Prodigy Karya Marie Lu Bagian 4
pada Republik."
Kulepas tangan Tess kasar. "Aku tak ingin bicara
ten-tang ini."
Tess menggelengkan kepala pilu, matanya
berkilauan karena air mata yang tidak diusap. "Dia
membunuh ibumu, Day."
Aku mundur selangkah menjauhi Tess. Aku merasa
seolah wajahku telah ditampar. "Dia
tidak
melakukannya," kataku.
"Dia sama saja seperti melakukannya," bisik Tess.
Bisa kurasakan pertahananku bangkit kembali,
menutup diriku dari apa pun. "Kau lupa, dia juga
menolongku kabur. Dia menyelamatkanku. Dengar, apa
kau?"
"Aku menyelamatkanmu lusinan kali. Tapi, kalau
aku menyerahkanmu, dan keluargamu tewas gara-gara
itu, apa kau akan memaafkanku?"
Aku
menelan
ludah.
"Tess,
aku
akan
memaafkanmu hampir untuk segala hal."
"Bahkan, jika aku bertanggung jawab atas
kematian ibumu? Tidak, kurasa tidak." Tatapannya
~154~
terpancang padaku. Suaranya kini mengandung nada
keras, seolah dibalur tepian baja. "Itulah yang
kumaksud. Kau memperlakukan June berbeda."
"Tidak berarti aku tidak peduli padamu."
Tess mengabaikan sahutanku dan melanjutkan,
"Kalau kau harus memilih untuk menyelamatkan satu di
antara aku atau June, dan kau tidak boleh membuangbuang waktu . Apa yang akan kau lakukan?"
Bisa kurasakan wajahku menjadi merah karena
frustrasi.
"Siapa yang akan kau selamatkan?" Tess
menggunakan lengannya untuk menyeka wajah dan
menunggu jawabanku.
Aku mengeluh tak sabar. Kasih tahu saja yang
sebenarnya. "Kau, oke? Aku akan menyelamatkan-mu."
Ekspresinya melembut, dan pada saat itu kejelekan
yang muncul dari rasa cemburu dan kebencian lenyap.
Hanya butuh sedikit kemanisan bagi Tess untuk kembali
menjadi malaikat. "Kenapa?"
"Entahlah." Aku mengusap rambutku, tak bisa
menemukan alasan kenapa aku tidak bisa
mengendalikan percakapan ini. "Karena June takkan
butuh bantuanku."
Tolol, sangat tolol. Alasan yang sangat buruk. Katakata itu keluar begitu saja sebelum aku bisa
menghentikannya, dan sekarang sudah terlambat untuk
menariknya kembali. Itu bahkan bukan alasan
sebenarnya. Aku akan menyelamatkan Tess karena dia
Tess, karena aku tak tahan membayangkan ada
sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tapi, aku tak
punya waktu untuk menjelaskan itu. Tess berbalik dan
mulai berjalan menjauhiku. "Terima kasih atas belas
kasihanmu," ujarnya.
Aku berlari mengejarnya, tapi saat aku meraih
tangannya, dia menyentakkan tanganku. "Maaf. Bukan
itu yang kumaksud. Aku bukannya mengasihanimu.
Tess, aku?"
"Tidak apa-apa," bentaknya. "Itu kebenarannya,
kan? Yah, kau akan segera berkumpul lagi dengan
June. Kalau dia tidak memutuskan kembali pada
~155~
Republik." Dia tahu betapa dingin kata-katanya, tapi dia
tidak berusaha memanis-maniskannya sedikit pun.
"Baxter pikir kalian akan mengkhianati kami, tahu.
Itulah kenapa dia tidak menyukaimu. Dia sudah
berusaha meyakinkan aku akan hal itu sejak pertama
kali aku bergabung. Entahlah mungkin dia benar."
Dia meninggalkanku berdiri sendirian di koridor.
Rasa bersalah mengiris-iris kulitku, merobek pembuluh
darahku. Sebagian diriku marah?aku ingin membela
June dan memberi tahu Tess semua hal yang June
tinggalkan demi aku. Tapi apa Tess benar? Apa aku
hanya menipu diri sendiri?[]
~156~
Semalam aku bermimpi buruk. Aku mimpi Anden
mengampuni Day atas semua kejahatannya. Kemudian,
kulihat kelompok Patriot menyeret Day ke jalanan gelap
dan menembaknya tepat di dada. Razor menoleh padaku
dan berkata, "Hukumanmu, Miss Iparis, karena bekerja sama
dengan Elector." Aku tersentak bangun, berkeringat dan
gemetar tak terkendali.
Satu malam dan siang (spesifiknya, 23 jam) berlalu
sebelum aku melihat Elector lagi. Kali ini aku bertemu
dengannya di ruang deteksi kebohongan.
Sementara para penjaga menggiringku di koridor
menuju sekumpulan jip yang sudah menunggu di luar, aku
mengingat-ingat semua hal yang kupelajari di Drake
tentang bagaimana detektor kebohongan bekerja. Pemeriksa
akan
berusaha
mengintimidasiku;
mereka
akan
menggunakan kelemahan-kelemahanku untuk melawanku.
Mereka akan menggunakan kematian Metias, atau
orangtuaku, atau mungkin bahkan Ollie. Mereka jelas akan
~157~
menggunakan Day. Jadi,aku berkonsentrasi pada koridor
yang kami lalui, memikirkan setiap kelemahanku, lalu
memaksanya masuk jauh ke dalam bagian belakang
pikiranku. Kubungkam mereka semua.
Kami berkendara membelah ibu kota beberapa blok
jauhnya. Kali ini kulihat kota diselimuti kilau setengah
kelabu dari pagi yang bersalju. Para tentara dan buruh
berjalan cepat di trotoar melewati titik-titik cahaya yang
dibuat lampu jalanan di jalan aspal yang licin. JumboTrons
di sini besar, beberapa menjulang tinggi sampai lima belas
lantai, dan pengeras suara yang berjajar di gedung-gedung
lebih baru daripada yang di LA sehingga suara pembaca
beritanya tidak pecah.
Kami melewati Menara Gedung Parlemen. Kupelajari
dindingnya yang licin, betapa lapisan kaca melindungi
setiap balkon sehingga siapa pun yang berpidato akan
terlindungi dengan baik. Elector yang lama pernah diserang
di situ sebelum ada kacanya?seseorang pernah berusaha
menembaknya di lantai empat puluh. Setelah itu, dengan
cepat Republik memasang penghalang. Terdapat garis-garis
bekas basah di JumboTrons Menara yang membuat gambar
di layarnya seperti bengkok-bengkok, tapi aku masih bisa
membaca beberapa berita utama saat kami melewatinya.
Satu berita yang familier menarik perhatianku.
DANIEL ALTAN WING DIEKSEKUSI 26
DESEMBER
OLEH REGU PENEMBAK
Kenapa mereka masih menayangkan berita itu,
sementara berita-berita lain dari waktu yang sama telah
diganti berita yang lebih baru? Mungkin mereka mencoba
meyakinkan rakyat bahwa berita itu benar.
Berita lain lagi melintas.
ELECTOR AKAN UMUMKAN HUKUM BARU
PERTAMA TAHUN INI
HARI INI DI MENARA GEDUNG PARLEMEN
~158~
DENVER
Aku ingin berhenti sejenak dan membaca berita itu lagi
?tapi mobil ini berlalu cepat dan tahu-tahu kami sudah
sampai. Pintu mobil terbuka. Para tentara mencengkeram
lenganku dan menarikku keluar. Segera saja aku ditulikan
oleh teriakan-teriakan dari arah kerumunan penonton dan
lusinan reporter pemerintah yang mengarahkan kamera
kotak kecil mereka padaku. Saat aku mulai mempelajari
orang-orang di sekeliling kami, kusadari bahwa di samping
orang-orang yang berada di sini hanya untuk melihatku,
ada pula orang-orang lain. Banyak orang lain. Mereka
protes di jalanan, meneriakkan hinaan untuk Elector, dan
diseret pergi oleh polisi. Beberapa orang melambaikan
poster-poster buatan tangan di atas kepala mereka, bahkan
ketika para penjaga membawa mereka pergi.
June Iparis Tidak Bersalah! Begitu tulisan di salah satu
poster itu.
Mana Day? Tulis yang lain.
Salah satu penjaga mendorongku maju. "Tak ada yang
perlu dilihat," teriaknya, menyuruhku melangkah cepat di
deretan panjang anak tangga menuju koridor raksasa sebuah
gedung pemerintah. Di belakang kami, keributan dari luar
memudar menjadi gema langkah kaki kami. Sembilan
puluh dua detik kemudian, kami berhenti di depan sederet
pintu kaca luas. Kemudian, seseorang memindai sebuah
kartu ti-pis (besarnya sekitar 90-150 cm, berwarna hitam,
dengan kilauan reflektif dan logo segel emas Republik di
salah satu sudut) pada layar di pintu, lalu kami masuk.
Ruang deteksi kebohongan berbentuk silinder, dengan
atap melengkung rendah dan dua belas tiang perak berderet
di dinding bundar. Para penjaga mengikatku berdiri di
sebuah mesin yang melingkari lengan dan pergelangan
tanganku dengan gelang logam, dan simpul logam dingin
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(empat belas di antaranya) menekan pada leher, pipi, dahi,
telapak tangan dan pergelangan kakiku. Ada banyak tentara
di sini?dua puluh totalnya. Enam dari mereka adalah tim
pemeriksa, dengan ban lengan putih dan berada di ruang
~159~
tertutup berwarna hijau transparan. Pintu ruangan itu
terbuat dari kaca jernih tanpa cacat (di sana ditanamkan
simbol samar setengah lingkaran, yang berarti kaca itu
antipeluru satu arah. Jadi, kalau entah bagaimana aku
menerobos masuk ke situ, para tentara di luar bisa
menembakku menembus kaca, tapi aku tak bisa balas
menembak mereka atau memecahkan kaca dari dalam). Di
luar ruangan terse-but, kulihat Anden berdiri bersama dua
Senator dan 24 penjaga tambahan. Dia tampak tidak
senang, dan sedang terlibat dalam pembicaraan serius
dengan kedua Senator itu, yang berusaha menutupi
ketidaksenangan mereka dengan senyum palsu ala penurut.
"Miss Iparis," kata ketua pemeriksa. Mata wanita itu
berwarna hijau sangat pucat, rambutnya pirang, kulitnya
putih porselen. Dia meneliti wajahku dengan cermat dan
tenang sebelum menekan alat hitam kecil yang dia pegang
di tangannya. "Namaku Dr. Sadhwani. Kami akan
menanyaimu serangkaian pertanyaan. Karena kau dulunya
agen Republik, aku yakin kau mengerti sebaik aku
bagaimana kapabilitas mesin ini. Kami akan menangkap
gerakan terkecil darimu, juga gemetar paling tak kentara
dari tanganmu. Aku sangat menyarankan agar kau
mengatakan yang sebenarnya."
Kata-katanya cuma omongan standar sebelum tes?dia
berusaha meyakinkanku akan kekuatan penuh alat
pendeteksi kebohongan ini. Dia pikir semakin aku takut,
semakin banyak reaksi yang akan kuperlihatkan. Kutatap
matanya. Ambil napas normal perlahan. Mata rileks, mulut
lurus. "Oke," sahutku. "Tak ada apa pun yang
kusembunyikan."
Dokter
itu
menyibukkan
diri
mempelajari
simpulsimpul yang menempel di kulitku, lalu proyeksi
wajahku yang mungkin ditayangkan di sekeliling ruangan di
belakangku. Matanya sendiri dengan gugup melihat
sekeliling, dan butiran kecil keringat membentuk titik-titik
di puncak dahinya. Mungkin dia belum pernah mengetes
musuh negara yang terkenal sebelumnya, dan jelas tidak di
depan orang sepenting Elector.
Seperti yang sudah kuduga, Dr. Sadhwani memulai
dengan pertanyaan sederhana. "Namamu June Iparis?"
~160~
"Ya."
"Kapan ulang tahunmu?"
"Sebelas Juli."
"Dan usiamu?"
"Lima belas tahun, lima bulan, dua puluh delapan
hari." Nada suaraku tetap datar dan tanpa emosi. Tiap kali
aku menjawab, aku berhenti selama beberapa detik dan
membiarkan napasku mendangkal, yang membuat
jantungku berdetak lebih kencang. Jika mereka mengukur
angka fisikku, biar saja mereka melihat ketidakstabilan
selama pertanyaan kontrol. Akan lebih susah mengetahui
kapan saat aku benar-benar berbohong.
"Kau dulu sekolah di SD mana?"
"Harion Gold."
"Dan setelah itu?"
"Yang spesifik," sahutku.
Dr. Sadhwani gentar sesaat, tapi kemudian pulih
kembali. "Baik, Miss Iparis," ujarnya, kali ini dengan
kekesalan pada suaranya. "Kau masuk SMP mana setelah
Harion Gold?"
Kutatap para penonton yang menyaksikanku dari balik
kaca. Kedua Senator menghindari pandanganku dengan
berpura-pura terpesona pada kabel-kabel yang melilitku,
tapi Anden menatap balik tanpa ragu.
"Harion High."
"Untuk berapa lama?"
"Dua tahun."
"Kemudian?"
Kubiarkan temperamenku naik, jadi mereka mungkin
berpikir aku punya masalah dalam mengontrol emosiku
(juga hasil tesku). "Kemudian, aku menghabiskan tiga
tahun di Universitas Drake," bentakku. "Aku diterima saat
umurku dua belas dan lulus waktu aku lima belas, karena
aku memang sangat pintar. Apa itu menjawab pertanyaan
Anda?"
Dr. Sadhwani pasti membenciku sekarang. "Ya,"
katanya tegas.
"Bagus. Sekarang lanjutkan."
Sang Pemeriksa mengatupkan bibir dan menunduk
menatap alat hitamnya sehingga dia tidak perlu melihat
~161~
mataku. "Pernahkah kau berbohong?" tanyanya.
Ternyata dia pindah ke pertanyaan yang lebih
kompleks. Kupercepat napasku lagi. "Ya."
"Pernahkah kau membohongi pejabat pemerintah atau
militer?"
"Ya."
Tepat setelah menjawab pertanyaan itu, kulihat
serangkaian percikan aneh di tepi penglihatanku. Aku
mengerjap dua kali. Mereka menghilang, dan ruangan ini
kembali fokus. Selama sedetik aku ragu?tapi saat Dr.
Sadhwani menangkap hal ini dan mengetikkan sesuatu di
alatnya, kupaksa diriku kembali menjadi wadah kosong.
"Pernahkah kau membohongi profesormu di Drake?"
"Tidak."
"Pernahkah kau membohongi kakakmu?"
Mendadak, ruangan ini lenyap. Satu gambar
berkilauan menggantikannya?sebuah ruang keluarga yang
familier bermandikan cahaya siang yang hangat perlahan
menjadi fokus, dan seekor anjing putih tidur di sebelah
kakiku. Seorang remaja tinggi berambut gelap duduk di
sampingku dengan lengan terlipat. Itu Metias. Dahinya
berkerut dan dia mencondongkan tubuh dengan siku di
lututnya.
"Pernahkah kau membohongiku, June?"
Aku mengerjap terguncang pada pemandangan itu. Ini
semua palsu, kataku pada diri sendiri. Detektor kebohongan
itu membangkitkan ilusi-ilusi yang didesain untuk
meruntuhkan pertahananku. Kudengar, alat semacam ini
digunakan di dekat medan perang, di mana sebuah mesin
bisa menyimulasi serangkaian peristiwa untuk dimainkan
dalam pikiranmu dengan mengopi kemampuan otak untuk
menciptakan mimpi yang bagaikan hidup. Tapi, Metias
terlihat sangat nyata, rasanya seolah aku bisa menjulurkan
tangan dan menyelipkan rambut gelapnya di belakang
telinga, atau merasakan tangan kecilku di dalam
genggamannya. Aku hampir percaya aku ada di ruangan itu
bersamanya. Kupejamkan mata, tapi gambaran itu masih
ditanamkan dalam pikiranku, secerah cahaya siang.
"Ya," kataku. Itu kenyataannya. Mata Metias melebar
~162~
dalam keterkejutan dan kesedihan, kemudian dia lenyap
bersama Ollie dan sisa apartemen kami. Aku kembali ke
tengah-tengah ruang detektor kebohongan yang kelabu,
berdiri di depan Dr. Sadhwani sementara dia mencatat
beberapa catatan lagi. Dia memberiku anggukan setuju
karena menjawab benar. Kucoba memantapkan tanganku
yang tetap terkepal dan gemetar di pinggang.
"Sangat bagus," gumam Dr. Sadhwani beberapa saat
kemudian.
Kata-kataku terdengar sedingin es. "Apa Anda
berencana menggunakan kakakku untuk semua sisa
pertanyaan ini?"
Dia mengalihkan pandangan dari catatannya lagi. "Kau
melihat kakakmu?" Dia tampak lebih rileks sekarang, dan
keringat di dahinya sudah hilang.
Jadi, mereka tidak bisa mengontrol visi apa yang
muncul, dan mereka tidak bisa melihat apa yang kulihat.
Tapi, mereka bisa merangsang sesuatu yang memaksa
memorimemori ini muncul ke permukaan. Kujaga kepalaku
tetap tinggi dan mataku tetap terarah ke dokter itu. "Ya."
Pertanyaannya berlanjut. Tahun ke berapa yang kau
lewati di Drake? Tahun kedua. Berapa banyak peringatan
akan tingkah lakumu yang kau terima saat kau di Drake?
Delapan belas. Sebelum kematian kakakmu, pernahkah kau
berpikir negatif tentang Republik? Tidak.
Terus dan terus. Aku sadar, dia berusaha membuat
otakku tidak peka, membuat pertahananku merendah
sehingga dia bisa melihat reaksi fisik saat dia menanyakan
sesuatu yang relevan. Dua kali lagi aku melihat Metias.
Tiap kali itu terjadi, aku menghela napas panjang dan
memaksa diri menghadapinya selama beberapa detik.
Mereka terusterusan menanyaiku tentang bagaimana aku
kabur dari Patriot, untuk apa misi pengeboman itu
dilakukan. Kuulangi apa yang kukatakan pada Anden saat
kami makan malam. Sejauh ini bagus. Detektor itu bilang
aku mengatakan yang sebenarnya.
"Apa Day hidup?"
Kemudian,Day mewujud di depanku. Dia berdiri
hanya beberapa meter jauhnya, dengan mata biru terang
~163~
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bagai cermin sampai aku bisa melihat diriku di
dalamnya. Cengiran ringan mencerahkan wajahnya saat dia
melihatku. Mendadak aku sangat merindukannya sampai
aku merasa mau jatuh. Dia tidak nyata. Ini semua cuma
simulasi. Kujaga agar napasku tetap mantap. "Ya."
"Kenapa kau menolong Day kabur, padahal kau tahu
dia buron karena melakukan banyak kejahatan melawan
Republik? Mungkin kau punya perasaan padanya?"
Pertanyaan berbahaya. Kukeraskan hati untuk
menjawabnya. "Tidak. Aku cuma tidak mau dia mati di
tanganku karena kejahatan yang tidak dia lakukan."
Sang Dokter berhenti menulis catatan sejenak untuk
mengangkat sebelah alis ke arahku. "Kau mengambil risiko
sangat besar untuk seseorang yang hampir tidak kau kenal."
Aku menyipitkan mata. "Kata-kata itu tidak cukup
untuk menggambarkannya. Mungkin Anda harus
menunggu sampai seseorang hampir dieksekusi untuk
sebuah kesalahan yang Anda lakukan."
Dia tidak merespons ketajaman kata-kataku. Ilusi Day
menghilang. Aku mendapat beberapa pertanyaan kontrol
yang tidak relevan lagi, kemudian: "Apa kau dan Day
berafiliasi dengan kelompok Patriot?"
Day muncul lagi. Kali ini dia mencondongkan tubuh
cukup dekat sampai rambutnya, selembut sutra, menyapu
pipiku. Dia menarikku ke arahnya dan menciumku lama.
Pemandangan itu menghilang, digantikan dengan kasar
oleh malam berbadai dan Day berjuang dalam hujan, darah
menetes dari kakinya dan meninggalkan jejak di
belakangnya. Dia jatuh berlutut di depan Razor sebelum
seluruh adegan itu menghilang lagi. Kuupayakan agar
suaraku mantap. "Dulu aku iya."
"Apakah akan ada percobaan pembunuhan pada
Elector kita yang agung?"
Tak ada gunanya bagiku berbohong untuk yang satu
ini. Kubiarkan tatapanku bertemu Anden, yang
mengangguk padaku sebagai dorongan. "Ya."
"Dan, apakah kelompok Patriot sadar kau mengetahui
rencana pembunuhan mereka?"
~164~
"Tidak."
Dr. Sadhwani memandang kolega-koleganya, lalu
setelah beberapa detik dia mengangguk dan kembali beralih
padaku. Detektor itu bilang, aku mengatakan yang
sebenarnya. "Apa tentara yang dekat dengan Elector yang
mungkin mendukung percobaan pembunuhan ini?"
"Ya."
Beberapa detik lagi dalam keheningan sementara dia
dan koleganya mengecek jawabanku. Lagi, dia mengangguk.
Kali ini dia berputar untuk menatap Anden dan para
Senatornya. "Dia mengatakan yang sebenarnya."
Anden balas mengangguk. "Bagus," ujarnya, suaranya
teredam kaca. "Tolong lanjutkan." Kedua Senator tetap
melipat lengan, bibir mereka terkatup rapat.
Pertanyaan-pertanyaan Dr. Sadhwani tak henti-henti,
menenggelamkanku dalam semburan kata-kata tanpa akhir.
Kapan percobaan pembunuhan itu dilaksanakan? Pada rute
yang sudah direncanakan untuk Elector saat beliau pergi ke
Kota Lamar, Colorado. Kau tahu di mana Elector akan
aman? Ya. Seharusnya beliau pergi ke mana alih-alih ke sana?
Ke kota perbatasan yang lain. Apakah Day akan ambil
bagian dalam percobaan pembunuhan ini? Ya. Kenapa dia
terlibat? Dia berutang pada Patriot karena telah
mengoperasi kakinya yang terluka.
"Lamar," gumam Dr. Sadhwani sementara dia
mengetikkan lebih banyak catatan ke dalam alat hitamnya.
"Kurasa Elector akan mengganti rutenya."
Bagian rencana, yang ini telah sukses dilaksanakan.
Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu berakhir. Dr.
Sadhwani berpaling dariku untuk bicara dengan yang lain,
sementara aku mengembuskan napas dan terkulai di mesin
detektor. Aku telah diperiksa di sini selama dua jam lima
menit. Pandanganku bertemu dengan Anden. Dia masih
berdiri di dekat pintu kaca, kedua sisinya dikelilingi tentara,
lengannya terlipat erat di depan dada.
"Tunggu," ujarnya. Para pemeriksa berhenti sejenak
dari diskusi mereka untuk menengadah menatap Elector.
~165~
"Aku punya pertanyaan terakhir untuk tamu kita."
Dr. Sadhwani mengerjap dan melambai padaku.
"Tentu saja, Elector. Silakan."
Anden berjalan mendekat ke kaca yang memisahkan
kami. "Kenapa kau menolongku?"
Kutekan bahuku, lalu kutatap dia. "Karena aku ingin
dimaafkan."
"Apa kau setia pada Republik?"
Mozaik memori terakhir berubah fokus. Kulihat diriku
memegang tangan kakakku di jalanan sektor Ruby kami,
lengan kami terangkat untuk memberi hormat ke
JumboTrons sementara kami mengucapkan sumpah. Ada
wajah Metias, senyumnya, dan juga tatap tegang dan
khawatirnya pada malam terakhir aku melihatnya. Kulihat
bendera Republik pada pemakaman kakakku. Entri blog
rahasia Metias di Internet melintas cepat di mataku?katakatanya tentang peringatan, kemarahannya pada Republik.
Kulihat Thomas mengarahkan senapan pada ibu Day;
kulihat kepala wanita itu tersentak ke belakang gara-gara
peluru. Dia roboh. Itu kesalahanku. Kulihat Thomas
memegangi kepalanya di ruang interogasi, tersiksa, sebegitu
butanya menuruti perintah, selamanya terpenjara akan apa
yang telah dia lakukan.
Aku tidak setia lagi. Masihkah aku setia? Aku di sini di
ibu kota Republik, menolong kelompok Patriot membunuh
Elector baru. Pria yang dulu kuberi sumpah setiaku. Aku
akan membunuhnya, lalu aku akan kabur. Aku tahu
detektor
kebohongan
itu
akan
menunjukkan
pengkhianatanku?perhatianku teralihkan, aku mengalami
dilema karena aku ingin memperbaiki segalanya bersama
Day, tapi aku juga benci meninggalkan Republik dalam
belas kasih Patriot.
Rasa ngeri merayapiku. Itu semua cuma gambaran.
Cuma memori. Aku tetap diam sampai detak jantungku
stabil. Aku memejamkan mata, menghela napas panjang,
lalu membukanya lagi. "Ya," kataku. "Aku setia pada
Republik."
Kutunggu detektor kebohongan itu menyala merah,
berbunyi bip, menunjukkan bahwa aku berbohong. Tapi
~166~
mesin itu tetap diam. Dr. Sadhwani menunduk dan
mengetik di alatnya.
"Dia mengatakan yang sebenarnya," akhirnya Dr.
Sadhwani berkata.
Aku lulus. Aku tak percaya. Mesin itu bilang aku
mengatakan yang sebenarnya. Tapi itu kan, cuma mesin.
Malamnya, aku duduk di pinggir tempat tidur dengan
kepala bertumpu di tangan. Borgol masih menjuntai dari
pergelangan tanganku, tapi selain itu, aku bebas
berjalanjalan. Terkadang, aku masih bisa mendengar suara
percakapan teredam di luar kamar. Para penjaga itu masih
ada di sana.
Aku sangat lelah. Seharusnya secara teknis tidak,
berhubung aku tidak melakukan aktivitas fisik yang
menegangkan sejak aku pertama kali ditangkap. Namun,
pertanyaan-pertanyaan Dr. Sadhwani berputar di
pikiranku, bercampur dengan hal-hal yang Thomas katakan
padaku. Semua itu menghantuiku sampai aku harus
memegangi kepalaku dalam upaya untuk menangkal sakit
kepala ini. Di suatu tempat di luar sana, pemerintah sedang
berdebat apakah mereka seharusnya mengampuniku atau
tidak. Aku gemetar sedikit meski kutahu kamar ini hangat.
Gejala klasik akan sakit, pikirku suram. Mungkin
wabah. Ironi itu mengirim setitik kesedihan?dan
ketakutan? padaku. Tapi aku sudah divaksinasi. Mungkin
cuma flu?bagaimanapun, Metias selalu bilang aku agak
sensitif terhadap perubahan cuaca.
Metias. Sekarang aku sendirian, dan kubiarkan diriku
cemas. Jawaban terakhirku dalam tes detektor kebohongan
tadi seharusnya membuat mesin itu menyala merah. Tapi
ternyata tidak. Apa itu berarti tanpa kusadari aku masih
setia pada Republik? Mungkin mesin itu bisa merasakan
keraguanku tentang rencana pembunuhan itu.
Namun, kalau aku memutuskan untuk tidak
memainkan peranku, apa yang akan terjadi pada Day? Aku
butuh cara untuk mengontaknya tanpa Razor tahu. Setelah
itu apa? Day pasti tidak akan melihat Elector seperti caraku
melihatnya. Dan di samping itu, aku tak punya rencana
~167~
cadangan. Berpikir, June. Aku harus menemukan alternatif
yang bisa membuat kami semua tetap hidup.
Kalau kau ingin memberontak, Metias pernah bilang,
memberontaklah dari dalam sistem. Aku terus memikirkan
itu dalam benakku, walaupun rasa menggigil membuatku
sulit berkonsentrasi.
Tiba-tiba aku mendengar keributan di luar. Ada suara
hak sepatu dihentakkan cepat bersamaan, pertanda seorang
pejabat datang untuk menemuiku. Aku menunggu tanpa
suara. Kenop pintu akhirnya berputar. Anden masuk.
"Elector, Sir, apa Anda yakin tidak ingin ditemani
beberapa penjaga?"
Anden hanya menggelengkan kepala dan melambaikan
tangan ke arah para tentara di luar. "Tolong, jangan persulit
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirimu sendiri," katanya. "Aku mau bicara secara pribadi
dengan Miss Iparis. Hanya butuh beberapa menit."
Katakatanya mengingatkan aku pada kata-kataku sendiri
saat aku mengunjungi Day di selnya di Aula Batalla dulu.
Serdadu itu memberi Anden hormat cepat dan
menutup pintu, meninggalkan kami berdua saja. Aku
menengadah dari tempatku duduk di pinggir tempat tidur.
Borgol yang mengikat tanganku bergerincing dalam
keheningan. Sang Elector tidak mengenakan pakaian
formalnya yang biasa. Dia memakai mantel hitam panjang
dengan strip merah yang membelah bagian depannya
sampai ke bawah. Sisa pakaiannya yang lain simpel tapi
elegan (kemeja hi-tam, rompi gelap dengan enam kancing
berkilauan, celana panjang hitam, sepatu bot pilot hitam).
Rambutnya mengilap dan disisir rapi. Sebuah pistol
menggantung di pinggangnya, tapi dia takkan bisa cukup
cepat menariknya untuk menembakku kalau aku
memutuskan untuk menyerangnya. Dia terang-terangan
berusaha menunjukkan rasa percayanya padaku.
Razor pernah memberitahuku, kalau aku menemukan
momen untuk membunuh Anden sendiri, seharusnya aku
melakukannya. Ambil kesempatan itu. Tapi sekarang dia di
sini, secara mengejutkan tanpa pertahanan di hadapanku,
dan aku tidak bergerak sedikit pun. Di samping itu, kalau
aku mencoba membunuhnya di sini, tak ada peluang aku
akan melihat Day lagi?atau bertahan hidup.
~168~
Anden duduk di sampingku, dengan hati-hati
menyisakan jarak di antara kami. Mendadak aku malu
dengan penampilanku?malas dan lelah, dengan rambut
tak tertata dan pakaian malam, duduk di samping pangeran
tampan Republik. Namun, aku tetap menegakkan tubuh
dan mengangkat kepalaku ke atas seanggun yang kubisa.
Aku June Iparis, kuingatkan diriku. Takkan kubiarkan dia
melihat kekacauan yang kurasakan.
"Aku ingin memberitahumu bahwa kau benar," dia
memulai. Ada kehangatan yang jujur dalam suaranya. "Dua
tentara dalam pasukan penjagaku menghilang tadi siang.
Kabur."
Dua anggota Patriot yang merupakan umpan telah
kabur sebagaimana direncanakan. Aku mendesah dan
memberinya tatapan lega yang sudah kupersiapkan, untuk
jaga-jaga seandainya Razor menonton. "Di mana mereka
sekarang?"
"Kami tidak yakin. Mata-mata kami sedang berusaha
melacak mereka." Sejenak, Anden menggosok-gosokkan
kedua tangannya yang bersarung tangan. "Komandan
DeSoto telah menunjuk rotasi tentara baru yang akan
mendampingi kami."
Razor. Dia telah menempatkan tentaranya sendiri,
perlahan-lahan bergerak untuk pembunuhan itu.
"Aku ingin berterima kasih atas bantuanmu, June,"
Anden melanjutkan. "Dan, aku ingin minta maaf atas tes
detektor kebohongan yang harus kau jalani. Aku tahu itu
pasti tidak menyenangkan bagimu, tapi itu penting.
Bagaimanapun, aku senang dengan jawaban-jawaban
jujurmu. Kau akan di sini bersama kami selama beberapa
hari lagi, sampai kami yakin bahaya rencana Patriot sudah
berlalu. Mungkin kami masih punya beberapa pertanyaan
untukmu. Setelah itu, kami akan mencari cara untuk
memasukkanmu kembali ke jajaran tentara Republik."
"Terima kasih," ujarku meski kata-kata itu tidak
bermakna.
Anden mencondongkan tubuh. "Aku serius dengan apa
yang kukatakan pada makan malam kita," bisiknya, katakatanya keluar cepat dan mulutnya hampir tidak bergerak.
Dia
gugup.
Ketakutan
mendadak
tiba-tiba
~169~
mencengkeramku?kusentuhkan satu jari di bibir dan
kuberi dia pandangan tajam. Matanya melebar, tapi dia
tidak menghindar. Dengan lembut dia menyentuh daguku,
lalu menarikku ke arahnya seolah-olah dia mau menciumku.
Dia menghentikan bibirnya tepat di samping bibirku,
membiarkan bibirnya menyentuh sedikit kulit pipi
bawahku. Rasa kesemutan menjalari punggungku, dan
bersamaan dengan itu, rasa bersalah terpendam.
"Dengan begini, kamera takkan tahu apa yang kita
bicarakan," bisiknya. Ini memang cara yang lebih baik
untuk bicara secara pribadi. Jika ada penjaga menjengukkan
kepala dari pintu, pemandangan ini akan terlihat seperti
Anden sedang menciumku alih-alih berbisik padaku.
Rumor yang lebih aman untuk menyebar. Dan, kelompok
Patriot hanya akan berpikir aku menjalankan rencana
mereka dengan baik.
Napas Anden terasa hangat di kulitku. "Aku butuh
bantuanmu," desisnya. "Kalau kau sudah diampuni atas
semua kejahatanmu melawan Republik dan dibebaskan, apa
kau bisa mengontak Day? Atau hubunganmu dengannya
telah usai sekarang karena kau tidak bersama Patriot lagi?"
Aku menggigit bibir. Cara Anden mengatakan
hubungan membuatnya terdengar seperti dia pikir pernah
ada sesuatu antara Day dan aku. Pernah.
"Kenapa kau ingin aku mengontaknya?" tanyaku.
Suaranya mengandung desakan samar perintah yang
membuatku merinding. "Kau dan Day adalah orang yang
paling dielu-elukan di Republik. Kalau aku bisa bekerja
sama dengan kalian berdua, aku bisa memenangkan hati
rakyat. Kemudian, alih-alih menekan pemberontakan dan
berusaha menjaga berbagai hal dari kejatuhan, aku bisa
berkonsentrasi untuk menerapkan perubahan yang negara
ini butuhkan."
Aku merasa pusing. Ini sangat mendadak,
mengejutkan, dan bahkan untuk sesaat aku tak bisa
memikirkan respons yang bagus. Anden mengambil risiko
besar dengan bicara padaku seperti ini. Aku menelan ludah,
pipiku masih terasa membara karena posisinya yang begitu
dekat denganku. Aku bergeser sedikit sehingga bisa
menatap matanya. "Kenapa kami harus percaya padamu?"
~170~
kataku, suaraku mantap. "Apa yang membuatmu berpikir
Day ingin membantumu?"
Mata Anden jernih dengan tujuan yang pasti. "Aku
akan mengubah Republik, dan aku akan memulainya
dengan membebaskan adik Day."
Mulutku mengering. Mendadak aku berharap kami
bicara cukup keras sehingga Day mendengarnya. "Kau akan
membebaskan Eden?"
"Dari awal, tidak seharusnya dia ditahan. Aku akan
membebaskannya bersama orang-orang lain yang
dimanfaatkan di medan perang."
"Di mana dia?" bisikku. "Kapan kau?"
"Eden telah berpindah-pindah di sepanjang medan
perang selama beberapa minggu belakangan. Ayahku
membawanya, bersama lusinan yang lain, sebagai bagian
dari prakarsa perang baru. Pada dasarnya, mereka akan
digunakan sebagai senjata biologis hidup." Wajah Anden
menggelap. "Aku akan menghentikan kegilaan ini. Besok
aku akan mengeluarkan perintah?Eden akan dibawa dari
medan perang dan dirawat di rumah sakit."
Ini baru. Ini mengubah segalanya.
Aku harus mencari cara untuk memberi tahu Day so-al
pembebasan Eden, sebelum dia dan kelompok Patriot
membunuh seseorang yang memiliki kekuatan untuk
membebaskannya. Bagaimana cara terbaik untuk
berkomunikasi dengannya? Kelompok Patriot pasti menonton
semua gerakanku dari kamera, pikirku, membiarkan benakku
bekerja. Aku perlu memberinya sinyal. Wajah Day muncul
dalam pikiranku dan aku ingin berlari ke arahnya. Aku
sangat ingin memberitahunya berita baik ini.
Apa ini berita baik? Sisi praktisku menarikku,
memperingatkanku untuk memahami ini pelan-pelan.
Anden mungkin berbohong, dan semua ini bisa saja
jebakan.
Tapi,kalau ini cuma usaha lain untuk menangkap Day, lalu
kenapa dia tidak mengancam untuk membunuh Eden saja?
Itu akan membuat Day keluar dari persembunyian.
Namun, dia malah membiarkan Eden pergi.
Anden menunggu dengan sabar sementara aku
terdiam. "Aku perlu Day untuk memercayaiku," bisiknya.
~171~
Kulingkarkan lenganku di lehernya dan kugerakkan
bibirku lebih dekat ke telinganya. Aroma Anden seperti
kayu cendana dan wol bersih. "Aku akan mencari cara
untuk menghubungi dan membujuk Day. Tapi, kalau kau
membebaskan adiknya, dia akan memercayaimu," aku balas
berbisik.
"Aku juga akan mendapatkan kepercayaanmu. Aku
ingin kau percaya padaku. Aku percaya pada-mu. Aku telah
percaya padamu sejak lama." Dia diam sejenak. Napasnya
kini lebih cepat, dan tatapannya tiba-tiba berubah. Hilang
sudah sensasi wibawanya yang dingin tadi. Saat ini dia
hanyalah seorang pria muda, seorang manusia, dan percikan
di antara kami terlalu besar. Dalam sekejap, dia menolehkan
wajah dan mengecupku.
Aku memejamkan mata. Rasanya sangat ringan.
Membuatku mendambakannya. Ciuman Day membara dan
terkadang mengandung kemarahan dan keputusasaan.
Namun ciuman Anden mengandung keanggunan halus, ciri
aristokrat, kekuatan, serta elegan. Rasa senang dan malu
menghantamku. Apakah Day melihat ini dari kamera?
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemikiran itu menikamku.
Ciuman itu bertahan selama beberapa detik saja,
kemudian Anden menarik diri. Aku mengembuskan napas,
membuka mata, dan membiarkan pandanganku kembali
fokus. Dia telah menghabiskan cukup waktu di sini?lebih
lama lagi dan para penjaga di luar mungkin akan mulai
khawatir.
"Maaf telah mengganggumu," katanya, menundukkan
kepala sedikit sebelum berdiri dan meluruskan mantelnya.
Dia kembali ke naungan sikap formal, tapi ada sedikit
kecanggungan dalam sikap berdirinya, dan ada seulas
senyum tipis di sudut bibirnya. "Beristirahatlah. Kita akan
bicara lagi besok."
Setelah dia pergi dan kamar ini kembali jatuh ke dalam
keheningan pekat, aku bergelung dengan lutut di daguku.
Kubiarkan pikiranku dipenuhi apa yang baru Anden
katakan padaku, dan jemariku terus-terusan mengusap
cincin penjepit kertas di tanganku. Kelompok Patriot ingin
Day dan aku bergabung dengan mereka untuk membunuh
Elector
muda
ini.
Menurut
mereka,
dengan
~172~
membunuhnya, kami akan menyulut api revolusi yang akan
membebaskan kami dari Republik. Bahwa kami bisa
membawa kembali kejayaan Amerika Serikat yang lama.
Tapi, apa artinya itu? Apa yang dimiliki Amerika Serikat
yang tidak bisa Anden berikan? Kebebasan? Kedamaian?
Kemakmuran? Akankah Republik menjadi negara yang
penuh gedung-gedung pencakar langit yang menyala,
bersih dan indah, juga penuh sektor-sektor kaya?
Kelompok Patriot telah menjanjikan pada Day untuk
menemukan adiknya dan menolong kami kabur ke Koloni.
Namun, jika Anden bisa melakukan semua hal ini dengan
dukungan yang tepat dan tekad yang benar, jika kami tidak
perlu lari ke Koloni, untuk apa pembunuhan ini dilakukan?
Anden tidak mirip ayahnya sedikit pun. Tindakan resmi
pertamanya sebagai Elector bukan sesuatu seperti yang
ayahnya lakukan dulu?dia akan membebaskan Eden,
bahkan mungkin menghentikan eksperimen wabah. Jika
kami membiarkan Anden tetap berkuasa, mungkinkah dia
bisa mengubah Republik menjadi lebih baik? Tidakkah dia
akan menjadi katalis yang Metias harapkan dalam entrientri jurnalnya yang memberontak?
Ada masalah yang lebih besar yang tidak bisa
kumengerti. Setidaknya Razor pasti tahu, bahwa Anden
bukan diktator seperti ayahnya. Bagaimanapun, jabatan
Razor cukup tinggi untuk mendengar rumor tentang watak
memberontak Anden. Razor telah memberi tahu Day dan
aku bahwa Kongres tidak menyukai Anden ... tapi dia tak
pernah bilang kenapa mereka berselisih.
Kenapa Razor ingin membunuh Elector muda yang
akan membantu Patriot mendirikan Republik baru?
Di tengah pikiranku yang berputar-putar, ada satu hal
yang tetap jelas.
Sekarang, aku tahu pasti kesetiaanku untuk siapa. Aku
tak akan membantu Razor membunuh Elector. Tapi, aku
harus memperingatkan Day sehingga dia tidak mengikuti
rencana Patriot begitu saja.
Aku butuh isyarat.
Kemudian, kusadari mungkin ada satu cara untuk
melakukannya, jika Day menonton rekamanku bersama
~173~
anggota Patriot yang lain. Dia takkan tahu kenapa aku
melakukan ini, tapi ini lebih baik daripada tidak sama
sekali. Kurendahkan kepalaku sedikit, lalu kuangkat
tanganku yang ada cincin penjepit kertasnya. Kutekankan
dua jari di pinggir dahiku. Isyarat yang kami setujui waktu
kami pertama kali tiba di jalanan Vegas.
Berhenti.[]
~174~
MALAMNYA,
AKU PERGI KE RUANG KONFERENSI
utama dan bergabung dengan yang lain untuk
mendengar fase berikutnya misi kami. Razor kembali
lagi. Empat anggota Patriot melanjutkan bekerja dalam
kelompok yang lebih kecil di sudut ruangan. Dari apa
yang kulihat, kebanyakan dari mereka adalah Hacker
yang sedang menganalisis bagaimana pengeras suara
yang ditempelkan di beberapa bangunan atau apalah.
Aku mulai mengenali beberapa dari mereka?salah
seorang Hacker botak dan bongsor seperti tank, tapi
sedikit pendek; yang lainnya memiliki hidung raksasa di
antara mata bulan sabit di wajah yang sangat kurus;
yang ketiga adalah seorang gadis yang kehilangan
sebelah mata. Hampir setiap orang punya bekas luka
semacam itu.
~175~
Perhatianku teralih pada Razor, yang sedang bicara
di depan kerumunan. Sosoknya dibingkai dalam cahaya,
dengan peta dunia membentang di belakangnya.
Kujulurkan leher untuk melihat apakah aku bisa
menemukan Tess berkeliaran dengan yang lain di sini,
lalu mengajaknya bicara secara pribadi dan berusaha
meminta maaf. Tapi, saat akhirnya aku melihatnya, dia
sedang berdiri bersama beberapa Paramedis-dalampelatihan yang lain, memegang semacam daun herbal di
telapak tangannya dan dengan sabar menjelaskan
bagaimana pemanfaatan daun itu. Kelihatannya saat ini
dia tidak butuh aku. Pemikiran itu membuatku sedih
dan anehnya, tak nyaman.
"Day!" Tess akhirnya melihatku. Kubalas sapaannya
dengan melambai cepat.
Dia berjalan ke arahku, lalu mengeluarkan dua pil
dan segulung kecil perban bersih dari sakunya. Dia
menggenggamkan benda-benda itu ke tanganku.
"Malam ini tetaplah selamat, oke?" ujarnya tanpa
bernapas seraya memberiku tatapan tegas. Tak ada
tanda-tanda ketegangan di antara kami sebelumnya.
"Aku tahu bagaimana kau saat adrenalinmu terpacu.
Jangan lakukan sesuatu yang kelewat gila." Tess
mengangguk pada pil-pil biru di tanganku. "Obat itu
akan menghangatkanmu kalau di luar terlalu dingin."
Sumpah, dia selalu saja bertingkah seolah cukup
tua untuk jadi pengasuhku. Kekhawatiran Tess
meninggalkan perasaan hangat di perutku. "Trims,
Sepupu," balasku, memasukkan hadiahnya ke dalam
saku. "Hei, aku?"
Dia menghentikan permintaan maafku dengan
meletakkan sebelah tangan di lenganku. Matanya
selebar biasa, sangat menenteramkan sampai aku
berharap dia bisa ikut bersamaku. "Sudahlah. Hanya
saja ... berjanjilah kau akan hati-hati."
Dia sangat cepat memaafkan. Benarkah dia
mengatakan hal-hal buruk itu waktu kami bertengkar?
Apa dia masih marah? Aku mencondongkan tubuh dan
memberinya pelukan singkat. "Aku janji. Dan kau sendiri
harus selamat." Dia meremas pergelangan tanganku
~176~
sebagai respons, lalu pergi untuk bergabung kembali
dengan kelompok Paramedis muda sebelum aku
mencoba minta maaf lagi.
Setelah dia berlalu, kualihkan perhatian kembali
pada Razor. Dia menunjuk sebuah video kabur yang
menampilkan jalanan dekat jalur rel kereta api Lamar
yang dulu pernah Kaede dan aku lewati. Sepasang
tentara terburu-buru melintas di layar, kerah mereka
ditegakkan melawan hujan es, masing-masing dari
mereka mengunyah empanada6 mengepul. Melihat itu,
mulutku berair. Makanan kaleng Patriot memang
mewah, tapi ya ampun, apa yang tidak akan kuberikan
untuk sebuah pastel daging panas?
"Pertama-tama, aku ingin meyakinkan kalian
semua lagi bahwa rencana kita ada pada jalur yang
benar," kata Razor. "Agen kita telah berhasil bertemu
Elector dan memberi tahu dia rencana pembunuhan
palsu kita." Dengan jarinya, dia melingkari sebuah
daerah di layar. "Awalnya, Elector telah direncanakan
untuk mengunjungi San Angelo dalam tur dukungan
morilnya, lalu menuju kemari ke Lamar. Sekarang,
rencananya berubah dan dia akan pergi ke Pierra.
Beberapa tentara kita akan mengawal Elector
menggantikan tentaranya yang asli." Tatapan Razor
tertuju ke arahku, lalu dia memberi isyarat ke layar dan
tidak bicara lagi.
Sebuah video menggantikan pemandangan jalur rel
kereta api Lamar yang kabur itu. Sekarang, kami
melihat rekaman sebuah kamar tidur. Hal pertama yang
kuperhatikan adalah satu sosok langsing duduk di
pinggir tempat tidur, lututnya di bawah dagu. June? Tapi
kamar ini bagus?jelas sekali tidak tampak seperti sel
tahanan bagiku?dan tempat tidurnya terlihat lembut
dan dilapisi selimut tebal. Aku akan melakukan apa saja
untuk bisa memiliki selimut seperti itu waktu aku masih
di Lake.
Empanada: Sejenis pastel.
Seseorang mencengkeram lenganku. "Hei. Kau di
sini, Hebring." Pascao berdiri di sampingku, cengiran
~177~
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ceria permanennya meliputi seluruh wajahnya. Mata
kelabu pucatnya penuh ketegangan.
"Hei," sahutku, memberinya anggukan singkat
sebagai sapaan sebelum kembali mengalihkan
perhatian ke layar. Razor sudah mulai memberi arahan
umum pada grup ten-tang fase selanjutnya rencana
kami, tapi Pascao menarik lengan bajuku lagi.
"Kau, aku, dan beberapa Buronan lain akan pergi
dalam beberapa jam." Matanya mengerjap cepat ke
arah video sebelum kembali terarah padaku. "Dengar.
Razor ingin aku memberitahukan susunan acara yang
lebih khusus pada kruku, berbeda dengan yang sedang
dia jelaskan pada yang lain. Aku baru saja menjelaskan
secara singkat pada Baxter dan Jordan."
Aku hampir tidak memperhatikan Pascao lagi
karena sekarang aku tahu sosok mungil di tempat tidur
itu June. Itu pasti dia, dengan caranya mendorong
rambut ke belakang bahu dan menganalisis kamar itu
dengan pandangan menyeluruh. Dia mengenakan
pakaian malam yang kelihatannya sangat nyaman, tapi
dia menggigil seolah kamar itu dingin. Benarkah kamar
tidur elegan itu sel tahanannya? Kata-kata Tess
terngiang kembali.
Day, kau lupa? June membunuh ibumu.
Pascao menarik lenganku lagi dan memaksaku
menghadapinya, lalu memimpinku ke bagian belakang
kerumunan. "Dengar, Day," dia berbisik lagi. "Ada
muatan yang akan datang ke Lamar malam ini dengan
kereta api. Muatan itu akan membawa segerbong
penuh senapan, peralatan, makanan, dan entah apa
lagi untuk para tentara di medan perang, juga
seperangkat perlengkapan lab. Kita akan mencuri
beberapa perbekalan dan menghancurkan segerbong
penuh granat. Itulah misi kita malam ini."
Sekarang, June bicara pada penjaga yang berdiri di
dekat pintu, tapi aku hampir tidak bisa mendengar dia.
Razor sudah selesai bicara pada seisi ruangan dan
sekarang tenggelam dalam percakapan serius dengan
dua anggota Patriot lain. Terkadang, keduanya
mengedik ke layar, kemudian menunjukkan sesuatu di
telapak tangan mereka.
~178~
"Kenapa kita meledakkan segerbong penuh
granat?" tanyaku.
"Misi ini adalah pembunuhan umpan. Tadinya
Elector dijadwalkan akan kemari, ke Lamar, setidaknya
sebelum June bicara dengannya. Misi kita malam ini
akan meyakinkan Elector, kalau dia belum yakin, bahwa
June mengatakan yang sebenarnya. Plus, misi itu akan
jadi peluang bagus untuk mencuri beberapa granat."
Pascao menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan
keriangan yang hampir seperti maniak. "Mmm.
Nitrogliserin7." Sebelah alisku terangkat. "Aku dan tiga
Buronan lain akan mengurus keretanya, tapi kami akan
butuh Buronan spesial untuk mengalihkan perhatian
para tentara dan penjaga."
Nitrogliserin: Senyawa kimia yang digunakan sebagai cairan
peledak berat, tak berwarna, beracun, serta berminyak. (sumber:
Wikipedia)
"Apa maksudmu, spesial?"
"Maksudku," kata Pascao tajam, "inilah kenapa
Razor memutuskan untuk merekrutmu, Day. Ini peluang
pertama kita untuk menunjukkan pada Republik bahwa
kau hidup. Itulah kenapa Kaede menyuruhmu
menghilangkan cat rambutmu. Saat beritanya tersebar,
bahwa kau terlihat di Lamar sedang membongkar
kereta Republik, masyarakat akan menggila. Kriminalis
cilik paling terkenal di Republik masih hidup dan
berkeliaran, bahkan setelah pemerintah mencoba
mengeksekusinya? Kalau itu tidak menyulut rasa
memberontak masyarakat, tak ada lagi yang bisa. Itulah
tujuan kita?kekacauan. Pada waktu kita selesai, publik
akan sangat terpancing olehmu sampai mereka akan
tergiur melakukan revolusi. Atmosfer yang sempurna
untuk pembunuhan Elector."
Semangat Pascao membuatku tersenyum sedikit.
Mengacaukan Republik? Itulah kenapa aku dilahirkan.
"Kasih tahu detailnya lagi," kataku seraya memberi
isyarat dengan tangan, memintanya mendekat.
~179~
Pascao mengecek untuk memastikan Razor masih
sibuk membicarakan rencana kami dengan yang lain,
lalu mengedip padaku. "Tim kita akan melepaskan
gerbong granat beberapa mil sebelum tiba di stasiun.
Pada waktu kita tiba di sana, aku ingin hanya ada
sedikit tentara yang menjaga kereta. Berhati-hatilah.
Biasanya, di sana tidak banyak pasukan di dekat jalur
kereta, tapi malam ini berbeda. Republik akan
memburu kita setelah mendengar peringatan June
tentang pembunuhan yang palsu. Waspadalah terhadap
tentara tambahan. Beri kami waktu yang kami
butuhkan, dan pastikan mereka melihatmu."
"Oke. Akan kuberikan waktu yang kau minta." Aku
menyilangkan lengan dan menunjuk padanya. "Beri tahu
saja ke mana aku harus pergi."
Pascao nyengir dan menepuk keras punggungku.
"Hebat. Sejauh ini kau adalah Buronan terbaik di antara
kami?kau akan bisa melepaskan diri dari mereka tanpa
kesulitan sedikit pun. Bergabunglah denganku dua jam
lagi di dekat pintu masuk tempat kau datang. Kita akan
bergembira ria." Dia menjentikkan jari-jarinya. "Oh, dan
jangan hiraukan Baxter. Dia cuma jengkel karena kau
mendapat perlakuan khusus dariku dan Tess."
Segera setelah dia berlalu, pandanganku terarah
kembali ke video di layar dan tetap terpaku pada sosok
June. Sementara videonya terus tayang, potonganpotongan percakapan Razor dengan anggota Patriot lain
terdengar olehku. "?cukup mendengar apa yang
terjadi," dia sedang berkata begitu. "June telah
menempatkan Elector dalam posisi."
Di video itu, June tampak tidur-tidur ayam, dengan
lutut di bawah dagu. Kali ini tidak ada suara sama
sekali, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Kemudian,
kulihat seseorang masuk ke sel June, seorang pria
muda dengan rambut gelap dan mantel hitam elegan.
Itu Elector. Dia membungkuk dan mulai bicara pada
June, tapi aku tak mengerti apa yang dia katakan. Saat
Elector mendekat padanya, June menegang. Bisa
kurasakan darah mengering dari wajahku. Seluruh
obrolan dan kesibukan di sekelilingku pudar menjauh.
~180~
Elector meletakkan sebelah tangan di bawah dagu June
dan menarik wajah gadis itu mendekati wajahnya
sendiri. Dia mengambil sesuatu yang kupikir hanya
untukku, dan aku merasakan kehilangan mendadak
yang membuatku hancur. Aku ingin mengalihkan
pandangan, tapi bahkan dari sudut mataku pun aku
masih bisa melihat Elector mencium June. Ciuman itu
seolah berlangsung selamanya.
Aku menonton dengan kaku saat akhirnya mereka
saling menarik diri dan Elector keluar dari kamar itu,
meninggalkan June sendirian bergelung di kasur. Apa
yang ada di pikiran June sekarang? Aku tak bisa
menonton lebih lama. Aku hampir berbalik, siap
mengikuti Pascao keluar dari kerumunan dan menjauh
dari pemandangan ini.
Tapi kemudian, sesuatu tertangkap mataku. Aku
menengadah ke layar. Dan tepat pada saat itu, kulihat
June mengangkat dua jari ke dahi dalam isyarat kami.
Sudah lewat tengah malam waktu Pascao, aku, dan
tiga Buronan lain mengecat belang hitam melintangi
mata kami dan mengenakan seragam medan perang
berwarna gelap, serta topi tentara. Kemudian, untuk
pertama kalinya sejak aku datang, kami pergi dari
tempat persembunyian bawah tanah Patriot. Beberapa
tentara terus-menerus berkeliaran, tapi kami melihat
lebih banyak kelompok pasukan saat kami berjalan
lebih jauh dari lingkungan ini dan menyeberangi jalur rel
kereta.
Langit masih sepenuhnya tertutup awan, dan di
bawah keremangan lampu jalan, aku bisa melihat
lapisan tipis hujan es turun. Trotoar licin karena gerimis
dan lumpur dingin, dan udaranya berbau basi, seperti
campuran asap dan jamur. Kutegakkan kerahku yang
kaku lebih tinggi, lalu kutelan salah satu pil biru Tess.
Sebenarnya aku berharap aku bisa kembali
bersamanya di daerah kumuh Los Angeles yang lembap.
Kutepuk bom debu yang tersembunyi di dalam jaketku,
dua kali memeriksa bom itu tetap kering. Dalam
pikiranku, adegan antara June dan Elector terus
berputar ulang.
~181~
Isyarat June pasti untukku. Dia ingin aku berhenti di
bagian mana rencana ini? Apa dia ingin aku mundur dari
rencana Patriot dan kabur? Kalau aku hengkang
sekarang, apa yang akan terjadi padanya? Isyarat itu
bisa berarti jutaan hal. Bahkan, isyarat itu bisa berarti
dia memutuskan untuk tetap bersama Republik.
Dengan marah, kuenyahkan pikiran itu dari pikiranku.
Tidak, June tidak akan melakukan itu. Bahkan
meskipun Elector sendiri menginginkan dia? Apa itu
akan membuatnya tetap bersama Republik?
Aku juga ingat bahwa rekaman video yang itu tidak
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada suaranya. Setiap video yang kami tonton, suaranya
selalu pecah?Razor bahkan mendesak untuk
memastikan volumenya dibesarkan. Apakah Patriot
menghilangkan suara dari video yang tadi? Apa mereka
menyembunyikan sesuatu?
Pascao menghentikan kami dalam kegelapan
sebuah gang tak jauh dari stasiun kereta. "Keretanya
akan tiba lima belas menit lagi," katanya, napasnya
membentuk uap. "Baxter, Iris, kalian berdua ikut
denganku." Gadis bernama Iris?kurus dan tinggi,
matanya tertanam dalam ke tulang dan senantiasa
melihat sekeliling?tersenyum, tapi sebaliknya Baxter
membelalak dan mengeraskan rahang. Kuabaikan dia
sambil berusaha tidak memikirkan apa pun tentangku
yang dia coba jejalkan ke dalam pikiran Tess. Pascao
menunjuk Buronan ketiga, seorang gadis kecil dengan
rambut kepang berwarna tembaga yang terus mencuri
pandang ke arahku. "Jordan, kau akan mencari lokasi
gerbong yang tepat untuk kami." Gadis itu memberi
Pascao acungan jempol.
Tatapan Pascao bergeser padaku. "Day," bisiknya.
"Kau tahu instruksimu."
Kutarik ujung topiku. "Mengerti, Sepupu." Apa pun
yang June maksudkan, saat ini tak ada waktu bagiku
untuk meninggalkan Patriot. Tess masih di bungker, dan
aku sama sekali tak tahu di mana Eden. Tidak mungkin
aku membahayakan mereka berdua.
"Bikin para tentara itu tetap sibuk, ya? Buat
mereka membencimu."
~182~
"Itu keahlianku."
Aku menengadah ke atap miring dan dinding hancur
yang menjulang di sekeliling kami. Bagi seorang
Buronan, atap itu seperti lereng licin raksasa yang
menjadi halus karena es. Dalam hati aku berterima
kasih pada Tess?pil biru itu sudah menghangatkan aku
dari dalam, menyejukkan seperti semangkuk sup
hangat pada malam bersalju.
Pascao nyengir lebar padaku. "Baiklah kalau begitu.
Mari beri mereka waktu yang menyenangkan."
Kusaksikan yang lain berlari cepat di sepanjang jalur
rel kereta di bawah selubung hujan es, kemudian aku
melangkah lebih jauh ke kegelapan dan mempelajari
bangunan-bangunan itu. Masing-masing bangunan
sudah tua dan bopengnya bisa dijadikan pijakan kaki?
dan yang lebih asyik, semua bangunan itu memiliki
balok logam berkarat yang silang-menyilang di
dindingnya. Beberapa mempunyai lantai atas yang
sudah sepenuhnya bolong sehingga terbuka ke langit
malam. Yang lainnya memiliki atap bergenting miring.
Meski sedang dalam misi berbahaya, mau tak mau aku
merasakan denyut ketidaksabaran. Bangunanbangunan
ini adalah surganya Buronan.
Aku kembali ke jalan yang menuju stasiun kereta.
Ada setidaknya dua kelompok tentara, mungkin ada lagi
di sisi yang tidak bisa kulihat. Beberapa berbaris di
sepanjang jalur rel seperti yang sudah diduga, senapan
mereka terangkat, belang hitam yang melintangi mata
mereka berkilat basah di bawah hujan. Kuraba wajahku
untuk mengecek belangku sendiri, kemudian
kuturunkan topi tentaraku agar lebih rapat di kepala.
Waktunya pertunjukan.
Kuperoleh pijakan mantap di salah satu dinding, lalu
dengan gemetar aku memanjat ke atap. Setiap kali
kutekuk kaki, betisku bersentuhan dengan bagian
kakiku yang
artifisial.Logamnyadinginmembekukan,bahkanmenembus
pakaian. Beberapa detik kemudian, aku bertengger di
belakang cerobong asap hancur di lantai tiga. Dari sini
aku bisa melihat, seperti yang sudah kuduga, ada
kelompok tentara ketiga di sisi lain stasiun. Aku
~183~
berjalan ke ujung bangunan, kemudian melompat tanpa
suara dari satu bangunan ke bangunan lain sampai aku
berada di puncak atap miring. Sekarang, aku cukup
dekat untuk melihat ekspresi wajah para tentara.
Kuraba jaketku, memastikan sebagian besar bom debu
masih kering. Lalu, aku berjongkok di atap itu,
menunggu.
Beberapa menit berlalu.
Kemudian aku berdiri, mengeluarkan bom debu,
dan melemparnya sejauh yang kubisa dari stasiun.
Bum! Bom itu meledak dalam asap raksasa saat
menyentuh tanah. Segera saja debu menenggelamkan
seluruh blok dan bergulir di sepanjang jalan dalam
gelombang yang bergulung-gulung. Kudengar teriakan
dari para tentara di dekat stasiun?salah satu dari
mereka berseru, "Di sana! Tiga blok dari sini!"
Itu kan sudah jelas, Serdadu. Sekelompok dari
mereka bergegas pergi dari stasiun dan mulai berlari ke
arah asap debu menyelimuti jalanan.
Aku meluncur turun dari atap miring. Sirap patah di
sana-sini, mengirimkan semburan kabut es ke udara.
Namun, di antara semua teriakan dan larinya orangorang di bawahku, aku bahkan tidak bisa mendengar
diriku sendiri. Atapnya licin seperti kaca basah.
Kutingkatkan kecepatan. Hujan es menggores keras
pipiku?kutopang diriku sementara aku mencapai
bagian bawah atap, lalu meluncur ke udara. Mungkin
dari tanah sana aku tampak seperti semacam
bayangan.
Sepatu botku memijak atap miring bangunan
sebelah yang berada tepat di samping stasiun.
Perhatian para tentara yang masih di sana teralihkan;
mereka menatap ke jalan di tengah-tengah debu.
Kulakukan lompatan kecil di bawah atap kedua ini, lalu
kucengkeram sisi lampu jalanan dan meluncur
menuruni tiang lampu sampai ke tanah. Aku mendarat
dengan suara derak cepat teredam di atas lapisan es di
trotoar.
"Ikuti aku!" teriakku pada para tentara. Mereka
melihatku untuk pertama kalinya, menganggapku hanya
~184~
tentara biasa dengan seragam gelap dan belang hitam
melintangi mata. "Salah satu gudang kita diserang.
Mungkin akhirnya Patriot menampakkan diri." Aku
memberi isyarat pada kedua pasukan di sebelah kiri.
"Semuanya. Ini perintah Komandan. Cepat!" Lalu, aku
mengentakkan tumit dan mulai berlari menjauh dari
mereka.
Cukup meyakinkan, suara derap sepatu bot
mereka segera terdengar mengikutiku. Mustahil para
tentara ini be-rani mengambil risiko tidak mematuhi
komandan mereka, bahkan jika itu berarti
meninggalkan stasiun tak terjaga untuk sementara.
Terkadang, kau akan suka sikap disiplin Republik yang
keras.
Aku terus berlari.
Saat aku telah memimpin para tentara sejauh
empat sampai lima blok, melewati asap debu dan
beberapa gudang, mendadak aku menikung tajam di
sebuah gang sempit. Sebelum mereka berbelok di
sudut, aku berlari lurus di salah satu dinding gang. Dan,
saat aku beberapa meter jauhnya dari mereka, aku
melompat dan memanjat batu bata. Kujulurkan tangan
dan kucengkeram balkon lantai dua. Hanya butuh
waktu sebentar untuk meloncat ke atasnya. Kakiku
mendarat mapan di balkon.
Pada waktu para tentara sudah berderap cepat ke
gang yang sama, aku telah melebur ke dalam celah
gelap di jendela lantai dua. Kudengar pasukan pertama
berhenti sejenak, disusul seruan-seruan bingung
mereka. Sekarang, saat
yang
tepat
untuk
melakukannya, pikirku. Kuangkat tangan untuk melepas
topi, membiarkan rambut pirang platinaku tergerai
jatuh. Salah seorang tentara menengadah cukup cepat
untuk melihatku tiba-tiba berlari cepat dari celah
jendela dan berputar ke sudut dari balkon lantai dua.
"Kalian lihat itu?" seseorang berteriak tak percaya.
"Apa itu Day?"
Sementara aku menjepit kakiku di sela-sela batu
bata tua dan menarik tubuhku naik ke lantai tiga,
atmosfer para tentara berubah dari bingung menjadi
~185~
marah. Seseorang berteriak pada yang lain untuk
menembakku. Aku hanya menggertakkan gigi dan
melompat ke lantai tiga.
Peluru-peluru pertama memantul di dinding. Salah
satunya hanya beberapa inci dari tanganku. Aku tidak
berhenti?alih-alih demikian, aku menerjang ke lantai
atas dan berayun ke atap miring dalam satu gerakan.
Lebih banyak percikan bunga api menyinari batu bata di
bawahku. Aku melihat stasiun di kejauhan?keretanya
sudah datang, setengah tersembunyi di balik asap, dan
diparkir tanpa pengawasan, kecuali oleh beberapa
tentara yang telah turun dari kereta itu sendiri.
Aku berlari tergesa di atap dan meluncur menuruni
setengah bagiannya, lalu melakukan lompatan terbang
lagi ke atap berikutnya. Di bawah sana, beberapa
tentara sudah terburu-buru kembali ke dekat kereta.
Mungkin akhirnya mereka sadar, ini semua cuma
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengalih perhatian. Akhirnya, aku tidak menatap
stasiun lagi ketika aku melompat
lagi ke atap lain.
Dua blok telah kulewati.
Lalu ada ledakan. Asap terang yang dahsyat
bergulunggulung jauh di jalur rel kereta, dan bahkan
bagian atap yang mantap kupijak ikut bergetar. Efek itu
membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh
berlutut. Itu ledakan yang Pascao bilang. Sejenak aku
merasa berada di neraka.
Aku termenung sejenak. Banyak tentara akan
segera ke sana?ini berbahaya, tapi jika tugasku adalah
membiarkan Republik tahu aku masih hidup, lebih baik
kupastikan diriku terlihat oleh sebanyak mungkin orang.
Aku kembali menjejak keras dan berlari lebih kencang
sembari memasukkan rambutku lagi ke dalam topi.
Para tentara di bawah telah terbagi menjadi dua
kelompok: satu berderap ke arah ledakan, satunya lagi
melanjutkan memburuku.
Mendadak aku tergelincir dan berhenti. Para
tentara berlari cepat, tepat melewati bangunan
tempatku berada. Aku meluncur turun dari atap dan
~186~
berayun ke bawah dari tepi pipa pancuran atap. Sepatu
botku kini menapak di pijakan kaki di dinding,
selangkah demi selangkah. Aku melompat ke trotoar.
Mungkin para tentara baru saja sadar mereka
kehilangan aku, tapi aku sudah melebur dengan
kegelapan jalanan. Sekarang, aku berlari mantap di
sepanjang jalan, seolah-olah aku juga tentara. Aku
menuju kereta.
Hujan es turun lebih deras. Nyala api yang
dihasilkan ledakan tadi menyinari langit malam. Aku
cukup dekat dengan kereta untuk bisa mendengar
teriakan dan derap langkah kaki. Apa Pascao dan yang
lain berhasil keluar dengan selamat? Kupercepat
langkahku. Sosok tentaratentara lain menjadi jelas di
tengah hujan es, dan dengan halus aku bergabung
dalam barisan bersama mereka saat kami berlari pelan
di sepanjang sisi kereta. Mereka terburuburu menuju
arah api.
"Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka
berteriak ke yang lain.
"Tidak tahu?aku mendengar bunyi ledakan dari
arah muatan."
"Mustahil! Seluruh gerbong dilindungi?"
"Seseorang, segera hubungi Komandan DeSoto.
Kelompok Patriot sudah bergerak?beri tahu Elector?
mereka?"
Mereka terus berderap; aku melewatkan setengah
bagian kalimat itu. Langkahku berangsur-angsur
melambat sampai aku berada di belakang barisan,
kemudian aku bergerak cepat ke celah di antara dua
gerbong. Semua tentara yang bisa kulihat masih menuju
arah nyala api. Yang lainnya berada di area tempatku
menjatuhkan bom debu, dan yang mengejarku mungkin
masih kebingungan menyisir jalanan yang tadi kulewati.
Aku menunggu sampai aku yakin tak ada seorang pun
di dekatku, lalu aku keluar dari celah antara dua
gerbong dan berlari di sepanjang sisi yang berlawanan
dengan jalur rel tempat para tentara berada. Kubiarkan
rambutku tergerai lagi. Sekarang, aku hanya perlu
memilih saat yang tepat untuk menampakkan diri
~187~
dengan hebat.
Ada tanda kecil di setiap gerbong yang kulalui. Batu
bara. Senapan yang bisa dilacak. Amunisi. Makanan.
Aku tergoda untuk berhenti di gerbong terakhir itu, tapi
itu hanya insting diriku yang dulu. Kuingatkan diri bahwa
aku tidak lagi mengais sampah di jalanan untuk
mendapatkan makanan dan bahwa kelompok Patriot
punya dapur penuh makanan di markas besar mereka.
Kupaksa diriku jalan terus. Ada lebih banyak tanda.
Lebih banyak perbekalan medan perang.
Lalu, aku melewati tanda yang memaksaku
berhenti. Tangan dan kakiku gemetar. Segera saja aku
berlari kembali untuk melihat gerbong bertanda itu lagi,
kalau-kalau aku cuma berkhayal.
Tidak. Tanda itu ada di sana, tercetak timbul di
logam. Tanda yang akan selalu kukenali di mana pun.
Tanda X bergaris. Pikiranku berputar?aku melihat
simbol dari cat semprot yang menghiasi pintu rumah
ibuku, patroli wabah berjalan dari rumah ke rumah di
Lake, Eden dibawa pergi. Tidak mungkin simbol ini
memiliki arti lain selain fakta bahwa adikku, atau
sesuatu yang berhubungan dengannya, berada di
kereta ini. Seluruh ketertarikanku pada rencana Patriot
lenyap dari kepalaku. Eden mungkin di sini.
Bisa kukatakan bahwa dua pintu geser ala mobil di
gerbong itu terkunci. Jadi, aku mundur beberapa
langkah, lalu berlari ke arahnya. Saat aku cukup dekat,
aku melompat, mengambil tiga langkah cepat ke sisi
pintu, mencengkeram tepi atasnya, dan menarik
tubuhku ke atas.
Ada segel logam berbentuk lingkaran di tengah atap
gerbong yang kemungkinan digunakan untuk
mengakses bagian dalam. Aku merangkak di atasnya,
menyapukan jemariku di sepanjang tepinya, dan
menemukan empat gerendel yang menahan segel itu.
Buru-buru aku membuka gerendel itu untuk
melonggarkan segelnya. Para tentara bisa kembali
kapan saja sekarang. Kudorong segel itu dengan
seluruh kekuatan yang kupunya. Segel itu bergeser
membuka sedikit, hanya cukup bagiku untuk melompat
~188~
masuk.
Aku mendarat dengan bunyi gedebuk pelan. Di sini
cukup gelap sehingga mulanya aku tidak bisa melihat
apaapa. Aku menjulurkan tangan dan menyentuh apa
yang terasa seperti permukaan kaca bundar. Perlahanlahan aku mulai mengenali sekelilingku.
Aku berdiri di depan tabung kaca yang hampir
setinggi dan selebar gerbong ini, dengan penutup logam
pada bagian atas dan bawahnya. Tabung itu
memancarkan cahaya biru yang sangat lemah. Satu
sosok mungil berbaring di lantai dalam tabung, dengan
pipa terjulur dari salah satu lengannya. Aku langsung
tahu dia seorang anak laki-laki. Rambutnya pendek dan
bersih, ikal halus berantakan. Dia mengenakan
jumpsuit putih yang membuatnya menonjol dalam
kegelapan.
Suara dengung keras di telingaku memblokir suara
apa pun. Itu Eden. Itu Eden. Itu pasti dia. Aku
mendapat kejutan?aku tak percaya keberuntunganku.
Dia di sini, aku telah menemukannya di tempat yang
sangat terpencil ini dari seluruh daratan Republik yang
luas, dalam suatu kebetulan gila. Aku bisa
membawanya pergi. Kami bisa kabur ke Koloni lebih
cepat dari yang kuperkirakan. Kami bisa kabur malam
ini.
Aku berlari cepat ke tabung itu dan mengetukkan
kepalan tanganku ke kacanya, setengah berharap kaca
itu akan pecah meskipun aku tahu setidaknya kaca itu
terbuat dari lapisan tebal dan hampir pasti tahan
peluru. Sesaat aku tak yakin dia bisa mendengar
ketukanku, tapi kemudian matanya terbuka. Mata itu
menatap sekeliling dengan cepat dalam tatapan aneh
dan tak fokus sebelum terpaku padaku.
Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa
anak itu bukan Eden.
Kekecewaan pahit menyengat lidahku. Anak itu
sangat mungil, umurnya hampir sebaya dengan adikku
sampai aku tak bisa berhenti membayangkan wajah
Eden. Ada anak lain yang juga ditandai wabah tidak
~189~
biasa? Yah, tentu saja ada. Tidak mungkin Eden satusatunya di negeri ini.
Selama beberapa saat, aku dan anak itu hanya
saling tatap. Kupikir dia bisa melihatku, tapi tampaknya
dia tak bisa memfokuskan pandangan; dia terus
mengerjap dengan cara yang mengingatkanku pada
rabun jauh Tess. Eden. Aku teringat betapa iris matanya
berdarah gara-gara wabah itu .... Dari cara anak ini
berusaha mengira-ngira posisiku, bisa kukatakan dia
hampir sepenuhnya buta. Gejala yang mungkin dialami
adikku juga.
Mendadak sikapnya berubah total dari keadaan tak
sadarnya. Dia merangkak mendekatiku secepat yang
dia bisa. Ditekannya kedua tangan ke kaca. Matanya
pucat, cokelat buram, bukan hitam menyeramkan
seperti Eden waktu terakhir aku melihatnya. Namun,
setengah bagian bawah iris mata anak ini berwarna
ungu gelap karena darah. Apa itu berarti anak ini?
bahwa Eden?membaik, karena darahnya mengering,
atau memburuk, karena darahnya mengalir? Terakhir
kali aku melihatnya, iris mata Eden telah sepenuhnya
dipenuhi darah.
"Siapa di situ?" tanya anak itu. Kaca meredam
suaranya. Pandangannya masih tidak bisa fokus
padaku, bahkan dalam jarak sedekat ini.
Aku pun tersadar. "Seorang teman," sahutku serak.
"Aku akan menolongmu keluar." Mendengar itu,
matanya melotot?segera saja harapan mekar di wajah
mungilnya. Tanganku menyusuri kaca itu, mencari
sesuatu?apa pun?yang bisa membuka tabung sialan
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. "Bagaimana mengoperasikan benda ini? Apakah
aman?"
Dengan panik, anak itu menggedor-gedor kaca. Dia
ketakutan. "Tolong aku!" teriaknya, suaranya bergetar.
"Keluarkan aku?tolong keluarkan aku dari sini!"
Kata-katanya meremukkan hatiku. Apa ini yang
Eden lakukan, ketakutan dan buta, menungguku di
dalam
gerbong
gelap
begini
untuk
datang
menyelamatkannya? Aku harus mengeluarkan anak ini.
~190~
Kupegang tabung itu eraterat. "Kau harus tetap tenang,
Dik. Oke? Jangan panik. Siapa namamu? Keluargamu
dari kota mana?"
Air mata mulai mengalir di wajah anak itu. "Namaku
Sam Vatanchi?keluargaku di Helena, Montana." Dia
menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Mereka tak tahu
ke mana aku pergi. Bisakah kau beri tahu mereka aku
ingin pulang? Bisakah kau?"
Tidak, aku tidak bisa. Aku sangat tidak berdaya. Aku
ingin meninju dinding logam gerbong ini. "Akan
kulakukan apa yang kubisa. Bagaimana cara membuka
tabung ini?" tanyaku lagi. "Amankah kalau ini dibuka?"
Takut-takut, anak itu menunjuk sisi lain tabung.
Bisa kukatakan dia berusaha keras menahan rasa
takutnya. "Oke?oke." Dia berhenti sejenak dalam
usaha untuk berpikir. "Um, aman, kok. Kurasa. Mereka
mengetikkan sesuatu di sana," sahutnya. "Aku bisa
dengar bunyi bip yang membuat tabung ini terbuka."
Aku bergegas menuju arah yang dia tunjuk. Cuma
imajinasiku, atau aku mendengar sayup-sayup suara
derap sepatu bot di trotoar?
"Ini semacam layar kaca," kataku. Kata TERKUNCI
berwarna merah membentang di sana. Aku kembali ke
anak itu dan mengetuk kaca. Matanya berputar juling
ke arah suara ketukanku. "Apa ada kata kuncinya?
Bagaimana mereka mengetiknya?"
"Nggak tahu!" Anak itu mengangkat kedua
tangannya; kata-katanya berubah menjadi isakan.
"Tolonglah?"
Sialan, dia benar-benar mengingatkanku pada
Eden. Air matanya membuat mataku sendiri membasah.
"Ayolah," bujukku, berjuang agar kata-kataku terdengar
kuat. Harus tetap terkontrol. "Pikirkan. Ada cara lain
yang membuat benda ini terbuka di samping tomboltombol huruf itu?"
Dia menggeleng. "Nggak tahu. Aku nggak tahu!"
Aku sudah bisa bayangkan apa yang akan Eden
katakan jika dia dalam posisi anak ini. Dia akan
~191~
mengatakan sesuatu yang bersifat teknis, berpikir
layaknya mekanik kecil. Sesuatu seperti, "Kau punya
mata pisau yang tajam? Coba temukan pemicu
manualnya!"
Kuatkan dirimu. Kutarik pisau yang selalu ada di
ikat pinggangku. Aku telah melihat Eden memisahkan
komponen barang-barang elektronik dan menyusun
ulang semua kabel di dalamnya, juga papan sirkuitnya.
Mungkin aku harus mencoba hal yang sama.
Kutempatkan pisau di celah kecil yang ada di
sepanjang pinggiran tombol huruf dan dengan hati-hati
kutekan sedikit. Saat tak ada hasilnya, aku menekan
lebih keras sampai pisaunya bengkok. Tidak ada
gunanya.
"Terlalu rapat," gumamku. Seandainya June ada di
sini. Mungkin dia bisa mengetahui cara kerja benda ini
dalam setengah detik.
Anak itu dan aku menghabiskan beberapa saat
singkat dalam keheningan. Dagunya menempel ke dada
dan matanya terpejam. Dia tahu, tak ada cara
membuka tabung ini.
Aku harus menyelamatkannya. Aku harus
menyelamatkan Eden. Pemikiran itu membuatku ingin
menjerit.
Ini bukan imajinasiku?aku betul-betul mendengar
para tentara mendekat. Mereka pasti sedang
memeriksa kompartemen. "Beri tahu aku, Sam,"
kataku. "Apa kau masih sakit? Apa yang mereka
lakukan padamu?"
Anak itu mengusap hidungnya. Cahaya harapan
telah lenyap dari wajahnya. "Siapa kau?"
"Seseorang yang ingin menolong," bisikku.
"Semakin banyak yang kau ceritakan padaku, semakin
mudah bagiku mengurus hal ini."
"Aku tidak sakit lagi," sahut Sam terburu-buru,
seolah dia tahu kami kehabisan waktu. "Tapi mereka
bilang, ada sesuatu dalam darahku. Mereka
menyebutnya virus yang tertidur." Dia berhenti untuk
berpikir. "Mereka memberiku obat agar aku tidak sakit
~192~
lagi." Dia menggosok matanya yang buta, tanpa suara
memohon padaku untuk menyelamatkannya. "Tiap kali
kereta ini berhenti, mereka mengambil sampel darah
dariku."
"Kau tahu kota mana saja yang sudah kau
singgahi?"
"Entahlah .... Aku pernah dengar nama Bismarck
...." Suaranya menghilang sementara dia berpikir. "Dan
Yankton?"
Keduanya adalah kota medan perang di Dakota.
Aku memikirkan kendaraan yang mereka gunakan
untuk anak ini. Kemungkinan mereka menggunakan
kereta untuk mempertahankan lingkungan yang steril,
jadi orang bisa masuk dan mengambil sampel darah,
lalu mencampurnya dengan apalah yang mengaktifkan
virus tertidur itu. Pipa di lengannya mungkin cuma untuk
menyalurkan makanan.
Kemungkinan besar mereka menggunakan dia
sebagai senjata biologis untuk melawan Koloni. Dia
telah dijadikan kelinci percobaan. Seperti Eden. Pikiran
bahwa adikku dikirim seperti paket begini nyaris
membuatku terpuruk.
"Setelah ini mereka akan membawamu ke mana?"
"Nggak tahu! Aku cuma ... ingin pulang!"
Pasti ke suatu tempat di medan perang. Aku hanya
bisa membayangkan betapa banyak korban lain yang
diarak naik turun di garis depan medan perang.
Kubayangkan dalam pikiranku, Eden meringkuk di salah
satu kereta seperti ini.
Anak itu mulai meratap lagi, tapi kupaksa diriku
menyelanya. "Dengarkan aku?apa kau tahu anak lakilaki bernama Eden? Pernahkah kau dengar nama itu
disebutkan di suatu tempat?"
Tangisannya semakin keras. "Nggak?aku nggak?
tahu siapa?!"
Aku tak bisa berada di sini lebih lama. Entah
bagaimana aku berhasil mengalihkan pandangan dari
anak itu dan berlari ke pintu geser gerbong. Sekarang,
suara langkah kaki para tentara terdengar lebih keras?
mereka pasti tidak lebih dari lima atau enam gerbong
~193~
dari sini. Kutatap anak itu untuk terakhir kalinya. "Maaf.
Aku harus pergi." Rasanya menyakitkan sekali harus
mengatakan itu.
Anak itu mulai menangis lagi. Tangannya
menggedorgedor kaca tebal tabung itu. "Tidak!"
Suaranya pecah. "Aku telah memberitahumu semua
yang aku tahu?tolong jangan tinggalkan aku di sini!"
Aku tak tahan mendengarkan lebih lama. Kupaksa
diriku menaiki gerendel samping salah satu pintu geser
dan mendekat ke atap gerbong untuk mencengkeram
pinggiran segel lingkaran di atas. Kutarik diriku keluar
kembali ke langit malam, kembali ke hujan es yang
menyengat mata dan melecutkan es di wajah. Aku
berjuang keras untuk mengembalikan ketenanganku.
Aku sangat malu pada diriku sendiri. Anak itu telah
memberiku semua informasi yang dia punya, dan begini
aku
membalasnya?
Dengan
kabur
untuk
menyelamatkan hidupku?
Para tentara menginspeksi gerbong-gerbong sekitar
lima belas meter jauhnya dari sini. Kugeser segel itu
kembali ke tempatnya dan merayap sambil tengkurap
rapat di atap sampai aku mencapai tepi gerbong. Aku
berayun turun dan mendarat di tanah.
Sosok Pascao muncul dari bayang-bayang, mata
kelabu pucatnya bercahaya dalam kegelapan. Dia pasti
mencaricari aku. "Kenapa kau di sini?" bisiknya.
"Seharusnya kau terlihat di dekat ledakan, kan? Habis
dari mana kau?"
Aku sedang tidak ingin bermanis-manis. "Tidak
sekarang," bentakku sambil mulai berlari di sebelah
Pascao. Saatnya kembali ke terowongan bawah tanah
kami. Segalanya berdesing melewati kami dalam kabut
yang seperti mimpi.
Pascao membuka mulut untuk mengatakan
sesuatu, tapi dia ragu saat melihat wajahku. Akhirnya,
dia tidak jadi bicara.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Errr ...," dia mulai lagi, kali ini lebih tenang, "yah,
yang kau lakukan cukup bagus. Kemungkinan rumor
akan menyebar bahwa kau hidup, bahkan tanpa semua
kembang api ekstra itu. Larimu di atap tadi benar-benar
mengagumkan. Akan kita lihat besok pagi bagaimana
~194~
reaksi publik terhadap kemunculanmu di sini."
Saat aku tidak menyahut, dia menggigit bibir dan
terdiam.
Aku tak punya pilihan selain menunggu sampai
Razor selesai dengan pembunuhannya sebelum mereka
bisa menolongku menyelamatkan Eden. Kemarahan
pada sang Elector muda mulai bangkit dan
membengkak dalam diriku. Aku benci kau. Aku benci
kau sampai ke tulang sumsum, dan aku bersumpah aku
akan menyarangkan peluru ke tubuhmu begitu aku
dapat kesempatan. Untuk pertama kalinya sejak
bergabung dengan Patriot, akhirnya aku merasa
bersemangat dengan pembunuhan itu. Aku akan
melakukan apa pun untuk memastikan Republik tak
bisa menyentuh adikku lagi.
Di tengah-tengah kekacauan api yang membara
dan teriakan para pasukan, kami menyelinap ke sisi lain
kota dan kembali ke pelukan malam.[]
~195~
Kurang dari dua hari lagi sebelum pembunuhan Elector
yang sesungguhnya. Tiga puluh jam bagiku untuk
menghentikan itu.
Matahari baru saja terbenam saat Elector, bersama
enam Senator dan setidaknya empat pasukan patroli penjaga
(48 tentara), naik kereta api menuju kota medan perang
Pierra. Aku ikut bersama mereka. Ini pertama kalinya aku
pergi sebagai penumpang, bukan sebagai napi, jadi malam
ini aku mengenakan baju ketat hangat untuk musim dingin
dan sepatu kulit lembut (tidak berhak dan bagian
jempolnya tidak terbuat dari baja, jadi aku tak bisa
menggunakannya sebagai senjata) dan jubah wol bertudung
yang warnanya merah tua dengan hiasan garis perak. Tidak
ada borgol lagi. Anden bahkan memastikan aku punya
sarung tangan (dari kulit lembut, berwarna hitam dan
merah). Untuk pertama kalinya sejak tiba di Denver, jarijariku tidak terasa dingin. Rambutku seperti biasa, bersih
~196~
dan kering, diikat menjadi kuncir kuda tinggi. Meskipun
sudah dibuat senyaman mungkin, kepalaku terasa berat dan
otot-ototku sakit.
Semua lampu di sepanjang peron stasiun padam, dan
tak ada seorang pun terlihat selain rombongan Elector.
Kami naik kereta dalam keheningan total. Kemungkinan,
perubahan rute mendadak Anden dari Lamar ke Pierra
adalah sesuatu yang kebanyakan Senator tidak tahu.
Para penjagaku menggiring aku ke gerbong pribadi.
Gerbong itu sangat mewah sehingga aku tahu aku di sini
hanya karena perintah Anden.Panjangnya dua kali gerbong
biasa (luasnya 274 meter persegi, dengan enam tirai beledu
dan potret Anden digantung di dinding sebelah kanan).
Para penjaga memimpinku ke meja di tengah gerbong, lalu
menarik kursi untukku duduk. Aneh, aku merasa tidak ada
kaitannya dengan semua ini seolah-olah semua ini tidak
nyata?seolah-olah aku masih berada tepat di tempatku
dulu, seorang gadis kaya bagian dari kalangan elite
Republik.
"Jika kau butuh sesuatu,beri tahu kami,"salah satu dari
penjaga itu berkata. Dia terdengar sopan, tapi kekakuan di
rahangnya menunjukkan betapa gugupnya dia berada di
sekitarku.
Tidak ada suara sekarang, kecuali derak halus kereta di
rel.Kucoba tidak langsung memusatkan perhatian pada para
tentara,tapi dari sudut mataku,aku memperhatikan mereka
lekat-lekat.Apa ada anggota Patriot yang menyamar sebagai
tentara di kereta ini? Kalau ada, apa mereka mencurigai
kesetiaanku yang telah berpindah?
Kami menunggu dalam keheningan pekat. Salju mulai
turun lagi,menumpuk di sudut luar jendelaku.Gelung salju
putih menghiasi kaca, mengingatkanku pada pemakaman
Metias?pada gaun putihku, setelan putih Thomas yang
mengilap, bunga lili putih dan karpet putih.
Kecepatan kereta bertambah. Kucondongkan tubuh ke
jendela sampai pipiku hampir menyentuh kaca dingin,
tanpa suara memperhatikan saat kami mendekati dinding
menjulang Armor yang mengelilingi Denver.Bahkan,dalam
kegelapan aku bisa melihat terowongan-terowongan kereta
yang dibangun di Armor. Beberapa di antaranya
~197~
sepenuhnya dipagari gerbang logam padat, sementara yang
lainnya tetap terbuka sehingga angkutan malam bisa
melewatinya. Kereta kami meluncur cepat ke salah satu dari
terowongan-terowongan
itu?kutebak
kereta
yang
meninggalkan ibu kota tidak perlu berhenti untuk inspeksi,
terutama jika Elector telah memberi izin.Sementara kami
meninggalkan dinding raksasa itu, kulihat sebuah kereta
yang akan masuk ibu kota melambat untuk diinspeksi di
pos pemeriksaan.
Kami terus melaju, melebur dengan malam. Deretan
bangunan pencakar langit yang rusak karena hujan di
sektor-sektor kumuh berkelebat di jendela,pemandangan
yang sekarang familier tentang bagaimana orang-orang
tinggal di pinggiran kota. Aku terlalu lelah untuk
memperhatikan detail. Pikiranku tertuju pada apa yang
Anden katakan padaku semalam, yang menggiringku
kembali pada masalah tanpa akhir tentang bagaimana
memperingatkan Anden dan menjaga Day tetap aman pada
saat bersamaan. Kelompok Patriot akan tahu aku
mengkhianati mereka kalau aku terlalu cepat memberi tahu
Anden rencana pembunuhan itu. Aku harus mengatur
waktu untuk langkah-langkahku sehingga aku bisa
membuat beberapa perubahan pada rencana itu tepat
sebelum pembunuhannya dilakukan, saat aku dengan
mudah bisa berkomunikasi dengan Day.
Kuharap aku bisa memberi tahu Anden sekarang.
Menceritakan segalanya padanya,menyelesaikan semuanya.
Di dunia tanpa Day, itulah yang akan kulakukan. Di dunia
tanpa Day, banyak hal akan berbeda. Kuingat kembali
mimpi-mimpi buruk yang kualami,juga bayangan tentang
Razor
menembak
dada
Day
yang
terus
menghantuiku.Cincin penjepit kertas terasa berat di jariku.
Lagi, kuletakkan dua jari di dahi. Jika Day tidak
menangkap isyaratku yang pertama, kuharap dia melihat
yang ini. Para penjaga tidak berpikir aku melakukan sesuatu
yang tidak biasa; kelihatannya aku hanya mengistirahatkan
kepala.
Gerbong berguncang ke satu sisi dan gelombang rasa
pusing menyapuku.Mungkin flu yang menyerangku?kalau
~198~
itu benar-benar flu,bukan sesuatu yang lebihserius?mulai
memengaruhi logikaku. Tetap saja, aku tidak minta obat
atau diperiksa dokter. Obat menghalangi sistem imun yang
sebenarnya,jadi aku selalu lebih memilih melawan penyakit
sendiri (yang membuat Metias sangat gusar).
Kenapa banyak sekali pikiran yang menuntunku
kembali pada Metias?
Suara jengkel seorang pria mengalihkanku dari pikiran
yang berkelana. Aku menoleh dari jendela, kembali
menatap bagian dalam gerbong. Kedengarannya seperti pria
tua. Aku duduk lebih tegak di kursiku sehingga dari jendela
kecil di pintu gerbong, aku bisa melihat dua sosok berjalan
ke arah gerbongku. Salah satunya adalah pria yang baru
kudengar, pria pendek gempal dengan janggut kelabu
berantakan dan hidung kecil bulat. Yang satunya lagi
adalah Anden. Susah payah aku mendengar apa yang
mereka bicarakan?mulanya, yang berhasil kudengar
hanyalah potongan-potongan percakapan mereka,tapi katakata mereka menjadi lebih jelas ketika mereka beranjak
mendekat ke gerbongku.
"Tolonglah, Elector?saya mengatakan ini demi
kebaikan Anda sendiri. Aksi pemberontakan harus diberi
hukuman keras. Kalau Anda tidak bereaksi dengan tepat,
hanya soal waktu sebelum segalanya menjadi pergolakan."
Anden mendengarkan dengan sabar dengan kedua
tangan di belakang punggung dan kepala condong ke arah
pria itu. "Terima kasih atas kepedulian Anda, Senator
Kamion, tapi aku sudah memutuskan. Sekarang ini bukan
saat yang tepat untuk menangani kerusuhan di Los Angeles
dengan pasukan militer."
Kabar itu membuatku senang. Pria yang lebih tua
merentangkan tangan dengan bahasa tubuh yang
menunjukkan kekesalan. "Desak orang-orang itu agar
menurut. Anda harus melakukan itu sekarang
juga,Elector.Tunjukkan keinginan Anda."
Anden menggeleng. "Itu malah akan membuat mereka
menggila,Senator.Menggunakan
pasukan
mematikan
sebelum aku punya kesempatan memublikasikan semua
perubahan yang ada di pikiranku? Tidak.Aku tak akan
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluarkan perintah semacam itu. Itulah keinginanku."
~199~
Sang Senator menggaruk janggutnya kesal dan
meletakkan sebelah tangan di siku Anden."Publik sudah
sangat marah pada Anda, dan kemurahan hati Anda akan
tampak seperti kelemahan?tidak hanya dari luar, tapi juga
dari dalam. Pengelola Ujian di LA sudah komplain karena
kurangnya respons kita?para pengunjuk rasa telah
memaksa mereka membatalkan beberapa hari tes yang
berharga."
Mulut Anden mengatup menjadi segaris tegas."Kukira
Anda tahu apa yang kupikirkan tentang Ujian, Senator."
"Saya tahu,"sahut Senator,merengut."Itu untuk diskusi
lain kali. Tapi, kalau Anda tidak mengeluarkan perintah
yang mengizinkan kami menghentikan pemberontakan,
saya bisa jamin Anda akan mendapat celaan dari Senat dan
dari kelompok-kelompok patroli Los Angeles."
Anden berhenti sejenak untuk mengangkat sebelah alis
ke arah pria itu. "Begitukah? Maaf. Aku punya kesan
bahwa Senat dan militer kita mengerti betul seberapa besar
wewenang kata-kataku."
Sang Senator mengusap keringat dari dahinya. "Yah,
itu?tentu saja Senat akan tunduk pada keinginan Anda,
Sir, tapi saya hanya bermaksud?yah?"
"Bantu aku meyakinkan para Senator lain bahwa ini
bukan waktu yang tepat bagi kita untuk menyerang
publik." Anden berhenti untuk menghadapi pria itu dan
menepuk bahunya."Aku tak ingin punya musuh di
Kongres,Senator. Aku ingin rekan Anda sesama anggota
Kongres, juga mahkamah nasional, menghormati
keputusanku seperti yang mereka lakukan pada keputusankeputusan ayahku.
Menggunakan pasukan mematikan untuk menumpas para
pemberontak hanya akan menghasut kemarahan yang lebih
besar terhadap negara."
"Tapi, Sir?"
Anden berhenti di depan gerbongku. "Kita akan
menyelesaikan diskusi ini nanti," ujarnya. "Aku lelah."
Meskipun sahutannya teredam oleh pintu di antara kami,
aku bisa mendengar kekuatan tak terbantahkan dalam katakatanya.
Sang
Senator
menggumamkan
sesuatu
dan
~200~
menundukkan kepala. Saat Anden mengangguk, pria itu
berbalik
dan
buru-buru
angkat
kaki.
Anden
memperhatikannya pergi, kemudian membuka pintu
gerbongku. Para penjaga memberi hormat padanya.
Kami saling mengangguk.
"Aku datang untuk memberi tahu syarat-syarat
pembebasanmu,June."Anden bicara padaku dengan
formalitas yang terasa jauh,barangkali gara-gara percakapan
dinginnya barusan dengan Senator itu. Ciumannya tadi
malam terasa seperti halusinasi. Meskipun begitu,
menatapnya memberiku rasa nyaman yang aneh, dan
kudapati diriku menjadi rileks di kursiku seolah-olah aku
sedang bersama teman la-ma."Semalam kami mendapat
kabar,ada serangan di Lamar. Sebuah kereta hancur dalam
ledakan?kereta yang seharusnya kutumpangi.Aku tak tahu
akhirnya siapa yang dianggap bertanggung jawab, dan kami
gagal menangkap satu pun penyerangnya, tapi kami
berasumsi itu kelompok Patriot. Saat ini kami punya tim
untuk memburu mereka."
"Senang bisa membantu, Elector," kataku. Kedua
tanganku
saling
menggenggam
erat
di
pangkuan,mengingatkanku pada kelembutan mewah sarung
tanganku.Haruskah aku merasa sangat aman dan nyaman di
gerbong elite ini, sementara Day mungkin dalam pelarian
bersama Patriot?
"Kalau kau teringat detail-detail yang lain,Miss Iparis,
jangan sungkan memberitahukannya. Sekarang, kau
kembali pada Republik; kau salah satu dari kami, dan
kujamin kau tidak perlu takut pada apa pun. Saat kita tiba
di Pierra, catatan riwayatmu akan dibersihkan. Secara
pribadi aku akan mengusahakan kau dikembalikan ke
pangkatmu sebelumnya?meskipun kau akan ditempatkan
di patroli kota yang berbeda." Anden mendekatkan sebelah
tangan
ke
mulut
dan
berdeham."Aku
telah
merekomendasikanmu untuk tim Denver."
"Terima kasih," sahutku pelan. Anden jatuh tepat ke
jebakan Patriot.
"Beberapa Senator merasa kami terlalu murah hati
padamu, tapi semuanya setuju bahwa kau adalah harapan
terbaik kami untuk melacak pemimpin Patriot." Anden
~201~
berjalan lebih dekat dan duduk di hadapanku. "Aku yakin
mereka akan berusaha menyerang lagi, dan aku ingin kau
memimpin
orang-orangku
dalam
menghalangi
seranganserangan lain di masa depan."
"Anda terlalu baik, Elector. Saya tersanjung," sahutku,
setengah menundukkan kepala. "Dan, jika Anda tidak
keberatan saya bertanya, apakah anjing saya akan diampuni
juga?"
Anden tertawa kecil. "Saat ini anjingmu dipelihara di
ibu kota; dia akan menunggumu saat kau tiba."
Selama beberapa saat, aku menatap mata Anden.
Pupilnya membesar dan pipinya memerah sedikit.
"Saya bisa lihat kenapa Senat tidak begitu senang
dengan kemurahan hati Anda," akhirnya aku berkata.
"Tapi, memang benar bahwa tak ada seorang pun yang bisa
menjaga keamanan Anda sebaik saya." Aku butuh satu
menit sendirian bersamanya. "Tapi, pasti ada alasan lain
kenapa Anda sangat baik pada saya. Benar, kan?"
Anden menelan ludah dan menengadah menatap
potretnya sendiri. Mataku bergerak cepat ke para tentara
yang berdiri di pintu gerbong.Seolah tahu yang kupikirkan,
Anden melambaikan sebelah tangan ke para tentara, lalu
memberi isyarat ke atas,ke arah kamera di gerbong ini.Para
tentara pergi,dan sesaat kemudian,cahaya merah di kamera
itu mengedip mati.Untuk pertama kalinya,tak ada seorang
pun melihat kami. Kami benar-benar sendirian.
"Kenyataannya,"Anden
melanjutkan,"kau
sangat
populer di masyarakat. Jika rumor tersebar bahwa genius
paling berbakat di Republik dihukum karena memberontak
?atau bahkan diturunkan pangkatnya karena tidak setia?
yah,kau bisa lihat betapa buruknya hal itu akan
menurunkan pamor Republik. Dan aku. Bahkan, Kongres
pun tahu itu."
Tanganku mengepal di pangkuan. "Senat pendukung
ayahmu dan kau punya kode-kode moral yang sedikit
berbeda," kataku, memikirkan percakapan yang kucuri
dengar antara Anden dan Senator Kamion beberapa saat
lalu."Atau begitulah yang kukira."
Diamenggelengkan kepala dan tersenyumpahit."Bisa
dibilang begitu."
~202~
"Aku tak tahu kau sebegitu tak sukanya pada Ujian."
Anden mengangguk. Dia tidak tampak kaget aku
menguping percakapannya."Ujian adalah cara yang
ketinggalan zaman untuk memilih yang terbaik dan paling
cemerlang di negeri ini."
Sangat aneh mendengar hal itu keluar dari mulut sang
Elector sendiri. "Kenapa Senat sangat berniat
mempertahankan Ujian? Apa investasi mereka di situ?"
Anden mengangkat bahu. "Ceritanya panjang. Dulu,
waktu pertama kali Republik menerapkan Ujian,sistemnya
... agak berbeda."
Aku mencondongkan tubuh. Aku tak pernah dengar
cerita apa pun tentang Republik yang tidak disaring untuk
disampaikan di sekolah-sekolah negara ini atau di sistem
informasi publik?dan sekarang Elector sendiri hendak
menceritakan salah satunya padaku.
"Bagaimana bedanya?" tanyaku.
"Ayahku
...sangat
karismatik."Akhirnya,Anden
terdengar agak defensif.
Jawaban yang aneh."Aku yakin beliau punya caracaranya sendiri," kataku, berhati-hati agar tetap netral.
Anden melipat lengan dan kembali bersandar. "Aku
tak suka Republik jadi begini," katanya, menyusun setiap
kata perlahan-lahan dan penuh pertimbangan. "Tapi, aku
tak bisa bilang aku tidak mengerti kenapa semuanya seperti
ini. Ayahku punya alasan untuk melakukan apa yang telah
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beliau lakukan."
Keningku berkerut. Membingungkan. Bukannya aku
baru dengar dia mendebat kata-kata Senator untuk
mengambil tindakan keras terhadap para pemberontak?
"Apa maksudmu?"
Anden membuka dan menutup mulutnya seolah dia
sedang berusaha menemukan kata-kata yang tepat."Sebelum
ayahku menjadi Elector, Ujian bersifat sukarela." Dia
berhenti sejenak saat mendengarku menahan napas.
"Hampir tak ada yang tahu?itu sudah lama sekali."
Ujian pernah bersifat sukarela. Gagasan itu sepenuhnya
asing bagiku. "Kenapa beliau mengubahnya?" tanyaku.
"Seperti yang sudah kubilang, ceritanya panjang.
Kebanyakan orang takkan pernah tahu kebenaran tentang
~203~
berdirinya Republik,untuk alasan yang baik."Dia mengusap
rambut keritingnya, lalu menopangkan sebelah siku di ambang jendela. "Kau ingin tahu?"
Pertanyaan yang benar-benar retoris.Di balik kata-kata
Anden terdapat rasa kesepian yang jelas. Aku tak pernah
memikirkan
ini
sebelumnya,tapi
sekarang
aku
sadar,mungkin akulah satu-satunya orang yang pernah
diajak bicara dengan bebas olehnya. Kucondongkan tubuh
ke depan, mengangguk, dan menunggunya melanjutkan.
"Awalnya Republik dibentuk di tengah-tengah krisis
terburuk yang Amerika Utara?dan dunia,sebenarnya?
pernah
saksikan,"
dia
memulai.
"Banjir
telah
menghancurkan pesisir timur Amerika, dan jutaan orang
dari timur tumpah ruah ke barat?terlalu banyak untuk
ditampung. Tidak ada pekerjaan, tidak ada makanan, tidak
ada tempat berteduh. Negara menjadi gila karena kepanikan
dan ketakutan. Pemberontakan tak terkendali. Para
pengunjuk rasa menyeret tentara, polisi, dan penjaga
perdamaian keluar dari mobil mereka, lalu menghajar
mereka sampai mati atau membakar mereka. Setiap toko
dijarah, setiap jendela dirusak." Dia menghela napas
panjang. "Pemerintah federal berusaha sebaik mungkin
untuk mempertahankan keteraturan, tapi bencana yang
susul-menyusul membuat hal itu menjadi tidak mungkin.
Mereka tak punya uang untuk menangani seluruh krisis ini.
Semuanya menjadi anarki mutlak."
Ada saat ketika Republik tidak bisa mengendalikan
rakyatnya? Mustahil. Sulit bagiku membayangkannya,
sampai kusadari bahwa Anden mungkin merujuk kepada
pemerintahan Amerika Serikat yang lama alih-alih
pemerintahan Republik saat ini.
"Lalu, Elector pertama kita merebut kekuasaan. Dia
prajurit militer muda, hanya beberapa tahun lebih tua dari
umurku sekarang, dan cukup ambisius untuk mendapatkan
dukungan dari pasukan tentara di barat yang merasa tidak
puas. Dia mendeklarasikan Republik sebagai negara sendiri,
melepaskan diri dari Union Amerika Serikat, dan
menempatkan daratan bagian barat di bawah hukum
perang. Tentara boleh menembak semaunya, dan setelah
melihat rekan-rekan mereka disiksa dan dibunuh di
~204~
jalanan,mereka memanfaatkan semua keuntungan dari
kekuasaan baru tersebut. Keadaan menjadi kami versus
mereka?militer versus rakyat." Anden menunduk menatap
sepatu tanpa talinya yang mengilap, seakan dia merasa
malu. "Banyak orang terbunuh sebelum para tentara dapat
mengendalikan Republik."
Mau tak mau aku bertanya-tanya, apa yang akan
Metias, atau orangtuaku, pikirkan tentang hal ini? Akankah
mereka setuju? Akankah mereka memaksakan keteraturan
atas kekacauan yang ada?
"Bagaimana dengan Koloni?" tanyaku. "Apa mereka
memperoleh keuntungan dari semua ini?"
"Pada saat itu, setengah bagian timur Amerika Utara
bahkan lebih buruk lagi.Setengah daratan mereka terendam
air.Waktu Elector pertama Republik menyegel perbatasan,
rakyat mereka tak punya tempat untuk mengungsi. Karena
itulah
mereka mendeklarasikan
perang terhadap
kita."Anden menegakkan tubuh. "Setelah semua ini, Elector
bersumpah tak akan membiarkan Republik jatuh dengan
cara seperti itu lagi, jadi dia dan Senat memberi militer
tingkat kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal itu bertahan sampai hari ini.Ayahku dan ElectorElector sebelum dia telah memastikan segalanya tetap
seperti itu."
Dia menggelengkan kepala dan mengusap wajah
dengan tangannya sebelum melanjutkan, "Seharusnya Ujian
diadakan untuk mendorong kerja keras dan fisik yang atletis
demi memproduksi lebih banyak orang berkualitas militer
? dan berhasil. Tapi, Ujian juga digunakan untuk
menyingkirkan
yang
lemah?juga
yang
berjiwa
pemberontak. Dan secara berangsur-angsur, Ujian juga
digunakan untuk mengendalikan kelebihan populasi."
Yang lemah dan yang berjiwa pemberontak. Aku
gemetar. Day masuk kategori kedua. "Jadi, kau tahu apa
Pendekar Pedang Matahari 2 Misteri Batu Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga Pendekar Rajawali Sakti 78 Perawan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama