Ceritasilat Novel Online

Kupu Kupu Pembunuh Naga 1

Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan Bagian 1



Kupu Kupu Pembunuh Naga

Iwan Sulistiawan

Penerbit Ufuk Press

Juni 2011

**

PANAS TERIK MENTARI SIANG TERASA MASUK KE DALAM Suzuki CARRY tua yang dikendarai Chen, panggilan akrab Setiawan Chandra, lelaki berusia 35-an. Panggilan Chen memang pantas dialamatkan kepadanya. Kulitnya kuning, badannya kekar, atletis dan proporsional, plus rambut gondrong sebahu yang mengingatkan orang pada aktor laga Jacky Chan di saat mudanya. Apalagi mata Chen sipit karena ia memang punya darah Cina dari pihak keluarga ayahnya, dan Chen sendiri seorang penggemar beladiri. Segala jenis beladiri. Sejak kecil sampai sekarang, Chen sudah menimba ilmu karate, kungfu, pencak silat, tinju, kempo, taekwondo, judo, ju jitsu, dan berbagai cabang beladiri yang lain. Kalau dihitung-dihitung, tak kurang dari 16 jenis beladiri pernah ia tekuni. Rata rata, tak pernah ada yang ia tuntaskan sampai tingkatan sabuk tertinggi memang. Sebab, belakangan Chen berpendapat bahwa dirinya hanya perlu mempelajari dan menguasai jurus atau gerakan-gerakan penting saja dari suatu disiplin beladiri. Salah satu obsesi Chen memang menciptakan aliran baru yang merupakan gabungan banyak beladiri dan mendirikan

perguruannya sendiri. Keinginan itu semakin kuat saat dalam banyak pertandingan beladiri yang ia ikuti-baik di cabangcabang beladiri tertentu maupun dalam ajang tarung gabungan semua beladiri, yang lebih populer dengan sebutan mixed martial art-Chen tak pernah kalah. Tak pernah sekali pun. Chen adalah mimpi buruk buat lawan-lawannya.

Kemampuan memukul, menendang, membanting, serta melumpuhkan lawan memang merupakan talenta yang paling Chen banggakan. Namun, hal ini juga yang pernah membawanya mendekam di penjara selama satu setengah tahun akibat kasus perampokan disertai kekerasan. Chen ingat betul kala itu ia terdesak kebutuhan ekonomi karena harus membiayai hidup istrinya, Wulan, dan bayi mungil mereka, Kezia. Pada saat itu, Chen tak punya pekerjaan tetap. Pertandingan beladiri profesional yang bisa memberinya penghaSilan tak selalu diadakan. Kedua orangtuanya telah tiada, sementara dua kakaknya pun hidup pas-pasan. Mana bisa mereka diharapkan untuk membantu. Maka, saat diajak Victor, penjahat kambuhan yang juga teman SMP-nya untuk merampok sebuah toko mas di bilangan Rawamangun, Chen manggut-manggut saja. Sial, baru sekali melakukan kejahatan, Chen tertangkap bersama teman temannya.

Tapi di sel, Chen yang pendatang baru itu sontak terkenal. Pasalnya, ia pernah menghajar pingsan King Kong, pimpinan salah satu geng yang paling disegani. Gara-garanya sepele. Sebagai orang baru, Chen menolak saat dipalak oleh Bowo, anak buah King Kong. Bukan karena ia merasa jagoan, tapi di penjara itu juga mendekam Victor, temannya yang juga disegani para napi lainnya dan Chen anggap bakal melindunginya. Rupanya King Kong merasa wibawanya jauh lebih tinggi

daripada Victor. Maka, saat mendapat pengaduan dari Bowo, King Kong-si badan besar yang sebagian besar penghuni penjara tak tahu nama aslinya ini-langsung memburu Chen. Di bengkel latihan kerja, dengan napas berat, dibentaknya Chen. Sebagian narapidana yang ada di bengkel minggir menjaga jarak, takut terkena getah kemarahan King Kong.

"Lu yang namanya Chen?"

"Ya, ada apa ya?" Sangat tenang jawaban Chen.

"Lu kagak usah belagu di sini, di sini gua yang pegang kuasa."

"Oh ya, memang ada SK-nya ya?" Chen balik bertanya sambil mencibir.

"Kurang ajar lu ya!?" Bogem kanan King Kong melayang mencari kepala Chen yang dengan enteng berkelit ke kiri. Lalu, sebelum kepalan kiri King Kong sampai kepadanya, pukulan Chen lebih dulu menusuk ke dalam uluhati King Kong. Kontan King Kong menahan sakit luar biasa. Sebelum sempat pulih, hajaran Chen di rahang kiri King Kong membuat badan raksasa itu goyah dan BUM!!! King Kong ambruk dan pingsan! Semenjak peristiwa itu, banyak napi yang makin segan kepada si Jacky Chan lokal ini. Apalagi setelah Chen secara tidak resmi "mundur" teratur dari geng Victor dan "membentuk" geng-nya sendiri yang cenderung lebih "saleh". Dalam artian, tidak suka mengonsumsi narkoba atau minuman keras yang diselundupkan ke dalam lapas. Geng baru itu lebih suka beribadah sesuai keyakinan masing-masing, walau tak rajin-rajin amat. Mereka juga lebih gemar latihan beladiri, dengan dipimpin siapa lagi kalau bukan oleh Chen. Oleh para pengikutnya, Chen kadang dipanggil dengan namanya saja. Tapi karena respek mereka, pria dengan tubuh tak terlalu

besar namun kekar berotot ini juga kerap dipanggil Suhu. Adaptasi dari kata shifu, panggilan untuk guru di film-film silat Hong Kong.

Sesungguhnya, di penjara ada satu lagi geng yang ditakuti, yaitu geng pimpinan Budi Codet. Pada sebelah kanan wajah Budi yang dingin dan seram terdapat bekas luka melintang yang menambah keangkerannya. Karena itulah ia dijuluki Budi Codet. Budi adalah penjahat kambuhan yang konon kabarnya masih mengendalikan operasi kejahatannya dari dalam penjara. Bahkan, kabarnya pula, kata sebagian orang yang mengenalnya, Budi Codet merupakan pimpinan mafia atau organised crime. Dalam gurawan para sipir, Budi Codet dijuluki penjahat "multitalenta" karena pernah terlibat hampir di semua jenis kejahatan. Pencurian, penganiayaan, pemerasan, narkoba, penipuan, sampai penggelapan pernah Budi Codet jalani. Namun, berbeda dengan King Kong, Budi Codet dan para pengikutnya tak suka bikin gara-gara di lapas. Mereka cenderung bersikap diam dan dingin. Tapi, mungkin karena sifat-sifat itulah justru para penghuni hotel prodeo makin segan kepada geng Budi Codet. King Kong dan gerombolannya juga enggan "menyentuh" geng Budi Codet. Apalagi mereka mendengar bahwa Budi Codet dulu pernah membunuh orang dengan cara yang sadis. Ia pernah membantai seorang pria yang nekat berselingkuh dengan Yuli, istrinya yang bohai. Konon, si pria yang tertangkap basah berduaan dengan Yuli ini tewas dengan pisau menembus lehernya.

Pernah memang, Chen memergoki dua kaki tangan Budi Codet, Pendi dan Sando, memukuli dan menyiksa seorang napi yang "tak punya geng" di sebuah sudut di belakang dapur. Melihat Chen. Fendi dan Sanda segera menghentikan

aksinya dan langsung ngeloyor pergi. Untung saja, Fendi dan Sando ternyata segan terhadap Chen. Jika tidak, bisa terjadi perang besar antara geng Chen dan geng Budi Codet.

Hari Minggu siang itu, Chen hendak mengunjungi empat mantan rekannya yang juga alumni lapas: Slamet alias Botak, Fathan alias Kumis, Boni alias Gendut, dan Dika alias Dalang. Ada sebuah keperluan penting, sangat penting, pikir Chen. Bukan cuma buatnya, melainkan juga untuk keempat temannya.

**

Carry tua itu berhenti di depan sebuah rumah kontrakan di wilayah Sumur Batu, rumah yang dikontrak Slamet Botak. Chen terkejut saat seekor ayam betina melompati pagar bambu yang hendak dibukanya. Selintas bau tak sedap terendus dari kandang ayam yang terbuat dari kayu dan kawat sederhana di halaman kecil itu. Di luar kandang, beberapa ayam betina berkotek mengelilingi sang pejantan yang berkali-kali memamerkan kokoknya. Di dekat kandang, ada kolam kecil berisi ikan mas dan beberapa jenis ikan sawah. Chen tersenyum mengingat cita cita Slamet yang sering diutarakan padanya dulu,

"Aku ingin punya peternakan, Suhu."

Slamet keluar mendengar kebisingan kecil di luar rumahnya. Dia kaget sekaligus gembira melihat kedatangan "guru"-nya semasa di penjara.

"Suhu? Kenapa ndak bilang-bilang kalo mau datang?"

.

"Jadi, intinya Suhu nawarkan kerja?" Slamet mematikan rokoknya ke asbak di atas meja kayu di ruang depan.

"Ya. Jadi security, Mas... tenaga keamanan," Chen memberi penegasan.

"kalau jadi satpam man penghasilannya ndak akan jauh beda dari kerjaanku narik angkot dong, Suhu... Mungkin malah gedean narik angkot kalau aku rajin, walaupun akhir-akhir ini aku sering masuk angin, Suhu. Tadi pagi saja saat akan berangkat, lha kok ya aku mual-mual lagi... ya, nek aku dadi satpam opo ora malah kerep masuk angin mergo kerap jago bagi?"

"Lha ya ndak tho, Mas... iki bedo..." Chen mencoba meyakinkan.

"Ini bukan sembarang satpam, Mas... kita jadi pengawal pribadi dari orang penting," tambah Chen.

"Orang penting? Artis?"

"Bukan, bukan artis, tapi..." Suara Chen tertahan karena istri' Slamet masuk membawa nampan berisi dua gelas kopi hitam. Chen terenyuh melihat kaus lusuh dan dekil yang dikenakan istri Slamet.

"Monggo, silakan, Mas Chen. Maaf lho, tidak ada apa-apa." Dilanjutkan basa-basi sebentar, perempuan Jawa itu kembali ke belakang.

"Orang penting ini pengusaha besar, Mas," Chen agak mengecilkan volume suaranya.

"Pengusaha besar? Namanya siapa, Suhu?"

"Ah, soal nama nanti sajalah, Mas, yang penting Mas mau dulu. Pokoknya kehidupan kita insya Allah bakal enak, Mas. Pengawal pribadi gitu loh! Beda dong sama satpam biasa, yang ini bisa empat kali lipat penghasilannya!"

"Empat kali lipat? Yang betul, Mas?" Slamet mengelus elus kepala licinnya. Ia membayangkan mengajak istri dan

kedua anaknya makan enak di sebuah restoran besar, tak perlu khawatir kekurangan uang untuk pesan menu apa pun.

"Masak aku bercanda, Mas... sudah, terima saja ya, narik angkatnya kasihkan adikmu aja. Ayo putuskan segera! Nanti Mas antar aku ke rumah Farhan ya, aku tak begitu hafal," lanjut Chen.

Slamet tiba-tiba seperti melihat cahaya harapan.

**

"Rumahmu besar juga, Farhan." Di ruang tamu rumah Farhan Kumis di daerah Kelapa Gading, Chen memberi pujian. Slamet Botak di sebelahnya ikut mengangguk-angguk.

"Ah, ini bukan rumahku, Chen, ini Pondok Mertua Indah ha-ha-ha..." Farhan memberi klarifikasi.

"Oh, ta" kira omahmu dewek Kumis," Slamet menimpali.

"Ya nggaklah, masak kerja jadi karyawan rendahan bisa punya rumah sebesar ini?"

"Kerja apa kau, Han?" Chen penasaran.

"Bocah kantor alias office boy! ha-ha-ha..." Tawa Farhan meledak, kumis tebalnya turut bergerak-gerak.

"Rasanya cuma teman kita si Suhu Chen ini yang sukses ya, Met?" Farhan menyikut Slamet.

"Eh, tapi ngomongngomong, masak pengusaha sukses mobilnya cuma minibus Carry, Chen?"

"Halah, itu mobil antar jemput sekolah, Kumis."

"Serius, Chen?"

"Iyalah, kalo aku pengusaha, mobilnya minimal Toyota Camry dong." Chen menegaskan.

"Itu mobil milik sekolah,

mungkin karena mobil itu sudah tua, aku disuruh bawa ke mana-mana asal dirawat... ya, lumayanlah, bisa ngantar jin botak ini ke rumahmu... eh... ke rumah mertuamu."

Ketiganya tertawa berderai.

"Mertuamu, ndi tho, Han? Kok ndak kelihatan? Istri dan anak-anakmu juga ndak ada," tanya Slamet.

"jalan-jalan, Met, katanya mau ke Dufan, aku segan ikutlah, malu dibayarin mertua terus."

Lalu, seperti kepada Slamet Botak, Chen pun menawari Farhan hal yang sama, ikut bekerja sebagai pengawal pribadi seorang pengusaha besar.

"Tapi apa nggak berisiko, Chen? Maksudku... apa nggak ada risiko kita terjerumus lagi, aku nggak mau balik ke asrama, Chen." Farhan ngeri, kapok kembali ke penjara.

"Kita kan jadi pengawal, Han, sekadar menjaga keamanan si Bos. Lagi pula, si Bos ini juga nggak pernah bilang kita bakal pakai kekerasan, bahkan dia melarang kita pegang senjata tajam atau senjata api."

"Oh ya? Mosok sih? Jadi, tangan kosong?" Slamet berhenti menyeruput teh botol suguhan Farhan.

"Iya, itu sebenarnya permintaanku. Aku nggak mau kita ada yang nantinya lepas kontrol, lalu main bacok atau main tembak. Aku sudah trauma, itu juga sebabnya aku nggak ajak David Brengos dan Asep Jablay. Walau mereka termasuk kelompok kita, aku nggak yakin mereka bisa ngontrol emosi. Apalagi, belum lama kudengar, si Brengos kena kasus lagi. Dengar-dengar sih, sempat dia dua minggu mondok di tahanan polisi." Chen menambahkan.

"Lha, kalau lawan yang mengancam pakai senjata, pakai parang, gimana, Chen? Bunuh diri dong kita?" Farhan menyalakan rokoknya.

"Ya nggak akan sampai segitunyalah... Tapi, kalau terdesak atau darurat ya kita akan minta senjata atau lapor aja ke polisi. Ah, nggak bakalan kejadian itu! Lagian, masak kau takut lihat orang bawa parang sih, Kumis? Kan udah aku ajarkan cara melumpuhkannya? Payah ah kau! Kecil kali kau punya nyali?" ejek Chen sinis.

"Sebentar, aku kok ya jadi penasaran, kenapa orang yang Suhu panggil si Bos itu nurut-nurut aja dengan usulan Suhu?" Slamet Botak tak cukup paham.

"Si Bos ini teman aku, dulu dia kakak kelasku di SMA. Dia tahu betul aku maniak beladiri sejak dulu. Dulu kami tak terlalu akrab. Tapi sejak ketemu sebulan yang lalu, kami malah jadi dekat. Dia cerita kalau waktu SMA dia sangat terkesan menyaksikan aku dikeroyok tiga seniorku di halaman belakang sekolah dan tiga-tiganya babak belur, salah satunya malah kupatahkan tangannya."

"Gila. Chen, masih SMA aja lu dah kayak Mike Tyson ya? Kok dulu di asrama tak pernah cerita?" Farhan terkesan.

"Ah, nggaklah he-he... setengahnya aku juga ngerasa dosa, sebab si anak yang kupatahkan tangannya itu masih kemenakan guru favoritku, masih untung nggak gua bunuh tuh anak! Padahal bisa aja tuh tiga-tiganya kubuat istirahat di kuburan!... Jadi gimana, Han? Mau gabung?"

Setelah berbagai tambahan penjelasan, akhirnya Farhan Kumis setuju untuk bergabung. Sudah tak tahan dia tinggal di Pondok Mertua Indah. Serasa tak punya harga diri, begitu Farhan sering bilang kepada teman-temannya. Apalagi di

kantor dia cuma office boy, orang yang disuruh-suruh. Meski

setuju, Farhan tak bisa ikut mengantar Chen menemui Boni

Gendut karena bertugas jaga gawang di rumah mertuanya. .

Boni Gendut tinggal di rumah sendiri, tepatnya rumah warisan almarhum kedua orangtuanya di bilangan Klender. Menjelang sore, Boni tengah sibuk di ruang tamu yang ia gunakan untuk mengoreksi PR murid-murid les matematikanya. Di antara teman-teman alumni lapas, Boni-lah yang paling tinggi tingkat pendidikannya. Boni pernah kuliah D3 jurusan matematika. Pria yang amat gemar makan ini sebenarnya ingin sekali jadi dosen. Apa daya, Boni belum sanggup untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang Sl. Di zaman sekarang, sulit bagi lulusan D3 untuk cari kerja. Masih untung ada sebuah lembaga bimbingan belajar yang mau menerima dia mengajar di sana. Penghasilannya yang pas-pasan sebagai guru bimbel sedikit terbantu oleh kelas-kelas privat di luar jam mengajar reguler di tempat les itu. Dan mengenai cita-citanya jadi dosen tadi, si gendut makin frustrasi setelah mendengar dari beberapa kawannya bahwa sekarang untuk jadi dosen malah minimal harus pegang gelar S2.

"Ah, Kakak, aku nggak mau musik! Sini remot-nya!!! Siniii!!!" teriakan Regi, anak bungsu Boni, tiba-tiba memecah keheningan.

Rika, sang kakak, tak mau kalah, ia pertahankan remote control TV-nya.

"Dede, itu kan film kartun ulangan, masak mau nonton lagi!?" Rika berlari berkeliling ruang tamu, menghindar dari kejaran adiknya.

"Kakak, ngalah dong..." Boni mulai merasa terganggu. Si bungsu mulai meledak tangisnya.

"Ma, nih anak-anakmu!" teriak Boni kepada istrinya yang sedang memasak di belakang.

"Abanglah yang urus, aku lagi nanggung ni, Bang!" istrinya balas berteriak dari dapur. Sementara itu, tangis Regi semakin keras.

"Kakak, ngalah dong! Adikmu kan masih kecil!" Boni mulai hilang kesabaran.

"Ngalah melulu, aku kapan nontonnya, Faa?" Rika berargumen.

"Katanya Papa mau beli tivi satu lagi? Papa janji-janji doang!" katanya ketus.

PLA K K K !!! Tiba-tiba sebuah tamparan keras dilayangkan Boni ke pipi kanan putri sulungnya yang baru menginjak kelas lima SD. Kontan saja Rika meledak tangisnya.

"Mamaaaa! Papa mukul Rikaa... huaaa!" Rika berlari ke belakang, mengadu kepada mamanya.

"Papa, kenapa harus mukul sih!?" Istri Boni berteriak gusar.

Tiba-tiba rumah Boni alias Gendut jadi arena konser tangis dan teriakan kemarahan. Boni pun sudah tak tahan. Diambilnya remote control yang ditinggalkan Rika di atas pesawat TV.

"Sudah! Tidak ada yang boleh nonton lagi! Nih lihat! Papa akan buang remot-nya!" Boni tak main-main. Dilemparnya remote control itu ke luar, ke luar pintu depan... dan... TAP! Seseorang yang baru datang dengan tangkas menangkapnya, seseorang yang sangat Boni kenal saat ia dipenjara akibat kasus penggelapan uang di perusahaannya.

"Chen! Slamet Botak! Ha-ha-ha... ada angin apa nih pendekar lapas berkunjung ke gubuk hamba? ha-ha-ha..." Boni dan Chen berpelukan.

"Ah, kayak teletabis aja kalian berpelukan," Slamet yang menyusul Chen dari belakang memberi komentar.

**

Seperti Farhan, Boni tidak bisa ikut mengantar Chen dan Slamet menemui Dika alias Dalang di daerah Pondok Kelapa. Dia ingin minta maaf kepada putrinya, Rika. Akhir-akhir ini, Boni merasa terlalu sering berlaku kasar kepada Rika dan istrinya, Tati.

"Kakak, maafkan Papa ya," Boni masih mendengar sisa tangis kecil yang berderai dari anak sulungnya yang terbaring menelungkup di atas tempat tidur.

"Papa jahat." Hanya itu yang keluar dari mulut putrinya.

"Iya, iya, Papa minta maaf," ujar Boni bak seseorang pesakitan minta keringanan hukuman kepada hakim.

"Sebentar lagi Papa akan ikut bekerja dengan teman Papa, Oom Chen. Kita bakal bisa beli tivi lagi, Kak. Bukan cuma satu lagi, tiga lagi juga bisa Papa beli nanti!" Boni terus membujuk anaknya.

**

Di kantor sebuah production house di kawasan Tebet, terjadi sebuah pertengkaran antara seorang dubber, pengisi suara film-film asing ke dalam bahasa Indonesia, dengan seorang atasannya.

"Jadi, status saya teh tetap pegawai kontrak, Bos?" Si dubber bertanya.

"Situasi sedang sulit, Dika. tidak mungkin bagi kami untuk mengangkat karyawan tetap sekarang ini." Sang atasan mencoba memberi penjelasan.

"Kan si Bos toh sudah janji ke saya? Bos, saya punya keluarga, Bos, dengan honor sekarang mana cukup, Bos? Buat beli susu anak aja kurang! Saya kan sudah bekerja di sini lebih dari dua tahun! Gak bisa, Bos, Bos sudah janji..."

"Saya tidak pernah bilang itu janji! Saya bilang saya akan usahakan!"

"Wah, Bos jangan menelan ludah sendiri dong!"

"Dika, jangan kurang ajar kamu! Ingat kamu itu residivis, mantan napi! Kamu pikir kamu bisa gampang dapat kerja kalau berhenti kerja di sini?"

Habis sudah kesabaran Dika. Diraihnya kerah baju si Bos, dihentakkannya dengan keras sehingga muka si Bos, yang kini tampak ketakutan, dekat sekali jaraknya dari wajah Dika alias Dalang yang di usia 28-an masih terlihat baby face alias berwajah seperti kanak-kanak. Tubuh Dika yang kecil dan kurus juga menunjang penampilannya yang tampak belia itu. Namun, si imut itu kini tiba-tiba terlihat angker dan seram.

"Jangan ungkit-ungkit lagi masa laluku di bui kalau kau tak ingin istrimu jadi janda. atau anak-anakmu jadi yatim!" ancam Dika.

"Dika Dika... ja jangan main-main kamu ya! aku... bi... bisa pecat kamu..." Si Bos mencoba mengontrol rasa takutnya.

"Tidak perlu, aku mengundurkan diri sekarang juga." Urung juga niat Dika untuk menghajar bosnya. Ia tak mau pengalaman buruk mendekam di penjara terulang. Dika lalu

melepaskan cengkeramannya. Seorang satpam masuk ruangan karena mendengar kegaduhan.

"Ada apa, Bos?" Satpam itu bertanya.

"Sudah, sudah, tidak ada apa-apa..." Si Bos memberi tanda agar satpam itu keluar. Dika menyusul keluar setelah sebelumnya menendang tempat sampah plastik yang ada di dalam. Cabut dari kantor, Dika langsung mencari angkot, sambung-menyambung untuk sampai ke rumahnya. Mangkal sekali perasaannya. Sampai di rumah, istrinya, Lastri, langsung tahu bahwa telah terjadi apa-apa dengan suaminya. Lastri hafal betul ekspresi kemarahan suaminya. Ia langsung memeluk pria yang dinikahinya selepas dibebaskan dari hotel prodeo beberapa tahun silam karena kasus perampokan itu.

"Kang, tadi ada si Bang Chen ka dieu."

"Si Suhu Chen ke sini? Ada apa ya? Kok tumbenan si Suhu ke sini?"

"Iya, sama Mas Slamet yang botak itu, katanya sih nawarin pekerjaan ke Akang," Lastri merenggangkan pelukannya.

"Pekerjaan apa? Rek ngrammpok deui atau kumaha?" Dika bercanda.

"Tidak atuh, Kang, kata Bang Chen teh pokoknya mah pekerjaan halal dan uangnya insya Allah banyak! Untuk jelasnya Akang diminta nelpon ke dia, dia kasih nomor hapenya ke saya." Lastri melepaskan pelukannya dan mengambil secarik kertas yang ia simpan di atas lemari makanan.

Berbinar mata Dika. Harapan yang tadinya meredup setelah bentrok dengan bosnya, kini kembali tumbuh.

**

Dl PAGI MENJELANG SIANG ITU, DI RUANG MAKAN MEWAH YANG dilengkapi cermin berbingkai kayu dengan ukiran bergaya Jawa itu, Pingkan buru-buru menghabiskan sereal-nya.

"Bi, Bi lnah?" Pingkan memanggil salah seorang pembantunya.

"Ya, Mbak?" Beberapa saat kemudian, seorang perempuan paruh baya tergopoh masuk.

"Mama mana?" Pingkan lalu meneguk segelas air mineral.

"Mama sudah berangkat dari pagi, Mbak, katanya ada rapat," Bi lnah menjelaskan.

"Rapat lagi? Oh ya udah. Pingkan berangkat dulu, Bi." Pingkan merasa harus berpamitan kepada pembantu paling senior di rumahnya itu. Bi lnah punya andil besar mengasuh Pingkan dan adiknya, Mario, yang kini kuliah desain interior di New York. Lagi pula, Siapa lagi yang harus dipamiti? pikir Pingkan. Rumah besar di sebuah komplek mewah di bilangan Jatibening Bekasi itu kini terasa sepi. Penghuni utamanya hanya Pingkan dan mamanya, lr. Vita Anggraini, seorang pejabat di sebuah BUMN. Yang lainnya hanya beberapa pembantu

yang masih sekerabatan. Dan, sang mama memang selalu sibuk dengan pekerjaannya.

Poor Mama, she's been working too hard for us.' Pingkan sering mengungkap rasa dalam bahasa Inggris. Bukan cuma karena ia kini mahasiswi tingkat dua jurusan Sastra Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan, melainkan juga karena Pingkan dulu sempat melewati masa-masa SMP dan SMA tahun pertama dan keduanya di London sebelum kembali ke Tanah Air dan pindah ke sebuah SMA Katolik di daerah Kampung Sawah.

Di jalan Raya Jatibening menuju pintu tol, Honda Jazz biru metalik Pingkan terhambat beberapa angkot yang sengaja melambatkan lajunya untuk mencari penumpang. Klakson yang Pingkan bunyikan tak digubris. Lirik lagu ln da Club dari 50 Cent yang dinyanyikan kembali oleh Beyonce pada pemutar musik di dalam mobil untungnya sedikit mengurangi kegusaran hati Pingkan.

...You can End me in the club, sippin' on some bab,

Daddy I go! what you need you's a sexy little tbug,

Don't wanna be your girl l ain't lookm for no love, So come give me a hug, sexy little tlmg...

"I could be late to the class," keluh Pingkan. Diliriknya arloji model sporty di lengan kirinya. Ah, sudah hampir pukul 10! Tadi sih bangunnya kesiangan! Pingkan menyalahkan

dirinya sendiri. Bahkan saat mengeluh, kecantikan gadis tomboi ini tak pudar. Sunglasses cokelat muda melindungi sepasang mata tajam yang menyipit saat pemiliknya tertawa dan memamerkan sepasang lesung pipitnya. Hidung yang tak terlalu mancung di atas sepasang bibir mungil penuh justru semakin menambah keelokan pemilik kulit putih mulus ini. Tanpa polesan make up sekadarnya, seperti yang ia kenakan sekarang, Pingkan tetap akan terlihat cantik. Apalagi kesemuanya itu masih ditunjang kilau rambut hitam sebahu yang biasanya ia rapikan hanya dengan sebuah ikat rambut sederhana.

Pingkan akhirnya berhasil menyalip dua angkot yang melata bak bekicot di depannya. Namun, tiba-tiba dari sebuah gang kecil di sisi kiri jalan, muncullah seorang ibu berbusana muslimah di atas sepeda motor bebek matik merah tua. Pingkan kembali harus melambatkan laju mobilnya. Si ibu yang tampaknya belum lama bisa naik motor itu dengan tenang melaju di bagian tengah jalan dua arah yang tak terlalu lebar itu. Lagi-lagi Pingkan mendesah keluh. Tak disangka, sebuah kejar-kejaran dua ekor kucing jantan yang berkelahi, melintas tepat di depan si ibu pengendara motor tanpa kopling itu. Si ibu panik dan mengerem kendaraannya sangat mendadak dan

DUG!! BRUAAAK...

Pedal rem yang diinjak Pingkan tak mampu mencegah bumper mobilnya menabrak motor di depannya. Motor itu oleng lalu terguling dan si ibu terjatuh dengan posisi motor menindih kaki kanannya. Kontan ia mengerang kesakitan.

Beberapa orang yang ada di sekitar segera datang memberi pertolongan. Dua orang mengangkat dan menepikan motor sang ibu. Dua orang lagi mengangkat sang pemilik motor yang masih mengaduh kesakitan itu ke pinggir jalan. Sebagian lagi menghampiri Pingkan yang tengah perlahan meminggirkan mobilnya. Seorang pemuda berwajah sangar membentaknya.

"Keluar, lu!"

Agak kaget juga Pingkan mendengarnya. Ia lalu membuka pintu mobilnya dan kemudian sunglasses-nya. Dilemparnya kacamata buatan Italia itu ke kursi mobilnya. Dengan tinggi badan 173 cm dari tubuh langsing dalam balutan kaus putih ketat di dalam kardigan biru muda serta celana jins hitam dan flat shoes putih, Pingkan tampak seperti seorang artis luar negeri yang sedang dikerubungi para wartawan lokal yang rata-rata bertinggi tubuh jauh di bawah tinggi tubuhnya.

"Ati-ati dong lu bawa mobil!" si pemuda sangar melanjutkan omelannya.

"Loh, dengar dulu, Bang, si ibu tuh berhenti mendadak," Pingkan mencoba membela diri.

"Ya, tapi lu kan seharusnya bisa ngerem!"

"Ngerem gimana? Aku dah ngerem tadi!" Bentakan balik Pingkan cukup menggetarkan si pemuda kasar tadi. Sementara itu, orang-orang di sekitar mereka cuma bisa diam, tak berani ikut campur. Tampaknya, pemuda berambut gondrong dengan anting di kedua telinga dan tato di sekujur lengan kanan dan kirinya itu memang preman setempat yang cukup ditakuti.

"Udah deh, Bang, lebih baik aku antar dulu si ibu ke rumah sakit daripada melanjutkan percakapan yang nggak

guna banget ini. Aku akan tanggung biaya pengobatan ibu itu walaupun yang salah bukan aku."

"Dasar lu, Cina! Mentang-mentang kaya lu kagak pernah ngaku salah!" Pernyataan si preman kali ini menghabiskan kesabaran Pingkan.

"Dengar ya, pertama gua bukan Cina, jadi lo salah. Kedua, kalaupun gua Cina, emang itu urusan elo?" Pingkan tak gentar menghadapi si sangat. Sejak kecil, Pingkan memang terkenal tomboi dan pemberani. Semasa di SD saja, pemilik nama asli Maria Regina Pingkan Bramastyo ini pernah menghajar seorang anak laki laki teman sekelasnya sampai si cowok menangis sesenggukan. Padahal, saat itu Pingkan belum mulai belajar taekwondo, beladiri yang ia geluti tiga tahun belakangan.

"Jiaah, belagu lu! Kalo bukan cewek ude gua gampar lu!"

"Oh Silakan, sebelum elo ngegampar gua, muka lo tuh udah gua tendang duluan," Pingkan menantang.

"Resek abis ya ni anak?" si preman tiba-tiba maju menoyor kepala Pingkan di bagian dahi. Pingkan sedikit terdorong mundur. Tak disangka, gadis bertubuh langsing ini berputar ke kanan dan sebuah tendangan pisau kaki kanan melesat masuk ke dada pemuda brangasan itu. Tubuh sang preman sedikit terhuyung. Wajahnya meringis kesakitan. Namun, segera saja dia pasang kuda-kuda yang kokoh, dengan kaki rendah dan kuat menancap bumi. Dari posisinya, Pingkan bisa menilai bahwa si preman paling kurang pernah belajar beladiri dalam waktu yang cukup lama. Pingkan pun bersiap. Orang-orang yang berada di sekitar mereka mulai panik. Mereka mengkhawatirkan keselamatan Pingkan karena sudah tahu reputasi si preman yang mereka kenal jago berkelahi

itu. Saat si preman merangsek maju, Pingkan menyambutnya kembali dengan tendangan putar kaki kirinya. Keputusan yang terbukti salah! Tendangannya meleset karena di saat bersamaan, si gondrong sangar ini ternyata memutar badannya dalam posisi rendah dan kaki kanannya menyabet keras kaki kanan Pingkan... BRAGG! Terpelantinglah tubuh elok itu ke tanah dengan keras! Untung pinggiran jalan itu cukup lebar hingga tubuh Pingkan tak terhempas ke jalan raya.

"Ayo bangun, orang kaya! Bokap lu pasti koruptor, kan? Makanya lu bisa kaya raya begini?" si sangar berkata nyinyir.

Pingkan yang makin marah segera bangkit walau bagian badan sebelah kirinya masih terasa nyeri akibat benturan dengan tanah kering dan keras tadi. Ia pun pasang kuda-kuda. Dua petarung siap berjual beli pukulan dan tendangan. Tatap tajam dua pasang mata kini saling beradu. Kerumunan orang pun makin membesar, namun tak satu pun yang berani mengusik kedua orang yang tengah berseteru ini sampai...

"BERHENTI!!! BERHENTI SEMUA!!!"

"Ada apa ini?" Hardikan penuh Wibawa datang dari seorang bapak berseragam yang turun dari sepeda motornya. Si preman sontak pasang tampang sebal, namun tak berani kasar pada si bapak yang baru datang. Kelihatannya si bapak ini tokoh masyarakat yang cukup disegani. Baik Pingkan maupun sang preman akhirnya mengendurkan kuda-kuda mereka.

"Eh, Bang Somad... kagak, Bang... ini ada anak orang kaya belagu banget, udah nabrak kagak mau ngaku salah," si preman menielaskan.

"Apa kabar, Pak Somad?" Pingkan mencoba menenangkan cara bicaranya walau hatinya Sangat panas. Ternyata Pingkan kenal dengan Pak Somad, sekretaris lurah yang kerap datang menemui mamanya membawa proposal untuk minta bantuan dana.

"Lho, Non? Non anaknya Bu Vita. kan? Apa kabar ibu, Non?"

"Baik, Pak," setelah menghela napas panjang untuk mendapatkan ketenangan, Pingkan secara singkat menceritakan kejadian yang baru saja ia alami, termasuk kekesalannya terhadap si pemuda preman itu kepada Pak Somad.

"Jangan percaya ma dia, Bang!" Preman lokal itu mencoba mengganggu.

"Pelor! Sudahlah, lu masih aja ya bikin onar?" Pak Somad setengah memarahi si pemuda sangat yang ternyata punya panggilan Pelor ini. Si Pelor pun ngeloyor pergi sambil terus menggerutu kesal.

"Ayo, mari kita tolong si korban." Pak Somad seperti memberi komando kepada semua yang berada di sekitarnya. Ibu pengendara motor yang tertabrak mobil Pingkan masih merintih kesakitan di sebuah sisi jalan. Seseorang di antara warga yang tengah mengerumuninya, memberinya sebotol kecil air mineral sambil terus menenangkan sang ibu yang masih syok itu.

Hari itu, Pingkan tak jadi kuliah. Tak bisa. Pingkan harus mengantar si ibu ke sebuah rumah sakit besar di Bekasi dan menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pengobatan wanita yang ditabraknya itu. Perasaannya sungguh kesal tak keruan. Apalagi, dia harus berhadapan dengan preman setempat yang seenaknya saja menuduhnya

Cina dan memvonisnya sebagai gadis kaya yang tak punya tanggung jawab. Masih saja ada orang rasis di zaman multikultural begini! batin Pingkan. Lagi pula, Pingkan memang tak bisa disebut Cina karena ayah dan ibunya blasteran jawa-Sunda. Memang seingat Pingkan ada sedikit darah Cina dari nenek di pihak ibunya. Mungkin faktor inilah yang memberi penampilan Pingkan jadi agak Chinese look. Pingkan biasanya cuma tertawa saat beberapa temannya menyebut mata Pingkan mirip mata penyanyi enerjik Agnes Monica.

"Gak, gue lebih mirip Zi Yi Zhang," begitu biasanya seloroh Pingkan menanggapi komentar teman-temannya.

**

Ruang keluarga itu terasa luas karena tak banyak furnitur yang mengisinya. Sebuah sofa 3 seat warna broken white ditambah satu sofa recliner uwarna sofa besar diletakkan di atas karpet berbulu warna cokelat. Bantal-bantal bersarung batik berada di atas sofa. Di atasnya, di dalam bingkai ukiran keemasan, terlihat foto keluarga dalam ukuran besar: seorang ibu, seorang anak perempuan, dan seorang anak laki-laki. Sebuah televisi berukuran besar ditata berhadapan sofa recliner tadi. Sebuah lemari kaca diletakkan di sebuah sudut. Dalam ruang-ruang bertingkat di lemari kaca tersimpan pernak-pernik suvenir dari dalam maupun luar negeri yang ditata dengan rapi. Pencahayaan yang lembut dari ceiling lamp dengan rumah rumah lampu berbentuk kristal plus pendinginan udara yang pas, pasti menambah betah tiap orang yang mengisi waktu di ruang keluarga itu.

Tapi gambaran kenyamanan tadi tidak, atau paling tidak, kurang begitu terasa saat itu. Karena sore itu, di dalamnya,

seorang ibu di awal uSia 50-an yang masih memakai seragam kantornya, tengah sengit memarahi putrinya.

"Pokoknya, kamu tidak boleh bawa mobil lagi! Titik!" Perasaan Vita Anggraini sungguh-sungguh kesal atas kejadian tabrakan putrinya tadi pagi.

"Ini sudah yang ketiga kalinya sejak Mama izinkan kamu bawa mobil sendiri, Pingkan."

"Ma, kejadian yang pertama okay, it's my fault. Pingkan nyerempet minibus waktu itu karena buru-buru. Tapi yang kedua, yang nyerempet angkot itu kan salah si sopir angkot yang tiba-tiba nyalip dari kiri, Ma. Lalu yang tadi itu kan Pingkan sudah jelaskan, itu salah dia, Ma, come on..."

"But she broke her leg, Demi... Puji Tuhan, cuma kakinya yang patah. Coba kalau dia sampai meninggal, bagaimana?" Vita tak mau didikte putrinya.

"But she's still alive, Mom,s lagi pula, masak Pingkan harus pakai angkot disambung bus kayak waktu awal tingkat satu sih, Ma?"

"Exactly, angkot dan bus... KENDARAAN UMUM!"

"Aduh, Ma, kampus Pingkan jauh! Kalau masuk telat sedikit aja tuh dihitung absen... Oke, oke bolehlah Pingkan nggak bawa mobil, tapi naik taksi ya?"

"Enak aja taksi, sekalian aja pakai pengawal, escort, no way! Belajar prihatin dong, Pingkan."

"Tapi, Ma "

"DIAM!!!"

Pingkan tak berani melanjutkan protesnya. Ia sadar harus sangat berhati-hati jika mamanya sudah berada di puncak kemarahannya. Pingkan selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa mamanya pernah mengalami depresi yang sangat berat dulu, saat harus berpisah dengan suaminya, Bramastyo, yang juga ayah kandung Pingkan dan adiknya, Mario.
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Vita tak tahan diselingkuhi berkali-kali oleh Bram. Hampir saja karier Vita ikut hancur saat itu. Untunglah, sahabat terdekatnya, Helen, pelan-pelan menyadarkan Vita untuk tidak kalah menghadapi ujian Tuhan. Tante Helen, begitu Pingkan memanggilnya, memang hebat dalam hal menasihati dan membimbing sahabatnya ke jalan Tuhan. Pengetahuan dan pemahaman Tante Helen terhadap Alkitab juga sangat baik. Helen pelan-pelan menyadarkan Vita dan membuatnya bangkit sehingga akhirnya karier Vita bukan hanya selamat, melainkan meningkat pesat seperti sekarang ini.

Saat Pingkan membayangkan bahwa ia harus naik angkot dua kali sebelum sampai ke pangkalan mobil omprengan dekat Pintu Tol Jatibening, ia kembali gundah.

"Kamu tidak harus naik angkot untuk sampai ke pangkalan omprengan." Vita seakan bisa membaca kegelisahan putrinya.

"jadi?"

"Kamu naik ojek Pak Joko lagi. Nanti Mama telepon dia. Mama masih simpan kok nomor telepon rumah Pak Joko di buku telepon yang lama."

"Kenapa juga harus Pak joko sih, Ma? Ojek lain kan banyak?" Pingkan yang heran langsung melontarkan keberatan.

"No, Dear, ojek-ojek lain di komplek kita terkenal ngebut dan serampangan. Mama nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Kamu masih ingat anak Pak Seno yang kecelakaan dua bulan yang lalu, kan? Itu kan gara-gara tukang ojeknya ngebut," sang mama seperti sedang memberi kuliah umum.

Pingkan tak membantah pernyataan mamanya. Teman mainnya dulu, Sharon, juga pernah dirawat karena gegar otak gara-gara jatuh akibat ojeknya ngebut dan menyerempet mobil. Tapi, lucu juga bagi Pingkan saat ia membayangkan dirinya kembali naik ojek Pak Joko. Itu artinya, ia harus kembali ke masa-masa SD beberapa tahun silam.

Sesungguhnya rumah Pak Joko sang pengojek terletak agak jauh dari komplek perumahan tempat tinggal keluarga Pingkan. Pak Joko ngojek di kawasan elit rumah Pingkan karena ajakan adik iparnya, Hamdan, yang sudah terlebih dulu jadi tukang ojek di sana. Untuk menambah penghasilannya yang relatif minim dari mengojek, bersama seorang tetangganya Pak Joko juga kadang jadi makelar jual beli tanah dan mendapat sedikit komisi dari kapling yang berhasil dijualkan oleh mereka.

Dari yang Pingkan dengar, Pak joko dulu dipecat dari pekerjaannya sebagai pegawai rendahan di kantornya garagara membongkar korupsi atasannya yang juga masih famili sang pemilik perusahaan. Jadi, sesungguhnya ia mengojek karena terpaksa. Namun, walau terpaksa, reputasi baik dari pria asal Yogya yang menikahi perempuan betawi yang jadi guru agama di sebuah SD swasta ini pun semakin dikenal luas. Pak Joko dikenal sebagai tukang ojek yang berhati-hati, bertanggung jawab, dan tak pernah ngebut. Pingkan memakai jasa Pak Joko sejak ia kelas dua SD. Saat duduk di kelas satu,

Pingkan memakai jasa mobil antarjemput sekolah dari SD Katolik-nya. Namun, lama kelamaan ia kesal karena selalu diantar ke rumahnya paling belakangan. Akhirnya, papanya, Bram, berinisiatif mencari tukang ojek untuk antarjemput putri sulungnya. Dan, banyak orang merekomendasikan Pak Joko kepadanya.

Tapi, kenapa juga harus Pak joko? batin Pingkan masih memprotes keputusan sang mama. Lagi pula, Pak Joko tiga tahun belakangan tak lagi mengojek di kompleknya. Kabar ini Pingkan dapatkan dari Pak Joko sendiri sekitar setahun lalu saat tak sengaja bertemu Pak Joko dan istrinya di sebuah minimarket di pinggiran Jalan Ratna. Sekarang tukang ojek masa kecilnya itu menarik penumpang di Perumahan Jati Kramat Indah, komplek perumahan dekat kampung tempat Pak Joko tinggal. Pingkan sesungguhnya ingin bilang kepada mamanya bahwa ia bisa memilih ojeknya sendiri atau menegur si tukang ojek jika kecepatannya berlebih. Kadang ia kesal dengan sikap over protective mamanya. Tapi, rencana itu ia batalkan karena tak mau menyakiti hati mamanya.

**

RUMAH PAK Jono TERLETAK DI SEBUAH PERKAMPUNGAN ORANG BETAWI Bekasi di daerah Jati Kramat, sebuah wilayah yang biasanya dijadikan jalan pintas dari Jatibening ke Jati Asih dan sebaliknya. Orang-orang biasa menyebutnya Kampung Kramat walau nama jalan yang melintasi kampung itu adalah Jalan Mesjid. Jalan utama kampung ini baru saja dibeton rapi sesuai janji seorang anggota tim sukses partai pemenang pemilu beberapa waktu lalu.

Pak Joko sebenarnya terhitung pendatang, karena ia asli Yogya. Namun, karena ia menikah dengan Uswatun Hasanah atau Pok Uun, demikian penduduk setempat memanggilnya, ayah tiga anak ini pun dianggap pribumi. Pasalnya, almarhum kakek Pok Uun dulunya lurah setempat. Jadi, keluarga Pok Uun adalah keluarga betawi yang dihormati. Almarhum ayah Pok Uun sendiri, Kiai Haji Syukri, adalah seorang ustaz yang juga punya wibawa dan pengaruh besar. Jadi,

"ke-Yogya-an" Pak Joko sudah lebur ke dalam "ke-Betawi-an" keluarga istrinya.

Sore menjelang magrib, seusai mengojek, Pak Joko pulang ke rumah sederhananya di sebuah gang kecil yang diapit kontrakan Haji Somad dan warung sayur Pok Anis.

"Assalamualaikum." Lelaki berusia 55 tahun itu membuka

pintu.

"Alaikumsalam." Istrinya, yang sepuluh tahun lebih muda darinya, menyambut dengan cium tangan. Segelas teh manis hangat pun sudah siap di meja makan.

"Minum dulu. Pak."

"Nanti sajalah, Bu." Pak Joko duduk di salah satu kursi di ruang makan, yang dipisahkan dari ruang tamu dengan sebuah partisi rotan yang peliturnya sudah mulai luntur.

"Tadi aku sesak napas lagi," keluh sang suami.

"Kenapa ya, Bapak akhir-akhir ini suka sesek napas, Bapak kan udah lama nggak ngerokok?" Pok Uun menyampaikan kekhawatirannya.

"Nggak tahu nih, Bu, kecapean kali aku."

"Oh ya, belon lama tumbenan mamanya Pingkan nelepon, katanya Bapak diminta ke sono." Pok Uun menyampaikan kabar.

"Ke sono kemana?"

"Ya ke rumahnye Pingkan... tau dah, tadi yang trima telepon Wati. Wat... Wati!" Pok Uun memanggil anak bungsunya.

"Ya, Bu?" Wati muncul dari belakang.

"Tadi mamanya Pingkan nelepon apa Sih, Wat? Bapalu disuruh kerumahnya apa pegimane?"

"Oh, tadi Bu Vita telepon, katanya Bapak diminta ke rumahnya besok pagi, kalo bisa sebelum Bu Vita berangkat kerja," Wati menjelaskan.

"Ada apa ya? Apa ada keponakannya yang perlu antarjemput?" Pak Joko menduga-duga.

"Yaah, meneketehe, tapi dateng aya, Pak! Sapa tahu Bapak mau dikasih uang, kan lumayan buat bayar SMP-nya Wati nanti," kata istrinya.

Wati dan kakak-kakaknya menyebut orangtua mereka dengan Ibu dan Bapak, bukan Nyak atau Mak dan Baba atau Babe. Mungkin ini salah satu pengaruh "ke-Yogya-an" sang ayah yang masih tersisa.

"Pak, kenapa sih Wati kudu masuk SMP-nya yang standar internasional? Ude gitu swasta lagih! Napa nggak yang negeri aja yang reguler? Pan gede banget biayanya, Pak?" Pok Uun mengambil sebuah kursi dan duduk di samping suaminya. Wati pun mendekat, berdiri menyandar manja pada ibunya.

"Bu, kita kan sudah bahas tuntas masalah ini. Insya Allah kita mampu." Sang suami sekaligus sang ayah mencoba meyakinkan istri dan anaknya.

"Wati sekolahnya yang standar internasional, biar masa depannya lebih terjamin, biar dia gampang dapat beasiswa nantinya seperti anak-anaknya Tarjo. Mereka semua dapat beasiswa, kan? Dan mereka dulu sekolahnya juga di sekolah standar internasional, bukan reguler. Ya kalau ada sekolah unggulan negeri yang dekat-dekat sini sih bisa saja kita masukkan Wati ke sana. Tapi kan sekolah unggulan yang negeri jauh banget dari sini, Bu?" Pak joko menambah penjelasannya.

"Bukan begitu, Pak. Saya cuman kesian aja sama si Kiki, dia jadi harus ngorbanin kuliahnya." Pok Uun mencoba berargumen. Kiki adalah nama kecil anak sulungnya, Zaki,

Muhammad Zaki Abdurrahman atau Jack, begitu temantemannya memanggil.

"Siapa yang bilang sih kuliah Kiki dikorbanin? Kan Kiki sendiri yang kaSih usulan dia cuti dulu dari kuliahnya dua semester? Biar kita nggak usah menjual tanah warisan! Dan dia sendiri kok yang bilang mau bantu Oom Tarjo di tokonya di daerah Blok M, biar bisa ngumpulin uang lebih banyak, daripada dia narik angkot Juki tempo hari?" tegas Pak Joko. Juki yang disebut adalah adik sepupu Pok Uun yang jadi sopir angkot.

...Allabu akbar... Allahu akbar

Panggilan salat berkumandang dari masjid.

"Sudahlah, nanti habis salat kita bahas lagi masalah ini." Pak Joko mencoba menutup diskusi.

"NgOmOng-ngomong, si Kiki ke mana?"

"Belum pulang, Pak, ngelatih karate di SMP sebelah kelurahan." Wati memberi infomasi.

"Mau ada ujian kenaikan tingkat, jadi kata Bang Kiki, porsi latihan anak-anak hari ini ditambah."

"Si Lutfi mana, Wat?" Pok Uun menanyakan keberadaan anak keduanya.

"Gak tahu, Bu... tadi sih Bang Upi disamper sama Opan, mau balapan motor lagi kali mereka?"

"Tuh anak kapan benernya sih?" tutur Pak Joko melempar keluh.

"Cari mati kali dia!" Pak joko tambah kesal.

"Hus! jangan ngomong gitu, Pak, istighfar!" Istrinya mengingatkan.

Di luar, bunyi dengung khas dari tukang kue putu pikulan meningkahi suara shalawatan menjelang iqamah di masjid di sisi jalan.

Usai melewati pintu gebyok dengan ornamen gaya Jawa itu, orang akan masuk ke dalam ruang tamu yang tak terlalu besar. Sebuah lukisan besar bergambar alam pedesaan dipasang di salah satu dinding, membentang di atas satu set kursi dan meja tamu ukiran Jepara. Di atas meja kecil yang melengkapi meja utama terdapat empat bingkai foto berbagai ukuran berisi foto-foto sang ibu, si sulung, si bungsu, dan foto mereka bertiga.

Di dalam ruang tamu itu, dua orang paruh baya tengah bercakap-cakap.

"Jadi, kesimpulannya Pak Joko bisa, ya?" lr. Vita Anggraini yang berseragam lengkap sudah siap-siap pergi ke kantor.

"Bisa. Bu, insya Allah, ndak masalah. Untung Ibu panggil saya sekarang, soalnya anak-anak SD kan belum masuk sekolah, jadi gampanglah ngatur waktunya. Ya mungkin ada juga yang saya batalkan antarjemputnya, tapi nggak masalah kalau ngasih tahunya dari sekarang-sekarang." Pak Joko senang bisa memprioritaskan kepentingan Ibu Vita. Dulu ia ingat, Bu Vita selalu memberikan bayaran yang sengaja ia lebihkan. Sering pula Pak Joko meminjam uang untuk keperluan sekolah anak-anaknya atau keperluan-keperluan lainnya kepada Bu Vita, yang tak pernah mematok tanggal kapan Pak Joko harus melunasinya. Bu Vita kerap malah membebaskan utang Pak Joko saat ayah tiga anak ini hendak mengembalikannya. Pak Joko merasa harus membalas budi baik sang ibu dua anak yang bersikukuh tak menikah lagi setelah berpisah dari suaminya ini.

**

"Sudah punya pacar belum, Neng Pingkan!" pak JOKO iseng bertanya kepada penumpang langganan masa lalunya dalam perjalanan ke pangkalan omprengan Jatibening di suatu hari Senin.

"Wah, gimana ya, pacar nggak pacar deh, Pak," sahut Pingkan di belakang.

"Maksud, Neng?"

"Ada sih he he... tapi kami bertengkar terus." It's complicated. batin Pingkan seakan merujuk pada status hubungan yang tidak jelas, yang biasa dipakai orang di jejaring sosial Facebook.

"Dengan si Bondan ya, Neng?" Pak joko menggoda Pingkan. Tertawa Pingkan mendengar nama teman main masa kecil sekaligus tetangganya itu disebut.

"Bondan sudah pindah, Pak, ikut orangtuanya ke Surabaya, he-he... Pak Joko masih ingat aja." Pingkan tersenyum.

"Pak Joko masih ingat Tante Helen, khan?" lanjut Pingkan.

"Oh, yang sering ke rumah itu? Yang pernah tinggal di Inggris itu, Neng?"

"Iya, nah pacarku anaknya Tante Helen itu, Pak, namanya Andre," jelas Pingkan sambil mengeluarkan BlackBerry-nya untuk mengecek SMS yang masuk.

Tak terasa, sudah dua minggu Pingkan terpaksa menjalani hukuman tak boleh membawa mobil dari ibunya, tak tahu kapan hukuman ini akan berakhir. Ya, mudah-mudahan semester depan Mama izinkan aku lagi, Pingkan berharap. Semoga saja begitu, pikir Pingkan. Sebab di sisi lain, ia juga kasihan kepada Pak joko yang sekarang sering kelihatan kelelahan dan batuk-batuk berat saat mengantarnya.

Hari itu, Pingkan sudah siap sejak pagi. Bangun pagi, mandi, memakai baby T-shirt yang dibalut jaket tipis, mengenakan jins selutut, dan sepasang sneakers. Lalu, ritual berdandan yang simpel itu: pembersih muka, pelembap, bedak compact, lip gloss, dari parfum. Hari itu, ada kuis dari sebuah matakuliah yang harus ia ikuti. He's never been late before,' Pingkan mulai mengeluh. Tiba-tiba suara klakson motor dari luar pagar. There, he is

"Kok tumben telat, Pak?"

"Maaf, Neng, batuk-batuk saya kumat," jawab Pak joko dengan napas yang tampak tersengal.

"Sesak juga ya, Pak?" Pingkan kasihan melihatnya.

"Iya, Neng, maaf jadi agak telat."

"Agak sering kayaknya ya, Pak? Maksud saya, batuk-batuknya?" tanya Pingkan selanjutnya saat sepeda motor tua itu mulai bergerak.

"Iya, Neng, padahal saya nggak pernah asma lho..." Pak Joko mencoba menepis kekhawatirannya sendiri.

"Sudah ke dokter, Pak?" Pingkan justru yang mulai cemas.

"Belum, Neng, belum ada waktu." Pak Joko terpaksa berbohong. Dia tak pergi ke dokter sebenarnya lantaran takut uangnya berkurang. Akhir-akhir ini ia dan istrinya giat mengumpulkan uang untuk biaya masuk SMP berstandar internasional-nya putri mereka, Wati.

**

Sudah lebih dari lebih tiga minggu sejak Pingkan memakai jasa Pak Joko. Siang itu, di salah satu meja di kantin fakultas

sastra, Pingkan makan siang bersama tiga sahabat terdekatnya, Prudence, Cherry, dan Rena. Prudence, sang Miss Shoppabolic, kembali melancarkan protesnya kepada Pingkan.

"Aduh, sampe kapan sih elo nggak boleh bawa mobil, Kan? Kita kan jadi susah kalo mau jalan-jalan! Rusak deh jadwal belanja kita?" Prudence pasang tampang kesal sambil merapikan rambut panjangnya.

"Iya, Pingkan, mending elo bilang ma nyokap lo kalo nggak boleh bawa mobil, elo minta aja driver nyokap buat anter kita-kita." Cherry yang berwajah tirus tak mau kalah.

"Enak aja elo pada ngomong gitu, gue bisa digantung ma nyokap nanti." Pingkan menjawab setelah selesai mengunyah frieneh fries-nya.

"Jiah, sadis amat digantung? Mang napa, Pole?" goda Prudence.

"Ya eyaalah, Prue, Pak Soleh khan driver mama gue, bukan driver gue, mana bisa diminta nganter kita-kita?"

"Maksud Prue sama Cherry, mungkin elo bisa minta ke Pak Soleh untuk antar kita pas mama elo lagi nggak pakai dia kalee, Kan." Rena menjelaskan dengan gaya sok bijaknya.

"Ya, nggak bisa dong, Bu, secara mama gue kan sering rapat ke kantor-kantor cabang juga dan waktunya nggak bisa diduga-duga gitu." Pingkan menuntaskan penjelasannya.

"Kenapa nggak minta Andre ngantar jemput elo aja sih, Pingkan?" Rena melontar tanya sambil membetulkan kacamata minusnya.

"Jiaah, Bu, elu bolot banget yah? Kan kemaren Pingkan cerita dia putus ma Andre, lo nggak nyimak sih kalo orang dah cerita!" Prudence mengkritik Rena.

"Iya, aku kan udah cerita, Ren, lagian juga Andre lagi sibuk tuh ngebantuin Gerry, teman SMA-nya yang kuliah di jurusan sinema, bikin lilin independen buat lomba apa gitu?" tanggap Pingkan.

"Wah, elu harusnya jangan putus dulu, Kan, si Gerry bisa jadikan elu peran utama di filmnya itu!" komentar Prudence lagi.

"Ngaco ah, kalau adik gua si Mario tuh cocok main film, secara dia dulu teater banget," sahut Pingkan.

"Ssst! fans berat lo datang tuh," tiba-tiba Cherry memotong pembicaraan. Telunjuknya mengarah pada tiga cowok yang mendatangi meja mereka. Gerombolan si Berat, demikian Pingkan menjuluki mereka karena bobot tubuh ketiga pemuda ini memang berlebih. Roy,

"pimpinan" geng ini, memang telah lama naksir berat sama Pingkan. Di balik bobot tubuhnya yang melebihi rata-rata, sesungguhnya Roy lumayan tampan.

"Pingkan, nonton ma gua yuk! Ada film bagus loh di Plaza Semanggi, ada Megan Fox-nya," ajak Roy sambil menurunkan tudung jaket bermotif khas distro warna hijau army dari kepalanya. Kumis tipisnya ikut bergerak saat memberi senyuman manis kepada pujaan hatinya.

"Gak ah, malez, masak gue nonton film gue sendiri?" sahut Pingkan yang disambut derai tawa teman-temannya.

"Udahlah mau aja, Kan, kesian dong sobat gue dah ngajak elo nonton berapa kali coba? Nggak pernah elo nurutin dia. Sekarang anggap aja elo ikut ngerayain birthday dia minggu lalu itu." Arman yang berdiri di sebelah Gideon ikut andil bicara. Sementara Gideon yang memang maniak fotografi

mulai sibuk mempersiapkan kamera mahalnya. Tanpa Pingkan sadari kamera Gideon lalu mulai membidik wajah cantiknya.

"Emang gue pikirin, nggak ah, gue ada paper, dikumpulin besok," tambah bete perasaan salah satu primadona kampus ini. Maklum, sejak tingkat satu, si Roy, mahasiswa fakultas psikologi ini, mengejar-ngejar Pingkan terus.

"Ya udah, makan aja yuk?" Roy pantang menyerah. Ditariknya satu kursi dan digeser mendekati Pingkan, lalu ia duduk di atasnya.

"Lha, kan elo liat gue lagi makan? Hey! ngapain Sih lu motret-motret gue tanpa izin gue? That's intrusion to privacy, you know?" Kalimat pertama Pingkan ditujukan kepada Roy, yang kedua kepada Gideon yang seenaknya saja mengambil gambarnya. Gideon senyum-senyum saja, tapi ia urung mengambil gambar lagi setelah Roy memberi isyarat kepadanya untuk berhenti.

"Ya, maksudnya nggak sekarang, nanti malam ya? Aku jemput?" usul Roy dengan penuh percaya diri.

"Gak, gue dah punya pacar," Pingkan menegaskan.

"Bo'ong ah, aku lihat di FB status elo Single."

"Itu kan gara-gara dia bertengkar sama Andre, Roy," tutur Cherry enteng, sambil menyuap siomay-nya.

"Betul, nanti juga aku ganti lagi jadi in relationship with," Pingkan menambahkan.

"In relationship with Roy khan?" rayuan Roy tak juga berhenti.

"Berisik ya? di fakultas elu gak ada cewek keren ya sehingga elo harus ke fakultas kami?"

"Yah, ada juga sih, tapi nggak ada yang kayak kamu, my love." Roy terus saja nyerocos.

"Shut up, Roy! I've bad enough!" Bentakan Pingkan membuat mahasiswa-mahasiswa di meja-meja lain melihat ke arah mereka.

"OK, OK, Babe, no offense... until later," kaget juga Roy. Ia lalu memberi isyarat kepada Arman dan Gideon untuk pergi.

"Kenapa sih lo gahar amat ma si Roy? Dia itu imut lho." Rena berkomentar setelah Roy cs. lenyap dari pandangan.

"Ha ha... pasti elo berharap si Roy ngejar ngejar elo kan, Rena? Bukan ngejar Pingkan maksud gue." Cherry si gadis berponi langsung mendakwa Rena.

"He-he... iya sih, kenapa juga ya dia nggak ngejar-nge gue? Oh, Roy sayang!" Rena bergaya teatrikal. Dia memang sudah lama suka sama Roy. Tanpa sepengetahuan Pingkan dan kawan-kawannya yang lain, Rena sering kirim pesan ke inbox FB-nya Roy atau menyapanya lewat menu chat di situs jejaring sosial itu. Sayangnya, Roy lebih sering tidak menanggapinya atau kalaupun Roy mau, ia menanggapi godaan Rena secara sekadarnya saja.

"Ha-ha-ha... emang elo paling cocok buat Roy, Ren, secara bodi lo agak-agak galon Aqua gitu." Godaan Prudence pada Rena disambut tawa Pingkan dan Cherry.

"Bener banget tuh, Prue, apalagi elo khan agak-agak psycho juga, Ren, biar elo bisa konsul sama tuh calon psikolog," tambahan dari Cherry memperpanjang rawa Prudence dan Pingkan. Rena cuma bisa merengut kesal.

"Tapi emang elu agak terlalu keras tadi sama Roy, Kan." Prudence kini mengomentari sikap Pingkan. Pingkan mulai serius memperhatikan. Di antara sahabat-sahabatnya, Pingkan memang paling menyukai Prudence. Prudence selalu bisa jadi pendengar yang baik, berbeda dengan teman-temannya yang lain, yang kerap lebih banyak Sibuk dengan urusan dan kepentingannya sendiri.

"Iya sih, abis gue kesal banget ama tuh cowok." Pingkan mencoba membela diri.

"Ya, elo kan bisa pakai cara-cara yang lebih haluslah, elo bilang aja terus terang sama dia, walau lo dah putus dari Andre, elo tuh tetap nggak bisa terima Roy!"

"Udah gue coba, Prue, yaaelah, lo kan tahu gue, hubungan gue sama Andre udah on off berapa kali, nah dulu aja pas yang lagi gue putus ketiga sama Andre gue dah bilang begitu ke Roy, tapi dianya aja yang tetap keukeuh, he's so stubbom."6 Pingkan ingin Prudence mengerti.

Prudence belum memberi tanggapan.

"Lagi pula, Prue, justru gue tadi sengaja kasar ke Roy, maksud gue tuh supaya dia nggak ngeganggu gue terus-terusan. Elo kan tahu sendiri si Andre posesifnya ke gue kayak apa, takutnya malah si Roy nanti yang babak belur sama Andre dan teman-temannya. Lo juga tahu kan teman-temannya Andre, anak-anak teknik, gahar-gahar loh mereka!" Andre kuliah di sebuah sekolah tinggi teknik di Jakarta Barat. Teman-teman terdekatnya memang kadang terlibat tawuran dengan mahasiswa perguruan tinggi lain. Kepada Pingkan,

Andre mengaku tak pernah ikut tawuran. Tapi, Pingkan curiga Andre tak mengatakan yang sebenarnya.

"Gue dengar dari temen gua di psikologi, malah si Roy sebenarnya dah punya cewek loh, Kan." Cherry tiba-tiba memberi sepotong informasi.

"Serius, Cher, se-fakultas?" Rena, si pengagum Roy, jadi penasaran.

"Yang gua dengar sih bukan anak psikologi, tapi anak fakultas hukum, ketua geng gitu, namanya kalo nggak salah Pride," Cherry melanjutkan keterangannya.

"Ketua geng? Geng apaan? Geng Nero?" Prudence mengingat sebuah geng cewek SMA yang tersohor karena kasus kekerasan kepada calon anggotanya sendiri itu.

"Yang gue dengar sih gitu, Prue, walaupun katanya juga si Roy sebenarnya sih cuma nganggap teman sama tuh cewek," tanggap Cherry.

"Wah, Rena, elo musti hati-hati lho, tar lo dianggap saingan ma dia bisa gawat loh!" Prudence menasihati Rena.

"Apaan sih, nggak koq, aku nggak pernah gangguin Roy." Rena membantah. Tapi, sipu wajahnya memerlihatkan sebaliknya.

"Gak pernah apaan? Elo kan selalu komen ke status FB-nya si Roy." Cherry mengingatkan Rena. Yang dituduh cuma senyum-senyum saja.

Suasana riang Pingkan dan kawan-kawan yang tadi sempat terganggu insiden kecil itu kembali hadir saat mereka mulai bergosip tentang pacar Prudence yang berencana ambil S2 ke luar negeri, sebelum akhirnya mereka pulang. Di dalam bus yang membawanya pulang, bayangan Andre lalu Roy, lalu Roy lagi dan kemudian Andre lagi melintas

di kepala Pingkan. Sampai pusing Pingkan memikirkannya. Tak terasa, bus Pingkan sudah semakin dekat dengan tempat ia harus turun. Lalu, dengan ponselnya Pingkan mengirim SMS kepada Pak Joko:

Pak. saya sudah hampir sampai. jemput di tempat biasa ya.. Trims.

**

Malam harinya, Pingkan menulis paper untuk salah satu matakuliah yang sangat disukainya, Composition, mengarang dalam bahasa Inggris. Topik tulisan yang diberikan Pak David, sang dosen, juga sangat ia sukai, an ideal job, pekerjaan yang kita anggap ideal. PR yang kutunggu-tunggu, batin Pingkan. I can simply write about the job I've always wanted.becoming a police Office. Semangat Pingkan bangkit karena ia akan menulis tentang cita-cita terbesarnya, menjadi polwan, polisi wanita. Sesungguhnya Pingkan masuk ke jurusan Sastra Inggris karena mamanya tidak setuju pada rencana Pingkan untuk mendaftar masuk ke kepolisian.

"Apa-apaan sih kamu?" Begitu sang mama mengkritik rencana putrinya.

"Buat masa depan kok pekerjaan yang cari-cari bahaya, nanti kalau kamu ditembak penjahat gimana?" Mamanya ngeri membayangkan putri cantiknya mempunyai pekerjaan berisiko tinggi, seperti jadi polisi itu. Sebenarnya, saat Pingkan akhirnya memutuskan untuk kuliah di jurusan Sastra Inggris, lalu disusul setahun kemudian adiknya kuliah desain interior di Amerika,

sang mama juga merasa kurang sreg. sesungguhnya, sang mama menginginkan Pingkan dan Mario kuliah di fakultas ekonomi seperti ayahnya atau teknik industri seperti dirinya. Menurutnya, masa depan mereka akan cerah iika mengambil dua jurusan yang tadi disebutkan. Namun, karena kedua buah hatinya bersikeras, akhirnya Bu Vita terpaksa setuju dengan pilihan Pingkan mengambil jurusan Sastra Inggris di Jakarta dan Mario memperdalam ilmu desain interior di negeri Paman Sam. Mata Pingkan mulai terasa berat. Paper-nya belum selesai. Dan karena hanya tinggal menambahkan satu paragraf penutup, Pingkan memutuskan untuk mengakhirinya. I'd better finish and have it printed in the momenu', the class wont": start until eleven tomorrow.'

**

WAKTU DI ARLOJI PINGKAN MENUNJUKKAN PUKUL SEMBILAN LEWAT tujuh belas saat seorang pengendara sepeda motor berhenti di depan rumahnya. Sumi, keponakan Bi Inah yang juga bekerja di rumah Pingkan, memberi tahu Pingkan yang sedang berada di kamarnya kalau ada orang yang mencarinya. Pingkan bergegas ke luar.

"Mbak Pingkan?" Pemuda itu menyapa sopan. Ia berdiri di samping motor berwarna dasar hitam yang beberapa bagiannya di-krom sehingga tampak kinclong.

"Mas cari saya? Ada apa ya?" Wajah cantik itu terlihat lebih lelah dari biasanya akibat suntuk mengerjakan paper. Sepasang kaki yang putih mulus itu tampak lebih panjang karena Pingkan hanya mengenakan kaus tank top dan celana pendek.

"Saya, mm... saya anaknya Pak Joko, Mbak" si pemuda menjelaskan. Agak gugup juga si pemuda, mungkin karena tak menyangka anak perempuan gendut yang semasa kecil cukup sering dilihatnya dibonceng oleh ayahnya itu, kini telah menjelma jadi seorang putri jelita nan memesona.

Keduanya tertegun. Sesungguhnya di dada Pingkan juga ada debaran aneh yang mulai muncul saat pertama melihat pemuda yang mengaku anak Pak Joko ini. Pakaiannya sederhana: jins biru lusuh, sepatu kets, dan jaket tipis berbahan katun berwarna krem.

"Pak Joko kenapa? mm... panggilnya Pingkan aja ya? jangan pakai Mbak," Pingkan ketularan gugup.

"Bapak sakit, tadi pagi sesak napasnya berat..."

"Sudah ke dokter?"

"Tadi dibawa ke dokter umum di klinik 24 jam dekat rumah, Mbak, eh, Pingkan, maaf." Pemuda ini tersenyum malu.

"Tapi nggak parah kan, Mas? eh, namanya siapa?" Pingkan membalas senyumnya. Gila, gak nyangka, your son's so cute and aduh, wajahnya cool dan laki-laki banget, Pak joko! batin Pingkan. Tingginya sih tak seberapa, paling-paling 165 cm, kulitnya juga tak seberapa putih, tapi kesannya bersih dan wajahnya agak-agak mengingatkan Pingkan pada Channing Tatum, aktor Hollywood yang tengah naik daun. Ia seperti versi melayunya Channing Tatum! tukas Pingkan dalam hati. Rambutnya pendek sederhana, hanya bagian atasnya diberi gel pengeras agar sedikit berdiri ala mohawk. Janggut tipis ala pemain band menambah keren penampilan pemuda beralis tebal dan berhidung mancung ini.

"Aku Zaki... mm... tapi panggil Jack aja."

"jack?" Lucu juga anak seorang tukang ojek punya nama panggilan jack, renung Pingkan.

"Iya, Jack... nama panggilan," tambah putra Pak Joko ini.

"Bapak alhamdulillah sudah mendingan, tapi kalau buat

ngojek mungkin belum kuat, jadi tadi Bapak minta aku jemput... mm kamu," sahut Jack.

"Oh begitu, ayo silakan masuk, sebenarnya masih agak lama sih berangkatnya, hari ini aku kuliahnya agak siang, gimana? Mau tunggu aja?"

"Mbak, henpon-nya lagi bunyi." Di pintu rumah, Sumi muncul mengingatkan.

"Jack, sebentar ya, ayo masuk dulu." Pingkan membukakan pintu pagarnya buat Jack lalu bergegas ke dalam rumah. Ada dua kursi teras dan sebuah meja kecil. Semuanya berbahan kayu jati pilihan, di bagian samping kanan ada juga sebuah bangku panjang terbuat dari kayu yang dibuat sebagai ayunan dengan tempat duduk yang lebar. Jack baru saja hendak duduk di salah satu kursi teras saat Pingkan kembali keluar.

"Jack, ternyata kuliahnya dimajukan, kata temanku karena dosennya mau ada seminar di diknas atau di mana gitu," jelas Pingkan.

"Maksudnya... gimana?" Jack masih belum paham.

Pingkan mendekat, memelankan suaranya. Sepasang bibirnya yang padat dan mungil lalu siap mengatakan sesuatu.

", Jack! Kamu antar aku ke kampusku aja, ya?" Senyum Pingkan membuatnya terlihat sangat cantik.

"Mmm, tapi aku mau, aku mau ke Blok M..." Agak nervous juga Jack didekati mahluk manis tinggi semampai ini.

"Ngapain ke Blok M?"

"Kerja."

"Keria?"

"Ya. bantuin Oom aku, dia punya toko komputer,"

"Eh, tapi kampusku kan dekat Blok M, Jack!"

"Oh. ya udah deh." _

"Ya udah apa, Jack?" Goda Pingkan yang melihat Jack mulai tersipu.

"Ya, kita bareng ke sana." Suara Jack kedengaran sedikit gemetar.

"He-he... thanks, Jack. By the way, kayaknya Pak Joko pernah cerita anaknya kuliah deh, already .in the third year-', kalau tidak salah?"

"Ya, betul, aku lagi ambil cuti, Pingkan." Sesungguhnya Jack merasa tidak nyaman setiap kali membicarakan kuliahnya.

"Kenapa cuti?" tanya Pingkan.

Yang ditanya cuma tersenyum. Kalau saja gadis bawel ini tahu aku cuti demi sekolah adikku, bakal terenyuh nggak ya dia? Jack mereka-reka dalam hati. Pingkan sadar Jack tak begitu suka ia terus memberondongnya dengan pertanyaan.

"Maaf ya, Jack, aku cerewet, ya?"

"He-he..." Senyum Jack terlihat bertambah manis saja di mata Pingkan.

"Aku mandi dulu ya? Lima menit!"

Jack belum sempat menjawab, Pingkan sudah keburu masuk rumahnya.

Subhanallah, cantik banget langganan ojek Bapakku ini! demikian Jack membatin. Ada perasaan aneh yang mengusiknya. Entah bagaimana Jack lantas ingat pada Sinta, Sinta Agustina, gadis yang memantik bara cinta di hatinya saat SMA. Astaghfirullah. Tak layak Jack mengingat-ingat Sinta, pikirnya. Tak patut pula mengagumi Pingkan terlalu dalam. Jack sadar ia sudah punya Lela, panggilan untuk Siti
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nurlaila, gadis yang dipacarinya, atau tepatnya di-taarufi-nya sejak setahun silam. Jack tak begitu suka memakai istilah pacaran.

"Tidak ada pacaran dalam Islam, adanya taaruf atau berkenalan." Begitu kata-kata yang diingat Jack dari Kiai Haji Syukri, almarhum kakeknya yang termasuk ulama yang disegani itu, yang kelihatannya menurunkan bakat jadi dai atau pendakwah kepada Jack. Walaupun sang kakek tak pernah merinci apa perbedaan pacaran dengan taaruf tersebut, Jack memahaminya sebagai kehatian-hatian yang harus dimiliki saat dekat dengan gadis yang disukainya. Bakat menjadi da'i yang turun kepada Jack juga bisa dilihat dari kegiatan Jack yang kerap membantu ibunya mengajar mengaji. Selain itu, di waktu-waktu yang lebih senggang, juga mengajar pencak silat untuk anak-anak di kampungnya saat sore hari. Ilmu pencak silat dan ilmu agama memang Jack warisi dari almarhum kakeknya yang dulu memimpin sebuah pesantren cukup besar di kawasan Jati Asih dan dari Ustaz Ridwan, salah satu pengajar di pesantren itu.

Sekitar sepuluh menit berlalu sampai Pingkan keluar lagi. Ia sudah rapi dan siap untuk berangkat kuliah. Setelan pakaiannya lebih sporty dari biasanya: kaus putih polos dibalut pullover merah muda dan celana jins biru dongker serta sepatu putih yang biasa ia pakai jogging untuk menambah stamina jika ada turnamen taekwondo. Pingkan merasa hari itu ia memang harus mengenakan pakaian yang lebih santai. Supaya nyaman naik motornya. Coz I have to ride the bike in longer distance." begitu pendapatnya dalam hati.

"Eh, Pingkan, aku lupa..." Jack mencoba membuka percakapan saat motor yang membonceng Pingkan itu mulai menyusur jalan ke luar komplek.

"Kamu bilang apa, Jack?" Bunyi mesin dua tak motor Jack plus sedikit kebisingan lalu lmtas di sekitarnya membuat Pingkan kurang jelas mendengar.

"Kamu lupa, kamu kan harus pakai helm, kan lewat jalan-jalan besar?"

"Oh iya yah." Pingkan baru sadar.

"Beli aja kali ya, Jack?"

"Beli? Terserah sih... atau mau aku pulang dulu ambil helm?" usul Jack.

"Gak ah, kelamaan nanti, Jack, nanti telat ke kelasnya, ada yang jual kan sekitar sini? hey, speak of the deuili, itu kayaknya di depan ada ya Jack?"

Jack menepikan motornya. Seorang lelaki usia empat puluhan duduk di jengkok kayu. Di depannya ada sebuah meja yang cukup lebar tempat ia menaruh sebagian helm-helm yang dijualnya. Di samping kanan meja juga ada papan yang berdiri, tempatnya menggantung helm-helm lainnya. Di samping kirinya ada gerobak. Di dalamnya ada seorang bocah perempuan yang sedang tertidur nyenyak.

"Helm yang ini berapa, Pak?" Begitu turun dari motor Pingkan langsung menunjuk sebuah helm putih bergambar Hello Kitty. Pandangannya lalu terusik beberapa kali melihat sang bocah yang terlelap dalam gerobak.

"Yang itu seratus lima puluh, Neng."

"Nggak kurang?"

"Ya, kurang dikitlah, seratus tiga puluh-lah harga pasnya." Si penjual helm mengambil sebuah kipas anyaman bambu lantas mengipasi si anak.

"Anak Bapak?" selidik Pingkan.

"Iya, Neng, yang bungsu."

"Kok nggak sekolah? Usia berapa, Pak?"

"Empat tahun. Belum Neng, belum sekalah, belum ada biayanya buat masuk TK, nanti mah mau langsung ke SD ajah."

"Memang ibunya ke mana? Kok nggak diajak ke sini?" Wawancara Pingkan malah terus berlanjut. Jack yang tadinya tetap duduk di motornya kini turun dan ikut menghampiri mereka.

"Ini uangnya, Pak." pingkan menyodorkan satu lembar uang seratus ribuan dan satu lagi lima puluh ribuan.

"Nggak ada uang pas aja, Neng? Saya belum ada kembaliannya."

"Ya udah deh, Pak, ambil aja kembaliannya buat Bapak. Buat jajan si kecil." Pingkan tersenyum. Jack memperhatikan dengan seksama adegan yang baru saja terjadi di hadapannya.

.

Motor yang membawa Pingkan dan Jack masih berada di seputar wilayah Jatibening saat Pingkan tibatiba meminta Jack berhenti di depan sebuah minimarket.

"Ada apa?" tanya Jack.

"Sorry, aku lupa beli bolpen. Bolpenku ilang melulu nih, kalo nggak dipinjam ya lupa naruhnya he-he... Bentar ya, Jack".

"OK. nggak pa pa..." Jack mengarahkan motornya di pojok kiri halaman depan minimarket itu karena di sebelah kanan sudah penuh dengan tiga mobil. Pingkan sudah masuk dari pintu masuk minimarket di sebelah kanan.

Di dekat gerobak gorengan depan minimarket itu, dua orang pemuda seusia Jack berdiri. Keduanya mengobrol sambil mengepulkan rokok.

"Jack, belanja nih?" Salah satunya tersenyum menyapa.

"Eh, Ding! Kagak, bukan gua, temen gua." Jack mematikan mesin motor, tapi tetap duduk di atasnya.

"Jarang keliatan lu sekarang, Jack?" Pemuda satunya lagi ikut menyapa.

"Ah, elu kali yang jarang pulang, Ben," tanggap Jack sambil tersenyum.

"Lu pada nungguin siapa?" Kali ini Jack yang bertanya.

"Si Pelor tuh tauk dah mau beli materai sama kertas ato apa kali? Buat ngejualin motor temennya, anak Lubang Buaya," Oding menjelaskan.

"Si Pelor? Aji maksud lo?"

"Iya si Aji Pelor, siapa lagi nyang dipanggil Pelor daerah sini?"

Agak khawatir juga Jack mendengar si Pelor ada di dalam minimarket itu. Yang ia cemaskan tentu saja Pingkan. Jack sudah dengar kisah ribut-ributnya Pingkan dengan Pelor beberapa waktu lalu. Jack mendapat cerita itu dari ayahnya. Pak Joko sendiri mendapatkan info ini langsung dari Pingkan.

Di dalam minimarket saat hendak membayar bolpen yang sudah dipilihnya, seorang pemuda juga bergerak ke arah meja kasir. Aji atau si Pelor! Tangan kanannya menggenggam sebuah buku kuitansi.

"Ini Mbak, sama materai yang enem rebu ya," tukasnya pada sang kasir yang kemudian menerima uang Aji. Saat itulah ia menengok ke arah kiri belakang lalu beradu pandang dengan Pingkan.

"Watts! Orang kaya ketemu lagi nih! Masih kurang ato di pinggir jalan tempo "ari?" katanya dengan nada nyinyir. Sambil membayar ke kasir, Pelor terus memandangi seterunya.

"Jangan sok lu ya! Kalo kemaren nggak ada Pak Somad juga tendangan gua bakal bikin elo pingsan!" Pingkan lalu maju ke kasir untuk membayar bolpen yang dibelinya. Pingkan berdiri tepat di sisi kiri Pelor yang masih enggan beranjak ke luar minimarket.

"Bole juga lu punya tendangan, tapi kagak cukup kalo lu mau ngalahin gue, Nona Borju." Pelor makin semangat memanas-manasi Pingkan.

"Sori ya, gua nggak ada waktu buat ngeladenin elo, it's not worth it!" Pingkan memberi peringatan keras.

"Lagi pula, my friend's waiting for me, OK?"

"Ha-ha-ha... gaya ngomong nggak usah ikut-ikutan Cinta Laura deh! Jalanan bechyek, naik Ojbyek, ha-ha ha... siapa nyang nungguin lo? Pacar elo? Bawa ke mari sini biar gua hajar sekalian!" Pelor malah merasa ditantang.

Justru sekarang Pingkan mulai menyesali apa yang ia katakan. Ia takut si preman ini bakal betul-betul menghajar Jack di luar.

"Gak, dia bukan pacar gua, permisi!" Pingkan ngeloyor pergi sesudah menerima uang kembalian dari sang kasir. Tapi, Pelor malah mengikuti Pingkan yang berjalan ke tempat Jack

memarkir motornya. Langkah Pelor lalu tertahan. Ia sangat kaget melihat lelaki yang menunggu Pingkan di atas motornya.

"Jack? Jadi elo yang anterin die?" Pelor tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Ngapain juga Sih elo nganterin cewek belagu ini?" katanya lagi dengan suara yang meninggi.

"Ji. iya nih, gua cuma nge-gantiin bokap gua aja. Bokap lagi nggak enak badan, Ji." Jack menjawab pertanyaan Pelor dengan lembut.

Pingkan semakin waswas, khawatir terjadi sesuatu terhadap putra Pak Joko yang gagah ini.

"Heh, Cinta Laura abal-abal, pinter lo ye, milih pengawal seorang Bang Jago? Ha-ha-ha..." ejek Pelor pada Pingkan. Lalu, pandangan preman sangat ini beralih lagi ke Jack.

"Ati-ati lu,Jack, cewek ini yang bikin patah kaki Bi Yuyun, lu kagak dengar beritanya?" Pelor mendominasi pembicaraan. Pingkan mencoba mengerem emosinya, ia mempertimbangkan keselamatan Jack. Tapi, ia merasa heran melihat dua pemuda di dekat Jack. Dari tato dan cara berpakaian mereka, Pingkan sudah menyimpulkan bahwa mereka berdua kawan dekat si Pelor. Tapi, mengapa mereka tak bereaksi?

"Yang gua dengar sih itu kecelakaan, Ji." Jack mulai benar-benar bersuara. Dia tak suka didikte si Pelor.

"Mmpb, doi belam Cinta Laura sekarang! Terserah lu dah, Jack. Elu kan emang Bang Jago, nggak ada nyang ngalahin dah... Oding, Beben! Cabut kita!" Pelor mengajak dua rekannya pergi.

Ada periode diam yang cukup lama di atas motor Jack sebelum Pingkan akhirnya bertanya.

"Kamu kenal sama Pelor?"

"Sori, tadi bilang apa? Agak keras aja." Jack meminta.

"Kamu kenal si Pelor?" Pingkan mengulang tanya, kali ini dengan volume suara yang lebih keras.

"Iya, dulu kami akrab, boleh dibilang salah satu sobat kental aku, dari kecil sampai, sampai SMP-lah..."

"Memang selanjutnya ada apa kok cuma sampai SMP?"

"Ya, waktu itu... ah, biasalah, masalah anak muda." Jack enggan berterus terang. Ada yang menghimpit batinnya jika ia mengingat masa-masa itu. Sinta. Tiba-tiba wajah itu muncul lagi di benak Jack.

Pingkan sepertinya membaca kegundahan hati Jack, maka ia urung mengorek keterangan lagi. Motor dua tak itu kini telah masuk dan melaju lancar di jalan raya Kalimalang Reeeeengggg... melesat dengan bunyi cempreng-nya di jalan yang kebetulan sedang tak macet.

Sore itu, seusai mengantar Pingkan, Jack sengaja mampir di sebuah masjid di kawasan Jati Makmur, nama daerah sebelum mencapai Jati Kramat jika kita mengambil jalan dari arah Pasar Pondok Gede menuju Jati Asih. Pukul 4 lewat 34 menit sore hari di arloji digital di lengan kiri Jack. Masjid itu lengang. Hanya ada dua orang laki-laki berpeci dan berbaju koko yang sedang berbincang di halaman luar masjid. Setelah berwudu, salat Asar, berzikir, dan berdoa, Jack duduk di beranda di depan masjid. Pandangannya kini reralih ke bangunan sebelah kanan masjid. Ada lima ruang kelas

di sana selain ruang guru dan ruang staf serta toilet. Tepat di hadapan bangunan itu, ada halaman yang cukup besar. Di sana, ada ayunan dan berbagai peralatan bermain anak. Ada plang kayu tegak berdiri dengan tiang besi di dekat dua ayunan bertuliskan:

TKA / TPA ANNUR

Dulu namanya Madrasah An-Nur, kenang Jack. Ini tempat ia dan teman-temannya dulu pergi mengaji. Di antara teman temannya, Jack ingat betul ia paling akrab dengan Muhammad Aji Prakasa, si Aji alias Pelor. Karena di samping belajar di sekolah dan madrasah yang sama, ia dan Aji juga rajin menambah jam belajar dengan cara mengaji dan latihan pencak silat di pesantren kakeknya, Kiai Haji Syukri, di Jati Asih. Keduanya bahkan beberapa kali pernah menjuarai pertandingan pencak silat antar-perguruan silat maupun antarsekolah. Jack untuk pertarungan dan Aji untuk peragaan jurus. Jack dan kawan-kawannya yang lain selalu kagum saat menyaksikan kehebatan Aji memainkan golok, sambil memeragakan jurus-jurus pencak yang gemulai. Golok di tangan Aji dapat berputar selaksa kipas di tangan seorang pendekar kungfu: mengibas ayun, melesat, menusuk dan membabat, di atas kudakuda yang kokoh tapi dinamis. Lucu juga, kenang Jack, bahwa dulu ia kadang berpikir mungkin saja Aji bisa begitu hebat karena sudah kerasukan arwah si Pitung atau si Jampang saat memainkan golnknya. Di luar sekolah, mengaji dan latihan Silat, Jack dan Aji kecil, bersama beberapa teman mereka yang lain, juga kerap bersepeda, menyambangi rumah teman

atau sekadar berkeliling sampai jauh ke pelosok kota Bekasi lewat jalan raya Jati Asih-Pekayon, atau bahkan ke Jakarta Timur, tembus Jatibening. Masih segar dalam ingatan Jack saat ia, Aji, dan Makmun, salah satu teman sekelas mereka, dikejar-kejar anjing di sebuah komplek perumahan mewah gara-gara mencoba mengambil bola yang mereka mainkan, yang mental ke dalam pagar rumah tetangga teman mereka yang tinggal di komplek perumahan itu.

Memori di kepala Jack terus berputar. Persahabatan dengan Aji mulai renggang saat Aji perlahan mulai enggan mengaji di madrasah dan mundur teratur dari mengaji tambahan dan latihan silat di pesantren kakek Jack. Saat itu, mereka duduk di kelas delapan atau dua SMP. Kala itu, Jack mendengar bahwa Aji sangat terpukul karena orangtuanya bercerai. Aji mulai bergaul dengan teman teman yang suka membolos, berkelahi, memalak adik kelas, dan mencuri-curi kesempatan merokok serta menenggak minuman keras. Jack beberapa kali berusaha mengingatkan sahabatnya ini agar menjauh dari mereka. Jack sendiri pernah berkelahi dengan Muklis Bongsor, salah satu tokoh preman sekolah yang disahabati Aji saat itu. Cuma gara-gara masalah sepele, Jack tak sengaja bersenggolan bahu dengan Muklis di selasar menu kantin sekolah. Muklis mendahului menoyor kepala Jack dan menarik kerah bajunya seraya melempar makian teramat kasar.Jack yang tak terima perlakuan Muklis langsung sigap menyabet pelipis kiri Muklis yang jauh lebih besar badannya dengan pukulan selaksa pisau. Keduanya berjual beli pukulan beberapa detik sebelum dipisah Mang Engkus, pemilik kantin. Ancaman Muklis untuk "mencincang" Jack usai sekolah terbukti omongan kosong. Walau Jack bukan

termasuk golongan preman, ia banyak punya kawan di SMP yang masih termasuk wilayah kampungnya. Sedangkan, Muklis terhitung "pendatang" karena rumahnya jauh di daerah Cakung Payangan. Maka, sejak saat itu, Muklis rajin menghasut dan memanas-manasi Aji agar mau menghajarJack. Tadinya Aji tak memedulikan bisikan Muklis. Bagaimanapun banyak kenangan manis selama Aji alias si Pelor masih bersahabat dengan Jack. Namun, karena sudah keseringan kena hasut Muklis, akhirnya ikut panas juga hati Aji. Ia mulai tak suka kepada Jack.

Ketidaksukaan itu memuncak pada sebuah acara class meeting, aneka lomba antarkelas. Pada satu kesempatan babak final, kelas Jack bertanding sepakbola melawan kelas Aji. Di satu kesempatan, Jack yang berusaha merebut bola dari kaki Aji, terpeleset tanah licin bekas hujan dan tak sengaja men-tackle Aji yang tengah menggiring bola dengan semangat penuh ke arah gawang karena skor kelas Aji tertinggal 1-2. dari kelas Jack. Badan Aji melayang sebentar di udara sebelum jatuh membentur tanah...

BRRUGGKH...

Jack dan Aji segera bangkit. Menyadari terpelesetnya telah menyebabkan Aji jatuh, jack segera mengulurkan tangan, sebuah isyarat meminta maaf. Tapi, Aji malah sontak menendang perut Jack dengan ujung telapak kaki kanannya. Jack merunduk menahan sakit., namun instingnya cepat sadar bahwa itu bukanlah serangan satu-satunya yang akan datang dari mantan rekan seperguruan silatnya itu. Sekepal tangan Aji menyusur mengincar kepala Jack. Tangan kanan

Jack mengayun ke arah dalam, sigap menahan pukulan itu seraya menyusulnya dengan telapak kiri memapar wajah Aji. Aji coba mengayun lengan kirinya, ingin menggampar kepala Jack. Lagi-lagi tangan kanan Jack terayun ke arah luar, halus bak penari, namun efektif menggagalkan pukulan Aji. Lalu... DEGH! Pukulan Jack mendarat telak di muka Aji. Para penonton yang rata-rata siswa SMP dari berbagai kelas terkesima melihat adegan laga yang tiba-tiba terjadi di depan mereka. Pak Eko, guru penjaskes yang kebetulan memimpin pertandingan selaku wasit, segera membunyikan peluit tanda adanya pelanggaran. Beberapa pemain lain dari masing-masing tim sontak melerai dan memegangi Jack serta Aji. Pak Eko, guru berkumis tebal yang terkenal tegas ini langsung mendamprat mereka, dan mengeluarkan keduanya dari lapangan pertandingan.

Keesokan harinya pada jam istirahat sekolah, Jack mendapat pesan dari seorang teman Aji bahwa Aji menunggunya di sebuah kebun kosong tak jauh dari sekolahnya. Jack sudah punya firasat tak enak. Maka, ia pun mengajak beberapa kawan untuk menemaninya menemui Aji. Benar dugaan Jack, Aji sudah menunggu di sana bersama enam temannya. Geng Prematur, demikian para preman cilik itu menyebut dirinya. Langit menggelap dan gerimis merintik saat Aji menyampaikan tantangannya:

"Jack, urusan kita kemaren belum selesai."

"Urusan apa lagi, Ji? Gua kemaren udah minta maaf, di depan Pak Eko pula, gua udah jelasin kaki gua kemaren kepeleset, bukan maksud gua nekel kaki lu," jelas Jack.

"Gua nggak bisa terima alesan-lu, Jack. Pokoknya kita selesaikan hari ini, cuma antara lu sama gua," sahut Aji

yang masii panas Karena akibat peristiwa kemarin, tim sepakbolanya menderita kekalahan. Aji sesungguhnya adalah penyerang sepakbola andalan yang sangat berpotensi membuat tim kelasnya menang kemarin.

Jack menghela napas. Ia sungguh tak ingin berkelahi dengan Aji. Bukan karena takut, tapi seingat Jack. justru karena ia selalu menang jika bertanding silat dengan Aji. Gerakan Aji terlalu teknis, kelewat text book. Mungkin itu sebabnya kalau Aji lebih hebat di ajang peragaan jurus, bukan di pertarungan.

"Ji, ingat, kita dulu sobat dekat. Elu bahkan masih termasuk sodara gua, Ji. Bibi elu, Pok Eli, beliau masih termasuk sepupu Emak gua, kan?" Lagi-lagi Jack mengingatkan. Sementara itu, temamteman Jack dan teman-teman Aji makin terbawa suasana tegang, berjaga terhadap segala kemungkinan.

"Udahlah lu nggak usah banyak ngomong dah, bilang aja lu takut ama gua, susah banget lu!" Aji menaikkan volume suaranya. Gerimis saat itu pun perlahan jadi bertambah besar.

"Ji, lu dengar gua, gua nggak mau ribut sama lu. Ingat kita pernah belajar silat di tempat yang sama. Elu nggak ingat pesan guru kita, Ustaz Ridwan? Beladiri bukan buat cari ribut, tapi buat ibadah, Ji. Sori gua harus pulang." Jack memberi isyarat, mengajak teman-temannya meninggalkan tempat itu. Tapi, saat mereka sudah berbalik badan dan perlahan bergerak pergi...

"Woi Joko ojek! Bilang aja lu takut sama gua! Pake banyak alesan lagi lu!" Teriakan Aji bagai membelah keheningan tanah lapang yang mulai ditingkahi bunyi hujan yang kian lama kian lebat itu. Langkah Jack terhenti. Perlahan ia memutar tubuhnya. Telunjuk kanannya keras menunjuk ke arah Aji.

"Lu tahu nggak, paling pantang gua kalo dengar bapak gua dihina?" Lalu, semua yang hadir di sana menyaksikan betapa cepat lari Jack ke arah Aji. Hujan besar yang tiba-tiba meruntuh pun tak sanggup menahan deru kecepatan Jack. Sebuah lompatan disusul pukulan yang melesat tak mampu ditahan Aji yang kelihatan cukup kaget melihat reaksi Jack. Aji tiba-tiba tersadar darah mengucur deras dari hidungnya. Belum lagi siap, sebuah hajaran tangan kiri menggodam kening Aji. Aji terhuyung limbung lalu jatuh. Jack terus memburunya ke bawah. Hujan dan pukulan Jack mendera sama derasnya. Tak disangka Muklis Bongsor, yang tak tahan melihat teman satu geng-nya tak berdaya menahan rentetan pukulan Jack, sontak bermain curang. Tendangannya keras menyepak kepala Jack yang tak sempat mengelak. Jack terpental rebah, terguling ke samping kanan. Tindakan Muklis memang menyelamatkan Aji. Namun, itu juga yang memicu kemarahan teman-teman Jack. Mereka memang hanya berempat, namun rasa panas terhadap teman-teman Aji yang berjumlah enam itu sudah tak tertahankan. Selama ini, mereka juga makin tak suka dengan kelakuan serigala kelompok ini. Maka, tawur massal itu pun terjadi. Beberapa orang yang kebetulan melintas jalan pinggiran kebun kosong itu pun hanya jadi penonton saja sampai datang seorang warga, anggota TNI yang sedang tak bertugas, membubarkan mereka dengan melepas ikat pinggangnya dan mengusir semua remaja yang tengah menuntas amarah itu dengan ayunan sabuk kulit dengan buckle besi yang berat dan keras. Keesokan harinya, baik Jack dan teman-temannya maupun Aji serta Geng Prematur-nya dipanggil dan disidang di ruang guru oleh Kepala Sekolah dan Pak Eko, guru penjaskes yang merangkap pembina osis itu.

Entah bagaimana kabar tawuran itu bisa sampai ke Kepala Sekolah dan Pak Eko. Akibat perkelahian itu, mereka wajib bertugas membersihkan toilet dan merawat taman sekolah selama seminggu.

**

"Ki? Kiki? Tumbenan kamu ke sini?" Rasanya Jack kenal suara itu. Tak banyak orang yang memanggilnya Kiki, nama kecil di keluarganya. Rata-rata orang memanggilnya Jack, Jeki atau Zaki, nama aslinya. Jack mendongak. Wajah akrab Mang Ndin, marbot masjid, tersenyum ramah. Wajahnya masih kelihatan sama, hanya rambut bagian samping kanan kiri dari kepalanya yang berkopiah hitam terlihat makin memutih. Jack balas tersenyum walau ia sebenarnya belum siap mengakhiri lamunan kenangannya.

**

MASIH TERHITUNG PAGl SAAT LAGU TAYLOR SWIFT, FEARIESS sayup-sayup terdengar di kantin sastra...

Cause I don't know how it gets better than this You take my band and drag me head first Fearless And I don't know why but with you I'd dance in :: storm in my best dress Fearless...

"Jadi, lo punya gebetan baru sekarang, Kan?" Cherry melontar tanya sebelum mengunyah mi ayam di hadapannya.

"Prue, elo ngasi tau Cherry ya?" Pingkan tiba-tiba berhenti menyesap jus jambunya dan memandang Prudence yang duduk di sebelah kanan Cherry.

"Payah lo ah, Prue."

"Elo yang payah, Kan! Masak lu cuma share ke Prue, gue sama Rena nggak elu anggap sahabat apa?" Cherry protes.

"Betul kan. Ren?"

"Eh, iya, eh apa ya?" Rena yang tengah sibuk di ujung meja dengan laptop-nya gelagapan ditanya Cherry.

"Yaah, lagi sibuk apa si, Ren?" Prudence menyelidik.

"Biasa, paling-paling nggodain Roy di FB, betul kan?" tuding Cherry.

"Pingkan, emang gue kok yang cerita ke Cherry tentang Jack, gue rasa Cherry sama Rena berhak tahulah," Prudence akhirnya mengaku.

"Oh, jadi namanya Jack?" Cherry setengah menggoda Pingkan.

"Nama asli dia, Pingkan?"

"Bukan, nama aslinya Zaki, Muhammad Zaki Abdurrahman."

"Et dah, Cebong amat namanya? Lahir di Jeddah dia?" Sumpit di tangan Cherry mulai menjepit dan memutar mi ayamnya lagi.

"Nggak, Betawi-Jawa gitu deh," jawab Pingkan.

"Ciyee, ampe tahu sedetil itu, Kan?" Cherry terus menggoda.

Wajah Pingkan agak merona merah kali ini.

"Kuliah di sini? Atau kampus lain?" Cherry menyelidik.

"Kampus lain. Lagi cuti tapi, terus dia kerja bantuin toko oom-nya di Blok M. Makanya paginya bisa antar aku, dan pulangnya bisa jemput aku."

"Tukang ojek dong?" simpul Cherry.

"Anak dari tukang ojeknya Pingkan, si Pak Joko itu," Prudence membantu menerangkan.

"Bapaknya dah sakit-sakitan sekarang."

"Elo suka sama dia, Pingkan? Bukankah dia, sorry to say, beda kelas kalee?" selidik Cherry.

"Dan beda agama " Prudence menambahkan.

Kali ini, Pingkan tak bisa langsung menjawab. Gadis jangkung itu kelihatan serius. Tepekur sejenak lalu tersenyum.

"Kalo beda kelas nggak kali ya, keluarga gua nggak suka beda-bedain orang kok. Beda agama juga nggak jadi masalah mungkin. Elo kan tau mamaku Katolik, sedangkan Papa muslim." Demikian Pingkan membantah anggapan kedua temannya.

Temannya satu lagi, Rena, hari itu tampak tak begitu berminat dengan topik pembicaraan Pingkan, Prudence, dan Cherry. Gadis tambun berkacamata ini masih asyik dengan laptop-nya.

"Lalu kenapa, Kan? He got a girlfriend?" Cherry penasaran.

"Not that I know of, be said nothing about girlfriend. Aku nggak tahu, dia tuh cool banget, nggak banyak bicara."

"Ganteng?" Cherry bertanya lagi.

"Yap, good looking tapi rada silent, dan sabar banget orangnya. Kemarin aku kan pulangnya lebih sore, ada latihan taekwondo tambahan di GSG. Dia dah datang kira-kira sejam sebelumnya kali, eh malah dia asik aja tuh nunggu di luar. Aku sudah nawarin dia going home earlier tapi dia bilang nggak apa apa, mau nunggu aja katanya." Kelihatan bangga Pingkan saat ia menjelaskan hal ini.

Rena tampaknya masih tak begitu peduli dengan percakapan ketiga sahabat kentalnya. Di layar laptop-nya, tak pernah disangka-sangkanya, Roy kali ini semangat menanggapi chat-nya di facebook.

Rena q ga nyangka km mau njawab chat aku, biasanya km diem aj Roy gpp, elo suka kan ma gw? Rena iih ko km nanyanya langsung gt siih! Roy Gw cm pengen tau, elo suka kan ma gw? Kan elo sering banget nge-buzz gw di YM ato di FB, trus terang aja, gw juga suka elo kok Rena Haaa, kamu suka aku? Yang bener, Roy? Roy ketemuan yuk, kencan? Rena bentar gi di kelas... biz kelas gmn? Roy ya udh abis kelas

Rena

dmn? Roy

deketZ sini aja, kampus

Dada Rena berdegup keras. Dia tak peduli kalau Roy kerap mengajak nge-date Pingkan. Dia juga tak peduli walau sudah dengar kabar Roy sudah punya pacar, seorang cewek yang katanya pimpinan geng preman perempuan.

**

"Eh, Prue. Cher, Reeen! Aduh kamu ngapain sih, Ren?" Pingkan ingin berpamitan. Agak kesal juga Pingkan melihat reaksi Rena yang hari itu kelihatan sama sekali tak memedulikan obrolannya dengan Prudence dan Cherry.

"Gue pergi dulu ya?" ujar Pingkan.

"Eh, mau kemana?" Kali ini Rena ingin tahu.

"Jadi, ya kamu ikut technical meeting?" Prudence ikut bertanya.

"Oh yang kejuaraan taekwondo di UI, ya?" Cherry mengomentari.

"Betul, Cin, secara ekke males pergi sebenernya." Pingkan sedikit mengeluh.

"Tapi gue kan sekarang ketua UKM taekwondo, jadi musti tanggung jawab, kan?"

"Bukannya si Anggi anak hukum ketua UKM taekwondo?" Rena mulai aktif dalam pembicaraan mereka.

"Bukan, kan udah gue gantiin waktu mubes UKM bulan lalu, Bu."

"Pergi sama siapa, Kan? Sama si Prince Charming Jack itu?" goda Prudence.

"Nggaklah, dia kan kerja, aku ke UI sama Toni temannya Anggi."

"Yang ngajak lu ikut klub airsoft gun itu? Emang dia anak taekwondo?" Cherry yang bertanya kali ini.

"Yap, Toni si mamak airsoft gun itu, pakai mobil dia ke UI. Nggak, Toni bukan anak taekwondo, tapi dia mau bolos kuliah katanya ha-ha-ha... demi aqyu dong, he's a big fan of me... ha-ha-ha..."

"Iiih, ge-eran banget sih, elo bolos juga dong, Pingkan? Syntax kan ada kuis hari ini?" Rena mengingatkan.

"Gue kan dah ijin sama Pak Sam, he-he-he... padahal absen gue udah titik nadir tuh, untung dosen Syntax kita ngerangkap Wadek tiga he-he... jadi bisa ngerti kegiatan taekwondo aku. Sudah ah, gue berangkat ya? Si Toni nungguin nih di parkiran sastra... Prue, bayarin jus jambu gue! See you, then!" Belum sempat ketiga temannya memberi tanggapan, Pingkan sudah meraih backpack-nya dan berlari meninggalkan kantin.

**

Siang itu, Lela berjalan menyusur Kampung Sengon. Sengaja ia belok kanan ke sebuah gang yang menghubungkan Kampung Sengon dan Kampung Kramat, berharap berpapasan dengan Jack di sana. Bunyi mesin motor dua tak di ujung sana. Dada Lela berdegup. Bang jack! begitu sukmanya mengharap Jack hari ini tak masuk kerja dan bisa menemaninya. Akhir-akhir ini agak jarang Lela bertemu tambatan hatinya. Sepeda motor itu mendekat. Uuk, ternyata Bang Ipul! batin Lela mengeluh.

"Salam Iekum, La," lpul gembira betul bertemu Lela.

"Alaikum salam, Bang," Lela menjawab dingin.

"Mau ke depan? Naik dah, La," lpul menawari. Matanya menelusur kecantikan kembang Kampung Sengon ini .Tubuh langsing dibalut blus panjang bermotif sulaman bunga warna biru muda, sewarna dengan kerudungnya. Celana panjang putih berbahan katun dan selop sewarna celana menambah keanggunan Lela. Kulitnya memang tak bisa dibilang putih, bahkan cenderung kecokelatan. Namun ia kelihatan bohai, sederhana, cantik, dan anggun.

"Nggak usah, Bang, makasih." Bibir tipis itu menampik halus tawaran Ipul. Lela tahu sejak dulu Ipul menaruh harapan besar padanya.

"Ayo dong, La, ke depan jauh kan? Panas lagi!" lpul gigih berusaha.

Tidak enak juga perasaan Lela. Takut dikira sombong, sok jual mahal. Apalagi lpul termasuk "tokoh" di kampung mereka. Ia ketua Karang Taruna di lingkungan. Anak juragan beras pula.

"Ya udah deh, Bang, Abang lagi nggak ada acara kan?" ujar Lela pelan.

"Et dah, buat Lela apa sih yang nggak?" Rayuan gombal ala playboy kampung mulai dilancarkan Ipul.

"Ke kampus, La?" ipul bertanya saat motornya mulai bergerak, berguncang-guncang di jalanan tanah berbatu untuk tembus ke Kampung Kramat.

"Ambil jurusan guru TK ya, La?"

"Iya, Bang, PGTK. Kalo kuliahan yang biasa keluarga La nggak ada dana."

"Kok lewat jalan sini sih, La?"

"Lagi mau lewat sini ajah, Bang."

"Ah, bo'ong nih, biar ketemu Jack yak?"

"Ah, Abang bisa aja."

"Sori nih, La, tapi Bang lpul dengar kabar rada nggak enak tentang Jack," cerita lpul sambil mengendalikan sepeda motornya.

"Maksud Bang Ipul?" Gadis manis ini tampak mulai gelisah.

"Sori ya, La, Abang lihat, Jack sekarang lagi dekat sama anak Jatibening, kalu nggak salah sih mahasiswi ya? Jangkang, cantik, kayak model."

"Oh itu emang disuruh bapaknya Bang Jack, Bang, pan emang lagi sakit Pak Jokonya. Emang Bang lpul nggak dengar kabarnya?"

"Iya, ngegantiin bapaknya, tapi katanya Jack nganterin sampe kampusnya si cewek itu, La. Kalo Pak Joko kan cuman sampe jalan tol doang, La." Ipul tak puas dengan tanggapan Lela.

"Iya kan sekalian ke tempat kerja Bang Jack di Blok M, Bang." Lela masih membela Arjuna-nya.

"Ah, bukannya jadwal orang kuliah beda sama orang kerja, La?" Ipul berargumen.

"Pake makan bareng lagi, La."

"Makan bareng?" Naluri perempuan Lela jadi tambah gundah.

"Abang Ipul liat ndiri?"

"Ya iyalah, dua hari nyang lalu gua lihat mereka makan di Pasaraya Blok M. Abang waktu itu lagi nyari suvenir buat tamunya Pak Camat." Pergaulan Ipul memang cukup luas. Dengan walikota saja dia kenal.

Sampai di jalan besar, tiba-tiba Ipul menawari untuk mengantar Lela ke kampusnya.

"Sekalian ya, La? Abang lagi nggak ada kegiatan juga. Kampusnya di Jatiwaringin, kan?"

"Nggak usah, Bang, La nggak mau repotin Bang Ipul." Lela coba menampik.

"Udahlah, La, Abang mau sekalian ke Pondok Gede juga," Ipul berkilah.

Lela akhirnya pasrah. Di hati, bela berkecambah rasa gundah dan marah kepada Jack. Di hati, Ipul kegembiraan

makin membuncah. Lela, Lela, nganterin lu ke mana dia juga gua jabanin, La. Lu tuh napsuin gua banget sih! Pikiran kotor dan siasat busuk makin subur di kepala Ipul. Lela baru memakai busana muslimah di tahun keduanya di SMA. Sebelumnya, jika ia berada di lingkungan rumah, Lela sering hanya berkaus ketat atau berkaus tanpa lengan dan bercelana pendek jika pergi ke warung atau belanja ke pasar. Ipul, yang tetangga dekatnya, sering mengintip lewat jendela, menatapi kemolekan tubuh Lela yang tercetak oleh ketat busananya. Kerap, setelah menikmati pemandangan tadi, Ipul masuk kamar. Bermasturbasi... .

**

Jam digital di dashboard menunjuk angka 15:13 saat jip Toni melaju di daerah Mampang untuk kembali ke kampus. Ponsel Pingkan memberi tahu ada SMS yang masuk. Pingkan membukanya. Pesan dari Prudence: Kan, lsg ke rg 204, ptg!
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pingkan langsung menelepon Prudence.

"Prue, ada apa?"

"Ini tentang Rena."

"Rena kenapa?"

"Tadi she's been bullied."3

"Haa? Sama siapa?"

"Itu loh, geng pacarnya Roy yang anak hukum, yang namanya Frida Frida itu,"

"Udah lapor Pak Sam?"

"Belum, belum mau, dia masih trauma, elo di mana?"

"Gue dah deket kok."

"Langsung ke 4504 ya."

"OK."

Toni yang menyetir di sebelah Pingkan jadi ingin tahu.

"Kenapa, Kan?"

"Rena, katanya di-bully sama pacarnya Roy,"

"Roy anak psikologi yang kamu pernah ceritain ke aku?"

"Yap, pacarnya Frida anak hukum, kamu kenal dong?"

"Ya iyalah, sering nongkrong di Kandar tuh sama temen-temennya."

"Kandar?" tanya Pingkan.

"Iya, itu singkatan Kantin Darurat, kantin hukum kan lagi di-renov," jelas Toni.

"Paling juga mereka masih di sana."

"Anaknya kayak gimana sih?" selidik Pingkan.

"Siapa? Frida? lumayan cantik sih, cuman gahar look gitu, teman-temannya juga model-model gahar gitu. Tapi, rambutnya nggak ada yang se-cepak Frida dan merah pulak warnanya," Toni merinci.

"Cepak kayak tentara?"

"Nggak segitunya kalee, cepak kayak anak cowoklah," jelas Toni.

Di ruang 204, Rena duduk dengan muka pucat. Tangisnya kelihatan sudah berhenti sejak tadi. Tapi, ketegangan itu masih terlihat di rona wajahnya. Kepalanya bersandar pada bahu Cherry, yang duduk di sebelahnya sambil mengusap-usap rambut Rena. Prudence memegangi dan memijat-mijat lembut tangan kanan dan kiri Rena, bergantian, untuk mengurangi beban sahabatnya.

"Lu diajak ketemuan di lapangan voli dekat kantin fakultas hukum? Kok bisa sih, Ren?" tanya Pingkan sambil mengambil kursi.

"Yang ngundang dikira Roy sama Rena," Prudence menjawabkan Rena untuk Pingkan.

"Kok bisa?" tanya Pingkan.

"Dia pakai laptop Roy, FB-nya Roy belum ditutup kayaknya waktu Roy ada ujian." Rena sudah mulai bisa menjawab jelas sekarang.

"Trus lu sampe di situ langsung dipukulin? What's that bruise in your forehead?" Pingkan melihat ada memar di dahi Rena yang juga sedikit benjol.

"Sabar dong, Kan, let her finish " Cherry mengingatkan.

"Gue diajak ketemuan, ya gue datang. Tadi ngaku ke Cherry dan Prue mau pulang duluan karena ada perlu, padahal gue mau ke fakultas hukum ketemu Roy. Si orang yang ngaku Roy ini minta gue ke lapangan voli yang dekat kantin yang masih darurat itu. Sampe di sana nggak ada Roy, yang ada, itu yang ngaku namanya Frida dan dia langsung ngomong kasar. Dia langsung bilang ngapain gue goda-godain Roy terus..." Runtuk Rena menjelaskan.

"OK, terus lu ngebantah dia? Si Frida ini?" Pingkan mencoba menyimpulkan. Tapi, Rena menggelengkan kepalanya.

"Gue nggak ngebantah, gue ngaku gue sering ajak chat ke Roy, tapi terus gue bilang itu gue lakuin karena gue nggak tahu Roy udah punya pacar atau belum. Tapi dia nggak terima, lalu mulailah gue ditampar, dijambak, dipukul, dan ditendang sama mereka..."

"Mereka? Berapa orang?"

"Lima orang, termasuk Frida itu," Rena memberi data.

"Salah satu teman Frida mengambil kacamata gue trus dia injak-injak, satunya lagi ngerebut lalu ngelempar tas gue. Untung tadi Cherry udah periksa, laptop gue nggak apa-apa," tuntas Rena.

Tiba-tiba Pingkan bangkit dari kursinya.

"Gua akan cari si Frida."

"Tunggu dulu, bukankah sebaiknya kita lapor Pak Sam? Tadi aku lihat mobilnya masih ada," Cherry berusaha mencegah Pingkan.

"Lha, kenapa nggak lapor dari tadi?" tanya Pingkan.

"Rena belum mau lapor dulu, masih syok dia," Prudence menanggapi.

"Jangan gegabah, Kan, geng Frida itu ganas." Toni yang sejak tadi duduk di sudut ruangan mengingatkan.

"Gaklah, gue cuma mau minta dia minta maaf sama Rena dan ngegganti apa yang dia udah rusakin." Pingkan mencoba meyakinkan.

"OK, gue berangkat." Sebelum yang lain sadar sepenuhnya, tahu-tahu Pingkan sudah melepas backpack dan melemparkannya ke Toni.

"Ton, titip bentar!" Pingkan lalu bergerak cepat meninggalkan ruang kelas itu. Teriakan teman-temannya untuk mencegahnya pergi tak digubrisnya.

"Ton, gimana nih?" Prudence cemas.

"Lapor aja deh kalian ke dosen atau wadek tiga kalian, sementara gua akan telpon Anggi, teman taekwondo Pingkan. Dia kan kos-kosan di daerah seputar kampus, mudah-mudahan dia lagi di rumah," usul Toni.

"Nggak apa apa kan kita laporkan sekarang, Ren?" Cherry meminta persetujuan Rena. Yang ditanya hanya mengangguk lemah.

Pingkan sengaja memotong jalan lewat koridor FISIP agar tiba lebih cepat ke fakultas hukum. Beberapa pria yang tampaknya mahasiswa S2 bersiul menggoda Pingkan. Pingkan tak menggubris. Pikirannya fokus ke satu hal: meminta tanggung jawab Frida dan kawan-kawan. Dan sampailah ia ke tempat yang disebut Kantin Darurat itu.

Benar dugaan Pingkan, kelihatannya tersangka utama penganiayaan yang diincarnya masih ada di sana. Kantin itu ditata seadanya. Hanya ada tiga stan penjual makanan di sana dan satu warung rokok kecil yang sekaligus menjual soft drink dalam lemari pendingin. Para penjualnya semua perempuan, dua ibu tua dan dua lagi masih berusia 30-an. Di meja makan depan stan penjual bakso dan ini ayam duduk seorang gadis berambut pendek. Rambutnya berwarna semu merah. That must be her!" batin Pingkan. Di sekitarnya duduk tiga gadis, dua bertubuh setara si gadis rambut merah, satunya berbadan tinggi besar. Keempat gadis itu sedang merokok sambil menikmati makanan dan minuman dari kantin yang dibangun untuk menunggu kantin utamanya yang sedang direnovasi itu.

"Sori, elu yang namanya Frida?" Tiba-tiba Pingkan sudah berdiri di hadapan gadis berpenampilan tomboi itu.

"Ya, gua Frida, ada urusan apa?" Si gadis memandang tak suka kepada Pingkan yang sedang berusaha menahan amarahnya.

"Kenapa lu mukulin teman gua, Rena?" tukas Pingkan langsung pada inti masalahnya.

"Siapa Rena? Gua nggak kenal, elu elu pada kenal?" Frida mencibir sinis sambil pura-pura bertanya pada teman-temannya.

"Nggak, siapa tuh." Salah satu gadis yang sebaya tingginya dengan Frida, yang rambutnya kriting, makin membuat Pingkan panas.

"Lu nggak usah akting deh, I know what you did to Rena," tuding Pingkan pada Frida.

"Uun, emang lu Cinta Laura ya. Pake bahasa Inggris lagi! Sok gaya lu!" ejek gadis satunya lagi, yang juga kurang lebih sebaya Frida. Rambutnya memakai poni.


The Spiderwick Chronicles 3 Rahasia Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief

Cari Blog Ini