Ceritasilat Novel Online

The Power of Six 7

The Power of Six Karya Pittacus Lore Bagian 7

berbalik ke rumah pemiliknya. Aku sangat jengkel karena

perburuan berakhir dan juga kemungkinan akan nasib si

kelinci. Jadi, aku membuntuti Clifford, mencoba

membuatnya melepaskan si kelinci.

"Anjing nakal," kataku. "Anjing nakal."

Namun, Clifford sudah sangat puas dengan

buruannya sehingga tak memedulikanku. Di halaman

belakang rumahnya, dengan gembira dia menggigit bulu bulu

lembap si kelinci. Aku harus mendorongnya menjauh dari si

kelinci agar dia mau memperhatikanku, dan bahkan

menggeram kepadaku.

Aku mendesis keras pada Clifford. Dengan sebal,

anjing itu menjauh. Kupandangi si kelinci, basah dan

berdarah. Tapi belum mati.

Kekerashatianku mencair saat aku mengangkat

binatang malang itu ke dada. Aku merasakan jantungnya

berdegup tak keruan, di pinggir ajal. Matanya menatap

kosong.

Aku tahu apa yang akan terjadi padanya. Luka
lukanya memang tak dalam, tapi kelinci ini pasti akan mati

karena syok. Dia memang belum mati, tapi sekarat. Satu
satunya yang tersisa adalah kelumpuhan akibat rasa takut

luar biasa dan ajal yang dingin mengerikan.

Aku menatap ke jendela. Katarina tidak terlihat.

Aku kembali memandang si kelinci. Saat itu aku

langsung tahu apa pilihan yang tersisa untuknya.

Kau adalah seorang pejuang, kata Katarina.

"Aku adalah seorang pejuang," kata-kataku membeku

di wajahku. Aku meraih leher si kelinci dengan kedua tangan

dan memutarnya.

Lalu, kelinci itu aku kubur di bawah salju. Tempat

yang bahkan Clifford pun tak akan bisa menemukannya.

Katarina salah. Aku pernah membunuh. Karena iba.

Tapi belum pernah karena dendam.

BAB 9

KATARINA MENGHENTIKAN TRUK DI SEBUAH JALAN dan kami

turun. Seharian, kami berkendara dan sekarang pukul tiga

pagi. Kami di Arkansas, di Taman Nasional Lake Ouachita.

Gerbang taman itu ditutup, jadi Katarina mencari bagian

pagar yang mudah dibongkar dan memasukkan truk, berjalan

di dalam gelap hingga kami menemukan jalan utama menuju

bumi perkemahan.

Kami pernah ke sini sebelumnya meskipun aku tak

ingat. Katarina bilang kami pernah berkemah di sini saat aku

masih kecil, dan menurutnya tempat ini adalah tempat yang

cocok untuk mengubur Petiku, menyembunyikannya.

Rupanya, kami sudah tak punya pilihan lain lagi selain

mengubur Petiku.

Di luar terdengar riak air mengenai ke tepian.

Katarina dan aku berjalan di antara pepohonan, mengikuti

arah air. Aku membawa Petiku. Kami sudah memutuskan

terlalu merepotkan membawa Peti ini ke sana kemari.

Namun, Katarina bilang bahwa Peti ini tak boleh jatuh ke

tangan Mogadorian.

Aku tidak membantah meskipun ada makna tersirat

dari keputusan ini yang membuatku ngeri. Kalau menurut

Katarina, Petiku harus disembunyikan agar aman, dia pasti

berpikir bahwa kemungkinan kami tertangkap kian

bertambah. Atau mungkin malah tak terelakkan.

Aku gemetar di dingin malam sambil berusaha

mengusir nyamuk. Semakin kami dekat ke air, semakin

banyak nyamuk.

Akhirnya, kami sampai ke pinggir danau. Di tengah

danau ada sebuah pulau kecil, dan aku cukup mengenal

Katarina untuk tahu apa yang dia inginkan.

"Biar aku yang melakukannya," katanya. Tapi dia

nyaris tak bisa berkata-kata. Dia kelelahan, nyaris pingsan.

Sudah berhari-hari dia tak tidur. Aku juga nyaris tak tidur,

hanya beberapa menit sesekali di truk. Tapi itu lebih baik

daripada Katarina, dan aku tahu dia butuh istirahat.

"Berbaringlah," kataku. "Biar aku saja."

Katarina memprotes lemah, tapi tak lama dia sudah

berbaring di pinggir danau. "Istirahatlah," kataku. Aku

mengambil selimut yang dia bawa untuk dipakai sebagai

handuk nanti. Aku menyelimutkannya ke tubuh Katarina agar

tak digigiti nyamuk.

Kulepas bajuku, lalu meraih Petiku dan masuk ke air.

Awalnya, air sangat dingin, tetapi begitu aku menyelam

ternyata cukup hangat. Aku mulai berenang dengan agak

susah payah karena hanya menggunakan satu lengan,

sementara lengan yang lain memegang Peti.

Aku belum pernah berenang di malam hari. Butuh

kekuatan tekad untuk tidak membayangkan ada tangan
tangan yang meraih dari kegelapan danau dan menarikku ke

bawah. Aku berkonsentrasi pada tujuanku.

Setelah sepuluh menit yang terasa hampir sejam,

akhirnya aku sampai ke pulau di tengah danau. Aku keluar

dari air, gemetaran saat angin dingin mengenai kulitku dan

berjalan tersaruk-saruk melewati kerikil yang memenuhi

tepian. Aku berjalan ke tengah pulau yang berbentuk hampir

bulat itu. Luasnya mungkin kurang dari empat ribu meter,

jadi tak butuh lama bagiku untuk sampai ke tengahnya.

Lalu, aku menggali lubang sedalam kira-kira satu

meter, yang butuh waktu lebih lama daripada berenang. Dan

saat selesai, tanganku berdarah karena mencakar tanah yang

keras, dan semakin sakit saat aku harus meraup tanah dan

memperdalam lubang.

Kumasukkan Petiku ke lubang itu dengan enggan,

meskipun aku belum pernah melihat isinya, belum pernah

membukanya. Aku bahkan sempat berpikir untuk

mendoakannya, Peti yang menjanjikan begitu banyak

potensi. Tapi tak jadi. Aku memenuhi lubang dengan tanah

lagi hingga rata. Aku tahu, aku mungkin tak akan pernah lagi

melihat Petiku.

Lalu, aku kembali ke danau dan berenang pulang

menuju Katarina.

BAB 10

SUDAH SEMINGGU SEJAK KAMI TIBA DI UPSTATE New York.

Kami menginap di motel kecil di dekat sebuah kebun apel

dan lapangan sepak bola. Katarina sedang merencanakan

tindakan kami selanjutnya.

Di TV ataupun di internet tidak lagi ada berita yang

mencurigakan. Ini memberikan sedikit harapan tentang masa

depan Lorien dan harapan bahwa Mogadorian kehilangan

jejak kami.

Mungkin ini konyol, tapi aku merasa siap bertempur.

Mungkin saat di motel perbatasan dulu aku belum siap, tapi

aku siap sekarang. Aku tak peduli meskipun Pusakaku belum

muncul. Lebih baik bertempur daripada lari.

"Kau pasti tak serius," kata Katarina. "Kita harus hati
hati."

Jadi, kami pun menunggu. Katarina sudah kehilangan

minat untuk berlatih, tetapi kami masih berusaha sebisa

mungkin, push-up dan tinju bayangan di kamar kami saat

siang, dan latihan yang lebih intens di pojok-pojok gelap

lapangan sepak bola di malam hari.

Di siang hari, aku diperbolehkan berjalan-jalan di

kebun apel, mencium aroma apel matang. Katarina

melarangku bermain di lapangan sepak bola saat siang,

ataupun bicara kepada anak-anak yang berlatih di sana. Dia

ingin kami tetap sembunyi.

Namun, aku bisa melihat lapangan bola dari balik

pohon di pinggir kebun apel. Hari ini yang bermain adalah

tim perempuan. Gadis-gadis itu memakai kaus ungu dan

celana pendek putih. Mereka sebaya denganku. Dari bawah

keteduhan pohon apel, aku bertanyatanya bagaimana

rasanya ikut bermain dalam sesuatu yang ringan dan tak

penting seperti permainan sepak bola. Sepertinya aku akan

bisa bermain dengan mudah. Aku suka kegiatan fisik. Aku

kuat dan tangkas. Aku pasti jago. Tapi, aku tak boleh

bermain-main tak tentu.

Rasa iri merangkak naik mencekik tenggorokanku. Ini

sebuah sensasi baru. Aku biasanya pasrah pada nasib. Tetapi,

setelah kejadian di perjalanan, nyaris terbunuh oleh

Mogadorian, memunculkan kebencianku kepada gadis-gadis

pemain sepak bola yang hidupnya terlihat mudah.

Namun, aku menelan rasa iri itu. Aku harus

menyimpan tenaga untuk melawan Mogadorian.

Malam itu kami sempatkan menonton TV sebentar.

Itu adalah sebuah kemewahan yang biasanya dilarang oleh

Katarina, karena menurutnya TV membuat otakku membusuk

dan indraku tumpul. Tetapi, sesekali Katarina melunak dan

membolehkanku menonton TV.

Aku meringkuk di ranjang dekat Katarina. Dia

memilih channel yang menayangkan film tentang seorang

wanita yang tinggal di New York dan mengeluh betapa

sulitnya menemukan pria yang baik. Perhatianku pun teralih

dari layar ke wajah Katarina yang melembut saat menonton

film. Dia terserap dalam ceritanya.

Katarina memergokiku menatapnya dan merona.

"Kadang aku juga boleh cengeng, dong." Dia menoleh

kembali ke layar. "Aku tak bisa menahannya. Dia ganteng,

sih."

Aku menatap TV kembali. Si wanita sekarang

berteriak kepada si tampan, mengatakan betapa dia adalah

"babi penindas perempuan". Aku sudah pernah menonton

beberapa film dan aku bisa menebak bagaimana akhir film

ini. Si pria memang tampan kurasa, meskipun aku tak

terpesona seperti Katarina.

"Apakah kau pernah punya pacar?" tanyaku

kepadanya.

Katarina tertawa. "Di Lorien dulu, ya. Aku pernah

menikah."

Dadaku seakan diremas dan pipiku merona. Aku

sangat egois selama ini. Bagaimana mungkin aku tak pernah

bertanya kepadanya? Bagaimana mungkin aku tak pernah

tahu bahwa Katarina pernah punya suami, sebuah keluarga?

Aku terdiam karena aku hanya bisa menduga bahwa

suaminya meninggal saat penyerbuan Mogadorian.

Hatiku menangis untuk Katarinaku.

Aku berusaha mengubah topik. "Tapi sejak kita di

Bumi?"
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katarina tertawa lagi. "Kau bersamaku selama ini.

Apa menurutmu kau tak akan tahu kalau aku punya pacar?"

Aku juga tertawa, meskipun hatiku pedih. Katarina

tak mungkin bisa punya pacar meskipun dia ingin, dan itu

semua karena aku. Karena dia terlalu sibuk melindungiku.

Katarina mengangkat satu alisnya. "Kenapa tibatiba

kau banyak bertanya? Kau naksir seseorang, ya? Apa kau

ketemu cowok ganteng di lapangan bola?" Dia mengulurkan

tangan dan mencubit pinggangku, menggelitikku. Aku

berusaha menjauh sambil tertawa.

"Tidak," kataku, dan itu memang benar. Anak-anak

lelaki memang latihan di lapangan dan aku sering menonton

mereka. Tetapi, biasanya hanya untuk melihat seberapa

atletis mereka dan seberapa bagus refleks mereka

dibandingkan diriku. Kukira aku tak akan pernah naksir salah

satu dari mereka. Kurasa aku tak bisa mencintai seseorang

yang tidak ikut terlibat dalam perjuanganku. Aku tak akan

bisa menghargai seseorang yang tidak terlibat dalam perang

melawan Mogadorian, untuk menyelamatkan Lorien.

Di layar TV, si tokoh wanita tersebut berdiri di tengah

hujan, air mata mengalir di wajahnya, sembari mengatakan

kepada si tokoh pria bahwa dia berubah pikiran dan cintalah

yang kini penting baginya.

"Katarina," panggilku.

Katarina menoleh kepadaku. Aku tak perlu

mengatakannya; dia mengenalku dengan baik. Katarina

mengganti channel hingga menemukan film action. Kami

menonton film itu bersama hingga tertidur.

BAB 11

KEESOKAN HARINYA, SETELAH LATIHAN DAN belajar, aku

jalan-jalan di kebun apel. Hari itu hangat dan aku menikmati

jalan-jalan di bawah keteduhan pohon apel, sementara

kakiku menginjak dedaunan dan buah apel yang jatuh. Bau

manis apel mengambang di udara.

Matahari bersinar terang, udara terasa segar dan

menyenangkan, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas.

Aku merasa bahagia dan penuh harapan saat aku menjelajah

kebun itu.

Katarina sudah memesan tiket pesawat ke Australia

hari ini. Menurutnya, Australia akan menjadi tempat

persembunyian yang bagus. Aku bersemangat menantikan

perjalanan kami.

Aku berbalik hendak berjalan kembali ke motel,

ketika sebuah bola sepak menggelinding ke dekat kakiku.

Tanpa berpikir, aku melompat dan menghentikannya dengan

satu kaki.

"Kau mau kembalikan itu, nggak?" Terkejut, aku

berbalik. Seorang gadis manis dengan rambut ekor kuda

berwarna cokelat menatapku dari pinggir kebun apel. Dia

memakai seragam sepak bola dan mulutnya terbuka,

menggelembungkan permen karet.

Aku menurunkan kakiku dari bola, memutar dan

menendangnya melambung kepada gadis itu. Aku

menggunakan lebih banyak kekuatan dari yang seharusnya.

Saat gadis itu menangkapnya, dia hampir tersungkur jatuh ke

belakang.

"Hei, pelan dong!" teriaknya.

"Maaf," kataku, malu.

"Tendanganmu bagus juga," kata gadis itu,

menatapku. "Keras juga."

Tak lama kemudian, aku sudah bergabung di

lapangan. Tim gadis-gadis itu kekurangan pemain, dan si

gadis berpermen karet, Tyra, entah bagaimana berhasil

meyakinkan pelatih agar membiarkanku main.

Aku tak tahu peraturan sepak bola, tapi dengan cepat

aku bisa memahaminya. Aku berutang kepada Katarina yang

telah membuat otakku cukup tajam untuk memproses

informasi dengan cepat. Sang pelatih, seorang wanita gemuk

berwajah masam, dengan peluit di mulut menugaskanku

sebagai pemain bertahan dan aku langsung beraksi di sayap

kanan. Gadis-gadis di timku langsung menangkap strategiku

dan memperkuat pertahanan, memaksa tim lawan untuk

menyerang lewat sayap kanan yang kujaga.

Setiap kali pemain lawan menggiring bola mendekat

ke gawang, aku pasti berhasil merebutnya.

Sebelum kusadari, aku sudah basah oleh keringat,

rumput menempel di betisku yang basah kena keringat.

Untungnya, aku memakai kaus kaki panjang sehingga bekas

lukaku tak terlihat. Aku seakan melayang dan bahagia bisa

beraktivitas di bawah sinar matahari, dan sangat gembira

mendengar sorakan teman-teman setimku.

Ada serangan balik dari sisi kiriku. Tyra merebut bola

dari pemain lawan, dan sekarang dikejar pemain lawan yang

lain. Aku satu-satunya orang yang bebas, dan dia mengoper

bola kepadaku.

Tiba-tiba, hampir semua pemain lawan mengejarku.

Pemain-pemain dari timku mengejar mereka, mencoba

menghalangi lawan dariku, saat aku menggiring bola ke arah

gawang. Penjaga gawang menyiapkan diri menghadapi aku

yang mendekat. Pemain lawan melepaskan diri dari halangan

pemain timku dan mengejarku. Meskipun jarak ke gawang

masih sepertiga lapangan, aku tahu ini adalah kesempatan

terakhirku.

Aku menendang. Bola melengkung tinggi, berputar

seperti jet. Aku menendang terlalu cepat, tanpa berpikir, dan

langsung mengarah ke penjaga gawang. Ah, penjaga gawang

pasti akan menangkapnya.

Dan memang demikian. Tapi aku menendang bola itu

terlalu kuat sehingga gaya dorongnya membuat si penjaga

gawang terlontar ke belakang, bola terlepas dari tangannya

dan menghantam jaring gawang.

Timku bersorak. Pemain lawan ikut bersorak, ini

hanya permainan. Jadi, mereka ikut mengakui keahlianku

dan tidak merasa kalah.

Myra menepuk bahuku. Dia bangga karena menjadi

orang yang berhasil membujukku untuk keluar dari kebun

apel dan ikut bermain. Pelatih mendekatiku dan

menanyakan aku sekolah di mana. Dia jelas ingin

memasukkanku ke dalam timnya.

"Aku bukan dari sini," gumamku. "Maaf." Pelatih

mengangkat bahu dan memberiku ucapan selamat.

Aku tersenyum dan berjalan keluar lapangan. Aku

merasa gadis-gadis itu ingin berteman denganku. Mereka

berdiri bergerombol dan memandangku pergi. Aku

membayangkan kehidupan yang berbeda bagiku, kehidupan

seperti gadis biasa. Memang menarik, tetapi tempatku

adalah bersama Katarina.

Aku berjalan kembali ke motel, berusaha menghapus

seringai kemenangan dari wajahku. Ada dorongan kekanak
kanakan yang membuatku ingin menceritakan tentang golku

kepada Katarina, meskipun dia sudah melarangku ikut

bermain. Tiba-tiba saja, kakiku sudah berlari kembali ke

kamar motel, tak sabar untuk pamer kepada Katarina.

Pintu kamar tidak terkunci. Aku membukanya, masih

menyeringai senang seperti orang idiot. Dan seringaiku

langsung menghilang.

Ada sepuluh pria di dalam kamar, Mogadorian.

Katarina terikat di kursi, mulutnya disumpal, keningnya

berdarah, dan matanya berkaca-kaca melihatku.

Aku berbalik hendak lari, tapi kemudian aku melihat

mereka. Lebih banyak Mogadorian; ada yang di mobil, ada

yang hanya berdiri, di seluruh tempat parkir. Sekitar tiga

puluh orang semuanya.

Kami tertangkap!

BAB 12

TANGANKU DIBORGOL DAN KAKIKU DIIKAT. Katarina juga,

meskipun aku tak bisa melihatnya. Para Mogadorian

melemparkan kami di bak belakang sebuah truk trailer besar,

terikat bersama. Satu-satunya bukti keberadaan Katarina

adalah punggungku yang beradu dengan punggungnya.

Trailer itu berguncang-guncang dan aku menebak kami

sedang melaju kencang di jalan raya.

Mulut Katarina masih disumpal, tetapi untungnya

mereka tak mau repot-repot menyumpalku. Entah mereka

merasa bahwa aku akan diam demi keselamatan Katarina

atau ingar bingar lalu lintas akan menenggelamkan suaraku.

Aku tak tahu ke mana kami akan dibawa dan apa yang

akan dilakukan para Mogadorian terhadap kami. Aku sudah

memperhitungkan bahwa kami akan menghadapi yang

terburuk, tapi aku masih menggumamkan kata-kata

penenang bagi Katarina. Aku tahu Katarina juga akan

melakukan hal yang sama jika dia bisa.

"Semua akan baik-baik saja," kataku. "Kita akan baik
baik saja."

Aku tahu kami tak akan baik-baik saja. Perutku mual

saat menyadari bahwa perjalanan ini akan berakhir dengan

kematian kami.

Katarina menekankan punggung kepadaku,

mengisyaratkan cinta dan dorongan. Dengan tangan terikat

dan mulut tersumpal, itu adalah satu-satunya cara dia bisa

berkomunikasi denganku.

Suasana di bak belakang trailer itu gelap. Hanya ada

seberkas sinar masuk melalui lubang di atap aluminiumnya.

Sinar matahari. Aneh rasanya duduk di bak trailer yang gelap

dan lembap ini, sementara di luar matahari bersinar. Sebuah

hari yang biasa.

Badanku sakit di mana-mana karena duduk terlalu

lama dalam posisi yang tak nyaman. Dalam kelelahan, aku

sempat berpikir gila bahwa tadi seharusnya aku tidak pulang

ke kamar motel dan terus main bola saja. Setidaknya sampai

ikut merasakan sekaleng Gatorade yang ditawarkan pelatih

kepadaku.

Terdengar sesuatu dari kegelapan trailer. Geraman

bernada rendah. Di ujung bak trailer bagian depan ada

sebuah kandang. Samar-samar aku bisa melihat jeruji baja.

"Apa itu?" tanyaku. Katarina bergumam dari balik

sumpalan mulutnya, dan aku langsung menyesal karena

menanyakan sesuatu yang tak bisa dia jawab.

Kucondongkan tubuhku ke depan, menarik Katarina

bersamaku. Aku bisa mendengar Katarina berusaha

memprotes, tetapi rasa penasaran mengalahkanku.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuregangkan tubuhku ke depan jauh-jauh, wajahku

mendekat ke jeruji baja.

Terdengar gemerisik di dalam gelap.

Tawanan lainkah? pikirku. Sejenis binatang? Hatiku

dibanjiri rasa iba.

"Halo?" kataku ke kegelapan kandang. Orang atau

binatang itu mengeluarkan suara gemetaran. "Apa kau baik
baik saja?"

Tiba-tiba, rahang yang luar biasa besar menggebrak

ke depan, mata sebesar tinju berpendar merah. Bau busuk

menguar dari napas binatang itu dan meniup rambutku.

Perutku langsung mual dan aku hampir muntah.

Aku mencoba menjauh, tetapi binatang buas itu

tetap menempelkan kepala besarnya ke jeruji. Mata

merahnya menatapku tajam. Aku tahu kalau saja tak ada

jeruji baja menghalangi, aku pasti sudah mati.

Binatang ini bukan tawanan. Bukan sekutu yang

terkalahkan. Ini adalah piken. Katarina pernah menceritakan

kepadaku tentang binatang ini. Makhluk liar dan pemburu

bagi Mogadorian. Tetapi, selama ini aku mengira itu hanyalah

dongeng.

Katarina membantu menggeser-geser kakinya hingga

kami agak menjauh dari binatang buas itu. Saat aku semakin

mundur, piken itu juga mundur. Menghilang di kegelapan

kandangnya.

Saat ini aku aman. Tetapi, aku juga tahu bahwa

binatang ini, makhluk yang busuk dan mengerikan, mungkin

akan jadi lawanku dalam beberapa hari atau beberapa

minggu ke depan. Perutku bergolak karena ngeri dan

kemarahan akibat putus asa. Aku tak tahu apakah aku

sebaiknya muntah, pingsan, atau malah keduanya.

Kusurukkan kepalaku yang lembap oleh keringat di

bahu Katarina, berharap mimpi buruk ini segera berakhir.

Aku tenggelam dalam tidur yang gelisah dan

terbangun oleh suara Katarina.

"Enam. Bangun. Enam."

Aku langsung terbangun.

"Sumpalan mulutmu?" tanyaku.

"Aku berhasil melepaskannya. Lama sekali baru bisa

lepas."

"Oh," kataku bodoh. Aku tak tahu harus berkata apa

lagi, atau masihkah ada gunanya kami bicara? Kami telah

tertangkap, tanpa daya.

"Mereka menyadap truk kita. Waktu di Texas.

Begitulah cara mereka menemukan kita."

Betapa bodohnya, pikirku. Sembrono sekali kami.

"Tugaskulah yang seharusnya memikirkan hal itu,"

kata Katarina seakan-akan membaca pikiranku. "Sudahlah,

jangan dibahas lagi. Aku ingin kau bersiap terhadap apa yang

akan terjadi."

Apa? pikirku. Kematian kami?

"Mereka akan menyiksamu untuk mendapatkan

informasi. Mereka akan ...," kudengar Katarina terisak, tapi

berusaha menguasai diri dan melanjutkan per kataannya.

"Mereka akan menyiksamu habis-habisan. Tapi kau harus

kuat."

"Aku akan kuat," kataku, setegas mungkin.

"Mereka akan menggunakanku untuk membuatmu

tunduk. Jangan biarkan apa pun yang terjadi ...."

Jantungku seakan membeku. Mereka akan

membunuh Katarina di depanku apabila itu bisa membuatku

bicara.

"Berjanjilah kepadaku, Enam. Aku mohon ... mereka

tak boleh tahu nomormu. Kim tak boleh membocorkan

informasi yang bisa membuat mereka lebih banyak tahu

tentang Garde yang lain. Informasi yang bisa membantu

mereka memburu para Garde. Semakin sedikit yang mereka

tahu tentang mantra pelindung, semakin bagus. Berjanjilah.

Kau harus berjanji."

Aku tak bisa berjanji. Tubuhku beku membayangkan

kengerian yang akan kualami. Aku tahu janjiku adalah satu
satunya hal yang ingin didengar Katarina, tapi aku tak bisa.

BAB 13

SUDAH TIGA HARI AKU DISEKAP DALAM SELKU ini. Di sini yang

ada hanya seember air, satu ember kosong untuk toilet, dan

nampan besi kosong bekas makan kemarin. Tak sedikit pun

makanan tersisa di nampan itu; aku sudah menjilatinya

sampai bersih kemarin. Saat aku terbangun di selku tiga hari

lalu, aku berniat mogok makan sebagai protes, menolak

makan dan minum kecuali mereka memperbolehkanku

melihat Katarina. Tapi dua hari berlalu tanpa ada makanan

ataupun minuman yang diantarkan, dan aku mulai

membayangkan bahwa mereka telah melupakannya. Ketika

akhirnya makanan datang, aku sudah tenggelam dalam dasar

keputusasaan sehingga aku lupa niatku dan langsung

melahap bubur lembek yang mereka masukkan dari lubang

kecil di pintu selku.

Anehnya, aku tidak merasa lapar. Memang

semangatku melemah, tetapi tubuhku tak terasa lemah

karena kurang makan. Liontinku berpendar suram di dadaku

selama aku dalam kegelapan, dan aku mengira bahwa mantra

pelindung yang dipasang Tetua Lorien melindungiku dari

kelaparan dan dehidrasi. Meskipun tak kelaparan ataupun

dehidrasi, aku belum pernah tak makan atau minum selama

itu. Dan pengalaman itu hampir membuatku setengah gila.

Secara fisik, aku tak lapar ataupun haus, tetapi secara mental

aku kelaparan.

Dinding selku terbuat dari batu kasar dan tebal.

Rasanya tak seperti sel penjara, tetapi lebih mirip Jiang

buatan. Sepertinya sel ini dipahat dari bukit cadas. Rupanya,

kami dibawa ke sebuah gua alam atau terowongan di dalam

gunung.

Aku sudah mencoba mengikis dinding selku, tetapi

bahkan aku pun sadar itu sia-sia. Semua usaha itu hanya

membuat kukuku patah dan ujung jemariku berdarah. Satu
satunya hal yang bisa kulakukan sekarang adalah diam dan

berusaha mempertahankan kewarasanku.

Itulah misi utamaku: tak membiarkan pengucilan

dalam sel ini membuatku jadi gila. Aku harus membuat

pengalaman ini menjadi sesuatu yang membuatku lebih

kuat, lebih teguh, tapi tidak membuatku gila. Tetap waras,

sebuah tantangan yang aneh. Kalau kau berkonsentrasi untuk

tetap waras terlalu keras, itu hanya akan membuatmu jadi

tambah dekat pada kegilaan. Tetapi, kalau kau melupakan

misimu, kalau kau mencoba mempertahankan kewarasan

tanpa berkonsentrasi, pikiranmu justru akan mengembara

memikirkan hal-hal yang paling aneh dan gila, sehingga

membuatmu nyaris stres. Triknya adalah mencoba menjaga

keseimbangan di antara keduanya; membuat jarak dengan

dirimu, berusaha netral.

Aku berkonsentrasi mengatur napas. Hirup,

embuskan. Hirup, embuskan. Saat aku tidak melakukan

peregangan atau push-up di pojok selku, itulah yang

kulakukan. Bernapas.

Hirup, embuskan. Hirup, embuskan.

Kata Katarina ini namanya meditasi. Dia dulu sering

mendorongku untuk melakukan latihan meditasi demi

membantuku fokus. Menurutnya itu akan membantuku saat

bertarung. Aku tak pernah mau mengikuti sarannya. Rasanya

terlalu membosankan. Tetapi sekarang, di dalam selku,

meditasi menjadi pegangan untuk mempertahankan

kewarasanku. Cara terbaik untuk mempertahankan

kewarasanku.

Aku sedang bermeditasi ketika pintu selku terbuka.

Aku berbalik, mataku memicing silau terkena cahaya yang

datang dari lorong. Seorang Mogadorian berdiri di depan

cahaya, di belakangnya ada beberapa lagi berjaga.

Mogadorian itu memegang ember dan selama sesaat

kukira dia membawakan aku air untuk minum. Tetapi, dia

melangkah maju dan menyiramkan seember air dingin ke

kepalaku. Sebuah penghinaan yang nyaris tak tertahankan

dan aku gemetar kedinginan. Namun, siraman itu juga

menyegarkan. Mengembalikanku ke kehidupan,

mengembalikan kebencianku kepada para Mogadorian sialan

ini.

Mogadorian itu menarikku berdiri dan mengikatkan

penutup ke mataku. Lalu, dia melepaskanku lagi dan aku

terhuyung berusaha untuk tetap tegak.

"Ayo," katanya, mendorongku keluar sel.

Pengikat mata itu tebal, jadi aku berjalan dalam

kegelapan total. Tapi indraku yang lain cukup tajam dan aku

nyaris bisa berjalan lurus. Aku juga bisa merasakan para

Mogadorian di sekitarku.

Saat berjalan, kakiku terasa dingin menyentuh lantai

batu kasar, aku mendengar jeritan dan erangan kesakitan dari

para tawanan lain. Ada yang manusia, ada pula yang

binatang. Mereka pasti terkunci dalam sel seperti aku. Aku

tak tahu siapa mereka dan apa yang diinginkan Mogadorian

dari mereka. Tetapi, aku sibuk berkonsentrasi pada nyawaku

sendiri sehingga tak peduli. Aku tak sempat lagi merasa iba.

Setelah perjalanan yang panjang, Mogadorian yang

memimpin berkata, "Kanan!" dan mendorongku ke kanan.

Dia mendorongku keras sekali sehingga aku jatuh berlutut.

Lututku bergeser di lantai batu yang kasar. Aku berusaha

berdiri, tetapi dua orang Mogadorian menyeretku dan

melemparkanku ke dinding. Mereka menarik tanganku ke

atas dan memasukkannya ke rantai besi yang menggantung

dari langit-langit. Tubuhku terentang, kakiku nyaris tak

menyentuh tanah.

Mereka melepaskan penutup mataku. Aku ada di sel

yang lain; sel yang diterangi lampu bercahaya kuat dan

mataku seakan terbakar karena silau, karena selama tiga hari

sebelumnya dikurung di sel yang gelap total. Begitu mataku

mulai terbiasa dengan cahaya, aku melihatnya.

Katarina!

Dia juga dirantai ke langit-langit dan kondisinya jauh

lebih buruk dariku. Berdarah-darah, memar bekas dipukuli

habis-habisan. Mereka memulai dengan menyiksanya

terlebih dulu.

"Katarina," bisikku. "Apa kau baik-baik saja ...?" Dia

mengangkat kepala, matanya berkaca-kaca.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan melihatku," katanya, matanya kembali

tertunduk.

Seorang Mogadorian masuk ke ruangan. Dia

mengenakan?aneh sekali?kaus polo putih dan celana khaki

tersetrika rapi. Rambutnya pendek. Sepatunya pantofel?

berdetak pelan di lantai. Dia bisa saja salah dikira sebagai

ayah penyayang dari pinggiran kota atau manajer toko

swalayan.

"Halo, apa kabar?" katanya. Dia menyeringai

kepadaku, kedua tangannya di dalam saku celana. Giginya

putih berkilau seperti iklan pasta gigi.

"Kuharap kau menikmati menginap bersama kami."

Aku memperhatikan bulu-bulu halus di lengannya yang

kecokelatan. Mogadorian ini bisa dibilang pria yang tampan,

meskipun hambar, dengan tubuh yang kekar dan kuat. "Gua

ini memang agak dingin, tapi kami berusaha membuat kalian

senyaman mungkin. Sudah ada dua ember kan di selmu?

Kami tak ingin kau tak punya toilet."

Satu tangannya terulur dengan santai sehingga sesaat

kukira dia akan mengelus pipiku. Tetapi dia ma lah

mencubitku, keras-keras. "Lagi pula kau adalah tamu

kehormatan kami," katanya, bisa beracun akhirnya

merembes di perkataannya.

Aku benci mengakuinya, tetapi aku mulai menangis.

Kakiku lemas, dan aku tergantung tak berdaya. Tetapi aku

menahan isakanku. Dia mungkin bisa melihatku menangis,

tapi aku tak akan membiarkan Mogadorian ini mendengar

isakanku.

"Baiklah, Ladies," kata si Mogadorian, menepukkan

kedua tangan dan mendekati meja kecil di sudut ruangan. Dia

membuka laci dan mengeluarkan koper vinil yang dibukanya

di atas meja. Cahaya lampu di langitlangit dipantulkan

kembali oleh serangkaian bendabenda baja yang tajam.

Mogadorian itu mengambilnya satu demi satu sehingga aku

bisa melihat semuanya. Pisau bedah, pisau cukur, dan tang.

Berbagai macam pisau. Bor listrik ukuran saku. Dia

menyalakan bor itu sesaat sebelum meletakkannya lagi.

Mogadorian itu berjalan mendekatiku. Wajahnya

hanya beberapa send dari wajahku. Dia bicara dan napasnya

mengembus ke hidungku. Aku langsung mual.

"Kau lihat semua ini?"

Aku tak menjawab. Napasnya berbau seperti piken di

trailer. Meskipun dari luar dia terlihat tampan, di dalam dia

sama busuknya.

"Aku akan menggunakan semua alat ini kepadamu

dan Cepanmu hingga kau menjawab semua pertanyaan kami

dengan jujur. Kalau tidak, kujamin kalian berdua akan

berharap lebih baik mati."

Dia menyeringai penuh kebencian, berjalan kembali

ke meja dan mengambil sebuah pisau cukur tajam dengan

pegangan karet. Dia kembali mendekatiku, mengusap pipiku

dengan sisi pisau yang tumpul. Rasanya dingin.

"Sudah lama aku memburu kalian," katanya. "Kami

sudah membunuh dua, dan sekarang kau ada di sini, berapa

pun nomormu. Dan seperti yang kau bayangkan, aku

berharap kau Nomor Tiga."

Aku mencoba menjauh, menekankan punggungku ke

dinding sel, berharap bisa melesak dan menghilang ke dalam

batu. Mogadorian itu tersenyum sambil menekankan sisi

pisau tumpulnya ke pipiku lagi, lebih keras.

"Ops," katanya. "Salah sisi."

Dengan satu gerakan cepat, dia memutar sisi bilah

pisau sehingga sisi yang tajam berhadapan dengan wajahku.

"Nah, kita coba seperti ini sekarang."

Dia menyeringai kejam dan mengayunkan pisau itu

langsung ke wajahku. Rasa hangat yang sudah kukenal

menjalar di tubuhku, tapi aku tak merasa kesakitan. Aku

justru terpana saat melihat pipi Mogadorian itu mulai

berdarah.

Darah mengalir kian deras saat pipi Mogadorian itu

membuka seperti jahitan robek. Dia menjatuhkan pisaunya,

mencengkeram pipinya, dan berputar-putar di ruangan,

kesakitan dan frustrasi. Dia menerjang meja, membuat alat
alat penyiksaan beterbangan ke lantai, lalu lari keluar.

Pengawal Mogadorian yang selama ini berjaga di

belakangnya saling pandang penuh tanya.

Sebelum aku sempat bicara kepada Katarina, kedua

pengawal Mogadorian itu maju, membuka ikatanku dan

menyeretku kembali ke sel.

BAB 14

DUA HARI BERLALU. DALAM KEGELAPAN SELKU, aku kini tak

hanya harus mengatasi ancaman kegilaan dan kebosanan.

Aku juga harus menghilangkan ingatan tentang Katarina yang

penuh darah dan luka. Aku ingin mengingat Katarina

sebagaimana aku mengenalnya: bijak dan kuat.

Aku meneruskan latihan bernapasku. Untungnya itu

bisa membantu. Tapi tak banyak.

Akhirnya, pintu sel terbuka dan sekali lagi, aku .

disiram air dingin, diberi penutup mata, tapi kali ini ditambah

sumpalan di mulut.

Katarina masih ada di tempat terakhir kali aku

melihatnya, berdarah-darah dan lunglai seperti sebelumnya.

Aku hanya berharap semoga saja para Mogadorian pernah

menurunkannya dan memberinya kesempatan untuk lepas

dari rantainya itu.

Mogadorian yang sama dengan yang hendak

menyiksaku kemarin duduk di depan kami. Di pinggir meja

dengan salah satu sisi wajahnya terbungkus perban.

Aku bisa melihat bahwa dia berusaha terlihat

menakutkan seperti sebelumnya, tetapi ada ketakutan baru

di matanya.

Aku benci dia. Lebih dari siapa pun yang pernah

kutemui. Kalau saja aku bisa merobek-robeknya dengan

tanganku, aku pasti tak akan ragu. Kalau tak bisa dengan

tangan, aku akan mengoyaknya dengan gigi.

Mogadorian itu sadar bahwa aku memperhatikannya.

Tiba-tiba, dia melompat ke depan, merenggut sumpalan

mulutku. Dia mengacungkan pisau cukur tajam itu ke depan

wajahku lagi, memutar-mutarnya sehingga bilah pisau

memantulkan cahaya lampu dari langitlangit.

"Aku tak tahu kau nomor berapa ...," katanya. Aku

mengerut, mengira dia akan mengirisku lagi, tapi dia

menahan diri. Lalu, dengan kesengajaan yang sadis, dia

mendekat ke arah Katarina dan menjambak rambutnya.

Katarina merintih di balik mulut yang masih tersumpal. "Tapi

kau akan memberitahuku sekarang juga."

"Tidak!" jeritku.

Mogadorian itu menyeringai puas melihat

kepiluanku, seakan-akan dia sudah mengharapkannya. Dia

menekankan bilah pisau ke lengan Katarina dan mengiris.

Kulit lengan Katarina merengkah, mengucurkan darah.

Katarina merosot ke bawah, tapi tertahan oleh rantai yang

membelit tangannya. Air matanya bercucuran. Aku mencoba

menjerit, tetapi suaraku hilang. Yang keluar hanyalah

rintihan pilu.

Mogadorian itu kembali mengiris lengan Katarina,

kali ini lebih dalam. Katarina tak bisa menahan rasa sakit dan

merosot lunglai nyaris pingsan.

Aku akan merobek-robekmu dengan gigiku, geramku

dalam hati.

"Aku bisa melakukan ini seharian," kata si

Mogadorian. "Kau mengerti? Kau akan memberi tahu semua

yang ingin aku ketahui, dimulai dengan nomor berapa kau

ini?"

Kupejamkan mata. Jantungku seakan hendak

meledak. Aku merasa seperti gunung api, hanya saja tak ada

jalur keluar, tak ada jalur untuk menyalurkan kemarahan

yang membeludak dalam diriku.

Ketika kubuka kembali mataku, Mogadorian itu sudah

kembali ke meja, melempar-lemparkan pisau besar dari

tangan kanan ke tangan kirinya. Menunggu aku

memperhatikannya. Dan begitu mataku bertatapan

dengannya, Mogadorian itu mengangkat pisaunya sehingga

aku bisa melihat betapa besar ukurannya. Pisau itu

berpendar di tangannya, berubah-ubah warna: ungu, lalu

hijau.

"Nah, ... nomormu. Empat? Tujuh? Apakah kau cukup

beruntung menjadi Nomor Sembilan?"

Katarina yang sudah setengah sadar, menggelengkan

kepala. Aku tahu dia memintaku untuk tetap diam. Dia sudah

berusaha untuk tetap diam selama ini.

Aku berjuang untuk diam. Tapi aku tak bisa. Aku tak

tahan melihatnya melukai Katarinaku. Cepanku.

Mogadorian itu berjalan mendekati Katarina sembari

menghunus pisau. Katarina menggumamkan sesuatu dari

balik sumpalan mulutnya. Penasaran, si Mogadorian

menurunkan sumpalan mulut Katarina.

Katarina meludahkan darah ke lantai di dekat kaki si

Mogadorian. "Menyiksaku untuk mendapatkan informasi

darinya?"

Mogadorian itu memandangnya penuh kebencian,

tak sabar. "Ya, begitulah."

Katarina terkekeh penuh ejekan. "Dan kau butuh dua

hari untuk memikirkan ide cerdas itu?"

Wajah si Mogadorian memerah mendengar ejekan

itu. Bahkan, kaum Mogadorian pun punya harga diri. "Kau ini

pasti Mogadorian idiot," raung Katarina dalam tawa. Aku

takjub melihat keberaniannya, bangga akan perlawanannya,

tetapi takut akan konsekuensinya.

"Waktuku sebanyak galaksi," jawab si Mogadorian

datar. "Kalian berdua ada di sini bersamaku sekarang, tetapi

kaum kami yang lain di luar sana, sekarang sedang memburu

teman-teman kalian. Jangan mengira kami berhenti bergerak

hanya karena kami sudah menangkap kalian. Kami tahu lebih

banyak daripada yang kalian kira. Tapi kami ingin tahu

segalanya."

Dengan kejam, Mogadorian itu menghantam Katarina

dengan gagang pisau sebelum Katarina sempat membalas

perkataannya. Lalu, dia menoleh kepadaku.

"Jika kau tak ingin melihatnya dicacah menjadi irisan

kecil-kecil, sebaiknya kau mulai bicara, dan cepat. Dan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pastikan semua kata yang keluar dari mulutmu benar. Aku

akan tahu jika kau berbohong."

Aku tahu bahwa Mogadorian itu tak main-main, dan

aku tak tahan melihatnya melukai Katarina lagi. Kalau aku

bicara, mungkin dia akan lebih murah hati. Mungkin dia akan

berhenti menyiksa Katarina.

Kata-kata pun menghambur dari mulutku sehingga

aku nyaris tak bisa berpikir. Begitu cepat sehingga aku nyaris

tak sadar dengan apa yang aku katakan. Aku hanya punya satu

niat samar: mengatakan semua yang aku tahu yang tak bisa

dia gunakan untuk memusnahkanku ataupun para Loric yang

lain. Aku menceritakan detail-detail tak berguna tentang

perjalananku dengan Katarina, samaran-samaran kami. Aku

juga mengatakan tentang Petiku, tapi aku tak memberi tahu

tempat kami menguburnya. Aku mengatakan bahwa Petiku

hilang dalam perjalanan. Begitu aku mulai bicara, aku takut

untuk berhenti. Aku tahu kalau aku berhenti untuk

memikirkan kata-kataku, Mogadorian itu akan tahu bahwa

aku berbohong."

Lalu, dia bertanya aku nomor berapa.

Aku tahu dia ingin mendengar jawaban bahwa aku

adalah Nomor Empat. Aku tak mungkin Nomor Tiga karena

dia kemarin gagal membunuhku. Tetapi, jika aku Nomor

Empat, dia hanya perlu menemukan dan membunuh Nomor

Tiga sebelum menghabisiku.

"Aku Nomor Delapan," kataku akhirnya. Aku sangat

ketakutan saat mengatakannya sehingga suaraku keluar

dalam desahan putus asa. Dan itu berhasil mengelabui si

Mogadorian. Dia langsung kecewa.

"Maaf sudah mengecewakanmu," serakku.

Namun, kekecewaannya tak bertahan lama. Kini,

wajahnya mulai dihiasi senyum kemenangan. Aku mungkin

bukan Loric dengan nomor yang dia inginkan, tetapi dia

berhasil mengetahui nomorku. Atau setidaknya, apa yang dia

pikir menjadi nomorku.

Aku memandang Katarina, meskipun dia nyaris tak

sadar, aku masih bisa menangkap kilatan rasa lega di

matanya. Dia bangga karena aku berhasil mengelabui si

Mogadorian dengan memberikan nomor yang salah.

"Kau ini lemah juga, ya?" Mogadorian itu menatapku

menghina. Biarkan saja, pikirku merasa menang. Dia bodoh

karena percaya pada kebohonganku.

"Keluargamu di Lorien, meskipun kalah mereka

melawan. Setidaknya, mereka punya keberanian dan harga

diri. Tetapi kau ...." Dia menggelengkan kepala dan meludah

ke lantai. "Kau tak punya apa pun, Nomor Delapan!"

Dalam sekejap, si Mogadorian mengayunkan pisau di

tangannya dan menikamkannya ke dada Katarina. Terdengar

bunyi tulang berderak saat pisau itu menembus tulang dada

langsung ke jantungnya.

Aku menjerit. Mataku panik mencari-cari mata

Katarina. Untuk terakhir kalinya, Katarina menatapku. Aku

meronta berusaha melepaskan rantai yang mengikatku untuk

mendekatinya. Berjuang untuk mendekati Katarina pada

saat-saat terakhirnya. Tapi saat-saat terakhirnya berlalu

dengan begitu cepat.

Katarinaku telah tiada.

BAB 15

MINGGU BERGANTI BULAN.

Kadang, mereka tak memberiku makan selama

beberapa hari, tetapi mantra di liontinku melindungiku dari

kematian akibat kehausan atau kelaparan. Yang lebih sulit

adalah ketiadaan sinar matahari, kegelapan yang selalu

meraja. Kadang, aku kehilangan kesadaran akan diriku di

kegelapan total ini. Tak bisa memisahkan antara diriku dan

kegelapan. Aku kehilangan keberadaanku, batasku. Seakan

aku hanyalah awan tinta hitam di pekatnya malam. Hitam di

atas hitam.

Aku merasa terlupakan. Terkurung tanpa harapan

untuk keluar, dan tanpa informasi yang bisa membawaku ke

Garde lain. Aku tak berguna sekarang. Hanya diam menunggu

hingga Mogadorian membunuh para Garde dengan nomor

sebelumku. Hingga akhirnya saat nasibku akan ditentukan.

Dorongan untuk terus hidup sudah hilang dari diriku.

Aku hidup bukan karena aku ingin, tetapi karena aku tak bisa

mati. Kadang, aku berharap seandainya aku bisa mati.

Namun, aku berusaha untuk tetap bugar dan tangkas,

siap untuk bertarung. Aku tak lupa untuk push-up, situp, dan

berlatih Shadow setiap hari, untuk mempertahankan insting

bela diriku.

Dalam latihan Shadow, aku belajar memainkan peran

Katarina dan juga peranku sendiri. Memberi perintah kepada

diriku sendiri, mendeskripsikan para penyerangku, sebelum

aku meresponsnya dalam benakku.

Aku dulu suka sekali permainan ini, tapi sekarang aku

membencinya. Tetapi, demi kenangan akan Katarina, aku

terus memainkannya.

Saat aku berbohong kepada Mogadorian itu, aku

mengira aku akan bisa menyelamatkan nyawa Katarina.

Namun begitu, aku melihat pisau si Mogadorian menembus

jantung Cepanku, aku menyadari bahwa aku justru

mempercepat ajal Katarina. Aku memberi tahu si Mogadorian

semua yang ingin dia ketahui, agar dia segera membunuh

Katarina. Agar penderitaan Katarina segera berakhir. Agar aku

tak harus melihatnya menderita lagi.

Berkali-kali kukatakan kepada diriku sendiri bahwa

itu adalah hal yang terbaik, itulah yang diinginkan Katarina,

karena dia dalam kesakitan yang luar biasa. Tapi setelah dia

pergi, aku rela memberikan apa pun asalkan bisa bertemu

kembali dengannya, bahkan meskipun Katarina harus

menderita luar biasa. Aku ingin dia kembali. Para Mogadorian

terus menguji mantra yang melindungiku dari kematian.

Mereka mencari-cari celah untuk membinasakanku.

Percobaan-percobaan ini butuh waktu untuk

merencanakannya. Tetapi, seminggu sekali aku diseret

keluar dari selku dan dibawa ke sel lain yang sudah

dilengkapi dengan alat untuk memusnahkanku.

Di minggu pertama setelah kematian Katarina, aku

dibawa ke sebuah ruangan kecil dan dipaksa berdiri di atas

panggangan logam yang tingginya sekitar setengah meter

dari lantai. Pintu ruangan kemudian disegel. Aku menunggu

beberapa menit saat ruangan itu perlahan-lahan diisi dengan

gas beracun, yang muncul dari bawah panggangan tempatku

berdiri. Gas itu mengular kehijauan dan menyebar. Aku

menutup mulut, mencoba tidak menghirupnya. Tapi akhirnya

aku tak tahan. Aku mengambil napas dan menghirup gas

beracun itu. Tetapi bukannya kesakitan, gas itu seakan angin

surga bagiku. Aromanya segar, sedingin angin yang berembus

di pegunungan.

Penjaga Mogadorian menyeretku keluar dengan

kesal beberapa menit kemudian. Dengan cepat

mendorongku kembali ke sel, tetapi aku sempat melihat

tumpukan abu di dekat pintu keluar. Mogadorian yang

menekan tombol untuk mengeluarkan gas beracun, mati.

Minggu berikutnya, mereka mencoba

menenggelamkanku, dan minggu depannya, mereka

mencoba membakarku. Tetapi, tentu saja semua tak

mempan.

Minggu lalu, mereka memberiku makanan yang

dipenuhi dengan racun arsenik. Aku bahkan berani

bersumpah bahwa aku bisa merasakan setiap bulir racunnya.

Mereka membawa cake ke selku. Tak ada alasan mengapa

mereka berbaik hati memberiku makanan enak, dan aku

langsung tahu bahwa ini adalah tipuan. Mereka mencoba

menipuku dengan berbaik hati memberi kue, dengan

harapan akan bisa menipu mantra Lorien yang melindungiku.

Mereka berpikir kalau aku tak tahu bahwa nyawaku sedang

terancam, mantra pelindung tak akan bekerja. Tentu saja, aku

langsung curiga. Meskipun aku tetap makan cake itu. Enak,

kok.

Dengan menguping dari celah pintu sel, aku

kemudian tahu bahwa tiga Mogadorian mati gara-gara usaha

meracuniku itu.

Kemudian, untuk menghibur diri aku membuat

lelucon. Butuh berapa Mogadorian untuk membuat cake?

tanyaku kepada diri sendiri. Lalu dengan puas, aku menjawab

lagi: Tiga.

Aku membayangkan para Mogadorian itu, yang

sepertinya tak terlalu memedulikan nyawa, akan terus

mencoba membunuhku, dan akhirnya mati satu demi satu

karena tak bisa mematahkan mantra pelindungku. Hingga

akhirnya, tak satu pun dari mereka yang tersisa. Aku sadar itu

hanya fantasi, tetapi setidaknya itu bisa membuatku senang.

Aku tak tahu berapa lama aku dikurung. Tetapi, aku

sudah menjadi sangat terbiasa dengan usaha-usaha mereka

untuk membunuhku, sehingga aku tak takut lagi ketika

mereka menyeretku keluar sekali lagi menuju ruangan

tempat mereka akan berusaha membunuhku. Kali ini aku

dilemparkan masuk ke sebuah ruangan besar bercahaya

remang-remang. Ruangan ini jauh lebih besar daripada

semua ruangan yang pernah kumasuki. Aku tahu bahwa para

Mogadorian mengawasiku dari balik cermin satu arah atau

kamera monitor, jadi aku bersikap sinis dan melawan. Sikap

yang mengatakan: Silakan saja bunuh aku.

Lalu, aku mendengar sesuatu. Geraman rendah.

Geraman itu sangat rendah dan menakutkan sehingga aku

bisa merasakan lantai bergetar. Aku berbalik dan melihat,

jauh di dalam keremangan ruangan, sebuah kandang baja

besar. Kandang yang kelihatannya tak asing.

Kudengar rahang berderak lapar, diikuti oleh suara

decap penuh selera. Binatang buas. Binatang buas yang ada

di trailer bersama kami. Sekarang aku ketakutan. Ada sebuah

kilas sinar menyilaukan. Tiba-tiba saja, aku diterangi oleh

cahaya merah yang berkedip-kedip dan jeruji kandang baja

mulai terangkat. Tanpa senjata, aku mundur hingga di ujung

ruangan itu.

Pintar, pikirku. Para Mogadorian belum pernah

membuatku berhadapan dengan binatang buas sebelumnya.

Binatang itu keluar. Monster berkaki empat, berdiri

seperti anjing buldog seukuran badak. Kaki depannya

bengkok, mulutnya berleleran liur, dan rahang yang luar
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasa besar. Taring-taring besar bertonjolan dari mulutnya.

Kulitnya yang kehijauan membusuk. Dan dia menguarkan

aroma kematian.

Binatang itu mengaum ke arahku, mencipratiku

dengan liur yang sangat kental sehingga membuatku

ketakutan apabila aku terpeleset liurnya. Lalu, dia

menyerang.

Aku nyaris tak percaya apabila tak mengalaminya

sendiri. Tubuhku kaku karena terus dikurung. Sudah

berbulan-bulan, aku tak pernah latihan lagi. Tetapi begitu

serangan datang, naluri dan adrenalinku langsung mengambil

alih. Aku langsung bisa menghindar dari binatang buas itu

seperti petarung profesional, berlari memutar ke pojokan,

dan menunduk melewati kedua kakinya. Binatang itu

meraung frustrasi, kian tak sabar dan menghantam dinding

dengan kepalanya.

Kurasa aku belum pernah merasa sesenang ini.

Apalagi saat tendanganku mengenai wajahnya dengan telak.

Aku berdiri tegak, bangga dengan tendanganku yang

sempurna. Tetapi, ternyata aku mendarat di genangan liur si

binatang buas dan aku terpeleset. Sebuah kelengahan

singkat, tapi cukup bagi si binatang buas. Dia langsung

menerkam dan menggigitku. Tubuhku dibanjiri perasaan

hangat, dan aku yakin ajalku sudah dekat.

Namun, rasa sakit itu tak kunjung datang. Binatang itu

merintih dan bergetar, lalu melepaskan jepitan rahangnya di

badanku. Aku terjatuh berlutut sekitar satu setengah meter

dari mulutnya yang rasanya lebih menyakitkan daripada

gigitannya.

Aku berbalik dan melihat binatang buas Mogadorian

jatuh terlentang, mulutnya menganga, dan dadanya turun

naik dengan susah payah. Luka besar berbentuk lengkung

mengoyak dadanya. Dia sendiri terkena akibat dari gigitannya

kepadaku.

Binatang itu meraung lemah, mengibakan.

Tentu saja, pikirku. Binatang buas Mogadorian sama

saja dengan para Mogadorian yang lain. Dia juga terpengaruh

oleh mantra pelindungku.

Aku memutar tubuhku, mencoba menarik perhatian

para Mogadorian yang sedang mengawasi. Sudah jelas bagiku

bahwa binatang itu, meskipun terluka, tak akan mati. Para

Mogadorian akan berusaha menyembuhkannya dan

memanfaatkannya untuk berbuat kekacauan.

Aku berjalan mendekatinya, teringat pada kelinci

yang kubunuh bertahun-tahun lalu di Nova Scotia. Terdengar

langkah kaki pengawal mendekat, dan aku tahu harus

bertindak cepat.

Seorang prajurit Mogadorian masuk ke ruangan. Dia

membawa pedang panjang dan hendak mengayunkannya

kepadaku ketika tiba-tiba dia berhenti. Tersadar kalau dia

berusaha melukaiku, dialah yang akan mati sendiri.

Aku memanfaatkan keraguan sesaat itu. Aku

melompat dan menjatuhkannya dengan satu tendangan

memutar. Pedangnya berkelontang jatuh. Satu tendangan

lagi untuk membuatnya pingsan, lalu aku mengambil

pedangnya.

Kudekati binatang buas yang sekarat itu, sementara

semakin banyak prajurit Mogadorian yang menyerbu masuk

ruangan. Kutusukkan pedang panjang itu ke otak si binatang

buas.

Mampus dia!

Prajurit Mogadorian menyerbuku dan menyeretku

kembali ke sel. Aku seakan melayang, tapi bahagia.

Tak ada ampun.

BAB 16

SELAMA DIKURUNG AKU MULAI MEMPERHATIKAN

perbedaan-perbedaan kecil di makanan yang mereka berikan

kepadaku. Makanannya selalu berupa bubur abu-abu.

Protein dan gandum yang digiling menjadi pasta, lalu

ditumpahkan begitu saja ke nampan sebelum diberikan

kepadaku. Tetapi kadang bubur itu kebanyakan air dan

kurang gandum, kebanyakan gandum dan kurang protein,

dan sebagainya.

Hari ini banyak protein. Aku menelan bubur itu,

tanpa kesenangan tetapi bersyukur. Otot-ototku masih linu

karena pertarungan dengan piken serta para prajurit

Mogadorian, dan kurasa protein akan sangat bermanfaat bagi

tubuhku.

Aku menelan bubur yang terakhir dan kembali ke

pojok selku. Selku gelap, tetapi masih ada berkas cahaya dari

lubang untuk memasukkan nampan makanan sehingga aku

bisa melihat kakiku, tangan, dan nampan makanan.

Namun, hari ini aku tak bisa melihat tanganku. Aku

bisa melihat tangan kiriku, tapi tangan kananku tak ada.

Butuh waktu lama sekali bagiku untuk menyesuaikan

kepekaan penglihatanku dengan kondisi gelap di dalam sel,

jadi aku sangat kesal saat tak bisa melihat tanganku.

Kugoyangkan tangan kananku di depan wajah, memutarnya

ke kanan, ke kiri, dan kusingsingkan lengan baju. Tetapi,

tetap saja aku tak bisa melihat tangan kananku. Kutampar

sendiri wajahku, berkedip, mencoba mempertajam

penglihatanku. Tapi tetap Baja tangan kananku tak terlihat.

Akhirnya, aku meraih ke bawah dan mengambil garpu

dari nampan makan dan memegangnya di depan wajah.

Jantungku berdebar kencang saat aku menurunkan

garpu itu. Aku tak ingin terlalu berharap. Aku tabu aku tak

akan tahan bila harapanku itu tak terwujud. Tetapi aku bisa

melihat garpu itu. Dan tangan kananku masih tak terlihat.

Tepat saat itu, pintu selku membuka dan seorang

prajurit rendahan Mogadorian masuk. Dia datang untuk

mengambil nampan makanan. Cahaya dari koridor yang

menerobos masuk ke pintu memastikan kecurigaanku.

Tangan kananku tak terlihat.

Pusaka pertamaku muncul.

Aku terkesiap. Dari semua Pusaka yang mungkin

kumiliki, ini adalah Pusaka yang paling mungkin?satu
satunya Pusaka?membuatku bisa keluar dari sini hidup
hidup.

Mogadorian itu menggeram kepadaku curiga, dan aku

buru-buru menyembunyikan tangan kananku di belakang

punggung, berharap dia tak melihatnya. Sementara itu,

kepalaku seakan berputar karena terlalu senang.

Mogadorian rendahan ini bodoh dan dia tidak

menyadari perubahan sikapku. Dia hanya mengambil

nampan dan keluar lagi.

Aku kembali dikungkung kegelapan, dan dengan tak

sabar menunggu, mataku bisa menyesuaikan kembali dengan

keremangan sel agar aku bisa melihat kemampuan baruku

lagi. Nah, ini dia! Lengan baju yang kosong, tangan yang tak

terlihat. Kusingsingkan lengan bajuku dan menatap

lenganku. Tanganku benar-benar tak terlihat, lenganku

terlihat samar-samar nyaris transparan, tapi dari siku ke

bawah tanganku benar-benar menghilang.

Aku sadar, sepertinya aku harus melatih kemampuan

ini.

BAB 17

BUTUH DUA HARI PENUH, TETAPI AKHIRNYA aku berhasil

menguasai Pusaka pertamaku. Kendaliku memang belum

sempurna, kadang saat menghilang badanku akan berpendar

samar dan aku jadi panik, berusaha kembali

menghilangkannya. Mematikan kemampuan tak terlihat tak

semudah mematikan atau menyalakan sakelar lampu. Butuh

konsentrasi lebih.

Latihan napas yang diajarkan Katarina sangat

berguna. Saat aku berjuang mengendalikan kemampuan tak

terlihat, aku berkonsentrasi pada napasku?masuk, keluar?

lalu kembali berfokus pada kemampuan menghilang.

Setelah aku berhasil membuat tanganku tak terlihat

sesuai dengan keinginan, aku mulai berlatih dengan bagian

tubuh yang lain. Rasanya seperti menggerakkan otot baru?

aneh pada mulanya, tapi tak lama kemudian langsung terasa

seperti menggerakkan bagian tubuh sendiri. Kemudian, aku

melatih menghilangkan seluruh tubuh. Rasanya tak lebih

sulit daripada menghilangkan tangan; bahkan lebih mudah

karena aku tak perlu berkonsentrasi pada bagian tubuh

tertentu.

Aku siap.

Aku membuat seluruh tubuhku tak terlihat dan

menunggu hantaran makanan berikutnya. Butuh energi

untuk mempertahankan agar aku tetap tak terlihat, energi

yang seharusnya aku simpan untuk kekuatanku, tetapi aku

hanya punya satu kesempatan untuk memasang perangkap,

dan aku tak ingin menambah risiko dengan membiarkan

Mogadorian melihatku berubah menjadi tak terlihat.

Akhirnya, seorang prajurit Mogadorian muncul.

Lubang di pintu sel membuka, dan sebuah nampan

disorongkan ke dalam. Lubang itu menutup. Aku sempat

berpikir bahwa mungkin jebakanku tak berhasil. Mungkin

Mogadorian itu tak mau repot-repot mengecek apakah aku

masih ada di dalam sel? Itu artinya kemampuanku

menghilang akan sia-sia saja
Lubang pintu sel terbuka lagi. Dua mata mengintip ke

dalam, memicing. Masuk, keluar. Kujaga napas dan

ketenanganku karena ketegangan kadang membuatku gagal

menghilang, dan aku tak boleh mengacau sekarang. Masuk,

keluar. Skenario terburuk yang mungkin terjadi adalah

mereka menemukan kekuatanku sebelum aku bisa

menggunakannya untuk melawan.

Aneh sekali rasanya, berharap orang melihat aku tak

kasatmata.

Lubang itu menutup lagi. Kudengar Mogadorian itu

berjalan menjauh dan hatiku mencelos. Ke mana dia? Apa dia

tak melihat kalau aku tak ada
Pintu tiba-tiba terbuka, dan empat pengawal

Mogadorian memasuki selku. Aku menyingkir ke salah satu

pojok selku, sembunyi. Keempat Mogadorian itu berkumpul,

berdebat mengenai diriku yang tiba-tiba hilang, padahal tak

ada jalan keluar.

Salah satu dari mereka keluar dan lari menyusuri

koridor. Kini ruangan jadi lebih lapang, menurunkan risiko

para Mogadorian untuk tak sengaja menabrakku. Aku jadi
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih tenang.

Salah satu Mogadorian mengayunkan tangan frustrasi

dan aku buru-buru menunduk. Nyaris saja.

Aku menunduk, menyelinap sediam kucing, ke pojok

sel yang paling dekat dengan pintu. Dua pengawal

Mogadorian berdiri di tengah sel, tetapi yang ketiga

menghalangi jalan keluar.

Pindah, pikirku. Menyingkir.

Aku bisa mendengar langkah kaki lari mendekati

selku. Lebih banyak Mogadorian. Aku tahu, apabila

Mogadorian yang menghalangi pintu masuk sempat

bersentuhan dengan bahuku atau merasakan embusan

napasku, semua ini akan sia-sia. Aku dan Pusaka baruku akan

segera ditemukan. Langkah kaki itu terdengar semakin dekat.

Mogadorian yang berdiri di depan pintu bergeser masuk ke

sel untuk memberi ruang Mogadorian yang akan datang, dan

aku buru-buru melompat ke koridor.

Aku hampir saja terjatuh ke lantai batu di koridor luar

selku, tetapi aku berhasil mengembalikan keseimbangan.

Kalau saja aku jatuh, suara gedebuk yang terdengar akan

membuka kedokku.

Sejumlah prajurit Mogadorian berlari dari sebelah kiri

menuju selku. Tak ada pilihan, aku harus ke kanan. Aku mulai

bergerak, sepelan mungkin agar tak terdengar. Seluwes

kucing.

Koridor itu panjang. Aku berjuang untuk tetap diam,

kakiku yang telanjang menapak lantai dengan suara yang

nyaris tak terdengar saat aku lari, lari, dan lari. Awalnya aku

takut, kemudian aku bisa merasakannya: kebebasan, di

depan sana.

Aku berlari makin cepat. Menapakkan kaki setengah

melengkung untuk mengurangi suara lariku. Jantungku

seakan melompat keluar saat aku keluar ke sebuah ruangan

besar dan menemukan diriku berada di tengah kompleks

tempat tinggal Mogadorian. Sebuah gua besar dan rumit,

penuh dengan terowongan. Kamera pengawas ada di mana
mana. Saat aku melihat kamera-kamera itu, dadaku berdebar

ketakutan, tetapi kemudian aku ingat bahwa aku tak terlihat,

baik oleh kamera maupun Mogadorian. Untuk berapa lama,

aku tak tahu.

Terdengar suara sirine. Aku harusnya sudah

memperkirakan itu. Cahaya lampu sorot berpendaran ke sana

kemari saat gua itu dipenuhi dengan lengkingan nyaring

alarm. Dinding gua yang tinggi menggemakannya.

Aku lari lagi, memilih terowongan secara acak.

Aku melewati sel-sel seperti sel tempatku dikurung,

lalu pintu-pintu baja yang mungkin berisi tawanan lain.

Seandainya saja aku punya waktu untuk menolong

mereka. Tetapi, saat ini aku hanya bisa lari dan lari, selama

aku masih bisa tak terlihat.

Aku berbelok ke kiri, melewati sebuah ruangan

berjendela kaca besar di sebelah kanan. Ruangan itu

diterangi lampu-lampu neon yang menyala. Di dalam

ruangan itu ada ratusan komputer yang menyala dan

menyortir data, pasti mencari-cari kabar keberadaan Garde

yang lain. Aku terus berlari.

Aku melewati laboratorium yang lain, juga

berjendela kaca, kali ini di sebelah kiri. Mogadorian memakai

baju plastik putih dan kacamata pelindung berdiri di dalam.

Ilmuwan? Perakit born kimia? Aku sudah melewati mereka

sebelum sempat melihat apa yang mereka lakukan. Paling
paling sesuatu yang mengerikan.

Otakku serasa terbelah oleh bunyi sirine yang terus

melengking, dan aku ingin menutup telinga. Tetapi aku

butuh tanganku untuk menjaga keseimbangan saat lari, agar

langkahku bisa tak bersuara. Pikiran aneh sempat terlintas di

kepalaku. Selama ini aku anak yang sembrono, tomboi,

bahkan suka bertarung. Tapi dalam kondisi terjepit seperti

ini, aku malah harus mempraktikkan sebuah keahlian yang

sangat feminin?melangkah gemulai dan ringan seperti

balerina.

Terowongan yang ketelusuri berakhir di sebuah

ruangan luas lagi, lebih besar daripada yang sebelumnya. Aku

sempat mengira bahwa ruangan besar yang pertama tadi

adalah pusat kompleks gua, tetapi rupanya aku salah.

Ruangan yang inilah yang menjadi pusat gua. Dengan

diameter nyaris setengah kilometer, ruangan ini sangat luas,

gelap, dan suram sehingga aku nyaris tak bisa melihat sisi

seberang.

Tubuhku basah oleh keringat dan napasku tersengal
sengal. Panas sekali di sini. Dinding dan langit-langit gua

ditahan dengan balok-balok kayu besar agar tidak longsor.

Langkan-langkan sempit dipahat di dinding batu untuk

menghubungkan terowongan-terowongan yang digali di

dinding bagian atas. Di atas kepalaku, lengkungan
lengkungan besar dipahat dari gunung menjadi jembatan

untuk menyeberang dari satu sisi ke sisi lain.

Aku mengatur napas dan menghapus keringat dari

alisku, agar mataku tidak buta oleh perihnya keringat.

Ada banyak sekali terowongan, dan tak satu pun yang

ditandai. Hatiku mencelos. Aku bisa saja lari di kompleks gua

ini selama berhari-hari tanpa menemukan jalan keluar.

Seperti tikus di laboratorium, berlarian di dalam labirin tanpa

hasil.

Lalu aku melihatnya, setitik cahaya alami, di atas.

Pasti ada jalan keluar di atas sana. Menaiki dinding gua

memang tak akan mudah, tapi aku pasti bisa melakukannya.

Aku mengulurkan tangan untuk meraih balok kayu terendah,

tapi aku mendengar sesuatu.

"Dia harus ditemukan."

Dia. Mogadorian pembunuh Katarina. Dia bicara pada

beberapa pengawal Mogadorian, di langkan atasku. Para

pengawal itu pun pergi berpencar. Mataku terpaku pada si

algojo saat dia kembali masuk ke kompleks gua.

Aku harus memilih. Antara lari dan pembalasan

dendam. Cahaya di atasku sungguh menggoda bagaikan air di

gurun yang panas. Aku berpikir sudah berapa lama sejak

terakhir kali aku melihat matahari.

Namun, aku berbalik.

Aku memilih balas dendam.

BAB 18

AKU MENGIKUTI SI PEMBUNUH ITU DENGAN berjingkat
jingkat, menjaga jarak. Aku sudah tahu bahwa kejutan

ataupun putus konsentrasi bisa membuat Pusaka pertamaku

ini gagal berfungsi.

Aku mengamati saat Mogadorian yang membunuh

Katarina masuk ke sebuah ruangan. Aku menyelinap di

belakangnya tepat saat pintu hendak tertutup.

Tak menyadari kehadiranku, Mogadorian itu berjalan

ke pojok ruangan. Aku memandang ke bawah. Ada genangan

darah di lantai, seluruh senjata penyiksanya dikeluarkan.

Mogadorian ini telah menyiksa dan membunuh orang lain.

Aku belum pernah membunuh Mogadorian

sebelumnya. Tanpa memperhitungkan para Mogadorian yang

mad karena mantra pelindung saat mencoba membunuhku,

sepanjang hidup aku barn membunuh seekor kelinci dan

seekor Chimera. Betapa terkejutnya aku sekarang saat

menyadari bahwa aku haus membunuh.

Aku meraih pisau cukur dari meja dan mendekatinya.

Pisau itu terasa nyaman di genggamanku. Terasa benar.

Aku tahu bahwa sebaiknya aku tak memberinya

kesempatan untuk memohon, meminta ampun atas

nyawanya, sehingga niatku tak akan tergoyahkan. Aku

merangkulnya dari belakang dan mengiris tenggorokannya

dalam satu kali sayatan. Bunyi berdeguk keluar dari

tenggorokannya dan darah muncrat ke lantai, ke tanganku.

Mogadorian itu jatuh berlutut dan berhamburan menjadi

abu.

Aku merasa lebih hidup, lebih dari apa pun.

Kubuka mulutku untuk bicara. Itu untuk Katarina. Tapi

tak jadi. Aku tak bicara karena aku tahu bahwa itu bohong.

Aku membunuh bukan demi Katarina.

Aku membunuh demi diriku sendiri.

Aku berhasil keluar dari gua itu sejam kemudian,

kelelahan dan tetap berjuang untuk tetap tak terlihat. Aku

keluar di puncak gunung, lalu lari ke bukit di seberangnya.

Tetapi aku hams berhenti untuk beristirahat, beradaptasi

pada matahari siang yang membutakan.

Kulitku yang transparan seakan terpanggang terik

matahari. Aku menatap ke mulut gua yang samar-samar

terlihat dari jarak sejauh ini. Untuk memastikan ingatan, aku

memperhatikan baik-baik bentuknya, lokasinya.

Aku yakin prajurit-prajurit Mogadorian sudah

menyebar ke seluruh kompleks gua untuk mencariku. Dan

aku yakin, mereka juga keluar dan sekarang sedang

melakukan pencarian di hutan-hutan pegunungan ini.

Biar saja mereka mencari. Mereka tak akan

menemukanku.

Aku berlari beberapa kilometer melewati hutan

hingga aku sampai di jalan sebuah kota pertambangan kecil.

Aku lari bertelanjang kaki sehingga jalan terasa sangat keras

di kakiku, menyakitkan sendi-sendiku. Aku tak peduli; nanti

akan kucari sepasang sepatu.

Aku menemukan truk yang berhenti di lampu merah.

Dengan tangkas, aku melompat ke bak belakangnya,

membiarkan truk itu membawaku menjauh dari kompleks

gua Mogadorian. Ketika truk ini berhenti untuk mengisi

bensin beberapa jam kemudian, aku langsung lari, masih tak

terlihat, ke kursi depan dan mencari-cari di antara barang
barang si pengemudi. Aku mengambil segenggam uang

receh, sebuah pena, kertas, dan sekantung keripik rasa

barbecue.

Aku kemudian lari ke belakang porn bensin dan

duduk di tempat teduh. Aku menggambar peta jalan masuk

ke gua Mogadorian di satu sisi kertas dan diagram

terowongan gua di baliknya. Gambaran itu kubuat sedetail

mungkin sesuai ingatanku. Ingatan tentang gua

persembunyian para Mogadorian adalah informasi paling

berharga yang aku miliki dan harus disimpan, siapa tahu

kelak akan terpakai.

Begitu aku selesai menggambar diagram, aku
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendongak. Senja menjelang, tapi aku masih bisa merasakan

kehangatan matahari di wajahku. Kubuka kantung keripik dan

kumakan dengan buru-buru. Rasa asin gurih keripik itu

sangatlah enak.

Akhirnya, aku sampai di sebuah kamar motel.

Seharian aku mondar-mandir, mencari tempat berlindung

dan beristirahat. Aku tak punya uang untuk membayar motel,

dan dalam keputusasaan aku sempat berpikir untuk mencuri.

Mencopet untuk mendapatkan uang yang sangat

kubutuhkan. Menggunakan kekuatanku untuk menghilang,

mencuri bukanlah hal yang sulit.

Kemudian, aku tersadar bahwa aku tak perlu

mencuri, setidaknya belum. Aku tinggal masuk ke lobi

sebuah motel, menghilang dan menyelinap ke kantor

manajer hotel. Kuambil kunci untuk kamar nomor 21. Aku

belum memikirkan bagaimana caraku keluar dengan

membawa kunci yang terlihat melayang di udara melewati

lobi yang ramai. Aku terdiam sejenak, membeku. Namun tak

lama kemudian, saat kupegang, kunci itu juga ikut

menghilang.

Aku belum pernah berhasil membuat benda

menghilang sebelumnya, kecuali diriku dan bajuku. Di motel

ini, aku mendapatkan petunjuk tentang manfaat Pusakaku

yang lain.

Aku sudah masuk kamar motel ini selama dua jam.

Aku tak merasa terlalu berdosa karena mencuri kunci kamar.

Aku tidur tanpa membuka bedcover, dalam dingin AC kamar.

Aku tersadar, selama dalam kamar ini, aku terus

menghilang. Tubuhku tegang karena terus berusaha tak

terlihat. Rasanya seperti menahan napas.

Aku lalu berdiri dan mendekat ke cermin, membuat

diriku terlihat lagi. Bayangan tubuhku memenuhi cermin dan

aku melihat wajahku untuk pertama kalinya selama tujuh

bulan terakhir.

Aku terkesiap.

Gadis yang menatap balik kepadaku hampir-hampir

tak kukenali. Aku bukan lagi gadis kecil. Kupandangi diriku

lama sekali, berdiri sendirian di dalam kamar. Sendirian,

tanpa siapa pun, merindukan Katarina. Mendambakan cara

agar aku bisa membalas jasanya.

Namun, cara itu ada di depanku. Di cermin. Di

ekspresi ketabahan dan penuh tekad yang tergambar di

wajahku, di otot-otot lenganku yang terbentuk karena terus

berlatih. Aku seorang wanita sekarang, dan aku seorang

pejuang. Cinta dan kehilangan Katarina akan terus terukir

dalam wajahku yang penuh tekad.

Akulah persembahan bagi jasa Katarina. Bertahan

hidup adalah persembahanku baginya.

Merasa puas, aku kembali ke ranjang dan tidur

selama berhari-hari.

BAB 19

TAHUN-TAHUN BERLALU.

Aku hidup berkelana, dari kota ke kota. Aku

menghindari hubungan atau ikatan dengan manusia dan

berfokus untuk mengembangkan kemampuan tempur dan

Pusakaku. Kemampuan menghilang diikuti oleh munculnya

kemampuan telekinesis, dan baru-baru ini, aku menemukan

Pusaka baru: kemampuan mengontrol dan memanipulasi

cuaca.

Aku jarang menggunakan Pusaka terakhir itu karena

mudah menarik perhatian. Pusaka itu muncul berbulan lalu

di sebuah kota kecil di luar Cleveland. Aku saat itu sedang

mencari petunjuk tentang seorang Garde lain, ketika

akhirnya menemui jalan buntu. Merasa kecewa, aku kembali

ke arah motel sambil menghirup es kopi, ketika tiba-tiba rasa

sakit membakar kakiku dan minumanku terjatuh ke tanah.

Lukaku yang ketiga! Nomor Tiga telah mati.

Aku jatuh, merasa kesakitan dan marah. Dan sebelum

aku menyadari apa yang teijadi, langit di atasku penuh

dengan awan. Diikuti oleh badai petir.

Aku berada di Athena, Georgia, sekarang. Kota kecil

yang asyik. Kota terbaik yang pernah kudiami saat bersama

Katarina dulu. Kami sempat tinggal di sini selama dua tahun.

Kota ini penuh dengan mahasiswa. Penampilanku yang agak

tomboi dan liar terlihat mencolok di daerah pinggiran kota,

tetapi di lingkungan mahasiswa hippie, penggemar musik

dan hipster, aku bisa berbaur. Itu membuatku merasa lebih

aman.

Semua petunjuk yang kuikuti membawaku ke jalan

buntu, dan aku belum berhasil menemukan satu pun Garde

Lorien. Tapi aku tahu waktunya akan tiba. Waktu untuk

mengumpulkan para Garde. Kalau Pusakaku berkembang

secepat ini, aku yakin Pusaka para Garde lain juga sedang

bermunculan. Tak lama lagi pasti ada tanda-tandanya, aku

yakin itu.

Aku bersabar, tapi juga penuh semangat: aku siap

bertempur.

Aku berjalan tanpa arah sambil menyeruput es kopi.

Es kopi sudah menjadi minuman favoritku. Aku terpaksa

mencopet untuk mendapatkan uang. Dengan kemampuan

menghilangku, mencopet menjadi sangat mudah sehingga

aku tak harus mengambil dompet dan seluruh uang

seseorang. Aku hanya tinggal mengambil beberapa dolar di

sana-sini agar tetap bisa bertahan hidup.

Tiba-tiba, seembus angin menerpaku hingga aku

nyaris terangkat. Untuk sesaat, aku mengira bahwa aku

kehilangan kendali bahwa embusan angin itu akibat

Pusakaku. Tetapi, angin itu menghilang secepat dia datang,

dan aku tersadar bahwa asalnya bukan dariku. Angin itu telah

membuat sebuah pintu kafe terbuka.

Aku nyaris terus berjalan, tetapi mataku sempat

melihat monitor komputer di meja internet untuk umum di

bagian belakang kafe. Aku sering menggunakan fasilitas

internet gratis di kafe untuk mencari kabar dan petunjuk.

Menelusuri internet untuk mencari kabar membuatku

merasa lebih dekat dengan Katarina. Aku sudah menjadi

Cepanku sendiri.

Kubuang gelas kertas es kopiku ke tempat sampah di

luar dan masuk ke kafe yang dingin oleh AC itu. Aku duduk

dan mulai memindai berita di internet.

Sebuah berita dari Paradise, Ohio, menarik

perhatianku. Seorang remaja pria dilaporkan melompat dari

bangunan yang terbakar. Si remaja baru pindah ke kota itu.

Namanya John. Reporter menyebutkan tentang sulitnya

mendapatkan konfirmasi dari John.

Aku berdiri begitu cepat sehingga kursi tempatku

duduk terjatuh. Aku langsung tahu bahwa John adalah salah

satu dari kami, meskipun aku tak yakin bagaimana aku bisa

tahu. Firasatku, ini ada hubungannya dengan embusan angin

tadi, dengan gelitik yang kurasakan di perutku, seperti ribuan

sayap kupu-kupu.

Mungkin pengenalan ini adalah bagian dari mantra

pelindung, sesuatu yang memberi tahu kepada kami bahwa

firasat itu lebih dari sekadar firasat. Aku tahu.

Pokoknya aku tahu. Jantungku berdegup penuh

semangat. Dia di luar sana. Salah satu Garde.

Aku lari keluar kafe dan ke jalan. Kiri, kanan aku tak

yakin harus belok ke mana. Bagaimana caranya sampai ke

Paradise secepat mungkin?

Kuambil napas panjang. Sudah dimulai, pikirku.

Akhirnya, sudah dimulai.

Aku menertawakan keterpanaanku. Aku ingat bahwa

terminal bus sekitar dua kilometer di ujung jalan ini. Sejak

berhasil lari dari Mogadorian, aku membiasakan din

mengingat semua rute transportasi masuk dan keluar setiap

kota yang kukunjungi. Dan kini, rute bus untuk keluar dari

Athens mulai tercetak kembali di benakku. Permulaan

rencana untuk menuju Paradise mulai terbangun.

Aku berbalik dan mulai berjalan ke terminal bus.

Tamat


Dialog Dengan Jin Muslim Karya Muhammad Joko Sableng 42 Rahasia Darah Kutukan Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long

Cari Blog Ini