Ceritasilat Novel Online

Sang Mawar Gurun Firaun 3

Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan Bagian 3

dan kebimbangan. Inilah sebuah hadiah yang paling besar bagi

zaman-zaman ke depan. Mereka akan memanggilmu sebagai

perempuan yang membuka hati batu..."

Perkataan terakhir Apa seperti sebuah igauan. Seperti

bayang-bayang yang bergerak di antara kenyataan...

Menuju pagi hari, pemimpin tandu meneriakkan

kegembiraan di saat mereka melihat pohon-pohon palem.

Mereka meletakkan tandu berisi Apa ke tepian oase. Pohonpohon palem yang mengingatkan pada para perempuan

berambut panjang terlihat seperti harapan-harapan

keselamatan bersama embusan angin laut. Setelah perjalanan

padang pasir melalui siang dan malam yang panjang, mereka

telah tiba di tepi laut...

Sang Ratu menegakkan tubuh lemah Apa yang berada di

dalam tandu. Setelah tersenyum kecil mendengarkan suara

142

ombak, Abdi Tua Apa kembali membaringkan badannya. Kali

ini, untuk selamanya...

Seperti pesan yang telah dia berikan, mereka mengubur

jasadnya tepat di bawah kaki makam yang berbentuk seperti

sebuah tenda di Tempat Peristirahatan Azizah. Sang Ratu

merasakan sebuah kecemasan di hadapan lautan yang pertama

kali dia lihat dalam hidupnya. Kesedihan akan kehilangan

teman, bercampur dengan perasaan yang membangkitkan rasa

untuk menyerahkannya di setiap sentuhan embusan angin laut

di sudut tempat dia duduk. Memberikan ketenteraman, sebuah

penghibur lara ke dalam hatinya yang tak pernah dia sangka...

...Dia menulis sebuah surat tak berkalimat

kepada ujung-ujung yang dalam. Yang paling

dalam dari yang terdalam. Seribu tahun

kemudian, jika Allah memberikan izin, dan juga

diberi kesempatan, mungkin akan datang seorang

pemburu mutiara, mungkin juga ikan-ikan tak

berlidah yang membaca satu huruf surat-surat

yang tersembunyi ini dan meninggalkannya

kepada ombak yang pergi ke tepian pantai...

143

Dia menangis. Bersama dengan percikan ombak yang

menerpa wajahnya, dia terheran, lautan juga terasa asin

seperti air matanya. "Kesedihanku dan kepedihanku tak lain

karena kehilanganku atas seseorang yang aku cintai seperti

ayahku sendiri. Tak seorang pun yang tersisa di dunia yang

luas ini seperti dirinya. Wahai laut, kenapa kau juga menangis?

Kehilangan siapa dirimu? Siapa yang kau cari dan tak kau

temukan? Apa penyebab kesedihan dan kepedihanmu?"

tanyanya...

Laut menangis...

Lautan air mata, sebuah tetesan air yang luas, tak lain

hanyalah sebuah kesedihan yang tiada batas...

Lautan kepiluan...

Lautan yang bergejolak...

Lautan keluhan atas perpisahan...

Selembar kulit terbakar oleh api di ujung paling dalam.

Meskipun semua tahu bahwa itu berasal dari air, tapi laut

mengerang dengan kepedihannya seperti orang-orang yang

terbakar dalam kobaran api...

Berapa jam sudah sang Ratu duduk menangis di laut.

Berapa jam sudah dia mencurahkan hatinya kepada ombak,

menceritakan semua kejadian yang dia alami. Dia yakin bahwa

mereka akan menjaga rahasianya, menumpahkan semua yang

terpendam dalam hatinya sampai hari itu. Dia menulis sebuah

surat tak berkalimat kepada ujung-ujung yang dalam. Yang

paling dalam dari yang terdalam... Seribu tahun kemudian, jika

Allah memberikan izin, dan juga diberi kesempatan, mungkin

144

akan datang seorang pemburu mutiara, mungkin juga ikanikan tak berlidah yang membaca satu huruf surat-surat yang

tersembunyi ini dan meninggalkannya kepada ombak yang

pergi ke tepian pantai...

Laut semakin berguncang. Dengarkanlah baik-baik suara

ombak... Seperti yang telah Apa sampaikan, huruf-huruf

penderitaan padang pasir terbawa oleh lautan. Kristal yang

dikeluarkan dari hatinya oleh sang Rat?? kembali berubah

menjadi bunga mawar...

Dia, akan menjadi rumah bagi yang lain bersama

kesendirian...

Kesendiriannya, mungkin juga akan menjadi rumah bagi

yang lain...

rrr

145

11. Para Utusan yang

Datang dari Negeri Punt

Ratu memberikan perintah untuk beristirahat di tempat

peristirahatan yang berjarak satu hari dari batas kerajaan

dalam perjalanan pulang. Dia telah kehilangan Apa, abdinya

yang setia... Ia ingin menggunakan pakaian perkabungan dan

mengadakan upacara duka. Dia pun mengirimkan para utusan

dan pengawalnya untuk mempersiapkan upacara sesuai

adat-adat kerajaan dan meminta pakaian perkabungan dan

keperluan yang lain....

Kaftan dari kain taf berwarna ungu tua, kerudung ungu, tandu

berkelambu yang ditutup dengan pita, bendera berkabung,

dan kobaran api dalam obor mengiringi sang Ratu memasuki

istana. Orang-orang yang melihatnya dalam terang cahaya

segera membuka pintu-pintu besar, mengibarkan bendera dan

pita, dan menyanyikan lagu-lagu ilahi perkabungan. Nyanyian

pun mulai bertiup dari satu bibir ke bibir lainnya...

Raja menemui ratu di depan gerbang istana. Dia juga

menggunakan kaftan berwarna ungu tua. Mereka saling

menyapa sedih. Tidak sebagai suami-istri atau raja dan ratu,

melainkan sebagai dua sahabat dekat. Karun dan Haman juga

hadir dalam ritual upacara perkabungan.

Ratu mengadakan perkabungan ini selama empat

puluh hari. Membaktikan janji-janji, mengunjungi tempat

pemakaman burung-burung ibis yang dimumikan setiap pagi,

146

dan memberikan bantuan kepada empat puluh orang buta

yang bertugas sebagai penjaga makam. Dalam perjalanan

pulang ke istana, ratu mengunjungi rumah-rumah yatim di

kota dan berdoa bersama mereka, menepati janji ?seribu obat

seribu pakaian?, ?seribu susu seribu roti?, dan ?seribu keranjang

bayi seribu tempat tidur bayi?.

...

Hari itu, hari kelima puluh setelah empat puluh hari masa

perkabungan...

Utusan Raja Parahu yang terhormat dari Negeri Punt yang

terletak setelah air terjun keenam dari Nil, membawa anak

jerapah dengan dua belas pasang burung yang memiliki warna

berbeda kepada Ratu Asiyah.

Sang Ratu menemui mereka di ruang tamu Zamrud. Sebuah

keberuntungan, raja yang hari itu berencana melakukan

perjalanan ke utara menunda perjalanan di detik-detik terakhir

karena pemberitahuan kepala komandan akan buruknya

cuaca. Dia juga akan menemani sang Ratu menerima para

utusan itu...

Ruang Zamrud yang digunakan untuk menerima tamu resmi

kerajaan memiliki tujuh patung singa berwajah dua dan tahta

raja dan ratu yang terbuat dari emas. Karpet-karpet berwarna

khaki terbentang di lantai. Patung-patung singa berdiri gagah

dengan jarak lima meter di antara para utusan dan obor-obor

yang menyala terang. Para utusan memasuki ruangan dengan

mata terpesona penuh kekaguman dan diselimuti rasa takut.

Hanya jika ini negeri mereka... Ah, sungguh kasihan Punt!

Ruang Raja Parahu dengan balkon yang menghadap ke

arah laut merah pun hanya seperti mainan saja dibandingkan

147

dengan ruang menerima para utusan di Istana Mesir. Sosok

Raja Parahu yang hidup tak jauh berbeda dengan masyarakat

Punt tinggal di rumah kayu dan gelap, semakin mengecil di

mata para utusannya, melebur menjadi satu bersama tanah

oleh kemegahan Istana Mesir yang menindas...

Dan apa yang harus dikatakan terhadap sebuah papan

bertulis di pintu masuk Ruang Zamrud? Di sana tertulis,

?Takutlah akan ditemukannya keadilan yang tak pernah kalian

lihat dalam hidup di pintu ini!?

Para utusan yang berbadan tinggi, berwajah kurus, dan

berpakaian warna-warni berusaha menahan diri mereka untuk

tak menertawai diri sendiri di hadapan tuan rumah... Para utusan

Punt tak beralas kaki. Kulitnya hitam, bahkan memantulkan

pancaran keunguan yang memberi kesan ganas. Pandangan

mata yang gugup, deretan gigi putih yang rata seperti barisan

mutiara, serta hidung kecil dan mancung. Setelah menyerahkan

tombak yang mereka bawa kepada pengawal di depan pintu

ruang Zamrud, mereka seperti rombongan pengemis yang

tinggi dan kurus. Dan di tangan mereka... Di tangan mereka

nampak tiga kandang burung yang berbeda dan yang terbesar

dengan suara kicau indahnya tampak jelas bahwa itu adalah

burung bulbul indah khas Punt. Burung apakah di kandang

lainnya? Jika dilihat dari cara menutupinya, ini akan menjadi

sebuah kejutan untuk sang Ratu...

Raja Ra yang pada kondisi umumnya tak begitu peduli

lantas berpikir bahwa ini merupakan sebuah kesempatan

yang tak boleh terlewatkan terkait dengan dekatnya perayaan

kematian Raja Amonhetep, raja sebelum dirinya. Negeri Punt

yang diserang oleh Mesir dan takluk tanpa perlawanan di masa

148

Raja Amonhetep ini cukup berhasil membuatnya bahagia di

napas terakhirnya. Dengan kemenangan ini, kebutuhan dupadupa suci Mesir tertatasi dengan pohon-pohon Punt dan

diputuskan untuk menuliskan sebuah bait di depan pintu

masuk tempat Amonhetep dimakamkan, "Sultan Punt".

Pohon-pohon Punt di waktu yang sama merupakan

pelindung istana dan gedung-gedung lainnya dari nyamuk dan

serangga. Batang pohon Punt biasa digunakan untuk membuat

semacam obat nyamuk bakar. Seluruh kipas kerajaan juga

terbuat dari ranting dan daun-daunnya. Aroma mint asap

dupa-dupa Punt memberikan ketenangan jiwa, dan banyak

yang beranggapan bahwa aroma itu memanggil jiwa-jiwa

suci dan baik, mengusir jiwa-jiwa jahat. Pintu kamar para

pengantin laki-laki dan perempuan pasti digantungkan daun

pohon Punt, digunakan juga untuk para bayi yang baru lahir

sebagai azimat.

Di samping itu, Negeri Punt merupakan sumber alkimia

terdepan Mesir. Negeri Punt juga merupakan negeri yang tak

tertandingi dalam seni obat-obatan dan pemumian. Sebagai
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gantinya Mesir memberikan kain-kain berwarna dan beberapa

permata kepada Punt. Di beberapa jalan pasar Bezzaz di Mephis

hanya menggelar kain-kain yang dibutuhkan oleh para Punt.

Sementara, pasar hewan juga penuh dengan para pemburu

burung, pawang ular, dan pemburu bangau dan kucing.

Bahkan di hari-hari perayaan, para pedagang dari Punt juga

membawakan jerapah dan monyet-monyet yang menghibur

anak-anak ke pasar ini. Kegembiraan yang paling besar di hari

perayaan yang diadakan satu tahun sekali ini datang dari Punt.

Kuda-kuda nil, badak-badak, buaya-buaya yang dipakaikan

149

sebuah pakaian wanita di punggungnya, kucing-kucing yang

terlatih berjalan di atas tali, gagak putih yang melakukan

akrobat... Rombongan mereka menjadi simbol kebahagian hari

raya di Memphis...

Raja Ra ingin memesan dua puluh gajah yang terlatih untuk

perjalanan selanjutnya kepada para utusan. Sebenarnya, para

utusan ini datang untuk menyerahkan hadiah kepada sang

Ratu. Namun, ini juga sebuah kesempatan untuk mengirim

mereka dengan sebuah perintah baru ke Negeri Punt...

Raja Punt mengingatkan apa yang Raja Ra lupakan... Raja

Ra lupa dengan hari kelahiran sang Ratu.

Kuatnya ingatan Raja Punt mengejutkan Ra, apa yang telah

dia lupakan. Raja Punt yang jauh di balik air terjun keenam

itu ingat. meski hidup di rumah kayu dan tidur di permukaan

tanah... Seberapapun dia berusaha untuk tak terlihat jelas, tapi

penyakit lupa ini... Pengunduran perjalanannya sangat tepat

baginya...

Sang Ratu sudah lama menutup dirinya, khususnya setelah

wafatnya Abdi Apa, dia tak pernah keluar dari istananya. Dia

pun tak memiliki anak untuk membuatnya gembira... Ataukah

sebaiknya dia menghadiahkan dua budak pintar kepada istrinya?

Dia pun menuliskan sebuah perintah kepada Sekretaris Umum

Kerajaan untuk membeli dua budak yang pintar dan layak bagi

sang Ratu dan dia pikir ini mungkin merupakan solusi yang

paling cerdik. Dia ingin tahu hadiah apa yang diberikan oleh

Raja Punt yang telah membuatnya tampak bodoh...

Sangkar-sangkar... Tak diragukan lagi, hadiah itu adalah

burung-burung indah...

150

Sepuluh dari dua belas burung merupakan burung bulbul

Negeri Punt. Sekor burung terlihat seperti memakai sebuah

sisir berbentuk mahkota merah muda, sementara yang lainnya

memiliki sayap-sayap berwarna biru laut dan ungu. Seluruh

burung itu dilatih doa-doa dan lagu-lagu oleh Kepala Pawang

Burung Raja Punt.

Dua burung lainnya merupakan burung-burung ibis yang

dihormati oleh seluruh penduduk Mesir...

Burung-burung yang dikenal juga sebagai sultanah ibadah

ini dipercaya membawa kabar-kabar dari alam lain. Dengan

sayapnya yang lebar mengelilingi dunia dari satu ujung ke

ujung, mereka seperti rombongan haji di atas muka bumi ini.

Salah satu burung ibis menarik perhatian dengan bulu-bulu

putihnya. Sementara itu burung ibis yang berada di sarang

lainnya dengan bahu-bahu tegapnya yang berselimut bulubulu hitam melihat sekelilingnya dengan pandangan menyihir.

Di ujung sayap-sayapnya nampak paduan warna biru malam

dan pola-pola oval kuning. Ketika ketakutan, di sayap-sayap

yang mengepak seperti sebuah kipas terdapat dua anting emas

kecil yang terpasang...

Mereka menempatkan burung-burung ibis di kandang

yang berbeda terbuat dari pohon Punt. Untuk memberikan

sebuah kejutan, kandang-kandangnya dibawa dengan ditutupi

kain taf berwarna hijau. Melihat keterkejutan sang Ratu ketika

membuka kain penutup sangatlah berharga. Bahkan sang

Raja pun sangat gugup, sambil menepukkan kedua telapak

tangannya: "Tak diragukan lagi... Hadiah yang sangat luar biasa

bagi sang Ratu," ucapnya.

Bagaimana dengan sang Ratu?

151

Sebenarnya, inilah Asiyah... Sebuah samudera

kasih sayang, sebuah samudera harapan.

Asiyah yang ramah, dermawan... Dia sebuah

obat yang berlari mendekat kepada setiap orang

yang mendekat satu langkah kepadanya... Dia,

orang yang tak pernah menghancurkan harapan.

Wajah sedih dan telah lama lupa akan senyum itu seperti

teralir darah segar, pipinya memerah karena gembira dan

tersipu malu. Melupakan peraturan kerajaan, dia bangkit

dari kursi tahtanya, berlari mendekat dan berlutut di sisi para

utusan yang bersujud di bawah...

Dia tak bisa percaya dengan hadiah itu...

Hadiah Negeri Punt yang berharga ini juga memberikan

ilham kepada sang Raja. Dia harus cerdik dalam memilih

hadiah bagi sang Ratu sehingga kelancangan yang dilakukan

Haman yang membuat hatinya terluka dapat dimaafkan dan

juga menyakinkan sang Ratu bahwa dia tak lupa dengan hari

kelahirannya...

"Kami, Kerajaan Mesir, dengan nama Raja Pare-amon,

hamba Tuhan Amon yang setia, hari lahir sang Ratu yang

terhormat, tak hanya penting bagi negeri Mesir saja, melainkan

merupakan sebuah hari raya yang sebenarnya bagi seluruh

152

alam semesta dan kami menyerahkan dua teman perjalanan

muda yang berada dalam perlindungan kerajaan..."

Surat ucapan selamat yang lembut sangat menggembirakan

sang Ratu. Bahkan, ini menjadi sebuah perantara harapan baru

bagi suaminya yang dia anggap telah tenggelam dalam lautan

kesombongan...

Sebenarnya, inilah Asiyah... Sebuah samudera kasih sayang,

sebuah samudera harapan. Asiyah yang ramah, dermawan...

Dia sebuah obat yang berlari mendekat kepada setiap orang

yang mendekat satu langkah kepadanya... Dia, orang yang

tak pernah menghancurkan harapan. "Ah... Ra!" ucapnya dari

dalam hati. Paling dalam dari hatinya... "Hanya terbentang

satu langkah, satu langkah yang akan kau injakkan... Apa pun

yang terjadi, injakkan satu langkah itu dan selamatkan dirimu

dari jeratan-jeratan yang menjerat erat dan menenggelamkan

dirimu..."

Dan mereka pasangan yang saling memahami... Dia

memanggil penulis pribadinya dan menuliskan sebuah surat

terima kasih kepada sang Raja. Sementara itu, surat kedua

yang dia tulis akan dikirim untuk Ahli Bes, ahli bangunan dari

Kota Piri...

rrr

153

12. Tahnem, Murid

Tukang Perahu...

Kebaikan Ratu Yesiyis membuat Guru Piri Bes takkan

pernah mengecewakan hatinya... Seperti perintah sang Ratu,

istana membutuhkan dua abdi berumur sepuluh-dua belas

tahun, satu laki-laki dan satu perempuan. Sang Ratu meminta

anak-anak yang berasal dari daerah Ombos dan mendapatkan

pendidikan dari Para Nakkas Piri. Dalam surat terakhirnya,

Yesiyis menuliskan bahwa anak laki-laki akan ditugaskan

sebagai nahkoda perahu kerajaan, sementara anak perempuan

akan dididik mengenai perhiasan dan ditugaskan sebagai abdi

kerajaan. Mereka semua akan bekerja di bawah sang Ratu

sendiri...

Sambil membelai jenggot putihnya yang panjang, Guru Bes

bertanya-tanya cemas. "Iya, tapi kenapa dariku dan kenapa

permintaan besar ini mensyaratkan harus dari Desa Nakkas?"

Ia masih dipenuhi banyak tanya ketika melanjutkan membaca

surat di tangannya. "Karena kami menginginkan anak-anak

yang lulus dari pendidikan tinggi dan ujian Anda." Begitu

tulis Ratu Yesiyis... Ketika melipat surat dan menaruhnya ke

dalam kantong terbuat dari kulit Rusa, Guru Bes mengeluh

untuk kedua kalinya... "Dan salah satu dari dua anak adalah

perempuan... Bagus, tapi murid-murid yang dididik oleh para

guru di sini sejak berabad-abad yang lalu semuanya adalah

laki-laki..."

154

Sepanjang hari, dia berpikir mengenai masalah ini, bahkan

terkadang di tempat umum, ia berseru dengan suara keras.

"Satu perempuan... Seorang anak perempuan..." Orang-orang

yang menyaksikan kejadian ini, tidak pernah membayangkan

atau terpikir bahwa sang guru tengah mencari seorang murid

perempuan, "Pasti sebuah pesanan makam baru datang

kepada guru tua ini... Sebuah batu makam baru yang harus

diselesaikan segera untuk seorang putri dari kelurga kerajaan

yang meninggal di usia muda...," pikir mereka.Tak seorang pun

yang berani bertanya kepada Guru Bes yang dihomati, tegas,

dan teliti. Ketika dia menggumam sendiri seperti ini, orangorang yang melihatnya juga mencari jawaban atas apa yang

membuat cemas Guru Bes...

"Panggilkan Tahnem untukku!" teriak Guru Bes yang

tenggelam dalam kecemasan selama dua hari. "Segera

temukan Tahnem!" Kedua matanya memancarkan sinar telah

menemukan apa yang dia cari. "Tahnem! Di mana kau?"

teriaknya...

Tahnem yang datang menghampirinya sambil berlari,

akhirnya diutus menuju Pulau Ab untuk menemui pedagang

Bahtiyar, sahabat lama Guru Bes... "Pedagang Bahtiyar

mengenal seluruh sungai di permukaan Bumi ini. Dan dengan

nama keagungan seorang raja... Dan dengan kekuatan yang

terletak di ujung jemari para perempuan... Dan padang

pasir, kurang lebih sebelas jejak kaki burung yang terbang di

atas padang pasir... Tak ada orang yang lebih tahu di dunia

ini selain dirinya. Tahnem! Tugasmu adalah melewati di

antara dua sungai besar. Setelah melewati banyak padang

pasir, gunung-gunung, dan bintang-bintang, kau akan tiba

di Pulau Ab. Berikan surat ini kepada Sahabatku Bahtiyar

155

yang mengetahui semua bahasa di dunia ini. Jawaban suratku

adalah seorang perempuan seumuran denganmu. Jemput anak

perempuan itu, dan kembalillah ke Desa Nakkas dengan jalan

yang kau tempuh ketika berangkat. Jangan lupa, perjalanan ini,

merupakan salah satu ujian di antara ujian-ujian untuk murid.

Aku mengharapkan keberhasilanmu, wahai anakku," ucapnya

seraya meminta Tahnem untuk segera berangkat...

Bagi Tahnem ini merupakan sebuah perjalanan berjarak

satu minggu dengan perahu setelah melewati jalan daratan...

"Aku tak tahu dan tak ingat nama-nama ibuku, ayahku, atau
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun desa tempat aku lahir," ucap Tahnem malu dan bosan,

setiap ditanya mengenai keluarganya. Wajah yang pertama

kali Tahnem ingat dalam kehidupan pendeknya adalah wajah

gurunya yang membesarkan dirinya di perahu-perahu yang

datang dan pergi di atas permukaan Nil... Gurunya adalah

seorang pekerja yang mengukur gosong pasir di perahuperahu yang dioperasikan untuk Nubye. Tak diragukan lagi, ini

merupakan sebuah aturan kehidupan yang susah, untuk bisa

menahkodai perahu di sungai yang disebut dengan nama ?Hapi?

oleh penduduk asli dengan selamat... Tubuh Hapi tak rata,

penuh dengan riak, jeram yang dalam, dan gosong pasir yang

tiba-tiba meninggi. Orang yang tak mengetahui bahasa sungai

ini sering kali bermakna musibah akan menimpa... Mengukur

gosong pasir merupakan kecerdasan yang paling tinggi atau

pengetahuan sangat penting bagi para guru perahu. Sejak

berumur sekitar lima-enam tahun, anak-anak seperti Tahnem

merupakan calon pengukur gosong pasir. Mereka dibiasakan

untuk bekerja di perahu. Anak-anak kecil ini memerhatikan

guru-gurunya dengan cermat dan hanya ketika telah berumur

tujuh tahun diizinkan untuk memegang tongkat pengukur

156

gosong pasir yang dipercaya memiliki kekuatan. Tongkattongkat ini mereka jaga seperti amanah yang suci..

Tahnem mengingat kembali hari-hari masa kecilnya

ketika menempuh perjalanan menuju Pulau Ab. Perahu yang

dinahkodai almarhum gurunya di atas permukaan Nil tepat

berada di hadapannya, membelah air sungai, menunjukkan

sebuah jala di pandangan matanya...

Dan sebuah kepala buaya! Kepala buaya, merupakan simbol

Tuhan Set dan sebuah tanda kelompok perahu. Penginapan

yang pertama kali mereka jumpai ketika melakukan perjalanan

sungai bersama gurunya memiliki simbol Tuhan Set di pintu

besi penginapan dan kemudian menjadi tanda kelompok

perahu. Gurunya merupakan seseorang yang dihormati oleh

seluruh kelompok, dia mengukur gosong pasir dan memastikan

keselamatan orang yang melakukan perjalanan. Saat tiba

di penginapan, beliau memukul keras tiga kali pintu besi

penginapan dengan tongkat berkepala buaya. Petugas-petugas

penginapan menemui mereka sambil membungkukkan badan

sampai ke tanah. Pengembara ini tak bisa ditempatkan di

sembarang tempat, mereka tak tahu harus berbuat apa.

Menurut adat Kelompok Perahu di Ombos, nama guru

yang wafat dalam perjalanan di permukaan air Nil diukir di

atas tongkat pengukur gosong pasir. Di tongkat guru Tahnem

tertulis dua puluh dua nama guru besar. Tahnem, setelah

gurunya tertidur, memandangi nama-nama yang terukir di

atas tongkat, dan membayangkan orang-orang pemberani

yang berada di alam lain ini... Di Ombos, ketika kisah para

pelaut yang terjatuh saat mengukur gosong pasir dan menjadi

mangsa buaya diceritakan seperti legenda. Di samping itu,

juga memberikan nasihat untuk menjadi pemberani kepada

157

para murid seperti Tahnem. Masing-masing membawa sebuah

medali tembaga yang bertuliskan doa-doa perlindungan

terhadap buaya... Sampai menjadi seorang guru, para murid

perahu tak bisa memiliki sebuah nama. Para asisten, pendayung,

penjaga, pelipat layar, tukang api, dan juru masak dipanggil

dengan sebuatan ?anak? atau ?anak Hapi?. Sebutan ?anak Hapi?

lebih sering digunakan untuk anak-anak yang tak pasti kedua

orangtuanya, Tahnem juga tak mengetahui orangtuanya.

Gurunya pun tak banyak berbicara mengenai hal ini. Ia adalah

seorang yang sangat serius dengan wajah hitamnya yang

semakin cemerlang seiring dengan embusan angin Nil.. Tak

ada selain disiplin dalam dirinya. Meskipun jarang, Tahnem

sesekali melihat senyuman di wajah gurunya saat makan malam

di penginapan kelompok perahu setelah melakukan perjalanan

yang membawa berkah... "Ibumu adalah seorang petani yang

baik, anakku. Ketika dia meninggalkan kita, kau adalah seorang

bayi di bulan ketiga tahun Matahari yang kedua. Dia seperti

dirimu, memiliki hidung yang mancung dan dahi yang terang,"

kenang Tahnem mengenai ucapan gurunya...

Gurunya tak pernah memperlakukan Tahnem seperti murid

guru-guru lain. Sang guru tak pernah memukulnya dengan

kayu, tak pernah menghukumnya dengan meninggalkannya

kelaparan. Apa yang dia makan, Tahnem juga menikmatinya.

Di mana dia tidur, di situ Tahnem tidur... Namun, Tahnem

tak pernah berani untuk bertanya kepada gurunya, siapakah

Ayahnya? Tak pernah mereka berbicara panjang lebar...

Tahnem mendapatkan namanya dari gurunya yang terjatuh

ke Sungai Nil dan dimangsa buaya di depan kedua matanya...

Hari yang mengerikan itu masih sering masuk ke dalam

mimpinya dan jeritan sering kali membuatnya terbangun.

158

Tiba-tiba saja perahu gurunya terhenti, lunas perahu menabrak

sesuatu dengan goncangan yang keras. Gurunya yang berada

di ujung perahu terguling ke sungai akibat goncangan... Perahu

yang di luar kendali masuk ke dalam pusaran angin dan arus

yang kuat, kemudian terjatuh dari jeram setinggi dua meter...

Teriakan-teriakan, jeritan-jeritan...

Tahnem berhasil memegang sepotong kayu dan menarik

diri ke tepian sungai dengan menjeratkan pergelangan tangan

ke sebuah tali... Bersama dengan tiga orang yang selamat,

mereka membawa beberapa barang yang dapat diselamatkan

dari perahu dan korban tewas... Selama dua hari, pencarian

jasad-jasad di sepanjang tepian sungai terus dilakukan...

Tiga orang belum ditemukan, termasuk gurunya dan dua

orang awak perahu.. "Hilangnya Hapi merupakan perampasan

Tuhan Set," ucapnya seraya tak pernah menyukai para pendeta

desa yang memberkati sungai dan buaya-buaya. Salah satu

dari para pendeta itu menyodorkan tongkat sang guru kepada

Tahnem. "Namamu mulai detik ini adalah Tahnem," ucapnya,

dengan maksud untuk menegarkan dirinya. Anak muda ini

memandangi tongkat panjang berhias buaya dan nama para

guru leluhur yang terukir di atasnya dengan penuh kesedihan...

"Jika kau adalah Tuhan Set, mengapa kau tak melindungi

kami, kenapa kau masuk ke dalam tubuh buaya dan memangsa

guruku dan penumpang-penumpang lainnya?" berontaknya...

"Kata-kata kosong ini hanya akan menambah kemarahan

Set, sekarang diamlah wahai Tahnem putra guru Katarnem!"

Sebuah suara memotongnya. Kesedihan Tahnem bertambah

dalam... Dia telah memiliki sebuah nama, tapi tak memiliki

Ayah. Gurunya pun telah telah dikorbankan kepada Tuhan

Set...

159

Dalam adat para nakhoda perahu, nama seseorang tak bisa

diberikan sebelum orang itu meninggal dunia... Tepat seperti

ungkapan ?Hapi? yang bermakna ?Laut? untuk Sungai Nil,

mengucapkan sebuah nama dengan bahasa daerah, memanggil

nama dengan suatu sebutan, atau memandang lawan bicara

dengan tatapan mata melecehkan merupakan sikap melampaui

yang membawa kutukan... Nama-nama hanya diketahui dan

diucapkan oleh para tuhan dan orang-orang yang merupakan

kerabat dekatnya... Menurut sistem kasta, orang-orang yang

berada di tingkatan paling bawah hanya bisa menaikkan

derajat mereka dalam lingkup kesenian dan pekerjaan. Orangorang tanpa nama yang masih dalam masa pendidikan hanya

bisa terlepas ketika mencapai tingkatan guru dan sebagaian

besar setelah kepala keluarga meninggal dunia... Jika dilihat

dari persyaratan ini, Tahnem terhitung sangat beruntung, m.

Masih banyak orang asli yang tak memiliki nama, meskipun

telah menikah dan memiliki anak di Ombos...

Setelah peristiwa besar di Hapi, salah satu awak kapal

menjadi milik Tahnem. Ia mendaftarkan perahu baru dan

si awak kapal ke dalam daftar perahu yang berlayar sebagai

seorang murid. Mereka pun memulai perjalanan menuju

Pulau Ab... Ketika Pulau Ab memancarkan sinar terang seperti

kerang dengan pantai berwarna gading, awak kapal yang telah

lama menghapus peristiwa yang terjadi beberapa waktu yang

lalu dari ingatannya, dengan pengaruh apiun yang dia minum,

membacakan puisi dan menyanyikan lagu. ?Kita adalah para

pelaut yang berlayar untuk melupakan kesedihan, semua

kehilangan telah kita tinggalkan di pelabuhan sebelumnya,

kita berlayar untuk menemukan orang-orang baru yang akan

kita cintai dan tempat tinggal baru, dan nantikanlah kita wahai

160

pantai-pantai...? Sebuah lagu bahagia yang sering Tahnem

dengarkan... Guru Katarnem, yang juga merupakan ayahnya

dan sekarang hanya tersisa kenangan, tak ada batu nisan yang

tertinggal.

Ketika mereka semakin dekat dengan Pulau Ab, Tahnem

memikirkan ayahnya yang hilang tertelan Sungai Nil. Apa yang

dia tahu, ombak Sungai Nil adalah satu-satunya rumahnya.

Bahkan, dia melihat Nil sebagai ibunya dalam mimpinya

malam itu. Sebenarnya, ayahnya belum meninggal, dia hanya

pergi menemui ibunya...

Pikiran-pikiran dan kenangan ini mengiringi perjalanan

Tahnem, perjalanan menuju Pulau Ab. Dia tak banyak

berbicara. Pulau Ab merupakan tetangga negeri Nubye yang

dikenal dengan nama ?Kemet? dalam bahasa penduduk asli

dan juga merupakan salah satu pusat perdagangan yang paling

berkah. Pasar-pasar, tempat perbelanjaan yang berwarnawarni, Ab adalah pulau tempat para penjual, orang asing dan

pedagang, diplomat, tukang sihir, penafsir mimpi, tentara

dan tawanan, serta para penyair dan tukang obat berjalan

berdampingan... Raja Memphis memberikan sebuah julukan

yang agung kepada walikota Pulau Ab yang mengatur Kemet,

?Pemimpin Kailah yang Menyerahkan Panen Negeri-Negeri

Asing Kepada Rajanya?.

Ketika dia hendak menaiki perahu di dermaga, Tahnem

bertanya pada dirinya sendiri. "Seperti apakah tempat bernama

Memphis?" Dia mendengar dari guru-gurunya bahwa tempat

itu terletak di bagian utara Kemet yang dekat dengan Delta Nil.

"Seperti apakah sang Raja? Bagaimana dengan Ratu Yesiyis?"

Dahi Tahnem penuh keringat hanya dengan memikirkan ini

saja. Memikirkan orang-orang dan nama-nama ini bukanlah

161

tugasnya, bahkan ini membawa ketidaktenteraman. Beragam

pertanyaan, nama-nama, dan kota-kota bisa menimbulkan

pikiran-pikiran yang negatif.

"Aku takkan khawatir, aku hanya akan menyelesaikan

tugasku," ucapnya pada dirinya sendiri. Ketika dia memandang

langsung dermaga, dan ketika menyadari para pencuri yang

berada tepat di bawah barang-barang yang diangkat terburuburu oleh para penjaga, beban dalam hatinya menjadi ringan

dan mulai tersenyum kecil melihat para pencuri yang kecil dan

malas ini...
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah mereka seperti kami?" Kedua mata Tahnem

terbuka lebar keheranan ketika melihat orang yang berkata di

sampingnya. Betapa putihnya kulit orang berbadan tinggi ini,

dengan pakaian terang yang sampai sekarang belum pernah

dia lihat... Aksennya jelas menyatakan bahwa dia adalah

orang asing.

Tahnem mengucapkan salam seraya membungkukkan

badan. "Salamku bagi Tuan Pendatang." Tahnem memberikan

tanggapan yang sopan. Pendatang yang sampai sekarang belum

terbiasa dengan kesopanan ini memainkan rambutnya, sambil

menepuk dia menjawab salam itu.

"Berapa umurmu, wahai anak muda? Kau sudah besar untuk

melakukan perjalanan sendirian, tapi berapakah umurmu,

katakan padaku." Sang Pendatang bertanya seraya, tanpa

diduga, menyentuh hidung Tahnem. Sangat aneh! Sampai saat

ini, tak seorang pun menyentuh baik rambut maupun hidung

anak muda ini. Sebuah keakraban yang berbeda. Keakraban

ini memberikan sebuah kedekatan yang bagi Tahnem belum

pernah dia rasakan sampai saat ini...

162

"Umurku sebelas tahun matahari, seperti tertulis dalam

Daftar Pelaut Nakkas." Kalimat ini terucap seperti dengungan

dari bibir Tahnem yang bersumpah untuk tak berbicara.

Tapi, Tuan Pendatang telah mulai bersiul kembali sambil

memandang lurus ke dermaga. Merasa ragu-ragu apakah

orang asing itu mendengar apa yang dia ucapkan, Tahnem

mengulangi kalimat yang sama dengan suara lebih keras.

"Sebelas tahun matahari..."

"Pernahkah kau melihat peta matahari dalam hidupmu,

wahai pemuda berumur sebelas tahun matahari?"

"Tidak... Tapi, Iya. Aku melihat peta."

"Kita harus memberikan sebuah keputusan, apakah iya atau

tidak."

"Aku belum pernah melihat peta matahari, wahai Tuan yang

Bijaksana. Tapi, aku tahu peta yang digambar oleh Guru Bes di

Pemakaman Keferteb. Bahkan, aku menghafalnya..."

"Jadi, kau adalah murid Guru Bes."

"Aku tak bisa berbicara lebih banyak mengenai hal ini, Tuan

yang Bijaksana."

Tahnem menyadari kesalahan yang telah dia perbuat.

Murid paling awam yang dididik di Desa Nakkas pun tahu

bahwa tak boleh membahas mengenai peta-peta pemakaman,

Guru Bes sangat tegas dalam hal ini. Dia membuat semua

muridnya untuk bersumpah. Satu peta pun tak tercatat dalam

lembar-lembar kertas, melainkan setiap pagi digambar di atas

permukaan pasir oleh asisten guru dan meminta para murid

untuk menghafalkannya untuk dihapus kembali. Tapi orang

pendatang ini, dengan sikap keakrabannya, telah menaklukkan

hatinya dan membuatnya berbicara yang tak seperlunya...

163

Makam-makam sering Keferteb dirampas isinya oleh para

perampok makam. Itu sebabnya, rahasia makam-makam

tak pernah disampaikan kepada siapapun sebelum menjadi

asisten... Dan apa yang Tuan Pendatang katakan sebelumnya,

ketika tertawa melihat pencuri di dermaga: "Bukankah mereka

seperti kami?"

"Aduh!" Hati kecil Tahnem bergetar... Ataukah Tuan

Pendatang ini juga merupakan salah satu pencuri yang kerap

merampas harta karun dan makam? Sungguh, Guru Bes

merupakan seseorang yang berpengetahuan. Berkali-kali dia

memperingatkan untuk tak berbicara dengan orang asing.

"Ah," ucap Tahnem, "Guruku benar sekali..."

Ketika dia berpikir seperti ini, Tuan Pendatang seakan

membaca pikirannya. "Tak usah khawatir, wahai anak muda,"

ucapnya. "Aku bukanlah orang yang memburu harta karun di

makam-makam. Apa yang aku buru adalah harta karun yang

lebih besar!" Dia kemudian mulai mengucapkan sesuatu seperti

puisi dalam kalimat yang sampai saat ini tak pernah didengar

oleh Tahnem...

"Aku pergi menuju Gosen, wahai anak muda. Ke samping

kerabat-kerabatku. Ke utara, tapi sebelum menempuh

perjalanan ke Delta, aku ingin mengunjungi Pulau Ab. Aku pergi

menuju Ab untuk mencari petunjuk mengenai pendudukku

dan kerabat-kerabatku. Kemudian, aku akan meneruskan ke

Memphis dan Gosen jika Allah mengizinkan..."

"Allah?"

"Pelukis seluruh peta matahari dan menggantungkannya di

langit, Tuhan Satu dan Tunggal. Pemilik sesungguhnya semua

sungai, padang pasir, gunung, dan lautan..."

164

"Amon... Amon Ra... Seperti inikah kau mengucapkannya?"

"Aku tak tahu namanya, wahai Tuanku. Yang aku dengar

dari Guruku Bes adalah Amon. Amon Ra... Yang aku tahu, Dia

adalah Tuhan seluruh kalajengking dan Pelindung Pemakaman

yang menjaga anak-anak dari mimpi buruk. Hanya itu yang

aku tahu."

"Pernah kau mendengar mengenai Gosen?"

"Gosen adalah kota para Hapiru yang tak mengenal

tuhan..."

"Jadi, kau menyebut kami sebagai orang yang tak mengenal

tuhan?"

Sekali lagi, Tuan Pendatang tenggelam dalam tawanya.

Jadi, benar apa yang dia dengar dari sekitarnya, para Hapiru

sama seperti Tuan Pendatang, orang-orang berkulit putih

dan hanya menyembah pada satu Tuhan yang tunggal. Ketika

Tuan Pendatang mengajak Tahnem ke tempat makan yang

sederhana di anjungan perahu, jarak yang tersisa kurang

lebih satu jam ke Pulau Ab. Angin dan arus tampak bagus.

Jika terus berjalan seperti ini, perahu-perahu akan tiba di tepi

pantai setelah siang. Sebelum malam tiba, dia akan mencari

dan menemukan pedagang Piri Bahtiyar dan dengan demikian

dia telah menyelesaikan tugas untuk menyerahkan surat yang

diamanahkan padanya...

Ketika Tuan Pendatang menunjukkan sebuah peta yang

aneh dari kantong setelah makan, jatung Tahnem terkejut

seperti berhenti. Dia tak pernah bertemu dengan seseorang

yang membuka sebuah peta di tempat ramai seperti ini, di

depan banyak orang. Tuan Pendatang menyebut negeri ?Kemet?

yang Tahnem sebut dengan nama ?Mesir?. Sementara itu, ?Hapi?

165

yang dia tunjukkan dengan tangannya dalam bahasanya adalah

?Nil?. Dalam keyakinan para Apiru, Sungai Nil adalah sungai

suci yang bersumber dari surga.

Menurut cerita, para Apiru merupakan masyarakat yang

datang dari arah timur dan merupakan kerabat-kerabat Nabi

Yusuf. Mereka hidup sesuai dengan ajaran agama dan akhlak

Sang Nabi. Di zaman Nabi Yusuf, jumlah penduduk yang datang

bertempat tinggal di Gosen meningkat seiring dengan waktu,

menyebar ke Memphis dan ke beberapa daerah Kemet...

Tapi, ada satu hal yang tak diketahui oleh Tuan Pendatang.

Para Hapiru tak hidup dalam kehidupan yang makmur seperti

yang dia bayangkan, bahkan sebagian besar berada dalam kasta

yang paling rendah dan hidup dalam kondisi menyedihkan

dibandingkan penduduk asli Kemet... Itupun jika hidup seperti

itu bisa disebut sebagai kehidupan...

Tahnem tak mengatakan hal ini kepada Tuan Pendatang.

Dan memang, hal yang menarik perhatiannya adalah peta yang

terukir di kulit rusa itu.

Hapi selama satu tahun mengalir deras dari Delta menuju

"Air Besar Hijau". Harapan paling besar Tahnem adalah tiba di

Delta suatu hari dan melihat Nil yang dia cintai seperti ibunya,

menyaksikan arus air yang bercampur ke dalam Air Besar

Hijau... Dalam ingatan masa kecilnya, tempat Nil mengalir

ke lautan, seperti akhir dari dunia. Jika tiba di sana, dia

membayangkan seperti bertemu dengan ibu dan ayahnya...

Tahnem memandang dengan kekaguman gunung-gunung

berpunggung hitam di arah barat terbenamnya Matahari Kemet

yang juga disebut Mesir oleh Tuan Pendatang. Perkataannya

bahwa arah barat yang mengapit Kemet, yang dikenal dengan

166

?Negeri Para Jin yang Tertidur? adalah suatu tempat kosong

menjadi penyebab tertawanya Tuan Pendatang. Padahal,

Negeri Para Jin yang tertidur dikenal oleh seluruh pelaut Kemet

sebagai tanah terlarang. Tuan Pendatang hanya tersenyum tak

takut. Kenyataannya, keadaan para Apiru di Kemet tak pernah

seperti ini. Kehidupan mereka penuh dengan ketakutan,

kecemasan, dan ketidaknormalan. Meskipun Tuan Pendatang

berasal dari keturunan mereka, dia sangat menguasai bahasa

penduduk asli, berbicara akrab, dan segera membangun

pertemanan...

"Sebelumnya, aku telah berkali-kali datang ke Pulau Ab. Aku

berjalan sampai ke bagian yang paling jauh di Mesir Atas. Aku

hidup dua tahun di Negeri Punt dan empat tahun di Kesempert.

Sungai Nil tempat aku dilahirkan, aku menjadi penulis dan

penerjemah di Bagian Penasihat Negeri di Kesempert," jelasnya

penuh semangat. Sekali lagi mereka tenggelam dalam peta.

Dengan jari panjangnya yang terpasang sebuah cincin zamrud,

dia menunjukkan Kemet kepada Tahnem. Bagian bawah Mesir

yang mengarah ke Delta diwarnai dengan warna hijau, sebuah

padang pasir yang panjang di arah terbitnya Matahari, dan

tepat di bawahnya tampak sebuah kelinci yang berdiri sebagai

simbol Laut Merah. Baik rombongan-rombongan pedagang

Arab maupun Persia yang datang dari celah dua sungai harus

melewati Laut Merah untuk tiba ke Kemet. Dan Hapi... Nil yang

indah! Ibu Kemet berambut panjang, layaknya sebuah garis

takdir yang penuh dengan berkah melewati Mesir dari satu

tempat ke tempat dan menghubungkan permukaan surga...

Mereka sadar telah tiba di Pulau Ab hanya dengan

menyaksikan keramaian para pembawa obor yang berjalan ke

kanan dan kiri dek perahu. Seperti para penumpang lainnya,

167

mereka mulai mengemasi barang bawaan mereka. Saat itu,

Tahnem teringat pada teman pertama perjalanannya. Dia

mengedarkan pandangannya dan melihat teman-teman

perjalanannya berada di ujung perahu, berusaha mengumpulkan

barang-barang yang akan mereka bawa ke pulau.

Sepasang kuda yang terikat di bagian bawah perahu pasti

menyadari dekatnya dermaga, mereka mulai mengeluarkan

suara. Ketika Tahnem membuka celah kayu yang dibuat untuk

ventilasi udara sambil membungkukkan badannya untuk

mengontrol kuda-kudanya, dia terlempar kaget ke belakang.
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang mata berwarna hitam memandanginya di antara

kuda-kuda. Dia adalah seorang gadis kecil seumuran dirinya.

Dengan tangan kecilnya, dia mendorong celah kayu ke arah

dek perahu.

"Berikan jalan kepadaku, wahai Tuan Muda," ucap gadis

muda sambil menepuk bahu Tahnem yang berdiri menutup

jalan. Setelah itu, gadis kecil bermata hitam berlari cepat ke

arah sisi Tuan Pendatang. Tuan Pendatang memanggil Tahnem

yang memandangi mereka dengan keheranan.

"Nama gadis ini adalah Sare. Dia mengetahui bahasa kalian.

Ayahnya adalah menantuku, dia meninggal empat puluh hari

yang lalu dalam perjalanan dan Sare sekarang bersamaku. Dan

ini Tahnem. Tahnem yang pintar, salah satu murid Guru Bes

Piri dari Nakkas. Sekarang perjalanan kita berbeda, wahai

sahabat kecilku. Aku bersama Sare adalah tamu pedagang

Piri Bahtiyar. Dari sana, kami akan menempuh perjalanan

kembali menuju Gosen. Sare juga seperti diriku. Apa yang kau

katakan tadi, Hapiru? Hah, iya... Kami adalah kerabat Nabi

Yusuf. Ketidakabadian adalah kodrat semua makhluk di dunia

168

ini, jalan kita pun berpisah. Kami sangat senang berkenalan

dengan dirimu. Benarkan, Sare?"

Sare dengan wajah tak peduli mengangkat kedua bahunya.

"Dia bukan temanku, aku tak mengenalnya. Di samping itu,

anak kuda sangat sakit. Selama perjalanan, dia penuh keringat

dan terengah-engah," ucapnya sambil menunjukkan celahcelah dan lambung kapal.

...Ketika Tahnem membuka celah kayu

yang dibuat untuk ventilasi udara sambil

membungkukkan badannya untuk mengontrol

kuda-kudanya, dia terlempar kaget ke belakang.

Sepasang mata berwarna hitam memandanginya

di antara kuda-kuda. Dia adalah seorang gadis

kecil seumuran dirinya...

Ketika para Hapiru turun ke bagian hewan di lantai bawah,

Tahnem terpaku memandang di belakang bahu mereka...

"Jadi, mereka juga tamu-tamu pedagang Piri Bahtiyar,"

ucapnya. Tahnem kemudian berjalan ke arah teman-teman

perjalanannya. Dia juga membantu mengeluarkan kuda-kuda

dan barang bawaaan. Setelah menyelesaikan urusan dengan

para penjaga, akhirnya mereka menjejakkan kaki mereka di

Pulau Ab...

169

Sebuah pulau surga yang terletak di telapak Nil... Ikan-ikan

bermain di tepi pantai yang terletak tepat di samping dermaga.

Pulau Ab, sebuah pulau seperti bebatuan gajah yang terang

mengagumkan. Aroma garam di siang hari memberikan

kesegaran yang berbeda, aroma timi dan tin yang datang dari

puncak-puncak membius manusia. Apa yang dikatakan Tuan

Pendatang bagi Ab?

"Kita menyebutnya Pulau Gajah karena bebatuannya yang

terang," ucapnya... Padahal, semua orang tahu tak satu pun gajah

hidup di Pulau Ab. Sangat Aneh, Sungguh, si pendatang orang

yang menarik. Seketika, dia sudah membangun persahabatan

dengannya. Ah, sudahlah, sekarang dia harus membuang jauhjauh pikiran ini dan menjalankan tugas yang diberikan oleh

Guru Bes...

Pasar dan dua tempat perbelanjaan di pusat kota seperti

sebuah aliran deras keramaian. Ratusan pendatang dengan

pakaian warna-warni, hiasan rambut, dan riasan yang berbeda

berbaur di pulau ini. Sorakan dalam bahasa-bahasa yang berbeda

terdengar di waktu yang sama. Para pedagang asli bersaing

menarik pembeli dengan para pedagang Arab yang datang

jauh dari padang pasir. Batu permata dan mutiara mahal yang

mereka bawa di dalam kantong, kerang dan rempah-rempah

berjejer di meja, burung bulbul yang dibawa dari Negeri Punt,

burung kakaktua yang bisa berbicara, monyet-monyet Nubye

yang terlatih, ikan-ikan hias yang ditampilkan di dalam kendikendi tanah, dan ular-ular yang berada di dalam keranjang

menantikan panggilan sang pawang. Semua ada di pasar ini.

Setelah teman seperjalanan Tahnem menanyakan alamat

yang dituju untuk kedua kali, dan melakukan perjalanan

kurang lebih satu jam, mereka tiba di perkebunan buah ara

170

dan pohon-pohon kurma.Tempat ini tersembunyi di sebuah

lembah yang sunyi, sebuah rumah yang jauh dari kebisingan

dan keramaian pusat kota...

Rumah itu terbuat dari pasir Nil yang dikeringkan, terletak di

puncak paling tinggi. Tahnem yang belum pernah berhadapan

dengan bangunan yang terlihat berbeda selain rumah-rumah

para Nakkas dan Guru Bes ini memandang dengan kagum.

Rumah yang dicat warna putih, terbagi menjadi dua bagian

yang terhubung dengan taman dalam. Lima ruangan yang

berada di bagian depan merupakan ruangan khusus yang

digunakan oleh pedagang Piri Bahtiyar dan keluarganya.

Tembok-tembok kayu memanjang dari tanah sampai ke atap

dan di dalamnya terdapat lembaran-lembaran kertas, tulisantulisan, serta sebuah ruang peta dan tempat makan. Taman

dalam rumah yang terbuka dari sebuah pintu memberikan

kesan sebuah taman kecil surga. Taman dalam yang memiliki

kolam berisikan ikan warna-warni yang berenang dan pohonpohon delima ini dilengkapi juga sebuah sumur air yang

memiliki lonceng di lengannya. Ketika ember bersentuhan

dengan air, suara lonceng memberikan kabar bahwa ada orang

yang menariknya. Dan di bagian belakang rumah bagian kedua

terdapat penginapan dengan delapan ruang untuk para tamu.

Terletak di puncak yang sunyi, di bawah pohon akasia yang

meneduhkan, memberikan keramahan kepada para tamu...

Para teman perjalanan berada di belakang Tahnem. Mereka

sibuk mengikat kuda-kuda dan menurunkan barang-barang

bersama pelayan di penginapan itu. Tahnem mengelilingi satu

per satu sudut. Dia beberapa kali mendatangi sumur, lalu masuk

ke salah satu ruangan yang jendelanya dilindungi dengan kain

penghalang nyamuk dan pintunya terbuka. Aroma tajam yang

171

menyelimuti ruangan adalah aroma dupa yang melindungi dari

serangga. Tahnem yang menyadari bahwa dupa ini terbuat dari

arang kayu dan tak menyukai aroma ini segera keluar menuju

taman...

Seorang pelayan dengan sopan mendekat ke arahnya,

mengundang Tahnem untuk pergi menuju tempat makan

yang berada di bagian depan. Di sana, dia menyadari sebuah

kendi air besar berisikan air kurma di atas meja marmer yang

besar. Jadi, pedagang Piri Bahtiyar hidup di rumah megah yang

dibangun oleh walikota Pulau Ab ini untuknya... Para petugas

menyampaikan kepada Tuan Muda Tahnem bahwa orang

tua bijaksana itu akan menemuinya setelah makan malam,

dan dengan bahasa yang sopan mereka menjelaskan jika dia

menginginkan, makan malam bisa dibawakan ke ruangannya...

Tahnem merasakan dirinya lebih dewasa dari usianya saat ini

di hadapan seluruh perlakuan istimewa kepadanya ini. Seakan

badannya bertambah tinggi, seolah dia berubah menjadi

seorang pangeran muda Kerajaan Mesir...

...

"Jadi, kau adalah anak muda yang membawakan amanah

sahabatku, Piri Bes. Anak muda yang tumbuh besar di bawah

bayangan akasia yang luhur pasti suatu hari akan memiliki

bayangan yang paling dalam pada Majus bijaksana kuno."

Orang tua bijaksana yang berbicara dengan ungkapan puisi

dan panjang ini sering kali bergumam dengan bahasa-bahasa

berbeda yang tak Tahnem pahami. Beliau juga mencari sesuatu

di laci-laci tinggi di sepanjang tembok sambil membelai jenggot

putihnya yang memanjang sampai ke perut...

172

"Malam ini akan ada tamu-tamu lain yang datang dari

perjalanan jauh, tapi karena tugasmu sangatlah penting

dan membawa surat dengan segel kerajaan, aku tak ingin

mempertemukanmu dengan para tamu lainnya. Betapa

beruntungnya tiram yang melindungi mutiara dan tanpa

kulit kerasnya itu akan menjadi korban pencuri bait-bait puisi

kuno..."

Gaya berbicara rumit ini sungguh menimbulkan

perasaan resah dalam diri Tahnem. Dia kemudian berusaha

menghapusnya dengan sebuah kalimat layaknya sambaran

petir. "Takdir para Spinx bukanlah di dalam teka-teki susah

yang tertulis pada dahi mereka, tapi tersembunyi di dalam

napas Tuhan. Kalimat-kalimat yang ditulis oleh Nakkas, setiap

pemilik kalimat merajut takdir..."

...Guru Bahtiyar, seperti halnya mengerti

jenis-jenis batu, juga memahami manusia

dengan baik. Saat itu juga, dia bisa membaca

cahaya terang yang akan muncul seiring waktu

di kedua mata Tahnem...

"Bagus, seribu kali sangat bagus dan sekali lagi bagus.

Alasan kenapa kau terpilih sangatlah jelas, wahai Tuan Muda

Tahnem. Katakanlah, darimana kau membaca bait ini?"

173

"Tuanku, aku adalah penjaga Pemakaman Keferteb,

hanyalah seorang murid biasa Guru Bes... Bait yang aku baca

tadi adalah kata-kata yang seorang penduduk Kemet Bawah

kuno harus hafalkan dan diukir ke dalam batu bata di pelajaran

marmer oleh setiap murid."

Guru Bahtiyar, seperti halnya mengerti jenis-jenis batu,

juga memahami manusia dengan baik. Saat itu juga, dia bisa

membaca cahaya terang yang akan muncul seiring waktu di

kedua mata Tahnem... Dia yakin dengan sifat setia, pintar,

dan pemberani yang Tahnem miliki hanya dalam lingkup

perkenalan yang singkat itu...

rrr

174

13. Rumah Pedagang Piri

Bahtiyar

Rumah megah milik Pedagang Piri Bahtiyar dalam waktu

yang sama juga merupakan sebuah tempat perpotongan jalan

dari timur dan dua jalan timur sutra, perhiasan dan rempahrempah lainnya. Di lingkup yang mempertemukan para peramal

yang terkenal di dunia, prmuka agama, para bangsawan, dan

orang-orang bijaksana ini, bagi seorang anak muda seperti

Tahnem, sebenarnya merupakan sebuah pelajaran perkenalan

terhadap dunia dalam waktu yang singkat. Sebelum dia tiba di

rumah megah ini, hidup pendeknya sebagian dia lalui bersama

para pelaut, sebagian lainnya bersama para guru batu Nakkas.

Karena itu, bagi Tahnem dunia terasa sangat kecil. Tapi ini

merupakan sebuah keburuntungan baginya, pertemuan

dengan para ahli mengenai pertanyaan-pertanyaan alam

semesta yang serius walaupun di umur masih muda... Di sini

tak hanya ada orang-orang Kemet saja. Bahkan, bisa dikatakan
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa orang-orang Kemet hanya ditugaskan sebagai para

pelayan. Meskipun orang-orang yang berkumpul di taman

orang bijaksana Bahtiyar membahas mengenai jiwa manusia

dalam bahasa Arab, Persia, Aram, dan bahasa lain yang tak dia

ketahui, Tahnem merasa berada di antara orang-orang yang

saling menghormati satu sama lain...

Dia berpikir mereka adalah kelompok yang sangat ceria

ketika memandangi mereka di meja sarapan pagi. Tuan

Pendatang yang kemarin dia kenal di perahu juga ada di antara

175

mereka dan tertawa saat mereka bertemu ketika membagikan

kurma satu per satu dan saling mengucapkan salam... Sementara

itu, pemimpin tamu memakai jubah dalam berwarna bulu

unta, wajahnya pun dekat dengannya. Meskipun tak banyak

tersenyum, dia seorang tuan yang mengatakan beberapa katakata yang membangkitkan keceriaan. Pembicaraan para tuan

Arab ini dihiasi dengan puisi-puisi... Tuan Pendatang yang

melihat Tahnem memandangi mereka penuh dengan rasa

ingin tahu, menggoyangkan tangan kirinya yang bermakna

untuk datang ke sisinya. Dia menerjemahkan kisah-kisah

para tuan padang pasir dengan suara rendah... Di tengah

pembicaraan, para tuan padang pasir berkata. "Suara perut

unta-unta yang kami naiki selama perjalan padang pasir lebih

baik dibandingkan doa para buaya yang merupakan hewan

suci sungai kalian..."

Salah seorang dari tuan Arab yang terkadang membuka

kedua matanya dan meniru mulut buaya dengan kedua

tangannya ditidurkan dengan opium oleh kedua temannya.

Begitulah cara mereka berlayar karena dia sangat takut naik

perahu... "Mereka membuatku tidur. Ketika aku membuka

kedua mataku, aku menemukan diriku berada di Puncak Ara.

Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Aku berpikir apakah

lebih baik menjadi pelayan Bahtiyar yang ramah, tapi perjalanan

ini juga adalah perjalanan pulang. Ah, mungkin sampai mati

aku akan terpenjara di pulau ini," ucapnya.

Kini, Tahnem paham kenapa mereka tertawa keras sedari

tadi. Rupanya, mereka saling bertukar canda. Sekarang, Tahnem

pun ikut bergabung dalam tawa ceria di meja makan...

"Lihat! Tertawa itu bagus!," ucap Tuan Pendatang kepada

Tahnem yang menyadari kebahagiannya. Ucapan ini membuat

176

Tahnem merasakan badannya bertambah tinggi dan umurnya

semakin dewasa. Dia berada di sekeliling para laki-laki, di

dalam dunia para tuan-tuan...

Dan tak tahu kenapa, dengan tepukan kedua tangan yang

mengisyaratkan para pelayan untuk merapikan meja makan,

semuanya berubah serius. Orang Bijaksana Bahtiyar setelah

beberapa kali batuk untuk membersihkan tenggorokannya,

memulai pembicaraan dengan mengatakan bahwa pertemuan

ini bukanlah hal yang tak disengaja dan membahas jalanjalan yang mempertemukan takdir. Dia membahas mengenai

kemiskinan Mesir yang semakin hari semakin bertambah

di akhir-akhir waktu ini, pembunuhan yang sering terjadi,

dan sistem kasta yang membuka jalan ketidakadilan.

Bagaimanapun juga, keluhan-keluhan mengenai kehidupan

seperti ini merupakan sebuah komposisi yang digambar oleh

beberapa orang khusus dengan menggabungkan mimpimimpi dan pergerakan benda langit... Sebenarnya, ini

sangat memusingkan pikiran Tahnem. Tahnem baru pagi

ini menyadari bahwa Tuan Pendatang bukan hanya seorang

bangsawan yang melakukan perjalanan menuju Gosen tempat

kerabatnya tinggal, melainkan seseorang yang menguasai ilmu

mimpi dan kebenaran hati. Meja yang sebelumnya sangat ceria

menjadi penuh dengan misteri. Orang-orang yang mengelilingi

meja yang sama kini penuh dengan rasa keseriusan, bahkan

mereka seperti berbicara dengan kesedihan...

Terlihat jelas bahwa para tuan padang pasir tak hanya

pedagang perhiasan saja, melainkan tugas mereka adalah

menempuh perjalanan yang panjang dan merepotkan di

bawah perintah rahasia Penasihat Kimia Raja Ra yang terletak

di Memphis. Tiga orang yang menyebut diri mereka sebagai

177

?petualang mahsar? yang ditugaskan untuk mendapatkan

informasi mengenai kemiliteran dan astronomi negeri Asur

membahas tentang seorang anak muda yang akan mengubah

nasib Mesir... Dari hasil pengamatan dan penelitian langit,

mereka memutuskan bahwa Bumi itu bundar. Orang-orang

yang mendengar penjelasan ini tercengang keheranan.

Mereka berkata bahwa langit yang seperti sebuah kubah yang

ke atas semakin bertambah luas ini dapat dibuktikan secara

perhitungan matematika.

Tapi, dunia dalam pandangan Tahnem, ibarat beberapa hari

perjalanan saja setelah Kemet, negeri Mesir. Salah seorang tuan

padang pasir yang melihat Tahnem memutar-mutar buah jeruk

di tangannya, membungkukkan badannya. "Iya, seperti itulah

dunia, berdasarkan perhitungan kami, berbentuk bundar."

Ketika mendengar ucapan itu, Tahnem segera meletakkan

buah jeruk ke tempat asalnya. Dunia yang selalu dia bayangkan

hanyalah negeri yang dia tinggali, seperti tongkat panjang

peninggalan ayahnya. ?Hapi? yang membelah seluruh Kemet

dari awal sampai akhir di bagian atas hingga bawah merupakan

pengetahuan dunia yang dimiliki oleh penduduk tepian Sungai

Nil...

Mereka tak pernah meninggalkan ruang tamu sampai siang

hari. Waktu dilalui dengan mengamati peta-peta berbeda

yang membuat mulut mereka ternganga keheranan, membuka

mata mereka dalam keterkejutan... Permukaan meja dipenuhi

berbagai macam peta dunia dan peta bintang yang terbuat dari

lembar kertas, kain sutra, dan kulit rusa...

Tugas Tahnem adalah membawa peta-peta yang diisyaratkan

oleh Orang Bijaksana Bahtiyar dengan jari ke hadapannya. Dia

mengerti sebagian dari pembicaraan, sementara itu bagian

178

yang tak dia mengerti antara lain adalah Bijaksana Bahtiyar

yang dipanggil dengan sebutan ?Syekh? dan ?Yehuda? yang

kemudian di terjemahkan oleh Tuan Pendatang. Sungguh aneh,

anak Muda Tahnem bisa saling mengerti dengan semuanya...

Dia mendapatkan banyak kalimat baru Arab dan Persia serta

beragam pengetahuan. Betapa banyak nama dan tempat di alam

semesta ini. Sesekali, hatinya bergetar ketakutan. Apakah dia

masuk ke jalan sesat atau mengikuti orang-orang yang salah?

Tapi, bagaimana dengan rasa ingin tahu ini? Rasa ingin tahu

terhadap bermacam peta itu segera membuatnya melupakan

kegoyahan hatinya ini. Dia berusaha menghafal apapun yang

ada di atas meja, takut tak pernah melihatnya lagi...

Dan inilah peta-peta baru Kemet, Mesir! Peta air terjun yang

sampai saat ini tak diketahui, tak didengar di arah selatan, di

bagian Kemet Atas, tempat Sungai Nil mulai mengalir... Enam

air terjun besar yang seperti mendapatkan tugas sebagai enam

penginapan besar di atas permukaan Nil serta kota-kota besar

dan desa-desa yang berada di sekitarnya yang sampai saat ini

namanya tak pernah terdengar...

Dan zaman...

Tak diragukan, hal yang paling mengejutkan dirinya adalah

apa yang dia dengar mengenai zaman. Sampai saat itu, dalam

pikiran Tahnem, zaman adalah batu Sungai Nil yang kemudia

dibelah menjadi dua... Seperti penduduk Kefertep lainnya,

seorang dalam dua zaman sebelum datang ke Pulau Ab. Segala

sesuatu dan semua pekerjaan, cuaca dan tugas setiap orang,

ditentunkan oleh dua zaman ini. Masa tanam dan panen,

pemotongan batu Kefertep serta permintaan kepada Nakkas,

dan penyerahannya dilakukan sesuai dengan zaman ini. Tapi

di sini, zaman dijelaskan dalam empat bagian dan enam rumah

179

besar, Yehuda menjelaskan mengenai hari-hari bulan dan

bintang. Dengan memperhitungkan pergerakan kumpulan

bintang di langit beberapa waktu terakhir, mereka mengatakan

bahwa sebuah keberuntungan besar akan bergerak ke arah

Gosen... Seluruh bintang penting di langit berganti tempat

dengan cepat dari Gosen ke Memphis...

Di meja ini, ?Hapi? sebutan untuk sungai surga, dipanggil

dengan nama ?Nil? oleh seluruh orang bijaksana. Bagian yang

berawal dari tempat mengalir Nil sampai Pulau Ab diberi nama

Negeri Depan atau Mesir Bawah oleh mereka. Sementara itu,

arah selatan Pulau Ab, tempat berawal Negeri Tengah, oleh

Yehuda disebut sebagai Heptonamases. Candi-candi dan

tempat ibadah yang paling kuat dan suci di Mesir dibangun

di Negeri Tengah. Negeri Tengah yang penuh dengan candi

sebagai tempat mendidik ratusan pendeta dan orang bijaksana

takkan pernah mengizinkan orang asing untuk masuk ke

wilayahnya atau ke jalan-jalannya,. Sementara itu, pemimpin

di balik layar Negeri Tengah adalah sahabat Raja Ra yang

juga telah menjadi kepala pendeta, Ha-amon atau ?Ha? yang

memiliki pengaruh luas di kerajaan. Tahnem pun mengetahui

perselisihan dan persaingan antara Ratu Yesiyis dan Ha-amon

di hari yang sama, di meja tempat berdiskusi yang sama pula...

Ini semua informasi yang sangat berbahaya. Takdir apa yang

membawanya ke meja ini...

Tahnem secara khusus juga tertarik pada tiga hal. Tiga

Pengembara Padang Pasir Mahsyar, Bahtiyar Bijaksana yang

dipanggil dengan sebutan Yehuda atau ?Syekh?, dan ungkapan

yang mengikat mereka setiap kali Ratu Yesiyis dibahas. Guru

Bes yang berada di Kefertep pun terikat kepada sultanah dengan

sebuah kesetian dan rasa hormat... Sementara itu, raja dan

180

kepala pendeta yang dipanggil dengan nama pendek ?Ra? dan

?Ha? selalu mereka bahas dengan kata-kata yang menakutkan.

Setelah makan malam, mereka memulai pembicaraan dengan

menambahkan kalimat ?nama yang tak perlu disebut? di

depan nama pendek Ra dan Ha. Pembicaran dan komentarkomentar panas terus berlanjut seperti ini. Tempat itu sungguh

memberikan suasana sebuah tempat perlawanan yang serius

bagi Tahnem.

Suatu ketika, Bahtiyar membungkuk ke peta dan menarik

telinga Tahnem. "Kedua telinga dan matamu akan tinggal di

sini. Kau tak boleh menceritakan semua ini, perhatikan itu,"

ingatnya tegas. Saat itu, pandangan Tahnem terpaku pada

hebes yang bersinar seperti sebuah zamrud di atas peta...

hebes, hebes yang mengagumkan! Layaknya sebuah batu

ujian yang berada di ujung perbatasan Negeri Tengah... Ketika

Yehuda melihat perhatian Tahnem tertuju pada hebes,

dengan isyarat jari dia menunjukkan sebuah tempat jauh di

utara hebes.

"Itu adalah kota Raja Agung Akhen yang percaya kepada

jalan Nabi Yusuf... Raja yang menolak untuk menyembah
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amon, yang melakukan ibadah hanya untuk Tuhan yang

Tunggal, raja yang mencintai kedamaian. Perhatikanlah peta

itu dengan cermat Tahnem. Apa yang kau lihat?"

"Tak ada... Aku tak melihat apa-apa..."

"Padahal di sini, di suatu masa, Raja Akhen yang percaya

pada Tuhan yang Tunggal mendirikan Kota Matahari yang

luas. Seorang raja yang melindungi rakyatnya, rendah hati,

serta selalu berbagi kebahagian dan kekayaan bersama rakyat.

Ia selalu memilih kedamaian di atas peperangan... Lihat, apa

yang kau lihat dalam peta?"

181

"Tak ada... Aku tak melihat apa-apa..."

"Itu karena mereka telah menghancurkan Kota Matahari.

Para pendeta hebes dan Memphis yang penuh dengan

keserakahan dan pembenaran diri seperti Ha yang namanya tak

perlu disebut... Orang-orang yang lebih memilih kebahagiaan

mereka sendiri di atas kebahagiaan rakyat, memandang

rendah rakyat, tak pernah mampu menerima kebahagiaan

dan kesuksesan orang lain, terpaku hanya kepada kekayaan

dan kekuasaan... Mereka menghancurkan Kota Matahari yang

didirikan oleh Akhen... Itu sebabny, kau tak melihatnya di peta.

Mereka berusaha selama bertahun-tahun untuk menghapus

nama Akhen dari sejarah. Sebenarnya, itu adalah hal yang

di inginkan oleh Akhen. Mereka menyatakan kematiannya

di dalam puisi-puisi. Terlupakan, harapan hilang bercampur

dengan tanah... Tak ada yang abadi selain Allah. Padahal, dunia

merupakan bisikan-bisikan yang dapat mereka gunakan untuk

memahami rahasia ketidakabadian manusia. Sesungguhnya,

setiap ruh tak abadi dan akan kembali kepada-Nya ketika

waktunya telah tiba... Akhen, meskipun seorang Raja, adalah

orang yang yakin dengan kematian. Ratu Yesiyis yang juga

merupakan keturunannya, mewarisi sifatnya yang rendah

hati dan berhati mulia. Oleh karenanya, Ratu Yesiyis sangat

berharga dan terhormat dalam pandangan kami..."

"Tapi, kita perlu melindunginya dan mendukungnya," ucap

Pedagang Piri Bahtiyar...

"Kenapa ratu memerlukan perlindungan?"

"Dia memerlukan teman-teman yang setia dan cerdas,"

tanggap salah seorang pengembara padang pasir...

"Ratu yang Agung menulis sebuah surat kepada Guruku

Bes yang bijaksana...," ujar Tahnem menimpali.

182

"Guru Bes adalah orang bijaksana urutan pertama yang

paling dipercaya oleh Ratu kita," ucap Syekh Tua...

"Ratu yang Agung banyak memiliki pengawal, banyak

pasukan berkuda..."

Ada, tapi tak ada...," ucap Yehuda, seperti sebuah tekateki...

"Pengetahuan yang luas, kekuatan untuk menyakinkan,

dan kesetiaan jauh lebih penting daripada para pengawal

dan pasukan berkuda," tambah salah seorang pengembara

mahsyar...

"Ratu yang Agung memiliki segalanya dan seluruh Kemet."

"Iya, dia memiliki segalanya, tapi dia belum mempunyai

seorang putra!"

"Iya, dia memiliki segalanya, tapi dia juga belum mempunyai

seorang putri!"

"Kalian tak berkata benar! Bukankah kita semua, sebagai

penduduk Kemet, merupakan anak-anak kerajaan?" Tahnem

bersikeras.

"Nama yang tak perlu disebut... Siapa yang menjadi Raja?

Dan sekali lagi, nama yang tak perlu disebut, dengan tangantangan kotornya meracuni sang Raja? Ra dan Ha! Dua suku

kata yang melawan kebenaran... Siapa yang bisa melawan dua

keburukan ini?" tanya pengembara padang pasir lainnya...

"Rabb, lindungilah Ratu Yesiyis yang lahir dari keturunan

Akhen dari kejahatan. Asiyah adalah namanya dalam bahasa

kami. Asiyah adalah wanita yang melindungi kebenaran dan

kebaikan! Asiyah adalah pilar tunggal yang menopang atap!

Asiyah adalah wanita yang melawan kejahatan. Asiyah adalah

183

"Rabb, lindungilah Ratu Yesiyis yang lahir

dari keturunan Akhen dari kejahatankejahatan, Asiyah adalah namanya dalam

bahasa kami. Asiyah adalah wanita yang

melindungi kebenaran dan kebaikan! Asiyah

adalah wanita yang melawan kejahatan. Asiyah

adalah penegak kebenaran dan ketidakadilan.

Asiyah adalah sahabat rahasia sungai surga

Nil, teman perjalanannya! Asiyah adalah

nama sang Ratu..."

penegak kebenaran dan penghancur ketidakadilan. Asiyah

adalah sahabat rahasia sungai surga Nil, teman perjalanannya!

Asiyah adalah bangunan. Asiyah adalah pondasi... Dalam

bahasa kami, Asiyah adalah nama sang Ratu..."

"Bagaimana menurutmu, maukah kau menjadi pelindung

setia sang Ratu?" ulang Syekh Bahtiyar...

"Aku lemah dan masih terlalu muda, wahai Tuanku," ucap

Tahnem merendah...

184

"Bagaimana menurutmu, maukah kau menjadi teman

perjalanan setia sang Ratu?" ulang Bahtiyar...

Kesunyian...

Kedua mata Bahtiyar yang tak berkedip menantikan jawaban

anak muda yang telah menjadi bagian lingkaran ini...

Akhirnya, Yehuda mulai berbicara. "Dengan izin Rabb, sang

Ratu akan memiliki seorang putra!"

Kesunyian... Sekali lagi, sebuah lingkaran... Sekali lagi,

mata-mata... Sekali lagi, sebuah penantian yang tak berkedip

dan hening...

Dan kemudian, terdengar suara Yehuda yang turun seperti

hujan musim semi. "sang Ratu akan memiliki seorang putra!"

Kedua mata Yehuda tak sanggup lagi membendung air mata...

"Akan muncul dari Gosen dan akan berada di pangkuan

sang Ratu. Seorang anak dari kerabat Nabi Yusuf dan Nabi

Yakub... Hari-hari ini, dia berada di Gosen dan akan tinggal di

Memphis!"

Tahnem tak sadarkan diri sesaat... Hari itu dia dihujani

beratus-ratus informasi sekaligus. Begitu banyak informasi

baru yang dia dengar, begitu sulit untuk menerimanya...

Ketika dia terbangun, tak ada satu pun peta yang berada

di atas meja, tak ada jejak para pengembara... Pelayan yang

mengipasi dirinya dengan kipas dari kayu pohon Punt hanya

tersenyum ketika melihat Tahnem sadarkan diri, kemudian

memberikan salam dengan anggukan kepala. Setelah itu, dia

menyerahkan sop mint hangat yang tersaji di dalam mangkok

keramik berhias ukiran emas kepada Tahnem...

185

Kepala Tahnem terasa sakit, seolah akan meledak...

Embusan angin yang masuk dari jendela membawa aroma

bunga mawar dan delima. Burung bulbul yang berada di sudut

kolam berkicau menyambut dinginnya embusan angin malam.

Lonceng-lonceng di lengan sumur berdenting... Setelah

meminum sop beberapa sendok, Tahnem kembali tertidur...

rrr

186

14. Hari-Hari Sedih di

Pemakaman Kefertep

Mereka tak bicara sama sekali sampai Pulau Ab hilang

dari pandangan mata. Meskipun badai kecil atau goncangan

ombak menerpa, takkan membuat mereka khawatir. Sare,

tanpa menunggu peringatan Tahnem, berjalan ke palka kapal,

ke bagian hewan-hewan. Monyet-monyet Punt lah yang

pertama menyadari kedatangan Sare dan kemudian mulai

saling berteriak. Burung kakaktua dan bulbul yang diletakkan

tumpang tindih di samping monyet-monyet saling berkicau.

Di sampingnya lagi adalah bagian kuda-kuda milik para

penumpang. Ruangan itu dipenuhi dengan teriakan dan jeritan

hewan.

Dengan tangan-tangan kecilnya, Sare membelai rambutrambut kuda. Dia memberi mereka permen yang berada di

sakunya. Dia meletakkan segenggam gandum, anggur kering,

dan serbuk kayu di tempat makan burung-burung yang diambil

dari tasnya. Burung-burung pintar ini yang menyadari bahwa

Sare gadis yang baik segera memberikan keramahan padanya.

Dia kemudian mengeluarkan delima yang dia ambil dari pohon

di taman Syekh Bahtiyar. Setelah mengupasnya sampai ke

bagian kulit yang paling dalam, dia membantingnya ke lantai.

Noda merah yang ditinggalkan dari pecahan delima terlihat

jelas di lantai, meskipun dalam kegelapan. Sare membungkuk.

Buah delima yang pecah berkeping dia letakkan di depan

monyet-monyet Punt yang bergerak lincah. Jumlah mereka

187

enam dan entah di istana mana mereka akan menjadi hewan

pertunjukan. Sare membelai kepala mereka...

"Sepertinya mereka mengenalmu..."

Tanpa membalikkan badan, Sare segera mengetahui

kedatangan Tahnem ke bagian hewan-hewan ini...

"Aku mengenal paling sedikit sebelas burung yang terbang

di padang pasir dari jejak kakinya..."

"Ayahmu kah yang mengajarkan kepadamu keahlian ini?"

"Ayahku adalah seorang peternak kuda dan tahu banyak

mengenai jejak-jejak..."

"Kenapa kau mulai menangis ketika Yehuda berkata takkan

datang bersama kita?"

"Setelah ayahku meninggal dunia dalam perjalanan, selain

Yehuda tak ada lagi siapa-siapa di dunia ini. Tapi, dia pun pergi

meninggalkanku. Sekarang aku pergi ke tempat yang aku tak

tahu, bersama Tuan Muda yang tak aku kenal..."

"Aku pun tak memiliki siapa pun di dunia ini. Sebenarnya,

aku mengetahui guruku di Perkumpulan Para Pelaut adalah

ayahku setelah dia meninggal dunia. Aku juga tak tahu mengenai

ibuku. Tapi, ketika kita tiba di Kefertep dan kau mengenal

Guru Bes yang bijaksana, pasti kau akan menyukainya. Jangan

bersedih, Sare..."

"Tapi, aku tak tahu tentang pekerjaan mengenai batubatuan. Tangan dan jemariku hanya mengenal rambut-rambut

kuda..."

Ketika mereka tiba di Desa Nakkas di Kefertep, seketika

terlihat peringatan di sebuah batu yang bertuliskan, "Jagalah

sikapmu di hadapan Gabungan Suci". Tubuh Sare menggigil...

188

Menurut adat Ibrani, Sare adalah anak yang dibesarkan dengan

ajaran Nabi Yusuf yang yakin dengan satu tuhan. Apa artinya

?Gabungan Suci?? Sare khawatir bahwa dia akan masuk ke

tempat ibadah berhala yang aneh...
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini adalah sebuah trinitas," ucap Tahnem. "Gabungan

suci adalah nama keharmonisan kosmos yang terbentuk

dari penggabungan tiga tuhan. Tuhan pencipta Atum adalah

gabungan suci pertama. Anak-anaknya yang bernama Su

dan Tefnut bermakna udara dan lembap... Para cucunya

yang bernama Geb dan Nut bermakna tanah dan langit...

Anak-anak tanah dan langit adalah Osiris dan Isis. Seth dan

Neptisis... Ketika pintu dua sayap langit terbuka, para jasad

memulai perjalanan mereka ke hadapan gabungan suci ini.

Orang-orang yang meninggal perlu melewati penjaga api

untuk bisa sampai ke Pulau Rasetyau yang terletak ditengah

kegelapan. Dan untuk bisa tiba di surga, setiap orang harus

banyak melakukan kebaikan di dunia. Para Nakkas menulis

prasasti bahwa perjalanan orang mati dimulai dari bawah

tanah dan kemudian pergi ke langit. Mereka seperti para saksi

orang mati. Tulisan dan gambar-gambar Nakkas tertera di

penutup makam dan pemakaman merupakan prasasti alam

akhirat. Oleh karena itu, kami dididik dengan pendidikan

yang berat dan detail... Tapi, Guruku Bes sering kali bercerita

mengenai Tuhan satu dan tunggal yang mengatur segalanya,

menuliskan takdir dan pencipta segalanya dari seluruh ajaran

keyakina lama ini. Cerita dari kisah-kisah lama... "Nama-Nya,

memancarkan seluruh nama-nama lainnya di dunia ini," ucap

Tahnem lagi... Aku tahu, kau mengalami banyak hal dalam

waktu yang singkat, wajah-wajah baru, kata-kata baru yang kau

dengar, tapi aku akan selalu di sampingmu. Tak perlu khawatir,

189

Sare. Meskipun awalnya Guru Bes terlihat seperti guru yang

keras, tapi dia adalah abdi Ratu yang berada di derajat yang

tinggi. Selain kata sabar, aku tak tahu kata apa lagi yang harus

aku katakan kepadamu, wahai teman seperjalananku..."

Setelah mendengar ucapan Tahnem, tubuh Sare serasa tak

memiliki kekuatan lagi Apa yang dia ingat hanyalah dia jatuh

tak sadarkan diri...

Sare akan terbangun di sebuah dunia baru ketika dia

membuka kedua matanya...

Dia melihat Tahnem dari ujung patahan kecil batu yang

terpahat.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya kepada

temannya...

"Sudah bangunkah kau? Syukurlah... Bagaimana keadaanmu?

Kau terlihat sangat lelah... Aku sedang mengukir sebuah kalimat

di atas batu..."

"Kalimat seperti apa?"

"Kalimat ini merupakan sebuah nasihat agar nama orang

yang meninggal tak dilupakan di alam akhirat. Sebuah kata

yang mengingatkan hati mereka dalam ketenteraman. Aku

menulis kata-kata mantra yang akan melindungi dari buaya

dan pemangsa kambing."

"Pemangsa kambing? Apa itu?" tanya Sare sambil tertawa

kecil .

Tahnem yang tak bisa menahan dirinya pun ikut tertawa.

Keramaian itu membuat Guru Bes terbangun di tempat

tidurnya. "Terlihat jelas bahwa tak tersisa lagi sesuatu yang

membuat kalian tertawa, wahai para pemuda," serunya sambil

190

terbatuk meluruskan badannya. Tahnem memberikan isyarat

untuk diam kepada Sare...

Dua hari kemudian...

Tahnem memandang Sare dengan kedua sudut matanya,

meskipun kedua tangannya berada dalam kesibukan... Seorang

gadis yang tangguh. Apa yang mereka katakan, biarkanlah.

"Apakah kau menangis?" tanyanya. Meskipun Sare menarik

hidungnya dan menggelengkan kepala, Tahnem tahu bahwa

Sare menangis...

Dan pastinya Guru Bes takkan pernah memberikan

kemudahan dalam keseriusan pekerjaan yang dibalut adat

kuno ini. "Para Nakkas memanjangkan rambutnya, apakah

itu sesuatu yang pernah dilihat dan didengar?" ucapnya

sambil memotong rambut panjang Sare yang tergerai sampai

pinggang...

"Kami memiliki adat yang berumur ratusan tahun... Kami

membungkuk terdiam karena perintah Sultanah sehingga rela

memberikan rahasia-rahasia Nakkas kepada seorang gadis

kecil yang belum pernah sekali pun menjejakkan kaki di tanah

ini. Tuhan Hathor pelindung kebahagian dan kasih sayang

perempuan pun takkan rela dengan hal ini. Jika memang kau

menginginkan untuk belajar rahasia-rahasia ini maka kau

harus meninggalkan semua hal yang berhubungan dengan

keperempuanan di balik pintu itu...

Kami takkan pernah memperbolehkan rambut panjang

ini, kedua mata yang terus menangis, dan jemari yang bercat.

Pelajaran pertama untuk masuk ke dalam perjalanan Nakkas

adalah pelajaran pengorbanan. Pengorbanan bagi pengetahuan,

191

pengorbanan bagi guru, kesabaran kepada kegelapan, dan

penghormatan bagi Alam Kematian...

Tak ada tangisan! Jika tertawa, bukan dan takkan pernah di

depan pemakaman yang kau lihat itu, mengertikah kau?" seru

Guru Bes...

Suaranya seperti sambaran petir di langit...

Sebenarnya, perintah Sultanah Asiyah untuk memberikan

pendidikan kepada Sare di Desa Nakkas telah memunculkan

desas-desus di antara masyarakat Keferteb. Sikap keras Guru

Bes ini bermaksud untuk menghilangkan desas-desus itu.

Tahnem tahu betul bahwa di balik penampilan seperti sebuah

batu granit, Guru Bes memiliki hati yang terang seperti emasemas Nubye. Setelah melalui hari pertama dan kedua dengan

pemotongan rambut, Guru Bes menjadi seorang guru yang

luarbiasa bagi Sare di hari ketiga. Persahabatan dua anak muda

berubah menjadi teman seperjalanan mencari pengetahuan.

Dalam waktu dekat, mereka akan melakukan perjalanan

bersama menuju istana...

Sudah lima bulan lamanya Guru Bes membuat Sare, murid

barunya, memecah batu...

Para siswa bangun sebelum Matahari terbit. Rutinitas

mereka diawali dengan pergi menuju tenda-tenda berbentuk

lengkungan kembar yang memberi kesan seperti sayap burung

elang di depan pintu masuk wilayah pemakaman... Jajaran

kendi di depan tenda-tenda telah diisi dengan air hangat.

Sare berjalan menuju batu-batu besar dan kecil yang

duduk menanti dirinya tepat di depan pintu masuk wilayah

pemakaman. Tanpa mengangkat kepalanya, ketika dia

memandang batu-batu yang berhari-hari dia pukul dengan

192

palu kecil, terbersit dalam pikirannya bahwa hari saat dia

melukis di tembok-tembok takkan pernah tiba.

"Untuk beralih ke pekerjaan mengukir dan warna,

diperlukan pemahaman mengenai bahasa batu-batu," kata

Guru Bes...

Sare memiliki tugas untuk menghancurkan batu hingga

ukuran yang sama dengan butiran gandum sampai terbenam

Matahari. Pemahatan, pemotongan, dan pengaturan batubatu indah kecil ini memerlukan kesabaran dan ketekunan...

Ditambah dengan gumaman seperti dzikir yang diperdengarkan

kepadanya.

?Memandang janji rahasia sebuah gunung yang besar,

seluruh amalku menjadi sebuah butiran pasir.?

?Memandang janji rahasia sebuah gunung yang besar,

seluruh amalku menjadi sebuah butiran pasir.?

?Memandang janji rahasia sebuah gunung yang besar,

seluruh amalku menjadi sebuah butiran pasir.?

?Memandang janji rahasia sebuah gunung yang besar,

seluruh amalku menjadi sebuah butiran pasir.?...

Pelajaran peleburan batu ini berjalan sunyi. Tepat di momen

ketika Matahari terbit, bias sinar yang seperti tangan-tangan

kasih sayang Matahari menciptakan momen singkat yang

jatuh tepat di depan pintu masuk wilayah pemakaman, tempat

dia duduk... Sare mengangkat kepalanya dan hanya memiliki

satu kesempatan untuk melihat prasasti itu... Hanya satu kali...

Menurut penjelasan Guru Bes, di atas permukaan batu marmer

yang panjangnya kurang lebih lima meter itu terdapat ukiran

bait kisah.

193

Tapi, Sare hanya memiliki satu kesempatan untuk

memandang batu marmer itu dalam satu hari, dan itu hanya

ketika sang fajar terbit. Sare hanya akan bisa membaca

keseluruhan bait-bait huruf bergambar ini dalam waktu empat

puluh hari. Tapi setiap hari, tangan-tangan Matahari hanya dan

hanya menerangi satu huruf saja, sisanya berupa kegelapan...

Dengan perhitungan satu huruf satu hari, dia membutuhkan

empat puluh hari... Empat puluh detik senja. Empat puluh

fajar. Empat puluh penerangan...

Selama satu minggu, Sare hanya bisa membaca sebuah

pola mata zamrud hijau. Bagaimanapun juga, dia merasakan

bahwa mata itu milik seorang perempuan. Satu mata, mewakili

satu huruf, bahkan mungkin mewakili sebuah buku... Sebuah

mata yang menangis. Rasa kasih sayangnya terlihat jelas dari

pewarnaan lukisan dengan warna hijau gelap... Bagian pertama

kisah ini berarti seorang perempuan yang duduk berduka...

Selama minggu kedua, dia membaca huruf kedua yang

terbentuk dari pola-pola garis retak biru yang saling tumpang

tindih ke atas. Tepat dalam satu minggu, kedua matanya bisa

memahami warna biru itu tak lain adalah Sungai Nil. Warna

biru yang mewakili keberkahan dan memberikan harapan

kepada manusia. Ukiran-ukiran huruf ini tepat mewakili

lautan...

Minggu ketiga, tepat selama tujuh hari, dia bisa membaca

tiga perahu, dua berada di depan dan satu di belakang. Jika

dilihat dari dayung dan benderanya, perahu-perahu itu milik

bangsawan kerajaan. Seakan dua perahu yang berada di depan

melakukan pengawalan bagi perahu yang berada tepat di

belakangnya. Badan kayu perahu dilapis cat warna cokelat

194

yang mewakili huruf ini, seolah ketika kayu-kayu dilemparkan

ke air menyerupai daun-daun yang akan diambil...

Minggu keempat, selama tujuh hari, dengan penuh

kesabaran dia berhasil memecahkan huruf keempat yang

merupakan sebuah burung ibis... Tubuhnya yang tinggi, dengan

paruh tajam yang mirip dengan milik burung bangau, ujung

sayapnya berlapiskan bulu warna-warni. Huruf yang lebih dari

sekadar seekor burung, lebih nampak sebagai pembawa kabar,

jejak-jejak pengetahuan yang memberikan kabar gembira di
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hati pembacanya...

Minggu kelima, selama tujuh hari, di setiap senja dia

berusaha untuk memecahkan makna huruf berupa seekor

naga besar yang memangsa ular-ular kecil di sekelilingnya...

Pola yang di awal terlihat mengerikan ini membangkitkan

sebuah perasaan keadilan yang dalam di dirinya pada hari dia

memecahkannya. Dia tak memahami sepenuhnya semua ini.

Tapi, sosok naga yang terukir dengan butiran-butiran putih

yang memancarkan sinar seperti Matahari telah memunculkan

perasaan aman pada dirinya... Di sini, Sare menangkap warna

keadilan...

Lima hari terakhir bagi Sare merupakan menit-menit yang

mendebarkan hatinya. Legenda yang berusaha dia baca dalam

penantian penuh kesabaran selama empat puluh hari akan

berakhir. Dari tempat sunyi yang dia lewati tanpa berbicara

dengan siapa pun ini akan muncul sebuah ukiran hikmah ke

dalam hatinya...

Empat hari terakhir, dia lewati dengan memahami hurufhuruf yang dia lihat sebelumnya. Legenda tak lagi memberikan

sebuah huruf kepadanya. Hati murid muda ini dipenuhi

195

dengan keputusasaan dan kegoyahan. Di akhir empat hari

yang dilalui dengan keputusasaan, Sare berada di puncak

amarah karena ketidaksabarannya. Tepat selama empat

puluh hari dia membawa kendi ke tenda para murid saat hari

masih gelap, kemudian memecahkan batu tanpa mengangkat

kepalanya sampai terbit Matahari. Tepat saat Matahari terbit,

dia memandang tembok marmer penuh keingintahuan...

Hari keempat puluh... Tepat saat sinar Matahari menyinari

tembok marmer, ketika berusaha berdiri dengan tergesa-gesa,

tak tahu bagaimana kakinya tergelincir, tak sengaja palu yang

semestinya jatuh di atas batu mengenai jemarinya, saat dia

akan megusap jemari berdarahnya yang perih...

Semua telah terjadi. Sinar Matahari jatuh tepat di atas

huruf dan berlalu begitu saja dari kebijaksanaan legenda yang

selama empat puluh hari dia nanti penuh kesabaran... Tangantangan matahari melarikan diri darinya sebelum dia melihat

huruf-huruf itu. Ketika dia mencoba mengejar bagian depan

huruf-huruf, yang tampak hanyalah sebuah kegelapan yang

gulita, terucap salam perpisahan, lidahnya terikat. Saat berat

kegelapan ini membuatnya gila, Sare menemukan dirinya

berada di depan tenda teman perjalanannya, Tahnem...

Tahnem merasa sedih melihat Sare penuh dengan darah

dan menangis. Ia memberikan sapu tangan kepada Sare untuk

membalut lukanya, tapi tetap saja tangisnya tak reda. Sare

mungil, hari di mana laranya tak bisa dihibur, sebuah tombak

berdiri tegak di langit... Bahkan, ucapan menenangkan Guru

Bes yang datang pun tak bisa meredakan tangis Sare...

"Ayo ceritakan, wahai Sare... Apa hadiah legenda

kebijaksanaan yang diberikan kepadamu di ujian empat puluh

196

hari ini? Kesulitan-kesulitan yang kau atasi dengan kesabaran,

di pagi yang menjadi hakmu untuk terdaftar dalam daftar

murid, apa yang akan kau ceritakan kepada kami? Hati serupa

seperti sebuah sumur. Mari kita lihat seperti apa air yang

akan kau ambil dari ember yang akan kau siram ke kami dari

hatimu..."

"Yang aku inginkan hanyalah sebuah rumah yang bisa aku

tinggali..."

"Jadi, kau berkata bahwa yang kau baca adalah cerita sebuah

rumah?"

"Di dalam cerita terdapat seorang ibu yang menangis.

Seorang ibu yang tampak seperti surga. Kemudian ada Sungai

Nil, seperti sebuah laut yang sangat biru... Ada perahu-perahu

yang berlayar di permukaan Sungai Nil. Terdapat kabar-kabar

dari surga yang dibawa burung-burung ibis yang berdoa

dengan kerendahan hati. Dan seekor naga yang terang seperti

pancaran sinar Matahari yang menelan seluruh perangkap,

pengkhianatan, kelicikan, dan para pendusta... Dan kemudian

sebuah huruf yang tak memberikan rahasianya kepadaku

selama empat hari. Huruf ini sama sekali tak terlihat, tak

terdengar, maupun tersentuh. Jika di hari terakhir aku tak

memukul jariku karena terkejut, mungkin bisa menjadi

sebuah kesempatan untuk memecahkan huruf itu. Aku tak

tahu. Setelah seluruh penantianku selama empat puluh hari,

aku sadar bahwa aku berada dalam sebuah perjalanan tanpa

rumah dan sendiri di dunia yang luas ini... Itulah huruf-huruf

dan cerita yang aku tarik dari sumur di hatiku, wahai Guru Bes

yang Agung... Aku hanya ingin sebuah rumah yang bisa aku

tinggali dan kunjungi..."

197

Guru Bes memandang gadis kecil itu dengan mata berkacakaca. Dia membelai kepala Sare penuh kasih sayang...

"Wahai putriku, bisakah kau melubangi batu ini dengan

jarum?"

Guru Bes menyerahkan sebuah batu kecil berwarna putih

dari sakunya yang besar. Sare memandang batu yang berada

di tangannya. Untuk menajamkan ujungnya, beberapa kali dia

mengasah jarum dengan batu granit yang dia keluarkan dari

sakunya. Kemudian, dia beberapa kali memukul batu putih

dan bercahaya itu yang adalah sebuah mutiara. Dengan ujungujung jemari berdarahnya, beberapa kali dia menargetkan

titik yang dia tuju dan kemudian tercipta sebuah lubang. Satu

pukulan lagi dan hancur berkeping-keping. Sambil menghapus

noda-noda di permukaannya, Sare menyerahkan kembali

mutiara kepada gurunya.

Guru Bes memandang mutiara di tangannya sambil tersenyum.

"Selama dua puluh tahun, tak satu pun yang bisa menembus

mutiara bernama d?rr-i ?ehvar ini dan akhirnya bisa ditembus

oleh seorang gadis kecil. Seribu kali selamat... Orang yang akan

mewarisi mutiara sang Ratu adalah engkau, wahai putriku.

Meskipun kau terbakar oleh panasnya Matahari selama empat

puluh hari kesabaran, tapi cerita yang kau baca merupakan

kebenaranmu. Jadilah pelindung mutiara-mutiara, wahai

muridku yang pintar... Semoga Allah memberikan rumah

yang paling bagus di antara rumah-rumah kepadamu... Jalanjalanmu terbuka untuk rumah yang paling bagus..."

...

198

"Selama dua puluh tahun, tak satu pun yang bisa

menembus mutiara bernama d?rr-i sehvar ini dan

akhirnya bisa ditembus oleh seorang gadis kecil. Seribu

kali selamat... Orang yang akan mewarisi mutiara

sang Ratu adalah engkau, wahai putriku. Meskipun

kau terbakar oleh panasnya Matahari selama empat

puluh hari kesabaran, tapi cerita yang kau baca

merupakan kebenaranmu. Jadilah pelindung mutiaramutiara, wahai muridku yang pintar... Semoga Allah

memberikan rumah yang paling bagus di antara

rumah-rumah kepadamu..."

Tanpa membuat mereka menunggu, sambil hanya

memberikan sebuah kendi kepada Tahnem dan Sare, tanpa

memberi kesempatan untuk mengganti baju, Guru Bes

menaikkan mereka ke atas punggung dua kuda putih dan

menyuruh mereka untuk berangkat... Dia tak memberitahu

tempat yang akan mereka tuju, maupun seberapa jauh jarak

yang harus dilalui...

"Kuda-kuda tahu tempat yang akan kalian tuju," ucapnya.

Tak lebih...

rrr

199

15. Ratu Segala

Kesendirian

Hari terus berlalu. Sang Ratu semakin merasakan

kesendiriannya. Persaingan yang tak mengenal kata selesai di

istana, setiap langkah yang akan dia ambil berubah menjadi

sebuah langkah politik. Penghuni istana yang tak saling percaya

satu sama lain, sama seperti ngengat yang selalu mengobrakabrik tempat yang ditinggali. Penghuni istana yang semuanya

merupakan keturunan bangsawan Mesir tak pernah satu kali

pun tidur lelap, meskipun memiliki emas dan perak melimpah,

bangunan yang tinggi dan megah, serta ratusan pelayan yang

mengipasi mereka di tempat pemandian mereka berisikan

madu dan susu...

Banyak tawaran merusak ahlak yang menyerang bersama

desas-desus busuk dan seribu satu jebakan licik... Sebenarnya,

mereka tak nyaman dengan para Apiru yang hidup di tempat

perlindungan di luar Memphis, dari sepasang kaki yang tak

menemukan tempat untuk bermalam. Di sini, semua adalah

musuh bagi semua. Tak ada persahabatan, tak ada kenangan,

tak ada kesetiaan...

Sementara, jarak semakin melebar jauh antara sang Ratu

dan sang Raja...

Dia tak menyadari sesuatu yang hilang ini sebelumnya.

Sampai suatu hari di bulan Juni... Sosok laki-laki yang makan

di hadapannya terasa begitu asing... Laki-laki itu tak lagi

200

memandang dirinya ketika berbicara. Dia menyadarinya ketika

hujan bulan Juni turun deras seketika, saat dirinya berusaha

menjauh dari kalimat-kalimat pendek dan wajah muram

bermasalah...

"Lihatlah, Tuhan telah memberikan sebuah isyarat, seakan

berkata aku ada di sini. Semua bisa pergi meninggalkanmu,

tapi aku takkan melepaskanmu, ucap hujan ini." Ketika Yes?a

berkata seperti ini, laki-laki itu hanya tersenyum... Sebuah

senyum licik dan sinis yang seolah berkata, "akhirnya kau

mengerti juga"...

Masa lalu menghapus jejak-jejak perpisahan dan perpecahan.

Kumparan waktu yang berputar ke belakang di dalamnya,

bertanya kapan cinta ini akan berakhir... Ketika dia menghitung

satu hari, dua hari, lalu menjadi tiga hari, bagaimanapun dia

merasa dirinyalah yang bersalah. Sebenarnya, ini semua datang

dari sebuah penipuan besar dalam dirinya... Dia merasakan

goncangan yang kuat dalam dirinya. Dan, mungkin semua

ini adalah sebuah kebohongan sejak awal... Dia tak pernah

dicintai, tak pernah diinginkan... Mungkinkah? Kenapa tidak?

Kemudian, dia memandang dirinya di hadapan cermin selama

berjam-jam, mencari seribu kesalahan di setiap garis yang ada

di wajahnya. Tanpa lelah, dia menenggelamkan seluruh panah

retak harga diri keperempuanannya...

Awalnya, perpisahan ini datang perlahan-lahan...

"Sesungguhnya, aku adalah orang miskin waktu, begitu banyak

yang harus aku kerjakan," ucap sang Raja setiap kali sang

Ratu ingin bertemu. Laki-laki itu seakan sebuah rumah yang

pintunya tertutup bagi wajahnya sekarang.

Asiyah tak berumah...

201

Asiyah telah mencoba menulis surat, mungkin
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepuluh kali, dua puluh kali, atau entah berapa

kali... Dia menanti di balik pintu, dia mengutus

pembawa pesan ke dalam, tapi kesempatan untuk

bertemu dengan sang Raja tak datang sekali pun...

Padahal, harapan sejak kecilnya adalah hanya menjadi

seorang ibu rumah tangga. Satu harapan yang dia impikan

sejak berpisah dari keluarganya tak lain hanyalah sebuah

rumah yang memberikan kehangatan cinta. Di dunia ini, dia

tak memiliki seorang ibu maupun ayah. Seolah, tak ada lagi

topangan sejak kehilangan Apa...

Awalnya, perpisahan ini datang sedikit demi sedikit...

Padahal, dia percaya dengan kekuatan cintanya. Asiyah

berpikir bahwa dia bisa melawan kehidupan ini dengan seluruh

kekuatan dan hati penuh kasih sayang. Tapi, tak diragukan lagi

bahwa ini semua bukan ada di hati...

Awalnya, perpisahan ini datang sedikit demi sedikit...

Kemudian, di setiap upacara baru, di hari raya, seluruh

perasaan sepi dan jauh terasa menyengat di tengah keramaian.

Menahan diri untuk berdiri bersandingan dengan anggun di

hadapan khalayak. Wajah muram ketika dia melihat wajahnya

tersenyum, jalannya, dan gaya bicaranya...

202

Semua halangan seakan terkumpul satu per satu, seperti

sebuah rintangan raksasa... Setelah hari dan bulan berlalu, di

setiap waktu yang terlewati, mereka menjadi pasangan yang

saling menjauh satu sama lain. Seolah terbawa arus deras Nil

yang berada di depan istana Bagaimana jarak ini melebar?

Kapan tali mereka terputus? Kenapa dia tak menyadari

mengenai perpisahan ini sampai hari ini?

Asiyah telah mencoba menulis surat, mungkin sepuluh

kali, dua puluh kali, atau entah berapa kali... Beberapa waktu

kemudian, sang Ratu baru menyadari bahwa tak satu pun surat

yang tersegel terbuka. Adapun surat yang terbuka segelnya

hanya dibaca oleh abdi sang Raja. Dia menanti di balik pintu,

dia mengutus pembawa pesan ke dalam, tapi kesempatan

untuk bertemu dengan sang Raja tak datang sekali pun...

Awalnya, mereka kehilangan aroma satu sama lain...

Setiap pagi, ketika dia terbangun dari tidurnya, sang Ratu

selalu menantinya dengan bunga-bunga lotus segar terbungkus

kain sutra tipis... Tepat di ujung peraduan, dia menaruhnya di

atas tempat yang terbuat dari bunga mawar. Ranting pohon

ara segar ditempatkan di vas emas yang terbiasa dengan

penantian... Aroma khusus ini seperti rahasia cinta di antara

mereka, paduan bunga lotus dan pohon ara... Aroma semerbak

ini seolah rahasia cinta yang diketahui oleh sang Raja dan hanya

dipahami oleh sang Ratu...

Lotus, bunga yang menjaga rahasia perempuan dan sebuah

mimpi yang setiap malam hanya akan diceritakan kepada

laki-lakinya sebagai isyarat dan puisi. Aroma bunga ini

menceritakan kepada laki-laki yang terhubung dengan seluruh

hati sang Ratu...

203

Sementara itu, pohon Ara memberikan aroma penantian

penuh kecemasan mengenai cinta yang bagaimanapun akan

segera meledak, terus berlanjut dalam dirinya, petualangan

yang terkumpul ke dalam telapak tangan Raja...

Pohon ara dan bunga lotus, memenuhi teras tempat raja

memakai mahkota dengan aroma khasnya... Dua aroma yang

bercampur satu ini mengubah kemutlakan dan kepastian...

Awalnya, inilah yang hilang darinya... Aroma... Tak ada kabar

dari pohon ara maupun lotus. Aroma, hanya ada di ingatan

cintanya. Mereka saling menemukan satu sama lain dengan

sentuhan ujung jemari... Setelah kehilangan aroma, sentuhan

kulit adalah giliran selanjutnya... Dan tak ada lagi selain malammalam, bintang-bintang, dan sungai yang menyentuh rambut,

tangan, dan kedua mata sang Ratu...

Bangunan dua lantai yang dibangun oleh raja khusus untuk

sang Ratu memiliki teras berbentuk tiram yang menghadap

ke Sungai Nil. Ditopang deretan tiang granit dengan temboktembok berlapis marmer yang menunjukan simbol kekuatan

sang Raja. Teras ini layaknya sebuah sarang burung yang

bersinar... Rasi Orion besar dan tujuh bintang yang juga

dikenal dengan nama ?Air Mata Putri Cumeyda? berderet

seperti rangkaian mutiara. Bisikan cerita Nil yang tak ada

habisnya saat malam pun menyisir rambut-rambut hitamnya

ke depan...

"Mirip seperti dirimu," ucap laki-laki bermahkota kepada

perempuan yang berada di teras. Dia memandang bintangbintang di mata sang Ratu sambil tersenyum kepadanya.

Sementara itu, burung bulbul yang didatangkan dari negeri

Punt, kalkun dari utara, dan burung-burung pipit yang berada

204

di ujung barat teras mulai berkicau dari dalam sarang emas

yang dikelilingi pohon palem...

Siang, sampai tengah malam Mesir... Sementara itu malam,

adalah kekasihnya sampai setengah pagi esoknya... Sampai

kemarin...

Tiga tembok teras berlapis kulit tiram. Semua itu demi

kenangan akan senyum sang Ratu yang bersinar seperti

mutiara... Tembok di selatan teras, sesuai dengan saran peramal

cinta, dirancang oleh para arsitek istana yang berpengalaman,

didesain dalam bentuk tembok cermin yang terdiri atas lima

cermin yang tingginya sama. Cermin-cermin yang rahasianya

hanya diketahui oleh beberapa ahli yang bisu ini dikilaukan

dengan cairan kimia khusus. Sementara itu, bagian yang

lainnya, dibuat dari kerang-kerang dan cangkang kura-kura

yang diukir dengan memesona.

Cermin pertama dari lima cermin ini dihias dengan mutiara

yang dipilih secara teliti untuk mewakili kedua mata sang Ratu.

Biarkan orang-orang melihat sinar terangnya, biarkan mereka

melihat kebenaran, dan semoga mereka menjadi orang-orang

yang jujur dan perenung... Cermin kedua, merupakan bibir

dan kata-kata sang Ratu. Sebagai istri sang Raja, semoga

diberkahi dengan kasih sayang dan penuh kerendahan hati.

Cermin ketiga, untuk penguatan kekuatan pendengaran sang

Ratu. Kemampuan untuk membedakan bisikan kebohongan

dari kebenaran, kemampuan untuk mendengar seluruh rahasia

yang diceritakan oleh Sungai Nil, untuk bisa mendengar suara

energi Ka yang merupakan kekuatan alam semesta. Cermin

keempat adalah cerminan hidung dan aroma cinta untuk

membuka jalan doa-doa cintanya tentang kesetiaan dan alam

205

akhirat, untuk meningkatkan derajat ruhaninya. Sementara,

aroma mengisyaratkan seluruh kekuatan intuisi. Cermin

kelima merupakan tangan dan jemari sang Ratu. Di setiap ujung

jemari dan sentuhannya menjadi sebuah penglihatan bagi sang

Ratu. Sepuluh jari adalah sepuluh mata sehingga di setiap

tangannya terdapat lima penglihatan sebagai awal kekuatan

perenungan. Cermin kelima untuk membuka penerangan dan

kekuatan penglihatan. Pada cermin ini juga tertulis doa-doa

kesembuhan. Sebagai sebuah kenangan, sang Ratu menyatukan

seluruhnya dengan tubuhnya demi masa depan kerajaan...

Seluruh cermin diperuntukkan sebagai sebuah kenangan.

Tembok yang dilingkari cermin-cermin dari bawah sampai

atas ini, dalam pandangan pertama memberi kesan sebuah

tampilan bentuk oval. Oval merupakan simbol keabadian yang

diyakini akan membuka seluruh cahaya masa depan dengan

keberadaan sang Raja menyatukan seluruh ruh masa lalu...

Tembok Cermin dibebani dengan seluruh tugas abad ini...

Sejak awal, seperti sebuah rintangan yang tak terjangkau bagi

sang Ratu. Apa yang dia cari, tak lain hanyalah mencintai dan

dicintai. Apa yang dia cari hanyalah sebuah rumah penuh

kasih sayang... Tapi cermin-cermin ini, dengan bentuk yang

membosankan, sungguh tak lebih dari sebuah pembatas yang

cantik. Dan yang paling penting, cermin-cermin ini seperti

sebuah pisau yang tajam ketika menampar wajahnya: Dia

seorang perempuan yang belum menjadi seorang ibu! Seiring

dengan waktu, sang Ratu tak bisa melewati Tembok Cermin

di teras. Di setiap hari yang dilalui, seakan dia melakukan

sebuah tindak kejahatan ketika memandang cermin-cermin

itu. Tembok-tembok teras ini membuat tetesan air mata

206

darah kesedihan jatuh ke sangkar emas ini. Seolah sang Ratu

mendapatkan vonis ketidakberuntungan sepanjang jalan

kerajaan oleh seluruh penguasa waktu... Seluruh jam pasir

terbelah dua ketika tiba giliran sang Ratu. Peradaban Mesir

yang mengalir dari butiran-butiran pasir, retak dan pecah di

tangan Ratu... Ucapan terakhir Kepala Pendeta bukan omong

kosong. "Ratu adalah seorang perempuan penghancur waktu,"

ucapnya...

Ah! Cermin-cermin... Cermin-cermin dengan pantulanpantulan yang menyilaukan mata telah memadamkan cinta

sang Ratu...

rrr

207

16. Hari Retaknya

Cermin-Cermin...

Kepala Pendeta Haman layaknya saudara kembar sang

Raja. Tak hanya sebagai penasihat ruhani dan wakilnya saja,

dia menjadi suara kedua yang tak terpisahkan. Sang Raja selalu

meminta sarannya di setiap urusan... Ha dan Ra terhubung

dengan cinta dan kekaguman... Bukankah mereka memang

seperti ini dari masa kecil? Ra selalu datang dan pergi di antara

Asiyah dan Haman seperti ombak.

Rintangan terbesar Ha yang perlu dijangkau adalah Asiyah.

Tak tersisa lagi cara yang belum dia coba untuk memisahkan

sang Raja yang terhubung dengannya karena ambisinya dari

istrinya, Asiyah. Dan akhirnya, dia menemukan cara ?memukul

seorang perempuan dengan perempuan?. Sudah banyak

perempuan keturunan kerajaan yang ditawarkan kepada Ra

dengan tangannya sendiri... Setiap kalinya lebih muda. Setiap

kalinya lebih ceria. Haman yang tahu benar sisi-sisi buruk sang

Raja selalu berhasil merancang sebuah rencana yang cemerlang.

"Wahai Tuanku, kami ingin memberikan seorang perempuan

yang sempurna kepada Anda...," ucapnya seraya menyerahkan

sang gadis. Dia ingat betul telah banyak gadis yang memang

sangat muda dan sempurna jatuh ke dalam gairah sang Raja

yang cepat terang dan padam dalam waktu singkat...

Inilah Haman...

208

Dan sekarang dia berusaha meyakinkan sang Raja mengenai

Istana Air yang akan dibangun di atas permukaan Sungai Nil.

Masa kekuasaan Komandan Haramheb dan Piye lebih diwarnai

pembangunan kekuatan militer, meninggalkan pengembangan

bidang ilmu pengetahuan dan arsitektur. Penggunaan Istana
Asiyah Sang Mawar Gurun Firaun Karya Sibel Eraslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lama peninggalan leluhur dianggap tak layak lagi untuk

kejayaan Raja Ra.

Pembangunan Istana Air yang akan dikerjakan dengan

tangannya sendiri ini akan berdiri megah di atas Sungai Nil,

sama seperti istana permata yang terbuat dari zamrud dan

batu mirah. Keindahan yang akan dipertunjukkan di Istana

Air bukan untuk sekadar dilihat oleh sang Raja, melainkan

menunjukkan Ra sebagia kepala Tuhan kepada seluruh tuhan

Mesir yang membuat mereka tunduk padanya. Raja berhak

mendapatkan ini...

Inilah ide gila Haman yang selalu dibisikkan ke telinga Ra

di setiap kesempatan sejak satu tahun terakhir... Telah tiba

waktunya bagi Ra sebagai raja seluruh dunia atas dan bawah

Mesir untuk menyatakan keabadiannya dan ketuhanannya

kepada Zaman..

Bertahun-tahun, ratusan tuhan telah disembah dan

dihormati dengan sangat takzim oleh rakyat dan para

penguasa Mesir... Penyerahan korban tepat pada waktunya dan

ritual-ritual mistis tak pernah terabaikan. Melalui perantara

kemenangan dan penaklukan, tuhan-tuhan ini dikenalkan ke

seluruh dunia. Lalu, apakah ada di dunia ini yang bisa melawan

kekuatan raja sehingga membuatnya tak layak menyatakan

dirinya sebagai tuhan?

Saran-saran Haman yang terfokus pada kesempurnaan

membuat lapisan kesombongan Raja bertambah tebal. Setiap

209

kali dia berbicara, tak ubahnya bisikan menghanyutkan...

"Tuanku, jiwa suci Anda berhak mendapatkan ini... Anda

adalah pemilik segalanya... Anda berada di atas makhluk yang

sempurna... Kecerdasan Baginda tak terkira... Kami adalah

hambamu... Kami adalah orang-orang yang tak berharga...

Kami adalah pengikut fanamu... Kekuatanmu tak terbatas dan

penuh dengan kebijaksanaan..."

Mengertikah kau, seluruh Mesir terbakar. Hanya

Sungai Nil... Selain para Ibrani dan rumahrumahnya, apa pun yang ada di Mesir terbakar

habis... Semuanya terbakar dalam kobaran api

yang besar... Yes?a... Aku mohon, tolong aku. Ini

adalah mimpi yang sangat buruk. Semuanya akan

terjadi padaku, Yes?a...

Hari telah berganti malam ketika Tahnem dan Sare tiba di

istana. Mereka segera disambut sang Ratu dan mendapatkan

keramahan istana. Setelah acara makan malam yang gemerlap

di taman istana, raja tidur tak nyaman di tempat tidurnya. Dia

terbangun di waktu mendekati pagi hari oleh mimpi buruk.

Dengan suara keras menggemuruh, dia memanggil pelayan,

penasihat, dan para menterinya. Seperti tak cukup, dia juga

210

memanggil para peramal dan siapa pun yang ada berjajar

menunggu perintahnya...

Ratu Asiyah yang terbangun karena suara teriakan, segera

turun dengan perasaan cemas dari ruangannya bersama

Tahnem yang tidur dekat dengan ambang pintu dan Sare

yang tidur tepat di ujung koridor lainnya yang menghadap ke

pintu. Para penghuni istana yang masih di alam kantuk, didera

ketakutan, dan tak memahami apa yang terjadi segera menyadari

kedatangannya. Mereka pun memberi jalan baginya, bersyukur

dengan kedatangan seseorang yang bisa menenangkan raja yang

berteriak dan menjerit ke segala arah...

Bahkan, Kepala Pendeta Haman pun segera mengungkapkan

rasa syukur setelah melihat kedatangannya. "Tuanku Ratu,

syukurlah Anda telah datang. Baginda Raja mengalami mimpi

buruk yang sangat serius. Malapetaka, sungguh malapetaka...,"

ucapnya terbata-bata.

Raja yang menyadari dan melihat sang Ratu dalam

keramaian seketika menjadi agak tenang. "Yes?a.... Yes?a,

mendekatlah padaku, tolong... Sungguh akan terjadi sesuatu

yang buruk. Mengertikah kau, akan terjadi sesuatu yang sangat

buruk... Aku melihat mimpi yang sangat mengerikan. Bukan,

bukan... Bukan mimpi, tapi kenyataan. Yes?a... Seekor naga

besar... Seekor naga yang terang, seterang sinar Matahari...

Semburan api yang keluar dari mulutnya membakar seluruh

negeri Mesir... Mengertikah kau, seluruh Mesir terbakar.

Hanya Sungai Nil... Kecuali Sungai Nil, semuanya, seluruh

rumah, perkebunan kurma, lahan gandum, piramida, satu per

satu terbakar... Selain para Ibrani dan rumah-rumahnya, apa

pun yang ada di Mesir terbakar habis... Semuanya terbakar

dalam kobaran api yang besar... Yes?a... Aku mohon, tolong aku.

211

Ini adalah mimpi yang sangat buruk. Semuanya akan terjadi

padaku, Yes?a... Selain dirimu, tak ada satu orang pun yang bisa

berkata hal ini kepadaku..."

"Baginda, aku tak tahu mengenai hal ini. Tapi, penasihat

mudaku Tahnem unggul dalam

menafsirkan mimpi.

Tenangkanlah diri Baginda, lalu kita cari solusi permasalahan

ini bersama-sama..."

Sang Ratu meminta semua orang untuk kembali ke tempat

mereka masing-masing, kemudian memerintahkan Sare untuk

menyiapkan kopi kapulaga pahit. Dengan bantuan Tahnem,

sang Ratu memindahkan Raja ke tempat tidur gantung yang

lebih sejuk. Gelas-gelas mewah sisa semalam, bermacam botol

arak yang membuat kepala pusing, kendi air, keranjang buah

yang tersebar di mana-mana, selendang yang berceceran, dan

gelang-gelang menjadi satu dengan aroma parfum dari botolbotol yang pecah...

Ketika Tahnem bersandar pada tiang di antara kekacauan

ini, dia membalikkan kepalanya, memandang ke suatu benda

yang mengganjal kakinya dengan mata terkejut. Itu adalah

tubuh para wanita penghibur yang tertidur pulas seperti

batang pohon yang berjajar di bawah tumpukan kain sutra

karena pengaruh apiun yang mereka minum. Seperti inikah

istana? Bagaimana sang Ratu bisa kuat bertahan dengan segala

kekacauan dan kerusakan ini? Dan bagaimana seorang laki-laki

yang hidup di tengah-tengah kobaran api dapat takut dengan

api yang dia lihat dalam mimpinya?

"Ini memang sebuah istana yang terbakar di tengah kobaran

api," ucapnya kepada diri sendiri.

Kepala dan permukaan kaki sang Raja dibasuh dengan

air dingin oleh kedua pelayan hitam yang masih terkantuk.

212

Kopi pahit yang dibawa Sare, diberikan kepada sang Raja oleh

sang Ratu. "Minumlah, ini akan membuatmu lebih baik... Ah,

temanku... Malam yang kita lalui ini, jika bukan merupakan

peringatan bagi Baginda dan kami, lalu apakah ini? Baginda

memang telah berada di tengah kobaran api. Semua ada

di tangan Baginda untuk mengubah semua ini. Baginda

tidak memerlukan ribuan penipu dan pembohong yang

mengucapkan kepalsuan, melainkan sahabat sejati. Sekarang,

di malam ini, ribuan orang tak bisa memejamkan mata mereka

karena kalaparan, kesedihan, dan berbagai macam penyiksaan.

Mereka menantikan keadilan dan keamanan dari Baginda...

Ketika masyarakat Mesir menangis darah, kutu-kutu yang hidup

dalam kenikmatan istana justru memberikan pemandangan

surga palsu! Seandainya Baginda bisa menyadari ini..."

Perkataan Ratu Asiyah terhenti dengan batuk Tahnem.

Suara lembut malaikat sang Ratu, pasti terdengar seperti

dendangan lagu tidur bagi raja yang malang. Ra sekali lagi

tertidur di ranjang gantung...

Ketika mereka berjalan menuju teras dengan wajah murung

dan sedih, Tahnem menyadari sebuah bayangan hitam di antara

pilar-pilar istana. Kepala Pendeta Haman sedang mengawasi

mereka. Tahnem kemudian berpikir bahwa persaingan

yang terjadi antara Haman dan sang Ratu yang dia dengar

sebelumnya pastilah benar. Tahnem bersumpah menjaga dan

melindungi kedua perempuan ini dari gangguan Haman...

Sang Ratu tak lagi sendiri di istana.

Mereka bertiga.

Inilah rangkuman yang Haman dapat malam ini...

...

213

Keesokan harinya, seakan tak terjadi apa-apa, seluruh

menteri, penasihat, dan peramal duduk berjajar di ruang

makan... Tahnem muda dengan sikap sebagai penasihat

sang Ratu juga berada di meja musyawarah. Raja Pare-amon

kemudian menjelaskan secara detail mimpinya semalam

dan menanyakan tafsir mimpi ini kepada orang-orang di

sekelilingnya. Sebenarnya, makna mimpi ini sangat jelas.

Tetapi, tak satupun orang yang berani mengatakan kebenaran

kepada sang Raja...

Ketika tiba giliran Tahnem muda, wajahnya yang bersih

menunjukkan usianya yang beranjak dewasa. Awalnya,

perkataan Tahnem membuat sang Raja bahagia. Namun, saat

Tahnem melanjutkan ucapannya, garis-garis di wajah sang

Raja mulai bermunculan. Wajahnya berubah muram...

"Aku mengagumi dirimu dan keberanianmu, wahai

Tahnem muda. Dan seperti yang kau katakan, mimpi ini

sangatlah jelas dan mengisahkan sebuah malapetaka yang

akan menimpa kaum Israil, mengancam seluruh Mesir.

Sebenarnya, jika kalian cermati, wahai sahabat-sahabatku dan

menteri-menteriku... Aku juga menyadari dan mengetahui


Sebelum Aku Pergi Karya Mary Higgins Komplotan Tangan Hijau Karya Enid Blyton Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long

Cari Blog Ini