Ceritasilat Novel Online

Kupu Kupu Pembunuh Naga 3

Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan Bagian 3



"Sodara agak jauh gitu deh, Gibran itu masih sepupu jauh Ibu," Jack menerangkan.

"Ibunya single parent seperti mama kamu." Perasaan Jack masih kecewa Gibran tak mau mendengar panggilannya.

"Ibunya Gibran itu, Pok Eli, masih terhitung sepupuan sama ibuku sebenarnya. Nah, si Pok Eli ini juga bibi dari si Aji Pelor, musuh kamu itu," Jack menambahkan keterangan tanpa diminta.

"Wah kamu sebenarnya masih saudaranya musuhku dong?" Pingkan mengambil kesimpulan.

"He-he... iya, saudara jauhlah disebutnya. Pok Eli pernah cerita kalau sebenarnya Aji sayang banget sama ponakannya

itu. Sebab, si Aji kan nggak punya adik, jadi kayaknya dia pingin banget punya adik, tapi ibunya bilang nggak bisa punya anak lagi. Mungkin itu sebabnya Aji sayang banget sama Gibran, walau sekarang perhatian Aji ke Gibran semakin berkurang. Ini yang bikin Pok Eli tambah sedih," tambah Jack.

"Trus tadi kamu belum jelaskan kenapa Pok Eli bisa jadi single parent?"

"Wah, itu tragedi banget deh. Pok Eli kan pernah kena musibah tabung gas elpiji tiga kiloannya meledak pas dia lagi masak. Pok Eli kena luka bakar di tangan dan wajah. Padahal tadinya manis lho Pok Eli ini. Tapi luka bakar di wajahnya membuat dia jadi... ya, boleh dikata, kecantikannya hilanglah, Pingkan... Eh, nggak tahunya sekitar setahun kemudian suaminya ketahuan punya istri lagi. Akhirnya, Pok Eli minta pisah. Kesianlah pokoknya kehidupannya sekarang."

"Hmm, no wonder, men!" tanggap Pingkan.

"Ya, nggak semua laki-laki begitu, kali?" Jack memprotes pernyataan Pingkan barusan.

"Hi-hi-hi... I was just leasing you, Jack. Kamu sensi banget sih? By the way, memang tadinya cantik banget si Pok Eli itu?"

"Ya, nggak secantik kamu sih... eh, maksud aku... mm maksudnya... Pok Eli itu untuk ukuran orang kampung ya termasuk bunga desa atau... ya gitu deh," kegugupan Jack tiba-tiba datang lagi saat ia keceplosan memuji kecantikan Pingkan. Aduh, kenapa bisa kelepasan sih.? keluhnya dalam hati.

Sementara itu, ada semu merah di pipi Pingkan. Ia sudah sering mendengar orang memuji kecantikannya. Tapi, yang ini istimewa karena datang dari seseorang yang membuatnya jatuh cinta.

"OK, OK, I got it... tapi kenapa juga kamu tadi kelihatan kecewa waktu si Gibran nggak mau menurut saat kamu panggil?" kata Pingkan sambil mencoba mengendalikan perasaannya yang tengah melambung jauh ke langit.

"Gibran itu dulu rajin ngaji sama Ibu di masjid, ya ngaji sama aku juga karena kadang-kadang Ibu minta aku gantikan ngajar ngaji kalau pas ada acara atau keperluan. Terus tiba-tiba dia menghilang begitu saja, nggak berapa lama kemudian, Pok Eli datang ke masjid. Waktu itu, pas aku yang lagi ngajar anak-anak. Pok Eli cerita kalau Gibran sekarang suka pulang telat karena diajak main teman-temannya yang begajulan," papar Jack.

"Begajulan? Bandel maksudnya?"

"Yap, tapi waktu itu Pok Eli juga nggak tahu Gibran dan teman-temannya main ke mana, makanya aku tadi bener-bener surprise lihat dia ngamen sama anak-anak itu," tutur Jack, prihatin. Ia teringat Gibran yang lucu dan cerdas, yang mulai mengaji sejak kecil. Sungguh sayang kalau anak imut dan agak gendut itu tumbuh jadi preman seperti Aji atau tak jelas hidupnya macam Lutfi atau Upi, adiknya.

Percakapan antara Jack dan Pingkan berlangsung semakin akrab. Mungkin itu terjadi akibat ada semacam perasaan senasib karena mereka baru saja mengalami peristiwa yang luar biasa. Masuk wilayah Jati Makmur, lalu lintas kembali lancar. Motor itu kini melaju mulus.

Keletihan yang tadi tak dirasakan kini datang menyerang tubuh Jack. Sampai dia harus menepi sejenak di sebuah toko untuk membeli kopi kaleng. Perasaan Jack sungguh tak enak. Tadi ia perhatikan, ekspresi Bu Vita tak seramah biasanya. Memang tak begitu sering ia bertatap muka dengan ibunda Pingkan ini. Tapi seingat Jack, Bu Vita selalu ramah dan bersahabat kepadanya. Cara Bu Vita berkomunikasi dengan semua orang memang menyenangkan. Ia tak pernah meremehkan orang. menganggap orang lain, yang berada pada kelas sosial marjinal, misalnya, sebagai orang yang harus direndahkan. Jack menduga sikap itu juga diturunkan kepada putrinya, Pingkan, seperti yang Jack amati selama ini. Gadis itu selalu ramah dan menghargai setiap orang yang ia temui, kecuali tentu saja terhadap orang-orang yang bermaksud mencelakainya seperti komplotan tadi atau si Aji Pelor. Tapi tadi, tatapan Bu Vita sungguh dingin, hambar. Senyum, yang biasa menghias wajah yang masih memerlihatkan kecantikan yang terpelihara itu, tak muncul saat Jack mengantar Pingkan pulang. Ada perasaan cemas di hati Jack, kalau-kalau Pingkan dimarahi habis-habisan oleh mamanya.

Dan memang itulah yang terjadi sekarang. Di ruang keluarga di rumahnya, Pingkan kini bak seorang tersangka yang tengah ditanyai oleh seorang jaksa yang tak lain adalah mamanya sendiri. Bu Vita baru saja meminta putrinya untuk duduk.

"Kenapa kamu tak pernah bilang kalau kamu selama ini diantar jemput ke kampus oleh Jack?" Suara sang mama terdengar meninggi.

"Dari mana Mama tahu?" selidik Pingkan.

"Tadi Mama telepon Prudence."

"Terus Prudence cerita apa aja, Ma?" Pingkan cemas. Ia takut status hubungannya dengan Andre dan juga perasaannya kepada Jack pun dibeberkan Prudence kepada mamanya.

"Ya, Prudence cerita ke Mama kalau kamu minta Jack untuk antar ke kampus, kan? Bukankah kesepakatannya waktu Pak Joko mulai sakit itu kamu cuma diantar sampai jalan tol?"

"That's it?" selidik Pingkan.

"That's it, memang ada apa lagi?" Sang ibu sesungguhnya tak sepenuhnya jujur. Tadi, karena Pingkan bolak-balik tak bisa ditelepon, saat Bu Vita menelepon Prudence, sahabat dekat putrinya itu lalu juga ikut khawatir. Maka, Prudence membuka rahasia yang seharusnya ia simpan, bahwa Pingkan sudah putus dengan Andre dan kini mulai jatuh cinta kepada Jack. Sang mama lalu memeriksa satu ponsel putrinya yang tertinggal di rumah. Dari SMS-SMS yang dikirimkan kepada Cherry, Rena, dan terutama Prudence, sang ibu lalu makin yakin bahwa apa yang diungkap Prudence terbukti benar.

"Tadi itu kamu ke mana, Pingkan? Kenapa HP kamu yang satu tak kamu angkat-angkat?" selidik Bu Vita.

"Tadi... tadi HP-nya jatuh, Ma " Pingkan sedikit gugup.

"Jatuh di mana? Kok bisa?" Mamanya penasaran.

"Tadi... Pingkan mampir ke Gramedia Pondok Gede, cari buku buat bahan teori paper Komunikasi, HP itu jatuh kayaknya waktu Pingkan ke toilet."

"Kok bisa jatuh?" Ibunya terus menginterogasi.

"Ya nggak tahu, Ma. tadi kan Pingkan fokus cari buku, jadi nggak sadar kalau HP jatuh atau barangkali someone

Stole it from me, I don't know..." Makin gelisah sang putri karena terpaksa berbohong untuk menutupi kejadian tadi.

"Ya kalau begitu kamu harus hubungi provider-nya dong, biar nomornya bisa tetap kamu pakai," kata Bu Vita.

"Ya, besok ajalah, Ma, Pingkan capek." Pingkan mencari alasan untuk mengakhiri percakapan, walaupun memang betul saat itu ia benar-benar lelah.

"OK, tapi lain kali kamu nggak boleh buat kesepakatan sendiri ya? By the way, kamu bayar uang tambahan ke Jack, kan?" Sang mama ingin memastikan.

"Ya iyalah, Ma, masak gratis? Pingkan ke kamar ya."

**

Pingkan masuk ke kamarnya, melempar backpack itu ke lantai, lalu melompat, merebahkan diri ke tempat tidurnya. Matanya hampir terpejam ketika samar-samar terdengar sesuatu dari dalam tas punggungnya. Ia paksakan diri untuk meraih tas itu. Jack's handphone! ! forgot to give it back.:...

karena takut ada yang penting diangkatnya telepon genggam Jack itu.

"Halo..."

"Assalamualaikum?" suara lembut di seberang sana.

"Alaikum salam..." sahut Pingkan.

"Maaf, ini handphone Bang Jack?"

"Iya betul tapi ketinggalan di tas saya, tadi... tadi kami ada acara," balas Pingkan.

"Maaf, ini siapa?"

"Ini Lela."

"Lela? Teman Jack?"

"Mm, iya... maaf, Mbak siapa?"

"Saya Pingkan."

"Oh, Mbak Pingkan, ya udah maaf, salamualaikum," Lela menutup percakapan.

"Alaikum salam," fasih juga gadis Katolik ini menjawab salam khas umat Islam ini. Sesungguhnya teman-teman dekat Pingkan banyak juga yang muslim, termasuk Cherry dan Rena.

Lalu, di layar ponsel Jack ia lihat ada 9 panggilan tak terjawab. Ada terbersit niat Pingkan untuk mencari cara menghubungi Jack. Namun, Pingkan sudah terlalu lelah... dan lalu terlelap.

Sementara itu, di dalam sebuah angkot, Jack juga terlelap. Tadi ia mengembalikan motor Juned ke rumahnya di daerah Rawa Bacang. Jack baru terjaga lima menit sebelum angkot itu tiba di depan jalan menuju rumahnya.

Sampai di rumah, Pok Uun, ibu Jack, langsung ke luar rumah, disusul oleh Wati, putri bungsunya.

"Kiki! dari mana aja, Ki? Pegimana sih Ibu sama Wati telepon terus, tapi ntu HP diantepin terus? Bapak sakit lagi, Ki!" Ekpresi wajah sang ibu terlihat sangat cemas.

"Iya, Bang Kiki kemana aja? Bapak sesak lagi," Wati menambahkan.

"Motor lu mana, Ki?" Ibunya heran Jack datang tak mengendarai sepeda motornya.

"Motor tadi dipinjam teman, insya Allah besok dibalikin, Bu, kalo hape... iya tadi teman Kiki ada perlu penting, terus lupa kebawa sama dia," Jack tak berani berterus terang.

"Itu pipi lu kenapa? abis brantem, Ki?" Pok Uun melihat memar di bawah mata kiri anaknya,

"Mm... tadi, biasa, ketemu teman karate SMA, kita sempat sparring gitu, Upi mana, Bu?" Jack bertanya tentang Lutfi, adiknya, agar topik pembicaraan bisa teralih.

"Ah, dia lagi, tau dah maen motor mulu, kata si Candi kemana, Wat?" Sang ibu bertanya pada Wati.

"Kata Bang Gandi dia turing ke Cianjur apa ke Cileungsi, Bang," Wati menjelaskan.

Jack tak menanggapi keterangan Wati tentang Lutfi. Ia bergegas ke kamar orangtuanya. Ibu dan adiknya menyusul. Di atas ranjang tua ayahnya berbaring dengan posisi setengah ducluk, ditopang tiga buah bantal. Di bawah tempat tidur terdapat baskom kaleng untuk menampung dahak laki-laki yang terpaksa pensiun dari pekerjaan mengojeknya itu.

Jack tak tega melihat keadaan orang yang dipanggilnya Bapak itu. Napasnya tersengal. Lebih tersengal dari biasanya. Wajahnya pun pucat.

"Ada darah lagi di dahak Bapak," Pok Uun mengabari putranya.

"Bapak mengeluh pusing terus, Bang," tambah Wati.

"Bawa ke dokter aja lagi ya, Jack?" sang ibu mengusulkan.

"Jangan ke dokter umum, Bu, ke rumah sakit aja," Jack pikir ayahnya perlu pengobatan yang lebih baik.

"Bapak mau ke rumah sakit, ya?" Jack menggenggam tangan orang yang telah berjuang puluhan tahun demi menghidupi keluarganya ini. Kemarin-kemarin memang Jack dan ibunya harus membujuk agak lama dulu sampai Bapak mau pergi ke dokter. Kali ini, Pak Joko tak menolak ajakan anaknya. Ia langsung mengangguk pelan.

"Ibu, Kiki ke depan cari taksi ya,"

"Uangnya ada, Ki?"

"Ada, Bu, tapi bawa kartu ATM Bapak deh jaga jaga."

Pak Joko ternyata harus dirawat. Di rumah sakit kecil dijalan Raya Hankam itu Pak Joko menempati kamar perawatan kelas tiga. Kamar sederhana dengan empat tempat tidur. Sebuah televisi kecil menjadi satu-satunya hiburan bagi pasien di dalam sana jika mereka tak ditemani keluarganya. Untungnya selain Pak joko ada satu pasien lain, seorang laki-laki lebih kurang seusia Pak joko yang hanya ditunggui istrinya.

Jack meminta ibu dan adiknya untuk pulang saja. Jack takut mereka malah ikut menjadi sakit. Tadinya sang ibu bersikeras untuk menginap menunggui sang suami tercinta, namun Pak Joko minta istri dan putri bungsunya pulang saja. Ia bilang cukup Jack sa|a yang menungguinya. Akhirnya Pok Uun pun menurut.

Kesederhanaan ruang perawatan ayah Jack kontras sekali dengan ruang perawatan ber-AC dengan kamar mandi yang dilengkapi dengan water heater dan tempat tidur yang dapat dikendalikan dengan remote control di sebuah rumah sakit bertaraf internasional di Jakarta Pusat. Kulkas, ruang tamu, TV layar datar, telepon, intercom yang dihubungkan dengan ruang perawat, kamar mandi, lemari, dan sofa bed menambah lengkap fasilitas ruang VLP itu. Di atas tempat tidur, seorang perempuan empat puluh sembilan tahunan terbaring lesu. Selang infus dan selang oksigen sudah jadi perlengkapan wajib wanita yang tubuhnya sudah sangat kurus

ini. Ia mengenakan penutup kepala karena rambutnya telah rontok akibat kemoterapi dan radiasi untuk menyembuhkan atau paling tidak memperlambat serangan kanker payudara stadium tinggi yang dideritanya. Kankernya sudah menyebar ke organ-organ lain di tubuhnya. Dokter pun meramal usia pasien ini tak akan lama lagi. Duduk di sebelahnya seorang laki-laki yang mengenakan seragam pembesuk pasien berwarna hijau. Laki-laki inilah yang sejak dua bulanan yang lalu membiayai seluruh pengobatan dan perawatan si perempuan yang, walaupun sudah kurus kering dan tak lagi memiliki rambut indahnya, masih menyisakan gurat gurat kecantikan masa lalunya itu.

"Sekali lagi aku minta maaf, Mas Pram, kesalahanku terhadap Mas tak terampunkan," kata si perempuan dengan napas yang susah. Ada linangan air mata yang jatuh pada kedua pipinya.

"Sudahlah, Yessy, kamu nggak perlu mengulang-ulang itu, justru aku yang harus minta maaf karena seharusnya dari dulu aku membawamu ke sini. Harusnya sejak dulu kamu beri tahu aku, Yessy," sesal si laki-laki itu. Walau tak menangis, ia tak bisa menyembunyikan kesedihan di wajahnya.

"Bagaimana kabar Angga, Mas?" Perempuan yang dipanggil Yessy bertanya tentang anaknya, anak mereka, yang sejak perceraiannya dengan sang lelaki yang tengah menungguinya kini, tinggal bersama sang ayah. Selalu Yessy bertanya tentang Angga. Rasa bersalah kepada buah hatinya itu demikian besar. Apalagi sang anak selalu menolak setiap diajak ayahnya mengunjungi Yessy. Angga masih trauma dan sakit hati pada ibu kandungnya.

"Baik, alhamdulillah, dia sudah kurangi aktivitasnya, Yessy. Angga mau konsentrasi di bimbingan belajar. Biar bisa masuk ITB katanya," jawab Pram, sang mantan suami.

Yessy tersenyum, lalu menangis lagi. Yang ada di benaknya hanya penyesalan demi penyesalan. Mengapa dulu ia tinggalkan laki-laki yang baik dan penuh tanggung jawab ini demi mengejar kenikmatan sesaat bersama seorang laki-laki bernama Bramastyo Adi Prayitno. Padahal Bram, begitu laki-laki berengsek itu dipanggil, adalah temannya sekaligus teman mantan suaminya sendiri, Pramono Baskoro, karena mereka bersekolah di SMA yang sama. Mengapa dulu ia sampai menanggapi godaan dan pancingan Bram dan meninggalkan Pram. Pram memang tak setampan dan sepopuler Bram. Teman-teman dari Pram, mantan suaminya yang berkacamata sejak SMP itu, cuma mereka yang kebetulan sekelas dengan dia. Kalau ada yang lain, paling-paling teman dia di ekskul karya ilmiah. Sementara Bram wakil ketua OSIS, jago basket dan memiliki paras yang memikat bukan hanya teman-teman seangkatannya, melainkan para kakak kelas dan adik kelas perempuannya. Teman dan penggemar Bram banyak sekali dan ia sadar betul bahwa ia punya modal untuk jadi playboy. Dan ia mengambil kesempatan itu.

"Aku pulang dulu, Yessy, Andini menungguku." Pramono menyebut nama istri yang dinikahinya setelah lama bercerai dengan Yessy. Dari Andini Pramono dikaruniai seorang putri yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

"Salamku buat Andini dan Si kecil ya, Mas," ucap Yessy lemah.

"Baik, akan kusampaikan. Cepat sembuh ya," dengan sopan Pram menggenggam tangan Yessy lalu melepaskannya

pelan-pelan. Matanya berkaca-kaca. I'll always love you, Yessy!" Pram hanya berani mengatakannya dalam hati.

Sepeninggal Pram, Yessy kembali menangis. Penyesalan itu ternyata tak ada habis-habisnya. Padahal, dulu di SMA Yessy menolak saat Bram menyatakan cinta pada salah satu "bunga SMA" ini. Justru beberapa tahun setelah lulus SMA, saat ia telah jadi istri Pram dan punya satu putra yang lucu, mengapa ia bisa iatuh ke dalam pelukan lelaki yang bukan muhrim-nya? Kejadiannya berawal saat Bram mulai sering mengontak suaminya untuk urusan kerja sama bisnis mereka. Kadang di kantor, tak jarang pula di rumah. Maka, bertemulah Yessy kembali dengan laki-laki yang pernah ia tolak perasaannya itu. Rupanya, si laki-laki yang punya reputasi sebagai penakluk perempuan itu penasaran. Segala jenis rayuan dan bius asmara ia tebarkan. Yessy pun masuk perangkap Bram. Yang lebih Yessy sesali adalah mengapa saat selingkuh mereka terbongkar, dirinya malah sibuk mencari dalih dan alasan untuk membela Bram dan menyalahkan suaminya, Pram.

Padahal suaminya begitu gigih memintanya meninggalkan Bram dan kembali kepadanya dengan janji akan memaafkan dan melupakan kekhilafan istrinya. Keluarga Yessy juga berusaha keras mengingatkan perempuan cantik yang sedang menyimpang jalan itu. Namun, Yessy bergeming.

Singkat cerita, palu hakim pun digetok. Ia resmi bercerai dari Pramono dan hak asuh Angga jatuh pada mantan suaminya. Herannya, kala itu Yessy tak peduli. Ia hanyut dalam cumbu rayu Bramastyo. Lebih kurang dua tahun

setelah kejadian itu, Yessy mulai sadar bahwa ia cuma jadi salah satu gulagula pelengkap stoples kudapan Bramastyo saja. Janji dinikahi secara resmi hanya tinggal tiupan angin surga. Mereka cuma menikah sirri'. Dan beberapa bulan setelahnya, Bramastyo sudah merengkuh peluk dari perempuan-perempuan lain. Ah betapa kotor dan berdosanyu diriku ya Allah! Hati Yessy sering menjerit sesal, walau ia tahu itu tak akan berguna. Saat Bram akhirnya bosan dan meninggalkannya, Yessy tak lagi punya apa-apa. Perempuan lulusan SMA ini tak punya keluarga, tak punya pengalaman kerja, dan tak punya keterampilan apa apa. Dari status istri Pramono yang sangat kaya raya beralih menjadi istri sirri alias simpanan Bram yang berkecukupan dan akhirnya jadi perempuan malang, nelangsa dan sendirian. Masih untung ayah-ibunya mau memaafkannya dan meminta Yessy tinggal bersama mereka di rumah sederhana mereka di Cililitan.

Pramono tahu betul usia Yessy barangkali tinggal menghitung hari saja. Sejak diberi tahu oleh Yuni, adik Yessy, tentang penyakit kakaknya, sontak luluh juga perasaan marahnya kepada Yessy yang tega meninggalkan dirinya dan Angga demi seorang lelaki yang tak bertanggung jawab. Sesungguhnya Pram memang tak pernah bisa membenci Yessy. Cintanya pada Yessy terlampau besar. Maka, keesokan harinya ia jemput mantan istrinya yang selama ini berobat jalan seadanya ke berbagai pengobatan tradisional karena tak kuat membayar biaya pengobatan rumah sakit penyakit kanker yang dideritanya itu. Tiga hari berselang, salah seorang dokter ahli memberi tahu Pram bahwa tim dokter telah memprediksi

bahwa usia Yessy tak akan lama lagi. Kalau kemarahan kepada mantan istrinya itu telah padam, kegeramannya kepada Bramastyo justru jadi semakin besar. Bram-lah yang harus bertanggung jawab! Jika Bram tak meninggalkan Yessy, tentu kanker yang dideritanya tak akan separah sekarang dan bisa diobati karena stadiumnya pasti masih dalam taraf bisa diobati. Tidak seperti dua bulan lalu, saat dokter mengatakan bahwa kanker payudara Yessy sudah mencapai stadium yang sangat membahayakan. Operasi pengangkatan pun sudah tak mungkin lagi dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya. Maka, di dalam sedan Mercedez Benz merah marun yang dikemudikan dengan kecepatan sedang oleh sang sopir, dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Pondok Cabe, Pram beberapa kali mengumpat dalam hatinya. Mengapa rencananya untuk memberi pelajaran kepada Bram, lewat orang-orang yang sengaja direkturnya mengalami kegagalan? Pram kesal. Bukan karena ia sudah banyak keluar uang untuk mereka. Uang tak pernah jadi masalah untuk seorang pemimpin perusahaan besar sepertinya. Yang membuatnya geram adalah kegagalan anak buahnya itu bisa membuat rencananya membalas dendam kepada Bram jadi gagal total.

Di salah satu meja di sebuah restoran ayam bakar di daerah Cawang, lima orang berbincang serius. Mereka memilih meja di sebuah pojok, menjauh dari beberapa pengunjung lain yang lebih memilih meja-meja di tengah restoran. Hidangan lezat di depan mereka tak begitu jadi perhatian.

"suhu tadi dimarahi bos:" Slamet botak bertanya. Yang ditanya duduk di kursi bagian ujung, seperti sedang memimpin rapat di kantor.

"Bukan dimarahin lagi, Mas, didamprat aku sama Mas Pram!" kata yang ditanya kesal.

"Kami memang nggak nyangka kalau gadis itu kemampuan beladirinya segitu hebatnya, Chen," Boni menjelaskan.

"Tendangannya maut! Aku rasa dia belajar taekwondo, Chen," tambah Farhan yang duduk di sebelah Slamet.

"Tendangan beruntun dan tendangan cangkulnya itu khas taekwondo banget."

"Tapi elu berlebihan tadi, Kumis, elu bisa bikin mereka mati tadi, Han," Dika yang duduk berseberangan dengan Farhan mengingatkan. Boni di sebelah Dika ikut mengangguk-angguk setuju.

"Ya, maap, maap, gua akui gua emosi tadi, sebab pukulan pacarnya bikin bibir gua pecah nih," Farhan menunjukkan bibir atasnya yang terluka kepada kawan-kawannya.

"Sudah-sudah, boleh jadi memang persiapan kita nggak matang, data yang kita punya masih kurang. Tapi di sisi lain, kalian ini benar-benar tolol! Masak berkelahi lawan dua mahasiswa saja kalian keok? Masih untung Mas Pram masih mau memberi kita kesempatan, sekarang apa rencana kalian?" Yang dipanggil Chen atau Suhu ini jelas pemimpin kelompok Slamet yang malam itu sudah tak berseragam palsu mirip polisi seperti yang mereka kenakan tadi siang.

"Aku sudah pelajari handphone-nya si Pingkan, Suhu. Untung dia belum blokir akses ke nomornya, nanti aku pelajari lagi, trus aku akan cari tahu lewat facebook, twitter,

dan lain-lain, apa sajalah," rupanya Dika adalah orang yang memungut ponsel Pingkan yang terjatuh di Taman Mini.

"OK, bagus itu, Dika, pelajari juga teman-temannya termasuk si cowok pacarnya itu. Aku jadi penasaran. Sebenarnya dia yang hebat atau kalian yang goblok? Kalian kan belajar dari aku! Aku ini maestro beladiri! Di mana mukaku bakal kutaruh jika punya murid-murid tak becus macam kalian? Mana hasil dari ilmu yang kuajarkan pada kalian?" tegas Chen.

"Pokoknya aku tak mau yang berikut gagal lagi, OK? Dan kau, Kumis! Kendalikan emosimu," kata si jagoan berambut gondrong ini. Dari ke lima orang ini cuma Chen yang memelihara rambut panjang hingga ke bahunya. Rambut panjang yang ia ikat agar lebih praktis bergerak.

"OK, Chen, aku akan berusaha," janji Farhan.

"Jangan janji-janji saja kau, Kumis! Kugantung kau kalau kayak tadi lagi, ngerti kau?" Chen memperingatkan.

"Siap, Chen, gua bilang gua akan berusaha," Farhan agak kesal juga diancam-ancam begitu.

"Chen, sori, terus terang aku mulai ngerasa nggak enak," Boni tiba-tiba menyampaikan uneg-unegnya.

"Maksudmu?" tanya Chen.

"Iya, ini sebenarnya yang kita lakukan bener nggak, sih? Maksudku, penculikan kan termasuk ranah kriminal, lalu yang kedua, kalau kita berhasil, apakah ada jaminan kita masih diperkerjakan oleh si Bos?" lanjut Boni.

"Bon, kita kan sudah obrolkan masalah ini sebelumnya, maksud Mas Pram hanyalah memberi pelajaran kepada si Bramastyo ini. Kita nggak ada maksud lebih dari itu! Lalu soal pekerjaan, kita pasti akan dijadikan karyawan tetap perusahaan, Bon! Bahkan kita masing-masing akan jadi kapel;

satpam, kepala kelompok satpam, dengan gaji besar pula! Jadi, kalau kau balik jadi guru bimbel, trus Mas Slamet narik angkot lagi, Farhan kembali jadi OB atau Dika jadi dubber murahan lagi, kujual itu mobil Soluna pemberian Mas Pram dan kubagi rata uangnya buat kalian! Paham kau, Bon?" Agak kesal juga Chen menanggapi pertanyaan Boni Gendut. Boni, Slamet, Farhan, dan Dika kaget juga mendengar nada tinggi dalam suara Chen. Mereka bisa merasakan kemarahan besar pimpinan mereka itu.

"Kalau cuma memberi pelajaran kan bisa si Bos kita melaporkan aja si Bram itu, tuntut ke pengadilan, biar masuk penjara," Boni masih berkilah.

"Bon, tolol banget kamu ya? Kita kan tahu orang kaya macam si Bram taik kucing ini, kalaupun masuk penjara, bisa pilih pilih dia! Mau penjara kelas kere kayak kita dulu atau penjara kelas VIP? Tentu dia pilih yang kelas VlP dong? Bisa jalan-jalan, bisa pulang ke rumah, bisa nginap di hotel sama perek yang dia suka. Jangan samakan dengan kita dong! Orang miskin kayak kita mah bisa mimpi indah pas tidur aja udah bagus banget tuh! Paham kan sekarang, Bon?" sentak Chen lagi. Semuanya terdiam ngeri.

"OK, OK, Chen, sori, aku cuma mau memastikan, sekali lagi, sori," Boni meminta maaf. Menyesal juga Boni bertanya karena sesungguhnya belum sebulan ia bekerja untuk Pramono, ia sudah dapat uang yang kemudian ia gunakan untuk membeli TV baru. Sehingga kini anak-anaknya, Rika dan Regi, tak perlu berkelahi lagi gara-gara berebut remote control teleVisi seperti yang sering terjadi sebelumnya.

Di ruang tunggu apotek rumah sakit itu Jack duduk. Tak banyak orang di sekelilingnya. Hanya ada seorang bapak yang juga menunggu obat di apotek yang beroperasi 24 jam itu.

Mata Jack beralih ke televisi kecil yang ada dalam kotak yang digantung di atas dari langit-langit. Tayangan tinju rupanya. Wow! Bukankah itu tayangan film dokumenter "Facing Ali"? Video pertarungan Muhammad Ali melawan petinju-petinju hebat seperti George Chuvalo, Joe Frazier, Leon Spinks, Ernie Tertell, Ken Norton dan George Foreman. Jack mendekat ke counter apotek. Seorang laki-laki bertugas di sana malam itu.

"Mas, boleh saya keraskan volume televisinya sedikit?" tanya Jack.

"Oh, silakan, dikencangin sendiri bisa kan?" jawab si petugas. Jack minta izin kepada si bapak yang sedang menunggu obat untuk mengeraskan volume TV, sebelum mengambil remote control di atas sebuah meja di sana.

Sambil menunggu obat, Jack menikmati tayangan di salah satu stasiun TV swasta itu. TV yang besar layarnya dua kali besar layar TV di rumahnya itu menampilkan petinju yang paling diidolakan Jack dan banyak orang seantero jagat: Muhammad Ali. The Champ, begitu orang-orang menjulukinya, adalah seorang maestro yang bisa menerapkan prinsip terbaik pertarungan, just hit and not get bit, menjaga jarak agar tak terpukul lawan tapi tetap bisa melontar pukulan telak kepada lawan. Salah satu kelebihan Ali adalah lontaran jala-jal; kiri yang ia lakukan sambil terus bergerak seperti seorang penari. Saat lawan sibuk atau mabuk oleh jab-jab itu, maka pukulan kanan lurus Ali akan menyengat cepat bagaikan serangan seekor kobra. Di masa kejayaannya, Ali adalah benang merah

sempurna antara kemampuan bertahan, menghindari serangan lawan, dan kepiawaiannya melontar pukulan balasan. Dalam catatan di memori Jack, pada pertarungan Ali melawan Cleveland Williams, di Houston, Texas, 14 November 1966, tak kurang dari tujuh belas pukulan shuffle, rangkaian pukulan kombinasi dilontarkan terus menerus oleh petinju didikan pelatih karismatik Angelo Dundee itu. Williams tersungkur beberapa kali hingga akhirnya wasit menghentikan pertarungan yang tak imbang itu.

Idola biasanya memberi pengaruh besar dalam diri seseorang. Itu pula yang terjadi pada Jack. Gaya kumite atau pertarungan karate Jack juga mencoba mengadaptasi gaya Ali. Kuda-kudanya tak rendah. Dua kaki Jack tetap berdiri tinggi, namun lincah bergerak ke sana kemari untuk menangkis atau menghindar dari sodokan pukulan atau lontaran tendangan lawan. Lalu membalasnya dengan jodan tzuki, pukulan lurus ke arah wajah, yang mirip pukulan jab dalam tinju atau dengan pukulan andalan Jack yang paling banyak memberinya poin di banyak kejuaraan, yakni pukulan gyaku tzuzi, pukulan lurus arah uluhati dengan posisi tangan memukul berlawanan dengan langkah kuda-kuda. Pukulan inilah yang sering membawanya meraih medali dalam berbagai kejuaraan karate. Jadi, dari posisi berdiri sambil menari, walau tak bisa seleluasa saat ia bertinju, posisi tubuh Jack bisa tiba-tiba menjadi sangat rendah saat ia melebarkan rentangan kuda-kuda sambil menusuk uluhati lawan.

Satu hal yang tidak disukai Jack dari orang yang dianggap petinju terbaik sepanjang sejarah tinju itu adalah mulut besarnya. Ali memang kerap membual dan mengejek, menjatuhkan mental lawan-lawannya. Kebiasaan ini sesungguhnya adalah trik Sang Juara untuk sekadar psy war saja, menjatuhkan mental calon lawannya, bagian dari strategi yang sengaja dilakukan laki-laki bernama asli Cassius Clay sebelum memeluk Islam itu. Caranya adalah dengan membuat lawannya berang dan lalu menghamburkan tenaganya dengan sia-sia. Jack tak suka membual. Latar pendidikan agama yang kuat membuat Jack selalu berusaha untuk tawadhu, rendah hati. Maka, ia kurang sreg dengan kebiasaan idolanya yang satu itu.

Kini Jack tengah menikmati tayangan video tentang pertarungan-pertarungan sang idola yang pernah bertanding lawan seorang petiniu Belanda di Jakarta tahun 1973 itu sambil menunggu obat untuk ayahnya. Namun belum sampai sepuluh menit, Jack tertidur. Ia memang sangat kelelahan.

**

Bagian belakang sebuah rumah besar di daerah Pekayon itu terlihat begitu terbuka. Sinar mentari pagi leluasa masuk menerangi bagian rumah yang merupakan bagian favorit para penghuninya ini. Sebuah ruang santai yang didesain tidak bersekat maupun berdinding, melainkan berupa satu ruang terbuka yang luas. Ruang ini lebih mirip sebuah pendopo. Di sekitarnya ditanam beberapa jenis talas-talasan, paku-pakuan, bunga kamboja, buah manggis, palem taia dan lidah mertua. Helen dan Petrus, orangtua Andre memang suka dengan latar tradisional yang alami. Di ruang ini, anak mereka, Andre sedang berada bersama sahabat-sahabat kentalnya, Dilan, Rico, Nathan dan Edgar, siap-siap berangkat ke sebuah GOR futsal.

"Kita cegat aja tuh anak, di mana sih rumahnya?" Nathan memberi usul.

"Gue nggak tahu, yang gue dengar di perkampungan nggak jauh dan rumah Pingkan," tanggap Andre. Wajahnya serius.

"Iya, gua setuju, hajar aja biar kapok, sembarangan ngerebut cewek orang." Edgar memperkuat usulan Nathan.

"Gimana, Ndre?" Dilan yang melihat Andre ragu-ragu lalu bertanya.

"Ya, ya, tapi apa nggak ada cara lain ya?" Andre masih bimbang.

"Yah, gimana sih lu, Ndre, udah jelas dia ngerebut Pingkan dari elu, mungkin dia pake pelet atau jampi-jampi kali, orang kampung mantranya kan banyak," Edgar berargumen sambil mengikat tali sepatu futsalnya.

"Ya udah, ya udah, nanti kalo ketemu, gua langsung bilang ke anak itu supaya berhenti ngedeketin Pingkan," jawab Andre walau hatinya maSih diliputi keraguan. Sesungguhnya batin Andre sadar bahwa ia dan Pingkan memang sudah putus, namun cintanya pada Pingkan demikian besar sehingga ia tak rela kehilangan sang putri pujaannya itu.

**

Sudah semingguan Pak Joko dirawat. Setelah dua hari menginap di rumah sakit kecil, akhirnya ayah tiga anak itu dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo di Salemba. Ini usulan dari Oom Tarjo karena menurutnya fasilitas perawatan di rumah sakit kecil itu tak cukup lengkap untuk orang berpenyakit seberat yang diderita kakak kandungnya itu. Dokter telah memvonis bahwa ayah Jack mengidap

kanker paru-paru pada tingkat yang cukup parah. Penyakit ini membutuhkan biaya yang tinggi. Maka, walau Oom Tarjo telah menyanggupi membayari biaya rawat inap Pak Joko di ruang perawatan kelas termurah itu, Jack dan Pok Uun tetap menginginkan untuk membayar biaya obat-obatan dari kocek mereka sendiri. Mereka tak enak jika harus bergantung seratus persen kepada keluarga Oom Tarjo. Tiap hari kunjungan sanak saudara dan teman sejawat bergantian memberikan tambahan semangat untuk ayah Jack. Siang itu, setelah mengantar beberapa tetangga ke tempat parkir, Jack kembali ke bangsal perawatan. Lewat sebuah koridor, Jack mendengar suara panggilan ibunya. Ia menoleh. Ternyata suara itu datang dari musala kecil tempat Jack dan keluarganya salat saat menunggui sang ayah. Ibunya yang duduk dekat pintu musala memberi isyarat tangan agar jack mendekat. Saat sang sulung tiba, dilihatnya Wati, adik bungsunya berurai air mata, menangis sambil menyenderkan tubuh ke punggung ibunya. Di bagian lebih ke tengah, Lutfi alias Upi adiknya tengah menggeleng-gelengkan kepalanya. Tumben Upi mau salat? Jack membatin.

"Kenapa, Wat? Udahlah doain aja biar Bapak cepat sembuh," ujar Jack berusaha menghibur.

"Sssst, bukan ntu masalahnya, Ki," sergah Pok Uun.

"Terus gimana?" tanya Jack.

"Diam ngapa, Wad, ngapain sih lu maksain diri, sekolah mah di mane-mane juga sama, yang penting gimana elunya!" potong Lutfi dengan gaya sok bijak.

"Udah deh, Bang Upi nggak usah ikut-ikut! Nyamber aja lagi!" kata Wati dengan nada tinggi.

"Ssssst... jangan keras-keras, itu ada yang salat!" Jack menunjuk seseorang yang sedang rukuk di bagian mihrab.

"Jiah, blagu lu, sekolah kagak usah pake internasional internasionalan, ntar juga lulus pada nganggur nganggur juga!" Lutfi masih menimpali Wati.

"Ssst, diam!" Pok Uun mulai hilang kesabaran.

"Wat. Ibu juga ngarti kalu elu baeknye sekola di SMP nyang bagus, tapi kan keadaannya kayak gini, Wat? Jadi lu nurut deh, Wat. Uang yang dikumpulin Bapak kita pake buat pengobatan Bapak, lu masuk SMP nyang biasa, nyang pake NEM," tambah Pok Uun sambil membelai belai rambut putrinya.

"Tapi Wati kan malu udah bilang-bilang ama teman-teman, Bu? Lagian bukannya pengobatan Bapak dibantu sama Um Tarjo?" kata Wati sambil menahan sedu sedannya.

"Ya nggak semuanya, Wat, Oom Tarjo cuma bantu uang rawat inap per malamnya aja, ntu juga die udah baek bener sama kita, elu kan tahu si Oom mau nikahin Intan bentar lagi?" tanggap sang ibu. Memang dalam waktu dekat Oom Tarjo berencana menikahkan putri sulungnya, Intan.

"Udah ngapa, Wat? Sekolah mah sama aja!" Lutfi kesal pada adiknya.

"Bang Upi diam ngapa ngeselin banget!" Wati kembali meradang.

"Upi..." Jack menempatkan jari telunjuk pada bibirnya, meminta Lutfi untuk diam. Lutfi menurut walau ia lalu melengos sambil mengeluh kesal. Sementara itu, Wati tambah sesenggukan. Kali ini, ia sudah merobohkan wajahnya di kedua paha ibunya. Air matanya tambah deras.

"Udah deh Ibu sama Upi balik lagi ke kamar Bapak, siapa tahu Bapak butuh apaapa. Lagian juga ngapain juga

salat langsung betiga, sih? Napa juga kagak gantian aja?" kata Jack.

"Ya kan tadi dia udah mau nangis, Ki, jadi Ibu bawa aja, tadinya kan Ibu cuma ngajak si Upi salat," sang ibu menjelaskan.

"Ya udah Wati biar sama Kiki aja, Ibu sama Upi balik dah, kesian Bapak," tandas Jack. Sang Ibu menuruti saran Jack. Ia lalu mengajak Lutfi pergi. Si bungsu masih menangis, malah cenderung makin keras.

"Hey, Wati! Wati! Sekarang dengerin Abang! Abang tahu ini berat buat Wati, mungkin memang jadi mubazir semua tes yang Wati udah jalani. Tapi elu ambil hikmahnya dong, Wat, lu tuh berbuat baik buat Bapak insya Allah pahala elu gede, Wat," kata Jack sambil menahan volume suaranya.

"Tapi kan beda sekolah standar internasional sama yang nggak, Bang!" Wati masih berharap ia punya peluang.

"Iya Abang tahu, tapi ini waktunya kamu belajar berkorban, Wat, ini cobaan buat kita semua," Jack berusaha meyakinkan adiknya.

"Tapi kan Wati malu udah bilang-bilang teman-teman, Bang?" Wati mengulangi pernyataannya tadi. Tangisnya belum juga reda, namun sudah tak sekeras tadi.

"Iya, iya, Abang ngerti, sekarang dengerin Abang, Abang janji, Abang yang akan biayai sekolah Wati, sampai kuliah nanti! Nanti juga kalo Abang bisa dapat rejeki gede, lu bisa pindah sekolah, Wat, ke SMP yang elu mau, atau pas lulus SMP nanti Abang akan berusaha supaya elu belajar di sekolah unggulan. OK?" Jack mengucapkan ini semua sambil mengangkat wajah adiknya yang sejak tadi tertunduk. Di saat yang sama, sebuah doa melayang dari lubuk hatinya,

meminta kepada Sang Khalik agar apa yang telah dijanjikan kepada Wati kelak bisa terwujud. Jack sungguh iba terhadap adiknya. Ia mengerti dan bisa merasakan kesedihannya. Ia tahu betul selama ini Wati belajar sungguh-sungguh agar bisa masuk SMP favoritnya sesuai harapan Bapak. Dan Wati berhasil melakukannya. Namun, saat perasaan adiknya sedang melambung tinggi karena keberhaSilannya melewati berbagai tes seleksi, justru sekarang kegembiraan itu harus diruntuhkan karena kondisi penyakit Bapak. Selama ini saja Jack sering kasihan kepada Wati. Jarang sekali Wati dibelikan baju baru oleh orangtuanya, apalagi kebutuhan-kebutuhan lain sebagai anak yang mulai tumbuh remaja. Selama ini, Jack dan Lutfi juga telah tumbuh dan besar dalam suasana serba kekurangan, tapi entah kenapa terhadap adik bungsunya Jack merasa sangat-sangat prihatin. Bukan karena jack tak sayang pada Lutfi atau Upi. Tapi Lutfi punya banyak teman, walau banyak di antaranya begajulan atau nakal. tapi mereka membuat Lutfi lebih bahagia. Beda dengan Wati. Wati punya kecerdasan jauh di atas rata-rata, sehingga teman-teman di lingkungannya sering merasa minder atau tak bisa "mengimbanginya". Walhasil, Wati tak punya banyak teman. Ada, tapi tak banyak, seperti teman-teman Jack atau Lutfi, kedua kakaknya.

Saat Jack memeluk Wati, tangis sang adik makin mengecil. Suara isaknya kini kalah oleh bunyi gemericik air dari keran yang dipakai seseorang yang tengah berwudu di ruang sebelah musala. Saat itu. dua sudut mata jack juga mulai membasah.

Siang itu, pertama kali Jack pulang ke rumah setelah cukup lama menginap di rumah sakit. Tadinya ia ingin tetap di rumah sakit menunggui ayahnya. Toh ia sudah izin tak bisa bekerja dulu di toko Oom Tarjo dan ia pun telah memberi tahu Pingkan bahwa sementara ia tak bisa antarjemput gadis itu pergi dan pulang kuliahnya. Tapi, ibunya melarang. Pok Uun bilang Jack bisa sakit kalau terus-terusan memforsir tenaganya. Nyatanya Jack memang merasa teramat lelah. Tadi saja di jalan ia merasa sangat mengantuk, maka ia sempat mampir di sebuah warteg di wilayah Matraman untuk minum segelas kopi kental. Pok Uun tadi memutuskan bahwa untuk dua malam ke depan biar dirinya saja yang menunggui suaminya agar Jack bisa istirahat. Wati dan Luth juga diminta ibunya untuk pulang sore nanti.

Tapi Jack tak langsung pulang. Ia ingin mampir ke rumah Lela. Selama ini ia menahan dirinya untuk tidak ber-su'uzhan, bersangka buruk kepada gadis pujaan hatinya itu. Mengapa Lela tak sekali pun menengok ayahnya di rumah sakit? Jack mencoba meyakinkan dirinya barangkali Lela sedang banyak tugas kuliah sehingga ia belum sempat membesuk ayahnya.

Sebuah rumah sederhana di wilayah yang disebut Kampung Sengon. Sebagian besar dinding depannya belum diplester. Masih terlihat jelas batako-batako besar yang menyusunnya. Kusen yang seharusnya ditutup dengan dua kaca jendela juga masih ditutup dengan triplek. Jack memarkir motornya dekat pohon kecapi di halaman depan rumah itu.

"Assalamualaikum," Jack kini berdiri di depan pintu rumah yang tidak sedang ditutup itu. Dari sana bisa terlihat sebuah ayunan bayi yang dibuat dari kain yang digantung di ruang tengah untuk menidurkan adik bungsu Lela.

"Alaikumsalam. eh Jack, Bibi kira siapa." Seorang perempuan yang masih tampak terlalu muda untuk jadi ibu dari empat orang anaknya itu keluar dari dalam sebuah pintu kamar.

"Baek, Bi?" Jack meraih tangan si perempuan itu dan menciumnya sebagai tanda hormat.

"Alhamdulillah, Jack, maafin Bibi ya belon sempat aja nengokin baba elu, Jack. Sakitnya parah, Jack?" Ibunda kekasih Jack bertanya. Oleh banyak orang ia biasa dipanggil Bi Esih, istri dari Mang Tamin. Orang Betawi di sebagian Bekasi memang banyak terpengaruh budaya dan bahasa Sunda. Sehingga, panggilan seperti Bibi dan Mamang lebih sering digunakan ketimbang Ncing dan Ncang ala orang Betawi Jakarta.

"Ya gitu deh, doain aja, Bi, oh ya, Lela kemana, Bi?" tanya Jack.

"Eh tadi sih mm bilangnya ke warnet, Jack, ada donlot tugas kuliah atau apa gitu gua kagak ngerti dah." Bi Esih terlihat agak gugup.

"Oh, download mungkin maksudnya, sama siapa ke warnetnya, Bi?"

"Diantar sama si Ipul, Jack," gelagat Bi Esih makin terlihat tak nyaman.

"Ipul? Ipul anak Haji Kusrin?" selidik Jack.

"Lah elu kenal, Jack? Iya sama Ipul anak Haji Kusrin, udah tiga hari ini Lela ke warnet..." Wajah Bi Esih tak bisa sembunyikan kegelisahannya.

Udah tiga hari dianterin Ipul ya, Bi?" Jack menyimpulkan.

"Mmm, iya. tapi itu karena Lela ada tugas kok, Jack, mereka cuma teman biasa." Ibunda Lela tak enak hati. ia tahu Jack pernah bercerita kepada Lela bahwa kelak jika pemuda tampan ini selesai kuliahnya, ia akan segera melamar putrinya.

Jack tersenyum walau hatinya getir menahan geram kecemburuan.

"Jangan salah paham, Jack, Ipul itu temenan doang sama Lela," ulang Bi Esih yang sepertinya bisa menebak apa yang tengah Jack pikirkan.

"Ya udah. Bi, saya pamit dulu ya. assalamualaikum." Jack kembali meraih tangan kanan sang calon mertua dan menciumnya, sementara Bi Esih masih bingung harus mengatakan apa lagi kepada Jack.
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara dari selah starter motor Jack membangunkan Mang Tamin, suami Bi Esih. Saat sosok Jack sudah jauh dari pandangan, sang suami bertanya kepada istrinya.

"Siapa sih?"

"Si Jack," jawab sang istri.

"Ngapain lagi sih? Bukan putus dari dulu aja? Lela... Lela, darimana hebatnya sih si Jack ini sampe si Lela mau ama dia? Udah tahu babe-nya si Jack cuma tukang ojek pake acara dipacarin lagi?" Mang Tamin mengkritik pedas putrinya sendiri.

"Tapi kan si Jack itu anaknya soleh banget, Bang, mana ganteng lagi," dalam hatinya, Bi Esih mengakui bahwa dalam hal ketampanan, Ipul tak ada apa-apanya dibanding Jack. Pokoknya langit dan bumi' dah bedanya! batin Bi Esih yang sesungguhnya masih menyimpan keinginan besar bahwa Jack suatu saat bisa jadi menantunya.

"Alaaah, emangnya anak kita cukup diempanin soleh ama ganteng doang? Mikir dong lu, Esih, mending juga ama si Ipul, babe-nya kaya, hidup si Lela kan bisa terjamin," tandas sang babe.

"Hus, jangan begitu1 Bang, kenapa sih Abang jadi matre banget?" istri Mang Tamin protes.

"Yee, bukan gua matre, tapi gua realistis, orang jelek tapi kaya ntu tuh nyang kita bumbin," tandas Mang Tamin.

"Biar nasibnye nggak kayak sayah ya, Bang?" tanya Bi

Esih.

"Maksud lu?"

"Ya, dapet suami kayak Abang! cakep nggak... miskin doang," goda sang istri sambil tersenyum.

"Eet dah! Enteng pisan tuh bibir lu," si suami tersinggung

**

Jalanan yang Jack lalui agak basah oleh gerimis yang merintik sejak tadi. Selewatan terdengar gadis-gadis tanggung berteriak menggodanya.

"Bang Jack! Bang Jack..."

Biasanya Jack menanggapinya dengan tersenyum. Namun, saat ini Jack tak bereaksi: apa-apa. Hatinya terlalu galau. Mengapa Lela tak sedikit pun menaruh perhatian pada ayahnya yang tengah sakit? Bukankah Jack telah memberitahunya lewat ponsel yang ia pinjam dari adiknya karena ponselnya masih ada di rumah Pingkan? Atau, Lela sudah tak peduli lagi pada dirinya?

Saat menikung ke kiri untuk sampai ke rumahnya, mata Jack tertumbuk pada sebuah mobil yang diparkir tepat di

depan rumahnya. Honda Jazz biru metalik? Itu kan mobil Pingkan? Motor Jack mendekat. Ternyata betul. Pingkan baru saja keluar dari halaman rumahnya yang terkunci. Ia tengah mengobrol dengan Jupri, karib yang sesungguhnya masih sekerabat Jack dan tinggal di sebuah rumah di seberang rumah Jack.

"Wah panjang umur lu,Jack, ni Mbak Pingkan nyari nyari lu dari setadi, Jack, masak orang cantik begini tega lu anggurin?" Jupri menyapa sekaligus menggoda Jack yang tengah memarkir sepeda motornya.

"Sori sori, baru pulang nih," kata Jack.

"Makasih ya, Bang," kata Pingkan kepada Jupri. Yang diterimakasihi senyum-senyum lalu pamit pulang.

"Tumbenan kamu ke rumahku?" tanya Jack. Agak rikuh juga sikap Jack saat ini. Ia tak terbiasa menerima tamu sendirian. Biasanya, walau Lutfi memang lebih banyak di luar rumah, selalu ada ibu, bapak, atau adiknya Wati, saat tamu bertandang ke rumah. Apalagi sang tamu adalah sosok secantik Pingkan. Siang itu Pingkan bukan cuma tampak cantik, melainkan juga terlihat lebih segar dan menarik dalam busana paduan long top, kardigan berwarna kuning yang soft dan belt berbentuk pita. Dua kaki jenjangnya dibalut jins ketat hitam dan beralaskan sandal karet asli Amerika.

"Silakan, Pingkan," kata Jack setelah membuka kunci pintu rumahnya. Ruang tamu itu sangat sederhana. Tembok bercat kusam di dalamnya hanya berhias permadani merah bergambar Mekah, kiblat kaum muslimin sedunia.

Pingkan duduk di salah satu kursi yang rotannya mulai berlubang. Tak menyangka juga kalau rumah Jack tak seperti

yang ia bayangkan sebelumnya. It's worse than I thought! "gumam Pingkan dalam batin.

"Kenapa kamu nggak kasih tahu aku, jack, kalau Pak Joko Sudah dipindah ke RSCM? Aku kari kecele waktu pas nengokin ke rumah sakit yang kamu kasih tahu waktu itu, beliau nggak ada di sana," lapor Pingkan.

"Loh, kamu nengokin ke sana? Sama siapa?"

"Sendirilah, entah kenapa Mama tempo hari bilang aku boleh bawa si Jazzy lagi," demikian Pingkan menamai mobil Honda Jazz biru metaliknya.

"Wah, kamu senang dong?" komentar Jack datar.

"Ya nggaklah, aku jadi nggak bisa..." Hampir saja keterusterangannya spontan terlepas. Nyaris saja ia bilang "Aku Jadi nggak bisa ketemu kamu."

"Nggak bisa apa?" Jack masih belum paham perasaan Pingkan yang berharap penuh atas balasan cintanya.

"Ah nggak, maksudku, mm... maksudku aku nggak bisa naik bus lagi, padahal enak loh naik bus itu, maksudku nyambung bus setelah naik motor kamu, eh gimana ya?... ya gitu deh!" Pingkan salah bicara karena tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya dalam-dalam.

Sejenak ada keheningan di antara dua insan rupawan ini.

"By the way, ini HP kamu Jack, udah aku charge juga, kebetulan ada charger yang sama di rumah," Pingkan tak mau terus terang kalau charger ponsel yang ia pakai itu milik salah seorang pembantunya. Diberikannya perangkat komunikasi itu kepada pemiliknya.

"Makasih ya, oh ya maaf, aku waktu itu nggak sempat kasih tahu kamu soal dipindahnya Bapak, maaf banget ya, Kan., aku belum sempat. Ini aja aku baru pertama kali pulang sekarang setelah kemarin-kemarin nginap di sana," papar Jack. Grogi juga ia menatap bibir mungil dan mata indah itu di hadapannya. Subhanallah, kecantikan yang nyaris sempurna, tutur Jack kepada dirinya sendiri.

"Loh, kalau kamu baru pertama kali pulang trus motor kamu ini siapa yang antar ke rumah?" selidik Pingkan.

"Nggak ke rumah kok, Juned langsung antar motorku ke Cipto, kata dia sekalian jenguk bapak aku, kan dia kenal bapak ibuku. Dulu malah, ada kali, dua kesempatan dia menginap di rumah kami, mm... kamu mau minum apa?"

"Nggak, nggak usah, Jack, apaan sih, I'm not your guest, I'm your friend!," jawab Pingkan.

"Kamu udah lapor Oom kamu yang polisi?" tanya Jack.

"Udah, setelah yang tadinya mau nengokin ayah kamu dan nggak ketemu itu, aku lalu ke Mabes Polri, ketemu sama Oom Dodi. Ya kata Oom Dodi sih aku harus lebih hati-hati dan dalam seminggu ini beliau kirim dua orang petugas buat memantau aku," jawab Pingkan.

"Oh ya? Ngikutin kamu gitu?" tanya Jack.

"Ya nggak kentaralah caranya, kan nggak pakai baju dinas. Mereka mengawasi aku dari tempat-tempat yang tidak dicurigai orang selama seminggu terakhir ini. Tapi, mulai hari ini mereka sudah aku minta berhenti aja, nggak enak ngerepotin anak buah Oom Dodi. Lagi pula Si Oom kan pergi pergi melulu, sebentar lagi malah aku dengar Oom Dodi

mau ke LA. Puji Tuhan sih, selama ini nggak ada masalah, mungkin juga mereka salah target ya, Jack? Akh, tapi that's impossible" sebab mereka menyebut nama ayahku, Jack."

"Ya semoga aja kalaupun mereka tadinya punya niat jahat ke kamu, sekarang mereka jera dan tak berani lagi mengganggu kamu lagi. Oh ya, katanya kamu sempat catat nomor mobil itu?" tanya jack yang baru ingat Pingkan sempat memberi tahu soal nomor polisi dari mobil para pengejar mereka di Taman Mini tempo hari.

"Iya, udah dicek sama stafnya Oom Dodi ternyata itu nomor polisi palsu," tanggap Pingkan.

"Trus HP kamu yang jatuh udah diurus lagi nomornya?" tanya Jack lagi.

"Ih, kok jadi kamu yang cerewet sekarang? Hi-hi... cerewet kan bagian aku, Jack. HP nggak ah, males! Lagian juga itu memang cuma HP cadangan. HP murah itu," Pingkan memberi alasan.

"Lah, nanti data kamu dimanfaatkan orang lain gimana? Untuk tujuan jahat, misalnya?" Jack mengingatkan.

"Halah, kayak aku artis aja, Jack," Pingkan berkilah. Bibir mungil itu manis sekali jika pemiliknya sedang tersenyum.

"Tadi kamu bilang oom kamu ke LA? Ngapain ke Lenteng Agung?" Kegugupan Jack mulai hilang. Ia mulai berani bercanda.

"Lenteng Agung? Los Angeles dong, Jack! Oom Dodi kan biasa ngejar penjahat di luar negeri, kan udah aku bilang oom aku di Interpol. Si Oom Dodi ini Jack, yang buat aku tertarik jadi polwan. Sayang sekali, Mama nggak ngizinkan

aku." Raut Pingkan sedikit memuram.

"Mamaku memang suka lebay gitu. Waktu Mario dulu bilang mau jadi aktor teater profesional dan mau ambil jurusan teater, Mama juga nggak setuju. Kata Mama, teater itu nggak bisa hasilkan uang. Pokoknya gitu deh, pekerjaan yang aku mau atau yang Mario suka malah nggak diizinkan."

"Bukan nggak diizinkan, tapi belum, siapa tahu nanti kesampaian, Tuhan Maha Mendengar," kata-kata Jack terdengar bijak. Pingkan tersenyum lagi. Geli juga hatinya dinasihati Jack seperti anak kecil.

"Iiya iya, Pak Ustat Jack hi-hi hi ." Pingkan cekikikan.

"Oh ya, Oom Dodi kirim salam, katanya terima kasih banyak udah nolongin aku. Dia kasih kartu namanya, buat kamu katanya, biar kalau ada apa-apa bisa nolongin aku lagi," tambah Pingkan dengan gaya manja seraya menyerahkan selembar kartu nama yang agak kucel karena ia keluarkan dari saku belakang jinsnya.

"He-he, kebetulan aja kali kamu pas bareng aku, kalo bareng orang lain juga pasti kamu ditolong orang lain. Salam balik buat beliau ya," Jack merendah.

"Kayaknya lagi musimnya orang ke luar negeri?" Jack sambil menerima kartu nama paman Pingkan yang polisi itu dan menyimpannya ke dalam salah satu dari banyak kantong di tas pinggangnya.

"Maksudnya?" Pingkan tak mengerti.

"iya, Bapak di rumah sakit juga harus nunggu sampai dokter ahlinya pulang dari Jepang," jelas Jack.

"Lah, selama ini Bapak nggak diobati" apa-apa?"

"Ya, dikasih obat sih, tapi untuk memutuskan bisa dioperasi atau nggak masih harus nunggu dokter yang ke Jepang itu pulang," tambah Jack.

"Nanti minggu depan aku tengokin deh. Aku bawa teman-teman boleh? Nama kamarnya apa? Lantai berapa?" tanya Pingkan.

"Oh, ya silakan, di bagian rawat inap pokoknya, gampanglah nanti kalo kamu mau besuk ke Cipto, SMS atau telepon aja, nanti aku pandu," jawab Jack.

"Oh ya, Jack, aku nggak bisa lama ya, aku mau cari kertas A3 sama drawing pen, buat tugas American Culture, di mana ya? Di daerah sini ada toko buku, nggak?" tanya Pingkan sambil pamit.

"Kertas A3 Sih banyak ya, di tempat foto kopi juga ada. Tapi, drawing pen biasanya harus di toko yang agak besar. Eh. di sana ada toko buku yang besar juga, dekat Jalan Ratna, ada jalan tembus dari sini. Tapi agak ribet ya, belok beloknya agak berlikuliku gitu. Ya udah, gimana kalo aku antar?" Jack menawarkan jasanya.

"Nggak usah, Jack! Biar aku cari sendiri deh. I can simply ask some people around" nanti, Jack. Kamu kelihatan cape banget, Jack. Itu lihat mata kamu lingkarannya dah hitam banget loh." Pingkan membaca kelelahan bersangatan pada pria yang digandrunginya itu.

"Ya, kan nggak jauh, daripada kamu mutar-mutar malah nyasar, nggak apa-apalah. nggak begitu jauh kok, nanti dari toko buku aku langsung pulang." Jack mencoba meyakinkan.

"Mm, tapi nanti kamu kecapean." Wajah Pingkan terlihat khawatir. Sebenarnya, Pingkan memang merasa bahwa Jack perlu istirahat. Namun, di sisi lain sesungguhnya hatinya dibuat berbunga-bunga oleh cowok yang senyumnya kerap

membuat jantungnya berdegup kencang ini, karena kesediaan menemaninya itu.

"Tapi, aku salat dulu ya, Pingkan, bentar kok," tutur Jack.

"Oh ya udah, aku tunggu," batin Pingkan berbisik, Mengapa baru sekarang kau pertemukan aku dengan laki-laki yang sangat baik ini, Tuhan.?

Di luar, beberapa tetangga melihat penasaran dari rumah mereka. Seorang ibu yang tinggal tiga rumah dari rumah Pak Joko berkata pelan pada suaminya,

"Tuh, Bang, pacarnya Jack cantik banget, yak? Kayak artis gitu, ya?"

"Lha, belon tentu pacar si Jack kali? Bukannya si Lela pacarnya si Jack?" jawab sang suami. Beberapa saat kemudian, usai salat dan mengunci pintu rumah, Jack dan Pingkan pamit pada beberapa tetangganya yang masih memperhatikan mereka.

"Jup, cabut dulu ya?" teriak Jack pada Jupri di rumah depan. Pingkan pun melempar senyum.

"Kemana, Jack? Rumah sakit?" tanya Jupri.

"Gak, kan gua lagi aplusan sama nyokap! Ini mau nganter Pingkan dulu bentar ke prapatan! Mau ke toko buku," tanggap Jack.

Kira-kira tiga menit berlalu sejak motor Jack berangkat memandu di depan mobil Pingkan. Rumah Jack kedatangan tamu lagi. Lela datang dibonceng Ipul. Tak enak juga Lela mendengar Jack tadi datang ke rumahnya. Motor Ipul tak berpapasan dengan motor Jack dan mobil Pingkan karena Jack mengajak Pingkan mengambil jalan tembus yang tidak dilalui motor Ipul. Beberapa tetangga dekat yang ditanyai tak

tahu ke mana tepatnya Jack pergi. Namun, kemudian Jupri mendatangi mereka hingga jelaslah sudah ke mana pemuda santun itu pergi. Wajah Lela marah memerah. Kecemburuan itu muncul kembali. Apalagi kembang Kampung Sengon ini dipanas-panasi terus oleh Ipul, laki-laki yang teramat sangat menginginkannya.

"Tuh kan, Abang bilang juga apa, La, ngapain lu pertahankan hubungan kayak gini?" kata Ipul.

"Dia tuh udah jelas-jelas manpaatin elu doang, La!" kata Ipul.

"Dia mau pamer sekarang punya pacar orang kaya!" tambahnya lagi.

"Kayaknya Bang Jack nggak gitu deh, Bang." Lela mencoba membantah walau hatinya sudah telanjur panas oleh bara cemburu.

"Ya, seterah elu aja dah, La, cuma menurut Abang. si Jack cuma mau maen-maenin elu doang," cibir Ipul dengan wajah sinis. Kesal juga Ipul karena Lela belum bisa seratus persen dipengaruhinya untuk meninggalkan atau memutuskan hubungannya dengan Jack.

**

Pemutar musik dalam Jazzy, begitu Honda Jazz biru metalik itu dipanggil pemiliknya, mengalunkan lagu Christina Aguilera...

If you wanna be with me, baby There's a price you pay I'm a genie in a bottle You gotta mb me the right way If you wanna be with me ' can make your wish come true

You gotta make a big impression I gotta like what you do

Beberapa bagian jalan kampung yang dilalui dua insan muda berbeda kendaraan itu berlubang dan tergenang. Motor Jack dan mobil Pingkan tak bisa melaju kencang. Sementara gerimis masih saja awet sejak tadi. Jalan kecil itu masih banyak ditumbuhi pepohonan di kiri dan kanan, walau diselang-selingi oleh rumah-rumah yang dibangun di pinggir jalan. Sebagian rumah terlihat jauh lebih mewah dari rumah lainnya. Biasanya rumah-rumah itu didiami oleh orang-orang kaya pendatang yang membeli tanah dari orang kampung dan membangun rumah megah di tanah luas yang telah dipilihnya.

Ztak!!! Ztak!!!

Jack melambaikan tangan memberi isyarat pada Pingkan di belakangnya untuk menepi dan berhenti.

"Kenapa, Jack? What's the problem?" Wajah Pingkan yang manis kembali terlihat setelah ia menurunkan kaca jendela.

"Kayaknya rantainya bermasalah nih, Kan, terlalu kencang, harus dikendorin atau nggak aku potong satu," jawab Jack.

"Ya, terus gimana dong?"

"Kamu ke depan dulu aja lurus terus, nanti ada masjid kecil di sebelah kanan kamu ambil belokan ke kiri. terus

aja sampai ke lapangan voli, nah setelah lapangan voli, terus lagi sebentar, nanti sampai di jalan yang lebih luas, di situ ada pasar kecil. Kamu parkir aja di pinggir jalan pasar itu. Nanti kamu tunggu aku di sana. Kalau parkir di sini nanti ada mobil yang lewat jadi repot," Jack menerangkan.

"Can you fix that yourself. Jack?" Memang bisa kamu?" tanya Pingkan melihat Jack berjongkok memeriksa rantai motornya.

"Mm... bisa sih, paling butuh kunci pasnya aja, aku bisa balik sebentar tadi ada bengkel temanku yang kita lewatin tiga ratus meteran di belakang tadi."

"OK, nanti kamu nyusul ya," pungkas Pingkan sebelum menutup kaca jendela dan meneruskan perjalanannya.

Pingkan sudah belok kiri setelah melihat masjid kecil seperti yang digambarkan Jack dan sudah melewati lapangan voli. Benar kata Jack, jalan yang dilalui gadis, yang merapikan rambut indahnya hanya dengan sebuah ikat rambut sederhana ini, tampak lebih luas. Pingkan lalu memarkirkan mobilnya di depan pasar yang dimaksud oleh Jack. Pasar yang sesungguhnya tidak bisa dibilang kecil juga, karena bermacam kebutuhan penting masyarakat setempat sudah tersedia di sana dalam los dan toko-toko yang tak teratur tata letaknya. .

"Cewek tadi gua lihat cantik bend, Jack! Bokin lu? Lha, pan bukannya elu sama Lela anak Kampung Sengon, Jack?" kata

Komeng, panggilan akrab Eko, teman Jack pemilik bengkel kecil tempat Jack menyetel rantai motornya.

"Bukan, gua cuman tukang ojeknya doang," ujarJack jujur.

"Gua mau dah ngolekin doi, kagak pake bayar juga gua rela haha-ha...." koar si Komeng.

"Cepetan napa, ganjen amat lu, Panci Bajigur, gua ditungguin nih!" canda Jack sambil mengingatkan Komeng untuk bekerja lebih cepat.

"Ha-ha-ha, tenang, Pantat Dandang, beres! Gua harus liat dulu dong "abel-nya?" Ternyata bukan rantai masalahnya, melainkan gir belakangnya sudah kelewat tajam.

"Ganti nih gir-nya, Jack," kata Komeng.

"Elu ada gak yang bekas? Pasangin dulu deh sementara," tanggap Jack.

"Ada, tapi di rumah, gua ambil dulu yah?"

"Ya udah buruan, gua ditungguin, Meng!"

**

Dari kaca mobilnya, Pingkan melihat sebuah keributan di halaman depan pasar itu. Orang-orang mulai memperhatikan sebuah pertengkaran di depan sebuah kios di sebelah kanan. Kios kecil penjual soto mie. Pingkan jadi penasaran. Ia membuka pintu mobilnya dan berjalan menuju sumber kegaduhan.

"Lu mau mati ya? Gua pasti bayar! Emang utang gua berapa sih ke elu?" Bentakan yang disertai oleh sorotan mata mendelik ini ternyata datang dari Aji Pelor,

"musuh lama" Pingkan. Seorang lelaki yang tampaknya penjual soto ini itu ditarik kerah bajunya oleh Aji. Dia terlihat pucat ketakutan.

"Maaf, Mas Pelor, saya... saya... saya tadi cuma ngingatkan aja, nggak bermaksud apa-apa. Mas nggak mbayar juga nggak apa-apa kok, Mas " katanya memohon-mohon.

"Jadi maksudlu nanyain gua tadi apa, monyet!?" Mata Aji tambah mendelik.

DHIGGH!!

Tangan kanan Aji menggampar lelaki malang itu. Tak cukup sampai di situ, tendangannya pun melesak ke uluhati sang penjual soto. Sudah jatuh masih pula tendangan satunya menghajar kepalanya. Teman-teman satu geng Aji termasuk Oding dan Beben cuma bisa menonton. Walau agak-agak tak tega terhadap si penjual soto itu, mereka tak kuasa untuk mencegah kekejaman orang yang sudah lama mereka anggap sebagai pimpinan mereka ini.

"Hey! Stop it! Berhenti!" Suara seorang perempuan.

Delikan mata Aji kini berpindah arah. Seorang perempuan cantik yang punya tubuh ideal untuk jadi model catwalk itu berdiri di sana. Maria Regina Pingkan Bramastyo.

"Ha-ha-ha, elu lagi ternyata, apa lu bilang tadi?" ejek Aji sinis.

"Gua bilang stop it! Orang nggak berdaya begitu masih kamu pukul?"

"Stop it, stop it, sok Inggris lu! Sorry, little little I can ha-ha-ha..." Tambah parah ejekan Aji. Apalagi kali ini teman-temannya ikut menertawai Pingkan. Lelaki penjual soto masih duduk di bawah menahan sakit.

"I said stop it! tegas Pingkan.

"Makin ngelunjak lu ya?" Kemarahan Aji kini berpindah. Pingkan tiba-tiba merasa menyesal juga, mengapa ia tidak menunggu sampai Jack datang lalu mencoba mencegah kekejaman sang preman. Kini terbit juga rasa ngeri menghadapi si Pelor. Ini wilayah kekuasaannya. Teman-temannya pun kini lebih banyak ketimbang pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Dalam hatinya ia berharap Jack lekas tiba. Dear jack, where are you.?"

Aji bergerak secepat peluru. Sebuah tendangan kaki kanan bertenaga meluncur dari tubuh Aji yang terbang ke arah Pingkan. Pingkan perlu mundur dengan dua tangan menyilang di dada untuk memapaki tendangan ini. Lalu, dengan cepat ia mengirim tiga kombinasi tendangan, menggunakan punggung, telapak, dan pisau kaki. Tapi, semuanya luput. Hindaran dan tangkisan Aji dengan kuda-kuda yang rendah menyulitkan bagi serangan-serangan Pingkan untuk mencapai target. Tubuh sang preman naik-turun dengan timing akurat. Tukar menukar tendangan terhenti saat sabetan tangan kanan Aji mencocor pelipis Pingkan dan langsung disusul hantaman tajam siku kiri si Pelor di tempat yang sama. Pingkan roboh! Kepalanya pening. Para pengunjung pasar tak ada yang berani memisah. Seorang petugas keamanan pasar bahkan tampak berlari menjauh dari lokasi keributan.

"Bangun! Sekarang gue turutin saran elu tadi! Gue nggak akan mukul orang yang tak berdaya!" sindir Aji.

Pingkan bangkit. Aji pun kembali bersiap. Dua kaki Aji berlari cepat bak ular lapar yang menyusur tanah untuk mengejar mangsanya, lalu salah satunya mengincar rusuk kiri Pingkan untuk menghajarnya. Tangkisan Pingkan ke arah luar berhasil menepis sabetan kaki Aji. Lalu, tiba-tiba Aji terkejut saat kepalan kiri Pingkan mendarat mulus di jidatnya...

DEGGHH

Aji mundur dua langkah. Pingkan tersenyum sinis.

"Surprised, eh? Elo pasti mengira gue cuma bisa nendang, kan?"

Aji tak menjawab. Ia maju merangsek dan Pingkan malah menyambutnya dengan tendangan cangkul. Keputusan yang salah karena tendangan Aji keburu memutar dari arah samping, mendarat keras di rusuk Pingkan. Gadis molek ini kembali roboh. Baru saja Pingkan bangkit lagi, dua telapak tangan Aji melesat menghempas tubuh ramping itu kembali ke aspal halaman pasar yang tak rata itu. Pingkan tak menyerah. Walau rasa sakit mulai mendera bagian-bagian tubuhnya yang terpukul dan tertendang Aji, kini tubuh semampai itu berdiri lagi, dengan kuda-kuda kokoh. Teman teman Aji saling berpandangan. Dalam batin mereka tumbuh juga kekaguman pada semangat tempur Pingkan yang tak gampang habis.

Pingkan maju dengan semangat penuh, mengejar Aji lalu mengirim putaran kaki belakang ke depan yang dilakukan sambil melompat dan menyusulkan tendangan ke arah kepala si Pelor. Hebatnya, Aji sontak merundukkan tubuhnya hingga tendangan gadis pemilik sabuk merah taekwondo itu menampar ruang kosong. Dan saat Pingkan belum berdiri

sempurna, sodokan kepalan kiri Aji kembali masuk ke wajah Pingkan. Pingkan terhuyung. Darah segar mengalir dari bibirnya yang pecah. Satu pukulan Aji yang kembali masuk telak, membuat kuda-kuda Pingkan makin goyang. Aji berlari untuk menuntaskan pertarungannya dengan Pingkan melalui sebuah pukulan kanan lurusnya yang terarah, mengincar kepala lawannya dan...

TAKK...

Kepalan kuat itu tertahan oleh cengkeraman tangan kanan seseorang yang baru saja melesat masuk ke arena pertarungan. Jack telah datang. Wajah dengan kedua mata yang berkantung karena kelelahan itu tampak tegang. Aji menarik tangannya dari cengkeraman tangan Jack.

"Ngapain sih lu mbelain dia terus?" Melotot mata sang preman memandang Jack.

"Apa masalahnya sih, Ji?" tanya Jack. Heran juga Jack. Mengapa hanya karena mencengkeram kepalan Aji tadi napasnya kini mulai terengah? Ada yang tak beres dengan staminaku! batinnya menukas cemas. Namun, dengan tenang ia memberi isyarat kepada Pingkan untuk mundur. Pingkan yang maSIh pusing karena pukulan Aji menurut. Sejak kejadian di Taman Mini, Pingkan semakin menaruh hormat kepada anak Pak Joko itu.

"Diam, lu nggak tahu masalahnya kagak usah ikut campur dah!" bentak Aji. Perasaannya kesal bercampur kaget. Kaget karena orang yang dianggap musuh bebuyutannya dan pernah mengalahkannya dalam dua perkelahian itu, sekarang sudah ada di depannya. Ya, dua pertarungan yang

ia anggap sangat menjatuhkan harga dirinya. Yang pertama saat mereka tawur gara-gara main bola saat class meeting di SMP. Pertempuran kedua terjadi di SMA. Keduanya jatuh cinta pada gadis yang sama, Sinta Agustina, teman sekolah mereka yang juga primadona sekolah. Kulitnya putih, mulus. Tinggi badannya di atas rata-rata SlSWl-SISWI lainnya. Saat Jack menyatakan cinta kepada Sinta ketika bertandang pertama kali ke rumahnya, ia tak tahu bahwa pada malam malam Minggu sebelumnya, Aji kerap menyambangi gadis berhidung mancung dan berbibir tipis ini. Cinta Jack ternyata bersambut. Sinta pun suka pada pemuda tampan yang selalu menjaga salat lima waktunya itu. Kabar tentang "jadiannya" Jack dan Sinta cepat menyebar. Tak disangka, Aji yang perhatiannya kepada Sinta tak juga mendapat tanggapan sang primadona itu, menganggap Jack merebut Sinta darinya. Aji menantang Jack berkelahi di gang kosong tak jauh dari sekolah mereka. Setelah berkali-kali menolak tantangan Aji, akhirnya Jack tak tahan dan lalu mengiyakannya. Perkelahian itu ditonton oleh banyak teman mereka. Dan seperti pertarungan pertama mereka, Aji pun tak bisa mengalahkan Jack. Sinta tak didapat namun wajahnya bengap dan memar kena pukulan-pukulan Jack. Dan sesungguhnya sosok Pingkan yang jadi lawannya kini, sangat mengingatkannya pada Sinta. Kedekatan Pingkan pada Jack juga membangunkan memori perihnya saat ia melihat Sinta jalan bareng Jack di masa SMA dulu.

"Apa pun masalahnya, kita selesaikan baik-baik ya, Ji." Jack menawarkan solusi damai kepada Aji.

"Nggak bisa, Jack, lu jangan ngalang-ngalang gua! Atau elu mau gua hajar juga?" ancam Aji. Jack mencium bau minuman keras dari mulut Aji.

"Ji, kita pernah jadi teman. Gua rasa nggak perlu begini, kan?" Jack masih bersabar. Tapi, Aji. malah mendorong tubuh Jack dengan tenaga penuh. Jack terjengkang. Pingkan menjerit tertahan. Gadis itu khawatir melihat cowok pujaannya itu. Ia tahu jack tidak sedang dalam kondisi terbaiknya. Terbukti, jack kini bangkit dengan susah payah. Padahal, dalam keadaan bugar Jack bisa bangkit berdiri hanya dengan mencelatkan dua kakinya saja. Pingkan bergerak mendekati jack, namun tangan Jack mengisyaratkan kepadanya untuk tetap di tempatnya. Para pengunjung pasar pun makin merasa ngeri, mengira-ngira kemungkinan yang bakal terjadi.

Gerimis tiba-tiba berubah jadi hujan yang berangsur semakin deras. Oding dan Beben saling berpandangan. Ini ketiga kalinya mereka menyaksikan pertempuran antara jack dan Aji karena mereka bersekolah di tempat yang sama sejak SD hingga SMA. Aji melompat melontar serangan. jack mengambil cara cepat. Kepalanya bergerak ke kanan menghindari pukulan Aji, lalu secepat kilat Jack meraih kerah jaket kumal lawannya dan...

CHAAAAT!!!... BRUGGH!!!

Suara teriakan Jack bersaing dengan suara derasnya hujan saat ia menjegal dan melempar tubuh Aji dengan keras. Aji mengerang menahan sakit. Tidak, kali ini gua nggak boleh dan nggak akan kalah! batinnya mengucap ikrar.

Aji segera bangkit. jack pun langsung memasang kudakuda. Napas Jack makin tersengal. Tubuhnya makin melemah. Sekali lagi sebilah bantingan membuat Aji terlempar. Tapi,

Aji jatuh tepat di sebelah kios perkakas. Ide jahat masuk ke dalam pikiran si preman lokal. Lengan penuh tatonya segera meraih sebuah golok di sana. Pemilik kios tak kuasa mencegahnya. Aji membuka sarung golok itu dan melemparkannya. Kini di bawah hujan yang masih deras, ia menatap ke arah Jack dengan pandangan setajam golok di tangan kanannya. Teman-teman Aji saja semakin ngeri melihat kiprah pemimpin mereka, apalagi para pengunjung pasar lainnya. Sebagian perempuan meneriakkan ketakutan mereka. Pingkan berpikir keras. Ia harus menolong Jack.

"Lor, cukup Lor, elu bisa nyilakain si Jack, Lor!" Peringatan dari Oding ini pun tak digubris oleh Aji Pelor. Aji memutar-mutar golok di tangannya ke berbagai arah, dengan berbagai kembangan gerakan pencak yang pernah dipelajarinya di pesantren milik kakek dari lawannya. Ironis memang, tapi inilah yang tengah terjadi. Jack cukup terkesiap, walau sadar ia harus bersiap.

Astaghfirullahal azhim, ya Allah bantullah hamba! batin Jack menyeru doa. Ini benar-benar tak menguntungkan buat Jack. Jack ingat betul kalau soal bertarung, kemampuannya di atas Aji. Tapi soal memainkan senjata, si Pelor inilah juaranya. Golok, trisula, atau bahkan pedang bak mainan saja di tangan Aji. Ia sanggup memainkannya sehebat pemain sirkus memainkan aktobatnya. Jack sadar betul, untuk urusan memainkan alat, yang paling ia kuasai hanyalah jurus-jurus memakai toya saja. Tapi, tak ada toya di sekitarnya untuk mengimbangi Aji Pelor yang sudah siap menerjang.

Aji merangsek. Jack mundur menghindar. Dua babatan golok bisa dihindarinya dengan susah payah sambil mengumpulkan energi yang masih tersisa. Jack melihat sapu-sapu

tergantung di sebuah kios perabot rumah tangga. Ia ambil satu dan menjadikannya sebagai senjata dengan memegang bagian ujung bawah di tangannya. Sebuah tusukan golok Aji berhasil ia tepis...

TRAK TREK TRAK!!!

sapu jack lalu beradu dengan

TRREKK! !!

Tongkat sapu Jack patah di tengah. Aji tertawa mengejek. Jack refleks merebut payung seorang ibu yang berdiri ketakutan dekat sebuah kios beras.

"Pinjam, Bu," kata Jack spontan. Jack tak sempat mendengar jawaban sang ibu karena serangan Aji keburu datang. Dua babatan berhasil Jack hindari. Namun, Aji segera berlari sambil menghunus goloknya, lurus terarah dada Jack. Jack tak punya cukup waktu untuk menghindar karena badannya terasa makin berat bergerak...

JBLEBB!

Payung otomatis itu membuka tepat pada waktunya. Golok itu tertahan sebentar sebelum merobek kain hitam yang menjadi bahan dasar payung di tangan Jack. Jack beruntung karena ia memiringkan tubuhnya ke kanan sehingga ujung tajam senjata Aji tak menyentuhnya. Golok Aji masih tersangkut di payung. Dan sebelum ia bisa

mengeluarkannya, sebuah tendangan dari bawah ke atas menghantam pergelangan tangannya sehingga golok itu terlempar jauh dari tangannya. Pingkan telah bertindak di saat yang sangat tepat! Aji yang murka sontak mengganjar Pingkan dengan tendangan keras. Tubuh Pingkan terpelanting jatuh. Lalu, dengan ganas Aji menerkam Jack yang sudah terlihat semakin tak bertenaga. Jack yang terjatuh kini dihujani pukulan-pukulan ganas Aji tanpa bisa membalasnya. Ini seperti perkelahian pertamanya dengan Aji di SMP. Bedanya, kini Jack-lah yang jadi objek penderita. Kilat dan guntur menyambar menggelegar, mengiringi pukulan-pukulan Aji yang masuk telak ke wajah Jack.

Untunglah sebelum pukulan kedua belas, sebuah tangan kuat melingkar di leher Aji Pelor dan menariknya ke atas. Tangan kekar Bang Dani, kepala keamanan pasar. Rupanya si petugas keamanan pasar yang tadi tampak berlari ketakutan, telah melaporkan kepada atasannya tentang keributan yang tengah terjadi. Aji tak berkutik saat lengan kekar bertato dan bergelang bahar itu menarik paksa tubuhnya. Bang Dani disertai dua anak buahnya akan membawa Aji ke pos polisi terdekat. Teman-teman si Pelor pun tak kuasa mencegahnya. Bang Dani pernah membunuh penjahat dengan tangan kosong. Reputasinya tak bisa dianggap enteng. Meski badannya diseret paksa, Aji masih sempat menebar ancaman...

"Urusan kita belum selesai, Jack! Ingat itu! Urusan kita belum selesai!"

Jack tak menjawab apa-apa. Ia tengah susah payah untuk bangkit, dibantu Pingkan dan penjual soto mi yang tadi dipukuli Aji.

"Jack, elu kagak ngapa-ngapa, kan?" seru Bang Dani. Bang Dani cukup kenal dengan Jack karena sempat belajar agama dari almarhum kakek Jack. Dulunya sebelum insyaf, Bang Dani sempat jadi preman dan penjahat lokal yang sangat ditakuti.

Jack tak menjawab. Hanya isyarat tangannya menyampaikan bahwa ia tak perlu pertolongan Bang Dani. Bang Dani pun pergi membawa Aji Pelor.

Orang-orang masih berkerumun dan saling bercerita tentang peristiwa yang baru terjadi saat Jack berjalan perlahan ke tempat ia memarkir motornya sambil dibantu Pingkan.

"Sudah, Jack, it's not necessary for you to guide me to the book store!Lo Kamu pulang aja, ya?" kata Pingkan sambil memberikan lembar tisu yang kesekian untuk menghentikan aliran darah yang keluar dari hidung Jack.

"Nggak, nggak apa apa kok, Pingkan, sudah dekat kok, nanti pulangnya aku lewat gang kecil yang cuma bisa dilalui motor, tapi lebih cepat," napas Jack masih terengah. Satu pertempuran baru saja usai, seperti hujan di sore itu.

**

Menjelang bibir jalan raya menuju toko buku yang dimaksud, Jack berhenti menunggu Pingkan.

"Kenapa, Jack?" tanya Pingkan.

"Aku lupa jalan di depan lagi dibeton, mungkin kalo untuk mobil pakai sistem buka tutup, bergantian gitu. Kalau motor sih bisa lewat pinggiran. Kalau kebagian harus nunggu, kamu santai aja tunggu antrean, nanti aku tunggu

di depan toko buku itu." Sadar atau tidak, Jack kini jadi over protectiue terhadap Pingkan. Mungkin peristiwa-peristiwa besar dan menegangkan yang sudah mereka lalui bersama itulah penyebabnya, termasuk kejadian yang baru saja lewat, yang bisa mengancam nyawa keduanya.

"OK, Jack, no problem," hati Pingkan berbunga. Jack sangat perhatian kepadanya. Oh, jack, if only you knew what's in my heart!"

Benar juga dugaan Jack. Pingkan kebagian antre, sementara Jack yang mengendarai sepeda motor bisa melaju terus lewat pinggiran jalan itu.

Setelah melewati jalan yang tengah dibeton itu, Jack menempuh lebih kurang 300 meteran untuk sampai ke toko buku. Lancar. tak ada hambatan. Setelah memarkir motornya di halaman toko buku yang cukup besar itu, Jack berdiri di sebelah kendaraannya, untuk menunggu sampai Pingkan datang. Dilepasnya jaket tipis basahnya dan disampirkan pada setang motornya. Tangannya mengambil ponsel di kantong celana, mengecek kalau-kalau ada kabar tentang Bapak. Ada satu pesan. Jack membukanya. SMS dari Lela. pacarnya. Jack membacanya dan terpaku...

Bang Jack, mulai sekarang, kita temanan aja, ya
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasanya ini sama dengan saat menjelang acara perpisahan SMA dulu. Saat itu, Jack menerima SMS dari Sinta Agustina, primadona sekolah yang menyebabkan

pertempuran keduanya dengan Aji Pelor. Masih segar dalam ingatan Jack, SMS Sinta yang lebih pendek dari SMS Lela, namun bermakna lebih kurang sama...

Jack, kita sahabatan aja,

Yang ia dengar dari kabar burung, Sinta dipaksa kawin oleh orangtuanya dengan seorang lelaki kaya raya yang sudah beristri. Jadi istri Simpanan. Kabarnya orangtua Sinta bisa terbebas dari belenggu kemiskinan setelah pernikahan itu. Seiring waktu berselang, Jack juga mendengar bahwa tak berapa lama kemudian Sinta dicerai suaminya karena si lelaki tak tahan dirongrong kecemburuan istri pertamanya. Lalu, Sinta jadi semacam piala bergilir. Jatuh dari satu pelukan satu lelaki ke pelukan lelaki lainnya. Kabar terakhir mengatakan bahwa Sinta kini jadi istri muda seorang anggota DPR.

Aku tak akan menelepon atau meng-SMS Lela! Kata Jack dalam hati. Jack tak mau dianggap mengemis-ngemis cinta Lela. Jack ingat betul masa-masa SMA usai diputuskan lewat SMS oleh Sinta, ia terus-menerus gigih untuk mendekati Sinta. Namun, hasilnya sia-sia. Sinta tak lagi menggubris cinta Jack kepadanya. Sinta malah pergi menjauh. Parahnya, tak ada pamit dan tak ada maaf yang terlontar di bibir gadis jelita itu. Hanya perih yang Jack rasakan.

Sebuah mobil Toyota Land Cruiser abu-abu yang datang berlawanan arah dengan kedatangan Jack tadi tiba-tiba masuk menyeberang ke halaman toko buku. Lima orang anak muda turun dari dalamnya. Lamunan Jack tentang Sinta dan Lela terhenti karena kelima pemuda berpakaian kasual tapi tampak mewah itu bergerak menghampirinya. _

"Elo yang namanya Jack, kan?" Orang yang paling tampan di antara mereka bertanya tanpa tegur sapa terlebih dahulu.

"Mm... betul, ada apa ya, Mas?" Polos pertanyaan Jack.

"Sori, tapi gua minta elu menjauh dari cewek gua, si Pingkan," kata si tampan menambahkan.

"Maksudnya? Maaf, aku benar-benar nggak paham." Jack memang belum paham dengan maksud perkataan orang yang baru datang itu.

"Lu nggak usah pura-pura deh!" Teman di sebelahnya membentak Jack.

"Pura pura apa sih? Gua nggak ada hubungan apa-apa sama Pingkan. Lagi pula yang gua dengar, Pingkan sudah putus dari pacarnya." Jack berusaha tenang walau hatinya mulai panas karena tuduhan mereka.

"Eh, nyolot lu ya ternyata? Dasar anak kampung!" Teman satunya lagi juga membentak Jack. Bahkan, yang satu ini langsung melayangkan bogem mentah mengenai mata kanan Jack.

"Rico. apaan sih lu, gua kan udah bilang jangan pake kekerasan!" Si tampan cemas melihat temannya langsung main tangan.

"Elu jangan lembek gitu, Andre, orang kayak gini harus kita beri pelajaran!" Orang yang dipanggil Rico tak mau menurut.

Parahnya lagi, satu teman lain dari pemuda tampan yang dipanggil Andre itu ternyata malah mengikuti jejak Rico. Sebuah tinju terlontar ke arah kepala Jack. Jack berkelit ke kanan dan refleks memasukkan pisau tangannya ke pipi si penyerang. Yang pertama memukulnya pun mencoba mengulangi keberhasilannya. Ia melontar kepalan kirinya. Jack

merunduk dan memasukkan sikutnya ke dada Si penyerang sambil melangkahkan kaki kirinya ke depan. Dua penyerang sudah ia jatuhkan saat Jack merasa tubuhnya mulai gemetar dan melayang. Dengan sisa tenaganya, penyerang ketiga masih bisa ia jatuhkan dengan sebuah bantingan. Namun, orang ke empat tak disangka mengayunkan sebuah benda keras ke kepala Jack. Sebuah stik softball! Maka, berikutnya Jack hanya melihat bertubi-rubi pukulan menderanya dan usaha orang yang dipanggil Andre untuk mencegah teman-temannya melakukan kekerasan kepadanya. Sebuah usaha yang tampaknya sia-sia. Pelan-pelan tubuh Jack meroboh. Dan semuanya menggelap.

Pingkan hampir sampai ke toko buku itu saat ia melihat mobil Andre melesat pergi. Ia yakin itu mobil Andre karena hafal nomor polisinya. Hatinya bertanya tanya, apa yang Andre lakukan di sana. Dan mengapa pula harus memacu mobilnya secepat itu. Lebih heran lagi ia melihat Jack terkapar di halaman depan toko buku dan makin banyak orang yang datang mengerumuninya.

**

MALAM ITU, JACK SAMAR-SAMAR MENDENGAR SUARA PERTENGKARAN itu di dekatnya. Pertengkaran yang terjadi segera setelah Pingkan menutup gorden penutup tempat tidur tempat Jack berbaring.

"I did try to stop them, Pingkan, but they just didn't want to listen to me!' Aku juga nggak tahu kalau Edgar sengaja ambil stik softball di mobil aku, Pingkan!"

Sepertinya Jack pernah mendengar suara itu. Sayup-sayup kantuknya masih melanda, namun suara berikutnya terdengar makin jelas...

"But you're the one who started ir, Andre!" Ini pastinya suara Pingkan, begitu Jack menyimpulkan. Walau sejak tersadar tadi sore, alam pikiran dan alam mimpinya masih sulit dipisahkan, Jack bangun dan tertidur lagi, bangun lagi dan tertidur lagi sejak tadi. Tapi, ia ingat seorang dokter mengatakan kepada Bu Vita, mama Pingkan, bahwa ia tidak

mengalami gegar otak seperti yang Bu Vita khawatirkan, melainkan hanya kelelahan kronis, satu istilah yang baru pertama kalinya ia dengar. Saat ini, ia menahan matanya dari rasa kantuk yang disebabkan oleh kelelahan serta efek dari obat-obatan yang harus ia minum tadi. jack merasa perlu mendengarkan pertengkaran di balik gorden tempat tidur di ruang rawat inap VIP di sebuah rumah sakit di kawasan Pondok Gede itu, tempat terdekat yang bisa Pingkan temukan saat membawa Jack yang terkapar karena dipukuli teman teman Andre tadi siang.

"Lagi pula, kenapa juga kamu cari-cari, Jack, dre?" Pertengkaran itu berlanjut terus.

"Karena aku nggak mau kehilangan kamu, Babe!" Andre memohon.

"Tapi kita kan sudah putus, Andre!" sahut Pingkan dengan sengit. Air mata mengalir dari dua sudut matanya.

"We already broke up, Ndre!" tegas Pingkan lagi.

"Tapi aku masih sayang kamu, Kan..." suara Andre terdengar memelas. Begitu dalam cintanya pada Pingkan.

"It's too late, Ndre.... you already made two huge mistakes, first, you thought ! was still" you're girlfriend, which was wrong... and second, you and your gang beat up jack, the man who saved my life...4 Kamu nggak tahu kan, Ndre? Betapa berartinya Jack buat aku? Yes, I fall for him, if that's the question you have kept in your mind," kalimat terakhir

Pingkan mengejutkan Andre. Lelaki yang tak kalah tampan dari Jack ini diam, berdiri bagai patung. Perasaaan terkejut, galau, marah, cemburu, teraduk sempurna. Pernyataan itu sesungguhnya juga mengejutkan Jack yang tersembunyi di balik gorden selerek tempat tidur yang ia tempati. Seorang gadis dari keluarga kaya raya jatuh cinta kepada dirinya yang berasal dari keluarga orang susah, keluarga melarat. Jack berusaha menahan kantuknya agar tetap bisa mendengar percakapan Pingkan dan Andre.

"Aku minta maaf, Pingkan. Aku juga bakal minta maaf kepada Jack dan keluarganya... nanti jika ia sudah sembuh." Dengan mengatakan hal itu, sesungguhnya Andre masih berharap Pingkan mau mengubah pernyataannya yang mengejutkannya tadi, bahwa cinta gadis pujaannya itu kini telah beralih kepada Jack. Andre yang makin gundah membalik badannya lalu pergi.

Ketika gorden itu mulai dibuka, Jack sigap memejamkan matanya. Pingkan menghela napas panjang. Dia pikir Jack masih tertidur dan tak mendengar saat ia bertengkar dan menyatakan perasaannya tadi.

Sepuluh menit kemudian, mama Pingkan, yang se|ak tadi bicara panjang lebar di luar, dengan ibunda Jack serta mama Andre, kini masuk bersama Pok Uun.

"Tante Helen mana, Ma?" tanya Pingkan.

"Barusan pulang bareng Andre," sahut Bu Vita.

"Eh, Pingkan, Mama mau antar mamanya Jack ke kembali ke Cipto malam ini, sekalian Mama mau ke sana. Mama kan belum nengokin Pak Joko, tolong telponkan Pak Soleh sekarang." tambah Bu Vita.

"OK, Ma," Pingkan lalu menelepon Pak Soleh, sopir sang mama.

"Udah, Ma," katanya kemudian.

Pok Uun membelai dan mengecup dahi putranya yang tampak "tertidur" itu. Jack masih pura-pura terlelap, takut Pingkan mengetahui bahwa ia sebenarnya tidak sedang tertidur. Sekitar tiga menit berselang, baru Jack membuka mata perlahan.

"Jack, ibumu sedang diantar kembali ke Cipto, sama Mama dan Pak Soleh." Wajah Pingkan berbinar saat memberi informasi.

"Oh ya, ya bagus deh, biar Bapak ada yang nungguin. Selama ini cuma Ibu yang paling bisa diandalkan untuk nungguin Bapak. Wati kan sekolah, sementara Lutfi paling males-malesan dia," sahut Jack.

"Tadi Andre dan Tante Helen ke sini, mau minta maaf sama kamu. Tapi, kamunya tadi tidur lagi. Jadi, mereka mau datang lagi, mungkin besok, atau lusa kalau kamu sudah sembuh," agak rikuh juga Pingkan menerangkan ini. Bagaimanapun, walau Andre telah berbuat salah, anak Tante Helen itu pernah punya tempat yang istimewa di hatinya.

Jack tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.

**

"Surprise-surprise!" Suara ceria Cherry terdengar di pintu. Prudence dan Rena menyusul Cherry masuk kamar perawatan.

"Waduh, actually you don't have to come, gue jadi nggak enak ngerepotin kalian nih!" Pingkan berbasa-basi canda melihat kedatangan sahabat-sahabat terdekatnya.

"Halah, bilang aja kamu nggak mau diganggu karena mau berduaan sama Jack aja," goda Cherry. Rena dan Prudence ikut tertawa menggoda Pingkan. Yang digoda bersemu merah pipinya.

"Apaan sih, kalian? Ada orang sakit bukannya dihibur," kata Pingkan menyembunyikan rasa malunya.

"Yaa, kan udah ada yang menghibur si sakit." Kali ini Prudence yang menggoda Pingkan. Prudence disusul Rena dan Cherry lalu menyalami Jack.

"Gimana, Jack, rasanya?" tanya Cherry.

"Udah baikan sih, alhamdulillah," jawab Jack.

"Bukan, maksud aku, gimana rasanya ditemani sama orang cantik?" ralat Cherry, semangat menggodanya masih besar.

Jack cuma tertawa kecil. Seorang petugas perempuan masuk membawa kereta dorong makanan, menaruh makan malam Jack di meja kecil di sebelah tempat tidur Jack.

"Aku suapin kayak tadi ya, Jack?" Pingkan menawarkan jasa. Tak sadar spontanitasnya justru jadi amunisi temana temannya untuk mencandainya.

"Ciyeeeee!" Serempak teman-temannya menggoda Jack dan Pingkan lagi. Jack dan Pingkan semakin rikuh. Sesungguhnya dalam hati Jack berkecamuk sebuah perang kecil yang semakin membesar. Di satu sisi, Jack semakin gusar kepada Lela karena secara sepihak memutuskan hubungan mereka. Lewat SMS pula! Hal yang mengingatkan pada pengalaman buruknya diputuskan Cinta oleh Sinta di SMA. Namun, di sisi lain, Jack harus mengakui bahwa kekagumannya kepada Pingkan pun makin tumbuh subur. Di matanya, Pingkan tak seperti kebanyakan orang-orang kaya yang pernah dikenalnya.

Pingkan tak sombong, tak pilih-pilih teman, dan sangat suka menolong orang yang kesusahan. Jiwa sosialnya tulus, polos, tanpa pretensi. Hati Jack mulai bertanya, inikah awal dari cinta.? Jack tahu betul se|ak di pesantren dulu bahwa hati kecil kita tak mungkin bisa berbohong. Jack sadar magnet gadis yang ia boncengi ke kampusnya selama ini semakin kuat menariknya. Tapi kan dia sudah ada yang punya.? begitu batinnya mencoba menyanggah. Tidak, Andre tidak berhak melarangnya mencintai Pingkan. Seingat Jack, dan awal perkenalannya dengan Pingkan saja, gadis cantik itu sudah mengatakan bahwa ia sudah putus dari pacarnya. Tapi kan dia berbeda agama? demikian gejolak batin Jack selanjutnya. Tapi Jack pikir, ini kan baru mengenal, belum memutuskan untuk ke jenjang selanjutnya. Lagi pula, insya Allah, kalau jodoh, siapa tahu Pingkan bisa belajar Islam dan kemudian memeluknya tanpa harus dipaksa siapa pun. Masya Allah, kenapa aku berpikiran sampai sejauh ini? Jack tersadar dari lamunannya saat teman-teman Pingkan masih menggoda dan mencandai si jelita yang mulai mengisi relung hatinya.

Prudence, Cherry, dan Rena sudah berpamitan lima belas menit yang lalu. Jam dinding di ruang perawatan yang terbilang mewah itu menunjuk pukul 9.15. Seorang suster baru saja keluar dari ruangan setelah memastikan apakah Jack sudah meminum obatnya. Kini tinggal Pingkan dan Jack berdua di sana.

"Kamu pulang aja, Pingkan." Jack berkata pelan memecah kesunyian. .

"Kamu nggak apa-apa?" Wajah Pingkan memerlihatkan kekhawatiran.

"Nggak apa-apa kok, pulang aja, nanti kamu kemalaman," Jack mengingatkan.

I don't mind staying with you all night long. Dear Jack! batin Pingkan berharap. Tatapan matanya kini bersirobok dengan tatapan Jack. Jack lalu menunduk. Pingkan pun tergagap salah tingkah.

Tak terasa tangan kanannya malah sudah memegang pundak Jack. Jack terdiam. Tak biasa ia dipegang oleh perempuan. Namun, ia pun tak hendak menepis tangan Pingkan karena takut akan menyakiti hati sang gadis.

"Jack, aku..." kata-kata Pingkan tertahan di tenggorokan. Maka, Jack yang mengambil inisiatif pembicaraan. Jack tahu apa yang sedang bergejolak di hari Pingkan. Rasa cinta kepadanya.

"Pingkan, terima kasih ya."

"Untuk apa?" tanya Pingkan polos. Tangannya perlahan-lahan lepas dari pundak Jack saat ia mulai menguasai perasaannya.

"Terima kasih telah menyelamatkan aku dari golok Aji tadi siang," jelas Jack. Tatap keduanya beradu kembali. Ada desiran darah dan degup jantung yang ritmenya semakin cepat di dalam dada kedua insan berbeda kelas sosial dan lingkungan pergaulan ini.

"Mm, kebetulan aja kali kamu pas bareng aku, kalo bareng orang lain juga pasti kamu ditolong orang lain," jawab Pingkan.

"He-he, itu kan kata-kata aku buat kamu, nggak boleh tuh niru niru," canda Jack. Ada peningkatan kemesraan dalam obrolan mereka. Peningkatan yang sangat signifikan.

"Loh, memangnya ada hak patennya ya kalau aku pakai kata-kata kamu?" balas Pingkan sambil tersenyum.

"Ya udah aku pulang dulu ya, Jack. Take care, kalau ada apa-apa panggil suster aja ya," tuntas Pingkan.

"Atau telepon kamu aja?" goda Jack.

"Boleh, tapi Suster Pingkan bayarannya mahal lho," jawab yang digoda. Saat ini, Pingkan mulai merasa bahwa Jack juga punya perhatian yang sama besarnya seperti perhatiannya kepadanya.

"Bye, Jack." Senyum manis itu sekali lagi menghias wajah cantik Pingkan. Lalu, tubuh semampai itu berbalik pergi. Namun, baru tiga langkah, Jack memanggilnya kembali.

"Pingkan," terlontar begitu saja dari Jack. Tak sadar terucap karena perasaannya yang terdalam ingin Pingkan bisa lebih lama di kamar perawatan itu, walau akal sehatnya meminta si jago taekwondo ini untuk pulang.

"Ya, Sayang?" Jawaban ini pun spontan lepas dari dua bibir mungil yang padat itu. Pingkan segera menyadari keceplosannya itu.

"Min... maksudku, mmm... kenapa, Jack?" tanya Pingkan gugup.

"Mm... nggak... aku cuma mau tanya... mm... kamu keturunan Menado?" Jack yang grogi pun jadi asal bertanya.

"Ah kamu kok jadi alay gini sih, Jack? Bukan, aku bukan orang Menado. Dulu, aku diberinama Pingkan karena Mama dulu punya dokter langganan keluarga, namanya Dokter Pingkan. Katanya sih, aku diberi nama Pingkan supaya pintar dan cantik seperti Dokter Pingkan." !

"Oh, gitu, mm... mungkin biar suatu saat kamu jadi dokter kali?" komentar Jack polos.

"Ih, apa sih, Jack, aku kan pingin jadi polwan! Officer Pingkan, LAPD," sanggah Pingkan sambil menikmati canda kecil ini.

"Udah ya, Jack, sleep well."

Jack hanya tersenyum. Pingkan pun beranjak pergi. Saat meraih remote control televisi dan menyalakannya, Jack tersenyum saat melihat bahwa di televisi kebetulan ada Pingkan yang lain. Pingkan Mambo mulai menyanyikan lagu yang didaur ulang dari tembang lawas Kertas Band

Aku mentari tapi tak menghangatkanmu... Aku pelangi tak memberi warna di hidupmu... Aku sang bulan tak menerangi malammu... Akulah bintang yang hilang ditelan kegelapan... Tak lama kemudian, Jack pun kembali terlelap.

Jam dinding di kamar tempat Jack dirawat menunjuk pukul 11.17 malam saat kedua mata Jack kembali membuka. Agak kaget juga Jack saat melihat seseorang tengah duduk dengan sabar di sebelah tempat tidurnya. Ibu Vita, mama Pingkan.

"Bu Vita?" Hanya itu yang terucap dari mulut Jack.

"Maafkan Ibu mengganggu tidur kamu, Jack," Bu Vita membuka percakapan. Ada gurat-gurat kecantikan sang ibu yang menurun pada wajah Pingkan, demikian Jack memperhatikan.

"Nggak apa-apa, Ibu, saya sudah banyak tidur kok," jack bangkit dan kini berada dalam posisi duduk.

"Ada apa,

Bu Vita?" tanya Jack, seolah ia bisa membaca kegundahan Bu Vita.

"Maafkan Andre dan kawan-kawannya ya, Jack. Tadi Andre dan mamanya ke sini mau minta maaf sama kamu tapi kamu masih tidur."

"Iya, Bu, tadi Pingkan juga cerita. Insya Allah saya maafkan, Bu. Terus terang memang saya sempat kesal juga dikeroyok tiba-tiba seperti itu. Tapi ya, sudahlah kalau Andre sudah sadar, semoga kawan-kawannya juga demikian," kata Jack. Tangannya meraih segelas air di meja kecil. Bu Vita membantunya.

"Kawan-kawan Andre tadi juga sudah ketemu Ibu, mereka juga akan minta maaf sama Jack," jelas Bu Vita.

"Alhamdulillah kalau begitu, Bu," ujar Jack sambil tersenyum.

"Jack tidak dendam kan sama Andre?" Bu Vita bertanya serius.

"Mm... nggak, Bu, ya kalau perasaan marah sih terus terang masih ada. Tapi, insya Allah kalau saya bilang memaafkan, ya memaafkan total. Lagi pula. dendam kan nggak baik, orang yang balas dendam cenderung zhalim, Bu," Jack menegaskan sikapnya.

"Zboli'm? Artinya apa itu, Jack?" Bu Vita tak paham. Jack baru ingat Bu Vita penganut Katolik. ia belum tentu paham istilah-istilah dalam agama Islam.

"Maaf, Bu, zhalim artinya kita berlebihan, seperti kalau kita dipukul sekali, lalu kita balas dendam, biasanya kan kita nggak cuma mukul sekali, tapi kalau bisa lima atau sepuluh kali," Jack menjelaskan.

"Kalau yang saya pelajari di pesantren dulu begitu, Bu Vita, kita harus hindari itu.

Maaf, bukan saya bermaksud menggurui." Naluri dakwah yang diwariskan kakeknya yang seorang ulama itu rupanya tak pernah luntur dalam diri sang cucu.

"Oh, begitu, iya hampir sama dong dengan ajaran agama Ibu, agama Katolik, kami juga diajari untuk memaafkan kesalahan orang, siapa yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu," tanggap Bu Vira.

"Jack, bolehkah saya mebicarakan sesuatu yang lebih serius?" Pertanyaan Bu Vita kini agak mengagetkan Jack.

"Oh, silakan, ... ada apa ya, Bu?" Perasaan Jack mendadak tak enak.

"Ini, tentang Pingkan dan Andre," lanjut Bu Vita. Perempuan ini menarik napas panjang sebelum melanjutkan penjelasannya.

"Mungkin Jack sudah tahu kalau Andre adalah anak dari Tante Helen, sahabat terbaik ibu. Tante Helen ini Ibu rasa memang dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkan Ibu dari jurang kehancuran. Terus terang Ibu pernah mengalami masalah besar yang membuat Ibu ingin mengakhiri hidup Ibu saja saat itu. Syukurlah mamanya Andre itu datang menyelamatkan Ibu."

"Maaf, Bu Vita, saya masih kurang paham," tanya Jack dengan sopan. Sebenarnya cerita tentang jasa Tante Helen sudah Jack dengar dari Pingkan, namun Jack masih belum tahu kaitan cerita itu dengan dirinya.

"Begini, Jack, terus terang saya sudah tahu kalau Pingkan saat ini hubungannya dengan Andre sedang tidak baik. Ibu juga tahu, Pingkan sedang suka sama Jack," kali ini Bu Vita menatap Jack, menanti reaksi dari orang yang sedang ikut

dibicarakan. Namun, Jack tak bereaksi apa-apa. Ia terus menyimak.

"Wajar saat orang bertengkar dengan kekasihnya, ia bisa mengalami ketertarikan sesaat dengan orang lain, rasanya, inilah yang sedang dialami anak Ibu terhadap kamu, Jack," tambah Bu Vita.

"Mi-n... bagaimana Ibu tahu kalau Pingkan ada perasaan kepada saya?" Saat ini, perasaan Jack sungguh tak keruan.

"Prudence banyak cerita ke Ibu, Ibu juga lihat SMS-SMS Pingkan waktu handphone-nya pernah ketinggalan di rumah. Pokoknya banyak yang saya tahu dari anak saya, Jack. Saya juga memperhatikan mata Pingkan saat ia menatap kamu, Jack," Bu Vita terus bercerita. Jack tak bisa berkata apa-apa.

"Jack, Ibu tidak tahu apakah kamu juga punya perasaan yang sama kepada Pingkan. Tapi, Ibu mohon kepada Jack agar Jack mengerti bahwa saya dan Tante Helen sudah lama bersepakat untuk mengetatkan jalinan persahabatan ini menjadi jalinan persaudaraan. Oleh karenanya, Ibu mohon kepada Jack untuk bisa... untuk bisa..." Bu Vita berat melanjutkan kata-katanya. Matanya berkaca-kaca.

"Ibu minta Jack tidak salah paham, Ibu tidak pernah membeda-bedakan orang, Ibu juga tidak menentang perkawinan antaragama yang berbeda. Hanya saja, Ibu dan Tante Helen sudah berjanji, kami sudah sepakat agar sedapat mungkin, Andre dan Pingkan bisa menjadi pasangan suami-istri," tuntas Bu Vita akhirnya menjelaskan maksudnya kepada Jack. Air matanya kini telah berurai.

Ada hening yang cukup lama sebelum akhirnya Jack buka suara.

"Bu Vita, saya mengerti apa yang Ibu maksud, saya paham, dan saya akan perlahan-lahan mundur menjauh dari Pingkan. Sesungguhnya, saya juga merasa tidak pantas menjadi pendamping Pingkan..." kata-kata Jack pelan dan bergetar.

Ada kekecewaan yang dalam di hati Jack. Cinta yang nyalanya mulai membara itu tiba-tiba harus dipadamkan paksa oleh pemiliknya. Jack sungguh bingung dan gundah, mengapa jalan cinta ini tiba-tiba harus dipampat rapat-rapat. Ia juga tak berani mengusik Bu Vita dengan seutas tanya mengapa, karena ia paham, dari cerita-cerita Pingkan, bahwa perempuan yang melahirkan Pingkan ini telah melalui begitu banyak penderitaan dalam hidupnya. Jack tak berani bertempur di zona yang terlalu asing dan jauh baginya. Maka, ia paksakan dirinya untuk mengalah. Hening lagi malam itu. Jack hanya menganggukkan kepalanya saat Bu Vita berpamitan pergi. Sekali lagi hatinya terluka karena cinta, setelah sebelumnya teriris perih pisau cinta Sinta dan Lela, dan yang sekarang justru lebih parah karena Jack bahkan belum sempat menyampaikan perasaannya kepada sang pujaan. Sebuah cinta yang lahir dan mati prematur. Pikiran dan hati Jack jadi sangat galau. Malam di ruang perawatan mewah itu kembali senyap.

Tiga hari telah lewat sejak Jack beristirahat di rumah usai rawat inap dua malam sebelumnya di rumah sakit. Banyak hal yang sudah terjadi dalam tiga hari belakangan; Andre dan kawan-kawan datang ke rumah Jack ditemani Tante Helen dan Bu Vita untuk meminta maaf, lalu Pingkan mengajak Prudence, Cherry, dan Rena menjenguk Pak Joko, kemudian

tugas Pok Uun sekeluarga untuk menunggui Pak Joko sudah berkurang karena adik bungsu Pak Joko yang tinggal di Yogya, Lik Harti, diminta suaminya, Paklik Yanto, untuk datang guna menunggui kakaknya. Paklik Yanto dan Lik Harti kebetulan memang tak dikaruniai anak, jadi relatif banyak waktu yang bisa mereka luangkan.

Luka di kepala Jack sudah berangsur pulih. Di toko komputer milik pamannya, Jack tengah berbincang dengan Oom Tardio, salah satu adik Pak Joko yang tak mau dipanggil paklik oleh para keponakannya. Maunya disebut oom. Mungkin ia rasa lebih keren atau mungkin pengaruh pergaulan dan pendidikannya yang tinggi. Jarang-jarang Oom Tarjo berkunjung ke tokonya sebab bidang usahanya banyak, dan toko komputer ini bukan prioritas bisnis utama bagi sang paman yang kaya dan dermawan itu.

"Kamu kalau masih sakit mbok ya ndak usah masuk, Ki, lagi pula kalau kamu sudah kuat kan mending kamu njaga bapakmu tho?" saran Oom Tarjo. Hidung dan bibir sang paman mirip sekali dengan hidung dan bibir Pak Joko. Kalau saja tak ada kumis yang melintang di wajahnya, maka kakak-beradik itu akan terlihat bak dua saudara kembar.

"Nggak pa pa, Oom, sekarang kan sudah ada Lik Harri, jadi lebih ringan. Lik Harti sekarang yang tiap malam nginap, Oom," jelas Jack. Sejenak ia melayani seorang pelajar SMA yang membeli card reader. Jack tak menyangka setelah itu pamannya bertanya lagi.

"Kamu pacaran sama anak itu, Ki?"

"Anak yang mana, Oom?" Jack tak paham.

"Ya yang pacarnya ngeroyok kamu itu," Oom Tarjo memperjelas.

"Itu mantan pacarnya, Oom," jack mengoreksi.

"Ya, jadi sekarang dia jadi pacarmu ngono opo yo?" tanya si oom.

"Mm... nggak, Oom, sayangnya nggak," jawab Jack.

"Lho, sayangnya nggak itu maksudnya kamu sayang sama dia, tapi dia nggak nanggapi atau bagaimana?" sang paman mulai bingung.

"Ya. maksudnya saya nggak pantaslah, Oom, sama dia. Dia orang kaya, kami beda agama pula, Oom," jawab Jack.

"Lho, memang kenapa, Ki? Kok kamu langsung nyerah begitu? Ya kalau beda agama kan insya Allah dia bisa kamu ajak belajar tentang agama kita?" kata Oom Tarjo berargumen.

"Tapi, tetap kami nggak se-kufu' kan, Oom? Nggak setingkat gitu, Oom." jack tentu tak mau mengungkap alasan sebenarnya.

"Ya, ada betulnya juga yang kamu sampaikan, Ki. Tapi, dulu Oom juga nekat ngelamar mamanya Intan. Padahal, Oom dulu belum punya apa-apa, sedangkan Tante Yuni itu anak pembesar di Semarang," sang paman termenung sejenak sebelum melanjutkan.

"Orangtua tantemu itu tadinya keberatan, tapi karena kegigihan Oom, mereka akhirnya mau menerima Oom. jadi, pada tahun-tahun awal itu, Tante harus rela hidup miskin bersama Oom. Yang nggak enak itu kalau kumpul keluarga, Ki."

"Maksud, OOm Tarjo?" Jack serius menyimak.

"Ya, maksud Oom adalah memang saudara-saudara Tante Yuni, yang rata-rata orang kaya itu, tidak pernah bilang terus terang kalau mereka nggak suka bergaul dengan Oom yang dulu masih kere. Tapi, kelihatanlah atau kerasalah kalau sebagian dari mereka ramah ke Oom cuma basa basi saja.


Patung Emas Kaki Tunggal Unta Sakti The Brethren Karya John Grisham Pedang Pusaka Naga Putih Oleh Kho Ping

Cari Blog Ini