Ceritasilat Novel Online

Prodigy 2

Prodigy Karya Marie Lu Bagian 2

Sekarang aku sepuluh tahun. Aku kembali ke lab

Rumah Sakit Pusat Los Angeles, dikurung bersama

entah berapa banyak anak lain, semuanya diikat di

tempat tidur dorong terpisah, dibutakan oleh cahaya

menyilaukan. Para dokter dengan masker wajah berada

di dekatku. Aku menyipitkan mata ke arah mereka.

Kenapa mereka membiarkanku sadar? Cahaya itu

sangat terang?aku merasa lamban, pikiranku diseret

melewati lautan kabut.

Kulihat pisau bedah di tangan para dokter itu.

Gumaman kata-kata tak beraturan terdengar

~53~



berdengung di antara mereka. Setelah itu, kurasakan

suatu logam dingin mengenai lututku, dan hal

berikutnya yang kutahu, aku melengkungkan punggung

dan mencoba berteriak. Tidak ada suara keluar. Aku

ingin memberi tahu mereka agar berhenti membedah

lututku, tapi kemudian mereka menusuk bagian

belakang kepalaku dan rasa sakit meledakkan pikiranpikiranku. Penglihatanku berubah menjadi terowongan

putih membutakan.

Kemudian aku membuka mata. Sekarang, aku

terbaring di ruang bawah tanah remang-remang yang

terasa hangat tak nyaman. Aku berhasil bertahan hidup

dari kecelakaan gila. Rasa sakit di kakiku membuatku

ingin menangis, tapi aku tahu aku harus tetap diam.

Aku bisa melihat bentukbentuk gelap di sekitarku,

sebagian besar terbaring tak bergerak di tanah.

Sementara itu, orang-orang dewasa berjas lab berjalan

berkeliling, menginspeksi buntalan-buntalan di lantai.

Aku menunggu dalam diam, berbaring di sana dengan

mata terpejam menjadi celah kecil sampai mereka pergi

meninggalkan ruangan itu. Kemudian, kutarik diriku

bangun dan kurobek secarik kain celanaku untuk

diikatkan di sekeliling lututku yang berdarah. Aku

tersandung dalam kegelapan dan meraba-raba

sepanjang dinding sampai kutemukan pintu keluar, lalu

kuseret diriku ke gang kecil di belakang bangunan itu.

Aku berjalan menuju cahaya. Kali ini June ada di sana,

tenang dan tak takut, mengulurkan tangannya yang

dingin untuk menolongku.

"Ayo," bisiknya, melingkarkan lengan di sekeliling

pinggangku. Aku memeganginya agar dia tetap dekat

denganku. "Kita bersama-sama, kan? Kau dan aku?"

Kami berjalan di sepanjang jalan itu, meninggalkan lab

rumah sakit.

Namun, semua orang di jalanan memiliki rambut

pirang platina keriting seperti Eden, masing-masing

dengan corengan darah merah tua membelah helaihelai rambutnya. Setiap pintu rumah yang kami lewati

memiliki tanda X merah besar hasil semprotan cat,

dengan satu garis vertikal di tengah-tengahnya. Itu

~54~



berarti semua orang di sini terjangkit wabah. Wabah

yang tidak biasa.

Kami terus berjalan di jalan itu bagaikan berharihari lamanya, melewati udara berkabut layaknya sirop

gula kental. Aku mencari rumah ibuku. Dari kejauhan,

aku bisa melihat kota-kota Koloni yang berkilauan

memanggil-manggilku,

menjanjikan

dunia

dan

kehidupan yang lebih baik. Aku akan mengajak John,

Ibu dan Eden ke sana, dan pada akhirnya kami akan

terbebas dari cengkeraman Republik.

Akhirnya, kami tiba di rumah ibuku. Akan tetapi,

ketika aku mendorongnya terbuka, ruang tamu kosong.

Ibuku tidak ada di sana. John sudah mati. Para tentara

menembaknya, aku teringat getir. Aku melirik sekilas ke

sebelahku, tapi June telah lenyap. Aku sendirian di

depan pintu. Hanya tinggal Eden dia terbaring di

tempat tidur. Ketika aku cukup dekat dengannya

sampai dia bisa mendengarku, dia membuka mata dan

mengulurkan tangan ke arahku.

Tapi

matanya

tidak biru. Matanya

hitam karena irisnya

berdarah. ***

Perlahan, sangat perlahan, aku keluar dari kegelapan.

Pangkal leherku berdenyut seperti ketika aku sembuh

dari salah satu sakit kepalaku. Aku tahu aku bermimpi,

tapi yang kuingat adalah rasa takut yang tak mau pergi

akan sesuatu yang mengintai di balik pintu terkunci.

Sebuah bantal terjepit di bawah kepalaku. Sebuah

se-lang menonjol keluar dari lenganku dan terulur

sepanjang lantai. Segalanya terasa kabur. Aku berusaha

mempertajam penglihatanku, tapi yang bisa kulihat

hanyalah pinggiran tempat tidur, karpet di lantai, serta

seorang gadis duduk di sana dengan kepala direbahkan

di tempat tidurku. Setidaknya, kupikir itu seorang gadis.

Beberapa saat lamanya kupikir itu mungkin Eden,

bahwa entah bagaimana kelompok Patriot telah

menyelamatkannya dan membawanya kemari.

Sosok itu bergerak. Sekarang bisa kulihat, sosok

itu Tess.

~55~



"Hei," bisikku. Kata itu keluar tidak jelas dari

mulutku. "Apa yang terjadi? Mana June?"

Tess mencengkeram tanganku dan berdiri,

tersandung saking terburu-burunya ingin menyahut.

"Kau sadar," katanya. "Kau?bagaimana perasaanmu?"

"Lemah." Kucoba menyentuh wajahnya. Aku masih

belum benar-benar yakin dia nyata.

Tess memeriksa pintu kamar di belakangnya untuk

memastikan tidak ada siapa pun di sana. Dia

menyentuhkan satu jari di bibirnya. "Jangan khawatir,"

katanya perlahan. "Kau tidak akan merasa lemah untuk

waktu lama. Paramedis itu kelihatan sangat senang.

Kau akan segera membaik dan kita bisa pergi ke

medan perang untuk membunuh Elector."

Mengejutkan mendengar kata membunuh keluar

begitu halusnya dari mulut Tess. Lalu, sesaat kemudian,

kusadari bahwa kakiku tidak sakit?tidak sedikit pun.

Kucoba menopang tubuhku bangun untuk melihatnya,

dan Tess menegakkan bantal di belakang punggungku

sehingga aku bisa duduk. Kulirik kakiku sekilas, hampir

takut melihatnya.

Tess duduk di sampingku dan membuka perban

putih yang menutupi area tempat lukanya dulu. Di balik

perban itu terdapat pelat-pelat besi halus, lutut

mekanis yang menggantikan lutut burukku dulu, dan

lapisan logam menutupinya sampai setengah paha

atasku. Mulutku ternganga melihatnya. Bagian di mana

logam bertemu daging paha dan betisku terasa erat tak

terpisahkan, tapi hanya ada sedikit kemerahan dan

bengkak di pinggiran logamnya. Air mataku berlinang.

Jemari Tess mengetuk-ngetuk selimutku penuh

harap dan dia menggigit bibir atasnya. "Jadi?

Bagaimana rasanya?"

"Seperti tidak ada rasanya. Tidak sakit sama

sekali." Ragu-ragu, kutelusuri logam dingin itu dengan

jariku, berusaha terbiasa dengan benda asing yang

ditanamkan ke dalam tubuhku. "Paramedis itu

melakukan semua ini? Kapan aku bisa berjalan lagi?

Apa lukanya benar-benar sembuh secepat ini?"

Tess membusungkan dada bangga. "Aku membantu

~56~



Paramedis itu. Sebaiknya kau tidak berjalan-jalan terlalu

sering dalam dua belas jam ke depan. Biarkan proses

penyembuhannya bekerja, mengobati sampai tuntas."

Tess meringis. Cengiran itu membuat matanya berkerut

dalam cara yang sudah sangat kukenali. "Ini operasi

standar untuk tentara yang terluka di medan perang.

Hebat sekali, ya? Setelah ini kau akan bisa

menggunakan kaki itu seperti kaki biasa, bahkan

mungkin lebih baik. Dokter yang kubantu tadi sangat

terkenal. Dia berasal dari rumah sakit medan perang,

tapi di samping itu dia juga melakukan operasi bawah

tanah, yang memberinya keuntungan besar. Saat dia

masih di sini tadi, dia juga menunjukkan padaku

bagaimana menyambung kembali lengan patah Kaede

sehingga bisa sembuh lebih cepat."

Aku bertanya-tanya berapa banyak uang yang

kelompok Patriot habiskan untuk operasi ini.

Sebelumnya aku pernah melihat tentara-tentara

dengan bagian tubuh dari logam, mulai dari yang kecil

seperti lempengan persegi baja di lengan atas mereka

sampai yang besar seperti seluruh kaki diganti dengan

logam. Tidak mungkin operasi ini murah, dan dilihat dari

penampilan kakiku, dokter itu menggunakan operasi

penyelamatan setingkat militer. Aku sudah tahu

seberapa besar kekuatan yang akan kakiku punya saat

aku sembuh?dan seberapa lebih kencang lariku nanti.

Aku bisa menemukan Eden lebih cepat.

"Yeah," kataku pada Tess. "Mengagumkan." Aku

menjulurkan leher sedikit sehingga aku bisa

berkonsentrasi ke pintu kamar, tapi melakukan itu

membuatku pusing. Saat ini kepalaku berdenyut seperti

badai, dan aku bisa mendengar suara-suara rendah

datang dari kejauhan koridor. "Yang lain sedang apa?"

Tess melirik sekilas ke balik bahunya lagi sebelum

kembali menatapku. "Mereka sedang membicarakan

fase pertama rencana itu. Aku tidak terlibat, jadi aku

duduk di sini." Dia membantuku kembali berbaring.

Setelah itu, ada keheningan canggung sesaat. Aku
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih belum bisa terbiasa dengan betapa berbedanya

Tess. Dia mendapatiku sedang memperhatikannya,

ragu-ragu sejenak, lalu tersenyum canggung.

~57~



"Setelah semua ini selesai," aku memulai, "aku

ingin kau ikut bersamaku ke Koloni, oke?"

Tess mulai tersenyum. Dengan gugup, dia

melicinkan selimutku dengan satu tangan, sementara

aku melanjutkan, "Jika semuanya berjalan sesuai

rencana Patriot, dan Republik benar-benar jatuh, aku

tidak ingin kita ditangkap di tengah-tengah kekacauan.

Eden, June, kau dan aku. Mengerti, Sepupu?"

Ledakan antusiasme Tess menyusut. Dia bimbang.

"Entahlah, Day," katanya, melirik ke pintu lagi.

"Kenapa? Kau takut pada Patriot atau sesuatu?"

"Tidak sejauh ini mereka baik padaku."

"Lalu kenapa kau tidak mau ikut?" tanyaku lembut.

Aku mulai merasa lemah lagi. Sulit menjaga agar

berbagai hal ini tidak terasa kabur. "Waktu di Lake dulu,

kita selalu berkata akan lari ke Koloni kalau punya

kesempatan. Ayahku bilang Koloni pastilah tempat yang

penuh?"

"Kebebasan dan kesempatan. Aku tahu." Tess

menggelengkan kepala. "Hanya saja ."

"Apa?"

Sebelah tangan Tess bergeser, masuk ke dalam

genggamanku. Aku kembali membayangkan dia sebagai

anak kecil, ketika pertama kali aku menemukannya

mengadukaduk tempat sampah di sektor Nima. Apa ini

benar-benar gadis yang sama? Tangannya tidak sekecil

dulu, meskipun masih pas sekali di dalam tanganku.

Dia menengadah menatapku. "Day . Aku

mengkhawatirkanmu."

Aku mengerjap. "Apa maksudmu? Operasi ini?"

Tess menggeleng tak sabar. "Bukan. Aku

mengkhawatirkanmu karena June."

Aku menarik napas panjang, menunggunya

melanjutkan. Aku takut pada apa yang akan dia

katakan.

Suara Tess berubah aneh, sesuatu yang tidak

kusadari. "Yah jika June pergi bersama kita

maksudku, aku tahu kau sangat dekat dengannya, tapi

beberapa minggu lalu dia tentara Republik. Tidakkah

kau lihat ekspresinya sekarang dan seterusnya?

~58~



Sepertinya dia merindukan Republik, ingin kembali atau

apalah? Bagaimana kalau dia berusaha menyabotase

rencana kita, atau menyerangmu saat kita sedang

berusaha mencapai Koloni? Kelompok Patriot sudah

menyiapkan tindakan pencegahan?"

"Cukup." Aku sedikit terkejut dengan betapa keras

dan kesalnya suaraku. Sebelumnya aku tak pernah

meninggikan suaraku pada Tess, dan seketika aku

menyesalinya. Aku bisa mendengar kecemburuan pada

setiap kata yang Tess ucapkan, caranya menyebutkan

nama June seolah-olah dia tidak bisa menunggu untuk

selesai melafalkannya. "Aku tahu baru beberapa

minggu sejak semua ini terjadi. Tentu saja dia juga

mengalami saat-saat ketidakpastian. Betul? Tapi tetap

saja, dia tidak loyal lagi pada Republik, dan kita berada

di tempat berbahaya meskipun dia tidak ikut kita.

Selain itu, June punya kemampuan yang tidak kita

punya. Dia membawaku keluar dari Aula Batalla,

astaga. Dia bisa menjaga kita tetap aman."

Tess mengatupkan bibir. "Yah, bagaimana

perasaanmu tentang rencana Patriot terhadapnya?

Bagaimana pula hubungannya dengan Elector?"

"Hubungan apa?" Kukibaskan tanganku lemah,

berpura-pura hal itu bukan masalah. "Itu cuma bagian

dari permainan. Dia bahkan tidak mengenal Elector."

Tess mengangkat bahu. "Dia akan segera

mengenalnya," bisiknya. "Ketika dia sudah cukup dekat

untuk memanipulasi Elector." Matanya kembali sayu.

"Aku akan ikut denganmu, Day. Aku akan pergi ke

mana pun denganmu. Tapi, aku hanya ingin

mengingatkanmu tentang dia. Untuk jaga-jaga

seandainya kau tidak berpikir dari sudut pandang itu."

"Segalanya akan baik-baik saja," kucoba berkata

begitu. "Percayalah."

Ketegangan akhirnya usai. Wajah Tess melembut,

kembali manis seperti yang kukenal. Kekesalanku

lambat laun hilang secepat datangnya. "Kau selalu

mewanti-wantiku," ujarku sambil tersenyum. "Trims,

Sepupu."

Tess nyengir. "Seseorang harus melakukannya,

~59~



kan?" Dia memberi isyarat pada lengan bajuku yang

tergulung ke atas. "Ngomong-ngomong, aku senang

seragam itu pas untukmu. Kelihatannya seragam itu

terlalu besar saat masih dalam keadaan terlipat, tapi

ternyata tidak." Tanpa peringatan, dia mencondongkan

tubuh dan memberiku ciuman ringan di pipi. Hampir

seketika itu juga dia melompat. Wajahnya berubah

merah jambu terang. Tess pernah mencium pipiku

sebelumnya ketika dia lebih muda, tapi ini pertama

kalinya aku merasakan ada sesuatu yang lebih dalam

tindakannya. Kucoba mencari tahu bagaimana, dalam

waktu kurang dari sebulan, Tess meninggalkan masa

kecilnya dan menjadi dewasa. Aku terbatuk tak

nyaman. Hubungan baru ini terasa aneh.

Kemudian, dia berdiri dan menarik tangannya. Dia

melihat ke pintu alih-alih menatapku. "Maaf, kau

seharusnya istirahat. Aku akan memeriksamu nanti.

Cobalah tidur lagi."

Saat itulah aku sadar, pasti Tess yang menjatuhkan

seragam kami di depan kamar mandi. Mungkin dia

melihatku mencium June. Kucoba berpikir di tengahtengah kabut dalam pikiranku, untuk mengatakan

sesuatu padanya sebelum dia pergi, tapi dia sudah

berjalan keluar pintu dan menghilang ke koridor.[]

~60~



Pukul 05.45.

Venezia.

Hari Pertama sebagai anggota resmi kelompok Patriot.

Aku memilih untuk tidak berada di ruangan itu selama

operasi. Tess, tentu saja, tetap tinggal untuk membantu si

Paramedis. Bayangan Day terbaring tak sadarkan diri di

meja, wajah pucat dan hampa, kepalanya sembilan puluh

derajat ke arah langit-langit, akan mengingatkanku sedikit

terlalu banyak pada malam ketika aku membungkuk di atas

jenazah Metias di gang belakang rumah sakit. Aku lebih

memilih tidak membiarkan kelompok Patriot melihat

kelemahanku. Jadi aku menyingkir, duduk di salah satu sofa

di ruangan utama.

Aku juga menjaga jarak agar bisa benar-benar

memikirkan rencana Razor untukku:

~61~



Aku akan ditangkap oleh tentara Republik.

Aku akan mencari cara untuk bisa bertemu secara

pribadi dengan Elector, dan aku akan mendapatkan

kepercayaannya.

Akuakanmemberitahunyatentangrencanapembunuhan

palsu yang akan membawaku pada pengampunan penuh

atas semua tindak kriminalku melawan Republik.

Kemudian,aku

akan

mengumpankannya

ke

pembunuhan yang sebenarnya.

Itulah peranku. Memikirkan itu adalah satu hal;

melakukannya adalah hal lain. Kutatap tanganku dan

berpikir apakah aku siap mengotorinya dengan darah,

apakah aku siap membunuh seseorang. Apa yang selalu

Metias bilang padaku? "Sedikit orang pernah membunuh

karena alasan yang benar, June." Tapi kemudian, aku

teringat kata-kata Day di kamar mandi. "Menghabisi orang

yang paling berkuasa bagaikan harga murah yang harus dibayar

untuk memulai sebuah revolusi. Tidakkah kau pikir begitu?"

Republik telah mengambil Metias dariku. Aku

memikirkan Ujian, kebohongan-kebohongan tentang

kematian orangtuaku. Wabah yang dirancang. Dari

bangunan tinggi nan mewah ini aku bisa melihat stadion

Ujian Vegas berkilauan di kejauhan, di balik gedunggedung pencakar langit. Sedikit orang membunuh karena

alasan yang benar, tetapi jika alasan apa pun adalah yang

benar itu, maka harus dilakukan. Iya, kan?

Tanganku gemetar sedikit. Aku memantapkannya.

Saat ini sunyi di apartemen. Razor sudah pergi lagi (dia

keluar dengan seragam lengkap pada pukul 03.32),

sementara Kaede tidur-tidur ayam di ujung sofa yang

kududuki. Kalau aku menjatuhkan sebuah peniti di lantai

ubin marmer ini, suaranya mungkin akan menyakiti

telingaku. Setelah beberapa saat, kualihkan perhatian ke

layar kecil di dinding. Tidak ada suaranya, tapi aku masih

bisa menyaksikan putaran berita yang sudah sangat

kukenali.

Peringatan banjir, peringatan badai. Waktu kedatangan dan

keberangkatan pesawat zeppelin. Kemenangan melawan

Koloni di medan perang. Kadang-kadang, aku bertanyatanya apakah Republik mengarang-ngarang semua

~62~



kemenangan itu, juga apakah kami sebenarnya menang atau
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalah dalam perang. Berita-berita utama silih berganti.

Bahkan, ada pengumuman peringatan publik bahwa warga

sipil mana pun yang ketahuan memiliki corengan merah di

rambutnya akan ditangkap.

Tiba-tiba putaran berita itu berhenti. Aku

menegakkan tubuh saat melihat cuplikan siarannya: untuk

pertama kalinya, Elector baru akan berpidato secara

langsung di depan publik.

Aku ragu sejenak, lalu melirik Kaede sekilas.

Tampaknya dia tidur sangat nyenyak. Aku bangkit,

menyeberangi ruangan dengan langkah pelan, kemudian

menyentuhkan jari ke layar untuk mengeraskan suara.

Suaranya kecil, tapi cukup untuk kudengar. Aku

menyaksikan saat Anden (atau lebih tepatnya, Elector

Primo) melangkah anggun ke podium. Dia mengangguk

pada serangan kata-kata dari para wartawan pilihan

pemerintah di hadapannya. Dia tampak persis seperti yang

kuingat, versi lebih muda ayahnya, dengan kacamata kecil

dan posisi dagu miring yang memberi kesan agung.

Pakaiannya tanpa cela, seragam hitam resmi bergaris emas

dengan dua baris kancing berkilauan.

"Sekarang saatnya perubahan besar. Ketetapan hati kita

diuji lebih dari sebelumnya, dan perang dengan musuh kita

telah mencapai klimaks," ujarnya. Dia berbicara seolah-olah

ayahnya tidak meninggal, seakan-akan dia selalu menjadi

Elector Primo. "Kita telah memenangi tiga pertempuran

terakhir kita dan merebut tiga kota selatan Koloni. Kita

berada di ambang kemenangan, dan takkan lama lagi

Republik akan menjangkau hingga tepi Samudra Atlantik.

Ini adalah takdir nyata kita."

Dia terus melanjutkan, meyakinkan rakyat tentang

kekuatan militer kami dan berjanji akan mengumumkan

perubahan-perubahan yang ingin diterapkannya?siapa

yang tahu seberapa banyak kata-katanya yang benar. Aku

kembali mempelajari wajahnya. Suaranya mirip ayahnya,

tapi kudapati diriku tertarik pada ketulusan di dalamnya.

Dua puluh tahun. Mungkin sebenarnya dia memercayai

semua yang dia katakan, atau barangkali dia hanya

benarbenar pandai menyembunyikan semua keraguannya.

~63~



Aku bertanya-tanya apa yang dia rasakan tentang kematian

ayahnya, dan bagaimana dia bisa, pada konferensi pers

seperti ini, cukup menguasai diri untuk dapat berperan

sebagai beliau. Tidak diragukan lagi Kongres ingin sekali

memanipulasi Elector muda ini, mencoba menjalankan

pertunjukan dari balik layar dan menyingkirkannya seperti

bidak catur. Berdasarkan apa yang Razor katakan, mereka

pastilah berselisih setiap hari. Mungkin Anden haus

kekuasaan seperti ayahnya kalau dia menolak mendengarkan

Senat sama sekali.

Apa tepatnya perbedaan antara Anden dan ayahnya?

Apa yang Anden pikirkan tentang bagaimana Republik

seharusnya?dan tentang hal itu, apa yang aku pikirkan?

Kumatikan lagi suara layar itu dan berjalan menjauh.

Jangan terlalu memikirkan siapa Anden. Aku tidak bisa

berpikir tentangnya seolah-olah dia seseorang yang nyata?

seseorang yang harus kubunuh.

Akhirnya, setelah sinar pertama fajar mulai memenuhi

ruangan, Tess keluar dari kamar operasi membawa kabar

bahwa Day sudah sadar dan siaga. "Dia baik-baik saja,"

katanya pada Kaede. "Sekarang dia duduk, dan dia akan

bisa berjalan-jalan dalam beberapa jam." Kemudian, dia

melihatku dan senyumnya lenyap. "Um. Kau bisa

menjenguknya kalau kau mau."

Kaede membuka sebelah mata, mengangkat bahu, lalu

kembali tidur. Kuberi Tess senyum paling bersahabat yang

bisa kutampilkan, kemudian menghela napas panjang dan

pergi ke kamar operasi.

Day ditopang dengan bantal. Selimut tebal menutupi

tubuhnya sampai ke dada. Dia pasti lelah, tapi dia masih

mengedipkan mata saat aku melangkah masuk. Bahasa

tubuh yang membuat jantungku melonjak. Rambutnya

tergerai di sekelilingnya dalam lingkaran berkilauan.

Beberapa penjepit kertas bengkok bertebaran di

pangkuannya (diambil dari boks peralatan di sudut?

kutebak dia telah mencoba bangun). Rupanya dia tengah

membuat sesuatu dari penjepit kertas itu. Aku mendesah

lega ketika menyadari dia tidak sedang kesakitan.

"Hei," kataku padanya. "Senang melihatmu hidup."

~64~



"Aku juga senang melihatku hidup," sahutnya.

Pandangannya mengikutiku waktu aku duduk di

sampingnya di tempat tidur. "Apa aku melewatkan

sesuatu?"

"Yeah. Kau tidak mendengar Kaede mendengkur di

sofa. Untuk ukuran orang yang selalu lari dari hukum, dia

tidur sangat nyenyak."

Day tertawa kecil. Aku kagum dengan semangat

tingginya, sesuatu yang belum kulihat lagi selama beberapa

minggu belakangan. Pandanganku teralih ke bagian selimut

yang menutupi kakinya. "Bagaimana keadaan kakimu?"

Dengan cepat,Day menyingkap selimut. Di bawahnya,

terdapat pelat logam halus (baja dan titanium) di tempat

lukanya dulu berada. Paramedis juga mengganti lutut

buruknya dengan lutut buatan, dan sekarang sepertiga

bagian kakinya adalah logam. Dia mengingatkanku pada

tentara-tentara yang baru kembali dari medan perang,

dengan tangan, lengan, dan kaki sintetis mereka, logam di

tempat yang dulunya kulit. Paramedis itu pasti familier

dengan luka-luka peperangan. Tidak diragukan lagi koneksi

Razor sebagai pejabat telah menolong Paramedis tersebut

mendapatkan sesuatu yang sama mahalnya dengan operasi

penyelamatan yang dia lakukan pada Day. Aku membuka

telapak tanganku, lalu Day menggenggamkan tangannya di

situ.

"Bagaimana rasanya?"

Day menggelengkan kepala tak percaya. "Seperti tidak

ada rasanya. Sepenuhnya ringan dan tidak sakit." Cengiran

nakal melintas di wajahnya. "Sekarang, kau akan bisa

melihat bagaimana aku benar-benar memanjat dinding,

Sayang. Bahkan,lutut retak tidak akan menggangguku lagi,

kan? Sungguh kado ulang tahun yang bagus."

"Ulang tahun? Aku tak tahu. Selamat ulang tahun

yang terlambat," kataku sambil tersenyum. Tatapanku

tertuju pada penjepit kertas yang bertebaran di

pangkuannya. "Kau sedang apa?"

"Oh." Day mengangkat satu dari benda yang sedang

dibuatnya, sesuatu yang terlihat seperti lingkaran logam.

"Hanya menghabiskan waktu." Dia mengangkat lingkaran

itu ke arah cahaya, lalu memegang tanganku. Dia

~65~



meletakkan benda itu di telapak tanganku. "Hadiah

untukmu."

Aku memperhatikannya lebih lekat. Lingkaran itu

terbuat dari empat penjepit kertas yang sudah diuraikan

hati-hati, terjalin satu sama lain dalam sebuah spiral, lalu

disatukan dari ujung ke ujung sehingga membentuk cincin

kecil. Sederhana dan rapi. Bahkan artistik. Aku bisa melihat

cinta dan kepedulian di dalam jalinan logam itu, sedikit

bengkok pada kawat itu di mana jari-jari Day bekerja terus

dan terus untuk membentuk lengkungan yang benar. Dia

membuatnya untukku. Aku memakainya ke jariku dan

cincin itu meluncur mudah sebagaimana mestinya. Indah.

Aku tersipu, tersanjung tanpa bisa bicara. Aku tak ingat

kapan terakhir kali ada orang benar-benar membuat sendiri

sesuatu untukku.

Day tampak kecewa dengan reaksiku, tapi

menyembunyikannya dengan tawa ceroboh. "Aku tahu

kalian orang kaya punya tradisi-tradisi mewah, tapi di

sektor-sektor kumuh, pertunangan dan tanda kasih sayang

biasanya seperti ini."

Pertunangan? Jantungku melonjak di dalam dada. Mau

tak mau aku tersenyum. "Dengan cincin penjepit kertas?"

Oh, tidak. Aku memaksudkan itu sebagai pertanyaan

ingin tahu yang jujur, tapi setelah kata-kata itu telanjur

keluar dari mulutku, baru kusadari aku terdengar sarkastis.

Wajah Day merona sedikit. Seketika aku marah pada

diriku sendiri karena keseleo lidah lagi.

"Dengan sesuatu buatan tangan," ralatnya setelah

beberapa saat. Dia menunduk, sepenuhnya malu, dan aku

merasa tak enak karena akulah yang menyebabkannya.

"Maaf karena cincin itu terlihat bodoh," katanya dalam

suara rendah. "Kuharap aku bisa membuatkanmu sesuatu

yang lebih baik."

"Tidak, tidak," selaku, berusaha memperbaiki apa yang

tadi kukatakan. "Aku sangat menyukainya." Kubelai cincin

itu dengan jari-jariku, kupertahankan tatapanku ke situ

sehingga aku tidak perlu menatap mata Day. Apa dia kira

aku tidak menganggap ini cukup bagus? Katakan sesuatu, June.

~66~



Apa pun. Hasil pengamatanku yang rinci muncul. "Kawat

baja berlapis listrik tanpa disepuh. Ini material bagus, tahu.

Lebih kuat dari logam campuran, masih lentur, dan tidak

akan berkarat. Ini?"

Aku berhenti saat melihat tatapan sayu Day. "Aku

menyukainya," ulangku. Reaksi bodoh, June. Kenapa dulu kau

tidak meninju wajahnya saja. Aku bahkan menjadi lebih

bingung saat teringat diriku pernah memukul wajahnya

dengan popor senapan. Romantis.

"Sama-sama," katanya, memasukkan sisa penjepit kertas

yang belum dibengkokkan ke sakunya.

Ada jeda panjang. Aku tak yakin dia ingin aku

membalas apa, tapi kemungkinan bukan dengan daftar
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sifat-sifat fisik penjepit kertas. Mendadak merasa tak yakin

pada diriku sendiri, aku bergeser mendekat dan merebahkan

kepalaku di dada Day. Dia bernapas cepat seolah aku telah

membuatnya terperanjat, lalu perlahan dia melingkarkan

lengannya ke sekeliling tubuhku. Ya, begitu lebih baik.

Kupejamkan mata. Sebelah tangannya menyisiri rambutku,

menyebabkan bulu roma di sepanjang lenganku berdiri.

Kuizinkan diriku berfantasi sebentar menuruti kata hati?

kubayangkan

jarinya menyusuri

garis rahangku,

menurunkan wajahnya mendekati wajahku.

Day mencondongkan tubuh ke dekat telingaku.

"Bagaimana perasaanmu tentang rencana itu?" bisiknya.

Aku mengangkat bahu, membuang kekecewaanku.

Bodoh sekali aku berfantasi mencium Day pada saat seperti

ini. "Apa sudah ada yang memberitahumu apa yang harus

kau lakukan?"

"Belum. Tapi, aku yakin ada semacam siaran nasional

untuk memberi tahu negeri ini bahwa aku masih hidup.

Sudah seharusnya aku membuat masalah, kan?

Menyebabkan hiruk pikuk?" Day tertawa kering, tapi

wajahnya tidak tampak geli. "Apa pun yang bisa

mendekatkanku pada Eden, kukira."

"Kukira juga begitu," kataku.

Kemudian, dia menarikku sampai aku duduk tegak

menatap wajahnya. "Aku tak tahu apakah mereka akan

membiarkan kita berkomunikasi satu sama lain," katanya.

~67~



Suaranya begitu rendah sampai-sampai aku hampir tidak

dapat mendengarnya. "Rencana itu kedengaran bagus, tapi

jika terjadi sesuatu?"

"Mereka akan mengawasiku, aku yakin," selaku. "Razor

pejabat Republik. Dia akan menemukan cara untuk

menyelamatkanku jika rencana itu bermasalah. Untuk

komunikasi ." Aku menggigit bibir, berpikir. "Aku akan

mencari cara."

Day menyentuh daguku, menarikku mendekat sampai

hidungnya bersentuhan dengan hidungku. "Jika terjadi

sesuatu, jika kau berubah pikiran, atau jika kau butuh

bantuan, kirimi aku sinyal. Kau mengerti?"

Kata-katanya membuat bulu kudukku merinding.

"Oke," bisikku.

Day mengangguk halus, lalu menarik diri dan kembali

bersandar ke bantalnya. Aku mengembuskan napas.

"Kau siap?" dia bertanya. Aku tahu kata-katanya lebih

dari itu, tapi dia tidak mengatakan lanjutannya. Kau siap

membunuh Elector?

Kuberi dia cengiran terpaksa. "Siap seperti biasa."

Kami tetap seperti itu untuk waktu lama, sampai

cahaya yang masuk dari jendela menjadi terang dan kami

mendengar sumpah pagi menggaung ke seluruh kota.

Akhirnya, kudengar pintu depan terayun membuka dan

menutup, disusul suara Razor. Langkah kaki mendekati

kamar ini, dan Razor melongokkan kepala tepat ketika aku

duduk menegakkan tubuh.

"Bagaimana kakimu?" dia menanyai Day. Wajahnya

sekalem biasanya, matanya tanpa ekspresi di balik kacamata.

Day mengangguk. "Baik."

"Bagus sekali." Razor tersenyum simpati. "Kuharap kau

sudah menghabiskan cukup waktu dengan pacarmu, Miss

Iparis. Kita akan pergi dalam satu jam."

"Kupikir Paramedis ingin aku berbaring untuk?" Day

baru mulai berkata.

"Maaf," sahut Razor seraya berbalik. "Kita harus

mengejar pesawat. Yang penting jangan paksa kaki itu

bekerja terlalu keras dulu."[]

~68~



KELOMPOK

PATRIOT MENYIAPKAN PENYAMARAN UNTUKKU

SEBELUM KAMI BERANGKAT.

Kaede memotong rambutku sampai di bawah bahu,

kemudian dia mewarnai helaian rambut pirang platinaku

menjadi merah kecokelatan gelap. Dia menggunakan

semacam semprotan untuk melakukannya, sesuatu

yang bisa dihapus dengan pembersih khusus jika

mereka perlu menghilangkan warnanya. Razor

memberiku sepasang lensa kontak cokelat yang

sepenuhnya menyembunyikan warna biru cerah

mataku. Hanya aku yang tahu mata itu palsu; aku

masih bisa melihat setitik bintik ungu kecil di irisnya.

Lensa kontak ini sendiri mahal?orang-orang kaya

menggunakannya untuk mengubah warna mata mereka

?untuk bersenang-senang. Benda itu bisa berguna

~69~



untukku di jalanan kalau saja aku punya akses untuk

mendapatkannya. Kaede menambahkan bekas luka

buatan di pipiku, kemudian menyudahi penyamaranku

dengan seragam pasukan udara tahun pertama;

setelan hitam atas bawah dengan garis merah panjang

di masing-masing kaki celana.

Akhirnya, dia melengkapiku dengan earpiece dan

mikrofon kecil sewarna daging?yang pertama

ditanamkan tanpa terlihat di telingaku, sementara yang

kedua di dalam pipiku.

Razor sendiri berpakaian lengkap dalam seragam

standar pejabat Republik. Kaede mengenakan pakaian

terbang sempurna?jumpsuit2 hitam dengan strip sayap

perak melingkar di masing-masing lengan, sarung

tangan penerbangan putih yang serasi, serta goggle

untuk penerbang. Di Patriot dia bukan Pilot tanpa

alasan?menurut Razor, dia bisa melakukan gerakan

Split-S 3 di udara lebih baik dari siapa pun. Tentunya

Kaede tidak akan mengalami kesulitan menyamar

sebagai pilot tempur Republik.

Tess sudah pergi satu setengah jam lalu, dengan

cepat dibawa pergi oleh seorang serdadu yang Razor

bilang anggota lain Patriot. Tess terlalu muda untuk

menyamar menjadi tentara level apa pun, jadi

menyelundupkannya

ke

PR

Dynasty

berarti

mendandaninya dengan kemeja cokelat sederhana dan

celana panjang, pakaian buruh yang menangani ratusan

kompor di zeppelin itu.

Kemudian ada June.

Dalam diam, June menonton perubahanku dari

sofa. Dia belum banyak bicara sejak percakapan

terakhir kami di tempat tidur penyembuhanku.

Sementara aku dan yang lain mengenakan berbagai

pakaian, June tidak berubah?tanpa riasan, matanya

masih gelap dan tajam, rambutnya masih dikuncir kuda

menyilaukan. Dia memakai seragam polos taruna yang

Razor berikan semalam. Bahkan, June tidak tampak

terlalu berbeda dengan foto di ID militernya. Dia satusatunya di antara kami yang tidak dilengkapi dengan

~70~



mikorofon dan earpiece, untuk alasan-alasan yang

sudah jelas. Kucoba menangkap pandangannya

beberapa kali selama Kaede bekerja menyamarkan

penampilanku.

2

Jumpsuit: Baju terusan untuk penerjun payung. (sumber:

Wikipedia) 3 Split-S adalah gerakan pesawat tempur yang kebanyakan

digunakan untuk mundur dari pertempuran. Untuk melakukan

gerakan tersebut, pilot harus memutar pesawatnya setengah putaran

terbalik dan terbang turun setengah lingkaran sehingga pesawat

meluncur ke arah sebaliknya pada ketinggian yang lebih rendah.

(sumber: Wikipedia)

Kurang dari satu jam kemudian, kami menuju ruas

jalan utama Vegas dengan jip resmi Razor. Kami

melewati beberapa piramida pertama?dermaga

Alexandria, Luxor, Kairo, Sphinx. Semuanya dinamai

berdasarkan beberapa peradaban kuno sebelum

Republik, atau setidaknya begitulah yang diajarkan

pada kami dulu, ketika Republik benar-benar

mengizinkanku sekolah. Piramida-piramida itu tampak

berbeda pada siang hari. Lampu mercusuarnya padam

dan bagian pinggirnya tidak menyala sehingga piramidapiramida itu tampak seperti kuburan hitam raksasa di

tengah-tengah gurun pasir. Para tentara sibuk keluarmasuk. Senang melihat begitu banyak aktivitas?lebih

mudah bagi kami untuk membaur.

Kuperiksa seragamku lagi. Mengilap dan asli. Aku

tidak bisa terbiasa dengan seragam ini, meski secara

teknis June dan aku telah menghabiskan bermingguminggu dengan menyamar sebagai tentara. Kerah ini

menggores leherku, dan lengannya terasa terlalu kaku.

Aku tak tahu bagaimana June bisa tahan memakai baju

ini sepanjang waktu. Setidaknya, apakah dia menyukai

penampilanku dalam seragam ini? Bahuku memang

tampak jadi sedikit lebih bidang.

"Berhenti menarik-narik seragammu," bisik June

saat melihatku memainkan pinggiran jaket tentaraku.

~71~



"Kau merusak kerapiannya."

Itu adalah kata-kata terbanyak yang kudengar dari

mulutnya dalam satu jam ini. "Kau hanya gugup,"

sahutku.

June ragu-ragu, lalu kembali memalingkan wajah.

Rahangnya terkatup seolah dia berusaha agar tidak

keceplosan mengatakan sesuatu. "Cuma berusaha

membantu," gumamnya.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian, aku meraih tangannya dan

meremasnya. Dia balik meremas tanganku.

Akhirnya, kami tiba di Pharaoh, dermaga

pendaratan tempat PR Dynasty menunggu untuk lepas

landas. Razor mengantar kami keluar, lalu menyuruh

kami berdiri tegak dalam posisi siap. Hanya June yang

tidak di barisan. Dia berdiri di samping Razor,

menghadap ke salah satu sisi jalan. Diam-diam aku

memperhatikannya.

Sedetik kemudian, seorang serdadu muncul dari

keramaian dan mengangguk pada Razor, kemudian

pada June. Gadis itu meluruskan bahu, mengikuti di

belakang serdadu tersebut, lalu menghilang kembali ke

keramaian jalanan. Lenyap dari penglihatan begitu saja.

Aku mengembuskan napas, merasa ada lubang dalam

diriku karena dia tibatiba pergi.

Aku takkan melihatnya lagi sampai semua ini

selesai. Jika semuanya berjalan lancar.

Jangan berpikir begitu. Rencana ini akan berjalan

lancar.

Kami masuk bersama gelombang tentara-tentara

lain yang keluar-masuk Pharaoh. Bagian dalamnya

besar. Jauh di atas pintu masuk utama, langit-langitnya

membentang sepenuhnya sampai ke puncak piramida

dan berakhir di dasar PR Dynasty, di mana aku bisa

melihat bentuk-bentuk kecil mendarat di labirin bidang

miring dan jalur-jalur lintasan. Deretan pintu barak

berjajar di setiap sisi tingkat piramida. Di setiap dinding,

papan

pengumuman

panjang

tak

henti-henti

menampilkan

informasi

kedatangan

dan

keberangkatan. Lif t-lif t diagonal menyusuri keempat sisi

utama piramida.

~72~



Razor meninggalkan kami di sini. Sedetik dia

berjalan terus, dan detik berikutnya dia mendadak

berbalik ke keramaian di luar dan melebur dalam lautan

seragam. Kaede terus berjalan tanpa ragu, tetapi cukup

lambat sehingga kami bisa berjalan bersisian. Aku

hampir tidak bisa melihat bibirnya bergerak, tapi

suaranya bergema sejelas silet dari earpiece-ku.

"Razor akan berangkat dengan Dynasty dengan

para pejabat lain, tapi kita tidak bisa masuk ke sana

bersama para tentara tanpa dimintai identitas. Jadi,

menyelinap masuk adalah pilihan terbaik kita?"

Aku menengadah dan memandangi dasar pesawat

zeppelin itu, memindai sekilas seluruh sudut dan celah

yang melapisi sisinya. Aku teringat saat aku menyusup

ke sebuah zeppelin yang sedang mendarat dan mencuri

dua tas penuh makanan kaleng. Atau ketika aku

menenggelamkan zeppelin yang lebih kecil di danau Los

Angeles dengan membuat banjir mesinnya. Dalam

kedua kasus itu, ada satu cara mudah untuk masuk

tanpa terdeteksi. "Saluran pembuangan sampah," aku

balas berbisik dengan mikrofonku.

Dengan cepat, Kaede memberiku seringai setuju.

"Perkataan seorang Buronan sejati."

Kami berjalan membelah keramaian sampai kami

mencapai terminal lif t di salah satu sudut piramida. Di

sini kami berbaur dengan kelompok kecil yang

berkerumun di depan pintu lif t. Kaede mematikan

mikrofonnya agar bisa bercakap-cakap sedikit

denganku, dan aku berhati-hati agar tidak bertatapan

dengan tentara-tentara lain. Begitu banyak di antara

mereka yang lebih muda dari yang kubayangkan,

bahkan hampir seumuranku, dan beberapa di

antaranya sudah memiliki luka permanen?tungkai

logam seperti punyaku, sebelah telinga hilang, tangan

tertutup bekas luka bakar. Aku kembali melirik sekilas

Dynasty di atas, kali ini cukup lama untuk

memperhatikan semua saluran pembuangan sampah

yang terbuka di sisi lambung pesawat. Jika kami akan

memanjat naik ke pesawat ini, kami harus

~73~



melakukannya dengan cepat.

Lif t segera datang. Kami bergerak naik, dengan

perjalanan yang membuat mual, ke sisi diagonal

piramida. Kemudian, kami menunggu di puncak ketika

semua orang berbaris keluar. Kami keluar terakhir.

Kaede menoleh padaku ketika orang-orang lain

bertebaran di sisi-sisi aula puncak yang menuju tangga

pintu masuk pesawat.

"Satu penerbangan lagi untuk kita," ujarnya,

mengangguk ke arah set tangga sempit di ujung aula

yang mengarah ke dalam langit-langit piramida. Aku

memperhatikannya tanpa bicara. Kaede benar. Tangga

itu menuju bagian dalam langit-langit (dan kemungkinan

akan membawa kami ke atap). Seluruh langit-langit ini

terbentuk dari jalinan rumit perancah logam dan balokbalok penyangga yang silang-menyilang. Dari sini, bagian

belakang zeppelin yang masuk ke dok menghasilkan

bayangan melewati langit-langit, membungkus bagian

tersebut ke dalam kegelapan. Jika dari puncak tangga

kami bisa melompat sampai ke tengah dan memanjat

ke balok-balok logam yang tidak beraturan itu, dalam

kegelapan kami bisa membuka jalan tanpa terdeteksi

menuju zeppelin dan memanjat ke sisi gelap lambung

pesawat. Dari dekat situ, suara ventilasi udara

terdengar bising. Ditambah lagi, ingar-bingar dan

kesibukan di basis pendaratan akan menutupi suara

apa pun yang kami buat.

Di sinilah aku berharap kaki baruku bisa bertahan.

Aku mengentakkan kaki dua kali untuk mengujinya.

Tidak sakit, tapi ada sedikit tekanan ketika dagingku

bertemu logam, seolah-olah keduanya belum

sepenuhnya menyatu. Tetap saja, mau tak mau aku

tersenyum.

"Ini akan menyenangkan, ya?" kataku. Setidaknya

untuk sesaat, aku hampir kembali menjadi diriku

sendiri, kembali ke kondisi terbaikku.

Kami berhasil mencapai puncak tangga yang

tertutup bayang-bayang itu, lalu masing-masing dari

kami melompat pendek ke perancah dan memanjat

balok-balok. Kaede duluan. Dia harus berjuang sedikit

~74~



dengan lengannya yang diperban, tapi berhasil

mendapat pegangan mantap setelah beberapa kali

harus menyeret kaki. Kemudian giliranku. Tanpa

kesulitan aku berayun ke balok-balok

dan

menyembunyikan diri di dalam bayang-bayang. Sejauh

ini kakiku baik-baik saja. Kaede mengamatiku dengan

puas.

"Rasanya luar biasa," bisikku.

"Bisa kulihat."

Kami bergerak dalam diam. Kalung bandulku

beberapa kali keluar dari bajuku sehingga harus

kumasukkan kembali. Kadang-kadang, aku melihat ke

bawah atau ke zeppelin. Lantai basis pendaratan penuh

oleh taruna semua pangkat. Saat ini sebagian besar kru

Dynasty yang sebelumnya telah keluar dari pesawat,

sementara kru yang baru mulai membentuk antrean

panjang di depan tangga yang menuju pintu masuk. Aku

memperhatikan satu demi satu melewati pemeriksaan

cepat, cek identitas, serta scan tubuh. Jauh di bawah

kami, lebih banyak taruna berkerumun di depan pintu

lif t.

Mendadak aku berhenti.

"Ada apa?" bentak Kaede.

Aku mengangkat satu jari. Mataku terpancang ke

bawah, terpaku pada satu sosok familier yang sedang

berjalan membelah keramaian.

Thomas.

Si Berengsek itu mengejar kami terus dari Los

Angeles. Sekarang, dia berhenti beberapa kali untuk

menanyai beberapa tentara secara acak. Bersamanya

ada seekor anjing yang sangat putih. Dari ketinggian ini,

anjing itu berdiri seperti mercusuar. Kugosok mataku

untuk memastikan aku tidak berhalusinasi. Yap,

Thomas masih di sana. Dia meneruskan langkahnya

menyelip-nyelip di antara keramaian.

Sebelah tangan di pistolnya di pinggang, sementara

tangan satunya lagi memegang tali si Anjing Besar.

Sebaris kecil tentara mengikutinya. Seketika tungkaiku

terasa kebas, dan mendadak aku hanya melihat

Thomas

yang

mengangkat

senapan

dan

~75~



mengarahkannya pada ibuku. Juga, Thomas yang

menghajarku sampai babak belur di ruang interogasi

Aula Batalla. Penglihatanku dipenuhi air mata berang.

Kaede menangkap apa yang menyita perhatianku

dan ikut melongokkan kepala ke bawah. Suaranya

menyadarkanku dari lamunan. "Dia di sini karena June,"

bisiknya. "Jalan terus."
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera saja aku mulai merangkak lagi meskipun

seluruh tubuhku bergetar. "June?" aku balas berbisik.

Bisa kurasakan kemarahanku bangkit. "Kalian pilih dia

untuk mengejar June?"

"Ada alasannya."

"Dan apa itu?"

Kaede mendesah tak sabar. "Thomas tidak akan

menyakitinya."

Tetap tenang, tetap tenang, tetap tenang. Kupaksa

diriku tetap bergerak. Tak ada pilihan lain selain

memercayai Kaede sekarang. Tatapan ke depan. Jalan

terus.

Tanganku

gemetar

dan

kucoba

memantapkannya, menekan kebencianku. Pikiran

tentang Thomas mengejar June untuk menangkap dan

menghukumnya lebih dari yang bisa kutahan. Kalau

sekarang aku memikirkan hal itu, aku takkan bisa

berkonsentrasi pada apa pun.

Tetap. Tenang.

Di bawah kami, kelompok patroli Thomas

membelah keramaian. Perlahan-lahan dia bergerak

menuju lif t.

Kami tiba di lambung pesawat. Dari sini, aku bisa

melihat antrean tentara yang menunggu untuk masuk

ke pesawat lewat tangga. Saat itulah kudengar

gonggongan pertama si Anjing Putih. Thomas dan

pasukannya kini berkumpul di salah satu terminal lif t.

Yang sama dengan yang kami naiki tadi. Anjing itu

menyalak tanpa rasa iba, hidungnya terarah ke pintu

lif t, ekornya dikibaskan. Tatapan ke depan. Jalan terus.

Aku melirik sekilas ke bawah. Satu tangan Thomas

menekan kuat ke sesuatu yang pastilah earpiece-nya.

Selama semenit dia berdiri di sana, seakan dia

~76~



berusaha memahami apa yang dia dengar. Kemudian,

tiba-tiba saja, dia berteriak pada orang-orangnya dan

mereka mulai menjauh dari lif t. Kembali ke keramaian

para tentara.

Mereka pasti sudah menemukan June.

Dengan dinaungi bayang-bayang, kami berhasil

melewati langit-langit piramida sampai kami bertengger

cukup dekat ke bagian gelap lambung pesawat,

beberapa meter jauhnya. Lambung itu tampak bagus,

dengan hanya sebuah tangga logam memanjang

vertikal di sisinya menuju dek pesawat. Kaede

mengatur kembali keseimbangannya di balok logam,

kemudian menoleh padaku. "Kau lompat duluan,"

katanya. "Kau lebih jago."

Saatnya bergerak. Kaede bergeser sedikit sehingga

aku bisa mendapat sudut yang bagus ke arah pesawat.

Kuatur pijakan untuk menopang tubuh, berharap agar

kakiku tetap utuh, lalu melompat jauh. Tubuhku

terhempas membentur tiang tangga dengan bunyi

gedebuk teredam. Aku menggertakkan gigi agar tidak

berteriak. Rasa sakit menusuk bagian atas dan bawah

kakiku yang sedang dalam masa penyembuhan.

Kutunggu beberapa detik sampai ketegangan di kakiku

lenyap, lalu aku mulai memanjat lagi. Dari sisi belakang

ini aku tidak bisa melihat kelompok patroli lagi, tapi itu

berarti?semoga?mereka juga tidak bisa melihat kami.

Lebih baik lagi kalau mereka sudah pergi. Di belakang,

kudengar Kaede juga melompat dan membentur anak

tangga beberapa kaki di bawahku.

Akhirnya,

akutibadilubangmasuk

saluranpembuangan sampah. Aku meloncat dari tangga

?tanganku menangkap sisi saluran dan lenganku

mengayunkan tubuhku tepat ke dalam kegelapan. Ada

rasa sakit menyentak lagi, tapi kakiku masih berdenyut

penuh energi baru, kuat untuk pertama kalinya setelah

sekian lama. Kusapu debu dari tanganku, lalu berdiri.

Hal pertama yang kuperhatikan di dalam saluran ini

adalah udaranya yang dingin. Mereka pasti telah

mendinginkan bagian dalam pesawat sebelum lepas

landas.

~77~



Beberapa saat kemudian, Kaede turut berayun ke

dalam. Dia mengernyitkan dahi, menggosok lengannya

yang masih digips, kemudian mendorong dadaku.

"Jangan tibatiba berhenti begitu di tengah-tengah

pendakian," bentaknya. "Kau tidak boleh terus-terusan

bersikap impulsif."

"Maka jangan beri aku alasan untuk bersikap

impulsif," aku balas membentak. "Kenapa kalian tidak

memberitahuku Thomas ke sini karena June?"

"Aku tahu sejarahmu dengan kapten itu," sahut

Kaede. Dia memicingkan mata dalam kegelapan,

kemudian memberi isyarat agar kami mulai memanjat

salurannya. "Dan Razor pikir kau tidak perlu

mengkhawatirkan itu dulu."

Aku siap menyerang balik, tapi Kaede memberiku

tatapan peringatan. Dengan susah payah, aku berhasil

menelan kemarahanku. Kuingatkan diri kenapa aku di

sini. Ini untuk Eden. Jika Razor pikir June paling aman

berada dalam pengawasan Thomas, berarti begitulah.

Tapi, apa yang akan mereka lakukan pada June saat

mereka menangkapnya? Bagaimana jika sesuatu

terjadi, dan Kongres atau pengadilan melakukan

sesuatu yang tidak direncanakan Razor? Bagaimana

Razor bisa sangat yakin semuanya akan berjalan

lancar?

Kaede dan aku memanjat saluran sampai kami

mencapai tingkat terbawah Dynasty. Kami tetap

bersembunyi di belakang lorong tangga di belakang

ruang mesin yang sepi sampai pesawat lepas landas,

ketika katup uap menyala dan kami merasakan

tekanan mendorong kaki kami karena gerakan pesawat

terbang naik dari basis pendaratan. Kudengar suara

kabel raksasa putus dari sisi-sisi pesawat dan riuh

tepuk tangan para kru basis, merayakan satu lagi

peluncuran yang sukses.

Setelah setengah jam berlalu, ketika kemarahanku

akhirnya reda, kami keluar dari lorong tangga. "Ayo

lewat sini," bisik Kaede saat kami mencapai sebuah

ruangan kecil dengan dua jalan?satu ke ruang mesin

dan satunya lagi langsung naik ke lantai bawah

~78~



pesawat. "Terkadang, mereka melakukan inspeksi

mendadak di pintu masuk dek bawah. Kita akan

mendapat lebih sedikit masalah di ruang mesin." Dia

berhenti sejenak, menekan sebelah tangan ke

belakang telinganya dengan dahi berkerut penuh

konsentrasi.

"Ada apa?"

"Kedengarannya Razor di dalam," sahutnya.

Kakiku terasa agak sakit saat kami melanjutkan,

dan kudapati diriku berjalan dengan sedikit pincang tak

kentara. Kami menaiki tangga lain yang menuju ruang

mesin, berpapasan dengan sepasang tentara di tengah

jalan, sampai kami menginjak lantai bertanda "6" di

mana tangganya selesai. Kami berjalan mengelilingi

ruangan ini selama beberapa saat sebelum berhenti di

depan sebuah pintu sempit. Ada tanda bertuliskan KE

RUANG MESIN A, B, C, D.

Seorang penjaga menunggui pintu itu sendirian. Dia

mengangkat kepala sekilas, melihat kami, dan

menegakkan tubuh yang tadinya membungkuk. "Kalian

mau apa?" sungutnya.

Kami bertukar hormat seperti biasa. "Kami dikirim

ke sini untuk menemui seseorang," dusta Kaede. "Staf

ruang mesin."

"Oh ya? Siapa?" Dia menyipitkan mata tak senang

pada Kaede. "Kau pilot, kan? Seharusnya kau di dek

atas. Mereka sedang melakukan inspeksi."

Kaede siap memprotes, tapi aku menyelanya dan

memasang wajah bersalah. Kukatakan satu-satunya hal

yang kupikir tidak akan dipertanyakan penjaga itu.

"Baiklah, antara kita sesama tentara saja," bisikku ke

si Penjaga, mencuri pandang sekilas ke samping Kaede.

"Kami, ah

kami mencari tempat bagus untuk kau tahulah. Kami

kira ruang mesin bisa." Aku mengedipkan mata

padanya, meminta maaf. "Sudah berminggu-minggu aku

mencoba mendapatkan ciuman dari gadis ini. Operasi

lututlah yang akhirnya meluluhkannya." Aku berhenti

sejenak dan mendemonstrasikan versi berlebihan

pincangku padanya.

~79~



Penjaga itu mendadak nyengir dan mengeluarkan

tawa kaget, seakan-akan dia senang mendapat peran

dalam sesuatu yang nakal. "Ah, aku mengerti," katanya,

sekilas menatap simpati pada kakiku. "Dia gadis yang

manis."

Aku tertawa bersamanya, sementara Kaede ikut

berakting dengan memutar matanya.

"Seperti yang kau bilang," kata Kaede pada si

Penjaga ketika dia membuka pintu untuk kami. "Aku

terlambat untuk inspeksi. Kami akan cepat?kami akan

ke dek atas dalam beberapa menit."

"Semoga berhasil, dasar kalian ini," serunya ketika
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami masuk. Kami bertukar hormat malas dengannya.

"Aku sudah menyiapkan cerita yang sangat bagus

untuknya," bisik Kaede saat kami berjalan. "Tapi

ceritamu juga bagus. Kau memikirkan semua itu

sendiri?" Dia tersenyum licik dan memandangiku dari

kepala sampai ujung

kaki."Sialsekaliakuterperangkapdenganfiguranjeleksepertimu."

Kuangkat kedua tanganku, pura-pura membela diri.

"Sial sekali aku terperangkap dengan pembohong

sepertimu."

Kami terus menyusuri koridor silinder yang

diselimuti cahaya merah redup. Bahkan di bawah sini,

layar-layar datar menampilkan aliran berita dan kabar

terbaru zeppelin. Layar-layar itu menayangkan daf tar

tempat tujuan semua zeppelin aktif Republik, lengkap

dengan tanggal dan jadwal. Rupanya ada dua belas

zeppelin yang sedang terbang sekarang. Sembari

melewati salah satu layar, mataku memindai cepat ke

jadwal PR Dynasty.

Pesawat

Republik

Dynasty

|

Berangkat:

08.51 Waktu Standar Samudra, 13

Januari dari Dermaga Pharaoh, Las

Vegas, Nevada | Tiba: 17.04 Waktu

Standar Perbatasan, 13 Januari di

~80~



Dermaga

Colorado

Blackwell,

Lamar,

Lamar. Kami pergi ke kota medan perang di utara.

Selangkah lebih dekat ke Eden, kuingatkan diriku. June

akan baik-baik saja. Seluruh misi ini akan segera

selesai.

Ruang pertama yang kami masuki besar?deretan

ketel uap dan ventilasi yang berdesis, dengan lusinan

buruh mengoperasikan masing-masing satu. Beberapa

memeriksa

temperatur,

sementara

yang

lain

melemparkan batu bara ke tungku. Mereka semua

mengenakan pakaian yang sama dengan yang Tess

pakai sebelum meninggalkan kami di Venezia. Kami

berjalan cepat melewati salah satu deretan ketel uap

sampai kami mendorong pintu berikutnya. Ada lorong

tangga lagi. Kemudian, kami keluar di dek bawah

Dynasty.

Zeppelin ini besar. Sebelumnya aku pernah berada

di zeppelin terbang, tentu saja. Saat aku tiga belas

tahun, aku menyelinap ke dek penerbangan PR Pacifica

dan mencuri bahan bakar dari tiga jet tempur F-170,

lalu menjualnya di pasar ilegal dengan harga mahal.

Tapi, aku belum pernah berada di dalam zeppelin

seukuran ini.

Kaede memimpin keluar pintu lorong tangga dan

menyusuri

koridor

logam

yang

menampilkan

pemandangan seluruh lantai di atas kami. Tentara di

mana-mana. Kami berjalan bersama mereka, berhatihati menjaga agar wajah kami tetap tanpa ekspresi. Di

sini, di lantai paling bawah, beberapa formasi pasukan

dilatih berulang-ulang. Pintupintu berjajar di sepanjang

koridor, dan pada setiap empat pintu terdapat sebuah

layar datar menyiarkan berita. Potret Elector baru

digantung di atas layar itu. Mereka benar-benar

bergerak cepat, ya?

Kantor Razor adalah satu dari setengah lusin yang

berderet di dinding dek keempat, dengan lambang

perak Republik ditanamkan di pintunya. Kaede

~81~



mengetuk dua kali. Saat dia mendengar suara Razor

menyuruh kami masuk, dia mengantar kami ke dalam,

lalu dengan hati-hati menutup pintu di belakangnya dan

mengeluarkan suara untuk menarik perhatian. Kuikuti

jejaknya. Sepatu bot kami berbunyi saat beradu dengan

lantai kayu keras. Sesuatu di ruangan ini samar-samar

berbau seperti melati. Sementara aku memperhatikan

hiasan ruang, lampu dinding bundar dan potret Elector

di dinding belakang, kusadari betapa dingin di sini.

Razor berdiri di dekat mejanya dengan kedua

tangan di belakang punggung, elegan dalam seragam

komandan resminya, sedang bicara pada seorang

wanita yang mengenakan pakaian serupa.

Butuh sedetik bagiku untuk menyadari bahwa

wanita itu adalah Komandan Jameson.

Kaede dan aku sama-sama membeku di tempat.

Setelah kaget melihat Thomas, dengan mudahnya aku

berasumsi bahwa jika Komandan Jameson berada di

suatu tempat di Vegas, dia pastilah di dermaga

piramida, mengawasi kemajuan perburuan kaptennya.

Aku tak pernah berpikir dia akan berada di pesawat ini.

Kenapa dia pergi ke medan perang?

Razor mengangguk ke arah kami, sementara Kaede

dan aku memberi hormat padanya. "Istirahat," katanya

pada kami, lalu kembali mengalihkan perhatian pada

Komandan Jameson. Bisa kurasakan ketegangan

Kaede di sampingku. Insting jalananku langsung

bekerja. Jika Kaede gelisah, itu berarti kelompok Patriot

tidak merencanakan kehadiran Komandan Jameson di

sini.

Mataku terarah cepat ke kunci pintu; kubayangkan

diriku berputar, lari cepat keluar pintu, dan berayun

melewati balkon susuran tangga menuju dek bawah.

Desain pesawat ini muncul di pikiranku seperti peta tiga

dimensi. Aku harus siap lari jika dia mengenaliku. Harus

menyiapkan rute kaburku.

"Aku telah dinasihati untuk terus waspada," kata

Komandan Jameson pada Razor. Pria itu tampak

sepenuhnya tak terganggu?bahunya rileks, dan dia

menampilkan senyum ringan. "Dan seharusnya kau juga

begitu, DeSoto. Jika kau menemukan keanehan, beri

~82~



tahu aku. Aku akan siaga."

"Tentu saja." Razor menyentuh ujung kepalanya

dengan hormat pada Komandan Jameson, meskipun

lencana-lencana di seragamnya menunjukkan bahwa

dirinya senior wanita itu. "Yang terbaik untukmu, juga

untuk Los Angeles."

Mereka bertukar hormat seperti biasa, kemudian

Komandan Jameson mulai berjalan ke pintu. Kupaksa

diriku tetap tenang, tapi setiap ototku menjerit agar aku

kabur.

Komandan Jameson melewatiku, dan aku

menunggu dalam diam saat dia memperhatikanku

lekat-lekat dari kepala sampai ujung kaki. Dari sudut

mataku, aku bisa melihat garis wajahnya yang keras

dan bibir merah tuanya yang tipis. Hanya ada

kekosongan dingin di balik ekspresinya? ketiadaan

emosi sepenuhnya yang menyuntikkan ketakutan dan

kebencian sekaligus ke dalam darahku. Kemudian aku

sadar, tangannya diperban. Masih luka gara-gara aku

menggigit tangannya sampai hampir kena tulang saat

dia menahanku di Aula Batalla.

Dia tahu siapa aku, pikirku. Butiran keringat

bercucuran di punggungku. Dia pasti tahu. Bahkan

hanya dengan pandangan singkat ini, dia bisa melihat

tepat ke balik samaranku, ke balik rambut pendek

gelap, bekas luka buatan dan lensa kontak cokelat ini.

Kutunggu dia membunyikan alarm. Posisi sepatu botku

miring di lantai, siap kabur. Kakiku yang sedang dalam

masa penyembuhan berdenyut.

Namun sekejap berlalu, dan tatapan Komandan

Jameson beralih ketika dia mencapai pintu. Aku

selamat dari tepi jurang.

"Seragammu kusut, Serdadu," dia berseru jijik

padaku. "Andai aku Komandan DeSoto, akan kuhukum

kau lari keliling lusinan putaran."

Dia melangkah pergi, melewati pintu, lalu

menghilang. Kaede mengunci pintu lagi?bahunya

menurun, dan kudengar dia mengembuskan napas.

"Nyaris," ujarnya pada Razor seraya menghempaskan

tubuh di sofa kantor. Suaranya mengandung kesinisan.

Razor memberi isyarat padaku untuk duduk juga.

~83~



"Kita harus berterima kasih padamu, Kaede," katanya.

"Karena memberikan penyamaran yang bagus untuk

teman muda kita." Kaede berseri-seri mendengar pujian

itu. "Aku minta maaf atas kejutan tak terduga tadi.

Komandan Jameson sudah mendengar kabar

penangkapan June. Dia ingin naik zeppelin ini untuk

melihat apa terjadi sesuatu yang lain." Dia duduk di

belakang mejanya. "Sekarang, dia naik pesawat

kembali ke Vegas."

Aku merasa lemas. Sementara aku beristirahat di

sofa di samping Kaede, mau tak mau aku mengawasi

jendela untuk berjaga-jaga kalau Komandan Jameson
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali untuk suatu hal. Jendela itu terbuat dari kaca

baur. Bisakah siapa pun di bawah melihat kami di atas

sini?

Kaede sudah kembali rileks, mengobrol riuh dengan

Razor tentang langkah kami berikutnya. Jam berapa

kami mendarat, kapan kami harus berkelompok lagi di

Lamar, apakah tentara-tentara umpan di ibu kota

berada di tempatnya. Tapi, aku hanya duduk dan

memikirkan ekspresi Komandan Jameson. Dari semua

pejabat Republik yang pernah kutemui, mungkin kecuali

Chian, hanya tatapan Komandan Jameson yang bisa

membekukanku sampai ke dalam. Aku menyingkirkan

ingatan saat dia memerintahkan kematian ibuku?juga

eksekusi John. Jika Thomas menangkap June, apa yang

akan Komandan Jameson lakukan padanya? Bisakah

Razor benar-benar melindungi June? Kupejamkan mata

dan kucoba mengirimkan pikiran tanpa suara pada

June.

Tetaplah selamat. Aku ingin melihatmu lagi setelah

semua ini berakhir.[]

~84~



Aku tidak sampai hati menatap Day lagi sebelum

meninggalkannya. Saat bawahan Patriot Razor membawaku

pergi dari depan pintu masuk piramida Pharaoh, kujaga

agar wajahku benar-benar tidak mengarah padanya. Ini yang

terbaik, kataku pada diri sendiri. Jika misi ini berjalan

lancar, perpisahan ini hanya sebentar.

Kekhawatiran Day akan keselamatanku benar-benar

masuk akal sekarang. Rencana Razor untukku terdengar

bagus, tapi sesuatu bisa terjadi. Bagaimana kalau, aku

bukannya dibawa bertemu Elector, melainkan langsung

ditembak saat ditemukan? Atau, mereka menyekapku di

ruang interogasi dan membuatku pingsan. Sudah berkalikali

kulihat itu terjadi di kepalaku. Aku bisa mati sebelum hari

ini berakhir, jauh sebelum Elector tahu aku sudah

ditangkap. Berjuta hal bisa berjalan tak sesuai rencana.

Itulah mengapa aku harus fokus, kuingatkan diriku. Dan,

~85~



aku tidak bisa melakukan itu kalau menatap mata Day.

Saat ini anggota Patriot itu memanduku masuk ke

piramida dan menyusuri lorong sempit di sepanjang salah

satu sisi dinding. Di sini ribut dan kacau. Ratusan tentara

berdesakdesakan

di

lantai

dasar.

Razor

telah

memberitahuku bahwa kelompok Patriot akan membawaku

ke ruang barak kosong di lantai pertama, di mana aku akan

pura-pura bersembunyi sebelum mencoba menyelinap ke

PR Dynasty. Saat tentara Republik masuk ke ruang itu dan

berusaha menangkapku, aku akan kabur. Sebaik mungkin.

Kupercepat langkah untuk menyamai pemanduku.

Sekarang kami tiba di ujung lorong, di sana terdapat sebuah

pintu terkunci (lebarnya 1,5 meter, tingginya 3 meter) yang

menuntun dari lantai utama menuju koridor barak-barak

lantai pertama. Pemanduku menggesek kartu di pintu.

Terdengar bunyi bip, lalu slotnya menyala hijau dan pintu

berayun membuka.

"Melawanlah

saat

mereka

datang

untuk

menangkapmu," kata si Patriot dalam suara yang hampir tak

bisa kudengar. Penampilannya tidak berbeda dengan

kebanyakan tentara di sini, dengan seragam gelap dan

rambut disisir ke belakang. "Buat mereka percaya bahwa

kau tak ingin ditangkap. Kau sedang berusaha bisa sampai

di Denver. Oke?"

Aku mengangguk.

Perhatiannya teralih dariku. Dia mempelajari koridor

ini, memiringkan kepalanya ke atas untuk memeriksa

langit-langit. Deretan kamera sekuriti berjajar di koridor ini

?totalnya delapan?masing-masing menghadap ke setiap

pintu barak. Sebelum kami sepenuhnya berjalan di koridor

itu, pemanduku mengeluarkan pisau saku dan

menggunakannya untuk mencungkil salah satu kancing

berkilauan di jaketnya. Kemudian,dia menopang tubuhnya

menempel ke pintu, menekan masing-masing kakinya ke

setiap sisi bingkai pintu dan melompat naik.

Aku kembali menatap koridor. Saat ini tidak ada

tentara di sini, tapi bagaimana kalau tiba-tiba ada yang

muncul? Bukan kejutan jika mereka menangkap-ku di sini

(bagaimanapun, itulah tujuan kami), tapi bagaimana

~86~



dengan pemanduku?

Dia mencapai kamera sekuriti pertama, lalu

menggunakan pisaunya untuk mengerik pembungkus karet

yang melindungi kabel kamera. Ketika sedikit karet sudah

berhasil terkikis dan memperlihatkan kabel-kabel di

baliknya, dia melilitkannya ke jemari sampai sepanjang

lengannya dan menekankan kancing logam ke kabel.

Muncul percik ledakan tanpa suara. Aku terkejut

karena setiap kamera sekuriti di koridor ini langsung mati.

"Bagaimana kau merusak semuanya hanya dengan satu

??" aku mulai berbisik.

Pemanduku melompat turun dan memberiku isyarat

untuk bergerak cepat. "Aku Hacker," dia balas berbisik

sembari kami berlari. "Aku pernah bekerja di pusat

komando di sini. Aku mengatur ulang kabelnya sedikit agar

rencana

kita

lancar."

Dia

tersenyum

bangga,

memperlihatkan gigi putih rapi. "Tapi ini bukan apa-apa.

Tunggu saja sampai kau mendengar apa yang telah kami

lakukan terhadap Menara Gedung Parlemen Denver."

Mengesankan. Kalau Metias bergabung dengan

Patriot, dia akan menjadi Hacker juga. Kalau dia masih

hidup.

Kami berlari cepat menyusuri koridor itu sampai kami

berhenti di depan salah satu pintu. Barak 4A. Di sini dia

mengeluarkan sebuah kartu kunci dan menggeseknya di

panel akses pintu. Terdengar bunyi klik dan pintunya

terbuka sedikit?di dalam, delapan baris loker dan ranjang

tingkat berjajar dalam kegelapan.

Si Hacker menoleh padaku. "Razor ingin kau

menunggu di sini untuk memastikan tentara yang tepat

menangkapmu. Sudah ada kelompok patroli tertentu dalam

pikirannya."

Tentu saja. Sangat masuk akal. Pernyataan itu

meyakinkanku bahwa Razor tidak ingin aku babak belur

dengan membiarkan sembarang kelompok patroli Republik

menangkapku.

"Siapa??" aku mulai bertanya, tapi dia menepuk

pinggiran topi tentaranya sebelum aku selesai.

"Kami akan terus mengawasi misimu dari kamera.

~87~



Semoga berhasil," bisiknya. Lalu dia pergi, berlari cepat

menyusuri koridor dan memutari sudut sehingga aku tak

bisa melihatnya lagi.

Aku menghela napas panjang. Aku sendirian. Saatnya

menunggu para tentara menangkapku.

Cepat-cepat aku masuk ke kamar barak itu dan

menutup pintu. Di dalam sini sangat gelap?tidak ada

jendela, bahkan tak ada sepotong cahaya pun dari celah

bawah pintu. Tempat yang jelas cukup dipercaya untukku

bersembunyi. Aku tidak repot-repot melangkah lebih jauh

ke dalam kamar; aku sudah tahu isinya: deretan ranjang

tingkat dan kamar mandi bersama. Aku hanya lebih

merapatkan diri ke dinding, tepat di sebelah pintu. Lebih

baik tetap di sini.

Aku menggapai-gapai dalam kegelapan dan

menemukan kenop pintu. Dengan menggunakan tangan

untuk mengukur, kukira-kira seberapa jauh kenop itu

dengan lantai (1,1 meter). Kemungkinan, jarak antara

kenop dan bagian atas bingkai pintu juga segitu. Kuingatingat saat aku dan si Hacker masih berdiri di koridor luar.

Kubayangkan berapa jarak antara bagian tepi bingkai pintu

dan langit-langit. Harusnya lebih sedikit dari 0,6 meter.

Oke.

Sekarang,semuadetailkusudahpadatempatnya.

Aku kembali bersandar ke dinding, memejamkan mata, dan

menunggu.

Dua belas menit berlalu.

Kemudian, dari kejauhan koridor, kudengar suara

gonggongan anjing.

Mataku membuka. Ollie. Aku akan mengenali

gonggongan itu di mana pun?anjingku masih hidup.

Hidup, berkat sebuah keajaiban. Kegembiraan dan

kebingungan melandaku. Sebenarnya apa yang terjadi di

sini? Kudekatkan telingaku ke pintu, mendengarkan.

Beberapa detik lagi berlalu dalam keheningan. Lalu,

kudengar gonggongan itu lagi.

Anjing putihku ada di sini.

Sekarang, berbagai pikiran berlomba di benakku. Satusatunya alasan kenapa Ollie di sini adalah karena dia

bersama sekelompok patroli?kelompok patroli yang

memburuku. Dan, hanya ada satu tentara yang akan

~88~
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir untuk menggunakan anjingku demi bisa

mengendusku: Thomas. Kata-kata si Hacker terngiang

kembali. Razor ingin "tentara yang tepat" menangkapku.

Sudah ada kelompok patroli tertentu dalam pikirannya.

Tentu saja kelompok patroli?orang?yang ada dalam

pikiran Razor adalah Thomas.

Thomas pasti diperintahkan oleh Komandan Jameson

untuk mengejarku. Dia menggunakan Ollie untuk

membantu. Namun, dari semua kelompok patroli yang

kuinginkan untuk menangkapku, Thomas ada di urutan

terakhir. Tanganku mulai gemetar. Aku tak ingin melihat

pembunuh kakakku lagi.

Gonggongan Ollie terus mengeras. Bersamanya

terdengar langkah kaki dan suara-suara manusia. Kudengar

suara Thomas di koridor luar, berteriak pada bawahannya.

Aku menahan napas dan mengingatkan diri pada angkaangka yang sudah kuhitung.

Sekarang, mereka tepat berada di luar pintu. Sudah

tidak ada suara, digantikan oleh bunyi-bunyi klik (pistol

penuh peluru, kedengarannya semacam seri M. Senapan

standar).

Kejadian berikutnya seperti terjadi dalam gerakan

lambat. Pintu berderit membuka dan cahaya memenuhi

kamar. Aku segera melompat. Diam-diam kuangkat sebelah

kaki ke kenop saat pintunya berayun ke arahku. Ketika para

tentara masuk ke kamar ini dengan senapan terangkat, aku

menjulurkan tangan dan mencengkeram bagian atas bingkai

pintu dengan memanfaatkan kenop sebagai pijakan. Kutarik

tubuhku ke atas. Seperti kucing, aku bertengger di bagian

atas pintu yang terbuka tanpa suara.

Mereka tidak melihatku. Kemungkinan mereka tidak

bisa melihat apa pun, kecuali kegelapan di sini. Dalam

sekejap kuhitung mereka semua. Thomas memimpin grup

itu bersama Ollie di sisinya (aku kaget Thomas tidak

mengangkat pistolnya), dan di belakangnya terdapat

sekelompok pasukan yang terdiri dari empat serdadu. Lebih

banyak tentara di luar kamar, tapi aku tak tahu ada berapa.

"Dia di sini," salah satu dari mereka berkata, tangannya

menekan telinga. "Dia belum punya kesempatan untuk

menyusup ke zeppelin mana pun. Komandan DeSoto baru

~89~



saja mengonfirmasi, salah satu anak buahnya melihat dia

masuk ke sini."

Thomas tidak berkata apa-apa. Kulihat dia mengamati

kamar gelap ini, lalu pandangannya beralih ke pintu.

Mata kami bertemu.

Aku melompat turun dan menjatuhkannya ke lantai.

Dalam kemarahan buta sesaat, sebenarnya aku ingin

mematahkan lehernya dengan tangan kosong. Pasti akan

sangat mudah.

Para tentara yang lain berteriak sambil mengacungkan

senapan, tapi di tengah kekacauan itu kudengar Thomas

memekikkan perintah. "Jangan tembak! Jangan tembak!"

Dia mencengkeram lenganku. Aku hampir berhasil

melepaskan diri, berlari cepat melewati para tentara dan

keluar dari pintu, tapi ada tentara yang mendorongku

kembali. Mereka mengelilingiku sekarang, kelebatan

seragam menarik lenganku dan menyeretku. Thomas terus

berteriak pada anak buahnya agar berhati-hati.

Razor benar tentang Thomas.

Dia ingin

membiarkanku tetap hidup untuk Komandan Jameson.

Akhirnya, mereka memborgol tanganku dan

mendorongku sangat keras sampai aku jatuh ke lantai dan

tak bisa bergerak. Suara Thomas terdengar dari atas

kepalaku. "Senang melihatmu lagi, Miss Iparis." Suaranya

bergetar. "Kau ditangkap karena menyerang tentara

Republik, menimbulkan gangguan di Aula Batalla, serta

mengabaikan posisi militermu. Kau punya hak untuk tetap

diam. Apa pun yang kau katakan bisa dan akan digunakan

untuk melawanmu di pengadilan hukum." Kuperhatikan

dia tidak mengatakan apa pun tentang membantu seorang

kriminalis. Dia masih tetap berpura-pura Republik telah

mengeksekusi Day.

Mereka menarik kakiku dan menggiringku kembali ke

koridor. Saat kami sudah berada di bawah cahaya matahari,

lebih banyak tentara yang lewat berhenti untuk menonton.

Anak buah Thomas mendorongku kasar ke tempat duduk

belakang sebuah jip patroli yang sudah menunggu. Mereka

merantai tanganku ke pintu jip dan mengunci lenganku

dengan belenggu logam. Thomas duduk di sebelahku dan

mengarahkan pistol ke kepalaku. Menggelikan. Jip itu

~90~



membawa kami kembali ke jalan. Dua serdadu lain yang

duduk di kursi depan jip mengawasiku dari spion tengah.

Mereka bersikap seolah-olah aku ini semacam senjata yang

lepas kendali?dan mengenai itu, kurasa betul juga.

Seluruh ironi ini membuatku ingin tertawa. Day seorang tentara Republik yang sedang terbang bersama PR

Dynasty, dan aku buronan Republik yang paling berharga.

Kami telah bertukar tempat.

Thomas

berusaha

mengabaikanku

sepanjang

perjalanan, tapi mataku tak pernah meninggalkannya. Dia

terlihat lelah, dengan bibir pucat dan lingkaran gelap

mengelilingi matanya. Pangkal janggut membentuk titiktitik di dagunya, mengejutkan?normalnya, Thomas takkan

pernah menampakkan wajahnya tanpa dicukur bersih

sempurna. Komandan Jameson pasti telah membuatnya

letih karena dia membiarkanku kabur dari Aula Batalla.

Mungkin mereka menginterogasinya terkait hal itu.

Menit-menit berlalu. Tak satu pun tentara-tentara itu

bicara. Serdadu yang menyetir tetap mempertahankan

pandangan ke jalan, dan yang bisa kami dengar hanyalah

dengung mesin jip dan suara-suara teredam dari jalanan di

luar. Aku bersumpah yang lain pasti bisa mendengar detak

jantungku yang bertalu-talu. Dari sini aku bisa melihat jip

satunya lagi di depan kami, dan melalui kaca belakangnya

terkadang aku bisa melihat kilasan bulu putih yang

membuatku luar biasa gembira. Ollie. Kuharap dia di jip

yang sama denganku.

Akhirnya, aku menoleh pada Thomas. "Terima kasih

karena tidak menyakiti Ollie."

Aku tidak mengharapkannya menjawab. Kapten tidak

bicara dengan kriminalis, dia pernah bilang. Tapi yang

membuatku terkejut, dia membalas tatapanku. Sepertinya

dia masih mau melanggar protokol untukku. "Anjingmu

telah membuktikan dirinya berguna."

Dia anjing Metias. Kemarahanku mulai bangkit lagi,

tapi aku menahannya. Sia-sia saja marah pada sesuatu yang

tak akan membantu rencanaku. Menarik sekali melihat dia

menjaga Ollie tetap hidup?dia bisa memburuku tanpanya.

Ollie bukan anjing polisi dan tidak pernah dilatih

mengendus target. Dia tidak akan menolong saat mereka

~91~



berusaha memburuku menyeberangi setengah negeri; dia

hanya berguna dalam jarak yang sangat dekat. Itu berarti

Thomas membiarkannya hidup untuk alasan-alasan lain.

Karena dia peduli padaku? Atau mungkin dia masih peduli

pada Metias. Pikiran itu membuatku heran.

Mata Thomas mengerjap, lalu tatapannya beralih

ketika aku tidak menyahut. Setelah itu, ada keheningan

panjang lagi.

"Ke mana kau membawaku?"

"Kau akan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan sampai

kau selesai diinterogasi, lalu pengadilan akan memutuskan

ke mana kau selanjutnya."

Saatnya melakukan rencana Razor. "Setelah

interogasiku, bisa kujamin pengadilan akan mengirimku ke

Denver."

Salah satu penjaga yang duduk di depan menyipitkan

mata ke arahku, tapi Thomas mengangkat sebelah tangan.

"Biarkan dia bicara," katanya. "Yang penting kita

mengantarnya tanpa terluka." Kemudian,dia menatapku

sejenak. Dia terlihat lebih kurus dibanding saat terakhir kali

aku melihatnya?bahkan rambutnya, yang disisir rapi ke

satu sisi, tidak mengilap dan layu. "Dan kenapa begitu?"

"Aku punya informasi yang mungkin akan sangat

menarik bagi Elector."

Mulut Thomas berkedut?dia gatal ingin menanyaiku

sekarang, ingin mengungkap rahasia apa pun yang mungkin

kusembunyikan. Tapi itu di luar protokol, dan dia sudah

melanggar cukup banyak peraturan karena bercakap-cakap

denganku. Tampaknya dia memutuskan untuk tidak

menekanku lebih jauh. "Akan kita lihat apa yang bisa kami

dapatkan darimu."

Kemudian, kusadari bahwa agak aneh mereka

mengirimku ke lapas Vegas. Seharusnya aku diinterogasi

dan diadili di negara bagian tempatku berasal. "Kenapa aku

ditahan di sini?" tanyaku. "Bukankah mestinya aku dalam

perjalanan ke Los Angeles?"

Sekarang, Thomas menjaga pandangannya tetap ke

depan. "Karantina," sahutnya. Dahiku berkerut. "Apa,

sekarang karantinanya menyebar ke Batalla juga?"

Jawabannya membuat punggungku terasa dingin. "Los

~92~



Angeles dalam karantina. Seluruhnya."

Lembaga Pemasyarakatan.

Ruang 416 (1,9 x 1,1 meter persegi).

Pukul 22.24; hari yang sama dengan penangkapanku.

Aku duduk beberapa meter jauhnya dari Thomas. Hanya

sebuah meja tipis yang memisahkan kami?yah, kalau aku

tidak menghitung tentara-tentara yang berdiri menjaga di
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampingnya.Mereka bergerak tak nyaman setiap kali mataku

menatap mereka. Aku membungkuk sedikit di kursiku

untuk melawan rasa lelah, lalu menggoyangkan rantai yang

mengikat lenganku di belakang punggung.Pikiranku mulai

berkelana?aku terus teringat apa yang Thomas katakan

tentang Los Angeles dan karantinanya. Tidak ada waktu

untuk terus memikirkan itu sekarang,kataku pada diri sendiri,

tapi pikiran itu tidak mau pergi. Kucoba membayangkan

Universitas Drake diberi tanda wabah, jalanan sektor Ruby

penuh dengan patroli wabah. Bagaimana mungkin?

Bagaimana bisa seluruh kota dalam karantina?

Kami telah berada di ruangan ini selama enam jam,

dan Thomas tidak mencapai kemajuan apa pun denganku.

Jawaban-jawabanku

atas

pertanyaan-pertanyaannya

membawa kami berputar-putar, dan aku melakukan itu

dengan cara yang sangat halus sehingga dia tidak sadar aku

telah memanipulasi percakapan sampai dia membuangbuang satu jam lagi. Dia berusaha mengancam untuk

membunuh Ollie. Yang kubalas dengan ancaman untuk

membawa informasi yang kupunya ke liang kubur. Dia

berusaha

mengancam-ku.

Yang

kubalas

dengan

mengingatkannya tentang membawa-informasi-ke-liangkubur. Dia bahkan mencoba beberapa permainan pikiran?

yang tak satu pun berjalan lancar. Aku hanya terus

menanyainya kenapa Los Angeles dikarantina. Aku telah

mendapat didikan tentang taktik interogasi sebanyak dia,

dan itu menjadi senjata makan tuan baginya. Dia belum

menyiksaku secara fisik seperti yang dia lakukan pada Day.

(Ini adalah detail lain yang menarik. Tak peduli seberapa

besar perhatian Thomas padaku?jika atasannya menyuruh

untuk menggunakan kekerasan fisik, dia akan

melakukannya. Karena dia belum melukaiku, berarti

~93~



Komandan Jameson menyuruhnya untuk tidak melakukan

itu. Aneh.) Meski demikian, sepertinya kesabarannya

terhadapku mulai menipis.

"Beri tahu aku, Miss Iparis," katanya setelah hening

sejenak. "Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan

informasi yang berguna darimu?"

Kujaga agar wajahku tetap tanpa ekspresi. "Sudah

kubilang tadi. Aku akan memberimu jawaban untuk sebuah

permintaan. Aku punya informasi untuk Elector."

"Kau tidak dalam posisi untuk menawar. Dan kau tidak

bisa terus seperti ini." Thomas menyandarkan punggung ke

kursi, dahinya berkerut. Cahaya lampu berkilauan

menghasilkan bayangan panjang di bawah matanya.

Kontras dengan dinding putih polos ruangan ini (di

samping dua bendera Republik dan potret Elector),

Thomas tampak menonjol muram dalam seragam

kaptennya yang berwarna hitam dan merah. Dulu Metias

memakai seragam seperti itu. "Aku tahu Day hidup, dan

kau tahu bagaimana kami bisa menemukannya. Kau akan

bicara setelah beberapa hari tanpa makan minum."

"Jangan menduga-duga apa yang akan dan tidak akan

kulakukan, Thomas," sahutku. "Mengenai Day, kurasa

jawabannya sudah jelas. Kalau dia masih hidup, dia akan

pergi menyelamatkan adiknya. Orang bodoh mana pun bisa

menebak itu."

Thomas berusaha mengabaikan kata-kataku yang

menusuk, tapi aku bisa melihat kekesalan di wajahnya.

"Kalau dia masih hidup, dia takkan pernah menemukan

adiknya. Lokasinya rahasia. Aku tak perlu tahu ke mana

Day ingin pergi. Aku perlu tahu di mana dia sekarang."

"Tidak ada bedanya. Bagaimanapun, kau takkan

pernah menangkapnya. Dia tidak akan tertipu dua kali oleh

trik yang sama."

Thomas melipat lengan. Apa benar baru beberapa

minggu lalu kami berdua duduk bersama, makan malam di

kafe Los Angeles? Pikiran tentang LA membawaku kembali

ke berita karantina. Kubayangkan kafe itu kosong, dipenuhi

pemberitahuan tentang karantina.

"Miss Iparis," kata Thomas, menekankan telapak

~94~



tangannya ke meja. "Kita bisa seperti ini terus selamanya.

Kau bisa tetap mengejek dan menggeleng sampai kau

pingsan kelelahan. Aku tak ingin melukaimu. Kau punya

kesempatan untuk menebus dosamu pada Republik. Di

samping segala hal yang telah kau lakukan, atasanku bilang

mereka masih menganggapmu sangat berharga."

Jadi, Komandan Jameson memang terlibat untuk

memastikan diriku tidak dilukai selama interogasi. "Baik

sekali," sahutku, membiarkan kesinisan tersirat dalam katakataku. "Aku lebih beruntung dari Metias."

Thomas mengeluh, menundukkan kepala, dan

meremas ujung hidungnya frustrasi. Dia duduk dalam

posisi begitu selama beberapa saat. Kemudian, dia memberi

isyarat pada tentara yang lain. "Semua keluar," bentaknya.

Ketika para tentara itu sudah meninggalkan kami

sendiri, dia kembali menatapku dan mencondongkan tubuh

untuk menumpukan lengannya di meja. "Aku menyesal

karena kau harus berada di sini," katanya perlahan.

"Kuharap kau mengerti, Miss Iparis, bahwa aku terikat

kewajibanku untuk melakukan ini."

"Mana Komandan Jameson?" sahutku. "Dia yang

mengendalikanmu, kan? Kupikir dia akan datang

menginterogasiku juga."

Thomas tidak gentar dengan ejekanku. "Saat ini beliau

sedang mengontrol Los Angeles, mengatur karantina dan

melaporkan situasi pada Kongres. Dengan segala hormat,

dunia ini tidak hanya berputar di sekitarmu."

Mengontrol Los Angeles. Kata-kata itu membuatku

merasa dingin. "Apa sekarang wabahnya seburuk itu?"

Kuputuskan untuk bertanya lagi. Tatapan mataku tertuju

lekat pada wajah Thomas. "Apa LA dikarantina karena ada

yang sakit?"

Dia menggeleng. "Rahasia."

"Kapan karantinanya dicabut? Apa semua sektor

dikarantina?"

"Berhenti bertanya. Sudah kubilang, seluruh kota

dikarantina. Bahkan,jika aku tahu kapan karantinanya

dicabut, aku tetap tak punya alasan untuk

memberitahumu."

Dari ekspresinya, aku langsung tahu bahwa yang

~95~



sebenarnya dia maksudkan adalah: Komandan Jameson tidak

memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi di sana, jadi aku

tak tahu apa-apa. Kenapa Komandan Jameson perlu

membiarkan Thomas tidak tahu?

"Apa yang terjadi di kota?" aku menekan, berharap

dapat mengorek lebih dalam darinya.

"Itu tidak ada hubungannya dengan interogasimu,"

sahut Thomas, mengetukkan jarinya tidak sabar di

lengannya. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan Los Angeles

lagi, Miss Iparis."

"Los Angeles kampung halamanku," sahutku. "Aku

tumbuh besar di sana. Metias tewas di sana. Tentu saja aku

khawatir."

Thomas diam saja. Tangannya terangkat untuk

mendorong rambut gelapnya ke belakang, dan matanya

mengawasiku. Menit-menit berlalu. "Jadi begitu," akhirnya

dia berbisik. Aku bertanya-tanya apakah dia mengatakan ini

karena dia juga lelah setelah enam jam berada di ruangan

ini. "Miss Iparis, apa yang terjadi pada kakakmu?"

"Aku tahu apa yang terjadi," selaku. Suaraku bergetar

karena kemarahan yang timbul. "Kau membunuhnya. Kau

menjualnya pada negara." Kata-kata itu sangat menyakitkan

sampai aku hampir tidak mampu mengucapkannya.

Ekspresinya goyah. Dia terbatuk dan duduk lebih

tegak di kursinya. "Perintah itu datang langsung dari

Komandan Jameson, dan hal terakhir yang akan kulakukan

adalah tidak mematuhi perintah langsung dari beliau. Kau

kenal peraturan ini sebaik aku?meski harus kuakui kau tak

pernah cukup baik dalam menaatinya."

"Apa? Jadi,kau bersedia menangani Metias begitu saja,

hanya karena dia menemukan fakta tentang bagaimana

orangtua kami meninggal? Dia temanmu, Thomas. Kau

tumbuh bersamanya. Komandan Jameson tidak akan mau

bicara denganmu?kau tidak akan duduk di seberang meja

ini sekarang?kalau Metias tidak merekomendasikanmu ke

kelompok patrolinya. Atau kau sudah lupa itu?" suaraku

meninggi. "Kau tidak bisa sedikit saja membahayakan

keselamatanmu untuk menolongnya?"

~96~



"Itu perintah resmi," Thomas mengulangi. "Perintah

Komandan Jameson tidak untuk dipertanyakan. Apa kau

tidak mengerti? Beliau tahu Metias membobol basis data

orang-orang yang sudah meninggal, juga sederet panjang

lain katalog-katalog pemerintah yang sangat dilindungi.

Kakakmu melanggar hukum, berkali-kali. Komandan

Jameson tidak bisa terima kapten yang sangat dihormati

dalam kelompok patrolinya melakukan kejahatan tepat di

bawah hidungnya."

Aku menyipitkan mata. "Dan karena itulah kau

membunuhnya di gang gelap itu, lalu menjebak Day?

Karena kau dengan senangnya mengikuti perintah

komandanmu untuk melakukan hal mengerikan itu?"

Thomas menggebrak meja cukup keras sampai

membuatku terlonjak. "Itu perintah yang ditandatangani

pemerintah California," teriaknya. "Kau mengerti apa yang

kukatakan? Aku tak punya pilihan yang lebih baik."
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian, matanya membesar?dia tidak menduga katakata itu akan keluar, tidak dengan cara begitu. Kata-kata itu

juga membuatku terguncang. Dia terus bicara, kali ini

dalam tempo yang lebih cepat. Tampaknya dia bertekad

untuk menghapus kata-kata tadi. Ada kilatan cahaya aneh

di matanya, sesuatu yang tak bisa kugambarkan dengan

tepat. Apa itu?

"Aku tentara Republik. Waktu bergabung dengan militer, aku bersumpah untuk mematuhi semua perintah

atasanku apa pun risikonya. Metias juga bersumpah begitu,

tapi dia melanggarnya."

Ada sesuatu yang aneh dengan caranya merujuk pada

Metias, suatu emosi tersembunyi yang membingungkanku.

"Pemerintah sudah hancur." Aku menghela napas

panjang. "Dan,kau pengecut karena menyerahkan Metias

dalam kekuasaan mereka."

Aku teringat kakakku lagi. Kali ini yang berputarputar

di kepalaku adalah tahun-tahun yang dia habiskan bersama

Thomas. Metias sudah mengenal Thomas sejak mereka

masih kecil, jauh sebelum aku lahir. Kapan pun ayah

Thomas, tukang bersih-bersih di apartemen kami,

membawa Thomas untuk menemaninya bekerja, Thomas

~97~



dan Metias akan bermain berjam-jam sampai tugas ayah

Thomas usai. Video game tentara. Pistol mainan. Setelah

kubayangkan itu, aku teringat percakapan-percakapan

mereka di ruang tamu kami, dan seberapa sering mereka

menghabiskan waktu bersama. Aku ingat skor Ujian

Thomas: 1365. Sangat bagus untuk anak dari sektor

kumuh, tapi rata-rata saja untuk anak-anak sektor Ruby.

Metias adalah yang pertama membangkitkan ketertarikan

penuh semangat Thomas untuk menjadi tentara. Dia

menghabiskan seluruh siang untuk mengajari Thomas

semua yang dia tahu. Thomas takkan pernah berhasil

masuk Universitas Highland di sektor Emerald tanpa

bantuan kakakku.

Napasku berubah dangkal ketika kusadari sesuatu terasa

cocok. Aku ingat cara Metias berlama-lama menatap

Thomas dalam sesi latihan mereka. Aku selalu mengira itu

cuma cara kakakku untuk mempelajari postur dan ketepatan

hasil latihan Thomas. Aku ingat betapa sabar dan

lembutnya Metias saat menjelaskan berbagai hal. Caranya

menyentuh bahu Thomas. Malam ketika aku makan edame4

di kafe itu bersama Thomas dan Metias, ketika pertama kali

Metias berhenti menjadi bawahan Chian. Cara tangan

Metias yang terkadang memegangi lengan Thomas lebih

lama dari seharusnya. Obrolanku dengan kakakku saat dia

merawatku pada hari pelantikannya. Bagaimana dia tertawa.

Aku tidak butuh pacar. Aku punya adik perempuan yang harus

kuurus. Dan itu benar. Dia pernah berkencan dengan

beberapa gadis saat masih kuliah, tapi tak pernah lebih dari

seminggu, dan selalu dengan ketidaktertarikan yang sopan.

Sangat jelas. Bagaimana mungkin aku tidak melihat ini

sebelumnya?

Tentu saja Metias tidak pernah mengatakan ini padaku.

Hubungan antara atasan dan bawahan sangat dilarang.

Akan dihukum keras. Metias-lah yang merekomendasikan

Thomas untuk masuk kelompok patroli Komandan

Jameson . Dia pasti melakukannya demi Thomas,

meskipun dia tahu bahwa hal itu berarti kesempatan untuk

sebuah hubungan menjadi tidak mungkin.

~98~



Kacang kedelai rebus. (sumber: Wikipedia)

Semua itu melintas cepat di pikiranku dalam sekejap.

"Metias mencintaimu," bisikku.

Thomas tidak menyahut.

"Jadi? Apa itu benar? Kau pasti tahu."

Thomas masih tidak menjawab. Alih-alih demikian,

dia menumpukan kepalanya di tangan dan mengulangi,

"Aku sudah bersumpah."

"Tunggu sebentar. Aku tidak mengerti." Aku

bersandar lagi di kursiku dan menghela napas panjang.

Pikiranku sekarang kacau, jungkir balik. Diamnya Thomas

menceritakan lebih banyak hal dari apa pun yang

dikatakannya keras-keras.

"Metias mencintaimu," ujarku perlahan. Kata-kataku

bergetar. "Dan melakukan begitu banyak hal untukmu.

Tapi kau masih mengkhianatinya?" Kugelengkan kepala tak

percaya. "Bagaimana bisa?"

Thomas mengangkat kepala dari tangannya. Sekilas

kebingungan mewarnai wajahnya. "Aku tak pernah

melaporkan dia."

Kami

bertatapan

lama.

Akhirnya,

sambil

menggertakkan gigi aku berkata, "Ceritakan apa yang

terjadi, kalau begitu."

Thomas memandang hampa ke atas. "Admin sekuriti

menemukan jejak yang Metias tinggalkan ketika dia

membobol lubang keamanan sistem," sahutnya. "Menuju

basis data penduduk sipil yang sudah meninggal. Awalnya

admin itu melaporkannya padaku, dengan pemahaman

bahwa aku akan meneruskan pesan itu ke Komandan

Jameson. Aku selalu memperingatkan Metias tentang

hacking. ?Kau sudah terlalu banyak membobol rahasia

Republik. Pada akhirnya kau akan tamat. Tetaplah setia.?

Tapi dia tak pernah mendengarkan. Tak satu pun dari

kalian melakukannya."

"Jadi kau menyimpan rahasianya?"

Thomas kembali menjatuhkan kepalanya ke tangan.

"Mulanya aku mengonfrontasi Metias tentang hal itu. Dia

mengakuinya padaku. Aku berjanji padanya tidak akan

~99~



memberi tahu siapa pun, tapi jauh di dalam hati, aku ingin.

Aku tak pernah menyimpan rahasia dari Komandan

Jameson." Dia berhenti sejenak. "Ternyata diamku itu tidak

membuat perbedaan. Admin sekuriti memutuskan untuk

meneruskan pesan itu langsung ke Komandan Jameson.

Itulah bagaimana beliau tahu. Lalu, beliau menugaskanku

untuk mengurus Metias."

Aku mendengarkan dalam diam, terguncang. Thomas

tak pernah ingin membunuh Metias. Kucoba membayangkan

skenario yang tak sanggup kuterima. Mungkin Thomas

berusaha membujuk Komandan Jameson untuk memberi

misi itu ke orang lain. Tapi dia menolak, dan akhirnya

Thomas memilih untuk melakukannya.

Aku

bertanya-tanyaapakah

Metias

pernah

menunjukkan ketertarikannya, dan bagaimana respons

Thomas. Karena mengenal Thomas, aku meragukannya.

Apa dia balas mencintai Metias? Dia telah mencoba

menciumku pada malam setelah perayaan penangkapan

Day.

"Pesta

perayaan

itu,"

renungku,

kali

ini

mengucapkannya keras-keras. Aku tak perlu menjelaskan

malam yang dimaksud karena Thomas pasti tahu apa yang

kubicarakan. "Waktu kau mencoba ."

Aku terus memandanginya saat Thomas menatap

lantai, ekspresinya berubah-ubah antara kehampaan dan

rasa sakit. Akhirnya, dia mengusap rambutnya dengan

sebelah tangan dan menggumam, "Aku berlutut di samping

Metias dan menyaksikannya mati. Tanganku di pisau itu.

Dia ."

Aku menunggu, pusing mendengar kata-katanya.

"Dia berpesan padaku untuk tidak melukaimu," lanjut

Thomas. "Kata-kata terakhirnya adalah tentang kau.

Entahlah. Saat eksekusi Day, aku berusaha mencari cara

untuk mencegah Komandan Jameson menangkapmu. Tapi,

kau membuatnya sangat sulit bagi orang-orang yang ingin

melindungimu, June. Kau melanggar sangat banyak

peraturan. Seperti Metias. Malam itu di pesta?saat aku

menatap wajahmu?" Suaranya pecah. "Kupikir aku bisa

~100~



melindungimu, dan cara terbaik mungkin dengan tetap

membuatmu berada di dekatku, dengan mendapatkan

hatimu. Entahlah," ulangnya pahit. "Bahkan, Metias

kesulitan mengawasimu. Kesempatan apa yang kupunya

untuk membuatmu tetap aman?"

Malam eksekusi Day. Apa Thomas berusaha

menolongku saat dia menemaniku ke tempat penyimpanan

bom di bawah tanah? Bagaimana kalau Komandan Jameson

sudah bersiap menangkapku, dan Thomas berusaha

mencapaiku lebih dulu? Untuk apa, menolongku kabur?

Aku tidak mengerti.

"Aku peduli pada Metias, kau tahu," katanya saat

melihatku diam. Dia berpura-pura terdengar gagah,

semacam profesionalisme palsu. Tetap saja, aku menangkap

sedikit nada sedih. "Tapi aku juga tentara Republik. Aku

melakukan apa yang harus kulakukan."

Kudorong meja ke pinggir dan kuterjang dia walaupun

aku tahu aku dirantai di kursiku. Thomas melompat ke

belakang. Aku tersandung dalam posisiku yang terkekang,

jatuh berlutut, lalu kucengkeram kakinya. Untuk segalanya.

Kau gila. Kau sangat sinting. Aku ingin membunuhnya.

Aku tak pernah sangat menginginkan sesuatu seperti ini

seumur hidupku.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak, itu tidak benar. Aku ingin Metias hidup lagi.

Para penjaga di luar pasti mendengar keributan ini

karena mereka berhamburan masuk. Sebelum sadar, aku

sudah diringkus beberapa tentara, dibelenggu dengan

beberapa borgol tambahan, lalu dilepaskan dari kursiku.

Mereka menyeretku. Aku menendang-nendang marah,

mendaftar dalam kepalaku setiap serangan yang kupelajari

di sekolah, dengan histeris berusaha membebaskan diri.

Thomas sangat dekat. Dia hanya beberapa meter di depan.

Thomas hanya menatapku. Kedua tangannya

menjuntai sampai pinggang. "Itu cara terbaik baginya

untuk pergi," serunya. Muak rasanya karena aku tahu dia

benar. Metias pasti akan disiksa sampai mati kalau Thomas

tidak membawanya ke gang itu. Tapi aku tak peduli. Aku

buta, dibanjiri oleh kemarahan dan kebingungan.

Bagaimana Thomas bisa melakukannya pada seseorang yang

dia cintai? Bagaimana dia bisa berusaha membenarkan

~101~



tindakannya? Apa yang salah dengannya?

Setelah kematian Metias, pada malam-malam ketika

Thomas duduk sendirian di rumah, pernahkah dia

meluruhkan topengnya? Pernahkah dia menanggalkan

identitasnya sebagai tentara dan membiarkan sisi dirinya

sebagai warga sipil berduka?

Aku diseret keluar ruangan dan kembali ke koridor.

Tanganku gemetar?kucoba memantapkan napasku,

menenangkan debaran jantungku, menyimpan kembali

Metias di sudut aman pikiranku. Sebagian kecil diriku

berharap aku salah tentang Thomas. Bahwa dia bukan

orang yang membunuh kakakku.

Pagi berikutnya, seluruh jejak emosi telah hilang dari

wajah Thomas. Dia memberitahuku bahwa pengadilan

Denver telah mendengar permintaanku untuk Elector dan

telah memutuskan untuk mentransferku ke Penjara

Colorado.

Aku berangkat ke ibu kota.[]

~102~



KAMI

TIBA DI LAMAR, COLORADO, pada pagi yang

dingin dan hujan, tepat sesuai jadwal. Razor pergi

dengan skuadronnya. Kaede dan aku menunggu di

lorong tangga gelap yang ada di luar pintu belakang

kantor Razor sampai suara-suara di luar telah

berkurang dan sebagian besar kru zeppelin sudah pergi.

Kali ini tidak ada penjaga memeriksa sidik jari atau

identitas, jadi kami bisa langsung mengikuti tentara

terakhir keluar pesawat. Kami membaur cepat dengan

pasukan-pasukan lain yang benar-benar ada di sini, siap

berperang untuk Republik.

Lapisan hujan es berjatuhan ke basis pendaratan

saat kami melangkah keluar dari dermaga piramida

menuju cuaca kelabu pekat di tempat ini. Langit

sepenuhnya diselimuti awan badai yang bergulunggulung. Dermagadermaga pendaratan berjajar di sisi

~103~



jalanan semen berlubang: sebaris piramida besar hitam

yang tak enak dilihat membentang di satu arah, licin

dan mengilap karena hujan. Udaranya terasa pengap

dan basah. Jip-jip penuh tentara melaju bolak-balik,

mencipratkan lumpur dan kerikil ke trotoar. Wajah

semua tentara di sini dicat belang hitam, lebarnya

melintasi mata dari satu telinga ke telinga lain. Pasti

semacam gaya gila di medan perang.

Bagian lain kota ini tampak di depan kami?

bangunanbangunan pencakar langit yang kemungkinan

digunakan sebagai barak tentara, beberapa di

antaranya masih baru dengan sisi-sisi halus dan jendela

kaca berwarna. Sementara yang lainnya bopeng dan

bobrok seakan mereka berdiet, hanya diberi makan

granat secara teratur. Ada pula yang berdebu dan

hancur. Dindingnya tinggal satu, mengarah ke atas

layaknya monumen rusak. Di sini tidak ada bangunan

berteras, tidak pula halaman berumput yang dipenuhi

sekawanan ternak.

Kami berlari cepat menyusuri jalan dengan kerah

jaket kaku kami ditinggikan. Usaha menyedihkan untuk

melindungi diri dari hujan. "Tempat ini sudah dibom,

ya?" bisikku pada Kaede. Gigiku gemeletuk pada setiap

kata.

Kaede membuka mulutnya pura-pura terkejut.

"Wow. Gila. Kau genius, tahu?"

"Aku tidak mengerti." Kupelajari bangunanbangunan bobrok yang menjadi titik-titik di cakrawala.

"Kenapa di sini terlihat kacau gara-gara perang?

Bukankah pertempuran yang sebenarnya terjadi jauh

dari sini?"

Kaede mencondongkan tubuh sehingga tentaratentara lain di jalan tidak mendengar kami. "Koloni telah

masuk ke bagian perbatasan ini sejak umurku, berapa


Protokol Keempat Karya Frederick Forsyth Pendekar Slebor 46 Serigala Serigala Wiro Sableng 162 Badai Laut Utara

Cari Blog Ini