The Rise of Nine Karya Pittacus Lore Bagian 1
Karya Pittacus Lore
Penerbit Mizan Fantasi
Bandung, April 2013
Buku Ketiga Seri The Lorien Legacies
THE RISE OF NINE
Diterjemahkan dari The Rise of Nine
Karya Pittacus Lore
Terbitan HarperCollins Children's Books,
a division of HarperCollins Publishers, 10 East 53rd Street,
New York, NY 10022
Copyright ? 2012 by Pittacus Lore
All rights reserved
Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada
Penerbit Mizan Fantasi
Penerjemah: Nur Aini
Penyunting: Esti A. Budihabsari
Proofreader: Wiwien Widyawanti
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Cetakan 1, April 2013
Diterbitkan oleh Penerbit Mizan Fantasi
PT Mizan Pustaka
Anggota IKAPI
Jln. Cinambo No. 135 (Cisaranten Wetan),
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7834310 - Faks. (022) 7834311
e-mail: kronik@mizan.com
http://www.mizan.com
facebook: Mizan Fantasy
twitter: @mizanfantasi
Cover Art ? 2012 oleh Christine Blackburne
Layouter sampul: BLUEgarden
ISBN 978-979-433-773-8
1 6
ebook by
www.facebook.com/indonesiapustaka
bacaan-indo.blogspot.com
A. BERCANDA, YA? AKU MEMANDANG BOARDING PASS di
tangan, dengan nomor kursi tercetak besar-besar di sana, dan
berpikir jangan-jangan Crayton sengaja memilih kursi ini.
Pasti cuma kebetulan. Namun mengingat kejadian akhir
akhir ini, aku tidak percaya lagi dengan yang namanya
kebetulan dan tak akan terkejut kalau Marina duduk di
belakangku di baris tujuh, sementara Ella pergi ke baris
sepuluh. Namun tidak. Tanpa mengucapkan apa-apa, kedua
gadis itu duduk di sampingku lalu ikut mengamati setiap
orang yang menaiki pesawat. Orang yang diburu selalu
waspada. Siapa yang bisa menebak kapan para Mogadorian
muncul.
Crayton akan masuk belakangan, sesudah mengamati
semua orang yang naik ke pesawat, dan hanya setelah dia
merasa penerbangan ini benar-benar aman.
Aku mengangkat tirai jendela dan memandang kru di
bawah pesawat yang sedang mondar-mandir. Kota Barcelona
tampak samar-samar di kejauhan.
Lutut Marina bergerak-gerak gelisah di samping
lututku. Kemarin dia bertempur melawan sepasukan
Mogadorian di danau, menyaksikan kematian Cepannya,
menemukan Peti Loricnya?lalu sekarang, setelah hampir
sebelas tahun, akhirnya dia pergi meninggalkan kota
tempatnya menghabiskan masa kecil. Dia gugup.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku. Rambutku yang baru
dicat pirang terjuntai ke wajah, membuatku terkejut. Aku
lupa tadi pagi aku mewarnainya. Hanya satu dari sekian
banyak perubahan dalam empat puluh delapan jam terakhir
"Semua orang tampak normal," bisik Marina sambil
memandangi lorong yang dipenuhi orang. "Sejauh yang
kulihat, kita aman."
"Bagus, tapi bukan itu yang kumaksud." Aku
menginjak kaki Marina dengan lembut dan lututnya berhenti
bergerak-gerak. Marina tersenyum sebentar untuk
mengungkapkan penyesalan, lalu kembali memandangi
setiap penumpang yang naik. Beberapa detik kemudian,
lututnya mulai bergerak-gerak lagi. Aku cuma bisa geleng
geleng.
Aku kasihan pada Marina. Dia terkurung di panti
asuhan terpencil bersama Cepan yang menolak untuk
melatihnya. Cepannya lupa mengapa kami semua ada di
Bumi. Aku akan membantu Marina sebaik mungkin,
mengajarkan hal-hal yang tidak dia ketahui. Aku dapat
melatihnya mempelajari cara mengontrol kekuatan serta
kapan saat yang tepat untuk menggunakan Pusakanya.
Namun pertama-tama, aku harus menunjukkan bahwa dia
dapat memercayaiku.
Para Mogadorian akan membayar semua yang telah
mereka lakukan. Mereka membunuh orang-orang yang kam+
cintai, baik di Bumi maupun di Lorien. Misi pribadiku adalah
menghancurkan semua Mogadorian sampai tak bersisa, dan
aku akan memastikan Marina juga membalaskan dendamnya.
Dia tidak hanya kehilangan Hector, sahabatnya di danau itu,
tapi, seperti aku, Cepan Marina juga dibunuh tepat di depan
matanya. Kami berdua akan mengingat itu selamanya.
"Bagaimana keadaan di bawah sana, Enam?" tanya
Ella sambil mencondongkan tubuh melewati Marina.
Aku kembali menoleh ke jendela. Kru di bawah
pesawat mulai menyingkirkan peralatan dan melakukan
pengecekan terakhir. "Sejauh ini bagus."
Kursiku berada tepat di dekat sayap, dan itu
membuatku tenang. Sudah beberapa kali aku menggunakan
Pusakaku untuk membantu pilot menggerakkan sayap
pesawat. Suatu kali, saat sedang di atas Meksiko wilayah
selatan, aku menggunakan telekinesis untuk mendorong
pesawat sejauh dua betas derajat ke kapan, hanya beberapa
detik sebelum kami menabrak lereng gunung. Tahun lalu,
aku membawa 124 penumpang melalui badai ganas di atas
Kansas dengan cara menyelubungi pesawat menggunakan
awan udara dingin yang kedap. Kami menembus badai itu
bagaikan peluru menembus balon.
Setelah kru di bawah bergerak ke pesawat
berikutnya, aku mengikuti pandangan Ella ke bagian depan
lorong. Kami tidak sabar menunggu Crayton masuk karena itu
artinya keadaan aman, setidaknya untuk saat itu. Setiap kursi
sudah diduduki penumpang, kecuali satu kursi di belakang
Ella. Mana Crayton? Aku kembali memandang melewati
sayap pesawat, mengamati kalau-kalau ada yang tidak wajar.
Aku membungkuk dan mendorong ranselku ke
bawah kursi. Karena kosong, ransel itu langsung terlipat
dengan mudah. Crayton membelikannya untukku di bandara.
Dia bilang, kami bertiga harus mirip remaja biasa, seperti
anak SMA yang sedang berdarmawisata. Itu sebabnya, ada
buku biologi di pangkuan Ella.
"Enam?" panggil Marina. Aku mendengarnya
membuka dan memasang sabuk pengaman dengan gugup.
"Yeah?" aku menanggapi.
"Kau pernah terbang, kan?"
Marina cuma setahun lebih tua daripada aku. Namun
dengan sorot matanya yang serius dan bijak, serta rambutnya
yang baru saja dipotong tepat di bawah bahu, dia dapat
disangka orang dewasa. Namun saat ini, dia menggigiti kuku
dan menarik lutut ke dada seperti anak kecil yang ketakutan.
"Betul," jawabku. "Tidak parah, kok. Malahan, kalau
kau tenang, rasanya luar biasa."
Duduk di pesawat ini membuat pikiranku melayang
ke Cepanku sendiri, Katarina, padahal aku tak pernah terbang
bersamanya. Waktu aku masih sembilan tahun, kami nyaris
mati di sebuah gang Kota Cleveland. Kami bertemu dengan
satu Mogadorian yang menyebabkan kami berdua terguncang
dan diselimuti abu tebal. Setelah itu, Katarina membawaku
pindah ke California Selatan. Kami tinggal di bungalo dua
lantai yang bobrok dekat pantai, sangat dekat dengan
Bandara Internasional Los Angeles. Setiap jam, seratus
pesawat meraung di atas kepala kami, mengganggu pelajaran
dengan Katarina serta waktu istirahat singkatku yang
biasanya kuhabiskan bersama satu-satunya teman yang
kumiliki, seorang gadis kurus bernama Ashley yang tinggal di
sebelah rumah.
Tujuh bulan lamanya aku tinggal di bawah pesawat
pesawat itu. Semua pesawat itu adalah alarmku di pagi hari,
yang menjerit tepat di atas tempat tidurku saat matahari
terbit. Pada malam hari, semua pesawat itu bagaikan hantu
yang menyuruhku tetap terjaga dan siap untuk melemparkan
selimut lalu melompat ke mobil dalam sekejap. Karena
Katarina tidak membiarkanku jauh-jauh dari rumah, pesawat
pesawat itu juga menjadi musik latar sore hariku.
Pada suatu sore, saat limun di gelas plastik kami
bergetar akibat vibrasi pesawat raksasa yang lewat di atas,
Ashley berkata, "Bulan depan aku dan Ibu mau ke tempat
Kakek dan Nenek. Aku tak sabar! Kau pernah naik pesawat?"
Ashley selalu membicarakan semua tempat yang pernah
dikunjunginya dan kegiatan keluarganya. Dia tahu aku dan
Katarina selalu berada di dekat rumah, dan Ashley suka
pamer.
"Tidak juga," kataku.
"Apa maksudmu, ?Tidak juga'? Pilihannya cuma kau
sudah pernah naik pesawat atau belum. Akui saja kau belum
pernah."
Aku ingat saat itu wajahku membara karena malu.
Kata-kata Ashley begitu telak. Akhirnya aku berkata, "Tidak,
aku tak pernah naik pesawat." Aku ingin mengatakan aku
pernah naik benda yang lebih besar, yang jauh lebih hebat
daripada pesawat kecil. Aku ingin dia tahu aku sampai di
Bumi dari suatu planet yang bernama Lorien, menggunakan
pesawat, dan perjalanannya lebih dari seratus juta kilometer.
Namun, aku tidak melakukannya karena aku tahu aku hares
merahasiakan Lorien.
Ashley menertawakanku. Tanpa berpamitan, dia
pergi untuk menunggu ayahnya pulang kantor.
"Kenapa kita tak pernah naik pesawat?" aku bertanya
pada Katarina saat dia mengintip keluar dari kerai jendela
kamarku pada malam harinya.
"Enam," katanya sambil memandangku sebelum
meralat kata-kata itu. "Maksudku, Veronica. Bepergian
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan pesawat terlalu berbahaya buat kita. Kita bisa
terperangkap di atas sana. Tahu tidak apa yang bakal terjadi
kalau kita sudah ribuan kilometer di udara dan ternyata ada
Mog yang mengikuti kita naik pesawat?"
Aku tahu pasti apa yang akan terjadi. Aku dapat
membayangkan kekacauannya. Para penumpang lain
menjerit dan merunduk di bawah kursi, sementara prajurit
alien Mogadorian bertubuh raksasa yang membawa pedang
bergegas menyusuri lorong. Namun itu tidak membuatku
berhenti menginginkan sesuatu yang normal, yang
manusiawi, seperti terbang dari satu kota ke kota lain
menggunakan pesawat. Aku sudah menghabiskan waktuku di
Bumi tanpa boleh melakukan hal-hal yang dianggap biasa
oleh anak-anak lain seumuranku. Kami jarang tinggal lama
lama di satu tempat sehingga aku tak dapat bertemu dengan
anak lain, apalagi berteman?Ashley adalah anak perempuan
pertama yang Katarina izinkan untuk berkunjung ke rumah
kami. Terkadang, seperti waktu di California, aku bahkan
tidak bersekolah, kalau Katarina merasa itu lebih aman.
Aku tahu mengapa itu semua perlu, tentu saja.
Biasanya, aku tidak memedulikannya. Namun, Katarina tahu
sikap sok hebat Ashley membuatku kesal. Sikap diamku
keesokan harinya, pastilah membuat Katarina berpikir karena
dia membeli dua tiket pesawat pulang pergi ke Denver,
membuatku terkejut. Tidak masalah kami pergi ke manadia
tahu aku cuma ingin merasakan naik pesawat.
Aku ingin buru-buru memberi tahu Ashley.
Namun, pada hari keberangkatan, setelah kami
berdiri di luar bandana, Katarina ragu. Sepertinya dia gugup.
Dia mengusap rambut hitamnya yang pendek. Kemarin
malam dia mewarnai dan memotong rambut, tepat sebelum
membuat KTP baru. Satu keluarga dengan lima orang berjalan
melewati kami di trotoar sambil menyeret koper yang berat.
Di sebelah kiriku seorang ibu menangis sambil mengucapkan
selamat jalan kepada dua anak perempuannya yang masih
muda. Aku hanya ingin menjadi bagian dari adegan harian
seperti ini. Katarina mengamati setiap orang di sekeliling
kami, sementara aku bergerak-gerak tak sabar di
sampingnya.
"Tidak," kata Katarina akhirnya. "Kita tak jadi pergi.
Aku minta maaf, Veronica, tapi ini tak sepadan."
Kami meluncur ke rumah tanpa berbicara,
membiarkan jeritan mesin pesawat yang terbang di atas
kepala mengungkapkan perasaan kami. Saat kami keluar dari
mobil di jalan, aku melihat Ashley duduk di tangga depan
rumahnya. Dia memandangiku yang berjalan menuju rumah
kami, lalu mengucapkan kata pembohong tanpa bersuara.
Rasa malunya terlalu besar untuk kutanggung.
Namun itu benar, aku ini pembohong. Ironis
memang. Sejak tiba di Bumi, aku selalu berbohong. Namaku,
asalku, di mana ayahku, mengapa aku tak dapat menginap di
rumah anak lain?aku terus-terusan berbohong dan itulah
yang membuatku tetap hidup. Namun, saat Ashley
menyebutku pembohong, padahal itu pertama kalinya aku
mengatakan kebenaran pada seseorang, aku sangat berang.
Aku berlari ke kamar, membanting pintu, dan meninju
dinding.
Aku kaget saat melihat tinjuku menembus dinding.
Katarina membanting pintu kamarku hingga terbuka
sambil mengacungkan pisau dapur, siap menyerang. Dia
mengira Mogadorianlah yang membuat keributan itu. Saat
melihat apa yang kulakukan terhadap dinding kamar, dia
sadar sesuatu dalam diriku berubah. Dia menurunkan pisau
dan tersenyum. "Hari ini kau tidak naik pesawat, tapi hari ini
latihanmu dimulai."
Tujuh tahun kemudian, aku duduk di pesawat ini
bersama Marina serta Ella, dan mendengar kata-kata Katarina
di benakku. "Kita bisa terperangkap di atas sana." Namun,
saat ini aku sudah siap menghadapi kemungkinan itu, tidak
seperti aku dan Katarina yang dulu.
Aku sudah terbang lusinan kali, dan segalanya
berjalan lancar. Namun, baru kali ini aku naik pesawat tanpa
membuat tubuhku menjadi tak terlihat untuk menyelinap
naik. Aku sadar saat ini aku jauh lebih kuat. Semakin hari aku
semakin kuat. Kalau saat ini ada beberapa prajurit
Mogadorian yang berlari menyerbu ke arahku dari depan
pesawat, mereka tak akan berhadapan dengan gadis kecil
yang lemah. Aku tahu aku sanggup melakukan apa. Sekarang,
aku ini prajurit, kesatria. Aku orang yang harus ditakuti,
bukan diburu.
Marina tidak lagi memeluk lututnya, dia duduk tegak
serta mengembuskan napas panjang. Dengan suara yang
nyaris tak terdengar, Marina berkata, "Aku takut. Aku ingin
cepat-cepat mengudara."
"Kau akan baik-baik saja," kataku.
Marina tersenyum, dan aku membalas senyumannya.
Di medan perang kemarin, Marina membuktikan dirinya
adalah sekutu yang kuat dengan Pusaka yang hebat. Dia
dapat bernapas di dalam air, melihat dalam gelap, serta
menyembuhkan orang yang sakit dan terluka. Seperti semua
Garde, dia juga punya telekinesis. Karena urutan kami
berdekatan?aku Nomor Enam dan dia Nomor Tujuh ikatan
kami istimewa. Kalau mantra pelindung masih berfungsi
sehingga kami harus dibunuh sesuai urutan, para Mogadorian
harus membunuhku dulu sebelum dapat membunuh Marina.
Namun, mereka tak akan pernah bisa membunuhku.
Ella duduk diam di samping Marina. Sementara kami
menunggu Crayton, dia membuka buku biologi di
pangkuannya dan menatap halaman-halaman buku itu. Dia
tidak perlu berkonsentrasi seperti itu dalam penyamaran ini.
Saat aku akan memajukan tubuh untuk memberitahunya,
ternyata dia sama sekali tidak membaca. Ella sedang
berusaha membalikkan halaman dengan pikirannya,
berusaha menggunakan telekinesis, tapi tak terjadi apa-apa.
Crayton bilang Ella itu Aeternus, Loric yang terlahir
dengan kemampuan untuk memajukan atau memundurkan
usia. Namun, dia masih muda dan kemampuannya yang lain
belum muncul. Walaupun dia sangat ingin kekuatan itu
muncul sekarang juga, Pusakanya akan muncul pada saatnya
nanti
Ella tiba di Bumi menggunakan pesawat lain, pesawat
yang keberadaannya tidak kuketahui sampai John Smith,
Nomor Empat, mengatakan dia melihat pesawat itu dalam
visi-visinya. Saat itu Ella masih bayi, yang berarti saat ini
umurnya dua belas tahun. Crayton mengaku sebagai Cepan
tak resmi Ella, karena dia tak sempat ditunjuk secara resmi.
Seperti Cepan kami semua, Crayton harus membantu Ella
mengembangkan Pusakanya. Dia juga bilang di pesawat
mereka ada sejumlah Chimaera, hewan Loric yang mampu
berubah wujud dan bertempur bersama kami.
Aku senang Ella ada di sini. Setelah Nomor Satu, Dua,
dan Tiga mati, yang tersisa cuma kami berenam. Dengan
adanya Ella, kami sekarang bertujuh. Tujuh itu angka
keberuntungan, kalau ada yang percaya dengan
keberuntungan. Aku sih tidak. Aku percaya pada kekuatan.
Akhirnya, Crayton menyusuri lorong sambil
menenteng koper hitam Dia mengenakan kacamata dan
setelan cokelat yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya. Di
bawah dagunya yang kukuh ada dasi kupu-kupu berwarna
biru. Ceritanya dia itu guru kami.
"Halo, Anak-Anak," sapanya sambil berhenti di
samping kami.
"Hai, Mr. Collins," balas Ella.
"Pesawatnya penuh," Marina berkomentar. Itu sandi
bahwa semua orang di pesawat tampak normal. Untuk
memberi tabu Crayton bahwa keadaan di bawah tampak
wajar, aku berkata, "Aku mau tidur."
Crayton mengangguk, lalu duduk tepat di belakang
Ella. Dia memajukan tubuh di antara Marina dan Ella, lalu
berkata, "Gunakan waktu kalian di pesawat ini dengan baik.
Belajarlah dengan sungguh-sungguh."
Itu artinya, tetaplah waspada.
Aku tak bisa menduga Crayton itu Loric yang
bagaimana saat kami baru bertemu. Sifatnya keras dan cepat
marah, tapi hatinya baik. Selain itu, dia tahu banyak tentang
dunia dan peristiwa-peristiwa terbaru. Resmi atau tidak, dia
menjalankan peran Cepannya dengan serius. Crayton bilang
dia rela mati demi salah satu dari kami. Dia akan melakukan
apa saja demi mengalahkan para Mogadorian; apa pun demi
membalaskan dendam kami. Aku percaya penuh kepadanya.
Namun, aku ikut naik pesawat yang ke India ini
dengan berat hati. Aku ingin secepatnya kembali ke Amerika
Serikat, lalu bergabung dengan John dan Sam. Kemarin, saat
berdiri di atas bendungan seusai pertempuran di danau,
Crayton memberi tahu kami bahwa Setrikus Ra, pemimpin
Mogadorian yang hebat, akan segera tiba di Bumi, atau
mungkin malah sudah sampai. Kedatangan Setrakus Ra
menandakan bahwa para Mogadorian menganggap kami ini
ancaman, dan kami harus berasumsi bahwa upaya mereka
untuk membunuh kami akan semakin berlipat ganda.
Setrakus Ra itu bisa dibilang tak terkalahkan. Hanya Pittacus
Lore, Tetua Lorien terkuat, yang mampu mengalahkannya.
Kami merasa ngeri. Kalau Setrakus Ra itu tak terkalahkan,
kami bisa apa? Saat Marina menanyakan bagaimana mungkin
kami mengalahkannya, Crayton menyampaikan berita yang
lebih mengejutkan lagi, berita yang hanya diketahui oleh
semua Cepan kami. Salah satu Garde?salah satu dari kami?
memiliki kekuatan yang sama dengan Pittacus. Salah satu
dari kami akan menjadi sekuat Pittacus dan mampu
mengalahkan Setrakus Ra. Kami hanya bisa berharap Garde
itu bukan Nomor Satu, Dua, atau Tiga bahwa Garde itu adalah
salah satu dari kami yang masih hidup. Dengan begitu, kami
punya kesempatan. Kami hanya perlu menunggu dan melihat
siapa Garde tersebut, dan berharap kekuatannya segera
muncul.
Crayton yakin dia sudah menemukannya?Garde
yang memiliki kekuatan Pittacus itu.
"Aku membaca ada anak laki-laki di India yang
sepertinya punya kekuatan luar biasa," Crayton memberi
tahu kami. "Dia tinggal di Himalaya. Sebagian orang percaya
dia itu reinkarnasi Wisnu, dewa Hindu, sedangkan yang
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lainnya yakin anak itu alien penyamar yang memiliki
kemampuan berubah wujud."
"Sepertiku, Papa?" tanya Ella. Hubungan ayah-anak di
antara mereka membuatku kaget. Mau tak mau, aku merasa
agak iri?iri karena Ella masih punya Cepan, seseorang yang
dapat dimintai panduan.
"Garde yang ini tidak berubah uurrtur, Ella. Dia
berubah jadi hewan atau makhluk lain. Semakin banyak yang
kubaca tentang dia, semakin aku yakin dia itu anggota Garde
dan semakin aku percaya, dialah yang memiliki semua
Pusaka yang dapat melawan dan membunuh Setrikus Ra. Kita
harus menemukannya secepat mungkin."
Sebenarnya, saat ini aku tak berminat mengejar
ngejar anggota Garde lain. Aku tahu di mana John berada,
atau ara yang seharusnya dia lakukan. Aku dapat mendengar
Katarina mendesakku mengikuti naluri, yang mengatakan
seharusnya kita bergabung dengan John dulu sebelum
melakukan hal lain. Itu tindakan yang paling tidak berisiko.
Jelas lebih aman dibandingkan terbang mengelilingi dunia
hanya karena firasat Crayton dan rumor di internet.
"Itu mungkin perangkap," kataku. "Bagaimana kalau
cerita-cerita itu sengaja dibuat supaya kita menemukannya,
lalu bertindak seperti sekarang ini?"
"Aku mengerti kekhawatiranmu, Enam, tapi
percayalah padaku. Aku ini jagonya membuat cerita di
internet. Ini bukan perangkap. Ada terlalu banyak berita yang
mengarah ke anak di India ini. Dia tidak melarikan diri. Dia
juga tidak bersembunyi. Dia cuma ada, dan tampaknya sangat
kuat. Kalau dia memang salah satu dari kalian, kita harus
menemukannya sebelum para Mogadorian. Kita akan ke
Amerika dan bergabung dengan Nomor Empat begitu misi
kita selesai," ujar Crayton.
Marina memandangku. Seperti diriku, dia juga sangat
ingin bertemu John. Selama ini Marina mengikuti berita
berita tentang John di internet dan mendapatkan firasat
serupa bahwa John itu salah satu dari kami, firasat yang
sudah kukonfirmasi. "Janji?" Marina bertanya pada Crayton.
Pria itu mengangguk.
Suara kapten membuyarkan lamunanku. Sebentar
lagi kami lepas landas. Aku sangat ingin mengarahkan
pesawat ini ke West Virginia. Menuju John dan Sam. Kuharap
mereka baik-baik saja. Bayangan John dikurung di sel penjara
terus memasuki benakku. Seharusnya aku tak
memberitahukan tentang markas Mogadorian di gunung itu,
tapi John ingin mendapatkan Peti Loricnya kembali dan aku
tak mampu meyakinkannya untuk meninggalkan Benda itu.
Pesawat meluncur di landasan dan Marina
mencengkeram pergelangan tanganku. "Seandainya Hector
ada di sini. Dia selalu bisa memikirkan kata-kata yang cerdas
untuk menenangkanku."
"Tenang," Ella menenangkan sambil memegang
tangan Marina yang satu lagi. "Kami bersamamu."
"Aku juga akan memikirkan sesuatu yang cerdas
untuk dikatakan," aku menawarkan.
"Trims," ujar Marina, yang terdengar seperti cegukan.
Aku membiarkan kuku-kukunya menghunjam pergelangan
tanganku dan melemparkan senyuman menenangkan ke
arahnya. Satu menit kemudian kami mengudara.
2 S
ELAMA DUA HARI TERAKHIR, KESADARANKU hilang timbul,
menggelinding keluar-masuk dalam halusinasi yang
memualkan. Efek perisai energi biru di luar gunung
Mogadorian itu ternyata bercokol lebih lama daripada yang
Nomor Sembilan katakan, baik secara fisik maupun mental.
Setiap beberapa menit, otot-ototku diremas dan dibakar rasa
sakit.
Aku berusaha mengalihkan perhatian dari siksaan itu
dengan memandangi setiap penjuru kamar tidur kecil di
rumah terlantar yang bobrok ini. Ini tempat persembunyian
paling menjijikkan yang Nomor Sembilan pilih untuk kami.
Aku tak dapat memercayai penglihatanku. Pola di wallpaper
kuning yang kupandang tampak hidup, gambarnya berbaris
bagai semut di noda-noda lumut. Langit-langit yang retak
seolah bernapas, mengembang dan mengempis dengan
kecepatan mengerikan. Ada lubang besar bergerigi di dinding
pemisah kamar ini dengan ruang keluarga, seolah-olah
dihantam hingga tembus oleh palu godam. Kaleng-kaleng bir
penyok bertebaran di kamar, dan alas temboknya koyak
dicabik-cabik hewan. Aku juga mendengar bunyi gemerisik
pohon di luar rumah, tapi tubuhku terlalu lemah untuk kaget.
Saat terbangun semalam, ada kecoak di pipiku. Namun, aku
nyaris tak punya tenaga untuk menepiskannya.
"Hei, Empat?" aku mendengar dari lubang di dinding.
"Sudah bangun? Saatnya makan siang dan makananmu sudah
dingin."
Aku memaksa badanku berdiri. Kepalaku serasa
berputar saat aku terhuyung melewati ambang pintu menuju
ruangan yang dulunya ruang keluarga, lalu aku roboh di
karpet abu-abu kusam. Walaupun tahu Nomor Sembilan ada
di sini, aku tak sanggup membuka mata cukup lama untuk
melihatnya. Saat ini aku cuma ingin membaringkan kepalaku
ke pangkuan Sarah. Atau pangkuan Enam. Siapa sajalah. Aku
tak mampu berpikir jernih.
Sesuatu yang hangat mengenai bahuku. Aku
berguling untuk melihat Nomor Sembilan duduk di langit
langit di atasku dengan rambut hitam panjangnya yang
menjuntai ke bawah. Dia sedang mengunyah sesuatu dan
tangannya bernoda lemak.
"Kita di mana?" tanyaku. Sinar matahari yang
menembus jendela terlalu terang sehingga aku memejamkan
mata. Aku perlu tidur lagi. Aku perlu sesuatu, apa saja, untuk
menjernihkan pikiran dan memulihkan kekuatanku. Jari
jariku meraba liontin biru, berharap dapat menghimpun
energi melaluinya, tapi liontin itu tetap dingin di dadaku.
"Utara West Virginia," sahut Nomor Sembilan sambil
mengunyah. "Kehabisan bensin, ingat?"
"Samar-samar," bisikku. "Bernie Kosar mana?"
"Di luar. Dia selalu berpatroli. BK itu binatang yang
keren. Hei, Empat, dari semua Garde kenapa justru kau yang
dapat dia?"
Aku merangkak ke pojok ruangan dan bersandar di
dinding. "BK itu milikku sejak di Lorien. Dulu namanya
Hadley. Mungkin Henri pikir ada bagusnya kalau BK dibawa
ikut."
Nomor Sembilan melemparkan tulang kecil ke
seberang langit-langit. "Waktu kecil aku juga punya beberapa
Chimaera. Aku tak ingat nama mereka, tapi aku masih ingat
dengan jelas saat mereka berlarian di rumah dan merobek
barang-barang. Mereka gugur dalam perang, melindungi
keluargaku." Nomor Sembilan di- am sejenak sambil
mengatupkan rahang. Baru kali ini aku melihatnya tidak
bersikap tangguh, dan aku senang melihatnya, walaupun
hanya sebentar. "Setidaknya, begitulah kata Cepanku."
Aku memandangi kakiku yang tak beralas. "Nama
Cepanmu siapa?"
"Sandor," jawab Nomor Sembilan sambil berdiri di
langit-langit. Dia mengenakan sepatuku. "Aneh. Aku benar
benar tak ingat kapan terakhir kalinya mengucapkan
namanya keras-keras. Kadang-kadang, aku dapat
membayangkan wajahnya, walau samar-samar." Suara
Nomor Sembilan mengeras, dan dia memejamkan mata.
"Tapi kurasa mungkin memang sudah seharusnya begini.
Sudahlah. Mereka itu kan, tidak penting."
Kalimat terakhirnya membuatku dilanda syok. "Henri
itu penting, begitu juga Sandor! Tak ada Loric yang tidak
penting. Kembalikan sepatuku!"
Nomor Sembilan menendang sepatuku ke tengah
lantai, lalu berjalan-jalan sebentar di langit-langit kemudian
turun lewat dinding belakang. "Oke, oke. Aku tahu dia itu
penting. Kadang-kadang rasanya lebih mudah kalau kita
menganggapnya tidak penting ya, kan? Sejujurnya, Sandor itu
Cepan yang hebat." Nomor Sembilan turun di lantai dan
menjulang di atasku. Aku lupa dia itu tinggi. Mengintimidasi.
Dia menyodorkan segenggam benda yang sedang
dimakannya ke wajahku. "Mau tidak? Nanti kuhabiskan, lho."
Perutku bergolak memandang makanan itu. "Apa
itu?"
"Kelinci panggang. Karya alam terbaik."
Aku tak berani membuka mulut untuk menjawab
karena takut bakal muntah. Sebaliknya, aku terhuyung
huyung ke kamar, mengabaikan tawa yang mengikutiku.
Pintu kamar tidur ini miring sekali sehingga hampir mustahil
ditutup, tapi aku mendorongnya ke kusen sekuat mungkin.
Aku berbaring di lantai dengan berbantalkan kaus olahraga
dan memikirkan bagaimana aku bisa ada di sini, berakhir
seperti ini. Tanpa Henri. Tanpa Sam. Sam adalah sahabatku
dan aku tak percaya kami meninggalkannya. Sam yang
bijaksana, setia, dan suportif?selama beberapa bulan
terakhir ini dia berkelana dan bertempur bersamaku. Nomor
Sembilan sama sekali tidak seperti Sam. Dia itu sembrono,
congkak, egois, dan kasar. Aku membayangkan Sam di gua
Mogadorian dengan popor senjata menghantam bahunya,
sementara selusin prajurit Mogadorian mengerubunginya.
Aku tak dapat mencapai Sam. Aku tidak mampu
menyelamatkannya. Seharusnya aku bertarung dengan lebih
gigih, berlari lebih kencang. Seharusnya aku mengabaikan
Nomor Sembilan dan kembali kepada Sam. Dia pasti akan
melakukan itu untukku. Beratnya rasa bersalah yang
kurasakan melumpuhkanku, sampai akhirnya aku tertidur.
Gelap. Saat ini aku bukan di rumah yang ada di
gunung bersama Nomor Sembilan. Aku tidak lagi merasakan
efek menyakitkan perisai energi biru. Pikiranku akhirnya
jernih. Namun, aku tak tahu saat ini aku berada di mana, atau
bagaimana aku bisa ada di sini. Saat berteriak minta tolong,
suaraku tak terdengar walaupun aku merasakan bibirku
bergerak. Aku beringsut maju, dengan tangan diulurkan ke
depan. Tiba-tiba, telapak tanganku mulai bersinar karena
Lumenku. Mulanya redup, tapi sejenak kemudian sinarnya
semakin terang.
"John," bisikan parau memanggil namaku.
Aku menggerakkan tangan ke sekeliling dengan cepat
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk melihat di mana aku berada, tapi cahaya dari tanganku
hanya menguak kegelapan hampa. Aku memasuki sebuah
visi. Telapak tanganku kuarahkan ke bawah supaya Lumen
bisa menerangi jalan, lalu aku mulai bergerak menuju suara
tadi. Bisikan parau itu memanggilku lagi dan lagi. Suaranya
seperti suara anak muda yang sedang ketakutan. Kemudian
terdengar suara lain, kasar dan pendek-pendek,
membentakkan perintah-perintah.
Suara-suara itu semakin jelas. Itu suara Sam, dan
Setrakus Ra, musuh bebuyutanku. Aku tahu aku berada di
dekat markas Mogadorian. Aku dapat melihat perisai energi
biru, sumber rasa sakit luar biasa. Entah mengapa, aku tahu
saat ini perisai energi itu tak akan menyakitiku, jadi aku
melewatinya tanpa ragu. Saat menembus perisai energi itu,
yang terdengar bukan jeritanku, melainkan jeritan Sam.
Jeritan pilunya memenuhi kepalaku begitu aku memasuki
gunung dan berjalan menyusuri terowongan-terowongannya
yang bagaikan labirin. Aku melihat noda-noda hangus akibat
pertempuran terakhir kami, waktu aku melemparkan bola
lava hijau ke tangki gas di bagian bawah gunung dan
mengirimkan lautan api yang mengamuk ke atas. Aku
menyusuri aula utama yang luas dan birai melingkarnya.
Kemudian, aku naik ke jembatan batu lengkung yang baru
baru ini kuseberangi bersama Sam, saat tubuh kami tak
terlihat. Aku terus berjalan, menyusuri cabang-cabang
terowongan dan koridor-koridor, sambil mau tak mau
mendengarkan lolongan menyayat hati sahabatku.
Aku sudah tahu aku akan ke mana sebelum sampai di
sana. Lantai yang menanjak mengantarkanku ke ruangan
besar dengan sel-sel penjara yang berderet di pinggirnya.
Mereka ada di sana. Setrakus Ra berdiri di tengah
ruangan. Dia bertubuh besar dan benar-benar tampak
menjijikkan. Lalu ada Sam. Dia di dalam sangkar bulat kecil di
samping Setrakus Ra. Gelembung penyiksaan pribadinya.
Lengan Sam ditarik tinggi-tinggi di atas kepala, sementara
kakinya direntangkan dan ditahan dengan rantai. Cairan
mengepul dari serangkaian pipa menetesi tubuh Sam. Darah
berkubang dan mengering di bawah sangkar itu.
Aku berhenti sepuluh langkah dari mereka. Setrakus
Ra merasakan keberadaanku dan berbalik, ketiga liontin Loric
dari para Garde yang telah dibunuhnya menggelayut dari
lehernya yang besar. Goresan bekas luka yang mengelilingi
lehernya berdenyut dengan energi hitam.
"Kita berselisih jalan," geram Setrakus Ra.
Aku membuka mulut, tapi suaraku tidak keluar. Mata
biru Sam bergerak ke arahku, tapi aku tak tahu apakah dia
dapat melihatku.
Cairan panas menetes dari pipa-pipa itu, mengenai
pergelangan tangan, dada, lutut, dan kaki Sam. Cairan pekat
mengaliri pipinya lalu bergulir turun ke leher. Melihat Sam
disiksa begitu membuat suaraku keluar.
"Lepaskan dia!" aku berteriak.
Sorot mata Setrakus Ra menajam. Liontin di lehernya
menyala dan liontinku merespons, ikut berpendar. Permata
Loralite biru itu terasa panas di kulitku, dan tiba-tiba batu itu
terbakar, Pusakaku mengambil alih. Aku membiarkan api
merayap di sepanjang bahuku.
"Aku akan melepaskannya," kata Setrakus Ra, "kalau
kau kembali ke gunung dan bertarung melawanku."
Aku melirik Sam cepat dan melihat dia pingsan
ditaklukkan rasa sakit, dagunya merosot ke dada.
Setrakus Ra menunjuk tubuh Sam yang kurus dan
berkata, "Kau harus mengambil keputusan. Kalau kau tidak
datang, aku akan membunuhnya lalu aku akan membunuh
mereka semua. Kalau kau datang, aku akan membiarkan
mereka semua hidup."
Aku mendengar seseorang meneriakkan namaku,
menyuruhku bergerak. Nomor Sembilan. Aku duduk
terkesiap dan sekonyong-konyong membuka mata. Tubuhku
berlumuran keringat. Aku memandang melewati lubang
bergerigi di dinding rusak dan beberapa detik kemudian,
barulah aku memahami apa yang baru saja terjadi.
"Dude! Bangun!" teriak Nomor Sembilan dari balik
pintu. "Ada banyak hal yang harus kita lakukan!"
Aku berlutut dan meraba-raba leherku mencari
liontin. Aku meremasnya sekuat mungkin, berusaha
mengusir jeritan Sam dari benakku. Pintu kamar berayun
terbuka. Nomor Sembilan berdiri di ambang pintu sambil
mengusap mukanya menggunakan punggung tangan. "Aku
serius. Kuatkan dirimu. Kita harus pergi
3
UDARA TERASA GERAH DAN SESAK SAAT KAMI
MENINGGALKAN bandara di New Delhi. Kami berjalan
menyusuri trotoar, Peti Loric Marina dikempit oleh Crayton.
Mobil-mobil beringsut pelan di jalanan padat, klakson
klakson menjerit. Kami berempat waspada kalau-kalau ada
tandatanda masalah, bahkan indikasi terkecil ada yang
membuntuti kami. Kami tiba di suatu persimpangan dan
didesak-desak dari segala penjuru. Perempuan-perempuan
dengan keranjang tinggi di kepala mendesak lewat. Pria-pria
yang memikul ember berisi air di bahu gelap mereka berseru
menyuruh kami minggir. Bau-bauan, kebisingan, dan
keberadaan yang begitu dekat dengan dunia sibuk di
sekeliling kami dapat membuat kami kewalahan. Namun,
kami tetap waspada.
Di seberang jalan ada pasar yang ramai dan
tampaknya membentang sejauh berkilo-kilometer. Anak
anak penjaja barang mengerubungi kami, dan dengan sopan
kami menolak ukiran kayu serta perhiasan gading mereka.
Aku takjub melihat kekacauan yang tertata dari semua ini,
senang melihat hidup berjalan dalam suatu rutinitas,
gembira karena saat ini kami berada jauh dari peperangan.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Marina sambil
mengeraskan suara untuk mengatasi kebisingan.
Crayton memandang orang-orang yang
menyeberangi jalan. "Karena kita sudah jauh dari bandana
dan kameranya, kurasa sebaiknya kita mencari?" Sebuah
taksi berdecit berhenti di depan kami, awan debu
membubung dari roda-rodanya, lalu sopirnya mendorong
pintu penumpang hingga terbuka. "Taksi," Crayton
menyelesaikan.
"Silakan. Mau ke mana?" tanya sopir itu. Dia masih
muda dan tampak gugup, seakan-akan ini hari pertamanya
bekerja. Entah karena memahami suasana hati sopir itu atau
karena ingin sekali menjauhi orang-orang, Marina langsung
melompat masuk ke mobil dan beringsut jauh ke dalam.
Crayton memberikan alamat ke si sopir, lalu
menekuk tubuhnya ke kursi depan. Aku dan Ella berjejal di
belakang, di samping Marina.
Si sopir mengangguk dan langsung menjejak pedal
gas keras-keras, menyebabkan kami semua melesak di kursi
plastik yang retak-retak. New Delhi menjadi warna-warna
cerah yang buram dan suara-suara samar. Kami melesat
melewati mobil, becak, kambing, dan sapi. Kami menikung
begitu cepat sehingga aku heran mobil ini bukan kendaraan
beroda dua. Aku tak tahu sudah berapa kali kami nyaris
menyerempet pejalan kaki, dengan jarak sehelaian rambut.
Kemudian, aku memutuskan mungkin sebaiknya aku tidak
memperhatikan itu. Kami terguncang-guncang dan
bersenggol-senggolan. Satu-satunya cara supaya kami tidak
jatuh ke lantai mobil yang kotor adalah dengan berpegangan
atau mencengkeram apa pun yang dapat kami raih.
Di satu tempat, taksi kami melompat melewati
pinggiran trotoar, lalu melesat di trotoar sempit itu untuk
menghindari lalu lintas padat. Pokoknya gila-gilaan. Harus
kuakui, aku sangat menikmati setiap detiknya Bertahun
tahun berlari, bersembunyi, dan bertarung membuatku jadi
seorang pecandu adrenalin. Marina menancapkan jari-jari di
sandaran kursi di depannya, tanpa mau memandang ke luar
jendela, sementara Ella memajukan tubuhnya melewati
Marina, berusaha menyerap semua kejadian.
Tanpa peringatan, si sopir menyentakkan taksi
dengan kasar ke jalan di belakang deretan gudang yang
dipagari lusinan orang dengan AK-47. Sopir kami mengangguk
ke arah mereka saat kami meluncur lewat. Crayton menoleh
ke arahku. Air mukanya yang khawatir membuat simpul di
perutku seakan membesar. Sekonyong-konyong, jalan yang
kami lalui itu lengang tanpa kendaraan.
"Kau membawa kami ke mana?" Crayton mendesak si
sopir. "Kami harus ke selatan, tapi kau malah ke utara."
Marina mendongak dengan cepat, lalu dia dan Ella
memandangku bingung.
Tiba-tiba, mobil berdecit berhenti dan sopir kami
terjun dari pintu, berguling menjauhi taksi. Selusin mobil van
dan truk berselubung mengerubungi mobil kami Pintu setiap
kendaraan itu dilumuri noda cat merah yang serupa, tapi aku
tak dapat melihat bentuknya dengan jelas. Orang-orang
berpakaian jalanan melompat keluar dari van dengan
senapan mesin teracung.
Sekarang adrenalin mulai menderas. Menyentak
sebelum pertarungan. Aku memandang Marina dan melihat
air mukanya yang ketakutan, tapi aku tahu dia akan
mengikuti aba-abaku. Aku tetap tenang. "Kalian siap?
Marina? Ella?" Mereka mengangguk.
Crayton mengangkat tangannya. "Tunggu! Lihat truk
itu, Enam. Perhatikan pintunya!"
"Apa?" tanya Ella. "Ada apa di pintunya?"
Orang-orang mulai mendekat, teriakan-teriakan
mereka semakin mendesak. Aku terlalu sibuk
memperhatikan bahaya di depan mata kami sehingga tidak
menyimak kata-kata Crayton. Saat orang-orang bersenjata
mengancamku, atau orang yang kusayangi, aku akan
memastikan mereka menyesalinya.
Marina memandang ke luar jendela. "Enam, lihat! Itu
kan angka?"
Akhirnya aku melihat apa yang mereka pandangi,
tepat pada saat pintu di samping Marina tersentak membuka.
Noda merah di semua pintu truk itu adalah angka delapan.
"Keluar!" perintah pria itu.
"Turuti perintahnya," ujar Crayton pelan dengan nada
tenang. "Saat ini, kita turuti saja keinginan mereka."
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami keluar dari taksi dengan hati-hati sambil
mengangkat tangan Kami berempat begitu terkesima melihat
angka merah yang dicat di pintu truk. Gerakan kami pastilah
terlalu pelan karena salah satu pria itu memajukan tubuhnya,
lalu dengan tak sabar menarik Ella ke depan, menyebabkan
anak itu kehilangan keseimbangan dan jatuh. Aku tak dapat
menahan diri. Aku tak peduli mereka itu bersama Nomor
Delapan atau bukan, tak seorang pun yang boleh membuat
anak sebelas tahun jatuh. Aku mengangkat pria itu ke udara
dengan telekinesis, melemparkannya ke atap gudang di
seberang jalan. Orang-orang yang lain panik, lalu mengayun
ayunkan senjata dan saling berteriak.
Crayton meraih lenganku. "Kita lihat dulu kenapa
mereka di sini dan apakah mereka tahu di mana Nomor
Delapan berada. Kita akan menghantam mereka dengan
kekuatan penuh, kalau memang perlu." Dengan berang, aku
menyentakkan tanganku dari pegangannya, tapi aku
mengangguk. Crayton benar?kami tak tahu apa yang mereka
inginkan dari kami. Lebih baik mencari tahu sebelum orang
orang ini tak mampu menjelaskan.
Seorang pria tinggi berjanggut mengenakan baret
me- rah keluar dari salah satu truk tertutup, lalu berjalan
pelan ke arah kami. Dia tersenyum yakin, tapi sorot matanya
cemas. Pistol kecil mencuat dari sarung pistol di bahunya.
"Selamat sore dan selamat datang," sapanya dengan
logat yang kental. "Aku Komandan Grahish Sharma dari
Kelompok Pemberontak Delapan Nasionalis Wisnu. Kami
datang dengan damai."
"Jadi senjata itu bust apa?" tanya Crayton.
"Senjata-senjata ini untuk meyakinkan kalian supaya
ikut bersama kami. Kami tahu siapa kalian dan kami tidak
berniat melawan kalian. Kami tahu kami bakal kalah. Wisnu
memberi tahu kami bahwa kalian semua sakti, seperti
dirinya."
"Bagaimana cara kalian menemukan kami?" desak
Crayton. "Siapa Wisnu?"
"Wisnu itu intisari segenap makhluk hidup, penguasa
masa lalu, masa kini, dan masa depan, Dewa Tertinggi dan
Pemelihara Alam Semesta. Dia bilang kalian berempat, tiga
orang gadis dan satu laki-laki. Dia memintaku menyampaikan
pesan untuk kalian."
"Apa pesannya?" aku bertanya.
Komandan Sharma berdeham dan tersenyum.
"Pesannya begini: Aku Nomor Delapan. Selamat datang di
India. Datanglah dan temui aku secepat mungkin."
4 LA
NGIT KELABU DAN BERAT. HUTAN KELAM DAN dingin.
Sebagian besar daun sudah gugur dari pepohonan dan
tergeletak tanpa nyawa di tanah. Nomor Sembilan berjalan di
depanku, mengamati bentang alam mencari buruan. "Tahu
tidak? Kelinci waktu itu lebih sedap daripada yang kusangka."
Dia mengeluarkan sepotong pendek tumbuhan rambat dari
saku, lalu mengucir rambut hitamnya yang kusut. "Aku mau
masak kelinci lagi malam ini, kalau kau berminat."
"Kurasa aku mau makan yang lain."
Dia tampak kaget menyaksikan keenggananku. "Tak
suka hewan segar? Kau harus makan kalau mau tenagamu
pulih. Aku tak mengerti kenapa, tapi batu penyembuh kita
sama sekali tak dapat menyembuhkan penyakitmu. Dan, kau
tahu, penyakitmu ini menghambat. Buang-buang waktu. Kita
harus membuatmu sembuh supaya bisa pergi dari sini."
Aku tahu tubuhku lemah sekali karena aku merasa
sangat letih saat berjalan. Kami baru beberapa ratus meter
dari rumah bobrok tempat persembunyian kami, tapi aku
sudah kelelahan. Aku sangat ingin kembali ke sana dan tidur.
Namun, aku tahu aku tak akan merasa normal kalau tidak
memaksakan diri bergerak.
"Hei, Sembilan, aku mau cerita tentang mimpiku yang
barusan," kataku.
Dia mendengus. "Mimpi? Tidak, terima kasih. Mimpi
itu tak ada gunanya, kecuali mimpi tentang gadis-gadis. Nah,
kalau yang itu, kau boleh cerita semuanya, sedetail
detailnya."
"Aku melihat Setrakus Ra. Aku bicara dengannya."
Nomor Sembilan berhenti sejenak, lalu kembali berjalan.
"Dia menawarkan kesepakatan."
"Oh, yeah? Kesepakatan macam apa?"
"Dia bilang dia akan membiarkan yang lain hidup,
termasuk Sam, kalau aku kembali dan menghadapinya."
Nomor Sembilan mendengus. "Omong kosong.
Mogadorian tidak membuat kesepakatan. Setidaknya,
mereka tidak akan menepati kesepakatan yang mereka buat.
Mereka juga tidak kenal belas kasihan."
"Jadi kupikir, bagaimana kalau aku pura-pura
percaya? Lagi pula, aku harus kembali ke gua untuk
mengeluarkan Sam."
Nomor Sembilan menatapku, tampak tidak tertarik.
"Maaf, ya. Tapi mungkin Sam sudah mati. Mog tidak peduli
dengan kita, dan mereka tak peduli dengan manusia. Kurasa
kau cuma mimpi buruk, dan kau ketakutan serta merasa perlu
merecokiku tentang itu. Tapi kalau kau memang bicara
dengan Setrakus Ra, tawaran seperti itu jelas-jelas perangkap
dan kau bakal mati kalau menurut. Sebenarnya, kau bakal
mati kalau ada dalam jarak enam belas kilometer dari tempat
itu. Aku jamin." Dia berbalik dan menjauh dariku.
"Sam belum mati!" kataku. Kemarahan menggelegak
di dalam diriku, memberiku kekuatan yang sudah berhari
hari tak kurasakan. "Dan mimpi itu memang benar. Setraus Ra
menyiksa Sam! Aku melihat kulitnya berdesis terkena cairan
mendidih yang jatuh ke tubuhnya! Aku tak mau cuma duduk
duduk di sini dan membiarkan itu terus terjadi."
Nomor Sembilan tertawa lagi, tapi kali ini tanpa sikap
mencemooh. Tidak cukup meyakinkan, tapi tawanya terasa
lebih lembut. "Dengar, Empat. Saat ini tubuhmu terlalu
lemah untuk sekadar bergerak, apalagi bertempur melawan
makhluk paling kuat di galaksi
Aku tahu ini kedengarannya tak berperasaan, tapi
Sam itu manusia. Kau tak dapat menyelamatkan mereka
semua, jadi berhentilah menyia-nyiakan waktu dan
tenagamu. Lagi pula, kau kan tak punya waktu dan tenaga
yang tak terbatas."
Lumen di telapak tanganku mulai menyala. Kali ini
aku dapat mengendalikannya, itu bagus. Kuharap ini artinya
pengaruh perisai energi biru itu sudah memudar. "Dengar,
Sam itu sahabatku, Sembilan. Kau harus mengerti itu dan
simpan saja pendapatmu tentang tenagaku, oke?"
"Tidak, kau yang dengar," bantah Nomor Sembilan.
Suaranya terdengar datar. "Ini bukan main-main. Kita sedang
perang?perang. Kau tak bisa menuruti perasaanmu
terhadap Sam kalau itu membuat orang lain merasa tidak
aman. Aku tak akan membiarkanmu meninggalkan kami
supaya bisa menghadapi Setrakus Ra, hanya demi Sam. Kita
tunggu sampai kau lebih baik, berapa lama pun itu, lalu kita
bergabung dengan yang lain dan berlatih sampai kita siap.
Kalau kau tak menyukainya, kau harus bertarung melawanku
supaya bisa pergi dari sini. Dan aku sangat siap bertarung.
Jadi, ayo. Lawan aku. Latihan bagus untukku."
Dia mengangkat tangan dan mengarahkannya ke
sesuatu di balik pepohonan. Sedetik kemudian, aku
mendengar lengkingan singkat.
"Dapat." Nomor Sembilan tersenyum, bangga dengan
kemampuan berburu menggunakan telekinesisnya. Aku
mengikutinya, menolak menyerah.
"Adakah orang yang membuatmu rela mati deminya?
Orang yang membuatmu rela mempertaruhkan hidupmu
untuk menolongnya?"
"Aku mempertaruhkan hidupku untuk
menyelamatkan Lorien," ujar Nomor Sembilan, menatapku
lurus-lurus agar aku mendengarkan. "Aku akan mati demi
Lorien maupun bangsa Lofic. Dan kalau aku mati, itu pun
?kalau', aku akan melakukannya sambil menghancurkan dua
kepala Mog di antara telapak tanganku dan satu di bawah
kakiku. Saat ini aku sama sekali tak ingin merasakan
simbolmu membakar kakiku, jadi dewasalah, berhenti
bersikap naif dan jangan cuma memikirkan dirimu sendiri."
Kata-katanya menghantamku telak. Aku tahu Henri
akan sependapat dengannya, tapi aku tak akan meninggalkan
Sam lagi. Aku tak tahu apakah ini akibat kesombongan Nomor
Sembilan, urgensi dari visi yang Baru saja kulihat, atau
mungkin akibat udara segar dan berjalan, tapi untuk pertama
kalinya sejak berhari-hari, pikiranku terasa jernih dan kuat.
"Sam menyelamatkanku lebih dari satu kali, dan
ayahnya ada di sana waktu pesawat kita mendarat di Bumi.
Malahan, ayahnya mungkin mati demi kita, demi Lorien. Kau
berutang itu kepada mereka berdua, jadi kau harus ikut ke
gua itu denganku. Hari ini."
"Tak bakalan."
Aku melangkah mendekatinya dan Nomor Sembilan
bergeming. Dia meraihku lalu melempar tubuhku ke pohon.
Aku bangkit. Saat akan mengayunkan tinju ke arahnya,
terdengar bunyi ranting patah dari belakang kami. Nomor
Sembilan memandang ke arah bunyi itu. Aku merapatkan
tubuh ke pohon, menyiapkan telapak tanganku dengan nyala
redup, siap untuk membutakan siapa pun itu dengan
Lumenku. Kuharap aku tidak salah memperkirakan seberapa
banyak kekuatanku yang sudah pulih.
Nomor Sembilan memandangku lalu berbisik, "Maaf
tentang kau dan pohon itu. Ayo, kita cari siapa penguntit itu,
lalu kita bunuh sebelum dia membunuh kita."
Aku mengangguk, dan kami melangkah maju. Suara
itu datang dari segerombolan pinus berdaun jarum yang
lebat. Tempat persembunyian yang sempurna. Kalau aku
yang menentukan, kami akan menunggu dan melihat siapa
atau apa yang kami hadapi. Namun, Nomor Sembilan tidak
begitu. Dia tersenyum simpul aneh saat kami bergerak ke
arah pinus-pinus itu, siap menghancurkan apa pun yang
muncul. Pinus itu bergemerisik lagi, dan salah satu ranting
bawahnya bergerak. Namun yang kami lihat bukanlah
meriam atau pedang berkilau Mogadorian. Yang muncul
justru anjing beagle warna cokelat dan putih berhidung
hitam.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bernie Kosar," kataku dengan perasaan lega. "Aku
senang melihatmu, Kawan."
Dia berderap menghampiri dan aku membungkuk
untuk membelai kepalanya, satu-satunya makhluk yang
sudah bersamaku sejak awal. Bernie Kosar mengatakan
senang melihatku sudah sehat.
"Lama, ya?" tanya Nomor Sembilan. Aku lupa Nomor
Sembilan juga punya Pusaka yang memungkinkannya
berkomunikasi dengan binatang. Aku tahu ini kekanak
kanakan, tapi aku tak suka punya kekuatan yang sama
dengannya. Nomor Sembilan itu Garde terbesar dan terkuat
yang pernah kulihat, punya kemampuan memindahkan
kekuatan pada manusia, antigravitasi, kecepatan super,
pendengaran super, telekinesis, dan apa pun yang belum
dikatakannya kepadaku. Yang membedakanku dengan dia
cuma Lumenku, tapi kalau aku tak dapat menemukan sumber
api untuk dimanfaatkan, Pusakaku itu tak berguna. Aku
sangat berharap kemampuanku berbicara dengan binatang
akan berkembang, tapi sekarang aku yakin Nomor Sembilan
akan menemukan manfaatnya lebih dulu daripada aku.
Bernie Kosar mungkin melihat kekecewaan di
wajahku karena dia mengajakku berjalan bersamanya.
Berdua saja.
Nomor Sembilan mendengarnya dan berkata,
"Silakan. Lagi pula, BK selalu bicara tentangmu. Setiap kali
tidak berpatroli keliling, dia di kamar menjagamu."
Aku terus membelai kepalanya. "Jadi itu kau, ya?"
Bernie Kosar menjilat tanganku.
"Sahabatku yang satu lagi," kataku. "Aku juga rela
mati demimu, BK."
Nomor Sembilan mengerang menyaksikan sikapku
yang sentimentil. Aku tahu seharusnya dalam perang besar
antargalaksi ini kami saling jaga, tapi terkadang aku berpikir
seandainya cuma ada aku dan BK. Juga Sam, Sarah, Nomor
Enam, serta Henri. Siapa saja asal bukan Nomor Sembilan.
"Aku akan melihat apa yang barusan kubunuh,
memastikan kita punya makanan malam ini," kata Nomor
Sembilan sambil berlalu. "Silakan kalian jalanjalan. Saat
kembali nanti, kita harus membahas masalah mencari Garde
yang lain. Karena sekarang, kau sudah berfungsi."
"Bagaimana cara kita menemukan mereka? Alamat
tempat pertemuan dari Nomor Enam ada di saku Sam. Para
Mog pasti sudah mendapatkannya dan menunggu Nomor
Enam muncul. Menurutku itu alasan lain mengapa kita harus
menyelamatkan Sam," kataku dengan tegas.
Bernie Kosar mengamini. Kedengarannya dia ingin
menyelamatkan Sam seperti aku.
"Kita bahas nanti saat makan malam. Kurasa itu
possum, mungkin tikus muskrat," sahut Nomor Sembilan
yang sudah beranjak ke hutan untuk mencari buruannya.
Bernie Kosar menyuruhku mengikuti dan
memimpinku melewati pepohonan serta menyusuri bukit
berumput tinggi. Tanah mendatar beberapa meter lalu
menanjak lagi. Kami bergerak dengan cepat. Olahraga terasa
nikmat karena kekuatanku sudah kembali. Di depan ada dua
pohon besar yang saling bersandar. Aku berkonsentrasi dan
memisahkan keduanya dengan kekuatan telekinesisku.
Begitu ada jarak di antara kedua pohon tadi, BK melompat ke
celahnya dan aku berlari mengejarnya, terkenang lari pagi
kami waktu aku bersekolah di Paradise dulu. Saat itu hidup
jauh lebih sederhana. Hari-hariku dihabiskan dengan berlatih
bersama Henri dan waktu luang kuhabiskan bersama Sarah.
Mencari tahu apa yang dapat kulakukan dan bagaimana
kekuatanku membantuku melakukan apa yang harus
dilakukan itu sangat menyenangkan. Bahkan saat aku
frustrasi atau takut, ada banyak kemungkinan dan aku dapat
memusatkan pikiran pada hal itu. Aku tak menyadari ternyata
aku sangat menikmati saat-saat itu.
Punggungku lengket karena keringat saat kami tiba di
bukit kecil. Kondisiku lebih baik, tapi masih belum pulih
seratus persen. Pemandangan panorama Pegunungan
Appalachian yang diselimuti pohon cemara dan bermandikan
cahaya senja itu indah luar biasa. Aku dapat memandang
sejauh berkilo-kilometer.
"Jujur, Kawan. Ini luar biasa. Kau ingin menunjukkan
ini kepadaku?" tanyaku.
Di kejauhan sana, di kiri bawah, kata Bernie Kosar.
Lihat?
Aku mengamati pemandangan itu. "Di lembah dalam
itu?"
Di baliknya, sahut Bernie Kosar. Lihat cahaya itu?
Aku menyipitkan mata dan memandang melewati
lembah. Di sana ada kerumunan pohon lebat dan garis samar
tepi sungai berbatu. Lalu aku melihatnya. Di bawah
pepohonan di sebelah kiri ada seberkas sinar biru terang. Itu
perisai energi yang ada di bawah markas para Mogadorian.
Jaraknya tak lebih dari tiga setengah kilometer.
Bernie Kosar bilang kami bisa ke sana sekarang kalau aku
mau. Kali ini dia akan ikut karena aku dan Sam sudah merusak
sistem yang mengirimkan gas mematikan bagi binatang di
gunung itu.
Aku menggigil saat menatap cahaya biru itu. Sam ada
di dalam sana. Juga Setrakus Ra. "Sembilan bagaimana?"
Bernie Kosar mengitari kakiku dua kali, lalu duduk di
dekat kakiku. Terserah kau, katanya. Sembilan itu kuat dan
cepat, tapi juga tak dapat ditebak.
"Kau pernah membawanya ke sini?" tanyaku. "Dia
tahu kita sedekat ini?"
Bernie Kosar memiringkan kepala seakan Dekata, Ya.
Aku tak percaya Nomor Sembilan tahu, tapi tidak
mengatakannya kepadaku. Cukup. Aku muak dengan Nomor
Sembilan.
"Aku mau kembali ke rumah. Aku akan menawari
Nomor Sembilan untuk ikut kita, tapi apa pun yang dia
katakan, aku harus menghadapi Setralus Ra."
5 T
RUK MILITER YANG KAMI TUMPANGI TERLONJAK-lonjak di
sepanjang jalan penuh lubang. Kami berada di pinggiran kota
dan aku memandang berkeliling. Aku melihat pegunungan
besar menjulang di kejauhan, tapi itu tidak mengungkap
banyak. Kami diapit kendaraan penuh prajurit, baik di depan
maupun di belakang. Peti Loricku ada di kakiku, sementara
Nomor Enam duduk di sampingku. Itu membuatku agak lebih
mudah bernapas. Setelah pertempuran di Spanyol, aku hanya
merasa agak aman saat Nomor Enam berada di dekatku.
Kupikir aku tak bakal merindukan para suster di Santa
Teresa, tapi saat ini aku rela memberikan apa pun asalkan
bisa kembali ke biara. Selama bertahun-tahun aku selalu
berpikir untuk melarikan diri dari aturan dan hukuman
mereka. Namun sekarang, setelah aku pergi, yang kuinginkan
hanyalah sesuatu yang familier, bahkan walaupun hal itu
adalah disiplin agama. Cepanku, Adelina, sudah tewas,
dibunuh oleh para Mogadorian. Sahabat dan temanku satu
satunya, Hector Ricardo, juga sudah meninggal. Kota maupun
biara lenyap, dimusnahkan oleh para Mogadorian. Kematian
membebaniku. Adelina dan Hector bertarung untuk
melindungiku. Tuhan, kuharap aku bukan kutukan. Aku tak
suka memikirkan ada orang yang terluka karena aku tak
berpengalaman dan kurang latihan. Aku tak mau
keberadaanku mengacaukan misi di India ini.
Akhirnya, Komandan Sharma berbalik untuk
memberikan gambaran mengenai tempat ini kepada kami.
"Perjalanan ini makan waktu beberapa jam. Silakan buat diri
kalian nyaman. Di belakang kalian ada dispenser, kalau mau
minum. Jangan menarik perhatian. Jangan berhubungan
dengan orang lain. Bahkan, jangan tersenyum ataupun
mengangguk. Kita diburu."
Crayton mengangguk.
"Jadi, bagaimana menurutmu?" tanya Nomor Enam
kepada Crayton. "Apakah kau pikir dia benar-benar ada di
atas sana?"
"Ya. Itu masuk akal."
"Kenapa?" tanyaku.
"Pegunungan itu merupakan tempat persembunyian
ideal untuk Garde. Selama bertahun-tahun, orang takut
mendekati gletser yang ada di utara Cina. Cerita-cerita
mengenai kemunculan alien membuat penduduk takut.
Selain itu, pihak militer Cina tak dapat menyelidiki laporan
laporan tersebut karena sebuah danau misterius muncul di
lembah dan menghalangi jalan mereka. Tak ada yang tahu
cerita mana yang benar dan mana yang cuma rumor. Yang
jelas, itu tempat persembunyian yang sempurna."
"Apakah menurutmu di sana ada alien lain selain
Nomor Delapan?" tanya Ella. "Mogadorian, misalnya?" Aku
juga memikirkan itu.
"Aku tak tahu siapa lagi yang ada di sana, kalau
memang ada, tapi kita akan segera mengetahuinya," ujar
Crayton. Dia menyeka keringat dari dahinya, lalu menyentuh
Peti Loricku dengan ujung jari. "Sementara itu, kita harus
mulai mempelajari cara menggunakan benda-benda di dalam
sini untuk membantu kita, kalau Marina tidak keberatan."
"Tentu," aku menyahut pelan sambil menunduk
memandang Peti Loricku. Aku tidak keberatan berbagi
Warisan, tapi aku malu karena cuma tahu sedikit tentang
barang-barangku. Seharusnya yang membuka Peti Loricku itu
adalah aku dan Adelina. Adelina seharusnya menjelaskan
cara menggunakan semua benda itu, bagaimana benda
benda itu dapat menyelamatkan nyawaku. Namun itu tak
akan terjadi. Setelah satu detakan jantung, aku berkata, "Tapi
aku sama sekali tak tahu kegunaan barang-barang ini."
Crayton mengulurkan tangannya untuk menyentuh
tanganku. Aku menatap sorot matanya yang serius, tapi
membesarkan hati. "Tak apa. Aku akan memberitahumu
kalau aku bisa," ujar Crayton. "Sekarang, aku bukan cuma
Cepan Ella, melainkan Cepan kalian semua. Selama aku
hidup, kau dapat mengandalkanku, Marina."
Aku mengangguk dan memegang gembok Peti.
Karena Adelina sudah tiada, aku dapat membuka Peti Loricku
sendiri. Itu kekuatan yang terasa manis sekaligus getir.
Nomor Enam memandangiku, dan aku tahu dia sangat
memahami perasaanku, karena Cepannya juga sudah
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meninggal. Gembok logam dingin itu bergetar di kulitku,
berbunyi klik, lalu jatuh ke lantai truk. Jalan tanah yang kami
lintasi saat ini dipenuhi lubang dan kotoran, membuatku
terus melonjak-lonjak sehingga sulit menjaga agar tanganku
tetap lurus, sementara aku mengulurkannya ke dalam Peti.
Dengan hati-hati, aku berusaha tidak menyentuh kristal
merah menyala di pojok karena benda itu pernah
menimbulkan masalah besar di menara lonceng panti
asuhan. Jangan-jangan benda itu granat Loric, atau lebih
parah. Aku meraih kacamata hitam.
"Kau tahu apa kegunaan benda ini?" aku bertanya
pada Crayton. Dia memeriksa kacamata itu sebentar, lalu
mengembalikannya sambil menggeleng.
"Aku tak tahu pasti. Mungkin kacamata itu
membuatmu dapat melihat menembus benda-benda,
seperti pandangan sinar-X. Atau mungkin detektor panas,
bagus untuk melihat di malam hari. Cuma ada satu cara untuk
mengetahuinya, bukan?"
Aku memakai kacamata itu dan memandang ke luar
jendela. Selain sinar matahari yang meredup, tampaknya tak
ada hal lain yang terjadi. Aku mengecek tanganku, tapi
tanganku masih tetap padat. Saat aku mendongak
memandang wajah Crayton, tidak ada area-area panas yang
terlihat.
"Jadi?" desak Nomor Enam. "Apa kegunaannya?"
"Entahlah," sahutku sambil memandang lahan kosong
di luar jendela sekali lagi. "Mungkin ini cuma kacamata hitam
biasa."
"Ah, masa?" ujar Crayton sangsi. "Benda itu pasti
punya suatu fungsi, seperti semua benda lain di dalam sini,
dan kau akan menemukannya."
"Boleh aku coba?" tanya Ella. Aku menyerahkan
kacamata itu.
Ella menaikkan kacamata itu ke hidungnya, lalu
berbalik dan memandang ke jendela belakang.
Aku kembali menekuni Petiku.
"Tunggu?semuanya tampak agak berbeda, tapi aku
tak tahu kenapa. Seperti melihat segalanya sedikit tertunda
atau lebih cepat entah yang mana." Tiba-tiba, Ella terkesiap
dan berteriak, "Roket! Roket!"
Kami mengikuti arah pandangannya, tapi aku tak
melihat apa-apa selain langit sebiru kristal.
"Di mana?" seru Crayton.
Ella menunjuk ke langit. "Keluar dari truk! Kita harus
keluar sekarang juga!"
"Tak ada apa-apa di sana." Nomor Enam menyipitkan
mata memandangi cakrawala. "Ella, kurasa kacamata itu
menipumu. Aku tak melihat apa-apa."
Ella tidak mendengar. Dia bergerak melewatiku,
kacamatanya masih terpasang, lalu membuka pintu. Bahu
jalan dipagari bebatuan tajam dan sesemakan mati. "Lompat!
Sekarang!"
Sekonyong-konyong kami mendengar siulan samar di
udara dan juga noktah hitam, tepat di tempat yang baru saja
ditunjuk Ella.
"Keluar!" Crayton berteriak.
Aku meraih Peti Loricku yang masih terbuka dan
melompat. Kakiku menghantam jalan tanah yang keras dan
melesat di bawahku. Dunia sekonyong-konyong berubah
menjadi pusaran warna cokelat dan biru diiringi rasa sakit
menusuk. Roda belakang truk kami menyerempet lenganku.
Aku nyaris terlambat berguling menjauhi jalur yang akan
dilintasi oleh truk kencang di belakang kami. Kepalaku
menabrak batu tajam dan aku berguling sekali lagi, mendarat
di atas Peti Loricku. Benturan itu membuat napasku terempas
dan isi Peti Loricku berhamburan di tanah. Aku mendengar
Ella dan Nomor Enam terbatuk-batuk dari suatu tempat di
dekatku, tapi aku tak dapat melihat mereka karena kami
dikelilingi awan debu. Sedetik kemudian, roket itu
menghantam tanah tepat di belakang truk ngebut yang Baru
saja kami tinggalkan diiringi ledakan menulikan telinga. Truk
itu, beserta Komandan Sharma yang masih di dalam,
terjungkal ke depan lalu mendarat terbalik diiringi gumpalan
asap. Jip yang meluncur di belakang truk tak sempat banting
setir, dan menabrak tepi jurang yang disebabkan roket tadi,
lalu terjun ke dalam lubang raksasa itu. Dua roket lain
menghantam iring-iringan tersebut. Udara begitu penuh
debu sehingga kami tak dapat melihat helikopter yang
terbang di atas, tapi kami dapat mendengar suaranya.
Aku meraba-raba area di sekelilingku, berusaha
mengumpulkan semua yang tumpah dari Peti Loric. Aku sadar
mungkin ada banyak batu serta ranting yang kumasukkan ke
sana, sebanyak barang Warisanku, tapi aku dapat memilah
milahnya nanti.
Saat akan meraih kristal merah, aku mendengar bunyi
tembakan merobek udara. "Enam! Kau baik-baik saja?" aku
berseru. Lalu aku mendengar Ella menjerit.
6 A
KU BERGEGAS MEMBUKA PINTU-PINTU LEMARI, mencari di
bawah sedikit perabotan di rumah ini saat mendengar
seseorang masuk ke rumah dengan berisik. Kurasa itu Nomor
Sembilan karena Bernie tidak menggeram.
"Sembilan," seruku. "Petiku kau sembunyikan di
mana?"
"Cari di bawah bak dapur," dia balas berseru.
Aku berjalan ke dapur. Lantai linoleum keriting di sini
mirip papan catur lapuk yang pernah ketumpahan kopi.
Gagang pintu lemari di bawah bak cuci itu goyang, dan saat
aku menariknya terdengar bunyi klik.
"Tunggu, Empat!" teriak Nomor Sembilan dari ruang
sebelah. "Aku pasang?"
Pintu lemari itu menjeblak terbuka dan aku
terlempar ke belakang.
"Perangkap!" Nomor Sembilan menyelesaikan
kalimatnya.
Selusin tombak runcing melesat lurus ke arahku. Saat
jaraknya tinggal beberapa senti lagi, naluriku mengambil alih
sehingga aku dapat menangkis tombak-tombak itu dengan
telekinesis. Tombak-tombak itu memantul ke kiri dan ke
kanan, menancap di dinding.
Nomor Sembilan berdiri di ambang pintu sambil
tergelak. "Maaf banget. Aku benar-benar lupa sudah
mengotak-atik pintu itu."
Aku berang dan melompat berdiri. Bernie Kosar
meluncur di antara kami dan menggeram ke arah Nomor
Sembilan. Sementara Bernie Kosar memaki kebodohan
Nomor Sembilan, aku berkonsentrasi untuk menarik tombak
tombak itu dari dinding lalu membuatnya melayang
membidik Nomor Sembilan. "Kau tak terdengar menyesal."
Sementara aku mempertimbangkan untuk
menembakkan tombak-tombak kecil itu ke arahnya, Nomor
Sembilan menggunakan telekinesis untuk mematahkan
semua tombak jadi dua, empat, dan delapan potong sehingga
jatuh ke lantai.
"Hei, aku benar-benar lupa," katanya sambil
mengangkat bahu. Dia berbalik untuk pergi ke ruangan
sebelah. "Omong-omong, ambil Peti Loricmu lalu ke sini. Kita
harus cepat, jadi kuasai dirimu."
Aku menyalakan Lumen untuk menyinari lemari
berjamur itu dan dengan hati-hati memasukkan kepala ke
bawah bak cuci. Mulanya aku tak melihat apa-apa dan
mengira Nomor Sembilan mengerjaiku. Saat akan pergi
sambil mengentak-entakkan kaki ke ruang keluarga dan
menuntutnya mengembalikan Petiku, aku melihat sesuatu.
Sisi kiri lemari itu lebih dalam dibandingkan yang kanan. Aku
meraba-raba lalu melepaskan dinding palsu dari tripleks.
Hore! Ini dia. Aku meraih Peti Loric itu dan membawanya
keluar dari dapur.
Di ruang keluarga, Nomor Sembilan sedang
mengubek-ubek Petinya sendiri, Peti Loric yang kami
selamatkan dari gua Mogadorian. "Senang melihatmu, Sobat
Lama," katanya saat menarik tongkat perak pendek. Lalu dia
meraih benda kuning bulat yang diselimuti benjolan
benjolan kecil. Benda itu seperti buah yang aneh dan aku
agak berharap dia akan meremasnya untuk mendapatkan sari
buah. Nomor Sembilan meletakkan benda itu di telapak
tangannya lalu, sebelum aku sempat bertanya, dia
melecutkan benda itu ke lantai dan buru-buru merapatkan
punggung ke dinding. Bola itu memantul tinggi setelah
menghantam karpet, lalu berubah dari kuning menjadi
hitam, membesar menjadi seukuran jeruk. Saat tingginya
sebahu, benjolan-benjolan kecilnya meledak, berubah jadi
duri-duri setajam silet. Aku merunduk dan berguling menuju
BK supaya tidak tertusuk.
"Apa-apaan?" aku berteriak. "Kau kan bisa
memperingatkanku! Kau hampir membunuhku dua kali
dalam waktu kurang dari lima menit."
Nomor Sembilan tidak berjengit saat duri-duri tadi
melesat masuk kembali tepat sebelum bola itu balik ke
tangannya.
"Hei, hei, hei, tenang, dong," bujuk Nomor Sembilan.
Dia memegang bola itu di dekat matanya, menyebabkan aku
menahan napas. "Aku tahu kau tak akan kenapa-kenapa. Aku
dapat mengendalikannya dengan pikiranku. Yah, aku dapat
mengendalikannya sebagian. Biasanya."
"Sebagian? Kau bercanda? Sepertinya barusan aku
tak melihat pengendalian. Aku harus melompat menyingkir."
Nomor Sembilan menjauhkan bola itu dari matanya,
tampak agak malu. Namun tidak cukup malu. "Saat ini, aku
cuma mampu mengendalikan warnanya."
"Cuma itu?" tanyaku heran. Dia mengangkat bahu.
BK menyuruh Nomor Sembilan berhenti main-main.
"Hei, aku cuma mengecek untuk memastikan aku
ingat cara kerja semua benda ini. Setidaknya, semua benda
yang sudah kuketahui cara pakainya," lanjut Nomor Sembilan
sambil menjatuhkan bola tadi kembali ke Peti. "Jaga-jaga."
Dia menarik kalung batu hijau yang pernah digunakannya di
gua Mogadorian dan melemparkannya ke udara. Benda itu
melayang membentuk lingkaran sempurna dan mengisap
kotoran dari lantai layaknya lubang hitam. Kemudian kalung
itu berputar ke arah jendela belakang dan memancarkan
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cahaya putih. Saat Nomor Sembilan menjentikkan jarinya,
kotoran meledak keluar dari lingkaran itu, menghancurkan
sisa-sisa jendela tersebut.
"Lihat, tuh," dia tertawa.
Aku membuka Peti Loricku. Nomor Sembilan pikir di
Peti kami ada sesuatu yang dapat membantu kami
menemukan yang lain. Benda pertama yang kulihat adalah
kaleng kopi biru berisi abu Henri, membuatku tertegun
sesaat. Aku terkenang pada saat di hutan di Paradise,
berjalan melintasi salju yang meleleh bersama Sarah,
melihat jasad Henri. Waktu itu aku berjanji akan membawa
Henri kembali ke Lorien, dan aku berniat memenuhinya.
Dengan hati-hati, aku meletakkan kaleng kopi tadi ke
lantai di samping Peti lalu meraih belati berbilah intan,
membiarkan gagangnya memanjang dan melilit tinjuku. Aku
membalikkan belati itu, memandangi bilahnya. Kemudian,
aku melepaskan belati dan melanjutkan menyelidiki benda
benda di Petiku. Aku berusaha untuk tidak memikirkan
benda-benda yang tidak kukenal?jimat berbentuk bintang,
seikat daun kering, gelang oval merah cerah?dan aku jauh
jauh dari kristal yang dibungkus dua lapis handuk dan
dijejalkan ke kantung plastik. Terakhir kali aku menyentuh
kristal itu, perutku bergolak dan asam merayap naik ke
kerongkonganku.
Setelah menyingkirkan batu Xitharis kuning mulus
yang berguna untuk memindahkan Pusaka, aku mengambil
kristal lonjong yang penuh kenangan. Permukaan kristal itu
licin, sementara bagian dalamnya berkabut. Ini benda
pertama yang Henri ambil dari Peti untuk ditunjukkan
kepadaku. Saat awan di dalamnya berpusar, itu artinya
Pusaka pertamaku muncul. Kristal ini awalnya.
Kemudian, aku melihat kacamata ayah Sam dan
tablet putih yang aku dan Nomor Enam temukan di ruang
rahasia Malcolm Goode di bawah sumur. Itu cukup untuk
menyentakkanku kembali pada kenyataan.
Aku memandang Nomor Sembilan. "Mungkin di Peti
kita ini ada sesuatu yang membuat kita bisa menembus
perisai energi biru. Omong-omong, kurasa pengaruh perisai
itu sudah hilang. Malam ini mungkin kita punya kesempatan
untuk membebaskan Sam."
"Pasti bagus sekali kalau di Peti ini ada sesuatu yang
dapat membantu kita melakukan itu," kata Nomor Sembilan
dengan nada santai. Dia sedang berkonsentrasi menatap
kerikil ungu yang didirikan di punggung tangannya. Kerikil itu
hilang.
"Apa itu?" tanyaku.
Dia membalikkan tangan dan kerikil tadi muncul
kembali di telapak tangannya. "Entahlah, tapi ini alat yang
keren untuk mengajak gadis-gadis mengobrol. Iya, kan?"
Aku menggeleng dan menyelipkan tanganku ke
gelang merah dari Peti. Aku berharap gelang itu akan
menerbangkanku atau menembakkan sinar laser berbentuk
cincin, tapi benda itu cuma menggelayut di pergelangan
tanganku. Aku melambaikan tangan di atas kepala, meminta
gelang itu bekerja, memohon agar benda itu
memperlihatkan kekuatannya. Tidak terjadi apa-apa.
"Mungkin kau harus coba menjilatnya?" Nomor
Sembilan tertawa sambil memandangku.
"Aku akan mencoba apa saja," aku bergumam, kesal.
Aku terus mengenakan gelang itu berharap sesuatu terjadi.
Semua benda di Petiku berasal dari para Tetua Lorien.
Semuanya punya fungsi, jadi aku yakin gelang itu akan
melakukan sesuatu. Tanganku menyentuh kantung beledu
berisi tujuh bola yang membentuk sistem tata surya Lorien.
Aku membuka kantung itu dan menjatuhkan bola-bola
tersebut ke tanganku lalu menunjukkannya kepada Nomor
Sembilan, terkenang saat Henri menunjukkannya kepadaku
untuk pertama kalinya. "Ini yang kau cari untuk menemukan
yang lain? Henri punya ini. Kami tahu ada Garde lain di
Spanyol berkat benda ini."
"Aku tak pernah melihat itu. Apa gunanya?"
Aku meniup bola-bola itu dengan lembut,
membuatnya bersinar, menjadi hidup. Bernie Kosar
menyalak saat melihat bola-bola itu melayang di atas
tanganku. Bola-bola tersebut berubah jadi planet dan
mengorbit matahari. Tepat pada saat aku akan menyinarkan
Lumen ke Lorien untuk melihat warnanya yang hijau subur,
sehari sebelum penyerbuan Mogadorian, bola-bola itu
kembali berputar dengan cepat dan terang. Aku tak mampu
mengendalikannya.
Nomor Sembilan mendekat. Kami memandang
planet-planet itu bertubrukan dengan matahari satu demi
satu sampai akhirnya yang ada di hadapan kami hanyalah satu
bola besar. Globe baru itu berotasi pada sumbunya dan
memancarkan cahaya yang begitu terang sehingga kami harus
menaungi mata kami. Kemudian, globe itu meredup dan
bagian-bagian permukaannya menaik dan menurun hingga
kami melihat replika Bumi yang sempurna.
Nomor Sembilan terkesima. Globe itu berotasi dan
sekonyong-konyong kami melihat dua titik kecil yang
bertindihan serta berkelap-kelip. Begitu mengenali letak
tempat-tempat di globe itu, kami menyadari kedua titik tadi
ada di West Virginia.
"Itu kita," kataku.
Bola itu terus berotasi dan kami melihat ada titik
berkelap-kelip lain di India. Titik keempat bergerak ke utara
dengan cepat dari tempat yang sepertinya Brazil.
"Ini seperti waktu aku menunjukkan sistem tata surya
kita kepada Nomor Enam dan Sam di mobil beberapa hari
yang lalu. Tata surya kita berubah jadi Bumi. Itu yang pertama
kalinya," kataku.
"Aku bingung," kata Nomor Sembilan. "Di sini cuma
ada empat titik, padahal seharusnya kita yang tersisa kan ada
enam."
"Yeah, aku juga tak mengerti. Waktu itu ada sebuah
titik yang muncul di Spanyol," kataku. "Kemudian globe ini
jadi buram, lalu kami mendengar seseorang berteriak panik
menyebut nama Adelina. Kami pikir dia itu Garde lain. Itu
sebabnya, Nomor Enam memutuskan ke Spanyol untuk
mencarinya. Kukira kau mau menghubungi yang lain dengan
cara ini, tapi sepertinya dugaanku salah karena ternyata kau
tak pernah melihat ini."
Mata Nomor Sembilan melebar. "Sebentar. Astaga.
Aku tak pernah melihat ini, tapi kupikir Sandor pernah
mengatakan tentang ini kepadaku. Sejujurnya, saat kami
membuka Peti Loricku untuk pertama kalinya, tongkat perak
dan bola landak kuning itu begitu menakjubkan sehingga aku
cuma setengah mendengarkan kata-kata Sandor yang lain.
Tapi sekarang aku ingat. Dia bilang sebagian dari kita punya
kristal merah?aku punya benda itu, dan kupikir aku akan
menggunakannya untuk berkomunikasi dengan yang lain?
sementara sebagian yang lain punya sistem tata surya."
"Aku tak mengerti."
Dia kembali ke Petinya, meraih kristal merah bersinar
seukuran pemantik, membanting tutup Petinya, lalu kembali
menghampiriku. Aku memandang sistem tata surya itu dan
terkesiap. Salah satu titik biru di West Virginia lenyap.
"Woo, tunggu. Buka lagi Petimu. Aku mau melihat
sesuatu."
Nomor Sembilan mematuhi dan titik biru kedua
muncul kembali di bagian West Virginia di globe. "Oke.
Sekarang tutup."
Dia menutupnya dan titik itu lenyap kembali. "Ini
membosankan," katanya. Saat Nomor Sembilan berkata
begitu, globe Bumi tadi menjadi buram serta bergetar dan
setengah detik kemudian suaranya terdengar dari bulatan
itu. "Tunggu, apa itu? Mengapa suaraku bergema?" Globe itu
bergetar lagi.
"Ini tidak membosankan. Ini luar biasa," kataku
sambil menatap globe itu. "Kita tidak melihat keenam
anggota Garde karena globe ini cuma memperlihatkan Garde
yang Peti Loricnya terbuka tepat pada saat ini. Lihat." Aku
mengangkat tutup Peti Loric Nomor Sembilan.
Dia bersiul. "Keren banget, Empat. Keren banget."
Setengah detik kemudian, kami mendengar suaranya di
globe lagi. Nomor Sembilan meletakkan kristalnya karena
sudah mengerti.
"Dilihat dari kecepatan Garde yang ini," kataku sambil
menunjuk titik yang bergerak, "orang yang ada di Amerika
Selatan ini pasti sedang di pesawat. Gerakannya terlalu jauh
dan terlalu cepat, tak mungkin dia tidak naik pesawat."
"Kenapa dia membuka Peti Loricnya di pesawat?"
tanya Nomor Sembilan. "Itu konyol."
"Mungkin dia sedang dalam masalah. Mungkin dia
sedang sembunyi di toilet, berusaha mengetahui apa yang
dilakukan barang-barang ini, seperti kita."
"Apakah saat ini mereka bisa melihat kita juga?"
"Entahlah, tapi mungkin mereka dapat mendengar
kita. Sepertinya kalau kau memegang kristal merah itu, kami
yang punya makrokosmos Bumi ini dapat mend e ngarmu. "
"Kalau sebagian dari kita punya kristal, sementara
sebagian yang lain berhasil membuat globe besar bersinar ini
menyala dan berfungsi, maka?"
"Kita cuma bisa saling berkomunikasi kalau kita
berpasangan," aku menyela.
"Nah, karena kita berdua, mungkin sebaiknya kita
coba bicara dengan yang lain. Kalau-kalau makrokosmos
mereka berfungsi," aku melanjutkan. "Mungkin ada pasangan
lain yang sudah bergabung seperti kita."
Nomor Sembilan meraih kristal merah dan
memegangnya di dekat mulut seperti mikrofon. "Halo? Tes
satu, dua, tiga." Dia berdeham. "Oke, kalau ada Garde di luar
sana yang sedang berdiri di depan bola bercahaya, dengar.
Nomor Empat dan Nomor Sembilan sudah bergabung dan
kami siap bertemu dengan kalian. Kami ingin berlatih dan
mengakhiri omong kosong ini serta kembali ke Lorien.
Secepatnya. Kami tak akan mengatakan di mana lokasi kami
saat ini kalau-kalau ada Mog yang mendengar, tapi kalau
makrokosmos kalian menyala, di sana ada dua titik yang
berdempetan. Itu, eh, kami. Jadi, em ...," Nomor Sembilan
memandangku dan mengangkat bahu. "Sekian. Ganti dan
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selesai, dan seterusnya."
Kulit pergelangan tanganku yang ada di balik gelang
tiba-tiba terasa kebas. Aku mengguncangnya dan lenganku
serasa digelitik. "Sebentar. Bilang kita akan pergi dan suruh
mereka ke Amerika Serikat. Di sana ada Setrakus Ra,
pemimpin Mogadorian. Bilang kita akan mengejar Setrakus
Ra dan kita akan menyelamatkan teman kita secepat
mungkin."
Bumi di hadapanku bergetar menyala dengan suara
Nomor Sembilan yang bergema. "Semuanya, datanglah ke
Amerika secepat mungkin. Setrakus Ra sudah menunjukkan
muka jeleknya di sini dan kami berniat menghancurkan serta
mengalahkannya secepat mungkin. Besok kami akan
mengirim pesan lain. Tunggu kabar dari kami."
Nomor Sembilan menjatuhkan kristal merah itu
kembali ke Peti Loricnya, tampak sangat puas dengan dirinya,
lalu agak malu karena baru saja bicara dengan bola. Aku
mengernyit. Lengan kananku rasanya se dingin es. Saat akan
merenggut lepas gelang sebelum memasukkan bola-bola
kaca itu kembali ke kantung beledu, globe itu kembali
buram. Lalu terdengar suara ledakan, diikuti suara yang
kukenal baik. Itu suara gadis yang pernah kudengar, gadis
yang membuat Nomor Enam pergi ke Spanyol untuk
mencarinya. Dia berteriak. "Enam! Kau baik-baik saja?"
Kami mendengar jeritan dan dua ledakan lagi yang
mengguncang tepi buram globe itu. Aku meraih kristal
Nomor Sembilan, buru-buru mencoba berkomunikasi dengan
Nomor Enam.
"Enam!" aku berteriak. Aku bakal melompat ke dalam
benda itu kalau tahu caranya. "Ini aku, John! Kau dengar?"
Tidak ada jawaban. Kami mendengar suara samar
baling-baling helikopter sebelum globe itu kembali hening
dan tepi Bumi menjadi padat lagi. Sekarang sinar berdenyut
di India itu juga hilang. Tiba-tiba, globe itu menciut dan
kembali menjadi tujuh bola, yang semuanya jatuh ke lantai.
"Kedengarannya tidak bagus," Nomor Sembilan
berkomentar sambil meraup bola-bola itu. Dia
memasukkannya kembali ke Petiku, lalu mengambil
kristalnya dari tanganku yang membeku.
Nomor Enam dalam masalah?masalah yang
melibatkan ledakan, helikopter, dan pegunungan. Semua itu
terjadi saat ini, di belahan lain dunia. Bagaimana cara pergi
ke India? Di mana aku bisa mendapatkan pesawat?
"Nomor Enam itu cewek yang memberimu peta
menuju gunung? Yang meninggalkanmu dan sobatmu demi
pergi ke Spanyol?" tanya Nomor Sembilan.
"Betul," aku menjawab sambil menendang Petiku
hingga tertutup, dengan tangan terkepal erat. Kepalaku
pusing. Ada apa dengan Enam? Siapa gadis lain itu, yang
suaranya sudah dua kali kudengar? Aku menyadari lenganku
terasa aneh. Suara Nomor Enam mengalihkan perhatianku
sehingga aku lupa dengan rasa yang semakin tidak nyaman
ini. Aku berusaha melepaskan gelang itu dari pergelangan
tangan, tapi benda itu membakar jari-jariku. "Benda ini aneh.
Kurasa ada yang salah dengan benda ini."
Nomor Sembilan menutup Petinya dan mengulurkan
tangan. "Gelangnya?" Dia buru-buru menarik tangannya
begitu menyentuh gelang. "Keparat! Gelang itu
menyetrumku!"
"Lalu aku harus bagaimana?" Aku mencoba
mengibaskan tanganku kuat-kuat, berharap dapat membuat
gelang itu terlempar lepas.
Bernie Kosar berderap menghampiri untuk membaui
gelang itu, tapi dia berhenti di tengah jalan dan
menyentakkan kepala untuk menatap pintu depan.
Telinganya berdiri dan bulu di punggungnya menegak.
Ada yang datang, katanya.
Aku dan Nomor Sembilan saling pandang lalu mulai
mundur ke tengah ruangan, menjauhi pintu. Karena begitu
sibuk dengan benda-benda di Peti serta mendengar suara
dari globe, kewaspadaan kami menurun sehingga tidak
memperhatikan keadaan di sekeliling kami.
Tiba-tiba, pintu terlempar lepas dari engselnya. Boni
asap melayang menembus jendela, menerbangkan pecahan
kaca ke mana-mana. Aku ingin bertarung, tapi rasa sakit yang
disebabkan gelang itu begitu kuat sehingga aku tak mampu
bergerak. Aku jatuh berlutut.
Aku melihat kilasan cahaya hijau dan mendengar
Nomor Sembilan menjerit kesakitan. Dia roboh di
sampingku. Aku pernah melihat sinar hijau itu. Tak salah lagi,
itu sinar hijau meriam Mogadorian.
7 P
ELURU BERDESINGAN, MELEDAKKAN TANAH DI SEKELILING
KAMI. Aku dan Ella berlindung di batik puing-puing salah satu
truk. Peluru-peluru itu seakan datang dari mana-mana, dari
segala arah, dari segala penjuru. Ella tertembak. Udara penuh
debu akibat kekacauan sehingga lukanya tak terlihat. Aku
meraba tubuh Ella perlahan sampai merasakan darah yang
basah dan lengket serta menemukan lubang peluru di paha
bawahnya. Saat aku menyentuh lukanya itu, Ella menjerit
kesakitan.
Dengan nada paling menenangkan yang bisa
kuucapkan, mengingat situasi dan kondisinya, aku
membujuknya, "Kau akan baik-baik saja. Marina dapat
menolongmu. Kita cuma perlu menemukannya." Aku
menggendong Ella dan mulai menjauhi truk dengan had-had,
menamenginya dengan tubuhku. Aku nyaris jatuh menimpa
Marina dan Crayton yang berdesakan di batik puing-puing
lain.
"Ayo! Ella terluka! Kita harus pergi dari sini!"
"Jumlah mereka terlalu banyak. Kalau kita coba lari
sekarang, mereka bakal membunuh kita. Sembuhkan Ella
dulu, setelah itu barn kita lawan," ujar Crayton.
Aku mendudukkan Ella yang masih mengenakan
kacamata hitam di samping Marina. Sekarang aku dapat
melihat luka Ella dengan lebih jelas, darahnya terus
mengalir. Marina meletakkan tangannya di kaki Ella lalu
memejamkan mata. Ella menarik napas kuat-kuat, dadanya
mulai naik turun dengan cepat. Menyaksikan Pusaka Marina
beraksi sangatlah menakjubkan. Di dekat kami, ledakan lain
menggelegar dan debu bertiup ke arah kami, sementara luka
Ella merapat dan mendorong peluru keluar dari dagingnya.
Lubang luka di kulit Ella yang asalnya hitam dan merah
kembali putih bagai mutiara. Siluet tulang kecil di batik
permukaan kulitnya bergeser dan tubuh Ella yang tadinya
tegang mulai mengendur. Aku memegang bahu Marina
dengan perasaan lega, lalu berkomentar, "Luar biasa,
Marina."
"Trims. Keren, ya?" Marina mengangkat tangannya
dari Ella, yang bergerak perlahan lalu bertumpu pada siku.
Crayton memeluknya.
Helikopter bergemuruh di atas kepala kami dan
menghujani dua truk dengan peluru. Sepotong logam
mendarat di dekatku. Pintu truk hangus dengan angka
delapan warna merah yang nyaris tak terbaca. Dadaku panas
melihatnya. Karena Ella sudah sembuh, sekarang aku siap
melawan.
"Sekarang kita lawan mereka!" aku berteriak ke arah
Crayton.
"Mereka Mogadorian?" tanya Marina samba
mengunci Peti Loricnya.
Crayton mengintip lewat atas tumpukan puing-puing
yang kami gunakan untuk bersembunyi, lalu kembali
merunduk untuk melaporkan. "Bukan Mog. Tapi mereka
banyak dan mendekat. Kita bisa saja bertempur di sini, tapi
lebih baik kita bertarung di pegunungan. Siapa pun mereka,
kalau mereka di sini bukan untuk menyerang kita, melainkan
untuk bertempur melawan Komandan Sharma. Kurasa tak
perlu mengungkapkan kekuatan kalian."
Ledakan di belakang mendorong awan debu ke arah
kami. Aku memandang helikopter yang tadi berputar balik,
lalu bergerak lurus ke arah kami. Aku dan Marina saling
pandang dan kami tahu pikiran kami sama. Tak mungkin kami
menuruti permintaan Crayton untuk tidak menggunakan
Pusaka dan melakukan apa yang harus kami lakukan. Marina
mengambil alih kendali helikopter dan membalikkan jalur
terbangnya. Penumpang di dalam helikopter itu tak akan
memahami apa yang terjadi, tapi yang penting helikopter itu
tidak lagi menuju ke arah kami. Selain itu, kami tak mau
menyebabkan orang terancam bahaya, siapa pun yang ada di
dalam helikopter itu. Aku dan Ella bersorak lega melihat
baling-baling yang berputar itu lenyap di kejauhan,
sementara Crayton memandang dengan kening berkerut.
Lalu, Komandan Sharma terjun ke tempat kami berlindung.
"Syukurlah, kalian masih hidup," katanya. Aku ingin
mengatakan yang sama kepadanya. Kupikir dia sudah tewas
akibat hantaman roket pertama tadi. Darah menetes dari luka
besar di pelipisnya, dan lengan kanannya tergantung tak
wajar di samping tubuh.
"Kurasa kau bertanggung jawab atas ini," kataku
sambil memelototinya.
Dia menggeleng. "Itu prajurit Front Perlawanan
Dewa. Merekalah yang ingin kami hindari."
"Apa yang mereka inginkan?" tanyaku.
Komandan Sharma memandang cakrawala sebelum
menatap mataku. "Membunuh Wisnu. Serta menghancurkan
semua temannya. Seperti kalian. Ada lebih banyak lagi yang
sedang ke sini."
Aku berjongkok siaga dan dengan hati-hati mengintip
lewat atas truk yang hancur ini. Sepasukan besar mobil
bersenjata berat bergerak menuju kami, diiringi sejumlah
helikopter yang terbang di atasnya. Kilatan cahaya kecil
muncul dari barisan panjang truk dan jip itu, dan beberapa
detik kemudian, aku mendengar desingan peluru melewati
kami.
"Ayo, kita hajar mereka," kataku.
"Kita tak mungkin mengalahkan mereka di sini," kata
Komandan Sharma sambil memungut senapan mesin dengan
tangannya yang sehat. "Orang-orangku yang masih
bertempur tinggal dua puluh orang lagi. Tidak lebih. Kita
harus ke daratan tinggi kalau mau selamat."
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biar kutangani," kataku.
"Tunggu, Enam," ujar Crayton sambil mengangkat
Peti Loric Marina. "Dia benar. Di pegunungan ada banyak
tempat berlindung. Kau masih bisa menghabisi mereka
semua tanpa terlalu kentara, dan itu bagus buat kita. Kita kan
tak mau para Mog datang ke sini."
Marina memegang lenganku. "Crayton benar. Kita
harus bertindak cerdas. Jangan menarik lebih banyak
perhatian daripada yang seharusnya."
"Mog?" Komandan Sharma bertanya dengan bingung.
Kami harus lebih hati-hati saat di dekatnya.
Sebelum ada yang menjawab, dua helikopter yang
terbang rendah lewat sambil memuntahkan peluru. Para
prajurit Komandan Sharma diberondong habis, senjata
mereka meledak menjadi potongan logam tak berguna. Kalau
kami mau lari, inilah saat yang tepat atau tidak sama sekali.
Aku menggunakan telekinesis untuk menarik ekor salah satu
helikopter, membuat hidungnya menukik ke bawah. Benda
itu tampak seperti kuda rodeo yang berusaha melemparkan
penunggangnya karena si pilot berusaha keras meluruskan
kembali helikopternya. Kami menyaksikan pilot
menyentakkan tuas kemudi dengan keras dan dua Aria
terlempar keluar dari helikopter itu. Jarak mereka tidak
terlalu tinggi, jadi jatuhnya tidak akan mencelakakan?tidak
parah.
Aku menoleh ke arah armada SUV kami yang berhenti
dan melihat asap tipis membubung dari salah satu knalpot.
Mesinnya masih menyala! Aku berseru, "Ayo!
Sekarang!"
Semua orang berlari keluar dari balik perlindungan.
Komandan Sharma berseru memerintahkan segelintir
prajuritnya yang tersisa untuk mundur. Jarak dengan pasukan
yang menyerbu kami kurang dari seratus meter. Saat kami
berlari, aku merasakan peluru berdesing melewati rambutku.
Peluru yang lain merobek lenganku, tapi sebelum aku
sempat menjerit, Marina sudah ada di sampingku, tangannya
yang dingin menyembuhkan lukaku sementara kami berlari.
Hanya seorang prajurit Komandan Sharma yang mematuhi
perintahnya untuk mundur. Prajurit itu mengikuti Komandan,
berlari bersama kami.
Kami tiba di SUV dan masuk?kami berempat, juga
Komandan Sharma dan seorang prajuritnya. Crayton
menjejak pedal gas dan membawa kami semua ke jalan.
Peluru-peluru menembus bagian belakang mobil kami,
memecahkan kaca belakang, tapi kami berhasil meliuk ke
balik gundukan kecil batu dan menghindari semburan peluru
yang tak henti-henti itu.
Jalan ini tidak cocok untuk ngebut karena penuh
lubang, batu, serta puing-puing lain, dan Crayton berusaha
keras supaya kami tidak meluncur keluar dari bahu jalan. SUV
ini dipenuhi senjata?aku menemukan senapan lalu merayap
ke belakang, menunggu sasaran. Marina mengikuti,
meninggalkan Petinya bersama Ella.
Sekarang, setelah punya waktu untuk berpikir, aku
merasa marah. Kami pikir kalau Nomor Delapan tetap di
pegunungan, kami bakal aman di sini, tak terlacak. Namun,
kami malah diserang gara-gara dia. Kalau kami selamat, aku
bakal mencabik-cabik Nomor Delapan.
"Kita ke mana?" seru Crayton.
"Ikuti terus jalan ini," balas Komandan. Aku menoleh
dan melihat Pegunungan Himalaya dari balik jendela.
Pegunungan itu perlahan-lahan tampak lebih dekat.
Puncaknya yang bergerigi semakin mengerikan. Di depan
sana, gurun cokelat berakhir dan pita hijau melengkung
mengelilingi kaki pegunungan tersebut.
"Kenapa orang-orang itu mau membunuh Nomor
Delapan?" aku bertanya pada Komandan Sharma, laras
senapanku berayun-ayun di bingkai jendela belakang.
"Front Perlawanan Dewa tidak percaya dia itu Wisnu.
Mereka yakin kami ini menghujat karena menganggap anak
gunung ini adalah Dewa Tertinggi. Mereka ingin membunuh
kami karenanya."
"Enam!" Ella berseru. "Awas!" Dia masih mengenakan
kacamata hitam.
Aku memandang ke luar jendela belakang tepat pada
waktunya dan melihat sesuatu meluncur dari helikopter.
Semacam misil meluncur lurus ke arah kami. Aku
menggunakan telekinesisku untuk mengarahkan misil itu ke
dasar gurun dan benda itu meledak di sana. Helikopter
menembakkan dua misil lain.
"Saatnya memberi mereka pelajaran!" aku berteriak.
"Ayo, kita lakukan sama-sama, Marina." Dia
mengangguk. Kali ini kami tidak mengarahkan roket-roket itu
ke tanah, tapi membaliknya sehingga keduanya kembali ke
arah helikopter. Kami memandang sedih saat helikopter itu
meledak menjadi bola api raksasa. Kami tak ingin
membunuh. Namun, kalau disuruh memilih antara
membunuh atau dibunuh, aku akan selalu memilih kami.
"Bagus, Enam," puji Ella.
"Yippii-ka-yey, dan seterusnya," sahutku sambil
tersenyum muram.
"Menurutmu sekarang mereka akan membiarkan
kita?" tanya Marina.
"Kurasa tak Bakal segampang itu," sahut Komandan
Sharma.
"Kekuatannya sama dengan anak yang kau sebut
Wisnu itu," kata Crayton sambil memberi isyarat ke arahku.
"Apakah itu cukup untuk menyurutkan niat mereka? Apakah
menurutmu mereka akan terus melawannya?"
"Mereka akan melakukan itu kalau dapat
menemukannya," jawab Komandan.
"Ada berapa banyak anggota Front Perlawanan
Dewa?" aku bertanya kepada Komandan Sharma.
"Totalnya? Ribuan. Mereka juga punya donor kaya
yang selalu memasok kebutuhan mereka."
"Jadi itu sebabnya ada helikopter," Crayton
menyimpulkan.
"Mereka punya yang lebih parah lagi dari itu,"
tambah Komandan Sharma.
"Jadi yang paling bagus buat kita adalah melarikan
diri sampai tak terkejar," kata Crayton kepada Komandan.
"Aku akan ngebut secepat mungkin. Kalau kita harus
bertarung, kita bertarung, tapi aku lebih suka
menghindarinya."
Lima menit berlalu dalam keheningan mencekam.
Aku dan Marina mengawasi pasukan di kejauhan, dan setiap
kali melewati benda yang cukup besar, kami menggunakan
telekinesis untuk menjatuhkannya ke jalan di belakang kami.
Pepohonan tinggi yang mulai muncul di sisi jalan dengan
segera membentuk pertahanan kuat. Mobil kami menukik ke
lembah yang sangat sempit sebelum mulai menaiki gunung.
Saat kami barU tiba di kaki gunung, Komandan Sharma
menyuruh Crayton berhenti. Aku memajukan tubuh di kursi
dan melihat lusinan gundukan di tanah.
"Ranjau?" tanyaku.
"Entahlah," jawab Komandan. "Tapi gundukan itu
belum ada dua hari lalu."
"Ada rute lain ke tempat yang kita tuju?" tanya
Crayton.
"Tidak. Ini jalan satu-satunya," jawab Komandan
Sharma.
Tiba-tiba, kami mendengar bunyi baling-baling
helikopter, tapi aku tidak melihatnya. Helikopter itu
tersembunyi di balik pohon-pohon tinggi. Tentu saja, itu
berarti mereka juga tak dapat melihat kami, walaupun
kedengarannya helikopter itu tidak begitu jauh.
"Kita bakal jadi sasaran empuk kalau terus di sini,"
kataku. Otakku berputar cepat memikirkan apa yang
sebaiknya kami lakukan.
Crayton membuka pintunya dan keluar sambil
membawa senapan mesin. "Oke, ini dia." Dia menunjuk ke
sebelah kanan atas dari tempat kami. "Kita pergi ke atas sana
dan berlindung di balik pepohonan serta bertarung, atau
terus lari ke gunung."
Aku ikut keluar dari mobil. "Aku tidak akan melarikan
diri."
"Aku juga," tambah Marina seraya berdiri di
sampingku.
"Kalau begitu, kita bertarung," ujar Komandan
Sharma. Dia menunjuk ke perbukitan. "Sebagian dari kita ke
kiri, sementara yang lainnya ambil posisi di kanan. Yang dua
ini, ikut aku," katanya sambil menunjuk aku dan Ella.
Aku dan Ella saling pandang lalu mengangguk.
Ella menatap Crayton. "Kau baik-baik saja tanpaku,
Papa?"
Crayton tersenyum. "Apa pun yang mereka lakukan
kepadaku, Pusaka Marina akan memastikan itu tidak lama.
Kurasa aku bakal baik-baik saja."
"Aku akan menjaganya, Ella," Marina menambahkan.
"Kau yakin kita harus melakukan ini, Komandan?"
tanya si prajurit. "Aku bisa pergi menjemput Wisnu untuk
membantu di sini."
"Jangan. Dewa Wisnu harus tetap aman di
tempatnya."
Crayton memandang Ella. "Pakai terus kacamata itu.
Mungkin kau dapat menjadi mata kami dari pepohonan di
atas sana. Aku masih tak mengerti cara kerjanya, tapi semoga
saja benda itu dapat membantu."
Aku memeluk Marina dan berbisik ke telinganya.
"Yakinlah dengan kemampuanmu "
"Aku harus menyembuhkan Komandan Sharma
sebelum kalian pergi," katanya.
"Jangan," bisikku. "Aku belum memercayainya. Lagi
pula, dia tidak terlalu berbahaya bagi kita kalau terluka
begitu."
"Kau yakin?"
"Untuk saat ini."
Marina mengangguk. Crayton menepuk lengan
Marina dan memberi isyarat agar bergabung dengannya dan
prajurit muda itu. Mereka bertiga menaiki dinding kiri
lembah dan menghilang di balik batu besar.
The Rise of Nine Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku, Komandan Sharma, dan Ella bergerak ke sebelah
kanan bukit sambil menghindari tonjolan-tonjolan di tanah.
Kami menemukan tempat di balik bebatuan besar dan diam
menunggu pasukan itu tiba.
Aku memandang Komandan Sharma dan merasa agak
bersalah karena tidak membiarkan Marina
menyembuhkannya, tapi menurutku dia bertanggung jawab
atas perangkap ini. "Bagaimana lenganmu?" aku berbisik
kepadanya.
Komandan Sharma berbaring sambil mengerang, lalu
memosisikan laras senapannya di sebuah batu datar. Dia
mendongak dan mengedipkan sebelah mata. "Aku cuma
butuh satu."
Dan sudut mataku, aku dapat melihat helikopter yang
melintas di atas tapi segera pergi. Mungkin Marina
mengurusi helikopter itu atau mungkin pilotnya tak dapat
melihat menembus dedaunan rimbun di lembah ini. Aku
memandang melalui pepohonan, berharap dapat
mengendalikan awan yang mengelilingi puncak gunung, tapi
matahari sore sudah melenyapkan awan. Tanpa angin dan
awan, tak ada yang dapat kukendalikan. Aku dapat menjadi
tak terlihat kalau diperlukan, tapi saat ini aku lebih suka
merahasiakannya dari Komandan Sharma.
"Kau melihat apa?" tanya Ella.
"Tak banyak," aku berbisik. "Komandan, seberapa
jauh kita dari Nomor Delapan?"
"Maksudmu Wisnu? Tidak jauh. Setengah hari
perjalanan, mungkin."
Aku ingin memintanya memberitahuku di mana
tepatnya Wisnu berada. Kami harus mengetahuinya kalau
kalau sesuatu terjadi pada Komandan sehingga kami harus
pergi tanpa dirinya. Namun, perhatianku teralihkan karena
sebuah mobil pikap karatan meluncur cepat ke lembah
sempit ini. Seorang pria berdiri di bak mobil itu. Bahkan dari
kejauhan, aku dapat melihat dia gugup walaupun bersenjata.
Pria itu menyentakkan senjatanya ke kanan dan ke kiri
dengan panik, seakan berusaha untuk mengawasi segala
tempat sekaligus. Begitu SUV kami terlihat, pikap itu berdecit
berhenti dan prajurit di bak belakang melompat turun.
Mobil-mobil lain juga muncul dan berhenti di belakang pikap
Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Mayat Dalam Lemari Body In Closet Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama