The Rise of Nine Karya Pittacus Lore Bagian 6
ternyata cuma dua luka ternbakan di sana. Baru kali ini aku
merasa sangat senang karena terluka dan berdarah. Aku
sangat lega karena ternyata itu bukan bekas luka gores lain
yang menandakan kematian Garde, sehingga aku bahkan
tidak peduli tanganku berlumuran darah. Saat menekan
pergelangan kaki untuk menghentikan pendarahan, gelangku
menyusut kembali.
Aku berhasil berbalik dan memandang ke atas. Tiga
remaja berdiri di dekatku. Yang laki-laki bertubuh tinggi,
berkulit cokelat, dan berambut hitam ikal. Lalu ada dua gadis
yang memegang Peti Loric. Aku langsung mengenali yang
laki-laki, dia muncul dalam visiku. Dia mengangguk dan
tersenyum seraya berkata, "Senang bertemu denganmu lagi,
Nomor Empat. Aku Nomor Delapan." Sebelum aku sempat
menjawab, dia lenyap.
Salah satu gadis itu pendek, bertubuh kecil, dan
berambut cokelat kemerahan. Aku yakin dia pasti Nomor
Sepuluh, Garde dari pesawat kedua. Dia menjatuhkan Peti
Loric dan berlutut di sampingku. Garde yang lain, gadis tinggi
berambut cokelat sebahu, meletakkan Petinya. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, dia ikut berlutut di
sampingku dan meletakkan kedua tangannya di lukaku. Rasa
dingin mengaliri diriku dan tubuhku mengejang-ngejang.
Saat kupikir aku bakal pingsan akibat rasa sakitnya, rasa itu
lenyap. Aku memandang pergelangan kakiku. Lukaku
sembuh. Luar biasa. Gadis itu bangkit, mengulurkan tangan
ke arahku, lalu menarikku berdiri.
"Pusakamu benar-benar hebat," aku berhasil berkata.
?John Smith." Dia memandangku terpana. "Setelah
begitu lama, aku tak percaya kau berdiri di sini di
hadapanku."
Ketika akan menjawab, aku melihat misil menjerit ke
arah kami dari balik bahunya. Aku mendorong kedua gadis itu
ke tanah dan menjatuhkan diri ke atas mereka. Bukit pasir di
belakang kami meledak bagai gunung meletus, menyebarkan
awan pasir tinggi ke udara. Saat awan pasir menipis, Nomor
Delapan muncul kembali di samping kami.
"Kalian baik-baik saja? Siap bertempur?" tanyanya.
"Ya, kami baik-baik saja," sahut gadis yang tinggi
sambil mengangguk ke arah kakiku. Tadi Nomor Sepuluh
bilang dia bersama Nomor Tujuh dan Delapan, jadi gadis ini
pastilah Nomor Tujuh. Sebelum aku sempat
memperkenalkan diri dengan sepantasnya, Nomor Delapan
sudah lenyap lagi.
"Dia bisa teleportasi," kata Nomor Sepuluh sambil
tersenyum melihat tampangku yang terperangah. Sulit
dipercaya kami akhirnya berkumpul. Aku membalas
senyumannya.
Di kejauhan, aku dapat melihat Nomor Delapan yang
sedang bertempur bersama Nomor Sembilan dan Bernie
Kosar. Mereka mengamuk ke setiap kendaraan yang
mendekat, membalikkan dan melumpuhkan senjata berat
militer seakan-akan semua itu cuma mainan plastik murahan.
Tongkat merah bersinar Nomor Sembilan menyayat bagian
bawah helikopter yang terbang rendah sampai robek. Nomor
Delapan melakukan teleportasi ke samping Humvee hitam
lalu membalikkannya dengan tangan. Dua helikopter
berayun rendah lalu bertubrukan dan meledak.
Tiba-tiba, aku merasa harus mencapai Nomor Enam
secepatnya. "Kurasa kalian Nomor Tujuh dan Sepuluh. Apa
kemampuan kalian?" aku bertanya seraya mencari senapan
kami di pasir, lalu menyerahkannya kepada kedua gadis itu.
"Panggil aku Marina," kata gadis yang berambut
cokelat. "Aku dapat bernapas di air, melihat dalam gelap,
serta menyembuhkan orang yang sakit dan terluka. Aku juga
bisa telekinesis."
Aku Ella, aku mendengar Nomor Sepuluh berkata di
dalam kepalaku. Selain telepati, aku dapat berganti umur.
"Keren. Aku Nomor Empat. Si Sinting berambut hitam
panjang itu Nomor Sembilan. Lalu hewan buas itu
Chimaeraku, Bernie Kosar."
"Kau punya Chimaera?" tanya Ella.
"Entah apa jadinya aku tanpa dirinya," aku menjawab.
Sisa-sisa pasukan akhirnya memencar, dan selusin kendaraan
melonjak di jalan seraya menyerbu ke arah kami bertiga.
Seuntai asap keluar dari atas salah satu kendaraan. Aku
membelokkan roket yang baru saja ditembakkannya dengan
telekinesis, menghantamkannya ke bukit pasir. Truk dan SUV
lainnya terus melaju.
Aku memunguti kepingan-kepingan mobil Nomor
Sembilan yang sudah hancur, lalu melemparkannya ke arah
pasukan yang menyerbu itu. Aku melemparkan ban, pintu,
bahkan kursi mobil yang sudah hancur ke arah mereka.
Marina mengikuti tindakanku. Kami berhasil menghentikan
tiga atau empat kendaraan, tapi masih ada setengah lusin
lebih yang harus kami tangani.
Tiba-tiba Nomor Delapan, Nomor Sembilan, dan BK
muncul di hadapan kami. Nomor Delapan melepaskan tangan
Nomor Sembilan, lalu mengulurkan tangannya untuk
menjabat tanganku. "Halo, Nomor Empat," katanya.
"Kau tak tahu betapa senangnya kami melihat kalian
datang," kataku.
Nomor Sembilan mengguncang tangan Nomor
Sepuluh dan Nomor Tujuh lalu berkata, "Halo. Aku Nomor
Sembilan."
"Hai," balas Nomor Sepuluh. "Panggil saja Ella." "Aku
Nomor Tujuh, tapi aku biasanya dipanggil Marina," sahut
Marina.
Seandainya saja kami punya waktu untuk bicara
dengan orang-orang yang sudah lama ingin kutemui,
mendengar cerita mereka, mengetahui di mana mereka
bersembunyi, apa Pusaka mereka, dan apa yang ada dalam
Peti mereka. Namun ada lebih banyak helikopter yang
sedang kemari.
"Kita tak bisa terus-terusan di sini dan
mempertahankan diri," kataku. "Kita harus ke Nomor Enam!"
"Yuk, kita hajar anak-anak nakal ini," Nomor Sembilan
mengusulkan sambil menunjuk ke awan yang mendekat.
"Setelah itu, kita cari Nomor Enam dan kita lakukan apa yang
harus kita lakukan."
Kami semua berbalik untuk melihat apa yang
mendekat. Di langit tampak titik-titik helikopter baru. Aku
memandang teman-teman Gardeku, dan mereka semua
tampak siap bertarung. Baru sekarang jumlah kami sebanyak
ini. Baru kali ini keadaan tampak begitu mungkin. Setelah ini
semua, kami tak akan pernah berpisah lagi.
"Mereka akan terus berdatangan," kataku. "Kita harus
ke Nomor Enam."
"Oke, Johnny. Terowongannya ke sana," kata Nomor
Sembilan sambil menunjuk ke belakang kami. "Aku di
belakang dan mengurusi apa yang harus diurus. Tahulah,
mematahkan leher, menakut-nakuti sedikit.
Masing-masing kami memungut Peti Loric. Aku
memimpin jalan menuju arah yang ditunjuk Nomor
Sembilan. Aku mewaspadai kalau-kalau ada perangkap dan
memimpin kami semua ke kaktus bercabang lima.
Nomor Tujuh dan Nomor Delapan mengikutiku,
sementara Nomor Sepuluh dan BK bergegas tepat di
belakang mereka. Di belakang kami terdengar rentetan
tembakan tanpa henti dari Nomor Sembilan yang sibuk
beraksi. Dia berseru-seru dan bersorak sorai, seperti sedang
berpesta seorang diri. Cuma dia yang menganggap ini
mengasyikkan.
Kami mempercepat langkah dan terus berlari sampai
tiba di kaktus. Nomor Sembilan menembak dan terus
menembak, sementara aku dan Nomor Delapan berusaha
mengurusi tumbuhan berduri itu, satu-satunya benda yang
berdiri di antara kami dan tempat Nomor Enam ditahan.
Menurut peta, terowongan itu ada tepat di atas kaktus
tersebut. Akhirnya, kami berhasil meledakkan kaktus itu
sampai hancur dengan telekinesis. Di bawahnya ada pintu
cokelat tebal dengan pegangan logam di bagian tengah.
Sementara berdiri memandangi jalan masuk menuju
terowongan bersama para Garde di dekatku, aku teringat apa
yang baru saja dikatakan Nomor Sembilan: "Aku sudah
menunggu ini seumur hidup." Kami semua sudah
menantikan ini menantikan saat bisa saling bertemu, saat
kami bersembilan bangkit dan mempertahankan peninggalan
Lorien dari para Mogadorian. Sayangnya, kami bukan
bersembilan. Namun aku tabu enam dari kami yang tersisa,
ditambah Nomor Sepuluh, akan berjuang habis-habisan saat
menghadapi apa yang terjadi nanti.
28
MOGADORIAN RAKSASA MENYERBU SAMBIL MENGAYUNKAN
pedang bersinar ke arahku. Aku merunduk di bawah bilah
pedang itu lalu menyarangkan tinju ke lehernya,
menyebabkan raksasa itu megap-megap dan melepaskan
senjatanya. Begitu pedang berdentang di lantai, aku
memungutnya dan memenggal si Mogadorian. Awan abu
menyelimutiku saat tiga Mogadorian lagi menyerbu. Abu
menyembunyikanku. Begitu ketiganya tiba di dekatku, aku
berjongkok dan menebas lutut mereka sampai putus. Saat
berdiri, Mogadorian besar lain menyerangku dari belakang.
Aku melompat ke belakang melewatinya, lalu mengayunkan
pedang menembus tengah tubuhnya begitu mendarat. Saat
melangkah menembus awan abunya, selusin Mogadorian
lain sudah mengepungku. Aku tak melihat Setrakus Ra.
Aku melenyapkan diri. Setelah merobek
segerombolan Mogadorian, aku kembali mencari Setrakus
Ra. Ternyata dia ada di seberang ruangan, tidak bergerak. Aku
berlari menyerbu ke arahnya. Mogadorian lain bermunculan,
entah berapa banyak. Mereka semua kujadikan gundukan
abu. Saat jarakku tinggal satu meter lagi, Setrakus Ra
mengangkat tinjunya dan menunjuk ke arahku, seakan-akan
dia dapat melihatku. Tangannya menembakkan listrik biru
yang kemudian merambat di sepanjang langit-langit, dan
sekonyong-konyong aku tampak kembali. Dia melumpuhkan
Pusakaku lagi. Aku tahu ini bisa terjadi, tapi tetap saja aku
kesal. Walaupun begitu, aku siap menghadapi kekuatan apa
pun yang dia miliki.
Prajurit Mogadorian menyerbuku dari segala penjuru,
tapi aku tetap bergerak menuju Setrakus Ra. Saat satu
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mogadorian menghalangi jalanku, aku mengayunkan pedang
menebas lehernya. Mogadorian lain menyergap dari
belakang dan aku memenggal tangannya. Satu lagi berlari ke
arahku sambil memekik, dan aku menghunjamkan pedang ke
perutnya. Aku sangat sibuk merencanakan bagian leher
Setrikus Ra mana yang akan kutembus dengan pedang
sehingga nyaris tidak memperhatikan Mogadorian yang
kubantai.
Tiba-tiba, Setrikus Ra sudah berdiri persis di
sampingku dan mencengkeram leherku. Dia mengangkatku
hingga kakiku tergantung dengan satu tangan, dan sekali lagi
wajah kami hanya terpaut beberapa senti.
"Kau bertarung dengan bagus, Gadis Kecil," napasnya
mengembus wajahku, membuatku berjengit mencium
baunya.
"Kembalikan Pusakaku dan saksikan sendiri
kehebatanku!" suaraku tercekik.
"Kalau kau memang sekuat yang kau kira, aku tak
akan mampu mengambil Pusakamu."
"Tak usah cari alasan, Pengecut! Kalau kau begitu
yakin dapat mengalahkanku, kenapa kau tak melakukannya?
Tunjukkan betapa besar dan tangguhnya dirimu. Kembalikan
Pusakaku dan bertarunglah dengan jantan!" aku membentak.
Suaranya bergema saat dia berseru, "Kau
menggunakan kekuatanmu dan aku menggunakan
kekuatanku!"
Dia melemparkanku kembali ke tengah ruangan, tapi
rasa sakit saat tubuhku menubruk lantai nyaris tak
kuperhatikan. Pedangku jatuh berdentang lalu meluncur
menjauh. Satu prajurit melemparkan pedangnya ke arahku,
berputar sangat cepat. Secara naluriah, aku langsung
mencoba menghentikan pedang itu dengan telekinesis, tapi
Pusakaku masih tak berfungsi. Untungnya kekuatan maupun
refleksku masih bisa diandalkan dan berfungsi dengan
kekuatan penuh. Aku akan membunuh Setrakus Ra, dengan
atau tanpa Pusaka. Kedua tanganku kuulur dan kutepukkan
ke bilah pedang yang melesat menujuku, menghentikannya
beberapa senti dari dagu. Detik berikutnya pinggangku
ditendang. Sementara tubuhku meluncur jatuh ke belakang,
aku memutar pedang yang ada di antara telapak tanganku
dan membenamkannya ke Mogadorian yang menyerang. Abu
menyelimuti tubuhku yang menghantam lantai. Para
Mogadorian menyerbu lagi. Aku menghancurkan mereka
dengan senjata mereka sendiri, dan itu pembalasan yang
menyenangkan. Setiap kali menghancurkan Mogadorian
sampai tak bersisa, aku merasa lebih kuat. Aku juga semakin
kesal. Kalau setiap Mogadorian di Bumi ini harus kuhadapi
demi melawan Setrakus Ra, aku akan melakukannya.
Setrikus Ra hanya berdiri, menonton pertunjukan ini.
Dia meraung keras sekali sampai-sampai getarannya terasa di
dadaku. Selama bertahun-tahun ini, aku dilatih agar siap
menghadapi momen ini. Aku akan merasa lebih kuat kalau
Garde yang lain ada di sini, seharusnya kami bertarung
bersama melawan Setrakus Ra. Aku menyingkirkan pikiran
itu. Aku akan mengalahkan Setrikus Ra demi kami semua.
Setelah aku menghabisi prajurit terakhir, Setrakus Ra
berjalan ke tengah ruangan tempatku berdiri. Dia meraih ke
balik punggungnya, menarik cambuk besar berkepala dua,
lalu melecutkannya ke lantai. Api oranye menyelubungi
cambuk itu.
Aku sama sekali tidak berjengit. Saat ini, tidak ada
yang dapat membuatku takut atau berhenti. Aku menyerbu
sambil memekik, "Lorien!"
Setrakus Ra mengayunkan cambuk ke atas kepalaku,
mengirimkan selimut api tebal di atasku. Aku menukik di
bawahnya lalu berguling ke kaki Setrakus Ra. Saat
menghindari injakan sepatu botnya, aku melihat bekas-bekas
luka yang mengelilingi pergelangan kakinya. Aku
memperhatikannya, tapi tidak sempat memikirkan apakah
goresan di kakinya itu ada kaitannya dengan bekas luka di
kakiku. Pedangku menyabet betis Setrakus Ra, tepat di atas
goresan paling tinggi di kaki kirinya, lalu aku melompat
berdiri. Luka yang baru saja kubuat langsung mengeras dan
memudar menjadi bekas luka lain. Luka itu sama sekali tidak
berpengaruh, langkahnya sama sekali tidak pincang.
Setrakus Ra melecutkan cambuk ke arahku lagi dan
aku berusaha menebas salah satu ujungnya, tapi bilah
pedangku meleleh saat bersentuhan dengan api cambuk.
Aku melemparkan sisa pedangku ke arahnya. Dia
mengangkat tangan dan menahan senjata itu di udara.
Pedang itu berputar dan bersinar. Saat dia merentangkan
jarinya, lelehan pedang itu merayap naik ke gagang, menjadi
pedang berkilauan kembali. Dia tersenyum dan membiarkan
pedang itu jatuh.
Aku langsung menyerbu ke arah pedang, tapi cambuk
Setrakus Ra melecut tepat di atas tangan kananku yang
terulur untuk mengambilnya. Kulitku mendidih dan
merekah, tapi yang keluar dari rekahannya bukan darah
melainkan zat hitam keras. Aku memandang kulitku dan
sadar seharusnya sakitnya setengah mati, tapi aku mati rasa.
Aku terhuyung ke depan dan akhirnya berhasil memegang
pedang. Dengan senjata di tangan, aku berjalan mengitar
untuk menghadapi pemimpin Mogadorian itu. Namun ada
yang sangat salah dengan tangan kananku. Tanganku tak mau
bergerak.
Setrikus Ra melecutkan cambuk lagi dan aku
melompat menghindar saat cambuk itu melayang
melewatiku, meninggalkan jejak api di tempat yang
dilaluinya. Saat dia mengangkat tangan untuk menarik
cambuk itu ke belakang lagi, aku melihat kesempatan dan
memanfaatkannya. Dengan tangan kiri mencengkeram
pedang, aku berlari menyerbu lalu menusuk dada Setrikus Ra
dalam-dalam kemudian menarik pedang itu ke bawah,
merobek kulitnya yang licin sampai pedang itu berhenti di
bawah dadanya. Aku jatuh ke belakang lalu mendongak
memandang Setrikus Ra dengan putus asa, berharap aku
telah melancarkan pukulan terakhir bahwa aku telah
mengakhiri perang.
Sayang sekali. Walaupun Setrakus Ra meringis, untuk
pertama kalinya, dia tidak berubah jadi gundukan abu. Dia
cuma meraih ke bawah untuk menarik pedang dari tubuhnya
dan mengamati bilah pedang itu, memandangi darah hitam
pekatnya menetes jatuh. Kemudian dia memasukkan bilah
pedang itu ke mulut dan menggigitnya, mematahkan pedang
itu jadi dua, lalu membiarkannya jatuh ke lantai. Dia seperti
bermain-main denganku. Apa yang terjadi? Aku bangkit
berdiri, buru-buru memikirkan tindakan selanjutnya. Tahap
pertama adalah menghindari Setrikus Ra cukup lama
sehingga aku dapat memikirkan langkah selanjutnya. Aku
berharap, sangat berharap, teman-teman Gardeku ada di sini
bersamaku.
Ella? Kau dengar?
Tidak ada apa-apa.
Aku terus menjauhi Setrakus Ra, berusaha menjaga
jarak supaya punya kesempatan bertarung. Saat itulah tangan
kananku mulai terasa geli. Aku menunduk dan melihat kulit
di sekeliling luka akibat cambuk tadi menghitam. Aku
memandangi warna hitam itu menyebar ke buku-buku jariku
lalu ke kuku. Hanya dalam hitungan detik, seluruh tangan
kananku hingga pergelangannya menghitam. Sensasi geli tadi
hilang. Sekarang tanganku terasa sangat berat, seakan-akan
berubah jadi timah.
Aku mendongak memandang Setrakus Ra. Bekas luka
ungu di lehernya mulai berdenyut dengan cahaya terang.
"Sudah siap untuk mati?" dia bertanya.
Ella? Kalau kau memang ke sini, sekaranglah saatnya.
Sebenarnya, sekarang atau tidak sama sekali.
Aku sangat ingin mendengar suara Ella di benakku,
mengatakan dia dan yang lainnya ada di balik pintu.
Seharusnya kami semua bertarung melawan Setrikus Ra
menggunakan Pusaka kami. Sampai tuntas. Sampai dia
berubah jadi gundukan abu tak berdaya yang tak berharga.
Namun sekarang aku sendirian, tanpa daya, dengan tangan
terluka dan tak berguna. Setrakus Ra hanya berdiri di
depanku sambil memegang cambuk api, mempermainkanku.
Apa yang terjadi?
Aku memandang sekali lagi ke arah gurun, lalu
meraih roda di pintu cokelat itu dan memutarnya. Setelah
satu kali putaran, aku memutuskan untuk tidak buang-buang
waktu dan langsung mencabut pintu itu dari engselnya. Di
balik pintu itu ada tangga logam turun menuju lubang gelap.
"Aku dapat melihat dalam gelap," Marina
mengajukan diri. "Biar aku duluan." Aku menyisih supaya dia
bisa lewat.
Marina menuruni tangga memasuki kegelapan dan
hilang dari pandangan. Nomor Delapan melemparkan
Petinya menyusul Marina.
"Sekitar enam meter ke bawah. Sepertinya ada
terowongan panjang," Marina berseru. "Sejauh ini aman. Aku
tak melihat siapa-siapa."
Nomor Sembilan memandang aku dan Ella, lalu
berkata, "Perempuan duluan." Ella menuruni tangga. Saat dia
hilang, Nomor Sembilan tersenyum ke arahku dan berkata,
"Yah, oke. Tapi yang kumaksud tadi kau, Empat."
Aku menggeleng. Nomor Sembilan memang gila. Dia
memberi isyarat agar aku turun duluan. "Kau kan tahu aku
mencintaimu. Masuklah."
Aku menurunkan Bernie Kosar yang sudah kembali
berwujud anjing beagle terlebih dulu dengan telekinesis.
Setelah itu, aku mengempit Petiku kemudian turun dengan
kikuk karena hanya menggunakan satu tangan. Bagian dalam
terowongan itu berbau apak dan dingin. Aku dapat
mendengar langkah Ella dan Marina serta keletak-keletuk
kuku kaki BK di semen di depanku. Aku menyalakan Lumen di
tanganku yang bebas, lalu menyapukannya ke terowongan
semen selama beberapa detik, untuk mengetahui posisi.
Aku menyinari terowongan di antara tempat kami
hingga belokan tajam jauh di depan sana dengan Lumen,
kemudian memadamkannya. "Marina, kau dapat melihat dan
memimpin kita semua, kan?" Nomor Delapan dan Sembilan
sudah bergabung.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya," sahut Marina. Kami mengikutinya menyusuri
terowongan gelap itu. Saat belum terlalu jauh, Ella
mendadak berhenti dan menyebabkan aku nyaris
menubruknya.
"Oh, tidak! Aku akhirnya berhasil menghubungi
Nomor Enam. Dia membutuhkan kita! Dia bilang sekarang
atau tidak sama sekali!"
"Ayo, cepat, semuanya!" seru Nomor Sembilan dari
belakang.
Kami berlari secepat mungkin dalam kegelapan. Aku
menyalakan Lumenku setiap beberapa detik supaya kami
tidak saling tabrakan. Kami berbelok tajam dan aku
menyapukan tanganku lagi untuk menerangi terowongan dan
apa yang ada di depan sana. Sekitar seratus meter berikutnya
menurun, dan Lumenku mengenai pintu semen yang ada di
ujung terowongan. Aku membiarkan Petiku meluncur ke
depan hingga menabrak pintu. Sambil terus berlari, aku
menyalakan kedua tanganku agar kami dapat melihat dengan
lebih jelas.
Nomor Sembilan buru-buru membuka Petinya dan
mengeluarkan bola kuning yang diselimuti
benjolan/benjolan kecil. Dia memegang bola itu di antara
jari-jarinya, seperti pesulap, kemudian melemparkannya ke
pintu. Bola itu memantul beberapa senti dari logam tersebut,
kemudian membesar dan menghitam. Duri-duri panjang
setajam silet memancar keluar, menyebabkan pintu itu
meledak ke arah dalam. Duri-duri tadi langsung masuk dan
bola itu pun kembali jadi bola kuning biasa yang tergeletak
tanpa dosa di lantai. Nomor Sembilan membungkuk, meraih
bola itu, lalu melemparkannya kembali ke dalam Peti yang
ditutupnya dengan keras.
"Aku memang mengharapkan itu terjadi," kata
Nomor Sembilan dengan penuh kekaguman.
Kami melesat melewati pintu. Lampu-lampu merah
berkedap-kedip dan sirene meraung, menyerang indra-indra
kami. Pintu semen besar lain menghalangi ujung terowongan
pendek ini dan langsung terangkat saat kami mendekatinya,
menguak lusinan prajurit Mogadorian raksasa yang sudah
menghunuskan meriam dan pedang.
"Mogadorian? Apa yang mereka lakukan di sini?"
Nomor Delapan heran.
"Yeah. Kabar buruk: pemerintah Amerika Serikat dan
Mogadorian bekerja sama," kataku.
"Dasar mudah dipengaruhi," Nomor Delapan
berkomentar. Nomor Sembilan menyenggolku dan membuat
isyarat setuju yang berlebihan ke Garde yang baru kami kenal
itu.
Aku merasakan arus deras adrenalin mengaliri
tubuhku, seperti yang biasa kurasakan saat melihat visi
visiku. Tiba-tiba, aku tahu harus melakukan apa. Aku
memandang yang lain.
"Ikuti aku!" aku berseru. Mereka mengangguk ke
arahku. Aku menjatuhkan Petiku, menyalakan Lumen di
kedua tangan lalu berlari maju. Hal terakhir yang kulihat dari
sudut mataku adalah Ella yang memungut Petiku.
Seperti dalam visiku, aku membidikkan Lumen ke
kaki sambil berlari dan kakiku langsung terbakar. Api
memanjat kaki dan menelan tubuhku tepat pada saat aku
mencapai prajurit pertama. Aku melompat, menjadi bola api
yang membakar menembusnya. Dia berubah jadi abu,
sementara aku terus berlari.
Para Mogadorian yang kulewati berputar 180 derajat
untuk menembak, tapi apiku melindungi dengan sempurna.
Aku menunduk dan berlari dengan lengan terentang,
menjaga agar para prajurit itu tidak men
368 THE RISE OF NINE PITTACUS LORE 369
dekat. Marina, Delapan, dan Ella berada tepat di
belakang para prajurit Mogadorian itu dan menghantam
mereka dari belakang, sementara aku berlari di depan.
Nomor Sembilan berlari di langit-langit dan bertarung
melawan para Mogadorian dari atas. Aku melemparkan bola
api ke Mogadorian di dekatku dan dalam hitungan detik,
mereka sudah dijilati api hingga yang tersisa hanyalah awan
abu tebal serta asap yang membubung di udara. Aku
memelankan langkahku saat melihat prajurit terakhir
tumbang. Saat kami tiba di ujung ruangan, aku melontarkan
bola api besar ke pintu, meledakkannya berkeping-keping.
Aku diam sejenak untuk mengagumi kehebatan kami, BK
bahkan dapat bagian menghajar Mogadorian, walaupun ini
jelas bukan waktu dan tempat yang tepat untuk bersorak
sorai. Mungkin semangat Nomor Sembilan memengaruhiku.
Kami semua berbalik untuk melihat apa yang akan kami
hadapi.
Setrikus Ra melakukan sesuatu terhadapku. Aku tak
mampu bergerak sama sekali dan hanya terpaku di tempat.
Mulanya aku bertanya-tanya apakah ini akibat pertarungan
melelahkan atau luka aneh di tanganku, atau justru dua
duanya. Kemudian aku sadar ada sesuatu yang sangat sa1 ah,
sesuatu yang membuatku tak mampu bergerak. Aku
berusaha menaikkan daguku supaya dapat melihat Setrikus
Ra yang menjulang di dekatku. Dia sudah mengeluarkan
tongkat emas dengan gagang bermata hitam. Tongkat itu
diacungkannya dan mata tersebut berkedip, bergulir ke kiri
kemudian ke kanan, lalu menemukanku. Mata itu perlahan
lahan menutup dan mendadak terbuka kembali sambil
memancarkan sinar merah sangat terang yang membutakan.
Sinar itu merayapi tubuhku yang tak berdaya dan
meninggalkan sensasi berdengung aneh di kulitku. Aku harus
bergerak. Aku harus menyingkir dari cahaya mengerikan ini,
menjauh dari apa pun yang dilakukannya kepadaku. Namun
tubuhku tak bergerak. Tanganku berat luar biasa. Aku begitu
tak berdaya dan aku harus dapat mengendalikan?situasi ini
atau diriku sendiri. Namun aku tidak bisa.
Sekarang, mata itu memancarkan sinar ungu yang
merayapi wajahku. Aku menjilat bibirku dan merasakan
sesuatu terbakar. Setrikus Ra mendekatiku hingga jaraknya
tinggal beberapa langkah lagi. Aku memejamkan mata dan
mengatupkan rahang, memikirkan John, Katarina, Sam,
Marina, dan Ella. Aku melihat Nomor Delapan, Henri,
Crayton, bahkan Bernie Kosar. Aku tidak akan membiarkan
Setrakus Ra merasa senang, atau puas, dengan
memandanginya saat dia membunuhku. Dahiku disentuh
sesuatu yang panas dan lembut, seperti embusan angin. Aku
menguatkan diri menghadapi apa pun yang akan terjadi,
bersiap menanggung siksaan dari angin tadi. Saat tidak
terjadi apa-apa, aku membuka mata dan melihat Setrakus Ra
berdiri. Yah, bukan sekadar berdiri. Pita sinar merah dan
ungu memancar dari kepala tongkatnya dan merayap menaiki
serta menuruni tubuh Setrakus Ra yang besar.
Tubuh Setrakus Ra mulai bergetar. Bahu dan
lengannya diselubungi sinar putih. Dia jatuh berlutut,
kejangkejang, kepalanya yang besar tersentak-sentak ke atas
dan ke bawah. Kulitnya yang kusam dan licin mengendur dari
otot dan tulangnya. Saat kulit itu kembali mengencang
menutupi tubuhnya yang mengecil, warnanya berubah jadi
kuning langsat. Dari kulit kepalanya, rambut pirang tumbuh
dan memanjang hingga kepalanya dibalut rambut tebal. Saat
Setrakus Ra mendongak memandangku lagi, aku sangat ingin
menyerangnya, tapi aku masih tak mampu bergerak. Dia
menjadi aku?dengan mata abu-abu, tulang pipi tinggi, dan
rambut dicat pirang.
"Supaya aku menjadi dirimu, kau harus tetap hidup,"
katanya dengan suaraku, "untuk sementara ini." Dia
mengangkat telapak tangannya ke udara lalu, seolah-olah di
langit-langit maupun di tanganku yang sekarang hitam ini ada
magnetnya, tubuhku melesat ke atas, menghantam langit
langit, dan bergantung empat setengah meter dari Ian- tai.
Aku merasakan dengung menyakitkan di otakku. Sekali lagi
aku berusaha memanggil Ella dalam benakku, tapi aku tak
dapat mendengar diriku berpikir. Saat menyentuh tangan
yang menempel di langit-langit dengan tanganku yang lain,
tanganku itu ikut berubah jadi hitam. Rasa kaku yang
memberati tanganku sekarang menyebar. Satu-satunya yang
bisa kugerakkan adalah mataku. Sekarang seluruh tubuhku
hitam. Batu hitam.
29
AKU KEMBALI MEMIMPIN. MARINA MENGIKUTIKU. Bernie
Kosar berlari di sampingnya sambil menggeram. Ella masih
memegang Petiku. Nomor Delapan dan Sembilan berlari
tepat di belakangnya. Aku menjadi tak terkalahkan berkat api
Lumen. Lidah apiku langsung melahap setiap prajurit
Mogadorian yang menyerbu dari pojok atau pintu. Api tidak
cuma menyelubungi tubuhku, tapi juga pikiranku. Baru kali
ini aku merasa begitu percaya diri, begitu fokus, begitu siap
untuk mengalahkan musuh-musuh kami.
"Dia masih belum menjawabku!" teriak Ella saat kami
memasuki koridor lain yang disesaki sirene dan cahaya
berkedap-kedip. "Aku tak tahu apakah dia dapat mendengar
kata-kataku."
"Yah, dia pasti belum mati karena kita tak punya
goresan baru," kata Nomor Sembilan.
Apiku semakin tinggi dan besar, menjilati dinding
dan langit-langit koridor yang kulewati. Energiku saat ini tak
mudah digambarkan, yang jelas aku sulit mengendalikannya
dan rasanya mungkin aku bakal meledak. Aku siap
menghadapi Setrakus Ra dan aku tabu yang lainnya juga
merasa begitu. Nomor Sembilan dan Delapan bagaikan bola
penghancur yang berayun di koridor, menghantam para
prajurit sampai hancur, melompat dari satu Mogadorian ke
Mogadorian lain. Sementara itu, Marina bertarung tanpa
takut, menggunakan semua yang bisa dipakainya untuk
melemparkan prajurit ke udara. Ella, yang baru punya sedikit
Pusaka, tampak agak iri saat kami menepiskan para prajurit.
Seandainya aku punya waktu untuk berhenti dan
menyampaikan bahwa dia sangat berharga bahwa
kemampuannya untuk berkomunikasi secara telepatilah yang
menyebabkan kami semua bertemu. Bahwa dia, sebagai Loric
termuda, mewakili hidup kami yang panjang dan kekuatan
Garde kami. Kami siap merebut kembali Lorien dan itu hanya
dapat terjadi kalau kami semua mengerahkan segenap
tenaga untuk bertarung. Koridor itu bercabang dan kami
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus memutuskan arah yang harus kami tuju dengan cepat.
Berpencar bukan pilihan.
"Oke, Bocah Api, ke mana?" tanya Nomor Sembilan.
Marina melangkah maju dan berkata, "Ke sini."
Kemampuannya melihat dalam gelap lebih bagus daripada
sinar Lumenku yang terbatas, jadi aku memadamkan diriku
dan kami semua mengikuti Marina ke kiri.
Marina bahkan tidak ragu saat tiba di mulut ruangan
besar panjang yang dipenuhi tiang cokelat tinggi. Begitu juga
kami. Kami menyiapkan senjata saat mendengar bunyi orang
berbaris di ujung seberang ruangan. Aku menyenggol lengan
Marina. "Kau bisa melihat siapa mereka?"
"Bisa. Sepertinya mereka prajurit pemerintah. Yang
jelas, mereka bukan Mogadorian. Jumlahnya banyak.
Entahlah, dua puluh, tiga puluh? Mungkin lebih." Dia berbalik
dan bergerak ke arah para prajurit itu. Kami semua
mengikutinya. Para prajurit itu dapat kami singkirkan dengan
mudah, senjata mereka kami bengkokkan dengan
telekinesis. Kami melesat melintasi ruangan besar tersebut
lalu berbelok ke kiri. Di sana kami berhadapan dengan
selusin prajurit pemerintah berpakaian hitam yang menjaga
pintu logam tebal. Begitu melihat kami, mereka membentuk
formasi untuk menghalangi jalan dan mulai menembak.
Seakan sudah diatur, Marina dan Nomor Delapan
mengangkat tangan untuk menghentikan peluru-peluru
begitu ditembakkan, beberapa senti dari larasnya. Seketika
itu juga Nomor Sembilan beraksi dan menggunakan
telekinesis untuk merenggut senjata dari tangan para prajurit
itu, lalu mengangkat mereka ke atas, sehingga mereka
tergantung dari langit-langit kubah. Masing-masing dari kami
meraih senjata.
Nomor Sembilan menjejalkan ujung tongkatnya ke
kusen pintu yang dijaga prajurit tadi, lalu mencungkil pintu
itu sampai terlepas dari engselnya.
Di baliknya ada koridor lain dengan pintu yang
berderet di kanan maupun di kiri. Nomor Sembilan berlari di
depan dan menempelkan telinganya sebentar ke setiap
pintu.
Dia melaporkan ruangan kendali yang tak dijaga satu
demi satu. Kami menemukan ruangan-ruangan kosong yang
sepertinya sel-sel penjara di bagian sebelah dalam. Aku
bertanya-tanya apakah kami sudah dekat dengan Nomor
Enam. Mungkin dia ada di balik salah satu
pintu.
Aku melihat jejak darah di depan salah satu pintu lalu
merenggut pintu itu dari kusennya dari jarak tiga meter.
Bagian dalam sel itu gelap gulita. Sebelum aku sempat
menggunakan Lumen, Marina mendorong melewatiku. "Ada
orang di sini!" dia berseru.
Kami mendengar suara isakan dari ujung ruangan dan
aku menyalakan Lumen untuk menerangi kegelapan. Di sana
ada orang yang ketakutan dan kotor, seseorang yang kupikir
tak akan pernah kulihat lagi. Sarah. Aku jatuh berlutut,
sinarku menyala redup. Saat membuka mulut untuk bicara,
yang keluar dari kerongkonganku cuma suara tertahan. Aku
mencoba lagi: "Sarah." Aku tak bisa percaya dia duduk di
depanku. Aku tak percaya kami menemukannya.
Setelah melihatku sebentar, Sarah mendekap
lututnya di dada dengan air muka ketakutan. Takut
terhadapku. Dia menunduk ke lututnya dan menangis.
"Tolong jangan lakukan ini kepadaku. Kumohon, jangan
permainkan aku lagi. Jangan seperti ini. Aku tak sanggup. Aku
tak sanggup lagi." Dia menggeleng lagi dan lagi. Sepertinya
dia tak radar aku tidak sendirian. Aku dapat merasakan para
Garde yang berdiri di belakangku, terselubung kegelapan.
"Sarah," aku berbisik. "Ini aku. John. Kami di sini
untuk membawamu pulang.
"Nomor Sembilan berdiri di belakang, tapi aku dapat
mendengarnya bicara dengan seseorang, "Jadi ini Sarah yang
terkenal itu? Cantik juga walaupun kotor."
Sarah mendekap kakinya lebih erat ke dada, lalu
mengintip dari atas lutut. Dia tampak begitu rapuh dan takut.
Aku ingin menggendongnya. Namun aku bergerak dengan
pelan, berjaga-jaga. Mungkin saja ini perangkap.
Kedatanganku sejauh ini bukan untuk bertindak tanpa
berpikir. Begitu aku menyentuh bahunya, Sarah langsung
menjerit panik. Aku dapat merasakan teman-teman di
belakangku berjengit mendengarnya mendadak menjerit.
Yang terdengar dalam suaranya hanya kengerian.
Sarah merapatkan punggung ke dinding, rambutnya
menempel ke semen kasar. Kemudian dia mendongak
menatap langit-langit dan menjerit, "Jangan tipu aku lagi!
Aku sudah memberitahumu semuanya. Kumohon, jangan
permainkan aku lagi!"
Marina melangkah maju sampai berdiri di sampingku.
Dia meraih lenganku dan mengguncang tubuhku, lalu
menarikku berdiri. "John, kita tak bisa diam di sini. Kita harus
bergerak. Kita harus membawa
Sarah!" Akhirnya Sarah melihat
yang lain. Aku memandangi Sarah memperhatikan Marina
yang berdiri sambil menunduk menatapnya. Mata Sarah
melebar. Kemudian dia memandang para Garde yang
mendekat. Air mata bergulir di pipinya yang diselimuti
kotoran tebal. "Ada apa ini? Kalian benar-benar di sini?
Kalian sungguh-sungguh ada di sini?"
Aku berlutut lagi di sampingnya. "Ini aku. Ini kami.
Sungguh. Lihat, Bernie Kosar juga ingin menyapamu." Bernie
Kosar berderap menghampiri lalu menjilat tangan Sarah
sambil mengibaskan ekor.
Aku meletakkan tanganku di tangannya. Saat melihat
memar-memar yang menghiasi pergelangan tangan Sarah,
mataku berkaca-kaca. Aku menempelkan jarinya ke bibirku.
"Sarah, dengar. Aku tahu aku pernah meninggalkanmu. Aku
janji tak akan melakukannya lagi. Kau dengar? Aku tak akan
pernah meninggalkanmu lagi." Sarah masih memandangiku
seakan-akan aku Bakal lenyap atau berubah jadi monster
yang menyemburkan napas api.
Ribuan hal yang selama ini kupikirkan berseliweran
dalam benakku dan aku berusaha berbicara lagi. Aku teringat
percakapan terakhir kami di taman bermain, 'sesaat sebelum
polisi membawaku pergi. "Sarah. Kau ingat aku bilang aku
memikirkanmu setiap hari. Ingat?" Dia memandangku dan
mengangguk. "Aku betul-betul memikirkanmu. Setiap hari."
Dia tersenyum sebentar. "Sekarang kau percaya ini benar
benar aku?" Dia mengangguk lagi. "Sarah Hart, aku
mencintaimu. Hanya kau seorang. Kau dengar?"
Sarah tampak sangat lega, membuatku ingin
menggendongnya lalu mengatakan semua ini sudah berakhir
dan aku akan melindunginya. Selamanya. Dia menciumku,
tangannya merangkum wajahku.
"Empat! Ayo! Kita harus pergi," Nomor Delapan
berseru. Dia dan yang lain sudah bergerak ke pintu,
memandang ke kanan dan ke kiri koridor dengan cemas.
Terdengar ledakan di koridor dan Nomor Delapan
berlari keluar untuk melihatnya, diikuti Ella dan Marina.
"Lama banget, sih?" Nomor Sembilan berseru ke arahku
sambil memberi isyarat dengan panik ke pintu. "Bantu dia
berdiri! Kita harus pergi secepatnya! Sarah Hart, aku sangat
senang bertemu denganmu, tapi kau benar-benar harus
segera bergerak! Sekarang!"
Nomor Sembilan berlari menghampiri dan
membantuku menarik Sarah hingga berdiri. Begitu Sarah
berdiri tegak, Nomor Sembilan langsung memeluknya.
Sambutan hangat itu membuat Sarah terkejut, sementara aku
sendiri bertanya-tanya saat melihatnya mengedipkan
sebelah mata dari atas kepala Sarah. "Sarah Hart! Tahu tidak?
Keparat ini sering sekali bercerita tentang dirimu." Aku
tersenyum ke arah Sarah, lalu Nomor Sembilan.
"Masa?" Sarah tertawa pelan sambil bersandar ke
arahku dan menautkan jari-jarinya di jari-jariku.
"Oke, oke. Ayolah, kalian berdua," Nomor Sembilan
mendesak sambil berlari kembali ke pintu.
Aku menatap mata biru Sarah. "Sebelum kita pergi,
aku harus menanyakan sesuatu kepadamu. Kau harus
mengerti aku harus menanyakannya. Kau tidak bekerja sama
dengan mereka, kan? Dengan pemerintah dan Mogadorian?"
Sarah menggeleng. "Kenapa sih, kalian selalu
menanyakan itu? Aku tak akan pernah mengkhianati kalian."
"Sebentar. Siapa kalian? Siapa lagi yang bertanya?"
"Nomor Enam," Sarah menjawab. Mata birunya
melebar. "Kau belum bertemu dengannya?"
"Kau bertemu Nomor Enam?" Marina menyela,
senang. "Kapan? Di mana?"
"Dia sedang bertarung melawan Setrakus Ra," kata
Sarah yang mulai panik lagi. "Mereka baru saja
membawanya."
"Setrakus Ra di sini?" aku bertanya. Sudah kuduga dia
ada di sini, tapi aku serasa disuntik kekuatan baru saat
mengetahui dugaanku itu benar.
"Apa? Tidak bisa! Itu pertarunganku!" Nomor
Sembilan berteriak.
"Jangan khawatir. Kalau kita cepat, mungkin kau
sempat menghajar Setrakus Ra," kataku. Saat memandang ke
koridor, aku melihat Nomor Delapan, Marina, dan Ella berlari
kembali ke arah kami.
"Ke sana," Marina berseru.
Aku meraih tangan Sarah dan menariknya di
belakangku. Kami semua berlari menyusuri koridor sampai
bertemu Bernie Kosar yang sedang berdiri sambil menyalak
tanpa henti di depan pintu logam seukuran pintu bongkar
muat barang.
"Di dalam sana pasti sedang terjadi sesuatu," kata
Nomor Delapan. "Aku akan melakukan teleportasi ke sana
dan mengintai."
"Tunggu, Delapan," aku mengangkat tangan untuk
menghentikannya. "Tak perlu mengintai. Kita lakukan saja.
Bersama-sama."
Nomor Delapan memandangku sejenak, lalu
mengangguk. "Kau benar. Ini untuk kita semua."
Saat kami berkumpul di dekat pintu itu, aku
memandang wajah-wajah mereka yang begitu yakin.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Termasuk Sarah. Dalam satu detakan jantung, dia sudah
berubah dari gadis cengeng yang baru saja diselamatkan
menjadi seorang kesatria. Sangat mengesankan. Tentu saja,
dia tidak tahu sama sekali tentang apa yang kami, para Garde,
pikir bakal terjadi. Ini bakal jadi pertarungan bersejarah,
kalau tak boleh dikatakan pertarungan yang ditakdirkan. Aku
yakin sekali semuanya terjadi untuk momen yang satu ini.
Selama ini kami bersiap untuk menghadapi momen ini.
"Apa pun yang di dalam sana, apa pun yang terjadi,"
kataku sambil menyalakan Lumen di tangan, "kita akan
membunuh Setrakus Ra, apa pun taruhannya." Aku
mengatakan ini kepada diriku, bukan kepada mereka.
"Kita semua, bersama-sama," kata Nomor Sembilan.
Aku meletakkan tanganku yang bersinar ke pintu.
Namun tepat pada saat akan meledakkannya, seorang wanita
berambut merah dengan lengan dalam gendongan berjalan
terpincang-pincang dari pintu di ujung koridor. Aku maupun
dia sama-sama terkesiap, lalu wanita itu berbalik dan berlari
kembali ke balik pintu.
"Tunggu! Agen Walker!" aku berseru memanggilnya.
"Walker? Kau bercanda?" tanya Nomor Sembilan
dengan tatapan heran. "Cewek prajurit yang berusaha
menangkap kita?" Sesaat, yang lainnya hanya memandang
bingung hingga akhirnya Nomor Delapan angkat bicara.
"Biar kujemput dia," katanya. Lalu dia menghilang.
Saat muncul kembali sejenak kemudian, Nomor Delapan
membawa Agen Khusus Walker, dengan lengan ditelikung di
balik punggung. Hal pertama yang kulakukan adalah merebut
lencana emas dari depan bajunya.
Nomor Sembilan mengambil lencana itu dari
tanganku, lalu memeriksanya secara saksama dengan gaya
yang dibuat-buat. "Wah, wah, wah. Siapa, nih? Agen Khusus
Walker?" Nomor Sembilan tergelak. "Tampangmu jelek
sekali!" Dia mengembalikan lencana itu kepadaku seakan
akan benda tersebut tiba-tiba penuh kuman.
"Kau sadar betapa menyedihkannya dirimu?" aku
membentak. "Bekerja sama dengan Mogadorian, melakukan
pekerjaan kotor mereka, buat apa? Mereka akan
menghancurkan kalian!"
"Aku cuma melakukan tugasku," katanya dengan
kaku. Nomor Delapan memeganginya erat-erat. "Kami
melakukan yang terbaik untuk negeri ini." Dia balas
menatapku dengan sikap menantang, tapi aku tahu sebentar
lagi kami akan membuat dia takut kepada kami.
Sarah menunjuk Agen Khusus Walker. "Aku pernah
melihatmu. John, dia ada waktu Nomor Enam dibawa pergi."
Nomor Sembilan merenggut kerah kemeja Agen
Khusus Walker, seperti dalam adegan film-film gangster.
Cengkeraman Nomor Delapan sama sekali tidak mengendur.
Nomor Sembilan mendekatkan wajahnya ke muka Agen
Khusus Walker. "Aku menginginkannya. Aku harus
membunuhnya."
Sekarang Walker panik sambil berusaha menjauh dari
Nomor Sembilan sekaligus membebaskan diri dari Nomor
Delapan. "Tunggu! Aku tahu di mana pesawat kalian!"
katanya memelas. "Aku tahu kalian menginginkan pesawat
itu. Tanpa aku, kalian tak akan pernah menemukannya."
"Pesawat kita di sini?" tanya Marina, jelas tidak yakin
apakah kata-kata Agen Khusus Walker dapat dipercaya.
Agen itu menyipitkan matanya. 'Akan kutunjukkan
kalau kalian melepaskanku."
"Bagaimana menurutmu, Empat?" tanya Nomor
Sembilan.
?John? Apa yang terjadi kalau kau menemukan
pesawatmu?" tanya Sarah sambil meraih lenganku.
"Kita tak punya waktu untuk ini!" Marina
mengingatkan. "Aku yakin Nomor Enam ada di dalam ruangan
ini. Aku yakin aku benar karena perempuan ini akan
mengatakan apa pun supaya kita tidak masuk ke sana!
Lupakan dia! Siapa yang peduli di mana pesawat kita! Kita
harus menemukan Nomor Enam dulu!"
Nomor Sembilan berkata, "Biar aku yang urus." Dia
membuat Walker melayang di udara lalu menyangkutkan
cantolan ikat pinggangnya ke lampu yang berada tinggi di
atas kami. Wajah agen itu merah karena murka. Nomor
Sembilan memandang kami, mengedipkan sebelah mata,
lalu menjentikkan jari di balik punggung, meledakkan pintu
hingga terbuka. "Marina benar. Nomor Enam dan Setrakus Ra
duluan. Mari?"
Dia tersenyum ke arah Sarah. "Menurut yang
kudengar dari Johnny, kau jago juga," katanya sambil
menyerahkan meriam Mogadorian milik Walker kepada
Sarah. "Bisa menanganinya?"
Sarah mengambil meriam itu. "Kalau dia bergerak
dari lampu itu, aku tembak. Dengan senang hati."
Aku memandang Garde yang lain. "Sudah saatnya."
Kami menyerbu masuk, tanpa perlu menentukan
siapa harus melakukan apa. Kami sudah tahu. Ruangan itu
hening dan gelap disertai bau menjijikkan yang menguar di
udara. Yang bisa kupikirkan adalah arena yang selalu muncul
dalam visiku. Inikah arena itu? Aku memandang berkeliling,
berusaha melihat apakah tempat ini kukenali. Bagian tengah
ruangan besar ini disinari cahaya remang. Nomor Sembilan
berlari ke lingkaran cahaya itu dan berteriak, "Saatnya keluar
dan bermain, Setrakus Ra keparat!"
"Di mana Enam?" tanya Marina. Dia mengikuti Nomor
Sembilan ke tengah ruangan, begitu juga Nomor Delapan.
Mereka buru-buru menurunkan Peti dan mulai mencari.
"Hei! Ada sesuatu di langit-langit," kata Ella, suaranya
bergaung di ruangan ini. Aku mendongak dan melihat
formasi kecil bebatuan yang tergantung dari langit-langit.
Lumenku kusorotkan ke sana, menerangi benda yang
ternyata mirip patung itu. "Ini salah. Aku tak tahu kenapa,
tapi ada yang salah di sini," kataku pelan.
Sementara kami memandangi bayang-bayang, kalau
kalau ada yang bergerak, Nomor Sembilan menggunakan
Pusaka antigravitasinya untuk berlari ke langit-langit dan
memeriksa formasi batu tersebut. Saat dia mendekat,
terdengar suara yang kukenal berseru, "Berhenti!"
Aku berbalik dan melihat Nomor Enam berdiri di
pintu. Segulung tali tebal tergantung dari pinggulnya dan
tangannya memegang pedang biru bergerigi. Dia tampak
baik-baik Baja. Nah, itu Nomor Enam yang kukenal. Percaya
diri dan kuat. Apakah dia berhasil? Mungkinkah Nomor Enam
sudah membunuh Setrakus Ra?
"Enam! Oh, Tuhan. Itu kau!" Marina memekik. "Kau
baik-baik saja!"
"Sudah berakhir," kata Nomor Enam. "Setrakus Ra
sudah mati. Yang ada di langit-langit itu racun Mogadorian.
Jangan dekat-dekat."
Kelegaan terasa di udara. Nomor Delapan pindah ke
samping Nomor Enam dengan teleportasi lalu memeluknya
erat-erat.
Nomor Enam memang yang paling kuat di antara
kami, bahkan lebih kuat daripada aku atau Nomor Sembilan.
Dia baru saja menyelamatkan Lorien, Bumi, dan mungkin juga
seluruh jagat raya. Aku ingin mengangkatnya, meletakkannya
di bahuku, lalu mengaraknya kembali ke Lorien.
Saat aku beranjak menghampirinya, Ella meraih
pergelangan tanganku dan menarikku mundur. Aku
mendengarnya dalam benakku. John. Ada yang salah.
Kejadian berikutnya seakan-akan terjadi dalam gerak
lambat. Nomor Enam menarik pedang biru bergerigi itu ke
belakang, lalu menusukkannya ke depan. Aku memandang
ngeri menyaksikan tubuh Nomor Delapan jadi kaku saat
ujung pedang itu menembus ke tengah bahunya. Dia
terhuyung ke depan. Nomor Enam mendorong tubuh Nomor
Delapan lepas dari pedang, membiarkannya jatuh ke lantai,
tak bergerak.
"Tidak!" jerit Marina dari belakangku sambil berlari
ke arah Nomor Delapan.
Aku lumpuh akibat syok dan naluriku mengambil alih.
Saat aku menunduk, bola api besar sudah terbentuk di
telapak tangan kananku. Kebingungan yang baru saja
kurasakan hilang dan aku tahu apa yang harus kulakukan. Dia
bukan Nomor Enam. Siapa pun dia, aku harus membunuhnya.
"Enam," kataku sambil memutar bola api di ujung
jari-jariku, "apa yang mereka lakukan kepadamu?"
Dia tertawa lalu mengangkat tangannya yang satu
lagi, mengacungkan tinju. Kilat biru melesat dari antara buku
buku jarinya dan merambat di sepanjang langit-langit
ruangan. Bola apiku lenyap. Apa yang terjadi?
"Empat!" Aku mendongak dan melihat Nomor
Sembilan meluncur jatuh dari atas. Pasti Pusaka
antigravitasinya juga tak berfungsi. Aku berhasil
menangkapnya tepat waktu sehingga dia tidak menghantam
lantai, lalu membantunya berdiri.
Marina berdiri dengan sikap melindungi di dekat
Nomor Delapan, dengan senjata teracung dan siap
menembak. Nomor Delapan terkapar kaku di lantai dan aku
tak tahu separah apa lukanya. Setidaknya aku tahu dia masih
hidup karena belum ada luka gores baru yang muncul di
kakiku. Marina menembakkan peluru yang berhenti
beberapa senti dari wajah Nomor Enam, kemudian jatuh
tanpa guna ke lantai. Aku berusaha membakar tubuhku
dengan Lumen lagi, tapi tidak terjadi apa-apa.
Dengan pedang diangkat tinggi-tinggi, tubuh Nomor
Enam mulai bergetar dan buram disertai kilasan putih. Dia
meninggi dan rambut pirang panjangnya menyusut hingga
menjadi pendek di tengkorak yang besar. Wajahnya
memanjang dan berubah. Bahkan sebelum bekas luka ungu
bersinar muncul di lehernya, aku tahu dia berubah menjadi
Setrakus Ra. Tanpa bersuara, dua pasukan prajurit
Mogadorian masuk dari pintu di kanan dan kiri ruangan lalu
mengapit pemimpin mereka. Aku, Nomor Sembilan, Marina,
dan Ella bergerak mendekat tanpa mengucapkan sepatah
kata pun dan berdiri di dekat Nomor Delapan, untuk
menunjukkan kami akan menghadapi Setrakus Ra bersama
sama.
"Kalian semua berkumpul. Bagus sekali. Kuharap
kalian siap mati," geramnya.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurasa kau salah," jawabku.
"Nomor Enam juga berpikir begitu. Tapi dia salah.
Benar-benar salah." Setrakus Ra tersenyum, giginya yang
kotor dan menjijikkan berkilauan tertimpa cahaya remang.
Nomor Sembilan memandangku dan menggosokkan
kedua tangannya, tak sabar menantikan ini. 'Johnny, apakah
kita pernah membahas tentang pentingnya kesehatan mulut
dan gigi bagiku?" Dia kembali menatap Setrakus Ra. "Dude,
sebelum kau berpikir untuk mengancamku, gosok dulu
gigimu!" Dia memanjangkan tongkat merah bersinarnya,
menghadap Setrakus Ra, lalu berlari menyerbu. Untung,
Warisan kami masih berfungsi.
30
DARI SUDUT MATA, AKU MELIHAT NOMOR sembilan
menyerbu Setrikus Ra. Aku kembali memandang Nomor
Delapan, untuk melihat apakah aku mampu
menyembuhkannya. Tanganku terus kutekankan pada luka di
dada Nomor Delapan, menunggu Pusakaku berfungsi
kembali. Tidak terjadi apa-apa. Aku meminta Nomor Delapan
bertahan, melawan rasa sakit, tapi mata cokelatnya berputar
ke belakang, dan napasnya semakin lama semakin pendek.
Aku panik. Aku teringat lukisan dari gua Loric, yang
menggambarkan Nomor Delapan dibunuh oleh pedang
Setrakus Ra. Apakah ramalan itu benar? Aku terus
menekankan tanganku ke seluruh bagian dadanya dengan
putus asa.
"Marina!" John berseru. "Kita harus mengeluarkanmu
dan Nomor Delapan dari sini. Sekarang! Aku yakin Pusaka kita
bisa berfungsi lagi kalau kita menjauhi Setrakus Ra. Kalau
dugaanku benar, kau dapat menyelamatkan Nomor Delapan.
Lukanya terlalu parah dan tak bisa disembuhkan batu
penyembuh."
"Dia sekarat," aku berhasil bicara walau tersedak.
"Apa pun yang kita lakukan, mungkin terlambat." Aku tak
mampu menguatkan diri untuk memberitahunya tentang
lukisan di gua itu. Aku bertanya-tanya apakah Nomor
Delapan memikirkannya, mengingat lukisan itu, menyadari
mungkin inilah saatnya. Semoga tidak.
"Kalau begitu kita harus cepat," kata John sambil
menyerahkan meriam Mogadorian kepadaku dan
mengangkat Nomor Delapan. "Tembak apa saja yang bukan
teman kita."
Kami berlari secepat mungkin menuju pintu yang
jaraknya seratus meter atau lebih sambil terus mengawasi
mereka yang sedang bertempur. Seiring banyaknya
Mogadorian yang kuubah jadi abu saat berlari, aku merasa
semakin kuat. Aku berusaha untuk tidak memikirkan di mana
Nomor Enam berada?Nomor Enam yang sungguhan?atau
apa yang terjadi padanya. Aku tahu yang tadi itu bukan
Nomor Enam. Andai saja aku membunuh makhluk itu
sebelum dia memperlihatkan dirinya yang asli. Aku
memandangi ruangan. Nomor Sembilan bertarung melawan
Setrakus Ra. Sekadar bertahan. Tongkatnya beradu dengan
pedang Setrakus Ra. Walaupun Nomor Sembilan kuat,
tampaknya Setrakus Ra cuma main-main dengannya,
menunggu saat yang tepat untuk mengirimkan pukulan
mematikan.
Segenap kepercayaan diri dan kekuatan yang
kurasakan barusan langsung terkuras habis. Mereka terlalu
banyak, sedangkan kami terlalu sedikit. Selain itu, Pusaka
kami tidak berfungsi, yang artinya kami cuma anak-anak
biasa. Anak-anak biasa yang bertarung melawan pasukan
alien yang terorganisasi. Meski ingin meninggalkan yang lain,
aku sadar John benar. Aku tahu aku harus keluar supaya bisa
menyembuhkan Nomor Delapan. Kami harus
menyembuhkan Nomor Delapan.
Saat kami hampir sampai di pintu, dua lusin
Mogadorian menghampiri. Sebagian dari mereka membawa
meriam, sementara sebagian lagi memegang pedang.
Mereka semua tampak tak dapat dibendung. Aku berusaha
menembak, tapi gerombolan Mogadorian yang menyerbu itu
tidak terpengaruh tembakan meriam tersebut. Jumlah
mereka terlalu banyak. Setelah John menurunkan Nomor
Delapan tepat di luar pintu, dia bergabung denganku,
menyerbu ke arah pasukan Mogadorian dengan pedang
terhunus. Aku bertarung di sampingnya. Aku tak akan
membiarkan John kalah walaupun kesempatan kami begitu
tipis. Kami saling jaga dan saling menguatkan saat salah satu
merasa lemah. Karena itulah, selama ini kami selamat dan
karena itulah, kami akan menang. Kami lebih kuat saat
bersatu.
John membantai Mogadorian satu per satu dengan
cepat dan secara metodis. Aku menembak mantap sambil
bergerak untuk menghalangi pintu sekaligus melindungi
Nomor Delapan. Di luar pintu, aku merunduk untuk
mengecek kondisi Nomor Delapan. Aku dapat merasakan
denyut nadinya yang lemah dan aku tahu Pusakaku kembali
berfungsi. Aku meletakkan tanganku di tubuhnya dan
berbisik mantap, "Kau tak boleh mati, Delapan. Dengar? Aku
akan menyembuhkanmu. Pusakaku sudah kembali dan aku
akan menyembuhkanmu."
Tiba-tiba, aku tersadar semua Mogadorian yang
menyerbu ke arah kami telah lenyap?hancur. Keheningan
yang mendadak itu membuatku terkejut.
"Cepat. Yang datang makin banyak," desak John.
Kami mendengar jeritan memekakkan?dari pintu itu
kami dapat melihat Bernie Kosar berubah jadi hewan buas.
Dia dikelilingi Mogadorian yang berusaha menyabetnya, tapi
dia melompat mendekati dan menjauhi jangkauan mereka.
Para Mogadorian tak dapat mengenai Bernie Kosar, tapi dia
juga tak mampu melukai mereka. Saat kami masuk ke
ruangan lagi, Setrakus Ra menarik cambuk yang ujungnya
mulai terbakar dan melecutkannya ke lengan Nomor
Sembilan. Lukanya langsung menghitam. Saat John menoleh
ke arahku untuk mengatakan sesuatu, terdengar bunyi
tembakan. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, tubuh
John kejang-kejang dan dia roboh.
Tubuhku tertahan di langit-langit, terkurung dalam
batu hitam. Aku memandangi para Garde bertarung mati
matian, tapi aku tak dapat merasakan tubuhku apalagi
memberi tahu mereka bahwa aku ada di atas sini. Aku tak
berdaya dan kesal karenanya. Sepanjang hidup ini aku dilatih
untuk tidak menjadi tidak berdaya. Setrakus Ra bukan
petarung hebat. Dia mengalahkan kami hanya karena dia
mampu membuat kami tak berdaya. Aku ingin berdiri di
bawah sana sambil memegang kepala Setrakus Ra agar
semua Mogadorian melihatku. Akan kupastikan mereka
menyaksikan kehancuran pemimpin mereka, setelah itu aku
akan membuat mereka semua jadi tumpukan abu.
Apakah aku menyaksikan cita-cita Lorien pupus?
Kami pikir kami begitu kuat, sangat pintar, dan amat siap.
Kami kira kami akan mengakhiri perang ini dan terbang
pulang ke Lorien. Bodoh sekali. Kami bodoh dan sombong.
Kami tahu Setrakus Ra adalah pemimpin Mogadorian yang
hebat dan keji, tapi kami tak tahu apa-apa tentang cara
maupun kekuatan apa yang digunakannya saat bertarung.
Kalau direnungkan kembali, jelas saja dia punya kemampuan
untuk melumpuhkan Pusaka kami.
Seandainya aku dapat berkomunikasi dengan kawan
kawan Gardeku?aku dapat mengomando mereka dengan
baik dari sudut pandang ini. Contohnya, aku dapat melihat
bahwa walaupun para Mogadorian ini secara fisik sangat
kuat, mereka hampir atau malah tidak memiliki teknik
mental. Mereka benar-benar bodoh seperti batu tempatku
terkurung. Jurus mereka sudah terlihat, bahkan sebelum
mereka bertindak. Rencana penyerangan mereka mudah
dibaca karena memang tak ada rencana. Mereka cuma
mengandalkan jumlah dan otot. Musuh seperti itu mudah
ditaklukkan kalau kita tahu apa yang kita hadapi. Namun
kalau kita ada dalam pertarungan itu, kita tak mungkin
menyadarinya. Seandainya aku bisa memberi tahu para
Garde untuk memusatkan seluruh energi dan kekuatan
mereka demi melawan Setrikus Ra. Kalau tidak, aku takut
pertarungan ini cuma sebentar. Para Mogadorian jelas bakal
menang.
Aku menyaksikan Bernie Kosar ditikam. Dia berubah
wujud menjadi hewan buas raksasa, seperti waktu di
Paradise dulu. Tubuhnya besar dan berotot dengan gigi dan
cakar tajam bergerigi, serta dua tanduk melengkung yang
muncul dari kepala. Aku melihat cambuk Setrakus Ra
mengenai Nomor Sembilan dan membuat tangannya
menghitam. Kurasa sebentar lagi dia bakal jadi sepertiku.
John tertembak, dan dia roboh sambil menggeliat kesakitan.
Marina memungut meriam dan mulai menembaki para
Mogadorian yang menyerbu.
Ella mengendap-endap keluar. Apakah dia punya
rencana?
Raungan kesakitan BK mengalihkan perhatianku dari
Ella. Aku melihat Chimaera itu jatuh berlutut. Walaupun
masih bertarung dan membunuhi Mogadorian, lukanya
sangat parah. Batinku pedih menyaksikan BK perlahan-lahan
dikalahkan dengan begitu menyakitkan.
Tubuhku terluka. Aku dapat merasakan darah dan
kekuatanku terkuras, tapi tak sanggup melakukan apa-apa.
Gelombang demi gelombang Mogadorian terns
berdatangan. Entah berapa banyak Mogadorian yang sudah
kami bunuh hari ini, tapi sepertinya itu tak berarti apa-apa.
Tanpa Pusaka kami, pertarungan ini bagaikan mencoba
membendung tsunami dengan setumpuk keju Swiss.
Marina di belakangku, menembaki para Mog. Aku
memandang Bernie Kosar dan melihat para Mogadorian
sudah mengikat tanduknya dan menyeretnya ke pojok.
"Pengecut! Kau ini benar-benar pengecut! Kau harus
melumpuhkan kami dulu sebelum bertarung melawan
kami!" terdengar Nomor Sembilan berteriak. Aku melihatnya
di tengah ruangan dengan salah satu lengan yang hitam dan
bergantung berat tanpa guna, sementara Setrakus Ra
menggulung cambuknya kembali.
Pemimpin Mogadorian itu tersenyum. "Silakan
panggil aku apa saja. Toh kau tetap bakal mati." Dia
melecutkan cambuk ke depan. Nomor Sembilan mencoba
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menahan ujung cambuk berapi itu dengan tongkat. Namun
dengan satu tangan, itu mustahil. Salah satu ujung cambuk
mengenai tangan Nomor Sembilan dan membuat tongkatnya
terpelanting, sementara ujung yang lain menampar
wajahnya. Dia menjerit kesakitan saat tangan sekaligus
wajahnya menghitam. Setrakus Ra bergerak menghampiri.
Aku harus melakukan sesuatu sebelum jadi tak berdaya, atau
mati. Aku mulai menembakkan meriamku ke arah Setrakus
Ra dari tempatku di lantai. Setidaknya aku dapat
mengalihkan perhatiannya. Aku akan melakukan apa pun
yang bisa kulakukan. Setrakus Ra menghentikan setiap
proyektil yang kutembakkan di udara, lalu menepiskannya
seakan-akan peluru-peluru itu bukan apa-apa.
Bunyi meriam lain terdengar. Aku menoleh ke pintu
dan melihat Sarah masuk sambil menembaki para
Mogadorian, diikuti Ella. Sarah. Dia belum dilatih. Dia tak
mungkin hidup melawan para Mogadorian dan Setrakus Ra!
"Sarah!" aku berteriak. "Kau harus keluar! Ini bukan
pertarunganmu!"
Sarah mengabaikanku dan terus bergerak lebih jauh
memasuki ruangan. Nomor Sembilan berusaha menjauhi
Setrakus Ra, tapi kedua lengannya yang sekarang benar
benar hitam memberatinya. Wajahnya juga berubah jadi
sehitam tangannya. Setrakus Ra menyerang Nomor Sembilan
lagi, kali ini menghantamkan kedua ujung cambuk tepat ke
tengah dadanya. Nomor Sembilan menjerit, sementara
Setrdkus Ra berteriak, "Katanya kau mungkin lawan
terhebatku. Tapi lihat dirimu, kau bukan apa-apa!"
Sementara Setrakus Ra menarik cambuk sekali lagi
untuk mengirimkan lecutan mautnya ke arah Nomor
Sembilan, Ella melesat dari belakang Sarah dan melemparkan
suatu benda merah, kecil, dan tampak buram ke arah
Setrakus Ra. Benda itu mengenai lengan Setrakus Ra,
menyebabkannya menunduk, kaget, lalu meraung
menulikan.
Aku merasakan sesuatu dalam diriku berubah.
Rasanya begitu cepat dan kuat, seakan-akan seseorang
menghubungkanku ke sumber energi. Aku berkonsentrasi ke
tanganku dan sekali lagi mencoba menyalakan Lumen.
Berhasil. Pusaka kami kembali.
Aku mendengar Marina berteriak di belakangku
sambil berlari menghampiri Nomor Delapan yang masih
tergeletak di luar pintu. Aku menyaksikannya mengusap
dada Nomor Delapan, berusaha menyembuhkan lukanya.
Marina memandangku melalui pintu. "Apa yang terjadi?"
Aku menggeleng. "Entahlah, tapi sekarang kita bisa
benar-benar bertarung."
Dengan telapak tangan menyala, aku berbalik ke
tengah ruangan tempat Setrakus Ra mencakari lengannya,
berusaha mengeluarkan benda merah kecil yang Ella
lemparkan tadi. Setelah berhasil, dia berbalik lalu
melecutkan cambuk ke arah Ella dan Sarah yang masih
menembakkan meriam. Mereka kurang cepat menyingkir.
Cambuk itu mengenai mereka. Keduanya roboh.
Begitu panah kecil itu mengenai Setrikus Ra, aku
merasakan perubahan. Pusakaku kembali. Kekuatanku mulai
pulih. Aku bisa keluar dari sini dan membantu yang lain.
Aku mencoba bergerak dalam cangkang hitam ini dan
sepertinya tubuhku berhasil bergeser sedikit, tapi itu tidak
cukup untuk mendobrak keluar.
Aku terus bergerak-gerak sambil memandang ke
bawah. John bersama Sarah dan Ella yang roboh. Di belakang
John ada tetesan darah dan juga tumpukan abu. Marina
keluar untuk menyembuhkan Nomor Delapan. Bernie Kosar
masih di pojok, tapi sekarang dia merobek para Mogadorian
yang menyeretnya ke sana beberapa detik lalu. Nomor
Sembilan masih di tengah ruangan menghadapi Setrakus Ra.
Dia berhasil membebaskan tangan dan wajahnya dari batu
hitam yang menguasai tubuhnya.
Menyaksikan itu memberiku harapan bahwa aku
dapat keluar dari penjara batuku, dan aku terus bergerak
sampai merasakan cangkang ini mulai goyah. Sebentar lagi
aku keluar. Aku ingin segera bebas. Satu-satunya yang
kuinginkan saat ini adalah menunjukkan kepada Setrakus Ra
seperti apa rasanya bertarung dengan sungguh-sungguh.
Tepat pada saat kukira aku tak akan mampu
menyembuhkan Nomor Delapan, Pusakaku kembali. Aku
meletakkan tangan pada luka di tengah dadanya dan
merasakan Pusakaku mulai bekerja. Detik demi detik berlalu,
detak jantungnya semakin lama semakin kuat. Baru kali ini
aku merasakan sesuatu yang begitu indah, suara dug dug dug
mantap itu. Seandainya saat ini aku bukan di tengah
pertarungan hidup-mati demi masa depan kami, kurasa aku
bakal menangis. Namun aku menguatkan diri dan
mengendalikan emosi.
Aku menunduk dan melihat mata Nomor Delapan
bergetar membuka, lalu dia memandangku. "Kau harus tahu
Nomor Enam mencoba?" dia berusaha berkata.
Aku memotongnya. "Itu bukan Nomor Enam. Dia
Setr?kus Ra. Aku tak tahu bagaimana, tapi dia Setrikus Ra."
"Tapi ...?" Sorot mata Nomor Delapan yang bingung
membuatku sedih.
"Delapan, aku tak bisa menjelaskan semuanya
sekarang. Bagaimana rasanya? Bisakah kau berdiri? Kita harus
masuk ke sana, bergabung dengan yang lain, dan bertempur.
Siap? Aku harus menyembuhkan John, jadi kau harus
mengalihkan perhatian. Mengerti?"
Dia mengangguk dan aku bergerak untuk bangkit, tapi
ada satu hal yang harus kulakukan sebelum segalanya
terlambat. Aku menatap mata Nomor Delapan, mata
cokelatnya yang indah, menarik napas dalam-dalam, lalu
menciumnya. Dia tampak kaget saat aku menjauhkan diri.
Aku mengangkat bahu dan tersenyum. "Hei, tak ada saat yang
lebih baik daripada sekarang, kan?" Sebelum dia dapat
mengatakan atau melakukan sesuatu, aku berbalik dan
mencari John. Aku harus menyembuhkannya secepat
mungkin. Tadi dia menghadang tiga tembakan meriam demi
melindungiku. Kalau aku tidak menyembuhkannya sekarang
juga, dia bakal mati.
Di lantai ada jejak darah yang John tinggalkan saat
menyeret tubuhnya melintasi ruangan. Aku dan Nomor
Delapan mengikuti jejak itu. Asap tebal bergantung di udara
akibat semua ledakan meriam. Begitu dekat, kami melihat
John yang berlutut sambil menembakkan bola api dari
tangannya ke arah gerombolan Mogadorian yang berusaha
mendekati Ella dan Sarah. Saat kami bergerak menujunya,
para Mogadorian menembaki kami. Namun, karena sekarang
telekinesisku bisa digunakan kembali, tembakan mereka
dapat kutangkis. Nomor Delapan juga mulai bertarung. Aku
berlari ke samping John dan mulai mengobati lukanya.
Napasnya berat dan wajahnya sangat pucat. Dia kehilangan
banyak darah.
"John! Coba diam sebentar supaya aku bisa
menyembuhkanmu!" aku harus berteriak untuk mengatasi
kekacauan dan keributan yang ada. Aku meraih dagunya dan
memaksanya menatapku.
Dia menggeleng dan berusaha melepaskan
peganganku. "Kalau aku berhenti, para Mog bakal
membunuh Sarah dan Ella."
398 THE RISE OF NINE PITTACUS LORE 399
"Kalau kau tidak diam, kau bakal mati. Nomor
Delapan sudah sembuh?dia dapat melindungi kita,
sementara aku mengobatimu. Kumohon! John! Kami
membutuhkanmu." Aku merasakan dia berhenti bergerak.
Aku mengamati luka-luka di kakinya yang tampak
serupa. Darah terus mengucur dari lubang-lubang di kedua
kakinya itu. Aku menyembuhkan kaki yang kanan dulu, dan
langsung tahu tulang paha Nomor Empat juga patah. Dia
menjerit saat tulang itu kembali, tapi suaranya ditelan
keributan. Tangannya mengepal, sementara aku
menyembuhkannya.
Kaki yang satu lagi tidak terlalu parah sehingga aku
dapat lebih cepat menyembuhkannya. John mulai bernapas
dengan lebih mudah. Aku meraih lengannya dan berteriak ke
telinganya, "Kau tampak jauh lebih baik!"
Aku meletakkan tangan pada luka di lengan atas John
dan dapat merasakan otot-ototnya, bisep maupun trisep,
robek. Perlu satu atau dua menit untuk menyembuhkannya.
Nomor Delapan masih menembaki Mogadorian yang terus
berdatangan, tapi gerakan mereka lebih cepat daripada yang
sanggup ditahannya.
Aku merasakan otot-otot John akhirnya menyatu dan
dia sembuh. John memandangku dan aku mengangguk. Dia
melompat berdiri, lalu berlari untuk membantu Nomor
Delapan melindungi Ella dan Sarah yang masih tergeletak.
Aku merasa kuat. Bagus. Sarah dan Ella melakukan
suatu keajaiban sehingga Pusaka kami pulih kembali,
membuat kami dapat bertarung, tapi sekarang keduanya
terluka. Aku akan mengubah setiap Mogadorian ini jadi abu
karena menyakiti teman-temanku.
Aku menyerbu maju sambil melontarkan bola api ke
arah para Mogadorian. Aku tahu membunuh makhluk hidup
bukan sesuatu yang pantas dinikmati, tapi saat ini, rasanya
luar biasa. Setelah aku bangkit, Nomor Delapan melakukan
teleportasi ke segala penjuru ruangan, muncul di depan para
Mogadorian dan mencacah mereka dengan pedangnya.
Nomor Sembilan masih bertarung melawan Setrakus Ra, tapi
gerakan mereka terlalu cepat sehingga keduanya tampak
kabur. Aku harus ke sana dan bertarung, tapi aku juga harus
diam di sini untuk melindungi Sarah serta Ella.
Tiba-tiba, Mogadorian yang berlari ke arahku
berbelok. Meriamnya bukan dibidikkan ke arahku, melainkan
diacungkannya ke arah Sarah dan Ella yang masih tergeletak
tak bergerak. Mogadorian itu menembak, menyebabkan
tubuh Sarah dan Ella mengejang. Aku menjerit.
Aku memandang ngeri saat tubuh Ella dan Sarah
dihantam tembakan meriam Mog. John berlari ke arah
mereka dan aku bergegas ke sampingnya. Dia berlutut di
samping Sarah dan Ella sambil memegangi tangan keduanya,
sementara tubuh mereka bergetar. Kami terlambat.
Setelah semua ini, setelah kami berhasil sampai
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejauh ini dan saling bertemu, tampaknya kami akan
kehilangan Garde lain. Juga Sarah. John baru saja bertemu
dengannya, tapi sekarang dia bakal kehilangan Sarah lagi.
Aku menutup mata, menyiapkan diri merasakan goresan lain
membakar kakiku, goresan yang melambangkan Ella. Aku
tahu yang ini bakal sakit luar biasa.
Namun, ternyata tidak terjadi apa-apa. Apakah Ella
berbeda sehingga kematiannya tidak menimbulkan goresan?
Tidak mungkin. Aku membuka mata dan memandang John
yang masih membungkuk di dekat Sarah dan Ella sambil terus
meremas tangan mereka.
Aku menatap kedua gadis itu dan tak dapat
memercayai penglihatanku. Luka keduanya?luka akibat
meriam yang menghantam tubuh mereka dan luka bakar
mengerikan di wajah mereka?sembuh. "Apa yang terjadi?
Bagaimana caramu melakukannya?" aku bertanya pada John
sambil memandangnya kagum.
"Aku tak tahu," jawabnya sambil menggeleng. "Aku
tak tahu aku dapat melakukan ini. Aku melihat Sarah di lantai
dan aku tak akan membiarkannya mati. Juga Ella. Atau Garde
lainnya. Aku tak akan membiarkan itu terjadi, terutama
sekarang, setelah kita bersatu. Aku memegang tangan
mereka dan berpikir aku sangat ingin luka mereka sembuh,
andai saja aku mampu menyembuhkan mereka lalu itu
terjadi begitu saja."
"Kau punya Pusaka baru!" aku menangis sambil
meremas bahu John.
"Atau aku setengah mati menginginkannya sehingga
mukjizat terjadi. Apa pun itu, mereka berdua sembuh." Dia
tertawa, lelah sekaligus lega. John memandang ke tengah
ruangan, tempat Nomor Sembilan yang masih bertarung.
"Marina, sekarang bukan saatnya mengalahkan Setrakus Ra.
Walaupun Pusaka kita sudah kembali, kurasa kita belum
mampu mengalahkannya. Aku juga tak mau mengambil risiko
kehilangan Garde lagi. Kita harus menemukan Nomor Enam.
Setelah itu, kita harus mencari cara untuk keluar dari sini,
berkumpul kembali, dan memikirkan rencana baru. Kita akan
membunuh Setrakus Ra atau mati bersama-sama. Namun,
kita akan melakukannya pada saat yang kita tentukan, begitu
kita tahu kita siap."
Kami mendengar erangan kemudian menunduk
memandang Sarah serta Ella. Mata mereka membuka dan
pipi mereka kembali merona. John membungkuk dan
mencium Sarah.
Cangkang ini akhirnya mulai pecah. Aku
menegangkan lengan dan menendang, lalu mulai jatuh
bersama pecahan cangkang terakhir. Aku menggunakan
telekinesis untuk menurunkan tubuhku ke lantai.
Aku berbaring sebentar di lantai, berusaha
menenangkan napasku. Asap begitu tebal sehingga mataku
berair. Tiba-tiba, ledakan besar mengguncang ruangan. Alarm
menyala, lampu merah berkelap-kelip dan raungan sirene
yang memekakkan memenuhi udara. Aku dapat melihat
Lumen John menyala lalu bergerak ke sana menembus asap.
Ella, Marina, dan Sarah berdiri di samping John. Saat aku
semakin dekat, Nomor Delapan muncul berteleportasi ke
samping Marina. Bernie Kosar sudah kembali menjadi anjing
beagle dan terpincang-pincang menghampiri John.
Begitu melihatku, Ella berteriak dan memelukku. Aku
membalas pelukannya dan memandang John. Melihat
wajahnya lagi seperti mimpi yang jadi kenyataan. Dia
menyentuh lenganku. "Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk. "Kalau kau?" aku bertanya. Aku
tahu suaraku terdengar lelah dan kalah seperti halnya
perasaanku.
"Kami semua selamat?tapi Nomor Sembilan mana?"
jawabnya sambil memandang berkeliling dan kami pun
menyadari suara pertarungan sudah lenyap. Kami berlari ke
tengah ruangan, ke tempat Nomor Sembilan bertarung
melawan Setrakus Ra dan menahannya. Nomor Sembilan
tergeletak tak bergerak di lantai, sedangkan Setrakus Ra tidak
terlihat di mana pun. Marina langsung berlutut ke samping
Nomor Sembilan dan dengan panik menyentuh tubuhnya.
Aku berputar, berusaha melihat menembus asap untuk
memastikan Setrakus Ra tidak bersembunyi sambil menanti
kesempatan untuk menangkap dan membunuh kami,
sementara kami memunggunginya. Selain lengkingan alarm,
ruangan ini sangat sunyi dan aku sadar tidak ada Mogadorian
di mana pun.
"Dia hidup!" teriak Marina. "Dia cuma tak sadar."
Nomor Sembilan duduk sambil menggelengkan kepala
dengan bingung.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Aku baru mau tanya yang sama," sahut Nomor
Delapan. "Ada ledakan lalu semua orang, kecuali kita
bertujuh lenyap."
"Aku tak tahu?aku tak melihat ke mana dia pergi.
Aku berusaha mempertahankan diri, melawannya, tapi
sedetik kemudian aku sudah di lantai."
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Sarah.
"Kita harus pergi dari sini," kata John. "Setrakus Ra
bisa muncul lagi kapan saja, dan ini mungkin perangkap.
Walaupun ini markas pemerintah, jelas tempat ini tidak
aman."
"Ada yang tahu jalan keluar dari sini?" aku bertanya.
Mereka semua saling pandang dengan muram.
"Kita harus kembali ke tempat kita masuk tadi,"
Nomor Delapan mengusulkan. "Kemampuan teleportasiku
tak dapat membawa kita semua."
"Oke," John menyepakati. "Entah apa yang akan kita
hadapi dalam perjalanan ke sana. Kita mungkin harus
bertarung melawan prajurit Mogadorian atau manusia. Tapi
sekarang kita harus terus bersama. Kita tak boleh berpencar
lagi."
Nomor Sembilan mendekat dan berdiri di sampingku,
lalu memandangiku dari atas ke bawah. "Sepertinya belum
ada yang memperkenalkan kita. Senang bisa bertemu
denganmu, Cantik. Aku Nomor Sembilan," katanya sambil
mengedipkan sebelah mata ke arahku. Aku memutar bola
mataku, sementara John terkekeh.
Aku memandang berkeliling sejenak. Ajaib. Kami
semua bersatu, dan hidup. Setiap Loric hidup di Bumi, kecuali
satu, sekarang berdiri berdekatan satu sama lain.
Kami hidup dan bertarung. Itu artinya kami masih
punya kesempatan. Kami akan bertemu Setrakus Ra lagi.
Dalam waktu dekat. Lain kali, dia tidak akan bisa melarikan
diri dari kami.
Tamat
Beruang Salju Karya Sin Liong Obat Pamungkas Magic Bullet Karya Harry Titisan Roh Sang Legenda Karya Tara
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama