Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan Bagian 4
Sikap mereka baru berubah saat kehidupan Oom makin membaik, Ki," lanjut sang paman serius.
"Berarti mereka diskriminatif dong, Oom?" simpul Jack.
"Ya memang, tapi manusiawi kan? Jaranglah ada orang kaya yang mau tulus membaur dengan orang miskin. Ada, tapi sedikit, mungkin termasuk si... siapa nama pacarmu itu, Ki? Pingkan?" tanya Oom Tarjo.
"Iya, Oom, Pingkan, tapi dia bukan pacar saya, Oom, dia hanya..." kalimat Jack terputus saat melihat seorang gadis berjalan ke arah toko mereka. Tinggi, langsing, bercelana Stretch denim hitam dengan balutan oversized sweater tipis berwarna kombinasi hijau hitam yang membungkus kaus putih di dalamnya. Sepatu ankle boots yang dikenakannya serta tas slempang yang sporty menambah pesona gadis jelita bak model catwalk ini. Baik sang paman maupun sang keponakan pun sejenak terpana.
"Panjang umur, Oom, yang kita omongin datang," kata Jack pelan.
"Subhanallah, kamu harus dapatkan dia, Jack! Bocah kuwi ayu tenan!" kata sang paman dengan suara yang ditahan volumenya.
"Hus, Oom, jangan keras-keras napa?" Ada debaran keras di dada Jack. Maria Regina Pingkan Bramastyo melangkah dengan pasti, keluar dari satu kerumunan orang-orang di pusat pertokoan tempat toko komputer paman Jack berada. Semakin dilihat semakin cantik saja. Semakin berat rasanya buat Jack untuk terpaksa meninggalkannya karena tak berani menolak permintaan mamanya. Batin Jack sesungguhnya protes, mengapa cinta ini harus dihalangi? Namun, tetap saja akhirnya Jack memaksa dirinya untuk mengalah. Mengalah
demi Bu Vita, orang yang sudah sering sekali membantu keluarganya dulu. Ia bayangkan jika bapak atau ibunya tahu tentang masalah ini pun pastilah mereka akan memintanya untuk meninggalkan Pingkan. Terlebih lagi cerita Pingkan tentang rapuhnya mental mamanya yang hanya pulih setelah kehadiran Tante Helen. Tidak, aku tak boleh memaksakan cinta ini! Aku harus mengalah, demikian hati dan pikiran Jack memutuskan.
"Kenapa, Jack? Kok ngeliatin aku kayak gitu? I'm not a ghost, kan?" Pingkan mengomentari Jack yang tampak bengong.
"Nggak, cuma mikirin kok kamu tahu toko oom aku di sini?" tanya Jack sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Kan kamu dulu pernah kasih aku ancar-ancarnya, trus aku tanya-tanya orang tadi, quite easy to find" ternyata," tanggap Pingkan.
"Tadi aku telpon ke rumah kamu, yang angkat Wati, katanya kamu lagi di sini," tambahnya lagi.
"Mm, ini kenalkan oom aku, Pingkan... namanya Oom Tarjo." Lengan Jack mengarahkan Pingkan pada pamannya. Pingkan pun menyalami Oom Tarjo sambil menyebutkan namanya.
"Wah, Jack, paman kamu mirip Pak Joko ternyata," canda Pingkan.
"Ya. masih cakep saya tho, Mbak." balas Oom Tarjo. Pingkan tertawa berderai bersama pasangan paman dan keponakan itu. Sang paman lalu pindah ke sudut lain dalam toko itu untuk berbincang dengan Dame. pegawai toko yang.
menurut Oom Tarjo. harus ditemani Jack karena belum begitu paham istilah-istilah atau nama-nama komponen komputer yang sering ditanyakan pembeli yang datang.
"Temani aku yuk, Jack," ajak Pingkan sebelum Jack sempat bertanya tentang maksud kedatangan jagoan taekwondo jelita ini.
"Kemana?"
"Ya, jalan aja, sekalian pulang bareng aku pakai mobil. Tadi ada dosen yang nggak masuk, jadi pulang agak cepat. Terus tadi Prudence pulang duluan bareng Cherry, karena aku ada rapat dulu di sekretariat UKM taekwondo."
"Rena ke mana?"
"Rena hari ini nggak masuk, sakit flu berat katanya."
"Mm, aku kan..." Jack menjawab ajakan Pingkan dengan terbata.
"Kenapa? Kamu nggak mau ikut aku karena kamu bawa motor?" Pingkan menyimpulkan penyebab keraguan Jack.
"Oh, nggak, aku nggak bawa motor, kok. Badanku masih belum terlalu fit." Jack menyesal juga tak bisa bohong pada Pingkan. Padahal, kalau ia bilang bawa motor, mungkin ia jadi punya alasan untuk menolak tawaran itu.
"Jadi, bisa ikut aku dong?" Pingkan makin bersemangat.
"Tapi... tapi aku kan lagi kerja?" Jack masih mencoba menampik ajakan itu.
"Sudahlah, kamu ikut Pingkan saja, Ki." Tiba-tiba, Oom Tarjo, yang ternyata mencuri dengar percakapan mereka, melangkah menghampiri Jack dan ngkan.
"Terus saya jadi pulang lebih cepat, Oom?" tanya Jack.
"Halah ya ndak pa pa, kan ada Darno, sudah sana berangkat!" kata si oom sambil tersenyum lebar.
Jack tak
lagi bisa mengelak. .
Pingkan ternyata mengajak Jack untuk makan di sebuah kedai steak sapi favoritnya di food court sebuah mal tak jauh dari kampus Pingkan. Pingkan dan Jack memilih duduk berdampingan di sebuah kursi panjang yang menempel pada salah satu dinding.
"Ayo dimakan, Jack, kamu nggak suka?" tanya Pingkan saat melihat Jack yang duduk di sampingnya belum juga menyantap Sirloin steak di hadapannya.
"Aku ingat Bapak," kata Jack singkat.
"Kamu giliran nunggu hari ini? Tadi kata kamu ada Bulik kamu?"
"Iya, tetap dong, masak tanggung jawab nungguin Bapak jadi beban Lik Harti seorang?" tanggap Jack. Kali ini, ia mulai makan.
"Ya udah nanti aku antar kamu ke... yaah!" Ekspresi wajah Pingkan mendadak masam.
"Kenapa, Pingkan?"
"Tuh, gerombolan si Berat datang, si Roy, pacarnya si Frida yang ngeroyok Rena waktu itu." Pingkan pun bersiap. Jack berdoa semoga hari itu ia tak perlu berkelahi lagi seperti yang dialaminya dalam kebersamaan-kebersamaannya dengan Pingkan sebelumnya. Roy dan kedua karibnya, Arman dan Gideon, melangkah yakin ke arah Pingkan dan Jack.
"Halo, My Princess, long time no see kayaknya nih!"? Roy membuka percakapan. Arman dan Gideon senyum-senyum.
"Eh elo, Roy? Nggak bareng pacar lu?" tembak Pingkan.
"Siapa pacar gue? Bukannya elo?" balas Roy.
"Si gangster yang rambutnya bondol itu! Pura-pura lu ah."
"Frida? Ah dia bukan cewek gua kali. Dia aja yang naksir gua," bantah Roy. Sementara itu, Gideon mulai asik mengutak-ank kamera yang hampir selalu disandangnya itu.
"Oh ya? Jangan-jangan ada preman cewek lain yang elu pacarin sekarang. Bawa sini dia, biar gua hajar duluan." Pingkan mengambil inisiatif untuk menebar ancaman. Setelah perkelahiannya dengan Frida dan kawan-kawannya, Roy memang sudah jarang mencari kesempatan menggodanya. Jeri juga Roy dan kawan-kawannya mendengar cerita tentang mengamuknya Pingkan setelah tahu Rena dipermak habis oleh Frida cs.
"Jangan gitu dong, Pingkan. Gue dengar kan elo udah putus sama pacar lu, so gwe me punya chance dong. Gue sungguh-sungguh berharap, loh." Roy mulai melancarkan rayuannya yang tak begitu maut itu.
"Udahlah, Roy, nggak ada kesempatan buat elu. Lagi pula, lu nggak lihat gua lagi sama pacar baru gue?" ucapan Pingkan cukup membuat Jack kaget. Tambah terkejut sang jagoan karate ini saat Pingkan mendekat dan lalu bersandar manja pada bahunya.
"Kenalkan, ini Jack, pacar gue." Pingkan menatap Roy sambil tersenyum.
"Pacar lu? Bukan teman lu? Kok gua nggak pernah dengar elu punya pacar lagi setelah si... siapa itu? Andre?" Ekspresi Roy kelihatan tak senang.
Saat ini, Gideon dengan tangkas mengambil gambar Pingkan yang bersandar manja pada Jack. Pingkan tadinya ingin melarang Gideon, tapi kemudian sadar, kalau itu ia lakukan,
"akting"-nya bakal tak meyakinkan. Sementara itu, darah Jack berdesir cepat disandari oleh mahluk ciptaan Tuhan yang sangat indah ini.
"Anak Fakultas Sastra? Kayaknya gua nggak pernah lihat?"
"Eits sembarangan. Jack ini anak ITB. Dia lagi nyusun tugas akhir sekarang!" jawab Pingkan dengan gaya meyakinkan.
"ITB? Ngambil apa, Mas?" Tiba-tiba ada minder dalam nada bicara Roy.
"Mmm..." Jack agak bingung menjawabnya.
"Teknik Perminyakan!" potong Pingkan. Saat ini, kaki Jack diinjak pelan oleh Pingkan dengan maksud memberi isyarat kepada Jack.
"Wah keren! Mm, sori ya, aku pikir kamu temamm doang sama Pingkan." Roy mendadak salah tingkah.
"Mau kerja di bidang perminyakan, ya?" Pertanyaan Roy jadi sangat naif.
"Ya, kebetulan paman aku kerja di tambang minyak lepas pantai, aku pingin kayak paman aku aja," kata Jack asal.
"Ot! rig? Hebat! Yang di mana?" tanya Roy.
"Nggak di sini sih, di Amerika," jawab Jack yakin.
"Wah hebat banget! Mm, aku pamit dulu ya, Pingkan, Jack." Roy yang minder tak lama kemudian mengajak dua rekannya ikut pergi.
"Hebat banget paman kamu Jack, kerjanya di American oil rig," goda Pingkan saat Roy cs sudah jauh dari pandangan mata. Sandarannya ke bahu Jack perlahan ia lepaskan.
"He-he... untung dia percaya ya?" sahut Jack pendek. Masih ada desir-desir yang meradangi tubuhnya. !
Langit sore mulai digayuti mendung. Laju mobil Pingkan tertahan pelan. Ada suatu kejadian di depan sana. Anak-anak ABG berlarian di sisi kiri jalan dekat Pasar Pondok Gede. Batu-batu beterbangan. Teriakan caci maki kasar bertukaran. Anak-anak yang mengejar pun rata-rata ABG. Ini jelas tawuran. Ada ABG jalanan, ada ABG pelajar SMP, sebagian ada juga yang usianya setara anak SMA. Tapi tak semuanya remaja dan pemuda, ada dua atau tiga kanak-kanak di pihak yang mengejar. Situasi tiba-tiba berbalik, yang dikejar tadi kini balik mengejar karena ada bala bantuan yang datang, remaja-remaja lain yang bawa kayu, bambu dan celurit. Jack dan Pingkan bergidik. Pengendara motor dan mobil melambatkan laju kendaraan mereka, takut terkena lemparan baru. Dari kaca jendela mobil Pingkan, mata Jack tajam mengamati. Bukankah salah satu anak itu Gibran? Ya, tak salah lagi, itu Gibran, anak Pok Eli yang masih terhitung saudara jauhnya. Dan, Gibran kini dalam bahaya! Ia berlari tak secepat teman-temannya. Tubuhnya yang gendut membuat larinya jadi geboy, bahkan cenderung melambat, dan permukaan trotoar yang tak rata itu membuatnya tersandung. Gibran terjatuh! Jack memekik kecil. Pingkan yang membaca situasi yang sama, menambah laju mobilnya agar makin mendekat ke tempat Gibran terjatuh. Jack segera membuka pintu mobil Pingkan. Ia berlari ke arah Gibran. Remaja yang mengejarnya, yang membawa celurit, semakin dekat kepadanya. Entah ingin betul-betul membacok Gibran
atau sekadar menakut-nakuti bocah imut mengangkat celuritnya tinggi-tinggi dan...
Tubuh Jack meluncur bak kiper yang berjibaku menyelamatkan gawang. Dua kakinya pun menggunting dan menjegal jatuh si remaja bercelurit itu. Celuritnya terlepas jauh dan masuk selokan.
"Gibran, ayo!" ajak Jack sambil bangkit. Giliran Pingkan yang menyusul keluar kini memekik ngeri. Sebuah batu seukuran sepertiga bata merah melesat kencang, meluncur menghantam pelipis kanan Jack yang tengah menolong Gibran bangkit. Jack mengerang, lalu roboh. Ada aliran darah mengalir di wajah Jack. Tapi, itu tak menyurutkan niatnya menolong Gibran.
Pingkan yang marah melihat Jack jatuh lalu mengamuk. Tiga orang remaja tanggung terjengkang oleh tendangan keras kaki-kaki jenjangnya. Tapi, kelompok lawan Gibran cs jauh lebih banyak jumlahnya. Panik juga gadis ini melihat mereka yang terus berdatangan. Sejenak ia melirik Jack yang tengah membantu Gibran masuk ke mobilnya, lalu saat ia menatap lagi ke depan, lima penyerang berwajah garang berlari ke arahnya. Pingkan bersiap. Pasrah. Untung saja, dua anggota polisi yang berboncengan motor langsung masuk ke tengah-tengah trotoar dan turun untuk menghentikan keributan. Para pemuda yang terlibat tawuran sontak kabur berlarian karena takut ditangkap. Suasana tegang berangsur reda. Pingkan dan salah satu polisi menghampiri Jack.
"Kamu tidak apa-apa?" si polisi itu bertanya duluan.
"Nggak apa apa, Pak, akhir-akhir ini memang saya banyak dapat rejeki benturan." Jack mencoba bercanda, menghibur diri. Tangan kanannya menyeka darah yang keluar dari luka di pelipis kanannya.
"Jack, ayo ke rumah sakit!" suara Pingkan terdengar cemas.
"Nggaklah, lukanya nggak besar kok, kita ke rumah Gibran aja. Bocah yang baru disebut namanya itu kini duduk di sudut kanan kursi belakang, masih menggigil ketakutan, membayangkan kembali dirinya yang tadi hampir tersabet celurit apabila Jack tak datang menyelamatkannya.
**
Rumah Pok Eli, ibu Gibran. terletak tak begitu jauh dari rumah Jack. Roman wajahnya yang tadinya cerah saat menyambut kedatangan Jack dan Pingkan yang membawa serta anaknya, mendadak jadi muram usai Jack menceritakan tentang keterlibatan Gibran dalam tawuran dekat Pondok Gede itu. Kepada anaknya yang imut, perempuan yang separuh lebih wajahnya terkena luka bakar itu mulai mengungkapkan kegeramannya.
"Pegimana lagi musti gua bilang sih, Iban? Coba dong lu nurutin sekali aja, elu pingin ibu lu mati dulu baru elu nurut?" katanya dengan nada tinggi. Matanya pun mulai basah.
"Maapin, Mak, maapin Iban, Mak!" sang anak spontan ikut menangis. Malah tangis Gibran lebih keras dari tangis ibunya. Mata Pingkan ikut berkaca-kaca. Tak tega melihat keluarga yang sangat sederhana ini mendapat tambahan beban hidup. Di saat yang sama, Pingkan memperhatikan
kalau sesungguhnya wajah Pok Eli ini manis juga jika tanpa bekas luka bakar akibat ledakan tabung gas elpiji seperti yang pernah diceritakan Jack kepadanya. Kasihan sekali hanya karena bekas luka bakar yang sesungguhnya, menurut pengamatan Pingkan, bisa diatasi melalui operasi, perempuan ini terpaksa harus jadi orangtua tunggal karena menolak dimadu oleh suaminya yang kepincut perempuan lain.
Jack berusaha menghibur perempuan sederhana yang kini masih menangis sambil berpelukan dengan Gibran saat Pok Eli tiba-tiba menyinggung soal Aji Pelor kerabatnya.
"Maafkan si Aji tempo hari ya, Ki. Bibi dengar semua tentang elu brantem sama Aji, kagak tahu pegimana tu anak, mingkin hari mingkin begajulan aja, gua mah takut beud si lban jadi ikut-ikutan!"
"Tuh, Ban, lu mantaknya balik dong ngaji lagi," Jack memberi saran pada Gibran.
"Soal Aji, ya biarin aja deh, Bi, Kiki juga kagak tau harus pegimana, dia kan udah dewasa juga," komentar Jack kemudian.
"Sekarang nyang ngajar ngaji sapa, Ki? Pan Pok Uun nungguin bapa lu?" tanya Pok Eli. Tangisnya mulai mereda.
"Ada, Bi, kan ada Fikoh sama Ririn," kata Jack menyebut dua bekas murid ibunya dulu yang sejak beberapa bulan lalu sudah di-"kader" ibunya untuk belajar mengajar ngaji anak-anak di maSjid. Saat ini, terisi emosi ibu dan anak itu sudah turun. Pok Eli menyuruh Gibran untuk mandi dan berganti baju.
"Duduk, Neng..." Pok Eli ragu-ragu.
"Pingkan, Bi." Pingkan tersenyum.
"Oh, iya, maaf, silakan duduk. Neng Pingkan ini yang anaknya Ibu Pita ya, Ki?" lanjut Pok Eli. Rupanya berita cepat menyebar.
"Vita, Bi, pakai huruf Ve, bukan pakai Pe," goda Jack.
"Ah lu bikin malu Bibi aja, Ki," sahut yang digoda. Lalu, keakraban itu makin terjalin. Pingkan bahkan tak ragu-ragu untuk membantu Pok Eli memasak air di atas kompor minyak tanah.
"Bibi kagak berani lagi pake kompor gas, Neng." Tiba-tiba Pok Eli memberi penjelasan tanpa ditanya.
"Kenapa nggak pakai tabung gas seperti yang di rumah saya, Bi?" Pingkan lalu menerangkan tentang tabung gas di rumahnya, yang regulatornya pakai sistem drat ulir, yang ada kenopnya. jadi, meski selang tersambung, gas tak akan keluar kalau kenop tidak diputar.
"Yang begitu kan mahal, Neng. Orang seperti Bibi mana kuat bayarnya kalau pakai gas yang begitu," tanggapan Pok Eli membuat Pingkan terdiam dan merenung. Jack juga diam saja. Namun, dalam hatinya dia berkomentar: Orang miskin lebih sering tak punya pilihan, Pingkan...
**
Malam itu, di sebuah warnet dekat jalan masuk Kampung Sengon, Lela merasa gundah dan resah. Ia tak betah dengan situasi di dalam warnet yang penuh dengan kegaduhan anak-anak yang bermain online game. Sementara, Syaiful atau Ipul di booth seberang sudut sana masih tekun dengan video adegan seks sambil sesekali membuka facebook. Dalam satu kesempatan, Lela memang sudah pernah memergoki Ipul tengah menikmati video bokep di warnet saat Ipul ke
toilet di warnet itu. Saat dituding, Ipul menjawab ringan bahwa itu ia lakukan untuk belajar, agar bisa diterapkan saat sudah menikahi Lela. Ipul memang beda sekali dengan Jack. Bukan cuma masalah fisik, melainkan sikap dan perilaku. lpul sudah dua kali berhasil membujuk Lela untuk nonton bioskop bareng dirinya. Dan pada kesempatan kedua, Ipul mengambil kesempatan mencuri ciuman ke pipi Lela. Lela sungguh bingung. Tak pernah hal ini ia alami saat bersama Jack. Maka, rona-rona sesal mulai menelusup relung hatinya. Mengapa ia tergesa mengambil keputusan untuk meninggalkan Jack. Jangan-jangan ia salah menduga.
"La, sini deh," panggilan Ipul membangunkan lamunan
Lela.
"Apaan sih, Bang?" Lela merasa terganggu.
"Udah sini aja, Abang baru dapat nih FB-nya si Pingkan," kata lpul.
"Ngapain sih Abang liat-liat FB orang?" Lela protes.
"Udah sini aja ngapa?" suara lpul mengeras. Ternyata ia baru iseng-iseng mencari-cari FB Jack, lalu mencari Pingkan di friend list-nya. Bertemulah ia dengan akun FB Pingkan Bramastyo yang kebetulan wall-nya tak dibikin privat. Di sana ada tag foto dari Gideon, teman Roy, yang memperlihatkan gambar yang ia ambil tempo hari, foto Pingkan yang tengah bersandar di bahu Jack. Dan, Gideon tak lupa menambahkan caption: Pingkan dan pacar barunya nih!
Saat Lela sampai di booth lpul, ia terdiam. Pusing di kepalanya tiba-tiba semakin terasa bersahutan.
**
Tiap hari, ada saja SMS dari Pingkan yang masuk ke ponsel Jack. Kadang pagi, kadang siang, kadang malam pula, sering kali malah gabungan dari ketiga waktu itu. Jack makin merasa tak enak jika ingat apa yang telah dipesankan kepadanya oleh Bu Vita. Mengapa semakin Jack ingin menjauh, semakin kuat pula keinginannya untuk dekat dengan Pingkan? Ya Allah, mengapa rasa ini terus ada.? suara hati Jack mendesah keluh. Mengapa pula Pingkan tak membaca isyarat darinya yang ingin mencoba menjauh atau menjaga jarak dari gadis tomboi penuh pesona itu?
Sudah lewat seminggu sejak kunjungan Pingkan ke rumah Pok Eli. Kondisi Pak Joko tak juga membaik. Oom Tarjo berbaik hati memberikan Jack kebebasan untuk pulang lebih dahulu sebelum jam pulang kerja yang disepakati sebelumnya. Pukul dua lewat lima di jam dinding di toko komputer Oom Tarjo saat ponsel Jack berdering.
"Jack, kamu di toko Oom Tarjo?" suara Pingkan di ujung sana.
"Iya, kenapa, Kan?" perasaan Jack mulai tak enak.
"Jemput aku dong di kampus," pinta Pingkan.
"Lha, memang kamu nggak bawa mobil?" tanya Jack, sambil mulai mencoba cari-cari alasan untuk tak memenuhi permintaan Pingkan.
"Mobilku di bengkel, Jack, nggak tahu kenapa, AC-nya jadi kurang dingin," jawab Pingkan.
"Nanti pulangnya anterin aku ke bengkel juga ya, di daerah Jatiwaringin kok," pinta Pingkan seolah yakin Jack bakal setuju.
"OK..." kata Jack pelan. Ternyata, Jack belum cukup kuat untuk menolak permintaan Pingkan. Jack menoleh ke Darno yang duduk di dekatnya. .
"Mas, aku duluan ya," kata Jack.
"Ciaa, mau jemput si cantik ya?" Darno menggodanya.
"Hehe... orang cantik ngerepotin ya, Mas?" tanggap Jack.
"Lha, kamu nggak bawa helm buat dia?" Darno mengingatkan.
"Oh iya ya, aku pinjam helm-mu iso, Mas?" pinta Jack.
"Ya wis kono, ambil aja, sing putih yo, ojo sing merah," kata Darno sambil menunjuk helm yang ditaruh di atas salah satu lemari di toko itu.
**
Di daerah Kuningan, Jakarta Pusat, seorang laki-laki lima puluhan dan seorang perempuan berusia kira-kira separuhnya masuk ke dalam apartemen mewahnya sang lelaki. Si lelaki bertubuh tinggi tegap. Rambutnya yang mulai membotak, sedikit mengurangi ketampanan laki-laki berkumis tipis ini. Namun, badannya yang tak tambun membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih muda. Si perempuan berkulit cokelat tua, berparas manis dengan sepasang mata besar dan berbinar. Si lelaki sangat bergairah. Kejantanannya menegak keras. Dia sudah membuka dan melempar jasnya dan lalu melepas dasi dari kemejanya. Dipeluknya si perempuan dari belakang.
"Pak Bram nakal ah, saya sudah punya tunangan lho, Pak," kata si perempuan dengan manja. Tubuhnya menggelinjang desah saat sang lelaki yang cukup pantas jadi ayahnya itu menciumi cuping telinganya dan menyusur lehernya tanpa gangguan berarti, karena rambut ikalnya yang dipotong pendek itu membuat sang lelaki leluasa. Kedua tangan si bapak kini mulai melepas kancing pada kemeja kerja si perempuan setelah sebelumnya melepaskan
blazer yang tadi menutup tonjolan sepasang payudara yang menggunung di baliknya.
"Sudahlah, Desi, diam saja. Kamu mau naik jabatan kan?" si laki-laki itu tambah bersemangat melihat sikap manja si perempuan yang ia panggil Desi ini.
"Ya maulah, Pak Bram, memang syaratnya apa supaya naik jabatan?" godanya lagi. Napas sang lelaki di belakangnya semakin bergemuruh.
"Syarat sebelum kamu saya naikkan jabatannya? Ya kamu harus mau saya naiki," kata si lelaki yang kini semakin agresif ini.
Di kamar apartemen yang didominasi oleh warna cokelat, hitam, serta aksen merah dan krem, khas warna urban itu, dua insan berlainan jenis itu melepas segala penat dengan saling memagut hasrat primitif mereka.
**
. Bosan mengambil arah ke Jalan T.B. Simatupang, Jack memutar motornya ke arah sebaliknya. Saat motor mereka mendekat lampu merah dekat Markas Besar Polri, Jack iseng bertanya,
"Nggak berkunjung dulu nih kita?"
"Berkunjung ke siapa, Jack?" Pingkan tak paham.
"Ke Mabes Polri, ke oom kamu yang di Interpol itu, siapa namanya?"
"Oh, Oom Dodi? Dia masih di LA kali, masih tugas," jawab Pingkan.
"Wah enak ya jadi Oom Dodi, jalan-jalan terus ke luar negeri," tanggap Jack. Di tengah kesedihan yang harus ditahannya karena harus merelakan perempuan yang dicintainya ini, Jack sangat menikmati setiap detik dari kesempatan yang
tersisa untuk bersama dengan gadis berbibir mungil yang senantiasa memberi senyuman yang mendebarkannya itu.
"Iya, Jack, aku juga kalau boleh jadi polisi sama Mama, maunya ditempatkan di Interpol aja, biar bisa jalan-Jalan," ungkap Pingkan.
"Kalau jalan-jalan aku dibeliin oleh-oleh, ya?" goda Jack.
"Ih, kan kita berangkatnya sama-sama?" Pingkan mulai manja lagi.
"Kok sama-sama?" Jack pura-pura tak mengerti walau jantungnya berdegup keras.
"Ya iya dong, kan aku ajak kamu." Pingkan tak pandai menyembunyikan perasaannya.
"He-he-he..." Jack cuma bisa tersenyum. Keduanya lalu larut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Pingkan senang digoda oleh Jack dan ia mulai terbuka mengungkapkan perhatiannya. Sementara itu, batin Jack meradang, menahan. menyumbat rapat arus asmara yang menggedor-gedor dinding kalbunya. Cinta ini tak boleh diteruskan! batinnya senantiasa mengingatkan. Lalu, keduanya terdiam.
Di daerah Tendean, ponsel Pingkan berbunyi. Agak susah buat Pingkan mengambil telepon genggam dari dalam tasnya saat membonceng motor Jack.
"Pingkan... halo... Pingkan?" Suara bising lalu lintas Jakarta agak menenggelamkan suara si penelepon. Tapi, Pingkan kenal betul suara ini.
"Andre?" Heran juga Pingkan karena sejak pertengkaran di rumah sakit itu, ia dan Andre tak lagi bertegur sapa.
"Ya, Babe, Andre!"
"Ya, halo? Agak keras, Ndre, aku lagi di jalan, di motor Jack!" seru Pingkan. Walau masih menyimpan marah, tak
tega juga Pingkan untuk tak menjawab mantan pacarnya itu.
"Kamu pakai nomor siapa, Ndre?"
"Ini nomor baru aku, Pingkan, yang lama bermasalah... Eh, aku mau minta tolong dong, Babe?"
"Minta tolong apa, Ndre? Tapi, nggak usah panggil babe lagi kalee?" Heran juga Pingkan dalam hati, karena dalam waktu singkat amarah dari perseteruannya dengan Andre bisa lumer.
"OK, OK, maaf, Pingkan, aku mau minta tolong, dong. Kamu kenal Gerry kan? Gerry Samuel?"
"Iya tau, kan kamu pernah ngenalin aku sama dia, yang anak Film kan?"
"Iya, Gerry lagi buat video klip buat band baru, eh modelnya ngedadak mengundurkan diri. Kamu bisa nggak gantikan dia? Please..."
"Kapan, Ndre?"
"Sekarang, Pingkan."
"Sekarang?"
"Iya, nggak ada waktu lagi. Band barunya kan ada deadline dari label," suara Andre terdengar mengiba.
"Mm... tapi aku kan nggak bisa akting, kalo Mario adikku mah jagonya," kilah Pingkan ragu-ragu.
"Yaah, yang diperlukan kan cewek, yang cowoknya udah ada, bisa kan, Pingkan? Kalo soal akting kan nanti juga ada pengarah gayanya!" suara Andre terdengar sangat bersungguh-sungguh.
"Mm... ya udah ya udah, tapi aku nggak apa-apa ke sana sama Jack?" tanya Pingkan menyelidik.
"Nggak, nggak apa-apa, selama ini juga aku yang salah ke kamu, bukan? OK, aku SMS alamat lengkapnya, ya?"
"OK, Ndre," Pingkan lega. Paling tidak hubungan dengan mantan pacarnya itu sudah membaik kembali.
"Jack, antar aku mau, ya?" kata Pingkan pada Jack yang sejak tadi mendengar percakapan Pingkan.
"Ya udah, lokasinya di mana?" jawab Jack.
"Bentar lagi he will send me SMS," pungkas Pingkan. LuCu juga Pingkan kini membayangkan dirinya jadi model video klip sebuah lagu.
Seolah tahu yang dipikirkan Pingkan, Jack pun menggodanya.
"Wah bentar lagi sulit nih ketemu artis terkenal."
"Iiih, apa sih, Jack?" kata Pingkan dengan nada manja sambil spontan mencubit pinggang Jack. Desiran darah dan degup jantung Jack kembali terasa semakin kencang.
Di saat yang sama, di rumah Pingkan, Bi Inah mengangkat telepon.
"Halo? Halo, siapa ini?"
"Tebak hayo siapa ini?"
"Mas Andre ya?"
"Iya, ini siapa?"
"Lho, kok Mas Andre nggak hafal? Ini Bi lnah, Mas."
"Oh, Bi lnah. Ibu ada, Bi?"
"Mama Vita, maksudnya, Mas?"
"iya, Mama Vita maksud saya."
"Masih di kantor, ada apa tho, Mas?"
"Nggak, nanti Bibi tolong sampaikan ke Mama Vita kalau Pingkan saya ajak syuting video klip."
"Syuting apa, Mas?"
"Video klip, Bi, dan kemungkinan bisa sampai malam, Bi, maka kemungkinan juga HP-nya akan dimatikan pas syuting nanti, Bi, biar nggak ganggu proses syutingnya."
"Oh ya, nanti Bibi sampaikan ke mamanya Pingkan deh, Mas. Syuting video dan HP-nya dimatikan. Oh ya, Mas, Tante Helen sehat kan, Mas?"
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sehat, Bi, makasih ya," percakapan itu berakhir.
**
SMS lokasi syuting di ponsel Pingkan membawa Jack dan Pingkan ke daerah kawasan industri Pulogadung. Sempat pula jack berhenti sebentar untuk membaca pesan di ponsel Pingkan, memastikan alamat yang mereka cari, sebuah gudang dari sebuah pabrik yang sudah tak beroperasi lagi.
Awalnya jack ragu kalau bangunan berpagar tua dengan cat yang sudah banyak mengelupas itu adalah lokasi yang dimaksud. Keraguan itu bertambah saat ia melihat hanya seorang tua yang ia taksir berusia tujuh puluhan dengan pakaian yang lusuh, membukakan pagar besi dengan susah payah. Saat Jack bertanya di mana lokasi syuting berada, si kakek hanya menunjuk ke satu arah di sebelah kanan. Selintas Jack memperhatikan sebuah ruangan yang jadi tempat tinggal laki-laki tua yang tampaknya penunggu bekas gudang itu. Di sebelahnya, ada ruangan yang sedikit lebih besar. Atap kedua ruangan itu sedikit menjorok ke depan dengan topangan tiang-tiang besi sederhana. Di hadapan dua ruang itu, terbentang tali jemuran yang terikat pada dua tiang bambu yang tak terlalu tinggi. Kelihatannya dipakai untuk menjemur pakaian si kakek itu.
"Ke gudang, di tukang aya gudang tua, Bapak oge teu nyaho eta aya kegiatan naon, katanya mah ada saring pelem. Tadi mah aya si Bos oge?" sang orang tua dengan suara parau menjelaskan bahwa Jack dan Pingkan diminta langsung ke belakang sana, ke salah satu bangunan gudang. Jack menyimpulkan bahwa yang disebut si Bos oleh bapak tua itu adalah produser atau penyandang dana pembuatan video klip hari itu. Akhirnya, keraguan Jack sirna setelah melihat tulisan di atas karton: LOKASI SYUTING dengan garis panah yang menunjuk ke belakang sana, ditempel di salah satu dinding.
Pintu besi gudang itu terbuka setengah, sehingga motor Jack leluasa masuk ke dalam gudang yang dimaksud si kakek tua. Namun, begitu masuk, keraguan di hati Jack tumbuh lagi melihat bagian depan gudang itu tak menampakkan tanda-tanda adanya alat-alat yang dibutuhkan untuk keperluan syuting. Pingkan pun ternyata mulai cemas. jangan-jangan ini jebakan! batin Jack dan Pingkan langsung merasakan ketidakberesan. Meski demikian, Jack mencari tempat untuk memarkir motornya di pinggir sebuah dinding lalu menaruh helmnya dan helm yang dikenakan Pingkan pada setang sepeda motornya.
JLENGG! Pintu besi itu ditutup dengan cepat oleh tiga orang di dalam. Tiga orang berkaus hitam dengan celana panjang berbahan serupa training yang juga berwarna hitam dan bersepatu kets sewarna dengan kaus serta celananya.
Jack maSih mencoba untuk berbaik sangka bahwa tempat itu adalah lokasi syuting yang dimaksud Andre dalam SMSnya, dan bahwa Andre dan temannya yang akan membuat video klip Itu bukannya tak ada, tetapi hanya sekadar datang terlambat ke tempat itu. Tapi, tiga orang yang baru saja menutup dan menggembok pintu besi itu kini menghampiri mereka dengan pandangan garang. Astagbfirullah, ada apa ini.? Siapa mereka?
Jack menarik tangan Pingkan, mengajaknya mundur perlahan ke arah yang berlawanan dengan tiga orang yang datang menghampiri itu.
"Mas, maaf, ini lokasi syutingnya temannya Andre? mm... si... si..." Jack belum hafal nama sahabat Andre yang calon sineas itu.
"Gerry, Gerry Samuel," Pingkan mengambil alih percakapan. Namun, ketiga orang pemuda berpakaian serba hitam itu tak memberikan jawaban apa-apa. Mereka malah mulai pasang kuda-kuda. Balik ke motor nggak mungkin! tutur Jack dalam hati. Memang tak mungkin kembali ke motor. Percuma. Pintu besi telah terkunci. Jack dan Pingkan berbalik arah. Namun, tiga orang pemuda lain, yang berpakaian sama dengan tiga orang sebelumnya, sudah muncul dari balik rak-rak besi penyimpan produk berupa kemasan-kemasan plastik afkiran, produk-produk reject yang masih banyak tersisa di kardus-kardus pada rak-rak tinggi di gudang yang sudah tak digunakan itu.
"Jack, bagaimana ini?" tanya Pingkan dengan suara tertahan. Tanpa disadari, kini Jack dan Pingkan bersiaga dengan posisi saling memunggungi, masing-masing harus siap mengantisipasi tiga orang yang akan menyerangnya.
"Ssssttl... Kalau lihat dari kuda-kudanya, mereka belum cukup jam terbang beladirinya! Kalau kita serang dengan
cepat, insya Allah mereka kalah. Lalu, kita lari ke bagian tengah sana, kayaknya ada pintu di sampingnya! Aku lihat sepertinya ada bagian yang cahayanya lebih terang di depan sana! Oh iya, itu tas kenapa nggak dilepas aja, sih?" kata Jack setengah berbisik.
"No need, Jack, lagi pula ada HP dan buku-buku penting. Nggak berat kok, tapi penting banget karena buku-buku tentang kajian sastra gitu, dua di antaranya minjam dari dosen, apalagi dosen-dosen itu " Saat Pingkan menuturkan hal ini, para pemuda berpakaian hitam-hitam itu perlahan bergerak mendekat.
"Pingkan! Ini bukan waktu yang tepat buat membahas dosen atau matakuliah!" Jack langsung memotong penjelasan Pingkan.
"Siap ya. hitungan ketiga kita serang dengan cepat, lalu lari ke bagian tengah! Satu... dua... tiga!!!"
Benar dugaan Jack. Tiga orang di hadapannya tampaknya memang relatif masih hijau di kancah persilatan. Mereka kaget saat justru Jack-lah yang memulai serangan. Sebuah pukulan kiri melesat cepat dan keras menghantam wajah pemuda yang paling depan hingga membuatnya terjatuh. Orang yang kedua tak berdaya saat sepakan asibami membuatnya limbung, dan lalu menahan sakit luar biasa saat pukulan gyaku tzuki menusuk uluhatinya. Orang ketiga yang coba melontar pukulan kanannya jatuh terkapar saat pukulannya meleset dan Jack gesit menangkap tangan itu dan menjegal serta membantingnya keras-keras. Orang ini pun meringis merasakan nyeri karena punggungnya baru saja menghantam lantai gudang.
Demikian pula yang terjadi pada lawan-lawan Pingkan pada waktu yang hampir bersamaan. Setelah sempat berjual
beli serangan, tendangan cangkul kaki kanannya memakan korban pemuda yang berada paling dekat dengannya. Lalu, di luar dugaan dua lawannya yang masih tegak berdiri, tubuh gemulai bak penari itu terbang dan...
DIG DHIEZZ!!!
Dua tendangan keras, masing-masing tepat mengenai kepala kedua lawannya itu. Keduanya menjerit tertahan, terhuyung sebentar sebelum jatuh berdebum. Jack yang saat itu baru saja melumpuhkan musuhnya yang ketiga sempat menyaksikan tendangan terbang itu hingga sempat terbengong sejenak.
"Heh! Jangan ngelamun! Ayo cepat lari!" Pingkan menarik tangan Jack. Keduanya berlari lewat salah satu lorong di antara rak-rak besi yang tinggi, yang dimuati karduskardus berisi barang barang afkiran itu. Tampaknya pabrik dan gudang-gudang yang ada di sini belum terlalu lama tidak difungsikan, jadi belum semua barang dibereskan atau dipindahkan.
Dugaaan Jack tentang adanya pintu samping betul adanya. Ada pintu besi kecil di sisi kanan dinding gudang itu. Cahaya dari luar masuk lewat celah dari pintu yang tak terkunci itu. Namun, laju Jack dan Pingkan untuk kabur tertahan! Di bagian tengah yang luas itu, telah berdiri dua orang dari para pemburu mereka di Taman Mini! Sebuah kombinasi kontras: Boni si gendut dan Dika si kurus. Di sekitar mereka, empat orang anak muda berpakaian hitam-hitam telah bersiaga penuh. Mereka tahu, enam rekannya di depan tadi telah dilumpuhkan oleh sepasang jago beladiri ini.
"Maaf, Pingkan, aku mau minta tolong, dong. Kamu kenal Gerry kan? Gerry Samuel? Ha-ha-ha-ha-ha..." Dika tertawa keras.
"jadi? Jadi, bukan Andre yang telepon tadi?"
"Ha-ha-ha, jangan terlalu naiflah, Neng! Salah sendiri kenapa HP-mu ditinggal di Taman Mini waktu itu? Pesanpesan di HP kamu, video-video yang ada di facebook kamu dan Andre, dari info-info lain di jejaring sosial kamu dan teman-teman kamu itu jadi bahan latihan yang lengkap buat seorang dubber profesional seperti aku, Neng," kata Dika dengan bangga menyampaikan rahasia mengapa ia bisa fasih menirukan suara Andre.
"Aku bahkan bisa menyimpulkan bahwa kamu sedang jatuh cinta pada tukang ojek di sebelahmu itu, Pingkan Bramastyo. Namanya Muhammad Zaki Abdurrahman, panggilannya Jack, pernah jadi juara kumite di beberapa kejuaraan karate, sekarang sedang cuti kuliah," tandas Dika.
Kaget juga Jack melihat begitu banyak yang Dika ketahui tentang mereka. Saat sepasang insan yang saling memendam rasa ini tengah bingung, keenam pemuda berseragam hitam yang mereka lumpuhkan tadi kini telah bergabung dengan empat rekan mereka yang tengah mendampingi Boni dari Dika. Dengan sepuluh pemuda plus si Gendut dan si Kurus, jumlah lawan Jack dan Pingkan kini jadi dua belas orang. Jack menarik napas panjang. Pingkan mendesah gundah melihat usahanya untuk lari bersama Jack belum bisa tercapai.
"Sudahlah, Pingkan, Jack, lebih baik kalian menyerah saja, biar tidak usah ribut-ribut seperti inilah. Bos kami hanya berniat untuk meminjam kamu sebentar, Pingkan. Kami teh tidak akan mencederai kamulah pokoknya! OK..."
OK, aku beri kesempatan kalian untuk berpikir sebentar." Dika mencoba memberi opsi saat melihat Jack dan Pingkan kebingungan memutuskan.
"Sssrt! Pingkan, dengarkan aku " biSik Jack.
"Kita lawan mereka seperti kita melawan enam orang tadi. Mula-mula, aku akan mencoba melawan mereka semua..."
"Lalu, aku gimana? Masak aku diam aja?" bisik Pingkan dengan polos.
"Kamu tetap ikut lawan mereka, tapi pusatkan hanya pada mereka, para amatiran yang berbaju hitam sebelah kanan. Begitu ada kesempatan terbuka, lari cepat ke luar, cari jalan untuk lolos!" Jack terus berbisik.
"Tapi aku nggak mau ninggalin kamu, Jack! Aku sayang kamu!..." ada hening yang syahdu, yang menyelinap di antara Jack dan Pingkan. Ada bunga-bunga yang tumbuh mekar dalam waktu sepersekian detik saja dalam kalbu anak-anak rupawan ini. Tapi, Jack lalu segera sadar akan tugas yang musti ia emban pada saat ini.
"Pingkan, dengarkan aku, aku pun sayang kamu. Tapi, ini bukan saat yang tepat buat menyatakan cinta... kamu harus lolos, kamu harus pergi dari Sini karena kamulah yang mereka incar," jelas Jack. Kali ini, ada getaran kuat pada suaranya.
"Kamu mau nurut aku kan, Pingkan? Tentang aku, kamu nggak perlu khawatir, Pingkan, nanti insya Allah aku akan menyusulmu!" kata Jack sambil tetap menahan volume suaranya agar tak terlalu keras.
"Tapi kamu gimana, Jack? Aku nggak mau ninggalin kamu! Aku mau pergi kalau cuma sama kamu!"
"Ssssttt! Kamu mau ikuti aku kan, Pingkani? Kalau Allah menakdirkan, pasti kita akan bersama nanti, OK, Pingkan?"
Jack bersikukuh dengan pendapatnya, walau ia sendiri kini tak yakin bahwa usahanya akan berhasil. Hasbunallah wa ni'mal wakil, la hawla wala quwwata ila billah!" Jack berikrar di dalam hati. Cukup Allah yang ia jadikan penolong sambil meyakini bahwa tiada daya upaya apa dan siapa pun yang bisa mengubah nasib manusia kecuali seizin Allah SWT .
"Kamu mau nurut aku kan, Pingkan?" Jack memohon lagi. Kali ini, Pingkan mengangguk pelan.
"Satu... dua tiga!!!" Jack kembali memberi aba-aba. Pingkan dan Jack kembali merangsek. Namun, kesepuluh pemuda berpakaian hitam kini lebih waspada. Mereka membentuk dua kelompok, masing masing lima orang, untuk mengantisipasi serangan-serangan "sepasang pendekar" itu, sekaligus membentuk formasi serangan yang lebih terencana. Walhasil, kini Jack, dan terutama Pingkan, kewalahan memapaki dan menghindari pukulan-pukulan dan tendangan kelompok ini. Saat terpojok, Jack dan Pingkan saling memandang. Bibir bawah Pingkan mengeluarkan darah. Sementara itu, daerah seputar mata kiri Jack sudah memar terkena tendangan. Sepuluh orang pemuda siap melancarkan jurus-jurus berikutnya.
"Gimana, Jack? They're way too strong! Kita nggak akan menang!" bisik Pingkan pada Jack.
"Jangan putus asa, Pingkan, kita coba lagi, variasikan segala serangan! Jangan monoton!" jawab Jack.
"Ayo, satu... dua... tiga!!! Ciaaaaaattrttl!!! "
Teriakan Jack seolah jadi pertanda kembalinya kehebatan dua jagoan muda ini. Pukulan Jack menusuk wajah, pelipis,
rahang, lambung, uluhati, dan rusuk lawan-lawannya sambil sesekali tendangannya mencocor bagian tubuh lawan-lawannya yang tak terjaga. Pingkan seolah tak mau kalah. Tendangan pemegang sabuk merah taekwondo ini mengarah ke depan, ke samping, ke belakang, mencangkul, hingga tendangan terbang sambil memutar, kini membuat para pemuda berseragam hitam itu porak poranda.
Kali ini, giliran Boni dan Dika yang mulai cemas karena anak-anak muda ini ternyata bukan tandingan Jack dan Pingkan. Maka, Boni memberi kode kepada Dika untuk mulai menyerang. Dika melompat menerkam Pingkan dengan dua pukulan beruntun ke arah kepala gadis ini. Beruntung refleks Pingkan cepat membuarnya sadar dan menghindar. Serangan Dika berakhir sia-sia. Bukan cuma itu, Pingkan lalu memutar kaki kanannya sedikit ke samping, lalu memutarnya lagi hingga menghantam kepala Dika dengan arah seperti kait pancing. Dika mengerang, namun belum sempat ia membalas, tendangan lurus Pingkan membuatnya terjengkang.
"Pingkan! Pintu itu! Cepat!" teriak Jack. Yang diminta lari tampak masih ragu-ragu. Seorang pemuda berseragam hitam yang mencoba memanfaatkan Situasi malah terbanting oleh Jack dan menimpa dua temannya yang lain.
"Cepat, Pingkan!" teriak Jack lagi.
"Aku nggak bisa ninggalin kamu, Jack!" balas Pingkan. Wajah cantiknya kelihatan sangat bingung.
"Pingkan! Lakukan yang aku minta!!!" Kali ini Jack membentaknya.
Saat itu, sebuah tinju Boni menghantam pelipis Jack, walau Jack langsung membalasnya dengan dua pukulan keras ke rahang kanan dan kiri si Gendut. Boni lalu melancarkan
serangan andalannya, menabrakkan tubuh tambunnya ke tubuh Jack yang jauh lebih ringan. Jack lincah berkelit dan bobot raksasa itu malah merobohkan tiga orang laskar baju hitam yang tadinya akan menyerang Jack dari belakang. Jack kembali berteriak mengingatkan Pingkan untuk lari. Kali ini, Pingkan memutuskan untuk menuruti saran Jack. Pingkan pikir Jack pasti juga akan lari menyusulnya ke luar. Perkiraannya ternyata salah. Karena saat ia berlari sekencang-kencangnya ke arah pintu besi di sebelah kanan sana, Dika melompat menangkap dua kaki belakang Jack yang bermaksud menyusul Pingkan. Pingkan sendiri tak menyangka saat pintu besi itu tiba-tiba terbuka dan seseorang menghadiahinya dengan tendangan lurus ke dadanya. Tubuh Pingkan mental terjengkang, terjungkal roboh. Rasa sakit membuat gadis berparas elok ini tak bisa bangkit. Sungguh ampuh tendangan si pendatang baru ini.
"Hentikan!" kata lelaki ini. Kaus tipis berwarna putih dan jins biru yang dikenakannya tak bisa menyembunyikan otot-ototnya dari tubuhnya yang kekar dan atletis itu. Boni, Dika, dan para pemuda yang tengah melancarkan aneka serangan kepada Jack yang saat itu kian tersudut, sontak menghentikan serangan mereka.
"Suhu!" kata Dika dan kawan-kawan hampir berbarengan. Wibawa pria dengan rambut sebahu yang dirapikan dengan sebuah ikat rambut ini demikian tinggi di mata para penyerang Jack dan Pingkan.
"Borgol dia!" katanya kepada Boni. Boni mengeluarkan borgol dari balik jaketnya dan segera memborgol Pingkan yang maSih tak bisa bangkit. Beberapa pemuda berkaus hitam membantu Pingkan berdiri.
Jack yang tadinya sudah terhuyung kini mencoba mengumpulkan tenaganya kembali. Disekanya darah yang mengucur dari hidungnya.
"Siapa nama dia, Dika?" si lelaki itu bertanya tentang
Jack.
"Itu yang namanya Jack, Suhu Chen," jawab Dika.
"Oh, si karate kid rupanya! Jack, menyerah sajalah, kau. Sesungguhnya kami tak ada urusan dengan kau. Tapi karena kau sudah di sini, kami terpaksa menahan kamu sampai urusan kami selesai dengan Pingkan," kata Chen, sang suhu dari Dika dan gerombolannya.
"Maaf, aku belum kalah, maka aku tak akan menyerah," tegas Jack. Jawaban Jack ini bahkan mengejutkan Pingkan yang kini berdiri dalam topangan laskar seragam hitam itu. Ia tak mengira Jack masih setegar itu.
"Ha-ha-ha... hati-hati anak muda, sadarkah kau sedang berhadapan dengan siapa, hah?" tawa dan kata-kata Chen serasa menggema ke seluruh ruang di gudang itu. Pingkan makin mencemaskan Jack, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Jack.
"Aku sedang berhadapan dengan orang-orang yang tidak punya idealisme, yang menghalalkan segala cara asal mendapat uang dari orang-orang yang menyuruhnya," Simpul Jack.
"Oh, begitu ya? Perlu kamu tahu, Jack, kami justru berada di sini untuk menghukum orang yang tidak punya idealisme itu, yang kerjanya memberi kesusahan bagi orang-orang yang dirugikan oleh kelakuannya!" Chen mulai tersinggung dengan kata-kata Jack tadi.
"Dengan cara menculik dan mencederai orang lain?" sahut Jack lagi.
"Kurang ajar kau, ya. Sudahlah, kau tak punya harapan untuk keluar dari sini. Lagi pula, siapa Pingkan itu buatmu Jack? Aku dengar kau cuma mengantar jemputnya pergi dan pulang kuliah karena ayahmu berhalangan kan?" kata Chen sinis. Saat ini, Jack menyimpulkan betapa hebatnya pencarian data yang dilakukan oleh si ahli menirukan suara, Dika. Lengkap dan akurat dan selalu dilaporkan kepada pimpinannya.
"Bagiku, dia bukan cuma penumpang ojek yang harus aku antar dan aku jemput. Dia adalah bagian dari hidupku karena aku mencintainya sepenuh hatiku, dan tidak akan pernah aku membiarkan tangan-tangan jahat kalian menangkapnya!" tandas Jack.
"Akh, banyak bicara kau! Kau pikir kau bisa kalahkan kami, hah? Tangkap dia!" kata Chen kepada para anak buahnya. Emosi sang suhu atau sang guru itu sudah tinggi kali ini.
"Tunggu!" teriakan Jack membuat Chen memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menunda serangan.
"Bagaimana kalau aku menantangmu berkelahi, kalau aku kalah, silakan bawa Pingkan. Tapi jika kau yang kalah, biarkan kami pergi dari sini, dan segala urusan ini bisa selesai!" tambah Jack.
"Ho-ho-ho... kau pikir kau siapa, Jack? Kau pikir kau sudah cukup hebat untuk melawanku? Berapa beladiri yang pernah kau pelajari, Jack?" tanya Chen.
"Aku bisa karate, pencak silat, tinju, dan ju jitsu!" kata Jack. Ia berharap bisa menggertak lawannya dengan jawabannya itu.
"Ha-ha-ha... itu cuma seperlima dari jumlah beladiri yang pernah aku tekuni, Boy! Tapi baiklah, kuterima tantanganmu.
Kalau kau kalah, kau harus relakan kami mengambil Pingkan. Kalau kau menang, akh, kau tak bakal menang, Jack! Tak pernah ada yang mengalahkanku! Lawan-lawanku banyak yang kemampuannya jauh di atasmu, Jack, dan aku hanya perlu beberapa detik untuk melumpuhkan mereka! Catat itu!" Ternyata bukan gertakan Jack yang membuat Chen takut. Justru tanggapan Chen yang menciptakan kengerian di hati Jack. Namun, ia segera bersiap. Tak ada orang, pikir Jack, yang bisa terus-menerus menang, apalagi dia seorang pembual seperti lawan di hadapannya kini. Sepanjang pengalaman Jack di dunia pertarungan, tak ada pembual yang benar benar jago, kecuali idolanya, Si Mulut Besar, Muhammad Ali. Ya, Muhammad Ali dengan segala kebiasaan sesumbarnya, satu-satunya kebiasaan yang tak disukai dan diteladani Jack dari idolanya itu. Tapi, jangan jangan si Chen ini seperti Muhammad Ali.? Bermulut besar dan berkemampuan hebat. Hati Jack cemas membayangkannya.
Dua orang dengan tinggi badan yang kurang lebih sama ini mulai mengatur kuda-kuda. Orang-orang yang ada di sekitar mereka, termasuk mereka yang sedang memegangi Pingkan, bergerak menjauh, membentuk satu lingkaran besar yang jadi arena pertarungan bagi dua penggila beladiri ini. Keduanya bergerak memutar, saling mengukur kekuatan lawannya. Jack tampak begitu serius, sedang Chen tampak santai santai saja. Lalu, inisiatif serangan pun diambil.
Kepalan kanan Jack yang mengincar kepala Chen menemui ruang kosong karena Chen sedikit bergeser ke sisi kanan. Lalu, kepalan kiri Jack yang terarah uluhati Chen pun begitu mudah ditepis tangkisan Chen. Tiba-tiba tanpa bisa diantisipasi Jack, sikut kiri Chen masuk merangsek dadanya,
disusul dengan kepalannya yang membuka dari posisi tangan menyikut tadi, yang menghajar wajah Jack. Sebuah pukulan lurus dari tangan kanan Chen bukan cuma menambah satu memar lagi di wajah Jack, melainkan juga membuat tubuh Jack mental ke belakang dan rubuh menghantam lantai keras. Sambil menahan sakit Jack bangkit. Lalu. sambil berlari ia membombardir Chen dengan variasi pukulan beruntun ke arah kepala, dada, uluhati, dan perut. Yang diserang bersalto tiga kali ke belakang dan pada salto keempat tubuh Chen mendarat dengan dua kakinya yang terentang split! Dan dua telapak tangan Chen memapak dua paha Jack sepenuh tenaga. Hasilnya sungguh dahsyat! Tubuh Jack melayang ke belakang sebelum jatuh dengan bagian wajah yang keras menghantam lantai.
Makin banyak darah yang disekanya dengan tangan dari wajahnya sendiri saat Jack bangkit berdiri lagi. Saat ini, sudah pecah tangis Pingkan yang mengkhawatirkan keselamatan orang yang dikasihinya itu. Jack membuka jaketnya. melemparkannya ke lantai, lalu memasang kuda-kuda menyerang. Tapi, pukulan dan tendangan Jack tak ada yang mengenai sasaran. Malah wajah, kepala, dan tubuhnya saja yang jadi bulan-bulanan Chen. Apalagi kini Chen tak cuma menghajarnya dengan pukulan. Tendangan-tendangannya yang keras dan bertenaga juga ikut mendera tubuh malang Jack, termasuk tendangan satu kaki Chen yang bisa diayun ke arah mana saja dalam keadaan terangkat: kaki, rusuk, kepala, atau ketiganya secara beruntun. Saking kesalnya, Jack mencoba menangkap kaki Chen yang baru saja melontar tendangan lurus ke arahnya. Dan Jack berhasil melakukannya! Ia menangkap kaki kiri Chen dengan kedua tangannya, lalu
menahan kaki itu dengan harapan akan bisa memutar dan memuntirnya. Namun, belum sempat ia melakukan itu, Chen bersalto ke belakang sambil mengirim kaki kanannya, melesat ke atas, menghantam dagu Jack dan membuatnya kembali terjengkang. Pingkan menjerit tertahan.
"Sudah, hentikan, don't hurt him, please!" Jangan siksa Jack!" kata Pingkan sambil menangis. Tapi, bukan Jack kalau dia tak bangun lagi. Susah payah ia kumpulkan tenaganya untuk kembali berdiri. Lalu, dengan sebuah serangan tipuan ia berhaSil memancing Chen untuk memukulnya. Chen tak menduga kalau Jack lalu malah mengambil kepalan kanannya dengan kedua tangannya dan lalu melontarkan kedua kakinya ke atas untuk mengunci tangan kanan Chen tadi seraya menariknya sekuat tenaga. Kuncian khas ju jitsu! Chen sempat kaget juga dengan serangan Jack ini. Namun, ia tak kalah akal. Satu tangannya yang terjepit gunting kaki Jack itu diangkatnya sekuat tenaga, lalu diluncurkannya dengan sangat deras hingga kepala dan punggung Jack lagi-lagi menghantam lantai keras gudang besar itu. Dan ini dilakukan Chen sampai tiga kali sehingga Jack yang kesakitan lalu melepas kunciannya itu.
"Sudahlah, Jack, kau nggak punya harapan! Aku petarung terhebat di Indonesia, bahkan mungkin dunia saat ini! Berapa sering kau berlatih, hah? Seminggu dua kali? Tiga kali? Aku berlatih sehari tiga kali. Boy!" Kesombongan Chen makin menjadi-jadi.
"Tapi, kalian bolehlah mencontoh semangat tanding si Jack ini! Dia tak gampang menyerah! Ini yang harus kalian teladan! Mengerti kalian?" Kini mata Chen terarah ke anak-anak buahnya dan tanpa diminta bergerak berkeliling, seolah sedang memberi kuliah umum bagi para pengikutnya yang setia.
Di saat inilah Jack mengambil kesempatan. Sambil menahan sakit, Jack kembali bangkit. Ditendangnya sebuah kemasan plastik serupa jerigen kecil di dekat kakinya. Chen yang kaget mencoba berkelit menghindari jerigen yang melayang ke arahnya itu dan membuatnya lengah mengantisipasi Jack yang terbang dengan sisa kekuatan dan mengirim tendangan memutar menggedor kepalanya. Chen terjatuh. Tapi, segera saja si gondrong ini mencelatkan tubuhnya dan berdiri dalam kuda-kuda yang kokoh. Maka, tak ada ampun lagi buat Jack. Chen menyiksanya dengan pukulan-pukulan dan tendangan terbaiknya. Jack roboh. Kali ini, sulit baginya untuk bangun kembali. Maka, Chen mengeluarkan perintah bagi Dika, Boni, dan laskar pemuda kaus hitam untuk menanganinya.
"Borgol dan bawa dia ke ruang tempat siapa itu yang nunggu di depan? Si Abah? Kurung dia di sana. Jangan lupa geledah dulu apakah dia ada membawa HP atau alat komunikasi lainnya. Dika, kamu tadi tak lupa geledah HP si Pingkan?" kata Chen mengingatkan.
"Sudah, Suhu!" Dika memberi isyarat kepada para pemuda itu, mengajak mereka untuk mengerjakan apa yang baru saja diperintahkan sang suhu.
**
"Kita harus balik ke kantor lho, Pak Bram, nanti kita digosipin sama orang-orang kantor gimana, Pak?" kata Desi manja. Ia sungguh menikmati permainan yang disuguhkan atasannya tadi, lama dan sangat bervariasi sebelum mencapai
puncaknya. Tunangannya, Aldi, bahkan tak sehebat lelaki setengah baya berbulu dada lebat ini. Saat itu, sang bos tak sempat menanggapi pertanyaan Desi karena telepon genggamnya keburu berdering.
"Halo? Ini Pak Bramastyo Adi?" Suara laki-laki di seberang sana.
"Betul, saya sendiri," jawab Bram.
"Anda punya anak bernama Pingkan?" tanya orang itu
"Betul, putri pertama saya, ada apa, Pak:?"
"Pingkan ada bersama kami, dan kalau dalam waktu satu jam ke depan Bapak tidak membawa uang tebusan sebesar sepuluh juta, jangan harap Bapak bisa bertemu putri Bapak lagi!" Suara itu mengancam Bram.
"Maksudnya?" Bram mulai memucat.
"Maksudnya kami menculik putrimu sampai kau datang bawa uang tebusan, tolol!" Orang itu kini membentak Bram.
"Tunggu, tunggu sebentar, bagaimana saya bisa yakin kalau putri saya masih dalam keadaan selamat?" Ketegangan Bram tambah memuncak. Lalu, ia mendengar suara orang membentak-bentak sebelum akhirnya ia mendengar suara orang yang sangat disayanginya itu...
"Papa!..."
"Pingkan! Kamu di mana, Pingkan?"
"Papa, jangan turuti mereka, Pa! Lapor saja ke polisi!" Suara anaknya terdengar jelas di telinga.
"Pingkan! Pingkan!..." Tapi, Bram tak mendengar anaknya lagi karena telepon telah berpindah tangan.
"Sekarang dengarkan baik-baik! Kalau Anda lapor polisi, dan kami bisa tahu pasti tentang itu, keselamatan putrimu tak
bisa kami jamin!" Suara sang lelaki yang tadi kini kembali berada di ujung telepon.
"Baik! Baik! Apa yang harus saya lakukan sekarang? Kemana saya bawa uang tebusan itu?" Suara Bram gemetar karena kecemasan atas nasib putrinya.
"Instruksinya akan kami berikan lima menit dari sekarang!" Percakapan telepon telah diputus.
"Ada apa, Pak Bram?" Desi kini jadi heran melihat perubahan ekspresi wajah bosnya. Tadinya ceria dan penuh semangat, kini lesu dan pucat pasi.
"Tidak ada apa-apa. Desi, kamu pulang sendiri ke kantor, sampaikan bahwa masih ada pekerjaan yang harus aku lakukan," kata Bram. Desi hanya bisa terbengong mendengar pernyataan laki-laki yang baru saja menidurinya itu.
**
Di sinikah tempatnya? tanya Bram dalam hati saat ia mencari tempat untuk memarkir sedan BMW hijau metaliknya di sebuah areal parkir di belakang sebuah pertokoan tua yang tak lagi digunakan, yang letaknya tak jauh dari apartemennya. Konon, komplek pertokoan itu akan diruntuhkan dan dirombak jadi apartemen. Menurut petunjuk yang diberikan oleh para penculik anaknya, ia harus memarkir mobilnya di sana. Tapi, mobil Suzuki Katana hitam milik siapakah di sudut sana? Rasa takut dan pertanyaan-pertanyaan kini mengganggu hari Bram. Mengapa mereka menculik putriku? Mengapa juga mereka hanya minta sepuluh juta.? Apakah mereka sebenarnya ingin mengincar dan membunuhku.? Demikian kecemasan kecemasan itu menghantuinya. Tapi, demi putri yang dicintainya, ia rela melakukan apa saja.
Lagi pula, selama ini Bram juga selalu diliputi rasa bersalah kepada Pingkan dan adiknya, Mario, karena jarang sekali memperhatikan mereka, walau Pingkan kadang meneleponnya untuk sekadar menanyakan kabar. Kepada Mario adik Pingkan, rasa bersalah Bram justru lebih besar karena praktis sejak perceraiaannya dengan Vita, ia jarang sekali kontak dengan si bungsu karena sebelum sering cekcok dengan mantan istrinya dulu pun, Mario memang jauh lebih dekat dengan mamanya, sedangkan Pingkan sangat dekat dengannya. Belum lagi rasa bersalah Bram kepada ibu dari kedua anak kandungnya itu.
Bram sempat membuka pintu mobilnya, telepon genggamnya kembali berdering...
"Bagus, Anda patuh pada perintah kami. Sekarang bisa lihat kan mobil Katana hitam? Di dalam sini kami menyekap anakmu, Pingkan. Sekarang, berjalanlah perlahan sambil membawa tas berisi uang yang kami minta tadi ke sini!" Suara itu menuntun Bram.
"Baik..baik.." jawab Bram gugup. Ia pun berjalan mendekati kendaraan jenis jip kecil itu di sudut sana. Sambil mendekat, mata Bram mencoba mencari tahu keberadaan Pingkan. Namun, kaca film mobil itu terlalu gelap untuk bisa ditembus pandangan mata telanjang. Pintu belakang mobil ini tiba-tiba terbuka. Seseorang berkepala plontos keluar dari dalamnya.
"Serahkan uangnya! Cepat!" kata si Botak.
"Baik, baik, tapi aku harus yakin dulu kalau anakku selamat," pinta Bram dengan wajah cemas.
"Uangnya dulu kau berikan!" tandas si Botak.
"Maaf, aku perlu melihat anakku dulu!" Meski takut Bram bersikeras.
"Ada apa ini?" Suara keras yang lain muncul dari belakang Bram. Saat Bram membalikkan badannya, ia melihat seseorang berwajah keras dan berkumis tebal datang menghampirinya. Belum sempat Bram menjawab lelaki yang baru datang, tanpa sepengetahuannya si Botak mengeluarkan saputangan yang telah diberi bius dari balik jaketnya. Ia menyergap Bram dari belakang, membekap wajah Bram dengan saputangan itu dan dalam hitungan detik laki-laki tampan ini terkulai tak sadarkan diri.
"Farhan, jangan bengong!Ayo cepat, bawa masuk dia, nanti keburu ada orang datang!" si Botak memperingatkan temannya.
"OK, OK, santailah, Slamet, kalaupun ada orang biar aku hajar dia nanti!" sahut si Kumis tebal, sesumbar.
"Nggak usah jumawa kamu, Kumis, kalau kamu jagoan seperti Suhu Chen sih pantas-pantas aja kau sombong!"
"Ah, banyak kali komentar lu, Botak," meski melontarkan ejekan, Farhan segera membantu Slamet mengangkat rubuh Bram ke dalam mobil.
**
Jack didudukkan pada sebuah kursi tanpa sandaran dengan borgol yang mengikat kedua tangannya di sebuah ruangan di sebelah ruang pos jaga yang didiami oleh si kakek pembuka gerbang gudang pabrik tadi. Kaki jack juga diikat dengan tambang tebal. Para pemuda yang membawanya ke sini sudah kembali ke gudang tempat Pingkan disekap setelah mengunci pintunya. Jack menaksir bahwa ruangan ini mungkin pernah
dipakai office boy atau petugas kebersihan, melihat beberapa galon kosong air mineral yang tergeletak di satu sudut dan seragam khas office boy yang digantung di salah satu sisi dinding.
Jack tiba-tiba mendengar sebuah bunyi yang sangat ia kenal. HP-ku! Subhanallah! Itu bunyi low-bat HP-ku! Bukankah tadi mereka menggeledah pakaianku? tanya Jack dalam hati. Kedua tangan yang masih berborgol itu meraba-raba dan akhirnya menemukan jawabannya. Dalam tas pinggang berkantong banyak itu, ternyata Jack menyimpan ponselnya yang super tipis dan ringan itu di dalam kantong yang menempel pada paha kanannya. Mereka tak teliti saat memeriksaku! hati Jack kembali bersemangat. Bunyi pertanda low-bat itu hadir kembali. Dengan kedua tangannya yang diborgol, susah payah Jack membuka risleting kantong tas pinggang yang menempel ke paha kanannya itu. Cepat! Cepat! Baterainya mau habis! batin Jack memberi semangat untuk dirinya sendiri. Akhirnya, Jack berhasil mengeluarkan ponselnya, dan segera saja insting mendorongnya untuk mencari satu benda penting lagi, kartu nama Oom Dodi, petinggi polisi paman Pingkan itu. Korek sana, korek sini akhirnya bertemu juga kartu nama yang kini sudah sangat lusuh karena tertumpuk dengan kertas-kertas dan benda-benda lain di tas pinggang Jack. SMS... telepon... SMS... telepon batin Jack dilanda bimbang. Tapi, ia harus cepat memutuskan. Jack pikir jika ponselnya yang hampir habis baterainya itu dipaksakan untuk menelepon pasti bisa tamat dalam hitungan detik. Maka. ia menulis SMS untuk Daman Pingkan:
Om Dodi S.O.S ! HELP!!! ini Jack teman Pingkan di TMII tempo hari, kami disekap di...
Jack selesai melengkapi SMS-nya dengan alamat tempat mereka ditawan saat bunyi pertanda daya baterai ponselnya yang lemah itu muncul lagi. Pemuda yang telah mencuri hati Pingkan ini lalu mengirim pesan itu dan... belum sempat Jack mengetahui apakah pesannya itu sampai atau tidak, daya pada baterai ponselnya telah habis. Tak kuat lagi menyala. Di saat itulah Jack ingat ucapan Pingkan bahwa paman Pingkan yang baru saja ia kirimi pesan, masih bertugas di luar negeri. Ya Allah! Oom-nya Pingkan kau sedang dinas di LA.? Mana mau lagi HP-ku tadi! Wajah Jack yang tadinya mulai menampakkan semangat kini kembali redup dan menegang. Ya Allah, lindungiiah Pingkan! Jack makin cemas terhadap naSib Pingkan.
Dengan tenaga sisa dan nyeri di sekujur tubuh akibat siksaan Chen tadi, Jack berusaha untuk memutus borgol di kedua tangannya. Sia-sia. Lebih dari setengah jam dicoba, tak bisa juga. Borgol itu terlalu kuat. Jack mencoba sekali lagi. Tambang yang melilit kedua kakinya juga sulit ia buka karena simpul tali pengikatnya ada di belakang kedua kaki Jack sehingga sulit buat tangan Jack untuk menjangkau dan melepaskannya. Jack mencoba terus, tapi usahanya ini malah membuatnya jatuh berdebum ke lantai.
Bunyi Jack terjatuh rupanya menarik perhatian seseorang untuk datang. Kaget juga Jack saat si kakek penunggu bekas pabrik tiba-tiba sudah muncul di balik kaca jendela berjeruji
itu. Orang tua itu mengetuk-ngetuk Jendela kaca. Ventilasi cukup lebar di ruang tempatnya disekap membuat Jack cukup jelas mendengar pertanyaan orang tua itu.
"Keur naon, Jang? Lagi apa? Saring pelem-nya nggak
jadi?"
Hua? Syuting film? jadi, si kakek ini serius menganggap apa yang terjadi di gudang itu mau syuting film.? Jack heran atas kenaifan si kakek. Tapi. tiba-tiba ia malah bersyukur atas kepolosan sang kakek. Kini ada peluang untuk mejepaskan diri!
"Jadi, Pak... eh... Abah!" Jack meralat panggilannya setelah ingat apa yang diucapkan Chen sewaktu memerintahkan anak buahnya membawanya ke Sini.
"Terus kenapa atuh kamu diikat?" Si Abah bertanya lagi.
"Mm, ini... ini memang harus diikat, Bah! Memang dalam adegan ceritanya harus diikat saya, Bah! Saya... saya kan jadi penjahatnya! Syuting bagian saya masih nanti! Jadi, harus nunggu di sini!" Jack harus berteriak karena si Abah tampaknya agak kesulitan mendengarnya jika suara Jack tak dikeraskan. Di saat yang sangat menegangkan ini, sempat geli juga hati kecil jack karena sejak kecil ia diajari untuk selalu berkata jujur. Kini ia baru saja berbohong lagi setelah tempo hari membohongi Pingkan soal perasaannya kepada sang gadis pujaan.
"Itu kok muka kamu berdarah-darah? Kanaan, tadi kamu galat?"
"Nggak, Bah, ini termasuk persiapan buat syuting film nanti,"
"Oh masih nanti saring-nya? Kenapa pakai dikunci iyeu pam-oma?"
"Nggak tahu, Bah, mungkin mereka lupa! Abah punya kunci candangan?" Harapan lolos semakin terbuka.
"Kanci serep? Ada, tapi harus Abah cari dulu! Memang mau apa ke luar?
"Mm... mm... anu, Bah, kebelet pipis!" Jack berbohong
**
Senja semakin menyuram dalam ruang bekas gudang yang hanya diterangi lampu temaram. Di bagian paling belakang, berdiri tubuh semampai itu di atas sebuah meja. Ya, Pingkan kini berdiri di atas sebuah meja kecil. Kedua tangannya terborgol di belakang dan kedua kakinya yang jenjang itu diikat kuat dengan tambang yang tebal. Seutas tambang lainnya, yang telah disimpul laso, yang menjuntai dari besi-besi kerangka yang bersilangan di langit-langit atas bekas gudang itu, kini melingkari lehernya. Sekali tendang saja, meja itu akan menjauh dan tali laso itu akan menjerat leher putih mulus itu dan mencabut nyawa salah satu makhluk Tuhan terindah itu. Mulutnya disumpal kain sehingga ia tak mampu berkata apa-apa. Hanya air matanya saja yang tampak mengalir deras. Di hadapannya, Bram, sang ayah cuma bisa duduk lemas di atas sebuah kursi yang lain. Ia bagai pesakitan, pecundang. Jas dan dasinya telah dilucuti. Seorang laki-laki dengan pakaian perlente datang, lalu berjalan berkeliling dalam area yang dijaga oleh Chen dan para anak buahnya yang membentuk semacam pagar lingkaran.
"Apa kabar, Bram?" Lelaki seumuran Bram itu menyapa.
"Pram? Ternyata kamu di balik semua ini? Tega sekali kamu memperlakukan kami seperti ini? Apa maksudnya semua
ini, Pram?" tanya Bram yang betul-betul tak menyangka kalau yang baru datang itu adalah Pramono Baskoro, teman SMA-nya.
"Ha-ha-ha, tega kau bilang, Bram? Siapa yang lebih tega dari kamu, Bram? Kamu masih ingat Yessy, Bram?" Nada bicara Pram langsung meninggi.
"Ya. Aku ingat," jawab Bram singkat.
"Siapa dia, Bram? Jawab aku!" sentak Pram.
"Mantan istriku," kata Bram.
"Wrong answer, Bram! Dia mantan istriku!" Sebuah bogem kanan Pram menghajar wajah Bram. Pingkan menjerit, tapi sumpal kain itu di mulutnya membuatnya tak bisa bersuara.
"Tapi aku menikahinya, Pram," kilah Bram.
"Oh ya? Di KUA? Terdaftar?" tanya Pram sinis.
"Kami menikah sirri'," jawab Bram pelan.
"Menikah sirri? Supaya apa, Bram?" bentak Pram lagi.
"Supaya... supaya hubungan kami sah," Bram menjawab
pelan.
"Wrong answer lagi, Bram!" Sebuah bogem Pram menghajarnya lagi.
"Kamu menikah sirri agar gampang kapan saja meninggalkan dia, kan? Agar kamu bebas pacaran dengan perempuan-perempuan lain, kan? Agar kamu mudah meninggalkan Yessy kalau kamu sudah bosan, kan? Dan itulah memang yang kau lakukan, bangsat!" Kali ini, Pram menoyor jidat ayah Pingkan ini.
"Aku... aku minta maaf. Pram." kata Bram kemudian.
"Minta maaf? Ha-ha-ha..." Sebuah pukulan terlontar lagi. Boni dan Slamet saling berpandangan, takut Pram si Bos besar lepas kendali, lalu mereka melihat ke arah Chen, yang kemudian memberi isyarat agar mereka tak perlu khawatir.
"Semudah itu kamu minta maaf padaku, Bram? Setelah kau hancurkan hidup kami?" Suara Pram bergetar karena amarahnya.
"Apakah kau sudah dengar tentang apa yang terjadi pada Yessy, Bram?"
"Iya, sempat, aku dengar dia sakit dari SMS adiknya," Bram berkata pelan.
"Kamu sudah tahu Yessy sakit apa?"
"Tidak, SMS adiknya tempo hari Cuma bilang Yessy sakit."
"Cuma itu? Dan kamu nggak tanya Yessy sakit apa?" Makin berang Pram. Ditariknya kerah baju Bram dengan tangan kirinya, lalu tangan kanannya menampar wajah tampan ayah Pingkan itu.
"Yessy kini meregang nyawa, Bram! Kau dengar itu? Dia hanya tinggal menghitung hari saja sampai Tuhan memanggilnya! Dan itu semua gara-gara kau, anjing!" Tubuh Pram bergetar. Dika dan Boni makin khawatir si Bos makin hilang kendali dan berbuat sesuatu di luar batas. Tapi, cara memandang Chen kepada mereka tetap mengisyaratkan agar mereka tak perlu takut. Sesungguhnya Chen sendiri juga sudah mulai cemas melihat Pramono melampiaskan kemurkaannya terhadap orang yang menyelingkuhi mantan istrinya itu. Chen ingin mengingatkan Pram, namun ia ingat pesan Pram bahwa ia dan anak buahnya tak boleh ikut campur sedikit pun saat Pram menjalankan bagiannya. Sementara itu, sesenggukan tangis Pingkan terdengar konstan. Suara yang tertahan kain yang membebatnya. Suara kesedihan seorang anak yang tak
berdaya apa-apa melihat ayahnya disiksa, kendatipun Pingkan sadar bahwa yang dialami ayahnya sedikit banyak adalah akibat perbuatannya sendiri.
**
"Ayo cepat, Bah, ini borgolnya tolong buka." Jack cemas kalau-kalau ada anak buah Chen yang datang lagi ke ruangan tempatnya ditahan.
Si Abah sudah berhaSil melepas tambang yang melilit kaki Jack sejak tadi, namun usaha si kakek tua membuka borgol yang menjerat kedua tangan Jack belum berhasil. Berbeda dengan borgol yang membelenggu tangan Pingkan, borgol di tangan Jack berada di depan. Tadi sesaat sebelum dibawa ke tempat dekat ruangan si Abah, sebenarnya Jack diborgol di belakang. Tapi, karena ia minta izin untuk pergi buang air kecil di toilet tua dekat gudang, para anak buah Chen, laskar hitam hitam itu, bersikeras bahwa ia tetap harus mengenakan borgol, maka dipindahlah perangkat itu ke bagian depan sambil mengatakan kepada Jack bahwa ia harus bisa membuka risleting celana dan buang air kecil tanpa membuka borgol. Tapi, setelah Jack usai menggunakan toilet itu, mereka merasa segan untuk memindahkan borgol itu lagi ke bagian belakang. Apalagi pada saat itu mereka sudah dipanggil kembali oleh Boni dan Dika untuk masuk kembali ke gudang, membantu melaksanakan rencana bos tertinggi mereka, Pramono Baskoro. Maka, buru-burulah mereka menjebloskan Jack ke tempatnya kini berada.
"Kalo ini mah Abah nggak punya konci'nya, Jang," kata si Abah.
"Ya, Abah pakai apa kek, ada tang atau gegep nggak, Bah? Dipotong aja borgolnya, Bah. Ayo buruan dong, Bah!" Perasaan Jack makin galau. Hatinya makin gundah membayangkan apa yang dialami Pingkan di gudang belakang.
"Sebentar, Jang, kayaknya Abah punya golok di lemari di tempat Abah, tapi Abah cari dulu yah." tuturnya bersemangat.
"Aduh, kenapa nggak bilang dari tadi, Abah. Ayo dong, Bah, cepetan! Nanti Abah saya ajak main Film deh, Bah." Suasana terjepit begini masih bisa juga menumbuhkan selera humor pada Jack. Si Abah bergegas ke ruangannya untuk mencari golok yang ia maksud.
"Abah mah dulu penggemar pelem oge, Jang, jamannya Pipi Yong sama Tan Chen Bok," kata si Abah, yang setelah menemukan goloknya kini terus berusaha memotong rantai borgol di kedua tangan Jack dengan meletakkan rantai itu di sebuah meja kayu jati di dalam ruangan dan membabatnya dengan goloknya berkali-kali. Jack cukup lega juga karena orang tua ini, walau polos, naif dan mulai memerlihatkan gejala pikun, tampaknya bekas pekerja keras jika dilihat dari kedua lengannya yang masih kelihatan kuat dan berotot itu.
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Abah sudah berapa lama kerja di sini?" Tak sadar Jack mencoba berbasa basi sambil terus celingukan, takut kalau anak buahJack datang untuk memeriksa keadaaannya di sana.
"Sejak pabrik di sini ditutup, Jang, tiga bulan lalu-lah. Si Bos ini kan dulu langganan es kelapa sayah di perapatan dekat jalan masuk, sekarang es kelapanya diteruskan sama anak sayah, dan saya jadi nganggur pan, terus si Bos nawarin saya nunggu pabrik lamanya ini," si kakek menjelaskan. Sementara itu, Jack melihat usaha membacoki gelang borgol itu mulai membawa hasil. Tak terasa lima belas menit telah berlalu
dan besi gelang borgol itu semakin terkikis tajamnya golok si Abah. Jack mengambil napas, lalu menghentakkan kedua tangannya. Borgol itu putus! Napas Jack tersengal kelelahan.
"Makasih, Bah, boleh pinjam goloknya?" kata Jack.
"Buat apa, Jang? Katanya mau ke toilet?"
"Ya, pinjam ajalah, Bah, boleh ya?" Ia ambil golok itu dari tangan si Abah. Si Abah yang polos pun tak menolaknya. Jack memasukkan golok itu di belakang, diselipkan ke dalam ikat pinggang jinsnya yang berbahan campuran karet yang lentur.
Mata Jack menangkap bayangan orang datang. Seorang anggota laskar kaus hitam! Pemuda ini datang karena disuruh memeriksa kondisi Jack oleh temannya yang lain setelah mendapat perintah dari Dika. Dengan polosnya ia membuka pintu yang ditutup oleh Jack untuk menghindari kecurigaan orang yang melihat ruangan itu dari kejauhan. Pintu membuka dan pemuda itu mendapati dirinya terbang terjengkang ke belakang terkena tendangan lurus Jack ke dadanya. Kepalanya terantuk tiang di luar. Ia ambruk seketika. Jack memeriksanya. Cuma pingsan! kata Jack dalam hati. Ia keluar meninggalkan sang Abah yang sedang terbengong-bengong, tak mengerti apa yang sedang terjadi sesungguhnya.
Jack mencopot salah satu bambu tali jemuran di depan pos jaga itu, melepas tali dan paku kecil yang mengaitnya, lalu berjalan bergegas menuju gudang tempat Pingkan ditawan. Niat Jack untuk mengendap-endap sesampainya di dekat gudang tak kesampaian. Dua orang berkaus hitam yang berniat menyusul temannya tadi kaget berpapasan dengan Jack saat berbelok ke arah pos jaga. Belum habis keterkejutan dua pemuda ini, tongkat bambu Jack keras
menyambar kepala salah satunya. Ia roboh. Pemuda satunya lagi, yang tadinya niat berbalik untuk melapor, geram melihat temannya ambruk. Ia menyerang Jack yang kini memutar bambunya ke arah yang berlawanan. Arah ayunan tongkat bambu boleh berbeda sasarannya tetap sama: kepala lawan. Pemuda ini pun terkapar kesakitan. Jack melangkah terus. Tak ada waktu untuk bersembunyi, katanya dalam hati. Pingkan harus diselamatkan!
Pintu gudang ditunggui dua pemuda anak buah Chen. Sama dengan dua laskar kaus hitam sebelumnya, mereka kaget setengah mati melihat Jack yang datang membawa bambu yang ia putar-putar laksana toya. Tapi, satu di antaranya langsung nekat maju menyerang. Dua pukulannya dipapaki Jack dengan toya bambunya. Begitu pula dengan tendangannya ke arah perut Jack. Jack membalas dengan sebuah serangan telak ke alat vitalnya. Yang diserang berteriak kesakitan sambil memegangi simbol kejantanannya itu. Belum habis penderitaannya, tongkat Jack terayun kencang lalu mendarat keras di jidat pemuda ini. Ia roboh. Pemuda satunya berlari ke arah pintu gudang dan berniat membukanya untuk melaporkan keladian ini. Jack melempar tongkatnya ke atas, lalu menangkap dan memegangnya seperti orang memegang lembing. Tongkat bambu itu lalu melesat dari tangan Jack, melayang menderas punggung si pemuda yang lalu jatuh sebelum bisa memasuki pintu gudang yang ditujunya. Pandangan mata Jack kini terarah pada pintu kecil yang merupakan bagian dari pintu besi besar pembuka gudang bekas itu.
**
Di saat yang hampir bersamaan, di bagian terdalam bekas gudang ini, tempelengan keras kembali menghajar kepala Bramastyo. Wajahnya kini sudah memar-memar dan
berdarah. Pingkan di depannya terus menangis, tapi tak berdaya apa-apa karena sekali ia salah bergerak, meja kecil itu bisa jatuh atau bergeser dan ia akan mati tergantung. Tak ada para pemuda berseragam hitam di sekitar ayah dan anak yang tengah tertawan itu. Mereka telah diminta pindah ke bagian tengah. Hanya ada Chen, Slamet, Fathan, Boni, Dika, dan bos tertinggi mereka, Pramono, yang wajahnya semakin kusut dan kemarahannya kepada Bram semakin tak terkontrol.
"Bagaimana perasaanmu jika anggota keluargamu mati, Bram?" tanya si Bos kepada Bram.
"Pram, maafkan aku. Aku salah, tapi jangan kau perlakukan aku seperti ini, Pram! Aku minta maaf!" Bram bak pesakitan yang tak henti meminta pengampunan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, tolol!" Pram menjambak dan menghempas kepala Bram.
"Bagaimana kalau anggota keluargamu harus mati? Wahai, Tuan Cassanova? Bagaimana jika gadis cantik yang ada di hadapanmu ini harus meregang nyawa setelah kuperintahkan Chen atau anak buahnya menggeser meja di bawah kakinya?" bentak Pram lagi. Rambut Pram yang kini acak-acakan semakin menambah aura kalut di wajahnya. Ini juga yang membuat Boni, Dika, Farhan, dan Slamet makin tak tenang. Sebelumnya mereka diberi tahu oleh Chen bahwa si Bos memang berniat untuk menculik dan menggertak seseorang yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya, tapi seingat mereka, Chen juga memberi penegasan bahwa tidak akan ada kekerasan, apalagi pembunuhan, seperti ancaman Pram kepada Bram yang baru saja mereka dengar.
"Jangan, Pram! Aku mohon, jangan, Pram " Bram menangis sesenggukan seperti anak kecil. Tangannya yang terborgol berusaha meraih tangan Pram, tapi si Bos berkacamata minus ini menepisnya dengan kasar.
Tiba-tiba, Pram dan kaki tangannya mendengar sebuah erangan kesakitan yang datang dari bagian tengah. Dengan gerakan yang agak terhuyung, Jack tengah mengamuk dengan tongkat bambunya yang mengayun dan membabat ke segala penjuru. Lima orang pemuda berseragam hitam yang terasa di dalam tak ada yang bisa menyentuhnya. Mereka bahkan cuma jadi target empuk senjata Jack yang awalnya hanya tiang jemuran itu. Lima lawan satu, namun yang lima justru terdesak mundur. Yang satu malah terus merangsek maju.
Seorang pemuda anak buah Chen yang nekat menghadang langkah Jack terjungkal kena sabetan bambu yang dihantamkan oleh Jack bak seorang atlet baseball yang menghantam bola dengan tongkatnya. Tubuhnya jatuh berguling-guling dan baru berhenti setelah tertahan dua kaki Boni.
Keempat sahabat sekaligus murid utama Suhu Chen tak menyangka bahwa setelah disiksa aneka pukulan dan tendangan tadi, Jack masih kuat berkelahi dan bahkan kini berdiri tegak di hadapan mereka.
Farhan dan kawan-kawan bersiap. Tapi langkah mereka mendekati Jack tertahan saat Jack mengeluarkan golok si Abah dari tempatnya di belakang tubuhnya. Golok tajam itu kini terhunus di tangan kiri Jack, mengancam keempat laki-laki, yang karena ingin mengubah nasib mereka dan keluarganya, menuruti saran Chen menjadi kaki tangan Pramono itu.
Jack melempar toya bambunya ke arah Boni dan Dika dan membuat dua orang berbeda postur tubuh itu berkelit.
lalu golok itu dipindahkannya ke tangan kanan dan maju menyerang, seolah ingin membabat Slamet atau Farhan. Sementara itu, Chen sibuk menenangkan Pramono yang tak bisa terima kerja anak buah Chen yang tak memuaskannya dan membuat Jack sampai lolos dan masuk kembali ke ruang tempatnya memberi pelajaran kepada orang yang telah menghancurkan separuh hidup keluarganya itu.
Karena belum yakin bahwa mereka sanggup menghadapi lawan dengan senjata tajam, Farhan dan Slamet menyingkir menghindari sabetan golok Jack. Perkiraan Farhan dan Slamet keliru. Jack hanya pura-pura menyerang mereka. Ia melompat naik ke atas meja kecil tempat Pingkan berdiri. Tangan kirinya erat memeluk Pingkan, sementara tangan kanannya menempelkan golok dan mengerat tambang di atas kepala Pingkan.
"Ssst! Polwan cantik. apa kabar?" bisik Jack, mencoba untuk menghibur Pingkan, tak tega ia melihat mata basah Pingkan.
Pingkan tak bisa bicara, namun ada kegembiraan dan harapan yang tumbuh di hatinya, di tengah Situasi terjepit itu.
Farhan yang kesal melihat aksi Jack sontak berbalik dan menendang meja di bawah kaki mereka. Tali laso saat itu terputus, dan Jack serta Pingkan pun ikut roboh. Golok itu pun terlepas dari tangan Jack. Farhan dan ketiga rekannya kini siap menghajar Jack...
"Hentikan!" Suara berwibawa itu datang dari Sang Suhu.
"Slamet, Farhan, kalian urus Pingkan! Boni, Dika, kalian urus ayahnya! Pacarnya serahkan padaku," tambah Chen lagi. Keempat murid utamanya menurut. Slamet dan Farhan mengambil Pingkan, membantunya berdiri lagi. Boni
dan Dika memegangi Bram kuat-kuat, sebab ayah Pingkan mulai meronta karena ketakutan terhadap apa yang bakal bisa terjadi terhadap putri kesayangannya itu.
"Tunggu, tunggu sebentar!" Jack tiba-tiba menyela.
"Kenapa? Kau takut dan ingin menyerah saja? Ha-ha-ha... itu lebih baik buatmu! Walau aku harus menyiksamu dulu sebagai hukuman atas kesembronoanmu ini!" Chen menebar teror.
"Tidak, aku hanya ingin mengatakan bahwa sebentar lagi polisi akan datang menangkap kalian! Aku sudah menelepon mereka tadi!" papar Jack. Dan, Chen agaknya termakan omongan Jack. Ia menoleh tajam ke arah Dika, orang yang ia beri tanggung jawab. Dika pun segera bereaksi.
"Jangan percaya dia, Suhu. Saya tadi sudah minta anak-anak untuk memeriksa mereka dua kali. Hanya ada satu HP, kepunyaan Pingkan, yang sudah kami sita sebelumnya. Dia hanya mengarang-ngarang cerita!"
"Tapi aku tadi...
" Jack coba menjelaskan. Langkahnya makin gontai.
"Diaaaam!!!" potong Chen.
"Kau sudah aku ingatkan agar tak turut campur dalam masalah ini, tapi kau keras kepala! Maka tanggunglah sendiri akibatnya, bangsat!" Chen mulai melangkah mendekati Jack.
"Kau lihat itu, Bram! Lihat apa yang dilakukan pacar anakmu itu. Itulah contoh cinta sejati! Tidak seperti cinta tipuanmu demi mengisap sari madu bunga-bunga yang kemudian kau campakkan! Sekarang, kau akan rasakan akibat dari perbuatanmu itu!..." Pram terus menggeram, melepaskan segala sumpah serapah kepada laki-laki yang dianggapnya sangat tak bertanggung jawab itu. Tak kurang dua bogem
dilayangkannya kembali ke wajah Bram yang terus memohon ampun kepadanya.
Sementara itu, Jack yang baru saja bisa bangkit dengan susah payah kini harus kembali berhadapan dengan Chen.
"Hebat-hebat, aku salut dengan kegigihan dan mental bertarungmu. Tapi, sekarang kau tidak sedang berhadapan dengan petarung bau kencur macam murid-muridku di depan tadi! Kini kau berhadapan dengan seorang master, seorang maestro! Dan tolong kau catat, Anak Muda, aku tak pernah kalah sekali pun! Kau dengar itu?" kata Chen disusul tawa sinisnya.
Jack tak peduli. Ia nekat maju menerjang Chen. Pukulan kanan Jack yang terlontar lemah kembali hanya menyusur angin saja. Demikian pula dengan pukulan kiri yang menyusulinya. Chen hanya perlu bergeser pelan menghindarinya. Lalu, tiga pukulan beruntun Chen membuat tubuh Jack kembali terhempas. Jack lemas, ia cuma bisa menatap pasrah melihat Chen mendatanginya. Kepalanya pusing, pandangannya berkunang-kunang.
Di situasi yang genting itu, tak disangka-sangka Pramono mengeluarkan sebuah pistol dan menodongkannya ke kepala Pingkan, seraya kembali mengeluarkan ancaman kepada Bram.
"Inilah balasan yang setimpal buatmu, Bram! Kematian orang yang kau cintai! Dan kau harus menyaksikannya!!!" teriakan Sang Bos membuat Boni, Dika, Slamet, dan Farhan bergidik.
"Bos, jangan Bos, Bos, sabar, sabar..." Begitu yang mereka ucapkan untuk mencegah Pram berbuat kalap. Sementara itu, Chen yang kaget, tampaknya hanya bisa melihat aksi si Bos tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Ucapkan selamat tinggal.
Pistol ditembakkan dan...
DOR! DOR...
Jack hanya sempat mendengar bunyi tembakan itu dan melihat Pram roboh. Lalu, ia juga menyaksikan Chen berteriak histeris. Teriakan yang kemudian disusul dengan suara-suara,
"Polisi! Jangan bergerak!",
"Angkat tangan!", dan semacamnya, dan lalu ia saksikan sejumlah petugas bersenjata lengkap yang datang menyergap. SMS Jack ke Oom Dodi ternyata sampai walau paman Pingkan itu tengah berada di luar negeri. Oom Dodi ternyata langsung berkoordinasi dengan rekan-rekan serta anak buahnya di Tanah Air. Samar-samar, Jack juga mendengar Chen berteriak,
"Bangsaaat! Kalian sudah membunuhnya! Apakah kalian tidak tahu kalau pistol Mas Pram kosooong!?" Dan, Chen pun menangis meraung-raung. Semua orang terlihat panik sebelum pandangan Jack semakin mengabur... lalu ia pingsan.
**
SETELAH SEMPAT SEKALI DIMINTAI KETERANGAN OLEH POLISI, JACK mendengar beberapa kejadian penting yang berlangsung dalam kurun waktu lebih kurang dua minggu, terutama dari Pingkan yang sering menyampaikan lewat SMS atau bertelepon langsung kepada Jack. Polisi menahan Chen dan kawan-kawan atas tuduhan percobaan penculikan dan pembunuhan. Namun, untuk maju ke pengadilan masih ada perbedaan pendapat antara orangtua Pingkan, Vita, dan Bram. Vita ingin mereka mengajukan tuntutan agar kaki tangan almarhum Pramono tetap diproses, sementara Bramastyo bersikeras untuk memaafkan mereka. Pingkan memberi tahu Jack bahwa mamanya sempat kambuh histerisnya mendengar kejadian ini. Untunglah Tante Helen, sahabat setianya, segera hadir mendampingi Bu Vita dan dengan susah payah kembali bisa meredakan stres berat dari sahabatnya itu.
Pingkan juga menyampaikan informasi dari temannya yang kebetulan bertetangga dengan keluarga Pramono, bahwa Angga, putra dari almarhum si Bos, sangat terpukul atas kejadian yang menimpa keluarganya. walaupun acara kematian Pram juga memberikan satu cerita yang mengharukan sekaligus membahagiakan, yakni Angga mau mendekat dan bahkan memeluk ibunya, Yessy, yang datang ke pemakaman dengan menggunakan ambulans dan hanya bisa bergerak atau berpindah dengan menggunakan kursi roda yang didorong oleh seorang suster. Ibu dan anak yang lama tak berinteraksi itu menangis hebat, larut dalam kepedihan sekaligus kerinduan yang selama ini tersimpan rapat-rapat, tersembunyi di balik kekecewaan dan kemarahan mendalam sang anak terhadap perilaku masa lalu sang ibu.
**
Jack memegangi tangan ayahnya yang tengah tertidur lelap. Kebetulan malam itu gilirannya menunggui ayahnya sendirian, sambil menunggu kedatangan Lik Harti, adik bapaknya, untuk bergantian menunggui sang ayah. Selang oksigen di hidung dan selang infus di lengan seolah menjadi sahabat paling setia dari salah satu orang yang paling disayangi Jack dalam hidupnya. Seorang ayah yang kesabarannya ia jadikan panutan. Tiba-tiba, Jack ingat sebuah peristiwa bertahun-tahun silam. Peristiwa yang dialaminya bersama adiknya, Lutfi atau Upi. Mereka masih kecil, masih duduk di bangku sekolah dasar. Wati belum lahir saat itu. Saat itu Jack ingat betul, mereka pulang berempat di atas sepeda motor: Pak Joko, Pok Uun, dan kedua anak laki-laki mereka. Jack duduk di atas tangki, Upi digendong ibunya. Mereka habis piknik ke Kebun Binatang Ragunan. Di jalan T.B. Simatupang, tiba-tiba ban belakang motor ayahnya kempes. Pak Joko menepikan motornya, lalu menenteng motornya cukup jauh untuk sampai ke sebuah tempat tambal ban. Saat ban dalam motor ayahnya ditambal, tiba-tiba ayah dan ibunya menyadari bahwa uang mereka hanya tersisa dua ribu
rupiah, karena di Kebun Binatang tadi, Upi merengek minta dibelikan mainan yang ternyata berharga cukup mahal untuk ukuran kantong Pak Joko. Karena tak tega mendengar tangis Upi, akhirnya Pak Joko mengalah dan membeli mainan yang diminta Upi. Walhasil, uang yang tadinya dicadangkan untuk perjalanan pulang nyaris terpakai semuanya. Kecuali yang dua ribu rupiah tadi, jumlah yang tak cukup untuk membayar tambal ban motornya, apalagi ternyata ada dua lubang di ban dalam motor sang ayah. Pak Joko lalu berinisiatif memberikan arlojinya kepada si tukang tambal ban. Si tukang tambal ban tak mau menerimanya karena arloji itu sudah tua dan tak menarik pula modelnya. Entah bagaimana akhirnya ia mau menerima uang dua ribu rupiah tadi, namun sembari melontar satu ejekan: "Kalo nggak punya duit nggak usah jalan-jalan, Pak, di rumah aja, tungguin celengannya penuh!" kata si tukang tambal ban sambil tertawa sinis. Ingin sekali Jack meninju hidung orang itu, namun ia masih kecil saat itu, tak mungkinlah bisa mengalahkan orang yang jauh lebih tinggi dan besar dari dirinya. Maka, ia hanya bisa menahan sakit karena menyimpan seluruh kegeraman itu di dadanya.
Lamunan Jack berakhir saat seorang perempuan lebih kurang seusia Bu Vita masuk menyapa ke dalam ruang perawatan. Ternyata Tante Helen. orang yang tempo hari datang bersama Andre, putranya, untuk meminta maaf kepada keluarga Jack atas kasus pengeroyokan sang anak dan teman-teman satu gengnya terhadap Jack.
"Selamat malam, Jack," sapa Tante Helen.
"Eh, malam, Tante, sendirian?" tanya Jack sedikit gugup.
"Iya, sama driver aja, dia sedang menunggu di bawah," jelas teman Bu Vita ini.
"Sudah lama Bapak tidur?"
"Belum lama sih. Tante, ada yang penting, Tante?" tanya Jack sopan.
"Ah, nggak, biar saja beliau istirahat, Jack. Tante cuma ingin besuk sapa, dulu Pak joko ini kenal sama Tante |uga lho! Waktu masih sering antar Pingkan ke SD-nya," papar Tante Helen.
"Oh iya, Bapak juga pernah cerita, Tante," tanggap Jack.
"Bagaimana kankernya Bapak?"
"Ya, masih belum ada perbaikan, Tante. Dua hari lalu sudah dikemoterapi, tapi kayaknya belum ada pengaruhnya," tutur Jack.
"Ya, karena stadiumnya sudah tinggi mungkin, jadi nggak ditawarkan operasi? Atau, kalau nggak operasi bisa dibawa ke dokter di rumah sakit di Tangerang! Di sana ada dokter yang menggabungkan pengobatan herbal dan medis, banyak pasien kankernya yang sembuh, lho," Tante Helen memberi alternatif.
"Oh iya, Tante, kemarin ada saudara juga cerita tentang dokter itu, tapi yang saya dengar, biayanya mahal," Jack dan Pok Uun tak mau lebih merepotkan Oom Tarjo setelah Oom Tario membantu kemoterapi tempo hari. jack dan ibunya merasa sangat tak enak hati kepada keluarga Oom Tarjo, apalagi keluarga Oom Tarjo juga sedang mempersiapkan pernikahan Intan, putri sulung mereka.
"Ya, memang agak mahal," Tante Helen membenarkan. Saat ini, Pak Joko terbangun. Segera saja ia mengenali perempuan yang mengunjunginya.
"Bu Helen. sama siapa. Bu?" tanya Pak loko lirih.
"Sendiri, Pak, sudah istirahat saja, Pak, nanti Bapak cape," Tante Helen mengingatkan. Keduanya lalu bertukar sapa sekitar sepuluh menit sebelum Tante Helen akhirnya pamit.
Saat Jack mengantar Tante Helen sampai di luar ruang perawatan, Jack menutup pintunya agar sang bapak tak terganggu bunyi apa pun dari luar. Dan tak disangka-sangka, Tante Helen menyampaikan sebuah tawaran bantuan.
"Jack, kalau kamu mau, Tante bisa bantu bawa Bapak ke dokter di Tangerang itu," kata Tante Helen serius.
"Maksud Tante? Maaf, saya tidak mengerti," tanya Jack.
"Maksud saya, kami bisa bantu pengobatan Bapak," jelas ibunda Andre lagi. Ekspresi wajah Jack langsung cerah mendengar tawaran ini.
"Tapi, Tante minta Jack juga menjaga komitmen yang sudah disepakati," Tante Helen menambahkan.
"Komitmen? Komitmen yang mana ya, Tante? Maaf?" tanya Jack polos.
"Komitmen yang sudah pernah Jack berikan untuk Tante Vita, mamanya Pingkan, tentang kesediaan Jack untuk mengalah demi Pingkan dan Andre."
Jack tiba-tiba terdiam. Cerah wajahnya pun berubah jadi mendung kembali. Sungguh tak disangka tawaran bantuan yang diberikan itu tak murni tulus dari niat suci untuk membantu ayahnya, melainkan hanya jadi kendaraan untuk meraih tujuan lain, yang sesungguhnya sudah ingin Jack lupakan dan kubur dalam-dalam. Sejak kejadian penculikan di bekas gudang itu, Jack juga sudah mulai mengurangi intensitas komunikasinya dengan Pingkan, bahkan tak semua SMS Pingkan ia balas. Jack sadar lambat laun pasti Pingkan akan marah kepadanya, mengingat bahwa ia sudah
keterlepasan menyebutkan perasaaannya yang terdalam untuk gadis ini saat ia berinang menyelamatkannya dari Chen cs.
"Tante, maafsekali, saya kami sekeluarga sudah terbiasa, kalau berjanji akan berusaha menepatinya, tanpa harus diiming-imingi apa pun. Kalau sudah janji, insya Allah, harus kami tepati," kalimat Jack terdengar bergetar. Ada kemarahan besar di dalam dadanya, yang ia tahan sedemikian dahsyat demi menghormati ibu dari laki-laki yang juga mencintai gadis puiaannya itu.
"Maksud Tante, maksud saya, tentu bantuan itu tidak ada hubungannya dengan... maksud saya begini, Jack..." Tante Helen kini salah tingkah. Ia bisa merasakan betapa Jack tersinggung atas apa yang telah ia sampaikan.
"Saya mengerti maksud Tante. Tapi tidak, terima kasih. Mohon sampaikan kepada Ibu Vita bahwa saya tetap setia kepada apa yang telah saya sampaikan kepada beliau., bahwa saya tidak akan mengingkarinya sedikit pun. Saya doakan semoga Pingkan dan Andre berbahagia," kali ini Jack sudah lebih tenang.
"Jack, maaf, tadi Tante benar-benar tidak bermaksud untuk mengaitkan tawaran bantuan Tante dengan komitmen itu," makin tak enak hati Tante Helen berhadapan dengan rival cinta anaknya itu.
"Saya mengerti Tante tidak bermaksud demikian. Tapi maaf, saya harus menolak tawaran bantuan Tante tadi. Terima kasih atas niat baik Tante. Kami akan berusaha sendiri untuk mengupayakan kesembuhan Bapak. Maaf, Tante, saya harus kembali ke dalam, selamat malam." Jack langsung membalik tubuhnya lalu membuka pintu dan masuk ke dalam ruang
perawatan ayahnya, meninggalkan Tante Helen yang masih tertegun dengan perasaan serba salah.
Di dalam, ternyata Pak Joko sudah kembali terlelap. Jack duduk sambil merenungi kejadian yang baru saja ia alami. Perasaannya kini campur baur kemarahan, kekecewaan, kesedihan, penyesalan, semua teraduk jadi satu. Sedikit banyak Jack juga menyalahkan dirinya, mengapa peluang untuk menyembuhkan sang bapak ia sia-siakan dengan penolakannya tadi. Namun, jika ia terima tawaran itu, Jack pun berpikir bahwa ia akan merasa sangat bersalah karena telah menggadai kejujuran yang selama ini jadi bagian dari jati dirinya dan keluarganya yang berlatar pesantren itu. Ya Allah, apakah aku salah menolak bantuan yang bisa memberi peluang untuk menyembuhkan Bapak.? gundah gulana melanda batin Jack malam itu. Sungguh susah jadi orang susah! demikian batinnya menyimpulkan. Kalau saja mereka tak hidup berkekurangan, mungkin sejak dulu, sejak ayahnya mulai mengeluh sesak napas, penyakit itu bisa diusir tuntas. Jika saja Pak Joko tak menghindar dari berobat ke rumah sakit dengan alasan ingin mengumpulkan uang sekolah bagi adiknya agar bersekolah di sekolah internasional, mungkin kini Pak Joko sudah kembali bugar.
Telepon genggam Jack berdering pelan. Sengaja memang dering panggilan itu ia buat pelan, agar tak mengganggu jika kebetulan ayahnya tengah beristirahat. Jack beranjak keluar untuk menerima telepon.
"Jack?"
"Siapa nih?" Rasanya Jack kenal akrab dengan suara itu.
"Fery, Jack," ternyata itu suara Fery, teman kuliah sekaligus teman latihan karate Jack di kampus.
"Hai, Fer, apa kabar?" Jack jadi kangen kampusnya lagi.
"Elu cuti sampai kapan, Jack?" tanya Fery.
"Semester depan mungkin, memang kenapa, Fer?" sahut
jack.
"Nggak, cuma gara-gara elu cuti, gua jadi susah nih cari elu," jelas Fery.
"Emang ada apa sih, Sob? Ada kejuaraan?" Jack jadi penasaran.
"Kalau karate sih belum ada, Jack, tapi ini tanggal 24 dan 25 di Bekasi ada Tarung Harga Diri, kejuaraan MMA, mixed martial art se-Jabodetabek, Jack. Pesertanya jago-jago bela diri semua. Nah, kebetulan kan oom aku jadi salah satu panitianya, Jack, dan ada dua peserta yang mengundurkan diri, karena cedera atau apa gitu. Aku tuh mau ajak elu daftar, biar si Oom yang cari satu peserta lagi. Elu kan sering juara kumite juga, Jack. Gue udah bilang ke oom gue sih tentang elo, dan oom gue setuju-setuju aja. Formulirnya ada di gue, Jack, gimana?" Fery tuntas menjelaskan maksudnya menelepon Jack.
"Nggak ah, gue nggak begitu bisa ground fight, Fer. Gue cuma belajar ju jitsu sebentar doang dulu, itu juga belajar dari teman, bukan masuk dojo. Bakalan kalah gue kalo brantem di bawah, Fer," tanggap Jack.
"Siapa juga yang bilang ground fight? Tarung Harga Diri ini kejuaraan MMA khusus stand up fight, Jack, cuma boleh pukulan sama tendangan, ya mirip-mirip kick boxing gitu, Jack! Ikutan ya?"
"Aduh malas ah, Fer. Elu kan mungkin udah tahu dari teman-teman kalo bokap gue lagi sakit, gua musti sering nungguin beliau, Fer, sori banget, Cing."
"Yah, sayang banget, Jack, padahal si Hans ikut loh," sahut Fery.
"Hans anak UI?"
"Iyalah, saingan berat elo, kan?" jawab Fery. Jack kaget juga mendengar Hans, rival karatenya, ikut kejuaraan MMA. Sejak SMA, Jack dan Hans sudah pernah tujuh kali bertemu di kejuaraan-kejuaraan karate untuk kumite atau pertarungan kelas -60 kg putra. Skor pertemuan mereka 4-3 untuk keunggulan Hans.
"Wah, sayang banget ya? Padahal gua mau revans tuh sama dia... terakhir dia menang telak di GOR Sumantri, pukulan dia masuk terus, cepat banget."
"Ha-ha-ha, ya iyalah, gua kan nonton, Jack. Elu sih waktu itu monoton. Jack, gyaku tzuki' melulu haha-ha...," komentar Fery.
"Fer, bukannya si Hans itu masih cedera ya? Kalo nggak salah satu mata kakinya deh yang kena, gue dengar kabar itu waktu ketemu temannya, anak karate Ul juga," balas Jack.
"Iya betul belum lama ini sih kenanya, itu kan pas turnamen di Unas atau di Binus kalau nggak salah. Tapi, udah sembuh kok si Hans. Nah, jadi lu ikut dong?" sahut Fery.
"Nggak dulu deh, Fer, sori ya," kata Jack.
"Mm, ya udah deh, sayang banget, Jack. Padahal hadiahnya gede, lho, sponsornya konglomerat, Jack. Hadiah juara satunya 20 juta! Dan ada kemungkinan akan dikirim ke kejuaraan di Amerika pula, Jack."
Jack terdiam. Dua puluh juta? Mungkin ini bisa jadi awal untuk kesembuhan Bapak! Sebuah pohon harapan tumbuh di batin dan pikiran Jack. Dengan uang itu, ia bisa membawa ayahnya ke dokter yang tadi ia bicarakan
bersama Tante Helen. Maka, segera ia meralat jawaban yang ia berikan kepada Fery...
"Fer...
"Ya, jack?"
"Gue ikut."
**
Siang itu di kantin kampus, wajah-wajah teman Pingkan tampak serius. Prudence, Cherry, dan Rena prihatin mendengar curhat sahabat mereka yang tercantik itu.
"He's avoiding me,' aku tuh ngerasa banget kalo dia jaga jarak ama gue," keluh Pingkan.
"Dia tuh njawab SMS-SMS gue seperlunya banget, beda banget sekarang, he's... he's just different," tambah Pingkan melanjutkan keluh kesahnya.
"Tapi kan kamu bilang dia nyatakan cinta ke elo pas elo bilang sayang ke dia di gudang tempat kamu diculik, kan? Masak sih dia mau ngingkarin apa yang sudah dia bilang?" Cherry mencoba meyakinkan Pingkan.
"Tapi itu kan dalam situasi darurat, Cherry. We're in a desperate situation. Bisa aja dia ucapkan itu cuma untuk selamatkan gue aja!" kilah Pingkan.
"Kenapa elo nggak tanya langsung aja sih? Just go and ask him," Prudence mencoba mengusulkan solusi.
"Confirm it, Dear!"
"Aku takut, Prue," Pingkan berterus terang.
"Takut apa sih? Di kampus ini elo tuh udah dikenal sebagai cewek paling berani! Secara elo udah menghajar gengnya si Frida yang udah ngerjain Rena waktu itu, masak sekarang elo musti takut?" kritik Cherry.
"Iya, iya aku setuju," tiba tiba Rena ikut dalam pembicaraan.
"Iya apa, Ren?" kata Prudence seolah menguji Rena.
"Iya, si Pingkan itu nggak salah waktu brantem sama Frida, dia kan cuma ngebelain aku," ujar Rena polos.
"Yiaaa, nggak nyambung banget sih lo, Ren?" Cherry menepuk jidatnya.
"Zaman sekarang kan cewek juga boleh duluan menyatakan cinta, Pingkan. Apalagi seperti kata elo, waktu itu elo udah nyatakan perasaan elo ke Jack dan Jack juga udah menyatakan perasaannya yang sama ke elo, walaupun dalam situasi kayak gitu. Gue yakin kok si Jack itu bener-bener suka sama elo," Prudence kembali meyakinkan sahabarnya.
"Kamu takut kalau pernyataan cinta si Jack itu ternyata palsu, ya?" tembak Cherry seolah bisa membacanya dari pikiran Pingkan.
Pingkan mengangguk pelan.
"Come on, go get him, Princess, he's yours! Pasti dia juga suka sama kamu, Pingkan. Kami semua yakin kok Jack itu sayang banget sama kamu. Iya kan, Cherry? Rena?" Prudence memberi semangat.
Cherry dan Rena mengiyakan, lalu ikut menyemangati Pingkan.
**
Jam dinding di dalam rumah sederhana itu menunjuk pukul delapan lewat sepuluh. Jack baru saja hendak berangkat kerja di toko Oom Tarjo sambil mengantar ibunya ke rumah sakit saat sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Sebuah Honda Jazz biru metalik. Pingkan? Mau apa dia ke Sini? tanya Jack dalam hati. Jack benar. Itu memang mobil Pingkan. Sang pemilik mobil keluar dari mobilnya. Tinggi dan selalu tampak cantik. Apalagi saat itu tubuh Pingkan yang langsing dibalut kolaborasi kemeja bermotif dengan dominasi warna biru hijau dengan vest tipis berwarna hijau toska. Rambutnya yang hitam dan bercahaya kali ini tak diikat, melainkan hanya dirapikan dengan bando bernuansa biru, sewarna dengan jins bergaya sportif yang ia kenakan. Pesona kecantikannya kini lebih terpancar. Ada getaran hebat di dalam dada Jack. Betapa pun ia meredamnya demi memenuhi keinginan Bu Vita dan Tante Helen, hati kecilnya tak bisa memungkiri bahwa gejolak itu masih ada dalam hatinya. Gejolak yang makin ia pendam justru makin menghebat saja.
"Eh, Neng Pingkan, silakan masuk Neng, apa kabar?" Pok Uun justru yang pertama menyapa Pingkan. Jack malah tak tahu harus berkata apa. Saat itu, Pok Uun dan putranya sudah berada di pelataran rumahnya.
"Baik, Bu, terima kasih, saya cuma mau ajak ngobrol Jack sebentar, boleh?" kata Pingkan langsung berterus terang tentang maksud kedatangannya.
"Oh, boleh.. boleh, silakan," sahut Pok Uun.
"jack, can we talk for a while?" tanya Pingkan pada Jack.
"Bicara masalah apa, ya?" tanggap jack pelan sambil tersenyum, mencoba tenang, walau agak gugup juga perasaannya saat itu.
"Ya, nanti aja, deh, ikut mobilku yuk, jack. Nggak akan lama, kok. Kata kamu kerja di Oom Tarjo bisa datang kapan aja? Atau, Ibu ada keperluan mendesak?" kini pertanyaan Pingkan diberikan kepada Pok Uun.
"Oh, nggak, Neng. Ibu mah biasa, jadwal nungguin Bapak, mau aplusan sama sodara Ibu, silakan aja, Neng, masih banyak waktu, kok," tutur guru agama yang sederhana ini.
"Bu, Kiki pergi sebentar ya," pamit jack pada sang ibu. jack lalu mengikuti Pingkan untuk masuk ke dalam mobilnya. Beberapa bocah kampung yang bertelanjang kaki kagum melihat Pingkan. jarang-jarang mereka melihat gadis secantik bintang film papan atas berkunjung ke kampung mereka.
Tak banyak yang terucap di dalam mobil bercat biru mengilap itu, kecuali sapaan basa basi menanyakan kabar terkini dari masing-masing. jack tambah rikuh dengan situasi seperti ini. Pingkan pun sesungguhnya agak menyesal atas kenekatannya ingin melamar tanya tentang bagaimana sesungguhnya perasaan pemuda pujaan yang kini duduk di sebelahnya. Saat mobil Pingkan mulai melewati sebuah lorong sepi di perkampungan orang Betawi itu, terdengar raungan mesin tiga buah motor dari belakang mereka. Belum sempat Pingkan dan jack menyadari siapa mereka, mereka sudah mengkiakson beberapa kali, memberi isyarat kepada Pingkan untuk berhenti. jack menoleh ke belakang dan kaget juga ia melihat mereka yang menguntit mobil Pingkan itu.
Pendekar Slebor 42 Manusia Laba Laba Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Emptiness Of Soul Karya Andros Luvena
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama