Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan Bagian 5
mengembalikan kebahagiaannya.
24:10 PM
Karya Mia Arsjad
24:13 PM
Janji dalam
Kotak Kong
Mira W.
Mira W. lahir dan dibesarkan di Jakarta, menempuh dan menyelesaikan
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Sekarang
bertugas di Universitas Prof. Dr. Moestopo sebagai staf pengajar
merangkap dokter. Mulai menulis cerpen di berbagai majalah sejak 1975
dengan nama M. Wijaya. Menulis novel sejak 1977, mula-mula dimuat
sebagai cerber di majalah Dewi berjudul Dokter Nona Friska, kemudian
dibukukan dengan judul Kemilau Kemuning Senja. Novel keduanya,
Sepolos Cinta Dini, pernah dimuat sebagai cerber di harian Kompas 1978,
kemudian diterbitkan GPU. Sebagian besar novelnya (lebih dari 80 judul)
di?lmkan atau disinetronkan.
24:15 PM
Mira W.
ABUR?" cetus Aswin kaget. "Ke mana?"
"Kalau kami tahu ke mana, kami tidak perlu menelepon Bapak."
"Dan kalau saya tahu dia bakal kabur, saya tidak perlu menitipkan
adik saya di sana. Percuma bayar mahal!"
Aswin marah. Kecewa. Bingung. Panik.
Adiknya hilang! Ke mana dia harus mencari Tuti?
Tuti memang sudah 23 tahun. Tapi IQ-nya hanya empat puluh.
Dia cuma balita dalam tubuh seorang wanita dewasa. Dan Astuti
sudah menjadi tanggung jawab Aswin sejak orangtua mereka meninggal.
"Ingat janjimu pada kami, Win," pinta ayahnya dua hari sebelum
kanker hati merenggut nyawanya. Ibunya sudah meninggal tiga tahun
sebelumnya. "Kamu yang akan merawat Tuti sepeninggal kami."
Aswin tidak dapat membantah. Bahkan tidak mampu membuka
mulutnya. Tegakah dia membantah di depan ayah yang sakit parah?
Lagi pula, apa yang dikatakan ayahnya tidak salah. Dia memang
pernah berjanji akan merawat adik-adiknya jika orangtua mereka
sudah meninggal.
Sebagai sulung dari empat bersaudara, Aswin memang merasa
bertanggung jawab atas mereka. Apalagi saat mengucapkan janji itu dia
sudah bekerja, sementara kedua adik laki-lakinya masih kuliah.
Yang tidak pernah diduga oleh Aswin, tanggung jawab itu ternyata
sangat berat. Apalagi Aswin dan kedua adik laki-lakinya sudah menikah. Dan istri-istri mereka adalah perempuan modern. Wanita karier
yang tahu sekali hak dan kewajiban mereka.
Sebenarnya sejak awal Nurma, istri Aswin, keberatan tinggal bersama Tuti. Dia merasa bukan kewajibannya mengasuh adik iparnya.
Lebih-lebih Tuti mengidap retardasi mental.
"Imbesil," kata Aswin sedih. "Kata dokter, Tuti bisa diajari merawat
diri sendiri. Mandi sendiri, pakai baju sendiri, makan sendiri. Tapi tetap
harus ada yang mengawasi."
Benar-benar merepotkan. Harus mengawasi tunagrahita seperti itu.
Tetapi saat itu cinta sedang menyala-nyala di hati mereka. Apa
24:16 PM
Janji dalam Kotak Kosong
pun yang diminta Aswin, apalagi bila Aswin memintanya setelah mereka bercinta, pasti tak dapat ditolak Nurma.
Jangankan hanya minta adiknya tinggal serumah. Seandainya
Aswin minta mereka pindah ke bulan, pasti Nurma ikut!
Lagi pula, mula-mula Nurma tidak mengira bakal serepot itu
mengurus adik iparnya. Tuti kan bisa makan sendiri. Tidak perlu disuapi. Bisa ke WC sendiri. Bisa mandi sendiri. Cukup ada seorang
pembantu yang mengawasinya.
Astuti tidak rewel, karena dia tidak bisa bicara. Dia hanya mengeluarkan suara-suara yang tidak jelas. Menyapa semua orang
sambil menyeringai dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Barangkali itu yang diajarkan ibunya sejak kecil.
Yang mengganggu hanya kalau dia sedang menjerit, karena jeritannya melengking seperti tangisan kucing. Sungguh menyakitkan telinga. Tetapi itu jarang terjadi. Hanya dilakukan kalau dia sedang jengkel.
Yang lainnya oke-oke saja. Jadi ketika Aswin minta izin membawa
adik bungsunya tinggal bersama mereka, Nurma tidak menolak.
Nurma hanya sedikit menawar. Itu pun masih dengan suara yang
lembut.
"Tapi bisa gantian, kan? Maksudku tidak harus selalu di rumah
kita. Arman dan Ardi tidak keberatan kalau sekali-sekali Tuti pulang
ke rumah mereka, kan?"
Tentu saja tidak. Saat itu Arman dan Ardi belum menikah. Mereka
masih tinggal di rumah almarhum orangtua mereka. Mereka tidak
peduli Tuti tinggal di bekas kamarnya. Lho, itu memang kamar Tuti
sejak kecil kok! Dan kamar itu masih kosong.
Pembantu tua yang merawat Tuti sejak kecil juga masih bekerja
pada mereka. Dia bisa mengawasi Tuti setiap hari. Bisa berkomunikasi
dengannya meskipun yang keluar dari mulut Tuti hanya "ah, uh, he-eh".
Tetapi ketika Arman dan Ardi sudah menikah dan rumah itu dijual,
tak ada tempat lagi bagi Astuti kecuali di rumah kakak sulungnya.
Dan suasana yang menyambutnya di sana sudah berbeda dari
lima tahun yang lalu. Nurma sudah tidak seramah dulu. Tugas kantornya semakin banyak. Sebagian terpaksa dibawa pulang ke rumah.
Dan dia sudah memiliki dua orang anak.
24:16 PM
Mira W.
Anak-anak Aswin dan Nurma yang masih kecil-kecil takut melihat Astuti. Bukan hanya rambutnya yang awut-awutan yang sering
membuat mereka menangis ketakutan. Suaranya juga. Suara yang
melengking tinggi seperti tangisan kucing, bukan hanya menyakitkan
telinga mereka, tetapi membuat mereka kabur bersembunyi. Kadangkadang sampai jatuh tersungkur.
Jelas saja Nurma kesal. Dan jadi lebih sering marah-marah.
Kehadiran Astuti kini benar-benar terasa merepotkan. Lebihlebih Mbok Nah yang merawatnya sejak kecil sudah pulang ke
kampung. Anak-anaknya melarang ibu mereka yang sudah tua itu
bekerja lagi. Dan penggantinya tidak sesabar dia. Inem lebih banyak
SMS-an daripada mengajak Tuti berkomunikasi.
Inem tidak salah juga, karena umurnya baru tujuh belas tahun.
Dia tidak tahu bagaimana mengajak bicara orang yang tidak pernah
menyahut. Tidak pernah bertanya. Hanya melenguh seperti sapi.
Akibatnya, Astuti jadi lebih sering uring-uringan. Tidak ada lagi
seringai di wajahnya. Tidak ada lagi uluran tangannya. Dia memang
mengidap retardasi mental, tapi dia masih punya naluri. Dia dapat
merasakan dunia yang mulai menolak kehadirannya.
Tidak ada lagi orangtua yang menyayanginya. Tidak ada Mbok
Nah yang memperhatikannya. Mas Aswin juga terasa makin menjauh.
Padahal dulu dialah kakak yang paling dekat dengannya.
Aswin sering bicara dengannya. Sering memeluknya. Membelai
kepalanya. Kadang-kadang sambil melucu.
Sekarang kakaknya itu seperti tidak punya waktu. Tidak ada waktu
luang untuk berada di dekatnya. Aswin lebih sering bermain dengan
anak-anaknya. Atau mengobrol sambil tertawa-tawa dengan istrinya.
Dan Tuti hanya dapat mengawasi dari kejauhan dengan rasa iri.
Tuti memang tidak dapat memahami mengapa kakak sulungnya
menjauhi dirinya. Tapi dia dapat merasakannya. Dia merasa ditolak.
Disingkirkan.
Penolakan itu membuat perilaku Tuti makin menjadi-jadi. Makin
susah diatur. Seolah-olah dia sengaja hendak memuntahkan kejeng261
24:17 PM
Janji dalam Kotak Kosong
kelannya. Sengaja hendak menyatakan protesnya. Akibatnya, dia
semakin sering memancing kemarahan Nurma dan Aswin.
Dia sengaja memecahkan piring. Sengaja menumpahkan minuman. Membuang botol parfum Nurma. Menghabiskan semua makanan
di lemari. Terakhir dia melemparkan ponsel Aswin ke lantai sampai
Aswin kelepasan menamparnya.
"Mintalah Arman mengurusnya sementara, Mas," pinta Nurma
kesal. "Kalau Arman sudah kewalahan, Tuti bisa pindah ke rumah
Ardi. Tidak adil kita yang harus merawatnya seumur hidup."
"Aku anak sulung," Aswin berkeras. "Dan aku sudah berjanji pada
orangtuaku akan merawat Tuti sepeninggal mereka."
"Tapi sampai kapan kita harus merawatnya? Makin hari Tuti semakin susah diurus!"
"Aku akan bicara padanya," sergah Aswin gemas.
"Bagaimana caranya?" balas Nurma sinis.
"Dulu Tuti bisa diajak bicara. Biarpun tidak pernah menyahut, dia
mengerti."
Tetapi Astuti sekarang memang berbeda. Dan Aswin tidak menyadari, justru dialah yang memicu kemarahan Astuti. Perubahan
sikapnyalah yang mencetuskan perbedaan itu.
Sejak ditampar kakaknya, Astuti jadi makin tak terkendali. Seolaholah dia ingin melancarkan protes dengan caranya sendiri.
"Dengar, Tuti," kata Aswin menahan marah. "Kami sudah kewalahan mengurusmu. Jika tingkahmu masih sejelek ini, kami terpaksa
mengirimmu ke tempat lain. Kamu tidak bisa tinggal di rumah ini lagi."
Astuti bukan hanya tidak mau mendengar. Dia menutupi telinganya
dengan kedua tangan. Ketika Aswin merenggut tangan adiknya dengan
kesal, Astuti malah menjatuhkan diri ke tanah dan menjerit-jerit.
"Aku harus membawanya ke dokter," keluh Aswin putus asa.
"Percuma," sahut Nurma apatis. "Dia harus dibawa ke rumah sakit
jiwa!"
"Tuti tidak gila!" bantah Aswin gusar. "Dia imbesil!"
"Apa bedanya? Tingkahnya sekarang sudah seperti orang gila!"
Tetapi belum sempat Aswin membawa adiknya ke dokter, Astuti
24:17 PM
Mira W.
sudah melakukan perbuatan yang lebih mengerikan. Dia mendorong
anak sulung Aswin dari puncak tangga.
Kali ini kemarahan Nurma meledak tak tertahankan lagi. Dia
memboyong kedua anaknya ke rumah ibunya.
"Jangan harap kami kembali sebelum dia pergi," ancamnya
sesaat sebelum meninggalkan rumah.
"Tapi dia harus pergi ke mana, Nur? Dia adikku!"
"Kenapa dia tidak bisa pindah ke rumah Arman? Atau Ardi? Mereka
kakaknya juga, kan? Kenapa cuma kita yang harus bertanggung jawab?"
"Karena aku yang berjanji di depan Ayah! Bukan mereka!"
"Sekarang saatnya Mas harus memilih. Janjimu atau anak-anakmu!"
"Jangan sekejam itu pada suamimu, Nur!"
"Kejamkah aku, Mas? Wiwin jatuh dari tangga. Lengannya patah.
Apa Mas tidak takut lain kali bukan hanya lengannya yang patah?"
Akhirnya Aswin terpaksa menelepon adiknya. Tetapi kedua adiknya
menolak mentah-mentah. Menerima Astuti di rumah mereka seperti
membiarkan wabah in?uenza menyerbu masuk dan menjangkiti seisi
rumah.
"Aku bisa dicekik Rina," Arman tertawa pahit. "Ngurus dua anak
kembar kami saja dia sudah kewalahan. Siang kan dia masih harus
ngantor!"
"Si Inem bisa ikut ke rumahmu. Biar aku yang bayar gajinya."
"Rina pasti tidak mau, Mas. Cobalah Mas tanya Ardi saja."
"Uang kuliahku saja masih dibayar dari gaji istriku," Ardi coba
berdalih. "Mana mau dia mengurus anak satu lagi?"
"Kalau kalian mau menerima Tuti, aku bersedia membayar uang
kuliahmu. Bayar sewa kamar Tuti kalau perlu!" Aswin berusaha memberikan tawaran.
"Bukan masalah uang saja. Kami tidak bisa merawat Tuti. Tidak ada
waktu. Mana sempat ngurusi dia? Tuti bisa telantar di rumah kami."
Jadi semua menolak. Tidak ada yang mau ketumpangan Astuti.
Benar seperti kata Nurma. Semua tanggung jawab merawat Astuti
berada di pundak Aswin.
Itu janjinya kepada almarhum ayahnya. Aswin tidak bisa lari ke
24:18 PM
Janji dalam Kotak Kosong
mana-mana. Karena ke mana pun dia lari, Astuti akan membuntutinya.
Tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jadi dia memilih satu-satunya jalan yang terpikir oleh otaknya
yang sedang diliputi kebingungan. Dia membawa Astuti ke sebuah
yayasan yang mengasuh anak-anak tunagrahita.
Dan jerit tangis Astuti ketika diseret masuk ke dalam mobil dan
dipaksa turun di depan yayasan yang akan menampungnya, tidak
mungkin terlupakan oleh Aswin. Memori pahit itu akan membekas
selama-lamanya dalam ingatannya.
Tak terbayangkan saat itu betapa takutnya Astuti harus meninggalkan rumah. Harus tinggal di tempat asing. Di lingkungan yang penuh dengan orang-orang yang tak dikenalnya.
Alangkah kejamnya aku, desah Aswin penuh penyesalan ketika
mendengar adiknya melarikan diri. Bagaimana aku tega melakukannya?
Mengapa aku seperti melupakan janjiku?
Sekarang Astuti menghilang entah ke mana. Tidak seorang pun
tahu ke mana dia pergi. Barangkali dia sendiri pun tidak tahu. Dia
hanya melangkah ke mana kakinya membawanya.
Air mata Aswin menetes tatkala membayangkan nasib adiknya.
Apa yang dimakan Tuti hari ini? Di mana dia berteduh kalau malam
tiba? Adakah orang yang akan melindunginya jika tangan-tangan jail
menggerayanginya?
Arman dan Ardi seakan menyesali ketidakpedulian mereka, tapi tak
ada lagi yang dapat mereka lakukan kecuali berupaya ikut mencari Astuti.
Segala macam cara telah mereka lakukan. Tetapi bulan demi bulan berlalu, Astuti tetap menghilang entah ke mana.
Nurma berusaha menebus kesalahannya dengan menghibur dan
melayani suaminya sebaik mungkin. Tetapi apa pun yang dilakukannya,
tak dapat menyembuhkan luka di hati Aswin.
Aku telah berjanji di depan orangtuaku, bisik Aswin dalam hati,
membayangkan adiknya terlunta-lunta di jalanan. Dan aku telah
menyimpan janjiku dalam kotak kosong. Tidak ada apa-apa di dalam
kotak itu. Tidak juga sepotong cinta yang tersisa. Padahal mungkin
hanya itu yang dibutuhkan Astuti dalam dunianya yang sunyi.
24:19 PM
Karya Mira W.
24:30 PM
Karena Darren
Nina Addison
Nina Addison, yang juga hobi memasak dan memotret selain menulis
ini tinggal di Scotland, United Kingdom, bersama suami, anak,
dan anjing Siberian Husky kesayangannya. Novel pertama penulis
lulusan Fakultas Psikologi UI yang pernah menjadi reporter majalah
Kawanku ini berjudul Morning Brew (2011, GPU).
Facebook page: Ninaddison Morningbrew.
24:34 PM
Nina Addison
OW do I look?" tanyaku.
"Cakep," jawab Mala tanpa mengalihkan pandangan dari
handphone-nya.
Dedemit! itu pasti Flappy Bird lagi!
"Mata ke sini!" seruku geram sambil menyambar handphone
Mala. Mala ber-oi keras sambil menggapai-gapai, tapi nasib burungnya
sudah tak tertolong lagi.
"Penny!" Mala menghela napas. "Kalo lo masih nggak yakin
sama penampilan lo, mending nggak usah pergi deh," katanya sadis
sambil menyambar handphone dan kembali menerbangkan burung
sialan itu. "Lagian lo over the top banget deh. Pake baju Dior cuma
buat pergi ke reuni SMA," gerutunya. "Oh waiiit, ya ya gue tahu. Darren
si ganteng bakal ada di sana." Mala tertawa kecil.
Bah! Menjuluki Darren sekadar ganteng itu seperti menyebut
matahari sekadar benda di langit. Gini deh. Kalau ada klub ganteng,
Darren-lah ketuanya. Kalau ada kota ganteng, Darren-lah walikotanya.
Kalau ada alam semesta ganteng, bisa tebak siapa Tuhannya? Lebih
dari itu, buatku Darren adalah the one that got away. Ada semiliar
langkah di masa lalu yang akan kuubah supaya lebih dekat ke Darren,
kalau saja ada kesempatan untuk menganulirnya. Dan barangkali
kesempatan itu ada di reuni ini.
"You are going to be ?ne. Ayo kita taklukkan reuni ini," kata Mala
sambil menggamit lenganku.
Ruang yang kami booking sudah terisi setengah. Cindy, si dedengkot
tim cheerleader yang pertama melihatku.
"Penissssayang," katanya sambil membuka tangan lebar-lebar.
Aku menyamarkan kernyitan dengan senyum. Ugh, I hate that name!
Namaku Penny Savitri. Seems like a harmless name, right? Bukan salah orangtuaku memberi nama secantik itu. Harapan mereka
tentunya tinggi pada anak perempuan satu-satunya dengan memberi
nama yang indah di telinga. Namun nama itu sumber malapetaka dari
24:34 PM
Karena Darren
sebuah segmen dalam hidupku. Dan orang yang bertanggung jawab
atas mimpi burukku selama tiga tahun di SMA adalah Wahyu, ketua piket kelas 1-3 yang punya tugas menulis kertas absen tapi selalu malas
menulis nama panjang dengan lengkap.
Novita S.
Ivana N.
Rudi K.
Penny S.
Yang juga harus disalahkan adalah Pak Tono, guru sejarah yang
sudah berumur, yang di hari naas itu lupa membawa kacamata. Lalu
terjadilah kecelakaan penyebutan nama; dan ternyata sebuah titik berkekuatan gempa skala dewa jika diabaikan.
"PENNYS!" panggil beliau lantang dengan wajah lempeng
setengah mengantuk seperti biasa.
Kuping anak-anak langsung berdiri, terutama cowok-cowok bermulut comel yang hobi duduk di belakang. Lalu ketika aku mengangkat
tangan perlahan dengan keringat dingin, derai tawa satu kelas meledak. Sejak itu? Goodbye Penny si cewek manis yang berpotensi jadi
pacar ideal. Selamat datang Peni dengan S tanpa titik yang jadi bulanbulanan dan miskin pacar.
Memasuki tahun ketiga, di saat kusangka panggilan itu akan
tergusur dan wafat diam-diam, datanglah Penny Katrina. Anak indo
berambut cokelat berkulit putih. Sejak itu jika ada yang bicara tentang
Penny, orang akan dihadapkan pada dua pilihan: Penny Bule, atau aku:
Penny Penis. Selesai sudah. Mimpi buruk yang diciptakan Wahyu kelas
1-3 terus hidup sampai kami lulus.
Masa SMA memang kejam.
Satu-satunya memori indah dari tiga tahun di SMA adalah Darren.
Cowok pendiam yang hobi memanjat (panjat tebing, panjat gunung,
panjat pohon?) itu tidak terkena imbas lelucon kejam anak-anak.
Wajah cool-nya selalu tampak sibuk di meja belakang ketika cowok
lain memilih untuk berbuat keonaran super kampungan di kelas. Dia
24:35 PM
Nina Addison
obat stres terampuh buatku. Kadang aku sengaja melewati kelasnya
di ujung (yang berarti aku harus melewati toilet seram di pojok untuk
sampai di tangga menuju kantin. Hiii!) sambil curi-curi pandang ke
meja belakang. Melihat wajahnya di antara kerumunan sudah cukup
membuatku merasa damai. Paling tidak sampai bel pulang dan aku
harus bertempur masuk ke dalam bus yang selalu penuh sesak.
He was my sanctuary, my breeze of fresh air.
Menjelang tahun terakhir, Darren lebih sering menghabiskan waktu
di ruang ekskul pencinta alam di lantai tiga. Sebal! Karena, satu: aku
nggak punya alasan untuk main ke lantai atas. (Isinya cuma ruangan untuk kegiatan ekstrakurikuler) Kedua, yang paling penting: naik tangganya
bikin ngos-ngosan karena kelas kami di lantai dasar. Gosip mengatakan
Darren bersembunyi di atas karena bermasalah dengan Kepala Sekolah.
Agak aneh sebenarnya, karena biarpun tampilan Darren bad boy banget,
kepala sekolah kami sayang bukan main padanya. Ada berapa piala yang
berhasil Darren bawa pulang buat sekolah, coba? Baik dari klub pencinta
alam maupun klub matematika yang juga dia ikuti. Anyway, kebenaran
gosip itu tidak pernah terungkap.
Aku curiga alasan sebenarnya adalah groupie I LOVE DARREN
yang selalu mengikuti cowok itu kayak penyakit. Grrh! Saking agresifnya aksi mereka, Darren sempat nggak masuk sekolah lho! Again,
ini gosip. Entah benar atau nggak.
Anyway, setelah lulus SMA, Darren lenyap dari peredaran. Beda
nasib dengan panggilan "Peni dengan S" yang sepertinya stuck di kepala anak-anak hingga sekarang.
Lima belas tahun setelah itu, Penny Savitri bermetamorfosis menjadi
pengarah gaya terkenal, seperti doa kedua orangtuanya. Wajahnya
wira-wiri di majalah sosialita, teman-temannya termasuk modelmodel ternama, jadwal kerjanya pun meliputi tempat-tempat eksotis
buat pemotretan.
"Udah gitu masih aja lo nanar pergi ke reuni SMA. Mestinya te269
24:35 PM
Karena Darren
man-teman lo itu kagum ngeliat lo, Pen. Syukur-syukur pada sirik, jadi
kan nyesel tuh yang dulu jahat sama elo." Kata-kata si bitchie Mala di
mobil bergema dalam pikiranku.
Peduli setan lah! Yang penting nggak ada yang tahu apa isi
otakku yang amburadul ketika Cindy si dedengkot tim cheerleader
membawaku ke meja yang sudah banyak orang. Atau betapa ada pendar
grogi ketika Rio, cowok yang sempat kutaksir di masa penataran (dan
KETAHUAN!) mengajakku mengobrol.
Baru setelah perhatian kerumunan beralih ke orang-orang yang
berdatangan, mataku mulai mencari wajah yang selama ini bertanggung jawab atas rinduku. Sosok yang minggu lalu tiba-tiba nongol
di studio, persis di depan wajahku. Bikin shock bagaikan sale Louis
Vuitton di tanggal tua.
"Penny?" panggilnya. Perempuan normal mana pun akan menjawab dengan semringah penuh tebar pesona. Tapi bagaimana otakku
bisa berfungsi ketika Darren muncul di depanku bukan hanya tampak
luar biasa mature, tapi juga bertelanjang dada?
Dia tertawa ketika aku masih juga tergagap, dengan pandangan
pingpong antara wajah dan tubuh tegapnya.
"Gue Darren. Kita satu SMA. Lupa ya?" katanya ramah.
Singkat cerita, Daren sekolah fotogra? di luar negeri selepas
SMA. Namun alih-alih dikenal sebagai tukang foto, dia malah dapat
tawaran jadi model. Seperti hari itu, dia baru saja selesai foto buat
majalah Motomotif (majalah fotogra? dan otomotif katanya) yang
mengharuskan dia duduk bertelanjang dada di atas motor gede. (OMG!
Ngebayanginnya saja aku nyaris pingsan).
Belum sempat ngobrol banyak, aku sudah diburu-buru fotografer
dan model yang siap beraksi.
"Minggu depan lo dateng ke reuni, kan?" tanyanya. Aku mengangguk-angguk seperti sapi dicucuk hidungnya. Padahal itu pertama kalinya aku mendengar tentang adanya reuni.
"Kita lanjut ngobrol di sana aja deh, ya. See you!" katanya sambil
berlalu. Dan itulah asal muasal bagaimana aku kecemplung di reuni ini.
Semua karena Darren.
24:36 PM
Nina Addison
Nyatanya, nggak mudah menggiring cowok ini ke pojokan dan mengklaim dia milikku. Nggak semudah menempelkan post-it warna pink
dengan namaku di jidatnya. Walaupun dia mengenali wajahku dan
menyapa ramah, posisi duduk Darren sudah dikunci di antara dua
teman dekatnya. Sisanya? Para groupie yang ternyata masih eksis
setelah belasan tahun! Dedemit!!!
Pokoknya malam itu Penny si pengarah gaya ternama gagal hadir.
Peni dengan S kembali gentayangan. Mala pasti bangga setengah
mati, pikirku lesu.
Tahu-tahu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat dan
pesta mulai bubar. Darren berdiri, aku panik. Beberapa teman masih
mencoba menghasut Darren untuk lanjut ke tempat lain, tapi ditolak
halus cowok itu.
"Besok ada gawean pagi, Yen. Next time ya?" Dia melempar senyum sempurna, membuat Yeni melipir dengan bahan untuk mimpi
indah nanti malam.
Di tengah kepanikan, muncullah Penny si pengarah gaya mengambil alih. Aku mengejar Darren yang sudah ke luar pintu.
"Darren! Pulang juga? Naik apa?" tanyaku menjajari langkahnya.
"Hei! Gue naik taksi aja. Capek nyetir. Lo?" jawabnya sambil mengenakan topi baseball. Aku menggoyangkan kunci mobil di depan
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya.
"Bareng yuk," ajakku sok nyantai. Dia tertawa.
"Emangnya lo tau rumah gue di mana?"
"Setiabudi, kan?" kataku dengan polos, lalu setengah mati menggebuki diriku sendiri dalam hati setelah melihat Darren terperangah.
"Gue lihat di Facebook lo tempo hari," tambahku buru-buru. Iya, Facebook lo yang nggak pernah ada isinya itu. Cuma data standar sama
tagging-an orang-orang jualan handphone. Hiks.
"Oh. Deket kalo gitu dari Kuningan ya. Lo masih tinggal di Kuningan, kan?" tanyanya enteng. Kali ini aku yang terperangah. Setelah
itu hatiku breakdance membabi buta. "Yuk deh," lanjutnya.
24:36 PM
Karena Darren
Di dalam mobil kami saling mengisi keabsenan selama belasan
tahun nggak ketemu (dan tiga tahun masa SMA yang menyengsarakan)
dengan saling bercerita. Diam-diam Penny si pengarah gaya bertekad
untuk membuktikan bahwa dirinya adalah perempuan yang sanggup
bersanding dengan cowok yang mukanya mirip Reza Rahadian ini.
Sekaligus memastikan Peni dengan S nggak akan pernah muncul lagi
selamanya!
Aku mulai menyusun rencana dengan beberapa poin yang seharusnya diserap Darren dengan baik. Oke!
Poin 1: melarikan mobil cukup cepat. Pesan yang tersirat: "Gue
sangat nyaman duduk di belakang kemudi. Jalanan ini playground
gue! Keren, kan?"
Poin 2: menerobos lampu merah. Pesan yang tersirat: "Gue perempuan yang berani mengambil risiko. Little Dare-devil yang pasti
cocok dengan kepribadian lo."
Poin 3: menyalip mobil lelet dengan gancil. Pesan yang tersirat:
"Leletologi nggak ada dalam kamus hidup gue." (Nggak penting juga
Darren tahu ini, tapi sumpah, mobil barusan lelet banget!).
Lalu ketika poin 4 (nyetir berhati-hati di daerah perumahan untuk
membuktikan sisi lembutku) berhasil masuk skor, aku baru menyadari
Darren nggak banyak bicara lagi.
Aku menghentikan mobil di depan rumah kontrakannya.
"There you go. Selamat istirahat," kataku riang.
"Thanks," dan dia langsung keluar. Yap, tanpa berkata apa-apa
lagi. Saking buru-burunya, topinya ketinggalan di mobil. Aku menurunkan kaca mobil, memanggilnya. Tapi, boy, cepat sekali cowok itu
menghilang!
Aku baru saja hendak turun untuk mengembalikan topinya, berharap barangkali ada kelanjutan sesi ngobrol dengan Darren, ketika
handphone-ku berbunyi.
"Mala, gue lagi on the mission! Ntar aja gue telepon balik ya!"
kataku galak.
"Eh! Tunggu dulu!" sela Mala buru-buru. "Gue punya informasi
tentang Darren. Penting!"
24:37 PM
Nina Addison
"Apaan?"
"Lo tadi SMS gue bilang mau anterin Darren pulang, kan? Nah,
ternyata temennya temen gue yang ketemuan barusan itu salah satu
sahabatnya Darren."
Aku menegang.
"Tadi dia cerita bahwa ternyata dua bulan lalu Darren kecelakaan
mobil parah, Pen. Ringsek abis. Hampir lewat lho dia! Makanya nanti
lo hati-hati nyetirnya ya. Lo masih di tempat reuni, kan? Pen? Penny!
Penny!!! Halo?"
Tanganku melemas. Topi dalam peganganku jatuh ke aspal. Aku
bisa merasakan Peni dengan S menatapku marah dengan tangan
dilipat di dada sambil bilang, "Rasain lo!"
24:37 PM
Karya Nina Addison
24:38 PM
Bahagia
Bersyarat
Okky Madasari
Okky Madasari lahir di Magetan, 30 Oktober 1984. Lulusan Fisipol
Hubungan Internasional Univesitas Gadjah Mada ini pernah menjadi
wartawan dan sejak 2012 mengikuti program studi S2 di Universitas
Indonesia. Seluruh novel karyanya, yang terhubung dalam satu
benang merah: perlawanan atas ketidakadilan dan perjuangan
untuk kebebasan dan kemanusiaan, diterbitkan GPU: Entrok (2010),
86 (2011), Maryam (2012) yang meraih Khatulistiwa Literary Award
2012, Pasung Jiwa (2013), The Years of the Voiceless (2013), dan The
Outcast (2014).
24:41 PM
Bahagia Bersyarat
ATANYA dia mau kawin lagi.
Ia katakan itu tadi malam, saat kami duduk berdua menghadap televisi. Saya pura-pura tak terkejut. Pura-pura tak
marah. Pun pura-pura tak mau tahu. Saya hanya diam. Menatap lurus
ke layar televisi. Sementara ia terus bicara, pelan-pelan, meyakinkan
saya dengan banyak alasan.
Katanya ia mau punya anak lagi. Satu anak masih belum cukup.
Apalagi kalau anak itu punya kekurangan. Tak bisa diharapkan. Ia bercerita tentang indahnya masa depan. Tentang hal-hal besar yang bisa
diwujudkan kalau ia punya anak lagi. Anak yang normal. Yang tidak
punya gangguan mental.
Ia juga bicara tentang segala ketersia-siaan dan waktu yang terbuang jika hanya menyerah pada keadaan. Semua orang tak bisa menolak takdir, tapi tugas setiap orang untuk mengubahnya menjadi
lebih baik. "Kita rawat anak kita sebaik-baiknya, tapi bukankah tak
ada salahnya kalau aku punya keturunan lain yang lebih baik?" begitu
katanya.
Katanya juga, tak akan ada yang berubah. Kami tetap suami-istri.
Tetap keluarga utuh. Tetap tinggal serumah. Saya tetap akan dinafkahi. Tak ada bedanya dengan sebelum ia punya istri lagi. "Paling kan
nanti cuma sesekali aku menginap di rumahnya. Seminggu sekali atau
seminggu dua kali. Selebihnya ya tetap di sini," katanya lagi.
Ia juga bicara soal cinta. Katanya cintanya pada saya tetap sama
seperti waktu kami bertemu di kampus dulu. Kami akan tetap saling
mencintai. Di hatinya, saya tetap satu-satunya istri. Ia akan selalu
memikirkan saya setiap waktu, di setiap tempat, sepanjang hari, saat
ia sedang tugas jauh, atau pada hari-hari tertentu ia sedang di rumah
istri baru. "Ini hanya agar aku bisa punya anak lagi. Itu saja," bisiknya
tepat di telinga saya. Saya sedikit menggigil waktu ia mengatakan itu.
Bukan karena menahan marah, bukan pula karena dingin ruangan. Itu
gigilan yang penuh rasa seram. Saya seperti sedang mendengar bisikan setan. Setan yang datang hanya untuk membuat saya ketakutan,
menangis tanpa alasan.
Semuanya menjadi lebih baik saat ia sedikit menggeser badan.
24:41 PM
Okky Madasari
Kembali ke posisi semula, tegak menghadap televisi, lalu bicara begitu
saja, melempar kata-katanya ke udara. Bukan ke telinga saya.
Sekarang ia kembali bicara sesuatu yang jauh di depan. Tentang
masa-masa yang masih dalam bayangan. Saat ia punya anak lagi. Seseorang yang bisa diharapkan dan diandalkan. Seorang pemuda yang
bisa mewujudkan apa yang dulu kami angankan. Saat anak itu datang,
katanya, kebanggaan bukan hanya milik dia, tapi juga untuk saya. Juga
untuk kakaknya, yang mungkin tak bisa mendapatkan apa-apa seumur
hidupnya. "Anak itu nanti akan jadi anak kita. Anakmu juga."
Lalu tiba-tiba ia merangkul saya. Mengelus-elus pipi. Membelaibelai leher. Mencium kening. Mencumbu bibir. Saya muak. Saya tak
tahan. Air mata saya mengalir perlahan. Bersamaan dengan itu bayangan-bayangan pun berjalan. Kenangan-kenangan. Mengapa semuanya
terbungkus dalam penyesalan?
Tiba-tiba saya begitu merindukan bahagia. Saya merasa tak pernah
benar-benar merasakannya. Tiga puluh dua tahun hanya sekadar hidup. Menciptakan kata "bahagia" dalam kepala, mengabaikan apakah
benar hati saya merasakannya. Saya menganggap bahagia seperti selembar ijazah yang pasti bisa saya dapatkan setelah lulus sekolah. Maka
yang saya lakukan hanya mengikuti segala aturan, melakukan yang
dikatakan baik oleh semua orang, tanpa pernah berpikir sebenarnya
buat apa saya sekolah. Semuanya hanya untuk ijazah. Dan setelah itu
saya akan bahagia. Sebagaimana orang-orang lain berbahagia.
Sekarang, kepada saya ia bicara soal cinta. Ah, saya sendiri tak
benar-benar tahu apa itu cinta. Kami bertemu di kampus dua belas
tahun lalu. Saat itu saya mahasiswa baru, masih muda dan bodoh. Dia
mahasiswa yang baru saja lulus. Datang ke kampus untuk mengurus
surat-surat yang mau dipakai mencari kerja. Kami berkenalan.
Mengobrol sebentar. Lalu entah bagaimana, saya tak pernah ingat kisahnya, ia mulai rajin datang ke rumah saya. Bertemu setiap Sabtu
malam, kadang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Saya tak pernah
ingat apakah kami saat itu berpacaran.
Saya juga tak bisa ingat apa ia pernah meminta saya menjadi
pacarnya. Yang saya tahu, kenapa saya bertemu dan berjalan-jalan
24:42 PM
Bahagia Bersyarat
dengannya, karena saya tak punya alasan untuk tak mau. Tak ada hal
yang bisa saya temukan untuk berani bilang ia tak perlu lagi datang.
Sebagaimana halnya tak bisa saya katakan: Saya tak bisa jalan-jalan
karena sedang ada urusan. Saya sedang menakar cinta, sebagaimana
saya menakar bahagia. Selembar surat tanda saya jatuh cinta akan
saya dapatkan saat saya bertemu laki-laki yang sesuai ukuran orangorang. Rupa, keimanan, kebaikan, kepintaran, dan kemapanan di masa
depan. Adakah yang masih diperlukan dari seorang laki-laki selain itu
semua? Adakah yang lebih baik lagi, kalau saya lewatkan kesempatan
ini begitu saja? Bagaimana mungkin cinta tak datang kalau semua itu
sudah saya dapatkan?
Pada hari ia diterima kerja, ia datang ke rumah, membawa kue
bolu, bercerita penuh semangat pada Ayah dan Ibu. Berbunga-bunga
ia ceritakan perusahaan tempatnya bekerja. Sebuah perusahaan internasional, yang menambang minyak di banyak daerah. Ia sarjana
geologi. Bekerja di perusahaan minyak seperti itu sudah menjadi citacitanya. Dua belas tahun lalu, ia mendapat gaji pertama 2,5 juta.
Saya pun semakin memantapkan hati. Apa lagi yang mau dicari
dari seorang suami? Bapak dan Ibu semakin merestui. Ia diperlakukan
sudah seperti anak sendiri. Segala yang kami lakukan dipercayai. Kami bebas bertemu, kami boleh jalan-jalan setiap waktu. Adakah yang
lebih menyenangkan daripada cara pacaran yang seperti itu?
Saya pun mengenal cinta sebagai kebaikan bersama. Saat semua
ukuran yang saya kenal sejak kecil terpenuhi, ketika semua patokan
umum yang diatur orang-orang sudah saya lampaui. Cinta adalah saat
saya senang melihat laki-laki berwajah lumayan dan ternyata dia pun
demikian. Cinta adalah saat saya merasa tenang bersama orang yang
selalu sopan dan menghujani saya dengan berbagai kebaikan. Cinta
adalah saat ia hadir membawa kepastian tentang masa depan yang
mapan, tak kekurangan. Dan bagi orangtua saya, cinta adalah saat
anak perempuan mereka bertemu laki-laki yang benar, yang nantinya
bisa mencukupi segala kebutuhan. Maka saya perintah hati saya. Saya
atur otak saya. Saya kendalikan keinginan saya. Untuk melebur dalam
satu pikiran: Inilah cinta yang saya butuhkan.
24:42 PM
Okky Madasari
Sejak itu, saya merasa sudah sah menyandang bahagia dan cinta.
Saya tak perlu mencari, semuanya sudah datang sendiri. Maka saya
memeluk semuanya erat-erat. Takut bahagia dan cinta itu pergi begitu
saja meninggalkan saya. Saya tak peduli lagi pada hal-hal lainnya. Saya
selesaikan kuliah sekadarnya. Nilai pas-pasan, tanpa sedikit pun hal
yang layak dikenang. Saya merasa tak perlu teman. Saya merasa tak
perlu berbuat apa-apa. Karena saya sudah punya segalanya: bahagia
dan cinta.
Sehari setelah lulus ujian akhir, saya langsung menikah. Rasanya
seperti mendapatkan stempel pengesahan di surat tanda bahagia dan
cinta yang bertahun-tahun saya bawa ke mana-mana. Maka mulai saat
itu saya harus jauh lebih berbahagia. Lebih mencintai daripada sebelumnya. Dan karena sudah mendapat pengesahan, saya pun berhak
menunjukkan pada semua orang. Pamer ke semua orang sambil
berkata, "Kami berbahagia dan saling mencintai lho!"
Tiga hari setelah menikah, kami berangkat ke Berau, kota kecil di
Kalimantan Timur. Di sana ia ditugaskan. Semua orang mengantar kepergian kami dengan sukacita. Katanya kami akan berbahagia di sana.
Pasangan pengantin baru, tinggal berdua, membangun segalanya berdua.
Kami akan punya rumah baru, rumah kami sendiri, yang akan bisa saya
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atur sesuka hati. Lalu kami akan punya anak, merawat dan membesarkan
mereka, dan semuanya telah lengkap. Itulah yang namanya bahagia.
Karena mereka bilang seperti itulah bahagia, saya pun sudah
seharusnya bahagia. Hidup berdua di desa kecil pinggir hutan, jauh
ke mana-mana, tak kenal siapa-siapa. Mungkin memang itulah cara
suami-istri membagi suka dan bahagia bersama. Setiap jam enam
pagi dia berangkat, ikut mobil jemputan yang disediakan perusahaan.
Menyusuri jalan buatan yang membelah hutan, sampai di pinggir
pantai. Sendiri di rumah, saya pun melakukan apa yang selayaknya
dikerjakan istri saat suami bekerja. Menyapu lantai yang sebenarnya
masih sama bersihnya dengan sehari sebelumnya. Mengepel hanya
karena memang sudah seperti itulah setiap hari lantai rumah dirawat.
Agak siang keluar rumah, berjalan ke ujung jalan kampung, tempat
penjual sayur setiap hari mangkal. Membeli sayur dan lauk, lalu
24:43 PM
Bahagia Bersyarat
memasaknya. Setelah semuanya selesai, saya mengambil baju-baju
di gantungan, mencucinya meski sebenarnya baru dipakai satu kali
dan masih layak dipakai lagi. Ketika semuanya selesai, saya tiduran di
lantai, menghadap televisi yang gambarnya selalu buram. Daerah ini
masih belum terjangkau pemancar stasiun televisi. Menjelang sore,
saya mengangkati jemuran, lalu menyetrikanya. Sebelum matahari
tenggelam, saya menyapu halaman, lalu menyapu ulang ruangan di
dalam. Setelah itu saya mandi dan menunggu suami.
Kami makan malam bersama. Mengobrol apa saja. Sering kali
hal-hal yang sama. Ia selalu mengulang pertanyaan yang sama.
"Ngapain saja hari ini?" Saya pun menjawabnya seperti jawaban harihari sebelumnya: menyapu, mengepel, mencuci, memasak. Kami menonton TV sebentar sampai jam sembilan. Lalu sama-sama masuk
ke kamar. Saya bisa menghitungnya. Tiap tiga hari, dia melingkarkan
tangannya ke punggung saya, kami berpelukan, berciuman, saling
membuka baju, lalu menuntaskannya. Pada malam-malam lain,
ia hanya diam, lalu tak terlalu lama kemudian terdengar suara
dengkuran.
Tak pernah ada masalah. Tak ada yang kurang. Tak ada yang tak
benar. Semua ada pada tempatnya. Semua sesuai yang semestinya.
Memang beginilah cara suami-istri yang berbahagia. Tapi kemudian
tiba-tiba saya ingat, masih ada satu syarat lagi untuk menjadi suamiistri bahagia. Kami harus punya anak. Dua atau tiga. Lengkap laki-laki
dan perempuan agar kami benar-benar seperti normalnya keluarga yang
berbahagia. Saya pun sadar kami belum bahagia. Sejak itu kami berupaya
segalanya untuk mendapatkan kebahagiaan kami. Hari-hari kami penuh
dengan doa, pengucapan permintaan pada Yang Mahakuasa. Kami ingin
jadi pasangan yang bahagia. Suami-istri sempurna sebagaimana
normalnya orang-orang.
Sambil menyapu, mencuci baju, memasak, saya komat-kamit memanjatkan doa. Di malam hari, kami masuk kamar tergesa. Bercinta
sambil berdoa. Sejak itu saya tak tahu lagi apa yang tersisa di ranjang
kami tiap malam, selain rasa lelah dan harapan yang membuncah
karena kami akan segera bahagia.
24:44 PM
Okky Madasari
Satu tahun kemudian, saya hamil. Sedikit lagi sebelum kami
seutuhnya bahagia. Sekarang kami lakukan segalanya untuk anak yang
saya kandung. Kami bicarakan apa saja tentang dia, kami bayangkan
semuanya, kami atur segalanya. Kami sedang menanam bibit bahagia
yang akan kami petik segera pada hari kelahirannya. Sebentar lagi.
Tak lama lagi. Kami sah menjadi orang-orang yang bahagia.
Tapi kenapa Tuhan memberikan yang tak pernah kami minta?
Seorang bayi laki-laki. Dengan gangguan mental sejak lahir. Tidak, dia
tidak gila. Dia hanya berbeda. Tak sama dengan bayi-bayi normal lainnya.
Kami menerimanya dengan segala duka. Bahagia itu telah terampas
jauh. Sedikit pun tak berhak kami menggapainya.
Sepuluh tahun sudah kami membesarkannya. Sebagai orang yang
tak berhasil mendapatkan bahagia, kami pun tak berhak sedikit saja gembira. Rumah ini semakin pengap. Dipenuhi rasa kecewa dan
marah, juga air mata. Sebagai pasangan yang tak bahagia, tak layak
pula kami mendapat rasa nikmat dari bercinta. Badan saya menolak.
Juga pikiran saya. Saya gagal. Saya tak berhasil menjadi orang yang
berbahagia. Segalanya hanya saya jalani sebagai ketelanjuran. Saya
sudah terperangkap, apa lagi yang bisa saya lakukan selain tetap
bertahan hidup di dalamnya sambil tetap merawat anak yang telah
saya lahirkan?
Saya mulai mereka-reka. Seandainya dulu saya memilih orang
lain, bukan dia. Seandainya dulu saya menunda pernikahan, dan
berlama-lama menjadi lajang. Seandainya saya tak mau dibawa ke
tempat terpencil seperti ini, seandainya saya memilih tetap tinggal di
Jakarta, dikelilingi teman-teman, punya pekerjaan. Tapi saya buruburu sadar, dengan seperti itu pun, belum tentu saya bisa menjadi
orang berbahagia, seperti umumnya orang-orang.
Saya buang jauh segala pengandaian. Saya jalani semuanya tanpa
lagi berpikir macam-macam. Sedikit pun tak lagi saya beranganangan untuk bisa menjadi keluarga sempurna yang bahagia. Saya tahu
saya sudah gagal. Saya menyerah. Tidak apa-apa. Saya terima.
Tapi tadi malam ia bilang mau menikah lagi. Sebagai orang yang
sudah tak bahagia, tak bisa lagi saya memberi ruang untuk duka.
24:44 PM
Bahagia Bersyarat
Orang yang sudah tak punya harapan, tak lagi menyimpan ketakutan.
Maka saya tak berpikir lama-lama saat saya mendengar suara dengkurannya, usai kami bicara di depan TV. Saya gunakan pisau ini. Dia
juga tak boleh bahagia, kalau saya tak bisa bahagia.
Tanjung Barat, 9 Maret 2011
Pernah dimuat di majalah Eve edisi Mei 2011
24:45 PM
Karya Okky Madasari
24:48 PM
Moya
Primadonna Angela
Primadonna Angela lahir di Rumbai, 7 Oktober. Mulai menerbitkan
novelnya di GPU Juli 2005: Quarter Life Fear. Selain produktif
sudah menulis belasan novel dan buku non?ksi, ibu dua anak ini
juga menjadi editor, penerjemah, dan copywriter. Karya-karyanya
antara lain berjudul Magnet Curhat, Query Pita, Belanglicious, Pojok
Lavender, 7 Detik. Dia bisa dihubungi di belanglicious@gmail.com
atau vervain.blogspot.com.
24:50 PM
Primadonna Angela
EPALANYA ditelengkan, suaranya lirih. "Meong?"
Aku terlonjak dan menatap ke sekelilingku. Anak kucing
itu berdiri dari posisi tidurnya dan mendekatiku. Ekornya
tegak. Berkedut sekali. Kemudian, dia menghambur ke kakiku dan
menggosok-gosokkan tubuhnya.
"Meong! Meong! Meong!" Nada suaranya gembira, seolah telah
menemukan teman lama.
Aku menatapnya, menggigit bibir bawahku. Kucing itu kecil sekali.
Berapa ya kira-kira umurnya? Satu, dua bulan? Aku melirik ke kanankiri di mana induknya? Tidak ada kucing lain di sana, baik yang seusia
anak kucing ini atau yang dewasa. Apa dia ditinggalkan? Atau dibuang?
Bulunya cemong di sana-sini, kelabu. Aku merunduk dan anak
kucing itu seolah kesenangan. Dia berusaha memanjat kakiku, celanaku dijadikan tempat mengasah kuku. Aku menyentuhnya, jemariku gemetar ketika membelai kepala dan punggungnya. Aku tersadar
anak kucing itu berbulu putih. Mengingatkanku pada awan di hari
cerah, atau halimun di pegunungan. Moya, pikirku, membelai lehernya sementara anak kucing itu mendengkur kesenangan. Moya, itu
namamu.
Aku menggendongnya, berhati-hati menempatkannya di telapak
tangan, kemudian duduk di bangku taman. Aku memeriksa tubuhnya.
Kotor, jelaga memenuhi bulu di sana-sini, dan ada beberapa kutu yang
berkeliaran.
Pertemuanku dengan Moya seolah ditakdirkan. Aku membutuhkan teman. Dan Moya membutuhkan rumah.
Di apartemenku, kami tidak diizinkan memelihara hewan. Tapi
asal tidak ketahuan, tidak apa-apa, kan?
Aku menempatkan Moya di bahu, dan dia mencengkeram kemejaku, meongnya semakin tinggi. Aku menyentuhnya, menenangkannya. Aku berdiri, berbalik, berjalan ke tempat praktik dokter hewan
yang sering kulewati.
24:51 PM
Moya
Moya telah divaksin, dimandikan, diberi obat cacing. Aku membeli
perlengkapan yang kira-kira akan kubutuhkan. Masalahnya, bagaimana menyelundupkan Moya ke dalam apartemenku?
Aku memasukkan Moya ke keranjang rotan berlapis bantal. Dia
segera pulas. Makanan kucing, wadah kotoran, serta pasirnya, aku
masukkan ke tas superbesar yang kukempit.
Satpam tidak mencurigaiku, dan aku menarik napas lega sambil
merogoh-rogoh tas. Tapi ketika kunci kumasukkan ke lubangnya, aku
mendengar bunyi pintu terbuka.
Uh-oh. Tetanggaku. Tubuh jangkung, dada bidang, wajah bertulang
pipi tinggi, bibir penuh, dan mata tajam. Bertemu dengannya di pinggir
jalan, seorang perempuan normal mungkin berharap punya alasan
untuk menyapanya. Namun bagiku, dia brengsek. Masih segar dalam
benakku peristiwa minggu lalu, ketika (tidak untuk pertama kalinya)
dia mencelaku karena menjemur pakaian di balkon. Mau bagaimana
lagi? Namanya, mm, perempuan ya, ada masanya dalam sebulan
pakaiannya mudah ternoda. Membawanya ke penatu? Bikin malu
saja. Lebih mudah mencucinya sendiri. Lagi pula, aku tidak mengibarngibarkan pakaian dalamku agar seluruh dunia bisa melihatnya kok.
Kutempatkan dengan jepit pengaman di gantungan jemuran pendek,
yang sayangnya tidak cukup pendek sehingga tetanggaku masih bisa
melihatnya dan menceramahiku.
"Mentang-mentang tanggal muda, puas-puasin belanja, ya?"
Sang tetangga melirikku dan menyunggingkan senyum miring yang sinis. Aku berjengit dan tergoda untuk membalas, tapi kewarasan mencegahku untuk mengoceh lebih banyak. Dia menambahkan, "Yah, lain
kali bawa cucianmu ke penatu. Sekarang musim hujan, jangan sampai
onderdilmu lembap! Nanti masuk angin!"
Aku melongo sementara dia berlalu.
Dasar produk zadul! Siapa sih, di zaman sekarang, yang merujuk
pakaian dalam perempuan dengan kata onderdil?
24:51 PM
Primadonna Angela
Moya sepertinya senang berada dalam apartemenku. Dia penuh
semangat berlarian ke sana-sini, menjelajahi setiap kamar, dan dengan cepat mendapati bantal di ranjangku merupakan tempat yang
nyaman untuk dia tiduri. Moya tampak sedikit ceking, tulang rusuknya
masih sedikit menonjol, namun bulunya putih lembut dan kumisnya
panjang menggemaskan.
Aku menempatkan wadah kotorannya di balkon, di tempat yang
aku yakin takkan bisa dilihat tetangga mpretmbelgedes itu. Kalau dia
mendadak mencium aroma kurang sedap, biar sajalah dia berpikir
ada bangkai bersembunyi di dalam apartemennya.
Malam pertama Moya di apartemenku, dia lelap di sampingku.
Dengkurannya menenangkanku. Untuk berjaga-jaga, aku membuka
pintu balkon agar Moya bisa buang air kapan pun.
Ketika deringan telepon yang nyaris menjatuhkanku dari ranjang
membuatku terjaga, aku baru tersadar hari apa itu.
Tamatlah riwayatku! Bos besar dari luar negeri akan hadir, dan
kami diharapkan datang lebih awal karena bakal rapat seharian!
Bahan-bahan rapat, presentasi, dan segala rupa sudah kami siapkan
sejak kemarin, tapi jangan-jangan ada yang kelupaan?
Aku menerima telepon dari rekan kerjaku, yang berbagi kepanikan
denganku. Aku menepuk jidat ketika dia berkata, "Mana dress codenya menyulitkan! Harus mengenakan warna jingga, sesuai warna
dominan perusahaan kita. Tahu tidak, berapa toko yang kemarin
kudatangi untuk mencari kemeja warna jingga?"
Celaka! Aku tidak teliti mengecek e-mail memorandum mengenai
rapat hari ini! Begitu menutup telepon, aku mengubek-ubek lemari
sehingga isinya berhamburan di lantai dan menutupi perabotan.
Aku baru bisa mengembuskan napas lega ketika menemukan scarf
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berwarna jingga lembut.
Jingga membuat batinku tidak tenang. Konon, berdasarkan ilmu
psikologi, warna oranye merangsang kreativitas dan nafsu makan.
24:52 PM
Moya
Apa karena itu aku ingin mengudap setiap jamnya? Atau karena stres
berhadapan dengan bos besar yang sama sekali tidak bisa berbahasa
Indonesia?
Setiap jam diisi dengan inspeksi bos di sana-sini, keharusan kami, para karyawan, bergantian mendampingi, membuat isi perutku
seolah diaduk-aduk. Bagaimana kabar Moya? Aku meninggalkan makanan ekstra dan susu khusus anak kucing di apartemen, tapi apa cukup? Bagaimana kalau dia kelaparan? Kesepian? Atau terperangkap
di suatu tempat dan mengeong-eong lemah minta bantuan, dan aku
berada di tempat yang sungguh jauh darinya?
Konsentrasiku buyar, beberapa kali aku mendapatkan teguran
dari bos besar karena tidak tanggap dengan keinginannya. Sial
betul, pukul enam sore, dan kami semua masih terperangkap di sini.
Giliranku menemani bos, dan kekalutanku semakin bertambah.
"Freya! If you can?t concentrate, do something about it!"
Suara menggelegar itu membuatku menunduk. Ketahuan
melamun ketika diajak bicara, malu sekali. Aku terbirit-birit ke toilet, dan begitu pintunya tertutup, aku menangis. Oh, kacau sekali.
Pekerjaanku terancam, namun yang kupikirkan hanyalah bagaimana
keadaan Moya di apartemen!
Aku membasuh wajah sekaligus menghapus riasanku. Biarkan
sajalah bos besar menganggapku serampangan.
Aku pikir, pukul tujuh, waktunya makan malam, inspeksi dadakan
ini akan berakhir dan kami bisa pulang dengan damai. Bos besar malah
memesankan makanan di kantor, dan itu artinya kami diharapkan lembur
lebih larut. Banyak paperwork yang menurutnya kacau, harus ditulis ulang.
Beberapa prosedur internal menurutnya tidak efektif, harus dirombak.
Aku mengaduk-aduk makan malamku, lesu, benakku lagi-lagi
melayang kepada Moya.
Kursi di sebelah, yang tadinya kosong, ditarik. Begitu menyadari siapa yang duduk di sana, wajahku memucat. Bos besar menatapku penuh selidik. Setelan jas biru tuanya tampak tak bercela, dan
dasinya masih tersimpul sempurna. Aku merasa seperti makhluk tak
berdaya yang dibelenggu dan dikerangkeng, ingin melarikan diri, tapi
bagaimana caranya?
24:52 PM
Primadonna Angela
"What?s the matter with you?" tanyanya, dan aku bersyukur suaranya dipelankan. "I have seen your reviews. You are a good worker,
the one who pays attention to details. Today, your mind is elsewhere.
Are you having any personal problems?"
Aku menarik napas dalam-dalam. Mengangguk.
"Is it about a man?"
Aku menunduk. "No," sahutku lirih. "I am worried about my cat."
Bos besar bersandar di kursinya. "Tell me," katanya.
Maka, aku pun melakukannya.
Kalau satu jam lalu aku beranggapan bos besar adalah makhluk
penghuni neraka yang paling dalam, sekarang aku yakin hatinya sesuci
malaikat. Mungkin dia juga pencinta kucing. Atau tersadarkan bahwa
perubahan apa pun, yang ingin dia implementasikan di tempat kerja,
takkan efektif kalau dipaksakan dalam sehari.
Setelah makan malam, kami diizinkan pulang. Syukurlah!
Kali ini, aku memutuskan untuk naik taksi. Kasihan Moya, tentunya dia
bertanya-tanya mengapa ditinggalkan. Aku mengentak-entakkan kaki, tak
sabar menanti lift datang. Begitu lift berhenti, aku bisa dikatakan berderap ke
arah apartemenku. Membuka kunci, masuk, dan memanggil-manggil Moya.
Tapi dia tidak ada.
Aku berlari ke arah lemari, kamar mandi. Memanggil-manggil.
Tak ada reaksi.
Terpaan angin yang dingin membuatku tersadar. Apa Moya mainmain ke balkon? Dia juga tak ada di sini. Aku terduduk, kakiku gemetar.
Kemungkinan paling buruk menggapai benakku. Moya mungkin berhasil memanjat ke pinggiran balkon, kemudian terpeleset. Dari
ketinggian puluhan tingkat, aku ragu dia bisa bertahan hidup Kalau
aku turun dan mencari-cari di bawah sana, siapa tahu tubuhnya
tergeletak, terluka, dan barangkali sudah tak bernyawa
"Moyaaa!" teriakku putus asa, sembari menutup wajah dengan
kedua tangan.
24:53 PM
Moya
Bunyi klik samar membuatku tergeragap. Perutku yang mulas
semakin melilit mendapati wajah tetanggaku muncul dari balkonnya. Aku
mengalihkan pandangan.
"Ini, yang kamu cari?"
Tatapanku kembali tertuju padanya. Di tangannya, mengeong dan
tampak sehat-sehat saja, ada Moya. Aku langsung berdiri dan berjalan
mendekat.
"Moya!" sahutku, berlinang air mata.
"Nanti akan kuantarkan ke apartemenmu," cowok itu berkata. Nada
suaranya kembali penuh cela. "Kan sudah kubilang, jangan pamerkan
peranti tempurmu sembarangan. Tadi aku mendengar suara melengking
aneh. Kulihat kucing ini menaiki gantungan jemuranmu kemudian
menyusuri lis di dinding dan sampai ke balkonku. Untung dia tidak terjatuh! Kau sungguh tidak bertanggung jawab sebagai pemiliknya!"
Aku tidak terlalu mendengarkan. Moya masih hidup! Itu yang
penting. "Aku saja yang ke sana," kataku, kembali meringis dalam hati
mendengar cowok itu menyebutkan "peranti tempur". Buset deh!
Aku menggedor pintunya, dan dihadapkan dengan wajah Moya
yang lucu. Aku meraup Moya, menempatkannya di bahu. Ketika dia
mendengkur, duniaku kembali damai.
"Terima kasih," kataku, "terima kasih." Air mataku menitik dan
Moya mengelapnya dengan bulunya.
Cowok itu menelengkan kepala. "Aku tidak butuh terima kasihmu.
Yang kuinginkan, jangan lagi memamerkan celana dalammu! Aku
tidak biasa, tahu!"
Aku mengangkat alis. Rona merah muncul di pipi cowok itu. Ah,
ternyata dia manis banget kalau malu-malu begitu.
"Namaku Freya. Kamu?"
"Leo," katanya. "Kalau harus pergi seharian, titipkan saja kucingmu padaku. I don?t mind." Genggamannya hangat dan mantap.
Aku tersenyum. Dia tidak semenyebalkan yang kuduga.
17.45, 08/12/2013
24:54 PM
Karya Primadonna Angela
24:56 PM
Bau Laut
Ratih Kumala
Ratih Kumala lahir di Jakarta 4 Juni 1980. Ia menyelesaikan studi
dari Jurusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS)
Solo. Novel pertamanya, Tabula Rasa, memperoleh hadiah ketiga
Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Novelnya
yang terakhir berjudul Gadis Kretek (2012). Selain menulis novel dan
cerita pendek, Ratih juga menulis skenario untuk televisi.
24:58 PM
Ratih Kumala
ETIKA lelaki itu kembali dari lelaut, dia menemuiku. Kupikir dia
telah mati ditelan air. Tubuhnya legam, air asin dan matahari
telah memanggang kulitnya. Rambutnya kemerahan, mata
nya menyipit dan cekung. Aku bisa melihat ceruk ketakutan di situ,
sekaligus sejuta perlawanan seperti dalam tempur yang tak berkesudahan. Aku memang tidak mengerti laut, meskipun seumur hidup
aku hidup di pinggiran laut. Tetapi aku tidak paham, apa yang mesti
ditakutkan di laut yang tak ada apa-apa selain ikan, air, dan matahari.
Mungkin karena ketidakada-apa-apaan itulah dia menjadi takut.
Namanya Mencar. Dia adalah bocah nelayan yang menjadi dewasa
di kapal. Sejak kecil ayahnya membawanya ke laut untuk mencari ikan.
Dia bisa melihat ikan dari kejauhan, matanya sangat tajam dan awas.
Hingga dewasa, dia terus bertugas memberitahu anak buah kapal di
mana mereka bisa menemukan segerombolan ikan untuk dipanen.
Dia naik ke tiang kapal, bergelantung di atasnya serupa layar, dan dia
berteriak dengan semangat sambil tangannya menunjuk ke satu titik.
"IKAAAN!"
Mencar dan aku tak pernah akur. Semasa kami bocah, dia anak
yang menyebalkan. Menakut-nakutiku dengan membawa kepiting
besar hingga aku harus berlari menghindarinya. Aku terus menghindari Mencar sampai aku menjadi remaja. Hingga suatu sore aku
melihat ayah Mencar mengajak bocah itu melaut. Di pinggiran pantai,
aku melihatnya memperhatikanku. Ada yang salah pada pandangan
matanya. Meski tubuhnya masih anak-anak, sorot matanya sudah
menjadi mata lelaki dewasa. Aku bahkan lebih tinggi daripada dia.
Tetapi sorot mata itu membuatku jengah.
Beberapa hari kemudian, Mencar kembali. Laut memang penyihir
yang mahadahsyat, mampu mengubah semua orang. Mencar, teman
kecilku itu, berubah menjadi lelaki pada suatu hari sepulangnya dari
melaut. Aku tak melihat lagi tanda-tanda bocah di tubuhnya. Badan
Mencar liat dan terbakar. Ketika dia melewatiku, kuperhatikan kini
tubuhnya menjadi lebih tinggi. Padahal tempo hari dia lebih pendek
daripada aku. Sorot mata itu masih sama, seperti menelanjangiku.
Malamnya, itulah yang dilakukan tangannya: menelanjangiku. Kami
24:59 PM
Bau Laut
bercumbu beralaskan pasir dan beratap bintang, serta bau laut yang
menerpa wajah kami. Bibirnya terasa asin. Mencar menjadi kekasihku.
Setiap Mencar pergi melaut, aku selalu melepasnya. Ibunya memegang
tanganku, mencari kekuatan dan mencoba meyakinkan diri sendiri
bahwa suami dan putranya akan kembali pulang. Dan inilah tugas
kami, para perempuan yang bersanding dengan nelayan: menunggu di
rumah dengan waswas dan berusaha bersahabat dengan laut dengan
mengirimkan doa-doa yang tak terbatas.
Pada satu percumbuan kami, Mencar bercerita dia bermimpi
bertemu dengan seorang perempuan yang muncul dari laut.
"Apakah itu Nyai Ratu Kidul?" tanyaku.
"Bukan. Aku tahu itu bukan Nyai Ratu Kidul."
"Siapa?"
Penjelasan Mencar atas pertanyaanku tak bisa kupercaya. "Dia
perempuan yang tak memiliki kaki, tetapi ekor ikan yang menjuntai
dari pinggang ke bawah." Seumur-umur aku hidup berdampingan
dengan laut, tapi aku tak pernah memercayai Putri Duyung benar
adanya. "Dia menyuruhku minum air laut di ujung geladak dan buritan
sebelum aku melaut lagi besok."
Para nelayan terbiasa membaca tanda-tanda alam, seaneh apa pun itu.
Sore keesokan harinya, para perempuan melepas laki-laki mereka
untuk melaut. Mencar menuruti mimpinya. Dia mengambil segelas
air dari ujung geladak dan buritan kapal yang ditumpanginya. Temanteman awak kapal bertanya-tanya apa yang dilakukan Mencar. Meski
awalnya mereka menganggap itu aneh, mereka mengikuti apa yang
dilakukan Mencar. Mencar turun sejenak dari kapal, berlari menghampiriku, dan memegang tanganku.
"Sepulang dari melaut ini, aku akan meminangmu." Dia memeluk294
24:59 PM
Ratih Kumala
ku demikian erat, hingga dipanggil lagi oleh ayahnya untuk segera
kembali ke kapal. Ibu Mencar seperti biasa menggenggam jemariku
sambil mulutnya merapal doa-doa. Biasanya, aku bukanlah orang yang
takut akan kepergian Mencar. Tetapi kali ini berbeda. Segera setelah
dia mengucapkan kalimat itu, ada ketakutan yang menyerangku. Kali
ini, aku menggenggam tangan ibu Mencar lebih erat. Perempuan itu
bisa merasakan ketakutanku.
Keesokan malamnya, badai menghampiri langit. Semua perempuan
keluar melongok demi memastikan benar ada badai yang tengah
bertandang. Setelah itu, mereka semua masuk ke rumah masingmasing dan bersembunyi sambil merapalkan doa. Seusai badai puas
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengamuk, kami mendengar kabar kapal-kapal yang hancur dihantam badai. Hatiku seketika itu juga menjadi suwung. Ibu Mencar
setiap hari membawakan sesaji untuk laut dan menangis setiap sore,
memohon pada samudra untuk mengembalikan suami dan anaknya.
Beberapa hari kemudian, sebuah keanehan terjadi. Satu per satu
nelayan terdampar. Mereka seolah dikembalikan oleh lidah ombak.
Termasuk ayah Mencar yang pulang dengan utuh. Setelah semua nelayan yang terdampar terkumpul, kami melihat kesemuanya adalah
awak kapal tempat Mencar turut serta. Semuanya kembali. Sedangkan
awak kapal lain menyisakan janda-janda dan anak-anak yatim yang
kini harus bertahan sendiri tanpa kepala keluarga.
Semua kembali... kecuali Mencar.
Sudah lebih dari sebulan aku dan ibu Mencar setiap sore pergi ke
bibir laut dan menyuguhkan sesajen agar Mencar kembali. Ketika aku
berpikir sudah tak ada lagi harapan, tiba-tiba lidah ombak menggulung
seseorang dari tengah laut. Kami berdua menghampiri sosok yang
tergeletak itu.
25:00 PM
Bau Laut
"Mencar! Mencar anakku!" teriak ibu Mencar. Aku tak memercayai
ini, Mencar kembali dan masih utuh setelah sebulan lebih menjadi tawanan laut.
Malam itu, semua penghuni desa nelayan kami ramai memperbincangkan kembalinya Mencar. Mencar sendiri langsung dirawat
oleh keluarganya, dan aku selalu mendampingi kekasihku yang tampangnya nyaris tak kukenali.
"Mencar, aku pulang. Besok aku akan kembali," ucapku pada
Mencar saat aku harus pulang.
Ketika aku kembali keesokannya, rambut dan jenggot Mencar
sudah rapi. Ibunya telah menggunting rambutnya tadi malam. Kupandangi Mencar yang masih belum mau berbicara. Mulutnya diam seolah
dia tak mengerti bahasa manusia. Tetapi matanya... mata itu nyalang
dan menyimpan sejuta cerita yang tak terkatakan.
Beberapa malam kemudian, aku tak menyangka. Mencar datang
mengetuk jendela kamarku. Seperti malam-malam sebelum dia pergi
melaut, sebelum badai itu menghantam, inilah yang biasa dia lakukan:
mengajakku pergi ke bibir pantai dan bercinta di bawah bintang.
Mencar, lelakiku, telah kembali.
"Kupikir kau telah mati ditelan laut," ucapku. Mencar tak berkata
apa-apa. Dia mulai mencumbui leherku. Sepanjang dia berada di atas
tubuhku, kupandangi ceruk matanya yang sedalam samudra. Aku
seolah berenang dalam sorot mata yang telah menjadi keabu-abuan.
Matanya kini menjelma liar.
"Apa yang telah terjadi?"
"Maafkan aku, aku sudah kawin dengan Putri Duyung. Aku tak
bisa menikahimu."
Mencar mengembalikanku ke kamarku, melompat ke luar jendela, matanya sedikit meredup, berat melepasku menutup jendela kamarku. Dia pergi menembus gelap malam dan angin laut.
Mencar tak pernah lagi melaut. Berita bahwa Mencar sudah kawin
25:00 PM
Ratih Kumala
dengan Putri Duyung sudah menyebar seperti jamur. Dan tibatiba, rumahnya setiap pagi penuh dihampiri para nelayan. Mereka
memberikan pundi-pundinya untuk Mencar karena kini ia tak perlu
melaut. Mencar hanya perlu keluar ke halaman rumahnya, lalu
mencium bau laut dalam-dalam, dan dia membisikkan kepada seorang nelayan ke arah mana harus melaut, di situlah nelayan itu akan
menemukan segerombolan ikan. Hidungnya telah demikian tajam
sehingga ia tak perlu lagi melihat ke laut untuk mengetahui letak ikan.
Matanya telah melihat laut yang sesungguhnya, seolah dirinya sendiri
adalah peta samudra.
Tak lama kemudian, keluarga Mencar hidup bak keluarga raja.
Mereka tak perlu lagi bekerja. Orangtuanya menjadikan Mencar sumber penghasilan mereka. Ibunya melelang keahlian Mencar untuk
mencium bau laut setiap pagi. Siapa pun yang memiliki pundi-pundi
paling besar, dialah yang akan diberitahu letak gerombolan ikan di
laut. Mencar tak pernah benar-benar keluar dari rumahnya. Ibunya
pun selalu berseloroh kepada orang-orang kampung, "Anakku menikah dengan Putri Duyung. Dia pangeran laut yang hidup di darat."
Aku tak tahu apakah benar atau tidak, tapi ada nelayan yang
pernah melihat Mencar pergi ke laut tengah malam, dan yakin benar
ada sesosok perempuan berekor ikan menemui Mencar di bibir pantai.
Aku cuma mendengarkan itu semua, sambil menelan olok-olok
orang-orang yang menanyakan apakah aku akan mencari pacar baru
atau bersaing dengan Putri Duyung. Itu semua membuatku merasa
seperti ombak yang pecah di tepi karang, berpencar dan pasrah pada
samudra yang menarik kembali air asin yang telah menjadi keping.
Seperti itulah sakit hatiku. Retak. Rusak.
Hingga suatu malam, ketika aku yang rentan sedang meresapi
kesedihan, seseorang mengetuk jendela kamarku. Aku tahu, itu pasti
Mencar. Ketika kubuka jendelaku, tanganku menghambur memeluk
tubuh Mencar.
25:01 PM
Bau Laut
"Kupikir kau takkan pernah mengetuk jendelaku lagi."
"Menikahlah denganku," ucap Mencar.
"Tapi Putri Duyung itu?"
"Aku
mencintaimu,
meskipun
Putri
Duyung
telah
menyelamatkan nyawaku. Temui aku dari pintu depan."
Aku menutup jendela. Tak lama kemudian, terdengar ketukan
pintu depan. Ayahku yang sedang membersihkan jala bertanya-tanya
siapa gerangan yang mengetuk pintu sedemikian keras di malam buta.
Kubuka pintu, dan sosok Mencar berdiri di situ.
"Mau apa kamu?" tanya ayahku ketus.
"Saya ingin menikahi putrimu, karena saya mencintainya."
"Kamu sudah menikah dengan Putri Duyung, dan kamu sudah
membuat saya kelaparan karena kamu mampu mencium bau laut
sedang saya tak mampu membayar keahlianmu. Kamu cuma memperkaya saudagar ikan, dan membuat nelayan kecil macam saya
makin tercekik."
"Akan saya berikan maskawin segerombolan ikan yang bisa
menghidupimu seumur hidup. Kau bisa memanennya besok, ketika
kau kembali melaut. Serta kapan pun kau pergi ke laut, ikan-ikan akan
menghampirimu."
Setelah Mencar meyakinkan ayahku, aku dan Mencar pun dinikahkan ayahku. Ibu dan adikku menjadi saksi. Malam itu juga, Mencar
membawaku ke bibir pantai, dan di bawah bintang kami bercinta.
Ia mengembalikanku ke rumah di tengah malam buta, dan berkata
pada ayahku, bahwa besok dia akan ikut serta melaut, menghadiahi
aku dan keluargaku maskawin ikan yang akan menghidupi kami
seumur hidup, seperti yang sudah dijanjikannya. Aku tak percaya pada
pendengaranku, Mencar akan kembali melaut.
Aku melepas Mencar, suamiku, yang pergi melaut bersama
ayahku. Aku menunggu dengan waswas di bibir pantai, setiap pagi
dan sore. Beberapa hari kemudian, ayahku kembali tanpa Mencar. Dia
membawa kapal penuh dengan tangkapan laut serta sejumput cerita
yang kemudian menjadi legenda di kampung kecil kami:
Seusai Mencar menunjukkan di mana ikan-ikan berada, dia
25:01 PM
Ratih Kumala
berjanji pada ayahku yang akan menjadi saudagar besar, dan di mana
pun ia berada, ikan akan selalu mendatanginya. Setelah itu, ayahku
bersumpah dia melihat sesosok perempuan cantik dengan ekor ikan
yang menggeliat di sekitar kapal nelayannya. Mencar segera terjun,
menenggelamkan diri ke laut. Ayahku mencoba mencegahnya, tetapi
sosok itu memegang tangan Mencar dan menariknya jauh ke dalam
laut.
25:02 PM
Karya Ratih Kumala
25:04 PM
Pilihan
Retni Sb
Retni SB lahir di Cirebon, 22 Maret. Alumnus Komunikasi Fisipol
UGM ini sempat menjadi copywriter dan account executive selama
beberapa tahun di perusahaan periklanan di Jakarta sebelum
menetap di Singkawang. Semua novel karyanya diterbitkan GPU:
Metamorfosa Oase (2006) yang memenangkan Juara II Lomba Novel
MetroPop GPU, Cinta Paket Hemat (2007), His Wedding Organizer
(2008), Pink Project (2009), Dimi Is Married (2010), dan My Partner
(2012).
25:06 PM
Pilihan
UDAH kuperkirakan. Ibu akan terkejut saat kukatakan bahwa
Ninok adalah perempuan yang kuinginkan sebagai istri. Begitu
juga respons kakak-kakakku?Elis, Azril, dan Luly.
"Apa nggak ada perempuan lain, Dit?" tanya Azril, tanpa merasa
sungkan sama sekali.
"Iya nih, matamu sudah siwer ya, Dit? Kok milih Ninok sih? Aneh,"
sambung Elis.
"Jangan-jangan kena pelet...," timpal Luly.
Alangkah manisnya kakak-kakakku ini. Terang-terangan meremehkan Ninok, perempuan yang kucintai. Padahal aku tak pernah
berkomentar negatif saat mereka memberitahu Ibu mau menikah
dengan pilihan masing-masing. Istri Azril sangat bossy dan gemar
memperlakukan Azril seperti kacung. Suami Elis memang kaya
raya, tapi berkali-kali berkhianat. Sedangkan suami Luly lebih mementingkan soal akhirat daripada urusan duniawi, akibatnya dia
mengabaikan urusan mencari nafkah. Tentu saja mereka menutupi
kekurangan pasangan masing-masing sampai sekarang, tapi aku
sudah mengetahuinya sejak mereka pacaran, dan aku tak pernah
meributkannya. Tapi kini?
Kulirik Ibu. Dia pura-pura sibuk memotong-motong cake di piring.
Tapi kutahu, melalui urat-urat lehernya yang menegang dan bentuk
bibirnya yang mengatup keras, dia pun sama tak setujunya seperti
yang lain.
"Ninok itu gila, Dit. Apa kamu mau hidupmu jadi kayak neraka
gara-gara nekat menikah dengannya? Pikirkan juga calon anakanakmu. Mereka akan mewarisi gen ibunya. Nggak perlu kecerdasan
super untuk paham soal ini...," lanjut Azril.
Azril memang kurang cerdas, untung ganteng. Urusan akademis, dia memang sering menjadi juru kunci di kelas. Jadi aku
terpesona mendengar kata-katanya barusan. Itu pengakuan akan
ketidakcerdasannya atau pertanda dia mulai pintar?
"Lengan Ninok penuh tato, pasang piercing di kuping dan hidung,
bajunya sembarangan. Nah, nggak malu bawa dia pergi kondangan?
Kamu bakal jadi bahan omongan orang!" kata Elis yang paling modis
25:06 PM
Retni Sb
dan teliti benar urusan penampilan. Dia memang sangat cantik dan
wangi. Tapi percuma, suaminya tetap saja merayu perempuanperempuan lain. "Lagian, kapan sih kalian pacaran? Kok tahu-tahu
mau nikah?"
Aku hanya terkekeh. Malas menjawab. Aku dan Ninok memang
tak pernah pacaran. Tapi aku ingin menikahinya. Salahkah?
"Perempuan kayak dia bagaimana bisa kerja kantoran? Nah,
gimana tuh nanti rumah tangga kalian... secara kamu juga belum mapan, usaha sering gagal? Cari dong istri yang bisa bantu
sejahterakan keluarga," ucap Luly gemas. Haha, maksudnya harus
punya istri yang mau bekerja keras untuk menafkahi keluarga, seperti
dirinya? Apa dia menyukai situasi itu?
Aku tertawa saja. Kakak-kakakku memang lucu, kok bersepakat
membuat malam yang cerah ini jadi horor. Mudah-mudahan Ibu tidak
ikut-ikutan lucu. Sebab itu tidak cocok. Ibu adalah perempuan paling
baik hati dan paling toleran.
"Ibu bagaimana?" tanyaku.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ibu masih saja sibuk dengan piring cake-nya. Padahal cake itu
sudah terpotong semua dan sudah tertata rapi. Apa masih perlu ditambahi aksesori buah ceri dan onggokan daun mint di tepinya seperti di
majalah? Tapi ini kan bukan acara pesta. Kami hanya sedang kumpulkumpul Rabu malam, rutinitas yang diupayakan tak dilupakan. Demi
Ibu. Demi penghargaan kepadanya, atas kerja kerasnya membesarkan
empat anak seorang diri, sebab Bapak sudah wafat sejak kami kecil.
Ibu memang luar biasa. Begitu pula toko kelontong kecilnya. Ibu
dan toko itu sungguh pasangan yang saling menguatkan dan membuat
keluarga ini tak sampai diremehkan para tetangga, hanya gara-gara
statusnya janda. Ibu sangat bermartabat, menjaga perilakunya, dan
menjadi tempat bertanya bagi warga sekitar atau keluarga jauh.
Jadi, restu Ibu menjadi hal yang paling penting dalam kehidupan
kami. Apalagi dalam urusan calon menantu. Jika ingin memasukkan
orang asing sebagai bagian keluarga, persetujuan Ibu adalah mutlak.
Dulu, kakak-kakakku berhasil membujuk hati Ibu dengan
segudang puja-puji tentang pacar masing-masing. Secara penampilan
25:06 PM
Pilihan
dan perilaku, mereka memang terlihat cemerlang dan santun. Basabasi, buah tangan, dan aneka perhatian telah menyentuh hati dan
membuat Ibu memercayakan kebahagiaan anak-anaknya di tangan
mereka. Satu-dua tahun usia pernikahan memang masih aman. Tapi
tahun-tahun berikutnya, kakak-kakakku mulai saling mengeluh.
Jika para menantu yang berperilaku santun itu saja bisa membuat
masalah, bagaimana Ninok tidak? Ninok itu sudah tidak santun, tidak
manis, tidak pandai basa-basi, bahkan penampilannya kerap membuat alergi. Tato, piercing, rok mini, lipstik gelap, dan motor laki-laki.
Aku paham menantu semacam ini adalah mimpi buruk bagi orangtua. Masalahnya, Ninok adalah satu-satunya perempuan yang sudah
kukenal dengan baik dan tak pernah meremehkanku meski semua
usaha yang kucoba lebih banyak jatuhnya daripada bangunnya.
Menurutku, aku dan Ninok sepadan. Sama-sama sering diremehkan
orang. Dan kami sama-sama punya semangat untuk bangkit.
"Bu...?" Kuusik Ibu yang sepertinya sedang tersesat di dunia hantuhantu cake. Mata dan pikirannya seperti tidak berada di rumahnya.
"Terserah kamu saja, Dit. Kan kamu yang akan menjalani...,"
jawab Ibu dengan pandangan tetap tertuju pada piring cake. Urat-urat
di lehernya belum melentur. Kusimpulkan, Ibu tidak setuju.
"Aku serius bertanya lho, Bu. Aku kan perlu restu dari Ibu...,"
kataku, mungkin dengan nada yang terdengar menyangsikan.
Ibu mendongak. Memandangku tajam. Urat-urat di lehernya
makin mengencang. Aku sudah membuatnya marah.
"Kamu nggak dengar apa omongan Ibu barusan? Ibu bilang, terserah. Bukannya selama ini kamu semaumu dan nggak mau diatur?
Jadi seperti yang sudah-sudah, ya terserah saja. Yang mau menikah
kan kamu, bukan Ibu. Ibu nggak berani mengatur-atur soal jodoh,
sebab Ibu bukan Tuhan. Silakan saja menikah dengan Ninok. Tapi
tanggung sendiri semua akibatnya di kemudian hari. Kalau ada apaapa, jangan merengek-rengek dan mengadu kepada Ibu. Kalau berani
memilih, artinya harus berani bertanggung jawab!"
Dada Ibu naik-turun. Pasti kalimat panjang itu membuatnya ngosngosan. Sebab dia mengatakannya tanpa menarik napas.
25:07 PM
Retni Sb
Aku menunduk. Aku memang pemberontak sejak kecil. Sering
mengabaikan petunjuk Ibu, dari urusan sekolah sampai urusan
pekerjaan, dan kini urusan jodoh. Aku sudah menolak Arimbi, perempuan lembut yang disodorkan Ibu. Aku malah memilih Ninok, mantan
tetangga yang sejak kecil sudah gemar membuat rusuh.
Aku mencintai dan mengagumi Ibu. Sangat ingin membuatnya
bahagia di hari tuanya. Menurutku, menikahi Ninok adalah salah satu
caranya. Tapi ya... caraku ini memang tidak lazim. Bahkan mungkin
justru dianggap sengaja ingin membuat Ibu sakit dan mengirimnya ke
kuburan.
Orang-orang tak mengerti. Elis, Azril, dan Luly pun tidak. Apalagi
ibu. Aku maklum. Aku tak tahu bagaimana cara meyakinkan mereka.
Aku hanya memercayai Ninok, tapi tak bisa membuktikannya sekarang.
"Jangan nekat, Dit. Kamu satu-satunya sisa harapan Ibu. Sedangkan
kami ini sudah telanjur...," desis Luly yang duduk di sebelahku.
Aku menoleh. Kudapati wajah kakakku yang perkasa ini menjadi
sedikit sendu. Dia seperti sudah kehilangan sepertiga kekuatannya.
Apakah dia sudah mulai lelah berperan sebagai pencari nafkah?
Aku tersenyum. Kuelus lengannya. Merasa iba dengan kehidupan
pribadinya. Kutahu, meski kariernya bagus dan menghasilkan gaji
cukup besar, sebenarnya dia memerlukan suami yang bisa memanjakannya. "Sama seperti yang lain, aku juga sangat sayang pada Ibu,
Mbak."
"Kalau begitu, pikirkan lagi niatmu itu. Ninok itu absurd."
Absurd? Bukankah aku juga sering dicap absurd? Nah, jadi... jika
absurd dikali absurd, hasilnya bisa menjadi tidak absurd, kan?
Tiba-tiba Ibu berdiri. Piring cake yang sejak tadi menjadi pelarian
fokusnya ditinggalkan begitu saja di meja. Sepertinya Ibu siapsiap meninggalkan gelanggang. Restunya dibiarkan mengambang.
Mulutnya bilang terserah, tapi tubuhnya bilang tidak. Didesak agar
bicara yang sebenarnya, malah marah. Duhai...
25:07 PM
Pilihan
Malam sudah larut. Pertemuan Rabu malam tak menghasilkan restu
yang pasti. Ibu angkat tangan. Terserah, katanya.
Kuketuk pintu paviliun kamar Ninok. Tanpa menunggu jawaban,
kubuka pintunya. Dia memang tak pernah mengunci pintu jika belum
tidur. Dulu, ketika masih bertetangga, aku terbiasa keluar-masuk
kamarnya. Menyaksikannya merusak tubuhnya sendiri. Melukai
tangannya, menindiki telinganya dengan peniti panas, atau memukuli
dinding sampai tangannya memar.
"Nok..."
Ninok duduk di lantai di samping tempat tidur. Dia sedang melukis
pada kertas yang dihamparkannya di lantai. Aku mendekat. Ikut duduk
di sebelahnya. Kuperhatikan lukisannya. Itu gambar monster kecilkecil yang sangat detail, mungkin jumlahnya ratusan, memenuhi
bidang kertas. Untuk membuatnya, tentu dibutuhkan kesabaran dan
ketelitian ekstra. Kini dia sedang mewarnainya dengan cat poster.
Lukisan monster. Itu objek favoritnya belakangan ini.
"Tambah lama, monstermu tambah imut," komentarku.
Ninok menoleh. Terkekeh. "Mereka temanku. Cuma mereka yang
setia kepadaku."
Sesuatu yang dingin menusuk ulu hati. Aku merasakan kesepian
yang menggigit dan ketidakberdayaan yang menggelisahkan.
"Aku juga setia, Nok."
"Itu artinya kamu bodoh. Kenapa nggak bosan menemaniku?
Nggak takut ketularan gila, heh?"
Teman-temannya memang mencapnya sebagai cewek gila.
Tingkahnya selalu membuat orangtua dan guru-gurunya heran dan
habis kesabaran. Ketika SMP, dia mulai menato lengannya, sedikit demi
sedikit. Awalnya di pangkal lengan, berbentuk bunga kecil. Makin lama
makin bertambah. Akhirnya kedua lengannya penuh tato warna-warni.
Di pahanya pun ada tato gambar mawar berduri. Sebagian dikerjakan
oleh studio tato, sebagian lagi dibuatnya sendiri menggunakan jarum
yang dipanaskan dengan api lilin dan tinta isi bolpoin. Bayangkan, itu
SMP. Saat SMA, Ninok mulai menindiki telinga, hidung, dan pusarnya.
Pasang piercing. Akibatnya, berkali-kali dia dikeluarkan dari sekolah.
25:08 PM
Retni Sb
Tapi dia tidak kapok. Adalah keajaiban akhirnya dia bisa juga lulus
sarjana, meski bukan dari kampus favorit.
Aku mengerti jika ibu dan kakak-kakakku tidak merestui Ninok
sebagai calon istriku. Dia aneh bagi orang kebanyakan. Dia seperti
tidak normal. Mungkin dia dianggap memalukan. Bahkan keluarganya
sendiri menganggapnya sebagai kuman yang meresahkan.
Tapi bagiku yang sering juga dicap sebagai biang onar, Ninok
adalah teman berjuang. Kami senasib, menghadapi orang-orang yang
hanya bisa menghakimi. Kami terbiasa saling mendukung dan saling
menguatkan. Kami saling merasa nyaman, meski tidak berpacaran.
Diam-diam aku mencintainya, entah dia.
Bagiku Ninok memiliki kualitas. Meski memiliki penyakit kejiwaan yang membuat kehidupannya lebih sulit daripada kebanyakan
orang, pada akhirnya dia berhasil menemukan cara untuk mengatasi
ketakutan dan dorongan untuk menyakiti diri sendiri. Dia melampiaskannya dengan melukis, membuat aksesori, dan menulis. Dia
sedang merintis masa depannya.
Tapi itulah, tak semua orang bisa melihat itu. Kamu pun pasti
menganggapku tak waras karena berkeinginan memperistri Ninok,
seorang penderita afektif bipolar yang penampilannya mirip rocker....
25:08 PM
Karya Retni Sb
25:11 PM
Wanita Terindah
Rina Suryakusuma
Rina Suryakusuma lahir dan dibesarkan di Jakarta. Ia berkarier di
bidang keuangan namun tetap menjadi penulis yang aktif. Novelnya
yang kesepuluh, Perfect Mess, terbit April 2014.
25:13 PM
Wanita Terindah
AMANYA Christy.
Aku jatuh cinta padanya entah sejak kapan. Kapan mulainya
pun aku tak tahu. Tahu-tahu aku memergoki diriku sering
menatapnya, mencuri pandang ke arahnya. Yang aku tahu pasti, itu
semua dimulai sejak kami berdua masih kanak-kanak.
Christy kecil dengan rok seragam kecil dan topi merah mungil
yang melindungi kepalanya. Aku dengan dasi kanak-kanak, celana
pendek, dan topi merah yang sama.
Aku ingat, bahkan saat dulu aku melihatnya, aku sudah tertegun
melihat betapa cantiknya dia dengan pipi merah dadu karena terik
matahari, rambut dikepang dua, mirip boneka yang manis kepunyaan
adikku, serta tas ransel pink yang melingkar di balik bahunya.
Saat itu aku tahu, aku sudah bertemu dengan bidadari pendamping
hidupku.
Kami tumbuh bersama.
Kami duduk di bangku SMP yang sama. Kami menginjak bangku
SMA. Dan akhirnya kami harus masuk ke universitas.
Mungkin konyol kalau kukatakan, aku memilih universitas karena
aku sudah tahu lebih dulu mana universitas yang akan diambil oleh
Christy. Tentu aku tidak bisa masuk ke jurusan yang ia pilih. Dia
mengambil jurusan fashion. Dan aku tidak mungkin ikut masuk ke
jurusan tersebut.
Jadi aku memilih bidang yang lain.
Itu tidak apa-apa. Ini bidang dambaanku sejak dulu. Bidang yang
kutahu pasti akan berhasil membuatku meraih mimpi terbesarku. Lagi
pula, fakultas kami berdekatan. Dan aku bisa menatapnya dari jauh,
memandanginya bercanda dengan teman-teman gadisnya. Dan aku
bersumpah, tak pernah kulihat wanita lain lebih memesona selain dirinya.
Rasanya ironi menyadari bahwa dia begitu dekat, bahwa seluruh
fokus hidupku tercurah pada dirinya, bahwa semua harus tentang
Christy, namun buat gadis itu, aku tak pernah hadir.
Aku tak pernah sungguh-sungguh ada.
25:14 PM
Rina Suryakusuma
Apakah kau pernah merasa tak terlihat oleh seseorang yang begitu
kausayangi?
Itu seperti kau melihat sekuntum mawar yang cantik merekah di
hadapanmu, dan tanganmu tak kuasa memetiknya karena kau tahu
bunga itu akan layu. Itu seperti kau kehausan di padang gurun, melihat
segelas air, dan tak berani meminumnya, karena kau tahu air itu akan
habis. Dan jika habis, kau akan kehilangan harapan, karena kau tahu
gelas itu sudah kosong.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyakitkan, sekaligus menyenangkan.
Tetapi kalau kau sungguh mencintai seseorang dengan cinta sedalam itu, semua akan baik-baik saja. Selama dia bahagia, semua
akan baik-baik saja.
Hari-hari datang dan pergi. Aku bergeming di tempatku berdiri, menatap
Christy yang menjalin hubungan asmara dengan banyak pria tampan
di kampus kami. Nyaris semuanya tidak pernah serius dalam menjalani
komitmen. Tidak heran. Aku bisa mengerti kenapa. Christy begitu cantik.
Tidak ada pria yang dapat menahan diri untuk melawan pesonanya.
Dia jatuh cinta. Dia patah hati. Dia jatuh cinta lagi. Dan dia patah
hati lagi.
Selalu, aku hanya mengamatinya dari jauh. Menghiburnya jika
ada kesempatan langka, yaitu saat kami duduk bersama di ayunan
yang terpasang di halaman rumahnya, tak jauh dari tempatku tinggal.
Keesokan harinya, Christy akan lupa lagi.
Dia akan kembali pada teman-teman yang riuh menarik, dan tidak
mengingat diriku kembali.
Akhirnya Christy lulus. Kelulusan itu dirayakan secara besar-besaran oleh salah satu teman Christy yang terkaya. Teman yang paling
populer. Tentu ada band, ada makanan mewah melimpah, dan ada
minuman keras.
Aku tahu, aku tak diundang.
25:14 PM
Wanita Terindah
Namun aku sempat dekat dengan salah satu teman Christy
yang paling sederhana, paling tidak mencolok perhatian. Namanya
Mariane. Kami bisa dekat karena kami senasib. Karena kami punya
banyak kesamaan. Karena kami bisa saling mengerti.
Mariane mengajakku datang, sebagai pasangannya.
Aku ikut dengan alasan sebaliknya. Aku ingin melindungi Christy.
Yang kukhawatirkan terjadi juga.
Karena meneguk banyak minuman keras, Christy mabuk, tak
sadarkan diri. Untung ada aku yang menjaganya. Tidak kupedulikan
Mariane yang menatapku sedih. Saat itu Christy membutuhkanku.
Teman-teman mereka yang lain tidak peduli, karena semua sedang asyik
berpesta dan mereguk gelas warna-warni berisi minuman keras lagi.
Aku membopong Christy lembut, meletakkannya di salah satu
kamar kosong yang tersedia.
Aku menjaganya, mengamatinya. Christy begitu cantik dalam tidurnya. Dan saat itu aku bersumpah, aku akan selalu ada di sisinya,
selamanya.
Ketika Christy bangun, tak dinyana ia berteriak histeris.
Sekali lagi, untung ada aku, yang bisa mendekapnya erat, menenangkannya, memberinya kekuatan dan penghiburan.
Pesta langsung bubar. Polisi dipanggil. Satu kenyataan tak
disangka menghantam, seperti godam.
Christy buta.
Kasihan sekali dia. Alkohol telah merusak penglihatannya. Polisi
menemukan salah satu merek minuman keras berbahaya di tempat
pesta tersebut. Miras, yang jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama,
atau berlebihan, akan mengkibatkan kebutaan.
Christy bersumpah, dia baru minum kali ini saja. Tentu saja tidak
ada yang percaya. Polisi tak percaya. Teman-temannya tak percaya.
Tapi aku selalu percaya padanya.
Aku membimbingnya lembut pulang ke rumah. Sekali lagi, tak kupedulikan tatapan sakit yang terpancar di sorot mata Mariane. Christy
membutuhkanku. Aku akan selalu ada untuknya.
Selalu.
25:15 PM
Rina Suryakusuma
Kutepati sumpahku. Aku meminang Christy, malam itu juga. Karena aku tahu, tidak ada pria lain yang akan menerima dirinya, mencintainya dalam kegelapannya.
Setelah saat itu, semua alur kehidupan kami berjalan ke arah
yang berbeda.
Lama setelah peristiwa itu, setelah tahun-tahun datang dan pergi, aku
duduk melamun di ruang kerjaku.
Aku sudah memiliki Christy. Namun entah kenapa, rasanya
hidupku belum komplet. Ada yang hilang dalam kesempurnaan ini.
Aku duduk merenung di kursi besar, di balik meja raksasa dari
kayu tua yang kokoh. Tatapanku melayang jauh, menatap ke luar
jendela yang hanya berisi kegelapan. Tanganku memegang botol kecil
yang selalu kusimpan baik-baik, kutaruh dalam brankas terkunci.
Benda yang saat ini kugenggam adalah kenangan terindah yang
pernah hidup dalam diriku. Ketika aku tahu aku berhasil menggapai
impianku. Ketika mimpiku pada akhirnya tercapai.
Semua memang tentang Christy.
Seluruh jalan hidupku tertuju ke arahnya.
Ketika aku masuk ke fakultas kedokteran, aku sudah tahu aku
memilih jurusan itu karena hanya itu kesempatanku untuk bisa mendapatkan Christy secara utuh.
Aku akan punya kesempatan untuk mengobatinya. Atau meracuninya.
Tentu saja dia percaya padaku. Kenapa tidak? Baginya aku
hanyalah pria baik membosankan, yang mencintainya sejak dia masih
kanak-kanak.
Dia tidak akan curiga ketika aku mengobatinya saat dia pusing
karena terlalu banyak meminum alkohol itu, di pesta kelulusan salah
satu kawannya. Aku telah membubuhkan metanol dicampur obat
racikanku sendiri. Ramuan yang kusempurnakan bertahun-tahun di
laboratorium fakultasku, yang akan berakibat pada kebutaan.
Dengan campuran tersebut, tidak bisa diragukan lagi, siapa pun
25:15 PM
Wanita Terindah
peminum ramuan tersebut pasti akan berjalan dalam gelap. Selamanya!
Lagi pula, Christy tidak perlu mata untuk melihatku lalu membanding-bandingkanku dengan ketampanan pria lain.
Malam itu, beribu waktu lalu, aku langsung menyimpan botol
kecil itu baik-baik dalam saku celanaku.
Christy langsung histeris mengetahui kenyataan tersebut. Ketika
ia tahu, tidak ada yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan penglihatannya.
Nasi sudah jadi bubur.
Polisi, sahabat-sahabatnya, berbisik-bisik menyesali Christy karena ia tidak bisa mengontrol minuman keras yang diteguknya.
Aku berhasil membuat diriku terlihat tak bersalah. Bahkan aku
berhasil membuat diriku tampak sebagai sang penyelamat, yang
membawa Christy pulang pada kedua orangtuanya yang langsung
histeris dan menyalahkan anak mereka karena terlibat pesta liar.
Christy hanya menangis.
Saat itu, aku memeluknya lembut, meminangnya.
Aku bisa merasakan tubuhnya menegang mendengar lamaranku.
Tapi seperti kutahu, ia tidak bisa menolak di hadapan kedua
orangtuanya yang langsung menyetujui pinanganku dengan sukacita.
Kami menikah tiga bulan kemudian.
Mariane menangis tersedu. Dia mencintaiku. Dia juga selalu
merasa aku sayang padanya.
Tapi, tentu saja itu tidak benar. Sejak dulu hanya ada Christy di
hatiku. Aku dekat dengan Mariane hanya supaya aku bisa mendapat
tiket untuk masuk pergaulan mereka
Tidak hanya Mariane, selama itu tidak henti-hentinya Christy
menangis. Tapi aku lebih tahu daripada dia. Aku tahu dia akan bahagia.
Saat Christy akhirnya berbaring di sebelahku, tidak dapat melihat
untuk selamanya, saat itu aku tahu semua akan baik-baik saja.
25:16 PM
Rina Suryakusuma
Kami akan bersama, selamanya.
Persis seperti impian masa kecilku. Persis seperti yang selalu kubayangkan dalam mimpiku.
Kau masih ingat apa yang pernah kujelaskan untuk menggambarkan rasa cintaku pada Christy?
Kini aku dapat merengkuh mawar itu, membawanya tidur setiap
malam, mencium harum wanginya, karena aku tahu mawar itu tak
pernah layu. Aku berhasil mengawetkannya.
Dan aku tahu gelas itu tak akan kosong. Tak akan, untuk selamanya. Aku telah menemukan mata air untuk mengisinya selalu.
Kini Christy tak akan meninggalkanku. Dia tak bisa meninggalkanku.
Dan kami berdua akan baik-baik saja. Bahagia selamanya.
Jakarta, Juli 2010
25:16 PM
Karya Rina Suryakusuma
25:19 PM
Letting Go
RisTee
RisTee telah menelurkan 1 TeenLit single yaitu Superstars? Daughter
dan 4 TeenLit seri Girl's Corner, yaitu Rumah Baru Vinka, Sahabat
Baru Nayla, Penggemar Berat Alin, dan Musuh Bebuyutan Kanya.
Kini RisTee bekerja dan tinggal di Bali.
25:21 PM
Letting Go
EMPAT ini begitu hening. Tidak ada suara apa pun selain alam
yang bernyanyi. Suara air sungai yang mengalir deras menemani sore Citra di sebuah spa yang terletak di pinggir sungai di
Ubud, Bali. Sudah tiga tahun dia tinggal di Pulau Dewata ini sebagai
jurnalis kecantikan. Biasanya dia begitu antusias ketika mendapatkan
undangan perawatan kecantikan di spa, tapi tidak kali ini. Semua
karena satu pertanyaan yang kembali mengusik benaknya saat ini.
Kenapa dia meninggalkanku?
Satu pertanyaan yang sudah dikuburnya dalam-dalam selama
bertahun-tahun tiba-tiba muncul lagi. Semua gara-gara pria itu. Pria
yang membuat Citra jatuh cinta untuk pertama kalinya sampai dunia
terasa jungkir balik, yang membuat Citra mulai menata khayalan
akan membangun rumah tangga yang bahagia. Tapi pria itu pula yang
seketika meninggalkannya tanpa penjelasan. Yang menghancurkan
hatinya sampai berkeping-keping seiring dengan runtuhnya impian
masa depan Citra bersamanya.
Lima tahun sudah berlalu sejak pria itu menggantungkan cinta
Citra yang akhirnya membuat perempuan mungil itu memutuskan untuk menghapus memori tentang mereka selamanya. Tapi begitu Citra
mendengar satu kabar baru saja tentang pria itu, dunianya yang sudah
ditata rapi selepas patah hatinya seketika hancur lagi. Pertanyaanpertanyaan yang sudah lama dikuburnya muncul lagi, seolah bangkit
dari kubur. Membuka luka lama.
Citra menatap telepon genggamnya lekat-lekat.
"Hei. Apa kabar? Minggu depan datang ya ke pernikahanku."
Begitu tulis pria itu di e-mail yang dikirimkannya beberapa hari lalu,
lengkap beserta dokumen undangan pernikahannya, entah dengan siapa.
Citra tidak lagi peduli dengan kehidupan pria itu sejak Citra memutuskan
untuk pindah ke Pulau Dewata, dua tahun setelah hubungan cintanya hancur.
Citra menghela napas. Bertahun-tahun tidak bertemu, bagaimana
mungkin dia tiba-tiba datang menghadiri pernikahan pria yang
membuatnya patah hati? Apakah pria ini tidak tahu betapa dia telah
menyakiti hati Citra?
Tapi di antara semua pertanyaan yang muncul di otaknya, hanya
25:22 PM
RisTee
satu yang benar-benar membuat kepala terasa sakit karena Citra
tidak juga menemukan jawabannya. Kenapa dia meninggalkanku?
"Mbak Citra? Silakan ikut saya," seorang terapis di tempat perawatan itu memanggilnya, membuyarkan lamunannya. Citra lalu digiring ke sebuah kamar tempat pemijatan holistik dilakukan. Sebuah
kamar dengan jendela-jendela besar yang terbuka sehingga pepohonan dan sungai di sekitar tempat itu terlihat jelas.
Citra berbaring di tempat tidur. Suara air sungai mengalir terdengar jelas di telinganya. Tak lama kemudian, seorang healer terkemuka di Bali memasuki ruang perawatan dan mulai menangani
Citra. Dengan mata terpejam sambil menikmati pijatan sang healer,
bayangan masa lalu kembali menghantui Citra.
Mereka bertemu saat Citra merasa jenuh dengan dunia percintaannya.
Beberapa pria datang mendekati Citra, tapi tak satu pun mampu
menaklukkan hatinya. Sampai akhirnya Citra diperkenalkan oleh
seorang temannya yang berteman dengan Arman di sebuah kafe dekat
kampus tempat Citra dan teman-temannya sering nongkrong setelah
kelas usai.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertama kali bertemu, tidak ada ?rasat apa-apa. Tetapi Arman
yang cukup terkenal sebagai penakluk wanita semakin lama terlihat
semakin mampu membuat Citra melihat bahwa tak semua lelaki
sekasar mantannya.
"Aku heran kenapa kamu masih sendiri. Kamu begitu istimewa,"
begitu kata Arman setelah mendengar cerita Citra tentang beberapa
pria yang mendekatinya. Kata-kata yang membuat Citra menyesap
kopinya dengan wajah merah karena malu, terutama karena kata itu
dituturkan oleh Arman sambil menatapnya lekat-lekat.
Mereka semakin sering bertemu di kafe itu. Keduanya menemukan
kecocokan dalam banyak hal. Namun kerapuhan Arman membuat Citra
semakin terpikat?Arman beberapa kali mengeluh ingin memutuskan
kekasihnya yang bekerja di Jerman.
25:22 PM
Letting Go
"Dia nggak ada waktu untuk aku. Aku masih bingung kenapa dia
memilih tinggal di sana," Arman sering berkata demikian dengan sinar
matanya yang rapuh, yang membuat Citra selalu ingin melindunginya.
Keduanya juga semakin terikat karena sama-sama senang
berkhayal. Dan entah bagaimana, keduanya terperangkap dalam
sebuah khayalan membangun rumah tangga.
"Aku nggak mau pakai asisten rumah tangga," kata Citra. Tangannya menggenggam secangkir kopi panas di hadapannya. "Aku mau
mengurusi rumah, suami, dan anakku dengan tanganku sendiri."
"Memangnya nggak capek?" tanya Arman. Lalu, dengan tatapan
penuh makna, dia mengatakan, "Kalau begitu, dari sekarang kamu
harus belajar buatkan aku kopi. Sebelum berangkat kerja, aku mau
menikmati kopi buatan istriku."
"Beres," sahut Citra sambil tersenyum kecil. Dalam bayangannya,
dia yakin sekali bahwa mereka akan menjadi pasangan serasi. Pasangan yang kompak. Kedekatan mereka berlanjut hingga beberapa bulan. Khayalan membangun rumah tangga bercampur dengan
kenyataan saat mereka berkencan, menikmati makan malam di restoran atau menonton ?lm di bioskop. Dunia serasa milik berdua saat
mereka melewati jalan-jalan di Jakarta dalam mobil yang dikemudikan
Arman. Mereka menyanyikan lagu-lagu cinta di radio, sementara
tangan Citra membelai kepala Arman.
Citra juga tidak akan pernah lupa bagaimana Arman memeluk
dan mengecup dahinya di depan pintu rumah saat pria itu mengantarkannya pulang.
Tapi lima bulan mereka bersama, Citra masih juga tidak mendapatkan
kejelasan. Dia tahu Arman masih belum juga memutuskan kekasihnya.
Padahal hampir setiap mereka bersama, Arman selalu memuji Citra
untuk hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh kekasihnya.
"Bangunkan aku besok pagi ya," Arman meminta dalam perbincangan mereka di telepon sebelum mereka tidur.
"Kenapa nggak minta dibangunkan sama pacarmu saja?" sahut
Citra. Beginilah caranya memancing untuk tahu apakah Arman sudah
putus atau belum.
25:23 PM
RisTee
Arman tertawa. "Mana mungkin dia sudah bangun jam segitu!"
Citra tertawa pahit. Dalam hati, dia tahu dia sangat menyayangi pria
ini. Tapi Citra juga tahu dia tidak ingin selamanya nasibnya digantung.
Apalagi hanya dijadikan nomor dua. Terlebih lagi, dia takut sekali jika
sewaktu-waktu dirinya menjadi penyebab Arman bertengkar dengan
kekasihnya. Ya, ya. Citra memang ingin memiliki Arman sepenuhnya.
Tapi dia tidak mau merebut pria itu dari siapa pun. Dia ingin jika Arman
harus putus dengan kekasihnya, itu karena keputusan mereka berdua.
Bukan karena kehadiran Citra sebagai orang ketiga dalam hubungan
itu. Citra memang naif.
Maka suatu malam, Citra memberanikan diri mempertanyakan
kejelasan hubungan mereka. Dia sudah tidak tahan lagi. Dan jawaban
Arman malam itu di telepon sama sekali tidak menjelaskan apa pun.
"Aku perlu berpikir dulu," kata pria itu. "Nanti kamu akan tahu
jawabannya."
Setelah pembicaraan itu, keduanya tidak sedekat dulu. Dua minggu berlalu, Citra dapat merasakan Arman semakin menjauh, sikapnya
mulai berbeda. Meskipun dalam hati Citra berharap sebuah keajaiban
terjadi. Keajaiban bahwa akhirnya Arman datang kepadanya dan mengatakan bahwa dia menyayangi Citra sebesar Citra menyayangi pria itu.
Tapi, ya sudahlah. Citra bisa merelakannya jika memang akhirnya
Arman berbahagia dengan kekasihnya. Mungkin keduanya sudah menemukan jalan keluar untuk mempertahankan hubungan jarak jauh
mereka.
Satu bulan belum berlalu ketika Citra kembali ke kafe itu dan
melihat Arman merangkul mesra seorang perempuan lain yang Citra
sama sekali tidak kenal. Bahkan perempuan itu bukan juga kekasih
Arman yang berada di Jerman.
Dan tak lama kemudian, beredar kabar bahwa kini Arman sudah
memiliki kekasih baru, yang tak lain adalah perempuan yang dilihat
Citra di kafe saat itu.
Siapa dia? Apakah dia menyayangimu sebesar aku menyayangimu?
Kenapa? Kenapa dia yang kamu pilih, bukan aku? Apa kelebihannya
dibandingkan aku? Apakah kamu pernah benar-benar menyayangiku?
25:23 PM
Letting Go
Pertanyaan demi pertanyaan mengusik otak Citra tanpa ada jawaban. Arman tak pernah memberinya penjelasan. Citra masih ingat katakata Arman, "Nanti kamu juga tahu." Inilah yang dia maksud. Arman
ingin Citra melihat sendiri keputusannya, tanpa perlu repot-repot
memberi penjelasan.
Dasar pengecut.
Tahun demi tahun berlalu, pertanyaan-pertanyaan itu berhasil
Citra lupakan, seiring dengan lelahnya dia meneteskan air mata untuk
pria itu. Sampai akhirnya undangan pernikahan Arman menghidupkan
kembali rasa patah hati beserta semua pertanyaan yang kembali
mengundang air matanya. Dan kini, hanya ada dua pertanyaan yang
mengusik benak Citra. Kenapa dia meninggalkanku? Dan jika benar
dia brengsek, kenapa aku masih menangis?
Secangkir teh hangat mengepul di hadapan Citra yang kini duduk
di balkon kamar. Perawatan yang hanya satu jam itu terasa begitu
menenangkan. Citra dapat merasakan otot-otot tubuhnya rileks
dan kini dia tengah menyereput teh ditemani pemandangan alam di
sekitarnya. Di depannya, sang healer bernama Pak Made duduk dan
menjelaskan hasil diagnosis holistiknya.
"Sepertinya ada satu masalah yang belum kamu lepaskan," kata
Pak Made, membuat Citra tersenyum malu karena yang dikatakan Pak
Made benar adanya. "Saya tidak tahu itu apa, tetapi kamu harus berusaha
melepaskannya. Kalau tidak, masalah yang dipendam hanya akan
menutup auramu."
Citra menyeruput tehnya. "Bagaimana caranya?"
Pak Made menarik napas panjang. "Relakan apa yang sudah terjadi.
Dan percaya bahwa jika sesuatu itu memang bukan milik kita, sekeras
apa pun kita menginginkannya, kita tidak akan mendapatkannya. Jika
bukan rezeki, jangan dipaksakan. Tapi jika memang sesuatu itu rezeki
kita, suatu hari kita pasti akan menuainya. Dan yakinlah bahwa Tuhan
25:24 PM
RisTee
punya rencana yang lebih indah yang bahkan mungkin tidak pernah
kita bayangkan."
Pak Made mengangkat cangkir teh yang kini kosong dan
mempersilakan Citra untuk membersihkan diri dari minyak pijat yang
menempel di tubuhnya di kamar mandi yang terletak di dalam kamar
perawatan. Citra mengangguk sambil tersenyum, tapi masih ingin
berlama-lama duduk di pinggir sungai itu. Pak Made meninggalkan
Citra termenung sendiri.
Kata-kata Pak Made diserap baik-baik di dalam otak Citra. Jika
bukan rezeki, jangan dipaksakan, katanya. Sebuah kalimat yang
menjawab pertanyaan Citra selama ini.
Kenapa kau meninggalkanku?
Pertanyaan itu muncul lagi. Tapi kini Citra sudah punya jawabannya. Dan jawabannya ternyata begitu sederhana.
Kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku tidak tercipta untukmu
dan kamu tidak tercipta untukku. Mungkin kamu hadir dalam
hidupku untuk mengajari aku tentang patah hati. Aku bahagia kamu
menemukan tambatan hati. Sungguh. Dan aku berharap kamu bahagia
selamanya dengan dia. Tapi bukan berarti aku akan ada di sana di
hari bahagiamu. Aku harus membereskan keping-keping hatiku yang
kauhancurkan bertahun-tahun lalu, melepaskannya ke udara, dan
mempersiapkan ruang baru di hatiku untuk seseorang yang baru,
yang akan mencintaiku apa adanya, sepenuh hatinya.
25:24 PM
Karya RisTee
25:27 PM
Bukit Tengkorak
S. Mara Gd
Berawal dari menerjemahkan novel-novel Agatha Christie,
S. Mara Gd mulai menulis novel pertamanya Misteri Dian yang
Padam (1985), kisah Kapten Polisi Kosasih dan sahabatnya Gozali,
yang berlatar belakang hitam. Kisah petualangan dua serangkai
itu dalam melacak para kriminal mengalir terus. S. Mara Gd
memadukan logika dan humor dalam bahasa sehari-hari yang
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama