Ceritasilat Novel Online

Prodigy 5

Prodigy Karya Marie Lu Bagian 5

yang terjadi pada anak-anak yang gagal dalam Ujian?"

tanyaku. "Itu dilakukan untuk mengontrol kelebihan

populasi?"

"Ya." Kening Anden berkerut saat dia berusaha

menjelaskan."Pada awalnya,tujuan Ujian memang masuk

akal. Ujian dimaksudkan untuk menjaring yang terbaik dan

~205~



yang paling bugar untuk bergabung dengan militer.Seiring

waktu, terjadi perubahan. Ujian ditawarkan ke sekolahsekolah. Tapi, itu belum cukup untuk ayahku ... beliau

hanya menginginkan yang terbaik untuk bertahan.Siapa

pun,terus terang saja,dianggap menghabiskan ruang dan

sumber daya. Ayahku selalu memberitahuku bahwa Ujian

mutlak penting agar Republik bisa tumbuh subur. Dan,

beliau mendapat banyak dukungan dari Senat karena

mencetuskan perintah tersebut, khususnya setelah kita

memenangi lebih banyak pertempuran karena hal itu."

Tanganku saling menggenggam sangat kuat di

pangkuan sehingga mulai terasa kaku. "Yah, apa

menurutmu kebijakan-kebijakan ayahmu berhasil?" tanyaku

pelan.

Anden menundukkan kepala. Dia mencari kata-kata

yang tepat."Bagaimana aku bisa menjawab itu?

Kebijakankebijakan beliau memang berhasil. Ujian memang

membuat pasukan kita lebih kuat. Tapi, apa itu menjadikan

segala yang dilakukannya benar? Aku memikirkan itu

sepanjang waktu."

Aku menggigit bibir,mendadak mengerti kebingungan

yang pasti Anden rasakan. Cintanya pada ayahnya

bertentangan dengan visinya untuk Republik.

"Apa yang benar itu sifatnya relatif, ya kan?" kataku.

Anden mengangguk. "Dalam beberapa hal, tidak

penting kenapa semuanya dimulai,atau apakah hal itu

mulanya benar. Intinya adalah: seiring waktu, hukum

berkembang dan berubah. Awalnya Ujian bukan untuk

anak-anak, juga tidak mengistimewakan yang kaya. Wabah

...." Dia bimbang, lalu menghindari topik itu sama sekali.

"Publik marah, tapi Senat takut mengubah hal-hal yang

mungkin bisa menyebabkan mereka kehilangan kendali

lagi.Dan bagi mereka, Ujian adalah cara untuk

meningkatkan kekuatan Republik."

Ada kesedihan mendalam di wajah Anden. Aku bisa

mengerti rasa malu yang dia rasakan karena mewarisi

sesuatu seperti itu.

"Maaf," kataku dengan suara rendah. Kurasakan

dorongan mendadak untuk menyentuh tangannya,

menemukan cara untuk menghiburnya.

~206~



Bibir Anden tertarik ke atas, membentuk senyum

ragu-ragu. Aku bisa melihat jelas hasratnya?kelemahannya

yang berbahaya?dan bahwa ia menginginkan aku. Kalau

sebelumnya aku pernah ragu, sekarang aku tahu pasti.

Dengan cepat aku berpaling, setengah berharap menatap

pemandangan bersalju mungkin bisa meredakan panas di

pipiku.

"Beri tahu aku," bisiknya. "Apa yang akan kau lakukan

kalau kau jadi aku? Apa tindakan pertamamu kalau menjadi

Elector Republik?"

Aku menjawab tanpa ragu."Mendapatkan hati rakyat,"

kataku. "Senat takkan punya kekuatan atas dirimu kalau

publik bisa mengancam mereka dengan revolusi.Kau butuh

dukungan rakyat, dan mereka butuh pemimpin."

Anden kembali bersandar di kursinya. Cahaya lampu

gerbong yang hangat mengenai mantelnya, membingkai

sosoknya dalam warna keemasan.Sesuatu dalam percakapan

kami telah memberinya ilham; mungkin itu gagasan yang

telah lama dia pikirkan.

"Kau akan jadi Senator yang hebat, June," katanya.

"Kau akan jadi rekan baik untuk Electormu?dan publik

mencintaimu."

Pikiranku mulai berputar. Aku bisa tetap di sini, di

Republik, dan membantu Anden. Menjadi Senator saat aku

sudah cukup umur. Memperoleh hidupku kembali.

Meninggalkan Day bersama Patriot. Aku tahu betapa

egoisnya pikiran ini, tapi aku tidak bisa menghentikannya.

Apa salahnya sih jadi egois? Pikirku pahit. Saat ini aku bisa

langsung memberi tahu Anden segalanya tentang rencana

Patriot?tanpa peduli apakah kabar ini akan terdengar oleh

Patriot atau apakah mereka akan menyakiti Day karenanya

?dan kembali ke kehidupan mewah dan aman sebagai

pejabat elite pemerintah. Aku bisa menghormati kenangan

akan kakakku dengan perlahan-lahan mengubah negeri ini

dari dalam. Tidak bisakah?

Mengerikan. Kubuang fantasi gelap itu. Pikiran untuk

meninggalkan Day dengan cara seperti itu,atau sepenuhnya

mengkhianati dia, takkan pernah memeluknya lagi, takkan

pernah melihatnya lagi, membuatku menggertakkan gigi

karena merasa terluka. Kupejamkan mata sejenak dan

~207~



kuingat-ingat

tangannya

yang

kapalan

tapi

lembut.Tidak,aku takkan pernah bisa melakukannya. Aku

tahu itu dengan keyakinan buta yang membuatku takut.

Setelah segala yang kami berdua korbankan, jelas kami

berhak untuk hidup?atau apalah?bersama setelah semua

ini usai.Kabur ke Koloni, atau membangun kembali

Republik? Anden menginginkan bantuan Day; kami semua

bisa bekerja sama. Bagaimana aku bisa tahan berpaling dari

cahaya di ujung terowongan? Aku harus kembali padanya.

Aku harus memberi tahu Day semuanya.

Kulakukan apa yang pertama kali harus kulakukan.

Kucoba merumuskan cara terbaik untuk memperingatkan

Anden sekarang, selagi kami akhirnya sendirian. Tidak

banyak yang bisa kukatakan saat ini. Terlalu banyak

memberitahunya mungkin akan membuatnya melakukan

sesuatu yang memberi petunjuk pada Patriot tentang

pengkhianatanku.Tetap saja,kuputuskan untuk berusaha

melakukan yang terbaik. Setidaknya, dia harus percaya

padaku tanpa bertanya-tanya. Aku butuh dia di belakangku

saat aku menyabotase perubahan rute kereta yang Patriot

rencanakan.

"Kau percaya padaku?"Kali ini aku mengelus tangannya

dengan tanganku.

Anden menegang, tapi tidak menarik diri. Matanya

menyelidiki wajahku, barangkali bertanya-tanya apa yang

melintas di kepalaku saat aku memejamkan mata."Mungkin

aku harus menanyakan pertanyaan yang sama

padamu,"sahutnya, dengan senyum bimbang di bibirnya.

Kami berdua bicara dalam dua tingkat, merujuk pada

rahasia bersama. Aku mengangguk padanya, berharap dia

akan menganggap serius kata-kataku."Kalau begitu,lakukan

apa yang kukatakan saat kita tiba di Pierra. Janji? Semua

yang kukatakan."

Dia

memiringkan

kepala,

alisnya

berkerut

kebingungan. Lalu, dia mengangkat bahu dan mengangguk

setuju. Tampaknya dia mengerti aku sedang berusaha

memberitahukan sesuatu tanpa mengatakannya keras-keras.

Ketika waktunya tiba bagi kelompok Patriot untuk

beraksi,kuharap Anden ingat janjinya ini.[]

~208~



AKU, PASCAO,

DAN

PARA

BURONAN LAIN

menghabiskan setengah hari penuh di permukaan

tanah setelah misi kereta api. Kami berdesakan di

gang-gang sempit atau di atas atap rusak, menghindari

para tentara yang menyisir jalanan di dekat stasiun.

Baru ketika akhirnya matahari mulai terbenam, kami

punya kesempatan untuk kembali, satu per satu, ke

markas Patriot di bawah tanah. Baik Pascao maupun

aku tidak mengungkit apa yang terjadi di kereta.

Jordan, Buronan pemalu dengan rambut kepang

berwarna tembaga, dua kali menanyaiku apakah aku

baikbaik saja. Aku tidak menghiraukannya.

Yeah, memang ada sesuatu yang salah. Bukankah

itu "kalimat paling menganggap sepele masalah"

terpopuler?

~209~



Saat kami kembali, semua orang sudah siap pergi

ke

Pierra?beberapa menghancurkan dokumen,

sementara yang lain menyapu bersih data-data di

komputer. Suara Pascao menjadi pengalih perhatian

yang menyenangkan.

"Kerja bagus, Day," ujarnya. Dia duduk di meja,

bersandar pada dinding belakang bungker. Dia

membuka bagian samping jaketnya, tempat dia

menyimpan lusinan pak granat yang dicuri dari kereta.

Dengan hati-hati, dia memasukkan setiap pak itu ke

dalam sebuah boks yang penuh tempat telur kosong.

Dia mengedik ke layar di bagian kanan jauh dinding

belakang. Layar itu sedang menayangkan rekaman

sebuah alun-alun kota, di mana sekelompok orang

berkerumun mengelilingi sesuatu yang dicat semprot di

sisi sebuah bangunan.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lihat itu."

Kubaca apa yang orang-orang itu cat di dinding.

"Day hidup!" tertulis berantakan di sepanjang

bangunan, setidaknya ada tiga atau empat. Yang

menonton bersorak?beberapa di antara mereka

bahkan memegang poster buatan tangan dengan

tulisan sama.

Kalau saja pikiranku tidak penuh dengan Eden,

isyarat tidak jelas June, atau Tess, aku akan senang

sekali melihat hasil yang kutimbulkan.

"Trims," sahutku, mungkin sedikit terlalu tajam.

"Senang mereka menyukai pertunjukan kita."

Pascao bersenandung riang perlahan, tidak

mengacuhkan intonasi tajamku. "Sana, lihat apa kau

bisa membantu Jordan."

Saat aku berjalan menuju aula, aku melewati Tess.

Baxter berjalan di sampingnya?butuh sedetik bagiku

untuk sadar, dia berusaha merangkul leher Tess dan

membisikkan sesuatu di telinganya. Tess mendorongnya

menjauh saat melihatku. Aku hampir mengatakan

sesuatu padanya saat Baxter menubruk bahuku keras,

cukup keras sampai aku terdorong mundur beberapa

langkah dan topiku terlepas dari kepala. Rambutku

tergerai jatuh.

~210~



Baxter menyeringai padaku, belang hitam tentara

masih menggelapkan sebagian besar wajahnya.

"Minggir!" bentaknya. "Kau pikir kau yang punya tempat

ini?"

Aku menggertakkan gigi, tapi mata lebar Tess

membuatku menahan diri. Dia tidak berbahaya, kataku

pada diri sendiri. "Minggir saja dari jalanku," balasku

kaku seraya berjalan pergi.

Kudengar Baxter menggumamkan sesuatu di

belakangku. Itu cukup untuk membuatku berhenti dan

menghadapinya lagi. Mataku menyipit. "Apa katamu?."

Dia nyengir, memasukkan kedua tangan ke saku

celana dan mengangkat dagu. "Kubilang, kau cemburu

ya, gadismu melacurkan diri pada Elector?"

Aku hampir bisa mengabaikan kata-kata itu.

Hampir. Tapi pada saat itu, Tess angkat bicara dan

mendorong Baxter dengan kedua tangannya. "Jangan

ganggu dia, oke? Dia mengalami malam yang berat."

Baxter menggumamkan sesuatu dengan kesal, lalu

balas mendorong Tess kasar. "Kau idiot karena percaya

pada pencinta Republik seperti dia, Gadis Kecil."

Kemarahanku meledak. Aku tak pernah suka baku

hantam?aku selalu berusaha menghindari itu di jalanan

Lake. Namun, seluruh kemarahan yang terpendam

dalam diriku membanjiri pembuluh darahku saat kulihat

tangan Baxter menyentuh Tess.

Aku menerjang ke depan dan meninju rahangnya

sekeras yang kubisa.

Dia menabrak salah satu meja dan jatuh ke lantai.

Segera saja orang-orang lain yang berada di dekat situ

meledak dalam sorak-sorai dan teriakan, membentuk

lingkaran sambil mengelilingi kami berdua. Sebelum

Baxter bisa berdiri, aku melompat ke arahnya. Dua kali

tinjuku mengenai wajahnya.

Dia menggeram. Mendadak, kemujurannya karena

memilikitubuhbongsormengambilalih.Diamendorongkucukup

keras sampai aku terlempar ke samping meja

komputer. Kemudian, dia menarikku bangun,

mencengkeram jaketku, dan menghempaskanku ke

dinding.

Dia

mengangkatku

hingga

kakiku

~211~



menggantung, lalu menjatuhkanku dan melayangkan

bogem ke perutku, membuatku terengah.

"Kau bukan salah satu dari kami. Kau salah satu

dari mereka," desisnya. "Kau sengaja, ya, tidak

mengikuti rencana kita pada misi kereta api kemarin?"

Kurasakan sebelah lututnya menghantam pinggangku.

"Yah, aku akan membunuhmu, kau penipu kotor sialan.

Aku akan mengulitimu hidup-hidup."

Aku terlalu marah untuk merasakan sakitnya. Aku

berhasil menekuk sebelah kakiku, lalu kutendang

dadanya sekeras yang kubisa. Dari sudut mataku,

kulihat beberapa anggota Patriot dengan cepat

bertukar taruhan. Pertarungan Skiz tanpa persiapan.

Sesaat, Baxter mengingatkanku pada Thomas, dan

mendadak yang kulihat adalah jalanan lamaku di Lake,

dengan Thomas mengacungkan senapan pada ibuku

dan para tentara menyeret John ke jip yang sudah

menunggu. Mengikat Eden ke ranjang dorong lab.

Menangkap June. Menyakiti Tess. Tepi mataku berubah

merah. Kuterjang Baxter lagi dan mengayunkan lengan

ke arah wajahnya.

Tapi Baxter sudah siap. Dia menangkis lenganku

dan melemparkan seluruh bobot tubuhnya padaku.

Punggungku terbanting keras ke lantai. Baxter

menyeringai, lalu mencekik leherku dan siap

menyorongkan tinju ke sisi wajahku.

Tiba-tiba dia melepaskanku. Aku mengembuskan

napas ketika berat tubuhnya terangkat dari dadaku,

lalu memegangi kepala saat salah satu dari rentetan

sakit kepalaku pecah dalam rasa sakit berskala penuh.

Dari suatu tempat di atasku, aku bisa dengar suara

Tess, juga Pascao yang berteriak pada Baxter untuk

mundur. Semua orang bicara bersamaan. Satu . Dua

. Tiga . Aku menghitung angka-angka dalam

kepalaku, berharap latihan kecil ini mengalihkanku dari

rasa sakit. Dulu, jauh lebih mudah menangkal sakit

kepala ini. Mungkin Baxter telah memukul kepalaku dan

aku bahkan tidak menyadarinya.

"Kau tidak apa-apa?" Sekarang, tangan Tess

berada di lenganku, menarikku berdiri.

~212~



Aku masih pusing gara-gara sakit kepalaku, tapi

kemarahanku sudah lenyap. Tiba-tiba kusadari rasa

sakit membakar di pinggangku.

"Tidak apa-apa," sahutku serak sambil memeriksa

wajah Tess. "Apa dia menyakitimu?"

Baxter membelalak padaku dari tempat Pascao

berusaha membuatnya diam. Orang-orang lain di sekitar

kami telah kembali ke urusan masing-masing,

kemungkinan kecewa karena pertarungannya tidak

berlangsung lebih lama. Aku bertanya-tanya siapa yang

mereka putuskan sebagai pemenang.

"Aku baik-baik saja," kata Tess. Terburu-buru dia

mengusap rambut bobnya. "Jangan khawatir."

"Tess!" Pascao berseru pada kami. "Coba periksa

apa Day perlu diobati seadanya. Jadwal kita padat, nih."

Tess membimbingku di sepanjang koridor, menjauh

dari ruang bersama. Kami masuk ke salah satu kamar

di bungker ini yang telah diubah menjadi rumah sakit

sementara, lalu menutup pintunya. Kami dikelilingi

tumpukan rak-rak dengan berbagai macam botol pil dan

boks perban. Sebuah meja berada di tengah kamar,

menyisakan hanya sedikit ruang untuk berjalan.

Sekarang, aku bersandar ke meja itu, sementara Tess

menggulung lengan bajunya.

"Ada bagian tubuhmu yang terasa sakit?" tanyanya.

"Tidak," ulangku. Namun, tepat saat aku

mengatakannya, dahiku berkerut dan aku langsung

memegangi pinggangku. "Oke, mungkin sedikit

terbentur."

"Coba kulihat," kata Tess tegas. Dia menyingkirkan

tanganku, lalu membuka kancing kemejaku. Bukan

berarti Tess tak pernah melihatku tanpa baju (aku lupa

sudah berapa kali dia harus mengobatiku), tapi

sekarang ada kecanggungan hebat yang melanda kami.

Pipinya merona merah jambu saat dia menyapukan

tangan di dada dan perutku, kemudian menekankan

jari-jarinya ke pinggangku.

Aku menarik napas tajam saat dia menyentuh titik

sensitif. "Yeah, di situlah lututnya menyodokku."

Tess mempelajari wajahku. "Merasa mual?"

"Tidak."

~213~



"Harusnya kau tidak melakukan itu," katanya

sembari bekerja. "Katakan ?ah?." Kubuka mulutku. Dia

menyentuhkan tisu ke hidungku, memeriksa kedua

telingaku, dan terburu-buru pergi sebentar. Dia kembali

dengan satu pak es. "Ini. Taruh ini di bagian yang sakit."

Kulakukan apa yang disuruhnya. "Kau sudah jadi

sangat profesional."

"Aku belajar banyak dari Patriot," sahut Tess. Saat

dia berhenti memeriksa dadaku cukup lama dan

menghadapkan wajahnya padaku, tatapanku terkunci

padanya. "Baxter cuma tidak suka pada

ketertarikanmu pada gadis yang dulunya tentara

Republik," gumamnya. "Tapi jangan biarkan dia

memancingmu, oke? Tak ada gunanya membuat dirimu

terbunuh di sini."

Aku teringat lengan Baxter di sekeliling leher Tess.

Emosiku membara lagi, dan mendadak aku merasa

harus menjaga Tess seperti yang kulakukan waktu di

jalanan dulu.

"Hei, Sepupu," kataku lembut. "Aku benar-benar
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minta maaf atas apa yang kukatakan padamu. Tentang

kau tahulah."

Pipi Tess semakin memerah.

Aku berjuang mencari kata-kata yang tepat. "Kau

tidak butuh aku untuk menjagamu," kataku sambil

tertawa malu, lalu menjentik hidungnya sekali.

"Maksudku, mungkin kau sudah ribuan kali dibuat repot

olehku. Aku selalu butuh bantuanmu lebih dari kau

membutuhkanku."

Tess bergeser mendekat dan menundukkan

pandangan malu-malu, bahasa tubuh yang menolongku

melupakan masalah-masalahku. Terkadang, aku lupa

betapa manisnya kasih sayang Tess yang tak pernah

berubah, bagai batu yang selalu bisa kusandari pada

saat-saat terburuk. Walaupun hari-hari kami di Lake

adalah perjuangan, sekarang hari-hari itu terlihat jauh

lebih sederhana. Kudapati diriku berharap kami bisa

kembali ke masa itu, berbagi potongan makanan dan

apa pun yang bisa kami dapat.

Seandainya June di sini, apa yang akan terjadi?

~214~



Mung-kin dia akan menyerang Baxter sendiri. Dan

mungkin dia bisa melakukannya jauh lebih baik dariku,

seperti dalam segala hal. Dia takkan butuh aku sama

sekali.

Tangan Tess berlama-lama di dadaku, tapi dia tidak

memeriksa memarku lagi. Aku tersadar betapa

dekatnya dia. Matanya kembali tertuju padaku?besar,

berwarna cokelat pekat dan tidak seperti mata June,

sangat mudah dibaca. Bayangan June mencium Elector

muncul lagi di pikiranku, memori yang melilit perutku

layaknya pisau. Sebelum aku bisa berpikir apa-apa lagi,

Tess mencondongkan tubuh dan menciumku. Pikiranku

kosong, sepenuhnya terguncang. Gelenyar singkat

sempat melandaku.

Dalam kekakuanku, aku tidak menepisnya.

Kemudian, aku tersentak menjauh. Telapak

tanganku berkeringat dingin. Apa itu tadi? Harusnya

aku tahu ini akan terjadi dan langsung menghentikan

diri. Kuletakkan tangan di bahunya. Saat kulihat ada

kilatan luka di matanya, kusadari betapa besarnya

kesalahan yang baru saja kulakukan.

"Aku tidak bisa, Tess."

Tess mengembuskan napas jengkel. "Memangnya

kau sudah menikah dengan June?"

"Tidak. Aku cuma ." Kata-kataku lenyap begitu

saja, sedih dan tak berdaya. "Maaf. Harusnya aku tidak

melakukan itu?setidaknya, tidak sekarang."

"Bagaimana dengan fakta bahwa June mencium

Elector? Bagaimana dengan itu? Apa kau benar-benar

akan setia pada seseorang yang bahkan bukan

milikmu?"

June, selalu June. Sesaat aku membencinya, dan

bertanya-tanya apakah segalanya akan lebih baik andai

kami tak pernah bertemu. "Ini bukan tentang June,"

kataku. "June sedang memainkan peran, Tess."

Perlahan-lahan aku menjauh dari Tess sampai kami

terpisah pada jarak yang aman. "Aku belum siap hal

seperti ini terjadi di antara kita. Kau sahabat baikku?

aku tak ingin tanpa sadar menyesatkanmu."

Tess mengangkat tangan dalam kemarahan. "Kau

~215~



mencium sembarang gadis di jalanan tanpa pikir

panjang. Tapi kau bahkan tidak?"

"Kau bukan sembarang gadis di jalanan," teriakku.

"Kau Tess."

Tatapannya

padaku

menyala-nyala.

Dia

melampiaskan rasa frustrasinya dengan menggigit

bibirnya keras-keras sampai berdarah. "Aku tidak

mengerti kau, Day." Setiap kata menghantamku

dengan kekuatan terukur. "Aku tidak mengerti kau

sama sekali, tapi tetap saja aku akan berusaha

menolongmu. Apa kau benar-benar tidak bisa lihat,

betapa June-mu yang berharga itu telah mengubah

hidupmu?"

Kupejamkan mata sambil menekan kedua tangan

ke pelipis. "Hentikan."

"Kau pikir kau bisa jatuh cinta pada gadis yang kau

kenal kurang dari sebulan, gadis yang?yang

bertanggung jawab atas kematian ibumu? Kematian

John?"

Ia mengulang apa yang dulu dia katakan padaku di

kamar bungker. "Sialan. Tess, itu bukan salahnya?"

"Bukan?" Tess meludah. "Day, mereka menembak

ibumu gara-gara June! Tapi, kau bersikap seolah kau

mencintai-nya?

Sementara

aku,

aku

selalu

menolongmu?aku telah berada di sisimu sejak hari

pertama kita bertemu. Kau pikir aku kekanakkanakan? Yah, aku tak peduli. Aku tak pernah bicara

apa-apa soal gadis-gadis lain yang pernah bersamamu,

tapi aku tak tahan melihatmu memilih gadis yang selalu

menyakitimu. Apa June sudah minta maaf padamu atas

apa yang terjadi? Perlukah dia memohon untuk

mendapatkan maafmu? Ada apa denganmu?"

Melihatku tetap diam, dia meletakkan sebelah

tangan di lenganku. "Kau mencintainya?" dia berkata,

kali ini lebih lembut. "Dia mencintai-mu?"

Mencintainya? Aku sudah mengatakan itu padanya

di kamar mandi Vegas, dan aku sungguh-sungguh. Tapi,

dia tidak membalas pernyataan itu, kan? Mungkin dia

tak pernah merasakan hal yang sama?mungkin aku

~216~



cuma menipu diri sendiri.

"Aku tak tahu, oke?" balasku. Kata-kataku

terdengar lebih marah daripada yang sebenarnya

kurasakan.

Tess gemetar. Sekarang dia mengangguk, tanpa

suara mengambil pak es dari pinggangku, dan

mengancingkan kembali bajuku. Jurang di antara kami

melebar. Aku bertanya-tanya apakah aku akan pernah

bisa mencapai sisi seberang lagi.

"Kau akan baik-baik saja," ujarnya datar seraya

berbalik. Dia berhenti di depan pintu, memunggungiku.

"Percayalah, Day. Aku mengatakan ini demi kau. June

akan mematahkan hatimu. Aku sudah bisa lihat itu. Dia

akan menghancurkanmu berkeping-keping."[]

~217~



Gedung Pengadilan Olan Pierra.

Sekitar pukul 09.00.

29? Fahrenheit di Luar.

Akhirnya hari pembunuhan anden tiba, dan aku punya

tiga jam sebelum Patriot bergerak.

Malam sebelumnya, aku kembali dikunjungi oleh

penjaga yang sama dengan yang pernah memberiku pesan

dari Patriot. "Kerja bagus," wanita itu berbisik di telingaku

sementara aku berbaring di kasur, sepenuhnya terjaga.

"Besok kau akan diampuni oleh Elector dan para

Senatornya, dan mereka akan memvonismu bebas di

Gedung Pengadilan Olan Pierra. Sekarang, dengarkan baikbaik. Saat urusan kalian sudah selesai di gedung pengadilan,

jip Elector akan menyertai kalian semua kembali ke markas

besar militer Pierra. Kelompok Patriot akan menunggu di

~218~



sepanjang rute itu."

Tentara tersebut berhenti sebentar, kalau-kalau aku

punya pertanyaan. Tapi, aku hanya menatap lurus ke atas.

Aku sudah bisa menebak apa yang Patriot ingin aku

lakukan?mereka ingin aku memisahkan Anden dengan

pengawal-pengawalnya. Kemudian, Patriot akan menyeret

Anden keluar dari jipnya dan menembaknya. Mereka akan

merekam peristiwa itu, lalu mengumumkannya ke seluruh

Republik dengan menggunakan pengeras suara yang

kabelnya sudah diutak-atik, juga melalui JumboTrons di

Menara Gedung Parlemen Denver.

Saat aku tidak mengatakan apa pun, tentara itu

berdeham dan buru-buru melanjutkan, "Perhatikan ledakan

di jalan itu nanti. Saat kau mendengarnya, minta Anden

memerintahkan konvoinya untuk mengambil rute berbeda.

Pastikan kau memisahkan Elector dengan para pengawalnya

?katakan padanya untuk memercayaimu. Kalau kau sudah

menyelesaikan tugasmu, dia akan mengikuti kata-katamu."

Tentara itu tersenyum singkat padaku. "Saat Anden

terpisah dari jip lainnya, serahkan sisanya pada kami."

Kuhabiskan sisa malam itu dalam keresahan.

Sekarang, sementara aku dikawal ke bangunan utama

gedung pengadilan, kuperiksa bubungan atap dan ganggang kecil di bangunan-bangunan lain sepanjang jalan.

Kuawasi mata Patriot, bertanya-tanya apakah sepasang mata

di antaranya berwarna biru terang. Hari ini Day akan

berada di antara Patriot di luar sini. Di balik sarung tangan

hitamku,

tanganku

dingin

karena

keringat.

Bahkan,meskipun Day melihat isyaratku, akankah dia

mengerti apa yang kumaksud? Akankah dia menghentikan
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa yang sedang dilakukannya dan lari?

Saat aku menuju pintu masuk melengkung besar ruang

pengadilan, sesuai kebiasaanku,kuhafalkan nama-nama jalan

dan lokasi?di mana basis militer utama, di mana rumah

sakit Pierra yang menjulang di kejauhan. Aku seperti bisa

merasakan anggota Patriot bersiap ke posisi masing-masing.

Ada keheningan di udara, meskipun bangunan-bangunan

di sini padat rapat dan jalanan-jalanannya sempit. Baik

tentara maupun warga sipil (kebanyakan dari mereka orang

miskin dan bertugas untuk merawat pasukan) berdengung

~219~



ramai di sepanjang jalan. Beberapa tentara berseragam di

jalanan menatap kami cukup lama. Dengan hati-hati,

kuperhatikan mereka. Itu pasti anggota Patriot yang

mengawasi kami.

Bahkan di dalam gedung pun, udaranya cukup dingin

untuk membuat napasku beruap dan tubuhku terus

menggigil. (Tinggi langit-langitnya paling tidak enam

meter, dan lantainya?ditinjau dari suara sepatu bot beradu

dengannya?adalah lantai kayu buatan yang mengilap.

Tidak terlalu bagus untuk menahan panas pada musim

dingin.)

"Acaranya bakal berapa lama?" tanyaku pada salah seorang penjaga, saat mereka mengawalku ke kursi di depan

ruang pengadilan. Sepatu botku (hangat, terbuat dari kulit

tahan air) menimbulkan gema kasar saat beradu dengan

lantai. Aku menggigil meskipun aku memakai mantel

dengan dua kolom kancing.

Penjaga yang kuajak bicara memberiku anggukan tak

nyaman. "Tidak lama, Miss Iparis," jawab wanita itu

dengan kesopanan terlatih. "Elector dan para Senator

sedang dalam perundingan final. Kemungkinan akan makan

waktu setidaknya setengah jam lagi."

Betul-betul menarik. Karena hari ini Elector sendiri

mengampuniku, para penjaga tidak yakin bagaimana harus

bersikap. Mengawalku layaknya penjahat? Atau, bersikap

khidmat seolah aku Agen berpangkat tinggi di salah satu

kelompok patroli ibu kota?

Penantianku terus berlangsung. Aku merasa sedikit

pusing. Aku telah diberi obat setelah akhirnya mengatakan

keluhanku pada Anden tadi pagi, tapi itu tidak ada efeknya.

Kepalaku masih terasa berat, dan aku kesulitan menjaga

hitungan waktu di kepalaku.

Akhirnya, setelah aku menghitung 26 menit

(kemungkinan salah tiga atau empat detik), Anden muncul

dari pintu jauh di ujung ruangan dengan sekelompok

pejabat di belakangnya. Jelas sekali tidak semua orang

senang. Beberapa Senator tampak menentang, mulut

mereka terkatup dalam garis tegas. Kusadari Senator

Kamion ada di antara mereka, pria yang berdebat dengan

Anden di kereta dalam perjalanan kemari. Rambut

~220~



kelabunya tampak tidak rapi hari ini. Ada pula Senator lain

yang kuingat dari berita yang kadangkadang muncul,

Senator O?Connor?seorang wanita gemuk berlemak

dengan rambut merah lemas dan mulut seperti kodok. Aku

tak kenal yang lainnya.

Di samping para Senator, dua jurnalis mengapit

Anden. Yang satu kepalanya menunduk, dengan kecepatan

tinggi mencatat kata-kata Anden di papan catatan

elektronik. Sementara yang satunya lagi berusaha menjaga

perekam suara miliknya cukup dekat dengan Anden.

Aku bangkit saat mereka tiba di tempatku. Para

Senator yang sibuk cekcok sendiri kini terdiam. Anden

mengangguk pada penjaga-penjagaku.

"June Iparis, Kongres telah mengampuni seluruh

kejahatanmu melawan Republik dengan syarat kau akan

melanjutkan pengabdianmu pada negara dengan segenap

kemampuan terbaikmu. Apa kita sudah sepaham, Miss

Iparis?"

Aku mengangguk. Bahkan,gerakan kecilini membuatku

pusing.

"Ya, Elector."

Juru tulis di samping Anden buru-buru mencatat katakata kami. Layar papan catatannya berkedip di bawah

jemarinya yang menari-nari.

Anden menangkap kelesuanku. Dia pasti tahu

kondisiku tidak membaik. "Kau akan memasuki masa

percobaan sebagaimana yang dianjurkan padaku oleh para

Senatorku. Selama itu kau akan dipantau lekat-lekat sampai

kami semua setuju kau siap kembali bertugas. Kau akan

ditempatkan di kelompok patroli ibu kota. Kami akan

mendiskusikan kelompok patroli mana yang akan kau

masuki setelah kami semua tiba di markas besar Pierra siang

ini." Dia mengangkat alis dan menoleh ke kanan kirinya.

"Senator? Ada komentar?"

Mereka tetap diam. Akhirnya, salah satu dari mereka

bicara dengan cibiran samar terselubung. "Mengertilah

bahwa kau belum sepenuhnya bebas, Agen Iparis. Kau akan

diawasi sepanjang waktu. Kau harus menganggap keputusan

kami ini sebagai tindakan yang sangat murah hati."

"Terima kasih, Elector," sahutku, menyentuh kepalaku

~221~



dalam gerakan hormat singkat sebagaimana yang akan

tentara mana pun lakukan. "Terima kasih, Senator."

"Terima kasih atas semua bantuanmu," kata Anden

seraya membungkuk sedikit. Aku tetap menundukkan

kepala sehingga tak perlu menatap matanya dan melihat

dua lapis makna dalam kata-katanya?dia berterima kasih

padaku atas bantuan yang kelihatannya kuberikan untuk

melindunginya, juga atas bantuan yang dia inginkan dari

Day dan aku.

Di suatu tempat di luar sana, Day siap dalam posisi

seperti anggota Patriot yang lain. Pikiran itu membuatku

muak sekaligus cemas.

Para tentara mulai mengawal rombongan kami kembali

ke depan gedung konferensi menuju kendaraan kami masing-masing. Aku melangkah dengan hati-hati, berusaha

keras mempertahankan fokus. Sekarang,bukan saatnya gagal

gara-gara sakit. Kujaga pandanganku tetap ke arah pintu

masuk gedung. Sejak di kereta waktu itu, ini satu-satunya

ide yang kumantapkan karena kupikir akan berhasil.

Sesuatu yang mengacaukan semua rancangan waktu Patriot

?sesuatu yang bisa kulakukan untuk mencegah kami

menuju gedung militer utama Pierra.

Kuharap ini berhasil. Aku tidak bisa menoleransi

kesalahan.

Tiga meter dari pintu, aku tersandung. Segera saja aku

memperbaiki posisi dan melanjutkan berjalan, tapi

kemudian aku tersandung lagi. Bisik-bisik di antara Senator

mulai terdengar di belakangku. Salah satu dari mereka

membentak, "Ada apa ini?"

Lalu ada Anden, wajahnya melayang-layang di atas

wajahku. Dua pengawalnya melompat ke depannya.

"Elector, Sir," kata salah seorang di antara mereka, "tolong

mundurlah. Kami akan mengurus ini."

"Apa yang terjadi?" tanya Anden, mulanya pada para

tentara itu, kemudian padaku. "Kau terluka?"

Tidak sulit bagiku berpura-pura hampir pingsan.

Dunia di sekelilingku memudar, lalu menajam kembali.

Kepalaku sakit. Aku mengangkat kepala dan berkontak

mata dengan Anden, lalu kubiarkan diriku jatuh ke lantai.

Seruan-seruan terkejut mendengung di sekitarku. Aku

~222~



senang saat kudengar suara Anden lebih keras daripada yang

lain, mengatakan tepat apa yang kuharap akan dia katakan,

"Bawa dia ke rumah sakit. Segera." Dia ingat potongan

terakhir nasihatku padanya, apa yang kukatakan padanya di

kereta.

"Tapi, Elector?" pengawal yang sama dengan yang

tadi berusaha menghalanginya protes.

Nada

suara

Anden

sekeras

baja.

"Kau

mempertanyakanku, Serdadu?"

Tangan-tangan kukuh membantuku berdiri. Kami

melewati pintu dan kembali ke cahaya pagi yang mendung.

Kusipitkan mata ke sekelilingku, masih mencari wajahwajah yang mencurigakan. Mungkinkah para pengawal

yang memegangiku adalah anggota Patriot yang menyamar?

Aku melempar pandangan sekilas pada mereka, tapi ekspresi

mereka sepenuhnya kosong. Adrenalin membanjiriku?aku

sudah mulai bergerak. Kelompok Patriot tahu aku telah

menyimpang dari rencana, tapi mereka tak tahu aku

melakukannya dengan sengaja. Yang penting, rumah sakit

berada di rute yang berlawanan dengan yang menuju mabes

militer Pierra, di mana kelompok Patriot sudah siap dan

menunggu. Anden akan mengikutiku. Kelompok Patriot

takkan punya waktu untuk mengatur ulang posisi mereka.

Dan, jika anggota Patriot yang lain mendengar ini,

berarti Day juga. Kupejamkan mata, berharap dia bisa

mengikuti ini semua. Kucoba mengirim pesan tanpa suara

padanya. Larilah. Kalau kau dengar aku telah menyimpang

dari rencana, larilah secepat yang kau bisa.

Seorang tentara menaikkanku ke jok belakang di salah

satu jip yang sudah menunggu. Anden dan para

pengawalnya naik ke jip di depan kami. Para Senator,

kebingungan dan marah, masuk ke mobil-mobil mereka

yang biasa. Kupaksakan seulas senyum di wajahku saat aku

duduk terkulai di kursiku, menatap tajam ke luar jendela.

Jip itu menggerung saat mesinnya menyala dan melaju.

Dari kaca depan mobil, kulihat jip Anden memimpin kami

menjauh dari gedung konferensi.

Kemudian, saat aku sedang menyelamati diri sendiri
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena rencana cemerlangku, kusadari bahwa jip kami tetap

melaju ke mabes militer. Semua jip ini tidak menuju rumah

~223~



sakit sama sekali. Kesenangan sesaatku lenyap. Rasa takut

menggantikannya.

Salah satu penjagaku juga menyadari itu. "Hei, Sopir,"

serunya pada tentara yang mengemudi. "Salah jalur. Rumah

sakit di sisi kiri kota." Dia mengeluh. "Seseorang, hubungi

sopir Elector. Kita?"

Si Sopir mengibaskan sebelah tangan, lalu menekan

sebelah tangannya yang tebal dan berbonggol ke telinga.

Dia berkonsentrasi mendengarkan, kemudian kembali

menatap kami dengan kening berkerut. "Negatif. Kita dapat

perintah untuk tetap pada rute awal," sahutnya.

"Komandan DeSoto bilang, Elector ingin Miss Iparis

dibawa ke rumah sakit setelah dari markas besar, tidak

sekarang."

Aku membeku. Razor pasti berbohong pada sopir

Anden?aku sangat meragukan Anden akan membiarkan

Razor memberi perintah seperti itu pada para sopir. Razor

tetap pada rencananya; dia akan memaksa kami mengambil

rute yang sudah disiapkan dengan segala cara yang dia bisa.

Tidak penting apa alasannya. Kami tetap langsung

melaju ke mabes militer Pierra langsung ke pelukan

Patriot yang sudah menunggu.[]

~224~



HARI

PEMBUNUHAN

ELECTOR

AKHIRNYA TIBA.

Hari itu datang bagai badai perubahan yang bergulung

mendekat, menjanjikan segala yang kuharapkan dan

kutakuti. Yang kuharapkan: kematian Elector. Yang

kutakuti: isyarat June.

Atau mungkin sebaliknya.

Aku masih

tak

tahu harus

bagaimana

menyikapinya. Hal itu membuatku gelisah di saat aku

seharusnya tidak merasakan apa pun, kecuali

antusiasme yang mulai meningkat. Resah, aku

menepuk-nepuk gagang pisauku. Hati-hati, June. Cuma

itu satu-satunya pikiran yang saat ini jelas berseliweran

di kepalaku. Hati-hati?demi dirimu sendiri, juga demi

kita berdua.

Aku bertengger dalam posisi berbahaya di tepi birai

~225~



jendela ambruk di bagian luar sebuah bangunan tua

bertingkat empat dan tersembunyi dari jalanan, dengan

dua granat dan sebuah pistol tersimpan aman di ikat

pinggangku. Sebagaimana anggota Patriot yang lain,

aku mengenakan jaket hitam Republik, jadi dari

kejauhan aku terlihat seperti tentara Republik. Belang

hitam kembali melintangi wajahku. Satu-satunya hal

yang membedakan kami adalah ban lengan putih di

sebelah kiri (bukannya kanan).

Dari sini, aku bisa melihat jalur rel kereta yang

membentang di sepanjang jalanan sebelah, membagi

Pierra menjadi dua. Di sebelah kananku, di sebuah

gang kecil tiga bangunan dari sini, terdapat pintu masuk

ke terowongan Pierra milik Patriot. Bungker bawah

tanahnya kini kosong. Aku sendirian di bangunan tak

terpakai ini, meski aku yakin Pascao dapat melihatku

dari tempat strategisnya di atap seberang jalan. Degup

jantungku yang sampai ke tulang rusuk mungkin bisa

terdengar bermil-mil jauhnya.

Aku mulai berpikir, untuk ratusan kalinya, tentang

alasan June ingin menghentikan pembunuhan itu. Apa

dia menemukan sesuatu yang dirahasiakan Patriot

dariku? Atau, dia melakukan apa yang Tess kira

mungkin dia lakukan?apa dia mengkhianati kami?

Keras kepala, segera kusingkirkan pikiran tersebut.

June takkan pernah melakukan itu. Tidak setelah

apa yang Republik lakukan pada kakaknya.

Mungkin June ingin menghentikan pembunuhan itu

karena dia jatuh cinta pada Elector. Kupejamkan mata

saat bayangan mereka berciuman muncul di pikiranku.

Tidak mungkin. Apakah June yang kukenal bisa

sesentimental itu?

Seluruh anggota Patriot berada di posisi?Buronan

di atap, siap dengan bahan peledak; Hacker berada

satu gedung jauhnya dari pintu masuk terowongan, siap

merekam dan menyiarkan pembunuhan Elector;

Petarung ditempatkan di sepanjang jalanan di bawah

kami dalam kostum tentara atau warga sipil, siap

mengalahkan para pengawal Elector. Tess dan

beberapa Paramedis lain tersebar, siap membawa yang

~226~



terluka

ke

terowongan.

Lebih

spesifiknya,Tessbersembunyidijalanansempityangmembatasi

sisi kiri bangunan tempatku berada. Setelah

pembunuhan itu, kami harus siap kabur, dan dialah

yang pertama yang akan kutuju.

Dan ada aku. Menurut rencana, June seharusnya

menggiring Elector menjauh dari perlindungan para

pengawalnya. Saat kami melihat jipnya melaju cepat

sendirian, para Buronan akan memotong rute kaburnya

dengan ledakan. Kemudian, aku turun ke jalan. Setelah

Patriot menyeret Anden keluar dari mobilnya, aku akan

menembaknya.

Sekarang tengah hari, tapi awan membuat dunia di

sekelilingku dingin dan berwarna kelabu tak

menyenangkan. Kuperiksa jam tanganku. Jam itu telah

disetel dengan timer pada waktu jip Elector

diperkirakan akan tiba, berdesing di sudut jalan.

Lima belas menit lagi.

Aku gemetar. Apa Elector benar-benar akan mati?di

tanganku?dalam lima belas menit? Apa rencana ini

benarbenar akan berhasil? Setelah semua ini selesai,

kapan Patriot akan menolongku menemukan dan

menyelamatkan Eden? Saat aku memberi tahu Razor

aku melihat anak laki-laki itu naik kereta, dia

memberiku respons simpatik dan berkata bahwa dia

sudah mulai berusaha melacak keberadaan Eden. Yang

bisa kulakukan hanya memercayainya. Kucoba

membayangkan Republik menjadi kacau balau setelah

pembunuhan Elector disiarkan secara luas di setiap

JumboTrons negeri ini. Jika rakyat sudah memberontak,

aku tidak tahu bagaimana reaksi mereka saat

melihatku menembak Elector. Lalu apa? Akankah

Koloni mengambil keuntungan dari situasi ini dan

menyerbu masuk ke Republik, melintasi medan perang

yang telah memisahkan kedua sisi untuk waktu yang

sangat lama?

Pemerintahan baru. Tata tertib baru. Aku gemetar

menahan gejolak semangat.

Tentu saja, ini tanpa mempertimbangkan makna

dari isyarat June. Kucoba melemaskan jari-jariku?

~227~



tanganku basah karena keringat dingin. Aku sama

sekali tidak tahu apa yang akan betul-betul terjadi hari

ini.

Earpiece-ku bergemerisik, dan aku menangkap

beberapa kata terpatah-patah dari Pascao. "?jalan

Echo dan Orange?jelas?" Suaranya menajam. "Day?"

"Aku di sini."

"Lima belas menit," ujarnya. "Sekilas info. Jordan

akan meledakkan bom pertama. Saat rombongan jip

Elector sampai ke jalan tempat dia berada, dia akan

melempar granatnya. June akan memisahkan mobil

Elector dengan yang lain. Kulempar granatku, lalu

mereka akan belok kanan ke jalanmu. Kau lempar

granatmu saat kau lihat rombongannya. Sudutkan jip itu

?dan turunlah. Mengerti?"

"Yeah. Mengerti," sahutku. "Cepat, bersiaplah di

posisimu."

Menunggu di sini memberiku perasaan mual di

perut, mengingatkanku pada malam itu ketika aku

menunggu patroli wabah sampai ke rumah ibuku.

Bahkan, malam itu tampak lebih baik dari hari ini.

Waktu itu keluargaku masih hidup, hubungan Tess dan

aku masih baik. Berkali-kali aku menarik napas dalamdalam dan mengembuskannya perlahan-lahan. Dalam

waktu kurang dari lima belas menit, aku akan melihat

rombongan Elector?dan June?datang ke jalan ini. Jarijariku mengelus pinggiran granat di ikat

pinggangku.

Semenit berlalu, dan semenit lagi.

Tiga menit. Empat menit. Lima menit. Setiap menit

terasa lebih lama dari sebelumnya. Napasku menjadi

lebih cepat. Apa yang akan June lakukan? Apa dia

benar? Bagaimana kalau dia salah? Kurasa aku siap

membunuh Elector?aku terus mengatakan ini pada

diriku selama beberapa hari belakangan, bahkan

menjadi bersemangat. Apa aku siap menyelamatkan

hidupnya, seseorang yang tak bisa kupikirkan tanpa

merasa marah? Apa aku siap darahnya menggenangi

~228~
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanganku? Apa yang June tahu dan aku tidak? Apa yang

dia tahu, yang membuat Elector pantas diselamatkan?

Delapan menit.

Lalu, tiba-tiba suara Pascao kembali lagi. "Tetap

siaga. Ada penundaan."

Aku menegang. "Kenapa?"

Jeda panjang. "Ada yang salah dengan June," kata

Pascao dalam bisikan pelan. "Dia pingsan saat

meninggalkan gedung pengadilan. Tapi jangan panik?

Razor bilang dia baik-baik saja. Kita atur ulang jamnya

mundur dua menit. Oke?"

Aku berdiri sedikit dari posisi jongkokku. June

sudah bergerak. Aku langsung tahu itu. Sesuatu

menggelitik di belakang pikiranku, indra keenam,

memperingatkanku bahwa apa pun yang telah

kurencanakan untuk kulakukan pada Elector akan

berubah, tergantung pada apa yang June lakukan

selanjutnya.

"Kenapa dia pingsan?" tanyaku.

"Entahlah. Para Pengintai bilang, kelihatannya dia

pusing atau apalah."

"Jadi sekarang, dia kembali ke rencana semula?"

"Kedengarannya kita masih jalan terus."

Masih jalan terus? Apa rencana June gagal? Aku

berdiri, berjalan cepat beberapa langkah, lalu kembali

berjongkok. Ada sesuatu yang tidak benar dengan

skenario ini. Jika kami tetap menjalankan rencana ini,

akankah aku masih melihat June datang dengan jip

yang sama seperti yang diharapkan?tapi bertentangan

dengan keinginannya? Apa kelompok Patriot tahu dia

berusaha mengubah rencana? Firasat buruk ini

menolak pergi, tak peduli betapa keras aku

mengabaikannya. Benar-benar ada yang tidak beres.

Dua menit penuh derita berlalu. Dalam

kegelisahanku, aku telah tanpa sadar mengelupas

serpihan besar cat dari gagang pisauku. Jempolku

penuh dengan serbuk hitam kecil-kecil.

Beberapa jalan dari sini, granat pertama meledak.

Tanah bergetar, bangunan-bangunan bergoyang, dan

~229~



awan debu berjatuhan dari langit-langit. Jip Elector pasti

sudah terlihat.

Kutinggalkan tempat nyamanku di birai jendela, lalu

pergi ke ruang tangga yang menuju atap. Aku tetap

menunduk dan berhati-hati agar tidak tertangkap

pandangan. Dari sini, aku bisa memperoleh

pemandangan yang lebih baik untuk melihat di mana

asap ledakan pertama membubung, dan aku bisa

mendengar teriakan terkejut para tentara di dekat situ.

Mereka sekitar tiga blok jauhnya dari sini. Kurapatkan

diri ke genting rusak di atap saat beberapa tentara

bergegas datang ke jalan itu. Mereka meneriakkan

sesuatu yang tak dapat dimengerti?aku berani

bertaruh mereka membawa pasukan bantuan ke area

pengeboman itu. Sudah terlambat. Saat pasukan

bantuan tiba di sana, jip Elector sudah akan berbelok di

sudut yang kami inginkan.

Kukeluarkan salah satu granatku dan kupegang

dengan hati-hati. Kuingatkan diri bagaimana cara

kerjanya, kuingatkan diri pula kalau aku melemparnya

pada saat yang tepat, aku akan menentang peringatan

June.

"Itu granat dengan dampak ledakan besar," Pascao

pernah bilang. "Meledak detik itu juga saat menyentuh

sasaran. Tekan tuas serangnya, lalu tarik pemicunya.

Lempar, dan tahan tubuhmu."

Dari kejauhan, ledakan lain mengguncang jalanan

dan awan yang menyertai ledakan itu membubung.

Baxter bertanggung jawab atas yang satu itu?sekarang

dia berada di suatu tempat di bawah sana, bersembunyi

di gang.

Dua blok lagi. Elector semakin mendekat.

Ledakan ketiga meletus. Yang satu ini lebih dekat?

jip itu pasti sudah tinggal satu blok lagi. Kumantapkan

posisi saat bumi bergetar karena efek ledakan itu.

Giliranku segera tiba. June, pikirku. Di mana kau? Kalau

dia melakukan gerakan mendadak, apa yang akan aku

lakukan?

Di earpiece-ku, suara Pascao terdengar mendesak.

~230~



"Bersiap," katanya.

Kemudian, aku melihat sesuatu yang membuatku

lupa segala janjiku pada Patriot. Pintu jip kedua

mengayun terbuka, dan seorang gadis dengan rambut

gelap panjang dikuncir kuda berguling keluar. Selama

beberapa saat, dia jatuh berguling-guling, lalu berjuang

untuk berdiri. Dia menengadah ke bubungan atap dan

dengan panik melambaikan tangannya di udara.

Itu June. Dia di sini. Tak ada keraguan lagi

sekarang: dia tidak ingin aku memisahkan Elector

dengan para pengawalnya.

Suara Pascao muncul lagi. "Tetap pada rencana,"

desisnya. "Abaikan June?tetap pada rencana, kau

dengar aku?"

Aku tak tahu apa yang merasukiku?getaran listrik

menjalar di punggungku. Tidak?June, kau tidak bisa

berhenti sekarang, sebagian diriku berkata. Aku ingin

Elector mati. Aku ingin mendapatkan Eden kembali.

Tapi di sana ada June, melambaikan tangan di

tengah jalanan penuh risiko, membahayakan hidupnya

demi memberi peringatan untukku. Apa pun alasannya,

pasti sesuatu yang baik. Pasti. Apa yang kulakukan?

Percaya padanya, sesuatu di dalam diriku berkata. Aku

menekan mata sampai tertutup dan menundukkan

kepala.

Setiap detik yang berdetak sekarang adalah

jembatan antara hidup dan mati.

Percayalah padanya.

Mendadak aku melompat dan lari menyeberangi

atap. Dengan marah, Pascao meneriakkan sesuatu

padaku lewat earpiece. Kuabaikan dia. Sementara

kendaraan-kendaraan melaju ke sebelah bangunan

tempatku berada, kutarik pemicu granatku dan

kulempar granat itu sejauh yang kubisa ke arah blok.

Tepat ke depan tempat yang Patriot hendaki

menjadi tujuan rombongan Elector.

"Day!" suara Pascao panik. "Tidak?apa yang kau

?!"

~231~



Granatnya mengenai jalanan. Kututup telingaku dan

segera melompat saat ledakan mengguncang bumi. Jipjip itu mendecit berhenti tepat di depan ledakan?jip

Elector mencoba berbelok memutari reruntuhan, tapi

salah satu bannya terbakar sehingga terpaksa berhenti.

Aku telah sepenuhnya memblokir jalan yang seharusnya

mereka tuju, tempat Patriot menunggu Elector. Dan, jipjip pengawal Elector yang lain masih di sini, seluruh

rombongan.

Sekarang, June berlari cepat ke arah kendaraan

Elector. Jika dia berusaha menyelamatkan Elector, aku

tidak boleh membuang waktu. Aku kembali melompat,

berayun ke sisi atap, dan mencengkeram pipa pancuran

atap di pinggir bangunan. Lalu aku meluncur. Pipa itu

terputus di tengah bangunan dan membuatku

terlempar kehilangan keseimbangan, tapi aku

melantingkan diri dan mencengkeram tepi birai jendela

dekat situ. Kakiku mendarat di birai lantai dua. Aku

meloncat turun ke lantai satu dan berguling.

Jalanan benar-benar kacau. Di antara teriakan dan

asap, aku bisa melihat para tentara Republik berlari ke

arah jip-jip, sementara tentara yang berada di jip-jip lain

buruburu keluar untuk mencapai Elector. Beberapa

anggota Patriot yang menyamar tampak bimbang,

bingung gara-gara ledakanku yang salah waktu.

Sekarang sudah terlambat untuk memisahkan jip

Elector dari yang lain?terlalu banyak tentara. Mereka

berbondong-bondong datang ke jalan itu.

Aku merasa kaku, dalam beberapa hal sama

bingungnya dengan mereka, masih tak yakin kenapa

aku melakukan hal yang berkebalikan dengan yang

kurencanakan.

"Tess!" teriakku. Dia berada tepat di tempat

seharusnya dia berada, membeku di balik bayangbayang bangunan tempatku menunggu tadi. Aku berlari

mendekatinya dan mencengkeram bahunya.

"Apa yang terjadi?" dia balas berteriak, tapi aku

hanya membalikkan tubuhnya.

"Pintu masuk terowongan, oke? Jangan tanya!"

Kutunjukkan padanya arah menuju bungker Patriot,

tempat seharusnya kami bersembunyi setelah

~232~



pembunuhan itu. Mulut Tess terbuka dalam ketakutan

yang tak ditutup-tutupi, tapi dia melakukan apa yang

kukatakan. Dia segera berlari menjauh, ditelan ke

dalam bayang-bayang aman bangunan dan menghilang

dari pandangan.

Ledakan lain mengguncang jalan di belakangku.

Granat itu pasti datang dari salah satu Buronan lain.

Meskipun mereka takkan bisa membawa Elector ke

lokasi yang sudah direncanakan, mereka berusaha

memblokir jip-jip itu untuk tetap mencoba. Saat ini

Patriot pasti berlarian di mana-mana. Mereka pasti

akan membunuhku atas apa yang kulakukan. Aku dan

Tess harus mencapai terowongan sebelum mereka

menemukan kami.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku berlari ke arah June saat dia mencapai jip

Elector. Di dalam ada seorang pria dengan rambut

keriting gelap, dan June berteriak padanya sembari

menekan kedua tangan di jendela. Satu ledakan lain

meletus entah di mana, memaksa June berlutut.

Kulemparkan diri untuk melindunginya saat puing dan

reruntuhan menghujani kami dari segala arah. Sebuah

balok semen mengenai bahuku, membuatku gemetar

karena sakit. Kelompok Patriot jelas berusaha mengejar

waktu mereka yang hilang, tapi penundaan tadi telah

sangat merugikan mereka. Seandainya mereka putus

asa, aku tahu mereka hanya akan melupakan siaran

pembunuhan

yang sebenarnya

dan

langsung

meledakkan jip Elector.

Para tentara Republik berhamburan di jalan. Aku

yakin mereka juga sudah melihatku sekarang. Kuharap

Tess aman di tempat persembunyian.

"June!"

Dia tampak linglung dan bingung, tapi kemudian dia

mengenaliku. Saat ini tak ada waktu untuk menyapa.

Sebuah peluru menderu di atas kepala kami. Aku

merunduk dan melindungi June lagi; salah satu tentara

di dekat kami tertembak kakinya. Tolonglah?Tolong

biarkan Tess berhasil tiba dengan selamat di pintu

masuk terowongan. Aku berbalik dan bertatapan

dengan mata besar Elector di jendela. Jadi, inilah pria

~233~



yang mencium June?dia tinggi, rupawan dan kaya, dan

dia akan menegakkan semua hukum ayahnya. Dia

adalah raja muda yang menjadi simbol Republik: perang

dengan Koloni yang menyebabkan penyakit Eden,

hukum yang membuat keluargaku tinggal di sektor

kumuh dan menyebabkan mereka meninggal, hukum

yang mengirimku untuk dieksekusi karena aku gagal

dalam beberapa tes bodoh sialan saat aku sepuluh

tahun. Pria ini adalah Republik. Seharusnya kubunuh

dia sekarang.

Tapi kemudian, aku berpikir tentang June. Jika June

tahu alasan kenapa kami harus melindungi pria ini dari

Patriot, dan cukup memercayainya sampai rela

membahayakan nyawanya?dan nyawaku, aku akan

percaya padanya. Kalau aku menolak, aku akan

memutuskan hubungan dengan June selamanya.

Bisakah aku hidup dengan itu? Pikiran tersebut

membuatku merasa dingin sampai ke tulang.

Aku menghadap ke jalanan yang diledakkan dan

melakukan sesuatu yang tak pernah kukira akan

kulakukan seumur hidup. Aku berseru sekeras yang

kubisa pada para tentara.

"Mundur ke jip! Halangi jalan! Lindungi Elector!"

Kemudian, saat para tentara mencapai Elector,

dengan panik aku berteriak pada mereka, "Keluarkan

Elector dari mobilnya! Bawa beliau pergi dari sini?

mereka akan meledakkan jipnya!"

June menarik kami menunduk saat peluru lain

mengenai tanah di dekat kami. "Ayo," seruku. Dia

mengikutiku. Di belakang kami, lusinan tentara

Republik sudah tiba di lokasi. Kami menyaksikan sekilas

saat Elector keluar dari jipnya, lalu terburu-buru pergi di

bawah

perlindungan

tentara-tentaranya.

Peluru

beterbangan. Apa aku baru saja melihat sebuah peluru

mengenai dada Elector? Tidak?cuma lengan atasnya.

Kemudian Elector lenyap, menghilang di tengah lautan

tentara.

Dia selamat. Dia akan berhasil. Aku hampir tidak

bisa bernapas gara-gara pikiran itu?aku tak tahu harus

senang atau marah. Setelah semua rencana yang

~234~



disusun matang itu, pembunuhan Elector gagal garagara aku dan June.

Apa yang telah kulakukan?

"Itu Day!" teriak seseorang. "Dia hidup!" Tapi, aku

tidak berani menoleh lagi. Kuremas tangan June lebih

kuat dan kami tergesa berlari di antara puing dan asap.

Kami bertabrakan dengan anggota Patriot yang

pertama. Baxter. Dia berhenti sejenak saat melihat

kami, lalu menangkap tangan June.

"Kau!" dia meludah. Namun, June terlalu cepat

untuknya. Sebelum aku bisa menarik pistol di

pinggangku,

June

melepaskan

diri

dari

cengkeramannya. Dia hendak mencengkeram kami lagi

?tapi seseorang memukulnya tepat di wajah sebelum

kami bisa bergerak lagi. Aku bertatapan dengan mata

membara Kaede.

Dengan marah, dia mengibaskan tangan pada

kami. "Sana, cari aman!" serunya. "Sebelum yang lain

menemukan kalian!"

Ada keterkejutan mendalam di wajahnya?apa dia

kaget karena rencana itu gagal? Apa dia tahu kami yang

menggagalkannya? Dia pasti tahu. Kenapa dia juga

menyerang Patriot? Kemudian, dia berlari pergi. Sesaat,

kubiarkan tatapanku mengikutinya. Cukup meyakinkan,

Anden tidak terlihat di mana pun dan para tentara

Republik sudah balas menembak ke atap.

Anden tidak terlihat di mana pun, aku berpikir lagi.

Apa percobaan pembunuhan itu sudah secara resmi

gagal?

Kami terus berlari sampai kami tiba di sisi lain

ledakan. Mendadak ada anggota Patriot di mana-mana;

beberapa berlari ke arah para tentara sambil mencari

cara menembak Elector, dan yang lainnya lari ke

terowongan. Mengejar kami.

Satu ledakan lagi mengguncang jalanan?seseorang

telah berusaha, dengan sia-sia, untuk menghentikan

Elector dengan granat lain. Mungkin akhirnya mereka

berhasil meledakkan jipnya. Mana Razor? Apa sekarang

dia berusaha membunuh kami? Kubayangkan wajahnya

~235~



yang kalem dan kebapakan dibakar amarah.

Kami akhirnya tiba di gang sempit yang menuju

terowongan, hanya sedikit di depan anggota Patriot

yang mengejar kami.

Tess di sana, merunduk dalam bayang-bayang di

dekat dinding. Aku ingin teriak. Kenapa dia tidak masuk

ke terowongan menuju tempat persembunyian?

"Masuk, sekarang," kataku. "Seharusnya kau tak

perlu menungguku."

Tapi dia tidak bergerak. Dia berdiri di depan kami

dengan tangan terkepal, tatapannya bolak-balik antara

aku dan June. Aku bergegas mendekatinya dan

mencengkeram tangannya, lalu menariknya bersama

kami ke salah satu jeruji logam kecil yang berjajar di

tempat dinding gang itu bersentuhan dengan tanah. Aku

bisa dengar tanda-tanda pertama anggota Patriot di

belakang kami. Tolonglah, tan-pa suara aku memohon.

Tolong biarkan kami jadi yang pertama tiba di tempat

persembunyian.

"Mereka datang," kata June, matanya terpaku

pada satu titik di gang.

"Biarkan mereka berusaha menangkap kita."

Dengan panik, kugerakkan tanganku di sepanjang jeruji

logam itu, lalu kutarik benda itu keras-keras.

Patriot semakin mendekat. Terlalu dekat.

Aku berdiri. "Minggir," kataku pada Tess dan June.

Kemudian, kutarik granat kedua dari ikat pinggangku,

menyentak pemicunya, dan melemparnya ke mulut

gang. Kami tiarap ke tanah dan menutupi kepala kami

dengan tangan.

Bum! Ledakan yang menulikan. Seharusnya

ledakan itu akan sedikit memperlambat Patriot, tapi

aku sudah bisa melihat siluet-siluet datang menuju kami

dari balik reruntuhan.

June lari untuk membuka pintu masuk terowongan

di sampingku. Kubiarkan dia yang pertama melompat,

lalu aku menoleh pada Tess sambil mengulurkan

tangan. "Ayo, Tess," kataku. "Kita tak punya banyak

waktu."

Tess menatap tanganku yang terbuka dan mundur

~236~



selangkah. Dalam waktu singkat itu, dunia di antara

kami serasa membeku. Dia takkan ikut bersama kami.

Ada kemarahan, keterguncangan, rasa bersalah dan

kesedihan?semua tersirat di wajah kecil kurusnya.

Aku mencoba lagi. "Ayo!" teriakku. "Kumohon, Tess

? aku tak bisa meninggalkanmu di sini."

Tatapan Tess mencabik-cabikku. "Maaf, Day," dia

terengah. "Tapi aku bisa menjaga diri. Jadi, jangan

cobacoba mencariku." Kemudian, dia mengalihkan

pandangan dariku dan berlari kembali ke arah Patriot.

Dia bergabung lagi dengan mereka? Kutatap

kepergiannya dalam keterkejutan tanpa suara,

tanganku masih terulur. Patriot sudah sangat dekat

sekarang.

Kata-kata Baxter. Dia telah memperingatkan Tess
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepanjang waktu bahwa aku akan mengkhianati

mereka. Dan aku melakukannya. Aku melakukan tepat

seperti yang Baxter katakan akan kulakukan, dan

sekarang Tess memercayainya. Aku telah sangat

mengecewakannya.

June-lah yang menyelamatkanku. "Day, lompat!"

serunya padaku, menyadarkanku dari momen tersebut.

Kupaksa diri berpaling dari Tess dan melompat ke

lubang. Sepatu botku menghasilkan percikan saat

menapak di air es dangkal, tepat ketika kudengar

Patriot pertama mencapai kami. June mencengkeram

tanganku. "Ayo!" desisnya.

Kami berlari sangat cepat ke dalam terowongan

gelap itu. Di belakang kami, kudengar seseorang

melompat turun dan mulai berlari mengejar kami. Lalu

seorang lagi. Mereka semua turun.

"Punya granat lagi?" teriak June saat kami berlari.

Kuraba ikat pinggangku. "Satu." Kutarik granat

terakhir itu, lalu menarik pemicunya. Kalau kami

melakukan ini, tidak ada jalan kembali. Kami bisa

terjebak di sini selamanya?tapi tak ada pilihan lain, dan

June tahu itu.

Kuteriakkan peringatan ke belakang, lalu melempar

granat tersebut. Patriot terdekat melihatku melakukan

itu dan cepat-cepat berhenti, kemudian mulai berseru

~237~



pada yang lain untuk mundur. Aku dan June terus

berlari.

Ledakannya melontarkan kami dari tanah,

membuat kami terbang sesaat. Aku berdebam keras

menimpa tanah, tergelincir di air es dan lumpur salju

selama beberapa detik sebelum akhirnya berhenti.

Kepalaku berdenging. Kutekan telapak tangan ke

pelipis, berusaha menghentikan suara denging itu. Tapi

aku tidak beruntung. Sakit kepala meledakkan

benakku,

membuatnya

terbuka

lebar

dan

menenggelamkan seluruh pikiranku. Kutekan mataku

sampai tertutup karena rasa sakit yang membutakan.

Satu, dua, tiga .

Detik-detik berlalu lambat. Kepalaku berdenyutdenyut, bagaikan dihantami oleh palu. Aku berjuang

untuk bisa bernapas.

Kemudian, syukurlah, sakit kepala itu mulai

memudar. Kubuka mataku dalam kegelapan. Tanah

sudah tidak berguncang, dan meskipun aku masih bisa

mendengar orang bicara di belakang kami, suaranya

teredam, seolah datang dari balik pintu tebal. Dengan

hati-hati, aku bangkit untuk duduk. June bersandar ke

sisi terowongan, menggosok-gosok lengannya. Kami

berdua menghadap ke ruang tempat kami datang.

Beberapa detik lalu di sana ada terowongan

bergema, tapi sekarang tumpukan beton dan puing

telah sepenuhnya menyegel pintu masuk.

Kami berhasil. Tapi yang kurasakan hanyalah

kehampaan.[]

~238~



Waktu umurku lima tahun, Metias mengajakku ke

makam orangtua kami. Itu pertama kalinya dia pergi ke

sana setelah pemakaman yang sebenarnya. Kupikir dia tidak

tahan mengingat apa yang terjadi.

Kebanyakan warga sipil Los Angeles?bahkan yang

dari kelas atas?dikuburkan di tanah seluas satu meter

persegi di gedung bertingkat tempat pemakaman lokal

mereka dan sebuah kotak kaca buram untuk menyimpan

abu yang tersayang. Namun, Metias membayar petugas

pemakaman dan memperoleh tanah seluas empat meter

untuk Ayah dan Ibu, juga nisan kristal berukir.

Kami berdiri di sana, di depan nisan, dengan pakaian

dan bunga putih. Kuhabiskan seluruh waktuku untuk

memandangi Metias. Aku masih ingat rahangnya yang

mengeras, rambutnya yang disikat dan disisir rapi, pipinya

yang basah dan berkilauan. Yang paling kuingat adalah

matanya, penuh kesedihan, terlalu tua untuk pemuda tujuh

~239~



belas tahun.

Day terlihat seperti itu saat dia mengetahui kematian

kakaknya, John. Dan sekarang, saat kami berjalan di

sepanjang terowongan bawah tanah untuk keluar dari

Pierra, matanya kembali seperti itu lagi.

***

Kami menghabiskan 52 menit (atau 51? Aku tak yakin.

Kepalaku terasa berat dan pusing) berlari kecil di

kelembapan terowongan yang gelap. Sejenak, kami

mendengar teriakan marah datang dari sisi lain gunungan

beton yang berserakan, yang memisahkan kami dari

kelompok Patriot dan para tentara Republik.Tapi pada

akhirnya,suara-suara itu memudar menjadi keheningan saat

kami berjalan cepat lebih dalam dan lebih dalam lagi ke

terowongan. Kemungkinan,kelompok Patriot harus kabur

dari pasukan yang akan datang. Mungkin para tentara

sedang berusaha menggali reruntuhan di luar terowongan.

Kami tak punya gagasan, jadi kami terus maju saja.

Sekarang sunyi. Satu-satunya suara hanya napas kami

yang tak beraturan. Sepatu bot kami menimbulkan percikan

di genangan air dangkal bekas salju yang mencair, dan suara

tes, tes, tes air es dingin dari langit-langit jatuh ke leher

kami. Day menggenggam erat tanganku selama kami

berlari. Jari-jarinya dingin dan alot karena lembap, tapi aku

tetap berpegangan padanya. Di bawah sini sangat gelap

sampai aku hampir tak bisa melihat sosok Day di depanku.

Apa Anden selamat dari serangan itu? Aku

bertanyatanya. Atau Patriot berhasil membunuhnya? Pikiran

itu membuat darah menderas ke telingaku. Terakhir kali

aku memainkan peran sebagai agen ganda, aku

menyebabkan

seseorang terbunuh.

Anden

telah

memberikan kepercayaan padaku, dan karena itulah dia bisa

mati hari ini?mungkin dia memang sudah mati. Harga

yang tampaknya harus dibayar orang-orang karena

menghalangi jalanku.

Pikiran itu memicu pikiran lain. Kenapa Tess tidak

turun bersama kami? Aku ingin bertanya, tapi anehnya, Day

tidak mengatakan sepatah kata pun tentang Tess sejak kami

~240~



memasuki terowongan ini. Mereka pasti berdebat, cuma

sejauh itulah yang aku tahu. Kuharap Tess baik-baik saja.

Apa dia memilih untuk tetap bersama Patriot?

Akhirnya, Day berhenti di depan sebuah dinding. Aku

hampir pingsan ke arahnya, dan mendadak, satu gelombang

kelegaan sekaligus kepanikan melandaku. Seharusnya aku

bisa lari lebih jauh dari ini, tapi aku lelah. Apa tak ada jalan

keluar? Apa bagian terowongan ini roboh sendiri, jadi

sekarang kami terjebak di antara kedua sisinya?

Namun, dalam kegelapan Day menyentuh permukaan

itu dengan sebelah tangannya. "Kita bisa istirahat di sini,"

bisiknya. Itu kata-kata pertama yang dia ucapkan sejak kami

turun kemari. "Aku tinggal di tempat yang seperti ini di

Lamar."

Razor pernah menyebut-nyebut tentang terowongan

untuk Patriot melarikan diri. Day menyapukan tangannya

di sepanjang sisi pintu yang bersentuhan dengan dinding.

Akhirnya, dia menemukan apa yang dicarinya, sebuah tuas

geser kecil yang mencuat keluar dari slot tipis sepanjang

30,5 cm. Dia menarik tuas itu sampai mentok ke satu sisi,

lalu ke sisi lainnya. Pintu terbuka dengan bunyi klik.

Pertama-tama, kami hanya melangkah ke lubang gelap.

Walaupun aku tak bisa melihat apa pun, dengan saksama

aku mendengarkan bagaimana langkah kaki kami bergema

di sekeliling ruangan. Kuperhitungkan langit-langitnya

rendah, kemungkinan hanya beberapa meter lebih rendah

daripada terowongan itu sendiri (mungkin tingginya 3 atau

3,3 meter). Saat aku menyapukan tangan ke sepanjang salah

satu dinding, aku tahu dinding itu lurus, tidak

melengkung. Ruangan persegi empat.

"Di sini tempatnya," bisik Day. Kudengar dia menekan

dan melepas sesuatu, lalu cahaya buatan menerangi

ruangan. "Semoga kosong."

Ruangan itu tidak besar, tapi cukup luas untuk

menampung dua puluh atau tiga puluh orang dengan

nyaman, bahkan sampai seratus orang kalau mereka

berjejalan. Di din-ding belakang terdapat dua pintu

menuju lorong gelap. Ada layar-layar tebal yang posisinya

janggal di sepanjang tepian dinding, dengan desain yang

lebih aneh daripada yang banyak digunakan di aula-aula

~241~



Republik. Aku bertanya-tanya apakah kelompok Patriot

memasang semua perangkat ini, atau mungkinkah alat-alat

itu adalah teknologi kuno yang dibiarkan begitu saja ketika

terowongan-terowongan ini pertama kali dibangun?

Sementara Day berjalan-jalan di ruangan pertama di

belakang ruang utama dengan pistol terangkat, aku

memeriksa ruangan kedua. Ada dua kamar yang lebih kecil

di sini, dengan lima set ranjang tingkat pada setiap kamar.

Jauh di ujung ruangan terdapat pintu kecil menuju

terowongan gelap tanpa akhir. Aku berani bertaruh di

ruangan yang Day periksa juga ada pintu masuk ke
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terowongan itu. Saat aku berjalan dari ranjang ke ranjang,

kusapukan tangan ke sepanjang dinding tempat orangorang menulis nama dan inisial mereka dengan tulisan cakar

ayam.

Ini cara agar selamat. J. D. Edward, begitu bunyi salah

satu tulisan itu. Satu-satunya jalan keluar adalah kematian.

Maria M?rques, tulis yang lain.

"Semua oke?" tanya Day dari belakangku.

Aku mengangguk padanya. "Oke. Kurasa kita sudah

aman."

Dia mendesah, membiarkan bahunya merosot, lalu

dengan letih mengusap sebelah tangan ke rambutnya yang

kusut. Padahal, baru beberapa hari berlalu sejak terakhir

kali aku melihatnya, tapi entah bagaimana rasanya lebih

lama. Aku berjalan ke arahnya. Matanya menjelajahi

wajahku seolah dia baru melihatku untuk pertama kalinya.

Dia pasti punya jutaan pertanyaan untukku, tapi dia hanya

mengangkat tangan dan merapikan helaian rambutku. Aku

tak yakin aku merasa pusing karena sakit atau emosi. Aku

hampir lupa bagaimana efek sentuhannya. Aku ingin jatuh

ke dalam kemurnian Day, bermandikan kejujuran

sederhananya, perasaannya yang terbuka lebar dan tidak

disembunyikan sedikit pun.

"Hei," bisiknya.

Kulingkarkan lengan ke sekeliling tubuhnya, dan kami

berpelukan erat. Kupejamkan mata, membiarkan diriku

tenggelam dalam tubuh Day dan hangat napasnya di

leherku. Tangannya mengelus rambutku dan turun ke

punggungku, memelukku erat seolah dia takut melepasku

~242~



pergi. Dia menarik diri hanya untuk menatap mataku. Dia

mencondongkan tubuh seakan ingin menciumku tapi

kemudian, entah kenapa, dia berhenti dan kembali

memelukku. Memeluk Day memang nyaman, tapi tetap

saja.

Sesuatu telah berubah.

Kami menuju dapur (21 meter persegi, kalau dilihat

dari jumlah ubin di lantai segi empatnya), mengambil dua

kaleng makanan dan berbotol-botol air, bersandar rapat ke

meja konter bar, dan membiasakan diri sejenak untuk

istirahat. Day diam saja. Aku menunggu penuh harap saat

kami berbagi sekaleng pasta berlumur saus tomat, tapi dia

tetap tidak mengatakan sepatah kata pun. Tampaknya dia

sedang berpikir. Tentang rencana yang gagal? Tentang

Tess? Atau,barangkali dia tidak sedang berpikir sama sekali,

hanya masih terlalu terguncang sampai tak bisa bicara. Aku

ikut terdiam. Aku lebih memilih untuk tidak menafsirkan

sikap diamnya itu secara langsung.

"Aku lihat isyarat peringatanmu dari salah satu video

kamera sekuriti," akhirnya dia berkata setelah tujuh belas

menit berlalu. "Aku tak tahu pasti apa yang kau ingin aku

lakukan, tapi aku menangkap ide besarnya."

Kuperhatikan dia tidak menyebut-nyebut soal

ciumanku dan Anden, meski aku yakin dia melihatnya.

"Trims." Se-lama sedetik, penglihatanku menggelap dan

aku buru-buru mengerjap, berusaha untuk tetap fokus.

Mungkin aku butuh obat lagi. "Aku minta maaf karena

memaksamu terlibat dalam keadaan sulit ini. Aku sudah

berusaha membuat jipnya mengambil rute lain di Pierra,

tapi gagal."

"Maksudmu penundaan waktu kau pingsan, kan? Aku

takut kau mungkin terluka."

Sesaat, aku mengunyah sambil berpikir. Harusnya saat

ini makanan terasa enak, tapi aku tidak lapar sama sekali.

Aku harus segera memberi tahu Day tentang pembebasan

Eden, tapi nada suara Day?entah bagaimana terdengar

seperti badai guntur di cakrawala?menahanku. Apa Patriot

sudah mendengar seluruh percakapanku dengan Anden?

Jika demikian, Day mungkin sudah tahu.

"Razor berbohong pada kita tentang alasan dia ingin

~243~



Elector mati. Aku belum tahu kenapa?tapi hal-hal yang

dia katakan pada kita tidak masuk akal." Aku berhenti

sejenak, bertanya-tanya apakah Razor sudah ditahan oleh

pejabat Republik. Kalau tidak sekarang, pasti secepatnya.

Saat hari ini berakhir, Republik akan tahu bahwa Razor

telah memberi instruksi khusus kepada para sopir jip untuk

tetap pada rute semula, menggiring Anden tepat ke dalam

jebakan.

Day mengangkat bahu dan berkonsentrasi pada

makanannya. "Siapa yang tahu apa yang Razor dan Patriot

lakukan sekarang?"

Aku bertanya-tanya apakah dia mengatakan itu karena

memikirkan Tess. Cara gadis itu menatap Day sebelum

kami kabur ke terowongan kuputuskan untuk tidak

bertanya apa yang mungkin terjadi pada mereka. Tetap saja,

imajinasiku menciptakan pemandangan mereka duduk di

sofa bersama-sama, sangat nyaman dan rileks seperti saat

kami pertama kali bertemu kelompok Patriot di Vegas,

kepala Day di pangkuan Tess. Tess merunduk untuk

mengecupnya.

Perutku mengejang tak nyaman. Tapi dia tidak ikut turun,

kuingatkan diriku. Apa yang terjadi di antara mereka?

Kubayangkan Tess bertengkar dengan Day tentang aku.

"Jadi," kata Day datar. "Ceritakan apa yang kau

temukan dalam diri Elector yang membuatmu memutuskan

kita harus mengkhianati Patriot."

Dia tak tahu tentang Eden, kalau begitu. Kutaruh

botol airku, lalu menggigit bibir. "Elector membebaskan

adikmu."

Garpu Day terhenti di tengah udara. "Apa?"

"Anden melepaskannya?pada hari saat aku

memberimu isyarat. Eden di bawah perlindungan

pemerintah federal di Denver. Anden benci sekali atas apa

yang Republik lakukan pada keluargamu dan dia ingin

mendapatkan kembali kepercayaan kita?kau dan aku."

Kujulurkan tangan untuk meraih tangan Day, tapi dia

buru-buru menarik tangannya. Tanpa sadar, aku

mengeluarkan desah kecewa. Aku tak yakin bagaimana dia

menerima kabar ini, tapi sebagian diriku berharap dia hanya

akan senang.

~244~



"Politik Anden sepenuhnya berlawanan dengan politik

mendiang Elector sebelumnya," aku melanjutkan. "Dia

ingin menghentikan Ujian, juga eksperimen wabah." Aku

bimbang. Day masih menatap kaleng pasta dengan garpu di

tangan, tapi dia tidak makan lagi. "Dia ingin mewujudkan

semua perubahan radikal ini, tapi pertama-tama dia harus

mendapatkan dukungan publik. Pada dasarnya,dia

memohon padaku agar kita membantunya."

Ekspresi Day bergetar. "Cuma itu? Itulah kenapa kau

memutuskan untuk menggagalkan seluruh rencana Patriot?"

balasnya pahit. "Agar Elector bisa menyuapku demi

memperoleh dukunganku? Menurutku kedengarannya

seperti lelucon tak lucu. Bagaimana kau tahu dia

mengatakan yang sebenarnya, June? Apa kau benar-benar

punya bukti dia membebaskan Eden?"

Kuletakkan tangan di lengannya. Tepat seperti inilah

yang kutakutkan dari Day, tapi dia memang berhak untuk

curiga. Bagaimana aku bisa menjelaskan naluriku tentang

kepribadian Anden, atau fakta bahwa aku melihat kejujuran

di matanya? Aku tahu Anden membebaskan adik Day. Aku

tahu itu. Tapi, Day tidak di ruangan itu bersamaku. Dia

tidak kenal Anden. Day tak punya alasan untuk

memercayainya.

"Anden berbeda. Kau harus percaya padaku, Day. Dia

membebaskan Eden, dan itu bukan cuma karena dia ingin

kita melakukan sesuatu untuknya."

Kata-kata Day terdengar dingin dan jauh. "Kubilang,

kau punya bukti?"

Aku mengeluh, menurunkan tanganku dari lengannya.

"Tidak," aku mengaku. "Tidak ada."

Dengan cepat, sikap Day berubah dari keadaan

linglungnya dan dia kembali mengaduk-aduk garpunya ke

dalam kaleng. Dia melakukannya dengan sangat kasar

sampai pegangan garpunya bengkok.

"Dia mempermainkanmu. Republik tidak akan

berubah. Saat ini Elector baru itu masih muda, luar biasa

bodoh, dan sepenuhnya salah. Dia cuma ingin rakyat

menganggapnya serius. Dia akan mengatakan apa pun. Saat

semuanya sudah berjalan baik, kau akan lihat karakter

~245~



aslinya. Kujamin itu. Dia tidak berbeda dengan ayahnya?

cuma orang kaya berengsek yang berkantong dalam dan

mulutnya penuh kebohongan."

Cara Day berpikir bahwa aku sangat mudah tertipu

membuatku kesal. "Muda dan sepenuhnya salah?"

Kudorong Day sedikit, berusaha mencerahkan suasana.

"Mengingatkanku pada seseorang."

Dulu hal itu akan membuat Day tertawa, tapi sekarang

dia hanya melotot padaku. "Aku melihat seorang bocah

laki-laki di Lamar," lanjutnya. "Dia seumuran adikku.

Sesaat, kupikir dia Eden. Dia dikirim seperti paket di dalam

tabung kaca raksasa, layaknya semacam eksperimen ilmiah.

Kucoba mengeluarkan dia, tapi aku tak bisa. Darah bocah

itu digunakan sebagai senjata biologis yang mereka coba

luncurkan pada Koloni." Day melempar garpunya ke

wastafel. "Itulah yang Elector baikmu lakukan pada adikku.

Sekarang, kau masih berpikir dia membebaskan Eden?"

Aku mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas

tangan Day. "Kongres telah mengirim Eden ke medan

perang sebelum Anden menjadi Elector. Anden

membebaskan dia pada hari lain. Dia?"

Day menepis tanganku, ekspresinya campuran antara
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

frustrasi dan kebingungan. Dia menggulung kembali lengan

kemejanya ke siku. "Kenapa kau sangat memercayai pria

itu?"

"Apa maksudmu?"

Dia semakin marah saat melanjutkan, "Maksudku,

satu-satunya alasan aku tidak menghancurkan jendela mobil

Electormu dan menggorok lehernya dengan pisauku adalah

karena kau. Karena aku tahu kau pasti punya alasan bagus

di balik semua ini. Tapi sekarang, kelihatannya kau cuma

menelan kata-katanya mentah-mentah. Apa yang terjadi

pada semua logikamu?"

Aku tak suka caranya memanggil Anden Elector-ku,

seolah-olah Day dan aku masih berada di pihak berlawanan.

"Aku memberitahumu yang sebenarnya," kataku pelan.

"Selain itu, terakhir kali kucek, kau bukan pembunuh."

Day memalingkan wajah dariku dan menggumamkan

sesuatu perlahan yang benar-benar tak bisa kutangkap. Aku

melipat lengan. "Kau ingat saat aku memercayai-mu,

~246~



meskipun semua yang kutahu memberitahuku bahwa kau

musuh? Aku tidak langsung menganggapmu bersalah, dan

kukorbankan segala yang kupercaya. Kuberitahu ya,

membunuh Anden takkan menyelesaikan apa pun. Dia

adalah satu-satunya orang yang benar-benar Republik

butuhkan? seseorang di dalam sistem dengan kekuatan

penuh untuk mengubah keadaan. Bagaimana bisa kau

hidup setelah membunuh orang seperti itu? Anden orang

baik."

"Memangnya kenapa kalau dia baik?" kata Day dingin.

Dia mencengkeram erat meja dapur sampai buku-buku

jarinya memutih. "Baik, buruk?memangnya itu penting?

Dia Elector."

Aku menyipitkan mata. "Kau sungguh-sungguh berpikir

begitu?"

Day menggelengkan kepala dan tertawa tanpa

keriangan. "Kelompok Patriot berusaha memulai revolusi.

Itulah yang negeri ini butuhkan?bukan Elector baru,

melainkan tidak ada Elector. Republik sudah rusak, tak bisa

diperbaiki. Biarkan Koloni mengambil alih."

"Kau bahkan tidak tahu seperti apa Koloni itu."

"Aku tahu mereka lebih baik daripada lubang neraka

ini," bentak Day.

Aku tahu dia tidak hanya marah padaku, tapi dia mulai

terdengar kekanak-kanakan dan itu mulai membuatku kesal.

"Kau tahu kenapa aku setuju membantu Patriot?"

Kuletakkan tangan di lengan atasnya, merasakan bekas luka

samar di balik bajunya. "Karena aku ingin menolong-mu.

Kau pikir semua ini salahku, kan? Salahkulah adikmu

dijadikan eksperimen. Salahkulah kau harus meninggalkan

Patriot. Salahkulah Tess menolak ikut."

"Tidak ." Suara Day melemah saat dia meremasremas tangannya frustrasi. "Tidak semuanya salahmu. Dan

Tess . Tess sepenuhnya kesalahanku." Ada rasa sakit yang

murni di wajahnya?pada titik ini, aku tak tahu rasa sakit

itu untuk siapa. Begitu banyak yang terjadi. Kurasakan

sengatan rasa penasaran sekaligus kebencian yang

menyebabkan darah mengalir deras di telingaku, bahkan

~247~



meskipun hal itu membuatku malu. Tidak adil bagiku

untuk merasa cemburu. Bagaimanapun, Day sudah

mengenal Tess bertahun-tahun, jauh lebih lama daripada

dia mengenalku. Jadi, kenapa dia tidak bisa merasa tertarik

pada Tess? Selain itu, Tess anak yang manis, tidak egois,

juga memberi kenyamanan. Aku tidak begitu. Tentu saja

aku tahu kenapa Tess meninggalkan Day. Pasti gara-gara

aku.

Kutatap wajah Day lekat. "Apa yang terjadi antara kau

dan Tess?"

Day memandangi dinding di seberang kami, tenggelam

dalam pikirannya. Aku harus menyenggol kakinya dengan

kakiku untuk membuatnya tersadar.

"Tess menciumku," gumamnya. "Dan dia merasa

seolah-olah aku mengkhianatinya karena kau."

Pipiku memerah. Kupejamkan mata, memaksa

bayangan mereka berciuman pergi dari pikiranku. Ini sangat

bodoh. Iya, kan? Tess telah mengenal Day bertahun-tahun

?dia berhak untuk mencium Day. Dan bukankah Elector

juga menciumku? Bukankah aku menyukai ciuman itu?

Mendadak Anden terasa jutaan mil jauhnya, seolah dia

tidak penting sama sekali. Satu-satunya yang bisa kulihat

adalah Day dan Tess bersama-sama. Rasanya seperti

perutku ditinju.

Kami sedang di tengah-tengah perang. Jangan bertingkah

menyedihkan.

"Kenapa kau memberitahuku hal itu?"

"Kau lebih suka aku merahasiakannya?" Dia terlihat

malu dan menggigit bibir.

Aku tak tahu kenapa, tapi tampaknya Day tak pernah

kesulitan membuatku merasa seperti orang bodoh. Kucoba

berpura-pura bahwa fakta itu tidak menggangguku. "Tess

akan memaafkanmu." Kata-kataku, yang dimaksudkan

untuk menghibur dan bersikap dewasa, malah terdengar

dangkal dan palsu. Aku lolos tes deteksi kebohongan tanpa

susah payah saat aku ditangkap?kenapa susah sekali bagiku

berurusan dengan yang ini?

Setelah beberapa saat, Day berkata dengan suara yang

~248~



lebih tenang, "Apa yang kau pikirkan tentang Elector?

Jujur."

"Kupikir dia sungguh-sungguh," kataku, terkesan

dengan betapa kalemnya suaraku. Senang rasanya bisa

mengubah arah percakapan kami. "Ambisius dan penuh

belas kasih, meski hal itu membuatnya sedikit tidak praktis.

Jelas sekali bukan diktator brutal seperti yang Patriot

bilang. Dia masih muda, dan dia butuh dukungan rakyat

Republik. Dan, dia akan butuh bantuan untuk mengubah

berbagai hal."

"June, kita hampir tidak bisa kabur dari Patriot. Apa

kau berusaha mengatakan bahwa kita harus menolong Anden lebih dari yang sudah kita lakukan?bahwa kita harus

terus membahayakan nyawa kita untuk orang asing kaya

sialan yang baru kau kenal sebentar?" Racun di matanya saat

dia memuntahkan kata kaya mengejutkanku, membuatku

merasa seolah-olah dia juga mengejekku.

"Kenapa harus bawa-bawa kelas sosial?" Sekarang, aku

jadi kesal juga. "Apa kau akan senang melihat dia mati?"

"Ya. Aku akan senang melihat Anden mati," kata Day

sambil menggertakkan gigi. "Dan,aku akan senang melihat

setiap orang di pemerintahannya mati juga, kalau itu berarti

aku bisa mendapatkan keluargaku kembali."

"Itu tidak seperti dirimu. Kematian Anden tidak akan

memperbaiki keadaan," desakku. Bagaimana caraku

membuatnya mengerti? "Kau tak bisa menyamakan semua

orang dalam satu kategori, Day. Tidak semua orang yang

bekerja untuk Republik adalah orang jahat. Bagaimana

denganku? Atau kakak dan orangtuaku? Ada orang-orang

baik di pemerintahan?dan merekalah yang bisa membuka

jalan bagi perubahan permanen untuk Republik."

"Bagaimana kau masih bisa membela pemerintah

setelah semua yang mereka lakukan padamu? Bagaimana

bisa kau tak ingin melihat Republik jatuh?"

"Yah, memang tidak," kataku marah. "Aku ingin

melihat Republik berubah menjadi lebih baik. Republik

punya alasannya sendiri kenapa awalnya mereka mengontrol

~249~



rakyat?"

"Wah. Tunggu sebentar." Day mengangkat tangan.

Matanya sekarang menyala dalam kemarahan yang belum

pernah kulihat. "Coba katakan sekali lagi. Republik punya

alasan sendiri? Tindakan-tindakan Republik itu beralasan?"

"Kau tak tahu keseluruhan cerita tentang bagaimana

Republik terbentuk. Anden memberitahuku bahwa negara

ini dimulai dari anarki, dan rakyatlah yang?"

"Jadi, sekarang kau percaya semua yang dia katakan?

Apa kau berusaha memberitahuku bahwa kesalahan rakyatlah yang membuat Republik seperti ini?" suara Day

meninggi. "Bahwa kami menyebabkan sendiri semua hal

buruk ini? Itukah pembenaran kenapa pemerintah

menyiksa rakyat miskin?"

"Tidak, aku bukannya berusaha membenarkan itu?"

Entah bagaimana, sejarah Republik jadi terdengar kurang

layak dibanding saat Anden menceritakannya.

"Dan sekarang, kau pikir Anden dapat memperbaiki

kehidupan kita dengan ide-ide sintingnya? Bocah kaya itu

akan menyelamatkan kita semua?"

"Berhenti memanggilnya begitu! Ide-idenya yang

mungkin membuatnya bisa melakukan itu, bukan uangnya.

Uang tidak berarti segalanya saat?"

Day mengacungkan telunjuknya tepat ke arahku.

"Jangan pernah mengatakan itu lagi di depanku. Uang

berarti segalanya."

Pipiku merona. "Tidak."

"Karena kau tak pernah hidup tanpa uang."

Dahiku berkerut. Aku sangat ingin merespons,

menjelaskan bahwa bukan itu yang kumaksud. Uang tidak

bisa mendefinisikan aku, atau Anden, atau siapa pun di antara

kami. Kenapa aku tidak bisa mengatakan itu? Kenapa Day

adalah satu-satunya orang yang membuatku kesulitan

untuk memberikan argumen yang kuat?

"Day, tolong?" aku memulai.

Dia melompat dari meja konter. "Kau tahu, mungkin

kata-kata Tess tentangmu benar."

~250~



"Apa?" aku balas berseru. "Tess benar tentang apa?"
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin beberapa minggu belakangan ini kau

berubah sedikit, tapi jauh di dalam dirimu, kau tetap

tentara Republik. Kau tetap setia pada pembunuhpembunuh itu. Kau sudah lupa bagaimana Ibu dan

kakakku tewas? Kau sudah lupa siapa yang membunuh

keluargamu?"

Kemarahanku membara. Apa kau sengaja menolak

melihat semua ini dari sudut pandangku? Aku ikut melompat

dari meja konter untuk menghadapinya.

"Aku tak pernah lupa apa pun. Aku di sini demi kau,

kukorbankan segalanya untukmu. Berani-beraninya kau

membawa-bawa keluargaku!"

"Kau membawa-bawa keluarga-ku!" serunya. "Ke dalam

ini semua! Kau dan Republikmu tercinta!" Day

merentangkan lengan. "Berani-beraninya kau membela

mereka, berani-beraninya kau mencoba beralasan tentang

kenapa mereka jadi seperti ini! Sangat mudah bagimu

mengatakannya, kan, karena seumur hidup kau tinggal di

salah satu istana bertingkat mereka? Aku bertaruh kau

takkan secepat itu berubah pikiran kalau kau menghabiskan

waktumu menggali tempat sampah untuk mencari makanan

di sektor kumuh. Ya, kan?"

Aku sangat marah dan sakit hati sampai rasanya sulit

bernapas. "Itu tidak adil, Day. Aku tidak memilih untuk

terlahir seperti ini. Aku tak pernah ingin menyakiti

keluargamu?"

"Yah, kau melakukannya." Kurasakan diriku gemetar

dan kalah dalam pelototannya. "Kau menggiring para

tentara itu tepat ke depan pintu rumah keluargaku. Kaulah

alasan mereka mati." Day berbalik memunggungiku dan

menghambur keluar dari dapur. Aku berdiri di sana

sendirian dalam keheningan mendadak, kali ini tak tahu apa

yang harus kulakukan. Gumpalan di tenggorokanku terasa

mencekik. Pandanganku kabur oleh air mata.

Day berpikir aku sebegitu butanya percaya pada

~251~



Elector dan tidak berpikir logis. Bahwa aku tak mungkin

berada di sisinya sambil tetap setia pada negara. Apa aku

masih setia? Bukankah aku sudah menjawab pertanyaan itu

dengan benar di ruang deteksi kebohongan? Apa aku

cemburu pada Tess? Cemburu karena dia lebih baik

dariku?

Kemudian, muncul pikiran menyakitkan yang

membuatku hampir tak bisa menahannya, tak peduli betapa

kata-kata itu membuatku marah: Day benar. Aku tak bisa

menyangkalnya. Akulah alasan Day kehilangan semua yang

penting baginya.[]

~252~



HARUSNYA

AKU TIDAK BERTERIAK PADA JUNE.

Itu sangat buruk, dan aku tahu itu.

Namun, bukannya minta maaf, aku kembali ke

bungker dan memeriksa kamar-kamar lagi. Tanganku

masih gemetar; pikiranku masih bertarung dengan

aliran deras adrenalin. Aku telah mengatakannya?katakata yang telah mengendap di kepalaku selama

berminggu-minggu. Kata-kata itu sudah keluar

sekarang, dan tak ada cara menariknya kembali. Yah,

lalu apa? Aku senang June tahu. Dia harus tahu. Dan

mengatakan uang tidak berarti apa-apa?frasa itu

mengalir begitu saja dari mulutnya. Aku teringat saatsaat kami membutuhkan lebih banyak, butuh segala hal

yang bisa membuat kondisi kami menjadi lebih baik jika

ada lebih.

~253~



Pernah suatu siang, di satu minggu yang amat

buruk, saat aku pulang sekolah lebih awal kutemukan

Eden yang berusia empat tahun sedang mengobrakabrik kulkas. Di tangannya terdapat kaleng kosong

daging-kentang cincang. Tadi pagi kaleng itu masih

setengah penuh, sisa makan malam yang berharga

sebelum Ibu dengan hatihati membungkusnya dengan

kertas pembungkus dan menyimpannya untuk makan

malam berikutnya. Waktu Eden melihatku memandangi

kaleng kosong di tangannya, dia menjatuhkan kaleng

itu ke lantai dapur dan tangisnya meledak. "Tolong

jangan kasih tahu Ibu," dia memohon.

Aku berlari ke arahnya dan memeluknya. Dia

memegangi bajuku dengan tangan seperti bayi dan

membenamkan wajahnya di tubuhku.

"Tidak akan," bisikku padanya. "Aku janji."

Aku masih ingat betapa kurus lengannya. Malam

itu, saat Ibu dan John akhirnya pulang, kubilang pada

Ibu bahwa aku tak kuat menahan lapar dan memakan

sisa makanan itu. Ibu menamparku keras, mengatakan

padaku bahwa aku sudah cukup umur untuk tahu

mana yang baik mana yang tidak. John menceramahiku

dengan kecewa. Tapi, siapa peduli? Aku tidak.

Dengan marah, kubanting pintu koridor. Pernahkah

June khawatir karena mencuri setengah kaleng

dagingkentang cincang? Seandainya dia miskin, secepat

itukah dia akan memaafkan Republik?

Pistol yang Patriot berikan terasa berat di ikat

pinggangku. Pembunuhan Elector akan memberi Patriot

kesempatan untuk menjatuhkan Republik. Kami akan

menjadi percikan yang menyulut satu tong bubuk

peledak?tapi karena kami?karena June?semuanya

gagal. Dan untuk apa? Untuk melihat Elector yang ini

menjadi seperti ayahnya? Aku ingin menertawakan

idenya membebaskan Eden. Kebohongan Republik.

Sekarang, aku tidak semakin dekat untuk bisa

menyelamatkan Eden, kehilangan Tess, dan aku

kembali ke titik awal. Dalam pelarian.

Beginilah hidupku.

Waktu aku kembali ke dapur satu setengah jam

~254~



kemudian, June sudah tidak berada di sana lagi.

Mungkin dia pergi ke salah satu koridor, menghitung

setiap retakan di dinding.

Kubuka laci dapur, lalu kukosongkan sebuah

karung goni. Setelah itu, aku mulai memilih beberapa

dari setiap jenis makanan untuk dimasukkan ke karung

itu. Nasi. Jagung. Sup kentang dan jamur. Tiga kotak

biskuit renyah. (Bagus sekali?seluruh situasi ini kacaubalau, tapi setidaknya aku masih bisa mengisi perut.)

Kuraih beberapa botol air untuk masing-masing aku dan

June, lalu menutup karungnya. Saat ini sudah cukup.

Kami harus segera pergi lagi, dan siapa yang tahu

seberapa jauh sisa terowongan ini atau kapan kami

mencapai bungker lain. Kami harus bergerak menuju

Koloni. Mungkin mereka mau menolong kami saat kami

tiba di sana. Dan lagi, kami harus tetap tidak

telah

mengacaukan

menonjolkan

diri.

Kami

pembunuhan yang disponsori Koloni. Aku mengeluh

panjang, berharap aku punya lebih banyak waktu

mengobrol dengan Kaede dan membujuknya untuk

menceritakan seluruh kisahnya saat tinggal di sisi lain

medan perang.

Bagaimana rencana kami bisa jadi berantakan

begini?

Ada ketukan lemah di pintu dapur. Aku berbalik dan

melihat June berdiri di sana dengan lengan terlipat. Dia

telah membuka kancing jaket Republiknya, dan kemeja

serta rompi di bawahnya tampak kusut. Pipinya lebih

merona dari biasa dan matanya merah, sepertinya dia

habis menangis.

"Rangkaian arus listrik di sini tidak disalurkan dari

Republik," ujarnya. Kalau dia telah meneteskan air

mata, aku yakin betul tidak mendengar tanda-tanda

dalam suaranya. "Kabel listriknya terulur sampai ke

salah satu ujung terowongan, bagian yang belum kita

tempuh."

Aku kembali menatap tumpukan kaleng. "Jadi?"

gerutuku.

"Itu artinya mereka pasti mendapat sokongan dari

Koloni, betul?"

~255~



"Kelihatannya begitu. Masuk akal, ya?" Kuluruskan

punggungku sambil mengikat erat dua karung goni yang

sudah kusiapkan. "Yah, setidaknya itu berarti

terowongan ini akan membawa kita ke permukaan di

suatu tempat, semoga saja di Koloni. Kalau kita sudah

siap, kita hanya perlu mengikuti kabelnya. Mungkin kita

harus istirahat dulu sebentar."

Aku baru saja hendak keluar dari dapur dan

melewati June saat dia berdeham dan bicara, "Hei?

saat kau bersama mereka, apa Patriot mengajarimu

bertarung?"

Aku menggeleng. "Tidak. Kenapa?"

June berbalik untuk menghadapiku. Pintu dapur

cukup sempit sampai bahunya menyentuh bahuku,

membuat bulu roma di leherku berdiri. Aku agak kesal

karena dia masih bisa memberi efek seperti itu padaku,

setelah semua yang terjadi.

"Waktu kita di terowongan tadi, kuperhatikan kau

berayun ke arah Patriot dengan lenganmu tapi itu

tidak terlalu efektif. Seharusnya kau berayun dengan

kaki dan pinggulmu."

Kritiknya membuatku jengkel, meskipun dia

mengatakannya dalam intonasi ragu yang agak aneh.

"Aku tidak ingin melakukan ini sekarang."

"Kapan lagi kita akan melakukannya kalau bukan
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang?" June bersandar di bingkai pintu dan

menunjuk ke pintu masuk bungker. "Bagaimana kalau

kita berpapasan dengan tentara?"

Aku mengeluh dan mengangkat tangan sejenak.

"Kalau ini caramu meminta maaf setelah bertengkar,

kau benar-benar payah. Dengar. Aku minta maaf tadi

aku marah." Aku bimbang, mengingat kata-kataku. Aku

tidak menyesal. Tapi, mengatakan itu padanya sekarang

takkan menolong. "Beri aku beberapa menit saja, dan

aku akan merasa lebih baik."

"Ayolah, Day. Apa yang akan terjadi saat kau

menemukan Eden dan kau harus melindunginya?" Dia

memang berusaha meminta maaf, dengan cara yang

halus. Yah. Setidaknya dia mencoba walaupun dia betul~256~



betul payah. Selama beberapa detik, aku membelalak

padanya.

"Baiklah," kataku pada akhirnya. "Tunjukkan

padaku beberapa gerakan, Prajurit. Apa yang kau

sembunyikan di lengan bajumu?"

June tersenyum kecil padaku, lalu membawaku

berjalan ke tengah ruang utama bungker. Dia berdiri di

sampingku. "Pernah baca Seni Pertarungan karya

Ducain?"

"Apa aku terlihat seperti orang yang punya waktu

luang untuk membaca?"

Dia mengabaikanku, dan segera saja aku merasa

buruk telah mengatakan itu.

"Yah, kakimu sudah ringan dan keseimbanganmu

tak tercela," dia melanjutkan. "Tapi, kau tidak

menggunakan kekuatan saat menyerang. Kau panik.

Kau melupakan semua keuntungan yang kau miliki

karena kecepatanmu, juga pusat bobot tubuhmu."

"Pusat apa?" aku mulai bertanya, tapi dia hanya

menyentuh bagian luar kakiku dengan sepatu botnya.

"Tetaplah terpaku pada jantung kakimu dan jaga

agar kaki dan bahumu terpisah lebar," dia melanjutkan.

"Berpura-puralah kau berdiri di jalur rel kereta dengan

satu kaki."

Aku sedikit terkejut. June telah menyaksikan

seranganku lekat-lekat, meskipun hal itu terjadi saat

seluruh kekacauan berlangsung di sekeliling kami. Dan

dia benar. Aku bahkan tak pernah sadar, semua

instingku akan keseimbangan langsung lenyap semua

saat aku mencoba bertarung. Kulakukan apa yang dia

suruh.

"Oke. Sekarang apa?"

"Jaga dagumu tetap rendah." Dia menyentuh

tanganku, lalu mengangkat keduanya sampai salah

satu kepalan tangan tetap dekat ke sebelah pipiku dan

yang satunya lagi melayang-layang di depan wajahku.

Tangannya menyapu lenganku, memeriksa sikap

tubuhku. Kulitku terasa geli.

"Kebanyakan orang condong ke belakang, juga

menjaga dagu mereka tinggi dan menonjol ke depan,"

~257~



kata June, wajahnya berada di samping wajahku. Dia

menepuk daguku sekali. "Kau juga melakukannya. Itu

namanya minta dipukul KO."

Kucoba fokus pada sikap tubuhku dengan

mengangkat kedua kepalan tangan. "Bagaimana kau

meninju?"

Dengan lembut, June menyentuh ujung daguku,

disusul pinggiran dahiku. "Ingat, ini semua tentang

seberapa akurat kau bisa memukul seseorang, bukan

keras.

Kesempatanmu

mengalahkan

seberapa

seseorang akan lebih besar kalau kau memukul

mereka di tempat yang tepat."

Sebelum aku menyadarinya, satu setengah jam

sudah berlalu. June mengajariku taktik demi taktik?

menjaga posisi bahuku naik untuk melindungi daguku,

meruntuhkan pertahanan musuh dengan gerakan

tipuan, pukulan atas, pukulan bawah, mencondongkan

tubuh ke belakang untuk menendang, melompat lari

dengan cepat. Membidik titiktitik lemah?mata, leher,

dan sebagainya.

Aku menerjang June dengan semua yang sudah

kupelajari. Saat kucoba menangkapnya secara

mendadak, dia melepaskan diri dari cengkeramanku

layaknya air yang mengalir di antara bebatuan, cair dan

terus bergerak. Waktu aku mengerjap, dia sudah

berada di belakangku dan mengunci lenganku di

belakang punggung.

Akhirnya, June menjegal kakiku dan menjepitku ke

lantai. Tangannya menekan pergelangan tanganku.

"Lihat?" ujarnya. "Aku memperdayamu. Kau selalu

menatap mata lawanmu?tapi itu membuat sudut

pandangmu buruk terhadap sekelilingmu. Kalau kau

ingin mengincar lengan dan kakiku, kau harus fokus

pada dadaku."

Mendengar itu, sebelah alisku terangkat. "Jangan

katakan itu lagi." Tatapanku berpindah ke lantai.

June tertawa, lalu wajahnya memerah sedikit. Kami

terdiam sejenak, tangannya masih mengunci lenganku

di bawah dan kakinya melintang di perutku. Kami

berdua terengah-engah. Sekarang, aku mengerti

~258~



kenapa dia menyarankan latihan tarung dadakan?aku

lelah, dan latihan ini menyurutkan kemarahanku.

Meskipun dia tidak mengatakannya, aku bisa melihat

permintaan maaf polos di wajahnya, alisnya yang miring

menyedihkan, juga getar samar akan kata-kata tak

terucap di bibirnya. Itu akhirnya melembutkan hatiku,


Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini