Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan Bagian 6
menarik, di sana-sini diwarnai dialog Suroboyo-an. Karya-karya lain
penulis yang bermukim di Surabaya ini juga diterbitkan GPU: serial
Kasus Pelacakan Daud Hakim & Trista, serial Melisa, dan beberapa
novel roman.
Email: smaragd84@yahoo.com
25:29 PM
Bukit Tengkorak
ERIK mentari siang membakar, menyebabkan keringatnya terus
mengalir, membuat bilur-bilurnya semakin pedih. Angin yang
berembus di atas Bukit Tengkorak ini menimbulkan perasaan
yang aneh di tubuhnya yang telanjang. Semakin lama semakin susah
untuk bernapas, dan setiap tarikan napasnya seakan mencabik-cabik
dirinya. Ternyata sangat menderita. Seandainya aku boleh segera mati saja, itu jauh lebih baik daripada tergantung begini entah sampai
berapa lamanya, pikir Dismas. Dia tahu, kematian tidak akan segera
datang pada mereka yang digantung di salib. Mereka akan tergantung
selama berjam-jam, dalam penderitaan yang hebat, sebelum ajal
datang menjemput. Jadi inilah akhir hidupnya. Tergantung di Bukit
Tengkorak ini, menjalani kematian yang paling mengerikan, yang paling hina, menjadi tontonan orang banyak, dalam keadaan telanjang
bulat, terkutuk, dan tidak berdaya.
Dia memejamkan mata, berusaha melupakan apa yang sedang
dialaminya sekarang, barangkali dengan cara ini dia bisa meringankan
penderitaannya. Walaupun tergantung bersama dua orang lainnya
di sebelah kanannya, dan ditonton oleh begitu banyak orang yang
mengelilingi tempat penyaliban itu, dia merasa sendirian. Samarsamar dia mendengar suara para tentara di bawahnya yang sedang
berbicara dan memaki-maki seperti kebiasaan mereka. Mereka sedang memperebutkan jubah orang yang disalib di sebelahnya. Betapa ironisnya. Orangnya saja belum mati, jubahnya sudah menjadi
rebutan. Dia sendiri tidak punya jubah, jadi tidak ada yang ribut memperebutkannya.
Sekilas dalam lamunannya dia melihat wajah ibunya. Dia membuka matanya. Tidak, ibunya tidak ada di sini. Sudah bertahun-tahun
dia tidak bertemu dengan ibunya dan tidak pulang ke rumahnya. Sejak
berteman dengan orang-orang jahat seperti dirinya, dia tidak berani
pulang ke rumah dan memandang wajah ibunya. Sekarang, tiba-tiba
dia merasa rindu pada ibunya. Tahukah ibunya bahwa saat ini dia
sedang tergantung di Bukit Tengkorak ini untuk menyambut ajal?
Penyesalan muncul di hatinya. Penyesalan karena dia gagal menjadi
anak yang baik, anak yang seharusnya mengurus orangtuanya di hari
25:30 PM
S. Mara Gd
tua mereka. Penyesalan karena dia telah menyusahkan hati ibunya.
Penyesalan karena dia tidak punya kesempatan minta ampun kepada
ibunya untuk semua kesalahannya. Ibunya yang begitu mengasihinya,
betapa ingin dia sekarang merasakan pelukan ibunya, usapan tangan
ibunya pada kepalanya lagi seperti ketika dia kecil dulu. Ingin dia
berteriak memanggil ibunya, tapi dia tahu ibunya tidak dengar. Sampai
di sini dia teringat tadi melihat seorang perempuan separo baya yang
bersimpuh tak jauh dari bawah salib tetangga di sebelah kanannya.
Dia membuka mata dan mengarahkan pandangannya ke
perempuan itu. Itu dia, sedang meratap. Perempuan ini pasti ibu
orang yang disalibkan di sebelahnya. Dan yang di samping perempuan
itu pasti adiknya. Jadi tetangganya ini lebih beruntung daripadanya,
karena adik dan ibunya hadir, keluarganya ada di sini, keluarganya
tidak meninggalkannya, mereka dengan setia melepas kepergiannya.
Dia memiringkan wajah untuk menatap pro?l tetangganya. Sebenarnya dia kenal wajah itu. Dia pernah bertemu dengannya sebelumnya. Bahkan iseng-iseng suatu hari dia pernah mendengarkan
ajarannya, ketika dia melihat ada banyak orang mengerumuni orang
ini, dan dia pun bergabung dengan orang banyak karena ingin tahu
apa yang dikatakan orang itu, mengapa begitu banyak orang mendengarkannya.
Ternyata orang itu bercerita tentang kerajaan Allah. Waktu itu
suaranya begitu berwibawa, begitu tenang, begitu menyejukkan. Dia
teringat, hatinya tergetar waktu itu. Belum pernah dalam hidupnya
dia melihat seorang yang begitu sederhana penampilannya tapi punya
pembawaan yang begitu anggun, begitu berwibawa, selain itu sikapnya
begitu rendah hati, ucapannya begitu sabar, tatapannya begitu lemah
lembut. Pada waktu itu hati kecilnya sudah berkata, "Ini bukan orang
biasa!" Karena itulah dia ikut mendengarkan hari itu.
Sebenarnya dia tidak terlalu paham dengan apa yang dikatakan
orang itu. Orang itu bercerita tentang kerajaan Allah, dia juga mengatakan itu kerajaan bapaknya. Jika Allah bapaknya, berarti dia anak
Allah? Oh, mungkin karena alasan itukah dia disalib sekarang? Ketika
berada di pengadilan Pilatus, dia sempat mendengar Pilatus menya327
25:30 PM
Bukit Tengkorak
takan orang itu tidak punya kesalahan apa-apa. Itu benar, karena
orang itu bukan penjahat seperti dirinya. Orang itu bukan pencuri,
bukan perampok seperti dirinya. Orang itu tidak berbuat apa-apa selain
berbicara mengenai kerajaan Allah itu saja. Tapi rupanya itu justru
dianggap kesalahannya yang terbesar. Karena dengan mengakui
bahwa Allah adalah bapaknya, itu sama dengan mengatakan dia
adalah Allah juga. Dan menurut Taurat Musa itu berarti menghujat,
bukan? Dan orang yang menghujat patut dihukum mati menurut
hukum! Samar-samar dia masih ingat ajaran Taurat Musa yang dulu
diajarkan ibunya kepadanya, tetapi yang sudah lama ditinggalkannya
karena dia merasa lebih asyik menjadi penjahat.
Suatu perasaan aneh timbul di hatinya. Bagaimana jika orang itu
ternyata benar-benar anak Allah? Yang pasti pembawaannya sangat
berbeda dari manusia yang lain. Bahkan, tadi dia berkata: "Ya Bapa,
ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Dia minta kepada bapaknya untuk memberikan pengampunan. Padahal
hanya Allah yang bisa memberikan pengampunan. Kalau begitu, yang
dipanggilnya Bapa tadi adalah Allah? Kalau begitu, orang ini betulbetul anak Allah? Tetapi jika dia anak Allah, mengapa dia mau disalib
seperti ini? Bahkan dia tidak hanya disalib, dia dicambuk berkali-kali
hingga kulitnya pecah berdarah semua, dan kepalanya diberi mahkota
dari duri yang mengakibatkan kepalanya terluka. Mengapa dia mau
diperlakukan seperti ini? Mengapa Allah yang dipanggilnya Bapa tidak
menolongnya?
"Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan
diri-Nya sendiri, jika Ia adalah Mesias, orang yang dipilih Allah!" Dia
mendengar orang-orang berteriak-teriak. Mesias? Mesias? Mesias
berarti yang diurapi, pikirnya. Mungkinkah tetangganya ini memang
benar seorang yang diurapi? Mesias?
Tiba-tiba dia merasa sangat berdosa, sangat kerdil, sangat najis.
Mengapa aku bisa jadi begini? Mengapa aku jadi penjahat? Mengapa
aku merampok, melukai orang, merampas milik orang? Betapa banyak
dosa yang telah kubuat! Betapa banyak orang yang telah aku sakiti.
Kembali dia teringat ajaran ibunya, bahwa orang-orang yang berdosa
25:31 PM
S. Mara Gd
harus membawa kurban ke Bait Suci dan mempersembahkannya
untuk mendapatkan pengampunan. Bagaimana dia bisa membawa
kurban ke Bait Suci sekarang kalau tergantung di atas salib seperti
ini? Berarti dia tidak akan mendapatkan pengampunan atas dosadosanya!
Kesadaran ini membuatnya sangat sedih. Dosa-dosanya tidak akan pernah diampuni! Padahal betapa ingin dia sekarang boleh memperoleh pengampunan atas semua dosanya! Dia akan
segera mati, itu sudah diterimanya dengan ikhlas. Untuk semua
dosa yang telah diperbuatnya, dia memang layak mati, tetapi yang
sangat memberatkan hatinya saat ini adalah dia akan mati tanpa
pengampunan dari Allah.
Lamunannya buyar ketika dia mendengar suara tentara Roma
meneriaki orang yang disalib di sebelahnya dengan nada sinis,
"Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!" Dia
membuka mata dan memandang ke tetangganya. Tak ada jawaban
yang keluar dari mulut tetangganya. Tetangganya diam saja.
Belum sempat dia berpikir, terdengar lagi teriakan, kali ini
datang dari sebelah kanan jauhnya, dari orang yang disalib di sebelah
kanan tetangganya. "Bukankah Engkau Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami!" Ada nada putus asa dan ketakutan dalam teriakan
yang sangat mendesak ini.
Mendengar itu, terbit kejengkelannya. Sejak tadi tetangganya ini
diolok-olok terus oleh semua orang yang ada di sini. Padahal dari apa
yang dilihatnya, orang ini adalah orang yang baik. Dia tidak melakukan
kesalahan apa-apa, Pilatus sendiri berkata begitu. Dia hanya bercerita
mengenai kerajaan Allah, dan bahwa Allah itu bapaknya. Jadi kerajaan
Allah itu miliknya juga, karena apa yang dimiliki oleh bapak, jatuhnya
ke anaknya juga.
"Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau
menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum,
sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita,
tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah," katanya menegur
rekannya seprofesi dan senasib. Lalu, dia memandang ke tetangganya
25:31 PM
Bukit Tengkorak
dan berkata, "Yahshua, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang lagi
sebagai Raja." Dia tidak tahu mengapa dia bisa berkata demikian, tetapi kata-kata ini meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia tidak tahu
mengapa dia yakin tetangganya ini akan datang lagi sebagai Raja,
padahal sekarang dia sedang sekarat tergantung di salib tidak berbeda
dari nasib dirinya.
Di luar dugaannya, ternyata kali ini tetangganya tidak tinggal
diam. Dengan suaranya yang lemah lembut dia berkata, "Aku berkata
kepadamu, hari ini juga sesungguhnya engkau akan ada bersama-sama
dengan Aku di dalam Firdaus." Saat itu pandangan mereka bertemu,
dan dia merasakan pancaran kasih karunia yang begitu besar untuknya
dalam tatapan orang yang bernama Yahshua ini. Dan beban berat yang
ada di hatinya pun rontok, dan dia merasakan damai yang tak pernah
dirasakannya sebelumnya. Orang ini benar-benar Allah, seru hatinya.
Beban penyesalan atas dosa-dosanya lenyap, dan entah bagaimana dia
tahu dosa-dosanya telah diampuni, dan dia merasakan suatu cahaya yang
bersinar di dalam hatinya, menerangi dirinya, menghangatkan dirinya,
menjadikan segala hal yang lain tidaklah berarti lagi. Yang penting dia
tahu dia sudah mendapatkan janji bahwa dia akan melihat Firdaus pada
waktu Yahshua ini menjadi Raja. Semua hal lain memudar tak berarti
lagi. Bahkan penderitaan hebatnya seakan-akan tidak ada artinya. Dan
kematian yang harus dialaminya juga bukan apa-apa. Semua itu tidak ada
artinya lagi, karena dosa-dosanya telah diampuni, dan suatu hari nanti dia
akan tiba di Firdaus pada waktu Yahshua yang tersalib di sampingnya ini
menerima kerajaannya. Samar-samar dia mulai mengerti, bahwa Yahshua bukan harus mati karena dosanya sendiri, karena dia sendiri tidak
punya dosa. Yahshua harus mati justru untuk semua dosanya! Yahshua
mati untuk dia. Oh, jadi itulah mengapa Allah bapanya tidak menolongnya,
karena anak-Nya ini memang harus menjalani kematian untuk orang
banyak.
Kegelapan menyelimuti langit, padahal saat itu masih siang
hari bolong. Dismas tak lagi bisa melihat wajah Yahshua, tetapi dia
yakin Rajanya tidak akan melupakannya, karena itulah janjinya. Dia
tahu dirinya akan mati, tapi dia punya harapan bahwa suatu saat bila
25:32 PM
S. Mara Gd
Yahshua ini datang sebagai Raja, dia akan hidup kembali dan dibawa
ke taman Firdaus untuk bersama-sama dengan Sang Raja.
Guntur.
Petir.
Gempa bumi.
Kematian.
Kemenangan.
Halleluyah.
2013-11-07
25:32 PM
Karya S. Mara Gd
25:35 PM
Pesta
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sari Sa?tri Mohan
Sari Sa?tri Mohan lahir di Yogyakarta. Meski terlatih selama kuliah
sebagai guru, ia bekerja lebih lama sebagai wartawan ketimbang
pengajar. Ia memiliki blog di ?trimohan.com dan akun Twitter:
@?trimohan. Saat ini ia tinggal di kota New York.
25:37 PM
Pesta
ARI depan, aku memandangi rumah bercat krem ini. Rumah
yang bersama-sama tumbuh denganku. Dulu ia bangunan
kuno dengan tampilan yang tertutup. Kini ia tampak hangat
dan terbuka dengan jendela-jendela lebar yang ramah. Entah ada
pesta apa di dalam, namun banyak orang yang tak henti-hentinya
datang. Wajah yang seragam terpasang dalam ekspresi mereka. Tak
kurasakan keinginan untuk berbicara dan menyambut mereka satu
per satu. Aku hanya mengamati siapa-siapa saja yang bertandang.
Pandanganku lalu tertumbuk pada perempuan cantik berbaju merah
yang duduk di depan foto berbingkai besar dalam ruangan. Merah
adalah warna kesukaanku. Dan perempuan itu adalah cintaku yang
kutemukan di pengujung tahun lalu, Vera.
Ah ya, kamu memang sekarang di sini bersamaku, dan pasti
sudah tahu siapa aku. Aku Prosa. Nama yang kata orangtuaku indah
untuk bayi perempuan mungil dan cantik sepertiku. Buatku, nama
itu norak. Aku suka nama lelaki untuk anak perempuan, seperti
Andi, Luki, atau Alex. Aku bahkan punya rencana dengan Vera untuk
mengadopsi anak perempuan dan mewujudkan cita-citaku dalam
soal nama untuk anakku nanti. Bisa saja anakku ini akan membenci
namanya sendiri, tapi aku yakin tidak akan bertahan lama. Suatu saat
dia akan berterima kasih padaku karena setiap orang yang mendengar
namanya akan minimal berkata, "Cool"
Vera. Ah, Vera. Cintanya padaku ibarat kompas yang membuatku
tak tersesat lagi. Aku ingat bagaimana aku berada dalam krisis di
dalam diriku sendiri yang telah kusimpan sekian lama dan tak tahu
harus menghadapinya dengan cara apa, sampai bertemu dia. Aku tahu cintaku padanya adalah asmara yang tak mudah diterima banyak
orang sebagai "cinta yang benar", tapi aku tak bisa menolak rasa yang
muncul. Aku tak mau menipu diri sendiri.
Aku ingin sekali bercakap-cakap dengan Vera sekarang, tapi aku
tahu, saat ini tak memungkinkan. Kamu terus saja mengiringiku ke
mana pun aku pergi. Kenapa kamu tak duduk saja barang sebentar?
"Oke," aku bisa mendengar sahutanmu.
Jangan khawatir. Aku akan terus bicara dan bercerita untuk
25:37 PM
Sari Sa?tri Mohan
membuatmu tahu aku sedang mengapa dan bersama siapa. Meskipun
aku tahu itu mungkin tak perlu. Tapi, kamu tahu aku memang senang
bicara. Jadi bagaimana?
"Oke," aku mendengar sahutanmu lagi.
Kurasakan hawa dingin yang datang, yang herannya tak membuatku kedinginan. Kulihat adik lelakiku, Ara, berada dekat pintu masuk.
Ia memakai baju koko putih dan bercakap-cakap dengan salah seorang
tamu yang datang, seorang lelaki yang rasanya sudah aku kenal. Mata
laki-laki ini menelisik setiap sudut rumah seolah sedang mencari-cari
sesuatu yang hilang. Siapakah laki-laki ini? Aku berusaha mengingatingat. Ketika aku melihat ke arahnya sekali lagi, dia sudah berjalan
masuk.
"Ara, tolong ambilkan air minum untuk Om dan Tante," suara
lembut yang terasa akrab di telingaku itu membuatku menoleh. Itu
Mama. Aku tersenyum ke arahnya. Beliau tampak begitu kuyu. Matanya pun bengkak dan basah. Ah, Mama, kenapa harus menangis di
tengah keramaian begini? Kurengkuh tubuhnya yang gemuk yang
selalu menerbitkan rasa ingin rebah dalam lindungan peluknya.
Dan itu dia Papa. Dia sedang berbincang dengan beberapa
kawannya. Aku selalu senang melihatnya bicara. Ada kehangatan di
sana, dari caranya bertutur dan menatap mata. Aku sungguh bahagia
memiliki ayah sepertinya. Ia tak pernah menghakimi orang atas apa
yang menjadi pilihan-pilihan hidup. Tapi ia tak bisa menyembunyikan
keterkejutannya saat kukenalkan Vera padanya sebagai kekasihku. Ia
sempat linglung beberapa saat. Setelah menguasai diri, ia memandangku dengan tatapan memaklumi dan akhirnya memelukku lama
sekali. Beliau pasti merasakan bagaimana tadinya aku menjalani
hidup layaknya orang yang tak tahu arah. Penuh kegelisahan dan
kemarahan. Penuh kekecewaan dan bahkan menuju kematian.
Pertemuan dengan Vera-lah yang membuatku tahu bagaimana berarti
dan bahagianya hidup.
Vera. Ah, Vera. Dia berada tak jauh dari sisiku saat ini. Memakai
baju merah manyala yang seharusnya dipakai dengan wajah cerah
ceria. Tapi yang kulihat, matanya tertutup dan punggungnya terus
25:38 PM
Pesta
bergerak-gerak. Ia begitu sedih dan sekarang sedang berada dalam
pelukan lelaki yang baru saja bercakap-cakap dengan adikku tadi.
Siapa sih dia?
"Dialah alasan kenapa aku bersamamu saat ini," katamu.
Aku terkejut. Tadi kulihat kamu duduk di sana. Sekarang kamu
duduk di sini. Ah ya, aku lupa. Kamu memang bisa melakukan segalanya.
"Sekarang duduklah kamu. Aku akan membuatmu ingat siapa lakilaki itu." Dan kamu menggenggamku saat itu juga. Membuatku kelu.
Hari tiba-tiba berubah.
Aku melihat diriku sendiri. Berada di apartemenku bersama Vera.
Kami berdua sedang menonton ?lm Breakfast at Tiffany?s. Audrey
Hepburn adalah idola kami berdua. Kami selalu tertawa geli mengamati orang-orang dalam adegan pesta di ?lm ini.
"Audrey kayaknya jarang ya pakai baju merah," cetus Vera dengan
nada setengah bertanya.
"Nggak juga. Aku sering lihat foto-foto dan ?lm saat dia pakai
baju merah," kataku tersenyum dan mencium pucuk kepalanya. Aku
pernah bilang padanya betapa ia mirip Audrey. Tubuh kurus jangkungnya, senyum jenakanya, dan ekspresi kekanak-kanakannya, bahkan
suaranya yang halus lembut pun mirip.
Aku sedang menciumi jemari Vera ketika telepon berdering. Kami
sepakat tak mengangkatnya dan meneruskan asyik-masyuk kami di
sofa.
"Vera, aku tahu kamu ada di situ. Aku lihat kamu saat kamu
pulang tadi. Angkat telepon ini atau aku akan beritahu Prosa apa yang
sudah terjadi pada kita."
Aku berhenti menciumi perempuan dalam pelukanku ini. Daniel, si
laki-laki yang baru saja meninggalkan pesan di mesin penjawab adalah
mantan pacar Vera. Sudah beberapa kali ia mencoba meraih Vera lagi
ke dalam hidupnya. Aku hanya sekali bertemu muka dengannya, itu
pun dari jauh. Vera melarangku bertemu dan berkenalan dengannya.
25:38 PM
Sari Sa?tri Mohan
Kuketahui dari cerita Vera, mereka berdua hampir menikah tapi putus
karena perselingkuhan yang dilakukan Daniel.
"Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku.
"Tidak ada apa-apa, Sayang. Kamu tahu kami tidak ada hubungan
apa-apa lagi," ucap Vera berusaha tenang. Aku mengerti jika Vera adalah sosok yang susah dilepaskan. Ia tak cuma penuh cinta dan kasih
sayang. Ia juga perempuan yang selalu membuatku nyaman menjadi
diriku sendiri.
"Apakah menurutmu dia akan berhenti melakukan ini semua?"
tanyaku lagi.
"Kita tidak usah menggubrisnya. Aku jaminkan padamu semua
akan baik-baik saja."
Aku tak menanya-nanyai Vera lagi. Aku percaya padanya.
Hari tiba-tiba berubah lagi.
Aku sendirian berjalan menuju mobilku setelah selesai memimpin
rapat yang terasa seperti seabad. Malam sudah begitu tua. Sambil
menuju area parkir, aku terus bercakap-cakap dengan Vera lewat ponsel.
"Malam ini dingin sekali," keluhku. Sejujurnya, selain kedinginan,
malam ini aku juga merasa diikuti. Tapi aku tak mau membuat Vera
khawatir. Lagi pula, bisa jadi ini hanya perasaanku.
"Aku tahu, Sayang. Cepatlah pulang. Aku sudah bikin masakan
kesukaanmu."
"Kamu bikin lasagna malam-malam begini? Mau kamu tambah
berapa lapisan lagi tebal perutku ini?"
Terdengar tawa Vera yang empuk dan menular itu, yang biasanya
membuatku merasa ingin tertawa bersamanya. Namun malam ini aku
tak bisa ikut tertawa. Aku tak bisa menghilangkan perasaan diikuti itu
dari benakku.
"Vera"
"Ya, Sayang?"
"I love you."
25:39 PM
Pesta
"I love you, too."
"Berjanjilah padaku, jika nanti kamu melihatku lagi, pakailah baju
merah. Oke?"
"Kenapa?"
"Berjanjilah."
"Baiklah. Aku janji."
"Sampai ketemu secepatnya di rumah, Sayang."
Selang beberapa detik setelah kutaruh ponselku ke dalam tas,
aku merasakan sakit yang tak tertahankan. Ada sesuatu yang datang
melesakkan dirinya ke dalam tubuhku dengan begitu keras dari belakang. Aku membalikkan badan. Kulihat senyum seorang laki-laki yang
berdiri penuh kemenangan. Senyum lelaki bernama Daniel.
"Pergilah ke neraka!!!" ucapnya kemudian bergegas pergi dari
hadapanku.
Aku berdiri dalam kesakitan. Tak ada siapa-siapa di sana yang
bisa kumintai pertolongan. Aku berusaha mengeluarkan suara,
tapi tak ada bunyi dariku yang mampu membahana. Akhirnya
aku berpegangan pada pilar penyangga yang cukup dekat dari
tempatku berdiri, mencoba mengambil ponsel yang sudah kutaruh
di dalam tas. Tapi tubuhku begitu cepat merosot ke bawah, ke
lantai hitam aspal yang disoroti lampu begitu terang. Kulihat
sesuatu seperti pucuk pisau di tengah dadaku. Bagian dari pisau
itu berkilau terkena pendar. Dalam rebah, kutolehkan kepalaku ke
arah kursi duduk satpam yang kosong di sebelah kiri. Aku masih
mengharapkan pertolongan. Tapi tetap tak kulihat apa pun, kecuali
darah merah nan pekat yang mulai mengalir keluar dan berkumpul
meninggalkan tubuhku. Warna merah. Dan warna merah. Warna
yang biasa dipakai orang pada saat pesta.
Kamu selesai menggenggamku. Masih terasa sensasi dingin yang
menyakitkan di seluruh tubuhku. Tapi aku tidak lagi merasakan
sakit seperti saat Daniel menyakitiku.
25:39 PM
Sari Sa?tri Mohan
Kupandangi lelaki yang masih memeluk Vera dan menenangkannya itu. Aku tak tahu bagaimana aku harus merasakan kekhawatiranku.
"Apakah kesedihanku saat ini masih ada gunanya?" tanyaku padamu. Kamu hanya balas memandangku tanpa menyediakan jawaban.
Mungkin pertanyaanku terlalu bodoh. Kesedihan memang tak pernah
ada gunanya. Tapi aku tak bisa bergembira.
"Apakah menurutmu Vera akan baik-baik saja?" Aku lagi-lagi
menginginkan jawabanmu. Kamu tetap memandangku tanpa berkata
apa-apa.
Aku berterima kasih padamu karena memberiku kesempatan
untuk merasakan semua ini. Sebentar, aku ingin menciumi orangorang yang kusayangi dulu. Setelah itu, aku akan pergi.
Kucium Papa. Kucium Mama. Kucium Ara. Kucium Vera. Tak berapa lama kemudian, kulihat segerombolan ibu-ibu dan bapak-bapak
datang ke ruangan ini. Bersiap untuk memulai acara doa. Ya, pesta ini,
baru kusadari, semarak dengan doa.
Sebelum pergi, foto dalam bingkai besar yang terpasang di ruangan itu kupandangi dengan saksama. Tampak wajahku dengan senyum
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkembang yang diambil pada pengujung tahun lalu. Begitu bahagia.
Juga begitu hidup. Aku terdiam beberapa saat. Lalu terdiam lagi
beberapa saat lainnya.
Baiklah.
Kamu, aku siap untuk pergi saat ini.
25:40 PM
Karya Sari Sa?tri Mohan
25:42 PM
Karma
Shandy Tan
Shandy Tan telah menulis ratusan cerpen dan sejumlah novel.
Novel-novelnya yang diterbitkan GPU berjudul FBI vs CIA (2008),
Samantha?s Secret (2010), FBI vs CIA: Cease Fire! (2011), Samantha?s
Promise (2012), dan Shine on Me (2013). Selain terus menulis cerpen
dan novel, Shandy juga menjadi penerjemah freelance. E-mail:
shandyt4n@yahoo.com.
25:44 PM
Karma
EBENARNYA Meiva sudah merencanakan sesuatu yang
istimewa hari Minggu ini. Dia ingin memasak makanan kesukaan Edward. Lalu, sore harinya dia akan membuat camilan
kesukaan suaminya. Maklum, mereka sedang berbahagia karena dokter menyatakan Meiva positif hamil. Kabar sukacita setelah tiga tahun
menunggu sembari berdoa.
Tetapi, semangat Meiva lenyap ketika ia pulang dari pasar yang tidak
terlalu jauh dari rumah. Kebahagiaannya berganti menjadi kejengkelan.
Meiva membuka pintu perlahan. Saat masih berdiri di teras, ia
mendengar tawa dua orang. Dahinya berkerut. Siapa yang sepagi ini
bersama Edward? Setelah kaki Meiva menapak ruang tamu, tawa itu
kian jelas. Suara perempuan. Datang dari arah dapur.
Meiva meletakkan belanjaan begitu saja di lantai. Dengan hati
panas ia berjalan cepat menuju asal suara. Di depannya terpampang
pemandangan yang tidak ia suka.
Edward duduk di salah satu kursi, bersebelahan dengan remaja
berpakaian kumal. Mereka tertawa-tawa gembira. Bertepatan Meiva
menginjak dapur, Edward menyuapkan sesuatu ke mulut gadis itu.
Menyadari kehadiran Meiva, Edward melambai. "Kemari, Mei,"
panggil Edward. "Ada Arum."
Meiva mendekati suaminya dan Arum dengan darah mendidih,
berdiri tepat di depan kedua orang itu. Seraut wajah kotor cengengesan
memandangi Meiva, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang berambut
panjang, kusut, lengket, bahkan beberapa helai rumput kering terselip
di sana. Sesekali kepala anak itu tersentak-sentak tidak beraturan.
"Ayo, Arum, bilang apa pada Tante Meiva?" ujar Edward lembut.
Arum cengengesan, kepalanya tersentak-sentak lagi. "K-kuenya
e-enak lho."
"Bukan begitu. Seharusnya Arum bilang"
"Ed!" Meive mendesis tajam, menyela kata-kata suaminya. "Apaapaan kamu? Mau apa anak idiot ini di rumah kita?"
"Mei, jangan kasar. Tadi, tidak lama setelah kamu pergi, aku
melihat Arum duduk di teras depan. Katanya dia belum makan sejak
kemarin, karena itu kuajak..."
25:44 PM
Shandy Tan
"Memangnya rumah ini gudang makanan?" lagi-lagi Meiva
menyela, kali ini nadanya lebih tinggi dan matanya melotot. "Suruh dia
cari makan di tempat lain!"
"Kamu kan tahu dia sebatang kara, rumah tidak punya. Apa salahnya memberinya sedikit makanan? Aku kasihan padanya."
"Silakan kamu memberi dia makan, tapi tidak perlu sampai diajak
masuk."
"Kasihan kalau disuruh makan di luar, Mei."
"Aku tidak peduli! Aku tidak mau rumahku dikotori gembel." Meiva
memutar tubuh. "Aku takkan keluar dari kamar selama dia masih di
sini." Lalu ia pergi dengan langkah mengentak.
Sepeninggal Meiva, Edward menatap iba pada Arum, yang sepertinya tidak terganggu oleh kemarahan yang ditujukan padanya. Remaja
pengidap keterbelakangan mental itu terus cengengesan sambil
mengunyah. Krim melumuri pipinya yang tercoreng tanah kering dan
kotoran lain. Sesekali tangannya yang berkuku panjang dan hitam
menggaruk beberapa bagian tubuhnya dan meninggalkan noda krim
di tempat yang ia sentuh.
Edward mengembuskan napas keras. Ia tidak mengerti mengapa
Meiva sangat antipati terhadap Arum. Padahal, Arum tidak pernah
berbuat onar atau menakut-nakuti orang. Ia hanya dekil, cacat mental,
dan tidak mampu berkomunikasi dengan lancar, bahkan masih cadel
saat mengucapkan beberapa kata tertentu.
Tidak seorang pun tahu kapan tepatnya Arum masuk ke kompleks
perumahan mereka. Tetapi, paling sedikit sudah tiga bulan. Setiap
hari ia makan dari belas kasihan orang. Sesekali ada yang meminta
bantuannya mengangkat belanjaan dari mulut kompleks hingga ke rumah, lalu memberi uang dua ribu atau lima ribu rupiah. Arum malah
menggeleng dan menatap uang itu dengan pandangan aneh, lalu
membuat isyarat tangan yang mengatakan ia minta makan.
Meski kehadiran Arum tidak begitu dipedulikan, tidak ada
penghuni kompleks yang keberatan ia mondar-mandir. Seharian,
kerja Arum hanya mengeluyur dari satu blok ke blok lain. Kadangkadang sambil mengoceh sendiri, seperti bernyanyi, dan cengengesan
25:45 PM
Karma
saat bertemu orang. Jika cuaca terlalu panas, atau hujan, atau ia
merasa lelah, Arum berteduh di pos satpam. Tetapi, ketika malam
menyelimuti bumi, tidak seorang pun tahu di mana ia tidur. Beberapa
pemuda kompleks yang suka begadang mengaku pernah melihat
Arum nangkring di atas pohon.
Edward mengajak Arum ke teras.
"Arum pergi main, ya," kata Edward dengan suara rendah. "Ini,
Om kasih kue lagi. Arum pasti masih lapar."
Arum cengengesan, menggaruk bokongnya, lalu mencium punggung tangan Edward dengan tingkah seperti balita.
"Ayo, bilang apa?"
Kepala Arum menyentak beberapa kali. Kue dalam plastik ia
dekap erat-erat hingga benyek. "M-maaf, Om k-kuenya enak."
Edward tersenyum lembut. "Bukan maaf, tapi terima kasih."
"M-maaf, a-aku suka k-kuenya." Lalu Arum cepat-cepat pergi.
Setelah Arum tidak terlihat lagi, Edward bergegas ke kamar. Ia
mendapati Meiva duduk memeluk lutut di ranjang. Wajahnya semasam
jeruk purut dicelup ke dalam sari jeruk nipis.
Edward duduk di sebelah istrinya. Meiva melengos.
"Mei, ada apa?"
"Aku kesal padamu."
"Gara-gara Arum?"
"Memangnya gara-gara siapa lagi?"
"Aku hanya memberi dia sarapan."
"Mengapa harus diajak masuk?"
Edward tidak menjawab. Sebenarnya ia ingin bertanya apa yang
salah dari tindakannya, tapi urung bertanya karena khawatir membuat
emosi Meiva semakin tidak terkendali. Kadang-kadang istrinya sangat
kekanakan. Apalagi, Meiva sedang hamil muda dan emosinya labil.
"Sudahlah, Mei, jangan diperpanjang. Ini masalah sepele."
"Aku tetap tidak suka, Ed."
"Memberi makan orang lapar dan memberi minum orang haus
besar pahalanya. Kenapa sih, kamu harus semarah ini? Seharusnya
kamu senang aku berbuat baik." Edward mulai kesal. Ia merasa
kemarahan Meiva tidak beralasan.
25:45 PM
Shandy Tan
"Siapa bilang aku tidak senang?"
"Lalu mengapa masih sewot? Kamu mau dia pergi, sekarang dia
sudah pergi, apa masih belum cukup?"
"Lho, mengapa aku yang dimarahi?"
"Aku tidak marah, hanya kesal melihat reaksimu yang tidak pada
tempatnya. Arum tidak merusak apa pun di rumah kita. Lagi pula,
bukan dia yang meminta masuk, aku yang mengajak."
Meiva menatap garang, matanya berkilat. "Sejak tadi kamu terus
membela Arum. Aku jadi curiga."
Edward meninju kasur di sisi tubuhnya. "Apa lagi ini, Mei? Curiga?
Apa yang kamu curigai?"
"Kamu menyuruh dia masuk saat aku tidak di rumah. Entah apa
yang terjadi jika aku tidak cepat pulang."
"Demi Tuhan, Mei, apa yang terjadi padamu hari ini? Janganjangan otakmu sudah tidak waras."
"Kecurigaanku beralasan, kan?"
"Arum cacat mental, kumal, dan..."
"Biarpun begitu, dia perempuan. Kalau tidak dekil dan bau, dia
cukup menarik. Tubuhnya bagus, sedang mekar-mekarnya. Siapa
yang peduli dia cacat mental atau idiot?"
Dalam kaget dan marahnya, selama beberapa saat Edward
tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia memandangi Meiva
dengan tatapan sulit diartikan.
"Kamu... tuduhanmu membuatku tersinggung dan kecewa. Kebaikanku pada Arum tulus. Tega sekali kamu berpikir seperti itu. Sedikit pun
tak pernah terlintas di benakku untuk berbuat kotor padanya, seperti
yang kaucurigai. Orang seperti Arum jarang mendapat perlakuan layak
dan aku merasa terpanggil. Apa yang kuberikan pada Arum pagi ini
takkan membuat kita mati kelaparan." Edward bangkit, lalu bertukar
pakaian.
"Mau ke mana, Ed?"
"Pergi."
"Ke mana?"
"Tidak tahu."
25:46 PM
Karma
"Berapa lama?"
"Entah."
"Aku mau masak soto udang dan membuat bolu nenas. Semua
kesukaanmu."
"Kamu saja yang habiskan." Edward meninggalkan kamar tanpa
menoleh.
"Edward!"
Pintu menutup dengan suara keras.
Meive membanting tubuh ke ranjang. Ia kesal sekali. Hari Minggu yang rencananya akan dilewati penuh kegembiraan, sekarang rusak. Padahal, seingat Meiva, sejak menikah mereka belum pernah
bertengkar, bahkan ketika menghadapi masalah yang lebih serius.
Semua terselesaikan dengan baik tanpa adu urat leher.
Semua gara-gara Arum, gembel cacat mental itu. "Dasar anak
idiot!" maki Meiva pada udara kosong.
Tiga hari setelah pertengkaran Edward dan Meiva, Arum seolah
menghilang dari kompleks. Warga kompleks menduga Arum menggelandang ke kompleks lain. Dalam hati Meiva lega. Ia sendiri tidak
mengerti mengapa merasa terancam melihat perhatian Edward pada
Arum tempo hari. Mungkin karena suaminya mengajak Arum masuk
ke rumah mereka.
Edward juga tidak menyinggung-nyinggung masalah itu. Ia menduga Meiva sensitif karena bawaan bayi dalam kandungannya.
Dan, seorang Arum terlupakan begitu saja dari benak semua orang.
Hingga suatu malam, sehari menjelang kelahiran anak pertama
mereka, Meiva yang sudah dirawat di rumah sakit seolah melihat sosok Arum di sudut kamar yang agak temaram. Saat itu sudah dini
hari. Meiva tidak tahu mengapa ia mendadak terjaga, rasanya ada
seseorang yang mengamati sehingga tidurnya gelisah.
Dalam pandangan Meiva, sekujur tubuh Arum basah kuyup sehingga rambut sebahunya kian kusut. Pancaran mata Arum sedih.
25:46 PM
Shandy Tan
Meiva menekan sakelar lampu. Kamarnya menjadi terang, dan bayangan itu menghilang.
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdorong rasa penasaran, Meiva mematikan lampu. Sudut itu
tetap kosong. Ia menghidup-matikan lampu beberapa kali, tetap tidak terlihat apa-apa. Meiva menganggap kejadian itu halusinasi akibat ketakutan berlebihan menjelang melahirkan, meskipun ia tidak
mengerti mengapa harus dalam sosok Arum.
Meiva menyimpan pengalaman itu sendiri.
Kelahiran buah hati mereka berjalan normal. Meiva tidak mendapat
kesulitan berarti. Tidak sampai satu jam, terdengar lengkingan bayi,
anak perempuan cantik seberat tiga kilogram yang kata dokter, "Tendangan kakinya keras. Mungkin kelak dia akan menjadi karateka atau
pesepak bola wanita terhebat di dunia."
Edward-Meiva tak henti-hentinya menatap keajaiban yang
hadir dalam hidup mereka. Sungguh Tuhan Mahabesar, mengatur
sedemikian rupa hingga seorang manusia bisa hidup dalam tubuh
manusia lain, dengan tetap mendapat udara dan makanan.
Ketika kembali ke rumah dan menggendong bayinya ke dapur,
sekilas Meiva seperti melihat Arum duduk di kursi yang dulu diduduki
gadis itu. Tetapi, ketika Meiva mengerjap, bayangan itu hilang. Mungkin
ia mudah berhalusinasi karena kondisi tubuhnya masih lemah.
Lagi-lagi, Meiva tidak menceritakan itu pada Edward.
Hari-hari Edward dan Meiva penuh tawa bahagia. Buah hati
mereka, Nadine, tumbuh pesat dan sangat banyak bergerak. Awalnya
Meiva mengira itu tanda kelak Nadine akan menjadi anak yang aktif.
Meiva baru sadar ada yang tidak beres ketika memperhatikan
Nadine terlalu banyak bergerak dalam tidurnya. Gerakannya tidak
beraturan, terutama kepala yang tersentak-sentak, seolah diguncang
sesuatu yang berayun secara acak.
Meiva tidak membutuhkan waktu lama untuk mengingat seseorang dengan kebiasaan serupa. Seseorang yang pernah ia benci. Tidak
salah lagi: Arum.
Batin Meiva memekik pilu, Tidak mungkin! Ini pasti hanya sementara. Kelak Nadine akan senormal anak lain. Kenyataan itu tidak
25:47 PM
Karma
pernah disinggung Meiva di depan Edward. Sayang, beberapa minggu
kemudian suaminya juga menyadari ketidakberesan pada anak
kesayangan mereka.
Hingga umur tiga tahun, Nadine belum mampu mengucapkan
sepatah kata pun kecuali "mama" dan "enak"?itu pun dengan nada
sengau. Yang semakin membuat batin Meiva teriris, Nadine selalu cengengesan, air liurnya berlelehan tanpa henti.
Kini Meiva mengerti mengapa Arum "menampakkan diri" dua
kali, menjelang dan setelah kelahiran Nadine. Meiva diperingatkan
bahwa karma, cepat atau lambat, akan menagih janji.
25:47 PM
Karya Shandy Tan
25:50 PM
e Second Chance
Syafrina Siregar
Syafrina Siregar lahir di Medan, 9 Februari 1977, sudah mulai menulis
sejak SMA. Cerpen-cerpennya sering dimuat di koran lokal di Medan.
Hampir lima tahun menetap di Jakarta bersama suami dan dua putrinya,
tapi Medan dan Batam selalu menjadi kota yang berpengaruh besar
dalam perjalanan hidupnya. Kini ia merintis usaha cake dan katering
"April Cake" yang melayani area Jabodetabek dan Cibubur. Websitenya:
www.aprilcake.com. Twitter: @syafrinasiregar.
Novel-novelnya antara lain: Dengan Hati, GPU; My Two Lovers,
GPU; Psychologyve, GPU; April Caf?, GPU; DJ&JD duet bersama
Primadonna Angela, GPU; Life Begins at Fatty, Grasindo; dan Istri
Kontrak, Grasindo.
25:52 PM
Syafrina Siregar
amu di-PHK!"
Meity termangu lalu melangkah keluar dari ruangan atasannya.
Mau dikemas dalam bentuk apa pun, dengan gaya bahasa apa
pun, artinya tetap sama. Di-PHK. Meity sudah tahu akan seperti ini. Bahkan
semua orang di proyek ini sudah tahu pekerjaan mereka akan segera
berakhir. Tapi Meity tetap shock, karena menurut hitung-hitungannya, ia
masih punya beberapa bulan lagi di kantor ini, yang artinya masih terima
gaji dan bisa mulai hunting pekerjaan baru. Tapi kalau mendadak seperti
ini? Ya Tuhan! Mana mungkin Meity bisa dapat pekerjaan baru kecuali
perusahaan itu milik orangtuanya? Dan itu sudah jelas tidak mungkin,
karena kedua orangtua Meity sudah meninggal dunia bertahun-tahun
yang lalu.
Namun, sebenarnya Meity tidak perlu secemas itu. Ia memiliki
Salman, pria tampan direktur perusahaan bona?de, yang sudah lima
tahun ini menjadi suaminya. Dari sisi ?nansial, Meity tidak perlu bingung. Bahkan Salman berulang kali mengusulkan agar Meity berhenti
bekerja dan bersantai di rumah, supaya mereka segera mendapat
keturunan. Ya, lima tahun mereka menikah, tapi belum punya anak.
Meity belum bisa hamil. Tapi bukan berarti mereka tidak berusaha lho.
Meity melirik jam. Sebentar lagi istirahat makan siang. Tiba-tiba
sebuah ide muncul di benaknya. Ia segera mengambil tas dan meninggalkan pesan singkat untuk atasannya. Ia akan memberi kejutan dan
muncul mendadak di kantor Salman. Ini pasti akan menjadi kejutan
yang sempurna, karena selama masa pacaran ataupun setelah menikah, Meity tidak pernah mengunjungi lelaki itu di kantornya pada jam
makan siang. Belum, karena mulai hari ini Meity akan menjadikannya
kebiasaan. Toh efektif akhir bulan ini Meity akan jadi pengangguran.
Konon pula, surprise seperti itu akan disukai suami. Jadi klop sudah.
Meity sudah mantap akan menuruti usul Salman sejak dulu, untuk
menjadi ibu rumah tangga.
Meity masuk ke lobi sebuah gedung bertingkat, salah satu bangunan
25:52 PM
The Second Chance
paling megah di sepanjang Jalan Rasuna. Ia diam-diam tersenyum
bangga menyadari suaminya adalah salah satu petinggi di gedung ini.
Sekilas Meity melirik jam tangannya. Sebentar lagi pukul 12.00.
Sempurna! Meity tidak sabar ingin memberitahu Salman tentang
berita PHK-nya sekaligus keputusannya untuk menjadi ibu rumah
tangga. Memang, nanti malam mereka sudah punya rencana untuk
makan malam romantis merayakan ultah Meity yang ke-39, tapi berita
sepenting ini tidak bisa menunggu sampai malam.
Lift berhenti di lantai kantor Salman. Meity melangkah ke arah
yang ditunjukkan satpam. Sesaat ia celingukan karena tidak melihat
Lea, sekretaris Salman. Mungkin Lea sudah keluar makan siang.
Semoga saja Salman masih ada di ruangannya. Kalau tidak, sia-sia
saja kejutan Meity.
Meity siap membuka pintu kantor Salman, tapi ternyata terkunci.
Ia baru mau menelepon suaminya ketika pintu itu terbuka. Lea keluar
dengan penampilan ceria. Tapi gadis itu kaget begitu melihat Meity.
"Eh Mbak Meity Ba-baru datang, Mbak?" tanya Lea gugup.
Meity merasakan jantungnya berdegup cepat. Ia merasakan ada
yang aneh dari sikap Lea. Tampak sorot bersalah di mata gadis itu.
"Oh, iya, Lea. Pak Salman ada?" tanya Meity langsung.
"Ada, Mbak"
Setelah tersenyum singkat pada Lea, Meity mendorong pintu kantor dan melihat Salman berdiri membelakanginya. Salman tampak
sedang memasukkan kemejanya ke celana panjang, lalu memasang
ikat pinggang.
Kecurigaan Meity menguat. Namun ia berusaha meredam emosinya.
"Salman..."
Salman kaget dan berbalik. Wajahnya pucat.
"Eh, hai, Sayang. Kejutan nih. Ada apa? Nanti malam kan kita
ketemu untuk merayakan ultahmu," Salman berkata gugup.
Meity tersenyum kaku. Ia menatap suaminya dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Saat berkata, suara Meity datar dan dingin. "Salman,
aku akan cari pengacara hari ini. Kita akan mengurus perceraian secepatnya."
25:53 PM
Syafrina Siregar
"Cerai? Lho, kenapa, Sayang? Ada masalah apa?" Salman tampak
panik.
Meity mengambil sebuah bolpoin dari atas meja, membungkuk,
lalu menunjuk ritsleting celana Salman yang belum tertutup.
"Ini masalahnya, Salman. I don?t share husband."
Jadi begitulah. Pekerjaan hilang. Suami melayang.
Meity pulang ke rumah dengan hati sesak. Dipandanginya kamar
tidurnya yang berwarna salem dengan ranjang bertiang. Cepat-cepat
ia menurunkan koper dari atas lemari lalu memasukkan baju dan
perlengkapan pribadinya.
Ia kemudian menelepon Ratih, sahabat lamanya yang bekerja di
bagian call center sebuah bank, minta izin untuk sementara menginap
di tempat kos temannya itu. Untuk selanjutnya, Meity berniat kembali
ke rumah peninggalan orangtuanya yang selama ini didiami oleh sepupunya.
Setengah jam kemudian, tiga koper dijejalkan ke dalam bagasi
mobil. Meity segera keluar dari rumah yang sudah ditempatinya sejak
menikah bersama Salman. Ia tidak sudi melihat muka lelaki itu lagi.
Mobil Meity baru saja berbelok ke arah tempat kos Ratih ketika
dilihatnya sebuah papan dengan tulisan mencolok: Life begins at 40.
Count your blessing with our freshly made sweets. Tanpa sadar Meity
membelokkan mobilnya masuk ke toko kue sekaligus kafe kecil itu.
Lima belas menit kemudian, saat ia sedang mendiktekan tulisan:
"Happy birthday to me. A pathetic way to be me" kepada pramuniaga,
seorang pria berwajah menarik menegurnya.
"Ucapan yang unik di hari ultah," komentar pria itu.
Meity menoleh dan meringis sambil mengangkat bahu. "Yah, sebetulnya saya nggak pengin begini sih"
Pria itu tersenyum. "Kalau begitu, saya traktir Anda es krim
spesial dan seiris cheesecake andalan toko kue kami. Mari."
Meity terbelalak.
25:53 PM
The Second Chance
"Saya eh, terima kasih. Eh, beneran nih?"
"Tentu saja. Untung tidak semua orang ingin merayakan ultah
seperti Anda. Kami bisa bangkrut," ujar pria itu sambil tersenyum. Ia
berhasil membalikkan kata-kata Meity sekaligus mengantarkannya ke
meja di sudut ruangan.
Sejam kemudian, es krim dan seiris cheesecake berkembang
menjadi sepiring spaghetti carbonara dan segelas cappuccino berikut
setumpuk cerita yang meluncur dari bibir Meity. Entah apa yang sudah
terjadi, hal berikutnya Meity sudah curhat tak terbendung pada lelaki
pemilik kafe yang bernama Kei itu. Tapi Meity tak peduli, ia juga tak
ingin repot membahas keanehan itu. Ia hanya ingin curhat pada orang
tak dikenal yang tidak mengenal teman-teman kantornya apalagi mengenal suaminya, si tukang selingkuh. Meity bahkan memutuskan
untuk memotong kue ultahnya bersama semua pegawai kafe.
Ketika akhirnya tiba di tempat kos sahabatnya sore itu, membawa
sisa cake yang sudah dipotong, kesesakan hati Meity sedikit berkurang.
Kabut gelap yang tadinya memblokir otak dan akalnya sekarang mulai
terangkat.
Setelah mengambil kunci pintu di bawah pot bunga di pojok teras?
Ratih memberitahu Meity bahwa tempat rahasia favoritnya memang di
bawah pot bunga?Meity masuk rumah dan terduduk lemas. Ia capek.
Tapi ia tidak boleh menyerah. Aku harus kuat, tekadnya.
Meity baru saja selesai membongkar tiga kopernya ketika perutnya
mendadak melilit. Sedetik kemudian ia merasakan rembesan air
meluncur di sepanjang pahanya. Menit berikutnya, genangan berwarna
merah mengumpul di seputar kakinya. Darah! Meity melotot shock.
Tidak mungkin menelepon Ratih yang hari ini dinas malam. Sisa akal
sehat membuatnya menekan nomor yang baru disimpannya di ponsel
beberapa saat lalu. Akal sehat secuil itu juga yang mencegahnya
menjerit histeris ketika sebuah dugaan buruk muncul di kepala.
25:54 PM
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Syafrina Siregar
Jadi begitulah akhirnya. Pekerjaan hilang. Suami melayang. Calon bayinya keguguran.
Setelah proses kuret selesai dan beristirahat sekitar tiga jam,
Meity diperbolehkan pulang karena kondisinya baik-baik saja. Kei
mengantar Meity kembali ke tempat kos Ratih.
Entah dorongan apa yang membuat Meity menelepon Kei tadi, tapi
lelaki itu langsung datang dan mengantarnya ke rumah sakit. Bukan
hanya itu. Kei juga menemaninya sepanjang waktu sehingga dokter
dan perawat mengira Kei-lah ayah si calon bayi yang gugur itu.
"Terima kasih, Kei. Aku tahu ini bukan cara perkenalan yang biasa"
Kei tersenyum. "Dari awal melihatmu masuk ke kafeku dan memesan kue, aku tahu tidak ada satu pun hal biasa darimu, Mei."
"Aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi. Yang jelas
aku tidak mau berurusan lagi dengan lelaki tukang selingkuh itu."
"Kau bisa meminta tolong padaku kapan saja."
Meity mendesah. "Benar-benar ultah yang spesial. Di-PHK, suamiku selingkuh, dan aku kehilangan bayi yang sudah kutunggu-tunggu
hampir lima tahun ini."
Kei menggenggam tangan Meity dengan lembut.
"Bersabar dan jalani saja hari ini, Mei. Aku ada di sampingmu. Tahun depan kau bisa mengenang hari ini dengan senyum di bibir. Aku
janji."
Satu hal yang akhirnya Meity tahu tentang Kei adalah janji lelaki itu
merupakan kepastian. Kesungguhan. Ketepatan. Amanah.
Hari ini Kei muncul di kantor Meity yang terletak di lantai dua bangunan kafe milik Kei. Sudah hampir enam bulan Meity bekerja sebagai manajer kafe ini sementara Kei mengurus bisnis restoran di
lokasi lain.
"Hi, dear."
Meity tersenyum melihat Kei muncul membawa kue tart besar
dengan banyak lilin kecil yang menyala. Di belakang Kei berbaris
25:54 PM
The Second Chance
semua karyawan kafe. Meity tersenyum penuh haru. Dia hampir lupa
sekarang hari ulang tahunnya. Dibacanya tulisan di atas kue yang
ditaruh Kei di depannya.
Life begins at 40. My love begins and ends with you. Be mine
forever, Meity.
Sepasang mata Meity terasa hangat dan berkaca-kaca. Dipandangnya Kei yang sudah menjadi suaminya sejak dua bulan ini sambil tersenyum. Meity mengambil sebuah kotak kecil dari laci dan
menyodorkannya ke arah Kei. Lelaki itu mengernyit.
"Seharusnya aku yang memberimu kado, Mei. Ini bukan sedang
menyindirku, kan?" ledek Kei. Meity menggeleng dengan senyum
rahasia.
Kei mengangkat alis penasaran. Dengan cepat dibukanya kotak
persegi panjang seukuran pena. Keningnya semakin berkerut melihat
benda di dalamnya.
"Ini testpack?" tanyanya ragu.
Meity mengangguk.
Kei menelan ludah, mulai gugup. "Garisnya dua Apa ini...
artinya... kita" Kei semakin gugup. Tangannya mulai gemetar.
Meity tersenyum lebar sambil mengangguk."Iya, aku hamil."
Kei langsung menarik Meity keluar dari balik mejanya dan memeluknya erat. Semua pegawai bertepuk tangan gembira.
"Terima kasih, Sayang." Kei mencium dahi Meity lembut.
"Kids and I will be yours forever, Kei. Tapi umurku sudah empat
puluh. Mungkin prosesnya tidak akan mudah."
"Don?t say that. Ingat kata-kataku dulu? Kita akan bersabar dan
menjalani hari ini. Aku akan selalu di sisimu. Setahun berikutnya, kita
akan mengenang hari ini dengan senyum di bibir, Mei. Aku janji. Kau
berhak mendapat the second chance dalam hidupmu."
Meity tersenyum. Ia percaya dengan setiap janji Kei, karena apa pun
yang terjadi, lelaki itu akan berusaha sekuat tenaga mewujudkannya.
Tahun lalu ulang tahun ke-39 Meity terasa spesial. Semua
25:55 PM
Syafrina Siregar
yang berarti dalam hidupnya lepas dan menghilang satu per satu.
Pekerjaan. Suami. Anak.
Ulang tahun ke-40 tahun ini menjadi lebih spesial dan berlimpah
berkah. Hidupnya kembali lengkap dengan seorang suami yang setia,
calon anak di perutnya, dan pekerjaan yang menyenangkan.
As other people say, Life begins at 40. It?s true, indeed.
25:55 PM
Karya Syafrina Siregar
25:58 PM
Lukisan Menangis
Syahmedi Dean
Syahmedi Dean lahir di Medan, 14 Mei 1969. Menjadi penyiar radio
di Unisi FM Yogyakarta 1993-1996, menjadi wartawan fashion &
lifestyle di Femina Group 1996-2004. Novel-novelnya diterbitkan GPU:
Ednastoria: Lontong Sayur dalam Lembaran Fashion (2004), J?adore:
Jakarta Paris via French Kiss (2005), Bohemia: Pengantin Gypsy dan
Penipu Cinta (2006), Monsoon: Apa Arti Setuang Air Teh (2009), dan
Surga Retak (2013).
Twitter: @deanmedi
E-mail: deanmedi@yahoo.com
26:00 PM
Lukisan Menangis
EORANG lelaki berusaha menjaga keseimbangan badannya
agar tetap tegak menghadapi guncangan. Tangan kanannya
bergelayut pada gantungan yang terpaku di atap bus. Beberapa
kali badannya terguncang, ia menahan kakinya untuk tidak bergeser.
Bus tidak memedulikannya. Angkutan bebas hambatan ini sangat
merajai jalur, tak ada penghalang, sopir bisa menginjak gas dan rem
sedalam apa pun, si lelaki dan mungkin sebagian penumpang lain
berusaha agar tidak terbawa tarian kaki si sopir. Tapi mereka tetap
seperti teraduk.
Di halte berikutnya penumpang bertambah lagi, kini semakin
berjejal, sesak. Saat jam makan siang turun di Jakarta yang megah,
rasanya semua orang di Jalan Sudirman berhamburan keluar dari dalam gedung. Di jalur lambat dan jalur tengah ruas jalan macet, semua
kendaraan lambat merayap, ribuan wajah termenung lapar di balik
kaca-kaca kendaraan roda empat. Di jalur bus TransJakarta yang
kosong dan tanpa hambatan, wajah-wajah kosong juga memadati isi
bus, masing-masing wajah hanya berjarak satu jengkal antara satu
dan yang lain.
Si lelaki berusaha keras menjaga lukisan yang ia bawa agar tak
tersodok dan tersenggol. Lukisan tersebut hanya terlindungi oleh selapis plastik transparan. Seraut wajah wanita ayu sedang tersenyum
memandanginya dari dalam lukisan, seolah berkata, "Hati-hati ya,
Mas."
Lukisan itu ramah dan tersenyum lebar. Terbuat dari cat air di
atas kertas padalarang yang berserat-serat halus permukaannya.
Lelaki itu sendiri yang melukisnya tadi malam. Ia membandingkannya
dengan wajah-wajah kosong penumpang di dalam bus dan wajahwajah kosong di semua kendaraan di luar.
Hmmm... Ia menghela napas. Wajah Khadijah lebih cantik daripada mereka semua, kata laki-laki itu dalam hati.
Khadijah adalah teman kuliah yang telah ia nikahi waktu semester delapan. Keluarga kedua belah pihak tak ada yang setuju karena
mereka masih muda dan masih kuliah. Mereka tetap nekat menikah,
lalu dicampakkan dan tercampakkan oleh keluarga. Mereka banting
26:01 PM
Syahmedi Dean
tulang berdua, mencari dana untuk biaya kuliah, bayar kontrakan,
sesekali nonton ?lm, dan bulan madu keliling kota, ke tempat-tempat
hiburan rakyat kebanyakan. Si lelaki punya keahlian menggambar
potret dan pro?l wajah dengan cat air, hasilnya tak seberapa tapi
sesekali bisa juga menghasilkan sesuatu. Pernah sekali waktu ada
bapak teman kampusnya yang membayar sampai 500.000 rupiah.
Waktu itu si bapak meminta potret istri keduanya ditransfer jadi
lukisan cat air.
Khadijah juga bekerja, jadi stand guide di berbagai pameran di
Jakarta, dari menjaga booth minuman kesehatan, menerima pengunjung di gerai pameran ponsel, sampai ke pameran properti yang
mewah di Jakarta Convention Center. Pendapatannya lumayan, seharian berdiri di samping mesin cuci yang dipamerkan bisa diganjar
550.000 rupiah. Khadijah pernah berdiri selama lima hari. Honornya
cukup untuk bayar kontrakan beberapa bulan.
Biasanya, sepulang Khadijah dari pameran, suaminya sukarela
memijat-mijat betisnya. Sambil duduk di karpet, sang suami mengurut
kaki Khadijah dengan balsem. Sebelum mengoleskan balsem, biasanya ia menciumi dulu betis istrinya. Sembari tangan suaminya bergerak-gerak, Khadijah bercerita tentang pengalamannya berdiri seharian, menawarkan mesin cuci, dipandangi dan diajak ngobrol oleh pria
yang pura-pura akan membeli. Ia tak pernah mengeluh, ceritanya
selalu dari sudut yang gembira, suaminya pun tergelak penuh cinta.
Sampai akhirnya Khadijah tertidur dan suaminya menggendongnya,
membaringkannya dengan penuh perasaan di tempat tidur di ruangan
yang sama.
Empat bulan setelah menikah Khadijah tak bisa kuliah dan bekerja
lagi. Ia hamil. Sebagai kepala rumah tangga, si lelaki harus banting
tulang lebih keras lagi. Kebutuhan demi kebutuhan terus melonjak.
Penghasilan dari menggambar wajah sudah tak bernilai apa-apa. Ke
sana kemari ia menghubungi orang-orang yang ia kenal, menawarkan
tenaga dan jasa untuk ditukarkan dengan uang.
Tenaganya terkadang laku juga. Ia pernah jadi backstage crew di
sebuah konser musik, kerjanya hampir 24 jam, sampai tulang-tulang
26:01 PM
Lukisan Menangis
serasa remuk. Pernah juga jadi tenaga bantu-bantu untuk sebuah
pameran pendidikan perguruan tinggi Belanda, jadi crew pembuatan
videoklip yang kerjanya sampai 72 jam. Hasil yang didapat segera
disalurkan ke tagihan utang dan biaya bertahan hidup. Makin lama ada
banyak permintaan kerja serabutan dengan jam kerja yang serabutan
pula, tak ada yang ia lewatkan. Tapi semua selalu ada risikonya, ia
tak bisa kuliah lagi, waktu untuk kuliah sudah digadaikan untuk
mencari uang. Sampai anak pertamanya lahir, melewati masa balita
yang sangat membutuhkan perhatian dan biaya, bersekolah TK, dan
kini hendak masuk Sekolah Dasar, uang dan uang telah melenyapkan
kesempatan si lelaki dan Khadijah untuk menamatkan kuliah.
Bus TransJakarta berhenti, rem membuat entakan kecil yang
menarik si lelaki kembali lagi ke kenyataan. Di tangannya lukisan Khadijah masih tersenyum. Ia harus ke sebuah gedung paling tinggi di Jalan
Sudirman. Di gedung itu katanya para penghuninya berpenghasilan
puluhan juta rupiah sebulan. Di lobi gedung yang mewah itu kerap
ada pameran lukisan. Beberapa hari lalu ia menyempatkan diri datang
untuk melihat-lihat. Ia merasa di tempat itu begitu gampang pelukis
mencari uang. Ada lukisan wanita tak bermata sedang tertelungkup,
harganya Rp22.850.000, lalu ada lukisan perempuan jongkok berkain
merah harganya Rp18.500.000, kemudian ada lukisan coret-coret
kaligra? Cina harganya Rp80.000.000. Harga-harga itu membuatnya
optimistis. Ia hanya butuh Rp400.000 untuk menggenapi uang masuk
Sekolah Dasar Rio, anak tunggalnya.
Rio anak yang riang dan selalu bersemangat seperti almarhum
ibunya. Tidak pernah mengeluh. Kalau kakinya tersandung ia hanya
mengerutkan kening dan hidung. Tak pernah merengek kalau lapar,
tak pernah berisik kalau mau tidur dan bangun. Itu yang membuat mata si lelaki berkaca-kaca setiap kali menatap putranya yang budiman.
Cerminan ibunya yang riang dan baik hati. Rio senang menggambar,
mencoret-coret dinding, menggores-goreskan apa saja yang digenggamnya ke atas permukaan yang terjangkau, seolah sedang menggerakgerakkan pensil.
Ketika Rio berumur tiga tahun, Khadijah meninggal tiba-tiba,
26:02 PM
Syahmedi Dean
tersedak napasnya karena asma. Saat itu si lelaki tengah bekerja
di luar, menjadi anggota tim penata lampu pada proyek pembuatan
videoklip seorang penyanyi muda bersuara cempreng. Ia pulang larut.
Jam tiga pagi ia baru tiba di kontrakan, menemukan Khadijah sudah
membiru. Di sampingnya ada Rio tengah menggores-goreskan spidol
ke lengan Khadijah, hasil goresannya tak berwujud, hanya seperti
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
coretan seorang anak yang berusaha membangunkan ibunya yang
sudah pergi ke alam baka.
Di antara perasaannya yang seperti gila, malam itu juga si lelaki
menghubungi orangtua Khadijah di Purwokerto, mengabarkan kedukaan yang dalam. Menerima dampratan sebagai bukti bahwa ia tak bisa
menjaga Khadijah. Keesokan harinya segerombolan saudara Khadijah
dari Purwokerto mengambil jenazah dan membawanya kembali ke
kampung halaman. Tak ada sedikit pun ungkapan simpati untuk si
lelaki atau untuk Rio. Mereka seperti tercampakkan di gorong-gorong
kesalahan, tak terampunkan. Apalagi Rio yang sudah mencoret-coret
tangan ibunya.
Sejak itu ia menjadi orangtua tunggal, secara ?nansial semua
jadi lebih ringan, tapi secara hati dan perasaan, ia seperti terkurung
dalam kehampaan kasih. Sepeninggal istrinya, ia tak bebas sendirian
meninggalkan rumah berlama-lama. Rio harus ikut dibawa. Ia kembali
mencari uang dengan menggambar apa saja sesuai pesanan. Rezeki
tak hanya dari situ. Dari seorang teman ia mendapat kegiatan lain, jadi
penyulih bahasa untuk ?lm-?lm serial kartun televisi. Bermodalkan
kamus Inggris-Indonesia tua, ia menyulih bahasa dialog-dialog enteng.
Semua sumber dana tersebut tidak tetap datangnya, ada dan
tiada. Seperti saat ini, ketika Rio harus masuk sekolah, tak ada
satu pun tawaran kerja menghampiri. Sementara pekan ini ia harus
menyerahkan dana awal ke pihak sekolah, atau jatah kursi Rio akan
berpindah ke anak lain. Dari jumlah yang sudah terkumpul, ia hanya
butuh 400.000 rupiah lagi.
Kemarin malam, setelah seharian mencari sumber uang dan pinjaman yang nihil, ia hampir menyerah. Namun ketika tak sengaja melihat pameran lukisan di gedung tempat kenalannya bekerja, semangatnya
26:02 PM
Lukisan Menangis
bangkit lagi. Ia harus melukis malam itu juga, ia akan memindahkan wajah
Khadijah yang selalu ada dalam pikirannya ke atas kertas padalarang.
Wajah istrinya yang selalu tersenyum itu pasti akan menyejukkan hati banyak orang, pastilah akan lebih laku daripada lukisan wanita tertelungkup
tanpa mata yang harganya lebih dari Rp20.000.000. Harganya pun akan ia
patok Rp400.000 saja, sesuai kebutuhan. Harus optimistis, katanya dalam
hati.
Bus berhenti di halte yang dituju. Penumpang yang sudah kelaparan berebutan turun, ia berhati-hati menjaga lukisan sebesar
40 x 60 sentimeter yang ia bawa, jangan sampai kertas padalarang
yang meregang di bingkai kayu segi empat tersenggol kaki-kaki yang
berdesakan, jangan sampai kertas itu jebol dan merobek wajah Khadijah.
Ia pandangi senyuman Khadijah.
"Nanti cari calon pembelinya orang bule ya, Mas. Mereka cepat
menghargai lukisan," lukisan itu berbisik.
Ia tersenyum geli dan mengedipkan mata kirinya ke Khadijah.
Oke, Sayang.
Ia bergegas turun. Matahari siang meredup, langkah kaki-kaki yang keluar dari bus terdengar bergenderang riuh menabuh
lempengan besi jembatan penyambung halte ke sisi luar jalan. Semangatnya berlipat ganda, apalagi ketika ia menuruni anak tangga.
Ia melangkah menuju gedung megah berwarna biru yang tinggi
menjulang. Gedung itu memanggilnya, Kemarilah. Ada ribuan orang
berduit merubung di sini. Mereka tak peduli berapa pun harga lukisanmu. Gedung itu semakin besar dan ramah, udara penyejuk ruangan
mulai terasa. Ia memperlambat langkah sebelum memasuki lobi, ia tak
mau menarik perhatian satpam atau penjaga pameran. Strateginya,
ia akan berpura-pura sebagai pengunjung biasa, mengitari ruang
pameran sambil menenteng lukisan. Mudah-mudahan akan ada pengunjung lain yang tertarik membeli lukisan wajah Khadijah. Sampai
berapa lama? Entahlah, coba dulu saja. Di luar langit mulai mendung.
Dengan tenang ia memulai putaran pertama mengelilingi ruang
pameran. Beberapa pengunjung tertarik memperhatikan lukisan setengah meter yang tergantung bagai tas di bahu kirinya, karena berbeda.
26:03 PM
Syahmedi Dean
Lukisan itu begitu menarik mata. Di antara deretan lukisan-lukisan
oil on canvas yang mahal, di antara lukisan berbingkai kayu yang berkilau, di antara lukisan yang megah disoroti lampu, wajah Khadijah
sangat mencolok karena bergerak-gerak mengikuti gerak tubuh yang
membawanya. Sebenarnya lukisan Khadijah mencolok bukan karena
bergerak-gerak, tapi karena ia tampak murahan dan tak berkelas.
Manajer pameran mencium gelagat janggal setelah hampir dua
jam mengamati si lelaki pelan-pelan mengelilingi lokasi pameran.
Hati si lelaki sendiri mulai melemah, tapi ia tak mau mengalah. Ia
tetap merasa pasti ada yang akhirnya mau membeli senyum Khadijah.
Ia juga rela menurunkan harga lukisannya menjadi 300.000 rupiah.
Manajer tampak berbisik-bisik dengan dua satpam berseragam,
serius membahas bagaimana cara mengusir si lelaki. Lukisan yang ia
bawa sangat mengganggu mood dan gengsi pameran. Ia harus segera
diusir.
Dua satpam mendekat, mereka berjalan pelan dengan tatapan
mata elang mengintai seekor kelinci liar, mata yang siap mengusir
orang yang tidak diperkenankan berada di lokasi pameran.
"Anda mahasiswa seni rupa? Lukisannya bisa dititipkan dulu di
meja itu!" Salah seorang satpam mencoba berpengertian dengan
memberikan tawaran pembuka sebelum tindakan utama diambil, satpam yang lain menunjuk meja yang bertuliskan car call di atasnya.
Si lelaki gagap, tidak terpikir olehnya akan menjawab apa. Dalam
hati ia berkata, Saya penjual lukisan. Wajahnya memerah, kedua pria
di depannya semakin curiga. Ia ingin mengatakan sesuatu, mulutnya
terbuka, tapi tak ada getar pita suara. Salah satu satpam semakin
yakin bahwa ia harus segera dienyahkan.
"Maaf, Anda tidak boleh seliweran dengan barang itu di sini!"
Suaranya pelan tapi mengandung ketegasan dan hardikan yang berat.
Si lelaki melangkah cepat menuju kerumunan beberapa orang
yang tengah memandangi lukisan wanita tak bermata. Ia berharap
kalau bergabung di situ para satpam akan malu bertindak. Untuk
beberapa saat memang kedua satpam tampak uring-uringan, tapi
dalam hitungan detik mereka memutuskan untuk menyeretnya ke luar
26:03 PM
Lukisan Menangis
lobi. Pemandangan selanjutnya adalah tiga orang dan satu lukisan saling dorong ke luar gedung.
Satpam berhasil memaksanya hengkang ke luar pintu lobi, sebagian orang di lobi tampak ikut puas, dan sebagian lagi dingin tanpa
perasaan. Di luar, ada dua orang asing yang tengah berdiri menunggu
mobil. Mereka juga ikut memperhatikan dengan saksama kejadian itu.
Mereka langsung melipat tangan, siaga untuk tidak terlibat.
Si lelaki berdiri terpaku di bawah atap pemayung pintu masuk,
tetes-tetes gerimis membuat bercak-bercak acak di atas aspal. Ia takut lukisannya basah dan berusaha masuk lobi lagi, tapi kedua satpam
di dalam langsung bereaksi cepat dengan gerakan hendak berlari dan
menghantamnya. Ia langsung re?eks berlari menyeberangi jalan.
Tiba-tiba alam menangis, tetesan hujan jatuh seperti berjuta butiran
tasbih yang putus dari talinya dan berhamburan ke bumi. Ia melindungi
Khadijah dengan bajunya.
Salah satu dari dua orang asing yang masih di luar lobi melambaikan tangan mengajaknya mendekat. Ini calon pembeli, pikirnya. Ia
berlari lagi menyeberangi jalan kembali menuju lobi, tetesan air sudah
tak terhingga begitu kakinya menyentuh permukaan yang kering di
bawah atap, matanya tertumbuk ke wajah Khadijah. Wajah itu kini
menangis, air hitam mengalir deras dari matanya, sedih dan perih.
Air itu mengalir bagai lava tak terbendung, mengalir membasahi
dada Khadijah, menjalari remuknya perasaan seorang lelaki. Ia membatalkan diri mendekati orang asing yang memanggilnya, ia tak mau
melepas Khadijah yang kini menangis tak terperi. Dengan tubuh yang
kuyup ia kembali berlari menjauhi gedung, kini tangisan Khadijah disertai petir. Ya, aku akan membawamu pulang, ratap si lelaki dalam
hati.
Air mata Khadijah membuat kertas padalarang melembek dan
rapuh, air mata itu kini melemahkan bentangan padalarang, air mata
itu merobekkan diri, meninggalkan hanya bingkai segi empat. Si lelaki
berlari dengan lukisan yang sudah tak utuh lagi. Tiba-tiba ia berhenti
dan terdiam dalam hujan, berdiri, tubuh dan hatinya basah. Ia diam,
tidak menangis, tapi sama seperti Khadijah, hujan membuatnya deras
26:04 PM
Syahmedi Dean
berair mata. Kertas padalarang sudah berubah jadi bubur, kecuali
sobekan yang masih tertinggal dalam genggaman, sesobek senyuman
Khadijah yang masih tersisa. Senyum itu masih lebar dan berbisik,
Pulanglah, Sayang, keringkan badanmu.
Femina, 2008
26:04 PM
Karya Syahmedi Dean
26:07 PM
Back for Love
Teresa Bertha
Teresa Bertha lahir dan besar di Bandung, 4 Oktober 1989. Mencintai
alam, keindahan, musik, dan tentu saja dunia tulis-menulis. Baru
saja dikarunai seorang putri yang semakin menginspirasinya dalam
menulis. Karya-karyanya: Love You Till I Die (GPU, 2014), Keegan?s
Love Pendant (GPU, 2011), Valentine In Hospital?kumcer Teenlit
Bukan Cupid (GPU, 2012) dan Surat Terakhir?kumcer Teenlit Before
the Last Day (GPU, 2012).
Silakan kontak Teresa Bertha di
Facebook: Teresa Bertha dan Twitter: @tere_bertha.
26:09 PM
Back for Love
AMPU disko menyorot ke berbagai arah. Musik dugem diputar.
Orang-orang berdisko sambil berdesakan. Mereka merokok dan
mengobrol sambil minum-minum. Pria, wanita, remaja, semua
nya tampak menikmati suasana diskotek saat itu.
Diane berjalan tergesa-gesa menerobos kerumunan orang yang
sedang memadati lantai disko. Sesekali ia menengok ke belakang,
memastikan ia sudah tidak diikuti. Gadis itu bergegas menyelinap ke
ujung ruangan dan bergabung dengan beberapa orang yang sedang
minum-minum sambil duduk di sofa.
"Kau kenapa?" tanya Wida, teman Diane.
"Biasa, dia mengejarku lagi," sahut Diane seraya menyambar
gelas berisi minuman keras yang ada di meja. Gadis itu menenggak
isinya sampai habis dan mengelap mulutnya dengan punggung tangan.
"Dia mengejarmu sampai kemari?"
"Ya, menyebalkan sekali," kata Diane. "Aku benci sekali padanya."
"Bukannya kalian pacaran waktu kecil?"
"Jangan sebut-sebut itu lagi," tukas Diane tak suka. "Dia cuma
tetangga yang suka ikut campur dan sok mengatur."
"Tapi...," kata Wida, "Ethan sebetulnya tampan sekali. Tubuhnya
tinggi, atletis, wajahnya sempurna. Kenapa kau tidak pacaran saja dengannya?"
"Tidak mau," kata Diane. "Bisa-bisa aku dirantainya, tidak bisa
keluyuran, apalagi ke diskotek. Sudahlah, minggir kau!" Diane menepuk kaki Wida, melewatinya dan langsung duduk di pangkuan seorang
pria yang sedang merokok.
"Ohooo Halo, cantik!" Bram?pria yang diduduki Diane?langsung memeluk gadis itu. Matanya melirik belahan dada Diane yang
tersembul dari balik baju seksinya, sementara tangannya mengeluselus paha dan punggung gadis itu.
"Hai, Bram, bisakah kau menemaniku malam ini?" tanya Diane.
"Aku bosan seharian ini."
"Tentu saja bisa," kata Bram senang. "Kita ke tempatku saja, aku
punya barang bagus."
"Asyik! Kita bisa ?y bareng...," bisik Diane di telinga Bram.
26:10 PM
Teresa Bertha
Bram tertawa dan mendekatkan bibirnya, hendak mencium Diane.
Tapi belum sempat bibirnya menyentuh bibir gadis itu, Bram sudah
terjatuh ke lantai karena sebuah tonjokan keras mendarat di pipinya.
Diane berteriak. Ia ditarik bangun dari pangkuan pria itu tepat waktu.
"Ethan!" seru Diane, menatap garang pada Ethan yang tadi datang
tiba-tiba dan melayangkan pukulan pada Bram. "Apa-apaan kau?! Dasar brengsek!"
"Brengsek!" Bram memaki sambil berdiri dan mengelap darah
dari sudut bibirnya. Ia menerjang marah pada Ethan hingga keduanya
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jatuh ke lantai. "Sialan! Bangsat! Keparat!" Bram melayangkan tinjunya dan Ethan melawannya.
Perkelahian kedua pria itu langsung menjadi tontonan menarik.
Orang-orang berkerumun mengelilingi dan menyemangati mereka.
"Ayo hajar terus!" Orang-orang berseru dengan semangat, membuat suasana semakin panas. "Hajar lagi! Hajar lagi!"
Diane berusaha melerai perkelahian. Ia mendorong tubuh Bram
sekuat tenaga hingga Ethan terbebas dari tindihan Bram.
"Jangan pukul lagi, Bram, please," kata Diane.
Bram berdiri dan mendengus keras. Ethan juga sudah berdiri dan
tersengal-sengal. Keduanya babak belur dan saling menatap garang.
"Kuperingatkan kau," kata Ethan, "jangan pernah berani-berani
menyentuh Diane lagi!"
"Memangnya apa urusanmu?!" bentak Bram. "Siapa kau, beraniberaninya mengancamku?!"
"Brengsek!" Ethan maju lagi untuk menghajar Bram, tapi Diane
menahannya.
"Kau ini apa-apaan sih?" kata Diane marah.
"Kau yang apa-apaan!" seru Ethan. "Untuk apa kau pergi ke
tempat seperti ini? Ayo pulang!" Ethan menarik tangan Diane dan
membawa gadis itu keluar.
Diane memberontak habis-habisan, tapi tetap tak bisa melepaskan
cengkeraman Ethan. Akhirnya ia menggigit keras-keras tangan Ethan
sampai pria itu berteriak kesakitan, kemudian menampar pipi kirinya.
26:10 PM
Back for Love
"Kenapa kau mengikutiku?" bentak Diane. "Kenapa kau selalu
mencampuri urusanku?"
"Kenapa kau selalu datang ke tempat seperti ini?" Ethan balik
bertanya. "Kenapa kau memakai narkoba dan selalu tak memedulikan
keselamatanmu sendiri?"
"Apa pedulimu?" lengking Diane.
"Aku peduli!" seru Ethan. "Aku mencintaimu, Diane, aku mencintaimu.
Tidakkah itu cukup untuk menjadi alasanku peduli padamu?"
"Jangan ngawur," kata Diane. "Kita hanya tetangga."
"Diane, ayo kita pulang," ajak Ethan. "Ayahmu mencemaskanmu.
Dia sampai tak tidur karena menunggumu."
"Salah sendiri," cetus Diane. "Sudah kubilang tak usah menungguku."
"Ayo pulang, Diane," ajak Ethan lagi sambil menggenggam tangan
gadis itu.
"Aku tidak mau," tolak Diane. "Ini duniaku, kau jangan
menggangguku terus. Aku akan pergi dengan Bram malam ini, kau
jangan mengikutiku lagi." Diane melepaskan genggaman Ethan dan
kembali ke tempat Bram dan kawan-kawannya berkumpul.
"Sudah kau usir si brengsek itu?" tanya Bram saat melihat Diane
mendekat. Diane mengangguk dan merangkul pria itu.
"Aku sudah menyuruhnya pulang."
"Bagus! Ayo kita pergi," kata Bram. "Kita bersenang-senang di
tempatku."
Diane merasa tubuhnya ringan, otaknya bebas dari segala beban
pikiran. Rasanya ia terbang...
Di sebelahnya, Bram tersenyum sambil merangkulnya.
"Asyik sekali, kan?" tanya pria itu. Diane mengangguk dan tertawa
sambil bersandar di bahu Bram.
Tiba-tiba pintu didobrak dari luar dan beberapa petugas polisi
menerobos masuk. Diane dan Bram terperanjat dan berusaha kabur,
tapi tubuh mereka terasa melayang, tak ada tenaga. Diane merasakan
26:11 PM
Teresa Bertha
kedua tangannya ditarik ke belakang dan diborgol. Dalam hati ia ingin
sekali melawan, tapi tak sanggup. Ia hanya merasa lemah, kemudian
pingsan.
Ketika tersadar kembali, Diane mendapatinya dirinya sedang meringkuk di balik jeruji besi. Kepalanya terasa pening dan ia menggigil
kedinginan. Terdengar langkah kaki, dan tak lama kemudian Ethan
muncul. Pria itu menatap Diane dengan sedih.
"Diane," panggil pria itu. "Aku turut berdukacita."
"Apa maksudmu?" tanya Diane, mendadak dirinya diterpa rasa
ketakutan.
"Diane, maaf," kata Ethan. "Ayahmu mendengar kabar bahwa
kau tertangkap sedang menggunakan narkoba. Dia terkena serangan
jantung, lalu..."
"Tidak," Diane menggeleng kuat-kuat. "Tidak mungkin!"
"Aku yang membawanya ke rumah sakit," lanjut Ethan.
"Tidak, tidak, tidak..."
"Pesan terakhirnya adalah dia tetap mencintaimu apa pun yang
terjadi..."
"TIDAK...!!!" Diane berteriak histeris.
Ethan membayar uang jaminan agar Diane bebas dari penjara sehingga
gadis itu bisa menghadiri upacara pemakaman ayahnya. Tangis Diane
tiada henti, melukiskan betapa menyesalnya dirinya.
Diane gadis yang tak suka diatur. Ia paling benci jika ayahnya
melarangnya pulang larut. Ia benci dikekang. Sejak kecil ia memang
pembangkang. Gadis itu selalu menjengkelkan ayahnya seolah-olah ia
tak sayang padanya.
Kini ayahnya sudah tiada dan hati Diane terasa sangat sakit. Diane
teringat akan kasih sayang ayahnya selama ini. Ayahnya yang single
26:11 PM
Back for Love
parent membesarkannya dengan penuh cinta, tapi yang Diane balas
padanya hanyalah kekurangajaran dan durhaka.
Diane menatap sayu nisan ayahnya. Ia sudah menyia-nyiakan
ayahnya, sama seperti ia telah menyia-nyiakan Ethan. Dulu Diane
menyukai lelaki itu, ketika ia belum mengenal dunia malam. Begitu
mulai mengenal asyiknya dunia malam, ia jadi tak menyukai Ethan
karena pria itu selalu mengikuti dan melarang-larangnya.
"Kau lapar?" tanya Ethan seusai pemakaman. Mereka berjalan
berdampingan menjauhi makam ayah Diane. Diane menggeleng pelan.
"Kau harus tetap kuat, Diane."
"Terima kasih untuk segalanya, Ethan," kata gadis itu. "Maafkan
aku karena selama ini selalu kasar dan menyakitimu."
"Tak apa," kata Ethan "Semoga kau bisa menjadikan hal ini sebagai pengalaman berharga."
"Sekali lagi maafkan aku, Ethan. Aku tahu berapa kali pun aku minta
maaf, itu takkan pernah cukup untuk menebus rasa sakit hatimu padaku."
Ethan memeluk Diane erat-erat dan mencium rambut gadis itu.
"Aku selalu mencintaimu, Diane," kata pria itu. "Sejak dulu aku
selalu mencintaimu."
"Aku tahu" Air mata mengalir di pipi Diane.
"Tak peduli dengan segala penolakanmu, tak peduli betapa pembangkangnya dirimu, aku tetap mencintaimu, Diane. Maukah kau
bersamaku?"
Diane melepaskan diri dari pelukan Ethan. Ia menggeleng perlahan. "Aku tidak bisa, Ethan," isaknya. "Aku tak pantas untukmu."
"Apa maksudmu?"
"Aku pecandu narkoba, masa depanku berantakan," kata gadis
itu. "Keluargamu takkan menyukaiku. Aku hanya akan membuat masa
depanmu hancur."
"Tidak, Diane," kata Ethan. "Kau pantas untukku. Aku ingin
kau mendampingiku. Orangtuaku sejak dulu selalu mendukung
segala keputusanku. Biarkan aku membantumu. Kita bisa ke pusat
rehabilitasi, kita tata ulang masa depan kita berdua."
26:12 PM
Teresa Bertha
Diane menatap Ethan dengan bola mata basah. Ia merasa malu
pada pria itu. Ethan sangat tulus padanya.
"Mari kita mulai dari awal, Diane," kata Ethan. "Kau mau, kan?"
"Tapi"
"Aku mencintaimu, Diane Percayalah padaku, aku akan membuatmu bahagia."
Diane mengangguk perlahan, lalu memeluk erat-erat pria yang
ada di depannya itu.
"Terima kasih, Ethan. Aku berjanji takkan pernah mengecewakanmu lagi," kata gadis itu. "Aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi."
Ethan tersenyum bahagia, kemudian mengajak Diane pergi dari
situ. Bersama-sama, mereka melangkah untuk menata masa depan
yang lebih baik dengan cinta dan ketulusan.
26:12 PM
Karya Teresa Bertha
26:14 PM
e Pink Lotus
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto lahir di Borobudur, Magelang, namun besar di
Semarang. Pernah menjadi editor di dua media cetak bernuansa
remaja: tabloid Tren (2001-2005) dan majalah Gradasi (2007-2010).
Sudah menelurkan 10 novel (di antaranya adalah The Unfunniest
Comedy (Gramedia Pustaka Utama) dan www.gombel.com (Elex
Media Komputindo). Kini aktivitasnya adalah menjadi trainer di
sekolah menulis Rumah Media.
26:16 PM
The Pink Lotus
UTUTUP program MS Word sambil menguap. Selesai sudah.
Layar komputer kembali ke desktop yang memuat foto Cristiano Ronaldo telanjang dada.
Lalu aku memejamkan mata, memikirkan kembali semuanya.
Upaya keras sudah kulakukan selama proses casting. Enam level penyaringan kulewati. Sejak audisi awal yang diikuti hampir lima ratus
peserta yang mendaftar lewat internet berbekal klip video hingga babak ?nal yang tinggal menyisakan tiga peserta.
Dan aku menang. Mereka, para pria dan wanita bule itu, menilai
kemampuan aktingku sempurna. Tinggal diasah sebentar di sana.
Raut wajahku juga ayu eksotis khas Melayu?memang yang mereka
cari untuk peran itu.
Ernst van Imhoff bahkan langsung mendeklarasikan diri sebagai
fans beratku. Ia bilang, ini akan jadi major breakthrough buat kami
berdua. Kami akan sama-sama melesat, segera berpindah ke dunia
lain.
Semua berkat nama Fox Searchlight Pictures yang melekat di
dalamnya. Kalau ini berhasil?yang sepertinya memang akan terjadi
mengingat reputasinya di Eropa satu dekade terakhir?Hollywood sudah berada dalam genggaman tangan. Dan aku, katanya, akan menjadi
aktris pertama Indonesia yang beredar di level yang sama dengan
Julia Roberts, Jennifer Lawrence, Angelina Jolie, atau Sandra Bullock.
Benar-benar seorang seleb Hollywood. Bukan yang sekadar mendapat peluang sporadis goes to Hollywood hanya di satu-dua judul
seperti Iko Uwais atau Joe Taslim.
Sangat sempurna. Sangat mengubah hidup. Ibu, Bapak, dan Koko
yang sedang terbahak-bahak nonton YKS di ruang tengah pasti semaput kalau kuberitahu soal ini. Juga Bu Darus. Juga Mbokde Marto
tetangga ujung jalan yang selalu dengan penuh semangat menawarkan
lowongan-lowongan kerja di balai kerajinan keramik di Klampok atau
TKW di Malaysia kepadaku.
Tapi mereka belum tahu. Jangankan membaca skenario tulisan
Ronald Voos yang barusan rampung kubaca untuk kali ketiga. Keseluruhan urusan ini saja mereka sama sekali belum sadar. Mereka
26:16 PM
Wiwien Wintarto
hanya tahu aku berkali-kali berangkat dari Stasiun Purwokerto ke
Jakarta untuk seleksi karyawan baru di "perusahaan garmen" (memang sengaja kurahasiakan, lebih karena aku tak mau terlalu membuat diriku sendiri berpikir muluk).
Sekarang aku sudah berhak untuk berpikir muluk. Semua bahkan
berada sepenuhnya di tanganku. Kembali kubuka mata. Yang di depan
TV makin keras saja ketawanya. Caesar dan Soimah memang lucu.
Aku fans berat mereka. Tapi sekali ini aku absen dulu. Ada hal lain
yang lebih gawat. Lagi pula besok toh masih ada lagi.
Lalu aku klik shortcut Google Chrome untuk pergi ke Facebook.
Aku mau tahu apa saja komen jail teman-teman soal foto mesraku bareng Mas Aldo yang baru dia unggah tadi siang. Pasti mereka bilang, itu
foto prewed, lengkap dengan embel-embel semacam "ciee... ciee...!",
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"wkwkwk...!", "qiqiqi...!", atau "sakinah-mawadah-warahmah".
Dan Mas Aldo pasti bisa bantu untuk soal satu ini. Dia kan hobi
nonton ?lm.
"Gimana? Aku cantik nggak?"
Aku berdiri tegak di hadapan Mas Aldo. Jantungku berdegup-degup. Kudukku merinding. Tangan dan kaki merapat. Wajahku saat itu
pasti merah padam.
Sesaat sunyi. Hanya ada suara-suara berita siang dari TV di luar.
Pemuda berkulit putih bersih yang kelak akan kusandang namanya
itu menelan ludah berkali-kali. Matanya seperti kena sihir, menatapku
dari atas ke bawah lalu ke atas lagi.
"C-cantik... banget...!"
"Oke. Lima menit ya? Minimal lima menit. Bisa lebih lama lebih
baik. Jangan bergerak ke mana-mana! Ntar aku marah."
Mas Aldo mengangguk-angguk. Pemuda yang tak lama lagi
akan menafkahi hidupku dengan gaji sebagai staf akuntansi kantor
kabupaten itu garuk-garuk tengkuk.
"Kalau sudah lima menit, sudah boleh ke mana-mana?"
26:17 PM
The Pink Lotus
"Boleh. Batas minimalnya lima menit. Ini penting untuk peranku
nanti. Aku harus latihan kayak begini di depan lawan jenis. Dan nggak
mungkin lawan jenisnya bukan Mas Aldo, kan?"
"Oke, oke." Ia menarik napas susah payah berkali-kali. "Lima menit.
Cuma lima menit."
Aku tersenyum. "Bagus. Mau kubikinin teh?"
Matanya masih tetap kosong, menatapku lekat. "Mau, mau."
"Oke. Tunggu bentar."
Pintu kamar kubuka. Aku menuju dapur untuk membuatkan teh
buat Mas Aldo. Rumah sepi. Semua orang pergi kondangan ke rumah
Pakde Tirto di Purbalingga sampai besok malam. Kubawa cangkir
teh kembali ke kamar, kuletakkan di meja tempat PC kunoku berada.
Meja yang hingga tiga bulan lalu masih menjadi meja belajarku, dan
seharusnya bisa kupakai untuk mempelajari mata kuliah?andai ada
biaya dari orangtua.
Aku duduk di situ, menghidupkan komputer untuk online, sedang
Mas Aldo masih di tempat yang tadi, di tepi tempat tidurku. Setengah
bengong dan masih saja terkagum-kagum melihatku.
"Jadi judulnya The Pink Lotus? Apa itu Pink Lotus?"
"Itu nama sindikat internasional di Eropa yang nyediain courtesan.
Courtesan itu semacam PSK, tapi kelas tinggi banget. Lingkup
pergaulan mereka nggak cuma di lingkungan miliuner, tapi tokohtokoh politik tingkat tinggi."
"Kamu main jadi siapa?"
"Jadi Rini, tokoh utamanya. Dia ditipu. Dibawa ke Inggris katanya
buat dipekerjakan jadi pembantu rumah tangga, tapi ternyata direkrut
sama Pink Lotus. Di situ dia dididik jadi courtesan. Awalnya benci,
belakangan dia beneran jadi courtesan nomor satu di Eropa."
Alis Mas Aldo berkerut. Kali ini dia sudah mulai bisa mengalihkan
fokus dari tubuhku.
"Kok dididik?"
"Karena emang yang namanya courtesan itu nggak cuma menjual diri, tapi juga menjual kepintaran. Intelektualitas. Dia nggak
hanya nemenin klien di ranjang, tapi dalam lingkungan pekerjaan
26:17 PM
Wiwien Wintarto
juga. Kadang diajak ke acara-acara bisnis, atau konferensi politik
dunia, dan dia harus bisa nyambung dengan omongan semua orang.
Makanya nggak semua cewek cakep bisa jadi courtesan. Hanya
yang smart, setelah melalui serangkaian tes yang ketat, kayak tes
pekerjaan gitu. Jadi ternyata, sebelum abad kedua puluh, semua orang
kaya dan bangsawan menikah bukan karena cinta, tapi berdasarkan
kesepakatan bisnis. Antara kerajaan ini dan kerajaan itu, antara
keluarga ini dan keluarga itu, antara perusahaan ini dan perusahaan
itu. Mereka dijodohin. Makanya nggak ada suami yang cinta dan
sayang sama istri. Cuma manut perintah ortu. Nah, mereka perlu para
courtesan sebagai objek cinta-cintaan mereka. Untuk memuaskan
hasrat asmara dan nafsu berahi. Karena fungsi mereka benar-benar
sebagai pasangan full time, mereka nggak cuma seksi di ranjang, tapi
juga harus bisa masuk dan terlibat dalam dunia kerja sang klien."
Mas Aldo melongo. "Kok kamu ahli banget soal itu?"
Aku tertawa. "Udah baca-baca, di internet. Aku disuruh riset sama
Robert, casting director."
"Sutradaranya terkenal ya?"
"Iya, di Belanda sana. Pernah masuk nominasi sutradara terbaik
di Festival Cannes sama Berlinale. Kalau The Pink Lotus sukses, dia
bakalan dikenal juga di Hollywood, kayak Paul Verhoeven sutradaranya
RoboCop. Ini ?lm Belanda, tapi diedarkan Fox Searchlight, produser
dari Hollywood. Bisa aja ntar masuk Top 10 Box Of?ce di Amerika,
kayak The Hobbit atau Spider-Man."
"Trus adegan nude-nya di mana aja?"
"Ada tiga. Pas Rini dilucuti Stefan, bos Pink Lotus; pas Rini ML
sama Stefan; dan habis Rini ML sama Perdana Menteri Swedia pas
ada Konferensi Uni Eropa di Amsterdam. Yang terakhir itu yang paling
lama. Dialognya banyak banget. Mereka ngobrol di kamar hotel sambil
berkeliaran ke sana-sini dalam keadaan sama-sama bugil. Makanya
aku latihan kayak gini ini..."
"Jangan mau kalau ada adegan ML-nya!" Mas Aldo protes. "Tanganmu dipegangi si Didin aja aku nggak rela!"
"Nggaklah! Aku juga nggak mau. Lagian produser ngasih opsi di
26:18 PM
The Pink Lotus
surat kontraknya, khusus untuk adegan ML, aku bisa diganti sama
stand-in. Aku cuma berani pas cuma nude biasa doang, bukan yang
pakai ML. Kalau cuma kayak gini, Mas Aldo nggak pa-pa, kan?"
"Nggak pa-pa sih. Yang penting tetep aku yang lihat pertama kali."
Aldo terkekeh pelan sambil kembali mencermatiku. "Emang kalau
adegan hot di ?lm-?lm Barat itu, mereka ML beneran nggak sih?"
"Nggak. Kata Erwin, produsernya, para aktor dan aktris cuma akting.
Pura-pura. Namanya simulated sex scene, adegan seks yang disimulasi.
Cuma main angle kamera, sehingga kelihatan kayak beneran."
"Lah, kalau mereka beneran terangsang gimana? Sekadar lihat
tanpa baju aja udah setinggi langit, apalagi yang pakai peluk-peluk,
cium-cium, dan lantas gituan di ranjang...!"
"Mereka pakai celana ketat yang warnanya sama dengan warna kulit.
Namanya crotch patch. Dengan begitu, mereka nggak akan kena beneran.
Lagian para artis Amerika dan Eropa kan profesional. Akting ya akting
doang. Selesai. Nggak kayak di sini. Asal artis cowok-cewek main bareng
di ?lm atau sinetron, pasti kena cinlok dan masuk infotainment untuk
nikah lalu masuk infotainment lagi untuk cerai tujuh bulan kemudian!"
"Tapi Tony Leung dan Tang Wei di ?lm Lust, Caution itu kayak ML
beneran...!"
"Gosipnya sih gitu, tapi sutradaranya membantah. 9 Songs sama
All about Anna, itu baru para pemainnya disuruh ML sungguhan sama
sutradara. Katanya biar ?lmnya autentik dan kelihatan realistis."
"Kok kamu tahu? Udah nonton ya?"
Aku tertawa. "Belum. Cuma dikasih tahu Robert. Mas Aldo aja
yang nyari sana! Pasti suka, hehe...!"
Mas Aldo garuk-garuk kepala. Ia meminum tehnya sambil terus
lekat menyaksikanku.
"Tapi kamu kok mau sih kayak gini? Apalagi ntar di depan puluhan
orang di lokasi syuting. Sutradara, asisten sutradara, kameramen, juru
suara, dan artis-artis lain. Orang-orang bakalan kaget. Shock. Indah
yang lugu beradegan bugil di ?lm! Teman-teman sekolahmu bakalan
gempar. Apalagi yang udah jelas-jelas naksir kamu, bangsanya Santo
dan Ferry gitu."
26:18 PM
Wiwien Wintarto
"Aku kan nggak lugu-lugu amat. Teman-teman di ekskul teater
sekolah tahu aku bisa berubah jadi aneh kalau udah masuk ke peran.
Ini juga usahaku masuk ke peran."
"Dan rasanya masih nggak bisa percaya kamu yang anak Desa
Wanareja, Kabupaten Banyumas, bisa lolos casting peran utama di
?lm buatan Belanda yang main di Hollywood!"
Aku tertawa lagi. "Yah, namanya nasib siapa yang tahu. Mereka
emang nyari muka baru yang masih fresh dan belum pernah main
?lm. Yang tenar-tenar kayak Nikita Willy atau Alisa Subandono gitu
malah nggak diterima."
Mas Aldo menggenggam tanganku. "Kamu yakin mau melakukannya? Udah mikir dalam-dalam, apa reaksi Bapak sama Ibu
kelak? Mereka bisa kaget banget. Shock banget!"
Aku alihkan perhatian dari layar komputer. Kuhela napas panjang.
Sangat panjang. Berat.
"Namanya jer basuki pasti mawa beya, Mas," kataku, ngungun.
"Aku siap. Kamu tahu akting itu passion-ku sejak dulu. Aku mau kejar
mimpi dengan ongkos apa pun. Apalagi sekarang mimpiku udah di
depan mata, dan nggak tanggung-tanggung. Nggak cuma tingkat
lokalan seleb Jakarte yang ?elo-gue? di FTV saban siang hari, tapi
Hollywood. Hollywood, bayangin!"
"Tapi masa bintang Hollywood pakai nama Indah Cahyaningsih?
Nggak keren."
"Nggak keren kan buat kamu, Mas. Buat orang bule, kali-kali aja
itu justru nama keren?kayak Chiwetel Ejiofor gitu."
Mas Aldo meremas tanganku, lalu menatapku lurus seperti elang
melihat mangsa.
"Betewe, ini udah lima menit, kan?"
Aku, dengan kuduk menggigil sepanjang lima menit terakhir ini,
balas menatapnya lurus.
"Lebih."
Mas Aldo bangkit, merengkuhku agar berdiri, lalu mendekap dan
melumatku. Buas. Dan aku, dikendalikan oleh sesuatu yang banal dan
primitif, sama sekali tak menolak. Bisa. Hanya saja tak mau.
The Pink Lotus
Ernst van Imhoff, Erwin Wijkstra, dan Robert Mellema duduk sambil
menatapku tajam. Pak Tanto dan Aldion, dua perwakilan dari Sintesa
Entertainment?production house lokal yang diajak bekerja sama
oleh Fox Searchlight?juga menungguku. Sore hari berhujan di kantor
Sintesa yang berlokasi di bilangan Jalan Potlot, Jakarta, pun seperti
puncak kon?ik sebuah ?lm bergenre suspense thriller. Menegangkan.
Semua menunggu satu hal kecil dariku: tanda tangan.
"Any special preparation for the role?" tanya Ernst kemudian,
mencairkan suasana.
"Yes," jawabku. "I had a rehearsal a couple days ago, back in my
hometown in Purwokerto."
"What kind of rehearsal?"
"Well, I hung out with my boyfriend. Talked and discussed the movie,
completely naked. I try to imagine the scene with Rini and Swedish PM."
"Both of you?"
"No. Just me."
Para bule Belanda itu berpandangan, lalu tertawa.
"Good job, Indah. That?s very good. I think you?re gonna do great
in Europe and Hollywood! Besides, your English is very good. You are
already an international star!"
Aku tersenyum simpul. Bukan karena membayangkan Hollywood saat kububuhkan tanda tanganku, tapi lebih karena geli melihat Pak Tanto
dan Aldion terdiam salah tingkah. Pasti mereka resah membayangkanku.
Adalah Erwin sang produser eksekutif yang kali pertama berdiri
Cerita Cinta Indonesia Karya Penulis Gabungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan menyalamiku.
"Welcome to Hollywood!"
Aku menerima jabat tangannya. Erat.
"Thank you, thank you very much."
Aku hanya bisa berdoa, semoga Tuhan selalu menjaga kesehatan
Ibu dan Bapak.
Karya Wiwien Wintarto
Tamat
Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Hardy Boys Pembajak Kapal Selam Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama