Ceritasilat Novel Online

Prodigy 3

Prodigy Karya Marie Lu Bagian 3

ya, tujuh belas? Pokoknya sudah bertahun-tahun.

Mungkin mereka juga sudah menguasai ratusan mil dari

apa yang Republik klaim sebagai garis batas Colorado."

Setelah sekian tahun terus-menerus mendengar

siraman propaganda Republik, rasanya mengejutkan

saat seseorang mengatakan yang sebenarnya. "Apa?

~104~



jadi maksudmu Koloni menang, begitu?" tanyaku dalam

suara rendah.

"Sekarang ini mereka sudah menang untuk

beberapa waktu. Aku yang pertama mengatakannya

padamu, ya. Tunggu beberapa tahun lagi, Nak, dan

Koloni akan berada tepat di halaman belakang

rumahmu." Dia terdengar agak jijik. Mungkin masih ada

sisa-sisa kemarahannya pada Koloni. "Lakukan apa

yang ingin kau lakukan," bisiknya. "Aku di sini cuma

demi uang."

Aku diam saja. Koloni akan menjadi Amerika Serikat

yang baru. Mungkinkah hal itu akhirnya benar-benar

terjadi? Mungkinkah perang ini berakhir? Kucoba

membayangkan dunia tanpa Republik?tanpa Elector,

Ujian, wabah. Koloni sebagai pemenang. Ya ampun,

terlalu indah untuk dibayangkan. Dan dengan rencana

pembunuhan Elector, mungkin hal itu akan lebih cepat

terwujud. Aku berusaha memaksa Kaede bercerita lebih

banyak, tapi Kaede menyuruhku diam sebelum aku

mulai. Pada akhirnya, kami berjalan dalam diam.

Beberapa blok kemudian, kami berbelok dan

mengikuti dua baris jalur rel kereta yang terasa seperti

bermil-mil. Akhirnya, kami berhenti ketika tiba di sudut

jalan yang jauh dari barak-barak, gelap karena tertutupi

bayang-bayang bangunan rusak di sepanjang pinggirnya.

Di sana-sini banyak serdadu berjalan sendirian.

"Sekarang ini perang sedang dalam masa tenang,"

bisik Kaede seraya menatap rel. "Sudah beberapa hari.

Tapi pasti akan segera mulai lagi. Kau akan sangat

bersyukur berada bersama kami; tidak satu pun dari

tentara-tentara Republik ini akan memiliki tempat

persembunyian mewah di bawah tanah ketika bom

mulai berjatuhan."

"Bawah tanah?"

Tapi, perhatian Kaede tertuju pada seorang

serdadu yang berjalan tepat ke arah kami di sepanjang

salah satu sisi jalur rel. Aku mengerjapkan air dari

mataku, berusaha melihat serdadu itu lebih baik.

Pakaiannya sama dengan kami: jaket taruna basah

dengan kain penutup diagonal menyelimuti bagian

~105~



kancingnya, juga satu strip perak di setiap bahu. Kulit

gelapnya licin di balik tirai hujan yang turun, dan rambut

keriting pendeknya diperban ke kepala. Napasnya

berupa asap putih. Saat dia mendekat, bisa kulihat

matanya kelabu pucat, menampakkan keheranan.

Dia berjalan melewati kami tanpa menyapa, tapi dia

memberi Kaede isyarat yang sangat tak kentara: dua

jari tangan kanannya membentuk huruf V.

Kami melintasi jalur ini dan meneruskan sampai

beberapa blok lagi. Di sini bangunan-bangunannya

padat berdekatan dan jalanannya sangat sempit

sehingga hanya dua orang yang muat di sini sekali jalan.

Pasti dulunya ini daerah tempat tinggal warga sipil.

Banyak jendela tertutup dan beberapa lainnya dilapisi

kain compang-camping. Kulihat beberapa bayangan

orang di dalamnya, diterangi cahaya lilin yang bergoyanggoyang. Siapa pun yang bukan tentara di kota ini

tentunya melakukan apa yang dulu ayahku lakukan?

memasak, bersih-bersih, dan merawat para tentara.

Ayah pasti juga tinggal dalam kemelaratan seperti ini

setiap dia pergi ke medan perang untuk melakukan

tugasnya.

Kaede membuyarkanku dari lamunan dengan

menarikku kasar ke salah satu gang sempit yang gelap.

"Bergerak cepat," bisiknya.

"Kau tahu kan, kau sedang bicara dengan siapa?"

Dia mengabaikanku, berlutut di samping salah satu

dinding di mana terdapat jeruji logam di tanah.

Kemudian, dengan lengannya yang sehat dia

mengeluarkan suatu alat hitam kecil. Dengan cepat

digerakkannya alat itu di sepanjang pinggiran jeruji. Satu

detik berlalu. Jeruji itu terlepas dari engselnya,

terangkat dari tanah dan bergeser membuka tanpa

suara, memperlihatkan lubang hitam. Kusadari bahwa

logamnya sengaja didesain usang dan kotor, tapi

lubanginitelahdimodifikasimenjadipintumasukrahasia.Kaede

membungkuk dan melompat masuk ke lubang. Aku

menyusul. Sepatu botku menjejak ke air dangkal, dan

jeruji di atas kami kembali bergeser menutup.

Kaede mencengkeram tanganku dan memimpinku

melewati sebuah terowongan. Baunya pengap di sini,

~106~



seperti batuan tua, hujan, dan logam berkarat. Air

sedingin es menetes dari langit-langit, jatuh ke

rambutku yang basah. Kami hanya berjalan beberapa

meter sebelum berbelok tajam, membiarkan kegelapan

menelan kami seutuhnya.

"Dulu ada bermil-mil terowongan seperti ini di

setiap kota medan perang," bisik Kaede dalam

keheningan.

"Oh, ya? Untuk apa?"

"Menurut rumor yang beredar, terowonganterowongan tua ini digunakan oleh penduduk timur

Amerika yang berusaha menyelinap ke barat untuk

menghindari banjir. Bahkan, mereka bisa kembali

sebelum perang dimulai. Jadi, setiap terowongan ini

menuju tepat ke bawah barikade medan perang antara

Republik dan Koloni." Dengan tangannya, Kaede

memberi isyarat untuk bergeser, yang hampir tidak bisa

kulihat dalam kegelapan. "Setelah perang dimulai,

masing-masing negara mulai menggunakan terowonganterowongan ini untuk menyerang, jadi Republik

menghancurkan semua pintu masuk di perbatasan

mereka dan Koloni melakukan hal yang sama di ujung

lain. Diamdiam Patriot berhasil menggali dan

membangun ulang lima terowongan. Kita akan

menggunakan terowongan Lamar ini"?dia berhenti

untuk menatap langit-langit yang terus meneteskan air

?"dan yang satunya di Pierra. Kota dekat sini."

Kucoba membayangkan seperti apa dulu itu, ketika

tak ada Republik maupun Koloni. Hanya ada satu

negara di tengah Amerika Utara. "Dan tak ada yang

tahu terowongan ini di sini?"

Kaede mendengus. "Kau pikir kami akan

menggunakannya kalau Republik tahu? Bahkan Koloni

tidak tahu. Tapi, terowongan ini sangat berguna untuk

misi-misi Patriot."

"Kalau begitu, Koloni mensponsori kalian, ya?"

Kaede tersenyum kecil mendengarnya. "Siapa lagi

yang bisa memberi kami cukup uang untuk membiayai

terowongan seperti ini? Aku belum pernah bertemu

sponsor kami di sana?Razor yang menangani itu. Tapi

~107~



uangnya terus datang, jadi mereka pasti puas dengan

pekerjaan kami."

Kami berjalan sejenak tanpa bicara. Mataku telah

cukup terbiasa dengan kegelapan sehingga aku bisa

melihat kerak berkarat di sisi terowongan.

"Kau senang mereka menang?" tanyaku setelah

beberapa menit. Semoga dia mau bicara tentang Koloni

lagi. "Maksudku, mereka kan hampir menendangmu

dari negara mereka. Kenapa awalnya kau pergi?"

Kaede tertawa pahit. Suara sepatu bot kami

memercikkan air menggema di terowongan. "Yeah,

kurasa aku senang," katanya. "Pilihan lain apa? Melihat

Republik menang? Katakan, mana yang lebih baik?

Tapi, kau tumbuh besar di Republik. Entah apa yang kau

pikirkan tentang Koloni. Mungkin kau pikir tempat itu

surga."

"Ada alasan kenapa aku tidak boleh berpikir

begitu?" sahutku. "Dulu ayahku sering bercerita tentang

Koloni. Dia bilang, listrik sepenuhnya menyala di kotakota di sana."

"Ayahmu bekerja untuk gerakan perlawanan atau

apa?"

"Aku tak yakin. Dia tak pernah mengatakannya

keraskeras. Tapi, seluruh keluargaku mengira dia pasti

melakukan sesuatu di belakang Republik. Dia

membawa pulang perhiasan kecil yang berhubungan

dengan Amerika Serikat. Benda-benda yang terlalu

aneh untuk dimiliki orang biasa. Dia akan bicara

tentang membawa kami pergi dari Republik suatu hari

nanti." Aku berhenti di situ, sejenak tersesat dalam

kenangan lama. Kalung bandulku terasa berat di

sekeliling leher. "Sepertinya aku tidak akan pernah tahu

apa yang sebenarnya dia lakukan."

Kaede mengangguk. "Yah, aku tumbuh besar di

salah satu garis pantai timur Koloni yang berbatasan

dengan Atlantik Utara. Sudah bertahun-tahun aku tidak

pulang?aku yakin sekarang airnya sudah mencapai

setidaknya belasan meter ke daerah pedalaman. Nah,

lalu aku masuk ke salah satu Akademi Zeppelin dan

menjadi salah satu calon pilot papan atas."

~108~



Kalau Koloni tidak menggelar Ujian, bagaimana

mereka memilih siapa-siapa saja yang boleh masuk

sekolah? Aku bertanya-tanya. "Bagaimana caranya?"

"Membunuh seseorang," sahut Kaede. Dia
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakannya seolah hal itu adalah hal paling alami di

dunia. Dalam kegelapan, dia bergeser mendekatiku dan

tanpa ragu menatap wajahku tajam. "Apa? Hei, jangan

melihatku begitu?itu kecelakaan. Pemuda itu iri karena

komandan penerbangan kami sangat menyukaiku, jadi

dia berusaha mendorongku jatuh dari tepi zeppelin.

Sebelah mataku terluka dalam pergulatan itu. Kutemui

dia di ruang lokernya dan kubuat dia pingsan." Dia

mengeluarkan suara jijik. "Ternyata aku terlalu keras

memukul kepalanya, dan dia tak pernah sadar lagi.

Sponsorku mencabut bantuannya setelah insiden kecil

itu menodai reputasiku di korps?bukan karena aku

membunuh pemuda itu. Siapa yang menginginkan

pegawai?seorang pilot tempur?dengan penglihatan

buruk, bahkan setelah operasi?" Dia berhenti berjalan

dan menunjuk mata kanannya. "Aku terluka parah dan

hargaku jatuh di mata orang-orang. Lalu, Akademi itu

memecatku

setelah

sponsorku

melepaskanku.

Memalukan, jujur saja. Aku kehilangan tahun terakhir

pelatihanku gara-gara si Keparat itu."

Aku tidak mengerti beberapa istilah yang Kaede

gunakan?korps, pegawai?tapi kuputuskan untuk

menanyainya lain kali. Aku yakin, perlahan-lahan aku

akan mendapatkan lebih banyak informasi tentang

Koloni darinya. Sekarang, aku masih ingin tahu lebih

jauh tentang orang-orang yang

kuberi jasaku ini.

"Lalu kau bergabung dengan Patriot?"

Dia menjentikkan tangan tak acuh dan

meregangkan lengannya ke depan. Aku teringat betapa

tinggi tubuh Kaede, betapa bahunya sejajar dengan

bahuku.

"Fakta yang penting adalah, Razor membayarku.

Bahkan, terkadang aku boleh terbang. Tapi, aku di sini

untuk uang, Nak, dan selama aku mendapatkannya,

~109~



akan kulakukan apa yang kubisa untuk membantu

menyatukan kembali Amerika Serikat. Kalau itu berarti

membiarkan Republik jatuh, baiklah. Atau kalau itu

berarti Koloni mengambil alih, oke. Selesaikan perang

ini, juga perihal Amerika Serikat itu. Buat orang-orang

hidup normal lagi. Itulah yang kupedulikan."

Mau tak mau aku merasa agak geli. Meskipun

Kaede berusaha terlihat netral, bisa kukatakan dia

bangga menjadi seorang Patriot. "Yah, tampaknya Tess

cukup menyukaimu," sahutku. "Jadi, kupikir katakatamu itu pasti benar."

Kaede tertawa tulus. "Harus kuakui, dia memang

manis. Aku senang aku tidak membunuhnya dalam

pertarungan Skiz itu. Kau lihat?tak ada satu Patriot pun

yang tidak menyukainya. Jangan lupa, sekali-kali

tunjukkanlah rasa sayangmu padanya, oke? Aku tahu

kau punya perasaan pada June, tapi Tess tergila-gila

padamu. Kalau-kalau kau tidak tahu."

Kata-kata itu membuat senyumku memudar

sedikit. "Kurasa aku tak pernah benar-benar berpikir

begitu tentang dia," gumamku.

"Dengan masa lalu-nya itu, dia berhak dicintai,

kan?"

Kurentangkan tangan untuk menghentikan Kaede.

"Dia menceritakan masa lalunya padamu?"

Kaede melirik sekilas padaku. "Dia tak pernah

menceritakannya padamu, ya?" katanya, betul-betul

heran.

"Aku tak pernah bisa membuatnya bercerita. Dia

selalu menghindarinya, jadi setelah beberapa waktu aku

tidak mencoba lagi."

Kaede menenangkanku. "Mungkin dia hanya tak

ingin kau merasa kasihan padanya," akhirnya dia

berkata. "Dia yang termuda dari lima bersaudara. Kalau

tidak salah, waktu itu dia sembilan tahun. Orangtuanya

tidak mampu memberi makan mereka semua, jadi

suatu malam mereka mengunci dia di luar rumah dan

tak pernah membiarkannya masuk lagi. Katanya,

berhari-hari dia mengetuk pintu."

Aku tidak bisa bilang terkejut mendengar itu.

~110~



Republik bisa menjadi sangat malas saat berurusan

dengan anak yatim piatu jalanan yang tidak akan dilirik

dua kali. Cinta keluargaku adalah semua yang kupunya

untuk bertahan pada tahun-tahun pertamaku di

jalanan. Ternyata, Tess bahkan tidak memiliki itu. Tak

heran dia selalu menempel padaku saat aku pertama

kali bertemu dengannya. Pasti aku satu-satunya orang

di dunia ini yang peduli padanya.

"Aku tak tahu itu," bisikku.

"Yah, sekarang kau tahu," sahut Kaede. "Setialah

kepadanya?kalian berdua pasangan serasi, tahu."

Kata-kata itu membuatnya terkekeh. "Kalian berdua

sangat optimis. Aku tak pernah bertemu pasangan

matahari-dan-pelangi di antara bandit-bandit sektor

kumuh."

Aku tidak merespons. Dia benar, tentu saja?aku

tak pernah sungguh-sungguh memikirkan itu, tapi Tess

dan aku memang pasangan serasi. Tess sangat paham

dari mana aku berasal. Dia bisa membuatku ceria lagi

pada hari-hari terburukku, seolah-olah dia datang dari

keluarga yang sangat bahagia, bukan seperti apa yang

baru saja Kaede ceritakan. Aku merasakan kehangatan

yang membuat rileks saat memikirkan itu, tiba-tiba

sadar betapa aku berharap untuk bertemu Tess lagi. Ke

mana pun dia pergi, aku pergi, dan sebaliknya. Tak

terpisahkan.

Kemudian ada June.

Bahkan, memikirkan namanya pun membuatku

sulit bernapas. Aku hampir malu dengan reaksiku. Apa

aku dan June pasangan serasi? Tidak. Itu kata pertama

yang muncul di benakku.

Tapi tetap saja.

Percakapan kami berhenti sampai di situ.

Terkadang, aku melirik sekilas ke belakang bahuku,

antara berharap dan tidak melihat secercah cahaya.

Tidak adanya cahaya berarti terowongan ini tidak

memanjang tepat di bawah jeruji-jeruji di seluruh kota

sehingga kami takkan terlihat oleh orang-orang yang

berjalan di atas. Tanah ini juga terasa miring. Kami terus

~111~



berjalan lebih dalam dan lebih dalam lagi ke bawah

tanah. Kupaksa diri bernapas stabil saat dinding

terowongan menyempit, merapat di sekelilingku.

Terowongan yang menyebalkan. Aku akan memberikan

apa saja agar bisa kembali ke tempat terbuka.

Kami berjalan bagaikan selamanya, tapi akhirnya

Kaede tiba-tiba berhenti. Gema suara bot kami di air

terdengar berbeda sekarang?kurasa kami berhenti di

depan semacam rangka padat bangunan. Mungkin

sebuah din-ding.

"Dulunya ini bungker peristirahatan untuk para

buronan," bisik Kaede. "Di dekat bagian belakang

bungker inilah terowongannya berlanjut, tepat menuju

Koloni." Kaede berusaha membuka pintu dengan tuas

kecil di satu sisi. Ketika percobaan itu gagal, dengan

lembut diketuknya pintu dengan buku-buku jarinya.

Ketukan itu terdiri dari sepuluh atau sebelas rentetan

ketukan yang rumit.

"Roket," serunya. Kami menunggu, menggigil.

Tak ada sahutan. Kemudian, sebuah persegi

panjang kecil suram di dinding bergeser membuka.

Sepasang mata cokelat-kuning mengerjap ke arah

kami. "Hai, Kaede. Zeppelinnya tepat waktu, ya?" kata

gadis di balik dinding itu, sebelum menyipitkan mata ke

arahku. "Siapa temanmu?"

"Day," sahut Kaede. "Sekarang lebih baik hentikan

semua omong kosong ini dan biarkan aku masuk. Aku

membeku, nih."

"Oke, oke. Cuma mengecek." Mata itu menatapku

dari atas sampai bawah. Aku heran dia bisa melihat

banyak hal dalam kegelapan. Akhirnya, persegi panjang

itu bergeser menutup. Kudengar beberapa bunyi bip

dan suara orang lain. Dindingnya bergeser membuka,

memperlihatkan koridor sempit dengan sebuah pintu di

ujungnya. Sebelum salah satu dari kami bergerak, tiga

sosok melangkah maju dari belakang dinding dan

mengacungkan pistol tepat ke kepala kami.

"Masuk," salah seorang dari mereka menyalak. Itu

gadis yang baru saja membuka lubang intip di dinding.

Kami melakukan apa yang diperintahkannya. Dinding

~112~



menutup di belakang kami. "Kode minggu ini?" lanjutnya

sambil memecahkan balon permen karet yang

dikunyahnya keras-keras.

"Alexander Hamilton," sahut Kaede tak sabar.

Sekarang, ketiga pistol itu terarah padaku alih-alih

ke Kaede. "Day, eh?" kata si Gadis. Dengan cepat, dia

meniup lagi balon permen karetnya. "Kau yakin?"

Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari

bahwa pertanyaan keduanya itu ditujukan pada Kaede

alih-alih padaku. Kaede mengeluh frustrasi dan

memukul lengan gadis tersebut. "Ya, ini memang dia.

Jadi, turunkan itu semua."

Pistol-pistol itu diturunkan. Aku mengembuskan
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napas yang tanpa sadar kutahan sejak tadi. Gadis yang

menyuruh kami masuk memberi isyarat agar kami

berjalan ke pintu kedua. Saat kami mencapainya, dia

menggeser tuas kecil yang sama dengan yang Kaede

coba di sisi kiri pintu luar. Terdengar beberapa bunyi bip

lagi.

"Masuklah," kata gadis itu. Kemudian, dia

mengedikkan dagunya ke arahku. "Satu gerakan

mendadak dan aku akan menembakmu sebelum kau

sempat berkedip."

Pintu kedua bergeser membuka. Udara hangat

mengalir saat kami melangkah ke sebuah ruangan

besar yang penuh orang sibuk di sekeliling meja-meja

dan layar-layar yang menempel di dinding. Lampu listrik

ada di langit-langit; aroma samar tapi menyengat dari

jamur dan karat tak mau hilang dari udara. Pastinya ada

dua puluh atau tiga puluh orang di bawah sini, tapi

ruangan ini masih terasa luas.

Proyeksi besar sebuah lambang menghiasi dinding

belakang ruangan itu. Aku segera mengenalinya sebagai

versi singkat dari bendera resmi Patriot?satu bintang

perak besar, dengan tiga huruf V perak berjajar di

bawahnya. Kusadari betapa mereka pintar membuat

proyeksi itu, jadi mereka bisa mengangkatnya dan

segera pergi jika diperlukan. Beberapa layar

menayangkan jadwal zeppelin yang juga kulihat saat

terbang bersama Dynasty. Yang lainnya menampilkan

~113~



semacam rekaman kamera sekuriti dari ruanganruangan pejabat, jalanan kota Lamar yang diambil

secara luas, atau video dari dek penerbangan zeppelin

tepat di langit medan perang. Salah satunya bahkan

menayangkan

perputaran

pendek

propaganda

pemompa semangat kelompok Patriot yang sangat

mengingatkanku pada iklan-iklan Republik. Kata-kata

itu berbunyi KEM BALIKAN AMERIKA SERIKAT, diikuti

TANAH KEBEBAS AN, serta KITA SE MUA ORANG

AMERIKA. Layar lainnya lagi menampilkan gambar

Benua Amerika yang dinodai titik-titik aneka war-na?

dan dua layar menayangkan peta dunia.

Selama beberapa saat, aku ternganga. Seumur

hidup aku tak pernah melihat peta dunia. Bahkan, aku

tak yakin ada peta dunia di Republik. Tapi, di sini aku

bisa melihat samudra-samudra mengelilingi Amerika

Utara, sepenggal teritori pulau yang dilabeli AMERIKA

SELATAN, kepulauan kecil yang disebut Kepulauan

Inggris, daratan raksasa bernama Afrika dan Antartika,

negara China (dengan sekumpulan titik-titik merah kecil

tersebar tepat di samudra yang mengelilingi tepi pulau).

Inilah dunia yang sebenarnya, bukan dunia yang

Republik tunjukkan ke warga sipilnya.

Setiap orang di ruangan itu memperhatikanku.

Kualihkan pandangan dari peta dan menunggu Kaede

mengucapkan sesuatu. Dia hanya mengangkat bahu

dan menepuk punggungku. Jaketku yang basah

mengeluarkan bunyi percikan.

"Ini Day."

Mereka semua menanti dalam keheningan,

meskipun bisa kulihat tanda-tanda penghargaan

menyinari mata mereka saat mendengar namaku.

Kemudian, seseorang bersuit. Hal itu memecahkan

ketegangan?terdengar kor kekeh dan tawa, lalu

sebagian besar orang kembali mengerjakan apa yang

sedang mereka kerjakan sebelumnya.

Kaede memimpinku melewati meja-meja yang

berantakan. Beberapa orang berkumpul mengelilingi

sebuah diagram, kelompok yang lain membuka karduskardus. Ada sedikit yang bersantai, menonton siaran

~114~



ulang sinetron Republik. Dua Patriot yang duduk di

depan layar di sudut bergantian melempar tantangan

sambil bermain video game: balapan semacam

makhluk biru berduri. Mereka memainkannya dengan

melambaikan tangan mereka di depan layar. Bahkan,

game ini pasti diatur khusus untuk Patriot, sebab

seluruh objek di permainan itu berwarna biru dan putih.

Seorang pemuda terkekeh saat aku lewat.

Sejumput rambutnya dicat pirang dan dicuatkan ke atas

membentuk model faux hawk5. Kulitnya serupa

tembaga gelap. Bahunya yang bidang sedikit bungkuk,

seolah dia selalu siap menerkam. Segumpal daging

hilang dari daun telinganya. Kusadari bahwa dia adalah

orang yang sama dengan yang bersuit tadi.

"Jadi kau orangnya yang membuang Tess?" Ada

sikap arogan dalam dirinya yang membuatku kesal. Dia

menilaiku, meremehkan. "Aku tak mengerti kenapa

gadis seperti dia bergaul dengan bandit sepertimu.

Beberapa malam di penjara Republik meremas keluar

seluruh udara di dadamu?"

Aku melangkah mendekatinya dan meringis riang.

"Dengan segala hormat, aku tidak melihat Republik

menempelkan poster buronan dengan wajah tampanmu di sana."

"Diam." Kaede mendorong kami berdua dan

menusukkan satu jari di dada pemuda itu. "Baxter,

tidakkah seharusnya kau siap untuk perjalanan besok

malam?"

Pemuda itu hanya menggerutu ke arahku dan

berbalik. "Masih tidak mengerti kenapa kita

memercayai pencinta Republik," omelnya.

Kaede menepuk bahuku dan berjalan terus.

"Jangan hiraukan pengacau itu," ujarnya padaku.

"Baxter bukan

Varian model rambut mohawk. Pada model rambut ini, bagian

tengah rambut dicuatkan ke atas, tapi bagian kiri-kanannya tidak

dicukur seperti pada model mohawk. (sumber: Wikipedia)

~115~



penggemar berat gadismu, June. Mungkin dia akan

memberimu sedikit masalah, jadi cobalah tetap lihat sisi

baiknya, ya? Kau akan harus bekerja sama dengannya.

Dia juga seorang Buronan."

"Dia?" kataku. Aku takkan menduga seorang

berotot bisa menjadi Buronan yang dapat bergerak

cepat?tapi dipikir lagi, tenaganya mungkin bisa

menolongnya mencapai tempat yang tak bisa kucapai.

"Yup. Kau mengambil tempatnya dalam hierarki

para Buronan." Kaede menyeringai. "Dan kau pernah

menggagalkan misi Patriot yang ada dianya. Kau bahkan

tak pernah menyadarinya."

"Oh? Dan misi apakah itu?"

"Meledakkan mobil Chian si Administrator di Los

Angeles."

Wow?sudah lama sekali sejak aku menghadapi

Chian. Mana kutahu Patriot juga merencanakan

serangan pada saat yang sama. "Betapa tragisnya,"

sahutku sambil menelusuri wajah-wajah di ruangan ini

setelah Baxter menyebut-nyebut Tess.

"Kalau kau mencari Tess, dia sudah tiba lebih dulu.

Sekarang dia bersama Paramedis yang lain." Kaede

memberi isyarat ke bagian belakang ruangan, di mana

beberapa pintu berjajar di dinding. "Mungkin dia di

bangsal, memperhatikan seseorang menjahit luka. Dia

cepat belajar, si Tess itu."

Kaede mendahuluiku melewati meja-meja dan

Patriot-Patriot lain, lalu berhenti di depan peta dunia.

"Taruhan, kau belum pernah lihat sesuatu seperti ini."

"Belum." Kupelajari daratan-daratan di sana, masih

terkejut dengan fakta bahwa sangat banyak

masyarakat yang hidup di luar perbatasan Republik. Di

sekolah dasar kami belajar bahwa bagian dunia yang

tidak dikendalikan Republik hanyalah negara-negara

hancur yang berjuang untuk bangkit. Apa negara

sebanyak ini berjuang untuk bangkit? Atau mereka

sangat maju?mungkin bahkan makmur?

"Kenapa kau butuh peta dunia?"

"Pergerakan kami di sini telah menelurkan

beberapa gerakan yang sama di seluruh dunia," jawab

~116~



Kaede sambil menyilangkan lengan. "Di mana ada

rakyat yang marah pada pemerintahnya. Bagi kami,

memajang peta ini di dinding adalah semacam

pemompa semangat."

Saat dia melihatku terus menganalisis peta itu

dengan dahi berkerut, dengan cepat jarinya menyusuri

bagian tengah Amerika Utara. "Di sinilah Republik yang

kita tahu dan cintai. Dan ini Koloni." Dia menunjuk

daratan yang lebih kecil dan lebih tercerai-berai,

berbatasan dengan bagian timur Republik. Kupelajari

lingkaran-lingkaran merah yang menandai kota-kota

Koloni. New York City, Pittsburgh, St. Louis, Nashville.

Apa kota-kota itu berkilauan seperti yang ayahku

bilang?

Kaede melanjutkan, menyapu tangannya ke utara

atas dan selatan bawah. "Kanada dan Meksiko,

masing-masing sangat mempertahankan zona bebas

militer di antara mereka, juga dengan Republik maupun

Koloni. Meksiko turut andil dalam membiayai Patriot.

Lalu, inilah yang tersisa dari Amerika Selatan. Semua ini

dulunya benua besar, tahu.

Ini Brasil"?dia menunjuk pulau segitiga besar di selatan

jauh Republik?"Chili, dan Argentina."

Dengan riang, Kaede menunjukkan benua-benua

lain sambil memberi tahu sejarahnya. Apa yang kulihat
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai Norwegia, Prancis, Spanyol, Jerman dan

Kepulauan Inggris dulunya bagian dari daratan yang

lebih besar bernama Eropa. Sisa-sisa penduduk Eropa,

kata Kaede, lari ke Afrika. Mongolia dan Rusia bukan

negara yang sudah punah, berbeda dengan yang

diajarkan Republik. Dulu Australia merupakan satu

daratan utuh.

Kemudian ada negara adidaya. Kota-kota

metropolitan yang besar dan mengapung di China

dibangun sepenuhnya di atas air dan langitnya hitam

permanen. "Hai Cheng," Kaede menyisipkan di tengah

penjelasannya. "Kota air."

Aku belajar bahwa Afrika tidak selalu makmur dan

berteknologi maju seperti sekarang. Perlahan-lahan,

benua itu dipenuhi universitas, gedung-gedung

pencakar langit, dan pengungsi internasional. Dan

~117~



Antartika, percaya atau tidak, dulunya tidak bisa

ditinggali dan sepenuhnya diselimuti es. Sekarang,

seperti China dan Afrika, Antartika menjadi pusat

teknologi dunia dan menarik para turis untuk menanam

saham.

"Teknologi Republik dan Koloni sangat menyedihkan

kalau

dibandingkan

dengan

mereka,"

Kaede

menambahkan. "Aku ingin mengunjungi Antartika suatu

hari nanti. Pasti luar biasa."

Dia memberitahuku bahwa dulu Amerika Serikat

juga salah satu negara adidaya. "Lalu ada perang,"

Kaede melanjutkan, "dan semua pemikir terbaik

dataran tinggi. Antartika

mereka kabur ke

menyebabkan banjir, tahu. Keadaan sudah sangat

memburuk, tapi kemudian matahari menggila dan

mencairkan seluruh es Antartika. Banjir yang bahkan

tidak bisa kau dan aku bayangkan. Jutaan orang

meninggal karena perubahan suhu. Sekarang, hal itu

pasti sudah jadi pertunjukan besar, ya? Pada akhirnya

matahari kembali seperti semula, tapi iklimnya tidak.

Seluruh air bersih tercampur dengan air laut dan

segalanya berubah sejak saat itu."

"Republik tidak pernah membicarakan semua ini."

Kaede memutar mata. "Oh, ayolah. Itu Republik,

lho. Kenapa juga mereka mau cerita?" Dia menunjuk

salah satu layar kecil di sudut yang kelihatannya sedang

menayangkan berita. "Kau mau lihat seperti apa

Republik dalam perspektif orang asing? Sini."

Saat aku lebih memusatkan perhatian pada berita

itu, kusadari bahwa suara si Pembicara dalam bahasa

yang tidak kumengerti. "Bahasa Antartika," jelas Kaede

saat aku menatapnya penuh tanya. "Kami berlangganan

salah satu saluran mereka. Baca teks terjemahannya."

Layar itu menampilkan pemandangan sebuah

benua yang disorot dari atas, dengan tulisan Republik

Amerika melayang-layang di atas pulau itu. Terdengar

suara seorang wanita sebagai narator, dan tepat di

bawah layar ada teks berjalan yang menerjemahkan

kata-katanya: "?untuk menemukan cara baru

bernegosiasi dengan negara militan yang keras kepala

~118~



ini, khususnya sekarang ketika transisi kekuasaan

Elector Republik telah usai. Hari ini presiden Afrika

Ntombi Okonjo mengajukan penghentian bantuan PBB

untuk Republik sampai ada cukup bukti tentang traktat

perdamaian antara negara terisolasi tersebut dengan

tetangga sebelah timurnya?"

Terisolasi. Militan. Keras kepala. Kupandangi

katakata itu. Bagiku, Republik telah digambarkan

sebagai lambang kekuatan, mesin militer yang kejam

dan tak bisa dihentikan. Kaede nyengir melihat ekspresi

wajahku seraya membawaku menjauh dari layar.

"Mendadak Republik tidak tampak sangat kuat, kan?

Negara kecil lemah dan tertutup, yang mengemis

bantuan internasional? Kuberi tahu kau, Day?yang

dibutuhkan hanya satu generasi untuk mencuci otak

seluruh populasi dan meyakinkan mereka, realitas itu

tidak ada."

Kami berjalan melewati sebuah meja dengan dua

komputer ramping di atasnya. Pria muda yang ada di

dekat komputer adalah pria yang sama dengan yang

memberi Kaede tanda V di jalur rel, pria yang kulitnya

gelap dan matanya pucat. Kaede menepuk bahunya.

Dia tidak lang-sung bereaksi. Dia malah mengetikkan

beberapa baris terakhir ke entah apa yang ada di layar.

Kemudian, dia berputar dan duduk di meja. Kudapati

diriku mengagumi gayanya yang elegan. Pasti seorang

Buronan. Dia menyilangkan lengan dan dengan sabar

menunggu Kaede memperkenalkan kami.

"Day, ini Pascao," kata Kaede padaku. "Pascao

adalah pemimpin Buronan kami yang reputasinya tak

perlu diragukan lagi. Singkatnya, dia sangat ingin

bertemu denganmu."

Pascao mengulurkan sebelah tangannya, mata

pucatnya menatapku berapi-api. Dia memberiku

senyum putih cemerlang. "Senang sekali," katanya

penuh semangat, terburu-buru sampai lupa bernapas.

Pipinya merona merah saat aku membalas senyumnya.

"Cukup dikatakan bahwa kami telah mendengar begitu

banyak kehebatanmu. Aku penggemar beratmu.

~119~



Penggemar terberat."

Sebelumnya tak pernah kuduga akan ada orang

yang memujiku terang-terangan seperti ini, kecuali

mungkin se-orang bocah laki-laki yang kuingat dari

sektor Blueridge. "Senang bertemu Buronan lain,"

sahutku, menjabat tangannya. "Aku yakin aku akan

mempelajari beberapa trik baru darimu."

Dia memberiku cengiran nakal saat melihat betapa

aku merasa tak nyaman. "Oh, kau akan suka apa yang

sebentar lagi terjadi. Percayalah, kau takkan menyesal

bergabung dengan kami?kami akan mengantarkan

Amerika ke era baru. Republik takkan tahu apa yang

menyerangnya."

Dia melakukan serentetan gerakan bersemangat.

Pertama-tama dia merentangkan lengannya lebar-lebar,

lalu berpura-pura mengurai ikatan di udara. "Diam-diam

para Hacker kami menghabiskan beberapa minggu

belakangan untuk mengatur ulang kabel-kabel di

Menara Gedung Parlemen Denver. Sekarang, yang

harus kita lakukan adalah memutarbalikkan sebuah

kabel di setiap pengeras suara gedung?dan bam, kita

menyiarkan ke seluruh Republik." Dia bertepuk tangan

sekali dan membunyikan buku-buku jarinya. "Semua

orang akan mendengarmu. Revolusioner, ya?"

Rencana itu terdengar seperti versi lebih kompleks

dari apa yang kulakukan di gang tempat sepuluh-detik,

ketika pertama kali aku berhadapan dengan June

dalam percobaan untuk mendapatkan obat wabah

untuk Eden; ketika secara sederhana aku berhasil

mengutak-atik kabel pengeras suara gang itu. Tapi

mengatur ulang kabel pengeras suara di gedung ibu

kota untuk menyiarkan ke seluruh Republik?

"Kedengarannya menyenangkan," kataku. "Apa

yang akan kita siarkan?"

Pascao mengerjap heran ke arahku. "Pembunuhan

Elector, tentu saja." Matanya beralih cepat ke Kaede,

yang mengangguk. Kemudian, Pascao mengeluarkan

sebuah alat kecil berbentuk persegi panjang dari

kantongnya. Dia membuka tutup alat itu. "Kita akan

perlu merekam semua bukti, setiap detail terakhir saat

~120~



kita menyeretnya keluar dari mobilnya dan

menembaknya. Para Hacker kami siap pergi ke Menara

Gedung Parlemen, di mana mereka telah mengatur

JumboTrons untuk menyiarkan pembunuhan itu. Kita

akan mendeklarasikan kemenangan kita lewat

pengeras suara ke seluruh Republik. Mari kita lihat

usaha mereka menghentikannya."

Kekejaman rencana itu membuat punggungku

terasa dingin. Mengingatkanku pada cara mereka

merekam dan menyiarkan kematian John?kematian-ku

?ke seluruh negeri.

Pascao mencondongkan tubuh ke arahku,

menekankan tangannya ke telingaku, dan berbisik,

"Bahkan itu belum bagian terbaiknya, Day." Dia menarik

diri cukup jauh sehingga bisa memberiku cengiran lebar

yang memperlihatkan gigi

nya. "Ingin tahu apa bagian terbaik-nya?"

Tubuhku berubah kaku. "Apa?"

Pascao melipat lengannya puas. "Menurut Razor,

kaulah yang sebaiknya menembak Elector."[]

~121~



Denver, Colorado.

Pukul 19.37.

24? Fahrenheit.

Aku tiba di ibu kota dengan kereta (Stasiun 42b) di

tengah badai salju, di mana kerumunan orang sudah

berkumpul di peron kereta untuk melihatku. Kuintip
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka dari jendela yang tertutup embun, sementara kereta

melambat dan berhenti.Meskipun di luar sangat dingin dan

beku,warga sipil ini tetap berkerumun di belakang pagar

besi darurat, saling dorong satu sama lain seakan-akan

Lincoln atau penyanyi selebriti lain baru saja tiba.Tidak

kurang dari dua kelompok patroli ibu kota menahan

mereka. Teriakan teredam pasukan itu sampai ke tempatku.

"Mundur! Semuanya harus mundur ke belakang

pembatas. Ke belakang pembatas! Siapa pun yang terlihat

~122~



membawa kamera akan langsung ditangkap."

Aneh. Kebanyakan warga sipil itu tampak miskin.

Menolong Day pasti telah memberiku reputasi yang bagus

di sektor-sektor kumuh. Kubelai kawat tipis cincin penjepit

kertas di jariku. Kebiasaan baruku.

Thomas berjalan di lorong kereta menuju kursi

tempatku berada, lalu membungkuk untuk bicara pada

tentara yang duduk bersamaku. "Bawa dia ke pintu,"

katanya. "Cepat." Matanya mengerjap ke arahku, kemudian

ke pakaian yang kukenakan (rompi narapidana kuning,

kemeja putih tipis). Dia bersikap seakan percakapan kami

semalam di ruang interogasi tak pernah terjadi. Aku

memusatkan pandangan ke pangkuanku. Memandang

wajahnya membuatku mual.

"Dia akan kedinginan di luar," katanya pada anak

buahnya. "Pastikan dia memakai mantel."

Para tentara itu menodongkan senapan ke arahku

(model XM-2500, jangkauannya 700 meter, peluru pintar,

dapat menembus dua lapis semen), lalu menyeretku.

Sepanjang perjalanan tadi, aku terus memandangi kedua

serdadu ini dengan tatapan menyala-nyala. Mereka pasti

merasa sangat stres sekarang.

Borgol tanganku bergerincing. Dengan senapan seperti

itu, satu tembakan saja akan membuatku mati kehabisan

darah tak peduli di bagian dadaku yang mana pelurunya

mengenaiku. Mungkin mereka berpikir aku berencana

merebut senapan dari mereka saat mereka lengah. (Asumsi

yang menggelikan, karena aku tak bisa menembak dengan

tepat dengan tangan diborgol.)

Sekarang, mereka menggiringku menyusuri lorong

kereta sampai ke ujung, di mana empat tentara lagi sudah

menunggu di pintu terbuka yang mengarah ke peron

stasiun. Embusan angin dingin menerpa kami. Napasku

berat. Aku pernah berada di dekat medan perang sekali,

ketika Metias dan aku pergi ke satu-satunya misi kami

bersama, tapi itu Texas Barat pada musim panas. Aku tak

pernah menjejakkan kaki di kota yang terkubur salju seperti

ini. Thomas memimpin barisan kecil kami dan memberi

isyarat pada salah satu tentaranya untuk menyampirkan

mantel di sekelilingku. Aku menerimanya penuh rasa

~123~



terima kasih.

Kerumunan itu (sekitar sembilan puluh sampai seratus

orang) langsung diam sepenuhnya saat mereka melihat

rompi napi kuning terang yang kupakai. Sementara aku

terus melangkah, bisa kurasakan perhatian mereka

membakarku layaknya lampu panas. Kebanyakan dari

mereka menggigil, kurus dan pucat dengan pakaian usang

yang kemungkinan tidak bisa membuat mereka tetap

hangat dalam cuaca seperti ini, juga memakai sepatu penuh

lubang. Aku tidak mengerti. Meski dingin begini, mereka

tetap kemari untuk melihatku turun dari kereta?dan siapa

yang tahu sudah berapa lama mereka menunggu.

Mendadak aku merasa bersalah karena menerima mantel

ini.

Kami berhasil tiba ke ujung peron dan hampir

mencapai lobi stasiun saat kudengar satu dari para penonton

itu berteriak. Aku berputar sebelum para tentara dapat

menghentikanku.

"Apa Day hidup?" seorang pemuda berseru.

Kemungkinan dia lebih tua dariku, hampir melampaui

masa remajanya, tapi dia sangat ceking dan pendek sampai

orang akan menganggapnya seumuran denganku kalau tidak

memperhatikan wajahnya.

Kuangkat kepala dan tersenyum. Seorang penjaga

memukul wajah pemuda itu dengan popor senapannya.

Tentara yang menjagaku mencengkeram lenganku dan

memaksaku berbalik. Kerumunan itu menjadi kacau;

seketika teriakanteriakan memenuhi udara. Di tengahtengah itu semua, kudengar beberapa seruan, "Day hidup!

Day hidup!"

"Jalan terus," salak Thomas. Kami didorong masuk ke

lobi dan kurasakan aliran udara dingin tiba-tiba lenyap saat

pintu ditutup di belakang kami.

Aku tidak berkata apa-apa, tapi senyumku cukup

mewakili. Ya. Day hidup. Aku yakin kelompok Patriot akan

mengapresiasi usahaku menyebarkan rumor ini pada

mereka.

Kami berjalan melewati stasiun menuju tiga jip yang

sudah menunggu. Sementara kami meninggalkan stasiun

~124~



dan melaju ke jalan tol melingkar, mau tak mau aku

ternganga melihat pemandangan kota yang melintas di

jendelaku. Biasanya,orang butuh alasan bagus untuk datang

ke Denver. Tak ada seorang pun kecuali warga sipil asli

yang diperbolehkan masuk ke sini tanpa izin khusus. Fakta

bahwa aku di sini dan dapat melihat sekilas isi kota ini

adalah sesuatu yang tidak biasa. Semuanya tertutup selimut

putih?tapi bahkan di tengah-tengah salju pun aku bisa

melihat rangka samar dari dinding gelap luas yang

membungkus Denver layaknya tanggul raksasa penahan air

banjir. Armor. Aku membaca tentang itu waktu masih SD,

tentu, tapi rasanya berbeda ketika melihat dengan mata

kepala sendiri.

Gedung-gedung pencakar langit di sini sangat tinggi

sampai puncaknya menghilang ke dalam awan kabut

bermuatan salju, setiap tingkat bangunannya diselimuti

lapisan tebal salju, masing-masing sisinya dilindungi oleh

balok-balok logam raksasa. Di antara gedung-gedung,

sekilas kulihat Menara Gedung Parlemen. Terkadang, aku

melihat lampu sorot menyapu udara dan helikopter

mengelilingi gedunggedung pencakar langit. Pada suatu

waktu, empat jet tempur melintas di atas kami. Aku

mengagumi pesawat-pesawat itu sejenak (X-92 Reapers,

pesawat hasil eksperimen yang belum diproduksi di luar ibu

kota. Tapi, mereka pasti telah lulus uji terbang jika para

insinyurnya mengizinkan mereka meluncur tepat di tengah

pusat kota Denver). Ibu kota ini betul-betul kota militer

seperti Vegas, bahkan lebih mengintimidasi dari yang

kubayangkan.

Suara Thomas mengembalikanku ke alam nyata. "Kami

akan membawamu ke Aula Colburn," katanya dari kursi

depan jip. "Itu aula makan malam di Plaza Ibu Kota

tempat para Senator terkadang rapat sambil melakukan

perjamuan. Elector sering makan di sana."

Colburn? Dari apa yang kudengar, tempat itu adalah

tempat pertemuan yang sangat mewah, khususnya kalau

mengingat aku awalnya dimaksudkan untuk tinggal di

penjara Denver. Ini pasti berita baru juga untuk Thomas.

Kupikir dia belum pernah ke ibu kota, tapi seperti

seharusnya tentara yang baik, dia tidak membuang waktu

~125~



untuk melongo menatap pemandangan. Kudapati diriku

tak sabar ingin melihat seperti apa Plaza Ibu Kota?apakah

sebesar yang kubayangkan?

"Di sana kelompok patroliku akan meninggalkanmu,

dan kau akan diserahkan ke salah satu kelompok patroli

Komandan DeSoto." Kelompok patroli Razor, tambahku

pada diri sendiri. "Elector akan menemuimu di ruang

imperium Aula. Kusarankan kau berperilaku yang pantas."

"Terima kasih tipsnya," sahutku, tersenyum dingin

pada bayangan Thomas di kaca spion tengah. "Aku yakin

akan memberi beliau bungkukan hormatku yang terbaik."

Akan tetapi, sebenarnya aku mulai merasa sedikit

gugup. Sejak lahir, aku diajari bahwa Elector adalah orang

yang harus dipuja, seseorang yang?kupikir?aku takkan

pernah ragu mengorbankan nyawa untuknya. Bahkan

sekarang, setelah semua yang kutahu tentang Republik, aku

masih merasakan komitmen yang sudah berakar dalam itu

berusaha muncul kembali ke permukaan, semacam selimut

familier yang ingin kupakai untuk membungkus diri. Aneh.

Aku tidak merasakan ini waktu aku mendengar tentang

kematian Elector, atau ketika aku pertama kali melihat

pidato Anden di televisi. Perasaan ini tersembunyi sampai

sekarang, ketika hanya tinggal beberapa jam lagi aku akan

bertemu dengannya secara pribadi.

Aku bukan genius berbakat seperti dulu ketika kami

pertama kali bertemu. Apa yang akan dia pikirkan

tentangku?.

Aula Colburn, Ruang Jamuan Imperium.

Di sini bergema.Aku duduk sendirian di ujung sebuah meja

panjang (kayu ceri gelap sepanjang 3,7 meter, kaki-kaki

mejanya pahatan tangan, garis hiasan emas yang

kemungkinan dilukis dengan kuas ukuran milimeter dengan

detail yang baik). Punggungku tegak bersandar ke bantalan

beledu merah. Jauh di dinding seberang, sebuah perapian

meretih dan meletup, dengan potret raksasa Elector baru

menggantung di atasnya. Delapan lampu emas menerangi

sisi ruangan. Tentara patroli ibu kota di mana-mana?52

~126~



orang berbaris di dinding dengan bahu rapat satu sama lain,

sementara 6 orang berdiri siaga mengapitku.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di luar masih sangat dingin, tapi di sini cukup hangat

sehingga para pelayan mendandaniku dengan gaun lembut

dan bot kulit tipis. Rambutku sudah dicuci, dikeringkan

dan disikat, lalu digerai lurus dan berkilau sampai ke tengah

punggung, dihiasi untaian mutiara kecil halus (barangkali

harganya dua ribu Notes per buah). Mulanya aku

mengagumi

mutiara-mutiara

itu

dan

hampir

menyentuhnya dengan sangat hati-hati?tapi kemudian

aku teringat orang-orang miskin yang berkumpul di stasiun

kereta dalam pakaian usang mereka. Kutarik tanganku dari

rambut, merasa jijik pada diri sendiri.

Pelayan lain telah mengoleskan bedak transparan di

kelopak mataku hingga berkilau sedikit dalam nyala

gemerlap. Gaunku, berwarna putih krem dengan aksen

kelabu badai, terjuntai ke kakiku dalam lapisan sifon.

Korset dalamnya membuatku kesulitan bernapas. Gaun

yang mahal, tidak diragukan lagi. Lima puluh ribu Notes?

Enam puluh?

Satu-satunya hal yang tampak tidak cocok dengan

seluruh gambaran ini adalah borgol logam berat yang

mengikat pergelangan kaki dan tanganku, merantaiku ke

kursiku.

Setengah jam berlalu sebelum seorang serdadu lain

(mengenakan jubah merah-hitam khusus kelompok patroli

ibu kota) memasuki ruangan. Serdadu itu menahan pintu

terbuka, berdiri tegak, dan mengangkat dagunya. "Elector

Primo kita yang agung berada di sini," dia mengumumkan.

"Silakan berdiri."

Dia berusaha tidak terlihat bicara pada seseorang secara

spesifik, tapi cuma aku satu-satunya yang duduk. Aku

bangkit dari kursiku dan berdiri dengan rantai bergerincing.

Lima menit lagi berlalu. Kemudian, tepat ketika aku

mulai bertanya-tanya apa benar akan ada seseorang yang

masuk, seorang pria muda melangkah perlahan melewati

pintu dan mengangguk pada para tentara di pintu masuk.

Penjaga-penjaga itu menghormat serentak. Aku tidak bisa

memberi hormat dengan tangan terbelenggu seperti ini,

juga tidak bisa membungkuk atau memberi hormat

~127~



sebagaimana mestinya?jadi aku tetap berdiri seperti

semula dan menatap Elector.

Anden tampak hampir sama persis dengan ketika aku

pertama kali bertemu dengannya di pesta perayaan itu?

tinggi, agung, juga dewasa. Rambut gelapnya rapi. Jubah

malamnya indah, berwarna kelabu arang dengan strip emas

pilot di lengan dan epolet emas di bahu. Mata hijaunya

tampak serius, dan bahunya sedikit bungkuk, seolah-olah

ada beban berat yang dipikul di sana. Kurasa pada akhirnya

kematian ayahnya telah memengaruhinya.

"Silakan duduk," katanya, mengulurkan sebelah

tangannya yang bersarung tangan putih (sarung tangan

penerbangan) ke arahku. Suaranya sangat lembut, tapi tetap

terdengar di ruangan besar ini. "Kuharap kau merasa

nyaman, Miss Iparis."

Aku melakukan apa yang dikatakannya. "Ya, terima

kasih."

Saat Anden sendiri sudah duduk di ujung lain meja

dan semua tentara sudah kembali ke cara berdiri mereka

yang biasa, dia bicara lagi. "Aku menerima kabar bahwa kau

ingin menemuiku secara pribadi. Kurasa kau tidak

keberatan mengenakan pakaian yang kusediakan." Dia

berhenti selama sepersekian detik, waktu yang cukup untuk

sebuah senyum malu-malu mencerahkan roman wajahnya.

"Kupikir kau tak ingin makan malam dengan seragam

narapidana."

Ada nada merendahkan dalam suaranya yang

membuatku jengkel. Berani sekali dia mendandaniku seperti

boneka? sebagian diriku merasa marah. Pada saat

bersamaan, aku kagum dengan kesan berkuasa pada dirinya,

juga bagaimana dia menguasai status barunya. Mendadak

saja dia diberi kekuasaan yang sangat besar, dan dia

merangkulnya dengan sangat percaya diri sampai kesetiaan

lamaku menekan dadaku kuat-kuat. Ketidakyakinan yang

pernah dia miliki telah lenyap dengan cepat. Pria ini

dilahirkan untuk memimpin.

Tampaknya Anden tertarik padamu, Razor pernah

bilang. Jadi, aku menundukkan wajah dan menatapnya dari

bawah bulu mataku. "Kenapa Anda memperlakukan saya

sebaik ini? Saya pikir sekarang ini saya musuh negara."

~128~



"Aku akan malu kalau memperlakukan genius paling

tenar Republik seperti narapidana," katanya hati-hati seraya

meluruskan garpu, pisau, dan gelas sampanyenya menjadi

satu posisi sempurna. "Kau tidak merasa ini buruk, kan?"

"Tidak sama sekali." Aku kembali menatap sekilas ke

sekeliling ruangan ini, mengingat-ingat posisi lampu,

dekorasi dinding, lokasi setiap tentara, serta senjata-senjata

yang mereka bawa. Elegansi terperinci atas pertemuan ini

membuatku sadar bahwa Anden tidak mengatur gaun dan

makan malam ini hanya untuk iseng. Dia ingin berita tentang betapa baiknya dia memperlakukanku bocor ke publik,

pikirku. Dia ingin rakyat tahu bahwa Elector yang baru

memberi perhatian pada penyelamat Day. Rasa tak sukaku

goyah?pemikiran baru ini menggugah rasa ingin tahuku.

Anden pasti sangat menyadari betapa buruk reputasinya di

mata publik. Barangkali dia mengharapkan dukungan

rakyat. Kalau itu benar, berarti dia bersusah payah

melakukan sesuatu yang sedikit sekali dipedulikan oleh

Elector sebelumnya. Hal itu juga membuatku bertanyatanya: Jika Anden benar-benar mencari dukungan publik,

apa yang dia pikirkan tentang Day? Dia jelas tidak akan

mendapat hati rakyat dengan mengumumkan perburuan

terhadap kriminalis paling terkenal di Republik.

Dua pelayan membawa nampan-nampan makanan

(salad dengan stroberi asli, perut babi panggang yang sangat

cantik dengan jantung kelapa), sementara dua pelayan lain

meletakkan serbet putih bersih di pangkuan kami dan

menuang sampanye ke gelas kami. Para pelayan ini dari

kalangan atas (mereka berjalan dengan ketepatan yang

menjadi ciri khas orang-orang elite), walaupun mungkin

bukan setingkat keluargaku.

Kemudian, hal yang paling mengherankan terjadi.

Pelayan yang menuangkan sampanye Anden membawa

botol terlalu dekat ke gelasnya. Gelas itu terbalik dan isinya

tumpah ke seluruh taplak meja, kemudian gelas tersebut

terguling jatuh dari meja dan pecah bertebaran di lantai.

Pelayan itu menjerit dan langsung berlutut. Rambut

ikal merah terjulur keluar dari sanggul rapi di belakang

kepalanya; beberapa helai jatuh melintangi wajahnya.

Kuperhatikan betapa anggun dan sempurna tangannya?

~129~



jelas seorang gadis kalangan atas.

"Maaf sekali, Elector," kata gadis itu berulang-ulang.

"Saya mohon maaf. Saya akan segera meminta taplaknya

diganti dan memberi Anda gelas baru."

Entah apa yang kupikir akan Anden lakukan.

Memarahinya? Memberinya peringatan keras? Atau paling

tidak, mengerutkan dahi? Tapi yang membuatku terkejut,

dia mendorong kursinya ke belakang, berdiri, dan

mengulurkan tangannya pada si Pelayan. Gadis itu tampak

membeku. Mata cokelatnya membesar dan bibirnya

bergetar. Dalam satu gerakan Anden membungkuk,

memegang kedua tangan gadis itu dengan tangannya, dan

menariknya berdiri.

"Itu cuma gelas sampanye," katanya ringan. "Jangan

lukai dirimu sendiri." Anden melambaikan sebelah tangan

ke para tentara yang berada di dekat pintu. "Tolong

ambilkan sapu dan pengki. Terima kasih."

Seorang serdadu segera mengangguk. "Tentu saja,

Elector."

Sementara pelayan itu buru-buru pergi untuk

mengambil gelas baru dan seorang tukang bersih-bersih

masuk untuk menyapu pecahan gelas, Anden kembali

duduk dengan seluruh keanggunan agungnya. Dia

mengangkat garpu dan pisau dengan etiket tanpa cacat, lalu

mengiris sepotong kecil daging babi. "Jadi, beri tahu aku,

Agen Iparis. Kenapa kau ingin menemuiku secara pribadi?

Dan apa yang terjadi pada malam eksekusi Day?"

Aku mengikuti jejaknya mengambil garpu dan pisauku

sendiri, lalu memotong dagingku. Rantai di pergelangan

tanganku tepat cukup panjang bagiku untuk makan,

seolaholah ada yang bersusah payah mengukurnya.

Kusingkirkan keterkejutan gara-gara insiden sampanye dari

pikiranku dan mulai menanamkan cerita yang telah Razor

buatkan untukku. "Saya menolong Day kabur dari

eksekusinya, dan kelompok Patriot menolong saya. Tapi

setelah semua itu usai, mereka tidak membiarkan saya pergi.

Tampaknya, saya akhirnya terbebas dari mereka ketika para

penjaga Anda menangkap saya."

Anden mengerjap perlahan. Aku ingin tahu apa dia

~130~



percaya apa pun yang kukatakan. "Kau bersama kelompok

Patriot selama dua minggu belakangan?" katanya setelah

aku selesai mengunyah seiris daging babi. Makanan ini luar

biasa; dagingnya sangat lembut, hampir meleleh di

mulutku.

"Ya."

"Aku mengerti." Suara Anden menegang dalam

ketidakpercayaan. Dia mengelap mulutnya dengan kain

serbet, lalu meletakkan peralatan makannya dan bersandar

ke belakang. "Jadi Day hidup, atau dia tadinya hidup waktu
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau meninggalkannya? Apa dia juga bekerja sama dengan

Patriot?"

"Saat saya meninggalkannya, ya. Saya tidak tahu kalau

sekarang."

"Kenapa dia bekerja sama dengan mereka, padahal dulu

dia selalu menghindari mereka?"

Aku mengangkat bahu sedikit, berusaha pura-pura

bingung. "Dia butuh bantuan untuk menemukan adiknya,

dan dia berutang pada Patriot karena mereka

menyembuhkan kakinya. Dia punya luka peluru terinfeksi

yang didapatnya dari semua ini."

Anden terdiam cukup lama untuk menyesap sedikit

sampanyenya. "Kenapa kau menolongnya kabur?"

Kulenturkan pergelangan tanganku sehingga borgolnya

tidak meninggalkan bekas di kulitku. Rantai belenggunya

bergerincing keras satu sama lain. "Karena dia tidak

membunuh kakak saya."

"Kapten Metias Iparis." Penyebutan nama lengkap

kakakku mengirimkan gelombang kesedihan. Apa Anden

tahu bagaimana kakakku tewas? "Aku turut berduka atas

kehilanganmu." Dia menundukkan kepala sedikit, tanda

hormat yang tak kusangka-sangka. Itu membuatku merasa

kerongkonganku tersekat.

"Aku ingat pernah membaca tentang kakakmu waktu

aku lebih muda," dia melanjutkan. "Aku membaca tentang

nilai-nilainya di sekolah, bagaimana bagusnya performa dia

saat Ujian, dan khususnya betapa hebat dia dalam bidang

komputer."

Kutusuk sebuah stroberi, mengunyahnya sambil

~131~



berpikir, lalu menelannya. "Saya tak pernah tahu kakak saya

punya penggemar yang sangat menghargainya."

"Pada hakikatnya aku bukan penggemar dia, meski

tentu saja dia mengesankan." Anden mengangkat gelas

sampanye barunya dan menyesap. "Aku penggemar-mu."

Ingat, kau harus menampilkan reaksi yang jelas. Buat dia

berpikir kau merasa tersanjung. Dan tertarik padanya. Dia

memang tampan, itu jelas?jadi kucoba fokus pada hal itu.

Cahaya dari lampu dinding menangkap pinggiran

rambutnya yang bergelombang, membuatnya bersinar; kulit

kecokelatannya bercahaya emas dan hangat; matanya kaya

akan warna dedaunan musim semi. Berangsur-angsur

kurasakan sipu mulai muncul di pipiku. Bagus, terus begitu.

Dia punya campuran darah Latin, tetapi sedikit sipit tak

kentara di mata besarnya dan kelembutan dahinya

menunjukkan suatu jejak keturunan Asia. Seperti Day.

Mendadak, perhatianku terpecah, dan yang bisa kulihat

hanyalah aku dan Day berciuman di kamar mandi Vegas.

Anden tampak pucat jika dibandingkan dengan Day. Sipu

kecil di pipiku berubah menjadi panas terang yang

membakar.

Elector memiringkan kepalanya dan tersenyum. Aku

menghela napas panjang dan menenangkan diri. Syukurlah

aku berhasil mendapatkan reaksi yang kucari.

"Pernahkah kau berpikir kenapa Republik sangat

pemurah, mengampuni pengkhianatanmu pada negara?"

kata Anden, memainkan garpunya malas-malasan. "Orang

lain pasti sudah dieksekusi. Tapi kau tidak." Dia

menegakkan tubuh di kursinya. "Republik telah

memperhatikanmu sejak kau meraih nilai sempurna 1500

dalam Ujianmu. Aku telah mendengar nilai-nilaimu, juga

performamu di kelas latihan siang di Drake. Beberapa

anggota Kongres mencalonkanmu untuk beberapa jabatan

politik bahkan sebelum kau menyelesaikan tahun

pertamamu di Drake. Tapi akhirnya,mereka memutuskan

untuk menempatkanmu di militer, sebab kepribadianmu

mencerminkan seorang prajurit. Kau seorang selebriti di

lingkaran dalam pemerintahan. Hukuman karena

~132~



ketidaksetiaanmu akan menjadi suatu kerugian luar biasa

bagi Republik."

Apa Anden tahu kebenaran tentang bagaimana

orangtuaku dan Metias dibunuh? Bahwa ketidaksetiaan

mereka harus dibayar dengan nyawa? Apa Republik

sebegitu menghargaiku sampai mereka ragu untuk

mengeksekusiku meskipun baru-baru ini aku melakukan

kejahatan dan aku berasal dari keluarga pengkhianat?

"Bagaimana Anda melihat saya di sekitar kampus

Drake?" tanyaku. "Saya tidak ingat pernah mendengar Anda

kuliah di universitas itu."

Anden memotong jantung kelapa di piringnya. "Oh

tidak. Kau tidak akan mendengarnya."

Dahiku berkerut penasaran. "Apakah Anda

mahasiswa di Drake waktu saya di sana?"

Anden

mengangguk.

"Administrasi

menjaga

identitasku agar tetap rahasia. Waktu itu aku tujuh belas

tahun?mahasiswa tahun kedua?saat kau datang ke Drake

pada usia dua belas. Kami semua telah banyak mendengar

tentangmu?dan keunikanmu." Dia nyengir saat

mengatakannya, dan matanya berkilat nakal.

Putra Elector berjalan di antara kami di Drake, dan aku

bahkan tidak tahu itu. Dadaku mengembang bangga

memikirkan betapa pemimpin Republik memperhatikanku

di kampus. Lalu aku menggelengkan kepala, merasa

bersalah karena menyukai perhatian tersebut. "Yah, saya

harap tidak semua yang Anda dengar itu buruk."

Lesung pipi kiri Anden terlihat saat dia tertawa.

Suaranya menyejukkan. "Tidak. Tidak semuanya."

Bahkan, aku harus tersenyum. "Nilai-nilai saya bagus,

tapi saya yakin sekretaris dekan senang karena saya tak akan

menghantui kantornya lagi."

"Miss Whitaker?" Anden menggelengkan kepala.

Sejenak, dia meluruhkan sikap resminya, mengabaikan

etiket dengan bersandar malas di kursinya dan membuat

gerakan melingkar dengan garpunya. "Aku juga pernah

dipanggil ke kantornya. Lucunya, dia sama sekali tak tahu

siapa aku. Aku terlibat masalah karena menukar senapan

latihan berat di gimnasium dengan senapan karet busa."

~133~



"Itu Anda?" seruku. Aku ingat betul insiden itu.

Tahun pertama, kelas latihan. Senapan karet busa itu

tampak sangat mirip aslinya. Saat para murid membungkuk

bersamaan untuk mengangkat apa yang mereka kira senapan

berat, mereka semua terpental hebat gara-gara senapan busa

itu sampai setengah dari jumlah murid roboh ke belakang

pasukan. Kenangan itu membuatku tertawa sungguhan.

"Itu brilian. Kapten latihan sangat marah."

"Setiap orang harus terlibat masalah di kampus

setidaknya satu kali, betul?" Anden menyeringai dan

mengetukngetukkan

jari

di

gelas

sampanyenya.

"Tapi,tampaknya kau yang paling banyak membuat

masalah. Bukankah kau yang membuat salah satu kelasmu

terpaksa dievakuasi?"

"Ya. Sejarah Republik Tiga?eh, Dua." Kucoba

menggaruk leher karena rasa malu sesaat, tapi borgolku

menghentikanku. "Senior yang duduk di sebelah saya

bilang, saya tidak akan bisa mengenai tuas alarm kebakaran

dengan senapan latihannya."

"Ah. Bisa kulihat kau selalu membuat pilihan bagus."

"Saya masih junior waktu itu. Harus saya akui, masih

agak kekanak-kanakkan," sahutku.

"Aku tidak setuju. Semua hal dipertimbangkan.

Kubilang kau lebih dewasa dari usiamu." Dia tersenyum

dan pipiku jadi merah jambu lagi. "Kau punya ketenangan

yang dimiliki seseorang yang jauh lebih tua dari lima belas

tahun. Aku senang akhirnya bertemu denganmu di pesta

perayaan malam itu."

Apa aku benar-benar duduk di sini, makan malam dan

mengenang hari-hari indah di kampus bersama Elector

Primo? Seperti mimpi. Aku terpesona pada fakta betapa

mudahnya bicara dengan Anden, mengobrolkan hal-hal

akrab pada saat begitu banyak keanehan mengelilingi

hidupku, percakapan yang tidak memungkinkan aku untuk

tanpa sengaja menyakiti hati seseorang dengan perkataan tak

pikir panjang terkait kelas sosial.

Kemudian, aku teringat alasan sebenarnya aku di sini.

Makanan di mulutku terasa bagaikan abu. Ini semua untuk

Day. Rasa marah membanjiriku meski aku tahu itu salah.

~134~



Salahkah? Aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar siap

membunuh seseorang demi dia.

Seorang serdadu menjengukkan kepala dari pintu

masuk. Dia memberi hormat pada Anden, lalu berdeham

tak nyaman saat menyadari bahwa dirinya pasti telah

menyela percakapan kami. Anden memberinya senyum

ceria yang tidak dibuat-buat, lalu melambaikan tangan,

menyuruh serdadu itu masuk.

"Sir, Senator Baruse Kamion ingin bicara dengan Anda

secara pribadi," kata serdadu itu.

"Katakan padanya aku sibuk," sahut Anden. "Aku akan

menghubunginya setelah makan malam."

"Saya khawatir beliau mendesak harus bicara dengan

Anda sekarang. Ini tentang ah ." Serdadu itu

mempertimbangkan keberadaanku, lalu mendekat untuk

berbisik di telinga Anden. Tapi, aku masih bisa menangkap

beberapa.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Soal stadion. Beliau ingin memberi . Pesan . Harus

segera mengakhiri makan malam Anda."

Anden mengangkat sebelah alis. "Apa itu yang dia

katakan? Yah. Aku sendiri yang memutuskan kapan makan

malamku berakhir," katanya. "Sampaikan kembali pesan itu

ke Senator Kamion kapan pun kau rasa tepat. Beri tahu dia

bahwa Senator berikutnya yang mengirimiku pesan di luar

pembicaraan yang sedang kulakukan akan kupanggil untuk

menghadapku langsung secara pribadi."

Serdadu itu memberi hormat dengan penuh semangat,

dadanya mengembang sedikit karena memikirkan akan

mengantar pesan semacam itu ke seorang Senator. "Ya, Sir.

Akan segera saya sampaikan."

"Siapa namamu, Serdadu?" tanya Anden sebelum dia

pergi.

"Letnan Felipe Garza, Sir."

Anden tersenyum. "Terima kasih, Letnan Garza,"

ujarnya. "Aku akan mengingat kebaikanmu ini."

Serdadu itu berusaha menjaga wajahnya tetap datar,

tapi aku bisa melihat kebanggaan di matanya dan senyum

di balik tampilan luar mukanya. Dia membungkuk pada

Anden. "Elector, Anda menyanjung saya. Terima kasih,

Sir." Kemudian dia keluar.

~135~



Kuperhatikan pertukaran pesan itu dengan terpesona.

Razor benar akan satu hal?jelas ada ketegangan antara

Senat dan Elector baru mereka. Namun, Anden bukan

orang bodoh. Dia sudah berkuasa selama kurang dari

seminggu, dan dia telah melakukan apa yang tepatnya harus

dia lakukan: berusaha merekatkan kesetiaan pihak militer

padanya. Aku penasaran apa lagi yang akan dia lakukan

untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Tentara Republik

telah sangat setia pada ayahnya. Bahkan, mungkin loyalitas

itulah yang membuat mendiang Elector sangat berkuasa.

Anden tahu itu, dan dia bergerak secepat yang dia bisa.

Komplain Senat tak akan berguna melawan pihak militer

yang mendukung Anden tanpa pertanyaan.

Tapi, mereka tidak mendukung Anden tanpa pertanyaan,

kuingatkan diri sendiri. Ada Razor, juga anak buahnya.

Pengkhianat dalam militer bergerak pada tempatnya.

"Jadi." Dengan elegan,Anden mengiris daging babinya

lagi. "Kau membawaku ke sini untuk memberitahuku

bahwa kau menolong seorang penjahat kabur?"

Sejenak, tak ada suara kecuali bunyi denting garpu

Anden beradu dengan piring. Instruksi Razor bergema di

telingaku?hal-hal yang harus kukatakan, apa yang harus

terlebih dulu kukatakan. "Tidak saya ke sini untuk

memberi tahu sebuah rencana pembunuhan yang ditujukan

untuk Anda."

Anden meletakkan garpunya dan mengarahkan dua

jemari langsingnya ke para tentara. "Tinggalkan kami."

"Elector, Sir," salah satu dari mereka mulai berkata.

"Kami tidak bisa meninggalkan Anda sendirian."

Anden menarik sebuah pistol dari ikat pinggangnya

(model hitam elegan yang belum pernah kulihat

sebelumnya) dan menaruhnya di meja, di samping

piringnya. "Tidak apaapa, Kapten," ujarnya. "Aku akan

sangat aman. Sekarang, tolong, semuanya. Tinggalkan

kami."

Wanita yang Anden panggil Kapten memberi isyarat

pada anak buahnya, lalu mereka berbaris keluar tanpa suara.

Bahkan,enam penjaga yang berdiri di sebelahku ikut pergi.

Aku sendirian di ruangan ini bersama Elector, dipisahkan

oleh kayu ceri sepanjang 3,7 meter.

~136~



Anden menumpukan kedua sikunya di meja dan

menyatukan jari-jarinya. "Kau datang ke sini untuk

memperingatkanku?"

"Ya."

"Tapi kudengar kau ditangkap di Vegas. Kenapa kau

tidak menyerahkan diri?"

"Saya sedang dalam perjalanan kemari, ke ibu kota.

Saya ingin pergi ke Denver sebelum menyerahkan diri

sehingga kesempatan saya untuk bicara dengan Anda lebih

besar. Jelas saya tidak berencana untuk ditangkap oleh

sembarang kelompok patroli di Vegas."

"Dan bagaimana caramu kabur dari Patriot?" Anden

memandangku ragu sekaligus curiga. "Di mana mereka

sekarang? Mereka pasti mengejarmu."

Aku diam sejenak, menundukkan pandangan, lalu

berdeham. "Saya melompat dari kereta di perbatasan Vegas

pada malam saya berhasil kabur."

Selama beberapa saat, Anden tidak berkata apa-apa.

Kemudian, dia meletakkan garpunya dan menyeka mulut.

Aku tak yakin dia percaya cerita pelarianku atau tidak.

"Dan, apa rencana mereka untukmu kalau kau tidak

kabur?"

Untuk saat ini, biarkan hal itu tetap samar-samar. "Sa-ya

tidak tahu seluruh detail rencana mereka untuk saya,"

sahutku. "Tapi, saya tahu mereka merencanakan semacam

serangan saat Anda berkunjung ke salah satu medan perang

untuk memberi dukungan moril, dan saya seharusnya

membantu mereka. Lamar, Westwick, dan Burlington

adalah tempat-tempat yang mereka sebutkan. Kelompok

Patriot juga sudah menyusupkan orang-orang mereka,

Anden?di sini, di antara orang-orang lingkaran dalammu."

Aku tahu aku mengambil risiko dengan memanggil

nama kecilnya, tapi kucoba mempertahankan hubungan

baru ini. Kelihatannya Anden tidak memperhatikan?dia

hanya membungkuk di atas piringnya sambil menilaiku.

"Bagaimana kau tahu ini?" tanyanya. "Apa kelompok

Patriot sadar kau tahu? Apa Day juga terlibat dalam ini

semua?"

Aku menggeleng. "Aku tak pernah sempat mencari

~137~



tahu. Aku belum bicara pada Day sejak aku pergi."

"Apakah kau berteman dengannya?"

Pertanyaan yang agak aneh. Mungkin dia ingin

menemukan Day? "Ya," sahutku, berusaha agar perhatianku

tidak teralih pada kenangan akan tangan Day yang terjalin

di rambutku. "Dia punya alasan untuk tinggal?aku sendiri

punya alasan untuk pergi. Tapi ya, kurasa begitu."

Anden mengangguk tanda berterima kasih. "Kau

bilang ada orang di lingkaran dalamku yang harus

kuketahui. Siapa?"

Kuletakkan garpu, lalu kucondongkan tubuh ke arah

seberang meja. "Ada dua tentara dari pasukan penjaga

pribadimu yang akan mencoba membunuhmu."

Anden memucat. "Pasukan penjagaku dipilihkan

dengan hati-hati untukku. Sangat hati-hati."

"Dan siapa yang memilih mereka?" aku menyilangkan

lengan. Rambutku jatuh ke salah satu bahu, dan dari sudut

mataku bisa kulihat mutiara bersinar. "Tidak masalah kau

percaya padaku atau tidak. Selidikilah. Kalau aku benar,

kau takkan mati. Kalau aku salah, aku akan mati."

Yang membuatku terkejut, Anden bangkit dari

kursinya, menegakkan tubuh, lalu berjalan ke ujung meja

tempatku berada. Dia duduk di kursi di sebelahku dan

menggesernya lebih dekat padaku. Aku mengerjap saat dia

mempelajari wajahku.

"June." Suaranya sangat lembut, nyaris seperti bisikan.

"Aku ingin percaya padamu dan aku ingin kau percaya

padaku."

Dia tahu aku menyembunyikan sesuatu. Dia bisa melihat

di balik tipu muslihatku, dan dia ingin aku tahu itu. Anden

bersandar ke meja dan memasukkan tangan ke saku celana

panjangnya. "Saat ayahku meninggal," dia mulai,

mengucapkan setiap kata dengan sangat perlahan-lahan

seolah dirinya sedang menapak di air yang berbahaya, "aku

betul-betul sendirian. Aku duduk di tepi ranjangnya,

menemaninya di saat-saat terakhirnya. Tapi aku bersyukur,

karena aku tak pernah punya kesempatan seperti itu dengan

ibuku. Aku tahu bagaimana rasanya, June, menjadi

satusatunya yang tertinggal."

~138~



Tenggorokanku tersekat oleh rasa sakit. Dapatkan

kepercayaannya. Itulah peranku, satu-satunya alasanku

berada di sini. "Aku turut berduka," bisikku. "Dan tentang

ibumu juga."

Anden memiringkan kepala, menerima ungkapan

dukacitaku. "Dulu ibuku Princeps Senat. Tak sekali pun

ayahku pernah bicara tentang beliau tapi aku senang

karena sekarang mereka bisa bersama-sama."

Aku pernah dengar rumor tentang mendiang Princeps.

Bagaimana dia meninggal karena penyakit autoimun tepat

setelah melahirkan. Hanya Elector yang bisa menunjuk

pemimpin Senat?jadi tak ada Princeps selama dua dekade,

tidak sejak ibu Anden meninggal. Kucoba melupakan

kenyamanan yang kurasakan saat berbicara tentang Drake,

tapi lebih sulit melakukannya daripada yang kubayangkan.

Pikirkan Day. Kuingatkan diri betapa bersemangatnya Day

akan rencana Patriot, juga tentang Republik yang baru.

"Aku senang orangtuamu sudah dalam kedamaian,"

kataku. "Aku sangat mengerti bagaimana rasanya

kehilangan orang tercinta."

Anden merenungkan kata-kataku dengan dua jari

menempel di bibir. Rahangnya terlihat kaku dan tak

nyaman. Mungkin dia telah menguasai perannya, tapi dia

tetap seorang pemuda, kusadari hal itu. Ayahnya adalah figur

yang ditakuti, tapi Anden? Dia belum cukup kuat untuk

menangani negara ini sendirian. Mendadak aku teringat

malam-malam pertama setelah kematian Metias, saat aku

menangis sampai pagi buta sebelum fajar,wajah tak
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernyawa kakakku terus membakar pikiranku. Apa Anden

juga mengalami malam-malam tanpa tidur yang sama?

Bagaimana rasanya kehilangan ayah yang tidak boleh kau

tangisi di depan umum, tak peduli be-tapa jahatnya ayah

itu? Apa Anden menyayangi beliau?

Aku menunggu sementara dia memperhatikanku,

makan malamku terlupakan begitu saja. Setelah beberapa

lama, Anden menurunkan tangannya dan mendesah.

"Bukan rahasia lagi ayahku sudah lama sakit. Saat kau

menunggu kematian seseorang yang kau sayangi

bertahun-tahun

."

Dahinya

berkerut

tanpa

~139~



disembunyikan, membiarkanku melihat rasa sakit yang

amat jelas. "Yah, aku yakin rasanya pasti beda jika kepergian

itu datang tanpa diduga." Dia menengadah menatapku

tepat setelah mengucapkan kata terakhir.

Aku tak yakin apakah dia merujuk pada orangtuaku

atau

Metias?barangkali

keduanya?tapi

caranya

mengatakan itu meninggalkan sedikit keraguan dalam

benakku. Dia berusaha mengatakan bahwa dia tahu apa

yang terjadi pada keluargaku. Dan dia tidak setuju.

"Aku tahu pengalamanmu dengan asumsi. Beberapa

orang mengira aku meracuni ayahku agar bisa merebut

tempatnya."

Itu hampir seperti dia berusaha bicara padaku dalam

kode. Kau pernah berasumsi bahwa Day membunuh kakakmu.

Bahwa kematian orangtuamu adalah kecelakaan. Tapi

sekarang, kau tahu kebenarannya.

"Rakyat Republik berasumsi bahwa aku musuh mereka.

Bahwa aku orang yang sama dengan ayahku dulu. Bahwa

aku tidak ingin negara ini berubah. Mereka pikir aku

pemimpin palsu berkepala kosong, boneka yang hanya

mewarisi takhta karena keinginan ayahku." Setelah ragu

sejenak, dia mengalihkan tatapan padaku dengan

kesungguhan yang membuat napasku tersekat. "Padahal aku

tidak begitu. Tapi, kalau aku tetap sendirian kalau aku

tetap jadi satu-satunya yang tersisa, aku tak bisa mengubah

apa-apa. Kalau aku tetap sendirian, aku sama seperti

ayahku."

Tidak heran dia ingin makan malam denganku.

Sesuatu yang baru tumbuh sedang campur aduk dalam diri

Anden. Dan dia butuh aku. Dia tidak mendapat dukungan

rakyat, juga Senat. Dia butuh seseorang yang bisa

mendapatkan hati rakyat untuknya. Dan, dua orang di

Republik yang paling punya kekuatan di antara rakyat

adalah aku dan Day.

Berbeloknya arah percakapan ini membingungkanku.

Anden bukan?tidak tampak seperti?orang yang

digambarkan kelompok Patriot; pemimpin boneka yang

menghalangi revolusi gilang-gemilang. Seandainya dia

~140~



benar-benar ingin mendapatkan hati rakyat, seandainya dia

mengatakan yang sebenarnya kenapa Patriot ingin dia

mati? Mungkin ada sesuatu yang tidak kupahami. Mungkin

ada sesuatu tentang Anden yang Razor tahu dan aku tidak.

"Bisakah aku percaya padamu?" kata Anden.

Ekspresinya berubah menjadi sangat jujur, dengan alis

terangkat dan mata melebar.

Kuangkat dagu dan kubalas tatapannya. Bisakah aku

percaya pada-nya? Aku tidak yakin, tapi untuk saat ini,

kubisikkan jawaban yang aman. "Ya."

Anden menegakkan tubuh dan menjauh dari meja.

Aku tidak bisa benar-benar bilang dia memercayaiku. "Ini

rahasia di antara kita. Akan kuberi tahu penjagaku tentang

peringatanmu.

Kuharap

kita

bisa

menemukan

pengkhianatpengkhianat itu." Anden tersenyum padaku,

lalu memiringkan kepala dan tersenyum lagi. "Kalau kita

menemukan mereka, June, aku ingin kita bicara lagi.

Kelihatannya kita punya banyak kesamaan." Kata-katanya

membuat pipiku merona.

Dan begitulah. "Silakan, selesaikan makan malammu

dengan santai. Tentaraku akan membawamu kembali ke sel

saat kau sudah siap."

Kugumamkan terima kasih tanpa suara. Anden

berbalik dan keluar ruangan sementara para tentara kembali

berbaris masuk, gema serentak suara bot mereka

memecahkan keheningan yang mengisi ruangan ini

beberapa saat sebelumnya. Aku menunduk dan berpurapura menghabiskan sisa makananku.

Ada sesuatu yang lebih tentang Anden, lebih dari yang

pertama kupikirkan. Baru sekarang kusadari bahwa napasku

lebih pendek dari biasa, dan jantungku berdebar. Bisakah

aku memercayai Anden? Atau aku percaya Razor?

Kumantapkan diri dengan memegang tepi meja. Apa pun

kebenarannya, aku harus bertindak dengan sangat hati-hati.

Setelah makan malam, aku tidak dibawa ke sel tawanan

khusus, melainkan dikirim ke apartemen mewah dan bersih,

sebuah kamar berkarpet dengan pintu ganda tebal dan

tempat tidur besar yang lembut. Tidak ada jendela. Selain

tempat tidur, tidak ada perabot di kamar ini sama sekali,

~141~



tidak ada yang bisa kuambil untuk dijadikan senjata.

Satusatunya dekorasi hanyalah potret Anden yang selalu

ada, ditempel di salah satu dinding. Segera saja kucari lokasi

kamera sekuriti?ada tepat di atas pintu ganda, seperti

tombol kecil halus di langit-langit. Setengah lusin penjaga

berdiri siaga di luar.

Sepanjang malam,aku tidur-tidur ayam dengan gelisah.

Para tentara bergiliran menjaga. Pagi-pagi sekali seorang

penjaga menepukku sampai terbangun. "Sejauh ini bagus,"

bisik wanita itu. "Ingat siapa musuhnya." Kemudian, dia

keluar dari kamar ini dan seorang penjaga baru

menggantikannya.

Tanpa suara, aku berganti pakaian dengan gaun malam dari beledu yang hangat. Seluruh indraku kini waspada

tingkat tinggi, tanganku gemetar sedikit. Borgol di

pergelangan tanganku bergerincing lembut. Sebelumnya

aku tak bisa benar-benar yakin, tapi sekarang aku tahu

bahwa kelompok Patriot menyaksikan setiap langkahku.

Tentara-tentara Razor perlahan-lahan bergerak mendekat

dan mempersiapkan diri. Mungkin aku takkan pernah

melihat penjaga yang barusan lagi?tapi sekarang aku

memperhatikan wajah setiap tentara di sekitarku, bertanyatanya siapa yang setia, dan siapa yang Patriot.[]

~142~



MIMPI

LAIN LAGI.

Aku bangun terlalu dini pada pagi ulang tahunku

yang kedelapan. Cahaya baru mulai masuk dari jendela

kami, mengusir warna gelap dan kelabu dari malam

yang menghilang. Aku duduk di tempat tidur dan

menggosok mata. Gelas berisi air yang setengah kosong

berdiri seimbang di dekat pinggiran meja tua di samping

tempat tidur. Satu-satunya tanaman yang kami punya?

tumbuhan menjalar yang dibawa Eden pulang dari

kebun tak terawat? ada di sudut. Sulur-sulurnya

menjulur ke lantai, mencari sinar matahari. John

mendengkur keras di pojok. Kakinya terjuntai keluar

dari bawah selimut penuh tambalan dan menggantung

di ujung ranjang. Eden tidak terlihat di mana pun;

mungkin bersama Ibu.

~143~



Biasanya, kalau aku bangun kepagian, aku bisa

berbaring lagi dan memikirkan sesuatu yang

menenangkan seperti burung atau danau, dan akhirnya

cukup rileks untuk tidur lagi sedikit lebih lama. Tapi hari

ini tidak begitu. Kuayunkan kaki ke tepi tempat tidur

dan kukenakan sepasang kaus kaki tak seragam.

Segera setelah aku melangkah ke ruang tamu, aku

tahu ada sesuatu yang salah. Ibu tidur di sofa dengan

Eden dalam pelukannya, berselimut sampai ke bahu.

Tapi Ayah tidak di situ. Pandanganku segera berkelana

cepat ke seluruh ruangan. Semalam Ayah baru kembali

dari medan perang, dan biasanya dia ada di rumah

setidaknya tiga atau empat hari. Terlalu cepat baginya

untuk pergi sekarang.

"Ayah?" bisikku. Ibu bergerak sedikit dan aku

terdiam lagi.

Kemudian, kudengar suara lemah pintu kasa kami

bersentuhan dengan kayu. Mataku melebar. Aku berlari

cepat ke pintu dan melongokkan kepala ke luar. Aliran

udara dingin menyambutku. "Ayah?" aku berbisik lagi.

Mulanya, tak ada siapa pun di sana. Lalu, kulihat

sosoknya muncul dari bayang-bayang. Ayah.

Aku mulai berlari?tak peduli kerikil dan aspal

menggoresku karena bahan kaus kakiku sudah usang.

Sosok dalam bayang-bayang itu berjalan beberapa

langkah lagi, lalu mendengarku dan berbalik. Sekarang,

aku melihat ram-but cokelat terang ayahku dan mata

warna madunya yang sipit, janggut tipis di dagunya,

tubuhnya yang tinggi, cara berdirinya yang elegan tanpa

cacat. Ibu selalu bilang, ayahku terlihat seperti baru

keluar dari cerita rakyat Mongolia. Lariku semakin
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat.

"Ayah," kataku tanpa berpikir saat aku

mencapainya. Dia berlutut dan merengkuhku dalam

pelukan. "Ayah sudah mau pergi?"

"Maaf, Daniel," bisiknya. Dia terdengar lelah. "Aku

sudah dipanggil lagi ke medan perang."

Air mataku berlinang. "Sudah dipanggil?"

"Kau harus kembali ke rumah sekarang. Jangan

biarkan polisi melihatmu bersikap berlebihan begini."

~144~



"TapiAyahbarusajapulang,"akuberusahamembantah.

"Ayah?hari ini ulang tahunku, aku?"

Ayahku meletakkan tangan di masing-masing

bahuku. Kedua matanya menunjukkan peringatan,

sarat akan se-gala yang dia harap dapat diucapkannya

keras-keras. Aku ingin tinggal, dia berusaha

mengatakan itu. Tapi aku harus pergi. Kau tahu harus

bagaimana. Jangan bicarakan ini. Dan dia berkata,

"Pulanglah, Daniel. Sampaikan salamku pada ibumu."

Suaraku mulai bergetar, tapi kupaksa diriku tetap

be-rani. "Kapan kami akan bertemu Ayah lagi?"

"Aku akan segera pulang. Aku sayang kau." Dia

meletakkan sebelah tangan di kepalaku. "Tunggu saja

kapan aku kembali, oke?"

Aku mengangguk. Dia berlama-lama denganku

sebentar, lalu bangkit dan berjalan pergi. Aku pulang.

Itu adalah terakhir kali aku melihatnya.

Satu hari berlalu. Aku duduk sendirian di tempat

tidur yang kelompok Patriot berikan untukku di salah

satu kamar dengan ranjang tingkat, mengamat-amati

kalung bandul yang melingkari leherku. Rambutku jatuh

di sekeliling wajah, membuatku merasa memperhatikan

kalung itu dari balik tirai cerah. Sebelum mandi

kemarin, Kaede memberiku sebotol gel yang

menghapus warna palsu rambutku. Untuk bagian

rencana kita berikutnya, dia memberitahuku.

Seseorang mengetuk pintu.

"Day?" Suara teredam terdengar dari balik pintu.

Butuh sedetik bagiku untuk mengembalikan kesadaran

dan mengenali Tess. Aku baru saja terbangun dari

mimpi burukku tentang ulang tahunku yang kedelapan.

Aku masih bisa mengingat segalanya seakan hal itu

baru terjadi kemarin, dan mataku terasa merah dan

bengkak gara-gara menangis. Saat aku bangun,

pikiranku mulai membayangkan gambaran-gambaran

Eden diikat di tempat tidur dorong, menjerit saat orangorang lab menyuntiknya dengan bahan kimia. John

berdiri dengan penutup mata di depan satu skuadron

tentara. Dan Ibu. Aku tak bisa menghentikan semua hal

~145~



sialan ini berputar terus di kepalaku, dan itu

membuatku sangat marah. Jika aku menemukan Eden,

lalu apa? Bagaimana aku membawanya dari Republik?

Aku harus berasumsi bahwa Razor bisa membantuku

mendapatkan Eden kembali. Dan untuk

mendapatkannya kembali, aku harus benar-benar

pastikan Anden mati.

Lenganku sakit gara-gara menghabiskan sepanjang

pagi di bawah pengawasan Kaede dan Pascao, belajar

bagaimana menembak dengan pistol. "Jangan khawatir

kalau tembakanmu meleset tidak kena Elector," kata

Pascao saat kami memperbaiki bidikanku. Dia

menyapukan tangannya di sepanjang lenganku,

membuatku tersipu. "Itu tidak masalah. Bagaimanapun,

akan ada orang-orang lain bersamamu yang akan

menyelesaikan pekerjaan itu. Razor hanya ingin gambar

dirimu mengacungkan pistol pada Elector. Tidakkah itu

sempurna? Elector, sedang memberi pidato dukungan

moril ke para tentara di medan perang, ditembak saat

ratusan pasukan berada di sekitarnya. Oh, ironis!"

Pascao memberiku cengiran khasnya. "Pahlawan rakyat

membunuh sang Tirani. Itu bakal jadi cerita yang hebat."

Yeah?cerita yang hebat, jelas.

"Day?" kata Tess dari balik pintu. "Kau di dalam?

Razor ingin bicara denganmu."

Oh, benar. Dia masih di luar, memanggilku.

"Yeah, masuklah," sahutku.

Tess menjengukkan kepala ke dalam. "Hei,"

katanya. "Sudah berapa lama kau di sini?"

Baik-baiklah padanya, Kaede pernah bilang. Kalian

berdua serasi. Aku tersenyum kecil pada Tess sebagai

sapaan. "Tidak tahu," jawabku. "Aku beristirahat

sebentar. Beberapa jam, mungkin?"

"Razor memintamu ke ruang utama. Mereka

menayangkan siaran langsung June. Kupikir kau

mungkin?"

Siaran langsung? June pasti berhasil. Dia baik-baik

saja. Aku melompat. Akhirnya, ada berita tentang June.

Memikirkan akan melihatnya lagi, meski hanya lewat

~146~



kamera sekuriti sebesar biji padi, membuatku harapharap cemas. "Aku akan segera ke sana."

Saat kami berjalan di koridor pendek menuju ruang

utama, beberapa anggota Patriot menyapa Tess. Dia

tersenyum setiap kali disapa, bertukar canda halus dan

tertawa seolah-olah dia telah mengenal mereka seumur

hidup. Dua pemuda memberinya tepukan ramah di

bahu.

"Cepatlah, Anak-Anak. Jangan buat Razor

menunggu."

Kami berdua menoleh dan melihat Kaede berjalan

cepat melewati kami ke arah ruang utama. Dia berhenti

sejenak untuk melingkarkan sebelah lengan di leher

Tess, lalu mengacak rambutnya penuh sayang dan

mencium pipinya iseng. "Sumpah, kau yang paling lelet

di kelompok ini, Sayang."

Tess tertawa dan mendorongnya minggir. Kaede

mengedipkan mata sebelum melangkah lagi. Dia

menghilang di sudut, masuk ke ruang utama. Aku

memperhatikan, agak terkejut karena Kaede

menunjukkan kasih sayang pada seseorang. Bukan

sesuatu yang kuduga akan dilakukannya. Aku tak

pernah memikirkan itu sebelumnya, tapi sekarang

kusadari betapa hebatnya Tess dalam menjalin ikatan

baru?kurasakan ketenteraman para anggota Patriot

saat berada di dekatnya, ketenteraman yang sama

dengan yang selalu kurasakan saat bersamanya di

jalanan. Tidak diragukan lagi, itulah kelebihannya. Dia

menyembuhkan. Dia membuat nyaman.

Kemudian,

Baxter

melewati

kami.

Tess

menundukkan pandangan saat Baxter mengenai

lengannya. Kulihat pemuda itu mengangguk singkat

padanya sebelum membelalak padaku. Setelah dia jauh

dari jangkauan pendengaran, aku membungkuk ke arah

Tess. "Ada apa dengannya?" bisikku.

Tess hanya mengangkat bahu dan membelai

lenganku. "Jangan hiraukan dia," sahutnya, mengulangi

apa yang Kaede katakan padaku saat aku pertama kali

tiba di terowongan. "Suasana hatinya memang suka

naik turun."

~147~



Ceritakan padaku, pikirku penasaran. "Jika dia

mengganggumu, beri tahu aku," gumamku.

Tess kembali mengangkat bahu. "Tidak apa-apa,

Day. Aku bisa mengatasinya."

Mendadak aku merasa sedikit tolol, menawarkan

bantuan layaknya kesatria arogan dalam baju besi

berkilauan saat Tess mungkin punya lusinan kawan

baru yang dengan senang hati akan menolongnya.

Padahal dia bisa menolong dirinya sendiri.

Saat kami tiba di ruang utama, kerumunan kecil

telah berkumpul di depan salah satu layar yang lebih

besar di dinding, di mana sebuah rekaman kamera

sekuriti sedang ditayangkan. Razor berada di depan

kerumunan, tangannya disilangkan dengan santai.

Sementara itu, Pascao dan Kaede berdiri di sebelahnya.

Mereka melihatku dan memberiku isyarat untuk

mendekat.

"Day," kata Razor, menepuk bahuku. Kaede

memberiku anggukan cepat sebagai sapaan. "Senang

melihatmu di sini. Kau baik-baik saja? Kudengar pagi ini

kau sedikit tak bersemangat."

Kepeduliannya

menyenangkan?mengingatkanku

pada cara ayahku bicara denganku dulu.

"Aku baik," sahutku. "Hanya lelah karena

perjalanan kemarin."

"Bisa dimengerti. Penerbangannya memang bikin

stres." Dia mengedikkan kepala ke layar. "Para Hacker

kita mengirim rekaman June. Audionya terpisah, tapi

kau akan segera mendengarnya. Bagaimanapun,

kupikir kau ingin melihat videonya."

Tatapanku terpaku ke layar. Gambarnya tajam dan

berwarna, seolah-olah kami berada di sudut ruangan

itu. Kulihat sebuah ruang jamuan penuh hiasan dengan

meja makan berdekorasi elegan dan tentara berbaris di

dinding.

Sang Elector muda duduk di salah satu ujung meja.

June duduk di sisi satunya, mengenakan gaun mewah

yang membuat jantungku berdebar lebih cepat. Waktu

aku menjadi tahanan Republik, mereka menghajarku
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai babak belur dan melemparku ke sel kotor.

~148~



Penahanan June lebih terlihat seperti liburan. Aku lega

untuknya, tapi pada saat bersamaan, aku juga sedikit

merasa pahit. Bahkan, setelah mengkhianati Republik,

orang dengan asal-usul seperti June tetap bisa

melenggang santai, sementara orang sepertiku

menderita.

Semua orang memperhatikanku menonton June.

"Baguslah dia melakukannya dengan baik," kataku

pada layar. Aku sudah merasa jijik pada diriku sendiri

karena memikirkan gagasan kejam semacam itu.

"Pintar dia, memulai pembicaraan dengan Elector

tentang tahun-tahun kuliah mereka di Drake," kata

Razor, merangkum audionya sementara video itu

tayang. "Dia menanamkan cerita yang kuberi.

Menurutku setelah ini mereka akan mengetesnya

dengan detektor kebohongan, dan jalan kita ke Anden

akan terbuka lebar kalau June bisa lulus tes itu. Fase

kita berikutnya besok akan berjalan lancar."

Kalau June bisa lulus tes itu. Sebuah ikatan awal.

"Bagus," sahutku, berusaha menjaga agar wajahku

tidak mengkhianati pikiranku. Namun, sementara

rekamannya terus berputar dan kulihat Anden

memerintahkan para tentara untuk keluar dari ruangan

itu,

kurasakan ada

simpul mengencang di

tenggorokanku. Pria ini adalah simbol kedewasaan,

kekuasaan, dan wibawa. Dia mencondongkan tubuh

untuk mengatakan sesuatu pada June, lalu mereka

tertawa dan minum sampanye. Aku bisa bayangkan

mereka bersama. Mereka serasi.

"Dia melakukan kerja bagus," kata Tess seraya

menyelipkan rambut di belakang telinga. "Elector sangat

tertarik padanya."

Aku ingin membantah, tapi Pascao terang-terangan

setuju. "Tess benar sekali?lihat kilau di matanya itu?

Kuberi tahu kalian, pria itu terpikat. Elector tergila-gila

pada gadis kita. Dalam beberapa hari, June akan

membuatnya betulbetul jatuh cinta."

Razor mengangguk, tapi antusiasmenya lebih

sedikit. "Benar," katanya. "Tapi, kita harus pastikan

Anden tidak memikat June juga. Anden dilahirkan untuk

~149~



menjadi politisi. Aku akan mencari cara untuk bicara

pada June."

Aku senang Razor menyatakan pengertian dan

peringatan pada saat seperti ini, tapi aku harus

mengalihkan pandangan dari layar sekarang. Aku tak

pernah mempertimbangkan gagasan bahwa Anden

mungkin bisa memikat June.

Komentar-komentar semua orang memudar saat

aku berhenti mendengarkan. Tess benar, tentu saja;

aku bisa melihat hasrat di wajah Elector. Sekarang, dia

bangkit dan berjalan ke tempat June duduk dirantai di

kursinya, lalu mendekat untuk bicara dengannya.

Dahiku berkerut. Bagaimana bisa ada orang tahan pada

pesona June? Dia sempurna dalam berbagai hal. Lalu,

kusadari bahwa aku bukan marah karena ketertarikan

Anden padanya?bagaimanapun dia akan segera mati,

kan? Yang membuatku sakit hati adalah June tidak

terlihat memalsukan tawanya dalam video ini. Dia

hampir tampak seperti menikmatinya. Dia selevel

dengan pria-pria seperti Anden: aristokrat. Berasal dari

kehidupan kelas atas Republik. Bagaimana mungkin dia

bisa bahagia dengan seseorang sepertiku, seseorang

yang tak punya apa-apa, kecuali segenggam penjepit

kertas di sakunya? Aku berbalik dan mulai berjalan

pergi meninggalkan kerumunan. Aku sudah melihat

semua yang ingin kulihat.

"Tunggu!"

Aku menoleh dan melihat Tess berlari mengejarku,

rambutnya beterbangan di sekeliling wajahnya.

Kecepatan larinya melambat dan kini dia melangkah di

sebelahku. "Kau baik-baik saja?" tanyanya sambil

mempelajari ekspresi wajahku saat kami berjalan lagi di

koridor untuk kembali ke kamarku.

"Ya," sahutku. "Kenapa tidak? Semuanya berjalan

sempurna." Kuberi dia seulas senyum tegang.

"Oke. Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan." Tess

memberiku cengiran berlesung pipi, dan perasaanku

padanya kembali melembut.

"Aku baik-baik saja, Sepupu. Serius. Kau aman, aku

aman, Patriot berada di jalur seharusnya, dan mereka

~150~



akan menolongku menemukan Eden. Apa lagi yang

kurang?"

Wajah Tess berubah cerah mendengar kata-kataku.

Bibirnya melengkung, membentuk seringai menggoda.

"Ada gosip tentang kau, tahu."

Aku mengangkat alis, pura-pura heran. "Oh, masa?

Gosip macam apa?"

"Rumor bahwa kau masih hidup dan sehat

menyebar cepat sekali?dibicarakan semua orang.

Namamu disemprotkan di dinding seluruh negeri,

bahkan di beberapa tem-pat, disemprotkan di atas

potret Elector. Kau percaya itu? Para pengunjuk rasa

bermunculan di mana-mana. Mereka semua melagukan

namamu." Energi Tess menyusut sedikit. "Bahkan,

orang-orang yang dikarantina di Los Angeles. Kurasa

sekarang seluruh kota dikarantina."

"Mereka menyegel Los Angeles?" Kabar ini

membuatku terperanjat. Kami tahu sektor-sektor

permata telah dipagari, tapi aku tak pernah dengar

karantina berskala besar seperti ini. "Untuk apa?

Wabah?"

"Bukan karena wabah." Mata Tess melebar penuh

pemberontakan.

Republik

semangat.

"Karena

menyiarkannya secara resmi sebagai karantina wabah,

tapi sebenarnya seluruh kota memberontak pada

Elector baru. Rumor yang tersebar adalah Elector

memburumu dengan semua yang dia punya, dan

beberapa anggota Patriot memberi tahu masyarakat

bahwa Anden adalah orang yang memerintahkan?errr,

yang memerintahkan keluargamu untuk ." Tess

bimbang, wajahnya berubah merah. "Bagaimanapun,

Patriot berusaha membuat Anden terdengar buruk,

lebih buruk dari ayahnya. Razor bilang, pengunjuk rasa

di LA adalah kesempatan besar buat kita. Ibu kota

sampai harus memanggil ribuan pasukan tambahan."

"Kesempatan besar," aku membeo, teringat

bagaimana Republik menumpas protes terakhir di Los

Angeles.

"Yup, dan semua itu berkat kau, Day. Kau yang

menarik pelatuknya?atau, setidaknya, rumor bahwa

~151~



kau hiduplah yang melakukannya. Mereka terinspirasi

dengan cerita kaburmu, dan marah akan caramu

diperlakukan.

Kau

adalah

satu-satunya

yang

kelihatannya tidak bisa dikontrol Republik. Semua

orang melihatmu, Day. Mereka menunggu langkahmu

berikutnya."

Aku menelan ludah, tak berani memercayainya. Itu

tidak mungkin?Republik takkan pernah membiarkan

pemberontakan membesar tak terkendali di salah satu

kota terbesar negeri ini. Iya, kan? Apa masyarakat

betulbetul membanjiri markas militer lokal di sana? Apa

mereka memberontak karena aku? Mereka menunggu

langkahmu berikutnya. Tapi, aku bahkan tak tahu apa

langkah selanjutnya. Aku cuma berusaha mencari

adikku?itu saja. Aku menggelengkan kepala, menekan

gelombang ketakutan yang mendadak muncul. Aku

pernah menginginkan kekuatan untuk melawan balik,

kan? Itulah yang kucoba lakukan selama bertahuntahun ini, ya kan? Sekarang, mereka memberikan

kekuatan padaku tapi aku tak tahu apa yang harus

kulakukan dengan itu.

"Yang benar saja," aku berhasil menyahut. "Kau

bercanda? Aku cuma bandit jalanan dari LA."

"Yeah. Bandit yang terkenal." Senyum Tess yang

menular langsung mencerahkan perasaanku. Dia

menggandeng lenganku saat kami sampai di pintu

kamarku dan masuk. "Ayolah, Day. Tidakkah kau ingat

kenapa awalnya Patriot setuju untuk merekrutmu?

Razor bilang kau akan menjadi sekuat Elector baru.

Semua orang di negara ini tahu siapa kau. Dan

kebanyakan dari mereka menyukaimu. Sesuatu yang

patut dibanggakan, ya?"

Aku hanya berjalan ke tempat tidurku dan duduk.

Bahkan, aku tidak langsung menyadari Tess duduk di

sebelahku.

Dia tenang saja melihat sikap diamku. "Kau sangat

peduli dengan dia, ya?" ujarnya, melicinkan selimut di

atas tempat tidur dengan satu tangan. "Dia tidak

seperti gadisgadis yang dulu kau bodohi waktu di Lake."

~152~
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Apa?" sahutku, kebingungan sesaat. Tess pikir aku

masih terus memikirkan betapa Anden tergila-gila pada

June. Pipi Tess kini berubah merah jambu, dan

mendadak aku merasa tak nyaman duduk hanya

berdua dengannya. Matanya yang besar terpaku

padaku, rasa sukanya tidak diragukan lagi. Aku selalu

bersikap halus pada gadis-gadis yang menyukaiku, tapi

mereka semua orang asing. Gadisgadis yang datang

dan pergi begitu saja dalam hidupku tanpa

konsekuensi. Tess berbeda. Aku tak tahu apa yang

harus kulakukan dengan gagasan bahwa kami bisa

menjadi lebih dari teman.

"Yah, aku harus bilang apa?" tanyaku. Aku ingin

memukul diri sendiri segera setelah kata-kata itu

terlontar.

"Berhenti mencemaskannya?aku yakin dia akan

baikbaik saja." Dia memuntahkan kalimat terakhir

dengan kepahitan mendadak, lalu kembali diam. Yeah,

jelas sekali aku salah ngomong.

"Aku tidak bergabung dengan Patriot karena aku

mau, tahu," Tess bangkit dari tempat tidur dan berdiri

menghadapku, punggungnya kaku, tangannya mengepal

dan menutup. "Aku bergabung dengan Patriot karena

kau. Karena aku sangat mengkhawatirkanmu setelah

June membawamu pergi dan menahanmu. Kupikir aku

bisa minta mereka menyelamatkanmu?tapi aku tak

punya kemampuan tawar-menawar yang June punya.

June bisa melakukan apa pun yang dia inginkan

padamu, dan kau akan tetap menerimanya kembali.

June bisa melakukan apa pun yang ingin dia lakukan

pada Republik, dan mereka juga akan tetap

menerimanya kembali." Suara Tess meninggi. "Kapan

pun June butuh sesuatu, dia mendapatkannya, tapi

kebutuhanku bahkan tidak bisa dihargai seember darah

babi. Mungkin kalau aku yang menjadi kesayangan

Republik, kau juga akan peduli pada-ku."

Kata-katanya menoreh dalam. "Itu tidak benar,"

kataku, bangkit dan mencengkeram tangannya.

"Bagaimana kau bisa berkata begitu? Kita tumbuh

~153~



bersama di jalanan. Kau tahu apa artinya itu bagiku?"

Diamengatupkanbibirnyarapatrapatdanmenengadah, berusaha tidak menangis. "Day,"

dia mulai lagi, "pernahkah kau mempertanyakan

kenapa kau sangat menyukai June? Maksudku?yah?

dilihat dari bagaimana kau ditangkap dan semua?"

Aku menggelengkan kepala. "Apa maksudmu?"

Dia menghela napas panjang. "Aku pernah dengar

ini sebelumnya entah di JumboTrons atau di manalah,

saat mereka membicarakan tawanan Koloni. Tentang

bagaimana korban penculikan jatuh cinta pada

penculiknya."

Dahiku berkerut. Tess yang kukenal lenyap di balik

awan kecurigaan dan pikiran gelap.

"Kau pikir aku menyukai June karena dia

menangkapku? Kau benar-benar berpikir aku sesinting

itu?"

"Day?" kata Tess hati-hati. "June menyerahkanmu


Wiro Sableng 188 Bintang Langit Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Slebor 35 Istana Durjana

Cari Blog Ini