Ceritasilat Novel Online

Cinta Kala Perang 2

Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo Bagian 2

Pengamanan di dalam kompleks dan seluruh kilang di?

la?ku?kan oleh pasukan pengamanan negara. Mereka melin?

dungi aset perusahaan plus memburu gerilyawan.

Kuselonjorkan kaki di lantai terminal sembari menungu

pagi. Termenung melihat lalu lalang truk mengangkut

pasukan panser yang berjalan cepat memburu waktu, serta

Cinta Kala Perang

tank yang menggeliat menginjak aspal. Melihat peman?

dangan di depanku, kota ini tak ubahnya Bosnia Herzegovina,

ketika perang masih terjadi di negara itu.

Perang, mungkin menjadi alasan bagi para aparat ke?

amanan negara berwajah seram tanpa senyum. Polisi juga

berperilaku sama. Seakan wajah mereka telah diberi cuka

sampai kecut. Tidak ada yang melintas jalan raya, tanpa

senjata di punggung. Seakan-akan tak ada senjata, nyawa

akan melayang. Senjata menjadi alat perlindungan utama di

zona perang.

Ketika truk dan panser militer melintas, semua penduduk

menyingkir ke sisi jalan. Bahkan, ada yang terpeleset. Berun?

tung tak jatuh ke parit. Begitu juga sepeda motor. Semuanya

wajib menepi. Jika tak menepi, seakan-akan panser militer

akan melindas orang atau mobil di depannya. Selain itu

urusan akan panjang. Pemilik mobil bisa saja dituduh sebagai

gerilyawan yang melawan negara.

Ada perbedaan kontras antara penduduk di daerah ini

dan daerahku. Perempuan di daerah ini mengenakan jilbab.

Di daerahku, perempuan remaja keluar rumah selalu tanpa

jilbab. Penutup kepala seolah hanya layak dikenakan wanita

tua. Remaja muslim seolah tak wajib menutup rambut. Meski

agama mengajarkan, kepala dan rambut wanita ada?lah aurat,

dan wajib ditutup jika berhadapan dengan bukan mahramnya.

Perbedaan lainnya, penduduk di sini sangat ramah.

Sangat baik dan terbuka menerima orang luar. Ini terlihat

ketika aku berpapasan dengan orang yang belum kukenal

sama sekali. Mereka tak segan melempar senyum dan bicara

sekadar basa-basi menanyakan dari mana dan di mana

tempat tinggal.

Cinta Kala Perang

Kuangkat tas dan mencari rumah kos. Ternyata tidak

mudah mendapatkan rumah kos di kota ini. Kuseret kaki,

mengetuk pintu rumah-rumah penduduk dan menanyakan

apakah ada rumah kos atau tidak. Aku mencari tempat kos

yang khusus disewakan untuk wanita.

"Di sini harga kos 300 ribu rupiah Nak. Tidak boleh kurang

lagi," kata seorang pemilik kos di dekat kampus universitas

negeri di kota ini.

Kulangkahkan kaki meninggalkan wanita paruh baya

itu. Harga itu membuat nyaliku kecut. Mulai ragu, apakah

aku mampu bertahan hidup di kota ini? Aku harus mencari

kamar kos yang super murah. Keuanganku tidak mencukupi

untuk berfoya-foya seperti remaja dalam sinetron dengan

segudang kemewahannya.

Keringat dingin mulai mengalir. Kaki terasa pegal. Ku?

paksa terus berjalan sampai aku menemukan rumah kos.

Benar kata orang-orang di kampungku, di kota migas ini

semua serba mahal. Mahal bagiku yang berasal dari kam?

pung dan miskin. Dari satu rumah kos aku berpindah ke

rumah kos lainnya. Mencari yang cocok dengan isi dompetku.

Akhirnya kutemukan rumah kos saat senja mulai turun

perlahan dan tenggelam digantikan sang malam. Letaknya

di Jalan Darussalam, jalan yang paling padat di kota ini.

Oleh karena dari jalan ini masyarakat bisa menuju lokasi

wisata pantai. Jalan ini juga menuju depo minyak dan gas.

Ratusan mobil pengangkut minyak dan gas berjejalan dengan

kendaraan lainnya saban hari lewat jalan itu.

Cinta Kala Perang

Jika pagi, maka ratusan siswa terburu-buru menuju

Sekolah Menengah Atas termegah di kawasan itu. Sekolah

paling favorit. Waktu terus merangkak, detik jarum jam

terdengar berisik. Lalu, berdentang dua kali. Lewat tengah

malam, aku belum bisa memejamkan mata. Pegal terasa di

sekujur tubuh.

Mungkin aku belum bisa beradaptasi dengan kamar

ini. Rumah ini berhasil kutemukan jelang Magrib tadi.

Harganya lumayan murah. Meskipun hanya sepetak kamar

kecil. Muat satu kasur, satu lemari baju ukuran satu pintu,

dan satu lagi lokasi kosong sepanjang kain sajadah. Super

sempit.

Namun, aku merasa cukup nyaman di kamar bercat

kuning pucat ini. Aku hanya membayar 100.000 rupiah per

bulan. Sudah termasuk biaya air dan listrik.

"Emak, aku akan buktikan, aku bisa membahagiakanmu.

Meskipun aku enggak bisa memberikan apa-apa, saat eng?

kau masih hidup. Semoga aku bisa bertahan dan menjadi

orang yang berguna."

Doa itu yang kuucapkan setiap hari. Di saat pagi men?

jemput dan petang akan tenggelam. Kuucapkan doa itu juga

sebelum tidur, lalu perlahan tubuhku dibalut mimpi. Mimpi

masa depan. Membekap dan membuatku terlelap.

Sengatan matahari pagi membakar semangat. Jiwaku meng?

geliat untuk belajar, belajar dan terus belajar. Setelah men?

daftarkan diri menjadi mahasiswa baru di universitas negeri

kota ini, aku berjalan kaki menuju pusat kota untuk belanja

Cinta Kala Perang

kebutuhan dapur. Kemarin, ibu kos menyumbangkan kompor

tua miliknya untukku.

Saat di Pasar Inpres, terlihat banyak ibu-ibu tak menge?

nakan jilbab. Sebagian mengenakan jeans ketat dipadu kaos

lengan panjang atau pendek. Seakan memperlihatkan lekuk

tubuh pada semua orang.

Pemandangan itu membuatku paham, tidak semua rak?

yat negeri ini menjalankan syariat perintah Allah. Bahkan

tidak hanya remaja yang memakai jeans dan baju ketat. Ibuibu tak mau kalah.

Di pasar ini, kebutuhan pokok terbilang mahal. Beras

dijual 8.000 per bambu. Kubeli beras sebambu, setumpuk

cabai merah, bawah merah sepuluh siung dan bawah putih

dua siung. Mi instan dan telur secukupnya.

Kuingat pesan ibu kosku. "Kamu harus hemat, Nak. Dan,

harus berhasil jadi sarjana," kata ibu kos menyemangatiku.

Di rumah berukuran 4 x 10 meter itu, hanya aku yang

kos. Mak Munah, ibu kosku, hanya tinggal sendiri. Suaminya

meninggal tahun 1977 tepat setahun setelah pimpinan

gerilyawan mendeklarasikan perlawanan terhadap negara.

Suaminya salah satu pejuang yang turut memanggul senjata.

Tidak mau turun gunung hingga ajal menjemputnya. Kelu?

arga ini salah satu kelompok gerilyawan.

Gerakan perlawanan terhadap negara di provinsi ini

pasang-surut. Siklusnya per sepuluh tahun sekali. Setiap

sepuluh tahun, kelompok gerilyawan beraksi. Melakukan

perlawanan dengan mengangkat senjata. Itu pula yang di?

lakoni almarhum suami ibu kosku.

Suaminya sempat setahun bergerilya di hutan belantara.

Setelah itu, terdengar kabar terjadi kontak senjata antara

Cinta Kala Perang

kelompok gerilyawan dengan pasukan pengamanan negara.

Suaminya tewas. Hanya pakaian penuh darah yang dikirim ke

rumah.

Sejak saat itu, Mak Maimunah membesarkan dua putra?

nya sendiri. Kini, seorang putranya kuliah di luar negeri.

Mengambil gelar master bidang politik. Seorang lagi memilih

jejak ayahnya. Memanggul senjata dan memperjuangkan

nasib rakyat di daerah mereka.

"Entahlah. Katanya dia memperjuangkan nasib rakyat,

ya rakyat yang terus diinjak-injak. Padahal, nasib saya sendiri

tidak menentu," ucap Emak tua itu lirih.

Sudah lima tahun anak bungsunya itu pergi ke hutan.

Pertemuan terakhir dengan putranya terjadi dua tahun lalu.

Saat itu pemerintah mulai menggagas konsep perdamaian di

negeri ini. Perdamaian itu pula yang mengantarkan anaknya

tidak kembali.

Setelah pulang dari rumahnya, putra bungsu Mak

Maimunah hilang tak tahu ke mana. Ada yang mengatakan

dia diculik oleh gerombolan tak dikenal. Gerombolan ini

adalah sempalan dari kelompok gerilyawan. Mereka mena?

makan diri sebagai kelompok penyelamat perjuangan.

Ada pula yang menyatakan ia diculik oleh pasukan

pengaman negara. Sebagian orang menyebutnya dijemput

oleh temannya sendiri. Sulit mengonfirmasi kebenaran di

daerah perang. Semua kebohongan dan kebenaran tertutup

kabut. Tak pernah terlihat nyata. Selalu samar-samar. Antara

salah-benar. Menang-kalah. Tawa-duka.

Sedangkan putra sulungnya saban tahun mengirimkan

uang untuk belanja hidup. Namun, kabar putra sulungnya itu

tidak pernah terdengar. Menurut kabar dari orang kampung

Cinta Kala Perang

yang pulang dari negeri jiran, putranya Ismail telah menikah

dan menempati posisi penting dalam majelis tinggi negeri

jiran. Bahkan, dia sudah menjadi warga negara negeri jiran

itu.

Dia enggan kembali ke negeri ini, karena kondisi ke?

amanan tak menentu. Cerita ibu kosku, menambah pema?

hamanku tentang negeri ini. Hari pertama di kota migas

berlalu, masa adaptasi dimulai.

BAB 6

Ka mpus

Cinta Kala Perang

enin, kuliah dimulai. Semua mahasiswa baru diwajibkan

mengenakan pakaian hitam-putih. Celana atau rok

warna hitam dan baju kemeja warna putih. Beberapa maha?

siswa senior sibuk mengurus barisan mahasiswa baru.

Rektor masuk untuk membuka acara orientasi penge?

nalan kampus (Ospek). Senyumnya penuh wibawa. Kening?

nya mengilap, tampak bekas-bekas sujud menghitam di

tengah kening. Kata Emak, dahi yang membekas hitam itu

pertanda rajin shalat.

Aku berada di barisan paling depan. Lelaki dan wanita

dipisahkan pada kelompok berbeda. Oleh karena daerah ini

telah memberlakukan hukum syariat Islam. Sampai sekarang,

baru empat qanun (peraturan daerah) syariat Islam yang

disahkan oleh DPRD provinsi. Qanun itu mengatur tentang

khalwat, judi, minuman keras dan tatacara ibadah.

Mendukung penerapan syariat Islam, di daerah ini pun
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didirikan dinas syariat Islam, khusus menangani penegakkan

syariat secara kaffah. Kaffah dalam aturan Islam yaitu men?

jalan?kan proses hidup sesuai dengan Al-Qur?an dan hadis Nabi.

Namun, daerah ini, baru mencapai penegakkan syariat

pada tataran simbolik saja. Hal ini dikarenakan qanun yang

dikeluarkan pemerintah baru sampai pada tahap itu. Misal?

nya untuk berzina diganjar dengan hukuman cambuk se?

banyak tiga atau enam kali. Hukuman terbilang lebih ringan

dibanding aturan agama yang seharusnya.

Masyarakat pun berbeda pendapat tentang syariat itu.

Ada yang mendukung, tak kurang pula yang menentang.

" Hai, kenalkan aku Indah. Kamu?"

Aku terkejut mendengar suara di sebelahku. Rupanya

sedari tadi, pikiranku menerawang entah ke mana.

Cinta Kala Perang

"Cut Tari. Panggil saja, Tari."

Aku tersenyum sambil menyambut tangan wanita

di sebelahku. Rektor universitas tengah berpidato dan

menyam?paikan amanat untuk mahasiswa baru. Aku tidak

tahu berapa jumlah mahasiswa di lapangan depan kampus

utama itu. Lapangan yang seluas stadion sepak bola itu

penuh dengan manusia mengenakan pakaian hitam-putih.

Kutolehkan kepala ke belakang. Hanya terlihat jilbab

atau kopiah hitam. Berjajar rapi seperti semut yang berjalan

teratur. Namun, kopiah untuk pria hanya digunakan saat

Ospek. Ketika kuliah, tak ada kewajiban mengenakan pe?

nutup kepala laki-laki itu.

Khusus kuliah, mahasiswa diwajibkan mengenakan pa?

kaian sopan. Kaos berkerah atau kemeja dan celana longgar

bagi wanita, tanpa rok sepan. Harus menutup mata kaki.

Begitu yang kubaca dalam aturan petunjuk masuk uni?

versitas yang dinegerikan saat negeri ini bergejolak sepuluh

tahun lalu. Bahkan dalam sejarahnya, tertulis jelas univer?

sitas ini diubah statusnya menjadi universitas negeri di depan

empat juta rakyat provinsi ini, saat kedatangan Presiden di

ibu kota provinsi beberapa waktu lalu.

Saat itu, masyarakat daerah ini berkumpul di depan

masjid tertua di ibu kota provinsi. Masyarakat menuntut

refe?rendum dari negara sebagai solusi akhir konflik panjang

di daerah ini. Saat itulah, kampus ini resmi diubah statusnya

menjadi universitas negeri.

"Kamu dari mana?"

"Kutacane. Kamu? Sepertinya kamu anak sini asli ya?"

"Ya. Aku asli kota ini, bukan tiruan atau palsu. Hehehe.

Kos di mana?"

Cinta Kala Perang

"Di Jalan Darussalam."

"Artinya kita satu jalur. Aku di Hagu. Nanti pulangnya,

sekalian sama aku saja."

"Boleh. Terima kasih ya."

Pembicaraan itu terhenti saat kami mendengar suara

senior membentak-bentak mahasiswa baru. Nasib maha?

siswa baru memang begini. Senior selalu berdalih, untuk

menempa mental dan rasa cinta almamater. Makanya dalam

Ospek, senior tidak pernah salah. Ada dua pasal yang di?

terap??kan. Pasal satu, senior tidak pernah bersalah. Pasal

kedua, apabila senior bersalah maka dikembalikan ke pasal

satu. Akhirnya, se?or selalu tidak pernah salah.

Senior memang selalu membela diri. Seharian ini, adaada saja yang wajib kami lakukan. Jadwalnya super padat.

Kami harus berjalan untuk melatih kemampuan fisik. Terlihat

wajah teman-teman lain mulai memerah. Ada yang pucat.

Mungkin tidak sarapan pagi tadi.

"Wah, kamu hebat. Kamu malah tidak kelihatan lelah,"

Rudi anggota kelompok di sebelahku angkat bicara.

Lelaki berkulit putih ini, hampir tidak tahan untuk ber?

jalan. Namun, karena melihat senior berada di belakangnya,

dipaksakannya untuk terus berjalan. Kakinya tertatih. Peluh

menitis dari kening ke wajahnya.

"Ah, biasa saja. Enggak terlalu kuat. Aku juga letih," kata?

ku sambil mengelap keringat yang mulai mengalir di kening.

Hari itu, hari yang melelahkan. Mungkin bagi semua

maha?siswa di kampus, khususnya mahasiswa baru. Tepat

jelang Magrib, kami baru diizikan pulang.

Kuempaskan penat di kamar kos. Setelah shalat Magrib

dan sedikit makan, aku langsung tidur. Kebiasaan ini

Cinta Kala Perang

memang tidak pernah bisa kuhilangkan. Biasanya, kalau

tidur setelah Magrib, pasti aku terbangun setelah azan

shalat Isya. Penat ini segera berakhir di kasur seadanya.

Kasur tipis ini pemberian ibu kos. Aku tak punya uang cukup

untuk membeli kasur yang bagus, berlapis busa agar empuk

ditiduri.

Ospek berlalu. Pagi itu aku resmi menjadi mahasiswa

universitas negeri kedua di provinsi itu. Saat penutupan

Ospek, rektor menyebutkan, mahasiswa itu harus menjadi

agen perubahan. Mungkin kalimat itu memang ada benar?

nya. Sejauh ini, elemen mahasiswa yang paling konsen

memperhatikan nasib rakyat. Jika ada kebijakan pemerintah

yang tidak berpihak pada rakyat, maka mahasiswa menye?

mut, menyatukan tekad. Berteriak untuk demonstrasi. Itu

sikap umum mahasiswa.

Mahasiswa di provinsi ini berbeda dengan di provinsi

lainnya. Mahasiswa di daerah ini mengambil langkah diplo??

masi untuk mengkritik pemerintah. Tidak bisa berde?

monstrasi. Jika demonstrasi, maka urusannya jadi panjang.

Di daerah perang semua ruang gerak mahasiswa dibatasi.

Tidak jarang aktivis mahasiswa menjadi tumbal pe?

nembak misterius. Bahkan ada yang sampai saat ini belum

ditemukan jenazahnya. Inilah yang menjadi kekhawatiran

para aktivis kampus. Mereka juga manusia biasa, memiliki

rasa takut yang bercokol di hati. Takut diculik, dilukai, atau

bahkan dibunuh.

Cinta Kala Perang

Kuikuti proses kuliah seadanya. Pulang dari kampus

aku selalu menuju pasar untuk mencari kerja dan sedikit

berbelanja. Aku mulai khawatir. Jika tidak bekerja, uang

tabunganku akan habis akhir bulan depan.

Kudatangi deretan toko di Pasar Inpres. Meminta di?

terima bekerja paruh waktu selepas pulang kuliah. Sayang?

nya, pemilik toko menggelengkan kepala. Alasannya, sudah

ada pekerja. Alasan lainnya, tak terima pekerja paruh waktu.

Jika mau, ya harus bekerja sepenuh waktu.

Ah, Allah, mungkin aku belum beruntung. Kudatangi

deretan kios-kios kecil pada bagian utara pasar. Mungkin,

ada kios yang menampung mahasiswa untuk bekerja.

Sampai detik ini, aku belum menemukan orang yang mau

mempekerjakanku di kios atau tokonya.

Meski begitu, aku terus berusaha. Siapa tahu, Allah me?

nunjukkan satu pekerjaan. Bagiku, apa pun jenis pe?kerjaan

tak masalah. Yang penting bisa dikerjakan sembari kuliah.

Aku ingin terus melanjutkan pendidikanku.

BAB 7

Kerja Sosial

Cinta Kala Perang

aktu berputar mengitari bumi. Menemani pejalanan

hidupku. Menjadi saksi segala peristiwa.

Aku mengikuti putaran waktu. Seiring kuliahku yang

berjalan mengiringi putaran waktu. Tidak terasa, hampir

dua tahun, aku menetap di kota ini. Selama itu pula aku tidak

pernah menjenguk kampungku. Niat untuk pulang kampung

terganjal masalah keuangan. Setiap bulan Bu Keuchik mengi?

rimkan uang dari sewa tanah kebun dan sawah di kam?

pungku yang digarap orang lain. Jumlahnya tidak seberapa.

Namun, lumayan untuk biaya hidup.

Biaya hidup di kota ini sangat jauh berbeda dengan di

kampungku dulu. Di sana, uang seratus rupiah masih bisa

digunakan untuk membeli sesuatu. Cukup untuk membeli

kerupuk dan makanan ringan lainnya. Tapi, di kota ini uang

seratus rupiah tidak bisa untuk membeli apa-apa.

Namun, hidup harus terus berjalan. Aku terus mencoba

mencari pekerjaan, sembari menyelesaikan pendidikan.

"Tari, gimana lamaran kerjamu di LSM itu?" tanya Indah

ketika kami duduk di depan tembok kampus. Menunggu

dosen mata kuliah berikutnya masuk kelas.

" Entahlah. Besok baru tes wawancara," jawabku lesu.

"Tenang Tari. Bek luemeuh, jangan lemah. Tetap se?

mangat. Optimis. Aku yakin kamu bisa," Indah menghiburku.

Galau. Itu yang kurasakan. Kami duduk sambil menatap

ranting pohon waru di depan kampus yang menjuntai jatuh.

Daun-daun gugur dan terbang sesukanya.

Ingin rasanya berteriak dan mengatakan pada angin,

aku lemah, aku tidak mampu lagi. Selama ini pekerjaan

sebagai penulis lepas di media massa, hanya cukup untuk

biaya meng-kopi bahan kuliah saja. Selebihnya, aku terpaksa

Cinta Kala Perang

menahan lapar. Puasa sunah Senin-Kamis sudah biasa. Bukan

hanya karena ibadah dan menambah amal. Namun, karena

aku memang tak memiliki uang untuk membeli makan.

Puga Nanggroe, LSM paling terkenal di provinsi itu. Lembaga

ini konsen terhadap perdamaian dan menangani korban

konflik di daerah itu. Menurut informasi yang kuterima,

lembaga itu sangat jarang melakukan rekruitmen karyawan.

Sekitar delapan orang pekerja di lembaga itu, termasuk

direktur dan karyawan biasa. Mereka mementingkan kua?

litas karyawannya. Sehingga, wajar saja, setiap kali LSM

ini angkat bicara di media massa, kebijakan peme?rintah

daerah akan bergeser. Lembaga ini juga dikenal berhu?

bungan baik dengan tokoh kunci perdamaian antara geril?

ya??wan dengan negara.

Enam bulan terakhir, pemerintah dan gerilyawan sepakat

mengakhiri perang. Negosiasi perjanjian damai sedang

disusun. Tahap demi tahap daerah ini memasuki babak baru.

Menutup luka lama demi memperbaiki sebagian daerah

yang porak poranda karena perang dan tsunami.

Lembaga ini salah satu lembaga lokal yang aktif mengam?

panyekan perdamaian. Bagi lembaga itu, perang hanya

menyisakan duka, menambah jumlah yatim dan para janda.

Menyengsarakan seluruh generasi bangsa. Nah, di lembaga

itulah kukirimkan curiculum vitae dan lamaran kerja.

Cinta Kala Perang

Aku bersidekap. Jilbab kuning yang menjulur menutup
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dadaku terjuntai jatuh. Angin sore mengibas-ngibaskan jil?

bab besarku. Napasku melemah, namun aku terus berjalan,

menuju rumah Pak Yoga. Di rumah itu, aku menjadi guru

privat bahasa Inggris, untuk putra sulung keluarga keturunan

bangsawan daerah ini.

Pak Yoga, dosenku di kampus. Dia menawarkan pe?ker?

jaan untuk menjadi guru Si Ampon, putra bungsunya berusia

tujuh tahun.

Kuseret kaki perlahan melintas kota. Jarak antara rumah

kos dengan rumah Pak Yoga sekitar 25 kilometer arah timur

kota. Pak Yoga sengaja memilih menetap di pinggiran kota.

Sejarah mencatat, dulu di daerah itu ada sosok ulama karis?

matik, yang memimpin perjuangan terhadap penjajah

Belanda. Tengku Cot Plieng namanya.

Ulama itu memimpin perlawanan, mengajak seluruh

santri dan masyarakat untuk terus berjuang hingga tetes

darah terakhir. Dia rela mati, demi kedaulatan daerahnya dan

demi mempertahankan agama.

Jam tanganku menujuk angka empat. Tidak mungkin

aku berjalan menuju rumah Pak Yoga. Kuhentikan angkutan

umum, masyarakat menyebutnya labi-labi. Di dalam

angkutan, kupejamkan mata. Beristirahat sejenak, setelah

berjalan seharian. Aku harus menghemat. Jika naik becak,

khusus dalam kota ongkosnya 4000 rupiah. Jumlah itu sudah

cukup untuk membeli sayuran. Lebih baik berhemat dan

menggunakan tenaga pemberian Allah.

Di dalam labi-labi, kudengar suara seorang kakek di

depanku. Logatnya, khas orang luar pulau Sumatra.

Cinta Kala Perang

Dia bercerita dengan teman di sampingnya. Dari cerita?

nya, aku tahu, bahwa dia baru kembali ke daerah ini. Dulu,

ketika perang terjadi saban hari, dia memilih pergi ke luar

provinsi. Saat ini, perang mulai mereda. Namun, sesekali

suara senjata masih menyalak.

Sejurus kemudian, mobil itu berhenti. Seorang pria

menge??nakan kaos dan kacamata hitam naik. Lelaki ini

enggan tersenyum. Wajahnya kaku, kerut-kerut di wajahnya

terlihat jelas. Wajahnya yang berbentuk persegi semakin

menambah kesan bahwa pria ini keras dan angkuh.

Wajahnya menghadap ke arah kedua kakek tadi. Merasa

diperhatikan, sang kakek gugup. Matanya meredup. Seakanakan terjadi sesuatu pada mereka. Lelaki hitam tadi, mena?

tap sinis ke arah kakek itu. Namun, tidak sepatah kata pun

keluar dari bibirnya yang berwarna hitam pekat, seperti bibir

pecandu rokok.

Mobil terus melaju, pelan namun pasti. Maklum, ang?

kutan antardesa ini penuh sesak. Di dalamnya ter?bagi dua

jalur kursi memanjang. Satu kursi panjang ditem?pati tujuh

orang penumpang. Kedua jalur kursi saling berhadapan.

Kernet tidak pernah mau tahu, meski penumpangnya

ada yang memiliki badan tambun. Yang penting baginya

adalah tujuh orang untuk sederet kursi panjang. Angkutan

ini memang serba bisa. Bisa membawa bebek, ayam dan

segala jenis barang dagangan para petani. Bau solar sebagai

bahan bakarnya menusuk hidung. Membuat lambung

bergejolak, mendesak ke kerongkongan dan hendak me?

mun?cratkan isi perut melalui mulut. Namun, tak ada pilihan

lain untuk angkutan umum. Inilah angkutan paling mewah

di daerah ini.

Cinta Kala Perang

Untuk menuju arah timur kota, mobil ini angkutan satusatunya. Saat kakek itu turun, pemuda itu turut menurunkan

barang-barang kakek itu. Memang rasa kebersamaan dan

persaudaraan di daerah sangat kental. Masyarakat daerah

ini dikenal dengan watak keras, namun lembut dan sangat

sopan. Singkatnya masyarakat sering menyebutnya dengan

istilah mulia kejame, mulia keu seudara, memuliakan tamu,

sama dengan memuliakan saudara.

Seperti laki-laki berbadan tegap dan berkacamata hitam

tadi. Dari wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat. Namun,

ternyata malah dia yang membantu menurunkan barangbarang kakek itu. Manusia memang sukar ditebak.

Pak Yoga menyambutku dengan senyum khas. Dua lubang

kecil di kiri kanan pipinya terlihat jelas. Rumah panggungnya

sangat khas, rumah tradisional daerah ini. Bertangga tujuh

dan beratap rumbia. Seluruh bangunan menggunakan kayu

meranti. Tiang-tiang dicat hitam. Dinding dan pintu dicat

cokelat mengilap.

Ayah tiga anak ini sangat mempertahankan budaya dae?

rah. Prinsipnya sangat sederhana, menjaga budaya yang

telah membesarkannya. Dari pakaian dan desain rumah,

dosen paruh baya ini selalu menonjolkan unsur daerahnya.

Terlihat dari desain pintu khas daerah ini, melingkar seperti

sayap kupu-kupu di bagian jendela dan pintu rumah. Motif

pinto Aceh.

Di dinding rumah terpampang kaligrafi berukuran dua

kali ukuran kalender dinding. Bahkan salah satu kaligrafi di

Cinta Kala Perang

antara enam kaligrafi yang terpajang di dinding, berukuran

4x4 meter. Hampir memenuhi dinding rumah yang dicat

warna cokelat, dipadupadankan dengan merah bata.

"Mari, Si Ampon sudah menunggu dari tadi," Pak Yoga

mempersilakanku.

"Terima kasih, Pak?"

Aku nyaman di rumah ini. Pak Yoga dan keluarganya

sangat baik dan memperlakukanku seperti anak sendiri.

Pak Yoga memiliki tiga orang anak. Seorang putrinya telah

menikah. Sedangkan putra sulungnya sedang menyusun

skripsi di salah satu universitas di negeri jiran. Pelajar

daerah ini memang banyak belajar ke negeri jiran. Itu karena

hubungan yang baik antara kerajaan Aceh dan kerajaan di

negeri jiran tempo dulu.

Bahkan, dulu raja provinsi ini pernah memperistri se?orang

putri dari negeri jiran. Ini pula yang membuat hubungan itu

semakin kental. Bahkan, banyak cerita menye?butkan, negeri

jiran memudahkan pelajar dari daerah ini menimba ilmu di

sana. Sangat banyak pelajar di daerah ini diberi beasiswa

untuk kuliah di beberapa kampus milik pemerintah negara itu.

Angin berembus pelan mengantar sore ke peraduan sang

raja hitam. Pak Yoga dan istrinya tersenyum saat melihat

Ampon membaca dalam bahasa Inggris. Suara anak ini sangat

lucu, khas anak kecil.

"One, two, three...," kata Ampon membaca angka dalam

bahasa Inggris.

"Ampon... ampon. Buat kita tertawa saja," ujar Pak Yoga

sambil mendengarkan bacaan bahasa Inggris Ampon kecil.

Satu setengah jam berada di rumah itu membuatku

tenang. Tenang dengan sikap lembut Bu Yoga. Segelas air es

Cinta Kala Perang

merasuk ke tubuhku, membuatku segar. Aku pamit pulang

pada kedua orang yang sangat kuhormati itu, seiring

dengan camar yang pulang ke sarang, ketika malam mulai

menje?lang.

Keringat mulai mengalir dari pori-poriku. Padahal ruang itu

ber-AC. Aku gugup. Ini pengalaman pertama aku diwawancarai untuk sebuah pekerjaan. Aku melihat ke kiri kanan ruang?

an kantor LSM itu. Tampak beberapa foto tokoh dunia terpajang di sana. Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Soekarno,

dan tokoh-tokoh dunia lainnya terpajang rapi. Di sudut dekat

tangga, terpampang besar logo LSM itu.

Bismillah, namaku dipanggil. Kulangkahkan kaki dengan

pasti menuju ruangan direktur utama. Beberapa pertanya?

an mampu kujawab dengan baik. Bahkan saat direktur itu

meng?uji kemampuan bahasa Inggrisku, aku juga berhasil

men??jawab dengan lancar. Tidak gugup sedikit pun.

Tiga puluh menit berada di ruangan itu membuatku

sedikit tegang. Aku berusaha sesantai mungkin. Menurut

beberapa referensi yang kubaca, rumus pertama agar lulus

tes wawancara adalah, kita harus tenang. Tunjukan sikap

menguasai pertanyaan, dan jawablah pertanyaan sejujur

mungkin. Tidak mengada-ngada, apalagi terlalu berlebihan.

Harus santai dan jujur. Jika ini dilakukan, pasti lulus tes

wawancara kerja. Kurang lebih begitu tip cara mudah meng?

ikuti tes wawancara kerja yang kubaca.

"Oke Tari. Terima kasih telah mendaftar. Anda akan

dihubungi mengenai lulus tidaknya oleh bagian administrasi

Cinta Kala Perang

kami," ujar lelaki tambun, berjenggot dan berkacamata

minus itu sambil tersenyum.

Kutinggalkan ruangan itu. Udara air conditioner menyer?

gap wajahku. Dingin mulai merasuk kembali ke pori-poriku.

Lepas semua beban yang kuhadapi selama tiga puluh menit

tadi.

Aku keluar kantor itu menuju masjid. Waktu Zuhur telah

tiba. Kubasuh wajah dengan wudu, dalam hati tidak hentihentinya aku meminta agar Allah memberi petunjuk buatku,

mengampuni dosa kedua orangtuaku, dan memberikanku

kemudahan rezeki.

Lafaz zikir terus mengalir dalam hatiku. Pengumuman

lulus tidaknya aku berkerja di LSM itu, hanya hitungan menit

lagi. Jantungku mulai berdebar-debar. Namun, aku pasrah

pada Yang Mahakuasa, Yang Maha Memberi Segalanya.

Di luar matahari terik. Seakan memanggang penduduk

bumi. Entah kenapa hari ini, setiap kali aku melangkah,

dihantui ketakutan bahwa aku tidak akan lulus seleksi di LSM

itu.

Kutepis semua bayang itu dengan zikir dalam hati.

Bismillah, aku menuju warung internet dekat masjid. Pengu?

muman itu juga dikeluarkan di laman situs LSM tersebut.

Jantungku kian tak menentu. Bagai ranting rapuh, jatuh satusatu di terpa angin. Rapuh sekali, sehingga untuk mengakses

situs lembaga itu tanganku bergetar.

Terbayang lagi saat aku hidup bersama Emak di kaki

Leuser. Gunung yang indah itu, membuatku tegap dan kokoh

berdiri. Namun, hari ini seluruh persendianku seakan tak

kokoh pada otot-ototku. Sarafku seakan tak dapat berpikir.

Beku dan kaku.

Cinta Kala Perang

Perlahan kuketik laman situs LSM itu. Perlahan, bahkan

sangat perlahan layar situs itu terbuka. Jantungku berdegup

tak menentu.

Kulihat kembali daftar karyawan yang lulus seleksi. Ya

Allah, berikanlah aku kekuatan. Pelan-pelan kuturunkan

layar, jantungku rasanya berhenti berdetak. Napasku ter?

henti.

Ya Allah, ternyata aku lulus. Alhamdulillah. Tidak hentihentinya, aku bersyukur pada Allah. Setelah lulus, semoga

aku bisa hidup lebih baik. Tak terasa, butiran jernih perlahan

menetes di pipiku. Allah maha besar. Allah maha agung dan
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pujian lainnya kupanjatkan pada Allah.

"Indah, kamu di sini juga?" tanyaku pada Indah yang duduk

manis di meja resepsionis.

Aku tidak habis pikir, mengapa teman akrabku ini me?

nyem?bunyikan keberadaannya di lembaga penanganan kor?

ban konflik itu.

"Kenapa kamu tidak cerita, Indah?" Aku cemberut me?

lihat Indah yang hanya tersenyum.

"Tenang Tari, tenangkan dirimu. Aku tidak memberi?

tahumu, bukan berarti tidak sayang kamu. Kamu teman

terbaikku. Sekarang bekerjalah dan selamat bergabung di

Puga Nanggroe," ujarnya diplomatis.

Seluruh karyawan di lembaga itu dilarang menceritakan

keberadaan mereka pada teman-temannya. Tujuannya agar

tidak banyak orang mengetahui tindakan karyawan, sehingga

karyawan lebih nyaman dalam bekerja. Selain itu, agar tak

Cinta Kala Perang

terlalu banyak tamu datang ke kantor hanya untuk urusan

pribadi. Urusan pribadi bisa diselesaikan di luar kantor. Untuk

itu, seluruh karyawan dilarang membawa urusan pribadi

ke dalam kantor. Merahasiakan pekerjaan pada orang lain,

adalah salah satu cara agar jangan terlalu banyak temanteman karyawan yang datang ke kantor hanya untuk sekadar

mengobrol.

Setelah Indah menceritakan peraturan kantor itu, aku

bisa memahami mengapa dia tidak bercerita bahwa dia juga

bekerja di Puga Nanggroe.

Kini, aku resmi menjadi karyawan di lembaga itu. Hari

itu juga kami menuju salah satu bukit, di ujung kabupaten

ini. Di sana menurut data awal?meski telah didata jumlah

korban konflik?namun sampai saat itu masyarakat belum

menerima dana reintegrasi.

Dana itu dikucurkan melalui badan reintegrasi, salah

satu badan yang didirikan untuk menangani persoalan kor?

ban konflik. Mereka membayar uang ganti rugi bagi warga

yang rumahnya dibakar saat konflik terjadi. Program lain?

nya adalah memberikan uang tunai dan modal usaha

untuk masyarakat yang mengalami kekerasaan saat konflik

menyalak di daerah ini.

Sepanjang perjalanan menuju kampung itu, bekas rumah

terbakar dan gedung sekolah masih tersisa. Saat perang

masih terjadi, rumah-rumah di sana dan di seluruh daerah ini

tidak ada yang aman dari kobaran api. Sampai sekarang tidak

diketahui pasti siapa yang membakar sekolah atau rumah

warga tersebut.

Umumnya, pemerintah mencap pelaku pembakaran

rumah penduduk itu adalah orang tak dikenal (OTK).

Cinta Kala Perang

Selain itu, tuduhan miring kerap diarahkan pada pasukan

pengamanan negara. Pasukan diduga melakukan pemba?

karan. Kabar miring seperti itu sudah biasa terdengar ketika

perang terjadi.

Memang, pasukan pengamanan negara acap kali me?

lakukan penyisiran setelah atau sebelum terjadi kontak

tembak dengan para gerilyawan. Namun, belum tentu juga

mereka yang melakukan pembakaran tersebut. Sulit mencari

kebenaran di tengah perang dan situasi keamanan yang tak

menentu. Kebenaran selalu terselimuti kabut pekat. Entah

siapa yang benar, siapa yang salah.

Indah, turut menuju lokasi itu. Masyarakat di sana tam?

pak membicarakan hasil panen yang tidak memuaskan.

Padahal di sana sudah dibangun tanggul irigasi yang sangat

besar oleh pemerintah. Jarak antardesa ini dengan kota

sekitar 65 kilometer. Kicau burung menyambut kedatangan

kami. Udara cerah, langit bersih dan bersisik rapi.

Beberapa pos pasukan pengamanan negara masih tegap

berdiri di desa itu. Pos-pos itu akan selalu ada, jika provinsi

ini belum aman benar. Komando pasukan pengamanan

negara beralasan pos itu perlu didirikan untuk membangun

daerah paskaperang.

Dulu ketika konflik, pos itu untuk memburu para

gerilyawan. Kini, pos itu untuk membantu masyarakat mem?

bangun daerah paskaperang.

Menurut Indah, itu hanya sebuah sandi operasi militer.

Indah memang menangani riset dan advokasi di Puga

Nanggroe. Penampilannya sederhana, seperti kebanyakan

wanita daerah ini. Senyum tipis dan sorot mata tajam,

mengan?dung sejuta rahasia untuk melindungi masyarakat.

Cinta Kala Perang

Tidak jarang dia diteror oleh orang yang tidak di kenal.

Mungkin karena komentarnya yang sering kali pedas.

"Lihat itu Tari. Baru saja di situ terjadi pembunuhan

kepala desa. Daerah ini belum aman seratus persen. Kita

harus waspada," ucapnya sambil menunjukkan jembatan

rusak di desa itu.

Jembatan gantung dengan lantai papan lapuk. Sebagian

lantai terlihat patah, sebagian lagi sudah jatuh ke sungai

keruh. Tepat di ujung jembatan itulah ditemukan mayat

kepala desa tanpa kepala. Lehernya digorok. Darah segar

muncrat ke seluruh tumbuhan pakis di sekitar jembatan.

Nyawa manusia tak berharga di daerah ini.

Mobil terus melaju. Masyarakat di sana, sangat cu?riga

melihat pendatang dengan menggunakan mobil. Kecurigaan

ini menurut Indah, sangat wajar. Dahulu pasukan pengamanan

negara masuk ke desa-desa dengan berbagai alasan. Padahal

mereka intelijen yang ingin mengorek informasi tentang para

gerilyawan yang baru turun gunung dari masyarakat. Biasanya,

jika ada mobil yang masuk kampung, keesokan harinya akan

ada warga yang hilang dan tidak pernah kembali. Hilang entah

ke mana. Diculik orang tak dikenal, lalu dibunuh.

Hujan mulai turun satu-satu. Jalanan itu berlumpur.

Aku telah mengumpulkan data-data korban pembunuhan

ke?marin. Juga merekam seluruh keluhan warga terhadap

reintegrasi.

Seorang mantan gerilyawan bercerita dirinya sampai

hari ini kurang percaya terhadap proses perdamaian dan

pemberian dana reintegrasi. Dana reintegrasi menurutnya

pilih kasih. Bahkan banyak korban konflik yang belum mene?

rima dana yang bersumber dari kantong negara.

Cinta Kala Perang

Mantan gerilyawan di daerah itu mengaku selalu kha?

watir terhadap kegiatan pasukan pengamanan negara di

kampungnya.

"Tahun 1998, kita juga sudah damai. Tapi buktinya, akhir

2000 masyarakat kembali dihantui rasa takut. Saya khawatir.

Jino dame, singeuh prang lom, sekarang damai, eh besok

perang lagi," ujarnya lirih sambil membenarkan gendongan

putra bungsunya.

Memang konflik yang telah berlangsung tiga puluh tahun

lebih di daerah ini menyisakan duka dan kekhawatiran yang

mendalam. Selama itu pula, masyarakat terjepit seperti boh

limeng di ateuh bate neupeh. Seperti belimbing di atas batu

gilingan. Masyarakat sipil serba salah selama kurun waktu

itu. Sehingga, rasa curiga dan tidak percaya pada perdamaian

yang terjadi masih ada.

Mendung menggelayut menemani petir yang bersahutan. Hujan tampaknya tidak bisa dielakkan lagi. Kami

berencana pulang ke kota. Namun, hujan turun tiba-tiba.

Kami khawatir, mobil terjebak lumpur perbukitan. Sehingga

kami putuskan untuk menginap di desa itu.

"Beginilah kerja di LSM," Indah bersuara di tengah deru

angin bersahutan dengan pelepah pohon pinang.

Kulihat jadwal kuliah dan mengajar Ampon putra Pak

Yoga. Syukur hari ini aku tidak masuk kuliah. Aku kuliah Senin

sampai Kamis. Sedangkan mengajar Ampon, hanya hari

Minggu dan Senin Sore.

Senyum ikhlas warga kampung mengingatkan aku pada

Romi. Di manakah dia? Aku tidak pernah mendengar kabar?

nya. Ataukah dia telah menikah dengan orang lain di tempat

tugasnya? Terserah, semua kuserahkan pada Sang Pencipta.

Cinta Kala Perang

Wajah pasukan pengamanan negara di kampung itu

semakin mengingatkanku pada Romi.

Jika jodoh tak kan kemana. Allah mengatur jodoh dan

takdir hidup, ujarku dalam hati sembari bergabung bersama

Indah dan teman-teman lainnya di bawah kolong meunasah.

Sebuah tenda kecil untuk bermalam telah disiapkan sejak

gerimis datang menyapa. Kami tidak mau merepotkan warga

kampung. Meskipun beberapa warga menawarkan untuk

menginap di rumahnya. Rasanya terlalu merepotkan orang

lain.

BAB 8

Militer

Cinta Kala Perang

arum jam berdetak pelan, agak malas menghitung waktu.

Menemani malam menuju pagi. Menanti panasnya bumi.

Dingin mulai menusuk malam. Menembus tenda-tenda yang

kami pasang di bawah kolong meunasah.

Kami tidur pada dua tenda berbeda. Satu tenda khusus

laki-laki, tenda lainnya khusus wanita. Tiga pemuda kampung

menemani kami malam itu. Perbincangan mengalir pelan

ditemani kopi panas dan timphan asokaya atau lepat.

Kubuka buku catatanku. Jadwal kuliah, mengajar privat

serta bekerja sebagai pekerja LSM. Kucoba menjalankan

semua kegiatanku itu.

Dulu Emak berpesan, menjadi manusia harus pintar

membagi waktu. Jika sukses menaklukkan waktu, maka

sukses pula menaklukkan pikiran agar fokus pada pekerjaan

yang berbeda. Sehingga, antara pekerjaan yang satu dengan

pekerjaan yang lainnya dihasilkan dengan kualitas yang

sama. Kualitas bagus dan haram hukumnya mengecewakan

orang lain. Baik itu mengecewakan mitra kerja, lebih-lebih

mengecewakan bos tempat bekerja.

Tuhan telah membukakan hati mereka yang bertikai.

Mengakiri duka menganga sepanjang masa. Namun, meski

telah mencapai kata sepakat untuk berdamai, konflik masih

terjadi.

Mesiu masih menebarkan bau berbaur dengan udara.

Menyesakkan dada siapa pun yang menghirupnya. Keke?

rasan terhadap masyarakat sipil masih terjadi. Pemer?kosaan

menorehkan luka baru.

Aku heran. Tak habis pikir, dengan komitmen damai

ini. Masih terdengar cerita pasukan pengamanan negara,
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggoreskan darah pada sejumlah bunga desa. Kelopaknya

Cinta Kala Perang

layu lalu perlahan gugur ke tanah. Meninggalkan tungkul

bunga yang hidup segan mati tak mau. Menunggu takdir,

menunggu Tuhan menjemputnya untuk menutup mata

selama-lamanya.

Aku benci pada kekerasan. Benci akan pemerkosaan.

Pekan depan, di belahan dunia lain perjanjian damai akan

di?tandatangani antara pemerintah negeri ini dengan geril?

yawan. Tetapi, entah sampai kapan kekerasan terus terjadi.

Hari itu Kamis, butir-butir putih membasahi bumi. Deras me??

menuhi selokan dan menggenangi jalan. Kota Migas ini di?

kenal sebagai pusat perdaban Islam. Di sinilah, Islam mulai

menye?bar ke seluruh daerah di negeri ini. Siang itu dingin

menu?suk tulang. Kami kembali mengunjungi ujung timur

daerah ini. Tujuannya, untuk membina korban pemerkosaan

di sana.

Aku menemui Cut Nyak, salah seorang korban pemer?

kosaan di sana. Dia meronta saat kuajak bicara. Lalu, aku

mendekat. Mencoba duduk lebih dekat. Menatap matanya.

Membuatnya nyaman dan merasa aku di pihaknya. Kudekap

kepalanya, memberi rasa nyaman yang dalam pada?nya. Cut

Nyak berhenti meronta. Hanya terdengar suara seseng?

gukkan menahan tangis terpendam. Kubiarkan cucuran putih

di matanya membasahi bajuku.

"Ada apa ini?" tanya seorang laki-laki berbadan tegap di

tengah kesibukkanku memeluk Cut Nyak. Dia mengenakan

kaos dan celana jeans hitam plus topi loreng tersampir di

kepala.

Cinta Kala Perang

" Bapak siapa?" Indah angkat bicara.

"Sa. Saya hanya menjaga keamanan di sini. Kami sedang

bakti sosial di kampung ini."

"Anda pasukan pengamanan negara?"

"Ya. Kenapa wanita ini?" tanyanya sambil menunjuk Cut

Nyak.

Hening agak lama. Tak ada yang bersuara. Diam dalam

pikiran masing-masing. Gubuk itu, sangat sederhana. Bunga

anggrek mulai layu di pekarangan. Bekas-bekas pemer?

kosaan kemarin malam masih sangat terasa. Piring, gelas,

dan barang lainnya di rumah itu pecah. Belingnya berserakan

di lantai tanah yang tak dilapisi semen.

Cut Nyak, tinggal sendiri. Orangtuanya meninggal dua

tahun lalu. Sehari-hari gadis bermata sipit ini memanen coke?

lat di kebunnya. Sepulang dari kebun itulah, saat pang?gilan

untuk beribadah terdengar dari meunasah, peristiwa itu ter??

jadi. Rumah di kampung itu sangat jarang. Setiap rumah me?

miliki kebun cokelat dua sampai tiga hektare. Jeritan dan pang?

gilan minta tolong dari Cut Nyak hanya didengar oleh angin.

Sejurus kemudian, beberapa pria berbadan gempal

menyelinap masuk ke dalam pekarangan rumah. Senjata laras

panjang tersangkut di pundak mereka. Beberapa di anta?ra?nya,

memeriksa mobil kami yang terparkir di peka?rangan itu.

"Apa yang dapat kalian lakukan untuknya?" tanya lelaki

itu lagi.

"Kenalkan, saya Indah dari Puga Nanggroe."

Indah mengajak lelaki itu berkenalan. Tujuannya agar

pria berbadan gempal itu bisa diajak bicara dan sedikit lebih

santai.

"Topan, Topan Nugraha."

Cinta Kala Perang

Aku tergagap melihat gaya bicara lelaki ini. Persis, Romi.

Dadaku bergemuruh saat melihatnya bicara dengan Indah.

Penampilannya sederhana, wajahnya mengilap ber?cahaya.

Allah, mengapa aku teringat kembali pada Romi? Lelaki

yang entah di mana kini. Hanya kenangan yang tersisa. Aku

tak tahu dia hidup atau mati. Ataukah dia telah berada di

angkasa, bersama para penghuni surga? Allah, hilangkanlah

kenangan tentang dia dari ingatanku. Biarlah Romi hanya

menjadi kenangan. Tercatat dalam sejarah di relung hati.

Untuk bekal, kuceritakan ke anak cucu nanti.

Dulu, Romi mengatakan bahwa cinta tak kenal waktu.

Kapan pun cinta bisa datang dan pergi. Tanpa perlu izin dari

ini dan itu. Cinta sulit ditebak. Cinta harus dirasakan, tak

perlu bertemu muka. Cukup merasakan getaran jiwa. Namun

kini, cinta itu telah sirna, bersama perginya Romi entah ke

mana.

"Nak, militer itu satu di antara seribu yang baik. Mereka

hanya tahu membunuh dan menodai gadis-gadis." Suara

Emak terngiang di telinga.

Tidak, aku tidak boleh menatap wajahnya. Dia bukan

mahramku. Aku harus menenangkan hatiku. Romi, Topan

entah siapa lagi. Astagfirullah, aku harus menyaring nadiku

dari rayuan setan yang kian menggeliat. Aku trauma akan

cinta. Romi penyebabnya.

Wajar jika dulu Emak tak menyetujui hubunganku

dengan Romi. Buktinya, Romi melukaiku. Meski secara logika

profesi tak identik dengan tingkah laku. Semua pekerjaan

ada oknum yang nakal. Jaksa, hakim, militer, pegawai negeri,

wartawan, pasti ada satu atau dua orang yang nakal. Suka

menyakiti sesama, termasuk kaum hawa.

Cinta Kala Perang

Kutarik napas dalam-dalam. Nada suara dan gaya bahasa

lelaki ini memang persis Romi. Lembut, tegas tapi tetap

santun. Aku coba menenangkan diriku sendiri. Sial, kenapa

aku punya perasaan seperti ini?

Lelaki itu terus berbincang dengan Indah. Aku berusaha

menenangkan Cut Nyak dengan nyaman. Cut Nyak, sangat

takut melihat beberapa anggota pasukan pengamanan

negara yang mengenakan senjata laras panjang, mirip se?

napan. Cut Nyak berbisik pada telingaku.

"Ureung jih lage awak nyan. Orang yang memerkosa

saya, mirip seperti itu," bisiknya. Mulutnya persis di telinga?

Aku kembali mendekap kepala Cut Nyak. Membenam?

kannya ke dalam dadaku. Air matanya terasa mengalir per?

lahan, sedikit hangat.

"Tenang Cut. Nanti kamu kami bawa ke kota. Kita berobat

di sana. Tak usah takut dengan mereka. Tidak semua jahat.

Ada juga di antara mereka yang baik. Sama seperti kita,

ada juga petani yang jahat dan ada juga petani yang baik,"

jawabku menenangkan.

Lelaki tadi mengerlingkan matanya pada beberapa pa?

sukan pengamanan negara di pekarangan rumah itu. Kerlingan

itu membuat lima orang anak buahnya langsung pergi entah ke

mana. Aku menyesal melihat senyuman pasukan penga?manan

negara ini. Senyum manis lengkap dengan lesung di kedua pipi.

Indah masih bercerita dengan Topan. Waktu terasa

bergulir begitu cepat. Kami bergegas meninggalkan kampung

itu. Cut Nyak ikut serta.

"Hati-hati di jalan Mbak," ujar Topan sopan sambil mem?

bungkukkan badan tanda memberi hormat.

Cinta Kala Perang

"Terima kasih. Sampai jumpa lagi," Indah menjawab

sambil mengangkat tangan memberi hormat, layaknya

seorang militer pada atasannya.

Pria itu hanya tersenyum. Senyuman itu mengguncang

jantungku.

"Ah tidak. Aku tidak boleh tenggelam dalam rasa ini."

Kami bawa Cut Nyak ke kantor Puga Nanggroe. Harapan

kami hanya satu, wanita ini bisa pulih dari trauma yang selalu

menghantuinya. Terkadang dia menjerit, seakan tangan bejat

itu kembali menyapa tubuhnya.

Aku prihatin melihat Cut Nyak. Itulah perang dan

kekerasan. Sisa-sisanya membekas dalam ingatan warga.

Mungkin, para pejabat negara tidak pernah merasakan

semua itu. Merasakan sakit hati dan trauma. Juga, pihak

lain yang terlibat dalam konflik ini. Mereka mungkin lupa,

akibat konflik banyak warga yang kehilangan harta benda,

bahkan mahkota yang paling dibanggakan dan sangat

berharga, sirna bagai kapas ditiup angin. Terbang, melayang

entah ke mana.

Malam beranjak turun. Musim hujan mulai mencapai

puncaknya. Bulan Desember adalah musim hujan terparah

di daerah ini. Jika hujan turun, jalanan kota tergenang, banjir

di mana-mana. Kota ini tidak memiliki tata ruang dan sistem

drainase yang baik.

Lamat-lamat terdengar azan Magrib dari meunasah, aku

bersidekap dan berdoa agar dimudahkan rezeki dan dituntun

ke jalan yang benar oleh Sang Khalik.

Cinta Kala Perang

Kurapikan semua perlengkapan shalat. Kubuka catatan

kuliah. Besok pagi aku harus presentasi tentang komunikasi

politik di kampusku. Kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi

membuatku semakin banyak menulis dan membaca refe?

rensi dari buku dan media daring.

Kampusku memang universitas negeri, namun, fasilitas

di dalamnya belum standar. Belum ada internet gratis

untuk seluruh mahasiwa di semua ruangan. Jaringan WIFI

hanya tersedia di perpustakaan. Meski begitu, aku tetap

bangga bisa kuliah di kampus itu dan jurusan yang kusukai.

Kelebihannya, jurusan ini hanya satu-satunya di provinsi ini.

Universitas tertua saja yang berada di ibu kota provinsi ini,

tidak memiliki Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di mana

jurusan Ilmu Komunikasi berada di bawahnya.

Kebanggaanku semakin bertambah saat melihat kawankawan yang berminat di dunia jurnalistik sudah menjadi

wartawan lepas di beberapa media lokal dan nasional. Bahkan,

ada yang menjadi presenter di TV lokal milik pemerintah

daerah.

Ini yang membuatku betah. Apa pun ceritanya, krea?

tivitas mahasiswa sangat menentukan kualitas alumni.

Maha?siswa kreatif dan didukung dengan fasilitas yang

me?ma?dai, maka tercapailah cita-cita pendidikan untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang di tuangkan

dalam pembukaan Undang-undang negeri ini. Namun,

meski fasilitas terbatas, jika mahasiswa kreatif, tetap saja

meng?hasilkan lulusan yang cerdas. Tak kalah dengan lulusan

univer?sitas ternama di negara ini.

Kutandai beberapa materi yang akan kupresentasikan

besok. Kubaca lagi referensi yang kupinjam dari perpusta?

Cinta Kala Perang

kaan sore tadi. Dua jam aku tenggelam dengan bukubuku komunikasi politik itu. Mencoba memahami cara
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkampanye yang baik, menyampaikan gagasan pada publik

dan teknik merayu massa. Mataku menyusur kata demi kata

dalam buku. Mencoba merekam maknanya dalam ingatan.

Jam berdentang sepuluh kali. Perutku mulai sakit.

Massya Allah, aku belum makan. Entah mengapa, akhir-akhir

ini, nafsu makanku menurun. Seakan aku tak pernah ingat

makan siang atau malam. Anehnya, perutku seakan kenyang

terus. Tanpa lapar. Sehari terkadang aku makan hanya sekali

pada pagi hari.

Aku beranjak menuju dapur. Mengambil nasi dan ikan

gembung sambal goreng. Ini menu favoritku. Hanya bebe?

rapa sendok nasi masuk ke mulutku, seakan perut ini sangat

kenyang. Padahal, selain gembung goreng, ada juga sayur

kuwah pliek (patarana), makanan favoritku dan kebanggaan

masyarakat daerah ini.

Sayur ini banyak campurannya. Dari melinjo, daun ubi,

daun pepaya, dan beberapa sayur lainnya di masak secara

bersamaan. Pliek terbuat dari buah kelapa yang dibusukkan.

Kemudian dijemur, minyaknya diambil untuk minyak goreng.

Ampas kelapanya lalu dimasak hingga hitam dan mengental,

kemudian dijemur sampai kering. Ampas kelapa kering inilah

yang di sebut pliek. Jika melihat proses pembuatannya,

memang tidak menarik untuk dinikmati. Bahkan terasa agak

jijik dan membuat isi perut bergejolak.

Namun, jika mencicipi kuwah pliek ini, dijamin semua

orang akan senang dan ketagihan. Rasanya lemak, pedasnya

terasa dari lidah sampai ke tenggorokan. Inilah makanan

tradisional daerah ini yang masih sangat original. Belum

Cinta Kala Perang

termodifikasi oleh kecanggihan teknologi yang semakin

"menggila".

Setelah membereskan buku-buku kuliah dan kerja besok.

Aku mulai menghadap ke depan komputer yang telah tiga

hari tidak kusentuh. Aku tidak pernah meninggalkan dunia

menulisku. Meskipun honornya tak seberapa, dunia menulis

ini membuatku sangat bahagia. Bahkan kawan-kawan di

komunitas, mengatakan menulis itu membuat sehat.

Sebenarnya, ini pekerjaan yang menjanjikan dan

menyenangkan. Aku berusaha menggapai cita-cita menjadi

penulis ini. Merangkai kata menjadi kalimat, menyajikan

kepada pembaca dan mendapatkan honor.

Kutenggelamkan diri dalam naskah cerita yang sedang

kutulis. Selama tiga hari ini, banyak cerita yang terekam

di memoriku. Cerita tentang Cut Nyak, tentang korban

pembunuhan dan fenomena sosial lainnya yang sempat

kuamati. Tanganku terus menari di atas tombol-tombol kom?

puter.

Aku tidak mau sampai terjerumus menjiplak ide cerita

penulis lainnya. Di negeri mana pun, aku rasa menjiplak tidak

pernah dibenarkan. Buktinya banyak penulis di beberapa

negara akhir-akhir ini meminta disahkannya undang-undang

hak cipta. Ini melindungi karya penulis jika suatu saat nanti

ditiru oleh penulis lainnya.

Sejam duduk di depan komputer membuatku senang.

Rasa bahagia memenuhi relung hati. Setiap cerpenku selesai,

ada rasa bangga tersendiri dalam benakku. Meskipun belum

tentu cerpen itu dimuat ke media yang aku kirimkan. Paling

tidak aku telah berkarya, dan tidak hanya duduk cang panah,

berbicara ke sana kemari tanpa makna.

Cinta Kala Perang

Kuperiksa baris per baris, jangan ada salah ketik. Kubaca

sekali lagi. Selesai sudah cerpen itu. Kusimpan di flasdisk,

untuk dikirim besok siang melalui warung internet.

Astagfirullah kenapa aku seperti ini? Setiap kali teringat

Cut Nyak, korban pemerkosaan itu, aku selalu ingat Topan

Nugraha. Ada apa ini? Jangan-jangan dia yang melakukan

pemerkosaan itu. Ah tidak-tidak! Aku tidak boleh menuduh

orang lain tanpa bukti. Aku tidak ingin berdosa.

Aku menggerutu sendiri. Malam kian pekat. Hujan reda

sejam lalu. Suara jangkrik nyaring terdengar, seakan riang

karena hujan telah berhenti. Angin malam mengibas daun

jendela dan menyingkap gorden dengan lembut.

Kututup jendela dan mengunci pintu kamar. Kuperiksa

lagi, pintu depan rumah kos. Ibu kos terkadang lupa

mengunci pintu gerbang yang terbuat dari besi-besi kecil se?

be??sar jari manis dan menjulang tinggi. Maklum usianya telah

senja.

Setelah semuanya aman, aku membaca doa tidur.

Bismillah. Keamanan rumah menjadi tanggung jawabku

sepenuhnya. Aku sangat khawatir dengan perkembangan

keamanan akhir-akhir ini. Sekilas tampak baik-baik saja,

padahal, di sudut lain banyak orang-orang yang tidak ber?

tanggung jawab melakukan perampokan di jalan raya.

Bahkan, satu minggu terakhir perampokan semakin

"menggila" di daerah ini. Dari rumah sampai pom bensin

men???jadi lokasi perampokan. Sampai detik ini, belum seorang

pun pelaku yang berhasil dibekuk.

Cinta Kala Perang

Masyarakat daerah ini, menyebutkan, pelakunya berasal

dari luar kota. Hal ini disimpulkan, karena sebelum konflik

reda di daerah ini, tidak pernah terdengar pom bensin

dirampok. Hanya pembunuhan yang terjadi di daerah ini,

tanpa perampokan.

Bulu kudukku merinding mengingat pembunuhan dan

cerita tragis lainnya. Semuanya kuserahkan pada Allah, apa

pun yang terjadi nanti. Setiap detik dan tarikan napas yang

mengalir, aku selalu meminta agar Allah melindungiku dari

tangan-tangan kotor manusia berhati buaya. Aku tidak ingin

peristiwa tragis seperti Cut Nyak menimpaku.

Di luar rumah, jangkrik bersahutan tiada henti. Menim?

bulkan bunyi nyaring dengan nada yang sulit ditebak.

Terkadang kencang, lain waktu pelan tanpa putus. Sambung

menyambung dengan suara jangkrik lainnya.

Kubaca beberapa buku sebagai pengantar tidur. Umum?

nya aku membaca novel. Memang kebiasaan burukku, sebe?

lum tidur aku harus membaca terlebih dahulu. Beberapa

kalangan mengatakan membaca sebelum tidur akan mem?buat

kita teringat besok pagi tentang apa yang kita baca malam

itu. Ada juga yang menyebutkan, membaca memang dapat

menimbulkan rasa kantuk. Sehingga, bagi orang yang sulit

tidur sangat dianjurkan untuk membaca. Ya, membaca obat

mujarab bagi penderita insomnia. Aku membaca bukan hanya

sekadar ingin belajar, tapi juga ingin menghilangkan pengaruh

insomnia.

Cinta Kala Perang

Aku berjalan di pelataran kota, melewati taman tempat

berkumpulnya para seniman muda kota itu. Kulihat bebe?

rapa seniman kampus duduk dengan santai, membaca

musikalisasi puisi, berlatih drama, dan atraksi lainnya.

Mereka sangat bahagia dengan dunianya, seperti aku yang

bahagia dengan dunia menulis ini.

Matahari belum merangkak naik, hangatnya terasa segar

menyentuh kulit. Pagi itu, aku dan teman-teman berkumpul

untuk membedah cerpenku yang dimuat di salah satu

koran nasional Minggu lalu. Kegiatan ini memang rutin kami

lakukan pada Minggu kedua setiap bulannya. Tujuannya

untuk bertukar pengalaman di bidang penulisan. Sesekali,

kami juga berdiskusi dengan penulis senior yang rela datang

dari ibu kota, tanpa dibayar sedikit pun. Kehidupan menulis

membuatku nyaman, hidup tanpa beban dan semuanya yang

terjadi kujadikan cerita dalam tulisanku. Mengalir mengiringi

duniaku, langkah dan gerakanku.

Beberapa teman menyambutku dengan senyuman.

Senyuman yang selalu menambah baterai semangat.

Mereka pula yang setia mengkritik karya-karyaku. Bagiku kri?

tik adalah masukan positif untuk memperbaiki karyaku ke

depan. Oleh karena tanpa mereka, aku yakin karyaku tidak

akan pernah maju dan lolos di media nasional yang sangat

ketat dalam menyeleksi naskah itu.

Bahkan, ada beberapa kawanku yang kapok mengirimkan

karyanya ke media-media nasional. Standardisasi sastra di

media lokal memang sedikit lebih longgar jika dibandingkan

dengan media nasional. Wajar saja, honor media nasional

untuk satu karya sama dengan honor pegawai honorer yang

tak kunjung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Cinta Kala Perang

Media nasional umumnya membayar satu cerpen 500 ribu

rupiah sampai 1 juta rupiah.

"Siapa yang menjadi pemateri hari ini?" tanyaku setelah

merapikan duduk di salah satu kursi di taman penuh

tumbuhan rindang dan hijau ini.

Taman ini, setiap Minggu pagi ramai dikunjungi warga

kota. Ada yang sekadar mengajak bermain anak-anak me?

reka. Ada pula remaja yang istirahat menikmati sejuknya

taman kota setelah berolahraga. Penghuni tetap taman itu

adalah para pegiat budaya.

"Itu, Bang Ampon."

Taufik temanku menunjuk dengan kerlingan matanya ke

arah laki-laki yang tengah bermain gitar dengan para pelajar

yang tergabung dalam group musikalisasi puisi.

Nada yang keluar dari dawai gitarnya menyejukkan hati.

Mengalun pelan, sesekali ditimpali petikan-petikan merdu

dari senar gitar, disusul petikan musik keras. Entah kenapa,

nada yang dipetik lewat senar gitar itu membuatku senang.

Aku tak tahu nada lagu apa yang sedang dimainkan. Namun,

aku suka nada itu. Santai, pelan namun penuh makna. Aku

mengulas senyum, menikmati lirik gitar yang mengalun

syahdu bersama desau angin lalu lalang.

"Lho, kok duduk di sana? Katanya jadi pemateri kita?"

tanyaku heran, senyum masih menghias bibirku.

Taufik menceritakan sedikit tentang Bang Ampon. Menu?

rut kabar yang di dengarnya, Bang Ampon putra asli kota ini.

Selama ini, dia melanglang buana keluar negeri, untuk kuliah.

"Di negeri jiran, dia dikenal sebagai penulis andal. Dia

juga yang memperkenalkan cerita tentang konflik di daerah

ini melalui cerpen-cerpennya di dunia internasional."

Cinta Kala Perang

Taufik terus bercerita, layaknya seperti komentator

sepakbola yang bicara tanpa henti mengomentari gaya

permainan tim sepak bola. Sekilas aku melirik ke arah Bang

Ampon yang katanya sangat luar biasa itu.
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari cerita Taufik, aku salut pada sosok pria jangkung itu.

Meskipun merantau di negeri orang, dia tetap komit pada

cerita daerahnya. Tindakan yang patut ditiru generasi daerah

ini.

Sejak konflik di negeri tak bertakhta ini, banyak pemikir

daerah ini yang hengkang ke negeri jiran. Konflik tidak

membuka celah buat mereka berkarya di daerah. Mungkin,

angin perdamaian yang membuat Bang Ampon kembali

ke daerah asalnya. Aku sedikit grogi saat tatapan mataku

bertemu dengan mata Bang Ampon. Secepatnya, kualihkan

mataku ke tempat lain. Menatap orang-orang di taman

dengan kesibukannya masing-masing. Denting gitar ditimpali

bait puisi terdengar. Seakan menjadi pengamen bagi pengun?

jung taman lainnya.

Taufik menghentikan ceritanya. Teman-teman yang lain

sudah berdatangan. Teman-teman jarang tepat waktu. Entah

karena apa. Hampir semua kawan selalu telat setengah jam

dari jadwal yang ditentukan.

Melihat kami mulai ramai berkumpul, Bang Ampon

men?dekat. Senyum tipisnya terlihat jelas. Wajahnya putih

bersih. Penampilannya sangat rapi. Berbeda dengan musisi

atau seniman kebanyakan yang serba gondrong. Bang

Ampon tampak percaya diri dengan rambut cepak dan kumis

tipisnya. Mengenakan kaos warna oranye dan jeans warna

biru muda dipadu sepatu sport senada dengan warna celana.

Terlihat menawan dan tampan.

Cinta Kala Perang

Sejurus kemudian Bang Ampon memperkenalkan diri.

Dia mengaku hanya sebagai penulis biasa, seperti penulis

lokal kebanyakan.

"Tidak ada yang lebih dalam diri saya. Saya di sini, hanya

berbagi pengalaman," katanya merendah.

Pria ini murah senyum. Setiap kali bicara, senyum tipis

selalu menghiasi bibir yang basah berwarna merah muda.

Menambah kesan bahwa dia orang yang bersahabat. Bukan

tipe manusia angkuh dan sombong.

Taufik menyerahkan beberapa naskah yang kami tulis

pada Bang Ampon. Sejurus dia terdiam. Membaca perlahan

salah satu naskah di tangannya.

" Cut Tari? Ada orangnya tidak?" dia memanggil namaku

sambil tersenyum. Dia duduk bersila di atas kursi panjang

taman yang dicat hijau, senada warna daun aneka pohon.

Aku mengangkat tanganku sambil tersenyum tipis dan

tidak berani menatap wajah Bang Ampon. Aku merasa

sangat kecil di depan seniman dan sastrawan yang satu ini.

Mungkin, karena cerpenku yang akan dibedah, membuat

jantungku berdetak kencang dan darahku mengalir begitu

deras.

"Saya baca cerpen kamu Minggu kemarin,"ujarnya.

Tangannya memegang kliping cerpenku. Matanya serius

menatap baris demi baris kliping koran. Lalu mendongak,

menarik napas pelan sambil tersenyum. Menurut Bang

Ampon, kualitas cerpenku mulai tampak nilai-nilai sastra

lokal daerah ini. Nilai lokal yang sangat dalam. Untuk mem?

bangun sastra di daerah ini, tidak haram bagi penulis meng?

gunakan bahasa daerah ke dalam karyanya. Toh, penulis

daerah lainnya juga menggunakan gaya ini.

Cinta Kala Perang

Jadi, harus berani menggunakan bahasa daerah di selasela untaian kata dalam karya. Tujuannya memperkenalkan

bahasa daerah ke penghuni bumi. Menasionalkan bahasa

daerah. Semakin banyak karya memasukkan unsur bahasa

daerah di dalamnya, maka semakin banyak pula orang

mengenal bahasa daerah itu.

"Saya, meskipun di negeri jiran, Malaysia, tetap percaya

diri menggunakan potongan bahasa daerah. Saya menilai,

cerpen Tari ini layak jual karena penokohan yang kuat dan

latar Aceh yang sangat kental. Ini sangat membanggakan kita

semua."

Hening dan diam agak lama. "Saya bangga dengan karya

ini." Bang Ampon terus membahas tulisanku.

Buk! Aku terjatuh, wajahku mencium lantai. Aku meng?

ingat-ngingat apa yang terjadi. Ah rupanya aku hanya

bermimpi. Sudah lama sekali aku tidak bermimpi. Ini mimpi

pertamaku setelah sekian lama dan menyenangkan.

Terkadang aku meminta diberikan mimpi indah saat

tidur dan malam mendekapku. Baru kali ini aku bermimpi.

Mimpi yang sangat mengesankan. Aku berharap, satu hari

mimpi ini akan menjadi kenyataan. Aku bangga dengan

mimpi itu, karena karyaku dibedah oleh penulis ternama.

"Pagi, bungong lam on, pagi bunga di balik daun.

Segar dan ceria sekali hari ini. Ada apakah gerangan

Nona cantik?" Indah menggodaku saat aku memasuki

ruangan kantor pagi itu.

Cinta Kala Perang

Puga Nanggroe masih sep. Hanya Indah yang

duduk di ruang depan. Selembar koran berada di

tangannya. Ruangan yang dicat biru muda itu tampak

lengang sekali.

"Yang lain belum datang?" aku tidak melayani

godaan Indah.

"Cup cup cup, tenang Nona. Gata keuh pujaan

hate lon, kamulah pujaan hatiku."

Indah semakin aneh. Aku tidak mengerti arti

ucapannya. Matanya mengerling nakal. Sesekali sengaja

dikedip-kedip?kan, seperti tatapan pria penggoda wanita.

"Ada apa? Kamu kok aneh."

" Ini dia."

Indah mengeluarkan sekuntum mawar merah

dari laci dekat tempat duduknya. "Ini untukmu."

Senyumnya dan tatapan matanya menggodaku. Di

bunga itu, tertulis kalimat singkat.

Bunga ini sebagai salam kenal buatmu.

(Topan Nuggraha).

Aku teringat nama itu, anggota pasukan pengamanan negara

yang pernah kami temui beberapa waktu lalu. Apa maksudnya

mengirimkan bunga? Ada apa ini? Ada-ada saja, pikirku. Aku

tidak bisa menampik hati kecilku. Aku memang senang akan

bunga. Jujur, senang juga menerima bunga pemberian orang

lain. Namun, ini kali pertama aku menerima mawar dari

seorang pria, anggota militer pula.

Cinta Kala Perang

Indah masih tersenyum-senyum. Matanya sesekali me?

lihat ke arah koran di tangannya. Aku meletakkan bunga itu

ke dalam laci meja kerjaku. Aku tidak mau semua karyawan

mengolok-olokku pagi ini, karena mendapatkan bunga dari

seorang militer yang tidak jelas maksud dan tujuannya.

"Bunganya bagus ya, harum lagi," celoteh indah berdiri di

depan kubikelku. Alisnya dinaik-naikkan. Mengodaku dengan

segumpal senyum di bibirnya yang tebal.

"Indah, sudah cukup. Jangan mengodaku lagi."

Indah hanya tertawa melihat aku uring-uringan. Dia

sangat puas bisa menggodaku pagi ini. Melihat aku yang

tersipu malu dengan pipi memerah.

BAB 9

Amplop

K u ning

Cinta Kala Perang

ari... ke mari! Ada surat buatmu," ujar Ibu kos me?

manggilku.

Dia berdiri di depan pintu sembari memegang amplop

warna kuning tua. Aku baru tiba di rumah. Mempercepat

jalan ketika mendung menggantung di langit. Beruntung aku

tiba di kos sebelum mendung berubah menjadi bulir hujan.

"Ini surat buatmu. Tidak tahu dari siapa. Tadi pagi, Pak

Pos datang dan memberikan surat ini," ulang Ibu kos.

Kuperhatikan nama pengirim di surat itu. Ibu Darwanti.

Aku tak kenal nama itu. Selama ini, hanya satu orang yang

mengirimiku surat, yaitu Bu Keuchik. Isi surat pun biasanya

hanya menjelaskan kondisi kebun, hasil kebun dan kabar

keluarga Bu Keuchik.

"Siapa ya Bu? Saya tidak kenal dengan pengirimnya?"

"Dibaca saja dulu."

Perlahan kusobek amplop itu. Selembar kertas putih

dengan tulisan warna biru keluar. Tulisan itu penuh satu

halaman. Bu kos berlalu, meninggalkanku sendiri.

Kepada Yth

Nak Tari

di tempat

Assalamualaikum Wr Wb

Apa kabar. Sebelumnya, saya memperkenalkan diri.

Saya Darwanti, ibu dari Romi, orang yang dulu pernah

berhubungan dengan Nak Tari. Sudah lama Ibu ingin

mengabarimu tentang kondisi Romi. Namun, ibu tak

tahu alamatmu.

Cinta Kala Perang

Belakangan, sekitar seminggu yang lalu, saya bertemu

Bu Keuchik. Saat itu, sebenarnya saya mencarimu

ke desa kalian. Saya tahu nama desa itu setelah

membongkar isi lemari Romi. Dia menulis namamu dan

alamat desamu pada salah satu kertas yang disimpan

dalam lipatan baju di lemari kamar.

Nak, ceritanya agak panjang. Setahun lalu, Romi ber?

tugas melaksanakan tugas negara melawan kelompok

pemberontak. Satu malam menjelang subuh, kontak

tembak terjadi antara pasukan Romi dan para gerilyawan.

Romi tertembak pada bagian kepala dan jantungnya. Dia

dipercaya menjadi komandan regu saat itu. Romi bersama

tujuh personelnya sedang melaksanakan patroli rutin

di desa-desa dekat pos militer. Saat patroli itu, dua

gerilyawan menyerang mereka. Romi salah satu korban

kala itu.

Nak, saat perang berlangsung, Romi sangat gigih

menyelamatkan anggotanya. Dua anggotanya meninggal

dunia. Dia berusaha melawan sekuat tenaga, meski dia

sendiri telah terkena peluru. Saat pasukan bantuan

datang dan gerilyawan itu bisa dilumpuhkan. Namun,

kondisi Romi kritis. Tubuhnya mengeluarkan banyak

darah. Seluruh pasukan sepakat membawanya ke rumah

sakit militer di Lhokseumawe, di kotamu saat ini.

Sejak masuk rumah sakit, dia tak sadarkan diri.

Dokter berhasil mengeluarkan peluru dari kepala
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan jantungnya. Dia dirawat selama sepuluh bulan

Cinta Kala Perang

di rumah sakit itu. Perlahan kondisinya membaik.

Namun, dia tak bisa bicara, tak bisa mengingat, dan

tak bisa bergerak. Seakan-akan dia sudah mati. Hanya

matanya yang masih terbuka dan napas keluar pelan

dari hidungnya. Lalu, kami memutuskan, membawa

Romi berobat ke salah satu rumah sakit di Penang,

Malaysia. Sebulan di sana, tim dokter meyatakan harus

dilakukan operasi sekali lagi. Pecahan peluru masih

menempel di otaknya.

Air mataku mulai menetes. Aku tak siap menerima kabar

ini. Rasanya aku bisa merasakan penderitaan yang dialami

Romi. Sakitnya bisa kurasakan. Seolah-olah aku yang terkena

peluru. Tanganku gemetar memegang kertas putih berisi

coretan pena warna biru muda itu.

"Kenapa Tari?" suara Ibu kos mengejutkanku. Sejurus

hening. Ibu kos datang tiba-tiba setelah mendengar isak

tangisku yang memecah hening kamar.

"Romi Bu. Romi, lelaki yang pernah dekat denganku. Dia

telah meninggal dunia hiks hiks hiks."

Tangisku pecah. Aku tak sanggup menahan luka ini. Ibu

kos mendekapku. Memegang kepalaku dan menjatuhkan ke

pundaknya. Mencoba memberi rasa nyaman dan me?nen?

teramkan aku.

"Menangislah. Keluarkan beban di dadamu dengan me?

nangis. Ibu ada di sini. Tenangkan dirimu Nak."

Perlahan kubaca lagi surat itu.

Nak... kamu tahu, kami juga bukan dari keluarga

berada. Seluruh kebun dan sawah kami jual untuk

Cinta Kala Perang

pengobatan Romi. Kami ingin dia sembuh. Meski

mungkin akan cacat, yang terpenting dia bisa bicara dan

senyum seperti dulu lagi. Namun, harapan itu sirna.

Romi telah tiada.

Dia pergi dengan tenang, bahkan sambil tersenyum.

Pergi untuk selama-lamanya, menghadap Sang

Pencipta. Meninggalkan luka di dada kami. Mungkin

juga luka buatmu.

Nak, maafkanlah ibu yang telat memberitahumu. Ibu

tidak mengetahui hubungan kalian. Ibu baru tahu

bahwa kamu adalah wanita spesial bagi Romi setelah

membaca catatannya.

Dalam catatannya, Romi menuliskan dia ingin kamu

menjadi istrinya. Ibu dari anak-anaknnya kelak. Dia

memang jarang berkirim kabar. Itu karena medan

tugas di pedalaman. Dia tak bisa keluar semba?

rangan menuju kantor pos yang hanya ada di ibu kota

kecamatan. Mereka hanya bisa keluar dari pos pen?

jagaan sebulan sekali. Itu pun dengan senjata di tangan.

Nak, maafkanlah seluruh kesalahan Romi padamu.

Agar dia tenang di alam sana,doakanlah agar dia

masuk surga.

Nak....

Jika satu waktu kamu ingin mengunjungi Romi,

kunjungilah tempat pemakaman umum Kutarih,

Kutacane. Di sanalah kami memakamkannya. Makam

Cinta Kala Perang

Romi mudah ditemui, persis berada di samping kiri

gerbang TPU itu. Nisannya kami cat dengan warna biru.

Warna itu warna kesukaan Romi dan belakangan Ibu

tahu juga kesukaanmu.

Nak....

Meskipun Romi telah tiada. Kami harap, kamu masih

menganggap kami sebagai orangtuamu. Jika ada waktu,

singgahlah ke rumah. Kita masih sebagai keluarga

bukan?

Nak....

Maafkanlah jika selama ini Ibu bersalah. Atas nama

Romi dan seluruh keluarga besar, saya minta maaf.

Doa kami agar kamu sukses menjalani kehidupan,

meski tanpa Romi. Cobaan ini memang berat. Kita harus

mengikhlaskan dia pergi. Agar dia tenang selamalamanya.

Wasalam

Darwati

Kulipat kertas putih itu. Memasukkannya kembali ke dalam

amplop. Kuceritakan tentang hubungan dan cita-citaku

bersama Romi pada Ibu kos. Wanita ini penuh perhatian,

mendengarkan ceritaku. Mendekapku dan memintaku sabar

menghadapi cobaan hidup yang bertubi-tubi, seakan tiada

habisnya.

"Sekarang, kamu makan dulu. Sebentar lagi azan Magrib.

Ayo... makan bersama Ibu."

Cinta Kala Perang

Kami menuju meja makan. Baru kali ini aku makan

bersama Ibu kosku. Selama ini, aku makan sendiri di kamar

kosku. Ibu kos memasak sayur daun ubi ditumbuk, sambal

terasi dan sambal goreng udang. Makanan itu sebenarnya

nikmat sekali. Namun, lidahku kecut. Selera makanku hilang.

"Tari, dimakan nasinya. Sedikit saja. Ibu bisa memahami

perasaan dan pergolakan jiwamu."

"Iya Bu. Terima kasih."

BAB 10

Bersaudara

Cinta Kala Perang

aktu berputar terlalu cepat. Perubahan datang

dan pergi tak diundang. Peristiwa datang silih ber?

ganti. Malam ini, kelopak mataku enggan tertutup. Nanar

menatap langit-langit kamar. Sinar bulan menerobos lewat

celah dinding papan. Di antara sinar itu wajah Romi seakan

menyapaku. Terlihat jelas, dia mengenakan celana jeans

biru muda, kemeja lengan pendek dengan corak kotak-kotak

warna biru. Rambut cepak, rapi dengan jambang melingkar

di pipi. Tampan sekali.

Masih teringat jelas caranya menyapaku dengan lem?

but. Suaranya yang serak-serak berat terdengar pelan.

Mengutarakan janji-janji tentang masa depan kami. Ber?

keluarga. Jika punya anak, maka kami akan memasuk?kan?nya

ke Fakultas Kedokteran. Agar bisa membantu masyarakat

yang sakit dengan biaya murah. Romi... mengapa cinta kita

berakhir begini?

Selama ini, kita berusaha saling menjaga komunikasi dan

hati. Agar kita masih bisa mendapat lindungan Ilahi. Bukan

berpacaran layaknya remaja masa kini. Kita hanya berkirim

surat. Jarang bertemu secara nyata. Jika pun bertemu selalu

di tempat keramaian dan terbuka.

Romi, semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Dosa

yang tak bisa menjaga hati. Tak bisa berpacaran setelah

menikah nanti.

Kuambil selembar kertas. Surat dari Ibu Romi harus

kubalas. Aku ingin mereka mengetahui kabarku dan sikapku

tentang Romi. Jauh di relung hatiku, nama itu masih ada,

meski mulai kabur termakan waktu, belum ada nama lain di

situ.

Cinta Kala Perang

Lhokseumawe, 17 November 2012.

Ibu Darwanti yang baik

Surat ibu sudah saya terima. Saya sangat terkejut dan

tidak siap mendengar kabar tentang Romi. Jujur saja,

selama ini saya berusaha melupakannya, karena tidak

pernah mengirimkan pesan apa pun. Namun, bayangan

wajahnya kerap hadir di depan saya.

Ibu... saya sangat berduka atas meninggalnya Romi.

Jujur, saya memang sangat-sangat mencintainya. Dulu,

kami menyusun program hidup bersama, membesarkan

anak-anak dan menghabiskan hari tua bersama sampai

azal menjemput.

Namun, kini semua itu telah berakhir. Saya meng?

ikhlaskan kepergiannya. Saya menganggap ibu seperti

Emak saya sendiri. Kita masih bersaudara ibu. Saya

juga telah memaafkan semua kesalahan Romi selama ini.

Salam hormat saya buat keluarga besar di sana.

Hormat saya,

Tari

Suasana malam mulai hening. Tak terdengar lagi hilir

mudik kendaraan. Sepi mengerubung malam. Sedangkan

pintu-pitu rumah tertutup rapat. Sebagian malah telah

Cinta Kala Perang

mematikan lampu rumah. Menandakan pemiliknya telah

terlelap dalam buai mimpi.

Kuperhatikan surat itu, memasukkannya ke dalam am?

plop dan mengirimkannya esok pagi. Surat ini sebagai akhir

cerita cintaku bersama Romi. Selamat jalan Romi, sela?mat

jalan kenangan. Semoga kita bertemu di surga kelak.

BAB 11

Gejolak Jiwa

Cinta Kala Perang

khir-akhir ini rutinitasku padat. Bahkan, aku sudah

jarang duduk bersama teman-teman kampus di kantin

Dek Bela. Biasanya, setiap jam istirahat, kami menghabiskan

waktu di kantin ini. Teman-teman hanya tersenyum saat

kuceritakan rutinitasku akhir-akhir ini dan minta maaf karena

tak bisa megobrol lama-lama dengan mereka.

Pagi aku harus masuk kantor, mengurusi pendampingan

korban konflik, mengajak mereka bicara. Jika ada yang sakit,

aku membawa mereka ke rumah sakit. Jika ada yang trauma,

aku juga yang mendatangkan psikiater. Ditambah lagi jadwal

mengajar les privat, menyelesaikan tugas kuliah dan tentu

terakhir masuk kuliah.

Pukul 15.00 WIB dosen mata kuliah Komunikasi Politik

mengakhiri ceramahnya. Ceramah yang menginspirasiku

untuk memahami kondisi politik di daerah ini. Kondisi politik

antardaerah dan pemerintah pusat.

Sore itu, Aku tidak sempat bertemu Indah dan mendis?

kusikan agenda kerja besok pagi. Aku harus secepatnya me?

nuju rumak Pak Yoga. Ampon kecil pasti sudah menung?guku

dengan celotehan lucunya.

Kuhentikan labi-labi menuju rumah Ampon. Matahari

terus memanggang kulit. Butiran jernih mulai keluar dari

pori-poriku. Meski lelah, aku terus bertahan. Teman-teman

selalu mengingatkanku, agar disiplin makan sehingga jauh
Cinta Kala Perang Karya Masriadi Sambo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari penyakit. Ibu kos, mengingatkan hal yang sama.

Labi-labi yang kutumpangi terus berjalan. Kubaca novel

yang kupinjam di perpustakaan kampus kemarin. Kubolakbalik lembaran demi lembaran. Sejurus aku terhanyut dalam

buaian cerita yang ditulis penulis novel itu. Aku tersentak

saat kernet labi-labi berteriak. Suara kernet memang tidak

Cinta Kala Perang

pernah lembut. Selalu lantang dan keras. Bagi orang yang

tidak terbiasa, mungkin akan terkejut dengan suara keras

seperti itu.

Aku sudah sampai di depan jalan rumah Pak Yoga. Aku

minta kernet untuk memencet bel tanda berhenti. Tidak

jauh dari pinggir jalan itu, terlihat rumah Pak Yoga dengan

desain rumah tradisional. Rumah panggung, khas daerah ini.

Atapnya masih menggunakan rumbia, sedangkan jendela

dan pintu menggunakan ukiran kayu bergambar bulan sabit

dan bintang dipadu dengan motif pinto Aceh.

Kantor-kantor pemerintahan sudah sangat sedikit jum?

lahnya yang menggunakan model bangunan panggung,

seperti rumah tradisional tempo dulu. Beberapa waktu

lalu, seorang gubernur provinsi ini meginstruksikan agar

seluruh kantor bupati menggunakan desain rumah pang?

gung. Delapan kabupaten kala itu melaksanakan instruksi

tersebut. Namun, sekarang daerah ini memiliki 24 kabu?

paten/kota. Sudah tidak terlihat lagi bangunan kantor

walikota dan bupati hasil pemekaran dengan model rumah

pang?gung.

Kantor walikota juga tidak mirip dengan rumah adat itu.

Mereka mengikuti perkembangan dunia arsitektur. Bahkan

menurut cerita kawan-kawan di jurusan arsitek, desain

itu dibeli oleh pemerintah dari arsitek luar daerah. Bukan

meng?gunakan desain karya putra daerah. Hasilnya, kantor

itu bergaya minimalis. Entah apa alasannya, semua kritikan

mengenai persoalan itu hanya muncul ke permukaan sesaat

dan selanjutnya tenggelam di telan waktu.

Kubuka pintu pagar rumah itu, sambil mengucapkan

salam. Terdengar jawaban salam dari ruang tamu. Suara itu

Cinta Kala Perang

tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku berpikir sejenak,

berdiri sembari menunggu dibukakan pintu.

Sejurus kemudian, semburat senyum dari bibir yang di

atasnya tumbuh kumis tipis muncul dari balik pintu. Lelaki itu

bukan Pak Yoga. Lalu siapa lelaki ini?

"Kamu pasti Bu Tari? Mari, silakan masuk."

Aku tergagap mendengar suaranya. Suara yang tidak

pernah kudengar sebelumnya di keluarga itu. Aku tidak

langsung masuk. Lelaki itu membaca jalan pikiranku.

"Oh ya, aku Ampon. Ampon Duarta. Karena Umi dan

Abi serta Ampon kecil lagi keluar sebentar. Kita duduk di luar

saja, ya."

Lalu, kami duduk di kursi, tepat berada di kanan tangga

rumah panggung itu.

Ampon Kecil, Pak Yoga dan istrinya sedang berbelanja

ke Kedai Bayu, pasar kecamatan itu. Jaraknya sekitar lima

kilometer dengan kediaman Pak Yoga.

"Selama ini, saya tidak pernah melihat Abang di rumah

ini?" Aku memecahkan kebisuan kami. Memberanikan diri

untuk bicara, agar tidak terlalu kaku dan suasana tak hening

mencekam. Kubuang pandanganku ke taman bunga rumah

panggung itu. Anggrek dan mawar merekah. Harumnya me?

nyapa hidung, menyejukkan hati yang tengah gundah gulana.

"Aku merantau sejenak. Bekerja apa adanya di luar sana."

Ampon melipat koran di tangannya.

Udara sore mengenai wajahku. Daerah ini jauh dengan

laut, jadi udara di sini sama dengan udara di tempat lainnya.

Tidak dingin dan tidak juga panas. Lembab.

Di samping rumah Pak Yoga, beberapa burung pipit hing?

gap di pematang sawah. Mematuk bulir padi yang mulai

Cinta Kala Perang

menguning lalu terbang lagi. Berputar-putar sejenak dan

singgah di pematang sawah lainnya. Embusan angin mem?

buat padi meliuk, seolah menari mengikuti irama angin sore

itu.

Dari jauh terlihat wajah Ampon kecil, di depan motor Pak

Yoga. Senyum imutnya terlihat jelas. Tangannya melambailambai ke arahku. Aku mengangkat tanganku, meniru gaya

lambaian tangan Ampon. Dia terbahak-bahak, sangat senang

melihat responsku mengikuti gaya tangannya.

"Sudah lama Tari?" Bu Yoga bicara sambil menurunkan

Ampon kecil dari motor. Baju boneka teletubies kesayangan

Ampon kecil masih seperti biasa. Setiap kali aku mengajar

Ampon, dia selalu mengenakan baju itu. Katanya, baju itu

baju kesayangannya. Makanya, setiap aku datang, dia selalu

mengenakan baju itu.

"Kata Umi, untuk menyambut orang yang kita sayangi,

kita juga harus tampil berbeda dari biasanya," celoteh

Ampon kecil dengan nada suara yang menggemaskan.

"Baru Bu. Baru beberapa menit lalu." Aku bangkit dari

tempat duduk dan menyambut Ampon kecil yang berlari ke

arahku.

"Kak Tari... Kak Tari, tadi Bang Ampon, tanya-tanya Kak

Tari. Bang Ampon tanya, apa Kak Tari olangnya cantik?" celo?

teh Ampon.

Celotehannya membuatku terkejut. Wajahku memerah.

Anak kecil ini membuatku malu di depan keluarganya.

Sedang?kan Bang Ampon, tersenyum tipis menahan malu.

Semburat merah keluar tiba-tiba di pipinya yang putih.

"Dek Bit. Awas ya nanti." Bang Ampon tertawa men?

dengar celotehan adiknya. Ampon kecil dipanggil Dek Bit,

Cinta Kala Perang

oleh abangnya. Panggilan itu memang panggilan sayang

di kalangan keluarga teuku yang bangsawan. Panggilan

Dek, umumnya digunakan untuk panggilan manja, dalam

keluarga di provinsi ini. Khususnya keluarga yang masih

mempertahankan nilai-nilai tradisional mereka.

Aku mengajak Ampon kecil masuk ke ruang belajarnya.

Ruangan itu sedikit berubah. Banyak buku budaya dan sastra

di sana. Bahkan, beberapa buku di antaranya diterbitkan

oleh negara seberang. Rak buku yang dulunya kosong, penuh

terisi.

Aku heran, siapa yang sangat cinta sastra di rumah

ini? Mungkinkah Pak Yoga yang tidak pernah menerbitkan

karyanya di Indonesia? Apakah Pak Yoga dulu menyimpan

buku-buku itu di ruang kerjanya?

Kuperhatikan beberapa buku itu. Kubolak-balik sebentar,


Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Serahkan Saja Pada Jennings Karya Kepalan Dewa Tanpa Tandingan Karya Kho

Cari Blog Ini