Ceritasilat Novel Online

Kisah Singkat Bree Tanner 3

Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer Bagian 3

akan mengetahui bahwa yang kita hadapi adalah benar mereka karena gadis manusia itu akan bersama mereka."

"Seperti... bagaimana?" tanya Kristie. "Maksudmu, mereka membawa makanan mereka ke mana-mana, begitu?"

"Bukan, gadisnya selalu sama, hanya satu, dan mereka

memang tidak bermaksud membunuhnya. Entah bagaimana

mereka bisa melakukannya, atau mengapa. Mungkin mereka suka jadi berbeda. Mungkin mereka ingin memamerkan pengendalian diri mereka. Mungkin mereka mengira

itu membuat mereka tampak lebih kuat. Tidak masuk akal

bagiku. Tapi aku pernah melihat gadis itu. Lebih daripada

itu, aku pernah mencium baunya."

Pelan-pelan dan dengan sikap dramatis, Riley merogoh

jaketnya dan mengeluarkan kantong ziplock kecil dengan

gumpalan kain berwarna merah di dalamnya.

"Aku mengadakan penyelidikan beberapa minggu terakhir

ini, mengecek keadaan si mata kuning segera setelah mereka

mendekati kawasan ini." Ia terdiam sejenak untuk melayangkan pandangan kebapakan kepada kami. "Aku menjaga

anak-anakku. Pokoknya, begitu aku tahu mereka bermaksud

menyerang kita, aku mengambil ini"?ia mengacungkan

kantong plastik itu?"untuk membantu kita melacak mereka. Aku ingin kalian semua menghafalkan bau ini."

Ia menyerahkan kantong plastik itu kepada Raoul, yang

140

lantas membukanya dan menghirup dalam-dalam. Ia mendongak kepada Riley dengan tatapan kaget.

"Aku tahu," ujar Riley. "Menakjubkan, bukan?"

Raoul memberikan kantong plastik itu kepada Kevin,

matanya menyipit berpikir.

Satu demi satu, setiap vampir mengendus benda di dalam kantong plastik itu, dan semua bereaksi dengan mata

membelalak. Saking penasaran, aku beringsut-ingsut menjauhi Fred sampai bisa merasakan secercah perasaan mual

dan tahu aku berada di luar lingkarannya. Aku beringsut

maju hingga berdiri tepat di samping si cowok Spider-Man,

yang kelihatannya berada di barisan paling ujung. Ia

mengendus ke dalam kantong plastik, dan kelihatannya seperti hendak mengembalikan kantong plastik itu kepada

orang yang tadi memberinya, tapi aku mengulurkan tangan

dan mendesis pelan. Anak itu tercengang melihatku?hampir seolah-olah ia tidak pernah melihatku sebelumnya?dan

memberikan kantong itu.

Kelihatannya kain merah itu kemeja. Aku menyurukkan

hidungku ke dalam bukaan plastik, sementara mataku tetap

tertuju pada vampir di dekatku, hanya untuk berjaga-jaga,

lalu menghirup aromanya.

Ah. Aku mengerti sekarang mengapa ekspresi mereka

seperti itu dan merasakan ekspresi yang sama tergambar di

wajahku. Karena manusia yang pernah mengenakan kemeja

ini darahnya luar biasa manis. Waktu Riley mengatakan

hidangan pencuci mulut, ia benar sekali. Di lain pihak, aku

tidak sehaus sebelumnya. Jadi walaupun mataku membela 141

lak mengagumi aromanya, aku tidak merasakan kesakitan

di kerongkonganku hingga bisa membuatku meringis. Luar

biasa sekali kalau bisa mencicipi darah ini, tapi pada saat

ini, aku tidak merasa kesakitan karena tidak bisa mencicipinya.

Aku penasaran berapa lama lagi aku akan merasa haus.

Biasanya beberapa jam setelah makan rasa sakit itu akan

mulai muncul kembali, kemudian semakin parah dan semakin parah sampai?setelah beberapa hari?mustahil

mengabaikannya bahkan untuk satu detik saja. Mungkinkah

berlebihannya jumlah darah yang baru saja kuminum memperlambat proses itu? Kurasa aku akan mengetahuinya sebentar lagi.

Aku memandang berkeliling untuk memastikan tidak

ada yang menunggu kantong plastik ini, karena kupikir

Fred mungkin juga ingin tahu. Riley menatap mataku, tersenyum sedikit, dan mengentakkan dagunya ke sudut tempat Fred berada. Itu membuatku ingin melakukan hal yang

berlawanan dengan rencanaku semula, tapi sudahlah. Aku

tidak ingin Riley curiga padaku.

Aku berjalan menghampiri Fred, mengabaikan perasaan

mual itu sampai reda sendiri dan aku berdiri tepat di sampingnya. Kuserahkan kantong plastik itu kepadanya. Fred

tampak senang aku ingat untuk mengikutsertakannya; ia

tersenyum dan mengendus kemeja itu. Sedetik kemudian

ia mengangguk khidmat. Ia mengembalikan kantong plastik

itu padaku dengan ekspresi penuh makna. Nanti kalau

kami sendirian lagi, kupikir ia akan mengutarakan apa pun

142

itu yang kelihatannya ingin dibaginya denganku sebelumnya.

Kulemparkan kantong plastik itu kepada Spider-Man,

yang bereaksi seolah-olah kantong plastik itu terjatuh

begitu saja dari langit tapi tetap berhasil menangkapnya

sebelum benda itu terjatuh ke lantai.

Semua ribut membicarakan bau itu. Riley bertepuk tangan dua kali.

"Oke, jadi itulah hidangan pencuci mulut yang kumaksud. Gadis itu akan bersama dengan para mata kuning.

Dan siapa pun yang paling dulu menangkapnya akan mendapatkan hidangan pencuci mulut itu. Sederhana saja."

Geraman-geraman setuju, geraman-geraman bersaing.

Sederhana, ya, tapi... keliru. Bukankah kami seharusnya

menghancurkan klan mata kuning itu? Kuncinya adalah

persatuan, bukan hadiah siapa-cepat-dia-dapat yang hanya

bisa dimenangkan satu vampir. Satu-satunya hasil yang dijamin akan diperoleh dari rencana ini adalah kematian seorang manusia. Aku bisa memikirkan setengah lusin cara

lain yang lebih produktif untuk memberi motivasi kepada

pasukan ini. Siapa yang paling banyak membunuh mata

kuning akan memenangkan gadis itu. Siapa yang menunjukkan kerja sama tim paling baik mendapatkan gadis itu.

Siapa yang paling berpegang teguh pada rencana. Siapa

yang paling taat mengikuti peraturan. Fokusnya harus pada

bahaya, jelas bukan pada si manusia.

Aku mengedarkan pandangan ke para vampir lain dan

memutuskan tak seorang pun dari mereka berpikir sama

143

denganku. Raoul dan Kristie belum-belum sudah saling

berpandangan garang. Aku mendengar Sara dan Jen berdebat sambil berbisik-bisik tentang kemungkinan berbagi

hadiah.

Well, mungkin Fred memahami hal yang sama denganku.

Keningnya berkerut.

"Dan hal terakhir," ujar Riley. Untuk pertama kali terdengar nada enggan dalam suaranya. "Mungkin ini bahkan

lebih sulit diterima, jadi aku akan menunjukkannya kepada

kalian. Aku tidak akan meminta kalian melakukan apa pun

yang aku sendiri tidak mau melakukannya. Ingat itu?aku

selalu mendampingi kalian dalam setiap langkah kalian."

Para vampir kembali terdiam. Kulihat Raoul memegang

kantong plastik ziplock itu dan mencengkeramnya kuat-kuat

dengan sikap posesif.

"Ada banyak sekali hal yang belum kalian pelajari sebagai

vampir," kata Riley. "Beberapa di antaranya lebih masuk

akal daripada beberapa yang lain. Ini salah satu hal yang

awalnya terdengar ganjil, tapi aku sudah mengalaminya sendiri, dan aku akan menunjukkannya kepada kalian." Ia sengaja berdiam diri cukup lama. "Empat kali dalam setahun,

matahari bersinar dalam sudut tertentu secara tidak langsung. Selama satu hari itu, empat kali dalam setahun, keadaan aman... bagi kita untuk berada di luar pada siang

hari."

Setiap gerakan terhenti. Tidak ada yang bernapas. Riley

sedang berbicara kepada sekelompok patung.

144

"Salah satu hari istimewa itu dimulai sekarang. Matahari

yang terbit hari ini di luar sana takkan menyakiti kita. Dan

kita akan memanfaatkan pengecualian yang langka ini untuk mengejutkan musuh-musuh kita."

Berbagai pikiran berkecamuk di dalam benakku. Jadi

Riley tahu aman bagi kami untuk keluar di siang hari.

Atau ia tidak tahu, dan pencipta kami yang memberitahunya cerita tentang "empat hari dalam setahun" ini. Atau...

sebenarnya cerita itu benar dan kebetulan saja Diego serta

aku mengalaminya saat berada dalam gua persembunyian

itu. Tapi Diego juga sudah pernah berdiri di bawah bayangbayang pohon sebelumnya. Dan Riley membuat seolah-olah

hal ini berkaitan dengan sudut jatuhnya sinar matahari,

padahal Diego dan aku aman di bawah cahaya matahari

hanya empat hari yang lalu.

Aku bisa mengerti mengapa Riley dan pencipta kami

ingin mengendalikan kami dengan perasaan takut terhadap

matahari. Itu masuk akal. Tapi mengapa mengatakan hal

yang sebenarnya?meski masih sangat terbatas?sekarang?

Aku berani bertaruh, itu pasti ada hubungannya dengan

para vampir berjubah hitam yang menakutkan itu. Perempuan itu mungkin ingin mendahului tenggat waktu. Para

vampir berjubah tidak berjanji akan membiarkannya tetap

hidup bila kami membunuh semua mata kuning. Kurasa

perempuan itu akan segera melarikan diri begitu selesai

menuntaskan tugasnya di sini. Bunuh para mata kuning,

kemudian pergi berlibur untuk waktu yang sangat lama ke

145

Australia atau ke tempat lain di pelosok dunia lain. Dan

aku berani bertaruh, perempuan itu takkan mengirimi kami

undangan bergrafir indah. Aku harus menemui Diego sesegera mungkin supaya kami bisa kabur juga. Ke arah yang

berlawanan dengan kaburnya Riley dan pencipta kami. Dan

sebaiknya aku juga memberitahu Fred. Aku memutuskan

untuk melakukannya sesegera mungkin, begitu kami punya

kesempatan berdua.

Banyak sekali manipulasi dalam pidato singkat itu, dan

aku tak yakin menangkap semuanya. Dalam hati aku berharap kalau saja Diego ada di sini, sehingga kami bisa

menganalisisnya bersama-sama.

Seandainya Riley hanya mengarang-ngarang tentang

cerita empat hari ini, kurasa aku bisa mengerti kenapa. Tentu tidak mungkin ia berkata, Hei, aku memang sudah membohongi kalian seumur hidup kalian, tapi sekarang aku mengatakan hal sebenarnya. Ia ingin kami mengikutinya ke

medan perang hari ini; ia tidak mungkin menyepelekan kepercayaan yang telah diperolehnya.

"Tidak salah bila kalian takut pada pemikiran itu," kata

Riley pada patung-patung di hadapannya. "Alasan kalian

semua masih hidup adalah karena kalian menuruti nasihatku untuk berhati-hati. Kalian pulang tepat waktu, kalian

tidak pernah melakukan kesalahan. Kalian membiarkan

rasa takut itu membuat kalian cerdas dan berhati-hati. Aku

tidak berharap kalian dengan mudah menyingkirkan rasa

takut yang cerdas itu. Aku tak berharap kalian akan langsung berlari keluar dari pintu begitu mendengar perkataan 146

ku. Tapi..." Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling

ruangan. "Aku berharap kalian mengikuti aku keluar."

Matanya beralih selama sepersekian detik dari para vampir di hadapannya, hinggap sejenak pada sesuatu di atas

kepalaku.

"Lihat aku," katanya kepada kami. "Dengarkan aku. Percayalah padaku. Kalau kalian melihatku baik-baik, percayalah pada penglihatan kalian. Matahari yang terbit hari

ini akan menimbulkan efek-efek menarik pada kulit kita.

Kalian lihat saja nanti. Itu sama sekali tidak menyakiti

kalian. Aku tidak mungkin melakukan hal-hal yang akan

membahayakan kalian. Kalian tahu itu."

Ia mulai menaiki tangga.

"Riley, tidak bisakah kita menunggu?" sergah Kristie.

"Perhatikan saja baik-baik," sela Riley, memotong perkataan Kristie sambil terus menaiki tangga dengan langkah

terukur. "Ini memberi kita keuntungan besar. Vampir mata

kuning tahu tentang hari ini, tapi mereka tidak tahu bahwa

kita tahu." Sambil berbicara ia membuka pintu dan keluar

dari basement menuju dapur. Tak ada cahaya di dapur yang

tertutup rapat, namun tetap saja semua orang mengkeret

menjauhi pintu yang terbuka. Semua kecuali aku. Suara

Riley berlanjut, bergerak menuju pintu depan. "Dibutuhkan

waktu cukup lama bagi sebagian besar vampir muda untuk

bisa menerima pengecualian ini?dan alasannya memang

tepat. Mereka yang tidak berhati-hati pada cahaya matahari

tidak akan bertahan lama."

Aku merasakan mata Fred tertuju padaku. Aku melirik 147

nya. Ia menatapku dengan pandangan mendesak, seolaholah ia ingin pergi tapi tidak tahu harus ke mana.

"Tidak apa-apa," bisikku, nyaris tanpa suara. "Matahari

tidak akan menyakiti kita."

Kau percaya padanya? ia menggerak-gerakkan mulutnya

padaku.

Jelas tidak.
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fred mengangkat alis dan tubuhnya rileks sedikit.

Aku menoleh ke belakang. Apa yang dilihat Riley tadi?

Tidak ada yang berubah?hanya beberapa foto keluarga

orang-orang yang sudah mati, cermin kecil, dan jam kukuk.

Hmmm. Apakah ia tadi mengecek waktu? Mungkin pencipta kami juga memberinya tenggat waktu.

"Oke, anak-anak, aku akan keluar," seru Riley. "Kalian

tidak perlu takut hari ini, aku berjanji."

Cahaya menerobos masuk ke dalam basement dari pintu

yang terbuka, dipancarkan?hanya aku yang tahu soal

itu?oleh kulit Riley. Aku bisa melihat pantulan-pantulannya yang cemerlang menari-nari di dinding.

Mendesis dan menggeram-geram, klanku mundur ke sudut yang berseberangan dengan sudut tempat Fred berdiri.

Kristie berada paling belakang. Kelihatannya ia berusaha

menggunakan kelompoknya sebagai semacam perisai.

"Rileks, semuanya," Riley berseru kepada kami. "Aku

baik-baik saja. Tidak sakit, tidak terbakar. Datang dan lihatlah. Ayo!"

Tak ada yang bergerak mendekati pintu. Fred meringkuk

di dinding di sampingku, menatap cahaya dengan panik.

148

Aku melambaikan tangan sedikit untuk menarik perhatiannya. Ia mendongak menatapku dan selama sedetik mengamati sikapku yang tenang. Pelan-pelan ia bangkit dan

berdiri di sampingku. Aku tersenyum menyemangati.

Semua menunggu api menyambar. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku juga terlihat setolol itu di mata

Diego waktu itu.

"Kau tahu," kata Riley dari atas. "Aku penasaran ingin

melihat siapakah yang paling pemberani di antara kalian

semua. Rasanya aku sudah bisa mengira siapa orang pertama yang akan melewati pintu itu, tapi perkiraanku pernah salah sebelumnya."

Aku memutar bola mata. Halus sekali, Riley.

Tapi tentu saja sindirannya mempan. Raoul mulai beringsut-ingsut menuju tangga nyaris seketika itu juga. Sekali

ini Kristie tidak merasa terburu-buru bersaing dengannya

untuk mendapatkan pujian Riley. Raoul menjentikkan jarijarinya kepada Kevin, dan baik dia maupun si Spider-Man

dengan enggan langsung bergerak mengapitnya.

"Kalian bisa mendengarku. Kalian tahu aku tidak terpanggang. Jangan jadi penakut! Kalian vampir. Bersikaplah

seperti vampir."

Namun tetap saja Raoul dan teman-temannya tidak berani bergerak lebih jauh dari kaki tangga. Yang lain-lain tak

bergerak. Beberapa menit kemudian Riley kembali. Di bawah sorot cahaya tidak langsung dari pintu depan, tubuhnya berkilau sedikit di ambang pintu.

149

"Lihat aku?aku baik-baik saja. Sungguh! Memalukan

benar kalian ini. Kemarilah, Raoul!"

Pada akhirnya Riley harus menyambar Kevin?Raoul

merunduk menghindar begitu tahu apa yang ada dalam

pikiran Riley?dan menyeretnya ke atas. Aku melihat momen saat mereka melangkah keluar ke bawah matahari,

ketika cahaya jadi terang benderang oleh pantulan kulit

mereka.

"Katakan kepada mereka, Kevin," perintah Riley.

"Aku tidak apa-apa, Raoul!" seru Kevin. "Wow. Aku...

berkilauan. Ini sinting!" Ia tertawa.

"Bagus sekali, Kevin," puji Riley dengan suara keras.

Itu cukup bagi Raoul. Ia mengertakkan gigi dan menaiki

tangga. Ia tidak berjalan cepat, tapi tak lama kemudian ia

sudah berada di atas sana, berkilau-kilauan dan tertawatawa bersama Kevin.

Bahkan dari saat itu pun prosesnya masih membutuhkan

waktu lebih lama daripada yang bisa kuprediksikan. Hanya

satu demi satu yang berani keluar. Akhirnya kesabaran

Riley habis. Sekarang ia tidak lagi membujuk, tapi mengancam.

Fred melayangkan pandangan padaku yang mengatakan,

Kau sudah tahu tentang hal ini?

Sudah, jawabku.

Ia mengangguk dan mulai menaiki tangga. Di dalam basement masih tersisa kira-kira sepuluh orang, sebagian besar

anggota kelompok Kristie, meringkuk menempel di dinding.

Aku pergi bersama Fred. Lebih baik keluar tepat di tengah.

150

Biarkan Riley menafsirkan apa saja yang ingin ditafsirkannya.

Kami bisa melihat para vampir yang berkilau-kilauan

bagaikan bola disko di halaman depan, memandangi tangan

dan wajah masing-masing dengan ekspresi takjub. Fred melangkah ke bawah cahaya matahari tanpa memperlambat

langkah, dan ini kuanggap sangat berani mengingat semua

pertimbangan sebelumnya. Kristie adalah contoh bagus betapa kuatnya Riley telah mengindoktrinasi kami. Ia berkeras bertahan pada apa yang ia ketahui walaupun di depan

matanya sudah ada bukti.

Fred dan aku berdiri agak menjauh dari yang lain. Ia

mengamati dirinya dengan hati-hati, lalu berpaling untuk

menatapku, lalu memandangi yang lain-lain. Terpikir olehku bahwa Fred, walaupun sangat pendiam, sebenarnya

pengamat yang sangat teliti dan nyaris ilmiah dalam caranya menganalisis bukti. Selama ini ia selalu mengevaluasi

kata-kata dan tindakan Riley. Sudah seberapa banyak yang

berhasil diketahuinya?

Riley harus memaksa Kristie menaiki tangga dan para

anggota kelompoknya mengikuti. Akhirnya kami semua

berada di luar, di bawah sinar matahari, sebagian besar menikmati betapa cantiknya mereka. Riley mengumpulkan

semua orang untuk satu sesi latihan cepat?sebenarnya,

pikirku, untuk membuat mereka kembali fokus. Butuh satu

menit, tapi semua orang mulai menyadari bahwa sekaranglah saatnya, dan mereka pun berubah lebih tenang dan semakin garang. Aku bisa melihat bahwa pemikiran akan

151

pertarungan sesungguhnya?bukan hanya diperbolehkan

tapi didorong untuk mengoyak dan membakar?terasa hampir sama menggairahkannya dengan berburu. Hal itu membuat orang-orang seperti Raoul, Jen, dan Sara, bersemangat.

Riley fokus pada strategi yang selama beberapa hari terakhir ini coba ditanamkannya pada mereka?begitu kita

menemukan bau para vampir mata kuning, kita akan memisahkan diri menjadi dua bagian dan mengepung mereka.

Raoul akan menyerang dari depan sementara Kristie dari

samping. Rencana itu sangat sesuai dengan gaya mereka,

walaupun aku tak yakin apakah mereka mampu mengikuti

strategi ini di tengah pertempuran yang memanas.

Saat Riley mengumpulkan semua orang setelah satu jam

berlatih, Fred langsung mulai berjalan mundur menuju

utara; Riley meminta yang lain-lain menghadap ke selatan.

Aku tetap berada di dekatnya, meski tidak mengerti apa

yang ia lakukan. Fred berhenti saat kami berada kira-kira

sembilan puluh meter jauhnya dari mereka, di bawah kerimbunan pohon-pohon cemara di pinggiran hutan. Tidak ada

yang memperhatikan kepergian kami. Fred mengamati

Riley, seolah menunggu apakah ia menyadari kepergian

kami.

Riley mulai berbicara. "Kita berangkat sekarang. Kalian

kuat dan kalian siap. Dan kalian haus untuk itu, bukan?

Kalian bisa merasakan tenggorokan kalian terbakar. Kalian

siap untuk hidangan pencuci mulut itu."

Ia benar. Darah sebanyak itu ternyata sama sekali tidak

152

memperlambat kembalinya dahaga. Faktanya, aku tidak

yakin, tapi rasanya dahaga itu malah kembali lebih cepat

dan lebih kuat daripada sebelumnya. Mungkin terlalu banyak makan justru kontraproduktif dalam beberapa hal.

"Mata-kuning datang perlahan-lahan dari arah selatan,

sambil makan di sepanjang jalan, agar lebih kuat," kata

Riley. "Selama ini perempuan itu memonitor mereka, jadi

aku tahu di mana menemukan mereka. Pencipta kita akan

menemui kita di sini bersama Diego"?ia melayangkan pandangan penuh arti ke tempat aku tadi berdiri, kemudian

kerutan kecil di keningnya menghilang dengan cepat?"dan

kita akan menghantam mereka seperti tsunami. Kita akan

mengalahkan mereka dengan mudah. Kemudian kita akan

merayakannya." Ia tersenyum. "Ada yang bakal merayakannya dengan penuh kemenangan. Raoul?berikan itu padaku." Riley mengulurkan tangan dengan sikap angkuh. Raoul

dengan enggan melemparkan kantong plastik berisi kemeja

itu. Kelihatannya Raoul berusaha menyatakan klaimnya

terhadap gadis itu dengan memonopoli baunya.

"Cium sekali lagi, semuanya! Mari kita fokus!"

Fokus pada gadis itu? Atau pada pertempuran?

Kali ini Riley sendiri yang berkeliling membawa kemeja

itu, nyaris seperti ingin memastikan semua orang merasa

haus. Dan bisa kulihat dari berbagai reaksi yang timbul

bahwa, sama seperti aku, kerongkongan mereka sudah kembali terbakar. Bau kemeja itu membuat mereka memberengut dan menggeram-geram. Tidak perlu memberikan

bau itu lagi kepada kami; kami tidak mungkin melupakan 153

nya. Jadi mungkin ini hanya ujian. Hanya memikirkan bau

gadis itu saja sudah membuat racun menggenang dalam

mulutku.

"Kalian siap?" pekik Riley.

Semua memekikkan jawaban.

"Mari kita serbu mereka, anak-anak!"

Mereka tampak seperti segerombolan barakuda lagi, tapi

kali ini di darat.

Fred bergeming, jadi aku tetap bersamanya, walaupun

tahu aku membuang-buang waktu yang kuperlukan. Kalau

aku berniat mencari Diego dan menariknya menjauh sebelum pertempuran dimulai, aku harus berada di dekat

garis depan. Kupandangi mereka dengan gugup. Aku masih

lebih muda daripada sebagian besar mereka?lebih cepat.

"Riley tidak bisa berpikir tentang aku selama kira-kira

dua puluh menit," kata Fred padaku, suaranya kalem dan

familier, seolah-olah kami sudah jutaan kali mengobrol sebelumnya. "Selama ini aku memperhatikan waktunya. Bahkan dari jarak cukup jauh, dia akan merasa mual bila mencoba mengingatku."

"Benarkah? Wow, keren."

Fred tersenyum. "Selama ini aku berlatih, memperhatikan

dampaknya. Aku bisa membuat diriku sepenuhnya tidak

terlihat sekarang. Tak ada yang bisa melihatku kalau aku

tak ingin mereka melihatku."

"Aku juga sudah memperhatikannya," ujarku, kemudian

terdiam sejenak dan menebak, "kau tidak akan pergi?"

Fred menggeleng. "Tentu saja tidak. Jelas sekali sekarang,

154

kita tidak diberitahu semua yang perlu kita ketahui. Aku

tidak mau menjadi pion Riley."

Kalau begitu Fred sudah bisa menganalisisnya sendiri.

"Sebenarnya aku ingin pergi sejak sebelum ini, tapi aku

ingin bicara denganmu sebelum pergi, dan aku baru mendapatkan kesempatan itu sekarang."

"Aku juga ingin bicara denganmu," ujarku. "Kupikir sebaiknya kau tahu bahwa selama ini Riley membohongi kita

tentang matahari. Cerita tentang empat hari dalam setahun

ini hanya bohong belaka. Kurasa Shelly dan Steve dan yang

lain-lain juga mengetahuinya. Dan bahwa pertempuran ini

sebenarnya mengandung lebih banyak aspek politik daripada yang diceritakannya kepada kita. Ada lebih dari satu

kelompok musuh." Aku mengatakannya dengan cepat, merasakan desakan yang kuat untuk menyadari pergerakan

matahari, akan waktu yang terus berjalan. Aku harus segera

mencari Diego.

"Aku tidak kaget," ujar Fred kalem. "Dan aku akan menghilang. Aku akan menjelajah sendiri, melihat dunia. Atau

tadinya aku bermaksud pergi sendiri, tapi kemudian kupikir

kau mungkin mau ikut juga. Kau akan aman bersamaku.

Takkan ada yang bisa mengikuti kita."

Aku ragu sejenak. Bayangan akan situasi aman sulit sekali ditolak saat itu.

"Aku harus mencari Diego," kataku, menggeleng.

Fred mengangguk dengan sikap khidmat. "Aku mengerti.

Kau tahu, kalau kau bersedia menjamin dia, kau boleh

155

membawanya serta. Kelihatannya kadang-kadang berkelompok ada gunanya juga."

"Ya," aku menyetujui dengan penuh semangat, teringat

betapa rapuh perasaanku saat bertengger di atas pohon

sendiri bersama Diego waktu keempat sosok berjubah itu

mendekat.

Fred mengangkat alis mendengar nadaku.

"Riley berbohong setidaknya tentang satu hal penting

lagi," aku menjelaskan. "Berhati-hatilah. Kita tidak seharusnya membiarkan manusia mengetahui keberadaan kita. Ada

sekelompok vampir aneh yang menghentikan kelompok
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

vampir lain begitu kelompok itu menjadi terlalu mencolok.

Aku pernah melihat mereka, dan kau pasti tidak ingin mereka menemukanmu. Pokoknya bersembunyilah di siang

hari, dan berburulah dengan cerdas." Aku menoleh ke arah

selatan dengan sikap gelisah. "Aku harus bergegas!"

Fred mencerna keteranganku dengan sikap khidmat.

"Oke. Susul aku kalau mau. Aku ingin mendengar lebih.

Aku akan menunggumu di Vancouver selama satu hari.

Aku kenal kota itu. Aku akan meninggalkan jejak untukmu

di..." Ia berpikir sejenak dan kemudian terkekeh. "Riley

Park. Kau bisa mengikuti jejakku dari sana. Tapi setelah 24

jam, aku akan cabut."

"Aku akan mencari Diego dan menyusulmu."

"Semoga beruntung, Bree."

"Trims, Fred! Semoga kau juga beruntung. Sampai ketemu lagi!" Aku sudah berlari pergi.

156

"Mudah-mudahan saja," kudengar ia berkata di belakangku.

Aku bergegas mengikuti bau anak-anak lain, terbang di

atas tanah lebih cepat daripada yang pernah kulakukan sebelumnya. Aku beruntung karena mereka pasti berhenti

sejenak karena sesuatu?mungkin Riley meneriakkan sesuatu pada mereka, aku menduga?karena aku berhasil

menyusul mereka lebih cepat daripada seharusnya. Atau

mungkin Riley teringat pada Fred dan berhenti untuk mencari kami. Mereka berlari dalam kecepatan mantap waktu

aku berhasil mencapai mereka, semi-disiplin seperti semalam. Aku berusaha menyusup ke dalam kelompok itu

tanpa menarik perhatian, tapi aku melihat kepala Riley menoleh sejenak untuk melihat siapa saja yang mengikuti di

belakang. Matanya tertumbuk padaku, kemudian ia mulai

berlari lebih cepat. Apakah ia berasumsi Fred bersamaku?

Riley takkan pernah melihat Fred lagi.

Tidak sampai lima menit kemudian, segalanya berubah.

Raoul menangkap bau itu. Sambil menggeram liar, ia

melesat pergi. Riley berhasil mengindoktrinasi kami begitu

rupa hingga bunga api sekecil apa pun mampu menyulut

ledakan besar. Anak-anak lain di dekat Raoul juga mencium bau itu, kemudian semua bagai kesetanan. Cerita

Riley yang berulang-ulang tentang manusia ini telah mengalahkan semua instruksinya yang lain. Sekarang kami

pemburu, bukan sepasukan tentara. Tidak ada tim. Yang

ada hanya perlombaan memperebutkan darah.

Walaupun aku tahu ada banyak kebohongan dalam cerita

157

ini, aku tak sepenuhnya mampu menolak bau itu. Berlari

di bagian belakang gerombolan, aku harus melewatinya.

Segar. Kuat. Manusia itu belum lama ini pernah berada di

sini, dan baunya sangat manis. Aku kuat berkat banyaknya

darah yang kureguk semalam, tapi itu tidak berarti lagi.

Aku haus. Kerongkonganku terbakar.

Aku berlari mengejar yang lain, berusaha agar pikiranku

tetap jernih. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk sedikit

menahan diri, tetap berada di belakang kawanan lain.

Orang terdekat denganku adalah Riley. Apakah ia... menahan diri juga?

Ia meneriakkan perintah, kebanyakan mengulang-ulang

hal yang sama. "Kristie, berputar! Berputarlah! Berpencar!

Kristie, Jen! Berpencar!" Rencananya tentang serangan dari

dua arah berantakan begitu saja di depan mata kami.

Riley mempercepat larinya menuju kelompok utara dan

menyambar bahu Sara. Sara menggeram ketika Riley mendorongnya ke kiri. "Berputar!" teriaknya. Ia menyambar si

anak berambut pirang yang tidak pernah kuketahui namanya dan mendorongnya ke arah Sara, yang jelas-jelas tampak tidak senang dengan hal itu. Kristie sejenak terlepas

dari fokus berburunya dan menyadari ia seharusnya bergerak sesuai strategi. Ia melayangkan pandangan garang

kepada Raoul kemudian mulai memekikkan perintah kepada timnya.

"Lewat sini! Lebih cepat! Kita akan mengalahkan mereka

dengan mengambil jalan memutar dan lebih dulu mendapatkan gadis itu! Ayo!"

158

"Aku akan berada di titik terdepan bersama Raoul!"

Riley berteriak kepada Kristie, berbalik.

Aku ragu-ragu, masih berlari maju. Aku tidak ingin menjadi bagian "titik terdepan", tapi tim Kristie sudah saling

menyerang. Sara sudah bergumul dengan si anak berambut

pirang. Suara kepalanya yang copot membuatku mengambil

keputusan. Aku melesat lari mengikuti Riley, dalam hati

bertanya-tanya apakah Sara akan berhenti sebentar untuk

membakar anak yang suka berpura-pura jadi Spider-Man

itu.

Aku berhasil menyusul cukup dekat hingga bisa melihat

Riley di depan dan mengikutinya dari kejauhan hingga ia

sampai ke tim Raoul. Bau itu membuat otakku sulit memikirkan hal-hal yang penting.

"Raoul!" teriak Riley.

Raoul menggeram, tidak berpaling. Ia benar-benar terhanyut oleh bau manis itu.

"Aku harus membantu Kristie! Kita ketemu di sana!

Tetaplah fokus!"

Aku langsung berhenti, membeku tidak yakin.

Raoul terus bergerak maju, tidak menunjukkan tandatanda merespons perkataan Riley. Riley memperlambat

larinya, kemudian berjalan. Seharusnya aku bergerak, tapi

ia mungkin mendengarku mencoba bersembunyi. Ia menoleh, senyum tersungging di wajah, dan melihatku.

"Bree. Kusangka kau bersama Kristie."

Aku tidak menyahut.

"Aku mendengar ada yang terluka. Kristie lebih mem 159

butuhkan aku daripada Raoul," ia buru-buru menjelaskan.

"Kau akan... meninggalkan kami?"

Wajah Riley langsung berubah. Seolah-olah aku bisa melihat taktiknya yang berubah-ubah tertulis di wajahnya.

Matanya membelalak, mendadak resah.

"Aku khawatir, Bree. Sudah kukatakan tadi dia akan menemui kita, membantu kita, tapi aku tidak menemukan jejaknya. Ada yang tidak beres. Aku harus mencarinya."

"Tapi tidak mungkin kau bisa menemukan dia sebelum

Raoul bertemu mata-kuning," bantahku.

"Aku harus mencari tahu apa yang sedang terjadi." Kedengarannya ia benar-benar putus asa. "Aku membutuhkannya. Aku tidak seharusnya melakukan ini sendiri!"

"Tapi yang lain-lain..."

"Bree, aku harus pergi mencarinya! Sekarang! Jumlah

kalian cukup banyak untuk membuat kewalahan mata-kuning! Aku akan kembali menemui kalian secepat aku

bisa."

Kedengarannya ia benar-benar tulus. Aku ragu-ragu, menoleh kembali ke tempat kami datang tadi. Fred pasti sudah setengah jalan menuju Vancouver sekarang. Riley bahkan tidak menanyakannya. Mungkin bakat Fred masih

berpengaruh.

"Diego ada di sana, Bree," kata Riley dengan nada mendesak. "Dia akan terlibat dalam serangan pertama. Apakah

kau tidak mencium baunya di belakang tadi? Apakah kau

tidak cukup dekat?"

160

Aku menggeleng, benar-benar bingung. "Diego ada di

sini?"

"Dia pasti sudah bersama Raoul sekarang. Kalau bergegas, kau bisa membantunya keluar dari sana dalam keadaan selamat."

Lama sekali kami berpandangan, kemudian aku menoleh

ke selatan, ke arah Raoul tadi pergi.

"Gadis pintar," puji Riley. "Aku akan pergi mencarinya

dan kami akan kembali untuk membantu membereskan

semuanya. Kalian pasti berhasil! Pertempuran mungkin sudah berakhir saat kau sampai di sana!"

Ia melesat ke arah tegak lurus dari rute awal kami. Aku

mengatupkan gigi kuat-kuat, melihat betapa yakin ia melangkah. Berbohong sampai akhir.

Tapi rasanya aku tak punya pilihan. Aku melesat dengan

kecepatan penuh ke arah selatan. Aku harus mencari Diego.

Menyeretnya pergi kalau perlu. Kami bisa menyusul Fred.

Atau pergi sendiri. Kami harus kabur. Aku akan menceritakan pada Diego bagaimana Riley telah berbohong. Ia akan

tahu bahwa Riley sebenarnya tidak berniat membantu kami

memenangi pertempuran yang telah dirancangnya. Tidak

ada lagi alasan untuk membantunya.

Aku menemukan bau manusia itu dan bau Raoul. Tapi

aku tidak mencium bau Diego. Apakah lariku terlalu cepat?

Ataukah bau manusia itu terlalu kuat? Setengah isi kepalaku terserap dalam perburuan yang anehnya menjadi kontraproduktif ini?tentu kami akan menemukan gadis itu, tapi

apakah kami akan siap bertempur bersama ketika menemu 161

kannya? Tidak, kami justru akan saling mencakar untuk

bisa mendapatkannya.

Kemudian aku mendengar geraman, jeritan, dan raungan

membahana dari arah depan dan tahu pertempuran telah

terjadi dan aku terlambat mencegah Diego terjun ke medan

laga. Aku berlari makin cepat. Mungkin aku masih bisa

menyelamatkannya.

Aku mencium asap itu?bau dupa manis menyengat dari

vampir yang terbakar?terbawa angin ke arahku. Suara kekacauan itu semakin keras. Mungkin pertempuran sudah

hampir berakhir. Apakah aku akan menemukan kelompokku menang dan Diego sudah menunggu?

Aku merangsek menembus kepulan asap tebal, mendapati diriku keluar dari hutan dan tiba di lapangan rumput

yang luas. Aku melompati sebuah batu, dan baru menyadari

saat aku terbang melewatinya bahwa benda yang kusangka

batu itu ternyata tubuh tanpa kepala.

Mataku menjelajahi seantero lapangan. Tampak potongan-potongan tubuh vampir berserakan di mana-mana,

dan sebuah api unggun besar mengepulkan asap ungu ke

langit yang terik karena sinar matahari. Dari balik kepulan

kabut aku bisa melihat tubuh-tubuh berkilau benderang

melesat dan bergulat sementara suara tubuh-tubuh vampir

terkoyak berlangsung terus-menerus.

Hanya satu yang kucari: rambut Diego yang hitam ikal.

Tak seorang pun yang bisa kulihat memiliki rambut sehitam itu. Ada vampir bertubuh besar dengan rambut cokelat yang nyaris hitam, tapi tubuhnya terlalu besar, dan

162

waktu aku memfokuskan pandangan, kulihat ia merenggut

kepala Kevin sampai putus dan melemparnya ke api sebelum menerjang punggung seseorang. Jen-kah itu? Ada

lagi vampir lain berambut hitam lurus yang terlalu kecil

untuk menjadi Diego. Vampir itu bergerak sangat cepat

hingga aku tidak tahu apakah ia laki-laki atau perempuan.

Aku kembali menyapukan pandangan dengan cepat, merasa sangat terekspos. Kutatap wajah-wajah itu. Tidak cukup banyak vampir di sini, bahkan termasuk yang sudah

gugur. Aku tidak melihat satu pun anggota kelompok

Kristie. Pasti sudah banyak sekali vampir yang dibakar. Sebagian besar vampir yang masih berdiri adalah orang-orang

asing. Seorang vampir berambut pirang menoleh padaku,

menatap mataku, dan matanya berkilau emas diterpa cahaya matahari.

Kami kalah. Telak.

Aku mulai bergerak mundur ke arah pepohonan, meski

tidak cukup cepat karena masih mencari Diego. Ia tak ada

di sini. Tidak ada tanda-tanda ia pernah berada di sini. Tidak ada jejak baunya, walaupun aku masih bisa membedakan bau sebagian besar anggota tim Raoul dan banyak bau

orang asing. Kupaksa diriku memandangi potongan-potongan tubuh itu. Tidak ada potongan tubuh Diego di

sana. Aku pasti bisa mengenalinya, walau hanya satu jari.

Aku berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menuju

pepohonan, tiba-tiba merasa yakin keberadaan Diego di

163

sini hanyalah satu di antara sekian banyak kebohongan

Riley.

Dan kalau Diego tidak ada di sini, berarti ia sudah mati.

Kesadaran itu menghinggapiku begitu mudahnya hingga

kupikir aku pasti sudah mengetahui hal yang sebenarnya

sejak lama. Sejak Diego tidak berjalan mengikuti Riley melewati pintu basement. Ia memang sudah tiada.

Aku sudah beberapa meter memasuki kawasan yang ditumbuhi pepohonan ketika kekuatan seperti bola penghancur beton menghantamku dari belakang dan membuatku

tersungkur ke tanah. Sebuah lengan menyusup ke bawah

daguku.

"Kumohon!" tangisku. Dan yang kumaksud adalah Kumohon, bunuh aku cepat.

Lengan itu ragu-ragu. Aku tidak melawan meski segenap

instingku mendesakku untuk menggigit, mencakar, dan mengoyak musuh hingga tercabik-cabik. Bagian otakku yang

lebih waras tahu itu percuma. Riley juga berbohong tentang

vampir-vampir ini, yang katanya lemah dan tua. Kami takkan mungkin menang melawan mereka. Tapi kalaupun aku

mampu mengalahkan vampir yang satu ini, aku takkan bisa

bergerak. Diego sudah tiada, dan fakta yang mencolok itu

langsung memadamkan semangatku untuk melawan.

Tiba-tiba aku melayang di udara. Aku menabrak sebatang pohon dan jatuh ke tanah. Seharusnya aku mencoba

lari, tapi Diego sudah mati. Aku belum bisa menerima kenyataan itu.
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Vampir berambut pirang dari padang terbuka itu meman 164

dangiku lekat-lekat, siap menerjang. Ia tampak sangat lihai,

jauh lebih berpengalaman daripada Riley. Tapi ia tidak menerjangku. Ia tidak kesetanan seperti Raoul atau Kristie. Ia

sangat terkendali.

"Kumohon," pintaku lagi, ingin ia segera menuntaskannya.

"Aku tidak ingin bertempur."

Walaupun ia masih memasang kuda-kuda, namun wajahnya berubah. Ia menatapku dengan pandangan yang benarbenar tidak kumengerti. Ada banyak pengetahuan di wajah

itu, dan sesuatu yang lain. Empati? Belas kasihan, paling

tidak.

"Aku juga tidak, Nak," ujarnya dengan nada tenang dan

ramah. "Kami hanya membela diri."

Nada si mata-kuning begitu tulus hingga membuatku

bertanya-tanya sendiri mengapa aku dulu memercayai

cerita-cerita Riley. Aku merasa... bersalah. Mungkin kelompok ini sebenarnya tidak pernah berniat menyerang kami

di Seattle. Bagaimana mungkin aku memercayai semua

yang diceritakan kepadaku?

"Kami tidak tahu," aku menjelaskan, entah mengapa merasa malu. "Riley berbohong. Maafkan aku."

Vampir itu mendengarkan beberapa saat, dan sadarlah

aku bahwa medan pertempuran itu kini sunyi senyap. Pertempuran sudah berakhir.

Seandainya aku sempat meragukan siapa pemenangnya,

keraguan itu lenyap ketika, sedetik kemudian, seorang vampir wanita berambut cokelat bergelombang dan bermata

kuning bergegas menghampiri vampir pirang tadi.

165

"Carlisle?" tanya wanita itu dengan suara bingung, menatapku.

"Dia tidak ingin bertempur," katanya pada wanita itu.

Wanita itu menyentuh lengannya. Ia masih memasang

kuda-kuda, siap menerjang. "Dia sangat ketakutan, Carlisle.

Tidak bisakah kita..."

Si pirang, Carlisle, berpaling kepada wanita itu, kemudian

menegakkan tubuhnya sedikit, walaupun bisa kulihat ia

masih waswas.

"Kami tidak ingin mencelakaimu," wanita itu berkata

padaku. Suaranya lembut dan menenangkan. "Sebenarnya

kami tidak ingin bertempur melawan kalian."

"Maafkan aku," aku kembali berbisik.

Aku tidak bisa menguraikan kekusutan dalam benakku.

Diego sudah mati, dan itu hal paling penting, yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. Selain itu pertempuran sudah berakhir, kelompokku kalah dan musuhmusuhku menang. Tapi kelompokku yang sudah mati

penuh orang yang dengan senang hati melihatku terbakar,

sementara musuh-musuhku justru berbicara dengan nada

ramah padaku padahal sebenarnya tak ada alasan bagi mereka untuk berbuat begitu. Terlebih lagi, aku merasa lebih

aman bersama kedua orang asing ini daripada yang pernah

kurasakan terhadap Raoul dan Kristie. Aku justru lega

Raoul dan Kristie sudah mati. Sungguh membingungkan.

"Nak," ujar Carlisle, "maukah kau menyerah kepada

kami? Kalau kau tidak mencoba mencelakai kami, kami

berjanji tidak akan mencelakaimu."

166

Dan aku percaya padanya.

"Ya," bisikku. "Ya, aku menyerah. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun."

Ia mengulurkan tangan dengan sikap membujuk. "Marilah, Nak. Biarkan keluarga kami berkumpul dulu sebentar,

kemudian kami akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Kalau kau menjawab dengan jujur, tak ada yang

perlu kautakutkan."

Pelan-pelan aku bangkit, tidak membuat gerakan-gerakan

yang bisa dianggap mengancam.

"Carlisle?" sebuah suara lelaki memanggil.

Kemudian seorang vampir bermata kuning lain bergabung. Segala perasaan aman yang tadi kurasakan bersama

orang-orang asing ini segera lenyap begitu aku melihatnya.

Ia pirang, seperti vampir pertama, tapi tubuhnya lebih

tinggi dan lebih ramping. Kulitnya dipenuhi bekas-bekas

luka, nyaris rapat di bagian leher dan dagu. Beberapa bekas

luka di lengannya masih baru, tapi sisanya tidak berasal

dari pertempuran hari ini. Ia sudah sangat sering bertempur, lebih daripada yang bisa kubayangkan, dan ia tidak

pernah kalah. Matanya yang kuning kecokelatan berapi-api

dan gerak-geriknya memancarkan kegarangan singa marah

yang nyaris tak terbendung.

Begitu melihatku ia meringkuk, siap menerjang.

"Jasper!" Carlisle memperingatkan.

Jasper kontan berhenti dan memandangi Carlisle dengan

mata membelalak lebar. "Ada apa?"

"Dia tidak ingin bertempur. Dia sudah menyerah."

167

Alis si vampir yang tercoreng bekas luka itu bertaut, dan

tiba-tiba hatiku dilanda perasaan frustrasi yang tidak terduga-duga, walaupun aku tidak tahu mengapa aku harus

frustrasi.

"Carlisle, aku..." Ia ragu-ragu, lalu melanjutkan, "Maafkan

aku, tapi itu mustahil. Kita tidak bisa membiarkan kelompok kita dihubungkan dengan para vampir baru ini bila

keluarga Volturi datang. Sadarkah kau betapa berbahayanya

ini bagi kita?"

Aku tidak terlalu mengerti semua yang ia katakan, tapi

aku cukup paham. Ia ingin membunuhku.

"Jasper, dia masih kanak-kanak," protes wanita itu. "Kita

tidak bisa membunuhnya dengan darah dingin!"

Aneh rasanya mendengar wanita itu berbicara seolaholah kami manusia, seakan-akan pembunuhan itu hal yang

buruk. Hal yang sebenarnya bisa dihindari.

"Keselamatan keluarga kita yang dipertaruhkan di sini,

Esme. Kita tidak boleh membiarkan mereka mengira kita

sudah melanggar peraturan."

Wanita itu, Esme, berjalan di antara aku dan vampir

yang ingin membunuhku. Tanpa bisa dimengerti, ia memunggungiku.

"Tidak. Aku tidak mengizinkannya."

Carlisle melayangkan pandangan cemas ke arahku. Kentara sekali ia sangat menyayangi wanita ini. Ekspresiku

pasti akan terlihat seperti itu juga kalau ada vampir di belakang punggung Diego. Aku berusaha menampilkan kesan

sejinak mungkin.

168

"Jasper, kurasa kita harus mengambil risiko itu," ujar

Carlisle lambat-lambat. "Kita bukan keluarga Volturi. Kita

mengikuti aturan mereka, tapi kita tidak semudah itu mencabut nyawa. Kita akan menjelaskan."

"Mereka akan mengira kitalah yang menciptakan vampirvampir baru ini untuk mempertahankan diri."

"Tapi kita tidak begitu. Dan kalaupun kita melakukannya, tidak ada perbuatan yang tidak semestinya di sini, di

Seattle. Tidak ada hukum yang melarang menciptakan vampir kalau kau bisa mengendalikan mereka."

"Ini terlalu berbahaya."

Perlahan Carlisle menyentuh bahu Jasper. "Jasper. Kita

tidak bisa membunuh anak ini."

Jasper memandang garang pada lelaki bermata hangat

itu, dan tiba-tiba saja aku merasa marah. Tentu saja ia tidak akan menyakiti vampir berhati lembut ini atau wanita

yang dicintainya. Kemudian Jasper mendesah, dan aku pun

tahu semuanya beres. Amarahku menguap.

"Sebenarnya aku tidak suka," ujar Jasper, tapi nadanya

lebih tenang. "Paling tidak, izinkan aku mengurusnya. Kalian tidak tahu bagaimana berurusan dengan seseorang

yang sudah terlalu lama berkeliaran dengan liar."

"Tentu saja, Jasper," ujar wanita itu. "Tapi bersikaplah

yang baik."

Jasper memutar bola matanya. "Kita harus berkumpul

dengan yang lain-lain. Kata Alice, kita tidak punya banyak

waktu."

Carlisle mengangguk. Ia mengulurkan tangan kepada

169

Esme dan mereka berjalan melewati Jasper, kembali ke lapangan terbuka.

"Hei kau," seru Jasper padaku, wajahnya kembali garang.

"Ikut kami. Jangan coba-coba melakukan hal yang sembrono atau aku akan langsung menghabisimu."

Aku merasakan amarahku muncul lagi begitu ia memelototiku, dan sebagian kecil diriku ingin menggeram dan

menyeringai menunjukkan gigi-gigiku, tapi aku punya firasat ia justru menunggu itu untuk dijadikan alasan menghabisiku.

Jasper diam sejenak seperti baru teringat sesuatu. "Pejamkan matamu," ia memerintahkan.

Aku ragu-ragu. Apakah ia sudah memutuskan untuk tetap membunuhku?

"Lakukan!"

Aku mengertakkan gigi dan memejamkan mata. Aku

merasa dua kali lebih tidak berdaya dibandingkan sebelumnya.

"Ikuti suaraku dan jangan buka matamu. Kalau kau melihat, kau kalah, mengerti?"

Aku mengangguk, bertanya-tanya dalam hati apa yang ia

tidak ingin aku lihat. Aku merasa sedikit lega karena ia

merasa perlu repot-repot melindungi sebuah rahasia. Tak

ada alasan baginya berbuat begitu kalau ia berniat langsung

membunuhku.

"Lewat sini."

Aku berjalan pelan mengikutinya, berhati-hati untuk tidak memberinya alasan. Ia cukup baik dalam caranya mem 170

bimbingku, setidaknya tidak menuntunku menabrak pepohonan. Aku bisa mendengar bagaimana suara berubah

saat kami berada di tempat terbuka; merasakan tiupan

angin yang juga berbeda, dan bau kelompokku yang terbakar semakin kuat tercium. Aku bisa merasakan kehangatan sinar matahari menerpa wajahku, dan bagian dalam

kelopak mataku semakin terang saat tubuhku gemerlapan.

Ia membimbingku semakin dekat dan semakin dekat ke

suara lidah-lidah api berderak, begitu dekat hingga aku bisa

merasakan asap menyapu kulitku. Aku tahu ia bisa membunuhku kapan saja, tapi kedekatan dengan api masih

membuatku gugup.

"Duduk di sini. Pejamkan matamu."

Tanah terasa hangat karena sinar matahari dan api. Aku

diam tak bergerak dan berusaha berkonsentrasi agar terlihat tidak berbahaya, tapi aku bisa merasakan tatapan garang Jasper tertuju padaku, dan itu membuatku gelisah.

Walaupun aku tidak marah pada vampir-vampir ini, yang

aku yakin sebenarnya hanya membela diri, aku merasakan

perasaan marah yang ganjil bercampur aduk. Amarah itu

nyaris berada di luar diriku, seolah-olah hanya gema yang

tersisa dari pertempuran yang baru saja berlangsung.

Tapi amarah itu tidak lantas membuatku tolol, karena

aku terlalu sedih?merasa sangat merana. Diego selalu

membayangi pikiranku, dan aku tidak bisa mengenyahkan

pikiran tentang bagaimana ia tewas.

Aku yakin Diego tidak mungkin secara sukarela menceritakan rahasia kami kepada Riley?rahasia yang memberi 171

ku alasan untuk memercayai Riley hingga semuanya terlambat. Dalam benakku, aku kembali melihat wajah

Riley?ekspresi tenang dan dingin yang terbentuk saat ia

mengancam akan menghukum kami yang tidak mau menurut. Terngiang lagi dalam benakku penggambarannya

yang mengerikan dan anehnya sangat mendetil?saat aku

membawa kalian kepada perempuan itu dan memegangi kalian

sementara ia merenggut kedua kaki kalian kemudian pelanpelan, pelan-pelan membakar jari-jari kalian, telinga, bibir,

lidah, dan setiap anggota tubuh lainnya satu demi satu.

Sadarlah aku sekarang bahwa yang kudengar tadi adalah

deskripsi tentang kematian Diego.

Malam itu, sebenarnya aku yakin ada sesuatu yang berubah dalam diri Riley. Membunuh Diego-lah yang mengubah Riley, mengeraskannya. Aku hanya meyakini satu hal

yang pernah dikatakan Riley kepadaku: ia menghargai

Diego lebih daripada kami-kami yang lain. Bahkan sayang

padanya. Namun ia hanya menonton saat pencipta kami

menyakiti Diego. Tak diragukan lagi, ia bahkan membantu

perempuan itu. Membunuh Diego bersamanya.

Dalam hati aku bertanya-tanya seberapa besar rasa sakit

yang harus kurasakan untuk membuatku mengkhianati

Diego. Menurutku pastilah sangat besar. Dan aku yakin

setidaknya sebesar itulah yang dibutuhkan Diego untuk

mengkhianatiku.

Aku merasa mual. Aku ingin menyingkirkan bayangan

Diego yang menjerit kesakitan dari benakku, tapi bayangan

itu tak mau pergi.

172

Kemudian terdengar jeritan di padang sana.
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelopak mataku menggeletar, tapi Jasper menggeram sangat garang dan aku langsung memejamkannya rapat-rapat.

Aku hanya sempat melihat asap tebal ungu tua.

Aku mendengar teriakan-teriakan dan lolongan buas

yang aneh. Nyaring, dan sangat banyak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sebentuk wajah dapat menciptakan

suara seperti itu, dan ketidaktahuan itu membuat suara

tersebut terasa lebih menakutkan. Vampir-vampir matakuning ini sangat berbeda dari kami semua. Atau berbeda

dari aku, kurasa, karena hanya aku yang masih tersisa.

Riley dan pencipta kami sudah lama pergi.

Aku mendengar nama-nama diteriakkan, Jacob, Leah,

Sam. Terdengar suara-suara yang sangat jelas, meski lolongan itu terus berlanjut. Tentu saja Riley berbohong juga

kepada kami tentang jumlah vampir yang ada di sini.

Suara lolongan itu berangsur-angsur lenyap hingga tinggal satu suara, lolongan penuh penderitaan yang tidak manusiawi, yang membuatku mengertakkan gigi. Terbayang

jelas wajah Diego dalam benakku, dan seolah dialah yang

menjerit.

Aku mendengar suara Carlisle mengatasi suara-suara lain

dan lolongan itu. Ia memohon-mohon agar diizinkan melihat sesuatu. "Kumohon, izinkan aku melihat. Kumohon,

izinkan aku membantu." Aku tidak mendengar ada yang

membantahnya, tapi entah mengapa nadanya seakan-akan

ia kalah dalam perselisihan itu.

Kemudian lolongan itu kembali terdengar, dan tiba-tiba

173

Carlisle berkata "terima kasih" dengan suara bersungguhsungguh, dan di balik lolongan itu terdengar suara gerakangerakan dari banyak tubuh. Banyak langkah kaki semakin

mendekat.

Aku semakin menajamkan pendengaran dan mendengar

sesuatu yang tidak terduga-duga dan mustahil. Bersamaan

dengan suara napas yang berat?dan aku belum pernah

mendengar siapa pun di kelompokku bernapas seperti

itu?terdengar lusinan suara berdegup-degup. Nyaris seperti... detak jantung. Tapi jelas bukan detak jantung manusia. Kalau suara itu, aku sangat mengenalnya. Aku

mengendus keras-keras, tapi angin bertiup dari arah lain,

jadi aku hanya bisa mencium bau asap.

Tanpa peringatan sesuatu menyentuhku, menekan kedua

sisi kepalaku kuat-kuat.

Mataku mulai terbuka karena panik saat aku melompat

berdiri, berusaha menyentakkan diri dari cengkeraman itu,

dan seketika itu juga langsung bertatapan dengan Jasper

yang memandangku dengan sorot memperingatkan, wajahnya dekat sekali dengan wajahku.

"Hentikan," bentaknya, mendorongku keras-keras hingga

aku kembali duduk terenyak. Aku hanya bisa mendengarnya, dan sadarlah aku kedua tangannya menempel kuatkuat di kepalaku, menutupi telingaku seluruhnya.

"Pejamkan matamu," sekali lagi ia memperintahkan,

mungkin dalam volume normal, tapi bagiku terdengar seperti bisikan.

Aku berusaha keras menenangkan diri dan memejamkan

174

mata lagi. Ada hal-hal yang mereka tidak ingin aku dengar

juga. Itu bukan masalah bagiku?kalau itu berarti aku bisa

hidup.

Selama satu detik wajah Fred membayang di balik kelopak mataku. Katanya ia akan menungguku selama satu

hari. Aku penasaran apakah ia akan menepati janjinya. Kalau saja aku bisa menceritakan hal yang sebenarnya tentang

mata-kuning, dan betapa masih banyak lagi yang kelihatannya belum kami ketahui. Dunia luas yang ternyata belum

benar-benar kami ketahui.

Pastilah menarik menjelajahi dunia itu. Terutama bersama orang yang bisa membuatku tidak kelihatan dan

aman.

Tapi Diego sudah tiada. Ia takkan kembali untuk mencari Fred bersamaku. Itu membuat bayangan masa depan

jadi sedikit menjijikkan.

Aku masih bisa mendengar sedikit apa yang sedang berlangsung, tapi hanya berupa lolongan dan sedikit suara.

Apa pun suara berdegup-degup yang kudengar tadi, suara

itu kini terlalu teredam hingga aku tak bisa menganalisisnya.

Aku bisa menyimak beberapa kata ketika, beberapa menit kemudian, Carlisle berkata, "Kau harus..."?suaranya

sejenak terlalu pelan, kemudian?"...dari sini sekarang. Seandainya bisa, kami pasti akan membantu, tapi kami tidak

bisa pergi."

Terdengar suara geraman, namun anehnya tidak terdengar garang. Lolongan itu menjadi rengekan pelan yang

175

lambat laun menghilang, seolah-olah bergerak menjauhiku.

Selama beberapa menit suasana hening. Aku mendengar

suara-suara pelan, di antaranya suara Carlisle dan Esme,

tapi juga beberapa suara lain yang tidak kukenal. Kalau saja

aku bisa mencium sesuatu?tidak bisa melihat ditambah

tidak bisa mendengar membuatku berharap bisa mendapatkan sedikit informasi dari indra penciuman. Tapi yang tercium olehku hanya bau dupa yang sangat manis.

Terdengar satu suara, lebih melengking dan jernih daripada suara-suara lain, yang paling terdengar jelas olehku.

"Lima menit lagi," aku mendengar suara entah siapa yang

mengatakannya. Aku yakin pemiliknya seorang gadis. "Dan

Bella akan membuka matanya tiga puluh tujuh detik lagi.

Aku bahkan yakin dia bisa mendengar kita sekarang."

Aku berusaha memahaminya. Apakah ada orang lain

yang dipaksa memejamkan mata juga, seperti aku? Atau

apakah dikiranya namaku Bella? Aku belum memberitahukan namaku pada siapa pun. Susah payah aku berusaha

mencium sesuatu.

Terdengar suara-suara gumaman. Rasanya aku mendengar satu suara yang terdengar aneh?sama sekali tak ada

dentingan dalam suaranya. Tapi aku tidak bisa memastikan

karena tangan Jasper menutup telingaku rapat-rapat.

"Tiga menit," kata suara melengking jernih itu.

Jasper menarik tangannya dari telingaku.

"Lebih baik kau buka matamu sekarang," katanya beberapa langkah dariku. Cara Jasper mengucapkannya mem 176

buatku takut. Aku cepat-cepat memandang berkeliling, seakan mencari bahaya yang membuat nada suara Jasper

terdengar menakutkan seperti itu.

Pandanganku tertutup asap hitam. Di dekat situ, Jasper

mengerutkan kening. Ia mengatupkan gigi kuat-kuat dan

menatapku dengan ekspresi nyaris... ketakutan. Bukan berarti ia takut padaku, melainkan ia takut karena aku. Aku

teringat perkataannya sebelum ini, bahwa aku membahayakan keselamatan mereka dengan sesuatu yang disebut

Volturi. Dalam hati aku bertanya-tanya Volturi itu apa.

Sama sekali tak terbayangkan olehku apa yang ditakuti

vampir berbahaya yang sekujur tubuhnya penuh bekas luka

ini.

Di belakang Jasper empat vampir berdiri menyebar membentuk barisan, memunggungiku. Satu di antaranya adalah

Esme. Bersamanya ada seorang wanita jangkung berambut

pirang, seorang gadis mungil berambut hitam, dan vampir

lelaki berambut hitam yang bertubuh sangat besar hingga

melihat tubuhnya saja aku takut?vampir yang tadi kulihat

membunuh Kevin.

Ada tiga vampir lagi di belakang si vampir bertubuh

besar. Aku tak bisa melihat apa tepatnya yang mereka lakukan karena tertutup tubuh si vampir besar. Carlisle berlutut

di tanah, dan di sebelahnya ada vampir lelaki berambut

merah gelap. Ada sosok lain terbaring di tanah, tapi aku

tidak bisa melihatnya dengan jelas, karena yang tampak

hanya jins dan sepatu bot kecil berwarna cokelat. Sosok itu

kalau bukan perempuan, ya pemuda. Dalam hati aku ber 177

tanya-tanya apakah mereka sedang menyatukan anggotaanggota tubuh si vampir yang tercerai-berai.

Kalau begitu total ada delapan mata-kuning, ditambah

semua lolongan itu tadi, meski entah jenis vampir aneh

apakah itu; sekurang-kurangnya ada delapan suara lagi tadi.

Enam belas, mungkin lebih. Dua kali lipat lebih banyak

daripada yang kata Riley akan kami hadapi.

Dalam hati aku berharap sepenuh hati agar vampir-vampir berjubah hitam itu menangkap Riley, dan membuatnya

menderita.

Vampir di tanah itu bangkit berlahan-lahan?bergerak

dengan sikap canggung, gerak-geriknya nyaris menyerupai

manusia yang kikuk.

Arah angin berubah, meniupkan asap ke arahku dan

Jasper. Sesaat segalanya tidak terlihat kecuali dia. Meski

tidak sebuta sebelumnya, tiba-tiba aku merasa jauh lebih

resah, entah karena alasan apa. Seakan-akan aku bisa merasakan keresahan menyusup keluar dari vampir di sebelahku.

Angin sepoi-sepoi kembali berembus pada detik berikutnya, dan aku bisa melihat dan mencium semuanya.

Jasper mendesis marah padaku dan mendorongku hingga

kembali terjerembap ke tanah.

Ternyata itu dia?manusia yang kuburu beberapa menit

lalu. Bau yang menjadi fokus sekujur tubuhku. Bau manis

basah darah terlezat yang pernah kulacak. Mulut dan kerongkonganku seperti terbakar.

Aku berusaha sekuat tenaga mempertahankan akal sehat 178

ku?tetap fokus pada fakta bahwa Jasper menungguku

melompat lagi agar bisa membunuhku?tapi hanya sebagian diriku yang bisa melakukannya. Aku merasa seperti

nyaris terbelah dua saking kerasnya berusaha mengendalikan

diri.

Manusia bernama Bella itu menatapku dengan sepasang

mata cokelat yang terperangah. Menatapnya membuat keadaan semakin buruk. Aku bisa melihat darah mengalir

deras di balik kulitnya yang tipis. Aku berusaha melihat ke

arah lain, tapi mataku terus tertuju kembali padanya.

Si rambut merah berbicara pada manusia itu dengan

suara pelan. "Dia menyerah. Yang seperti itu belum pernah

kulihat sebelumnya. Hanya Carlisle yang terpikir untuk

menawarinya. Jasper sebenarnya tidak setuju."

Carlisle pasti tadi menjelaskan kepada vampir itu ketika

kedua telingaku ditutup.

Vampir itu merangkul si gadis manusia dengan kedua

tangannya, dan gadis itu menempelkan kedua tangannya ke

dada si vampir. Kerongkongannya hanya berjarak beberapa

sentimeter saja dari mulut si vampir, tapi gadis itu sama

sekali tidak tampak ketakutan. Dan si vampir kelihatannya

tidak sedang berburu. Aku berusaha mencerna gagasan dalam benakku bahwa ada sekelompok vampir yang memelihara seorang manusia, tapi ini sama sekali tidak mendekati bayanganku semula. Seandainya gadis itu vampir,

aku pasti sudah menduga bahwa mereka sepasang kekasih.

"Jasper baik-baik saja?" bisik manusia itu.

179

"Dia tidak apa-apa. Racunnya pedih."

"Dia digigit?" tanya manusia itu, terdengar syok membayangkannya.

Siapakah gadis ini? Mengapa para vampir mengizinkannya berada bersama mereka? Mengapa mereka belum membunuhnya? Mengapa ia terlihat begitu nyaman bersama

mereka, seolah-olah mereka tidak menakutkan baginya?

Kelihatannya ia bagian dari dunia ini, namun ia tidak memahami realita yang ada. Tentu saja Jasper digigit. Ia baru

saja bertempur melawan?dan menumpas?seluruh kelompokku. Tahukah gadis itu makhluk apa kami sebenarnya?

Ugh, perasaan terbakar di kerongkonganku semakin menjadi-jadi! Aku berusaha untuk tidak memikirkan memadamkan api itu dengan darah si manusia, tapi angin meniupkan

baunya tepat ke wajahku! Terlambat untuk menguasai

diri?aku sudah mencium bau mangsa yang kuburu, dan

tak ada yang dapat mengubah itu sekarang.

"Dia berusaha menangani semuanya pada saat bersamaan. Berusaha memastikan Alice tidak melakukan apaapa, sebenarnya." Ia menggeleng sambil memandangi gadis

mungil berambut hitam itu. "Padahal Alice tidak membutuhkan bantuan siapa-siapa."

Vampir bernama Alice itu menatap Jasper garang. "Si

bodoh yang kelewat protektif," katanya dengan suara

sopranonya yang jernih. Jasper membalas tatapannya dengan senyum miring, sejenak seakan lupa bahwa aku ada.

Aku nyaris tak sanggup menahan insting yang mendorongku memanfaatkan perhatian Jasper yang sejenak

180

teralih itu untuk menerkam si gadis manusia. Hanya butuh

sekejap dan kemudian darahnya yang hangat?darah yang

bisa kulihat dipompa keluar dari jantungnya?akan menuntaskan dahagaku. Ia dekat sekali?

Si vampir berambut merah gelap menatap mataku dengan sorot berapi-api, memperingatkan, dan aku tahu aku

bakal mati kalau coba-coba menerjang gadis itu, tapi kesakitan luar biasa di tenggorokanku membuatku merasa

seakan-akan bakal mati kalau tidak minum darahnya.

Begitu sakitnya sampai-sampai aku berteriak nyaring karena

frustrasi.

Jasper menggeram padaku, dan aku berusaha menjaga

agar tubuhku tidak bergerak, tapi rasanya seolah-olah bau

darah gadis itu bagaikan tangan raksasa yang merenggut

kasar tubuhku supaya berdiri. Aku belum pernah mencoba

berhenti makan begitu sudah bertekad berburu. Kusurukkan kedua tanganku ke tanah, mencari sesuatu untuk dipegang, tapi tidak menemukan apa-apa. Jasper mencondongkan tubuh dalam posisi merunduk, dan meskipun

tahu dua detik lagi aku bakal mati, aku tetap tidak bisa
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memfokuskan pikiran-pikiranku yang haus.

Kemudian Carlisle datang, tangannya memegang bahu

Jasper. Ia menatapku dengan mata yang baik dan tenang.

"Kau berubah pikiran, anak muda?" tanya Carlisle padaku.

"Kami tidak ingin menghabisimu, tapi kami akan melakukannya kalau kau tidak bisa mengendalikan diri."

"Bagaimana kalian bisa tahan?" tanyaku padanya, nyaris

memohon. Tidakkah ia terbakar juga? "Aku menginginkan

181

dia." Kutatap gadis itu, setengah mati berharap tak ada jarak di antara kami. Dengan sia-sia jari-jariku mencakar-cakar tanah yang berbatu.

"Kau harus bisa tahan," kata Carlisle dengan suara berat.

"Kau harus bisa mengendalikan diri. Itu bisa dilakukan,

dan hanya itu yang bisa menyelamatkanmu sekarang."

Kalau kemampuan menolerir kehadiran manusia seperti

yang dilakukan vampir-vampir aneh itu adalah satu-satunya

harapanku untuk selamat, itu berarti bencana bagiku. Aku

tidak sanggup menahan api ini. Lagi pula, sebenarnya aku

sudah tak peduli lagi pada keselamatan. Aku tidak ingin

mati, aku tidak menginginkan kesakitan, tapi apa gunanya?

Semua sudah mati. Diego sudah berhari-hari mati.

Namanya ada di bibirku. Aku nyaris membisikkannya

dengan suara keras. Kucengkeram kepalaku dengan kedua

tangan dan berusaha memikirkan sesuatu yang tidak menyakitkan. Bukan gadis itu, dan bukan Diego. Upayaku tidak terlalu membuahkan hasil.

"Tidakkah sebaiknya kita menjauh saja darinya?" si manusia berbisik-bisik dengan suara parau, membuyarkan

konsentrasiku. Mataku langsung kembali tertuju padanya.

Kulitnya begitu tipis dan lembut sampai-sampai aku bisa

melihat denyut nadi di lehernya.

"Kita harus tetap di sini," jawab si vampir yang digelayutinya. "Mereka sudah sampai di ujung utara lapangan sekarang."

Mereka? Aku menengok ke utara, tapi tidak terlihat apa

pun kecuali asap. Apakah yang ia maksud Riley dan pen 182

ciptaku? Aku merasakan gelombang kepanikan baru diikuti

secercah harapan. Tidak mungkin perempuan itu dan Riley

sanggup melawan vampir-vampir yang telah membunuh

begitu banyak anggota kelompok kami, bukan? Walaupun

makhluk-makhluk melolong tadi sudah pergi, Jasper sendiri

saja tampaknya mampu menghadapi mereka berdua.

Atau yang ia maksud adalah Volturi yang misterius itu?

Angin bertiup, menggodaku dengan bau gadis itu yang

berembus menerpa wajahku, dan pikiranku kocar-kacir. Kutatap dia dengan penuh dahaga.

Gadis itu membalas tatapanku, tapi ekspresinya sangat

berbeda daripada seharusnya. Meski aku bisa merasakan

bibirku menyeringai menampakkan gigi-gigiku, walaupun

tubuhku gemetar karena berusaha menahan diri untuk tidak menerjangnya, gadis itu kelihatannya tidak takut padaku. Ia malah seperti terpesona. Hampir-hampir seperti ia

ingin berbicara denganku?seolah-olah ia menyimpan pertanyaan dan ingin aku menjawabnya.

Kemudian Carlisle dan Jasper mulai mundur menjauhi

api?dan aku?membentuk pagar betis bersama para vampir lain dan manusia itu. Mereka memandang melewatiku

ke kepulan asap, jadi apa pun yang mereka takutkan itu

lebih dekat denganku daripada dengan mereka. Aku mengkeret semakin rapat ke asap, meski ada lidah-lidah api itu.

Haruskah aku melarikan diri? Apakah perhatian mereka

cukup teralihkan sehingga aku bisa meloloskan diri? Akan

pergi ke mana aku? Ke Fred? Atau berkelana sendirian?

183

Mencari Riley dan membuatnya membayar semua yang telah diperbuatnya pada Diego?

Sementara aku ragu-ragu, tertegun oleh pemikiran

terakhir itu, momen itu berlalu. Aku mendengar gerakan

di arah utara dan tahu aku berada di tengah-tengah, di

antara vampir mata-kuning dan entah makhluk apa yang

datang itu.

"Hmm," terdengar sebuah suara menyeramkan bernada

apatis dari balik asap.

Dalam satu silabel itu saja aku tahu persis siapa yang

datang, dan seandainya saat itu aku tidak sedang membeku

kaku karena perasaan ngeri yang tak terperikan, aku pasti

sudah melarikan diri.

Itu suara sosok-sosok berjubah hitam.

Apa artinya ini? Apakah akan ada pertempuran baru sekarang? Aku tahu para vampir berjubah hitam itu menginginkan penciptaku menghabisi para mata-kuning. Penciptaku jelas-jelas gagal. Apa itu berarti mereka akan

membunuh penciptaku? Atau apakah mereka akan membunuh Carlisle dan Esme dan semua yang tersisa di sini?

Seandainya bisa memilih, aku tahu siapa yang ingin kuhabisi, dan itu jelas bukan vampir-vampir yang menangkapku.

Sosok-sosok berjubah hitam itu melayang menembus

asap untuk menghadapi mata-kuning. Tak seorang pun dari

mereka menatap ke arahku. Aku diam tak bergerak.

Mereka hanya berempat, seperti waktu itu. Tapi tak ada

bedanya meski ada tujuh mata-kuning. Kentara sekali me 184

reka sama waswasnya menghadapi para jubah hitam seperti

Riley dan penciptaku waktu itu. Ada hal lain mengenai

mereka daripada yang tampak, tapi aku jelas-jelas bisa

merasakannya. Mereka penegak hukum, dan mereka tidak

pernah kalah.

"Selamat datang, Jane," sapa vampir mata-kuning yang

memegangi si manusia.

Mereka saling mengenal. Tapi suara si rambut merah bernada tidak ramah?juga tidak lemah dan sangat ingin menyenangkan hati orang seperti nada suara Riley, atau sangat

ketakutan seperti nada suara penciptaku. Suaranya dingin,

sopan, dan tidak terkejut. Kalau begitu, apakah sosok-sosok

berjubah hitam ini yang disebut sebagai Volturi?

Vampir mungil yang memimpin barisan para jubah hitam?ternyata namanya Jane?mengendarkan pandangan

lambat-lambat ke ketujuh mata-kuning dan si manusia,

kemudian akhirnya memalingkan kepalanya ke arahku. Aku

melihat sekilas wajahnya untuk pertama kali. Ia lebih muda

daripadaku, tapi sekaligus juga lebih tua, kurasa. Matanya

bagaikan mawar beledu merah gelap. Tahu sekarang sudah

terlambat untuk menghindari perhatian, aku menunduk

dalam-dalam, menutupnya dengan kedua tangan. Mungkin

kalau kelihatan jelas aku tak ingin melawan, Jane akan

memperlakukanku seperti Carlisle. Tapi rasanya aku tak

bisa berharap banyak.

"Aku tidak mengerti." Suara Jane yang apatis menyuarakan secercah nada kesal.

"Dia sudah menyerah," si rambut merah menjelaskan.

185

"Menyerah?" bentak Jane.

Diam-diam aku mengintip dan melihat sosok-sosok berjubah hitam itu bertukar pandang. Si rambut merah tadi

mengatakan belum pernah melihat ada vampir yang menyerah sebelumnya. Mungkin para jubah hitam itu sama

juga.

"Carlisle memberinya pilihan," kata si rambut merah. Kelihatannya ia juru bicara bagi para mata-kuning, walaupun

menurutku Carlisle-lah pemimpin mereka.

"Tidak ada pilihan bagi mereka yang melanggar aturan,"

sergah Jane, nadanya kembali apatis.

Tulang-tulangku dingin bagaikan es, tapi aku tak lagi

merasa panik. Semua sepertinya sudah tak bisa dihindari

lagi.

Carlisle menanggapi perkataan Jane dengan nada lunak.

"Itu terserah padamu. Selama dia bersedia menghentikan

serangannya terhadap kami, aku tidak merasa perlu menghabisinya. Dia tidak pernah diajari."

Walaupun kata-katanya netral, aku hampir-hampir merasa Carlisle memohon belas kasihan untukku. Tapi seperti

katanya tadi, bukan dia yang menentukan nasibku.

"Itu tidak relevan," Jane bersikeras.

"Terserah padamu."

Jane menatap Carlisle dengan ekspresi separuh bingung

dan separuh frustrasi. Ia menggeleng, dan wajahnya tak

bisa dibaca lagi.

"Aro berharap kami mampir ke kawasan barat ini untuk

menemuimu, Carlisle," kata Jane. "Dia kirim salam."

186

"Aku akan sangat berterima kasih kalau kau menyampaikan salamku juga kepadanya," Carlisle menanggapi.

Jane tersenyum. "Tentu saja." Ia menoleh lagi kepadaku,

sudut-sudut mulutnya masih terangkat sedikit, mengulum

senyum. "Kelihatannya kalian sudah melakukan tugas kami

hari ini... sebagian besar di antaranya. Demi keingintahuan

profesional saja, berapa banyak jumlah mereka tadi? Mereka

cukup membuat gempar Seattle."

Ia berbicara tentang pekerjaan dan keprofesionalan. Kalau begitu aku benar, bahwa profesinya memang menghukum. Dan kalau benar mereka penegak hukum, berarti

ada peraturan. Carlisle pernah mengatakannya sebelumnya,

Kita mengikuti aturan mereka, dan juga, Tidak ada hukum

yang melarang menciptakan vampir kalau kau bisa mengendalikan mereka. Riley dan penciptaku takut tapi tidak bisa

dibilang terkejut oleh kehadiran para vampir berjubah hitam, mereka yang disebut Volturi ini. Mereka tahu hukum,

dan mereka tahu mereka telah melanggarnya. Mengapa mereka tidak memberitahu kami saja? Dan ada lebih banyak

Volturi daripada mereka berempat. Ada orang yang bernama Aro dan mungkin masih banyak lagi. Sudah pasti

jumlah mereka banyak karena semua orang sangat takut

pada mereka.

Carlisle yang menjawab pertanyaan Jane. "Delapan belas,

termasuk yang ini."

Keempat sosok berjubah hitam itu berbisik-bisik dengan

suara nyaris tak terdengar.

187

"Delapan belas?" ulang Jane, suaranya terdengar kaget.

Pencipta kami tidak pernah memberitahu Jane berapa banyak vampir yang diciptakannya. Apakah Jane benar-benar

terkejut, atau hanya berpura-pura?

"Semuanya baru," kata Carlisle. "Mereka tidak terlatih."

Tidak terlatih dan tidak diberitahu apa-apa, gara-gara

Riley. Aku mulai bisa merasakan bagaimana vampir-vampir

yang lebih tua ini memandang kami. Vampir baru, begitu

Jasper tadi menyebutku. Seperti bayi.

"Semua?" bentak Jane. "Kalau begitu siapa yang menciptakan mereka?"

Seolah-olah mereka belum pernah berkenalan saja. Jane

ini ternyata pembohong yang lebih parah daripada Riley,

dan juga jauh lebih pandai berbohong daripada dia.

"Namanya tadinya Victoria," jawab si rambut merah.

Bagaimana ia bisa mengetahui hal itu padahal aku saja

tidak tahu? Aku ingat Riley pernah berkata ada vampir

yang bisa membaca pikiran dalam kelompok ini. Dengan

cara itukah mereka mengetahui segalanya? Atau itu hanya

salah satu kebohongan Riley?

"Tadinya?" tanya Jane.

Si rambut merah mengedikkan kepala ke arah timur seperti menuding. Aku mendongak dan melihat kepulan asap

ungu mengepul dari sisi gunung.

Tadinya. Aku merasakan perasaan senang seperti yang

tadi kurasakan sewaktu membayangkan si vampir besar itu

mencabik-cabik Raoul. Hanya saja kali ini jauh, jauh lebih

besar.

188

"Si Victoria ini," Jane bertanya lambat-lambat. "Dia tidak

termasuk dalam jumlah delapan belas ini?"

"Ya," si rambut merah membenarkan. "Dia membawa

satu lagi bersamanya. Pemuda itu tidak semuda gadis ini,

tapi hanya lebih tua kira-kira setahun."

Riley. Perasaan senangku semakin berlipat. Bila?oke,

saat?aku mati hari ini, setidaknya aku tidak meninggalkan

urusan yang belum selesai. Kematian Diego telah terbalaskan. Hampir saja aku tersenyum.

"Dua puluh," Jane mengembuskan napas. Apakah itu berarti jumlahnya lebih daripada yang ia perkirakan, atau ia

benar-benar aktris jempolan. "Siapa yang membereskan penciptanya?"

"Aku," jawab si rambut merah dingin.

Siapa pun vampir ini, terlepas dari apakah ia memiliki

peliharaan manusia atau tidak, ia temanku. Walaupun seandainya dialah yang harus membunuhku pada akhirnya,
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku akan tetap berutang budi padanya.

Jane menoleh dan menatapku dengan mata disipitkan.

"Hei kau," geramnya. "Namamu."

Aku toh memang sudah mati, menurut dia. Jadi untuk

apa menuruti kemauan vampir pembohong ini? Kupandangi

saja dia dengan tatapan garang.

Jane tersenyum padaku, senyum ceria dan bahagia layaknya anak kecil yang tidak berdosa, dan tiba-tiba saja aku

merasa seperti terbakar. Rasanya seakan-akan aku kembali

ke masa lalu, ke malam terburuk dalam hidupku. Api menjalari setiap pembuluh darah dalam tubuhku, menguasai

189

setiap inci kulitku, menggigiti sumsum setiap tulang. Rasanya seakan-akan aku terkubur di tengah-tengah api unggun

yang membakar kelompokku, dengan lidah-lidah api menjilat-jilat di setiap sisi. Tidak ada satu sel pun dalam tubuhku yang tidak terbakar oleh rasa sakit yang tak terperikan.

Aku nyaris tak bisa mendengar diriku berteriak karena

telingaku juga terasa sakit luar biasa.

"Namamu," tukas Jane lagi, dan begitu ia berbicara, api

itu lenyap. Lenyap begitu saja, seolah-olah aku tadi hanya

membayangkannya.

"Bree," jawabku secepat aku bisa, masih megap-megap

meski rasa sakit itu tak ada lagi.

Jane tersenyum lagi, dan api itu kembali membakarku.

Sebesar apa rasa sakit yang akan kurasakan sebelum aku

mati? Jeritan-jeritan itu rasanya bahkan tidak berasal dari

diriku lagi. Mengapa tak ada yang merenggut kepalaku saja

sampai putus? Carlisle cukup baik hati untuk melakukannya, bukan? Atau si pembaca pikiran, siapa pun dia. Tak

bisakah dia mengerti dan menghentikan penderitaanku ini?

"Dia akan menceritakan apa saja yang ingin kauketahui,"

sergah si rambut merah. "Kau tak perlu berbuat begitu."

Rasa sakit itu kembali lenyap, seolah-olah Jane mematikan tombol lampu. Aku mendapati diriku tersungkur dalam posisi wajah mencium tanah, terengah-engah seperti

membutuhkan udara.

"Oh, aku tahu," kudengar Jane berkata dengan nada

riang. "Bree?"

190

Aku bergidik waktu ia memanggil namaku, tapi rasa sakit itu tidak datang lagi.

"Apakah cerita itu benar? Benarkah jumlah kalian dua

puluh?"

Kata demi kata berhamburan keluar dari mulutku. "Sembilan belas atau dua puluh, mungkin lebih, aku tidak tahu!

Sara dan si satu lagi yang aku tidak tahu namanya berkelahi dalam perjalanan ke sini..."

Aku menunggu rasa sakit itu datang menghukumku karena tidak bisa memberikan jawaban yang lebih baik daripada itu, tapi Jane malah berbicara lagi.

"Dan si Victoria ini... dia yang menciptakanmu?"

"Aku tidak tahu," aku mengakui sambil mengkeret ketakutan. "Riley tidak pernah menyebut namanya. Aku tidak

sempat melihatnya malam itu... soalnya gelap sekali, dan

sangat menyakitkan..." Aku bergidik. "Riley tidak mau kami

memikirkan wanita itu. Kata Riley, pikiran kami tidak

aman..."

Jane melirik si rambut merah, kemudian menatapku

lagi.

"Ceritakan tentang Riley," kata Jane. "Kenapa dia membawamu kemari?"

Aku mengungkapkan kebohongan-kebohongan Riley secepat aku bisa. "Riley berkata kami harus menghabisi

makhluk-makhluk aneh bermata kuning di sini. Katanya,

itu mudah saja dilakukan. Katanya, kota ini milik mereka,

dan mereka akan datang untuk menghabisi kami. Katanya,

kalau mereka sudah dihabisi, semua darah akan jadi milik

191

kami. Dia memberi kami bau gadis itu." Aku menuding ke

arah manusia itu. "Menurut dia, kami akan tahu telah menemukan kelompok yang tepat, karena gadis itu ada bersama mereka. Menurut Riley, siapa pun yang pertama berhasil mendapatkan dia, bisa memilikinya."

"Kelihatannya Riley keliru soal hal yang mudah itu," kata

Jane, secercah nada menyindir terdengar dalam suaranya.

Kedengarannya Jane senang dengan ceritaku. Sekilas aku

mengerti ia lega Riley tidak menceritakan kepadaku atau

yang lain-lain tentang kedatangannya menemui pencipta

kami, Victoria. Inilah cerita yang ia ingin agar para matakuning tahu?cerita yang tidak melibatkan Jane ataupun

keluarga Volturi yang berjubah hitam. Well, aku bisa saja

ikut dalam permainan ini. Mudah-mudahan saja si pembaca

pikiran sudah tahu.

Secara fisik aku tidak bisa membalas dendam kepada

monster ini, tapi aku bisa mengungkapkan semuanya kepada mata-kuning melalui pikiranku. Kuharap saja begitu.

Aku mengangguk, menyetujui lelucon kecil Jane, kemudian duduk karena ingin menarik perhatian si pembaca pikiran, siapa pun dia. Aku melanjutkan versi cerita yang sebenarnya bisa diberikan siapa pun dalam kelompokku. Aku

berpura-pura menjadi Kevin. Tolol setengah mati dan sangat cuek.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi." Bagian itu benar. Kekacauan di medan pertempuran masih misteri bagiku. Aku

tidak pernah melihat satu pun anggota kelompok Kristie.

Apakah mereka dihabisi vampir-vampir melolong misterius

192

itu? Aku akan menyimpan rahasia itu demi para mata-kuning. "Kami berpencar, tapi yang lain-lain tak pernah kembali. Riley meninggalkan kami, dan dia tidak datang membantu kami seperti yang sudah dijanjikan. Kemudian

segalanya sangat membingungkan, dan tahu-tahu semua

sudah tercerai-berai." Aku bergidik mengingat potongan

tubuh yang kulompati. "Aku takut. Aku ingin kabur." Aku

mengangguk kepada Carlisle. "Orang itu bilang mereka tidak akan menyakiti aku kalau aku berhenti menyerang."

Perkataanku itu tidak mengkhianati Carlisle. Ia toh memang sudah mengatakan itu kepada Jane tadi.

"Ah, tapi bukan haknya menawarkan hal itu, anak muda,"

gumam Jane. Kedengarannya ia sangat menikmati situasi

ini. "Melanggar aturan menuntut konsekuensi."

Sambil masih berpura-pura sebagai Kevin, aku hanya

memandanginya, seolah-olah terlalu tolol untuk mengerti.

Jane berpaling kepada Carlisle. "Kau yakin semua sudah

kaubereskan? Bagaimana dengan sebagian yang berpencar

itu?"

Carlisle mengangguk. "Kami juga berpencar."

Kalau begitu benar makhluk-makhluk melolong itulah

yang menghabisi Kristie. Aku berharap bahwa, apa pun

mereka, makhluk-makhluk melolong itu benar-benar menakutkan. Kristie pantas mendapatkan itu.

"Tak bisa kusangkal aku terkesan," kata Jane, kedengarannya tulus, dan menurutku mungkin karena itu benar. Jane

berharap pasukan Victoria dapat membuat kerusakan di

sini, namun yang terjadi malah kami jelas-jelas gagal.

193

"Benar," ketiga vampir di belakang Jane menyetujui dengan suara pelan.

"Belum pernah aku melihat ada kelompok yang bisa

selamat seluruhnya dari pelanggaran aturan dengan skala

sebesar ini. Kalian tahu apa yang melatarbelakanginya?

Sepertinya ini perilaku ekstrem, bila mengingat gaya hidup

kalian di sini. Dan kenapa gadis itu yang menjadi kunci?"

Sekilas mata Jane menatap si manusia.

"Victoria mendendam kepada Bella," kata si rambut merah, menjawab pertanyaannya.

Jane tertawa gembira. "Gadis satu ini"?dan ia tersenyum

kepada manusia itu seperti ia tadi tersenyum padaku?"sepertinya selalu memicu timbulnya berbagai reaksi kuat tapi

aneh bagi jenis kita."

Tidak terjadi apa-apa pada gadis itu. Mungkin Jane tak

ingin menyakitinya. Atau mungkin bakatnya yang mengerikan itu hanya berpengaruh pada vampir.

"Kumohon, bisakah kau tidak melakukan hal itu?" pinta

si rambut merah dengan suara terkontrol tapi bernada marah.

Lagi-lagi Jane tertawa. "Hanya mengecek. Ternyata tidak

menimbulkan reaksi apa pun."

Aku berusaha mempertahankan ekspresi ala Kevin-ku

agar tujuanku yang sebenarnya tidak terbaca. Jadi Jane tak

bisa menyakiti gadis itu seperti ia tadi menyakitiku, dan itu

bukan hal yang normal bagi Jane. Walaupun Jane tertawa,

tapi kentara sekali itu membuatnya frustrasi. Itukah sebabnya gadis manusia ini ditolerir oleh para mata-kuning? Tapi

194

kalau ia memang memiliki keistimewaan, mengapa mereka

tidak mengubahnya saja menjadi vampir?

"Well, kelihatannya tak banyak lagi yang bisa kami lakukan," kata Jane, suaranya kembali monoton dan apatis.

"Aneh. Tidak biasanya kedatangan kami sia-sia seperti ini.

Sayang kami terlambat mengikuti pertempuran. Kedengarannya cukup menghibur untuk disaksikan."

"Benar," si rambut merah menyahut cepat. "Padahal kalian sudah sangat dekat. Sayang kalian tidak datang setengah jam lebih awal. Mungkin dengan begitu kalian bisa

melaksanakan tugas kalian di sini."

Aku menahan senyum. Kalau begitu si rambut merah

itulah yang bisa membaca pikiran, dan ia mendengar semua

yang aku ingin dia dengar. Jane takkan lolos begitu saja.

Jane membalas tatapan si pembaca pikiran dengan bergeming. "Benar. Sayang sekali pertempuran itu berakhir

seperti ini, bukan?"

Si pembaca pikiran mengangguk, dan aku bertanya-tanya

dalam hati, apa yang didengarnya dalam benak Jane.

Jane memalingkan tatapan kosongnya padaku. Tak ada

sorot apa-apa di matanya, tapi aku bisa merasakan waktuku

sudah habis. Ia sudah mendapatkan apa yang ia perlukan

dariku. Ia tidak tahu aku sudah memberikan semua yang

bisa kuberikan kepada si pembaca pikiran. Sekaligus melindungi rahasia-rahasia kelompoknya. Aku berutang budi

padanya. Ia sudah menghukum Riley dan Victoria untukku.

Aku meliriknya dari sudut mata dan berpikir, Trims.

195

"Felix?" panggil Jane dengan nada bosan.

"Tunggu," seru si pembicara pikiran dengan suara nyaring.

Ia berpaling kepada Carlisle dan berbicara dengan nada

mendesak. "Kita bisa menjelaskan aturan-aturan yang ada

pada gadis muda ini. Sepertinya dia mau belajar. Dia tidak

tahu kalau yang dilakukannya itu salah."

"Tentu saja," jawab Carlisle penuh semangat, memandang

Jane. "Kami jelas siap bertanggung jawab atas diri Bree."

Wajah Jane tampak seolah-olah ia tak yakin apakah mereka bercanda, tapi kalau benar bercanda, mereka lebih

menggelikan daripada yang ia kira selama ini.

Aku, aku merasa sangat tersentuh. Vampir-vampir ini

orang asing, tapi mereka rela membahayakan diri mereka

demi aku. Aku sudah tahu itu takkan berhasil, namun

tetap saja.

"Bagi kami tidak ada pengecualian," kata Jane pada mereka, takjub. "Dan kami tak pernah memberi kesempatan

kedua. Itu tidak baik bagi reputasi kami."

Seakan-akan ia sedang mendiskusikan orang lain saja.

Aku tak peduli ia sedang berbicara tentang rencananya

membunuhku. Aku tahu para mata-kuning tak bisa menghentikannya. Dialah polisinya para vampir. Tapi kalaupun

polisi-polisi vampir itu kotor?benar-benar kotor?paling

tidak para mata-kuning itu sudah mengetahuinya sekarang.

"Dan itu membuatku teringat...," sambung Jane, matanya

kembali menatap si gadis manusia dan senyumnya mengem 196

bang. "Caius pasti akan sangat tertarik mendengar bahwa

ternyata kau masih manusia, Bella. Mungkin dia akan memutuskan untuk datang."

Masih manusia. Jadi mereka akan mengubah gadis itu.

Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang mereka tunggu.

"Tanggalnya sudah ditentukan," kata si vampir berambut

hitam pendek dan bersuara jernih. "Mungkin kami akan

datang mengunjungi kalian beberapa bulan lagi."

Senyum Jane lenyap, seolah-olah ada yang menghapusnya.

Ia mengangkat bahu tanpa memandang vampir berambut

hitam itu, dan aku punya firasat bahwa sebenci-bencinya ia

kepada si gadis manusia, ia sepuluh kali lipat lebih benci

kepada vampir mungil itu.

Jane berpaling lagi kepada Carlisle dengan ekspresi sekosong sebelumnya. "Senang bertemu denganmu, Carlisle...

kupikir Aro hanya melebih-lebihkan. Well, sampai ketemu

lagi nanti..."

Jadi beginilah akhirnya, kalau begitu. Aku tetap tidak

merasa takut. Satu-satunya penyesalanku hanyalah, aku

tidak bisa menceritakan semua ini kepada Fred. Ia pergi

dalam keadaan buta total memasuki dunia yang penuh politik berbahaya, polisi-polisi rahasia, dan kelompok-kelompok rahasia. Tapi Fred cerdas, berhati-hati, dan berbakat.
Kisah Singkat Bree Tanner The Short Second Life Of Bree Tanner Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang bisa mereka lakukan terhadapnya kalau melihatnya saja mereka tidak bisa? Mungkin para mata-kuning

akan bertemu Fred suatu hari nanti. Bersikap baiklah padanya, kumohon, pikirku pada si pembaca pikiran.

197

"Urus itu, Felix," kata Jane, suaranya sarat nada bosan,

mengangguk kepadaku. "Aku mau pulang."

"Jangan lihat," si rambut merah pembaca pikiran berbisik.

Kupejamkan mataku.

KOLEKSILAH SERI TWILIGHT

KARYA STEPHENIE MEYER!

Gramedia Penerbit Buku Utama

SERI TWILIGHT COVER FILM

Gramedia Penerbit Buku Utama

Ia membungkuk di atas atap,

satu tangan mencengkeram pinggiran.

Semua sikap ramahnya yang aneh tadi lenyap, dan ia

menjadi pemburu.

Aku mengenali sikap itu, merasa nyaman dengannya

karena aku memahaminya.

Kumatikan otakku.

Sekarang waktunya berburu.

Aku menghela napas dalam-dalam, menghirup aroma

darah dalam tubuh manusia-manusia di bawah sana.

Mereka bukan satu-satunya manusia di sekitar sini,

tapi merekalah yang paling dekat.

Siapa yang akan kauburu adalah keputusan yang harus

kaubuat sebelum mencium bau mangsamu.

Sekarang sudah terlambat untuk memilih.

Tamat


Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini