Ceritasilat Novel Online

Sang Mawar Gurun Firaun 6

Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan Bagian 6

utama raja, Pangeran Menmatre. Tapi, karena harus selalu

berpindah antara benteng di Faiyum dan Memphis, dia tak

bisa menguasai sepenuhnya apa yang telah terjadi di istana...

Tak tahu kenapa, tiba hari saat sekolah penjahit baru

yang akan dibangun di kota akan diberi nama Tuhan

Toth. Masyarakat, beberapa hari sebelum perayaan Toth,

menginginkan sekolah tersebut mendapatkan nama ?Azizah?,

nama panggilan Ratu Asiyah. Mereka menjelaskan keinginan

mereka untuk menggunakan nama Ratu Asiyah sebagai

ungkapan tanda syukur akan bantuan Ratu Asiyah kepada

mereka di masa kelaparan sepanjang tiga bulan. Tapi, ini

merupakan kabar buruk dalam adat kuno Mesir. Dalam

pandangan Haman, permintaan masyarakat merupakan

375

sebuah kabar yang menandakan musibah. Dia berpikir ini

adalah sebuah kesempatan emas untuk membalikkan keadaan

dan menghancurkan Ratu Asiyah.

"Sebagai sebuah bukti kesetiaan kepada kerajaan, para

penasihat tinggi Tuhan dan Raja Pare-amon mengatakan

bahwa kehormatan pembukaan sekolah ini diberikan kepada

Anda dengan memberikan korban kepada Tuhan Toth." Begitu

ucapan Haman kepada Ratu Asiyah...

Dengan begitu, ini akan menjadi ujian kesetiaannya dan

juga menghancurkan identitas Azizah dalam pandangan

masyarakat. Tapi, bukankah hal ini merupakan permasalahan

utama yang dihadapi Ratu Asiyah sejak pengasingan dirinya

Semua terbangun dengan tabuhan-tabuhan suara

duka dari arah barat. Para pembawa kabar dari

Faiyum telah tiba di kota. Suara-suara tabuhan di

pagi hari ini, dengan sebuah kecepatan yang mengikat

pagi hari dengan musibah yang besar, menyebar

seperti kobaran api ke istana. Bersama kuda-kuda

hitam yang membawa berita duka, mereka datang

untuk memberikan kabar kematian orang pertama

yang menjadi tuhan.

Raja... Tuhan... Pare-amon... Meninggal dunia...

376

ke Avaris? Bukankah dia dianggap bersalah karena tak mau

mengakui ketuhanan sang Raja? Penghancuran harga diri,

penurunan derajat, pengasingan... Sekarang apa maksud

ini semua? Tak ada lagi maksud selain permusuhan secara

terbuka...

Sepanjang malam, lilin terus menyala... Ratu terjaga bersama

Tahnem dan Sare...

Bagaimana bisa mereka melewati ujian ini?

Sare, setelah malam yang dilalui dengan permasalahan,

memberikan kabar yang menebarkan aroma susu hangat ke

sekitarnya, tepat sebelum Matahari terbit:

"Saya sedang mengandung seorang bayi, Bagindaku."

Ruangan kecil dan sempit itu dipenuhi kegembiraan dengan

kabar ini, seperti bunga-bunga lotus yang menyejukkan udara.

Terbitlah cahaya pagi, seakan seluruh ranting-ranting kering

mendapatkan aliran air musim semi. "Kita ucapkan seribu kali

syukur kepada Allah!"

Semua terbangun dengan tabuhan-tabuhan suara duka dari

arah barat. Para pembawa kabar dari Faiyum telah tiba di kota.

Suara-suara tabuhan di pagi hari ini, dengan sebuah kecepatan

yang mengikat pagi hari dengan musibah yang besar, menyebar

seperti kobaran api ke istana. Bersama kuda-kuda hitam yang

membawa berita duka, mereka datang untuk memberikan

kabar kematian orang pertama yang menjadi tuhan.

Raja... Tuhan... Pare-amon... Meninggal dunia...

Kematian, bersama sebuah sindiran yang berbeda,

memukul punggung Tuhan Pare-amon, membuktikan

ketidakabadiannya...

377

"Ra..."

Hanya satu suku kata pendek terucap dari bibir sang

Ratu...

Tali yang masuk ke dalam sumur hitam itu sejak masa

kecil, setiap kali memanggil menuju kebaikan, sumur hitam

yang selalu mencari suara air di dalamnya, tak dapat terbuka

sekali lagi, dan akan tertutup dengan sebuah penutup yang

terbuat dari batu... Obor-obor besar yang menjulang tinggi

di menara-menara istana, satu per satu dipadamkan, ribuan

anak panah dilepaskan ke langit sebagai salam terakhir kepada

Tuhan Raja Pareamon. Para pendeta dengan mengenakan baju

duka mulai membakar dupa-dupa. Para pembawa berita duka

yang menyebarkan kabar ke seluruh wilayah, membangunkan

masyarakat sekitar dengan puisi-puisi duka, memanggil setiap

orang berkumpul di sekitar istana.

rrr

378

33. Sultanah yang

Menjadi Tawanan di

Istana...

Ratu Asiyah bersama pewaris tahta, Pangeran Menmatre,

berada dalam rombongan yang berjalan di pagi hari menuju

Benteng Faiyum. Meskipun belum ditetapkan secara resmi,

bersamaan dengan kekosongan raja, wewenang tugas

penguburan dan upacara bela sungkawa jatuh ke tangan

Sultanah Nil, menggantikan Ratu Utara yang pergi ke kota

kelahirannya bersama saudara laki-lakinya. Takdir dan

kematian Raja Ra mengikat kedua tangan Sultanah Asiyah...

Sultanah Asiyah, meskipun tak rela, berdasarkan hasil

musyawarah bersama Tahnem dan Sare, memutuskan untuk

mengikuti upacara pemakaman guna menyeimbangkan

kekuatan yang ada di istana. Partisipasinya dalam upacara

pemakaman ini merupakan langkah yang penting untuk

memecah kekuasaan pendeta istana dan demi keselamatan

Pangeran Musa. Di lain sisi, Haman, meskipun dipenuhi

amarah, memuji-muji sultanah, demi terlihat baik di hadapan

calon pewaris tahta, Pangeran Menmatre.

"Ini merupakan sebuah kesempatan suci untuk menunjukkan

kesetiaan Baginda kepada Mesir."

Ketika menaiki perahu Teye dan pergi ke tepi seberang,

Sultanah merasakan hal yang aneh dalam dirinya. Tak hanya

379

mahkota dan tahtanya saja, Ra pergi dengan membakar

putranya dan harga diri perempuannya. Ra yang agung, takdir

yang dianggap tak dapat dihancurkan! Terbesit dalam matanya

hari-hari masa kecil ketika mereka bermain di perahu ini...

Menempuh perjalanan yang pendek setelah turun dari Teye,

Asiyah berjalan melalui koridor yang berada di antara kakikaki sphinx. Koridor ini menyambung ke piramida yang

indah di belakangnya. Rumah kematian Raja Pareamon yang

mengesankan ini dibangun untuk dirinya selama dua puluh

tahun. Selama dua puluh tahun, tembok-temboknya dipahat

dengan cermat. Entah berapa banyak tukang batu yang menjadi

korban pemabangunan makam yang penuh dengan perhiasan

ini...

Setelah ruang-ruang doa di pintu masuk, makam pertama

di sebelah timur makam utama dibangun untuk Ratu Asiyah...

Tapi karena perlawanannya, nama Asiyah terukir di seluruh

pintu dan batu-batu makam dengan nama ratu tak mengenal

tuhan.

Tentara kerajaan meninggalkan Rumah Kematian dan

melanjutkan perjalanan ke depan. Tuhan-tuhan telah

meninggal! Dalam bela sungkawa, dalam keadaan yang

tergoncang, berjalan tak yakin dengan hal yang terjadi, ribuan

patung berhala tentara retak... Rangkaian prosesi pemakaman

dan duka cita di Faiyum menghabiskan waktu tujuh puluh

hari bersama upacara adat pemumian. Tuhan mereka dikubur

dengan tangan-tangan mereka. Ritual duka cita akan dilakukan

di seluruh kuil besar dari Memphis sampai Teb. Rumah

pemotongan akan penuh dengan hewan korban, pembakaran

akasia di altar, serta asap-asap dupa yang terbuat dari rantingranting kurma dan angustifolia menyelimuti Mesir.

380

Sultanah Asiyah, meskipun dia tumbuh besar dalam

upacara-upacara seperti ini dan menghafal semua nama dewa,

doa-doa, dan isi Buku Kematian saat belajar di Sekolah Kerajaan,

dia tak pernah suka dengan semua itu. Dia berpartisipasi

dalam upacara-upacara karena sebuah keharusan. Tapi kali

ini berbeda... Kali ini, orang yang meninggal adalah suami

dzalimnya yang hidupnya dia bagi bersama...

Kematian, bagi Mesir, adalah lebih penting dari kehidupan.

Kematian, tak hanya penting bagi para bangsawan istana

saja, tapi juga bagi seluruh rakyat Mesir. Ziggurat-Ziggurat

yang menjulang tinggi ke langit, tempat-tempat observasi, dan

makam-makam dalam bentuk piramida adalah bukti betapa

megahnya dan besarnya "alam akhirat" dalam pikiran orangorang Mesir. Peradaban yang tragis dan berbau kematian ini,

yang berpikir telah menaklukkan dunia, menaklukkan seluruh

ciptaan, dari bintang-bintang sampai sungai-sungai, dari

lautan sampai langit-langit berada dalam tingkat kepercayaan

diri terakhir.

"Mata yang menghancurkan dunia, sekarang berada di

negeri kematian," ucap Aiyah, menistakan pemakaman yang

terlalu berlebihan ini...

Setelah begitu banyak membahas mengenai kematian,

setelah begitu melegendakan kematian, setelah membangun

muka Bumi di atas kematian... Dalam keadaan yang aneh, dalam

diri Sultanah Asiyah muncul sebuah sikap kritis terhadap cara

pandang kematian...

"Kenapa mereka tak membiarkan orang yang mati

tenang?" tanyanya kepada Apa di masa kecilnya. Apa seperti

biasa memberikan isyarat untuk ?diam?. Apa tak ingin sikap

381

memberontak Asiyah mengguncang Mesir terlalu dini dan

menekannya dengan kasih sayang... "Diam"...

Sultanah selalu diam. Hingga saat ini...

Tapi, orkestra orang-orang mati yang tak pernah diam dan

bergema kuat di Mesir selalu mengiringi irama hidupnya. Tak

hanya di sekolah-sekolah milik kerajaan saja, pengetahuan yang

pertama kali diajarkan di sekolah-sekolah umum kepada anakanak selalu lebih banyak mengenai kematian dibandingkan

kehidupan. Di Memphis, Teb, Sakkara, Cize, dan Delta. Di

semua tempat, bahkan di Gosen sekali pun.

Kematian, seketika mengalahkan setiap kalimat di Mesir...

Dan kenangan...

Kenangan sangat berharga bagi Mesir... Keseluruhan zaman

bagi Mesir bermakna kematian.

Negeri besar yang dengan segala macam cara tak dapat

keluar dari kenangan-kenangan yang disembah dari masa

lalunya ini masih berada dalam sebuah keindahan semu
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nostalgia.

Sultanah Asiyah melihat upacara ini sebagai kegiatan

membuang waktu yang penuh kesombongan... Selalu

mengingat masa lalu dan memanggil ruh-ruh kematian ke

dalam kehidupan, seperti sebuah perusakan misteri, pelecehan

menurut dirinya...

"Kenapa mereka tak memberikan ketenangan bagi orangorang yang telah mati?"

Para bangsawan dan pendeta yang memang telah menguasai

segala keberadaan Nil dan masyarakat Nil, seakan tak cukup

bagi mereka. Mereka juga berusaha untuk menguasai negeri

kematian.

382

Sungguh aneh, mereka tak bisa menemukan sebuah cara

memahami kematian, meskipun mereka telah berusaha

berabad-abad. Ilmu dan wawasan selama berabad-abad, sebuah

hal yang tak bisa dipecahkan oleh gabungan ilmu alkimia

dengan sihir; kematian...

Sultanah Asiyah sejenak mengamati halaman dalam yang

terletak di Ruang Militer dari balkon. Jasad Raja Pare-amon

awalnya di siram dengan air Penat yang bersumber dari satu

lengan barat Sungai Nil. Upacara akan segera dimulai...

Tandu jenasah besar yang diangkat oleh masing-masing

lima puluh orang di depan dan belakang dihiasi jaringjaring sutra berukir emas dan kain sifon berwarna cokelat.

Semua orang terlihat muram. Para komandan dan tentara

mengenakan seragam duka. Para pendeta dengan penutup

kepala berbentuk kerucut panjang putih dan jubah ungu yang

menyapu tanah, para penulis, para pejabat pemerintahan

yang berlari di tengah-tengah dengan jubah kuning cerah,

serta para peramal dan penyihir yang dari pinggang ke bawah

mengenakan kain sari hitam, sementara bagian atasnya terbuka

dan mengenakan rambut palsu bewarna putih... Sultanah

Asiyah melihat pemandangan ini seperti rombongan kematian

yang menggambarkan neraka.

Asap-asap dupa dari batang pohon akasia, angustifolia, dan

ara menyelimuti para pemegang dupa. Mereka mengenakan

pakaian duka berwarna hitam yang sesuai dengan asap yang

menyelimuti wajah dan tangan-tangan mereka.

Dan para pangeran... Parade para pewaris tahta kerajaan

telah siap melakukan perjalanan yang megah dengan mahkotamahkota emas yang menyimbolkan empat puluh dua rumus

383

ketuhanan Mesir yang berbeda. Tangan mereka memegang

tongkat pendek berhias zamrud dan kaftan-kaftan sutra seputih

susu yang berhias bunga anggrek khas upacara kematian. Kaki

mereka beralaskan sandal-sandal berhias emas.

Wajah para pangeran ini penuh dengan bedak putih, mata

yang dihitamkan, dan rambut palsu yang memanjang sampai

ke bahu. Semua ini membuat mereka tampak serupa satu sama

lain. Apakah mereka benar-benar berduka atas kematian sang

Raja? Ataukah mereka akan berlomba untuk mendapatkan satu

tempat yang terhormat dalam kekuasaan istana yang baru?

Sultanah tak yakin dengan hal ini. Istana yang penuh dengan

perselisihan dan permainan kekuasaan akan memasuki sebuah

masa baru.

Pangeran Menmatre dengan postur tubuh yang

mengingatkan pada sebuah patung perak berpotongan atletis,

setelah menurunkan selendang hitam yang dia angkat ke udara,

masuk ke kuil lama di Faiyum dan memulai pidato duka resmi.

"Salam kepada kalian, wahai tuhan-tuhan yang berada di

ruangan yang luas ini! Saya tahu kalian, saya tahu nama-nama

kalian! Salam dengan hormat kepada empat puluh dua tuhan

Mesir yang dihormati.

Seperti halnya saya tak takut dengan kalian, untuk perbuatan

yang adil dan yang akan adil di Mesir, aku tahu kalian takkan

bicara di hadapan raja kami.

Salam kepada kalian yang tak memiliki kebohongan,

tuhan-tuhan yang hidup dengan kebenaran dan tumbuh besar

di hadapan Horus dalam lingkup dua hakim yang berada di

ruangan ini!

Di dalam hari perhitungan ini, lindungilah saya dan raja

kami. Dan kami datang sebagai tak berdosa kepada kalian.

384

Tak ada kesalahan, tak ada kejahatan. Tak satu pun yang bisa

menjadi saksi di hadapan kalian...

Kami hidup di atas kebenaran. Besar dalam kebenaran. Kami

melakukan apa pun yang manusia katakan, kami melaksanakan

apapun yang membahagiakan para tuhan. Roti untuk lapar,

air untuk haus dahaga, pakaian untuk ketelanjangan, dan jika

berada dalam pulau yang terkucil, kami memberikan perahu.

Kami memberi makan budak-budak dan seluruh kasta.

Korban-korban

suci

bagi

para

tuhan,

kami

mempersembahkan korban kematian bagi para orang mati.

Oleh karena itu, selamatkan kami, lindungi kami! Jangan

lakukan penyaksian di hadapan tuhan-tuhan Mesir. Mulut

dan tangan-tangan kami bersih, kami adalah orang-orang

yang berkata "Selamat datang, kedatangan kalian membawa

kemakmuran" pada kalian. Wahai Tuhan Napas, Tuhan

Mahkota Atef yang menjaga namanya, tuhan yang sangat sulit

memenuhi keinginannya! Tuhan yang wajahnya tak terlapisi

sesuatu, selamatkanlah kami dari utusan-utusanmu yang

membawa pemusnahan dan penyebar kekotoran. Karena kami

sebagai orang yang tulus, kami telah melaksanakan keadilan

bagi Tuhan Keadilan. Depan kalian putih, belakang kalian

jernih, badan kami telah dicuci dalam air keadilan, unsur

ketidakadilan tak ada pada kami!"

Doa yang panjang ini, membuat kepala Sultanah Asiyah

pusing. Hatinya tersesak, seolah dia akan berguling-guling

kesakitan di tempat itu...

rrr

385

Proses pemumian selama tujuh puluh hari telah selesai.

Di hari ketujuh puluh satu, Raja Menmatre yang baru saja

diangkat, di wajahnya tak tampak garis duka sedikit pun, tampil

di depan rakyat Mesir. Dia tampak tenang... Wasiat resmi Pareamon telah dibacakan, Menmatre adalah orang yang ia tunjuk

sebagai pengganti.

Sebelumnya, orang yang berbicara dengan kesopanan

seraya berlutut di hadapan Asiyah telah pergi. Seperti ilmu

sihir, setelah memakai mahkota setan yang disebut mahkota

kerajaan itu, sosok lain datang menempati diri Manmetre.

Sambil mengucapakan salam dengan anggukan kepala khas

para raja kepada sultanah, raja baru menemui Asiyah. "Saya

pernah bilang bahwa suatu hari kita akan bertemu kembali

dalam keadaan yang berbeda kepada Baginda," ucapnya.

Sultanah sangat memahami bahwa ucapan ini memiliki arti

yang berat dan beban yang besar. Dia tersenyum pahit. Dia

mengetahui kekuatan mahkota yang terpasang di kepala lakilaki itu.

Di hari ketujuh puluh satu, Raja Menmatre yang

baru saja diangkat, di wajahnya tak tampak garis

duka sedikit pun, tampil di depan rakyat Mesir.

Dia tampak tenang... Wasiat resmi Pareamon

telah dibacakan, Menmatre adalah orang yang ia

tunjuk sebagai pengganti.

386

"Baginda Raja, saya mengetahui bahwa kami telah

diperintahkan menjadi tawanan di sebuah istana."

"Latar belakang kebangsawanan Anda akan terikat di

ranting-ranting pohon Kerajaan Mesir kami yang megah."

"Bagindaku, kami tak memiliki keinginan selain keselamatan

putra kami. Hidup saya akan saya lalui untuk kesetiaan kepada

Baginda sebagai seorang kerabat."

"Terima kasih... Kami ingin mengingatkan bahwa putra

Anda akan mendapatkan keselamatan sesuai dengan kesetiaan

yang Anda tunjukkan. Anda adalah peninggalan Raja dan

Tuhan Pareamon yang berharga. Maksud kami bukan dalam

makna sebuah pernikahan. Sebagai istri resmi... Anda akan

hidup bersama abdi-abdi Anda di istana. Tak ada yang akan

mengganggu kalian. Tapi untuk kelangsungan kerajaan,

Anda harus menerima untuk menjadi ratu. Dengan begini,

kami memberikan kesempatan untuk mengakhiri seluruh

penghitaman kepada Anda sebagai ?seorang Ratu yang tak

mengenal tuhan?..."

"Bagindaku, saya adalah orang yang percaya kepada Tuhan

dengan seluruh hati saya."

"Kami memahami kelompok Anda yang berdasar pada

kisah-kisah lama itu. Di muka Bumi ini, tak tersisa orang yang

percaya pada sesuatu yang kosong selain kalian. Itu semua

adalah kebatilan... Apa-amon juga salah satu guru kami. Dia

masuk dan pergi ke dalam pikiran kami. Meneruskan adatadat Anda ini cukup untuk menaruh putra Anda, Pangeran

Musa, ke dalam bahaya."

"Bagindaku, saya ulangi lagi bahwa saya adalah orang yang

percaya kepada Rabb sepenuh hati..."

387

Pembicaraan yang pendek ini tak akan terselesaikan dengan

kata-kata yang paling menyakitkan bagi raja yang baru. Dia

telah memutuskan untuk masuk ke Memphis dengan sebuah

kekuatan kemenangan. Dia tak memiliki waktu untuk berdebat

mengenai agama dengan Sultanah. Sebenarnya, agama

baginya hanyalah sebagai sebuah alat politik, tak lain dari itu.

Setelah politik bekerja, zaman takkan memisahkan perdebatan

mengenai ritual-ritual.

Sementara itu, Sultanah Asiyah...

Seorang ratu tanpa mahkota yang mengikuti upacara

pemakaman dan kembali mengenakan mahkota di kepalanya.

rrr

388

34. Sultanah Kah yang

Kembali ke Istana?

Setelah upacara pemakaman, perjalanan pulang menuju

Memphis sekali lagi dimulai.

Melewati pohon-pohon akasia di tepian Sungai Nil, Sultanah

Asiyah tak lepas memandanginya. Pohon-pohon ini terlihat

seperti gadis-gadis muda ceria yang menyisir rambutnya ke

belakang dengan tangannya saat terbangun dari tidurnya

tanpa melihat cermin. Ranting-ranting membengkokkan

badannya ke belakang karena embusan angin. Jalan-jalan

dipenuhi aroma bunga berwarna antara putih dan ungu yang

membius... Aroma ini mengingatkan dirinya pada perjalanan
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dia lakukan bersama Musa kecil di tepi sungai. Musa kecil

sangat suka berbaring di tempat tidur yang digoyangkan dan

membuatnya tertidur lelap di bawah aroma membius ini...

"Hari-hari masa kecil yang tanpa kesedihan, tanpa

penderitaan," ucapnya tersenyum...

Setelah memandang kendi-kendi serbat, botol-botol air

yang ditata berjejer oleh para penghuni rumah di luar kota...

Ditata tepat di bawah kaki pohon-pohon akasia, botol-botol

berisikan berbagai macam serbat masih tertutup rapat. Tak ada

yang tahu badai atau rahasia manakah yang dipegang oleh Nil?

Bintang di langit Mesir menyinari seluruh kendi dan air yang

berada di dalamnya... Sepanjang hari, berada di bawah teriknya

389

padang pasir, mengambil kalimat-kalimat pembangkitan

orang-orang yang mati di kala terbenamnya Matahari.

Malam-malam Nil, membawa rahasia pembangkitan

setelah kematian...

"Kapan aku akan menemui kesejukan itu?" tanya Sultanah

pada dirinya sendiri...

Para penghuni rumah di luar kota ini pergi ke lahan-lahan

perkebunan di saat hari masih sangat pagi. Dalam pandangan

para petani yang memanggil Nil dengan panggilan ?ibu?, sungai

ini berarti sebagai makna kehidupan dan keberkahan biji dan

butiran-butiran gandum. Sangat suci. Nil diceritakan sebagai

lautan air yang mengelilingi seluruh dunia dalam kisah-kisah

lama, dalam lagu-lagu... Sultanah sekali lagi mengharapkan

kehidupan sederhana mereka dan orang-orang berhati bersih

yang dia lihat ibarat kehidupan dari Nil... Meskipun mereka

kini tertekan ke bawah, oleh beban-beban pajak... Meskipun

berbagai macam harta kekayaan belum bisa memenuhi

kebahagian para bangsawan di seluruh Mesir, tapi kehiduan

yang dijalani dengan tawakal adalah milik mereka. Para

penghuni rumah di luar kota ini lebih bebas daripada dirinya...

Kaki-kaki berada dalam Sungai Nil yang membawa kabar dari

surga... Sementara itu, kepalanya berada di atap langit bersama

dengan ribuan lilin...

Dan zaman... Yang mengalir di antara Nil dan langit, zaman

mengalir seperti sebuah kisah yang larut terbuka dan tertutup

bagi mereka. Seandainya mereka berada dalam hubungan

antara seorang ibu-anak, Musa dan dirinya... Seandainya

mereka berada di sebuah kehidupan kecil, murni, sederhana,

yang tak seorang pun mengganggu mereka...

390

Sultanah Asiyah mendengarkan lagu-lagu pagi yang

dinyanyikan oleh para penghuni rumah di luar kota ketika

bekerja menghaluskan kain wool...

"Dari manakah datangnya, kemanakah perginya air

besar ini?

Wahai, butiran-butiran gandum dan ibu desa-desa,

Tak pernah berakhirkah kegelisahanmu?

Ribuan ikan tak berlidah yang berada dalam hatimu

Menceritakan kisah bermaknamu...

Ketika menempuh perjalanan dari ujung-ujung ribuan

danau,

Dari sudut semak-semak, dari punggung buaya,

Dari air terjun yang bersandar pada jaring-jaring,

Ucapkanlah keluhan-keluhanmu, kau mengeluh dari

siapa saja?

Ah, Nil... Ibuku,

Ada yang akan aku dengar darimu dan ada yang akan

aku ceritakan padamu..."

Lagu balada "Desa Manis", terputus oleh suara jeritan yang

mengerikan, seakan semua baru saja terbangun dari tidur.

Meskipun tak seorang pun mengetahui apa yang terjadi,

suara pembawa berita segera menggema ke seluruh tepian

sungai, memasuki telinga yang mengabarkan sebuah musibah.

Musibah... Kata ini yang segera terlintas. Jeritan-jeritan...

Teriakan-teriakan... Tangisan-tangisan...

Wilayah sepanjang sungai telah diserang oleh pasukan

musuh yang akan mengobrak-abrik upacara pagi ini. Di tengah

perjalanan yang penuh dengan kegelisahan, muncul sebuah

391

keributan. Tentara-tentara yang berlari dengan senjata terhunus

di tangan mereka segera bergerak menghadapi musuh yang tak

tahu dari mana datangnya diiringi pergerakan pasukan kavaleri

bersama kuda-kuda mereka yang marah... Semua terjadi dalam

satu waktu. Jeritan-jeritan, teriakan-teriakan, tangisan-tangisan

yang menggema sepanjang sungai... Dan ombak-ombak yang

kini berwarna merah di seluruh permukaan sungai...

Nil, sekali lagi menangis darah...

Tahun Kematian... Bau darah...

Sultanah jatuh pingsan dihadapan apa

yang dia lihat...

Ketika Sultanah membuka matanya dia

berada di istana...

Terlihat bahwa Raja Menmatre akan

mengikuti jalan Pareamon, tangan penuh

darah, seorang pemimpin yang kejam...

Dan jika memang teluk yang berduka merupakan sebuah

tempat eksekusi... Tangan-tangan menggenggam cambuk,

algojo bertubuh besar, kurang lebih seribu perempuan,

dikeluarkan dari kapal-kapal yang digunakan sebagai tempat

392

tawanan. Perempuan-perempuan yang didorong menjerit

kesakitan. Permukaan sungai kini berwarna merah darah...

Pembantaian yang terjadi di ujung kaki teluk tak jauh dari

muara Nil ini terlihat dengan jelas. Bayi-bayi yang baru lahir

dilemparkan ke sungai. Para perempuan menjerit, kehilangan

akal sehat, meloncat untuk mencoba menangkap bayi-bayi

mereka...

Tubuh-tubuh penuh dengan darah. Nil dan geliat buayabuaya yang bercampur dengan darah, jeritan, teriakan,

tangisan... Buaya-buaya ganas berkumpul di teluk seperti

gerombolan pasukan kematian...

Nil, sekali lagi menangis darah...

Tahun Kematian... Bau darah...

Sultanah jatuh pingsan di hadapan apa yang dia lihat...

Ketika Sultanah membuka matanya, dia berada di istana...

Terlihat bahwa Raja Menmatre akan mengikuti jalan Pareamon. Raja dengan tangan penuh darah, seorang pemimpin

yang kejam...

Tahnem, berbicara dengan sedih saat melihat sultanah

membuka matanya...

"Selamat datang ke istana, Sultanahku..."

"Kita berjalan di antara para korban di jam-jam pembantaian

dan tiba di istana..."

"Kami

mengetahui semuanya,mereka telah

menceritakannya..."

393

"Tahnem, seluruh bagian istana ini beraroma darah..."

"Kita harus bersabar, Bagindaku..."

"Sungai Nil menangis darah..."

"Ada takdir Allah, Bagindaku. Semua memiliki waktunya..."

rrr

394

35. Setelah Penantian

Lama...

Hari-hari Mesir setelah pelarian Pangeran Musa seperti

arus air yang mengalir ke bawah... Meskipun berada dalam

masalah-masalah yang tak mengenal kata berhenti, tanpa

menaruh toleransi pada adat-adat, mereka berusaha untuk

terus memutar roda kebangsawanan yang menindas orang

miskin.

Sementara itu, tak seorang pun yang ingat tentang pelarian

Pangeran Musa.

Sementara itu, orang-orang yang menantikan kabar baik

tentang Pangeran Musa, seperti Sultanah Asiyah, Yakobed, dan

keluarga Imran mencoba segala cara untuk bisa berkomunikasi

selama bertahun-tahun. Harapan paling besar muncul ketika

terdengar berita pertemuan seorang pangeran dengan Syu?aib

hamba Tuhan di Madyan...

Masyarakat Gosen yang tersebar di sebelah timur Mesir,

dari daerah dataran tinggi Sinai sampai Yerusalem merupakan

para pekerja yang paling dihandalkan. Berkat mereka, kabarkabar dari penggembala seringkali tiba dan mengalir ke

berbagai penjuru. Kabar mengenai Syu?aib yang hidup di

Madyan di tepi timur Laut Merah dan beberapa mukmin yang

berkumpul, meskipun jumlahnya sedikit. Awalnya tiba ke

Gosen, kemudian sampai ke istana...

Pengalaman yang pernah dialami sebelumnya telah banyak

mengajarkan kepada keluarga Imran dan Sultanah Asiyah

395

untuk tak percaya kepada siapapun. Khususnya, kepada

Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan, Karun, yang beberapa

kali berkata ingin memberikan dukungan dan membalas

hutang budi, tapi selalu kembali dengan tangan kosong. Ka,

sahabat masa kecilnya yang telah berbalik punggung terhadap

kerabatnya, lebih terasa sebagai objek ujian dibandingkan

sebagai orang yang akan membantu. Banyak pemuda Apiru

ingin menjadi seperti Ka yang kaya raya. Dan ini hanya dapat

diwujudkan dengan memberikan laporan yang berguna

bagi istana. Kesesatan ini telah membuka sebuah jalan bagi

terbentuknya kelompok yang terdiri dari orang-orang miskin

dan orang-orang lemah hati.

Tanpa ada dukungan dari orang-orang tertindas, kelanjutan

kezaliman memang tak mungkin. Orang-orang berjiwa parasit

memenuhi istana, menyerap darah rakyat dan merusak akhlak

mereka, tak tersisa satu orang pun yang bisa berkata ?hentikan?

untuk kerusakan dan ketidakadilan yang terjadi...

Justru orang-orang licik bertambah banyak, membawa

informasi yang berguna, membangun hubungan baik dengan

istana, dan memanipulasi perbedaan...

Seolah semua ingin menjadi seperti Tuan Karun...

Tuan Karun, ketika dia lewat dengan kunci-kunci emas

yang bergantung di pinggangnya, menggiurkan mata para

Apiru yang melihatnya. Tapi, dia dikenal dengan kepelitannya,

seorang yang tak berbagi dengan siapa pun... Beberapa

tahun terakhir, dia menunjukan kepedulian untuk bertemu

Sultanah Asiyah... Tak memedulikan Pangeran Musa yang

dalam pelarian... Melupakan kerabat-kerabatnya yang dalam

kemiskinan dan kelaparan...

396

Meskipun dirinya sendiri adalah seorang bani Israil, ketika
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Apiru disebut dia menjadi gelisah, "Apa yang mereka

inginkan?" pikirnya. Bahkan dalam perbincangan terakhir kali

dengan Asiyah, dia menyampaikan bahwa tak ada waktu untuk

disisihkan bagi pendatang atau isu-isu yang tak berhubungan

dengan hal-hal di sekitar dirinya. Kata "pendatang" merupakan

wujud kebencian dan merendahkan ketika tertuang dari bibir

Ka. Sultanah sadar bahwa dia berhadapan dengan tembok yang

tak bisa didaki...

Hari-hari kejayaan bani Israil di masa Nabi Yusuf hilang

setelah wafatnya beliau. Mesir yang awalnya memandang

mereka sebagai tamu berharga yang mendapatkan doa dari

Nabi, kini mengeluh dengan pertambahan penduduk yang

pesat seiring waktu. Bahkan, kemudian menyebut mereka

dengan panggilan ?para pendatang?. Awalnya, mereka bekerja

dalam peternakan di sekitar Gosen, lantas mulai beralih ke

perdagangan dan memilki harta kekayaan. Tidak menyukai

perkembangan ini, para pengurus Mesir menetapkan sebuah

larangan berdagang kepada mereka. Harta kekayaan mereka

diambil. Mereka tak diinginkan lagi...

"Mereka bukan penduduk asli di sini! Aku tak ingin

berbicara lebih banyak mengenai orang-orang yang bukan

penduduk sini."

Seperti ini ucapan Tuan Karun kepada Sultanah Asiyah...

Kalau begitu, tempat ini di mana? Apa makna penduduk asli?

Berhari-hari Sultanah mengajukan pertanyaan ini kepada

dirinya sendiri.

Dia meluruskan badannya di tempat tidur gantung di teras

ketika berpikir... Suatu malam, sayap-sayap burung yang luas

397

dan hitam menghantam dirinya, kemudian terbangun dari

tempat tidur. Asiyah memandang langit-langit.

Bintang-bintang seakan menghujani diri Asiyah, batinnya

terbang.

"Asing," pikirnya. Sebuah penurunan dan ikatan yang

besar...

Seakan kedua kakinya terpeleset dari semua tempat di

dunia. Selain pakaian yang dia kenakan, tak ada saksi lain yang

mengetahui keberadaannya...

Di mana tempat ini?

Siapa penduduk asli tempat ini?

Bagaimana dengan orang yang bukan asli tempat ini, orang

yang dipanggil ?bukan dari sini?? Siapakah dia? Penduduk

asli lain atau orang yang datang dari tempat lain... Tapi dari

mana?... Tak bertempat tinggal... Tak memiliki asal usul... "Ya

Rabb, berikanlah hamba-Mu ini sebuah rumah di sisi-Mu,"

bisiknya...

Sesungguhnya, dia ingin menanyakan berita-berita terakhir

yang datang dari Madyan dan Syu?aib kepada Tuan Karun. Dari

apa yang terdengar, Syu?aib memiliki menantu pekerja keras

yang berasal dari Madyan dan Ibri. Tapi ketika mendengar

kalimat Syu?aib dan Madyan dari Sultanah, seketika Karun

memotong pembicaraan.

"Bukan orang asli sini"...

Dan mimpi-mimpi...

Mimpi-mimpi bagi seorang ibu yang menunggu kabar

dari anaknya yang hilang terasa sangat berharga. Mereka

mendapatkan pelipur lara dalam mimpi. Yakobed dan Asiyah

398

saling memahami dengan mimpi-mimpi... Dalam pertemuan

terakhir juga terjadi seperti ini. Ketika Sultanah berturutturut melihat mimpi yang cerah, terucap sebuah harapan.

"Seandainya aku bisa menemukan suatu alasan dan berkunjung

ke tempat Yakobed.". Tepat ketika dia berpikir seperti ini,

Yakobed muncul di hadapannya dengan wajah cerah, membawa

berita-berita gembira.

Mimpi-mimpi putih bercampur dengan mimpi putih

lainnya.

Meskipun tak memahami sepenuhnya apa yang terjadi, tapi

kedua perempuan ini merasa bahagia. "Aku duduk di bawah

pohon jeruk limau," ucap mereka. Ungkapan khas Mesir ini

menandakan sebuah pertanda baik ke dalam diri mereka.

"Meskipun aku tak mengetahui apa yang terjadi, tapi aku

mencium aroma wangi jeruk limau..."

Dan memang sang pohon telah menyerahkan jeruk limau

kepada kedua ibu...

...

Pangeran Musa, apa saja yang dia alami sebagai seorang

pelarian, pengalaman-pengalaman apa saja yang dia lewati...

Perantauan, maksudnya adalah sebagai sebuah pelajaran

yang panjang dan baru. Apa saja yang diajarkan padanya, apa

saja yang dihafalkan kepadanya... Batu-batu mana tempat dia

bersandar, di sudut padang pasir mana dia tidur, di bawah

pohon mana dia menanti pertolongan yang kecil sekalipun

dari Allah...

Sultanah Asiyah memikirkan hal-hal ini, hatinya berdetak,

mengirim para pembawa berita yang setia ke jalan-jalan Mesir,

399

membelai kepala ribuan anak yatim, mengenyangkan perut

ribuan orang miskin, menggaris jalan anaknya yang hilang

dari punggung ribuan anak telanjang yang dia pakaikan baju...

Doa-doa, mimpi-mimpi, penafsiran mimpi-mimpi, bisikanbisikan, kekecewaan, pembenahan-pembenahan, pilar-pilar

khayalan...

Shafura gelisah. Tubuhnya gemetar dan

memandang kedua mata suaminya dengan rasa

takut. Tapi, Musa tenang menguasai keadaan

dan berserah diri. Allah yang menciptakan

daratan dan langit serta tempat di antara

keduanya selalu berada di sisi mereka. Tak

perlu merasa takut. Seperti itulah suaminya

selalu berkata dan perasaannya berada dalam

ketenangan ketika mendengarkan ucapan itu...

Hidupnya terguncang, sama seperti setiap ibu yang

kehilangan anaknya. Kemudian terdengar sebuah hembusan

kebaikan, seperti terdengar penggembala yang berkata "Musim

semi telah muncul di Madyan"...

400

Pohon itu telah membuka bunga-bunga jeruk limau dalam

mimpi semalam... Kenapa ini tak menjadi sebuah pertanda

kembalinya putranya Musa?

Pangeran Musa, salahkah dia jika mengetahui waktunya

untuk pulang setelah tinggal di Madyan selama sepuluh tahun?

Waktu untuk kembali telah tiba. Sebuah intuisi yang kuat,

perasaan yang dalam, dengan keputusan penuh keyakinan,

Musa keluar dari Madyan dengan sengaja...

Musim dingin. Gurun di musim dingin. Bukit-bukit gurun

musim dingin. Dia melakukan perjalanan dengan istrinya,

Shafura, putri Nabi Syu?aib. Di antara dinginnya malam

dan panas teriknya siang hari, dengan daratan yang seluas

bentangan langit, perjalanan ditempuh dengan perjuangan

berat. Perjalanan menempuh sepasang bukit yang mengapit

Laut Merah, Teluk Akabe, mendaki gunung-gunung Sinai, lalu

masuk ke pintu Mesir dari arah timur.

Shafura gelisah. Tubuhnya gemetar dan memandang kedua

mata suaminya dengan rasa takut. Tapi, Musa tenang menguasai

keadaan dan berserah diri. Allah yang menciptakan daratan

dan langit serta tempat di antara keduanya selalu berada di sisi

mereka. Tak perlu merasa takut. Seperti itulah suaminya selalu

berkata dan perasaannya berada dalam ketenangan ketika

mendengarkan ucapan itu... Shafura juga mendengarkan

kalimat-kalimat penyemangat, penenang, dan pendukung ini

dari Ayahnya... Kini, ia mendengarnya dari Musa, suaminya...

Rasa takut yang berada dalam malam, kegelisahan, dan

kecemasan satu per satu menghilang... Sebuah perasaan aman

yang hangat menyebar ke seluruh tubuhnya, sebuah rasa aman

aneh yang seakan berkata bahwa mereka tak sendiri...

401

"Jangan takut, Rab bersama dengan kita, kita tak sendiri."

"Tak perlukah kita waspada dalam perjalanan kembali ke

Mesir ini?"

"Sembunyi dan berdiam diri selama sepuluh tahun, apakah

menurutmu itu bukan sebuah sikap waspada?"

"Akankah kau rindu dengan yang kau tinggalkan?"

"Sebelumnya, aku sudah banyak meninggalkan

sesuatu. Dua ibuku... Saudara-saudaraku, teman-temanku,

burung-burungku, kota kelahiranku, Sungai Nil yang

menggendongku di punggungnya... Tahukah kau, Sungai

Nil seperti ibuku yang ketiga... Semasa aku masih balita,

dia menggendongku di punggungnya. Nil seperti lenganlengan yang bercampur antara ibuku yang melahirkan

aku dan ibuku yang membesarkanku. Ketiganya bersama

membesarkan diriku."

"Bagimana jika mereka sudah melupakanmu?"

"Sifat lupa adalah takdir seperti kematian kita. Tapi

beberapa malam, khususnya malam ketika kita bermalam

di gurun, ketika aku memandang langit yang seperti sebuah

kebun bintang-bintang, aku merasakan bahwa seseorang

memikirkanku. Seseorang mengkhawatirkan diriku, bahkan

seringkali menangis, berdoa. Mungkin sebuah mimpi, aku tak

yakin. Tapi ketika kita tiba di Mesir, aku yakin bahwa sebanyak

orang yang melupakanku maka sebanyak itulah orang yang

masih mengingat diriku."

"Bagaimana jika Ratu Asiyahpun membalikkan

punggungnya darimu?"

"Takkan terjadi. Ratu Asiyah telah menyelamatkan diriku

dua kali dari kematian. Yang pertama saat dia mengeluarkan

402

diriku dari Sungai Nil, kemudian menyelamatkanku dari

eksekusi mati dengan membantuku melarikan diri."

"Bagaimana jika Rabb mu telah menguatkan kekuatan

musuhmu dalam sepuluh tahun ini?"

"Kau pastinya telah mendengar dari Ayahmu Syu?aib

berkali-kali. Ketika Rabb kita ingin memusnahkan sebuah

bangsa, memberikan ujian kepada orang-orang di sana dan

yang mempunyai kekuatan, itu sangat mudah bagi-Nya.

Orang-orang yang bertambah kuat, jika telah mulai melakukan

penindasan terhadap rakyatnya... Kata menjadi kenyataan,

negara-negara yang dianggap takkan pernah terkalahkan akan

dimusnahkan hancur lebur bersama orang-orang licik."

"Udara sangat dingin... Seandainya kita mempunyai api

yang dapat menghangatkan kita..."

...

Apakah percakapan seperti ini terlewati begitu saja di dalam

sebuah gurun?
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ataukah gurun hanya terlewati di dalam tubuh Sultanah

Asiyah?

Dalam gurun itu, siapa yang tahu berapa ibu, berapa

perempuan yang berjalan, yang akan berjalan... Tidur dan

bangun, malam dan siang, kenyataan dan mimpi, kehidupan

dan kematian, daratan dan langit... Seberapa besarkah seorang

perempuan dapat memisahkan satu sama lain di dalam ombakombak itu...

rrr

403

36. "Har? Saat Putraku

T?ba..."

Musa dan keluarganya pasti tak sendiri di gurun pasir...

Malam di gurun pasir diwarnai dingin yang membekukan

tulang. Tak ada sesuatu, selain kesunyian. Sampai Musa

menyadari percikan api dari kejauhan...

Mungkin itu merupakan api sekelompok pembawa kabar

yang melakukan perjalanan di gurun pasir. Jika dia pergi ke

arah api itu, dia bisa menemukan sebuah rombongan untuk

mendapatkan pertolongan... Dia berjalan cepat ke arah sumber

api dalam gelapnya malam.

Begitu kuatnya api itu, lebih menyerupai sinar langit dari

pada kobaran api... Ketika Musa mendekat, api itu semakin

menjauh. Cahaya api menarik Musa ke arah percikan api itu...

Meskipun tampak seperti api atau sinar, itu lebih tampak

seperti magnet.

Dan akhirnya, percikan sinar itu berhenti dalam sebuah

lembah diiringi suara yang mengejutkan Musa. Apakah itu

api? Ataukah pohon yang terbakar... Semuanya hanyut hilang

di samping suara yang menggetarkan hati Musa...

"Wahai, Musa..."

Sesungguhnya, Aku ini Tuhanmu. Lepaskanlah kedua

sepatu kayumu dari kakimu. Karena kau berada di Lembah

huwa? yang suci...

404

Aku telah memilihmu. Maka dengarkanlah apa yang akan

diwahyukan..."

Dan Musa telah menjadi seorang hamba yang menjadi

utusan Allah... Dia telah dipanggil ke hadapan-Nya... Dia telah

berada di derajat kenabian... Dia telah menjadi Nabi Musa...

Seketika, dia mematuhi suara yang menggetarkan hatinya

itu... Tak hanya sepatu kayunya yang dia lepaskan... Semua

yang ada pada badannya dia lepaskan, lalu berjalan ke hadapan

Tuhannya dengan tubuh yang bersih dan murni...

Di momen itu, ruh Nabi Musa seakan diselimuti

ketidakterbatasan waktu, seluruh batas-batas hatinya terlepas,

tembok-tembok penghalang hancur. Perasaannya dipenuhi

kecemasan, menggigil, tawakal, dan pencerahan yang tak

terbatas...

Dan Musa telah menjadi seorang hamba yang

menjadi utusan Allah... Dia telah dipanggil

ke hadapan-Nya... Dia telah berada di derajat

kenabian... Dia telah menjadi Nabi Musa...

Dalam perjalanan pulang ini, Musa mengalami titik balik

kehidupannya. Orang yang melarikan diri dan berlindung, kini

keluar dari Madyan sebagai seorang nabi... Dia akan mengajarkan

dan menjelaskan ilmu tauhid dan ketunggalan Allah yang tak ada

Tuhan selain diri-Nya kepada manusia. Dia akan melaksanakan

405

semua tugas yang diberikan sebagai hamba Allah. Dia akan

selalu setia dan mengingat Allah dalam setiap zikirnya. Dia akan

menjadi salah satu yang mencapai keselamatan dengan arah dan

kiblatnya ditujukan kepada Allah...

Seluruh petualangan yang Nabi Musa lewati sampai hari itu,

sebenarnya menyiapkan dirinya untuk peristiwa di malam ini.

Percikan sinar di malam ini akan menjelaskan peninggalan di

Sungai Nil bertahun-tahun dahulu. Bertahun-tahun lamanya,

Sultanah Asiyah bertahan untuk menyiapkan percikan

sinar malam ini... Seluruh pengorbanan perempuan suci itu,

seluruh ancaman dan tekanan yang datang dihadapi dengan

ketenangan...

Malam ini, Musa akan bertemu dengan seluruh hikmah yang

telah terbuka. Mesir yang pernah suatu waktu menjadi tempat

dia tinggalkan, sekarang akan menyambut kedatangannya

sebagai seorang nabi...

Allah telah memilih hamba-Nya, Musa. Allah lah ?yang

berbicara? dengan Musa, hamba-Nya yang Dia nyatakan

sebagai nabi...

Jalan telah menemukan keputusannya... Keputusan adalah

jalannya...

Dalam perjalanan pulang kembali menuju Mesir, Nabi Musa

telah memanggul tugas-tugas baru. Perempuan suci bernama

Asiyah membesarkan dirinya dalam istana Fir?aun. Beberapa

tahun kemudian, dia kembali ke istana yang sama sebagai

pengingat kepada Allah, pengundang kepada Allah, pembenar

akan ketunggalan Allah.

Dalam pembicaraan yang terjadi antara dirinya dan Allah,

penopang ketika dia berjalan, ?tongkat? yang digunakan untuk

406

menjatuhkan ranting-ranting kering dan daun bagi kambingnya

telah menjadi teman perjalanannya, dia memahami bahwa

tongkat itu adalah sebuah bukti kenabiannya... Ketika dengan

doa, ?tongkat? itu menjadi seekor naga besar...

Naga...

Ketika tangannya diulurkan, ular yang bergerak dengan

cepat kembali lagi ke bentuk asalnya, ke dalam bentuk tongkat

yang biasa digunakan seorang gembala.

Malam ini, begitu banyak yang telah terjadi! Betapa

panjangnya malam ini!

Bagaimana dengan tangannya?

Tangan Nabi Musa yang dia masukkan ke dalam kantongnya

bersinar cahaya ketika dikeluarkan, menerangi sekitarnya. Ini

merupakan salah satu mukjizat kenabiannya. Bukti kekuasaan

Tuhan yang mengutusnya...

Nabi Musa di malam pertemuan yang besar ini, meminta

pertolongan kepada Allah mengenai dakwah yang akan

dilakukannya kepada Fir?aun dan penduduk Mesir. Mengharap

pertolongan dan bantuan-Nya dengan sepenuh hati... Nabi

Musa mengharapkan pelepasan batas-batas dalam dirinya,

memenuhi hatinya dengan tawakal dan iman.

Ini merupakan sebuah harapan bagi sang Nabi...

Allah melepaskan semua penutup dalam dirinya

meninggikan hatinya, menenangkan jiwanya...

Bahasa berarti konsistensi.

Konsistensi pemahaman, sejauh menjelaskan permasalahan

sampai mendengarkan permasalahan, bahasa berada dalam

tingkatan untuk menjadi teman keluhan... Bahasa, berarti

407

hati. Nabi Musa juga mendapatkan nasihat-nasihat mengenai

bahasa yang akan dirangkai dengan Fir?aun dan rakyat...

Sebuah perkataan keras, jujur, dan jelas, tapi di waktu yang

sama sopan dan penuh kesabaran... Bukan seperti seorang raja

yang diktaktor.. Bukan juga seperti orang yang tak berdaya...

Berjalan di antaranya...

...

Malam itu, Sultanah Asiyah dan Yakobed seperti medali

yang berwajah dua... Tak mengetahui apa yang dialami oleh

Musa putra mereka, tapi penuh dengan penerangan yang

berbeda. Mereka terbangun dengan cerah dari mimpimimpinya, memandang langit yang sama dengan kedua mata

mereka yang lelah...

Langit...

Langit cahaya.

Cahayanya cahaya...

Cahaya di atas cahaya...

Cahaya berlipat cahaya...

Menyinari seluruh orang yang berada di rumah Imran.

Jantung Yakobed berdetak kencang. Seperti Sultanah Asiyah,

dia juga mencium bau jeruk limau...

"Aku tak tahan lagi untuk menunggu," ucap Harun, putra

yang paling besar... Dia mengambil tongkat, menggenggamnya

erat dengan tangannya, memutuskan untuk berjalan ke arah

pintu timur Memphis. Itupun tak cukup memenuhi dirinya...

Sultanah Asiyah masih terbangun...

"Aku tak tahan lagi untuk menunggu," ucapnya kepada

Tahnem dan Sare...

408

Tahnem segera menahannya.

"Bagindaku, biarkan saya yang pergi. Biarkan saya

menggantikan Anda untuk pergi ke pintu. Saya akan melihat

dan menanti, biarkan saya mencari berita..."

Tahnem mengenakan jubah yang panjang menutupi

tubuhnya. Dia pergi ke arah pintu timur seperti yang

diisyaratkan oleh Sultanah... Dia berkata kepada para pengawal

hendak menunggu rombongan pedagang dari pintu timur yang

membawakan barang yang dipesan oleh Sultanah... Semua

menanti tak sabar rombongan yang datang dari timur. "Mereka

akan tiba bersama terbitnya Matahari," bisik hati Tahnem,

mencoba menenangkan dirinya...

Di luar, udara dingin menggigit seperti pedang yang tajam...

Di waktu yang sama, lembut seperti sutera. Jatung-jantung

berdetak kencang...

Saat kain hitam malam belum terangkat sepenuhnya di atas

penduduk desa yang berada di tepian sungai... Ribuan bintang

di langit, rasi Sirus belum lagi tenggelam... Bersama para

pelaut yang berderet masih dalam keadaan mengantuk sambil

memegang obor di tangannya, Tahnem memandang ke arah

timur jauh...

"Timur!" ucapnya...

"Cahaya datang darimu!"

...

Tahnem kembali di waktu pertengahan pagi. Aroma jeruk

limau, kesturi, dan ambar darinya mencuri banyak perhatian.

"Darimana kau datang seperti ini? Dari rumah cinta mana

kau keluar?" ucap orang-orang yang melihatnya.

409

Untuk pertama kalinya, air mata

Sultanah Asiyah membeku dengan

kabar-kabar gembira ini... Air mata

yang telah lama membakar kesedihannya...

Digantikan mata air-mata air yang

sejuk; air mata kebahagian... Kabar

gembira ini mengalir dari mata air ke
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata air lain Ibu Asiyah...

Mereka berusaha untuk memegang tangan dan memeluk

dirinya.

"Rombongan pedagang wewangian pasti telah datang..."

Pedagang wewangian... Ya, ini rombongan pedagang

wewangian yang berbeda.

Aroma ini, aroma kerinduan yang dinantikan bertahuntahun lamanya. Aroma ini adalah obat yang digunakan Sultanah

Asiyah untuk dioleskan ke luka-luka yang berdarah. Aroma ini

adalah obat. Aroma ini layaknya cahaya mata...

Untuk pertama kalinya, air mata Sultanah Asiyah membeku

dengan kabar-kabar gembira ini... Air mata yang telah lama

membakar kesedihannya... Digantikan mata air-mata air yang

410

sejuk, air mata kebahagian... Kabar gembira ini mengalir dari

mata air ke mata air lain Ibu Asiyah...

Tahnem berlari tanpa berbicara ke arah Sultanah Asiyah

sambil menangis.

"Biarkan aku melihat kedua mata yang melihat dirinya,

wahai sahabatku," ucap Asiyah seraya mengucapkan ribuan

syukur kepada Allah...

"Kukorbankan diriku kepada mata yang telah melihat

dirinya..."

rrr

411

37. Pertemuan...

Tahnem menceritakan semua yang dipelajari dari Nabi

Musa, semua yang telah terjadi kepada Sultanah Asiyah...

"Jadi, semuanya itu untuk hari ini, seluruh titik kisah yang

terkumpul..."

"Jadi, bayi yang ditemukan dan dikeluarkan dari Sungai

Nil adalah pembawa keadilan yang dikabarkan dalam mimpimimpinya..."

"Jadi, Nabi Musa juga akan menjalani kisah hidup yang

sama dengan yang dialami oleh Nabi Yusuf... Hanya ada satu

perbedaan, satu dinaikkan dari perbudakan menjadi penguasa,

sementara satunya dari istana ke gurun pasir."

"Jadi, sepuluh tahun masa pelarian dan tahun-tahun yang

dilewati sebagai seorang penggembala, Musa terlepas dari

kehidupan istana dan disiapkan untuk menjadi seorang Nabi..."

"Jadi, Allah telah menugaskan Musa dan saudaranya Harun

untuk mengajak Fir?aun dan rakyat Mesir kepada Allah."

"Jadi, besok! Besok pagi dua saudara akan tiba di pintu

istana..."

"Kita harus melakukan persiapan untuk pertemuan besok,"

ucap Sultanah, datang dan pergi di ruanganya... Datang dan

pergi... Seperti Nil yang bergerak dari tepian. Mempersiapkan

laut sebagai tempat untuk menuang seluruh airnya. Bagaimana

dia akan melindungi putranya dari Fir?aun?

412

Putranya? Tapi, dia sekarang telah menjadi seorang utusan

Allah... Pastinya Allah takkan membiarkan utusan-Nya

sendiri tanpa kekuatan... Bagaimana dengan dakwaan lama

itu? Kejadian pembunuhan itu? Bagaimana kalau diungkit

kembali dan putraku dinyatakan bersalah? Putraku? Ah, dia

bukan seorang anak atau putra yang lemah... Dia telah menjadi

sebuah bangunan yang kokoh dan kuat. Sebuah bangunan

kuat dan kokoh yang ditopang oleh Allah... Sebuah rumah

yang akan memanggil semua orang yang tertindas, teraniaya,

tak berumah, tak memiliki asal, pendatang, orang tak mampu,

dan anak-anak yatim ke dalamnya...

"Ya Allah, bersihkanlah kedua tangannya yang didakwa itu,

putihkanlah kedua tangannya..."

"Seperti mereka yang mendakwa Nabi Yusuf, Allah

kemudian membersihkan dirinya dari tuduhan..."

"Ya Allah selamatkanlah dia dari jebakan-jebakan dan halhal licik yang akan dia hadapi..."

Sultanah Asiyah ibarat sebuah doa...

Sebuah percikan cahaya terang....

Sare berkata sambil memandang dahi Sultanah yang

semakin hari semakin bersinar terang.

"Seumur hidup, saya tak pernah melihat perhiasan begitu

terangnya seperti ini. Perhiasan keibuan, bersinar dari dahinya.

Tubuhnya mungkin tak merasakan keibuan, tapi keibuan

menemukan salinannya pada dirinya..."

...

Keesokan harinya, Sultanah Asiyah melepaskan pakaian

dukanya yang bertahun-tahun tak dilepaskan dari tubuhnya.

413

Mengenakan pakaian yang paling bagus, menggenggam

tongkat berajut bunga lotus yang bertahun-tahun tersimpan

dalam kotak. Di antara begitu banyak selendang berajut burung

Ibis penuh warna, dia memilih putih.

Berapa tahun yang lalu, Nabi Musa ketika masih anakanak bermain petak umpet. Sultanah Asiyah menggunakan

selendang ini untuk membalut tangannya yang terluka...

Betapa lucunya Musa ketika masih kecil... Anak kambing yang

Bersama Tahnem yang berada di sisi kanan

dan Sare di sisi kiri, Sultanah Asiyah

melewati pintu Istana Besar ke hadapan

Fir?aun. Ketika dia melangkahkan kakinya,

seketika para petugas istana, pendeta, pangeran,

dan putri memberikan salam takzim di hadapan

kemegahan dirinya. Penampilan sultanah hari

ini sangat berbeda. Tak ada satu pun ratu

yang tertulis dalam kitab-kitab Mesir Kuno

yang menandingi kemegahan dirinya. Asiyah

tampak seperti bunga teratai putih yang mekar

di perairan kala senja....

414

gesit membuat dirinya berlari-lari sepanjang hari dan kembali

ke rumah dengan tubuh penuh keringat. Saat kambing itu

lepas, Musa mencarinya selama berhari-hari. Saat berhasil

tertangkap, kakinya juga diikat dengan selendang yang sama.

"Membuat dirinya lelah dan juga diriku," ucap Musa sambil

membelai hewan itu...

Apakah dia ingat dengan selendang ini? Setelah tahuntahun yang terlewati... Sekarang bukan waktunya untuk

memikirkan hal ini... Bagiamana dengan wajah? Bagaimana

jika dalam tahun-tahun ini wajah Asiyah berubah, semakin tua

dan hingga dia tak mengenalnya? Apakah dia akan mengenali?

Cermin-cermin... Seluruh cermin di dunia Ah, semua telah

retak, semua telah rusak menurut kedua matanya... Ya Allah,

terangkanlah cermin putraku di dalam hatinya, terangkanlah

sehingga dia mengenalku, mengetahuiku, aku mohon... Aku

mohon, jangan biarkan dia lupa...

Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal ini... Ya

Allah, selamatkanlah kami, berikanlah keselamatan kepada

kami, aku mohon... Ya Allah, berikanlah kesungguhan kepadaku,

ketenangan kepada hatiku, berikanlah aku kesempatan untuk

mendukung putraku...

"Aku telah siap... Dengan izin Allah, aku telah siap..."

Bersama Tahnem yang berada di sisi kanan dan Sare di sisi

kiri, Sultanah Asiyah melewati pintu Istana Besar ke hadapan

Fir?aun. Ketika dia melangkahkan kakinya, seketika para

petugas istana, pendeta, pangeran, dan putri memberikan

salam takzim di hadapan kemegahan dirinya. Penampilan

sultanah hari ini sangat berbeda. Tak ada satu pun ratu yang

tertulis dalam kitab-kitab Mesir Kuno yang menandingi

415

kemegahan dirinya. Asiyah tampak seperti bunga teratai putih

yang mekar di perairan kala senja. Keagungan Sultanah Asiyah

pun memesona Fir?aun, sampai hampir melupakan ketuhanan

yang dia nyatakan. Sepasang singa yang selalu tertidur di

bawah kakinya dan mencekam hati orang yang melihatnya pun

tampak patuh dan taat di hadapan sultanah, meninggalkan

tempatnya.

Fir?aun terpana melihat kecantikan yang menyihir ini. Tanpa

disadari, dia berdiri dan cambuk yang merupakan simbol

kerajaan terjatuh dari tangannya...

"Anda bersinar seperti Matahari menyinari istana kami.

Anda telah memberikan kehormatan bagi kami, Ratuku."

"Kami mendengar bahwa putra kami, Musa, telah kembali

ke Mesir dan Memphis."

"Seandainya Anda memberikan kehormataan dengan

memilih kami, kita pasti hidup bahagia."

"Putra kami pasti memiliki sesuatu yang akan dijelaskan

kepada kalian semua."

"Beberapa tahun yang lalu, ketika dia dipanggil untuk

menjadi komandan dalam Perjalanan Utara dia melakukan

tindakan kriminal dan melarikan diri."

"Tapi, kita belum mendengarkan langsung dari dirinya. Hal

yang paling tinggi dalam Kerajaan Mesir selama ribuan tahun

adalah keadilan. Hari ini adalah hari untuk menunjukkan

keadilan itu."

"Keadilan Mesir bagi orang-orang yang tak tahu berterima

kasih adalah sesuatu yang menakutkan."

"Kata ada untuk didengar. Setiap kata yang terpotong

sebenarnya memotong telinga kita sendiri ucap para leluhur.

416

Hari ini adalah hari pendengaran. Bukankah seperti itu, wahai

Baginda Rajaku."

"Demi Anda, wahai Ratuku... Dan juga demi kenangan

seorang pangeran yang tumbuh besar di istana kita, kami akan

mendengar orang yang melakukan kesalahan itu."

"Anda juga mengetahui apa yang tertulis dalam makammakam lama, kata-kata akan terucap!"

"Anda berkata benar, wahai Ratuku. Kata-kata akan

terucap!"

Dan memang sebentar lagi kata-kata akan terucap...

Keduanya memahami kedatangan orang yang mereka

nantikan dari keramaian dan keributan yang terjadi. Jantung

mereka berdetak kencang. Sultanah mencari Tahnem dan

seketika menemukannya dalam deretan petugas protokol

istana, tepat di sisi kiri. Tahnem memberikan salam kepada

Ratu dengan menganggukkan kepala dan pandangan mata

tanpa disadari oleh siapapun. Mereka adalah sahabat-sahabat

Allah. Meskipun mereka seperti tiga jarum yang hilang dalam

jerami, mereka selalu berlindung kepada Allah.

Muncul dua pemuda yang berjalan dengan langkah penuh

keyakinan di antara para pengawal. Tinggi badan mereka

sama, bahkan rambut, mata, dan kulit mereka pun hampir

sama. Berbalut pakaian berwarna cerah, mereka melangkah

pasti dengan sandal di kaki mereka. Dua pemuda yang

hormat kepada orang di sekitarnya, tapi berjalan dengan

penuh keyakinan... Salah satunya terlihat memegang tongkat

di tangannya. Ketika mereka semakin mendekat, tercium
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wangi bunga di sekelilingnya. Kedua mata Sultanah semakin

menajam. Setajam mata elang yang mencari anaknya di antara

417

ribuan anak. Mencari mengamati... Cermat dan teliti seperti

seekor rusa yang berlari di air... Anakku... Yang manakah

anakku? Kedua pemuda itu semakin mendekat... Mendekat...

Mendekat...

Ya Allah! Itu Musa!

Dia mengenalinya dengan kedua matanya.

Besar, bersinar, selalu murah senyum, Musa yang kedua

matanya berpijar manis.

"Iya, itu putraku!"

"Putraku telah datang" ucapnya bahagia dalam hati...

Dia menggigit bibirnya agar tak berteriak, kedua tangannya

memegang erat tongkatnya untuk tak berlari memeluknya...

Turun sebuah benang tipis dari mata kanannya, air mata tipis

yang tak seorang pun akan melihatnya... Sementara itu, di

dalam dirinya sebuah gunung berapi telah meletus. Lautan

badai dalam dirinya tak tertahankan lagi.

"Putraku!"

Dengan kedua matanya, dia memeluk Musa putranya.

Dengan kedua matanya, dia membelai Musa putranya.

Putraku... Anakku... Buah hatiku... Bungaku. Isi hatiku. Jalan

yang kuawasi... Jiwaku. Butiran cahaya. Putraku... Semua nama

terucap dari dirinya...

Meskipun mengenakan pakaian seorang penggembala,

pemuda utusan Allah ini memberikan salam kepada raja dan

ratu sesuai protokol istana. Di samping itu, sang anak juga

memberikan salam dengan anggukan kepala kepada ibunya.

Anak yang isi matanya memancarkan kerinduan mendalam.

Sementara itu, kedua mata yang lain berada di depan sesuai

reputasinya... Sepasang singa yang dikenal kebuasannya, datang

418

ke sisinya seperti sepasang kucing yang patuh, menunjukkan

kedekatan mereka. Dia membelai bulu kedua singa itu seperti

telah melewati hari-hari lama mereka. Orang-orang yang

menyaksikan terkejut, cemburu, memandang dengan mata

mengejek...

Dengan kedua matanya, dia memeluk Musa

putranya. Dengan kedua matanya, dia membelai

Musa putranya. Putraku... Anakku... Buah

hatiku... Bungaku. Isi hatiku. Jalan yang

kuawasi... Jiwaku. Butiran cahaya. Putraku...

Semua nama terucap dari dirinya...

Sambil memberikan salam, seperti apa yang dia janjikan

kepada Allah, Nabi Musa memulai perkataan dengan kata-kata

lembut tapi tegas.

"Sebenarnya, kami datang dengan membawa sebuah

dokumen dari Allah kepadamu, dan di akhirnya keselamatan

ada pada orang-orang yang mengikuti jalannya. Tapi, jika kau

memiliki niat untuk membersihkan keserakahan dan nafsumu,

aku bisa menunjukkan jalan menuju Allah kepadamu. Kami

berdua adalah utusan Allah.

Wahai, Fir?aun! Lepaskanlah orang-orang Bani Israil yang

tertindas oleh kekerasan dan aniaya dari tanganmu! Berikanlah

mereka izin untuk melaksanakan ibadah seperti yang mereka

419

harapkan kepada Allah! Lepaskan mereka, biarkan mereka

berdoa di hadapan Allah, biarkan mereka bersatu dengan

Allah.

Berikan izin kepada Bani Israil untuk keluar dari sini

bersama kami, akhiri siksaan dan aniaya yang kau lakukan

kepada mereka..."

Sebuah kesunyian yang dalam...

Tak seorang pun bisa mengambil napas. Kedua mata Nabi

Musa tak berkedip sama sekali ketika berbicara. Seakan hujan

yang turun dari langit mengosongkan isinya di atas gurungurun yang tandus. Suara pemuda itu seperti rinai hujan...

Tapi, setiap butiran hujan, bagaimanapun ketika tersentuh

badan akan terasa dingin. Cuaca berubah menjadi dingin.

Suasana membeku dengan keberanian dan keterbukaan hati

pemuda ini.

Daun-daun pun tak bergerak. Nil berhenti mengalir,

Matahari tak bergerak, seluruh Mesir membeku mendengarkan

nabi muda ini...

Fir?aun beberapa saat terdiam, lalu memandang terpaku

wajah lawan bicaranya...

Kedua mata Fir?aun memandang tajam kepada Nabi Musa.

Menahan amarahnya, dia bertanya dengan tujuan untuk

mengubah arah permainan ini ke dalam kemenangannya.

"Bukankah kami yang mengambil dirimu ketika kau masih

kecil dan membesarkan dirimu? Dan bukankah umurmu telah

dilalui bersama kami? Tapi, akhirnya kau malah melakukan

apa yang akan kau lakukan dan menjadi seorang yang tak tahu

berterima kasih."

420

Intonasi suara Fir?aun yang keras menggelegar di tengah

suasana yang membeku. Pertemuan ini membuatnya kembali

teringat dengan tindakan kriminal Musa yang lama. Dia juga

memandang sang Ratu untuk mengetahui reaksinya. Jika

pemuda ini berada di bawah dakwaan atas tindakan kriminalnya

maka... Dia lantas memikirkan kemungkinan memenangkan

hati sang Ratu...

Nabi Musa dengan perkataan yang lembut membalas

ucapan Fir?aun dengan penuh kepercayaan diri.

"Iya, aku telah ikut campur tangan dalam tindakan tersebut,

tapi itu bukan sesuatu yang aku lakukan dengan sengaja. Setelah

itu, aku menghilang dan melarikan diri dari kalian tanpa

kemauanku karena kalian telah menuduh tanpa memberiku

kesempatan membela diri. Allah kemudian memberikan

hikmah kepadaku. Allah memilih aku sebagai utusan-Nya.

Jika yang kau lakukan adalah kebaikan... Seandainya kau tak

memperbudak Bani Israil, ini semua takkan terjadi. Bukankah

seperti itu?"

Fir?aun menggelengkan kepalanya dengan pahit. Musa

adalah satu-satunya anak laki-laki Apiru yang terselamatkan

dari tahun kematian.

Sultanah tak tahan lagi dengan semua ini. Dia menutup

wajahnya dengan tangan dan mulai menangis. Dalam kisah

yang berat ini, tak ada kesalahan selain mencintai putranya,

menyayanginya sepenuh hati. Sang putra pun memandang

dengan kasih sayang dan hasrat kerinduan kepada perempuan

yang menangis di balik selendang putih...

Dan batas-batas...

421

Seluruh kalimat yang tak terucap, tertahan dalam batasbatas yang memisahkan antara ibu dan anak. Pembicaraan ini,

di waktu yang sama juga merupakan ujian berat dengan dirinya

sendiri bagi sultanah. Hampir setiap kalimat yang terucap,

tenggelam tajam ke dalam ruhnya. Setiap kata mengingatkan

bahwa dirinya bukanlah ibu kandung sang putra. Setiap mimik,

setiap jarak... Setiap pandangan sebenarnya berat dan pahit

bagi dirinya.

"Sungguh beruntung Allah berada di sisiku! Sungguh

beruntung aku percaya kepada Allah." Ketika mengucapkan

kata ini, dia mengerti bahwa dia harus melepaskan semua

penantian yang berhubungan dengan keibuan seperti sebuah

rumah. Seluruh penantiannya, untuk pertama kalinya dia

menyadari bahwa seluruh kerinduan ini adalah hal duniawi.

Asiyah menempatkan dirinya sebagai ibu yang membesarkan

Musa dengan kasih sayang. Tapi, dia kemudian berusaha

melihat secara tenang, apakah dia berhak mendapatkan balas

budi dari sang putra, menginginkan kasih sayang darinya?

Sultanah merasa takut dengan dirinya sendiri dan kasih

sayangnya.

Seperti hatinya yang berlapis-lapis... Dia melihat bahwa

dia membutuhkan kasih sayang dan disayangi oleh seseorang.

Dia diselimuti oleh kesulitan untuk mencintai seseorang

tanpa menantikan balasan. "Ajarkanlah mencintai tanpa

balasan kepadaku. Ya Allah, sampaikan diriku kepada cintaMu kepadaku melebihi seluruh cinta," pintanya diiringi

tangisan. Asiyah menyayangi Musa yang melepaskan tahta

dan mahkotanya, tapi tak diragukan bahwa dengan kasih

sayangnya dia berharap tiba kepada Allah... "Ajarkanlah aku

untuk mencintai tanpa berharap balasan, Ya Allah!"

422

Tahnem dan Sare mendekat ke arah Sultanah yang

tenggelam dalam tangisannya. Mereka berusaha menenangkan

dirinya, mengipasi, dan memberikan air kepadanya. Mereka

sadar bahwa keadaan Sultanah sangat berbeda... Perempuan

yang bersinar seperti Maatahari di pagi hari, sejernih butiran

air yang harus segera mungkin mengalir ke Sungai Nil...

Tapi, pertanyaan-pertanyaan Fir?aun terus berlanjut dengan

permainan pikiran. Sementara itu, Nabi Musa menjalankan

tugasnya sebagai seorang nabi dengan tenang. Musa

menyerahkan dirinya kepada Dzat pemilik dirinya. Kata-kata

harus diucapkan, hujan yang akan turun harus menjadi rinai

air yang jatuh ke Bumi...

Sekali lagi kesunyian...

Sekali lagi membeku tak bergerak...

"Apakah kalian dengar?" tanya Fir?aun kepada orang-orang

di sekelilingnya. Apa yang mereka dengar adalah sesuatu

yang aneh. Pernyataan bahwa dia bukan hanya sang Pencipta,

melainkan juga Tuhan setelah beberapa saat kemudian. Apa

yang dikatakan pemuda ini?

Nabi Musa melanjutkan jawaban atas pertanyaan itu tanpa

memedulikan ejekan.

"Dia adalah Tuhan Timur dan Barat dan semua yang ada

di antaranya, jika kalian memahaminya... Dia adalah Tuhan

kalian, Tuhan leluhur kalian juga."

Ketika Musa berkata seperti itu, orang-orang yang

mendengarkan merasakan runtuhnya atap-atap kebohongan

berusia ribuan tuhan, termasuk sembilan simbol suci

Mesir. Hujan yang dimulai dengan kata-kata Nabi Musa,

menghanyutkan semua yang berada di depannya.

423

Fir?aun yang cukup sabar melebihi Kepala Pendeta Haman

dan pengikutnya mengambil langkah kedua ke dalam hujan

hidayah yang menghujaninya:

"Baiklah, tapi..." ucapnya... "Apa yang akan terjadi dengan

generasi sebelumnya?"

Fir?aun ingin memancing lawan bicaranya dengan

pertanyaan ini. Dia ingin Musa menyalahkan seluruh sejarah

Mesir dan dengan demikian seluruh mata pendengar akan
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuka. Tapi, pemuda dihadapannya mengetahui tujuannya

dan membalas dengan sebuah jawaban yang pintar.

"Apa yang akan terjadi terhadap mereka tertulis dalam

aturan Tuhanku. Tuhanku, tak pernah salah, tak pernah lupa...

Dia memberikan tempat tinggal bagi kalian semua di muka

Bumi ini. Membukakan jalan bagi kalian, menurunkan air

dari langit. Memberikan hasil panen dari bermacam tanaman.

Kalian juga makan dari hasil itu, menggembalakan hewanhewan kalian... Dan tak diragukan lagi, ada isyarat-isyarat dan

tanda-tanda yang menunjukkan hal ini. Allah menciptakan kita

dari tanah, dan kita akan kembali lagi pada-Nya. Dan Allah

yang akan mengeluarkan kita dari tanah untuk melakukan

perhitungan kepada kita."

Gelas telah penuh... Kesabaran Fir?aun pun habis.

Dia berteriak sambil menggelengkan kepalanya dengan

cepat.

"Tidak! Utusan ini pasti kehilangan akal sehatnya!"

Kegilaan...

Musa telah memberikan nama pada keberanian yang

menggetarkan otoritas yang telah bertahan ribuan tahun hanya

dengan beberapa kalimat penerang... Ini adalah kegilaan...

424

Fir?aun tak pernah menyangka, pengetahuan dan pertanyaan

baru akan menggetarkan peraturan-peraturan yang telah dia

buat... Dia adalah pemilik peraturan. Dia yang menentukan

peraturan dan bagaimana menerapkannya. Semua hal di luar

itu adalah ketidaknormalan dan kriminal. Seandainya Musa

dibiarkan, ini akan menjadi suatu bahaya dan harus segera

dimusnahkan.

Kegilaan!

Tuduhan... Apa yang diharapkan olehnya telah muncul...

Orang-orang yang berada di ruangan itu mulai tersenyum

mengejek. Semua orang, kecuali Sultanah Asiyah dan para

abdinya, tertawa keras. Orang-orang yang percaya itu

diselimuti perasaan takut terhadap adzab Allah yang akan

menimpa Fir?aun dan pengikutnya.

Sambil berteriak, Fir?aun melanjutkan ucapannya.

"Wahai kaumku, bukankah sungai-sungai yang mengalir

di bawah tempatku berdiri dan Mesir adalah milikku? Tak

lihatkah kalian? Bukankah aku lebih tahu dibandingkan orang

yang lemah di hadapanku ini? Tapi, jika benar yang dia katakan

bahwa dia adalah seorang Nabi, dia seharusnya memiliki

gelang-gelang emas yang dikenakan di lengannya. Seharusnya

para malaikat berada di sisinya, mengiringinya. Bukankah

memang seperti itu?"

Senyuman berubah menjadi tawa membahana. Apa yang

dibahas dan diceritakan oleh pemuda yang mengenakan baju

penggembala ini?

Fir?aun berseru marah, menggetarkan daratan dan langit

kepada penduduk istana di sekitarnya.

425

"Bukankah aku tuhan kalian?"

Seketika, orang-orang bersujud kepada Fir?aun yang penuh

dengan kesombongan... Kemudian, dia berbalik kepada Nabi

Musa dan berteriak lagi.

"Aku bersumpah, jika kau menduakan ketuhananku dengan

tuhan yang lain, aku akan memenjarakan dirimu!"

Nabi Musa bertanya dengan ketenangan.

"Meskipun aku membawakan sebuah bukti yang jelas

kepadamu?"

"Jika kau di antara orang-orang yang berkata benar, ayo

tunjukkan!"

Nabi Musa melemparkan tongkat yang berada di tangannya

ke tanah...

Oooo... Apa yang mereka lihat? Seekor naga besar yang

bergerak cepat... Nabi Musa kemudian memasukkan tangannya

ke kantong baju dan mengeluarkannya kembali... Kedua tangan

yang dituduh melakukan tindakan kejahatan itu bersinar terang

menyilaukan orang yang melihatnya.

Istana seakan-akan runtuh dengan paduan suara ?Ooo!?...

Mengguncang sampai ke akar-akarnya...

Kepala Pendeta Haman dan para pendeta lainnya berteriak

kaget.

"Ini adalah sihir yang mahir dan tak diragukan lagi bertujuan

untuk mengeluarkan kita dari tanah kelahiran kita. Tujuan

utama semua ini adalah menghancurkan Kerajaan Mesir,

menggali akar Mesir kuno..."

Sultanah Asiyah berpikir bahwa telah tiba waktunya

untuk menghentikan keributan yang terjadi. Dia mengangkat

426

selendang putihnya ke udara dan menunggu beberapa menit.

Keributan tak berhenti, baik itu karena pengaruh mukjizat

yang ditunjukkan oleh Nabi Musa ataupun oleh seruan

membenarkan Haman.

Asiyah pun berdiri sambil menuding Kepala Pendeta

Haman.

"Kau tak berkata benar, wahai Ha!" ucapnya dengan suara

yang lantang...

Seakan sebuah gong telah dipukul keras dan memberi

perintah kepada semuanya untuk diam...

"Kau tak berkata benar, Ha!"

Sultanah Asiyah yang tak banyak berbicara sampai hari

itu, kini bersuara lantang. Bahkan, sebagian besar orang baru

mendengar suaranya untuk pertama kali. Ucapan sultanah

memberikan pengaruh yang besar. Seluruh kepala menunduk

memandang ke tanah. Semua bersujud seketika mendengar

suaranya. Kepala Pendeta yang menyadari bahwa setiap saat

keadaan bisa berubah menjadi buruk.

"Bagindaku," ucapnya, "Jika mereka mengetahui perbuatan

jahat yang bertujuan untuk meruntuhkan Mesir dari dalam

maupun luar, mereka takkan menyalahkan kita seperti ini."

"Kau salah. Seperti biasanya, kau salah... Musa putraku

adalah salah satu dari kita. Dia besar di istana kita, seorang

pangeran berakhlak baik dan memiliki kemampuan yang

tinggi. Kami sebagai Sultanah Mesir dan Nil memberikan

ampunan kepadanya."

Sultanah yang mengakhiri perkataannya dengan

menurunkan selendang putihnya, memberikan salam kepada

Fir?aun tanpa berkata-kata apa-apa. Ketika tiba di tempat

427

Musa, dia memberikan salam pendek yang sesuai dengan

protokol. Dengan begini, dia ingin menurunkan ketegangan

yang memanas dan memberikan waktu kepada putranya...

Dan Fir?aun pun merasakan perselisihan ini telah cukup

untuk saat ini.

"Baiklah...," ucapnya kepada Nabi Musa... "Mari tentukan hari

saat kita bertarung di depan rakyat. Kau bersiap, kami pun bersiap.

Sebuah pertarungan yang tak bisa diganggu oleh siapapun."

Tawaran ini cukup menarik bagi Nabi Musa... Setelah

memikirkan beberapa saat, dia sadar bahwa Hari Raya Hiasan

tinggal beberapa hari lagi. Nabi Musa pun berkata pada Fir?aun

bahwa mereka bisa saling bertemu di hari raya itu, antara pagi

dan siang di pusat kota... Mereka pun berpisah...

Karun, Kepala Akademi Kerajaan, mencoba untuk tak

terlihat dari pandangan Nabi Musa saat kehebohan terjadi.

Sebenarnya, dia pun berharap tak tampak kepada Fir?aun dan

tak ingin ikut andil dalam pertarungan ini. Tapi, dirinya lah

orang yang paling mengetahui pengetahuan alkimia untuk

melawan Nabi Musa dalam pertarungan nanti. Di sisi lain, akar

Bani ?srail Karun merupakan sesuatu yang akan membuat baik

dia maupun Fir?aun dalam keadaan sulit. Tapi Fir?aun takkan

menjadikan Mesir sebagai umpan dalam pertarungan dua

Apiru. Singkatnya, para penasihat istana juga memiliki pikiran

yang sama. Ini adalah kesempatan menguji seberapa besar

kesetiaan Karun kepada istana. Dan memang apa yang Karun

inginkan adalah berada di sisi yang bukan musuh maupun

teman dengan para Apiru yang dianggap sebagai parasit. Dia

tak ingin membuka celah baru untuk menyerang dirinya ketika

pandangan semua orang ada pada kekayaannya, ketika semua

berlomba-lomba untuk berada di posisinya...

428

Kunci-kunci harta kekayaan di pinggangnya terasa semakin

berat. Sambil menyeret jubah sutranya, dia tiba di hadapan

Fir?aun. Menyebutkan nama para ahli dalam bidang alkimia dan

sihir satu per satu, lalu menyiapkan daftar nama yang panjang

bersama para penasihat. Dengan tandu-tandu yang dikirim

ke seluruh wilayah, para penyihir, ahli alkimia, dan ahli mumi

yang paling mahir dipanggil ke istana. Kelompok-kelompok

ahli alkimia dan sihir yang terhubung dengan Faiyum, negeri

Punt dan Nubye, Avaris, Teb, Sakkara, Ciza, dan Memphis

berdatangan memenuhi undangan. Terkumpul tujuhpuluh dua

ahli yang mahir sebagai calon lawan Nabi Musa. Dalam waktu

singkat, jumlah itu bertambah menjadi kurang lebih seratus

lima puluh ribu ahli yang masing-masing mendapatkan dua

puluh asisten untuk membantu.

Para ahli sihir memiliki sebuah permintaan khusus kepada

raja. Menurut permintaan yang disampaikan langsung lewat

perantara Karun, sebagai yang pertama dalam sejarah, jika

mereka berhasil dalam ujian besar melawan pangeran yang

membangkang ini, mereka meminta sebuah imbalan khusus,

baik bagi diri sendiri maupun bagi kelompok-kelompok

mereka... Fir?aun mengabulkan permintaan ini sambil

tersenyum. "Kalian akan seperti kerabatku setelah ini," ucapnya

memberikan dukungan secara terbuka dan tanpa syarat kepada

mereka.

Meskipun Kepala Akademi Pengetahuan Karun dan Kepala

Pendeta Haman tak begitu suka dengan dukungan terbuka

dan tanpa syarat ini, mereka mengucapkan harapan untuk

kemenangan. Untuk saat ini, mereka memilih lebih banyak

diam. Mereka menjalankan politik yang umum bagi orangorang oportunis. ?Musuh dari musuh adalah teman?.

429

Sebenarnya, ketika dilihat dari kebalikannya, Fir?aun berada

dalam posisi lemah karena dia membutuhkan para penyihir...

Keangkuhan, kekuasaan, kekuatan... Semua itu berada dalam

ujian yang besar...

Seberapa tahunya masyarakat mengenai seluruh kejadian,

patut ditanyakan... Mereka lebih tertarik dengan isu-isu atau

berita tentang pedagang mutiara yang terbunuh malam kemarin

atau suami mata keranjang seorang penyanyi perempuan

terkenal... Para pemuda miskin bergabung dengan rombongan

para pencuri, perempuan-perempuan miskin jatuh ke dalam

pelacuran, penjualan anak-anak, siapa yang peduli! Hari Raya,
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya datang di waktu yang sama dan seperti opium yang

melenakan penggunanya...

Dan Hari Raya Hiasan...

Dalam dua hari, Memphis telah siap untuk hari raya.

Bunga-bunga disebar di jalanan. Pepohonan, pilar, pintu,

dan atap rumah dihiasi dengan bermacam hiasan... Tali-tali

dari batang papirus yang diwarnai dengan berbagai warna,

rangkaian bunga, madu yang telah dikeringkan, kaktus yang

dihiasi dengan rumput aneka warna, keranjang berisikan

kurma dan buah delima, roda keberuntungan yang digantung

ke jendela, payung aneka warna, kotak berisikan puisi, kipas

yang menyebarkan aroma wangi ketika dikibaskan, kue-kue

lezat, clarion yang dideret, kerincingan, keranjang beragam

ukuran yang dirajut dengan indah, air yang ketika dialirkan

berbunyi seperti kicauan burung, kalung dari kulit hewan

laut, rangkaian tulisan yang dibuat dari cangkang kura-kura,

tempat pensil, beragam meja, gelang manik-manik dan batubatuan, cincin, kota salep, stempel, kotak bedak, adukan

430

tembaga, botol parfum, pahatan marmer bertuliskan doa-doa,

aneka ukuran tasbih, sandal-sandal, pakaian-pakaian, batubatu dengan simbol mata Tuhan Horus yang menyimbolkan

keberuntungan, batu Hator pelindung para perempuan yang

berwarna...

Semua yang ada dikeluarkan pada hari raya ini... Kemeriahan

memenuhi seluruh pelosok Memphis...

Dan Hari Hiasan...

Tenda-tenda para penyihir yang berada di tepi Sungai Nil

tampak seperti kota tenda. Fir?aun, dari sebuah pulau yang suci

dan kecil di atas permukaan Nil, memandangi mereka dengan

kebanggaan di pagi hara raya ini... Pulau ini memiliki sebuah

jembatan yang tampak seperti jalan air yang pendek dan

terhubung dengan tepi Sungai Nil. Tahta tinggi Fir?aun dihiasi

dengan emas dan cempaka, memantulkan sinar Matahari yang

menyilaukan mata.

Sultanah Asiyah belum pernah sekalipun melangkahkan

kakinya ke pulau terlaknat yang juga digunakan sebagai tempat

menyatakan ketuhanan Fir?aun ini sejak hari pertama dibangun.

Dia pun jarang mengikuti hari raya semacam ini. Tapi, dia tak

dapat membiarkan Musa putranya sendirian. Oleh karena itu,

dia berada di tahta kerajaan yang berada di titik pusat...

Fir?aun mengangkat cambuk suci yang dia pegang seperti

biasanya ke udara, mengisyaratkan waktu dimulainya

pertandingan. Terompet ditiup memekakkan telinga ketika

konfeti-konfeti telah mulai dilempar, mengiringi Fir?aun

melewati keramaian dan menempati kursi kerajaan.

Tujuh puluh dua ahli penyihir yang muncul di tengah

lingkaran penonton, ratusan unta yang membawa alat-alat

431

mereka, bersama dengan para pemimpin yang berdiri di atas

keledai menampilkan pemandangan yang megah...

Sementara itu, Nabi Musa berkata ?Sungguh kasihan? kepada

dirinya dan orang-orang yang percaya dengan orang-orang

yang bersatu menjadi satu baris ini. "Jangan berkata bohong di

hadapan Allah, orang yang menuduh Allah, kalah sejak awal."

Seorang penyihir maju ke depan, diiringi ahli-ahli alkemi

terkenal. "Kau yang melempar pertama atau kami, wahai

Musa?" tanyanya...

Nabi Musa memandang para penyihir yang tampak seperti

panglima perang dengan baju-baju mereka yang megah.

"Kalian duluan," ucap Nabi Musa dengan keyakinan atas apa

yang didengar dari Allah. "Kalian mulailah..."

Seketika, gelombang-gelombang aneh sihir aneh mulai

terlihat di pusat kota. Para ahli sihir menarik perhatian para

penonton dengan tali-tali dan kayu-kayu... Setiap sisi kota

seolah dipenuhi ular beragam ukuran. Awalnya, Nabi Musa

terkejut dengan apa yang dia lihat. Terlihat bahwa para penyihir

menggabungkan semua yang mereka tahu. Di hadapan Nabi

Musa kini terdapat sebuah kekuatan gabungan yang besar. Dia

berserah diri kepada Allah. Dia sendirian, berlindung kepada

Allah...

Ketika giliran Nabi Musa tiba, ia melemparkan tongkatnya

ke tanah. Dan yang terjadi telah terjadi. Dengan bantuan Allah

dan sebagai sebuah pelajaran, tongkat itu berubah menjadi

seekor ular besar, melahap semua ular yang ada. Memusnahkan

semua sihir yang berada di hadapannya...

Saat itu... Tepat saat itu, bahkan angin badai Mesir yang

berembus tanpa henti selama ribuan tahun pun terdiam...

432

Ketika giliran Nabi Musa tiba, ia

melemparkan tongkatnya ke tanah. Dan yang

terjadi telah terjadi. Dengan bantuan Allah

dan sebagai sebuah pelajaran, tongkat itu berubah

menjadi seekor ular besar, melahap semua ular

yang ada. Memusnahkan semua sihir yang

berada di hadapannya...

Seakan lidahnya tertelan. Para penonton terkesima dengan

kejadian ajaib yang terjadi di depan mata mereka. Memphis

tak berkedip. Seolah ular Nabi Musa menelan seluruh hiasan

kuno Mesir...

Tujuh puluh dua penyihir terkesima dengan apa yang

mereka lihat. Mereka seketika bersujud, terucap kata taubat dan

penyesalan dari bibir mereka. "Kami percaya kepada Allah-nya

Musa," ucap mereka semua. Mereka bersujud beriman. Para

pemimpin sihir berserta asisten-asistennya yang berjumlah

kurang lebih seratus lima puluh ribu orang bersujud di waktu

yang sama. "Kami percaya pada Allah-nya Musa...."

Hari raya ini telah menghancurkan Fir?aun!

Bagi Fir?aun, ini merupakan sebuah kehancuran yang

nyata...

433

"Kalian telah beriman kepada tuhan-nya Musa tanpa

meminta izinku, begitukah?" serunya marah kepada para

penyihir yang masih bersujud...

Tapi, tujuh puluh dua ahli sihir bergeming menangis

bertaubat dan mengucapkan penyesalan mereka kepada tuhan

yang diceritakan oleh Nabi Musa... Mereka seakan telah hilang

dari mereka yang lama...

"Jadi, tak diragukan lagi bahwa ahli yang mengajarkan

sihir kepada kalian adalah Musa!" ucap Fir?aun memberikan

ancaman... "Kalian akan membayar besar pengkhianatan ini!

Tangan dan kaki kalian akan dipotong. Kalian akan digantung di

pohon-pohon kurma! Dengan demikian, kalian akan mengerti

bahwa hukuman yang aku berikan sangat kejam..."

Salah satu dari tujuh puluh dua penyihir berdiri dan

memberikan jawaban.

"Kami melihat sebuah hal yang besar di sini. Apa yang kami

lihat bukan sihir maupun guna-guna. Tapi, jika memang seperti

itu pasti kami akan mengetahuinya. Di balik apa yang kami lihat

ini terdapat sesuatu. Ketahuilah, kami takkan meninggalkan

kebenaran dan takut dengan ancamanmu! Betapa hebatnya apa

yang telah kami lihat, kami rela tak melihat apa pun... Kedua

mata kami telah terbuka. Kami takkan berbalik dari cahaya

ini. Apa yang kau putuskan, putuskanlah. Kami tak peduli

dengan hal itu. Keputusan yang akan kau berikan kepada

kami dan yang lainnya hanya berlaku di dunia yang fana ini.

Kami telah menerima bukti yang cukup tentang sesuatu yang

abadi. Kami percaya pada Allah yang Abadi. Kami terkesima

dengan apa yang kami lihat. Kami bersujud dalam cinta dan

kenikmatan tanpa bisa terbangun lagi. Kami bertaubat untuk

434

ampunan atas semua kesalahan dan kekhilafan kami kepada

Allah. Sekarang, hal terbesar bagi kami, ujian yang paling

besar, adalah mendapatkan ampunan dari Allah, bukan kau...

Kau bisa membuat kami tak memiliki kaki, tangan, dan kepala

di jalan ini. Dan memang kami mengeluh terhadap tangan,

kaki, dan kepala kami yang telah menenggelamkan diri kami

dalam lautan dosa. Apa itu kepala, kaki, dan tangan? Semua

itu adalah rintangan fana dunia. Kau bisa membuat kami tak

bertangan, berkaki, dan kepala di hadapan dirimu dan dunia

ini. Kami tidak akan membalikkan diri kami dari Allah. Apa

yang ingin kau lakukan, lakukanlah! Kau akan melihat kami

di antara orang-orang yang setia dan tak berbalik dari katakata. Tak penting! Bagaimanapun juga, kami akan kembali

kepada Allah! Kami adalah mukmin-mukmin terdepan. Kami

mengharapkan ampunan Allah. Tak penting jika tak bertangan,

berkaki, maupun kepala. Cukuplah kami bersama Allah..."

Ketika juru bicara para ahli sihir berbicara meluap seperti

ini, daratan dan langit berzikir bersamanya. Dia memandangi

teman-temannya yang bersujud menangis. Mereka telah hilang

kesadaran sampai tak mengetahui apa yang terjadi. Mereka

sedang berzikir..., saat algojo mengayunkan pedang. Mereka

mati sahid dalam sujudnya tanpa mengangkat kepala mereka,

tanpa menengadah sedikit pun.

Fir?aun tak bisa percaya dengan kematian sahid mereka...

Meskipun telah mengalir tujuh puluh dua sungai darah di

pusat kota yang berubah menjadi danau darah, dia tak puas.

Sambil berteriak, dia memberikan perintah kepada orangorang di sekelilingnya.

"Tinggalkan Musa untukku! Dia milikku! Aku akan

membunuhnya dengan tanganku sendiri!"

435

Fir?aun berjalan di atas genangan darah...

Sementara itu, Nabi Musa pedih memandangi hal ini.

"Aku berlindung kepada Allah yang merupakan pemilik

orang-orang yang tak percaya kepada hari perhitungan,"

ucapnya penuh keyakinan...

Sultanah Asiyah berjalan di depan Fir?aun yang telah

mengubah hari raya menjadi penuh darah. Ia memegang

tangan Fir?aun yang berada di udara memegang cambuknya.

"Apakah kau akan membunuh seseorang hanya karena ia

berkata ?Tuhanku adalah Allah?? Meskipun telah dibawakan

pelajaran dari Allah bagimu di tempat ini..."

Tahnem ikut bercampur kata di antara jasad-jasad,

melupakan seluruh peraturan dan protokol kerajaan.

"Jika memang orang ini di antara orang-orang yang

berbohong, kebohongan adalah kerugiannya sendiri. Tapi,

bagaimana jika apa yang dia katakan adalah benar? Pasti dia

akan datang membawa kemenangan di atas semua ancaman

yang Anda lakukan. Pada hari itu, Anda takkan dapat

menemukan satu lubang sekalipun untuk bersembunyi..."

Keberanian ini membuat Fir?aun dipenuhi amarah. "Jadi,

Musa tak sendiri dalam kepercayaannya," serunya marah.

Seketika ia menusukkan pisau belati yang selalu berada di

pinggangnya kepada Tahnem yang masih berbicara memuji
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Allah...

Seketika...

Seketika, seperti bunga cengkeh yang layu jatuh ke tanah,

teman perjalanannya, abdinya, sahabat jiwanya, Tahnem jatuh

tak bernyawa dalam pelukan Sultanah Asiyah... Tahnem, salah

436

satu penjaga yang terlempar ke dalam samudra pembuangan.

Salah satu orang yang mengubah kesaksiannya menjadi

pengucap syahadat. Salah satu dari Muwahiddun. Mukmin...

Sultanah menangis memeluk jasad tak bersalah ini.

"Kau adalah orang zalim di atas orang zalim. Selama masih

berputar, dunia ini takkan melupakan dirimu dan kezalimanmu.

Namamu akan selalu dikenang di atas seluruh orang zalim!..."

Sraaaaakkkk... Sraaaaakkkk...

Cambuk Fir?aun mendarat di punggung sultanah, mendera

punggung Sare dan putranya yang menangis memeluk jasad

Tahnem...

Malam ini Sultanah Asiyah, Sare, dan putranya melewati

waktu di penjara yang berbeda...

Jalan-jalan Memphis menangis darah. Kesalahan Sultanah

telah diumumkan: Melawan Kerajaan Mesir.

Dia adalah salah satu dari orang-orang yang melawan!

Kesalahan ini tepat berada di belakang orang-orang yang

melakukan kekacauan di seluruh negeri... Memenjarakan

Asiyah untuk kemudian diadili merupakan peringatan bagi

seluruh rakyat. Kepala Pendeta Haman dan para penasihat

lainnya mengatakan bahwa ini merupakan hal yang tepat untuk

memberikan contoh yang keras bagi musuh-musuh Mesir.

Fir?aun berkata kepada Sultanah Asiyah bahwa dia akan

dilepaskan dari penjara dengan syarat meminta maaf kepada

Fir?aun dan masyarakat Mesir...

Sultanah menolaknya dengan keras. Hatinya terbakar

ketika dia mendengar suara tangisan Sare dan putra kecilnya.

Pemberontakan atas kekejaman ini bertambah kuat...

437

Keesokan harinya, orang yang datang untuk mengontrol

para terdakwa adalah Fir?aun sendiri... Di sampingnya berdiri

Kepala Pendeta dan penasihat-penasihatnya, pangeran, dan

para putri... Dia menginginkan ucapan maaf dan penyesalan

orang-orang yang dilempar ke penjara disaksikan oleh

semuanya.

Salah satu putri melemparkan sebuah cincin yang berada di

jemarinya ke dalam penjara tempat Sare ditahan... Sare yang

tak pernah meninggalkan kebaikannya, meskipun di waktu

yang paling sulit dan sedih, membungkuk mengambilnya. Dia

langsung mengenalinya. Cincin itu adalah salah satu perhiasan

berharga yang pernah dia pahat. Dengan mengucapkan

?Bismillah?, dia menghapus debu yang menyelimutinya dan

menyerahkan kembali kepada sang Putri dengan sopan...

Dengan gerakan cepat menghina, dia segera mengambil

cincin dari tangan Sare...

"Apa yang kau katakan?"

"Salam Surga ucapku, wahai tuanku. Ahli perhiasan yang

membuat cincin ini adalah saya dan nama cincin ini adalah

Salam Surga..."

"Bukan, aku tak bertanya tentang itu. Apa yang kau katakan

saat kau mengambil cincin dari tanah?"

"Dengan nama Allah ucapku, wahai tuanku."

"Dan seperti inilah kau mengungkapkan kesalahan

besarmu yang akan membawamu ke kematian. Apakah kau tak

mengetahui bahwa Raja adalah tuhan satu-satunya? Ataukah

kau salah satu dari orang yang memberontak?"

Perempuan yang menginginkan posisi ratu ini terus

mengejek Sare...

438

"Aku percaya pada Allah, Tuhan yang Satu dan Tunggal. Aku

percaya Musa adalah hamba dan utusan-Nya, sama seperti

Nabi Yusuf dan Nabi Ibrahim..."

Hanya itu jawaban Sare.

"Putri Asil, kaulah yang memberikan hukuman kepada

pemberontak ini," ucap Fir?aun sambil tersenyum.

Sesuai dengan perintah Putri Asil, sebuah api besar

disiapkan untuk menghukum Sare dan putra kecilnya...

Sementara itu, Sultanah Asiyah tak mengetahui apa yang

telah terjadi di ruang penjara Sare. Ketika mencium bau

arang dari lubang cerobong tinggi di penjara yang tertutup,

Asiyah merasakan saat pelaksanaan eksekusi telah mendekat.

Meskipun beberapa kali memanggil Sare, dia tak mendapatkan

balasan. Dalam panggilan terakhir, suara Sultanah Asiyah

terputus oleh jeritan Sare dan putra kecilnya... Sultanah

merasakan dunianya telah hancur... Sare dan putra kecilnya

telah berjalan ke syahadat diiringi Salam Surga...

Fir?aun datang sekali lagi ke penjara di siang hari... Ketika

melihat Sultanah Asiyah lebih tenang dan yakin dari biasanya,

Fir?aun tak bisa memahami ini semua.

Asiyah seperti Nil yang tak bisa diserang, tinggi seperti

ombak-ombak besar...

Dengan suara mengejek, Fir?aun menyapa Asiyah.

"Kata-kata leluhur akan terucap. Anda tahu itu..."

Sultanah Asiyah berdiri memberikan jawaban di hadapan

kezaliman.

"Kata-kata kami membuktikan satu dan tunggalnya Allah.

Kalian adalah orang-orang zalim yang hatinya tertutup untuk

439

kebenaran. Kalian adalah orang-orang yang hatinya telah

tersegel dengan kegelapan. Musa yang terlahir di antara

orang-orang yang telah kalian tindas selama bertahun-tahun

adalah hamba Allah, sahabat dan utusan-Nya. Jika kalian tak

menerima apa yang dia tawarkan, kalian akan mendapatkan

hukuman yang setimpal. Kalian takkan menemukan satu

lubang pun untuk melarikan diri... Sekarang saya mengajak

kalian kepada Allah..."

"Apa? Kau... Kami... Mengajak kami, begitukah?"

Fir?aun tertawa sambil memukul-mukul lututnya...

"Kau pasti telah kehilangan akal sehatmu. Lihatlah dirimu,

bagaimana kau mengajak kami dengan keadaanmu yang

menyedihkan ini? Ratu penjara-penjara... Sultanah tanpa

rumah..."

"Jika kau beriman kepada Allah, kau akan selamat.

Tinggalkanlah kesombonganmu!"

"Biarkan aku beri kabar kepada Tuan Haman agar dia

menyalakan sebuah perapian, agar segera membangun temboktembok, mendirikan menara yang menjulang tinggi ke langit.

Mari kita cari tuhannya pembohong Musa di langit..."

"Kata-katamu itu telah membuka luka-luka yang besar

di hatimu. Lidahmu mengeluarkan ular-ular yang beracun.

Suaramu adalah suara orang lemah yang telah takluk pada

kesombongannya... Kau takkan menemukan satu tetes air pun

untuk mencuci darah yang ada di kedua tanganmu. Airmu

telah berubah menjadi darah... Selama kau tak melepaskan

dirimu dari kesombongan dan pengingkaran ini, malapetaka

akan berurutan menimpamu. Nil... Biarkan Nil menjadi saksi

bahwa kaulah yang telah membakar orang-orang tertindas

440

hidup-hidup. Kau takkan menemukan satu tetes air pun untuk

minum... Jika kau terus berada di jalan seperti ini, pengikutmu

suatu hari akan berbalik dan menghancurkan dirimu,

cermati itu... Aku mengundangmu kepada Allah, kebenaran,

keadilan..."

Fir?aun meledak dalam amarah. Jiwanya yang kelam tidak

dapat menerima kebenaran yang diucapkan Sultanah Asiyah.

"Bawa pemberontak yang tak tahu diri ini ke tempat

hukuman! Biarkan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang

melihat dan mendengar... Nyalakan api unggun yang besar,

biarkan mereka tahu siapa yang berkuasa. Ikat dirinya ke

tonggak kayu dengan tali-tali yang menyakitkan. Biarkan dia

tahu siapa yang mengambil dan memberi nyawa. Biarkan

mereka melihat akhir orang-orang yang percaya kepada tuhan

selain diriku tanpa meminta izinku... Aku adalah pemilik Mesir

dan segalanya..."

"Mereka akan menulis dirimu sebagai pemilik kayu-kayu

dan timbunan-timbunan," balas Asiyah tenang.

"Bawa cepat pemberontak yang telah kehilangan akal

sehatnya ini!"

Mereka membawa Sultanah Asiyah...

Mereka mengikat Sultanah Asiyah di tonggak kayu di atas

pasir panas...

"Ini adalah tangan kananku," ucap Asiyah saat pergelangan

tangan kanannya diikat. "Ini adalah tangan yang selalu ingin

kugunakan untuk memegang ibuku yang wajahnya tak aku

ingat. Aku serahkan diriku kepadamu, ya Allah..."

Orang-orang yang mengikatnya pun menangis...

441

"Ini adalah tangan kiriku," ucapnya saat pergelangan tangan

kiri mulai dililit tali. "Aku tak pernah bisa menulis dengan

tangan ini, tapi jika aku bisa menulis dengan tangan ini maka

aku akan menulis Allah. Aku serahkan diriku kepadamu, ya

Allah..."

Orang-orang yang mengikatnya pun menangis...

"Ini adalah kaki kananku," ucapnya ketika pergelangan kaki

kanannya diikat. "Aku langkahkan setiap langkahku ke arah

Musa putraku. Aku serahkan diriku kepadamu, ya Allah..."

Orang-orang yang mengikatnya pun menangis...

"Ini adalah kaki kiriku," ucapnya ketika pergelangan kaki

kirinya diikat. "Aku tak mencintai dunia, aku tak menemukan

sebuah rumah yang melindungi diriku. Aku serahkan dunia

kepadamu, ya Allah..."

Orang-orang yang mengikatnya pun menangis...

Mereka membakar Sultanah dalam tumpukan kayu yang

menjulang tinggi di atas pasir panas...

Bunga-bunga bermekaran, seperti lotus putih...

Yang di ujung-ujungnya tak meneteskan darah...

Pintu-pintu langit telah terbuka...

"Ya Allah," ucapnya... "Berikanlah sebuah rumah yang

hangat bagiku di sisi-Mu..."

Hari itu adalah hari kepulangan Sultanah Asiyah ke

rumahnya...

442

Pagi itu, Nil menangis untuk saudara perempuannya...

Seluruh ikan yang berada di dalamnya, mutiara-mutiara yang

berada di tepiannya, anemon yang berada jauh di dalamnya,

pohon-pohon akasia yang berada di sudutnya, gurun-gurun
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menjaga bukit-bukit rahasia-rahasia di dalamnya...

Semua menangis...

Wa ilallahi turja?ul umur...

Hari itu adalah hari kepulangan Sultanah

Asiyah ke rumahnya...

Pagi itu, Nil menangis untuk saudara

perempuannya...

Seluruh ikan yang berada di dalamnya, mutiaramutiara yang berada di tepiannya, anemon yang

berada jauh di dalamnya, pohon-pohon akasia yang

berada di sudutnya, gurun-gurun yang menjaga

bukit-bukit rahasia-rahasia di dalamnya...

ikut menangis

Tamat


Dewa Arak 88 Puteri Teratai Merah Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua Rahasia Secret Karya Rhonda Byrne

Cari Blog Ini