Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat Bagian 4
mengawasi wajah Puspitosari yang cantik manis.
Marah sekali hati Puspitosari menyaksikan sikap pemuda ini disamping
merasa muak dan jijik. Akan tetapi apa daya, seluruh badannya lumpuh tak
dapat bergerak.
"Bangsat! Kau pemuda tak tahu malu !" pekik Puspitosari amat
merah, menahan tangis.
Tetapi pemuda tersebut tetap tersenyum, lalu jawabnya perlahan :
?Kau ini aneh sekali manisku, ditolong orang tidak berterima kasih malahmencaci maki"
?Tapi kau pemuda bangsat ! Tak tahu malu".
?Bangsat? Apakah kau sudah pernah melihat bangsat?" goda pemuda
ini.
?Orang seperti kau inllah bangsat itu". Teriak Puphosari. ?Pura2
menolong, tetapi mempunyai maksud tertentu. Mempunyai maksud yang
tidak baik. Apa maksudmu mengejar2 dan membikin aku lumpuh seperti
ini?"
Pemuda itu ketawa bergelak2, kemudian jawabnya ?Karena kau
cantik. Kau manis. Maka aku cinta padamu. Kau akan menjadi isteriku".
?Tak sudi! Tak sudi aku menjadi isterimu. Bangsat ! Lepaskan aku".
Pekik Puspitosari marah.
?Sejak tadi kau terlentang. Siapa memegangmu ? Mengapa kau
berteriak minta dilepaskan ?" jawab pemuda ini mengejek.
?Tapi . . . aku sudah kau bikin lumpuh".
?Maka kau harus menyerah padaku".
?Tak sudi !Bunuhlah ! Bunuhlah aku. Jijik aku melihat tampangmu".
Pemuda itu ketawa terkekeh : ?Apa katamu? Kau jijik? Banyak gadis
memuji dan menyatakan aku tampan".
?Huhh, kau tiada bedanya dengan ibkis. Iblis yang berbentuk
manusia".
Mendengar makian ini, wajah pemuda itu menjadi merah tiba tiba.
Agaknya ia merasa terainggung.
?Iblis! Iblis! Bunuhlah aku, jangan kau permainkan seperti ini", pekik
Puspitosari makin marah.
Tiba2 pemuda tersebut ketawa ber gelak2; ?Ha -ha ha - ha, memang
kau akan kupermainkan. Ya, kau tidak pantas menjadi isteriku. Kau tak
dapat menghargai laki2. Maka yang tepat hanyalah kujadikan barang
permainan. Sesudah aku puas, barulah kau kubunuh".
Tiba2 ia menyeringai seperti iblis. Dan Puspitosari amat terkejut
melihat air muka pemuda tersebut yang amat menakutkan. Matanya
bersinar aneh sehingga Paspitotari menggigil ketakutan. Kemudian secara
tiba2 tangan kanan pemuda tersebut telah menarik baju Puspitosari
sehingga sobek dan tampaklah kulit pada pundaknya yang kuning halus.
Puspitosari memekik dan berusaha mengangkat tangan untuk menutupi
pundak. Akan tetapi akibat totokan pada jalan darahnya, maka tangan itu
tak dapat digerakkan.
Puspitosari pucat dan gemetar. Airmata yang ditahan sekarang lepas
dari pelupuk mata, la merasa ngeri menghadapi pemuda ini. Ia mau
berteriak, tetapi sukar sekali.17Akan tetapi pemuda tampan yang berhati serigala ini, sama sekali tak mau
perduli. la malah ketawa2 girang, matanya ber-kedip2. Lalu terdengar
katanya mengejek : ?Hem, tak usah kau takut manis, apabila kau bersedia
menjadi isteriku, kau akan hidup bahagia."
?Bangsat! Bunuhlah aku."
Pemuda ini menyeringai, dan kemudian : ?Baik ! Kau akan segera
kubunuh sesudah kubuat permainan. Kau gadis yang tak tahu diri."
Tiba2 tangannya bergerak untuk melepaskan baju Puspitosari. Akan
tetapi sebelum terlaksana, pemuda tersebut memekik terkejut. Karena
secara tiba2 merasa terdorong oleh suatu kekuatan maha hebat. Baiknya
pemuda ini bukan pemuda sembarangan. Ia mempunyai kepandaian yang
tinggi. Maka ia berjungkir balik untuk memunahkan serangan tiba2 itu,
kemudian meloncat berdiri siap siaga.
Namun, tiada seseorang yang tampak, dan la menjadi lega sekali.
Akan tetapi ketika memandang ketempat Puspitosari diletakkan, ia menjadi
amat terkejut. Karena secara aneh gadis manis tadi sudah lenyap tak
berbekas.
Pemuda ini menjadi marah. Ia memukulkan kepalan tangan kesebuah
batu disamping. Terdengar suara ledakan, batu yang besar itu sudah
hancur. Membuktikan bahwa kekuatan pemuda itu tidak dapat dibuat main
main dan mempunyai kekuatan melebihi gajah. Seraya melayangkan
pandangannya penuh selidik, ia segera berteriak nyaring: ?Hai ! Siapa berani
main curang dengan Joko Buwang ?"
Teriakan itu amat nyaring dan menggema memenuhi hutan. Hal itu
tidaklah mengherankan, karena suara itu dilontarkan dengan mengerahkan
tenaga dalam bertingkat tinggi. Suara itu mengandung tenaga gaib dan
dapat melumpuhkan semangat orang. Dengan mempamerkan suara yang
mengandung kekuatan gaib tersebut, dimaksudkan untuk mempengaruhi
musuh, agar tidak berani sembarangan.
Akan tetapi belum juga hilang gema suana yang dilontarkan,
mendadak terdengarlah suara mengalun menembangkan Asmaradana :
Nora gampang wong ngaurip,
Jen tan weruh uripiro,
Uripe prasasat kebo,
Angur kebo dagingiro,
Kalal jen pinangano,
Pan manungso dagingipun,
Jen pinangan pasti karam.
Artinya antara lain, orang hidup tidaklah mudah. Jika tidak mengerti
akan arti hidup, maka derajad hidupnya sama dengan kerbau. Lebihmenguntungkan kerbau malah, karena dagingnya bisa dimakan dan halal.
Sebaliknya manusia, apabila dagingnya dimakan adalah haram.
Isl syair Asmaradan itu meagandung filsafat hidup yang
bernilai.Mengandung pelajaran berharga tentang hidup. Agar orang sadar
dan ingat bahwa hidupnya ada yang memberi hidup, bukan lain Tuhan Yang
Maha Kuasa. Dan hidupnya tidak melulu dipergunakan kepentingan diri,
melainkan untuk sesama hidup.
Tampaknya suara itu mengalun dan lembut. Akan tetapi sebenarnya
mengandung tenaga dalam yang hebat. Karena tembang tersebut
merupakan jawaban kepada Joko Buwang. Suara itu menggema memenuhi
seluruh penjuru hutan sehingga sulitlah orang mengenal dari mana arah
datangnya suara tersebut.
Dan akibatnya mengherankan sekali. Joko Buwang tampak pucat dan
terbatuk tiga kali karena dada dirasakannya sesak. Tiba2 Joko Buwang
duduk bersila mengatur pernapasan untuk melawan pengaruh lawan. Dan
melihat keadaannya, gampang dimengerti bahwa Joko Buwang tidak dapat
mengimbangi kekuatan lawan.
Ketika dirasakan sesak dalam dada telah hilang dan tidak berpengaruh
apa2, pemuda tampan ini cepat2 melompat dan menerobos belantara.
Agaknya Joko Buwang merasa ketakutan, untuk melawan orang yang lebih
tinggi tingkatnya. Ia masih ingin mengenyam kenikmatan hidup lebih lama,
maka lebih menguntungkan apabila menyelamatkan diri. Tentang gadis
cantik, masih banyak bisa didapatkan dilain tempat.
Untung sekali bagi Puspitolari, bahwa pada saat yang berbahaya
mendapatkan pertolongan seorang sakti. Apabila tidak, dalam keadaan tidak
berdaya itu tentu akan menderita malapetaka yang mengerikan. Karena
Joko Buwang merupakan seorang pemuda tampan yang berhati ganas dan
kejam, mengandalkan kepandaian malang melintang berbuat kejahatan.
Dengan memegang busur pada tangan kiri, Joko Buwang menuruni
lereng Merbabu, dan berbelok menuju Merapi. Tiba2 ia melihat seorang tua
berjubah biru dengan tubuh yang sudah agak bungkuk, berjalan amat ringan
naik kelereng Merapi. Ia tertegun, dan cepat dapat menduga bahwa
sekalipun sudah tua namun memiliki kepandaian yang amat tinggi. Akan
tetapi tiba2 rasa kecewa dengan hilangnya gadis manis tadi menyelinap
dalam dada. Dan timbullah dugaan bahwa inilah orang yang sudah
mengganggunya tadi. Maka menggelegaklah rasa marah dalam dada, dan
timbullah niat meminta kembali gadis yang sudah direbutnya secara curang.
?Ia sudah tua", pikir Joko Buwang. ?Meakipun ia berkepandaian seperti
dewa, kekuatannya sudah jauh berkurang. Aku masih muda dan kuat. apa
yang harus kutakutkan? Orang tua yang tak tahu adat ini harus dihajar".
Tiba2 tubuhnya berkelebat amat cepat. Dan dalam waktu sebentarJoko Buwang sudah melompat dengan gaya yang amat indah, lalu berdiri
tegak menghalangi jalan.
Orang tua berjubah biru itu, tidak lain Kiageng Guntursela. Ia amat
terkejut dan mengerutkan kening, memandang Joko Buwang penuh selidik.
?Kakek tua, kembalikan gadisku", Joko Buwang menegur dengan mata
mendelik amat marah.
Kiageng Gunturselo heran. Akan tetapi hanya sebentar dan pertapa
yang bijaksana ini kemudian tersenyum, lalu jawabnya halus: ?Nanti dulu
anak muda, apakah kau tidak keliru?"
Joko Buwang ragu sebentar, apakah benar kakek ini yang sudah
merebut gadisnya? Tetapi benar atau salah, sudah terlanjur menuduh. Malu
untuk menariknya kembali. Maka dengan amat sombong Joko Buwang
sudah membentak: ?Kakek jangan pura2 tidak tahu! Kau sudah berlaku
curang, menyerang orang secara gelap. Lalu melarikan gadis yang baru
kutolong dan bahaya maut. Kembalikanlah kakek, sebelum aku marah".
Tuduhan itu sebenarnya amat menyakitkan hati. Akan tetapi pertapa
sakti dan bijaksana ini tidak marah, malah tersenyum dan jawabnya ramah:
?Apakah anak muda sudah yakin bahwa aku yang berbuat?"
?Tentu! Tentu kakek yang sudah merebut gadisku." Teriak Joko
Buwang marah. ?Jangan kau menyangkal kakek, dan jangan menghina
orang."
Kiageng Gunturselo masih tetap tersenyum, kemudian jawabnya
ramah ?Anak muda, kau keliru! Aku tidak bohong anak muda, karena sama
sekali aku tidak mengerti. Kalau saja aku menemukan gadis itu, untuk apa
bagiku yang sudah tua renta tak berguna ini? Betul anak muda, jangan kau
menuduh yang bukan2."
Merasa heran juga Joko Buwang menyaksikan orang tua ini yang
begitu sabar Dari sinar mata maupun air muka kakek itu, Joko Buwang
sudah dapat membaca bahwa apa yang dikatakan merupakan jawaban yang
jujur. Namun sebagai seorang yang merasa dirinya berkepandaian tinggi,
tuduhan yang sudah terlanjur itu tak mungkin ditarik kembali. Ia Ingin
mencoba apakah kakek ini mempunyai kepandaian atau tidak.
?Kakek tidak mau mengaku ? Apakah harus dengan kekerasan?"
tantang Joko Buwang.
?Hayaa, orang sudah bicara sejujurnya masih juga tak kau anggap.
Sudah, kau jangan mengganggu aku, dan aku tidak mau melayani
maksudmu."
Dengan gerakan yang tak terduga, Kiageng Gunturseto smeloncat dan
lari secepat terbang. Joko Buwang tertegun menyaksikan gerakan orang tua
tersebut yang amat hebat dan cepat. Namun demikian, kekagummannya itu
hanya sebentar bersarang dalam dada. Dan tiba2 saja ia menjadi amatmarah. Sikap mengalah Kiageng Gunturselo diterima secara salah.
Dianggapnya sebagai suatu penghinaan bahwa ia tidak mempunyai harga
untuk dilayani. Oleh karena itu dengan berteriak melengking Joko Buwang
sudah melompat dan lari secepat terbang mengejar Kiageng Gunturselo
Tak lama kemudian Joko Buwang sudah dapat melihat Kiageng
Gunturselo berjalan naik lereng Merapi, Orang tua itu sudah tidak lari lagi,
dan hal ini amat menggembirakan hatinya. Maka ia mempercapat larinya,
dan pada sebuah tikungan Joko Buwang sudah menghadang dijalan.
Kiageng Guntursero tidak terkejut, karena ia sudah dapat mendengar
suara langkah yang mengejarnya. Namun pertapa sakti yang bijaksana ini
masih pura2 terkejut : ?Hai!l Mengapa kau mengejarku ?"
Joko Buwang ketawa ter bahak2 mengejek kepada Kiageng
Gunturselo. Menganggap bahwa orang tua ini tidak menduga akan
kedatangannya. Karena itu ia segera menuntut lagi : ?Kakek, kau jangan
nmmpermainkan anak muda. Apakah kau tidak malu ?"
?Siapa yang mempermainkan kau ?" Kiageng Gunturselo makin heran.
?Kembalikan gadisku. Atau, kau sengaja menghina orang muda?"
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tantang Joko Buwang dengan ketus.
?Lagi2 kau menuduh aku membawa gadismu. Gadis yang mana ? Tadi
sudah kukatakan bahwa aku tidak mengerti tentang itu. Aku orang tua,
tidak akan berbohong anak muda, jangan kau menuduh yang tidak2"
?Hem, ternyata kau orang tua yang tak diri. Terpaksa aku harus
menggunakan kekerasan kepadamu."
Dengan busur pada tangan kiri dan pedang pada tangan kanan Joko
Buwang sudah menyerang dengan cepat dan ganas. Kiageng Gunturselo
terkejut menerima serangan yang cepat dan ganas ini, sambil menghindar
tanpa membalas, ia mengerutkan kening. Agaknya orang tua ini berusaha
mengenal sumber ilmu silat pemuda ini,
Namun agaknya Kiageng Gunturselo sudah terlalu tua dan pelupa. Ia
tidak dapat mengenal lagi sekalipun sudah berusaha. Dengan gerak yang
amat gesit, Kiageng Gunturselo selalu menghindar tanpa membalas.
Agaknya pemuda ini menjadi amat marah karena serangan
serangannya selalu gagal. Maka ia segera mempercepat serangannya. Busur
dan pedang bekerja sama amat rapi, merupakan serangkaian serangan2
yang berbahaya dan ganas. Karena sekalipun busur itu hanya terbuat dari
bambu, namun apabila dipergunakan oleh seorang yang sudah tinggi
kepandaiannya, akan berubah menjadi senjata yang amat ampuh. Apa pula
pedang itu, bersinar kemilau merupakan pertanda pedang pusaka.
Tetapi sekalipun Joko Buwang sudah mengerahkan kepandaiannya,
namun serangan2 nya tak pernah berhasil. Malah ujung jubahpun juga tidak
pernah dapat disentuh. Kiageng Gunturselo seakan bayangan yang denganleluasa bergerak tanpa rintangan. Diam2 Joko Buwang menyadari bahwa
orang tua ini mengalah. Karena apabila mau membalas, sudah barang tentu
orang tua ini dapat merobohkannya.
Akan tetapi meskipun dalana hati mengakui bahwa tingkatnya masih
terlalu rendah, Joko Buwang yang berwatak sombong dan mau menang
sendiri ini tidak mau insyaf malah menjadi lebih marah. Ia bukannya
menghentikan serangannya dan mengaku kalah, malah menjadi nekad dan
ingin mengadu jiwa.
Kiageng Gunturselo adalab seo-ang pertapa sakti dan kenjang makan
asam garam. Maka ia dapat mengetahui seijara jelas akan maksud pamuda
ini, Dsngan senjum jing maIukiskan welas asih, Kiageng Gunturselo segera
berkata lembut ?Anak muda, kiranya sudah cukup aku melayani kau
bermain2. Maka sekarang, biarlah aku pergi".
Mendadak terdengar suara nyaring, melengking tinggi. Joko Buwang
amat terkejut. Selaput telinga seakan pecah mendengar suara yang amat
tajam melengking, dan dalam pada itu hawa dingin menusuk tulang. Ia
menggigil kedinginan. Dan sekalipun ia berusaha melawan dengan
menyalurkan tenaga dalam untuk menolaknya tetap tak berhasil. Baru
sesudah lengking genta yang digoncangkan oleh Kiageng Gunturselo lenyap,
maka hawa dingin yang menyerang itu berangsur hilang.
?Hebat!" Kata Joko Bawang berulang, sesudah terbebas dari pengaruh
hawa dingin.
Akan tetapi sesudah ia terbebas dari pengaruh hawa dingin itu,
timbullah kemarahannya. Ia belum dikalahkan, mengapa harus takut? Dan
tiba2 ia meraba bumbung tempat anak panah. Diambil nya tiga batang,
diamati seraya ketawa gembira.
?Hem, kau orang tua belum merasakan kehebatan anak panah ini
Biarlah kucobanya, sampai dimana kehebatan kakek itu. Kalau ia dapat
melawan anak panah ini, baru aku mau mengaku kalah".
Dalam bumbung itu, memang terdapat dua macam anak panah. Anak
panah yang berbulu putih, adalah anak panah biasa yang terbuat dari
belahan bambu, dengan ujung baja dan tak beracun. Akan tetapi anak
panah yang berbulu merah, dibuat dari bambu buluh. Dalam buluh ini sudah
terisi racun yang amat jahat, disamping berisi pula jarum2 halus yang
mengandung racun. Apabila anak panah itu ditangkis, maka segera pecah
atau patah. Dengan pecah atau patahnya anak panah dari buluh ini, akan
meledakkan racun dari dalam buluh. Jarum2 yang halus segera ber tebaran,
dan setiap orang yang terkena niscaya tak akan dapat di tolong lagi
nyawanya.
Sesudah mendapatkan pikiran ini, secepat terbang ia segera mengejar
Kiageng Gunturselo. Anak panah ini belum pernah di coba keampuhannyaKarena gurunya sudah memesan agar jangan sembarangan menggunakan
anak panah tersebut apabila tidak terpaksa menghadapi musuh tangguh.
Karena apabila anak panah itu kerap kali dipergunakan, maka rahasia
keampuhannya segera diketahui orang. Apabila rahasia sudah terbuka,
orang akan ber hati2 dan tidak mau mematahkan batang anak panah
tersebut. Kalau musuh tidak menangkis, atau mematahkan anak panah itu
Panah tersebut tak mempunyai arti apa2. Racun dan jarum2 halus
didalamnya sia2 belaka.
Joko Buwang akan membidikkan anak panah tersebut dari jarak jauh
Agar ia dapat menyelamatkan diri apabila serangan anak panahnya gagal.
Tidak lama kemudian, Kiageng Gunturselo terkejar. Karena orang tua
ini berjalan seenaknya. Kiageng Guntundo yang sudah tahu bahwa orang
muda yang mengganggunya tadi sudah menyusul merasa amat heran.
Mengapa pemuda tersebut masih penasaran memusuhi seorang yang tak
mau melawan. Maka dengan langkah tetap seenaknya, pertapa sakti ini
menunggu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Sama sekali pertapa sakti
ini tidak mempunyai dugaan buruk kepada Joko Buwang. Dikiranya bahwa
pemuda ini habis menerima ilmu yang dianggapnya hebat dari gurunya,
sehingga ingin mencoba ilmunya itu untuk mengetahui kehebatannya.
Pikirannya yang demikian ini didasarkan kepada kenyataan, bahwa para
anak muda itu apabila menerima sesuatu kepandaian selalu ingin mencoba
untuk mengetahui kebenaran dari ilmu yang diterimanya.
Kebiasaan yang ingin mencoba2 ini, merupakan racun yang amat
jahat bagi seorang muda. Karena apabila mendapatkan kebenaran, biasanya
akan menjadi pongah dan sombong. Padahal sikap dan perbuatan yang
pongah dan sombong selalu menimbulkan bahaya bagi diri sendiri. Karena
akan mendatangkan musuh2. Maka Kiageng Gunturselo menghela napas,
merasa haru dan sedih terhadap pemuda2 yang terpengaruh oleh jahatnya
racun coba2 ini.
Pada saat ia sedang memikirkan hal tersebut, tiba2 angin yang amat
halus menyambar dari belakang. Pertapa sakti ini cepat mengerti bahwa
pemuda tersebut sudah melakukan serangan dari jarak jauh. Untuk
memberikan hajaran agar pemuda tersebut tidak selalu mengejar2 maka ia
ingin menunjukkan kepandalannya. Ketika tangan kanan bergerak dan
membalikkan tubuh tiga batang anak panah yang meluncur cepat itu dapat
ditangkap dengan mudah. Kiageng Gunturselo tersenyum seraya mengamati
anak panah itu. Dan terkejutlah pertapa sakti ini sesudah mengamati,
bahwa buluh anak panah itu mengandung racun yang amat jahat. Dengan
agak marah pertapa sakti ini cepat menyambitkan kembali anak panah itu
kepada pemiliknya.
Tiga batang anak panah tersebat amat cepat seakan lepas dari busurmenuju sasaran Joko Buwang yang tidak pernah menduga bahwa anak
panahnya akan dikembalikan, ia mendjadi terkejut setengah mati. Ia tahu
parti bahwa sambitan Kiageng Gunturselo itu mengandung tenaga yang
hebat. Ia tidak berani mengambil risiko menerima serangan racun yang
berbahaya itu. Secara cepat la sudah melompat, lalu lari tunggang langgang
dengan ketakutan. Karena tergesa beberapa kali ia jatuh dan terpaksa
berjungkir balik atau berguling-guling. Akibatnya ia babak belur dan
pakaiannya robek-robek. Namun masih untung baginya, karena dapat
menyelamatkan diri.
Kiageng Ganturselo melanjutkan perjalanan dengan langkah perlahan.
Akan tetapi ia amat terkejut ketika dirasakan dadanya sesak secara tiba2,
dan tangan kanan merasa lumpuh. Ia mengeluh, dan barulah sadar
sekarang, bahwa dengan tidak diketabui, ketika menangkap anak panah itu
ia telah terkena oleh racun. Cepat -cepat Kiageng Gunturzelo duduk bersila,
mengatur pernapasan untuk melawan dan mengusir racun dari dalam
tubub. Hawa murni dalam tubuh Kiageng Gunturselo segera bekerja
melawan racun tersebut. Tampaklah uap putih mengepul dari ubun2,
membuktikan bahwa perapa sakti ini sedang mengerahkan tenaga mati2an.
Berjuang melawan maut agar racun itu tidak masuk kedalam jantung.
Agaknya memang Kiageng Ganturselo tadi sudah melakukan
kesalahan yang tak disengaja. Kalau anak panah tadi dibiarkan lewat begitu
saja sambil menghindar, tentu anak panah tadi tidak akan berhasil
menyentuh tubuhnya. Akan tetapi karena tadi diterima dalam satu tangan,
anak panah menjadi panas oleh pergeseran hawa itu dan buluh tersebut
menjadi pecah, Dan dengan tidak disadari, beberapa jarum halus dalam bulu
sudah berhasil menyelinap dalam dada dan tangan kanan.
Kiageng Gunturselo memang tidak pernah menyangka sama sekali,
bahwa panah itu mengandung racun. Kalau mengerti sudah barang tentu
tidak akan diterima oleh tangan, dan lebih baik dihindari. la memang
bermaksud memberi hajaran sedikit kepada pemuda yang mengejari2 itu.
Tak tahunya malah mendatangkan celaka.
Manusia adalah manusia, yang segala sesuatunya terbatas. Manusia
tidak akan mungkin dapat mangerti apa2 yang dialami sebelum terjadi.
Karena kesemuanya ditangan Tuhan. Nasib manusia sudah ditentukan oleh
Tuhan sejak manusia lahir didunia. Takdir Tuhan tidak akan dapat dilawan
oleh manusia dengan cara dan jalan apapun. Karena takdir adalah mutlak,
yang tidak dapat dirobah. Demikian pula apa yang dialami oleh pertapa sakti
ini juga merupakan takdir dan kehendak Tuhan.
Sesudah Kiageng Gunturselo berusaha keras melawan racun yang
masuk dalam tubuhnya, pertapa sakti ini kelihatan makin pucat. Kemudian
tangan kanan mengambil beberapa butir pil berwarna kuning dari dalamjubahnya, lalu ditelan.
Wajah yang tadi amat pucat, sekarang berangsur merah, dan dada
dirasakan sudah tidak sesak lagi. Kiageng Gunturselo kemudian bangkit, lalu
berjalan perlahan menuju kerumah yang sudah tidak jauh lagi. Sambil
berjalan ini terdengarlah katanya perlahan: ?Ya Tuhan, hamba hanya
menyerah atas kekuasaanMu "
Kiageng Gunturselo tidak berani berjalan cepat. Karena penggunaan
tenaga yang banyak akan berarti mencelakakan diri sendiri, karena masih
dalam keadaan lemah. Disamping masih merasa sangsi apakah usaha
perlawanannya terhadap racun tadi berhasil.
Dalam hati Kiageng Gunturselo merasa heran kepada pemuda yang
baru dijumpai tadi. Mengapa menuduh yang bukan bukan kepadanya.
Meskipun sudah dijawab sebenarnya, ia tidak juga percaya malahan marah.
Dan pada saat ia menyerang, Kiageng Gunturselo sudah mengalah tidak
mau membalas menyerang. Tetapi mengapa sesudah menghindarkan diri,
ternyata pemuda itu masih tetap bernafsu. Malah melepaskan anak panah
yang beracun.
Tadi sudah berusaha untuk mengenal siapakah adanya pemuda yang
betwatak angkuh dan sombong tersebut, dari gerak penyerangan maupun
gaya tata kelahinya. Akan tetapi ia sudah memeras otak untuk mengenalnya
masih juga belum berhasil.
Gerak penyerangannya begitu aneh dan amat ganas. Mirip tingkah
laku kera, harimau, ular dan burung. Camparaduk tidak karuan, tetapi tidak
boleh dianggap ringan. Serangan2nya yang ganas dan selalu diarahkan
kepada bagian2 berbahaya, merupakan pertanda bahwa ilmu yang dimiliki
pemuda tersebut ganas dan kejam. Kepada musuhnya tidak pernah
memberi ampun dan kesempatan hidup. Hingga mudah diduga ilmu tersebut
tentu diciptakan oleh seorang sakti yang tersesat.
Ia mengeluh perlahan, sambil meneruskan perjalanan menuju rumah.
Dalam hati merasa bersyukur kepada Tuhani, bahwa ia telah berhasil
menciptakan ilmu Gunturgeni yang sudah diturunkan kepada Mayangseto.
Ternyata dengan ilmu Gunturgeni yang diciptakan, terbukti dapat
memecahkan ilmu kepandaian pemuda tersebut yang begitu hebat.
Tiba2 orang tua itu tersenyum. Teringatlah ia sekarang kepada
seseorang yang sudah lama lenyap tak berbekas. Kiageng Gunturselo
merasa yakin, bahwa tentu orang itulah guru pemuda yang tadi
mengganggunya.
?Hem, siapa lagi kalau bukan dia. Tanda2nya masih amat jelas
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekalipun dirobah dan ditambah disana-sini dengan dengan serangan2 yang
amat ganas", Gauam pertapa sakti ini, ?Hem. mengapa kau tidak juga
mencari jalan lapang Pangeran Kartiko, dan dimana kau sekarang?"Tiba1 dadanya terasa sesak kembali. Ia terkejut, dan cepat2 menelan
pil kuning penolak racun untuk menghalau. Lalu mempercepat langkahnya
agar segera mencapai rumah. la berseri sesudah melihat rumah. Lalu
mengerahkan tenaga dalam untuk memanggil muridnya: ?Mayangseto, aku
sudah pulang".
Tampaknya Kiageng Gunturselo hanya mengucapkan kata perlahan.
Akan tetapi suaranya dapat dikirimkan ketempat jauh dan jelas.
Namun Kiageng Gunturselo merasa heran mengapa murid yang
dipanggilnya itu tidak tampak. Rumahnya tetap tertutup pintu nya, dan juga
sunyi. Pertapa sakti ini amat terkejut. Apa yang sudah terjadi?
Terdorong oleh perasaan chawatir, maka Ktageng Ganturselo lupa
kepada keadaan diri sendiri. Lari secepat terbang menuju rumah. Dalam
waktu yang amat singkat ia sudah tiba dihalaman muka, dan ketika
mengamati keadaan ternyata tiada tanda2 yang mencurigakan. Lalu ia
berseru lagi untuk memanggil Mayangseto, tetapi orang yang dipanggil tidak
muncul.
Mendadak Kiageng Gunturselo merasa pening dan dada sesak, lalu
roboh terguling dan pingsan.
Berkelebatlah kemudian bayangan yang amat cepat secara tiba2
seakan merupakan sinar putih yang menyilaukan.
?Bapa . . . bapa . . . hanya itulah suara yang dapat keluar dari mulut
Mayangseto. Pemuda ini amat terkejut sekali ketika menyaksikan guru yang
dihormati itu dalam keadaan pingsan menggeletak dihalaman rumah.
Wajah Kiageng Gunturselo tampak hijau pucat. Dada ber gerak cepat
tersengal2. Dan ketika melihat pada telapak tangan kanan, hampir
memekiklah Mayangseto karena terkejut. Pemudaa ini cepat mengerti
bahwa guru yang dihormati ini sekarang sedang menderita serangan racun
yang amat hebat.
Mayangseto segera mencoba untuk memeriksa keadaan gurunya.
Akan tetapi, terdengarlah suara parau setengah berbisik: Anakku, tidak
usah. Akan sia2 sajalah usahamu. Bawalah aku masuk kedalam".
Dengan hati berdebar dan tubuh menggigil, Mayangseto segera
mengangkat tubuh gurunya memasuki rumah. Lalu diletakkan perlahan
diatas pembaringan dan Mayangsto sendiri segera berlutut.
?Bapa, ampunilah aku bapa", kata Mayangseto setengah merintih
menahan gelora kesedihan. ?Bapa, aku telah menyia-nyiakan kepercayaan
yang bapa berikan kepadaku".
`Pertapa sakti itu membuka sepasang matanya, memandang kepada
Mayangseto, dan kemudian bibir yang pucat itu tersenyum. Lalu terdengar
katanya perlahan tidak lancar: ?Anakku, tenanglah! Kau tidak mempunyai
kesalahan apa2. Duduklah yang enak".?Tapi "
?Sudahlah anakku, tenanglah!" putus Kiageng Gunturselo seraya
menggerakkan tangan.
Mayangseto tidak berani membantah lagi. Sepasang mata yang tajam
mengawasi wajah gurunya yang pucat dan hijau. Dadanya tersengal sulit
bernapas
?Anakku, ketahuilah bahwa manusia dapat berichtiar menurut
kemampuannya. Akan tetapi kehendak Tuhan tidak dapat dibantah " Kata
Kiageng Gunturselo, lemah dan menggeletar. ?Racun yang masuk dalam
tubuhku, adalah racun yang amat jahat. Yang disebut orang, racun hijau.
Berasal dari racun ular hijau yang amat kecil dicampur dengan racun ular
bandot krawang yang dapat terbang. Kedua rauun ular ini amat jahat sekali
dan dalam waktu singkat dapat merenggut nyawa orang"
?Mengapa mengapa bapa kena racun?" Mayangseto gugup dan
heran.
Kiageng Gunturselo tersenyum, dan kemudian menceritakan apa yang
baru terjadi. Ketika mendengar cerita gurunya itu, tiba2 Mayangseto
bangkit, matanya merah ber api2 dan giginya gemeretak.
?Mau apa . . . anakku?"
?Aku akan mengejar dia". Jawab Mayangteto bersungguh. ?Akan
kupaksa dia memberikan obat penawar racun untuk menyembuhkan bapa"
?Anakku, duduklah ! Tenangkan hatimu, dan jangan menurutkan
hatimu".
Kata2 Kiageng Gunturselo itu lemah dan amat perlahan. Namun penuh
wibawa dan tidak mungkin dapat dibantah oleh Mayangseto. Ia kembali
duduk dengan dada ter engah2 dan air muka yang keruh. Memang
Mayangteto amat gelisah menghadapi keadaan gurunya sekarang ini. Akan
tetapi guru tidak mengijinkan kepadanya. Maka apa boleh buat ia tidak
dapat berbuat apa2
?Dengarkanlah anakku", kata Kiageng Gunturselo seraya ter
senyum?,seperti apa yang kukatakan tadi bahwa kehendak Tuhan tidak
dapat dibantah. Apakah kau kira sesudah kau berhasil memaksa pemuda
yang menyebabkan aku keracunan, mempunyai arti? Tidak! Andaikata kau
berhasil dalam usahamu dan kembali kesini, aku sudah menghadap kepada
Tuhan".
Mayangseto berusaha sekuatnya untuk menahan gelora kesedihan
yang memenuhi dada, mendengar kata2 gurunya ini. Hingga ia tersekat dan
tak dapat mengucapkan sepatah katapun.
?Anakku, hukum karma berlaku bagi manusia. Kiranya ini sudah
merupakan peradian Tuhan terhadapku. Dahulu aku sudah melakukan
pembunuhan. Akibat menurutkan kehendakku yang jahat, untuk merebutseorang wanita dari tangan suaminya. Dan kalau sekarang aku harus mati
oleh seseorang, ini sudah adil! Maka dari itu anakku, ingat2lah apa yang
sudah kualami ini", Ki ageng Guntunselo terengah2 dan tanpa diperintah
Mayangseto cepat mengambil air minum lalu diminumkan.
?Terimakasih anakku, kau adalah anakku yang baik", kata Kiageng
Gunturselo perlahan seraya tersenyum.
?Bapa, siapa dia? Siapakah pemuda yang sudah menyerang dengan
panah beracun itu? Akan kubalas sakit hati ini". Kata Mayangseto penuh
semangat.
?Baru saja aku bicara kau sudah lupa anakku", Kiageng Gunturselo
menatap Mayangseto sayu: ?Jangan kau menurutkan kehendak hati,
Singkirkanlah segala kehendak untuk balas-membalas. Anakku,
berjanjilah. berjanjilah dan bersumpahlah bahwa kau tidak akan
melakukan pembalasan ...... "
?Baik bapa, segala perintah bapa akan kulakukan". Jawab Mayangseto
perlahan dan gemetar. ?Demi Tuhan, aku bensumpah, bahwa aku
Mayangseto tidak akan melakukan balas dendam kepada siapapun?.
?Bagus! Dan . . . dan bersumpahlah anakku, bahwa kau akan selalu
berusaha menghindari pembunuhan".
Tertegun Mayangseto mendengar kata gurunya ini. Baru saja
Mayangseto akan membuka mulut, Kiageng Gunturselo sudah mendahulu.
?Anakku, pada saat mendekati ajalku ini, ternyata mata dan hatiku terbuka.
Bahwa bunuh membunuh adalah tidak baik, dengan alasan apapun juga.
Karena mati dan hidup manusia ditangan Tuhan secara mutlak. Mengapa
manusia harus lancang melakukan pembunuhan ?"
?Tetapi bapa dalam bertempur hanya ada dua kemungkinan, dibunuh
dan membunuh", Bantah Mayangseto.
?Aku tahu anakku". Kiageng Gunturselo menjawab seraya tersenyum
?Namun demikian, apabila kau mau berusaha, akan terkabul juga
maksudmu itu. Bukan berarti kau harus mengalah, bukan ! Kalau terpaksa
untuk melindungi jiwamu, apa boleh buat. Maka bersumpahlah anakku,
bahwa kau akan memenuhi harapanku ini".
Mayangseto tidak membantah, dan mengucapkan sumpah.
?Anakku yang baik . . . anakku yang baik, aku puas sekall mendengar
kesanggupanmu", desis Kiageng Gunturselo dengan sinar mata gembira.
?Dengarlah dan perhatikanlah sekarang akan kata2ku Ini. Aku sudah
merasa, bahwa ajalku sudah tiba . . . "
Mendadak Mayangseto tak kuasa menahan airmata, ia menangis amat
sedih. Dan terharu juga pertapa sakti ini menyaksikan muridnya menangis.
?Menangislah anakku, menangislah sepuas hatimu sekarang, agar
dadamu lapang", Kiageng Gunturselo menatap muridnya, dan kemudianlanjutnya: ?Tetapi, sesudah aku nanti menghadap Tuhan, kuasailah hatimu
agar tidak mengganggu perjalananku".
Mendengar kata2 gurunya yang tidak mencegah ini, kemudian timbul
rasa malu dalam hati. Yah, mengapa harus menangis? Manusia hidup
didunia ini semuanya akan mati. Mengapa harus ditangisi ? Dan perbuatan
itu adalah salah. Apapula ia termasuk seorang pendekar. Menangis,
bukanlah perbuatan orang gagah.
Maka kemudian dengan menahankan kesedihan, ia memandang guru
yang dihormati. Lalu ia berkata ?Bapa, aku menantikan pesan dan perintah
bapa, apa yang harus kulakukan selanjutnya".
Kiageng Gunturselo menggerakkan tangan kiri yang belum lumpuh,
mengusap rambut Mayangseto, kemudian katanya perlahan ?Pertama
anakku, yang harus kau ingat, junjung tinggi sumpahmu bahwa kau tidak
akan melakukan pembalasan kepada siapapun, termasuk kepada muridku
yang murtad Jogosatru. Berusahalah agar orang2 yang bersalah itu
menyadari kesalahannya dan mau ber buat baik. Demikian pula sumpahmu,
tidak akan melakukan pembunuhan kepada siapapun apabila tidak amat
terpaksa. Lalu yang kedua anakku, teruskanlah perjuanganmu membeIa
Pajang dan Mataram. Yang ketiga, sesudah aku mati, beritahukanlah
keluargaku yang berdiam di Selo Purwodadi. Dan syukur pulalah apabila kau
dapat berusaha membawa jenazahku kesana. Lalu yang keempat anakku,
terimalah sekarang pusakaku, sepasang ?Genta sakti". Ketahuilah anakku,
bahwa genta ini adalah pusaka warisan dari leluhurku, Kiageng Tarub.
Terimalah anakku, dan pergunakanlah pusaka nenek moyangku ini untuk
membela keadilan dan kebenaran".
Dengan tangan gemetar Mayangseto menerima penyerahan pusaka
?Genta sakti" yang tidak pernah terpisah dari Kiageng Gunturselo. Kemudian
sepasang ?Genta sakti" itu dipasangkan pada pinggang sebelah kiri.
Kiageng Gunturselo tersenyum puas, dan kemudian berkata: ?Genta
itu masing2 mempunyai daya gaib anakku, genta yang kecil itu, untuk
melawan pengaruh batin dari seseorang musuh sakti. Kau pernah
menyaksikan sendiri, ketika Bondansari menggunakan pengaruh batin lewat
suara ketawanya. Lalu genta kecil kubunyikan untuk melawan pengaruh
tersebut. Sedang genta yang satunya lagi, yang lebih besar, mempunyai
daya gaib yang dingin merampas semangat dan batin orang. Apabila kau
menghadapi musuh yang amat tangguh sehingga sulit kau lawan,
pergunakanlah genta itu. Mudah2an musuhmu tak kuat menghalau
pengaruhnya dau tunduk kepadamu".
Kiageng Gunturselo berhenti bicara. Dadanya bergerak cepat, sedang
napasnya makin sesak dan sulit.
Tiba2 Mayangseto membuka mulut: ?Masih ada sesuatu bapa, yangakan aku tanyakan".
Kiageng Gunturselo berpaling dan tersenyum, lalu bertanya: ?Tentang
apa?"
?Perkenankanlah aku mengetahui, siapa orang yang menggunakan
panah beracun itu?"
?Kau akan melakukan pembalasan?"
?Tidak bapa! Hanya ingin mengerti".
?Syukur anakku, jika kau tidak akan berbuat sesuatu kepadanya. Aku
belum mengerti siapa nama pemuda tersebut. Akan tetapi dengan melihat
dan memperhatikan gerak dan gaya tata kelahi yang dipergunakan, aku
dapat menduga bahwa pemuda itu murid Pangeran Kartiko yang sudah
lama tidak terdengar namanya. Pangeran Kartiko adalah salah seorang
putera dari garwa selir Pangeran Sekar Sado Lepen yang tewas oleh
pembunuhan gelap. Dan kemudian diketahui bahwa pembunuhan itu
dilakukan oleh Pangeran Moekmin putera Sultan Trenggono. Karena itu,
Pangeran Kartiko adalah adik Pangeran Harya Panangsang lain ibu. Dalam
pada itu perlu kau ketahui pula bahwa sebabanya dulu Pangeran Harya
Panangsang melakukan pembunuhan kepada Sunan Prawoto (Pangeran
Moekmin) adalah sebagai balas dendam atas kematian ayahnya"
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?Tetapi mengapa mempunyai murid begitu jahat?' Mayangseto heran,
?Anakku, kurang baiklah apabila kau cepat menuduh orang jahat,
cegah Kiageng Gunturselo. ?Belum tentu pemuda itu jahat, dan belum tentu
pula Pangeran Kartiko jahat. Akibat mesti mempunyai sebab. Siapa tahu
Pangeran tersebut mempunyai nasib yang begitu jelek. Ah, anakku, kelak
kemudian hari kiranya kau akan tahu persoalannya. Anakku . selamat
tinggal ."
Mayangseto amat terkejut. Ketika ia menatap kepada gurunya,
ternyata napas pertapa sakti itu sudah berhenti. Bibirnya tersenyum, seakan
seorang tidur. Akan tetapi warna yang hijau membayangi muka itu, suatu
tanda racunlah yang menyebabkan kematian.
Mayangseto menubruk jenazah gurunya, dan hampir saja memekik
karena sedih. Untung bahwa ia cepat ingat akan penan Kiageng Gunturselo,
bahwa perjalanannya menghadap Tuhan jangan diganggu dengan tangis.
Maka dikuatkan hatinya, untuk kemudian menutupi jenazah Kiageng
Gunturselo dengan kain panjang. Pada saat Mayangseto sedang sibuk atas
kematian gurunya ini, ia terkejut mendengar suara merdu.
Cepat seperti bayangan Mayangseto melesat keluar. Dan tampaklah
seorang tua dengan muka berbaju kuning, berdiri tegak dengan mulut
tersenyum. Dialah Bondansari, musuh lama Kiageng Guntuselo.
Hampir saja meledak kemarahan yang memenuhi dada Mayangseto
melihat kedatangan Bondansari. Karena pemuda ini sudah dapat mendugabahwa kedatangan Bondansari itu tidak lain untuk melanjutkan dendam
lama. Tetapi untung sekali bahwa Mayangseto cepat dapat menguasai
kemarahannya. Memandang orang tua itu tanpa berkedip dengan siap siaga
menghadapi segala kemungkinan.
?Apa maksudmu datang kesini ?" tanya Mayangseto.
Bondansari ketawa lagi, amat merdu tiada bedanya perempuan. Dan
kemudian jawabnya mengejek: ?Kau masih bertanya segala. Apakah kau
sudah lupa anak muda, bahwa kedatanganku untuk menantang tua bangka
itu?"
?Hem", dengus Mayangseto sedih, ?kau selalu mengusik peristiwa
lama orang tua. Apakah keuntungan yang kau dapatkan dari perbuatanmu?"
Bondansari mendeham mengejek, lalu jawabnya : ?Uah, murid tua
bangka ini sekarang sudah pandai menasihati orang, Berlagak seorang yang
pandai. Keuntungan yang kuperoleh, bukan lain adalah mencari kepuasan
hati. Agar dapat terbalas segala dendam lama".
?Apakah kau baru akan merasa puas kalau salah seorang sudah mati,
bapa Boadansari ?"
Baru kali ini sajalah Mayangseto menggunakan sebutan bapa kepada
orang tua ini. Entahlah apa sebabnya, Mayangseto sendiri sampai terkejut
mengapa mulutnya menambah dengan kalimat bapa. Dan sebaliknya
Bondansari sendiri juga terkejut disebut bapa itu. Maka dengan sepasang
mata yang berkilat Bondansari bertanya: ?Hai, mengapa kau menyebutku
bapa? Kapankah aku kawin dengan ibumu?"
Hampir marah Mayangteto mendengar jawaban Bondansari ini. Untung
masih dapat menahan, lalu memberi penjelasan :
?Apakah aku salah menyebutmu bapa? Kau sudah tua dan aku masih
muda. Aku menyebutmu bapa tiada lain untuk hormatku kepadamu".
Bondansari berjingkrak, lalu menjawab: ?Uah, apa sih artinya
penghormatan segala. Aku tidak perlu kau hormati. Dan sekarang
dengarkan jawabanku atas pertanyaanmu, bahwa memang benar yang
dapat memberikan aku puas, apabila salah seorang sudah mati".
?Bapa, hem...... amat mulia budimu. Berarti, apabila salah aeorang
sudah mata dendam lama itu terhapus?"
?Apa katamu? Apakah kau sudah gila? Kalau salah seorang sudah
mati, mengapa orang harus terus mendendam ? Apakah aku harus
memusuhi kuburan?"
?Hem, aku hargai kejujuranmu bapa Bondansari, dan marilah sekarang
bapa kuantar kedalam rumah. Belum lama berselang guru sudah meninggal
."
?Apa?" Bondatuari amat terkejut dan pucat. ?Gunturseto sudah mati?"
Mayangseto mengangguk dengan wajah pucat. Hati Mayangsetokembali diliputi oleh rasa sedih dan duka, bahwa saat sekarang ini telah
kehilangan seorang yang amat berharga baginya.
Bondansari berdiri mematung agak lama. Entah apa yang sedang
terjadi dalam hatinya. Tetapi kemudian terdengarlah ia mengeluh: mengapa
kau sudah mendahului aku Gunturselo?"
Dan kemudian orang tua ini dengan langkah lesu dan wajah pucat
masuk kerumah. Diikuti oleh Mayangseto yang menahan kesedihan.
Ketika Bondansari menyaksikan jenazah Kiageng Gunturselo, tiba2
orang tua ini memeluk amat erat. Airmata bercucuran dari pelupuk matanya
yang sudah berkeriput dan terisak. Mayangseto dengan berlutut ditempat
lain, tak kuasa pula menahan airmata, bercucuran membasahi pipi.
Suasana bening dan sepi. Rumah iru dipenuhi oleh suasana haru yang
mencekam. Ternyata Bondansari yang selalu memusuhi Kiageng Gunturselo
untuk membalaskan sakit hati atas kematian adiknya sekarang menjadi
amat sedih seakan menyesali kematian Kiageng Gunturselo. Orang tua sakti
yang gerak - gerik dan suaranya mirip perempuan itu, sekarang terbuka
mata dan hatinya, menjadi sadar sesudah musuhnya meninggal. Dendam
yang selama ini menyesak dada dan menguasai hatinya, sekarang terhapus
dan malah menyesal.
Kekuasaan Tuhan berlaku atas semua umat manusia. Tuhan sekarang
sudah mengulurkan tangan untuk memberi kesadaran kepada seorang yang
berpuluh tahun selalu diperkuda oleh dendam kesumat. Berpuluh tahun ia
selalu membenci kepada Kiageng Gunturselo, dalam waktu sekejap sudah
berubah seakan seorang sahabat yang ditinggalkan.
Lama sekali Bondansari memeluk Kiageng Gunturselo yang sudah
tinggal raga. Tetapi ia kemudian sadar bahwa bagaimana pula disesalkan,
orang yang sudah mati tetap akan mati. Maka sambil menyeka air mata
dengan dua belah telapak tangan, berkatalah Bondansari: ?Anak muda,
berapa hari gurumu menderita sakit? Justru beberapa hari yang lalu kau
menyatakan sedang pergi menjenguk cucunya?"
?Bapa", jawab Mayangseto menggeletar : ?Guruku menderita
keracunan akibat serangan orang secara curang tadi siang".
?Apa?"?Bondansari terkejut. ?Siapa yang berbuat curang itu?"
Mayangseto segera menceritakate tentang dugaan Kiageng Gunturselo
bahwa pemuda itu murid Pangeran Kartiko.
Tiba2 Bondansari berdiri, Air mukanya berubah menjadi merah,
ketawa amat merdu dan kemudian berkata : ?Hai Guntuselo! Pergilah kau
menghadap Tuhan dengan tenang. Aku Bondansari bekas musuh besarmu.
Mulai hari ini sudah tidak mempunyai dendam lagi kepadamu. Malah, aku
akan membelamu. Akan membalaskan kematianmu, agar kau menjadi puas
disana".?Jangan!" Mayangaseto lantang. ?Janganlah bapa melanggar pesan
bapa Gunturselo!"
Bondansari terkejut. Mata yang bersinar tajam itu memandang
Mayangseto penuh selidik. Baru sesudah agak lama, bertanyalah orang tua
ini: ?Pesan gurumu yang mana ?"
Mayangseto segera menerangkan semua pesan Kiageng Gunturselo
yang sudah diterimanya, sesaat sebelum meninggal. Mendengar keterangan
Mayangseto itu, tiba2 Bondansari pucat. Kakinya menggigil dan kemudian
kembali berlutut. Memeluk jenazah Kiageng Gunturselo dengan ter-isak2.
?Sunnguh mulia hatimu Gunturselo", bisik Bondansari. ?Hem,
mengapa aku yang sudah tua ini masih belum dapat menguasai hati? Benar
apa katamu, untuk apa manusia saling mendendam: Untuk apa saling
bermusuhan, saling fitnah! Kesemuanya itu hanyalah menunjukkan ketidak
sucian hatinya. Takut akan bayangannya sendiri, dan takut orang lain
menggoyahkan kedudukannya. Adalah amat mudah menuduh orang lain
jahat, buruk dan tidak baik. Tetapi, cacat diri sendiri tidak pernah disadari.
Selalu disembunyikan agar orang lain tidak tahu. Ah, manusia .. kau
hanya pandai mencerna dan memfitnah orang lain, tetapi tidak pandai
menyadari cacat sendiri".
Mayangseto memandang Bondantari dengan terharu. Dalam hati
merasa gembira, bahwa achirnya orang tua ini menyadari kesalahan2nya.
?Baik Guntorselo, pesanmu lewat muridmu akan aku junjung tinggi".
Kata Bondansari lagi. ?Dan aku bersumpah didepan mu sekarang ini. Aku
akan selalu berusaha berbuat baik, membela keadilan dan kebenaran.
Biarlah muridmu yang seorang ini menjadi saksi dan mewakilikan untuk
memberi hukuman kepadaku kalau aku melanggar sumpahku".
Amat terharu Mayangseto mendengar sumpah Bondansari didepan
gurunya. Tidak pernah diduga bahwa orang tua ini secara tiba2
mendapatkan kesadarannya kembali. Ternyata benar apa yang sudah
dikatakan gurunya kala itu, bahwa Bondansari bukanlah orang jahat.
Tak lama kemudian Bondansari bangkit. Memandang Mayangseto, lalu
bertanya : ?Anak muda, apa yang akan kau lakukan sekarang ?"
Mayangseto mengangkat muka, kemudian jawabnya: ?Bapa, apakah
bapa dapat membantu aku?"
?Tentu ! Aku akan membantumu".
?Aku ingin membawa jenazah guru kedesanya, ialah desa Selo
Purwodadi untuk aku serahkan kepada keluarganya". Mayangseto
bersungguh. ?Karena aku merasa kasihan apabila guru kukebumikan
didaerah terpencil ini".
?Ternyata kau seorang murid yang baik dan setia". Bondansari sambil
tersenyum. ?Tepat sekali pilihan Gunturselo dalam memilih seorang pewaris.Hem, baiklah anak muda, akan kubantu kerepotanmu".
Baik Mayangseto maupun Bondansari segera mempersiapkan segala
sesuatu keperluan untuk membawa jenazah Kiageng Gunturselo kepada
keluarganya.
X X X
Tiap sesuatu pertemuan tentu berachir. Demikian pula tak mungkin
hidup tanpa mati. Namun demikian, kematian itu biasanya tetap disesalkan
dan disedihkan. Meskipun sudah tahu bahwa penyesalan dan apa yang
disedihkan itu tanpa alasan.
Demikian pula Mayangseto, sekalipun ia tahu bahwa meninggalnya
Klageng Gunturselo sudah dikehendaki Tuhan, ia masih juga menyesal dan
sedih. Dan meskipun peristiwa itu sudah dua minggu berlalu, namun sesal
dan sedih itu masih tetap menguasai dada. Soalnya memang bagi
Mayangseto, gurunya itu merupakan seorang yang telah banyak jasa yang
diberikan kepadanya. Atas gemblengannya pula ia sekarang menjadi
seorang yang matang dan berilmu tinggi.
Sesudah gurunya sekarang tiada, maka orang yang selalu memberi
petunjuk dan memberikan tuntunan sudah tiada. Dan satu hal lagi yang
penting, sekarang ia tidak mempunyai tempat tinggal Karena tidaklah
mungkin la harus hidup terpencil dilereng Merapi menempati rumah Kiageng
Gunturselo.
Dengan hldup terpencil dilereng Merapi, sekalipun memberikan rasa
tenteram, namun akan menjadi seorang yang buta suasana. Apapula dalam
hubungan dengan perjuangan Mataram.
Berdebarlah kemudian dada Mayangseto, sesudah ia teringat akan
masalah perjuangan. Bukankah dengan pulang ke Mataram, bersatu kembali
dengan ayah dan bundanya berarti akan dapat selalu berdekatan dengan
seorang gadis jelita yang dicintai, Widowati? Diputuskanlah kemudian untuk
pulang ke Mataram, daripada harus bertempat tinggal terus dilereng Merapi.
Pada saat Mayangseto sudah meninggalkan rumah Kiageng Gunturselo
menuju Mataram, timbullah suatu keinginan untuk bertemu sekali lagi
dengan Jogotirto didesa Troketon Pada mulanya kehendak ini selalu dicegah
karena kedatangaanya di Troketon berarti akan bertemu dengan dara manis
Puspitosari. Dan akibatnya pula akan mengungkat kembali kekecewaan
hatinya yang tidak mungkin terpenuhi. Maka maksud hati untuk datang ke
Troketon ini selalu dicegah.
Akan tetapi aneh sekali. Desakan hati itu sulit dipatahkan. Berteriak2
dan meminta supaya dikabulkan. Dan achirnya, kaki menurut dan
melangkah menuju desa Troketon. Disana nanti ia akan memberitahukan
maksudnya kembali ke Mataram, tetapi pada setiap saat akan datangberkunjung meninjau keadaan.
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makin dekat dengan desa Troketon, hatinya makin berdebar. Timbul
rasa sangsi, bagaimana nanti apabila bertemu muka dengan gadis yang
merenggut hatinya itu. Untung bahwa ia segera ingat akan nasihat2 gurunya
almarhum, agar jangan suka menurutkan hati. Ia segera mempercepat
langkahnya menuju desa Troketon. Agar dapat bertemu dan berbicara
dengan seorang tua yang penuh semangat perjuangan itu.
Ketika ia sudah mencapai tepi hutan yang tidak jauh letaknya dengan
desa Troketon, terbelalaklah sepasang mata Mayangseto, dan seakan tidak
mau percaya kepada pandangan matanya sendiri.
Desa Troketon yang hijau dan berpenduduk ramah itu, sekarang
merupakan pemandangan yang menyedihkan. Pohon2 yang hijau itu,
sekarang hangus dan kering. Tiada sebuahpun rumah yang masih berdiri,
dan tiap dihembus oleh angin maka mengepul lah debu yang tebal.
Menbuktikan bahwa deta ini belum lama terlanda oleh api kebakaran yang
amat besar, sehingga tidak dapat dicegah lagi menghabiskan desa yang
makmur itu.
Mayangseto melompat dan lari secepatnya, untuk mendekati desa
tersebut. Hati mendadak ingin segera dapat mengetahui, mengapa desa itu
sekarang berubah menjadi desa yang kosong dan menyedihkan. Apakah
perampok2 habis mengganas kedesa ini ?
Ketika Mayangseto sudah dekat, tampaklah pemandangan yang lebih
mengharukan. Tampaklah beberapa wanita tua dan anak2 kecil mengorek
bekas2 rumah, seakan sedang mencari sesuatu. Dan ditempat lain,
beberapa laki2 tua sedang bersusah payah menarik2 kayu yang hangus
bekas bangunan rumah. Yang amat mengherankan hatinya, mengapa tiada
tampak laki2 muda. Kemana sajakah mereka itu ?
Dengan menahan hati, Mayangseto mendekati seorang laki2 tua yang
sedang berusaha mencari sesuatu dari dalam puing bekas kebakaran.
?Bapa, apa yang sudah terjadi?" tanya Mayangseto perlahan:
Laki2 tua itu meloncat. Agaknya amat terkejut sekali mendengar suara
orang didekatnya. Akan tetapi sesudah ia mengenal siapa yang datang tiba2
laki2 tua itu menutupi muka dengan dua belah tangan, kemudian menangis
menggerung2.
Agaknya orang2 yang lain mendengar pula suara tangis itu. Mereka
ber-duyun2 datang, dan kemudian seperti diberi aba2 ikut menangis
melolong. Maka terdengarlah kemudian suara tangis di-sana-sini yang amat
mengharukan.
Mayangseto tetap berdiri pada tempatnya menahan haru, sambil
menyapu wajah orang yang mengandung kedukaan besar. Tiba2 terdengar
suara perempuan bercampur dengan tangis: ?Kembalikan anakku . huk,huk, huk . Warni, Warni kau dimana anakku. Oh . Huk, huk .. bangsat
. bangsat tentu kau yang sudah melarikan anak gadisku ."
Dengan memegang kayu sebesar lengan orang, wanita tua itu sudah
menyerbu Mayangseto yang masih berdiri, seraya memukul sekuat tenaga.
Mayangteto tahu juga akan ancaman itu, akan tetapi dibiarkan seakan tidak
tahu. Apa artinya pukulan dari perempuan itu baginya?
Akan tetapi orang lain yang sempat mennyaksikan, segera melompat
dan memekik bermaksud mencegah. Namun pukulan itu datang lebih cepat,
dan dengan cepat ditangkap oleh tangan Mayangseto.
Dengan amat cekatan, orang2 yang lain segera menangkap dan
merebut kayu pemukulnya. Namun wanita itu meronta2 sambil mencaci
maki : ?Lepaskan. ! Bangsat itu biar kuhajar dulu...! Dia yang melarikan
Warni . dia yang membunuh suamiku .dia yang membakar rumahku.
Lepaskan! cepat lepaskan biar kuhajar dia sampai mampus. Hai . apa
kau tuli .. huk huk huk..... Warni . Warni dimana kau.... Ha ha ha-ha
senang . hati ku senang Warni . Betul. . betul . ha ha ha ha "
?Raden, maafkan dia". Kata seorang Iaki2 tua beriba.
?Dia menjadi gila sesudah terjadi malapetaka didesa ini, karena
kehilangan suami yang mati terbunuh dan anak gadisnya di larikan".
?Apakah terjadi perampokan didesa ini?" Mayangseto terkejut.
?Bukan raden, bukan perampokan".?Bukan parampok? Lalu siapa yang sudah memusnakan desa ini?"
?Baiklah raden, akan hamba ceritakan apa yang terjadi". Orang tua itu
menahan kesedihan, sepasang mata yang sayu memandang Mayangseto
dan kemudian melanjutkan ?Kira2 setengah bulan yang lalu, Puspitosari,
anak bungsu Lurah Jogotirto hilang".
?Apa?" Mayangseto terkejut dan berjingkrak. ?Kemana ? Pergi
kemana?"
Mayangseto menjadi bingung dan tidak tenang ketika mendenger
gadis yang pernah merenggut hatinya itu hilang. Maka dengan tak sabar,
pundak orang tua itu digoncangkan: ?Katakanlah lekas. Mengapa hilang?"
Laki2 tua itu menggigil tiba2, dan wajahnya makin pucat seperti
kapas.
Untunglah Mayangseto cepat sadar. Orang tua itu dilepaskan kembali,
dan cepat minta maaf: ?Maafkan aku bapa. Aku telah membuat kau
terkejut".
Dengan ter engah2 orang tua itu kembali duduk. Peluh dingin
membasahi seluruh tubuh, hingga Mayangseto amat merasa iba.
?Biarlah aku gantikan kakang", kata seorang laki2 yang lebih muda,
mendekat disampingnya. Lalu mulai berkata : ?Raden, sebab2 hilangnya
Puspitosari itu tidak seorangpun tahu. Tetapi ada sementara orang yang
melaporkan kepala Lurah Jogotirto bahwa sebelumnya, Puspitosari menangis
dikebun. Dsn diduga bercekcok dengan Maruto. Akan tetapi Maruto tidak
mengakui bercekcok, malah menyatakan bahwa sebabnya Puspitosari
menangis tidak mengerti. Ia datang bermaksud menghibur".
Orang itu berhenti sebeatar, membasahi bibirnya dan kemudian
melanjutkan: ?Tetapi Lurah Jogotirto tidak percaya dan marah. Maruto
dipukul, tetapi luput. Orang2 cepat melerai, dengan maksud agar tidak
terjadi perkelahian. Karena apabila terjadi perkelahian, Maruto tentu kalah
oleh Lurah Jogotirto. Akan tetapi karena kemarahan Lurah Jogotirto yang
amat sangat akibat hilangnya Puspitosari maka kemudian Maruto diusir dari
desa ini. Disamping itu Lurah dengan bantuan penduduk berusaha
menemukan kembali gadis yang hilang tersebut. Akan tetapi sudah berhari2
dicarinya, namun usaha itu sia2 Puspitosari tetap hilang tanpa bekas".
Mayangseto berdiam diri, mendengarkan cerita orang itu dengan air
muka yang berduka. Banyak kali Mayangseto menghela napas, agaknya
berusaha untuk menghilangkan rasa sesak yang menyerang dada.
?Kemudian, empat harl yang lalu". Orang tersebut melanjutkan
ceritanya, ?Terjadilah suatu peristiwa yang tak terduga- duga, pada suatu
siang. Datanglah pasukan berkuda dalam jumlah ratusan, dan dari orang
yang dapat mengenal mengatakan bahwa pasukan itu perajurit2 Demak.
Ternyata Maruto terdapat diantara mereka, dan tanpa sebab mereka sudahmenyerbu, melakukan pengrusakan, membunuh dan membakar rumah.
Raden, sudah barang tentu seluruh penduduk Troketon ini amat terkejut dan
geger. Anak2 kecil dan perempuan lari berserabutan dan menjerit kesana
kemari, menambah kegegeran. Yang amat menyedihkan raden, mengapa
perajurit-perajurit itu begitu kejam. Anak anak yang tidak berdosa itu
banyak yang mati. Tetapi perempuan-perempuan muda mereka tangkap
dan dengan tak tahu malu dirayu dan dibujuk. Raden, para pemuda dalam
desa ini dibawah pimpinan Lurah Jogotirto berusaha melawan dan
menghalau. Terjadilah pertempuran yang kacau, dan disana -sini terjadi
pembakaran. Bagaimana pun pula penduduk desa ini berusaha menghalau,
namun tidak berdaya karena musuh berjumlah lebih banyak dan bersenjata
lengkap. Akhirnya, desa kami terlanda oleh api kebakaran. Mayat
bergelimpangan disana-sini, dan orang2 tua seperti kami lari terbiri2
menyelamatkan diri".
?Mengapa perajurit Demak itu menyerbu kemari ?" tanya Mayangseto
dengan sepasang mata berapi.
?Hamba tidak tahu sebabnya". Orang tua tersebut berkata sambil
menggeleng. ?Agaknya memang Maruto yang mengundangnya. Tetapi dari
teriakan perajurit2 Demak itu, dapat hamba tangkap bahwa kami dituduh
memberontak".
?Memberontak?" Mayangseto terkejut. Lalu satnbil memukul telapak
tangan sendiri, ia membentak. ?Bangsat Maruto ! Tentu ini perbuatan
Maruto yang berkhianat. Ia melaporkan kepada Pangeran Pangiri, apa yang
sudah kubicarakan dengan paman Jogotirto".
Mayangseto ter-engah2. Marah menggelegak menyesak dada,
menyaksikan derita penduduk Troketon yang tak berdosa. Lalu tanya
Mayangseto kemudian: ?Dimana paman Jogotirto?"
?Sejak peristiwa itu kami tidak melihatnya". Jawab salah seorang.
?Entah, kami tidak tahu, mungkin juga sudah gugur".
Tiba2 Mayangseto tak kuat menahan airmata. Ia menangis
menyaksikan derita penduduk desa ini. Keharuan hatinya memaksa kepada
mata untuk menitikkan airmata. Ya, betapapun kuat menahan hati,
menyaksikan derita penduduk ini, terpaksa menangis juga.
Akan tetapi tidak antara lama Mayangseto sudah berhasil menguasai,
Ia menebarkan pandangannya kepada seluruh penduduk yang masih ada,
dan menyanggupkan diri untuk menangkap Maruto agar diadili oleh
penduduk ini sendiri, disamping mencari Jogotirto. Dalam pada itu ia
menyanggupkan diri pula bahwa tiga hari kemudian ia akan datang kembali
kedesa ini memberikan sumbangan. Karena pada saat ini Mayangseto tidak
mempunyai apa2, dan ia bermaksud akan pulang dahulu ke Mataram untuk
mencari uang. Derita yang menimpa penduduk Troketon ini, makinmenimbulkan semangat untuk memenangkan perjuangan.
Sesudah ia meminta diri kepada seluruh penduduk yang masih
selamat, ia cepat2 meninggalkan desa ini dengan tujuan ke Mataram Ia
merasa tidak tega menyaksikan penderitaan penduduk akibat pengkhianatan
yang dilakukan oleh Maruto. Dan menyesal pula, mengapa peristiwa itu tak
diketahuinya. Kalau saja ia tahu, kiranya persoalan itu akan dapat
diselesaikan secara baik. Tetapi ah, semua itu sudah terjadi. Bagaimanapun
disesalkan tiada artinya.
Akan tetapi satu hal yang masih terus memenuhi benaknya. Kemana
Puspitosari ? Masih terbayang kemanisan gadis desa itu, dan sulit untuk
melupakan begitu saja. Karena apabila dulu tidak diberitahukan calon isteri
Maruto, sebenarnya ia ingin mempersunting sebagai kekasih.
Namun perasaannya yang tertuju kepada Puspitosari segera di tekan.
Ia cepat teringat kepada Widowati, puteri Tumenggung Wirengpati.
Gelagatnya gadis bangsawan itu dapat menerima cintanya.
Dan hal ini setibanya di Mataram nanti akan segera diceritakan kepada
ayah bundanya, agar bersedia melamar.
Betapa sukacita Mayangseto sesudah dapat bertemu muka dengan
ayah bundanya, sulit untuk dilukiskan. Ia dipeluk oleh ibunya, dengan air
mata bercucuran. Meskipun benar Mayangseta bukanlah putera Raden Ayu
Tumenggung. Namun Mayangseto sudah di pungut sebagai anak angkat
sejak bayi. Maka kasih ibu ini tidak berbeda dengan kasihnya kepada putera
sendiri, tidak berbeda dengan putera tunggalnya raden Pabelan. Apa pula
sekarang Pabelan sudah meninggal maka Mayangseto merupakan buah
hatinya. Merupakan putera sebagai pengganti Pabelan.
Raden Ayu Tumenggung Mayang adalah adik Panembahan Senopati,
Karena itulah ketika Tumenggung Mayang dan keluarga ditawan Pangeran
Pangiri, Panembahan Senopati mengutus pasukan khusus untuk merebut
dan menolong pada saat akan dibawa ke Semarang.
Mayangseto segera menceritakan pengalamannya tapi sebelum
Mayangseto selesai bercerita tentang diri Kiageng Selo, Tumenggung
Mayang tampak terkejut dan cepat memotong: ?Eh- eh! Nanti dulu anakku!
Betulkah kau bertemu dan berguru kepada beliau?"
?Benar rama, hamba bertemu dau berguru beliau", jawab Mayangseto
cepat.
Raden Ayu Tumenggung Mayang tampak keheranan juga
mendengarnya, dan cepat2 berkata: ?Bukankah beliau sudah lama wafat?"
?Wafat?" Mayangseto bingung.
?Ya, beliau sudah lama wafat. Agak lama sebelum Kiageng Anis
berdiam di Laweyan, dan terkenal dengan sebutan Kiageng Laweyan", Kata
Tumenggung Myaang dengan berpikir keras?Tapi . . . tapi hamba benar2 bertemu dan berguru". Mayangseto
menjelaskan. Tumenggung Mayang dan isterinya terdiam beberapa saat
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lamanya. Dan Mayangseto sendiri merasa bingung menghadapi suatu
peristiwa yang tidak pernah diduganya itu. Mayangseto benar2 merasa
berguru kepada Kiageng Selo atau Kiagang Gunturseto Tetapi mengapa
ayah bundanya menyatakan sudah lama meninggal? Dan yang
mengherankan mengapa justru Menak Jolosengoro, Bondansari dan Ki
Jogosatrupun beranggapan masih hidup seperti ia sendiri. Mayangseto
merasa amat bingung dan tidak dapat memecahkan teka- teki yang sulit ini.
Agak lama kemudian barulah Tamenggung Mayang berkata: ?Hem,
sungguh aneh pengalamanmu anakku. Akan tetapi memang juga dapat
dimengerti".
Tumenggung Mayang berhenti lagi beberapa saat, kemudian baru
melanjutkan: ?Para sakti memang seringkali membuat orang bingung.
Mengapa sudah wafat masih bisa muncul dan hidup. Hem, aku dapat
menduga bahwa agaknya masih terdapat rahasia yang aku sendiri belum
mengerti. Biarlah hal ini aku mohonkan keterangan kepada Panembahan
Senopati, karena beliau adalah cicit Kiageng Selo".
Meskipun ia berkata demlltian, namun benaknya masih pula dipenuhi
oleh rasa heran dan bingung.
Hingga beberapa lama ayah dan anak ini berdiam diri, tetapi kemudian
berkatalah Tumeaggung Mayang: ?Sungguh beruntung kau anakku, bertemu
dengan Kiageng Gunturselo. Dengan bekal kepandaianmu mudah2an kau
dapat membantu Mataram lebih banyak. Keadaan sudah amat
mengkhawatirkan anakku, sewaktu waktu dapat meletus peperangan, justru
Sultan Hadiwijoyo dalam keadaan gering".
Mayangseto tidak terkejut mendengar pemberitahuan ayahnya ini.
Karena dalam perjalanannya menuju Mataram, dengan menggunakan
kepandaiannya berhasil menyelinap dalam keraton Pajang. Ia menyaksikan
bahwa Sultan Hadiwijoyo tampak sudah amat tua dan pucat, Pangeran
Pangiri dan orang kepercayaannya, Adipati Tuban tampak selalu sibuk.
Dalam pada itu dialun alun Pajang, juga diketahui adanya latihan
perang2an. Apa yang sudah dilihatnya itu, mustahil tanpa sesuatu maksud.
Dalam penyelidikan yang sudah dilakukan di Pajang sehari semalam
itu. Mayangseto sudah dapat menarik kesimpulan bahwa suasana makin
panas. Sewaktu2 dapat meletus peperangan secara terbuka antara pengikut
Mataram dan Demak. Maka diam2 ia berdebar.
?Seyogyanya anakku," sambung Tumenggung Mayang berikan tenaga
dan pikiranmu mulai saat ini seluruhnya untuk Mataram dan jangan kau
pergi lagi. Panembahan Senopati sudah beberapa kali pula menanyakan
dirimu, maka seyogyanya lain hari bersama aku menghadap beliau".?Ya, aku setuju", dukung ibunya yang merasa tidak rela lagi berpisah
dengan puteranya, ?sudah saatnya bagimu memikirkan hari depan. Dan ..
dan sudah layak pula kalau beristeri ."
Mayangseto tersenyum. Kata2 ibunya ini mengingatkan akan
maksudnya kepada Widowati, gadis jelita yang digandrungi. Akan tetapi
sekarang, sesudah ia mengetahui keadaan di Pajang dan suasana Mataram
sendiri, kehendak untuk membicarakan persoalan itu dengan ayah bundanya
ditangguhkan. Belum saatnya sekarang untuk membicarakan perjodohan
mengingat suasana negara yang belum mengijinkan. Disamping ia sendiri
yang belum memiliki kedudukan apapun, apakah harus menjadi tanggung
jawab orang tua ? Tidak! Ia tidak ingin memberatkan orang tua. Ia tidak
akan memikirkan isteri, sebelum mempunyai penghasilan. Oleh karena itu
jawab Mayangseto kemudian : ?lbu, kiranya belum saatnya ananda
memikirkan isteri, mengingat keadaan ananda sendiri".
Raden Ayu Tumenggung ketawa lirih dan kemudian berkata: ?Kau
khawatir tidak dapat menjamin isterimu? Tidak usah khawatir anakku, orang
tuamu sanggup memikul beban itu. Dalam pada itu, kau tak usah khawatir,
ayahmu akan dapat mengusahakan kedudukan untukmu".
?Terima kasih. tetapi ananda masih belum dapat menyanggupkan
diri", Jawab Mayangseto kemudian. ?Malah, perkenankanlah ananda esok
pagi mohon diri".
?Mengapa ?" ibunya terkejut.
Lalu diceritakan tentang kesanggupannya untuk memberi bantuan
kepada penduduk Troketon yang tertimpa malapetaka.
?Bagus anakku, merupakan kewajibanmu pula untuk selalu
memperhatikan nasib mereka". Tumenggung Mayang seraya menatap
anaknya penuh bangga. ?Himpunlah kekuatan rakyat itu, agar dapat
menanam kepercayaan dan kesetiaan kepada Mataram. Apapula mereka
adalah korban pengkhianatan, maka harus mendapat perhatian. Kau akan
kubawa menghadap Panembahan Senopati sore nanti, dan aku percaya
penuh bahwa beliau akan berkenan memberi pertolongan kepada mereka".
Mayangseto tersenyum bangga.
Amat bersuka citalah hati Mayangseto bahwa atas permohonan
ayahnya, Panembahan Senopati berkenan memberikan bantuan kepada
rakyat Troketon yang menderita kemalangan. Ia menerima sekantung uang
emas. Dan ia berjanji bahwa uang tersebut seluruhnya akan diberikan
kepada yang berhak menerimanya.
Ia meninggalkan Mataram pada esok paginya, sesudah dipeluk dan
diciumi ayah bundanya penuh kasih, dan diiringkan airmata. Mayangseto
mengendarai kuda putih pemberian Jogotirto dahulu, yang sekarang mulai
disayangi. Ternyata ia merupakan seekor kuda yang kuat dan baik, dandiberinya nama Bayu. Dan agaknya kuda itu sendiripun juga mengerti kasih
orang, ia amat penurut dan setia.
Ketika Mayangseto tiba didesa Delanegu, lalu berbelok kebarat. Waktu
itu sudah lepas tengah hari. Udara begitu terik, maka ia memacu kudanya
agar lebih cepat. Tetapi tidak lama kemudian ia sudah kembali masuk butan
yang bersambung dengan hutan2 di kaki Merapi.
Belum lama ia menerobos hutan ini, hatinya amat terkejut
menyaksikan pertempuran seorang lawan seorang yang seru sekali. Ia
menghentikan kudanya, berlindung dan memperhatikan. Jelas dilihatnya
bahwa salah seorang diantara mereka itu adalah seorang wanita yang masih
muda. Baju yang dikenakannya berwarna hijau berkibaran menurut
geraknya. Rambut yang hitam lebat itu digelung singsat diatas leher, dan
diikat dengan pita merah. Ia bertubuh sedang, namun bentuk
kewanitaannya begitu jelas dan sedap dipandang.
Geraknya cepat dan lincah, bersenjatakan sepasang pedang. Ilmu
pedang yang dimainkannya itu bagus, serangannya ber tubi2 selalu
mengarah tempat2 berbahaya.
Namun serangan2 wanita itu, dengan amat mudahnya dapat
digagalkan oleh lawan. Ternyata lawan itu seorang pemuda tampan, bibirnya
tersenyum seakan memandang ringan serangan lawan. Pemuda inipun
bersenjatakan dua macam senjata. Pada tangan kanan sebatang pedang
sedang pada tangan kiri sebatang busur.
Hati Mayangseto berdebar. Karena secara cepat ia dapat menilai,
bahwa ilmu gadis itu masih selisih jauh apabila dibandingkan dengan
kepandaian lawannya. Benarlah apabila pemuda itu selalu tersenyum,
agaknya sengaja mengejek. Kadang pula terdengar pemuda itu menggoda,
menangkis serangan gadis tersebut seraya menyindir: ?Aduh galaknya".
Namun gadis itu tidak menjawab dan terus memberikan tekanan dengan
serangan2 yang berbahaya tanpa memberi kesempatan kepada lawan.
Akan tetapi yang agak merasa aneh dalam hati Mayangseto mengapa
pemuda itu selalu menarik kembali serangannya pada saat hampir
menyentuh tubuh gadis itu. Berlwanan dengan gadis itu selalu menyerang
secara sungguh. Membuktikan bahwa pemuda ini sengaja tidak melayani
secara benar. Seakan seorang guru sedang melatih muridnya.
Tiba2 terdengar kata pemuda itu: ?Nona, sudahlah lebih baik kita
hentikan pertempuran ini. Aku bersedia mengaku kalah, asal saja nona
bersedia ikut aku".
?Bangsat ! Siapa sudi mengikutimu?" jawab gadis itu sengit dan
kemudian berteriak: ?Awas pedang
!?Aya !" seru pemuda itu seraya tersenyum, dan meloncat kesamping
seraya menangkis.Atas tangkisan itu, pedang ditarik kembali untuk menghindari
benturan. Agaknya gadis ini mengerti, benturan senjata itu akan
mengakibatkan kerugiannya.
?Hem, aku bermaksud baik nona", ujar pemuda itu lagi. ?Betapa
bahagia hatiku, jika nona disampingku".
?Cerewet!" pekik gadis itu gemas, seraya menekan dengan serangan2
amat cepat. Namun dengan gampang serangan itu dipecahkan oleh pemuda
tersebut.
Berdebarlah hati Mayangseto mendengar semua itu. Mengertilah la
sekarang, bahwa pemuda ini bermaksud menangkap gadis itu tanpa
melukai. Tentunya pemuda ini tertarik oleh kecantikannya. Dalam pada itu
Mayangseto dapat menduga pula sebabnya mereka bertempur, tentunya
gadis ingin membebaskan diri.
Mendadak Mayangseto berjingkrak. Teringatlah ia akan keterangan
gurunya sesaat sebelum menghembuskan napas yang terakhir. Seorang
pemuda tampan bersenjata pedang dan busur, telah menyerang secara
curang. Pemuda inikah orangnya yang sudah membunuh gurunya?
Maka dengan penuh perhatian Mayangseto meneliti keadaan pemuda
itu. Dikelahuilah kemudian, bahwa pada punggung pemuda itu terdapat
bumbung tempat anak panah. Dan tampaklah bulu anak panah berwarna
merah dan putih.
?Ah, kiranya benar bahwa pemuda inilah yang diceritakan
guru".Mayangseto berbisik kepada diri sendiri, untuk meyakinkan.
Kuda itu cepat ditambatkan pada tempat yang berlindung. Lalu
dengan gerak hati2 ia mendekati tempat pertempuran. Timbullah niat untuk
bertindak pada saat gadis itu dalam bahaya. Darah mendidih menyesak
dada teringat akan sebab kematian gurunya. Ingin juga membalas dan
membunuh pemuda ini. Akan tetapi ia juga cepat ingat kepada sumpahnya
dihadapan gurunya, bahwa sedapat mungkin menghindari pembunuhan.
Pemuda tampan itu, sekarang tinggal bersenjata busur, dipegang
tangan kanan. Pedang sudah dikembalikan kesarung yang tergantung pada
pinggang. Dengan bibir tetap tersenyum ia melayani serangan gadis itu
hanya dengan busur. Mayangseto berdebar. Ia mengerti maksud pemuda
ini, kiranya bermaksud mengakhiri pertempuran dengan merebut senjata
lawan, disamping ingin merobohkan tanpa melukai. Karena dengan busur itu
berarti pukulan dan tusukan hanya diarahkan kepada jalan2 darah.
Mayangseto bersiap diri, memegang dua buah kerikil untuk bertindak
setiap saat.
Tiba2 terdengar pekik nyaring, dan wajah gadis itu agak pucat. Karena
pedang pada tangan kanannya terpental. Dan belum juga gadis itu dapat
menguasai keadaan, disusul pedang pada tangan kirinya lepas.Akan tetapi mengherankan sekali. Wajah yang semula pucat itu
sekarang berubah agak memerah, sepasang mata bersinar tajam penuh
kemarahan, dan dengan tangan kosong tetap berusaha melawan. Diam2
Mayangseto kagum akan keberanian dan kegagahan gadis ini. Ia tetap tidak
mau menyerah saja.
Namun apa artinya perlawanan yang diberikan sekarang menghadapi
pemuda ini. Tadi menggunakan sepasang pedang saja tidak berdaya, apalagi
sekarang bertangan kosong. Maka dengan ketawa setengah menggoda,
pemuda itu melayani serangannya dengan mudah.
Tiba2 terdengar kata pemuda itu: ?Manis, mengapa kau berkeras hati
?"
?Cerewet! Siapa sudi memandang mukamu ?" jawab gadis itu penuh
marah.
?Baiklah jika demikian", kata pemuda tersebut. ?,Aku terpaksa
membikin kau mau tunduk".
Pemuda tersebut menyelipkan busur pada punggung. Lalu dengan
tangan kosong melayani serangan gadis ini. Muak dan marah sekali, hingga
beberapa kali sigadis memekik gemas. Karena ternyata pemuda itu begitu
kurangajar. Dua kali sudah tangan pemuda itu menghina, pertama sengaja
mengusap dagu, dan kedua berusaha menyerang dada. Untung bahwa
tangan yang kurang ajar itu dapat dihindari dengan loncatan yang indah dan
gesit.
Menyaksikan perbuatan pemuda yang kurangajar itu, diam2
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mayangteto muak dan marah. Akan tetapi masih disabarkan untuk
menunggu saat yang lebih baik. Gadis itu belum dikalahkan, maka
Mayangseto khawatir apabila tersinggung kalau ditolong.
Mayangseto amat terkejut dan terbelalak. Ketika menyaksikan gerak
pemuda tersebut yang begitu cepat berhasil menotok pusat urat nadi,
sehingga gadis itu tak dapat bergerak. Akart tetapi ketika tangan pemuda
itu sudah hampir mengangkat tubuh sigadis, dua kerikil melayang cepat
mengarah dua tempat.
Pemuda tersebut cepat melompat menghindari kerikil yang
menyambar secara tiba2. Sedang kerikil yang lain tepat membuka jalan
darah sigadis. Dan berbareng dengan itu, Mayangseto sudah melompat dan
berdiri tegak diantara mereka.
Gadis tersebut, yang sudah hampir roboh terguling karena totokan.
Ketika merasa sesuatu menyambar dan membuka jalan darahnya, segera
berguling2 dan kemudian meloncat berdiri. Ia tertegun ketika menyaksikan
seorang pemuda berpakaian putih sudah berdiri berhadapan dengan
lawannya. Pertolongan yang datang secara tiba2 itu, amat menggembirakan
hatinya tetapi juga menggelisahkan. Karena timbul rasa khawatir, jangan2lepas dari mulut singa masuk mulut buaya.
Gadis ini, dengan wajah yang sebentar pucat dan sebentar merah,
memandang Mayangseto dari belakang penuh perhatian, dengan sepasang
mata yang bersinar indah dibawah alis yang lentik. Ia memang gadis yang
cantik, dan kalau saja Mayangseto sempat memandang, mungkin
jantungnya akan berdegup.
Kulitnya kuning halus, karena pengaruh alam dan udara di mana ia
bertempat tinggal. Ia bernama Endang Palupi anak seorang pertapa yang
berdiam digoa Resi, terletak disebuah bukit bernama gunung Ampyang, Dan
gunung Ampyang ini termasuk anak gunung Lawu sebelah selatan, berhawa
dingin dan brrtanah subur.
Goa tempat tinggalnya disebut orang goa Resi, tidak lain karena nama
ayahnya. Nama lengkapnya Resi Duhkito, tetapi kebanyakan orang cukup
menyebut dengan nama eyang Resi saja. Resi Duhkito amat terkenal
disekitar tempat tinggalnya, karena ia merupakan seorang pertapa yang
banyak memberikan jasa dan kebajikan kepada penduduk sekitarnya. Ia
amat dihormati orang, merupakan seorang yang banyak menolong sesama
tanpa mengenal akan pamrih pribadi. Apa yang banyak dilakukan oleh Resi
Duhkito bukan lain hanyalah untuk memberikan dharma bakti kepada
sesama hidup.
Berapa banyak penduduk yang menderita sakit telah ditolong. Dan
berapa banyak penduduk sekitarnya dibebaskan dari malapataka dan
gangguan para penjahat. Sedang nama Endang Palupipun juga amat
dihormati orang, karena gadis jelita ini juga amat sering mengulurkan
tangan menolong siapapun yang patut ditolong.
Demikianlah nama gadis jelita ini. Tak lama kemudian, Endang Patupi
melangkah perlahan memungut sepasang pedangnya dan kemudian
disarungkan. Apa yang dilakukan oleh Endang Palupi ini tidak terlepas pula
dari pengamatan telinga Mayangseto yang tajam. Namun sepasang matanya
tetap memandang kesatu jurusan, kepada pemuda yang sekarang dihadapi
untuk menunggu segala kemungkinan.
Dan sesudah berhasil mengambil sepasang pedangnya, maka dengan
amat perlahan Eadang Palupi segera berusaha untuk menjauhi.
Kekhawatiran hatinya yang timbul, mendorong hatinya untuk segera
melarikan diri, apabila sudah ada kesempatan. Pengalaman yang baru saja
dialami, mendorong kepada hatinya, untuk berhati2 dan tidak mudah
mempercayai kepada seseorang pemuda yang belum dikenalnya. Apapula
dalam keadaannya sekarang ini, sedang dalam keadaaa bingung dan
menyesali nasib yang buruk.
Pemuda tampan yang dihadapi Mayangseto sekarang ini, memang
tidak salah lagi, bernama Joko Buwang. Pemuda tampan yangberkepandaian tinggi, mata keranjang dan pengejar wanita. Sepasang
matanya tak berkedip mengamati Mayangseto, dan kemudian terdengar ia
mengejek: ?Uah, agaknya hari ini aku harus bersaing. Agaknya kau tertarik
pula kepadanya, dan iugin berlomba dengan aku?"
?Siapa yang ingin berlomba?" Mayangseto marah ?Aku muak terhadap
sepak terjangmu yang tersesat. Maka insyaflah sebelum terlambat".
Joko Buwang ketawa bergelak, lalu katanya menyindir: ?Hem,
agaknya kau belum pernah mengenal aku, maka berani mati mengganggu.
Ketahuilah aku bernama Joko Buwang, murid Pangeran Kartiko yang sakti.
Karena itu aku nasihatkan kepadamu, pergilah sabelum aku marah. Dan
selanjutnya, kau jangan berani menunjukkan mukamu lagi dihadapanku.
Mengerti?"
Terkejut, tetapi juga marah Mayangseto mendengar pengakuan
pemuda tersebut. Bukan saja Mayangseto marah karena pemuda ini yang
menyebabkan kematian gurunya, tetapi juga marah menyaksikan
kesombongannya. Agaknya ia amat membangaakan kepandaiannya, dan
tidak memandang sebelah mata kepada orang lain.
?Hem, sudah kuduga bahwa kau murid Pangeran Kartiko". Mayangseto
menatap Joko Buwang dengan mata berapi. Kalau saja ia tidak ingat akan
pesan gurunya, barang tentu pemuda ini sudah ditelan mentah2.
Joko Buwang ketawa bergelak, perutnya bergerak seperti di goncang.
Lalu terdengar katanya yang mengejek: ?Hem, agaknya kau sudah
mengenal pula akan nama besar guruku. Maka kuperingatkan kepadamu,
cepatlah kau menyingkir dan jangan mengganggu aku lagi. Aku masih bisa
memberikan maaf atas kelancanganmu".
?Tutup mulutmu!" Teriak Mayangseto marah sekali. ?Kau kira aku
takut kepadamu? Takut akan nama beaar gurumu ? Hem, bukalah matamu
lebar2. Aku Mayangseto murid Kiageng Gunturselo. Selama aku masih ada,
jangan harap kau dapat berbuat sesuka hatimu mengganggu wanita".
?Ha ha-ha ha ! Agaknya kau ingin bersaing. Aku kau larang, tetapi kau
ingin berbuat". Joko Buwang mengejek. ?Bagus, kau ingin mempamerkan
kepandaianmu? Joko Buwang tidak akan percuma melayanimu. Mari kita
coba, siapa diantara kita yang lebih pandai. Akan tetapi, jangan kau
menyesal apabilaa aku lancang tangan membunuhmu".
?Bagus, ingin kulihat sampai dimana kemampuanmu". Jawab
Mayangseto.
Joko Buwang dengan tersenyum2 mengejek bersiap- sedia menunggu
datangnya serangan. Akan tetapi Mayangseto masih tetap berdiri tegak dan
tidak mau mulai menyerang. Baginya, merasa malu untuk mendahului
menyerang.
?Mengapa kau berdiam diri?" Joko Buwang mengejek. ?Ragu2kahhatimu? Baik ! Lari sajalah sekarang".
Hampir meledak dada Mayangseto menahan marah. Akan tetapi ia
tetap tak mau memulai. Dan sebaliknya Joko Buwang segera bergerak
sambil memekik nyaring: ?Awas !"
Serangannya begitu cepat dan ganas. Begitu tangan bergerak sudah
mengarah untuk menusuk mata. Jurus yang dipergunakan ini, adalah jurus
kesembilan dari ilmu ?Gelap - sosro" dan bernama cakarmego Jurus yang
berbahaya, mempunyai lima perubahan serangan yang ganas dan tidak
terduga. Apabila musuh berlaku sembrono, sekali serang akan dapat
dirobohkan.
Terkejut juga Mayangseto mendapat serangan pertama yang cukup
ganas ini. Namun ia tidak menjadi gugup. Ia tidak mau menundukkan
kepala sambil menyerang, justru hal tersebut dapat membahayakan diri.
Maka ia menggeser kaki kanan kebelakang sambil memutar badan setengah
lingkaran.
Akan terapi dengan gerakan yang cepat sekali, tangan Joko Buwang
sudah berobah. Sekarang berusaha mencengkeram leher. Dan pada saat
Mayangseto mengangkat tangan kiri untuk menangkis, maka tangan kanan
Joko Buwang ditarik, dan tangan kiri menyelonong memukul perut. Tetapi
pukulan ini hanyalah pancingan belaka. Sebelum sampai pada sasaran
sudah disusul dengan pukulan tangan kanan mengarah kepala.
Terjadilah kemudian benturan yang sulit dihindarkan. Masing2 mundur
selangkah. Dengan percobaan kekuatan ini, masing2 segera menyadari
bahwa kekuatannya tidak jauh berselisih. Masing2 segera berusaha
menghindari benturan dengan gerakannya yang cepat dan gesit.
Dalam waktu yang singkat mereka sudah bertempur sangat cepat.
Tubuh mereka saling berkelebat dan berloncatan, saling melancarkan
pukulan yang berbahaya. Siapa yang lengah akan terpukul roboh dan sulit
dapat menyelamatkan diri.
Mereka bertempur sudah lebih limapuluh jurus. Namun keduanya
masih belum dapat berbuat banyak, Masing2 masih segar, dan serangannya
masing2 menyambar penuh bahaya. Diam2 Mayangseto terkejut juga akan
kepandaian pemuda ini. la begitu tangguh dan serangan2nya ganas dan
berbahaya, Kalau saja ia belum menerima gemblengan Kiageng Gunturselo,
kiranya dalam waktu singkat sudah roboh tak kuat melawan.
Dengan tak terduga, pemuda itu melenting tinggi. Kemudian ber
guling2 dan cepat melompat dan berdiri. Terdengar kemudian kata Joko
Buwang nyaring: ?Kau hebat Mayangseto, dan gembira hatiku dapat
bermain2 denganmu. Tetapi sayang, aku tak dapat melanjutkan permainan
ini, untuk memperebutkan tulang kosong. Ijinkanlah aku pergi dan sampai
bertemu lain kesempatan".Begitu habis ucapannya, maka Joko Buwang sudah melompat. Dalam
waktu singkat sudah hilang tertelan belantara. Diam2 Mayangseto memuji
pula akan kehebatan pemuda ini. Gerakannya amat cepat dan ringan.
Kemudian Mayangseto membalikkan tubuh, bermaksud untuk segera
dapat bertanya kepada dara yang baru saja ditolong. Akan tetapi ia menjadi
heran, ternyata gadis tadi sudah lenyap tak ber bekas. Tahu dan sadarlah ia
sekarang sebabnya Joko Buwang tadi mengakhiri pertempuran secara tiba2
sambil menyebut tulang kosong. Jadi yang dimaksud Joko Buwang, tentu
gadis tadi yang sudah pergi secara diam2. Hingga bagi Joko Buwang sudah
tidak ada artinya lagi terus bertempur.
Mayangseto tersenyum, merasa aneh mengapa gadis yang ditolong itu
sudah pergi secara diam2. Mengingat bahwa matahari sudah agak condong
kebarat, maka ia segera lari mencari kudanya, Ia cepat2 melarikan kudanya
menuju tempat tujuan, ialah desa Troketon agar segera dapat menyerahkan
sumbangan Panembahan Senopati kepada rakyat yang menderita
malapetaka.
Mayangseto sudah tiba didesa Troketon dengan selamat menjelang
senja. Kedatangannya disambut oleh seluruh penduduk yang masih ada
dengan wajah berseri, dan rasa terimakasih. Dengan adanya sumbangan itu,
berarti rakyat yang menderita itu akan dapat kembali membangun tempat
tinggal.
Akan tetapi Mayangseto tidak dapat lama didesa Troketon ini,
sekalipun rakyat mencegah dan menginginkan agar ia menginap. Entah
mengapa sebabnya, timbul keinginan yang mendesak hatinya. Agar kembali
kelereng Merapi menjenguk rumah kediaman Kiageng Gunturselo.
Ia mengeprak kuda itu agar lari secepatnya menuju lereng Merapi.
Kuda ini lari secepat angin, dan tepatlah nama Bayu yang sudah diberikan
Mayangseto kepadanya. Karena kuda ini amat kuat dan baik, merupakan
teman yang amat tepat bagi seseorang yang sedang melakukan perjalanan
jauh.
Sebelum tenngah malam Mayangseto sudah tiba ditempat tujuan.
Tetapi timbul rasa terkejut dan heran, karena menangkap sinar pelita dari
dalam rumah. Siapa yang sudah berani memasuki rumah itu dan
menyalakan lampu? Adakah orang yang sengaja menghina gurunya ? Oleh
pikirannya itu, kemudian timbullah rasa curiga dalam hati. Maka ia segera
turun dari kuda. Dan sesudah menambatkan kuda pada tempat yang agak
jauh, dengan amat hati2 ia mulai mendekati rumah gurunya. Dengan
sengaja ia menyelidiki dari belakang rumah.
Akan tetapi baru saja ia akan mendekati rumah, tiba2 melesatlah
sesuatu bayangan dari tengah rumpun pisang, langsung menyerang dari
belakang. Mayangseto terkejut, dan ia melompai kesamping. Tetapi ternyatabayangan orang itu sudah menyusul dan menyerang amat cepat. Namun
Mayangseto tidak gugup, ia melayani sarangan tersebut dengan hati
bertanja2.
?Nona !" seru Mayangseto tiba2.
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?Tutup mulutmu l" jawab bayangan itu bernada marah seraya
menyerang ber-tubi2.
Akan tetapi Mayangseto dapat menghindari serangan tersebut dengan
loncatan kesana kemari, tanpa membalas.
?Tahan dulu nona, apa salahku?" Mayangseto meminta, masih dengan
berloncatan menghindari serangan.
?Tutup mulutmu ! Kau sengaja menghina dan mengejar aku". Jawab
bayangan tersebut, yang tidak lain adalah Endang Palupi.
Mayangseto tertegunn mendapat jawaban itu. Maka cepat
menjelaskan: ?Aku . aku tidak "
?Jangan banyak mulut!" damprat Eadang Palupi memotong, sambil
terus menyerang. ?Kau setali tiga uang. Kau berpura2 menolong, tetapi
mempunyai tujuan yang sama, ingin mengganggu aku".
Merah telinga Mayangseto mendapat jawaban yang menyakitkan hati
itu. Tetapi la masih belum kehilagan kesadaran, dan ingin menjelaskan:
?Kau salah sangka nona, aku datang kesini untuk pulang. Bukan untuk
mengejarmu. Dan sebaliknya, nona adalah tamuku yang harus kuhormati".
?Ngaco!" damprat Endang Palupi. ?Rumah ini milik Kiageng
Gunturselo".
Mendongkol juga Mayangseto mendapat dampratan itu. Namun
kemudian ia berkata juga: ?Ketahuilah nona, bahwa Kiageng Gunturselo itu
guruku".
Endang Palupi terkejut. Menahan pedangnya seraya mengawasi
Mayangseto tak berkedip. Meskipun malam itu hanya dihiasi oleh bintang,
tetapi Mayangseto dapat menyaksikan bahwa Endang Palupi ragu2. Maka
Mayangseto cepat meneruskan, untuk dapat meyakinkan: ?Percayalah noaa,
bahwa aku Mayangseto berkata sebenarnya. Kiageng Genturselo adalah
guruku yang amat kuhormati dan kujunjung tinggi".
?Tetapi. tiga tahun yang lalu beliau tak punya murid", bantah Palupi
agak ragu. Kata Endang Palupi ini, bukan hanya ngawur. Tiga tahun yang
lalu ia bersama dengan ayahnya, datang berkunjung kesini. Dan Kiageng
Gunturselo hidup seorang diri tanpa murid.
?Benar kata nona", jawab Mayangseto jujur ?Memang baru setahun
lebih aku disinl. Marilah kita bicara dalam rumah. Dan bolehkah aku
bertanya, siapa nona dan puteri siapa?"
?Cerewet!" pekik Palupi masih marah dan curiga. ?Tak perlu kau tahu
namaku dan nama ayah. Tetapi kepada seorang yang mengaku-aku muridKiageng Gunturselo, patut kuhajar agar mengerti kesopanan. Aku sebagai
wakil ayah dan sahabat Kiageng Gunturselo, tidak akan rela nama beliau
kau nodai".
Pedang Endang Palupi bergerak amat cepat, menyerang kembali
dengan serangan2 berbahaya. Mayangseto amat terkejut dan segera
menghindar secara cepat. Ia tetap bertangan kosong, justru Mayangseto
tidak bermaksud bermusuhan.
Mendadak Mayangseto teringat akan cerita gurunya, tentang seorang
sahabatnya yang berdiam digoa Resi, yang mempunyai se orang anak
perempuan. Mungkinkah gadis yang dihadapi sekarang ini anak Resi Duhkito
?
?Tahan nona, sabarlah I" Teriak Mayangseto seraya berloncatan
menghindari serangan. ?Benarkah nona puteri Resi Duhkito ?"
Endang Palupi terkejut dan menahan pedangnya. Agaknya mulai
timbul kepercayaan kepada Mayangseto, akan kata2nya.
?Nona, guru pernah bercerita padaku. Tentang seorang sahabatnya
dikala muda. Benarkah nona puteri Resi Duhkito yang bernama Endang
Palupi ?"
Gadis ini tertegun mendengar kata Mayangseto yang tepat. Namun ia
belum mau menyarungkan sepasang pedangnya, dan masih berdiri tegak
menjaga segala kemungkinan. Meskipun sudah mulai percaya, namun
selaras dengan wataknya yang keras, masih juga curiga.
?Nona, aku tidak berdusta. Aku berkata sebenarnya, bahwa Kiageng
Gunturselo guruku. Marilah nona, aku persilahkan masuk. Ayah nona
seorang tua yang amat kuhormati." Bujuk Mayangseto.
?Aku hanya ingin bertemu dengan Kiageng Gunturselo, orang lain tak
berhak mencampuri urusanku." Jawab Palupi masih marah.
Hampir saja Mayangseto marah akan sikap Endang Palupi justru
ucapan itu amat menyinggung perasaannya. Mengapa gadis ini menganggap
dirinya terlalu rendah dan tidak mempunyai harga untuk berbicara, Namun
untunglah Mayangseto sudah dibekali kesabaran oleh gurunya. Maka
sekalipun tersinggung, masih pula dapat bersabar. Dan kemudian berkata :
?Nona, baiklah jika demikian. Sebagai tuan rumah, aku menghormati tamu
sebagaimana layaknya. Tetapi jika nona menolak, aku tak dapat berbuat
apa2."
Mayangseto melangkah perlahan melewati samping rumah, untuk
menuju pintu depan. Akan tetapi Mayangseto menjadi terkejut ketika tiba2
Endang Palupi sudah menghadang dimuka dengan sikap mengancam.
Mayangseto berhenti, memandang gadis itu dengan katanya ramah:
?Nona, apa maksudmu?"
?Benarkah kau murid beliau?" tanya Endang Palupi.?Nona masih belum percaya?" balas Mayangseto agak mendongkol.
?Aku berkata sebenarnya, mengapa nona masih curiga ?"
?Tetapi aku ingin bertemu dengan Kiageng Gunturselo. Maka
terangkanlah dimana beliau sekarang?"
?Hem",dengus Mayangseto, dan tiba2 saja rasa sedih memenuhi dada.
?Nona guru, oh ."
Mayangseto tidak dapat meneruskan kata2nya, seakan tersumbat.
Kematian gurunnya merupakan kehilangan yang amat besar. Maka tidaklah
mungkin Mayangseto dapat cepat melupakan.
Dan Endang Palupi, merasa heran ketika tiba2 pemuda yang dihadapi
sekarang ini tak dapat ber- kata2. Ber-macam2 pertanyaan memenuhi dada,
namun kecurigaanya menjadi hilang. Sepasang pedangnya disarungkan dan
terdengarlah pertanyaan dengan nada yang ramah: ?Kau .. kau mengapa?
Apakah kau sakit?"
Pertanyaan itu terdengar oleh telinga Mayangseto begitu merdu. Jauh
sekali bedanya dengan kata2 yang sudah diucapkan tadi. Mayangseto
menatap wajah gadis ltu, kemudian jawabnya: ?Nona aku tidak apa2. Tetapi
.. marilah kita masuk, dan akan kuberitahukan dimana guru sekarang".
Endang Palupi mengangguk, tanda setuju.
Mendadak Mayangseto ingat akan kudanya. Maka cepat berkata:
?Silahkan nona masuk lebih dahulu. Anu akan mengambil kuda dahulu".
Tanpa menunggu jawaban, ia segera lari menuju ketempat kuda tadi
ditambatkan. Dan tak lama kemudian ia sudah kembali seraya menuntun
kuda.
Ketika Mayangseto masuk, ternyata Endang Palupi audah duduk
dirunag tengah. Ia membelakangi pelita, sehingga Mayangseto tidak dapat
melihat wajah gadis itu dengan jelas. Namun dari potongan tubuhnya, tak
dapat disangkal bahwa dia adalah seorang dara yang jelita.
Mayangseto duduk pada tempat yang kira2 setombak jauhnya,
menghadap kepada pelita.
?Nona", Mayangseto memulai percakapan. ?Maafkanlah aku, terpaksa
menyampaikan berita sedih ini kepada nona. Bahwa guru guru telah
meninggal .."
?Meninggal?" ulang Endang Palupi terkejut.
Mayangseto tidak mengucapkan sepatah kata, karena
kerongkongannya sarasa tersumbat. Rasa sedih kembali memenuhi dada,
dan terbayanglah kembali peristiwa beberapa minggu yang lalu ketika
jenazah Kiageng Gunturselo membujur dirumah ini.
Dengan tak terduga, Endang Palupi yang galak itu kini menutupi muka
dengan dua belah telapak tangan. Ia tersedu2 tampak berduka sekali.
Mayangseto menghela napas dalam2. Dan ia membiarkan tamunya ituterus menangis.
Hampir saja Mayangseto membuka mulut untuk menceritakan
sebabnya gurunya meninggal. Untunglah bahwa sebelum terlanjur, ia
teringat bahwa hal tersebut tidak usah diluaskan. Apa pula terhadap gadis
yang berwatak keras ini, ia khawatir apabila menyebabkan marah dan ingin
menuntut balas. Padahal gurunya telah melarang untuk melakukan
pembalasan. Oleh karena itu, ia hanya berdiam diri dengan hati iba.
Akan tetapi sesudah berlangsung agak lama, timbullah rasa tidak tega
terhadap gadis ini. Maka ia memberanikan diri untuk menghibur: ?Nona,
sudahlah. Kehendak Tuhan tidaklah dapat kita bantah. Beliau sudah
mendapatkan tempat yang baik".
?Mengapa tidak memberi tahu ayah ?" protes Palupi disela sedan.
?Maafkan aku", Mayangseto meminta, ?yang telalh khilaf tidak
memberi kabar. Apa daya aku seorang diri, sehingga banyak hal yang
terlupa".
?Tetapi .. tetapi aku amat sedih". Endang Palupi masih tersedu. ?Oh
memang nasibku yang buruk ..."
Mayangseto terkejut dan heran. Menatap gadis itu penuh tanda tanya.
Ia cepat dapat menduga bahwa gadis ini menangis, bukan karena
meninggalnya Kiageng Gunturselo semata, tetapi ada hal lain yang lebih
berat dirasakan. Namun ia tidak berani bertanya, khawatir apabila gadis ini
menjadi tersinggung.
?Ibu . . .ibu . . . mengapa anakmu harus menderita begini buruk?"
keluh Endang Palupi. ?Ibu. aku tak kuat. Ibu. aku akan menyusulmu ."
Tiba2 tangan kanan bergerak. Pedang dicabut dan dengan gerakan
yang cepat menikam dadanya sendiri. Tetapi untung, dengan gerakan
Mayangseto yang cepat, berhasil mencegah. Pedang itu dapat direbut, lalu
dilemparkan kesudut rumah.
Dengan mata yang menyinarkan kemarahan luar biasa, Endang Palupi
berteriak: ?Kau kau mengapa berani lancang ?"
?Nona, sabarlah." Mayangseto merendah. ?Mengapa nona akan
berbuat senekat itu?"
?Huh. kau lancang ! Bicara seenakmu sendiri. Aku tak sudi hidup
lebih lama lagi. Mengapa kau ikut campur?" damprat Endang Palupi.
Namun Mayangacto tidak marah. Dengan sabar, ia menghibur : ?Nona,
membunuh diri bukanlah perbuatan yang baik. Karena bunuh diri bukanlah
jalan penyelesaian yang dapat dibenarkan. Layaklah bagi tiap manusia
menghadapi beberapa macam peristiwa dan persoalan yang berat, dan
kadang pula tak terderita".
Endang Palupi tidak menjawab, dan ter-sedu2. Namun ia dapat
membenarkan pula apa yang sudah diucapkan pemuda yang barudikenalnya ini. Tadi, Endang Palupi memang amat benci kepada Mayangseto,
karena anggapannya pemuda ini setali tiga uang dengan Joko Buwang. Akan
tetapi sesudah ia berhadapan sementara lama, pemuda ini begitu ramah dan
menghormat, rasa bencinya itu berangsur lenyap. Namun ia sekarang
sedang bingung dan tidak dapat melihat jalan keluar yang baik, untuk
mengakhiri nasib yang dianggapnya buruk. Maka meskipun ia menyadari
bahwa bunuh diri bukanlah penyelesaian yang tepat, terpaksa akan
ditempuhnya juga.
?Nona, aku juga menyadari bahwa nona sedang menghadapi suatu
persoalan yang amat sulit". Hibur Mayangseto lagi. ?Dan agaknya maksud
nona semula, akan menemui guru dan meminta bantuannya, Akan tetapi
sekarang guru sudah tiada, lalu menganggap usaha nona sudah gagal.
Nona, maafkan kelancanganku. Kalau saja nona tidak berkeberatan,
dapatkah rona menerima aku sebagai wakil guru?"
Endang Palupi melepaskan telapak tangannya dari muka yang basah.
Dan sepasang mata yang merah itu, kemudian menatap Mayangseto.
Kemudian terdengar katanya yang bernada jengkel dan kasar: ?Kau kira
persoalan yang kuhadapi mudah kau selesaikan?"
?Mana aku tahu nona, justru nona belum memberitahukan. Namun,
atas nama guru, aku akan berusaha untuk membantu kerepotanmu".
?Huh!" Eadang Palupi jengkel. ?Kau berani berhadapan dengan ayah?"
Mendongkol juga Mayangseto mendengar kata2 gadis ini yang kasar
dan tidak menghormat. Seakan seorang nona majikan sedang berhadapan
dengan seorang budak. Namun mengingat akan ayah gadis ini, ia tetap
berusaha menekan perasaan. Karena itu kemudian jawabnya halus: ?Aku
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum tahu persoalanmu nona, maka sulitlah aku menjawab. Akan tetapi,
aku tidak dapat membiarkan nona membunuh diri".
Endang Palupi mengeluh, Persoalan yang dihadapi sekarang, memang
amat berat dirasakan. Ia sendiri sudah merasa tidak sanggup untuk
memecahkan. Harapan satu2nya sejak kepergian dari rumah, hanyalah
meminta bantuan Kiageng Gunturselo. Ia percaya bahwa atas bantuannya,
dapat diselesaikan dengan baik. Akan tetapi ternyata, orang yang amat
diharapkan bantuannya itu sekarang sudah meninggal. Dan yang dihadapi
sekarang, hanyalah seorang muridnya, dan masih muda pula. Mungkinkah
persoalan pribadlnya itu dapat dibeberkan kepadanya ?
Ia merasa sangsi, dan merasa percuma saja membicarakan
persoalannya kepada pemuda ini. Beranikah Mayangseto berhadapan
dengan ayahnya? Beranikah Mayangseto menaklukkan hati ayahnya ? Tidak
mungkin !
Endang Palupi kembali tersedu. Ia merasa gelap, dan tiada suatu
harapan yang timbul untuk melawan orang tuanya. Ia melarikan diri darirumahnya, untuk menghindari maksud ayahnya yang mau mengawinkannya
dengan seorang pemuda yang belum dikenalnya. Sekalipun ayahnya berani
tanggung akan kepandaian dan ketampanan wajahnya, namun Endang
Palupi tetap bersikeras menolak. Karena ia memang belum memikirkan soal
tersebut.
la masih ingat akan kata ayahnya waktu itu: ?Anakku, percayalah kau
akan usaha ayahmu. Pemuda yang kupilih itu, bukanlah pemuda
sembarangan. Ia berwajah tampan dan berkepandaian tinggi. Aku amat
merindukan kau dapat hidup banagia anakku, dan aku merindukan cucu
yang dapat menghibur hatiku dihari tua ini. Maka aku ingin mendengar
kesanggupanmu. Dan berkatalah anakku, bahwa kau setuju dan menurut
kataku. Aku akan merasa amat bahagia mempunyai puteri yang penurut."
Itulah persoalan yang sedang dihadapi oleh Endang Palupi sekarang
ini. Karena itu ia amat bersedih setelah mengerti bahwa satu2nya orang
yang diharapkan dapat menolong sudah meninggal.
?Nona, demi persahabatan guru dengan ayahmu, aku akan berusaha
membantumu." Hibur Mayangseto lagi.
Endang Palupi masih tersedu, dan ia menjadi bingung sekarang. Kalau
saja pemuda ini sanggup membantu dan membela dari kemauan orang tua,
namun sekarang ia sendiri merasa malu untuk berbicara. Membicarakan soal
perkawinan dengan seorang pemuda. Ia merasa khawatir, bahwa dalam
keadaannya sekarang ini, malahan akan membuka jalan kelembah derita.
Bukankah dengan membicarakan persoalannya kepada pemuda ini, berarti
membeberkan kelemahannya ? Dan kalau saja pemuda yang di hadapi
sekarang ini bukan seorang pemuda yang baik2 dan dapat menjunjung
tinggi kesopanan, akan berarti pula memberikan kesempatan untuk berbuat
kurang baik.
Endang Palupi menyadari, bahwa Mayangseto mempunyai kepandaian
yang lebih tinggi. la akan dapat berbuat dengan mudah. Dan akan lebih
buruk lagi nasib yang diderita, apabila Mayangseto hanya mempermainkan.
Terpikir demikian, maka tidaklah sudi untuk menanggung akibat.
?Apakah kau mendapat marah dari ayahmu?" tanya Mayangseto
sesudah sementara lama berdiam diri.
Pertanyaan Mayangseto int amat kebetulan. Berarti membuka jalan
untuk merahasiakan persoalannya, dan mencari alasan lain.
Kemudian dengan masih tersedu, jawab Endang Palupi : ?Katamu
benar. Ayah sedang marah kepadaku, dan ayah mengusirku."
?Nona diusir?" ulang Mayangseto heran.
?Benar." Endang Palupi dengan menyeka air mata. Kedukaannya mulai
hilang, dan tangis mulai berhenti.
?Apa persoalannya ?"?Ayah tidak setuju apabila aku banyak pergi dari rumah, Maksud ayah
aku disuruhnya mengurus dapur."
?Tetapi bukankah itu merupakan kewajiban wanita ?"
?Tetapi apakah itu adil? Wanitapun juga menginginkan pengalaman.
Aku tidak sudi dipingit dan terus1an cli rumah. Dan aku mendengar bahwa
Sultan Hadiwijoyo selalu gering. Antara orang2 yang membela Mataram dan
Demak saling bermusuhan. Apa kah kau mengira bahwa tenaga wanita tidak
berguna ?"
Tertegun Mayangseto mendengar jawaban itu. Tak pernah terkilas
dalam dadanya, bahwa gadis yang tadi menangis itu, sempat memikirkan
keadaan negara pula. Hatinya ber-debar2, berdiri kepada pihak manakah
gadis ini ? Alangkah gembira dan senang hatinya, apabila gadis ini memihak
Mataram. Berarti akan menjadi kawan seperjoangan yang tidak kecil artinya.
?Nona benar. Memang saat ini pertentangan Mataram dan Demak
sudah amat panas. Dan menurut pendirian nona, mana yang harus dibela?"
?Mengapa kau masih bertanya ? Bukankah ayah sahabat Kiageng
Guntuselo?"
?Jadi .. jadi nona memihak Mataram?"
?Bukankah kau juga memihak Mataram?"
Mayangseto ketawa, dan gadis itupun sekarang tersenyum.
Mayangseto amat gembira mendenger pernyataan Endang Palupi yang terus
terang ini.
?Jadi, maksud ayahmu melarang nona ikut berjuang ?" tanya
Mayangseto.
?Betul ! Beranikah kau membela aku dan menerangkan hal ini kepada
ayah?"
?Jangan khawatir nona, akan aku membelamu".
Endang Palupi ketawa merdu. Amat gembiralah ia sekarang, bahwa
usahanya mengalihkan persoalan dapat berhasil.
?Aku mengucapkan terima kasih nona, akan kesanggupanmu membela
Mataram. Tenaga nona ."
?Ah, berapa kali kau menyebut aku nona, nona, jemu aku mendengar.
Apakah tidak dapat menyebut dengan namaku?"
?Kau . tidak marah ?"
?Siapa yang marah? Aku lebih senang kau memanggil namaku."
?Jadi aku menyebutmu dengan Endang ?"
?Endang juga boleh. Palupi juga baik."
Mereka kemudian tertawa. Merasa lucu juga Mayangseto, menghadapi
Palupi ini. Tahulah sekarang bahwa sebenarnya gadis ini tidak angkuh
seperti yang diduganya semula. Ia merupakan seorang gadis yang bertabiat
keras, mudah marah tetapi jujur. Keangkuhannya mungkin disebabkan olehkeadaan. Ia anak tunggal, sedang ayahnya merupakan seorang yang
dihormati. Ia menjadi manja, dan merasa lebih mempunyai harga diri dari
pada orang lain. Tetapi Mayangseto percaya, bahwa kemudian hari
keangkuhannya itu akan berobah.
Suasana yang semula kaku itu, sekarang sudah berubah. Apapula
sesudah Endang Palupi banyak kali tersenyum dan ketawa, mereka menjadi
akrab.
Tiba2 perut Mayangseto me-lilit2. Barulah ingat ia sekarang, bahwa
sore tadi belum makan. Maka kemudian ia bangkit, lalu keluar.
?Mau kemana?" tanya Endang Palupi seraya ikut bangkit.
Mayangseto memandangnya, dan timbul rasa malu untuk berterus
terang. Akan tetapi oleh desakan sang perut, akhirnya ia menjawab juga:
?Aku akan mencabut ubi kayu. Perutku . lapar."
Endang Palupi ketawa merdu, lalu ia berkata : ?Tak usah kau bersusah
payah. Marilah kita makan, aku masih mempunyai persediaan."
Mayangseto segera mengikuti Endang Palupi. Dan terdengar lagi kata
gadis ini: ?Maafkanlah aku, dengan lancang telah mengambil kentang tanpa
ijinmu. Tetapi apa boleh buat, perutku lapar .."
?Tidak apa ! Untuk apa persediaan makanan jika tidak dimakan?"
Malam sudah larut. Akan tetapi mereka belum mengantuk dan masih
kembali duduk. Diam2 Mayangseto kagum pula akan kejelitaan Endang
Palupi, sesudah ia dapat mengamati secara jelas. Apapula sekarang sesudah
ia tidak galak lagi, suaranya merdu dan senyumnya menggiurkan. Suara
ketawanyapun juga merdu, dan gigi yang putih berderet rapi, menambah
kecantikannya. Sepasang mata yang indah itu bersinar bening, dan
menambah ayu dibawah alis yang lentik. Tidak salah lagi apabila tadi Joko
Buwang menguber dan membujuk.
?Bagaimana siang tadi?" tanya Endang Palupi.
?Apanya?" Mayangseto tak mengerti.
?Ah, dihutan tadi. Maafkanlah aku pergi secara diam2. Soalnya.."
?Kau khawatir aku setali tiga uang?" potong Mayangseto. ?Dan kau
tadi malah mencurigai aku".
Endang Palupi tersenyum dengan agak malu. Ia tak dapat mungkir,
bahwa tadi memang curiga.
?Tetapi sekarang sudah tidak lagi", Endang Palupi seraya mengerling
tajam.
?Akupun tidak dapat menyalahkan. Memang seharusnya tiap gadis
ber-hati2".
Endang Palupi segera mengalihkan persoalan: ?Pertanyaanku tadi
belum kau jawab. Siapa yang menang?"
?Tidak ada. la melarikan diri sesudah tahu bahwa kau pergi secaradiam2. Mengapa kau tadi bertempur?"
?Hem", dengus Endang Palupi.
Pipi yang montok itu menjadi merah karena malu. Dalam hati memang
mengakui, bahwa ia sendirilah yang salah. Mengapa begitu mudah
mempercayai orang. Maklum, bahwa ia seorang gadis pegunungan yang
berhati mulus. Ia tidak mengenal akan perbuatan dusta dan tipu daya. Tadi,
ia lapar dan membeli makanan dalam warung didesa Kartosuro. Kemudian
masuklah seorang pemuda tampan dan ikut pula jajan. Melihat sikap
pemuda itu, yang tidak lain Joko Buwang, ia tidak merasa curiga. Karena
Joko Buwang menunjukkan sikap yang sopan, menghormat dan tutur
katanya halus, maka ketika Joko Buwang bertanya. ia menjawab bahwa
akan pergi ke Boyolali. Amat untunglah bahwa tadi tidak menyatakan pergi
ke Merapi.
Joko Buwang menawarkan jasa, untuk pergi bersama justru tujuannya
juga ke Boyolali. Ia merasa tidak enak untuk menolak, apapula daripada
seorang diri toh lebih baik kalau berteman.
Mereka kemudian menuju kebarat bersama2. Tetapi ketika tiba di
Pengging. dengan tutur kata yang halus dan sopan, Joko Buwang mengajak
singgah ke bekas Kadipaten Pengging. Dengan pandainya Joko Buwang
membujuk, bahwa diumbul Pengging terdapat seekor ikan ajaib. Ialah
seekor ikan berkepala manusia, dan disebut puteri Duyung.
Endang Palupi seorang gadis hijau, karena itu ia merasa tertarik atas
obrolan Joko Buwang. Maka kemudian mereka berbelok menuju kesana.
Akan tetapi ternyata, ikan yang dikatakan itu tidak ada. Malah, Joko Buwang
mulai berusaha membujuk dengan sikap dan tutur kata yang memikat.
Endang Pulupi menjadi marah. Dan dengan sepasang pedangnya ia
menyerang ber-tubi2.
Akan tetapi ternyata, serangan itu dapat digagalkan secara mudah
oleh Joko Buwang. Maka Endang Palupi cepat melarikan diri, dan merasa
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama