Ceritasilat Novel Online

Kupu Kupu Pembunuh Naga 2

Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan Bagian 2



"Eh sori ya, gua nggak ngomong ma elu, gua ngomong sama Frida," Pingkan makin kesal dibuat mereka.

"He, Barbie doll, dengar ya! Nggak usah ngomong gitu ke teman gua, lu mau nasiblu kayak temanlu itu, si Rena?" Frida coba membela temannya.

"Oh, bagus, lu dah ngaku bullying my friend, eh?" Kenapa sih? Apa salah dia ke elu?" Telungkup Pingkan mengarah ke Frida. Yang ditanya enggan menyahut, malah terus menyeruput soft drink-nya.

"Eh, jawab dong, lu nggak gagu kan?" Pingkan tak menyerah.

Perlahan Frida mendongak ke atas, ditatapnya wajah Pingkan dengan tajam, dengan wajah yang sering membuat ngeri para mahasiswi dan bahkan banyak mahasiswa di kampusnya itu.

"Heh, Barbie doll, kalo emang gua sama teman-teman gua mukulin teman lu, trus lu mau apa?" Sebuah tantangan telah disampaikan.

"Tentu saja gua mau elu semua minta maaf sama teman gua!" Pingkan mencoba menenangkan kalimat-kalimatnya yang bergetar karena emosi.

"Ha-ha-ha... emang elo siapa? Sok ngelarang ngelarang kami ambil tindakan atas teman elo? Larang tuh teman lu gangguin cowok gua, si Roy!" Nada Frida makin melecehkan.

"Kalo soal itu kan bisa dibicarakan, nggak usah langsung mukulin temen gue dong?"

"Eh, dengar ya, elu belum jawab pertanyaan gua: EMANGNYA ELO SIAPA?" Kali ini nada bicara Frida jadi sangat tinggi.

"Gue? gue bukan siapa-siapa, hanya seorang mahasiswa biasa, kuliah dan aktif di salah satu UKM." Pingkan tak gentar dengan gertakan Frida.

"He-he-he... UKM apa? merangkai bunga? Atau pertamanan?" Frida sinis.

"Taekwondo."

"Taekwondo? Jiah nggak usah ngarang lu!"

"Gua nggak ngarang, kebetulan malah gua yang Jadi ketuanya." Tangan kanan Pingkan perlahan mulai mengepal menahan kesal.

"jiah, makin ngarang lu ye? Ketua UKM taekwondo itu kan Anggi, anak hukum!" Si Poni teman Frida ikut menukas.

"Tuh, gua bilang apa, Barbie, nggak usah sok ngaku-ngaku deh lu, mendingan lu pergi deh, sebelum lu bernasib sama dengan si Rena itu, OK?" Frida memberi ultimatum.

"Oh, jadi lu nggak percaya?" Kesabaran Pingkan berada di titik puncak.

"BriSik ya? Sekarang pergi. Eneg gua liat tampang lu, tau?" Frida berdiri. Ia angkat botol soft drink yang masih berisi setengah itu. Lalu, tanpa disangka-sangka ia tuangkan isi botol itu ke atas kepala Pingkan.

Pingkan memejamkan matanya. Ia sadar, sekaranglah waktu yang tepat baginya untuk bertindak.

"Oh ya udah kalo gitu, kalo lu nggak percaya ya udah... terpaksa gua buktikan aja ya? bahwa gua... sudah dua bulan ini... setelah kepengurusan Anggi berakhir... gua resmi jadi... ketua UKM taekwondo."

Pingkan mundur selangkah. Lalu, tiba-tiba kaki kanannya terangkat cepat ke udara dan turun dengan lebih cepat menghantam dan membelah meja kayu di hadapannya, bak kapak memotong bongkah batang pohon untuk dijadikan kavu bakar.

KRREAAKKK! !!

Meja itu terbelah! Mangkuk dan beberapa botol soft drink berjatuhan. Sebagian pecah. Frida dan ketiga kawannya sontak bangkit. Kaget. Keempat perempuan pemilik warung juga terhenyak dan mengeluarkan teriakan tertahan. Semua tak percaya kaki jenjang gadis ayu semampai itu bisa mematahkan meja kantin.

"Setan lu ya? Bener-bener perlu dihajar ni anak!" Frida menggertak Pingkan sambil menepis rasa gentar yang mulai merasuki hatinya. Tiba-tiba tangan kanan Frida terayun, meluncur mencari sasaran ingin menampar pipi kiri Pingkan. Tapi, telapak kaki kanan Pingkan keburu mendarat di dada Frida. Frida terhuyung, badannya menderas lemari kaca tempat penyimpanan bakso, mi kuning, dan bihun warung di belakangnya. Kaca lemari pecah berantakan. Sang pemilik, salah seorang ibu muda, berteriak ketakutan.

"Tenang, Bu, nanti saya ganti," secara reflek Pingkan menanggapi. Tak disangka-sangka, gadis cantik ini tiba-tiba berlari.

"Woi, mau ke mana lu?" Frida dan ketiga temannya menyangka Pingkan hendak lari menyelamatkan diri. Si Poni, Sl Kriting, dan si Besar membantu Frida berdiri, lantas bergegas mengejar Pingkan.

Yang dikejar ternyata tak lari jauh-jauh. Lapangan yang terletak di belakang Kantin Darurat itu sudah lama kosong karena UKM voli di kampus ini sudah lama vakum alias tak berkegiatan. Beberapa bagian permukaannya sudah berlubang dan jadi tak rata lagi. Cat pada kedua tiang tanpa jaring pada dua sisinya pun telah banyak mengelupas dan besinya sudah mulai berkarat. Di tengah-tengahnya, Pingkan tegak berdiri, menanti lawan-lawannya datang menghampiri.

Jadi, di sini rupanya mereka menyiksa Rena! Pingkan membatin. Frida berdiri lebih kurang 2 meter di hadapannya. Ketiga kawan satu geng-nya bergerak mengelilingi Pingkan.

Si Poni merangsek maju, tapi tiga pukulannya ngawur dan tak menemui sasaran. Pingkan yang mundur beberapa langkah sontak memutar badannya 360 derajat dan kepala si

Poni tertumbuk keras oleh kaki kanan Pingkan. Dia terhuyung lalu roboh, meringis menahan pening.

Si Keriting coba-coba menendangkan kaki kanannya ke perut Pingkan, namun tak menemui sasaran karena terlalu rendah. Tendangan si Keriting malah mengenai paha kanan Pingkan dan lumayan membuatnya menjerit kecil. Tapi, pembalasan Pingkan jauh lebih dahsyat. Kaki kiri Pingkan yang diputar sedikit menjadi bak tepian pisau majal yang keras bagi tendangan lurus kaki kirinya. Si Keriting menghela sakit. Perutnya nyeri bersangatan.

Tak disangka Frida melompat mencengkeram leher Pingkan yang belum siap sepenuhnya. Tangan kanan Frida memiring, tangan kirinya melamar tiga kali tonjokan telak ke wajah melek si Jangkung. Darah mulai mengucur dari salah satu lubang hidung Pingkan. Saat Pingkan berhasil menghindari pukulan keempat Frida dengan cara menangkap dan menahan tangannya, si Rambut Merah malah menelikung kaki Pingkan dan membantingnya keras.

"Mati lu, anak sok pahlawan!" Frida sudah siap mengangkat kakinya hendak menginjak-injak tubuh Pingkan saat Pingkan yang dalam posisi terbaring di bawah pun jitu melesatkan tendangan lurus ke perut lawannya. Frida terpental. Pingkan segera bangkit. Siap membalas. Tapi, jiwa sportif membuatnya menunggu Frida bangun. Saat si Rambut Merah bangun dan Pingkan sudah akan melempar tendangannya, gerak Pingkan tertahan. Seseorang baru saja menarik kerah jaket tipisnya. Si Besar menahan geraknya.

Sontak refleks Pingkan bergerak memutar, menepis tangan besar itu dan karena jarak tempur yang terlalu pendek Pingkan melontar kepalan tangan ke dada gadis yang tingginya sebaya

dirinya itu. Si Besar seolah tak merasakannya. Pingkan mundur mengatur strategi, sebuah tendangan kaki kanan berputar sempurna menghantam rusuk si Besar teman Frida. Disusul tendangan yang sama tiga kali. Tapi, lagi-lagi tak ada pengaruh. Belum lagi Pingkan menemukan cara mengatasi gadis bongsor dari geng Frida ini, si Besar sudah menarik kerah depan jaketnya lalu mendorongnya dengan keras. Pingkan terlempar jauh dan jatuh bergulingan. Pinggul dan kepalanya nyeri, terantuk beton keras lapangan itu. Belum lagi Pingkan bisa memulihkan konsentrasinya, sebuah sepakan Frida datang hendak menyapa kepalanya. Beruntung satu tangan Pingkan masih bisa menahannya, sementara satu tangannya lagi membantu tubuhnya bangkit. Pingkan bersiap untuk sang kepala geng, tak menyadari bahaya yang mengancamnya dari belakang. Si Besar ternyata sudah mengambil sebuah genting tanah liar, dari tumpukannya di pinggir lapangan, siap untuk mengeprukkannya ke kepala Pingkan.

"HEY!!!..."

Sebuah teriakan melengking. Semua menoleh ke arah suara itu. Anggi Widianti, sang mantan ketua UKM Taekwondo yang saat itu hanya mengenakan kaus, celana boxer, dan sandal jepit itu berlari cepat ke arah si Besar dan sebuah lompatan disusul tendangan memutar...

PRAAKKK!!!...

Genting di tangan si gadis raksasa hancur berkeping. Padahal letaknya jauh di atas tinggi badan Anggi. Belum lagi si Bongsor lepas dari kekagetannya, sebuah tendangan di udara kembali diputar Anggi. Kali ini kepala si Besar yang

menanggungnya. Dia terhuyung, oleng, lalu jatuh dengan bunyi yang berat.

Frida diikuti si Kriting dan si Poni bergerak menghampiri Anggi, tak terima mereka melihat rekannya jatuh.

"Ngapain lu ikut campur, Nggi?" Mata Frida membelalak.

"Dia teman gua, lagian juga, gua udah lama emang mau nendang kepala lu yang mirip stroberi itu! Udah lama gua pantau elu ama temen-temenlu makin petantang petenteng aja ya?!"

Anggi, taekwondoin terbaik yang pernah dimiliki kampus ini, bersiap. Gerakan kedua kakinya maju mundur dengan lincah seperti dalam pertarungan di turnamen-turnamen yang kerap ia ikuti. Si Besar sudah bangkit, namun bersama si Kriting dan si Poni, mereka juga tampak ragu-ragu untuk memulai serangan mereka. Ngeri juga tampaknya mereka dengan mantan ketua UKM taekwondo itu.

"Thanks, Nggi, I really appreciate it,"? Pingkan tersenyum

lebar.

"Kenapa juga kamu nggak nelpon aku sih, Kan? Aku tadi cemas banget pas ditelpon sama Toni!" kritik Anggi.

"Ah, mereka kan cuma berem... pat ," Pingkan gugup menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba saja tiga anggota geng Frida yang lain sudah muncul dari pinggir lapangan. Wajah ketiganya sudah terlihat garang saat memasuki lapangan. Pingkan bergerak mendekati Anggi. Kali ini posisi kedua pihak yang berseteru itu sudah saling berhadapan...

DUA LAWAN TUIUH!

Anggi mendesah keluh. Pingkan tak peduli. Jiwa dan jam terbang pertarungan Anggi memang boleh jadi lebih besar daripada Pingkan, namun Pingkan memang terbiasa nekat sejak kecil, satu hal yang membuat mamanya sering merasa khawatir.

Pertarungan itu pecah kembali saat ketiga pendatang baru itu mulai menyerang. Dua menyerang Anggi, satu coba menghajar Pingkan. Yang diserang tak tinggal diam. Ketiga penyerang itu langsung mendapatkan hukumannya. Dua tendangan memutar di udara yang dilancarkan Anggi efektif membuat kedua penyerangnya mengerang. Sementara yang mencoba menghajar Pingkan malah terjengkang kena pukulan Pingkan ke wajahnya dan disusul tendangan lurus ke dadanya. Dua lawan tujuh tak kelihatan membuat yang dua tersudut. Yang tujuh justru kerepotan menghadang dua lawannya. Jotos, tendang, piting, banting, puntir, jambak, semua dicoba ketujuh cewek "preman kampus" ini. Namun, variasi tendangan dari pukulan dari kedua aktivis UKM beladiri itu sudah cukup mengatasi serangan-serangan Frida dan keenam anggota komplotannya. Pingkan baru saja menghindar dari hajaran Frida dan membalasnya dengan tusukan kepalan kanannya di uluhati Frida. Si Kriting yang mencoba menjambak rambut Pingkan berteriak tertahan saat lengannya dipukul mental oleh tangan kanan Pingkan yang melanjutkannya dengan sodokan tangan kiri yang keras ke matanya. Sementara itu, Anggi menghajar tiga teman Frida dengan entengnya bak menghajar punching bag di ball tempat latihannya di kampus. Si Kriting tiba-tiba meraih sebatang kayu kering dari pinggir lapangan lalu berlari ke arah Pingkan. Pingkan terkesiap, namun untungnya masih punya

waktu untuk bersiap. Ketika batang kayu itu dibabarkan ke kepalanya, Pingkan berkelit ke kiri... tak disangka, yang terkena justru kepala si Poni! Si Poni menjerit kesakitan. Frida lalu memanfaatkan masa jeda Pingkan yang sedang tertegun, dengan meraih leher lawannya. Tampaknya ia ingin mengulang keberhasilan memukuli Pingkan tadi. Tapi, Pingkan sudah belajar dari kesalahannya. Dengan sigap ia mundur sambil menundukkan kepalanya, membebaskan diri dari pitingan Frida. Tubuh Frida telanjur oleng ke depan. Sebuah tendangan, yang tak begitu keras sebenarnya, dilesakkan Pingkan dan mendorong Frida terlempar ke depan dan...

DHUENGH

Dahi si rambut merah keras membentur tiang lapangan voli itu. Frida mengeluarkan makian kotor. Wajahnya berlumur darah dan luka yang mengucur dari dahinya.

"Anjing lu ya! Belum pernah ada yang berani begini ama gua!" Frida mengerang.

"Ha-ha... that's what you did to Rena, don't you remember, bikin?" Pingkan teringat memar di dahi Rena.

Pingkan sudah merasa bahwa ia dan Anggi, walau kalah jumlah, sudah berada di atas angin ketika ia semakin jelas mendengar teriakan-teriakan itu...

"BERHENTI, ATAU KALIAN KAMI DE-O DARI KAMPUS INI!!!"

Teriakan paling keras ini ternyata keluar dari mulut Tigor, wakil dekan bidang tiga atau bidang kemahasiswaan fakultas hukum. ia datang bersama Samuel, rekannya yang memegang jabatan sama di fakultas sastra. Menyusul mereka di belakangnya adalah Toni dan Prudence. Cherry tak ikut. Ia diminta Prudence untuk menunggui Rena. Kedua kelompok yang tengah baku hantam ini perlahan mundur melihat kedatangan dua dosen mereka. Meskipun demikian, tatapan mata mereka masih nyalang menahan marah dan sakit akibat pukulan atau tendangan lawan-lawannya.

"Barbie Doll, mati lu ya!" Telunjuk Frida menuding Pingkan.

"Any time, any place, wahai preman wannabe," jawab Pingkan ringan.

"Gua buat lebih parah dari teman lu nanti!" ancam Frida

"Ho ho, pastinya tuh, for your information, si Roy itu kan sebenarnya... he's mad about me! not Rena, you stupid bitch." '

"Oh bagus, tambah semangat gua buat balas dendam," sahut Frida sengit.

"Diam kalian! semuanya ikut ke kantor saya!" Tigor meradang. Paling tak suka ia melihat mahasiswa-mahasiswanya berkelahi, apalagi yang perempuan.

**

"Sorry ya, Jack, kamu dah nunggu lama ya?" Nada sesal terdengar dalam kalimat Pingkan saat ia menemui Jack di parkiran motor di kampusnya.

"Nggak apa apa, tadi waktu kamu di dalam, aku sempat ketemu dan ngobrol sebentar sama teman kamu, Toni dan Pruben, mereka sudah bercerita," Jack memberikan senyumnya. Pandangannya tertumbuk pada wajah Pingkan lalu ke arah jaket yang tengah dikenakannya. Bagian bawah mata kanannya bersemu memar dan pada sebagian tempat di jaket Pingkan terdapat bercak-bercak darah.

"Prudence... bukan Pruben," koreksi Pingkan sambil senyum.

"Oh ya maaf... kamu berkelahi sampai berdarah-darah gitu?" Jack menyelidik.

"Bukan cuma itu lagi! Aku tadi kena damprat sama dosenku dan sama dosen fakultas hukum juga, masih untung aku sama Anggi nggak kena skors."

"Kalau yang geng itu kena skors?" tanya Jack.

"Nggak tahu, tapi mereka lebih lama sih di ruang Pak Tigor, wadek tiga hukum, semoga aja! Dasar cewek-cewek nggak bisa berkelahi kok mau jadi jagoan. Pada jadi artis aja tuh, take part in those lousy sinetrons!'z" Pingkan memakai helm yang disodorkan Jack.

Baru sekitar 100 meter dari kampus Pingkan tiba-tiba merasa pusing dan lelah. Efek dari pertempuran tadi baru terasa sekarang rupanya.

"Jack..."

"Ya?"

"Jack, boleh aku nggak pakai helm-nya? Boleh aku sender-an? I've got a severe headache

"Mmm... mm..."

Jack belum bisa memberi jawaban, namun Pingkan sudah telanjur merasa tak tahan dengan nyeri di kepalanya. Dicopotnya helm itu dan diberikannya kepada Jack yang kemudian berhenti sebentar untuk menggantung helm itu pada setang motor sebelah kiri. Bersandar lunglai pada tubuh Jack, kedua tangan Pingkan pun melingkari badan putra Pak Joko itu. Ada desiran hebat yang dirasakan oleh Jack. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ingin sebenarnya ia menolak. Tapi, tak tega juga ia rupanya. Ketika motor Jack mengambil belokan ke kiri, sebuah Toyota Land Cruiser abu-abu dari arah depan berbelok ke kanan. Pengemudi mobil itu melihat mereka. Ia menoleh beberapa detik ke motor Jack sebelum kembali berkonsentrasi melihat jalan di depan. Dahinya berkerenyit. Dadanya tiba-tiba bergemuruh.

"Lu lihat barusan, Dil?" ia bertanya pada teman yang duduk di sebelahnya.

"Iya, Andre, itu Pingkan... for sure," yang ditanya menyahut yakin.

Gemuruh di dada Andre semakin dahsyat mengguncang. Niatnya menjemput Pingkan langsung surut.

"Jangan-jangan Pingkan mutusin gue karena cowok itu, Dilan?" Andre bertanya setelah cukup tenang.

"Bisa jadi, Ndre, anak mana tuh?" Dilan mengiyakan Berkataan sahabarnya.

**

DI HARI SABTU ITU, TERIK MENTARI PUKUL S?TENGAH SEBELAS siang mulai terasa panas saat Jack baru saja usai memberikan latihan tambahan bagi murid-murid karate-nya di SMP dekat kelurahan. Ponsel di kantong jaketnya mengetuk dua dering kecil. Satu SMS masuk. Sebuah pesan dari Pingkan. Lalu rangkaian kata berbalasan...

Jack, Sabtu kerja? bs jempt q?

Gak, kan udh kubilang aku kerja di Oom sendiri, jd sebas mo ijin g masu kalo aku ada perlu, knp, Kan?

Td ad kul tambhn skrg 0 di mal

Bs telp, Kan? pulsa akhir

OK. jack

ponsel Jack berdering...

"Halo,"

"Halo, Jack."

"Kok pakai nomor beda sekarang, Pingkan?"

"Iya yang ini memang jarang aku pakai, Jack, yang BB ketinggalan, tadi di-cbarge di rumah, kamu di mana, Jack?"

"Mmm di daerah dekat rumah sih, kamu mau aku jemput?"

"Ya asal kamu nggak repot sih, aku segan naik bus!"

"Min... nggak repot kok, di mal mana?"

Pingkan menyebut nama sebuah mal di jakarta Selatan.

"Oh ya aku tahu. Ngapain di sana?"

"Cari film, Jack. Kata Prue di sini DVD-nya agak-agak lengkap. Kami ada tugas cari DVD Film-film yang diadaptasi dari karya sastra Inggris, tugas untuk berdua sih, kebetulan aku sama Prue kebagian film yang adaptasi novel-novel Jane Austen, we already got two films, masih nyari satu lagi sih, tapi besok-besok aja ke sini lagi," tanggap Pingkan.

"Tadi pagi berangkat sendiri?" Jack ingin tahu.

"Ya, tadi pagi aku ikut mobil Mama. Tadi Mama ada perlu mau ketemu temannya di daerah Hang Lekir, nggak jauhlah dari kampus. Aku ada kuliah tambahan tadi. Trus ke sini bareng Prue pakai bus tadi," jelas Pingkan.

"OK, aku ke sana, tapi aku pulang dulu bentar ya, mau taruh tas dulu..."

"Emang kamu lagi apa?"

"Mm... nggak, ini aku abis... mm... ada kegiatanlah..." Jack berkelit, tak mau mengatakan yang sebenarnya.

"OK, then, I'll be waiting." Pingkan memungkas pembicaraan.

"Pagi, Sempay," sapaan renyah itu menyapanya tiba-tiba. Jack memutar badannya.

"Eh, pagi, Bu, maaf saya pikir Ibu nggak datang," Jack membalas sapaan barusan. Yang dipanggil ibu adalah salah seorang guru SMP. Cantik dan muda. Tampaknya menjadi guru di SMP tempat Jack melatih karate merupakan awal dari kariernya. Tinggi tubuhnya di antara Pingkan dan Lela. Namanya Nurjanah. Para siswa di SMP itu biasa memanggilnya Bu Ana.

Kaget juga Jack melihat kedatangan Nurjanah atau Ana ini. Pangling pula Jack karena biasanya ia melihat guru muda bertubuh langsing ini dalam pakaian formal. Siang itu, Ana berpakaian santai, berkaus lengan panjang warna abu-abu, berjins biru, dan bersandal. Kerudung yang dikenakannya, yang berwarna putih dengan bros warna perak berbentuk bunga, menambah serasi balutan busananya. Ada gingsul

gigi yang menambah manis senyum sang guru yang hampir selalu memakai kacamata minusnya ini.

"Saya diminta Ibu Kepala Sekolah untuk melihat persiapan anak-anak. Bagaimana, kira_kira anak-anak sudah siap buat pertandingan bulan depan, Sempay?" Senyum manis itu mengembang lagi.

"Insya Allah, Bu, kalau untuk yang kumite sih sudah siaplah, yang kata yang masih agak repot," jawab Jack sambil membalas senyuman.

"Oh kata itu yang jurus-jurus ya, Sempay?" tanya Ana.

"Iya, Bu, betul," tanggap Jack.

"Sempay jangan panggil saya ibu dong, paling-paling usia kita nggak terpaut jauh, bukan?" Ana sendiri kaget karena tiba-tiba ia berani menyarankan hal itu kepada Jack.

"Mm, tapi kan nggak enak kalau di depan anak-anak..."

"Ya, kalau di depan anak-anak boleh, Sempay." Lagi-lagi senyum manis itu mengembang. Kali ini, pipi Ana sedikit bersemu merah karena malu.

"Oh, ya kalau begitu... mm... saya harus panggil..." Justru Jack yang terlihat rikuh.

"Terserah Sempay, panggil mbak juga boleh." Ana memotong kalimat Jack yang terjeda tadi.

"Tapi kalau nggak di depan anak-anak, Ibu eh maksud saya Mbak juga jangan panggil saya Sempay. ya?" kata Jack dengan agak lugu.

"Jadi, saya panggil... Jack aja? Nggak apa-apa?"

"Iya, Jack aja, Bu... eh, maksud saya Mbak," jawab Jack.

Ana makin merasa nyaman mengobrol dengan guru karate siswa-siswanya. Hatinya tak bisa memungkiri bahwa ia mengagumi sosok yang sedang berdiri di hadapannya,

tampan tapi sederhana dan cenderung tak banyak bicara. Ana sesungguhnya memang menaruh perhatian lebih kepada jack. Ingin sekali Ana membuat Jack menyadari tentang perasaannya kepada sang pemuda religius ini. Ah, jack, mungkinkah suatu saat aku harus menumpahkan segenap kekagumanku ini langsung kepadamu.?

"Ibu... eh, Mbak. maaf saya belum biasa he-he... saya pamit dulu, assalamualaikum," Jack pamit.

"Alaikum salam." Ana tersenyum lagi. Sesungguhnya ia ingin sekali bisa mengobrol lebih lama dengan Jack.

**

"Mau pergi lagi, Kiki? Mau ke mana lagi?" Pok Uun bertanya pada anak sulungnya.

"Iya, Bu, ada perlu," jawab Jack hati-hati. Pingkan sudah sejak awal berpesan agar Jack tak bercerita tentang kegiatannya mengantar dan menjemput Pingkan. Ibu Vita, mama Pingkan, sesungguhnya tahu jika anaknya kini berganti ojek dari Pak Joko ke anak sulungnya, namun seperti Pok Uun, ibunda Jack, ia pun tak tahu kalau selama ini Jack bukan cuma antarjemput anaknya sampai dekat jalan tol, melainkan antarjemput ke dan dari kampus Pingkan. Jack melakukan semua ini sebenarnya hanya ingin cari uang tambahan saja. Jack ingin ayahnya berobat ke rumah sakit yang besar dan profesional. Tak tega Jack jika melihat batuk ayahnya yang kian parah. Untungnya selama ini, uang honor mengojeknya selalu dititipkan Ibu Vita ke Pingkan, dan oleh Pingkan Jumlah itu ditambahi dengan uang sakunya yang cukup besar. Lumayan besar untuk menambah jumlah tabungan Jack.

"Ya udah lu ati-ati di jalan, jangan ngebut lu," Pok Uun berpesan.

"Lah? La pan yang ide motor kayak setan bukannya Upi, Bu?" Jack protes sambil menyebut nama panggilan adiknya, Lutfi.

"Ya, maksudnya lu jangan ngikutin dia, Ki. Oh ya, si Wati alhamdulillah tuh! Lulus seluruh tes masuk sekolah unggulannya!" Pok Uun memberitakan.

"Oh ya? Alhamdulillah, udah nggak ada tes lagi?"

"Nggak ada lagi, Ki, cuman yang Ibu khawatirin biayanya itu..."

"Bukannya Bapak udah ngumpulin uang untuk biaya sekolah Wati?" tanya Jack pada ibunya.

"Justru itu, Ki, Bapa lu kan sakitnya mungkin nambah aja, Ibu rasa Bapak kudu dibawa ke rumah sakit yang gede, tapi ntar gimana, ya? Pan pasti kepala: tuh uangnya, Ki... iya, kan?" Wajah Pok Uun kian mendung.

Jack lalu duduk di sebelah ibunya, di balai-balai bambu depan rumah mereka. Tangan kanannya menepuk-nepuk pundak perempuan yang melahirkan dan membesarkannya.

"Nggak apa-apalah, Bu. Yang penting Bapak sehat." Berat juga Jack mengucapkan kalimatnya. Ia mengerti mengapa ayahnya ngotot ingin menyekolahkan Wati ke sekolah swasta unggulan itu. Dari tiga bersaudara, si bungsu memang paling menonjol prestasinya. Di SD tempatnya menimba ilmu, Wati langganan ranking satu. Wajar jika Pak Joko menaruh harapan kepada Wati. Harapan agar anaknya bisa menikmati hidup yang jauh lebih layak, yang lebih baik daripada orangtuanya. Jack sadar betul kalau ayahnya tidak berharap agar anakanaknya sukses lalu sang ayah mendapat keuntungan dari

keberhaSilan anak-anaknya. Ia tahu betul ayahnya yang kini sakit-sakitan cuma ingin melihat anak-anaknya tak hidup menderita atau sengsara sepertinya. Jack juga tahu sang ayah amat kecewa kepada adiknya, Luth. Lutfi atau Upi, memang baru saja tamat SMK jurusan mesin dengan nilai pas-pasan. Tapi, alih-alih mencari pekerjaan atau berniat melanjutkan sekolah, waktunya malah lebih banyak dipakai bersenang-senang dengan geng motornya: balapan, mabuk, tawuran dengan geng lain.

Lalu kepada Jack sendiri, Pak Joko juga tak yakin garis hidup Jack, putra sulungnya, bakal melenggang mulus. Jack sesungguhnya termasuk anak yang cerdas walau ia tak pernah jadi pemuncak kelas. Masalahnya adalah, Jack sering tak bisa membagi waktu antara sekolah atau kuliah dan kegiatan-kegiatan lainnya, terutama olahraga. Meskipun demikian, Jack tahu bahwa ayahnya percaya kepadanya. Pak Joko menilai Jack sudah dewasa. Maka, ketika Jack mengatakan kepada Pak Joko untuk menerima tawaran membantu usaha Oom Tarjo, sang ayah setuju-setuju saja. Walau itu berarti, kuliahnya harus dicutikan sementara. Pak Joko percaya Jack pada akhirnya akan memilih yang terbaik untuk hidupnya.

Di sudut jalan tak jauh dari rumahnya, Jack menghentikan laju motornya. Telepon genggamnya berbunyi. Suara Lela di seberang.

"Salamualaikum, Bang."

"Alaikum salam, hai La."

"Anterin La dong, Bang," suara Lela bernada manja.

"Ke mana, La?"

"Ke rumah Lisna, temen kuliah La, mo ngerjain tugas, Bang," lanjut Lela.

"Daerah mana, La?" Jack berharap rumah Lisna termasuk jalur yang akan dilewatinya.

"Pekayon, Bang, dekat jalan masuk ke Galaksi." Lela sangat berharap laki-laki pujaannya itu bisa mengantarnya.

"Waduh, afwan, La, Abang gak bisa, Abang harus..." Ada jeda pada kalimat Jack.

"Emang Abang mau ke mana? Bukannya ini hari Abang nggak kerja?" selidik Lela.

"Iya, tapi Abang tadi udah iya-in Pingkan waktu dia nelpon, dia minta Abang jemput," Jack mulai merasa bersalah.

"Yaah, Abang... Abang kan bisa batalin ke Pingkan?" Nada kecewa mulai terdengar dari suara Lela.

"Nggak enak dong, La. Dia kan nunggu-nunggu, ini Abang baru mau jalan." Jack pun mulai merasa tak enak hati.

"Oh ya udah deh, nggak apa apa, salamualaikum, Bang." Tiba-tiba Lela menutup pembicaraannya.

"Alaikum salam." Jack tahu Lela marah.

**

"Masih lama, pangeranmu datang, Kan? tanya Prudence pada Pingkan. Ia tengah bersama sahabatnya di sebuah kedai kopi internasional di area food court sebuah mal tak jauh dari kampus mereka. Lalu dinikmatinya seruput terakhir Caramel Frappuccino di hadanannya.

"Katanya sih sudah dekat sini kalau elo mau pulang, pulang aja, Prue... I'll be Hire," jawab Pingkan. Latte di gelasnya juga hampir habis.

"Ya eyalab you'll be free with him," dia tuh emang keren abis ya? he-he... cuma agak-agak pendiam gitu ya?" Prue mengingat-ingat pertemuannya dengan Jack. Bersama Toni waktu itu, ia menjelaskan tentang perkelahian Pingkan dengan geng Frida.

"Cool, kan, Prue?" tutur Pingkan bangga. Tapi, tiba-tiba wajahnya berubah serius.

"Tapi kayaknya he's already got a girlfriend. Prue," sambung Pingkan yang wajahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

"Lho, how can you be so sure about that?" Pancing Prudence.

"Apa elo pernah nanya ke dia?"

"No way, nggaklah, gila aja kali gue," tanggap Pingkan.

"Ya, emang gak tahu sih, tapi masak se-handsome itu nggak punya cewek sih?"

"Eits, jangan salah, mungkin aja lagi putus, atau bisa juga nggak punya cewek tapi punyanya cowok! Kan lagi tren jeruk makan jeruk?" goda Prudence.

"Ha-ha-ha... bisa aja nih, emang ekke cewek apaan, Cin, nyari cowok model begituan? Yuk maree..."

Dua sahabat ini tertawa berderai.

"Tapi kayaknya even jack falls for me," bakalan susah ya. Prue?"

Aku tak apa-apa, kok

TaDl kayaknya dia sudah punya pacar. Prue.

Kok kamu yakin?

Tapi kayaknya bahkan jika Jack benar-benar memiliki pacar.

"Memang kenapa? Kamu kan udah putus dari Andre?" tanya Prudence.

"Justru itu masalahnya kan gue sama Andre itu sort of arranged to be married' gitu, kalau masalah agama sih. Papa dan Mama juga beda agama waktu nikah sampai mereka diforced." Perasaan resah itu datang lagi di hati Pingkan.

"Oh, yang kamu pernah cerita tentang mama kamu sama Tante Helen itu ya? Hmm, berat juga ya?" Prudence ikut prihatin.

"Iya, aku nggak enak sama Tante Helen, Prue. She means a lot to us."
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya udah, segalanya masih mungkin terjadi. Relaks, Barbie Doll." Prudence menghibur sekaligus menggodanya.

"Hmmph, bagus ya? Lu udah jadi anggotanya Frida apa sekarang? Pake manggil gue Barbie?" kata Pingkan sambil tertawa mendengar godaan sahabat karibnya itu.

"Kan, gue duluan nggak pa pa ya? Gue harus nemenin Mama belanja buat besok," Prudence pamit.

"Duh, kenapa juga pake repot-repot jadi tuan rumah arisan keluarga si Mamaku ini?" keluh sahabat terdekat Pingkan ini.

"Ya udah, ntar kalo lu dah jadi ibu-ibu juga paling elu jadi bandar arisan juga, Prue," Pingkan balas menggoda.

"Ha-ha-ha... nggaklah, lu lebih cocok jadi bandar, bareng si Frida tuh. Kalian berdua kan punya leadership dan karisma! Hi-hi-hi...." balas Prudence.

Pingkan tertawa lebar.

"Eh, by the way, ini Frappuecino gimana?" Sambil bangkit Prudence bertanya.

"Sudah, I'll take care of it," jamin Pingkan.

"OK, thanks, salam ya buat Bang Ojek ha-ha-ha..."

"Haaah, awas ya, gue kawin nggak gua undang lu!"

"Good bye, Dear."

"Take care, Prue"

Prue melenggang ke luar kedai kopi itu. Pingkan melepas ikat rambutnya, merapikan rambut indahnya sebelum mengikatnya lagi. Siang itu, Pingkan terlihat lebih fresh dengan jaket sport putih dengan tiga strip hijau pada kedua bagian lengannya. Celana jins biru dongker plus sepatu santai warna putih beraksen hijau sungguh serasi dengan busana bagian atasnya. Makin serasi dengan sebuah backpack ukuran sedang berwarna hijau tua di punggungnya.

Saat terasa ingin buang air kecil, Pingkan menghabiskan kopinya lalu membayarnya. Ia memutuskan lebih baik pergi ke toilet lalu jalan melihat-lihat sebentar sambil menunggu Jack. Tiga pemuda di meja lain mengikuti langkah Pingkan dengan pandangan nyaris tak berkedip. Setelah Pingkan pergi, ketiganya pun sibuk membicarakan betapa cantik dan memesonanya gadis yang baru saja pergi ke luar kedai kopi itu.

Dalam toilet di belakang toko sepatu itu hanya ada Pingkan dan seorang ibu serta anak perempuannya. Setelah buang air kecil, Pingkan segera melangkah keluar. Dua lelaki menunggu di pintu. Satunya bertubuh tambun berstelan safari hitam, satunya lagi, yang berwajah garang dan berkumis tebal, mengenakan jaket kulit warna hitam. Rambut keduanya dipotong model cepak.

"Maaf, Mbak, Anda harus ikut kami, kami petugas." Si Gendut tiba-tiba memberi ultimatum.

"Sorry, I don't get it." Saya ada salah apa, Pak?" Pingkan keheranan.

"Akh, sudah! Pokoknya kamu harus ikut kami." Orang yang berkumis tebal nada suaranya lebih menyeramkan. Si Ibu dan putrinya susah payah untuk ke luar melewati mereka bertiga.

"Maaf, Bapak-Bapak ada warrant? Surat perintah penangkapan?" Pengalaman tinggal di sebuah negara di Eropa membuat kesadaran Pingkan tentang hukum jadi cukup tinggi.

"Tak perlu ada warrant, kami diperintahkan menangkap kamu," si Gendut bersikeras.

"Tidak bisa," jawaban Pingkan singkat tapi tegas.

"Kamu mau mati ya?" Si Kumis mulai menggertak. Tak disangka, ia lalu mengeluarkan sebuah pistol dari balik jaketnya.

Pingkan terkesiap. Namun, instingnya mengingatkannya untuk tetap tenang. Ditatapnya pistol di tangan si Kumis. It's not really. it's air airsoft gun! I don't think they're real police officers or security guards!" batin Pingkan. Pingkan makin merasa ada yang tak beres. Begitu ada seorang satpam mal melintas di dekat mereka, Pingkan langsung memanggilnya. Satpam itu kelihatan masih belia sekali. Si Kumis tiba-tiba menyembunyikan pistolnya.

"Ada apa, Mbak?" kata si Satpam saat ia mendekat. Dua orang perempuan yang hendak menggunakan toilet

terpaksa memipir jalan di pinggiran tembok karena terhalang oleh Pingkan, kedua lelaki yang akan menangkapnya, dan si Satpam yang baru datang.

"Tolong, Mas, mereka ini mau tangkap saya, tapi nggak punya surat perintah penangkapan. Mereka pasti polisi palsu!" Pingkan berharap si Satpam mau mengerti.

Si Kumis tersenyum, disingkapkannya jaket kulitnya untuk sekadar memerlihatkan lencana polisi yang dia pasang pada ikat pinggang sebelum ditutupnya kembali.

"Kami dari Mabes Polri, nona ini DPO kami." Demikian tenang si Kumis menyampaikan. Si Satpam tampaknya percaya karena dia langsung manggut-manggut sopan.

"Mbak sebaiknya ikut proses saja, jangan mempersulit dirilah!" kata si Satpam sok tahu.

Gash! How can be be so stupid?" Pingkan memaki dalam hati. what should I do?" Makin cemas Pingkan. Ia yakin lencana polisi yang dipamerkan si Kumis adalah lencana palsu. Ia berpikir sebentar lalu...

"Sebentar. biarkan saya menelepon Oom saya yang polisi," tangan Pingkan hendak mengambil ponsel di kantong celananya.

"Tidak perlu, ayo ikut kami sekarang," hardik si Gendut. Saat ini, sebagian pengunjung mal mulai memperhatikan mereka.

"Ayo, ikut kami, tak perlu kau bertingkah seperti si Bram ayahmu itu, OK?" Si Kumis mulai tak sabar. Ia menangkap tangan kanan Pingkan.

Si Gendut rupanya tak setuju si Kumis menyebut nama ayah Pingkan. Dia taruh telunjuk di bibir, memberi kode agar si Kumis diam.

Pingkan tambah yakin mereka bukan polisi sungguhan. Saat itulah gadis yang sesungguhnya sangat pemberani ini mulai gentar. Karena tiba-tiba Pingkan teringat cerita tentang kakak sepupu Prudence yang ikut hilang, raib hingga kini, saat maraknya penculikan para aktivis menjelang reformasi 1998. Dia menarik tangannya dari cengkeraman si Kumis. LEPAS! Si Kumis sempat kaget, namun segera saja ia berusaha menangkap Pingkan kembali. Usahanya gagal karena kaki kanan Pingkan sudah keburu diangkat lalu melesat melengkung masuk ke rusuk kiri Si Kumis. Si Kumis oleng menabrak si Satpam. Kini ada sedikit ruang kosong! Pingkan tak sia-siakan kesempatan ini. Tubuh langsingnya segera ia lesatkan melewati jarak ruang itu. Si Gendut kini menghadang, mencoba untuk meraih tubuhnya. Pingkan melompat dari melempar tendangan lurus ke dada si Gendut. Tak dinyana si Gendut berkelit tepat dan tendangan Pingkan menyusur udara. Sebuah tendangan lurus susulan dari Pingkan ditepis oleh tangan kanan si Gendut. Lalu, telapak kanan si Gendut memapat wajah Pingkan. Pingkan terjatuh, terguling ke belakang. Saat si Gendut merangsek maju untuk menangkap Pingkan di bawah, tendangan Pingkan-yang masih dalam posisi terbaring-dikirim dari arah dalam ke luar menyapu wajah si Gendut, yang lalu terhuyung menabrak dinding di sampingnya. Pingkan bangkit, segera saja ia ambil kesempatan untuk berlari.

"Tangkap dia!" Si Gendut tak rela Pingkan lolos. Bersama si Kumis dan si Satpam, si Gendut langsung mengejar Pingkan

yang sudah belok kiri, berlari mencari eskalator ke bawah. Beberapa kali Pingkan harus meminta maaf kepada orang yang tertabrak olehnya. Meski demikian, Pingkan cukup hafal rute yang harus dilaluinya karena ia sudah beberapa kali datang ke mal ini. Di eskalator turun pun Pingkan berulangkali berucap,

"Maaf, maaf" kepada orang-orang di depannya dan sebagian memang harus rela tersenggol oleh gerakan gadis lincah ini. Pingkan tak mau pakai lift karena kemungkinan tertangkapnya pasti lebih besar. Sepasang kaki jenjang itu tak terasa sudah mendarat di lantai 4 yang banyak diisi toko-toko dan counter penjual pakaian. Saat ia menemukan arah menuju eskalator ke bawah, dari kejauhan Pingkan sudah melihat dua anggota satpam naik eskalator ke lantai 4. Pingkan cepat menyimpulkan si satpam muda tadi sudah mengontak teman-temannya untuk naik. Insting Pingkan membuatnya melihat ke belakang. Si Satpam muda dan si Kumis Tebal polisi gadungan itu sudah terlihat mengejarnya. Si Gendut tampaknya tertinggal di bawah. Pingkan kini kira-kira berada di tengah-tengah para pengejarnya. Stupid security guards! How could they buy the story of those fake Offcers,?" Situasi jadi semakin genting.

Pikiran dan sepasang mata indah Pingkan bekerja keras mencari cara. Lalu, pandangannya tertumbuk pada sebuah counter kecil penjual boneka, tepat di pinggir pagar yang mengelilingi lubang besar tempat para pengunjung mal dapat melihat sampai ke lantai dasar mal itu. Gadis penjual boneka itu tampak sedang menyusun ulang posisi boneka-bonekanya yang lucu, menempatkannya kembali pada rak-rak yang

tepat. Tapi, bukan rak-rak itu yang Pingkan incar. Ada kursi kosong di sebelah rak-rak boneka itu! Pingkan menaksir jaraknya sekitar satu setengah meter dari salah satu kain penghias mal yang menjuntai dari langit-langit mal sampai ke setengah lantai utama. Kain-kain dan hiasan naga dan lampion itu memang tampaknya disiapkan pengelola mal untuk menyambut Tahun Baru Cina. Tak ada waktu yang cukup untuk terlalu lama berpikir! Para pengejar Pingkan dari kedua sisi semakin mendekat.

"Hey berhenti! Atas nama undang-undang, Anda kami tangkap!" Akting dan penampilan fisik si Kumis sebagai polisi memang sangat meyakinkan.

Dear Lord, please protect me!" Kalimat ini yang Pingkan ucapkan dalam hati saat ia berlari kencang, lalu melompat ke kursi di counter boneka. Saat ini, salah satu dari dua satpam yang dikontak rekan muda mereka ternyata berlari lebih cepat dari rekannya. Ia sudah sudah masuk dalam jarak ideal untuk meraih Pingkan.

"jangan coba-coba lari, Mbak!" hardiknya.

Pingkan yang masih berdiri di atas kursi langsung membalik badannya. Sementara itu, si gadis penjual boneka dan sebagian pengunjung mal yang kebetulan melihat aksi Pingkan, hanya bisa terperangah melihat tontonan menegangkan di depan mereka.

Sama seperti banyak lelaki yang memandang lemah perempuan, si Satpam ini pun tak menyangka bakal mendapat tendangan lurus yang sangat keras mencocor wajahnya. Tendangan kaki kanan Pingkan jadi mendarat lebih keras

karena satpam itu dalam posisi bergerak maju saat tendangan Pingkan menyongsongnya. Ia pun terjerembap.

"Siapa bilang aku coba-coba lari? Aku mau coba-coba lompat, tauuk?" Ternyata dalam keadaan terjepit dan panik pun sense of humor gadis taekwondo ini tak hilang. Kalimat itu terucap spontan dari bibir mungilnya.

Pingkan membalik badannya lagi, menghela napas sambil menggumamkan lagi serangkai doa di batinnya lalu...

Hiaaaa!!!

Tubuh semampai itu terbang ke udara!... Pengunjung mal yang melihatnya berteriak ngeri. Kedua tangan Pingkan berhasil menangkap salah satu kain merah penghias mal. Lalu, gadis tomboi ini merayap turun. Orang-orang yang mulai menyadari kejadian ini begerak ke pinggir pagar untuk bisa menyaksikannya lebih jelas. Si Kumis dan kawan-kawan yang baru sampai ke daerah counter boneka tadi tak menyangka buruan mereka bakal senekat ini. Pingkan terus turun. Cukup cepat juga gerakannya.

Lantai Lantai

Tapi, rupanya kain penghias itu tidak disiapkan untuk menanggung beban tubuh manusia. Kain itu copot dari langit-langit di bagian teratas mal! Pingkan dan sebagian dari para pengunjung mal yang melihatnya sama-sama menjerit tertahan. Tubuh indah bak model internasional itu jatuh...

Lantai 1 Lantai utama...

Lantai dasar! BRUGG!!!

Beruntung Pingkan jatuh tepat di atas sebuah spring bed. Sepasang suami-istri yang duduk pada kasur pegas lain di sebelah kasur yang dijatuhi Pingkan hanya bisa ternganga. Begitu pula sang pemuda penjual furnitur yang tengah membujuk suami-istri tadi untuk jadi membeli tempat tidur itu.

"This is great! Ini bagus banget, the spring worked so well!" Beli aja, Bu, Pak! OK? Gong XI Fat Chai untuk semua ya!" Suami-istri itu tambah melongo saat Pingkan melesat kabur meninggalkan mereka.

Dial Jack! Dial jack now!" batin Pingkan. Sambil berlari, tangan kanannya mengambil ponsel dari kantong celananya.

"Jack! Jack! Kamu di mana?" Suara Pingkan lebih nyaring dari biasanya.

"Hai Pingkan, aku baru masuk mal, ini mau ke parkiran, kenapa?" Jack yang baru saja menghentikan motornya tak sadar apa yang tengah menimpa Pingkan di atas sana.

"Iya, kamu di mana tepatnya? State your position!"

"Pingkan terpaksa agak membentaknya.

"Masih di luar, ini mau ke... tunggu..." Jack mencari tanda atau tulisan.

"Ini mau ke parkiran motor basement dua, kenapa, Pingkan?" Jack mulai penasaran. Tak biasanya nada suara Pingkan naik seperti itu.

"OK, kamu di situ aja, nggak usah masuk!"

"Nggak usah masuk?"

"Iya! Nggak usah masuk! Stay where you are!"'

Saat ini, seorang petugas parkir menghampiri Jack. Jack masih bingung. Ia mencoba menebak-nebak apa sesungguhnya yang telah membuat Pingkan bicara dengan nada yang tak biasanya.

"Mas, maaf, jangan berhenti di sini, langsung aja masuk basement. Nanti tiket parkirnya ada di loket parkir di basement." Petugas parkir itu mengingatkan.

"Maaf, Pak, sebentar aja," Jack mencoba memohon izin.

"Ini penting banget! Sebentar ya, Pak?"

Si petugas tak bilang apa-apa, tapi wajahnya jadi tak ramah.

Basement dua.? Should I take the lift?" No, no, no! Mereka pasti pakai lift! Tangga! Mana tangga itu.? Pingkan segera bertanya kepada seorang petugas kebersihan yang kebetulan sedang mengepel di dekatnya, lalu mendapatkan arah yang harus ditempuhnya. Napas Pingkan terengah-engah, tapi larinya masih sangat kencang.

Benar dugaan Pingkan. Saat sudah sampai ke basement dua, ia melihat ke arah selatan di mana lift itu terletak. Pintu lift terbuka dan si Kumis menyeruak ke luar bersama 4 orang satpam. Pingkan lari. Terus berlari. Ke atas. Melewati lorong masuk basement yang dipakai sebagai areal parkir motor itu. Jalanan yang merambat naik membuat lari Pingkan melambat. Sementara justru kelima pengejarnya makin memperkeCil jarak.

Seorang pengendara motor Honda Tiger hampir saja menabrak Pingkan karena sang pelarian ini bergerak terlalu

ke tengah. Pingkan segera mengambil jalan di pingir jalan menanjak dan melingkar itu.

Sementara itu. sang petugas parkir makin tak senang karena Jack terlalu lama berada di luar basement.

"Mas, jangan kelamaan di sini, Mas. Silakan masuk basement." Wajah si petugas makin tak bersahabat.

"Sebentar, Pak, sebentar." Jack ingin menelepon balik Pingkan, namun segera ingat pulsanya telah habis.

Tiba-tiba, dari dalam lorong basement teriakan Pingkan terdengar semakin jelas memanggil-manggilnya.

"Jack! Jack!"

Jack yang tadinya masih duduk di motornya, lalu turun dan men-standar-kan motornya.

"Ya, Pingkan, aku di sini!" Jack sebenarnya tak suka berteriak, tapi saat itu ia mulai khawatir sesuatu tengah menimpa langganan ojeknya yang cantik itu. Dilepaskannya helm Pingkan dari talinya di bagian belakang jok motornya. Kini di depannya terlihat Pingkan, susah payah berlari menanjak jalan ke luar basement...

"Jack! Give me my helmet! just throw it!" Bentak Pingkan kepada Jack yang masih bengong. Saat itu, dua satpam yang berlari lebih cepat dari si Kumis dan dua satpam lainnya sudah berada semakin dekat di belakang Pingkan.

"Jack, cepat lempar!" Pingkan geregetan. Jack akhirnya menurutinya. Helm Pingkan dilempar ke arah pemiliknya. Pingkan cekatan menangkapnya.

"Pingkan awas!" Jack mengingatkan Pingkan. Pingkan reflek bergerak memutar balik. Seorang satpam yang merangsek

maju harus terguling karena helm bergambar Hello Kitty itu keras menyambar kepalanya. Rekannya yang satu, yang yakin tak akan mengalami nasib sama, lalu maju ingin menangkap Pingkan. Satu tendangan memutar kaki kiri menghantam kepalanya. Tubuh satpam yang ini oleng dan jatuh membentur dinding samping dan ikut berguling ke bawah.

Tendangan cangkul dengan kaki dihentakkan ternyata tak mampu melumpuhkan si Kumis yang kini berada di hadapan Pingkan. Ia menghindari serangan Pingkan tadi dengan menggeser tubuhnya ke kiri. Lalu, sebuah tendangan lurus si Kumis menghentak tubuh Pingkan. Gadis ini terlempar jatuh di atas jalanan.

Jack mulai bergerak. Tapi, ia tak terbiasa berkelahi tanpa mengetahui duduk perkaranya lebih dahulu.

"Sebentar, Pak, sebentar, ini sebenarnya ada apa? Kita kan bisa selesaikan ini secara kekeluargaan!" usul jack pada si Kumis. Tapi, si Kumis menjawabnya dengan serangan langsung ke arah tubuh dan kepala Jack.

Kedua tangan Jack lincah memapaki satu, dua, tiga pukulan si Kumis. Namun, satu tendangan lurus si polisi gadungan membuat jack terjerembab seperti Pingkan. Sadar ini bukan hal yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan, Jack melompat bangkit. Si Kumis ternyata telah siap melayangkan pukulan. Keduanya sama-sama melayangkan satu pukulan. Tapi, Jack yakin pukulannya yang akan masuk duluan. Ia benar. Pukulan lurus tangan kirinya melesat menggedor wajah 51 Kumis. Si Kumis memaki, ia ayunkan bogem kanannya lagi menyusur dari arah luar mengarah pelipis kiri Jack. Lengan Jack bergerak memutar ke atas melempar kepalan si Kumis meleset dari sasarannya. Lalu pisau tangan kanannya

mengayun indah tapi bertenaga, menghajar rahang kiri si Kumis. Sebelum si Kumis sempat memikirkan serangan apa lagi yang harus ia lontarkan, tendangan lurus Jack keburu menyesak uluhatinya.

Dua satpam yang datang belakangan rupanya sadar bahwa lawan lawan yang dihadapi mereka tak bisa dianggap remeh. Mereka keluarkan tongkat karet dari pinggang mereka. Satu maju melompat menyerang Jack. Tapi, serangannya mudah ditebak. Satu dua sabetan tongkatnya luput oleh gerakan-gerakan menghindar Jack yang sesungguhnya sederhana saja. Dan Jack menghentikan serangan satpam ini dengan hentakan siku kiri yang menghantam rahang kanannya. Satpam satunya lagi melompat mengayun tongkatnya ke kepala Jack. Malang baginya, sebab tendangan pisau kaki kanan Pingkan keburu menghempaskannya ke tembok keras.

"Makasih." Spontan Jack mengapresiasi bantuan Pingkan. walau sesungguhnya ia bisa mengatasinya sendiri.

"You're welcome." Pingkan jadi ikut-ikutan spontan menanggapinya.

Satpam muda yang pertama menemui Pingkan tadi kali ini coba berinisiatif. Ia melompat tapi tak melontar pukulan, melainkan menangkap leher Jack dan memitingnya kuat-kuat. Jack yang kaget lalu agak kepayahan juga awalnya sebelum...

haaatii...

Teriakan Jack seolah mengiringi gerakannya kaki kanannya masuk di antara kedua kaki

Satpam

seraya memundurkan pinggulnya dan kombinasi cengkeraman tangan kanannya pun menghasilkan bantingan yang sangat keras. Si Satpam terkapar kesakitan di lantai jalan.

Satu satpam lainnya, yang melihat Pingkan lengah, berniat menggebuknya dengan tongkat karet. Tapi, si satpam roboh terkena tendangan punggung kaki Jack yang diayun keras menyapu kaki kanannya.

"Thanks." Kali ini Pingkan yang berterima kasih.

"Sama-sama. awas jangan lengah!" Jack mengingatkan.

Pertarungan terus berlanjut. Kedua kelompok yang berbeda jumlah ini terus berjual beli pukulan, tendangan dan sesekali bantingan. Pingkan dan Jack sadar mereka tak bisa menang terus-terusan, apalagi para petugas keamanan lainnya pasti akan menyusul datang. Pingkan segera mengambil helrnya yang tadi sempat terjatuh.

"Jack, come on! Run, Jack! Run!"

Jack yang baru saja kembali menendang jatuh si Kumis setuju kalau mereka memang harus segera pergi. Pingkan dan Jack berlari ke arah motor Jack. Tapi, seseorang berkepala plontos berjaket kulit dan bercelana cokelat khas warna seragam polisi datang menodongkan sebuah pistol. Jack terkesiap. Pingkan justru malah mendekat memperhatikan pistol di tangan si Botak.

"Jangan bergerak atau kalian saya tembak!" Si Botak menggertak.

Hardikan si Botak dijawab tendangan terbang Pingkan yang membuatnya kesakitan setelah jatuh menerpa aspal jalan. Pistolnya lepas.

"Berengsek! Awas kalau kau dan ayahmu sudah kami tangkap!" maki si Botak kesal.

Dahi Pingkan sempat berkerenyit mendengarnya. Ia kembali heran mengapa tadi si Kumis, lalu kini si Botak harus menyebut-nyebut tentang ayahnya?

Si petugas parkir yang tadi menegur Jack hanya bisa berdiri ketakutan melihat tawuran yang berlangsung di depan kedua matanya. Beberapa pengendara motor yang hendak masuk parkiran basement juga hanya bisa berhenti dan lalu terkejut oleh tontonan adegan laga siang itu.

Kick start motor Jack cukup sekali diselah oleh pemiliknya. Lalu, raungan nyaring motor dua tak itu mengantar kendaraan yang membawa Jack dan Pingkan itu melaju melawan arah, mencari gerbang ke luar mal.

Beberapa pengendara motor yang berpapasan, memaki sepasang muda-mudi dari kelas sosial yang berbeda itu. Saat motor Jack melaju melewati jalan masuk menuju areal parkir, dua mobil sempat hampir menghajar kendaraan roda dua berbunyi cempreng itu jika Jack tidak lincah berkelit zig-lag. Tiba-tiba dari arah depan, tiga orang satpam siap menangkap mereka. Beruntung mata Jack cepat menangkap sebuah celah. Bagian depan mal itu lebih rendah dari jalan raya. Ada beberapa pintu di mana pejalan kaki dapat masuk dari jalan raya menuruni sekitar lima belasan anak tangga. Jack melihat salah satunya di sebelah kiri, maka ia pun membanting motornya ke sana.

"Pegangan!" kata Jack pada rekan di belakangnya.

"Jack, you're not going to..." Pingkan tak sempat selesaikan kalimatnya karena motor Jack kini sudah berlari naik terantuk-antuk anak-anak tangga ke atas. Untung bagi

mereka, tak ada pengunjung mal yang kebetulan turun lewat jalan yang relatif kecil itu. Ketiga satpam coba mengejar tapi Rrreeeeeng!!!... Motor Jack sekarang sudah telanjur melaju di jalan raya di depan mal.

Motor Jack yang membawa Pingkan masih melaju kencang setelah masuk dan Jalan Fatmawati ke Jalan T.B. Simatupang.

"Jack, sudah, Jack, slow down a bit... Jack! Slow it down?" Pingkan terpaksa mengeraskan suaranya agar Jack bisa memelankan laju motornya. Jack yang masih tegang akhirnya bisa mengontrol emosinya dan lalu menuruti saran Pingkan.

"Itu polisi ngapain mau nembak kamu?" Jack teringat pistol si Botak.

"No, they're not police officers," Jack, itu pistol airsoft yang dia pakai!"

"Airsoft? Kamu yakin itu bukan pistol betulan?" Jack masih tak percaya.

"Iyalah, si Toni, anak hukum yang tempo hari ngobrol bareng Prue sama kamu itu punya pistol model itu, Jack." Pingkan berusaha meyakinkan.

"Lalu kenapa mereka mengejar-ngejar kamu? Kamu bikin salah apa?"

"Yang satpam mah cuma ikut-ikutan, aku juga heran kok mereka mau aja dibohongin sama polisi-polisi gadungan itu." Pingkan mengungkap kekecewaannya.

"Terus, kenapa kamu dikejar-kejar mereka?" Jack tak puas dengan jawaban Pingkan.

"Itu juga aku nggak tahu, Jack, tau-tau mereka datangin aku dan bilang mau nangkap aku, tapi they got no warrant, Jack, they couldn't show it." Mereka cuma bilang aku harus ikut! Aku kan ngeri. mana satpam-satpam itu percaya aja lagi kalau mereka polisi!" keluh Pingkan lagi.

"Apa mereka salah target?" selidik Jack.

"Maybe, jack, I don't know... PM 50 confused..." Sambil bicara Pingkan sesekali menoleh ke belakang, khawatir gerombolan polisi palsu itu muncul lagi.

"Kalau gitu kita cari kantor polisi aja, kita laporkan mereka!" usul Jack.

"Ya, tapi... jangan deh, Jack, jangan ke kantor polisi dulu! Nanti saja dulu, aku masih..." Pingkan tak selesaikan kalimatnya. Saat itu, Pingkan memperhatikan sebuah Suzuki APV hitam yang semakin kencang mendekat. Mata Pingkan yang masih sangat tajam langsung memindai si Botak yang mengemudi di sebelah kanan dan si Kumis Tebal yang duduk di sebelahnya.

"Jack! Jack! They're in that car? Cepat!" Pingkan.

"Siapa?" Jack rupanya tak cepat tanggap.

Motor Jack masih melaju dengan kecepatan sedang saat mobil jenis van itu tiba-tiba sudah ada di samping kanan mereka. Jack terkejut, tak menyangka para penjahat yang mengincar Pingkan itu bisa menyusul mereka.

"Going somewhere?" Wajah si Gendut yang muncul dari jendela tengah mulai menebar ancaman.

"Hentikan motormu! Kami cuma butuh teman perempuanmu! Kami tak akan mengganggumu jika kau serahkan dia!" Si Kumis di kursi depan memberi peringatan.

Jack tak perlu berpikir lagi untuk memacu motornya. Kejar-kejaran babak dua telah dimulai! Kecepatan motor Jack sesungguhnya tak dapat menandingi kecepatan mobil para pengejarnya, namun Jack lihai melakukan manuver, berkelok kanan kiri, zig-zag memanfaatkan kelemahan lawan berupa keterbatasan bodi besar kendaraan yang memburu mereka.

Jalan T.B. Simatupang yang panjang menyediakan tempat yang tepat bagi sang pemburu dan yang diburunya untuk sebuah kejar-kejaran yang panjang dan menegangkan.

Ada dua kesempatan di mana Jack memacu motornya hingga terbang di jalan tanjakan. Pingkan ngeri luar biasa. Pingkan bukannya tak biasa ngebut. Gadis tomboi ini sering membawa mobilnya dalam kecepatan tinggi, salah satu hal yang membuatnya sering berkonflik dengan mamanya. Tapi, dibonceng di atas motor kencang bukanlah pengalaman dia sehari-hari. Maka, ia sangat cemas.

"Jack! Jack! Awas!" Pingkan jadi cerewet karena ketakutannya.

Jack sendiri sebetulnya panik. Apalagi ia sesungguhnya belum yakin dengan keterangan Pingkan bahwa pistol yang mereka bawa bukanlah pistol sungguhan. Jack ngeri membayangkan mereka menembak Pingkan atau dirinya. Tapi, Jack berpikir harus tetap fokus dan tak boleh kalah

oleh orang-orang yang berniat menculik Pingkan itu. Perasaan Jack bercampur. Di satu sisi, ia agak-agak merasa bersalah karena menyetujui permintaan Pingkan untuk mengantar dan menjemputnya ke kampus. Padahal, deal semula hanya mengantar Pingkan sampai terminal mobil omprengan dekat pintu tol saja. Namun di siSi lain. anehnya Jack mulai merasa bahwa ia memang harus ada di samping Pingkan, untuk melindunginya dari segala marahahaya.

"Jack!" Pingkan memekik lebih keras saat motor Jack nyaris terjepit di antara mobil boks sebuah perusahaan kargo dan sebuah bus metromini. Untung Jack tancap gas di saat yang tepat sehingga sabetan badan metromini dapat dihindari.

Namun, si Botak juga bukan pengemudi kemarin sore. Bodi mobil Suzuki APV yang sesungguhnya rada tambun itu tak menghalangi si Botak untuk membawanya kencang, ketat menempel motor Jack. Sesekali bahkan, bumper depan mobil ini nyaris menabrak motor Jack. Tapi, mereka kelihatannya memang tak berniat mencelakai Pingkan. Mereka ingin menculiknya.

**

"Gimana ini, Slamet? Kalok misi kita menculik itu anak gagal, bisa runyam urusan kita sama Suhu dan sama si Bos!" Si Gendut di kursi tengah mulai pesimis. Yang dipanggil Slamet ternyata si Botak yang sedang mengemudi Suzuki APV itu.

"Ojo ngono, Boni, ini kan masih kita usahakan, kowe rasah putus asa koyok ngono! Jangan putus asa gitu!" Si Botak menyemangati rekannya yang punya berat badan melebihi rata-rata itu.

"Harusnya kita bunuh aja si cowok tadi! Target kita kan cuma si Pingkan!" Si Kumis ngomel di sebelah Slamet.

"Jangan gitu, Farhan, ingat pesan Suhu, kita tak boleh main kasar! Kita cuma bertugas menculik anak itu, lalu menangkap bapaknya." Boni si gendut mengingatkan si Kumis yang ternyata bernama Farhan ini. Tak berapa lama kemudian, mobil van mereka kembali berada tepat di samping kanan motor Jack. Sangat dekat dengan motor Jack.

Tanpa disangka oleh Slamet Botak dan Boni Gendut, Farhan Kumis nekat menjulurkan sebagian tubuhnya ke luar kaca jendela. Tangan kiri Farhan coba meraih letak kunci kontak motor Jack. Ia ingin mematikan paksa motor yang tengah melaju kencang itu. Jack mengayun lengan kanannya ke atas lalu jari tengah dan jari manisnya meluncur turun menusuk pergelangan tangan Farhan. Farhan mengerang marah. Tinju kirinya melayang menghantam kepala Jack. Pingkan menjerit cemas. Motor Jack sempat oleng.

"Farhan, apa-apaan kau? Kau bisa celakakan mereka!" teriak Boni di kursi belakang. Sambil tetap mengemudi Slamet meraih kerah belakang jaket Farhan dan menariknya kuat-kuat.

"Duduk kau, anak tolol!" bentak Slamet pada Farhan. Beruntung bagi Jack dan Pingkan. Perselisihan ketiga orang itu menyebabkan laju mobil mereka melambat. Jack memanfaatkan situasi ini dengan menggeber maksimal motornya untuk menjauh.

"Jack, kamu berdarah." Pingkan mencoba menyeka sedikit aliran darah di pelipis kanan Jack. Jack berusaha menepisnya. Tapi, jemari lembut Pingkan sudah menyeka darah di pelipisnya.

Jack menyesal mengapa hari itu tak banyak kemacetan panjang yang bisa ia manfaatkan untuk berkelit total alias menghilang dari mobil para pengejarnya.

"Gimana kalau cari kantor polisi aja, Kan?" teriak Jack sambil menikung miring, mengurangi sedikit kecepatannya.

"Jangan, Jack! Soalnya " Pingkan ragu-ragu untuk menjelaskan.

"Kenapa? Sudah jelas mereka mau culik kamu!"

"Oh come on, jack! I'll explain to you later! just get rid of them! Pingkan belum mau berterus terang.

"Tapi kamu dalam bahaya!" Kali ini Jack nyaris menabrak seorang bocah pedagang asongan yang menyeberang sembarangan menjelang persimpangan dekat daerah jalan tembus ke Condet dan Cililitan.

"Nanti, Jack! Pokoknya nanti, nanti aku telpon Oom Dodi aja!" Pingkan berkilah.

"Oom Dodi?"

"Iya, adik mama aku! Polisi!"

Suzuki APV hitam itu kembali berada tepat di samping kanan motor Jack. Boni si Gendut mencoba menyuruh Jack untuk menepi.

"Ayolah, berhenti, Kawan! Kami cuma butuh dia sebentar. Kami tak akan apa-apakan dia!"

Jack tak menjawab. Pelan-pelan Jack percaya keterangan Pingkan bahwa pistol yang mereka bawa tadi hanyalah pistol bohongan untuk menakut-nakuti saja. Buktinya, sejak tadi mereka tak pernah menembakkannya. Maka, digebernya

lagi gas motornya. Lumayan, ia berpacu dengan mobil itu kembali.

"Yes! Yes!" Jack tiba-tiba berseru.

"Apa, Jack?" tanya Pingkan.

"Lihat ke depan!"

Pingkan menuruti Jack. Di depan, kemacetan panjang terbentang di perempatan Jalan Raya Bogor yang menuju Kampung Rambutan. Mobil Slamet Botak pun berhenti, sedangkan bodi ramping motor Jack memungkinkannya melaju terus, meliuk-link, memanfaatkan ruang sempit.

Alhamdulillah ya Allah! Tak sadar tersungging senyuman di wajah Jack. Lucu juga, pikirnya, kemacetan yang biasanya dikutuk banyak orang, akhirnya bisa disyukuri. Motor Jack semakin jauh meninggalkan mobil komplotan yang akan menculik Pingkan itu.

Kemacetan itu ternyata jauh lebih parah dari yang Jack dan Pingkan perkirakan. Penyebabnya ternyata adanya truk terbalik menjelang Kampung Rambutan.

"That's even better, don't you think, Jack:?" Komentar Pingkan saat melihat badan truk yang melintang menutupi sebagian jalan itu.

Motor Jack dan Pingkan baru bisa benar-benar bebas dari kemacetan menjelang jalan menanjak menuju Cilangkap.

"Pulang nanti kamu ceritakan ke mama kamu aja," usul Jack.

"Justru itu masalahnya, Jack. Aku nggak akan lapor dulu ke polisi karena ini ada kaitannya dengan Mama."

Pingkan mulai memberikan petunjuk tentang mengapa ia enggan berurusan dengan polisi terlebih dahulu.

"Trus gimana?" Jack makin penasaran.

"Jack, bisa nggak, drop by somewhere," cari tempat aman dulu?"

"Ke mana?"

"Any place, asal aman, nanti aku ceritakan semua." Pingkan masih sesekali menoleh ke belakang walau ia yakin mobil APV para pengejarnya masih berada jauh di belakang mereka.

"Di depan kan kita akan belok kiri, di sana ada, Taman Mini... lalu ada..." Jack coba mengingat-ingat.
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, udah Taman Mini aja! Kalaupun mereka masih cari kita, pasti mereka nggak akan menyangka kita ke Taman Mini, Jack," tanggap Pingkan.

"Tapi dari Taman Mini kita nggak akan lewat jalan utama lagi, kan? Aku takut nanti kita ketemu mereka lagi, Jack."

"Nggak sih, insya Allah nggak akan ketemu, di Taman Mini ada pintu keluar ke Cilangkap atau ke Lubang Buaya, nanti kita lanjutkan lewat jalan-jalan kampung aja." Jack mencoba menenangkan hati Pingkan, padahal dirinya sendiri belum seratus persen tenteram.

Pintu Satu atau Pintu Utama Taman Mini yang berbentuk tiga mulut raksasa kala makara itu masih cukup ramai saat itu. Padahal siang sudah menjelang sore. Pintu keluar sebelah

kanan ditutup hingga pintu masuk sebelah kiri dibagi jadi dua jalur, difungsikan sekaligus sebagai pintu masuk dan keluar.

"Itu apa Jack?" Setelah selesai membeli tiket di loket masuk, Pingkan menunjuk sebuah lintasan panjang yang makin naik pada ujungnya, yang tingginya kira-kira setara bagian paling atas mulut raksasa kala makara yang menjadi puncak pintu keluar Taman Mini yang sedang tidak difungsikan tersebut. Lintasan itu kelihatannya jadi alasan mengapa pintu sebelah kanan ditutup. Di sebelah lintasan itu juga ada lintasan-lintasan yang lebih pendek dari lintasan tadi, dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.

"Itu kayaknya lintasan yang akan dipakai kelompok freestyle Motocross dari Amerika minggu depan deh," jawab Jack.

"Freestyle?"

"Iya, itu loh, Kan, yang lompat terus salto akrobatik di udara. Aku sempat baca posternya minggu lalu," tambah Jack.

"Oh, yang kayak di Film Ghost Rider-nya Nicholas Cage sama Eva Mendez itu?" tanya Pingkan.

"Ya, sebagian, cuma yang di film itu kan kalo nggak salah yang lintasan panjang aja." Jack menambahkan keterangan sambil belok kiri untuk mengambil rute keliling Taman Mini.

"Kamu memang suka balap motor ya, Jack? Tadi aku ngeri banget loh! Tapi kamu hebat tadi," puji Pingkan.

"Nggak, yang suka balap motor, balap liar malah, itu adik aku, udah sering kami bilangin kalau itu berbahaya tapi masih aja dia lakonin. Kalau aku dulu pernah sih suka banget sama motocross, yang pakai motor jenis trail itu," jelas jack. Agak tersipu juga Jack dipuji mahluk cantik ini.

"Dulu aku sempat punya motor bebek Force One yang aku modif jadi motor trail," tanpa sadar Jack mulai antusias bercerita.

"Yang ini, Force One?" tanya Pingkan.

"Bukan, yang ini Yamaha RX King. Udah lima tahun lebih sih usianya. Tapi karena mesinnya hasil kilikan adikku, larinya jadi kencang banget," papar Jack tentang motor kesayangannya itu.

"Wow, lama sekali aku nggak ke Taman Mini, Jack," kata Pingkan saat mereka melewati sebuah terminal skyltft atau kereta gantung di sebelah kiri.

"Memang kapan terakhir kamu ke sini?" tanya Jack.

"The last time... mm... I think it was in primary school hehe... itu juga tugas wajib dari sekolah."

"Wah, udah lama dong?"

"Ya, sekarang beda banget ya, Jack? Itu apa? Kolam renang?" Pingkan menunjuk satu objek yang kelihatannya masih relatif baru.

"Oh, itu Snow Bay, ya kolam renang sama fasilitas-fasilitas macam water park gitu," jelas Jack bak seorang pemandu wisata.

"Ih bagus banget ya, Jack, rumah-rumah adat itu." Motor Jack saat itu melewati anjungan-anjungan provinsi-provinsi di Indonesia: Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah...

"Indonesia itu indah dan kaya sesungguhnya ya, Jack?" komentar Pingkan antusias.

"Ya, sayangnya..." Jack tak lanjutkan kalimatnya.

"Sayangnya kenapa, Jack?" Pingkan penasaran.

"Ya, nggak, sayangnya kita nggak bisa mengelolanya," jawab Jack. Sesungguhnya tadi ia ingin bilang,

"Sayangnya keindahan dan kekayaan Indonesia sering hanya dinikmati orang-orang kaya saja." Tapi, Jack tak mau mengekspresikan pendapat pribadinya yang berbau kritik sosial itu, sekaligus tak mau dikira sedang menyindir rekan cantiknya yang memang berasal dari keluarga berada itu. Maka, ia urung mengungkapkannya.

"Kan, kamu tadi belum bilang alasan kamu nggak mau ke kantor polisi," pancing Jack seolah menagih janji.

"Is there any place where we can sit and talk?" tanggap Pingkan.

"OK, mm... di mana ya?" Jack mencari tempat yang enak. Motornya sudah melewati Taman Bekisar. Beberapa saat kemudian, ia arahkan kendaraannya yang bermesin dua tak itu ke parkiran di depan Taman Burung.

Ada beberapa kursi panjang di depan Taman Burung. Jack memilih salah satunya dan menyilakan Pingkan untuk duduk.

"Kamu sering ke sini, Jack?"

"Mmm, waktu SMA sih beberapa kali ya... suka lari pagi sama teman-teman karate kalo Minggu, buat jaga stamina aja, sekalian refreshing." Tak enak juga Jack telanjur menyebut kegiatan karatenya ke Pingkan. Jack tak suka sebetulnya menyebut-nyebut dirinya aktif di olahraga beladiri ke orang lain. Ia takut dibilang pamer atau sok jagoan.

"Karate? Hmm... no wonder, that was cool, Jack, what you did in the mall," puji Pingkan.

"Itu karate ya?"

"He'he... nggak semua sih, ada campur silat sedikit, campur ju jitsu sedikit, cuma kebetulan aja tadi, harusnya kita, eh kamu tertangkap tadi ya? he-he..."

"Lho kok kamu malah doain yang jelek sih, Jack?" Pingkan berlagak manja kepada cowok yang makin ia kagumi itu.

"He he, just kidding..." Jack malu-malu pakai bahasa Inggris.

"Kamu dah lama belajar beladiri, Jack?" Pingkan ingin tahu lebih banyak.

"Kalau karate sih sejak SMA ya, sebelumnya pencak silat di pesantren kakek aku. Kalo ju jitsu diajarin teman SMA," tutur Jack.

"You're really into martial arts" ya, Jack?" komentar Pingkan.

"Secara umum aku memang suka olahraga, sepak bola juga aku suka. Tapi sebenarnya aku paling suka tinju."

"Tinju?"

"Ya, dulu senang nonton tinju karena suka nonton tayangan tinju di tivi. Banyak juga tayangan ulang tinju yang lama-lama, dari tahun 70-an, 80-an. Dulu sering ditayangkan ulang di beberapa stasiun televisi. Malah lebih bagus dari yang sekarang-sekarang menurut aku." Jack sedikit menerangkan sejarah kesukaannya terhadap tinju.

"Kayak Chris John gitu, do you like him?"

"Ya, Chris John termasuk yang aku suka. Dia petinju hebat, walaupun gemas kalo nonton dia, teknik bertiniunya sih komplit, tapi Chris John nggak punya killing punch." Jack antusias bercerita tentang olahraga yang disukainya.

"Terus yang kamu paling suka siapa, Jack?"

"Banyak, mulai dari Muhammad Ali, Oscar De La Hoya, Naseem Hamed, Roy Jones Junior, Floyd Mayweather, banyak deh, yang tipe-tipe boxer gitu, tapi yang paling aku suka Muhammad Ali," kata Jack.

"Muhammad Ali kan angkatan lama banget, Jack! Mungkin papa aku juga masih remaja kali di zaman Ali?" komentar Pingkan.

"He-he... iya. Tapi teknik bertinjunya luar biasa, tekniknya hebat, footwork-nya top abis, kayak tinju sambil nari gitu, istilahnya float like a butterfly, sring like a bee," papar Jack penuh semangat.

"Coz butterfly can't sting ya, Jack?" goda Pingkan.

"He-he... iya, ini kan gabungan kupu-kupu dan lebah... Oh ya, sekarang ceritakan kenapa kamu tadi nggak mau lapor polisi?"

"Mm, begini, Jack, tadi itu aku nggak mau ke polisi dulu karena aku takut mamaku tahu," ungkap Pingkan.

"Maksud kamu?" Dahi Jack berkerut tanda tak paham.

"Tadi yang berkepala botak itu waktu mengancam bilang,

"Awas kalau aku dan papaku tertangkap nanti,, atau gimana gitu? Orang yang berkumis tebal malah sebelumnya terang-terangan menyebut nama papa aku, Jack! Aku menduga mereka berusaha menculikku karena Papa. Papa mungkin

sudah berbuat suatu kesalahan," wajah Pingkan berubah murung.

"Lho, kok kamu? Maaf ya, Kan, kamu kok langsung berprasangka buruk ke papa kamu?" Jack masih tak paham.

"Papaku memang punya reputasi, Jack... :: bad one," Pingkan terlihat tambah murung. Jack maSih belum mengerti. Ia masih menunggu lanjutan keterangan Pingkan.

"You know, Jack... Papa-Mama bercerai karena papaku suka berselingkuh, bahkan dengan lebih dari satu wanita. Mama pernah mengalami depresi berat dalam waktu yang cukup lama setelah bercerai dengan Papa. Aku ingat banget, Jack, waktu itu aku baru masuk SMP, Mario adikku masih kelas enam SD, kami sering melihat Mama histeris. Aku dan Mario sering takut kalau Mama kenapa-kenapa, takut Mama bunuh diri, Jack! Untung ada Tante Helen yang pelan-pelan bisa menyembuhkan sakit hati Mama."

"Tante Helen?" tanya Jack.

"Sahabat Mama, Jack. Berkat Tante Helen, Mama bisa kembali tegar. Makanya Mama ingin sekali aku menikah dengan Andre," jelas Pingkan.

"Andre?"

"Mantan aku, anaknya Tante Helen. Kami belum lama putus," lanjut Pingkan.

"Nah balik ke masalah tadi, kalau aku lapor polisi dan mengatakan sejujurnya tentang disebutnya nama Papa, kan mamaku nanti bisa kepikiran lagi. Padahal Mama tuh traumatik banget sama segala hal yang berkaitan dengan Papa, Jack," tutur Pingkan serius.

"Kalau yang tadi kamu bilang kamu mau lapor siapa itu? Oom Dodi? Polisi?" Jack mengingat-ingat apa yang Pingkan katakan tadi. '

'Oh ya itu, Oom Dodi itu masih adik sepupu mama aku, beliau polisi, termasuk petinggi Polri di lnterpol gitu deh ya kayaknya aku akan lapor Oom Dodi aja, karena Oom Dodi kan tahu kondisi Mama. Jadi, pasti nggak akan buka masalah ini sembarangan ke Mama Jack, sambil jalan yuk ngobrolnya? Aku bete ah di sini terus," ajak Pingkan pada pemuda tampan yang semakin ia kenal, semakin ia suka itu.

"OK, aku ambil motor dulu ya?" sahut Jack.

"No, no, jangan pakai motor, Jack, jalan aja." Pingkan rupanya masih trauma setelah kejar-kejaran tadi.

"OK, nggak masalah, ayo," Jack balik mengajak. Belum sampai sepuluh langkah terdengar sebuah suara ramah memanggil.

"Jack!"

Suara itu datang dari dalam sebuah toko suvenir di bagian depan Taman Burung. Seseorang di dalam sana melambaikan tangan. Jack mengajak Pingkan masuk karena rasanya ia kenal dengan si pelambai tangan itu. Toko itu tak terlalu besar. Di dalamnya dijual aneka cenderamata dan pakaian. Seorang anak muda berkulit gelap dan berhidung mancung khas Timur Tengah tersenyum lebar kepada Jack dan Pingkan.

"Juned, apa kabar? Ngapain lu di sini?" sapa Jack.

"Haha-ha... baik, alhamdulillah, kaifa baluka, Jack?" balas si pemuda.

"Khoir alhamdulillah, ini toko ente, Juned?" tanya Jack lagi setelah menyalami Juned.

"Ini usahanya kakak, gue cuma ngebantu aja, Jack. Wah, cantik banget ceweklu, Jack!" Juned menjawab sambil berkomentar.

Pingkan dan Jack sempat tertegun sejenak. Mereka rikuh juga menanggapi komentar iuned.

"Ini teman aku, Pingkan namanya," kata Jack mengklarifikasi. Juned pun menyalami Pingkan.

"Teman apa teman nih? Masak cuma teman jalan-jalan ke Taman Mini berdua doang?" Godaan Juned membuat Jack agak gugup.

"Pingkan, Juned ini teman motocross-ku dulu," Jack mencoba mengalihkan topik pembicaraan Juned.

"Eh, bukan cuma dulu, Jack... ampe sekarang ane masih suka ngetril, Fren," koreksi Juned.

"Tuh lihat di depan, motor gue... mantap, kan?" Kali ini Juned menunjuk motor trail yang diparkir di lahan di depan tokonya. Kendaraan roda dua yang masih gres dan kinclong.

"Waw, gile, Ned! Yamaha ya?" Jack pergi ke luar toko untuk melihat. Juned dan Pingkan mengikutinya.

"Bukan, ini Suzuki, RM 250 cc, Choil. Mantap kan? Beda kan sama bebek tril ente dulu? Ha-ha-ha..." Juned tertawa lepas.

"Ha-ha-ha... kurang ajar lu. Eh, tapi kok gua nggak lihat motor ini tadi, Ned?" tanya Jack.

"Oh, tadi gue emang titip toko ke teman karena ada perlu sebentar ke depan bawa motor... silakan, Jack, kalau antum mau coba," Juned menawari.

"Dulu si Jack ini yang paling hebat loh, Pingkan," Juned mengabari Pingkan. Pingkan cuma tersenyum-senyum saja.

"Halah, lebay lu, Ned, nantilah kapan-kapan gue coba motornya, sekarang kami mau jalan-jalan dulu," jelas Jack.

"OK deh, nggak pakai motor?" tanya Juned.

"Gak ah, tuh aku parkir di sana," Jack menunjuk sebuah sudut di lahan parkir bagian depan Taman Burung. '

"Aku pingin lihat kamu naik motornya Juned itu, Jack, kata dia kamu hebat," ungkap Pingkan saat mereka berjalan meleWati Museum Iptek.

"Halah, sebenarnya yang hebat itu dia, Pingkan," kilah Jack sambil sedikit tersipu.

"Dia pernah juara tuh, kalo aku kan cuma hobi aja," tambahnya.

Pingkan dan Jack kini berjalan mendekati Taman Budaya Tionghoa Indonesia. Makin nyaring terdengar musik pengiring tarian barongsai menyambut tahun baru Cina. Tiba-tiba Jack berkata tertahan...

"Ssst, Pingkan! Coba pelan-pelan kamu lihat, arah jam dua depan kamu..."

Pingkan menuruti perintah Jack, Cukup jauh di depan sana terlihat si Botak dan si Kumis, pemburu mereka.

"Jack! Apa mereka sudah melihat kita?" Kecemasan Pingkan tumbuh kembali.

"Kurasa belum, pelan-pelan kita belok kiri, gabung dengan penonton barongsai!" Jack berkesimpulan bahwa ia dan Pingkan belum terlihat karena di depan mereka memang ada beberapa orang pengunjung Taman Mini pada hari itu. Jack pikir penglihatan para pengejarnya terhalang para pengunjung itu.

Pingkan dan Jack perlahan masuk ke area wahana budaya Tionghoa yang bagian depan pintu gerbangnya berhias dua patung singa di kiri dan kanan itu. Tanpa sadar, tangan kiri Jack menggamit tangan kanan Pingkan, sebuah

isyarat agar Pingkan lebih bergegas. Buat Pingkan, di tengah kecemasannya, ada yang bergetar dalam hatinya saat Jack meraih tangannya. Sebuah getaran sekaligus perasaan dekat, aman, dan terlindungi.

Penunjukan barongsai masih berlangsung ramai di bagian depan lapangan utama. Dua singa barong, satu didominasi warna merah dan satunya lagi warna kuning, menari dan melompat dengan lincahnya seiring tetabuhan gong dan tambur. Seorang MC perempuan dengan pengeras suara sesekali memberikan keterangan tentang tarian dua singa yang masing masing dibawakan dua orang pemain itu.

Ponsel di kantong celana Pingkan sekonyong-konyong berdering. Nama Andre tertera di layar.

"Halo? Halo? Andre, sorry, I can't hear you..." Pingkan bergerak menepi dan menutup sebelah telinganya.

"Pingkan, kamu di mana?" tanya Andre.

"Aku... aku lagi di Taman Mini," jawab Pingkan.

"Di Taman Mini? Ngapain? Sama siapa?"

"Aku lagi sama Jack, Ndre..."

"Jack? Siapa, Jack?"

"Jack yang suka antar aku ke kampus, l'll call you later "ya, Ndre, aku lagi ada kegiatan... aku lagi..."

Percakapan terputus karena Jack tiba-tiba menarik lengan Pingkan dengan keras. Mata Jack memindai kedatangan si Kumis dan si Botak masuk melewati gerbang wahana kebudayaan etnis minoritas itu. Hentakan yang kuat membuat telepon genggam di tangan Pingkan terjatuh.

"Jack, HP-ku!" Pingkan sedikit berteriak. Tapi Jack terus menariknya, mencari jalan menghindari dua orang berniat jahat itu. Jack dan Pingkan tak sadar bahwa beberapa saat kemudian seorang lelaki segera mengambil telepon genggam yang terjatuh itu. Jack dan Pingkan mengendap, merunduk, menyelip-nyelip di antara para pengunjung lain yang tengah menikmati tarian singa khas negeri Tirai Bambu itu. Tapi mereka terlambat!

"Hey! Mau ke mana kalian?" Suara Slamet Botak terdengar nyaring. Slamet dan Farhan tiba-tiba sudah menyeruak dari kerumunan pengunjung, sekarang mereka berada tepat di hadapan Jack dan Pingkan.

Slamet bergerak hendak menangkap Pingkan. Tapi tendangan Jack yang terayun dari arah luar, masuk telak di rusuk kiri si kepala plontos. Farhan Kumis tak ingin kecolongan lagi, ia serang Jack dengan kombinasi lima pukulan. Empat berhasil ditepis oleh Jack. Satunya mendarat mulus di mata kanan Jack.

Sebuah hajaran ke arah yang sama hendak disusulkan Farhan, namun dengan sigap tendangan Pingkan menyapu kepalan kiri Farhan hingga membentur wajah si Kumis sendiri.

Serangan-serangan Farhan dan Slamet berikutnya cukup merepotkan Jack dan Pingkan. Dua mahluk rupawan ini terdesak ke tengah lapangan, cukup dekat dengan lOkaSi para pemain barongsai beraksi. Para pemain barongsai sempat tertegun dan melambatkan tarian. Namun, Sang MC yang tampaknya masih belum berpengalaman itu memberi isyarat agar mereka melanjutkan pertunjukan. Mungkin ia pikir pertarungan yang baru saja dimulai itu sengaja disisipkan oleh pihak Taman Mini sebagai bagian dari eksibisi budaya

Cina, sebuah peragaan seni beladiri. Maka, lalu ia pun berimprovisasi dengan menerangkan kepada pengunjung tentang kungfu dan wushu.

Saat Jack dan Pingkan mencari celah untuk lolos, tak disangka Boni Gendut dan seorang laki-laki datang menghadang mereka. Laki-laki yang tak berambut cepak dan tak berpakaian ala polisi seperti Boni, Slamet dan Farhan, kini ikut datang menghadang. Tubuhnya pun lebih kecil dan kurus dibanding tiga rekannya. Pria yang tampak paling belia di antara rekan-rekannya ini mengenakan celana dan jaket berbahan jins.

Kini lapangan itu terbagi dua, bagian depan diisi pertunjukan barongsai, bagian belakang dipakai arena pertarungan empat lawan dua. Jack bersiap. Di sekeliling mereka empat orang yang berniat menculik Pingkan. Allah Karim, bantulah hamba! batin Jack melontar doa. Para penonton pertunjukan barongsai kini bertepuk tangan untuk para petarung itu. Mereka percaya pada keterangan sang MC bahwa ini adalah bagian dari pertunjukan.

"Xie xie, xie xie," Pingkan mengapresiasi sambutan penonton.

"Ssst, Jack! Kita kok jadi kayak selebriti?" Lanjut Pingkan polos.

"Sssh, Pingkan! Ini bukan waktunya untuk bercanda!" tegur Jack.

"Trus kita harus gimana sekarang, Jack? Mereka berempat! There's no chance for us to run!" tanya Pingkan dengan ekspresi cemas.

"Kita lumpuhkan yang di depan kita, aku serang yang gendut, kamu serang yang kurus, yang berjaket jins, lalu kita cari jalan untuk kabur dari sini!" Jack memberi instruksi. Pingkan pun bersiap.

Dengan cepat Jack membuka serangan dengan pukulanpukulan lurus bertubi-rubi dengan arah yang berbeda-beda. Si Gendut ternyata tak selamban yang Jack perkirakan. Semua serangan Jack mental mengenai ruang kosong. Sementara itu, tendangan-tendangan Pingkan juga tak mengenai laki-laki yang diserangnya. Lelaki bertubuh kecil itu malah berlumpalitan ala gerakan capoeira lalu menendang jatuh Pingkan. Kala Jack berhasil mendaratkan pukulan ke tubuh Boni, si Gendut malah melompat memasang badan, menabrak Jack bagaikan seekor badak yang membentur seekor kijang. Jack yang terjatuh harus langsung bersiap karena Boni lalu menjatuhkan tubuhnya yang tambun agar menimpa tubuh Jack seperti dalam gerakan gulat Amerika...

BHUMIH...

Beruntung Jack berhasil berguling menghindar. Di saat yang bersamaan, Pingkan yang diincar tiga orang rekan Boni mengambil inisiatif untuk melompat ke atas beton besar di mana sebuah tiang bendera terpancang.

Farhan Kumis yang sudah berada paling dekat terkena serangan dahsyat Pingkan, sebuah tendangan kaki kanan memutar menghantam kepala Farhan saat ia baru saja melompat ingin meraih Pingkan.

Strike one.-' jerit Pingkan dalam hati. Ia bersyukur tendangannya tepat sasaran. Si Kurus berjaket jins berhasil

melompat ke beton tiang bendera itu. Tak diduga olehnya, Pingkan melesat menangkap tiang bendera lalu berputar seperti tokoh film India yang senang berayun dan menari pada sebuah tiang. Tendangan kanan Pingkan kembali memakan korban. Si Kurus terpelanting jatuh setelah kepalanya dibentur tendangan Pingkan. Strike two! ucap Pingkan dalam hati.

Sementara itu, Jack tengah berjuang melepaskan diri dari pitingan Boni Gendut dari belakang. Dua lengan besar Boni masuk ke sela-sela dua lengan Jack melalui ketiak, menekan Jack sedemikian kuat. Untung Jack teringat teknik ju jitsu yang pernah dipelajarinya. Ia kerahkan tenaga penuh untuk merundukkan tubuhnya sampai matanya dapat menemukan kedua kaki Boni di belakang. Lalu Jack menangkap kaki kanan Boni dan menghentakkannya ke depan lewat selangkangannya. Hasilnya sungguh efektif! Badan Boni kembali jatuh berdebum ke belakang.

Kesempatan itu dimanfaatkan Jack untuk membantu Pingkan di atas beton bendera. Gadis itu tengah menghadapi serangan-serangan Slamet Botak dari bawah.

"Hey!" Jack memancing perhatian Slamet. Saat Slamet menoleh, yang ia lihat adalah tubuh Jack yang terbang ke arahnya, lalu sebuah bogem keras menggodam wajahnya. Slamet terpental. tubuhnya membentur dinding beton keras. Si Plontos kini meradang kesakitan. Strike three! batin Pingkan melonjak girang sekarang.

"Pingkan, cepat lari!" Jack memberi komando. Pingkan menurut. Tubuhnya melayang ke udara., lalu kepala Farhan yang baru saja bangkit dijadikannya sebagai pijakan untuk melompat lebih tinggi. Dalam sekejap Pingkan sudah berada di samping Jack. ,,

Begitu sepasang jago beladiri ini membalik badan, tubuh Boni Gendut yang lebar sudah siap menunggu mereka!

Jack berlari kencang seolah hendak melontar pukulan. Tanpa diperkirakan oleh Boni, Jack menjatuhkan dirinya; menjulurkan kedua kaki disusul seluruh tubuhnya bak seorang pemain sepakbola profesional merayakan gol yang baru dicetaknya. Tubuh Jack meluncur mulus melewati selangkangan Boni. Boni mencoba merunduk untuk menangkap Jack. Namun, gerakan badannya yang kegemukan itu terlalu lambat untuk bisa mengimbangi kecepatan Jack.

Pingkan cerdik membaca momen. Ia gunakan waktu yang singkat itu untuk menyusul Jack yang sudah bersiap lari. Pingkan berlari dan melompat, bukan untuk menendang, melainkan untuk lewat di atas tubuh Boni yang belum sempurna berdiri setelah gagal meraih Jack barusan. Nyaris saja ia menabrak salah satu pemain barongsai. Untunglah posisi pemain dari barong berwarna merah itu sedang tak melompat atau berdiri bertumpu. Tubuh langsing itu melayang mulus melewati badan Boni dan si barong merah, dan akhirnya mendarat selamat. Jack dan Pingkan lolos! Saat ini, tampaknya para pengunjung di sekitar mereka mulai menyadari bahwa pertarungan Jack, Pingkan, dan lawan-lawan mereka bukanlah bagian dari pertunjukan. Tapi, mereka cuma bisa terbengong-bengong melihat aksi para petarung itu.

Jack dan Pingkan adalah dua pelari yang sangat gesit. Jack menyukai olahraga lari karena olahraga ini sangat bermanfaat untuk menjaga staminanya, terutama menjelang kejuaraan karate. Hampir sama dengan Jack, Pingkan pun

kerap berlatih lari khususnya saat-saat turnamen taekwondo mendekat.

Tujuan Jack dan Pingkan jelas: Taman Burung! Di sana motor Jack diparkir. Jarak tempuh yang cukup jauh membuat keduanya terengah-engah juga. Pingkan menoleh ke belakang untuk memeriksa apakah ada yang mengejar mereka. Dilihatnya si Kumis mulai melakukan pengejaran. Pingkan juga melihat dua orang satpam ikut mendampinginya.

"Oh, shoo! Jack! mereka pakai taktik yang sama!" seru Pingkan.

"Maksudnya?" tanya Jack.

"Mereka bawa satpam kayak tadi, as they did in the mall jawab Pingkan sambil berusaha mengimbangi kecepatan lari Jack.

"Aduh, kok satpam Taman Mini bisa ditipu juga sama mereka!" keluh Jack. Dalam hatinya. Jack mengakui bahwa penampilan si Kumis, si Botak, dan si Gendut memang cukup meyakinkan orang lain sebagai aparat kepolisian.

"Jack, yang berjaket jins itu siapa? Tadi di mall dia belum ada," Pingkan penasaran.

"Kayaknya dia kuncinya mengapa kita terlacak!" sahut

Jack.

"Maksudnya?"

"Iya, tadi aku ingat lihat orang itu memarkir motornya nggak berapa lama setelah kita parkir... pasti dia sudah menguntit kita tanpa kita ketahui, kita kan tadi fokus ke mobil yang ngejar kita!..." tanggap Jack sambil terus berlari.

Beberapa pengunjung heran juga melihat Jack dan Pingkan berlari kencang, walaupun sebagian besar tetap santai menikmati rekreasi di objek wisata berupa miniatur Indonesia itu.

Lari jarak jauh yang melelahkan itu terbayar. Mereka akhirnya sampai kembali ke Taman Burung. Perasaan Jack sejak tadi sudah tak enak. Maka langsung dilihatnya selang bensin motornya. Kecemasan Jack terbukti. Orang berjins itu pasti telah mencopot selang bensin motornya. Bensin di tangki motor itu pasti sudah tak bersisa!

"Kenapa, Jack?" Pingkan membaca kekhawatiran Jack.

"Bensinnya dibocorin orang itu!" jawab Jack.

"Berhenti!" suara teriakan Farhan. Pingkan dan Jack tertegun menyaksikan Farhan dan dua satpam itu berlari semakin dekat... semakin dekat... tak berjarak... lalu...

Empal: tendangan beruntun Pingkan cukup efektif menjatuhkan dua petugas satpam itu berturut-turut. Sementara itu tiga pukulan Jack terlontar lebih cepat dibanding serangan-serangan Farhan yang makin melambat karena kelelahan berlari. Sebuah lagi pukulan susulan Jack kembali membuatnya terpelanting jatuh.

"Ayo!" ajak Jack kepada Pingkan. Jack dan Pingkan tak tahu harus lari ke mana. Yang penting menjauh dan semakin menjauh dari musuh-musuhnya.

Dua pasang kaki yang makin melemah itu kembali digenjot dua pemiliknya. Lebih repot sesungguhnya bagi Pingkan untuk berlari sambil menggendong backpack-nya. Tapi, tentu dia tak akan membuang tasnya itu karena di dalamnya terdapat buku-buku penting serta beberapa tugas kuliah yang telah diselesaikannya dengan susah payah.

"Ke sana, Pingkan, kita ambil jalan ke stasiun kereta gantung!" Jack mengusulkan.

"Kereta gantung?"

"Skylift or gondola." Jack memberi penjelasan sambil terus berlari.

Ada tiga orang antre di depan Jack dan Pingkan di boks penjualan tiket kereta gantung. Jack dan Pingkan takut kalau-kalau komplotan penculik itu bisa menyusul mereka. Mereka berkali-kali menengok ke belakang, memastikan situasi aman buat mereka.

Dua tiket kini telah digenggam Pingkan. Ia dan Jack bergegas melalui jalan kecil berliku dan menanjak sampai akhirnya sampai ke atas tempat kereta gantung aneka warna itu diberangkatkan. Pingkan menyerahkan dua tiket itu kepada seorang petugas yang kemudian merobek sebagian tiket dan menyerahkan potongannya kepada Pingkan.

Bersama Jack, gadis berpostur bak supermodel ini masuk ke dalam sebuah kereta gantung. Seorang petugas lainnya mempersiapkan kereta ini untuk meluncur naik. Mata Jack dan Pingkan tetap waspada dan terus mengintai, kalau-kalau para pemburu Pingkan itu datang.

Kereta gantung berwarna biru itu baru saja tinggal landas saat Pingkan menjerit...

"Jack, lihat!" Pingkan menunjuk ke bawah, ke arah dua orang yang baru datang. Tanpa disuruh melihat pun, Jack sudah bisa menyaksikan kehadiran si Botak dan si Gendut!

"What are we gonna do, Jack?" Mereka pasti tadi menyela antrean untuk bisa naik skylifr berikutnya!" Dugaan Pingkan terbukti benar karena Slamet dan Boni memang naik kereta gantung berikutnya, memaksa sepasang kakak-beradik yang berada di antrean depan mereka untuk mengambil kereta gantung setelah mereka. Jack dan Pingkan kembali berada dalam ketegangan level tinggi.

"Tapi jarak mereka jauh, Jack! Kita masih bisa kabur saat turun nanti!" Pingkan mencoba menghitung strategi.

"Nggak dong, Kan, kamu nggak tahu kalau kereta ini balik lagi ke stasiun yang sama? Lagi pula, sudah pasti mereka akan kontak teman-temannya untuk menunggu kita di sana!" Jack mengoreksi rencana Pingkan.

Detik-detik yang sedemikian genting. Pemandangan rumah-rumah adat dan berbagai wahana rekreasi yang seharusnya bisa dinikmati Jack dan Pingkan dari atas kereta gantung, menjadi tak menarik saat itu.

"Jack, bukankah itu danau?" Pingkan melihat ke depan.

"Iya, kenapa?" Ekspresi Jack tegang dan serius.

"Kita lompat!" Pingkan memberi usulan.

"Pingkan, kamu nggak serius kan?"

"Jack, kita nggak punya jalan lain!"

Saat ini, kereta gantung mereka mulai memasuki wilayah tepat di atas danau yang ditata dengan pulau-pulau kecil berbentuk mirip pulau-pulau besar yang ada di Indonesia itu.

"Can we open this door, Jack?" Pingkan tak menemukan gagang atau grendel pintu di bagian dalam kereta gantung.

"Setahuku sih bisa... eh, tapi harus dari luar, dibuka sama petugasnya." Jack mulai ngeri menyikapi sifat nekat Pingkan.

"Great! Berikan HP kamu, Jack."

"Mau nelpon siapa? Pulsaku habis, Pingkan."

"Oh, come on, Jack, just give it to me!

Jack pun menurut. Ia berikan telepon genggamnya. Pingkan lantas memasukkannya ke dalam tas punggungnya.
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"This backpack's waterproof," Jack, barang-barang kita aman di sini," jelas Pingkan. Pingkan bergerak ke sisi paling kanan, menundukkan badannya menyesuaikan dengan langit langit dalam kereta gantung. Ia memberi isyarat kepada Jack untuk menepi. Lalu, pandangan tajamnya terarah ke kaca jendela berbahan semacam fiber glass atau plastik yang tak terlalu tebal itu.

DHERRR!!!

Kaca jendela itu pecah ditendangnya! Tangan kanan Pingkan menjulur ke luar mencari cara membuka pintu kereta gantung yang mereka naiki. Pingkan berhasil! Dia membuka pintu itu sedikit lalu memandang Jack yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukannya.

"Ayo, Jack!"

"Pingkan, kamu gila ya?"

"Kata teman-teman sih belum," jawab Pingkan sambil memperhatikan danau di bawah sana.

"Aku nggak akan lompat kalau kamu nggak berjanji untuk lompat setelah aku, Jack," Pingkan menegaskan.

"OK, OK, aku akan lompat." Jack akhirnya memutuskan bahwa tak ada pilihan lain kecuali menuruti ide gila gadis cantik ini.

"Good! Ayo,Jack." Pingkan mengajak Jack ke tepi jendela, memantau bagian danau di mana mereka akan melompat. Di atas perairan danau tak jauh dari miniatur pulau Sulawesi.

Dua sosok itu terbang melesat dari kereta gantung, lalu melayang jatuh ke dalam danau. Dua deburan keras terdengar berturutan. Orang-orang keheranan, sebagian kemudian mendekat ke danau, penasaran ingin melihat siapa yang telah nekat menceburkan diri dari tempat setinggi itu. Untung tak ada satpam di sekitar tempat Pingkan dan Jack menceburkan diri. Keduanya segera berenang ke tepi dan dengan pakaian basah kuyup kembali berlari secepat mungkin, walau kelelahan semakin menyiksa mereka.

"Ke mana kita, Jack?" Pingkan ingin tahu.

"Ke Taman Burung," jawab Jack. Napasnya kian terengah.

"Ke Taman Burung? Bukannya motor kamu tak ada bensinnya lagi?"

"justru itu, Pingkan, mereka nggak bakalan nyangka kita ke sana lagi, kita coba mengecoh mereka," kata Jack mencoba meyakinkan Pingkan.

"Lah trus ngapain kita ke sana kalau bukan untuk kabur?" tanya Pingkan.

"Juned. kita makai motor Juned!"

"Kita ke sana, Pingkan, di sana kalau nggak salah ada pintu keluar lewat perumahan warga gitu!" kata Jack bersemangat, telunjuk kirinya menunjuk ke suatu arah. Saat ini, ia dan Pingkan sudah berada di atas motor trail Suzuki milik juned.

"OK, it's up to you, jack, just take the quickest way?" tanggap Pingkan. Pandangan dari sepasang mata indahnya masih berpindah ke mana-mana, mewaspadai kalau-kalau kelompok penculiknya atau satpam-satpam yang berhasil mereka kelabui masih mengikuti mereka.

Tiba-tiba, kedua insan jago berkelahi ini melihat tiga orang satpam muncul dari arah yang berlawanan. Jack langsung mengerem. Motor itu diputar arahnya. Pingkan menjerit cemas. Kendaraan roda dua dengan ban bergerigi itu pun melaju lagi.

Hampir saja motor itu jatuh karena _Jack menikung jalan dengan posisi motor yang agak kelewat miring. Pingkan takut setengah mati. Tapi, yang membuat Pingkan lebih takut adalah saat menoleh ke belakang, ia melihat si lelaki kurus berjaket jins itu mengikuti mereka dengan sepeda motor juga, sebuah sepeda motor dengan CC besar. Pingkan segera memberi tahu Jack. Jack melihat pada kata spion. Walau wajah laki-laki itu tertutup helm, jelas terlihat busana yang dikenakannya. Apalagi Jack juga sudah melihat sepeda motor yang digunakannya di parkiran tadi, Kawasaki dengan dengan CC yang sama besar dengan motor trail yang sedang ia naiki bersama Pingkan. Kejar-kejaran yang tadi terjadi di Jalan T.B. Simatupang kini berpindah ke Taman Mini. Beberapa kali jack nyaris saja

menabrak pengunjung, terutama mereka yang berjalan kaki agak di tengah jalan raya.

"Goblok!" Maki seorang bapak yang takut anaknya terlanggar motor Jack dan Pingkan. Untunglah tak ada yang tertabrak atau terserempet.

Kelihaian Jack membawa motor trail juga diimbangi dengan kewaspadaan yang tinggi. Berkali-kali laki-laki itu hampir saja menyusul Jack dan Pingkan, namun Jack memanfaatkan tikungan-tikungan untuk melintas dan melakukan zig zag di jalan-jalan yang tak begitu dikenal oleh si Kurus yang memburu mereka. Walhasil, Jack dapat tetap menjaga jarak aman dari sepeda motor pengajarnya. Tapi, di sebuah pertigaan, sebuah mobil ke luar dari tikungan... mobil van Slamet cs dari arah yang berlawanan!

"Oh, Tuhan!" Pingkan memekik. Jack harus cepat ambil keputusan. Dibantingnya motor itu ke kanan, naik trotoar dan maju melesat meninggalkan dua kendaraan pengejarnya. Sebuah kereta melintas di depan dengan banyak turis bule yang berada di gerbong-gerbongnya. Mereka memekik tertahan.

WUSSS !!!...

Nyaris saja motor pinjaman itu tertabrak kereta. Si Kurus mengumpat karena terhalang oleh kereta. Mujur buat si Kurus dan Slamet cs, kereta itu tak punya banyak gerbong hingga pengejaran mereka terhadap orang yang ingin mereka culik pun dapat dilanjutkan.

"Aku akan cari jalan memutar, kalian terus aja nanti kita gunting dia dari dua arah!" Si Kurus memberi arahan

kepada teman-temannya di mobil Suzuki APV hitam saat mereka melaju berdampingan.

"OK, Dika, kita buat dia tak berkutik!" Farhan menanggapi temannya. Si Kurus yang ternyata bernama Dika itu lalu menikung ke kanan, mencoba mencari jalan agar dapat menggiring Jack dan Pingkan pada posisi skak mat, tak berkutik karena tak ada jalan lolos.

"Jack! Jack! Yang pakai motor berputar! Mau apa dia?" Pingkan memberi peringatan. Jack memutar otak. Ia ambil tikungan di kanan. Keputusan yang salah. Di hadapan Jack dan Pingkan, motor Kawasaki itu kini berbalik arah lagi dan melaju kencang. Di belakang mereka, meluncur mobil van yang juga dipacu kencang pengendaranya. Kali ini, Jack tak mau berhenti atau berputar. Ia tancap gas naik ke sebuah lahan yang dipakai rumah makan dan mencari jalan pintas lewat jalan rerumputan. Usaha yang tak sia-sia memang, namun baru saja motor Jack menginjak jalan raya, dua kendaraan pengejarnya kembali bisa merapatkan jarak. Sambil tancap gas, otak Jack terus berputar mencari solusi dalam situasi yang sedemikian terdesak. Dan, keputusan itu pun diambil. Jack membanting ke kiri ke arah Pintu Satu yang hanya memfungsikan satu jalan untuk masuk dan keluar karena pintu satunya lagi sudah dipakai untuk menaruh lintasan-lintasan freestyle motocross itu.

"Jack, pintu keluar itu antre! Kita pasti tertangkap mereka!," seru Pingkan. Dan memang, APV hitam serta Kawasaki itu kini melaju tepat di belakang mereka.

"Siapa bilang kita ke pintu utama?"

"Jack! You're not saying you're gonna... Oh, my God?"

"Pingkan! Pegangan yang kuat!"

Sepeda motor itu dipacu maksimal melewati lintasan tiang itu.

Rmeeeeeeeeeeeeeennngggggg!!!...

Motor pinjaman itu terbang! Tinggi. Sangat tinggi. Melampaui ujung mulut raksasa kala makan: dari pintu yang seharusnya difungsikan sebagai pintu keluar, lalu...

JEDIGGGH!!!

Motor yang baru mendarat di luar Pintu Satu Taman Mini itu sempat oleng sebelum direm oleh Jack dan berputar membalik arah. Para pengejarnya gigit jari. Dika tak berani naik lintasan itu dengan motor yang lebih cocok dipakai balapan atau touring itu. Slamet cs di mobil van juga pesimis bakal bisa cepat menyusul Jack karena antrean di pintu gerbang itu terlalu panjang. Kalau mereka ngotot ingin duluan dan lalu terjadi perdebatan panjang, bisa-bisa malah terbongkar penyamaran mereka.

Saking senangnya Jack bisa membawa Pingkan lolos dari para pengejarnya, tak sadar Jack mengejek komplotan itu dengan melakukan kiss bye dari kejauhan dengan merapatkan jari-jari tangan kanannya ke bibir lalu meniupkannya ke arah mereka. Para pemburu Pingkan diam dan geram akibat kekecewaan yang mendalam.

"Adios, amigo! ila liqoi maassalamah!" teriak Jack. Ada nada seloroh bercampur kesal pada ejekan Jack yang menggabung dua bahasa asing dan berarti lebih kurang "selamat tinggal, teman! sampai jumpa!" itu kepada para anggota komplotan penculik itu. Pingkan hanya bengong melihat Jack. Tak pernah ia melihat Jack seekspresif itu.

**

MOTOR PINJAMAN JACK DARI JUNED YANG DITUMPANGI JACK DAN Pingkan itu tengah melaju lancar. Jalan-jalan lewat pasar memang kerap dihambat macet. Lalu lintas padat merayap. Selepas Lubang Buaya tadi Jack berniat meluncur ke Pondok Gede untuk menuju Jati Makmur, Jati Kramat, lalu memintas jalan ke Jatibening untuk mengantar Pingkan ke rumahnya.

"Jack, motor kamu nggak apa apa tuh ditinggal di Taman Mini?" Pingkan membuka keheningan yang sempat terjadi semenjak sepuluh menit lalu.

"Nggaklah, Kan, kan aku udah titip ke Juned. Bagaimanapun, dia salah satu sohib aku sejak SMA," tanggap Jack.

"Sobatan dengan dia karena suka motocross?" tanya Pingkan.

"He-he... sebenarnya bukan cuma motocross, kami juga dulu sempat latihan tinju bareng," tambah Jack.

"Latihan tinju? You're kidding aren't you?"

"Serius, Kan," Jack menegaskan.

"Gara-gara suka Mohammad ali seperti Kamu bilang tadi?"

"He-he betul, aku banyak meniru gaya Ali, menari bagai kupu-kupu, tapi menyengat seperti lebah. Dulu kami sempat latihan tinju di sebuah sasana di daerah Otista, sasana milik Oom Pieter. Tapi Juned cuma bertahan sebulan sih, bosan katanya. Aku yang sempat latihan tiga bulanan, padahal waktu itu aku juga sudah latihan karate." Tiap kali membahas tentang tinju atau beladiri, semangat Jack selalu bangkit.

"Kenapa cuma tiga bulan?" tanya Pingkan.

"Ketahuan sama Bapak dan Ibu, mereka nggak setuju aku bertinju. Kata mereka bahaya dan nggak jelas masa depannya. Alih alih jadi juara, kata mereka, kalau tak hati-hati malah aku bisa mati. Soalnya, sasana Oom Pieter itu memang lebih banyak menyiapkan petinju-petinju di ring profesional, ketimbang yang amatir, yang pakai pelindung kepala itu," papar Jack lagi.

"Mungkin kalau kamu teruskan dulu, sekarang kamu sudah jadi petinju profesional kelas dunia, Jack," goda Pingkan.

"Kamu mulai lebay deh, di tinju itu saingannya banyak tauk!" Semakin hilang rasa rikuh yang selama ini Jack rasakan setiap berbicara dengan gadis jelita ini.

"Ya. siapa tahu, kan? You can never tell, Jack," sahut Pingkan.

"Dulu sih pernah ditawari Oom Pieter untuk dilatih lebih serius. Beliau tertarik untuk mengorbitkan aku karena melihat aku latih tanding lawan anaknya yang juga teman

SMA-ku, Vincent. Padahal kami sparring cuma tiga ronde lho, dan Vincent itu sudah latihan tinju sama papanya sejak usia sembilan tahun," kata jack sambil mengenang kejadian beberapa tahun silam itu.

"Kamu menang? Maksudku kamu menang waktu lawan Vincent itu?" Pingkan jadi makin tertarik. Jarang-jarang pemuda cool ini bercerita agak panjang kepadanya.

"Nggak menang sih, bibirku malah pecah, tapi Vincent sempat kupukul jatuh sekali di ronde kedua, he-he-he. Usai latih tanding itu, papanya bilang pertarungan kami seperti pertarungan legendaris Thomas Hearns lawan Sugar Ray Leonard," jelas Jack.

"Wah, sapa lagi tuh, Jack?" Pingkan tak pernah mendengar dua nama besar di kancah tinju dunia itu.

"Itu dua legenda tahun delapan puluhan... main deh sekali-kali ke rumahku. aku punya koleksi VCD dan DVD tinju, nggak banyak sih, tapi seru-seru semua pertarungannya." Jack juga heran mengapa segala kegugupannya di hadapan Pingkan perlahan melenyap.

"Benar nih mau ajak aku ke rumahmu? Nanti pacar kamu cemburu?" Pingkan pun makin tak sungkan menggoda Jack. Sementara itu, yang digoda hanya tertawa kecil. Kemacetan di sekitar mereka, yang seharusnya terasa sebagai Siksaan, saat itu tak terasa sama sekali.

Oh, jack. if only you knew kota eh about you? Bunga-bunga asmara itu makin mekar di hati Pingkan.

Lewat Pondok Gede menjelang Wilayah jati Makmur, jalan masih tersendat macet. Pandangan Jack tiba-tiba tertumbuk ke

depan, pada seorang anak kecil, sepuluh tahunan, berwajah imut namun berkaus dan celana lusuh. Tangan kanannya menggenggam alat musik seadanya, berupa bekas botol plastik air mineral ukuran sedang yang diisi beras dan dipakai sebagai alat musik untuk mengamen di mobil-mobil angkot. Anak itu berjalan sambil menyanyi lagu-lagu orang dewasa dengan suara seadanya bersama teman temannya, dua anak jalanan yang juga lusuh dan kumal.

"Gibran?" teriak Jack pada si anak. Si anak itu kaget, lalu membalikkan badannya. Begitu melihat Jack, anak ini langsung berbalik dan mengajak dua temannya untuk minggat.

"Gibran! Gibran! Jangan lari, Gibran!" seru Jack. Beberapa pengendara motor lain jadi menoleh ke arah Jack. Jack tak peduli. Ia terus memanggil-manggil Gibran.

"Udah kabur kayaknya, Jack, it's no use to shout, he's already gone, Jack," komentar Pingkan.

"Tak ada gunanya berteriak. dia sudah pergi. Jack. Siapa anak itu. Jack? Saudara kamu? "


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Emptiness Of Soul Karya Andros Luvena The Spiderwick Chronicles 3 Rahasia

Cari Blog Ini