The Fall of Five Karya Pittacus Lore Bagian 2
bersikap kesatria, oke? Sikap seperti itu manis, aku suka, tapi
tidak akan mengubah pendirianku."
Aku mendesah. Tampaknya untuk menjadi pemimpin
yang baik, kita juga harus tahu kapan saatnya mengaku
kalah. Kurasa aku juga perlu mengeluarkan batu Xitharis dari
Petiku.
Nomor Sembilan menemani kami turun dengan lift
ke garasi. Aku tahu dia masih kesal, apalagi setelah tahu
Sarah juga ikut dalam misi ini.
"Tabletnya kami tinggalkan di sini untuk berjaga-jaga
kalau-kalau ada yang salah sehingga kau perlu melacak
kami," kataku kepadanya. "Semoga Nomor Lima diam di sana
cukup lama. Kalau kami tidak menemukannya begitu tiba di
Arkansas, kami akan memberi kabar."
~61~
"Oke, oke," sahut Nomor Sembilan sambil melirik ke
arah Sarah. "Yang kau lakukan ini makin tidak mirip misi
penyelamatan, tapi tamasya bersama dua gadis cantik,"
gerutuNomorSembilan.
Sarah memutar bola mata. Aku memelototi Nomor
Sembilan. "Sama sekali bukan begitu. Kau tahu kami
memburuhkanmudisini,kalau-kalauadaapa-apa."
"Yah, aku ini cadangan," dia mendengus. "Johnny,
apakah aku harus mengencanimu supaya dibawa ikut dalam
misi?"
Sarah mengedipkan sebelah mata. "Itu mungkin
membantu."
NomorSembilanmemandangku."Idih,nggak level!"
Nomor Enam dan Bernie Kosar sudah menunggu
kami di bawah. Nomor Sembilan menunjukkan deretan
mobil yang Sandor koleksi, dan akhirnya menarik terpal dari
sebuah Honda Civic perak. Mobil yang paling tidak
mentereng dibandingkan koleksi Sandor lainnya. Kami tidak
mau menarik perhatian yang tak perlu saat di jalan. BK
langsung melompat ke tempat duduk penumpang, tak sabar
inginpergi.
"Mobil ini kencang," Nomor Sembilan menjelaskan.
"Sandor sudah mendandani semua mobil ini kalau-kalau
kamiharusburu-burupergi."
"Adanitronya?" tanyaSarah.
"Apayangkau tahu soal nitro, Cantik?" jawab Nomor
Sembilan.
Sarah mengangkat bahu. "Aku nonton Fast and
Furious, jadi aku tahu cara kerjanya. Aku ingin sekali
menyetirsesuatuyangsangatkencang."
"Yah, oke," kata Nomor Sembilan sambil tersenyum
lebar ke arahku. "Mungkin pacarmu ini ada gunanya, Dik
John."
~62~
Sementara Nomor Sembilan memperlihatkan kendali
yang ada di Civic itu kepada Sarah, aku menghampiri Nomor
Enam yang berdiri di bagasi dan memasukkan barang-barang
kami. Aku masih kaget Sarah ikut bersama kami, dan
menyalahkan Nomor Enam karenanya.
"Kau marah kepadaku," katanya sebelum aku sempat
berkata-kata.
"Kuharap lain kali kau memberitahuku bahwa kau
mengajak pacarku ikut serta dalam misi berbahaya."
Nomor Enam mengerang, membanting bagasi hingga
menutup, lalu berjalan mengitariku. "Aduh, John. Yang ingin
ikut itu Sarah. Dia bisa berpikir sendiri."
"Aku tabu dia bisa," sahutku sambil berbisik karena
tak ingin Sarah mendengar. "Nomor Sembilan juga ingin ikut.
Kita harus memikirkan yang terbaik untuk semua."
"Kau tak mau Sarah merasa dia itu beban, kan? Ini
cara yang bagus untuk menunjukkan bahwa dia itu bukan
beban."
"Sebentar. Beban?" Aku teringat percakapanku
dengan Sarah di Aula Kuliah. Persis kata itulah yang Sarah
gunakan. "Kau menguping?"
Nomor Enam tampak agak merasa bersalah karena
ketahuan, tapi juga semakin berang kepadaku, sorot matanya
membara. "Terus kenapa? Saat itu kukira akhirnya kau
punya nyali untuk menceritakan tentang kejadian di antara
kita waktu itu kepadanya."
"Kenapa aku harus melakukannya? !" bentakku
sambil berusaha agar suaraku tetap pelan.
"Karena semakin lama kau menundanya, rasanya jadi
makin aneh, dan aku muak! Karena Sarah layak?"
Kata-kata Nomor Enam terputus raungan Civic
karena Sarah menekan pedal gas. Nomor Sembilan mundur
dari jendela di sisi pengemudi, tampak senang menyaksikan
~63~
cara Sarah menginjak pedal gas. Sarah melongok keluar dari
jendela untuk memandang ke arah aku dan Nomor Enam
yang berdiri di belakang mobil.
"Kalian ikut tidak?"
~64~
8 P
ENTHOUSE TERASA SEMAKIN LUAS SETELAH JOHN,
Nomor Enam, dan Sarah pergi. Aku masih terkagum-kagum
melihat tempat yang cukup besar untuk menampung seluruh
biara Santa Teresa ini. Meski sadar ini konyol, aku selalu
berhati-hati saat berjalan di apartemen karena merasa
menjadi pengganggu bagi timbunan kekayaan Nomor
Sembilan dan Cepannya.
Ubin di kamar mandi Nomor Sembilan ada
pemanasnya?menghangatkan dan mengeringkan kaki saat
keluar dari kamar mandi. Aku ingat, dulu aku sering duduk di
tempat tidur sambil mencabuti serpihan kayu dari kaki
setelah berjalan di lantai kayu Santa Teresa yang tidak rata.
Aku bertanya-tanya bagaimana pendapat Hector tentang
tempat ini, lalu aku tersenyum. Kemudian, aku bertanya
tanya akan jadi seperti apa diriku seandainya Cepanku bukan
Adelina, melainkan Sandor--wali yang suka pamer tapi
berdedikasi, royal dalam membeli barang tapi tidak
mengabaikan tugasnya. Itu memang pikiran yang tidak ada
gunanya, tapi aku tak dapat mencegah diriku
memikirkannya.
Meski demikian, seandainya aku tidak terkurung
begitu lama di Santa Teresa, aku tak akan pernah bertemu
dengan Ella. Aku tak akan pernah pergi ke pegunungan
bersama Nomor Enam dan bertemu Nomor Delapan.
Pada akhirnya, semua kesulitan itu membuahkan
hasil yang setimpal.
Aku menahan kuap dengan punggung tangan.
Semalam kami tidak tidur nyenyak karena begitu
bersemangat menemukan Nomor Lima. Seharusnya tadi
malam aku tidur di kamar Ella untuk membangunkan anak
itu jika mimpi buruknya parah sekali. Sebenarnya, kurasa
~65~
Ella tidak tidur sedikit pun saat rapat maupun saat
menemani Nomor Sembilan mengawasi titik tanda Nomor
Lima. Tampaknya bagi Ella menghabiskan waktu bersama
Nomor Sembilan lebih baik daripada tidur. Andai aku tahu
apa yang harus kulakukan untuk membantu anak itu, tapi
Pusaka penyembuhku tidak berfungsi di dunia mimpi.
Aku menemukan Ella meringkuk di kursi di ruang
duduk apartemen. Nomor Sembilan tidur berselonjor di sofa
di dekatnya sambil mendengkur keras dan memegang pipa
logam pendek, yang dapat berubah jadi tongkat panjang yang
digunakannya dengan efisien dan mematikan. Pasti dia
mengambil benda itu dari Peti saat mengira mungkin John
akan membawanya dalam misi itu. Nomor Sembilan
memeluk tongkat itu seperti memeluk boneka beruang,
mungkin sambil bermimpi membasmi Mogadorian.
"Kau juga perlu tidur," bisikku.
Ella memandangku, lalu menatap Nomor Sembilan.
"Sembilan bilang, dia mau istirahat sebentar sebelum
menunjukkan teknik menghajar orang kepadaku."
Aku terkekeh. Lucu rasanya mendengar Ella meniru
gaya bicara Nomor Sembilan.
"Ayolah, latihannya kan bisa nanti."
Nomor Sembilan menggerutu dalam tidurnya lalu
berbalik, mengubur wajahnya di bantal-bantal sofa. Perlahan
Ella berdiri, lalu kami mengendap-endap keluar dari
ruangan.
"Aku suka Sembilan," ujar Ella saat kami berjalan
menyusuri koridor. "Dia tidak memedulikan apa-apa."
Dahiku berkerut. "Maksudnya?"
"Dia tak pernah bertanya bagaimana keadaanku atau,
yah, mengkhawatirkanku. Dia cuma melontarkan lelucon
dan membiarkanku berjalan di bahunya melintasi langit
langit."
~66~
Aku tertawa, tapi juga merasa agak terluka. Kami
semua mencemaskan Ella, berusaha membuatnya mau
bercerita tentang Crayton--aku masih harus melakukan yang
John minta dan menyelidiki isi surat itu---tapi Nomor
Sembilan menghalau semua keresahan Ella dengan sekali
kibas .
"Kami mengkhawatirkanmu," kataku.
"Aku tahu," sahut Ella. "Tapi kadang-kadang rasanya
lebih enak kalau aku tak perlu memikirkannya."
Mungkin ini saat yang tepat untuk membujuk Ella
seperti permintaan John. "Cepanku, Adelina, sepanjang
waktu berusaha untuk tidak memikirkan takdirnya?takdir
kita. Namun, pada akhirnya dia tak punya pilihan. Dia harus
menghadapinya."
Ella tidak berkata apa-apa, tapi dari wajahnya yang
merengut, aku tahu dia memikirkan kata-kataku itu.
Aku berbelok menjauh dari area kamar tidur dan
kembali ke ruang kerja Sandor. Aku berdiri di dekat tablet,
mengawasi titik-titik tanda Nomor Empat dan Nomor Enam
merayap pelan menuju titik tanda Nomor Lima yang diam di
Arkansas.
"Kau mencemaskan mereka?" tanya Ella.
"Sedikit," jawabku meski tahu mereka akan baik
baik saja. Setelah bertemu Nomor Sembilan pun aku masih
merasa Nomor Enam itu Loric paling tangguh dan paling
berani. Sementara itu, Nomor Empat ternyata seperti yang
Nomor Enam gambarkan?pemuda yang baik, pemimpin
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kami butuhkan, walaupun terkadang aku tahu dia
merasa tidak mampu melakukannya.
"Kuharap Nomor Lima itu laki-laki," Ella
mengumumkan. "Jumlah laki-laki di sini tak cukup buat
kita."
Aku ternganga sejenak dan kemudian tergelak. "Kau
~67~
menjodoh-jodohkan kita semua, Ella?"
Dia mengangguk sambil menatapku jail. "John
dengan Sarah, pastinya. Lalu, kau dengan Nomor Delapan."
"Sebentar," aku menyela, "di antara aku dan Delapan
tidak ada apa-apa."
"Ssst," Ella memotong, lalu melanjutkan, "dan saat
dewasa nanti, aku akan menikah dengan Nomor Sembilan.
Nah, jadi Nomor Enam dengan siapa?"
"Siapa yang menikah?"
Nomor Delapan berdiri di ambang pintu di belakang
kami dengan wajah dihiasi senyum memesona. Sejak kapan
dia di sana? Aku dan Ella berpandangan kaget, lalu tertawa.
"Oke," kata Nomor Delapan sambil beringsut ke arah
tablet, "jangan beri tahu aku."
Bahu kami bergesekan saat dia lewat dan aku tidak
menyisih. Aku masih memikirkan ciuman nekat yang
kulakukan di New Mexico. Sepanjang hidupku, itu mungkin
tindakan paling berani yang pernah. kulakukan. Sayangnya,
sejak itu kami tak pernah melakukannya lagi. Kami memang
sering mengobrol, saling bercerita tentang masa-masa ketika
kami dalam pelarian, juga membandingkan potongan ingatan
kami tentang Lorien, tapi belum ada saat yang tepat untuk
lebih dari itu.
"Mereka lambat sekali, ya?" Nomor Delapan
berkomentar sambil mengamati Nomor Empat dan Nomor
Enam yang bergerak ke selatan.
"Kan jauh," jawabku.
"Baguslah," katanya sambil tersenyum lebar, "kita
jadi punya waktu."
Nomor Delapan mengenakan kaus bertuliskan
Chicago Bulls dan celana jins biru. Dia mundur, lalu memberi
isyarat pada pakaiannya, seakan meminta pendapat dariku
dan Ella.
~68~
"AkusudahmiriporangAmerika,belum?"
"Kauyakinkitabolehmelakukannya?"
Aku merasa gugup, sementara lift meluncur turun
dari penthouse ke lobi. Nomor Delapan berdiri di sampingku
nyarismelonjak-lonjak kegirangan.
"Kitasudahberhari-haridisinitanpapernahmelihat
lihat kota," katanya. "Aku ingin melihat Amerika, bukan
cumamarkasmiliteratauapartemen."
"Tapi bagaimana kalau ada sesuatu yang terjadi saat
kitapergi?"
"Kita pasti sudah pulang sebelum mereka sampai di
Arkansas. Mereka tidak akan mengalami apa-apa selama
menuju ke sana. Kalaupun iya, Ella akan menggunakan
kemampuantelepatinyauntuk memanggilkitapulang."
Aku memikirkan Nomor Sembilan yang masih tidur
nyenyak di sofa saat aku dan Nomor Delapan mengendap
endap melewatinya. Ella yang sudah duduk bergelung di
samping Nomor Sembilan lagi memandangi kami pergi
sambiltersenyumpenuhrahasiakearahku.
"Sembilan bakal marah begitu tahu kita tidak di sana
saatdiabangun."
"Memangnya dia itu apa? Pengasuh kita?" Nomor
Delapan tergelak riang sambil mengulurkan tangan untuk
mengguncang bahuku. "Santai sedikitlah. Beberapa jam ke
depanini,kitajadituris."
Menatap ke bawah dari jendela apartemen Nomor
Sembilan tidak cukup memberikan gambaran betapa
padatnya jalanan di pusat Kota Chicago. Kami keluar ke
bawah sinar tengah hari dan langsung dihantam bisingnya
suara orang-orang dan deru klakson mobil-mobil. Keadaan
ini membuatku teringat pasar di Spanyol, tapi seribu kali
lipat lebih berisik. Aku dan Nomor Delapan sama-sama
~69~
mendongak dan berusaha mereguk pemandangan gedung
gedung yang menjulang di atas kami. Kami berjalan dengan
pelan, menyebabkan orang-orang yang melewati kami
melemparkan tatapan jengkel.
Keadaan di luar sini agak terlalu ramai bagiku. Semua
orang dan kebisingan ini lebih daripada yang biasa kuhadapi.
Tanpa sadar, aku menyelipkan tangan ke siku Nomor
Delapan demi memastikan kami tidak terpisah atau tersesat
di antara kerumunan orang. Dia tersenyum kepadaku.
"Kita ke mana?" tanyanya.
"Ke sana," kataku sambil menunjuk ke satu arah
secara asal.
Kami tiba di tepi danau. Suasana di sini jauh lebih
tenang. Para manusia yang berjalan-jalan di tepi Danau
Michigan sama seperti kami?tidak terburu-buru menuju
suatu tempat. Sebagian dari mereka duduk di bangku dan
menikmati makan siang, sementara sebagian lain bersepeda
atau berlari pelan melewati kami, berolahraga. Tiba-tiba, aku
merasa kasihan kepada orang-orang ini. Keadaan saat ini
begitu genting, tapi mereka sama sekali tidak
mengetahuinya.
Nomor Delapan menyentuh lenganku lembut.
"Dahimu berkerut."
"Maaf," kataku sambil memaksakan diri tersenyum,
"cuma berpikir."
"Jangan," dia pura-pura galak melarangku, "kita
cuma keluar buat jalan-jalan. Bukan masalah besar."
Aku berusaha menyingkirkan pikiran suram dan
murung, berusaha bersikap layaknya turis menuruti kata
Nomor Delapan. Danau itu jernih dan indah, sejumlah kapal
berlayar santai melintasi permukaannya. Kami berjalan
santai melewati patung-patung dan kafe luar ruangan.
Nomor Delapan menikmati semuanya, berusaha mereguk
~70~
sebanyak mungkin budaya setempat, dan dengan riang
berusaha membuatku tertarik.
Kami berdiri di depan benda perak besar yang mirip
persilangan antara parabola dan kentang yang baru separuh
dikupas. "Aku yakin karya manusia ini sebenarnya
dipengaruhi oleh seniman besar Loric, Hugo Von Lore,"
Nomor Delapan berkomentar sambil mengusap dagu dengan
serius.
"Ngarang!"
Nomor Delapan mengangkat bahu. "Aku cuma
berusaha jadi pemandu yang baik."
Sikap santainya itu menular, dan sebentar kemudian,
aku sudah ikut dalam permainan mengarang kisah konyol di
balik berbagai landmark yang kami lewati. Saat tersadar
bahwa kami sudah satu jam lebih di tepi danau, aku merasa
bersalah.
"Kurasa sebaiknya kita pulang," aku membujuk
Nomor Delapan karena merasa telah melalaikan kewajiban
kami, walaupun tahu tidak ada yang dapat kami lakukan
selain menunggu.
"Sebentar," katanya sambil menunjuk ke satu arah.
"Lihat!"
Karena Nomor Delapan berbisik, aku mengira bakal
melihat pengintai Mogadorian yang sedang menguntit kami.
Aku mengikuti arah yang ditunjuknya, tapi ternyata hanya
melihat lelaki tua gemuk di balik gerobak makanan yang
menjual "Hot Dog Khas Chicago" dan sedang menyerahkan
makanan itu kepada pelanggannya. Hot dog itu diselimuti
acar, irisan tomat, dan bawang Bombay, yang nyaris tak
tertampung dalam rotinya.
"Baru kali ini aku melihat benda sebesar itu," Nomor
Delapan berkomentar.
Aku terkekeh, dan saat perutku sekonyong-konyong
~71~
berbunyi, aku jadi tergelak-gelak "Sepertinya enak," kataku
akhirnya.
"Apakah aku pernah bilang aku ini vegetarian?"
tanya Nomor Delapan sambil melemparkan tatapan pura
pura jijik ke arahku. "Tapi kalau kau menginginkan hot dog
ala Chicago yang berantakan dan mengerikan itu, aku akan
memenuhinya. Aku belum sempat mengungkapkan rasa
terima kasihku dengan benar."
Nomor Delapan mengayunkan kaki menuju penjual
hot dog itu, tapi aku meraih lengannya dan menariknya. Dia
tersenyum lebar ke arahku.
"Berubah pikiran?"
"Apa maksudmu belum mengungkapkan rasa terima
kasih dengan benar?" aku bertanya. "Terima kasih untuk
apa?"
"Karena sudah menyelamatkan nyawaku sewaktu di
New Mexico. Kau mematahkan ramalan itu, Marina. Setra kus
Ra menusukkan pedangnya menembus tubuhku dan kau?
kau menghidupkanku kembali."
Mau tak mau, aku merona dan menunduk
memandangi kakiku. "Itu bukan apa-apa."
"Bagiku, itu segala-galanya."
Aku mendongak sambil tersenyum menggoda seperti
yang biasa dilakukannya. "Kalau begitu, kurasa aku layak
mendapatkan yang lebih daripada sekadar hot dog
menjijikkan itu."
Nomor Delapan memegang dada dengan sikap
seakan-akan aku telah melukainya. "Kau benar! Bodoh sekali
aku karena berpikir nyawaku ini dapat ditukar dengan hot
dog." Dia meraih tanganku, lalu berlutut sambil
menempelkan dahinya ke punggung tanganku.
"Penyelamatku, bagaimana caraku membalas budimu?"
Meski malu, mau tak mau, aku tertawa juga. Aku
~72~
melemparkan tatapan malu kepada orang-orang di sekeliling
kami, yang sebagian besar tersenyum ingin tahu menatap
kelakuan Nomor Delapan. Pasti di mata mereka, kami ini
seperti dua remaja pada umumnya, bercanda dan juga
merayu.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menarik Nomor Delapan berdiri lalu, sambil
terus memegang tangannya, berjalan ke tepi danau. Matahari
berkedip di seberang danau sana. Memang danau ini
bukanlah Taut seperti namaku, tapi tetap saja indahnya.
"Berjanjilah kita akan terus seperti kataku kepada
Nomor Delapan.
Dia meremas tanganku. "Aku berjanji."
Aku dan Nomor Delapan pulang ke apartemen
dengan perut kenyang setelah menyantap pizza Chicago
yang berlemak. Nomor Empat dan Nomor Enam baru akan
tiba di Arkansas berjam-jam lagi, dan Ella tidak mengirimkan
panggilan darurat secara telepati. Segala sesuatunya masih
seperti saat kami pergi.
Kecuali Nomor Sembilan, yang sudah bangun dan
berdiri begitu dekat dengan pintu lift sehingga kami hampir
menubruknya saat keluar dari lift.
Dia tidak beranjak sedikit pun saat kami masuk ke
apartemen. Dia hanya berdiri dengan mata melotot sambil
menyilangkan lengan di dada. "Kalian berdua dari mana?"
"Ya, ampun," kata Nomor Delapan sambil beringsut
melewati badan Nomor Sembilan yang kekar, "sudah berapa
lama kau berdiri di sini menunggu kami? Apa kakimu tidak
pegal?"
"Kami cuma keluar sebentar," aku menjelaskan
kepada Nomor Sembilan, dengan perasaan sedikit malu dan
takut. Aku teringat saat kepergok menyelinap masuk ke
asrama setelah jam malam, dan sesaat membayangkan
~73~
Nomor Sembilan akan memukul tanganku dengan penggaris.
"Apakah semua baik-baik saja?"
"Semua baik-baik saja," hardik Nomor Sembilan,
lebih memusatkan perhatiannya kepada Nomor Delapan
daripada aku. "Kalian tak boleh berkeliaran di kota tanpa
memberitahuku."
"Kenapa tidak?" bantah Nomor Delapan.
"Karena itu bodoh," gerutu Nomor Sembilan. Aku
tahu dia sibuk berpikir, seakan-akan dia berusaha
memikirkan kata-kata lain, "karena itu tidak bertanggung
jawab dan ceroboh. Karena itu tolol."
"Cuma beberapa jam," Nomor Delapan membantah
sambil memutar bola mata. "Jangan menguliahiku seperti
Cepan."
Agak lucu juga melihat Nomor Sembilan begitu
marah karena kami melanggar aturan, terutama mengingat
cerita Nomor Empat saat mereka bersama. Anehnya,
kemarahan Nomor Sembilan ini juga mengharukan,
Tingkahnya memang seperti orang urakan yang tak bisa
diatur, tapi saat bangun dan menyadari kami tidak ada, dia
benar-benar mencemaskan kami.
Aku menyentuh lengan Nomor Sembilan, berusaha
meredakan emosinya. "Maaf, kami sudah membuatmu
khawatir."
"Aku tidak khawatir," gerutunya sambil
menyentakkan lengan dariku, lalu mengitari Nomor Delapan
lagi. "Kau pikir aku menguliahimu? Mungkin aku perlu
menunjukkan seperti apa kuliah yang kudapatkan dulu,
waktu aku masih bocah dungu yang pongah."
Nomor Delapan menggoyang-goyangkan jarinya ke
arah Nomor Sembilan, membuatnya semakin marah.
Biasanya tingkah lucu Nomor Delapan itu menghibur, tapi
kali ini aku berharap dia berhenti bercanda. Nomor Sembilan
~74~
melangkah ke dekat Nomor Delapan. Hidung mereka pastilah
beradu seandainya Nomor Delapan sedikit lebih tinggi.
Nomor Delapan tidak mundur. Dia tetap tersenyum seakan
akan semua ini tidak serius.
"Ayo," kata Nomor Sembilan pelan, "aku sudah
melihatmu main tepuk-tepukan dengan Nomor Enam di Aula
Kuliah. Kau belum berlatih denganku."
Nomor Delapan melirik arloji khayalan di
pergelangan tangannya. "Okelah. Aku masih punya waktu."
Nomor Sembilan tersenyum, lalu menoleh ke arahku.
"Kau juga, Suster Marina. Pacarmu bakal membutuhkanmu."
~75~
9 A
KU AKAN MENGGEMBLENG KALIAN SAMPAI JAGO,"
Nomor Sembilan mengumumkan. "Dengan begitu, kalau ada
misi lagi, kita tak akan ditinggal."
Aku dan Nomor Delapan berdiri berdampingan di
Aula Kuliah, menatap Nomor Sembilan berjalan mengitari
kami sambil menilai, seperti seorang instruktur militer. Aku
merasa ingin memutar bola mataku, dan aku tahu Nomor
Delapan sedang menahan tawa. Namun, sebenarnya aku
merasa bersalah karena menyelinap keluar bersama Nomor
Delapan. Lagi pula, aku yakin tak ada salahnya berlatih.
Selain itu, kupikir Nomor Sembilan masih kesal karena tidak
dibawa serta dalam misi penyelamatan Nomor Lima, dan
sepertinya dia benar-benar serius dengan Iatihan ini. Aku
memutuskan untuk mengikuti keinginannya.
"Kecuali kalau kalian lebih suka jadi pemain
cadangan? Kalian lebih suka jalan-jalan dan makan pizza,
sementara yang lain pergi membunuh Setrakus Ra?" hardik
Nomor Sembilan yang berdiri di depan kami sambil melotot.
"Tidak, Pak," aku menjawab, berusaha serius. Nomor
Delapan langsung terbahak.
Nomor Sembilan mengabaikan Nomor Delapan dan
memusatkan perhatiannya ke arahku. "Kemampuan
penyembuh dan melihat dalam gelap. Cuma itu?''
"Aku dapat bernapas di air," tambahku.
"Oke," kata Nomor Sembilan sambil menilai
Pusakaku, "mungkin suatu saat nanti akan ada Pusaka yang
bagus untuk bertarung. Mungkin juga tidak. Kurasa kalau
bukan karena kau, kami pasti sudah mati. Aku tabu, Johnny
juga punya kemampuan penyembuh, tapi kurasa dia cuma
menyembuhkan pacarnya, jadi kami masih
membutuhkanmu. Karena itu, kita harus melatih kecepatan
~76~
dan ketangkasanmu sehingga kalau salah satu dari kita
terluka, kau mampu mencapainya. Selain itu, mungkin
kemampuan penyembuhmu akan, yah, berubah entah jadi
apa kalau kita sering melatihnya."
Aku kaget karena apa yang Nomor Sembilan katakan
itu masuk akal. Namun, ada satu hal yang menggangguku.
"Bagaimana cara kita melatih kemampuan penyembuhku?"
Nomor Sembilan menyunggingkan senyuman
mengerikan, senyuman yang akan membuatku sangat
ketakutan jika kami berada di pihak yang bermusuhan. "Oh,
nanti juga kau tahu. Nah, kalau kau," katanya sambil
mengalihkan tatapan kepada Nomor Delapan, "saat pertama
kali bertemu, kupikir kau boleh juga. Sayang sekali, kau
langsung menyarungkan pedang itu ke dadamu begitu
mendapat kesempatan. Pintar."
Wajah Nomor Delapan langsung mendung saat
teringat pertemuannya dengan Setrakus Ra. "Dia
mengelabuiku."
"Oh, ya?" sahut Nomor Sembilan. "Seingatku,
keinginanmu untuk merasakan--eh, memeluk---Nomor
Enam palsu, itulah yang menyebabkan kau ditikam. Apa kau
sering peluk-peluk orang saat berada di tengah
pertempuran? Pakai otak, dong!"
"Sepertinya saat ini kau butuh dipeluk," balas Nomor
Delapan sambil tersenyum licik.
Sebelum Nomor Sembilan menyadari apa yang
terjadi, Nomor Delapan berubah wujud menjadi Wisnu
bertangan empat, melompat ke depan, lalu memeluk Nomor
Sembilan erat-erat. Aku dapat melihat otot-otot leher dan
bahu Nomor Sembilan menegang saat Nomor Delapan
berusaha meremukkan tulang-tulangnya.
"Lepaskan," kata Nomor Sembilan dengan gigi
terkatup.
~77~
"Baik,Bos."
Nomor Delapan melakukan teleportasi sambil
membawa serta Nomor Sembilan dan muncul kembali di
dekat langit-langit, lalu melepaskannya. Karena bingung,
Nomor Sembilan tidak sempat menguasai diri dan jatuh
menghantam lantai dengan punggung terlebih dahulu.
Bahkan, sebelum Nomor Sembilan mendarat, Nomor
Delapansudahmunculkembalidisisiku.
"Ta-raaa ...," seru Nomor Delapan yang sudah
kembalikewujudnormal.
"Dia bakal makin marah," aku berbisik. Nomor
Delapancumamengangkatbahu.
Nomor Sembilan melompat berdiri, lalu
menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, melenturkan
lehernya.Diamengangguk,tampak cukupterkesan.
"Gerakanyangbagus," diamemuji.
"Mungkin seharusnya aku yang menggemblengmu,"
gurauNomorDelapan.
"Cobalagi."
Nomor Delapan mengangkat bahu, lalu berubah
wujud lagi. Dia memeluk Nomor Sembilan erat-erat seperti
tadi, kali ini dengan waspada, seakan-akan berpikir Nomor
Sembilanakanmelancarkanseranganbalasan. Aku yangjuga
mengira begitu, meringis menunggu Nomor Sembilan
menyikut muka Nomor Delapan. Anehnya, Nomor Sembilan
samasekalitidak melawan.
Nomor Delapan melakukan teleportasi ke langit
langit lagi. Namun kali ini, saat terlepas dari pelukan Nomor
Delapan, Nomor Sembilan langsung mengulurkan tangan ke
atas menyentuh langit-langit. Aku mual menyaksikannya.
Nomor Sembilan memanipulasi gravitasi sehingga dia
bukannya jatuh ke lantai, tapi justru berdiri di udara dengan
tangan menempel di langit-langit. Semua itu dilakukannya
~78~
dalam waktu tak lebih dari satu detik.
Nomor Delapan yang sudah lenyap dari langit-langit
muncul kembali di sampingku, seperti yang Nomor Sembilan
duga. Begitu Nomor Delapan muncul, Nomor Sembilan
langsung melontarkan diri dari langit-langit. Nomor Delapan
cuma punya waktu sekejap untuk menyadari Nomor
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sembilan tidak terbaring di lantai seperti yang
diperkirakannya. Seketika itu juga, kaki Nomor Sembilan
sudah bersarang di dada Nomor Delapan dan
menyebabkannya terjengkang.
Nomor Delapan bertumpu dengan siku, napasnya
terengah, sementara Nomor Sembilan berdiri di sampingnya
sambil berkacak pinggang.
"Mudah ditebak," komentar Nomor Sembilan.
"Kenapa kau berteleportasi ke tempat yang sama?"
Sebagai jawaban, Nomor Delapan terbatuk dan
menggosok dada. Nomor Sembilan mengulurkan tangan
untuk membantu Nomor Delapan berdiri.
"Ini tentang efek kejutan, Kawan," Nomor Sembilan
menjelaskan. "Kau harus membuat mereka menebak."
Nomor Delapan membuka kausnya. Dadanya sudah
dihiasi memar berbentuk kaki. "Sialan. Jadi begini rasanya
dihantam palu godam."
"Trims," kata Nomor Sembilan, yang kemudian
memandangku. "Tuh, latihan untukmu."
Aku menempelkan tanganku dengan lembut ke dada
Nomor Delapan. Perasaan dingin saat Pusakaku bekerja
membuat ujung jariku geli, lalu mengalir memasuki tubuh
Nomor Delapan. Cuma memar, gampang. Aku bahkan tak
perlu berkonsentrasi. Itu bagus, karena sulit rasanya
berkonsentrasi sambil menyentuh dada Nomor Delapan.
Kalau
begini yang namanya latihan, aku sanggup
~79~
menjalaninya.
"Terima kasih," kata Nomor Delapan saat aku
mundur.
Di seberang ruangan, Nomor Sembilan meraih salah
satu boneka Mogadorian latihan, lalu melemparkannya ke
lantai. Dia berdiri di dekat boneka itu sambil memandang
kami.
"Oke, jadi aturannya begini pura-puranya boneka ini
adalah?entahlah?Nomor Empat. Dia sering terluka, kan?
Nah, Nomor Empat terluka dan, Marina, kau harus mendekat
untuk melakukan sihirmu. Nomor Delapan, kau membantu
Marina."
"Kau sendiri bagaimana?" aku bertanya.
"Aku akan jadi Mogadorian ganteng luar biasa yang
menghalangimu."
Aku dan Nomor Delapan saling pandang. "Dua lawan
satu?" Nomor Delapan berkomentar. "Sepertinya gampang."
"Bagus," kata Nomor Sembilan sambil
memanjangkan tongkat, lalu memutar-mutarnya di atas
kepala dengan garang. "Kita lihat sejauh apa kemampuan
kalian."
Nomor Delapan mengulurkan tangan dan merangkul
bahuku sebentar. "Dia pikir kita akan langsung
menyerangnya," bisiknya.
Aku langsung memahami rencananya dan
mengangguk. "Kau cuma perlu menggunakan teleportasi
untuk membawa boneka itu kepadaku."
Nomor Delapan mengangkat sebelah tangan untuk
mengajakku "tos", lalu berputar menghadapi Nomor
Sembilan. "Siap?"
"Ayo!"
Nomor Delapan melangkah maju dan Nomor
Sembilan berjalan untuk menemuinya di tengah ruangan.
~80~
Setelah Nomor Sembilan meninggalkan boneka sejauh
beberapa meter, Nomor Delapan lenyap, lalu muncul
kembali di samping boneka tersebut. Nomor Sembilan
bukannya tidak memperhatikan apa yang Nomor Delapan
lakukan--dia tidak peduli. Dia berlari ke depan, lurus ke
arahku. Karena lengah dan sangat gugup melihat Nomor
Sembilan menyerbu ke arahku, aku mundur. Namun, dia
terlalu cepat.
Saat Nomor Delapan muncul kembali bersama
boneka, Nomor Sembilan sudah berdiri sambil menusukkan
ujung tongkatnya ke leherku.
"Pintar," katanya kepada Nomor Delapan. "Sekarang,
kau punya teman yang terluka dan penyembuh yang mati."
Karena tidak pernah dilatih seperti ini, aku merasa
ngeri melihat Nomor Sembilan yang menyerbu ke arahku.
Aku harus mengatasi perasaan itu. Nomor Enam pasti tak
akan membiarkan Nomor Sembilan menodongkan tongkat
ke leher. Aku harus membuktikan kepada mereka bahwa aku
sanggup melawan meskipun tidak punya Pusaka yang
berguna untuk menyerang.
Karena Nomor Sembilan sibuk memperhatikan
Nomor Delapan, aku menepiskan ujung tongkatnya dari
leherku.
"Belum, tuh," kataku sambil menerjang maju dan
menyarangkan tinju ke mulutnya. Sekonyong-konyong,
nyeri membakar mengaliri tangan dan pergelangan
tanganku.
Nomor Sembilan mundur selangkah, sementara
Nomor Delapan berseru senang sekaligus kaget. Nomor
Sembilan menyentakkan kepala kembali untuk
memandangku sambil tersenyum lebar dengan gigi berdarah.
"Bagus!" dia berseru riang. "Kau mulai mengerti!"
"Sepertinya ibu jariku patah," aku menjawab sambil
~81~
menunduk memandang buku jariku yang membengkak.
"Lain kali, ibu jarimu harus ada di luar saat meninju,"
ujar Nomor Delapan sambil mengepalkan tinju memberi
contoh.
Aku mengangguk, dengan sedikit kesal karena
melakukan kesalahan mendasar seperti itu, tapi juga agak
senang karena berhasil membuat Nomor Sembilan terkejut.
Tampaknya dia juga menghargai apa yang kulakukan, karena
sekarang dia menatapku dengan penuh hormat sambil
menyeka darah dari wajahnya. Aku menyentuh tanganku,
merasakan lagi sensasi sedingin es Pusakaku, yang kali ini
lebih dingin karena mengalir ke tanganku sendiri.
Nomor Sembilan memungut si boneka dan
melemparkannya kembali ke seberang ruangan. "Lagi! Siap?"
Aku dan Nomor Delapan berunding kembali.
"Mungkin aku perlu memperkenalkannya kepada teman
lama kita, Narasinga?"
"Yang mana itu?
"Banyak tangan, banyak cakar."
"Bagus juga," kataku. "Bikin dia sibuk, aku akan
menyerang dari samping."
Setelah selesai berunding, Nomor Delapan langsung
berubah wujud menjadi salah satu awatara raksasanya.
Wajahnya yang tampan meleleh, digantikan muka garang
dan surai emas singa. Tubuhnya meninggi sampai sekitar tiga
setengah meter, sepuluh tangan muncul dari samping
badannya, masing-masing dengan cakar setajam silet. Nomor
Sembilan bersiul.
"Gitu, dong," pujinya. "Salah satu orangtuamu, pasti
Chimaera. Mungkin ibumu."
"Lucu," sahut Nomor Delapan dengan suara
menggeram parau sesuai wujudnya.
Sementara Nomor Delapan berjalan mendekati
~82~
Nomor Sembilan, aku berdiri di belakangnya dan menunggu
kesempatan untuk menyerbu ke arah boneka. Nomor
Delapan berlari ke depan sambil mengayunkan semua
lengannya, menebas, memaksa Nomor Sembilan menunduk
dan menyingkir sambil menangkis dengan tongkat. Nomor
Sembilan memutar tongkat ke arah Nomor Delapan,
menahannya agar tidak mendekat sambil menunggu celah.
Saat Nomor Sembilan sibuk memperhatikan Nomor
Delapan sambil memutar tongkat untuk melakukan serangan
balasan, aku melihat kesempatan. Aku menggunakan
telekinesis untuk merebut tongkat Nomor Sembilan dari
tangannya. Karena tidak menduga itu, dia kehilangan
keseimbangan dan jatuh tepat ke cakar-cakar Nomor
Delapan yang sudah menanti. Dada Nomor Sembilan
tersayat, kausnya tercabik-cabik sampai compang-camping,
luka-lukanya cukup lebar sehingga perlu dijahit. Aku dan
Nomor Delapan bimbang melihat luka-luka itu.
"Aku tidak bermaksud melukaimu sampai separah
ini--," ajar Nomor Delapan, rasa sesalnya tidak terlalu
kentara karena keluar dari kepala singanya begitu
bergemuruh.
Namun, mata Nomor Sembilan malah berbinar.
"Tidak apa-apa!" serunya. "Lanjutkan!"
Baru kali ini, aku melihat orang yang begitu
bersemangat saat melihat darah sendiri.
Setelah berkata begitu, Nomor Sembilan berlari.
Nomor Delapan mengejar, tapi wujudnya yang sekarang
membuatnya lamban, sementara Pusaka kecepatan super
Nomor Sembilan membuatnya bergerak luar biasa cepat.
Nomor Sembilan melesat naik ke dinding terdekat, lalu
melompat ke arah Nomor Delapan yang sedang menerjang.
Dia berhasil mendarat tepat di punggung Nomor Delapan dan
mengaitkan sebelah lengan ke lehernya. Karena wujudnya
~83~
yang begitu besar, Nomor Delapan hampir tak mungkin
mengulurkan tangan ke belakang dan meraih Nomor
Sembilan, dan sepertinya memang itu yang Nomor Sembilan
rencanakan. Dengan tangannya yang bebas, Nomor
Sembilan mulai menghantamkan tinju ke Nomor
Delapan, menyasar telinga runcing yang menyembul dari
surai tebalnya.
Nomor Delapan meraung kesakitan seraya kembali
ke wujud normal. Dia meringkuk ditimpa Nomor Sembilan.
Sementara itu, karena Nomor Sembilan sibuk, aku
berlari ke arah boneka.
"Awas, Marina!" teriak Nomor Delapan.
Aku mendengar langkah Nomor Sembilan yang
bergedebuk di belakangku. Di belakang dan di atas. Aku
berguling ke samping tepat pada saat Nomor Sembilan
menukik dari langit-langit, melakukan tendangan lompat
seperti saat menyerang Nomor Delapan tadi. Karena gagal
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenaiku, Nomor Sembilan berguling dan mengambil
posisi di antara diriku dan si boneka.
Tongkat Nomor Sembilan hanya beberapa langkah
dari tempat kami. Saat dia mulai menyerbu ke arahku, aku
meraih tongkat itu menggunakan telekinesis, lalu
melontarkannya ke arah kepala Nomor Sembilan.
Tongkat menghantam bagian belakang kepala Nomor
Sembilan, menyebabkan dia terhuyung, sehingga aku punya
kesempatan untuk berlari melewatinya. Namun, dia segera
menguasai diri dan langsung mengejarku.
Dari sudut mataku, aku melihat Nomor Delapan
berhasil berdiri kembali walau goyah.
"Meluncur!" dia berseru.
Tanpa berpikir, aku menuruti perintahnya. Aku
meluncur di lantai seperti pemain bisbol. Aku melihat Nomor
Delapan mengayunkan tinju dan melakukan teleportasi di
~84~
tengah gerakan. Dia muncul kembali tepat di depanku. Aku
meluncur di antara kaki Nomor Delapan, sementara tinjunya
meluncur di atas kepalaku, menghantam telak rahang Nomor
Sembilan dan membuatnya langsung terjengkang karena
tiba-tiba disambut pukulan silang kanan seperti itu.
Aku merayap berdiri dan meraih si boneka,
meletakkan tangan di luka khayalan, lalu berseru. "Sembuh!"
Sesaat ruangan hening, hanya terdengar napas
tersengal kami bertiga. Nomor Delapan mengempaskan diri
duduk dan mengusap pelan sisi wajahnya. Aku melihat
telinganya yang bengkak serta lehernya yang lecet melepuh
akibat tinju Nomor Sembilan tadi. Ternyata luka yang
dideritanya saat menggunakan wujud lain terbawa ke tubuh
aslinya.
Nomor Sembilan berbaring terlentang sambil
mengerang. Dadanya yang tadi disayat Nomor Delapan luka
luka, matanya hitam memar, dan kurasa aku juga melihat
darah dari kepalanya yang kuhantam dengan tongkat. Tiba
tiba, erangannya berubah jadi gelak tawa.
"Keren banget" lolong Nomor Sembilan.
Walaupun dia seperti orang gila yang suka
kekerasan, mau tak mau, aku tersenyum dan sepakat
dengannya. Latihan barusan benar-benar keren. Memaksa
diriku melakukan yang seperti tadi dan bukan dalam situasi
hidup-mati rasanya begitu luar biasa.
"Wow," kata Nomor Sembilan sambil bangkit berdiri,
"aku tak bakal bisa menghindari tinju terakhir itu. Jurus
keren."
Nomor Delapan mendongakkan wajahnya yang
bengkak ke arah Nomor Sembilan. "Yeah. Aku berutang satu
tinju kepadamu. Atau, mungkin, sepuluh."
Aku berlutut di dekat Nomor Delapan untuk
menyembuhkan lukanya. Rasa dingin itu tidak lagi
~85~
mengejutkan, malahan terasa makin alami.
"Kenapa kau kembali ke wujud normal?" tanya
Nomor Sembilan sambil menyentuh luka di dadanya. "Singa
sialan itu lawan tangguh buatku."
"Aku harus benar-benar berkonsentrasi untuk
mempertahankan wujud itu," Nomor Delapan menjelaskan.
"Nana bisa aku konsentrasi kalau kepalaku dipukuli."
"Oke," ujar Nomor Sembilan sambil merenung.
"Sandor punya senjata yang tidak berbahaya, di suatu
tempat. Kau harus membiarkanku menembakimu, dengan
begitu kau bisa latihan mempertahankan konsentrasi."
"Oke," sahut Nomor Delapan datar, "sepertinya
asyik."
Karena wajah Nomor Delapan sudah kembali normal
tanpa memar, aku ganti menyembuhkan luka-luka Nomor
Sembilan. "Tahu tidak?" kataku kepadanya. "Kau benar
benar hebat dalam hal ini."
"Bertarung? Yeah, aku tahu."
"Bukan cuma bertarung. Kurasa, hmmm berpikir
tentang pertarungan."
"Menyusun strategi," kata Nomor Delapan
membantu. "Marina benar. Sepertinya aku tak mungkin
punya ide untuk melakukan tinju-teleportasi kalau kau tidak
memaksaku. Dan walaupun ditembaki itu terdengar
mengerikan, kurasa latihan itu ide bagus."
Nomor Sembilan membusungkan dada, lebih
daripada biasanya. "Wah, terima kasih kembali."
"Jangan sok," aku mewanti-wanti sambil mengamati
luka terakhir di dadanya menyatu di bawah jari-jariku.
Aku mendongak menatap Nomor Sembilan, tapi
ternyata matanya memandang melewatiku, menuju pintu
Aula Kuliah. "Hai, Ella," katanya, "apakah kami
membangunkanmu?"
~86~
Aku berbalik dan melihat Ella berdiri di pintu. Dia
mengenakan pakaian luar, baru kali ini aku melihatnya tidak
mengenakan piama atau salah satu atasan gombrong Nomor
Sembilan. Kupikir itu suatu kemajuan, tapi matanya merah
akibat menangis. Ella tidak menatap kami, pandangannya
tertumbuk ke lantai.
"Ada apa, Ella?" tanyaku seraya mendekat. "Aku?
aku cuma mau mengucapkan selamat tinggal," sahut Ella.
"Aku mau pergi."
"Enak saja," sahut Nomor Sembilan. "Hari ini tak ada
yang boleh jalan-jalan lagi."
Ella menggeleng, menyebabkan rambutnya berayun
di sekeliling wajah. "Bukan. Aku harus pergi. Dan aku tak
akan kembali."
"Kau kenapa?" aku bertanya. Lalu aku melihatnya.
Tergenggam erat di tangan Ella, kusut karena diremas-remas,
ada selembar kertas. Surat dari Crayton.
"Aku bukan bagian dari kalian," bisik Ella dengan air
mata yang kembali mengaliri pipinya.
~87~
10
Ella yang kusayangi,
Kalau kau membaca ini, sepertinya yang kutakutkan
sudah terjadi. Ketahuilah, aku menyayangimu seperti anak
sendiri. Aku tidak pernah ditugaskan untuk menjadi
Cepanmu. Peran itu dipercayakan kepadaku pada malam
saat planet kita kalah, dan aku sama sekali tidak di
persiapkan atau dilatih untuk menjadi Cepan. Meski
demikian, aku tidak akan mau menukarkan saat-saat
bersamamu dengan hal lain, baik di Lorien maupun di Bumi.
Kuharap aku sudah melakukan yang terbaik untukmu. Aku
tahu kau ditakdirkan untuk hal-hal besar.
Kuharap suatu hari nanti, kau dapat memahami apa
yang kulakukan dan kebohongan yang kusampaikan
kepadamu, serta mau memaafkan aku.
Saat kau masih kecil, aku berbohong kepadamu. Tak
lama kemudian, kebohongan itu menjadi banyak
kebohongan lain, lalu kebohongan-kebohongan itu menjadi
hidup kita. Maafkan aku, Ella. Aku ini pengecut.
Kalian bersepuluh, sepuluh Garde yang selamat dari
serangan terhadap Lorien, tapi kau bukan Nomor Sepuluh.
Kau bukan bagian dari rencana para Tetua untuk
menyelamatkan ras Loric, dan karena itulah kau tidak
dikirim ke Bumi bersama yang lain. Karena itulah, kau tidak
memiliki goresan luka seperti Marina ataupun Nomor Enam.
Kau tidak dilindungi Mantra Loric.
Para Tetua tidak memilihmu. Ayahmulah yang
melakukannya.
Kau berasal dari salah satu keluarga paling tua dan
terpandang. Kakek buyutmu adalah salah satu dari sepuluh
Tetua yang memimpin dunia kita. Ini sebelum planet kita
mencapai potensi puncaknya, sebelum orang-orang kita
~88~
mengetahui kekuatan Lorien dan dianugerahi Pusaka karena
hidup selaras dengan planet tersebut. Saat itu, planet kita
yang masih muda berada di persimpangan, terjepit di antara
keinginan untuk melakukan pembangunan besar-besaran
dan kebutuhan untuk melindungi hal-hal yang alami serta
menyokong kehidupan.
Itu merupakan era kematian, periode yang masih
diselubungi banyak pertanyaan, bahkan bagi para
sejarahwan hebat kita. Pada era kegelapan, perang
berkecamuk di antara para Loric. Banyak Loric yang mati
dalam konflik sia-sia tersebut, tapi pada akhirnya pasukan
perdamaian menang. Era baru di Lorien pun terbit?era
keemasan, saat itulah kau dilahirkan, dan era itu juga yang
diakhiri oleh para Mogadorian dengan brutal.
Kakek buyutmu adalah salah satu korban Perang
Tersembunyi, konflik antara bangsa Mogadorian dan Lorien
yang ditutup-tutupi oleh pemerintah kita demi
mempertahankan ilusi utopia Lorien.
Karena masih muda, ayahmu, Raylan, menjadi
terobsesi dengan perang tersebut. Setelah perang berakhir,
saat para Tetua yang selamat berkumpul kembali, mereka
mengurangi jumlah mereka menjadi sembilan dan bukan
sepuluh seperti semula. Ayahmu yakin tempat kosong di
antara para Tetua itu seharusnya dimiliki oleh keluargamu.
Tetua kita tidak dipilih berdasarkan silsilah atau keturunan,
tapi ayahmu tetap yakin bahwa entah bagaimana sejarah
menzalimi keluargamu.
Obsesi itu membuatnya menjadi pria yang getir serta
penuh rasa curiga, dan Raylan pun menjadi penyendiri. Dia
membangun rumah jauh di pegunungan?yang lebih pantas
disebut benteng daripada rumah. Dia juga memelihara
banyak Chimaera untuk menemaninya.
Aku dipekerjakan untuk mengurusi hewan-hewan
~89~
buas ayahmu itu. Dia tidak memedulikan apa pun, selain
riwayat keluarganya dan hewan-hewan miliknya.
Sampai akhirnya dia bertemu ibumu.
Erina adalah Garde, yang ditugaskan oleh para Tetua
untuk mengawasi ayahmu. Banyak yang percaya bahwa
ayahmu merupakan ancaman bagi para Loric. Namun, Erina
melihat hal yang berbeda dalam diri ayahmu. Dia melihat
seorang pria yang dapat diselamatkan dari dirinya sendiri.
Ibumu wanita yang cantik. Kau semakin lama
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin mirip dengannya. Pusakanya berupa kemampuan
terbang serta Elecomun, kemampuan untuk mengendalikan
aliran listrik. Ibumu biasa terbang di atas rumah ayahmu, lalu
menampilkan suatu pemandangan menakjubkan, seperti
kembang api dari petir.
Ay
ahmu tidak memercayai Erina dan secara terang
terangan mempertanyakan alasannya datang ke pegunungan
itu. Namun, setiap madam ayahmu pergi ke halaman rumah
untuk menonton ibumu terbang bersama Chimaera.
Salah satu Pusaka ayahmu adalah kemampuan untuk
mengendalikan spektrum cahaya. Mungkin itu Pusaka yang
konyol?seperti Aeturnusmu?tapi banyak kegunaannya.
Dia dapat membuat keadaan di sekeliling musuhnya menjadi
gelap sehingga mereka tidak dapat melihat. Atau mengubah
warna kilat yang dibuat ibumu. Ibu dan ayahmu sering
bermain-main dengan Pusaka itu saat mereka bersama.
Warna oranye dan merah muda terang membelah langit
madam. Untuk pertama kalinya, sejak bertahun-tahun,
ayahmu bersenang-senang.
Mereka jatuh cinta dan tak lama kemudian menikah.
Lalu, kau lahir.
Sebagai seorang Garde, Erina memiliki banyak
teman. Mereka datang berkunjung serta disambut oleh
orangtuamu. Sekarang mereka sudah tiada.
~90~
Lalu, para Mogadorian datang. Planet kita jadi lautan
api.
Saat menyendiri dulu, ayahmu mengoleksi banyak
relik yang dulunya adalah milik keluargamu. Dia
menghabiskan banyak uang untuk memperbaiki pesawat
ruang angkasa tua berbahan bakar minyak yang diyakininya
digunakan oleh kakek buyutmu pada perang Loric terakhir.
Saat Erina pindah ke rumah itu, dia meyakinkan ayahmu
untuk menyumbangkan sebagian besar benda-beda itu ke
museum, termasuk pesawat tersebut. Ketika Mogadorian
datang, yang pertama-tama mereka lakukan adalah
menghancurkan bandara kita dan memutus semua sarana
pelarian. Ayahmu langsung teringat pesawat tua yang dia
sumbangkan ke museum.
Sementara para Loric lain bertempur melawan invasi
Mogadorian, ayahmu merencanakan pelarian. Entah
bagaimana, dia tahu kita akan kalah.
Ibumu tidak mau pergi. Dia bersikeras mereka harus
ikut bertarung. Ayah dan ibumu bertengkar, itu
pertengkaran mereka yang paling sengit.
Kau adalah hasil dari kompromi mereka. Raylan
berjanji untuk tinggal asalkan kau boleh dilarikan. Aku masih
ingat wajah ibumu yang dibanjiri air mata saat menciummu
untuk terakhir kalinya. Ayahmu menyerahkanmu ke
pelukanku dan aku diperintahkan untuk lari ke museum.
Chimera peliharaan Raylan ikut bersama kita, mengawal kita,
banyak dari mereka yang tewas di sepanjang jalan.
Begitulah caraku menjadi Cepanmu.
Saat pesawat kita lepas landas, aku menyaksikan
planet kita mati dari jendela pesawat. Aku merasa, aku ini
pengecut. Aku baru berhenti merasa malu saat melihatmu,
Ella, dan melihat apa yang diselamatkan oleh kepengecutan
itu.
~91~
Yang terjadi sudah terjadi. Kau bukanlah bagian dari
rencana para Tetua. Namun itu bukan berarti kau tidak
berharga sebagai seorang Loric, ataupun seorang Garde.
Nomor tidak berarti apa-apa. Kau mampu melakukan hal-hal
besar, Ella. Kau itu pejuang. Aku tahu, satu hari nanti kau
akan membuat para Loric bangga.
Aku menyayangimu.
Dari pelayan setiamu,
Crayton
Aku berhenti membaca keras-keras dan menurunkan
surat Crayton dengan tangan gemetar serta mata berkaca
kaca. Aku tidak dapat membayangkan seperti apa rasanya
saat identitasku direnggut begitu saja dariku. Semua orang
terdiam, termasuk Nomor Sembilan. Yang terdengar hanya
isak pelan Ella yang memeluk tubuhnya sendiri.
"Kau masih bagian dari kami," aku berbisik
kepadanya. "Kau seorang Loric."
Ella mulai tersedu, tersedak kata-kata yang tercurah
dari mulutnya. "Aku?aku ini gadungan. Aku tidak seperti
kalian. Aku ini cuma putri seorang Loric kaya yang dilarikan
dari planet karena ayahnya aneh."
"Itu tidak benar," Nomor Delapan merangkul Ella
menenangkan.
"Aku tidak dipilih," Ella menangis. "Aku bukan?
semuanya bohong.
Nomor Sembilan mengambil surat itu dari tanganku
dan memandangnya sekilas. "Terus kenapa?" katanya acuh
tak acuh.
Ella memandangnya dengan mata membelalak.
"Terus kenapa?"
"Mantranya sudah tak berfungsi," lanjut Nomor
Sembilan. "Nomor itu tidak penting. Kau boleh jadi Nomor
~92~
Sepuluh. Kau juga boleh jadi Nomor Lima Puluh Empat. Itu
tak ada artinya. Peduli amat dengan nomor!"
Nomor Sembilan terdengar tidak berperasaan,
menepiskan apa yang bagi Ella merupakan masalah besar.
Ella tercenung. Aku tidak yakin dia mendengar kata-kata
Nomor Sembilan.
"Maksud Nomor Sembilan itu," Nomor Delapan
menyela, "tidak masalah bagaimana caramu sampai di sini.
Kita mungkin terbang ke sini dengan pesawat yang berbeda,
tapi itu bukan berarti kita tidak sama."
"Sialan," gerutu Nomor Sembilan, "andai saja ada
lebih banyak Loric egois seperti ayahmu. Kita bakal punya
satu pasukan."
Aku melempar pandangan penuh arti ke arah Nomor
Sembilan sehingga dia mengangkat tangan dan memberi
isyarat mengunci mulutnya. Meski cara Nomor Sembilan
begitu serampangan, tampaknya kami bertiga berhasil
menenangkan Ella. Tangisannya memelan dan, setelah
beberapa saat, dia menjatuhkan tas yang dikemasnya dengan
terburu-buru ke lantai.
"Aku bingung karena Crayton tak ada," dia berbisik
parau kepadaku. "Dia meninggal dengan keyakinan bahwa
dirinya adalah pengecut karena tak pernah mengatakan yang
sebenarnya kepadaku. Padahal?padahal dia bukan
pengecut. Dia itu baik. Andai aku dapat menyampaikan itu
kepadanya."
Kata-kata Ella melirih. Leherku basah terkena air
mata karena dia menangis lagi. Jadi ini masalah yang
sebenarnya. Ternyata, masalahnya bukanlah tentang apa
yang Ella ketahui mengenai dirinya, walaupun aku yakin itu
mengejutkan. Tapi mengenai apa yang diketahuinya tentang
Crayton. Aku membelai rambut Ella, membiarkannya
menangis.
~93~
"Setiap hari aku berharap masih bisa mengobrol
denganCepanku," ujarNomorDelapanpelan.
"Akujuga," NomorSembilanmenimpali.
"Rasanya tetap saja berat," Nomor Delapan
melanjutkan. "Namun kita harus terus. Memenuhi harapan
mereka. Crayton benar, Ella. Suatu hari nanti, kau akan
membuatparaLoric bangga."
Ella memelukku dan Nomor Delapan. Kami
berpelukan seperti itu selama beberapa waktu. Kemudian,
Nomor Sembilan mendekat dan menepuk punggung Ella
dengan canggung, menyebabkan Ella menengadah
memandangnya.
"Cumaituyangbisakaulakukan?"
Nomor Sembilan mengembuskan napas dengan gaya
dramatis."Oke,oke...."
Dia mengulurkan lengan dan memeluk kami bertiga
erat-erat sampai-sampai kami terangkat dari lantai. Nomor
DelapanmengerangdanEllatertawasekaligusterengah. Aku
sendiri merasa remuk, tapi tak urung bibirku tersenyum
juga. Aku bertatapan dengan Ella dan aku tahu dia sangat
menyukaimomenini.
~94~
11
TENGAH HARI, KAMI MELINTASI MISSOURI YANG jaraknya
hanya beberapa jam dari Arkansas. Ternyata, perlu waktu
lebih lama untuk keluar dari Chicago dari yang kami
perkirakan. Mobil canggih Nomor Sembilan tidak dilengkapi
peralatan mata-mata super untuk menyingkirkan
kemacetan. Mulanya, aku gugup melihat cara Sarah menyetir
yang selalu berpindah jalur dan terlalu mepet di belakang
mobil lain. Tapi kemudian, aku radar semua pengemudi lain
juga begitu. Sepertinya beginilah cara mengemudi di kota
besar.
Setelah meninggalkan Chicago, jalanan pun lengang.
Di kanan maupun kiri kami hanya ada ladang gandum. Kami
melesat kencang melewati truk gandeng yang bergemuruh,
bahkan tanpa perlu menggunakan nitro yang sudah Sandor
pasang. Hal terakhir yang kami butuhkan saat ini adalah
dihentikan polisi karena mengebut. Aku yakin namaku masih
ada dalam daftar pencarian orang meski kami tidak punya
SIM yang dapat dicek oleh polisi, yang sebenarnya juga
berpotensi menimbulkan masalah. Saat kembali ke Chicago
nanti, aku harus mengecek apakah Sandor meninggalkan
alat-alat pemalsu. Kami memerlukan identitas palsu.
"Pernah coba membuat mobil jadi tak terlihat?"
tanya Sarah kepada Nomor Enam yang tak banyak bicara
sejak kami berangkat. Dia sedang berselonjor di kursi
belakang sambil memangku Bernie Kosar. "Maksudku, saat
ini, kan kau menyentuhnya."
"Hmmm," sahut Nomor Enam sambil menegakkan
tubuh, "belum."
"Jangan," aku melarang, mungkin dengan nada yang
agak terlalu keras. "Bisa-bisa nanti ada yang menabrak kita."
"Terima kasih, John. Kalau kau tidak mengingatkan,
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
~95~
pasti aku sudah membuat mobil yang sedang melaju dengan
kecepatan seratus kilometer per jam ini lenyap di depan
umum. Untung kau ada di sini untuk mengingatkanku dan
menjaga Sarah agar tidak ngebut."
Aku membuka mulut untuk membalas serta berkata
bahwa dia itu ceroboh dan tindakannya tidak dapat ditebak
?seperti mengajak pacarku turut serta dalam misi
berbahaya?tapi kemudian mengurungkannya saat
menyadari Sarah memandangku dengan alis terangkat.
Sepertinya dia heran mendengar cara Nomor Enam bicara.
Tampaknya dia merasa bahwa aku dan Nomor Enam sedang
bersitegang sejak kami berangkat dari Chicago. Karena tak
ingin menjelaskan, aku hanya mengangkat bahu dan tidak
membahasnya.
Nomor Enam benar. Aku memang selalu mengecek
kecepatan kami. Setiap kali Sarah menginjak pedal gas
dengan kuat, aku menepuk pelan kakinya sehingga dia
menurunkan kecepatan sambil melemparkan tatapan sedih
ke arahku, seakan-akan ingin mengatakan bahwa dia tidak
bersalah dan justru mobil ini yang ingin dilajukan kencang
kencang. Mungkin seharusnya aku tidak terlalu mengekang
dan membiarkan Sarah meluncur kencang tanpa
memedulikan akibatnya. Mungkin itulah yang akan Nomor
Enam dan Nomor Sembilan lakukan.
Setiap saat, aku takut goresan baru muncul
membakar kakiku. Bagaimana kalau para Mogadorian
menemukan Nomor Lima sebelum kami, hanya karena aku
melarang Sarah melaju kencang?
Pikiran-pikiran semacam inilah yang membuatku
susah tidur selama beberapa hari terakhir?tidak hanya
tentang Nomor Lima, tapi juga tentang memimpin kelompok
kami. Sekeras apa pun upayaku untuk berpikir, aku tidak
mungkin menyusun rencana untuk setiap masalah.
~96~
Seandainya sifatku seperti Nomor Sembilan, ini pasti jauh
lebih mudah. Aku bisa langsung pergi begitu saja dan
menghantam barang-barang.
Lalu, di atas itu semua, tiba-tiba ada masalah dengan
Nomor Enam yang terjadi cuma gara-gara satu ciuman
konyol.
Rasanya saat ini tidak ada satu aspek pun dalam
hidupku yang tidak membuatku kewalahan.
Kami berhenti di pom bensin di Missouri. Nomor
Enam mengisi bensin untuk menyibukkan diri. Bernie Kosar
berjalan santai di tempat parkir sambil mengeridus trotoar
dan meregangkan kaki. Aku dan Sarah berjalan ke toko
untuk membeli beberapa botol air dan membayar bensin.
Saat baru setengah jalan melintasi tempat parkir, tiba-tiba
dia berhenti.
"Hei," katanya, "mungkin sebaiknya kau bicara
dengan Nomor Enam."
Aku mengerjap memandangnya, kaget. Aku menoleh
ke belakang ke arah Nomor Enam yang sedang mengisi
bensin sambil marah-marah. Dia menusukkan ujung selang
ke tangki bensin seakan-akan sedang menikam Mogadorian.
"Kenapa?"
"Kalian jelas sedang marahan, entah karena apa,"
kata Sarah. "Selesaikanlah."
Karena tidak tahu harus berkata apa, aku cuma
berdiri dengan bingung. Aku tidak dapat bercerita kepada
Sarah mengapa aku dan Nomor Enam bertengkar karena,
pertama, aku bahkan tidak yakin kami bertengkar dan,
kedua, karena itu melibatkan hubungan kami. Saat ini aku
tidak ingin membahasnya, terutama karena ada hal lain yang
lebih perlu kami khawatirkan.
Sarah tidak menanggapi sikap diamku dan justru
tersenyum kecil sambil menyuruhku pergi menemui Nomor
~97~
Enam. "Ayolah. Kau dan Enam harus membereskan masalah
kalian."
Dia benar, tentu saja. Kami tidak dapat membiarkan
rasa canggung di antara aku dan Nomor Enam mengganggu
misi ini.
Nomor Enam menyipitkan mata mengawasiku
mendekat. Dia menghantamkan pompa bensin itu kembali ke
tempatnya. Kami saling pandang dari samping mobil.
"Kita perlu bicara," kataku.
"Sarah yang menyuruhmu ke sini, kan?"
"Dengar, aku tahu kau tidak suka dia?"
"Sebentar, John," dia menyela. "Aku suka Sarah. Dan
dia mencintaimu."
Aku memandangi Nomor Enam, berusaha memahami
maksudnya. "Oke. Aku mengerti kau marah kepadaku karena
kita belum membicarakan apa yang perlu kita bahas sejak
pergi ke Chicago. Apalagi karena ada Sarah, rasanya jadi
aneh."
"John, aku marah bukan karena waktu itu kita
berciuman, lalu sekarang kau kembali ke pacarmu. Dulu
kukira aku menyukaimu, John. Maksudku, lebih dari sekadar
teman biasa. Tapi kemudian, aku dimasukkan ke sel itu
bersama Sarah dan melihat caranya membicarakan dirimu.
Lalu, sekarang aku melihat kalian berdua setiap hari. Apa pun
perasaan di antara aku dan kau saat kita melarikan diri
waktu itu, perasaan itu tidak seperti apa yang kau dan Sarah
miliki. Menyaksikan kalian berdua hampir membuatku
memercayai omong kosong Henri bahwa Loric itu cuma
jatuh cinta satu kali seumur hidup."
Aku mengangguk, setuju dengan kata-katanya. Yang
diucapkannya itu benar, tapi aku tidak tahu harus bereaksi
seperti apa. Mungkin sebaiknya aku diam saja.
"Kurasa," Nomor Enam melanjutkan, "aku merasa *
~98~
bersalah karena menciummu saat kau masih pacaran dengan
Sarah."
"Kalau ini bisa jadi alasan," kataku, "waktu itu kita
mengira dia mengadukan kita kepada pemerintah."
"Itu juga pertama kalinya kita, sebagai Garde, saling
bertemu. Begitu rasa senang itu usai, kau selalu ingin kembali
kepada Sarah, kan?"
"Bukan begitu, Enam. Aku tidak berpikir jauh ke
depan, atau mengambil kesempatan, atau apalah." Aku
terkenang saat berjalan bersama Nomor Enam di bawah
sinar bulan sambil berpegangan tangan agar kami tak
terlibat. "Ketika kita bersama, aku tak tahu apakah pernah
merasa senyaman itu saat bersama orang lain. Saat itu aku
merasa bisa jadi diri sendiri,"
Sesaat, suara Nomor Enam yang keras terdengar
agak sedih. "Yah, aku juga begitu."
"Tapi dengan Sarah berbeda," kataku dengan lembut.
"Aku mencintainya. Sekarang, aku lebih yakin dengan
perasaanku itu."
Nomor Enam menepukkan tangan seolah
menyatakan masalah telah selesai. "Bagus. Nah, kita lupakan
saja masalah itu. Aku dan kau cuma teman. Kau dan Sarah
adalah pasangan yang berbahagia. Aku oke dengan itu.
Masalah cinta segitiga konyol ini bikin aku ingin muntah."
"Enam ...," aku tak tahu harus berkata apa. Dia seperti
memutuskan hubungan, atau berusaha mengusirku.
"Tidak, dengar," potongnya, "aku minta maaf karena
mengganggu hubunganmu dengan Sarah. Apakah kau akan
bercerita kepadanya tentang kejadian waktu itu atau tidak,
kaulah yang menentukan. Aku tidak peduli. Aku cuma ...," dia
menoleh ke arah toko, tempat Sarah keluar, "saat aku
dilemparkan ke sel itu bersamanya, lalu mendengar cara
Sarah bicara tentang dirimu?dia berkorban begitu banyak
~99~
demi bersamamu, John. Pada dasarnya, dia mempertaruhkan
nyawanya untukmu. Mungkin aku terlalu usil dan ikut
campur, tapi aku ingin memastikan kau siap menjalaninya."
"Aku berusaha untuk itu," kataku kepada Nomor
Enam dan berbalik untuk melihat Sarah mendekat. Nomor
Enam benar. Aku tahu Sarah mengorbankan kehidupannya
yang normal demi bersamaku, menantang maut. Aku
mencintainya, tapi aku belum tahu bagaimana cara
menjaganya, sekaligus membiarkannya terlibat dalam
kehidupanku yang kacau. Aku mungkin tidak akan tahu
bagaimana caranya. Namun saat ini, keberadaannya di sini
bersamaku sudah cukup.
Nomor Enam memanggil Bernie Kosar dan mereka
kembali duduk di kursi belakang. Sarah berhenti di depanku
dengan alis terangkat.
"Beres?"
Tiba-tiba, aku merasakan dorongan untuk
memeluknya, jadi aku melakukan itu. Dia memekik kaget
dan aku mengecup pipinya. Sarah membalas pelukanku.
"Beres," kataku.
Saat meninggalkan pom bensin, gantian aku yang
mengemudi. BK merayap ke pangkuan Sarah, lalu menepuk
jendela sehingga Sarah membukanya. Mobil langsung
dibanjiri udara musim semi yang sejuk. BK mengulurkan
kepala ke luar dan menjulurkan lidah. Sepertinya, baik
Chimaera maupun anjing senang merasakan angin berembus
meniup muka, sementara mobil meluncur kencang di jalan.
Udara segar juga terasa menyenangkan bagiku. Aku
tidak tahu apakah urusanku dengan Nomor Enam sudah
beres, tapi aku merasa lebih baik setelah berbicara
dengannya. Setidaknya, sekarang aku tahu di mana posisiku.
Suasana dalam mobil berubah, ketegangan di antara kami
bertiga lenyap sudah. Aku merasa santai dan bersandar ke
~100~
kursi sambil melihat tanda kilometer berlalu.
Sarah menepuk kakiku dengan lembut. "Terlalu
kencang."
Aku tersenyum malu dan menurunkan kecepatan.
Sarah mengulurkan lengan ke luar jendela, lalu meluruskan
tangan sehingga dia seakan-akan sedang berselancar
melawan arus angin. Rambut pirang Sarah berkibar kencang
ke wajahnya. Dia tampak cantik.
Sesaat, aku berpura-pura hanya berdua dengannya
sedang menuju suatu tempat yang asyik dan normal. Aku
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih percaya suatu saat itu akan terwujud. Karena kalau
aku tidak percaya, tak ada alasan untuk terus berjuang.
Sarah membalas tatapanku. Aku yakin dia membaca
pikiranku.
"Aku tahu kita sedang dalam misi penting," kata
Sarah, "tapi bagaimana seandainya saat ini kita sedang jalan
jalan, seperti orang normal? Kau mau ke mana?"
"Hmmm," aku berpikir. Dalam fantasiku, aku dan
Sarah tidak punya satu tujuan pasti. Semobil bersamanya
sudah cukup, "begitu banyak pilihan ...."
Sebelum aku menjawab, Nomor Enam yang duduk di
kursi belakang mencondongkan tubuh ke depan. "Aku tidak
terlalu memperhatikan karena kami sibuk berlari dan
bertarung, tapi Spanyol kelihatannya tempat cukup
menarik."
Sarah tersenyum lebar. "Sejak dulu aku ingin ke
Eropa. Orangtuaku jalan-jalan ke sana selepas kuliah. Mereka
berkenalan di sana."
"Jadi, kau juga mau ke Eropa?" aku bertanya kepada
Sarah.
"Ya," sahutnya. "Kurasa masih ada tempat-tempat
yang ingin kulihat di Amerika. Tapi ditawan pemerintah
bikin aku kecewa."
~101~
"Itu sangat disayangkan," aku menyepakati sambil
terkekeh.
Sarah menoleh ke arah Nomor Enam. "Kita bisa ke
Eropa sama-sama. Yah, kalau kau tidak terlalu sibuk
memulihkanplanetmu."
Sarah begitu bersemangat sehingga mau tak mau
Nomor Enambalastersenyum. "Sepertinya asyik." "Aku mau
kesitu," katakukepadaSarahsambilmemegangtangannya.
"Eropa?"
"Lorien."
"Oh," sahut Sarah dengan agak sedih sehingga aku
terkejut.Akuberusahamenjelaskan.
"Aku ingin memperlihatkan Lorien yang kulihat
dalam visiku kepadamu. Lorien yang biasa Henri ceritakan
kepadaku."
Aku melihat. Nomor Enammendelik ke arahku lewat
kaca spion. "Bukan begitu cara mainnya," katanya. "Pilih
tempat yang bisa kau datangi tanpa perlu membuat pesawat
ruangangkasa."
Aku berpikir sejenak. "Apa, ya? Disney World?"
NomorEnamdanSarahsalingpandang,lalutertawa.
"Disney World?" Nomor Enam berseru. "Seleramu
jelek,John."
"Tidak, itu manis," bela Sarah menepuk tanganku.
"ItutempatpalingajaibdiBumi."
"Tahu tidak? Aku belum pernah naik roller coaster.
Henri tidak suka taman hiburan. Aku cuma bisa melihat
iklannyadansejak duluinginkesana."
"Kasihan sekali!" seru Sarah. "Kita pasti akan
membuatmu sampai di Disney World. Atau paling tidak naik
rollercoaster.Asyik,lho!"
Nomor Enam menjentikkan jari. "Kalau yang itu apa
namanya,ya?Yangbentuknyamiriproketruangangkasa?"
~102~
"Spacemountain," jawabSarah.
"Itu dia," sahut Nomor Enam, yang kemudian
bimbang sejenak seolah takut terlalu banyak bicara, "aku
ingat waktu kecil dulu, aku pernah menyelidikinya lewat
internet. Dengan ngototnya, aku bilang kepada Katarina
bahwaituadakaitannyadengankami."
Membayangkan Nomor Enam yang masih kecil
menyelidiki Disney World benar-benar lucu. Kami bertiga
tergelak.
"Dasar alien," gumam Sarah. "Kalian perlu lebih
seringjalan-jalan."
~103~
12
HARI SUDAH MALAM SAAT KAMI MELINTASI
PERBATASAN Arkansas. Untung kami tahu letak tempat
yang kami tuju. Sejak tiga puluh kilometer yang lalu, papan
papan iklan sudah tampak. Muka Monster Boggy Creek yang
besar dan berbulu mengundang kami mengunjungi satu
satunya Monster Mart di Kota Fouke. Kami sudah dekat.
Karena jalan tiga lajur yang kami susuri lengang, aku
melanggar aturan yang kubuat dan mulai memacu mobil.
Sarah melongok dari jendela, membaca ke salah satu
rambu arah Monster Mart yang sudah usang. "Beberapa kilo
lagi," katanya pelan.
"Siap?" tanyaku yang merasakan kekhawatiran pada
suaranya.
"Semoga," sahutnya.
Aku meminggirkan mobil tepat sebelum berbelok ke
gerbang Kota Fouke. Tempat ini bukan tempat tujuan wisata
yang ramai, melainkan lebih mirip kota kecil tempat
persinggahan para wisatawan yang bosan untuk berfoto dan
ke kamar kecil.
"Mungkin sebaiknya mulai sekarang kita jalan kaki,"
kataku sambil melirik ke arah Nomor Enam. "Kita perlu
menghilang."
Nomor Enam mengangguk. "Setuju."
Kami keluar dari mobil, kemudian berjalan
memasuki hutan gelap yang memisahkan jalan antarnegara
bagian dari kota tersebut. Bernie Kosar meregangkan kaki
sejenak sebelum berubah wujud menjadi burung gereja, lalu
mendarat di bahuku dan menunggu perintah.
"Kati duluan, BK," kataku. "Periksa di depan sana ada
apa."
Sementara BK membubung ke kegelapan malam,
~104~
kami bertiga bersiap-siap. Aku memasang gelang perisaiku
ke pergelangan tangan. Perasaan geli menyakitkan saat
mengenakan benda itu memang tidak kusukai, tapi aku
merasa lebih aman saat memakainya. Kemudian, aku
menyelipkan belatiku ke belakang celana. Melihatku, Sarah
ikut mengeluarkan pistol dari ransel dan menyelipkan benda
itu ke pinggang celana jinsnya. Semua fantasi tentang
tamasya beberapa jam yang lalu lenyap. Saatnya bertindak.
Kami masuk ke hutan, sinar redup dari Kota Fouke satu
kilometer di depan sana terlihat dari balik pepohonan. Sarah
meraih dan memegang lenganku.
"Menurutmu apakah kita bakal bertemu Monster
Boggy Creek?" tanyanya dengan mata membelalak pura-pura
ngeri. "Dari gambarnya, monster itu mirip sekali dengan
Bigfoot. Mungkin kita bisa berteman."
Nomor Enam menatap hutan di sekeliling kami
dengan waspada. "Bukan monster dari cerita rakyat konyol
itu yang kucemaskan."
"Lagi pula," aku menambahkan, berusaha meredakan
ketegangan demi Sarah, "buat apa Bigfoot jika sudah ada
Nomor Sembilan yang menunggu kita di Chicago?"
Seperti Nomor Enam, aku juga mencari tanda-tanda
adanya perangkap Mogadorian di hutan itu. Suasana di
tempat ini hening mencekam, ranting-ranting mati yang
berderak di bawah kaki kami terdengar bagaikan ledakan
kembang api. Kuharap kami sampai di tempat Nomor Lima
lebih dulu daripada para Mogadorian, semoga mereka tidak
secepat kami dalam menebak maksud teka-teki Nomor Lima.
Di pergelangan kakiku belum ada goresan luka baru, dan
kota kecil di depan kami tampaknya tidak dilahap si jago
merah akibat pertempuran. Sepertinya itu pertanda baik.
Namun, kami tetap harus waspada. Entah apa yang
menunggu kami di depan sana.
~105~
Saat kami sudah dekat dengan kota tersebut, Nomor
Enam mengulurkan tangan ke arah kami. Sarah melepaskan
lenganku supaya dapat memegang tangan Nomor Enam.
Seandainya ada waktu, aku ingin memeluk Sarah sebentar
demi menenangkannya. Setelah kami masing-masing
memegang tangan Nomor Enam, dia membuat kami jadi tak
terlihat. Kami berjalan.
Saat sudah berada di tengah hutan, dengan jalan tol
jauh di belakang kami, aku melihat BK meluncur berputar
putar di antara pepohonan.
Di bawah sini, kataku kepadanya lewat telepati.
Aku melepaskan tangan Nomor Enam agar BK dapat
melihat kami. Dia mengepak turun dan berubah wujud
menjadi bajing begitu menyentuh tanah.
"BK bilang di depan ada laki-laki," kataku kepada
mereka. "Tidak ada tanda-tanda masalah."
"Bagus. Ayo, jalan."
Aku meraih tangan Nomor Enam dan kami pun
bergegas sehingga sebentar kemudian sudah keluar dari
hutan dan masuk ke Kota Fouke yang kecil. Kota ini hanya
persinggahan sementara. Jalan yang berhubungan dengan
jalan antarnegara bagian terus memanjang ke arah timur.
Aku melihat sejumlah rumah kecil di arah timur dan
menduga itu pusat kotanya. Saat ini kami berada di tepi kota,
tempat para pelancong berbelok untuk mampir dan
beristirahat. Di dekat kami ada dua pom bensin dan di
seberang jalan ada kantor pos. Semua jendela tampak gelap.
Setiap bangunan ditutup dan dikunci karena sudah malam.
Kemudian, tampaklah Monster Mart itu.
Apa yang tertera di papan-papan iklan saat menuju
kota ini benar-benar berlebihan. Monster Mart sebenarnya
curna toko dengan kaus Monster Boggy Creek dan topi yang
dipajang di etalase. Daya tarik utama tempat itu adalah
~106~
patung kayu Monster Boggy Creek setinggi tiga setengah
meter, berupa binatang berbulu yang sepertinya merupakan
campuran manusia, beruang, sekaligus gorila. Dari jarak
sejauh ini pun, aku dapat melihat sebagian besar patung itu
ditutupi kotoran burung.
"Di sana!" Sarah berbisik penuh semangat.
Aku juga melihatnya. Di bawah patung ada seorang
pemuda yang sedang duduk bertopang kaki. Dia
mengeluarkan sandwich dari kertas minyak dengan ekspresi
bosan. Di sampingnya ada ransel, tapi aku tak melihat tandaThe Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanda adanya Peti Loric. Aku berharap dia membawa Peti
karena dengan begitu, aku dapat mengenalinya dengan
mudah. Namun, itu berarti Mogadorian juga dapat
mengenalinya dengan mudah.
Aku mulai melangkah, tapi Nomor Enam diam di
tempat tanpa melepaskan tanganku.
"Ada apa?" aku berbisik.
"Entahlah," sahutnya pelan. "Dia di luar sini
sendirian? Tampaknya terlalu mudah. Seperti perangkap."
"Mungkin," kataku sambil memandang berkeliling
lagi dengan ragu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, selain
kami dan pemuda di dekat patung itu. Kalau para
Mogadorian sedang berbaring menunggu, mereka benar
benar pintar bersembunyi.
"Mungkin dia beruntung," bisik Sarah. "Maksudku,
dia menyembunyikan dirinya lebih lama dibandingkan
kalian."
"Bagaimana kita tahu dia itu benar-benar seperti
yang diakuinya?" lanjut Nomor Enam.
"Cuma ada satu cara untuk mengetahuinya,"
jawabku.
Aku melepaskan tangan Nomor Enam dan
menyeberangi jalan.
~107~
Aku tidak berusaha menyembunyikan kedatanganku.
Pemuda itu langsung melihatku begitu aku menjauh dari
Nomor Enam dan berada di bawah sinar kuning lampu jalan.
Dia menjatuhkan rotinya dan langsung melompat berdiri
sambil memasukkan tangan ke saku. Sesaat kukira dia akan
mengeluarkan semacam senjata untuk menyerangku dan aku
merasakan Lumenku mulai memanas sebagai reaksi. Namun,
ternyata dia hanya mengeluarkan dua bola kecil dari
sakunya, yang satu bola karet, sementara yang lain bola besi
padat. Dia memutar-mutar kedua bola itu di tangan sambil
memandangiku yang mendekat dengan waspada. Mungkin
itu cuma semacam tindakan tanpa sadar karena gugup.
Aku berhenti beberapa meter di depannya. "Halo."
"Eh, halo," sahutnya.
Dari jarak sedekat ini, akhirnya aku dapat melihat
calon Nomor Lima kami dengan baik. Dia kira-kira sebaya
denganku, lebih pendek dan gempal, tak bisa dibilang gemuk,
tapi tubuhnya besar. Rambutnya cokelat pendek, dipangkas
ala tentara. Dia mengenakan salah satu kaus konyol Monster
Boggy Creek dan celana jins gombrong.
"Kau menungguku?" tanyaku karena tidak ingin
muncul, lalu serta-merta bertanya apakah dia itu Loric. Bisa
jadi dia cuma anak desa aneh yang makan roti lapis sendirian
malam-malam.
"Entahlah," jawabnya. "Coba lihat kakimu."
Aku diam sejenak, lalu menunduk dan mengangkat
kaki celanaku. Dia mengembuskan napas lega saat melihat
goresan di kakiku, lalu mengangkat jinsnya dan
menunjukkan goresan serupa di kakinya. Dengan kecepatan
tangan laksana tukang sulap, kedua bola tadi menghilang ke
dalam saku dan Nomor Lima bergerak maju sambil
mengulurkan tangannya yang sekarang kosong.
"Aku Nomor Lima," dia memperkenalkan diri.
~108~
"Nomor Empat," jawabku. "Teman-teman memanggilku
John."
"Namamanusia," katanya. "Wah, akubahkantak bisa
mengingatnamakusakingbanyaknya."
Kami berjabat tangan. Dia meremas tanganku kuat
kuat saking senangnya. Sesaat, kukira dia tak akan
melepaskan tangannya, jadi aku berdeham dan berusaha
menarik tanganku.
"Maaf," katanyasambil melepaskantangankudengan
canggung. "Aku terlalu senang. Sudah lama aku menunggu
saat ini. Aku tidak yakin ada yang melihat pesanku. Bikin
crop circle itu tak mudah, kau tahu? Aku tak mau
melakukannyalagi."
"Ya, itu bukan ide yang bagus," kataku. Aku kembali
memandang berkeliling, khawatir sewaktu-waktu para
Mogadorianmuncul. Aku mendengar bunyi jangkrik di dekat
kami dan juga bunyi mesin dari jalan raya. Bukan sesuatu
yang harus diwaspadai, tapi tetap saja rasa takut ini tak
dapatkuenyahkan.
"Bukan ide yang bagus?" kata Nomor Lima dengan
penuh semangat. "Tapi kau menemukanku! Ideku itu
berhasil.Apakahakumelakukansesuatuyangsalah?"
Nomor Limatampak begituinginmenyenangkanhati
orang, seakan-akan menungguku memuji tindakannya
membakar ladang. Sepertinya dia tidak berpikir bahwa
tindakannya itu dapat menarik perhatian yang tak
diinginkan, dan aku rasa itu naif sekali. Mungkin aku terlalu
cepat menilai, tapi menurutku dia lemah. Kurang gaul. Atau
mungkin aku yang terlalu sering berada di sekitar Loric
tangguh,sepertiNomorEnamdanNomorSembilan.
"Sudahlah," kataku kepadanya, "tak perlu dipikirkan.
Kitaharuspergi."
"Oh," gumamnya dengan wajah sedih. Dia
~109~
mengalihkan pandangan dariku dan menatap berkeliling.
"Cuma ada kau? Tadinya kupikir mungkin kau sudah
bertemu dengan yang lain."
Seakan diberi aba-aba, Nomor Enam dan Sarah
muncul di sampingku sehingga Nomor Lima terlonjak ke
belakang dan nyaris jatuh menimpa ransel.
Nomor Enam melangkah ke depan. "Aku Nomor
Enam," katanya tanpa basa-basi. "John ini terlalu baik untuk
memberitahumu bahwa kau bisa mati gara-gara membuat
crop circle itu. Itu ide konyol. Untung kami yang duluan
sampai di sini."
Nomor Lima mengernyit memandang Nomor Enam,
lalu ke arahku. "Wah, maaf. Aku tidak bermaksud bikin
masalah. Aku cuma?aku tak tahu harus apa."
"Tak apa," kataku sambil mengangguk menunjuk
ranselnya. "Ambil barangmu. Kita bisa membahasnya sambil
jalan."
"Kita ke mana?"
"Kami akan membawamu ke para Garde lainnya,"
kataku. "Sekarang kita semua sudah berkumpul. Saatnya
melawan."
"Kalian semua sudah berkumpul?"
Aku mengangguk. "Kau yang terakhir."
"Waduh," ujar Nomor Lima dengan raut wajah agak
malu, "maaf, aku telat datang ke pestanya."
"Ayo," kataku sambil mengayunkan tangan ke
ranselnya sekali lagi, "kita benar-benar harus pergi."
Nomor Lima membungkuk dan meraih ranselnya,
lalu melihat Sarah yang dari tadi hanya berdiri diam. "Kau
nomor berapa?"
Sarah menggeleng. "Cuma Sarah," katanya sambil
tersenyum.
"Sekutu manusia," Nomor Lima menarik napas
~110~
sambil geleng-geleng. "Kawan-kawan, aku benar-benar tak
menyangka."
Nomor Enam melemparkan tatapan heran ke arahku.
Aku juga merasakan yang sama. Mungkin ini karena kami
sering bertempur dan menyerempet maut, tapi rasanya
Nomor Lima terlalu santai. Seharusnya saat ini juga kami
sudah pergi meninggalkan tempat ini, tapi dia malah ingin
mengobrol di sini.
"Dengar," hardik Nomor Enam, "kita tidak bisa diam
di sini sambil mengobrol. Mereka bisa da?"
Kata-kata Nomor Enam terputus karena tiba-tiba
terdengar raungan bising di atas kami. Bunyi yang bukan
berasal dari mesin buatan Bumi. Kami mendongak tepat pada
saat pesawat warna perak Mogadorian menyorotkan
sinarnya, menyilaukan mata kami. Nomor Lima menaungi
matanya, lalu menoleh ke arah ku.
"Itu pesawatmu?" dia bertanya.
"Mogadorian!" aku berseru ke arahnya. Seketika itu
juga, sosok-sosok gelap turun dari pesawat, gelombang
pertama prajurit Mogadorian turun menyerang.
"Oh," sahut Nomor Lima sambil mengerjap bingung
ke arah pesawat tersebut. "Jadi Mogadorian tuh seperti itu."
~111~
13
"KELUARKAN BATU XITHARISNYA!" SERUKU KEPADA
Nomor Enam. "Kalau kita semua menghilang, kita bisa kabur
sebelummerekasampai."
Nomor Enam merogoh-rogoh tas dan mengeluarkan
batu itu. Namun terlambat. Sebelum dia sempat melakukan
apa-apa, udara di sekeliling kami meretih akibat tembakan
blasteryangdilepaskanpasukanMogadorian.
Gelangku membuka tepat waktu untuk menangkis
sepasangtembakanyangmengarahkedadaku.
Tembakan itu menghantam tanah di dekat Nomor
Enam sehingga tubuhnya terlempar ke belakang. Sambil
jatuh, dia melontarkan Batu Xitharis ke arah Nomor Lima
yang cuma memandanginya, jelas-jelas tak tahu harus apa.
Tak ada waktu untuk mengajarinya. Di balik kelompok
pertama Mogadorian itu, ada lebih banyak lagi Mogadorian
yang meluncur menuruni tali dari perut pesawat mereka.
Sebentarlagi,kamibakalkalahjumlah.
Sarah melemparkan diri ke balik mobil yang diparkir
di dekatnya dan memuntahkan peluru dari pistol seraya
meluncur. Aku melihat dua tembakan pertama mengenai
tanah di kaki Mogadorian terdekat, sementara tembakan
yangketigabersarangdi tulangdadanya. Mogadorianitu jadi
abudanSarahsegeramembidik Mogadorianyanglain.
Nomor Enam menghilang begitu tubuhnya
menghantam tanah. Aku tidak tahu di mana dia saat ini, tapi
dalam sekejap mata, awan badai sudah bergolak di atas
kepala kami, padahal sesaat tadi langit malam begitu tenang
danjernih.Diasedangbersiapbertarung.
Nomor Lima terpaku di sampingku sambil terus
memandangi batu di tangannya. Perisaiku menerima banyak
tembakan. Nomor Lima mungkin sudah tertembak
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
~112~
seandainya dia tidak berada tepat di sampingku.
"Kau sedang apa?" aku berteriak sambil merenggut
lengannya. "Kita harus bergerak!"
Mata Nomor Lima melebar, tapi dia tidak bereaksi.
Dia membiarkanku menariknya mundur ke balik patung
Monster Boggy Creek, lalu mendorongnya ke tanah.
Sekonyong-konyong, patung kayu itu meledak jadi ribuan
serpihan hangus. Untung, dasarnya yang terbuat dari semen
sanggup menahan tembakan senapan Mogadorian untuk
sementara waktu.
Aku membiarkan Lumen di tanganku yang tidak
berperisai menyala dan membuat bola api yang cukup besar.
Nomor Lima hanya bengong menatap heran ke arah api yang
berputar di tanganku. Aku mengabaikannya dan
menjulurkan tubuh dari tempat perlindungan kami untuk
melemparkan bola api ke gerombolan Mogadorian terdekat.
Api melahap ketiga Mogadorian itu, mengubah mereka jadi
abu dalam sekejap mata. Yang lainnya berpencar.
Aku mendengar hujan mulai turun walaupun tak ada
yang menetesiku. Malahan, sepertinya hujan itu hanya
menyelubungi pesawat Mogadorian. Petir bergemuruh. Apa
pun yang Nomor Enam lakukan, aku memercayainya.
"Kau baik-baik saja?" aku berseru ke arah Sarah.
Mobil tempatnya bersembunyi hanya beberapa meter dari
tempatku, tapi jaraknya seolah-olah selebar medan perang.
"Aku baik-baik saja!" dia balas berseru. "Kau?" "Aku
baik-baik saja, tapi kurasa Nomor Lima kena syok atau apa!"
Aku melihat tiga Mogadorian berlari menyeberangi
jalan, berusaha mengepung Sarah. Sebelum mereka dapat
melakukannya, aku menggunakan telekinesis untuk merebut
blaster dari tangan ketiganya. Melihat mereka, Sarah
menembak Mogadorian terdekat, tepat di antara matanya.
Dua Mogadorian lainnya hendak menghunus pedang, tapi
~113~
langsung diterkam satu sosok lentur dari kegelapan.
Bernie Kosar yang berwujud macan, dengan bulu
hitam sekelam malam, mencabik leher Mogadorian yang
diinjaknya, lalu menyabet wajah Mogadorian yang satu lagi.
Setelah ketiga Mogadorian itu lenyap, BK menyelinap ke
samping mobil, berjaga di dekat Sarah.
Tolong jaga dia, pintaku kepada BK.
Para Mogadorian yang tadi kubikin kocar-kacir
sudah berkumpul kembali, atau mungkin juga ini kelompok
lain yang baru turun dari pesawat. Aku melemparkan dua
bola api lagi supaya mereka sibuk.
Aku meraih Nomor Lima dan mengguncang
tubuhnya sampai matanya fokus memandangku. Bagian
bahu kausnya hangus terkena tanganku yang masih terlalu
panas akibat Lumen. Dia berjengit dan menatapku dengan
mata membelalak.
"Kau ini kenapa?" teriakku.
"Aku?maaf," dia tergagap. "Aku belum pernah
melihat Mogadorian."
Aku memandangnya tak percaya. "Kau bercanda?!"
"Tidak! Albert, Cepanku, dia memberitahuku tentang
Mogadorian. Kami berlatih untuk?untuk bertarung. Tapi
aku tak pernah benar-benar melakukannya."
"Hebat," gerutu Nomor Enam yang tiba-tiba muncul
di samping kami. "Kita punya anak bau kencur."
"Aku?aku bisa membantu," Nomor Lima bergumam.
"Aku cuma kaget."
Kata-katanya tidak meyakinkanku, dan walaupun
kami berhasil mengalahkan pasukan Mogadorian yang
pertama, aku masih melihat siluet mereka bergerak melintasi
kegelapan di dekat kami.
"Sudah selesai?" teriak Sarah dari tempatnya.
"Peluruku hampir habis!"
~114~
"Masih ada," aku balas berseru ke arah Sarah, lalu
memandang Nomor Enam. "Dapatkah kau menghancurkan
pesawatmereka?"
Nomor Enam berkonsentrasi sejenak. Kilat
membelah langit malam dan menghantam tepat di samping
pesawat Mogadorian, menyebabkan pesawat itu berguncang
ke depan dan ke belakang. Aku dapat melihat sejumlah
prajurit Mogadorian kehilangan pegangan mereka pada tali
dan terjun sejauh lima belas meter ke tanah. Nomor Enam
menyiapkan badai besar dan menunggu untuk melepaskan
amukannya.
"Mereka mungkin menggunakan pesawat itu untuk
ke sini," kata Nomor Enam, "tapi jelas mereka tidak akan
kaburdengannya."
Akumenunduk memandangNomorLima.Tangannya
yang gemetar sudah memegang kembali kedua bola dari
sakunya.Samasekalitidak membesarkanhati.
Aku memandang ke arah Sarah dan melihatnya
membidik serta menembak Mogadorian yang sedang
merayap mendekati kami. Beberapa waktu yang lalu, kami
pasti melarikan diri dari pertempuran semacam ini dan
senang karena dapat lolos hidup-hidup. Namun, sekarang
akumerasakamisanggupmemenangkanpertempuranini.
Aku menatap mata Nomor Enam. "Ayo, kita kirim
pesan untuk Setrakus Ra. Kalau memang ingin menangkap
salah satu dari kita, dia harus mengirim lebih dari satu
pesawat."
"Setuju," sahut Nomor Enam sambil mengangkat
tangankearahlangit.
Aw
an gelap di sekeliling pesawat Mogadorian mulai
menggelegak dan berpusar. Tiga kilat mengiris langit yang
bergolak, menghantam sisi pesawat secara berturut-turut.
Aku dapat melihat potongan-potongan dari lambung kapal
~115~
lepas dan meluncur ke tanah.
Mungkin karena menyadari mereka terancam, para
Mogadorian berusaha menaikkan pesawat dan menghindari
badai lokal tersebut. Para Mog yang sudah turun ke tanah
melipatgandakan usaha mereka untuk mencapai kami. Sinar
blaster berdesing membelah udara. Aku beringsut mendekati
Nomor Enam agar perisaiku dapat menangkis tembakan
yang menyasarnya. Sarah tetap meringkuk sambil
menembak membabi buta melewati kap mobil.
"Cepat!" aku berseru dengan gigi terkatup ke arah
Nomor Enam.
"Sebentar lagi," balasnya dengan wajah tegang penuh
konsentrasi.
Butiran es sebesar tinju menghajar pesawat tersebut,
menyebabkannya berguncang kencang. Ketika pesawat
tersebut tampaknya bakal berhasil naik, Nomor Enam
memutar tangan di atas kepala. Sekonyong-konyong awan
awan menyatu?aku dapat merasakan kekuatan anginnya
dari tempatku. Tornado berkumpul tepat di bawah pesawat,
menyebabkan pesawat tersebut menukik turun kemudian
miring. Pilotnya kehilangan kendali.
Pesawat itu jatuh menghantam pepohonan di
samping jalan raya disertai bunyi menggelegar. Beberapa
detik kemudian, lidah api menjulang ke langit malam, diikuti
bunyi ledakan yang membahana. Lalu, keadaan hening. Badai
mereda dan langit kembali tenang.
"Wow," gumam Nomor Lima.
"Kerja bagus," kataku kepada Nomor Enam.
Pandangan Nomor Enam sudah beralih ke sasaran
berikutnya. Kami mungkin berhasil menghancurkan pesawat
mereka, tapi masih banyak Mogadorian yang mendekat.
Beberapa lusin, setidaknya, dengan blaster dan pedang
terhunus.
~116~
"Mari kita habisi mereka," ajak Nomor Enam yang
langsungmenghilang.
Aku sangat ingin terjun ke dalam pertempuran.
Namun sebelum itu, aku menunduk memandang Nomor
Lima. Dia mengintip ragu ke arah para Mogadorian yang
datangmenyerbu.
"Tak apa kalau kau belum siap," kataku kepadanya.
"Diamdisini."
Nomor Lima mengangguk tanpa suara. Aku keluar
dari balik sisa-sisa patung Monster Boggy Creek. Satu
Mogadorian langsung mengarahkan blaster-nya ke arahku.
Sebelum dia sempat menembak, sesuatu menghantam
belakang lututnya. Pedang yang disampirkannya di bahu
dihunuskan oleh tangan tak terlihat dan ditusukkan
menembus tulang belakangnya. Mogadorian itu langsung
berubah jadi abu dan sesaat, melalui awan abu, aku dapat
melihatsiluetNomorEnam.
Aku berlari ke tempat Sarah yang merunduk di balik
mobil. Badan mobil yang menghadap ke arah para
Mogadorianmeleleh di sana-sini, tapi tampaknya Sarah tidak
terluka. Begitu aku meluncur ke samping Sarah, sayap
muncul dari punggung Bernie Kosar dan dia lepas landas,
menerjang sepasang Mogadorian. Mogadorian yang tersisa
tampak bingung. Pesawat mereka hancur. Setengah dari
mereka mati. Aku yakin mereka tidak menyangka
kejadiannya bakal seperti ini. Bagus. Biar sekali-sekali
merekayangketakutan.
"Kaubaik-baik saja?" akubertanyakepadaSarah.
"Ya," sahutnya sambil terengah-engah. Dia
mengangkatpistol."Pelurunyahabis."
Aku menggunakan telekinesis untuk menarik sebuah
blaster Mogadorian yang tak terpakai. Sarah mengambil
senjataitudariudara.
~117~
"Lindungiaku," kataku."Kitaselesaikanini."
Aku melangkah keluar dari balik mobil, bisa dibilang
menantang para Mogadorian untuk menyerang. Sepasang
Mogadorian yang merunduk di depan pom bensin
menembakku. Perisaiku langsung membuka dan menyerap
tembakan mereka. Aku berpikir untuk melontarkan bola api
ke arah mereka, tapi aku tak ingin menyebabkan pompa
bensin meledak. Sudah banyak kerusakan yang kami buat di
KotaFoukeyangmalang.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menggunakan telekinesis untuk meraih blaster
mereka dan menghantamkannya ke tanah. Kemudian, aku
mengangkat tangan ke arah para Mogadorian dan
mengundang mereka untuk menyerang. Kedua Mogadorian
itumenyeringai, gigi kecil merekaberkilauanditimpacahaya
bulan, dan mereka menghunuskan pedang. Mereka berlari
menyerbukearahku.
Begitu mereka cukup jauh dari pom bensin, aku
melemparkan bola api yang langsung melahap keduanya.
Tolol.
Mogadorian lainnya berkumpul kembali, cukup
banyak untuk melakukan serangan terpusat. Mereka semua
berlari menyerbu ke arahku, berusaha mengepung. Namun,
sebelummerekamendekat,akumerasakanpinggangkudililit
sesuatu yang mirip karet erat-erat, lalu sekonyong-konyong
tubuhku disentakkan ke belakang, menjauhi para
Mogadorian yang menyerbu. Aku kaget dan menunduk.
Lenganmembelittubuhku.Lenganyangsangatpanjang.
Begitu aku aman, Sarah menembaki gerombolan
Mogadorianitudenganblaster.
Aku menoleh ke bawah tepat pada saat kumparan
lengan Nomor Lima kembali ke bentuk normal dan kembali
kekausnya.Diamemandangkumalu-malu.
"Maaf kalau aku mengganggu," katanya, "kupikir kau
~118~
bakal dikepung." "Yang barusan kau lakukan itu apa?"
tanyaku, penasaran sekaligus agak jijik.
"Cepanku bilang namanya Externa," Nomor Lima
menjelaskan. Dia memegang bola karet yang dimainkannya
sejak kami muncul. "Salah satu Pusakaku. Aku dapat meniru
sifat dari benda apa pun yang kupegang."
"Hebat," aku memuji. Mungkin anak baru ini ada
gunanya juga.
Salah satu Mogadorian berhasil mengelak dari
tembakan Sarah dan menyerbu ke arah kami. Nomor Lima
melangkah ke depanku. Kulitnya tiba-tiba berbinar perak
berkilauan tertimpa cahaya bulan. Aku ingat bola lain yang
dibawanya?bola besi. Mogadorian itu mengayunkan
pedang ke arah Nomor Lima dengan lintasan melengkung,
yang seharusnya membelah dahinya, tapi senjata itu justru
terpantul dari kepala Nomor Lima diiringi bunyi berdentang.
Mogadorian tersebut tertegun, sementara Nomor Lima
mengambil ancang-ancang untuk menyarangkan tinju
sekeras godam, meremukkan tengkorak si Mogadorian
dengan tangan berlapis besinya.
Nomor Lima menatapku. "Aku, eh, tak pernah
mencoba itu." Dia mulai tertawa lega.
"Yang benar?" Tak ayal, aku ikut tertawa, rasa gugup
Nomor Lima menular. "Bagaimana kalau yang tadi itu gagal?"
Nomor Lima cuma mengangkat bahu dan menggosok
dahi yang tadi terkena pedang Mogadorian.
Kami berbalik untuk menyaksikan sepasang
Mogadorian kabur ke arah hutan diikuti Bernie Kosar yang
menggeram. Sebelum keduanya mencapai pepohonan,
Nomor Enam muncul di depan mereka. Dia melibas
keduanya menggunakan pedang Mogadorian pinjaman.
Aku memandang berkeliling. Keadaan aman. Monster
Mart dan sekitarnya dihiasi titik-titik gosong akibat
~119~
tembakan blaster, dan dari hutan terlihat segumpal .asap
bergelung. Selain noda-noda hitam di tanah tempat
Mogadorian yang mati jadi abu, tidak ada tanda-tanda dari
penyerang kami. Kami membantai habis mereka.
Sarah berjalan menghampiri sambil memanggul
blaster Mogadorian. "Cuma segitu?"
"Sepertinya," kataku sambil menjaga agar suaraku
tetap tenang. Walau ingin sekali bertepuk tangan dan "tos",
aku ingin tetap terlihat kalem. "Kurasa, untuk pertama
kalinya, kita mengejutkan mereka."
"Apakah selalu semudah ini?" tanya Nomor Lima.
"Tidak," aku menjawab. "Tapi karena sekarang kita
semua berkumpul ...," aku berhenti, tak ingin mengacaukan
kemujuran kami. Pertempuran tadi sangat bagus. Memang
tadi itu cuma ada satu pesawat penuh Mogadorian, tapi bala
tentaranya ada di Virginia Barat, belum lagi Setrakus Ra.
Meski demikian, kami membabat habis mereka dalam waktu
sangat singkat, dan aku rasa tak ada di antara kami yang
terluka. Kemarin, saat Nomor Sembilan dengan penuh
semangat mengusulkan untuk menyerbu Virginia Barat dan
bertarung ulang dengan Setrakus Ra, aku berusaha mencoret
usul itu karena kupikir kami belum siap. Namun sekarang,
setelah pertarungan ini, mungkin sudah saatnya memikirkan
kembali kesempatan kami.
"Nomor Enam mana?" tanyaku sambil memandang
berkeliling. "Pasti ada yang mendengar suara pesawat jatuh
tadi. Kita harus pergi sebelumpolisi datang."
Seolah-olah sebagai jawaban, gemuruh pelan
terdengar dari tepi hutan, dari arah tempat jatuhnya pesawat
Mogadorian tadi. Aku menyinarkan Lumenku ke sana tepat
pada saat Nomor Enam berlari ke arah kami sambil
melambaikan tangan.
"Awas!" teriaknya.
~120~
"Awas apa?" tanya Nomor Lima sambil menelan
ludah.
"Sepertinyaitupiken," sahutku.
Terdengar bunyi patah berderak?bunyi pohon
dicabut, lalu dipatahkan. Sesuatu yang besar sedang menuju
kesini.AkumemegangbahuSarah.
"Mundur," kataku."Sembunyidibelakangkami.
Sarah memandangku, pegangannya pada blaster
Mogadorian mengencang. Sesaat, aku khawatir dia akan
membantah meski tahu bertarung melawan piken sangat
berbeda dari baku-tembak dengan Mogadorian. Menembak
dari balik tempat perlindungan sama sekali tidak ada apa
apanya dibandingkan berdiri berhadapan dengan monster
yang hanya merasa geli oleh tembakan blaster. Sarah
menyentuh tanganku dan memegangnya sejenak, lalu berlari
untuk berlindungdidekatkantorpos.
"Apa itu?" tanya Nomor Lima, yang masih berdiri di
sampingku,sambilmenunjuk ketepihutan.
Kami melihat monster itu tepat ketika makhluk
tersebutmeneroboskeluardaripepohonandanmenjulangdi
atas Nomor Enam. Namun, aku tidak menjawab. Aku tak
dapat menjawab karena tidak tahu apa nama makhluk itu.
Monster itu seperti kaki seribu seukurantruk tanker, dengan
tubuh mirip cacing yang diselubungi kulit kasar dan retak.
Ratusan lengan kecil berbonggol keluar dari badannya dan
menghancurkan tanah, sementara dia bergerak maju diiringi
bunyi bergemuruh dengan kecepatan yang mengherankan.
Di bagian depan ada muka yang mirip anjing pit bull?datar,
dengan hidung basah, dan mulut berliur terbuka
memperlihatkan deretan gigi runcing. Di bagian tengah
wajahnya ada mata tunggal yang tidak berkedip, merah dan
penuhkebencian. Akuteringat gerombolanhewanbuasyang
dikurung oleh para Mogadorian di Virginia Barat. Untuk
~121~
ukuran hewan buas, makhluk yang satu ini berada di urutan
pertama.
Walaupun Nomor Enam cepat, dia masih kalah cepat
dibandingkan makhluk itu. Si kaki seribu yang berhasil
menyusul Nomor Enam menyentakkan tubuhnya ke
samping. Bagian belakang makhluk itu?ekornya?berputar
ke atas dan sesaat menjulang di atas
Nomor Enam, sebelum akhirnya jatuh menghantam
tanah.
Nomor Enam melemparkan tubuh ke samping tepat
waktu. Bongkahan tanah berhamburan dari tempat ekor itu
mendarat dan menyebabkan lekukan besar di tanah. Nomor
Enam segera berdiri dan menusukkan pedang ke tubuh si
kaki seribu. Namun, sepertinya hewan itu tidak
merasakannya, tubuhnya berpuntir cepat sehingga
menyebabkan pedang dari tangan Nomor Enam tersentak
lepas.
"Bagaimana cara kita membunuh makhluk itu?"
tanya Nomor Lima sambil melangkah mundur.
Benakku berpacu memikirkannya. Kelebihan apa
yang kami miliki dibandingkan monster cacing bermata satu
ini? Hewan itu cepat, tapi dia besar dan menempel ke tanah
"Kau bisa terbang, kan?" aku bertanya kepada Nomor
Lima.
"Dari mana kau tahu?" tanyanya heran sambil terus
menatap hewan buas itu. "Ya, aku bisa."
"Angkat aku," kataku kepadanya. "Kita harus berada
di atas makhluk itu."
Saat si kaki seribu itu menyerang Nomor Enam lagi,
aku melihat Bernie Kosar melompat ke punggung hewan itu.
BK yang sudah kembali ke wujud macan menghunjamkan
cakar dalam-dalam ke kulit si monster. Sambil memekik
kesal, si kaki seribu berguling di tanah, memaksa BK
~122~
melompat turun agar tidak remuk ditimpa badan monster
itu. Nomor Enam memanfaatkan kesempatan itu untuk
menjauh, lalu menghilang.
"Lebih mudah kalau kau di punggungku," kata
Nomor Lima sambil berlutut di depanku.
Andai ini bukan situasi hidup atau mati, aku akan
merasa canggung melompat ke punggung Nomor Lima.
Begitu aku berada di punggungnya, Nomor Lima melesat ke
udara. Rasanya benar-benar berbeda dari melayang
canggung seperti yang kami lakukan dengan telekinesis. Dia
cepat, tepat dan terkendali. Nomor Lima membawaku
melayang sembilan meter dari tanah, tepat di atas si kaki
seribu. Aku mulai menembaki makhluk itu dengan bola api,
melontarkannya secepat mungkin. Noda hangus muncul di
punggung monster itu, menyebabkan bau memuakkan
menguar di udara.
"Menjijikkan," Nomor Lima bergumam.
Si kaki seribu meraung kesakitan, lalu menggelung
tubuh. Matanya yang besar jelalatan memandangi medan
pertempuran. Otaknya yang kecil tidak dapat memahami
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari mana rasa sakit itu berasal. Aku terus menyerang,
berharap dapat membunuh makhluk itu dari atas sebelum
dia menyadari apa yang terjadi.
Bola apiku yang berikutnya meleset jauh dari hewan
Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Wiro Sableng 073 Guci Setan Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama