Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan Bagian 5
"Siapa, jack?" tanya Pingkan.
"Aji Pelor dan kawan-kawannya!" jawab jack.
"Our enemies? Mau apa lagi sih mereka?" Pingkan kesal harus ketemu musuhnya lagi. Dalam situasi yang sangat tak tepat pula.
Pingkan berhenti untuk menepi. Ketiga motor itu pun menepi di depan mobil Pingkan. Aji Pelor, Oding, Beben, dan dua temannya lagi.
Pingkan turun dan maju menghampiri Aji dan kawankawan yang juga baru turun dari motor mereka.
"Mau apa lagi kalian?" Pingkan menahan langkah untuk menyiapkan kuda kuda serang. Jack mulai cemas atas keselamatan Pingkan.
"Ji, tahan! Kalo sampe ada apa-apa dengan cewek gua, seumur hidup elu urusan sama gua, tinggal siapa yang duluan yang masuk liang kubur!" Ini ancaman paling keras yang pernah Jack sampaikan kepada seseorang seumur hidupnya. Pingkan sendiri pun kaget mendengar pernyataan Jack pada si preman kampung dan kawan-kawannya itu.
"Oh, Jadi dia sekarang dia ude jadi cewek lu, Jack?" si Pelor menjawab ringan.
"Sori, Jack, gua ngejar elu berdua bukan mau berantem sama elu pade," tambah Aii menjelaskan.
"Maksud lu?" tanya Jack singkat.
"Gua mau ngucapin terima kasih untuk elu berdua karena udah nolongin ponakan gue, Gibran tempo hari," jawab mantan teman mengail Jack semasa kecil ini. Sebuah jawaban yang sungguh-sungguh tak diduga oleh Jack dan Pingkan.
"Gua juga minta maaf atas kelakuan gua selama ini. Gua mungkin nggak akan bisa berubah Jadi kayak dulu, Jack, tapi gua akan berusaha kagak separah sekarang. Makasih, Jack, semoga suatu saat kita bisa kumpul lagi sama teman-teman
pesantren dulu, sbalawatan bareng," kata Aji. Sebelum pergi, Aji sempat mendekati Pingkan dan menyampaikan sebuah pesan.
"Elu beruntung banget dapat cowok kayak si Jack, gua harap hubungan kalian bisa langgeng, gua permisi," Aji Pelor dan teman-temannya pergi menaiki motor mereka dan meninggalkan Jack serta Pingkan yang masih diam terpaku. Dalam waktu singkat, raungan mesin ketiga sepeda motor itu melenyap.
Pingkan dan Jack kembali masuk mobil. Tapi keduanya masih terdiam, tak percaya dengan kejadian yang baru saja lewat. Ada jeda yang cukup lama. Yang terdengar cuma bunyi lirih mesin mobil Pingkan. Namun, tiba-tiba saja Pingkan memecah kesunyian itu dengan sebuah pertanyaan.
"Jack, kenapa kamu berusaha menjauh dari aku?"
"Aku... aku nggak berusaha menjauh dari kamu, Kan," Jack berkelit.
"Don't lie to me, Jack,' kenapa sekarang kamu segan membalas SMS-SMS aku? Kenapa kalau aku ajak pergi bareng kamu sekarang nggak pernah mau?" Pertanyaan-pertanyaan Pingkan kini membuat Jack kian tersudut.
"Aku... aku sibuk Pingkan," Jack masih berusaha mengelak dari tuduhan.
"Jack, sekarang jawab pertanyaanku dengan jujur, please be hones: with me, benarkah aku cewek kamu seperti yang kamu sampaikan sama si Pelor tadi? Atau, benarkah yang kamu bilang bahwa kamu sayang sama aku waktu aku
bilang sayang sama kamu di gudang tempat kita disekap?" Air mata Pingkan sudah di ambang jatuh.
Jack tak langsung menjawab pertanyaan Pingkan. Ia perlu waktu yang cukup untuk memikirkannya. Hening kembali merasuk ke dalam mobil yang tabrakannya dengan seorang ibu bersepeda motor matik itu turut andil dalam mempertemukan kedua insan itu pertama kalinya. Akhirnya setelah tiga kali menarik napas panjang, Jack berucap juga.
"Maaf, Pingkan, semua yang telah aku ucapkan, baik di gudang maupun yang tadi aku sampaikan ke Aji itu semata-mata untuk menyelamatkan kamu saja. Aku sama sekali tidak mencintai kamu, aku menganggap kamu hanya sebagai seorang sahabat, yang sangat baik kepadaku," sungguh berat bagi Jack yang sejak kecil tak pernah dibiasakan berbohong untuk sengaja mendustai sang gadis agar menjauh darinya.
Hening itu datang lagi. Saat ini air mata Pingkan sudah mengalir di kedua pipinya. Pingkan juga perlu waktu untuk menanggapi jawaban Jack.
"Baik. Jack, terima kasih atas jawaban kamu, aku harap kamu mau memaafkan pertanyaan aku tadi. Terima kaSih atas semua yang telah kamu lakukan untukku... aku minta maaf sudah banyak merepotkan kamu, Jack," Pingkan menangis lagi.
Sementara itu, Jack menoleh ke arah yang lain saat dua sudut matanya membasah menahan sesak di dadanya.
"I'll take you back home." Pingkan masih menangis saat mulai menyetir dan mencari tempat untuk berputar untuk pulang kembali ke rumah Jack.
Di depan rumah jack, Pingkan tak turun. Ia menunggu sampai jack keluar mobil. Matanya masih basah. Sengguk tangisnya pun masih ada walau tak sekeras tadi. Perasaan jack makin galau. Ia telah berbohong dan kebohongannya telah membuat orang yang disayanginya menangis pilu.
"Maaf, aku nggak bisa antar kamu ke dalam. Sampaikan salam untuk Ibu, sekalian aku pamit. Aku nggak akan ganggu kehidupan kamu lagi, jack, ini pertemuan kita yang terakhir." Air mata itu masih mengalir di kedua pipinya yang putih mulus bagai pualam istana itu.
"Pingkan, aku minta maaf jika di antara kita telah terjadi kesalahpahaman seperti ini. Aku... aku aku minta maaf, Pingkan," makin tak enak perasaan jack.
"Kamu nggak salah, jack. Aku yang salah karena telah membuatmu banyak menderita hanya untuk menyelamatkan aku dan keluargaku, w." Dan, kini aku sadar bahwa aku tak pantas berharap lebih dari itu, berharap suatu saat aku bisa jadi istri dari seorang yang sudah kukenal sangat baik dan bertanggung jawab," kata sang gadis pujaan.
"Sekali lagi aku minta maaf dan jika kamu sempat, tanggal 24 sama 25 aku akan ikut kejuaraan Tarung Harga Diri di Bekasi, tanggal 24 penyisihan, 25 finalnya kalau aku lolos. Aku aku nggak yakin bakal menang, Pingkan... Aku minta doa dan dukungan kamu. Kalau bisa datang, aku sangat berterima kasuh. Tapi kalau kamu sibuk, ya nggak apa-apa." Aduh, kenapa aku malah bicara tentang kejuaraan, sih.? jack makin salah tingkah.
"Oh ya? Selamat bertanding ya, jack, semoga kamu menang. Maaf, aku nggak bisa datang," kata Pingkan datar. Tak ada lagi antusiasme seperti yang ia perlihatkan sebelumnya jika mendengar cerita-cerita jack seputar beladiri atau pertarungan.
jack keluar dari mobil. Tanpa menoleh lagi, Pingkan pun melaju pergi, meninggalkan jack yang terpaku penuh kesedihan dan penyesalan.
**
Sore itu, motor Jack memutar untuk mencari sebuah sasana tinju di Jalan Otista. Tanpa kesulitan, Jack berhasil menemukannya. Sasana itu malah berdiri tegak. Hanya saja cat tembok di luarnya sudah banyak mengelupas dan pintunya sudah ditutup. Akh, aku kesorean, keluh Jack. Maka, setelah turun dari motor dan memarkir motornya, Jack bergegas ke rumah di sebelah sasana itu. Rumah sederhana Oom Pieter, sang pelatih sekaligus pemilik Sasana Piet's Gym, terletak bersebelahan dengan sasananya. Jack memencet bel di sisi pagar besi. Seorang pembantu membuka pintu.
"Sore, Mbak, Oom Piet-nya ada?" tanya Jack.
"Oh, ada, Mas, sebentar ya," ia masuk kembali.
Seorang laki-laki berusia enam puluhan keluar. Ia memakai kacamatanya dan ternyata ia belum lupa siapa yang kini dilihatnya.
"Hei! Rupanya kau si Little Ali! Ha-ha-ha, ayo masuk, masuk! Siapa nama asli kamu? Kok aku malah ingatnya nama yang aku julukkan buat kamu? Ha-ha-ha..." Oom Pieter tertawa lepas.
"Jack, Oom," jawab yang ditanya. __
"Oh iya, Jack, ya, aku ingat kamu pernah bikin jatuh anakku, kan? Ha-ha-ha..." Daya ingat Oom Piet ternyata masih baik. Dan Jack perhatikan, dalam usia senjanya, Oom Piet masih kelihatan kekar berotot. Dulu Oom Piet memang petinju yang cukup disegani, bahkan sempat mewakili Indonesia dalam kejuaraan tinju amatir tingkat Asia dan meraih medali perunggu sebelum pindah ke jalur profesional.
"Vincent mana, Oom?" Jack menanyakan tentang anak Oom Piet.
"Wah, biasanya sih dia sudah pulang, mungkin buat tugas sama teman-teman kuliahnya," jawab Oom Piet.
"Wah hebat Vincent, Oom! Dulu dia bilang ke saya nggak mau kuliah, Oom." Jack teringat apa yang pernah disampaikan Vincent kepadanya.
"Ya, masak tak kuliah? Nanti kalau dia gagal di tinju bagaimana? Mau makan apa istri dan anak-anaknya kalau dia sudah berkeluarga nanti? Eh, ngomong-ngomong ada perlu apa kan ke sini, Jack?" tanya si oom.
"Begini, Oom, tanggal 24 dan 25 saya akan ikut kejuaraan MMA, saya ingin mempersiapkan diri di sini, di sasana Oom Piet, tentunya di bawah bimbingan Oom Piet," jawab Jack.
"MMA? Apa itu?"
"MMA itu mixed martial art, Oom, tapi yang ini khusus pukulan dan tendangan saja..." Di ruang tamu yang kecil itu, Jack lalu menerangkan segala sesuatu, mulai dari penyakit bapaknya sampai hal-hal teknis yang berkaitan dengan kejuaraan yang akan ia ikuti. Oom Piet mengangguk-angguk paham.
"OK, jadi boleh pakai tendangan juga, ya? Tapi, Oom cuma bisa latih kamu pukulan-pukulannya saja, itu pun
yang Oom kenal di tinju, bukan karate atau silat, Jack? Tak apa-apa begitu?" selidik Oom Piet.
"Ya, nggak apa-apa, Oom, justru event ini rasanya lebih mirip kejuaraan kick boxing. Jadi, bagusnya pukulan-pukulannya yang saya latih adalah pukulan-pukulan tinju, kalau tendangan sih saya bisa latihan sendiri deh, Oom."
"Mm, OK, nggak masalah, Oom akan bantu kamu, tanggal 24 itu Sabtu depan bukan? Jadi, masih ada semingguan lebih sejak sekarang, OK?" simpul Oom Piet.
"Tapi, Oom, maaf, saya belum bisa bayar buat latihannya. Gimana, Oom, kalau bayarnya belakangan aja?" tanya Jack.
"Akh, sudahlah, gampang itu nanti! Yang penting aku suka kau karena kau berjuang untuk bapakmu! Nanti kalau aku tarif juga kau tak mampu bagaimana, Jack? Ha-ha-ha..." tanggapan Oom Piet membuat perasaan Jack lega.
"Wah, alhamdulillah kalau begitu, Oom, makasih banyak, Oom."
"Ya, ya, besok kau datang ke sasana jam sembilan, ya!" pinta Oom Piet.
"OK, Oom Piet, saya akan minta izin cuti kerja ke oom saya," jawab Jack.
Jack tak perlu menunggu sampai besok untuk mulai berlatih. Kini, saat Jack kebagian giliran menunggui Pak Joko di malam hari, ketika dilihatnya sang ayah tercinta tertidur lelap, jack beringsut keluar dan mengambil tempat di balkon luar ruang perawatan. Dengan berbekal peralatan seadanya, Jack menjadikan balkon rumah sakit di luar kamar rawat itu menjadi fitness center pribadinya di mana ia melakukan
pemanasan, push up, sit up, squat jump, shipping, serta tak lupa melatih berbagai pukulan dan tendangannya. Seorang suster yang penasaran mendengar bunyi yang dibuat Jack saat lari di tempat, membuka pintu keluar balkon.
"Sedang apa, Mas?" sang suster bertanya.
"Oh, nggak, Sus, cari keringat aja, jaga kesehatan," kata Jack pelan, khawatir Pak Joko terbangun mendengar percakapan mereka. Saat si suster pergi dan menutup kembali pintu itu, Jack melanjutkan latihannya. Beruntung malam itu tak ada orang lain di balkon luar kamar sebelah menyebelah.
**
Sasana Oom Piet tak begitu besar, namun fasilitasnya cukup lengkap; ada tiga punch bag atau sansak, beberapa punching pad dengan ukuran-ukuran berbeda, dua speed bag, beraneka alat kebugaran termasuk tali shipping, dan juga sebuah ring tinju standar internasional. Baru ada tiga orang petinju yang berlatih didampingi Oom Piet dan Oom Calvin, adik Oom Piet. Dengan Oom Calvin, Jack sudah cukup kenal, namun ketiga petinju itu baru Jack lihat sekarang. Ada yang unik dari cara Oom Piet melatih tinju. Ia kerap memakai istilah-istilah lain untuk menamai aneka pukulan dalam tinju. Seperti kata "apel" untuk pukulan uppercut,
"setrika" untuk pukulan straight,
"Hong Kong" untuk pukulan book dan "jabrik" untuk pukulan jab, serta beberapa istilah lain yang dipakai untuk merujuk pada pukulan-pukulan dan teknik-teknik bertinju lainnya. Saat ditanya tentang hal ini, Oom Piet cuma bilang bahwa istilah-istilah itu bisa jadi keuntungan buat petinjunya yang tengah bertarung, terutama yang sedang terdesak lawan, agar melontar pukulan sesuai
instruksi Oom Piet tanpa diketahui lawannya. Saat ini, sang ayah dari Vincent tengah melatih Jack secara khusus dengan menggunakan sepasang mitten atau sarung tinju untuk pelatih. Ketiga petinju yang lain sementara ditangani oleh Oom Calvin.
"Ayo, mana pukulannya?" pancing Oom Piet.
"Saya kan tipe boxer atau counter fighter, Oom," kata Jack sedikit memprotes sang pelatih.
"Ya, nggak bisa begitulah. Kata kamu, kamu cuma tanding tiga ronde kan di MMA itu? Kamu harus berani bertarung jarak dekat! Jangan lari-lari saja kamu! Ayo pukul! Counter fighter kan bukan berarti kamu mundur terus, Jack!" Oom Piet memang galak kalau sedang melatih, maka Jack pun menurut. Ia turuti kehendak sang pelatih untuk bisa juga jadi petarung bergaya inside fighter, petarung yang berani jual beli pukulan dalam jarak dekat, walau gaya pukul lari atau pukul hindarnya masih boleh ia pertahankan.
"Ayo serang, ayo terus!" pancing Oom Piet.
Jack merangsek melontar tiga pukulan.
"Aduh, tolol kali kau, Jack. Variasikan pukulanmu, jangan lurus terus!" kritik Oom Piet.
"Maaf, Oom, kebiasaan kumite di karate," kata Jack sambil terus maju menyerang. Saat sarung kanan Oom Piet menyusur kepalanya, Jack memindah kaki kirinya maju merendah dan tangan kanannya refleks mencoba masuk ke arah uluhati. Bukannya pujian yang didapat Jack, justru bentakan keras dari Oom Piet yang tak suka pukulan seperti itu.
"Apa lagi itu, Jack?" sentak Oom Piet.
"Maaf, Oom, itu pukulan gayaku, pukulan andalan saya karate."
"Sudahlah jangan dipakai lagi itu pukulan apa? Giaku? Kau bisa kena low blow, pukulan terlalu rendah, dipotong nanti angkamu!" tambah sang pelatih dengan ekspresi kesal.
"Iya Oom, maaf, maaf..."
"Ayo mulai lagi!"
"Siap. Oom!"
"Bentar, sebentar, kau lihat siapa tuh yang datang di pintu," kata Oom Piet. Seorang anak muda berkulit gelap berambut keriting melambai tangan. Vincent, anak Oom Piet rupanya.
"Woi, ngapain lu orang Bekasi latihan di tempat gue?" teriak Vincent.
"Sudah sana, kalian kangen-kangenan dulu sepuluh menit lalu kembali ke sini lagi," saran Oom Piet.
"Siap, Oom, sepuluh menit!" janji Jack. Jack berlari mendekati Vincent. Mereka bersalaman dan berpelukan.
"Elu kok gemukan, Vin?" tanya Jack.
"Ya, gua kan mau naik kelas, ke kelas berat, Jack, mau ngalahin Vital: Klitsehko! ha-ha-ha... ngapain lu pake ikut Tarung Harga Diri segala? Itu yang ikut hebat-hebat semua tau! Ha-ha-ha..." Vincent dan Jack langsung akrab.
"Nah makanya elu bantu gue ya, Vin, kan di corner gue nanti bokap lu sama Oom Calvin, masing-masing jadi coach dan cut man, elu jadi apa kek, supporter setia deh!" usul Jack.
"Sip, sip... gua bantu dah, asal dikasih komisi, ya?" Perbincangan kedua petarung muda yang bersahabat ini pun semakin hangat.
**
Tiga hari lagi sebelum pertandingan adalah jadwal bagi para peserta Tarung Harga Diri untuk pendaftaran ulang, technical meeting, sekaligus penimbangan berat badan. Jack berdua Vincent berboncengan di atas motor Jack. Hari itu Vincent tak ada jadwal kuliah, maka ia putuskan untuk menemani Jack karena ayah dan pamannya tak bisa mengantar. Sebuah ruang besar yang terletak di areal sebuah stadion besar di Bekasi jadi ajang pertemuan para jago berkelahi seantero Jabodetabek.
Saat berjalan menuju pintu masuk, Jack takjub juga melihat tubuh-tubuh kekar dan wajah-wajah para peserta yang hadir: dingin dan seram. Maka, dicoleknya Vincent sambil berkata pelan,
"Vin, serem-serem amat, yak? Wajah-wajah tempur semua!"
"Maksud lo? Cuma elo yang cakep? Ha-ha-ha... kege-eran lu, Jack," goda Vincent pada temannya yang memang berparas oke ini.
Jack tiba-tiba tertegun. Seorang lelaki kekar masih berdiri di halaman depan gedung itu, memakai sweater sport dan celana drill, dengan rambut sebahu yang diikat. Di sekelilingnya sekitar tujuh atau delapan orang laki-laki berseragam, atas kaus merah, bawah jins biru, dan bersepatu kets. Dan, saat orang itu melihat Jack, ia lalu mengajak teman-temannya menghampiri pemuda berdarah campuran Jawa-Betawi ini. Chen! Bagaimana mungkin?
"Ha-ha-ha, ternyata kau ikut juga? Cari mati kau?" Chen langsung menembak Jack dengan sebuah pertanyaan mengejek.
"Justru itu pertanyaan saya, kenapa Anda ikut juga? Bukankah seharusnya Anda meringkuk dalam tahanan?" Jack berusaha tenang. Dia juga sempat memperhatikan orang-orang
di sekeliling Chen, sebagian mereka bisa ia kenali sebagai anggota laskar kaus hitam di bekas gudang waktu itu. Setia juga rupanya mereka mengikuti Chen. Kini di bagian dada kanan kaus merah menyala yang mereka kenakan ada lambang ular naga berwarna kuning dan di bawahnya tertulis: DRAGON CHEN FIGHTING TEAM. Sementara itu, Vincent di sebelahnya keheranan melihat arogansi orang yang baru datang itu.
"Kenapa memangnya kalau aku ikut? Kau takut? Kau kencing di celana? Ha ha-ha... kenapa aku di sini? Karena sang konglomerat yang jadi penyandang dana kejuaraan ini tahu kehebatanku dan memberi uang jaminan kepada polisi agar aku bisa bebas sementara dan memukuli orang-orang tengil yang sok-sok menganggap diri mereka jagoan hingga berani ikut kejuaraan ini! Paham kau!?" kata Chen dengan volume tinggi.
Kara-kata keras Chen ternyata cukup membuat Jack bergidik. Bagaimanapun, pengalaman diserang Chen dengan aneka pukulan dan tendangan yang keras, cepat dan bertenaga, dengan relatif tanpa perlawanan pada peristiwa penculikan Pingkan itu telah membekaskan suatu pengalaman traumatik dalam diri Jack saat kembali melihat si jago berbagai bela diri ini ada di hadapannya.
"Berdoa saja agar kau tak perlu melawanku karena sudah kalah duluan oleh lawan yang lain. Sebab, jika kau berhadapan dengan aku, pasti kutuntaskan dendam almarhum Mas Pramono kepada keluarga Pingkan dan kepada kau, karena kau kuanggap sebagai penyebab langsung kematiannya! Pistolnya tak berisi peluru sama sekali! Pistol itu hanya dipakai untuk memberi pelajaran pada Bramastyo, orang
yang pernah menghancurkan kebahagiaannya. Kau paham itu, Anak Muda? Dan, kau juga musti sadar bahWa keempat anak buahku pun kini menganggur tak punya pekerjaan gara-gara kau!" Wajah Chen sudah sebegitu dekat dengan wajah Jack.
"Pak Pramono tewas karena kesalahannya sendiri, kalau dia tak berniat menculik Pingkan, tak mungkin beliau bakal berakhir seperti itu, begitu juga keempat anak buahmu itu, nyadar dong!" Jack mulai kesal dengan pembicaraan yang didominasi oleh Chen itu. Tiba-tiba, Chen mendorong dada jack, memprovokasinya untuk berkelahi saat itu juga. Jack mundur tiga langkah. Vincent yang hendak maju membela temannya langsung dihadang para anak buah jack.
"Mas, sori, gua nggak tau urusan elu dengan teman gua, Jack. Tapi tolong dong, gua mohon biar diselesaikan nanti di atas ring aia, bagaimana?" Beberapa orang yang lalu lalang mulai melihati mereka.
"Kau siapa? Mau aku hajar juga kau?" Chen tersinggung.
"Sori, Mas, gua nggak ada dan nggak bakal mau urusan dengan elu, karena kalau gua sampai urusan dengan elu, gua akan panggil semua orang-orang yang pernah belajar di sasana bokap gua dan mereka akan nyari elu sampai ke ujung dunia ini, OK!?" Hebat juga Vincent menggertak Chen.
"Sasana? Hmm, memang siapa bapak kau, hah?" kata Chen memandang enteng kepada Vincent.
"Mungkin pernah dengar nama Pieter Maitimu? Itu ayahku sekaligus pemilik sasana dekat rumah kami di Otista."
Manjur juga rupanya ucapan Vincent. Chen mundur selangkah, mengendurkan tekanannya kepada Jack dan Vincent.
"Pieter Maitimu? Hmm, si Kobra dari Timur itu... OK, OK... jadi kau berlatih dengan Pieter Maitimu? Pilihan yang aneh. Masak kau latihan kejuaraan macam kick boxing ini sama petinju? Bagaimana bisa kau perbaiki tendanganmu yang payah itu," kata Chen kepada Jack.
"Pieter memang pelatih tinju yang bagus. Tapi sayang, sekeras apa pun kau berlatih, tak bakalan kau bisa mengalahkanku! Di kejuaraan ini, sudah pasti aku juaranya! Ha-ha-ha. OK! Sekarang bilang sama ayahmu, dia rugi ngelatih anak kampung ini! Tak bisa berkelahi dia!" Pesan terakhir ditujukan pada Vincent sebelum menepuk-nepuk pipi Jack dan memberi kode kepada para anak buahnya untuk masuk ke dalam ruangan karena baru saja terdengar sebuah pengumuman.
"Sombong banget dia punya mulut, Jack," komentar Vincent.
"Wajar kak, Vin, beladirinya... sempurna," tanggap jack, tak punya kata-kata lain untuk menggambarkan kehebatan penculik Pingkan itu.
"Memang elu pernah ribut sama dia?" selidik Vincent.
jack cuma tertawa kecil, namun dalam hatinya ia menjawab, Bukan ribut lagi, tapi disiksa habis tanpa bisa melawan. Keduanya kemudian ikut masuk seperti para peserta lain. Ya Allah, usirlah rasa takut ini dari hatiku, agar aku bisa memberikan kesembuhan kepada Bapak lewat izin-Mu, batin Jack khusyuk berdoa.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Jack sampai juga di meja pendaftaran ulang. Sementara itu, Vincent lebih memilih keliling meliha lihat isi stadion. Seorang perempuan belia
yang manis duduk di meja di hadapan Jack. Di sebelahnya seorang laki-laki 5O-tahunan, kelihatan Siap mendampingi si perempuan yang tampaknya belum punya banyak pengalaman kerja. Setelah Jack memberi tahu namanya, si perempuan mengecek berkas yang telah dikirim Jack sebelumnya dan memberikan tambahan formulir isian data diri peserta event yang baru pertama kali diselenggarakan itu. Jack segera mengisinya.
"Nama asli Muhammad Zaki Abdurrahman, nama untuk kejuaraan ini Jack, tapi kok Mas Jack nggak mengisi yang bagian nickname nya?" si perempuan cermat memeriksa data Jack.
"Itu memang wajib ya, Mbak?" tanya Jack.
"Iyalah, Mas, kan kalau menang akan dikirim ke Amerika," jawab si manis sambil tersenyum. Diam-diam naksir juga ia melihat paras tampan Jack.
"Yang lain juga mengisi, Mbak?" Jack ingin tahu.
"Iya, semuanya isi, dari 64 peserta THD cuma tiga yang belum isi, termasuk Mas Jack," katanya sambil terus memasang senyum manis.
"Mm, apa ya? Jack "float like a butterfly, sting like a bee" Rahman," jawab Jack menyebut teknik bertinju Muhammad Ali, idola tinjunya.
"Haa? Apaan tuh, Mas? Panjang amat? Bisa dijadikan cerpen tuh namanya! Hi-hi-hi... maaf, saya cuma bercanda, Mas. Pak Is, gimana nih, si Mas nickname-nya panjang amat," si gadis meminta bantuan bapak di sebelahnya.
"Mmm, gimana, Mas, nickname-nya apa tadi?" tanya sana babak.
"Jack "float like a butterfly, sring like a bee" Rahman,"
jawab Jack lagi.
"Walah kok panjang 'men iku, saya ganti ya, Mas? tanyanya.
"Ya, terserah Bapak deh," Jack pasrah.
"Saya ganti Jack 'The Butterfly" Rahman bagaimana?" usul sang bapak.
"Mm... ya udah nggak apa-apa, Pak," kata Jack. Pikiran Jack lebih terfokus pada penderitaan ayahnya di rumah sakit ketimbang urusan nama panggilan.
Selesai pendaftaran ulang, Jack menyusul Vincent ke dalam stadion. Di sanalah tempat technical meeting dan penimbangan berat badan dilaksanakan. Pengarahan teknis itu ternyata belum dilaksanakan. Maka, sekarang Jack menemani Vincent melihat-lihat berkeliling sambil menunggu acara inti hari itu dilaksanakan. Tertarik melihat tempelan-tempelan pengumuman di salah satu dinding, Jack mengajak Vincent melihatnya.
"Gue udah lihat itu tadi, Jack, elu nggak termasuk petarung yang diunggulkan," kata Vincent.
"Ya nggak apa-apa, Vin, ayolah kita ke sana," ajak Jack lagi. Sesampainya di sana, Jack melihat delapan grup yang masing-masing berisi delapan peserta yang bertarung bukan atas nama beladiri yang mereka geluti, melainkan mewakili diri pribadi mereka sendiri. Jack menemukan namanya yang belum mempunyai julukan itu berada dalam grup B, Zona Satu. Ia tersenyum geli melihat paduan nama-nama lokal dengan nama-nama julukan yang rata-rata mengambil istilah berbahasa Inggris itu: Pongky "The Destroyer" Tambunan, Gugun "The Punisher", Bachtiar "The Assassin",
"Fearless"
Reza Muhammad, dan lain-lain. Dalam hatinya, Jack sesungguhnya enggan ikut ajang tarung aneka bela diri stand up itu. Namun, semangatnya bangkit kembali saat terbayang Wajah sang ayah yang tengah bertarung keras dengan penyakit yang kini tengah ganas menyerangnya itu. Tapi, pertemuan dengan Chen tadi membuatnya merenungkan kembali keikutsertaannya. Aku tak bakal menang! batin Jack mengeluh. Tapi, batin Jack juga yang kemudian memaksanya untuk tetap bertahan. Terutama jika ia ingat tawaran bersyarat Tante Helen. Sampai kini, Jack masih sangat tersinggung dengan permintaan ibunda Andre itu. Orang kecil memang tak punya banyak pilihan... Hanya dengan bertarung di sini Jack punya satu kesempatan untuk membuat orang yang disayanginya itu pulih kembali. Jack juga tak ingin melihat adik bungsunya, Wati, menjadi yatim dalam usia sebelia itu.
Pada satu kertas pengumuman terpisah, Jack membaca daftar unggulan tiap-tiap grup. Dilihatnya satu per satu nama para petarung yang dijagokan menurut hitungan panitia itu...
Zona 1 :
Grup A : Agus "The Predator"
Grup B : Cahyo "Buldozer" Wibowo
Grup C : Jefri "The Monster" Markus
Grup D : "Soldier" Hans Mulyawan
Zona 2 :
Grup A : Stefanus "The Gladiator" Papilaya
Grup B : Hendrik "The Real Deal" Siregar
Grup C : Kenji "The Blade" Nakamura
Grup D : "Dragon" Chen
Benar kata Vincent, Jack tak termasuk petarung yang diunggulkan. Dan, Jack tersenyum saat membaca nama "Soldier" Hans Mulyawan jadi petarung unggulan di grup D, Zona 1. Pantas memang Hans jadi unggulan. Rival karatenya yang memang bercita-cita masuk TNI AD setelah lulus kuliah nanti itu memang semakin sering jadi juara di kejuaraan-kejuaraan karate yang belakangan sudah tak lagi Jack ikuti sejak mengambil cuti kuliah. Jack juga sempat mendengar kalau Hans bakalan terpilih masuk pelatnas karate untuk kejuaraan dalam lingkup internasional.
"Kok ada orang Jepangnya ya, Vin?" tanya Jack sambil memperhatikan nama Kenji "The Blade" Nakamura.
"Ya, memang, tadi gue tanyain sama salah satu panitia, Kenji itu juara ajang kayak THD ini di Jepang, katanya sih biar meramaikan persaingan di kejuaraan ini," papar Vincent.
"Lho, terus kalau yang jadi juaranya si Kenji ini siapa dong yang katanya mau dikirim ke Amerika? Maksud gua, kan yang bakal dikirim juara satunya?" tanya Jack lagi.
"Ya yang juara dua dong, kecuali si Kenji mau di-naturalisasi jadi atlet Indonesia macam pemain bola kita!" gurau Vincent sambil tertawa.
"Jack? Elu ikut juga?" Seseorang menepuk pundak Jack. Hans Mulyawan, lawan sekaligus kawan karatenya tersenyum lebar.
"Hans! Apa kabar, Sob?" Mereka berjabat tangan erat.
"Jadi, nama Jack Rahman itu elu ternyata? Ha-ha-ha... biasanya pakai nama asli elo, Zaki?" tanya Hans.
"Iya, ini kan bukan kejuaraan karate, Hans. Eh, ini kenalkan, teman gua, Vincent," kata Jack. Hans dan Vincent pun bersalaman.
"Tapi, nama elu kok nggak ada nickname-nya, Jack?" Hans penasaran.
"Ada kok, tadi waktu daftar ulang udah gue kasih," jawab Jack.
"Apaan nickname yang elu pakai?" tanya Hans lagi.
"Jack 'The Butterfly'," terang Jack.
"Haa, serius lo?" Hans takjub.
"Jack 'The Butterfly"? Aneh banget lu, Jack, kagak ada seram-seramnya tuh nama julukan! Ha-ha-ha..." Vincent tak bisa menahan tawa atas pilihan nickname kawan bertinjunya itu. Hans juga ikut tergelak.
Jack cuma tersenyum melihat bagaimana kedua temannya memberi reaksi atas nama julukan yang ia pakai pada namanya. Sesungguhnya keraguan itu mulai muncul lagi di hati Jack. Lawan-lawan tandingnya sungguh-sungguh membuatnya gamang. Chen yang pernah menyiksanya, Kenji si jawara Jepang, Hans yang teknik bertarungnya berada di atasnya, sementara itu Jack juga mulai merasa bahwa apa yang dikatakan Chen secara sinis tadi ada benarnya, ia berlatih di tempat yang keliru, ini bukan kejuaraan tinju, tapi ia justru berlatih di sasana tinju... Ya Allah, mampukah aku? gundah itu hadir lagi.
**
Pertandingan akan berlangsung esok hari. Sore itu, di sasana Oom Piet, Jack masih berlatih keras. Kali ini, Oom Piet, Oom Calvm, serta Vincent sekaligus yang membantu latihan Jack. Oom Piet terus mencecar kemampuan memukul Jack, Oom Calvin melatih kecepatan foot work atau gerakan kaki Jack, sedang Vincent dengan menggunakan sebuah punching
pad yang besar memberi Jack kesempatan untuk melatih tendangan-tendangannya. Tak ada petinju lain yang berlatih. Oom Piet sengaja menyuruh mereka pulang lebih awal untuk memberi perhatian lebih kepada anak tukang ojek ini. Di balik sikap kerasnya, Oom Piet menyimpan rasa iba dan simpati mendalam terhadap Jack.
"Ayo, jangan cuma jab dan straight, payah kau, Jack! Mana apel Hong Kong-nya?" kritik pelatih yang sudah berhasil mencetak lebih dari dua puluh juara tinju di berbagai kejuaraan tinju amatir maupun profesional itu. Jack paham yang dimaksud Oom Piet dengan apel Hong Kong adalah pukulan uppercut dan hook, dua jenis pukulan yang paling tidak ia kuasai.
"Maaf. Oom, yang dua itu memang saya belum biasa," kata Jack jujur.
"Ah, bukan cuma yang dua itu, kamu punya straight juga tak bagus! Masak setiap straight kau rendahkan kau punya badan? Kebiasaan di karate masih belum bisa kau tinggalkan! Itu kan pukulan... apa kau bilang waktu itu, Jack?" Oom Piet berusaha mengingat'ingat.
"Oyaku tzuki, Oom," jawab Jack.
"Nah itu, apa itu? Kau punya pukulan itu janganlah dipakai nanti, bisa kena low blow kamu, Jack!" Oom Piet lagi-lagi meyakinkan muridnya.
"iya, Oom, saya paham. Oom," tanggap Jack.
"Paham, paham, tapi kau ulang terus kesalahanmu!" Oom Piet memang terkenal tak pernah kompromi dengan kesalahan anak-anak didiknya.
"Iya, Oom, maaf, saya nggak akan ulangi," tak enak juga perasaan Jack.
"Ya sudah, sana kau latih tendanganmu dulu sama si Vincent!" kata mantan juara tinju ini lagi. Jack pun menuruti perintah sang pelatih.
Hampir pukul tujuh malam saat Jack tiba di ruang perawatan ayahnya. Lutfi atau Upi, adik Jack, sedang berdiri di luar. Tampaknya ia mencari udara segar karena kadang hawa di dalam ruang perawatan itu terasa ekstra panas. Kipas angin di dalam tak cukup membantu mendinginkan suhu udara.
"Bapak lagi apa, Pi?" Jack bertanya pada adiknya.
"Lagi makan, disuapin Lik Harti. Tadi parah Bapak, Bang," jelas Upi.
"Parah gimana maksud lu?" tanya sang kakak.
"Tadi Bapak sesak lagi, lebih parah dari biasanya, Bang," tanggap sang adik.
"Untung tadi pas ada dokter yang lagi keliling. Bapak baru lega lagi setelah si dokter minta Bapak di-uap tadi," jawab sang adik.
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh ya, alhamdulillah. Eh Pi, elu nginap kan?" tanya Jack.
"Iya, Bang, gua nginap, tadinya Ibu juga mau nginap, tapi gua minta tinggal aja, soalnya tadi Ibu masuk angin atau apa gitu, minta dikerokin tadi sama Bi Mpik," jelas Upi.
"Oh gitu, ya udah, syukur kalu lu nginap, soalnya besok gua mau ada kegiatan di Bekasi," kata Jack pelan.
"Iya gue tahu, Bang, elu ikut THD kan?" jawaban Upi mengejutkan Jack.
"Kok elu tau, Pi?" selidik Jack.
"Ya taulah, Bang, pan tempo hari gue yang nerima telepon Fery di rumah sebelum dia nelpon ke HP elu, Bang, ya dia sempat ceritalah kenapa dia nyari elo, Bang," papar Upi.
Untung aja yang nerima telepon itu gua, kalo Ibu nyang terima bisa kagak dikasih lu, Bang! Gua dengar itu kan olahraga bahaya, Bang?"
"Bahaya sih nggak kali, cuma ini memang olahraga profesional," jelas sang kakak.
"Elu jangan bilang Ibu, apalagi Bapak ya, Pi! Ini gua lakukan supaya kalo insya Allah bisa juara, hadiahnya gede, Pi! Bisa buat berobat Bapak!"
"Iya, gua paham, Bang, asal elu hati-hati aja, Bang. Gua dengar dari Fery yang ikut jago jago semua," kata Upi mengingatkan.
"Iya, insya Allah, elu doain gua aja, Pi," pinta Jack.
Tiba-tiba, nada dering ponsel Jack terdengar. Yang terbaca adalah panggilan dari nomor Mbak Ana, demikian Jack memanggil guru SMP tempat ia melatih karate. Suara lembut dan ramah itu terdengar.
"Assalamu'alaikum."
"Alaikum salam."
"Dengan Jack?"
"Oh, iya Mbak Ana, ada apa?"
"Latihan tambahan untuk persiapan gasuzu besok di-cancel, ya?" tanya sang guru cantik yang Jack rasa sangat memperhatikan dirinya itu.
"Iya, Bu, eh, Mbak, SMS saya kemarin sampai kan, Mbak?" tanya Jack.
"Iya, sampai, alhamdulillah. Kalau boleh tahu, kenapa dibatalkan ya, Jack? Jack ada acara?" tanya guru muda yang kalau tersenyum memerlihatkan gingsul gigi yang menambah manis paras wajahnya itu.
"Saya ada pertandingan, Mbak Ana," jawab Jack.
"Oh ya, karate?" tanya Ana.
"Bukan, ini semacam pertandingan berbagai beladiri, Mbak..." Jack yang tadinya ragu akhirnya menerangkan secara gamblang tentang keikutsertaannya di ajang Tarung Harga Diri kepada sang ibu guru. Toh, ia pikir Mbak Ana tak kenal keluarganya, maka tak mungkin informasi itu akan sampai pada bapak atau ibunya.
**
Tarung Harga Diri ternyata mengundang banyak perhatian kalangan peminat beladiri dari berbagai jenis dan aliran. Terbukti walaupun untuk masuk ke dalam stadion, para penonton harus mengeluarkan uang mulai Rp10.000,00 untuk tiket kelas 2 hingga Rp50.000,00 untuk bangku VIP yang terletak cukup dekat dengan kedua ring yang dipasang untuk pertandingan-pertandingan Zona 1 dan Zona 2 itu. Jumlah penonton yang datang pada kejuaraan yang dimulai pukul sembilan itu cukup banyak. Sebagian besar kursi penonton telah terisi.
Pembukaan kejuaraan secara resmi oleh Wakil Gubernur Jawa Barat telah dilakukan beberapa menit lalu. Kini para petarung telah bersiap. Masing-masing bersama dengan dua orang corner men, yakni coach atau pelatih dan cut man atau asisten pelatih yang terutama bertugas mengurus luka yang dialami petarungnya. Mereka tinggal menunggu nama mereka disebut MC untuk masuk ring di mana seorang wasit telah menunggu. Para petarung dan pendamping mereka menunggu di kursi-kursi yang telah disediakan dalam posisi terdepan dan disusun mengelilingi arena bertarung. Anggota tim petarung yang bukan coach atau cut man, termasuk Vincent, terpaksa duduk di lantai karena tak kebagian kursi.
Pertarungan babak penyisihan yang berlangsung dalam tiga ronde dengan sistem gugur itu pun dimulai. Pukulan pukulan dan aneka tendangan pun telah terlontar. Ya, hanya pukulan dan tendangan yang dibolehkan dalam Tarung Harga Diri. Ajang ini memang lebih mirip kejuaraan kick boxing ketimbang Thai boxing yang membolehkan serangan dengan sikut dan lutut. Penonton bersorak-sorai memberi dukungan terhadap para jawara favorit mereka. Yang menang memperlihatkan wajah senang, yang kalah tertunduk pasrah, meski ada juga yang teriak protes karena tak puas dengan keputusan wasit atau juri.
Saat namanya dipanggil, Jack pun menuju ring Zona 1 bersama Oom Piet yang bertindak sebagai coach dan Oom Calvin sebagai cut man. Begitu naik ring, banyak gadis-gadis yang ikut menonton berteriak-teriak menggoda Jack. Rupanya mereka terpesona oleh ketampanannya. Jack sesungguhnya risih juga saat ia harus membuka jubah bertuliskan Piet's Gym pinjaman dari Vincent dan bertelanjang dada. Jack tak terbiasa buka-buka aurat, apalagi di depan umum. Tapi, ini konsekuenSi seorang petarung. Maka, ia tepis segala keraguan yang mulai datang merambati hatinya. Tujuannya cuma satu, cari uang untuk membawa Bapak agar bisa mencari alternatif pengobatan lain. Sepatu khusus pertandingan sudah Jack pakai sejak sebelum naik ring. Oom Calvin membantunya memakai sarung tinju berupa sarung tangan khusus pertarungan mixed martial art dan memasangkan gum shield, pelindung gigi dan gusinya. Oom Piet mencecarnya dengan instruksi-instruksinya terutama tentang pentingnya Jack melancarkan variasi pukulan dan menghindari menyerang dengan cara yang monoton. Lawan Jack yang pertama adalah
Nanang "The Nightmare" Sukarman. Buat Jack, Nanang sama Sekali bukanlah "nightmare" atau mimpi buruk. Pola pukul hindar yang Jack terapkan terbukti efektif meredam serangan-serangan Nanang. Jual beli pukulan yang seru hanya terjadi di ronde pertama. Dua ronde selanjutnya, lebih banyak pukulan Jack yang mendarat telak di wajah dan tubuh Nanang. Wasit mengangkat tangan Jack setelah Jack dinyatakan menang angka mutlak oleh dewan juri.
"Jack! Jack! Sempay Jack!" teriakan seorang perempuan di sektor kanan. Jack menoleh ke sana. Seorang perempuan berjilbab dan berkacamata di salah satu deretan bangku penonton kelas 1 melambai-lambaikan tangannya. Nurjanah atau Ana, guru SMP itu tersenyum manis kepada Jack. Jack membalas lambaian dan senyuman itu. Masya Allah, Mbak Ana datang? Jack sudah terbiasa dengan perhatian yang diberikan oleh gadis-gadis yang kagum pada kegantengannya. Namun, diberikan perhatian lebih oleh seorang guru berbusana muslimah memberikan kesan tersendiri kepada Jack. Ada sesuatu yang mulai berdegup dan berdesir di dada anak muda penyandang sabuk hitam ini, walau dalam hatinya masih melekat erat nama seorang gadis, Maria Regina Pingkan Bramastyo.
Agak gamang juga perasaan Jack, Oom Piet, Oom Calvin, dan Vincent melihat bagaimana petarung-petarung lainnya, terutama mereka yang memang diunggulkan.
"Soldier" Hans mencocor wajah lawannya, Dicky "The Iron Hand" Damhuri dan meng-KO nya di ronde ke-3 dengan pukulan-pukulannya yang cepat, kuat dan akurat. Sementara itu,
"Dragon" Chen
mencengangkan para penonton karena hanya memerlukan waktu 14 detik untuk membuat lawannya, Farid "The Truth" Abdullah mencium kanvas dan pingsan. Sebelumnya, Chen membiarkan Farid untuk menyerangnya. Chen hanya menghindar sambil sesekali memapaki serangan-serangan Farid. Farid tambah panas karena tak satu pun serangannya mencapai sasaran yang ia inginkan. Farid lalu merangsek mengirim sebuah tendangan lurus. Chen bergerak maju sambil berkelit ke kiri menghindari tendangan Farid yang dikirim sepenuh tenaga, lalu kepalan kirinya mengayun dan menghajar rahang Farid. Farid sempoyongan. Sebuah hajaran Chen sekuat tenaga yang pertama membuat Farid tak bisa bangun di hitungan ke-lO sang wasit. Sebelumnya, petarung asal Jepang, Kenji "The Blade" Nakamura juga memperlihatkan teknik bertarung di atas rata-rata saat ia mempecundangi Rasus "The Ripper" Widianto. Pelatih Rasus melempar handuk putih tanda menyerah saat ia tak tega melihat Rasus dengan wajah yang sudah berlumur darah, hanya jadi bulan-bulanan kepalan dan tendangan Kenji di ronde ke-2. Tak pelak lagi, Hans, Chen, dan Kenji jadi tiga jawara yang sangat ditunggu-tunggu penampilannya oleh penonton. Sementara Jack hanya punya kemampuan bertarung yang sedang-sedang saja, selain ketampanan untuk memesona para gadis yang hadir. Secara umum, para unggulan lain dari masing-masing grup juga tak punya kesulitan untuk mengalahkan lawan-lawan mereka. Di grup tempat Jack berada, Cahyo "The Buldozer" Wibowo juga memberikan tontonan yang cukup memukau dengan gaya bertanding slugger-nya, maju terus sambil melontar kombinasi pukulan dan tendangan yang kuat. Gaya bertatungnya banyak
mengingatkan orang pada gaya bertinju Mike Tyson, si petinju berleher beton.
"Dari semuanya, Chen memang yang paling patut elu perhitungkan, Jack," demikian Vincent menyimpulkan. Jack hanya mengangguk pelan. Chen, yang baru saja ia ketahui ternyata memiliki tato ular naga yang merentang dari bagian perut bawah kiri hingga ke bagian dada kanan ini, mau tak mau memang telah menyebar teror tersendiri bagi mereka yang masih bertahan.
Lawan kedua Jack, Matsani "The Batavian Assassin", ternyata cukup merepotkan . Matsani banyak menggunakan teknik sapuan sebelum menghajar lawannya. Dua kali sapuan kaki Matsani di ronde ke-1 membuat Jack oleng dan menerima bogem keras di wajahnya. Pada saat jeda menjelang ronde ke-2, Oom Piet meminta Jack untuk memperbanyak serangan. Jack memenuhi permintaan sang pelatih dengan memasang kuda-kuda kaki depan yang ditekuk sekitar 90 derajat hingga tumpuan titik berat berada pada kaki belakang. Begitu Matsani melancarkan teknik sapuan andalannya, Jack tinggal mengangkat kaki depannya dan menghajarnya dengan tiga pukulan ke arah kepala, dada, dan perut. Matsani merunduk menahan sakit sebelum sebuah tendangan lurus menghunjam uluhatinya. Jagoan berdarah Betawr itu jatuh dan sempat mendapat hitungan wasit sebelum mengangkat tangan tanda ia masih mampu bertanding. Selanjutnya serangan-serangan Jack hanya mampu membawanya kembali menang angka mutlak sehingga kini Oom Piet malah marah-marah.
"Jack, apa kau cuma bisa pukulan-pukulan lurus? Buat apa kau habiskan waktu di gym aku, Jack? Monoton kau
punya gaya, Jack! Untung saja lawanmu tadi tak begitu bagus," tegur ayah Vincent ini.
"Iya, Oom, maaf," tak enak juga dimarahi Oom Pieter. Ingin sekali Jack berkata bahwa sering di arena pertandingan, semua yang telah kita rencanakan jadi buyar berantakan begitu saja. Namun, Jack urung berargumen dengan sang pelatih. Ia yakin seorang pelatih pasti punya sudut pandang lain yang tak diketahui anak asuhnya. Jack percaya bahwa sukses idolanya, Muhammad Ali, tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin pelatihnya yang kharismatis, Angelo Dundee.
Semakin siang menjelang sore saat pertandingan-pertandingan di babak penyisihan berlangsung semakin menarik. Pukulan dua tangan Kenji "The Blade" Nakamura menjungkalkan "Ferocious" Ferdy Manoppo. Tendangan-tendangan "Soldier" Hans membuat Doni "The Wolf" Thabrani tak bisa mengembangkan serangannya. Teror terbesar tentu saja datang dari "Dragon" Chen. Menjelang berakhirnya ronde ke-2, Tommy "The Hammer" Sianipar terkapar diterjang tendangan terbang Sang Naga.
Jack kembali mengusap peluh. Lawan yang dihadapinya adalah Cahyo "The Buldozer" Wibowo, sang "Mike Tyson", salah satu unggulan grup dari turnamen yang mensyaratkan bagi pesertanya untuk berusia 18 s.d. 45 tahun dan berberat badan antara 55 hingga 75 kilogram itu. Wajar jika ada rasa gentar di hati Jack. Ia yang bertinggi badan 165 dengan berat 58-an kilogram itu harus menghadapi lawannya yang lebih pendek darinya, namun tampak berberat badan maksimal dari yang dipersyaratkan panitia itu. Cahyo kelihatan pendek gempal, namun seluruh energinya tampak mengumpul pada tubuh tambunnya. Bobot pukulan dan tendangannya menjadi
lebih besar. Dua lawan sebelumnya dibuat mati kutu oleh kekuatan si Buldozer, satu terkapar KO di ronde tiga, satu lagi hanya bisa berlari-lari untuk memeluknya mencari aman agar tidak KO sampai detik terakhir. Wasit memberi aba-aba kepada Jack dan Cahyo untuk mulai bertarung. Cahyo maju mengejar Jack. Walau kerepotan, Jack berhasil menjalankan taktik berputar mengelilingi lawannya sambil melontar beberapa pukulan. Float like a butterfly ala Muhammad Ali dijalankan Jack dengan baik. Gaya bertarung Cahyo mengingatkan Jack pada Boni Gendut, salah satu dari kawanan penculik Pingkan pimpinan Chen. Pukulan dan tendangan Jack banyak yang masuk telak dan ini membuat Cahyo semakin murka. Buldozer itu terus menerjang Sang Kupu-Kupu. Pengejaran itu berbuah hasil menjelang akhir ronde ke-2. Saat Jack terpojok di ring, Cahyo bertubi-tubi menggedor wajahnya. Jack tak bisa berkelit. Ia mencoba meladeni Sang Buldozer dalam pertarungan jarak dekat karena ia tak punya kesempatan untuk berkelit ke kanan atau kiri seperti sebelum-sebelumnya. Apa boleh buat, Jack melakukan clineh, mendekap lawan yang jauh lebih berbobot tubuhnya itu untuk menghentikan akumulasi pukulan yang mendera kepalanya. Bel berdentang. Ronde ke-2 usai. Oom Piet berpesan agar Jack konsisten menjaga pola pukul lari yang berhasil dijalankannya di ronde pertama, namun juga sekaligus menambah akumulasi serangannya. Sementara Oom Calvin membersihkan luka dan menghentikan tetesan darah pada bagian atas alis mata kanan Jack dan memberikan salep khusus untuk luka. Bel kembali berdentang. Sang Buldozer semakin garang, sementara Sang Kupu-Kupu kini malah hampir serupa dengan lawan ke dua Cahyo yang hanya
bisa berlari dan menghindar. Sebagian penonton yang fokus menonton pertandingan di ring Zona 1 mulai meneriaki "huuu!" tanda ketidaksukaan mereka kepada Jack yang kini terlihat hanya cari aman dari terkaman Cahyo saja. Sebuah pukulan Cahyo baru saja menghajar pelipis kirinya. Ya Allah, berikan hamba kesempatan menyembuhkan Bapak! batinnya kembali melontar doa.
Ronde ke-3 hampir berakhir saat para penonton menyaksikan Jack mundur dengan cepat ke tali ring sementara Cahyo melangkah maju dengan yakin bahwa inilah saat yang tepat untuk menghabisi lawannya. Tak disangka-sangka, Jack menaiki ring pertarungan itu. Kedua kakinya bertumpu di atas tali ring, menoleh sekejap ke belakang dan...
CHIAAAT!!!
Sebuah tendangan kaki kanan memutar cepat di udara dan menggampar rahang kiri Cahyo! Sang Buldozer roboh berdebum. Ia mencoba mengangkat badan tambunnya, namun kembali terjatuh. Wasit memberi isyarat pertandingan selesai. Penonton yang kini fokus pada ring Zona 1 karena di ring Zona 2 pertandingan sudah berakhir beberapa menit lalu itu bersorak dan bertepuk tangan memuji penampilan Jack.
Babak penyisihan grup berakhir. Dari delapan unggulan masing-masing grup ada dua yang gagal masuk babak final, Cahyo "The Buldozer" Wibowo yang dikalahkan Jack dan Jefri "The Monster" Markus yang mengundurkan diri karena cedera dan harus menyerah dari lawannya yang dinyatakan menang WO darinya, Boy "The Beast" Wijaya. MC kejuaraan mengumumkan mereka yang masuk final besok adalah delapan
jawara dari delapan grup yang ada: Agus "The Predator", Jack "The Butterfly" Rahman, Boy "The Beast" Wijaya,
"Soldier" Hans Mulyawan, Stefanus "The Gladiator" Papilaya, Kenji "The Blade" Nakamura, Hendrik "The Real Deal" Siregar, dan "Dragon" Chen.
Jack bersyukur bisa masuk final. Namun, dalam hatinya berkecamuk rasa cemas bahwa kemenangannya atas Sang Buldozer tadi adalah kemenangan terakhirnya pada ajang Tarung Harga Diri ini mengingat kehebatan lawan-lawan yang harus ia hadapi keesokan harinya. Namun, di luar ajang beladiri ini, ada tiga sosok yang kini bergantian menggundahkan hari dan pikirannya: Bapak, yang tengah berjuang menghadapi penyakitnya; Pingkan, gadis yang telah ia sakiti hatinya; serta Mbak Ana, perempuan manis yang semakin besar perhatiannya kepadanya. Jack baru tersadar dari lamunan kegelisahannya saat Vincent menepuk bahunya dan mengajaknya pulang. Di luar stadion, Jack mengeluarkan ponsel untuk mengecek kalau kalau ada SMS penting tentang ayahnya. Yang ada hanya satu pesan singkat dari Mbak Ana:
Asslm, Jack, kamu hebat! tadinya sy mau ktm, tapi sy hrs plg cepat besok insy. sy datang lg ya. Wass wR. wB.
**
"Elo datang aja ke sana, Kan," saran Cherry kepada Pingkan. Sore itu. bersama Rena dan Prudence. mereka sedang makan
di sebuah restoran piza di daerah Tebet. Rena berulang tahun dan mengajak teman-temannya ke sana.
"Nggak ah, I already told him I couldn't come, Cher," tanggap Pingkan.
"Iya betul, tapi kan kata kamu Jack minta kamu datang, Pingkan?" Prudence mendukung saran Cherry.
"Atau biar si Jack aja yang datang ke Pingkan," tiba-tiba Rena menyela pembicaraan. Kontan ketiga temannya tertawa geli.
"Yee, nyamber aja, Bu! Gimana bisa si Jack yang datang, Ren? Kan si Jack lagi ikut kejuaraan!" kata Cherry sebelum melahap sepotong piza.
"Udah terlambat juga kali, Cher, he might have failed today." Belum tentu juga Jack masuk final besok," Pingkan menimpali.
"Please do come, Dear." Bagaimanapun Jack pernah berjasa besar buat elo, bukan? Ayolah... lagi pula, kalau dia bilang dia nggak punya perasaan yang sama seperti perasaan elo ke dia, ngapain juga dia secara khusus minta elo datang?" Prudence masih mencoba membujuk temannya yang cantik itu.
"Iya, kalau masalah dia masuk final atau nggak kan kita telepon aja ke stadion itu, masak nggak ada panitia yang standby, sih?" tambah Cherry.
"Ah udah deh, kita ngomongin something else aja kenapa sih? Lagi pula, ini kan lagi ngerayain ultahnya Rena? Kok
Nggak ah. aku sudah bilang tak bisa datang. Cher. Cher. dia mungkin kalah hari ini. Ayolah. datang saja. Sayang.
malah kita ngomongin Jack? Iya kan, Ren?" Pingkan meminta dukungan Rena.
"Iya betul, aku setuju kalau kamu datang ke acaranya Jack." Rena yang baru akan mengambil potongan piza ketiganya asal saja menjawab. Teman-temannya kembali tertawa lepas. Bagian reffrain lagu kolaborasi Eminem dan Rihanna ikut menyemarakkan kegembiraan perayaan ulang tahun Rena...
Just gonna stand there And watch me burn But that's alright Because I like The way it hurts [ust gonna stand there And hear me cry But that's alright Because I love The way you lie I love the way you lie ' love the way you lie...
**
Pertandingan final yang menyisakan delapan petarung baru akan dimulai pukul 11. Di kamar ganti stadion itu, Jack melirik arlojinya. Pukul 10.30. Ia baru saja menyelesaikan latihan ringan bersama ayah dan paman Vincent. Keduanya sudah masuk ke dalam stadion untuk memantau situasi dan, terutama, untuk memeroleh tambahan informasi tentang
kemampuan serta kesiapan lawan-lawan dari anak didik instan mereka, Jack "The Butterfly" Rahman.
Di atas sebuah bangku panjang di kamar ganti, Vincent tersenyum melihat Jack memperagakan gerakan-gerakan gemulai bak penari, yang Jack lakukan sambil menarik napas dan mengeluarkannya secara perlahan.
"Lu ngapain sih, Jack? Pake gaya gaya Wong Fei Hung segala?" tanggap Vincent geli.
"Ini salah satu yang diajarkan guru silat gue di pesantren dulu, Vin, namanya Ustad Ridwan," jawab Jack sambil terus bergerak, menarik dan mengeluarkan napas secara perlahan.
"Kata Ustad Ridwan, ini jurus pernapasan Baju Besi. Kegunaannya bisa mengurangi sakit-sakit yang ada di tubuh kita. Dan kata beliau sih, kalau kita melakukannya dengan benar dan sungguh-sungguh, badan kita bakal kebal pukulan atau gimana gitu," tambah Jack tanpa bermaksud untuk berkelakar.
"Maksudnya kayak kita lagi pakai baju besi kali, ya? Gile bener, kayak cerita-cerita silat Cina gitu, Jack," timpal Vincent.
"Weits, jangan salah, Sob, memang jurus ini asalnya dari Cina. Ustad gua itu kan pernah ikut semacam program pertukaran pelajar atau santri atau apa gitu, selama setahun ke Cina. Nah, ilmu pernapasan Besi ini didapat oleh Ustad Ridwan dari seorang guru kungfu di Shandong," tutur Jack dengan serius dan antusias.
"Emang elu udah ngerasain manfaat tuh jurus?" tanya Vincent.
"Ya, kalau yang ngurangin sakit sih iya, tadi pagi sebelum berangkat kan gua praktekkan jurus ini, alhamdulillah
sakit-sakit bekas kena pukulan sama tendangan kemarin udah berkurang banyak, Vin," jelas Jack.
"Tapi kalau yang bakalan kita jadi kebal pukulan sih gua nggak tahu, kata Ustad Ridwan pernapasan ini sebenarnya memang bukan buat pertarungan, tapi buat kesehatan aja. Kalau baju besi beneran, gue jadi Iron Man dong?" Kedua sahabat itu kompak tertawa riang.
Berbeda dengan babak penyisihan yang cuma tiga ronde, babak final Tarung Harga Diri atau THD menggunakan sistem the best of six rounds, pertandingan yang memakai sistem penentu kemenangan enam ronde maksimal. Hal ini juga yang baru saja diumumkan kembali oleh sang MC yang kali ini tidak cuma terdengar suaranya saja, melainkan juga muncul di atas ring. Entah hasil undian atau sengaja dirancang oleh panitia, jadwal pertandingan hari ini menghasilkan menu seperti dalam jadwal yang tercantum pada beberapa poster di luar maupun di dalam stadion:
1. Jack "The Butterfly" Rahman VS Stefanus "The Gladiator" Papilaya
2.
"Soldier" Hans Mulyawan VS Hendrik "The Real Deal" Siregar
3. Kenji "The Blade" Nakamura VS Agus "The Predator"
4.
"Dragon" Chen VS Boy "The Beast" Wijaya
SEMI FINAL
5. Pemenang Partai 1 VS Pemenang Partai 2 6. Pemenang Partai 3 VS Pemenang Partai 4
GRAND FINAL 7. Pemenang Partai 5 VS Pemenang Partai 6
Para penonton partai final ternyata lebih membludak ketimbang penonton partai penyisihan kemarin. Tiket pertandingan telah terjual 95% alias laris keras. Banyak di antara para penonton ternyata merupakan petarung-petarung berbagai jenis beladiri dalam lingkup amatir maupun profesional. Dua orang pemuda yang baru datang juga tampaknya termasuk petarung, jika dilihat dari cara mereka berjalan dengan gagahnya memasuki bagian dalam stadion tertutup yang memiliki daya tampung cukup besar itu. Penampilan mereka tampak sporty dengan celana training dan sepatu sport di bawah dan sweter bertudung di atas. Mereka tutupkan tudung itu ke kepala mereka yang sebenarnya sudah memakai topi. Sunglasses menambah kesan cool salah satu dari kedua pemuda yang berkumis dan benanggut tipis ini. Satunya lagi, yang tak berkacamata tampak asyik mengunyah permen karet. Keduanya memilih tiket kelas dua alias duduk di tribun atas stadion karena tak kebagian tiket VlP atau kelas satu.
**
Kini hanya tersedia satu ring di tengah-tengah stadion tempat kedelapan finalis mengadu keberuntungannya. MC mulai memanggil nama dua peserta untuk partai pertama: Jack "The Butterfly" Rahman dan Stefanus "The Gladiator-"
Papilaya. Sorak sorai penonton pun mulai bergemuruh. Sebagian mendukung Stefanus, sebagian lain, terutama para gadis, mengelu-elukan Jack. Sewaktu berjalan ke atas ring, Oom Calvin memberi informasi berharga kepada Jack:
"Jack, Stefanus petarung yang hebat, tapi tadi aku dapat keterangan usianya sudah 45 tahun, kau manfaatkan itu,Jack!"
"Ah, Bernard Hopkins sama Roy Jones yang lebih tua dari itu masih hebat, Oom," tanggap Jack.
"Ya, tapi nggak semua petarung macam si Hopkins atau Jones, kan?"
"OK, Oom, semoga staminanya bisa saya kuras," janji Jack kepada sang asisten pelatih. Ia juga selalu ingat sang idolanya,
"The Champ" Muhammad Ali yang di usia senjanya tak berdaya dipecundangi oleh Larry Holmes, mantan mitra latihnya yang lebih muda usianya itu.
Kedua petarung sudah berada di atas ring. Sorak sorai makin ramai. Jack menoleh ke tempat di mana Ana duduk kemarin. Perempuan itu ada di sana, melambaikan tangan dan melempar senyuman manisnya. Jack membalas senyum itu. Beberapa gadis yang berada dekat Ana berteriak girang, menyangka senyuman Jack itu ditujukan untuk mereka.
Pertarungan antara Jack dengan Stefanus Papilaya berjalan cukup berimbang. Di balik usianya yang tergolong senja untuk jenis olahraga keras ini, petinju asal bagian timur Indonesia ini masih punya daya dobrak yang cukup kuat. Beberapa kali pukulan Sang Gladiator menghunjam keras di wajah Jack, bahkan sempat mengoyak kembali luka di atas alis mata kanan Jack. Sampai awal ronde ke-4, akselerasi pukulan dan tendangan Stefanus masih terbilang stabil. Namun, menjelang akhir ronde itu juga Jack membaca kelelahan Sang Gladiator.
Maka, Sang Kupu-Kupu pun mengubah taktik pukul larinya menjadi ajang pertarungan jarak dekat. Sebuah pukulan lurus ke arah dagu dengan menggunakan bagian bawah telapak tangan kanan Jack yang mengepal membuat wajah Stefanus terangkat ke atas. Konsentrasinya mulai buyar. Dan, saat Jack melontar pukulan dari arah luar dengan pisau tangan yang menghantam pelipis kiri lawannya, Sang Gladiator makin terhuyung. Selanjutnya akumulasi pukulan hook dan straight hasil binaan Oom Piet serta tendangan-tendangan Jack ke arah kepala dan rusuk membuat Stefanus tak berdaya di sudut ring. Wasit pun mengambil tindakan tepat dengan menghentikan pertandingan dengan kemenangan TKO untuk Jack.
**
Jual beli pukulan dan tendangan terjadi sangat sengit pada pertandingan kedua antara Hans dengan Hendrik Siregar. Kedua petarung mengambil semua kesempatan untuk melumpuhkan lawannya. Hanya saja pertarungan kemudian menjadi tidak imbang karena Hans, sang kawan sekaligus rival karate Jack, memukul dan menendang dengan efektif, efisien dan akurat, sementara Hendrik banyak menguras tenaganya sendiri karena serangan-serangannya banyak yang tak mengena sasaran karena sudah terbaca oleh Hans. Sebuah tendangan menyodok ke belakang sambil melompat dan memutar badan dipakai petarung berambut cepak sesuai nama julukannya, yakni Sang Tentara ini, langsung menyudahi perlawanan Hendrik "The Real Deal" Siregar. Hendrik tak sanggup bangkit hingga hitungan ke-lO wasit di pertengahan ronde ke-3. Jack tertegun. Kemampuan Hans jauh lebih hebat dan berbahaya dibanding yang Jack tahu selama ini. Seperti Kenji dan Chen, ada bunyi desing tiap kali tangan mengepal Hans yang dibalut sarung tangan
khusus pertarungan itu mengenai sasarannya. Bunyi desing itu pertanda pukulan seorang petarung mendarat dengan cepat dan keras. Kekhawatiran itu kini tumbuh kian subur di dada Jack karena dialah yang akan bertemu dengan Hans di babak semi final, dan kini Jack sadar kemampuan dan kecepatan Hans sudah berada jauh di atasnya.
Julukan "The Predator" yang ditapalkan untuk Agus, petarung di pertandingan ketiga, seolah jadi tempelan belaka saat menghadapi Si Pisau dari Jepang, Kenji Nakamura. Peran predator atau pemangsa di pertandingan itu justru dimainkan Kenji. Dikejarnya Agus yang cuma mengandalkan sekali pukulan atau tendangan lalu melakukan clineh atau mendekap lawannya untuk mematikan serangannya. Namun, Agus ternyata termasuk petarung yang tahan pukul. Dukungan seluruh penonton yang meneriakkan yel yel "Indonesia!" juga menyemangati Agus untuk bertahan. Tapi, di ronde ke:-5, Kenji melontar tiga tendangan keras dan beruntun ke dada, rusuk, dan terakhir kepala Agus dan membuat Sang Predator terkapar pingsan. Para penonton terpukau dan bertepuk tangan dengan sportif menyaksikan kehebatan Kenji.
Pertandingan keempat bagaikan antiklimaks bagi Boy "The Beast" Wijaya. Kekejaman yang diperlihatkannya di babak penyisihan kemarin, sirna saat ia harus berhadapan dengan "Dragon" Chen. Ia telah kehilangan nyali setelah menyaksikan pertandingan pertandingan Chen kemarin. Maka, menjelang akhir ronde ke-2, sang wasit dengan susah payah menghentikan serangan-serangan ganas Sang Naga dan mengakhiri pertandingan sebelum ada korban serius dalam kejuaraan stand up mixed martial art ini.
Pada masa jeda yang cukup lama sebelum babak semi final, para petarung dipersilakan kembali ke kamar ganti masing-masing. Sementara itu, para penonton disuguhi pertunjukan-pertunjukan dari sebuah kelompok modern dance yang seksi di atas ring dan penampilan satu grup band yang sedang naik daun, menyanyikan lagu-lagu hits mereka di atas sebuah panggung kecil di salah satu sudut stadion. Sebagian penonton keluar stadion untuk membeli minuman dan kudapan atau bahkan makan siang.
Tak diduga-duga, Jack mendapat kunjungan Hans di kamar ganti. Setelah menyalami Oom Piet, Oom Calvin, serta Vincent, si petarung ini langsung berbincang akrab dengan Jack.
"Kita ketemu nih di semi final, Jack?"
"Ha-ha-ha, iya nih, udah elu mundur aja, Hans, biar gua langsung ketemu Kenji di final," canda Jack.
"Gua rasa sih 'Dragon' Chen yang bakalan menang, Jack. Imbang sih kemampuan mereka, cuma gua lihat Chen ini lengkap segala-galanya. Serangan. pertahanan, tendangan terbangnya itu benar-benar kelas dunia!" puji Hans. Dalam hatinya, Jack membenarkan apa yang baru saja disampaikan temannya. Sesungguhnya, ia berharap Kenji mendapat keberuntungan untuk menang melawan Chen karena ia tahu bahwa hampir mustahil ia mengalahkan jagoan dengan tubuh berhias tato naga itu.
Babak semi final pertama dimulai. Dua sahabat saling berhadapan. Wasit baru saja meminta mereka melakukan touch gloues. Bel ronde ke-1 berdentang.
"Soldier" Hans
Mulyawan mengambil inisiatif serangan dengan melakukan pukulan-pukulan pancingan, suatu ciri khas gaya bertempur Sang Tentara yang sudah dikenal Jack. Maka, Sang Kupu-Kupu pun tak segera menanggapi provokasi lawannya. Tiba-tiba, serangan beruntun Hans datang. Dua pukulan dan satu tendangan. Dua serangan pertama berhasil Jack elakkan, namun tendangan Hans bebas mengayun dan menggedor kepala Jack. Satu tendangan Hans berikut menghantam rusuk kiri Jack disusul pukulan lurus mencocor wajah "The Butterfly". Jack terhenyak. Darah mengalir dari salah satu lubang hidungnya. Jack kini kerepotan menangkis, memapaki, atau menghindari akumulasi serangan Hans yang cepat dan bertenaga. Usaha Jack menyerang balik Hans dengan pukulan-pukulan hook dan uppercut yang cukup efektif mengataSi Stefanus Papilaya tadi, kini nyaris tak berdampak apa-apa bagi Hans yang lincah menangkis dan langsung membalasnya. Ronde ke-l jelas milik Hans. Oom Calvin kini mulai kerepotan menangani luka di wajah Jack, satu di atas mata kanan, satu di hidungnya. Ronde dua dan tiga tak jauh berbeda. Jack yang sudah lama tak mengikuti pemusatan latihan makin kewalahan menghadapi Hans. Tanda-tanda kekalahan semakin terbaca. Para penonton meneriakkan sorak "Soldier Hans! Soldier Hans!" untuk mendukung kemenangan Sang Tentara.
Menjelang ronde ke-4, Jack sudah pasrah. Sejenak ia memandangi wajah Oom Piet, pelatih sekaligus ayah temannya itu.
"Oom. kayaknya saya nggak bakal bisa bantu bapak saya " kata Jack pelan. Sang pelatih tak menanggapinya. Orang tua ini juga sadar peluang petarungnya semakin kecil.
Bel ronde ke-4 berdentang. Sebuah tendangan lurus Jack masuk ke dada Hans, namun Hans seperti tak merasakannya. Ia bahkan memutar tubuhnya seraya melesakkan tendangan balasan yang menghantam perut Jack. Jack mengerang. Vincent berteriak tertahan. Satu tendangan lagi bakal mengakhiri perlawanan sahabatnya. Dugaan Vincent benar. Satu tendangan kaki kanan Hans memutar mengincar kepala Jack. Vincent menghela napas. Di kursi penonton, Ana juga menjerit ngeri. Tapi, ternyata Jack belum habis! Pisau tangan kanannya ia hentakkan dan beradu keras dengan mata kaki Hans. Tak ada satu pun di antara mereka yang hadir di stadion yang riuh rendah oleh sorak sorai penonton itu yang menduga bahwa Hans, yang didukung mayoritas penonton, tiba-tiba jatuh bergulingan sambil mengerang kesakitan. Jack tertegun. Ia ingat bahwa Hans memang baru pulih dari cederanya. Rupanya cedera itu kambuh lagi di saat ia tinggal setapak lagi melaju ke babak grand final. Wasit memanggil dokter pertandingan. Beberapa menit kemudian, MC mengumumkan bahwa Hans tak bisa melanjutkan pertandingan. Jack "The Butterfly" Rahman jadi Finalis utama.
Kekecewaan penonton terhadap hasil pertandingan antara Jack dan Hans segera terlupakan dengan hadirnya semi final kedua. Yel-yel "Indonesia!" dan bahkan lagu "Garuda di Dadaku" berkumandang bak suasana pertandingan sepak bola. Berhadapan "Dragon" Chen dan petarung tangguh asal negeri Sakura, Kenji "The Blade" Nakamura. Baku pukul dan baku tendang yang berimbang di antara keduanya menambah keriuhan stadion berasitektur modern itu. Perolehan angka di antara keduanya pun hanya beda tipis keunggulannya. Ajang semi final yang diliput sebuah stasiun TV lokal
itu menyuguhkan pertandingan yang betul-betul bermutu. Pukulan-pukulan pisau tangan Kenji beberapa kali membuat Chen luput memapakinya. Sebaliknya tendangan-tendangan Sang Naga yang dilakukan sambil terbang juga tak mudah dihindari petarung berjuluk Si Pisau asal Jepang ini. Tak mudah untuk menebak siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Di ronde ke-5, Kenji yang merasa yakin bahwa stamina Chen sudah mulai turun maju merangsek memaksakan pertarungan pound for pound, jual beli pukulan dalam jarak rapat. Di sinilah letak kesalahan Kenji. Kombinasi pukulan Chen ke tubuh Kenji mengacaukan pola serangan petarung berwajah dingin ini. Dan, sebuah hantaman keras di rahang Kenji membuatnya terpaksa melakukan clineh, memeluk rapat Chen untuk mencegah serangan-serangan Sang Naga. Wasit belum merasa perlu memisah kedua petarung saat Chen, tanpa diduga lawannya, menyepak keras kaki Kenji untuk menciptakan jarak yang cukup. Dan tiba-tiba, kaki kanan melesat lengkung seiring tubuhnya yang merunduk cepat dan...
DHAGG!!!
Telapak kaki kanan Chen memapar kepala Kenji. Petarung Jepang ini tak menyangka lawannya dapat meliukkan tubuh bak penari balet dan sekaligus mengirim sebuah serangan dahsyat. Ia oleng, namun untungnya terselamatkan bel penutup ronde ke-5. Para penonton makin mengelu-elukan jagoan mereka. Vincent yang duduk di sebelah Jack, yang tetap menyaksikan pertarungan yang menentukan calon lawannya di grand Hnal itu, hanya mampu berujar pelan, mengomentari kehebatan Chen.
"Gila! Tendangan apa itu, jack?" katanya. Jack tak menjawab. Makin pusing ia memikirkan kemungkinan bertemu Chen di babak paling utama.
"Itu scorpio" kick, tendangan kalajengking," kata pemuda dengan sweter bertudung yang masih mengunyah permen karet itu kepada kawan di sebelahnya. Teriakan "Dragon Chen! Dragon Chen! Dragon Chen!" terdengar semakin membahana. Mereka berharap Sang Naga bisa menghabisi lawannya di ronde terakhir. Dan, harapan itu jadi kenyataan pada detik ke-15 ronde ke-6 saat Chen terbang dan melempar sekaligus tiga tendangan ke tubuh Kenji. Serangan itu mebuat Kenji harus pulang ke negara asalnya tanpa menyandang gelar juara. Penonton berdiri memberikan aplus atas kemenangan Chen.
Di kamar gantinya,
"Dragon" Chen yang ditemani para anak buahnya kedatangan tamu istimewa. Sang bos besar penyandang dana ajang Tarung Harga Diri, yang juga telah memberikan uang jaminan atas kebebasan dirinya dan empat orang sahabat kentalnya, Slamet, Fathan, Dika, dan Boni. Chen langsung bangkit dari duduknya dan mencium tangan Sang Bos. Pria berusia 50 tahunan berkepala botak dan berperut buncit ini tertawa.
"Ha-ha-ha, macam anak-anak yatim yang kuberi derma saja kau selalu mencium tanganku ha-ha-ha..." Dua orang ajudan di belakangnya ikut tertawa.
"Bagaimana pertarungan saya, Bos?" tanya Chen.
"Bagus, bagus... kamu memang layak jadi juara, Chen ha-ha-ha..." Si Bos Besar lalu mengisap cerutu Kuba di tangan
kanannya.
"Ya, kau pasti juaralah, Chen, lawanmu di final nanti, Si Kupu-Kupu itu tak ada apa-apanya dia!"
"Iya, Bos, saya akan habisi dia dalam tiga detik saja!" sesumbar Chen.
"Ha-ha-ha, justru jangan, Chen, THD bukan cuma ajang olahraga, ini juga show biz, Chen, entertainment! Ha-ha-ha..." si Bos mulai menerangkan maksud kedatangannya ke tempat Chen dan kawan-kawannya mempersiapkan diri untuk babak final terakhir dari ajang yang rencananya bakal ditutup oleh Ketua Umum KONI ini.
"Kau kasihlah barang dua ronde untuk sandiwara, bikinlah seolah-olah agak seru, biar penonton terhibur. Nanti di ronde ke-3 baru kau siksa dia! Ha-ha-ha... kau paham itu, Chen?"
"Siap, Bos, dua ronde saya tak akan lumpuhkan dia, tapi ronde tiga, akan saya bikin dia jadi dendeng!" janji Chen pada Sang Bos Besar. Setelah menanyakan beberapa hal, di antaranya kesiapan Chen jika kelak ia dikirim ke kejuaraan serupa THD di Amerika, orang kaya itu pun pergi kembali ke dalam stadion. Chen mengantarnya ke pintu keluar kamar gantinya.
"Hadirin para penonton dan pemirsa, tibalah kita pada puncak kejuaraan Tarung Harga Diri. Inilah Grand Final THD!!!" Pengumuman dari sang MC membuat stadion kembali bergemuruh. Teriakan "Dragon Chen! Dragon Chen! Dragon Chen!" mendominasi gegap gempita penonton. Saat MC mengantar kedatangan Jack ke atas ring, sambutan penonton datar-datar saja. bahkan dari beberapa bagian
stadion terlontar cemooh "Huuuu!!!", tak suka Jack yang jadi finalis. Mereka menganggap Jack cuma beruntung bisa tampil di partai puncak. Kontras sekali saat rombongan Chen datang. Yel-yel dukungan mengiringi tiap langkah Sang Naga. Apalagi Chen masuk ring dengan lompatan salto ala petinju Inggris "Prince" Naseem Hamed.
Jack bersiap. Ia telah diberi tahu oleh Oom Piet untuk mengambil inisiatif serangan dengan cepat. Maka, begitu bel ronde pertama dibunyikan, Jack nekat merangsek mengirim tiga pukulan dan satu tendangan. Pukulan-pukulan itu tak kena sasaran padahal, seperti pada pertarungan sebelumnya, Chen berkelit hanya dengan menggeser-geser posisi tubuhnya dengan ringan. Tendangan Jack juga melenceng dan pisau kaki Chen malah menghajar pahanya. Jack meringis sakit.
"Ah, kau kepedean sih ikut kejuaraan ini! Kau kan masuk final cuma karena kebetulan! Ayo, cuma sebegitu saja kemampuanmu, anak tukang ojek?" ejek Chen sinis. Jack tak bisa menjawab apa-apa. Ia bingung harus berbuat apa.
Serangan-serangan Jack berikutnya menyertakan pukulan pukulan tinju hasil didikan Oom Piet. Sebuah jab kanannya sempat mengenai wajah Chen. Tapi, Chen membalasnya dengan satu pukulan telak yang tak seberapa keras. Begitu terus keadaannya sepanjang ronde hingga ronde 2. Jack juga agak merasa heran, mengapa Chen tampaknya tak segarang seperti waktu menyiksa dirinya di dalam gudang tempo hari. Di ronde tiga, Chen mulai memerlihatkan taringnya. Sebuah hantaman mengoyak lagi luka di atas mata kanan Jack. Darah segar kembali mengaliri wajah tampan Sang Kupu-Kupu. Ia segera sadar bahwa ronde ke:-3 akan jadi ancaman yang paling serius untuknya. Maka, ia mengubah
taktik. Kini Jack berlari-lari lagi untuk menghindari serangan Sang Naga yang memang punya dendam kesumat terhadap dirinya. Ia lalu ingat taktik yang pernah dipakainya saat melawan Cahyo "The Buldozet" kemarin. Maka, saat Chen maju menyerangnya kembali, Jack berlari dan memanjat ring lalu melompat memutar balik untuk mengirim tendangan keras. Tapi, Chen bukanlah Cahyo. Tendangan Jack dibalas dengan tendangan keras Chen yang juga dilakukan sambil melompat. HaSilnya, tubuh Jack yang tergodam keras oleh tenaga besar tendangan Chen, kini melayang melewati tali ring yang paling atas, lalu jatuh ke lantai dekat meja juri. Oom Piet, Oom Calvin, serta Vincent berniat menolong Jack, namun panitia melarang mereka sambil mengatakan bahwa dalam technical meeting sudah dijelaskan tentang kemungkinan seorang petarung terlempar ke luar ring. Aturan yang dipakai menyatakan bahwa pertarungan tetap dilanjutkan sepanjang si petarung masih kuat untuk meneruskannya.
Maka, sang wasitlah yang harus turun ke bawah dan memberikan hitungan kepada Jack yang masih menyeringai, menahan sakit luar biasa pada bagian punggungnya. Walau lantai stadion megah itu berlapis kayu, tetap saja jatuh dari ketinggian itu jadi siksaan yang sangat berat untuk Jack. Di hitungan kedelapan, Sang Kupu-Kupu bangkit dan kemudian kembali naik ke atas ring. Sungguh di luar dugaan para penonton bahwa setelah Chen menghujani Jack dengan pukulan dan tendangan-tendangan kerasnya, petarung muda ini masih bisa bertahan dan kini telah masuk pada ronde ke-4, di mana ia kini hanya kelihatan Sibuk berlari, menangkis atau memapaki serangan Sang Naga tanpa bisa memberikan serangan balasan yang berarti. Padahal sudah
segala teknik untuk balas menyerang, terutama dari karate, Sllat dan tinju, praktis semuanya telah Jack coba. Namun, hasilnya nihil. Bahkan, luka di atas alis mata kanannya kini semakin menganga. Dan, darah segar mengalir bukan hanya dari sana, melainkan juga dari hidung dan dari bibir bawahnya yang pecah kena pukulan keras berdesing dari lawannya yang maniak segala jenis beladiri itu. Vincent makin cemas memikirkan nasib temannya. Ana di bangku penonton sudah meneteskan air matanya, tak tega melihat pemuda tampan yang kerap membuat jantungnya berdegup lebih kencang itu disiksa oleh Chen. Wajah dua pemuda berkumis dan janggut tipis dan memakai sweter bertudung di sektor lain juga tampak tegang menyaksikan pertarungan yang berjalan amat tak imbang itu. Menjelang akhir ronde ke-4 bahkan Jack hanya menghindar dan menghindar dari serangan-serangan Chen, tanpa bisa membalasnya sedikit pun. Dan, sebuah tendangan yang menghajar rusuknya kembali membuat Jack jatuh dan dihitung. Jack nyaris dinyatakan kalah KO jika tak bangun pada hitungan ke-9 dari sang wasit yang memimpin pertandingan.
Ronde ke-5 dilakoni Jack dengan gamang. Aku tak bakal menang! di hatinya saja pesimisme itu mulai merajalela. Jack dipukul, ditendang, disepak jatuh, lalu dihajar lagi berulang-ulang oleh Chen. Riuh rendah penonton berteriak "ABlSlN! ABlSlN! ABlSlNl", meminta Sang Naga yang ganas itu untuk segera mengakhiri perlawanan Sang Kupu-Kupu. Mata kanan Jack kini makin membengkak seperti yang terjadi pada bibirnya. Daerah seputar mata kirinya pun memar. Tak puas dengan serangan-serangannya kepada Jack, Chen terbang melontar dua tendangan berturut-turut
ke dada Jack membuat pemuda berdarah Jawa dan Betawi ini jatuh dan kembali mendapat hitungan. Tapi lagi-lagi Jack bangkit. Melihat kuatnya tekad Jack untuk bertahan, para penonton mulai bersimpati padanya. Kini kedua petarung sama-sama mendapatkan dukungan dan simpati penonton. Sebuah pukulan keras Chen bahkan sampai membuat gum shield di mulut Jack terlontar keluar. Dan Jack merasa ada sesuatu yang asin di dalam mulutnya. Saat ia meludah, cipratan merah ternyata yang keluar. Darah segar dari mulut Jack. Dokter pertandingan sempat dipanggil dan memeriksa kondisi Jack. Sederet gigi bawah Jack goyah. Jack mulai khawatir sang dokter perempuan itu akan melarangnya meneruskan pertarungannya. Beruntung sang dokter ternyata malah mengizinkannya untuk terus. Bel penutup ronde pun kembali berdentang dan Sang Kupu Kupu masih bertahan untuk masuk ke ronde yang terakhir. Jika pertandingan hanya dihitung sampai ronde ke-5, sudah barang tentu Chen yang akan dinyatakan menang angka mutlak. Sangat mutlak.
Oom Calvin masih menangani luka-luka di wajah Jack saat Oom Piet tiba-tiba memberikan sebuah saran...
"Jack, bagaimana kalau kamu mundur saja?"
"Nggak bisa, Oom, saya ingin Bapak sembuh," tolak Jack.
"Ini bisa membahayakan kamu, Jack," Oom Piet mengingatkan.
"Nggak, jangan, Oom. Insya Allah saya kuat, Oom," Jack bersikeras.
Tiba-tiba Vincent ikut naik ke Sisi ring. Tangan kanannya memegang ponsel Jack yang sebelum pertandingan dititipkan kepadanya di dalam tasnya.
"Jack, ada dua belas miss call di HP elu, sori gua nggak dengar tadi, soalnya bising banget suara penonton! Tapi sori banget Jack, gua rasa elu harus mundur. Sori banget, Jack, coba elu baca aja sendiri." Vincent menyerahkan telepon genggam Jack. Jack mengulang baca pesan yang ternyata berasal dari Luth atau Upi adiknya itu tiga kali...
Bang Kiki.. Bapak tadi kritis, dokter udah berusaha, kita udah nggak punya Bapak.skrg ditunggu di rumah sakit Bang...
Jack tertegun. Ya Allah ya Rabb, Kau telah panggil Bapak sebelum aku sempat membahagiakannya? Wajah Jack kini bukan cuma dialiri darah yang keluar dari bagian-bagian wajahnya yang luka saja, melainkan juga air mata kepedihan ditinggal salah satu orang yang paling ia sayangi dan sekaligus merupakan idola sejati dalam hidupnya. Bel kembali berbunyi tanda ronde ke-6 dimulai. Tapi, Jack masih tertegun. Vincent membisiki ayahnya tentang pesan singkat itu. Wasit menghampiri Jack dan memintanya untuk kembali bertarung. Oom Piet yang sudah paham situasi yang menimpa Jack memohon keringanan tambahan waktu kepada sang wasit.
"Sebentar, Willie, mohon waktunya sebentar, ada kabar duka dari keluarganya." Rupanya Oom Piet kenal dengan sang wasit yang ternyata juga salah satu wasit tinju nasional. Willie sang wasit mengangguk tanda setuju. Tapi, ia tak tahu bahwa Chen telah meninggalkan tempatnya di sudut ring untuk mendekati Jack. Sementara itu, Oom Piet mengulang sarannya tadi kepada Jack agar tak melanjutkan pertempuran.
"Jack, Oom rasa sebaiknya kamu mundur saja. Oom tidak memaksa kamu, tapi sebaiknya kamu..." kalimat Oom Piet belum selesai saat tiba-tiba Chen memotongnya.
"Woi, kenapa lama sekali kau, Cecurut?" katanya dengan keras.
"Kau mau ulur-ulur waktu ya? Tak bakal menanglah!" tambah Chen sinis. Willie kemudian secara halus meminta Chen untuk kembali ke sudutnya, tapi jawara jebolan lapas ini menampiknya.
"Sebentar, ini penting, ini tentang bapak saya," kata Jack yang masih belum punya keputusan. Hatinya sakit oleh kepergian sang ayah, tubuhnya sakit oleh pukulan dan tendangan Chen. Bahkan saat ia menarik napas, dada dan punggungnya terasa nyeri.
"Kenapa bapakmu yang tukang ojek itu? Ditagih cicilan motornya sama dealer-nya? Kalo nggak punya duit nggak usah ambil motor kreditan dong!" ejekan Chen makin menjadi-jadi. Vincent yang panas hendak masuk ring untuk menghajar mulut nyinyir Chen, tapi Oom Calvin sang paman menahan langkahnya.
Kalimat terakhir yang diucapkan Chen tiba-tiba kembali mengingatkan Jack kepada kalimat ejekan yang pernah dilontarkan oleh tukang tambal ban sewaktu ia dan Upi yang masih kecil, pulang dari Kebun Binatang bersama Bapak dan ibu. Waktu itu, uang Pak Joko kurang untuk membayar biaya tambal ban karena telah terpakai untuk membeli mainan Upi. Kalimat Chen,
"Kalo nggak punya duit nggak usah ambil motor kreditan dong!" sangat mirip dengan apa yang terucap dari mulut si tukang tambal ban yang Jack ingat sampai sekarang: "Kalo nggak punya duit nggak usah jalan-jalan, Pak." Maka, setelah diam beberapa
saat, kalimat inilah yang lalu keluar dari mulut Jack kepada sang wasit yang masih menantikan jawabannya
"Silakan diteruskan, Pak, saya sudah siap." Oom Piet tak bisa mencegah Jack, meski dalam hatinya ia bertanya, bukankah Jack bertarung agar dapat uang cukup untuk membawa ayahnya berobat di tempat yang lebih baik? Bukankah kini ayah Jack sudah tiada? Jadi, untuk apa anak ini meneruskan pertarungannya sekarang?
Kedua petarung kini sudah berada di sudut masing masing. Sebelum bel kembali dibunyikan, Vincent melihat Jack mengulang gerakan olah pernapasan Baju Besi yang tadi Jack lakukan di kamar ganti. Bila raga, hati, dan semangat telah menyatu, olah pernapasan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan bisa menghasilkan tenaga dalam yang bisa menyembuhkan berbagai sakit yang ada pada tubuh kita. Demikian Jack mencoba mengingat kata-kata guru silat sekaligus guru mengajinya, Ustad Ridwan. Sementara itu, Chen malah kini mengajak para penonton untuk mengejek dan menertawai gerakan-gerakan yang sedang dilakukan Jack. Sebagian penonton menurutinya, sebagian lainnya tambah berSimpati pada Jack. Bel pun kembali berdentang. Ronde ke-6 dimulai. Jack berdiri dengan posisi kembangan pencak silat, kuda-kudanya kokoh, namun bagian tubuh depan dibiarkan terbuka untuk menerima serangan karena kedua tangannya yang terentang: tangan kanan ke atas, tangan kiri ke bawah.
Chen tertawa. Ia pikir apa yang dilakukan Jack sangat konyol dan hanya cari sensasi. Maka Chen pun bersiap, bersiap untuk menyiksanya. Chen terlihat menyiapkan ancang-ancang untuk berlari ke arah Jack dan memberinya sebuah pukulan pamungkas.
Chen berlari kencang... Jack menunggunya. Sebagian penonton takut akan apa yang akan menimpa Sang Kupu-Kupu... Chen melesatkan kepalan kanannya untuk mencocor kepala Jack, namun Jack tiba-tiba merendahkan kuda-kudanya hingga kepalanya selamat dan sebuah gyaku tzuki, sebuah pukulan lurus masuk ke uluhati Chen. Pukulan yang sangat cepat, dan sangat kuat. Maaf; Oom Piet, saya harus pakai gyaku tzuki! seru Jack dalam hatinya. Chen meradang. Pukulan Jack menyebabkan sakit yang sangat bersangatan di uluhatinya. Kedua tangan Chen sontak memegangi bagian bawah dadanya yang kini terasa sangat nyeri. Satu pukulan lurus Jack ke wajah Chen membuatnya terjengkang. Penonton bersorak sorai tak percaya Jack bisa bangkit lagi dan bahkan membuat Chen tumbang! Wasit mulai menghitung, tapi bukan Chen namanya jika langsung menyerah. Ia bangkit lagi pada hitungan ketujuh, lalu maju lagi untuk menghajar Jack. Dipukuli sedemikan rupa, Jack malah tersenyum dan maju menantang jual beli pukulan. Chen terkejut. Mengapa pukulan-pukulan dan tendangan tendangannya sepertinya tak berpengaruh lagi kepadanya.? Dan mengapa pula saat aku memukulnya, aku merasa seperti sedang memukul dinding beton.?
Kondisi berbalik. Kini Jack yang mengejar-ngejar Chen. Chen yang takut kalah mencoba melakukan clineh untuk mengulur waktu di ronde terakhir itu. Usahanya cukup efektif untuk meredam derasnya serangan Jack. Sementara itu, kini para penonton malah mendukung Jack dengan yel-yel "Butterfly! Butterfly! Butterfly!"...
"Ayo, cuma segitu kemampuan kau? Mana haSll belajar aneka jenis beladiri itu? Tak cocok kau jadi petarung! Besok
kau cari itu formulir untuk belajar di Butterfly Fighting Center ya? Biar lengkap aku ngajarinnya. OK?" kata Jack seolah sedang dirasuki gaya mengejek psy war-nya Muhammad Ali.
Ejekan dan pukulan atau tendangan Jack berjalan beriringan. Tapi, clineh yang dilakukan Chen ternyata cukup efektif untuk menumpulkan serangan-serangan Jack. Waktu terus bergulir. Kira-kira 15 detik lagi pertarungan usai dan Oom Piet mulai cemas anak didiknya bakalan kalah karena dari segi perolehan angka, Chen masih belum bisa disaingi. Maka, pelatih gaek ini pun berteriak sekeras-kerasnya...
"Jaaaaack! Apel Hong Kong, Jack! Apel Hong Kong!" teriakan itu sampai ke telinga Jack. Putra Pak Joko ini langsung menerjemahkannya dengan mengirim upper-cut keras yang membuat kepala Sang Naga terdongak ke atas, dan memuncratkan keringat dari kepalanya. Lalu, sebuah hook kiri sangat keras mendarat di rahang Chen. Teknik clineh Chen buyar, ia terhuyung-huyung dan mundur perlahan. Namun, belum sempat Sang Naga menyusun strategi balasan yang akan dilancarkan, Jack keburu terbang mengirim tendangan pisau kaki ke dada Chen. Chen roboh kesakitan dan tak bisa bangun hingga hitungan ke-lO wasit. Juara Tarung Harga Diri telah jelas kini. Sang Kupu Kupu telah membunuh Sang Naga. Penonton terus bersorak sorai sangat riuh meneriakkan "Butterfly! Butterfly! Butterfly!"
"Kalo nggak bisa berantem, nggak usah deh elu nyobanyoba ikut kejuaran ini, OK!?" kata-kata Jack tajam menusuk harga diri Chen yang maSih terbaring tak berdava di atas ring.
**
kedua pemuda berpakaian ala hip hop ternyata mencoba mencari sang juara THD di kamar gantinya usai kejuaraan itu ditutup oleh salah seorang pengurus KONI yang menggantikan sang ketua umum yang berhalangan hadir. Sesampainya di sana, saat keduanya melongok ke dalam, mereka melihat tim lengkap Jack di sana: Oom Pieter, Oom Calvin, Vincent plus Ana yang ternyata menyempatkan diri untuk menemui Jack. Begitu kedua pemuda tadi melihat Ana yang membantu Oom Calvin dengan memegangi kompres di atas wajah Jack, salah satu pemuda, yang mengunyah permen karet, mengajak rekannya untuk pergi. Si pemuda yang memakai sunglasses melihat mata si pengunyah permen karet membasah. Pasti ia menangis karena cemburu melihat perempuan berjilbab di kamar ganti Jack itu, simpul si pemuda berkacamata. Tadi saat Jack disiksa habis-habisan oleh Chen, sebelum sempat membalik keadaan, ia juga melihat mata temannya berkaca-kaca menahan tangisnya. Tentu saja si pemuda yang mengunyah permen karet itu sedih, karena sesungguhnya ia adalah Pingkan yang menyamar dalam busana pria. Dan pemuda satunya adalah Prudence. Prudence akhirnya berhasil membujuk Pingkan untuk datang ke ajang THD karena setelah ia membuka situs resmi ajang olahraga keras ini, Prudence melihat nama Jack ada di antara para finalis. Saat Pingkan bersikeras menolak dengan alasan ia sudah telanjur mengatakan kepada Jack bahwa ia tak mau datang, Cherry memberi usulan gila kepada Pingkan agar ia datang saja dengan pakaian laki-laki. Tak disangka Pingkan malah setuju dengan usulan Cherry. Apalagi ia ingat bahwa di dalam sebuah lemari di kamar Mario, adiknya, ada beberapa kumis
dan janggut palsu, sisa perlengkapan Mario adiknya, yang semasa SMA aktif berteater itu.
"I think she's the reason why jack said I was only a friend to him," mungkin itu maksudnya waktu dia bilang aku cuma seorang sahabat buat dia, Prue," ulang Pingkan pelan saat keduanya berjalan mencari pintu keluar.
"Ya, belum tentu juga kali, Kan, mungkin she's part of his family. Be-te-we, itu stop dong nangisnya! Boys don't cry," tauuk!" tanggap Prudence.
"Lucky then I'm not :: boy, kali ini Pingkan bisa sedikit tersenyum.
**
Empat bulan telah lewat sejak Pak Joko dimakamkan. Tak banyak yang berubah dalam kehidupan Jack. Ia masih membantu Oom Tarjo di toko komputernya. Pok Uun, ibunya, masih mengajar agama di SD dan di masjid setempat. Upi masih suka berkumpul dengan geng motornya. Yang sedikit beda barangkali adalah keberhasilan Jack memindahkan adiknya ke SMP unggulan yang selama ini diinginkannya berkat hadiah uang menjadi juara di ajang Tarung Harga Diri. Yang juga sedikit berubah adalah kini Jack sedikit demi sedikit sudah bisa melupakan cintanya kepada Pingkan, yang terhalang tembok pemisah dari keluarganya itu. Apalagi kini ia semakin dekat dengan Ana, guru SMP tempat ia mengajar eskul karate. Ana yang dulunya hanya hadir sesekali menemani
Kupu Kupu Pembunuh Naga Karya Iwan Sulistiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak didiknya berlatih karate, kini selalu datang setiap ada jadwal latihan karate siswa-siswinya. Jack memang belum memutuskan untuk menjalin hubungan lebih jauh dengan Ana karena sosok Pingkan sejujurnya masih mengisi sebagian besar relung hatinya.
Jack tidak tahu bahwa empat bulan belakangan ini Pingkan juga sudah berusaha keras, perlahan-lahan menghapus sosoknya dari hati dan pikirannya. Apalagi Andre, mantan pacarnya itu juga sudah banyak berubah. Andre sudah berusaha keras mengikis sifat posesifnya terhadap Pingkan. Pingkan sendiri juga belum memutuskan untuk menerima Andre kembali walaupun cowok tampan ini semakin aktif mengajaknya untuk balikan. Yang jelas mereka mulai akrab kembali dan mulai sering jalan bareng kembali. Seperti yang mereka lakukan Sabtu siang itu. Di sebuah toko kue terkenal di Cikini, mereka baru saja keluar setelah mengambil pesanan kue yang akan diberikan sebagai hadiah ultah pernikahan papa dan mama Andre. Andre dan Pingkan berjalan pelan menuju mobil Toyota Land Cruiser milik Andre saat sepasang lelaki di atas sejenis motor pacu itu tiba-tiba datang. Yang dibonceng mengeluarkan pistol dengan peredam suara di ujungnya. Pingkan terkesiap saat lelaki itu mengarahkan pistolnya kepada Andre dan sebuah letusan menyalak. Andre roboh. Pingkan berteriak panik saat kedua laki-laki itu kabur dengan sangat cepat.
**
Malam itu di masjid, Jack tengah melatih anak-anak didik ibunya di lingkungan kampungnya mengumandangkan beberapa salawat dan nyanyian religius untuk ditampilkan pada peringatan maulid Nabi minggu depan...
...
Suara bocah-bocah lucu itu ternyata membangkitkan kenangan semasa ia belajar di pesantren almarhum kakeknya bersama sahabat-sahabat kentalnya saat itu, termasuk Aji yang kini jadi preman berjuluk Pelor itu. Ada keharuan dan kesyahduan yang khas, yang terasa di hatinya kini. Suasana pesantren yang tawadhu' dan bersahaja, di mana Kiai Haji Syukri sang kakek menekankan kepada seluruh santrinya untuk mengutamakan penghayatan agama dibanding pengetahuan agama itu kembali hadir. Pengetahuan agama tak harus banyak, demikian pesan beliau di berbagai kesempatan, namun jika dihayati maka akan banyak membawa kemaslahatan bagi diri dan orang lain. Ini jauh lebih baik ketimbang pengetahuan agama yang banyak, tapi kering penghayatan. Tiba-tiba, Jack merasakan nada getar telepon genggam di kantong celananya. Ia memberi isyarat kepada
anak-anak untuk meneruskan latihan, sementara ia keluar menuju halaman masjid untuk menjawab telepon.
"Jack? Jack? Kamu di mana?" Suara itu sudah cukup lama tak terdengar oleh Jack. Suara yang menghadirkan kerinduan. Suara Pingkan Bramastyo.
"Pingkan? Apa kabar?" degup jantung Jack mendadak jadi semakin cepat.
"Jack, I need your help! I really need you now, Jack!" suara Pingkan kini mulai bercampur isak tangis.
"Ada apa, Pingkan? Ada masalah apa?" Jack ikut merasakan adanya masalah besar yang tengah menimpa gadis cantik ini.
"It's about Andre, Jack, Andre ditembak orang!"
"Ditembak? Astaghfirullah! Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Puji Tuhan, sekarang sudah sadar, tapi masih di ICU, Jack, kamu bisa ke sini kan, Jack? Aku nggak tahu kenapa setiap aku merasa takut, aku selalu ingat kamu, Jack..."
"OK, OK, Pingkan, kamu tenang aja, nggak usah panik, aku akan berangkat ke sana sebentar lagi, di rumah sakit mana, Pingkan?"
Pingkan lalu menyebut nama sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Pusat, tempat yang paling dekat dari lokasi penembakan siang tadi. Jack kembali masuk ke dalam masjid lalu meminta salah satu anak yang paling senior untuk memimpin latihan salawatan sampai azan Isya berkumandang. lack pulang untuk mengambil motornya.
Pukul 8.34 malam, Jack menanyakan lokasi ruang ICU kepada seorang petugas satpam di rumah sakit itu. Saat Jack berjalan di koridor panjang menuju ruang ICU, tiba'tiba dari arah depan terdengar kehebohan. Dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan jas putih ala dokter berlari kencang ke arahnya. Seorang polisi berseragam yang mengejarnya dengan pistol di tangan kanannya berteriak-teriak. Sementara seorang gadis berkaki jenjang turut mengejar si lelaki itu di samping sang petugas.
"Tangkap! Dia dokter gadungan!" Tak disangka oleh jack si pria itu mengeluarkan pistol kecil dari kantong jasnya. Dia berbalik dan menembak polisi itu. Tangan kanan sang polisi terkena tembakan pria yang disebut dokter gadungan itu hingga pistol sang petugas terjatuh. Polisi itu menahan sakit akibat luka tembak yang dialaminya. Saat si lelaki itu hendak menembakkan pistolnya untuk kedua kalinya ke arah aparat penegak hukum itu, jack melihat kaki kanan gadis itu terangkat tinggi dan turun dengan cepat menghantam pergelangan tangan si lelaki berjas putih hingga senjatanya terlepas. Bukankah itu... Pingkan? Jack semakin mengenali sosok gadis itu, apalagi tendangan khas yang jadi andalannya itu. Gadis itu meneruskan serangannya, tapi si lelaki ternyata kembali mengeluarkan senjatanya yang lain, sebilah parang dari balik jas di bagian belakang badannya. Tendangan kedua dari sang gadis itu berhasil dihindari si lelaki dan CRASSH Parang itu menggores celana jins di bagian paha depannya. Gadis itu berteriak kesakitan. Untunglah saat melihat petugas polisi itu mulai bangkit untuk menolong sang gadis, si lelaki berjas putih memutuskan untuk kabur. Dalam sekejap, laki-laki
berbadan Kekar dengan sebuah parang itu sudah berada hanya sekitar 25 meter di depan Jack.
"Jack? Is that you?" Teriakan gadis yang terluka kakinya itu memberi petunjuk bahwa ia memang Pingkan. Jack tak menanggapi teriakan itu. Karena di hadapannya kini bahaya besar segera datang. Jack memundurkan kaki kanannya, memasang kuda-kuda. Ya Allah. cobaan apa lagi yang Kau berikan kepada Hamba? Lelaki di depannya melompat dengan parang terhunus...
Tamat
Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Trio Detektif 39 Misteri Kejaran Teror Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama