Ceritasilat Novel Online

Kisah Singkat Bree Tanner 1

Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer Bagian 1



KISAH SINGKAT BREE TANNER

THE SHORT SECOND LIFE OF BREE TANNER

by Stephenie Meyer

Copyright ? 2010 by Stephenie Meyer

is edition published by arrangement with

Little, Brown and Company, New York,

New York, USA

All rights reserved.

KISAH SINGKAT BREE TANNER

Alih bahasa: Monica Dwi Chresnayani

GM 312 01 10 0037

Hak cipta terjemahan Indonesia:

PT Gramedia Pustaka Utama

Jl. Palmerah Barat 33?37, Jakarta 10270

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

anggota IKAPI

Jakarta, September 2010

200 hlm; 20 cm

ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 6137 - 0

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab percetakan

Untuk Asya Muchnick dan Meghan Hibbett

7

ebook by

www.facebook.com/indonesiapustaka

bacaan-indo.blogspot.com

PRAKATA

Tidak ada penulis di dunia ini melakukan hal yang persis

sama. Kami terinspirasi dan termotivasi dengan cara berbeda-beda; kami memiliki alasan sendiri mengapa beberapa

karakter melekat sementara karakter-karakter lain lenyap

di antara kumpulan berkas yang terbengkalai. Secara pribadi aku tak pernah mengerti mengapa beberapa karakterku

bertahan hidup begitu kuat, tapi aku selalu senang bila itu

terjadi. Karakter-karakter itulah yang paling mudah ditulis,

dan kisah merekalah yang biasanya rampung kugarap.

Bree adalah salah satu karakter itu, dan dialah alasan

utama mengapa kisah ini sekarang berada di tanganmu, tidak lenyap di tengah belantara berkas yang terlupakan dalam komputerku. (Dua alasan lain bernama Diego dan

Fred.) Aku mulai berpikir tentang Bree saat menyunting

Eclipse. Menyunting, bukan menulis?ketika aku menulis

8

draft pertama Eclipse, mataku tertutup oleh perspektif orang

pertama; apa pun yang tak bisa dilihat, didengar, diraba,

dirasa, atau disentuh Bella tidak relevan. Cerita itu merupakan pengalamannya sendiri.

Langkah berikut dalam proses penyuntingan adalah keluar dari sosok Bella dan melihat bagaimana cerita mengalir. Editorku, Rebecca Davis, berperan besar dalam proses

tersebut, dan ia mengajukan banyak pertanyaan tentang

hal-hal yang tidak diketahui Bella serta bagaimana kami

bisa membuat bagian-bagian yang tepat dari cerita itu menjadi lebih jelas. Karena Bree satu-satunya vampir baru yang

bisa dilihat Bella, perspektif Bree-lah yang pertama kali

membuatku tertarik saat aku memikirkan apa yang berlangsung di belakang layar. Aku mulai memikirkan bagaimana

rasanya hidup di ruang bawah tanah bersama para vampir

baru dan berburu dengan gaya tradisional vampir. Aku

membayangkan dunia sebagaimana Bree memahaminya.

Dan mudah saja melakukannya. Sejak awal Bree sudah sangat jelas sebagai karakter, dan tanpa mengalami kesulitan

berarti, beberapa temannya pun mendadak hidup dengan

mudahnya. Memang begitulah yang biasanya terjadi: aku

mencoba menulis sinopsis singkat tentang apa yang terjadi

di satu bagian lain cerita, dan yang terjadi aku malah menuliskan dialog-dialognya. Dalam kasus ini, alih-alih membuat sinopsis, aku malah menulis satu hari dalam kehidupan Bree.

Menulis tentang Bree adalah pengalaman pertamaku menempatkan diri dalam posisi narator yang adalah vampir

9

"sesungguhnya"?seorang pemburu, monster. Aku memandang melalui matanya yang merah kepada kita manusia;

tiba-tiba saja kita terlihat menyedihkan dan lemah, mangsa

yang mudah ditaklukkan, yang tidak memiliki arti penting

apa pun kecuali sebagai makanan lezat. Aku merasakan

bagaimana rasanya sendirian saat dikelilingi musuh, selalu

berjaga-jaga, tak pernah merasa yakin akan apa pun kecuali

bahwa hidupnya selalu dalam bahaya. Aku menenggelamkan

diri sepenuhnya dalam sekelompok vampir yang berbeda:

vampir baru. Kehidupan vampir baru belum sempat kujelajahi?bahkan ketika Bella akhirnya menjadi vampir.

Bella tak pernah menjadi seperti Bree ketika jadi vampir

baru. Kehidupannya menarik, gelap, dan akhirnya, tragis.

Semakin mendekati akhir cerita, semakin aku berharap seandainya saja aku membuat akhir kisah Eclipse sedikit berbeda.

Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu tentang Bree. Ia

hanya karakter kecil yang terkesan sepele dalam Eclipse. Ia

hanya hidup selama lima menit dalam perspektif Bella. Namun kisahnya begitu penting bagi pemahaman novel itu.

Kalau kau membaca adegan dalam Eclipse saat Bella menatap Bree, menilainya sebagai masa depan yang mungkin

bakal dilakoninya kelak, pernahkah kau memikirkan apa

yang membawa Bree kepada saat itu? Ketika Bree membalas tatapan Bella, pernahkah terpikir olehmu bagaimana

Bella dan keluarga Cullen terlihat di matanya? Mungkin

tidak. Tapi kalaupun itu terpikir olehmu, aku berani bertaruh kau takkan menduga rahasia-rahasianya.

10

Kuharap akhirnya kau akan menyayangi Bree sama seperti aku menyayanginya, walaupun harapan itu terasa kejam. Kau tahu ini: kisahnya tidak berakhir bahagia. Tapi

setidaknya kau akan mengetahui keseluruhan kisahnya.

Dan bahwa tak ada perspektif yang benar-benar sepele.

Selamat menikmati,

Stephenie

11

HEADLINE surat kabar menatapku garang dari kotak besi

mesin penjual otomatis: SEATTLE DITEROR PEMBATAIAN?JUMLAH KORBAN KEMBALI MENINGKAT. Aku belum melihat surat kabar yang satu ini. Pasti

mesinnya baru diisi oleh loper koran. Dia beruntung, karena tidak berada di sekitar sini sekarang.

Hebat. Riley bakal marah besar. Aku akan memastikan

tidak berada di dekatnya saat ia membaca koran ini. Biar

ia memutuskan lengan orang lain saja.

Aku berdiri dalam lindungan bayang-bayang di belakang

sudut bangunan kumuh tiga lantai, berusaha tidak menarik

perhatian sambil menunggu seseorang mengambil keputusan. Tak ingin bertatapan dengan siapa pun, aku memilih memandangi dinding di sampingku. Lantai dasar gedung ini ditempati toko kaset yang sudah lama tutup:

etalase-etalasenya, yang bolong karena dimakan cuaca atau

12

kekerasan jalanan, ditutupi tripleks. Bagian atasnya ditempati beberapa apartemen?dugaanku kosong, karena tak

terdengar suara-suara normal manusia tidur. Aku tak

heran?tempat ini kelihatannya bakal roboh hanya karena

tertiup angin. Gedung-gedung di seberang jalan yang sempit dan gelap ini juga sama bobroknya.

Pemandangan normal kota di malam hari.

Aku tak ingin bersuara dan menarik perhatian, tapi aku

berharap ada yang segera mengambil keputusan. Aku sangat haus, dan aku tidak terlalu peduli apakah kami pergi

ke kanan atau ke kiri atau ke atas atap. Aku hanya ingin

bertemu orang tidak beruntung yang bahkan tak sempat

berpikir salah tempat, salah waktu.

Sayangnya malam ini Riley mengirimku keluar bersama

dua vampir paling tak berguna yang pernah ada. Riley tampaknya tak peduli siapa yang dikirimnya keluar untuk berburu berkelompok. Atau merasa terganggu bila mengirim

orang-orang yang tidak tepat dalam satu kelompok berarti

lebih sedikit yang bakal pulang. Malam ini aku terpaksa

pergi bersama Kevin dan cowok pirang yang namanya aku

tak tahu. Mereka sekelompok dengan Raoul, jadi tidak

perlu dikatakan lagi bahwa mereka tolol. Dan berbahaya.

Tapi sekarang ini, lebih tepat dibilang tolol.

Alih-alih menentukan mau berburu ke mana, mereka

malah ribut memperdebatkan superhero favorit mana yang

bisa menjadi pemburu lebih baik. Si cowok pirang tak bernama mendemonstrasikan gerak-gerik ala Spider-Man,

memanjat dinding bata lorong sambil menggumamkan lagu

13

tema film kartunnya. Aku mengembuskan napas frustrasi.

Kapan berburunya?

Mataku menangkap sekelebat gerakan di sebelah kiri.

Vampir lain yang juga dikirim Riley untuk berburu dalam

kelompok ini. Diego. Aku tidak terlalu mengenalnya, hanya

bahwa ia lebih tua daripada sebagian besar lainnya. Tangan

kanan Riley, istilahnya begitu. Itu tidak membuatku lebih

menyukainya daripada anak-anak tolol lain.

Diego menatapku. Ia pasti mendengar desahanku tadi.

Aku membuang muka.

Tundukkan kepala dan tutup mulutmu?begitulah cara

bertahan hidup dalam kelompok Riley.

"Spider-Man sih pecundang cengeng," seru Kevin pada si

cowok pirang. "Akan kutunjukkan bagaimana superhero sejati berburu." Ia nyengir lebar. Giginya berkilau tertimpa

cahaya lampu jalan.

Kevin melompat ke tengah jalan tepat saat lampu sebuah

mobil berputar dan menerangi retakan di trotoar dengan

cahaya biru-putih. Ia meregangkan kedua lengan ke belakang, lalu pelan-pelan menyatukannya ke depan seperti saat

pegulat profesional memamerkan otot-ototnya. Mobil itu

terus melaju, mungkin berharap ia bakal minggir seperti

lazimnya orang normal. Seperti yang seharusnya ia lakukan.

"Hulk gila!" raung Kevin. "Hulk... TABRAK!"

Ia menerjang menyongsong mobil sebelum mobil itu sempat mengerem, menyambar bumper depannya, dan menjungkirbalikkannya di atas kepala hingga jatuh ke trotoar

14

diiringi denting metal tertekuk dan kaca pecah berderai. Di

dalamnya, seorang wanita mulai menjerit.

"Oh man," ucap Diego, menggelengkan kepala. Ia tampan,

dengan rambut ikal lebat berwarna gelap, sepasang mata

besar dan lebar, serta bibir penuh, tapi siapa sih yang tidak

tampan? Bahkan Kevin dan anak-anak tolol di kelompok

Raoul lainnya juga tampan. "Kevin, seharusnya kita tidak

menarik perhatian. Kata Riley?"

"Kata Riley!" Kevin menirukan dengan suara soprano

yang terdengar kasar. "Tenang sajalah, Diego. Riley tidak

ada di sini."

Kevin menerjang Honda yang terbalik itu dan meninju

kaca jendela di samping pengemudi, yang entah bagaimana

tetap utuh hingga detik itu. Ia merogohkan tangan melalui

kaca yang pecah berantakan dan air bag yang kempis untuk

menjangkau pengemudinya.

Aku berbalik dan menahan napas, berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kemampuanku berpikir.

Aku tak sanggup menonton Kevin makan. Aku terlalu

haus untuk itu, dan aku benar-benar tidak ingin cari garagara dengannya. Jangan sampai aku jadi sasaran amukan

Raoul.

Si cowok pirang tidak memiliki masalah yang sama denganku. Ia melompat dari dinding bata di atas kepalaku

dan mendarat ringan di sampingku. Aku mendengarnya

dan Kevin saling menggeram-geram, disusul suara sesuatu

terkoyak basah seiring berhentinya jeritan si wanita. Mungkin mereka mengoyak tubuh wanita itu menjadi dua.

15

Aku berusaha tidak memikirkannya. Tapi aku bisa merasakan panasnya dan mendengar suara menetes-netes di

belakangku, dan itu membuat kerongkonganku terbakar

sangat panas walaupun aku tidak bernapas.

"Aku cabut dulu," kudengar Diego bergumam.

Ia merunduk memasuki celah sempit di antara bangunan-bangunan gelap itu, dan aku menempel ketat di

belakangnya. Kalau tidak pergi dari sini secepatnya, aku

pasti akan berkelahi dengan para kroni Raoul, memperebutkan mayat yang nyaris kehabisan darah itu. Kemudian

mungkin justru akulah yang tidak pulang.

Ugh, tapi kerongkonganku seperti terbakar! Kukatupkan

rahangku kuat-kuat agar tidak berteriak kesakitan.

Diego melesat melewati gang sempit penuh sampah, kemudian?saat berhadapan dengan jalan buntu?menaiki

dinding. Kucengkeramkan jari-jariku pada retakan-retakan
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di antara batu bata dan mengangkat tubuhku mengikutinya.

Di puncak atap Diego melejit, melompat ringan ke atapatap bangunan lain menuju lampu-lampu gemerlapan yang

memancar dari selat. Aku menempel ketat di belakangnya.

Aku lebih muda darinya, jadi lebih kuat?untunglah kami

yang lebih muda adalah yang paling kuat, kalau tidak kami

tak mungkin bertahan hidup melewati minggu pertama di

rumah Riley. Sebenarnya aku bisa dengan mudah mendahuluinya, tapi aku ingin tahu ia hendak menuju ke mana,

dan aku tidak ingin ia berada di belakangku.

Diego terus berlari hingga berkilo-kilometer jauhnya;

16

kami hampir sampai di dermaga industri. Aku bisa mendengarnya menggerutu pelan.

"Dasar idiot! Riley memberi kita instruksi karena ada

alasannya. Penyelamatan diri, misalnya. Apakah terlalu berlebihan meminta sedikit saja akal sehat?"

"Hei," seruku. "Kita mau berburu atau tidak? Kerongkonganku sudah terbakar."

Diego mendarat di pinggir atap pabrik yang luas, lalu

berbalik. Aku melompat mundur beberapa meter, waspada,

tapi Diego tidak membuat gerakan yang agresif ke arahku.

"Yeah," jawabnya. "Aku hanya ingin ada jarak di antara

aku dan orang-orang sinting itu."

Ia tersenyum, sikapnya ramah, dan aku menatapnya.

Diego sama sekali tidak seperti yang lain. Ia agak... kalem, kurasa itulah kata yang tepat. Normal. Tidak normal

sekarang, tapi normal sebelumnya. Matanya merah, lebih

gelap daripada mataku. Ia pasti sudah lumayan lama menjadi vampir, seperti yang pernah kudengar.

Dari jalanan di bawahku terdengar kemeriahan malam

hari di kawasan kumuh Seattle. Beberapa mobil, musik berdentum-dentum, dua orang berjalan dengan langkahlangkah gugup dan cepat, gelandangan mabuk bernyanyi

dengan suara sumbang di kejauhan.

"Kau Bree, kan?" tanya Diego. "Salah seorang anak

baru."

Aku tidak suka sebutan itu. Anak baru. Terserahlah.

"Yeah, aku Bree. Tapi aku tidak datang bersama kelompok

terakhir. Aku sudah hampir tiga bulan."

17

"Lumayan juga untuk ukuran vampir tiga bulan," katanya.

"Tidak banyak yang sanggup meninggalkan lokasi kecelakaan seperti itu." Ia mengatakannya seperti memuji, seolaholah ia benar-benar terkesan.

"Tidak mau cari gara-gara dengan para pecundang

Raoul."

Diego mengangguk. "Setuju. Jenis mereka hanya berarti

kabar buruk."

Aneh. Diego memang aneh. Ia terdengar seperti orang

normal yang mengobrol biasa. Tak ada kegarangan, tak ada

kecurigaan. Seakan-akan ia tidak berpikir tentang sulittidaknya membunuhku sekarang juga. Ia hanya mengobrol

denganku.

"Sudah berapa lama kau bersama Riley?" tanyaku ingin

tahu.

"Sudah jalan sebelas bulan sekarang."

"Wow! Itu berarti lebih tua daripada Raoul."

Diego memutar bola mata dan meludahkan bisa ke pinggir bangunan. "Yeah, aku ingat waktu Riley membawa sampah itu. Keadaan semakin buruk saja setelah itu."

Aku terdiam sejenak, bertanya-tanya dalam hati apakah

ia menganggap semua orang yang lebih muda darinya sampah. Bukan berarti aku peduli. Aku tak peduli lagi apa

pendapat orang. Tidak perlu. Seperti kata Riley, sekarang

aku sudah jadi dewa. Lebih kuat, lebih cepat, lebih baik.

Orang lain tak ada artinya.

Lalu Diego bersiul pelan.

18

"Itu dia. Hanya perlu sedikit otak dan kesabaran." Ia menuding ke bawah, ke seberang jalan.

Separuh tersembunyi di balik tikungan lorong yang gelap

gulita, tampak seorang laki-laki memaki-maki seorang wanita dan menamparinya, sementara wanita yang lain menonton tanpa bersuara. Dari pakaian mereka, bisa kutebak

mereka adalah germo dan dua pelacurnya.

Ini cocok dengan instruksi yang diberikan Riley kepada

kami. Buru para sampah masyarakat. Cari manusia yang

tidak bakal dicari, yang tidak ditunggu di rumah oleh keluarganya, yang tidak akan dilaporkan hilang oleh siapa

pun.

Begitulah cara yang digunakannya saat memilih kami.

Makanan dan dewa, keduanya sama-sama sampah masyarakat.

Tidak seperti sebagian yang lain, aku masih mematuhi

instruksi Riley. Bukan karena aku suka padanya. Perasaan

itu sudah lama hilang. Tapi karena perkataannya kedengaran benar. Masuk akalkah menarik perhatian orang

pada sekelompok vampir baru yang mengklaim Seattle sebagai medan perburuan mereka? Apakah itu menguntungkan bagi kami?

Aku bahkan tidak percaya vampir ada sebelum aku sendiri menjadi vampir. Jadi bila seisi dunia tidak percaya vampir ada, itu artinya vampir-vampir lain pasti berburu dengan cara yang cerdik, seperti yang diinstruksikan Riley

kepada kami. Mungkin mereka punya alasan sendiri.

19

Dan seperti dikatakan Diego tadi, berburu dengan cara

cerdik hanya membutuhkan sedikit otak dan kesabaran.

Tentu saja kami sering terpeleset, dan Riley akan membaca surat kabar yang memuat berita soal itu, mengerang,

dan memaki kami dan memecahkan barang-barang?peralatan video game favorit Raoul, misalnya. Kemudian Raoul

bakal marah dan melampiaskannya pada vampir lain lalu

membakarnya. Kemudian Riley akan kesal dan melakukan

penggeledahan untuk menyita semua pemantik dan korek.

Setelah kejadian seperti ini terjadi beberapa kali, Riley akan

membawa pulang sekelompok sampah masyarakat yang sudah dijadikan vampir untuk menggantikan vampir-vampir

yang telah tewas. Ibarat lingkaran yang tak berujung.

Diego menarik napas melalui hidungnya?tarikan panjang dan dalam?dan kulihat tubuhnya berubah. Ia membungkuk di atas atap, satu tangan mencengkeram pinggiran.

Semua sikap ramahnya yang aneh tadi lenyap, dan ia menjadi pemburu.

Aku mengenali sikap itu, merasa nyaman karena aku memahaminya.

Kumatikan otakku. Sekarang waktunya berburu. Aku

menghela napas dalam-dalam, menghirup aroma darah dalam tubuh manusia-manusia di bawah sana. Mereka bukan

satu-satunya manusia di sekitar sini, tapi merekalah yang

paling dekat. Siapa yang akan kauburu adalah keputusan

yang harus kaubuat sebelum mencium bau mangsamu. Sekarang sudah terlambat untuk memilih.

Diego terjun dari puncak atap, tak terlihat. Suara kaki20

nya yang mendarat di tanah terlalu pelan untuk menarik

perhatian pelacur yang sedang menangis, pelacur yang sedang teler, dan si germo yang marah-marah.

Geraman rendah terlontar dari sela-sela gigiku. Milikku.

Darah itu milikku. Api di kerongkonganku berkobar dan

aku tak bisa memikirkan apa-apa lagi.

Kulemparkan tubuhku dari atas atap, berputar ke seberang jalan sehingga mendarat tepat di sebelah si pirang

yang sedang menangis. Bisa kurasakan Diego menempel

ketat di belakang, sehingga aku menggeramkan peringatan

padanya sambil menjambak rambut gadis yang terkejut itu.

Kusentakkan ia ke dinding gang, menempelkan punggungku

ke gadis itu. Defensif, untuk berjaga-jaga.

Lalu aku lupa sama sekali tentang Diego, karena bisa

kurasakan panas di bawah kulit gadis itu, dan bisa kudengar denyut nadinya yang berkedut-kedut di dekat permukaan.

Gadis itu membuka mulut untuk menjerit, tapi gigiku

meremukkan pipa suaranya sebelum suaranya sempat keluar. Yang terdengar hanya gelegak udara dan darah di

paru-parunya, dan erangan-erangan pelan yang tak dapat

kukendalikan.

Darahnya hangat dan manis. Memadamkan api di kerongkonganku, menenangkan kekosongan di perutku yang

gatal menusuk-nusuk. Aku mengisap dan menelan, nyaris

tak menyadari hal-hal lain di sekelilingku.

Aku mendengar suara-suara dari Diego?ia memangsa

21

si lelaki. Wanita yang satunya tergeletak pingsan di tanah.

Tak satu pun menimbulkan suara. Diego memang lihai.

Masalahnya dengan manusia adalah, darah mereka tak

pernah cukup. Rasanya baru beberapa detik, tahu-tahu tubuh si gadis sudah kering. Kuguncang-guncang tubuhnya

yang terkulai lemas dengan frustrasi. Belum-belum kerongkonganku sudah mulai terbakar lagi.

Kulempar tubuh yang sudah habis kuisap darahnya itu

ke tanah dan membungkuk menempel pada dinding, bertanya-tanya dalam hati apakah aku bisa menyambar gadis

yang pingsan itu dan menghabiskan darahnya sebelum

Diego menangkapku.

Diego sudah selesai mengisap darah si lelaki. Ia menatapku dengan ekspresi yang hanya bisa kulukiskan sebagai... bersimpati. Tapi bisa saja aku salah. Aku tidak ingat

ada yang pernah merasa bersimpati padaku, jadi aku tidak

yakin benar bagaimana rupanya.

"Ambillah," katanya, mengangguk kepada gadis yang tergeletak lemas di tanah.

"Kau bergurau, ya?"

"Tidak, aku sudah kenyang. Kita masih punya waktu

untuk berburu lagi malam ini."

Setelah mengamatinya lekat-lekat untuk mencari-cari

isyarat apakah ia menipuku, aku melesat maju dan menyambar gadis itu. Diego tidak berusaha menghentikanku. Ia

berbalik sedikit dan mendongak ke langit malam.

Kubenamkan gigi-gigiku ke leher si gadis sementara

mataku tetap tertuju kepada Diego. Gadis yang ini jauh

22

lebih lezat daripada yang tadi. Darahnya bersih sama sekali.

Darah si pirang memiliki sisa rasa getir yang lazim bila seseorang menggunakan narkoba?aku sudah sangat terbiasa

dengan itu hingga nyaris tidak memperhatikannya lagi. Jarang sekali aku bisa mendapatkan darah yang benar-benar

bersih, karena aku mengikuti aturan "sampah masyarakat"

itu. Diego tampaknya juga mengikuti aturan. Ia pasti mencium apa yang diberikannya padaku tadi.

Mengapa ia melakukannya?

Ketika tubuh kedua sudah kering, kerongkonganku terasa

lebih baik. Banyak sekali darah dalam tubuhku. Mungkin

kerongkonganku takkan terbakar selama beberapa hari.

Diego masih menunggu, bersiul pelan dari sela-sela gigi.

Saat kulepaskan tubuh gadis itu dan membiarkannya jatuh

ke tanah dengan suara gedebuk pelan, ia berbalik

menghadapku dan tersenyum.

"Mmm, trims," ujarku.

Ia mengangguk. "Kelihatannya kau lebih membutuhkannya daripada aku. Aku masih ingat betapa sulit pada awalnya."

"Apakah kemudian jadi lebih mudah?"

Diego mengangkat bahu. "Dalam beberapa hal."

Kami bertatapan selama satu detik.

"Bagaimana kalau kita buang mayat-mayat ini di selat?"

ia mengusulkan.

Aku membungkuk, menyambar mayat si pirang, dan menyampirkan tubuhnya yang lemas ke pundakku. Aku baru

hendak mengambil mayat gadis satunya, tapi Diego sudah

23

mendahuluiku, padahal mayat si germo juga sudah tersampir di pundaknya.

"Biar aku saja," ujarnya.

Aku mengikutinya menaiki dinding lorong, kemudian

kami berayun menyeberangi balok-balok penyangga di bawah jalan tol. Lampu-lampu mobil di bawah tidak menerpa

kami. Kupikirkan betapa bodohnya manusia, betapa mereka

tidak menyadari apa-apa, dan aku senang karena tidak termasuk di antara mereka.

Tersembunyi dalam gelap, kami menuju dermaga kosong

yang tutup pada malam hari. Diego sama sekali tak ragu

saat tiba di ujung beton, ia langsung melompat dari ujung

dengan bawaannya yang berat dan lenyap ke dalam air. Aku

terjun menyusulnya.

Ia berenang segesit dan secepat hiu, menyelam semakin

dalam dan semakin jauh ke selat yang gelap. Tiba-tiba ia

berhenti saat menemukan yang dicarinya?batu besar berselubung kotoran dasar laut, bintang-bintang laut, dengan

aneka sampah menempel di sisi-sisinya. Berarti kami berada

di kedalaman lebih dari tiga puluh meter?bagi manusia,

keadaan di bawah sini pasti sudah gelap gulita. Diego melepaskan mayat-mayat itu, yang berayun-ayun pelan diterpa

arus, sementara ia menyurukkan tangan ke pasir kotor di

dasar batu. Sejurus kemudian ia menemukan pegangan dan

menyentakkan batu itu dari pijakan. Bobot batu membuatnya tersedot hingga sebatas pinggang ke dalam dasar laut

yang gelap.

Ia menengadah dan mengangguk kepadaku.

24

Aku berenang turun menghampirinya, berpegangan pada
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya dengan satu tangan sambil berenang. Kusurukkan

mayat si pirang ke lubang hitam di bawah batu, lalu sesudahnya mendorong mayat gadis kedua dan si germo.

Kutendang mayat-mayat itu sedikit untuk memastikan

semuanya sudah masuk, kemudian menepi dari lubang.

Diego membiarkan batu besar itu jatuh. Batu itu bergoyang-goyang sedikit, menyesuaikan diri dengan fondasi

baru yang sedikit tidak rata. Diego mengentakkan kaki

keluar dari lumpur, berenang ke atas batu, kemudian mendorongnya, menggilas tonjolan di bawahnya hingga rata.

Ia berenang kembali ke bawah sejauh beberapa meter

untuk mengamati hasil kerjanya.

Sempurna, ia menggerakkan mulut. Ketiga mayat itu takkan pernah timbul ke permukaan. Riley takkan pernah

mendengar berita mengenai mereka di koran-koran.

Ia nyengir dan mengulurkan tangan.

Butuh semenit bagiku untuk menyadari bahwa ia mengajakku tos. Ragu-ragu aku berenang maju, menepukkan

telapak tangan ke telapak tangannya, lalu berenang menjauh, menciptakan jarak di antara kami.

Diego menunjukkan ekspresi aneh di wajahnya, kemudian melesat ke permukaan bagaikan peluru.

Aku mengikutinya, bingung. Waktu aku muncul di permukaan, ia sudah hampir tersedak karena tertawa.

"Apa?"

Sesaat ia tak bisa menjawab. Akhirnya ia berkata, "Tos

paling payah yang pernah ada."

25

Aku mendengus, kesal. "Aku kan tidak bisa memastikan

kau takkan merenggut lenganku sampai putus atau sebangsanya."

Diego mendengus. "Aku tidak akan berbuat begitu."

"Yang lain bisa saja berbuat begitu," tukasku.

"Benar," ia sependapat, tiba-tiba tidak tampak segeli tadi.

"Mau berburu lagi?"

"Kau masih perlu bertanya, ya?"

Kami keluar dari dalam air di bawah jembatan dan langsung beruntung menemukan dua gelandangan yang sedang

tidur di kantong tidur tua, beralaskan koran-koran lama.

Tak seorang pun dari mereka sempat terbangun. Darah

mereka asam karena alkohol, tapi masih lebih baik daripada

tidak ada sama sekali. Kami menguburkan mereka di selat,

di bawah batu lain.

"Well, aku kenyang sampai beberapa minggu ke depan,"

kata Diego setelah kami keluar lagi dari dalam air, menetesneteskan air ke dermaga lain yang juga kosong.

Aku menghela napas. "Kurasa itu bagian yang lebih mudah, bukan? Kalau aku, beberapa hari lagi aku pasti sudah

akan terbakar lagi. Kemudian Riley mungkin akan menyuruhku pergi bersama mutan-mutan Raoul lainnya."

"Aku bisa menemanimu, kalau mau. Riley biasanya membiarkan aku berbuat semauku."

Aku memikirkan tawaran itu, sejenak curiga. Tapi Diego

benar-benar tidak seperti yang lain. Aku merasa berbeda

bersamanya. Seakan-akan aku tak perlu terlalu mengkhawatirkan keselamatanku.

26

"Boleh juga," aku mengakui. Aneh rasanya mengatakan

hal ini. Rasanya terlalu rapuh atau semacamnya.

Tapi Diego hanya berkata "keren" dan tersenyum.

"Jadi kenapa Riley bisa memberimu banyak kelonggaran?"

tanyaku, penasaran ingin mengetahui hubungan mereka.

Semakin sering aku menghabiskan waktu bersama Diego,

semakin sulit aku membayangkan ia akrab dengan Riley.

Soalnya Diego... ramah. Sama sekali tidak seperti Riley.

Tapi mungkin justru karena mereka sangat berbeda.

"Riley tahu dia bisa memercayaiku untuk membereskan

semua kekacauan yang kubuat. Omong-omong soal itu, kau

tidak keberatan mengerjakan tugas sebentar?"

Aku mulai terhibur oleh cowok aneh ini. Penasaran ingin

mengenalnya. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya.

"Tentu," jawabku.

Ia berlari melintasi dermaga menuju jalan yang membujur sepanjang tepi laut. Aku mengikuti di belakangnya.

Hidungku menangkap bau beberapa manusia, tapi aku tahu

suasana terlalu gelap dan kami terlalu cepat untuk bisa mereka lihat.

Diego memilih berlari melintasi atap-atap gedung lagi.

Setelah beberapa lompatan aku mengenali bau kami berdua. Ternyata ia menyusuri jejak kami tadi.

Kami kembali ke lorong pertama, tempat Kevin dan cowok satunya menjungkirbalikkan mobil.

"Sungguh keterlaluan," geram Diego.

Rupanya Kevin dan kawannya baru saja pergi. Dua mo27

bil lain ditumpuk di atas mobil pertama, dan beberapa

orang yang kebetulan ada di sekitar tempat kejadian menambah jumlah korban yang bergelimpangan. Polisi belum

tiba?karena orang yang mungkin akan melaporkan kekacauan itu telah tewas.

"Mau bantu aku membereskannya?" tanya Diego.

"Oke."

Kami melompat turun, Diego dengan cepat melemparkan

mobil-mobil itu dalam susunan baru, sehingga terlihat seolah-olah saling bertabrakan, bukan ditumpuk bayi vampir

raksasa yang sedang mengamuk. Kusambar dua sosok tak

bernyawa yang sudah kering dari trotoar dan kujejalkan di

bawah mobil-mobil yang kelihatannya habis mengalami kecelakaan.

"Kecelakaan maut," komentarku.

Diego nyengir. Ia mengeluarkan korek api dari plastik

ziplock yang disimpannya di saku dan mulai menyulut pakaian para korban. Aku mengeluarkan korek apiku sendiri?Riley memberikan korek itu setiap kali kami pergi

berburu; Kevin seharusnya menggunakan korek apinya?

dan mulai membakar jok mobil. Mayat-mayat itu, yang sudah kering dan berlumuran bisa dan mudah terbakar, dengan cepat langsung dilahap api.

"Mundur," Diego memperingatkan, dan kulihat ia sudah

membuka pintu tangki bensin mobil pertama dan membuka tutup tangkinya. Aku melompat ke atas tembok terdekat, bertengger di sana untuk menonton. Diego mundur

beberapa langkah dan menyalakan korek. Dengan bidikan

28

sempurna dilemparnya batang korek api itu ke lubang

tangki. Pada detik yang sama ia melompat ke sampingku.

Suara ledakan mengguncang seantero jalan. Lampu-lampu mulai dinyalakan di tikungan.

"Bagus sekali," pujiku.

"Terima kasih atas bantuannya. Kembali ke rumah

Riley?"

Aku mengerutkan kening. Rumah Riley adalah tempat

terakhir yang ingin kudatangi untuk menghabiskan sisa

malamku. Aku tak ingin melihat wajah tolol Raoul atau

mendengar pekik jerit dan perkelahian yang terus-menerus.

Aku tak ingin mengertakkan gigi dan bersembunyi di balik

punggung Freaky Fred supaya tak ada yang mengusikku.

Apalagi aku sudah kehabisan buku.

"Kita masih punya waktu kok," kata Diego, memahami

ekspresiku. "Kita tak perlu pulang sekarang."

"Aku perlu beberapa bacaan baru."

"Dan aku butuh musik baru." Ia nyengir. "Yuk, kita

belanja."

Kami bergerak cepat melintasi kota?melewati atap-atap

gedung lagi kemudian melesat menyusuri jalanan yang

remang-remang bila jarak antargedung terlalu jauh?menuju kawasan kota yang lebih ramah. Tidak butuh waktu

lama untuk menemukan mal yang memiliki jaringan toko

buku besar. Kupatahkan kunci pada akses atap dan masuk

ke dalam. Tokonya kosong, alarm hanya terpasang di jendela dan pintu. Aku langsung menuju bagian huruf H, sementara Diego ke bagian musik di belakang. Aku baru saja

29

selesai membaca buku karya Hale. Kuambil selusin buku

lagi di deretan itu, cukup untuk beberapa hari.

Aku mengedarkan pandang ke sekelilingku, mencari

Diego, dan menemukan cowok itu duduk di meja kafe,

mengamati bagian belakang CD-CD barunya. Aku terdiam

sejenak, lalu bergabung dengannya.

Aneh karena hal ini terasa familier, dengan cara menghantui dan tidak nyaman. Aku pernah duduk seperti

ini?berhadap-hadapan di sebuah meja bersama seseorang.

Aku mengobrol santai dengan orang itu, memikirkan halhal lain selain kehidupan dan kematian, atau dahaga dan

darah. Tapi itu terjadi di kehidupan lain dan tidak bisa kuingat lagi dengan jelas.

Terakhir kali aku duduk di meja bersama seseorang,

orang itu adalah Riley. Sulit mengingat malam itu karena

berbagai alasan.

"Jadi mengapa aku tidak pernah menyadari kehadiranmu

di rumah?" tanya Diego tiba-tiba. "Kau bersembunyi di

mana?"

Aku tertawa dan nyengir pada saat bersamaan. "Biasanya

aku berada di mana pun Freaky Fred berada, di belakangnya."

Hidung Diego mengernyit. "Kau serius? Bagaimana kau

bisa tahan?"

"Lama-lama kau akan terbiasa. Berada di belakangnya

tidak separah di depannya. Pokoknya, itu tempat persembunyian terbaik. Tidak ada yang bisa mendekati Fred."

30

Diego mengangguk, masih terlihat agak jijik. "Itu benar.

Itu satu cara untuk bertahan hidup."

Aku mengangkat bahu.

"Tahukah kau Fred salah satu anak emas Riley?" tanya

Diego.

"Sungguh? Bagaimana bisa?" Tidak ada yang tahan menghadapi Freaky Fred. Akulah satu-satunya yang pernah mencoba, dan itu kulakukan hanya demi pertahanan diri.

Diego mencondongkan tubuh ke arahku seperti mengajak

berkomplot. Aku sudah sangat terbiasa dengan sikapnya

yang aneh hingga bahkan tidak berjengit.

"Aku mendengarnya berbicara di telepon dengan perempuan itu."

Aku bergidik.

"Aku tahu," ujar Diego, nadanya bersimpati. Tentu saja

tak aneh jika kami bisa bersimpati bila urusannya berkaitan

dengan perempuan itu. "Sebenarnya ini terjadi beberapa bulan yang lalu. Pokoknya Riley sedang berbicara tentang

Fred, bersemangat sekali. Dari apa yang mereka katakan,

kurasa beberapa vampir bisa melakukan berbagai hal. Lebih

daripada yang bisa dilakukan vampir-vampir normal. Dan

itu bagus?memang itulah yang dicari perempuan itu. Vampir yang memiliki skillzzzz, keahlian."

Diego sengaja mengucapkan kata skill dengan Z panjang,

supaya aku bisa mendengar bagaimana ia mengejanya dalam

benaknya.

"Keahlian apa?"

31

"Macam-macam, kedengarannya. Membaca pikiran, melacak jejak, bahkan melihat masa depan."

"Ah, yang benar saja."

"Aku tidak bercanda. Kurasa Fred bisa membuat orang

merasa jijik padanya. Sebenarnya semua itu hanya pikiran

kita. Dia membuat kita jijik membayangkan berdekatan

dengannya."

Aku mengerutkan kening. "Mengapa hal semacam itu

justru bagus?"

"Membuatnya bisa bertahan hidup, bukan? Kurasa itu

juga yang membuatmu bisa bertahan hidup."

Aku mengangguk. "Kurasa benar juga. Apakah dia juga

bercerita tentang vampir lain?" Aku berusaha memikirkan

hal aneh yang pernah kulihat atau kurasakan, tapi Fred

memang lain daripada yang lain. Badut-badut di lorong

yang tadi berpura-pura menjadi superhero tidak melakukan

hal-hal yang tidak bisa kami lakukan.

"Dia juga berbicara tentang Raoul," kata Diego, sudut

mulutnya menekuk ke bawah.

"Keahlian apa yang dimiliki Raoul? Ketololan super?"

Diego mendengus. "Itu jelas. Tapi menurut Riley dia memiliki semacam daya magnet?orang-orang tertarik padanya, mereka mengikutinya."

"Hanya mereka yang tidak waras."

"Yeah, Riley juga menyebutkan hal itu. Kelihatannya hal

itu tidak efektif pada"?ia menirukan suara Riley dengan

sangat tepat?"anak-anak yang lebih jinak."

"Jinak?"

32
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku menduga maksudnya orang-orang seperti kita, yang

kadang-kadang bisa berpikir."

Aku tidak suka disebut jinak. Kedengarannya bukan hal

yang baik bila diungkapkan seperti itu. Cara Diego terdengar jauh lebih baik.

"Sepertinya ada alasan mengapa Riley membutuhkan

Raoul untuk memimpin?akan terjadi sesuatu, kurasa."

Gelitikan aneh menjalari tulang punggungku waktu

Diego mengatakannya, dan aku duduk semakin tegak. "Seperti apa?"

"Pernahkah kau berpikir mengapa Riley selalu menekankan kepada kita untuk tidak menarik perhatian?"

Aku ragu-ragu selama setengah detik sebelum menjawab.

Ini bukan jenis pertanyaan yang kuharapkan bakal terlontar

dari mulut tangan kanan Riley. Kecuali Diego menanyakan

ini untuk Riley, seperti mata-mata. Mencari tahu pendapat

"anak-anak" mengenai dirinya. Tapi rasanya tidak seperti

itu. Mata Diego yang merah tua terbuka dan tampak bisa

dipercaya. Dan mengapa pula Riley mesti peduli? Mungkin

omongan anak-anak lain tentang Diego tidak didasarkan

pada sesuatu yang nyata. Hanya gosip semata.

Aku menjawab dengan sebenar-benarnya. "Yeah, sebenarnya aku juga baru saja memikirkan hal itu."

"Kita bukan satu-satunya vampir di dunia ini," kata

Diego khidmat.

"Aku tahu. Riley kadang-kadang suka mengatakan sesuatu.

Tapi jumlahnya pasti tidak banyak. Maksudku, kalau banyak,

kita pasti sudah menyadarinya sebelumnya, bukan?"

33

Diego mengangguk. "Aku juga berpikir begitu. Karena

itulah, aneh rasanya bila perempuan itu malah membuat

jumlah kita semakin banyak, bukan begitu menurutmu?"

Aku mengerutkan kening. "Huh. Mengingat Riley sebenarnya tak menyukai kita..." Aku kembali terdiam sejenak,

menunggu untuk melihat apakah Diego akan menyanggah

omonganku. Ternyata tidak. Ia hanya menunggu, mengangguk sedikit sebagai pertanda setuju, jadi aku melanjutkan

perkataan. "Dan perempuan itu bahkan tidak memperkenalkan diri. Kau benar. Aku sama sekali tidak berpikir ke arah

sana. Well, aku bahkan tidak memikirkannya sama sekali.

Tapi kalau begitu, mereka menginginkan kita untuk apa?"

Diego mengangkat sebelah alis. "Mau tahu pendapatku?"

Aku mengangguk waswas. Tapi kecemasanku tak ada

hubungannya dengan dia sekarang.

"Seperti kataku tadi, akan terjadi sesuatu. Kurasa perempuan itu membutuhkan perlindungan, dan dia menugaskan

Riley untuk menciptakan garda depan."

Aku memikirkan perkataannya, tulang punggungku meremang. "Mengapa mereka tidak memberitahu kita? Bukankah seharusnya kita mewaspadai sesuatu?"

"Itu memang masuk akal," ia sependapat.

Kami berpandangan sambil berdiam diri selama beberapa

detik yang terasa lama sekali. Tak ada lagi yang bisa kukatakan, dan kelihatannya ia juga begitu.

Akhirnya aku nyengir dan berkata, "Entah apakah aku

34

memercayainya?bagian yang menyatakan bahwa Raoul

memiliki suatu keahlian, maksudku."

Diego tertawa. "Sulit membantah hal yang satu itu." Kemudian ia melirik ke luar jendela, pada dini hari yang masih gelap gulita. "Kehabisan waktu. Lebih baik kita segera

kembali sebelum jadi gosong."

"Dari debu kembali menjadi debu," dendangku pelan sambil berdiri dan mengumpulkan barang-barang bawaanku.

Diego terkekeh.

Kami singgah sebentar dalam perjalanan pulang?membobol masuk ke supermarket Target di sebelah untuk mengambil kantong-kantong plastik ziplock besar dan dua ransel.

Kumasukkan semua bukuku ke dalam kantong plastik dobel. Aku paling kesal kalau halaman bukuku rusak karena

air.

Kemudian kami melompat dari satu atap bangunan ke

atap bangunan lain, kembali ke laut. Samar-samar di ufuk

timur langit mulai berubah warna menjadi kelabu. Kami

menyelinap ke selat tepat di depan hidung dua penjaga

malam yang melintas dalam feri besar?untung bagi mereka aku sudah kenyang atau keberadaan mereka yang terlalu dekat dapat membuatku tak bisa menguasai diri?

kemudian berlomba memasuki air yang keruh kembali ke

rumah Riley.

Awalnya aku tak tahu kami berlomba. Aku hanya berenang sangat cepat karena langit mulai terang. Biasanya

aku tidak mengejar waktu seperti ini. Kalau mau jujur, kelihatannya aku sudah berubah menjadi vampir culun seka35

rang. Aku menaati peraturan, tak pernah berbuat onar,

bergaul dengan anak paling tidak populer dalam kelompok,

dan selalu pulang lebih cepat.

Tapi kemudian Diego berenang cepat sekali. Ia berenang

beberapa meter di depanku, kemudian berbalik sambil menyunggingkan senyum yang seolah berkata, Apa, kau tidak

bisa mengejarku, ya? kemudian mulai melesat lagi.

Well, aku tidak terima dibegitukan. Aku tidak ingat apakah aku dulu tipe orang yang kompetitif?semua itu rasanya sudah lama sekali berlalu dan tidak penting lagi?tapi

mungkin dulu aku begitu, karena aku langsung merespons

tantangan itu. Diego jago sekali berenang, tapi aku jauh

lebih kuat, apalagi sehabis makan.

Sampai ketemu lagi, aku menggerak-gerakkan mulut saat

melewatinya, tapi tak yakin ia melihatnya.

Aku tidak bisa melihatnya di dalam air yang gelap, tapi

aku tidak membuang-buang waktu untuk melihat seberapa

jauh aku telah menang. Aku terus berenang membelah selat

hingga mencapai tepi pulau tempat rumah-rumah kami

dulu berada. Rumah terakhir berupa kabin besar di tengah

Kawasan Bersalju di Negeri Antah-Berantah, di sisi pegunungan bernama Cascade. Seperti rumah sebelumnya, rumah ini letaknya juga terpencil, memiliki basement berukuran besar, dan pemiliknya belum lama meninggal.

Aku berlari menapaki tepi pantai yang dangkal dan berbatu-batu, kemudian membenamkan jari-jariku ke tebing

pantai dari batu pasir dan melompat ke atas. Kudengar

Diego keluar dari dalam air saat tanganku mencengkeram

36

dahan pinus yang tumbuh menjorok di tebing dan mengayunkan tubuhku melompati bibir tebing.

Dua hal langsung menarik perhatianku begitu aku mendaratkan kedua kaki ke tanah. Satu: hari sudah benarbenar terang. Dua: rumah itu telah lenyap.

Well, tidak sepenuhnya lenyap. Sebagian rumah itu masih tampak, tapi tanah yang tadinya ditempati rumah itu

kini kosong. Atapnya runtuh, menjuntai lebih rendah daripada bagian yang dulunya adalah pintu depan.

Matahari menanjak cepat. Pohon-pohon pinus yang hitam

mulai disepuh cahaya menjadi hijau. Tak lama lagi pucukpucuknya yang berwarna lebih pucat akan tampak jelas

dalam gelap, dan kira-kira pada saat itulah aku akan mati.

Atau benar-benar mati, atau apa sajalah istilahnya. Detik

ini juga, kehidupan sebagai superhero yang selalu haus ini

akan berakhir ditelan kobaran api yang tiba-tiba. Dan aku

hanya bisa membayangkan bahwa kobarannya akan sangat,

sangat menyakitkan.

Ini bukan pertama kalinya aku melihat rumah kami hancur?dengan begitu banyaknya perkelahian dan api di basement, sebagian besar rumah kami hanya bertahan beberapa

minggu?tapi inilah pertama kalinya aku menemukan rumah porak-poranda saat bayang-bayang pertama sinar matahari mulai mengancam.

Aku terkesiap syok ketika Diego mendarat di sampingku.

"Mungkin bersembunyi di ceruk di bawah atap?" bisikku.

"Apakah itu cukup aman untuk?"

37

"Jangan panik, Bree," sergah Diego, kedengarannya terlalu

kalem. "Aku tahu sebuah tempat. Ayo."

Ia berputar dan melompat anggun dari bibir tebing.

Menurutku air bukan penahan yang cukup untuk menghalangi cahaya matahari. Tapi mungkin kami takkan terbakar bila menyelam di dalam air? Rasanya itu bukan rencana yang bagus.

Namun daripada mengubur diri di bawah balok-balok

kayu gosong reruntuhan rumah, aku terjun dari tebing

mengikuti Diego. Aku tak yakin apa pertimbanganku, dan

itu merupakan perasaan yang aneh. Biasanya aku melakukan apa yang selalu kulakukan?mengikuti rutinitas, melakukan hal yang masuk akal.

Kukejar Diego di air. Ia kembali berlomba, tapi kali ini

ia tidak main-main. Berlomba melawan matahari.

Ia berputar mengitari satu titik di pulau kecil itu, kemudian menyelam jauh ke dalam. Aku terkejut ia tidak membentur dasar selat yang berbatu-batu, dan lebih terkejut lagi

saat bisa merasakan arus yang lebih hangat mengalir dari

dalam sesuatu yang awalnya kukira tak lebih dari batu yang

menjorok.

Cerdik juga Diego mempunyai tempat seperti ini. Tentu

saja tak enak rasanya mendekam di dalam gua bawah laut

sepanjang hari?tidak bernapas mulai terasa menyakitkan

setelah beberapa jam?tapi itu lebih baik daripada meledak

jadi debu. Seharusnya aku berpikir seperti Diego. Memikirkan hal lain selain darah, maksudnya. Seharusnya aku bersiap-siap menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga.

38

Diego terus melaju melewati celah sempit di bebatuan.

Gelap gulita di dalam sini. Aman. Aku tidak bisa berenang

lagi?tempatnya terlalu sempit sehingga aku merayap masuk seperti Diego, memanjat melewati celah yang berlikuliku. Aku terus menunggu sampai ia berhenti, tapi ia maju

terus. Tiba-tiba aku sadar bahwa kami benar-benar merayap

naik. Kemudian aku mendengar Diego muncul di permukaan.

Aku ikut keluar setengah detik setelah dia.

Gua itu tak lebih dari sebuah lubang kecil, liang yang

kira-kira sebesar VW Kodok, meski tak setinggi itu. Sebuah ruang rendah menjorok ke belakang, dan bisa kurasakan udara segar mengalir dari sana. Aku bisa melihat bentuk jemari Diego berkali-kali pada tekstur dinding-dinding

batu gamping itu.

"Bagus juga tempatnya," pujiku.

Diego tersenyum. "Lebih bagus daripada di balik punggung Freaky Fred."

"Aku tidak bisa membantahnya. Mm. Trims."

"Sama-sama."

Beberapa saat kami saling memandang dalam gelap. Wajahnya mulus dan kalem. Bersama orang lain, Kevin atau

Kristie atau anak-anak lain, keadaan seperti ini pasti sangat

mengerikan?ruang sempit tertutup, terpaksa harus berdekatan, sampai-sampai aku bisa mencium baunya di sekujur tubuhku. Sebenarnya itu bisa berarti kematian yang

cepat dan menyakitkan detik ini juga. Tapi Diego sangat

terkendali. Tidak seperti anak-anak lain.

39

"Berapa umurmu?" tanya Diego tiba-tiba.

"Tiga bulan. Aku kan sudah bilang."

"Bukan itu maksudku. Um, berapa umurmu dulu? Kurasa seharusnya aku bertanya seperti itu."

Aku menjauhkan diri, merasa risi, begitu menyadari

Diego berbicara tentang hal-hal manusia. Tidak ada yang

membicarakan hal itu. Tidak ada yang ingin memikirkannya. Tapi aku juga tidak ingin mengakhiri percakapan. Bisa

mengobrol saja merupakan sesuatu yang baru dan berbeda.

Aku ragu-ragu, dan ia menunggu dengan ekspresi ingin

tahu.

"Aku, eh, kurasa lima belas tahun. Hampir enam belas.

Aku tidak ingat tanggalnya... apakah hari ulang tahunku

sudah lewat?" Aku berusaha memikirkannya, tapi mingguminggu terakhir yang dipenuhi kelaparan itu terasa kabur,

dan kepalaku sakit karena berusaha memikirkannya. Aku

menggeleng-gelengkan kepala, mengenyahkan pikiran itu.

"Kau sendiri bagaimana?"

"Aku baru lewat delapan belas tahun," jawab Diego. "Sudah hampir."

"Hampir apa?"

"Hampir keluar," jawab Diego, tapi tidak melanjutkan

kata-katanya. Sejenak kami terdiam canggung, kemudian

Diego mengubah topik.

"Kau sangat pandai menjaga diri sejak kedatanganmu ke

sini," kata Diego, matanya menyapu lenganku yang disilangkan dan kakiku yang tertekuk. "Kau bisa bertahan hidup?

menghindari perhatian yang salah, tetap utuh."

40

Aku mengangkat bahu kemudian menyingkapkan lengan

kiri bajuku hingga sebatas bahu supaya ia bisa melihat garis

bertepi kasar yang mengelilingi lenganku.

"Pernah sih ini terlepas satu kali," aku mengakui. "Bisa

mendapatkannya kembali sebelum Jen sempat memanggangnya. Riley menunjukkan kepadaku bagaimana cara

memasangkannya kembali."

Diego tersenyum kecut dan menyentuh lutut kanannya

dengan satu jari. Jinsnya yang berwarna gelap menutupi

bekas luka yang pasti ada di sana. "Itu terjadi pada semua

orang."

"Aduh," ucapku.

Ia mengangguk. "Serius. Tapi seperti kataku sebelumnya,

kau vampir yang sangat hebat."

"Haruskah aku mengucapkan terima kasih?"

"Aku hanya menyuarakan isi pikiranku, berusaha memahami banyak hal."
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hal-hal apa?"

Ia mengerutkan kening sedikit. "Apa yang sebenarnya

terjadi. Apa yang direncanakan Riley. Mengapa dia terusmenerus membawa banyak anak secara acak kepada perempuan itu. Mengapa kesannya tidak penting bagi Riley apakah anak itu orang seperti kau atau idiot seperti Kevin."

Kedengarannya ia juga tidak lebih tahu tentang Riley

dibandingkan aku.

"Apa maksudmu, orang seperti aku?" tanyaku.

"Riley seharusnya mencari orang seperti kau?cerdas?

bukan berandal-berandal tolol seperti yang dibawa Raoul.

41

Aku berani bertaruh kau dulu bukan pecandu narkoba

ketika masih menjadi manusia."

Aku bergerak-gerak gelisah mendengar kata terakhir itu.

Diego menunggu jawabanku, seolah-olah ia tidak mengatakan hal aneh. Aku menghela napas dalam-dalam dan

berpikir kembali.

"Sebenarnya sudah nyaris," aku mengakui setelah Diego

menatapku sabar selama beberapa detik. "Belum sampai,

tapi dalam beberapa minggu..." Aku mengangkat bahu.

"Kau tahu, tak banyak yang masih kuingat, tapi yang jelas

aku ingat tak ada yang lebih kuat di planet ini daripada

perasaan lapar. Ternyata, dahaga yang terparah."

Diego tertawa. "Ceritakan, Sister."

"Bagaimana dengan kau? Kau bukan remaja bermasalah

yang kabur dari rumah seperti kami-kami yang lain?"

"Oh, aku memang bermasalah." Ia berhenti berbicara.

Tapi aku juga tahan menunggu jawaban pertanyaan yang

tidak pantas. Kupandangi saja dia.

Ia mengembuskan napas. Bau napasnya enak. Semua

orang berbau manis, tapi Diego memiliki sesuatu yang sedikit lain?bau rempah-rempah seperti kayu manis atau

cengkeh.

"Aku berusaha menjauhkan diri dari semua hal tidak berguna itu. Giat belajar. Aku bertekad harus bisa keluar dari

ghetto, kau tahu. Kuliah. Membuat diriku berhasil. Tapi ada

seorang teman?tidak jauh berbeda dari Raoul. Bergabung

atau mati, itu motonya. Aku tidak menginginkan kedua42

duanya, jadi aku menjauhi kelompoknya. Aku berhati-hati.

Bertahan hidup." Ia berhenti, memejamkan mata.

Aku terus mendesaknya. "Dan?"

"Adik lelakiku tidak sehati-hati aku."

Aku baru hendak bertanya apakah adik lelakinya bergabung atau mati, namun ekspresi wajah Diego membuat

bertanya menjadi tidak perlu. Aku membuang muka, tidak

yakin bagaimana harus meresponsnya. Aku tidak benarbenar memahami perasaan kehilangannya, kepedihan yang

jelas masih ia rasakan. Aku tidak meninggalkan apa pun

yang masih kurindukan. Itukah perbedaannya? Apakah karena itu ia masih terus mengenang kehidupannya yang dulu

sementara kami melupakannya?

Aku masih belum mengerti bagaimana Riley masuk ke

dalam cerita ini. Riley dan kesakitan yang dibawanya. Aku

menginginkan bagian cerita itu, tapi sekarang aku merasa

bersalah karena memaksa Diego menjawab.

Seolah memuaskan rasa penasaranku, Diego melanjutkan

ceritanya setelah terdiam sejenak.

"Aku jadi sedikit gila. Kucuri pistol dari seorang teman

dan pergi berburu." Ia terkekeh garang. "Waktu itu aku belum terlalu lihai. Tapi aku berhasil menghabisi orang yang

menghabisi adikku sebelum mereka menemukan aku. Anggota gengnya yang lain menyudutkan aku di sebuah gang.

Kemudian, tiba-tiba, Riley datang, berdiri di antara aku

dan mereka. Aku ingat aku masih berpikir dia orang terputih yang pernah kulihat. Dia bahkan tidak melirik mereka ketika mereka menembaknya. Seolah-olah peluru43

peluru itu lalat. Tahukah kau apa yang dikatakannya

padaku? Dia bertanya, ?Mau hidup baru, Nak??"

"Hah!" Aku tertawa. "Itu jauh lebih baik daripada aku.

Aku hanya ditanya begini, ?Mau burger, Nak??"

Aku masih ingat penampilan Riley malam itu, walaupun

bayangannya masih kabur karena penglihatanku waktu itu

payah. Ia cowok paling keren yang pernah kulihat, jangkung, pirang, dan sempurna, setiap jengkal roman mukanya.

Aku tahu matanya pasti juga indah di balik kacamata hitam yang tidak pernah dilepasnya. Dan suaranya sangat

lembut, begitu baik hati. Kusangka aku tahu apa yang ia

inginkan sebagai pengganti makanan yang ditawarkannya,

dan aku rela memberinya. Bukan karena ia sangat tampan,

tapi karena sudah dua minggu aku tidak makan apa-apa

kecuali sampah. Tapi ternyata ia menginginkan hal lain.

Diego tertawa mendengar ceritaku tentang burger itu.

"Waktu itu kau pasti lapar sekali."

"Betul sekali."

"Jadi, mengapa kau begitu kelaparan?"

"Karena aku tolol dan kabur dari rumah sebelum punya

SIM. Jadinya aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan, dan

aku juga tidak pandai mencuri."

"Kau melarikan diri dari apa?"

Aku ragu. Kenangan-kenangan itu jadi lebih jelas saat

aku memfokuskan pikiran, dan aku tak yakin ingin melakukannya.

"Oh, ayolah," bujuknya. "Aku kan sudah menceritakan

kisahku padamu."

44

"Yeah, memang sudah. Oke. Aku melarikan diri dari

ayahku. Dia sering memukuliku. Mungkin memukuli ibuku

juga sebelum ibuku kabur. Waktu itu aku masih sangat

kecil?jadi aku tidak tahu. Kelakuannya semakin menjadijadi. Kupikir kalau menunggu terlalu lama, bisa-bisa aku

mati. Katanya kalau aku sampai kabur, aku pasti akan kelaparan. Soal itu dia benar?hanya itu satu-satunya perkataannya yang mengandung kebenaran, sepanjang yang

aku tahu. Aku jarang memikirkannya."

Diego mengangguk setuju. "Sulit mengingat masa lalu,

bukan? Semuanya begitu kabur dan gelap."

"Seperti berusaha melihat dengan mata berlumuran lumpur."

"Tepat sekali caramu mengungkapkannya," Diego memujiku. Ia menatapku dengan mata disipitkan seakan-akan

berusaha melihat, lalu mengucek-ucek matanya.

Kami sama-sama tertawa. Aneh.

"Kurasa aku tidak pernah lagi tertawa dengan siapa pun

sejak bertemu Riley," kata Diego, menyuarakan pikiranku.

"Menyenangkan sekali. Kau menyenangkan. Tidak seperti

yang lain-lain. Kau pernah mencoba ngobrol dengan salah

seorang dari mereka?"

"Tidak, tidak pernah."

"Kau tidak rugi apa-apa. Itulah maksudku. Bukankah

standar hidup Riley akan lebih tinggi bila hidupnya dikelilingi vampir-vampir yang baik? Bila keberadaan kita dimaksudkan untuk melindungi dia, bukankah seharusnya

dia mencari vampir-vampir cerdas?"

45

"Berarti Riley tidak membutuhkan otak," aku berlogika.

"Dia membutuhkan kuantitas."

Diego mengerucutkan bibir, menimbang-nimbang. "Seperti catur. Dia tidak membuat kuda dan menteri."

"Kita hanya pion," aku menyadari.

Kami berpandangan lagi selama satu menit yang terasa

panjang.

"Aku tidak mau berpikir begitu," kata Diego.

"Kalau begitu kita harus melakukan apa?" tanyaku,

otomatis menggunakan kata ganti orang jamak. Seakanakan kami sudah satu tim.

Diego memikirkan pertanyaanku sejenak, tampak gelisah,

dan aku menyesali menggunakan istilah "kami" tadi. Tapi

kemudian ia berkata, "Apa yang bisa kita lakukan kalau tidak tahu apa yang sedang terjadi?"

Kalau begitu ia tidak keberatan masalah satu tim tadi,

dan itu membuatku sangat senang, perasaan yang seingatku

tidak pernah kurasakan sebelumnya. "Kurasa kita buka saja

mata kita lebar-lebar, memasang telinga, berusaha mencari

tahu sendiri."

Diego mengangguk. "Kita perlu memikirkan semua yang

pernah diberitahukan Riley pada kita, semua yang pernah

dia lakukan." Ia terdiam dan berpikir-pikir. "Kau tahu, dulu

aku pernah mencoba menanyakan sebagian hal ini pada

Riley, tapi dia tidak menggubris pertanyaanku. Menyuruhku

memusatkan pikiran pada hal-hal yang lebih penting, seperti dahaga. Dan memang hanya itu yang bisa kupikirkan

46

waktu itu, tentu saja. Dia menyuruhku pergi berburu, dan

aku berhenti mengkhawatirkannya..."

Kupandangi Diego saat ia berpikir tentang Riley, matanya tampak tidak fokus saat ia mengingat kembali kenangan itu, dan aku bertanya-tanya dalam hati. Diego teman pertamaku di kehidupan ini, tapi aku bukan teman

pertamanya.

Tiba-tiba fokusnya tertuju kembali padaku. "Jadi apa saja

yang telah kita pelajari dari Riley?"

Aku berkonsentrasi, mengingat kembali kenangan tiga

bulan terakhir dalam benakku. "Sebenarnya tidak banyak

yang dia beritahukan pada kita, kau tahu. Hanya pengetahuan-pengetahuan dasar sebagai vampir."

"Kita harus mendengarkan lebih saksama lagi."

Kami duduk berdiam diri, memikirkan hal ini. Kebanyakan aku berpikir tentang seberapa banyak yang tidak

kuketahui. Dan mengapa aku tidak mengkhawatirkan halhal yang tidak kuketahui sebelum sekarang? Seolah-olah

berbicara dengan Diego telah menjernihkan isi kepalaku.

Untuk pertama kali dalam tiga bulan, darah bukan hal yang

utama di sana.

Kesunyian itu bertahan beberapa waktu. Lubang hitam

yang tadi kurasakan mengalirkan udara segar ke dalam gua

kini tidak hitam lagi. Lubang itu sekarang kelabu gelap dan

sedikit demi sedikit berubah semakin terang seiring berjalannya waktu. Diego melihatku memandangi lubang itu

dengan sikap takut-takut.

"Jangan khawatir," ujarnya. "Cahaya remang-remang ma47

suk ke sini saat cuaca panas terik. Tidak menyakitkan kok."

Ia mengangkat bahu.

Aku beringsut lebih dekat ke lubang di lantai, tempat air

menghilang saat surut.

"Serius, Bree. Aku sudah pernah datang ke sini sebelumnya di siang hari. Aku pernah menceritakan pada

Riley tentang gua ini?dan bagaimana gua ini lebih sering

terisi air, dan katanya tidak apa-apa kalau aku datang ke

sini bila merasa perlu keluar dari rumah yang penuh kegilaan itu. Omong-omong, memangnya aku kelihatan gosong?"

Aku ragu-ragu, berpikir tentang betapa berbeda hubungan Diego dan Riley dibandingkan hubunganku dengannya. Alis Diego terangkat, menunggu jawaban. "Tidak,"

akhirnya aku menjawab. "Tapi..."

"Lihat," sergahnya tidak sabaran. Ia merangkak gesit ke

terowongan dan menjulurkan lengan ke dalamnya hingga

sebatas bahu. "Tidak apa-apa."

Aku mengangguk satu kali.

"Rileks! Maukah kau melihat seberapa tinggi aku bisa

masuk ke dalamnya?" Sambil berkata begitu, ia menyurukkan kepala ke lubang dan mulai memanjat.

"Jangan, Diego!" Ia sudah lenyap dari pandangan. "Aku

rileks kok, sumpah."

Diego tertawa?kedengarannya ia sudah naik beberapa

meter memasuki terowongan. Aku ingin menyusul, menyambar kakinya dan menariknya kembali, tapi tubuhku membeku karena tertekan. Sungguh tolol mempertaruhkan hi48

dup untuk menyelamatkan orang asing. Tapi seumur-umur

aku belum pernah memiliki seseorang yang mendekati

kategori teman. Belum-belum rasanya sudah sulit kalau aku

harus kembali tidak memiliki teman mengobrol, setelah

hanya satu malam.

"No estoy quemando," ia berseru ke bawah, nadanya menggoda. "Tunggu... apa itu...? Aduh!"

"Diego!"

Aku menerjang ke seberang gua dan menyurukkan kepala ke dalam terowongan. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahku.

"Cilukba!"

Aku menjengit mundur menjauhinya?hanya refleks, kebiasaan lama.

"Lucu," tukasku datar, bergeser menjauh saat Diego meluncur lagi ke dalam gua.

"Jangan terlalu tegang, girl. Aku sudah pernah mencobanya, oke? Sinar matahari tidak langsung tidak akan melukaimu."

"Jadi maksudmu aku bisa berdiri di bawah pohon rindang dan tidak akan kenapa-kenapa?"

Diego ragu-ragu sejenak, seperti berdebat dengan dirinya
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri, perlu atau tidak memberitahukan sesuatu padaku,

kemudian berkata dengan suara pelan, "Aku pernah melakukannya, satu kali."

Kupandangi ia, menunggu ia nyengir. Karena ini pasti

lelucon.

Cengiran itu tak muncul juga.

49

"Kata Riley..." aku mulai berkata, lalu suaraku menghilang.

"Yeah, aku tahu apa yang dikatakan Riley," ia sependapat.

"Mungkin Riley tidak tahu sebanyak yang dikatakannya."

"Tapi Shelly dan Steve. Doug dan Adam. Si anak berambut merah manyala itu. Mereka semua. Mereka mati karena

tidak pulang tepat pada waktunya. Riley melihat abunya."

Alis Diego bertaut muram.

"Semua tahu vampir zaman dulu harus tinggal di dalam

peti mati pada siang hari," aku melanjutkan. "Untuk bersembunyi dari matahari. Itu sudah menjadi rahasia umum,

Diego."

"Kau benar. Semua cerita memang mengatakan begitu."

"Dan keuntungan apa yang didapat Riley dengan mengurung kita di dalam basement kedap cahaya?peti mati

besar untuk satu kelompok?sepanjang hari? Kita hanya

menghancurkan tempat itu, dan dia harus berurusan dengan semua perkelahian dan kekacauan yang terus-menerus

terjadi. Kau tidak bisa mengatakan dia menikmatinya."

Ada perkataanku yang membuatnya terkejut. Ia duduk

dengan mulut ternganga selama satu detik, kemudian menutupnya.

"Apa?"

"Rahasia umum," ulangnya. "Apa yang dilakukan vampir

sepanjang hari di dalam peti mati?"

"Eh?oh ya, seharusnya mereka tidur, kan? Tapi kurasa

mereka mungkin berbaring saja di sana, bosan setengah

50

mati, karena kita kan tidak... Oke, kalau begitu bagian itu

salah."

"Yeah. Dalam cerita-cerita itu mereka bukan hanya tidur.

Mereka benar-benar tidak sadar. Mereka tidak bisa bangun.

Bahkan manusia bisa datang dan menikam mereka dengan

pasak kayu, bukan masalah. Dan itu satu hal lagi?menikam. Kau benar-benar mengira orang bisa menusukkan

sebatang kayu ke tubuhmu?"

Aku mengangkat bahu. "Aku tidak pernah benar-benar

memikirkannya. Maksudku, jelas bukan kayu sembarangan.

Mungkin kayu yang diruncingkan memiliki semacam...

entahlah. Kekuatan magis atau sebangsanya."

Diego mendengus. "Yang benar saja."

"Well, entahlah. Aku tidak akan berdiam diri kalau ada

manusia mencoba menyerangku dengan gagang sapu diruncingkan."

Diego?masih dengan ekspresi jijik di wajahnya, seolaholah hal magis benar-benar tak bisa diterima bila kau vampir?berguling dan bertumpu pada kedua lutut, lalu mulai

mencakari lapisan batu gamping di atas kepalanya.

Kepingan-kepingan batu tajam berjatuhan menimpa rambutnya, tapi ia tak menggubrisnya.

"Ngapain kau?"

"Bereksperimen."

Ia menggali dengan kedua tangannya sampai bisa berdiri

tegak, dan terus menggali.

"Diego, begitu sampai di permukaan, kau akan meledak.

Hentikan."

51

"Aku tidak berusaha untuk?ah, ini dia."

Terdengar suara berderak nyaring, disusul dengan suara

berderak lagi, tapi tidak ada cahaya. Ia merundukkan tubuh

sehingga aku bisa melihat wajahnya, tangannya memegang

sepotong akar pohon, putih, mati, dan kering di bawah

onggokan tanah. Bagian pinggirnya tajam dan ujungnya tidak rata. Dilemparkannya akar itu padaku.

"Tikam aku."

Kulempar akar itu. "Ngawur."

"Ini serius. Kau tahu itu tidak akan menyakitiku." Ia melempar kayu itu padaku; alih-alih menangkapnya, aku malah memukul kayu itu hingga terlempar kembali padanya.

Diego menyambar akar itu dan mengerang. "Kau ini sangat percaya pada takhayul!"

"Aku vampir. Kalau itu tidak membuktikan orang-orang

yang percaya pada takhayul ternyata benar, aku tidak tahu

lagi."

"Baiklah, biar kulakukan sendiri."

Diego menjauhkan akar pohon itu dari tubuhnya dengan

sikap dramatis, lengan terulur panjang-panjang, seakan-akan

itu pedang dan ia hendak menusukkan pedang itu ke tubuhnya.

"Ayolah," sergahku waswas. "Ini konyol."

"Justru itu maksudku. Lihat saja, pasti tidak terjadi apaapa."

Ia menghunjamkan kayu itu ke dadanya, tepat di tempat

jantungnya dulu berdetak, dengan kekuatan yang cukup

52

untuk menembus lapisan batu granit. Tubuhku membeku

panik sampai ia tertawa.

"Seharusnya kaulihat wajahmu, Bree."

Ia menyaring serpihan-serpihan kayu itu di sela jemarinya; akar yang hancur itu berjatuhan ke tanah. Diego membersihkan kemejanya, walaupun percuma, karena bajunya

memang sudah tidak keruan lagi bentuknya setelah ia

berenang dan menggali-gali tadi. Kami harus mencuri baju

lagi begitu ada kesempatan.

"Mungkin lain kalau manusia yang melakukannya."

"Karena kau merasa sangat magis saat menjadi manusia

dulu?"

"Entahlah, Diego," tukasku, letih. "Kan bukan aku yang

mengarang cerita-cerita itu."

Diego mengangguk, mendadak sikapnya lebih serius. "Bagaimana kalau cerita-cerita itu sebenarnya memang begitu?

Karangan."

Aku menghela napas. "Lantas apa bedanya?"

"Tidak tahu juga. Tapi kalau kita mau bersikap pintar

tentang mengapa kita ada di sini?mengapa Riley membawa kita kepada perempuan itu, mengapa perempuan itu

membuat jumlah kita semakin banyak?kita harus memahami sebanyak mungkin yang kita bisa." Ia mengerutkan

kening, sisa tawanya lenyap sama sekali dari wajahnya.

Aku hanya balas menatapnya. Aku tidak punya jawaban.

Wajah Diego sedikit melunak. "Ini sangat membantu,

kau tahu. Membicarakannya. Membantuku untuk fokus."

"Aku juga," ujarku. "Aku tidak tahu mengapa aku tidak

53

pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Padahal rasanya

begitu jelas. Tapi memikirkannya bersama... entahlah. Aku

bisa lebih fokus pada jalan pikiranku."

"Tepat sekali." Diego tersenyum. "Aku sangat senang kau

keluar malam ini."

"Jangan terharu begitu deh."

"Apa? Jadi kau tidak ingin kita menjadi"?ia membelalakkan mata dan suaranya naik satu oktaf?"BFF?" Ia tertawa

melihat ekspresi terperangahku.

Aku memutar bola mata, tak sepenuhnya yakin apakah

ia hanya mengejek ekspresiku atau aku.

"Ayolah, Bree. Jadilah my bestest bud forever, sahabat sejatiku selamanya. Please?" Masih saja menggoda, tapi senyum

lebarnya natural dan... penuh harap. Ia mengulurkan tangan.

Kali ini aku tos sungguhan. Ketika ia menangkap tanganku dan memegangnya, barulah aku mengerti ia bermaksud

melakukan hal lain.

Sungguh aneh rasanya bersentuhan dengan orang lain

setelah seumur hidup?karena tiga bulan terakhir adalah

seumur hidupku?menghindari kontak dalam bentuk apa

pun. Seperti menyentuh kabel listrik putus yang mengeluarkan bunga api, bahwa ternyata rasanya menyenangkan.

Senyum di wajahku miring sedikit. "Aku ikut."

"Bagus sekali. Klub kecil kita berdua."

"Sangat eksklusif," aku setuju.

Ia masih memegangi tanganku. Tidak menjabatnya, tapi

54

juga tidak menggenggamnya. "Kita membutuhkan jabat tangan rahasia."

"Kau sajalah yang memikirkan hal itu."

"Kalau begitu, rapat klub sahabat karib superrahasia dibuka, semua anggotanya hadir, jabat tangan rahasia akan

ditentukan kemudian," ujarnya. "Target pertama: Riley. Tidak tahu apa-apa? Salah informasi? Atau berbohong?"

Matanya menatapku selagi berbicara, lebar dan tulus.

Tak ada yang berubah saat ia mengucapkan nama Riley.

Detik itu juga aku yakin kisah-kisah tentang keakraban

Diego dan Riley sebenarnya tidak ada. Diego hanya sudah

ada lebih lama daripada vampir-vampir lain, tak lebih dari

itu. Aku bisa memercayainya.

"Tambahkan ini ke dalam daftar," ujarku. "Agenda. Maksudku, apakah agenda Riley?"

"Tepat sekali. Itulah yang harus kita cari tahu. Tapi pertama-tama, eksperimen lagi."

"Kata itu membuatku gugup."

"Kepercayaan adalah bagian yang sangat penting dalam

perkumpulan rahasia."

Ia berdiri, kepalanya memasuki ruang tambahan yang

baru saja digalinya dan mulai menggali-gali lagi. Sedetik

kemudian kakinya bergelantungan saat ia mengangkat tubuh dengan satu tangan dan menggali dengan tangan yang

lain.

"Sebaiknya kau menggali untuk mencari bawang putih,"

aku memperingatkan, dan mundur menuju terowongan

yang mengarah ke laut.

55

"Cerita-cerita itu tidak benar, Bree," ia berseru. Ia mengangkat tubuh lebih tinggi lagi memasuki lubang yang dibuatnya, dan tanah terus berjatuhan. Kalau begini terus,

lama-lama lubang persembunyian kami bakal tertimbun

tanah. Atau kebanjiran cahaya, dan itu akan membuat

lubang ini semakin tak berguna.

Aku bergeser semakin jauh ke dalam terowongan, hanya

ujung-ujung jari dan mataku yang masih muncul di pinggir

terowongan. Air hanya mencapai pinggulku. Cuma butuh

sepersekian detik untuk menghilang dalam kegelapan di

bawah sana. Aku bisa tahan tidak bernapas sehari penuh.

Sejak dulu aku tak pernah menyukai api. Bisa jadi itu

karena kenangan masa kecil yang terpendam, atau mungkin

sebenarnya itu akibat kenangan yang belum terlalu lama

berlalu. Menjadi vampir membuatku kapok berurusan dengan api.

Diego pasti sudah hampir mencapai permukaan. Sekali

lagi aku berjuang mengatasi kemungkinan bakal kehilangan

teman baru sekaligus satu-satunya.

"Kumohon, berhentilah, Diego," aku berbisik, tahu ia

mungkin tertawa, tahu ia mungkin tidak mau mendengarkan.

"Kepercayaan, Bree."

Aku menunggu, tidak bergerak.

"Hampir..." gumamnya. "Oke."

Aku mengejang menunggu datangnya cahaya, atau bunga

api, atau ledakan, tapi Diego melompat turun saat suasana

56

masih gelap. Di tangannya tergenggam akar yang lebih panjang, benda tebal meliuk-liuk yang hampir setinggi aku. Ia

menatapku dengan ekspresi yang seolah mengatakan "kubilang juga apa."

"Aku bukan orang sembrono," ujarnya. Ia melambaikan

tangannya yang satu lagi pada akar itu. "Lihat?ini untuk

berjaga-jaga."

Sambil berkata begitu ia menusukkan akar ke atas, ke

lubang barunya. Terjadi lagi longsoran kerikil dan pasir sementara Diego berlutut, menjauhi lubang. Sejurus kemudian sorot cahaya terang benderang?seberkas cahaya setebal lengan Diego?menghunjam kegelapan gua. Cahaya

itu membentuk semacam pilar dari langit-langit sampai ke

lantai, gemerlapan saat kepulan debu beterbangan di dalamnya. Aku membeku ketakutan, mencengkeram pinggir terowongan, bersiap kabur.

Diego tidak melompat mundur ataupun berteriak kesakitan. Tak ada bau asap. Gua ini seratus kali lebih terang

daripada sebelumnya, tapi itu tampaknya tidak berpengaruh

padanya. Kalau begitu ceritanya tentang pohon rindang tadi

bisa jadi benar. Kupandangi Diego dengan hati-hati sementara ia berlutut di samping pilar cahaya matahari itu, tidak
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak, memandanginya. Tampaknya ia baik-baik saja,

tapi ada sedikit perubahan pada kulitnya. Ada semacam

gerakan, mungkin dari kepulan debu yang membiaskan kilau itu. Nyaris terlihat seolah-olah ia berkilau sedikit.

Mungkin itu bukan karena debu, mungkin itu karena ia

57

terbakar. Mungkin itu tidak menyakitkan, dan ia terlambat

menyadarinya...

Detik-detik berlalu sementara kami memandangi cahaya

terang itu, tak bergerak.

Kemudian, dengan gerakan yang terkesan terduga tapi

juga tak terduga sama sekali, ia mengulurkan tangan, telapak tangannya menghadap ke atas, dan mengarahkannya ke

cahaya.

Aku bergerak lebih cepat daripada pikiranku, sangat cepat. Lebih cepat daripada yang pernah kulakukan sebelumnya.

Kuterjang Diego ke dinding belakang gua yang dipenuhi

tanah sebelum ia selesai mengulurkan seluruh lengannya ke

dalam cahaya.

Ruangan itu tiba-tiba dipenuhi kilatan, dan aku merasakan kehangatan di kakiku. Pada detik yang sama aku menyadari gua itu terlalu kecil sehingga aku tak bisa mendesak

Diego ke dinding tanpa sebagian anggota tubuhku terkena

cahaya matahari juga.

"Bree!" Diego terkesiap.

Otomatis aku memilinkan tubuh menjauhinya, berguling

dan menempel rapat-rapat ke dinding. Kurang dari satu

detik berlalu, dan selama itu aku menunggu rasa sakit menjalari tubuhku. Menunggu lidah-lidah api menyambar dan

menyebar seperti pada malam aku bertemu dengan perempuan itu, hanya saja kali ini lebih cepat. Kilatan cahaya terang benderang itu lenyap. Yang ada hanya pilar cahaya

matahari itu lagi.

58

Kupandangi wajah Diego?matanya masih membelalak,

mulutnya ternganga. Ia masih diam tak bergerak, pertanda

sangat terkejut. Aku ingin mengarahkan mataku ke bawah,

ke kakiku, tapi aku tidak berani melihat apa yang tersisa

darinya. Ini tidak seperti waktu Jen mencabut lenganku,

meskipun itu rasanya lebih menyakitkan. Soalnya aku takkan bisa memperbaiki kakiku.

Masih juga belum terasa sakit.

"Bree, kau lihat itu tadi?"

Aku cepat-cepat menggeleng. "Seberapa parah?"

"Parah?"

"Kakiku," kataku dari sela-sela gigiku. "Katakan saja apa

yang masih tersisa."

"Kakimu kelihatannya baik-baik saja."

Cepat-cepat aku melirik ke bawah, dan memang benar,

aku melihat kaki dan tungkaiku masih utuh, sama seperti

sebelumnya. Kugerakkan jari-jari kakiku. Baik-baik saja.

"Sakitkah?" tanyanya.

Kutarik kedua kakiku kemudian berlutut. "Belum."

"Kaulihat apa yang terjadi tadi, tidak? Cahaya itu?"

Aku menggeleng.

"Lihat ini," katanya, kembali berlutut di depan tiang cahaya matahari. "Dan kali ini jangan dorong aku lagi. Kau

tadi sudah membuktikan bahwa aku benar." Ia mengulurkan

tangan. Rasanya nyaris sesulit tadi menontonnya, walaupun

kakiku terasa normal-normal saja.

Begitu jari-jarinya memasuki cahaya matahari, gua langsung dipenuhi jutaan pantulan cahaya pelangi yang terang

59

benderang. Suasananya seterang tengah hari dalam ruangan

yang seluruhnya terbuat dari kaca?cahaya di mana-mana.

Aku berjengit lalu bergidik. Cahaya matahari menerpa sekujur tubuhku.

"Menakjubkan," bisik Diego. Ia mengulurkan seluruh

lengannya ke dalam cahaya matahari, dan gua berpendar

semakin terang. Ia membalikkan lengan untuk memandangi

bagian belakangnya, kemudian membaliknya lagi hingga

telapak tangannya menghadap ke atas. Pantulan cahaya menari-nari seolah-olah ia sedang memutar-mutar sebuah

prisma.

Tidak ada bau terbakar, dan ia jelas-jelas tidak merasa

sakit. Kupandangi tangannya lekat-lekat, seolah-olah ada

miliaran cermin kecil di permukaannya, terlalu kecil untuk

dipisahkan satu sama lain, semua memantulkan cahaya dengan intensitas ganda cermin biasa.

"Kemarilah, Bree?kau harus mencobanya."

Aku tidak punya alasan untuk menolak, dan aku memang

penasaran, tapi aku juga masih enggan saat bergeser ke

sampingnya.

"Tidak ada yang terbakar?"

"Tidak. Cahaya tidak membakar kita, hanya... memantul

di kulit kita. Kurasa itu juga tidak menggambarkan keadaan

yang sebenarnya dengan tepat."

Selamban manusia, dengan enggan aku mengulurkan

jari-jariku ke dalam cahaya. Seketika itu juga pantulan terpancar keluar dari kulitku, membuat ruangan ini terang

benderang sehingga hari di luar terlihat gelap bila diban 60

dingkan. Tidak persis berupa pantulan, karena cahayanya

berbelok dan berwarna, lebih menyerupai kristal. Kuulurkan seluruh tanganku, dan ruangan itu semakin benderang.

"Menurutmu Riley tahu tentang hal ini?" aku berbisik.

"Mungkin. Mungkin juga tidak."

"Mengapa dia tidak memberitahu kita kalau tahu? Apa

tujuannya? Jadi kita ibarat bola disko berjalan." Aku mengangkat bahu.

Diego tertawa. "Aku bisa mengerti dari mana cerita-cerita

itu berasal. Bayangkan saja kalau kau melihat hal ini saat

kau masih menjadi manusia. Bukankah kau akan mengira

orang itu meledak dan diselubungi api?"

"Kalau dia tidak berlama-lama nongkrong dan ngobrol.

Mungkin."

"Luar biasa," ucap Diego. Dengan satu jari ia menelusuri

telapak tanganku yang berkilau.

Kemudian ia melompat berdiri, tepat di bawah sorot

matahari, dan ruangan itu seketika benderang oleh cahaya

gemerlapan.

"Ayo, kita keluar dari sini." Ia mengulurkan tangan dan

mengangkat tubuhnya ke dalam lubang yang dibuatnya menuju permukaan.

Kau pasti mengira aku sudah berhasil mengatasi ketakutanku, tapi aku masih takut-takut untuk mengikutinya.

Tidak ingin terlihat pengecut, aku mengintil tepat di belakangnya, padahal dalam hati aku ketakutan setengah

mati. Riley sudah secara tegas menekankan bahwa kami

61

akan terbakar bila terkena sinar matahari; dalam pikiranku

itu terhubung dengan perasaan terbakar yang menyiksa saat

tubuhku berubah menjadi vampir, dan aku tak mampu

mengenyahkan rasa panik yang secara instingtif langsung

melandaku setiap kali aku memikirkannya.

Kemudian Diego keluar dari lubang, dan aku menyusul

di belakangnya setengah detik kemudian. Kami berdiri di

sepetak kecil lapangan yang ditumbuhi rerumputan liar,

hanya beberapa meter dari pepohonan yang menutupi pulau ini. Beberapa meter di belakang kami terdapat tebing

rendah, kemudian laut. Segala sesuatu di sekeliling kami

berpijar oleh warna dan cahaya yang terpancar dari tubuh

kami.

"Wow," bisikku.

Diego nyengir padaku, wajahnya rupawan oleh cahaya,

dan tiba-tiba, dengan perut yang mendadak terasa tergelitik,

sadarlah aku bahwa istilah "sahabat sejati selamanya" ternyata meleset jauh. Setidaknya bagiku. Secepat itu.

Cengiran Diego sedikit melunak dan membentuk senyum. Matanya membelalak lebar seperti mataku. Takjub

dan berbinar-binar. Ia menyentuh wajahku, seperti ia tadi

menyentuh tanganku, seolah-olah berusaha memahami kilauannya.

"Cantik sekali," ucapnya. Ia membiarkan tangannya tetap

di pipiku.

Entah berapa lama kami berdiri di sana, tersenyum seperti orang tolol, berpijar bagai obor kaca. Tidak ada kapal

di selat itu, dan mungkin itu ada baiknya. Kami pasti akan

62

terlihat oleh mata manusia. Bukannya aku takut mereka

akan melakukan sesuatu terhadap kami, hanya saja aku tidak haus, dan pekik jerit itu hanya akan merusak suasana

hatiku.

Akhirnya awan tebal bergerak menutupi matahari. Tibatiba saja kami kembali seperti dulu, meski tetap berpendar

samar. Tidak cukup terang untuk dilihat mata manusia yang

kurang tajam bila dibandingkan dengan mata vampir.

Begitu pendar itu lenyap, pikiranku kembali jernih dan

aku bisa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Walaupun Diego terlihat normal lagi?tidak terbuat dari

cahaya yang berkilauan, begitulah?aku tahu ia tidak akan

pernah terlihat sama lagi di mataku. Sensasi menggelitik di

perutku masih ada. Aku punya firasat perasaan itu akan

menetap.

"Haruskah kita memberitahu Riley? Apakah menurut

kita dia tidak tahu?" tanyaku.

Diego mengembuskan napas dan menurunkan tangannya.

"Aku tidak tahu. Mari kita pikirkan masalah ini sambil melacak jejak mereka."

"Kita harus berhati-hati melacak jejak mereka di siang

hari. Kita akan terlihat jelas di bawah cahaya matahari, kau

tahu itu."

Diego nyengir. "Kalau begitu, kita jadi ninja saja."

Aku mengangguk. "Klub ninja superrahasia kedengarannya jauh lebih keren daripada klub BFF itu."

"Jelas lebih baik."

Hanya butuh beberapa detik untuk menemukan titik

63

asal seluruh anggota kelompok meninggalkan pulau ini. Itu

bagian yang mudah. Menemukan di mana mereka mendarat

di daratan merupakan masalah lain. Kami sempat berdiskusi untuk berpisah, kemudian sama-sama memveto gagasan itu. Logika kami sangat jelas?bagaimanapun juga,

bila salah seorang dari kami menemukan sesuatu, bagaimana cara memberitahukannya pada yang lain??tapi sebenarnya aku memang tidak ingin meninggalkan dia, dan

kentara sekali dia juga merasakan hal yang sama. Kami

sama-sama tidak pernah punya teman baik seumur hidup

kami, jadi rasanya persahabatan ini terlalu manis untuk disia-siakan satu menit saja.

Begitu banyak kemungkinan ke mana mereka mungkin

pergi. Ke daratan di kawasan semenanjung, atau ke pulau

lain, atau kembali ke pinggiran kota Seattle, atau ke utara

menuju Kanada. Setiap kali kami menghancurkan atau

membakar satu rumah, Riley selalu sudah siap dengan rumah lain?sepertinya ia selalu tahu ke mana tepatnya harus

pergi. Ia pasti sudah merencanakannya sejak jauh-jauh hari,

tapi tidak pernah memberitahukan rencananya kepada

kami.

Mereka bisa berada di mana saja.

Keluar-masuk ke dalam air untuk menghindari kapal dan

manusia benar-benar memperlambat pencarian kami. Seharian kami lalui tanpa hasil, tapi kami sama sekali tidak

merasa keberatan. Kami sangat menikmati kebersamaan

kami.

Sungguh hari yang sangat aneh. Alih-alih duduk merana

64

dalam gelap, berusaha menulikan telinga dari kebisingan

dan menelan perasaan jijikku di tempat persembunyian,

aku malah bermain ninja-ninjaan bersama sahabat baruku,

atau mungkin lebih dari itu. Kami sering sekali tertawa

saat bergerak melintasi tempat-tempat yang rindang, saling

melempari dengan batu seolah-olah itu mainan.

Lalu matahari terbenam, dan tiba-tiba saja aku merasa

tertekan. Apakah Riley akan mencari kami? Apakah ia mengira kami mati terpanggang? Atau ia mengetahui hal lain?

Kami mulai bergerak lebih cepat. Jauh lebih cepat. Kami

sudah mengitari semua pulau yang berdekatan, jadi sekarang kami berkonsentrasi pada daratan. Kira-kira setengah

jam setelah matahari terbenam, aku mencium bau yang
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

familier, dan dalam beberapa detik kami sudah mengikuti

jejak mereka. Begitu kami menemukan jejak bau itu, mudah saja mengikuti mereka, seperti mengikuti sekelompok

gajah yang berjalan melintasi hamparan salju.

Kami membicarakan apa yang akan kami lakukan, lebih

serius sekarang, sambil berlari.

"Menurutku sebaiknya kita tidak usah memberitahu

Riley," kataku. "Bilang saja kita mendekam sepanjang hari

di dalam guamu sebelum keluar untuk mencari mereka."

Sambil berbicara, perasaan paranoidku menjadi-jadi. "Lebih

baik lagi, kita bilang saja guamu dipenuhi air. Kita bahkan

tidak bisa mengobrol."

"Menurutmu Riley jahat, bukan?" tanya Diego pelan setelah terdiam sebentar. Sambil berbicara, ia meraih tanganku.

65

"Entahlah. Tapi aku lebih suka bersikap begitu, hanya

untuk jaga-jaga." Aku ragu-ragu, kemudian berkata, "Kau

tidak ingin berpikir dia jahat."

"Tidak," Diego mengakui. "Bisa dibilang dia temanku.

Maksudku, bukan teman seperti kau." Ia meremas jemariku.

"Tapi lebih daripada orang lain. Aku tidak ingin berpikir..."

Diego tidak menyelesaikan kalimatnya.

Aku balas meremas jemarinya. "Mungkin dia memang

baik. Kehati-hatian kita tidak akan mengubah siapa dirinya

sebenarnya."

"Benar. Oke, kalau begitu kita ceritakan saja tentang gua

bawah laut itu. Setidaknya awalnya... aku bisa bicara dengannya tentang matahari nanti. Aku lebih suka melakukannya di siang hari, saat aku bisa membuktikan omonganku

saat itu juga. Dan untuk berjaga-jaga siapa tahu dia sudah

tahu, tapi ada alasan kuat mengapa dia justru memberitahu

hal yang berbeda kepada kita, aku akan memberitahu dia

saat kami sendirian. Menemuinya di saat fajar, ketika dia

kembali dari entah ke mana dia biasa pergi..."

Aku menyadari banyaknya kata "aku" berhamburan dalam pidato kecil Diego barusan, dan itu membuatku terusik. Tapi pada saat bersamaan aku juga tidak ingin terlibat

dalam urusan memberitahu Riley. Aku tidak percaya padanya seperti halnya Diego.

"Serangan fajar ninja!" aku berkata untuk membuatnya

tertawa. Berhasil. Kami mulai bergurau lagi sambil melacak

kawanan vampir kami, tapi dari sikapnya aku tahu bahwa

66

di balik canda rianya, ia sedang berpikir serius, sama

seperti aku.

Dan aku semakin gelisah saat kami berlari. Karena kami

berlari sangat cepat, dan tidak mungkin kami mengikuti

jejak yang salah, tapi perjalanannya terlalu panjang. Kami

sudah benar-benar jauh dari pantai, masuk terus ke wilayah

pegunungan terdekat, memasuki kawasan baru. Ini bukan

pola normal.

Setiap rumah yang kami pinjam, entah itu di gunung, di

pulau, atau tersembunyi di tengah pertanian luas, semua

memiliki beberapa kesamaan. Para pemiliknya sudah meninggal, lokasinya terpencil, dan satu lagi: semuanya bisa

dibilang terfokus pada Seattle. Berorientasi ke sana, mengitari kota besar itu seperti bulan mengorbit bumi. Seattle

selalu menjadi pusatnya, selalu menjadi target.

Sekarang kami berada di luar orbit, dan itu terasa asing.

Mungkin itu tidak berarti apa-apa, mungkin itu hanya satu

dari sekian banyak hal yang berubah hari ini. Semua kebenaran yang pernah kuterima dijungkirbalikkan hari ini

dan aku sedang tidak ingin duniaku dijungkirbalikkan lagi.

Mengapa Riley tidak memilih tempat lain yang normal-normal saja?

"Lucu juga kita pindah ke tempat sejauh ini," gumam

Diego, dan aku bisa mendengar nada gelisah dalam suaranya.

"Atau menakutkan," gerutuku.

Diego meremas tanganku. "Tenanglah. Klub ninja bisa

mengatasi semuanya."

67

"Sudah ketemu jabat tangan rahasianya?"

"Sedang kupikirkan," janjinya.

Sesuatu mulai mengusik pikiranku. Rasanya seolah-olah

aku bisa merasakan titik buta yang aneh ini?aku tahu ada

sesuatu yang tidak kulihat, tapi aku tidak bisa memahaminya. Padahal sesuatu itu jelas...

Kemudian, kira-kira 96 kilometer ke arah barat, melenceng dari perimeter kami biasanya, kami menemukan rumah itu. Mustahil salah mengenali kebisingannya. Dentum

suara bass yang berbunyi bum bum bum, lagu pengiring

permainan video game, suara-suara geraman. Sudah jelas itu

pasti kelompok kami.

Kutarik tanganku dari genggaman Diego, dan Diego menatapku.

"Hei, aku kan tidak kenal kau," kataku dengan nada bercanda. "Aku belum pernah sekali pun mengobrol denganmu,

karena kita tadi kan duduk di dalam air sepanjang hari.

Jangan-jangan kau ninja atau vampir."

Diego nyengir. "Hal yang sama juga berlaku terhadapmu,

orang asing." Kemudian dengan suara pelan dan cepat ia

berkata, "Lakukan saja hal-hal yang sama seperti yang kaulakukan kemarin. Besok malam kita keluar lagi bersamasama. Mungkin berunding, menentukan harus melakukan

apa."

"Baiklah. Aku setuju."

Ia menunduk dan menciumku?hanya sekilas, tapi tepat

di bibir. Kekagetanku menjalar sampai ke sekujur tubuh.

Lalu ia berkata, "Ayo kita lakukan," dan melesat menuruni

68

sisi gunung menuju sumber suara berisik itu tanpa menoleh

lagi. Belum-belum ia sudah memainkan perannya.

Agak terperangah aku mengikuti beberapa meter di belakang, teringat untuk menjaga jarak seperti halnya dengan

vampir lain.

Rumah itu bangunan besar bergaya kabin kayu, dibangun

di tengah sekelompok pohon pinus tanpa tanda-tanda adanya tetangga dalam radius berkilo-kilometer. Semua jendelanya hitam, seakan-akan tempat itu kosong, tapi rangka rumah itu bergetar oleh dentuman bass nyaring di basement.

Diego masuk lebih dulu dan aku berusaha bergerak di

belakangnya, seolah-olah ia Kevin atau Raoul. Ragu-ragu,

melindungi ruangku. Ia menemukan tangga dan menghambur turun dengan langkah-langkah penuh percaya diri.

"Berusaha kabur dariku ya, pecundang-pecundang?" tanyanya.

"Oh, hei, Diego masih hidup," kudengar Kevin menyahut

dengan nada yang sama sekali tidak antusias.

"Bukan berkat jasamu," tukas Diego sementara aku menyelinap memasuki basement yang gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari beberapa layar televisi, tapi itu sudah lebih daripada yang kami butuhkan. Aku bergegas kembali

ke tempat Fred berada, di sofa yang dikuasainya sendirian,

senang karena aku boleh terlihat gugup, sebab aku memang

tak mungkin menyembunyikannya. Aku menelan ludah dengan susah payah saat gelombang perasaan jijik menghantamku, lalu meringkuk di tempatku yang biasa, yaitu di

lantai belakang sofa. Begitu aku duduk, aura menjijikkan

69

yang terpancar dari tubuh Fred seolah memudar. Atau

mungkin aku yang sudah terbiasa.

Basement lebih dari separuh kosong karena sekarang tengah malam. Semua anak di sini memiliki mata seperti

aku?merah cemerlang karena habis makan.

"Butuh waktu lumayan lama untuk membersihkan sisasisa ketololan kalian," omel Diego kepada Kevin. "Hari sudah hampir fajar waktu aku sampai di reruntuhan rumah.

Terpaksa mendekam di dalam gua bawah air sepanjang

hari."

"Mengomellah sana kepada Riley. Terserah."

"Kulihat cewek kecil itu juga masih hidup," kata sebuah

suara baru dan aku bergidik karena itu suara Raoul. Aku

merasa sedikit lega karena ia tidak tahu namaku, tapi sebagian besar perasaan yang kurasakan adalah ngeri karena

ia memperhatikan keberadaanku.

"Yeah, dia mengikuti aku." Aku tidak bisa melihat Diego,

tapi aku tahu ia mengangkat bahu.

"Juruselamat kau rupanya, ya?" sindir Raoul sinis.

"Kita toh tidak mendapat nilai tambahan dengan menjadi orang tolol."

Sebenarnya aku berharap Diego tidak menyindir Raoul.

Kuharap sebentar lagi Riley kembali. Hanya Riley yang

bisa meredam Raoul.

Tapi Riley mungkin sedang pergi berburu anak-anak

sampah masyarakat lagi untuk dibawa kepada perempuan

itu. Atau melakukan entah apa lagi yang biasa ia lakukan

bila sedang pergi.

70

"Menarik juga sikapmu itu, Diego. Kaupikir Riley sangat

menyukaimu sehingga dia bakal peduli kalau aku membunuhmu. Kurasa kau keliru. Tapi sudahlah, yang jelas

malam ini dia sudah mengira bahwa kau mati."

Aku bisa mendengar yang lain-lain bergerak. Sebagian

mungkin untuk mendukung Raoul, sebagian lagi menyingkir. Aku ragu-ragu di tempat persembunyianku, tahu aku

tak mungkin membiarkan Diego bertarung menghadapi

mereka sendiri, tapi khawatir itu bakal membongkar rahasia

kami kalau ternyata tidak sampai terjadi perkelahian. Aku

berharap Diego sanggup bertahan selama ini karena memiliki keahlian khusus dalam bertarung. Tak banyak yang

bisa kutawarkan dalam hal itu. Ada tiga anggota geng

Raoul di sini, dan beberapa yang lain yang mungkin bersedia membantunya hanya untuk menjilatnya. Apakah Riley

akan sampai di rumah sebelum mereka sempat membakar

kami?

Suara Diego tenang ketika menjawab, "Kau benar-benar

takut menghadapiku sendirian? Tipikal."

Raoul mendengus. "Memangnya sindiran itu bisa berhasil, ya? Maksudku, kecuali di film-film. Mengapa aku

harus menghadapimu sendirian? Masa bodoh dengan mengalahkanmu. Aku hanya ingin menghabisimu."

Aku merunduk, tubuh mengejang, siap menerjang.

Raoul terus berbicara. Rupanya ia sangat senang mendengar suaranya.

"Tapi tidak semua dari kami akan menghadapimu. Ke 71

dua orang ini akan membereskan saksi mata yang mengetahui bahwa kau selamat. Si kecil siapa-namanya-itu."

Tubuhku sedingin es, membeku kaku. Aku berusaha

mengenyahkan perasaan itu agar bisa bertarung sebaik

mungkin. Walaupun itu takkan ada bedanya.

Kemudian aku merasakan sesuatu yang lain, sesuatu yang

benar-benar tidak terduga?gelombang perasaan jijik yang

sangat kuat hingga aku tak sanggup terus merunduk. Aku

tersuruk ke lantai, megap-megap penuh kengerian.

Bukan aku saja yang bereaksi. Aku mendengar geramangeraman jijik dan suara-suara tersedak menahan muntah

dari setiap sudut basement. Beberapa mundur ke tepi

ruangan, tempat aku bisa melihat mereka. Mereka menempel rapat-rapat di dinding, menjulurkan leher sepanjang

mungkin seolah-olah dengan begitu mereka bisa meloloskan

diri dari perasaan muak. Paling tidak salah satu dari mereka anggota geng Raoul.

Aku mendengar dengan jelas geraman Raoul, kemudian

mendengar geraman itu menghilang saat ia menghambur

menaiki tangga. Bukan hanya dia vampir yang kabur dari

situ. Kira-kira setengah isi basement berhamburan keluar

dari sana.

Aku tak punya pilihan itu. Aku nyaris tak bisa bergerak.

Lalu aku sadar itu pasti karena aku begitu dekat dengan

Freaky Fred. Dialah yang bertanggung jawab atas apa yang

tengah terjadi. Dan meski sangat jijik, aku masih sempat

menyadari mungkin ia baru saja menyelamatkan nyawaku.

Mengapa?

72

Sensasi jijik itu perlahan-lahan memudar. Secepat aku

bisa, aku merayap ke pinggir sofa dan menatap keadaan di

basement. Semua anggota geng Raoul sudah menyingkir,

tapi Diego masih di sana, di bagian paling ujung ruangan

yang besar itu, dekat TV. Para vampir yang tetap bertahan

pelan-pelan mulai rileks, walaupun semuanya tampak sedikit terguncang. Sebagian besar melontarkan pandangan

waswas ke arah Fred. Aku mengintip ke bagian belakang

kepala Fred, meski tidak bisa melihat apa-apa. Aku cepatcepat membuang muka. Melihat Fred menimbulkan kembali perasaan jijik itu.

"Jangan berisik."

Suara berat itu terlontar dari mulut Fred. Aku belum

pernah mendengarnya bicara. Semua menatap, kemudian

langsung membuang muka begitu perasaan jijik itu muncul
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali.

Jadi Fred hanya menginginkan ketenangan dan kedamaian. Well, terserah. Yang penting aku tetap hidup karena

itu. Besar kemungkinan Raoul akan mengalihkan perhatiannya ke pihak lain dan melampiaskan amarahnya pada seseorang di dekatnya. Dan Riley selalu kembali menjelang

pagi. Ia akan mendengar bahwa Diego mendekam di gua,

bukan berada di luar dan hancur-lebur karena sinar matahari, dan Raoul takkan punya alasan untuk menyerang dia

atau aku.

Setidaknya, itulah skenario terbaik. Sementara itu, mungkin Diego dan aku bisa memikirkan rencana untuk menjauhkan diri dari Raoul.

73

Sekali lagi aku merasakan sekilas perasaan bahwa ada

satu solusi jelas yang luput dari perhatianku. Belum lagi

aku sempat memikirkannya, pikiran-pikiranku sudah terpotong.

"Maaf."

Gumaman berat yang nyaris berbisik itu hanya mungkin

berasal dari mulut Fred. Kelihatannya aku satu-satunya

yang berada cukup dekat dengannya untuk bisa mendengar.

Apakah ia berbicara padaku?

Aku menatapnya lagi dan tidak merasakan apa-apa. Aku

tidak bisa melihat wajahnya?ia masih duduk membelakangiku. Rambutnya tebal, pirang bergelombang. Aku tidak

pernah menyadarinya sebelumnya, karena selama ini aku

selalu bersembunyi di balik bayang-bayangnya. Riley tidak

bergurau waktu mengatakan Fred istimewa. Tahukah Riley

bahwa Fred sangat... sangat kuat? Ia mampu membuat seisi

ruangan kewalahan oleh perasaan jijik hingga berhamburan

keluar hanya dalam tempo satu detik.

Walaupun tidak melihat ekspresinya, aku punya firasat

Fred menunggu jawaban.

"Mm, tidak usah meminta maaf." Aku mengembuskan

napas nyaris tanpa suara. "Terima kasih."

Fred mengangkat bahu.

Kemudian aku mendapati bahwa ternyata aku tidak bisa

menatapnya lagi.

Waktu berlalu lebih lambat daripada biasanya sementara

aku menunggu Raoul kembali. Dari waktu ke waktu aku

berusaha melihat ke arah Fred lagi?untuk melihat apakah

74

aku bisa menembus perlindungan yang ia ciptakan untuk

dirinya sendiri?tapi aku selalu merasa jijik. Kalau aku berusaha terlalu keras, aku malah seperti mau muntah.

Memikirkan Fred membuat pikiranku teralih dari Diego.

Aku berusaha berpura-pura tidak peduli di mana ia berada

dalam ruangan itu. Aku tidak memandanginya, tapi pikiranku terfokus pada suara tarikan napasnya?ritmenya yang

teratur?agar tetap waspada. Ia duduk di sisi ruangan yang

berseberangan denganku, mendengarkan CD di laptop-nya.

Atau mungkin berpura-pura mendengarkan, seperti halnya

aku berpura-pura membaca buku yang kukeluarkan dari

ransel lembap di bahuku. Aku membalik-balik halaman

dalam kecepatanku yang biasa, padahal tidak membaca sepatah kata pun. Aku menunggu kedatangan Raoul.

Untunglah, Riley datang lebih dulu. Raoul dan antekanteknya menguntit tepat di belakangnya, tapi tidak seribut

dan semenjengkelkan biasanya. Mungkin Fred sudah membuat mereka sedikit lebih respek.

Tapi mungkin juga tidak. Besar kemungkinan Fred malah membuat mereka marah. Aku benar-benar berharap

Fred tak pernah membiarkan dirinya lengah.

Riley langsung menghampiri Diego; aku memasang

telinga meski duduk membelakangi mereka, mataku tertuju

ke buku. Dari sudut pandangku, aku melihat beberapa

idiot Raoul berkeliaran, mencari-cari permainan favorit mereka atau apa pun yang tadi mereka lakukan sebelum Fred


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng

Cari Blog Ini