Ceritasilat Novel Online

Cinta Kala Perang 1

Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo Bagian 1



Masriadi Sambo

Cinta Kala Perang.

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Kala Perang

Quanta adalah imprint dari

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Kompas Gramedia Building

Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270

Telp. (021) 53650110-53650111, Ext 3201, 3202

Webpage: http://www.elexmedia.co.id

Novel Islami

ISBN 978-602-02-3185-3

Cinta

Kala Perang

NOVEL ini menceritakan kehidupan seorang gadis bernama Cut Tari?

akrab disapa?Tari. Ayahnya tewas

ditembak oleh orang tak dikenal (OTK)

ketika perang masih terjadi di Aceh.

Sejak saat itu, Tari dibesarkan oleh

ibunya. Dilarang berhubungan atau

berkomunikasi dengan militer (aparat penjaga keamanan negara).

Bahkan, dia mengharamkan anaknya mencintai tentara. Ibu ringkih ini

menghadap Tuhan dengan satu pesan, bahwa Tari harus berdamai dengan

keadaan. Tak menaruh dendam pada pembunuh ayahnya.

Setelah ibunya tiada, Tari membulatkan tekad untuk kuliah. Bekerja

sambil kuliah pilihan yang tepat untuk menutupi biaya hidup. Dara ini pun

melakoni babak baru kehidupan, menjadi mahasiswi di perguruan tinggi

negeri. Beruntung Tari diterima bekerja pada lembaga swadaya masyarakat

yang mengadvokasi kasus-kasus kekerasan yang dialami masyarakat sipil.

Di sinilah Tari bertemu seorang militer (Taufan). Awalnya tak ada desiran

aneh di hatinya. Namun, lama-kelamaan cinta itu tumbuh. Percintaan tak

biasa. Karena berlangsung saat perang menyalak. Nyawa hilang dari raga

saban waktu. Cinta memang tak mengenal usia, waktu, dan lokasi kejadian.

Di daerah perang, cinta tumbuh di jiwa. Sayangnya, cinta ini tak kesampaian

karena Taufan harus segera meninggalkan medan perang. Kembali ke

satuannya di pulau seberang. Meski begitu, cinta kedua hamba Tuhan itu

terus melekat. Mereka kembali bertemu di saat Taufan sudah memiliki istri

dan seorang anak. Lalu, bagaimanakah nasib Tari?

Novel ini mengambil sisi lain konflik Aceh terjadi lebih dari 35 tahun.

Konflik sebenarnya antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah

Indonesia yang telah sepakat berdamai tahun 2005 lalu. Dalam novel ini

kata militer dalam arti sebenarnya disamarkan menjadi pasukan penjaga

keamanan negara. Tujuannya untuk menghindari sebutan nama lembaga

tertentu pada kisah fiksi. Novel ini berisi pesan moral, bahwa cinta bisa

tumbuh di mana saja. Bahwa perjuangan menamatkan kuliah saat perang

menyalak butuh perjuangan panjang. Meski, pada situasi tak menentu dan

nyawa tak berharga, perjuangan cinta dari mahasiswi miskin terus menyala.

Ya, nyala cinta dalam jiwa.

Kala Perang

Masriadi Sambo

13 PM

st

Cinta Kala Perang

188140279

ISBN: 978-602-02-3185-3

Cinta Kala Perang

Masriadi Sambo

? 2014, PT Elex Media Komputindo, Jakarta

Hak cipta dilindungi undang?undang

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Kompas - Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta 2014

Cinta Kala Perang

HIGH YIELD INVESTMENT PROGRAM

T R I K M E R AU P L A BA

RATUSAN RIBU DOLAR

DALAM BELASAN MENIT

Masriadi

Sambo

Reinecke Bayu

Editor: Rayendra L. Toruan

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Daftar Isi

Bab 1 Galau..............................................................................

Bab 2 Kehilangan...................................................................... 25

Bab 3 Tumpangan Hidup.......................................................... 35

Bab 4 Pemeriksaan................................................................... 45

Bab 5 Kota Migas...................................................................... 59

Bab 6 Kampus........................................................................... 69

Bab 7 Kerja Sosial..................................................................... 75

Bab 8 Militer............................................................................. 91

Bab 9 Amplop Kuning............................................................... 111

Bab 10 Bersaudara................................................................... 119

Bab 11 Gejolak Jiwa.................................................................. 123

Bab 12 Penyakitku.................................................................... 135

Bab 13 Kepergian..................................................................... 147

Bab 14 Goresan Hati................................................................. 153

Bab 15 Ibu Kota........................................................................ 167

Bab 16 Pulang........................................................................... 177

Profil Penulis............................................................................. 187

Galau

BAB 1

Cinta Kala Perang

Kicau burung membangunkanku. Suaranya agak berisik.

Membuatku terjaga. Sinar matahari pagi menerobos

masuk lewat celah-celah papan. Sinar itu seperti pisau tipis

menu?suk dinding kamar. Cahayanya membuat mata silau.

Kugerakkan tubuh yang terasa penat. Kupandang din?

ding putih, penuh jaring laba-laba. Kamar ini terasa begitu

sempit. Seakan tubuhku sangat lebar. Layaknya tubuh wanita

tambun. Ah tidak. Ini hanya perasaanku saja. Tubuhku masih

ramping dengan berat 47 kilogram.

Duh Tuhan, apa yang terjadi padaku? Dinding rumah

memperlihatkan wajahnya. Semalam juga, bayangnya kem?

bali menyapa. Menemaniku dalam mimpi. Di manakah dia?

Atau dia telah pergi untuk selamanya?

Ah.... Tidak! Aku tidak boleh berpikiran yang aneh-aneh.

Memikirkan hal buruk bagian dari dosa. Kata Emak, ber?

pikirlah positif agar tubuh sehat dan jauh dari segala penya?

kit.

Aku berharap, semua bisa mengalir. Hidup harus meng?

alir. Seperti air Sungai Alas yang mengalir jernih. Meliuk di

kaki gunung. Melewati hutan perawan. Memberikan sumber

air untuk kehidupan.

Aku membuang penat, bergegas menuju teras. Kutatap

sungai terpanjang di provinsi ini. Mengalir pelan persis di

depan rumah. Sesekali kicau burung Nuri menimpali. Beter??

bangan rendah hampir menyentuh air, lalu terbang ken?cang

mendongak ke angkasa. Burung itu bermain bebas, bersama

enam burung lainnya. Sesekali terbang mengikuti aliran

sungai ke hilir. Lalu berputar lagi kembali ke depan rumahku.

Seakan memamerkan segudang kebahagiaan. Mengejekku

yang murung di sudut teras rumah.

Cinta Kala Perang

Pagi ini, satu hal yang kuharap. Bayangmu terlihat di

aliran sungai itu. Melempar senyum pagi hari. Memberikan

semangat hari ini. Ah, seharusnya aku tak membayangkan

wajah itu. Dia belum jadi mahramku, belum halal untukku.

Duh Allah, mengapa pikiran ini begitu kalut?

Kutarik napas dalam-dalam. Agar dada terasa lebih

lega. Agar rindu itu tak menganggu. Menjadi beban di dada.

Menjadi duka menganga.

Matahari mulai beranjak, menggugurkan embun dari

pucuk daun-daun. Sudah berjam-jam kupandangi air sungai

ini. Tak ada senyummu di sana. Hanya ada ikan mas kecil,

memendarkan cahaya kuning keemasan. Desau angin juga

tak mengantarkan suara serakmu.

Lamat-lamat di kejauhan hanya terdengar suara dara

kampung, cekikikan sembari mencuci. Saling siram dan

berakhir buncah tawa. Mereka bahagia. Sebahagia sungai ini

yang menjadi sumber air satu-satunya bagi kami.

Ya, tempat kami mencuci dan mandi. Khusus laki-laki,

tempat pemandian di bagian atas sungai. Sedangkan kaum

hawa, di bagian bawah sungai. Jarak antartempat pe?mandian

itu sekitar sepuluh kilometer. Sehingga, tidak ter?lihat

aktivitas mandi antardua jenis anak cucu Adam itu.

Sungai itu juga sumber air minum. Air sumur keruh, bau

dan agak asin. Sehingga, orang kampung memilih mengon?

sumsi air sungai. Untuk pertanian, sungai ini juga menjadi

andalan utama. Petani mengalirkan air sungai dengan

bambu sebagai pipa utama. Dari bambu lalu dialirkan

ke sumur-sumur kecil di sekitar ladang, sebagai tempat

penampungan air. Sungai ini begitu berarti bagi kampung

kami.

Cinta Kala Perang

Kutekuk lagi wajah di sela-sela lutut. Teringat saat-saat

terakhir kita bertemu.

"Aku berat meninggalkanmu, namun ini tuntutan dinas.

Aku tidak ingin menjadi pembunuh, aku takut dosa," ujarmu

lirih.

Tanganmu gemetar. Setelah pendidikan militer, kamu

langsung ditugaskan sebagai anggota pos penjaga per?ba?

tasan antarprovinsi ini dengan provinsi tetangga. Sebaris

lurus warna merah dengan bingkai hitam melekat di sisi kiri

lengan baju. Menyandang pangkat Prada tak membuatmu

jumawa. Selama bertugas, kamu tak pernah memukul orang

lain. Tak pernah pula membentak kasar. Mengenakan atribut

militer pun kamu tak suka. Seragam militer hanya digunakan

saat bertugas. Tak perlu mengenakan kaos atau celana

loreng saat berbelanja ke pasar.

Seingatku, kamu hanya sekali memukul orang gila, yang

melemparkan botol minuman keras ke pos penjagaan. Sele?

bih?nya, kamu hanya diam. Membuat laporan harian pada

atasan. Enam bulan sekali, masuk markas, dan meng?ikuti

latihan tempur.

Aku tak bisa menahanmu pergi menunaikan tugas yang

diamanahkan negara. Militer hanya memiliki dua pilihan,

menembak atau ditembak. Di medan perang dua pilihan

itu terkadang bertentangan dengan nurani. Kupahami itu.

Namun, aku tak kuasa menahanmu. Jika tidak berangkat,

maka hukuman menunggu tubuh atletismu.
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah hukuman jenis apa yang akan diberikan koman?

danmu. Diskor tanpa gaji, ditahan kenaikan pangkat, dan

terakhir disiksa karena dinilai melanggar perintah komando.

Aku tak tega kamu dihukum.

Cinta Kala Perang

Kurelakan kamu pergi. Satu pesanku, jangan pernah

menyerah. Hidup terus mengalir. Tegar, tabah dan jalankan

tugas sebaik mungkin. Jika nuranimu berkata tidak, maka

berhentilah. Jika nuranimu berkata ya, lanjutkanlah. Itu akan

menjadi pilihan yang tepat. Aku yakin kamu bisa melewati

masa sulit itu, Romi.

Kurenungi kembali ingatanku terhadapmu. Seharusnya,

aku tak begitu merindukanmu. Kita belum menjadi pa?

sangan suami-istri, diikat tali suci pernikahan. Agamaku

mela?rang itu. Ah, maafkan aku ya Allah. Maafkan hambaMu yang alfa menjaga hati ini, sehingga, khilaf dan meno?

reh dosa.

Kampung ini tepat di pinggir Gunung Leuser. Gunung rupa?

wan yang menyajikan udara sejuk nan bersih. Ditabalkan

menjadi paru-paru dunia yang memproduksi udara untuk

seluruh manusia. Konon, puluhan juta dolar dikucurkan

untuk merawat hutan itu. Flora dan fauna menjadi tumpuan

wisa?tawan. Sayangnya, kini, gunung itu mulai tak asri lagi.

Perambahan hutan terjadi saban hari.

Aku dan warga kampung tak bisa berbuat banyak. Hanya

pasrah, menerima limpahan air bah yang datang setahun

sekali. Menghancurkan lahan pertanian kami, merenggut

korban jiwa. Banjir bandang menerjang, menyisakan jerit

pilu menyayat dari sudut kampung. Jika bandang tiba,

pemerintah baru berkata, hentikan penebangan hutan, dan

tangkap pelakunya. Sebulan usai banjir, pemerintah entah di

mana? Perambahan hutan terus merajalela.

Cinta Kala Perang

Banyak pihak khawatir akan nasib gunung itu. Jika

gunung itu gundul, diyakini polusi menusuk paru. Menebar

penyakit untuk kami dan manusia lainnya di bumi. Selama

ini, gunung itu mesin penetral polusi. Ah, manusia memang

tak pernah puas. Hutan ditebas demi untung tanpa batas.

Sedangkan kami, penduduk kampung, dari tahun ke

tahun hanya menerima imbas dari tangan-tangan ganas pe?

ne?rabas kayu yang semakin meluas.

Mereka menebang pohon, tanpa menanamnya kembali.

Sementara kami, sejak kecil diajarkan mencintai kekayaan

alam. Menebang hutan lalu menanamnya kembali.

Dari gubuk kami, Leuser terlihat begitu gagah dan indah.

Bentuknya seperti cawan telungkup. Berwarna hijau tua.

Gunung itu pula menjadi tatapan matamu saat merenungkan

nasibku dan Emak.

Gunung itu pula yang menemaniku saban siang, mem?

bersihkan sayuran untuk lauk kami. Meresapi semilir angin,

mengibas-ngibas rambut lurus sampai bahu.

"Tari... kenapa melamun? Tidak bagus anak gadis me?????

la?mun. Nanti tidak dapat jodoh," ujar Emak sambil me?

nurunkan kayu bakar dari punggungnya di samping kiri

rumah.

"Emak..., peugeut lon teugeujot" Emak, membuat

saya terkejut, jawabku sambil turun dari tangga gubuk.

Membantu Emak menurunkan kayu bakar tanpa menjawab

Emak tentang lamunanku. Kubantu Emak mengikat kayu

bakar dengan tali gelungan kecil.

Dari kayu bakar ini kami menggantungkan harapan untuk

bertahan hidup. Emak menjualnya ke pusat kota. Saat pagi

tiba, Emak bergegas menuju hutan, mencari kayu sebesar

Cinta Kala Perang

lengan orang dewasa. Usai azan Zuhur, berangkat menuju

pusat kota. Mendorong gerobak penuh kayu bakar. Dan,

kembali ke rumah jika azan Magrib mulai terdengar dari

meunasah (surau) di pinggir sawah kampung kami.

"Biar Emak saja. Kamu masaklah di dapur. Ini ada kang?

kung, Emak ambil di rawa-rawa dekat meunasah." Emak

mengambil dua ikat kangkung dari plastik kecil yang diikat di

antara kayu bakar dan menyuruhku memasak.

Sejak kecil, Emak sudah mengajarkan cara memasak.

Kata Emak, aku harus menjadi orang serba bisa.

"Kita ini orang miskin, Nak. Jadi, kamu harus serba bisa.

Untuk modal jika sewaktu-waktu Emak tiada."

Pesan itu selalu kuingat. Singkat, namun memiliki makna

yang dalam. Aku sadar, usia Emak sudah renta. Aku ingin,

sebe?lum Emak memejamkan mata untuk selamanya, Allah

memberi kesempatan buatku untuk membahagiakannya.

Dia wanita yang tegar dengan segala keterbatasan yang kami

miliki.

Aku berjanji, akan membahagiakanmu Emak, janjiku

dalam hati.

Kuambil kuali, menghidupkan api di tungku yang mulai

menjilat-jilat kuali reot. Kuali itu dibeli Emak 20 tahun silam.

Kutatapi api itu, panasnya kubawa ke jiwa. Sebagai bara

penyemangat, bahwa aku wajib bisa membahagiakan Emak?

ku. Satu-satunya orang yang kupunya.

Ayah sudah tiada sejak aku lahir. Bahkan, aku tak me?

ngenal wajahnya. Aku tak memiliki saudara sekandung. Aku

sebatang kara. Anak tunggal. Kutenggelam dalam lamunan

kehidupan. Menatapi kuali hitam.

Tak sadar Emak telah berdiri di belakangku.

Cinta Kala Perang

"Ada apa Nak? Kamu termenung. Dari tadi Emak berdiri

di sini. Tapi, Tari tidak sadar."

"Ah... Mak. Tari terkejut lagi. Tidak ada apa-apa. Hanya

sedikit pusing," jawabku sekenanya.

"Jangan bohong. Emak bisa membaca pikiranmu. Anak

Emak ini pasti sedang memikirkan sesuatu. Ceritalah."

Emak mendekatiku. Duduk di atas bangku kayu kecil di

sampingku. Tanganku terus memasukkan kayu ke dalam

tungku. Mengatur apinya agar sayur masak secara merata.

Kutatap api di atas tungku. Aku bingung, apakah harus

bercerita pada Emak? Atau apakah aku harus menyimpan

apa yang kupikirkan? Hening, tak ada suara. Hanya

terdengar suara air didihan rebusan sayur kangkung dari

kuali.

Setelah menarik napas dalam-dalam, kuberanikan diri

untuk bercerita. Perlahan kalimat demi kalimat mengalir

dari mulutku. Kuceritakan tentang kegalauanku selama ini.

Telah dua tahun kupendam rasa ini. Dan selama itu pula

dia terus datang. Menghampiriku dengan senyumnya yang

khas. Lesung pipit di kiri-kanan pipinya, membuat senyuman

itu semakin indah. Memancarkan rasa nyaman dan damai.

Aku Takut kehilangan Romi. Lelaki yang selama ini menjadi

tambatan hati. Pria kelahiran Solo itu yang telah merebut

hatiku. Hati yang selama ini beku dan tidak ingin mengenal

lelaki.

Selama ini, aku selalu merahasiakan hubunganku

dengan Romi. Aku tidak ingin Emak tahu. Pasti Emak tak

menyu?kainya. Emak melarangku untuk pacaran. Ditambah

lagi, Romi adalah seorang Prada militer. Amanah Emak,

pacaran itu hanya bisa dilakukan usai menikah. Tak ada

Cinta Kala Perang

kamus pacaran dalam keluarga kami. Oleh karena, agama

mengajarkan bahwa berhubungan dengan lelaki bukan

mahram adalah dosa. Setelah menikah, menjadi pasangan

sah, barulah menikmati pacaran nan indah.

Selain itu, Emak tidak pernah menyukai orang yang pe??

kerjaannya berhubungan dengan kekerasan. Militer di?ang???

gap salah satu pekerjaan yang dekat dengan tindak keke?

rasan. Bagi Emak, melukai sesama dengan alasan apa pun

tidak dibenarkan.

Bahkan Emak telah mengingatkanku, agar tidak men?

cintai lelaki yang berseragam militer. Apa pun kesatuan dan

pangkatnya.

Degup jantungku semakin cepat. Aku takut Emak marah

besar. Meski begitu, perlahan aku terus bercerita tentang

Romi. Kulihat, butiran jernih mengalir perlahan dari kelopak

mata yang mulai keriput itu.

Emak mengusap dua butir jernih di pipinya. Butiran itu

jatuh perlahan, mengalir tiada henti. Menangis tanpa suara.

Napasnya terlihat cepat menahan emosi.

"Nak, jika itu keputusan terbaik menurutmu. Emak,

hanya bisa berdoa agar dia dapat dipercaya dan tidak menge?

cewakanmu. Emak juga berdoa agar dia segera menikahimu,

agar hubungan kalian sah dan tak melahirkan dosa," sebut

Emak mengusap air mata dengan ujung sarung batiknya.

Aku terdiam. Merasa bersalah, telah mengecewakan

Emak. Menyakiti hatinya, dan melanggar nasihatnya.

"Mak.... Peumeuah lon Mak. Neupeumaah lon, maafkan

aku. Tidak ada niat sedikit pun menyakiti dan melanggar

nasihat Emak," aku memberanikan diri bersuara. Tapi tetap

menunduk. Tak berani menatap wajah Emak.

Cinta Kala Perang

"Sudahlah. Emak sudah memaafkanmu. Siapkan hi?

dangan makan siang," kata Emak sembari bangkit menuju

ruang tengah gubuk. Bersila di tikar pandan berwarna agak

keku??ningan.

Saat makan, Emak tidak banyak bicara. Matanya nanar

menatap sayur dan nasi putih.

Makan siang itu terasa hambar. Penuh diam. Tiba-tiba,

suara angin keras menutup jendela di sebelah Emak, menge?

jutkan kami. Emak mengelus dadanya seakan mena?han

nyeri. Tangannya gemetar, wajahnya pucat.

"Astagfirullah."

" Emak, sakit?"

"Tidak."

Setelah menenangkan diri dan mengatur napas, Emak

kembali diam. Rona sedih menggelayut di wajah keriput

itu. Tanpa berkata apa-apa, setelah menghabiskan suapan

terakhir, Emak mencuci tangan, bergegas ke sumur. Mem?

basuh wajah dengan air wudu. Menunaikan shalat Zuhur.

"Ya Allah. Ampunilah putri hamba. Ampunilah hamba yang

tak dapat mendidiknya dengan baik. Hamba khawatir, ya

Allah. Lindungilah dia. Putri hamba satu-satunya," ucapku

sambil bersimpuh di atas tikar pandan yang sobek dan kusam

yang kugunakan sebagai sajadah.

Lama aku bersujud. Memohon kekuatan pada yang

kuasa agar diberi waktu untuk melihat Cut Tari, putri semata
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wayangku bahagia. Simpuh sujud itu sampai membuatku

tertidur.

Cinta Kala Perang

Dalam tidur wajah suamiku, Ismail, menghampiri. Men?

coba memberi kekuatan. Seakan pria yang kukenal puluhan

tahun lalu itu datang dan memelukku dari belakang. Mem?

berikan semangat.

"Istriku... Umi tidak bersalah. Sabarlah, Allah akan men?

jaga putri kita," suara Ismail lembut di telingaku. Suami?ku

memang tidak pernah memanggil namaku, ia selalu me?

nyapaku dengan sebutan "Umi".

Aku mengucek-ngucek mata. Kutatap seluruh sudut

ruangan kamar itu. Tidak terlihat sosok lelaki yang kurin?du?

kan itu. Hanya kelambu tua di tempat tertidur yang terpa?sang.

Seprai warna merah jambu dan dua bantal bersusun rapi.

Selebihnya, hanya angin yang menyapu wajahku dengan

lembut. Kembali, aku terbayang masa-masa indah yang

kulalui bersama suamiku. Saat itu, hidup kami berkecukupan.

Ismail, pria yang taat beribadah dan selalu berpenampilan

sederhana.

Meskipun, warga baru di salah satu kampung di pesisir

pantai itu, Ismail sangat disukai warga. Setiap Magrib pria

paruh itu mengumandangkan azan di meunasah Desa

Meuranti.

Aktivitas itu dilakukan selepas pulang berdagang di pasar

kecamatan. Tutur bahasa pria yang selalu mengenakan peci

bundar warna putih?seperti peci orang yang telah berhaji?

ini sangat lembut. Santun. Selalu membungkukkan badan

jika berbicara berhadapan dengan orang lain.

Kesantunan itu pula yang menjadi kunci pemikat pe?

lang???gan. Ismail mengecat warna kios seluas 3 x 5 meter itu

dengan warna orange. Berbeda dengan kios lainnya yang

sederet dengan milik Ismail. Kios lainnya dicat warna cokelat.

Cinta Kala Perang

Dulu, isi kios itu hanya dua karung beras, 20 liter minyak

goreng, telur 500 butir dan sekarung gula pasir. Seiring

dagangan yang laris manis, barang di kios itu pun semakin

leng?kap. Bahkan gula pasir, beras, dan barang-barang ber?

ukuran besar lainnya diatur sampai ke teras kios.

Selain itu, jurus memikat pembeli lainnya yaitu menjual

barang dengan harga murah. Berbeda 300?400 rupiah

dengan kios lainnya. Perbedaan harga ini pula yang membuat

pem??beli menetapkan hati untuk berbelanja pada kios pria

tam?bun dengan tinggi hanya 155 centimeter itu.

"Untung sedikit sudah cukup, Umi. Kita, harus membatu

masyarakat dengan cara kita sendiri," jawabnya saat aku

menanyakan mengapa ia menjual barang lebih murah dari?

pada kios lainnya.

"Nanti orang lain marah, Abi."

"Percayalah pada Allah. Jika kita berada di jalan-Nya,

Allah pasti melindungi kita."

"Tapi ...,"

Kalimat itu terputus. Aku tak menyelesaikan kalimat.

Mataku mengarah ke depan, tak berkedip sekalipun. Terlihat

serombongan pria berpakaian hitam berhenti di depan kios

kami. Mereka menggunakan sepeda motor RX King. Wajahnya

terlihat kumal, berambut gondrong sebahu. Sepatu kulit

penuh lumpur dan di pinggang mereka menyem?bul sebuah

benda aneh, entah apa. Jumlahnya sekitar sembilan orang,

menaiki empat sepeda motor.

Sambil membenarkan baju daster aku menemani suami?

ku menyambut kedatangan orang yang tak pernah terlihat di

pasar itu.

Cinta Kala Perang

"Abi, jualan dulu ya," kata suamiku sambil mengelus

perutku, "Umi di dalam saja."

Saat itu aku tengah mengandung anak pertama kami.

Hasil buah cinta yang kami bina selama tiga tahun. Itulah Cut

Tari.

"Piyoh (mampir). Apa yang bisa saya berikan?" Ismail

menyambut pembelinya dengan hormat dan menggunakan

bahasa Aceh fasih.

"Tidak usah banyak tanya, sekarang berikan kami sem?

bako lengkap dalam jumlah yang banyak," hardik seorang

pria berbadan tegap sambil melangkah mendekati Ismail.

"Baik, sabarlah. Sebentar saya ambilkan," Ismail ter?

senyum pada rombongan lelaki yang terlihat kejam dan me?

na??kutkan.

Aku memperhatikan gerak-gerik serombongan pria ber?

badan gempal itu dari balik rak rokok. Kutatap mereka satu

per satu. Lalu, aku bergegas keluar. Hari telah siang, aku

harus pulang ke rumah untuk memasak.

Setelah menyalami suamiku, aku bergegas menuju ke

rumah kami yang terletak tak jauh dari kota kecamatan. "Abi,

Umi pulang dulu ya."

"Hati-hati, Mi."

Rombongan lelaki berpakaian hitam itu tertawa men?

dengar pembicaraan mereka berdua. Oleh karena merasa

ditertawakan, aku memberanikan diri menanyakan apa yang

mereka tertawakan.

"Wah... romantis sekali. Kau bukan penduduk sini? Kau

tidak boleh tinggal di sini. Ini bukan negerimu, ini negeri

kami," kata seorang dari sembilan orang pria berbadan gem?

pal itu sambil terkekeh.

Cinta Kala Perang

"Mengapa Bapak-bapak tertawa? Ada yang salah pada

saya atau suami saya?" tanyaku. Kutatap tajam pria berkumis

yang tadi berkomentar. Lelaki yang kutatap hanya terkekeh

sambil geleng-geleng kepala. Entah apa maksudnya tertawa

sebegitu serius. Seakan sedang melihat atraksi badut yang

super lucu sehingga tertawa terpingkal-pingkal.

Mendengar aku berdebat dengan rombongan ber?pa??

kaian hitam itu, suamiku angkat bicara dan melerai per?teng?

karan. Setelah membawa sembako tanpa membayar sepeser

pun, mereka pergi begitu saja. Menghidupkan sepeda motor,

sambil pergi dan tertawa sekeras-kerasnya.

"Ingat, kami akan kembali. Dan, istrimu tidak boleh ting?

gal di sini! Hahaha," ucap lelaki bertato sambil mena?rik baju

kaos lengan panjang warna hitam ke atas. Ia memper?lihatkan

pistol revolver yang diselipkan di pinggangnya.

Aku ketakutan. Badanku menggigil. Seumur hidup, baru

kali itu aku melihat senjata api. Selama ini, senjata seperti

itu hanya kulihat di dalam film-film laga yang ditayangkan

televisi.

"Tenanglah Umi, mereka memang seperti itu," Ismail

berusaha menenangkanku, "sekarang pulanglah."

Senja merah di ujung petang. Sinarnya pucat, lalu perlahan

meredup menelan matahari yang mengakhiri tugas menyi?

nari bumi. Menjemput malam sang raja hitam.

Di halaman rumah petak berukuran dua kamar seder?

hana itu, aku menunggu suamiku sembari menyiram mawar

putih dan merah yang tumbuh subur. Jam menunjukkan

Cinta Kala Perang

pukul 06.30 WIB. Suara orang mengaji mulai terdengar dari

surau. Tanganku mengambil air dengan gayung dari ember.

Lalu mengguyur mawar agar segar setelah seharian keletihan

dibakar matahari.

Sejurus kemudian suamiku datang dengan sepeda motor

bebek. Berhenti tepat di sampingku. Senyumnya merekah,

melihatku telah mandi dan berdandan menunggunya pulang.

Kami berdua masuk ke rumah. Suamiku menyandarkan

tubuhnya pada kursi rotan di ruang tamu, sementara aku

langsung ke dapur. Suara denting gelas beradu dengan

sendok terdengar ke ruang tamu. Aku langsung menyiapkan

teh hangat kesukaan suamiku.

Sembari menunggu teh, Ismail mengambil koran yang

mengabarkan konflik yang semakin menjadi di negeri ini.

Petrus (Penembak Misterius) Renggut Nyawa Tauke Man.

Bunyi berita utama koran hari itu.

Matanya segera tertancap pada baris demi baris berita

itu. Koran itu menceritakan bahwa salah seorang pengusaha

di kecamatan tetangga, Tauke Man?nama lengkapnya

Kamaruzzaman?meninggal karena ditembak oleh penem?

bak misterius. Tiga peluru menembus dada Tauke Man. Dia

bahkan ditembak di depan istri dan anaknya. Persis di teras

rumah menjelang subuh kemarin.

"Eheem! Abi ini tehnya," aku berdehem memecah

keseriusan suamiku.

Suami melipat koran, lalu menceritakan berita koran

itu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dia mengatakan,

tak habis pikir. Mengapa semua orang ingin perang terjadi.

Nyawa manusia seakan seperti nyawa hewan. Tak berarti

sama sekali. Layaknya nyawa anak kodok, yang ditangkap

Cinta Kala Perang

anak kecil, lalu ditusuk ke kail untuk dijadikan umpan saat

memancing.

"Manusia ini sibuk dengan perang. Bukan damai saja,"

katanya sambil meneguk teh.

Aku merapatkan tubuh di sisinya. Menyampirkan ujung

jilbab dari dada ke belakang leher. Memperhatikan koran di

tangannya.

Hening. Kami saling diam dan mengembara dalam pikiran

masing-masing.

"Abi, yang tadi siang itu siapa?" suaraku tiba-tiba me?

mecah kebisuan.

"Mereka, katanya memperjuangkan nasib kita."

" Sangat kejam, kasar sekali."

"Entahlah Mi, mereka memang begitu," suamiku bangkit

dari kursi, bergegas ke kamar mandi. Meninggalkanku sen?

dirian.

Sejak siang tadi, aku merasa gelisah. Hatiku was-was,

menduga akan terjadi sesuatu terhadapku atau suamiku.

"Bi, perasaan Umi tidak enak sejak siang tadi. Umi takut,"

ujarku lirih, berusaha mengejar langkah suamiku ke kamar

mandi. Ia tak menjawab, bergegas masuk ke kamar mandi.

Aku masuk ke kamar dan menyiapkan pakaian suamiku. Baju

koko, kain sarung kotak-kotak hitam dengan garis meman?

jang merah, serta peci haji.

Semilir angin senja meniup bunga mawar di pekarangan

rumah mereka. Di ufuk barat langit semakin memerah.

Menurut cerita tetua kampung, bila senja merah tidak wajar,
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka akan terjadi musibah besar atau terjadi pertumpahan

darah yang berkepanjangan. Aku merinding mengingat

ucapan keramat para tetua kampung itu.

Cinta Kala Perang

"Umi tenang saja. Serahkan semua pada yang Di Atas,"

ucap suamiku menenangkan begitu ia keluar dari kamar

mandi.

Di luar, terdengar suara mesin sepeda motor berhenti.

Tidak hanya satu. Aku segera menengok ke depan dan

menjadi tegang.

"Abi, mereka...," tanganku menunjuk ke pekarangan

rumah. Tampak, rombongan lelaki berpakain hitam itu

berhenti dan memarkirkan sepeda motor agak terburu-buru.

Tanpa mengucapkan salam, mereka masuk ke rumah.

Suamiku tergagap melihat tingkah rombongan berpakaian

hitam itu. Dia buru-buru mengenakan sarung. Langsung

keluar, menemui mereka.

"Ada apa ini? Tanya suamiku dengan suara lantang.

"Pura-pura tanya. Sekarang serahkan uang seratus juta,"

jawab seorang yang bertindak sebagai pimpinan rombongan

itu. Pria dengan kumis tebal melintang itu maju ke depan.

Teman-temannya siaga di depan teras. Mata mereka awas ke

kiri kanan rumah.

"Masya Allah. Tenang, kita bicarakan baik-baik."

"Cepat atau..." Lelaki itu berang sambil mengeluarkan

revolver dari pinggangnya.

Melihat si kumis melintang mengeluarkan pistol, pria

berpakaian hitam lainnya, serentak mengeluarkan senjata

laras panjang. Ada yang memegang jenis AK-45 buatan Rusia,

ada pula yang memegang senjata mirip senjata mainan

anak-anak. Belakangan, aku tahu, bahwa senjata itu adalah

senjata rakitan. Bukan pabrikan. Dirakit dari besi bekas dan

hanya bisa ditembakkan sekali untuk satu peluru. Tidak bisa

berentet seperti senjata otomatis modern.

Cinta Kala Perang

"Abi...," aku berdiri di belakang suamiku.

"Saya tidak memiliki uang sebanyak itu. Saya hanya

punya, hanya pu... punya sepuluh juta," Suamiku gugup.

Mencoba menenangkan diri dan menahan emosi.

"Kau serahkan atau tidak?" Si pria berkumis tebal dan

bertato gambar harimau di lengan kanannya mulai meng?

hardik. Tangannya menarik baju suamiku.

"Saya, tidak punya uang sebesar itu," jawab suamiku

terlihat tenang sambil membenarkan kain sarungnya yang

melorot ke pinggang.

Lelaki bertato itu mengedipkan mata pada anak buahnya.

Mereka menarik suamiku keluar rumah. Tangan gempal itu

menampar wajah Ismail. Sebagian dari mereka menendang

perut sampai suamiku tersungkur ke tanah, meringkuk

menahan sakit. Namun, mereka tak peduli. Bertubi-tubi

pukulan dan tendangan diarahkan ke tubuh tambun Ismail.

Aku menjerit minta tolong pada semua orang. Tetapi

suaraku, hanya didengar oleh angin. Tidak ada satu pun

masya?rakat berani keluar rumah untuk menolong kami.

Ismail, berusaha berontak dari cengkeraman dua lelaki ber?

pa?kaian hitam itu.

Sia-sia. Tenaganya tidak cukup mengalahkan mereka.

Dia, akhirnya hanya pasrah pada Allah, apa yang akan terjadi

padanya dan istrinya.

"Jangan sakiti suami saya. Tolong, jangan sakiti." Aku

menangis memelas di kaki pria berpakaian hitam yang me?

narik suamiku.

"Sana ... kau!"

Tubuhku terpental ditendang pria itu. Aku tak bisa

bergerak lagi. Perutku sakit, kepalaku pusing. Melihat aku

Cinta Kala Perang

diperlakukan kasar, Ismail berontak sekuat tenaga. Namun,

sia-sia. Tendangan dan tamparan kembali mendarat di

sekujur tubuhnya. Darah segar mengalir dari bibir suamiku

itu.

"Sekolahkan saja," ucap pria itu pada anak buahnya.

Ismail melakukan perlawanan. Peci dan kain sarungnya

sudah terlepas dari tubuhnya. Kini dia hanya mengenakan

celana pendek dan baju koko saja. Dia berusaha melawan

sekuat tenaga. Ismail tak paham apa arti dari kalimat

"sekolahkan saja". Dia terus berusaha melawan. Namun

percuma.

Tak lama kemudian, dooor! Peluru keluar dari salah satu

senjata berandalan itu.

Sebutir peluru menembus dada Ismail. Darah segar

mengalir deras, tubuhnya limbung, tak bergerak. Aku me?

nangis sejadinya sambil memeluk tubuh Ismail. Tangan

kanan?ku menahan dada kanan Ismail yang terus menge?luar?

kan darah segar. Peluru itu menyobek dada hingga punggung

bagian belakang.

"Umi, sabarlah. Jangan dendam. Dendam itu dosa.

Pasrah??kan pada... Allah."

Kalimat itu, kalimat terakhir yang keluar dari mulut Ismail,

lelaki yang sangat kucintai. Ismail mengembuskan napas

terakhir dalam dekapanku.

Setelah suamiku tiada, aku mencoba tegar. Bangkit dari

kepiluan yang mendalam. Memaafkan pelaku yang mem?

bunuh suamiku. Memaafkan hal yang tak termaafkan

Cinta Kala Perang

memang sulit. Namun, aku belajar memaafkan, karena

dendam adalah dosa. Begitu pesan suamiku.

Selagi napas masih dalam raga, hidup harus terus ber?

lanjut. Kini, setelah 30 hari suamiku meninggal, aku berusaha

mengelola kios. Saban hari berjualan.

Namun, belum kering air matanya, atas kehilangan

Ismail, cobaan datang lagi. Kios, tempatnya mencari nafkah

sehari-hari, hangus dibakar oleh orang tak dikenal.

Satu malam, musibah itu datang. Api membubung tinggi.

Aku berlari meninggalkan rumah. Mengikat perutku yang

kian membesar dengan kain panjang. Lalu berusaha menye?

lamatkan barang-barang di kios, dibantu oleh pedagang

lainnya.

Saat aku dan beberapa warga mencoba menyelamatkan

barang-barang dari dalam kios. Dari utara, terlihat api mem?

bubung ke langit. Warna merah menyala liar.

"Nani, rumahmu terbakar," ujar warga sambil berlari ke

arahku.

Luluh seluruh persendianku. Kaku, seakan tak bisa di?

gerak?kan. Mulutku ternganga. Warga memapahku menuju

rumah salah satu warga. Sebagian warga menyelamatkan

barang dalam kios. Sebagian lagi membantu memadamkan

api di rumahku.

Ludes sudah. Rumah itu rata dengan tanah. Hanya 30

menit saja si jago merah melahap seluruh harta bendaku.

Menghanguskan seluruh rangkaian kenanganku bersama

Ismail di rumah itu.

"Ya Allah. Berilah hamba kekuatan untuk menjalani

cobaan?mu," ucapku sambil menghela napas panjang.

Cinta Kala Perang

Perlahan air mataku menetes membasahi bumi. Aku tak

bisa berjalan lagi. Perutku terasa sakit. Bayi dikandunganku

bergerak-gerak. Tak tahan guncangan akibat aktivitasku

memadamkan api dan menyelamatkan barang.

Emak.... Emak?"

"Ada apa, Nak?" suaraku terdengar serak

"Emak menangis? Maafkan aku, Mak."

Aku memperhatikan wajah yang berlinang air mata itu.

Wajah yang selama belasan tahun setia menamani harihariku.

"Tidak apa-apa." Aku terjaga dari tidur. Butiran jernih

memenuhi kelopak mataku. Berlinang, namun tak menetes

di pipi. Mengapung di antara pupil dan kelopak mata.

Aku rupanya tertidur usai shalat Zuhur tadi. Bermimpi

bertemu suami, dan kenangan masa lalu terputar dalam

mimpi selama sejam itu.

Aku turun dari rumah panggung. Bergegas menyiapkan

kayu bakar daganganku. Tangan tuaku menekan ban gerobak

tua. Memastikan ban itu terisi angin yang cukup untuk

mena?han beban berat, puluhan ikat kayu bakar. Gerobak itu

menjadi gerobak kehidupan bagiku sekeluarga.

"Emak berangkat, hati-hatilah di rumah."

Aku mengikat tali gerobak di pinggang. Puluhan ikat kayu

bakar tersusun rapi di atas gerobak. Aku, mendorong ge?

robak itu sampai melewati bukit kecil di depan gubuk kami.

Tari menatap emaknya, sampai hilang di perempatan

jalan. Tubuh itu telah keropos. Namun, hidup harus terus

Cinta Kala Perang

berjalan, harus bertahan dan menjalaninya dengan lapang

dada.

Hari terus bergulir. Aku risau melihat perubahan sikap Emak.

Sering murung. Wajahnya tampak pucat, matanya datar, tak

bersemangat. Seperti menanggung kesedihan yang dalam.

Apakah Emak sakit? Ya... Allah, lindungilah Emak. Aku

belum sempat memberikan yang terbaik untuknya. Berilah

dia kekuatan, dan ampunilah dosa-dosaku padanya, ujarku

dalam hati.

Aku membereskan berkas ijazahku. Kemarin, aku baru

lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan akuntansi.

Tamat dengan hasil yang sangat memuaskan. Berhasil lulus,

dengan nilai di atas ketentuan kelulusan dari pemerintah

menjadi berkah tersendiri bagiku.

Kuperhatikan ijazah itu. Nilai yang bagus tercetak jelas di

atas kertas putih. Angka delapan tercetak jelas pada trans?

krip nilai ijazah.

Emak, aku akan kuliah. Demi nama baik kita, dan demi

kedamaian negeri yang telah merebut senyumanmu, sebut?

ku dalam hati.

Selembar undangan dari salah satu universitas terke?

muka di provinsi ini terselip di antara lipatan ijazah. Wali

kelasku pernah berpesan agar aku terus maju dan melanjut?

kan kuliah.

"Kamu harus kuliah, buktikan kamu mampu. Buktikan

pro?vinsi ini akan damai. Itu hanya dapat kamu tempuh

dengan ilmu dan kemampuan berpikir, memberikan solusi

Cinta Kala Perang

untuk mengakhiri konflik di daerah ini, ya di provinsi ini."

pesan guruku kemarin, saat pembagian ijazah.
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tekadku bulat untuk melanjutkan kuliah ke salah satu

universitas di provinsi ini. Meski aku tahu, daerah di utara

provinsi ini memang tidak kondusif, aku tetap akan kuliah.

Kudengar kabar, di utara provinsi ini senjata menyalak saban

hari.

Gerilyawan kembali beraksi. Menuntut perubahan

drastis. Menganggap negeri ini tak adil, dan mengeruk ke?

kayaan alam provinsi ini. Negara tak pernah memikirkan

kemajuan provinsi ini. Masyarakat sakit sulit berobat, buta

aksara ratusan ribu jiwa, dan kemiskinan di seluruh pelosok

desa. Gerilyawan mulai menabuh genderang perang.

Sedang?kan satuan pengamanan negara membela keutuhan

negara hidup dan mati. Itu pula yang dilakoni Romi saat ini.

Emak mendukung niatku kuliah. Emak berpesan, ilmu itu

mahal. Harus tahan menderita untuk mendapatkan ilmu.

Senja merah mulai turun, menggelantung di balik bukit.

Aku, menyiapkan makan malam untuk Emak. Ayam dan

bebek kami juga telah dimasukkan ke kandang. Kini, aku

menikmati senja merah di atas sana. Senja yang selalu

menemani keindahan gubuk kami. Keindahan Leuser dan

Sungai Alas yang mengalir sepanjang tahun.

BAB 2

Kehilangan

Cinta Kala Perang

uaca cerah, tak ada mendung menggantung se?

per?ti kemarin. Di langit burung beterbangan me?

nuju sarang. Saling berkejaran satu sama lain. Sesekali

membentuk formasi seperti huruf V. Lain kali membentuk

formasi seperti huruf M.

Pusat kota dipenuhi lalu lalang kendaraan. Suara bising

kendaraan membuat suasana kota semakin terlihat ramai.

Para remaja berjalan-jalan sore keliling kota. Memutar jalan

demi jalan, bergerombolan. Tertawa tanpa beban.

Sementara itu, di sudut pasar, aku duduk termangu.

Wajahku pucat. Mataku sendu, butiran jernih menggantung

di selaput mata tuaku. Para pedagang mulai merapikan

dagangannya. Sebagian lagi sibuk menutup toko dan kios.

Bergegas pulang ke rumah. Melepas penat setelah seharian

berkutat dengan aneka macam dagangan.

Pasar mulai sepi. Tak terdengar lagi teriakan para kuli

bongkar-muat barang. Tak ada pula pembeli lalu lalang. Pasar

seperti kuburan. Sunyi. Hanya tumpukan sampah di berbagai

sudut mengebul bau busuk.

Aku bangkit dari duduk, membereskan gerobak kayu.

Ada lima ikat kayu bakar yang tak terjual hari itu. Tanganku

cekatan menumpuk kayu di sudut lapak jualan. Menutup

tumpukan kayu dengan terpal hijau, agar tak basah terkena

air hujan. Lapak itu di samping lapak pedagang buah kelapa.

Setiap kali kayu tak laku, aku selalu menumpuknya. Dan,

membawa gerobak kosong pulang ke rumah.

"Nani, kamu sakit? Sudah minum obat?" Mak Benah,

salah seorang pedagang buah kelapa menegurku.

Wanita penuh uban putih itu yang mengajarkanku ber?

jualan kayu bakar. Mak Benah pula yang membantuku untuk

Cinta Kala Perang

mendapatkan lapak di pasar, tanpa harus membayar iuran

tetap 5.000 rupiah per hari.

"Tidak Mak, saya hanya sedikit pusing," ujarku. Mataku

menatap jalan aspal, sekitar 30 kilometer yang harus kulalui,

menuju gubuk di kaki gunung.

"Baiklah. Kamu yakin?"

"Yakin Mak. Saya hanya sedikit pusing, mungkin karena

matahari terlalu panas hari ini."

Aku meyakinkan Mak Benah yang khawatir akan kese?

hatanku sore itu. Kami pun berpisah di jalan simpang tiga.

Mak Benah menuju rumahnya ke arah timur kota, sedangkan

aku ke arah utara.

Aku menyeret kaki perlahan, ditemani semilir angin sore,

deru kendaraan bermotor dan kicau burung.

Suara ban gerobak menyapu aspal menemani perjalanan.

Di sisi jalan, padi petani tampak menguning. Liukan padi

diterpa angin menjadi hiburan tersendiri. Seakan tubuh

penari yang meliuk eksotis, lembut dan penuh makna.

Tarian alam itu mampu mengurangi rasa pusingku.

Memberiku semangat, agar sampai ke gubuk tepat waktu.

Semangat memberikan kehidupan terbaik pada putri semata

wayangku.

Tak terasa, sekitar dua puluh kilometer sudah kulewati.

Di kanan jalan, tertulis KM 20. Sekitar 10 kilometer lagi me?

nuju gubuk.

Kakiku terasa pegal. Bukit-bukit kecil telah kulewati.

Keringat dingin membasahi tubuhku. Napasku tak ber?

aturan. Rasanya aku tak sanggup lagi berjalan. Napasku

berlomba dengan peluh yang mengucur deras membasahi

pakaian.

Cinta Kala Perang

Aku berhenti di bawah pohon rambutan di pinggir

jalan, tepat di atas salah satu bukit yang kulalui. Mataku

ter?pejam perlahan, bibirku lamat-lamat mengucapkan

sesuatu. Kepalaku terasa berat, tubuhku dingin. Sulit untuk

digerakkan. Terasa janji dengan Tuhan akan tiba.

"Ya Allah, hamba titip Tari. Hamba mohon am?

punan. Asyhadu alla ilaaha ilallah, Waasyhaduanna

Muhammadara?sulullah".

Tubuhku bergeming. Mataku tertutup rapat. Dingin

merayap ke seluruh organ tubuh. Bibirku seakan mengulas

senyum. Tidak ada seorang manusia pun melihat tubuh

ringkihku saat berpisah dengan nyawa. Hanya gerobak

menjadi saksi, kepergianku menghadap Ilahi.

Waktuku telah berakhir, tak bisa lagi melewati bukit-bukit

kecil itu saban hari. Meraup rezeki dari penjualan kayu bakar

di pusat kota.

Azan Magrib terdengar mendayu, memerintahkan manusia

menghentikan aktivitas. Bersiap memenuhi panggilan sang

Khalik untuk menjalankan perintah-Nya.

Kupandangi ujung jalan. Berharap sosok tubuh Emak

muncul. Rembang petang telah pulang ke sarang. Namun,

Emak tak kunjung datang.

Tidak biasanya Emak pulang selarut ini. Apakah ban

gerobak Emak pecah lagi? Atau Emak kehujanan hingga

tidak bisa melanjutkan perjalanan? Segudang pertanyaan

berputar di otakku. Aku khawatir, apa yang terjadi pada

Emak? Duh ya Allah, lindungilah Emakku. Jagalah dia.

Cinta Kala Perang

Biasanya, meski ban pecah, Emak selalu pulang ke

rumah. Tidak pernah menginap di rumah orang lain. Bahkan,

suatu hari pernah Emak kehujanan. Dia tetap menerabas

hujan, dan sampai ke rumah tepat waktu.

Aku tidak bisa diam di rumah. Aku harus menyusul Emak

ke pasar. Memastikan kondisinya baik-baik saja.

Hatiku semakin gundah, jantungku berdetak cepat. Kabut

malam mulai turun. Sang raja hitam membekap bumi. Satu

dua lampu teplok terlihat dari rumah-rumah orang kampung.

Bagai kunang-kunang terbang mengitari malam.

Kampung kami belum teraliri aliran listrik. Penduduk

hanya menggunakan lampu teplok sebagai penerangan

rumah. Bagi orang yang berduit, menggunakan lampu

petromak untuk penerangan rumah. Hanya satu atau

dua orang kampung saja, yang menggunakan petromak.

Kulebarkan mata, melihat ke ujung jalan. Tak ada apa pun di

sana. Hanya kabut putih yang turut menemani malam.

Kubulatkan tekad menuju perkampungan. Gubuk kami

sekitar tiga kilometer dari perkampungan. Tidak pernah

aku keluar rumah pada malam hari. Kampung ini begitu

menyeramkan. Masih banyak binatang buas lalu lalang.

Terkadang babi hutan bahkan melintas di depan gubuk.

Sesekali suara harimau terdengar di kejauhan.

Kupercepat langkah kaki menuju perkampungan. Tujuan?

ku rumah Keuchik (kepala desa) yang terletak di sudut

kampung. Seluruh masyarakat berada di dalam rumah. Tak

ada satu pun warga yang melintas di jalan kampung.

Sejak konflik terjadi lagi dua tahun lalu, masyarakat

enggan membuka pintu rumah pada malam hari. Meskipun,

kabupaten ini tidak tergolong daerah hitam, namun sesekali

Cinta Kala Perang

kelompok gerilyawan juga melintas dari kaki gunung, menuju

kabupaten lainnya. Para gerilyawan selalu memilih jalan

gunung, agar tidak bertemu dengan militer.

Kucampakkan rasa takut ke angkasa. Kusibak malam.

Berlari-lari kecil, agar segera tiba di rumah Keuchik. Napasku

mulai terengah-engah, degup jantungku semakin cepat.

Naik-turun. Setiba di depan rumah Keuchik, tak seorang pun

terlihat. Pintu tertutup rapat.

Hanya terdengar suara dari dalam. Entah apa yang

sedang dibicarakan penghuni rumah panggung itu. Kunaiki

lima langkah tangga rumah. Mengetuk pintu bertubi-tubi

sembari mengucapkan salam. Sejurus tak terdengar suara

dari dalam. Suara yang kudengar tadi hilang seketika.

Kuketuk lagi pintu warna cokelat tua itu. Napasku tak

beraturan. Aku tidak sabar menunggu pintu terbuka. Kakiku

gemetar dan dada berdebar kencang. Lama aku mematung

di depan pintu rumah keuchik.

"Walaikumsalam," terdengar suara perempuan dari da?

lam rumah. Bu Keuchik membukakan pintu. Dia tidak bisa

menyembunyikan keheranannya, mengapa aku malammalam mendatangi rumahnya.

"Ada apa Tari? Tidak biasanya datang malam hari?" suara

Bu Keuchik ramah, menenangkanku. Dia mempersilakan aku

masuk.

"Pak keuchik ada Bu? Sa... saya, khawatir Emak."

"Kenapa Emakmu. Apa Emakmu sakit? Masuklah dulu."

Setelah masuk, aku duduk di kursi rotan yang dibuat

sendiri oleh Pak Keuchik. Ku ceritakan kekhawatiranku.

Keuchik dan istrinya mencoba menenangkan. Aku tak bisa

menahan ketakutanku, takut akan kehilangan Emak. Tanpa

Cinta Kala Perang

kusadari, butiran jernih mulai menetes di pipi, tak bisa

dibendung.

"Sekarang kamu shalat Magrib dulu. Saya akan mengum?

pulkan orang kampung untuk mencari Emakmu. Tenangkan

diri dan minta pada Ilahi, agar, tidak terjadi sesuatu," ucap

Keuchik sambil melangkah keluar rumah.
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak terdengar berita penculikan orang kampung

yang dilakukan oleh orang tak dikenal, tidak pernah orang

kampung pergi sendiri pada malam hari. Selalu berom?

bongan. Takut, akan menjadi korban penculikan. Ada yang

mengatakan, diculik oleh setan. Ada pula yang mengatakan

korban diculik binatang buas yang turun gunung, dimakan

harimau atau diinjak gajah. Namun, jika memang dimangsa

binatang buas, seharusnya ditemukan mayat korban

penculikan. Namun, mereka yang diculik tak diketahui

makamnya sampai saat ini. Hilang bagai ditelan bumi.

Pak Keuchik mengumpulkan orang-orang kampung.

Dua puluh orang berkumpul di depan rumah Keuchik. Aku

ditemani Bu Keuchik. Kami pun berangkat ke pusat kota.

Obor bambu menjadi penerang jalan. Tidak ada pene?

rangan lainnya di sepanjang jalan ini. Tak ada pula lampu

jalan. Meski separuh abad lebih negeri ini merdeka, namun,

tak ada lampu jalan dari desa menuju kota. Hanya temaram

bulan yang menjadi lampu setia. Itu pun jika tak kalah

berantam dengan awan hitam.

Kami berjalan lambat. Memperhatikan kiri-kanan. Gero?

bak Emak menjadi patokan. Apakah ada Emak di pinggir jalan

atau tidak. Sudah sembilan kilometer kami berjalan. Dari

jauh terlihat rombongan orang menandu sesuatu. Jumlah

mereka sekitar enam orang.

Cinta Kala Perang

Jantungku berdebar. Seluruh orang kampung memper?

hatikan rombongan orang itu. Kami pun mempercepat jalan

mendekati para pembawa tandu. Mereka menandu sesuatu

yang ditutup dengan kain batik lusuh. Pak Keuchik angkat

bicara.

"Maaf, apa yang Anda bawa?"

Mereka berhenti. Menurunkan tandu pelan-pelan ke

tanah. Seolah dalam tandu itu terdapat benda yang harus

sangat dijaga. Bentuknya memanjang, seperti boneka yang

ditutup kain panjang. Salah seorang dari mereka angkat

bicara.

"Saya Andi pak. Ini...." Salah seorang pria membuka

tutup benda yang dibawa.

"Masya Allah."

Mata Pak Keuchik seolah melompat dari sarangnya.

Suaranya keras. Kami semua mendekat ke tandu dari kayu

itu.

Terlihat wajah wanita tua pucat pasi. Matanya tertutup

rapat dengan senyum tipis menghias bibir.

"Emak...!"

Aku terkejut. Tak bisa membendung air di mata. Tersedu.

Kupeluk tubuh Emak yang sangat dingin, seperti es. Seluruh

orang kampung pun menangis. Siang tadi, orang kampung

masih sempat bercanda dengan Emak. Suara tangis seperti

koor, serentak membelah malam. Memecah kesunyian

pinggiran hutan.

Ingin rasanya aku memprotes Allah. Mengapa begitu tega

mengambil Emak? Satu-satunya orang yang kumiliki saat ini.

Aku berteriak. Memeluk dan menggoyang-goyang tubuh

Emak. Meminta Emak bangun. Jangan memejamkan mata,

Cinta Kala Perang

dan jangan hanya diam. Namun, Emak bergeming. Diam.

Dingin membeku. Suasana hening. Semua hayut dalam kese?

dihan yang dalam.

"Sabarlah Nak," Bu Keuchik memelukku.

Orang kampung, dan orang yang menggotong jenazah

Emak pun membawa tubuh Emak ke rumah Pak Keuchik.

Belakangan aku tahu, orang yang menggotong Emak adalah

para pencari lebah di gunung.

Perlahan rumah Keuchik ramai dikunjungi warga.

Selama ini, Emak dikenal sebagai orang yang murah senyum,

baik dan welas asih. Setiap kali ada warga yang meminta

bantuannya, Emak selalu membantu semampunya.

Lantunan Surah Yasin mendekap malam. Langit men?

dung, turut berduka atas perginya Emak ke pangkuan Ilahi.

Bintang dan bulan tidak memancarkan sinar malam itu.

Seakan menunjukkan kesedihannya, sama seperti kesedihan

yang kurasa. Aku termangu. Menyesali diri, belum berbuat

yang terbaik sampai Emak dipanggil Ilahi.

BAB 3

Tu mpangan

Hidup

Cinta Kala Perang

mak... mengapa begitu cepat Emak pergi? Tari nggak

punya siapa-siapa, selain Emak. Maafkan dosa Tari,

Emak."

Aku terpaku di samping gundukan tanah merah yang

masih basah. Lima belas menit lalu Emak selesai dimakam??

kan. Satu per satu pelayat meninggalkan tempat pema?

kaman.

Kini, aku sendiri, di samping kanan makam. Satu per satu

bunga kamboja berguguran ditiup angin. Melayang sejenak

di udara, lalu jatuh ke tanah. Bunga putih dipadu kuning pada

bagian tengah itu meratap di tanah. Seakan turut meratapi

kepergian Emak. Seperti aku yang meratapi takdir.

Kutahan pilu yang menyesak di dada. Agar tangis tak

mengeluarkan suara. Tubuhku berguncang, menahan tangis

yang menyumpal di kerongkongan. Sesenggukkan. Aku

belum bisa menerima kehilangan orang yang paling kucintai.

Orang yang menemani hidupku selama ini.

Matahari mulai naik ke atas kepala. Pori-poriku menge?

luarkan peluh. Membasahi baju dan rok. Kupaksa lututku

berdiri. Terasa berat, lututku lemas seakan tak bertulang.

Kuusap kayu sebesar tapak tangan. Di situ tertulis nama

Emak, Nani Binti Rubi.

"Aku berjanji, akan berbuat yang terbaik. Mengikuti

semua nasihat Emak."

Aku berjanji di depan makam Emak, akan membuatnya

bangga dan tak akan mengecewakannya.

"Doakan Tari, Mak," bisikku. Kuseret kaki meninggalkan

pemakaman dalam sedih yang mengharu-biru.

Cinta Kala Perang

Setelah Emak tiada, aku menumpang di rumah Keuchik.

Setiap pagi, aku mengelola kebun dan sawah yang

ditinggalkan Emak. Sesekali, aku juga membantu pekerjaan

Pak Keuchik di kantor Keuchik.

Keuchik dan istrinya menganggap aku seperti anak

sendiri. Mereka, tidak pernah menyuruhku bekerja di sawah

maupun di ladang mereka. Namun, aku merasa berutang

budi pada kedua orangtua angkatku ini. Aku membantu me?

reka mengerjakan kebun yang ditanami kangkung, cabai, dan

tomat. Semua hasil kebun dijual ke pusat kota. Sedangkan

di kebunku, aku menanam cabai saja. Harga cabai merah

lumayan mahal 15.000 rupiah per kilogram dan cabai hijau

10.000 per kilogram. Hasil penjualan cabai itu kutabung.

Ditambah hasil penjualan padi.

Setiap kali ada acara ibu-ibu PKK, aku menyediakan kue

untuk acara itu. Orang kampung mengatakan, kue buatanku

lumayan enak. Bahkan, sesekali, jika ada pesta pernikahan

orang kampung, aku juga mendapat pesanan untuk mem?

buatkan kue.

"Kue, buatan anak angkatmu enak. Tidak mengece?wa?

kan," ucap Bu Lastry pada Bu Keuchik pada acara silaturahmi

kaum perempuan desa di kantor Keuchik.

"Jika dia ingin menjadi menantu saya, saya pasti bahagia.

Orangnya rajin, pintar dan cantik lagi," komentar ibu-ibu

lainnya.

"Wah. Siapa dulu Emaknya," jawab Bu Keuchik sambil

tertawa.

Hari terus berganti. Waktu terus melaju mengiringi

poros bumi. Aku terus berusaha agar bisa menabung dari

hasil panen padi dan kebun. Aku ingin melanjutkan kuliah di

Cinta Kala Perang

perguruan tinggi. Hampir setahun aku tinggal di rumah Bu

Keuchik. Tekadku bulat, tahun depan, aku harus bisa masuk

ke perguruan tinggi.

Malam itu udara menusuk tulang. Dingin membeku. Suara

jangkrik dan lolongan anjing di kejauhan menjadi musik

tersendiri. Tak terdengar lagi suara sepeda motor para

petani. Hanya sunyi membekap kampung ini. Jika malam

tiba, penduduk kampung enggan keluar rumah. Anak-anak

menghabiskan waktu di balai pengajian, sedangkan kaum ibu

memilih duduk di rumah.

Hanya kaum laki-laki yang sesekali melintas di depan

rumah. Menuju warung kopi Bang Tayeb, satu-satunya

warung kopi di kampung ini. Hanya warung itu memiliki tele?

visi di kampung ini. Jika penduduk ingin menonton, maka

ber??bondong-bondong mendatangi warung. Duduk di lantai

teras warung, karena kursi hanya diperuntukkan untuk kaum

laki-laki yang minum kopi.

Aku, termenung di kamar. Entah mengapa, malam ini aku

teringat Romi. Sudah dua tahun dia meninggalkanku, tidak

ada kabar apa pun. Satu surat pun tak pernah dikirimkan.

Kurebahkan tubuh di atas kasur sederhana di atas dipan

bambu. Kucoba memejamkan mata, namun tak bisa. Wajah

Romi melintas di depan mata. Entah di mana dia saat ini?

"Romi, di manakah kau? Apakah kau telah tiada? Tidak!

Ah Allah, janganlah Engkau mengambil Romi dariku. Aku

sudah ikhlas melepas kepergian Emak. Kuharap, Engkau

menjaga Romi untukku."

Cinta Kala Perang

Kuambil selembar kertas. Menuliskan apa yang ku?pikir??

kan tentangnya. Menulis surat, dan berencana mengirim?

kannya.

Rom. Sejak kau pergi, banyak cerita duka telah kulalui.

Emak yang kucintai juga telah pergi meningalkanku,

pergi untuk selamanya. Aku kangen kamu, Rom.

Adakah kau merasakan hal yang sama? Masihkah kau

teringat padaku? Aku selalu menantimu, di sini, di kaki

Leuser ini.

Dari aku yang merindukanmu

(Cut Tari)

Kumasukkan surat itu ke dalam amplop. Kuperhatikan ala?

mat yang dititipkan Romi dua tahun lalu. Kusimpan rapi

bersama berkas-berkas ijazah sekolahku. Kubaca lagi isi surat

itu. Besok, aku berencana turun ke pusat kota dan mengi?
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rimkannya lewat kantor pos.

Sejurus aku sadar, bahwa Romi bukanlah siapa-siapa.

Dia bukan pula suamiku yang patut kucintai. Dia hanya pria

asing. Ah, aku berdosa lagi, mengingat pria ini. Ya Allah,

maafkanlah aku yang selalu mengingatnya. Allah, jika bisa

buanglah dia dari ingatanku, agar aku tak berdosa lagi karena

hati ini mengingatnya lebih dari mengingat-Mu. Selamatkan

aku dan pikiranku sendiri, ya Allah.

Selepas menyadari kekeliruanku, kubaringkan tubuh di

dipan bambu. Dipan ini lebih baik dibanding tempat tidurku

sebelumnya. Meski terbuat dari bambu, namun, desainnya

sangat menarik. Diukir dengan motif kupiah meukeutop (peci

Cinta Kala Perang

pengantin Aceh), ukirannya halus dan indah. Dibiarkan tanpa

warna.

Pada bagian lain diukir motif daun talas, dan bunga

kamboja. Tentu butuh kesabaran mengukir aneka motif di

bambu yang telah dibelah dan dikeringkan. Lalu disusun

rapi, menjadi dipan lengkap dengan dinding dipan setinggi

sejengkal.

Kucoba memejamkan mata, berharap mimpin indah kan

tiba.

Kota itu terlihat sangat megah. Lampu-lampu penerang

jalan, berkedipan memanjakan para pengendara. Lampu

kendaraan terlihat bagai kunang-kunang beterbangan. Aku

melintasi jalanan yang sesak, penuh dengan orang-orang

dan kendaraan. Tempat ini asing bagiku. Aku terus menyusuri

jalanan kota.

Tiba-tiba, suasana berubah. Aku terdampar di tengah

semak belukar. Entah di mana aku berada. Beberapa mobil

pengamanan negara, lalu lalang dengan kecepatan tinggi.

Suara klakson meraung-raung. Truk dicat hijau tua polos,

berisi pasukan pengaman negara. Pada dinding bagian dalam

truk disusun pohon kelapa dibelah. Sepertinya dijadikan

benteng untuk menahan serbuan lawan. Truk lainnya

berwarna orange. Disusul mobil panser.

Seorang pasukan pengaman negara berdiri di atas mobil

panser. Memegang senapan serbu ukuran besar. Menge?

nakan kacamata hitam. Lengkap dengan helm loreng paduan

warna hijau tua, cokelat dan abu-abu. Telunjuk tangannya

berada di sarang pelatuk. Posisi siap tembak.

Tatapan pasukan pengamanan negara di dalam mobil

itu awas, penuh curiga. Lirikan mata sangat tajam dan

Cinta Kala Perang

menakutkan. Seperti sorot Elang pada malam hari. Tatapan

penuh kebencian, seakan ingin membunuh semua yang ada

di depan?nya.

Aku terus melangkah. Tak menghiraukan mobil-mobil itu

melintas. Aku ingin menemui Emak.

"Emak, Tari rindu Emak. Emak ke mana saja?"

Kulihat Emak tersenyum. Senyuman yang selalu menye?

jukkan hati. Senyuman itu pula yang pernah mengingatkanku

pada Romi. Emak tidak setuju hubunganku dengan Romi.

"Nak, Emak tidak melarang hubunganmu. Tapi, ingatlah

bahwa wanita harus menjaga karunia yang telah diberikan

Allah. Kelembutan dan kecantikan itu bisa berubah, seiring

waktu dan usia."

Emak menarik napas pelan. Penampilan Emak malam

ini beda dari biasanya. Ia mengenakan baju terusan semata

kaki, serba putih. Bahkan, tak terlihat sandal atau sepatu

yang dikenakan Emak. Baju itu menyapu tanah. Sejurus kami

terdiam. Emak mengibaskan ujung jilbabnya ke belakang.

Tangannya membelai rambutku.

"Semoga, Romi, bukanlah lelaki yang mengorbankan

cinta demi nafsu. Kamu tahu, pekerjaannya dekat dengan

ke?ke?rasan? Wajib membunuh lawan. Membunuh itu dosa.

Apalagi yang dibunuh belum tentu bersalah. Kamu me?

ngerti?"

"Tari ngerti Mak. Tari akan jaga marwah (martabat),

seperti dalam tuntunan agama."

"Jaga dirimu Nak. Emak harus pergi."

Sekelebat Emak berlalu. Mengikuti arah truk dan pan?

ser yang mengangkut pasukan pengamanan negara, dan

hilang di ujung jalan. Aku memanggil Emak. Emak diam, tak

Cinta Kala Perang

menoleh sedikit pun ke belakang. Lalu, di ujung jalan ter?

dengar senjata menyalak. Bau mesiu meruap ke angkasa.

Bau sangat asing, mirip kentut, namun lebih bau lagi dari itu.

Terlihat ujung-ujung senapan menjulurkan api kecil. Disusul

teriakan anggota pasukan. Perintah menembak. Pohonpohon bertumbangan. Sesekali suara dum... dum... dum...

dret... ret... ret ret... bersahutan. Paduan suara bom dan

senjata menjadi satu. Menghasilkan harmoni musik asing

dan memekakkan telinga.

"Emak.... Emak jangan tinggalkan, Tari!" Aku menjerit

sekuat tenaga memanggil Emak.

"Emakk...." Aku berteriak, meminta Emak kembali.

Peluru akan menerobos jantungnya. Mengorek isi

perutnya jika Emak terus berjalan. "Emakkk.... tolong ber?

henti."

"Tari, bangun! Tari..."

Bu Keuchik mengguncang-guncang tubuhku. Kugeliatkan

tubuh. Terkejut melihat Bu Keuchik telah berada di samping?

ku. Rupanya aku bermimpi dan menjerit sehingga Bu Keuchik

terbangun dan masuk ke dalam kamarku.

Pak Keuchik hanya tinggal berdua dengan istrinya.

Lima anaknya telah menikah dan tinggal di kota lain. Tidak

satu pun tinggal bersamanya. Putra bungsunya, juga tidak

bersamanya. Dia sedang melanjutkan pendidikan di salah

satu universitas di ibu kota provinsi. Hanya saat lebaran

Idul Fitri dia menginjakkan kaki ke desa kami. Lalu pergi lagi

setelah silaturahmi usai.

Napasku masih tak beraturan. Jatungku berdetak cepat,

napasku tersengal-sengal. Bu Keuchik menyuguhkan segelas

air putih.

Cinta Kala Perang

"Tenanglah dulu. Ceritakan apa yang terjadi? Apa yang

kamu lihat dalam mimpi?"

"Tari ketemu Emak, di kota. Terus Emak pergi lagi. Entah

ke mana. Pergi ke arah perang."

Butiran jernih mulai menetes satu-satu. Bu Keuchik

membelai rambutku. Mengingatkanku bahwa nasihat Emak

wajib kupatuhi. Menjaga marwah.

"Sudahlah, Subuh sudah tiba. Mari ambil air wudu dan

shalat."

Aku bergegas menuju sumur. Membasuh muka dengan

wudu. Mengharap rida dari sang pencipta.

BAB 4

Pemeriksaan

Cinta Kala Perang

umantapkan tekad melanjutkan kuliah di salah satu

universitas negeri di utara provinsi ini. Hari ini, semua

cita-citaku akan dimulai. Istri Pak Keuchik sempat menya?

rankanku, untuk bekerja di Malaysia atau Kepulauan Riau.

Menurut ibu angkatku itu, di kedua daerah itu banyak

lowongan pekerjaan. Hasilnya bisa mengangkat derajatku

secara materi.

"Di Riau, Ibu punya saudara. Nanti dia bisa membantu

mencarikan kerja. Jika kamu mau, Ibu bisa meminta kepo?

nakan di Malaysia untuk mencarikan kerja juga buatmu,"

kata Bu Keuchik suatu malam usai Isya.

Sejurus diam. Aku menatap bulan bulat penuh beraut

lembut memanjat di balik pohon kelapa yang menjulang

tinggi dengan pelepah daunnya mendongak ke langit.

Menantang sinar pucat yang menjulur lembut. Tumbuhan

ber?akar serabut itu memenuhi pekarangan rumah Bu Keuchik.

"Tapi, lebih baik di Riau, masih di dalam negeri. Hujan

emas di negeri orang tidak enak, lebih enak hujan batu di

negeri sendiri. Kamu bisa pulang kapan saja ke sini. Jaraknya

tidak terlalu jauh. Hanya 16 jam perjalanan dari desa ini,"

sambung Bu Keuchik sambil membelai rambutku.

Aku tiduran di pangkuan wanita paruh baya ini.

Tenggelam dalam belaian hangat seorang Ibu. Perlahan ku?

tenga?dahkan kepala. Menatap wajah Bu Keuchik disela

embusan angin mendesau. Pelan-pelan kutolak saran itu.

"Mak. Aku ingin melanjutkan kuliah. Hanya dengan

pendidikan aku bisa menyelesaikan semua masalah, dari

kemiskinan, buta ilmu pengetahuan dan menolong sesama.

Aku juga ingin menjadi penulis Mak. Tulisanku semoga

bermanfaat bagi semua orang yang membacanya," jawabku.

Cinta Kala Perang

Sejak menetap di rumah itu, aku memanggil Bu Keuchik

dengan sebutan Emak. Aku sudah resmi diangkat menjadi

anaknya. Diperlakukan selayaknya anak kandung, melimpah

kasih sayang dan selalu dimanja.

Orangtua angkatku tak bisa melarang keinginanku. Dia

melepas dengan tatapan redup. Lambaian tangannya per?

lahan hilang dari tatapanku. Ojek yang kutumpangi merang?

kak perlahan, meninggalkan kaki gunung menuju kota

kabupaten. Jaraknya sekitar satu jam mengendarai sepeda

motor.

Kota ini bukan kota besar. Kota kecil dengan stempel

sebagai daerah miskin. Mayoritas penduduk menjadi pe?

tani, tukang becak dan buruh bangunan. Sebagian besar

penduduk masih menganggur, tak punya pekerjaan tetap.

Jika pun menjadi petani, hanya sebagai buruh tani. Bukan

pemilik lahan yang bisa bercocok tanam dan menjual hasil

pertanian ke pusat kota. Menggarap kebun petani lainnya,

lalu menyerahkan 2/3 hasil ke pemilik kebun.

Sesampainya di kota kabupaten, aku menuju loket ang?

kutan umum minibus menuju utara provinsi ini. Perlahan

mobil terus berjalan. Di dalam mobil hanya ada enam

penumpang plus sopir. Mobil ini bisa mengangkut sepuluh

orang penumpang plus sopir.

Mobil terus berjalan. Kupejamkan mata, mengingat

semua kenangan sebagai penambah semangat di perjalanan.

Kini, perlahan mobil yang kutumpangi, melewati jalan yang

berlubang. Lubang-lubang yang tak tahu kapan berakhir

Cinta Kala Perang

di sepanjang jalan, dengan diameter satu meter persegi.

Tubuh mungilku terguncang-guncang. Kulihat, seorang ibu

memangku bayinya. Hatiku tergerak untuk membantu.
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jiwaku lirih, menatap mata sang bayi yang lucu. Anganku

melambung.

Ya Allah, berikanlah aku buah hati, segagah ini, ucapku

dalam hati, sambil membantu Ibu itu membuat susu bayi.

"Bangun kau! Kutembak kalau tak bangun," terdengar suara

dari depan mobil. Tepat berada di pintu sopir.

Kasar dan sangat tidak sopan. Sejumlah pasukan penga?

man negara terlihat siaga. Menggunakan seragam, senjata

laras panjang di tangan. Wajah mereka tampak kejam,

beringas, dan tidak bersahabat. Biji mata mereka seakan

keluar sejengkal, mendelik.

Sebagian lagi, terlihat menunduk di bibir jalan. Hanya

terlihat helm baja warna hijau tua melekat di kepala. Senjata

laras panjang siaga di depan. Telunjuk menyesak di pelatuk.

Posisi siap tempur.

Sebagian anggota pasukan menunggu mobil melintas.

Memberhentikan, dan melakukan pemeriksaan.

Salah seorang pasukan pengamanan negara itu meng?

hampiri jendela kaca mobil di samping kiriku.

"Maaf Mbak, mengganggu perjalanannya," suaranya

tepat di sampingku.

"Ya, tidak apa-apa? Ada apa Pak?"

"Enggak apa-apa. Hanya pemeriksaan biasa," ucapnya

lembut.

Cinta Kala Perang

Aneh, lelaki yang satu ini terlihat santun dan menghargai

manusia. Berbeda dengan teman-temannya yang lain. Aku

melihat, beberapa pasukan pengamanan negara memeriksa

bagasi mobil. Semua penumpang laki-laki juga diperiksa.

Pakaian mereka disingkap satu per satu. Makian terdengar

sesekali dari bibir pasukan itu.

"Mbak sepertinya baru pertama kali melintasi daerah

ini?! tanya prajurit itu padaku.

"Kok tahu?"

"Buktinya Mbak menanyakan pemeriksaan ini."

"Memangnya kenapa mesti diperiksa?"

"Ini kan perbatasan provinsi. Kalau mau masuk ke pro?

vinsi lain, harus diperiksa. Karena, provinsi Mbak tidak aman.

Banyak pemberontak. Siapa tahu, dapet senjata ilegal,"

jelasnya dengan logat Jawa yang kental.

Aku hanya menganggukkan kepala, tanda mengerti.

Seorang anggota pasukan mendekat. Lalu berbisik pada

orang yang memeriksaku. Entah apa yang dibisikkan. Kening

pria itu mengerut sejenak. Matanya mendelik.

"Periksa lagi, mana tahu salah!" perintahnya tegas pada

prajurit yang memberi hormat.

"Siap Dan (komandan)," jawab prajurit itu sambil berlalu.

Lima belas menit terasa sangat menakutkan. Malam

terus merangkak. Udara mulai tidak bersahabat di akhir

Desember ini. Curah hujan tinggi menghasilkan kelembaban

udara. Menusuk tulang membuat tubuh seakan membeku.

Aku merapatkan bajuku. Tubuhku mulai menggigil.

"Tidak bawa jaket?" tanyanya lagi sambil menatapku.

Sesekali matanya memperhatikan kawan-kawannya yang

lain. Tamparan udara dinihari kembali terasa.

Cinta Kala Perang

Aku tidak dapat melihat jelas wajahnya. Lampu di pos

pemeriksaan agak remang-remang. Hanya satu yang ter?

lihat jelas. Dahi pria itu mengilap, ada bekas hitam di tengah

dahinya. Seperti dahi para ulama, dahi yang banyak diguna?

kan untuk bersujud.

Seorang anggota pasukan pengamanan mengacungkan

jempol pada pria di sampingku.

"Tangkapan kita dapat Dan."

Aku tak mengerti apa maksudnya dengan ucapan "tang?

kapan". Seperti menangkap ikan saja. Mungkin, itu sandi

militer yang digunakan pasukan keamanan negara untuk

kelompok tertentu.

"Bawa ke mari!"

Pria di sampingku memerintahkan anak buahnya. Ia

membelakangiku. Jarak kami hanya terpisah dinding mobil.

Sejurus kemudian, Ibu yang menggendong bayi tadi,

dibawa ke depannya. Aku tidak mengerti arti adegan di

depanku ini. Apa salah Ibu itu? Apakah dia telah melakukan

kesalahan, sampai pasukan negara itu mengokang senjata

tepat di depan matanya?

Kulihat beberapa pasukan berlarian ke dalam pos.

Mengambil beberapa pucuk senjata laras panjang. Panjang?

nya sekitar semeter. Suara kokangan senjata bersahutan.

Seperti prajurit dalam film-film perang yang pernah ku?

tonton.

Ada apa ini? tanyaku dalam hati.

Semua penumpang tegang. Tampak wajah-wajah mereka

pucat, ketakutan. Sebagian malah terlihat gemetar. Aku juga

sama. Lututku tak bisa diajak kompromi. Bergoyang sendiri.

Beradu antarlutut.

Cinta Kala Perang

Tidak pernah terpikirkan olehku, wanita yang tadi ku?

bantu, dituduh sebagai pembantu kelompok pembe?rontak,

penentang kedaulatan negara. Selama ini, cerita tentang

pemberontak jarang kudengar. Hanya sedikit cerita yang

kuketahui, dari orang-orang, yang mengatakan, bahwa

bagian utara dan timur provinsi kami memang tidak aman

untuk dikunjungi. Sekarang ini, aku berada di bagian timur

provinsi, berbatasan dengan provinsi lainnya.

Bahkan, sering pula kudengar banyak warga yang mela?

rang anaknya menuju ke arah timur dan utara provinsi ini.

Berbagai macam kabar tentang ketidaknyamanan provinsi

ini. Katanya, perang bisa terjadi kapan saja. Tak kenal waktu,

tak kenal tempat. Namun, aku tidak pernah mendengar

tentang wanita pemberontak, pria pemberontak dan melihat

senjata berada di pundak.

Dulu saat aku di SMK, aku hanya melihat senjata pada

peringatan ulang tahun kemerdekaan negara, tepat pada

tanggal 17 Agustus. Itu pun jumlahnya hanya beberapa

pucuk dan tidak dalam posisi siap tempur.

Anggota pasukan pengamanan negara memberondong

Ibu penggendong bayi tadi dengan berbagai pertanyaan. Dia

ketakutan. Tak sanggup menjawab pertanyaan yang datang

bertubi-tubi, tiada henti. Butiran jernih mulai menetes dari

mata sebarisnya. Suaranya terisak menahan tangis.

Perwira yang bertanya padaku tadi rupanya bernama

Anton. Kulihat tulisan nama itu di dada jaketnya. Anton

hanya tersenyum saat beberapa pasukan pengamanan

mengo????kang senjata.

"Maaf Ibu, Ibu tidak bisa melanjutkan perjalanan. Wajah

Ibu mirip dengan foto yang masuk dalam daftar pencarian

Cinta Kala Perang

kami. Masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), Bu.

Maaf sekali lagi." Pria itu terlihat lembut dan ramah. Sangat

berbeda dengan anak buahnya. Dia juga memerintahkan

anak buahnya untuk menurunkan senjata yang sejak tadi

di?todongkan ke mata dan pinggang wanita berjilbab cokelat

itu.

Perwira ini malah membelai pipi mulus bayi yang berusia

sekitar dua bulan dalam gendongan Ibu itu.

"Apa salah saya?" Ibu itu meminta kepastian.

"Tidak. Saya tidak bilang Ibu salah. Hanya, wajah Ibu

mirip dengan foto dalam daftar DPO," ulangnya dengan

sangat sopan.

Ibu itu mulai tertunduk. Butiran jernih di matanya mulai

mengalir deras, tak terbendung. Mengenai wajah bayi yang

digendongnya di dada. Bayi munggil itu seakan merasakan

apa yang dirasakan ibunya. Tubuhnya menggeliat, namun

tidak menangis. Mungkin, tali batin yang menyatukan kedua?

nya. Bayi itu tampak memahami gejolak hati ibunya.

Penumpang yang lain, dipersilakan naik ke mobil se?

cara perlahan. Ibu itu tidak ikut serta. Aku duduk sendiri.

Kuperhatikan wajah pasukan pengamanan itu satu per satu.

Semuanya tanpa senyum, hanya tatapan curiga melepas ke?

pergian mobil kami dari penjagaan pos perbatasan itu.

Malam pun beranjak perlahan. Mengitari kemelut dunia

kian tak menentu. Dunia selalu penuh teka-teki. Tak ada

yang bisa memperkirakan takdir apa yang akan diterima

esok pagi. Manusia hanya merancang, Allah yang menen?

tukan. Allah Maha Mengetahui rahasia di bumi, langit dan

seluruh isinya.

Cinta Kala Perang

Mobil merangkak perlahan. Berhenti di pos penjagaan

berikutnya, lalu merangkak lagi. Terus seperti itu. Hingga

malam membuai manusia dengan kidung sunyi. Mence?

kam.

Sopir mengerem tiba-tiba. Suara ban menggerus aspal

berdecit-decit. Seluruh penumpang terhuyung ke depan.

Terbangun dari tidur pulas. Sebagian mengurut dada ter?

kejut. Suara jeritan menggema memecah malam yang makin

mencekam.

"Kapalo, prang prang prang! Nub nub!" Waduh, perang...

perang perang! Tiarap tiarap! Teriak sopir sambil menun?

dukkan kepala.

Semua penumpang kompak menuruti aba-aba. Tak sem?

pat melihat ke depan. Menunduk. Menyembunyikan kepala

sebisanya ke lantai mobil.

Treeet tet tet tet!

Treeet tet tet tet!

Rentetan senjata terdengar keras. Baru kali ini aku men?

dengar rentetan senjata sungguhan. Sebelumnya, aku hanya

melihat dan mendengar suara senjata dari film laga. Kali ini

suara senjata asli.

Mobil di belakang kami juga berhenti. Memanjang ke

belakang. Tak ada suara manusia seorang pun di luar. Hanya

rentetan senjata ditimpali suara granat atau bom yang mele?

dak menggelegar. Suaranya seakan sangat dekat. Semua

orang diam. Hanya napas mendengus cepat.

Cinta Kala Perang

Tak ada pula yang berani turun dari mobil. Kata sopir, apa

pun yang terjadi tetap di mobil. Sebab kami bisa berlindung

di balik besi tipis dinding mobil.

"Bek tren! Keneung timbak, entreuk!" Jangan turun! Kena

tembak, mati nanti!

Sopir memerintahkan kami tetap menundukkan kepala.
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di depan kami tak ada satu mobil pun. Jika ditembak, pasti

mobil kami lebih dulu kena.

Di depanku, seorang wanita bermata segaris, berambut

pendek dicat pirang mulai berzikir. Tadi, dia mengenalkan

dirinya dengan nama Mai Lang. Warga keturunan yang ingin

mengunjungi keluarganya di utara.

Jika suara senjata menyalak keras, maka suara zikir Mai

Lang pun semakin kencang. Dia panik. Namun tetap berzikir.

Padahal, dia mengaku bukan muslimah.

Jika sedang begini, wanita berkulit pucat dengan mata

sebaris dan poni menutupi matanya ini bisa juga berzikir,

pikirku menahan geli.

Sekitar 15 menit rentetan senjata itu menyalak. Kube?

rani?kan diri mendongak. Melihat situasi di luar sana. Hanya

terlihat lampu kendaraan di belakang kami menyorot

terang.

"Kepalamu. Turunkan kepalamu!" teriak Mai Lang,

"jangan cari mati. Peluru bahkan tak kenal siapa yang mem?

buat???nya. Bisa menembus tubuh si pembuatnya sendiri."

Kutundukkan lagi kepala. Hening. Tak terdengar desing

me??siu atau rentetan peluru. Kami terjebak dalam perang. Tak

tahu antara siapa melawan siapa. Tak terlihat seorang pun di

luar.

Cinta Kala Perang

Hening, tak ada suara. Masing-masing penumpang sibuk

mendoakan nasibnya. Meminta Allah memberi izin untuk

melihat cahaya matahari besok pagi.

Perlahan, suara sepatu mendekat, berderap. Semakin

lama suara sepatu itu semakin banyak. Mungkin lebih dari

lima pasang kaki.

"Keluar semua!"

Kulihat seorang pria menodongkan senjata laras panjang

ke kaca depan mobil. Sopir kami melongok ke atas. Wajahnya

yang hitam kini berubah warna. Seakan terlihat putih.

Tangan?nya bergetar.

"Buka pintu! Keluar semua dalam hitungan lima. Satu,

dua, tiga" belum sempat pria berbadan tegap, tinggi sekitar

165 cm itu menghabiskan hitungannya, sopir melompat.

Disusul seluruh penumpang, termasuk aku..

Kulihat puluhan pria berseragam loreng berdiri di semua

mobil. Bahkan, sudah ada yang memeriksa penumpang. Ah,

pemeriksaan lagi.

Lalu, seluruh laki-laki dikumpulkan di satu sudut, dan

penumpang wanita di sudut lainnya. Terpaut sekitar 10

meter antara barisan laki-laki dan perempuan. Ada yang ber?

jong?kok, ada pula yang duduk di aspal. Wajah-wajah pucat

terlihat jelas. Sebagian tubuh bergetar hebat.

Lalu, seorang pria, kuduga pimpinan pasukan berdiri

antara barisan pria dan wanita. Pistol menyampir di ping?

gangnya. Dua pria mengenakan rompi antipeluru. Di

dalam rompi itu empat magazin, sehingga tubuh mereka

ter?lihat lebih kekar. Kuduga, dua pria itu pengawal sang

koman?dan.

Cinta Kala Perang

"Kalian semua dengar! Baru saja, pasukanku bertempur

dengan pemberontak. Sekarang mereka lari ke hutan. Yang

sengsara siapa? Kalian semua!"

Dia mengelap hidungnya. Lalu meminta senjata laras

panjang anak buahnya. Terlihat anak buahnya ragu mem?

berikan. Namun, tak berani membantah.

"Ini senjata. Senjata ini bisa membunuh kalian sekarang

juga. Tapi, aku tak akan lakukan itu. Ingat, pesanku! Jangan

ikut-ikutan dengan pemberontak! Kalau ikut, kalian ku?

tembak. Mati!"

Intonasi suaranya tegas. Keras. Beberapa personel pa?

sukan terlihat siaga.

"Ada pemberontak di sini?"

"Tidaaaaak!" teriak kami serentak.

"Sekali lagi, siapa yang mau ditembak?"

Hening.

Tak ada yang bersuara. Hanya desau angin terdengar

pelan. Mengibas rambut.

"Kalau mau mati, ikut mereka. Mereka yang membe?

rontak. Demi kedaulatan negara ini, kami rela mati. Aku

ber?sumpah demi nama Tuhan, kubunuh semua pem?beron?

tak."

Pria itu lalu melihat beberapa anak buahnya. Menga?

cungkan tangan. Dijawab dengan acungan tangan juga.

Seperti sebuah isyarat atau sandi dalam perang.

"Sekarang, kalian boleh melanjutkan perjalanan. Ingat!

Kutembak mati siapa pun pemberontak di antara kalian,"

ujarnya mengulangi.

Meski telah diizinkan untuk melanjutkan perjalanan,

tak ada satu pun penumpang atau sopir yang bergerak dari

Cinta Kala Perang

tempatnya. Masih duduk di aspal. Ragu, apakah perintah itu

sekadar bercanda atau perintah serius.

"Kuperintahkan, kalian lanjutkan perjalanan! Tak me?

ngerti bahasa Indonesia kalian?"

Tak ada yang menjawab. Satu per satu sopir mulai

bangkit, berjalan menuju mobil masing-masing. Memastikan

semua penumpang masuk mobil. Lalu berjalan pelan.

Sembari memberi hormat, mengangkat tangan layaknya

memberi hormat bendera pada upacara 17 Agustus.

Lega rasanya selamat dari perang itu. Tak ada satu pun

penumpang yang ditahan. Semuanya utuh melanjutkan

perjalanan. Allah memberikan kebaikan pada kami. Menga?

bulkan doaku, doa Mai Lang dan penumpang lainnya agar

kami bisa menghirup napas lagi dan melihat matahari esok

pagi.

Selepas dari rombongan militer itu. Sopir mulai meng?

hidup?kan tape recorder. Perlahan musik melankolis meng?

alun pelan. Membuai penumpang yang mulai terlelap.

BAB 5

Kota Migas

Cinta Kala Perang

obil terus bergerak ke utara. Masuk ke terminal

antarkota antarprovinsi. Satu per satu penumpang

turun di terminal yang tandus. Tak ada pohon yang membuat

terminal ini sejuk. Debu beterbangan diembus angin.

Suara mobil lalu lalang ditimpali teriakan para sopir dan

kernet mencari penumpang. Terminal ini tak kalah mence?

kamnya. Ah, mungkin karena aku masih terbawa suasana

yang kualami tiga jam lalu. Azan Subuh mulai terdengar. Ini

kali pertama seumur hidup kuinjakkan kaki di kota megah ini.

Kota terbesar kedua setelah ibu kota provinsi.

Gemerlap lampu warna-warni, beraneka bentuk dan

ukuran membuat kota ini semakin terang. Layak disebut

sebagai kota besar. Umumnya, masyarakat luar menyebut

kota ini, kota minyak bumi dan gas (Migas).

Sebutan itu disebabkan, kota ini sebagai daerah peng?

hasil Migas. Gas dan minyak tersimpan utuh di perut bumi.

Jumlahnya melimpah. Sebagian telah diekplorasi oleh peru?

sahaan asing berpuluh tahun lamanya.

Anehnya, hasil gas melimpah, masyarakat di daerah ini

masih berkutat dalam pelukan kemiskinan. Sulit menda?

patkan akses kesehatan pendidikan gratis, dan infrastruktur

jalanan yang mulus.

Bahkan, paling parah jalan lintas milik perusahaan asing

itu tak kalah rusaknya dibanding jalan yang dibangun peme?

rintah daerah. Lubang di mana-mana. Jika hujan turun,

lubang itu penuh air, keruh dan berlumpur.

Ini pula yang menjadi pemantik kekerasan antara

daerah dan pemerintah pusat negeri ini. Rakyat di daerah

disulut dengan isu ketidakadilan dan kemiskinan. Ditambah

lagi, sejak zaman nenek monyang dulu, rakyat tak pernah

Cinta Kala Perang

takut berjuang demi membela kemuliaan suku dan agama?

nya.

Dulu saban hari cerobong pipa-pipa industri mempro?

duksi minyak dan gas. Anak-anak pekerja di perusahaan

minyak itu terlihat lebih bersih. Pakaian rapi, terbuat dari

katun dan produk mahal lainnya. Sedangkan, di samping

perusahaan, anak-anak petani terlihat kumuh. Kurus seperti

kurang gizi.

Sesekali anak-anak pegawai perusahaan itu berkonvoi

dengan menggunakan motor besar. Bertingkah seperti geng

motor di ibu kota. Bahkan, jika ada anak kampung yang

menegur mereka, urusannya bisa panjang. Bisa jadi, anak

kampung itu dikeroyok hingga babak belur. Terpaksa dirawat

di rumah sakit selama sepekan. Seakan, anak-anak pegawai

perusahaan saja yang boleh melintas di jalan raya.

Bukan hanya itu, kompleks perumahan perusahaan

Migas itu sangat mewah. Lampu penerangan di kom?pleks

berwarna-warni. Sedangkan masyarakat hanya mengguna?

kan lampu teplok untuk penerang rumah. Ketidakadilan

terlihat jelas. Karyawan perusahaan itu dan keluarga menjadi

masyarakat kelas satu di daerah ini.

Ketika perang pecah, ramai-ramai anak-anak pekerja

perusahaan itu sekolah ke luar daerah. Tidak lagi menimba

ilmu di kota migas ini atau kota provinsi.


Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu Telapak Setan Karya Khu Lung Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi

Cari Blog Ini