Ceritasilat Novel Online

Prodigy 1

Prodigy Karya Marie Lu Bagian 1



Diterjemahkan dari Prodigy

Karya Marie Lu

Copyright ? 2013 by Xiwei Lu

All rights reserved including the right of reproduction in whole or in part in

any form.

This edition published by arrangement with G.P. Putnam?s Sons, a division

of Penguin Young Readers Group,

a member of Penguin Group (USA) Inc. Diterbitkan oleh Penguin Group

(USA) Inc., New York, 2011

Hak cipta penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Penerbit

Mizan

Penerjemah: Lelita Primadani

Penyunting: Dyah Agustine

Proofreader: Emi Kusmiati

Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved

Diterbitkan oleh Penerbit Mizan

PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI

Jln. Cinambo No. 135 (Cisaranten Wetan),

Ujungberung, Bandung 40294

Telp. (022) 7834310 ? Faks. (022) 7834311

e-mail: kronik@mizan.com

http://www.mizan.com

facebook: PenerbitMizan

twitter: @mizanfantasi

Desain sampul: Windu Tampan

Digitalisasi: Tim Konversi Mizan Publishing House

ISBN 978-979-433-806-3

Didistribusikan oleh

Mizan Digital Publishing (MDP)

Jln. T. B. Simatupang Kv. 20,

Jakarta 12560 - Indonesia

Phone: +62-21-78842005 ? Fax.: +62-21-78842009

website: www.mizan.com

Untuk Primo Gallanosa, untuk menjadi cahaya saya.

ebook by pustaka-indo.blogspot.com

LAS VEGAS, NEVADA

Republik Amerika

Populasi: 7.427.431

4 Januari. Pukul 19.32.

Waktu Standar Samudra.

Tiga puluh lima hari setelah kematian Metias.

Day tersentak bangun di Sampingku. keningnya Penuh

keringat dan pipinya basah oleh air mata. Napasnya berat.

Kucondongkan tubuh untuk menyeka sehelai rambut

basah dari wajahnya. Luka gores di bahuku sudah

mengering menjadi keropeng, tapi gerakanku membuat luka

itu terasa sakit lagi. Day duduk, menggosok-gosok matanya

dengan letih, lalu memandang ke sekeliling kereta yang

bergoyang-goyang seakan dia sedang mencari sesuatu.

Mula-mula dia menatap tumpukan peti kayu di satu sudut

gelap, kemudian ke arah karung goni yang melapisi lantai

dan tumpukan kecil makanan dan minuman yang ada di

antara kami. Butuh satu menit baginya untuk sadar, untuk

~3~

ingat bahwa kini kami sedang menumpang di sebuah kereta

menuju Vegas. Beberapa detik berlalu sebelum posturnya

tidak tegang lagi. Dia bersandar ke dinding.

Dengan lembut kutepuk tangannya. "Kau baik-baik

saja?" Itu sudah menjadi pertanyaan rutinku.

Day mengangkat bahu. "Yeah," gumamnya. "Mimpi

buruk."

Sembilan hari sudah berlalu sejak kami menerobos

Aula Batalla dan lari dari Los Angeles. Sejak saat itu, Day

selalu mimpi buruk setiap memejamkan mata. Saat kami

beristirahat selama beberapa jam di area rel kereta api yang

sudah tak terpakai pada hari pertama kami kabur, Day

terlonjak bangun sambil menjerit. Kami beruntung tak ada

tentara atau polisi yang mendengarnya. Setelah kejadian itu,

aku memulai kebiasaan untuk membelai rambutnya tepat

setelah dia jatuh tertidur, juga mencium pipi, dahi, dan

matanya. Dia masih terbangun sambil tersengal-sengal

dengan mata berair, matanya melebar panik mencari-cari

semua hal yang telah direnggut darinya. Tapi setidaknya,

dia melakukan itu dalam diam.

Terkadang, saat Day sedang tenang seperti ini, aku

bertanya-tanya seberapa baik dia bisa mempertahankan

kewarasannya. Pikiran ini menakutiku. Aku tak sanggup

kehilangan dia. Aku terus berkata pada diriku bahwa aku

butuh Day untuk alasan-alasan sederhana?saat ini kami

hanya punya sedikit peluang untuk bertahan hidup

sendirian, dan kepandaiannya melengkapi kepandaianku. Di

samping itu, aku tak punya siapa-siapa lagi untuk

kulindungi. Aku sendiri juga menangis, meskipun aku

selalu menunggu Day tertidur sebelum melakukannya.

Semalam aku menangisi Ollie. Aku merasa sedikit konyol

karena menangisi anjingku sementara Republik membunuh

keluargaku, tapi aku tak bisa menahannya. Metias-lah yang

membawa Ollie pulang, sosok seperti bola putih dengan

cakar besar, telinga terkulai dan mata cokelat yang hangat.

Makhluk paling manis dan paling kikuk yang pernah ku

lihat. Ollie temanku, dan aku meninggalkannya.

"Kau mimpi apa?" bisikku pada Day.

"Tak ada yang mengesankan." Day bergeser, kemudian

~4~

mengernyit saat tanpa sengaja kakinya yang terluka

bergesekan dengan lantai. Tubuhnya mengejang kesakitan,

dan di bawah kausnya aku bisa melihat betapa kaku

lengannya, jalinan otot-otot kurus yang didapatnya dari

jalanan. Embusan napas berat keluar dari bibirnya. Caranya

mendorongku ke dinding di gang kecil itu, hasratnya pada

ciuman pertama kami. Aku berhenti memperhatikan

bibirnya dan menggelengkan kepala untuk mengusir

memori itu, malu.

Dia mengedik ke pintu kereta. "Di mana kita sekarang?

Seharusnya kita sudah dekat, kan?"

Aku berdiri, senang karena perhatianku teralih.

Kemudian,aku menopang tubuh di dinding yang

bergoyang sambil mengintip keluar dari jendela kecil kereta.

Pemandangan di luar tidak banyak berubah?pabrik-pabrik

dan menara apartemen yang tiada habisnya, cerobong asap

dan jalan tol melingkar, semuanya melebur dalam warna

biru dan ungu keabu-abuan oleh hujan sore. Kami masih

melewati sektor kumuh. Semua sektor itu kelihatan identik

dengan sektorsektor kumuh di Los Angeles. Di kejauhan,

sebuah bendungan besar membentang, menutupi setengah

penglihatanku. Aku menunggu sampai sebuah layar

JumboTrons terlihat, lalu menyipitkan mata untuk

membaca huruf-huruf kecil di sudut bawah layar.

"Boulder City, Nevada," kataku. "Sudah sangat dekat

sekarang. Kereta ini mungkin akan berhenti di sini sebentar,

tapi setelah itu tidak sampai 35 menit lagi kita akan tiba di

Vegas."

Day mengangguk. Dia mencondongkan tubuh untuk

membuka kantong makanan kami dan mencari sesuatu

untuk dimakan. "Bagus. Semakin cepat kita tiba di sana,

semakin cepat kita akan menemukan kelompok Patriot."

Dia tampak jauh. Kadang-kadang, Day menceritakan

padaku tentang mimpi-mimpi buruknya?gagal dalam

Ujian, kehilangan Tess di jalanan, atau lari dari patroli

wabah. Mimpi buruk tentang menjadi buronan Republik

yang paling dicari. Pada waktu lain, ketika dia seperti ini

dan menyimpan mimpi buruknya untuk dirinya sendiri,

aku tahu mimpi itu pasti tentang keluarganya?kematian

ibunya, atau John. Mungkin lebih baik dia tidak

~5~

memberitahuku ten-tang itu. Aku sudah cukup punya

mimpi buruk sendiri yang menghantuiku, dan aku tidak

yakin aku punya keberanian untuk mendengar mimpi Day

yang itu.

"Kau benar-benar bertekad untuk menemukan

kelompok Patriot, ya?" kataku, sementara Day menarik

keluar sebongkah donat goreng basi dari dalam kantong

makanan. Ini bukan pertama kalinya aku mempertanyakan

permintaan mendesaknya untuk pergi ke Vegas, dan aku

selalu berhatihati dengan caraku mengangkat topik ini. Hal

terakhir yang kuinginkan adalah Day berpikir aku tidak

peduli pada Tess, atau aku takut bertemu dengan kelompok

pemberontak yang nama buruknya paling tenar di

Republik.

"Tess ikut bersama mereka dengan sukarela.Bukankah

kita justru akan membahayakannya bila kita mencoba

merebutnya kembali?"

Day tidak langsung menjawab. Dia membagi donat

gorengnya menjadi dua dan menawariku sepotong. "Ambil,

ya? Kau belum makan."

Dengan sopan, aku mengangkat sebelah tangan.

"Tidak, terima kasih," sahutku. "Aku tidak suka donat

goreng."

Segera saja aku berharap bisa memasukkan kembali

kata-kata itu ke mulutku. Day merendahkan pandangannya

dan meletakkan separuh donat itu kembali ke dalam

kantong, lalu mulai memakan bagiannya dalam diam.

Betapa bodoh, kata-kata yang sangat bodoh. Aku tidak suka

donat goreng. Aku hampir bisa mendengar apa yang ada di

kepala Day.

Gadis kaya yang malang, dengan sikapnya yang mewah

itu. Dia bisa tidak menyukai sebuah makanan. Aku

memarahi diriku dalam hati, kemudian membuat catatan

untuk bertindak lebih hati-hati lain kali.

Setelah beberapa gigitan donat, Day akhirnya

merespons, "Aku tidak akan pergi meninggalkan Tess tanpa

memastikan dia baik-baik saja."

Tentu saja. Day tidak akan pernah meninggalkan siapa
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun yang dia pedulikan, khususnya gadis yatim piatu yang

tumbuh bersamanya di jalanan. Aku juga mengerti nilai

~6~

potensial dari pertemuan dengan Patriot?bagaimanapun,

para pemberontak itu telah menolong aku dan Day pergi

dari Los Angeles. Mereka kelompok besar dan terorganisasi

dengan baik. Mungkin mereka punya informasi mengenai

apa yang Republik lakukan terhadap adik Day, Eden.

Bahkan mungkin mereka dapat membantu menyembuhkan

luka bernanah di kaki Day. Sejak hari yang amat penting

itu, ketika Komandan Jameson menembak kaki Day dan

menangkapnya, lukanya telah menjadi seperti roller coaster,

terkadang membaik kemudian memburuk. Sekarang, kaki

kirinya adalah onggokan rusak, daging yang berdarah. Dia

butuh perawatan medis.

Selain itu, masih ada satu masalah.

"Kelompok Patriot tidak akan menolong kita tanpa

bayaran," kataku. "Apa yang bisa kita berikan pada mereka?"

Sebagai penegasan, aku merogoh sakuku dan

mengeluarkan uang simpanan kami yang amat sedikit.

Empat ribu Notes. Semua yang ada padaku sebelum kami

melarikan diri. Aku tak percaya betapa aku merindukan

segala kemewahan pada kehidupan lamaku. Ada jutaan

Notes di bawah nama keluargaku, Notes yang takkan

pernah bisa kuakses lagi.

Day menghabiskan donatnya dan mempertimbangkan

kata-kataku dengan bibir terkatup rapat. "Ya, aku tahu,"

katanya. Sebelah tangannya menyisiri rambut pirangnya

yang kusut. "Tapi,menurutmu apa yang harus kita lakukan?

Siapa lagi yang bisa kita temui?"

Aku menggeleng lemah. Day benar tentang itu. Sekecil

apa pun keinginanku untuk bertemu kelompok Patriot lagi,

pilihan kami sangat terbatas. Aku teringat saat kelompok

Patriot pertama kali menolong kami kabur dari Aula

Batalla. Saat Day masih pingsan dan bahuku terluka, aku

meminta mereka membiarkan kami ikut bersama mereka ke

Vegas. Kuharap mereka bersedia terus menolong kami.

Mereka menolak.

"Kau membayar kami untuk menolong Day kabur dari

eksekusinya. Kau tidak membayar kami untuk membawa

keledai terluka ke Vegas," kata Kaede padaku. "Apalagi

tentara Republik memburumu di mana-mana, ya ampun.

~7~

Kami bukan sukarelawan yang siap melayani sepanjang

waktu. Aku tak akan membahayakan diriku untuk kalian

berdua lagi, kecuali ada imbalannya."

Sampai di situ, aku hampir yakin kelompok Patriot

peduli pada kami. Namun, kata-kata Kaede membuatku

kembali pada kenyataan. Mereka menolong kami karena aku

telah membayar Kaede sebesar 200.000 Notes Republik,

uang yang kuterima sebagai hadiah penangkapan Day.

Bahkan setelah itu pun, dibutuhkan beberapa bujukan

sebelum dia mengirim teman-teman Patriotnya untuk

menolong kami.

Membiarkan Day menemui Tess. Menolong Day

menyembuhkan kakinya. Memberi kami informasi

mengenai keberadaan adik Day. Semua itu butuh uang.

Seandainya saja aku punya kesempatan untuk mengambil

lebih banyak uang sebelum kami pergi.

"Vegas adalah kota terburuk bagi kita untuk

berjalanjalan sendirian," kataku pada Day, seraya dengan

hati-hati mengusap bahuku yang mulai sembuh. "Bahkan

mungkin saja kelompok Patriot tidak akan mendengarkan

kita. Aku hanya memastikan kita sudah memikirkan

kemungkinan ini."

"June, aku tahu dulu kau tidak menganggap kelompok

Patriot sebagai sekutu," sahut Day. "Kau dilatih untuk

membenci mereka. Tapi mereka sekutu yang potensial. Aku

memercayai mereka lebih dari aku memercayai Republik.

Kau?"

Aku tak tahu apa dia bermaksud menghina. Day luput

menangkap poin yang kucoba sampaikan: bahwa kelompok

Patriot mungkin tidak akan membantu kami dan kemudian

kami akan terjebak di sebuah kota militer. Tapi, Day

mengira aku ragu-ragu karena aku tidak memercayai

kelompok Patriot. Karena, jauh di dalam, aku tetaplah

seorang June Iparis, genius paling terkenal di Republik

karena aku masih setia pada negara ini.

Benarkah? Aku seorang kriminalis sekarang, dan aku

tak akan pernah bisa kembali ke kehidupan lamaku yang

nyaman. Pikiran itu meninggalkan perasaan sakit dan

hampa di perutku, seolah-olah aku rindu menjadi anak

kesayangan

Republik.

Mungkin

aku

memang

~8~

merindukannya.

Kalau aku bukan lagi anak kesayangan Republik, lantas

siapa aku?

"Oke. Kita akan coba mencari kelompok Patriot,"

kataku. Sudah jelas aku takkan bisa membujuknya

melakukan hal lain.

Day mengangguk. "Terima kasih," bisiknya. Tandatanda senyuman muncul di wajahnya yang manis,

menjanjikan kehangatan, tapi dia tidak mencoba

memelukku. Dia tidak meraih tanganku. Dia tidak bergeser

untuk membiarkan bahu kami bersentuhan, dia tidak

mengelus rambutku, dia tidak membisikkan kata-kata

menenteramkan di telingaku atau menyandarkan kepalanya

padaku. Aku tak sadar betapa kini aku sangat

mengharapkan tindakan-tindakan kecil itu. Entah

bagaimana, pada momen seperti ini, rasanya jarak di antara

kami sangat jauh.

Barangkali mimpi buruknya itu tentang aku.

Peristiwa itu terjadi tepat setelah kami tiba di ruas jalan

utama Las Vegas. Pengumuman itu.

Pertama-tama, jika ada tempat di Vegas yang tidak

boleh kami datangi, tempat itu adalah ruas jalan utama.

JumboTrons (enam buah di setiap blok) berjajar di kedua

sisi jalanan tersibuk di kota, layarnya menampilkan

beritaberita yang tiada habisnya. Cahaya lampu-lampu

sorot yang menyilaukan terus menyisir dinding tanpa henti.

Bangunanbangunan di sini pasti dua kali lebih besar

daripada yang ada di Los Angeles. Pusat kota didominasi

oleh menara-menara gedung pencakar langit dan dermaga

pendaratan pesawat berbentuk piramida besar (ada delapan,

dengan dasar persegi dan dinding segitiga sama sisi).

Cahaya terang memancar dari puncaknya.

Udara gurun berbau busuk dan terasa sangat kering. Di

sini tidak ada hujan badai yang meredakan dahaga, juga

tidak ada tepi laut atau danau. Para tentara berbaris di

jalanan (dalam formasi segi empat, khas Vegas),

mengenakan seragam hitam dengan strip biru laut gelap

yang berarti mereka akan pergi ke atau baru kembali dari

medan perang sesuai giliran. Lebih jauh, setelah melewati

jalanan utama yang penuh gedung pencakar langit ini,

~9~

terdapat barisan jet tempur, semuanya bergerak ke sebuah

area luas di lapangan udara. Pesawat zeppelin terbang jauh

di atas.

Ini kota militer, sebuah dunia penuh tentara.

Matahari baru saja terbenam saat Day dan aku keluar

dari jalan utama dan menuju ujung jalan lain. Day

bersandar kepayahan di bahuku sementara kami berusaha

membaur dengan keramaian. Napasnya pendek-pendek dan

rasa sakit terlukis jelas di wajahnya. Aku berupaya sekuat

tenaga untuk menopangnya tanpa terlihat mencurigakan,

tapi berat tubuhnya membuat jalanku jadi tidak seimbang,

seolah aku terlalu banyak minum.

"Bagaimana menurutmu?" dia berbisik di telingaku,

bibirnya terasa panas di kulitku. Aku tidak yakin apakah dia

setengah mengigau gara-gara rasa sakitnya, atau apakah itu

gara-gara pakaianku, tapi aku tak keberatan dengan rayuan

frontalnya malam ini. Itu lebih baik daripada suasana

canggung di kereta tadi. Day berhati-hati agar kepalanya

tetap menunduk, matanya tersembunyi di bawah bulu mata

dan dia selalu menyingkir dari para tentara yang berjalan

bolak-balik di sepanjang trotoar. Dia bergerak tak nyaman

dalam jaket dan celana militernya. Topi tentara berwarna

hitam menyembunyikan sebagian besar wajah dan rambut

pirang platinanya.

"Cukup bagus," sahutku. "Ingat, kau mabuk. Dan

senang. Kau harus terlihat bergairah pada gadis

pendampingmu. Cobalah tersenyum lebih lebar."

Day menampilkan senyum palsu yang sangat lebar di

wajahnya. Memesona seperti biasa. "Oh, ayolah, Manis.

Kurasa aku sudah melakukannya dengan sangat baik. Di

lenganku ada gadis pendamping paling cantik?mana

mungkin aku tidak bergairah padamu? Memangnya aku

tidak terlihat bergairah? Lihat, aku sangat bergairah." Dia

mengedipkan mata padaku.

Dia terlihat sangat menggelikan sehingga mau tak mau

aku tertawa. Seorang pejalan kaki yang lewat menatapku.

"Jauh lebihbaik."AkumenggigilsaatDaymenyentuhkan

wajahnya ke leherku. Tetap bersikap biasa. Konsentrasi.

Perhiasan emas yang melingkari pinggang dan pergelangan

~10~

kakiku bergerincing saat kami berjalan. "Bagaimana keadaan

kakimu?"

Day menarik diri sedikit. "Baik-baik saja sampai kau

bertanya," bisiknya. Dahinya mengernyit saat dia menginjak

retakan di trotoar. Aku mempererat peganganku padanya.

"Aku akan menahannya sampai kita tiba di pemberhentian

kita berikutnya."

"Ingat, dua jari di dahi kalau kau perlu berhenti."
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ya, akan kuberi tahu kau kalau aku kewalahan."

Sepasang tentara berpapasan dengan kami. Mereka

bersama teman minum masing-masing, gadis-gadis pendamping dengan celak mata berkilauan dan tato yang

terlukis elegan di wajah mereka. Tubuh mereka dibalut oleh

kostum penari tipis dan syal bulu merah imitasi. Salah satu

dari tentara itu menangkap pandanganku dan tertawa.

Matanya melebar di balik kacamatanya.

"Kau dari klub mana, Cantik?" godanya. "Aku tak

ingat pernah melihat wajahmu di sekitar sini."

Tangannya terjulur ke arah pinggangku yang terbuka,

berharap bisa menyentuh kulitku. Sebelum dia dapat

mencapaiku, tangan Day menepisnya dengan kasar.

"Jangan sentuh dia." Day nyengir dan mengedipkan

mata pada serdadu itu, sambil tetap mempertahankan

sikapnya yang riang. Namun, peringatan yang tersirat di

mata dan suaranya membuat lawan bicaranya mundur. Dia

mengerjap ke arah kami berdua, menggumamkan sesuatu,

dan terhuyung-huyung pergi dengan rombongannya.

Kucoba meniru cara gadis-gadis pendamping itu

mengikik sambil mengibaskan rambut. "Lain kali biarkan

saja," bisikku di telinga Day, bahkan aku mencium pipinya

seakan-akan dia adalah pelanggan terbaik yang pernah ada.

"Hal terakhir yang kita butuhkan adalah perkelahian."

"Apa?" Day mengangkat bahu dan kembali berjalan

penuh kesakitan. "Itu akan menjadi perkelahian yang

menyedihkan. Dia hampir tidak bisa berdiri."

Aku menggelengkan kepala, memutuskan untuk tidak

menyatakan ironinya.

Grup

yang

terdiri

dari

sembilan

tentara

tersandungsandung melewati kami dalam keadaan linglung

dan mabuk parah. (Tujuh taruna, dua letnan, dengan ban

~11~

lengan emas berlencana Dakota, yang berarti mereka baru

tiba di sini dari utara dan belum menukar ban lengan

batalion perang mereka dengan yang baru.) Gadis-gadis

pendamping dari klub Bellagio bergelayutan di lengan

mereka?gadis-gadis berkilauan dengan kalung leher merah

tua dan tato lengan berbentuk huruf B. Kemungkinan para

tentara ini berpangkalan di barak yang berada di atas klub.

Aku mengecek lagi kostumku sendiri, yang dicuri dari

ruang ganti di Sun Palace. Dari luar, aku tampak seperti

gadis pendamping yang lain. Rantai emas dan perhiasan di

sekeliling pinggang dan pergelangan kakiku. Bulu hias dan

pita emas dijepit di kepangan rambut merah tuaku (dicat

semprot). Celak mata berwarna gelap diselimuti taburan

berkilau. Tato phoenix liar dilukis melintangi pipi bagian

atas dan kelopak mata. Pakaianku dari sutra merah yang

memperlihatkan bagian lengan dan pinggang, sementara

sepatu botku bertali hitam.

Akan tetapi, ada satu hal pada kostumku yang tidak

dikenakan gadis-gadis lain.

Sebuah rantai yang terdiri dari tiga belas cermin kecil

berkilauan. Rantai cermin itu tersembunyi sebagian di

antara ornamen-ornamen lain di sekeliling pergelangan

kakiku, dan dari kejauhan hanya akan terlihat seperti

perhiasan biasa. Sepenuhnya luput dari pengamatan.

Namun, setiap kali lampu jalanan menyinarinya, cermincermin itu akan menjadi deretan cahaya indah yang

menyilaukan. Tiga belas, nomor tidak resmi kelompok

Patriot. Ini adalah sinyal kami untuk mereka. Mereka pasti

mengawasi seluruh ruas jalan utama Vegas sepanjang waktu,

jadi aku tahu mereka akan melihat sederetan cahaya pada

tubuhku. Dan ketika mereka memperhatikannya, mereka

akan mengenali kami sebagai pasangan yang sama dengan

yang mereka selamatkan di Los Angeles.

Selama sedetik, deretan JumboTrons di jalan

mengeluarkan suara gemeresik. Sumpah nasional akan

segera dimulai lagi dalam beberapa menit. Tidak seperti

Los Angeles, Vegas menyiarkan sumpah nasional lima kali

sehari?semua JumboTrons akan menghentikan sejenak

iklan atau berita apa pun yang sedang mereka siarkan,

menggantinya dengan potret agung Elector Primo,

~12~

kemudian menyetel kata-kata sumpah melalui pengeras

suara kota: Saya bersumpah setia kepada bendera Republik

Amerika, kepada Elector Primo, dan kepada negara kami yang

agung, untuk bersatu melawan Koloni menuju kemenangan

yang akan datang!

Beberapa waktu lalu, aku selalu mengucapkan sumpah

itu setiap pagi dan siang dengan antusiasme yang sama

seperti setiap orang, bertekad untuk memerangi Koloni di

pantai timur agar mereka tidak mengambil alih daratan

pantai barat kami yang berharga. Itu sebelum aku

mengetahui peran Republik dalam kematian keluargaku.

Aku tidak yakin apa yang kupikirkan sekarang.

Membiarkan Koloni menang?

JumboTrons mulai menyiarkan putaran berita?rekap

mingguan. Day dan aku menonton berita-berita utama silih

berganti di layar:

REPUBLIK

BERHASIL

REBUT

DARATAN

KOLONI

DALAM PERTEMPURAN AMARILLO, TEXAS

TIMUR

PERINGATAN

BANJIR

DICABUT

UNTUK

SACRAMENTO, CALIFORNIA

ELECTOR BERI DUKUNGAN MORIL DENGAN

KUNJUNGI PASUKAN MEDAN PERANG UTARA

Kebanyakan berita itu agak tidak menarik?

laporanlaporan dari medan perang seperti biasa, kabar

terbaru cuaca dan hukum, peringatan karantina untuk

Vegas. Kemudian, Day menepuk bahuku dan memberi

isyarat agar aku melihat ke salah satu layar.

KARANTINA DI LOS ANGELES DIPERLUAS KE

SEKTOR EMERALD DAN OPAL

~13~

"Sektor-sektor permata?" bisik Day. Mataku masih

terpancang pada layar meskipun berita itu sudah lewat.

"Bukankah orang-orang kaya tinggal di sana?"

Aku tidak yakin harus membalas apa karena aku sendiri

masih berusaha memproses informasi tersebut. Sektor

Emerald dan Opal . Apa ini suatu kesalahan? Atau

sudahkah wabah di LA menjadi cukup serius sampai

diberitakan di JumboTrons Vegas? Aku tak pernah melihat

karantina diperluas sampai sektor-sektor kalangan atas.

Sektor Emerald berbatasan dengan Ruby?apa itu berarti

sektor asalku juga akan dikarantina? Bagaimana dengan

vaksinasi kami? Bukankah seharusnya vaksinasi itu untuk

mencegah hal-hal semacam ini? Aku memikirkan kembali

isi jurnal Metias. Pada hari-hari mendatang, katanya, akan

ada virus tak terkendali yang tidak bisa dihentikan siapa pun.

Aku ingat hal-hal yang Metias ungkapkan, pabrik-pabrik

bawah tanah, penyakit-penyakit merajalela wabah yang

sistematis. Tubuhku menggigil. Los Angeles akan

mengatasinya, kataku pada diri sendiri. Wabah itu akan

lenyap, seperti yang selalu terjadi.

Lebih banyak berita tayang silih berganti. Ada berita

yang familier, tentang eksekusi Day. Berita ini

menampilkan tayangan di lapangan tembak ketika kakak

Day, John, menerima tembakan yang seharusnya untuk

Day, lalu roboh ke tanah. Day mengalihkan pandangan ke

jalan.

Berita lain yang muncul lebih baru, menampilkan:

TELAH HILANG

NO. SS1: 2001963034

JUNE IPARIS

AGEN

KELOMPOK

PATROLI

KOTA

LOS

ANGELES

USIA/JENIS KELAMIN: 15, PEREMPUAN

TINGGI: 165 CM

RAMBUT: COKELAT

MATA: COKELAT

~14~

Social Security Number, semacam nomor ID bagi penduduk

Amerika untuk kepentingan administrasi jaminan sosial. (sumber:

Wikipedia)

TERAKHIR TERLIHAT DI DEKAT AULA

BATALLA,

LOS

ANGELES,

CALIFORNIA

350.000 NOTES REPUBLIK BAGI YANG

MENEMUKAN JIKA MELIHATNYA, SEGERA

LAPOR KE PIHAK BERWENANG

Republik ingin rakyatnya berpikir begitu. Bahwa aku

"hilang", bahwa mereka berharap untuk membawaku

kembali dengan aman dan sehat. Mereka tidak mengatakan

kemungkinan mereka menginginkanku mati. Aku telah

menolong kriminalis paling tersohor di negeri ini kabur dari

eksekusinya, membantu kelompok pemberontak Patriot

dalam pemberontakan bertahap melawan markas besar militer, dan berpaling dari Republik.

Tapi, mereka tidak mau informasi itu diketahui

khalayak, jadi mereka memburuku diam-diam. Laporan

orang hilang itu menampilkan foto dari ID militerku?
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah lurus tanpa senyum, tiada polesan kecuali sedikit

lipgloss, rambut gelap yang dikuncir tinggi, serta lambang

emas Republik yang bersinar, kontras dengan jubah

hitamku. Aku bersyukur tato phoenix itu menyembunyikan

setengah wajahku sekarang.

Kami berjalan sampai ke tengah ruas jalan utama

sebelum pengeras suara bergemeresik lagi untuk menyetel

sumpah. Day dan aku berhenti melangkah. Day tersandung

lagi dan hampir jatuh, tapi aku berhasil menangkapnya

cukup cepat untuk membuatnya tetap tegak. Orang-orang

di jalan menengadah ke arah JumboTrons (kecuali beberapa

tentara yang berbaris di pinggir setiap persimpangan jalan

untuk memastikan semua orang berpartisipasi). Layar-layar

berkelip. Gambar-gambar di sana lenyap menjadi hitam

total, kemudian digantikan dengan potret Elector Primo

beresolusi tinggi.

Saya bersumpah setia?

Mengulangi kata-kata itu bersama orang-orang di jalan

hampir terasa menyenangkan, setidaknya sampai aku

~15~

mengingatkan diri bahwa semua sudah berubah. Aku

mengenang malam ketika aku pertama kali menangkap Day,

ketika Elector dan putranya datang untuk memberiku

selamat secara pribadi karena berhasil memenjarakan

kriminalis dengan reputasi paling buruk. Aku teringat

bagaimana rupa Elector dari dekat. Potret di JumboTrons

menampilkan mata hijau, rahang kuat dan rambut keriting

gelap yang sama tapi di situ mereka membuang ekspresi

dingin dan warna pucat pada kulitnya. Potret itu membuat

beliau tampak kebapakan dengan pipi merah jambu yang

sehat. Bukan seperti yang kuingat.

?kepada bendera Republik Amerika?

Mendadak, siaran itu berhenti. Terjadi keheningan di

jalan, diikuti bisikan-bisikan bingung. Dahiku berkerut. Ini

tidak biasa. Aku tidak pernah melihat sumpah diinterupsi,

tidak sekali pun. Dan, sistem JumboTrons terhubung

sehingga kerusakan pada satu layar tidak akan memengaruhi

yang lain.

Day menatap layar-layar yang macet, sementara aku

segera menoleh ke para tentara yang berbaris di jalan.

"Insiden aneh?" kata Day. Suara napasnya yang tidak

wajar membuatku khawatir. Bertahanlah sebentar lagi. Kita

tidak bisa berhenti di sini.

Aku menggeleng. "Tidak. Lihat para tentara itu." Aku

mengangguk pelan ke arah mereka. "Sikap berdiri mereka

berubah. Senapan mereka tidak digantung di bahu lagi?

sekarang mereka memegangnya. Mereka mempersiapkan

diri menghadapi reaksi masyarakat."

Day menggelengkan kepalanya perlahan. Dia tampak

pucat tak tenang. "Sesuatu telah terjadi."

Potret Elector menghilang dari JumboTrons dan segera

digantikan oleh serangkaian gambar baru. Mereka

menampilkan seorang pria yang mirip sekali dengan Elector

?hanya saja lebih muda, baru awal dua puluhan, dengan

mata hijau dan rambut keriting yang sama. Sekilas aku

teringat rasa senang yang kurasakan ketika aku pertama kali

bertemu pria itu di pesta penangkapan Day. Dia Anden

Stavropoulos, putra Elector Primo.

Day benar. Sesuatu yang besar telah terjadi.

Elector Republik sudah meninggal.

~16~

Sebuah suara baru yang terdengar riang mengambil

alih pengeras suara. "Sebelum melanjutkan sumpah kita,

kami harus menginstruksikan seluruh tentara dan warga

sipil untuk mengganti potret Elector di rumah Anda. Anda

bisa mengambil potret baru di markas polisi lokal. Inspeksi

untuk memastikan kerja sama Anda akan dimulai dalam

dua minggu."

Suara itu mengumumkan hasil pemilu nasional yang

sudah bisa ditebak. Namun, kematian Elector tidak

disebutsebut sama sekali. Begitu pula promosi putranya.

Republik telah berpaling begitu saja ke Elector baru

tanpa berhenti sejenak pun, seakan-akan Anden adalah

orang yang sama dengan ayahnya. Kepalaku pusing?

kucoba mengingat apa yang kupelajari di sekolah tentang

pemilihan Elector baru. Elector selalu memilih penerusnya,

dan pemilu nasional akan memperkuat hal itu. Tidak

mengherankan Anden adalah calon penerus yang paling

kuat?tapi Elector kami telah berkuasa selama beberapa

dekade, jauh sebelum aku lahir. Sekarang dia sudah tiada.

Dunia kami berubah dalam sekejap.

Seperti aku dan Day, setiap orang di jalan ini paham

betul apa yang harus dilakukan: seolah ada yang memberi

aba-aba, kami semua membungkuk ke potret di

JumboTrons dan menyerukan sisa sumpah yang telah

muncul di layar. "?kepada Elector Primo, dan kepada negara

kami yang agung, untuk bersatu melawan Koloni menuju

kemenangan yang akan datang!" Kami mengulanginya terus

dan terus selama katakata itu tetap ada di layar, tidak ada

yang berani berhenti. Aku melihat sekilas pada tentara yang

berbaris di jalanan. Pegangan di senapan mereka

mengencang. Akhirnya, setelah sekian lama, kata-kata itu

menghilang dan Jumbo-Trons kembali ke putaran

beritanya yang biasa. Kami semua mulai berjalan lagi,

seakan tidak terjadi apa-apa.

Kemudian Day tersandung. Kali ini aku merasakan dia

gemetar, dan jantungku mencelos. "Bertahanlah," bisikku.

Aku terkejut karena hampir berkata, Bertahanlah Metias.

Kucoba memegangi Day, tapi dia tergelincir.

"Maafkan aku," dia balik berbisik. Wajahnya berkilau

karena keringat, matanya terpejam erat kesakitan. Dia

~17~

menyentuh dahinya dengan dua jari. Berhenti. Dia gagal.

Dengan liar, aku menatap sekeliling. Terlalu banyak

tentara?jarak yang harus kami tempuh masih jauh.

"Tidak, kau harus terus," kataku sungguh-sungguh.

"Bertahanlah. Kau pasti bisa."

Tapi kali ini tidak ada gunanya. Sebelum aku bisa

menangkapnya, dia jatuh ke depan dan roboh ke tanah.[]

~18~

ELECTOR PRIMO WAFAT.

Semua ini sepertinya sangat antiklimaks, kan? Kau

akan mengira kematian Elector akan diiringi pawai

orang-orang dalam upacara pemakaman agung,

kepanikan di jalanan, hari berkabung nasional, para

tentara meletuskan tembakan tanda hormat ke

angkasa. Buket bunga raksasa, benderabendera

berkibar rendah, kain putih bergantungan di setiap

bangunan. Sesuatu yang heboh semacam itulah. Tapi,

baru kali ini aku menjadi saksi wafatnya seorang

Elector. Selain penunjukkan penerus Elector yang

diinginkan Elector lama dan pemilu palsu untuk

menunjukkannya, aku tidak tahu apa yang seharusnya

terjadi.

Sepertinya Republik berpura-pura peristiwa ini tidak

~19~

pernah terjadi dan langsung beralih ke Elector baru.

Sekarang, aku ingat pernah membaca tentang ini saat

masih sekolah dulu. Ketika tiba saatnya untuk Elector

Primo yang baru, negara harus mengingatkan rakyatnya

untuk tetap bersikap positif. Berkabung akan membawa

kelemahan dan kekacauan. Terus melangkah maju

adalah satu-satunya cara. Yeah. Pemerintah memang

setakut itu untuk menunjukkan ketidakpastian pada

warga sipil.

Tapi, aku hanya punya sedetik untuk memikirkan

hal ini.

Kami hampir menyelesaikan sumpah baru ketika

rasa sakit datang dengan cepat menyerang kakiku.

Sebelum aku bisa menghentikannya, aku terbungkuk

dan roboh dengan bertumpu pada lututku yang sehat.

Dua tentara menoleh ke arah kami. Aku tertawa

sekeras yang kubisa, berpura-pura air mataku adalah

air mata geli. June mengikuti jejakku, tapi aku bisa

melihat ketakutan di wajahnya. "Ayolah," bisiknya kalut.

Sebelah lengannya yang ramping melingkar di

pinggangku dan aku mencoba menerima uluran

tangannya. Untuk pertama kalinya, semua orang di

sekitar jalanan ini memperhatikan kami. "Kau harus

bangun. Ayo."

Kukerahkan seluruh tenaga yang kupunya untuk

tetap tersenyum. Fokus pada June. Kucoba berdiri?

kemudian terjatuh lagi. Sial. Rasa sakit ini luar biasa.

Cahaya putih menusuk bagian belakang mataku.

Bernapas, kataku pada diri sendiri. Kau tidak bisa

pingsan di tengah-tengah jalanan Vegas.

"Ada masalah apa, Serdadu?"

Seorang kopral muda bermata cokelat pucat berdiri

di depan kami dengan lengan terlipat. Tampaknya dia

sedang terburu-buru, tapi rupanya hal itu tidak cukup

penting untuk mencegahnya memeriksa kami. Sebelah

alisnya terangkat saat melihatku. "Kau tidak apa-apa?

Kau pucat pasi."

Lari. Aku merasakan dorongan kuat untuk

~20~

berteriak pada June. Pergi dari sini?masih ada waktu.

Tapi, dia menyelamatkanku dari keharusan bicara.

"Tolong maafkan dia, Sir," katanya. "Saya tidak pernah

melihat pelanggan Bellagio minum sebanyak ini

sekaligus." Dia menggelengkan kepala penuh sesal dan

mengibaskan sebelah tangannya.

"Anda sebaiknya minggir," lanjutnya. "Saya rasa dia

harus muntah."

Aku terkagum-kagum?lagi?pada betapa mulusnya

dia bisa berubah menjadi orang lain. Cara yang sama
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan ketika dia membodohiku di jalanan Lake.

Kopral itu mengerutkan kening tak yakin sebelum

kembali berpaling padaku. Matanya terfokus pada

kakiku yang luka. Meskipun luka itu tersembunyi di

balik lapisan celana tebal, dia tetap mengamatinya.

"Kurasa gadis pendampingmu tidak mengerti apa yang

dikatakannya. Sepertinya kau harus pergi ke rumah

sakit." Dia mengangkat tangan untuk melambai pada

truk medis yang lewat.

Aku menggeleng. "Tidak, terima kasih, Sir," aku

berhasil mengucapkannya dengan tawa lemah. "Si

Manis ini menceritakan terlalu banyak lelucon. Saya

hanya perlu menarik napas saja?lalu tidur. Kami?"

Tapi, dia tidak memperhatikan kata-kataku. Diamdiam aku mengumpat. Jika kami pergi ke rumah sakit,

mereka akan memeriksa sidik jari kami, lalu mereka

akan tahu siapa kami sebenarnya?dua buronan

Republik yang paling dicari. Aku tidak berani melirik

June, tapi aku tahu dia juga sedang berusaha mencari

jalan keluar.

Kemudian, muncul kepala seseorang dari balik si

Kopral.

Dia adalah gadis yang langsung aku dan June

kenali, meskipun aku tak pernah melihatnya dalam

seragam Republik yang masih baru dan mengilap.

Sepasang kacamata pilot melingkari lehernya. Dia

berjalan melewati si Kopral dan berdiri di depanku,

tersenyum ramah.

"Hei!" katanya. "Sudah kuduga itu kau?aku

melihatmu terhuyung-huyung seperti orang gila di

sepanjang jalan ini!"

~21~

Si Kopral memperhatikan ketika gadis itu

memaksaku berdiri dan menepuk punggungku keraskeras. Aku mengernyit, tapi cengiranku menunjukkan

bahwa aku telah mengenalnya seumur hidupku.

"Kangen kau," akhirnya aku berkata.

Tak sabar, si Kopral memberi isyarat pada si Gadis

pendatang baru. "Kau kenal dia?"

Gadis itu mengibaskan rambut bob hitamnya dan

memberi si Kopral cengiran paling genit yang pernah

kulihat seumur hidup. "Kenal dia, Sir? Kami di skuadron

yang sama pada tahun pertama." Dia mengedip

padaku. "Kelihatannya dia berulah lagi di klub-klub."

Si Kopral mendengus tak tertarik dan memutar

mata. "Anggota pasukan udara, eh? Yah, pastikan dia

tidak melakukan itu lagi di depan publik. Aku hampir

berpikir untuk memanggil komandanmu." Kemudian, dia

teringat apa yang harus dilakukannya dan segera

berlalu.

Aku mengembuskan napas. Tadi itu benar-benar

nyaris sekali.

Setelah kopral itu pergi, gadis itu tersenyum

menawan padaku. Bahkan, meskipun tertutup baju

lengan panjang, aku tahu salah satu lengannya digips.

"Barakku dekat dari sini," katanya. Ada kegelisahan

dalam suaranya yang membuatku sadar bahwa dia tak

senang melihat kami. "Bagaimana kalau kalian berdua

istirahat di sana sebentar?

Kau bahkan bisa mengajak mainan barumu." Gadis itu

mengatakannya sambil mengangguk pada June.

Kaede. Dia tidak berubah sedikit pun sejak siang

itu, ketika aku bertemu dengannya dan menganggap

dia hanya seorang bartender dengan tato tumbuhan

merambat. Jauh sebelum aku tahu dia seorang Patriot.

"Tunjukkan jalannya," sahutku.

Kaede membantu June memapahku sampai blok

lain. Dia menghentikan langkah kami di pintu depan

Venezia? bangunan bertingkat yang terdiri dari barakbarak?yang penuh ukiran. Kemudian, dia mengantar

kami melewati penjaga pintu yang bosan dan melintasi

aula utama bangunan. Langit-langitnya cukup tinggi

~22~

untuk membuatku pusing, dan aku melihat sekilas

bendera Republik dan potret-potret Elector yang

tergantung di antara jajaran pilar-pilar batu di dinding.

Para penjaga sudah terburu-buru mengganti semua

potret tersebut dengan yang terbaru.

Kaede memimpin kami sambil terus membicarakan

berbagai hal tanpa henti. Rambut hitamnya sekarang

makin pendek, dipotong lurus sejajar dagu, dan kelopak

matanya yang halus dipoles celak biru tua. Aku tak

pernah memperhatikan bahwa ternyata tinggi kami

sepantar. Segerombolan tentara mondar-mandir, dan

aku menunggu salah satu dari mereka mengenaliku dari

iklan buronanku dan membunyikan alarm. Mereka juga

akan mengenali June di balik samarannya. Atau,

menyadari bahwa Kaede bukan tentara sungguhan.

Kemudian, mereka semua akan tahu yang sebenarnya

dan kami takkan punya kesempatan sama sekali.

Tapi tidak ada yang menanyai kami, dan

sebenarnya kepincanganku menolong kami membaur di

sini; aku bisa melihat beberapa serdadu dengan lengan

dan kaki digips. Kaede memimpin kami ke lif t?aku

tidak pernah naik lif t sebelumnya, sebab aku tidak

pernah berada di gedung dengan listrik menyala penuh.

Kami menuju lantai delapan. Tentara yang ada di sini

lebih sedikit. Malah, kami melewati bagian koridor yang

sepenuhnya kosong.

Di sinilah akhirnya Kaede menampakkan karakter

aslinya yang penuh semangat. "Kalian berdua terlihat

seperti tikus got," omel Kaede seraya mengetuk

perlahan salah satu pintu. "Kakimu masih sakit, ya?

Kalian sangat keras kepala, datang jauh-jauh ke sini

untuk menemukan kami." Dia mencibir pada June.

"Cahaya menyebalkan di bajumu itu hampir membuatku

buta."

June bertukar pandang denganku. Aku tahu persis

apa yang dia pikirkan. Bagaimana bisa sekelompok

pelaku kriminal tinggal di salah satu barak militer

terbesar di Vegas?

Terdengar bunyi klik di balik pintu. Kaede

mendorongnya terbuka, kemudian melangkah masuk

~23~

dengan lengan terentang. "Selamat datang di rumah

sederhana kami," dia mengumumkan seraya

menyapukan tangan ke seluruh ruangan. "Setidaknya

untuk beberapa hari ke depan. Tidak terlalu buruk,

kan?"

Aku tak tahu apa yang kuharap akan kulihat.

Sekumpulan remaja, mungkin, atau beberapa operasi

berbiaya rendah.

Alih-alih demikian, kami memasuki ruangan yang di

dalamnya hanya ada dua orang menunggu kami. Aku

terpana melihat sekeliling. Aku belum pernah berada di

barak Republik sungguhan, tapi yang ini pasti

disediakan untuk pejabat?tidak mungkin mereka

menggunakan tempat ini untuk tempat tinggal prajurit

biasa. Pertamatama, ruangan ini bukan kamar panjang

dengan deretan ranjang tingkat. Ini pasti apartemen

kelas atas untuk satu atau dua pejabat tinggi. Ada

cahaya listrik di langit-langit, juga di lampu-lampu lain.

Ubin marmer berwarna perak dan krem menutupi

lantai. Dinding ruangan ini dicat selangseling dalam

nuansa putih dan warna anggur. Sofa serta meja yang

ada memiliki bantalan kaki tebal berwarna merah.

Sebuah layar kecil menempel datar pada salah satu

dinding, tanpa suara menampilkan putaran berita yang

sama dengan yang disiarkan JumboTrons di luar.

Aku bersiul kecil. "Sama sekali tidak buruk." Aku

tersenyum, tapi senyum itu segera lenyap saat melirik

June. Wajahnya tampak tegang di balik tato phoenixnya. Meskipun matanya tetap netral, jelas sekali dia

tidak senang dan tidak merasa terkesan sepertiku.

Yah, kenapa dia harus terkesan? Aku bertaruh

apartemennya sendiri pasti sebagus ini. Pandangannya

secara teratur berkelana ke sekeliling ruangan,

memperhatikan benda-benda yang mungkin tak pernah

kulihat. Tajam dan selalu penuh perhitungan, seperti

seharusnya tentara Republik yang baik. Sebelah

tangannya tetap berada di dekat pinggang, tempat dia

menyimpan sepasang pisau.

Tak lama kemudian, perhatianku beralih pada gadis

yang berdiri di belakang sofa sebelah tengah.

Tatapannya terkunci padaku dan matanya menyipit

~24~

seakan-akan ingin memastikan dia benar-benar sedang

melihatku. Mulutnya membuka dalam keterkejutan,

bibir merah jambu kecil membentuk huruf O. Sekarang,

rambutnya terlalu pendek untuk dikepang?rambut itu

terurai hingga pertengahan leher dalam gaya bob

berantakan. Tunggu sebentar. Jantungku melonjak. Aku

tidak mengenalinya gara-gara ram-but itu.

Tess.

"Kau di sini!" serunya. Sebelum aku bisa membalas,

Tess berlari ke arahku dan melingkarkan lengannya di

sekeliling leherku. Aku terhuyung ke belakang, berjuang

agar tetap seimbang. "Ini benar-benar kau?aku tak

percaya, kau di sini! Kau baik-baik saja!"

Aku tidak bisa segera berpikir. Selama sedetik, aku

bahkan tidak merasakan sakit di kakiku. Yang bisa

kulakukan hanya melingkarkan lenganku erat-erat di

pinggang Tess, menenggelamkan kepalaku di bahunya,

dan memejamkan mata. Rasa berat di kepalaku

terangkat, meninggalkan kelegaan yang membuatku

lemah. Aku menghela napas panjang, menyamankan

diri dalam kehangatan tubuhnya dan aroma harum

rambutnya. Aku telah melihatnya setiap hari sejak

usiaku dua belas tahun?tapi setelah sekian minggu

berpisah, tiba-tiba aku bisa melihat bahwa dia sudah

bukan bocah sepuluh tahun yang kutemukan di gang
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil itu. Dia tampak berbeda. Lebih dewasa. Aku

merasakan sesuatu bergolak di dadaku.

"Senang melihatmu, Sepupu," bisikku. "Kau terlihat

sehat."

Tess hanya memelukku lebih erat. Aku sadar dia

menahan napas; dia berusaha keras agar tidak

menangis.

Kaede-lah yang menginterupsi momen itu. "Cukup,"

katanya. "Ini bukan opera sabun." Kami saling

melepaskan diri dan tertawa canggung, kemudian Tess

mengusap matanya dengan punggung tangan. Dia

bertukar senyum tak nyaman dengan June. Akhirnya,

dia berbalik dan cepatcepat kembali ke tempat satu

orang lagi, seorang pria, menunggu.

Kaede membuka mulut untuk mengatakan

~25~

sesuatu, tapi pria itu menghentikannya dengan

tangannya yang bersarung tangan. Ini mengejutkanku.

Ditilik dari sikap Kaede yang begitu sok, aku mengira

Kaede berkedudukan tinggi dalam kelompok ini. Tak

bisa dibayangkan dia menerima perintah dari siapa pun.

Namun,

dia hanya mengatupkan bibir dan

menghempaskan diri di sofa, sementara pria itu bangkit

untuk menyambut kami. Dia tinggi, mungkin sekitar

empat puluhan, dan tubuhnya kekar dengan sedikit

otot-otot di bahunya. Kulitnya cokelat terang dan

rambut keritingnya diikat pendek mengikal di belakang.

Sebuah kacamata berbingkai hitam tipis bertengger di

hidungnya.

"Jadi. Kau pasti orang yang sudah sering kami

dengar," kata pria itu. "Senang bertemu denganmu,

Day."

Kuharap aku bisa melakukan sesuatu yang lebih

baik daripada berdiri sempoyongan dalam kesakitan.

"Kami juga. Terima kasih sudah menerima kami."

"Maafkan kami karena tidak mengantar sendiri

kalian berdua ke Vegas," ujarnya meminta maaf sambil

membetulkan kacamatanya. "Memang terdengar dingin,

tapi aku tidak suka membahayakan anak buahku jika

tak perlu." Pandangannya beralih pada June. "Dan

kutebak kau si Genius Republik."

June memiringkan kepala dengan gerakan yang

mencerminkan kelasnya sebagai kalangan atas.

"Tapi, kostum gadis pendampingmu sangat

meyakinkan. Mari kita lakukan tes singkat untuk

membuktikan identitasmu. Tolong pejamkan matamu."

June ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya menurut.

Pria itu melambaikan tangan ke bagian depan

ruangan. "Sekarang, bidik target di dinding dengan

salah satu pisaumu."

Aku mengerjap, kemudian mengamati dinding.

Target? Aku bahkan tidak memperhatikan ada papan

sasaran anak panah dengan tiga lingkaran target di

dinding dekat pintu tempat kami datang. Namun, June

langsung bergerak. Dia menarik keluar sebilah pisau

dari pinggangnya, berbalik, lalu melemparnya tepat ke

papan sasaran tanpa membuka mata.

~26~

Pisau itu menghunjam dalam ke papan, hanya

meleset beberapa inci dari titik tengah target.

Pria itu bertepuk tangan. Bahkan, Kaede

mengucapkan gerutuan tanda setuju, kemudian

memutar mata. "Oh, demi Tuhan," kudengar dia

menggumam. June kembali berbalik ke arah kami dan

menunggu respons pria itu. Aku tercengang tanpa

suara. Seumur hidup aku belum pernah melihat siapa

pun menguasai pisau seperti itu. Dan, meskipun aku

sudah melihat banyak hal menakjubkan dari June, ini

pertama kalinya aku menyaksikan dia menggunakan

senjata. Itu membuatku gemetar sekaligus menggigil,

membawa kenangan yang kupaksa simpan rapat-rapat

di benakku, pikiran yang harus kukubur jika aku ingin

tetap fokus, tetap bertahan.

"Senang bertemu denganmu, Miss Iparis," kata pria

itu, menyatukan kedua tangan di belakang punggung.

"Sekarang, katakan. Apa yang membawa kalian

kemari?"

June mengangguk ke arahku, jadi akulah yang

bicara.

"Kami butuh bantuan Anda," kataku. "Tolong. Aku

datang untuk Tess, tapi aku juga sedang berusaha

menemukan adikku, Eden. Aku tak tahu untuk apa

Republik memanfaatkan dia atau di mana mereka

menyekapnya. Kami pikir Anda adalah satu-satunya

orang di luar militer yang mungkin bisa memperoleh

informasi. Dan terakhir, tampaknya kakiku perlu

dioperasi." Aku menahan napas ketika rasa kejang yang

nyeri membakar lukaku. Pria itu melihat sekilas ke

kakiku; alisnya berkerut khawatir.

"Itu daf tar yang panjang," ujarnya. "Kau harus

duduk. Sepertinya kau agak susah berdiri." Dengan

sabar dia menungguku bergerak, tapi ketika melihatku

bergeming, dia berdeham. "Yah, kalian sudah

memperkenalkan diri?maka aku pun akan melakukan

hal yang sama. Namaku Razor, dan saat ini aku adalah

ketua kelompok Patriot. Aku telah memimpin organisasi

ini selama beberapa tahun, lebih lama dari sepak

terjangmu membuat masalah di jalanan Lake. Kau

~27~

meminta bantuan kami, Day, tapi sepertinya aku ingat

penolakanmu atas undangan untuk bergabung dengan

kami. Beberapa kali."

Dia menoleh ke jendela berwarna yang menghadap

ke jajaran dermaga pendaratan berbentuk piramida.

Pemandangan dari sini menakjubkan. Pesawat-pesawat

zeppelin meluncur bolak-balik di langit malam

berselimut cahaya, beberapa di antaranya mendarat

tepat di puncak piramida layaknya potongan puzzle.

Terkadang, kami melihat formasi jet tempur, berbentuk

seperti elang hitam, lepas landas dari dan mendarat

pada landasan pacu. Perputaran aktivitas itu tidak

pernah berakhir. Mataku beralih cepat dari satu

bangunan ke bangunan lain; khususnya dermaga

piramida itu. Akan mudah sekali memanjatnya, dengan

lekukan di setiap sisinya dan lereng miring membatasi

bagian pinggirnya.

Aku sadar Razor menunggu responsku lagi. "Dulu

aku tidak sepenuhnya nyaman dengan jumlah anggota

organisasi Anda," kilahku.

"Tapi ternyata sekarang kau di sini," kata Razor.

Katakatanya menyentil, tetapi nada suaranya

bersimpati. Dia menyatukan kedua telapak tangannya

dan menekankan ujung jari-jarinya ke bibir. "Karena kau

membutuhkan kami. Benar?"

Yah, aku tidak bisa membantah itu. "Maaf,"

kataku. "Kami kehabisan pilihan. Tapi percayalah, tidak

apa-apa jika kalian menolak kami. Asal jangan laporkan

kami pada Republik, tolong." Kupaksakan seulas

senyum.

Dia tertawa kecil karenakesinisanku. Aku

memfokuskan pandangan pada benjolan bengkok di

hidungnya dan bertanya-tanya apakah dulu hidung itu

pernah patah. "Mulanya aku tergoda untuk

membiarkan kalian berdua berkeliaran di Vegas sampai

kalian tertangkap," dia melanjutkan. Suaranya memiliki

kelembutan seseorang yang bermartabat, berbudaya,

dan karismatik. "Aku akan berterus terang. Bagiku,

kemampuanmu tidak seberharga dulu, Day. Sekian

tahun ini kami telah merekrut Buronan yang lain? dan

~28~

sekarang, dengan segala hormat, menambah orang ke

tim kami bukanlah prioritas. Temanmu sudah tahu"?dia

berhenti sejenak untuk mengangguk pada June

?"bahwa kelompok Patriot bukan badan amal. Kau

meminta bantuan besar pada kami. Apa yang akan kau

berikan sebagai imbalan? Kau tidak mungkin punya

banyak uang."

June menatapku tajam. Dia mungkin telah

memperingatkanku tentang hal ini saat kami di kereta,

tapi aku tidak bisa menyerah sekarang. Jika kelompok

Patriot menolak, kami akan benar-benar sendirian.

"Kami tidak punya banyak uang," aku mengaku. "Aku

tidak akan bicara atas nama June, tapi jika ada apa

pun yang bisa kulakukan sebagai imbalan, katakan

saja."

Razor melipat lengan, kemudian berjalan menuju

bar di apartemen itu: sebuah konter yang melekat di

dinding, terbuat dari batu granit rumit dengan rak berisi

lusinan botol kaca dalam berbagai bentuk dan ukuran.

Kami menunggu sementara dia menghabiskan

beberapa saat untuk menuang minuman. Setelah

selesai, dia mengangkat gelasnya dengan satu tangan

dan berjalan kembali pada kami.

"Ada sesuatu yang bisa kau tawarkan," dia

memulai. "Beruntung kalian tiba pada malam yang

sangat menarik." Dia meneguk minumannya dan duduk

di sofa. "Seperti yang kalian lihat saat masih di jalanan

tadi, hari ini Elector Primo yang lama wafat?sesuatu

yang lingkaran elite Republik tahu akan segera terjadi.

Bagaimanapun, putranya, Anden, adalah Elector baru

Republik. Dia hampir sepenuhnya masih bocah, dan

sangat tidak disukai oleh para Senator ayahnya." Razor

mencondongkan tubuh, mengucapkan setiap kata

dengan berat dan hati-hati. "Jarang sekali Republik

serapuh sekarang. Ini waktu yang tepat untuk

memercikkanrevolusi.Kemampuanfisikmumungkinbisakami
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manfaatkan sepenuhnya, tapi ada dua hal yang bisa

kau berikan untuk kami, dua hal yang tidak bisa

diberikan Buronan lain. Pertama: ketenaranmu,

~29~

statusmu sebagai juara di hati orang-orang. Dan yang

kedua"?dia mengarahkan gelasnya pada June

?"temanmu yang manis."

Kata-kata itu membuatku kaku, tapi tatapan Razor

tetap hangat seperti madu. Kudapati diriku menunggu

untuk mendengar lanjutan tawarannya.

"Aku akan senang menerima kalian bergabung, dan

kalian berdua akan mendapat perlakuan baik. Day,

kami bisa mencarikanmu dokter hebat dan membayar

operasi yang akan memulihkan kakimu. Aku tidak tahu

soal keberadaan adikmu, tapi kami bisa membantumu

menemukannya. Dan pada akhirnya, kami bisa

menolong kalian berdua kabur sampai Koloni kalau itu

yang kalian inginkan. Sebagai gantinya, kami meminta

bantuan kalian untuk mengerjakan sebuah proyek baru.

Tidak ada pertanyaan.

Tapi, kalian berdua harus menyatakan sumpah pada

Patriot sebelum aku memberi tahu detail-detail tentang

apa yang harus kalian lakukan. Inilah syarat-syaratku.

Bagaimana menurut kalian?"

June mengalihkan pandangan dariku ke Razor. Dia

mengangkat dagunya lebih tinggi. "Aku ikut. Aku

bersumpah setia pada kelompok Patriot."

Ada sedikit kegoyahan dalam kata-katanya, seolah

dia tahu bahwa dirinya telah benar-benar mengkhianati

Republik. Susah payah aku menelan ludah. Tak

kusangka dia akan setuju secepat itu?kupikir dia akan

butuh beberapa bujukan sebelum dia menyatakan diri

bergabung ke kelompok yang jelas-jelas sangat dia

benci beberapa minggu lalu. Kenyataan bahwa dia

mengatakan ya menyentak hatiku. Jika June

menyerahkan diri pada Patriot, dia pasti sadar bahwa

kami tidak punya pilihan yang lebih baik. Dan dia

melakukan ini demi aku.

Kutinggikan suaraku. "Aku juga."

Razor tersenyum, bangkit dari sofa, dan

mengangkat minumannya seolah ingin bersulang

dengan kami. Kemudian, dia meletakkan gelasnya di

meja kopi dan berjalan mendekat untuk menjabat erat

tangan kami masing-masing.

~30~

"Sudah resmi, kalau begitu. Kalian akan membantu

kami membunuh Elector Primo yang baru."[]

~31~

Aku tidak mempercayai Razor.

Aku tidak memercayainya karena aku tidak mengerti

bagaimana dia mampu bersembunyi di tempat tinggal

sebagus ini. Tempat tinggal pejabat, di Vegas pula. Harga

masing-masing karpet di sini sekurang-kurangnya 29.000

Notes, terbuat dari semacam bulu sintetis mahal. Sepuluh

lampu

listrik

di

satu

ruangan?semuanya

menyala.Seragamnya baru dan tak bernoda. Dia bahkan

memiliki pistol hasil modifikasi yang tergantung di ikat

pinggangnya. Baja anti karat, kemungkinan ringan, dengan

hiasan tangan. Dulu kakakku punya pistol seperti

itu.Satunya delapan belas ribu Notes lebih.Selain itu,pistol

Razor pasti dimanipulasi.Tidak mungkin Republik melacak

pistol itu dari sidik jari atau lokasinya.Dari mana kelompok

Patriot mendapat uang dan kemampuan memanipulasi

peralatan secanggih itu?

~32~

Semua ini membawaku pada dua teori:

Pertama?Razor pasti semacam komandan di

Republik, pejabat yang berkhianat. Bagaimana lagi dia bisa

tinggal di barak apartemen ini tanpa ketahuan?

Kedua?kelompok Patriot didanai oleh seseorang yang

berkantong sangat dalam. Koloni? Bisa jadi.

Terlepas dari semua kecurigaan dan tebakanku, tawaran

Razor adalah yang terbaik yang mungkin kami dapatkan.

Kami tidak punya uang untuk membeli bantuan di pasar

gelap, dan tanpa bantuan, kami tak punya kesempatan

untuk menemukan Eden atau berhasil tiba di Koloni. Aku

juga tidak yakin kami bisa menolak tawaran Razor. Dia jelas

belum mengancam kami dengan cara apa pun, tapi aku ragu

dia akan membiarkan kami kembali begitu saja ke jalanan.

Dari sudut mataku, kulihat Day menunggu responsku

atas pernyataan Razor. Kulihat betapa pucat bibirnya dan

rasa sakit yang tampak di wajahnya. Itu hanya sedikit dari

lusinan tanda-tanda pudarnya kekuatannya. Saat ini,

kupikir hidupnya bergantung pada kesepakatan kami

dengan Razor.

"Membunuh Elector baru," kataku. "Oke." Katakataku terdengar asing dan jauh. Sesaat aku teringat

kembali saat bertemu Anden dan mendiang ayahnya di

pesta perayaan penangkapan Day. Pikiran untuk

membunuh Anden membuat perutku melilit. Dia Elector

Republik sekarang. Setelah semua yang terjadi pada

keluargaku, seharusnya aku senang punya kesempatan

membunuhnya. Tapi, aku tidak merasa begitu, dan itu

membuatku bingung.

Kalaupun Razor menyadari kebimbanganku, dia tidak

menunjukkannya. Dia mengangguk setuju. "Aku akan

segera menghubungi Paramedis. Kemungkinan mereka

takkan bisa datang sampai tengah malam?ketika

pergantian sif. Itu yang tercepat di tengah jadwal yang

padat. Sementara itu, mari kita hentikan penyamaran kalian

dan pakailah sesuatu yang lebih enak dilihat." Dia menatap

Kaede sekilas. Gadis itu bersandar di sofa dengan bahu

bungkuk dan wajah cemberut kesal, tanpa sadar mengunyah

~33~

seikat rambutnya. "Tunjukkan pada mereka kamar

mandinya dan beri mereka dua setel seragam baru. Setelah

itu,kita akan makan malam, lalu kita bisa bicara lebih jauh

tentang rencana kita." Dia mengembangkan lengannya

lebar-lebar. "Selamat datang di kelompok Patriot, Kawan

Muda. Kami senang kalian bergabung."

Dan begitulah, secara resmi kami melompat ke pelukan

mereka. Mungkin itu bukan hal yang buruk juga?

mungkin seharusnya aku tidak pernah berdebat dengan Day

tentang ini sejak awal. Kaede memberi isyarat agar kami

mengikutinya menuju ruangan yang terhubung dengan

apartemen ini. Dia memimpin kami ke sebuah kamar

mandi luas, lengkap dengan ubin marmer dan wastafel

porselen, cermin dan kloset, bak mandi dan pancuran

dengan dinding kaca buram. Aku tidak bisa tidak

mengaguminya. Ini luar biasa mewah, bahkan jika

dibandingkan dengan kamar mandi di apartemenku di

sektor Ruby.

"Jangan makan waktu semalaman," kata Kaede.

"Bergiliranlah?atau mandi berdua saja, kalau itu lebih

cepat. Kembalilah ke tempat tadi dalam setengah jam." Dia

nyengir padaku (meski senyum itu tidak tampak di

matanya), kemudian mengacungkan jempol pada Day yang

bersandar kepayahan di bahuku. Kemudian,Kaede berbalik

dan menghilang keluar ruangan sebelum aku sempat

menyahut. Aku rasa dia belum benar-benar memaafkanku

karena pernah mematahkan lengannya.

Day langsung terbungkuk-bungkuk setelah Kaede

pergi. "Bisakah kau menolongku duduk?" bisiknya.

Kuturunkan tutup kloset dan dengan lembut

membantunya duduk di sana. Dia meluruskan kakinya yang

sehat, kemudian rahangnya menegang saat dia mencoba

meluruskan kakinya yang terluka. Bibirnya mengerang.

"Harus kuakui," dia merengut, "ini hari yang buruk."

"Setidaknya Tess selamat," sahutku.

Kata-kata barusan mengurangi sedikit rasa sakit di

matanya. "Ya," dia membeo, mendesah panjang.

"Setidaknya Tess selamat."

Aku merasakan denyut rasa bersalah yang tak kuduga.

Wajah Tess tampak sangat manis, sepenuhnya baik. Dan,

~34~

mereka berdua terpisah gara-gara aku.

Apakah aku baik? Aku tidak begitu tahu.

Kubantu Day melepas jaket dan topinya. Rambut

panjangnya terurai bagai tirai mengenai lenganku. "Biar

kulihat kakimu." Aku berlutut, lalu menarik pisau dari ikat

pinggangku. Kuiris kain celananya mulai dari kaki sampai

pertengahan paha. Otot-otot kakinya kurus dan tegang, dan

tanganku gemetar saat menyentuh kulitnya. Dengan sangat

hati-hati, kuangkat kain itu untuk menyingkap lukanya

yang dibalut. Kami berdua menahan napas. Ada lingkaran

besar darah merah gelap di perban tersebut. Di bawahnya,

luka itu bengkak dan berdarah.

"Paramedis harus tiba di sini secepatnya," kataku. "Kau

yakin bisa mandi sendiri?"

Day tersentak dan mengalihkan pandangan, pipinya

memerah. "Tentu saja aku bisa."

Alisku terangkat. "Kau bahkan tidak bisa berdiri."

"Oke." Dia bimbang, lalu merona. "Kurasa aku butuh

bantuan."

Aku menelan ludah. "Yah, harus pakai bak, kalau

begitu. Ayo kita lakukan."

Aku mulai memenuhi bak mandi dengan air hangat.

Setelah itu, aku mengambil pisau dan perlahan-lahan

memotong perban penuh darah yang membungkus luka

Day. Kami duduk di sana dalam keheningan, tak seorang

pun dari kami menatap mata yang lain. Luka itu sendiri

masih seburuk sebelumnya, berupa seonggok daging lembek
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seukuran kepalan tangan yang tidak mau dilihat Day.

"Kau tidak harus melakukan ini," bisiknya sambil

memutar-mutar bahu, berusaha rileks.

"Baiklah." Aku tersenyum masam. "Aku akan tunggu

di luar dan baru datang menolong setelah kau terpeleset dan

pingsan."

"Tidak," sahut Day. "Maksudku, kau tidak harus

bergabung dengan kelompok Patriot."

Senyumku lenyap. "Yah, kita tidak punya banyak

pilihan, kan? Razor ingin kita berdua sama-sama ikut, atau

dia tidak akan menolong kita sama sekali."

Selama sedetik tangan Day menyentuh lenganku,

menghentikanku yang sedang setengah jalan melepas tali

~35~

sepatu botnya. "Menurutmu bagaimana rencana mereka?"

"Membunuh Elector baru?" aku memalingkan wajah,

kembali berkonsentrasi melepas tali dan mengendurkan

masing-masing sepatu botnya sehati-hati yang kubisa. Itu

adalah pertanyaan yang belum kupikirkan jawabannya, jadi

aku mengelak. "Yah, bagaimana menurutmu? Maksudku,

kau berusaha keras untuk tidak melukai orang. Ini pasti

membuatmu terguncang."

Aku terkejut karena Day hanya mengangkat bahu.

"Ada tempat dan waktu untuk segalanya." Suaranya dingin,

lebih kasar dari biasanya. "Aku tak pernah mengerti apa

pentingnya membunuh tentara Republik. Maksudku, aku

benci mereka, tapi mereka bukan sumbernya. Mereka hanya

menaati atasan mereka. Tapi Elector? Aku tidak tahu.

Menghabisi orang yang paling berkuasa dalam seluruh

sistem ini adalah harga murah yang harus dibayar untuk

memulai sebuah revolusi. Tidakkah kau pikir begitu?"

Mau tak mau aku merasakan sedikit kekaguman pada

sikap Day. Apa yang dia katakan sangat masuk akal. Tapi

tetap saja, aku bertanya-tanya apakah dia akan mengatakan

hal yang sama beberapa minggu lalu, sebelum semua yang

menimpa keluarganya terjadi. Aku tidak berani menyebutnyebut perkenalanku dengan Anden di pesta perayaan itu.

Lebih sulit menerima kenyataan bahwa kau harus

membunuh seseorang yang pernah kau temui?dan kagumi

?secara pribadi.

"Yah, seperti yang sudah kubilang. Kita tidak punya

pilihan."

Bibir Day mengatup lebih rapat. Dia tahu aku tidak

memberi tahu apa yang sebenarnya kupikirkan. "Pasti sulit

bagimu untuk mengkhianati Elector," ujarnya. Tangannya

menggantung lemas di samping tubuhnya.

Aku tetap menunduk dan mulai melepas sepatu

botnya.

Waktu aku memindahkan bot itu, Day menggeliat

untuk menyingkirkan jaket dari bahunya dan mulai

membuka kancing rompinya. Hal itu mengingatkanku

ketika aku pertama kali bertemu dengannya di jalanan Lake.

Saat itu dia melepas rompinya setiap malam dan

memberikannya pada Tess untuk digunakan sebagai bantal.

~36~

Itu adalah sekali-kalinya aku pernah melihat Day

menanggalkan pakaian. Sekarang, dia membuka kancing

kerah kemejanya, memperlihatkan sebagian kecil dadanya.

Aku melihat kalung melingkari lehernya, seperempat dolar

Amerika Serikat yang ditutupi logam halus di kedua

sisinya. Dalam kegelapan sunyi kereta, Day menceritakan

padaku tentang ayahnya yang membawa pulang dolar itu

dari medan perang.

Usai melepas kancing terakhir, Day berhenti sejenak

dan memejamkan mata. Aku bisa melihat rasa sakit

menyayat wajahnya, dan itu membuatku berkaca-kaca.

Kriminalis paling dicari di Republik hanyalah seorang

pemuda yang sedang duduk di hadapanku, tiba-tiba saja

menjadi sangat rapuh dan menampakkan seluruh

kelemahannya.

Aku berdiri dan menyentuh kemejanya. Tanganku

mengenai kulit bahunya. Kucoba untuk tetap bernapas

tenang, pikiranku tetap tajam dan penuh perhitungan.

Tapi, ketika aku membantu melepas kemeja dan

menyingkap dada serta lengannya, aku bisa merasakan

batas-batas logikaku mulai kabur. Di balik pakaiannya, Day

tampak kurus dan sehat. Kulitnya halus, kecuali di

beberapa bagian yang ada bekas lukanya (dia punya empat

bekas luka kecil di dada dan pinggangnya, satu lagi berupa

garis diagonal tipis memanjang dari tulang selangka kiri ke

tulang paha kanan, serta keropeng yang sudah hampir

sembuh di lengannya).

Dia menatapku lekat-lekat. Bagi orang yang belum

pernah melihat Day, pasti sulit mendeskripsikannya?

eksotis, unik, luar biasa. Dia berada sangat dekat sekarang,

cukup dekat bagiku untuk melihat riak cacat kecil di mata

kirinya. Napasnya terasa hangat di pipiku, tapi aku tidak

ingin berpaling.

"Kita bersama-sama, kan?" bisiknya. "Kau dan aku?

Kau ingin berada di sini, kan?"

Ada rasa bersalah dalam suaranya.

"Ya," sahutku. "Aku memilih ini."

Day menarikku cukup dekat sampai hidung kami

bersentuhan. "Aku mencintaimu."

Jantungku melonjak kegirangan mendengarnya?tapi

~37~

pada saat bersamaan, bagian otakku yang logis langsung

marah. Benar-benar mustahil, cemoohnya. Sebulan yang lalu

dia bahkan tidak tahu kau ada. Jadi, aku berkata tanpa

berpikir, "Tidak, kau tidak mencintaiku. Belum."

Day mengerutkan alis, seolah-olah aku telah

menyinggungnya. "Aku sungguh-sungguh," katanya.

Aku mati kutu mendengar rasa sakit dalam suaranya.

Tapi tetap saja. Itu cuma kata-kata yang diucapkan seorang

pemuda pada momen seperti ini. Kucoba memaksa diriku

mengatakan hal yang sama padanya, tapi kata-kata itu

membeku di lidahku. Bagaimana dia bisa begitu yakin? Aku

benar-benar tak memahami seluruh perasaan aneh yang ada

dalam diriku ini?apakah aku di sini karena aku

mencintainya, atau karena aku berutang padanya?

Day tidak menunggu jawabanku. Sebelah tangannya

melingkari pinggangku dan bergerak lurus ke punggungku,

menarikku mendekat sehingga aku terduduk di kakinya

yang sehat. Dia menciumku. Tangannya yang satu lagi

mengelus wajahku; jari-jarinya terasa kasar dan halus pada

saat bersamaan. Aku memejamkan mata. Pikiranku terasa

kabur dan jauh, tersembunyi di balik kehangatan

berselimut cahaya samar. Aliran detail-detail kenyataan

dalam pikiranku berjuang naik ke permukaan.

"Kaede sudah pergi selama 8 menit," aku

mengingatkan. "Mereka meminta kita kembali ke sana

dalam 22 menit."

Day meletakkan tangannya di rambutku dan dengan

lembut menarikku lagi "Biarkan mereka menunggu,"

bisiknya. Aku mencintaimu, ciumannya mencoba

meyakinkanku.

Tindakannya membuatku sangat lemah sampai aku

hampir roboh ke lantai. Dulu aku pernah mencium

beberapa pemuda tapi Day membuatku merasa belum

pernah berciuman sebelumnya. Seolah dunia ini telah

mencair menjadi sesuatu yang tak penting.

Tiba-tiba Day melepaskan diri dan perlahan

mengerang kesakitan. Aku melihatnya memejamkan mata

erat-erat, kemudian dia menarik napas dalam dan gemetar.

~38~

Jantungku berdebar sangat kencang sampai tulang rusuk.

Pikiranku kembali jernih. Aku teringat di mana kami

berada dan apa yang masih harus kami lakukan. Aku lupa

airnya masih mengalir?baknya hampir penuh. Kuulurkan

tangan untuk mematikan keran. Ubin lantai ini terasa

dingin di lututku. Seluruh tubuhku kesemutan.

"Siap?" kataku, berusaha memantapkan diri. Day

mengangguk tanpa kata. Cahaya di matanya telah meredup.

Kutuangkan gel mandi cair ke dalam bak dan kuaduk

air sampai berbusa. Kemudian, kuambil salah satu handuk

yang digantung di kamar mandi itu dan melingkarkannya

di sekeliling pinggang Day. Sekarang suasana menjadi

canggung. Dia berhasil meraba-raba di balik handuk dan

melonggarkan celananya, lalu kubantu dia melepasnya.

Handuk itu menutupi semua yang perlu ditutupi, tapi aku

tetap mengalihkan pandangan.

Aku menolong Day?yang sekarang tidak memakai apa

pun kecuali handuk dan kalungnya?berdiri, dan setelah

berjuang sebentar, kami berhasil memasukkan kakinya yang

sehat ke dalam bak sehingga aku bisa pelan-pelan

menurunkannya ke air. Aku berhati-hati agar kakinya yang

luka tetap kering. Day mencengkeram erat rahangnya agar

tidak berteriak kesakitan. Saat dia sudah nyaman di bak,

pipinya basah oleh air mata.

Butuh lima belas menit untuk menggosok tubuhnya,

juga seluruh rambutnya, sampai bersih. Setelah kami

selesai, aku membantunya berdiri dan memejamkan mata

saat dia mengambil handuk kering untuk dilingkarkan di

pinggangnya. Pikiran untuk membuka mataku sekarang dan

melihatnya telanjang di hadapanku membuat darahku

mengalir deras. Seperti apa laki-laki telanjang? Aku kesal

karena wajahku pasti terlihat jelas merah padam.

Kemudian,momen

itu

berakhir

dan

kami

menghabiskan beberapa menit lagi untuk berjuang

mengeluarkannya dari bak. Ketika akhirnya dia selesai dan

sudah duduk lagi di atas tutup kloset, aku berjalan ke pintu

kamar mandi. Sebelumnya aku tidak memperhatikan, tapi

seseorang telah membuka pintu sedikit dan menjatuhkan

dua setel seragam tentara baru untuk kami. Seragam
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batalion darat, dengan kancing Nevada. Pasti akan aneh

~39~

menjadi tentara Republik lagi. Tapi aku membawa masuk

seragam itu.

Day tersenyum lemah padaku. "Trims. Senang bisa

merasa bersih."

Sepertinya rasa sakit telah membawa kembali

memorimemori terburuknya dari beberapa minggu

belakangan ini, dan sekarang seluruh emosinya terpampang

jelas di wajahnya. Senyumnya tidak selebar dulu. Seolaholah hampir sebagian besar kebahagiaannya sudah mati

pada malam ketika dia kehilangan John, dan hanya

sepotong kecil tersisa?potongan yang dia simpan untuk

Eden dan Tess. Diam-diam aku berharap dia juga

menyimpan satu bagian kegembiraannya untukku.

"Berbalik dan pakai bajumu," kataku. "Lalu tunggu aku

di luar. Aku tidak akan lama."

Kami kembali ke ruang tamu terlambat tujuh

menit.Razor dan Kaede menunggu kami.Tess duduk

sendirian di ujung sofa, kakinya dilipat ke bawah dagu,

memperhatikan kami dengan ekspresi waspada.Tak lama

kemudian,aku mencium aroma ayam panggang dan

kentang. Pandanganku beralih cepat ke meja ruang makan

di mana empat piring dengan hidangan di atasnya tersaji

rapi, memanggil-manggil kami. Kucoba untuk tidak

bereaksi terhadap aroma itu,tapi perutku bergemuruh.

"Bagus sekali," kata Razor, tersenyum pada kami. Dia

biarkan tatapannya terarah lama padaku. "Kalian berdua

membersihkan diri dengan baik." Kemudian, dia menoleh

ke Day dan menggeleng. "Kami mengatur agar makanan ini

dibawa kemari, tapi karena beberapa jam lagi kau akan

dioperasi, perutmu harus tetap kosong. Maaf?aku tahu

kau pasti lapar. June, silakan ambil sendiri."

Tatapan Day juga terpancang ke arah makanan itu.

"Menyebalkan," gumamnya.

Aku bergabung dengan yang lain di meja, sementara

Day berbaring di sofa dan membuat dirinya senyaman yang

dia bisa. Aku hampir membawa piringku untuk duduk di

sebelahnya, tapi Tess mendahuluiku. Dia duduk di pinggir

sofa sehingga punggungnya menyentuh pinggang Day.

Selama Razor, Kaede, dan aku makan dalam diam di meja,

terkadang aku mencuri pandang sekilas ke sofa. Day dan

~40~

Tess mengobrol dan tertawa dengan kegembiraan dua orang

yang sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Aku

berkonsentrasi pada makananku, rasa panas akibat kejadian

di kamar mandi tadi masih membakarku.

Aku menghitung setiap lima menit dalam kepalaku

ketika akhirnya Razor meneguk minumannya dan bersandar

ke belakang. Kuperhatikan dia lekat-lekat, masih

bertanyatanya mengapa salah satu pemimpin Patriot?

ketua dari kelompok yang selalu kuasosiasikan dengan

kekejaman? begitu sopan.

"Miss Iparis," katanya. "Berapa banyak yang kau tahu

tentang Elector baru kita?"

Aku menggelengkan kepala. "Kurasa tidak banyak." Di

sebelahku, Kaede mendengus dan melanjutkan melahap

makan malamnya.

"Meski begitu, kau telah bertemu dia sebelumnya,"

kata Razor, mengungkap apa yang kuharap bisa

kusembunyikan dari Day. "Di pesta malam itu, yang

diselenggarakan untuk merayakan penangkapan Day. Dia

mengecup tanganmu. Benar?"

Day berhenti sejenak dari percakapannya dengan Tess.

Dalam hati aku merasa ngeri.

Kelihatannya

Razor

tidak

memperhatikan

ketidaknyamananku. "Anden Stavropoulos adalah pria

muda yang menarik," ujarnya. "Mendiang Elector sangat

menyayanginya. Sekarang Anden adalah Elector. Para

Senator gelisah. Rakyat marah, dan mereka tak peduli

sedikit pun apakah Anden berbeda dengan Elector

sebelumnya. Seperti apa pun pidato yang Anden ucapkan

untuk menyenangkan mereka, yang akan mereka lihat

adalah pria kaya yang tidak mengerti bagaimana

menyembuhkan penderitaan mereka. Mereka marah pada

Anden karena membiarkan eksekusi Day tetap berlangsung,

karena memburunya, karena tidak berkata apaapa untuk

menentang kebijakan-kebijakan ayahnya, karena memberi

harga untuk pencarian June daftarnya masih panjang.

Mendiang Elector punya kekuasaan besar terhadap militer.

Sekarang, rakyat hanya melihat seorang raja muda yang

punya kesempatan untuk bangkit dan menjadi versi lain

ayahnya. Inilah kelemahan-kelemahan yang ingin kami

~41~

eksploitasi, dan akan membawa kita ke rencana yang saat ini

ada di pikiran kita."

"Anda kelihatannya tahu banyak tentang sang Elector

muda. Anda juga kelihatannya tahu banyak tentang apa

yang terjadi di pesta perayaan itu," sahutku. Aku tidak bisa

menahan kecurigaanku lebih lama lagi. "Kurasa itu karena

Anda juga tamu di sana malam itu. Anda pasti pejabat

Republik?tapi tidak berpangkat cukup tinggi sehingga

Anda tidak bertemu Elector." Kupelajari karpet beledu

mahal dan konter granit di ruangan itu. "Ini markas resmi

Anda yang sebenarnya, kan?"

Razor tampak sedikit jengkel dengan kritikanku tentang pangkatnya (yang mana, seperti biasa, adalah fakta

yang tidak kumaksudkan sebagai ejekan), tapi dia segera

melenyapkannya dengan tawa. "Bisa kulihat betapa kita

tidak bisa menyimpan rahasia darimu. Gadis istimewa. Yah,

titel resmiku adalah Komandan Andrew DeSoto, dan aku

menjalankan tiga kelompok patroli ibu kota. Anggota

Patriot-lah yang memberiku nama jalananku. Aku telah

mengatur sebagian besar misi-misi mereka selama satu

dekade lebih sedikit."

Sekarang, Day dan Tess sama-sama mendengarkan

baik-baik. "Kau pejabat Republik," Day membeo tak yakin,

matanya terpaku pada Razor. "Seorang komandan dari ibu

kota. Hm. Kenapa kau menolong kelompok Patriot?"

Razor mengangguk, menumpukan kedua sikunya di

meja makan dan menyatukan kedua tangannya. "Kurasa aku

harus mulai dari memberi tahu kalian beberapa detail

tentang bagaimana kami bekerja. Kelompok Patriot telah

ada selama sekitar tiga puluh tahun?awalnya mereka

adalah kumpulan pemberontak lepas. Dalam lima belas

tahun terakhir, mereka bersatu dalam usaha untuk

mengorganisir diri serta alasan pemberontakan mereka."

"Kedatangan Razor mengubah segalanya, begitu yang

kudengar," Kaede mulai ikut bicara. "Mereka rutin merotasi

pemimpin, dan soal dana selalu menjadi masalah. Koneksi

Razor dengan Koloni telah membawa jauh lebih banyak

uang untuk menyelesaikan misi."

Beberapa tahun belakangan ini, Metias memang lebih

~42~

sibuk menangani serangan kelompok Patriot di Los

Angeles, seingatku.

Razor mengangguk, menyetujui kata-kata Kaede.

"Kami berjuang untuk menyatukan kembali Koloni dan

Republik, untuk mengembalikan Amerika Serikat ke

kejayaannya yang dulu." Matanya memancarkan kilatan

penuh tekad. "Dan,kami berniat melakukan apa pun yang

diperlukan untuk mewujudkan tujuan itu."

Amerika Serikat yang dulu, pikirku, sementara Razor

melanjutkan bicara. Day telah menyebut-nyebut soal

Amerika Serikat padaku selama pelarian kami dari Los

Angeles, meskipun aku masih tetap skeptis. Sampai

sekarang. "Bagaimana organisasi ini bekerja?" tanyaku.

"Kami mengawasi orang-orang yang memiliki bakat

dan kemampuan yang kami butuhkan, lalu kami coba

merekrut mereka," kata Razor. "Biasanya, selalu mudah bagi

kami untuk mengajak orang bergabung, walaupun beberapa

orang butuh waktu lebih lama." Dia berhenti sejenak untuk

mengedikkan gelasnya ke arah Day. "Aku dianggap sebagai

Pemimpin di kelompok Patriot?hanya ada sedikit di

antara kami, bekerja dari dalam dan merancang misimisi

pemberontakan. Kaede di sini sebagai Pilot." Kaede

melambaikan tangan seraya terus menghirup makanannya.

"Dia bergabung dengan kami setelah dikeluarkan dari

Akademi Zeppelin di Koloni. Dokter bedah Day adalah

Paramedis, dan Tess adalah Paramedis-dalam-pelatihan.

Kami juga punya Petarung, Buronan, Pengintai, Hacker,

Pengawal, dan seterusnya. Aku akan menempatkanmu

sebagai

Petarung,

June,

meskipun

tampaknya

kemampuanmu bisa dimasukkan ke beberapa kategori. Dan

Day, tentu saja, adalah Buronan terbaik yang pernah

kulihat." Razor tersenyum kecil dan menghabiskan

minumannya. "Secara teknis, seharusnya kalian berdua

sama-sama ada di kategori baru: Selebriti. Bagi kami, itulah

yang paling berguna dari kalian, dan itulah mengapa aku

tidak melempar kalian kembali ke jalanan."

"Anda baik sekali," kata Day. "Bagaimana rencananya?"

Razor menunjukku. "Tadi aku menanyaimu berapa

banyak yang kau tahu tentang Elector kita. Belakangan ini

aku mendengar isu. Katanya Anden sangat terpesona

~43~

padamu di pesta itu. Seseorang mendengarnya bertanya

apakah kau bisa ditransfer ke kelompok patroli di ibu kota.

Bahkan, ada rumor bahwa dia menginginkanmu dipilih

untuk dilatih sebagai Princeps Senat selanjutnya."

"Princeps selanjutnya?" secara otomatis aku

menggelengkan kepala, kewalahan dengan ide tersebut.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemungkinan itu tidak lebih dari sekadar isu. Bahkan,

sepuluh tahun pelatihan pun tak akan cukup untuk

menyiapkanku menjadi Princeps."

Razor hanya tertawa mendengar pernyataanku.

"Apa itu Princeps?" Day angkat bicara. Dia terdengar

kesal. "Beberapa dari kita tidak benar-benar memahami

hierarki Republik."

"Pemimpin Senat," jawab Razor sambil lalu, tanpa

menoleh ke arahnya. "Bayangan Elector. Partnernya dalam

memerintah?dan terkadang lebih. Pada akhirnya sering

seperti itu, setelah pelatihan selama satu dekade wajib.

Bagaimanapun, ibu Anden adalah Princeps sebelumnya."

Secara naluriah aku melirik Day cepat. Rahangnya

mengeras dan dia tetap diam, isyarat kecil yang menyatakan

bahwa dia lebih baik tidak mendengar apa yang Elector

pikirkan tentangku atau Elector mungkin menginginkanku

sebagai partner-nya di masa depan. Aku berdeham.

"Rumor itu berlebihan," desakku. Seperti Day, aku

juga merasa tidak nyaman dengan percakapan ini. "Bahkan

meskipun rumor itu benar, aku akan tetap menjadi satu dari

beberapa Princeps-dalam-pelatihan, dan kujamin bahwa

yang lainnya pastilah Senator-Senator berpengalaman.

Tapi, bagaimana Anda berencana menggunakan informasi

itu dalam rencana pembunuhan Anda? Apa Anda pikir aku

akan?"

Kaede menyela kata-kataku dengan tawa keras. "Kau

tersipu, Iparis," katanya. "Apa kau suka gagasan bahwa

Anden tergila-gila padamu?"

"Tidak!" kataku, agak terlalu cepat. Kini, kurasakan

wajahku memanas, meskipun aku sangat yakin itu gara-gara

Kaede membuatku kesal.

"Jangan terlalu arogan," ujarnya. "Anden adalah pria

tampan yang punya kekuasaan besar dan banyak pilihan.

~44~



Tidak masalah merasa tersanjung. Aku yakin Day

mengerti."

Razor

mengerutkan

kening

tak

setuju,

menyelamatkanku dari keharusan merespons. "Kaede.

Tolong." Kaede cemberut pada Razor dan kembali ke

makanannya.

Aku melirik sekilas ke sofa. Day sedang menatap

langit-langit.

Setelah jeda sejenak, Razor melanjutkan. "Bahkan

sampai sekarang, Anden tidak bisa yakin kau melakukan

semua tindakan melawan Republik karena tujuan tertentu.

Yang dia tahu, kau mungkin disandera ketika Day kabur.

Atau dipaksa bergabung dengan Day di luar kemauanmu.

Ada cukup ketidakpastian yang dirasakannya sehingga dia

mendesak pemerintah memasukkanmu ke daftar orang

hilang alih-alih buronan karena berkhianat. Ini poinku:

Anden tertarik padamu, dan itu berarti apa yang kau

katakan padanya bisa memengaruhinya."

"Jadi, Anda ingin aku kembali ke Republik?" tanyaku.

Sepertinya kata-kata itu bergema. Dari sudut mataku,

kulihat Tess bergeser tak senang. Mulutnya bergetar seperti

hendak mengucapkan sesuatu.

Razor mengangguk. "Tepat sekali. Awalnya aku akan

menggunakan mata-mata dari kelompok patroli Republikku

sendiri untuk bisa dekat dengan Anden?tapi sekarang

kami punya alternatif yang lebih baik. Kau. Kau beri tahu

Elector bahwa kelompok Patriot akan mencoba

membunuhnya?tapi rencana yang kau katakan padanya

hanya perangkap. Sementara perhatian semua orang teralih

pada rencana palsu itu, kita akan menyerang dengan

rencana yang asli. Tujuan kita bukan hanya untuk

membunuh Anden, tapi untuk menjadikan negeri ini

sepenuhnya melawannya sehingga rezim dia akan tetap

berakhir meskipun rencana kita gagal. Itulah yang bisa

kalian berdua lakukan untuk kami. Sekarang, kami telah

mendengar laporan bahwa Elector baru akan pergi ke

medan perang dalam beberapa minggu ke depan untuk

memperoleh berita terbaru dan laporan kemajuan dari para

kolonelnya. Zeppelin PR Dynasty akan meluncur ke medan

perang besok siang, dan seluruh skuadronku akan berada di

~45~



sana. Day akan ikut aku, Kaede, serta Tess dalam perjalanan

itu. Kami akan mengatur pembunuhan yang sebenarnya,

dan kau akan menggiring Anden ke sana." Razor melipat

lengan dan mempelajari wajah kami, menunggu reaksi

kami.

Akhirnya, Day angkat suara dan menginterupsi. "Ini

akan sangat berbahaya bagi June," debatnya sembari

menopang tubuhnya lebih tegak di sofa. "Bagaimana Anda

bisa yakin dia bisa tiba di tempat Elector setelah pihak

militer mendapatkannya kembali? Bagaimana Anda tahu

mereka tidak akan menyiksanya untuk mendapatkan

informasi?"

"Percayalah, aku tahu bagaimana menghindarinya,"

sahut Razor. "Aku juga tidak melupakan adikmu . Jika

June bisa cukup dekat dengan Elector, dia mungkin bisa

mencari tahu sendiri di mana Eden."

Mata Day bercahaya mendengar itu. Tess meremas

pundak Day.

"Mengenai kau, Day, aku belum pernah melihat rakyat

berdemonstrasi untuk seseorang seperti yang mereka lakukan

untukmu. Tahukah kau, rambut dengan corengan merah

telah menjadi tren mode dalam semalam?" Razor tertawa

kecil dan melambaikan tangan ke arah kepala Day. "Itulah

kekuatan. Sekarang ini mungkin kau sama berpengaruhnya

dengan Elector. Mungkin lebih. Jika kita bisa mencari cara

menggunakan ketenaranmu untuk membangkitkan rakyat

dalam hiruk-pikuk ketika pembunuhan itu terjadi, Kongres

takkan punya kuasa untuk menghentikan revolusi."

"Dan, apa yang Anda rencanakan terkait revolusi itu?"

tanya Day.

Razor mencondongkan tubuh dan wajahnya berubah

penuh tekad, bahkan harapan. "Kau tahu kenapa aku

bergabung dengan Patriot? Karena alasan yang sama dengan

kau melawan Republik. Kelompok Patriot tahu betapa kau

telah menderita?kami semua melihat pengorbanan yang

kau lakukan untuk keluargamu, rasa sakit yang Republik

sebabkan untukmu. June," kata Razor, mengangguk

padaku. Aku bergidik; aku tak mau diingatkan tentang apa

yang terjadi pada Metias. "Aku juga sudah melihat

penderitaanmu. Seluruh keluargamu dihancurkan oleh

~46~



negara yang pernah kau cintai. Sudah tak terhitung berapa

banyak anggota Patriot yang datang dari situasi serupa."

Day kembali menatap langit-langit ketika keluarganya

disebut-sebut. Matanya tetap kering, tetapi saat Tess

mengulurkan tangan untuk menggenggam tangannya,

jemarinya melingkar erat di jemari Tess.

"Dunia di luar Republik tidak sempurna, tapi

kebebasan dan kesempatan benar-benar ada di luar sana,

dan yang kita butuhkan adalah membiarkan cahaya

menyinari Republik itu sendiri. Negara kita berada di

ambang kehancuran?yang harus kita perlukan sekarang

adalah sebuah tangan untuk menyentilnya sampai jatuh."

Dia setengah berdiri dari kursinya dan menunjuk dadanya.

"Kita bisa menjadi tangan itu. Dengan revolusi, Republik

akan hancur, lalu bersama Koloni kita bisa mengambil alih

dan membangunnya kembali menjadi sesuatu yang hebat,

menjadi Amerika Serikat lagi. Rakyat akan hidup bebas.

Day, adikmu bisa tumbuh di tempat yang lebih baik.

Hidup kita pantas dipertaruhkan untuk itu. Kita pantas

mati untuk itu. Ya, kan?"

Bisa kukatakan bahwa kata-kata Razor mengadukaduk

sesuatu dalam diri Day, menarik keluar cahaya di matanya

yang membuatku terkejut karena begitu terangnya.

"Sesuatu yang pantas kita perjuangkan sampai mati," dia

mengulangi.

Seharusnya aku juga bersemangat. Tapi entah

bagaimana, tetap saja, pikiran tentang kehancuran Republik

membuatku agak mual. Aku tak tahu apakah tahun-tahun

ketika doktrin Republik ditanamkan ke dalam otakku bisa

disebut pencucian otak. Perasaan mual itu terus bertahan,

meskipun dibarengi banjir rasa malu dan kebencian pada

diri sendiri.

Segala hal yang selama ini akrab denganku kini lenyap.

[]

~47~



PARAMEDIS

MUNCUL DENGAN KEBINGUNGAN

tak terucap, beberapa saat setelah tengah malam.

Wanita itu menyiapkan operasiku. Razor menarik

sebuah meja dari ruang tamu ke salah satu kamar tidur

yang lebih kecil. Boksboks berisi berbagai barang

campur aduk?makanan, paku, penjepit kertas, pelples

air sebut saja barang yang kau mau, pasti ada?

ditumpuk di sudut. Paramedis itu bersama Kaede

menggelar selapis plastik tebal di bawah meja. Mereka

mengikatku di meja tersebut dengan serangkaian ikat

pinggang. Paramedis menyiapkan alat-alat logamnya

dengan hati-hati. Kakiku tergeletak, lukanya tersingkap

dan berdarah. June tetap berada di sebelahku selama

mereka melakukan semua itu, mengawasi Paramedis

seakan-akan dirinya adalah mandor yang akan

~48~
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memastikan wanita itu tidak melakukan kesalahan. Aku

menunggu tak sabar. Setiap detik yang berlalu

membawa kami lebih dekat untuk menemukan Eden.

Kata-kata Razor mengaduk-aduk perasaanku setiap

kali aku memikirkannya. Entahlah?mungkin seharusnya

aku bergabung dengan kelompok Patriot sejak

bertahun-tahun lalu.

Tess sibuk ke sana kemari di ruangan itu sebagai

asistenyangefisienuntuksiParamedis.Diamengenakan

sarung tangan usai menggosok tangannya dengan

sabun steril, memberikan peralatan yang dibutuhkan

kepada Paramedis, mengamati prosesnya dengan

tekun jika sedang tak ada yang dilakukannya. Dia

berusaha menghindari June. Dari ekspresi Tess, bisa

kukatakan bahwa dia sangat gugup, tapi dia tidak

mengucapkan sepatah kata pun ten-tang hal itu. Kami

berdua telah mengobrol satu sama lain dengan begitu

mudahnya selama makan malam, ketika dia duduk di

sampingku di sofa?tapi sesuatu telah berubah di

antara kami. Aku tidak yakin apa masalahnya. Kalau

aku tidak mengenalnya dengan baik, aku akan berpikir

dia menyukaiku. Tapi itu pikiran yang aneh, jadi segera

saja kutepis. Tess, yang kuanggap seperti adikku, gadis

kecil yatim piatu dari sektor Nima?

Kecuali, dia bukan gadis kecil yatim piatu lagi.

Sekarang, aku bisa melihat tanda-tanda kedewasaan

yang berbeda pada wajahnya: sudah tidak terlalu

tembam, tulang pipinya tinggi, mata yang tampak tidak

sebesar yang kuingat. Aku bertanya-tanya kenapa aku

tidak pernah memperhatikan perubahan-perubahan ini

sebelumnya. Hanya butuh beberapa minggu berpisah

untuk membuat semuanya jadi jelas. Aku pasti bebal

seperti batu bata, ya?

"Tarik napas," kata June di sebelahku. Dia

menghirup udara sepenuh paru-parunya seolah ingin

mendemonstrasikan bagaimana hal itu dilakukan.

Aku berhenti memikirkan Tess dan menyadari

bahwa aku telah menahan napas. "Kau tahu berapa

lama operasinya nanti?" tanyaku pada June. Dia

menepuk tanganku untuk menenangkan ketegangan

~49~



dalam suaraku, dan aku merasakan sebersit rasa

bersalah. Kalau bukan karena aku, sekarang dia masih

akan berada dalam perjalanan ke Koloni.

"Beberapa jam." June berhenti sejenak saat Razor

mengajak Paramedis menjauh untuk bicara secara

pribadi.

Uang berpindah tangan?lalu mereka

bersalaman. Tess menolong Paramedis memakai

masker, lalu mengangkat ibu jari ke arahku. June

kembali menoleh padaku.

"Kenapa kau tidak memberitahuku kau pernah

bertemu

Elector?"

bisikku.

"Kau

selalu

membicarakannya seolah dia benar-benar orang asing."

"Dia memang benar-benar orang asing," sahut

June. Dia menunggu beberapa saat, seperti

mempertimbangkan kata-katanya. "Aku hanya tidak

melihat apa pentingnya memberitahumu?aku tidak

kenal dia, dan aku tak punya perasaan khusus

terhadapnya."

Aku memikirkan kembali ciuman kami di kamar

mandi. Kemudian, kubayangkan sosok Elector baru

dalam pikiranku dan kubayangkan June yang lebih tua

berdiri di sampingnya sebagai Princeps Senat masa

depan. Di lengan pria terkaya di Republik. Dan apalah

aku ini, bandit jalanan kotor dengan dua Notes di saku,

berpikir bahwa aku benar-benar bisa tetap berada di

samping gadis ini setelah menghabiskan beberapa

minggu bersamanya? Selain itu, apa aku sudah lupa

bahwa June pernah menjadi bagian keluarga elite?

Bahwa dia bergaul dengan orang-orang seperti Elector

muda di pesta perjamuan makan malam mewah ketika

aku masih berburu makanan di tempat sampah Lake?

Dan, kenapa baru sekarang aku membayangkan dia

dengan pria kelas atas? Mendadak aku merasa begitu

bodoh karena mengatakan padanya aku mencintainya,

seolah-olah aku bisa membuatnya balas mencintaiku

seperti kebanyakan gadis jalanan. Bagaimanapun, dia

juga tidak membalas pernyataan itu.

Kenapa pula aku peduli? Seharusnya aku tidak

merasa sakit. Benar, kan? Bukankah aku punya lebih

~50~



banyak hal penting yang harus kukhawatirkan?

Paramedis berjalan menghampiriku. June meremas

tanganku; aku tak ingin membiarkannya pergi. Dia

memang dari dunia yang berbeda, tapi dia telah

menyerahkan segalanya untukku. Terkadang, aku

menerima hal ini sebagaimana mestinya, kemudian aku

bertanya-tanya bagaimana bisa aku punya keberanian

untuk meragukannya ketika dia tidak menolak

menempatkan dirinya dalam bahaya demi diriku. Mudah

baginya meninggalkanku begitu saja. Tapi dia tidak

melakukannya. Aku memilih ini, begitulah yang dia

katakan.

"Trims," kataku padanya. Hanya itulah yang mampu

kuucapkan.

June memandangiku, lalu memberiku kecupan

ringan. "Operasi ini akan berakhir sebelum kau

menyadarinya. Kau akan bisa memanjat gedung lagi dan

berlari secepat dulu." Dia berlama-lama sejenak,

kemudian berdiri dan mengangguk pada Paramedis dan

Tess. Setelah itu dia pergi.

Aku memejamkan mata dan menarik napas

gemetar ketika Paramedis mendekat. Dari sudut ini,

aku tidak bisa melihat Tess sama sekali. Yah, seperti

apa pun rasanya operasi ini, pasti tidak akan lebih

buruk daripada ditembak di kaki. Benar?

Paramedis menutup mulutku dengan kain basah.

Aku melayang jauh menuju terowongan panjang dan

gelap.

*** Sesuatu memercik.

Kenangan dari tempat yang sangat jauh.

Aku duduk bersama John di meja ruang tamu kami

yang kecil. Kami berdua diterangi cahaya bergoyang dari

tiga buah lilin. Aku sembilan tahun. Dia empat belas.

Mejanya reyot seperti biasa?salah satu kakinya rusak,

dan seperti pada bulan-bulan lainnya, kami berusaha

memperpanjang umur meja itu dengan memakukan

lebih banyak papan kardus ke situ.

Sebuah buku tebal terbuka di hadapan John.

Kedua alisnya berkerut penuh konsentrasi. Dia

membaca baris lainnya, terbata-bata saat membaca

~51~



dua dari kata-kata yang ada, lalu dengan sabar

berpindah ke baris berikut.

"Kau tampak sangat lelah," kataku. "Mungkin

seharusnya kau pergi tidur. Ibu akan marah kalau

melihatmu masih bangun."

"Kita akan menyelesaikan halaman ini," gumam

John, hanya setengah mendengarkan. "Kecuali kau

sudah mengantuk."

Kata-kata itu membuatku duduk lebih tegak. "Aku

tidak lelah," kataku bersikeras.

Kami berdua kembali membungkuk di atas teks itu,

dan John membaca baris berikutnya keras-keras. "?Di

Denver?," ujarnya perlahan, "?setelah Dinding Utara

selesai dibangun Elector Primo secara resmi

secara resmi .?"

"?Menganggapnya?," kataku, membantunya.

"?Menganggapnya tindak kriminal .?" beberapa

detik lamanya John berhenti, kemudian menggelengkan

kepala dan mengeluh.

"?Melawan?," kataku.

Kening John berkerut ke arah teks itu. "Kau yakin?

Tidak mungkin kata itu. Baiklah. ?Melawan. Melawan

negara untuk memasuki .?" John berhenti,

menyandarkan punggung ke kursinya, dan menggosok

matanya. "Kau benar, Danny," dia berbisik. "Mungkin

seharusnya aku tidur."

"Ada apa?"

"Huruf-huruf itu terus bertebaran di halaman ini."

John mengeluh dan menunjuk kertas itu dengan jarinya.

"Membuatku pusing."

"Ayolah. Kita akan berhenti setelah baris ini." Aku

menunjuk baris di mana dia berhenti, kemudian

menemukan kata yang menjadi masalah baginya. "?Ibu

kota?," kataku. "?Tindak kriminal melawan negara untuk

memasuki ibu kota tanpa mendapat izin pihak militer

terlebih dahulu?."

John tersenyum kecil saat aku membacakan

kalimat itu untuknya tanpa kesulitan. "Kau akan baikbaik saja dalam Ujianmu," ujarnya setelah aku selesai.

"Kau dan Eden. Jika aku harus lulus dengan susah

~52~



payah, aku tahu kalian akan lulus dengan mudah dan

mendapat nilai bagus. Kau pintar, Dik."

Aku hanya mengangkat bahu mendengar pujiannya.

"Aku tidak setertarik itu pada sekolah menengah."

"Kau harus. Setidaknya kau akan punya
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan. Dan, jika kau cukup baik menjalaninya,

barangkali Republik akan memasukkanmu ke

perguruan tinggi dan menempatkanmu di militer. Itu

menarik, kan?"

Tiba-tiba ada ketukan di pintu depan. Aku terlonjak.

John mendorongku ke belakangnya. "Siapa itu?" dia

berseru. Ketukan itu menjadi lebih keras sampai aku

harus menutupi telinga dengan tangan untuk menahan

suara ributnya. Ibu keluar ke ruang tamu sambil

menggendong Eden yang mengantuk, lalu bertanya

pada kami apa yang terjadi. John melangkah maju

untuk membuka pintu?tapi sebelum dia melakukannya,

pintu itu terayun membuka dan sekelompok polisi

patroli bersenjata menerobos masuk. Seorang gadis

dengan rambut kuncir kuda gelap panjang dan kilatan

emas di mata hitamnya berdiri di depan. Nama gadis itu

June.

"Kalian ditangkap," katanya, "karena membunuh

Elector kami yang agung."

Dia mengangkat pistolnya dan menembak John,

kemudian menembak Ibu. Aku menjerit sekuat tenaga,

menjerit sangat keras sampai pita suaraku putus.

Segalanya berubah gelap.

Rasa sakit yang menyentak menjalari tubuhku.


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Natasha Karya Viktor Malarek Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para

Cari Blog Ini