi nama baik rumah sakit jiwa,

masalah itu selesai begitu saja.

Hari berikutnya aku menjenguk Cassandra di kamarnya. Aku

cukup yakin tidak akan bertemu gadis yang duduk meringkuk di lantai

23:18 PM

Asylum

dengan wajah tertunduk yang ditutupi rambut lagi. Sesuai keyakinanku,

aku mendapati gadis itu duduk di tepi tempat tidur dengan rambut

tersisir rapi, wajah tegak, tanpa jaket pengekang. Gadis normal yang

bahagia. Senyumnya mengembang saat menatapku.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku merasa jauh lebih baik hari ini," ucapnya.

Aku duduk di sampingnya seraya membalas senyumnya. "Kamu

memang sudah siap untuk keluar, San. Aku akan menuliskan surat

rekomendasi kepada pimpinan tentang kemajuanmu."

"Terima kasih, Pak Dokter. Di dunia ini, Pak Dokter adalah satusatunya orang yang mengerti diriku."

Aku bergeming saat Cassandra mendekat padaku, lalu mencium

bibirku dengan lama, lembut, dan hangat, menyentuhku hingga aku

nyaris kehilangan kendali.

"Aku cinta Pak Dokter."

"Terima kasih," ucapku dengan susah payah. Sulit sekali bagiku

untuk menolak ciuman yang begitu polos. Apalagi, baru beberapa saat

yang lalu dia sangat benci disentuh. Ciuman itu tentunya semacam

penyerahan diri padaku. "Tapi maafkan aku, San. Aku seorang dokter.

Aku nggak bisa menjalin hubungan dengan pasien."

"Aku tahu," ucap Cassandra sambil menyandarkan kepalanya di

bahuku. "Aku hanya ingin bersama Pak Dokter hari ini. Satu hari saja,

dan itu sudah cukup untuk seumur hidupku."

Satu hari saja, Jadi sore itu aku menjadi milik Cassandra. Hanya

sore itu, janji kami, dan seperti itulah yang terjadi. Kami saling berbagi impian dan cita-cita. Aku menceritakan hidupku yang tidak

diketahuinya sebelumnya, dan bagaimana semua itu mengubah diriku.

Aku membagi segala yang kutahu pada Cassandra mengenai hidup,

dan Cassandra menyerap semuanya dengan haus.

Keesokannya, Cassandra pulang ke rumahnya.

Ada rasa bangga saat aku meneliti daftar itu. Bukan hanya Cassandra

yang berhasil menemukan jati dirinya. Ada Arissa, Denise, Ophelia,

23:19 PM

Lexie Xu

dan masih banyak lagi. Berkat diriku, mereka sanggup membebaskan

diri dari ancaman yang mengurung mereka sebelumnya dan menjadi

gadis-gadis normal yang menjalani kehidupan yang utuh. Kalau dalam

perjalanan menemukan jati diri mereka harus mencabut satu atau

beberapa nyawa, semua itu takkan sia-sia.

Rasanya aku seperti Tuhan saja.

"Dokter?"Aku mendongak dari daftar itu dan memandangi wajah

cantik Winda. "Kita jadi pergi?"

Hari ini Winda tidak mengenakan seragam juru rawatnya, melainkan gaun pendek yang menonjolkan postur tubuhnya yang indah.

Sesaat aku merasa buta karena terpesona. Dalam wajah dan tubuh itu

terkandung gadis-gadis yang pernah menjadi milikku. Arissa, Denise,

Ophelia, Cassandra.

Aku merasa hasratku bangkit.

"Jadi, pasti jadi," ucapku. "Tunggu ya. Aku siap-siap sebentar."

"Oke, aku tunggu Pak Dokter di depan ya."

Aku melepaskan jas putihku dan menggantungnya, lalu merapikan

diriku di depan cermin.

"Jadi begitu?" Aku tertegun saat melihat sosok anak perempuan

kecil yang terpantul di cermin itu. "Dengan alasan itu Kakak membunuhku? Tuhan dan pemerintah pun nggak akan menghukum Kakak,

karena Kakak hanya ingin membela diri?"

Serta-merta aku menoleh ke belakang.

Tidak ada siapa-siapa.

Aku berpaling lagi ke cermin, dan melihat anak perempuan itu

masih saja berdiri di belakangku. Kedua kucirnya yang dulu selalu

rapi kini tampak kendur, pakaiannya yang dulu selalu indah kini dekil

dan sobek-sobek. Hantu masa laluku yang telantar dan tidak pernah

dipedulikan.

"Shut up!" cetusku dari sela-sela gigi yang terkatup. "Jangan

bicara lagi, anak sialan!"

"Kakak pernah mikir nggak, ke mana roh orang-orang yang dibunuh itu? Nggak, kan? Mereka akan selalu mengikuti pembunuhnya,

23:19 PM

Asylum

sama seperti aku mengikuti Kakak. Seumur hidup. Itu yang Kakak

inginkan bagi semua pasien Kakak itu?"

"Kamu hanya khayalanku," ucapku sambil memejamkan mata.

"Pergi, pergilah, Jocelyn."

"Baiklah," aku mendengar suara yang dipenuhi kesedihan. "Kalau

itu mau Kakak."

Saat aku membuka mata, anak kecil itu sudah lenyap. Tapi aku

tahu, dia pasti akan kembali lagi. Dia selalu kembali lagi pada saat aku

sedang bahagia?sepertinya untuk mengganggu kebahagiaanku. Tapi

aku tidak akan menyerah. Aku akan mengalahkan penyakit mental ini,

dan aku akan menang, sama seperti para pasienku.

Aku melepaskan name tag yag tersemat di kemejaku. Di sana

tercetak dengan rapi: Johan Jonathan, S. Psi.

Kupandangi name tag itu dengan bangga. Aku bangga pada diriku. Aku bangga dengan pencapaianku. Setengah mati aku bangkit dari segala kepedihan yang pernah membelengguku semasa remaja,

cinta masa kecilku yang sepihak, kebencianku pada orang-orang yang

menghancurkan kebahagiaanku. Kini aku berhasil menjadi dokter,

psikiater yang sukses. Tapi perjuanganku belum selesai. Sebelum

aku mengenyahkan semua hantu masa laluku, aku takkan bebas

selayaknya manusia normal.

Suatu saat nanti, aku akan bebas.

23:20 PM

Karya Lexie Xu

23:22 PM

SMS

Luna Torashyngu

Luna Torasnyungu kini berdomisili di Jakarta. Novel teenlit karyanya

yaitu Lovasket Series, Beauty and The Best Series, D?Angel Series,

Mawar Merah Series, dan single Pelangi untuk Rida, Victory, Angle?s

Heart, serta Dua Rembulan.

23:24 PM

Luna Torashyngu

Ibumu sakit keras, cpt pulang.

MS pada pagi hari di layar HP kontan membuat rencana Aryo

pagi ini berubah 180 derajat. Dia harus cepat pulang ke desanya,

menemui ibunya yang telah setahun ini tidak pernah dilihatnya.

Aryo adalah anak tunggal. Ibunya seorang janda yang hanya meng
gantungkan hidup dari berjualan tempe mendoan di pasar kecamatan.

Untungnya, sejak kecil Aryo dikaruniai otak yang cerdas, sehingga dia

bisa bersekolah hingga lulus SMA, bahkan mendapat beasiswa sehingga

bisa kuliah di salah satu universitas negeri terbesar di Jakarta hingga lulus. Tentu saja kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Aryo. Dengan berat

hati, ibunya menuruti keinginan anak semata wayangnya, walau itu berarti

si anak akan meninggalkan dirinya dan mereka akan jarang bertemu.

"Kamu akan pulang sekarang?" tanya Adi, teman satu kampus Aryo.

"Iya."

"Trus gimana ujian kamu? Ini hari terakhir lho. Sayang kan kalau

kamu harus ngulang tahun depan,"

"Ya mau gimana lagi? Soalnya aku takut nanti nggak sempet

ketemu."

"Yo wis kalau begitu. Nanti aku bilang ke Pak Danu. Mudahmudahan beliau mau mengerti."

Kamu dmn? Ibumu ingin ketemu kamu.

SMS kedua dari pakdenya hari ini membuat tekad Aryo untuk pulang ke desanya semakin bulat. Dia tidak peduli walau Arini pacarnya

sempat kaget dengan rencananya yang tiba-tiba ini.

"Tapi kamu kan janji mau nganterin aku shopping habis ujian

nanti," rajuk Arini, mahasiswi semester pertama yang juga merupakan

anak bungsu seorang direktur sebuah bank swasta nasional.

"Maaf ya, Arin, tapi ini kan mendadak. Nanti setelah pulang, aku

janji akan nemenin kamu," bujuk Aryo.

23:25 PM

SMS

"Nggak mau! Pokoknya kamu udah janji! Lagian kamu kok

mendadak pengin pulang sih? Kamu sendiri kan yang bilang bahwa

ibumu udah tua dan sering sakit-sakitan? Dulu juga pernah kamu dapat kabar bahwa ibumu sakit, ternyata setelah ditelepon cuma masuk

angin biasa. Kenapa sekarang kamu nggak nelepon lagi?"

"Nggak bisa," Aryo berkeras.

Kampung halaman Aryo adalah desa terpencil di daerah

Banyumas, Jawa Tengah. Walaupun jaringan listrik telah tersedia,

penduduk desa itu masih hidup dalam kesederhanaan. Hanya segelintir orang di desa itu yang mempunyai HP, dan salah satunya adalah

Pakde Saman, kakak almarhum ayah Aryo yang berprofesi sebagai

juragan beras. Pakde Saman ini juga satu-satunya orang yang punya

HP yang terdekat dengan rumah ibu Aryo. Melalui HP tua Pakde

Saman inilah Aryo berkomunikasi dengan ibunya, menelepon atau

sekadar SMS.

Sebulan yang yang lalu HP Pakde Saman rusak. Katanya sih tidak

bisa dipakai untuk menelepon, hanya bisa untuk SMS, karena itu Aryo

tidak bisa menelepon untuk memastikan kondisi ibunya. Lagi pula, saat ini pulsa HP Aryo sedang sekarat. Ia belum sempat mengisinya.

Niat Aryo pulang kampung semakin kuat. Walaupun Arini merajuk

dan mengancam putus, Aryo tidak peduli. Keinginan untuk menjenguk

ibunya tidak bisa dibendung lagi, apalagi oleh seorang gadis manja

seperti Arini.

Tiket habis!

Aryo tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari

petugas loket. Tiket kereta api jurusan Jakarta?Purwokerto habis.

Padahal ada sekitar enam jadwal keberangkatan kereta eksekutif dan

bisnis serta lima jadwal keberangkatan kereta ekonomi dari Jakarta yang

berhenti di Stasiun Purwokerto, tapi hari ini semuanya terisi penuh. Aryo

mencoba mencari calo yang biasa berkeliaran di sekitar stasiun. Tapi

naas, tidak ada satu calo pun yang terlihat batang hidungnya.

23:25 PM

Luna Torashyngu

"Mereka takut beroperasi, karena baru ada razia kemarin. Tunggu

aja seminggu lagi, pasti nanti juga rame lagi," kata penjual rokok yang

ditanya soal keberadaan calo-calo tersebut.

Tapi jangankan seminggu, tawaran petugas loket membeli tiket

untuk keberangkatan besok pun ditolak Aryo. Pokoknya hari ini dia

harus pulang! Hujan badai pun kelihatannya tak mampu membendung

keinginan putra Banyumas tesebut.

Saat terakhir kali pulang ke desanya setahun yang lalu, ibunya

seakan sangat berat melepas Aryo kembali ke Jakarta.

"Kamu lulusnya masih lama, ya?" tanya ibunya.

"Kira-kira dua tahun lagi, Bu. Kenapa?"

"Tidak. Tidak apa-apa, " jawab ibunya. Tapi Aryo bisa melihat air

muka ibunya seperti menyimpan sesuatu.

Aryo akhirnya memutuskan naik bus. Walau harus menempuh

perjalanan lebih lama, paling tidak dia akan segera bertemu ibunya

hari ini juga.

Banyak bus yang menuju Purwokerto, dari yang paling bagus

hingga yang paling brengsek. Aryo akhirnya naik bus PATAS AC yang

terlihat paling bagus di antara bus-bus lainnya.

Suasana di dalam bus terlihat agak ramai. Setengah dari kursi

yang tersedia telah terisi. Aryo memilih duduk di deretan kosong yang

berada di tengah, dekat jendela. Dia ingin menikmati kesendiriannya

selama dalam perjalanan.

Mudah-mudahan bus ini nggak penuh, harap Aryo.

Tapi harapan tinggal harapan. Lima menit kemudian seorang

bapak bertubuh gemuk duduk di sebelah Aryo. Tubuhnya hampir

mendesak tubuh Aryo yang kecil hingga ke jendela.

Aryo merutuk dalam hati, tapi tidak ada satu pun kata-kata keluar dari mulutnya. Keinginan untuk pulang dan bertemu ibunya mengalahkan ketidaknyamanan yang mungkin akan dinikmatinya sepanjang perjalanan.

23:26 PM

SMS

Suara SMS di HP-nya membuat Aryo yang setengah tertidur

membuka mata. Cepat ia mengklik gambar amplop di HP-nya.

Cpt balas SMS Pakde.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibumu manggil-manggil kamu terus.

Aryo melirik ke arah samping. Bapak gemuk yang tadi berada

di sampingnya sudah tidak ada. Sekarang yang duduk di sebelahnya

adalah seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun yang rambut

panjangnya diikat ke belakang.

"Dari tadi HP-nya bunyi, Dik," kata wanita itu saat melihat Aryo

terbangun.

"Eh... iya...," kata Aryo. Dia mengucek-ucek mata dan melihat ke

luar jendela. "Sekarang sampai mana, Mbak?" tanya Aryo.

"Prupuk," jawab wanita tersebut.

"Ooo..."

Sudah dekat, batin Aryo. Kurang dari dua jam lagi dia akan sampai

di kampung halamannya. Desa Aryo terletak sekitar sepuluh kilometer dari kota Purwokerto. Dari terminal Purwokerto Aryo harus

melanjutkan perjalanan dengan naik mobil omprengan yang menuju

desanya.

Karena sudah dekat itulah Aryo memutuskan untuk tidak

membalas SMS pakdenya, walau telah mengisi pulsa. Dirinya telah

berencana untuk memberi kejutan pada orang di desanya, terutama

pada ibunya. Aryo berharap dengan melihat kedatangannya secara

tiba-tiba, ibunya akan senang dan sembuh dari penyakitnya.

Aryo duduk di sebuah batu besar di pinggir jalan. Dia tidak sendiri,

melainkan bersama para penumpang bus yang dinaikinya. Tidak jauh dari tempatnya duduk, bus yang membawanya dari Jakarta ke

Purwokerto itu terparkir. Asap hitam telihat dari arah mesin di bagian

belakang bus.

23:26 PM

Luna Torashyngu

"Mesinnya kebakar. Dipaksa jalan jauh sih, padahal belum diservis," kata salah seorang penumpang yang tadi bertanya pada sopir dan

kenek bus.

Serentak riuh sebagian penumpang terdengar setelah mendengar

ucapan penumpang pria tadi. Kebanyakan mereka mengumpat atau

menunjukkan nada kecewa.

"Kira-kira lama nggak ya dibenerinnya?" tanya seorang bapak.

"Mungkin lama, Pak. Kata sopirnya harus nunggu mekanik dan

spare-part dari Cirebon," jawab si penumpang yang ditanya.

"Wah... lama dong. Bisa sampai malam kita di sini," celetuk salah

seorang penumpang.

"Yah mau gimana lagi?"

Aryo hanya diam. Pandangannya malah terarah pada sebuah mobil

minibus yang berhenti tidak jauh dari mereka. Beberapa orang penumpang terlihat berbincang-bincang dengan sopir minibus tersebut.

Aryo semakin tertarik dengan apa yang dilihatnya, apalagi semakin

banyak penumpang yang berkerumun di sekeliling minibus tersebut.

Dia pun bangkit dan menuju ke sana.

"Ada apa, Bu?" tanya Aryo pada seorang ibu yang datang dari arah

minibus tersebut.

"Itu ada yang nawarin tumpangan sampai Purwokerto. Tapi

mahal. Lagian mobilnya juga kayak gitu," sahut si ibu, lalu berlalu dengan menggandeng anaknya yang baru berusia sekitar tiga tahun.

Ucapan ibu tadi benar. Ternyata sopir minibus berhenti untuk

menawarkan angkutan pada penumpang. Tapi dia menawarkan tarif

yang tidak masuk akal. Hampir sama dengan tarif bus yang ditumpangi

Aryo. Alasannya karena harus menempuh jalur melewati pegunungan

yang curam dan berliku-liku. Tentu saja banyak penumpang yang menolak. Apalagi melihat kondisi minibus yang telah berumur dan terlihat tidak

terawat. Beberapa penumpang mencoba bernegosiasi, meminta sopir

minibus untuk menurunkan tarif, dan berhasil walau hanya sedikit.

"Itu udah murah. Di sini jalanan sepi dan tidak banyak kendaraan

yang lewat. Lagi pula hari sudah mau sore dan sebentar lagi hujan,"

kata sopir minibus saat diminta lagi menurunkan tarifnya.

23:27 PM

SMS

"Ini memang kendaraan tua, tapi ditanggung masih kuat dibawa ke Surabaya. Tapi ya itu, bensinnya agak boros, jadi mohon

pengertiannya," kilah sopir minibus lagi.

Aryo melirik jam tangannya. Memang sudah hampir sore. Dia

harus cepat sampai terminal Purwokerto atau tidak bakal kebagian

angkutan umum ke desanya yang hanya beroperasi hingga magrib.

Jika itu sampai terjadi, dia harus menumpang ojek yang tarifnya bisa

mencapai hampir sepuluh kali lipat dari tarif angkutan umum.

Akhirnya setelah berpikir panjang, Aryo memutuskan untuk ikut

menumpang minibus tersebut. Dia tidak mengindahkan peringatan

penumpang lain yang masih meragukan kondisi minibus. Bagi Aryo,

asal minibus itu bisa mengantarnya ke tujuan tepat waktu, itu tidak

masalah. Apalagi langit tiba-tiba gelap, pertanda hujan akan turun.

Untung saja Aryo punya kelebihan uang hasil tabungannya selama ini

dan pinjaman dari Adi. Ditambah lagi kenek bus mau mengembalikan

setengah dari uang tiket, sehingga bisa digunakan untuk membayar

tarif minibus. Bersama Aryo, ada sembilan penumpang lain yang juga

memilih ikut minibus, sehingga minibus itu menjadi penuh sesak,

melebihi kapasitas yang ada.

Baru lima menit minibus membawa Aryo berjalan, turun hujan deras.

Begitu derasnya hingga seluruh badan jalan langsung tergenang air.

Dalam hati Aryo bersyukur dengan keputusannya untuk ikut

minibus itu. Kalau saja dia bertahan bersama para penumpang lain,

saat ini dia pasti kehujanan, dan bukan tidak mungkin mekanik yang

ditunggu juga akan datang terlambat karena hujan, dan tentu saja itu

akan membuat perjalanannya makin lama tertunda.

HP miliknya kembali berbunyi.

Kamu di mana? Kalau ada waktu balas SMS Pakde. Ibumu ingin

tau kabarmu.

Sebentar lagi, Ibu pasti tidak hanya bisa berbicara denganku, tapi

juga bisa memeluk dan menciumi aku, batin Aryo sambil tersenyum.

Perlahan-lahan matanya terpejam.

23:27 PM

Luna Torashyngu

Dalam tidurnya, Aryo bermimpi bertemu dengan ibunya. Ibunya

mengenakan pakaian serbaputih, menyambutnya dengan tangan terbuka, lalu memeluk dan menciumi pipinya.

"Aryo pulang, Bu"

"Jangan tinggalkan Ibu lagi, Nak. Ibu selalu kangen kamu"

"Iya, Bu"

Tiga jam kemudian...

Puluhan orang berkerumun di bibir sebuah jurang yang terletak di

tepi jalan. Di antara orang-orang tersebut terdapat beberapa petugas

kepolisian dan petugas medis. Tiga mobil ambulans terparkir di pinggir jalan bersama dua mobil patroli polisi dan beberapa mobil lain.

Sekitar satu jam yang lalu terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan

yang menuju Purwokerto itu. Sebuah minibus yang sarat penumpang

terperosok masuk ke jurang sedalam lima puluh meter. Diduga akibat

rem blong, kondisi jalan yang licin saat hujan deras, dan penumpang

yang melebihi kapasitas maksimal. Diperkirakan seluruh penumpang

tewas, melihat kondisi mobil yang remuk dan hampir tidak berbentuk

setelah menghantam batu-batu gunung di dasar jurang. Evakuasi

para korban baru dapat dilakukan setelah hujan reda.

Saat azan magrib berkumandang, baru sebagian dari seluruh

korban tewas dapat dievakuasi. Kondisi medan yang curam dan licin

sehabis hujan serta kondisi mobil yang hancur menjadi penyebab sulitnya proses evakuasi. Walau begitu, evakuasi tetap dilanjutkan hingga

seluruh korban dapat dikeluarkan. Sebuah generator listrik berukuran

besar didatangkan untuk membantu penerangan saat evakuasi dilakukan pada malam hari. Evakuasi ini dipimpin langsung oleh kapolsek

setempat.

Seorang petugas polisi yang membantu evakuasi di dasar jurang

mendengar suara ringtone HP. Setelah dicari-cari, ternyata suara itu

berasal dari HP yang ada di dalam mobil, berada di dalam genggaman

23:27 PM

SMS

seorang korban tewas yang terjepit di antara pintu belakang mobil

yang ringsek dan tempat duduk penumpang, dan belum sempat

dievakuasi. Petugas itu mengambil HP yang ternyata masih berfungsi

dengan baik.

Ternyata sebuah SMS masuk.

Penasaran, si petugas membuka SMS tersebut.

Cpt kamu pulang, Nak. Ibumu telah tiada.

23:28 PM

Karya Luna Torashyngu

23:31 PM

Gadis dan Pohon

Jambu

M. Aan Mansyur

M. Aan Mansyur lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Sehari-hari bekerja

sebagai relawan di Komunitas Ininnawa di Makassar. Bukunya yang

sudah terbit antara lain Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Sudahkah

Kau Memeluk Dirimu Hari Ini? (2012), dan Kukila (2012, GPU).

23:33 PM

M. Aan Mansyur

AYA mengenalnya dengan baik. Kami bersahabat, tepatnya.

Dia senang berjalan pada pagi hari ketika masih muda. Saya

masih menyimpan kaus biru tua yang dulu sering dia gunakan

ketika melakukan aktivitas itu. Rumahnya terletak kira-kira satu kilometer dari satu bukit yang kakinya ditumbuhi cukup banyak pohon

enau, jambu, dan pohon-pohon yang saya tidak tahu namanya. Ke bukit itulah dia pergi setiap pagi. Baginya, berjalan cepat ke bukit akan

meringankan napasnya. Dia tidak senang berlari. Dia selalu memilih

berjalan cepat. Dia yakin hal itu akan membuat daya ingatnya tidak lekas rapuh. Dia sudah menyaksikan banyak pria seusia dirinya menjadi

pelupa. Sangat menyedihkan, katanya.

Pada suatu pagi, sambil menikmati segelas teh, dia menceritakan

kisah ini kepada saya. Dia lebih menyukai teh?dengan sedikit gula?

dibandingkan dengan minuman apa pun. Saya kira, kebiasaan saya

minum teh menular dari dia.

"Saya suka ke bukit itu, melewati setapak kecil yang jarang dilewati orang. Setapak itu seolah-olah ada untuk saya dan hanya untuk

saya. Saya meninggalkan rumah setelah salat Subuh, ketika langit

seolah-olah hanya separuh langit. Sisanya adalah bayangan. Ketika

tiba di pucuk bukit, sebagian bayangan langit itu menimpa bayangan

saya. Menyenangkan sekali melihat bayangan langit pelan-pelan

menghilang meninggalkan bayangan saya yang menjadi kian jelas,

kian utuh sebagai milik saya. Dan, saya pulang ketika langit sudah

utuh menjadi langit kembali. Selalu begitu."

Dia menjelaskan sesuatu dengan cara seperti itu. Selalu seperti

itu. Dia seakan-akan sedang membaca novel dan membuat saya sering kali tidak sabar mendengarnya. Kadang saya berpikir dia senang

mengindah-indahkan sesuatu yang sudah hilang, seperti kisah tentang

bukit yang sudah menghilang tertimbun permukiman mewah orangorang kaya yang jengah tinggal di kota.

"Pada suatu pagi, saya berjalan lagi ke bukit itu, seperti biasa. Saya

melewati jalan setapak yang lekuk-likunya sudah dihafal kedua telapak

kaki saya. Tapi, ada yang tidak biasa pagi itu. Untuk pertama kalinya,

saya melihat ada ranting pohon jambu melintang di sana, beberapa

23:33 PM

Gadis dan Pohon Jambu

meter sebelum saya mendaki bukit. Awalnya, saya tidak memikirkan

rintangan kecil itu dan hanya tersenyum, menganggapnya lelucon

yang dikirimkan kepada saya terlalu pagi. Saya menyingkirkannya, dan

lanjut berjalan. Tapi, ketika separuh punggung bukit sudah saya daki,

saya merasa ranting itu telah mengganggu irama perjalanan saya.

Saya merasa ranting itu telah mengganggu hidup saya pagi itu."

Dia berhenti sejenak sambil meneguk teh yang sudah kehilangan

kehangatannya. Saya pelan-pelan tertarik masuk ke ceritanya. Dia

pernah mengatakan kata-kata punya kekuatan untuk menyihir. Setiap

mengingat kata-kata itu, saya tersenyum mengingat teman saya yang

mati-matian belajar menulis puisi agar bisa punya istri lebih dari satu.

"Ketika balik dari bukit, saya menemukan ranting pohon jambu

yang sudah saya singkirkan itu kembali melintang di jalan. Saya
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir, ini betul-betul lelucon. Saya menyingkirkannya lagi, lalu

melanjutkan perjalanan ke rumah. Tapi, besoknya, ketika saya kembali ke bukit, saya menemukan ranting itu melintang lagi di sana. Saya

menyingkirkannya sekali lagi. Besok, dan besoknya lagi, ranting pohon

jambu yang sudah kehilangan daun-daunnya itu selalu melintang

menghalangi perjalanan saya."

Saya tersenyum dan berpikir kisah mengerikan apa yang akan

pria tua ini ceritakan kepada saya. Pada saat-saat tertentu, dia senang

menceritakan hal-hal yang bagi saya cukup membuat bulu kuduk

merinding. Saya kira orang-orang tua senang menceritakan halhal mengerikan untuk menghibur diri. Mereka pikir, mereka lebih

beruntung karena memiliki kisah-kisah semacam itu, kisah-kisah

yang tidak dimiliki orang-orang yang datang jauh lebih belakangan.

"Setiap pagi, ranting pohon jambu itu melintang di jalan setapak.

Dan setiap pagi saya menyingkirkannya. Pada suatu hari, di puncak bukit,

ketika sedang mengamati bayangan saya, terpikir oleh saya bahwa ranting

pohon jambu itu ada untuk saya. Malam hari, sebelum tidur, saya menulis

surat dan mengucapkan terima kasih kepada entah siapa karena setiap

pagi telah meletakkan ranting di jalan setapak itu. Saya bilang, mungkin

ranting itu kelak membuat punggung saya tidak mudah sakit."

Pria tua ini, bagi saya, sering kali usil dan bijak pada saat

23:34 PM

M. Aan Mansyur

bersamaan. Itulah salah satu alasan kenapa saya bersahabat dengannya?dan selalu senang mengingat semua cerita yang pernah dia

kisahkan kepada saya. Alasan lain, tentu saja, karena dia tidak senang

marah. Dia tidak seperti ayah saya. Dia tidak seperti orang-orang kota,

teman-teman ayah saya, yang dadanya terbuat dari bahan peledak.

"Keesokan harinya, setelah menyingkirkan ranting pohon jambu

yang mulai kering itu, saya meletakkan surat saya di dekatnya. Saya melihat surat itu masih tergeletak di sana ketika saya pulang ke

rumah. Pada malam hari, saya menulis lagi surat yang lain, masih

berterima kasih karena ranting pohon jambu itu. Saya bilang, keusilan

seseorang barangkali lahan yang baik bagi orang lain untuk melakukan

kebaikan."

Dia berhenti cukup lama dan menghabiskan tehnya. Dia tersenyum

lalu melanjutkan cerita ketika melihat saya mulai gelisah. Pada saatsaat tertentu, orang tua tidak lebih dari anak kecil berusia puluhan

tahun. Menggemaskan.

"Keesokan harinya, saya menemukan surat saya sudah tidak ada di

sana. Sebaliknya, di ranting pohon jambu itu ada surat dari entah siapa

bersama ranting yang melintang itu. Saya mengambilnya dan meletakkan

surat lain di tepi jalan setapak, di dekat ranting itu. Di atas bukit, saya

membaca surat balasan itu. Di sana, tertulis ucapan terima kasih yang

lain. Singkat. Dia bilang: Terima kasih telah mengirimkan surat. Keesokan

harinya, surat balasannya juga berisi terima kasih. Katanya: Terima kasih

telah menyingkirkan kejahatan saya, begitu setiap hari. Kami berbalas

surat sampai kemudian saya tahu siapa dia sebenarnya."

Saya tidak sabar mendengar kelanjutan ceritanya. Tetapi, pria tua

itu senang mempermainkan saya. Bukan mempermainkan, katanya,

tetapi melatih seorang pria muda untuk bersabar.

"Kamu tahu? Orang yang selalu meletakkan ranting pohon jambu

di jalan setapak itu adalah seorang gadis. Pemalu dan cantik. Pada

suatu hari, dia tidak membalas surat saya, tetapi berdiri di jalan

setapak itu sambil memegang ranting pohon jambu yang betul-betul

sudah kering. Dia menunggu saya di sana bersama senyumannya.

Manis sekali. Saya mengajaknya berjalan ke puncak bukit. Tapi, kami

23:34 PM

Gadis dan Pohon Jambu

tidak membicarakan apa pun ketika sampai di sana. Kami hanya duduk

membiarkan kepala kami masing-masing bicara sendiri."

Dia berhenti lagi dan meminta saya membuat segelas teh. Sialan.

Belajar bersabar butuh kesabaran.

"Senyumnya lebih manis daripada teh bikinan kamu ini. Kamu sedang jatuh cinta? Teh bikinan kamu berbeda daripada biasanya."

Dia tiba-tiba jadi lelaki tua pikun. Ceritanya beralih ke mana, saya

tidak tahu. Saya tersenyum.

"Senyum kamu sudah cukup sebagai jawaban. Semoga gadis

yang membuatmu jatuh cinta tidak terlalu jauh berbeda dibanding

nenekmu. Kamu berulang tahun hari ini, bukan? Usia kamu sudah

enam belas tahun. Tidak wajar kalau belum punya pacar. Ayo, ajaklah

gadis itu ke sini nanti sore. Kita rayakan ulang tahunmu bersama."

Saya betul-betul sudah merasa dipermainkan dengan pernyataanpernyataannya itu. Ceritanya menggantung dan beralih membahas

saya dan pacar saya.

"Hari itu, tanggalnya sama dengan hari kelahiran kamu, saya

menikah dengan gadis yang selalu meletakkan ranting di jalan setapak di kaki bukit itu. Dua tahun kemudian, ibumu lahir, tapi nenekmu

meninggal. Nenekmu perempuan yang baik hati. Amat baik. Dia

pernah bilang bahwa hidup ini tidak lebih seperti jalan setapak menuju

bukit, kita akan selalu menemukan ranting di sana."

Saya diam, tidak tahu harus menanggapinya dengan apa.

"Ditinggalkan orang yang paling kita cintai pun barangkali cuma

ranting. Kita bisa menyingkirkannya, tapi akan selalu ada yang melintangkan ranting itu kembali di jalan. Nenekmu mengatakan itu sehari

sebelum ibumu lahir, sehari sebelum dia pergi."

Saya menangis pada hari ulang tahun keenam belas saya karena

cerita pria tua itu, sahabat saya itu. Dia mendiang kakek saya.

Pada sore harinya, saya mengajak pacar saya ke rumah untuk

pertama kalinya. Dia satu-satunya perempuan yang bisa membuat

23:35 PM

M. Aan Mansyur

saya jatuh cinta hingga sekarang. Kakek saya mengajak kami ke kebun

tidak jauh dari bukit. Di sanalah rumah nenek saya dulu. Di sanalah

nenek saya dimakamkan. Di sana pulalah kakek saya dimakamkan, di

dekat kubur istrinya. Kebun itu banyak ditumbuhi pohon jambu.

Kakek saya selalu tertawa melihat saya dan pacar saya makan

banyak jambu hingga petang di sana. Dia punya bakat untuk menertawakan hal-hal kecil yang tidak lucu.

Kakek saya masih kuat berjalan. Tapi dia selalu mengenakan

tongkat ketika meninggalkan rumah, ketika pergi ke bukit yang sekarang sudah hilang itu, atau ke kebun jambu yang sudah dijual ayah

saya entah kepada siapa itu.

"Tongkat saya yang tampak rapuh ini terbuat dari ranting yang

dulu selalu diletakkan nenekmu di jalan setapak itu."

Sebelum kami pulang, kakek saya bilang, "Perhatikan baik-baik

warna daging buah jambu yang kalian makan. Juga biji-bijinya."

Saya tidak tahu apa yang dia maksudkan. Pacar saya tidak banyak

bicara dan sangat menikmati kebebasannya memanjat banyak pohon

jambu sore itu. Dia seperti tidak memiliki kemampuan apa pun untuk

menghalau anak kecil dalam dirinya keluar dari keanggunan yang

selama ini dia jaga.

Sore ini saya menerima undangan pernikahan pacar saya itu. Tidak

ada surat yang menyertainya. Dia akan menikah dengan seseorang

yang tidak saya kenal. Entah kenapa, saya mengingat cerita kakek

saya. Saya seperti menelan biji-biji jambu tanpa daging sama sekali.

Sore ini saya merindukan kebun jambu mendiang kakek saya.

Saya merindukan kakek saya dan cerita-ceritanya. Saya menyesal

tidak pernah bertanya kepada Kakek apakah dia pernah merasa

kehilangan segala sesuatu, termasuk diri sendiri.

Sore ini tepat dua belas tahun setelah sore ketika kakek saya

menceritakan kisah gadis dan ranting pohon jambu itu. Dan saya

menuliskan cerita ini entah untuk siapa.

23:35 PM

Karya M. Aan Mansyur

23:36 PM

Persepsi

Maggie Tiojakin

Maggie Tiojakin lahir di Jakarta, pada tahun 1980. Ia telah menulis

empat buku, yang terbaru Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa

(2013). Sebagai jurnalis, tulisannya telah dimuat di media lokal dan

internasional. Saat ini Maggie Tiojakin tengah merampungkan novel

keduanya yang berjudul Grace.

23:38 PM

Persepsi

ISTRO itu ramai pengunjung. Pintu kaca terayun setiap beberapa menit, memuntahkan dan mengantar pengunjung keluar-masuk bistro. Hampir semuanya dibalut setelan jas dan

gaun mewah?sementara harum pewangi tubuh mereka sangat tajam

menusuk hidung hanya dengan sekali endus.

Seorang maitre?d berdiri di pucuk tangga tepat di belakang pintu

kaca, menyambut setiap pengunjung dan mengarahkan mereka ke meja

reservasi. Musik jazz melantun sendu dari pengeras suara yang tersemat

di sudut-sudut langit-langit ruangan. Para pengunjung bercengkerama

diselingi tawa dan senyum simpul, wajah mereka terpoles sempurna,

sarat akan warna?pria, wanita sama saja. Tampan dan cantik adalah

dua adjektiva yang mudah dipertukarkan di tengah maraknya kehidupan

metropolitan. Para pelayan, dalam setelan hitam-putih, bergerak

sistematis seraya membawa nampan berisi hidangan-hidangan lezat?

veal steak, duck con?t, poached salmon, grilled halibut, seared foie

grass?dipadani dengan minuman yang tak kalah nikmat.

Sementara itu, di dapur terbuka, yang didesain persis akuarium

dengan dinding kaca hingga para pengunjung bebas menyaksikan

proses penyiapan makanan dan minuman, para koki dan asistennya

sibuk menumis, mencincang, mengaduk, dan menata bumbu-bumbu

hidangan?ritual sakral yang digubah menjadi pertunjukan teatrikal.

Dan di tengah semua itu, tepat di pusat ruangan, ada sebuah island bar

tempat cahaya lampu neon terbias dan terpantulkan secara simetris.

Setiap garis, gugusan piksel, bias warna dan bayangan adalah hasil

proses timbal-balik antara pengelihatan manusia yang tak sempurna

dan distorsi cahaya?dalam hal ini, datangnya dari jajaran botol kaca

berisi cairan alkohol serta gelas-gelas berleher tinggi yang digantung

terbalik di rak-rak besi dan berfungsi ganda sebagai dekorasi.

Aris, bartender yang bertugas malam ini, adalah satu-satunya

yang boleh berada di balik island bar tersebut. Kebijakan bistro cukup

ketat mengenai hal ini. Kecuali bartender yang bertugas, tidak ada

orang lain yang boleh menyentuh koleksi minuman beralkohol di sana.

Pemuda itu baru berusia 27 tahun, namun mengenal alkohol seperti

ia mengenal garis-garis di telapak tangannya.

23:38 PM

Maggie Tiojakin

"Kau punya absinthe?" tanya seorang wanita yang baru saja memisahkan diri dari salah satu kelompok pengunjung. Ia menenteng tas

tangan yang ramping seraya bersandar di tepian island bar. Kakinya

ditopang sepasang sepatu berhak tinggi dengan ujung lancip. Jalannya

sangat hati-hati, tak terbiasa. Atau terpaksa.

"Dalam bentuk campuran koktail, ya," angguk Aris. "Apa yang

Anda mau?"

"Apa saja, asal keras."

"Semuanya keras."

"Apa yang paling populer?"

"Death in the Afternoon."

"Mengerikan sekali."

"Corpse Reviver?"

"Kenapa semuanya begitu menakutkan sih?"

Aris mengedikkan pundak.

"Apa rekomendasimu?" Wanita itu berwajah tirus, bertubuh kurus,

dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai. Ia mengenakan gaun

satin dengan pundak terbuka. Ketika ia berbicara, pundaknya merosot

dan melengkung ke depan. Menutupi dadanya yang besar.

"Death in the Afternoon," jawab Aris.

"Seperti apa rasanya?"

"Campuran absinthe dan sampanye. Tidak terlalu keras. Agak

manis, karena ditambah sedikit gula, jeruk lemon, dan es batu."

"Baiklah. Itu saja."
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aris menggunakan gelas kocok metalik untuk mencampur takaran

minuman yang dipesan wanita tersebut, mengaduknya dengan sendok

besi panjang, dan menuangnya ke dalam gelas kaca berleher tinggi

lewat saringan khusus. Ia tak lupa menyematkan irisan jeruk lemon di

bibir gelas. "Voil?," katanya.

Wanita itu menyesap isi gelasnya, seteguk dan seteguk lagi, dengan

bibir memagut rapat tepian gelas kaca. Ia mengambil irisan jeruk lemon

dan mengisap sarinya sambil meringis?lalu mendesah lega. Irisan jeruk

lemon itu dilepehkan dalam keadaan tak lagi segar. Aris membuka telapak tangan dan menyodorkannya ke depan; wanita itu meletakkan sisa

23:39 PM

Persepsi

irisan jeruk lemon di atas tangan pemuda tersebut?lalu lanjut menyesap

minumannya. Aris melempar sisa irisan jeruk lemon tadi ke dalam tong

sampah di samping kakinya, di bawah konter island bar.

"Aku baru pertama kali ke sini," ujar wanita itu. "Ternyata tempatnya enak juga."

"Seharusnya Anda lebih sering kemari," kata Aris.

"Ya," angguk wanita itu. "Ya, kau benar."

Seorang pelayan?namanya Juwita?datang menyampaikan pesanan. Segelas Lime Rickey. Gadis itu bertubuh sedikit gempal dengan wajah bulat dan rambut pendek. Wajahnya tak mulus, seragam

yang ia kenakan tampak ketat di pinggang, membuat gumpalan lemak

berlebih di sekitar perutnya terlihat jelas.

Aris mencampur perasan jeruk lemon, bourbon, satu sendok the

angostura bitters, dan air soda di dalam gelas kaca tinggi sebelum

menuangnya ke gelas saji berleher pendek. Ia juga menambahkan

sedikit parutan kulit jeruk untuk efek.

"One Lime Rickey coming up," kata pemuda itu.

Juwita meletakkan sajian itu ke atas nampan dan mengedipkan

sebelah mata ke arah sang bartender. Thanks, babe," ujarnya sebelum

melangkah pergi dengan pundak tegak, dagu terangkat tinggi, dan

dada membusung.

Aris mengulas senyum kecil, lalu mengambil lembaran kain perca dan membersihkan konter kerjanya yang tercecer perasan jeruk lemon. Wanita di hadapannya masih belum menghabiskan sajian koktail

di atas meja bar. Aris mengeluarkan sepiring kecil kacang goreng dan

meletakkannya di samping gelas koktail itu.

"Aku tidak memesan kacang," kata wanita itu.

"It?s on the house," tutur Aris.

"Aku boleh tanya sesuatu?"

"Silakan."

"Menurutmu aku cantik?"

Aris menatap wanita itu lama. "Kenapa?"

"I?m curious."

"Apakah Anda merasa cantik?"

23:39 PM

Maggie Tiojakin

Wanita itu menggeleng. "Tidak."

"Sayang sekali."

"Menurutmu aku cantik?"

"Pendapat saya tidak penting."

"Aku serius," kata wanita itu, nyaris memelas. Wajahnya terbias

cahaya lampu neon yang dipantulkan botol-botol kaca di atas rak kayu,

seperti ruas-ruas pelangi. "Jawab pertanyaanku dengan jujur."

"Cantik itu relatif."

"Sudah kubilang, aku serius. Kau tinggal jawab ya atau tidak."

Aris tidak langsung menjawab. Wanita itu menunggu dengan resah,

menggigit bibirnya sendiri keras-keras. "Tidak," jawab sang bartender.

Pundak wanita itu semakin merosot. "Menurutmu aku jelek?"

"Saya tidak bilang begitu."

"Kalau aku tidak cantik, berarti aku jelek."

"Saya suka wanita yang menghargai dirinya sendiri."

Wanita itu ganti menatap Aris lama-lama, lalu tawanya menggelegar. Keras sekali. Air mata mengalir dari sudut matanya, saking

gelinya ia tertawa. Aris tak mengerti. Wanita itu mengangkat gelas koktail tinggi-tinggi di udara dalam posisi menyulangi sang bartender dan

segera menghabiskan isinya. Lantas ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam tas tangannya dan meletakkannya di atas meja

bar. Kepalanya digeleng berkali-kali dengan senyum lebar terpatri di

wajah, sisa-sisa tawa tadi.

"Thank you," kata wanita itu. "You?re really very sweet and funny."

Aris mengambil lembaran uang tersebut dan melipatnya jadi dua,

kemudian menyelipkannya ke dalam saku rompi yang ia kenakan. Pemuda itu mengikuti wanita tadi dengan pandangannya, kembali ke meja

makan, ke dalam keramaian, di antara lipatan-lipatan pembicaraan

yang ngalor-ngidul. Wanita itu masih tersenyum ketika bergabung

kembali dengan teman-teman satu mejanya, menyulut sebatang rokok putih, mengembuskan asap tipis dari sudut bibirnya. Kelompok

itu tidak beranjak sampai jam menunjukkan pukul setengah dua belas

malam.

Aris kian sibuk mengaduk dan menuang campuran alkohol. Gin,

23:40 PM

Persepsi

vodka, rum, tequila, wiski, anggur, dan sake. Dengan es batu, tanpa es

batu. Straight up, neat, highball, lowball, on-the-rocks, pick-me-up,

shooter, smash, virgin. Dengan selipan buah zaitun, tomat ceri, bola

melon, irisan jeruk lemon, parutan kulit jeruk, biji kopi, dan batang seledri.

Sebagian besar orang tidak bisa mencium bau alkohol sampai

bau itu bercampur dengan hawa mulut ataupun keringat tubuh, tapi

tidak begitu halnya dengan Aris. Ia bisa mencium bau alkohol layaknya semprotan parfum atau obat pembunuh serangga?sama

kuatnya. Setiap malam, ketika pulang ke unit ?at tempat tinggalnya

setelah bekerja seharian, Aris mengenali bau alkohol yang menempel

di tubuhnya, menggerayangi pori-pori kulitnya seperti sisa-sisa percintaan terlarang?samar, namun memabukkan.

Pukul setengah dua pagi, Aris pamitan pada teman-teman sejawatnya di depan pintu bistro yang belum lama dikunci oleh sang

manajer. Kursi-kursi duduk telah diangkat dan diletakkan terbalik di

atas meja. Gelas-gelas kaca juga telah dicuci dan dikeringkan, serta

digantung kembali di rak-rak besi. Botol-botol minuman beralkohol

telah disegel ulang untuk persiapan esok hari. Dapur terbuka juga

sudah tertata rapi, tanpa ada perkakas ataupun bumbu yang tercecer.

Lampu dimatikan. Udara subuh berembus dingin. Para pekerja bistro

merapatkan jaket sebelum berpencar ke arah tujuan masing-masing.

Juwita menarik kerah sweter yang ia kenakan dan menggamit lengan Aris dengan sigap, seolah ada magnet yang menariknya ke sana,

gestur yang otomatis, tanpa izin. Mereka berjalan ke arah stasiun

kereta terdekat.

"Tumben kau tak banyak bicara malam ini," tegur Juwita. "Lagi

memikirkan apa?"

"Entahlah," jawab Aris. Di ujung jalan, mereka berhenti sesaat,

memastikan tak ada kendaraan yang lewat sebelum bergegas

menyeberangi jalan, menelusuri trotoar yang tak rata permukaannya.

Aris tak sengaja melihat sepatu teplek yang dikenakan Juwita, serta

kaus kakinya yang kendur. Musik dangdut menggema halus dari sebuah warung kecil di sudut perempatan. "Tadi ada wanita yang tanya

padaku apakah menurutku dia cantik atau tidak."

23:40 PM

Maggie Tiojakin

"Lalu?"

"Aku bilang aku lebih suka wanita yang bisa menghargai dirinya

sendiri."

"Kau benar bilang begitu?"

"Tentu saja."

Juwita mengeratkan pegangannya pada lengan Aris. "Aku bangga

padamu," katanya. "Jarang ada laki-laki yang berpikir seperti itu."

Aris menatap lurus ke depan. "Tapi lantas dia tertawa. Sejadijadinya."

"Mungkin dia salah dengar ucapanmu."

"Dia tahu benar apa yang kuucapkan. Justru itu sebabnya dia

tertawa."

Mereka memasuki stasiun kereta yang kelewat sepi. Aris membeli

tiket di loket berdebu yang dijaga lelaki tua. Di dalam gerbong kereta,

mereka duduk bersebelahan. Begitu kereta bergerak meninggalkan

stasiun, getaran mesin menggelitik kaki dan menjalari tubuh mereka.

Dari jendela kereta, kota tempat tinggal mereka melesat cepat?

tatanan gedung tinggi dengan kotak-kotak cahaya yang berpendar di

bawah langit gelap tanpa bintang; sungai yang membentang, membelah area permukiman; deretan kedai makan dan restoran fast food

yang buka 24 jam; serta bar-bar pinggir jalan yang memamerkan

lampu neon warna-warni, melayani hasrat nokturnal.

Aris menggenggam tangan Juwita, mengapit jemarinya yang buntat. Tubuh gempalnya menguarkan bau keringat campur asap masakan yang masih melekat, namun entah kenapa, Aris menyukai itu.

Kemudian ada satu momen ketika bayangan mereka terpantul selangseling di kaca jendela?dilatari pekatnya suasana malam?dan Aris tak

sengaja menangkap bayangannya sendiri: pemuda kerempeng, kecil,

bermata belo, berhidung pesek, bertelinga lebar, dan berkulit legam.

Persis dakocan.

Pemuda itu terpingkal. Lama sekali.

23:41 PM

Karya Maggie Tiojakin

23:43 PM

Apalah Artinya

Nama

Marga T

Pada awal tahun tujuh puluhan, saat masyarakat haus akan novel

hiburan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, bertiuplah angin

baru dalam dunia novel Indonesia: Karmila (Desember 1973, GPU).

Novel yang ditulis oleh Marga T, yang saat itu masih mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, ini langsung sangat disukai

pembaca hingga dicetak ulang berkali-kali. Diilhami kesuksesan

Karmila, banyak penulis lain yang kemudian mengikuti jejaknya,

menulis novel-novel manis. Seiring dengan berjalannya waktu dan

bertambahnya pengalaman, tulisan Marga T semakin bervariasi.

Sekitar 70 judul karyanya tidak hanya kisah-kisah cinta yang manis,

tetapi juga novel detektif, spionase, bahkan cerita satire.

23:45 PM

Apalah Artinya Nama

ENERBIT Gramedia Pustaka Utama (GPU) mengundang segenap penulis untuk tampil dalam acara Malam Perayaan HUT

ke-40 yang akan dihadiri oleh para pembaca setia. Di antara

para undangan termasuk Frans Dobo.

Pengarang yang satu ini belum pernah muncul di muka umum.

Selama ini belum ada yang tahu apa sebabnya, walau dia pernah

menulis di Twitter: Gak punya pakaian yang cocok atau sedang gak di

tempat. Seandainya alasan sebenarnya sampai terbongkar, mungkin

ini merupakan rahasia yang tidak kalah aneh dari kisah pembunuhan

Presiden Kennedy.

"Rasanya nggak enak kalau nolak lagi. Ini kan ultah ke-40.

Masa GPU sudah setua itu, aku belum pernah datang menjenguk

kandangnya. Anu maksudku istananya," ujar Frans pada istrinya.

"Bisa-bisa aku dicap nggak tahu diri!"

Rupanya Frans mulai berubah pikiran. "Kalau bukan sekarang,

kapan lagi mau tampil?" katanya pada sang istri. "Aku kan ingin juga

dielu-elukan oleh para fans seperti Bieber. Siapa tahu ada cewek yang

pingsan setelah mengecup pipiku."

"Tapi kau kan pemalu banget. Salah-salah celanamu nanti basah."

Frans mengeluh. "Tetapi, masa aku harus tampil sebagai cewek?

Pasti heboh sejagat. Media bakal langsung kebakaran jenggot. Mereka

yakin aku punya kelainan. 'Apakah Marga suka pakai baju perempuan?

Hak tinggi? Wig?' Pusing!"

"Yah, gimana ya? Kau sudah telanjur pakai namaku," ucap istrinya.

"Sekarang semua orang mengira kau cewek."

"Aku sudah bosan pinjam namamu. Sampai-sampai ibuku sendiri

mengira kau yang pengarang, bukannya aku. Dia penasaran sekali. ?Frans,

kenapa sih Marga nggak mau muncul promosi seperti Mira, Mara, Remy,

dan lainnya? Mama kan kepingin menantu Mama dikenal penggemarnya!?

Padahal aku rindu betul dipuji-puji ibuku. Kau yang nggak bisa ngetik,

nggak tahu mengeja, malah dapat sanjungan terus. Nasib!"

Sang istri tersenyum. "Jangan kuatir. Biar aku saja yang tampil.

Kau duduk sebagai penonton. Toh kepalang fotoku sudah terpampang
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilihat pembaca."

23:45 PM

Marga T

Frans mendelik. "Kau tahu apa soal novel-novelku? Satu juga

belum pernah ada yang kaubaca!"

"Itu lantaran bacaanku kebanyakan sastra. Bukan berarti aku

nggak tertarik pada tulisanmu. Tapi terus terang aku alergi sama popcengeng, sebab spesialis sudah melarang aku nggak boleh nangis

kalau baca buku. Kau kan tahu mataku ada kelainan, kalau sering

mewek bisa bikin masalah."

"Aku mau jawab Mbak Anas gimana, ya? Masa lagi-lagi nolak

undangan? Waktu pembagian award ulang tahun GPU yang ke-30, aku

nggak hadir. Sekarang masa aku mau absen lagi?"

"Jangan kuatir, Say. Balas saja e-mail Mbak Anas, bilang Marga

akan hadir. Apa sih sulitnya berlagak jadi pengarang? Paling-paling

aku bakal dimintai tanda tangan. Karena itu namaku sendiri, berarti

itu tanda tanganku juga, kan?"

"Rasanya sudah saatnya aku pakai namaku sendiri. Paling nggak,

ayahku bakal tahu, anak yang selama ini dianggapnya ?kartu mati?,

nggak lulus jadi sarjana hukum, cuma berhasil punya tiga kapsalon?

kapsalon ini kubutuhkan sebagai tempat menadahkan ilham. Ke

mana lagi cewek-cewek suka buka kartu kalau bukan pada penata

rambut??ternyata sudah jadi pengarang beken."

"Jangan suka nyombong, Frans. Di atas langit masih ada langit."

"Betul juga. Jadi kau setuju, novel terbaruku dan seterusnya aku

pakai namaku sendiri?"

"Berarti tanda tanganku nggak bakal laku lagi dong. Yah, apa

boleh buat. Asal kau juga setuju aku yang tampil pada perayaan HUT

GPU nanti. Kau jadi penonton saja ya!"

Ternyata malam HUT itu luar biasa meriah. Setelah kata sambutan

dari Direktur GPU serta panitia, setiap pengarang diundang naik ke

podium untuk bertatapan muka dengan para penggemar masingmasing. Karena mengerti sensitifnya ego pengarang, pembawa acara

memanggil sesuai urutan abjad nama mereka, bukan berdasarkan

23:46 PM

Apalah Artinya Nama

siapa menelurkan emas terbanyak, sehingga takkan ada yang merasa

tidak dihargai.

Istri Frans tiba gilirannya naik ke panggung setelah Mara. Tentu

saja bukan sebagai istri, sebab tak ada yang tahu riwayatnya, apakah

Marga menikah, apakah anaknya lebih dari tiga, dan sebagainya.

"Dan sekarang, para hadirin kami tampilkan pengarang yang

selama ini selalu menghindar bagaikan belut Marga! Tepuk tangan

semuanya!"

Setelah tepuk tangan yang membahana mereda (pasti bakal ada

yang telapaknya jadi kapalan akibat tepukan keras itu), maka para

fans dipersilakan tanya-jawab.

Sebenarnya istri Frans tidak siap, sebab dia tidak menduga akan

ada sesi "sepuluh menit tanya-jawab". Yang dibayangkannya hanyalah

tanda tangan di buku. Tapi dia tidak gentar. Sambil melirik Frans yang

duduk diam seperti orang kedinginan, memeluk kedua lengan, nyaris

meringkuk di kursi, Marga tersenyum dengan lagak meniru Angelina

Jolie, seakan dia sudah akrab dengan kamera wartawan.

Sebagian fans memang nyaris melotot. Ibarat ada barang antik

dipinjamkan oleh museum.

"Bayangin, selama empat puluh tahun, baru sekarang gue ngelihat Marga T! Apa bukannya mirip barang antik yang selama ini

diumpetin di gudang museum?" ujar seseorang pada temannya yang

semangat betul memotret dengan BlackBerry.

Pertanyaan-pertanyaannya ternyata tidak sesulit ujian Kedokteran

UI, tapi Marga toh mendadak jadi berdebar dan berkeringat dingin.

"Bu, saya ini anak kesiangan, lahir tahun ?90-an, jadi kurang tahu

riwayat Ibu sebagai pengarang. Buku Ibu yang pertama apa judulnya?"

tanya seorang gadis manis berbuntut kuda yang siap mengacungkan

rekorder mini.

Itu sih gampang! pikir Marga. "Karmila," jawabnya lantang.

"Ceritanya soal apa, Bu?"

Hm. Apa ya? Rasanya semua novel si Frans itu berkisar tentang

cinta dan segala intrik-intriknya, bukan? "Ah, biasa. Soal cinta,"

sahutnya enteng.

23:46 PM

Marga T

"Bisa lebih mendetail, Bu? Soalnya teman-teman saya juga ?kesiangan?, belum pada baca. Kalau ceritanya menarik, baru kami beli"

Diliriknya Frans sekilas, tapi dari sudut itu tak mungkin Marga

mengharap bantuan, sebab Frans sendiri tampaknya sudah mau pingsan, matanya setengah terpicing, bibirnya terkancing.

Sebelum Marga mencucurkan keringat di malam ber-AC itu,

untunglah pembawa acara mempersilakan fans lain untuk bertanya

dengan dalih, "Maaf, tak ada waktu untuk detail-detail."

"Bu Marga, kenapa Krisanti dibunuh? Kan kasihan banget Roy

yang begitu setia. Meskipun giginya tonggos, saya sih suka sama dia"

Grrr! Para hadirin sebagian tertawa, sementara sang "pengarang"

semakin panas-dingin. Siapa Krisanti? Dan Roy yang mana ini?!

Apakah Frans mau balas dendam, mentang-mentang si Roy, eks

pacarku dulu, juga tonggos? Awas dia nanti, harus aku selidiki! Marga

mulai kesal.

Terpaksa ia asal jawab, "Yah, habis kalau nggak begitu, kapan

mau berakhir bukunya?" Pernyataan Marga disambut tawa riuh. Rupanya itu jawaban paten para penulis di mana-mana.

Lalu muncul fans lain, seorang remaja perempuan. "Bu Marga, saya

nggak ketemu Nozomi. Di mana-mana habis. Ke mana ya bisa dicari?"

Nozomi? Nozomi? Nama Jepang-kah itu? Buah apa itu? Atau

mainan seperti lipat-melipat kertas, apa tuh namanya Origami kalau

nggak salah. Di mana belinya? Wah, aku mana tahu toko-toko Jepang

di Jakarta! Kalau di Singapura, masih bisa dicari di Yao Han, atau

Dalam keadaan grogi Marga terpaksa meniru seorang penulis

Amerika yang selalu siap menuruti permintaan fans. "Tolong berikan

nama dan alamat rumahmu. Kalau Nozomi-nya ketemu, nanti saya

kirimkan ke kamu."

"Wah, trims berat, Bu Marga!" seru remaja itu lalu tertawa lebar.

"Saya juga dong, Bu!" seru yang lain diikuti belasan fans yang

mendadak jadi latah.

Gawat! Barang impor biasanya mahal. Berapa harga Nozomi

sekilo? Mudah-mudahan dijual per butir, bukan seperti mangga yang

mesti minimal beli satu kilo, Marga membatin.

23:47 PM

Apalah Artinya Nama

Di dalam mobil, Marga menegur Frans. "Kalau ngarang jangan nyebut

benda yang aneh-aneh dong. Gawat kan kalau ditagih fans!"

Frans balas mendumal, "Makanya jangan sembarangan tampil

kalau baca satu novel juga belum pernah! Pokoknya, novel terbaruku

yang mau kukirim ke penerbit harus pakai namaku. Masa kau yang

dielu-elukan sedangkan aku yang ngetik sampai tengah malam

terpaksa cuma merem-melek nunggu bubaran!"

Tetapi Frans kena gebuk ketika Mbak Anas sang manajer redaksi

?ksi mengirimkan berita: "Karena menggunakan nama samaran lain,

sebagai Frans Dobo, maka Penerbit terpaksa hanya dapat memberikan

royalti lima puluh persen dari yang biasa kami berikan."

Frans mencak-mencak di depan istrinya. "Mana bisa! Pengarangnya sama, gayanya sama, aku ini sudah punya banyak fans, masa

gara-gara nama lain royaltinya jadi berkurang?!"

Sambutan Mbak Yanti sang editor lain lagi. "Wah, Marga, ini angin

baru untuk Gramedia! Mudah-mudahan segera ditiru oleh pengarangpengarang kita lainnya." Namun, komentar itu tak berhasil memberi

Frans kegembiraan. Impiannya ingin nampang dengan Merci Kabriolet

terpaksa dipeti-eskan. Uang muka kurang.

Dengan lesu Frans mengambil BlackBerry-nya dan menempelkannya agak jauh dari kuping (mencegah tumor otak). "Halo, Robby

Waraska ada? Sedang keluar? Tolong titip pesan dari kawannya, Frans

Dobo. Rencana beli Merci sementara ini ditangguhkan." Nasib!

Apalah artinya nama. "What's in a name," kata Juliet pada Romeo.

Oh, banyak artinya, Juliet. Antara lain, royaltiku turun separuh! Tega!

23:47 PM

Karya Marga T

23:57 PM

Life Begins at

Forty

Maria A. Sardjono

Maria A. Sardjono sudah menulis sejak remaja tetapi baru

dipublikasikan pada tahun 1974. Hingga kini karyanya berjumlah

lebih dari 80 novel, 150 cerpen, belasan cerita anak-anak, beberapa

naskah sandiwara radio, satu buku ilmiah, dan puluhan artikel

tentang berbagai macam topik. Sarjana Filsafat Sosial Budaya

dan master Filsafat Humaniora ini dianugerahi empat putra yang

semuanya sudah beranjak dewasa.

23:59 PM

Maria A. Sardjono

EWAT pintu samping setelah menutup garasi, aku masuk ke

rumah dengan langkah gontai. Kunci mobil, tas berisi buku,

dan map-map kulempar begitu saja ke atas sofa. Seharian ini

perasaanku benar-benar tertekan gara-gara ditegur Ibu.

"Sebelas bulan lagi usiamu akan empat puluh tahun, Rety. Hentikan sejenak seluruh kesibukanmu. Tanyakan pada dirimu sendiri,

apakah semua yang telah kaucapai itu bisa memberimu kebahagiaan?

Masih ada waktu bagimu untuk mere?eksikannya. Apa pun jawabannya

nanti, hadapilah dengan sikap kompromis," begitu ibuku berkata

dengan tegas melalui ponsel.

Dari perkataan itu aku mengerti apa yang diinginkan Ibu: melihatku

mengakhiri masa lajang. Ibuku yang amat mengenal setiap hal tentang

anaknya tahu betul bahwa aku termasuk perempuan yang hangat,

mudah bergaul, terbuka, suka berteman, manja, bahkan romantis.

Jadi Ibu juga tahu, hidup sendirian saja seperti sekarang ini bukanlah

keinginanku sesungguhnya. Itu benar. Aku memang perempuan

biasa-biasa saja seperti yang lain. Meskipun sebagai pribadi otonom

yang mampu menentukan diri sendiri, aku tidak termasuk perempuan

yang mandiri dalam segala hal. Seperti kebanyakan perempuan lain,

aku juga ingin berkeluarga. Tetapi yang jadi masalah, dengan siapa?

Dari pengalaman asmaraku, tak satu pun yang masuk ke dalam kenanganku. Apalagi kenangan indah. Setiap menjalin hubungan

dengan seseorang, selalu terjadi hal yang sama, aku tak bisa memberikan seluruh hatiku padanya. Bahkan saat berada dalam pelukannya, tak pernah ada debar seru jantung seperti yang kualami bila

bermesraan dengan Kresno delapan tahun lalu, juga pada tiga tahun

lalu saat menguntai kembali hubungan kasih kami yang sempat putus-sambung. Namun begitu, aku tetap bertahan untuk tidak menjalin

kembali hubungan kami. Atau lebih tepatnya, aku tak memiliki

keberanian untuk hidup bersamanya.

Ingatan itu menambah keresahanku, sehingga begitu usai makan

malam, aku langsung naik tempat tidur. Kubiarkan Mbok Yah sendirian

menonton TV di ruang tengah. Dalam kesendirian seperti itu kuakui dengan

jujur, memang hanya pada Kresno sajalah aku bisa menyerahkan seluruh

24:00 PM

Life Begins at Forty

cintaku dan merasakan keindahannya. Kresno bisa membangkitkan getargetar asmara ke seluruh hatiku. Dia bisa membuatku tertawa lepas tanpa

perlu menjaga image. Dia bisa menjadikanku tampil apa adanya sebagai

diriku sendiri tanpa atribut jabatan di universitas tempatku mengajar

atau sebagai narasumber di berbagai kesempatan dengan deret gelar

yang kusandang. Singkat kata, Kresno adalah segala-galanya bagiku.

Kekurangan satu-satunya adalah usianya yang delapan tahun lebih muda

daripadaku dan pernah menjadi mahasiswaku. Itulah mengapa kulepas

dia demi masa depannya. Pendamping hidupnya haruslah gadis muda

belia. Bukan diriku.

Rasa pilu yang mencubiti hati menyebabkanku sulit tidur meski sudah

menjelang pagi. Saat aku hampir putus asa karena tak juga bisa terlelap,
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba saja nada pesan singkat ponselku berbunyi. Siapa pun pengirim

SMS itu, dia telah membuat dadaku berdebar, teringat pada Kresno,

orang yang baru saja kukenangkan. Pada masa-masa percintaan kami

dulu, kami terbiasa saling mengirim pesan cinta dan kerinduan hingga

dini hari, bagai sepasang remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.

Mataku yang mengintip layar ponsel langsung melebar ketika

nama Kresno muncul di situ. Lebih-lebih saat membaca pesannya:

"Berminggu lamanya aku terus memikirkan dirimu. Tidak merasakah

kau betapa aku sangat merindukanmu sampai sakitnya menembus isi

dadaku. Tolong obati itu dengan memberiku kesempatan untuk menatapmu kembali besok jam tujuh malam di tempat favorit kita dulu. Semakin kusadari, tanpa dirimu, hidupku benar-benar hampa"

Mataku langsung berkaca-kaca membacanya. Rasanya, pesan itu

bukan kebetulan belaka. Seakan ada semacam telepati di dalamnya.

Sudah tiga tahun kami tidak berhubungan sama sekali. Aneh rasanya,

saat aku sedang mengingat dirinya dengan hati pilu, tiba-tiba saja dia

mengirim SMS. Namun, tak kubiarkan diriku berada dalam euforia

berlebihan. SMS itu tak kubalas.

Tetapi esok harinya, pemuda itu mengulangi pesan singkatnya

hingga tiga kali sampai akhirnya aku tak bisa lagi mengabaikannya.

Permintaannya kululuskan yang langsung dibalasnya: "Datang dengan

taksi saja ya, Mbak."

24:00 PM

Maria A. Sardjono

Maka petang itu aku ke Ancol dengan taksi, langsung menuju tepi

laut tempat kami dulu sering berduaan, terutama jika sedang bulan

purnama. Begitu turun dari taksi, Kresno yang tampaknya sudah

lama menunggu, membawaku masuk ke dalam sebuah mobil baru

kemudian menyusulku duduk.

"Mbak, sepanjang pengenalanku terhadapmu, sepertinya kau tidak pernah bertambah tua," katanya sambil menutup pintu. Suaranya

terdengar lembut. "Masih tetap cantik, segar, dan modis. Dan begitu

melihatmu, cintaku terasa semakin membara."

"Kau memintaku ke sini bukan untuk mendengarmu membual,

kan?" senyumku. Ah, ternyata cintaku padanya juga semakin membara.

Apa pun yang diucapkannya terasa indah.

"Aku memintamu datang untuk menjawab pertanyaanku dengan

jujur. Apakah kau mempunyai kekasih, Mbak?"

"Aku tidak punya kekasih. Bagaimana denganmu?"

"Aku pernah mencoba berpacaran, tapi selalu saja dirimu menyela

di antara kami sampai akhirnya aku mengerti, cinta dan hatiku benarbenar hanya untukmu."

Apa yang dialaminya itu persis sama seperti pengalamanku

sehingga aku terdiam. Tetapi Kresno tidak membiarkanku diam.

"Berbulan lamanya aku bergulat sendiri, mempertanyakan hubungan kita, sampai akhirnya kutemukan jawaban yang pasti dan jelas, bahwa

aku tidak bisa hidup tanpa dirimu. Menikahlah denganku, Mbak. Aku ingin

hidup bersamamu," lanjutnya.

"Aku juga mencintaimu dan merindukanmu. Tetapi seperti dulu,

aku masih memiliki jawaban sama. Kau tidak boleh hidup bersama perempuan yang delapan tahun lebih tua. Saat aku sudah nenek-nenek,

kau masih gesit, perkasa, dan"

"Aku tahu dan sadar akan hal itu," sela Kresno. "Tetapi aku tidak

peduli. Saat kau nanti menjadi nenek, aku yang akan menuntunmu

meski tak yakin apakah kau perlu dibimbing sebab sepertinya kau

tidak pernah menjadi tua."

"Tetapi tak lama lagi umurku empat puluh."

"Justru itulah kukejar dirimu. Aku ingin kita menikah sebelum

24:01 PM

Life Begins at Forty

usiamu empat puluh," bantah Kresno. "Maka dalam kesempatan ini, aku

melamarmu. Jadilah istriku."

"Jangan, Kresno. Kita tidak"

"Aku tidak akan menikah kalau bukan denganmu dan tahu betul

apa konsekuensinya menikah dengan orang yang lebih tua. Tetapi aku

siap menghadapinya," sela Kresno dengan suara bergetar. "Termasuk

membeli mobil ini untuk menunjukkan bukti bahwa aku sudah siap

lahir-batin menjadi suami yang tak akan bergantung pada istri. Life

begins at forty dan kita berdua akan memulainya bersama-sama

sampai tua nanti, Rety."

Aku terharu. Anak kemarin sore yang tiba-tiba memanggil namaku tanpa embel-embel "Mbak" itu telah mengajariku untuk bersikap

realistis, kompromis, dan berani menghadapi masa depan. Aku merasa malu karenanya. Maka dengan perasaan kasih yang tiba-tiba

meluap, kurangkul lehernya. Aku yakin, bersamanya kami akan hidup

bahagia.

24:01 PM

Karya Maria A. Sardjono

24:04 PM

LOVE, X

Mia Arsjad

Mia Arsjad memulai kariernya sebagai penulis novel setelah

naskahnya, Mak Comblang, membawanya menjadi salah satu penulis

berbakat Lomba TeenLit Writer GPU 2004 dan kemudian diterbitkan

pada tahun 2005 dengan judul Miss Cupid. Tahun 2005 novelnya

berjudul Cinlok, Accidentally In Love? memenangkan Juara III Lomba

Penulisan Novel MetroPop GPU. Karya-karyanya berikutnya juga

diterbitkan GPU, di antaranya Lululergic, Satria November, Dil3ma,

Rona Hidup Rena, Jun!!!, dan Runaway Ran.

24:06 PM

Mia Arsjad

ILL you marry me?"

Aima mengerjap-ngerjapkan mata. Di depannya, di sisi

lain meja tempat Aima duduk, Varo menatapnya lurus-lurus.

Pancaran matanya masih hangat dan bersemangat penuh cinta dicampur

penasaran menunggu jawaban Aima atas the greatest question dalam

sejarah orang pacaran yang baru cowok itu lontarkan tadi.

Aima cinta banget sama Varo. Dan hari ini, Varo mengajaknya

menikah! Pacarnya yang easy going ini selalu bisa bikin Aima

bahagia berada di dekatnya. Tapi sekarang dia sukses bikin Aima

shock. Iya, Aima memang bahagia. Bahagia tapi bercampur shock

dan panik.

Seisi restoran seakan membeku. Hening. Cuma suara detak

jarum jam dan detak jantungnya sendiri yang bisa Aima dengar. Saking

heningnya yang Aima rasakan, mungkin kalau ada satu orang yang

berani kentut di ruangan ini, biarpun duduknya di meja paling ujung,

Aima pasti bisa dengar.

Tik tok tik tok, waktu terasa berdetak lambat. Perlahan, Aima menatap mata Varo. Dia sudah yakin mau menjawab apa.

"Varo aku boleh mikir dulu nggak?"

Varo menatap Aima dengan perasaan campur aduk. Kaget, bingung, tapi juga maklum mendengar permintaan Aima. "Jadi... kamu

mau nemuin mantan-mantan kamu dulu sebelum kamu jawab lamaran aku, begitu?"

Aima mengangguk. "Iya, Ro. Aku... aku cuma mau mastiin bahwa

di antara mereka nggak ada yang bakal jadi masalah terhadap masa

depan kita nanti. Aku cuma mau memastikan bahwa antara aku dan

mereka memang udah nggak ada apa-apa lagi."

Varo terdiam. Matanya mencari mata Aima. "Terus, kalau ternyata

salah satu dari mereka masih ada apa-apa sama kamu, gimana? Kamu bakal ninggalin aku dong?"

Kepala Aima mendadak pening. "Bukan gitu maksudku, Ro. Aku

cuma harus ketemu mereka. Aku nggak pengin ada masalah di depan

nanti. Kamu tahu kan alasannya. Aku"

"Iya, paham. Oke, Ai, kalau memang itu yang bisa bikin kamu

24:06 PM

LOVE, X

yakin, aku izinin" Sebetulnya pahit buat Varo, tapi dia tahu persis

alasan Aima di balik permintaanya yang ajaib ini. Varo terlalu sayang

sampai setuju memaklumi. Lelaki itu menyeringai jail. "Yang lebih oke

dari Varo? Yang lebih lebay, banyak"

"Varo! Aku tuh serius!" Aima melotot keki. Lagi serius-serius

begini kok Varo malah niru iklan obat nyamuk.

Varo terkekeh. Aima nggak perlu tahu Varo sebenarnya gundah.

Aima cuma perlu tahu bahwa Varo percaya.

Kenny menepuk pelan punggung tangan Aima. "Lo bener-bener sinting, Ai. Diajak kawin malah minta izin nemuin mantan-mantan lo buat

mastiin kalo jodoh lo bener-bener Varo, bukan salah satu dari mereka.

Jangan bilang lo bakal nemuin itu juga tuh, si Valen."

"Gue nggak ngerti deh, Ai. Apa sih yang bikin lo harus waspada?

Emang ada yang bikin lo meragukan Varo? Ajaib banget sih, pacaran

udah lama, keluarga udah setuju, lo bilang lo cinta banget, tapi waktu

dilamar jawabannya pikir-pikir dulu," lanjut Kenny berapi-api. "Dan

yang lebih gila, Varo mau-maunya setuju sama permintaan edan lo itu.

Kalo gue jadi cowok mah gue udah cari cewek lain yang nggak raguragu nerima lamaran gue. Dilamar kok mau ngecek mantan-mantan

dulu. Cari masalah. Mana masih ada cinta lama yang belum kelar. Si

Valen itu," komentar Kenny pedas.

Aima diam, soalnya Kenny memang benar. Tapi Kenny bukan Aima.

Dia nggak merasakan apa yang Aima pernah rasakan.

"Mim Mimim nangis lagi?"

Nggak terhitung berapa kali Aima memergoki maminya menangis

diam-diam, bahkan beberapa kali menangis terang-terangan tanpa

menjelaskan alasan Mimim menangis. Lagi, lagi, dan lagi sampai Aima

bisa merasakan "neraka" pernikahan di usianya yang masih belia ha250

24:07 PM

Mia Arsjad

nya dengan berada di antara Mimim dan Papip. Hidup bersama, satu

rumah, tapi sama sekali nggak saling mencintai.

"Kalau bukan demi Aima, saya sudah pergi dari rumah ini!"

Kalimat yang entah sudah berapa kali Aima dengar meluncur dari

mulut papinya. Entah bagaimana perasaan Mimim dicecar dengan kalimat sadis begitu, karena Aima pun nyaris bisa merasakan hatinya

perih. Dan yang lebih sakit lagi, Aima merasa dirinyalah "sumber" penderitaan di rumah ini, di pernikahan ini. Gara-gara dia, dua orang yang

hanya bisa saling menyakiti jadi terpaksa harus tetap sama-sama.

Mereka makan di meja makan bertiga, tapi nggak ada yang bicara.

Hening. Dingin. Mencekam. Entah ke mana larinya senyum di albumalbum foto masa pacaran dan pernikahan Mimim dan Papip. Kayaknya

dulu mereka saling mencintai dan tiba-tiba saja tidak lagi. Keluarga

Aima lengkap, tapi dia sama sekali nggak bahagia.

"Mulai hari ini, kamu panggil Om Raden ?Papa? ya, Ai" Dan semua

kemuraman berubah ceria serta bahagia sejak kehadiran Om Raden,

mantan pacar Mimim semasa kuliah dulu dan bertemu lagi setelah

Mimim bercerai dari Papip. Istri Om Raden juga sudah meninggal karena kanker, menjadikannya duda tanpa anak.

Papa bukan sekadar ayah tiri, tapi benar-benar jadi sosok ayah

ideal, ayah idaman yang sayang Mimim juga Aima, anak tirinya. Nggak,

Papa bilang Aima "anaknya", bukan anak tirinya. Dan belum pernah

Aima melihat Mimim sebahagia saat dia bersama Papa. Seluruh penderitaan batin Mimim saat bersama Papip seakan terbayar lunas

dengan kehadiran Papa.

"Ternyata ya, Ai, bersama orang yang tepat walau sebentar, bisa

begitu saja menghapus begitu banyak penderitaan yang disebabkan

orang yang tidak tepat. Seandainya saja Mimim tahu sejak awal bahwa

yang bakal membahagiakan Mimim itu Papa, Mimim mungkin dulu

nggak putus ya sama Papa?"

Sampai sekarang Aima masih bisa mendengar kalimat Mimim

itu di telinganya. Masih bisa merasakan perasaan getir Mimim waktu

itu. Makanya, Aima merasa nggak mau salah langkah. Dia harus memastikan kalau dia menikah, harus dengan orang yang tepat.

24:07 PM

LOVE, X

Papa adalah mantan pacar Mimim. Gimana kalau ternyata jodoh

Aima juga ada di daftar nama masa lalu? Yang pasti, Aima nggak

bakalan sanggup kalau sampai pernikahan dirinya dan Varo nggak

bahagia. Dia nggak bakalan sanggup disakiti Varo, seperti Mimim

disakiti Papip. Yah, Aima yakin sih, ini semua cuma karena dia ingin

memantapkan hati. Rasanya nggak mungkin salah satu mantannya

adalah jodohnya. Aima nggak punya perasaan apa-apa lagi sama

mereka. Kecuali...
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu masih harus ketemu Valen?" Lamunan Aima buyar karena

pertanyaan Varo yang duduk di hadapannya. Di luar kafe langit terlihat

gelap karena mendung.

Sampai hari ini sudah tiga mantannya yang Aima temui. Semuanya

sudah dipastikan hanya sekadar "eks". Nggak lebih. Adrio sudah punya

anak empat dan masih berniat tambah anak sampai dua belas. Freddy

memutuskan untuk jadi biksu shaolin. Rozan barusan ketemuan

sekalian mengumumkan bahwa dia sekarang gay. Artinya,tinggal satu

mantan lagi.

Dengan berat hati Aima mengangguk. "Kan memang tinggal

Valen, Ro"

Varo nggak menjawab. Dia cuma diam. Entah kenapa, Aima merasa ada sesuatu di balik diamnya Varo kali ini. Lalu Varo bergumam

pelan, "Aku pikir... setelah yang tiga itu kamu nggak perlu lagi ketemu

Valen." Varo menarik napas panjang sejenak. "Kalau keputusanmu

begini, lebih baik kita putus aja"

"A-apa, Ro? Putus?" Kalau di sinetron atau drama seri, mungkin

Aima bakal menutup mulutnya dengan telapak tangan, melangkah

mundur, lalu terduduk dengan muka shock lebay. Standar muka

kaget artis pemeran utama wanita yang putus cinta. "Kamu bilang,

kamu setuju dan nggak apa-apa sama permintaanku. Aku kan tinggal

ketemu Valen aja. Setelah itu semuanya selesai"

Varo menyentuh pipi Aima pelan. "Mungkin waktu awal aku nerima

permintaan kamu itu, aku terlalu menganggap enteng masalah ini.

Aku pikir aku bakal baik-baik aja. Ternyata aku menganggap remeh

perasaanku sendiri. Aku... nggak baik-baik aja. Apalagi soal Valen."

24:08 PM

Mia Arsjad

Pipi Aima memanas. "Kamu kok ngomong gitu sih, Ro? Aku kan

cinta sama kamu. Aku cuma"

Varo menyambar tangan Aima cepat, menggenggamnya, lalu

menatap Aima lurus-lurus. "Kalau begitu, jawab sekarang, Ai. Will you

marry me?" potong Varo cepat.

Ya Tuhan, seandainya Aima diberi satu permintaan sekarang, dia

ingin minta Doraemon dan kantong ajaibnya. Ini darurat!

Aima terdiam. Dia ingin langsung menjawab iya, tapi...

"Kalau begitu, udah benar keputusanku, Ai. Sebaiknya kita jalan

sendiri-sendiri dulu. Mungkin kamu belum yakin sama aku. Mungkin

aku bukan orang yang tepat."

Seharusnya Aima mencegah Varo pergi. Seharusnya dia menahan

tangan Varo, memeluknya dari belakang, menjegal kakinya sampai terjungkal, apa pun yang membuat Varo nggak pergi. Tapi kenyataannya,

Aima cuma bisa mematung, menatap kepergian Varo. Kalaupun Aima menahan Varo untuk nggak meninggalkannya, apa alasannya?

Dia punya hak apa? Tadi dia bahkan nggak bisa menjawab langsung

lamaran Varo yang kedua kalinya. Aima tahu persis, kalaupun Varo

tadi memutuskan untuk nggak jadi putus, Aima tetap merasa harus

ketemu Valen.

Dada Aima berdegup kencang, tersadar bahwa memang Valenlah tujuan semua ini. Karena Valen bukan sekadar mantan. Karena

Valen ya Valen, satu-satunya cowok yang pada saat mereka putus

Aima masih cinta. Kenny tahu itu. Semua teman Aima tahu. Dan Varo

juga tahu.

Nggak ada yang berubah dari Valen. Dia masih charming, suaranya

masih hangat dan membuai, tatapannya masih mantap dan penuh

percaya diri. Aima teringat wajah Kenny saat temannya itu ngamukngamuk barbar karena setelah tiga minggu putus dan hilang kontak

dengan Varo, Aima masih tetap mau menemui Valen. Padahal

selama tiga minggu, ini kata Kenny, Aima berubah wujud jadi zombie.

24:08 PM

LOVE, X

Bernapas, tapi otaknya kosong dan berkantong mata. Lagi pula, Aima

dan Valen sudah telanjur janjian.

"Masa sih kamu jomblo, Ai? Bodoh banget ya cowok-cowok di

sekitar kamu, nggak ada yang berusaha memiliki kamu."

Aima tersenyum. Valen masih pintar bikin cewek tersipu dengan

pujiannya yang dicampur dengan senyum manis agak-agak misterius.

"Hei, Val!" Tiba-tiba seorang perempuan dengan rambut bergelombang mengilat dan bulu mata palsu superlebat serta melengkung menunjuk cakrawala langsung bercipika-cipiki dengan Valen

setelah memekikkan nama cowok itu dengan heboh. Aima nggak

memperhatikan lagi mereka ngomong apa. Dia cuma menatap kosong

ke arah Valen.

Memang ternyata nggak ada yang berubah dari diri Valen. Cowok

itu masih Valen yang sama. Valen yang dikelilingi cewek-cewek. Dia

memang nggak pernah selingkuh, semua cewek itu cuma teman.

Teman yang sering bikin Aima merasa nggak istimewa menjadi pacar

Valen sampai akhirnya dengan berat hati Aima menelan cintanya lalu

minta putus. Beda dengan Varo. Kalau sama Varo, Aima selalu jadi

yang istimewa.

Tiba-tiba dada Aima memanas. Dia menyadari Valen memang

nggak berubah, tapi ada satu yang berubah: perasaan Aima. Mendadak

Aima merasa bodoh. Buat apa dia melakukan semua ini? Aima bahkan

nggak pernah sekali pun teringat Valen dan semua mantannya sampai

Varo melamar hari itu. Ternyata Aima merasa harus menemui mantan-mantannya cuma karena ketakutan. Dia takut suatu saat Varo

akan seperti Papip. Dia takut kehilangan Varo.

Air mata Aima menyeruak. Dia kangen Varo.

Mimim merengkuh pundak Aima erat. Aima makin sesenggukan. Dia

menyesal. Betul-betul menyesal. Wajah Varo yang kaget waktu cowok

itu mendengar permintaan Aima, wajah Varo yang tersenyum lembut

memaklumi permintaan Aima, dan wajah Varo yang redup kecewa

24:09 PM

Mia Arsjad

sewaktu Aima nggak menjawab saat dia meminta Aima menjadi

istrinya untuk kedua kali, bergantian berkelebat di benak Aima. Dia

sudah menyakiti Varo. Rasanya Aima sama sekali nggak punya hak

untuk punya tempat di hati Varo.

"Aima sayang, maa?n Mimim, ya? Ini semua salah Mimim. Mimim

nggak nyangka, kalimat Mimim waktu itu efeknya sebesar ini pada

kamu. Seharusnya Mimim waktu itu nggak terbawa perasaan untuk

mengatakan hal semacam itu pada kamu, anak Mimim yang ikut

menderita saat Mimim menderita."

Aima mengusap air matanya, masih menatap maminya. "Tapi

omongan Mimim kan nggak salah, Mim. Makanya aku nggak mau salah langkah."

Mimim terenyak. Dengan lembut ia mengusap air mata putrinya.

Menatap mata anak semata wayangnya lekat-lekat. "Aima, Mimim pengin kamu tahu bahwa Mimim nggak menyesal pernah menikah dengan Papip, karena Mimim jadi bisa punya kamu, Sayang. Mungkin itu

cara Tuhan mempertemukan Mimim dan kamu. Pengalaman itu juga

yang membuat Mimim sangat bersyukur dicintai oleh Papa. Itu jalan

hidup, Ai. Mimim ikhlas."

Aima tercekat. Itu nggak pernah terlintas di pikirannya.

"Heh, cengeng! Lo emang bisa aja ya bikin orang panik sampai mami

lo nelepon gue." Suara Kenny membuyarkan hening. Dengan tampang

manyun cewek itu duduk di samping Aima. "Tuh kan, makanya gue

bilang juga apa, nurut sama gue. Nyesel kan lo sekarang? Nasi udah

jadi bubur. Tapi tenang aja, Ai, bubur juga banyak yang enak!" Kenny

sudah tahu apa yang terjadi dari Mimim lewat telepon.

Aima mendelik. Tiba-tiba ponselnya berdenting. SMS masuk.

Rasanya sejak zaman smartphone, dia sudah jarang ber-SMS ria.

Nomor tak dikenal.

24:09 PM

LOVE, X

Sender : 083215467xxx

Dear Aima,

Aku tahu kamu lagi nemuin semua mantan kamu.

Kalau kamu nemuin semua eks pacar kamu,

kenapa kamu nggak nemuin aku?

Aku di depan rumah kamu. Sekarang.

Love, X.

Aima langsung duduk tegak. Iya, kenapa bisa lupa ya? Aima masih

punya satu mantan lagi.

Cewek itu langsung bangkit dan melesat keluar kamar menuju

pintu depan.

Dan di situlah dia berdiri. Mantannya yang paling dia cinta. Mantan yang paling dia rindukan. Mantan yang seharusnya ada di masa

depannya. Varo.

"Kamu nggak adil. Aku kan mantan kamu juga. Masa yang lain kamu ajak ketemuan, aku nggak?" Lalu senyum hangat Varo yang khas

mengembang.

Ini pasti ulah Kenny. Kenny pasti sudah cerita semuanya pada

Varo. Mereka pasti bersekongkol. Tapi Aima nggak peduli. Aima cuma perlu memeluk Varo. Erat. Satu pelukan yang Aima yakin bisa


Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Hardy Boys Pembajak Kapal Selam

Cari Blog Ini