The Fall of Five Karya Pittacus Lore Bagian 3
itu karena mendadak Nomor Lima tersentak menuju tanah.
Karena terguncang, aku berpegangan ke punggung kausnya
sampai dia dapat terbang lurus kembali. Kausnya basah
akibat keringat.
"Kau baik-baik saja?" aku berteriak agar dia dapat
mendengar suaraku di antara gemuruh angin dan raungan si
kaki seribu.
"Ternyata membawa pelontar api itu tidak mudah,
ya," dia balas berteriak, berusaha bercanda, tapi suaranya
~123~
terdengar lelah.
"Sebentar lagi. Bertahanlah!"
Mata si kaki seribu berputar ke belakang dan ke atas,
lalu melihat kami. Dia meraung lagi, kali ini dengan senang,
lalu tubuhnya menjulang dan seluruh lengan kecilnya meraih
ke udara. Wajah jeleknya melesat kencang ke arah kami, gigi
giginya menggertak. Nomor Lima menjerit dan kami terbang
mundur dengan kencang, menyebabkan hewan buas itu
menelan udara kosong tempat kami berada barusan.
Pergantian arah mendadak itu menyebabkan
tubuhku terlempar dari punggung Nomor Lima. Tanganku
menggenggamrobekan kausnya. Aku jatuh.
Namun, aku berhasil menggunakan telekinesis untuk
mendorong tanah sehingga tubuhku tidak mendarat dengan
keras. Kalau tidak, mungkin kakiku sudah patah saat
menghantam tanah. Namun, tetap saja aku terengah
menahan sakit akibat membentur tanah cukup keras. Dan
yang paling parah, aku jatuh tepat di depan si kaki seribu.
Dan kejauhan, aku mendengar Nomor Enam dan
Sarah berteriak menyuruhku lari. Terlambat. Si kaki seribu
yang cuma tiga puluh lima meter di depanku berpacu
mendekat. Mulut hewan itu terbuka lebar, bau memuakkan
menguar dari kegelapan kerongkongannya. Aku
menguatkan diri dan menyalakan Lumen ke seluruh
tubuhku. Kalau hewan itu ingin menyantapku, aku akan
membuatnya terbakar habis. Jika aku berhasil melompat
melewati deretan giginya, mungkin aku dapat membakar isi
perut hewan tersebut. Ditelan oleh kaki seribu Mogadorian
memang bukan rencana yang bagus, tapi dalam waktu
sesingkat itu, hanya itu yang berhasil kupikirkan sebelum dia
menjulang di atasku.
Saat hewan itu mendekat, aku melihat titik merah
mirip sinar laser pointer terpantul di matanya. Dari mana
~124~
asalnya?
Salakan senapan terdengar dari
belakangku. Mata si monster meledak. Karena jarak
kami cuma beberapa meter, lendir mata berbau menjijikkan
menyiram tubuhku. Hewan itu memekik sambil mengangkat
tubuh tinggi-tinggi, sama sekali lupa akan diriku. Aku
menggunakan kesempatan itu untuk mundur sambil
melontarkan bola api ke perutnya. Hewan buas itu mulai
kejang-kejang, ekornya menampar-nampar kuat,
menyebabkan tanah berguncang. Sesaat kemudian, kaki
seribu itu roboh ke tanah dan perlahan-lahan lenyap menjadi
abu.
Nomor Lima mendarat di sampingku sambil
memegangi kepala dengan kedua tangan. "Aku benar-benar
minta maaf karena menjatuhkanmu."
"Tidak apa-apa," jawabku sambil mendorongnya ke
samping dan berbalik ke arah Monster Mart. Kami sama
sekali tidak membawa senapan tembak jitu. Dari mana
tembakan itu berasal?
Nomor Enam dan Sarah berlari menghampiri pria
setengah baya tinggi berjanggut yang sedang menuruni atap
sebuah mobil tua usang. Dia memegang senapan tembak jitu
yang dilengkapi teropong bidik laser. Mulanya kupikir dia itu
cuma seorang baik hati?siapa sih, yang tidak akan
menembak makhluk cacing raksasa yang mengamuk di
lingkungan mereka? Namun, sesuatu dari dirinya rasanya
sangat kukenal.
Kemudian, aku melihat orang lain yang berdiri di
samping mobil dan sedang membantu bapak itu turun dari
posisi penembak jitunya. Saat Nomor Enam tiba di dekat
mereka, dia langsung memeluk pemuda itu dan nyaris
membuatnya terjatuh. Aku terperangah, lalu segera berlari.
Sam.
~125~
~126~
14
NOMOR ENAM MEMELUKKU BEGITU ERAT SAMPAI aku
nyaris terjatuh. Lengannya membelit leherku, sementara
tanganku memeluk di punggungnya. Bagian belakang
kausnya basah akibat keringat dari pertempuran tadi, tapi
aku sama sekali tidak keberatan. Aku lebih memperhatikan
rambut hitamnya yang menggesek lembut pipiku. Fantasi
yang dulu meramaikan hari-hariku selama dipenjara,
sebagian besar, termasuk adegan seperti ini, jadi aku
menghayatinya.
"Sam," Nomor Enam berbisik, terpana, sambil
memegangiku seakan-akan aku bakal lenyap, "kau di sini."
Sebagai jawaban, aku mempererat pelukanku. Kami
berpelukan lebih lama daripada yang sewajarnya ketika
berada di dekat orang lain. Aku mendengar ayahku
berdeham di sampingku.
"Hei, Enam, bagaimana kalau kau beri kesempatan
pada yang lain?"
Itu Sarah, yang sudah berdiri di dekat kami. Nomor
Enam melepaskanku, mendadak tampak malu. Aku tak yakin
pernah melihat sikapnya yang biasanya tangguh jadi serapuh
itu. Rasanya rona merah merayapi pipiku.. Untung di sini
gelap.
"Hai, Sam," kata Sarah sambil memelukku.
"Hai," aku menjawab."Tak menyangka akan bertemu
denganmu di sini. Paradise kan jauh."
"Memang," sahut Sarah.
Dari balik bahu Sarah, aku melihat John berlari kecil
ke arah kami diikuti pemuda gempal berambut cokelat.
Sepertinya itu Nomor Lima, yang baru-baru ini mengirimkan
pesan secara online. Pesan itulah yang menyebabkan aku
dan Dad ke Arkansas, karena program pemindai internetnya
~127~
menemukan berita itu. Kami mengemudi tanpa henti dari
Texas dan tiba di sini tepat pada saat pertempuran hampir
berakhir.
Sementara Nomor Lima berdiam di belakang, gugup
karena bertemu begitu banyak-orang baru, John berjalan
lurus ke arahku. Senyum lebar membelah wajahku?bukan
karena berkumpul kembali dengan sahabatku, melainkan
karena kami merasa akan menjadi bagian dari sesuatu yang
hebat. Kami akan menyelamatkan dunia.
John balas tersenyum ke arahku, jelas-jelas senang
aku di sini, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang tak dapat
kupahami. Dia menjabat tanganku erat-erat.
"Jawab pertanyaanku," kata John dengan cepat,
tanpa melepaskan tanganku. "Ingat kejadian di kamarmu
hari itu, waktu kau mengira aku ini alien?"
"Eh, iya?"
"Apa yang kau lakukan?"
Aku menyipitkan mata ke arah John, tidak mengerti
mengapa dia bertanya begitu. Aku melirik ke arah ayahku,
yang memandangi kami dengan heran sambil menungguku
mengenalkannya kepada Loric ini. "Mmm, aku menodongkan
pistol ke arahmu. Itu yang kau maksud?"
"Oh, Samuel," ayahku bergumam mencela, tapi John
tersenyum lebar mendengar jawabanku itu. Sekonyong
konyong, dia menarik dan memelukku.
"Maaf, Sam. Aku perlu memastikan kau bukan
Setrakus Ra yang menyamar," John menjelaskan. "Kau tak
tahu sesenang apa aku melihatmu."
"Sama," sahutku. "Aku kangen bertarung melawan
makhluk cacing raksasa."
John terkekeh, lalu melangkah mundur.
Nomor Lima dengan serta-merta mengangkat tangan
sambil melangkah ke depan. "Aku bingung. Setrakus Ra bisa
~128~
berubah wujud?"
Aku juga baru tahu itu. Tanpa sadar, aku menyentuh
bekas luka bakar di pergelangan tanganku. Aku tahu pasti
kejahatan macam apa yang dapat Setrakus Ra lakukan. "Dari
mana kau tahu? Apakah kau bertarung melawannya?"
John mengangguk khidmat sambil melirik ke arah
Nomor Lima. "Ya. Hasilnya seri. Nanti kuceritakan semuanya
kepada kalian, tapi pertama-tama ...," pandangan John beralih
kepada ayahku, "Sam, ini dia?"
Aku tersenyum lagi. Rasanya sudah bertahun-tahun
aku menunggu untuk memperkenalkan ayahku kepada
kawan-kawanku. "Kawan-kawan," kataku bangga, "ini
ayahku, Malcolm. Aku jamin dia bukan Setrakus Ra, kalau itu
yang kalian khawatirkan."
Ay
ahku melangkah maju, lalu menjabat tangan
semua Garde serta Sarah.
"Terima kasih atas bantuannya," kata John sambil
memberi isyarat ke senapan tembak jitu ayahku. "Untung
Anda bawa peralatan."
"Sepertinya kau sanggup mengatasinya," kata ayahku
kepada John. "Sudah lama sekali aku ingin menembak
sesuatu yang berkaitan dengan Mogadorian."
"Sanggup mengatasinya," Nomor Enam terkekeh
sambil geleng-geleng. "Menurutku sih, tadi kau bakal ditelan,
John."
"Yah, itu memang bukan rencana terbaik," jawab
John sambil mengangkat bahu dan tersenyum. Sarah
menepuk punggung John untuk menyemangati.
Nomor Lima mengamati aku dan ayahku. "Kalian
bukan Loric," ucapnya dengan lugas, seakan-akan baru
memahaminya. "Tadi kukira Anda itu Cepan, karena sudah
tua dan sebagainya."
Ay
ahku terkekeh. "Maaf mengecewakanmu. Aku
~129~
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cuma manusia tua yang ingin membantu."
Nomor Lima memandang John sambil mengangguk.
"Kau punya satu pasukan."
Aku dan Nomor Enam saling pandang. Aku tak tahu
apakah anak baru ini menyindir atau apakah dia memang
agak lamban. Dilihat dari air mukanya, Nomor Enam juga
tidak tahu pasti.
"Kami semua berenam, empat ada di Chicago
menunggu kami kembali," ujar John dengan sabar. "Kurasa
sepuluh orang belum pantas disebut pasukan, tapi terima
kasih."
"Benar juga," Nomor Lima bergumam.
"Aku ingin mendengar cerita bagaimana kalian
bertemu," kata John. Dia memandang ayahku dengan hati
hati, seakan baru mengetuk pintu rumah kami dan meminta
izin untuk mengajakku keluar serta main serbuan alien.
"Pertama-tama, Mr. Goode, aku ingin Anda tahu bahwa aku
tak pernah berniat melibatkan Sam dalam semua ini. Aku
minta maaf telah membahayakannya, tapi kurasa kami tak
akan sampai sejauh ini tanpa dirinya."
"Benar," Nomor Enam mendukung sambil tersenyum
ke arahku. Aku mengalihkan pandangan, merasakan rona
menjalari pipiku.
Ay
ahku tampak tersentuh. "Mempertaruhkan jiwa
kami demi keselamatan Bumi adalah tradisi keluarga Goode.
Tapi terima kasih." Dia memegang bahuku, "Aku senang
kalian berdua bertemu. Dan tak perlu panggil Mr. Goode?
Malcolm saja cukup."
Terdengar suara sirene mendekat. Kami mungkin
berada di bagian pedesaan Arkansas, tapi pemerintah
setempat pastilah melihat pesawat ruang angkasa yang jatuh
dari langit. Mereka akan segera tiba.
"Kita harus pergi," kata Nomor Enam.
~130~
John mengangguk dan mulai berlari ke arah
pepohonan, "Mobil kami diparkir di dekat jalan raya."
"Aku ikut Sam dan Malcolm," kata Nomor Enam,
"buat menunjukkan jalan."
John, Sarah, dan Nomor Lima berlari ke jalan raya.
Sementara lampu sirene merayap melintasi Fouke, aku dan
ayahku, serta Nomor Enam, bergegas ke mobil Rambler
kami. Saat ayahku duduk di kursi pengemudi, Nomor Enam
menyentuh lenganku.
"Maaf kalau tadi aku, mmm ... bikin kau malu dengan
pelukan itu. Di depan ayahmu dan yang lainnya. Kuharap itu
tidak aneh."
"Sama sekali tidak," aku lekas-lekas menjawab
karena ingin Nomor Enam tahu bahwa pelukan itu hal
terbaik yang sudah lama sekali tak kurasakan."Itu sangat
menyenangkan."
"Jangan harap akan sering melihatku seemosional
itu," kata Nomor Enam sambil melotot. Kurasa dia
menggodaku. "Kemunculanmu bikin aku kaget."
"Jadi, maksudmu aku harus menghilang lagi supaya
dipeluk?"
"Tepat sekali," sahut Nomor Enam, yang kemudian
bergerak untuk duduk di kursi belakang. Dia terdiam,
memikirkan sesuatu sejenak, lalu tiba-tiba memelukku lagi.
"Oke. Sekali lagi."
Aku merangkul Nomor Enam, sementara ayahku
menyalakan mobil. Panel instrumen mobil menyinari
wajahnya, dan walaupun ayahku pura-pura tak acuh, aku
tahu dia mengawasi kami. Kalau boleh memilih, aku tidak
mau melepaskan Nomor Enam?kami akan terus berpelukan
sampai polisi daerah datang dan menahan kami.
Nomor Enam melepaskan pelukannya dan menatap
mataku. Aku berusaha menjaga agar air mukaku tetap santai
~131~
dan tenang, tapi sepertinya tidak berhasil.
"Untuk diingat," katanya, "aku tak pernah mengira
kau itu Setrakus Ra. Aku langsung tahu itu kamu."
"Trims," sahutku pelan seraya sibuk berpikir harus
berkata apa, seperti bagaimana aku merindukannya dan
bagaimana senangnya hatiku melihatnya. Sebelum aku
berhasil menemukan sesuatu yang dapat dikatakan, Nomor
Enam sudah duduk di kursi belakang.
Saat Nomor Enam baru memasang sabuk pengaman,
Nomor Lima berdeham dan melongok ke dalam mobil kami,
membiarkan John dan Sarah berlari duluan. "Mmm,"
katanya, "batu apa yang kau lemparkan kepadaku tadi?"
Kami semua memandangnya. "Batu Xitharis itu
maksudmu?" tanya Nomor Enam.
"Ya," kata Nomor Lima. "Itu. Aku, eh,
menghilangkannya."
~132~
15
"WOW, JOHNNY. AKU MENGUTUSMU MENJEMPUT bala
bantuan dan kau kembali bersama bapak-bapak, kutu buku,
danhobbitmungilini.Kerjayangbagus."
Nomor Sembilan melontarkan sindiran saat
menyambut kami di ruang tamu penthouse Chicago-nya
yangluarbiasamewah. Ternyata, kesanpertamakuterhadap
Nomor Sembilan waktu bertemu dengannya sebentar di
Virginia Barat sama sekali tidak keliru. Dia benar-benar
berengsek.
Kami tiba di Chicago lebih lambat daripada perkiraan
karena mencari batu Xitharis dulu. Sayangnya, batu itu tidak
ditemukan, padahal kami tak mungkin berlama-lama di sana.
Walaupun tidak ada yang senang,tampaknya mereka
berusaha untuk tidak menyalahkan Nomor Lima karena
menghilangkanbatuitu.Setidaknya,untuk saatini.
Setelah batu itu dipastikanhilang, dansetelah Nomor
Lima meminta maaf untuk yang keseratus kalinya, Nomor
Enamhanyamengibaskanrambutdanmengangkatbahu.
"Cuma batu," katanya, seakan-akan berusaha
meyakinkan diri sendiri. "Batu yang hebat, tapi kita juga
hebat."
Namun, jelas itu tidak membuat mereka semakin
menyukaiNomorLima.ApalagiNomorSembilan.
"Baik-baik, ya," Sarah mengingatkan Nomor
Sembilan. Jelas mereka sudah terbiasa mendengar gurauan
Nomor Sembilan yang tidak begitu lucu. Dilihat dari cara
Nomor Sembilan dan John saling menampar tangan saat
bertemu,sepertinyamerekamalahsudahberteman.
Namun, Nomor Lima tampak terluka. Diam-diam dia,
yang berdiri di sampingku, berusaha mengempiskan perut.
"Hobbit," ulangnyapelan.
~133~
"Itu dari buku," aku menjelaskan, tapi dia
memotongku.
"Akutahu," kataNomorLima. "Bukankata-katayang
enak didengar."
"Nomor Sembilan memang seperti itu," ujar John
yang tak sengaja mendengar. "Kau akan menyukainya. Atau,
yah,terbiasadengansikapnya."
Nomor Lima memandangku datar seakan-akan
meragukannya, dan tak urung aku membalasnya dengan
tersenyum. Kurasa kami sama-sama merasa seperti orang
asing di apartemen ini. Nomor Enam sudah menjelaskan
sebanyak mungkin dalam perjalanan ke sini. Namun,
ternyata di Chicago ini ada banyak wajah baru dan cerita,
belum lagi tempat persembunyian paling menakjubkan
dalam sejarah. Sulit rasanya untuk percaya bahwa para
Garde tinggal di tempat seperti ini. Apartemen ini mirip
tempat tinggal mewah yang biasa ditampilkan dalam salah
satu acara MTV. Acara tentang selebritas kaya dan gaya
hidupmerekayangbikiniri.BagaimanaNomorSembilandan
apannya berhasil tinggal di tempat seperti ini tanpa menarik
perhatianMogadoriansangatlahmengesankan.
John memperkenalkan kami semua kepada Nomor
Sembilan yang sudah berhenti melontarkan gurauan
konyolnyauntuk menyapaNomorLimadanayahku.
"IngatSam,kan?" ujarJohnakhirnya.
"Tentu," kata Nomor Sembilan sambil melangkah
maju untuk menjabat tanganku. Genggamannya kuat dan
tubuhnya menjulang di atasku sehingga aku harus
mendongak. Dia memelankan suara, tak ingin yang lain
mendengar. "Aku minta maaf karena meninggalkanmu di gua
itu.Itukesalahanku."
"Tak apa," jawabku, agak terkejut mendengar
permintaanmaafnya.
~134~
Sebelum melepaskan pegangannya, Nomor Sembilan
membalikkan tanganku dan melihat bekas luka baru
berwarna merah muda di pergelangan tanganku. "Mereka
juga melakukannya padamu, ya?" tanyanya serius. Dari
nadanya, sepertinya dia baru menyadari kesamaan di antara
kami. Aku merasa seperti baru bergabung dengan kelompok
persaudaraan rahasia bagi korban penyiksaan Mogadorian.
Karena tidak tahu harus berkata apa, aku cuma
mengangguk.
"Kau berhasil lolos," ujar Nomor Sembilan sambil
menepuk bahuku keras-keras. "Syukurlah."
John membawa kami melewati Nomor Sembilan
yang jelas-jelas menghalangi jalan. Nomor Sembilan
membuatku teringat jenis anjing besar yang langsung
melompat menyambut tamu yang baru saja tiba. Saat Nomor
Sembilan menyisih, aku melihat tiga Garde lain yang Nomor
Enam ceritakan waktu di jalan?Nomor Tujuh, Nomor
Delapan, dan Nomor Sepuluh yang jauh lebih muda
dibandingkan mereka semua. Ketiga Garde itu menanti di
depan ruang duduk dengan agak lebih sabar daripada Nomor
Sembilan, setidaknya sampai kami masuk.
"Kalau kalian ingin tahu dari mana bau mengerikan
ini, itu makanan vegetarian yang Marina siapkan untuk acara
makan malam," ujar Nomor Sembilan.
"Halo," Nomor Tujuh yang berambut gelap?Marina
?menyapa dengan ramah. "Rasanya enak, kok. Aku jamin."
"Acara makan malam," Nomor Sembilan mendengus,
"apalah. Peduli amat. Semua anggota tim sudah berkumpul!
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agak lebih gempal dan lebih culun daripada yang kukira, tapi
itu tak masalah. Ayo, kita ledakkan sesuatu."
"Tenang. Kami dua betas jam di mobil," ujar Nomor
Enam sambil menyodorkan tas barang-barang ke arah
Nomor Sembilan. "Nih! Bikin dirimu berguna."
~135~
Sarah juga melemparkan tasnya ke arah Nomor
Sembilan, mengikuti Nomor Enam. Segera saja semua barang
yang kami bawa dari mobil sudah dipanggul oleh Nomor
Sembilan.
"Oke. Biar kumasukkan barang-barang ini," kata
Nomor Sembilan sambil beranjak untuk menyimpan barang
barang kami. "Tapi nanti, kita harus membahas rencana
menghajar mereka."
Aku melihat Nomor Lima memandangi Nomor
Sembilan meninggalkan ruangan, kemudian menatap John.
"Kita tidak benar-benar bakal langsung bertempur
lagi, kan?"
John menggeleng."Sembilan cuma senang.
Berkumpul bersama adalah suatu kemajuan besar. Sekarang
kita perlu memikirkan tindakan selanjutnya."
"Begitu," ujar Nomor Lima sambil menunduk
memandangi tangannya. "Aku tidak pernah menganggap
kekerasan itu menyenangkan."
"Kami tidak seperti Nomor Sembilan," ujar Marina
dengan nada penuh sesal sambil melangkah maju. Dia
menyapa kami dengan ramah, bahkan memeluk Nomor
Lima, yang tampaknya membuat pemuda itu kaget sekaligus
agak rileks. Marina juga membuatku lebih santai setelah
menyaksikan sikap Nomor Sembilan yang serampangan.
Kemudian, Nomor Delapan memperkenalkan diri.
Aku rasa dia orang yang santai, dan itu menyenangkan
setelah melihat sikap jagoan yang ditunjukkan Nomor
Sembilan begitu kami tiba. Aku tahu dia juga gembira seperti
Nomor Sembilan, hanya sikapnya lebih sopan.
"Aku punya banyak pertanyaan untuk kalian semua,"
ujar Nomor Delapan. "Lima, aku benar-benar ingin tahu,
selama ini kau sudah ke mana saja? Aku ingin mendengar
tentang semua yang kau alami."
~136~
"Ehm," NomorLimamenggumam,"oke."
"Pasti kau sudah melewati banyak hal sebelum
akhirnyatibadisini," NomorDelapanterusmenyemangati.
"Dia cuma menggumam seperti itu waktu aku dan
John mengajaknya mengobrol di mobil," Sarah berbisik
kepadaku.
Aku memahami perasaan agak kewalahan
menghadapi situasi ini. Ini pertama kalinya Nomor Lima
bertemu para Loric yang masih hidup, tapi ternyata mereka
sudah lama berkumpul. Walaupun kami tidak sering
mengobrol, kupikir untunglah ada Nomor Lima. Enak
rasanya punya teman yang sama-sama canggung
menghadapisituasisosialsepertiini.
"Selama ini kau tinggal di Jamaika, ya?" tanya Nomor
DelapankepadaNomorLima.
"Iya," jawabNomorLima."Tapicumasebentar."
Nomor Delapan menanti Nomor Lima bercerita lebih
banyak.Namun,karenadiahanyadiam,Johnmenyela.
"Perjalanannya jauh dan kurasa kami semua lelah.
Bagaimana kalau nanti malam saja kita saling cerita?"John
mengusulkan.
Nomor Delapan mengangguk dan berhenti mendesak
Nomor Lima. Aku tahu John berusaha memperlakukan
Nomor Lima dengan lembut, memberinya waktu untuk
mengenal yang lain. Namun, aku agak kaget karena Nomor
Lima sendiri tidak bertanya-tanya kepada yang lain, tapi
mungkin itu karena dia enggan menjawab per tanyaan
mengenai masa lalunya. Dilihat dari kemunculannya yang
tanpa Cepan ataupun Peti Loric, kurasa dia juga memiliki
latarbelakangkelamsepertiparaGardelainnya.
'SetelahNomor Delapanberhenti memerasinformasi
dari Nomor Lima, Garde terakhir maju dan memperkenalkan
diri. Walaupun Nomor Enam sudah memberitahuku bahwa
~137~
Garde yang satu ini lebih muda dibandingkan yang lain, tetap
saja aku kaget melihat betapa kecilnya Ella itu. Aku tidak
dapat membayangkan anak ini melawan Setrakus Ra, apalagi
membayangkan dirinyalah yang menyebabkan pemimpim
Mogadorian itu kabur. Namun, menurut Nomor Enam
kejadiannya memang seperti itu. Aku kagum.
"Aku taktahu ada Garde kesepuluh," ujar Nomor
Lima saat menjabat tangan Ella. Sejak kami masuk, baru itu
kata-kata Nomor lima yang paling mirip pertanyaan.
"Memang tidak ada. Aku tidak direncanakan."
Aku melihat John melemparkan tatapan penasaran
ke arah Marina. Sebagai jawaban, Marina mengangkat alis
sambil mengucapkan, Nanti kuceritakan, tanpa suara.
Nomor Lima mengangguk mendengar jawaban Ella,
mengamatinya agak lama, lalu memandangi lantai.
"Hmmm," kata Nomor Lima, mencari kata-kata,
"sebenarnya, aku sendiri juga merasa begitu. Nomor kita,
Warisan kita, misi di Bumi ini. Maksudku?apakah para
Tetua memikirkannya matang-matang? Apakah mereka itu
cuma, yah, mendapatkan nama kita dengan cara
mengundinya?"
Sejenak, semua terdiam sambil memandangi Nomor
Lima. Itu pidato yang aneh, terutama karena baru kali ini
para Garde yang tersisa berkumpul bersama. Seharusnya
saat ini mereka merayakannya, tapi Nomor Lima seperti
ingin merusak suasana.
"Hmmm, ya," Nomor Delapan berkata dengan riang,
memecah keheningan, "karena kau bilang begitu, rasanya
lucu juga, ya?"
Ay
ahku berdeham, lalu berbicara lembut. "Aku dapat
menjamin para Tetua sudah memikirkannya matang-matang
ketika memilih kalian, bukan sekadar memilih secara acak."
Dia menoleh ke arah Ella, memandangnya dengan tatapan
~138~
menenangkan, seperti yang biasa dilakukannya kepadaku
setelah aku mengalami penindasan di sekolah. "Dan lolosnya
dirimu dari Lorien, pastilah bukan sekadar kebetulan.
Menurutku itu lebih pantas disebut anugerah."
"Yah, oke," ujar Nomor Lima yang masih
memandangi lantai menanggapi ayahku. "Sepertinya
manusia tua ini ahli tentang Lorien." Kemudian, dia
mengangkat kepala sambil memaksakan diri tersenyum saat
menyadari kami semua memandanginya dengan
heran."Maaf,"tambahnya buru-buru, "aku berpikir sambil
bicara. Aku sendiri tak tahu apa yang kubicarakan."
"Aku tidak menganggap diriku ini ahli," jawab
ayahku secara diplomatis. "Aku minta maaf kalau sudah
menyinggungmu. Tapi aku percaya dengan apa yang
dilakukan oleh para Tetua kalian. Kalau tidak ...," kata-kata
ayahku terputus, mungkin teringat masa-masa ketika masih
menjadi tawanan Mogadorian.
Nomor Lima tampak malu. "Empat?eh, John?aku
lelah sekali. Ada tempat yang bisa kupakai berbaring
sejenak?"
"Tentu," jawab John sambil menepuk punggung
Nomor Lima. "Biar kutunjukkan di mana kamar-kamarnya
berada."
Beberapa menit yang lalu, aku bersimpati terhadap
Nomor Lima karena dia pasti merasa canggung menghadapi
situasi ini. Namun sekarang, entahlah, caranya berbicara
kepada ayahku membuatku jadi tidak menyukainya.
Nadanya tadi seperti mengandung kebencian, seakan-akan
ayahku tidak mungkin memiliki informasi berguna tentang
para Garde.
Mereka semua?kecuali Nomor Sembilan?
membawa kami menyusuri koridor yang dihiasi berbagai
karya seni, yang mungkin cukup mahal jika dilelang di
~139~
museum. Aku masih sulit memercayai- pemuda seperti
Nomor Sembilan tinggal di sini. Rasanya aku harus
mengenakan tuxedo hanya untuk berjalan-jalan di
apartemen mewah ini. Sementara kami berjalan mengelilingi
apartemen, Nomor Enam dan Sarah pamit untuk
membersihkan diri, dan Ella permisi untuk membantu
Nomor Sembilan menyimpan barang-barang. Akhirnya, John
berhenti di tengah koridor itu.
"Yang ini kosong," kata John sambil membukakan
pintu untuk Nomor Lima. "Di lacinya ada pakaian, kalau kau
ingin ganti baju."
"Terima kasih," kata Nomor Lima sambil berjalan
peIan ke dalam kamar. Dia akan membanting pintu, tapi
kemudian sadar kami semua masih berdiri di luar sambil
memandanginya. "Eh, sampai ketemu saat makan malam,"
gumamnya sebelum menutup pintu.
"Dia keren juga," komentar Nomor Delapan datar.
Marina menyikut rusuknya sambil berdesis. Aku melirik
pintu tertutup itu dan yakin Nomor Lima masih berdiri di
baliknya, mendengarkan. Sekali lagi, aku merasa agak
kasihan kepadanya. Memang jadi anak baru itu tidak mudah.
John berbalik memandangku dan ayahku. "Kalian
mau istirahat atau mau tur keliling?"
"Tur," jawabku. "Ayo, tunjukkan semuanya. Baru kali
ini aku masuk penthouse."
"Sama," tambah ayahku sambil tersenyum.
"Bagus," sahut John yang tampak lega karena kami
tidak antisosial seperti Nomor Lima. "Kurasa kalian akan
menyukai tempat berikutn0."
Ay
ahku berjalan beberapa meter di belakang untuk
mengagumi karya seni. Setelah agak jauh dan berada di
luarjangkauan pendengaran kamar Nonnor Lima, Nornor
Delapan mengungkapkan pertanyaan yang kurasa ada di
~140~
benak kami semua.
"Anak baru itu kenapa, sih?" Dia menoleh ke arahku.
"Bukan kau, Sam. Kau sepertinya normal."
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Trims."
John menggeleng dengan air muka agak bingung.
"Jujur, aku juga tak tahu. Dia agak aneh, ya?Tidak seperti
yang kuduga."
"Mungkin dia masih merasa canggung," Marina
angkat bicara. "Lama-lama dia bakal kerasan."
"Cepannya di mana?" aku bertanya."Apa yang
dilakukannya selama ini?"
"Dia sangat tertutup sepanjang perjalanan pulang,"
John menjawab. "Bahkan, Sarah tidak berhasil mengorek
informasi darinya, padahal tahu sendiri kan, Sarah itu
bagaimana."
"Yah. Sarah itu sangat supel sampai-sampai dapat
membuat Loric misterius seperti kalian membicarakan
segala macam."
John yang langsung memahami leluconku terkekeh.
"Sarah begitu memikat sampai-sampai mampu membuat
alien yang sedang dalam pelarian setuju dipotret untuk surat
kabar sekolah."
"Begitu memikat sampai-sampai alien tersebut
melempari jendelanya dengan kerikil di tengah malam,
bahkan meskipun rumahnya diawasi agen FBI."
Nomor Delapan dan Marina saling pandang heran
saat aku dan John mulai tertawa.
"Kau melempari jendela rumah Sarah dengan
kerikil?" tanya Marina sambil mengangkat sebelah alis
karena geli. "Seperti Romeo dan Juliet?"
"Eh, begitulah yang dikatakan FBI?oh, lihat, kita
sudah sampai," ujar John seraya buru-buru mengalihkan
topik. Aku tersenyum ke arah Marina dan mengangguk.
~141~
John membawa kami ke kamar di ujung koridor yang
sepertinya digunakan oleh para Garde sebagai markas utama.
Salah satu dindingnya dihiasi banyak monitor komputer
besar, salah satunya menampilkan program yang mirip
penjelajah web milik ayahku. Peti-Peti Loric juga disimpan
di sini bersama tablet yang kami ambil dari laboratorium
ayahku. Bagian lain ruangan dipenuhi tumpukan onderdil
berteknologi tinggi, sebagiannya masih baru dan baru
dikeluarkan dan dari kotak, sementara sebagian lainnya
seperti diambil dari tempat barang rongsokan. Di beberapa
tempat di sepanjang dinding, ada peralatan dan suku cadang
yang menumpuk hingga ke langit-langit. Wajah ayahku
langsung berbinar.
"Koleksi yang luar biasa," serunya sambil
memandangi ruangan bagaikan seorang anak di pagi Natal.
"Ini ruang kerja Sandor, Cepan Nomor Sembilan,"
John menjelaskan."Kami menggunakan sebagian barang ini,
tapi sama sekali tidak berbakat di bidang teknologi." John
memandang ayahku. "Kuharap Anda dapat memeriksa
apakah di sini ada sesuatu yang berguna, Mr. Goode. Eh,
Malcolm."
Ay
ahku menggosok-gosok tangan."Dengan senang
hati, John. Sudah lama aku tidak berada di tempat seperti ini.
Banyak yang harus dilakukan."
"Aku juga ingin tahu apakah kau dapat memeriksa
ini," kata John sambil membawa kami melewati pintu ganda.
"Nomor Sembilan menyebutnya Aula Kuliah."
Saat memasuki ruangan putih besar berlangit-langit
tinggi itu, kami disambut rak berisi senjata mematikan,
membuat senjata yang dibawa ayahku dari Texas tampak
bagaikan mainan. Ukuran ruangan tersebut kira-kira sebesar
gedung olahraga kami di SMA, membuatku kembali terheran
heran betapa besarnya ukuran penthouse ini. Di salah satu
~142~
sisi ruangan ada perangkat besar mirip kokpit yang dipasang
di dinding dan dikelilingi deretan panel kendali. Kursinya
tampak agak melesak, seakan-akan ditimpa sesuatu yang
besar.
"Luar biasa," ayahku memuji.
"Kami menggunakan ruangan ini untuk latihan.
Nomor Sembilan bilang bahwa Sandor memasang banyak
perangkap dan rintangan di sini." Dia mengetuk panel di
dinding, tampaknya seharusnya sesuatu melesat keluar dari
sana, tapi tidak terjadi apa-apa. "Sayangnya, Nomor Sembilan
mengamuk dan menghancurkan pengendalinya. Sekarang,
tempat ini hanya berfungsi sekadarnya."
"Tak heran," aku berkomentar. Tidak sulit
membayangkan Nomor Sembilan mengamuk.
"Benda itu," John melanjutkan sambil mengayunkan
tangan ke arah kursi, "disebut Podium. Kalau benda itu dapat
diperbaiki, kurasa latihan kami dapat ditingkatkan."
Ay
ahku sudah berlutut di depan Podium sambil
menyentuh kabel-kabel yang putus dan lempeng baja yang
bengkok. "Karya yang sangat mengesankan," katanya.
Aku ikut melongok mesin itu dari balik bahu ayahku
walaupun sama sekali tidak mengerti apa yang kulihat. "Kau
bisa memperbaikinya?"
"Akan kucoba," katanya sambil menoleh ke arah
John. "Aku siap melayani sebaik mungkin."
"Aku juga," aku menambahkan sambil memberi
hormat singkat kepada John. Dia terkekeh.
"Aku tahu kalian baru sampai," kata John. "Kuharap
aku tidak terlalu menuntut. Sejujurnya, aku bersyukur sekali
kalian ada di sini. Dan, bukannya cengeng, tapi aku senang
kalian bertemu."
Saat John berbicara tentang aku dan ayahku,
suaranya diliputi kerinduan. Aku bertanya-tanya apakah dia
~143~
membayangkan seandainya obrolan ini terjadi di Paradise,
ayahku dan Henri sibuk membahas teknologi, andai saja
kejadiannya tidak seperti ini.
Ay
ahku menjabat tangan John lagi sambil menepuk
lengannya."Kami senang bertemu denganmu, John. Aku tahu
ini berat bagi kalian semua, tapi sekarang kalian tidak
sendiri. Tidak lagi."
~144~
16
MARINA MENYIAPKAN BERBAGAI MACAM HIDANGAN
makan malam. Ada nasi campur kacang, tortilla, semangkuk
besar sup gazpacho, terong goreng saus madu, dan berbagai
hidangan Spanyol lain yang entah apa namanya. Aku lupa
betapa sedapnya masakan rumah dan makan dengan lahap,
bahkan minta tambah dua atau tiga kali.
Kami semua duduk di bawah lampu gantung
berkilauan di ruang makan Nomor Sembilan yang lebih
pantas disebut ruang perjamuan. John duduk di salah satu
ujung meja, sementara ayahku duduk di ujung yang lain, dan
kami semua duduk di antaranya. Aku duduk di samping
ayahku dan Nomor Sembilan.
"Gila,"gumam Nomor Sembilan sambil
menyendokkan tortilla ke mulut. "Baru kali ini ada begitu
banyak orang di meja makan."
Kami semua santai, hanya mengobrol dan bercanda.
Nomor Lima sudah jauh lebih santai, tapi tidak banyak
berbicara. Di sampingnya ada Ella yang memainkan
makanan di piringnya, tampak lelah tapi tetap tersenyum
dan tertawa setiap kali ada yang melontarkan gurauan.
Nomor Enam duduk di seberangku. Aku berusa ha bersikap
tenang dan tidak sering memandanginya.
Saat kami selesai makan, John berdiri dan meminta
perhatian dari kami semua. Dia memandang Sarah dan
dihadiahi senyuman membesarkan hati. John berdeham dan
aku tahu dia sudah mempersiapkan kata-kata yang akan
diucapkannya.
"Rasanya senang sekali melihat kita semua
berkumpul seperti ini. Kita sudah menempuh jarak yang
jauh, juga melewati banyak hal untuk tiba di sini. Berada di
sini?membuatku percaya kita benar-benar dapat
~145~
memenangkan perang ini."
Nomor Sembilan melolong tinggi dan membuat
semua orang tertawa, bahkan ekspresi serius John pun
sempat lenyap. Nomor Lima memandang kepada semua
orang sambil tersenyum tenang, sepertinya dia sudah merasa
lebih nyaman.
"Karena di antara kita ada anggota baru,"John
melanjutkan, "kurasa ada bagusnya kalau kita bergiliran
menceritakan kisah hidup masing-masing."
"Topik yang menyenangkan," gumam Nomor Enam.
John tidak terpengaruh. "Memang sebagian besarnya
?oke, mungkin semuanya?bukan cerita yang
menyenangkan. Tapi kurasa kita perlu mengingat mengapa
kita ada di sini dan apa yang kita perjuangkan."
Saat melihat Nomor Lima, aku mengerti apa yang
John lakukan. Dia harap dengan saling bercerita, mungkin
para Garde dapat membuat anggota terbaru mereka
membuka diri.
"Sebagai salah satu orang baru, aku sangat ingin
mendengar apa saja yang telah kalian alami," kata ayah
ku.
"Ya," Nomor Lima menimbrungi, mengejutkan semua
orang, "aku juga."
"Oke," kata John. "Biar aku yang mulai."
John menceritakan kisah yang sangat kukenal. Dia
mulai dari kedatangannya di Paradise, setelah bertahun
tahun hidup dalam pelarian. Dia bercerita tentang
perkenalannya denganku dan Sarah, juga bagaimana sulitnya
merahasiakan Pusakanya.
John mengakhiri ceritanya dengan pertempuran di
SMA kami, kedatangan Nomor Enam di saat genting, serta
kematian Henri. Setelahnya, kami semua diam, tak tahu
harus berkata apa.
~146~
"Ah, sialan," Nomor Sembilan bersuara. "Hampir saja
akulupa."
Nomor Sembilan meraih ke bawah kursi dan
mengangkat ember es berisi sebotol sampanye dingin. Aku
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melirik sekilas kepada ayahku, tapi sepertinya dia sedang
tidak ingin bertindak sebagai orang dewasa yang
bertanggung jawab dan malah mengulurkan gelasnya.
Nomor Sembilan segera berkeliling meja dan menuangkan
sampanye ke gelas masing-masing. Bahkan, Ella kebagian
sedikit.
"Kaudapatitudarimana?" tanyaNomorDelapan.
"Simpanan rahasiaku. Jangan khawatir." Setelah
selesai menuangkan sampanye, Nomor Sembilan
mengangkatgelas."Untuk Henri."
Kami semua mengangkat gelas dan bersulang untuk
Henri. Walau tidak terlihat, aku tahu John tersentuh dengan
apa yang kami lakukan. Dia menunduk memandangi meja
dan mengangguk kecil ke arah Nomor Sembilan sebagal rasa
terima kasih. Wah, bahkan aku sendiri agak terkejut
menyaksikan sikap Nomor Sembilan?mengingat obrolan
rahasia kami di pinto tadi dan melihat kejadian ini,
tampaknya aku perlu meralat penilaianku terhadapnya dari
siberengsek menjadisikonyol.
"Mungkin kalian perlu merekrut seluruh warga kota
Paradise untuk bertarung demi kita," kata Nomor Lima.
"Sepertinyatempatituramahterhadapalien."
"Kita bisa bikin stiker mobilnya," kataku. "'Siswa
TeladankuBertarungMelawanAliendiSMAParadise."
"Selanjutnya aku," kata Nomor Enam. Dia bercerita
dengan singkat, mulai dari penangkapan dirinya dan
Katarina, penahanan mereka, lalu langsung ke pelarian
dirinya.
"Untuk Katarina." Kali ini Johnyangmemimpinacara
~147~
bersulang itu. Kami semua mengangkat gelas lagi dan minum
untuk menghormati C?pan Nomor Enam yang telah gugur.
"Karena itulah, kita tidak boleh menuliskan sesuatu
di Internet," ujar Nomor Sembilan mengomentari kisah
Nomor Enam sambil melemparkan tatapan tajam ke arah
Nomor Lima. Nomor Lima hanya menatap Nomor Sembilan
tanpa berkata apa-apa.
"Kalian berdua dekat dengan Cepan kalian," ujar
Marina. "Kisahku agak berbeda."
Marina bercerita dia dibesarkan di Spanyol dengan
Cepan, Adelina, yang mengabaikannya, tidak mengajari atau
melatihnya seperti para Garde lain. Mendengar ada Loric
yang bersikap seperti itu membuatku tercenung. Aku tak
pernah menyangka mereka dapat melalaikan tanggung
jawab mereka. Kehidupan Marina pastilah getir, tapi caranya
bercerita membuat kisah hidupnya terasa jauh lebih
menyedihkan. Nadanya menghangat saat dia bercerita
tentang Hector, manusia yang mempertaruhkan nyawanya
demi melindungi Marina. Anehnya, kisah Marina berakhir
dengan cukup bahagia, karena akhirnya Adelina menyadari
kewajibannya meskipun itu berarti dia harus mati. Memang
bukan akhir yang sangat menggembirakan, tapi cara Marina
bercerita membuat Adelina terdengar heroik.
Nomor Delapan mengangkat gelas. "Untuk Hector
dan Adelina," katanya.
Selanjutnya, giliran Nomor Sembilan. Ternyata,
kehidupan Nomor Sembilan hancur karena dirinya sendiri.
Dia jatuh cinta kepada manusia yang ternyata bekerja untuk
Mogadorian. Gadis itu menuntun Nomor Sembilan dan
Cepannya memasuki perangkap. Nomor Sembilan tidak
menceritakan apa yang dia dan Cepannya alami setelah
mereka tertangkap. Karena aku sendiri sudah mengalami hal
hal mengerikan di Virginia Barat, sorot mata Nomor
~148~
Sembilan yang menggelap saat ceritanya selesai tidak
membuatku terkejut.
"Untuk Sandor," kata John.
"Untuk Sandor dan sampanyenya," tambah Nomor
Delapan yang berhasil membuat Nomor Sembilan
tersenyum.
"Kurasa kau benar-benar beruntung," kata Nomor
Lima kepada John sambil menyentakkan ibu jari ke arah
Sarah. "Dia ini mungkin saja mata-mata Mogadorian."
"Hei," sahut Sarah, "jangan begitu, dong."
"Mereka memaksanya," Nomor Sembilan
menggeram, yang dia maksud adalah gadis yang
membuatnya jatuh cinta. "Mana ada manusia waras yang
mau bekerja dengan sukarela untuk para bajingan itu?"
"Selain pemerintah ...," kataku, teringat agen yang
membawaku dari Virginia Barat ke Dulce.
Nomor Sembilan memandangku."Yah, cuma manusia
tak waras yang mau bekerja sama dengan monster albino
pucat itu."
"Atau mungkin mereka tidak melakukannya dengan
sukarela," kata John. "Aku harus percaya bahwa sebagian
besar manusia akan memihak kita, seandainya mereka tahu
yang sebenarnya."
"Aku biasanya tidak memercayai manusia," kata
Nomor Delapan. "Reynolds, Cepanku, dikhianati manusia
yang dicintainya. Perlu agak lama bagiku untuk melupakan
itu, tapi akhirnya aku percaya pada dasarnya manusia itu
baik."
Kemudian, Nomor Delapan bercerita tentang
bagaimana dia belajar mengendalikan Pusakanya serta
bagaimana pada akhirnya dia berhubungan dengan
penduduk lokal yang percaya bahwa dia itu adalah Wisnu,
dewa Hindu, yang bereinkarnasi. Walaupun para
~149~
Mogadorian mengetahui lokasinya, mereka tak dapat
mendekat karena ada pasukan manusia yang melindunginya.
Nomor Lima memandang Nomor Delapan sambil
mengangguk-angguk, seakan baru saja mendengar sesuatu
yang baru dan hebat. "Hebat," dia berkomentar. "Kau menipu
dan membuat mereka percaya bahwa kau itu salah satu
dewa mereka."
"Aku tidak bermaksud menipu mereka, sungguh,"
Nomor Delapan membela diri."Aku menyesal karena tidak
jujur."
"Jangan menyesalinya," ujar Nomor Lima.
"Maksudku, memang bagus kalau kita bisa, yah, berteman
dengan manusia seperti John dan Marina. Tapi kalau tidak,
lebih baik membuat para manusia ini membela kita daripada
melawan kita, bukan?" Dia menoleh ke arah Nomor
Sembilan. "Lebih baik memegang kendali daripada mengejar
gadis cantik secara membabi buta,"
Nomor Sembilan mencondongkan tubuh, seakan siap
melompat dari kursi. "Apa maksudmu?"
"Kesalahan sudah terjadi," John menyela dengan hati
hati, "tapi kita harus ingat bahwa manusia juga memiliki
musuh yang sama dengan kita, meski saat ini mereka belum
menyadarinya. Kita tidak dapat bertarung sendirian."
"Untuk kemanusiaan," kataku bercanda sambil
mengangkat gelas. Semua orang memandangiku dan aku
menurunkan gelas dengan perasaan agak mabuk.
Sesaat suasana terasa tegang. Nomor Sembilan terus
memelototi Nomor Lima.
Ella mengangkat tangan. "Aku mau cerita," katanya.
Kisah hidup Ella benar-benar berbeda dari cerita
yang lain. Dia tidak dikirim ke Bumi bersama para Garde
lainnya. Ayahnya yang aneh dan kaya memasukkan Ella ke
pesawat ruang angkasa bersama pelayan keluarga dan
~150~
segerombolan Chimaera. Saat memandang berkeliling, aku
merasa para Garde lain belum mendengar kisah ini. John
tampak sangat bingung, sementara Nomor Enam menyimak
dengan saksama.
"Wow, Ella," kata John, "kapan kau tahu semua itu?"
"Kemarin," jawab Ella datar. "Dari surat Crayton." Marina
mengangkat gelas. "Untuk Crayton. Cepan
yang hebat."
Kami semua mengikuti. Ella terdiam. Aku
menyimpulkan dia sangat menyayangi Crayton.
"Coba pikir," Nomor Lima merenung, "kalau pesawat
kami tidak sampai ke Bumi, kau harus menyelamatkan
planet seorang diri."
Mata Ella melebar. "Aku tidak berpikir ke sana." "Kau
pasti bisa," kata Nomor Sembilan sambil tersenyum lebar.
"Nah ...," kata John sambil memandang Nomor Lima,
"kami sudah menceritakan kisah hidup kami sebelum sampai
ke tempat ini. Giliranmu?bagaimana caramu bersembunyi
selama itu?"
"Iya," Nomor Delapan menimpali. "Cerita, dong."
Nomor Lima duduk merosot di kursi. Sesaat kupikir
dia akan terus diam dan berharap kami semua lupa, seperti
anak yang bersembunyi di belakang kelas. Dia pintar
melontarkan komentar singkat dan kritis saat yang lain
bicara. Namun, saat giliran dia yang harus bercerita, Nomor
Lima lebih daripada sekadar enggan.
"Kisah hidupku, mmm ... tidak begitu menarik seperti
kisah hidup kalian," ucapnya setelah beberapa saat. "Kami
tidak melakukan sesuatu yang istimewa untuk bersembunyi.
Kurasa kami cuma beruntung. Menemukan tempat yang
tidak diselidiki Mogadorian."
"Di mana tepatnya tempat itu?" tanya John.
"Pulau-pulau," jawab Nomor Lima. "Pulau-pulau
~151~
kecil yang tidak mungkin bakal diselidiki oleh siapa pun.
Sebagiannya malah tidak ada di peta. Kami berpindah dari
pulau yang satu ke pulau lain, seperti kalian yang berpindah
dari kota yang satu ke kota lain. Beberapa bulan sekali, kami
pergi ke tempat yang lebih banyak penduduknya?kadang
kadang Jamaika atau Puerto Rico untuk menukar permata
kami dengan barang-barang kebutuhan. Di lain waktu, kami
hanya berdua."
"Apa yang terjadi pada Cepanmu?" Marina bertanya
dengan lembut.
"Yah, kurasa dalam hal itu, aku sama seperti kalian.
Dia meninggal. Namanya Albert."
"Mogadorian?" tanya Nomor Sembilan dengan nada
tegang.
"Tidak. Bukan. Sama sekali bukan seperti itu," sahut
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nomor Lima dengan bimbang."Bukan pertempuran besar
atau pengorbanan diri yang gagah. Dia cuma sakit dan tak
berapa lama kemudian meninggal. Kurasa dia lebih tua
daripada Cepan kalian. Dia mungkin lebih pantas jadi
kakekku. Aku pikir perjalanan di Bumi tidak baik untuknya.
Dia sering sakit. Tapi tampaknya udara hangat cukup
membantu. Kami ada di pulau kecil di selatan Karibia saat
sakitnya semakin parah. Aku tak tahu harus melakukan apa
untuk menolongnya ...."
Kata-katanya melirih. Kami semua diam,
memberinya waktu.
"Dia--dia tidak mengizinkanku memanggil dokter.
Dia takut jika tubuhnya diperiksa,dokter bakal menemukan
sesuatu yang kemudian akan menyebabkan Mogadorian
datang. Aku bahkan tidak pernah melihat Mogadorian.
Kupikir semua itu cuma dongeng." Nomor Lima tertawa
pahit, seakan marah terhadap diri sendiri. "Selama beberapa
waktu, aku bahkan meyakinkan diriku bahwa Albert itu
~152~
orang gila yang menculikku. Bahwa dia sengaja membuat
luka gores di pergelangan kakiku saat aku sedang tidur."
Aku berusaha membayangkan kehidupan Nomor
Lima yang tidak pernah berinteraksi dengan siapa pun, selain
orang tua yang sakit-sakitan. Itu cukup menjelaskan
mengapa dia tampak canggung saat berada di dekat yang
lain.
"Lalu telekinesisku muncul, dan saat itulah aku mulai
memercayai Albert. Tapi pada saat itu juga penyakit Albert
semakin parah. Waktu sekarat, dia memaksaku berjanji
untuk mencari kalian setelah Pusakaku muncul sepenuhnya.
Namun sebelum itu terjadi, aku harus berjanji untuk tetap
bersembunyi."
"Kau pintar bersembunyi," Nomor Enam
berkomentar.
"Aku turut berduka untuk Albert," tambah Ella.
"Terima kasih," kata Nomor Lima. "Dia pria yang
baik. Andai aku lebih memperhatikan kata-katanya. Setelah
dia meninggal, aku dapat berpindah-pindah dengan mudah.
Aku terus berpindah dari satu pulau ke pulau lain sambil
menjaga jarak dari siapa pun. Rasanya?em sepi. Hari-hari
berlalu dengan cepat. Setelah akhirnya Pusakaku yang lain
muncul, aku pergi ke Amerika dengan harapan dapat
menemukan kalian."
"Petimu bagaimana?" tanya John.
"Oh, ya, itu," sahut Nomor Lima dengan gugup sambil
menggaruk samping kepalanya."Biasanya aku bepergian
menggunakan kapal. Albert sudah mengajariku cara
menemukan kapal yang tidak akan mengajukan banyak
pertanyaan. Begitu merapat di Florida, ternyata di sana ada
lebih banyak orang daripada yang biasa kulihat. Aku merasa
semua orang menatapku?seorang anak yang membawa
bawa Peti. Seakan-akan aku ini baru menemukan peti harta
~153~
karun di salah satu pulau atau semacamnya. Mungkin aku
cuma paranoid, tapi rasanya semua orang seakan ingin
mencuri Petiku."
"Jadi Petimu kau apakan?" John mendesak.
"Kupikir membawa-bawa Peti bukan tindakan yang
pintar. Jadi, saat menemukan tempat terpencil di Everglades,
aku menguburkannya di sana." Nomor Lima memandang
kami semua. "Apakah itu buruk?"
"Aku mengubur Petiku karena alasan yang sama
denganmu," sahut Nomor Enam."Saat kembali untuk
mengambilnya, ternyata Petiku sudah hilang."
"Oh," Nomor Lima tergagap. "Oh, sialan."
"Kalau kemampuanmu menyembunyikan Peti sama
bagusnya dengan kemampuanmu bersembunyi, aku yakin
Peti itu masih ada di sana," ujar Nomor Delapan dengan
optimistis.
"Kita harus segera mengambilnya," kata John.
Nomor Lima mengangguk penuh semangat. "Tentu.
Aku ingat benar di mana aku menyembunyikannya."
"Peti Loric itu sangat penting," ayahku tiba-tiba
berkata. Dia mencubit batang hidungnya, yang tampaknya
selalu dilakukannya setiap kali berusaha mengingat sesuatu.
"Setiap Peti berisi sesuatu?aku tak yakin apa, atau
bagaimana cara kerjanya?tapi di Peti itu ada benda-benda
yang dapat membantu kalian berhubungan kembali dengan
Lorien ketika saatnya tiba."
Sekarang, semua orang menatap ayahku dengan
penuh perhatian.
"Dari mana kau tahu?" tanya John.
"Aku?baru saja teringat," sahut ayahku.
Nomor Sembilan memandangku, lalu kembali
menatap ayahku. "Maksudnya?"
"Sepertinya sekarang giliranku bercerita," kata
~154~
ayahku sambil menatap semua wajah yang menunggunya.
"Perlu kuingatkan, ingatanku bolong-bolong, tidak utuh.
Para Mogadorian melakukan sesuatu terhadapku. Mereka
berusaha mengorek apa yang kuketahui dari otakku. Tapi
sekarang ingatanku mulai kembali, meski sepotong
sepotong. Aku akan menceritakan yang bisa kuceritakan."
"Tapi bagaimana kau tahu tentang itu?" tanya Nomor
Delapan. "Kami sendiri tidak benar-benar memahami benda
benda di Peti kami"
Ay
ahku terdiam sejenak sambil memandang kami
semua.
"Aku tahu karena Pittacus Lore memberitahuku."
~155~
17
KA
MI SEMUA TERDIAM.
John yang pertama kali bicara."Bagaimana cara
Pittacus Lore memberitahumu? Apa maksudmu?"
"Dia sendiri yang memberitahuku," jawab ayahku.
"Jadi, maksudmu kau bertemu Pittacus Lore?" seru Nomor
Sembilan sangsi.
"Bagaimana bisa?" tanya Marina.
"Kami menemukan rangka dengan liontin Loric di
ruang bawah tanahmu ...," John menelan ludah sebelum
melanjutkan. "Itu dia?"
Ay
ahku menunduk. "Sayangnya, iya. Saat dia tiba,
lukanya begitu parah sehingga tak ada yang dapat kulakukan
untuk menolongnya."
Sekarang pertanyaan datang bertubi-tubi.
"Dia bilang apa?"
"Bagaimana caranya datang ke Bumi?"
"Kenapa dia memilihmu?"
"Kau tahu Johnny mengira dirinya Pittacus yang
hidup kembali?"
Ay
ahku memberi isyarat dengan tangan agar kami
duduk, seperti seorang dirigen saat menenangkan orkestra
yang berisik. Dia tampak senang mendengar semua
pertanyaan itu, sekaligus terlihat berusaha keras mengingat
jawabannya.
"Aku tidak tahu mengapa justru aku yang dipilih dari
seluruh penduduk Bumi," ayahku menjelaskan. "Aku seorang
astronom. Bidang yang kudalami adalah ruang angkasa jauh,
terutama usaha untuk berhubungan dengan alien. Aku
meyakini bahwa di Bumi ini ada tanda tanda kunjungan
alien, tapi itu tidak membuatku populer di kalangan rekan
rekanku yang kurang imajinatif."
~156~
"Tapi kau benar," kata Nomor Delapan. "Di sini ada
Loralite.JugalukisanguayangkamitemukandiIndia."
"Tepat," ayahku melanjutkan."Sebagian besar
rekanku yang ilmuwan menganggap aku ini orang gila.
Kurasa aku memang mirip orang gila karena sering
mengoceh tentang pengunjung dari luar Bumi." Dia
memandangberkeliling."Namun,sekarangkaliandisini."
"Terima kasih atas riwayat hidupnya," Nomor
Sembilan menyela, "bisakah kita langsung ke bagian tentang
Pittacus?"
Ay
ahku tersenyum."Aku mengirimkan sinyal
komunikasi ke angkasa dengan menggunakan gelombang
radio dari laboratoriumku. Aku yakin akan menemukan
sesuatu. Aku melakukannya saat di rumah. Aku?ah, aku
dibebastugaskandarijabatankudiuniversitas."
"Aku agak ingat bagian itu," kataku. "Mom kesal
sekali."
"Akutidak tahuapayangkuharapkandaripercobaan
itu. Jawaban,tentu saja. Mungkin musik alien atau gambar
galaksi yang aneh." Ayahku mendengus sambil menggeleng
geleng mengingat betapa tidak siap dirinya waktu itu. "Tapi
yang kudapat ternyata lebih dari itu. Suatu malam, seorang
pria muncul di depan pintu rumahku, Dia terluka dan
mengoceh?mulanya kupikir dia itu orang gila atau
gelandangan.Lalu,didepanmataku,diamembesar."
"Jadi lebih tinggi?" tanya Nomor Enam sambil
mengangkatsebelahalisnya.
Ay
ahku terkekeh. "Benar. Itu memang tidak terlalu
istimewa dibandingkan semua hal yang kusaksikan
setelahnya, tapi itu pertama kalinya aku melihat Pusaka
bekerja. Andai aku dapat berkata bahwa waktu itu aku
bereaksi dengan rasa penasaran ilmiah yang pantas, tapi
kurasasaatituakuhanyamenjerit."
~157~
Aku mengangguk. Kedengarannya begitu khas Goode.
"Garde di Bumi," Marina menarik na pas. "Siapa dia?"
"Dia menyebut dirinya Pittacus Lore."
Nomor Sembilan mendengus dan melemparkan
tatapan sinis kepada John. "Semua orang mengira dirinya
Pittacus!"
"Jadi, kau bertemu salah satu Tetua?" tanya John,
mengabaikan Nomor Sembilan. "Atau seseorang yang
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengaku sebagai Tetua?" "Seperti apa tampangnya? Dia
bilang apa?" tanya Ella.
"Pertama-tama, dia bilang luka-lukanya disebabkan
oleh ras alien ganas yang akan segera tiba di Bumi. Dia bilang
dia tak akan hidup melewati malam itu dan kata-katanya itu
tidak salah." Ayahku menutup mata, memaksa otaknya
bekerja. "Pittacus memberitahukan banyak hal dalam sisa
hidupnya yang singkat, tapi sayangnya saat ini aku kesulitan
mengingat perinciannya. Dia memintaku menyiapkan
sekelompok manusia untuk menyambut kalian,
mempersiapkan Cepan kalian melakukan pelarian, serta
memberikan bimbingan. Aku adalah Penyambut yang
pertama."
"Dia bilang apa lagi?" tanya John sambil memajukan
tubuh karena penasaran.
"Aku ingat tentang Peti kalian. Warisan. Dia bilang
setiap Peti Loric berisi sesuatu?kurasa dia menyebutnya
Batu Phoenix?yang diambil dari jantung Lorien. Meskipun
dia menyebutnya batu, kurasa kita tak bisa mengartikannya
secara harfiah. Batu Phoenix bisa mempunyai bermacam
bentuk dan terbuat dari bermacam bahan. Saat dikembalikan
ke planet kalian, benda itu akan memacu ekosistem. Aku
yakin saat ini kalian masing-masing memiliki peralatan yang
dapat menghidupkan kembali planet kalian."
Marina dan Nomor Delapan saling pandang dengan
~158~
bersemangat, mungkin memikirkan Planet Lorien yang
subur seperti yang sering John ceritakan.
"Tapi bagaimana dengan Peti kami yang hilang?"
tanya Nomor Enam. "Bukankah isinya hancur saat Garde
yang memiliki Peti itu meninggal?"
Ay
ahku menggeleng."Maaf,aku tak tahu jawabannya.
Aku hanya berharap semoga Warisan kalian yang tersisa
cukup untuk itu."
"Dengar, memulihkan kembali Lorien itu keren," kata
Nomor Sembilan, "tapi aku tidak mendengar apa-apa yang
bisa membantu kami membunuh Mogadorian atau
melindungi Bumi."
"Cepanku bilang masing-masing dari kami mewarisi
Pusaka satu Tetua," kata Nomor Delapan. "Selama ini kupikir
aku ini Pittacus, tapi ...," dia melirik ke arah John lalu
mengangkat bahu, "apakah Pittacus mengatakan sesuatu
tentang itu?"
"Tidak," jawab ayahku. "Setidaknya, seingatku tidak.
Saat Cepanmu bilang kau mewarisi Pusaka dari seorang
Tetua, mungkin maksudnya bukan secara harfiah. Mungkin
itu perumpamaan dari peran yang akan kalian emban saat
dewasa nanti untuk membangun kembali masyarakat Lorien.
Rasanya tidak mungkin itu berarti kalian akan menjadi Tetua
begitu saja, karena tiga Garde sudah tiada. Selain itu,
keberadaan Ella di sini tampaknya membuktikan bahwa
segala sesuatunya tidak sesederhana itu."
"Jadi semua tetap kabur seperti sebelumnya," Nomor
Enam menyimpulkan, lalu memandangku. "Bukan berarti
cerita itu tidak menarik."
"Sebentar," kata John yang masih merenungkan kata
kata ayahku, "jelas ada informasi yang dapat kita gunakan di
sini. Peti Loric, misalnya. Kita harus memeriksa semua isinya.
Mungkin saja kita dapat mengetahui benda apa saja yang
~159~
merupakan Batu Phoenix itu."
"Mungkin sesuatu yang tidak digunakan untuk
menikam, menembak, atau meledakkan," kata Nomor
Sembilan membantu.
"Aku akan membantu kalian, kalau aku bisa," ayahku
menawarkan. "Mungkin melihat isi Peti kalian dapat
menggugah ingatanku."
"Bagaimana dengan Penyambut yang lain?" tanya
Nomor Lima. "Apakah mereka masih hidup?"
Raut wajah ayahku menjadi mendung. Sebentar lagi
kami semua akan mendengar cerita yang sudah kuketahui,
kemudian dilanjutkan cerita mengenai pertemuan dengan
Mogadorian baik hati yang menyelamatkan kami dari
kematian. Ayahku masih berharap Adam selamat. Sebelum
makan malam tadi, dia mengecek ponselnya. Karena hingga
saat ini pun, Adam belum menghubungi. Aku mulai berpikir
dia tidak berhasil keluar dari tempat itu. Hidup atau mati,
entah bagaimana reaksi para Garde saat mendengar cerita
mengenai Adam, dan keterlibatan kami dengannya.
"Aku mengumpulkan para Penyambut. Mereka
orang-orang yang dapat kupercaya?ilmuwan dengan minat
yang sama serta terkucil. Sayangnya, saat ini aku tak dapat
mengingat nama atau bahkan wajah mereka. Mogadorian
memastikan agar aku tak bisa mengingat mereka."
Dengan tangan gemetar, ayahku mengambil gelas
sampanye, lalu menenggaknya. Air mukanya getir, seakan
akan sampanye itu tidak membantu meringankan rasa sakit
yang ditimbulkan kenangan tersebut. Atau kenangan yang
tidak bisa diingatnya.
"Kami semua tahu apa risikonya," akhirnya ayahku
melanjutkan."Kami menyambutnya dengan senang hati. Itu
merupakan kesempatan untuk menjadi bagian dari sesuatu
yang luar biasa. Aku masih percaya itu," katanya dengan
~160~
nada bangga sambil memandang para Garde. "Sementara
para Mogadorian mencari kalian, mereka juga mencari kami.
Jelas kami lebih mudah ditemukan?kami semua hidup di
Bumi. Kami punya keluarga. Para Mogadorian melacak dan
menangkap kami satu demi satu. Kemudian, mereka
memasangkan mesin-mesin pada tubuh kami, berusaha
merenggut ingatan kami demi mencari hal-hal yang mungkin
dapat membantu perburuan mereka. Itu sebabnya, ada
banyak hal yang tidak dapat kuingat dengan jelas. Aku tidak
tahu apakah yang mereka lakukan terhadapku ini dapat
disembuhkan."
Ella melemparkan pandangan ke arah Marina, lalu
John. "Kalian bisa menyembuhkannya?"
"Kami bisa mencobanya," sahut Marina sambil
memandangi ayahku. "Tapi aku belum pernah mencoba
menyembuhkan pikiran manusia."
Ay
ahku mengusap janggut dengan kening berkerut.
"Aku satu-satunya yang selamat. Aku kehilangan bertahun
tahun hidupku gara-gara para bajingan itu." Dia
memandangku. "Aku akan membalas mereka."
"Bagaimana caramu kabur?" tanya John.
"Aku dibantu. Selama bertahun-tahun aku dibius.
Para Mogadorian hanya membangunkanku saat mereka
punya eksperimen baru untuk memeriksa pikiranku. Namun,
akhirnya seorang pemuda membebaskanku."
"Pemuda?" tanya Marina dengan alis terangkat.
"Aku tidak mengerti," Nomor Delapan berkomentar.
"Bagaimana cara orang itu masuk ke markas Mogadorian?
Apakah dia agen pemerintah? Lalu, kenapa dia
membantumu?"
Sebelum ayahku sempat menjawab, Nomor Lima
angkat bicara. Dari caranya menatap ayahku, sepertinya dia
sudah memahami keseluruhan ceritanya. "Dia bukan
~161~
manusia, ya?"
Ay
ahku memandang Nomor Lima, John, kemudian
menatapku. "Dia bilang namanya Adam, tapi sebenarnya
namanya Adamus. Dia itu Mogadorian."
"Mogadorian membantumu?" bisik Marina,
sementara yang lain tercenung menatap ayahku.
Tiba-tiba, Nomor Sembilan berdiri sambil menatap
John. "Ini pasti perangkap. Kita harus menyegel tempat ini."
John mengangkat sebelah tangan, berusaha
menenangkan Nomor Sembilan. Untung saja Garde yang lain
tidak ikut berdiri seperti Nomor Sembilan. Namun, tetap saja
mereka saling pandang dengan gugup dan, walaupun aku
memercayai para Garde, tiba-tiba aku khawatir mereka
mungkin tidak memercayai ayahku.
"Tenanglah," kata John kepada Nomor Sembilan,
"kita harus mendengar keseluruhan ceritanya. Malcolm,
ceritamu ini benar-benar sulit dipercaya."
"Aku tahu, percayalah," sahut ayahku. 'Setahuku ada
dua jenis Mogadorian. Sebagian dari mereka dibentuk
melalui teknik rekayasa genetika?dan disebut Mogadorian
biakan. Aku yakin mereka itu jenis prajurit Mogadorian yang
dapat dibuang begitu saja dan sering kalian jumpai,
Mogadorian yang buruk rupa dan mudah di bedakan dari
manusia. Mereka dikembangbiakkan hanya untuk
membunuh. Jenis Mogadorian yang lain disebut Mogadorian
sejati. Mereka inilah yang memegang kekuasaan. Adam
adalah Mogadorian-sejati dan merupakan anak dari seorang
jenderal Mogadorian."
"Menarik," kata Nomor Delapan. "Aku tak pernah
mengira tatanan masyarakat mereka ternyata seperti itu."
"Siapa yang peduli?" gerutu Nomor Sembilan. Dia
berdiri sambil memegang sandaran kursi, seakan-akan siap
untuk melontarkan benda itu. "Cepat ke bagian yang dapat
~162~
membuktikan bahwa ini bukan perangkap Mogadorian."
"Para Mogadorian melakukan eksperimen terhadap
Adam dengan menggunakan mesin yang juga mereka
gunakan untuk mengorek ingatanku," ayahku melanjutkan,
tidak gentar menghadapi ketegangan yang memuncak.
"Mereka memiliki jasad seorang Garde--Nomor Satu kurasa
?dan mencoba memindahkan ingatan Garde itu kepada
Adam, karena menyangka itu akan membantu mereka
menemukan kalian."
"Jasadnya?," ujar Marina pelan. "Itu gila."
Ay
ahku mengangguk setuju."Namun, percobaan itu
tidak bekerja seperti yang mereka inginkan. Aku yakin
setelah mendapatkan ingatan Nomor Satu itu, tumbuhlah
keraguan terhadap para Mogadorian di hati Adam. Dia
memberontak, kemudian membantuku melarikan diri dan
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari Sam."
Nomor Sembilan geleng-geleng. "Para Mogadorian
sering menggunakan jebakan menggunakan agen ganda
seperti ini," dia bersikukuh.
"Kau pernah bertemu pemuda Mogadorian ini?"
Nomor Enam bertanya kepadaku.
Sekarang, semua orang melihatku dengan saksama
seperti saat memandang ayahku tadi. Aku berdeham karena
merasa tidak nyaman. "Ya. Waktu di Dulce. Dia menahan
sepasukan Mogadorian saat aku dan ayahku melarikan diri."
Ay
ahku mengernyit sambil menunduk memandang
meja."Sepertinya dia tidak berhasil lolos dari pertempuran
itu."
"Nah, itu melegakan," gumam Nomor Sembilan
sambil duduk kembali.
"Masih ada lagi ...," kataku sambil melirik ragu
kepada ayahku, bertanya-tanya bagaimana cara
mengungkapkannya.
~163~
"Apa,Sam?" tanyaJohn.
"Saat pertempuran, dia?dia membuat tanah
berguncang.Seakan-akandiapunyaPusaka."
"Omong-kosonggila," NomorSembilanmendengus.
"Betul," ayahku menukas. "Aku lupa tentang itu.
Sesuatuterjadipadanyasaateksperimen."
Ella angkat suara, ada nada takut dalam
suaranya."Benarkah? Jadi, mereka dapat mencuri kekuatan
kita?"
"Kurasa dia tidak mencuri Pusaka," ayahku
menjelaskan."Adambilang,hadiahdarisangLoric."
Nomor Delapan memandang berkeliling. "Siapa yang
pernahmemberikanhadiahkepadaMogadorian?"
John menyilangkan lengan di dada. "Sepertinya itu
tak mungkin."
"Aku minta maaf jika kabar ini membuat kalian
gusar," kata ayahku sambil memandang berkeliling. "Aku
ingin menceritakan semuanya kepada kalian, termasuk
perincianyangtidak menyenangkan."
"Apakah itu buruk?" tanya Marina. "Maksudku, kalau
satu Mogadorian dapat memahami bahwa yang mereka
lakukanitusalah,mungkinkahyanglainnya...."
"Kau berharap mereka bakal bersimpati?" bentak
NomorSembilan,menyebabkanMarinaberhentibicara.
Tiba-tiba, akuteringat sesuatu, mungkinkarenakami
pernah membahas mengenai mengapa Garde memiliki
Pusaka, juga karena mendengarkan perincian baru tentang
bumi pertiwi mereka yang ayahku ceritakan. "Pusaka kalian
berasaldariLorien,bukan?"
"BegitulahyangHenribilangkepadaku," kataJohn.
"JugaKatarina," NomorEnammenambahkan.
"Nah, kalau begitu, sepertinya Pusaka bukanlah
sesuatu yang dapat direbut begitu saja dengan menggunakan
~164~
teknologi Mogadorian. Maksudku, kalau Mogadorian
sanggup melakukan itu, seharusnya saat ini mereka sudah
mencuri kekuatan itu dari Planet Lorien, kan?"
"Maksudmu bagaimana?" John bertanya dengan alis
terangkat.
"Yah, kurasa maksudku bagaimana kalau Adam
mendapatkan Pusaka karena Nomor Satu
menginginkannya?"
Nomor Sembilan yang duduk di sampingku
mendengus mencemooh. Ayahku yang duduk di sisiku yang
satu lagi berdeham penuh perhatian sambil mengusap-usap
dagu. "Teori yang menarik," katanya.
"Yah, terserahlah," kata Nomor Sembilan sambil
memajukan tubuh untuk menatap ayahku dengan mata
disipitkan. "Kau yakin ini bukan perangkap rumit
Mogadorian? Kau yakin mereka tidak membuntutimu?"
"Aku yakin," jawab ayahku dengan tegas.
Nomor Lima terkekeh. Selama kami membahas
tentang Adam, dia hanya diam. Namun, sekarang dia
memandang berkeliling dengan heran. "Maaf, tapi setengah
dari cerita kalian melibatkan manusia yang bekerja sama
dengan Mogadorian dan mengkhianati kalian." Dia
mengayunkan sebelah tangan ke arahku dan ayahku.
"Sekitar beberapa minggu lalu, dua manusia ini melakukan
kontak dengan Mogadorian. Bergaul. Lalu, kalian akan
memercayai mereka begitu saja?"
Tanpa ragu, John menjawab, "Ya," sambil menatap
mata Nomor Lima lurus-lurus. "Aku memercayai mereka
dengan segenap jiwaku. Dan kalau Mogadorian pembelot ini
masih hidup, kita harus mencarinya."
~165~
18
MALAM ITU AKU TAK DAPAT TIDUR. PADAHAL seharusnya
aku bisa tidur seperti bayi karena berbaring di sofa paling
enak di ruang keluarga Nomor Sembilan yang mirip galeri.
Sofa ini jauh lebih baik dibandingkan tempat tidur motel
keras dan penuh kutu yang sebelum ini aku dan ayahku
tiduri, apalagi dibandingkan akomodasi luar biasa yang
Setrakus Ra siapkan.
Namun, ada banyak hal yang perlu dipikirkan.
Setelah berkumpul kembali dengan ayahku serta para Garde,
siap untuk benar-benar bertempur melawan Mogadorian,
aku merasa gelisah. Gelisah memikirkan masa depan. Gelisah
memikirkan bergaul dengan para Loric.
Aku bertanya-tanya apakah ayahku dapat tidur.
Setelah makan malam tadi, dia tampak kelelahan. Aku tahu
menjawab pertanyaan-pertanyaan para Garde dengan
ingatan yang bolong-bolong membuatnya mengerahkan
banyak tenaga.
Mungkin aku cuma merasa canggung karena bertemu
begitu banyak Garde baru. Memang sih, aku berteman
dengan John dan Nomor Enam sehingga terbiasa dengan
segala hal tentang alien. Namun, berada di antara Garde yang
lain membuatku serasa limbung. Aku sanggup menghadapi
Nomor Sembilan yang meledak-ledak. Marina dan Ella juga
tampaknya cukup normal. Namun ada Nomor Delapan, yang
pernah mengelabui manusia agar bertarung membela
dirinya. Juga Nomor Lima?yah, kurasa tak ada yang benar
benar memahaminya. Terkadang dia terlihat seperti orang
paling gagap sosial di seluruh dunia, tapi kadang-kadang
dengan liciknya dia mengejek orang lain.
Lalu aku sendiri, apa peranku di sini? Sahabat SMA
John dan teman yang tabah? Aku ingin menyumbang lebih
~166~
banyak daripada itu. Sayangnya, aku tidak tahu caranya.
Aku berguling-guling di sofa, tapi sepertinya tertidur
juga meski sebentar. Jarum berukir pada jam antik di
pojokan yang tampaknya luar biasa mahal menunjukkan
masih dini hari. Kurasa sebaiknya aku bangun dan
melakukan sesuatu. Tanganku tidak bisa diam. Mungkin
sebaiknya aku ke Aula Kuliah dan mulai mengerjakan
pekerjaan yang ingin ayahku selesaikan. Aku memang tidak
mampu membetulkan peralatan itu, tapi kurasa aku sanggup
menyambung kabel-kabel yang putus.
Suasana di penthouse sunyi mencekam saat aku
berjalan melintas. Lantai kayu di koridor berderak dan
seketika itu juga pintu Nomor. Lima berayun membuka,
mengagetkanku. Dia masih berpakaian lengkap, aneh sekali,
seakan-akan selama ini dia berjongkok di balik pintu dan
bersiap melompat keluar begitu melihat tanda-tanda bahaya.
Sebelah tangannya bergerak-gerak gugup, dua bola seukuran
kelereng berputar-putar di telapaknya.
"Halo," aku berbisik. "Cuma aku. Maaf, kalau aku
membuatmu terbangun."
"Sedang apa kau?" dia balas berbisik dengan curiga.
"Aku juga bisa tanya yang sama," jawabku.
Nomor Lima mengembuskan napas dan tampak
melunak, sepertinya dia tidak ingin bertengkar. "Yah, maaf.
Aku tak bisa tidur. Tempat ini bikin aku takut. Terlalu besar."
Nomor Lima berhenti bicara dan mengerutkan wajah karena
malu. "Sejak kejadian di Arkansas itu, aku selalu berpikir
bakal ada monster yang muncul dan menyerangku."
"Aku mengerti. Tidak apa-apa. Kurasa kita aman di
sini." Aku bergerak menyusuri koridor. "Aku mau
mengerjakan sesuatu di Aula Kuliah. Mau ikut?"
Nomor Lima menggeleng. "Tidak, terima kasih." Dia
bergerak menutup pintunya, tapi kemudian berhenti.
~167~
"Sebenarnya, aku tidak benar-benar berpikir bahwa kau dan
ayahmu itu mata-mata Mogadorian atau semacamnya. Saat
makan malam itu, aku cuma berperan seperti, Man ... pihak
oposisi,kurasa."
"Oh,terimakasih."
"Maksudku, seandainya aku jadi Mogadorian, aku
bakal memilih manusia yang terlihat lebih tangguh untuk
dijadikanmata-mata."
"Eh-hmmm," aku menjawab sambil menyilangkan
lengan, "kau benar-benar tak tahu kapan harus berhenti
bicarasaatsedangmintamaaf,ya?"
"Oh, maaf. Maksudku bukan begitu," balas Nomor
Lima sambil menepuk dahi. "Aku memang tidak pintar
bersosialisasi.Menurutmuapayanglainmenyadarinya?"
"Mmmm...."
Nomor Lima tersenyum. "Aku bercanda, Sam. Pasti
lah mereka menyadarinya. Aku tahu aku ini berengsek.
Seperti yang kau bilang, kadang-kadang aku tak tahu kapan
harustutupmulut."
"KalaumerekabisaterbiasadenganNomorSembilan,
mereka juga akan terbiasa denganmu," aku
menenangkannya.
"Ya. Itu, eh, membesarkan hati, agaknya." Nomor
Lima mengembuskan napas. "Dadah, Sam. Jangan bikin
rencanajahatdiAulaKuliah,ya."
Lalu, dia menutup pintu kamarnya. Aku berdiri di
koridor, mendengarkannya bergerak di kamar. Nomor Lima
memang agak aneh, tapi aku mengerti mengapa dia tegang
saat berada di sekitar Garde yang lain. Aku sendiri juga
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu.
AkukagetsaatmelihatlampudiAulaKuliahmenyala.
Sarahadadidalam, berdiridiarenatembak. Diamengenakan
tank top dan celana olahraga. Dia juga memegang senapan
~168~
busur, yang mungkin merupakan salah satu benda paling
aneh yang pernah kulihat. Aku memandanginya bersiap
menembakkan panah.
"Bolehkah aku memotretmu untuk buku tahunan?"
aku bertanya. Ruangan yang besar ini membuat suaraku
bergaung.
Sarah terlonjak. Panah yang ditembakkannya
meleset dari Mogadorian kertas yang tergantung di seberang
ruangan. Dia berbalik sambil tersenyum lebar,
mengacungkan senapan busur itu, lalu menyeringai dengan
sikap mengancam. Aku memotretnya menggunakan kamera
khayalan.
"Anak-anak di Paradise tak bakal percaya," kataku.
"Tapi kau pantas jadi calon penerima penghargaan Paling
Mematikan."
Sarah tertawa."Ya, ampun. Kita jauh sekali dari rapat
buku tahunan, ya?"
"Benar."
Sarah meletakkan senapan busur itu lalu memelukku,
membuatku kaget.
"Kenapa?"
"Sepertinya kau butuh pelukan," jawabnya sambil
mengangkat bahu."Lagi pula?jangan bilang-bilang sama
yang lain, ya?senang rasanya ada manusia lain di sini."
Aku tersadar Sarah adalah satu-satunya remaja Bumi
selain aku yang tahu seperti apa rasanya berteman dengan
sekelompok alien yang terlibat dalam perang antar galaksi.
Kami tidak pernah benar-benar membahasnya, tapi kami
sama-sama punya berjuta pengalaman mengerikan.
"Kita berdua perlu membuat kelompok dukungan
yang anggotanya dua orang," aku mengusulkan.
"Tahu tidak? Andai tahun lalu kau bertanya, aku akan
bilang hal paling mengerikan yang pernah kulihat adalah
~169~
ujian kimia tingkat universitas," Sarah tertawa. "Tapi
sekarang ... kemarin saja aku menyaksikan pacarku
bertarung melawan monster cacing raksasa."
Aku tertawa. "Dunia memang gila."
"Tak heran kita menderita insomnia."
Aku berjalan ke Podium dan mural memperhatikan
kabel-kabel yang sebelum ini dikerjakan ayahku. Sarah
duduk bersilang kaki di sampingku dan menonton.
"Jadi, kau ke sini dan menembakkan senapan busur
karena tidak bisa tidur?"
"Rasanya seperti segelas susu hangat," jawab Sarah.
"Sebenarnya, aku belajar menembak, tetapi karena tidak
ingin orang-orang terbangun jika aku menembak dengan
pistol, aku menggunakan busur."
"Yah, itu mungkin bukan ide bagus. Semua orang
agak tegang, ya?"
"Itu namanya meremehkan."
Aku menoleh ke arah Sarah. Sulit rasanya untuk
percaya dia itu temanku satu SMA. Namun, yang paling bikin
aku heran, kami mengobrol tentang latihan artileri.
"Sebenarnya aku sering ke sini," dia melanjutkan.
"John susah tidur. Kalaupun tidur, dia selalu berguling ke
sana dan ke sini. Lalu pagi harinya, dia menyelinap keluar
untuk merenung di atap. Dia pikir aku tidak tahu, padahal
aku tahu."
Aku meringis ke arah Sarah sambil mengangkat
sebelah alis. "Kalian tidur sekamar, nih?"
Dia menendangku sambil bercanda."Sesukamu, Sam.
Tapi ini tidak seperti yang kau kira. Bersembunyi dari alien
penyerbu yang haus darah tidak ada romantis-romantisnya,
tahu? Lagi pula, Nomor Delapan bisa tiba-tiba muncul di
kamar atau di mana saja dengan menggunakan
teleportasinya." Dia menyipitkan mata ke arahku. "Tapi,
~170~
jangan bilang-bilang pada orangtuaku, ya."
"Rahasiamu aman bersamaku," kataku kepadanya.
"Kita, manusia, harus bersatu."
Setelah aku selesai menyambungkan semua kabel,
sesuatu di dalam Podium berdengung. Salah satu panel - di
dinding sekonyong-konyong menyentak maju seperti piston,
lalu mundur kembali.
"Apa itu?" tanya Sarah.
"Sepertinya ini semacam alat simulasi tempur.
Nomor Sembilan bilang Cepannya punya berbagai macam
rintangan dan perangkap di sini."
Sarah mengetuk lantai di depannya. Terdengar suara
logam bergetar dari tempat yang disentuhnya, menyebabkan
Sarah buru-buru menarik tangan. "Mungkin aku harus
mewaspadai tempat dudukku."
Aku berhenti mengurusi kabel-kabel itu karena ingin
menunggu ayahku sebelum melanjutkan kembali dan juga
karena takut kalau secara tak sengaja memicu semacam
perangkap paku di bawah Sarah.
Sarah menyentuh lenganku dengan lembut. "Jadi,
kenapa kau tidak tidur, Sam?"
Tanpa sadar, aku menggosok bekas luka di
pergelangan tanganku. "Aku punya banyak waktu untuk
berpikir saat ditawan," kataku kepadanya.
"Aku mengerti maksudmu."
Wah, ada lagi kesamaan antara aku dan Sarah. "Aku
sering memikirkan John dan yang lainnya. Tentang apa yang
dapat kulakukan untuk membantu mereka."
"Lalu?"
Aku membuka tangan, menunjukkan kepadanya ide
macam apa yang kudapatkan: tidak ada sama sekali.
"Oh," Sarah berkomentar, "yah, masih ada senapan
dan busur."
~171~
"Aku takut aku tak akan dapat membantu. Aku takut
cepat atau lambat aku akan tertangkap lagi, atau lebih parah
dari itu, lalu mengacaukan keadaan mereka semua. Saat
mendengar cerita Nomor Delapan semalam, aku berpikir
mungkin akan lebih baik kalau John meninggalkanku di
Paradise seperti Nomor Delapan yang meninggalkan para
prajurit itu. Mungkin akan lebih baik jika John pergi tanpa
perlumencemaskanku."
"Atau aku," tambah Sarah sambil mengerutkan
kening.
"Akutidak bermaksudbegitu," katakuburu-buru.
"Tak apa," ujar Sarah sambil menyentuh lenganku.
'Tapi kau salah, Sam. John dan yang lainnya membutuhkan
kita.Adabanyak halyangdapatkitalakukan."
Akumengangguk, inginmemercayainya. Namun, saat
menunduk dan memandang bekas luka di pergelangan
tanganku, aku teringat apa yang Setrakus Ra katakan
kepadaku di Virginia Barat. Aku terdiam. Sarah melompat
berdiri,lalumengulurkantangan.
"Untuk awalnya," katanya, "kita bisa menyiapkan
sarapan. Mereka mungkin tak akan mengangkat kita jadi
wargakehormatanLorien,tapisetidaknyaituawalnya."
Aku memaksakan diri tersenyum, lalu bangkit. Sarah
tidak melepaskan tanganku dan memandangi bekas luka
ungutuadipergelangantanganku.
"Apa pun yang kau alami, Sam," katanya sambil
menatap mataku lurus-lurus,"semua itu sudah berakhir. Kau
aman."
Sebelum aku sempat menjawab, jeritan melengking
terdengardarisalahsatukamar.
~172~
19
AKU TERSENTAK BANGUN BEGITU ELLA MULAI
MENJERIT. Malam ini giliranku tidur bersamanya dan tadi
keadaannya tenang dan damai. Kami bergadang sampai larut,
membahas tentang orang-orang baru, apa yang Malcolm
Goode katakan tentang Pittacus Lore, juga kemungkinan
adanya Mogadorian yang baik. Akhirnya, Ella tertidur dan
aku berharap semoga mimpi buruk yang mengganggunya
sejak di New Mexico lenyap untuk selama-lamanya. Setelah
Ella membaca surat Crayton, mimpi buruk itu tidak datang.
Mungkin inimpi itu memang berkaitan dengan stres.
Sekarang, karena dia sudah tidak lagi tegang memikirkan
surat yang belum dibaca, keadaan dapat kern- ball normal.
Sayangnya, aku salah.
"Ella. Ella, bangun?" aku berseru sambil berpikir
apakah perlu mengguncangnya. Aku agak panik, terutama
karena dia tidak langsung bangun. Ella mencengkeram
selimut erat-erat dan menendang-nendang kasur sambil
terus menjerit kencang dengan suara yang makin lama makin
serak. Dia bergerak-gerak terus sampai hampir terjatuh dari
tempat tidur. Aku buru-buru mengulurkan tangan untuk
menahannya.
Begitu menyentuh pundak Ella, suatu citra muncul di
benakku. Aku tidak tahu asalnya dari mana. Rasanya seperti
saat Ella bicara denganku melalui telepati, tapi biasanya
tidak ada citra yang muncul mengiringi telepatinya.
Apa yang kulihat benar-benar mengerikan.? Chicago.
Area tepi danau tempat aku dan Nomor Delapan berjalan
jalan waktu itu. Tubuh-tubuh bergelimpangan di segala
penjuru. Jasad manusia. Langit dipenuhi asap yang menjulang
dari kebakaran di sekitar situ. Permukaan danau tertutupi
sesuatu yang kental dan hitam, seperti minyak. Aku dapat
~173~
mendengar jeritan-jeritan. Mencium bau terbakar.
Mendengar bunyi ledakan di kejauhan
Aku terkesiap dan menjauh dari Ella. Seketika itu
juga, pemandangan tadi lenyap. Aku terengah-engah dengan
tubuh gemetar, sementara perutku terasa mulas.
Ella sudah berhenti berteriak. Dia sudah bangun dan
menatapku dengan mata membelalak ngeri. Aku melirik ke
arah jam, menyadari hampir 'satu menit berlalu sejak Ella
mulai menjerit.
"Kau juga melihatnya?" dia berbisik.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mengangguk tanpa tahu harus menjawab apa,
apalagi menggambarkan apa yang kulihat. Mengapa aku
masuk ke mimpi Ella?
Pintu diketuk dan, tanpa menunggu jawaban, Sarah
melongok ke dalam. Aku dapat melihat Sam yang berdiri di
belakangnya di koridor. Mereka berdua tampak cemas.
"Kalian baik??"
Sebelum kata-kata Sarah selesai, tiba-tiba Ella
melakukan gerakan ke arah pintu, membantingnya hingga
tertutup menggunakan telekinesis.
"Ella! Kenapa?"
"Mereka tidak boleh dekat-dekat denganku,"
jawabnya dengan mata membelalak panik.
Seseorang mengguncang pintu, tapi tanpa hasil. Aku
mendengar suara John, yang mungkin datang karena
mendengar jeritan dan keributan. "Marina? Kalian baik-baik
saja?''
"Kami baik-baik saja!" aku berseru ke arah pintu.
"Sebentar."
Ella menarik selimut menyelubungi tubuhnya, lalu
meringkuk di kepala tempat tidur sambil bersandar ke
dinding. Matanya masih membelalak dan tubuhnya
gemetaran seperti daun. Saat aku mencoba menyentuhnya,
~174~
dia berjengit menjauh dariku.
"Jangan!" bentaknya. "Bagaimana kalau aku
membuatmu kembali lagi ke sana?"
"Tenang, Ella," ujarku dengan lembut. "Mimpi itu
sudah hilang. Mimpi tidak dapat menyakiti kita, apalagi saat
kita terjaga."
Ella membiarkanku memegang tangannya. Kali ini
tidak ada sentakan telepati, untunglah. Apa pun yang dibuat
mimpi buruk tersebut terhadap telepati Ella, itu semua sudah
berakhir.
"Berapa?berapa banyak yang kau lihat?" dia
bertanya sambil jelalatan memandangi kamar, seakan-akan
ada sisa mimpi buruk yang bersembunyi di kegelapan dan
menanti untuk menerkam.
"Aku tak tahu apa tepatnya yang kulihat," aku
menjawab. "Kota ini. Sepertinya sesuatu yang buruk
menimpa kota ini."
Ella mengangguk. "Itu setelah mereka tiba."
"Siapa?" tanyaku meski sudah menduga siapa yang
Ella maksud.
"Para Mogadorian. Dia memperlihatkan kepadaku
apa yang terjadi setelah mereka tiba. Dia?dia membuatku
memegang tangannya dan berjalan melewati semua itu." Ella
bergidik, lalu melemparkan dirinya dari dinding ke
pelukanku. Aku ikut bergidik. Membayangkan berjalan
melintasi pembantaian itu sambil bergandengan tangan
dengan Setrakus Ra saja sudah cukup untuk membuatku
gemetar. Aku berusaha tegar demi Ella.
"Ssst," bisikku, "sudah tidak apa-apa. Sudah selesai."
"Itu bakal terjadi," Ella menangis. "Kita tak dapat
menghentikannya."
"Itu tidak benar," jawabku sambil memeluknya erat
erat. Aku berusaha memikirkan apa yang akan John atau
~175~
Nomor Enam katakan saat menghadapi situasi seperti ini.
"Mimpi buruk itu tidak benar, Ella."
"Dari mana kau tahu?"
"Ingat lukisan gua di India yang Nomor Delapan
perlihatkan kepada kita? Yang menggambarkan Nomor
Delapan meninggal? Seharusnya lukisan itu merupakan
ramalan, tapi kita mematahkannya. Tidak ada masa depan
yang pasti, yang ada cuma masa depan yang kita buat."
Ella melepaskan pelukannya, lalu menarik napas
dalam-dalam dan menenangkan diri.
"Aku cuma ingin mimpi buruk itu berhenti," katanya.
"Aku tak mengerti mengapa aku mengalami ini."
"Setrakus Ra berusaha menakut-nakutimu," kataku.
"Dia berusaha menakut-nakutimu karena dia takut terhadap
kita."
Aku senang karena mampu mengucapkannya dengan
percaya diri untuk menenangkan Ella, padahal sebenarnya
aku sendiri sangat ketakutan. Sinar mentari mengintip dari
balik gorden, dan di luar jendela itu ada sebuah kota indah
yang dihuni manusia-manusia tak bersalah yang baru saja
kulihat terbantai. Mimpi itu begitu nyata. Aku tidak mampu
mengenyahkannya. Bagaimana kalau kami tidak dapat
mencegahnya?
~176~
20
MENJELANG SIANG, AKU MENGUMPULKAN SEMUA orang
di ruang duduk untuk membahas strategi. Sejumlah hal
penting terkuak semalam. Sudah saatnya kami
merencanakan tindakan selanjutnya. Meski begitu, hal
pertama yang harus kami bahas meski lelah?akibat
terbangun beberapa jam lalu karena jeritan?adalah masalah
mengenai mimpi buruk Ella.
Malcolm mengusap janggut sambil berpikir.
"Anggaplah mimpi buruk ini disebabkan oleh Setrakus Ra.
Mencemaskan juga jika tanpa mengetahui posisi kita pun dia
sanggup mengirimkan mimpi itu, entah dengan cara apa,
mungkin melalui semacam telepati Mogadorian. Tadi kau
bilang kau melihat Chicago terbakar, betul?"
Ella mengangguk, tampak enggan untuk mengingat
kembali mimpi buruk terakhirnya. Bernie Kosar, yang
meringkuk di kakinya, menempelkan hidung ke Ella,
menghiburnya.
"Chicago setelah perang besar," Marina memperjelas.
"Apakah dia mengejek kita?" tanya Nomor Enam.
"Atau mungkin ini semacam ramalan?"
"Kupikir kita tidak akan membahas ramalan lagi,"
ujar Nomor Delapan sambil memutar bola mata.
"Terkadang dalam mimpi buruk ada sepotong
kebenaran," kataku.
"Seperti saat kami mendapatkan visi tentang New
Mexico," Nomor Sembilan menimpali.
"Benar. Tapi di lain waktu, sepertinya dia cuma ingin
mempermainkan kita."
"Bukan isinya yang bikin aku khawatir, melainkan
kenyataan bahwa Setrakus Ra mampu mengirimkan mimpi
itu," Malcolm menjelaskan sambil merenung, menyebabkan
~177~
kerut-kerut tampak di wajahnya. "Apakah menurut kalian
dia mampu melacak kita melalui mimpi?"
"Kalau dia mampu melakukan itu, seharusnya saat ini
kita sudah bertarung melawan Mogadorian, bukan?" sahut
Nomor Delapan. "Lalu buat apa dia repot- repot memanggil
John dan Nomor Sembilan ke New Mexico?"
Aku mengangguk sepakat, teringat visi yang aku dan
Nomor Sembilan lihat. "Walaupun anehnya mimpi buruk itu
bisa begitu terperinci, aku rasa dia tidak tahu di mana kita
berada. Rasanya lebih seperti dia berusaha membuat kita
salah langkah."
"Jadi pertanyaannya, bagaimana cara kita
menghentikan mimpi buruk itu?" tanya Malcolm.
"Aku punya ide," ujar Nomor Enam. Semua orang
langsung memandangnya. Nomor Enam menyesap kopi di
cangkirnya pelan. "Kita bunuh saja Setrakus Ra."
Nomor Sembilan bertepuk tangan, lalu menunjuk
Nomor Enam. "Aku sutra caranya berpikir."
"Oh, semudah itukah?" Nomor Lima angkat suara.
"Kau membuatnya terdengar seperti membuang sampah."
"Andai semudah itu," kataku. "Tapi kita tak tahu di
mana dia berada dan, andaipun kita berhasil menemukannya,
ini tidak akan jadi pertarungan yang mudah. Kali terakhir
kita pergi melawannya, kita hampir mati."
"Kita bisa memancingnya ke tempat kita," Nomor
Sembilan mengusulkan sambil melirik Nomor Lima.
"Mungkin dengan membuat crop circle lagi."
"Kau tidak serius, kan?" ujar Sam. Aku melihatnya
beringsut di kursi saat mendengar nama Setrakus Ra disebut.
"Sembilan cuma bercanda," ujar Nomor Lima sambil
melotot ke arah Nomor Sembilan. "Mengejekku."
Nomor Sembilan mengangkat bahu dan pura-pura
menguap. "Terserah, deh. Tapi aku benar-benar merasa
~178~
sebaiknya kita pergi bertarung melawan sesuatu."
"Itu kan maumu," Nomor Delapan menyela.
"Yah, itu memang keahlianku."
"Untuk pertama kalinya, kita berkumpul," kataku
sambil menjaga agar suaraku tetap tenang. "Kita punya
elemen kejutan. Kita juga punya kesempatan untuk
mempersiapkan diri menghadapi pertarungan yang
berikutnya. Sebaiknya kita tidak gegabah."
"John benar," Marina mendukung. "Masih ada banyak
hal tentang diri kita yang tidak kita ketahui, kekuatan kita,
Peti Loric kita."
"Ada bagusnya jika kita benar-benar mengenal apa
yang kita gunakan," Nomor Delapan berkata. "Beberapa hari
yang lalu, kami berlatih bersama Nomor Sembilan di Aula
Kuliah. Ternyata, latihan itu sangat membantu. Nggak
nyangka."
Nomor Sembilan tersenyum lebar. "Pujian diterima,
cemoohan diabaikan."
"Benar," Sarah ikut bicara. "Kurasa aku mewakili
para manusia dengan berkata tidak ada salahnya melakukan
latihan tempur."
"Mempelajari isi Peti kita juga ada bagusnya," aku
menambahkan. "Mungkin kita bisa mengetahui benda mana
yang merupakan Batu Phoenix seperti yang Malcolm bilang."
"Pendataan barang perlu dilakukan," kata Malcolm.
"Yang berarti, pencarian Petimu harus dijadikan
prioritas utama," kataku menatap Nomor Lima.
"Tentu," sahut Nomor Lima, keyakinan yang baru
kali ini kulihat. "Aku tahu pasti letak tempat itu. Kita bisa
berangkat kapan pun kalian mau."
"Itu akan menjadi misi pertama yang bagus," kata
Nomor Delapan. "Terutama kalau kita dapat melakukannya
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa terdeteksi radar Mogadorian."
~179~
"Aku masih merasa kita harus menghancurkan radar
gilamereka," gerutuNomorSembilan.
"Secepatnya,Kawan," akumenjawab."Untuk saatini,
kita harus bermain aman. Menghimpun kekuatan. Malcolm,
bagaimanadenganMogadorianyangitu?Adam?"
Malcolm menggeleng dengan wajah muram. "Aku
sudah menjalankan alat pelacak yang akan memberi sinyal
jika ponselnya menyala, tapi sampai saat ini belum ada apa
apa.Akumencemaskanyangterburuk."
"Mungkin dia sudah membuang ponselnya," ujar
Sam,berusahamenghiburayahnyayangtampak murung.
"Kita melenceng dari topik utama," Nomor Enam
mengingatkan."Bagaimanadenganmimpiburuk Ella?"
Ella, yang selama ini hanya diam mendengarkan,
menjawabnya, "Aku akan mengusirnya. Kalau monster jelek
itumemasukibenakkulagi,akuakanmeninjuanunya."
"Whoa!"
"Oke," katakusambilmeringis."Rapatditutup."
~180~
21
SETELAH ITU, KAMI BEREMPAT YANG MASIH MEMILIKI
Peti Loric berkumpul di ruang kerja bersama Malcolm. Aku
senang dapat membantu?walaupun tidak tabu apakah aku
cukup berguna. Adelina tidak pernah menjelaskan tentang
kegunaan barang-barang dalam Petiku.
Bunyi teredam terdengar dari Aula Kuliah. Nomor
Enam sedang berlatih menembak bersama Sam, Sarah, dan
Ella. Aku rasa Nomor Lima juga ada di sana, walaupun dia
tampak tidak terlalu bersemangat belajar menembak. Nomor
Sembilan menatap pintu Aula Kuliah dengan muram. Setelah
mengembuskan napas secara dramatis, dia mulai mengaduk
aduk isi Petinya.
"Lihat, nih," kata Nomor Sembilan. Dia
mengacungkan batu ungu kecil, lalu meletakkannya di
punggung tangan. Batu itu meluncur ke dalam tangannya?
menembusnya. Nomor Sembilan membalikkan tangan dan
batu itu keluar dari telapak tangannya. "Keren, ya?" dia
bertanya kepadaku sambil memainkan alis.
"Mmm, tapi apa gunanya?" tanya Nomor Delapan
sambil mendongak dari Petinya sendiri.
"Entahlah. Untuk membuat gadis-gadis terkesan?"
Nomor Sembilan memandangku. "Bagaimana?"
"Mmm ...," aku ragu sambil berusaha agar tidak
memutar bola mata, "tidak terlalu. Tapi karena sudah
melihat orang melakukan teleportasi, aku agak sulit dibuat
terkesan.
"Salah sasaran." "Bagaimana rasanya saat batu itu
menembus tanganmu?" tanya Malcolm. Dia memegang
bolpoin di atas buku catatan.
"Eh, kurasa agak aneh. Tanganku mati rasa sampai
batu itu lewat." Nomor Sembilan mengangkat bahu sambil
~181~
memandang berkeliling. "Kalian mau coba?"
"Ya, tentu," jawab Malcolm. Dia meletakkan batu itu
di tangannya, tapi tidak terjadi apa-apa. "Hmmm, kurasa
cuma berfungsi pada Loric."
Malcolm mengembalikan batu itu kepada Nomor
Sembilan. Namun, Nomor Sembilan tidak memasukkan batu
itu kembali ke Peti dan justru menyelipkannya ke saku.
Mungkin dia berniat untuk keluar dan mencoba membuat
gadis-gadis terkesan.
John memegang kumpulan daun yang tampak rapuh
dan diikat menggunakan benang yang menguning. Dia
menimangnya dengan lembut, tidak yakin daun itu harus
diapakan.
"Ini pasti ada kaitannya dengan Lorien, kan?"
"Mungkin Henri memasukkannya ke situ supaya kau
ingat untuk menyapu halaman," komentar Nomor Sembilan
sambil mengaduk-aduk isi Petinya kembali. "Di Petiku tak
ada daun konyol, tuh." Malcolm menyipitkan mata ke
arah kumpulan daun di tangan John. Saat dia membelai
lembut pinggiran daun itu dengan menggunakan jari
telunjuk, aku mengira daun rapuh itu bakal hancur. Tiba
tiba, bunyi angin sepoi-sepoi memenuhi ruangan. Malcolm
menarik jarinya dan seketika itu juga bunyi tersebut
berhenti. "Kalian dengar?" dia bertanya.
"Seperti ada yang lupa menutup jendela," ujar Nomor
Delapan sambil memandang pada keempat dinding yang
disesaki peralatan. Tak ada sinar matahari yang merembes
dari mana pun.
"Itu bunyi angin Lorien," ujar John dengan sorot
mata menjauh. "Entah bagaimana, aku tahu begitulah
adanya."
"Lagi, dong," pinta Nomor Sembilan. Aku agak kaget
mendengar nadanya yang tulus. Meski demikian, aku juga
~182~
ingin mendengar bunyi angin itu lagi. Suara itu
menenangkan.
John menyapukan tangan pada daun-daun itu dan
kali ini bunyi yang terdengar lebih keras. Bulu remangku
berdiri. Kulitku serasa dibelai angin segar Loric. Indah sekali.
"Hebat," kata Nomor Delapan.
"Tapi apa gunanya?" tanya Nomor Sembilan yang
sudah kembali pada sifatnya yang blak-blakan.
"Ini untuk mengingatkan," John menjawab, suaranya
pelan, seakan-akan dia agak terharu dan berusaha
menyembunyikannya. "Untuk mengingatkan akan apa yang
kita tinggalkan. Mengapa kita berperang."
"Menarik." Malcolm menuliskan sesuatu di buku
catatan. "Perlu dipelajari lebih lanjut."
Malcolm berdiri di belakang kami yang
mengeluarkan isi Peti Loric masing-masing satu demi satu.
Dia menuliskan semuanya, membuat catatan dari benda
benda yang cara kerjanya kami ketahui dan
menggarisbawahi yang tidak kami ketahui. Sebagian besar
Warisanku digarisbawahi, mulai dari sarung tangan gelap
yang berbinar saat kusentuh hingga alat berbentuk lingkaran
yang mirip kompas.
"Menurut kalian, apa kegunaan benda ini?" tanya
Nomor Delapan sambil mengacungkan tanduk melengkung
yang seperti dipatahkan dari kepala rusa kecil. "Ini satu
satunya benda di sini yang fungsinya tidak kuketahui."
Lima detik setelah Nomor Delapan mengacungkan
tanduk tersebut, Bernie Kosar melesat melewati pintu ruang
kerja dengan hidung terangkat mengendus udara. Dia
tampak senang, ekornya bergoyang-goyang. Lalu, dia
melompat ke arah Nomor Delapan sambil mengais-ngais.
"Dia menginginkan tanduk itu," kata John, "kalau kau
tak mengerti."
~183~
Nomor Delapan mengangkat bahu, lalu menurunkan
tanduk yang langsung diambil BK dengan moncongnya.
Chimaera itu jatuh terlentang dan mulai berguling sambil
mengeluarkan bunyi mendengkur senang yang jelas tidak
sesuai dengan wujud anjingnya. Malahan, wujudnya mulai
berubah-ubah, seakan-akan dia kesulitan mengendalikan
diri.
"Tingkahnya aneh banget!" Nomor Sembilan tertawa
histeris. "Andai kita tidak dalam pelarian, aku bakal
mengunggah ini ke internet."
"Wooo, sebentar," kata John sambil mengusap
pelipis. "Tenang, BK."
Malcolm memandang BK, lalu John. "Kau mampu
berkomunikasi dengannya?"
"Ya," jawab John, "secara telepati. Nomor Sembilan
juga. BK sangat senang. Dia bilang tanduk itu?aku tak tahu
bagaimana menjelaskannya, dia menggunakan bahasa yang
aneh?seperti, totem atau semacamnya. Bagi Chimaera."
"Yah, karena dia adalah Chimaeramu satu-satunya,
dia boleh menyimpan tanduk itu," ujar Nomor Delapan
sambil tersenyum lebar dan berjongkok untuk menggaruk
perut BK.
"Ella tiba di sini dengan menggunakan pesawat yang
penuh Chimaera," kataku. "Apakah menurutmu kita dapat
menggunakannya untuk menarik mereka? Mungkin mereka
tersesat dan tak tahu harus mencari kita ke mana."
Malcolm langsung menulis di buku catatannya. "Ide
bagus, Marina."
Aku tersenyum dan merasa agak bangga. Andai saja
aku tahu apa kegunaan benda-benda di Petiku.
"Kalau kalian mencari benda membosankan bertema
alam, aku punya ini," kata Nomor Sembilan sambil
mengangkat sebuah kantung kulit kecil. Dia mengedarkan
~184~
benda itu dan kami masing-masing mengintip isinya. Kantung
itu berisi tanah kecokelatan. "Waktu Sandor menjelaskan
Warisanku, dia bilang ini berguna untuk menumbuhkan
benda-benda. Tapi kita tak akan membutuhkannya untuk
waktu yang lama."
Nomor Sembilan mengikat tali kulit di bagian atas
kantung tersebut, lalu melemparkannya kembali ke Peti.
Kurasa dia sama sekali tidak tertarik dengan benda-benda
yang tidak dapat digunakan untuk membunuh Mogadorian.
Aku memeriksa semua isi Petiku, menyingkirkan
permata-permata cantik yang dapat digunakan untuk
membeli penthouse ala Spanyol, seperti milik Nomor
Sembilan seandainya Adelina peduli, mencari benda yang
dapat membantu memulihkan kembali Lorien.
"Ini apa?" aku bertanya sambil mengangkat botol
langsing berisi air sejernih kristal. Kacanya terasa dingin di
jariku.
"Coba minum," Nomor Sembilan mengusulkan.
Malcolm menggeleng. "Aku sarankan untuk tidak
menelan benda-benda yang ada di Petimu sebelum kita tahu
apa fungsinya."
"Dengar, tidak?" Nomor Delapan menyikut Nomor
Sembilan. "Jangan makan batu."
Aku membuka tutup botol itu. Begitu terkena udara,
cairan dalam botol itu berubah warna jadi biru, persis batu
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Loralite. Sayangnya, reaksi itu hanya sekejap dan warna biru
tersebut langsung pudar kembali jadi bening. Aku
mengusapkan jariku di sisi botol dan menyebabkan seutas
biru terang muncul di cairannya, yang segera memudar
begitu jariku kujauhkan. Serat-serat warna biru terlihat
berpusar di dekat ujung jariku yang memegang botol ter
sebut.
"Kalian lihat?" aku berseru.
~185~
"Cairanituseperti dapat merasakansentuhanmudari
balik kaca," ajarJohn.
"Bolehkucoba?" Malcolmbertanya.
Akumenyerahkanbotol itukepadaMalcolm. Saat dia
memegang botol tersebut, warna cairan tersebut tidak
berubah. "Hmmm," katanya. Lalu, dia mengulurkan botol itu
kearahJohn,"cobapegang."
Begitu John mengambil botol dari tangan Malcolm,
cairan tersebut kembali menyinarkan warna biru terang
Loralite. Kami semua memandangi warna itu memudar
kembali, kecuali di tempat yang disentuh John. Cairan itu
berdenyut, seakan-akan ingin keluar dari botol, seolah-olah
tak sabaruntuk bersentuhandengankami.
"Jadi, cairan ini mendeteksi Loric," kata Nomor
Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet 09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama