Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat Bagian 7
salah seorang diantaranya Mayangseto sudah cukup kenal. Orang tua
yang berdiri diatas kaki sebelah kanan dan mengenakan topeng kulit
rusa. Dia Ki Jogosatru yang dengan kemarahan meluap2 sudah melompat
dan menyerang Mayangseto. Ia memang amat benci kepada pemuda ini,
Benci yang bertumpuk2. Pertama Mayangseto adalah anak
Tummenggung Mayang. Padahal Tumenggung Mayanglah yang pada
puluhan tahun yang lalu menyebabkan ia menderita cacat seumur hidup.
Karena Ki Jogosatru kalah dalam pertempuran. Yang kedua, Mayangseto
murid Kiageng Gunturselo. Padahal Ki Jogosatru amat benci pula
kepadanya, sekalipun Kiageng Gunturselo itu dahulu gurunya sebelum
berguru kepada Pangeran Harya Panangsang. Dan yang ketiga, pemuda
ini jugalah yang merusak dan menghancurkan seluruh rencananya. Hutan
Krendawahana sudah berantakan jadinya, ditambah ia sendiri mengalami
luka yang cukup parah sesudah bertempur dengan Resi Duhkito.
Kalau sekarang ia muncul digoa Watulawang ini, adalah tidak
sengaja. Ketika dengan hati yang masygul dan putusasa ia bertemu
dengan Jalujinggo dihutan Simo. Atas kebaikan Jalujinggo ini maka
kemudian Ki Jogosatru diajak pulang. Bukan tiada maksud Jalujinggo
mengajak Ki Jogosatru ini. Jalujinggo ingin mempunyai seorang
pembantu yang tangguh untuk menghadapi datangnya musuh yang selalu
digelisahkan. la merasa tidak mampu apabila kemudian musuh itu
datang, dengan menghadapi sendirian. Musuh yang digelisahkan itu,
bukan lain Menak Jolosengoro.
Maka dengan adanya Jogosatru ia merasa aman dan tidak takut
lagi.
Demikianlah maka dengan amat geramnya Jogosatru sudah
menyerang bertubi- tubi kepada Mayangseto. Akan tetapi Mayangseto
dapat melayani dengan amat baik. Namun demikian pemuda ini menjadi
gelisah dan khawatir, sesudah Jalujinggo melompat maju dan menyerang
Bharoto. Ia sadar bahwa tingkat kepandaian Bharoto masih selsiih jauh
dengan Jalujinggo. Oleh karena itu, dalam menghadapi serangan2 Ki
Jogosatru yang cukup ganas, Mayangseto masih harus memecah
perhatian untuk mengawasi Bharoto. Untuk sewaktu- waktu
menyelamatkan gadis yang menyamar sebagai laki2 ini apabila cialam
keadaan bahaya.
Akibatnya juga hebat. Karena Mayangseto tidak dapat mencurahkan
perhatian kepada lawannya yang cukup tangguh ini, perlawanannya juga29
kurang berhasil. Mayangseto menderita kerugian sendiri, karena terdesak
hingga beberapa kali pemuda in hampir celaka.
Terlebih lagi Bharoto yang memang tingkat kepandaianya masih
dibawah Jalujinggo. Maka sekalipun ia memeras tenaga dan
kepandaiainnya untuk melawan musuhnya. Namun usahanya sia-sia saja.
Ia terdesak hebat, sama sekali repot. Ia tinggal bisa menangkis dan
menghindarkan diri, tanpa dapat menyerang.
Menyaksikan keadaan Bharoto ini, Mayangseto makin cemas.
Perlawanannya sendiri makin kacau dan tidak berhasil. Dan pada saat
yang tidak terduga, lambung terpukul begitu keras. Sekalipun ia sudah
berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pukulan tersebut,
lambungnya terasa panas seperti terbakar. Tidaklah mengherankan justru
pukulan Jogosatru tersebut, adalah pukulan Ilmu ?Gelap-ngampar" yang
semasa Pangeran Harya Panangsang masih hidup amat dibanggakan.
Kalau saja yang terkena pukulan itu orang biasa, maka niscaya orang
yang terpukul daging dan tulang akan terpisah2.
Tetapi untung bahwa Mayangseto sudah cukup pandai menyalurkan
tenaga murni dalam tubuhnya. Maka sekalipun ia merasakan panas pada
lambungnya seperti terbakar, namun tidaklah menyebabkan luka.
Meskipun begitu rasa panas yang diderita mempengaruhi pula akan gerak
dan perlawanannya.
Namun demikian pukulan yang mengenai lambungnya itu
menyadarkan Mayangseto. la tidak dapat untuk melawan terus hanya
bertangan kosong. Karena Itu dengan amat cepat is sudah melolos
cambuk wasiat warisan Kiageng Mahesotop dan tar-tar cambuk memukul
udara. Kemudian disusul dengan pukulan ujung cambuk yang mematuk2
dan bertubi2 mengarah bagian2 tubuh yang berbahaya. Dengan
menggunakan senjata cambuk ini, Mayangseto lebih leluasa. Ia dapat
menyerang dari jarak agak jauh dan apabila perlu dapat membantu
Bharoto memukul Jalujinggo.
Mayangseto dan Bharoto sekarang dapat bekerjasama amat baik.
Kekurangan Bharoto menghadapi Jalujinggo, bisa dibantu oleh serangan
cambuk Mayangseto yang cukup berbabaya. Keadaanya menjadi
seimbang sekarang, baik Mayangseto maupun Bharoto bisa melancarkan
serangan bertubti2. Akan tetapi keadaan inipun tidak berlangsung lama.
Keadaan Mayangseto dan Bharoto kembali berbahaja sesudah Ki
Jogosatru mencabut keris pusaka ?Setankober". Berkelebatlah sekarang
sinar merah membara yang menebarkan hawa panas memenuhi arena
pertempuran.
Mayangseto kembali menjadi repot dan mengeluh. Menghadapi
hawa panas dari pusaka ?Setan Koher" ini ia tidak boleh
sembrono.Tekanan hawa panas itu harus dihalau dengan seksama.
Bagi Malangaeto sendiri kiranya cukup mampu. Akan tetapi bagi Bharoto30
ia belum dapat mengerti sampai dimana kemampuannya.
Tekanan2 hawa panas yang memancar dari keris pusaka itu makin
menjadi sesudah Ki Jogosatru menyalurkan ilmu ?Gelap-ngampar" kepada
keris. Kalau saja Mayangseto tidak merasa malu, sebenarnya dengan
keris yang dimilikinya ?Baju-bodjro" akan bisa menghalau pengaruh
panas tersebut. Akan tetapi ia tidak mau mempergunakan. Tangan kiri
lalu menggunakan pukulan ?guntur-geni, dan cambuk pada tangan kanan
mempermainkan jurus2 Cambuk kilat.
Hasilnya memang juga ada, pukula2 tangan kiri dapat menghalau
hawa panas itu, sedang cambuk dapat menyerang ber-tubi2. Akan tetapi
Bharoto yang menghadapi serangan2 Jalujinggo yang menggunakan
sepasang senjata rantai dengan bola besi pada ujungnya itu kembali
terdesak hebat. Malah beberapakali Mayangseto amat terkejut dan
khawatir, karena pedang Bharoto hampir kena dilibat oleh rantai
Jalujinggo. Untung bahwa pada setiap saat Bharoto dalam bahaya itu,
dapat menolong dengan pukulan cambuknya. Akan tetapi begitu ia
memukul Jalujinggo, pada saat itu pula Ki Jogosatru melancarkan
serangan yang cukup berbahaya. Hingga berakibat Mayangseto terkejut
dan keluar peluh dingin.
Diam2 Mayangseto mengeluh juga Baru menghadapi dua orang ini
saja sudah harus melawan dengan amat repot dan memeras tenaga. Apa
yang terjadi apabila Jalujinggo memerintahkan anak buahnya untuk ikut
mengeroyok maju? Tidak urung mereka berdua akan segera mengalami
celaka. Maka Mayangseto berisaha untuk mengatasi keadaan berbahaya
ini dengan serangan2 cambuknya lebih cepat.
Akan tetapi Ki Jogosatru bukan bocah kemarin sore. Ia seorang
tokoh berkepandaian yang sudah kenyang makan asam dan garam.
Apapula sekarang ini memiliki pusaka sakti peninggalan Pangeran Harya
Panangsang. Maka ia dapat menghalau serangan cambuk itu, dan se-kali2
juga berusaha untuk menabas dengan mata kerisnya.
Makin lama Mayangseto dan Bharoto makin terdesak hebat, karena
Mayangseto tidak dapat mencurahkan perhatian secara penuh kepada Ki
Jogosatru. Dan sebaliknya Bharoto tentu sudah roboh oleh pukulan2 bola
besi Jalujinggo kalau tidak mendapat perlindungan Mayangseto.
Menghadapi serangan yang makin gencar dan berbahaya itu,
Bharotopun juga menjadi amat khawatir. Namun gadis yang keras hati ini
tidaklah mungkin mau menyerah begitu saja. Semangatnya masih tetap
menyala dalam dada, terdorong oleh rasa cinta kasihnya terhadap
pemuda yang selalu disampingnya. Dalam hati sudah timbul tekad yang
bulat, bahwa ia sedia mati bersama dengan pemuda yang amat
dicintanya ini.
Pada saat yang sudah amat mendesak ini, Mayangseto sudah
meraba ?genta" yang tergantung pada pinggang. Ia akan terpaksa31
menggunakan pengaruh genta sakti warisan Kiageng Gunturselo ini
apabila bahaya sudah benar2 mengancam.
Dengan tidak terduga, terdengarlah suara ketawa, dan kemudian
terdengarlah suara orang yang mengejek: ?Hem, akhirnya
persembunyianmu dapat kuketemukan juga Jalujinggo."
Belum juga lenyap suara yang diucapkan, berkelebatlah bayangan
orang melayang turun dari pohon. Seorang laki2 tua gemuk dan gundul
sudah berdiri diantara Jalujinggo dan Bharoto, dan kemudian disusul
berkelebatnya bayangan merah. Ternyata seorang gadis jelita, yang
kemudian langsung menyapa Mayangseto: ?Raden juga disini ? Apa kabar
raden?"
Gugup juga Mayangseto disapa oleh gadis yang jelita itu : ?Nona
.nona siapa ?"
Terdengar suara merdu gadis yang menjawab. ,,Apakah raden lupa
kepada hamba? Hamba Puspitosari anak Jogotirto lurah desa Troketon."
?Kau ...." Mayangseto tidak dapat meneruskan jawabannya, karena
secara tiba2 Ki Jogosatru sudah kembali menyerang begitu dahsyat
sesudah pertempuran terhenti sebentar.
Dan Puspitosari dengan ringannya sudah melompat kesamping
untuk menghindari pertempuran. Bharoto memandang tajam kepada
Puspitosari, dan dalam hati terkejut mengapa gadis itu sudah mengenal
pemuda yang dikasihi. Melihat kecantikan Puspitosari ini, diam2 Bharoto
sudah cemburu, khawatir kalau pemuda yang dicintai itu sudah terpikat.
Dan sebaliknya Puspitosari tidak berani memandang Bharoto. Tetapi
dalam hati merasa mendongkol juga mengapa pemuda itu memandang
tidak berkedip. Perasaan kewanitaannya cepat menganggap bahwa
Bharoto seorang pemuda mata keranjang yang mengincar tiap gadis
cantik. Puspitosari memang tidak pernah menyadari bahwa Bharoto
sebenarnya seorang gadis juga.
Orang laki2 tua gemuk dan gundul itu masih berdiri tegak seraya
mengawasi Jalujinggo tak berkedip. Dan baru beberapa saat kemudian ia
berkata: ?Pintar juga kau Gundolo, dalam persembunyianmu
menggunakan nama lain. Hem, namamu amat bagus. Akan tetapi baik
Gundolo maupun Jalujinggo begitu sama saja. Pilihlah salah satu diantara
dua, menyerah atau melawan."
Jalujinggo ketawa bergelak2 sekalipun dalam hati merasa keder
juga. Musuh lama yang selalu ditakuti, Menak Jolosengoro sekarang
sudah datang. Apakah harus menyerah begitu saja ? Tidak! Lebih baik
mati daripada harus menyerah. Oleh karena itu sesudah ia ketawa ber
gelak2, terdengarlah jawabnya kemudian :?Aku berganti nama tiada
hubungan dengan urusanmu. Hai keledai gundul, kedatanganmu ini
justeru menggembirakan hatiku. Marilah kita mencoba, siapa diantara
kita yang lebih kuat".32
Terdengar Menak Jolosengoro ketawa dingin. Ia memalingkan muka
kepada Mayanggeto dan Bharoto, lalu berkata : .Anak muda, terimakasih
atas pertolonganmu. Dengan pertempuran yang kau lakukan ternyata
orang yang sudah lama kucari ini menampakkan diri. Beristirahatlah
sekarang, orang ini baglanku".
Bharoto menghormat saraya menjawab ?Bapa silahkan jika
menghendaki.
Agaknya Jalujinggo sengaja menggunakan kesempatan pada waktu
Menak Jolosengoro sedang lengah ini. Dengan tidak terduga ia sudah
menyerang dengan sapasang senjata rantai berkepala besi mengarah
semua penjuru. Mau tak mau Menak Joosengoro terkejut juga. Untuk
memecahkan serangan itu tiada jalan lain kecuali membuang diri
kebelakang dan menggelidding. Karena badannya yang gemuk ditambah
kepalanya gundul, maka semacam bola yang menggelinding.
Geli juga Bharoto menyaksikan, namun terpaksa tidak berani
ketawa, khawatir kalau menyinggung orang tua ini. Tetapi sebaliknya
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jalujinggo yang merasa dapat membikin musuhnya meng gelinding
seperti bola, menjadi amat girang dan ketawa terbahak Akan tetapi
belum juga selesai ketawa, ia molompat kesamping seraya terbatuk2.
Kemudian meloncatlah keluar dari mulut sebutir isi salak.
?Hik hik lucu!" seru Puspitosari sambil ketawa senang menyaksikan
keadaan Jalujinggo. Jalujinggo melototkan mata kepada Puspitosari, dan
terdengarlah kemudian katanya geram: ?Hai setan cilik! Kau berani
kurangajar kepadaku? Nih, salakmu kukembalikan."
Agaknya Jalujinggo cepat menginsyafi, bahwa isi salak yang masuk
kemulutnya selagi ketawa disambitkan oleh Puspitosari. Tenggorokannya
terasa sakit dan panas, dan hampir tersumbat. Maka bisa dibayangkan
kemarahan Jalujinggo, dipermainkan oleh bocah. Gleh karena itu dalam
menyambitkan kembali isi salak ini disertai tenaga yang amat kuat. Isi
salak itu bersuara mendesing, dan meluncur cepat sekali menuju
Puspitosari".
Menak Jolosengoro terkejut juga mendengar desingan itu. Karena
kalau muridnya itu sampai terkena sambitan paling tidak akan menderita
luka parah. Maka ia tidak tega berdiam diri. Dengan cepatnya ia sudah
menggerakkan tangan mendorong kedepan. Dengan tak terduga,
ternyata isi salak itu melambung dan kemudian meluncur cepat
membalik. Jalujinggo yang tidak pernah menduga amat terkejut. Untuk
menangkis sudah tidak sempat lagi. Maka ia segera melompat
kesamping, dan terdengarlah kemudian jerit salah seorang anak buah
Jalujinggo lalu roboh terguling tak berkutik lagi, Ia telah mati seketika,
dan ributlah orang2 yang melingkari arena pertempuran tersebut.
Dengan luapan amarah yang aman sangat, Jalujinggo segera
menggerakkan senjatanya dan menyerang Menak Jolosengoro. Bola33
besinya mendesing2 amat cepat sudah mengurung ruang gerak lawan.
Akan tetapi serangan itu oleh orang tua gemuk dan gundul ini dapat
dihindari dengan mudah. Pukulan2nya yang dilancarkan ternyata berhasil
menghalau bola besi yang berusaha menyerangaja.
Dalam pada itu Mayangaeto dan Jogosatru sekarang sudah
bertempur amat cepat. Kedudukan mereka sekarang tampak seimbang,
sesudah Mayangseto tidak perlu memecah perhatian. Ia dapat
menggerakkan cambuknya dan melawan Ki Jogosatru dengan cepat,
ujung cambuk itu mematuk2 seakan paruh seekor rajawali yang sedang
marah. Namun demikian Mayangseto masih belum berani untuk
mempertemukan ujung cambuknya kepada mata keris ?setan-kober."
Pada saat Menak Jolosengoro melawan Jalujinggo dan Mayangatto
melawan Ki Jogolatru ini, tampak keluar dari mulut goa dua orang
pemuda bergandengan tangan. Mereka adalah anak Jalujinggo yang
bernama Bagus Peteng dan Bagus Trimo. Dua orang pemuda ini
mempunyai cacat yang berlainan. Bagus Peteng seorang pemuda buta,
sedang Bagur Trimo hanya mempunyal sebelah kaki kiri dan sebelah
tangan kanan. Namun demikian dua orang pemuda ini sudah mendapat
gemblengan secara cukup dari ayahnya, maka mereka merupakan
pemuda2 yang tangguh pula.
Bagus Peteng bersenjatakan pedang, sedang Bagus Trimo
bersenjatakan tombak bercabang tiga. Mereka berdua secara langsung
segera melibatkan diri, melawan Bharoto dan Puspitosari. Agak bergidik
pala Puspitosari ketika harus berhadapan dengan sibuntung. Mengapa
harus melawan pemuda buntung ini? Akan tetapi keadaan sudah
memaksa. Kalau harus menyingkir dan tidak mau melawan, berarti takut.
Dan berarti pula memalukan gurunya. Dengan pertimbangan2 itulah
maka kemudian Puspitosari segera melayani serangan Bagus Trimo
dengan senjata dayung. Tampaknya sebuah dayung, akan tetapi
berbahaya sekali apabila musuhnya tidak waspada. Karena dayung ini
terbuat dari baja yang tipis dan tajam.
Gurunya sengaja mempersenjatai muridnya ini dengan dayung,
disesuaikan dengan kegemaran Puspitosari, Gadis ini memang amat suka
berenang dan bersampan, maka sekaligus dayung Itu mempunyai
serbaguna. Pada mulanya Puspitosarl memang segan2 melawan pemuda
berkaki satu ini. Akan tetapi ternyata kemudian, meskipun hanya berkaki
sebelah namun lincah luar biasa. Dengan sebelah kakinya ia dapat
meloncat2 dan menyerang dengan tombak bercabang amat cepat.
Gerakannya aneh dan sukar diduga, sehingga beberapa kali Puspitosari
terkejut. Dengan kenyataan yang tidak terduga ini maka sekarang
Puspitosari harus melawan benar2 apabila tidak ingin dikalahkan.
Berbeda dengan Bharoto yang melawan Bagus Peteng. Karena
Bharoto tidak menyadari bahwa musuhnya ini seorang pemuda buta.34
Maka ia sudah memberikan perlawanan penuh semangat. Pedangnya
berkelebat amat cepat menyerang ber-tubi2, dan Bagus Pcteng yang
tidak dapat melihat, namun telinganya sudah amat terlatih. Maka telinga
itu mempunyai daya tangkap yang amat luar biasa tajamnya. Kesiur
angin yang kecilpun ia dapat menangkap secara jelas, sehingga tiap
perobahan gerak senjata lawannya dapat di tangkap secara jelas. Dan
karena itu ia dapat menghindari dan menangkis secara tepat setiap
senjata Bharoto bergerak. Jalujinggo memang sudah mempersenjatai
anak2nya sebaik2nya disesuaikan dengan cacat masing2. Maka sekalipun
cacat, merupakan pula pemuda2 yang tangguh. Hal itu untuk menjaga
agar anak2nya yang mempunyai cacat itu tidak dihinakan orang.
Empat kelompok pertempuran itu makin lama berjalan makin seru.
Anak buah Jalujinggo makin rapat berpagar betis untuk menjaga segala
kemungkinan. Mereka akan segera bergerak mengeroyok apabila
mendapatkan aba2.
Pada saat didepan goa terjadi pertempuran yang amat seru dan
seluruh perhatian tertumpah disini, berkelebatlah bayangan yang amat
ringan beriringan lalu meloncat keatas dahan. Bayangan itu adalah Iblis
Bongkok dengan Joko Buwang. Mereka terkejut ketika mendengar suara
senjata beradu, dan untuk menindjau keadaan lebih dahulu bersembunyi
diatas dahan.
?Wah! Keledai gundul itu ternyata sudah lebih dahulu datang". Bisik
Iblis Bongkok seraya mengawasi pertempuran.
Akan tetapi agaknya Djuko Buwang tidak mendengar perkataan
gurunya. Pemuda ini sudah mengucapkan kata2 beriba ?Guru, harap bapa
suka membalaskan sakit hatiku".
?Apa maksudmu ?" gurunya bertanya heran.
?Pemuda berbadu putih itulah yang bernama Mayangseto dan sudah
melukai aku".
Iblis Bongkok itu ketawa lirih, lalu terdengar jawabannya yang
bersungut2 ?Kau ini ternyata murid tanpa guna Buwang, kau memalukan
aku saja".
?Apa maksud guru ?" Joko Buwang heran. ?Ia mempunyai ilmu
yang lebih tinggi".
Akan tetapi agaknya Iblis Bongkok tidak mendengar jawaban
muridnya, malah kemudian berseru perlahan: ?Eh! Mengapa pusaka
kangmas Harya Panangsang muncul kembali ?"
?Mana guru!" Joko Buwang tertarik. Ia sudah pernah mendengar
cerita gurunya, bahwa pusaka Pangeran Harya Panangsang yang
bernama ?setan-kober" itu amat ampuh. Dan gurunya sudah amat lama
menginginkan pusaka tersebut untuk dapat memiliki.
?Keris yang dipergunakan sipincang itulah pusaka ?setan-kober",
Iblis Bongkok menerangkan. Kemudian keningnya berkerut2, agaknya35
sedang mengingat2. Dan tiba2: ?Ah! Ternyata dia si Jogosatru."
?Jogosatru ? Mengapa dapat memlliki pusaka itu ?" Joko Buwang
mendesak.
?Dia, adalah salah scorang murid kangmas Panangsang yang
dikasihi. Karena ia mempunyai cacat dan menimbulkan rasa iba,
disamping merupakan seorang murid yang setia. Uah, hebat dia
sekarang".
Joko Buwang segera mengerahkan perhatiannya kepada orang yang
dimaksud gurunya. Keris yang dipegang tangan kanan itu nampak
bersinar merah seperti mengeluarkan api. Dan menyaksikan sinar merah
yang memancar dari keris itu, maka diam2 ia juga amat menginginkan
untuk memiliki. Dengan keris pusaka itu, tentu ia akan menjadi seorang
yang sakti tanpa tanding.
?Guru, sebaiknya keris pusaka itu kita rebut," usul Joko Buwang
mantap.
Iblis Bongkok itu ketawa lirih, tetapi tidak menjawab. Ia
memperhatikan pertempuran sengit yang sedang memuncak itu.
Mendadak Joko Buwang sempat menangkap warna merah di-didalam
pertempuran. Warna merah dari baju yang dipakai oleh seorang gadis. Ia
masih belum lupa kepada gadis ayu Puspitosari yang amat menarik
hatinya. Tetapi dua kali sudah usahanya selalu gagal. Karena itu sekarang
selera untuk dapat menangkap gadis itu timbul kembali. Kalau saja ia
tidak takut kepada gurunya, tentu ia sudah melompat ikut bertempur
untuk menghadapi gadis berbaju merah itu. Ingin ia segera menangkap
dan membawanya lari.
Akan tetapi Iblis Bongkok itu nampak terkejut. Karena sesudah
memperhatikan, jelas bahwa pihak Jalujinggo dibawah angin. Apabila
pertempuran tersebut berlangsung lebih lama Iagi, tidak urung Jalujinggo
menderita kalah. Ia menjadi gelisah, dan timbullah maksud untuk segera
bertindak dan membantu Jalujinggo. Namun demikian ia masih terpaksa
bersabar diri. Karena masih belum mendapatkan alasan yang cukup
untuk memperlihatkan diri. Ia merasa khawatir kalau Jalujinggo menjadi
tersinggurg atas perbuatannya, justru belum berbahaya benar2.
Namun demikian apa yang diharapkan itu kemudian ter-ujud.
Dengan tidak terduga, ketika Jalujinggo melontarkan bola besinya,
ternyata si gemuk gundul itu tidak menghindar. Dengan amat cepat
rantai itu dapat ditangkap. Dan ketika bola besi yang lain menyambar,
maka dengan mudahnya pula dapat ditangkap oleh tangan yang sebelah.
Dua orang itu kemudian Tarik-menarik dan ?krak" rantai sebesar jari itu
sudah putus. Jalujinggo terhempas kebelakang lalu berjungkir balik. Akan
tetapi Menak Jolosengoro tidak terhenyak dari tempatnya berdiri, dan
hanya bergoyang seperti tertiup angin. Dengan kenyataan ini mudah
diukur bahwa Jalujinggo masih belum mengimbangi tenaga Menak36
Jolosengoro. Dan tidak terduga pula, pada saat Jalujinggo masih belum
berhasil berdiri itu, bola besi ditangan Menak Jolosengoro sudah
dilemparkan beruntun. Gerakan Menak Jolosengoro itu amat cepat,
niscaya Jalujinggo tidak akan dapat menghindarkan diri.
Akan tetapi dengan tak terduga pula suatu bayangan berkelebat
amat cepat meniup dari dahan pohon, Ia menggeraken tongkat, dan ?tar
?tar" bola besi itu sudah berhasil disampok dan berobah arah. Kemudian
jatuh menggelinding ketempat kosong. Begitu selesai memukul bola besi
itu, maka Iblis Bongkok ini sudah melompat dan mendapatkan Jalujinggo
?Kau tidak luka sahabat ?"
Jalujinggo berjingkrak kegirangan dengan datangnya Iblis Bongkok
ini. Ia merasa yakin bahwa dengan datangnya tambahan tenaga ini
plhaknya akan makin kuat. Maka mereka cepat berpelukan, lalu sapa
Jalujinggo kemudian ?Ah Gusti, tak kusangka Gusti datang pada saat
yang tepat. Aku berterimakasih sekali atas pertolonganmu".
Iblis Bongkok itu ketawa ber gelak2, dan kemudian ia menjawab
?Layak kiranya bagi sahabat selalu tolong menolong. Marilah sekarang
kita bereskan keledai gundul ini".
Menak Jolosengoro ketawa dingin, dan kemudian terdengar la
mengejek ?Boleh! Aku tidak akan gentar kalian keroyok dua. Biarlah
tugas pekerjaanku menyapu para penjahat lekas selesai"
?Hem," dengus Iblis Bongkok seraya menatap Menak Jolosengoro,
?kau manusia yang sombong sekali. Jinggo, beristirahatlah dahulu.
Biarlah aku membereskan keledai gundul inl sendiri".
Dengan gerak yang amat cepat Iblis Bongkok itu sudah mulai
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuka serangan dengan tongkatnya yang berbisa. Namun Menak
Jolosengoro dengan ketawa haha hehe tetap melayani musuhnya dengan
tangan kosong.
Jalujinggo merasa lega dengan datangnya bantuan tenaga ini,
Bayangan kemenangan sekarang diambang pintu. Kalau Iblis Bongkok itu
tak mampu melawan Menak Jolosengoro, maka ia akan cepat membantu.
Kalau Jalujinggo bergembira, sebaliknya Mayangseto dan Bharoto
menjadi amat cemas. Dengan menangkap kata2 Jalujinggo, mereka
segera menyadari bahwa orang yang datang itu bukan lain Pangeran
Kartiko. Kalau muridnya saja hebat, tentu gurunya ini lebih hebat lagi.
Akan tetapi sekalipun dalam hati merasa khawaltr, namun Bharoto dan
Mayangseto tetap melawan musuhnya penuh semangat. Tidak perduli
musuhh bertambah, mereka bertekad pantang mundur. Biarlah tewas
dalam melaksanakan tugas kemanusiaan. Karena sekalipun tawas
bukanlah sia2.
Mendadak terdengar Jalujinggo berteriak ?Hai Peteng dan Trimo.
Mundur kalian, biar tikus2 kecil ini aku yang membereskan".
Anak2nya tidak menyaut, akan tetapi amat tunduk. Dengan37
lompatan yang indah mereka sudah menghentikan pertempuran. Lalu
dengan sebatang golok besar ditangan Jalujinggo sudah mengganti
kedudukan anaknya, melawan Bharoto dan Puspitosari.
Akan tetapi sebelum bergebrak lama, terdengarlah suara orang:
?Paman, gadis baju merah ini bagianku".
Bersamaan dengan ucapannya terachir, maka Joko Buwang sudah
berdiri diatas tanah sambil tersenyum.
?Hai, kau juga datang, Buwang," sapa Jalujinggo gembira. ?Baik
anak, lawanlah gadis ini. Tetapi, apakah kau tidak sayang?"
Joko Buwang ketawa dan kemudian jawabnya ?Ah, aku tidak akan
mencelakakan dia paman. Gadis ini amat ayu, sulit untuk mencari yang
lain paman. Apakah paman setuju kepada pendapatku ini ?"
?Ya, matamu memang awas Buwang", jawab Jalujinggo cukup
maklum.
Sebaliknya Puspitosari dan Bharoto amat muak dan marah
mendengar ucapan Jalujinggo dan Joko Buwang ini. Maka tanpa
menghiraukan marabahaya lagi, mereka sudah menyerang cukup cepat
dan berbahaya. Dayung Puspitosari bergerak amat cepat menyerang
secara beruntun. Akan tetapi Joko Buwang tidak menjadi gugup. Dengan
bibir tetap tersenyum, ia melayani Puspitosari dengan tangan kosong.
Joko Buwang sudah cukup mengerti bahwa kepandaiannya masih jauh
diatas gadis ini, Maka sekalipun bertangan kosong, ia yakin dalam waktu
singkat sudah akan berhasil menaklukkan gadis ayu ini.
Diam2 Menak Jolosengoro gelisah pula menyaksikan muridnya
harus bertempur dengan Joko Buwang. Akan tetapi ia sendiri sedang
menghadapi lawan yang tangguh. Tidaklah mungkin ia harus membagi
perhatian untuk muridnya dan ia sendiri. Menak Jolosengoro tidak berani
mengambil resiko. Tentang keselamatan Puspitosari tidak dipikirkan lagi,
lalu mencurahkan perhatiannya melawan iblis Bongkok dari Nusabarung
ini.
Pada suatu ketika dayung Puspitosari menyerang secara cepat dan
perobahannnya sulit diduga. Namun Joko Buwang tetap tidak gugup. Dan
ketika dayung itu sudah hampir menyentuh dadanya, segera jari
tangannya bergerak dan menjepit dayung tersebut. Puspitosari terkejut,
ia berusaha menarik senjatanya, akan tetapi usahanya sia-sia.Dayung itu
seakan terjepit oleh besi dan tidak dapat diambil kembali sekalipun sudah
mengerahkan tenaga.
Puspitosari sudah mendapat gemblengan dari Menak Jolosengoro.
Oleh karena itu meskipan sekarang dalam keadaan berbahaya, sama
sekali ia tidak mau mengeluh maupun memekik. Apa yang dihadapi, ia
harus menyelesaikan sendiri. Terlebih pula sekarang gurunya sendiri
sedang bertempur, maka apabila ia minta bantuannya akan berakibat
merugikan diri gurunya. Daripada gurunya harus pula mendapat celaka,38
lebih baik ia sendiri yang mengalami.
Pada waktu sedang berusaha merebut senjata ini, maka diam2 Joko
Buwang sudah menyalurkan tenaga ilmu ?Gelap sosro". Tiba2 Puspitosari
menjadi pucat dan terkejut ketika telapak tangannya terasa panas seperti
dibakar api. Puspitosari bertahan sekuat tenaga untuk mempertahankan
senjatanya. Akan tetapi rasa panas pada telapak tangannya itu makin
lama makin tidak terderitakan.
Namun demikian, Puspitosari tidak mau menyerah kalah. Ia lebih
suka mati daripada harus kalah dan dihinakan orang. Puspitosari sudah
menginsyafi secara jelas bahwa pemuda yang dihadapi sekarang ini,
mempunyai maksud tidak jujur. Ia tertarik kepada kecantikannya, maka
berusaha untuk menaklukkan.
Puspitosari cepat mengumpulkan tenaga murni dalam tubuhnya
untuk melawan pengaruh panas yang dilancarkan oleh musuhnya. Akan,
tetapi ternyata usahanya sia2. Pengaruh panas yang diterima itu
bukannya makin berkurang, tetapi malah bertambah. Ternyata tenaga
perlawanannya itu punah oleh kekuatan tenaga lawan.
Dada Puspitosari merasa menjadi sesak bernapas. Tubuhnya terasa
menjadi panas seperti dipanggang api. Namun gadis ini tetap tidak mau
menyerah dan mengeluh, sekuat tenaga yang ada masih berusaha untuk
melawan pengaruh lawan. Ia makin terengah, mata makin terasa kabur,
tetapi tetap tidak mau menyerah.
Joko Buwang menjadi amat heran melihat gadis ini tetap
membandel sekalipun sudah dalam keadaan bahaya. Jelas dilihatnya
bahwa wajah Puspitosari sudah berobah merah membara, sedang dada
sudah terengah2. Akan tetapi mengapa gadis itu tetap bertahan. Melihat
kenyataan ini, Joko Buwang menjadi ragu2. Ia amat sayang kepada gadis
yang ayu ini apabila sampai menjadi hangus terbakar. Maka ia menjadi
tidak tega. Tenaga yang salurkan dan menekan gadis itu ditarik kembali,
demi sedikit.
Karena tarikan Joko Buwang ini, maka keadaan Puspitosari
berangsur normal kembali. Rasa panas yang seakan membakar badannya
demi sedikit berkurang, dan dada dirasakan sudah agak longgar untuk
bernapas.
Akan tetapi pada saat itu, timbullah perobahan pikiran Joko
Buwang. Untuk apa berpayah2 dan sayang kepadanya. Gadis yang ayu
masih banyak terdapat didunia ini. Kalau sekarang gadis ayu ini mati, toh
lain hari ia masih dapat mencari yang lain. Mendapat pikiran yang
demikian ini, maka kemudian ia kembali mengerahkan tenaga ?Gelap
sosro". Kalau tadi dalam menyalurkan tenaga panas itu sedikit demi
sedikit, maka sekarang sudah berbeda. Ia akan memukul sekaligus agar
gadis ini segera roboh dan hangus seperti arang.
Pada saat Joko Buwang sudah memutuskan untuk membunuh mati39
Puspitosari, berkelebatlah bayangan orang secara cepat dan ringan. Tak
ubahnya daun kering yang lepas dari ranting. Orang itu dengan gerakan
yang ringan dan cepat, sudah mengulurkan tangan menempel pada
punggung Puspitosari. Dan Puspitosari, ketika merasa bahwa
punggungnya ditempel orang. Ia berusaha untuk menghindar dan
menangkis. Akan tetapi gadis ini menjadi heran sendiri ketika merasa
sesuatu tenaga yang maha kuat sudah menyebabkannya tidak dapat
bergerak. Dan kemudian merasa pula bahwa terdapat sesuatu tenaga
yang mengalir lewat tangan orang itu menyusup tubuhnya, langsung
menyalur ketangan kanan.
Pada saat tenaga maha kuat menyalur ketangan kann Puspitosari
ini, justru Joko Buwang sedang pula mengerahkan tenaga ?Gelap sosro"
yang panas seperti lahar. Ia bermaksud sekali pukul binasalah gadis ini.
Akan tetapi dengan tak terduga, Joko Buwang memekik nyaring.
Tubuhnya terlontar sampai dua tombak kemudian roboh terguling dan
muntah darah segar. Joko Buwang terkena oleh pukulan sendiri yang
dilontarkan, dan mendapat luka yang cukup parah. Untung bahwa Joko
Buwang cukup kuat bertahan. Pukulan yang membalik itu tidak
menyebabkan kebinasaannya, namun menyebabkan luka parah dan
pingsan seketika.
Iblis Bongkok yang waktu itu sedang mencurahkan perhatian
kepada lawan, demi mendengar pekik muridnya amat terkejut. Secara
jelas ia dapat melihat bahwa muridnya roboh dan muntah darah. Maka
sudah dapat memastikan bahwa muridnya menderita luka parah.
Tiba3 ia menggeram keras seperti seekor singa. Ia marah sekali,
dan timbullah keganasannya. Ia memutarkan tongkat yang berisi racun
jahat itu, untuk membunuh lawan membabi buta.
Pada saat Iblis Bongkok menggerakkan tongkat untuk menyebar
racun hijau itu, orang yang tadi menolong Puspitoiari berseru keras:
?Awas racun dari tongkat ! Lindungilah badan kalian."
Seruan itu amat mengejutkan semua orang. Menak Jolosengoro
berpaling kepada orang yang bersuara. Dan tiba2 bertanya: ?Hai adi
Bondansari, siapa yang kau maksudkan menyebar racun itu?"
?Cepat lindungi dirimu baik2. Iblis itulah yang menyebar racun dari
tongkat". Teriak Bondansari, dan secara cepat sudah memutarkan
tongkatnya seperti baling2 melindungi Bharoto dan Puspitosari.
Masing2 menjadi sibuk sendiri, untuk dapat melindungi diri dari
serangan racun Iblis Bongkok. Pertempuran berhenti secara tiba2, dan
dengan ketawa amat menyeramkan Iblis Bongkok menyebar racun maut.
Beberapa saat kemudian dengan ketawa panjang, Iblis Bongkok sudah
bergerak amat cepat, mengepit tubuh muridnya lalu lenyap ditelan gelap
malam.
Pada saat Iblis Bongkok sudah pergi dan orang2 menghentikan40
putaran senjatanya, terbelalaklah orang2 menyaksikan banyak tubuh
yang tak bernyawa bergelimpangan ditanah. Mereka terdiri dari anak
buah Jalujinggo yang tadi berpagar betis melingkari arena pertempuran.
Mereka tewas terkena racun tanpa sambat. Termasuk dua orang anak
Jalujinggo yang tidak sempat melindungi diri.
Menyaksikan keadaan yang demikian ini, tiba2 Jalujinggo berteriak
keras sekali. Ia segera memutarkan goloknya langsung menyerang
Bondansari. Waktu itu Ki Jogosatru masih berdiri terpaku. Akan tetapi
begitu melihat Jalujinggo bergerak memulai pertempuran lagi, ia segera
mengayunkan kerisnya untuk menyerang Mayangseto secara mendadak.
Akan tetapi Menak Jolotengoro bergerak lebih cepat. Ia sudah memukul
dengan telapak tangan mengarah leher. Ki Jogosatru amat terkejut, ia
menarik serangannya, memutar badan dan berganti menyerang Menak
jolosengoro.
Pada saat itu, anak buah Jalujinggo yang berpagar betis, sudah
tidak kuasa lagi menahan diri. Tanpa menunggu perintah, sudah
beramai2 menyerbu ketengah arena dengan senjata ditangan.
Mayangseto, Puspitosari dan Bharoto segera bertindak cepat untuk
menghalau anak buah Jalujinggo ini. Mayangseto menyimpan cambuknya,
dan dengan bertangan kosong melawan para perajurit itu. Bagi
Mayangseto apa yang dilakukan ini hanyalah sekedar merobohkan saja,
tanpa maksud membunuh. Akan tetapi bagi Bharoto dan Puspitosari yang
harus melawan serbuan ini, tidaklah mungkin bisa bertindak seperti
Mayangseto. Maka akibatnya para anak buah Jalujinggo yang menghadapi
dua orang gadis ini banyak yang roboh dan tewas. Tiba2 terdengar pekik
seseorang yang amat keras. Ternyata yang memekik itu Jalujinggo, dan
kemudian roboh tak berkutik sesudah muntah darah merah. Lalu
terdengar suara Bondansari yang mirip perempuan : ?Kakang Menak
Jolosengoro, maafkan aku, telah lancang membunuh musuh besarmu".
?Tiada bedanya adi, kau tidak perlu menyesal," jawab Menak
Jolosengoro seraya menyerang teruss kepada Ki Jogosatru.
Mendengar pemberitahuan Bondansari bahwa Jalujinggo sudah
tewas itu, Ki Jogogatru amat gugup. Timbullah rasa cemas dan khawatir
akan keadaannya sendiri. Untuk meneruskan pertempuran sudah tidak
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada artinya lagi, dan salah2 akan ikut tewas pula. Oleh karena itu
timbullah niatnya untuk melarikan diri sebelum terlambat. Maka ia segera
mempercepat serangannya, bersiap2 untuk melarikan diri.
Maka begitu mendapat kesempatan, Ki Jogosettru segera melompat
untuk melarikan diri. Akan tetapi celaka, dengan tidak terduga tongkat
Bondansari menyambar cepat sekali memukul tangan kanan Ki Jogosatru.
Terdengar pekik terkejut, akan tetapi orang cacat ini meneruskan larinya
dengan tidak lagi memperdulikan keris ?Setan-kober" terpental jatuh.
Mayangseto bergerak untuk mengejar, akan tetapi Bondansari41
cepat mencegah ?Hai, tak usah kau berpayah2 Mayangseto. Biarkanlah
dia lari".
Pertempuran sudah berhenti, karena sisa anakbuah Jalujinggo
sudah melarikan diri. Pada saat selesainya pertempuran ini, keadaan
sudah rembang fajar. Dengan tak terasa mereka sudah beitempur
semalam suntuk. Jenazah berserakan dihias darah merah hampir
memenuhi halaman yang luas didepan mulut goa Watulawang.
Sejak Menak Jolosengoro melibatkan diri dalam pertempuran,dalam
hati sudah timbul pertanyaan. Akan tetapi oleh kesibukan menghadapi
pertemporan maka ia masih menahan diri. Maka sesudah pertempuran
selesai, ia mendekati Mayangseto dan bertanya dengan ramah : ?Anak,
apa hubunganmu dengan Kiageng Mahesotopo?"
Sebelum Mayangseto membuka mulut, Bondansari sudah ketawa
merdu dan menyaut : ?Kakang, pemuda ini cucu murid Kiageng
Mahesotopo. Tentunya kau tadi merasa heran kakang, melihat cambuk
kilat berada dalam tangannya. Apakah kakang tadi tidak memperhatikan
gerak dan tata kelahinya yang tidak berbeda dengan cara kerbau tua
itu?"
Dengan silkap yang menghormat Mayangseto menyambung:
?Keterangan paman Bondansari memaag benar paman, aku yang bodoh
ini memang cucu murid Kiageng Mahesotopo."
Menak Jolosengoro tersenyum, kemudian berkata : ?Hem, kau
jangan merendah anak muda. Kau merupakan wakil Kiageng
Mahesotopo, maka tidaklah seharusnya merasa muda. Bagiku, dan bagi
para sahabat Kiageng Mahesotopo, setiap melihat cambuk kilat ini maka
akan menghormati seperti pula kepada beliau yang sudah meninggal. O
ya, tentunya kau putera Tumenggung Mayang?"
?Uah, ternyata ingatanmu masih cerdas kakang, belum berobah
pelupa sekalipun sudah tua." Kelakar Bondansari sambil ketawa terkekeh.
?Anak muda ini memang putera Tumenggung Mayang, sedang namanya
Mayangseto. Tetapi kakang perlu mengetahui juga, bahwa disamping
cucu murid Kiageng Mahesotopo dia juga murid Kiageng Gunturselo."
?Kiageng Gunturselo?" ulang Menak Jolosengolo." ?Aduh, kau
seorang yang beruntung anak, mewarisi ilmu dari dua tokoh sakti itu. Ah,
aku menjadi rindu kepada Kiageng Gunturselo. Lebih satu tahun aku
sudah tidak bertemu dengan dia."
Mendadak Mayangseto menjadi pucat ketika nama Kiageng
Gunturselo dipercakapkan. Ia teringat kembali akan cinta dan kasih
gurunya yang tewas akibat racun. Maka kerongkongannya tersumbat, ia
tidak dapat berkata-kata.
Dalam pada itu Bondansari sendiri juga berobah air mukanya.
Agaknya orang tua ini teringat pula kepada seorang yang pernah
dimusuhinya puluhan tahun. Ia sempat pula menyaksikan keadaannya42
yang terakhir bersama Mayangseto. Karena itu secara mendadak
kerongkongannya juga seperti tersumbat dan tidak dapat berkata2.
Hai, mengapa kalian ini?" Menak Jolosengoro gugup. ?Ada apa adi
Bondansari, mengapa kau pucat?"
Agak lama kemudian Bondansari baru dapat menjawab ?Kakang,
Kiageng Gunturselo sudah meninggal dalam keadaan menyedihkan."
?Meninggal?" Menak Jolosengoro terkejut.
Bondansari segera menceritakan peristiwa yang dialami Kiageng
Gunturselo pada saat akan meninggal.
Tiba2 Menak Jolosengoro menghentakkan kaki, dan terdengarlah
penyesalannya : ?Ah, kalau aku tadi sudah tahu! Tak mungkin Iblis itu
kubiarkan lolos."
?Ah, mengapa aku lupa?" Bondansari tampak gugup, lalu lari dan
kemudian meloncat kepohon rindang yang tumbuh dipinggir halaman ini.
Orang2 yang menyaksikan tingkah Bondansari ini menjadi heran
dan bertanya2. Mereka memandang kepohon dimana Bondansari
meloncat.
Ketika itu pagi sudah tiba. Maka keadaan sekeliling tampak nyata.
Darah yang membasahi arena pertempuran sudah mulai membeku, yang
roboh karena luka terdengar merintih dan mengerang, sedang mereka
yang roboh tertotok oleh serangan Mayangseto meratap2 minta ampun.
Mayangseto seperti disadarkan. Maka cepat2 bertindak melepaskan
totokan. Setelah mereka bebas dari pengaruh totokan orang2 itu duduk
tak berkutik, tampak amat takut.
Menak Jolosengoro juga tidak tinggal diam. Dengan cekatan segera
menolong orang2 yang terluka. Dibantu oleh Bharoto dan Puspitosari,
orang2 yang terluka itu dikumpulkan untuk kemudian diobati.
Pada waktu orang sedang sibuk lni, terdengarlah suara tangis
perempuan. Semua orang yang mendengar memandang sekeliling dan
men-cari2.
?Kakek tidak adil," suara bernada memprotes sambil terisak.
Mengapa aku tidak boleh berkelahi? Gerombolan Watulawang ini yang
sudah membunuh ayah bundaku. Mangapa aku tidak boleh membalas?"
?Kakek kejam !" suara bernada marah yang lain juga terisak.
?Mengapa aku kau ikat disini?"
?Hem, bocah! Kalian ini memang bocah2 nakal dan manja,"
terdengar jawaban halus memancarkan gerakan kasih sayang. ?Gampang
kau berkata tidak adil dan kejam. Akan tetapi maksudku lain lagi".
Jelas, bahwa suara jawaban itu suara Bondansari. Orang yang
mendengar merasa heran. Dengan siapa Bondansari bicara diatas pohon
itu? Akan tetapi pada saat orang masih ber tanya2 terdengarlah suara
Bondansari lagi ?Marilah kita turun dulu."
Dan semua orang yang menyaksikan keheranan. Bondansari turun43
dari pohon bersama dengan dua orang gadis manis2. Mereka kemudian
cepat menyerbu, sedang Bondansari ketawa amat merdu. Dan kemudian
kata Bondansari ?Kakang jangan heran. Murid dan juga cucuku ini
memang manja2. Maka semalam mereka kupaksa untuk berdiam diri dan
tidur dipohon itu. Itulah sebabnya mereka menangis dan marah
kepadaku."
Mendengar keterangan Bondansari semua orang ketawa.
Mengertilah sekarang, bahwa Minten dan Mirah semalam sudah dipaksa
berdiam diri diatas pohon. Puspitosari dan Bharoto lalu mendekati Minten
dan Mirah dengan maksud untuk berkenalan. Dua gadis ini menundukkan
kepala merasa malu.
?Mengapa kau paksa berdiam diri diatas pohon ?" Menak
Jolosengoro mendesak dengan keheranan.
?Hem," dengus Bondansari dan disusul dengan senyum
menyungging bibir, ?aku sadar bahwa kepandaian murid2ku ini belum
seberapa. Maka aku merasa khawatir akan keselamatannya, disamping
tentu akan membikin aku repot. Itulah sebabnya aku berpendirian lebih
baik mereka kusimpan diatas pohon."
?Uah, ternyata kau lebih pintar daripada aku adi. Memang benar
juga katamu, bisa menimbulkan repot." Menak Jolosengoro
membenarkan. ?Buktinya muridku itu. Aku tadi terpaksa memecah
perhatian. Untunglah bahwa kau bertindak cepat dan tepat adi, sehingga
oleh pertolonganmu Puspitosari selamat. Karena ltu adi, kuucapkan
terimakasih atag budi kebaikanmu."
?Ah, kau mengada2 kakang." Bondansari membantah. ?Toh sudah
selayaknya sahabat menyelenggarakan kerjasama dan saling membantu."
?Hai!" teriak Menak Jolosengoro ?Kau ini pemuda apa kok duduk
berdesakan dengan gadis?"
Puspitosari dan Bharoto ketawa, demikian pula Minten dan Mirah
juga sudah bisa ikut ketawa.
?Guru telah salah lihat," jawab Puspitosari masih dengan ketawa.
?Dia bukan pemuda, akan tetapi seorang gadis dan bernama Endang
Palupi."
Menak Jolosengoro menggosok mata dengan tangan seraya
berkedip2. Mayangseto dan Bondansari tersenyum menyaksikan Menak
Jolosengoro dapat dikelabui oleh Endang Palupi yang menyamar sebagai
laki2.
?Uah,"seru Menak Jolosengoro dan disusul dengan ketawa, ?pandai
juga kau mengelabui orang. Hai, kau murid siapa?"
?Dia puteri Resi Duhkita paman," Mayangseto mendahului Bharoto.
?Beliau menitipkan kepadaku agar mendapat pengalaman yang luas. Akan
tetapi agar lebih aman dalam perantauan maka dianjurkan untuk
menyamar."44
Baik Bondansari dan Menak Jolosengoro terkejut juga ketika
mendengar nama Resi Duhkito. Dua orang tua ini sudah cukup kenal
dengan pertapa sakti itu, maka menjadi girang.
?Uah,pantas cukup hebat" puji Menak Jolosengoro seraya ketawa.
Akan tetapi, begitu Puspitosari mendengar bahwa Endang Palupi
alias Bharoto ini bukan adik Mayangseto, dalam hati cepat timbul rasa
cemburu dan tidak senang. Sejak tadi Puspitosari memang menyangka
bahwa Endang Palupi ini adik Mayangseto. Ternyata sekarang dugaannya
salah. Padahal, sudah sejak lama gadis ini amat terpikat kepada
Mayangseto. Dan itulah juga yang menyebabkan secara diam2 Puspitosari
lari dari rumah.
Kalau sekarang terdapat seorang gadis lain yang selalu berada
disamping Mayangseto, sukarlah dipercaya apabila mereka diam2 tidak
saling mencinta. Siapa yang tidak menjadi kecewa kalua orang yang
selalu diimpikan dan diharapkan ini sekarang sudah dimiliki orang lain?
Siapa yang tidak menjadi sedih apabila demi cintanya ini, sudah berani
melawan orang tuanya? Sebelum pergi ke Watulawang ini ia dengan
Menak Jolosengoro sudah mampir ke desa Troketon. Maksudnya untuk
meninjau orang tuanya. Akan tetapi ternyata bahwa harapannya tidak
terujud, rumah yang dahulu besar itu sekarang sudah tidak ada.
Pekarangan orang tuanya berobah menjadi kebun kosong yang penuh
tetumbuhan liar. Dan tidak seorangpun dalam desanya itu yang dapat
memberikan keterangan dimana orang tuanya sekarang berada.
Hati Puspitosari hancur tiba2 oleh kenyataan ini. Pada mulanya ia
masih dapat menghibur hatinya, meskipun sudah mengorbankan orang
tua dan penduduk Troketon dalam mengejar cinta dan kasihnya terhadap
seorang pria yang amat dikasihi.
Tetapi sekarang, sebintik yang amat kecilpun tiada tampak lagi
tanda2 itu. Karena Mayangseto sudah selalu menyanding seorang gadis
lain yang jelita.
Oleh perasaan yang amat kecewa dan kepedihan hati yang sulit
diobati ini, maka secara tiba2 Puspitotari bangkit. Memandang
Mayangseto dengan mata yang sayu, penuh perasaan. Waktu itu
Mayangsetopun sempat menatap gadis mi, dan terkejutlah pemuda ini
ketika menangkap pandangan mata Puspitosari. Didalam mata yang
indah itu, tersiratlah kedukaan yang amat sangat.
Tiba2 terdengar suara menggeletar dari mulut Puspitosari yang
mungil itu : ?Raden Mayangseto, penderitaan hamba sudah cukup berat.
Hamba kehilangan orang tua, tetapi mengapa raden masih merusak hati
hamba?"
Dengan tidak terduga, begitu selesai mengucapkan kata2 itu
Puspitosari sudah melompat dan lari cepat sekali.
Menak Jolosengoro amat terkejut. Ia mengundang muridnya, tetapi45
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang diundang tidak perduli. Dan masih terdengarlah suara tangisnya
yang sedih sambil lari. Menak Jolosengoro memandang Mayangseto
penuh selidik, tetapi tidak mengucapkan kata2. Hanya kemudian
terdengar katanya minta pamit : ?Maafkan aku, tidak dapat membantu
kalian. Aku harus menyusul Puspitosari".
Ketika bergerak. cepat laksana terbang Menak Jolosengoro sudah
mengejar muridnya. Mayangseto tertegun dan bingung. Ia tidak dapat
berkata2, karena ucapan Puspitosari tadi amat mengejutkan.
Dengan tidak terduga, pada saat Mayangseto masih tertegun dan
bingung ini. Endang Palupi yang menyamar sebagai laki2 juga sudah
melompat dan lari sambil terisak. Gadis ini, sudah salah sangka terhadap
Mayangseto. Ia mengira bahwa Mayangseto sudah saling mencinta
dengan Puspitotari. Akan tetapi kemudian Mayangseto mengingkari janji.
Dengan demikian Endang Palupi sudah dapat menilai, bahwa pemuda
yang dicintai ini ternyata mata keranjang dan palsu. Hatinya hancur dan
kecewa, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus meninggalkan pemuda
ini sebelum makin dalam terjerat hatinya.
Menyaksikan kepergian Endang Palupi ini Mayangseto menjadi
gugup. la merasa bertanggung jawab atas keselamatan gadis ini sesuai
dengan amanat Resi Duhkito yang sudah menitipkan. Maka ia tidak dapat
tinggal diam membiarkan gadis itu lari. Kalau terjadi sesuatu, maka Resi
Duhkito akan marah dan menuduhnya seorang pemuda yang tidak
mempunyai tanggung jawab. Ia tidak ingin dituduh demikian. Ia sanggup
mengorbankan jiwa dan raganya untuk menjaga kepercayaan orang.
Oleh karena itu dengan gugup ia berkata: ?Paman, maafkan aku.
Menyesal aku tidak dapat membantu menyelesaikan persoalan
Watulawang ini. Karena aku harus mengejar dia, aku khawatir akan
keselamatannya."
Dengan tidak menunggu jawaban, Mayangseto sudah bergerak dan
lari menyusul Endang Palupi, Bondansari berdiri seraya memandang
kepergian Mayangseto, dan kemudian menghela napas. Tidak lama
kemudian terdengar ia bergumam: ?Hem, dunia muda memang pelik,
aneh dan mengherankan. Cinta . ah . kau selalu membuat korban
baru. Berapa saja sudah manusia yang kau jadikan korban. Baik
meninggal, gila, saiing membunuh dan patah hati. Gara2mu pula
sekarang, suasana akrab yang penuh persahabatan sudah kau rusakkan.
Minten dan Mirah, kau harus ber-hati2 menghadapi masalah yang gawat
ini. Kamu jangan ikut menjadi korban . cinta.."
Minten dan Mirah tidak menjawab. Mereka merupakan gadis2 desa
sederhana dan berhati bersih. Maka mereka belum dapat menangkap
akan arti kata gurunya.
Mayangseto mempunyai ilmu lari cepat yang lebih tinggi daripada
Bharoto. Maka dalam waktu singkat gadis itu sudah dapat terkejar.46
Mayangseto cepat menghadang dimuka, dan Bharoto terkejut. Akan
tetapi karena gugup ia tidak dapat menghentikan langkahnya secara
mendadak. Kalau terus berarti menubruk Mayangseto, sedang jalan itu
amat sempit. Kiri jalan merupakan bukit, sedang kanan jalan jurang
menganga dalam. Dalam kekecewaan hatinya Bharoto sudah tidak lagi
memperhitungkan bahaya. Ia merasa lebih baik mati daripada harus
menderita patah hati. Maka dengan tidak terduga, ia sudah membuang
diri kejurang yang menganga dalam itu.
Mayangseto amat terkejut. Untung ia masih belum kehilangan
kesadaran. Melihat bahwa Bharoto dalam keadaan bahaya, ia sudah tidak
memperhitungkan lagi apa yang terjadi. Dengan amat sigapnya ia sudah
melompat untuk mencegah terjadinya mala petaka.
Cepat sekali gerakan Mayangseto. Tubuh Bharoto dapat ditangkap
dengan tangan kiri, sedang tangan kanan cepat meraih sebatang pohon.
Lalu dengan mengerahkan kekuatan yang ada, ia sudah membuang diri
keatas jalan. Celaka, kaki tergelincir dan terbanting. Akan tetapi
Mayangseto masih dapat menguasai keseimbangan. Maka sekalipun
terbanting, ia sendiri yang terkena debu.
Bharoto berusaha melepaskan diri sambil tersedan. Tetapi
Mayangseto makin kuat memeluk seraya berusaha duduk. Ia amat
khawatir kalau gadis ini mengulang perbuatannya yang berbahaya tadi.
?Adi, mengapa .. mengapa kau lari?" Mayangseto terbata seraya
menatap gadis ini.
?Lepaskan! Lepaskan aku....! Kau .. " Bharoto memekik sambil
berusaha melepaskan pegangan.
?Adi, apa salahku?" Mayangseto bingung.
?Huhl" Bharoto gemas. ?Kaa tidak usah mungkir dan menipu aku.
Kau .... kau , ...sudah merusak hati gadis tadi. Kau . kau tidak
bertanggung jawab."
?Tidak ! Tidak!" bantah Mayangseto cepat. ?Kau jangan cepat salah
sangka adi, demi Tuhan aku menolak tuduhan itu. Aku aku tidak
pernah bicara dengan dia soal soal cinta."
?Bohong! Bohong!" Bharoto menjerit. ?Puspitosari tadi sudah
mengucapkan. Dan kau tidak membantah. Bukankah itu merupakan
tanda kau memang nyata?"
? Ya Tuhan," keluh Mayangseto sedih, ?hem, kau jangan menuduh
aku yang bukan2 adi. Ok, aku bicara secara benar. Akan tetapi . kalau
kau tidak percaya, terserahlah. Baik, silahkan kau ikut menuduh yang
tidak2".
Mayangseto melepaskan tangan. Hati terasa amat pedih. Dan tidak
lagi mau memperdulikan apa yang akan diperbuat oleh gadis itu. Dan
kemudian, Mayangseto bangkit. Ia melangkah perlahan sambil
menundukkan kepala, Seakan pecah kepalanya memikirkan apa yang47
sedang dihadapi. Timbullah rasa heran mengapa secara tiba2 Puspitosari
sudah menuduh merusak hatinya? Ia tidak dapat membantah bahwa
pernah mempunyai niat untuk mencintai gadis itu. Akan tetapi sesudah
mengerti bahwa ia sudah mempunyai calon suami, maka Mayangseto
mundur teratur, dan belum pernah pula menyatakan isi hatinya.
Dan sekarang, gadis yang lain menuduh pula. Mengapa bisa begini?
Ia seorang pemuda yang tidak dapat berpura2. Apa yang diucapkan
sesuai dengan kata hatinya. Maka ia menjadi bingung.
Dan gadis anak Rasi Duhkito itu, memandang kepergian
Mayangseto dengan pandangan mata sayu. Tiba2 terdengar suara
berbisik dalam hatinya, untuk mempercayai kata2 yang diucapkan
Mayangseto. Karena itu, ia cepat2 bangkit dan menyusul pemuda yang
dicintai.
Mendadak Bharoto sudah menubruk dari belakang. Karena
Mayangteto tidak menyangka dan dalam keadaan pikiran kacau, oleh
tubrukan itu menjadi limbung. Ia jatuh terduduk, akan tetapi gadis ini
sudah mendekap dan cepat menyembunyikan muka kedadanya seraya
menangis terisak2. Airmata membanjir membasahi pipi yang montok
halus, langsung membasahi baju. Dan kemudian meresap masuk kedada,
menyentuh jantung, dan getaran aneh mendesak2 memenuhi rongga
dadanya.
Mayangseto menundukkan muka. Ujung hidung menyentuh kain
ikat kepala, dan terciumlah bau semerbak harum, Ketika sepasang
matanya memandang kepada dadanya sendiri, maka tampaklah pipi
montok yang kuning menempel baju dan basah. jantung berdetak amat
keras dan getaran yang amat menebar keseluruh rongga dada.
?Dia amat cantik sekali dan mencintaimu sepenuh hati. Bodoh kau
Mayangseto, mengapa tak memperhatikan ratap dan tangis gadis yang
ayu ini?" bisik iblis yang menyelinap dalam hati.
?Jangan ! Jangan kau tergoda oleh wajah ayu," cegah hati yang
suiji. ?Kau masih mengemban tugas kewajiban yang berat. Negara
membutuhkan tenagamu. Maka kuatkanlah hatimu, dan persoalan wanita
jauhilah lebih dahulu!"
?Huh, bodoh kau !" bujuk siiblis. ?Endang Palupi seorang gadis ayu
yang sulit dicari. Mengapa kau membuta tuli ? Dia sudah menyerah
kepadamu, mengapa tidak kau rayu dengan kata2 manis?"
?Jangan ! Kau akan berdosa besar kepada Tuhan, negara, dan
bangsa. Disamping nama baikmu akan ternoda". teriak hati suci.
?Insaflah kau Mayangseto, janganlah kau hanya menurutkan nafsu
hatimu sendiri".
Ia ber- bimbang2 mendengar perbantahan dalam dadanya. Detakan
jantung terasa makin keras dan darah mudanya ber-desir2. Mata yang
terpesona memandang kepada keayuan gadis ini mengajak2, akan tetapi48
hatinya selalu mencegah. Sesudah agak lama ia berbimbang2, hatinya
menjadi sadar. Benar gadis yang sekarang menempel pada dadanya ini
amat ayu. Akan tetapi ia tidak ingin mengelabui hati sendiri. Seorang
gadis bernama Widowati sudah tercatat dalam hati, mengapa sekarang
akan ter-goda ? Namun demikian apabila harus ber-terang2an, ia tidak
sampai hati dan khawatir. Kalau gadis ini menjadi kecewa dan patah hati.
?Adi, sudahlah jangan menangis", bujuk Mayangseto perlahan.
Gadis ini memandang Mayangseto dengan matanya yang basah.
Dan kemudian : ?Kakang, apakah kau berjanji? Kau tidak akan
menyia2kan aku?"
?Adi, sudahlah. Kau jangan berpikir yang tidak2".
?Tetapi, cintakah kau kepadaku?" desak Bharoto.
?Adi, marilah kita meneruskan perjalanan. Adi, kita masih dalam
tugas perjoangan. Kepentingan pribadi harus kita tempatkan dibelakang".
?Tetapi .tetapi . berkatalah kakang, sekali saja sudah cukup.
Berkatalah cintakah kau kepadaku ?"
Mendapat desakan ini, Mayangseto terkejut juga. Untung bahwa ia
masih menemukan jawaban yang tepat : "Adi, didalam keadaan sekarang
ini, kita selalu dikejar maut. Maka dari itu adi, aku tidak berani . Adi,
tidak berani mengucapkan cinta. Aku takut . aku takut .."
Endang Palupi seorang gadis puteri seorang pertapa. Ia sudah
banyak mendapatkan pendidikan2 baik tentang tatakrama maupun budi
pekerti. Ketika mendengar jawaban Mayangseto itu, ia segera sadar akan
kedudukannya. Bahwa dia seorang gadis. Sabagai wanita bangsa timur
adalah tidak dibenarkan untuk mendesak2. Ia merasa khawatir juga
apabila kelemahannya itu disalahgunakan oleh laki2 dan bisa
menimbulkan hal2 yang kurang baik.
Sesudah ia menyadari akan soal ini, maka ia tidak lagi mendesak,
dan kemudian malah merasa amat malu sendiri. Mengapa sudah
mendahului menyatakan cinta sebelum laki2 memulai. Karena itu ia
segera menolakkan tangan Mayangseto seraya berkata : ?Kakang, ayolah
kita meneruskan perjalanan."
Mereka kemudian mencari kuda masing2 dan meneruskan
perjalanan. Didalam berjalan berdampingan ini mereka kembali biasa
seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Tidak lain karena mereka berdua
memang berusaha untuk melupakan hal2 yang baru saja terjadi. Terlebih
pula ketika mereka sudah mulai membicarakan persoalan2 yang
menyangkut kepentingan negara, semua perhatiannya kemudian tercurah
kepada masalah negara dan perjoangan.
Pada saat itu keadaan negara Pajang memang bukannya makin
aman, sesudah Pangeran Pangiri dinobatkan sebagai raja untuk pengganti
Sultan Hadiwijoyo. Karena pada kenyataannya Mataram tidak menyetujui.
Sejak semula Panembahan Senopati Mataram menghendaki agar49
Pangeran Benowo menjadi pengganti raja. Akan tetapi para wali yang
masih ada dan Sunan Giri tidak setuju, dan memilih Pangeran Pangiri
sebagai pewaris Demak. Padahal Sunan Giri adalah seorang yang
mempunyal kekuasaan untuk mengangkat dan mengesyahkan raja, maka
keberatan Mataram itu dianggap sepi.
Akibatnya secara diam2 Panembahan Senopati dan Pangeran
Benowo sudah bersiap diri mengumpulkan kekuatan. Untuk se-waktu2
dapat terjadi peperangan besar antara Mataram dan Pajang. Untuk
keperluan ini pulalah maka Mayangseto masih belum mendapat
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan mengaso dan menikmati hidup ditengah keluarganya.
Ketika itu Mayangseto dan Bharoto sedang menyusuri hutan Sawit.
Berkelebatlah bayangan merah yang muncul dari balik rumpun bambu
dan langsung menyerang kepada Bharoto. Untunglah bahwa Bharoto
cukup tangkas, maka serangan mendadak itu dapat dibindari. Dan
dengan cepatnya tangan Bharoto sudah mencabut pedang untuk
melayani serangan yang menyusul. Terjadilah kemudian pertempuran
yang sengit secara mendadak.
Mayangseto berdiri tertegun menyaksikan peristiwa yang tidak
pernah diduganya itu. Dua orang gadis sudah bertempur tanpa sebab2
yang jelas, seakan bertemu dengan musuh lama yang amat dibenci.
Yang menjerang secara mendadak itu bukan lain Puspitosari murid
Menak Jolosengoro. Ia memang sedang dilanda oleh arus kemarahan
yang amat sangat terhadap Bharoto. Karena ia beranggapan bahwa
Bharoto merupakan saingan didalam perkara cinta.
Dan sebaliknya pula, Bharoto juga amat marah sekali terhadap
Puspitosari. Karena didalam hati gadis ini timbul salah sangka, bahwa
Puspitosarilah merupakan penghalang cintanya kepada Mayangseto.
Mereka sama2 marah dan panas, sudah barang tentu sulit untuk
dikendalikan. Masing2 berusaha untuk dapat merebut kemenangan.
Akan tetapi sesudah bertempur sementara lama, Puspitosari
tampak terdesak. Tidaklah mengherankan justru tingkat kepandaian
Bharoto memang lebih tinggi daripada Puspitosari. Maka apabila
pertempuran itu terus berlangsung niscaya Puspitosari akan terluka atau
tewas oleh Bharoto.
Namun Mayangrato seperti orang linglung dan kehilangan akal. Ia
masih tetap berdiri seperti patung, tanpa berbuat sesuatu dan melarai.
Seakan membiarkan dua orang gadis tersebut salah seorang menjadi
korban. Tetapi sebenarnya tidak. Dalam hati pemuda ini timbul rasa yang
amat sedih. Mengapa mereka saling berebut cinta ?
Ia mengakui bahwa kepada Puspitosari maupun Bharoto merasa
amat sayang. Akan tetapl untuk mencintai, nanti dulu. Hatinya sudah
terlanjur direnggut oleh gadis Widowati yang jelita, puteri Tumenggung
Wirengpati. Padahal ia seorang pemuda yang jujur, ia tidak dapat50
berpura2 dan apalagi disuruhnya membagi cinta. Tidak mungkin!
Itulah sebabnya ia lama tertegun. Ia bingung, tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya.
Tiba2 terdengar suara trang . dan dayung Puspitosari terpental.
Kemudian pedang Bharoto sudah bergerak cepat untuk menusuk
lambung. Mayangseto amat terkejut sekali, maka segera melompat dan
tangan bergerak. Terdengar jerit Bharoto terkejut, karena tiba2
pedangnya lepas.
?Sabar adi, mengapa kau akan menggunakan pedang?" bujuk
Mayangseto kepada Bharoto.
?Dia . dia yang sudah menyerang. Kau tahu sendiri." Bharoto
membela diri.
Mayangseto memandang Puspitosari. Gadis baju merah ini
menundukkan kepala, wajahnya nampak sedih dan mata agak merah.
Hatinya berdebar dan jantungnya berdegup berhadapan dengan pemuda
yang amat dipujanya.
?Puspitosari, mengapa kau menyerang dia?" tanya Mayangseto
halus.
Tiba2 Puspitosari menutup mukanya dengan telapak tangan, dan
menangis tersedu2. Airmatanya membanjir membasahi dua-belah pipinya
yang montok, menyebabkan Mayangseto amat trenyuh dibuatnya.
Kemudian terdengar katanya yang ter-putus2.: ?Raden, hamba .. sudah
amat menderita. Gara2 hambalah orang tua, keluarga dan banyak
penduduk desa Troketon . tertimpa malapetaka. Raden . entah
dimana ayah-bunda dan keluarga sekarang berada . Hamba tidak tahu
. dan ah .
?Kau . kau sudah pulang?" Mayangseto agak gugup.
?Malapetaka itu .sudah hamba saksikan sendiri." jawab Puspitosari
dengan suara menggeletar. Tangisnya makin menjadi, karena teringat
akan nasib ayah bunda dan keluarganya yang sampai sekarang ini belum
juga diketahui dimana berada. Entah masih kidup ataukah sudah tewas.
?Hem ." dengus Mayangseto, ?mengapa kau bertengkar dengan
Maruto?"
?Apakah . apakah raden tidak dapat menyelami perasaan hamba?
Hamba .. mencintai Raden .. " ratap Puspitosari disela sedan, dan
tampak sedih sekali.
Terkejut sekali Mayangseto, sehingga agak sementara lama terpaku
dan sulit untuk mengucapkan kata2. Ia sadar sekarang, bahwa dua orang
gadis yang dihadapi ini masing2 mencintainya. Padahal amat sulitlah
rasanya untuk dapat menerima cinta dua orang dara ini. Dan sadar
jugalah ia sekarang, bahwa apabila persoalan cinta ini dibiarkan berlarut2
akan mengakibatkan hal2 yang tidak diinginkan.
Karena Endang Palupi dan Puspitosari masing2 mencintai, dan bisa51
berakibat saling bersaing dan cemburu. Mereka dapat bermusuhan
memperebutkan cinta. Apabila demikian bisa ber-akibat orang2 tua ikut
terlibat didalamnya. Apabila Resi Duhkito dan Menak Jolosengoro sudah
ikut terlibat didalamnya, bisalah dibayangkan akibatnya yang amat luas.
Apabila terjadi demikian, akan lebih sulitlah penyelesaiannya. Maka
persoalan cinta ini harus tidak ber-larut2 dan merembet2. Mengingat
akan semua ini maka timbullah suatu pendapat bahwa sebaiknya
sekarang berterus-terang. Baik kepada Endang Palupi maupun kepada
Puspitosari hanyalah menganggap sebagai seorang adik. Rasa kasih dan
sayang bukanlah sebagai seorang pemuda kepada gadis, tetapi antara
saudara.
Mayangseto mandang kepada Endang Palupi dan Puspitosari
bergantian. Beberapa saat kemudian barulah terdengar la
berkata:?Endang Palupi dan Puspitosari, dengarkanlah apa yang akan
kukatakan ini. Hem . sebenarnya amat berat pula hatiku untuk
mengatakan hal ini kepadamu, karena aku khawatir dapat menyinggung
hatimu. Akan tetapi ah, hal ini tidak pula dapat kusimpan terus dan
kutunda2."
Mayangseto berhenti dan menghela napas, kemudian kembali
memandang dua orang gadis itu bergantian. Ia sudah berusaha untuk
membulatkan tekat dan menyatakan keadaannya, akan tetapi setiap ia
sudah akan membuka mulut dan mengucapkan kandungan hatinya,
terasalah amat berat dan sulit. Oleh karena itu ia kembali ragu2 dan
berbimbang2.
Dua orang gadis yang mempunyai tujuan sama ini berdiam diri, dan
selalu memperhatikan gerak-gerik Mayangseto. Sekali2 matanya
memandang wajah pemuda yang dicintai itu, dengan perasaan yang
gelisah disamping timbul harapan agar pemuda ini memilih kepadanya.
Oleh perasaan dan harapannya inilah menyebabkan mereka tidak tenang,
mereka tegang dan ingin sekali segera mendengar keputusannya.
Beberapa saat kemudian terdengarlah Mayangseto melanjutkan :
?Adikku, aku berharap agar kau berdua tidak cepat salah sangka dan
menuduh aku seorang pemuda yang kejam dan sombong. Ketahuilah
adikku, bahwa sebenarnya aku amat kasih dan sayang kepada kalian.
Akan tetapi apa yang kurasakan dan apa yang kuberikan kepadamu, tidak
lebih sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Karena . karena adikku,
hatiku sudah terlanjur diisi oleh seorang gadis lain. "
Seakan disambar oleh sepuluh petir sekaligus Puspitosari dan
Endang Palupi mendengar jawaban Mayangseto itu. Karena jawaban ini
tidak pernah diharapkan. Mimpipun tidak bahwa cintanya kepada
Mayangseto tidak terbalas. Padahal mereka sebagai gadis, dan berwajah
menarik pula. Adalah suatu penghinaan dan pengorbanan yang amat
besar sebagai gadis sudah berani mendahului, sudah berani melanggar52
adat, sudah berani menyatakan cinta, tetapi ternyata masih ditolak. Oleh
perasaan yang amat sedih menyesak dadanya itu kemudian, mereka
tidak kuasa menahan air inata. Mereka menjatuhkan diri kemudian duduk
sambil menangis tersedu2.
Trenyuh sekali hati Mayangseto menyaksikan Endang Palupi dan
Puspitosari menangis demikian ini. Ia tidak pernah menyangka sedikitpun
bahwa didalam kedewasaannya akan mcnghadapi peristiwa2 sedemikian
rupa. Ditempatkan kepojok yang agak sulit. Namun demikian, ia seorang
pemuda yang sudah dididik untuk menjadi seorang pemuda sejati,
seorang pemuda yang tidak berrobah2 pendiriannya. Ucapan dan hatinya
selalu sama, sehingga bagaimanapun pula ia tidak akan mau menipu diri
sendiri.
Maka bagaimanapun pula pendiriannya tidak akan berobah. Ia akan
tetap berpegang teguh kepada jeritan hatinya yang mencintai Widowati.
Apapun yang terjadi akan dihadapinya dengan hati yang bulat dan tetap.
Tetapi kemudian terjadilah perobahan yang amat mendadak.
Endang Palupi menghentikan tangisnya, dan terdengarlah bentakannya
yang nyaring bercampur isak : ?Pemuda sombong, pemuda tak mengenal
budi! Lebih baik aku mati daripada kau siksa begini!"
Ia meloncat berdiri, dan masih dengan mata yang basah ia menatap
Mayangseto amat tajam. Gadis ini sekarang marah sekali, oleh penolakan
Mayangseto yang tidak pernah dimimpikannya itu. Maka dengan gerak
yang amat cepat ia sudah mencabut pedangnya, siap antuk menyerang
Mayangseto.
Mendengar bentakan itu, Puspitasari terkejut dan mengangkat
kepalanya. Lalu ia meloncat berdiri pula, mengambil dayung bajanya,
dengan mata yang merah berapi. Bentakan Endang Palupi itu seakan
menyadarkan hatinya, menganpa harus menangis dan beriba kepada
pemuda yang sudah menolak cintanya ini.
Karena itu terdengarlah kemudian teriak Puspitosari yang nyaring :
?Pemuda celaka! Sikapmu menyakitkan hati benar2. Aku tak sudi
menderita hinaan seberat int. Lebih baik aku atau kau yang harus mati".
Pedang Endang Palupi dan dayung baja Purpitosari cepat
menyerang Mayangseto.
Akan tetapi Mayangseto tetap berdiri dengan tenang. Ia sudah
mempunyai keputusan yang bulat, lebih baik terhunjam oleh pedang
Endang Palupi dan terobek oleh dayung baja Puspitosarl. Karena itu ia
tidak mau menghindar maupun menangkis. Biarlah mati ditangan dua
orang gadis ini.
Namun sebaliknya Puspitosari dan Endang Palupi, ketika
menyaksikan Mayangseto berdiam diri tak menghindar, mereka sendiri
menjadi terkejut. Bagaimanapun mereka marah dan bertekad untuk
memilih mati, namun rasa cinta yang sudah mendalam itu sulit untuk53
ditipu.
Baik Puspitosari maupun Endang Palupi seperti mendapatkan aba,
untuk membatalkan serangannya. Akan tetapi celakanya bahwa gerakan
mereka tadi merupakan gerakan yang sungguh2 dan didorong oleh rasa
marah yang meluap2. Maka sekalipun mereka berusaha menahan
senjatanya, sulit juga dilakukan.
Dua orang gadis ini masing2 sudah menjerit penuh rasa khawatir.
Karena jarak senjata mereka sudah amat dekat sekali.
Pada saat yang berbahaya ini, tiba2 terdengar suara ketawa yang
sejuk. Lalu Puspitosari dan Endang Palupi merasa tertahan oleh kekuatan
yang maha besar. Bersamaan dengan itu dua orang laki2 tua sudah
berdiri tidak jauh dari tempat Puspitosari dan Endang Palupi berdiri. Dua
orang tua ini bukan Iain Menak Jolosengoro dan Resi Duhkito, yang
sebenarnya sudah lama mendengar percakapan mereka. Baik Resi
Duhkito maupun Menak Jolosengoro merasa terharu mendengar
percakapan mereka itu. Namun juga tidak dapat menyalahkan
Mayangseto yang tetap pada pendiriannya. Karena seseorang mempunyai
hak untuk memilih dan menolak. Sebagai orang2 tua yang sudah
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpengalaman dan luas berfikir, tidak dapat memaksa.
Kehadiran dua orang tua itu ternyata dapat dipergunakan oleh
Puspitosari dan Endang Palupi menumpahkan perasaan. Dua orang gadis
ini segera memeluk guru dan ayahnya sambil menangis ter-isak2.
Mayangseto memberi hormat, dan kemudian berdiri mematung
tanpa dapat mengucapkan kata2. Ia menjadi bingung apa yang harus
diucapkan kepada dua orang tua yang amat dihormati ini.
Mendadak Menak Jolosengoro ketawa perlahan, dan kemudian
terdengar katanya tertuju kepada Resi Duhkito: ?Adi Resi Duhkito,
apakah kau tidak menjadi sedih jika menghadapi kedewasaan anak2 dan
sudah bicara soal cinta? Gara2 cinta, berapa sajakah nyawa manusia
menjadi korban ? Dan kalau saja aku dan adi tidak bertindak cepat,
apakah hari ini tidak bertambah lagi korban baru gara2 cinta?"
Resi Duhkitopun ketawa lalu menyaut ?Katamu benar kakang,
memang demikianlah kenyataannya. Orang dapat menangis orang dapat
terharu, orang dapat sedih, orang dapat gembira karena cinta. Akan
tetapi orang juga bisa marah dan lupa segalanya karena cinta. Hem,
mengapa kau tadi akan membunuh Mayangseto, anakku?"
Endang Palupi tidak dapat menjawab. Hanya makin mempererat
pelukannya kepada ayah, dan muka makin dibenamkan kedadanya.
Demikian pula Puspitosari, ia juga berbuat sama seperti yang dilakukan
Endang Palupi. Bagaimanapun pula dua orang gadis ini amat mencintai
Mayangseto. Maka apabila tadi benar2 terjadi, senjata mereka merobek
kulit pemuda ini. Tidak urung mereka juga akan menjadi menyesal dan
sulit diobati.54
Menak Jolosengoro maupun Resi Duhkito menghela napas dalam2.
Agak lama suasana hanya dicekam oleh suara isak Puspitosari dan
Endang Palupi.
Tiba2 Mayangseto memandang bergantian kepada Menak
Jolosengoro maupun Resi Duhkito, dan dengan suara menggeletar ia
berkata: ?Bapa Resi dan bapa Menak Jolosengoro. Dengan senang hati
saya akan menerima hukuman bapa. Karena hatiku tidak dapat dipaksa
untuk mencintai Puspitotari maupun Endang Palupi. Terus terang saya
akui bahwa saya sudah terlanjur mencintai Widowati puteri paman
Wirengpati."
Terdengar Resi Duhkito maupun Menak Jolosengoro ketawa
mendengar pernyataan Mayangseto itu. Yah, siapa yang tidak akan
ketawa justru tidak bersalah kok minta dihukum. Apakah mencintai
seseorang itu salah? Dan menolak cinta seseorang itu salah ?
?Mayangseto," Resi Duhkito berkata lembut, ?hanya seorang yang
berpandangan picik dan sempit saja anak gadisnya ditolak dalam cintanya
marah2. Persoalan cinta adalah persoalan yang rumit. Cinta yang
dipaksakan tidak akan dapat mendatangkan bahagia. Bukan melulu cinta
anakku, apapun yang dipaksakan tidak akan baik. Karena itu maka
akupun juga tidak akan memaksamu. Kau bebas menentukan pilihan
hatimu. Maka kau tidak usah merasa bersalah. Kalau bicara soal salah,
sebenarnya malah Puspitosari dan Endang Palupilah yang salah, mengapa
mencintai orang yang tidak cinta."
?Betul adi, katamu betul sekali." Menak Jolosengoro setuju seraya
ketawa lebar. ?Memang begitulah sebenarnya, bahwa salahlah apabila
memaksa Mayangseto untuk menerima cinta Puspitosari dan Endang
Palupi"
Kemudian Menak Jolosengoro memandang kepada muridnya, lalu
menghibur: ?Sudahlah Sari, jangan kau menangis. Agaknya memang
nasibmu yang buruk, dalam umurmu semuda ini sudah harus menderita
kepahitan hidup yang sangat. Akan tetapi anakku, anggaplah bahwa apa
yang kau derita sekarang ini bukan apa2.
Dan mudah2an Tuhan selalu menyertaimu."
Puspitosari masih tetap terisak sambil menyembunjikan muka pada
dada gurunya. Demikian pula Endang Palupi masih juga terisak didalam
pelukan ayahnya. Mayangseto amat terbaru mendengar suara tangis
gadis disamping pula merasa terharu mendengar kata2 orang tua yang
bijaksana itu.
Sesudah agak lama orang2 tua itu menghibur anak dan muridnya,
maka kemudian Resi Duhkito berkata : ?Mayangseto, sudahlah kau
jangan menyusahkan hatimu. Anggaplah segala peristiwa ini tidak pernah
terjadi. Dan sekarang aku dan Endang Palupi akan pulang". ?
?Bapa . adi ...."55
Tetapi kerongkongannya seakan tersumbat. Ia tidak dapat
mengucapkan kata2 kecuali hanya dua patah itu saja. Resi Duhkito
tersenyum sedang Endang Palupi hanya memandang tanpa berkata.
Menak Jolosengoro ketawa menyaksikan Mayangseto itu dan
kemudian ia berkata : ?Hem, tiada pertemuan tanpa perpisahan. Maka
akupun juga tidak dapat lama2 disini, Aku dan Puspitosari akan
melanjutkan perjalanan".
?Kemana bapa?" Mayangseto bertanya.
?Entahlah! Aku tiada tujuan tertentu".
?Apakah tidak sebaiknya bapa menuju ke Mataram saja?
Panembahan Senopati akan menerima kedatangan bapa dengan senang
hati".
Menak Jolosengoro ketawa lebar, dan kemudian menjawab: ?Hem,
sudah sejak lama aku hidup bebas seperti burung. Sulitlah kiranya aku
merobah cara hidupku ini dalam waktu singkat. Maka biarlah aku masih
meneruskan cara hidupku ini dahultu. Entahlah kemudian hari, aku tidak
tahu, Namun demikian sampaikanlah kepada Panembahan Senopati,
bahwa aku Menak Jolosengoro selalu akan membantu perjoangannya".
?Terimakasih bapa".
Mayangseto agak terkejut ketika Puspitosari sudah mencemplak
kudanya si Bayu. Akan tetapi ia tidak berani melarang, karena belum lupa
bahwa kuda tersebut pemberian ayah Puspitosari. Meskipun sebenarnya
ia merasa kasih terhadap kuda itu, namun Mayangseto rela juga apabila
kuda tersebut kembali kepada pemilik yang lama. Tanpa kuda ia tidak
apa2, sebaliknya bagi seorang gadis seperti Puspitosari kiranya amat
diperlukan.
Dengan langkah agak tersaruk Mayangseto meningalkan tempat
yang menyedihkan itu menuju Mataram. Hatinya terasa sedih dan segala
kegembiraan musna tiada bekas. Pemandangan alam yang indah dan
menarik hati itu, sama sekali tidak berhasil menarik perhatiannya dan
malah makin menimbulkan rasa sedih. Karena biasanya Endang Palupi
yang suka mengagumi keindahan alam itu banyak bicara dan menyatakan
kekagumannya, sekarang tidak lagi menyertai perjalanan. Ia merasa aepi
sekarang, berjalan seorang diri menyusuri hutan.
Pada saat benaknya terpenuhi oleh persoalan cinta yang dihadapi
ini, terdengarlah suara ketawa merdu mirtp perempuan. Ia memalingkan
muka, dan tampaklah Bondansari dengan dua orang gadis muridnya
sedang duduk diatas batu besar dipinggir kali.
Mayangseto memberi hormat, dan bertanyalah kemudian : ?Paman
akan kemana?"
Bondansari ketawa lagi, suaranya merdu. Sedang Minten dan Mirah
tersenyum2 kecil memandang gurunya. Baru sesudah ia berhenti ketawa.
menjawablah orang tua ini : ,Aku memang sengaja menyusul56
kepergianmu sesudah selesai pekerdaan di Watulawang. Semuanya sudah
beres anakku, gadis2 yang ditawan Jalujinggo sudah kusuruh kembali
pulang, sedang kepada bekas anak buah Jalujinggo kuberi nasihat agar
sadar. Mengenai seorang anak Jalujinggo yang menderita lumpuh sejak
lahir itu, maafkanlah aku",
?Mengapa paman?" Mayangseto heran.
?Hem, adikmu Minten dan Mirah inl tidak dapat kucegah sudah
membunuhnya."
Mayangseto terkejut, dan bertanya cepat: ,Mengapa harus,
dibunuh, justru ia lumpuh?"
?Hem, Minten dan Mirah amat mendendam kepadanya. Ah, kiranya
kau tidak tahu bahwa ketika muridku ini didalam tawanannya, pemuda
lumpuh itu mau memaksanya untuk diperisterikan. Tetapi Minten dan
Mirah berhasil memberontak, dan berakibat disiksa dengan pukulan rotan
sampai sepuluh kati. Hem, bayangkan penderitaan muridku ini oleh
pukulan2 itu. Mereka menderita sakit karena kulitnya pecah dan luka.
Untung kemudian, sesudah Minten dan Mirah sembuh oleh Jalujinggo
dihadiahkan kepada dua Penewu Pajang. Dijalan dapat kutolong, sampai
sekarang menjadi muridku. Apakah Minten dan Mirah dapat kucegah
untuk membunuh?"
Mayangaeto menarik napas panjang. Ia tidak dapat lagi
menyalahkan gadis yang mendendam, akibat perlakuan yang tidak
senonoh itu.
?Dan yang penting aku menyusulmu ini Mayangseto," sambung
Bondansari. ?Sebenarnya aku merasa khawatir akan keadaanmu. Tetapi
legalah hatiku sesudah aku tadi melihat Menak Jolosengoro dan Resi
Duhkito tidak marah. Ah, gara2 kau berwajah tampan anakku, beberapa
orang gadis mencintaimu." Lalu Bondansari berpaling kepada dua
muridnya, kemudian melanjutkan : ?Tetapi kau tidak usah khawatir, dua
orang muridku ini tidak ikut2 jatuh cinta kepadamu."
Mendengar kelakar Bondansarl itu, Mayangseto tersenyum. Sedang
Minten dan Mirah dengan sikapnya yang manja sudah menghujani cubitan
kepada Bondansari sambil bersungut2 karena malu.
?Ah, sakit ah. Mengapa kamu mencubit aku?" tanya Bondansari
sambil menghalau cubitan.
?Kakek selalu menggoda saja," Minten bersungut.
Bondansari ketawa merdu, Terhadap muridnya ini ia memang
bersikap sebagai kakek terhadap cucunya. Orang tua ini amat kasih dan
memanjakan, kerena ia merasa bahagia sesudah mempunyai murid
Minten dan Mirah. Ia hidup seorang diri dan tidak pernah kawin, maka
dengan ditemukannya Minten dan Mirah ia merasa mendapatkan keluarga
yang dapat diajak dalam suka dan duka. Dan sejak ia mempunyai dua
murid ini, ia sendiri merasa selalu dalam keadaan senang. Minten dan57
Mirah selalu berhasil menghibur dan menggoda setiap Bondansari
bersedih.
Tidak lama kemudian Bondansari berkata lagi: ?Anakku, disamping
itu. Ada dua hal yang perlu kubicarakan dengan kau. Pertama keris
pusaka ?Setan- kober" yang berhasil kurampas tangan Jogosatru dan
tidak kau urus. Sekarang sudah kubawa dan aku serahkan kepadamu.
Yang kedua, tentang bende Ki Bicak yang pernah dicuri Ki Jogosatru."
Mayangseto terkejut, lalu bertanya cepat: ?Paman sudah berhasil
menemukan bende itu? Kapan dan dimana paman dapat menemukan?"
Bondansari tersenyum, kemudian menjawab : ?Hem, sebenarnya
aku hanya sekedar membantumu. Bukankah kau sendiri yang berhasil
menghancurkan Krendawahana ? Tetapi agaknya kau lupa tentang bende
itu. Bende itu dilarikan oleh salah seorang anak buah Wirotaksoko.
Untunglah ia kepergok dengan aku. Maka bende itu berhasil
kuselamatkan. Dan sekarang anakku, keris dan bende itu kuserahkan
kepadamu, untuk kau sampaikan kepada Panembahan Senopati".
Dengan amat terharu ia menerima penyerahan keris dan bende itu
dari Bondansari. Masih jelas terbayang dalam ingatan Mayangsato bahwa
dahulu ia pernah bertempur hampir semalam suntuk dilereng Merapi.
Karena Bondansari sangat dendam kepada Kiageng Gunturselo. Tetapi
ternyata sesudah Kiageng Gunturseto meninggal, Bondansari menjadi
berobah. Bukannya membenci, malahan sekarang merupakan seorang
tua yang banyak membantu.
Keris itu oleh Bondansari sudah diberi rangka dari kayu untuk
sarung sementara. Sedangkan bende Ki Bicak juga sudah diberi sarung
dari kain sutera kuning yang indah dipandang.
?Terimakasth paman, atas bantuan yang sudah diberikan
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepadaku". Kata Mayangseto seraya menghormat.
Bondansari ketawa merdu, dan kemudian jawabnya : ?Ah kau
terlalu merendahkan diri anakku. Apa yang sudah kulakukan belum
nempil jika dibandingkan dengan jasamu terhadap bangsa dan negara.
Ah, sudahlah kuranya tidak perlu berpanjang. Sampai bertemu lagi
Mayangseto".
Bondansari menggandeng tangan Minten dan Mirah, kemudian
berjalan meninggalkan Mayangseto yang masih berdiri tertegun. Bende Ki
Bicak dan keris ?Setankober" itu kemudian disimpan Mayangseto. Ia
merasa bersyukur bahwa keris pusaka Harya Panangsang itu dapat lepas
dari tangan Ki Jogosatru. Sehingga hal2 yang amat dikhawatirkan dapat
dihindarkan.
Sampai disini kita akhiri dahulu cerita ini dan kita lanjutkan dengan
cerita berjudul pusaka sakti ?Setan Kober dan Barukuping".
--- T A M A T ---58
Sala, Juli 1967.
(TAMAT).
Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama