Ceritasilat Novel Online

The Fall of Five 1

The Fall of Five Karya Pittacus Lore Bagian 1

1

ebook by

www.facebook.com/indonesiapustaka

bacaan-indo.blogspot.com

BINTANG DALAM KHAYALANKU TENTANG MELARIKAN

diri malam ini adalah Nomor Enam. Segerombolan

Mogadorian berdiri di antara Nomor Enam dan selku?yang

secara teknis tidak realistis karena biasanya para

Mogadorian tidak mencurahkan begitu banyak tenaga untuk

mengawasiku, tapi ini mimpi, jadi terima sajalah. Para

prajurit Mogadorian menghunuskan belati, lalu berlari

menyerbu sambil meraung. Sebagai jawaban, Nomor Enam

mengibaskan rambut lalu menghilang. Aku menonton dari

batik jeruji sel, sementara Nomor Enam menebas para

Mogadorian, muncul dan lenyap, menggunakan senjata para

prajurit itu untuk melawan mereka. Dia berzig-zag

menembus awan abu yang semakin tebal, dan dalam sekejap

mata, para Mogadorian itu telah binasa.

"Keren sekali," aku memuji saat Nomor Enam tiba di

pintu selku. Dia tersenyum santai.

"Kita pergi?" dia bertanya.

Lalu aku pun terbangun. Atau tersadar dari

lamunanku. Kadang-kadang sulit mengatakan apakah aku

tertidur atau terjaga. Ketika terkurung selama berminggu
minggu, setiap saat terasa begitu sama dan membosankan.

Setidaknya, kupikir ini sudah berminggu-minggu. Sulit

mengetahui waktu karena selku tidak berjendela. Satu
satunya yang kuketahui dengan pasti adalah pelarian itu

tidak nyata. Terkadang yang datang untuk

menyelamatkanku adalah Nomor Enam, seperti malam ini.

Kadang-kadang John. Di lain waktu, Pusakaku muncul lalu

aku terbang keluar sel sambil menghajar para Mogadorian.

Semua itu khayalan belaka. Hanya cara benakku

yang gelisah menghabiskan waktu.

Kasur bau keringat dengan per rusak yang menusuk

~1~

punggungku? Itu nyata. Pegal di kaki dan sakit di punggung?

Itu juga nyata.

Aku meraih ember air dari lantai di sampingku. Satu

kali sehari seorang penjaga membawakan ember serta roti

lapis keju. Pelayanannya memang tidak sebagus di hotel.

Selain itu, sejauh yang kutahu, di blok penjara ini tahanannya

cuma aku?hanya aku seorang dan deretan sel kosong yang

dihubungkan oleh lorong baja.

Penjaga penjara selalu meletakkan ember tersebut di

samping toilet selku, dan aku selalu menyeret ember itu ke

samping tempat tidur. Hanya pada saat itulah, aku

berolahraga. Tentu raja, roti lapis itu langsung kusantap. Aku

sudah lupa seperti apa rasanya tidak kelaparan itu.

Roti basi berisi keju olahan, toilet tanpa dudukan,

dan isolasi total. Itulah hidupku saat ini.

Saat pertama kali tiba di sel ini, aku mengawasi

kedatangan penjaga supaya dapat menghitung sudah berapa

hari aku berada di sini. Namun, terkadang kupikir mereka

melupakanku. Atau sengaja mengabaikanku. Tetapi yang

paling bikin aku takut, mereka sengaja meninggalkanku di

sini sampai mati, membiarkanku pingsan akibat dehidrasi

sehingga tidak menyadari saat-saat terakhirku. Aku lebih

suka bertarung melawan para Mogadorian dan mati dalam

keadaan bebas.

Tentu lebih baik lagi kalau aku tetap hidup.

Aku menenggak air hangat berasa karat itu.

Menjijikkan. Namun, setidaknya mulutku basah kembali. Aku

meregangkan lengan ke atas, menyebabkan sendi-sendiku

menyuarakan protes. Sengatan nyeri menjalar dari

pergelangan tanganku, karena bekas luka baru di

pergelangan tanganku tertarik. Lalu pikiranku kembali

berkelana?kali ini bukan melamun, melainkan teringat

sesuatu.

~2~

Setiap hari, aku memikirkan Virginia Barat.

Menjalaninya kembali.

Aku ingat waktu itu aku berlari menyusuri

terowongan-terowongan sambil menggenggam batu merah

yang dipinjamkan Nomor Sembilan dan menyorotkan sinar

anehnya ke lusinan pintu sel. Setiap kali berdiri di depan

suatu pintu, aku berharap menemukan ayahku, dan setiap

kali itu Pula aku kecewa.

Lalu, para Mogadorian datang dan menyebabkan aku

terpisah dari John dan Nomor Sembilan. Aku ingat rasa ngeri

yang melandaku saat terpisah dari mereka. John dan Nomor

Sembilan mungkin sanggup mengalahkan sebegitu banyak

Mogadorian dan piken dengan menggunakan Pusaka mereka.

Sayangnya, yang kumiliki hanyalah blaster?senjata

Mogadorian?rampasan.

Aku melakukan yang terbaik, menembak

Mogadorian yang terlalu dekat sambil mencari jalan untuk

bergabung kembali dengan John dan Nomor Sembilan.

Aku dapat mendengar John meneriakkan namaku di

antara riuhnya pertempuran. Posisinya dekat, andai saja

kami tidak dipisahkan oleh segerombolan hewan buas alien.

Ekor salah satu monster melibas kakiku,

menyebabkanku terjatuh. Batu Nomor Sembilan yang

kupegang terlepas dan jatuh berguling-guling ke lantai.

Wajahku menghantam lantai, menyebabkan bagian atas

alisku terluka dan darah langsung mengalir memasuki mata.

Dalam keadaan sulit melihat, aku merangkak untuk

berlindung.

Tentu saja, mengingat kesialan beruntun yang

kualami sejak tiba di Virginia Barat, tidak heran aku justru

sampai tepat di kaki prajurit Mogadorian. Dia membidikkan

blaster ke arahku?dan dapat membunuhku saat itu juga?

tapi berpikir ulang sebelum menarik pelatuknya. Akhirnya

~3~

dia justru menghantamkan popor senjatanya ke pelipisku.

Dunia jadi gelap.

Saat terbangun, tubuhku sudah tergantung dari

langit-langit dan dibelenggu rantai tebal. Aku masih berada di

dalam gua, tapi tampaknya para Mogadorian telah

membawaku ke tempat yang lebih dalam dan terlindung.

Hatiku mencelus saat menyadari gua ini masih berdiri dan

aku ditawan?bagaimana nasib john dan Nomor Sembilan?

Apakah mereka berhasil keluar?

Lengan dan kakiku terasa lemas, tapi aku tetap

berusaha menarik rantai yang membelengguku. Tidak terjadi

apa-apa. Aku merasa putus asa dan sesak. Saat aku akan

berteriak, Mogadorian bertubuh besar memasuki ruangan.

Dia Mogadorian terbesar yang pernah kulihat. Lehernya

dihiasi bekas luka jelek berwarna ungu dan tangannya yang

besar menggenggam tongkat emas berbentuk aneh.

Mogadorian yang sungguh-sungguh mengerikan. Bagaikan

mimpi buruk. Anehnya, aku tak mampu mengalihkan

pandangan. Entah bagaimana, mata hitamnya yang kosong

mengunci tatapanku.

"Halo,Samuel," Mogadorian itu menyapa seraya

menghampiri. "Kau tahu siapa aku?"

Aku menggeleng, mulutku tiba-tiba kering kerontang.

"Aku Setrakus Ra. Panglima tertinggi Kekaisaran

Mogadorian, otak Ekspansi Agung, pemimpin yang dicintai

rakyatnya," dia menyeringai memamerkan gigi-gigi,

sepertinya bermaksud tersenyum, "dan seterusnya."

Pemimpin penghancuran planet dan otak dari

rencana invasi Bumi baru saja menyebut namaku. Aku

berusaha memikirkan apa yang akan John lakukan dalam

situasi seperti ini?dia tidak akan gentar menghadapi musuh

bebuyutannya. Namun, tubuhku mulai gemetar sehingga

rantai yang membelenggu pergelangan tanganku

~4~

bergemerincing.

Aku tahu Setrakus senang melihatku takut. "Ini tak

akan menyakitkan, Samuel. Kau memilih pihak yang salah,

tapi aku ini pemaaf. Jawablah pertanyaanku dan kau akan

kubebaskan."

"Tidak akan," aku tergagap, tubuhku bergetar

semakin keras memikirkan apa yang bakal terjadi.

Saat mendengar bunyi berdesis dari atas, aku

mendongak dan melihat getah hitam kental menetes

menuruni rantai. Baunya tajam dan seperti zat kimia, mirip

plastik terbakar. Aku yakin sekali getah yang mengalir ke

arahku itu meninggalkan noda karat di rantai, lalu begitu

cairan kental tersebut menyelubungi pergelangan tanganku,

aku menjerit. Sakitnya tak tertahankan. Getah itu juga begitu

lengket sehingga rasa sakitnya semakin menjadi, seakan
akan pergelangan tanganku diselimuti getah pohon

mendidih.

Saat nyaris pingsan akibat sakit, Setrakus

mengulurkan tongkatnya ke leherku dan mengangkat

daguku. Tubuhku dilanda rasa kebas yang membeku. Sesaat,

rasa nyeri di pergelangan tanganku mereda. Rasanya lega

sekaligus mengerikan. Tongkat Setrakus memancarkan rasa

kebas mematikan, darah dari lengan dan tungkaiku seakan
akan disedot habis.

"Jawab pertanyaanku," Setrakus menggeram, "dan

ini akan berakhir."

Pertama-tama, dia bertanya tentang John dan Nomor

Sembilan?ke mana mereka pergi dan apa yang akan mereka

lakukan. Aku lega mengetahui John dan Nomor Sembilan

lolos sekaligus senang karena aku tidak tahu di mana mereka

bersembunyi. Akulah satu-satunya yang menyimpan

instruksi dari Nomor Enam, yang berarti John dan Nomor

Sembilan harus memikirkan rencana baru, rencana yang

~5~

tidak mungkin dapat kubocorkan meskipun aku disiksa.

Kertas dari Nomor Enam hilang, jadi bisa diduga para

Mogadorian telah menggeledahku saat aku tak sadarkan diri

dan merampas alamat tersebut. Kuharap Nomor Enam

mendekati tempat itu dengan berhati-hati.

"Di mana pun mereka berada, mereka akan segera

kembali untuk menghajarmu," kataku kepada Setrakus. Itu

satu-satunya momen keren dan heroikku, karena pemimpin

Mogadorian itu mendengus dan langsung menjauhkan
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkatnya sehingga nyeri di pergelangan tanganku kembali

?getah Mogadorian itu seakan-akan mengunyah tulangku.

Aku terkesiap dan menangis saat Setrakus

menyentuhkan kembali tongkatnya ke tubuhku dan

menghilangkan rasa sakit itu untuk sesaat. Semangat

juangku, yang sejak awal pun cuma sedikit, lenyap

meninggalkanku.

"Bagaimana dengan Spanyol?" tanyanya. "Apa yang

kau ketahui tentang Spanyol?"

"Nomor Enam ...," aku bergumam, dan langsung

menyesalinya. Aku harus mengunci mulut rapat-rapat.

Pertanyaan-pertanyaan terus dilontarkan. Setelah

Spanyol, ada India. Lalu pertanyaan mengenai lokasi batu

Loralite, yang sama sekali belum pernah kudengar. Akhirnya,

Setrakus bertanya mengenai "yang kesepuluh", sesuatu yang

tampaknya sangat ingin diketahuinya. Aku ingat Henri

menulis tentang yang kesepuluh dalamsuratnya kepada John

dan bagaimana Garde terakhir itu tidak berhasil

meninggalkan Lorien. Saat aku mengatakannya kepada

Setrakus?sambil berharap semoga informasi itu tidak akan

merugikan para Garde yang tersisa?dia berang.

"Kau bohong, Samuel. Aku tahu dia ada di sini.

Katakan di mana!"

"Aku tak tahu," aku terus mengulangi, dengan suara

~6~

yang semakin gemetar. Setiap kali aku menjawab tidak tahu,

Setraus menarik tongkatnya dan membiarkanku merasakan

sakit membakar itu kembali.

Akhirnya, Setrakus menyerah dan memandangiku

dengan jijik. Aku nyaris tak sadarkan diri. Seolah memiliki

pikiran sendiri, lumpur gelap itu merayap menaiki rantai,

lalu lenyap ke dalam ceruk gelap tempatnya berasal.

"Kau ini tidak berguna, Samuel," Setrakus

mencemooh. "Tampaknya para Loric menganggap dirimu ini

cuma tumbal, pengalih perhatian yang dapat ditinggalkan

saat mereka harus cepat-cepat melarikan diri."

Dia keluar dari ruangan. Setelah aku dibiarkan

tergantung selama beberapa waktu dengan kesadaran yang

hilang timbul, beberapa prajuritnya datang untuk

membawaku. Mereka mencampakkanku ke dalam sel gelap.

Aku yakin, mereka akan membiarkanku di sana sampai mati.

Beberapa hari kemudian, para Mogadorian

menyeretku keluar dari sel, lalu menyerahkanku kepada dua

pria berambut cepak, bersetelan gelap, dan membawa pistol

yang disarungkan di balik jas. Manusia. Mereka mirip FBI

atau CIA atau semacamnya. Aku tidak mengerti mengapa ada

manusia yang mau bekerja sama dengan para Mogadorian.

Memikirkannya saja membuat darahku mendidih. Agen-agen

ini menjual kemanusiaan. Meski demikian, agen-agen

tersebut lebih ramah dibandingkan para Mogadorian.

Bahkan, salah satunya menggumamkan permintaan maaf

saat memasangkan belenggu ke pergelangan tanganku yang

terkena luka bakar. Kemudian, mereka memasangkan

selubung ke kepalaku, dan itu terakhir kalinya aku melihat

mereka.

Aku dibawa naik kendaraan selama dua hari tanpa

henti, dirantai di bagian belakang van. Setelah itu, aku

didorong masuk ke sel lain?sel yang ini, rumahku yang baru

~7~

?satu-satunya tawanan dalam satu blok penjara di suatu

markas besar.

Tubuhku bergidik saat teringat Setrakus Ra, yang

tidak dapat kucegah setiap kali melihat kulit melepuh dan

bekas luka di pergelangan tanganku. Aku berusaha

mengenyahkan kenangan nnengerikan itu dari benakku,

meyakinkan diriku bahwa kata-katanya tidak benar. Aku

yakin John tidak menjadikanku tumbal supaya dia dapat

melarikan diri. Aku juga yakin, aku ini bukan tak berguna.

Aku mampu membantu John dan para Garde lainnya, seperti

yang dilakukan ayahku sebelum menghilang. Aku yakin, aku

memiliki peran di sini, bahkan walaupun aku sendiri tidak

tahu apa peranku itu.

Begitu keluar dari tempat ini?andai aku dapat

keluar?aku akan membuktikan bahwa Setrakus Ra salah.

Aku begitu frustrasi sampai-sampai meninju kasur di

hadapanku. Sekonyong-konyong, selapis debu bergetar dan

jatuh dari langit-langit diiringi suara gemuruh samar

menembus pintu. Seakan-akan tinjuku barusan

menyebabkan sel ini bergetar.

Aku memandangi tanganku dengan terheran-heran.

Mungkin angan-angan memiliki Pusaka sendiri, ternyata

bukan sesuatu yang mustahil. Aku berusaha mengingat

halaman belakang rumah John di Paradise, tempat Henri

mengajari John cara memusatkan kekuatan.

Aku menyipitkan mata kuat-kuat dan mengepalkan

tinju erat-erat. Walaupun rasanya gila dan agak memalukan,

aku meninju matras itu lagi untuk melihat apa yang terjadi.

Tidak terjadi apa-apa, selain lenganku yang terasa

pegal karena sudah berhari-hari tidak digunakan. Tidak ada

Pusaka yang muncul. Manusia tak mungkin memiliki Pusaka,

aku tahu. Aku cuma putus asa. Mungkin juga agak gila.

"Oke, Sam," aku berkata pada diri sendiri dengan

~8~

suara serak, "kendalikan dirimu."

Aku kembali berbaring, pasrah menghadapi

keheningan panjang bersama pikiranku. Namun, sekonyong
konyong lantai kembali bergetar dan kali ini getarannya jauh

lebih keras dibandingkan tadi, terasa sampai ke tulang.

Serpihan plafon kembali berjatuhan dari langit-langit,

menghujani wajah dan masuk ke mulutku. Rasanya pahit dan

berkapur. Sesaat kemudian, samar-samar terdengar rentetan

tembakan.

Ini sama sekali bukan mimpi. Aku benar-benar

mendengar bunyi pertempuran dari suatu tempat di markas

ini. Lantai kembali bergetar?ledakan lagi. Selama aku di sini,

mereka tidak pernah melakukan latihan tempur. Aku bahkan

tidak pernah mendengar apa-apa, selain gaung langkah

penjaga yang membawakan makanan untukku. Namun,

sekarang tiba-tiba ribut? Apa yang sedang terjadi?

Untuk pertama kalinya sejak berhari-hari, atau

berminggu-minggu??aku merasakan secercah harapan.

Para Garde. Pasti. Mereka datang untuk menyelamatkanku.

"Ini dia, Sam," kataku kepada diri sendiri sambil

memaksa tubuhku bergerak.

Aku berdiri dan melangkah goyah menuju pintu sel.

Kakiku rasanya seperti agar-agar. Sejak mereka membawaku

ke sini, aku tidak punya alasan untuk menggunakan kakiku.

Namun sekarang, berjalan melintasi sel menuju pintu saja

sudah membuat kepalaku pening, padahal jaraknya pendek.

Aku menempelkan dahi ke jeruji logam yang dingin,

menunggu rasa pusing itu hilang. Melalui jeruji sel itu, aku

dapat merasakan getaran dari pertempuran di bawah, yang

makin lama makin kuat dan sering.

"John!" aku berteriak parau. "Enam! Siapa solo! Aku

di sini! Aku di dalam sini!"

Sebagian diriku merasa konyol berteriak seperti itu,

~9~

seolah-olah para Garde mampu mendengar teriakanku di

antara kegaduhan pertempuran. Itu bagian diriku yang ingin

menyerah, meringkuk di sel, sambil menanti takdir yang tak

terelakkan. Bagian diriku yang berpikir, para Garde itu

bodoh sekali kalau berusaha membebaskanku.

Itu bagian dari diriku yang memercayai kata-kata

Setrakus Ra. Aku tidak boleh membiarkan diriku ditelan rasa

putus asa. Aku harus membuktikan bahwa Setrakus Ra salah.

Aku harus membuat keributan.

"John!" aku berseru lagi. "Aku di sini, John!"

Walaupun tubuhku terasa lemah, aku memukul jeruji

besi dengan sekuat tenaga. Suaranya bergaung di sepanjang

blok penjara yang kosong. Namun, para Garde tidak mungkin

mendengarnya di antara bunyi tembakan yang teredam dari

balik dinding. Pertempuran semakin bising, tapi sepertinya

aku mendengar derak langkah kaki melintasi lorong baja

yang menghubungkan sel-sel. Sayangnya, aku tidak dapat

melihat apa-apa, selain yang berada beberapa langkah di

depan selku. Kalau memang di sini ada orang lain, aku harus

menarik perhatiannya dan berharap orang itu bukan prajurit

Mogadorian.

Aku meraih ember air dan membuang sisa jatah hari

ini. Rencanaku?rencana terbaik yang kumiliki?adalah

memukulkan ember tersebut ke jeruji sel.

Saat berbalik, seorang pria berdiri di depan pintu

selku.

~10~

2 D

IA ITU KURUS DAN TINGGI, MUNGKIN BEBERAPA tahun

lebih tua dariku. Segumpal rambut hitam menjuntai di depan

wajahnya. Dilihat dari kotoran serta keringat yang menodai

wajahnya yang pucat, sepertinya dia baru bertempur. Aku

terbelalak menatapnya?sudah lama sekali aku tidak melihat

orang lain. Sepertinya dia juga sama kagetnya melihatku.

Ada yang aneh dengan dirinya. Sesuatu yang tidak

pas.

Kulitnya yang agak terlalu pucat. Gelap di sekeliling

mata. Laki-laki ini Mogadorian.

Aku mundur ke dalam sel sambil menyembunyikan

ember kosong ke balik punggung. Kalau dia masuk, aku akan

menghantamnya dengan segenap kekuatanku yang tersisa.

"Siapa kau?" aku bertanya sambil berusaha agar

suaraku tetap tenang.

"Kami datang untuk menolongmu," jawab laki-laki

itu. Dia terdengar canggung, seakan-akan tak tahu harus

berkata apa.

Sebelum aku sempat bertanya siapa yang dia maksud

dengan "kami", seorang pria mendorongnya agar menyisih.

Garis-garis keriput tebal menghiasi wajahnya yang

berjanggut berantakan. Aku terperangah dan melangkah

mundur ke dalam sel lagi dengan tubuh gemetar, tapi kali ini

karena alasan yang lain. Aku tidak tahu mengapa aku

berharap wajah pria itu sama dengan foto yang tergantung di

ruang keluarga kami, tapi aku selalu membayangkan
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian ini. Setelah bertahun-tahun, meski wajahnya dihiasi

keriput, aku masih mengenali pria tersebut, terutama saat dia

tersenyum ke arahku.

"Dad?"

"Aku di sini, Sam. Aku kembali."

~11~

Wajahku sakit dan sesaat kemudian, barulah aku

menyadari penyebabnya. Aku tersenyum. Tersenyum sangat

lebar malah. Setelah berminggu-minggu, baru kali ini aku

menggerakkan otot wajah.

Kami berpelukan dari balik jeruji, menyebabkan

tulang rusukku sakit akibat tertekan logam, tapi aku tidak

peduli. Ayahku ada di sini. Dia benar-benar ada di sini. Aku

sering berkhayal mengenai Garde yang datang

membebaskanku. Namun, seliar apa pun khayalanku, aku

tidak pernah membayangkan ayahkulah yang akan

membebaskanku dari tempat ini. Selama ini kupikir, akulah

yang akan menyelamatkannya.

"Aku?aku sudah lama mencarimu," kataku

kepadanya. Aku menyeka mata dengan lengan. Mogadorian

aneh itu masih berjaga di dekat kami dan aku tidak mau dia

melihatku menangis.

Ay

ah meremas bahuku dari batik jeruji. "Kau sudah

besar," ujarnya dengan nada agak sedih.

"Hei," sela si Mogadorian, "kita kedatangan tamu."

Aku mendengar kedatangan mereka. Prajurit

berduyun-duyun menuju blok penjara, lorong bergetar

akibat derap sepatu bot mereka yang berlari menaiki tangga

ke tempat kami berada. Akhirnya, aku bertemu dengan

ayahku di sini. Dia di sini, tepat di depanku, tapi semua ini

akan direnggut.

Si Mogadorian menarik ayahku menjauhi pintu sel.

Kemudian, dia memandangku dan berkata dengan nada

memerintah.

"Berdiri di tengah selmu. Lindungi kepalamu."

Naluriku berkata untuk tidak memercayainya. Dia

Mogadorian. Tetapi mengapa seorang Mogadorian membawa

ayahku ke sini? Kenapa dia berusaha menolong kami? Tidak

ada waktu untuk memikirkannya sekarang, apalagi para

~12~

prajurit Mogadorian?yang aku tahu pasti datang bukan

untuk menolong?semakin dekat.

Aku menuruti perintah si Mogadorian aneh.

Mogadorian itu mengulurkan tangan melalui jeruji

selku dan berkonsentrasi ke dinding di belakangku.

Sekonyong-konyong, aku teringat ketika kami mengetes

Pusaka John di halaman belakang rumahnya. Cara si

Mogadorian berkonsentrasi?sorot matanya yang penuh

tekad meski tangannya gemetar, seolah-olah dia tidak yakin

dengan apa yang dilakukannya.

Aku merasakan sesuatu mengaliri lantai yang

kupijak, seperti getaran energi. Kemudian, dengan diiringi

derak keras, tembok di belakangku hancur. Sepotong langit
langit bergetar lepas dan jatuh menghantam toiletku. Lantai

yang kupijak bergeser dan bergerak, membuatku terjungkal.

Seakan-akan ada gempa kecil yang menghantam seluruh

blok penjara ini. Segalanya miring. Perutku bergolak, bukan

cuma karena lantai bergetar, melainkan juga karena takut.

Entah bagaimana caranya,si Mogadorian meruntuhkan

dinding dengan menggunakan kekuatan pikiran. Dia seperti

menggunakan Pusaka.

Tetapi itu mustahil, bukan?

Di luar sel, ayahku dan si Mogadorian terempas ke

pagar lorong. Pintu selku mencong, jerujinya melengkung

dan bengkok, memunculkan celah di antara jeruji yang

cukup besar untuk dilewati.

Si Mogadorian mendorong ayahku menuju pintu sel,

lalu dia menunjuk ke lubang di dinding belakangku. "Pergi!"

serunya. "Lari!"

Aku ragu sejenak dan melirik ayahku. Dia sudah

menyelinap melewati jeruji. Aku meyakinkan diriku bahwa

ayahku akan segera menyusul.

Aku terbatuk saat debu dari dinding yang hancur

~13~

memasuki paru-paru. Aku dapat melihat benda-benda yang

ada di dinding markas ini melalui lubang tersebut: pipa,

lubang ventilasi, kabel, dan penyekat.

Aku membelitkan tungkai ke salah satu pipa besar

dan mulai bergerak turun dengan goyah. Kakiku seakan

ditusuki paku dan jarum. Sesaat aku khawatir peganganku

Bakal terlepas sehingga tubuhku jatuh. Namun, adrenalin

segera menderas dan peganganku mengencang. Sebentar lagi

aku bebas. Aku harus memaksakan diri.

Aku melihat sosok ayahku berdiri di dekat lubang di

atasku. Dia ragu-ragu.

"Apa yang kau lakukan?!" ayahku berseru pada si

Mogadorian. "Adam?"

Aku mendengar si Mogadorian?Adam?menjawab

dengan mantap. "Pergilah bersama anakmu. Cepat!"

Ay

ahku mulai memanjat turun menyusuiku, tapi aku

berhenti. Aku membayangkan seperti apa rasanya

ditinggalkan di tempat semacam ini. Mogadorian atau bukan,

Adam baru raja membebaskanku dari penjara ini dan

mempertemukanku kembali dengan ayahku. Dia seharusnya

tidak menghadapi para prajurit itu sendirian.

Aku berseru kepada ayahku. "Kita tinggalkan dia

begitu solo?"

"Adam tahu apa yang dilakukannya," sahut ayahku,

tapi dengan nada yang tidak yakin. "Terus, Sam!"

Guncangan lain melanda, nyaris membuat

peganganku pada pipa terlepas. Saat aku mendongak untuk

melihat keadaan ayahku, gelombang getaran lain

menyebabkan pistol yang diselipkannya di belakang celana

terlepas. Aku memegang pipa terlalu erat sehingga tidak

dapat menangkap pistol itu, dan senjata itu pun terjun ke

kegelapan di bawah sana.

"Sialan," gerutu ayahku.

~14~

Para Mogadorian pastilah sudah mengepung Adam

dan dia melawan. Tak lama setelah guncangan tadi,

terdengar bunyi logam terkoyak, yang hanya berarti satu hal.

Lorong penjara runtuh?aku dapat membayangkan lorong di

luar sel penjara itu lepas dan roboh. Sejumlah bata lepas dan

jatuh dari atas, memaksa aku dan ayahku melindungi kepala

kami hingga keadaan aman kembali.

Setidaknya di atas sana, Adam melawan. Namun,

kami harus bergerak cepat sebelum Adam menyebabkan

seluruh tempat itu runtuh menimpa kami.

Aku terus bergerak turun. Celah di dalam dinding ini

sempit, mimpi buruk bagi orang yang klaustrofobia. Sekrup

dan kabel putus merobek pakaianku.

"Sam, kembali. Bantu aku."

Ay

ahku berhenti di depan lubang ventilasi yang tadi

tak kulihat. Aku tergelincir saat memanjat kembali ke atas,

tapi dia meraih dan menahanku. Bersama-sama, kami

mengaitkan jari ke kisi-kisi logam penutup lubang itu, lalu

menyentakkannya hingga lepas.

"Seharusnya ini mengarah ke luar."

Tidak lama setelah kami merangkak menyusuri

lubang ventilasi tersebut, ledakan dahsyat mengguncang.

Kami berhenti bergerak saat saluran logam itu berderak dan

berderit, bersiap kalau-kalau seluruh tempat ini runtuh, tapi

ternyata saluran ventilasi ini bertahan.

Kami dapat mendengar teriakan dan raungan sirene

yang menggetarkan dinding-dinding markas. Bunyi

pertempuran semakin sengit.

"Sepertinya di luar sana ada perang," komentar

ayahku sambil merangkak maju kembali.

"Kau bersama para Garde?" tanyaku penuh harap.

"Tidak, Sam. Cuma aku dan Adam."

"Waktunya pas sekali, Dad. Kau dan para Garde

~15~

muncul berbarengan?"

"Kurasa itu karena nasib baik," sahut ayahku.

"Untung ada mereka sebagai pengalih perhatian. Mari kita

keluar dari sini."

"Yang bertempur di luar sana itu para Garde. Aku

yakin. Hanya mereka yang cukup berani untuk menyerang

markas Mogadorian." Aku berhenti, sesaat melupakan

bahaya yang ada di depan mata. Senyum riang merekah di

wajahku saat aku tersadar ayahku baru raja membobol

masuk ke markas Mogadorian. "Dad," kataku, "aku senang

sekali bertemu denganmu lagi, tapi banyak yang harus kau

jelaskan."

~16~

3 A

SAP HITAM BERBAU TAJAM MEMBUBUNG DARI markas

tersebut. Sirene meraung keras mengalahkan derak api. Aku

mendengar kaki-kaki berderap di trotoar di dekatku,

manusia serta Mogadorian menyerukan perintah-perintah

mendesak. Keadaan kacau balau. Dari bunyi ledakan di

kejauhan, aku tahu kekacauan tersebut bukan cuma terjadi

di bagian markas tempat kami berada. Ada peristiwa besar

yang terjadi di sini?dan itu artinya hanya satu.

Sempurna. Saat ini, mereka terlalu sibuk untuk

mencari kami.

"Kita di mana?" aku berbisik.

"Markas Dulce," sahut ayahku. "Markas rahasia milik

pemerintah di New Mexico, yang juga digunakan oleh para

Mogadorian."

"Bagaimana kau bisa menemukanku?"

"Ceritanya panjang, Sam. Kuceritakan nanti, setelah

kita keluar dari tempat ini."

Aku dan ayahku mengendap-endap di sepanjang

dinding belakang, berusaha menghindari pertempuran. Kami

berjalan di bawah naungan bayang-bayang, berjaga-jaga

kalau-kalau ada penjaga yang keluar dari kegilaan di dalam

sana. Ayahku memimpin jalan sambil menggenggam erat
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batang logam bengkok dari lubang ventilasi tempat kami

keluar tadi. Bukan senjata yang bagus, tapi setidaknya ada.

Namun, tetap saja akan lebih baik jika kami menghindari

pertempuran. Aku tidak tahu berapa banyak sisa tenagaku

setelah apa yang baru saja kami alami.

Ay

ahku menunjuk ke kegelapan, ke balik puing
puing bangunan yang dulunya merupakan menara jaga, ke

arah gurun.

"Mobilnya di parkir di luar sana," katanya.

~17~

"Siapayangmeruntuhkanmenaraitu?"

"Kami," sahutayahku."Yah,sebenarnyasihAdam."

"Bagaimana?bagaimana bisa? Mogadorian

seharusnyatidak memilikikemampuansemacamitu."

"Aku tak tahu mengapa, Sam. Yang aku tahu, Adam

berbedadariyanglainnya." Ayahkumengulurkantangandan

meremas lenganku. "Dia membantuku mencarimu. Dan, yah

...akankuceritakansisanyasetelahkitakeluardarisini."

Aku menggosok wajah, mataku sakit akibat asap.

Selain itu, aku masih tak percaya ini terjadi. Aku dan ayahku

mengendap-endap di markaspemerintah, melarikan diri dari

alien ganas. Anehnya, ini seperti mimpi yang jadi kenyataan.

Kami mengendap-endap bersama, melangkah ke petak-petak

bayangan supaya nanti dapat berlari lurus menuju pagar lalu

kegurun.

"Aku tak mengerti mengapa kau bisa tiba di sini

bersamaandenganparaGarde."

"BelumtentuituparaGarde."

"Ayolah, Dad," kataku sambil menudingkan ibu jari

ke api yang berkobar di markas. "Tadi kau bilang ini tempat

Mogadorian. Selain itu, pemerintah bersekongkol dengan

para Mogadorian. Jadi jelas yang datang itu bukan angkatan

bersenjata. Siapa lagi yang sanggup menyebabkan semua

kekacauanini?"

Dad menatapku, tampak agak kagum. "Kau tahu

tentang mereka. Aku tak percaya kau tahu tentang mereka,"

bisiknya sambil menggeleng-geleng penuh sesal. "Aku tidak

pernahberniatmelibatkanmudalamkekacauanini."

"Tidak, Dad. Bukan salahmu kalau sahabatku

ternyataalien.Lagipula,sekarangakusudahterlibatdankita

harusmembantumereka."

Kegelapan dan asap membuatku sulit melihat dengan

jelas, tapi ayahku seperti baru kali ini melihatku. Mungkin

~18~

sewaktu reuni singkat di markas tadi, ayahku masih

menganggapku anak kecil yang sama seperti saat dia

menghilang dulu. Namun, sekarang aku bukan anak kecil lagi.

Dari air muka ayahku?yang sedih bercampur bangga-
kurasa dia juga menyadarinya.

"Kau sudah menjadi pemuda yang gagah," katanya,

"tapi kau tahu kan, kita tidak mungkin kembali ke sana?

Bahkan, kalau para Garde itu benar ada di sini, aku tidak

akan mempertaruhkannya?tidak akan

mempertaruhkanmu."

Ay

ahku mulai bergerak lagi dan aku mengikuti. Kami

merapatkan punggung ke tembok saat tiba di ujung dinding

luar markas. Kakiku bergerak dengan lambat, tapi bukan

karena lelah. Hatiku tahu seharusnya kami tidak melarikan

diri dan tubuhku mengamininya. Kekacauan di markas

membuatku teringat akan gua di Virginia Barat dan apa yang

terjadi setelahnya?rantai serta siksaan. Itu bakal menimpa

Adam jika kami meninggalkannya, atau para Garde jika

mereka memang terlibat dalam pertempuran itu. Aku ingin

melakukan sesuatu, bukan melarikan diri.

"Kita bisa menolong mereka," cetusku. "Harus!"

Ay

ahku mengangguk. "Tentu. Tapi kalau kita mati

karena lari membabi buta ke markas militer yang dijaga

ketat dan juga terbakar itu, kita tidak dapat menolong siapa

pun."

Kata-kata itu rasanya tak asing. Lalu, aku tersadar

kata-kata ayahku itu mirip dengan apa yang kukatakan

kepada John, tepat sebelum dia bergegas melakukan sesuatu

yang berani, tapi sembrono.

Sementara aku sibuk memikirkan alasan yang masuk

akal untuk kembali ke markas itu, ayahku mengintip ke batik

pojokan dan langsung menyentakkan tubuhnya kembali.

Sedetik kemudian, terdengar dua pasang langkah kaki berlari

~19~

mendekat.

"Mog," delis ayahku sambil merunduk. "Ada dua.

Mungkin mereka sedang mengamankan area."

Saat Mogadorian pertama berbelok, ayahku

mengayunkan tongkat besi yang dipegangnya, menghantam

tulang kering alien itu sehingga dia jatuh terjerembap dan

wajahnya menghantam tanah.

Prajurit kedua mencoba mengangkat senjata, tapi

ayahku berhasil meringkusnya duluan. Mereka bergulat

memperebutkan blaster Mogadorian itu, tapi ayahku unggul

karena lebih siaga dan berhasil mengejutkan musuh. Meski

begitu, Mogadorian itu lebih kuat, dan dia mengempaskan

ayahku ke dinding. Senjata itu terjepit di antara tubuh

mereka. Ayahku terengah kesakitan.

Aku bergegas mendekati penjaga pertama sebelum

dia sadar, lalu menendang samping kepalanya kuat-kuat,

begitu kuat sampai-sampai aku dapat merasakan jari kakiku

membengkak di dalam sepatu kets usang yang kupakai. Aku

meraih blaster miliknya, berbalik, lalu menembak.

Tembakannya membuat dinding di samping kepala

ayahku mendidih. Aku memperbaiki bidikanku, lalu

menembak lagi.

Ay

ahku meludahkan abu hitam saat si Mogadorian

lenyap dari hadapannya. Karena tidak ingin mengambil

risiko, aku menembak Mogadorian yang terbaring di kakiku.

Lalu, aku menyaksikan tubuhnya meledak menyemburkan

abu menyelimuti trotoar. Itu pemandangan yang sangat

memuaskan.

Saat aku mendongak, ternyata ayahku sedang

memandangiku dengan kagum sekaligus bangga.

"Tembakan bagus," pujinya. Dia memungut blaster

Mogadorian satunya, lalu mengintip ke balik pojok dinding.

"Aman, tapi bakal banyak yang datang ke sini. Kita harus

~20~

bergerak."

Aku menoleh ke arah markas, bertanya-tanya apakah

kawan-kawanku masih bertarung mati-matian di dalam

sana. Dad yang merasakan keenggananku merangkul bahuku

dengan lembut.

"Sam, aku tahu ini mungkin tidak berarti banyak, tapi

aku janji kita akan melakukan apa pun demi para Garde.

Menyelamatkan mereka, melindungi Bumi itu tugasku.

"Juga tugasku," sahutku. Saat mengucapkannya, aku

radar itu benar.

Ay

ahku melongok lagi, lalu memberi isyarat ke arah

ku. Kami berlari melintasi area terbuka, menuju reruntuhan

menara pengawas. Ayahku bilang, di sana ada jalan keluar

menembus pagar pembatas Duke. Kupikir bakal ada

tembakan blaster dari belakang kami, tapi ternyata itu tak

terjadi. Aku menoleh ke arah asap yang bergulung

membubung dari markas itu. Kuharap para Garde maupun

Adam berhasil lolos hidup-hidup.

Chevy Rambler tua ayahku diparkir tepat di tempat

yang dikatakannya tadi. Kami berkendara melintasi gurun ke

arah timur hingga sampai di Texas. Tidak ada pemblokiran

jalan yang menghadang ataupun mobil patroli hitam

pemerintah yang mengejar kami. Jalan-jalan yang kami

susuri hingga tiba di Odessa yang gelap dan kosong.

"Nah," ujar Dad dengan santai, seolah-olah hanya

bertanya bagaimana keadaanku di sekolah hari ini,

"bagaimana ceritanya sampai kau bersahabat dengan salah

satu Garde?"

"Namanya John," aku bercerita. "Sebenarnya, Cepan

John datang ke Paradise untuk mencarimu. Aku dan John

berkenalan di sekolah dan punya, eh, teman yang sama."

Aku memandang ke luar jendela, mengamati Texas

~21~

berlalu. Sudah agak lama aku tidak memikirkan sekolah,

Mark James, pupuk kandang di lokerku, juga gerobak jerami

horor. Sulit dipercaya, dulu aku menganggap Mark dan

teman-temannya itu makhluk paling berbahaya di dunia. Aku

terkekeh pelan, menyebabkan Dad melirikku.

"Ceritakan semuanya, Sam. Rasanya aku ketinggalan

banyak."

Jadi aku pun bercerita. Aku mulai dari perkenalan

dengan John di sekolah, pertempuran di lapangan football,

lalu mengakhirinya dengan pelarian kami dan

penangkapanku. Aku punya beribu pertanyaan untuk

ayahku, tapi bercerita rasanya sangat menyenangkan. Tidak

hanya karena selama berminggu-minggu ini sendirian di

dalam sel, tapi aku juga rindu mencurahkan isi hatiku

kepadanya.

Saat kami tiba di motel di pinggir kota, hari sudah

malam. Walaupun tubuhku maupun Dad kotor?kami mirip

napi yang baru kabur dari penjara, yang memang benar

adanya?pria tua lesu yang menyewakan kamar tidak

bertanya macam-macam.

Kamar kami ada di lantai dua dan, menghadap kolam

renang motel yang terlantar, berisi air cokelat keruh, daun
daun kering, dan bungkus makanan cepat saji. Sebelum naik,

kami kembali ke mobil untuk mengambil barang-barang.

Ay

ahku mengeluarkan sebuah ransel dari bagasi, lalu

menyerahkannya kepadaku.

"Ini punya Adam," katanya dengan canggung.

"Mungkin di dalamnya ada baju bersih."

"Trims," aku menjawab sambil mengamati ayahku.

Dia tampak cemas, "aku akan menjaga tasnya."
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ay

ahku mengangguk, tapi aku tahu dia memikirkan

kemungkinan terburuk. Dia mencemaskan Mogadorian itu

dan, tiba-tiba, aku bertanya-tanya apakah Dad

~22~

mencemaskanku seperti ini sewaktu menghilang selama

bertahun-tahun.

Sambil mendengus, aku memanggul tas Adam dan

berjalan ke kamar motel. Tampaknya, di antara ayahku dan

Adam ada ikatan yang tidak dapat kupahami, dan sebagian

diriku merasa agak cemburu. Namun, kemudian Dad

merangkul bahuku, sementara kami berjalan dan aku ingat

bahwa aku sudah lama mencarinya bahwa dia

menyelamatkanku, dan bahwa karena itulah, dia

meninggalkan Adam. Ayahku meninggalkan Mogadorian

yang entah mengapa memiliki Pusaka demi

menyelamatkanku. Aku menyingkirkan pikiran picikku dan

berusaha berpikir rasional mengenai arti semua itu.

"Kau kenal Adam di mana?" aku bertanya saat

ayahku membuka kunci pintu kamar kami.

"Dia menyelamatkanku. Para Mogadorian

menyekapku. Melakukan eksperimen terhadapku."

Seperti yang kuduga, kamar motel itu kecil dan

kotor. Saat kami menyalakan lampu, seekor kecoa berlari

untuk bersembunyi di bawah tempat tidur. Bau kamar ini

seperti jamur. Di dalamnya ada kamar mandi kecil dan,

walaupun baknya dinodai bercak-bercak jamur, aku tak

sabar ingin segera mandi. Dibandingkan mandi menggunakan

air sedingin es dari ember logam, tempat ini bagaikan surga.

"Eksperimen seperti apa?"

Ay

ahku duduk di ujung tempat tidur. Aku duduk di

sampingnya dan sama-sama memandangi bayangan kami di

cermin motel yang kotor. Kami tampak serasi-- sama-sama

kotor dan kurus akibat dipenjara. Ayah dan anak.

"Mereka berusaha memasuki pikiranku untuk

menggali informasi berguna mengenai para Garde yang

mungkin kuketahui."

"Karena Dad termasuk salah satu yang menyambut

~23~

para Garde saat mereka tiba di Bumi, ya? Kami menemukan

ruang bawah tanahmu di halaman belakang rumah. Aku

menghubung-hubungkan informasi yang kudapat."

"Penyambut," ujar ayahku muram."Kami

menyambut para Loric saat mereka mendarat, membantu

mereka menyiapkan diri agar dapat melakukan pelarian.

Sembilan anak, semuanya ketakutan. Namun, pesawat yang

mendarat itu salah satu hal paling menakjubkan yang pernah

kulihat."

Aku tersenyum, mengenang kali pertama

menyaksikan John menggunakan Pusakanya. Seakan-akan

ada tabir yang disibakkan, menguak banyak kemungkinan.

Semua buku alien yang pernah kubaca, yang sangat

kuharapkan menjadi kenyataan?tiba-tiba terwujud begitu

saja.

"Ternyata kami lebih mudah diburu dibandingkan

para Garde. Kami punya keluarga. Kehidupan yang tidak

dapat ditinggalkan begitu saja. Para Mogadorian menemukan

kami."

"Apa yang terjadi dengan Penyambut yang lain?"

Tangan ayahku agak gemetar. Dia mendesah.

"Mereka semua dibunuh, Sam. Aku satu-satunya yang

tersisa."

Aku memandang cermin dan melihat ekspresi ngeri

di wajahnya. Dia ditawan oleh para Mogadorian selama

bertahun-tahun. Aku merasa tidak enak hati karena

membuat ayahku terpaksa mengingat kejadian mengerikan

itu.

"Maaf," kataku, "kita tak perlu membahasnya."

"Tidak," sahut ayahku dengan mantap, "kau harus

tahu kenapa aku tidak?kenapa aku tidak ada dalam

hidupmu seperti yang seharusnya."

Wajah ayahku berkerut, seperti berusaha keras

~24~

mengingat-ingat. Aku membiarkannya dan menunduk untuk

membuka sepatu. Jari-jari kakiku yang tadi kupakai untuk

menendang wajah Mogadorian, ternyata memang bengkak.

Aku memijatnya dengan lembut, memastikan tidak ada

tulang yang patah.

"Para Mogadorian berusaha merenggut ingatan kami,

ingatan tentang segala hal yang mungkin membantu mereka

memburu para Garde." Ayahku mengusap rambut dan

menggosok kepala. "Yang mereka lakukan kepadaku itu

menyebabkan kekosongan. Ada sejumlah hal yang tak dapat

kuingat. Hal-hal penting?hal-hal yang seharusnya kuingat,

tapi tidak bisa."

Aku menepuk punggungnya."Kita akan menemukan

para Garde. Mungkin mereka, entahlah, punya cara untuk

menyembuhkan apa pun yang dilakukan para Mogadorian

itu terhadapmu."

"Optimisme," ujar ayahku seraya tersenyum. "Sudah

lama sekali aku tidak merasakan itu."

Ay

ahku berdiri dan meraih ranselnya. Dia

mengeluarkan ponsel plastik murahan, jenis yang biasa dijual

di pom bensin, dan memandang monitornya dengan muram.

"Adam punya nomor ponsel ini," kata ayahku.

"Seharusnya saat ini, dia sudah menelepon untuk memberi

kabar."

"Di sana tadi kacau sekali. Mungkin ponselnya

hilang."

Ay

ahku sudah memijit nomor, lalu menempelkan

ponsel itu ke telinga dan menunggu. Setelah hening selama

beberapa detik, dia mematikan ponsel.

"Tak ada jawaban," katanya sambil duduk kembali.

"Sepertinya aku menyebabkan anak itu terbunuh malam ini,

Sam."

~25~

4 B

ARU KALI INI AKU MANDI SENIKMAT ITU, Di kamar motel

yang kotor pula. Bahkan, jamur hitam yang menyebar dari

lubang pembuangan air hingga ke pinggiran keset karet pun

tidak dapat mengurangi kenikmatan yang kurasakan. Air

panasnya terasa luar biasa, mencuci habis minggu-mingguku

menjadi tawanan Mogadorian.

Setelah menyeka uap dari cermin retak kamar mandi,

aku memandangi bayanganku lama-lama. Tulang rusukku

menonjol. Otot perutku juga terlihat jelas sehingga perutku

tampak berotot khas orang kelaparan. Di bawah mataku ada

lingkaran gelap. Rambutku gondrong, lebih panjang daripada

biasanya.

Jadi, seperti inilah tampang seorang pejuang

kemerdekaan manusia.

Aku mengenakan kaus dan jins yang kuambil dari

ransel 'Adam. Aku harus menggunakan lubang terakhir

sabuknya untuk menahan jins yang kupakai, tapi celana

tersebut tetap melorot ke pinggul. Perutku berbunyi

sehingga aku terdiam dan bertanya-tanya layanan kamar

macam apa yang disediakan motel butut seperti ini. Aku

yakin pria tua di balik meja resepsionis itu akan dengan

senang hati mengirimkan roti bakar isi keju dan puntung

rokok.

Saat kembali ke kamar, ayahku sudah memasang

peralatannya. Di tempat tidur ada laptop yang menyala,

suatu program bekerja memindai tajuk berita. Ayahku sudah

tahu apa langkah kami selanjutnya. Hari sudah larut, bahkan

sudah lewat tengah malam, dan aku belum tidur. Walaupun

ingin segera bertemu para Garde, aku berharap rencana kami

nanti akan melibatkan tumpukan pancake di kedai makan

terdekat.

~26~

"Menemukan sesuatu?" tanyaku sambil menyipitkan

matakearahlaptop.

Ay

ahku tidak memperhatikan program tersebut. Dia

sedang duduk bersandar ke dinding sambil menggenggam

ponsel murahan itu dengan bimbang. Ayahku melirik lesu ke

arahlaptop."Belum."

"Mungkin Adam tidak bisa menelepon karena belum

sampai di tempat yang aman," kataku. Aku mengulurkan

tanganuntuk mengambilponseltersebutdaritanganayahku,

tapidiamenjauhkannya.

"Bukan itu," katanya. "Kita masih harus menelepon

satu orang lagi. Selama kau mandi, aku memikirkan apa yang

harus kukatakan, dan sampai sekarang masih belum tahu

harusbilangapa."

Ibu jarinya menyusuri satu pola tertentu pada

tombol ponsel, seakan-akan memaksa dirinya untuk benar
benar menekan nomor tersebut. Karena sibuk memikirkan

bertemu para Garde dan bertarung melawan para

Mogadorian, aku tidak tahu pasti siapa sebenarnya yang

ayahku maksud. Saat menyadarinya, aku terduduk di tempat

tidurdantidak tahuharusberkataapa,sepertiayahku.

"Kitaharusmeneleponibumu,Sam."

Aku mengangguk menyepakati, tapi aku benar-benar

tidak tahu harusbilangapa pada Mom. Kali terakhir bertemu

dengannya,akubarubertarungmelawanparaMogadoriandi

Paradise, lalu lari menembus malam bersama John dan

Nomor Enam. Rasanya saat itu aku menoleh dan berseru

bahwa aku menyayanginya. Bukan ucapan perpisahan yang

baik, melainkan waktu itu aku benar-benar yakin akan

segera pulang. Aku tidak pernah menyangka bakal ditawan

olehrasalienganas.

"Mombakalmarahbesar,ya?"

"Dia marah kepadaku," ayahku menenangkan. "Dia

~27~

tidak marah kepadamu. Dia pasti senang mendengar

suaramu dan tahu kau baik-baik saja."

"Sebentar?kau bertemu Mom?"

"Aku dan Adam mampir di Paradise sebelum pergi ke
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

New Mexico. Saat itulah, aku tahu kau hilang."

"Mom baik-baik saja? Mogadorian tidak

menyakitinya?"

"Sepertinya tidak, tapi bukan berarti dia baik-balk

saja. Dia sangat sedih karena kau hilang. Dia menyalahkanku,

dan itu tidak sepenuhnya salah. Aku tidak diizinkannya

masuk ke rumah?itu bisa dimengerti?sehingga kami

terpaksa tidur di ruang bawah tanah."

"Bersama rangka itu?"

"Benar. Kekosongan lain dalam ingatanku?aku tak

tahu rangka itu milik siapa." Dad menyipitkan mata ke

arahku. "Jangan mengalihkan pembicaraan."

Aku takut Mom akan menghukumku lewat telepon,

sekaligus khawatir suaranya akan membuatku ingin

melupakan perang ini dan buru-buru pulang. Aku menelan

ludah keras-keras.

"Sudah tengah malam. Mungkin sebaiknya kita

tunggu sampai besok?"

Ay

ahku menggeleng. "Tidak. Kita tak dapat

menundanya, Sam. Kita tidak tahu apa yang bakal menimpa

kita besok."

Begitu mengucapkannya, ayahku langsung

mengambil keputusan dan menekan nomor rumah kami. Dia

menempelkan ponsel ke telinga dengan gugup, lalu

menunggu. Aku ingat saat Mom dan Dad masih bersama?

kenangan lama sebelum ayahku menghilang. Mereka

bahagia. Aku bertanya-tanya apa yang ada dalam pikiran

ayahku saat ini, karena harus menyampaikan kami belum

bisa pulang. Mungkin dia merasa bersalah, seperti a ku.

~28~

"Mesin penjawab telepon," ayahku memberi tahu

setelah beberapa saat dengan wajah yang tampak agak lega.

Lalu,diamenutupponseldengantangannya."Apakahaku...?"

Kata-katanya terputus saat mendengar bunyi "bip"

pelan mesin penjawab telepon. Mulutnya bergerak-gerak

tanpa suara, sementara dia memikirkan apa yang harus

dikatakan.

"Beth, ini?," dia tergagap dan mengusap rambut

dengan sebelah tangan, "ini Malcolm. Aku tak tahu harus

mulai dari mana?mesin penjawab telepon mungkin bukan

tempat yang tepat?tapi, aku selamat. Aku selamat dan aku

mintamaaf.Akusangatmerindukanmu."

Dad memandangku, matanya basah. "Aku bersama

anak kita. Dia?aku janji akan melindunginya. Suatu hari

nanti, kalau kau mengizinkan, aku akan menjelaskan

semuanya.Akumencintaimu."

Dia mengulurkan ponsel ke arahku dengan tangan

gemetar.Akumeraihnya.

"Mom?" kataku, berusaha untuk tidak terlalu

memikirkan apa yang harus kukatakan dan langsung

mengucapkannya begitu saja. "Aku?akhirnya aku

menemukan Dad. Eh, dia yang menemukanku. Kami

melakukan sesuatu yang hebat, Mom. Menjaga agar dunia

tetap aman dan itu hmmm, sama-sekali tidak berbahaya,

sungguh!Akumenyayangimu.Kamiakansegerapulang."

Aku menutup ponsel dan menunduk menatapnya

sejenak sebelum memandang ayahku. Mata ayahku masih

berkaca-kaca saat dia mengulurkan tangan dan menepuk

lututku.

"Bagus," katanya.

"Kuharapsemuaitubenar," sahutku.

"Kuharapjugabegitu."

~29~

5 C

AHAYA PERTAMA PAGI MENYELINAP DI ANTARA

gedung-gedung, menghalau dinginnya malam, mengubah

langit Chicago menjadi ungu, lalu merah muda. Dari atap

John Hancock Center, aku memandangi matahari terbit

merayap di atas Danau Michigan.

Tiga malam berturut-turut aku ke sini, karena tidak

dapat tidur.

Kami tiba di Chicago beberapa hari yang lalu,

setengah perjalanan pertama kami tempuh menggunakan

mobil van curian milik pemerintah, dan kemudian

dilanjutkan dengan menumpang kereta barang. Melintasi

negeri ini cukup mudah jika punya kawan yang mampu

menjadi tak terlihat dan teman yang dapat melakukan

teleportasi.

Aku melintasi atap untuk memandang Chicago yang

menggeliat bangun dari tepi gedung. Sebentar kemudian,

kendaraan memadati jalanan, arteri kota ini, dan pejalan kaki

berjubel di trotoar. Aku geleng-geleng memandangi mereka.

"Kalian tidak tahu apa yang akan terjadi."

Bernie Kosar yang berwujud anjing beagle berjalan

santai ke arahku. Dia meregangkan tubuh, menguap, lalu

menyondol tanganku.

Seharusnya aku senang karena masih hidup. Kami

bertarung melawan Setrakus Ra di New Mexico tanpa

menderita luka-luka berarti. Para Garde?kecuali Nomor

Lima yang masih belum ditemukan?ada di bawah, aman

sentosa, sebagian besar masih memulihkan diri dari luka
luka yang mereka derita. Sarah juga ada di bawah sana. Aku

menyelamatkannya.

Aku menunduk memandang tangan. Sewaktu di New

Mexico, tanganku berlumuran darah. Darah Ella juga darah

~30~

Sarah.

"Para manusia ini tidak tahu, sebentar lagi dunia

mereka berakhir."

Bernie Kosar berubah wujud menjadi burung gereja,

terbang melintasi celah di antara John Hancock Center dan

gedung sebelah, lalu hinggap di bahuku.

Aku memandangi manusia di bawah sana, tapi yang

kupikirkan hanyalah para Garde. Sejak tiba di penthouse

canggih Nomor Sembilan, semuanya bersantai. Memang kami

perlu istirahat dan memulihkan diri, tapi aku harap, mereka

tidak lupa betapa sewaktu di New Mexico itu kami nyaris

kalah telak, karena hanya itulah yang dapat kupikirkan.

Seandainya Ella tidak melukai Setrakus dan para

Mogadorian yang tersisa tidak pergi akibat ledakan di bagian

lain markas, aku ragu kami dapat keluar hidup-hidup dari

tempat itu. Seandainya Pusaka penyembuhku tidak muncul,

Sarah dan Ella pasti sudah tiada. Aku tidak dapat

mengenyahkan bayangan wajah mereka yang terbakar dari

benakku.

Mungkin lain kali, kami tidak akan seberuntung ini.

Kami tidak akan selamat jika kembali menghadapi Setrakus

Ra tanpa persiapan sama sekali.

Saat turun dari atap, sebagian besar temanku sudah

bangun.

Marina ada di dapur, menggunakan telekinesisnya

untuk mengocok semangkuk telur dan susu sambil mengelap

noda dari ubin konter dapur yang biasanya tak bernoda.

Sejak kami bertujuh (dan BK) tiba di sini, kami belum benar
benar merawat apartemen mewah Nomor Sembilan.

Marina melambai saat melihatku. "Pagi. Telur?"

"Pagi. Semalam kau yang masak, kan? Seharusnya sekarang

giliran yang lain."

~31~

"Ah, tak apa," sahut Marina sambil mengeluarkan

blender dari rak dapur dengan riang. "Aku masih terkagum
kagum dengan tempat ini. Rasanya aku agak iri karena

selama ini Nomor Sembilan hidup di sini. Tempat ini begitu

berbeda dari tempatku dulu. Apakah aneh jika aku ingin

mencobasegalanya?"

"Tidak, sama sekali tidak." Aku membantunya

mengelap konter dapur. "Sebaiknya kita mengatur giliran

masak danbersih-bersihselamatinggaldisini."

"Benar." Marina mengangguk sambil melirikku. "Kita

harusmemikirkanitu."

"Kenapamemandangkubegitu?"

"Tidak. Mengatur giliran mengurus rumah itu ide

bagus," kilah Marina sambil mengalihkan pandangan dengan

gugup.Jelasdiamenyembunyikansesuatu.

"Ayolah,Marina.Adaapa?"

"Aku cuma?" dia mengambil lap, lalu memerasnya

sambil bicara, "selama ini aku hidup tanpa arah, sama sekali

tidak tahu Garde itu seperti apa. Tapi kemudian, Nomor

Enam menemukanku di Spanyol dan menunjukkannya.

Setelah itu, kami bertemu denganmu dan Nomor Sembilan,

tepat sebelum kalian memimpin kami bertarung melawan

Mogadorian paling jahat yang pernah ada. Rasanya?wow,

ketiga Garde ini benar-benar tahu harus apa. Mereka dapat

menanganinya."

"Eh,trims."

"Tapi kita sudah berhari-hari di sini, dan rasa itu

muncul lagi. Perasaan bahwa kita tidak tahu apa yang kita

lakukan. Jadi, akubertanya-tanyaapakahkaupunyarencana

lain,selaintugasrumahtangga?"

"Sedangkupikirkan," akubergumam.

Aku tidak inginmemberi tahu Marina bahwa langkah

selanjutnya?yang masih belum ada?itulah yang

~32~

membuatku terjaga di malam hari. Kami tidak tahu di mana

Setrakus Ra berlindung setelah pertempuran di New Mexico

itu dan, kalaupun kami tahu, aku masih merasa kami belum

siap melawannya. Kami bisa saja mencari Nomor Lima.

Tablet penunjuk lokasi yang kami temukan di ruang bawah

tanah Malcolm Goode menampilkan satu titik di lepas Pantai

Florida. Itu pasti Nomor Lima. Lalu ada masalah Sam. Sarah

bersumpah pernah melihatnya sewaktu di New Mexico, tapi

kami tidak bertemu Sam saat di Dulce. Karena Setrakus Ra

mampu meniru wujud orang lain, aku mulai percaya, Sarah

memang melihat perwujudan Setrakus sebagai Sam dan

sahabatku itu ditahan di tempat lain?kalau dia masih hidup.

Begitu banyak keputusan yang harus diambil, belum

lagi latihan yang seharusnya kami jalani. Namun, beberapa

hari terakhir ini, aku hanya bermalas-malasan dan terus

merenungkan kekalahan yang nyaris tak terelakkan di New

Mexico sehingga tidak memikirkan rencana apa-apa.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin ini akibat rasa nyaman berada di apartemen Nomor

Sembilan setelah nyaris menyongsong maut, juga karena

selama bertahun-tahun ini kami semua dalam pelarian. Tapi

yang jelas, tampaknya kami semua perlu menarik napas.

Kalau di antara kami ada yang merutuki diri sendiri karena

tidak memiliki rencana cemerlang, tidak ada yang

menunjukkannya secara terang-terangan.

Oh, selain itu ada hal lain yang mengalihkan

pikiranku. Seperti Marina yang ingin mencoba semua

peralatan di dapur mewah Nomor Sembilan, aku ingin

menghabiskan waktu berduaan dengan Sarah. Aku bertanya
tanya apa pendapat Henri tentang itu. Aku yakin dia pasti

kecewa karena pikiranku tidak fokus. Aku tahu itu, tapi

perasaan ini tidak dapat kutahan.

Seakan dipanggil, Sarah mengulurkan lengan dan

memelukku dari belakang. Aku begitu sibuk berpikir sampai
~33~

sampai tidak mendengarnya memasuki dapur.

"Pagi, Tampan," sapa Sarah. Aku berbalik dan

mengecupnya.

Walaupun stres, aku senang menyambut hari baru

dengan cara seperti ini. Pagi ketika aku bangun dan

mengecup Sarah, lalu menjalani hari yang normal

bersamanya, kemudian tidur dengan keyakinan dia akan ada

di saat aku bangun.

Sarah berbisik, "Kau bangun pagi lagi."

Aku meringis. Kukira tadi pagi, sebelum pergi ke atap

untuk berpikir, aku keluar kamar dengan cukup pelan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Sarah.

"Tentu," aku menyahut. "Kau di sini. Mana mungkin

aku tidak baik-baik saja?"

Marina berdeham, mungkin khawatir kami akan

bermesraan di dapur. Sarah mengedipkan sebelah mata ke

arahku, berbalik, meraih pengocok telur Marina yang

melayang dan mengambil alih urusan mengocok telur.

"Oh," seru Sarah sambil menoleh ke arahku,

"Sembilan mencarimu."

"Oke," sahutku. "Ada apa, ya?"

Sarah mengangkat bahu. "Aku tidak tanya. Mungkin

dia mau berbagi tips berpakaian." Sarah menyentuh bibir

sambil merenung mengamatiku. "Sebenarnya, mungkin itu

bukan ide buruk."

"Maksudmu?"

Sarah mengedipkan sebelah mata. "Kausnya hilang.

Lagi."

Aku mengerang, lalu keluar dapur dan mencari

Nomor Sembilan. Aku tahu apartemen ini rumahnya dan dia

berhak membuat dirinya nyaman, tapi dia selalu mondar
mandir bertelanjang dada hampir di segala kesempatan. Aku

tidak tahu apakah dia berharap gadis-gadis mendekatinya

~34~

atau apakah dia sengaja pamer otot untuk membuatku kesal.

Mungkin dua-duanya.

Aku melihat Nomor Enam bersantai di ruang duduk

apartemen yang luas. Dia bersimpuh di sofa putih empuk

sambil menimang secangkir kopi dengan kedua tangan. Sejak

tiba dari New Mexico, kami jarang mengobrol. Aku masih

jengah berada di dekatnya sekaligus Sarah pada saat yang

sama. Sepertinya Nomor Enam juga merasakan yang sama,

karena aku merasa dia menghindariku. Dia mendongak saat

aku masuk, matanya setengah terbuka dan mengantuk.

Tampaknya dia sama lelahnya denganku.

"Hai," kataku. "Semalam Ella bagaimana?"

Nomor Enam menggeleng. "Dia terjaga sepanjang

malam. Baru sekarang bisa tidur."

Selain semua masalah tadi, masih ada mimpi buruk

Ella yang harus kami hadapi. Sejak meninggalkan New

Mexico, setiap malam Ella mengalami mimpi buruk, begitu

parahnya sampai-sampai Nomor Enam dan Marina

bergantian tidur menemani Ella untuk memastikan anak itu

tidak terlalu ketakutan.

Aku merendahkan suaraku. "Dia cerita apa yang

dilihatnya?"

"Sepotong-sepotong," jawab Nomor Enam. "Ella kan,

agak pendiam."

"Sebelum pergi ke New Mexico, aku dan Nomor

Sembilan mendapatkan visi yang sangat mirip mimpi buruk,"

kataku merenungkan hal ini.

"Nomor Delapan pernah cerita yang mirip itu."

"Mulanya kami pikir itu cara Setrakus Ra mengejek

kami, tapi mimpi itu juga terasa seperti peringatan.

Setidaknya, begitulah yang kurasakan. Mungkin kita harus

memikirkan apa arti mimpi Ella ini."

"Tentu, mungkin mimpi Ella ini mengandung pesan

~35~

rahasia," sahut Nomor Enam datar, "tapi pernahkah kau

berpikir mungkin ada penjelasan yang lebih sederhana?"

"Misalnya?"

Nomor Enam memutar bola mata. "Misalnya, John,

Ella itu masih kecil. Cepannya baru meninggal. Beberapa hari

lalu, Ella sendiri nyaris mati, dan entah apa lagi yang bakal

dia alami selanjutnya. Aku sendiri heran kita tidak mimpi

buruk setiap malam."

"Itu pikiran yang menenangkan hati."

"Ini bukan saatnya bersikap tenang."

Sebelum aku sempat menjawab, Nomor Delapan

muncul di sofa di samping Nomor Enam. Gadis itu terlonjak,

nyaris menumpahkan kopinya, lalu langsung memelototi

Nomor Delapan dengan garang. Nomor Delapan mengangkat

tangan dengan sikap membela diri.

"Wah, maaf," katanya. "Jangan bunuh aku." "Jangan

lakukan itu lagi," sahut Nomor Enam sambil meletakkan kopi

tersebut.

Nomor Delapan mengenakan pakaian olahraga,

rambut ikalnya ditahan di balik pita penahan keringat. Dia

mengangguk ke arahku, lalu melemparkan senyum maut

peluluh hati kepada Nomor Enam.

"Ayo," pancing Nomor Delapan, "kau bisa

membalasnya di Aula Kuliah."

Nomor Enam bangkit, senang mendengar usul itu.

"Kuhajar kau."

"Kalian mau apa?" aku bertanya.

"Tarung tangan kosong," sahut Nomor Delapan.

"Karena waktu di New Mexico, Nomor Enam membunuhku

?"

"Untuk kesekian kalinya, itu bukan aku," sela Nomor

Enam dengan kesal.

"?kupikir sebaiknya dia mengajariku gerakan baru

~36~

supaya aku lain waktu mampu mempertahankan diri dari

serangannya."

Nomor Enam berusaha meninju lengan Nomor

Delapan, tapi pemuda itu sudah lenyap dan muncul di balik

sofa.

"Tuh, kan?" Nomor Delapan tersenyum lebar.

"Reaksiku cukup cepat!"

Nomor Enam bergegas melompat ke balik sofa,

sementara Nomor Delapan lari ke Aula Kuliah. Namun,

sebelum berlari mengejar, Nomor Enam menoleh ke arahku.

"Mungkin sebaiknya kau bicara dengan Ella,"

katanya.

"Aku?"

"Ya," sahutnya. "Mungkin kau dapat menyimpulkan

apakah visi Ella ada artinya atau apakah dia cuma trauma."

Begitu Nomor Enam meninggalkan ruangan, lantai di

belakangku bergedebuk. Aku berbalik. Nomor Sembilan?

yang bertelanjang dada seperti kata Sarah tadi?tersenyum

lebar ke arahku sambil memegang buku gambar dengan

tangannya yang besar. Aku mendongak memandang langit
langit.

"Sudah berapa lama kau di sana?"

Nomor Sembilan mengangkat bahu. "Pikiranku lebih

lancar saat berdiri terbalik."

"Aku tak tahu kau bisa berpikir."

"Yah, benar juga. Biasanya kau yang berpikir untuk

kami semua." Dia menyodorkan buku gambarnya ke arahku.

"Lihatlah!"

Aku mengambil buku itu dan membukanya.

Halaman-halaman buku tersebut dipenuhi denah yang

digambarkan oleh Nomor Sembilan. Mirip denah markas

militer, tapi sepertinya aku kenal tempat itu.

"Ini??"

~37~

"Virginia Barat," Nomor Sembilan mengumumkan

dengan bangga. "Setiap detail dapat kuingat. Bakal berguna

kalau kita menyerang tempat itu. Aku yakin, si Berengsek

Setrakussembunyidisana."

Aku duduk di sofa dan melemparkan buku gambar

itu ke sampingku. "Waktu aku mau menyerang gua itu, kau

malahmenentanghabis-habisan."

"Itu karena kau lari menyerbu perisai energi seperti

orang tolol," bantahnya. "Aku bilang kita perlu jumlah. Nah,

sekarangkitapunyajumlah."

"Omong-omong,pagiinikaulihattablet?"

Nomor Sembilan mengangguk. "Nomor Lima diam di

tempat." Sejak kembali ke Chicago, kami selalu mengecek

tablet penunjuk lokasi. Selama beberapa hari terakhir ini,

Nomor Lima?satu-satunya Garde yang belum pernah kami

temui?berada di sebuah pulau di lepas Pantai Florida.

Sebelum kami pergi ke New Mexico, dia ada di Jamaika.

Nomor Lima selalu bergerak, sesuai protokol Loric yang

dalam pelarian. Menemukannya mungkin tidak mudah,

bahkanwalaupunkamipunyatabletpenunjuk lokasi.

"Karena kita sudah sempat beristirahat, kupikir kita

harus menjadikan ini prioritas utama. Semakin banyak

semakinbaik,betul?"

"Tapi mungkin saat kita mencari Nomor Lima,

Setrakus Ra justru melancarkan invasi besar-besaran ke

Bumi." Nomor Sembilan menepuk sampul buku gambarnya

untuk menegaskan. "Kita membuatnya lari. Seharusnya kita

menyelesaikannyasekarang."
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Membuatnya lari?" aku menatap Nomor Sembilan

heran."Seingatku,kejadiannyabukanbegitu."

"Kenapa?Diakabur,kan?"

Aku geleng-geleng. "Apa menurutmu kau sudah siap

untuk bertarungmelawannyalagi?"

~38~

"Menurutmu?" Nomor Sembilan menekuk sebelah

lengandibalik punggungsambil menekuk lenganyanglaindi

atas kepala, berpose ala binaragawan. Mau tak mau, aku

tertawa.

"Akuyakindiabakalkedermelihatposemuitu."

"Setidaknya ini lebih mengintimidasi daripada cuma

duduk-duduk," bantah Nomor Sembilan sambil

mengempaskandirikesofadisampingku.

"Kau benar-benar berpikir kita harus menyerang

VirginiaBarat?SetelahkekalahankitadiDulce?"

Nomor Sembilan menunduk memandangi tangannya,

mengepal dan membuka, mungkin teringat waktu itu

Setrakus nyaris menghabisi nyawanya. Betapa nyawa kami

semuadiujungtanduk.

"Entahlah," katanya setelah terdiam sejenak. "Aku

cuma ingin memberikan denah ini supaya kau tahu ini bisa

dipertimbangkan, oke? Mungkin kau pikir aku tidak tahu

sampai mana batas kemampuanku?tapi, waktu di New

Mexico itu? Mungkin aku agak sombong karena mencoba

bertarung melawan Setrakus sendirian. Nomor Enam juga

pergi sendirian. Nomor Delapan nyaris mati. Lalu yang

lainnya ditembak. Tapi kau berhasil menjaga kepalamu tetap

dingin, John. Kau menjaga kami semua. Yang lainnya juga

menyadari itu. Aku masih tidak percaya dengan pengakuan

konyolmu bahwa dirimu reinkarnasi Pittacus atau apalah,

tapi kau punya aura kapten. Jadi sudah sepantasnya kalau

kau yangmemimpindanaku yangbertarung. Melakukanapa

yangpalingjago kitalakukan."

"Yangpalingjago? Entahlah?Nomor Enamjuga jago

bertarung."

Nomor Sembilan mendengus. "Yah, dia memang

superkeren saat berada dalam kepompong anehnya, yang

menempel di langit-langit. Bukanitu intinya, Johnny. Intinya,

~39~

aku perlu kau untuk memberi tahu apa yang harus kutinju.

Dan aku ingin kau mengatakannya secepat mungkin atau aku

bakal gila diam di sini."

Aku memandang buku gambar Nomor Sembilan lagi.

Dari keadaan buku tersebut, sepertinya Nomor Sembilan

langsung membuat gambar ini begitu kami kembali dari New

Mexico. Walaupun gayanya urakan, setidaknya dia berusaha

sekuat tenaga untuk memikirkan cara melawan para

Mogadorian. Sementara itu, aku malah terjebak dalam

lingkaran setan ini, tidak dapat tidur, berpikir sambil

mondar-mandir di atap sendirian.

"Andai Henri ada di sini," kataku, "atau Sandor. Atau

Cepan mana saja. Siapa saja yang bisa mengatakan kita harus

apa."

"Nah, yah mereka sudah mati," sahut Nomor

Sembilan datar. "Sekarang, semua keputusan ada di tangan

kita, dan biasanya kau yang punya ide. Meski waktu tak mau

ikut rencanamu itu, aku hampir terpaksa melemparkanmu

dari atap."

"Aku bukan Cepan."

"Bukan, tapi kau tahu segalanya." Nomor Sembilan

menepuk punggungku dengan keras. Aku sadar memang

beginilah caranya menunjukkan kasih sayang. "Berhenti

berkeluh-kesah, kurangi berdua-duaan dengan pacar

manusiamu itu, dan pikirkan rencana yang brilian!"

Seminggu lalu, aku pasti akan tersinggung mendengar

Nomor Sembilan menyebutku suka mengeluh dan mengejek

hubunganku dengan Sarah. Namun sekarang, aku tahu

sebenarnya dia hanya berusaha menyemangatiku. Beginilah

cara dia menasihatiku dan?meski memalukan?aku perlu

mendengarnya.

"Bagaimana kalau aku tak punya rencana?" aku

bertanya pelan.

~40~

"Itu,Dik-John,samasekalitidak boleh."

~41~

6 A

KU KEMBALI KE ATAP JOHN HANCOCK CENTER. Kali ini,

aku tak sendiri.

"Kita tak perlu membicarakannya kalau kau belum

siap," kataku lembut sambil menatap sosok yang duduk

bersila, meringkuk di sampingku.

Ella membalut tubuh dengan selimut walaupun

udara di atap tidak begitu dingin. Dia tampak lebih kecil

daripada biasanya sehingga aku bertanya-tanya apakah stres

menyebabkannya kembali ke sosok yang lebih muda. Di

balik selimut, dia mengenakan salah satu kemeja flanel tua

milik Nomor Sembilan yang menjuntai sampai ke lutut.

Akhir-akhir ini, tampaknya Ella baru bisa tidur nyenyak di

siang hari. Dia mungkin tidak akan turun dari tempat tidur

sama sekali seandainya Marina tidak membujuknya untuk

naik ke atap dan bicara denganku.

"Aku akan mencobanya," sahut Ella, suaranya tidak

jelas karena deru angin. "Marina bilang mungkin kau bisa

membantu."

Terima kasih, Marina, pikirku. Sejak bertemu di New

Mexico, aku jarang sekali bicara empat mata dengan Ella.

Kurasa ini kesempatan yang bagus untuk mengenal Ella,

walaupun aku berharap andai situasinya lebih baik dari ini.

Aku sangat ingin membantu Ella. Sayangnya, aku tak tahu

harus apa?aku bukan ahli soal visi, atau seorang psikiater,

kalau itu yang Ella butuhkan. Seharusnya Cepanlah yang

mengurusi pembicaraan semacam ini. Namun, seperti yang

tadi Nomor Sembilan bilang, kami tak punya Cepan lagi.

Aku berusaha terdengar percaya diri. "Marina benar.

Aku juga pernah mendapat mimpi-mimpi."

"Mimpi-mimpi tentang dia?" tanya Ella. Dari

suaranya yang makin lirih, jelas sekali siapa yang dia

~42~

maksud.

"Ya," kataku. "Si jelek mengerikan itu sering banget

nongol di otakku, seharusnya aku minty dia bayar sewa."

Ella tersenyum sedikit. Dia berdiri, lalu menendang

kerikil di atap. Dengan ragu, aku memegang bahunya. Dia

mendesah, seakan sentuhanku terasa melegakan.

"Awalnya selalu sama," Ella memulai. "Kita ada di

markas itu, bertarung melawan Setrakus dan anak buahnya.

Kita, seperti yang kau tahu, kalah."

Aku mengangguk. "Ya, aku ingat bagian itu."

"Aku memungut sepotong logam dari lantai. Aku tak

tahu benda apa itu, mungkin patahan pedang. Saat aku

menyentuhnya, logam itu mulai bersinar di tanganku."

"Sebentar," aku memotong, berusaha memahami

cerita Ella, "ini kejadian sebenarnya atau cuma mimpi?"

"Kejadian sebenarnya," sahut Ella. "Karena sangat

ketakutan, aku memungut benda apa pun yang dapat kuraih.

Rencanaku cuma melempari Setrakus agar dia berhenti

memukuli Nomor Sembilan."

"Dari tempatku berdiri, benda itu terlihat seperti

panah kecil," kataku sambil mengenang kembali

pertempuran itu, dengan semua asap dan kekacauannya.,

"Anak panah yang bersinar. Kukira kau mengambil benda itu

dari Petimu."

"Aku tidak punya Peti," sahut Ella muram.

"Sepertinya mereka lupa menyiapkan Peti Loric untukku."

"Ella, tahu tidak?" aku berusaha bersikap

menenangkan, tapi sulit menyingkirkan rasa bersemangat

dari suaraku. "Kurasa waktu itu ada Pusaka baru yang

muncul, dan kita semua terlalu panik sehingga tidak

menyadarinya."

Ella menunduk memandangi tangannya. "Aku tak

mengerti."

~43~

Aku meraup segenggam kerikil dari atap dan

mengulurkannya ke arah Ella. "Kurasa kau melakukan

sesuatu terhadap potongan pedang itu sehingga saat benda

itu mengenai Setrakus Ra, dia kesakitan."

"Oh," sahut Ella tak terdengar senang.

"Bisakah kau melakukannya lagi?" aku mengulurkan

batu-batu itu ke arah Ella.

"Tidak mau!" bentaknya. "Rasanya rasanya salah."

"Kau hanya takut ...," aku berusaha membujuk.

Namun, Ella menjauh, membuatku tersadar tindakanku itu

salah. Ella masih terguncang akibat pertempuran itu, mimpi
mimpi, juga Pusakanya. Aku menjatuhkan batu-batu tadi ke

atap. "Kita semua takut. Tidak apa-apa. Kita bisa

memikirkannya nanti. Ceritakan lagi soal mimpi-mimpimu

itu."

Ella terdiam selama beberapa waktu, membuatku

mengira dia tidak akan bercerita lagi. Namun, kemudian dia

mulai bicara.

"Aku melemparkan potongan besi itu ke arah

Setrakus," kata Ella, "dan Benda itu menempel di tubuhnya.

Persis yang terjadi di markas waktu itu. Namun, dalam

mimpiku, Setrakus tidak mundur. Dia malah berbalik dan

memandangku. Yang lainnya?kalian semua?lenyap. Cuma

ada aku dan dia di ruangan berasap itu."

Ella memeluk tubuhnya yang gemetar. "Dia

mencabut panah itu, lalu tersenyum. Tersenyum ke arahku

dengan gigi-giginya yang mengerikan. Aku cuma berdiri

termangu seperti orang tolol saat dia mendekat dan

menyentuh wajahku. Dia ... dia membelai wajahku dengan

punggung tangannya. Sentuhannya sedingin es. Kemudian dia

bicara."

Aku ikut bergidik. Membayangkan Setrakus Ra

mendekati, lalu menyentuh Ella dengan tangannya yang

~44~

menjijikkan, membuat perutku mulas.

"Dia bilang apa?" aku bertanya.

"Mmm," Ella berhenti sejenak, lalu melanjutkan

dengan pelan, "dia bilang, ternyata kau di sini' lalu, ?sudah
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama aku mencarimu."'

"Lalu, apa yang terjadi?"

"Dia?dia berlutut," suara Ella melirih jadi bisikan

ngeri. "Dia menggenggam sebelah tanganku dengan kedua

tangannya, lalu bertanya apakah aku sudah membaca surat

itu."

"Surat? Kau tahu apa maksudnya?"

Ella menarik selimut lebih erat menyelubungi tubuh

tanpa memandang mataku. "Tidak."

Dan caranya menjawab, aku tahu Ella tidak

sepenuhnya jujur. Surat ini?apa pun isinya?membuatnya

begitu terguncang seperti saat mendapatkan visi tentang

Setrakus Ra. Aku tak tahu apakah mimpi yang Ella ceritakan

ini sama dengan mimpiku, yaitu waktu Setrakus

memperlihatkan Sam yang disiksa demi memancingku

bertarung melawannya, atau apakah mimpi Ella ini hanya

seperti yang Nomor Enam bilang, yaitu sekadar mimpi buruk

akibat hal-hal mengerikan yang baru-baru ini Ella alami. Aku

tak ingin mendesak Ella lagi, dia seperti bakal menangis.

"Andai aku bisa bilang aku sanggup mengusir mimpi
mimpi itu," kataku, berusaha menirukan Henri, "tapi aku tak

bisa. Aku tak tahu apa yang menyebabkan mimpi-mimpi itu.

Aku hanya tahu mimpi seperti itu sangat menyakitkan."

Ella mengangguk, tampak kecewa. "Oke."

"Kalau kau bertemu dengannya lagi dalam mimpi,

ingatlah dia tak dapat menyakitimu. Lalu, kalau dia mencoba

memegang tanganmu, tonjok saja muka jeleknya."

Ella tersenyum. "Akan kucoba."

~45~

Aku tak tahu apakah kata-kataku menenangkan Ella

atau tidak, tapi jelas ada satu hal dari percakapan tadi yang

terus kuingat. Benda apa pun yang dilemparkannya ke arah

Setrakus Ra waktu itu, aku yakin benda itu terkena efek dari

Pusaka baru Ella yang muncul. Ella mengaliri proyektil itu

dengan semacam energi sehingga?entah bagaimana caranya

?benda itu menyakiti Setrakus, atau setidaknya

mengalihkan perhatiannya cukup lama sehingga Pusaka

kami semua kembali berfungsi. Sekarang yang perlu

kulakukan adalah membujuk Ella untuk melakukannya lagi

dan mempelajari fungsi Pusaka itu. Kalau waktu itu Pusaka

Ella pernah berfungsi, mungkin kali ini juga dapat berfungsi

lagi. Untuk menyusun rencana menghabisi Setrakus Ra, aku

akan membutuhkan setiap senjata yang kami miliki.

Aku turun ke Aula Kuliah, berharap menemukan

sesuatu di Petiku atau di gudang senjata Nomor Sembilan

yang dapat membantu memunculkan Pusaka Ella. Aku ingat,

Henri biasa menggunakan batu pemanas untuk membantuku

menguasai Lumen sehingga aku bertanya-tanya apakah ada

benda serupa itu yang dapat menolong Ella.

Tiba-tiba, bunyi samar tembakan menyentakkanku

dari lamunan.

Secara naluriah, aku langsung waspada dan

merunduk. Tanganku memanas karena Lumenku menyala.

Insting. Aku tahu perbedaan antara bunyi tembakan blaster

Mogadorian dan senjata-senjata milik Nomor Sembilan, yang

sebagian digunakan untuk berlatih oleh teman-temanku. Aku

juga tahu kami aman, setidaknya untuk saat ini. Kalau para

Mogadorian tahu di mana kami berada, mereka pasti

menyerang dengan jauh lebih gaduh daripada satu suara

senjata. Tetapi, tetap saja jantungku berdegup kencang dan

aku merasa siap bertarung. Sepertinya bukan cuma Ella yang

resah akibat pertarungan di New Mexico.

~46~

Kudorong pintu ganda tebal dan kumasuki Aula

Kuliah dengan tangan yang masih berbinar redup karena

tegang. Kupikir aku bakal melihat Nomor Sembilan

memutar-mutar pistol, lalu memasukkannya ke sarung

bagaikan seorang koboi setelah menembaki sasaran kertas

untuk menghabiskan waktu.

Namun, ternyata yang kulihat justru Sarah yang

sedang menembak menggunakan pistol kecil. Peluru itu

menembus bahu Mogadorian kertas yang tergantung di

ujung ruangan.

"Lumayan," kata Nomor Enam sambil membuka

pelindung telinga. Dia berdiri di dekat Sarah, mengawasi dari

belakang. Nomor Enam menarik Mogadorian kertas itu

dengan menggunakan telekinesis. Sebagian besar tembakan

Sarah merobek bagian tepi kertas atau mengenai lengan dan

tungkai Mogadorian kertas tersebut. Namun, ada satu

tembakan yang menembus di antara matanya. Sarah

menusukkan jari ke lubang itu.

"Seharusnya aku bisa lebih bagus daripada ini,"

katanya.

"Tidak semudah jadi pemandu sorak, ya?" tanya

Nomor Enam tanpa bermaksud mengejek.

Sarah melepaskan klip peluru kosong, lalu

menggantinya dengan yang baru. "Kau pasti belum pernah

mencoba melakukan gerakan full layout twist cheerleader."

"Aku bahkan tak tahu itu apa."

Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa gugup melihat

mereka berdua. Jujur, cara Sarah mengayunkan pistol

membuatnya tampak keren dan garang, padahal selama ini

aku tidak pernah menganggapnya begitu. Namun, aku juga

merasa bersalah karena sepertinya akulah yang

menyebabkan Sarah terpaksa berlatih menembak di sini, dan

bukannya menjalani hidup normal di Paradise. Apalagi, aku

~47~

belum bercerita kepada Sarah tentang ciumanku dengan

Nomor Enam, atau bahkan membahasnya dengan Nomor

Enam. Namun, sekarang keduanya berkumpul di sini. Aku

tahu seharusnya menceritakan hal itu kepada Sarah dengan

terus terang. Nanti. Mungkin bukan saat dia membawa-bawa

pistol berisi peluru.

Aku berdeham, berusaha terdengar santai. "Hai,

kalian sedang apa?"

Kedua gadis itu menoleh memandangku. Sarah

tersenyum lebar dan melambaikan tangannya yang tidak

memegang pistol.

"Halo, Sayang," katanya. "Nomor Enam mengajariku

menembak."

"Keren. Aku tak tahu kau ingin belajar menembak."

Nomor Enam menatapku heran, seakan berkata siapa

sih yang tidak mau belajar menembak? Momen canggung

meraja di antara kami. Aku merasa kesal kepada Nomor

Enam karena mengajari Sarah menembak tanpa seizinku.

Bukan berarti Sarah perlu meminta izin dariku sebelum

melakukan sesuatu. Situasi ini membuatku kesal, dan itu

pasti tergambar di wajahku karena Nomor Enam mengambil

pistol dari tangan Sarah, memasang pengamannya, lalu

menyarungkan senjata itu.

"Kurasa cukup sampai di sini," kata Nomor Enam.

"Besok kita lanjutkan lagi."

"Yah," Sarah mengeluh kecewa. "Baiklah." Nomor

Enam menepuk lengan Sarah. "Tembakan bagus." Lalu, dia

melemparkan senyum kaku yang entah apa artinya ke

arahku. "Sampai nanti," katanya sambil berjalan melewatiku

menuju pintu.

Aku dan Sarah berdiri dalam keheningan, sementara

lampu Aula Kuliah berdengung di atas kami. "Nah," aku

memulai dengan canggung. "Tingkahmu aneh," ujar Sarah

~48~

sambil menatapku dengan kepala dimiringkan.

Aku meraih Mogadorian kertas itu dan mengamati

hasil karya Sarah sambil mereka-reka harus bilang apa. "Aku

tahu. Maaf. Hanya saja, aku tak pernah memandangmu

sebagai perempuan yang memegang senjata dan berbahaya."

Sarah mengernyit. "Kalau aku menjalin hubungan

denganmu, aku tak mau jadi perempuan tak berdaya."

"Kau bukan perempuan tak berdaya."

"Yang benar saja," dia mendengus. "Kira-kira berapa

lama lagi aku membusuk di New Mexico kalau kau tidak

muncul? Lagi pula, maksudku, John, kau membuatku hidup

kembali."

Aku merangkulnya, tidak ingin membayangkan Sarah

yang tergeletak sekarat di kakiku. "Aku tak akari

membiarkan sesuatu terjadi padamu."

Sarah menepisku. "Kau tak bisa menjamin itu. Kau

tak bisa melakukan segalanya, John."

"Yeah," sahutku, "aku mulai menyadari itu." Sarah

mendongak memandangku. "Tahu tidak? Hari ini aku

berpikir untuk menelepon orangtuaku.

Sudah berminggu-minggu. Aku ingin memberi tahu

mereka bahwa aku baik-baik saja."

"Itu bukan gagasan bagus. Para Mogadorian atau

pemerintah mungkin mengawasi rumahmu, berjaga-jaga

kalau-kalau ada telepon. Mereka dapat melacak kita."

Kata-kata itu terdengar begitu dingin, dan aku

langsung menyesalinya, menyesali betapa cepatnya aku

berubah menjadi pemimpin yang paranoid dan berpikir

praktis. Namun, Sarah tidak marah. Malahan, sepertinya dia

berharap aku berkata begitu.

"Aku tahu," katanya sambil mengangguk. "Aku juga

berpikir begitu, dan karena itulah, aku tak melakukannya.

Aku tak mau pulang. Aku ingin bersama kalian di sini dan

~49~

ikut bertarung. Namun, aku tak punya kekuatan super-Loric.

Aku ini cuma beban. Karena itulah, aku ingin berlatih

menembak, supaya aku tidak jadi beban."

Aku meraih tangan Sarah. "Kau sama sekali bukan

beban. Aku membutuhkanmu di sini, bersamaku. Kaulah

satu-satunya yang membuatku tidak terpuruk ke dalam

lembah keputusasaan."

"Aku mengerti," ujar Sarah. "Kau akan

menyelamatkan dunia dan aku akan membantumu. Kau tahu

kata-kata tentang di balik setiap pria hebat, ada wanita yang

hebat? Aku akan menjadi wanita hebat bagimu. Tapi, aku

ingin jadi wanita hebat yang bidikannya jitu."

Aku tergelak, ketegangan di antara kami mengendur.

Aku mengangkat tangan Sarah dan menciumnya. Entah apa

yang membuatku begitu tegang, tapi yang jelas keberadaan

Sarah membuat segalanya terasa lebih mudah. Memikirkan
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rencana perang untuk menaklukkan Mogadorian? Tidak

masalah. Soal kejadian dengan Nomor Enam, yah saat ini

rasanya masalah itu sama sekali tidak penting.

Tiba-tiba, Nomor Delapan berteleportasi dengan

mata membelalak penuh semangat, tapi langsung sungkan

saat melihat kami.

"Waduh," katanya, "maaf, aku tak mengira kalian

sedang berduaan."

Sarah terkekeh, sementara aku pura-pura melotot ke

arah Nomor Delapan. "Kuharap ini penting."

"Kalian harus ke ruang kerja dan melihatnya sendiri.

Aku akan memanggil yang lain."

Setelah menyampaikan pesan aneh itu, dia

menghilang lagi. Aku dan Sarah saling pandang, lalu bergegas

keluar dari Aula Kuliah dan menuju ruang kerja Sandor.

Nomor Sembilan ada di sana, memandangi kumpulan

monitor di dinding dengan lengan disilangkan. Semua

~50~

monitor menampilkan gambar yang sama, berita dari stasiun

televisi lokal di Carolina Selatan. Saat kami masuk, dia

menghentikan siaran dengan menekan pause.

"Kemarin aku menyalakan program lama Sandor,"

Nomor Sembilan menjelaskan. "Program itu dapat memindai

berita aneh yang mungkin ada kaitannya dengan Loric."

"Henri juga punya program semacam itu." "He-eh,

pekerjaan khan Cepan yang membosankan, bukan? Tapi,

semalam ini muncul."

Nomor Sembilan menjalankan siaran tadi sehingga si

pembaca berita kembali berbicara.

"Pihak berwenang tidak dapat menjelaskan

pengrusakan yang terjadi kemarin pagi di ladang petani

tersebut. Mereka menduga ini cuma keisengan remaja, tapi

pihak lain mengatakan ...."

Aku mengabaikan teori si pembaca berita karena

gambar di monitor telah diganti dengan rekaman ladang

jagung terbakar, yang membentuk suatu lambang melingkar

mirip labirin. Mungkin si pembaca berita menganggap itu

keisengan remaja, tapi kami langsung mengenali lambang itu.

Lambang yang dibakar secara kasar di ladang

tersebut adalah simbol Loric Nomor Lima.

~51~

7 "

KA

LAU NOMORLIMABERUSAHAMENEMUKANKITA,cara

iniluarbiasatolol," NomorSembilanberkomentar.

"Gadis itu pasti ketakutan dan sendirian," bantah

Marinapelan,"dalampelarian."

"Cepan yang waras tak akan membakar ladang, jadi

dia pasti sendirian. Tapi ...," Nomor Sembilan berhenti,

dahinya berkerut, "sebentar--?gadis itu'? Nomor Lima itu

cewek?"

Marina memutar bola mata mendengar kata cewek,

lalumenggeleng."Entahlah.Cumamenebak."

"Membakar ladang itu khas laki-laki," Nomor Enam

angkatsuara.

"Seingatku Henri pernah membacakan berita tentang

seorang gadis yang mengangkat mobil orang di Argentina,"

kataku."KamipikirituNomorLima."

"Menurutku itu seperti berita tabloid," bantah

NomorEnam.

"Perempuan atau laki-laki tak jadi masalah," Nomor

Sembilan menyela sambil mengayunkan tangan ke arah

monitor komputer. "Takut bukan alasan untuk bertindak

tolol."

Aku setuju dengan Nomor Sembilan. Jika pesan itu

benar-benar dari Nomor Lima, dan bukan perangkap rumit

yang dibuat Mogadorian, caranya untuk menarik perhatian

kami sangat buruk. Karena kalau kami melihatnya, para

Mogadorianpastijugamelihatnya.

Kami semua berkerumun di ruang kerja Sandor.

Nomor Sembilan menghentikan siaran berita tepat di bagian

simbol Loric yang dilihat dari atas, sementara kami

memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Aku

sudah menyalakan Makrokosmos dari Petiku, sistem tata

~52~

surya Loric holografik itu melayang tenang di atas meja.

"Petinya tidak terbuka," kataku. "Makrokosmos pasti

sudah berubah jadi globe kalau Petinya terbuka."

Nomor Delapan berdiri di sampingku sambil

menggenggam kristal komunikasi merah dari Petinya. Kristal

yang kami gunakan untuk mengirimkan pesan kepada

Nomor Enam saat dia di India.

"Lima, kau dengar?" kata Nomor Delapan ke kristal

itu. "Kalau iya, mungkin sebaiknya kau berhenti membakar
bakar."

"Kurasa dia hanya bisa mendengar kalau Petinya

terbuka," aku menjelaskan. "Dan kalau Petinya terbuka,

Nomor Lima akan terlihat di Makrokosmos."

"Yah," ujar Nomor Delapan sambil menurunkan

kristalnya, "kenapa mereka tidak memasukkan ponsel ke

Peti kita?"

Sementara itu, Nomor Sembilan sudah

menghubungkan tablet penunjuk lokasi kami ke salah satu

komputer Sandor. Siaran berita tadi lenyap dan digantikan

peta dunia. Di Chicago ada sekumpulan titik biru ?itu kami.

Di bagian selatan ada titik lain yang bergerak sangat cepat

dari Carolina ke tengah Amerika. Nomor Sembilan

memandangku.

"Dia sudah bergerak sejauh berkilo-kilo sejak aku

mengecek tadi pagi. Selain itu, baru kali ini dia meninggalkan

kepulauan."

Nomor Enam menunjuk monitor dan menarik garis

ke tempat ladang yang dibakar. "Masuk akal. Siapa pun dia,

dia dalam pelarian."

"Tapi gerakannya cepat sekali," komentar Sarah.

"Mungkinkah dia naik pesawat dari suatu tempat?"

Tiba-tiba, titik di monitor itu berbelok tajam ke arah

utara, melintasi Tennessee.

~53~

"Rasanya tak ada pesawat yang gerakannya begitu,"

NomorEnamberkomentarsambilmengernyit.

"Kecepatansuper?" NomorDelapanmengusulkan.

Kami menonton titik biru itu melintasi Nashville

tanpamenurunkankecepatanataubergantiarah.

"Dia tidak mungkin melintasi kota dengan kecepatan

seperti itu dan dengan jalur selurus itu," bantah Nomor

Enam.

"Sialan," Nomor Sembilan menggeram. "Kurasa si

tololitubisaterbang."

"Kita harus menunggu sampai dia berhenti," kataku.

"Mungkin nanti dia membuka Peti Loricnya sehingga kita

dapatmengirimpesan.Sebaiknyakitagantianmengawasiini.

Kita harus menemukan Nomor Lima sebelum Mogadorian

menemukannya."

Marina mengajukan diri untuk berjaga duluan. Aku

tetap tinggal di ruang kerja setelah yang lain pergi. Meskipun

masalah Nomor Lima ini bikin bersemangat, aku belum

melupakan masalah kami yang lain, terutama Ella dan mimpi

buruknya.

"Tadi aku bicara dengan Ella," aku memulai. "Dalam

mimpi buruknya, Setrakus Ra bertanya apakah Ella sudah

membukasurat.Kautahuapamaksudnya?"

Marina mengalihkan pandangan dari titik berkedip

Nomor Lima yang sedang bergerak melintasi Oklahoma.

"MungkinsuratCrayton?"

"CepanElla?"

"Waktu di India, tepat sebelum meninggal, Crayton

memberikan surat kepada Ella." Marina mengerutkan

kening. "Aku hampir lupa karena begitu banyak yang

terjadi."

"Ella belum membacanya?" tanyaku dengan

~54~

perasaan agak gusar. "Kita sedang perang, mungkin surat itu

penting."

"Kurasa Ella belum siap membacanya, John," ujar

Marina dengan tenang. "Itu kata-kata terakhir Crayton.

Membaca surat itu sama saja dengan mengakui bahwa

Crayton benar-benar sudah tiada dan tidak akan kembali."

"Tapi Crayton memang sudah tiada," sahutku cepat.

Terlalu cepat. Aku berhenti sejenak, mengenang saat Henri

terbunuh. Bagiku, Henri itu sudah seperti ayah sendiri, lebih

malah. Cuma dia yang selalu ada dalam kehidupanku yang

terus-menerus dalam pelarian. Bagiku, Henri itu sama

dengan rumah?di mana pun Henri berada, maka di situlah

tempat yang aman. Saat Henri tiada, seluruh dunia seakan

direnggut dari bawah kakiku. Aku lebih tua daripada Ella

ketika itu terjadi. Seharusnya aku tidak mengharapkan Ella

mampu menerima kenyataan itu dengan cepat.

Aku duduk di samping Marina dan mendesah. "Henri

?Cepanku?dia juga meninggalkan surat untukku. Dia

memberikan surat itu saat sekarat. Berhari-hari kemudian,

barulah aku sanggup memaksa diriku membaca suratnya."

"Tuh, kan? Ini tidak mudah. Lagi pula, kalau Setrakus

Ra muncul dalam mimpiku dan menyuruhku mengerjakan

sesuatu, aku pasti akan melakukan yang sebaliknya."

Aku mengangguk. "Aku mengerti. Sungguh. Ella perlu

waktu untuk berduka. Aku bukannya ingin bersikap seperti

tak punya perasaan. Saat semua ini selesai, setelah kita

menang, kita akan punya waktu untuk berkabung

mengenang mereka yang telah tiada. Tapi sebelum itu terjadi,

kita harus mengumpulkan semua informasi yang dapat kita

himpun dan menemukan apa saja yang mungkin bisa

membantu." Aku mengayunkan tangan ke monitor yang

menunjukkan lokasi Nomor Lima. "Kita harus berhenti

menunggu krisis berikutnya dan mulai bertindak."

~55~

Marina merenungkan kata-kataku sambil menatap

Makrokosmos holografik Bumi yang kami biarkan menyala

untuk berjaga-jaga jika Nomor Lima membuka Peti Loricnya.

Mungkin inilah yang ingin Marina dengar dariku tadi pagi

saat bertanya dengan lembut apakah aku punya rencana
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk kami semua. Saat itu, aku tidak punya rencana?dan

saat ini juga begitu tapi jelas yang pertama-tama harus

dilakukan adalah memikirkan apa yang dapat kami kerjakan,

dan Ella adalah kuncinya.

"Aku akan bicara dengan Ella," katanya. "Tapi aku

tak akan memaksanya melakukan sesuatu."

Aku mengangkat tangan. "Aku tidak memintamu

memaksanya. Kalian berdua dekat. Mungkin kau dapat

membujuknya?"

"Akan kucoba," sahut Marina akhirnya.

Nomor Delapan muncul di pintu ruang kerja sambil

memegang dua cangkir teh. Saat melihatnya, wajah Marina

langsung cerah, tapi dia cepat-cepat mengalihkan pandangan

dan tiba-tiba tampak sangat tertarik dengan Makrokosmos.

Aku melihat rona yang menjalari pipinya.

"Halo," Nomor Delapan menyapa sambil meletakkan

cangkir teh. "Maaf. Aku, eh, cuma bikin dua cangkir."

"Tak apa," sahutku, memahami sorot mata penuh arti

Nomor Delapan, yang tiba-tiba membuatku merasa seperti

lalat pengganggu. "Aku baru mau pergi."

Aku berdiri dan Nomor Delapan duduk di kursiku di

depan Makrokosmos. Sebelum aku melewati pintu, Nomor

Delapan sudah membisikkan lelucon kepada Marina dan

langsung membuatnya terkikik. Aku begitu sibuk

memikirkan Sarah dan rencana perang sehingga tidak

memperhatikan seberapa sering Marina dan Nomor Delapan

menghabiskan waktu berduaan. Itu bagus. Kami semua layak

mendapatkan sedikit kebahagiaan, apalagi mengingat apa

~56~

yang kami hadapi.

Hari sudah hampir fajar saat Nomor Delapan datang

untuk membangunkanku dan Sarah. Yang lainnya sudah

berkumpul di ruang kerja. Nomor Enam duduk di depan

komputer, Marina di sampingnya.

"Manuver bodoh lain dari kawan kita yang hilang,"

kata Nomor Sembilan sebagai kata sambutan. Dia berdiri di

dinding menggunakan Pusaka antigravitasinya. Ella yang

berbalut selimut duduk bersila di punggung Nomor

Sembilan. Aku melengkungkan alis ke arahnya.

"Kau tidak tidur?" "Tidak mau," jawab Ella.

"Ella membantuku latihan beban," Nomor Sembilan

mengumumkan. Dia mengedikkan bahunya, menyebabkan

Ella terlonjak. Anak itu nyaris jatuh dari punggung Nomor

Sembilan, tapi tertawa?yang jarang terdengar?sambil

berpegangan, lalu menampar punggung pemuda itu karena

kesal. "Tidak terasa, tuh."

Mengabaikan yang lain, Nomor Enam memandangku.

"Sekitar satu jam yang lalu, Nomor Lima berhenti, kemudian

mulai bergerak lagi."

Aku memandang monitor tablet. Titik tanda Nomor

Lima melaju di sepanjang arah barat sejak terakhir kali aku

melihatnya. Sekarang titik itu berada di sekitar tepi timur

Arkansas.

"Si genius itu berhenti cukup lama untuk

mengirimkan pesan lain kepada kita," gerutu Nomor

Sembilan.

Marina menyipitkan mata ke arahnya. "Apakah kita

perlu mencela tindakan Nomor Lima? Dia mungkin sendirian

dan ketakutan."

"Manis, aku berada dalam sel Mogadorian selama

berbulan-bulan akibat kebodohanku. Aku punya hak untuk

~57~

mengkritisi--aduh."

Ella menampar punggung Nomor Sembilan lagi dan

membuatnya berhenti bicara. Aku memusatkan perhatian ke

arah Nomor Enam dan monitor komputer.

"Ceritakan apa yang terjadi!"

"Satu jam lalu, ini muncul di bagian komentar berita

pembakaran ladang jagung," kata Nomor Enam, yang

untungnya berbicara dengan lugas dan datar. Dia membuka

sebuah window di salah satu komputer, lalu menyeretnya

sehingga kami semua dapat melihatnya di monitor besar.

Anonim menulis: Lima mencari 5. Kalian di luar sana?

Perlu bertemu. Akan bersama para monster di Arkansas. Cari

aku.

"Apa artinya?" tanya Sarah. "Seperti teka-teki."

Nomor Enam membuka web dan memperlihatkan

situs mengenai sesuatu yang bernama Boggy Creek Monster.

"Kami menemukan ini dengan Google. Tempat wisata konyol

di Arkansas yang bernama Monster Mart."

"Menurutmu Nomor Lima ke sana?"

"Kita tak tahu pasti sebelum dia berhenti bergerak,"

jawab Nomor Enam sambil memberi isyarat ke titik biru di

tablet. "Tapi, aku yakin dia ke sana."

"Apa dia pikir Mogadorian tak bisa pakai Google?"

sembur Nomor Sembilan kesal.

"Berdasarkan pengalaman," kata Nomor Enam,

"Mogadorian memantau internet seperti elang. Kalau kita

melihat ini, pasti mereka juga melihatnya dan berusaha

memecahkan artinya. Mereka bakal melacak alamat IP-nya,

lalu membuang-buang waktu mencari lokasinya. Itu bagus

karena kita tahu Nomor Lima sudah meninggalkan

tempatnya mengirimkan pesan itu. Tapi, tetap saja pada

~58~

akhirnya para Mogadorian bakal tahu."

"Kalau begitu, kita harus cepat," kataku.

"Benar," Nomor Sembilan menyepakati sambil

melompar turun dari dinding dan menangkap Ella yang jatuh

menyusulnya. Nomor Sembilan menurunkan Ella, lalu

menggertakkan buku-buku jarinya. "Akhirnya ada yang bisa

dikerjakan."

Sekonyong-konyong, setelah berhari-hari

memikirkan posisi kami, suatu ide muncul dan aku langsung

membeberkan rencanaku. "Kita unggul karena kita tahu di

mana tepatnya Nomor Lima berada. Semoga saja dengan

begitu, kita lebih cepat daripada para Mog. Kita harus

bergerak diam-diam sekaligus cepat. Aku dan Nomor Enam

akan ke Arkansas. Karena dia punya kemampuan untuk

menghilang, kami dapat membawa Nomor Lima tanpa

ketahuan oleh para Mogadorian. Kami juga akan membawa

Bernie Kosar."

"Oh, anjing itu juga ikut?" sahut Nomor Sembilan

datar.

"Kemampuan BK berubah wujud dapat membantu

kami menyelidiki apa yang ada di depan," aku menjelaskan.

"Selain itu, dia dapat kembali kepada kalian kalau-kalau ada

yang salah. Delapan, kalau kami tertangkap, kau harus

menggunakan teleportasimu untuk membawa kawan kita,

Sembilan, yang ganas ini ke dalam selku dalam waktu dua

puluh empat jam. Lalu, kalau terjadi sesuatu yang tak terduga

?"

"Tak akan," Nomor Enam menyela. "Kita bisa

melakukannya."

Aku memandang ke sekeliling. "Semua setuju?"

Nomor Delapan dan Marina mengangguk, wajah

mereka muram, tapi percaya diri. Ella tersenyum kecil ke

arahku dari samping Marina. Nomor Sembilan tidak terlalu

~59~

senang karena tidak dibawa dalam misi ini, tapi dia setuju

walau sambil menggerutu. Sarah tidak mengucapkan apa-apa

dan mengalihkan pandangan.

"Bagus," kataku. "Kami kembali dua hari lagi, paling

lama. Enam, bawa apa pun yang kau butuhkan, setelah itu

kita pergi."

Untuk pertama kalinya, sejak beberapa hari terakhir,

aku benar-benar merasa seperti pemimpin.

Tentu saja, perasaan sebagai pemimpin itu tidak

bertahan lama. Aku kembali ke kamar untuk memasukkan

baju dan sejumlah benda dari Peti?belati, gelang, dan batu

penyembuh?ke dalam ransel. Sarah masuk sambil

membawa pistol bersarung dari gudang senjata Nomor

Sembilan. Tanpa berkata-kata, dia memasukkan pistol itu ke

ranselnya dan menutupi senjata tersebut dengan baju ganti.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku.

"Aku ikut," katanya sambil melemparkan sorot mata

menantang seakan-akan menungguku melarangnya. Aku

menggeleng heran.

"Bukan begitu rencananya."

Sarah menaikkan ransel ke bahu dan menghadapiku

sambil berkacak pinggang. "Yah, aku juga tidak pernah

berencana untuk jatuh cinta dengan alien, tapi ada kalanya

rencana berubah."

"Ini mungkin berbahaya," aku membujuknya. "Kami

ingin lebih cepat sampai di tempat Nomor Lima sebelum para

Mogadorian, tapi entah bagaimana jadinya nanti. Kami harus

mengendap-endap dan Nomor Enam cuma mampu membuat

dua orang jadi tak terlihat."

Sarah mengangkat bahu. "Enam bilang kita bisa bawa

Xithi-apalah. Batu itu. Dia dapat menggunakan batu itu untuk

memindahkan kemampuannya."

~60~

Alisku terangkat. Itu ide bagus. Namun, aku lebih

tertarik dengan kata-kata Sarah yang lain. "Kau sudah bicara

dengan Enam?"

"Ya, dan dia oke," sahut Sarah. "Dia mengerti. Tak ada

lagi yang tidak berbahaya dalam kehidupan yang ini. Aku

mengerti pacarku sedang terlibat perang antargalaksi, tapi

aku tak tahan cuma menonton dari pinggir sambil berdoa

semoga segalanya akan baik-baik saja?"

"Tapi di pinggir kan aman," bantahku lemah

walaupun tahu aku tak dapat mendebatnya.

"Aku merasa lebih aman saat bersamamu. Setelah

semua yang terjadi, aku tak mau berpisah lagi, John. Bahaya

apa pun yang kau hadapi, aku ingin berada di sampingmu."

"Aku juga tak ingin berpisah, tapi?" Sebelum dapat

mengucapkan bantahan lain, Sarah sudah melangkah maju

dan mendaratkan kecupan ringan. Melakukan itu saat

bertengkar bukan tindakan yang sportif.

"Cukup," katanya sambil tersenyum. "Kau sudah


The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Carry Me Down Karya Mj Hyland Kilau Bintang Menerangi Bumi Karya

Cari Blog Ini